Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)
Page 107
Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Kapolri Dalam
Mewujudkan Restorative Justice (Studi Di Polresta Deli Serdang)
Porlen Hatorangan Sihotang
Magister Ilmu Hukum Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara, E-mail: [email protected]
Abstrak
Tindak Pidana Ringan (Tipiring) adalah tindak pidana yang bersifat ringan atau tidak berbahaya.
Salah satu penanganan tindak pidana ringan dapat dilakukan dengan cara mengedepankan konsep
restorative justice (keadilan restoratif). Restorative justice tersebut dapat dilakukan pada tingkatan
proses pidana, salah satunya pada tingkat Kepolisian. Menjadi persoalan di lapangan tentang
penerapannya, walaupun telah ada Perkap yang diberlakukan, termasuk pada Polresta Deli Serdang.
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif yang bersumber dari data hasil
wawancara kepada pihak Kepolisian Resor Kota Deli Serdang dan data sekunder dengan mengolah
data dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Berdasarkan hasil
penelitian dipahami bahwa pengaturan penyelesaian Tipiring menurut dapat dilihat dari kewenangan
polisi di Pasal 15 Ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, aturan
Perkap yang dipakai untuk itu adalah Perkap Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana,
Perkap Nomor 7 Tahun 2008 dan Perkap Nomor 14 Tahun 2012, pengaturan penyelesaian Tipiring
tersebut dalam prosesnya ditegaskan oleh Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/8/VII/2018 Tentang
Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam penyelesaian tindak pidana ringan menurut
Perkap sebelumnya harus memenuhi syarat formil dan materil terlebih dahulu sesuai Pasal 12 PerKap
Nomor 6 Tahun 2019, hingga pada intinya kedua belah pihak bersepakat untuk menyelesaikan tindak
pidana ringan yang dimaksud dengan cara damai, dan akhirnya akan dikeluarkan surat penghentian
penyelidikan/penyidikan atas perkara tersebut dengan alasan keadilan restoratif yang telah
ditandatangani oleh Kapolresta Deli Serdang. Hambatan penyelesaian Tipirng menurut Perkap di
Polresta Deli Serdang dapat terjadi dari sisi masyarakat hukumnya dan hambatan dari norma hukum
yang belum diterapkan secara seragam.
Kata Kunci: Tindak Pidana Ringan, Kepolisian, Peraturan Kapolri, Restorative Justice.
Abstract
Minor Crime is a criminal offense that is light or not dangerous. One of the handling of minor crimes
can be done by promoting the concept of restorative justice. Restorative justice can be carried out at
the level of criminal proceedings, one of which is at the Police level. There is a problem in the field
regarding its application, even though a Perkap has been enacted, including at the Deli Serdang Police.
This research is a normative juridical research which is derived from data from interviews with the Deli
Serdang City Police and secondary data by processing data from primary legal materials, secondary
legal materials and tertiary legal materials. Based on the results of the research, it is understood that
the regulation on the settlement of Tipiring can be seen from the authority of the police in Article 15
Paragraph (1) letter e of Law Number 2 of 2002 concerning Police, the Perkap regulation used for this
is Perkap Number 6 of 2019 concerning Criminal Investigation, Perkap Number 7 of 2008 and Perkap
Number 14 of 2012, the arrangement for the settlement of Tipiring in the process is confirmed by the
Chief of Police Circular Number: SE / 8 / VII / 2018 concerning the Application of Restorative Justice
in the settlement of minor crimes according to the previous Perkap must meet formal and material
requirements first in accordance with Article 12 of PerKap Number 6 of 2019, until in essence the two
parties agree to settle the minor crime referred to in a peaceful manner, and finally a letter of
termination of investigation / investigation of the case will be issued on the grounds of restorative justice
signed by the Head of Police. Deli Serdang. Obstacles to resolving Tipirng according to Perkap at the
Deli Serdang Police can occur from the side of the legal community and obstacles from legal norms
that have not been applied uniformly.
Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120
http://jurnal.bundamediagrup.co.id/index.php/iuris
ISSN ONLINE: 2745-8369
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)
Page 108
Keywords: Minor Crime, Police, Chief of Police Regulation, Restorative Justice.
Cara Sitasi:
Sihotang,, Porlen Hatorangan. (2020), “Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Kapolri Dalam Mewujudkan Restorative Justice (Studi Di Polresta Deli Serdang)”, IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Vol 1. No. 2, Pages: ….
A. Pendahuluan
Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur mengenai segala perbuatan yang dikategorikan
sebagai tindak pidana. Hukum pidana terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan
larangan-larangan (oleh pembentuk undang-undang) yang telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa
hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa
hukum pidana merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan
yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu di mana terdapat suatu keharusan untuk
melakukan sesuatu), dan dalam keadaan-keadaan tentang hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman
layak yang dapat dijatuhkan terhadap tindakan-tindakan tersebut.1 Hukum pidana tersebut dapat melekat
kepada setiap subjek hukum yang melanggar aturan-aturan yang masuk dalam kategori perbuatan
pidana, subjek hukum itu bisa jadi masyarakat pada umumnya, baik itu miskin kaya, tua muda dan
berlaku terhadap tiap jenis tindak pidana baik itu tindak pidana biasa (umum), tindak pidana khusus
ataupun tindak pidana ringan.
Kedua, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menetapkan dan mengumumkan reaksi tentang yang
akan diterima oleh orang-orang yang melakukan perbuatan dilarang itu. Pada hukum pidana modern,
reaksi ini tidak hanya berupa pidana, akan tetapi juga hal yang disebut dengan tindakan bertujuan untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikan.2
Salah satu jenis tindak pidana yang dapat diberlakukan kepada pelaku-pelaku yang melakukannya
ialah jenis tindak pidana ringan, yang hal ini tentu berlaku dan diakui oleh sistem peradilan pidana di
Indonesia. Tindak pidana ringan (Tipiring) adalah tindak pidana yang bersifat ringan atau tidak
berbahaya. Tindak pidana ringan ini tidak hanya berupa pelanggaran tapi juga mencakup kejahatan-
kejahatan ringan yang tertulis dalam Buku II KUHP yang terdiri dari, penganiayaan hewan ringan,
penghinaan ringan, penganiayaan ringan, pencurian ringan, penggelapan ringan, penipuan ringan,
perusakan ringan, dan penadahan ringan.3
Utrecht (dalam mendeskripsikan tindak pidana ringan ini) menggunakan istilah kejahatan enteng
sebagai padanan kata Lichte misdrijven dalam bahasa Belanda atau kejahatan ringan atau yang dalam
tulisan ini menggunakan istilah tindak pidana ringan. Definisi mengenai tindak pidana ringan akan sulit
ditemukan dalam KUHP, definisi tindak pidana ringan yang cukup dapat dipahami justru dapat
ditemukan dalam KUHAP sebagai ketentuan hukum pidana formal dari KUHP. Pasal 205 ayat (1)
KUHAP yang mengatur mengenai ketentuan pemeriksaan acara cepat menyatakan bahwa:4
Berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat dilihat mengenai definisi tindak pidana ringan, yaitu sebuah
perkara yang ancaman hukuman penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda paling
banyak tujuh ribu lima ratus rupiah. Apabila ditelusuri lebih jauh bunyi pasal-pasal yang terdapat dalam
KUHP maka setidaknya terdapat sembilan pasal yang tergolong bentuk tindak pidana ringan, yaitu Pasal
302 Ayat (1) mengenai penganiayaan ringan terhadap hewan, Pasal 352 Ayat (1) mengenai
penganiayaan ringan, Pasal 364 mengenai pencurian ringan, Pasal 373 mengenai penggelapan ringan,
Pasal 379 mengenai penipuan ringan, Pasal 384 mengenai penipuan dalam penjualan, Pasal 407 Ayat
1 P. A. F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, (1984), p.1-2. 2 Teguh Sulisti dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana: Horizon Baru Pasca Reformasi, Jakarta: Rajawali Pers, (2012), p.5-6. 3 Muhammad Soma, “Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP Terhadap Perkara Tindak
Pidana Pencurian”, Jurnal Cita Hukum 1, No. 2 (2013): p.4. 4 Ibid., p.5.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)
Page 109
(1) mengenai perusakan barang, Pasal 482 mengenai penadahan ringan, dan Pasal 315 mengenai
penghinaan ringan.5
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tidak mencantumkan Pasal
302 Ayat (1) tentang Penganiayaan Ringan Terhadap Hewan, Pasal 352 Ayat (1) tentang Penganiayaan
Ringan, dan Pasal 315 tentang Penghinaan Ringan, dengan tidak dicantumkannya ketiga pasal tersebut
dalam PERMA ini yaitu didasarkan atas pertimbangan nilai objek perkara pidana.6 Tindak pidana ringan
merupakan tindak pidana yang berakibat kecil dari perbuatan yang telah dilakukan. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana perbuatan ini dikatakan sebagai tindak pidana karena mengakibatkan
kerugian yang tidak lebih dari Rp. 25, selain itu perbuatannya hanya diancam dengan hukuman paling
berat selama 3 (tiga) bulan.7 Pada awalnya penyelesaian permasalahan-permasalahan hukum hanya
diselesaikan oleh pihak-pihak yang bersangkutan saja. Namun dengan adanya eksistensi negara, maka
dengan itu negaralah yang mengambil alih untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut.
Di Indonesia, hal tersebut juga yang kemudian tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dikatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Negara hukum berarti negara yang berdiri di atas hukum dimana dapat menjamin keadilan bagi warga
negaranya.
Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas (pihak yang
berkepentingan) dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat
merekomendasikan konflik mereka. Restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak
yang paling terkena pengaruh (korban), pelaku dan kepentingan komunitas mereka (para pihak) dan
memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka.
Restorative justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali
dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk mengembalikan mereka,
daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban tidak
mendapatkan keadilan apapun. Restorative justice juga mengupayakan untuk me-restore keamanan
korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.8 Fungsi primer
atau utama dari hukum pidana, yaitu menanggulangi kejahatan, sedangkan fungsi sekunder, yaitu
menjaga agar penguasa (pemerintah) dalam menanggulangi kejahatan betul-betul melaksanakan
tugasnya sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh hukum pidana. Di dalam fungsinya untuk
menanggulangi kejahatan, hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal, di samping usaha non
penal pada upaya penanggulangan itu. mengingat fungsi tersebut, pembentukan hukum pidana tidak
akan terlepas dari peninjauan efektivitas penegakan hukum.
Kebutuhan pembaharuan hukum pidana terkait pula pada masalah substansi dari KUHP yang
bersifat dogmatis. Di dalam pengajaran hukum pidana dan KUHP secara langsung ataupun tidak
langsung akan mengajarkan dan menanamkan pula tentang dogma-dogma, ajaran-ajaran, prinsip/asas
dan konsep pola pikir serta norma-norma substantif, baik yang dituangkan secara ekspilisit di dalam
KUHP maupun terkandung secara implisit pada pemikiran, konsep ataupun paham yang
melatarbelakangi KUHP tersebut.9
Keberadaan KUHAP ini adalah dalam rangka menegakkan, melaksanakan, dan mempertahankan
hukum pidana materiil (KUHP) dari pelanggaran hukum. Secara nalar yang sehat, seyogianya Indonesia
mempunyai suatu KUHP nasional terlebih dahulu baru kemudian tentang memikirkan prosedur atau tata
5 Ibid. 6 Rahmita Putri, “Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Terhadap Tindak Pidana Pengrusakan
Barang”, Skripsi Fakultas Hukum: Universitas Hasanuddin, Makasar, (2017): p.23. 7 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, (2003), p.35. 8 Lisa Yusnita, “Analisis Penerapan Prinsip Restorative Justice Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Lalu Lintas”,
Skripsi, Fakultas Hukum: Universitas Hasanuddin, Makasar, (2018): p.3-4. 9 Teguh Sulisti dan Aria Zurnetti. Op.Cit., p.7.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)
Page 110
cara untuk menegakkan, melaksanakan, dan mempertahankan hukum pidana materil tersebut melalui
hukum acara pidana. Ironisnya, Indonesia mempunyai KUHAP dahulu sebagai hukum pidana formal
dan baru kemudian memikirkan secara bertahap untuk membentuk suatu KUHP Nasional.10
Salah satu cara untuk mewujudkan restorative justice (keadilan restoratif) tersebut ialah dapat
dilakukan dengan penyelesaian tindak pidana ringan secara alternative dispute resolusion yang di
dalammya termasuk mediasi penal (hal ini tertuang dalam Perkap maupun Surat Edaran Kapolri).
Mediasi penal adalah suatu upaya atau tindakan dari mereka yang terlibat dalam perkara pidana
(mediator, pelaku, dan korban) untuk menyelesaikan perkara pidana tersebut di luar jalur proses
peradilan atau non formal.11 Dasar hukum alternative dispute resolusion ini dapat dilihat dari Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi
Dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri dan Surat Kapolri
Nomor Pol: B/3022/XII/2009/SEDOPS tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute
Resolusion. Tentu saja aturan ini tidak terlepas dari peraturan-peraturan yang ada di atasnya seperti
Peraturan Kapolri maupun peraturan perundang-undangan lain yang terkait.
Alternative dispute resolusion dalam penyelesaian persoalan pidana di tingkat kepolisian khususnya
pada Polresta Deli Serdang, salah satunya dilakukan dengan cara mediasi penal. Mediasi penal sering
juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain : mediation in criminal cases atau mediation in penal
matters yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jerman disebut der
außergerichtliche tatausgleich (disingkat ATA) dan dalam istilah Perancis disebut de mediation penale.
Karena mediasi penal terutama mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka
mediasi ini sering juga dikenal dengan istilah victim offender mediation (VOM), tate opfer ausgleich
(TOA), atau offender victim arrangement (OVA). Mediasi merupakan salah satu bentuk alternatif
penyelesaian sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau alternative
dispute resolution, ada pula yang menyebutnya apropriate dispute resolution.12
Atas dasar itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dari sudut pandang pidana tentang
tindakan penyelesaian perkara tindak pidana ringan melalui jalan alternative dispute resolusion demi
terwujudnya keadilan restoratif, tentu hal itu harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
ada seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun
aturan-aturan lain yang terkait, serta mengkaji kaidah-kaidah hukum yang berhubungan untuk dapat
secara pasti mewujudkan restorative justice, khususnya norma hukum berupa Peraturan Kapolri
(Perkap). Sehingga berangkat dari latar belakang tersebut juga, peneliti merasa tertarik untuk mengkaji
lebih mendalam tentang; bagaimana pengaturan penyelesaian tindak pidana ringan menurut Peraturan
Kapolri, bagaimana pelaksanaan penyelesaian tindak pidana ringan menurut Peraturan Kapolri di
Polresta Deli Serdang, bagaimana hambatan penyelesaian tindak pidana ringan menurut Peraturan
Kapolri di Polresta Deli Serdang. Dalam rangka menjawab rumusan masalah dan mencapai tujuan
penelitian tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan jenis penlitian hukum yuridis normatif
yang dilakukan dengan metode penelitian kepustakaan (library Reasearch) yang menjadikan data
skunder sebagai bahan baku utamanya yaitu terdiri dari bahan hukum primer berupa teori, norma, kaidah
dan pendapat ahli hukum, bahan-bahan hukum sekunder dan tertier serta menambahkan hasil
wawancara sebagai data tambahan yang terkait dengan permasalahan.
B. Pembahasan
1. Pengaturan Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Kapolri
10 Ibid., p.9. 11 Barda Nawawi, Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, Semarang: Pustaka Magister, (2008), p.2. 12 Muhammad Haidir Syah Putra, “Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan Melalui Mediasi Oleh Lembaga Adat Desa
Mulang Maya Kecamatan Kotabumi Selatan”. Skrispi, Fakultas Hukum: Universitas Lampung, Bandar Lampung, (2018): p.41.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)
Page 111
Kata hukum pidana pertama kali digunakan untuk merujuk pada keseluruhan ketentuan yang
menetapkan syarat-syarat apa saja yang mengikat Negara, bila Negara tersebut berkehendak untuk
memunculkan hukum mengenai pidana, serta aturan-aturan dalam perumusan pidana, hukum pidana ini
adalah hukum pidana yang berlaku atau hukum pidana positif, yang juga sering disebut lus poenale
meliputi; perintah dan larangan atas pelanggaran terhadap badan-badan negara yang berwenang oleh
undang-undang dengan ditetapkan dalam bentuk sanksi terlebih dahulu yang harus ditaati oleh setiap
orang, ketentuan-ketentuan yang menetapkan sarana-sarana apa yang dapat didayagunakan sebagai
reaksi terhadap pelanggaran norma-norma itu, hukum penintesier atau lebih luas, hukum tentang sanksi,
aturan-aturan yang secara temporal atau dalam jangka waktu tertentu menetapkan batas ruang lingkup
kerja dari norma-norma.13
Pada dasarnya, kehadiran hukum pidana di tengah masyarakat dimaksudkan untuk memberikan rasa
aman kepada individu maupun kelompok dalam masyarakat dalam melaksanakan aktivitas
kesehariannya. Rasa aman yang dimaksudkan dalam hal ini adalah perasaan tenang, tanpa ada
kekhawatiran akan ancaman ataupun perbuatan yang dapat merugikan antara individu dalam
masyarakat. Kerugian sebagaimana dimaksud tidak hanya terkait kerugian sebagaimana yang dipahami
dalam istilah keperdataan, namun juga mencakup kerugian terhadap jiwa dan raga. Raga dalam hal ini
mencakup tubuh yang juga terkait dengan nyawa seseorang, sedangkan jiwa dalam hal ini mencakup
perasaan atau keadaan psikis.14
Bahwa pengertian hukum pidana yang memuat ketentuan-ketentuan tentang tiga macam/hal, yaitu
sebagai berikut :
1. Aturan umum hukum pidana dan yang dikaitkan atau dalam hal yang berhubungan dengan larangan
melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman pidana bagi siapa yang
melanggar larangan itu (disebut tindak pidana).
2. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi bagi orang yang melanggar aturan hukum pidana yang
disebutkan pertama di atas, agar yang melanggar tadi dapat dijatuhi pidana sesuai dengan yang
diancamkan.
3. Upaya negara yang boleh dan harus dilakukan oleh alat-alat perlengkapan negara dalam hal negara
melaksanakan/menegakkan hukum pidana yang disebutkan di atas.15
Hukum pidana dapat dibedakan dilihat dari kepada pihak diberlakukannya hukum pidana. Dibedakan
antara hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum pidana umum adalah hukum pidana
yang ditujukan dan berlaku untuk semua warga negara (subjek hukum) dan tidak membeda-bedakan
kualitas pribadi subjek hukum tertentu. Sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang
dibentuk oleh negara yang hanya dikhususkan bagi subjek hukum tertentu saja. Perbedaan ini hanya
berdasarkan KUHP. Selain daripada itu hukum pidana mempunyai perbedaan menurut sumbernya,
hukum pidana dibagi menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus, hukum pidana umum
adalah semua ketentuan pidana yang terdapat/bersumber pada kodifikasi (KUHP), sering disebut dengan
hukum pidana kodifikasi. Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang bersumber pada peraturan
perundang-undangan di luar KUHP.16
Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum,
sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum
pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkret dalam
13 Mulyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Hukum Pidana. Jakarta: Mitra Wacana Media, (2015), p.1. 14 Ibid., p.2. 15 Adami Chazami, Pelajaran Hukum Pidana 2: Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan & Peringan
Pidana, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, Jakarta: Rajawali Pers, (2017), p.2-3. 16 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers, (2018), p.11.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)
Page 112
lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan
ditentukan dengan jelas dalam kehidupan masyarakat.17
Salah satu tujuan dari hukum pidana adalah sebagai pranata sosial yang mencakupi beberapa hal
yaitu sebagai bagian dari reaksi sosial manakala terjadi pelanggaran terhadap norma-norma yang
berlaku, mencerminkan nilai dan struktur masyarakat, merupakan reafirmasi simbolis atas pelanggaran
terhadap hati nurani bersama, sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu, dan selalu
berupa konsekuensi yang menderitakan, atau setidaknya tidak menyenangkan. Sistem peradilan pidana
menurut Mardjono merupakan sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.
Tujuan dari sistem peradilan pidana tersebut adalah sebagai berikut :
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah
ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi
kejahatannya.18
Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengungkapkan 4 (empat) komponen sistem peradilan
pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama
dan membentuk suatu integrated criminal justice system. Menurut Barda Nawawi Arief, sistem
peradilan pidana (integrated criminal justice system) merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum
pidana.19
Sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan sistem penegakan hukum pidana atau sistem
kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana. Selanjutnya menentukan tujuan pemidanaan menjadi
persoalan yang cukup dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk
melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses
pidana adalah pencegahan tingkah laku yang anti sosial. Menentukan titik temu dari dua pandangan
tersebut jika tidak berhasil dilakukan memerlukan formulasi baru dalam sistem atau tujuan pemidanaan
dalam hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan
teori-teori tentang pemidanaan. Tujuan pemidanaan yang berkisar pada perbedaan hakikat ide dasar
tentang pemidanaan dapat dilihat dari beberapa pandangan.20
Hukum Pidana Indonesia bentuknya tertulis dikodifikasikan dalam sebuah kitab undang-undang dan
dalam perkembangannya banyak yang tertulis tidak dikodifikasikan berupa undang-undang, hukum
pidana yang tertulis dikodifikasikan itu tertera ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang berasal dari zaman pemerintah penjajahan Belanda.21
Bilamana orang mengatakan hukum pidana, maka pada umumnya yang dimaksud ialah hukum
pidana materiil. Di samping hukum pidana materiil ada hukum pidana formil. Yang menjadi suatu
hoeksteen (poros di ujung) hukum pidana materiil itu Pasal 1 Ayat (1) KUH Pidana, yang berbunyi :
“sesuatu perbuatan tidak boleh dihukum, melainkan atas kekuatan aturan hukum dalam undang-undang
yang diadakan lebih dahulu daripada perbuatan itu”. Hanya perbuatan yang disebut tegas oleh peraturan
perundang-undangan sebagai kejahatan atau pelanggaran, dapat dikenai hukuman (pidana). Apabila
terlebih dahulu tidak diadakan peraturan perundang-undangan yang memuat hukuman yang dapat
17 Mulyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili. Op.Cit., p.5. 18 Yusi Amdani. Loc.Cit. 19 Ibid 20 Zainal Abidin, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP, Position Paper Advokasi RUU KUHP, Jakarta:
Elsam, (2005), p.10. 21 Teguh Prasetyo. Op.Cit., p.18.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)
Page 113
dijatuhi atas penjahat atau pelanggar, maka perbuatan yang bersangkutan bukan perbuatanyang dikenai
hukuman.22
Semua perbuatan yang bertentangan dengan azas-azas hukum menjadi pelanggaran hukum. Dalam
hukum pidana, suatu pelanggaran hukum disebut perbuatan melawan hukum (wederrechtelijke
handeling). Dengan kata lain, pelanggaran hukum itu, untuk hukum pidana, memuat anasir melawan
hukum (element van wederrechtelijkheid). Di antara pelanggaran hukum itu ada beberapa yang diancam
dengan hukuman (pidana), yaitu diancam dengan suatu sanksi istimewa. Pelanggaran hukum semacam
inilah yang oleh KUH Pidana dikualifikasikan peristiwa pidana.
Pada kerangka ini harus dimaknai bahwa, keadilan restoratif memfokuskan diri pada kejahatan
(crime) sebagai kerugian/kerusakan, dan keadilan (justice) merupakan usaha untuk memperbaiki
kerusakan dengan visi untuk mengangkat peran korban kejahatan, pelaku kejahatan dan masyarakat
sebagai tiga dimensi determinan yang sangat penting di dalam sistem peradilan pidana demi
kesejahteraan dan keamanan masyarakat. Dalam hal ini tujuan sistem peradilan pidana adalah : jangka
pendek resosialisasi, jangka menengah pencegahan kejahatan dan jangka panjang kesejahteraan dan
keamanan masyarakat.23
Berdasarkan uraian tersebut nampak bahwa keadilan restoratif sangat peduli terhadap pembangunan
kembali hubungan setelah terjadinya tindak pidana, daripada memperparah keretakan antara pelaku,
korban dan masyarakat yang merupakan karakter sistem peradilan pidana modern saat ini. Keadilan
restoratif merupakan reaksi yang bersifat victim-centered, terhadap kejahatan yang memungkinkan
korban, pelaku, keluarga dan wakil-wakil mayarakat untuk memperhatikan kerugian akibat terjadinya
tindak pidana. Pusat perhatian diarahkan kepada reparasi, restorasi atas kerusakan, kerugian yang
diderita akibat kejahatan dan memprakarsai serta memfasilitasi perdamaian. Hal ini untuk menggantikan
dan menjauhi keputusan terhadap yang menang atau kalah melalui system adversarial (permusuhan).
Keadilan restoratif berusaha memfasilitasi dialog antara berbagai pihak yang terlibat atau dipengaruhi
akibat kejahatan, termasuk korban, pelaku, keluarga dan masyarakat secara keseluruhan.24
Pembentukan Peraturan Kapolri untuk tujuan adanya aturan ataupun panduan pokok dalam
pelaksanaan penanganan tindak pidana ringan secara restorative justice, merupakan bagian dari
peraturan tambahan diluar dari KUHP, KUHAP maupun Undang-Undang, sehingga tentunya harus
mempunyai dasar hukum yang kuat. Karena apabila hal itu tidak diperhatikan maka akan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang di atasnya sesuai sistem hirarki perundang-undangan
sebagaimana sekarang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Terhadap hal untuk mengetahui dasar hukum penyelesaian tindak pidana ringan melalui restorative
justice (keadilan restoratif) berdasarkan Peraturan Kapolri, awalnya harus mengetahui tujuan dan
landasan hukum dibentuknya Peraturan Kapolri tersebut. Tentunya Peraturan-peraturan Kapolri yang
dibuat ataupun dibentuk oleh instansi kepolisian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang ada di atasnya. Setelah memenuhi syarat-syarat pembentukan suatu aturan, barulah dapat
Peraturan Kapolri yang dimaksud dapat dibentuk dan diberlakukan sesuai dengan peruntukkannya.
Landasan utama yang perlu diperhatikan ialah ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Pada 12 Agustus 2011, Pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
22 E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru, (1989), p.388. 23 Muladi, “Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Dan Implementasinya Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang
Dilakukan Oleh Anak-Anak”, Makalah Disampaikan Dalam FGD – BPHN Tgl. 26 Agustus 2013, p.2. 24 Ibid., p.5.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)
Page 114
2004. Dengan berlakunya undang-undang yang baru otomatis undang-undang yang lama dinyatkaan
dicabut dan tidak berlaku lagi. Undang-undang ini merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-
kelemahan dalam undang-undang sebelumnya, yaitu antara lain :
1. Materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan atau
multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum;
2. Teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;
3. Terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan; dan
4. Penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan sistematika.25
Berdasarkan aturan tersebut jenis peraturan perundang-undangan selain yang telah disebutkan
dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, diakui
keberadaanya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.26 Dalam hal ini
termasuk kewenangan instansi-instansi atau lembaga negara yang setingkat yang dibentuk oleh undang-
undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, untuk pembahasan ini ialah termasuk
kewenangan instansi kepolisian
2. Pelaksanaan Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Kapolri Di Polresta
Deli Serdang
Perbuatan pidana adalah tindakan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan dimana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapapun yang melanggar larangan tersebut. Istilah
perbuatan pidana dapat disamakan dengan tindak pidana atau delik pidana. Dalam beberapa literatur
hukum pidana istilah-istilah tersebut banyak dipakai.
Menurut Moeljatno bahwa tindak pidana hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan
kata strafbaarfeit dalam bahasan Belanda. Kata strafbaarfeit diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Beberapa kata yang digunakan menerjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjana-sarjana Indonesia antara
lain : tindak pidana, delict dan perbuatan pidana. Sementara dalam berbagai perundang-undangan
sendiri digunakan berbagai istilah untuk menunjukkan pengertian kata strafbaarfeit. Beberapa istilah
yang digunakan dalam undang-undang tesebut antara lain :27
a. Peristiwa pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS) Tahun 1950 khususnya Pasal 14;
b. Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 Tentang
Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara
Pengadilan-Pengadilan Sipil;
c. Perbuatan-perbuatan yang dapat hukum istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Darurat
Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen;
d. Hal yang diancam dengan hukum istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Darurat Nomor
16 Tahun 1951 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;
e. Tindak pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang, misalnya: Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang Darurat Nomor 7
Tahun 1953 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi dan
Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1953 tentang Kewajiban Kerja Bakti dalam Rangka
Pemasyarakatan bagi Terpidana karena Melakukan Tindak Pidana yang Merupakan Kejahatan.
25 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, (2012), p.64-65. 26 Ibid., p.68. 27 Ismu Gunadi dan Jonaedi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana. Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, (2011), p.40-41.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)
Page 115
Menurut Tongat, penggunaan berbagai istilah tersebut pada hakikatnya tidak menjadi persoalan
sepanjang penggunaannya disesuaikan dengan konteksnya dan dipahami maknanya. Karena itu dalam
tulisannya, berbagai istilah tersebut digunakan bergantian bahkan dalam konteks yang lain, digunakan
istilah kejahatan untuk menunjukkan maksud yang sama.
Mengenai definisi tindak pidana, dapat dilihat pendapat para pakar antara lain VOS. Delik adalah
feit yang dinyatakan dapat dihukum oleh undang-undang. Sedangkan menurut Van Hamel, delik adalah
suatu serangan atau ancaman terhadap hak orang lain. Menurut Simons, delik adalah suatu tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seorang yang dapat
dipertanggungjawabkan tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
perbuatan/tindakan yang dapat dihukum. Dengan demikian pengertian sederhana dari tindak pidana
adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan dimana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.28
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti
karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi
tafsir) dan logis. Jelas dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak
berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan
hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh
keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral,
melainkan secara factual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan
sekedar hukum yang buruk.29
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang
bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan
kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya
aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan
oleh Negara terhadap individu.30
Kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran
positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri,
karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini,
tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu
diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum.
Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan
keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.31
Pada umumnya setiap masyarakat yang melakukan suatu tindak pidana yang melanggar peraturan
perundang-undangan baik dalam KUHP maupun di luar KUHP (undang-undang khusus) akan
dikenakan pertanggungjawaban pidana terhadapnya, sebagai suatu konsekuensi yang diderita pelaku
tersebut atas perbuatan yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana itu merupakan pula unsur yang
terkandung di dalam penegakan hukum atas penanganan tindak pidana. Suatu pendapat mengatakan
pertanggungjawaban pidana adalah penilaian apakah seseorang tersangka/terdakwa dapat
dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi.32 Akan tetapi tidak selalu seorang pelaku
tindak pidana harus masuk dalam ranah pengadilan untuk dikenakan pertanggungjawaban pidana.
Melalui proses sistem restorative justice seorang pelaku juga dapat dimintai pertanggunggjawaban
28 Ibid., p.41-42. 29 Cst Kansil, Christine, S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit. Loc.Cit. 30 Riduan Syahrani. Loc.Cit. 31 Achmad Ali. Loc.Cit. 32 Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia: Suatu Pengantar, Jakarta: Refika Aditama, (2011), p.108.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)
Page 116
pidana di luar ranah Pengadilan Pidana, yang mana merupakan sebagai suatu bentuk penanganan, hal
ini khususnya dapat diberlakukan dalam tindak pidana ringan.
Seseorang dapat diterapkan suatu penegakan hukum pidana apabila seseorang itu melakukan suatu
kesalahan yang memenuhi unsur-unsur dalam tindak pidana yang dikenakan terhadapnya. Begitupula
terhadap tindak pidana ringan, walaupun dikategorikan demikian namun tetap seseorang tersebut harus
memenuhi unsur kesalahan yang terkandung dalam pasal tindak pidana ringan yang dikenakan, barulah
pelaku itu dapat diberikan penegakan hukum sebagaimana mestinya. Walaupun penegakan hukum yang
dimaksud, dapat diterapkan berbeda dengan tindak pidana pada umumnya (bukan termasuk tindak
pidana ringan).
Para ahli hukum pidana mengartikan kesalahan secara beragam.33 Simons dalam E.Y. Kanter dan
S.R. Sianturi, secara panjang lebar membahas tentang pengertian kesalahan. Beliau berpendapat bahwa,
sudah sekian banyak pembahasan tentang hal ini, tetapi sampai kini, tentang isi dari pengertian
kesalahan itu masih tetap berbeda dan tidak pasti. Dikatakan selanjutnya bahwa sebagai dasar dari
pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku yang dapat dipidana, dan
berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuan itu.34
Berdasarkan Peraturan Kaporli (Perkap) tata cara dalam menangani tindak pidana ringan khususnya
di wilayah yurisdiksi Kepolisian Deli Serdang menggunakan sistem pendekatan restorative justice,
apabila itu berkaitan dengan tindak pidana ringan dan memenuhi unsur-unsur kriteria tindak pidana yang
dapat dilakukan suatu perdamaian antara para pihak (pelaku dan korban). Namun pada pokoknya, pihak
Polresta Deli Serdang tidak menangani secara langsung suatu perbuatan yang tergolong tindak pidana
ringan, karena proses penyelesaian tindak pidana ringan akan dilimpahkan kepada Polisi Sektor (Polsek)
yang masih berada di wilayah yurisdiksi hukum Polresta Deli Serdang.35 Prosedur penyelesaian tindak
pidana ringan tetap tidak dapat terlepas dari konsep-konsep dasar dari metode pendekatan restorative
justice.
Pada dasarnya untuk melihat prosedur penyelesaian tindak pidana ringan dapat dilihat dari berbagai
sisi. Tergantung pada tingkat mana sudah tindak pidana tersebut dilimpahkan. Namun walaupun
demikian, sudah sepantasnya tindak pidana ringan tidak perlu sampai pada ranah Pengadilan, karena
konsep restorative justice itu sudah dapat diterapkan pada saat tindak pidana itu masuk dalam
pemeriksaan Kepolisian. Di Pengadilan sendiri proses penyelesaian tindak pidana ringan berbeda
dengan proses penyelesaian tindak pidana secara umum. Pengadilan melalui Perma mempunyai cara
sendiri untuk menyelesaikan suatu perkara tindak pidana ringan, yang terlanjur sudah masuk pada
tingkat Pengadilan (walaupun bisa selesai di tingkat Kepolisian), aturan yang dimaksud ialah Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan
Jumlah Denda Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.36
Peraturan Mahakamah Agung tersebut selaras pula dengan Pasal 29 Ayat (3) Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2019 yang menerangkan bahwa : “Dalam hal acara pemeriksaan cepat yang merupakan
perkara tindak pidana ringan, dan/atau perkara pelanggaran lalu lintas, Penyidik atas kuasa Penuntut
Umum demi hukum menyerahkan berkas perkara, barang bukti, saksi, dan terdakwa ke pengadilan”.
Jadi sebenarnya upaya-upaya pembedaan penyelesaian hukum tindak pidana ringan telah dilakukan oleh
pihak Kepolisian maupun Pengadilan.37 Mahkamah Agung membuat peraturan tersebut karena
memahami sesungguhnya tindak pidana ringan ini tidak bisa disamakan dengan tindak pidana secara
33 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi. Op.Cit., p.161. 34 Ibid. 35 Hasil Wawancara Kepada Bapak IPTU OJ. Samosir, Selaku Kepala Urusan Administrasi di Kepolisian Resor Kota Deli
Serdang, pada tanggal 8 Mei 2020. 36 Ibid. 37 Ibid.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)
Page 117
umum. Sehingga sudah selayaknya konsep restorative justice sudah dapat diterapkan sedini mungkin
terhadap perbuatan yang tergolong tindak pidana ringan. Dengan begitu tindak pidana ringan dapat
diselesaikan sebelum sampai pada tingkat Pengadilan.
Proses peradilan pidana yang bersifat restoratif berpandangan bahwa mewujudkan keadilan bukan
hanya urusan pemerintah dan pelaku kejahatan, tetapi lebih dari itu harus memberikan keadilan secara
totalitas yang tidak bisa mengabaikan kepentingan dan hak-hak dari korban dan masyarakat. Dilain
pihak dalam proses peradilan pidana konvensional, kepentingan korban seolah-olah telah terwakili atau
direpresentasikan oleh Negara cq Pemerintah cq Kejaksaan dan Kepolisian. Pertanyaannya, seberapa
efektif dan representatif. Pemerintah dapat mewakili kepentingan korban kejahatan secara utuh. Perlu
cermin besar untuk dapat melihat needs and roles secara utuh dan jelas. Dalam arti bahwa restorative
justice membuat peta tentang kepentingan dan peran masing-masing, baik korban, pelaku kejahatan, dan
masyarakat yang terkait, sehingga ada dasar untuk mendistribusikan tanggungjawab akibat kejahatan
sesuai dengan posisi dan peran masing-masing, agar tercapai keadilan yang berkualitas memulihkan,
sebagaimana yang disampaikan oleh Howard Zehr.38
3. Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Kapolri Di Polresta Deli Serdang
Pihak kepolisian sangat berperan dalam hal pengaplikasian pelaksanaan penyelesaian tindak pidana
ringan berdasarakan Peraturan Kapolri ini. Hal itu dikarenakan penegak hukum yang pertama kali
bersentuhan dengan pelaku dan juga korban dari suatu tindakan pidana ialah pihak kepolisian. Hal itu
merujuk pada tugas dan wewenang kepolisian yang telah diamanatkan oleh negara melalui Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Melalui undang-undang
itu pihak esensi pokok dari tugas kepolisian ialah mengayomi masyarakat, sehingga seharusnya ketika
terjadi suatu peristiwa pidana yang penyelesaiannya masih dapat dilakukan melalui jalan musyawarah,
perdamaian, alternative dispute resolusion (bagian dari sistem restorative justice), maka pihak
kepolisian sudah sepantasnya mengutamakan menerapkan penyelesaian-penyelesaian tindak pidana
ringan yang demikian. Ketentuan itu sudah pastinya sesuai dengan tujuan dari teori kemanfaatan yang
mengkaji dari esensi utama dari suatu penyelesaian tindak pidana.
Senada dengan uraian itu Kepolisian Resor Kota Deli Serdang mengungkapkan dari sekian banyak
tujuan pokok pihak kepolisian ialah menjaga ketertiban di masyarakat. Disampaikan pula bahwa
keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang
adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Serta
pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara
yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.39
Perlu diketahui kehidupan dalam masyarakat hukum itu sendiri dalam masalah tindak pidana ringan
ini. Pada prinsipnya masyarakat mengalami perkembangan, maksudnya semula masyarakat sederhana
kemudian berkembang menjadi semakin kompleks. Perkembangan masyarakat tadi pasti di barengi
dengan timbulnya hukum yang dalam perkembangan pula, yakni mulai dari yang sangat sederhana
berkembang menjadi semakin kompleks pula. Dalam kondisi seperti ini berarti perkembangan di
dalamnya, bahkan dapat terjadi keduanya saling mempengaruhi dan satu sama lain saling
menyempurnakan. Perkembangan masyarakat yang dapat menimbulkan perubahan di bidang hukum,
atau sebaliknya, keadaan tersebut erat dengan pergaulan hidup setiap orang memiliki kebutuhan dan
kepentingan yang berbeda-beda.
38 Howard Zehr, Restorative Justice, Good Books: Intercourse PA, (2002), p.23. 39 Hasil Wawancara Kepada Bapak IPTU OJ. Samosir, Selaku Kepala Urusan Administrasi di Kepolisian Resor Kota Deli
Serdang, pada tanggal 8 Mei 2020.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)
Page 118
Pada tiap pergaulan hidup itu para warganya atau anggotanya mempunyai kebutuhan dan
kepentingan, yang dapat diklasifikasikan dalam:
a. Kebutuhan fisiologis, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan, seks;
b. Kebutuhan keamanan, ketertiban, dan ketentraman dari gangguan, ancaman atau serangan
pihak lain;
c. Kebutuhan akan kerja sama yang saling menguntungkan atau kerja sama untuk tujuan-tujuan
kolektif;
d. Kebutuhan akan kehormatan dirinya, akan penghargaan sebagai manusia yang bermartabat dan
berkebudayaan;
e. Kebutuhan akan eksistensi dirinya dengan jiwanya yang merdeka, yang memiliki daya logika,
etika dan estetika atau nalar kreatifitas guna membudayakan dirinya.40
Perlu ada aturan atau pengaturan mengenai soal-soal kekeluargaan, benda dan harta kekayaan,
jaminan ketertiban dan keamanan, ketaatan terhadap perjanjian-perjanjian, nilai kehormatan diri, dan
badan berikut jiwa para anggota masyarakat. Jika dalam masyarakat itu dibentuk suatu sistem kekuasaan
publik, seperti negara dalam suatu masyarakat bangsa, maka keamanan dan ketertiban kekuasaan publik
itu pun harus mendapat pengaturan dan jaminan.
Kehidupan manusia di dalam pergaulan masyarakat diliputi oleh norma-norma, yaitu pengaturan
hidup yang mempengaruhi tingkah laku manusia di dalam masyarakat. Sejak masa kecilnya manusia
merasakan adanya peraturan-peraturan hidup yang membatasi sepak terjangnya. Pada permulaan yang
dialami hanyalah peraturan-peraturan yang hidup yang berlaku dalam lingkungan keluarga yang
dikenalnya, kemudian juga yang berlaku di luarnya, dalam masyarakat. Yang dirasakan paling nyata
ialah peraturan-peraturan hidup yang berlaku dalam suatu negara. Akan tetapi dengan adanya norma-
norma itu dirasakan pula olehnya adanya penghargaan dari perlindungan terhadap dirinya dan
kepentingan-kepentingannya. Demikianlah norma-norma itu mempunyai tujuan supaya kepentingan
masing-masing warga masyarakat dan ketentraman dalam masyarakat terpelihara dan terjamin.41
Terhadap penerapan norma-norma itu khususnya norma hukum terdapat beberapa perbedaan
pemahaman di lapangan. Pada kasus ini pihak kepolisian di beberapa wilayah yang ada di Indonesia
dalam melakukan tindakan kepada kasus tindak pidana ringan mempunyai suatu penerapan berbeda satu
dengan yang lainnya. Walaupun pada dasarnya pihak kepolisian telah memiliki Peraturan Kapolri
(Perkap) terkait hal tersebut. Begitu pula dengan Polresta Deli Serdang, belum tentu pola penyelesaian
tindak pidana ringan yang digunakan pada Polresta Deli Serdang sama dengan yurisdiksi pada Polresta
lain ataupun pada tingkat Polsek. Hal inilah yang menjadi awal hambatan yang timbul dari penerapan
norma hukum dalam penyelesaian tindak pidana ringan di tingkat kepolisian. Sebagian menganggap
tindak pidana ringan tetap termasuk tindakan kejahatan pidana yang harus diselesaikan di ranah
Pengadilan, sebagian menganggap bahwa tindak pidana ringan merupakan pengecualian yang dapat
diselesaikan hanya sampai tingkat Kepolisian saja.42
Pada Pasal 2 huruf d Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/8/VII/2018 Tentang Penerapan Keadilan
Restoratif (Restorative Justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana diuraikan bahwa menjawab
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat serta memenuhi rasa keadilan semua pihak, Kepolisian
Negara Republik Indonesia selaku institusi yang diberikan kewenangan selaku penyelidik dan penyidik
serta koordinator dan pengawas penyidikan tindak pidana, merasa perlu untuk merumuskan konsep baru
dalam sistem pengakan hukum pidana terutama proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana yang
40 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, (2007), p.45-46. 41 Ibid., p.84. 42 Hasil Wawancara Kepada Bapak IPTU OJ. Samosir, Selaku Kepala Urusan Administrasi di Kepolisian Resor Kota Deli
Serdang, pada tanggal 8 Mei 2020.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)
Page 119
mampu mengakomodir nilai-nilai keadilan dalam masyarakat sekaligus memberikan kepastian hukum
terutama kepastian proses.43
C. Penutup
Pengaturan penyelesaian tindak pidana ringan menurut Peraturan Kapolri, diawali dari kewenangan
polisi dalam membuat peraturan kapolri itu sendiri yang tertuang tegas pada Pasal 15 Ayat 1 huruf e
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Pengaturan penyelesaian tindak pidana
ringan (Tipiring) menurut Perkap dilakukan dengan cara restorative justice. Dasar hukumnya ialah
Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, Peraturan
Kepala Kepolisian Nomor 7 Tahun 2008 dan Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 14 Tahun 2012. Pada
proses adminstrasinya Perkap tersebut dipedomi dengan Surat Edaran Kapolri. Surat edaran itu
diantaranya ialah Surat Kapolri Nomor Pol: B/3022/XII/2009/SEDOPS Tentang Penanganan Kasus
Melalui Alternatif Dispute Resolusion dan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/8/VII/2018 Tentang
Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Aturan ini
berlaku baik dari tingkat Polsek, Polres, Polda maupun pusat.
Hambatan/kendala penyelesaian tindak pidana ringan menurut Peraturan Kapolri di Polresta Deli
Serdang dapat dilihat dari dua sisi, pertama dari sisi hambatan yang datang dari masyarakat dan yang
kedua hambatan dari sisi norma hukum. Hambatan yang datang dari masyarakat yaitu; adanya
penolakan dari masyarakat; masih banyaknya masyarakat yang keberatan untuk memafkan pelaku;
kedua belah pihak pelapor/keluarga (korban) dan terlapor/keluarga (pelaku) tidak bersepakat untuk
berdamai; kurangnya tokoh masyarakat yang ingin ikut terlibat dalam menyelesaikan konflik yang ada;
pelaku keberatan untuk bertanggungjawab ataupun memberikan ganti rugi kepada korban yang telah
dirugikan; dan adanya pihak korban yang meminta kompensasi damai yang berlebihan.
Hambatan dari sisi norma hukum ialah terkait kekuatan Perkap dalam hirarki perundang-undangan.
Karena norma hukum yang menjadi landasan penyelesaian tipiring melalui restorative justice adalah
hanya menggunakan Perkap. Sedangkan norma hukum yang lebih tinggi di atasnya seperti KUHAP
hanya mengatur terkait penyelesaian tipiring tetap pada proses Pengadilan, bukan diselesaikan di tingkat
kepolisian sesuai Pasal 205 sampai Pasal 210 KUHAP. Begitu pula dalam Undang-Undang Kepolisian
tidak mengatur secara tegas, tentang bolehnya kepolisian untuk menyelesaikan suatu kasus seperti
tipiring hanya pada tingkat kepolisian. Sehingga karena belum adanya norma hukum yang dapat
diselaraskan dengan KUHAP ataupun Undang-Undang Kepolisian, dalam penerapan restorative justice
berdasarkan Perkap di beberapa daerah tidak efektif.
Daftar Pustaka
Abidin, Zainal. (2005). Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP, Position Paper
Advokasi RUU KUHP. Jakarta: Elsam.
Chazami, Adami. (2017). Pelajaran Hukum Pidana 2: Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan,
Pemberatan & Peringan Pidana, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas. Jakarta:
Rajawali Pers.
Effendi, Erdianto. (2011). Hukum Pidana Indonesia: Suatu Pengantar. Jakarta: Refika Aditama.
Gunadi, Ismu dan Jonaedi. (2011). Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana. Jakarta: PT. Prestasi
Pustakaraya.
43 Ibid.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Penyelesaian Tindak Pidana Ringan… Volume 1 Nomor 2, Oktober 2020: Page 107-120 (Porlen Hatorangan Sihotang)
Page 120
Hasil Wawancara Kepada Bapak IPTU OJ. Samosir, Selaku Kepala Urusan Administrasi di Kepolisian
Resor Kota Deli Serdang, pada tanggal 8 Mei 2020.
Huda, Ni’matul. (2012). Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Lamintang, P. A. F. (1984). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru.
Muladi. (2013). “Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Dan Implementasinya Dalam
Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak”, Makalah Disampaikan Dalam
FGD – BPHN, 26 Agustus.
Nawawi, Barda. (2008). Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan. Semarang: Pustaka Magister
Pawennei, Mulyati dan Rahmanuddin Tomalili. (2015). Hukum Pidana. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Prodjodikoro, Wirjono. (2003). Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.
Putra, Muhammad Haidir Syah. (2018). “Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan Melalui Mediasi
Oleh Lembaga Adat Desa Mulang Maya Kecamatan Kotabumi Selatan”. Skrispi, Fakultas
Hukum: Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Putri, Rahmita.“Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Terhadap Tindak Pidana
Pengrusakan Barang”. Skripsi Fakultas Hukum: Universitas Hasanuddin, Makasar.
Soma, Muhammad. (2013). “Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam
KUHP Terhadap Perkara Tindak Pidana Pencurian”, Jurnal Cita Hukum 1, No. 2.
Sudarsono. (2007). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Sulisti, Teguh dan Aria Zurnetti. (2012). Hukum Pidana: Horizon Baru Pasca Reformasi. Jakarta:
Rajawali Pers.
Yusnita, Lisa. (2018). “Analisis Penerapan Prinsip Restorative Justice Dalam Penyelesaian Perkara
Tindak Pidana Lalu Lintas”, Skripsi, Fakultas Hukum: Universitas Hasanuddin, Makasar.
Zehr, Howard. (2002). Restorative Justice. Good Books: Intercourse PA.