Perairan Tuna

  • Upload
    vic

  • View
    90

  • Download
    2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

makalah ikan tuna

Citation preview

  • TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERAIRAN

    FAKULTAS

    JURUSAN

    TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERAIRAN

    TUNA LOIN BEKU

    Disusun oleh :

    Victorinus Widya Yuwana

    D.141.13.0008

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

    UNIVERSITAS SEMARANG

    2014

    TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERAIRAN

    TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

  • PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Ikan tuna adalah salah satu jenis ikan ekonomis penting di dunia dan

    merupakan komoditi perikanan terbesar ketiga setelah udang dan ikan dasar. Ikan

    tuna memiliki harga yang relatif mahal dibandingkan harga komoditas ikan

    lainnya dengan permintaan terus meningkat. Salah satu penyebab tingginya harga

    ikan tuna adalah kegemaran orang-orang Jepang menyantap sushi dan sashimi

    yang terbuat dari daging ikan tuna segar dan menyebar ke negara-negara Eropa

    dan Timur Tengah (Perikanan Tuna, 2011).

    Ekspor tuna Indonesia terus mengalami peningkatan sejak 2009. Jika

    pada 2009 nilai ekspor tuna adalah sebesar 352 juta dolar AS dan meningkat

    menjadi 383 juta dolar AS pada 2010, pada 2011 ekspor tuna mencapai 499 juta

    dolar AS (Statistik ekspor hasil perikanan, 2012). Vulume ekspor komoditi

    perikanan tuna disajikan pada tabel 1.

    Tabel 1. Volume ekspor komoditi perikanan Tuna pada tahun 2009 2011

    Tahun Volume Ekspor (1.000 US$)

    2009 352.300

    2010 383.230

    2011 498.591

    Sumber : Statistik Ekspor Hasil Perikanan (2012)

    Ikan tuna merupakan salah satu komoditas perikanan utama Indonesia

    yang memiliki wilayah laut terluas di ASEAN. Indonesia sendiri diperhitungkan

    sebagai produsen utama tuna dunia. Berdasarkan data Organisasi Pangan Dunia

    (FAO), produksi tuna ASEAN mencapai 26,2 persen atau sebesar 1,7 juta ton.

    Produksi ikan tuna, cakalang, dan tongkol nasional pada 2011 sebesar 955.520 ton

    dengan tuna sendiri sebesar 230.580 ton (Suara Karya, 25 Juli 2012 hal. 6).

    Ikan tuna memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, adapun kandungan

    gizi pada ikan tuna adalah air 68,1%, protein 20,9%, lemak 9,4%, vitamin A 25

    IU/g, vitamin B 16000 42000 IU/g. Kaya asam lemak omega-3 yang dapat

    menurunkan kadar kolesterol darah dan menghambat proses

    terjadinya ateroklerosis (penyumbatan pembuluh darah). Asam lemak omega-

    3 juga mempunyai peran penting untuk proses tumbuh kembang sel-sel saraf,

  • termasuk sel otak, sehingga dapat meningkatkan kecerdasan, terutama pada anak-

    anak yang sedang mengalami proses tumbuh kembang (Hadiwiyoto, 1993).

    Pengembangan produk yang efisien dan produktif dari pengembangan

    produk bernilai tambah adalah dengan mengolah produk primer menjadi produk

    sekunder atau produk akhir yang berbeda, ini sejalan dengan kebijakan dalam

    penanganan pasca panen hasil perikanan yaitu peningkatan mutu dan

    pengembangan produk bernilai tambah. Strategi pengembangan produk bernilai

    tambah adalah dengan menambahkan pola produk primer yang menghasilkan

    produk sekunder atau produk akhir dengan menerapkan teknologi yang Nasional

    dan ramah lingkungan. Salah satu bentuk diversifikasi atau pengembangan nilai

    tambah produk tuna adalah pengolahan tuna loin beku.

    Cara yang sering dilakukan adalah dengan teknik pemotongan loin.

    Istilah loin Tuna menunjukkan model potongan produk Tuna ekspor. Loin Tuna

    sirip kuning berarti potongan memanjang ikan Tuna, terdiri atas sisi kiri atas,

    sisi kiri bawah, sisi kanan atas dan sisi kanan bawah, tidak termasuk kepala,

    tulang tengah dan ekor ikan. Keunggulan teknik loin adalah tidak membutuhkan

    waktu yang lama untuk proses pembuatannya, berbeda dengan teknik steak yang

    membutuhkan waktu lama dalam proses dikarenakan pemotongan bentuk daging

    ikan Tuna menjadi kecil (Junianto, 2003).

    penerapan sistem rantai dingin dan sanitasi hygiene dalam bisnis usaha

    perikanan diharapkan kesegaran ikan sejak ditangkap sampai ke tangan konsumen

    dapat dipertahankan, dapat mengurangi tingkat kerusakan ikan (losses),

    meningkatkan nilai jual ikan, mutu hasil olahan yang lebih baik, meningkatkan

    ekspor yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan

    nelayan (Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, 2007).

  • ISI

    2.1 Pengenalan Umum Tuna

    Menurut Junianto (2003), tuna merupakan salah satu jenis ikan yang

    berharga sangat mahal. Oleh karena itu, metode penangkapan tuna sangat penting

    artinya untuk mendapatkan nilai jual ikan tuna yang sangat tinggi. Penanganan

    dan pengolahan ikan tuna di atas kapal sangat penting untuk diketahui dan

    dipahami dalam upaya menjaga konsistensi kualitas produk. Untuk mendapatkan

    kualitas tuna yang baik, penanganannya sudah dimulai sejak dilakukan

    penangkapan. Pemahaman tentang biologi tuna akan mempermudah penanganan

    ikan tuna.

    2.1.1 Klasifikasi Tuna

    Menurut Junianto (2003) bahwa dalam sistem klasifikasi, tuna termasuk

    family Scombroidea dimana salah satu ciri dari ikan anggota Scombroidea yaitu

    kandungan asam amino bebas histidin yang tinggi.

    Menurut Saanin (1983 dalam Widiastuty (2007), ikan tuna diklasifikasikan

    sebagai berikut:

    Sub Phylum : Vertebrata

    Class : Teleostei

    Ordo : Percomorphi

    Sub ordo : Scombroidae

    Familia : Scombroidea

    Genus : Thunnus

    Species : Thunnus Albacores

    Thunnus Obesus

    Thunnus alalunga (albacore)

    Thunnus tongkol (longtail tuna)

    Thunnusmaccoyii (southern bluefin tuna)

    Menurut Tampubolon (1983), spesies tuna yang dianggap paling komersil

    adalah seperti pada Tabel 1 dibawah ini.

  • Tabel 1. Jenis Ikan Tuna dan Nama Perdagangannya.

    Nama Indonesia Nama Perdagangan Nama Latin

    Albakora Albacore Thunnus alalunga

    Abu-abu Selatan Southern bluefin Thunnus maccoyii

    Abu-abu Utara Northern bluefin Thunnus thynnus

    Cakalang Skipjack Katsuwonus Pelamis

    Madidihang Yellowfin Thunnus albacores

    Matabesar Bigeye Thunnus obesus

    Tongkol Little tuna Euthynnus affinis

    Tongkol pisang Frigated mackerel Auxis thazard

    2.1.2 Morfologi Tuna

    Umumnya badan ikan tuna tampak padat, silindris panjang. Mulutnya

    cukup lebar, posisinya terletak di muka sedikit di bawah matanya. Mempunyai

    gigi kecil dan runcing yang makin ke belakang makin kecil ukurannya. Matanya

    lebar, mempunyai dua sirip dorsal yang berdekatan, di belakang sirip dorsal yang

    kedua sampai ekornya terdapat 8-9 sirip-sirip kecil. Sirip-sirip demikian juga

    terdapat antara sirip anal dan ekornyadibagian bawah badan (Hadiwiyoto, 1993).

    Tuna mempunyai panjang antara 40 cm 200 cm dengan berat antara 3-

    130 kg. Tuna terbagi atas beberapa jenis seperti Yellow fin tuna, Albacore, Long

    tail tuna, Black fin tuna, dan Southern blue fin tuna. Sedangkan di Indonesia

    jenis-jenis yang tertangkap adalah Yellow fin tuna atau madidihang, Big eye tuna

    atau biasa di sebut tuna mata besar, Albacore, dan Southtern blue fin tuna

    (Tampubolon, 1983 dalam Novriyanti, 2007).

    2.1.3 Komposisi Daging Tuna

    Ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan

    lemak yang rendah. Ikan tuna mengandung protein antara 22,6 - 26,2 g/100 g

    daging. Lemak antara 0,2-2,7 g/100 g daging. Di samping itu ikan tuna

    mengandung mineral kalsium, fosfor, besi dan sodium, vitamin A (retinol), dan

    vitamin B golongan thiamin, riboflavin dan niasin (Departemen of Health

    Education and Walfare 1972 yang diacu Maghfiroh, 2000).

  • Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), komposisi kimia daging ikan

    tuna bervariasi menurut jenis, umur, kelamin dan musim. Perubahan yang nyata

    terjadi pada kandungan lemak sebelum dan sesudah memijah. Kandungan lemak

    juga berbeda nyata pada bagian tubuh yang satu dengan yang lain.

    Menurut Soenan (2004), bahwa semakin bertambah usia, kandungan

    lemaknya semakin tinggi. Ikan yang bermigrasi dalam kondisi buruk dapat

    menurunkan lemaknya. Pada masa setelah bertelur lemak ikan meninggi. Dan

    ikan yang tinggal di habitat yang kaya makanan banyak mengandung lemak.

    Untuk lebih jelasnya komposisi kimia ikan dapat dilihat pada Tabel 2.

    Tabel 2. Komposisi Kimia Ikan Tuna (%)

    Species Air Protein Lemak Karbohidrat Abu

    Bluefin 68,70 28,30 1,40 0,10 1,50

    Southern Bluefin 65,60 23,60 9,30 0,10 1,40

    Yellow Fin 74,20 22,20 2,10 0,10 1,40

    Skipjack 70,40 25,80 2,00 0,40 1,40

    Marlin 72,10 25,40 3,00 0,10 1,40

    Mackerel 62,50 19,80 16,50 0,10 1,10

    Sumber : Murniyati dan Sunarman (2000)

    2.2 Penurunan Mutu Ikan

    Setelah ikan ditangkap/dipanen dan mati, berbagai proses perubahan fisik,

    kimia dan organoleptik terjadi dengan cepat yang diakibatkan oleh reaksi kimia,

    enzim autolysis dan aktifitas mikroba. Semua proses perubahan ini akhirnya

    mengarah pada pembusukan. Tahap-tahap kemunduran kesegaran ikan adalah

    hiperaemia, rigor mortis, autolysis dan penyerangan bakteri. Fase yang terjadi

    pada ikan yang baru mengalami kematian disebut fase pre-rigor. Perubahan pada

    fase ini ditandai terlepasnya lendir dari kelenjar dibawah permukaan kulit ikan

    yang membentuk lapisan bening tebal di sekeliling tubuh (Zaitsev et al, 1969

    dalam Ditjen P2HP, 2008).

    Penurunan mutu pada ikan yang terjadi dapat meliputi perubahan oleh

    karena proses kimiawi, enzimatis, dan bakteriologis.

  • 2.2.1 Kemunduran Mutu Secara Kimiawi

    Kemunduran mutu secara kimiawi meliputi terjadinya proses oksidasi

    lemak. oksidasi ini terjadi karena enzim lipolitik mengurai lemak menjadi asam-

    asam lemak bebas dan gliserol, dimana proses yang terjadi adalah oto-oksidasi,

    lipolisis, dan lipoksida. Proses oto-oksidasi disebabkan oleh enzim

    hidroperoksida, lipolisis disebabkan oleh enzim-enzim hidrolase atau lipase, dan

    lipoksidasi disebabkan oleh enzim lipoksidase. Dan apabila pembongkaran lemak

    berlanjut maka akan menghasilkan senyawa-senyawa keton, dan aldehid.

    Sehingga lemak mengalami proses ketengikkan (Hadiwiyoto, 1993).

    2.2.2 Kemunduran Mutu Secara Enzimatis

    Selama ikan hidup, enzim ini menbantu proses metabolism makanan

    sehingga aktivitas enzim selalu menguntungkan bagi kehidupan ikan itu sendiri.

    Tetapi setelah ikan mati, sistem kerja enzim menjadi tidak terkontrol lagi,

    sehingga merusak tubuhnya sendiri, seperti dinding usus, daging, bagian tubuh

    lain, serta menguraikan senyawa yang semula kompleks menjadi senyawa lebih

    sederhana. Semua hasil penguraian enzim selama proses autolysis merupakan

    media yang sangat cocok untuk fase pertumbuhan bakteri (Sarmono, 2002).

    Autolisis adalah proses perombakan sendiri, yaitu proses perombakan

    jaringan oleh enzim yang berasal dari bahan pangan itu tersebut. Proses autolysis

    terjadi pada saat bahan pangan memasuki fase post rigor mortis. Ikan yang

    mengalami autolysis memiliki tekstur tubuh yang tidak elastis, sehingga apabila

    daging tubuhnya ditekan dengan jari akan membutuhkan waktu relatif lama untuk

    kembali kekeadaan semula. Proses autolisis dapat dipengaruhi oleh kondisi

    lingkungan di sekelilingnya. Suhu yang tinggi akan mempercepat proses autolysis

    ikan yang tidak diberi es (Afrianto, 2005).

    Autolysis belum dapat disebutkan pembusukan karena hasil hidrolisis

    protein dan lemak masih dapat dimakan manusia. Namun demikian, autolysis

    merubah struktur daging sehingga kekenyalannya menurun; daging menjadi

    lembek; terbagi menjadi lapisan-lapisan dan terpisah dari tulang. Kerusakan ini

    menyebabkan bagian perut sobek. Selain itu, pemecahan protein menghasilkan

    substrat yang disukai bakteri yang menyebabkan pembusukan (Murniyati dan

    Sunarman, 2000). Kecepatan autolisis tergantung pada suhu dan tidak dapat

  • dihentikan total, akan tetapi bisa diperlambat. Biasanya proses autolisis akan

    selalu diikuti dengan meningkatnya bakteri (Junianto, 2003).

    2.2.3 Kemunduran Mutu Secara Bakteriologis

    Fase perubahan selanjutnya setelah autolysis adalah perubahan yang

    disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme, terutama bakteri. Dalam keadaan

    masih hidup ikan dianggap mengandung bakteri, bahkan ada yang menyebutkan

    steril, walaupun sebenarnya pada tubuh ikan itu banyak dijumpai mikroorganisme.

    Ikan hidup memiliki kemampuan untuk mengatasi aktivitas mikroorganisme itu,

    sehingga tidak bermasalah bagi hidupnya (Sarmono, 2002).

    Dalam keadaan hidup ikan dianggap tidak mengandung bakteri yang

    bersifat merusak (steril), meskipun di dalam lendir yang melapisi badan dan

    didalam insang maupun sistim pencernaan terdapat banyak mikroorganisme

    (Moeljanto, 1992).

    Aksi bakteri ini dimulai pada saat yang hampir bersamaan dengan autolisis

    dan kemudian sejajar. Bakteri merusak lebih parah daripada kerusakan yang

    diakibatkan oleh enzim (Murniyati dan Sunarman, 2000).

    Selama ikan hidup, bakteri yang hidup dalam saluran pencernaan, insang

    saluran darah dan permukaan kulit tidak dapat merusak atau menyerang bagian-

    bagian tubuh ikan tersebut mempunyai batas pencegah (barier) terhadap

    penyerangan bakteri. Setelah ikan mati kemampuan barier tadi hilang sehingga

    bakteri segera masuk ke dalam daging ikan (Junianto, 2003).

    Daging ikan yang baru saja mati boleh dikatakan steril, tetapi sejumlah

    besar bakteri bersarang dipermukaan tubuh, insang dan didalam perutnya. Bakteri

    itu secara bertahap memasuki daging ikan, sehingga penguraian oleh bakteri

    mulai berlangsung intensif setelah rigor mortis berlalu, yaitu setelah daging

    mengendur dan celah-celah serat-seratnya terisi cairan (Murniyati dan Sunarman,

    2000).

    Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), untuk dapat hidup dengan baik,

    bakteri memerlukan suhu tertentu tergantung jenisnya. Ada tiga macam jenis

    bakteri bedasarkan ketahanan terhadap suhu, yang antaranya dapat dilihat pada

    Tabel 3.

  • Tabel 3. Kisaran Suhu Bagi Pertumbuhan Bakteri.

    Jenis Bakteri Suhu Minimum Suhu Optimum Suhu Maksimum

    Thermophylic

    Mesophylic

    Psycrophylic

    25 - 450C

    5 250C

    00C

    50 550C

    25 370C

    14 200C

    60 800C

    430C

    300C

    2.2.4 Histamin

    Histamin adalah senyawa yang terdapat pada famili ikan scromboidae

    atau lebih dikenal dengan tuna. Pada jenis ikan tuna yang memiliki dua jenis

    daging yaitu putih dan gelap justru daging-daging putihlah yang tinggi

    histaminnya sedangkan daging yang merah jauh lebih sedikit. Untuk konsumsi

    manusia, daging merah lebih aman daripada daging putihnya bila dipandang dari

    segi histamin. Mengapa daging merah justru kecil kandungan histaminnya, hal itu

    disebabkan daging merah tinggi kandungan 20 trimetil amina oksida (TMAO)

    yang berfungsi menghambat proses terbentuknya histamin. Histamin di dalam

    daging diproduksi oleh enzim yang menyebabkan meningkatnya pemecahan

    histidin melalui proses dekarboksilase (Winarno, 1993).

    Menurut Hadiwiyoto (1993), degradasi histidin yang dikatalis oleh enzim

    histidine dekarboksilase menjadi histamin. Senyawa histamin mungkin tidak

    berbau busuk, tetapi keberadaannya dalam daging ikan menjadi berbahaya.

    Senyawa histamin bersifat racun yang dalam beberapa hal menimbulkan

    keracunan yang disebut Scromboid Food Poisoning.

    Keberadaan histamin pada bahan pangan menandakan tingkat kemunduran

    mutu bahan tersebut. Pembentukan amina biogenic ini tergantung dari

    ketersediaan asam amino bebas, keberadaan dekarboksilase yang dikandung

    mikroorganisme (bakteri dengan enzim yang menyebabkan dekarboksilasi asam

    amino bebas) dan kondisi yang mendukung pertumbuhan mikroba dan aktifitas

    enzim (Putro, 2002 dalam Widiastuty, 2007).

    Meskipun enzim pemecah karboksil dapat berasal dari daging tubuh ikan

    sendiri, sebagian besar enzim pemecah tersebut dapat dihasilkan oleh mikroba

    yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan serta mikroba lain yang

    mengkontaminasi ikan dari luar. Di Amerika Serikat, khususnya oleh US-FDA

  • telah dikeluarkan pedoman kadar histamin dalam tuna, yaitu: 20 mg per 100 g

    menunjukkan indikasi penanganan yang tidak higienis pada beberapa tahap

    penanganan pasca tangkap dan 50 mg per 100 g menunjukkan bahwa ikan tuna

    tersebut telah membahayakan kesehatan konsumen bila dikonsumsi. Bagian depan

    tubuh ikan biasanya memiliki kadar histamin paling tinggi, dan terendah di bagian

    ekor (Winarno, 1993).

    Dari ratusan jenis bakteri yang diteliti ada tiga jenis yang mampu

    memproduksi histamin dari histidin dalam jumlah tinggi yaitu antara lain Proteus

    morganii, Enterobacter aerogeneses, Clostridium prefringens.

    Penyimpanan ikan pada kondisi refrigerasi sejak ikan ditangkap hingga

    dikonsumsi merupakan hal yang sangat penting untuk mengurangi kerusakan ikan

    dan menghindari terjadinya keracunan histamin. Suhu rendah mengontrol bakteri

    penghasil histamin selama ikan ditangani dan diolah (Public Health Divisin, 2002

    dalam Widiastuty, 2007).

    Selama pendinginan kadar histamin tidak mengalami perubahan, tetapi

    pada waktu pendinginan karena suatu hal tertunda sehingga menjadi 24 jam, maka

    kadar histaminnya akan meningkat, demikian juga jumlah bakteri akan meningkat

    100 kali lebih banyak, tetapi bila pendinginan dilakukan pada suhu 4oC selama 24

    jam tidak berpengaruh terhadap kadar histamin (Winarno,1993).

    Menurut Huss (1994) dalam Widiastuty (2007), bahwa apabila histamin

    telah terbentuk selama penanganan maka walau ikan tersebut dikalengkan atau

    dimasak pada suhu tinggi tidak akan merubah kadar histamin sehingga tetap

    potensial membahayakan manusia. Menurut Purnomo, Irianto dan Chasanah

    (1990) dalam penelitiannya, bahwa tuna memiliki kandungan histamin yang

    bervariasi sesuai dengan asalnya pada tubuh tuna dan lama penyimpanan.

    2.3 Tuna Loin

    2.3.1 Deskripsi Produk

    Tuna loin beku adalah suatu produk olahan hasil perikanan dengan bahan

    baku ikan tuna segar yang mengalami perlakuan sebagai berikut: sortasi,

    pemotongan kepala, sirip dan ekor, pencucian, pembuatan loin, pembuangan

    daging gelap, pembuangan kulit dan perapihan, pembekuan dengan atau tanpa

    penggelasan, pengepakan dan penyimpanan beku (Ditjenkan, 1993).

  • Menurut SNI 01-4104-2006, bahwa semua jenis tuna dapat dibuat menjadi

    produk tuna loin namun pada umumnya bahan baku tuna loin adalah yellowfin,

    bluefin, bigeye dan longfin.

    2.3.2 Proses Pengolahan Tuna Loin Beku

    Penanganan yang kasar dan ceroboh harus dicegah, saat dinaikkan ke atas

    kapal jangan terbentur benda keras, jangan terjatuh bengkok, dan tidak banyak

    kehilangan tenaga artinya tidak banyak berjuang keras menghadapi kematiannya

    yang dapat menjadi penyebab kerusakan mutu ikan segar karena proses rigor

    mortis yang berlangsung cepat (Murnyati dan Sunarman, 2000).

    Pengolahan bahan baku yang dilakukan secara cermat akan menghasilkan

    produk bermutu baik. Cara penanganan dan proses pengolahan bahan baku,

    penanganan, distribusi, dan pemasaran produk pangan berpengaruh terhadap mutu

    produk pangan yang dipasarkan (Afrianto, 2008).

    Tuna loin beku adalah tuna yang telah mengalami perlakuan sehingga

    suhu pusatnya maksimum -18oC, merupakan produk olahan hasil perikanan

    dengan bahan baku tuna segar atau beku yang mengalami perlakuan sebagai

    berikut: penerimaan, penyiangan atau tanpa penyiangan, pencucian, pembuatan

    loin, pengulitan dan perapihan, sortasi mutu, pembungkusan (wrapping),

    pembekuan, penimbangan, pengepakan, pelabelan dan penyimpanan. Standar

    mencakup klasifikasi, syarat bahan baku, bahan penolong dan bahan tambahan

    makanan, cara penanganan dan pengolahan, teknik sanitasi dan higiene, syarat

    mutu dan keamanan pangan, pengambilan contoh, cara uji, serta syarat penandaan

    dan pengemasan untuk tuna loin beku.

    (http://websisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/detail_sni/7576, 2010).

    Berdasarkan SNI 01-4104-2006 penanganan dan pengolahan tuna loin

    beku dibedakan menjadi dua berdasarkan kondisi bahan baku yang digunakan,

    yaitu bahan baku tuna segar dan bahan baku tuna beku

  • 2.3.2.1 Bahan Baku Tuna Segar

    Penerimaan

    Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik,

    untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati,

    cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4C.

    Menurut Ditjenkan (1993), Ikan terlebih dahulu dicuci untuk

    menghilangkan lendir atau kotoran yang menempel pada tubuh ikan tuna,

    kemudian disortasi menurut ukuran dan mutu. Ukuran tuna yang diterima untuk

    pengolahan tuna loin adalah yang berukuran 30 kg keatas, mutu tuna yang dapat

    diterima sebagai bahan baku loin adalah Warna daging kemerah-merahan seperti

    merah semangka untuk jenis Yellowfin tuna sedangkan untuk jenis Big eye tuna

    merahnya seperti bunga rose (dihindarkan warna daging ikan yang pucat/putih),

    Elastis atau daging masih kenyal tidak boleh pecah atau mudah hancur, dan

    kecerahan tuna bila diusap seperti kaca.

    Ukuran ikan menunjukkan besar kecilnya ikan. Pada umumnya ikan

    dikatakan besar apabila panjangnya melebihi ukuran 20 cm, sedangkan ikan

    dikatakan kecil apabila panjang ikan kurang dari 10 cm. Ukuran panjang

    keseluruhan seekor ikan adalah panjang yang diukur dari ujung mulut ikan sampai

    dengan ujung ekor ikan (Hadiwiyoto, 1993).

    Pemotongan Kepala, Sirip dan Ekor

    Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi

    dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat,

    cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap

    berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal 4,4C.

    Pemotongan dimulai dari bagian kepala, pisau kemudian diarahkan

    kebagian punggung sampai tepat pada tulang belakangnya, kemudian disayat pada

    bagian samping kiri kanan daging punggung dan perut yang selanjutnya dilakukan

    pembelahan dari pangkal kapala sampai pada inlet 3 dari pangkal ekor, searah

    dengan linea literalis sehingga bisa lepas (Ditjenkan, 1993).

    Pada saat ikan mati, enzim pencernaan yang ada dalam perut dan usus

    masih aktif. Jika usus dan alat pencernaan yang banyak mengandung enzim tidak

  • dibuang maka enzim ini akan memecah jaringan saluran pencernaan dan

    menghancurkan dinding perut (Junianto, 2000).

    Pencucian

    Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir

    secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk

    maksimal 4.4C.Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan sisa kotoran dan

    darah yang menempel di tubuh ikan sehingga bebas dari kontaminasi bakteri

    pathogen.

    Pencucian bahan pangan yang ditujukan untuk mengurangi populasi

    mikroba alami (flora alami) yang terdapat dalam bahan pangan, sehingga

    populasinya tidak berpengaruh pada proses selanjutnya. Pencucian dilakukan

    dalam air mengalir, bersih dan sudah didinginkan antara suhu 0-5oC (Afrianto,

    2008).

    Pembuatan Loin

    Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat

    bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat

    dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 4,4C. Pembuatan loin

    ini bertujuan untuk mendapatkan bentuk loin sesuai dengan ukuran yang

    ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen

    Pengulitan dan Perapihan

    Tahap berikutnya yaitu pembuangan kulit, dilanjutkan dengan merapihkan

    bentuk loin dan membuang lapisan lemak yang masih terdapat pada permukaan

    daging guna mencegah terjadinya kontaminasi.

    Sortasi Mutu

    Sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat

    tulang, duri, daging merah dan kulit secara manual. Sortasi dilakukan secara hati-

    hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4C.

    Menurut Afrianto (2008), sortasi pada bahan baku bertujuan untuk

    mendapatkan bahan baku ikan dengan jenis, ukuran dan mutu yang seragam.

    Pemisahan ini akan menjaga mutu bahan baku tetap baik. Dengan bahan baku

    bermutu baik akan dapat dihasilkan produk pangan dengan mutu yang relatif

    sama.

  • Menurut Ditjenkan (1997), sebelum dimasukkan ke dalam ruang

    pengolahan bahan baku harus diperiksa dan disortir dengan cara saniter hanya

    bahan baku yang memenuhi syarat kesegaran dan bersih yang boleh diolah.

    Pembungkusan (Wrapping)

    Loin yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual

    vakum dan tidak vakum secara cepat. Proses pembungkusan dilakukan secara

    cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal

    4,4C.

    Pembekuan

    Loin yang sudah dibungkus kemudian dibekukan dengan alat pembeku

    (freezer) seperti ABF, CDF, Brain hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal

    -18C dalam waktu maksimal 4 jam.

    Pembekuan adalah cara yang paling banyak digunakan untuk mengolah

    hasil perikanan. Keunggulan paling utama dibanding cara pengolahan yang lain

    adalah kemapuan pembekuan dalam mengawetkan bahan baku atau produk hasil

    perikanan tanpa harus merubah sifat asli produknya. Pendinginan adalah

    pengolahan dengan cara menurunkan suhu ikan mendekati titik beku. Kondisi ini

    menunda kegiatan biokomiawi dan bakteriologis dari bahan baku, sehingga dapat

    memperpanjang daya awet atau masa simpan produk. Pembekuan adalah suatu

    cara pengolahan dengan mengurangi suhu produk dari temperatur asal sampai

    mencapai -180C dan sebagian besar dalam tubuh telah berubah menjadi es

    (Soenan, 2002).

    Penimbangan

    Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah

    dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap

    mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18C. Tujuan dari penimbangan

    ini adalah mendapatkan berat loin yang sesuai dengan ukuran yang telah

    ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen.

    Pengepakan

    Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan

    plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter

  • sehingga melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi

    dan penyimpanan serta sesuai dengan label.

    2.3.2.2 Bahan Baku Tuna Beku

    Penerimaan

    Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik,

    untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati,

    cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal -18C. Dengan

    demikian akan didapatkan bahan baku yang bebas bakteri patogen dan memenuhi

    persyaratan mutu, ukuran dan jenis.

    Penyiangan Atau Tanpa Penyiangan

    Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi

    dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat,

    cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap

    berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal -18C. Penyiangan dilakukan

    bertujuan untuk mendapatkan ikan yang bersih, tanpa kepala dan isi perut serta

    mereduksi kontaminasi bakteri patogen.

    Pembuatan Loin

    Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat

    bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat

    dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18C

    Pengulitan dan Perapihan

    Tulang, daging hitam (dark meat) dan kulit yang ada pada loin dibuang

    hingga bersih. Pengkulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan

    saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18C

    Okada (1990) dalam Widiastuty (2007) menyatakan bahwa daging merah

    mengandung mioglobin dan hemoglobin yang bersifat prooksidan serta kaya akan

    lemak. Warna merah pada daging ikan disebabkan kandungan hemoproteinnya

    tinggi yang tersusun atas protein moiety, globin dan struktur heme. Di antara

    hemoprotein yang ada, mioglobin adalah hemoprotein yang terbanyak. Lebih 80%

    hemoprotein pada daging merah adalah mioglobin dan hemoglobin. Kandungan

    mioglobin pada daging merah ikan tuna dapat lebih dari 3.500 mg/100 g

  • (Watanabe, 1990). Hal ini yang menyebabkan mudahnya terjadi ketengikan pada

    daging merah ikan tuna.

    Pembekuan

    Loin yang sudah disusun dalam pan pembekuan, dibekukan dalam alat

    pembeku (Freezer) hingga suhu pusat ikan mencapai maksimum -18C secara

    cepat. Bertujuan untuk membekukan produk hingga mencapai suhu pusat

    maksimal -18C secara cepat dan tidak mengakibatkan pengeringan terhadap

    produk.

    Menurut Moeljanto (1992), proses pembekuan yaitu panas yang diambil

    diikuti dengan turunnya suhu produk dibekukan dan berubahnya sebagian kadar

    air yang terkandung dalam produk menjadi es.

    Penimbangan

    Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah

    dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap

    mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18C. tujuannya adalah untuk

    mendapatkan berat loin yang sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan dan

    bebas dari kontaminasi bakteri patogen.

    Pengepakan

    Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan

    plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter. Hal

    ini bertujuan untuk melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama

    transportasi dan penyimpanan serta sesuai dengan label.

    2.3.2.3 Penyimpanan

    Penyimpanan tuna loin beku dalam gudang beku (cold storage) dengan

    suhu maksimal -25C dengan fluktuasi suhu maksimal 2C. Penataan produk

    dalam gudang beku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi

    udara dapat merata dan memudahkan pembongkaran.

    Produk pangan yang sudah dihasilkan perlu ditangani secara baik agar tidak

    mengalami rekontaminasi, sehingga mutu produk pangan tetap terjaga sampai ke

    konsumen. Pengemasan merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya

    rekontaminasi. Pemilihan waktu untuk mengemas, jenis bahan pengemas, dan

  • kebersihan bahan pengemas sangat berpengaruh terhadap upaya pencegahan

    rekontaminasi (Afrianto, 2008).

    2.3.3 Persyaratan Bahan Baku

    Menurut SNI 01-4104-2006, bahan baku Tuna Loin Beku adalah semua

    jenis tuna yang dapat diolah untuk dijadikan produk berupa Tuna Loin Beku.

    Bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan,

    bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan,bebas dari sifat-sifat alamiah lain

    yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan, juga harus

    berasal dari perairan yang tidak tercemar serta secara organoleptik bahan baku

    tersbut harus mempunyai karateristik kesegaran sekurang-kurangnya sebagai

    berikut :

    Rupa dan warna : bersih, warna daging spesifik jenis tuna

    Bau : segar spesifik jenis, dan berbau rumput laut segar

    Rasa : manis spesifik jenis ikan tuna

    Konsistensi : elstis, padat dan kompak

    2.3.4 Persyaratan Mutu Tuna Loin Mentah Beku

    Persyaratan mutu tuna loin beku harus sesui dengan syarat mutu

    berdasarkan SNI 01-4104-2006, seperti yang terlihat pada Tabel 4.

    Tabel 4 . Standar Mutu Tuna Loin Beku

    JENIS UJI SATUAN PERSYARATAN

    Organoleptik Skala hidonik 1-9 Minimal 7

    Cemaran mikroba*:

    ALT

    Eschericia coli

    salmonella

    vibrio cholera

    Koloni/gram

    APM/gram

    APM/gram

    APM/gram

    5 x 105

  • Fisika :

    Suhu pusat

    oC

    Maksimal -18

    Parasit ekor Maksimal 0

    Catatan * bila diperlukan

    2.4 Penerapan Sistem Rantai Dingin

    Pengawetan ikan dengan suhu rendah merupakan suatu proses

    pengambilan/pemindahan panas dari tubuh ikan ke bahan lain. Adapula yang

    mengatakan bahwa pendinginan adalah pengambilan panas dari suatu ruangan

    yang terbatas untuk menurunkan dan mempertahankan suhu ruangan tersebut

    bersama isinya agar selalu lebih rendah daripada suhu diluar ruangan (Adawyah,

    2008).

    Menurut Sarmono (2002), besarnya pengaruh suhu terhadap daya awet

    ikan segar dapat dijelaskan antara lain, pada suhu 0oC ikan dapat awet selama 15

    hari, pada suhu 4,4oC ikan dapat awet selama 6 hari dan pada suhu 15,6oC ikan

    dapat awet hanya 3 hari.

    Pada suhu rendah (dingin dan beku), proses-proses biokimia yang

    berlangsung dalam tubuh ikan yang mengarah pada kemunduran mutu ikan

    menjadi lebih lambat. Selain itu, pada kondisi suhu rendah pertumbuhan bakteri

    pembusuk dalam tubuh ikan juga dapat diperlambat. Dengan demikian. Kesegaran

    ikan akan semakin lama dipertahankan (Junianto, 2003).

    Menurut Moeljanto (1992), penerapan rantai dingin ini dilakukan dengan

    pengusahaan suhu rendah sekitar 00C mulai dari tahap awal sampai akhir. Dengan

    mendinginkan ikan sampai sekitar 00C kita dapat memperpanjang masa kesegaran

    (daya simpan, shelf-life) ikan sampai 12-18 hari sejak saat ikan itu ditangkap dan

    mati, tergantung pada jenis ikan, cara penanganan dan keadaan pendinginannya,

    untuk ikan tuna yang ditangani dan didinginkan dengan baik sejak ditangkap,

    dapat bertahan sampai 21 hari sebelum dinyatakan tidak layak untuk dimakan

    manusia (Murniyati dan Sunarman, 2000). Menurut Ilyas (1993), kecepatan

    penurunan mutu kesegaran ikan sampai saat ikan menjadi busuk, dipengaruhi oleh

    suhu, semakin rendah suhu produk semakin awet kesegarannya dan semakin

    tinggi kadar awal bakteri bahan mentah sebelum dibekukan, relative akan besar

    pula jumlah bakteri yang tersisa sesudah pembekuan dan penyimpanan beku.

  • Menurut Muchtadi (1997) setiap bahan pangan mempunyai suhu yang

    optimum untuk berlangsungnya proses metabolisme secara normal. Suhu

    penyimpanan yang lebih tinggi dari suhu optimum akan mempercepat terjadinya

    proses pembusukan. Suhu rendah di atas suhu pembekuan dan di bawah 15oC

    efektif dalam mengurangi laju metabolisme. Suhu seperti ini diketahui sangat

    berguna untuk pengawetan jangka pendek. Setiap penurunan suhu 8oC

    menyebabkan laju metabolisme akan berkurang setengahnya. Menyimpan bahan

    pangan pada suhu sekitar -2oC sampai 10oC diharapkan dapat memperpanjang

    masa simpan bahan pangan. Hal ini disebabkan suhu rendah dapat memperlambat

    aktivitas metabolisme dan menghambat pertumbuhan mikroba. Selain itu juga

    mencegah terjadinya reaksi-reaksi kimia dan hilangnya kadar air dari bahan

    pangan.

    2.4.1 Pendinginan

    Pendinginan umumnya merupakan suatu metode pengawetan yang ringan,

    pengaruhnya kecil sekali terhadap mutu bahan pangan secara keseluruhan. Oleh

    sebab itu pendinginan seperti di dalam lemari es sangat cocok untuk

    memperpanjang kesegaran atau masa simpan sayuran dan buah-buahan. Sayuran

    dan buah-buahan tropis tidak tahan terhadap suhu rendah dan ketahanan terhadap

    suhu rendah ini berbeda-beda untuk setiap jenisnya. Sebagai contoh, buah pisang

    dan tomat tidak boleh disimpan pada suhu lebih rendah dari 13oC karena akan

    mengalami chilling injury yaitu kerusakan karena suhu rendah. Buah pisang yang

    disimpan pada suhu terlalu rendah kulitnya akan menjadi bernoda hitam atau

    berubah menjadi coklat, sedangkan buah tomat akan menjadi lunak karena

    teksturnya rusak (www.wordpress/munzir08.com, 2009).

    Pada prinsipnya pendinginan adalah mendinginkan ikan secepat mungkin

    ke suhu serendah mungkin, tetapi tidak sampai menjadi beku. Pada umumnya,

    pendinginan tidak dapat mencegah pembusukan secara total, tetapi semakin

    dingin suhu ikan, semakin besar penurunan aktivitas bakteri dan enzim. Dengan

    demikian melalui pendinginan proses bakteriologi dan biokimia pada ikan hanya

    tertunda, tidak dihentikan. Untuk mendinginkan ikan, seharusnya ikan diselimuti

    oleh medium yang lebih dingin dari-nya, dapat berbentuk cair, padat, atau gas.

    Pendinginan ikan dapat dilakukan dengan menggunakan refrigerasi, es, slurry ice

  • (es cair), dan air laut dingin (chilled sea water). Cara yang paling mudah dalam

    mengawetkan ikan dengan pendinginan adalah menggunakan es sebagai bahan

    pengawet, baik untuk pengawetan di atas kapal maupun setelah di daratkan, yaitu

    ketika di tempat pelelangan, selama distribusi dan ketika dipasarkan.

    Penyimpanan ikan segar dengan menggunakan es atau sistem pendinginan yang

    lain memiliki kemampuan yang terbatas untuk menjaga kesegaran ikan,

    biasanya1014 hari (Wibowo dan Yunizal, 1998).

    Menurut Irawan (1995), banyak cara yang dilakukan dalam pengawetan

    dengan pendinginan, diantaranya adalah dengan es (termasuk es kering dan es

    biasa), larutan garam dingin, udara dingin dan lain-lain.

    2.4.2 Pembekuan

    Pembekuan berarti mengubah kandungan cairan yang terdapat pada

    sebagian besar tubuh ikan itu menjadi es. Ikan akan mulai membeku pada suhu

    antara -0,6oC sampai -2oC, atau rata-rata pada -1oC. yang mula-mula membeku

    adalah air bebas (free water), disusul oleh air terikat (bound water). Pembekuan

    dimulai dari bagian luar, bagian tengah membeku paling akhir (Adawyah, 2008).

    Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), Pembekuan membutuhkan

    pengeluaran panas dari tubuh ikan. Prosesnya, terbagi atas tiga tahapan, yaitu

    - Pada tahap pertama suhu menurun dengan cepat hingga saat tercapainya titik

    beku (20oC hingga 0oC)

    - Kemudian, pada tahapan kedua suhu turun perlahan-lahan (0oC hingga

    mencapai -5oC)karena dua hal yaitu penarikan panas dari ikan bukan berakibat

    pada penurunan suhu, melainkan berakibat pada pembekuan air di dalam tubuh

    ikan dan terbentuknya es pada bagian luar dari ikan merupakan penghambat bagi

    proses pendinginan dari bagian-bagian di dalamnya. Pada tahapan ketiga, jika

    kira-kira bagian dari kandungan air sudah beku, penurunan suhu berjalan cepat

    kembali (dibawah -5oC)

    Waktu yang dibutuhkan ikan dalam pembekuan untuk melintasi tahapan

    kedua (0oC hingga -5oC ) disebut thermal arrest time. Berdasarkan panjang-

    pendeknya waktu ini, pembekuan dibagi menjadi dua, yaitu pembekuan cepat

    (quick freezing) yang tidak lebih dari dua jam dan pembekuan lambat (slow

    freezing atau sharp freezing) yang lebih dari dua jam.

  • Pembekuan cepat dan pembekuan lambat mempengaruhi besar dan

    kecilnya kristal es yang terbentuk. Semakin cepat pembekuan semakin kecil

    kristal es yang terbentuk, sebaliknya semakin lama pembekuan semakin besar

    kristal es yang terbentuk. Oleh karena itu, pada pembekuan lambat jika dicairkan

    kembali maka kristal yang mencair akan mendesak dan merusak susunan jaringan

    daging serta menimbulkan terjadinya drip yang cukup banyak. Dengan demikian,

    pembekuan lambat menghasilkan produk ikan bermutu rendah karena terjadinya

    denaturasi protein, khususnya pada suhu -1oC dan -2oC (Murniyati dan Sunarman,

    2000).

    Pembekuan adalah proses penurunan suhu bahan pangan sampai bahan

    pangan membeku, yaitu jika suhu pada bagian dalamnya paling tinggi sekitar

    -18oC, meskipun umumnya produk beku mempunyai suhu lebih rendah dari ini.

    Pada kondisi suhu beku ini bahan pangan menjadi awet karena mikroba tidak

    dapat tumbuh dan enzim tidak aktif. (www.wordpress/munzir08.com, 2009).

    Dalam melakukan pembekuan, baik yang dilakukan dilaut (kapal) maupun

    yang dilakukan di darat (perusahaan/pabrik pengawetan ikan), tata cara tidak

    berbeda. Proses pelaksanaan awalnya adalah memisahkan ikan menurut

    ukurannya. Jadi, antara ikan ukuran kecil, sedang dan besar tidak tercampur

    menjadi satu (Irawan, 1995).

    Blok-blok ikan harus mempunyai ukuran dan bentuk tertentu. Sistem

    pemberian etiket atau kode-kode warna harus dilakukan pada waktu yang memuat

    bahan baku untuk membantu identifikasi produk akhir. Bila dipakai alat pembeku

    yang horizontal, bahan baku harus dipak dalam pan pembeku atau alat lain agar

    didapatkan blok-blok ikan yang seragam. Bila digunakan alat pembeku plat yang

    vertikal, bahan baku harus dipak dengan baik diantara plat pembeku sehingga

    sedikit mungkin terdapat ruangan udara. Bila hasil perikanan dibekukan tanpa

    dibungkus terlebih dahulu, harus diatur dengan rapi dalam pan-pan

    aluminium,atau bahan-bahan lain yang sejenis (Ditjenkan,1997).

    Berdasarkan cara kerjanya, terdapat beberapa jenis alat-alat pembekuan

    antara lain sebagai berikut:

    a. Air Blast Freezing

  • Freezer ini memanfaatkan udara dingin sebagai refrigerant. Alat ini terdiri

    dari beberapa tipe, yaitu tipe ruangan, terowongan dan tipe ban berjalan (belt

    conveyor) (Hariadi, 1994).

    b. Contact Plate Freezing

    Contact Plate Freezer sangat cocok untuk membekukan produk-produk

    perikanan yang dikemas dalam kotak-kotak persegi, dengan bobot 1-4 kg. Pada

    pembekuan sistem ini, produk yang dibekukan dijepit di antara dua plat berongga

    yang diisi refrigerant (Hariadi, 1994).

    c. Immersion freezing

    Jenis freezer ini khusus digunakan untuk pembekuan ikan-ikan utuh

    seperti tuna (tongkol besar), udang dengan kepala. Cara pembekuannya yaitu

    dengan mencelupkan ikan kedalam larutan garam (NaCl) bersuhu -17oC atau

    dengan menyemprotkan ikan memakai brine dingin itu (Moeljanto, 1992).

    d. Cryogenic freezing

    Cryogenic freezer adalah jenis freezer yang menggunakan CO2 dan N2

    cair. Jenis freezer ini dapat menghasilkan suhu yang sangat rendah, yaitu 78oC

    untuk CO2 cair dan 196oC untuk N2 cair (Moeljanto, 1992).

    e. Pembekuan dengan IQF freezer

    Pembekuan dengan IQF (Individually Quick Frozen) freezer bertujuan

    agar tiap potong ikan atau udang menjadi beku tanpa menempel satu sama lain.

    Olahan ikan atau jenis makanan lain masuk ke dalam freezer dengan conveyor

    pada suhu 5-10oC dan keluar dalam keadaan beku dengan suhu -18o sampai -20oC,

    waktu pembekuan 20 menit sampai 45 menit tergantung pada ketebalan produk

    (Moeljanto, 1992).

    f. Sharp Freezing

    Pembekuan dengan Sharp freezer ini termasuk pembekuan secara lambat.

    Adapun cara pembekuannya adalah dengan meletakkan produk-produk pada

    sejumlah rak pendingin yang disusun secara horizontal. Rak-rak tersebut terdiri

    dari pipa-pipa pendingin, dengan menggunakan refrigerant Amonia atau Freon 12.

  • Penutup

    Ikan tuna yang menjadi produk ekspor andalan hasil perikanan ke negeri Jepang.

    Hampir semua ikan tuna yang ditangkap diekspor, hanya sebagian kecil yang

    menjadi konsumsi dalam negeri. ikan tersebut diekspor dalam bentuk segar, loin,

    atau tuna dalam kaleng. Semua pengiriman menggunakan metode pembekuan

    yang lebih aman dan hemat biayanya.

    Proses penyiangan dan pencucian harus dilakukan dengan seksama dan sebersih

    mungkin untuk mencegah adanya kontaminan. Kontaminan yang masih tersisa

    pada tubuh ikan dapat mempercepat proses kerusakan yang terjadinya. Proses

    pembekuan juga harus dilakukan juga harus secepat mungkin untuk mencegah

    kerusakan karena proses pembekuan. Suhu penyimpanan harus dijaga serendah

    mungkin dan stabil agar masa simpan ikan tuna dapat lebih lama sehingga ikan

    menjadi lebih awet. Proses pengolahan setelah penyimpanan dalam waktu lama

    harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya kerusakan karena

    perubahan suhu dan kelembaban.

  • Daftar Pustaka

    Adawyah, R. 2008. Teknologi Referigrasi Hasil Perikanan Jilid II Teknik Pembekuan Ikan. CV. Paripurna, Jakarta. Afrianto, Eddy dan Evi, L. 2005. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius.

    Yogyakarta. Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid I. Liberty,

    Yogyakarta. Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid I.

    Liberty, Yogyakarta.

    lyas, Ilyas. 1993. Teknologi Referigrasi Hasil Perikanan Jilid II Teknik Pembekuan Ikan. CV. Paripurna, Jakarta. Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.

    Moeljanto.1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta : Penebar

    Swadaya Murniyati dan Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan.

    Kanisius.Yogyakarta.

    Winarno, F.G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta:

    Gramedia Pustaka Utama.

    PENDAHULUAN