53
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. MASA REMAJA Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah (Hurlock, 1998). Oleh karenanya, remaja sangat rentan sekali mengalami masalah psikososial, yakni masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial (TP-KJM, 2002). Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15- 18) kini terjadi pada awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah (atau sedang) mengalami pubertas namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Ia belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa, meski di saat yang sama ia juga

Penyuluhan Rokok

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Penyuluhan Rokok

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

1. MASA REMAJA

Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu

mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan

mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan

juga penuh dengan masalah-masalah (Hurlock, 1998). Oleh karenanya,

remaja sangat rentan sekali mengalami masalah psikososial, yakni

masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya

perubahan sosial (TP-KJM, 2002).

Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan

manusia yang batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak

terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal

keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan

untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi

pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasan bahkan

sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja

sudah (atau sedang) mengalami pubertas namun tidak berarti ia sudah

bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia

orang dewasa. Ia belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa,

meski di saat yang sama ia juga bukan anak-anak lagi. Berbeda

dengan balita yang perkembangannya dengan jelas dapat diukur,

remaja hampir tidak memiliki pola perkembangan yang pasti. Dalam

perkembangannya seringkali mereka menjadi bingung karena kadang-

kadang diperlakukan sebagai anak-anak tetapi di lain waktu mereka

dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa. Memang banyak

perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan, namun

Page 2: Penyuluhan Rokok

seringkali perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan

bukan sebagai pengesahan akan keremajaan seseorang. Namun satu

hal yang pasti, konflik yang dihadapi oleh remaja semakin kompleks

seiring dengan perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri

mereka. Untuk dapat memahami remaja, maka perlu dilihat

berdasarkan perubahan pada dimensidimensi tersebut

Dimensi Biologis

Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai

dengan menstruasi pertama pada remaja putri atau pun perubahan

suara pada remaja putra, secara biologis dia mengalami perubahan

yang sangat besar. Pubertas menjadikan seorang anak tiba-tiba

memiliki kemampuan untuk ber-reproduksi. Pada masa pubertas,

hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon

(gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang berhubungan

dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follicle-Stimulating Hormone (FSH);

dan 2). Luteinizing Hormone (LH). Pada anak perempuan, kedua

hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan

progesterone: dua jenis hormon kewanitaan. Pada anak lelaki,

Luteinizing Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating

Hormone (ICSH) merangsang pertumbuhan testosterone.

Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut di atas

merubah sistem biologis seorang anak. Anak perempuan akan

mendapat menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya

sudah aktif. Selain itu terjadi juga perubahan fisik seperti payudara

mulai berkembang, dll. Anak lelaki mulai memperlihatkan perubahan

dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang berhubungan dengan

tumbuhnya hormon testosterone. Bentuk fisik mereka akan berubah

secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa mereka pada

dunia remaja.

Page 3: Penyuluhan Rokok

Dimensi Kognitif

Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget

(seorang ahli perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan

tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal

operations). Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki

pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang

kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang

sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat

membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta

kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan

abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-

dimensi

seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa

adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta

mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka juga

mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk

ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa

depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja

mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka. Pada

kenyataan, di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) masih

sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu

sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional

formal ini. Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan

sebelumnya, yaitu operasional konkrit, dimana pola pikir yang

digunakan masih sangat sederhana dan belum mampu

melihat masalah dari berbagai dimensi. Hal ini bisa saja diakibatkan

sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak menggunakan

metode belajarmengajar satu arah (ceramah) dan kurangnya

perhatian pada pengembangan cara berpikir anak. penyebab lainnya

Page 4: Penyuluhan Rokok

bisa juga diakibatkan oleh pola asuh orangtua yang cenderung masih

memperlakukan remaja sebagai anak-anak, sehingga anak tidak

memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai

dengan usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah harus

mampu mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat mereka lulus

sekolah menengah, sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk

menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik.

Dimensi Moral

Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya

mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya

sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel

(1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian

tersendiri dalam menghadapi masalahmasalah populer yang

berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan,

perang, keadaan sosial, dsb. Remaja tidak lagi menerima hasil

pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada

mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan

keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak

alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan

pengamatan keluar dan membandingkannya dengan

hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya.

Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di

luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat

bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis

pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali

membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu

lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak. Kemampuan

berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja

berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan

Page 5: Penyuluhan Rokok

ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan

kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu

mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan”

yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap

"pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang

selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada seorang

anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi

itu tidak baik. Pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa

dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan

sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu.

Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja.

Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah

masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya.

Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang

ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan

sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan

penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak

mendukung penerapan nilai-nilai tersebut.

Peranan orangtua atau pendidik amatlah besar dalam

memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh

putra-putri remajanya. Orangtua yang bijak akan memberikan lebih

dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa berpikir lebih

jauh dan memilih yang terbaik. Orangtua yang tidak mampu

memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan

membuat sang remaja tambah bingung. Remaja tersebut akan

mencari jawaban di luar lingkaran orangtua dan nilai yang dianutnya.

Ini bisa menjadi berbahaya jika “lingkungan baru” memberi jawaban

yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh

orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan mulai menajam.

Page 6: Penyuluhan Rokok

Dimensi Psikologis

Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa

ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil

penelitian di Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson

(1984) menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45

menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar

biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal

yang sama. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini

seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah,

atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah

berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan

gejala atau masalah psikologis. Dalam hal kesadaran diri, pada masa

remaja para remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam

kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka sangat rentan

terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa

orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti

mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu

membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang

direfleksikan (self-image). Remaja cenderung untuk menganggap diri

mereka sangat unik dan bahkan percaya keunikan mereka akan

berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran. Remaja putri akan

bersolek berjam-jam di hadapan cermin karena ia percaya orang akan

melirik dan tertarik pada kecantikannya, sedang remaja putra akan

membayangkan dirinya dikagumi lawan jenisnya jika ia terlihat unik

dan “hebat”. Pada usia 16 tahun ke atas, keeksentrikan remaja akan

berkurang dengan sendirinya jika ia sering dihadapkan dengan dunia

nyata. Pada saat itu, Remaja

akan mulai sadar bahwa orang lain tenyata memiliki dunia tersendiri

dan tidak selalu sama dengan yang dihadapi atau pun dipikirkannya.

Page 7: Penyuluhan Rokok

Anggapan remaja bahwa mereka selalu diperhatikan oleh orang lain

kemudian menjadi tidak berdasar. Pada saat inilah, remaja mulai

dihadapkan dengan realita dan tantangan untuk menyesuaikan impian

dan angan-angan mereka dengan kenyataan. Para remaja juga sering

menganggap diri mereka serba mampu, sehingga seringkali mereka

terlihat “tidak memikirkan akibat” dari perbuatan mereka. Tindakan

impulsif sering dilakukan; sebagian karena mereka tidak sadar dan

belum biasa memperhitungkan akibat jangka pendek atau jangka

panjang.

Remaja yang diberi kesempatan untuk mempertangung-

jawabkan perbuatan mereka, akan tumbuh menjadi orang dewasa

yang lebih berhati-hati, lebih percaya-diri, dan mampu bertanggung-

jawab. Rasa percaya diri dan rasa tanggung-jawab inilah yang sangat

dibutuhkan sebagai dasar pembentukan jatidiri positif pada remaja.

Kelak, ia akan tumbuh dengan penilaian positif pada diri sendiri dan

rasa hormat pada orang lain dan lingkungan. Bimbingan orang yang

lebih tua sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana

menghadapi masalah itu sebagai “seseorang yang baru”; berbagai

nasihat dan berbagai cara akan dicari untuk dicobanya. Remaja akan

membayangkan apa yang akan dilakukan oleh para “idola”nya untuk

menyelesaikan masalah seperti itu.

Pemilihan idola ini juga akan menjadi sangat penting bagi

remaja Dari beberapa dimensi perubahan yang terjadi pada remaja

seperti yang telah dijelaskan diatas maka terdapat kemungkinan –

kemungkinan perilaku yang bisa terjadi pada masa ini. Diantaranya

adalah perilaku yang mengundang resiko dan berdampak negative

pada remaja. Perilaku yang mengundang resiko pada masa remaja

misalnya seperti penggunaan alcohol, tembakau dan zat lainnya;

aktivitas social yang berganti – ganti pasangan dan perilaku

Page 8: Penyuluhan Rokok

menentang bahaya seperti balapan, selancar udara, dan layang

gantung (Kaplan dan Sadock, 1997).

Alasan perilaku yang mengundang resiko adalah bermacam –

macam dan berhubungan dengan dinamika fobia balik ( conterphobic

dynamic ), rasa takut dianggap tidak cakap, perlu untuk menegaskan

identitas maskulin dan dinamika kelompok seperti tekanan teman

sebaya.

2. REMAJA DAN ROKOK

Di masa modern ini, merokok merupakan suatu pemandangan

yang sangat tidak asing. Kebiasaan merokok dianggap dapat

memberikan kenikmatan bagi si perokok, namun dilain pihak dapat

menimbulkan dampak buruk bagi si perokok sendiri maupun orang –

orang disekitarnya. Berbagai kandungan zat yang terdapat di dalam

rokok memberikan dampak negatif bagi tubuh penghisapnya.

Beberapa motivasi yang melatarbelakangi seseorang merokok adalah

untuk mendapat pengakuan (anticipatory beliefs), untuk

menghilangkan kekecewaan ( reliefing beliefs), dan menganggap

perbuatannya tersebut tidak melanggar norma ( permissive beliefs/

fasilitative) (Joewana, 2004). Hal ini sejalan dengan kegiatan merokok

yang dilakukan oleh remaja yang biasanya dilakukan didepan orang

lain, terutama dilakukan di depan kelompoknya karena mereka sangat

tertarik kepada kelompok sebayanyaatau dengan kata lain terikat

dengan kelompoknya.

Merokok merupakan salah satu kebiasaan yang lazim ditemui dalam

kehidupan sehari-hari. Dimana-mana mudah menemui orang merokok, baik laki- laki

maupun wanita, anak kecil maupun orang tua, kaya maupun miskin. Merokok

merupakan bagian hidup masyarakat. Prevalensi merokok telah menurun di banyak

negara maju dalam beberapa tahun terakhir, tetapi tetap tinggi di negara-negara

berkembang. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, tembakau membunuh

Page 9: Penyuluhan Rokok

lebih dari lima juta orang per tahun dan diproyeksikan akan membunuh 10 juta orang

sampai tahun 2020. Dari jumlah itu, 70% korban berasal dari negara berkembang

termasuk Indonesia (Bustan, 2007).

Prevalensi merokok di Indonesia diperkirakan 62% laki-laki merokok dengan

teratur, dengan prevalensi lebih tinggi (67%) di pedesaan (Depkes, 2003).

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2004 secara nasional

dilaporkan bahwa penduduk 15 tahun ke atas yang mempunyai kebiasaan merokok

tercatat sebanyak 34,44%, terdiri dari merokok setiap hari 28,35% dan kadang-

kadang 6,09% (Setiaji, 2007).

Lembaga Demografi UI mencatat, angka kematian akibat penyakit yang

disebabkan rokok tahun 2004 adalah 427.948 jiwa, berarti 1.172 jiwa per hari atau

sekitar 22,5% dari kematian total di Indonesia (Bustan, 2007).

Prevalensi kebiasaan merokok yang tinggi merupakan masalah besar

kesehatan masyarakat. Bukti-bukti penelitian ilmiah menunjukkan merokok

meningkatkan risiko berbagai penyakit diantaranya batuk menahun, hipertensi,

kanker paru, stroke, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), ulkus peptikum,

infertility, gangguan kehamilan dan janin serta penyakit jantung koroner. Menurut

Badan POM RI penyakit akibat rokok adalah kanker mulut, osteoporosis dan katarak

(Manshiro, 2008).

Menurut Barendregt et al., (1997), biaya pelayanan kesehatan untuk para

perokok di suat u umur rata-rata 40% lebih besar daripada bukan perokok. Menurut

analisis Kosen, total tahun produktif yang hilang karena penyakit yang terkait dengan

tembakau di Indonesia pada tahun 2005 adalah 5.411.904 Disability Adjusted Life

Year (DALYs). Jika dihitung dengan pendapatan per kapita per tahun pada 2005

sebesar US$ 900 atau kurang lebih Rp. 9.000.000, total biaya yang hilang US$

4.870.713.600 atau kurang lebih Rp.4.870.713.600.000 (Motik, 2008).

Berdasarkan hasil survei menunjukkan 12,9% budget keluarga miskin untuk

rokok dan untuk orang kaya hanya 9%. Menurut data SUSENAS, konsumsi rumah

tangga miskin untuk tembakau di Indonesia menduduki rangking kedua (12,43%)

Page 10: Penyuluhan Rokok

setelah konsumsi beras (19,30%). Orang miskin di Indonesia mengeluarkan uangnya

15 kali lebih besar untuk membeli rokok dari pada membeli lauk pauk serta 6 kali

lebih penting dari pendidikan dan kesehatan (Fahriza, 2009).

Prevalensi penyakit yang terkait dengan rokok di Jawa Tengah semakin

meningkat. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, prevalensi

penyakit jantung koroner di Propinsi Jawa Tengah mengalami peningkatan dari

0,09% pada tahun 2006, dan 0,10% pada tahun 2007. Prevalensi sebesar 0,10%

berarti setiap 10.000 orang terdapat 10 orang penderita jantung koroner. Prevalensi

hipertensi di Propinsi Jawa Tengah mengalami peningkatan dari 1,87% pada tahun

2006 menjadi 2,02% pada tahun 2007. Prevalensi sebesar 2,02% artinya setiap 100

orang terdapat 2 penderita hipertensi. Prevalensi stroke di Jawa Tengah tahun 2007

adalah 0,04%, angka ini relatif sama dibandingkan tahun 2006. Prevalensi PPOK

mengalami peningkatan yaitu 0,14% pada tahun 2006 menjadi 0,16% pada tahun

2007 (Dinkes Jawa Tengah, 2007).

Prevalensi penyakit jantung dan pembuluh darah di Kabupaten Sragen pada tahun

2006 sebesar 1,09% meningkat menjadi 1,5% pada tahun 2007. Penyakit Paru

Obstruktif Kronis (PPOK) sebesar 0,56% pada tahun 2006, kasus penyakit ini

menurun menjadi 0,39% pada tahun 2007. Prevalensi hipertensi di Kabupaten Sragen

pada tahun 2006 sebesar 4,8%, sedangkan pada tahun 2007 kasusnya meningkat

menjadi 5,02% (Dinkes Kabupaten Sragen, 2007).

Berdasarkan analisis WHO, perkembangan konsumsi rokok dapat

mengkategorikan negara- negara di dunia menurut Human Development Index (HDI),

dimana 174 negara berada pada kategori tinggi, sedang dan rendah dalam umur

harapan hidup, pendidikan dan pendapatan, ketersediaan sumber daya manusia sesuai

dengan kebutuhan. Hal ini memberi kemungkinan bahwa perkembangan dalam

konsumsi rokok dapat merubah standar hidup manusia. Menurut perkembangan

statistik dunia terhadap prevalensi rokok berdasarkan data Tobacco Control Country

Profiles (TCCP), hubungan antar manusia dan organisasi kemasyarakatan

berhubungan dalam pengendalian tembakau (Corrao et al., 2000).

Page 11: Penyuluhan Rokok

Dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, rokok dianggap sebagai salah

satu bentuk keramahtamahan. Ketika sedang melayat, di tempat orang yang

menyelenggarakan pernikahan, atau saat pertemuan di kampung, rokok selalu

disuguhkan bersama makanan dan minuman (Baskara, 2007). Berdasarkan penelitian

Lindstrom (2004) di Swedia ditemukan bahwa modal sosial (partisipasi sosial)

berhubungan terbalik dengan kebiasan merokok harian (daily smoking). Lindstrom

berpendapat bahwa partisipasi sosial tidak selalu meningkatkan perilaku kesehatan

secara positif. Ketika partisipasi sosial tinggi dihubungkan dengan tingkat perilaku

kesehatan yang rendah, maka akan dihasilkan perilaku yang dapat merugikan

kesehatan, dalam hal ini adalah kebiasaan merokok.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Rokok

1. Kandungan rokok

Page 12: Penyuluhan Rokok

Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya

yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica dan spesies

lainnya atau sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau bahan

tambahan (PP RI No.19 Tahun 2003). Rokok biasanya berbentuk silinder terdiri dari

kertas yang berukuran panjang antar 70 hingga 120 mm dengan diameter sekitar 10

mm, berwarna putih dan cokelat. Biasanya berisi daun-daun tembakau yang telah

dicacah, ditambahkan sedikit racikan-racikan seperti cengkeh, saus rokok serta

racikan lainnya (Triswanto, 2007).

Menurut jenisnya, rokok di Indonesia dibedakan menjadi beberapa macam.

Perbedaan ini didasarkan atas bahan pembungkus rokok, bahan baku atau isi rokok,

proses pembuatan rokok, dan penggunaan filter pada rokok. Asap rokok mengandung

kurang lebih 4000 bahan kimia yang 200 diantaranya beracun dan 43 jenis lainnya

dapat menyebabkan kanker bagi tubuh. Beberapa zat yang sangat berbahaya ya itu

nikotin, tar dan karbon monoksida (Jaya, 2009).

a. Nikotin

Nikotin adalah zat, atau bahan senyawa pirolidin yang terdapat dalam Nicotiana

tabacum, Nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang bersifat adiktif

sehingga dapat mengakibatkan ketergantungan (PP RI No.19 Tahun 2003).

Kandungan nikotin bisa mencapai 0,3 sampai 5% dari berat kering tembakau yang

berasal dari hasil biosintesis di akar dan diakumulasikan di daun. Zat ini bersifat

karsinogen, dan mampu memicu kanker paru-paru. Nikotin merangsang bangkitnya

hormon adrenalin dari anak ginjal yang dapat menyebabkan:

1) Nikotin merangsang pelepasan catecholamine yang bisa meningkatkan

denyut jantung.

2) Meningkatkan tekanan darah serta kadar kolesterol dalam darah,yang erat

kaitannya dengan terjadinya serangan jantung.

3) Meningkatkan kadar kolesterol dalam darah.

Page 13: Penyuluhan Rokok

Nikotin diterima oleh reseptor asetilkolin-nikotinik yang kemudian

membaginya ke jalur imbalan dan jalur adregenik. Pada jalur imbalan, perokok akan

merasakan rasa nikmat, memicu sistem dopaminergik. Hasilnya perokok akan merasa

lebih tenang, daya pikir serasa lebih cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar.

Sementara di jalur adrenergik, zat ini akan mengaktifkan sistem adrenegik pada

bagian otak lokus seruleus yang mengeluarkan serotonin. Meningkatnya serotonin

menimbulkan rangsangan rasa senang sekaligus keinginan untuk mencari rokok lagi

(Tineke, 2002).

b. Tar

Tar adalah senyawa polinuklir hidrokarbon aromatika yang bersifat karsinogenik. Tar

mengandung ratusan zat kimiawi yang kebanyakan bersifat karsinogenik. Pada saat

rokok dihisap, tar masuk ke dalam rongga mulut sebagai uap padat. Setelah dingin

akan menjadi padat dan membentuk endapan berwarna cokelat pada permukaan gigi,

saluran pernapasan, dan paru-paru. Pengendapan ini bervariasi antara 3-40 mg per

batang rokok, sementara kadar tar dalam rokok berkisar 24-45 mg (Jaya, 2009). Tar

dan asap rokok merangsang jalan napas dan tar tersebut tertimbun di saluran napas

yang menyebabkan:

1) Batuk-batuk atau sesak napas

2) Tar yang menempel di jalan napas dapat menyebabkan kanker paru-paru,

lidah atau bibir.

c. Karbon monoksida

Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat

darah tidak mampu untuk mengikat oksigen (Jaya, 2009). CO merupakan 1-5% dari

asap rokok. Zat ini mengusung oksigen dalam darah (eritrosit) dan membentuk

karboxihaemoglobin. Seorang perokok akan mempunyai karboxihaemoglobin lebih

tinggi dari orang normal, sekitar 2-15%. Pada orang normal karboxihaemoglobin

hanya sekitar 0,5-2%. Selain itu CO merusak dinding arteri yang pada akhirnya dapat

Page 14: Penyuluhan Rokok

menyebabkan atheroscelorosis dan penyakit jantung koroner. CO juga merusak bayi

dalam kandungan. Keracunan CO tidak akan terjadi pada seorang perokok dalam

jangka waktu lama, karena pengaruh rokok tidak langsung mempengaruhi perokok

secara langsung, tetapi secara perlahan- lahan (Bustan, 2007).

Beberapa jenis racun yang terkandung dalam sebatang rokok diantaranya:

1) Aceton (bahan pembuat cat kuku)

2) Naftalen (bahan kapur barus)

3) Arsenik (racun semut)

4) Metanol (bahan bakar roket)

5) Vinyl chlorida (bahan plastic PVC)

6) Fenol butane (bahan bakar korek api)

7) Potassium nitrat (bahan baku pembuatan bom dan pupuk)

8) Polonium-201 (bahan radioaktif)

9) DDT (racun serangga)

10) Hidrogen sianida (gas beracun yang digunakan di kamar eksekusi

hukuman mati)

11) Cadmium (digunakan untuk aki mobil)

12) Uretan (gas anti jamur)

13) Nafthilamin dan Toludin (bahan pembuat cat)

14) Toluen (pelarut pada industri)

15) Butan (bahan bakar pematik api)

Efek racun yang ditimbulkan oleh rokok, perokok lebih berisiko dibanding yang tidak

menghisap asap rokok (Triswanto, 2007):

a. Berisiko 14x menderita kanker paru-paru, mulut, dan tenggorokan.

b. Berisiko 4x menderita kanker esophagus.

c. Berisiko 2x kanker kandung kemih.

d. Berisiko 2x serangan jantung.

2. Rokok dan Kesehatan

Page 15: Penyuluhan Rokok

Penyakit yang ditimbulkan dari kebiasaan merokok adalah sebagai berikut :

a. Jantung

Menyebabkan terjadinya penyempitan pembuluh darah dan peningkatan tekanan

darah, kenaikan penggunaan O2 serta peningkatan denyut jantung.

b. Otak

Menyebabkan stroke dan lumpuh.

c. Paru-paru

Menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru.

Hal ini dapat menyebabkab terjadinya Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)

termasuk emfisema, bronkitis kronis, batuk berdahak dan kanker paru-paru.

d. Bagi ibu hamil

Kelahiran bayi dengan berat badan kurang, keguguran, pendarahan, kematian bayi

sebelum lahir, kematian bayi sesaat setelah lahir.

Doll dan Hill dalam Hidayati (2006), dua orang peneliti dari Inggris membagi

hubungan antara penyakit dan kebiasaan merokok sebagai berikut:

a. Penyakit yang disebabkan oleh rokok yaitu kanker paru-paru,

kerongkongan, saluran napas, bronk itis kronik, dan emfisema.

b. Mungkin seluruhnya atau sebagian disebabkan oleh rokok, yaitu penyakit

jantung iskemik, aneurisma atau pelebaran aorta, kerusakan miokard

jantung, trombosis pada otak, arteriosklerosis, tuberkulosis, pneumonia,

ulkus peptikum, hernia dan kanker kandung kemih.

Hammond dan Horn, dua peneliti Eropa lain juga membagi hubungan antara

penyakit dan kebiasaan merokok, sebagai berikut:

a. Hubungan erat luar biasa, mengakibatkan kanker paru, tenggorokan,

kerongkongan, ulkus peptikum.

b. Hubungan sangat erat, mengakibatkan pneumonia, ulkus duodenum,

aneurisma aorta.

Page 16: Penyuluhan Rokok

c. Hubungan erat dapat mengakibatkan penyakit jantung koroner.

d. Hubungan sedang dapat menyebabkan penyakit pada otak.

Asap rokok dibagi menjadi dua, yaitu asap yang dihisap perokokb utama disebut

dengan “asap utama” (mainstream smoke) dan asap yang keluar dari ujung rokok

yang dihisap oleh orang sekitar perokok disebut “asap sampingan” (sidestream

smoke). Asap rokok yang dihisap oleh perokok pasif sangat berbahaya bagi

kesehatan, karena dihisap tanpa filter. Karena, konsentrasi gas dan komponen kimia

yang beracun mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk dihisap. Nikotin pada

fase gas akan lebih mudah terserap melalui mukosa, bukan mulut. Asap rokok tidak

hanya dihisap melalui mulut dan hidung, tapi juga akan lewat mata dan kulit sehingga

akibat nikotin pada kulit pada perokok pasif sama dengan yang terjadi pada perokok

aktif (Aditama, 1992).

B. Kebiasaan Merokok

Kebiasaan merupakan pola perilaku ya ng sering terjadi secara berulang-ulang

(Parwiyanto, 2009). Kebiasaan merokok dapat digolongkan beberapa macam, seperti:

1. Tipe perokok

Ada beberapa tipe perokok yang bisa digolongkan menjadi 3 berdasarkan

kemampuannya menghisap rokok dalam sehari:

a. Golongan perokok berat, yaitu apabila mereka mampu merokok dari 21-31

batang per hari atau lebih, dan selang waktu sejak bangun pagi berkisar antara

6-30 menit.

b. Perokok sedang biasanya mampu menghabiskan 11-21 batang dengan selang

waktu 31-60 menit setelah bangun pagi.

c. Perokok ringan menghabiskan rokok sekitar 10 batang dengan selang waktu

60 menit dari bangun pagi.

Page 17: Penyuluhan Rokok

Menurut Tomkins dalam Triswanto (2007), ada 4 tipe perilaku merokok

berdasarkan Management of Affect Theory, keempat tipe tersebut adalah:

a. Perasaan positif, dengan kebiasaan merokok ini seseorang akan merasakan

penambahan rasa yang positif. Menurut Green (dalam Psycological Factor in

Smoking, 1978) menambahkan ada 3 sub tipe kebiasaan merokok positif

yaitu:

1). Pleasure relaxation, perilaku merokok hanya untuk menambah atau

meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat, misalnya merokok setelah

minum atau makan.

2). Stimulation to pick them up. Perilaku merokok hanya dilakukan

sekedarnya untuk menyenangkan perasaan.

3). Pleasure of handling the cigarette. Kenikmatan yang diperoleh dengan

memegang rokok. Sangat spesifik pada perokok pipa. Perokok pipa akan

menghabiskan waktu untuk mengisi pipa dengan tembakau. Sedangkan untuk

menghisapnya hanya dibutuhkan waktu beberapa menit saja. Perokok lebih

senang berlama-lama untuk memainkan rokok dengan jari-jarinya sebelum ia

menyalakan api.

b. Perasaan negatif, orang akan menggunakan rokok untuk mengurangi perasaan

negatif misalnya bila ia marah, cemas, gelisah, rokok dianggap sebagai

penyelamat. Para perokok ini menggunakan rokok bila perasaan tidak enak

terjadi, sehingga terhindar dari perasaan yang lebih tidak enak.

c. Adiktif, perokok tipe ini oleh Green (dalam Psycological Factor in Smoking,

1978) disebut sebagai psychological addiction. Para perokok yang sudah

adiksi, akan menambah dosis rokoknya ketika efek dari rokok yang

dihisapnya berkurang.

d. Kebiasaan (habit), orang menggunakan alasan ini untuk membenarkan

kebiasaannya merokoknya yaitu karena kebiasaan. Jadi bukan karena mereka

ingin mengendalikan perasaannya, tetapi karena memang sudah menjadi

Page 18: Penyuluhan Rokok

kebiasaan rutin. Dapat dikatan bahwa sudah menjadi perilaku otomatis, karena

seringkali dilakukan tanpa dipikirkan dan tanpa disadari.

2. Berdasarkan tempat merokok

Tempat merokok dapat mencerminkan pola perilaku perokok. Berdasarkan

tempat-tempat seseorang menghisap rokok, dapat digolongkan atas:

a. Merokok di tempat-tempat umum,

1) Kelompok homogen, secara bergerombol mereka menikmati kebiasaannya.

Pada umumnya kelompok ini masih bisa menghargai orang lain, karena itu

mereka menempatkan diri di smoking area.

2) Kelompok heterogen, adalah perokok yang melakukan kebiasaan merokok

ditengah-tengah orang lain. Mereka yang melakukan kebiasaan ini

tergolong sebagai orang yang kurang etis dan tidak mempunyai tata krama.

b. Merokok di tempat-tempat pribadi

Mereka memilih tempat-tempat khusus untuk menyalurkan kebiasaan merokok

mereka, seperti di kantor atau di kamar tidur pribadi. Kelompok ini bisa

digolongkan sebagai individu yang kurang menjaga kebersihan diri. Mereka juga

bisa memilih toilet sebagai tempat merokok. Perokok jenis ini dapat digolongkan

sebagai orang yang suka berfantasi.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan merokok adalah:

a. Pengaruh orang tua

Menurut Baer dan Corado dalam Triswanto (2007) disebutkan bahwa golongan

usia remaja yang rentan terpengaruh kebiasaan merokok salah satunya berasal

dari suasana rumah tangga yang tidak bahagia, dimana sebagai orang tua kurang

memperhatikan anakanaknya dan suka memberikan hukuman secara fisik yang

terlalu keras. Remaja yang berasal dari keluarga konservatif yang menerapkan

nilai-nilai sosial dan agama dengan baik, jarang sekali terlibat dalam pergaulan

rokok atau obat-obatan dibandingkan dengan keluarga yang terlalu permisif

Page 19: Penyuluhan Rokok

dalam menerapkan suatu nilai–nilai sosial dan agama. Biasanya faktor paling

besar anak usia remaja mempunyai kebiasaan merokok adalah kebiasaan orang

tuanya sebagai figur. Anak pada usia remaja akan lebih cepat berperilaku

merokok pada ayah atau ibu yang juga seorang perokok.

b. Pengaruh teman

Semakin banyak remaja yang merokok maka kemungkinan besar semakin

banyak pula teman-temannya atau lingkungan sekitar mempunyai kebiasaan

merokok. Fakta tersebut ada dua kemungkinan terjadi, pertama anak terpengaruh

oleh teman yang juga perokok atau bahkan sebaliknya. Menurut Al Bachri

diantara remaja perokok terdapat 87% mempunyai sekurang-kurangnya satu atau

lebih sahabat yang juga perokok begitu pula dengan remaja bukan perokok.

c. Faktor kepribadian

Orang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin melepaskan

diri dari rasa sakit fisik atau jiwa, membebaskan diri dari kebosanan. Namun sifat

kepribadian yang bersifat prediktif pada pengguna obat-obatan (termasuk rokok)

adalah konformitas sosial. Orang yang memiliki skor tinggi pada berbagai tes

konformitas sosial lebih mudah dibandingkan dengan mereka yang memiliki skor

yang rendah.

d. Pengaruh iklan

Melihat iklan di media masa dan elektronik yang menampilkan gambaran bahwa

perokok adalah lambang kejantanan atau kemewahan, membuat remaja

seringkali terpicu untuk mengikuti perilaku yang ada dalam iklan tersebut.

C. Faktor Sosial Ekonomi

1. Pendidikan

Page 20: Penyuluhan Rokok

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga, Prevalensi perokok laki- laki berumur

20 tahun ke atas menurun dengan meningkatnya pendidikan. Secara nasional

prevalensi tersebut adalah sebagai berikut: 71,4% (tidak tamat SD), 64,7% (tamat

SD), 56,2% (tamat SMP), 46,7% (tamat SMA), 36,9% (Akademi atau Universitas)

(Suhardi, 1999). Menurut Murti (2005), di Belanda risiko dari kebiasaan merokok

adalah 2.20 lebih besar (OR= 2.20: CI 95%; 1,06 hingga 2,46) berada pada laki-laki

usia sekolah. Penelitian di Portugal (n= 629 remaja laki- laki) terlihat bahwa laki- laki

5-11 tahun usia sekolah mempunyai risiko merokok 0.87 lebih rendah (OR= 0.87: CI

95% 0,48 hingga 1,57) dibanding sebaya nya yang tidak bersekolah. Sedangkan

risiko untuk merokok pada laki- laki berumur 12 tahun pada usia sekolah adalah 0,81

lebih besar(CI=95%; 0,40 hingga 1,61) setelah mengendalikan beberapa faktor

perancu. Penelitian cross sectional di Beijing, China (n=2.201) dihasilkan hubungan

terbalik antara merokok dan pendidikan pada laki- laki remaja (p<0,01).

Teori Grossman (1972) dalam Murti (2005) “Demand for Health Capital”

menyebutkan, pendidikan merupakan faktor yang meningkatkan efisiensi produksi

kesehatan. Implikasinya, orang yang berpendidikan lebih tinggi memiliki permintaan

(demand) kesehatan lebih tinggi, sehingga memiliki status kesehatan yang lebih baik,

karena tahu cara yang lebih baik untuk menjadi sehat (misalnya, dengan tidak

merokok). Beberapa alasan pemerintah untuk mengendalikan tembakau yaitu

pendidikan merupakan analisis kritis dalam informasi mengenai perilaku terhadap

kesehatan, pendidikan rendah merupakan proporsi terbesar dalam kebiasaan

merokok.

2. Pendapatan

Laaksonen et al., (2003) menyatakan bahwa di Finlandia frekuensi merokok 1.52 kali

lebih rendah (OR 1.52: CI95% 1,27 hingga 1,83) pada remaja laki-laki berpendapatan

rendah daripada berpendapatan tinggi, setelah mengendalikan pendidikan dan status

sosial. Menurut Shapo et al., (2003) di Albania mencatat sebesar 0,70 lebih tidak suka

merokok (OR 0,70: CI95% 0,35 hingga 1,38) pada orang berpendapatan tinggi

daripada berpendapatan rendah, setelah mengendalikan umur, pendidikan dan

Page 21: Penyuluhan Rokok

pekerjaan. Implikasi lain dari teori Grossman tentang “Demand for Health Capital”,

orang dengan pendapatan lebih tinggi memiliki permintaan (demand) akan kesehatan

yang juga lebih tinggi (agar pendapatannya tidak berkurang). Orang yang

berpendapatan lebih tinggi akan menghindari perilaku tidak sehat (misalnya

merokok) untuk menjaga tingkat keseha tannya. Menurut penelitian Handayani

(2007), ada hubungan antara pendapatan dengan kebiasaan merokok.

3. Modal Sosial

Modal sosial pertama kali dikemukakan oleh Putnam (1995) dalam Murti

(2005) yang mendefinisikannya sebagai:

‘‘features of social organication such as networks, norms and social trust that

facilitate coordination and cooperation for mutual benefit’’. Artinya, modal sosial

adalah “karakteristik dari organisasi sosial seperti jejaring sosial, norma-norma, dan

kepercayaan sosial, yang memudahkan koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan

bersama”. Modal sosial merupakan sumber daya atau barang publik yang terdapat

pada level komunitas. Jadi menurut Putnam, modal sosial merupakan variabel yang

terukur pada level masyarakat.

Berbeda dengan Putnam, Bourdieu (1986) dalam Murti (2005)

mendefinisikan modal sosial sebagai: ‘‘the aggregate of the actual or potential

resources which are linked to possession of a durable network of more or less

institutionalised relationships of mutual acquaintance and recognition’’. Artinya,

modal sosial adalah “kumpulan sumber daya, baik yang sebenarnya atau potensial,

sehingga individu-individu memiliki jejaring jangka panjang tentang hubungan yang

terlembagakan untuk saling mengenal dan memberi pengakuan. Jadi menurut

Bourdieu, modal sosial

merupakan sumber daya yang terkumpul pada individu- individu sebagai hasil

hubungan atau keanggotaannya dalam jejaring sosial. Sedangkan menurut Ziersch

(2005) mendefinisikan modal sosial sebagai: “the social infrastructure, such as

networks and values, that facilitates the exchange of social resources between

Page 22: Penyuluhan Rokok

individuals, and the sum of resources available to those individuals through this

infrastructure”. Artinya, modal sosial adalah “infra-struktur sosial, seperti jejaring

dan nilai-nilai, yang memudahkan pertukaran sumber daya sosial antar individu-

individu, dan jumlah sumber daya yang tersedia untuk individu-individu tersebut

karena adanya infrastruktur tersebut”.

Penelitian Lindstrom (2004) di Swedia menemukan bahwa modal sosial

(dalam hal ini partisipasi sosial) berbanding terbalik dengan kebiasan merokok harian

(daily smoking). Komunitas perokok yang disebut “miniaturisation of the

community”, yakni partisipasi sosial tinggi dan tingkat kepercayaan rendah,

berhubungan positif dengan kebiasan merokok kadang-kadang (intermittent smoking,

occasional smoking). Lindstrom berpendapat, partisipasi sosial tidak selalu

meningkatkan perilaku terkait kesehatan secara positif. Ketika partisipasi tinggi

dipadukan dengan tingkat kepercayaan rendah, maka akan dihasilkan perilaku terkait

kesehatan yang merugikan kesehatan, dalam hal ini kebiasaan merokok. Terdapat

beberapa kemungkinan pengaruh modal sosial terhadap kebiasaan merokok:

a. Struktur sosial yang stabil dan tingkat migrasi yang rendah meningkatkan

berbagai aspek modal sosial seperti partisipasi sosial, jejaring sosial, dan

kepercayaan sosial.

b. Sebaliknya, konflik sosial melemahkan ikatan sosial dan jejaring sosial,

meningkatkan kemungkinan orang memiliki perilaku tidak sehat (misalnya,

merokok).

c. Sejumlah karakteristik struktur sosial di sebuah komunitas dapat juga

memberikan efek negatif terhadap modal sosial, partisipasi sosial, dan

perilaku terkait kesehatan seperti merokok. Contoh: Toleransi rendah

terhadap minoritas pada sebuah komunitas dengan jejaring sosial yang kuat

merupakan “sisi gelap modal sosial”, sehingga berefek buruk bagi perilaku

terkait kesehatan kelompok minoritas.

Page 23: Penyuluhan Rokok

Hingga saat ini belum ada studi di negara berkembang yang mempublikasikan

hubungan antara perilaku merokok dan modal sosial. Modal sosial merupakan

variabel yang melekat pada masyarakat. Dengan demikian modal sosial tergantung

pada karakteristik masyarakat. Implikasinya, hubungan antara modal sosial dan

perilaku merokok bersifat spesifik menurut konteks (context-specific) masyarakat

(Murti, 2005).

4. Umur

Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (1995), umur mulai merokok yang

terkecil adalah 5 tahun, sebagian pada umur 10-14 tahun, sebagian besar pada umur

15-20 tahun, sebagian lagi pada umur 21-25 tahun, sebagian kecil pada umur 26-30

tahun. Prevalensi meningkat sejalan dengan meningkatnya umur, terutama pada umur

muda. Usia remaja merupakan usia yang rentan terhadap bujukan untuk mulai

merokok (Suhardi, 1999).

Menurut Murti (2005) umur di atas median (45 tahun) sama dengan 42 persen

mengalami penurunan dalam merokok daripada umur di bawah median (OR 0,58,

CI=95%; 0,47-0,71). Tetapi umur berakibat tidak sesuainya hakekat dalam kuantitas

konsumsi rokok. Selanjutnya hasil penelitian lain, contohnya pada suatu penelitian

(n=629 laki- laki) di Portugal mencatat risiko kebiasaan merokok (OR 0,19, CI=

95%; 0,05- 0,69) pada laki-laki dewasa umur 70 tahun ke atas (usia lanjut)

dibandingkan umur 18 sampai 29 tahun (usia remaja)

D. Karekteristik Perilaku Merokok di Rural dan Urban

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1995 dan 2001 menunjukkan

bahwa persentase penduduk yang merokok di pedesaan lebih tinggi dibandingkan di

perkotaan. Propinsi dengan persentase penduduk pedesaan yang merokok paling

tinggi berturut-turut adalah Lampung (325), Jawa Barat (31%), Kalimantan Barat

(31%), dan Bengkulu (30%). Propinsi dengan persentase penduduk perkotaan yang

paling tinggi adalah Jawa barat, NTB, dan Lampung. Lampung dan Jawa Barat juga

Page 24: Penyuluhan Rokok

menjadi propinsi dengan persentase penduduk yang paling tinggi secara nasional,

sedangkan paling rendah adalah Bali (Gustiana, 2007). Menurut SKRT (1995)

disebutkan juga bahwa usia untuk memulai kebiasaan merokok sedikit lebih dini di

pedesaan dibandingkan dengan perkotaan (Suhardi, 1999).

Menurut Isnaini (2004) tidak ada hubungan antara tempat tinggal dengan

perilaku merokok remaja. Hal ini berarti tempat tinggal tidak mempengaruhi remaja

untuk merokok. Penelitian ini membuktikan bahwa remaja yang merokok tidak hanya

ditemukan di kota yaitu sebanyak 48,9% tetapi juga ditemukan remaja yang tinggal di

desa juga mempunyai persentase yang hampir sama 52,1% artinya tidak ada

perbedaan perilaku merokok remaja baik yang tinggal di kota maupun di desa. Kaprio

et al., (1989) dalam Murti (2005) mengemukakan, beberapa studi memperlihatkan

bahwa remaja yang tinggal di kota lebih cenderung untuk merokok. Hal ini

diakibatkan oleh pergeseran nilai- nilai yang ada di kota. Remaja kota beranggapan

merokok merupakan suatu hal ya ng biasa untuk menaikkan gengsi remaja walaupun

sebenarnya remaja tahu risiko apa yang akan di dapatkan bila merokok dan

menganggap mudah biaya yang akan mereka tanggung di masa depan. Menurut

SKRT melaporkan prevalensi merokok dalam satu bulan terakhir pada remaja Jawa

dan Bali umur 15-19 tahun adalah pada laki- laki di daerah urban 18,9% dan di

daerah rural 25,1%. Pada kelompok umur 20 tahun ke atas prevalensi merokok 1

bulan terakhir jauh lebih tinggi yaitu 68,3% di daerah urban dan 81,5% di daerah

rural Jawa Barat sedangkan di Bali 40,2% untuk daerah urban dan 43,9% untuk

daerah rural. Prevalensi merokok di daerah rural lebih besar daripada di derah urban.

Menurut Sunardi (1999), bahwa prevalensi perokok laki- laki daerah urban

lebih rendah daripada daerah rural dan prevalensi perokok perempuan daerah urban

lebih rendah daripada daerah rural. Selanjutnya dikemukakan bahwa proporsi

perokok laki-laki tiap hari umur 20 tahun ke atas 11-20 batang/hari dan 21+

batang/hari di daerah urban lebih tinggi daripada daerah rural dan proporsi perokok

perempuan tiap hari umur 20 tahun ke atas 11-20 batang/hari dan 21+ batang/hari di

daerah urban lebih tinggi daripada daerah rural. Prevalensi merokok menurun dengan

Page 25: Penyuluhan Rokok

meningkatnya pendidikan di daerah rural dan urban. Prevalensi mulai menurun di

daerah urban setelah pengeluaran anggota rumah tangga per bulan di atas Rp

1.000.000,00.

Page 26: Penyuluhan Rokok

ROKOK ITU NARKOBA

Rokok adalah pintu gerbang bagi narkoba. Lebih spesifik lagi, rokok itu

sendiri sebenarnya termasuk ke dalam definisi narkoba. Ya, di tengah maraknya

kampanye anti-narkoba di masyarakat, ternyata tidak banyak yang menyadari hal ini.

Merokok kini tidak lagi merupakan masalah kesehatan melulu, tetapi sudah memiliki

kompleksitas tersendiri.

Di dalam pengertian Narkoba termuat 3 kelompok zat aktif yaitu Narkotika,

Psikotropika dan Bahan Adiktif lainnya. Rokok bersama dengan alkohol termasuk ke

dalam kelompok yang terakhir. Nikotin yang merupakan salah satu komponen dari

rokok merupakan zat psikotropika stimulan. Jadi sesungguhnya rokok itu adalah

narkoba juga. Oleh karena itu, rokok pun memiliki sifat-sifat utama layaknya narkoba

lain yaitu habituasi, adiksi dan toleransi. Habituasi adalah suatu perasaan rindu, terus

menerus melintas di pikiran untuk menggunaan zat, sehingga seseorang akan terus

berkeinginan menggunakan zat tersebut saat berkumpul dengan sesama teman

pemakai. Sedangkan adiksi merupakan dorongan kompulsif untuk menggunakan

suatu zat diserta tanda-tanda ketergantungan.

Ketergantungan itu sendiri dapat berupa ketergantungan psikis (psychological

dependence) maupun ketergantungan fisiologis (physiological dependence).

Ketergantungan psikis merupakan kompulsi penggunaan zat untuk memenuhi

kebutuhan psikologis, seperti untuk menghadapi stress. Sedangkan ketergantungan

fisiologis berarti proses perubahan fungsional tubuh sedemikian rupa dikarenakan

paparan rutin terhadap zat. Toleransi adalah contoh bentuk ketergantungan fisiologis,

yaitu seiring bertambahnya waktu penggunaan maka pemakaian zat berikutnya

diperlukan dosis yang lebih besar dari sebelumnya untuk mencapai efek kenikmatan

yang sama. Toleransi inilah yang akan membuat seorang perokok, dan pemakai

narkoba lainnya, terus menambah jumlah batang rokok yang dihisapnya dari waktu

ke waktu.

Page 27: Penyuluhan Rokok

Rokok merupakan narkoba termurah dan dijual bebas. Dengan selembar uang

Rp 1.000,00 seseorang sudah mampu mendapatkan sebatang rokok yang mengandung

4.000 macam zat kimia. Tidak ada satupun produk farmasi yang berisikan 4.000

macam zat kimia dapat dibeli dengan harga sedemikian murah. Oleh karena itu,

siapapun mudah memperoleh sebatang rokok, dari mereka yang usia tua maupun

anak sekolah dasar. Selain itu rokok juga memberikan kenikmatan, walaupun

sementara, dan hal ini lah yang menjadi magnet bagi pribadi-pribadi labil yang tidak

puas akan kenyataan hidup ini atau bagi para remaja sebagai teman setia saat kumpul-

kumpul.

Jadi tidak perlu heran jika merokok telah menjadi kebiasaan buruk yang

popular di masyarakat. Berdasarkan laporan Breslau dkk (2001), 1 dari 4 orang

dewasa di Amerika Serikat memiliki ketergantungan terhadap nikotin, walaupun

belakangan ini popularitas merokok di kalangan remaja Negeri Paman Sam terus

melorot. Penduduk Indonesia sendiri merupakan salah satu konsumen rokok terbesar

di dunia, serta memiliki produksi rokok yang tidak kalah besarnya pula. Fakta ini

membuat berbagai perusahaan rokok asing, seperti Philip Morris, berebut pangsa

pasar di negeri ini.

Dan akhirnya seiring impor rokok dan investasi dari negara maju yang

semakin masif, penyakit-penyakit terkait dengan rokok juga diimpor. Penyakit

kardiovaskular dan kanker (terutama kanker paru) sekarang ini menduduki tangga

teratas penyebab kematian di Indonesia, menggeser berbagai penyakit infeksi. Ada

beberapa tahapan yang dialami seorang perokok hingga menjadi tahap

ketergantungan. Tahap pertama adalah eksperimental atau coba-coba. Mereka mulai

menghirup rokok untuk mencari ketenangan, energi lebih dan pelarian dari stress

sehari-hari. Pada tahap ini seorang perokok merasa yakin masih dapat mengontrol

kebiasaannya untuk merokok.

Pada tahap selanjutnya, yaitu penggunaan rutin, perokok mulai dikendalikan

oleh efek dasyat nikotin. Pada tahap ini penyangkalan memainkan peranan penting.

Perokok akan menyangkal bahwa ia tidak dapat mengendalikan lagi kebiasaannya

Page 28: Penyuluhan Rokok

merokok, menyangkal bahwa kebiasaannya itu dapat menimbulkan berbagai penyakit

fatal. Sebenarnya ia mengetahui bahaya-bahaya merokok, tetapi kenikmatan semu

tersebut telah terlanjur menutupi kecemasan dan akal sehatnya. Dengan penyangkalan

ini, maka tidak heran kampanye anti-rokok yang mengusung berbagai bahaya

merokok bagi kesehatan menjadi mentah.

Tahapan terakhir adalah ketergantungan, di mana rokok sudah menjadi

sahabat setia perokok setiap waktu, dan tanpanya, perokok akan mengeluh berbagai

macam kesengsaraan dari mulut pahit hingga demam. Dan selanjutnya, ia pun akan

merokok lagi, bukan sekedar mencari kenikmatan seperti tahapan awal melainkan

untuk menghindarkan diri dari kesakitan withdrawal. Menilik bahwa rokok berawal

dari coba-coba, rasa ingin tahu maupun rasa setia kawan, maka tidaklah berlebihan

untuk mengatakan bahwa pribadi perokok adalah rentan juga terhadap narkoba

lainnya. Rokok adalah pintu gerbang kepada narkoba lainnya. Kematian dikarenakan

penyakit-penyakit terkait rokok adalah lebih besar daripada kematian karena narkoba

jenis lainnya. Biaya negara untuk merawat penduduknya yang menderita penyakit-

penyakit terkait dengan rokok juga lebih besar dibandingkan pendapatan dari pajak

rokok.

Celakanya rokok adalah satu-satunya narkoba yang dapat menyerang orang

yang tidak turut menggunakannya. Beberapa penelitian telah menyebutkan bahwa

perokok pasif memiliki resiko yang kurang lebih sama dengan perokok aktif untuk

menderita penyakit jantung koroner, saluran napas, katarak dan bahkan kanker paru.

Sehingga tidak disangsikan bahwa rokok lebih berbahaya dibandingkan narkoba jenis

lainnya. Merokok bukanlah sekedar permasalahan kesehatan, tetapi melibatkan pula

segi politik, bisnis, sosial-pergaulan, psikologis maupun kemiskinan. Walaupun telah

diketahui resiko dari rokok sedemikian besar, adalah mustahil untuk melarang pabrik

rokok untuk beroperasi. Industri rokok adalah tempat perputaran uang yang hebat

berupa lapangan kerja serta penyumbang pajak terbesar bagi negara. Beberapa orang

terkaya di negeri ini berasal dari industri rokok. Rokok sudah lama menjadi sponsor

utama berbagai program olahraga, terutama sepak bola yang sangat popular di

Page 29: Penyuluhan Rokok

masyarakat. Iklan rokok selalu menampilkan sosok pria yang maskulin dan jiwa

petualang sehingga mampu merebut hati para remaja yang memang masa penuh

mimpi untuk menjadi idola. Dengan demikian, apalah artinya himbauan kecil bahaya

merokok bagi kesehatan yang tertera di bungkus rokok dibandingkan iklan rokok

yang begitu megah. Hal inilah yang menjadikan rokok sebagai salah satu narkoba

yang ‘dilegalkan’. Bahkan selama ini ketika kasus narkoba terus bergejolak, rokok

selalu terabaikan sebagai akar masalah narkoba. Bagaimana mungkin kita hendak

melenyapkan ilalang tanpa mencabut akarnya? alaupun rokok dibentengi dengan

kokoh oleh unsur politik dan bisnis, bukan berarti upaya memerangi rokok harus

terhenti di tengah jalan. Upaya kampanye anti-rokok harus terus menerus digalakkan,

namun dengan berbagai pendekatan lain. Selama ini pendekatan dengan

mengedepankan berbagai ancaman kesehatan sudah banyak dipakai, dan biasanya

kurang efektif. Tentu saja jarang seorang perokok berhenti merokok dikarenakan

ketakutannya akan berbagai penyakit tersebut kecuali jika ia memang telah

menderitanya. Yang terjadi adalah kenikmatan sementara dari asap rokok yang

mengebul telah membuat diri perokok tenang, tidak mencemaskan apapun, hidup

menjadi nikmat serta mengaburkan kekhawatiran akan masa depannya.

Pendekatan yang mungkin lebih efektif adalah dengan menekankan betapa

penting untuk menghentikan merokok demi menyelamatkan orang-orang yang

disayangi seperti istri atau anak perokok dari bahaya sebagai perokok pasif. Selain itu

saat ini telah tersedia obat-obat pengganti nikotin seperti varenicline, hal ini mungkin

menjanjikan, tetapi bisa juga hanya sekedar pergeseran dari satu bentuk

ketergantungan kepada ketergantungan lainnya. Belum lagi masalah biaya yang

pastinya mahal karena produksi obat ini masih dipegang swasta. Larangan merokok

di tempat umum seperti yangt tertuang pada Peraturan Daerah (Perda) No 2 Tahun

2005 tentang Penanggulangan Pencemaran Udara (PPU) di DKI Jakarta sebenarnya

adalah upaya positif, namun sayangnya kenyataan di lapangan tidak berjalan

sebagaimana semestinya. Permasalahan rokok harus terus ditangani serius oleh

berbagai pihak, dalam skala makro maupun mikro, seserius dengan slogan-slogan

Page 30: Penyuluhan Rokok

MENANGANI MASALAH ROKOK PADA REMAJA

Masalah tersebut perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak

mengingat remaja merupakan calon penerus generasi bangsa.

Ditangan remajalah masa depan bangsa ini digantungkan. Terdapat

beberapa cara yang dapat dilakukan dalam upaya untuk mencegah

semakin meningkatnya masalah yang terjadi pada remaja, yaitu

antara lain :

Peran Orangtua :

Menanamkan pola asuh yang baik pada anak sejak prenatal dan

balita

Membekali anak dengan dasar moral dan agama

Mengerti komunikasi yang baik dan efektif antara orangtua –

anak

Menjalin kerjasama yang baik dengan guru

Menjai tokoh panutan bagi anak baik dalam perilaku maupun

dalam hal menjaga lingkungan yang sehat

Menerapkan disiplin yang konsisten pada anak

Hindarkan anak dari NAPZA

Peran Guru :

Bersahabat dengan siswa

Menciptakan kondisi sekolah yang nyaman

Memberikan keleluasaan siswa untuk mengekspresikan diri

pada kegiatan

ekstrakurikuler

Menyediakan sarana dan prasarana bermain dan olahraga

Meningkatkan peran dan pemberdayaan guru BP

Meningkatkan disiplin sekolah dan sangsi yang tegas

Page 31: Penyuluhan Rokok

Meningkatkan kerjasama dengan orangtua, sesama guru dan

sekolah lain

Mengadakan kompetisi sehat, seni budaya dan olahraga antar

sekolah

Menciptakan kondisi sekolah yang memungkinkan anak

berkembang

secara sehat dalah hal fisik, mental, spiritual dan sosial

Peran Pemerintah dan masyarakat :

Menghidupkan kembali kurikulum budi pekerti

Menyediakan sarana/prasarana yang dapat menampung

agresifitas anak

melalui olahraga dan bermain

Menegakkan hukum, sangsi dan disiplin yang tegas

Memberikan keteladanan

Lokasi sekolah dijauhkan dari pusat perbelanjaan dan pusat

hiburan

Peran Media :

Sampaikan berita dengan kalimat benar dan tepat (tidak

provokatif)

Adanya rubrik khusus dalam media masa (cetak, elektronik)

yang bebas

biaya khusus untuk remaja

Page 32: Penyuluhan Rokok

REMAJA DAN PERILAKU HIDUP SEHAT

Remaja yang bersikap hidup sehat adalah remaja:

1. Mengerti tujuan hidup

2. Memahami faktor penghambat maupun pendukung perkembangan

kematangannya.

3. Bergaul dengan bijaksana

4. Terus menerus memperbaiki diri

Dengan demikian remaja dapat diharapkan menjaga remaja

yang handal dan sehat. emaja harus mengetahui dirinya memiliki

kekhawatiran dan harapan, dengan kata lain remaja harus mengerti

dirinya sendiri. Faktor yang berkembang pada setiap remaja antara

lain fisik, intelektual,emosional, spiritual. Kecepatan perkembangan

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Fisik 35%

2. Intelektual 20%

3. Emosional 30%

Page 33: Penyuluhan Rokok

4. Spiritual 15%

Faktor fisik berkembang secara tepat sedangkan faktor lainnya

berkembang tidak sama besar. Perkembangan yang tidak seimbang

inilah yang menimbulkan kejanggalan dan berpengaruh terhadap

perilaku remaja. Bagaimana seseorang remaja melihat dirinya sendiri,

orang lain serta hubungannya dengan orang lain termasuk orang tua

dan pembina? Kadangkadang ia ingin dianggap sebagai anak-anak,

orang dewasa, orang lain dianggap sebagai orang tua, teman.

Hubungan dirinya dengan orang lain dianggap bersifat:

1. Otoriter ------- demokratis

2. Tertutup ------- terbuka

3. Formal ------- informal

Semua tersebut di atas dalam keadaan "dalam perjalanan

menuju" Sehingga dapat dilihat segalanya masih dalam proses dan

tidak berada dalam kutub atau masa

anak-anak ataupun kutub atau masa dewasa. "Dalam perjalanan

menuju" ini yang menonjol adalah:

1. Fisik yang kuat

2. Emosi yang cepat tersinggung

3. Sering mengambil keputusan tanpa berfikir panjang

4. Pertimbangan agama, falsafah, ataupun tatakrama hanya

kadang-kadang

saja dipakai

Dan "Dalam perjalanan menuju" yang paling penting

diketahui oleh remaja adalah bagaimana remaja dapat berproses :

1. Menuju fisik yang ideal

2. Menuju emosi kelakian ataupun kewanitaan yang utuh

3. Menuju cara berfikir dewasa

Page 34: Penyuluhan Rokok

4. Menuju mempercayai hal-hal yang agamais, bersifat falsafah dan

bersifat

tatakrama

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, TY. 1992. Rokok dan Kesehatan. Jakarta: UI Press

Baskara, B. 2007. Rokok Bagian Kehidupan Sosial Masyarakat DIY. Diakses 1 April 2010. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0707/13/jogja/1039730.htm

Depkes. 2003. Fakta Tembakau Indonesia: Data untuk Penanggulangan Tembakau. Jakarta: Depkes

Page 35: Penyuluhan Rokok

Fahriza, F. 2009. Tatkala Rokok Menjadi Indikator Kemiskinan. Diakses 1 April 2010. http://www.prakarsarakyat.org/artikel/opini/artikel_cetak.php?aid=351

Gustiana, M. 2007. Gambaran Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Remaja Tentang Merokok Di SMP Muhammadiyah Imogiri Dan DI SMP Muhammadiyah 6 Yogyakarta. [skripsi]diakses tgl 1 April 2010 Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM (download)

Handayani, L. 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Praktek Merokok: Studi Kasus Pada Karyawan Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Buletin KesMas. Vol 1, No. 1, Januari 2007 1-50

Hidayati, UF. 2006. Persepsi Masyarakat Tentang Perilaku Merokok di Dusun Sendowo, Kelurahan Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. [skripsi] Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM

Isnaini, P. 2004. Struktur Keluarga dan Perilaku Merokok Pada Remaja: Analisis Data Sakerti 3 Tahun. [skripsi] Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM

Jaya, M. 2009. Pembunuh Berbahaya Itu Benama Rokok. Yogyakarta

Manshiro, DJ. 2008. Dampak Merokok Bagi Kesehatan. Diakses 1 April 2010. http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/kedokteran/dampakmerokok-bagi-kesehatan

Motik, F. 2008. Kibasan Tongkat Dewi Peri: Diakses 1 April 2010. http://www.idionline.org/artikel/74

Setiaji, B. 2007. Kebiasaan Merokok dan Kesehatan: Diakses 1 April 2010. http://www.promosikesehatan.com/?act=article&id=494

Suhardi. 1999. Perilaku Merokok di Indonesia Menurut Susenas dan SKRT 1995. Cermin Dunia Kedokteran No. 125. Hal:23-35

Tineke, A. Bahaya Merokok. Kompas, Minggu, 5 Mei 2009. diakses tgl 1 April 2010

Triswanto, SD. 2007. Stop Smoking. Yogyakarta: Progresif Books

http://www.news.id.finroll.com/news/14-berita-terkini/62714-____generasi-muda-perlu-tahu-bahaya-merokok____.pdf diakses tgl 1 April 2010

http://sophia.dagdigdug.com/archives/97/comment-page-19 diakses tgl 1 April 2010

Page 36: Penyuluhan Rokok