17
DIFTERIA 1. Identifikasi Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang- kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteria faringotonsiler, diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang sedang dan berat ditandai dengan pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada trachea secara ekstensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas. Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan salah satu rongga hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi) merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Gejala lain yang muncul belakangan antara lain neuropati yang mirip dengan Guillain Barre Syndrome. Tingkat kematian kasus mencapai 5-10% untuk difteri noncutaneus, angka ini tidak banyak berubah selama 50 tahun. Bentuk lesi pada difteria kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo. Pengaruh toksin difteria pada lesi perifer tidak jelas. Difteria sebaiknya selalu dipikirkan dalam membuat diferensial diagnosa pada infeksi bakteri (khususnya Streptococcus) dan viral pharingitis, Vincent’s angina, mononucleosis infeksiosa, syphilis pada mulut dan candidiasis. Perkiraan diagnosa difteri didasarkan pada ditemukan adanya membran asimetris keabu-abuan khususnya bila menyebar ke ovula dan palatum molle pada penderita tonsillitis, pharingitis atau limfadenopati leher atau adanya discharge serosanguinus dari hidung. Diagnosa difteri dikonfrimasi dengan pemeriksaan bakteriologis terhadap sediaan yang diambil dari lesi. Jika diduga kuat bahwa kasus ini adalah penderita difteria maka secepatnya diberikan pengobatan yang tepat dengan antibiotika dan pemberian antitoksin. Pengobatan ini dilakukan sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratoriumnya negative. 2. Penyebab Penyakit Penyebab penyakit adalah Corynebacterium diphtheria dari biotipe gravis, mitis atau intermedius. Bakteri membuat toksin bila bakteri terinfeksi oleh coryne bacteriophage yang mengandung diphtheria toxin gene tox. Strain nontoksikogenik jarang menimbulkan lesi lokal, namun strain ini dikaitkan dengan kejadian endokarditis infektif. 3. Distribusi Penyakit

Penyakit Difteri & Situasi Di Jatim,Dinkes

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Penyakit Difteri & Situasi Di Jatim,Dinkes

DIFTERIA

1. Identifikasi

Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina.

Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi.

Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteria faringotonsiler, diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak.

Pada kasus-kasus yang sedang dan berat ditandai dengan pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada trachea secara ekstensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.

Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan salah satu rongga hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes).

Infeksi subklinis (atau kolonisasi) merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri.

Gejala lain yang muncul belakangan antara lain neuropati yang mirip dengan Guillain Barre Syndrome. Tingkat kematian kasus mencapai 5-10% untuk difteri noncutaneus, angka ini tidak banyak berubah selama 50 tahun.

Bentuk lesi pada difteria kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo.

Pengaruh toksin difteria pada lesi perifer tidak jelas. Difteria sebaiknya selalu dipikirkan dalam membuat diferensial diagnosa pada infeksi bakteri (khususnya Streptococcus) dan viral pharingitis, Vincent’s angina, mononucleosis infeksiosa, syphilis pada mulut dan candidiasis.

Perkiraan diagnosa difteri didasarkan pada ditemukan adanya membran asimetris keabu-abuan khususnya bila menyebar ke ovula dan palatum molle pada penderita tonsillitis, pharingitis atau limfadenopati leher atau adanya discharge serosanguinus dari hidung.

Diagnosa difteri dikonfrimasi dengan pemeriksaan bakteriologis terhadap sediaan yang diambil dari lesi.

Jika diduga kuat bahwa kasus ini adalah penderita difteria maka secepatnya diberikan pengobatan yang tepat dengan antibiotika dan pemberian antitoksin. Pengobatan ini dilakukan sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratoriumnya negative.

2. Penyebab Penyakit Penyebab penyakit adalah Corynebacterium diphtheria dari biotipe gravis,

mitis atau intermedius.

Bakteri membuat toksin bila bakteri terinfeksi oleh coryne bacteriophage yang mengandung diphtheria toxin gene tox. Strain nontoksikogenik jarang menimbulkan lesi lokal, namun strain ini dikaitkan dengan kejadian endokarditis infektif.

3. Distribusi Penyakit

Page 2: Penyakit Difteri & Situasi Di Jatim,Dinkes

Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis dan terutama menyerang anak-anak berumur di bawah 15 tahun yang belum diimunisasi.

Page 3: Penyakit Difteri & Situasi Di Jatim,Dinkes

Sering juga dijumpai pada kelompok remaja yang tidak diimunisasi. Di negara tropis variasi musim kurang jelas, yang sering terjadi adalah infeksi subklinis dan difteri kulit.

Di Amerika Serikat dari tahun 1980 hingga 1998, kejadian difteri dilaporkan rata-rata 4 kasus setiap tahunnya; dua pertiga dari orang yang terinfeksi kebanyakan berusia 20 tahun atau lebih. KLB yang sempat luas terjadi di Federasi Rusia pada tahun 1990 dan kemudian menyebar ke negara-negara lain yang dahulu bergabung dalam Uni Soviet dan Mongolia.

Faktor risiko yang mendasari terjadinya infeksi difteri dikalangan orang dewasa adalah menurunnya imunitas yang didapat karena imunisasi pada waktu bayi, tidak lengkapnya jadwal imunisasi oleh karena kontraindikasi yang tidak jelas, adanya gerakan yang menentang imunisasi serta menurunnya tingkat sosial ekonomi masyarakat.

Wabah mulai menurun setelah penyakit tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1995 meskipun pada kejadian tersebut dilaporkan telah terjadi 150.000 kasus dan 5.000 diantaranya meninggal dunia antara tahun 1990-1997. Di Ekuador telah terjadi KLB pada tahun 1993/1994 dengan 200 kasus, setengah dari kasus tersebut berusia 15 tahun ke atas. Pada kedua KLB tersebut dapat diatasi dengan cara melakukan imunisasi massal.

4. Reservoir: Manusia.

5. Cara Penularan Cara penularan adalah melalui kontak dengan penderita atau carrier; jarang sekali penularan melalui peralatan yang tercemar oleh discharge dari lesi penderita difteri. Susu yang tidak dipasteurisasi dapat berperan sebagai media penularan.

6. Masa Inkubasi Biasanya 2-5 hari terkadang lebih lama.

7. Masa Penularan Masa penularan beragam, tetap menular sampai tidak ditemukan lagi bakteri dari discharge dan lesi; biasanya berlangsung 2 minggu atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari 4 minggu. Terapi antibiotik yang efektif dapat mengurangi penularan. Carrier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan.

8. Kerentanan dan Kekebalan

Bayi yang lahir dari ibu yang memiliki imunitas biasanya memiliki imunitas juga; perlindungan yang diberikan bersifat pasif dan biasanya hilang sebelum bulan keenam. Imunitas seumur hidup tidak selalu, adalah imunitas yang didapat setelah sembuh dari penyakit atau dari infeksi yang subklinis. Imunisasi dengan toxoid memberikan kekebalan cukup lama namun bukan kekebalan seumur hidup. Sero survey di Amerika Serikat menunjukkan bahwa lebih dari 40% remaja kadar antitoksin protektifnya rendah; tingkat imunitas di Kanada, Australia dan beberapa negara di Eropa lainnya juga mengalami penurunan. Walaupun demikian remaja yang lebih dewasa ini masih memiliki memori imunologis yang dapat melindungi mereka dari serangan penyakit. Di Amerika Serikat kebanyakan anak-anak telah diimunisasi pada kuartal ke-2 sejak tahun 1997, 95% dari anak-anak berusia 2 tahun menerima 3 dosis vaksin difteri. Antitoksin yang terbentuk melindungi orang terhadap penyakit sistemik namun tidak melindungi dari kolonisasi pada nasofaring.

9. Cara-cara Pemberantasan A. Cara Pencegahan

1) Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak.

Page 4: Penyakit Difteri & Situasi Di Jatim,Dinkes

2) Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara luas (missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen “acellular pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung “whole cell pertusis” (DTP). Vaksin yang mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen “whole cell pertussis”, dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini juga telah tersedia.

3) Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di Amerika

Serikat (Negara lain mungkin menggunakan jadwal lain dan tidak memberikan 4 dosis sebagai imunisasi dasar).

a) Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun.

Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama diberikan dengan interval 4-8 minggu.

Dosis pertama diberikan saat bayi berusia 6-8 minggu; dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan.

Jadwal ini tidak perlu diulang kembali walaupun terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan jadwal tersebut.

Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah); dosis ke-5 ini tidak perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun.

Bila komponen pertusis dari DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat diberikan vaksin DT.

b) Untuk usia 7 tahun ke atas:

Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan bertambahnya usia maka dosis booster untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai adalah vaksin dengan konsentrasi / kadar diphtheria ``toxoid (dewasa) yang rendah.

Sedangkan untuk mereka yang sebelumnya belum pernah diimunisasi maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis vaksin serap tetanus dan diphtheria toxoid (Td).

Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-3 diberikan 6 bulan hingga 1 tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas dari Swedia menunjukkan bahwa jadwal pemberian imunisasi ini mungkin tidak memberikan tingkat perlindungan yang memadai pada kebanyakan remaja, oleh karena itu perlu diberikan dosis tambahan.

Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan pemberian dosis Td setiap 10 tahun kemudian.

4) Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan

penderita seperti kepada para petugas kesehatan dengan cara memberikan imunisasi dasar lengkap dan setiap sepuluh tahun sekali diberikan dosis booster Td kepada mereka.

Page 5: Penyakit Difteri & Situasi Di Jatim,Dinkes

5) Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem

kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang normal walaupun ada risiko pada orang-orang ini tidak memberikan respon kekebalan yang optimal.

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar

1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat: Laporan wajib dilakukan di hampir semua negara bagian di Amerika Serikat dan negara-negara lain di dunia, Kelas 2 A (lihat pelaporan tentang penyakit menular).

2) Isolasi:

Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal, isolasi untuk difteria kulit dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan sampel dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat (lihat 9B7 di bawah).

3) Desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk penderita dan terhadap barang yang tercemar dengan discharge penderita. Dilakukan pencucihamaan menyeluruh.

4) Karantina:

Karantina dilakukan terhadap dewasa yang pekerjaannya berhubungan dengan pengolahan makanan (khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat dengan anak-anak yang belum diimunisasi. Mareka harus diistirahatkan sementara dari pekerjaannya sampai mereka telah diobati dengan cara seperti yang diuraikan di bawah dan pemeriksaan bakteriologis menyatakan bahwa mereka bukan carrier.

5) Manajemen Kontak:

Semua kontak dengan penderita harus dilakukan kultur dari sample hidung dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari.

Dosis tunggal Benzathine Penicillin (IM: lihat uraian dibawah untuk dosis pemberian) atau dengan

Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan untuk diberikan kepada semua orang yang tinggal serumah dengan penderita difteria tanpa melihat status imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan atau menangani anak-anak sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan tersebut hingga hasil pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan carrier. Kontak yang sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap perlu diberikan dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka terima sudah lebih dari lima tahun. Sedangkan bagi kontak yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, berikan mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau DTP-Hib tergantung dari usia mereka.

6) Investigasi kontak dan sumber infeksi:

Pencarian carrier dengan menggunakan kultur dari sampel yang diambil dari hidung dan tenggorokan tidak bermanfaat jika tindakan yang diuraikan pada 9B5 diatas sudah dilakukan dengan benar. Pencarian carrier dengan kultur hanya bermanfaat jika dilakukan terhadap kontak yang sangat dekat.

7) Pengobatan spesifik:

Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria didasarkan kepada gejala klinis maka antitoksin harus diberikan setelah sampel

Page 6: Penyakit Difteri & Situasi Di Jatim,Dinkes

untuk pemeriksaan bakteriologis diambil tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis tersebut. (Saat ini yang tersedia adalah antitoksin yang berasal dari kuda).

Diphtheria Antitoxin (DAT) tersedia di CD-Atlanta sebagai “investigational product”. Program imunisasi (Amerika Serikat) melayani permintaan DAT pada waktu jam kerja (pukul 08.00 am – 04.30 pm. EST; Senin – Jum’at dengan menghubungi nomor telepon 404-639-8255).

Diluar jam kerja dan pada waktu hari libur menghubungi petugas jaga CDC pada nomor 404-639-2888. DAT disimpan di stasiun karantina yang tersebar di seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Sebelum diberikan lakukan terlebih dahulu skin test untuk mengetahui adanya hypersensivitas terhadap serum kuda. Jika hasilnya negative, DAT diberikan IM dengan dosis tunggal 20.000 – 100.000 unit tergantung berat ringan serta luasnya penyakit. Untuk kasus berat pemberian IM dan IV dilakukan bersama-sama. Pemberian antibiotika tidak dapat menggantikan pemberian antitoksin.

Procain Penicillin G (IM) diberikan sebanyak 25.000 – 50.000 unit/kg BB untuk anak-anak dan 1,2 juta unit/kg BB untuk orang dewasa per hari. Dibagi dalam dua dosis. Penderita dapat juga diberikan erythromycin 40-50 mg/kg BB per hari maksimum 2 g per hari secara parenteral. Jika penderita sudah bisa menelan dengan baik maka erythromycin dapat diberikan per oral dibagi dalam 4 dosis per hari atau penicillin V per oral sebesar 125-250 mg empat kali sehari, selama 14 hari.

Pernah ditemukan adanya strain yang resisten terhadap erythromycin namun sangat jarang.

Antibiotik golongan macrolide generasi baru seperti azythromycin dan chlarithromycin juga efektif untuk strain yang sensitif terhadap erythromycin tetapi tidak sebaik erythromycin.

Terapi profilaktik bagi carrier:

untuk tujuan profilaktik dosis tunggal penicillin G sebesar 600.000 unit untuk anak usia dibawah 6 tahun dan 1,2 juta unit untuk usia 6 tahun ke atas.

Atau dapat juga diberikan erythromycin oral selama 7-10 hari dengan dosis 40 mg/kg BB per hari untuk anak-anak dan 1 gram per hari untuk orang dewasa

.

C. Penanggulangan Wabah

1) Imunisasi sebaiknya dilakukan seluas mungkin terhadap kelompok yang mempunyai risiko terkena difteria akan memberikan perlindungan bagi bayi dan anak-anak prasekolah. Jika wabah terjadi pada orang dewasa, imunisasi dilakukan terhadap orang yang paling berisiko terkena difteria. Ulangi imunisasi sebulan kemudian untuk memperoleh sukurang-kurangnya 2 dosis.

2) Lakukan identifikasi terhadap mereka yang kontak dengan penderita dan

mencari orang-orang yang berisiko. Di lokasi yang terkena wabah dan fasilitasnya memadai, lakukan penyelidikan epidemiologi terhadap kasus yang dilaporkan untuk menetapkan diagnosis dari kasus-kasus tersebut dan untuk mengetahui biotipe dan toksisitas dari C. diphtheriae.

D. Implikasi Bencana

Kejadian luar biasa dapat terjadi ditempat dimana kelompok rentan berkumpul, khususnya bayi dan anak-anak.

Page 7: Penyakit Difteri & Situasi Di Jatim,Dinkes

Kejadian wabah difteria seringkali terjadi oleh karena adanya perpindahan penduduk yang rentan terhadap penyakit tersebut dalam jumlah banyak.

Page 8: Penyakit Difteri & Situasi Di Jatim,Dinkes

E. Penanganan Internasional

Orang yang mengadakan kunjungan atau singgah di negara-negara yang terjangkit difteria faucial atau difteria kulit dianjurkan mendapatkan imunisasi dasar. Dosis booster Td diberikan kepada orang yang sebelumnya telah mendapatkan imunisasi.

Page 9: Penyakit Difteri & Situasi Di Jatim,Dinkes

E. Situasi Difteri di Jawa Timur

- Diphteri masih menjadi masalah kesehatan yang serius di Indonesia khususnya di Jawa Timur

- Kecenderungan kasus Diphteri selalu naik di Jawa Timur dari tahun ke tahun. Tahun 2003 (5 kasus), Tahun 2004 (15 kasus), Tahun 2005 (33 kasus), Tahun 2006 (43 kasus), Tahun 2007 (86 kasus), Tahun 2008 (77 kasus 11 kematian), Tahun 2009 ( 140 kasus /8 kematian), tahun 2010 ( 304 kasus/21 kematian) dan s/d 9 Oktober 2011 ( 333 kasus / 11 kematian)

- Penyebaran kasus Diphteri cederung meluas dari tahun ke tahun di Jawa Timur. Tahun 2003 (3 Kab/Ko), Tahun 2004 (9 kab/Ko), Tahun 2005 (15 Kab/Ko), Tahun 2006 (17 Kab/Ko), Tahun 2007 (17 Kab/Ko), Tahun 2008 ( 20 Kab/Ko), Tahun 2009 ( 24 Kb/Ko), Tahun 2010 (31 Kab/Kota) dan s/d 9 Oktober 2011 ( 34 Kab/Ko )

- CFR Diphteri masih tinggi (7%), bahkan di tempat tertentu bisa mencapai 50%

- 74% kasus Diphteri di Jatim terjadi pada kelompok umur Balita & anak TK-SD (<9 th)

- KLB Diphteri yang terus meningkat dari tahun ke tahun di Jawa Timur membutuhkan penanganan yang baik, serius dan benar pada semua kejadian. Diharapkan dengan penanganan yang baik, serius dan benar maka KLB dapat ditanggulangi dan dicegah.

1. Distribusi Kasus Diphteri menurut waktu

- Kasus Diphteri di Jawa Timur sebenarnya sudah mulai menurun sejak mencapai puncaknya sekitar tahun 1985 namun mulai meningkat kembali sejak tahun 2005 saat terjadi KLB di Kabupaten Bangkalan

- Peningkatan yang sangat bermakna terjadi sejak tahun 2005 dan tahun 2009 dan 2010. Diperkirakan tahun 2011 kasus Diphteri mencapai > 500 kasus bila tidak ada tindakan intervensi secara menyeluruh. Sampai dengan 9 Oktober 2011 telah dilaporkan sebanyak 333 kasus yang tersebar di 34 Kab./Kota di Jawa Timur.

- Peningkatan masalah Diphteri terjadi juga pada jumlah kematiannya, kematian cukup tinggi terjadi pada tahun 2010 dengan 21 kematian dari 304 kasus kesakitan.

- Peningkat jumlah kematian yang signifikan pada periode Januari s/d 10 Juni 2010 (103 kasus, 7 meninggal, CFR : 7%) dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2009 (63 kasus, 3 meninggal, CFR : 4,8%), Tahun 2010 (CFR : 7%) dan Tahun 2011 (CFR : 3.3%)

- Peningkatan kasus Diphteri di Jawa Timur seperti ini dikategorikan sebagai “ Re Emerging Disease “

Page 10: Penyakit Difteri & Situasi Di Jatim,Dinkes

2. Distribusi Kasus Diphteri menurut tempat

- Sejak tahun 2005 penyebaran Diphteri terus meluas ke berbagai Kab/Kota di Jawa Timur. Jumlah Kab/Kota yang melaporkan cenderung bertambah banyak, ini menunjukkan bahwa penularan dari Kab/Kota ke tempat lain cukup efektif dengan kondisi yang ada.. Wilayah terbanyak melaporkan kasus terjadi pada tahun 2009 ( 24 Kab/Kota )

- Wilayah (Kab./Kota) yang terjadi KLB Diphteri juga semakin meluas sejak tahun 2008 s/d Juni 2010 sebanyak 33 Kab./kota, tahun 2008 ( 21 Kab./Kota), tahun 2009 (24 Kab./Kota), 2010 ( 31 Kab/Kota), s/d 9 Oktober 2011 (34 Kab./kota).

- Pelaporan yang cukup efektif dari sudut pandang surveilans dengan kemampuan pelayanan kesehatan untuk mendeteksi adanya kasus Diphteri, namun dari sisi lain dapat dikatakan bahwa ada kelemahan dalam tindakan penanggulangan yang tidak bisa tuntas dan tindakan pencegahan dengan imunisasi yang bermasalah. Masalah manajemen ( dana dan sumber daya ) bisa menjadi salah satu dari inventarisasi permasalahan penanggulangan Diphteri selama ini.

- Dari gambar di atas dapat terlihat bahwa penyebaran Diphteri

sebenarnya sudah terjadi di semua wilayah Kab/Kota di Jatim sejak tahun 2002, hanya 1 wilayah yang belum pernah menemukan kasus Diphteri adalah Kota Madiun. Namun pada bulan Agustus 2010, akhirnya ditemukan kasus Difteri di Kota Madiun. S/d 8 Oktober 2011 ini masih 4 Kabupaten yang belum menemukan aksus, yaitu Kab. Pacitan, Kab. Trenggalek, Kab. Ngawi dan Kab. Magetan.

- Beberapa Kab/Kota yang selalu ada kasus Diphteri setiap tahun antara lain Surabaya, Sumenep, Bangkalan, Sidoarjo, Gresik, Blitar dan Malang.

Page 11: Penyakit Difteri & Situasi Di Jatim,Dinkes

3. Distibusi Kasus Diphteri menurut orang

- Kasus Diphteri umumnya terjadi pada kelompok usia > 1 tahun. Dari tahun ke tahun cenderung terjadi peningkatan pada kelompok usia

Page 12: Penyakit Difteri & Situasi Di Jatim,Dinkes

10-14 th dan > 15 tahun. Masih terjadi kasus Diphteri pada usia < 1 th walaupun sangat sedikit.

- Jika dilihat dari kelompok umur <3 th, 3-7 th dan >7 th maka semakin jelas bahwa proporsi kasus usia >7 th semakin meningkat. Sekitar 75% kasus Diphteri terjadi pada usia < 7 th. Padahal pelaksanaan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) DT dilakukan di kelas 1 SD (usia 7 tahun). Hal ini menjadikan pertayaan apakah BIAS DT pada usia 7 th sudah berhasil ?

- Melihat pola kasus Diphteri menurut kelompok umur dengan rincian

per tahun, maka setiap 1 tahun kelompok umur dengan proporsi seitar 10%. Pola tahun 2009 dengan tahun 2010 hampir serupa hanya terjadi pergeseran sedikit meningkat pada usia 3-4 th, 5-6 th dan >15 th namun terjadi sedikit penurunan pada kelompok umur 6-7 th, 7-8 th dan 10-14 th.

Page 13: Penyakit Difteri & Situasi Di Jatim,Dinkes

- Kelengkapan imunisasi kasus Diphteri sejak tahun 2005 – 2010 ( 10

Juni ) selalu menunjukkan adanya penderita dengan status imunisasi tak lengkap dan status imunisasi nihil ( sekitar 55%)

- Terjadi penurunan penderita Diphteri dengan status imunisasi nihil (tak imunisasi) namun peningkatan terjadi pada penderita dengan status imunisasi tak lengkap. Demikian juga terlihat adanya perbaikan pada penderita dengan status imunisasi lengkap, namun hal ini juga menjadikan pertanyaan, kenapa seorang dengan status imunisasi lengkap masih sakit dengan proporsi yang tinggi (sekitar 42%) ?

- Pada Kelompok umur <1 th, sebelumnya semua penderita dengan status imunisasi nihil, namun pda tahun 2010 terdapat 2 kasus pada usia <1 th dengan status imunisasi lengkap

- Pada kelompok usia 1-4 th, terjadi peningkatan kasus dengan status imunisasi lengkap (lebih dominan) terutama pada tahun 2009 dan 2010.

- Pada kelompok usia 5-9 th, sekitar 50% penderita dengan status imunisasi lengkap

- Pada kelompok usia 10-15 th, sebagian besar penderita memang dengan status imunisasi nihil atau tidak lengkap

- Pada kelompok usia >15 th, sebagian besar imunisasinya tidak lengkap atau nihil.

II. PENANGGULANGAN KLB DIPHTERI

1. Dasar Hukum

a) Undang Undang No 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular

b) Peraturan Pemerintah No 40 tahun 1989 tentang Wabah Penyakit Menular

c) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 56O/MENKES/PER/VIII/1989 tentang Jenis Penyakit Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah, Tata Cara Penyampaian Laporannya dan Tata Cara Penanggulangan seperlunya, dengan penjelasan :

o Diphteri merupakan penyakit menular potensial wabah, sesuai dengan kriteria wabah maka penyakit yang sudah lama tidak ada kemudian muncul lagi maka kondisi tersebut dianggap sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa)

o Setiap ada kasus KLB maka harus dilaporkan < 24 jam, ditindak-lanjuti dengan penyelidikan epidemiologi dan dilakukan penanggulangan

2. Kegiatan Penanggulangan KLB Diphteri

a. Penyelidikan Epidemiologi

Page 14: Penyakit Difteri & Situasi Di Jatim,Dinkes

Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui Indeks kasus atau paling tidak dari mana kemungkinan kasus berawal , mencari kasus-kasus tambahan, cara penyebaran kasus, waktu penyebaran kasus, arah penyebaran penyakit, kontak erat penderita, kasus karier dan penanggulangannya

b. Tatalaksana kasus

Penderita secepatnya dirujuk ke Rumah Sakit, ditempatkan di ruang isolasi

c. Data Record review

Kegiatan ini dilakukan di Rumah Sakit dengan cara aktif melakukan review dari data record medik atau register RS

d. Faktor Risiko

Dalam KLB Diphteri diketahui beberapa faktor risiko seperti tak imunisasi, tak validnya dosis imunisasi, status gizi rendah, suhu lemari es >8C, mobilitas penduduk tinggi, tidak ada bidan desa, dll.

e. Identifikasi Risiko Tinggi

Populasi ini biasanya terjadi pada anak-anak yang tak diimunisasi yang kontak/mungkin kontak dengan penderita Diphteri, daerah dengan cakupan imunisasi (DPT3. DT) rendah (non UCI)

f. Alat Perlindungan Diri (APD)

Alat perlindungan di sangat mutlak digunakan oleh petugas kesehatan. Penularan difteri yang sangat mudah akan menjadikan tertularnya petugas hingga menjadi sajkit atau bahkan menjadi kerier sehingga m,enjadi sumber penularan ke orang lain.

g. Pengambilan dan pemeriksaan spesimen

Setiap kasus difteri yang muncul maka dilakukan penyelidikan epidemiologi dan pengambilan spesimen untuk konfirmasi kasus. Spesimen yang diambil terutama kepada penderita, kontak erat serumah, kontak paling erat penderita di tetangga, teman bermain, teman sekolah, teman ngaji, teman les, teman sekerja, dll

h. Pemberian Prophilaksis

Prophilaksis dilakukan dengan antibiotika Erytromisin (etyl suksinat) dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 7 hari.

i. Intervensi Faktor Risiko (FR)

Setelah dapat diketahui faktor risiko KLB Diphteria tersebut maka perlu dilakukan intervensi sesuai masalahnya (faktor risikonya). Misal, status imunisasi sebagai faktor risiko KLB Diphteri dan cakupan imunisasi daerah KLB rendah, maka peningkatan cakupan imunisasi perlu dilakukan. Demikian juga jika manajemen imunisasi (rantai dingin, tenaga, kualitas vaksin, kualitas imunisasi, dll) yang menjadi masalah sedangkan cakupan imunisasinya tinggi/rendah, maka imunisasi massal sesuai kriteria pemberian perlu dilakukan. Kriteria pemberian untuk imunisasi, sebagai berikut :

a. Usia < 3 tahun DPT-HB

b. Usia 3 – 7 tahun : DT

c. Usia > 7 tahun Td

j. Surveilans intensive

Surveilans intensive Diphteri bertujuan untuk Kewaspadaan Dini dengan menemukan kasus secara awal dengan gejala mirip Diphteri di wilayah yang dicurigai telah terjadi penyebaran. termasuk kegiatan imunisasi sehingga diharapkan adanya kewaspadaan petugas imunisasi dalam pelaksanaan imunisasi.

Page 15: Penyakit Difteri & Situasi Di Jatim,Dinkes

k. Survei Cakupan imunisasi

Melakukan survey cakupan imunisasi DPT-Hb3 minimal 30 balita di sekitar kasus untuk mengetahui cakupan imunisasi

sekitar kasus.

l. Pelaporan

Laporan cepat <24 jam. Bisa didahului dengan telephon atau SMS namun harus dilanjutkan dengan form W1.

III. MASALAH - Diphteri sangat menular dan CFR masih tinggi - Jumlah kasus dan kematian cenderung meningkat - Kenaikan kasus sangat bermakna dari tahun ke tahun. - Pada 8 Oktober 2011 jumlah kasus sudah mencapai 333 dan tersebar

di 34 Kab/Kota. Jika tidak ada tindakan yang lebih intensiv diperkirakan pada akhir tahun bisa mencapai > 500 kasus

- Sejak tahun 2007 terjadi peningkatan kasus yang bermakna pda kelompok usia > 10 tahun tapi kasus tetap dominan pada kelompok usia 1-4 th dan 5-9 tahun

- Ada beberapa daerah dengan kasus yang tetap tinggi setiap tahun antara lain Surabaya, Sumenep, Sidoarjo, Bangkalan, Gresik, Blitar dan Kota Malang (terjadi tahun 2009)

- Tahun 2011 sepertinya terjadi peningkatan yang lebih tinggi dari biasanya yang terjadi di kab. Bondowoso (38 kasus), Situbondo (31 kasus ) dan Lumajang (24 kasus), Kota Malang (48 kasus), Kota Surabaya (43 kasus).

- Sekitar 70% kasus Diphteri ternyata pada kelompok usia < 7 tahun - Sekitar 50% penderita Diphteri sudah diimunisasi lengkap, Catatan

imunisasi tidak ada, monitor kualitas pelayanan imunisasi, seperti mutu vaksinnya belum diketahui. Jadi hanya sekitar 10-15% saja dari penderita yang sakit dengan status imunisasi lengkap dan valid.

- Kontak erat penderita biasanya banyak, sehingga memerlukan Eritromisin cukup banyak untuk kontak erat ” kasus ” atau ” karier ” dan sangat sulit mendeteksi seluruh kontak eratnya padahal karier yang tidak mendapatkan prophilaksis akan terus menjadi kerier dan sumber penularan selama 6 bulan.

- Intervensi dengan vaksinasi massal sampai saat ini belum bisa dilakukan karena keterbatasan biaya operasional dan vaksin Td.

- Kebijakan nasional imunisasi rutin tentang pelaksanaan backlog fighting/BLF (penyulaman) bagi desa/kelurahan non UCI 2 tahun berturut-turut tidak dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota, sehingga dari tahun ke tahun terjadi penggelembungan jumlah anak yang belum kebal terhadap infeksi diphteri.

- Rendahnya / tidak adanya / terbatasnya kdana untuk kegiatan surveilans di daerah menyebabkan aktifitas penanggulangan dan kegiatan surveilans difteri belum optimal

- Biaya pengobatan difteri sangat tinggi, ADS (Antui Difteri Serum) sangat mahal dan sulit dicari demikian juga dengan Eritromisin

- Pengobatan profilaksis sangat lama (7-10 hari) dengan dosis yang tinggi ( 50mg/KgBB/hari) dibagi dalam 4 dosis

- Efek sampinmg eritromisin seperti perih, mual, muntah dan diare menajdi tingginya angka ” DO (Drop out)” pengobatan profilaksis pada kontak erat penderita

- Belum tersedianya ”Ruang Isolasi” khusus penyakit menular ( difteri) yang memadai di setiap RSUD Kab/Kota untuk merawat penderita agar tidak terjadi Nosokomial infeksi

- Terbatasnya stock ADS dan Eritromisin di tingkat Provinsi sehingga kebutuhan logistik tersebut masih sering di supplay dari Kemenkes . Kebutuhan ADS dan Eritromisin untuk difteri sangat banyak dan belum semua Kab/Kota menyediakan sendiri

Page 16: Penyakit Difteri & Situasi Di Jatim,Dinkes

IV. UPAYA YANG TELAH DILAKUKAN 1. Melacak setiap kasus dan ditindak-lanjuti dengan pengobatan dan

prophilaksis kepada kontak erat. 2. Melaporkan kasus difteri di Jawa Timur kepada Kementerian

Kesehatan RI. 3. Membuat surat edaran Kepala Dinas Kesehatan Provinsi kepada

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Direktur RSU untuk peningkatan kewaspadaan terhadap diphteri dan tata cara penanggulangannya.

4. Pengambilan dan pemeriksaan sampel laboratorium untuk memastikan adanya diphteri terhadap penderita dan kontak erat bekerjasama dengan BBLK Surabaya.

5. Sosialisasi penanggulangan KLB Diphteri kepada petugas surveilans kabupaten/kota dan Puskesmas se Jawa Timur.

6. Memberikan bantuan operasional penanggulangan KLB terutama kepada kabupaten/kota terjangkit dan tidak ada atu kekurangan dana operasional.

7. Meningkatan mutu pelayanan imunisasi dengan cara melaksanakan pelatihan bagi pelaksana imunisasi di desa dan di unit pelayanan swasta serta bagi pengelola rantai vaksin kabupaten/kota dan Puskesmas.

8. Melaksanakan umpan balik kuantitas dan kualitas data laporan program imunisasi ke Bupati/Walikota se Jawa Timur.

9. Supervisi suportif ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Puskesmas bermasalah, yaitu ditemukan kasus diphteri, kasus KIPI dan target UCI bulan tidak tercapai.

10. Rapat koordinasi lintas program (P3-PMK, kesga, kespro, promkes, dan P2).

11. Membuat surat edaran kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tentang penggunaan dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) untuk program imunisasi.

12. Sosilasisasi dan pelatihan tentang penanggulangan difteri, deteksi dini difteri, cara pengambilan spesimen difteri, manajemen cool chain, programer imunisasi kepada petugas kesehatan di Kab/kota dan Puskesmas di Jawa Timur

13. Melakukan ORI (outbreak Respons Imunisasi) di 11 Kab/Kota dengan kasus yang tinggi kepada anak usia 12 bulan s/d 15 tahun pada tahun 2010

14. Melakukan ORI terbatas di wilayah sekitar KLB, sesaat setalah terjadi 15. Peningkatan kapasitas Laboratorium (Balai Besar Laboratorium

Kesehatan Surabaya) dengan mendatangkan ahli dari Inggris serta pemeriksaan sampai diketahuion toxigenitas bakteri C diphteriae

V. REKOMENDASI & RENCANA TINDAKLANJUT Menurunkan Angka Kesakitan (Attack Rate) dan Angka Kematian (CFR) di seluruh Jatim. Beberapa kegiatan untuk menurunkan AR dan CFR tersebut antara lain : 1. Surat Edaran Gubernur yang menetapkan situasi KLB diphteri di Jawa

Timur 2. Memastikan setiap bayi (<12 bulan) mendapat imunisasi lengkap

sebagai sasaran, melalui penguatan imunisasi rutin agar tercapai target UCI desa secara merata dan berkualitas,

3. Melakukan BackLog Fighting/BLF (penyulaman) pada anak usia 1-3 tahun yang belum mendapatkan imunisasi DPT-HB 3 dosis.

4. Kampanye imunisasi DT tambahan terhadap semua anak umur 3-7 tahun dan imunisasi Td pada anak usia 8 – 15 tahun.

5. Surveilans ketat untuk penemuan kasus di masyarakat secara dini baik berbasis masyarakat maupun Rumah Sakit, sehingga dapat diberikan pengobatan dan perawatan segera guna menghindari jatuhnya korban dan mengurangi resiko terjadinya penularan di masyarakat .

Page 17: Penyakit Difteri & Situasi Di Jatim,Dinkes

6. Pengobatan propilaksis secara terbatas yaitu terhadap semua kontak kasus, kontak kasus yang dinyatakan positif (karier) dan semua guru sekolah, dengan disertai pengawasan minum obat guna menjamin bahwa obat diminum secara benar sesuai dengan aturan yang ditetapkan.

7. Melakukan tata laksana kasus sesuai dengan SOP dan isolasi serta memberikan Td pada saat penderita keluar dari RS dan melengkapi 3 dosis apabila belum ada riwayat imunisasinya.

8. Melakukan penelitian (survei) tentang tingkat kekebalan Diphteri pada masyarakat dengan kelompok umur tertentu, uji resistensi eritromisin terhadap Corynebacterium diphteriae.

9. Meningkatkan kemampuan laboratorium untuk melihat type dan sub type dari bakteri Corynebacterium diphteriae.

10. Melakukan surveilans ketat dan menemukan kasus sedini mungkin 11. Mempermudah rujuklan kasus ke RS rujukan yang memadai 12. Meningkatkan mutu pelayanan RS dengan menyediakan Ruang Isolasi

yang memadai 13. Pengobatan adekuat penderita dengan ADS dan Eritromisin 14. Menyelesaikan KLB dan daerah endemis 15. Mencegah KLB di masa mendatang 16. Mencegah dan mengurangi penyebaran kasus 17. Memperkuat kegiatan imunisasi dan suveilans