Upload
others
View
18
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
44
BAB V
PERAN AKTOR DALAM PENYUSUNAN RENCANA
PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA
(RPJMDES)
Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes)
pada prinsipnya adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia
(Hanapiah, 2011). Ini mengartikan bahwa, penyusunan suatu RPJMDes
merupakan proses penciptaan iklim yang mendorong tumbuhnya prakarsa dan
swadaya masyarakat desa. Kerangka partisipatif dengan melibatkan masyarakat
desa, merupakan indikator utama yang menentukan kualitas proses penyusunan
RPJMDes.
Uraian dalam Bab V ini akan dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yakni;
Pertama, gambaran proses penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015. Kedua,
dari gambaran tesebut akan memperlihatkan dan menjelaskan peran aktor dalam
penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015.
5. 1. Penyusunan RPJMDes Polobogo
5.1.1. Proses Perencanaan Partisipatif
Pembangunan desa merupakan penopang pembangunan suatu daerah
(kabupaten/kota). Sebagai bagian integral wilayah administratif,
pembangunan desa diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, mengentaskan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat
desa, khususnya menuntaskan kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat
di desa. Dalam rangka pembangunan tersebut, desa membutuhkan sebuah
sistem pembangunan yang terpadu, terukur, dan terencana dengan baik,
dengan memanfaatkan potensi sumberdaya yang dimiliki oleh desa.
Bersumber pada ide dasar ini, desa Polobogo membentuk „Tim Perumus
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) 2010-2015‟
45
pada tanggal 20 Nevember 2010, dalam kerangka menata perencanaan
pembangunannya selama 5 (lima) tahun.
Tujuan dari penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Desa (RPJMDes) adalah untuk1 : Pertama, mewujudkan perencanaan
pembangunan desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan keadaan setempat;
Kedua, menciptakan rasa memiliki dan tanggungjawab masyarakat terhadap
program pembangunan di desa; Ketiga, memelihara dan mengembangkan hasil-
hasil pembangunan di desa; Keempat, menumbuhkembangkan dan mendorong
peran serta masyarakat dalam pembangunan di desa. Dengan mengacu pada
tujuan tersebut, „Tim Perumus RPJMDes Polobogo 2010-2015‟ yang
berjumlah 10 orang dan mewakili setiap dusun yang ada di desa Polobogo,
mulai melakukan kerja perencanaan pembangunan. Tahapan perencanaan
yang dilakukan tergambarkan dalam tiga agenda, yakni: (1) Sosialisasi di
tingkat desa; (2) Penjaringan aspirasi masyarakat desa, yang bermuara pada
Musyawarah Dusun (MUDUS); (3) Pembahasan RPJMDes di Tingkat Desa
dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes).
A. Sosialisasi Di Tingkat Desa
Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
(RPJMDes) Polobogo tahun 2010-2015, diawali dengan sosialisasi secara
terbuka kepada masyarakat desa. Sosialisasi ini dilakukan dengan dua
cara yakni melalui pemasangan pengumuman di kantor desa dan
sosialisasi terbuka yang mengundang masyarakat desa.
“Sosialisasi awal itu di tingkat desa. Seluruh kepala dusun
dan para tokoh-tokoh kami undang di tingkat desa, disitu
kami sosialisasikan bahwa nanti akan ada penyusunan
RPJMDes yang dimulai dari masing-masing dusun. Di saat
itu juga kami menyampaikan tentang jadwal penyusunan
RPJMDes yang sudah kami tentukan dari Tim.”2
1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2007 Tentang Perencanaan Pembangunan
Desa (Pasal 6). 2 Hasil wawancara dengan Pak Supandi (Ketua Tim Perumus RPJMDes Polobogo 2010-2015).
Tanggal 26 Oktober 2013
46
Dari proses sosialisasi yang sudah dilakukan di atas terlihat bahwa
penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015 merupakan agenda penting
yang perlu diketahui oleh masyarakat desa. Menurut penjelasan Pak
Supandi, maksud dari seluruh kepala-kepala dusun dan tokoh-tokoh
masyarakat diundang dalam proses sosialisasi itu adalah agar informasi
tentang penyusunan RPJMDes Polobogo—termasuk jadwal dan agenda-
agendanya—dapat ditindak-lanjuti (diinformasikan) lagi kepada
masyarakat desa secara umum, sehingga masyarakat dapat berpatisipasi
dalam setiap proses penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015. Dengan
demikian, penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015 ini telah
menganut prinsip keterbukaan, dalam arti bahwa setiap proses dan
tahapannya dapat dilihat dan diketahui secara langsung oleh seluruh
masyarakat desa Polobogo.
B. Penjaringan Aspirasi Masyarakat Desa
Setelah melakukan sosialisasi, Tim Perumus kemudian melakukan
penjaringan aspirasi masyarakat desa untuk penyusunan RPJMDes
Polobogo 2010-2015. Aspirasi masyarakat desa ini diperoleh dari proses
identifikasi terhadap masalah-masalah pembangunan serta identifikasi
kebutuhan masyarakat desa dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya. Namun sebelum penjaringan aspirasi masyarakat ini
dilakukan, kendala mendasarnya adalah bahwa masyarakat desa belum
memahami dengan baik masalah pembangunan dan kebutuhan mendasar
yang dimilikinya guna meningkatkan kesejahteraannya.
“Kesusahan yang dihadapi awalnya yaitu warga belum
memahami masalah yang dihadapinya. Warga hanya
menyampaikan apa yang diinginkan saja, tanpa mengetahui
masalah yang dihadapinya. Kami dari Tim berusaha lagi
untuk menjelaskan tentang bagaimana penalaran masalah-
masalah yang ada di masyarakat, mulai dari masalahnya apa,
akar masalahnya apa, sampai pada pemecahannya apa."3
3 Hasil wawancara dengan Pak Supandi (Ketua Tim Perumus RPJMDes Polobogo 2010-2015).
Tanggal 26 Oktober 2013
47
Persoalan mendasar yang juga turut mempengaruhi perencanaan
pembangunan di desa adalah keterbatasan kapasitas sumber daya
manusia di desa dalam memahami maksud dari perencanaan, hal ini
terutama dipengaruhi oleh rendahnya tingkat pendidikan masyarakat
desa. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah strategi untuk menjawab
persoalan tersebut, agar proses penjaringan aspirasi ini tidak menghambat
penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015.
“Awalnya kami buat dulu di satu dusun, untuk menggali dan
menemukan masalah, akar masalah, serta pemecahannya. Di
pertemuan ini, dari dusun-dusun lain kami undang juga untuk
ikut, jadi perwakilan dusun lain itu masing-masing ada 3
orang yang kami ikut sertakan. Maksudnya adalah, setelah
selesai dari satu dusun ini, untuk ke dusun-dusun lain akan
lebih mudah. Jadi kami tidak mengulang-ulang lagi dari awal.
Kerja dari Tim Perumus berat juga di awal, setelah sudah
berjalan, baru semua terasa lancar.”4
Strategi yang dilakukan di atas menggambarkan bahwa keterbatasan
kapasitas sumber daya manusia dalam perencanaan tidak membatasi
proses penyusunan RPJMDes di Polobogo. Pemberian pemahaman
kepada masyarakat untuk mengetahui masalah yang dihadapi di desa,
adalah demi efektivitas dan efisiensi pelaksanaan penyusunan RPJMDes
Polobogo 2010-2015. Pendekatan persuasif melalui cara-cara yang biasa
dilakukan dalam masyarakat itu sendiri, akan mempengaruhi proses-
proses perencanaan selanjutnya. Menurut informasi lapangan yang
diperoleh penulis, pada awal penjaringan aspirasi yang dilakukan di satu
dusun di Polobogo tersebut, merupakan contoh cara pengelompokkan
masalah dan kebutuhan masyarakat desa yang memudahkan proses
penjaringan aspirasi masyarakat selanjutnya di tiap-tiap dusun.
Setelah penjaringan masalah-masalah dan kebutuhan masyarakat di
masing-masing dusun, melalui identifikasi masalah dan kebutuhan
masyarakat, data-data ini dikelompokkan lagi untuk dibahas serta
dirumuskan dalam pelaksanaaan Musyawarah Dusun (MUDUS). Tabel
4 Hasil wawancara dengan Pak Supandi. Tanggal 26 Oktober 2013
48
di bawah ini merupakan salah satu contoh pengelompokkan masalah dan
kebutuhan dari hasil diskusi di salah satu dusun :
Tabel 5.1.
Contoh Penggelompokkan Masalah
Bidang Sarana dan Prasarana di Dusun Breyon
No Masalah Potensi
1 Tempat ibadah rusak Batu, tenaga, kayu
2 Air mengalir tidak teratur Batu, tenaga
3 Tidak punya lapangan sepak bola Tenaga, tim
4 Jalan dusun rusak di Rt. 08,09,07 Breyon Batu, tenaga, kayu
5 Musim penghujan rawan longsor di Rt.
08 Breyon
Tenaga, batu
6 Jalan becek di Rt. 09 Breyon Batu, tenaga
Sumber : Lampiran RPJMDes Polobogo 2010-2015.
Dari data pada Tabel 5.1. di atas tergambarkan bahwa masalah
pembangunan yang telah diidentifikasi di salah satu dusun tersebut
adalah masalah di bidang sarana dan prasarana pembangunan. Selain itu,
potensi untuk menggulangi masing-masing masalah itu telah dirumuskan
secara mandiri oleh masyarakat. Salah satu data yang telah
dikelompokkan di atas merupakan sumber data utama dalam pelaksanaan
Musyawarah Dusun (MUDUS), untuk penyusunan RPJMDes Polobogo
2010-2015.
Pelaksanaan MUDUS5 di desa Polobogo dilakukan selama kurang
lebih setengah bulan sejak tanggal 6 Desember sampai dengan 21
Desember 2010, yang dilakukan di 10 (sepuluh) dusun yang ada di desa
Polobogo. Adapun agenda kegiatan MUDUS antara lain : Pertama,
Sosialisasi Penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015; Kedua,
Penjaringan Masalah dan Tindakan Solusi; Ketiga, Penjaringan Potensi;
Keempat, Pemeringkatan Masalah dan Pemeringkatan Tindakan
Pemecahan Masalah. Berikut ini contoh data hasil penentuan peringkat
masalah :
5 Berita Acara Pelaksanaan Musyarawah Dusun. (dilampirkan)
49
Tabel 5.2.
Contoh Hasil Penentuan Peringkat Masalah
No Masalah
Dirasakan
Oleh
Banyak
Orang
Sangat
Parah
Menghambat
Peningkatan
Pendapatan
Sering
Terjadi
Tersedia
Potensi
Untuk
Pemecahan
Masalah
Jumlah
Nilai
Urutan
Peringkat
1 Sulitnya
mendapatkan
tanaman produktif
100 100 100 100 100 500 1
2 Kurangnya air bersih
di dusun Clowok,
Metes, dan Sodong
100 100 100 100 100 500 2
3 Jalan antar dusun
rusak antara dusun Kebonpete s/d
Karangombo
100 100 100 90 100 490 3
4 Tidak ada kegiatan
sosial masyarakat
100 100 100 100 60 460 4
5 Musim hujan banyak
anak-anak terkena
demam berdarah
100 100 100 40 100 440 5
Sumber : Lampiran RPJMDes Polobogo 2010-2015.
Dari Tabel 5.2. di atas memperlihatkan bahwa masyarakat desa dapat
menemukan masalah-masalah yang dihadapinya. Selain itu masyarakat
menentukan indikator-indikator dari masalah tersebut, yakni : (1)
dirasakan oleh banyak orang, (2) tingkat parah/kesulitan, (3) kaitan
masalah dengan sebagai hambatan peningkatan pendapatan, (4) sering
terjadi, (5) tersedia potensi untuk pemecahan masalah. Seluruh
pemeringkatan tersebut dirumuskan secara partisipatif oleh masyarakat
dalam MUDUS.
“Dalam MUDUS, kami mengajak warga agar mengenali
masalahnya, mencari solusi dari masalah itu, lalu secara
bersama-sama kami memberikan skoring (pemeringkatan)
terhadap masalah dan solusi yang sudah kemukakan oleh
warga.”6
Partisipasi masyarakat ini tergambarkan secara jelas karena ajakan dan
pendampingan yang diberikan oleh Tim Perumus, sehingga masyarakat
dapat mengemukakan sendiri masalah-masalah beserta solusi
6 Hasil wawancara dengan Pak Supandi (Ketua Tim Perumus RPJMDes Polobogo 2010-2015)
Tanggal 26 Oktober 2013
50
pembangunannya. Setelah melakukan pemeringkatan, Tim Perumus
melakukan pengkajian tindakan pemecahan masalah berdasarkan usulan
yang disampaikan oleh masyarakat. Berikut contoh hasil kajian tindakan
pemecahan masalah yang telah dilakukan :
Tabel 5.3.
Contoh Hasil Pengkajian Tindakan Pemecahan Masalah
No Masalah Penyebab Potensi Alternatif Tindakan
Pemecahan
Tindakan
Layak
1 Jalan gang becek di RT 08
dusun Clowok
Jalanan masih tanah Batu, Tenaga Betonisasi, Paving Betonisasi
2 Rendahnya harga susu Harga dikuasai
peloper
SDM, Lokasi Pendirian
GAPOKTANI
tingkat desa
Pendirian
GAPOKTANI
tingkat desa
3 Banyak pengangguran Tidak ada lapangan
pekerjaan, kemampuan minim
SDM Diadakan Kursus
Ketrampilan
Diadakan
Kursus Perbengkelan
4 Musim hujan banyak anak
demam berdarah
Linkungan kumuh Bidan, Pustu Diadakan Poking satu
tahun dua kali
Diadakan
Poking satu
tahun dua kali
Sumber : Lampiran RPJMDes Polobogo 2010-2015.
Dari Tabel 5.3. di atas tergambarkan bahwa masyarakat desa
memahami masalah pembangunan yang sedang dihadapinya, dan secara
partisipastif masyarakat mampu menentukan alternatif solusi, serta
menentukan solusi yang tepat untuk menanggulangi masalah-masalah
pembangunan. Ketika data di atas selesai dirumuskan, data itu dijadikan
usulan kegiatan dan program pembangunan yang diakomodir dalam
RPJMDes Polobogo dalam kurun waktu 2010-2015.
Proses penjaringan aspirasi masyarakat desa yang dilakukan di atas,
menunjukkan bahwa penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015 telah
melalui proses yang selektif dan objektif. Masalah-masalah yang
dirumuskan masyarakat merupakan masalah yang nyata dihadapi. Di sisi
lain, meskipun proses penjaringan aspirasi di atas terkesan dilakukan
berulang-ulang, namun dari hasilnya terlihat bahwa penyusunan
RPJMDes Polobogo ini bermuara pada perencanaan pembangunan yang
berpihak pada masyarakat desa, dan secara serius memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat khususnya masyarakat
miskin.
51
C. Pembahasan RPJMDes di Tingkat Desa
Setelah seluruh dusun melaksanakan Musyawarah Dusun (MUDUS),
Tim Perumus kemudian melaksanakan penyusunan dokumen RPJMDes
Polobogo 2010-2015 dengan menggunakan landasan aspirasi masyarakat
yang merupakan hasil MUDUS. Terdapat tiga dokumen yang disusun
oleh Tim Perumus, yang nantinya menjadi lampiran penting dari
RPJMDes :
1. Rencana program swadaya masyarakat dan pihak ketiga;
2. Rencana kegiatan yang menggunakan APBN, APBD Provinsi,
dan APBD Kabupaten, serta penyusunan APBDes (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa 2010-2015;
3. Pemeringkatan usulan pembangunan berdasarkan RPJMDes,
Daftar Usulan Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (DU-
RKPDesa), Rekapitulasi rencana program pembangunan desa,
Draft Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDesa).
Dokumen RPJMDes Polobogo 2010-2015 yang diselesaikan oleh
Tim Perumus, menjadi dokumen yang dibahas secara terbuka dalam
Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes)7.
“Musrenbangdes itu dilakukan karena sudah ada bahan
RPJMDes-nya. Pada saat Musrenbangdes itu, RPJMDes dan
RKPDesa dibahas dengan seluruh kepala dusun, perwakilan
dari masing-masing dusun, tokoh-tokoh masyarakat dan juga
perwakilan dari PNPM Mandiri di Kecamatan Getasan.”8
Proses penyusunan RPJMDes tidak mutlak menjadi kendali atau
wewenang Tim Perumus. Setiap proses perencanaan pembangunan di
Polobogo tetap mengikut-sertakan masyarakat untuk membahas dan
menetapkan RPJMDes Polobogo sebagai dokumen pembangunan yang
strategis bagi masyarakat.
7 MUSRENBANGDES Polobogo dilaksanakan pada tanggal 20 Januari 2011 (Berita Acara
MUSRENBANGDES) 8 Hasil wawancara dengan Pak Supandi (Ketua Tim Perumus RPJMDes Polobogo 2010-2015).
Tanggal 26 Oktober 2013
52
Sejauh ini, dapat dilihat bahwa penyusunan RPJMDes Polobogo
2010-2015 telah menganut prinsip partisipatif dan akuntabel. Artinya,
masyarakat telah terlibat aktif dalam seluruh dalam proses penyusunan
RPJMDes, dan di sisi yang lain, penyusunan dan perumusan dokumen
RPJMDes Polobogo telah dipertanggung-jawabkan dengan benar, baik
pada pemerintah desa maupun pada masyarakat.
Namun demikian, meski secara strategis dan partisipatif dokumen
RPJMDes Polobogo di atas selesai dirumuskan oleh masyarakat bersama
Tim Perumus, kenyataannya dokumen RPJMDes Polobogo tersebut
belum dapat dikatakan sebagai dokumen RPJMDes yang utuh, dan belum
sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurut informasi yang diperoleh di
lapangan, dokumen RPJMDes tersebut tertahan selama hampir 8
(delapan) bulan dan seluruh program dan kegiatannya belum
dilaksanakan. Permasalahan mendasarnya adalah bahwa penyusunan
dokumen RPJMDes Polobogo belum diintegrasikan dengan dokumen
perencanaan kabupaten Semarang, yaitu dokumen Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Semarang.
5.1.2. Relasi Kabupaten dan Desa Dalam Penyusunan RPJMDes Polobogo
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa, perencanaan
pembangungan desa disusun sebagai satu kesatuan dalam sistem
perencanaan pembangunan kabupaten.9 Aturan ini mengartikan bahwa
setiap perencanaan pembangunan di desa harus bersinerji dengan
perencanaan pembangunan yang ada di tingkat kabupaten, begitupun
sebalik. Penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015 yang telah
digambarkan di atas merupakan contoh kasus yang nyata, bahwa aturan
tersebut belum dijalankan.
Menurut penuturan Pak Supandi selaku Ketua Tim Perumus
RPJMDes Polobogo, pasca Musyawarah Rencana Pembangunan Desa
9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2007 Tentang Perencaan Pembangunan Desa
Pasal 63Ayat 1.
53
(Musrenbangdes) pada bulan Januari 2011, aparatur di desa dan masyarakat
desa tidak mengetahui bahwa RPJMDes Polobogo 2010-2015 yang telah
disusun itu ternyata belum utuh dan masih terbentur dengan aturan ideal dari
penyusunan RPJMDes. Ketika didatangi10
oleh Dosen11
dan Mahasiswa12
Universitas Kristen Satya Wacana serta seorang Aktivis LSM Trukajaya
Salatiga13
, Tim Perumus baru mengetahui ada kekurangan yang terjadi
dalam penyusunan RPJMDes Polobogo.
“Awalnya, kami Tim Perumus di desa juga tidak tahu bahwa
RPJMDes itu harus disesuaikan dengan visi dan misi
Kabupaten, yang adalah visi dan misi Bupati. Ketika Pak Roy
dan Mas Bagus menjelaskan, baru kami tahu. Karena itu
RPJMDes kita ulang (menyusun) lagi bersama-sama dengan
Pak Roy, Mas Bagus dan teman-teman dari UKSW, yang
disesuaikan dengan visi misi kabupaten.”14
Dari hasil diskusi saat pertemuan antara tiga elemen ini (desa,
akademisi, dan aktivis LSM), Tim Perumus menyampaikan bahwa
penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015 sudah dilaksanakan dari bawah
sejak sosialisasi, penjaringan aspirasi, sampai dengan penyusunan dokumen
RPJMDes dan RKPDesa. Akan tetapi, ketika dicermati lebih jauh, proses ini
sebenarnya belum tuntas, dan dokumen RPJMDes Polobogo 2010-2015,
belum dilembagakan sebagai salah satu dokumen perencanaan
pembangunan desa yang mendapat legitimasi dari kabupaten.
“Dari sisi proses sampai jadi sebuah dokumen perencanaan,
RPJMDes Polobogo itu sudah ideal. Kekurangannya adalah
bagaimana agar visi dan misi dari RPJMDes itu sikron
dengan visi dan misi dari pembangunan kabupaten yang
tertera di RPJMD.”15
10 Pertemuan awal antara aparatur desa Tim Perumus RPJMDes Polobogo 2010-2015 dengan Pak
Roy, Mas Bagus dan para mahasiswa dari UKSW terjadi pada tanggal 13 Oktober 2011. 11 Ir. Royke Siahainenia, M.Si. Beliau adalah salah satu staf pengajar di Program Studi Sosiologi
Universitas Kristen Satya Wacana. 12 Mahasiswa-mahasiswa ini sedang mengambil mata kuliah Perencanaan Pembangunan dan
Pemberdayaan Masyarakat yang diampu oleh Pak Roy bersama Mas Bagus. 13
Bagus Indra Kusuma, seorang aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Trukajaya Salatiga.
Beliau pernah punya pengalaman pendampingan di Polobogo sejak 2005. 14 Hasil wawancara dengan Pak Supandi. Tanggal 26 Oktober 2013 15 Hasil wawancara dengan Mas Bagus Indra Kusuma. Tanggal 16 Januari 2014
54
Proses yang terjadi dalam penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015
merupakan proses yang partisipatif, namun demikian proses tersebut tidak
mendapat legitimasi pemerintah kabupaten karena tidak berkaitan dengan
dokumen penyusunan RPJMD Kabupaten Semarang 2011-2015. Hal ini
juga yang dikemukakan oleh Pak Roy :
“Proses sebelumnya yang terjadi di Polobogo itu tidak keliru.
Kelemahan masyarakat di desa itu karena tidak ada yang
mendampingi, masyarakat tidak tahu informasi dari atas
(kabupaten). Di sisi yang lain, masyarakat itu sengaja dibikin
tidak pintar. Misalnya, Bappeda itu jarang turun langsung ke
desa, di kecamatan saja itu jarang.”16
Bersumber data tersebut tersebut, dapat dikatakan bahwa, pertama,
penyusunan RPJMDes Polobogo telah melalui proses partisipatif, yang
melibatkan masyarakat desa secara umum, guna menentukan program dan
kegiatan pembangunan di desa. Kedua, relasi desa dan kabupaten dalam
perencanaan pembangunan adalah dengan kesatuan visi dan misi serta arah
kebijakan. Namun, ketiga, masyarakat desa tidak tahu dan belum mampu
mengakses informasi mengenai perencanaan pembangunan di tingkat
kabupaten, karena kelima, masyarakat tidak didampingi oleh pemerintah
kabupaten dalam penyusunan RPJMDes tersebut, atau dengan kata lain,
tidak ada komunikasi antara desa dan kabupaten mengenai proses
penyusunan rencana pembangunan tersebut. Sehingga, keenam, masyarakat
desa membutuhkan pendampingan lebih lanjut, agar proses penyusunan
RPJMDes dapat selesai dan arah gerak pembangunan dapat berjalan secara
terpadu dan terukur sesuai dengan harapan dari penyusunan RPJMDes
Polobogo.
5.1.3. Pendampingan dan Lokakarya RPJMDes Polobogo
Pembangunan desa bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia, termasuk penciptaan iklim yang mendorong tumbuhnya prakarsa
dan swadaya masyarakat desa. Penduduk desa merupakan suatu potensi
16 Hasil wawancara dengan Pak Royke Siahainenia. Tanggal 11 Januari 2014
55
sumber daya manusia yang memiliki peran ganda, yaitu sebagai objek
pembangunan dan sekaligus sebagai subjek pembangunan (Hanapiah M.,
2011). Dikatakan sebagai objek pembangunan, karena sebagian penduduk di
desa dilihat dari aspek kualitas masih memerlukan pendampingan dan
pemberdayaan. Sebaliknya sebagai subjek pembangunan, penduduk desa
memegang peranan penting sebagai kekuatan penentu (pelaku) dalam proses
pembangunan desa. Jika pemahaman ini dikonteks dalam penyusunan
RPJMDes Polobogo, maka dapat dikatakan bahwa di satu sisi dengan
berbagai keterbatasan, masyarakat desa Polobogo telah menjadi pelaku
perencanaan pembangunannya, namun di sisi lain, karena keterbatasan yang
dimilikinya, masyarakat desa juga memerlukan pendampingan dan
pemberdayaan untuk menyusun dan menyempurnakan RPJMDes Polobogo
2010-2015.
Kesenjangan komunikasi antara desa dan kabupaten dalam
penyusunan RPJMDes Polobologo 2010-2015, teletak pada proses
pendampingan dan pemberdayaan yang tidak dilakukan oleh pemerintah
kabupaten. Di sisi lain, masyarakat desa sulit mengakses informasi yang
berkaitan dengan perencanaan pembangunan di tingkat kabupaten.
Sehingga, dalam kerangka pendampingan dan penyempurnaan RPJMDes
Polobogo 2010-2015, berbagai upaya kolaboratif dilakukan oleh Tim
Perumus, Dosen (akademisi) UKSW dan aktivis LSM Trukajaya dengan
dibantu oleh mahasiswa. Upaya-upaya yang tersebut antara lain17
:
1) Menginformasikan dan memberikan pemahaman kepada Tim
Perumus dan aparatur desa mengenai arahan visi dan misi
RPJMD Kabupaten Semarang serta menyampaikan prioritas
program kewilayahan yang berkaitan dengan desa Polobogo.
2) Menyusun kembali profil penduduk, khususnya pada bidang
sosial, ekonomi, serta kondisi kemiskinan penduduk di desa
Polobogo.
17 Berdasarkan hasil wawancara dengan Mas Bagus Indra Kusuma. Tanggal 16 Januari 2014
56
3) Merumuskan kembali visi dan misi RPJMDes serta perumusan
kebijakan prioritas desa yang tetap berpedoman pada aspirasi dan
kebutuhan masyarakat desa Polobogo, dengan menyelaraskan
pada visi dan misi pembangunan kabupaten Semarang yang
termaktub dalam RPJMD Kabupaten Semarang 2011-2015.
4) Penyempurnaan dokumen RPJMDes Polobogo 2010-2015.
5) Pelaksanaan Lokakarya RPJMDes Polobogo 2010-2015.
Upaya-upaya yang dikemukakan di atas senada dengan yang
disampaikan oleh Pak Roy, melalui hasil wawancara dengan penulis :
“Pada dasarnya, RPJMDes Polobogo itu akan punya
kekuatan bila dilihat dalam relasi dengan di atasnya
(kabupaten). Karena dokumen RPJMDes Polobogo itu tidak
berdiri sendiri. Masyarakat pada prinsipnya perlu menguasai
informasi pembangunan yang dari atas, sehingga RPJMDes
itu bukan saja konsumsi untuk desa, tetapi untuk kabupaten
juga. Awalnya kita, istilahnya berdiri di tengah, memberikan
informasi kepada desa mengenai visi dan misi RPJMD serta
pembangunan dari kabupaten. Sehingga RPJMDes itu juga
sesuai dengan aturannya.”18
Data di atas menggambarkan bahwa pendampingan yang dilakukan
merupakan upaya kolaboratif yang diawali dengan memberikan pemahaman
kepada masyarakat desa mengenai pentingnya dokumen RPJMDes bagi
desa, disamping itu juga masyarakat desa diberikan pemahaman mengenai
hubungan perencanaan pembangunan antara desa dan kabupaten. Proses
penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015 pada prinsipnya bukanlah
perencanaan otonom (self planning), melainkan merupakan bagian
(subsistem) dari perencanaan pembangunan daerah. Fakta yang terjadi di
Polobogo adalah masyarakat juga tidak hanya bertugas memberikan usulan
pembangunan, tetapi secara mandiri dan menggunakan jejaring-jejaring
yang dimilikinya, masyarakat telah berusaha menjangkau kesenjangan
komunikasi perencanaan lintas spasial. Upaya yang dilakukan oleh
masyarakat ini juga adalah agar dokumen RPJMDes tetap dianggap penting
18 Hasil wawancara dengan Pak Royke Siahainenia. Tanggal 11 Januari 2014
57
dalam kaitannya dengan pembangunan di Polobogo. Ini terbukti dari
pelaksanaan Lokakarya RPJMDes Polobogo pada Desember 2011.
“Lokakarya yang dilakukan pada bulan desember itu,
istilahnya adalah „ketok palu‟ bahwa ini ada RPJMDes yang
akan dilaksanakan di Polobogo selama 5 tahun, beserta,
kegiatan-kegiatan tahunan dan anggarannya yang sudah
dipatok semua itu, harapannya adalah untuk nge-gol-ke apa
yang sudah dirancang di RPJMDes itu. Kami sengaja
melaksanakan Lokakarya itu, karena mengundang juga dari
desa-desa lain untuk ada perwakilan dan dari kecamatan.
Agar semua penyusunan RPJMDes meniru pada yang
RPJMDes yang dilokakarya-kan itu, dan agar seluruh desa
sama persepsinya di tingkat kecamatan. Pertemuan itu
dikomunikasikan oleh Pak Roy dan Mas Bagus kepada
Bappeda.”19
Terlihat jelas bahwa desa menempatkan posisi tawarnya dengan berupaya
mendorong agar rumusan perencanaan yang telah dilakukan secara
partisipatif oleh masyarakat dapat diketahui oleh berbagai elemen termasuk
pemerintahan administratif di kecamatan dan pemerintah daerah kabupaten.
Selain itu, dengan bantuan dari akademisi dan praktisi LSM, hambatan
komunikasi dengan pemerintah daerah yang dialami oleh desa dalam proses
penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015 dapat dituntaskan. Lokakarya
RPJMDes tersebut, jika dapat diistilahkan, adalah media pembangunan
wacana kiritis masyarakat desa Polobogo, agar RPJMDes dianggap penting
dalam kaitannya dengan pembangunan masyarakat desa.
Namun demikian, setelah proses Lokakarya berlangsung, masih ada
satu tahapan lagi yang belum dituntaskan. Pelembagaan RPJMDes
Polobogo dalam bentuk dokumen Peraturan Desa Polobogo, dengan
berkonsultasi dengan Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Semarang,
ternyata belum dilaksanakan. Tahapan ideal dari proses penyusunan sebuah
RPJMDes adalah sampai pada proses pelembagaan. 20
19
Hasil wawancara dengan Pak Supandi. Tanggal 26 Oktober 2013 20 Dalam PP Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa Pasal 64 Ayat 2 dan PERMENDAGRI Nomor
66 Tahun 2007 Tentang Perencanaan Pembangunan Desa, Pasal 10, dikatakan bahwa setiap
dokumen RPJMDes yang disusun oleh desa, wajib diatur dalam suatu Peraturan Desa.
58
5. 2. Peran Aktor Dalam Penyusunan RPJMDes Polobogo
Seperti yang telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya, bahwa
penelitian ini berupaya menjelaskan peran aktor dalam penyusunan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) Polobogo 2010-2015, maka
aktor yang akan dijelaskan dalam hasil penelitian ini juga dipilih oleh peneliti
berdasarkan intesitas peran yang dilakukannya selama proses penyusunan
RPJMDes Polobogo. Aktor-aktor tersebut antara lain: (1) Pak Supandi selaku
Ketua Tim Perumus RPJMDes Polobogo 2010-2015, selanjutnya disebut sebagai
“AKTOR 1”; (2) Pak Roy Siahainenia selaku akademisi atau dosen Sosiologi
Universitas Kristen Satya Wacana, selanjutnya disebut sebagai “AKTOR 2”; dan
(3) Mas Bagus Indra Kusuma selaku aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) Trukajaya, selanjutnya disebut sebagai “AKTOR 3”.
Peran aktor yang hendak dijelaskan dalam hasil penelitian ini adalah terkait
dengan konsep tindakan/praktik yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu. Konsep
praktik menurut Bourdieu merupakan integrasi antara habitus yang berdialektik
dengan modal dalam ranah (arena perjuangan), yang dirumuskan dengan:
(Habitus x Modal) + Ranah= Praktik. Dalam kaitan antara konsep tersebut dengan
penelitian ini, maka akan dijelaskan masing-masing unsur dari konsep tersebut
berdasarkan kenyataan yang diperoleh dari lapangan, yang kemudian akan
menjelaskan peran aktor dalam penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015.
5.2.1. Kapasitas dan Relasi Antar Aktor Dalam Penyusunan RPJMDes
Polobogo 2010-2015
Habitus merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis,
yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya
alamiah dan konteks sosial tertentu (Bourdieu, 1994:9, 16-17; dalam
Haryatmoko, 2003:10). Hasil ketrampilan ini dapat bersumber dari
pengalaman paktis maupun proses pembelajaran yang membentuk sebuah
ketrampilan. Ini berarti bahwa habitus merupakan sumber penggerak
tindakan, pemikiran maupun representasi dari seorang individu atau aktor.
Dalam istilah Bourdieu, habitus dilukiskan sebagai „dialektika internalisasi
59
dari eksternalisasi, sekaligus dialektika ekternalisasi dari internalisasi‟ (lihat
Bourdieu, 1977; 72).
Dalam penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015, aktor-aktor yang
saling berkontestasi bersumber pada pengalaman konseptual maupun
pengalaman praktis yang dialaminya. Tabel di bawah ini adalah gambaran
latar belakang aktor-aktor yang berperan dalam penyusunan RPJMDes
Polobogo 2010-2015.
Tabel 5.4.
Latar Belakang, Pengalaman dan Ketrampilan Aktor
Latar Belakang,
Pengalaman dan
Ketrampilan
AKTOR 1 AKTOR 2 AKTOR 3
Pekerjaan Aparatur Desa Polobogo (Kepala
Seksi Keuangan)
Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu
Komunikasi UKSW
Staf Lapangan LSM Trukajaya
Salatiga
Mengikuti kursus atau
pelatihan yang
berkaitan dengan Perencanaan
Pembangunan
Pernah mengikuti
pelatihan
penyusunan RPJMDes di
Kebumen.
Pernah mengikuti
bimbingan teknis
perencanaan pembangunan di
Jakarta.
Pernah mengikuti
Pelatihan
Perencanaan Partisipatif di
Yogyakarta.
Pengalaman Menjadi Konsultan/Pendamping
penyusunan RPJMDes
—
Mendampingi Penyusunan
RPJMDes
Polobogo 2005-
2009
Mendampingi penyusunan
RPJMDes
Polobogo 2005-
2009
Pengalaman menjadi
Tim/Panitia Penyusun
Perencanaan
Pembangunan
Pernah menjadi
Tim Penyusun
RPJMDes
Polobogo 2005-2009
Pernah menjadi
konsultan dalam
penyusunan
RPJMD Kota Salatiga.
Pernah menjadi
Konsultan untuk
Bimbingan Teknis
Perencanaan Partisipatif
Kabupaten
Semarang. Sumber : Hasil Wawancara, diolah.
Jika dilihat dari Tabel 5.4. di atas, aktor-aktor yang intensif berperan
dalam penyusunan RPJMDes Polobogo memiliki pengalaman dan pelatihan
yang memungkinkan aktor-aktor tersebut memiliki ketrampilan untuk
berperan dalam penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015. Ketrampilan
praktis yang diperoleh oleh aktor-aktor tersebut juga telah di dapat sebelum
60
berperan dalam penyusunan RPJMDes Polobogo. Selain itu, meksipun latar
belakang para aktor ini berbeda-beda, namun relasi dan kapasitas aktor telah
terjalin lama sebelum penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015.
Sebelumnya, relasi antar aktor itu adalah pada penyusunan RPJMDes
Polobogo 2005-2009.
Menurut Bourdieu, modal merupakan energi sosial penentu yang
hanya ada pada individu atau aktor untuk memproduksi atau mereproduksi
tindakan-tindakannya dalam arena perjuangan (Bourdieu 1979; 172 dalam
Haryatmoko 2003;11). Jika pemahaman ini dikontekskan dalam proses
penyusunan RPJMDes 2010-2015, maka peran aktor tidak serta-merta
timbul dalam kerangka tindakan, tetap melalui sebuah modal yang
diproduksi atau mereproduksi dalam tindakan para aktor. Dari data yang
diperoleh di lapangan, ada 4 (empat) modal yang digunakan oleh masing-
masing aktor (maupun antar aktor) untuk berperan dalam proses penyusunan
RPJMDes Polobogo 2010-2015.
A. Status Jabatan dan Pekerjaan
Kompetensi simbolik yang dimiliki masing-masing aktor
menentukan ia mampu berperan dalam penyusunan RPJMDes
Polobogo. Selain itu kompetensi ini juga akan menentukan otoritas
tindakan yang akan diambil oleh aktor. Kompetensi simbolis itu
adalah : Pertama, akademi atau dosen yang mewakili institusi
perguruan tinggi (kampus); Kedua, ketua Tim Perumus RPJMDes,
yang juga adalah aparatur Pemerintahan Desa Polobogo; Ketiga, staf
lapangan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Kompetensi simbolik
ini akan menjadi faktor kepercayaan hubungan antar aktor yang
berbeda-beda ini, sehingga menentukan perannya dalam menyusun
RPJMDes Polobogo 2010-2015.
B. Ketrampilan (Pengetahuan)
Bersumber pada tabel 5.4. di atas, dapat dilihat bahwa masing-
masing aktor memiliki ketrampilan dalam penyusunan perencanaan
61
pembangunan. Ketrampilan dan pengetahuan tersebut juga berbeda-
beda sesuai dengan latar belakang atau identitas pekerjaan aktor, baik
sebagai akademisi, perencana pembangunan di desa, maupun aktivis
LSM.
C. Kepercayaan (Trust)
Keterkaitan antara aktor telah dibangun dari proses yang lama,
yakni dalam penyusunan RPJMDes Polobogo tahun 2005-2009.
“Pak Roy itu memang sering kesini dulunya itu. Waktu
pembuatan RPJMDes 2005 itu Pak Roy juga ikut membantu
kita disini, bersama dengan teman-teman dari Trukajaya.
Kalau Mas Bagus dari Trukajaya itu memang tempat
pendampingannya dulu di sini, di Polobogo ini, yang paling
sering itu ketika pembuatan RPJMDes 2005 itu. Kalau orang-
orang Trukajaya itu memang sering hubungannya dengan
saya, kalau ada kegiatannya Trukajaya di Polobogo itu pasti
saya yang komitenya.”21
Data di atas menunjukkan bahwa, unsur kepercayaan terbangun
karena relasi-relasi yang sudah terjalin lama. Relasi antar aktor ini
memungkinkan aktor-aktor saling berkolaborasi dan berkoneksi secara
kolektif, menyusun RPJMDes Polobogo 2010-2015.
D. Jaringan Hubungan-hubungan Sumberdaya (Link)
Mencermati proses penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015
yang tidak tuntas dalam penyusunannya di tingkat desa pada bulan
Januari 2011, berbagai upaya dan komunikasi yang dilakukan oleh
aktor-aktor dalam menyempurnakan dokumen RPJMDes tersebut.
Komunikasi yang dibangun dalam rangka mengintegrasikan maksud
perencanaan pembangunan di desa (RPJMDes) dan perencanaan
pembangunan pemerintah kabupaten (RPJMD) menjadi jaringan
hubungan-hubungan yang mendukung penyempurnaan RPJMDes
Polobogo 2010-2015.
21 Hasil wawancara dengan Pak Supandi. Tanggal 26 Oktober 2013
62
“Saat itu saya sedang menjalin koneksi yang bagus dengan
Bappeda Kabupaten Semarang. Sebelum di Polobogo itu,
saya melatih pegawai-pegawai di Bappeda untuk penelitian.
Dan ketika saya menyampaikan bahwa sedang mendampingi
RPJMDes Polobogo, Bappeda sangat mendukung. Pada
prinsipnya, komunikasi ini saya sampaikan dengan maksud
agar para pengambil kebijakan di kabupaten mengerti dengan
proses yang terjadi di Polobogo.”22
Komunikasi yang terhambat antara desa dengan pemerintah
kabupaten, diatasi dengan hubungan-hubungan yang telah dibangun
oleh aktor yang ikut menentukan kelanjutan proses penyusunan
RPJMDes Polobogo 2010-2015.
Berbagai penjelasan di atas menunjukkan bahwa penyusunan
RPJMDes Polobogo 2010-2015 dapat dilakukan para aktor, berkat
pengalaman, kepercayaan yang terjalin, ketrampilan dan jejaring yang
dimanivestasi oleh aktor-aktor dalam tindakan-tindakannya. Meskipun latar
belakang aktor berbeda-beda, namun karakteristik pencapaian tindakannya
dapat menentukan proses penyusunan dokumen RPJMDes sebagai dokumen
penting dalam rangka pembangunan masyarakat desa Polobogo.
5.2.2. Penyusunan RPJMDes Polobogo sebagai Arena Perjuangan
Ranah (field) merupakan arena kekuatan sebagai upaya perjuangan
untuk memperebutkan atau bahkan mempertaruhkan sumber daya atau
modal yang dimiliki oleh individu atau aktor (Haryatmoko 2003;15). Itu
sebabnya dalam konsepsi Pierre Bourdieu ranah disebut sebagai arena
perjuangan antar individu atau aktor. Dalam konteks penelitian ini penulis
menempatkan ranah yang dimaksudkan itu adalah proses Penyusunan
RPJMDes Polobogo itu sendiri.
Pada sub bab 5.1. tentang Penyusunan RPJMDes Polobogo dapat
dilihat bahwa aktor-aktor telah melalukan upaya-upaya melalui tindakannya,
baik dalam penyusunan dokumen RPJMDes Polobogo 2010-2015, maupun
melalui upaya-upaya kolaboratif untuk menyempurnakan dokumen
22 Hasil wawancara dengan Pak Royke Siahainenia.
63
RPJMDes Polobogo tersebut. Beberapa catatan terkait peran aktor tersebut
antara lain :
A. Strategi Penjaringan Aspirasi Masyarakat Desa
Pada proses ini, terlihat bahwa kelemahan perencanaan
pembangunan di desa sangat berkaitan erat dengan rendahnya
pemahaman masyarakat desa tentang perencanaan, yang dipengaruhi
oleh (salah satunya) rendahnya tingkat pendidikan masyarakat desa.
Atas dasar persoalan tersebut, Tim Perumus menyusun strategi untuk
mengundang perwakilan dan beberapa tokoh masyarakat dari masing-
masing dusun untuk diberikan pemberdayaan, dengan berharap setelah
kembali ke dusun-dusun, para wakil-wakil dari dusun-dusun itu dapat
memberikan pemahaman lagi kepada warganya, setelah itu baru
dilakukan pertemuan di tiap-tiap dusun untuk penjaringan aspirasi dan
data-data yang diperlukan dalam penyusunan RPJMDes.
Secara praktis, strategi ini tentu bersumber pada kebiasaan yang
ada di desa, dan metode pendekatan yang dirumuskan oleh Tim
Perumus. Namun demikian, tidak secara menyeluruh dari Tim
Perumus RPJMDes mampu berpikir tentang strategi ini, butuh
seseorang yang berpengalaman, yang memiliki ketrampilan
perencanaan yang menyusun strategi. Pada titik inilah peran aktor
cukup signifikan mempengaruhi proses penyusunan RPJMDes
Polobogo.
“Semua yang dipelajari di Nggombong (tempat pelatihan di
Kebumen) itu saya terapkan di sini. Acuannya memang dari
yang dipelajari di pelatihan itu. Kerja Tim Perumus itu
semuanya adalah arahan dari saya, karena cuma saya yang
pernah ikut pelatihan penyusunan RPJMDes itu. Sehingga
prosesnya itu benar-benar melalui penjaringan aspirasi warga
itu. Setelah tim itu dibentuk, saya memberikan arahan tentang
kerja-kerja tim, pembagian kerja, membuat jadwal, dan
setelah itu baru kita lakukan sosialisasi di tingkat desa
mengenai penyusunan RPJMDes Polobogo.”23
23 Hasil wawancara dengan Pak Supandi.
64
Terlihat jelas bahwa aktor menggunakan ketrampilan yang
diperoleh dari pelatihan penyusunan RPJMDes untuk mengintervensi
Tim Perumus dalam rangka menentukan strategi dan kerja-kerja Tim
Perumus. Selain itu, peran yang dilakukan di atas juga ditentukan oleh
jabatan yang dimiliki oleh aktor yakni selaku Ketua Tim Perumus
RPJMDes Polobogo 2010-2015.
B. Pendampingan dan Penyempurnaan RPJMDes Polobogo
Arena perjuangan (ranah) mensyaratkan setiap individu atau aktor
mampu memahami aturan-aturan main atau cara bertindak dalam
ranah tersebut (Haryatmoko, 2003; 14). Dalam penyusunan RPJMDes
Polobogo, aktor-aktor yang berperan tentu memiliki pengalaman dan
motivasi-motivasi, namun demikian, aktor-aktor tersebut wajib
memiliki pemahaman ideal tentang sebuah perencanaan pembangunan
desa. Pada titik inilah dapat dikatakan bahwa aktor mesti memiliki
syarat yang non-formal (kapasitas dan kompetensi) untuk terlibat
dalam proses penyusunan RPJMDes Polobogo.
“Selama ini, kalau bicara perencanaan itu seharusnya antara
daerah sama desa jadi satu. Contohnya pengalaman yang di
Kebumen, perencanaannya itu jadi satu karena ada proses
pelatihan dan pendamping dari bawah, sehingga perencanaan
yang dimulai dari desa sampai pada perencanaan daerah.
Yang kami lakukan bersama dengan Pak Roy dan teman-
teman mahasiswa dengan bantuan juga dari Tim Perumus
adalah mengaitkan dokumen RPJMDes itu dengan visi dan
misi serta kebijakan yang ada dalam RPJMD kabupaten
Semarang.
Desa nggak komunikasi atau meminta bantuan kepada saya
dan Pak Roy. Tapi setelah mengetahui bahwa penyusunan
RPJMDes itu memerlukan bantuan dan saya punya
pengalaman pendampingan di Polobogo, sudah kenal orang-
orang di Polobogo juga, maka kami membangun komunikasi
dengan desa, khusus dengan Tim Perumus RPJMDes.”24
24 Hasil wawancara dengan Mas Bagus Indra Kusuma.
65
Dari segi proses, belum tuntasnya penyusunan RPJMDes
Polobogo merupakan akibat dari komunikasi perencanaan
pembangunan yang tidak terjalin antara desa Polobogo dan kabupaten
Semarang. Selain kapasitas sumber daya perencana di desa yang
belum mumpuni, desa sulit menjangkau informasi perencanaan
pembangunan tingkat kabupaten yang telah termuat dalam dokumen
Rencana Pembanguna Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten
Semarang 2011-2015.
Data hasil wawancara di atas, memperlihatkan bahwa aktor
menggunakan sumber pengalaman penyusunan RPJMDes yang ideal
dan diterapkan dalam melakukan pendampingan dalam proses
penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015. Selain itu, aktor tidak
terlihat sebagai individu yang berjuang sendiri dengan kemampuan, ia
juga melakukan tindakan-tindakan kolaboratif secara kolektif dengan
individu atau aktor-aktor lainnya. Pada titik ini, dapat dipahami bahwa
penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015 merupakan kontestasi
perjuangan antar individu atau aktor secara kolaboratif dan kolektif,
atau dalam istilah Bourdieu ini disebut sebagai „medan perjuangan
sosial‟ (Bourdieu, 1994; 56 dalam Haryatmoko 2003; 15).
Motivasi aktor untuk mendampingi masyarakat desa Polobogo
menyusun RPJMDes juga timbul inisiatif aktor sendiri karena relasi
dan kapasitas yang pernah dibangun oleh aktor dengan masyarakat di
desa Polobogo sebelumnya. Dengan kata lain bahwa upaya dan peran
aktor dalam penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015 merupakan
manifestasi dari hubungan yang sudah dijalin atau berlangsung lama.
C. Lokakarya RPJMDes Polobogo
Lokakarya RPJMDes Polobogo 2010-2015 pada prinsipnya tidak
memiliki pengaruh yang signifikan dalam penyusunan RPJMDes
Polobogo. Namun demikian, melalui lokakarya ini terjalin sebuah
ikatan komunikasi antara desa dan kabupaten dalam perencanaan
66
pembangunan. Di satu sisi, desa dengan mudah menyampaikan
usulan-usulan pembangunan yang telah termaktub dalam RPJMDes,
dan di sisi yang lain, pemerintah kabupaten Semarang juga
menyampaikan arah gerak pembangunan dan prioritas pembangunan
yang akan dilaksanakan di desa menurut RPJMD Kabupaten
Semarang 2011-2015. Urgensitas pelaksanaan lokakarya ini
sebenarnya adalah pada upaya mendorong agar dokumen RPJMDes
Polobogo 2010-2015 dianggap penting dalam proses pembangunan
masyarakat desa di Polobogo.
“Pada prinsipnya, lokakarya itu sebenarnya adalah wadah
membangun wacana. Agar RPJMDes itu dianggap sebagai
dokumen yang penting dalam proses pembangunan.”25
Dari penuturan aktor di atas menunjukkan bahwa urgensitas
pelaksanaan Lokakarya RPJMDes Polobogo dimaksudkan untuk,
selain terjalinnya komunikasi antara desa dan pemerintah kabupaten,
hal yang paling mendasar adalah upaya mendorong dokumen
RPJMDes Polobogo 2010-2015 agar menjadi dokumen penting dalam
proses pembangunan. Relasi yang telah dibangun antara aktor dengan
pemerintah kabupaten, berupaya dimanfaatkan agar menjadi jembatan
komunikasi perencanaan pembangunan antara desa dan kabupaten.
Pada titik inilah terlihat bahwa secara politis, aktor tidak
bertindak untuk mendapat sumber daya atau modal keuntungan aktor,
melainkan berjuang agar RPJMDes Polobogo yang telah disusun itu
dapat diakui. Dengan kata lain, tindakan aktor bukan bertujuan agar
aktor mendapat legitimasi atau pengakuan, tetapi isi atau wacana
RPJMDes Polobogo yang diangkat oleh aktor dalam lokakarya itulah
yang ditujukan untuk mendapat legitimasi atau pengakuan.
25 Hasil wawancara dengan Pak Royke Siahainenia.
67
5.2.3. Tindakan Aktor Dalam Penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015
(Penerjemahan Konsep Pierre Bourdieu)
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, melalui penelitian ini
akan dilihat kenyataan tentang penyusunan RPJMDes Polobogo yang
didekati dengan konsepsi Pierre Bourdieu mengenai peran aktor, maka tabel
di bawah ini akan menggambarkan unsur-unsur konsep Pierre Bourdieu
yang ditemukan dalam kenyataan di lapangan.
Tabel 5.5.
Unsur-Unsur Konsep Bourdieu Dalam Aktor Yang Berperan Pada
Penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015
Habitus (H) Modal (M) Ranah (R) 1. Memiliki pengalaman
bersama dalam
Penyusunan RPJMDes Polobogo 2005-2009
1. Modal Simbolik:
− Jabatan Ketua Tim
Perumus − Dosen (Akademisi)
− Staf LSM
1. Penyusunan RPJMDes
Polobogo 2010-2015
2. Pengalaman dari
pelatihan-pelatihan yang telah dilalui oleh aktor-
aktor.
2. Modal Budaya:
− Dilatih dari Pelatihan penyusunan RPJMDes
− Kualifikasi akademisi
dan Pendamping pada Penyusunan RPJMDes
Polobogo 2005-2009
2. Arena-arena lain yang
diciptakan oleh aktor-aktor berkaitan dengan
inti arena perjuangan
(Penyusunan RPJMDes)
− Strategi Penjaringan
Aspirasi Masyarakat
Desa.
− Pendampingan dan Penyempurnaan
RPJMDes, termasuk
merumuskan visi-misi RPJMDes yang
sesuai dengan
RPJMD kabupaten.
− Lokakarya RPJMDes Polobogo.
3. Modal Sosial:
− Keterkaitan antar aktor
yang dibangun lama, relasi yang lama, ada
kepercayaan.
− Pemahaman aktor
tentang idealnya
penyusunan RPJMDes,
yang sesuai aturan,
termasuk idealnya
RPJMDes yang sinergi
dengan RPJMD
kabupaten. Paham
aturan.
− Jejaring dengan
birokrasi kabupaten.
3. Pengalaman yang
diperoleh aktor-aktor
mengenai penyusunan
RPJMDes yang ideal dan berdasarkan pada tahapan
yang memenuhi aturan
yang berlaku.
4. Modal Ekonomi:
− Tidak teridentifikasi. Sumber : Diolah
68
A. Habitus dari Pengalaman dan Ketrampilan
Menurut Pierre Bourdieu (1977; 82), habitus merupakan
produk sejarah, yang dihasilkan oleh tindakan praktik individu
maupun kolektif. Habitus bersumber dari hasil ketrampilan yang
kemudian menjadi tindakan praktis (Boudieu, 1994; dalam
Haryatmoko, 2003; 10). Atau dengan kata lain, habitus merupakan
pengalaman serta ketrampilan individu, ataupun antar individu.
Tipikasi tindakan aktor untuk berperan dalam penyusunan
RPJMDes Polobogo, senada dengan yang dikemukakan oleh
Bourdieu di atas. Peran aktor terakumulasi dari pengalaman yang
pernah dilaluinya, baik secara individual maupun secara kolektif.
Selain itu, aktor berperan karena ia memiliki ketrampilan yang
memungkinkan ia menjadi perencana, yang berperan dalam
penyusunan RPJMDes Polobogo. Di satu sisi, aktor memiliki
ketrampilan, pengalaman dan informasi yang ia peroleh tentang
penyusunan RPJMDes, juga di sisi lain, para aktor secara kolektif
memiliki pengalaman bersama dalam penyusunan RPJMDes di
Polobogo. Secara representatif aktor memiliki pengalaman dan
ketrampilan dalam penyusunan RPJMDes, yang ia gunakan dalam
penyusunan RPJMDes itu sendiri.
B. Pemanfaatan Modal
Reproduksi tindakan sosial individu ataupun kelompok (atau
kelas tertentu), hubungan antara individu, maupun antar kelompok,
tergantung pada kepemilikkan sumber daya (Haryatmoko, 2003;
11-12). Dalam penyusunan RPJMDes Polobogo, peran aktor yang
terlihat secara individu maupun secara kolektif bersumber dari
modal yang dimanfaatkannya. Pertama, pemanfaatan modal
budaya dan modal simbolik. Misalnya peran aktor Ketua Tim
Perumus dalam menentukan strategi penjaringan aspirasi
masyarakat desa, aktor menggunakan otoritasnya yang
69
dikombinasikan dengan pengetahuan yang diperolehnya dari
pelatihan penyusunan RPJMDes.
Kedua, kombinasi modal sosial, modal budaya, dan modal
simbolik, terlihat dalam proses pendampingan dan penyempurnaan
RPJMDes Polobogo, aktor akademisi dan aktivis LSM,
menggunakan kualifikasinya sebagai pendamping penyusunan
RPJMDes sebelumnya (2005-2009), disertai dengan latar belakan
akademisi (dosen) dan praktisi, untuk mendampingi dan
menyempurnakan RPJMDes Polobogo 2010-2015 yang belum
tersusun secara ideal. Kedua aktor ini memperlihatkan dominasinya
dalam relasi antar aktor, dalam memberikan pemahaman ideal
(pendampingan) tentang penyusunan RPJMDes kepada Tim
Perumus. Jika ditinjau lebih jauh, peran kedua aktor tersebut
kelihatan cederung mirip dengan konsepsi Bourdieu, yang apabila
dikontekskan, akademisi dan praktisi (aktivis LSM) merupakan
kelompok (kelas) „borjuasi kecil‟ yang ditandai dengan
ketercukupan modal budaya, dalam strategi dominasi antar individu
dalam konteks arena, individu yang berasal dari kelas tersebut
cenderung menempatkan kualifikasinya secara simbolik dan
kualifikasi modal budaya yang dimiliki (lihat Haryamoko, 2003;
12-13). Modal sosial yang ditambahkan (digunakan dalam peran)
di sini, pada dasarnya merupakan bentukkan yang lama, misalnya
pengalaman pendampingan penyusunan RPJMDes sebelumnya,
atau pengalaman yang diperoleh melalui informasi tentang idealnya
penyusunan RPJMDes yang didapatkan sesuai dengan status
simbolis profesi yang dijalani oleh para aktor, sebagai akademisi
(dosen) dan praktisi (aktivis) LSM.
Ketiga, pemanfaatan modal budaya dan modal sosial, yang
tergambarkan dalam realitas penyusunan RPJMDes Polobogo
adalah pada pelaksanaan Lokakarya RPJMDes Polobogo 2010-
2015. Aktor yang berprofesi sebagai dosen berusaha memanfaatkan
70
jejaring yang telah dibangunnya untuk memecahkan kebuntuan
komunikasi dan informasi antara desa dengan kabupaten tentang
penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015. Di sisi lain, dalam
peran penyusunan RPJMDes, modal sosial yang telah dibangun
antar aktor memungkinkan perannya secara kolektif guna
mendorong terlaksananya Lokakarya RPJMDes Polobogo.
Reproduksi tindakan aktor-aktor dengan memanfaatkan
berbagai sumberdaya (modal) seperti yang dikemukakan di atas
masih memiliki kekurangan, karena penulis tidak cukup
mengidentifikasi modal ekonomi yang digunakan oleh aktor dalam
penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015. Namun dari analisa
penulis, kekurangan ini pada dasarnya subjektif penulis, karena
tentunya dalam proses penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-
2015, para aktor juga menggunakan modal ekonomi, akan tetapi
modal ekonomi ini masih berkaitan dengan kepemilikan intitusi
masing-masing aktor, yang digunakan dalam rangka menyusun
RPJMDes Polobogo.
C. Arena Perjuangan Modifikasi Aktor
Menggambarkan konsepsi Bourdieu dengan menjelaskan peran
aktor dalam penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015 tentun
tidak akan tuntas apabila tidak melihat dialektika antara aktor
dengan arena perjuangannya (struktur objektif). Telah
dikemukakan sebelumnya, bahwa arena perjuangan yang di
maksud dalam penelitian ini adalah penyusunan RPJMDes
Polobogo 2010-2015. Namun dengan adanya kekurangan dalam
penyusunan ini tentu arena tersebut tidak serta-merta disebut
sebagai arena yang utuh (atau bahkan tuntas), di titik inilah para
aktor kemudian membangun arena-arena lain. Dalam konsepsi
Bourdieu, arena politik diandaikan dengan relasi/hubungan
kekuasaan yang memiliki daya untuk membantu menata,
71
menstruktur (membangun) arena-arena yang lain (Ritzer dan
Goodman, 2010; 583).
Menurut Bourdieu, arena perjuangan tidak dapat dipisahkan
dengan habitus, arena juga merupakan lingkup hubungan-
hubungan kekuatan antara berbagai jenis modal yang dimiliki para
pelaku (individu/aktor) sehingga mampu mendominasi arena
perjuangan tersebut (Haryatmoko 2003; 11, 13). Pada titik inilah,
tindakan aktor dalam arena (struktur objektif) tidak terlepas dari
pemahaman aktor (logika) serta pemanfaatan modal dalam untuk
mendominasi, bahkan menstrukrturisasi arena itu sendiri, inilah
bentuk dialektika antara aktor, habitus, modal dan arena
perjuangan.
Dalam penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015, terdapat
tiga arena lain yang dibangun oleh para aktor, dalam upaya
mendorong keberhasilan penyusunan RPJMDes Polobogo,
(1). Penjaringan aspirasi masyarakat, yang dimulai dengan metode
contoh di satu dusun, untuk memudahkan penjaringan aspirasi di
dusun-dusun lain. (2). Pendampingan dan penyempurnaan
RPJMDes Polobogo, yang dilakukan bersama Tim Perumus,
akademisi (dosen) dan praktisi LSM. (3). Lokakarya RPJMDes
Polobogo yang merupakan wadah pembangunan wacana agar
RPJMDes yang telah disusun oleh masyarakat tetap dianggap
penting dalam kerangka pembangunan.
Ketiga arena saling berkaitan dan merupakan strategi, kondisi
yang didorong oleh para aktor dalam penyusunan RPJMDes
Polobogo. Selain itu arena ini tidak dibangun secara terpisah dari
inti arena perjuangan (penyusunan RPJMDes), namun menjadi
bagian penting dari proses, yang memperlihatkan tindakan aktor
dalam memanfaatkan modal-modal, serta relasi dan pengalaman
yang dimiliki, dengan mereproduksi tatanan baku penyusunan
RPJMDes yang memiliki kelemahan-kelemahan prosedural.
72
5. 3. Refleksi Penelitian
Dalam bab 2 (pada sub bab penelitian terdahulu) telah dijelaskan bahwa
kelemahan perencanaan pembangunan di desa bersumber pada rendahnya
pemahaman masyarakat di desa tentang perencanaan pembangunan (lihat hasil
penelitian Rostyaningsih dan Suwandi, tentang Perencanaan Pembangunan
Partisipatif Di Desa Surakarta Kecamatan Suranenggala Kabupaten Cirebon,
2013). Mengacu pada inspirasi dari penelitian tersebut, yang ditemui di Polobogo
justru berbeda. Tahapan-tahapan ideal (persiapan, pelaksanaan dan pelembagaan)
hampir terlaksana dengan dukungan para aktor yang ikut berperan penting dalam
penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015. Meskipun tahapannya tidak tuntas
sampai dengan pelembagaan RPJMDes, namun aspek-aspek partisipatif, selektif,
dalam proses yang terbuka, dengan mengikut-sertakan masyarakat dalam setiap
alur perencanaan, merupakan salah satu kesuksesan tersendiri dari penyusunan
RPJMDes Polobogo 2010-2015. Kelemahan proses perencanaan pembangunan di
desa Polobogo adalah mensinergikan orientasi perencanaan pembangunan antara
desa dengan kabupaten Semarang yang mestinya perlu terakomodir dalam
dokumen RPJMDes Polobogo 2010-2015.
Penelitian tentang Peran Aktor Dalam Penyusunan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Desa (RPJMDes) Polobogo ini berupaya untuk ditulis ulang
oleh penulis dengan alasan untuk menggambarkan berbagai proses yang telah
dilakukan oleh masyarakat di desa yang dibantu oleh akademisi (kampus) dan
praktisi LSM, yang dalam konsep perencanaan mereka disebut sebagai para
teknokratik. Namun demikian pola dan tindakan dari para aktor berusaha dianilisis
dalam konsepsi tindakan/peran aktor dengan pendekatan konsep Pierre Boudieu.
Latar belakang pemahaman aktor bersumber dari pengalaman yang
dimilikinya tentang penyusunan RPJMDes yang ideal. Selain itu, aktor
menggunakan ketrampilan yang dimiliki sebagai pengalaman yang mewujud
dalam peran, atau prakteknya (tindakan). Hal ini senada dengan pemikiran
Bourdieu tentang habitus yang menekankan pada pengalaman praktis, yang
mewujud dalam tindakan individu dengan bersumber pada proses internalisasi
yang diperolehnya. Atau dalam pemahaman Bourdieu, praktek atau tindakan para
73
aktor tesebut di atas, merupakan determinasi dari makna atau pemahaman yang
dimilikinya terhadap kondisi objektif yang dihadapinya (Bourdieu, 1977; 83).
Di samping itu, kelemahan perencanaan pembangunan di desa seperti
dikemukakan di atas adalah karena kelemahan masyarakat desa dalam hal
perencanaan itu sendiri. Di tambah lagi, dengan keterbatasan komunikasi dan
informasi antara dengan pihak kabupaten terkait perencanaan pembangunan, tidak
seturut dengan yang diamanatkan dalam idealisasi penyusunan RPJMDes. Desa
seolah memiliki perencanaannya sendiri, padahal, sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, setiap penyusunan RPJMDes, mestinya selaras dengan dokumen
perencanaan pembangunan daerah (lihat PERMENDAGRI No. 66 Tahun 2007
Tentang Perencanaan Pembangunan Desa). Benturan perencanaan spasial ini
pada kenyataannya ingin dijawab oleh desa Polobogo bekerjasama dengan
akademisi (dosen) dan paktisi (aktivis) LSM. Peran individual maupun kolektif
yang dilakukan para aktor ini adalah berupaya untuk mendorong pentingnya
penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015, atau dalam pendekatan kebijakan,
hal yang dilakukan ini disebut sebagai pembentukan agenda setting dan opini
kebijakan agar tetap objektif dan berpihak pada yang terpingirkan, inilah yang
biasa dilakukan oleh intelektual kampus maupun nonkampus dalam proses
penyusunan kebijakan (Kusumanegara, 2010;55).
Para aktor yang mendorong penyusunan RPJMDes Polobogo melakukan
berbagai reproduksi tindakan dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya
(modal), diantaranya modal simbolik, modal budaya dan modal sosial. Yang tidak
teridentifikasi oleh penulis adalah modal ekonomi yang digunakan oleh aktor
dalam penyusunan RPJMDes Polobogo 2010-2015. Namun demikian modal
ekonomi digunakan tentu masih berkaitan dengan yang dimiliki intitusi masing-
masing aktor. Meskipun tidak teridentifikasi, Bourdieu pernah mengemukakan
bahwa “ketegangan arena perjuangan tidak dilihat dari kelihatan tapi melalui
hubungan-hubungan dominasi tersembunyi” (Bourdieu, 1994; dalam Haryatmoko,
2003; 15). Di titik inilah, modal ekonomi yang digunakan aktor untuk menyusun
RPJMDes Polobogo terindikasi atau memiliki kaitan dengan modal yang dimiliki
74
oleh intitusi latar belakang aktor. Aktor berjuang (ataupun bertahan) agar wacana
RPJMDes Polobogo tetap menjadi penting dalam kerangka pembangunan di desa.
Ada sedikit perbedaan dengan konsepsional Bourdieu tentang strategi
investasi modal (Haryatmoko, 2003; 15). Dalam penyusunan RPJMDes Polobogo
2010-2015, aktor-aktor hanya memanfaatkan modal-modal yang dimilikinya,
tanpa mengindikasikan penumpukkan modal. Analisis penulis ini cenderung
sedikit menghilangkan modal sebagai kerangka milik Bourdieu. Jika Bourdieu
mengatakan bahwa reproduksi tindakan sosial merupakan cara untuk
mempertahankan atau mendapatkan modal, maka dalam konteks Polobogo, para
aktor cenderung memanfaatkan modalnya untuk berperan dalam penyusunan
RPJMDes Polobogo. Keberhasilan dari pemanfaatan modal tersebut adalah
dengan memunculkan arena-arena baru (modifikasi aktor), guna mendorong
RPJMDes Polobogo agar menjadi bagian penting dari orientasi kebijakan
pembangunan desa.