Upload
dina-juliani
View
4.300
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu alasan pembatalan perjanjian
Citation preview
1
PAPER
PENYALAHGUNAAN KEADAAN (MISBRUIK VAN
OMSTANDIGHEDEN) SEBAGAI SALAH SATU
ALASAN PEMBATALAN PERJANJIAN
DALAM SISTEM HUKUM BELANDA
DAN PRAKTEKNYA DALAM HUKUM DI INDONESIA
OLEH:
DINA JULIANI
JAKARTA, 2009
BAB I
PENDAHULUAN
2
A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Tuntutan masyarakat di bidang hukum perjanjian semakin meningkat, KUHPer tidak
dapat memenuhi segala kebutuhan masyarakat akan perjanjian saat ini. Untuk mengantisipasi
masalah ini dapat digunakan pasal 1338 KUHPer dan 1319 KUHPer. Kedua pasal ini
memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk membuat perjanjian lain di luar yang sudah
diatur dalam KUHPer, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal ini
membuktikan bahwa Hukum Perjanjian kita merupakan hukum pelengkap (optional law)
yang bersifat terbuka, setiap orang berhak untuk membuat perjanjian dengan ketentuan-
ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal Hukum Perjanjian. Hasilnya ada
perjanjian mengenai leasing, franchisinhg, factoring, dan lain-lain yang tidak diketemukan
dalam KUHPer.
Satu hal unsur penting dalam perjanjian adalah kata sepakat. Kesepakatan
mengandung unsur kehendak bebas para pihak. Setiap orang bebas untuk membuat
perjanjian, menentukan bentuk dan isi perjanjian yang diinginkan.
Ciri masyarakat modern antara lain adalah kecenderungan terhadap pelayanan jasa
secara praktis, cepat, efisien dan efektif. Untuk mewujudkan hal ini, pelayanan kontrak yang
sifatnya standar (baku) atau standaarcontract telah dilakukan beberapa pelaku bisnis.
Penerbitan standar kontrak sebenarnya merupakan upaya pelayanan praktis, cepat,
efisien dan efektif dan berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Misalnya kontrak antara
Pihak Pemerintah (pengguna jasa) berusaha dengan asas kebebasan berkontrak itu telah
menawarkan (aanbod) bentuk atau model kontrak standar untuk diterima atas penawaran
(akseptasi) oleh penyedia jasa (konsultan dan kontraktor), atau dalam dunia Perbankan,
pemberian kredit dari Bank (kreditur) kepada masyarakat (debitur / pengguna jasa bank)
menggunakan kontrak baku yang diciptakan secara sepihak oleh pihak Bank sebagai pemilik
3
modal. Dengan cara ini sebenarnya telah terjadi pelanggaran terhadap asas kesepakatan
karena standar kontrak dibuat sepihak, dan pihak lainnya hanya tinggal menandatangani
tanpa harus membaca, mempelajari atau merubah isi kontrak tersebut apabila ada bagian-
bagian dalam isi kontrak standar tersebut yang belum disepakati. Selain asas kesepakatan,
telah terjadi penyalahgunaan keadaan oleh pengguna jasa atas ketidaktahuan atau
ketidakmengertian penyedia jasa terhadap pengetahuan ilmu hukum serta memanfaatkan
masalah-masalah kepraktisan sebagai alasan untuk menerbitkan kontrak standar.
Mengenai keabsahan suatu perjanjian baku ada beberapa pendapat:
1) Sluijter: perjanjian baku bukanlah perjanjian, sebab kedudukan pengusaha adalah seperti
pembentuk undang-undang.
2) Pitlo: perjanjian baku adalah perjanjian paksa.
3) Stein: perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya
kemauan dan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian.
4) Asser Rutten: setiap orang yang menadatangani perjanjian bertanggungjawab terhadap
dirinya. Tanda tangan pada formulir perjanjian baku membangkitkan kepercayaan bahwa
yang menandatangani mengetahui dan menghendaki isi formulir perjanjian.
Bagi pihak yang lemah atau yang merasa dirugikan atas suatu perjanjian, yang lahir
tanpa adanya kehendak bebas dari dirinya untuk membuat perjanjian, dapat mengajukan
suatu pembatalan perjanjian. Menurut pasal 1321 KUHPer, suatu perjanjian dapat dibatalkan
bila sepakat yang diberikan karena kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang) ataupun penipuan
(bedrog).
Di pengadilan, banyak diketemukan kasus pembatalan perjanjian yang alasan
gugatannya bukan berdasarkan dwaling, dwang ataupun bedrog. Dibutukan bantuan hakim
yang adil dan dapat dipercaya untuk memeriksa dan memperbaiki kasus-kasus yang tidak
dapat diselesaikan karena undang undang yang tidak sempurna. Pokok pertimbangan hukum
4
bagi hakim, bisa bersumber dari undang-undang, yurisprudensi, doktrin, kebiasaan, dan lain-
lain. Diharapkan putusan hakim ini dapat menjadi pedoman bagi hakim lain dalam
mengambil keputusan.
Sehubungan dengan alasan pembatal perjanjian, selain ancaman (bedreiging),
penipuan (bedrog), dan kesesatan (dwaling), Nederland sebagai Negara yang dasar hukumnya
diadopsi oleh Indonesia, telah mencantumkan suatu ajaran baru yaitu “misbruik van
omstandigheden” atau penyalahgunaan keadaan kedalam ketentuan undang-undang didalam
Nieuw Burgerlijke Wetboek (untuk selanjutnya disingkat NBW), diatur dalam artikel 3:44 lid
1 NBW. Karena alasan pembatalan perjanjian dalam NBW yaitu ancaman, penipuan, dan
kesesatan (khilaf) hamper sama dengan alasan pembatalan perjanjian dalam KUHPer, maka
penulis hanya membahas mengenai penyalahgunaan keadaan sebagai sumber hukum dalam
menghadapi kasus-kasus yang berkaitan dengan perkara hukum perjanjian di Indonesia.
Terbentuknya alasan penyalahgunaan keadaan kedalam NBW sedikit banyak
dilatarbelakangi pertimbangan hukum dalam berbagai putusan hakim. Terbentuknya ajaran
ini disebabkan belum adanya (pada waktu itu) ketentuan dalam Burgerlijke Wetboek
(Belanda) yang mengatur hal ini. Ternyata pertimbangan-pertimbangan hakim tidaklah
didasarkan pada salah satu alasan pembatalan perjanjian, yaitu cacat kehendak klasik (pasal
1321 KUHPer) berupa kesesatan, paksaan, dan penipuan.1
Ajaran penyalahgunaan keadaan sebenarnya bukan hal yang baru ditemukan dalam
penyelesaian perkara di bidang hukum perjanjian Indonesia. Sejak 1 Januari 1992, mulai
diberlakukannya aliran Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) ke dalam
Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW – KUH Perdatanya Belanda) yang dalam praktek
peradilan di Indonesia pun sudah menerapkan aliran ini, tetapi belum dirumuskan dalam
perundang-undangan Indonesia, hanya termasuk dalam doktrin atau pendapat para sarjana
1 H.P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) sebagai alasan baru untuk pembatalan perjanjian,” Varia Peradilan No.70 tahun VI, Juli 1991, hlm 133
5
hukum, tempat hakim menemukan hukumnya. Umumnya pembatalan perjanjian dengan
kategori penyalahgunaan keadaan yang terjadi di Indonesia diselesaikan dengan
pertimbangan bahwa perjanjian tersebut bertentangan dengan kepatutan, keadilan, itikad baik,
dan lain-lain. Dalam hal ini, kekuasaan hakim untuk mencampuri isi perjanjian dalam perkara
pembatalan perjanjian sangat berperan.
Karena masih merupakan doktrin, penyalahgunaan keadaan belum mendapat
perhatian khusus dalam praktek hukum di Indonesia. Masih banyak yang berpendapat bahwa
doktrin kurang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sebagai hukum dibandingkan
dengan undang-undang. Hal ini disebabkan karena Indonesia menganut system kodifikasi,
yang adalah hukum tertulis. Sifat tertulisnya perundang-undangan kodifikasi itu menghalang-
halangi prosedure penyesuaiannya oleh hakim terhadap tuntutan masyarakat.2
Berikut saya akan menjelaskan sepintas tentang konsep teoritis yang berkaitan dengan
judul paper ini.
1. Kontrak
Kontrak pada dasarnya merupakan undang-undang yang mengikat dan memiliki
konsekuensi hukum bagi para pihak. Oleh karenanya pembahasan berikutnya lebih tepat
dengan istilah hukum kontrak (Michael D. Bayles, 1987 dan Lawrence M. Friedman, 2001).
Dalam bahasa Inggris, hukum kontrak merupakan terjemahan dari contract of law, sedangkan
dalam bahasa Belanda adalah overeenscomstrecht. Friedman (2001) mengartikan hukum
kontrak sebagai: “Perangkat hukum yang mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur
jenis perjanjian tertentu”
Pendapat Van Dunne (1990), seorang ahli hukum perdata Belanda, yang tidak hanya
mengkaji dari sisi kontraktual belaka, akan tetapi juga memperhatikan tahapan-tahapan
sebelumnya. Yang dimaksud dengan tahapan-tahapan sebelumnya adalah tahap
2 H.R. Sardjono et al, Bunga Rampai Perbandingan Hukum Perdata, Ind Hill-Co, Jakarta, 1991, hlm.49.
6
precontractual yang merupakan tahap penawaran dan penerimaan dan postcontractual yang
merupakan pelaksanaan perjanjian. Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan
akibat hukum. Akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban. Hak berupa kenikmatan,
sedangkan kewajiban berupa beban. Dari pendapat dan definisi hukum kontrak di atas, maka
definisi hukum kontrak adalah sebagai berikut : “ Keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum
yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat
untuk menimbulkan akibat hokum”.
Dengan demikian, maka unsur-unsur yang tercantum dalam hukum kontrak adalah
sebagai berikut :
a. Adanya Kaidah Hukum
Kaidah dalam hukum kontrak dibagi menjadi 2 (dua) bagian : tertulis dan tidak tertulis.
Kontrak hukum kontrak tertulis adalah kontrak kaidah-kaidah hukum yang terdapat di
dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah
hukum kontrak tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan
hidup dalam mesyarakat (konsep yang berasal dari hukum adat).
b. Adanya Subjek Hukum
Subjek hukum dalam istilah lain adalah rechtsperson, yang diartikan sebagai pendukung
hak dan kewajiban.
c. Adanya Prestasi ( Objek Hukum )
Prestasi merupakan hak kreditur dan menjadi kewajiban bagi debitur. Prestasi menurut
pasal 1234 KUH Perdata terdiri dari 4 (empat) hal :
a. memberikan sesuatu
b. berbuat sesuatu, dan
c. tidak berbuat sesuatu
d. Kata Sepakat
7
Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian.
Salah satunya adalah kata sepakat (konsensus). Kesepakatan adalah persesuaian
pernyataan kehendak antara para pihak.
2. Asas Kebebasan Berkontrak (Contractvrijheid Beginselen)
Asas-asas perjanjian sangat perlu untuk dikaji lebih dahulu sebelum memahami
berbagai ketentuan undang-undang mengenai sahnya suatu perjanjian. Suatu perkembangan
yang terjadi terhadap suatu ketentuan undang-undang akan lebih mudah dipahami setelah
mengetahui asas-asas yang bersangkutan.
Banyak pendapat ahli-ahli hukum tentang asas-asas dalam suatu perjanjian, namun
pada dasarnya bertujuan untuk tercapainya kepastian hukum, ketertiban hukum, dan keadilan
berdasarkan asas konsensualisme (berhubungan dengan lahirnya suatu perjanjian).
Terdapat 5 (lima) asas penting dalam suatu perjanjian, yaitu :
1) Asas Kebebasan Berkontrak, sebagaimana hasil analisis Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas Kebebasan Berkontrak ini memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk :
a. membuat atau tidak membuat perjanjian
b. mengadakan perjanjian dengan siapapun
c. menentukan isi perjanjian dengan siapapun
d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
2) Asas Konsensualisme, sebagaimana dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal
ini ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan kedua
belah pihak. Asas konsensualisme pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi
8
cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Disini kesepakatan merupakan
persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
3) Asas Pacta Sunt Servanda, merupakan asas kepastian hukum sebagai akibat perjanjian.
Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi :
“Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang” Selain itu pada
asas ini juga dikatakan bahwa pihak lain (hakim atau pihak ketiga) harus menghormati
dan tidak boleh mengintervensi substansi kontrak yang dibuat para pihak, sebagaimana
layaknya sebuah undang-undang.
4) Asas Itikad Baik (Goede Trouw), asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (3)
KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas
itikad baik ini merupakan asas para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus
melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau
kemauan yang baik dari para pihak.
5) Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas ini merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang akan melakukan dan atau
membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja, sebagaimana dalam Pasal
1315 KUH Perdata yang berbunyi : “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan
perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”, dan Pasal 1340 KUH Perdata
yang menyatakan bahwa : “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”.
Namun ketentuan ini ada pengecualiannya sebagaimana yang diintrodusir dalam Pasal
1317 KUHPerdata, yang menyatakan : “Dapat pula perjanjian diadakan untuk
kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu
pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu”. Pasal ini
mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan
pihak ketiga. Sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur
9
perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk
orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.
3. Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden)
Penyalahgunaan Keadaan diatur dalam artikel 3:44 lid 4 NBW, diartikan bahwa
penyalahgunaan terjadi ketika seseorang yang mengetahui atau harus memahami bahwa
seorang lain oleh keadan-keadaan khusus seperti keadaan darurat, ketergantungan,
kegegabahan atau kurang pertimbangan, keadaan jiwa yang tidak normal atau
ketidakberpengalaman, diarahkan kepada suatu perbuatan yang memiliki akibat hukum dan
dalam keadaan itu pihak lawan melakukan penyalahgunaan yang semestinya harus ia ketahui
atau yang harus dipahaminya dari perjanjian itu tidak boleh dilakukan.
Ajaran penyalahgunaan mengandung 2 unsur yaitu unsur kerugian bagi satu pihak dan
unsur penyalahgunaan kesempatan oleh pihak lain karena keunggulan ekonomis dan
keunggulan kejiwaan.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Dilihat dari sejarahnya, hukum perjanjian Indonesia dan Belanda sama-sama berasal
dari Prancis. Belanda telah mengalami kemajuan dalam hukum perjanjiannya dengan
dibuatnya NBW. Perkembangan hukum di Belanda erat hubungannya dengan praktek
pengadilan, khususnya melalui putusan-putusan Hakim yang bersifat pembentukan hukum
(rechtsvorming) dan penemuan hukum (rechtsvinding). Perkembangan hukum itu kemudian
dirumuskan dalam artikel (pasal) dalam NBW sebagai asas-asas hukum.
Mengikuti perkembangan hukum perjanjian, dengan lahirnya berbagai model
perjanjian yang tidak diketemukan dalam sistem hukum civil law, Belanda perlu
10
menambahkan satu syarat pembatalan perjanjian yaitu Penyalahgunaan Keadaan kedalam
NBW-nya untuk melindungi pihak yang “lemah” dalam suatu perjanjian.
Praktek peradilan di Indonesia sebenarnya telah menerapkan ajaran penyalahgunaan
keadaan ini meskipun sangat terbatas, misalnya dalam kasus gugatan wanprestasi PT
Aquarius Musikindo terhadap lima personil Band Dewa. Dalam putusan Hakim tertanggal 12
Desember 2007 (akan dibahas dalam pembahasan).
Ada beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini, antara
lain:
1. Bagaimanakah perkembangan penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu alasan
pembatalan perjanjian; dan
2. Sejauh mana peranan hakim untuk menerapkan ajaran penyalahgunaan keadaan ini
dalam praktek peradilan di Indonesia (dalam contoh kasus).
BAB II
PEMBAHASAN TENTANG PENYALAHGUNAAN KEADAAN
11
Penyalahgunaan Keadaan adalah cacat kehendak yang dalam bahasa Inggris disebut
juga “undue influence” atau pengaruh yang tidak semestinya, memiliki 4 kriteria yang
digunakan sebagai dasar keadaan:
1) keadaan-keadaan istimewa
seperti keadaan-keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras, dan
tidak berpengalaman.
2) suatu hal yang nyata
diisyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa
pihak lain karena keadaan istimewa tergerak untuk menutup suatu perjanjian. Salah satu
pihak mengetahui dan memanfaatkan keadaan ekonomis atau kejiwaan pihak lain yang
seharusnya tidak boleh dilakukannya.
3) Penyalahgunaan
Salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun dia mengetahui atau
seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya.
4) hubungan kausal
adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu, maka perjanjian tidak akan
ditutup.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan keadaan dikategorikan
sebagai salah satu bentuk cacat kehendak yang mempengaruhi syarat-syarat subjektifnya.
Penyelesaian menurut hukum tentang pelanggaran atau perselisihan baik dari pengadilan
Belanda maupun yang diatur dalam artikel 3:44 lid 4 bahwa kerugian financial/keuangan
dalam berbagai peristiwa dan juga penyalahgunaan kekuasaan ekonomi bukanlah syarat yang
diharuskan. Kerugian hanyalah salah satu faktor pertimbangan apakah terjadi
penyalahgunaan keadaan disamping semua kekhususan lain yang berpengaruh pada
pembuatan perjanjian tersebut. Misalnya jika seseorang menjual potret lukisan moyang laki-
12
lakinya (sebuah foto keluarga yang baginya merupakan harta berharga) untuk membayar
hutangnya, perjanjian tetap bias batal dengan alasan penyalahgunaan keadaan.
Prof. Mr. J.M. van Dunné dan Prof. Mr. Gr. Van den Burght (1987) dalam sebuah
Diktat Kursus Hukum Perikatan Bagian III yang diterjemahkan Prof. Dr. Sudikno
Mertokusumo, SH., menanggapi beberapa pendapat para ahli hukum menyatakan bahwa :
“Pada Penyalahgunaan Keadaan tidaklah semata-mata berhubungan dengan isi perjanjian, tetapi berhubungan dengan apa yang telah terjadi pada saat lahirnya perjanjian, yaitu penyalahgunaan keadaan yang menyebabkan pernyataan kehendak dan dengan sendirinya persetujuan satu pihak tanpa cacat”
Sebagaimana diketahui bahwa menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu
perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat :
1). Harus ada kesepakatan
2). Harus ada kecakapan
3). Harus ada pokok persoalan (hal tertentu)
4). Tidak merupakan sebab yang dilarang
Dua syarat pertama merupakan syarat subjektif karena menyangkut subjek yang mengadakan
perjanjian, sedang dua syarat terakhir merupakan syarat objektif.
Lebih lanjut Van Dunné menjelaskan bahwa selain 2 (dua) syarat subjektif tersebut di
atas, penyalahgunaan keadaan mengketagorikan penyalahgunaan keadaan kedalam 2 (dua)
kategori peristiwa :
1. Karena keunggulan ekonomi, yang menyebabkan salah satu pihak terpaksa mengadakan
perjanjian.
2. Karena keunggulan kejiwaan, salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relative
(seperti hubungan kepercayaan : orang tua – anak, suami – istri, dokter – pasien, termasuk
antara pengguna jasa / pimpinan proyek / bagian proyek / user – penyedia jasa / konsultan
/ kontraktor, dan sebagainya ). Disamping salah satu pihak menggunakan penyalahgunaan
13
keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan (gangguan jiwa, tidak berpengalaman,
gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang kurang baik, dan sebagainya).
Penekanan terhadap Asas Kebebasan Berkontrak semata-mata karena menyangkut isi
perjanjian (Mertokusumo, 1988) dan Penyalahgunaan Keadaan (Panggabean, H.P., 2001),
kesemuanya ditekankan pada tahap precontractual yang menjadi pokok bahasan tulisan
ini. Sedangkan pembahasan yang menyangkut perbedaan isi perjanjian yang berakibat
hukum, akan dibahas sepintas sebagai bagian dari tahapan kontrak yang kedua, yaitu
postcontractual.
A. DASAR PERTIMBANGAN HUKUM DALAM KASUS BOVAG SEBAGAI
DASAR LAHIRNYA AJARAN PENYALAHGUNAAN KEADAAN
Penyalahgunaan Keadaan dimulai dengan adanya kasus Bovag II (HR 11 Januari
1957), NJ 1959, 57. Uraian kasus seperti berikut: Mozes menyerahkan mobilnya untuk
direparasi oleh Uitig&Smits, suatu bengkel mobil yang tergabung dalam Bovag (persatuab
perusahaan yang bergerak di bidang reparasi mobil). Pada suatu uji coba yang dilakukan oleh
montir Uitig&Smits tadi terjadi tabrakan. Uitig&Smits digugat oleh perusahaan asuransi yang
menutup perjanjian dengan si korban (Mozes). Uitig&Smits menolak, dan menyatakan bahwa
dalam klasusa Bovag memuat ketentuan bahwa “rekanan kami, dalam hal ini Mozes,
bertanggungjawab atas setiap kerugian dan pertanggungjawaban yang timbul terhadap pihak
ketiga (dalam hal ini tuntutan perusahaan asuransi terhadap Uitig&Smits).
Pertimbangan Hoge Raad dalam putusannya menyatakan bahwa klausula yang
merugikan satu pihak itu dinyatakan cacat hukum karena pada saat diadakan perjanjian, pihak
yang dirugikan telah menerima beban yang beratnya tidak seimbang, keadaan mana telah
disalagunakan pihak pengusaha (asas itikad baik). Dengan pertimbangan Hoge Raad ini
14
menjadi salah satu dasar untuk pembuat Undang-undang di Belanda untuk memasukkan
ajaran Penyalahgunaan Keadaan sebagai syarat pembatalan perjanjian dalam NBW.
B. PERANAN HAKIM UNTUK MENERAPKAN AJARAN PENYALAHGUNAAN
KEADAAN
Seorang hakim merupakan figur sentral dalam proses peradilan karena dalam
kenyataannya ditangannyalah mekanisme pecarian keadilan berjalan dengan baik. Keputusan
hakim sangat dipengaruhi oleh “rasa keadilan” menurut hatinya yang diolah bersama-sama
dengan ilmu yang didapat dari pendidikan formal maupun pengamatannya di masyarakat.
Mengenai berbagai pertimbangan hukum yang mengarah pada peranan ajaran
penyalahgunaan keadaan, dikaitkan dengan peranan hakim untuk memutus suatu perkara
didalam hal Undang-undang tidak selalu dapat dilihat sebagai sumber tertinggi dari
pengadilan.
Adalah sering terjadi isi kontrak tidak disusun secara teliti sehingga hak-hak dan
kewajiban-kewajiban para pihak tidak begitu jelas. Hakim dalam peristiwa ini dapat
membatasi diri pada penjelasan bahwa bahasa murni yang terlihat pada isi kontrak tetapi juga
dapat member penafsiran yang layak dan berkaitan dengan keadaan-keadaan terjadinya
kontrak itu. Hakim sebagai pembentuk Undang-undang diharapkan melibatkan diri untuk
melindungi konsumen.
Selanjutnya, masalah apakah Hakim berkuasa mencampuri suatu perjanjian
(maksudnya menilai atau membatalkan suatu perjanjian), Subekti mengemukakan
pendapatnya bahwa untuk kepastian hukum hal ini diperbolehkan. Pasal 1338 ayat (3)
KUHPer bisa mengandung arti bahwa apabila kedudukan ekonomi salah satu pihak jauh lebih
lemah daripada kedudukan lawannya, sehingga nyatanya pihak yang lemah tadi berada dalam
keadaan darurat, maka kita melihat bahwa Undang-undang telah “mengulurkan tangannya”
15
untuk melindungi pihak yang lemah itu dengan mengadakan pembatasan-pembatasan dalam
kebebasan berkontrak tadi. Mari kita lihat contoh kasus yang terjadi di Indonesia:
KASUS GUGATAN PT AQUARIUS MUSIKINDO TERHADAP BAND DEWA3
Gugatan wanprestasi PT Aquarius Musikindo terhadap Band Dewa kandas di tangan
majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Majelis menilai Aquarius telah melakukan
penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) dalam pembuatan perjanjian jual
beli master rekaman pada 12 Juli 2004. Karena perjanjian tersebut dibuat oleh para personil
Dewa dalam keadaan tidak bebas, maka perjanjian dapat dibatalkan.
Menurut Heru Pramono, ketua majelis, dalam perjanjian timbal balik harus ada
prestasi timbal balik, keseimbangan prestasi, dan jangan ada penyalahgunaan keadaan.
Kekuasaan ekonomi yang disalahgunakan, menurutnya akan menganggu keseimbangan.
Menurut majelis, keberadaan syarat tidak masuk akal, atau bertentangan dengan
perikemanusiaan, penyalahgunaan keadaan, atau ada unfair contract terms dapat membuat
suatu perjanjian dibatalkan.
Penyalahgunaan keadaan yang dilakukan Aquarius terhadap Dewa, dalam perjanjian
lanjutan untuk mengakhiri hubungan keduanya, mengakibatkan adanya cacat atau ketiadaan
kebebasan artis dalam menentukan kehendak. Dengan demikian, menurut hakim tidak
terpenuhi salah satu syarat adanya kesepakatan sebagaimana diatur Pasal 1320 KUH Perdata.
Dalam hal ini hakim yang berwenang mengambil interpretasi untuk menilai isi
perjanjian, melihat ancaman ganti rugi sebesar satu juta dolar AS ditambah denda
keterlambatan seribu dolar AS perhari, bila ada pelanggaran isi perjanjian tidak masuk akal
dan tidak seimbang, padahal penggugat telah bekerja sama dengan para tergugat sejak 1995.
3 http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18173&cl=Berita, tanggal 26 Mei 2009 20:03:01 GMT
16
Selain meneliti isi kontrak, majelis juga mendasari putusannya dengan melihat pada
surat keberatan yang dibuat Dhani, pentolan Dewa dan keterangan saksi Syamsul Huda.
Meski telah ditandatangani para pihak, sanksi yang dikenakan terhadap Dhani dkk sangat
berlebihan. Meski membatalkan perjanjian antara keduanya, hakim memerintahkan Dewa
membayar uang sejumlah Rp200 juta, sebagai pengganti biaya produksi mixing dan
mastering empat lagu baru, yang telah dikeluarkan Aquarius.
Dasar sengketa Aquarius-Dewa ialah perjanjian penjualan master rekaman satu album
Dewa dan empat lagu yang akan masuk album ”The Best of Dewa”. Aquarius menggugat
karena pihaknya belum menerima empat lagu yang telah diperjanjikan. Sementara Dewa
menyatakan lagu tersebut sudah ada, tetapi mereka meminta publishing (penerbitan) lagu-
lagu tersebut sudah tidak ditangan Aquarius.
Adanya perjanjian yang menyadera Dewa karena memuat banyak persyaratan-
persyaratan yang mengikat yang berisi cara Aquarius mengeksploitasi artisnya; dari mulai
lagu belum jadi, pihak yang lemah sudah terikat perjanjian; ketika lagu jadi dan akan
diaransemen, pihak yang lemah itu diikat sebagai produser; ketika akan menyanyikan, pihak
yang lemah diikat sebagai artis; kemudian ketika album edar, akan diedarkan dengan
Aquarius.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
17
Dari uraian-uraian sebelumnya dapatlah diambil beberapa kesimpulan:
1. a. Bahwa BW Belanda Baru (NBW) telah menambahkan ajaran penyalahgunaan
keadaan sebagai alasan pembatalan perjanjian, sehingga alasan-alasan pembatalan
perjanjian dalam NBW terdiri atas : ancaman (bedreiging), tipuan (bedrog),
penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang diatur dalam Artikel
3:44 NBW dan kesesatan (dwaling) yang diatur dalam Artikel 6:228 lid 1 NBW.
b. Bahwa NBW menentukan 4 ayarat terjadinya penyalahgunaan keadaan yaitu:
1) keadaan-keadaan yang istimewa seperti keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh,
jiwa kurang waras, dan tidak berpengalaman.
2) Suatu hal yang nyata.
3) Penyalahgunaan.
4) Hubungan kausal.
c. Ajaran penyalahgunaan keadaan adalah menyangkut perwujudan asas kebebasan
berkontrak, karena hal itu menyangkut penyalahgunaan untuk mengganggu adanya
kehendak bebas untuk menyatakan persetujuannya.
d. Ajaran penyalahgunaan keadaan dibedakan dalam 2 hal :
1) Penyalahgunaan keunggulan ekonomi.
2) Penyalahgunaan keunggulan kejiwaan.
2. Hakim adalah figur sentral dalam proses peradilan, karena ditangannyalah mekanisme
pencari keadilan berjalan baik. Keputusan hakim amat dipengaruhi oleh rasa keadilan.
Peranan hakim untuk merapkan ajaran penyalahgunaan keadaan sangat tepat sebagai
pedoman untuk melindungi konsumen yang berada dalam kedudukan ekonomi yang
lemah atau pihak dalam perjanjian yang kedudukannya tidak seimbang atau kalah kuat
daripada pihak lain.
18
Dalam beberapa kasus di Indonesia, ajaran penyalahgunaan keadaan ini telah diterapkan
oleh hakim dalam pengambilan keputusan. Hal ini membuktikan bahwa pentingnya
ajaran penyalahgunaan keadaan dalam menegakkan keadilan khususnya dalam hukum
perjanjian dan umumnya dalam perkembangan hukum di Indonesia.
B. SARAN
1. Penyalahgunaan keadaan masih merupakan doktrin di Indonesia dan digunakan oleh
hakim untuk memberikan putusan perihal perkara yang tidak dapat diputus dengan
alasan pembataln perjanjian yang bersifat klasik, dan penggunaannya sangat tepat untuk
melindungi konsumen yang berada dalam kedudukan yang tidak seimbang atau lemah
dari pihak yang lain. Karenanya tidak ada salahnya jika penyalahgunaan keadaan ini
dipelajari lebih lanjut dalam mata kuliah hukum perjanjian (di fakultas hukum) dan
ditetapkan dalam sebuah aturan tersendiri dalam perundang-undangan Indonesia (jika
diperlukan) untuk memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang melakukan
perjanjian.
2. Hakim sebagai tokoh yang menentukan setiap putusan dalam pengadilan, haruslah
mereka yang bersikap adil, harus bisa menempatkan dimana keadilan itu sesuai dengan
peraturan tertulis maupun kebiasaan di masyarakat. Mereka harus para ahli intelektual
yang peka dan terbuka mengikuti perkembangan jaman, tidak terjebak dalam dimensi
regulasi yang tertulis saja. Karenanya Indonesia haruslah memilih hakim yang
berkualitas dengan standard fit dan proper tes tanpa kemungkinan kolusi, korupsi dan
nepotisme didalamnya.