Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)
Page 49
Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia
Teuku Isra Muntahar 1, Madiasa Ablisar 2, Chairul Bariah 3,
1,2,3Prgogram Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara,
E-mail: [email protected] (CA)
Abstrak
Perampasan aset tanpa pemidanaan atau NCB menggunakan prinsip praduga bersalah menjadi alternatif
yang efektif dalam mengembalikan aset kejahatan, namun mendapat tantangan atas dasar pelanggaran
HAM. Penelitian normatif ini membahas masalah pertentangan NCB dengan pelanggaran HAM.
Disimpulkan bahwa, regulasi yang ada belum mengatur tentang NCB tapi sesuai dengan konstitusi
(Pasal 28H ayat 4 dan Pasal 28G ayat 1 UUD RI Tahun 1945), Pasal 29 ayat (2) DUHAM/UDHR, Pasal
70 dan Pasal 29 ayat (1) UUHAM, Keputusan Komisi HAM Eropa 1986, dan Keputusan ICJ 1959,
dimana negara berwenang menguasai aset ilegal atau tercemar korupsi. UUPTPK masih menganut
criminal forfeiture, bergantung pada kesalahan pidana, hanya berlaku jika pelaku meninggal dunia, tidak
berlaku jika kesalahan pidana tidak terbukti, tidak dapat merampas aset tak bertuan dan aset pihak
ketiga. Penerapannya tidak bertentangan dengan HAM jika selama proses NCB masih diberi
kesempatan kepada pihak ketiga untuk membantah dan tidak dilakukan sewenang-wenang. Prinsip
praduga bersalah ditujukan kepada aset, sedangkan prinsip praduga tidak bersalah ditujukan kepada
pelaku. Juga tidak bertentangan dengan prinsip ne bis in idem karena antara gugatan perdata dan tuntutan
pidana merupakan dua hal yang berbeda. Diharapkan agar RUU Perampasan Aset diperbaiki dan
diundangkan, kemudian mengatur NCB di dalam UUPTPK, memperbaiki regulasi MLA untuk masalah
perdata. Penerapannya harus dilakukan ekstra hati-hati karena rentan dengan pelanggaran HAM.
Kata Kunci:
Perampasan Aset, Pemidanaan, Korupsi, Hak Asasi Manusia.
Abstract
Confiscation of assets without conviction or NCB using the principle of presumption of guilt is an
effective alternative in returning criminal assets, but faces challenges on the basis of human rights
violations. This normative research discusses the problem of NCB's conflict with human rights
violations. It was concluded that, the existing regulations have not regulated NCB but are in accordance
with the constitution (Article 28H paragraph 4 and Article 28G paragraph 1 of the 1945 Indonesian
Constitution), Article 29 paragraph (2) DUHAM / UDHR, Article 70 and Article 29 paragraph (1)
UUHAM , European Human Rights Commission Decree 1986, and ICJ Decree 1959, where the state
has the authority to control illegal assets or tainted with corruption. The UUPTPK still adheres to
criminal forfeiture, depending on criminal wrongdoing, only applies if the perpetrator dies, does not
apply if the criminal error is not proven, cannot seize the assets of no-owner and third party assets Its
application is not against human rights if during the NCB process the third party is still given the
opportunity to argue and is not done arbitrarily. The principle of presumption of guilt is aimed at assets,
while the principle of presumption of innocence is directed at the perpetrator. Nor does it contradict the
principle of ne bis in idem because civil suit and criminal prosecution are two different things. It is
hoped that the Asset Confiscation Bill is corrected and promulgated, then regulates the NCB in the
UUPTPK, improves MLA regulations for civil matters. The application must be carried out with extreme
caution because it is vulnerable to human rights violations.
Keywords:
Confiscation of Assets, Criminalization, Corruption, Human Rights.
Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63
http://jurnal.bundamediagrup.co.id/index.php/iuris
ISSN ONLINE: 2745-8369
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)
Page 50
Cara Sitasi:
Muntahar, Teuku Isra., dkk. (2021), “Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Vol. 2 No. 1 Pages 49-63.
A. Pendahuluan
Perampasan aset hasil kejahatan tanpa pemidanaan merupakan perhatian utama dari komunitas
global dalam menanggulangi kejahatan keuangan. Instrumen ini menjadi salah satu kaidah yang diatur
dalam United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) tahun 2003. Negara-negara pihak
diharapkan dapat memaksimalkan upaya perampasan aset hasil kejahatan tanpa pemidanaan.1
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang sedang digagas oleh Negara Republik
Indonesia (RI) berharap pemulihan aset hasil kejahatan dapat efektif dan optimal. Namun beberapa
tantangan yang harus dihadapi diantaranya terkait dengan isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
atas penggunaan instrumen perampasan aset tanpa pemidanaan dianggap tidak adil.
Perampasan aset tanpa pemidanaan dalam civil forfeiture mengenal prinsip Non Conviction Based
(NCB) Asset Forfeiture merupakan instrumen hukum perdata yang untuk merampas aset/hasil tanpa
melalui jalur tuntutan pidana.2 Gagasan perampasan aset tanpa pemidanaan ini telah lama dirancang tapi
hingga kini belum diundangkan. Masalah politis dan perdebatan HAM menjadi pro dan kontra dan
saling tarik-menarik. Argumentasi yang digunakan oleh mereka yang kontra adalah membenturkan NCB
Asset Forfeiture dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) sehingga mereka
berpendapat NCB Asset Forfeiture bertentangan dengan HAM.
NCB Assets Forfeiture memang diakui rentan dengan pelanggaran HAM, dan dianggap tidak adil.
Tapi ada juga negara yang tetap melaksanakannya seperti Amerika Serikat untuk hukum perkapalan
dengan mengeluarkan peraturan yang memberi wewenang kepada pemerintah federal untuk menyita
kapal. Supreme Court mendukung penggunaan NCB Assets Forfeiture dalam kasus Palmyra di tahun
1827. Pengadilan menolak argumen pengacara pemilik kapal yang mengatakan penyitaan kapal
kliennya adalah ilegal karena tanpa putusan pidana yang menyatakan pemiliknya bersalah.3
Permasalahan yang dibahas di dalam paper ini adalah bagaimanakah regulasi yang mengatur
tentang perampasan aset korupsi tanpa pemidanaan di Indonesia dan penerapannya dalam praktek
apakah bertentangan dengan HAM atau tidak sejalan dengan perlindungan terhadap HAM.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan data sekunder. Bahan hukum primer,
yaitu sumber bahan hukum utama yang digunakan di dalam penelitian ini meliputi: Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI Tahun 1945); Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP); UU RI Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK); UU RI Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan
Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPPTPPU); UU RI Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia (UUHAM); dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Perampasan
Aset.
B. Pembahasan
1. Pengertian Hak Asasi Manusia
HAM pada hakikatnya telah ada sejak seorang manusia masih berada dalam kandungan ibunya
hingga ia lahir dan sepanjang hidupnya hingga meninggal dunia. Dalam kerangka normatif merupakan
kewajiban negara untuk melindungi dan menghormatinya. Menjadi prinsip umum untuk melindungi
HAM bagi setiap manusia yang berada dalam lingkup yurisdiksi hukum. Perlindungan HAM bermula
dari keinsyafan terhadap harga diri, harkat, kodrat, dan martabat lahiriah manusia.4 Dimulai sejak abad
ke-17 hingga saat ini yang tidak lepas dari hakikat manusia.5
1 https://acch.kpk.go.id/id/artikel/riset-publik/tantangan-penerapan-perampasan-aset-tanpa-tuntutan-pidana-non-conviction-
based-asset-forfeiture-dalam-ruu-perampasan-aset-di-indonesia, diakses tanggal 16 Mei 2021. 2 Tood Bernet, “Legal Fiction and Forfeiture: A Historical Analysis of the Civil Asset Forfeiture Reform Act”, 40 Duquesnes Law Review Fall, 2001, hal. 46 dan hal. 91-92. 3 Ibid. 4 Ramdhon Naning, Cita dan Citra Hak-HAM di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Kriminologi Program Penunjang Hukum
Universitas Indonesia, 1990), hal. 8. 5 M. Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana Dalam perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di Bidang Perbankan, (Jakarta:
Bayu Media, 2007), hal. 85.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)
Page 51
Perlunya perlindungan hukum HAM didasari atas argumentasi kontrak sosial dan solidaritas
manusia. Negara boleh saja monopoli terhadap sosial atas kejahatan dan melarang tindakan-tindakan
pribadi. Jika terjadi kejahatan dan mengakibatkan korban, maka negara bertanggung jawab untuk
memperhatikan kebutuhan korban tersebut. Negara harus menjaga warga negaranya yang mengalami
kesulitan dengan menggunakan sarana-sarana yang tersedia. Ini dapat dilakukan oleh negara melalui
peningkatan pelayanan, pengaturan hak dan undang-undang.6
Komitmen Indonesia dalam perlindungan HAM telah dimulai sejak berlakunya Undang-Undang
RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM (UUHAM). Pasal 1 angka 1 didefenisikan, ”HAM adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tugas Yang Maha
Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara
hukun, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia”.
Ini merupakan seperangkat hak yang melekat pada manusia dan merupakan anugerah Tuhan yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara. Tiga unsur pentingnya adalah (1) HAM
dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia yang tidak dapat dicabut oleh siapapun maupun penguasa ;
(2) Negara hukum wajib menghormati, menjunjung tinggi, dan melindungi HAM ; dan (3) Setiap orang
wajib menghormati dan menghargai hak asasi orang lain.
Sebagai hak dasar ini harus dihormati oleh setiap orang. Tidak dibenarkan membedakan ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini, negara, asal, hak milik, kelahiran atau status lain. Dijamin
oleh hukum dan undang-undang, melindungi individu dan kelompok dari tindakan yang melanggar
kebebasan dasar. Pengakuan terhadap HAM dinyatakan tegas di dalam Pasal 26A s/d Pasal 28J UUD
RI Tahun 1945. Ini membuktikan bahwa Negara RI mengakui HAM dalam sistim hukum nasionalnya.
HAM bersifat fundamental yang tak bisa diintervensi oleh siapaun atau oleh kelompok atau
lembaga manapun. 7 Tapi dalam negara hukum, siapa saja yang tidak menghormati HAM atau
melakukan perbuatan yang merugikan hak subjek hukum lain, maka seseorang akan dibatasi geraknya
atau dicabut sementara waktu atau bahkan selama-lamanya berdasarkan hukum yang berlaku. Termasuk
merampas aset seseorang yang berbuat jahat merupakan tindakan yang dibenarkan demi untuk
melindungi hak asasi yang lebih luas dan penting.
UUHAM sebagai penjabaran dari Pasal 26A s/d Pasal 28J UUD RI Tahun 1945. Perundang-
undangan dibawahnya harus mengikuti, menegakkannya, dan melindunginya, meskipun masih banyak
pelanggaran yang belum dapat ditegakkan. Sebenarnya dengan pendekatan HAM terhadap perundang-
undangan yang sudah ada, dapat memberi kerangka normatif dan konseptual yang dapat menjadi
pedoman pembentukan regulasi perampasan aset tanpa pemidanaan ke dalam undang-undang. Sebab,
hampir semua pembatasan hak asasi yang diatur dalam undang-undang dalam rangka untuk melindungi
hak subjek hukum lainnya.
Selain UUD RI Tahun 1945 dan UUHAM, juga telah diatur dalam berbagai undang-undang lainnya
seperti:
a. UU RI Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Perlakuan atau
Penghukuman Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat.
b. UU RI Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 105 Tentang
Penghapusan Kerja Secara Paksa.
c. UU RI Nomor 20 Tahun 1999 Tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 Tentang Usia
Minimum bagi Pekerja.
d. UU RI Nomor 21 Tahun 1999 Tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 11 Tentang
Diskriminasi Dalam Pekerjaan.
6 Muladi & Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 78. 7 A. Bazar Harahap & Nawangsih, Hak Asasi Manusia dan Hukumnya, (Jakarta: Perhimpunan Cendikiawan Indpenden
Indonesia-Pecirindo, 2006), hal. 6-7.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)
Page 52
e. UU RI Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Ratifikasi Convention on the Elimination of All Forms
of Discrimination Against Women (CEDAW) Tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi.
f. UU RI Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
g. UU RI Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
h. Dan lain-lain.
Dalam berbagai perundang-undangan, semua mengartikan HAM sebagai hak yang paling dasar
dan kodrati, melekat pada diri manusia, universil dan langgeng, harus dilindungi, dihormati, tidak boleh
diabaikan, dijunjung tinggi dan diakui. Kebebasan merupakan hak yang secara kodrati melekat dan tidak
terpisahkan dari manusia dan harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat
kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
HAM sebagai hak universal karena merupakan bagian dari setiap manusia, tidak peduli apapun
warna kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang kultural dan agama atau kepercayaan
spiritualnya. Ini melekat (inheren) karena HAM dimiliki oleh siapapun yang manusia berkat kodrat
kelahirannya sebagai manusia dan bukan karena pemberian oleh suatu organisasi kekuasaan manapun.
Berarti hak-hak tersebut tak satupun boleh dirampas atau dicabut.8
UUHAM dengan tegas melarang pelanggaran HAM dan harus dijunjung tinggi. Sifatnya kodrati,
melekat dan tak terpisahkan dari manusia. Harus dilindungi, dihormati; ditegakkan demi kemanusiaan,
kesejahteraan, kebahagiaan, kecerdasan dan keadilan. Ini menggambarkan demikian pentingnya untuk
dijunjung tinggi, dihormati, diakui, dan dilindungi dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum,
namun pembatasan dari kebebasan kodrat, maupun hak-hak privat tertentu, bukan berarti merupakan
suatu pelanggaran.
Esensi doktrin rule of law, mengembalikan ide dasar kedudukan hukum yang tertinggi di antara
norma apapun di dalam kehidupan bernegara.9 Melindungi hak dan kepentingan yang lebih luas (publik)
adalah esensi utama dalam doktrin rule of law. Karena itu, antara penegakan HAM dengan hukum
pidana dan perdata harus diselaraskan dan diharmonisasikan guna menghindari tindakan-tindakan yang
melanggar HAM terutama dalam melakukan perampasan aset tanpa pemidanaan.
2. Derivasi Prinsip Keadilan Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap
Pemegang Saham Publik Minoritas
Perampasan aset disebut juga dengan asset forfeiture,10 yaitu pengambilan paksa aset atau properti
oleh negara yang diyakini memiliki hubungan erat dengan suatu tindak pidana.11 Tujuannya agar pelaku
tidak mendapatkan keuntungan dari kejahatannya. Dana yang diperoleh harus dibatalkan untuk
melindungi korban. Menghambat kejahatan berlanjut melalui pemblokiran. Memastikan aset tidak akan
digunakan secara berlanjut untuk tujuan kejahatan, dan sekaligus untuk pencegahan.12
Ada tiga metode perampasan aset di negara-negara common law yakni criminal forfeiture,
admnistrative forfeiture, dan civil forfeiture.13 Civil forfeiture adalah perampasan aset yang murni
8 Soetandyo Wignjosoebroto, Hak Asasi Manusia Konsep Dasar dan Perkembangan Pengertiannya Dari Masa Ke Masa,
(Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2005), hal. 2. 9 Ibid., hal. 6. 10 Ramelan & Tim Penyusun, Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2012), hal. 38. 11 Yunus Husein, “Penjelasan Hukum Tentang Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”,
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan (Puslitbangkumdil) Mahkamah Agung Republik Indonesia, dan United States Agency International Development
(USAID), hal. 15. 12 Theodore S. Greenberg, Linda M. Samuel, Wingate Grant, Larissa Gray, Stolen Asset Recovery: A Good Practices Guide
for Non-Conviction Based Asset Forfeiture, (Washington DC: The Wolrd Bank, 2009), hal. 13. 13https://harvardlawreview.org/2018/06/how-crime-pays-the-unconstitutionality-of-modern-civil-asset-forfeiture-as-a-tool-of-
criminal-law-enforcement/, diakses tanggal 14 Maret 2021.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)
Page 53
menggunakan hukum perdata,14 yang dahulu dikenal sebagai perampasan terhadap barang-barang yang
tak bertuan karena perang.15 Criminal forfeiture yaitu perampasan aset yang menggunakan instrumen
pidana,16 jika aset ternyata terbukti hasil atau digunakan untuk melakukan kejahatan, maka dengan
putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap, aset tersebut dapat disita untuk negara.17
Criminal forfeiture merupakan perampasan aset yang dilakukan melalui peradilan pidana atau
perampasan aset dilakukan bersamaan dengan pembuktian pidana apakah terdakwa benar-benar
melakukan tindak pidana. Administrative forfeiture merupakan perampasan aset oleh negara tanpa
melibatkan lembaga yudisial. Negara dalam administrative forfeiture diberikan hak oleh undang-undang
untuk merampas aset / barang tertentu tanpa melalui persidangan. Misalnya tindakan kepabeanan dan
bea cukai.18
Sedangkan civil forfeiture adalah perampasan aset yang menempatkan gugatan terhadap aset
bukan terhadap pelaku tindak pidana, sehingga aset dapat dirampas meskipun proses peradilan pidana
terhadap pelaku belum selesai. 19 Menggunakan pembalikan beban pembuktian sehingga dapat
melakukan perampasan lebih cepat setelah diduga adanya hubungan aset dengan tindak pidana. Gugatan
dialamatkan pada aset bukan pada tersangka / terdakwa sehingga aset negara tetap dapat diambil
meskipun pelaku meninggal dunia atau belum dapat diproses melalui peradilan pidana.20
Civil forfeiture inilah yang kemudian dikenal dengan istilah lain yakni NCB Asset Forfeiture atau
perampasan aset tanpa pemidanaan. Perampasan aset tanpa pemidanaan dapat menarik kembali aset
yang diduga kuat ada kaitannya dengan kejahatan seperti korupsi, pembalakan liar, narkotika,
kepabeanan, pencucian uang, terorisme, dan lain-lain.21 Ini merupakan tindakan terhadap aset itu sendiri
bukan terhadap individu. Tindakan perampasan terpisah dari proses pidana dan cukup dengan bukti kuat
bahwa harta benda tersebut tercemar dengan kejahatan.22
NCB Asset Forfeiture alat untuk merampas aset kejahatan tanpa melalui jalur pidana. 23
Penghukuman dijatuhkan tidak berdasarkan keyakinan atas kesalahan melalui pembuktian jalur pidana
(tanpa pemidanaan), atau kebalikan dari Conviction Based (CB).24 Sementara prinsip CB telah dianut di
dalam Pasal 183 KUHAP yang menegaskan dalam penjatuhan pidana harus didasarkan pada keyakinan
hakim.
Prinsip CB sudah dikenal dalam hukum pidana Indonesia, yaitu perampasan aset kejahatan harus
melalui jalur hukum pidana (criminal forfeiture) terhadap orangnya (in personam). Hal ini dilakukan
sebagai bentuk penghukuman terhadap pribadi terdakwa. Jika terdakwa dinyatakan bersalah baru
kemudian merampas aset / menyita harta terdakwa yang berkaitan erat dengan suatu kejahatan.25
Perampasan aset dengan prinsip CB menaruh harapan kepada jaksa penuntut untuk untuk
meyakinkan (conviction) hakim terlebih dahulu membuktikan kesalahan pidana terdakwa atas tindak
pidana yang dilakukan. Jika kesalahan pidana yang dituntut kepada terdakwa tidak terbukti dalam
persidangan, maka perampasan terhadap aset/harta milik dan/atau ada kaitannya dengan kejahatan yang
dituntut kepada terdakwa tidak bisa dilakukan.26
14 Bismar Nasution, “Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia”, Makalah Disampaikan
Pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2007, Pengembalian Aset (Asset Recovery) Melalui Instrumen Stolen Asset
Recovery (StAR) Initiative dan Perundang-Undangan Indonesia, Diadakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) di Hotel Millenium Jakarta 28-29 November 2007, hal. 6. 15 David Fredriek Albert Porajow, Non-Conviction Based Asset Forfeiture Sebagai Alternatif Memperoleh Kembali Kekayaan
Negara Yang Hilang Karena Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Perekonomian Negara, (Jakarta: FHUI, 2013), hal. 20. 16 Stefan D. Cassella, “Criminal Forfeiture Procedure in 2015: An Annual Survey of Developments in the Case Law”, Criminal Law Bulletin, Date: 8/22/2015, hal. 2-3. 17 David Fredriek Albert Porajow, Loc. cit. 18 Ibid. 19https://www.justice.gov/afp/types-federal-forfeiture, diakses tanggal 14 Maret 2021. 20 Sudarto, “Mekanisme Perampasan Aset Dengan Menggunakan Non Conviction Based Asset Forfeiture Sebagai Upaya
Pengembalian Kerugian Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS, Vol. V, No. 1 (Januari-
Juni 2017), hal. 111. 21 David Fredriek Albert Porajow, Loc. cit. 22 Theodore S. Greenberg, dkk., Loc. cit. 23 Ibid. 24 Reda Manthovani & R. Narendra Jatna, Rezim Anti Pencucian Uang dan Perolehan Hasil Kejahatan di Indonesia, (Jakarta:
Malibu, 2012), hal. 74. 25 Ibid. 26 Ibid.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)
Page 54
Model NCB Asset Forfeiture tidak demikian halnya, tapi menggunakan gugatan perdata terhadap
aset (in rem), atau penyitaan terhadap aset secara perdata tanpa mengikuti jalur pidana. Penyitaan
dilakukan terhadap aset, bukan terhadap orang atau pelakunya.27 Setiap tindakan pelaku dalam proses
pidana, dipisahkan dengan proses perdata dan cukup dengan bukti bahwa terhadap suatu harta (properti)
tersebut tercemar (ternodai) oleh kejahatan yang dituntut.28
Dengan kata “non” di dalam NCB Asset Forfeiture berarti meniadakan atau tidak menggunakan
prinsip CB. Oleh karena instrumen ini menggunakan hukum perdata atau tanpa pemidanaan untuk
merampas aset yang berkaitan dengan kejahatan terdakwa, atau tanpa proses pidana yang harus
berdasarkan keyakinan hakim pengadilan, maka istilah ini disebut dengan NCB Asset Forfeiture.29
Urgensi penggunaan NCB Asset Forfeiture ini karena melihat fakta seringnya para koruptor
melarikan diri (kabur/buronan), sakit, atau sakit dibuat-buat, gila, meninggal dunia atau bahkan diputus
bebas melalui proses criminal forfeiture, padahal berdasarkan perhitungan dari instansi yang berwenang,
nyata-nyata telah terjadi kerugian keuangan negara. Perampasan aset tanpa pemidanaan ini merupakan
alternatif efektif perampasan aset untuk mengembalikan kerugian negara dalam rangka melindungi
korban (negara dan masyarakat).
Aset yang akan dirampas terlebih dahulu harus dinyatakan tercemar dengan kejahatan atau karena
ada dugaan kuat bahwa harta kekayaan terkait suatu tindak pidana. Harta kekayaan tersebut harus
dianggap sebagai harta kekayaan yang tercemar. Terhadap harta kekayaan yang tercemar tersebut,
pemerintah melalui Jaksa Pengacara Negara (JPN) harus mengajukan in rem yaitu gugatan perdata agar
dapat dinyatakan oleh pengadilan sebagai aset negara.30
Non Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture didasarkan pada doktrin menodai (taint doctrine),
menganggap sebuah tindak pidana telah menodai (taint) aset yang dipakai/hasil tindak pidana.31 NCB
Asset Forfeiture dapat digunakan untuk mengembalikan aset kepada negara atau kepada pihak yang
berhak atas kepemilikan aset yang tidak wajar yang diduga karena suatu kejahatan tanpa harus didahului
dengan tuntutan pidana atau tanpa harus menunggu adanya putusan pidana yang berisi kesalahan dan
pemberian hukuman bagi pelaku. Konsepnya adalah yang bersalah bukan orang atau pelakunya tapi
properti itu sendiri.32
3. Penerapan NCB Asset Forfeiture Di Beberapa Negara
Negara-negara common law yang menerapkan perampasan aset tanpa pemidanaan antara lain
Amerika Serikat memiliki Civil Asset Forfeiture Reform Act (CAFRA) 2000 dan USA Patriot Act 2001,
Australia memiliki Criminal Assets Recovery Act 1990, Irlandia memiliki Proceeds of Crime Act 1996,
Swiss memiliki the Criminal Code of Switzerland 1937, Filipina memiliki Rules of Procedure in Cases
of Civil Forfeiture 2005, Afrika Selatan memiliki Prevention of Organised Crime Act 1998, Inggris
memiliki Proceeds of Crime Act 2002, dan lain-lain.33
Perampasan aset tanpa pemidanaan pertama kali diterapkan di Inggris dengan istilah instrument of
a death atau deodand.34 Kemudian Amerika Serikat (AS) mengadobsinya dengan tiga model, yaitu
deodand, forfeiture of estate dan statutory atau commercial forfeiture.35 Kematian seorang manusia
karena ditanduk seekor sapi berlaku deodand, negara merampas sapi itu,36 karena deodand berfokus
pada bendanya.37
27 The European Union & The Council of Europe, Impact Study on Civil Forfeiture, (Belgrade: Dosije Studio, 2013), hal. 7, 8,
9, 13, 15, 83. 28 Ramelan & Tim Penyusun, Op. cit., hal. 37-38. 29 David Fredriek Albert Porajow, Op. cit, hal. 6. 30 Ibid., hal. 14. 31 David Scott Romantz, “Civil Forfeiture and the Constitution: A Legislative Abrogation of Right and The Judicial Response:
The Gulit of The Res”, 28 Suffolk University Law Riview, 1994, hal. 390. 32 Sudarto, Loc. Cit. 33 Muhammad Yusuf, Merampas Aset Koruptor, Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2013), hal. 139. 34 Eric Moores, “Reforming The Civil Asset Forfeiture Reform Act, Arizona Law Review, Vol. 51:777, University of Arizona,
2010, hal. 741. 35 Isaiah M. Hunter, “The War on Drugs and Taxes: How Tax Expenditure Analysis Can Shed Light on Civil Asset Forfeiture”,
New York University Journal of Law & Liberty, Vol. 9:549, 2014, hal. 552. 36 Brent Skorup, “Ensuring Eighth Amendment Protection From Excessive Fines in Civil Asset Forfeiture Cases”, Civil Rights
Law Journal, Vol. 22:3, 2012, hal. 432. 37 Finklestein, “The Goring Ox: Some Historical Perspective on Deodands, Forfeiture, Wrongful Death and the Western Notion
of Sovereignty”, 46 Temple Law Quarterly Journal (1973), hal. 169.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)
Page 55
AS tetap mempertahankan perampasan aset tanpa pemidanaan dalam kasus menyita kapal Palmyra
tahun 1827.38 Pengadilan menolak argumen pengacara dari si pemilik kapal yang mengatakan penyitaan
kapalnya adalah ilegal karena menggunakan perampasan aset tanpa pemidanaan.39 Hingga tahun 1970-
an dan 1980-an, AS tetap digunakan dalam kasus narkotika.40 Pada tahun 1984 mulai diberlakukan
istilah NCB Asset Forfeiture dengan diberlakukannya Crime Control Act dan CAFRA 2000.41
NCB Asset Forfeiture membawa perubahan positif bagi Amerika Serikat. Pada tahun 2004 berhasil
merampas aset hasil kejahatan sebesar US$ 1,5 milyar,42 dan tahun 2006 menyita uang sebesar US$ 1,2
milyar.43 Di tahun 2007, jumlah aset yang disita meningkat menjadi US$ 1,6 milyar.44
4. Contoh Kasus Penerapan NCB Asset Forfeiture Di Indonesia
a. Republik Indonesia vs. aset berupa uang sebesar Rp. 4.893.141.137,-.
Dalam kasus ini terkait penipuan atau pemalsuan data pada Bank BJB Bogor. Perampasan aset tanpa
pemidanaan dilakukan saat kasus pidana masih pada tahap penyelidikan karena tersangka sulit
ditemukan namun stabilitas keuangan negara akan terganggu jika tidak segera dilakukan perampasan
dana yang diambil oleh tersangka Nindy Helsa. Tersangka dijerat atas tindakan pidana penipuan
dan/atau pemalsuan dan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP
dan/atau Pasal 283 KUHP dan Pasal 3 dan/atau Pasal 5 UUPPTPPU.45
Tersangka memalsukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan dokumen Curriculum Vitae (CV) dengan
nama Dwi Trada Prima guna membuat rekening di Bank BJB Cabang Bogor. Kemudian rekening yang
dibuatnya digunakan untuk menerima kiriman valuta asing dari Al Finar General Trading Co. LLC.
dengan alamat Abdul Razaq Zarony BLDG, Salam Street POB. 3865 ATT, Reconciliation Div, Abu
Dhabi UAE sebesar USD 409,982.50 atau setara dengan Rp. 4.893.141.137,-.
b. Republik Indonesia vs. aset berupa uang sebesar Rp. 1.000.000.000,00
Kasus ini adalah terkait dengan narkotika yang ditangani Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap
tersangka Salahuddin, dkk merupakan costumer di Bank BCA dan telah ditetapkan sebagai DPO.
Pengadilan Negeri Batam mengabulkan permohonan BNN Provinsi Jawa Timur agar aset pelaku
kejahatan terkait tindak pidana narkotika itu dapat dieksekusi di Provinsi Batam.46
Tersangka Salahuddin melakukan transfer dana sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
kepada PT. Marinatama Gemanusa. Dana tersebut dalam penetapan perampasan aset dinyatakan sebagai
hasil tindak pidana pencucian uang dan dinyatakan sebagai aset negara karena terbukti sebagai aset yang
dihasilkan dalam kasus narkotika.
c. Republik Indonesia vs. aset berupa uang sebesar AUD 642.000
Kasus ini terkait dengan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi atas nama tersangka Hendra
Rahardja yang ditangani oleh Pemerintah RI dengan dibantu oleh otoritas Australia. Dalam kasus ini
digunakan prinsip in absentia. Mahkamah Agung tetap menyatakan perampasan aset dengan in absentia
tetap dibenarkan dan dikuatkan dengan putusan banding melalui Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.47
Pengembalian aset tersangka dilakukan melalui proses yang panjang dan akhirnya Pemerintah
Indonesia berhasil merampas aset AUD 642.000. Dalam proses pengembalian aset tersebut, Pemerintah
RI membentuk Tim Terpadu Pencari Terpidana dan Tersangka Tindak Pidana Korupsi.
d. Gugatan ganti rugi terhadap ahli waris Alm. Yusuf Setiawan
Gugatan perdata diajukan oleh negara melalui JPN terhadap ahli waris almarhum Yusuf Setiawa
berdasarkan Pasal 32 dan Pasal 34 UUPTPK karena terdakwa meninggal dunia saat dilakukan
38 Tood Bernet, Op. cit., hal. 46, 89, 90, 91, dan hal. 92. 39 Ibid. 40 Steven L. Schwarcz & Alan E. Rothman, “Civil Forfeiture: A Higher Form of Commercial Law?”, Fordham Law Review,
Vol. 62, Tahun 1993, hal. 292. 41 The European Union & The Council of Europe, Op. cit., hal. 58. 42 Richard F. Albert dan Amy Tully, “A Bad Fit-Criminal Forfeiture of Substitute Assets, the Lis Pendens”, New York Law
Journal, Vol. 234, No. 27, Tanggal 9 Agustus 2005, hal. 234. 43 Stefan D. Cassella, “The Case for Civil Forfeiture: Why In Rem Proceddings are an Essential Tool for Recovering the Proceeds of Crime, Paper yang disampaikan pada seminar: 25th Cambrige International Symposium on Economic Crime,
Tanggal 7 September 2007, hal. 6. 44 The European Union dan The Council of Europe, Op. cit., hal. 59. 45 Yunus Husein, “Penjelasan Hukum Tentang….Op. cit., hal. 83-84. 46 Ibid., hal. 85. 47 Ibid.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)
Page 56
pemeriksaan di sidang pengadilan sehingga tuntutan pidana menjadi gugur. Yusuf Setiawan selama
menjadi Sekretaris Daerah Propinsi Jawa Barat dituduh korupsi atas pengadaan barang-barang dan
sarana mobilitas untuk keperluan Pemerintah.48
Dalam perkara pidana ada kerugian negara sebesar Rp.44.595.065.247,-. Perampasan aset secara
pidana telah dilakukan terhadap sejumlah uang sebesar Rp.16.187.271.000,-. Sisa uang negara yang
belum dikembalikan dan menjadi tanggung jawab ahli warisnya adalah sebesar Rp.28.407.794.247,-.
MA dalam kasasi memperbaiki nilai uang tersebut sehingga jumlah kerugian negara yang harus
dikembalikan sama jumlahnya dengan jumlah uang yang dituntut di dalam gugatan, yaitu ahli waris dan
Yayasan Beasiswa Supersemar (YBS) harus membayar ganti rugi sebesar US $ 315.002.183,00 dan
Rp.139.438.536.678,56.49 dalam Peninjauan Kembali (PK) tetap menghukum sama dengan putusan MA
dalam kasasi.50
e. Gugatan ganti rugi terhadap ahli waris Alm. Soeharto (YBS)
Negara melalui JPN mengajukan gugatan perdata terhadap para ahli waris dari alm. Soeharto
(mantan Presiden RI) untuk membayar ganti rugi sejumlah uang US $ 315.002.183,00 dan
Rp.139.438.536.678,56. Dasar gugatan JPN adalah Pasal 32, Pasal 34 UUPTPK, dan Pasal 1365 KUH
Perdata atas perbuatan melawan hukum. Pengadilan mengabulkan gugatan ini dan menyatakan tergugat
untuk membayar ganti rugi kepada Negara RI sejumlah uang US$ 105.000.727,66 dan
Rp.46.479.512.226,187.51
5. Korban Tindak Pidana Korupsi
Dalam suatu kejahatan, korbannya adalah individu atau kelompok yang menderita fisik, mental, dan
keadaan sosial, 52 mengalami kerugian materiil dan immaterial, 53 menderita jasmani dan rohani,
ketakutan berkepanjangan, bahkan mendapat ancaman atas kenyamanan. Keadaan ini sebagai akibat
perbuatan dari pelaku kejahatan yang mencari pemenuhan kepentingan dirinya sendiri dan orang lain
yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi korban.54
Dalam tindak pidana korupsi tidak ada derita fisik bagi korban, tapi secara fsikis rakyat terbebani
oleh keadaan dampak buruk ekonomi sebagai akibat korupsi. Secara ekonomi, korban korupsi adalah
rakyat dan negara sebab akibat korupsi dapat berdampak terhadap keadaan ekonomi negara dan rakyat.
Penegakan hukum terhadap korban korupsi yang merugikan keuangan negara harus dilakukan untuk
mewujudkan perlindungan sosial karena didalamnya ada hak-hak publik yang dirugikan.
Kedudukan korban sangat penting di hadapan hukum.55 Kecil kemungkinan bagi korban untuk
memperoleh kesempatan dalam memperjuangkan haknya.56 Rendahnya kedudukan korban kejahatan
sering kali terlupakan dalam studi kejahatan.57 Contoh dalam kasus pencurian mobil. Bagi korban yang
lebih penting adalah bagaimana mobil itu dapat kembali kepadanya, persoalan pelaku dihukum atau
tidak oleh pengadilan tidak terlalu penting berpengaruh pada dirinya.
Dalam perampasan aset tanpa pemidanaan, dapat disimpulkan bahwa korban korupsi adalah negara
dan rakyat, bahkan terjadinya korban korupsi juga merupakan suatu pelanggaran HAM. Di sisi lain,
perlindungan hukum terhadap korban korupsi belum terlaksana dengan baik. Oleh sebab itu, instrumen
hukum harus diperbaiki untuk mewujudkan perlindungan hukum terhadap korban korupsi dengan
menggunakan perampasan aset tanpa pemidanaan.
48 Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam Perkara Pidana Nomor:
06/Pid.B/TPK/2009/PN.Jkt.Pst., Tanggal 27 Mei 2009. 49 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 2896 K/Pdt/2009, Tanggal 28 Oktober 2010. 50 Putusan Mahkamah Agung Nomor: 140 PK/Pdt/2015, Tanggal 8 Juli 2015. 51 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 904/Pdt.G/2007/PN.Jak.Selatan, Tanggal 27 Maret 2008, dan Putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor: 465/Pdt/2008/PT.DKI., Tanggal 19 Februari 2009. 52 Suryono Ekotama, Harum Pudjianto & G. Wiratama, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspekif Viktimologi,
Kriminologi dan Hukum Pidana, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, (Jakarta: Universitas Atma Jaya, 2001), hal. 135. 53 Wahyu Wagiman & Zainal Abidin, Praktik Kompensasi dan Restitusi di Indonesia: Sebuah Kajian Awal, (Jakarta: Indonesia
Corruption Wacth (ICW), The Institute for Criminal Justice Reform, Koalisi Perlindungan Saksi, 2007), hal. 5. 54 Chaerudin & Syarif Fadillah, Korban Kejahatan Dalam Pespektif Vikimologi Dan Hukum Pidana Islam, Cetakan Pertama,
(Jakarta: Grhalia Press, 2004), hal. 48. 55 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan,( Jakarta: Akademika Pressindo, 1993), hal. 94. 56 Chaerudin & Syarif Fadillah, Op. Cit., hal. 47. 57 Frank R. Prassel, Criminal Law, Justice, and Society, (Santa Monica-California: Goodyear Publishing Company Inc., 1979),
hal. 65.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)
Page 57
6. Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
Semua undang-undang yang ada pada prinsipnya mengandung pembatasan hak-hak dasar di satu
sisi dan memberi kesempatan di sisi lain untuk dilindungi. Pilihan itu tentu mempertimbangan
urgensinya daripada hanya sekedar selera. KUH Pidana sendiri mengatur pengekangan hak bergerak
setiap pelaku kejahatan, urgensinya adalah untuk melindungi kepentingan publik yang terancam.
Demikian juga dalam hukum privat, negara dalam hal-hal tertentu bisa masuk mengatur hak-hak privat.
Bukan berarti negara tidak boleh mengatur ini. Oleh sebab itu, perampasan aset tanpa pemidanaan yang
menggunakan jalur gugatan perdata sangat relevan dan rasional sebagai tindakan yang legal.
Mengingat modus operandi para pelaku kejahatan, seperti korupsi, terorisme, narkotika, dan lain-
lain sering kali menggunakan fasilitas dan menghasilkan aset/harta. Disembunyikan dengan berbagai
cara, ditempatkan pada pihak ketiga, atau disumbangkan pada suatu yayasan charity, dan lain-lain
sehingga asal-usulnya menjadi kabur. Dalam konteks aset yang tercemar korupsi, korbannya adalah
negara dan rakyat. Maka sangat logis jika aset tersebut dirampas oleh negara untuk dipergunakan
sebesar-besarnya pemenuhan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas tentang hakikat HAM dan hakikat hukum pidana dan perdata
dapat menghantarkan kajian ini pada pertentangan antara perampasan aset tanpa pemidanaan dan HAM.
Apakah NCB Asset Forfeiture melanggara HAM di dalam negara hukum? Bila hanya melihat hakikat
HAM itu sendiri, maka tindakan negara yang merampas aset kejahatan tanpa pemidanaan bertentangan
dengan HAM, sebab inti dari HAM adalah hak privasi seseorang tidak bisa dicampuri oleh siapapun
juga, dengan alasan apapun, sekalipun itu dari negara.58
Tetapi jika dilakukan pendekatan melalui pendekatan hukum (pidana dan perdata) dalam konteks
negara hukum, maka dengan diterapkannya perampasan aset tanpa pemidanaan untuk kasus-kasus berat,
tidak bertentangan dengan HAM, karena sifat hukum pidana itu sendiri adalah membatasi sebahagian
HAM seseorang selama proses hukum pidana berlangsung. Sementara sifat hukum perdata adalah
kejelasan kepemilikan atas suatu harta/aset, siapa pemiliknya dan darimana diperoleh? Apakah dalam
suatu negara hukum seseorang dibenarkan memperoleh aset dari kejahatan? atau digunakan untuk
melakukan kejahatan?
Dalam konteks negara hukum, negaralah yang berwenang menguasai suatu aset/harta yang tak jelas
statusnya, atau berwenang merampas aset yang digunakan sebagai alat melakukan kejahatan, atau hasil
dari kejahatan itu sendiri. Apabila negara membiarkan keadaan ini, maka akan memberikan preseden
buruk kepada publik, dimana setiap orang akan bertindak menguasai aset yang bukan haknya, dapat
meningkatkan kuantitas dan kualitas kejahatan, akan menimbulkan kekuasaan kelompok kejahatan,
ketidakadilan ekonomi masyarakat, dan lain-lain.
Golongan yang mempertentangkan NCB Asset Forfeiture bertentangan dengan HAM didasarkan
prinsip ne bis in idem, hak kepemilikan harta/aset, prinsip praduga tidak bersalah (presumption of
innocence) atau asas non-self incrimination. Namun bila diperhatikan dalam konstitusi (UUD RI 1945),
UUHAM, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights
(DUHAM/UDHR), Keputusan Komisi HAM Eropa Tahun 1986, Keputusan International Commission
of Jurist (ICJ) di New Delhi-India tahun 1959, dan pendapat para ahli hukum, dapat disimpulkan bahwa
perampasan aset tanpa pemidanaan ini tidak bertentangan dengan HAM.
Mereka yang menolak ini berpendapat bahwa selain hak hidup dan kebebasan, hak milik merupakan
hak fundamental yang harus dilindungi dan dihormati dalam perspektif UUHAM. Jika dilanggar, maka
telah terjadi pelanggaran HAM. Negara harus melindungi harta kepemilikan yang menjadi hak dasar
seseorang. Mendasarkan pada asas praduga tidak bersalah. Seseorang tidak dapat dipidana hanya karena
58 Yunus Husein, “Penjelasan…, Op. cit., hal. 7-8, dan hal. 33-34.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)
Page 58
kecurigaan memiliki harta benda dan memintanya untuk menjelaskan di muka persidangan bahwa harta
tersebut didapatkan dengan cara yang sah.59
NCB Assets Forfeiture dianggap rentan dengan pelanggaran HAM. Umumnya pembela-pembela ini
menentang penggunaan NCB Assets Forfeiture berkaitan dengan penyitaan sampai memiskinkan pelaku
dan keluarganya. Ini adalah pendapat yang keliru, karena tindakan memiskinkan itu tidak dilakukan
secara sewenang-wenang dan tetap konstitusional berdasarkan Pasal 28G ayat 1 UUD RI Tahun 1945.
Bahwa perlindungan konstitusi terhadap aset yang berada di bawah penguasaan setiap warga negara
hanya diperuntukkan atas penguasaan aset yang sah menurut hukum. Sebaliknya, jika tidak sah menurut
hukum, maka negara harus merampasnya.
NCB Asset Forfeiture juga dianggap bertentangan dengan prinsip ne bis in idem atau double
jeopardy dan melanggar hak milik pribadi (fundamental property right).60 Prinsip ne bis in idem dalam
Pasal 76 ayat (1) KUH Pidana menegaskan bahwa setiap orang tidak boleh dituntut dua kali (pidana dan
perdata terhadap satu objek) karena perbuatan yang sama terhadap dirinya karena telah diadili dengan
putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap.
Sementara hak milik diatur dalam Pasal 28H ayat (4) UUD RI tahun 1945 tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh siapapun. Ini sejalan dengan Pasal 17 Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM) atau Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang juga menegaskan
bahwa setiap orang berhak untuk memiliki properti (harta/aset) dan tidak seorang pun boleh
merampasnya secara sewenang-wenang.
NCB Asset Forfeiture dipertentangkan dengan asas praduga tidak bersalah dan hak properti yang
dilindungi konstitusi. Asas praduga tidak bersalah ditegaskan di dalam Pasal 11 ayat (1)
DUHAM/UDHR yang menentukan: “Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu
pelanggaran hukum dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam
suatu pengadilan yang terbuka, dan ia memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk
pembelaannya”.
Kemudian asas ini juga terdapat di dalam Penjelasan Umum Angka 3 Huruf c KUHAP yang
menjelaskan: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka
sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
NCB Asset Forfeiture itu tidak bergantung pada kesalahan pidana. Apakah terdakwa dinyatakan
bersalah atau tidak, itu tidak penting. Tapi, bergantung pada keberadaan aset itu sendiri telah
tercemar/ternodai dengan suatu kejahatan. Ini pada prinsipnya sama seperti perkara perdata, suatu aset
digugat karena didalilkan berada dalam kepemilikan tercemar/ternodai atau secara melawan hukum, dan
pemilik tetap diberikan kesempatan untuk membuktikan aset berada pada kepemilikannya secara sah
dan tidak tercemar.61
Oleh karena NCB Asset Forfeiture tidak terkait pada terbukti atau tidaknya kesalahan pidana
seseorang dalam perkara korupsi, tapi bergantung pada keabsahan keberadaan aset pada seseorang,
maka instrumen ini tidak melanggar bertentangan dengan asas praduga tak bersalah pada tersangka /
terdakwa.62 Jadi paham yang mempertentangkan instrumen ini dengan asas praduga tidak bersalah dapat
dibatah dari prinsip “tercemar/ternodai (taint) suatu aset dengan kejahatan”.
Selanjutnya di Pasal 29 ayat (2) UDHR ditentukan: ”Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-
kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengajuan serta penghormatan yang
59 Alvon Kurnia Palma, Implementasi Dan Pengaturan Illicit Enrichment (Peningkatan Kekayaan Secara Tidak Sah) Di
Indonesia, (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2014), hal. 31. 60 Theodore S. Greenberg, dkk., Op. cit., hal. 21. 61 Imelda F.K. Bureni, “Kekosongan Hukum Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol.45, No.4, Oktober 2016, hal. 295. 62 Ibid., hal. 296.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)
Page 59
layak terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang
adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang
demokratis”.
Ketentuan di dalam Pasal 29 ayat (2) UDHR ini sama materinya dengan rumusan di dalam Pasal 70
UUHAM dan tidak berubah sedikit pun. Dari ketentuan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa salah satu
bentuk penghormatan atas hak asasi orang lain adalah tidak boleh mengambil sesuatu barang atau
aset/harta (properti) yang bukan haknya. Ini juga sejalan dengan Pasal 29 ayat (1) UUHAM yang
menentukan “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
hak miliknya”.
Aset yang dimiliki oleh pelaku atau pihak ketiga yang diperoleh dari hasil korupsi merupakan hak
tiap-tiap warga negara. Pelaku yang mengambil atau menggunakannya dalam korupsi untuk kekayaan
pribadi secara tidak sah dapat merusak tatanan demokrasi (Sila Ke-4 Pancasila) dan keadilan sosial (Sila
Ke-5 Pancasila). Sehingga penguasaan aset/harta dari perbuatan korupsi sebenarnya merupakan
kejahatan terhadap hak asasi seluruh warga negara karena rakyat dan negaralah yang berhak dan secara
sah memiliki aset negara.63
Pasal 28G ayat (1) UUD RI Tahun 1945 menentukan: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri,
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya, serta
berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi”. Ini merupakan perlindungan konstitusi terhadap harta kekayaan
(properti) yang berada di bawah penguasaan setiap warga negara hanya diperuntukkan atas penguasaan
aset yang sah menurut hukum.
Negara tidak memberikan perlindungan konstitusi atas penguasaan aset secara tidak sah sehingga
perampasan aset tanpa pemidanaan sebagai instrumen negara untuk melindungi penguasaan aset yang
sah bukanlah pelanggaran HAM. Komisi HAM Eropa Tahun 1986 menyimpulkan NCB Asset Forfeiture
juga tidak melanggar HAM sepanjang perampasan aset tersebut masih diberi kesempatan klaim bagi
pihak-pihak yang membantah melalui judicial scrutiny, dan selama masih diberikan kesempatan upaya
banding di pengadilan yang fair dan obyektif. Ini masih konsisten dengan asas praduga tidak bersalah,
dan hak fundamental atas kepemilikan harta.64
Perampasan aset tanpa pemidanaan sangat krusial dengan jaminan perlindungan hak milik di dalam
Pasal 28H ayat (4) UUD RI 1945 yang tak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Perlindungan terhadap aset seseorang di dalam konstitusi memang sangat dilindungi dari kesewenang-
wenangan sekaligus merupakan ciri negara hukum (rule of law). Namun, yang penting diperhatikan
adalah bagaimana perampasan aset tanpa pemidanaan tersebut dilaksanakan dengan tidak melanggar
hak konstitusi setiap orang.
Oleh sebab itu, doktrin NCB Asset Forfeiture mengajarkan bahwa untuk mencegah terjadinya
pelanggaran dalam mekanisme ini, JPU harus terlebih dahulu memiliki dugaan kuat (probable cause)
adanya keyakinan bahwa aset tersebut tercemar/ternodai dengan suatu kejahatan atau diperoleh secara
melanggar hukum. Penekannya adalah kepada JPU harus terlebih dahulu memiliki bukti kuat yang tak
terbantahkan lagi, bahwa aset yang ditemukan di luar kewajaran transaksi keuangan dan menyalahi
pengadministrasian aset. Dengan menggunakan teori probable cause ini, negara melawan aset itu sendiri
karena keberadaannya bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.65
Keputusan International Commission of Jurist (ICJ) di New Delhi-India tahun 1959 mengenai
presumption of innocence menyatakan bahwa kesalahan tersangka harus dibuktikan dalam setiap kasus.
Penerapan rule of law mencakup penerimaan prinsip presumption of innocence, dimana terdakwa
dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah. Tapi dalam kasus tertentu yang menggeser beban
63 Ibid., hal. 296-297. 64 Yunus Husein, “Penjelasan…, Op. cit., hal. 34. 65 https://acch.kpk.go.id/id/artikel/riset-publik/tantangan-penerapan-perampasan-aset-tanpa-tuntutan-pidana-non-conviction-
based-asset-forfeiture-dalam-ruu-perampasan-aset-di-indonesia, diakses tanggal 14 Maret 2021.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)
Page 60
pembuktian tidak bertentangan dengan hukum.66 Dengan demikian, semakin memperkuat referensi
penyimpangan terhadap prinsip presumption of innocence dalam perkara NCB Asset Forfeiture tidak
bertentangan dengan rule of law untuk kasus-kasus tertentu (in particular case).67
Sebaliknya, prinsip dalam NCB Asset Forfeiture adalah praduga bersalah (presumption of guilt).
Prinsip praduga tidak bersalah dan prinsip praduga bersalah masing-masing memiliki ruang yang
berbeda. Tapi, dalam perkara NCB Asset Forfeiture, maka sah-sah saja bila orang yang diduga bersalah
untuk diminta membuktikan bahwa harta yang diperoleh secara tidak wajar.68
Penerapan NCB Asset Forfeiture ini harus diawali dari komitmen yang kuat dimana negara dan
aparatur hukumnya tidak boleh terpengaruh dengan pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa NCB
asset forfeiture melanggar HAM. Penerapan NCB Asset Forfeiture harus ekstra hati-hati agar tidak
melanggar HAM. Sebab, penerapan ini rentan dengan pelanggaran HAM.69
Untuk menghindari pelanggaran terhadap HAM maka harus dimulai dari komitmen negara melalui
JPN dan aparat hukum lainnya, dilakukan dengan komprehensif dan terintegrasi, dimulai dari
penelusuran untuk memperoleh bukti-bukti kuat atas keberadaan aset tersebut, pemblokiran,
perampasan/penyitaan, dan selanjutnya diumumkan ke publik. Jika ternyata ada pihak yang mengajukan
klaim maka atas dasar HAM, ia diberi kesempatan untuk membuktikan klaimnya melalui gugatan
perdata dalam proses sidang di pengadilan.70
Penerapan pembalikan beban pembuktian (reversal of the burden of proof) dalam NCB Asset
Forfeiture bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan karena tidak melanggar HAM. Pembalikan beban
pembuktian tidak ada kaitannya dengan prinsip “siapa yang menuduh maka dialah yang harus
membuktikan tuduhannya” dan tidak berkaitan dengan prinsip “praduga tidak bersalah”. Sebab kedua
prinsip ini berhubungan dengan pembuktian kesalahan pidana terdakwa di persidangan. Sedangkan
pembalikan beban pembuktian adalah suatu bentuk atau cara menunjukkan sah atau tidaknya
kepemilikian atas suatu aset/harta kekayaan dan menjelaskan bagaimana cara pelaku / pemilik
mendapatkan aset tersebut.71
Apabila pelaku / pemilik tidak mempu membuktikan bahwa dia telah memiliki aset/harta yang
diperoleh secara sah menurut hukum, maka telah ada dugaan kuat yang tak terbantahkan lagi bahwa
aset/harta tersebut merupakan hasil/tercemar dengan kejahatan. Aset/harta yang tidak dapat dibuktikan
tersebut harus dinyatakan sebagai harta kekayaan yang tercemar/ternodai (taint). Untuk itu, JPN harus
mengajukan permohonan gugatan perdata ke pengadilan agar harta yang tercemar tersebut ditetapkan
dirampas dan sebagai milik negara.72
Perampasan aset tanpa pemidanaan bukan ditujukan untuk menyatakan kesalahan pidana dan bukan
untuk menghukum terdakwa. Pendekatan perampasan in rem ini telah menggeser nilai kebenaran materil
tentang kesalahan dalam hukum pidana menjadi kebutuhan untuk membuktikan kebenaran formil atas
asal-usul harta kekayaan. Mekanisme yang digunakan dalam RUU Perampasan Aset untuk in rem tidak
membuktikan kesalahan pidana seseorang atau subjek hukum, melainkan hanya membuktikan suatu aset
merupakan hasil kejahatan.73
66 Norman S. Marsh, “The Rule Of Law In A Free Society”, A Report On The International Congress Of Jurists, New Delhi, India, January 5-10, 1959, hal. 9. 67 Yunus Husein, “Penjelasan…, Loc. cit. 68 Ibid. 69 Sudarto & Hari Purwadi, “Mekanisme Perampasan Aset Dengan Menggunakan Non-Conviction Based Asset Forfeiture Sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS, Vol. V,
No. 1 (Januari-Juni 2017), hal. 110. 70 Ibid., hal. 111. 71 Yunus Husein, “Penjelasan…, Op. cit., hal. 36. 72 Ibid. 73 Ibid., hal. 35.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)
Page 61
C. Penutup
1. Kesimpulan
Perampasan aset korupsi tanpa pemidanaan (NCB Asset Forfeiture) dalam perspektif HAM adalah
sejalan dan tidak bertentangan prinsip antar satu sama lain. Dasar hukumnya adalah konstitusi (Pasal
28H ayat 4 dan Pasal 28G ayat 1 UUD RI Tahun 1945), Pasal 29 ayat (2) DUHAM/UDHR, Pasal 70
dan Pasal 29 ayat (1) UUHAM, Keputusan Komisi HAM Eropa 1986, Keputusan ICJ 1959, dan
pendapat para ahli hukum. Secara normatif, aset yang tercemar korupsi adalah hak tiap-tiap warga
negara (korban) dalam rangka memenuhi prinsip demokrasi ekonomi (Sila Ke-4 Pancasila) dan keadilan
sosial (Sila Ke-5 Pancasila), perlindungan sosial, kesejahteraan sosial, dan kemanfaatan sosial. Negara
lah yang berwenang menguasai aset/harta yang tak jelas pemiliknya, atau merampasnya karena tercemar
korupsi. Lagi pula NCB Asset Forfeiture tidak bergantung pada kesalahan pidana terdakwa, tapi
bergantung pada keberadaan aset itu sendiri setelah lebih dahulu ada dugaan kuat dan keyakinan bahwa
aset tersebut tercemar/ternodai korupsi dan melawan hukum, maka penggunaan prinsip praduga
bersalah terhadap aset tersebut adalah sah. Secara praktek, ini tidak bertentangan dengan HAM
sepanjang proses NCB Asset Forfeiture tidak dilakukan secara sewenang-wenang maka tetap
konstitusional. Pemilik atau pihak ketiga yang membantah tetap diberi kesempatan untuk membuktikan
klaimnya terhadap aset melalui gugatan perdata. Dengan tetap diberikannya kesempatan dan upaya
perdata di pengadilan secara fair dan obyektif masih konsisten dengan asas praduga tidak bersalah, dan
hak fundamental atas kepemilikan harta. Dalam konteks rule of law dari sisi pendekatan hukum pidana
dan perdata, sifat hukum pidana membatasi sebagian HAM terdakwa di satu sisi dan melindungi HAM
korban di sisi lain, sementara sifat hukum perdata adalah menekankan kejelasan kepemilikan sah atas
suatu harta/aset.
2. Saran
Diharapkan agar penerapannya tidak melanggar HAM maka penggunaan NCB Asset Forfeiture
harus ekstra hati-hati, sebab rentan dengan pelanggaran HAM. Untuk menghindari itu maka harus
dimulai dari komitmen negara cq JPN, aparat hukum, dan lembaga-lembaga terkait, dengan
komprehensif dan terintegrasi, memulai penyelidikan untuk memperoleh bukti-bukti kuat atas
keberadaan aset, pemblokiran, penyitaan, perampasan, dan pengumuman ke publik. Jika ternyata ada
pihak yang mengajukan klaim, maka atas dasar HAM, ia harus diberi kesempatan untuk membuktikan
klaimnya melalui gugatan perdata dalam proses sidang di pengadilan secara fair dan objektif.
Daftar Pustaka
Albert, Richard F. & Amy Tully, “A Bad Fit-Criminal Forfeiture of Substitute Assets, the Lis Pendens”,
New York Law Journal, Vol. 234, No. 27, Tanggal 9 Agustus 2005.
Amrullah, M. Arief, Politik Hukum Pidana Dalam perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di Bidang
Perbankan, Jakarta: Bayu Media, 2007.
Bernet, Tood, “Legal Fiction and Forfeiture: A Historical Analysis of the Civil Asset Forfeiture Reform
Act”, 40 Duquesnes Law Review Fall, 2001.
Bureni, Imelda F.K., “Kekosongan Hukum Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol.45, No.4, Oktober 2016.
Cassella, Stefan D., “Criminal Forfeiture Procedure in 2015: An Annual Survey of Developments in the
Case Law”, Criminal Law Bulletin, Date: 8/22/2015.
______, “The Case for Civil Forfeiture: Why In Rem Proceddings are an Essential Tool for Recovering
the Proceeds of Crime, Paper yang disampaikan pada seminar: 25th Cambrige International
Symposium on Economic Crime, Tanggal 7 September 2007.
Chaerudin & Syarif Fadillah, Korban Kejahatan Dalam Pespektif Vikimologi Dan Hukum Pidana Islam,
Cetakan Pertama, Jakarta: Grhalia Press, 2004.
Ekotama, Suryono, dkk., Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspekif Viktimologi,
Kriminologi dan Hukum Pidana, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, (Jakarta: Universitas Atma Jaya,
2001), hal. 135.
Finklestein, “The Goring Ox: Some Historical Perspective on Deodands, Forfeiture, Wrongful Death
and the Western Notion of Sovereignty”, 46 Temple Law Quarterly Journal (1973).
Gosita, Arif, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1993.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)
Page 62
Greenberg, Theodore S., dkk., Stolen Asset Recovery: A Good Practices Guide for Non-Conviction
Based Asset Forfeiture, Washington DC: The Wolrd Bank, 2009.
Harahap, A. Bazar & Nawangsih, Hak Asasi Manusia dan Hukumnya, Jakarta: Perhimpunan
Cendikiawan Indpenden Indonesia-Pecirindo, 2006.
Hunter, Isaiah M., “The War on Drugs and Taxes: How Tax Expenditure Analysis Can Shed Light on
Civil Asset Forfeiture”, New York University Journal of Law & Liberty, Vol. 9:549, 2014.
Husein, Yunus, “Penjelasan Hukum Tentang Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerja sama
dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan (Puslitbangkumdil) Mahkamah
Agung Republik Indonesia, dan United States Agency International Development (USAID).
Manthovani, Reda & R. Narendra Jatna, Rezim Anti Pencucian Uang dan Perolehan Hasil Kejahatan
di Indonesia, Jakarta: Malibu, 2012.
Marsh, Norman S., “The Rule Of Law In A Free Society”, A Report On The International Congress Of
Jurists, New Delhi, India, January 5-10, 1959.
Moores, Eric, “Reforming The Civil Asset Forfeiture Reform Act, Arizona Law Review, Vol. 51:777,
University of Arizona, 2010.
Muladi & Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992.
Naning, Ramdhon, Cita dan Citra Hak-HAM di Indonesia, Jakarta: Lembaga Kriminologi Program
Penunjang Hukum Universitas Indonesia, 1990.
Nasution, Bismar, “Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia”,
Makalah Disampaikan Pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2007, Pengembalian Aset (Asset
Recovery) Melalui Instrumen Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative dan Perundang-Undangan
Indonesia, Diadakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) di Hotel Millenium Jakarta 28-29
November 2007.
Palma, Alvon Kurnia, Implementasi Dan Pengaturan Illicit Enrichment (Peningkatan Kekayaan Secara
Tidak Sah) Di Indonesia, Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2014.
Porajow, David Fredriek Albert, Non-Conviction Based Asset Forfeiture Sebagai Alternatif
Memperoleh Kembali Kekayaan Negara Yang Hilang Karena Tindak Pidana Yang Berkaitan
Dengan Perekonomian Negara, Jakarta: FHUI, 2013.
Prassel, Frank R., Criminal Law, Justice, and Society, Santa Monica-California: Goodyear Publishing
Company Inc., 1979.
Ramelan & Tim Penyusun, Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang
Perampasan Aset Tindak Pidana Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, Jakarta:
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, 2012.
Romantz, David Scott, “Civil Forfeiture and the Constitution: A Legislative Abrogation of Right and
The Judicial Response: The Gulit of The Res”, 28 Suffolk University Law Riview, 1994.
Schwarcz, Steven L. & Alan E. Rothman, “Civil Forfeiture: A Higher Form of Commercial Law?”,
Fordham Law Review, Vol. 62, Tahun 1993.
Sudarto, “Mekanisme Perampasan Aset Dengan Menggunakan Non Conviction Based Asset Forfeiture
Sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Pasca
Sarjana Hukum UNS, Vol. V, No. 1 (Januari-Juni 2017), hal. 111.
______, & Hari Purwadi, “Mekanisme Perampasan Aset Dengan Menggunakan Non-Conviction Based
Asset Forfeiture Sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi”,
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS, Vol. V, No. 1 (Januari-Juni 2017).
Skorup, Brent, “Ensuring Eighth Amendment Protection From Excessive Fines in Civil Asset Forfeiture
Cases”, Civil Rights Law Journal, Vol. 22:3, 2012.
The European Union & The Council of Europe, Impact Study on Civil Forfeiture, Belgrade: Dosije
Studio, 2013.
Wagiman, Wahyu & Zainal Abidin, Praktik Kompensasi dan Restitusi di Indonesia: Sebuah Kajian
Awal, Jakarta: Indonesia Corruption Wacth (ICW), The Institute for Criminal Justice Reform,
Koalisi Perlindungan Saksi, 2007.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Hak Asasi Manusia Konsep Dasar dan Perkembangan Pengertiannya Dari
Masa Ke Masa, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2005.
Yusuf, Muhammad, Merampas Aset Koruptor, Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jakarta:
Kompas Media Nusantara, 2013.
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Perampasan Aset Korupsi Tanpa… Volume 2 Nomor 1, Februari 2021: Page 49-63 (Teuku Isra Muntahar, dkk.)
Page 63
https://acch.kpk.go.id/id/artikel/riset-publik/tantangan-penerapan-perampasan-aset-tanpa-tuntutan-
pidana-non-conviction-based-asset-forfeiture-dalam-ruu-perampasan-aset-di-indonesia, diakses
tanggal 16 Mei 2021.
https://harvardlawreview.org/2018/06/how-crime-pays-the-unconstitutionality-of-modern-civil-asset-
forfeiture-as-a-tool-of-criminal-law-enforcement/, diakses tanggal 14 Maret 2021.
https://www.justice.gov/afp/types-federal-forfeiture, diakses tanggal 14 Maret 2021.
https://acch.kpk.go.id/id/artikel/riset-publik/tantangan-penerapan-perampasan-aset-tanpa-tuntutan-
pidana-non-conviction-based-asset-forfeiture-dalam-ruu-perampasan-aset-di-indonesia, diakses
tanggal 14 Maret 2021.