Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERAN GEREJA KEUSKUPAN RUTENG DALAM
MEMBEBASKAN KAUM MISKIN
SKRIPSI
Diajukan kepada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero
untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat
Program Studi Ilmu Teologi-Filsafat
Agama Katolik
Oleh
IGNASIUS RUDI HARYANTO
NPM: 16.75.5894
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO
2020
ii
LEMBARAN PENERIMAAN JUDUL
1. Nama : Ignasius Rudi Haryanto
2. NPM : 16.75.5894
3. Judul : PERAN GEREJA KEUSKUPAN RUTENG DALAM
MEMBEBASKAN KAUM MISKIN
4. Pembimbing :
1 Dr. Philipus Ola Daen : ....................................
(Penganggung Jawab)
2 Dr. Yohanis Masneno : ....................................
3 Dr. Mathias Daven : ....................................
5. Tanggal diterima : 30 November 2019
6. Mengesahkan: 7. Mengetahui
Wakil ketua I Ketua STFK Ledalero
Dr. Yosef Keladu Koten Dr. Otto Gusti Ndegong Madung
iii
Dipertahankan di Depan Dewan Penguji Skripsi
Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero
dan Diterima untuk Memenuhi Sebagian
dari Syarat-Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Filsafat
Program Studi Ilmu Teologi-Filsafat
Agama Katolik
Pada
12 Mei 2020
Mengesahkan
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO
Ketua
Dr. Otto Gusti Ndegong Madung
Dewan penguji:
1. Dr. Yohanis Masneno : .......................................................
2. Dr. Mathias Daven : .......................................................
3. Dr. Philipus Ola Daen : .......................................................
iv
PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ignasius Rudi Haryanto
NPM : 16.75. 5894
menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar hasil karya ilmiah saya sendiri, dan
bukan plagiat dari karya ilmiah yang ditulis orang lain atau lembaga lain. Semua
karya ilmiah orang lain atau lembaga lain yang dirujuk dalam skripsi ini telah
disebutkan sumber kutipannya serta dicantumkan pada catatan kaki dan daftar
pustaka.
Jika di kemudian hari terbukti ditemukan kecurangan atau penyimpangan, berupa
plagiasi atau penjiplakan dan sejenisnya di dalam karya ilmiah ini, saya bersedia
menerima sanksi akademis yakni pencabutan skripsi serta gelar yang saya peroleh
dari skripsi ini.
Ritapiret, 12 Mei 2020
Yang menyatakan
Ignasius Rudi Haryanto
v
KATA PENGANTAR
Kemajuan yang terjadi dalam kehidupan manusia pada dasarnya selalu
melahirkan dua dampak sekaligus yakni dampak positif dan dampak negatif.
Dampak positif dari sebuah kemajuan ditandai dengan kemudahan manusia dalam
melakukan dan mendapatkan sesuatu. Sedangkan dampak negatif dari kemajuan
itu adalah lahirnya masalah-masalah sosial yang menghantui kehidupan umat
manusia. Salah satu masalah sosial yang timbul sebagai dampak dari kemajuan
adalah semakin lebarnya jurang pemisah antara sekelompok kecil yang kaya dan
sebagian besar yang miskin. Kenyataan ini tentunya menjadikan masalah
kemiskinan sebagai pemandangan umum yang disaksikan di tengah segala
kemajuan yang ada.
Masalah kemiskinan telah menjadi masalah global karena masalah ini
dialami sebagian besar negara di dunia. Meski demikian masalah ini telah menjadi
ancaman yang lebih serius bagi negara-negara berkembang. Indonesia sebagai
negara berkembang juga tidak terlepas dari masalah kemiskinan. Masalah
kemiskinan di tingkat nasional tentunya menggambarkan situasi yang terjadi pada
tingkat regional. Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi yang
miskin di Indonesia, dan kenyataan yang sama juga dialami oleh tiga kabupaten
yakni Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur yang merupakan
wilayah administrasi Keuskupan Ruteng.
Peran Gereja Keuskupan Ruteng dalam pembangunan sejak pertama kali
masuk di Manggarai hingga saat ini merupakan bentuk usaha Gereja dalam
membebaskan kaum miskin. Gereja telah berjasa dalam pembangunan dalam
pelbagai sektor kehidupan umat Keuskupan Ruteng. Meski demikian masalah
kemiskinan masih saja mewarnai kehidupan umat Keuskupan Ruteng hingga saat
ini. Gereja Keuskupan Ruteng berdasarkan hasil Sinode III 2013-2015 telah
meninjau kembali semua usaha yang telah dilakukan selama ini dan menetapkan
kembali pelbagai usaha yang dituangkan dalam program-program konkret untuk
membebaskan umat Keuskupan Ruteng dari kemiskinan. Akan tetapi, semua
program yang telah dirancang Gereja Keuskupan Ruteng dalam sinode tidak akan
berjalan dengan baik bila tidak menggunakan strategi pastoral yang tepat. Oleh
vi
karena itu, dengan mempertimbangkan hambatan-hambatan yang dialami Gereja
Keuskupan Ruteng dalam usaha membebaskan kaum miskin selama ini, penulis
menawarkan pembenahan terhadap manajemen pastoral sebagai salah satu strategi
agar semua program yang telah dirancang dapat dilaksanakan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa dalam proses pengerjaan karya ilmiah ini ada
banyak pihak yang telah berjasa. Oleh karena itu, penulis beryukur dan berterima
kasih kepada semua pihak yang telah berjasa dalam pengerjaan karya ilmiah ini.
Pertama, ucapan syukur kepada Tuhan sang Penyelenggara kehidupan, sehingga
memampukan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis sadar
bahwa tanpa campur tangan Tuhan, karya ini tidak dapat dikerjakan dengan baik.
Kedua, penulis menyampaikan terima kasih kepada Sekolah Tinggi Filsafat
Katolik Ledalero yang telah menjadi tempat untuk mengasah kemampuan
intelektual penulis untuk peduli terhadap pelbagai masalah sosial. Selain itu,
STFK Ledalero juga telah menyediakan perpustakaan yang memadai, sehingga
penulis terbantu dalam penyelesaian skripsi ini. Ketiga, penulis berterima kasih
kepada Seminari Tinggi Interdiosesan St. Petrus Ritapiret yang telah membantu
penulis dalam membentuk diri selama lima tahun masa formasi. Ada banyak hal
yang penulis dapat selama menjalani masa formasi di tempat ini sebagai bekal
dalam menapaki panggilan hidup selanjutnya.
Kempat, ucapan terima kasih kepada Dr. Philipus Ola Daen, yang telah
bersedia menjadi pembimbing dalam proses pengerjaan skripsi ini melalui
pelbagai koreksi dan masukan yang amat berharga. Koreksi dan masukan yang
diberikan merupakan tahap yang paling berharga dalam menghasilkan sebuah
karya yang berharga. Ucapan terima kasih yang sama juga penulis sampaikan
kepada Dr. Yohanis Masneno, yang telah bersedia menjadi penguji atas skripsi
ini. Segala koreksi dan masukan yang bernas dari penguji merupakan sumbangan
paling berharga demi menyempurnakan hasil tulisan ini. Penulis juga
menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Mathias Daven, yang telah
bersedia menjadi anggota tim penguji.
Kelima, ucapan terima kasih kepada anggota keluarga yang telah
mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, bapak Marianus Sudarso,
vii
(alm) ibu Salome Sakti, adik Yohana Astuti dan Anjelina Mutiara, paman Gabriel
Jama, tanta Apolonia Riman, mama Margaretha Sima, adik Yohanes Rivaldo,
Yosep Marikiano Ujus, dan Febrinia Fitriani Mina. Segala bentuk dukungan
kalian merupakan energi yang besar bagi saya dalam menyelesaikan tulisan ini
dan panggilan saya. Keenam, terima kasih kepada semua pihak yang dengan
caranya masing-masing telah berjasa dalam menyelesaikan tulisan ini, khususnya
kepada teman-teman se-angkatan yang telah berjuang bersama selama empat
tahun masa kuliah dan lima tahun masa formasi. Kehadiran kalian merupakan
salah satu alasan saya tetap bertahan dalam jalan panggilan ini.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, segala koreksi dan masukan yang diberikan
kepada penulis berkaitan dengan tulisan ini akan diterima dengan senang hati.
Ritapiret, 12 Mei 2020
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i
HALAMAN PENERIMAAN JUDUL ............................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................................... iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Permasalahan ............................................................................................ 9
1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 10
1.3.1 Tujuan Umum ....................................................................................................... 10
1.3.2 Tujuan Khusus ...................................................................................................... 10
1.4 Guna Penulisan ........................................................................................................ 10
1.5 Metode Penelitian dan Penulisan ............................................................................ 11
1.6 Sistematika Penulisan .............................................................................................. 11
BAB II GEREJA KEUSKUPAN RUTENG
2.1 Gambaran Umum tentang Gereja .......................................................................... 13
2.1.1 Gereja sebagai Umat Allah ................................................................................... 13
2.1.2 Gereja sebagai Tubuh Kristus ............................................................................. 14
2.1.3 Gereja sebagai Sakramen ..................................................................................... 15
2.1.4 Gereja sebagai Hierarki ........................................................................................ 16
2.2 Sejarah Singkat Terbentuknya Gereja Keuskupan Ruteng ................................. 17
2.3 Selayang Pandang Gereja Keuskupan Ruteng ...................................................... 20
2.3.1 Letak Geografis ..................................................................................................... 20
2.3.2 Sosio Demografi ..................................................................................................... 21
2.3.3 Sosio Ekonomi ....................................................................................................... 21
2.3.4 Sosio Religius ......................................................................................................... 23
2.3.5 Sosio Budaya .......................................................................................................... 24
2.3.6 Sosio Politik ........................................................................................................... 24
2.3.7 Sosio Pendidikan ................................................................................................... 25
ix
2.4 Peran yang Sudah Dilakukan Gereja Keuskupan Ruteng dalam
Pembangunan di Manggarai ................................................................................. 26
2.4.1 Bidang Sosial Politik ............................................................................................. 27
2.4.2 Bidang Sosial Ekonomi ......................................................................................... 27
2.4.3 Bidang Sosial Pendidikan ..................................................................................... 29
2.4.4 Bidang Lingkungan Hidup (Ekologi)................................................................... 31
2.5 Tantangan dalam Pembangunan di Keuskupan Ruteng ...................................... 32
2.5.1 Kemampuan Intelektual Umat Masih Rendah ................................................... 32
2.5.2 Tantangan kultural ............................................................................................... 33
2.5.3 Isolasi Fisik ............................................................................................................ 34
2.5.4 Mentalitas Umat .................................................................................................... 35
2.5.5 Tantangan yang Muncul dari Petugas Pastoral (Gereja) ................................... 36
2.5.6 Partisipasi Umat Masih Rendah .......................................................................... 37
2.5.7 Dana ....................................................................................................................... 37
2.6 Dasar-Dasar Pelayanan Gereja Keuskupan Ruteng Terhadap Kaum
Miskin ...................................................................................................................... 39
2.6.1 Dasar Biblis............................................................................................................ 39
2.6.1.1 Dasar dari Perjanjian Lama: Eksodus sebagai Model Kepedulian Allah ..... 39
2.6.1.2 Dasar dari Perjanjian Baru: Yesus sebagai Tokoh Pembebas ....................... 40
2.6.1.3 Dasar dari Jemaat Perdana ............................................................................... 42
2.6.2 Ajaran-Ajaran Gereja .......................................................................................... 42
2.6.2.1 Ajaran Konsili Vatikan II .................................................................................. 42
2.6.2.2 Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia (FABC) ............................ 44
2.6.2.3 Konfersensi Waligereja Indonesia (KWI) ........................................................ 46
2.6.2.4 Sinode III 2013-2015 Keuskupan Ruteng ......................................................... 47
BAB III SELAYANG PANDANG TENTANG KAUM MISKIN
3.1 Pengertian Kaum Miskin ........................................................................................ 49
3.1.1 Secara Etimologis .................................................................................................. 49
3.1.2 Secara Realis .......................................................................................................... 50
3.2 Karakteristik Kaum Miskin .................................................................................... 52
3.2.1 Mutu Kesehatan Rendah ...................................................................................... 52
3.2.2 Rumah Tidak Layak Huni.................................................................................... 53
3.2.3 Memiliki Lahan yang Sempit ............................................................................... 54
3.2.4 Rendahnya Pendapatan ........................................................................................ 57
x
3.2.5 Angka Buta Huruf yang Tinggi ............................................................................ 59
3.2.6 Rendahnya Keterampilan/Kreativitas ................................................................. 60
3.2.7 Banyak Anak ......................................................................................................... 61
3.3 Jenis-Jenis Kemiskinan............................................................................................ 62
3.3.1 Kemiskinan Individual dan Kemiskinan Struktural ......................................... 62
3.3.2 Kemiskinan Material dan Kemiskinan Spiritual ................................................ 63
3.3.3 Kemiskinan Mutlak dan Kemiskinan Relatif...................................................... 64
3.4 Sebab-Sebab Adanya Kemiskinan .......................................................................... 65
3.4.1 Dari Dalam ............................................................................................................ 65
3.4.1.1 Motivasi ............................................................................................................... 65
3.4.1.2 Mentalitas ........................................................................................................... 66
3.4.2 Dari Luar ............................................................................................................... 67
3.4.2.1 Struktur Sosial .................................................................................................... 67
3.4.2.2 Struktur Ekonomi .............................................................................................. 67
3.4.2.3 Politik .................................................................................................................. 68
3.5 Pembebasan Kaum Miskin ...................................................................................... 69
3.5.1 Pengertian Pembebasan ........................................................................................ 69
3.5.1.1 Arti Etimologis ................................................................................................... 69
3.5.1.2 Arti Realis ........................................................................................................... 70
3.5.2 Dasar-Dasar Pembebasan ..................................................................................... 71
3.5.2.1 Martabat Manusia ............................................................................................. 72
3.5.2.2 Dasar Biblis ......................................................................................................... 79
3.5.3 Tujuan Pembebasan .............................................................................................. 81
3.5.3.1 Tujuan Kini ........................................................................................................ 81
3.5.3.2 Tujuan Eskatologis ............................................................................................. 82
BAB IV PERAN GEREJA KEUSKUPAN RUTENG DALAM
MEMBEBASKAN KAUM MISKIN
4.1 Gereja Keuskupan Ruteng dalam Konteks Membebaskan Kaum Miskin .......... 84
4.2 Usaha-Usaha Gereja Keuskupan Ruteng dalam Membebaskan Kaum
Miskin ...................................................................................................................... 87
4.2.1 Pastoral Transformatif ......................................................................................... 87
4.2.2 Mewartakan Kabar Gembira ............................................................................... 89
4.2.3 Bersolider dengan Kaum Miskin ......................................................................... 91
4.2.4 Live In..................................................................................................................... 92
xi
4.2.5 Pola Penyadaran ................................................................................................... 94
4.2.6 Bergerak dari Pinggir ........................................................................................... 96
4.2.7 Pendekatan Holistik .............................................................................................. 98
4.3 Program-Program Konkret Gereja Keuskupan Ruteng dalam
Membebaskan Kaum Miskin .............................................................................. 100
4.3.1 Bidang Sosial Politik ........................................................................................... 101
4.3.2 Bidang Sosial Ekonomi ....................................................................................... 104
4.3.3 Bidang Sosial Pendidikan ................................................................................... 108
4.3.4 Bidang Lingkungan Hidup ................................................................................. 111
4.4 Strategi Gereja Keuskupan Ruteng dalam Membebaskan Kaum Miskin......... 114
4.4.1 Pembenahan terhadap Manajemen Pastoral: Suatu Upaya Strategis
Membebaskan Kaum Miskin .............................................................................. 114
4.4.1.1 Fungsi perencanaan (Planning) ....................................................................... 115
4.4.1.2 Pengorganisasian (Organizing) ........................................................................ 116
4.4.1.3 Pengarahan (Leading) ...................................................................................... 118
4.4.1.4 Pengendalian (Controlling) .............................................................................. 120
4.5 Refleksi Kritis Atas Peran Gereja dalam Upaya Membebaskan Kaum
Miskin .................................................................................................................... 121
4.5.1 Bidang Sosial Politik ........................................................................................... 121
4.5.2 Bidang Sosial Ekonomi ....................................................................................... 122
4.5.3 Bidang Sosial Pendidikan ................................................................................... 125
4.5.4 Bidang Lingkungan Hidup ................................................................................. 126
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 128
5.2 Saran ....................................................................................................................... 131
5.2.1 Bagi Para Klerus Keuskupan Ruteng ................................................................ 131
5.2.2 Bagi Umat Keuskupan Ruteng ........................................................................... 132
5.2.3 Bagi Pemerintah dan Penguasa di Keuskupan Ruteng .................................... 132
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 133
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan kemajuan yang terjadi di
pelbagai bidang. Unsur yang paling berpengaruh dalam kemajuan ini adalah
bidang teknologi dan komunikasi. Melalui kedua unsur ini, kemajuan di segala
bidang dapat merambat dengan sangat cepat ke seluruh dunia. Keuntungan yang
dapat diperoleh dari kemajuan sangat membantu manusia dalam memenuhi segala
kebutuhan dan meningkatkan efisiensi. Meski demikian di tengah kemajuan yang
begitu pesat, tak dapat disangkal akan besarnya dampak negatif yang timbul.
Dampak negatif yang timbul dari kemajuan ini adalah kerusakan lingkungan
hidup, ketidakadilan, penindasan dan kemiskinan. Masalah-masalah ini telah
menjadi masalah global yang dialami oleh semua warga masyarakat dunia. Meski
demikian kemajuan teknologi dan komunikasi tidak secara otomatis meniadakan
masalah-masalah di atas tadi.
Masalah kemiskinan merupakan salah satu masalah yang dialami oleh
hampir semua negara berkembang. Itu berarti bahwa masalah kemiskinan
merupakan masalah dunia. Pertumbuhan produksi sebagian besar negara-negara
berkembang, tidak menguntungkan semua penduduk pada umumnya; yang kaya
semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Masalah ini secara sangat jelas
diuraikan dalam Majalah Forbes 2018. Diklaim bahwa terjadi kesenjangan antara
yang benar-benar kaya dan yang hanya kaya terus melebar, saat kekayaan
melambung ke ketinggian yang baru. Majalah Forbes pada tahun 2018 membuat
peringkat tahunan ke-32 atas 2.208 miliarder. Secara keseluruhan mereka
memiliki kekayaan $ 9,1 triliun, naik 18% dari tahun sebelumnya. Dua puluh
orang kaya di planet ini memiliki kekayaan $1,2 triliun, jumlah yang kira-kira
2
setara dengan output ekonomi tahunan Meksiko. Secara agregat, mereka mungkin
mewakili kurang dari 1% miliarder tetapi total kekayaan mereka berjumlah 13%
dari total kekayaan semua miliarder di seluruh dunia.1 Itu berarti bahwa jurang
antara yang kaya dan yang miskin semakin lebar, di mana yang kaya semakin
kaya dan yang miskin semakin miskin.
Memang harus diakui bahwa masalah kemiskinan terdapat di semua
negara, tidak terkecuali negara Indonesia. Dana Internasional PBB untuk
Pembangunan Pertanian mencatat bahwa gambaran pembangunan Indonesia
menunjukkan ada banyak keluarga Indonesia yang tidak mendapat keuntungan
dari pertumbuhan ekonomi nasional. Sekitar 50% dari penduduk Indonesia masih
miskin, berada di sekitar ambang garis kemiskinan, hidup dengan kurang dari US
2 per hari.2 Kenyataan ini menunjukkan bahwa masalah kemiskinan di Indonesia
masih sangat parah. Sebagian besar penduduk Indonesia yang masih berada dalam
lingkaran garis kemiskinan sulit untuk keluar. Hal ini tidak saja dikarenakan
faktor eksternal tetapi juga faktor internal.
Masalah kemiskinan yang terjadi di tingkat nasional juga berdampak pada
tingkat regional. Salah satu ukuran untuk mengetahui angka kemiskinan suatu
daerah yakni dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita
masing-masing provinsi di Indonesia. Berdasarkan PDRB per kapita, Daerah
Khusus Ibukota Jakarta menempati urutan tertinggi dengan nilai Rp 2.177.119,88,
sedangkan urutan terendah ditempati oleh provinsi Maluku Utara sebesar Rp
29.165,23. Posisi provinsi Nusa Tenggara Timur menempati urutan ke 25 dari 33
provinsi dengan jumlah sebesar Rp 84.172,64.3 Berdasarkan urutan di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa provinsi Nusa Tenggara Timur termasuk dalam provinsi
dengan pendapatan menengah ke bawah. Itu berarti bahwa provinsi NTT masih
1 Luisa Kroll, “Forbes Billionaires 2018: Meet The Richest People On The Planet”di
https://www.forbes.com/sites/luisakroll/2018/03/06/forbes-billionaires-2018-meet-the-richest-
people-on-the-planet/#756b4c0d6523, diakses 28 Maret 2019. 2 Alexander Jebadu, Bahtera Terancam Karam (Maumere: Penerbit Ledalero, 2018), hlm.
25. 3 “Daftar Provinsi di Indonesia Menurut PDRB Tahun 2016,” di
https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_provinsi_di_Indonesia_menurut_PDRB_tahun_2016, diakses
pada 28 Maret 2019.
3
tergolong provinsi miskin. Kondisi kemiskinan pada tingkat regional tentunya
akan berdampak langsung pada tingkat lokal, khususnya di wilayah Manggarai.4
Masyarakat Manggarai masih banyak yang berada di bawah garis
kemiskinan karena ketimpangan pendapatan, ketidakadilan sosial, rendahnya
pendidikan, pembangunan yang tidak merata, kondisi kesehatan yang buruk,
budaya yang belum maju dan pola pikir yang masih tradisional. Data BPS
memperlihatkan bahwa ada 69.320 penduduk miskin di Kabupaten Manggarai
pada tahun 2018,5 74.850 penduduk miskin di Manggarai Timur pada tahun
2017,6 dan 48.530 penduduk miskin Kabupaten Manggarai Barat pada tahun
2018.7 Data ini tidak terhitung penduduk yang berada pada garis kemiskinan dan
yang mendekati garis kemiskinan. Ada banyak dampak yang ditimbulkan dari
masalah kemiskinan ini yakni angka putus sekolah semakin tinggi, pengangguran
semakin membengkak, dan TKI semakin meningkat diikuti dengan fenomena
human trafficking. Masalah-masalah ini bila ditelusuri lebih jauh memiliki kaitan
dengan pola pembangunan yang tidak merata, sehingga sebagian besar
masyarakat tidak menikmati hasil pembangunan.
Pembangunan yang dilakukan pemerintah tidak mencapai titik maksimal
karena kualitas pembangunan sangat rendah. Hal ini juga bisa disebabkan oleh
maraknya praktik korupsi dalam proyek pembangunan. Misalnya di Kabupaten
Manggarai Barat, menurut temuan Cypri Jehan Paju Dale disinyalir hanya 5-7 dari
30 anggota DPRD yang tidak „bermain proyek‟, lewat perusahaan konstruksi yang
disembunyikan atas nama kerabat atau kroni bisnis mereka. Bahkan ada anggota
yang memegang lebih dari lima proyek dalam tahun anggaran 2012.8
4 Wilayah Manggarai mencakup tiga kabupaten yakni Kabupaten Manggarai, Kabupaten
Manggarai Timur dan Kabupaten Manggarai Barat. Pembahasan selanjutnya nama ketiga
kabupaten ini akan diganti dengan nama Manggarai. 5 Badan Pusat Statistik Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Dalam Angka 2019
(Ruteng: BPS Kabupaten Manggarai, 2019), hlm. 379. 6 Badan Pusat Statistik Kabupaten Manggarai Timur, Kabupaten Manggarai Timur
Dalam Angka 2019 (Borong: BPS Kabupaten Manggarai Timur, 2019), hlm. 243. 7 Badan Pusat Statistik Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Manggarai Barat Dalam
Angka 2019 (Labuan Bajo: BPS Kabupaten Manggarai Barat, 2019), hlm. 131. 8 Cypri Jehan Paju Dale, Kuasa, Pembangunan dan Pemiskinan Sistemik (Labuan Bajo:
Sunspirit, 2013), hlm. 226.
4
Seringkali juga pembangunan yang dicanangkan pemerintah tidak tepat
sasaran, sehingga tidak menjawabi kebutuhan konkret masyarakat.9 Pembangunan
yang tidak tepat sasaran ini ditandai dengan rancangan program yang cenderung
top down, di mana rancangan pembangunan tidak sesuai dengan kebutuhan riil
masyarakat. Selain itu, dana yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi
geografis suatu daerah, sehingga anggaran yang dialokasikan pada suatu daerah
seringkali tidak mencapai target yang direncanakan.10
Berbicara tentang tema pembangunan tidak hanya secara fisik tetapi harus
mencakup secara keseluruhan. Hal ini diuraikan secara jelas oleh Paul Budi
Kleden bahwa:
Pembangunan tidak hanya dilihat dari aspek fisik semata. Ada aspek non
fisik yang turut mempengaruhi pembangunan, seperti aspek psikologis dan
aspek religius. Sebab suasana kejiwaan seseorang dan seluruh masyarakat
serta paham dan penghayatan religiusnya mempunyai andil besar dalam hal,
bagaimana seseorang dan satu masyarakat melihat tantangan yang sedang
dihadapinya, menggalang potensi yang dimiliki atau yang ditawarkan
kepadanya dan memanfaatkan semuanya itu dalam kegiatan yang disebut
pembangunan demi mengatasi pelbagai tantangan tersebut.11
Persis pembangunan seperti inilah yang membebaskan masyarakat dari
kemiskinan. Term “membebaskan” di sini merupakan istilah yang lebih cocok
dari pada term pembangunan, sebab pembebasan juga mencakup pembangunan
non-fisik. Hal ini dikarenakan kemiskinan tidak hanya mencakup aspek fisik,
tetapi juga mencakup pola pikir yang membelenggu masyarakat untuk berjuang
melawan kemiskinan.
9 Salah satu contoh pembangunan pemerintah yang tidak tepat sasar nampak dalam
temuan Paju Dale adalah berkaitan dengan kebijakan pembangunan infrastruktur transportasi.
Meskipun pembangunan infrastruktur transportasi di Manggarai meningkat dari tahun ke tahun,
tetapi polanya lebih mengutamakan kepentingan turisme dan perdagangan dibandingkan
kepentingan petani dan masyarakat pedesaan. Di Manggarai Barat misalnya, tahun 2012-2013,
ruang tunggu di Bandara Komodo menghabiskan anggaran sekitar 100 miliar rupiah, dan dalam
rangka Sail Komodo juga dibangun dermaga apung untuk pariwisata dengan anggaran yang
kurang lebih sama. Sedangkan di sisi lain, jalur transportasi yang menghubungkan desa-desa dan
desa-kota masih sangat memprihatinkan. Kondisi jalur transportasi yang buruk menyebabkan
produk para petani semakin sulit untuk diperdagangkan ke kota. Ibid., hlm. 139. 10
Ganewati Wuryandari (ed.), Pengembangan Wilayah Nusa Tengggara Timur dari
Perspektif Sosial, Analisis Pelaksanaan Kebijakan (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), hlm. 107.
Ganewati Wuryandari adalah peneliti di Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, dan juga sebagai
Kepala Bidang Tata Operasional di P2P. Menyelesaikan S2 Develpoment of Politics, Internasional
Relations, di Monash University tahun 1944. Dan S3 Discipline of Studies, the University of
Western Australia, tahun 2006. Fokus Kajian penelitiannya adalah Politik Luar Negeri, Isu-isu
Kontemporer Hubungan Internasional, Perbatasan. 11
Paulus Budi Kleden, Teologi Terlibat, Politik dan Budaya dalam Terang Teologi
(Maumere: Penerbit Ledalero, 2012), hlm. 133.
5
Menjawabi masalah di atas, maka sangat diharapkan agar pembangunan
yang dicanangkan pemerintah harus merata dan tepat sasaran, sehingga tidak
mengakibatkan ketimpangan, ketidakadilan, dan keterbelakangan.12
Selain itu,
pembangunan juga dapat menjawab kebutuhan masyarakat dan berpihak pada
masyarakat. Pembangunan yang berpihak pada masyarakat akan menggugah
kesadaran masyarakat mengenai situasi yang mereka alami.13
Usaha
membebaskan kaum miskin bukan perkara mudah seperti membalikkan telapak
tangan, karena masalah kemiskinan sangatlah kompleks. Untuk itu, peran semua
elemen sangat dibutuhkan. Pemerintah merupakan aktor yang paling sentral dalam
membebaskan kaum miskin melalui pelbagai program yang bertujuan agar
masyarakat keluar dari rantai kemiskinan yang mengikat mereka. Dalam proyek
pembangunan, pemerintah juga seharusnya melibatkan semua elemen dalam
masyarakat termasuk agama-agama, dan salah satunya adalah Gereja.
Selain pemerintah, Gereja mempunyai peran dalam membebaskan kaum
miskin dari situasi kemiskinan. Sikap Gereja sangat jelas sebagaimana termaktub
dalam Gaudium et Spes nomor 1 bahwa “kegembiraan dan harapan, duka dan
kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja
yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para
murid Kristus juga”.14
Itu berarti bahwa sikap Gereja Katolik sangat jelas yakni
berpihak pada kaum miskin dan menderita. Kaum miskin merupakan orang-orang
yang kalah dalam persaingan dunia ini. Dunia yang didominasi oleh sistem kerja
pasar, tidak lagi mempunyai rasa solidaritas.15
Penyebab dari realitas ini adalah
sistem kerja pasar yang menggunakan logika untung rugi dalam setiap relasi. Itu
berarti bahwa setiap relasi yag dibangun bukan karena semangat solidaritas, tetapi
semangat persaingan. Orang yang kalah dalam persaingan akan segera
12
Robert Justin Sodo, “Manggarai dalam Lensa Kemiskinan: Potret Representatif
Kemiskinan NTT?”, dalam Rikard Rahmat (ed.), Gereja Itu Politis (Jakarta: JPIC OFM, 2012),
hlm. 119. 13
Suroto, Strategi Pembangunan dan Perencanaan Kesempatan Kerja (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1992), hlm. 45. 14
Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, No. 1, penerj. R.
Hardawirayana (Jakarta: Penerbit Obor, 2013), hlm. 521. 15
Alexander Jebadu, “Politik Ekonomi Pasar Bebas” (Bahan Kuliah, Sekolah Tinggi
Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, 2018), hlm. 216.
6
disingkirkan. Kemiskinan di sini disebabkan karena seseorang tidak mampu
bersaing.
Gereja dalam situasi seperti ini hadir sebagai pembela kaum miskin yang
menjadi korban persaingan dalam dunia pasar. Dominasi kaum oligarki di sini
memonopoli segala sektor kehidupan masyarakat, sehingga orang yang tidak
mampu bersaing akan tersingkir.16
Logika kapitalisme telah merasuk ke segala
sektor kehidupan, di mana setiap orang berusaha untuk mengakumulasikan
kekayaan sebanyak-banyaknya. Hal ini ditegaskan oleh Franklyn J. Balasundaram
dalam bukunya Teologia Cristiana Asiatica Contemporanea,sebagaimana dikutip
oleh Alexander Jebadu bahwa:
Salah satu konteks sosial ekonomi dan sosial politik dari semua negara Asia
adalah semakin meningkatnya kesenjangan antara mayoritas orang miskin
dan segelintir orang kaya, di mana segelintir orang kaya ini memegang
kekuasaan yang sangat kuat dan hingga batas-batas tertentu mereka
mengontrol segala-galanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.17
Logika seperti ini persis membuat yang miskin semakin menderita. Ada
banyak orang yang terjebak dalam situasi kemiskinan dan tidak bisa keluar dari
situasi yang dialami. Mereka membutuhkan bantuan dari pihak lain agar dapat
keluar dari situasi sulit ini. Oleh karena itu, orang miskin tidak dapat bersaing
dengan orang kaya, sebab dalam persaingan itu orang miskin akan kalah. Dari
segi finansial, orang miskin pasti tidak bisa bersaing.18
Hal ini tentunya
merupakan suatu bentuk ketidakadilan yang paling keji. Gereja hadir di sini agar
kaum miskin bisa keluar dari situasi sulit ini. Selain membangun secara fisik,
Gereja terlebih khusus menekankan pembangunan dalam aspek psikologis dan
religius. Inilah semangat yang mampu menjiwai perjuangan kaum miskin yang
dapat menjadi roh yang berkobar-kobar.
16
Mikhael Dua, “Globalisasi Ekonomi, Budaya Kapitalis dan Demokrasi”, Jurnal
Ledalero, 12:2 (Ledalero: Desember 2014), hlm. 365. 17
Alexander Jebadu, Bahtera Terancam Karam, op. cit., hlm. 19-20. 18
Guido Tisera, “Inspirasi Firman bagi Pembaharuan Gereja Milenium Ketiga”, dalam
Romanus Satu dan Herman Embuiru Wetu (ed.), Gereja Milenium Ketiga (Tangerang: Yayasan
Gapura, 2000), hlm. 131.
7
Selain karena sistem kerja pasar, kemiskinan juga disebabkan oleh faktor
internal masyarakat. Faktor internal yang ada di dalam masyarakat adalah
mentalitas dan pola pikir yang belum maju. Hal ini terjadi karena proses kemajuan
yang datang, baik yang muncul dari dalam masyarakat maupun dari luar
masyarakat akan sulit terjadi kalau mentalitas dan pola pikir masyarakat belum
maju. Masyarakat melihat kenyataan yang terjadi di sekitarnya sebagai sesuatu
yang normal. Masyarakat juga belum siap untuk meninggalkan pola pikir yang
lama dan menerima cara berpikir yang baru. Oleh karena itu, kemiskinan yang
mewarnai kehidupan mereka sehari-hari akhirnya dilihat sebagai hal yang biasa
saja bagi mereka.
Faktor internal inilah yang menjadi tantangan besar Gereja dalam
usahanya membebaskan kaum miskin. Semua program atau usaha yang dibuat
Gereja merupakan sarana atau cara untuk membebaskan kaum miskin dari
kemiskinan. Akan tetapi, semuanya tidak akan berdaya guna bila mentalitas dan
pola pikir masyarakat belum diubah. Usaha mengubah mentalitas dan pola pikir
bukan pekerjaan mudah dan terjadi dalam waktu yang singkat. Usaha ini
membutuhkan waktu yang lama dan intensif. Salah satu cara yang dapat dilakukan
demi mengubah mentalitas dan pola pikir masyarakat adalah melalui upaya
penyadaran. Penyadaran yang dimaksudkan di sini adalah penyadaran kritis, di
mana masyarakat menyadari situasinya saat ini dan di sini, kemudian sadar akan
akar dari semua persoalan yang tengah mereka alami.
Gereja di sini harus pro kaum miskin dan berjuang membebaskan orang-
orang miskin dan menderita. Dengan demikian Gereja telah menjadi Gereja yang
terlibat dalam masalah dunia. Bentuk keterlibatan Gereja ditegaskan dalam
Gaudium et Spes, nomor 63 bahwa:
Kehidupan sosial ekonomi, martabat manusia pribadi, serta panggilannya
seutuhnya, begitu pula kesejahteraan seluruh masyarakat, harus dihormati
dan dikembangkan. Sebab manusialah yang menjadi pencipta, pusat, dan
tujuan seluruh kehidupan sosial ekonomi.19
19
Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, No. 63, penerj. R.
Hardawirayana, op. cit., hlm. 608.
8
Itu berarti fokus keterlibatan Gereja dalam membebaskan kaum miskin
dilandaskan pada pemikiran manusia sebagai tujuan dari pembangunan.
Pembangunan yang dicanangkan harus mampu menciptakan masyarakat yang
sejahtera. Kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan akhir tidak membenarkan
segala praktik yang menjadikan manusia sebagai sarana demi mencapai tujuan.
Selain itu, Gereja juga harus bisa menjadi garam dan terang dunia (Matius 5:13-
16).20
Menjadi garam dan terang dunia berarti kehadiran Gereja harus mempunyai
peranan dalam masyarakat dan mengambil peran yang bisa membantu kesulitan
yang dihadapi masyarakat. Kehadiran Gereja juga harus bisa memancarkan
cahaya yang menghalau situasi kegelapan dalam masyarakat.
Persoalan kemiskinan pada dasarnya memang sangat kompleks dan
menyebabkan masyarakat semakin dililit penderitaan, maka Gereja Keuskupan
Ruteng21
terdorong untuk ikut berperan dalam proses pembangunan di Manggarai.
Program pembangunan yang dicanangkan Gereja di wilayah Keuskupan Ruteng
bukan tanpa tantangan dan kendala. Tantangan yang dihadapi Gereja Keuskupan
Ruteng dalam upaya membebaskan kaum miskin datang dari perusahaan-
perusahaan transnasional yang bergerak di bidang industri ekstraktif yang
berkoalisi dengan pemerintah daerah dan politisi Indonesia yang korup.22
Kemudian tantangan yang datang dari masyarakat sendiri adalah mentalitas dan
pola pikir yang belum maju. Tetapi semua kendala yang dihadapi akan teratasi
bila semua elemen dalam masyarakat mampu bekerja sama dalam mengatasi
20
Garam (ayat 13) di sini memiliki banyak fungsi, yakni untuk mengawetkan makanan
dan membuat makanan menjadi lebih enak. Selain itu, garam juga bisa mencegah kebusukan pada
makanan, sehingga makanan dapat bertahan untuk waktu yang cukup lama. Garam juga dapat
mengakibatkan kehausan, itu berarti setiap orang yang mengonsumsi garam secara lansung akan
mengalami kehausan. Garam dalam Perjanjian Lama juga dimaknai sebagai lambang perjanjian
yang mengikat/kekal. Perjanjian itu dikenal dengan perjanjian garam yakni perjanjian yang
menggunakan obyek tertentu yang dibubuhi garam, dengan makna bahwa perjanjian itu tidak akan
pernah dibatalkan (Bil. 18:19). Kemudian terang yang dimaksudkan di sini adalah terang Tuhan.
Salah satu sikap hidup dalam terang adalah hidup dalam kasih. Hendaknya terang itu kita
tunjukkan, dan bukannya kita simpan cahayanya (Matius 5:14-16). Terang itu harus memberi
dampak dan dapat dilihat oleh orang lain. 21
Keuskupan Ruteng dalam pembahasan ini merujuk pada penyebutan Gereja Katolik
(di) Manggarai. Meskipun apa yang disebut Keuskupan Ruteng, secara institusional, baru ada
setelah Gereja hadir beberapa dekade di Manggarai. Penyebutan Keuskupan Ruteng sama artinya
dengan Gereja Manggarai atau Gereja Katolik Manggarai. 22
Cypri Jehan Paju Dale, op. cit., hlm. 149.
9
masalah kemiskinan ini, sehingga masyarakat dapat mengalami kesejahteraan
baik secara sosial maupun ekonomi.
Oleh karena itu, Gereja sadar bahwa kehadirannya harus dapat
menciptakan transformasi sosial dan ekonomi. Untuk itu, Gereja Keuskupan
Ruteng berusaha agar keterlibatannya dalam proses pembangunan di Manggarai
mesti memberikan dampak bagi pembebasan kaum miskin. Gereja Keuskupan
Ruteng sejauh ini telah terlibat dalam pembangunan di Manggarai, dalam
pembangunan fisik seperti jalan raya, jembatan, dan dalam bidang pertanian.
Sedangkan, dalam bidang non fisik, Gereja telah melaksanakan pembangunan di
bidang pendidikan dengan membangun sekolah-sekolah Katolik. Sekolah-sekolah
Katolik bertujuan untuk membentuk karakter masyarakat yang disiplin, kreatif
dan inovatif. Selain itu, melalui pendidikan juga akan dibentuk generasi yang
kritis dalam menilai realitas sosial yang ada dalam masyarakat; kritis terhadap
perkembangan yang datang dari luar sembari menentukan jati diri yang unggul
demi mempertahankan hak dan martabat sebagai manusia.
Realitas di atas mendorong penulis untuk mengangkatnya ke dalam tulisan
ilmiah dengan judul: “PERAN GEREJA KEUSKUPAN RUTENG DALAM
MEMBEBASKAN KAUM MISKIN”. Peran profetis Gereja harus mampu
membebaskan kaum miskin dari kemiskinan.
1.2 Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang dan alasan pemilihan judul di atas, maka
muncul satu permasalahan utama yakni sudah sejauh mana peran Gereja
Keuskupan Ruteng dalam membebaskan kaum miskin? Pertanyaan ini sangat
relevan untuk melihat kembali peran Gereja sejak berkarya di wilayah Keuskupan
Ruteng, sebab peran Gereja bukan hanya untuk mewartakan iman, tetapi juga
membawa transformasi sosial.
Dari masalah pokok di atas, ada beberapa masalah turunan yang dapat
ditarik, yakni:
1. Siapa yang dimaksud dengan Gereja Keuskupan Ruteng?
10
2. Apa yang telah dilakukan Gereja Keuskupan Ruteng dalam
membebaskan kaum miskin?
3. Siapa itu kaum miskin?
4. Bagaimana ciri-ciri seseorang dikategorikan sebagai kaum miskin?
5. Apa yang akan diupayakan Gereja Keuskupan Ruteng dalam
membebaskan kaum miskin dari kemiskinan?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Karya tulis ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menyelesaikan program studi Strata Satu (S1) di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik
Ledalero.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tulisan ini dibuat dengan tujuan:
1. Menjelaskan Gereja Keuskupan Ruteng dan seluk beluk Gereja
Keuskupan Ruteng.
2. Menggambarkan kiprah Gereja Keuskupan Ruteng dalam membebaskan
kaum miskin.
3. Menjelaskan tentang kaum miskin dan segala aspek yang berkaitan
dengan kaum miskin.
4. Menjelaskan upaya yang akan dilakukan Gereja Keuskupan Ruteng dalam
membebaskan kaum miskin dari kemiskinan.
1.4 Guna Penulisan
Penulisan ini dibuat dengan harapan agar berguna bagi:
1. Kaum hierarki Keuskupan Ruteng, agar dapat melihat kembali sepak
terjang karya pastoral yang telah dilakukan selama ini di Keuskupan
Ruteng yang mencakup segala pencapaian yang telah dibuat baik
dalam dimensi sosial religius maupun secara khusus dalam sosial
11
ekonomi dan rencana untuk meningkatkan sektor yang masih belum
maksimal.
2. Bagi umat Keuskupan Ruteng, agar mereka menyadari situasi sosial
ekonomi yang tengah mereka alami saat ini dan semoga terdorong
untuk melangkah ke arah perubahan dengan mendukung segala
program pembangunan baik yang dicanangkan pemerintah maupun
Gereja Keuskupan Ruteng.
3. Bagi pemerintah dan penguasa yang tinggal di daerah, agar mereka
menyadari situasi kemiskinan yang sedang dialami masyarakat
Manggarai Raya, sehingga kebijakan yang dibuat pada masa yang akan
datang lebih proporsional dan memihak kaum miskin.
4. Akhirnya tulisan skripsi ini, berguna bagi penulis sendiri.Tulisan ini
merupakan sarana latihan dalam menulis karya ilmiah, agar penulis
semakin mahir dalam menulis dan menganalisis dengan tajam
fenomena dan realitas sosial yang terjadi di tengah masyarakat untuk
menghasilkan transformasi dalam kehidupan Gereja dan Negara.
1.5 Metode Penelitian dan Penulisan
Jenis studi yang digunakan penulis dalam menyelesaikan tulisan ini adalah
jenis studi kepustakaan, maka metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah
metode studi kepustakaan yaitu analisis data sekunder. Dalam analisa data
sekunder, penulis bertolak dari dokumen-dokumen, buku-buku, majalah-majalah,
kamus, artikel dan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan tema ini. Selain itu,
penulis juga menggunakan metode wawancara dengan informan kunci untuk
memperdalam data atau informasi, khususnya berhubungan dengan kebijakan
Gereja Keuskupan Ruteng.
1.6 Sistematika Penulisan
"Peran Gereja Keuskupan Ruteng dalam Membebaskan Kaum Miskin", akan
dibahas dalam beberapa bab berikut ini:
Bab I akan diuraikan pengantar umum untuk masuk ke dalam karya ini yakni
mengenai latar belakang dan alasan pemilihan judul, permasalahan, tujuan dan
12
guna penulisan, metode penulisan yang dipakai dan yang terakhir sistematika
penulisan.
Dalam bab II akan diuraikan tentang Gereja dan realitas Keuskupan Ruteng yang
meliputi gambaran umum tentang Gereja, sejarah singkat Gereja Keuskupan
Ruteng, selayang pandang Gereja Keuskupan Ruteng, dan gambaran tentang
peran yang sudah dilakukan Gereja dalam pembangunan. Kemudian dijelaskan
pula tantangan yang dialami Gereja Keuskupan Ruteng dalam pembangunan dan
dasar-dasar pelayanan terhadap kaum miskin, yaitu dasar biblis dan Ajaran
Gereja.
Dalam bab III akan dijelaskan secara mendalam tentang kaum miskin, yang
meliputi pengertian kaum miskin, karakteristik kaum miskin, jenis-jenis
kemiskinan, dan penyebab adanya kaum miskin. Selain itu, dijelaskan juga
gambaran tentang pembebasan kaum miskin yang meliputi pengertian
pembebasan, dasar-dasar pembebasan, dan diakhiri dengan tujuan dari
pembebasan kaum miskin.
Bab IV merupakan bab inti dari penulisan skripsi ini. Dalam bab ini akan
diuraikan peran yang akan dilakukan Gereja Keuskupan Ruteng dalam
membebaskan kaum miskin yang meliputi usaha-usaha yang dilakukan Gereja
Keuskupan Ruteng dalam membebaskan kaum miskin. Selanjutnya program-
program konkret Gereja Keuskupan Ruteng dalam membebaskan kaum miskin,
baik dalam bidang sosio politik, ekonomi, pendidikan maupun ekologi. Setelah itu
dijelaskan strategi yang akan ditempuh untuk menjalankan semua program
konkret dalam rangka membebaskan kaum miskin. Selain itu, pada bagian
terakhir bab ini akan dibuat refleksi kritis terhadap peran Gereja Keuskupan
Ruteng dalam upaya membebaskan kaum miskin.
Bab V merupakan bab penutup yang akan memuat kesimpulan dan usul-saran.
13
BAB II
GEREJA KEUSKUPAN RUTENG
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan fenomena perkembangan dunia
dewasa ini yang diwarnai dengan kemajuan dalam pelbagai bidang kehidupan
manusia, khususnya teknologi dan komunikasi. Akan tetapi seiring terjadinya
kemajuan dalam pelbagai bidang kehidupan masyarakat, muncul pula pelbagai
macam masalah sosial yang turut mewarnai kemajuan tersebut. Salah satu
masalah yang paling mencolok sebagai dampak negatif dari kemajuan adalah
kemiskinan. Kemiskinan telah menjadi sebab meningkatnya jumlah kaum miskin.
Kaum miskin tidak hanya muncul di negara-negara berkembang, tetapi juga
terdapat di negara-negara maju. Munculnya kemiskinan mendorong semua
kalangan untuk segera membebaskan kaum miskin dari kemiskinan.
Upaya membebaskan kaum miskin bukan merupakan pekerjaan yang
mudah. Hal ini berarti bahwa perlu adanya usaha yang besar dan melibatkan
semua pihak baik pemerintah maupun lembaga-lembaga lainnya. Gereja Katolik,
khususnya Gereja Keuskupan Ruteng memiliki tanggung jawab dalam usaha
membebasakan kaum miskin. Oleh karena itu, pada bab ini akan dijelaskan
tentang Gereja Keuskupan Ruteng serta dipaparkan pula sepak terjang Keuskupan
Ruteng dalam usaha membebaskan kaum miskin selama berkarya di Manggarai.
Selain itu, akan dikemukakan pula beberapa tantangan yang dialami Gereja
Keuskupan Ruteng dalam upaya membebaskan kaum miskin di Keuskupan
Ruteng.
2.1 Gambaran Umum tentang Gereja
2.1.1 Gereja sebagai Umat Allah
Gambaran Gereja sebagai “Umat Allah” sangat ditekankan dalam Konsili
Vatikan II, khususnya dalam Lumen Gentium nomor 9, bahwa Gereja bukanlah
14
pertama-tama suatu organisasi manusiawi melainkan perwujudan karya Allah
yang konkret.23
Paham “Umat Allah” merupakan ungkapan kesadaran akan peran
Roh dalam hidup Gereja. Gereja hidup dan hadir di mana bentuk organisatorisnya
belum sempurna. Hal ini berarti bahwa Gereja sebagai “Umat Allah” dapat hidup
dalam dunia profan dan sekular.24
Paham “Umat Allah” juga tidak hanya berarti Gereja musafir, tetapi adalah
suatu gerakan yang melalui Kristus dalam satu Roh menemukan jalan kepada
Bapa. Istilah “Umat Allah” adalah istilah biblis yang dipilih demi sejarah
keselamatan. Dengan mempergunakan istilah dari Alkitab, diperlihatkan bahwa
Gereja dipandang dalam rangka sejarah keselamatan. Sejarah keselamatan, yang
dimulai dengan panggilan Abraham, berjalan terus dan mencapai puncaknya
dalam wafat dan kebangkitan Kristus serta pengutusan Roh Kudus. Maka Gereja
bukan hanya lanjutan “Umat Allah” yang lama, tetapi terutama kepenuhannya,
karena sejarah keselamatan Allah berjalan terus dan Allah memberikan diri
dengan semakin sempurna.25
Menurut Tom Jacobs paham “Umat Allah” tidak hanya menempatkan
Gereja dalam kerangka sejarah keselamatan, tetapi sekaligus juga menghapus sifat
piramidal Gereja, yang menempatkan hierarki di atas seluruh umat.26
Hal ini
berarti bahwa tidak ada lagi hierarki di atas yang lain. Oleh karena itu, paham
“Umat Allah” mendorong anggota Gereja untuk saling bekerja sama dalam
mewujudkan misi Gereja di tengah dunia.
2.1.2 Gereja sebagai Tubuh Kristus
Gereja merupakan Tubuh Kristus. Paham Tubuh Kristus di sini tidak
dimaksudkan untuk mempertentangkannya dengan paham Gereja sebagai “Umat
Allah”. Gereja sebagai Tubuh Kristus mau menggambarkan relasi antara Yesus
dan Gereja-Nya serta relasi yang terjadi antara anggota Gereja. Kristus sendirilah
23
Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, No. 9, penerj. R.
Hardawirayana, op. cit., hlm. 82. 24
Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, Buku Informasi dan Referensi
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996), hlm. 333. 25
Ibid. 26
Tom Jacobs, Gereja Menurut Vatikan II (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987), hlm.
24.
15
kepala yang memberi kehidupan kepada Gereja. Tanpa kehadiran Kristus, Gereja
akan mati sebab Kristuslah yang mejadi pokok Gereja.27
Hal yang sama juga
berlaku dalam relasi yang terjadi antara anggota Gereja. Relasi antara anggota
Gereja yang membentuk Gereja sebagai Tubuh Kristus digambarkan oleh Paulus
dalam suratnya kepada jemaat Korintus demikian:
Sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala
anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus.
Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani,
baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan
kita semua diberi minum dari satu Roh (1 Kor 12:12-13).
Gambaran “tubuh” yang diberikan Paulus, mengungkapkan kesatuan
jemaat, kendatipun ada aneka karunia dan pelayanan (ay. 7). Gereja itu satu. Ia
menegaskan, bahwa “mata tidak dapat berkata kepada tangan: Aku tidak
membutuhkan engkau. Dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki: Aku tidak
membutuhkan engkau” (ay. 21). Sebab “tubuh tidak terdiri dari satu anggota,
tetapi atas banyak anggota” (ay. 14). Oleh karena itu, “kamu semua adalah Tubuh
Kristus dan masing-masing adalah anggotanya” (ay. 27).28
2.1.3 Gereja sebagai Sakramen
Konsep Gereja sebagai sakramen muncul pertama kali dalam dokumen
pertama yang dihasilkan konsili Vatikan II yakni dokumen Sacrosanctum
Concilium. Dokumen ini dua kali menyebut Gereja sebagai sakramen yakni pada
nomor 5 disebutkan bahwa dari lambung Kristus yang wafat di salib lahirlah
sakramen yang ajaib, yakni Gereja seluruhnya29
dan pada nomor 26 disebutkan
bahwa Gereja adalah sakramen kesatuan.30
Tetapi konsep ini kemudian diperjelas
lagi dalam Lumen Gentium nomor 1 bahwa Gereja disebut sakramen yaitu tanda
dan sarana kesatuan mesra umat manusia dengan Allah dan persatuan seluruh
umat manusia.31
Dengan demikian, Gereja merupakan himpunan orang yang
27
Ibid., hlm. 22. 28
Konferensi Waligereja Indonesia, op. cit., hlm. 334. 29
Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Concilium, No. 5,
penerj. R. Hardawirayana, op. cit., hlm. 4. 30
Ibid., hlm.13. 31
Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, No. 1, penerj. R.
Hardawiryana (Jakarta: DOKPEN KWI, 1990), hlm. 7.
16
percaya akan Kristus sebagai pencipta keselamatan dan dasar kesatuan serta
perdamaian.32
Sifat sakramental Gereja tidak dapat dipisahkan dari Kristus, sebab
memang karya keselamatan Allah pertama-tama dinyatakan dalam Kristus. Karya
keselamatan Allah tidak lain daripada kesatuan Allah dengan manusia. Kesatuan
itu dilaksanakan dalam Kristus, sebab “Allah itu esa dan esa pula Dia yang
menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus” (1
Tim 2:5). Karya keselamatan Allah berpusat pada misteri Paskah, yakni misteri
kesatuan Kristus dengan manusia dalam maut dan kesatuan dengan Allah dalam
kebangkitan.33
Kristus adalah sekaligus pewahyuan Allah kepada manusia, dan jalan
manusia kepada Allah. Itu berarti hanya ada satu pengantara antara Allah dan
manusia. Semua manusia mengambil bagian dalam hidup Allah dengan
berpartisipasi pada penerimaan keselamatan oleh Kristus. Gereja hanya menerima
keselamatan dari Kristus, sehingga Gereja tidak boleh disebut sebagai “institut
penyelamatan”. Yang menyelamatkan adalah Allah dalam Kristus, bukan Gereja.
Gereja adalah sakramen keselamatan karena imannya akan Kristus.34
Oleh karena
itu, dalam sakramentalitas Gereja tidak pertama-tama ditekankan Gereja sendiri,
melainkan misteri Allah yang mewahyukan diri secara historis dalam Kristus.
2.1.4 Gereja sebagai Hierarki
Hierarki dalam konteks hukum Gereja merupakan tata susunan
sekelompok pejabat dalam umat beriman, yang dipanggil untuk
merepresentasikan Kristus yang tak kelihatan sebagai Kepala Tubuhnya, yang
adalah Gereja. Susunan hierarkis ini penting demi pelayanan akan kebenaran dan
persatuan baik di dalam Gereja maupun antara Gereja-gereja dan bahkah demi
persatuan seluruh umat manusia. Pejabat hierarkis bukan „penguasa suci‟,
32
J.B. Banawiratma, Gereja dan Masyarakat (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986),
hlm. 24. 33
Tom Jacobs, op. cit., hlm. 17. 34
Ibid., hlm.18.
17
melainkan pengabdi pada pembangunan Umat Allah, supaya semakin menjadi
Tubuh Kristus yang tersusun rapi dan Bait Roh Kudus yang indah.35
Hierarki dalam Gereja dibagi menjadi hierarki tahbisan dan hierarki
jabatan, yang sejajar dengan wewenang tahbisan dan wewenang kegembalaan.
Dasarnya adalah Sakramen Tahbisan yang dilengkapi oleh pengutusan kanonik.
Dalam hierarki tahbisan, terdapat tiga tingkatan yang termasuk hukum ilahi, yaitu
uskup, imam, dan diakon; sedangkan hierarki jabatan, jabatan tertinggi ditempati
oleh paus (sebagai gembala umum) serta kolegium para uskup (dengan paus
sebagai kepalanya), dan di sini jabatan uskuplah yang termasuk dalam hukum
ilahi. Semua jabatan lain dalam Gereja hanya mengambil bagian dalam wewenang
kepausan atau wewenang uskup.36
Oleh karena itu, setiap keputusan atau
kebijakan pastoral yang dibuat uskup atau pun paus merupakan pedoman dasar
yang dipegang para petugas pastoral dalam berpastoral.
2.2 Sejarah Singkat Terbentuknya Gereja Keuskupan Ruteng
Sejarah Gereja Keuskupan Ruteng dimulai pada tanggal 17 Mei 1912,
ketika Pater Henrikus Looijmans SJ, membaptis orang Manggarai pertama37
masuk agama Katolik di Reo. Selanjutnya pada tahun 1913 para misionaris SVD
mengambil alih misi untuk Sunda Kecil dari tangan misionaris Jesuit. Setelah
Ndona, Ende dijadikan sebagai pusat misi di Nusa Tenggara tahun 1914, bulan
Oktober pada tahun yang sama Mgr. Noyen, SVD mengunjungi Manggarai. Ia
tiba di Reo dengan menumpang kapal dan selanjutnya meneruskan perjalanan ke
Ruteng dan wilayah lain di Manggarai dengan berkuda. Setelah melakukan
kunjungan pastoral di Manggarai, akhirnya para misionaris SVD mendirikan
pusat-pusat misi pelayanan umat di Manggarai. Pater Bernhard Glanemann, SVD
mendirikan pusat misi di Ruteng, pada tanggal 23 September 1920 yang menjadi
sentral pelayanan pastoral di wilayah Tengah Manggarai. Tanggal 6 Maret 1921
Pater Willem Janssen, SVD tiba di Manggarai dan membangun pusat misi di
35
A. Heuken, “Hierarki”, Ensiklopedi Gereja, jilid III H-J (Jakarta: Yayasan Cipta Lokal
Caraka, 2004), hlm. 30. 36
Ibid., hlm. 31. 37
Orang-orang yang dibaptis tersebut adalah Katarina (Arbero), Henricus, Agnes Mina,
Caecilia Weloe, dan Helena Loekoe. Lihat, Max Regus dan Kanisius Teobaldus Deki (ed.), Gereja
Menyapa Manggarai (Manggarai: Yayasan Theresia Pora Plate, 2011), hlm. 206.
18
Lengko Ajang untuk wilayah Timur Manggarai. Pada tanggal 6 April 1924, Pater
Franz Eickmann, SVD tiba di Rekas dan menjadikan Rekas sebagai pusat misi
untuk wilayah Barat Manggarai.38
Pusat-pusat misi yang telah didirikan dalam perjalanan waktu mengalami
perkembangan yang signifikan dan semakin memperoleh struktur gerejawi yang
mantap. Tanggal 29 September 1929 wilayah misi Manggarai ditetapkan menjadi
sebuah dekenat dengan pusatnya di Ruteng. Pater Thomas Koning, SVD yang tiba
di Ruteng pada tahun 1926 menjadi deken yang pertama. Sejalan dengan
pembentukan dekenat tersebut, pada tahun yang sama terbentuklah stasi Pagal dan
tahun 1930 stasi Mukun (Manus). Gereja Katedral Ruteng mulai dibangun pada
tahun 1929 dan diberkati oleh Uskup Vestraelen pada tanggal 14 September 1931
dengan nama Gereja Santo Yosef.39
Struktur gerejawi yang mantap dan pusat-pusat misi dengan pelayanan
pastoral yang tetap dan kontinu mendorong pertumbuhan umat yang sangat pesat.
Hal ini nyata ketika misi SVD Flores merayakan Pesta Perak pada tanggal 20 Juli
1939, di Manggarai tercatat 14 orang misionaris yang bekerja pada 18 Stasi.
Mereka melayani 65.592 orang Katolik. Tahun yang sama juga para misionaris
mempermandikan lagi 7.388 orang, termasuk anak-anak yang berjumlah 3.197
orang anak. Perkembangan Gereja Manggarai sempat terhambat dengan terjadinya
perang Dunia II, di mana banyak misionaris yang diinternir. Meski demikian
kehadiran para misionaris pribumi sangat membantu pelayanan pastoral dalam
masa sulit ini. Para misionaris pribumi ini adalah P. Yan Bala Letor, SVD, Rm.
Lukas Lusi, Rm. Zakharias Ze, dan P. Markus Malar, SVD. Selain itu, para rasul
awam yang turut berjasa dalam masa sulit ini adalah guru Gabriel Tjangkoeng dan
Damasus Agas.40
Struktur gerejawi semakin kokoh, setelah tanggal 8 Maret 1951 Paus Pius
XII meningkatkan status dekenat Ruteng menjadi Vikariat Apostolik dan
38
Sebagian besar uraian tentang sejarah terbentuknya Gereja Keuskupan Ruteng dikutip
dari Martin Chen, “Untuk Mewartakan Tahun Rahmat Tuhan Telah Datang”, Bengkes, (Edisi
Yubileum 100 Tahun Gereja Katolik Manggarai, 2012), hlm. 5. 39
Ibid. 40
Ibid.
19
mengangkat Mgr. Wilhelmus van Bekkum menjadi Vikaris Apostolik pertama.
Status ini kemudian ditingkatkan menjadi Keuskupan tanggal pada tanggal 3
Januari 1961 oleh Paus Yohanes XXIII. Uskup Ruteng pertama adalah Mgr. Van
Bekkum terhitung sejak terpilih tahun 1961-1972. Selama menjadi uskup Ruteng,
perhatian besarnya adalah upaya pembaharuan liturgi di dan dari daerah misi.
Tahun 1972, Mgr. Van Bekkum secara tertulis menyatakan pengunduran diri dari
tanggung jawab atas Keuskupan Ruteng. Keadaan Keuskupan Ruteng pada tahun
yang sama adalah telah ada 45 wilayah paroki, dengan total jumlah umat 299.318
jiwa. Mereka dilayani oleh 59 orang pastor, 12 orang bruder, 45 orang suster, dan
72 orang katekis.41
Uskup Ruteng kedua yang menggantikan Mgr. Van Bekkum adalah Mgr.
Vitalis Djebarus SVD (1973-1981). Program yang dilakukan oleh Mgr. Vitalis
Djebarus, SVD adalah paroki berdikari yang meliputi tiga bidang, yakni
pemberdikarian mental, pemberdikarian material, dan pemberdikarian personil.
Tugas kepemimpinan Mgr. Vitalis di Keuskupan Ruteng berakhir pada tanggal 4
Januari 1981 dan sekaligus memulai tugas yang baru di Keuskupan Denpasar.
Dengan demikian, sampai saat itu di Keuskupan Ruteng telah ada 47 wilayah
paroki, dengan total jumlah umat 338.318 jiwa.42
Uskup ketiga Keuskupan Ruteng adalah Mgr. Eduardus Sangsun, SVD
(1985-2008). Selama masa kepemimpinannya Keuskupan Ruteng mengalami
kemajuan yang sangat pesat. Tahun 2008 jumlah umat telah mencapai angka
644.180 jiwa. Jumlah paroki meningkat menjadi 76 wilayah, dan jumlah agen
pastoral menjadi 288 orang pastor, 28 orang bruder, 251 orang suster dari 37
kongregasi dan belum terhitung para ketekis. Sesudah Mgr. Eduardus Sangsun,
Mgr. Hubertus Leteng menggantikannya. Dia merupakan imam diosesan
Keuskupan Ruteng pertama yang menjadi uskup Ruteng.43
Mgr. Hubertus
memimpin Keuskupan Ruteng sejak 2010-2017. Salah satu program penting yang
digagas oleh Mgr. Hubertus adalah menyelenggarakan sinode III Keuskupan
41
Max Regus dan Kanisius Teobaldus Deki (ed.), Gereja Menyapa Manggarai, op. cit.,
hlm. 219. 42
Ibid., hlm. 221. 43
Ibid., hlm 234.
20
Ruteng yang berlangsung dari tahun 2013-2015. Menurut data tahun 2015, jumlah
umat telah mencapai 791.233 jiwa, yang tersebar di 82 paroki. Pada 11 Oktober
2017, tahta suci menerima pengunduran diri Mgr. Hubertus Leteng sebagai Uskup
Ruteng dan pada saat yang sama, Mgr. Silvester Tung Kiem San, Uskup
Denpasar, ditunjuk sebagai Administrator Apostolik. Tahun 2019, Keuskupan
Ruteng mendapat uskup baru, Mgr. Siprianus Hormat, yang ditahbiskan pada 19
Maret 2020.44
2.3 Selayang Pandang Gereja Keuskupan Ruteng
2.3.1 Letak Geografis
Keuskupan Ruteng terletak diujung barat pulau Flores. Wilayahnya
memiliki luas sebesar 7.136,04 km2, dan mencakup tiga wilayah kabupaten, yakni
Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur. Wilayah ini terdiri dari
daratan Barat pulau Flores, dan pulau-pulau sekitarnya, seperti Komodo, Rinca,
Mules, Longos, serta 40 buah pulau kecil lainnya. Wilayah ini memiliki curah
hujan yang relatif tinggi, sekitar 5-7 bulan setahun.
Selain itu, topografinya bergunung-gunung, dan tidak ada dataran yang
luas. Struktur kemiringan tanahnya bervariasi. Dataran yang kemiringannya
sekitar 0o
sampai 20 berjumlah 28 ha atau 3,97% dari luas keseluruhan. Tanah
yang kemiringannya 2-150 berjumlah 34,15 ha atau 11,79%. Tanah yang
kemiringannya 15-400
berjumlah 234.653 ha atau 34,14%, dan tanah yang terjal
(yang kemiringannya lebih dari 400) berjumlah 357.572 ha atau 50,10%.
45 Dalam
wilayah dengan topografi yang demikianlah wilayah Gereja Keuskupan Ruteng
tersebar. Keadaan alam ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi Gereja
Keuskupan Ruteng dalam karya pelayanannya.
44 “Keuskupan Ruteng”, https://id.wikipedia.org/wiki/Keuskupan_Ruteng, diakses pada 9
Februari 2020. 45
Max Regus dan Kanisius Teobaldus Deki (ed), Gereja Menyapa Manggarai, op. cit.,
hlm. 200.
21
2.3.2 Sosio Demografi
Menurut data statistik Keuskupan Ruteng (per 2015), jumlah total populasi
yang ada di Manggarai sebanyak 821.089 jiwa. Dari total penduduk yang ada
tersebut, yang menganut agama Katolik sebesar 791.233 jiwa atau (96.36%) dari
total penduduk Manggarai.46
Bila dilihat dari kepadatan penduduk, tingkat
kepadatan penduduk di Manggarai rata-rata mencapai 104 penduduk per kilometer
per segi. Ada pun rinciannya, kepadatan tertinggi terdapat di kabupaten
Manggarai, yang mencapai 131/km2, disusul kabupaten Manggarai Barat, yang
mencapai 88/km2, dan kabupaten Manggarai Timur 93/km
2.47
Mereka umumnya
berdiam di pedalaman, di kampung-kampung yang letaknya di daerah
pegunungan. Hubungan transportasi antara kampung yang satu dengan kampung
yang lain, antara desa dengan kota masih relatif kurang lancar. Tidak heran kalau
mereka hidup dalam situasi relatif homogen, baik dari segi suku, kepercayaan,
pendidikan, cara berpikir, dan berbudaya. Dan di kampung-kampung masih ada
sikap fanatik berdasarkan suku dan agama.48
Kebanyakan dari umat Katolik ini adalah penduduk asli Manggarai yang
terdiri dari beberapa suku, seperti suku Pongkor, Todo, Ruteng, Rahong, Cibal,
Reok, Pota, dan suku-suku kecil lainnya, yang tersebar di seluruh wilayah
berdasarkan wilayah Hamente/Kedaluan. Selain penduduk asli, orang-orang dari
pelbagai daerah di Flores, seperti Larantuka, Maumere, Ende, dan Bajawa juga
banyak mendiami daerah Manggarai bagian tengah dan pesisir. Mereka datang ke
Manggarai karena hubungan perkawinan, dan khususnya dahulu, datang sebagai
guru dan misionaris awam.49
2.3.3 Sosio Ekonomi
Penduduk Manggarai hidup terutama dari pertanian. Sebagian dari mereka
adalah petani sawah, yang siklus hidupnya dipengaruhi oleh siklus musim tanam
46
“Keuskupan Ruteng”, https://id.wikipedia.org/wiki/Keuskupan_Ruteng, diakses pada 9
Februari 2020. 47
Robert Justin Sodo, “Manggarai Raya dalam Lensa Kemiskinan: Potret Representatif
Kemiskinan NTT?”, dalam Rikard Rahmat (ed.), Gereja Itu Politis, op. cit., hlm. 105. 48
Max Regus dan Kanisius Teobaldus Deki (ed.), Gereja Menyapa Manggarai, op. cit.,
hlm. 201. 49
Ibid.
22
dan musim panen. Dahulu kala mereka memprimadonakan jagung dan padi.
Namun, setelah diperkenalkan tanaman perdagangan, seperti kopi, vanili, dan
lain-lain pada awal tahun 1970-an, tanaman perdagangan menjadi budaya baru
dalam sistem perekonomian. Selain itu, penduduk Manggarai juga beternak dan
mengumpulkan hasil hutan, menenun, dan mengolah enau. Seiring perjalanan
waktu, mata pencaharian masyarakat Manggarai kian bervariasi. Ada yang bekerja
sebagai tukang bangunan, pedagang, pengusaha, dan pegawai.50
Realitas kehidupan orang Manggarai saat ini diwarnai dengan kemiskinan.
Menurut laporan Education for All Global Monitoring Report yang dirilis
UNESCO 2011, sebagaimana diuraikan Tapung, bahwa Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara berkembang
lainnya. Indonesia hanya berada pada peringkat 69 dari 127 negara, di bawah
Malaysia (posisi 65) dan Brunei (posisi 34). Sementara IPM NTT Tahun 2017,
berada pada skor 63,73. Skor ini masih jauh dari IPM Nasional sebesar 70,81,
atau berada pada peringkat 2 terakhir secara nasional. Sedangkan, IPM Manggarai
2016, dengan skor 61.67, berada pada peringkat enam besar terbawah di NTT.51
Lebih lanjut Tapung menguraikan bahwa, dari total 333.910 penduduk di
Kabupaten Manggarai, sebanyak 58.667 jiwa dikategorikan orang sangat miskin,
sebanyak 63.849 jiwa dikategorikan miskin, sebanyak 2.524 jiwa hampir miskin,
dan sebanyak 560 jiwa rentan miskin. Dari total empat kategori data kemiskinan
ini dipersentasikan 43,27% dari total 344.159 penduduk di Kabupaten Manggarai,
atau 52,18% dari 84.770 Kepala Keluarga di Manggarai sebagai orang miskin.
Berdasarkan data ini, hampir 20-30% sumbangan kemiskinan di NTT muncul dari
Manggarai.52
Hal inilah yang menjadikan Manggarai dipredikat sebagai daerah
yang masih tertinggal.
50
Ibid., hlm. 202. 51
Marianus Mantovanny Tapung, “‟Putus Sekolah‟ dan Politik Pendidikan yang
Visioner”, dalam Max Regus dan Fidelis Den (ed.), Omnia in Caritate, Lakukanlah Semua dalam
Kasih (Jakarta: Penerbit Obor, 2020), hlm. 251. 52
Ibid.
23
2.3.4 Sosio Religius
Dilihat dari aspek sosio religius, orang Manggarai pada dasarnya mudah
dibaca. Dimensi religius orang Manggarai hampir mencakup semua aspek hidup
manusia. Sejak kelahiran sampai kematian, manusia selalu berhubungan langsung
dengan hal-hal keagamaan atau religi. Hal ini dapat dilihat dari pelbagai acara dan
upacara keagamaan, baik yang berkaitan langsung dengan Wujud Tertinggi,
maupun yang berkaitan dengan roh-roh atau para leluhur. Upacara yang dibuat
oleh orang Manggarai terjadi pada setiap tahap dan siklus hidup mereka.53
Ada beberapa kekhasan yang dimiliki orang Manggarai dalam kehidupan
religius mereka. Orang Manggarai percaya bahwa ada satu Wujud Tertinggi yang
merupakan asal-usul segala sesuatu yang ada, termasuk manusia sendiri.
Selanjutnya, Wujud Tertinggi itu memiliki kuasa dan peran yang tidak tergantikan
dalam menopang eksistensi mereka. Dia juga dipercaya sebagai penguasa alam
semesta yang mengatur peredaran waktu dan musim. Selain memiliki hubungan
yang erat dengan Wujud Tertinggi, orang Manggarai juga memiliki hubungan
yang erat dengan roh-roh dan leluhur. Mereka umumnya dihormati sebagai
pengantara antara manusia dan Wujud Tertinggi.54
Cukup menonjol, orang Manggarai berkeyakinan bahwa roh-roh dan
leluhur ini memainkan peranan penting dalam penyelenggaraan hidup manusia
sehari-hari. Hal ini juga menyebabkan rasa hormat dan rasa takut manusia
terhadap roh-roh dan leluhur lebih besar daripada rasa hormat dan takut kepada
Wujud Tertinggi. Oleh karena itu, ketika Gereja Katolik masuk dengan
mengalihkan peran Wujud Tertinggi kepada Allah atau Mori Kraeng, maka peran
roh-roh dan leluhur sebagai penyelenggara tidak diganggu gugat, dan malahan
porsinya dilipatgandakan.55
53
Martin Chen dan Charles Suwendi (ed.), Iman, Budaya, dan Pergumulan Sosial
(Jakarta: Penerbit Obor, 2012), hlm. 118. 54
Ibid., hlm. 119. 55
Ibid., hlm. 120.
24
2.3.5 Sosio Budaya
Manggarai memiliki kebudayaan patrilinier yang totemistik. Hal ini berarti
bahwa yang mengatur alur keturunan dalam keluarga adalah berasal dari pihak
ayah. Dalam kebudayaan itu, terdapat suatu dewa, wujud tertinggi yang disebut
Mori Kraeng. Ikatan antara suami-istri berjalan langgeng dan jarang mereka
bercerai. Meski demikian, praktik poligami menjadi kebiasaan umum bagi para
pembesar dan orang-orang kaya. Dalam perjumpaan dengan Gereja Katolik,
kebudayaan Manggarai merupakan tempat Gereja untuk menjalankan misinya.56
Gereja dan kebudayaan merupakan dua entitas yang tidak dapat dilepaskan
bagi kehidupan umat Katolik Manggarai. Oleh karena itu, untuk mempererat
hubungannya dengan budaya, Gereja berusaha melakukan gerakan inkulturasi.
Gerakan inkulturasi yang dijalankan Gereja menyata dalam perayaan liturgis
Gereja Keuskupan Ruteng. Hal ini tentunya bertujuan agar kehadiran Gereja di
Manggarai sungguh menyatu dengan kehidupan orang Manggarai. Selain itu,
perjumpaan antara Gereja dan budaya Manggarai merupakan suatu kesempatan
bagi Gereja untuk memberikan nilai-nilai kekatolikan bagi kebudayaan
Manggarai.
2.3.6 Sosio Politik
Secara sosio politik, wilayah Keuskupan Ruteng mencakup tiga wilayah
administrasi pemerintahan yakni Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan
Manggarai Timur. Kabupaten Manggarai merupakan kabupaten yang paling tua
yang disusul dengan Kabupaten Manggarai Barat dan kemudian Kabupaten
Manggarai Timur. Dinamika perjalanan Gereja Keuskupan Ruteng secara politis
diwarnai dengan ketegangan dengan pemerintahan. Ketegangan pertama terjadi
antara uskup Mgr. Vitalis Djebarus, SVD dengan Bupati Frans Lega pada tahun
1977. Perselisihan ini berdampak pada penerbitan SK penarikan 1227 orang guru
dan 17 pegawai administrasi dari 265 SD milik yayasan Sukma.57
Hal ini terjadi
56
Max Regus dan Kanisius Teobaldus Deki (ed.), Gereja Menyapa Manggarai, op. cit.,
hlm. 204. 57
“Kutuk Uskup dan Sukma yang Merana”, Tempo.com, 6 Agustus 1977, dalam
https://majalah.tempo.co/read/agama/75239/kutuk-uskup-dan-sukma-yang-merana?read=true,
diakses pada 18 April 2020.
25
karena Gereja seringkali menjadi oposisi pemerintah dalam setiap kebijakan yang
diambil pemerintah. Gereja Keuskupan Ruteng memiliki prinsip yang tegas dalam
menjalin relasi dengan pemerintah.
Selain itu, demontrasi tolak tambang yang terjadi di tiga kabupaten
merupakan bentuk perlawanan Gereja terhadap kebijakan yang diambil
pemerintah. Gereja juga bertentangan dengan pemerintah terkait privatisasi pantai
Pede. Sikap Gereja dalam hal ini secara tegas menunjukkan keberpihakan kepada
kepentingan umum. Meski demikian dalam hal tertentu Gereja juga menjadi mitra
pemerintah dalam berdialog tentang kebijakan yang dibuat pemerintah daerah.
Gereja juga selalu memberikan pendidikan politik kepada umatnya melalui
pelbagai himbauan pastoral. Kemudian dalam kegiatan-kegiatan Gereja, pihak
pemerintah juga seringkali dilibatkan.
2.3.7 Sosio Pendidikan
Keuskupan Ruteng memiliki peran yang sangat besar dalam bidang
pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu bidang pastoral Keuskupan Ruteng.
Hingga saat ini jumlah sekolah yang berada di bawah naungan yayasan Sukma
berjumlah 300 sekolah. Dari jumlah tersebut, terdapat 265 Sekolah Dasar, 18
Sekolah Menengah Pertama, 10 Sekolah Menengah Atas.58
Selain itu, Gereja juga
berjasa besar dalam bidang pendidikan dengan mendirikan dua perguruan tingggi
Katolik di Manggarai yakni STIPAS St. Sirilus Ruteng dan Universitas Katolik
St. Paulus Ruteng. Sekolah Katolik milik Keuskupan Ruteng telah berjasa dalam
mencetak lulusan yang handal dan berdaya saing dalam kehidupan bermasyarakat.
Besarnya perhatian Keuskupan Ruteng dalam pendidikan tidak
menegasikan problem seputar pendidikan. Ada beberapa perosalan seputar
pendidikan yang terjadi di wilayah Keuskupan Ruteng. Saat ini mutu pendidikan
di Keuskupan Ruteng dinilai sangat memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari
memudarnya nilai kekatolikan dalam sekolah milik Keuskupan. Secara personal,
memudarnya nilai-nilai keKatolikan disebabkan oleh karena mental yang serba
instan dan pragmatis serta gaya hidup yang cenderung materialistis, konsumtif
58
Vinsen Patno, “Membangun Sinergitas Lembaga Pendidikan Katolik”, dalam
HidupKatolik.com, 28 Mei 2019, https://www.hidupKatolik.com, diakses pada 20 Maret 2020.
26
dan hedonis pada setiap komponen pendidikan. Sedangkan secara sistemik, akar
permasalahan ini terletak pada sistem pendidikan yang terlalu berorientasi pada
aspek kognitif-informatif serta terbatasnya lingkup pendidikan nilai hanya melalui
pelajaran agama.59
Selain itu, wajah pendidikan Katolik juga semakin memudar dengan
melemahnya peran yayasan Sukma. Hal ini terjadi karena dua hal yakni faktor
internal dan eksternal. Secara internal, melemahya peran yayasan Sukma tidak
terlepas dari perumusan visi dan misi yang belum konkret, struktur dan
manajemen yang belum efektif, ruang lingkup kewenangan yang terlalu luas,
sumber daya manusia yang masih rendah dan ketersediaan dana yang masih
minim. Sedangkan secara eksternal, kebijakan keuskupan yang menggabungkan
beberapa yayasan ke satu payung hukum menjadikan perhatian yayasan Sukma
membias. Setelah itu, hingga saat ini belum ada MOU antara keuskupan dan
pemerintah daerah berkaitan dengan semua sekolah yang berstatus SDK. Dari
pemerintah juga belum ada kemauan politik untuk menjadikan yayasan Sukma
sebagai mitra. Inilah yang menjadikan wajah pendidikan Katolik milik Keuskupan
Ruteng semakin buram dari waktu ke waktu.60
2.4 Peran yang Sudah Dilakukan Gereja Keuskupan Ruteng dalam
Pembangunan di Manggarai
Gereja Katolik sejak berkarya pertama kali di wilayah Manggarai, tidak
hanya fokus pada pengajaran iman, tetapi juga pada bidang lainnya. Hal ini
terbukti dengan misi Gereja Keuskupan Ruteng yang berusaha membangun
kehidupan orang Manggarai secara integral yang mencakup segala bidang
kehidupan orang Manggarai. Misi ini pun turut membantu Gereja Katolik dalam
karya pewartaan, sehingga umat Katolik Manggarai tidak hanya berakar dalam
hidup iman, tetapi juga mandiri dalam bidang lainnya. Berikut akan diuraikan
beberapa bidang yang menjadi fokus karya misi Gereja sejak berkarya di
Manggarai sampai sekarang.
59
Panitia Sinode III Keuskupan Ruteng, Dokumen Sinode III 2013-2015 Keuskupan
Ruteng Pastoral Kontekstual Integral (Yogyakarta: asdaMEDIA, 2016), hlm. 221. 60
Ibid., hlm. 224.
27
2.4.1 Bidang Sosial Politik
Gereja Katolik Keuskupan Ruteng lebih dari seratus tahun di Manggarai
Raya telah berkarya mendorong terciptanya struktur dan institusi sosial politik dan
sosial kemasyarakatan. Sebelum Perang Dunia II telah dibentuk kelompok-
kelompok sosial kemasyarakatan. Tahun 1933 ada Persaudaraan Sosial Katolik
Ruteng (PSKR). Sesudah itu, menyusul pembentukan pelbagai organisasi lain.
Kelahiran dan perkembangan Partai Katolik yang turut berperanan dalam sejarah
politik di wilayah Manggarai, tidak terlepas dari peranan Gereja Katolik. Melalui
organisasi ini, secara tidak langsung, Gereja Katolik terlibat dalam pembentukan
struktur sosial politik dan pengaderan awam Katolik dalam soal organisasi dan
kepemimpinan.61
Peran fungsi kritis profetis terhadap penyelenggaraan kekuasaan politik
juga dijalankan Gereja Katolik sejak awal sampai saat ini. Dalam konteks politik
praktis, Gereja mendorong kaum awam Katolik untuk terlibat dalam mewujudkan
pemerintahan yang bersih, bebas kolusi, nepotisme, dan korupsi. Dalam konteks
politik nilai, hierarki Gereja selalu mengumandangkan pesan-pesan kritis terhadap
kekuasaan politik agar dapat berjalan demi kesejahteraan umum dan
mengedepankan martabat luhur manusia. Tidak kalah pentingnya adalah gerakan-
gerakan sosial dan moral yang dipelopori Gereja, seperti demonstrasi tolak
tambang, gerakan ekologis perlindungan hutan, pembelaan hak-hak masyarakat
lemah, dan petisi-petisi sosial.62
2.4.2 Bidang Sosial Ekonomi
Kehadiran Gereja di Manggarai tidak hanya berfokus pada pewartaan Injil,
tetapi juga dalam bidang lain menyangkut kesejahteraan masyarakat atau umat.
Hal ini ditunjukkan Gereja Keuskupan Ruteng dalam pembangunan ekonomi di
Manggarai. Bentuk pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh Gereja
Keuskupan Ruteng diterjemahkan dalam pelbagai bidang. Ada banyak sektor
yang menjadi fokus pemberdayaan Gereja dalam memperbaiki kehidupan
ekonomi umat Keuskupan Ruteng yang meliputi bidang pertanian, perkebunan,
61
Ibid., hlm. 177. 62
Ibid.
28
peternakan, pertukangan, koperasi dan program ekonomi kreatif lainnya demi
meningkatkan kesejahteraan hidup umat.63
Gereja Katolik berperan penting dalam membangun dan mengembangkan
bidang pertanian di Manggarai. Percetakan sawah di Lembor misalnya, dimulai
oleh Gereja dengan bantuan dana Lembaga Katolik Misereor Jerman pada saat itu.
Para misionaris telah membantu mengenalkan teknik pertanian maupun benih-
benih tanaman perdagangan, seperti: vanilli, cengkeh, dan kopi. Dalam bidang
peternakan, Gereja mendorong usaha beternak sapi, babi dan ayam. Selain itu,
belakangan, Gereja Katolik banyak terlibat dalam pendampingan dan
pemberdayaan kelompok usaha ekonomi umat. Menurut ketua Komisi PSE,
selama ini mereka telah mengembangkan pembuatan pupuk organik, pembuatan
pupuk cair, pembuatan pakan organik.64
Lembaga Caritas Keuskupan juga
mendampingi pengembangan pertanian organik bagi kelompok keluarga buruh
migran di pelbagai paroki, daerah kantong migran.65
Gereja juga banyak membangun sarana dan prasarana jalan, bendungan
dan air bersih. Pada tahun 1990-an telah diretas isolasi daerah Selatan menuju
Todo-Satar Mese melalui pembukaan jalan baru dengan jalan telfort terbaik di
Manggarai, serta pembangunan telfort jalan jurusan Colol-Elar. Sesudah itu,
Gereja juga terlibat dalam pengadaan air minum bersih di pelbagai daerah di
Manggarai.66
Untuk bidang kesehatan, Gereja Katolik membangun rumah sakit
(misalnya RS Cancar oleh biara SSpS) dan beberapa klinik kesehatan. Gereja juga
bekerja sama dengan beberapa LSM untuk membentuk program paroki siaga
untuk penanganan kesehatan ibu dan anak. Selain itu, ada juga kerja sama dengan
pelbagai kelompok rohani dari Jakarta untuk pelbagai kegiatan bakti sosial berupa
pelayanan kesehatan gratis dan pembagian sembako.67
63
Ibid., hlm. 197. 64
Hasil wawancara per telepon seluler dengan RD. Robertus Pelita, Ketua Komisi PSE
keuskupan Rtueng, pada 17 April 2020. 65
Panitia Sinode III Keuskupan Ruteng, op. cit., hlm. 197. 66
Ibid. 67
Ibid., hlm. 198.
29
Gereja juga terlibat secara langsung dalam pelatihan dan pemberdayaan
„sumber daya manusia‟ (SDM). Pada masa lalu, para misionaris mendirikan
pelbagai tempat pelatihan dan pendidikan para tukang melalui bengkel misi di
Kisol, Wae Rana, Mukun, Wangkung, dan Kempo. Ada pula kursus-kursus rumah
tangga yang diselenggarakan oleh Suster-Suster SSpS. Kini, Gereja terlibat dalam
karya kursus pertukangan melalui Biara CSA dan pusat kursus Talita, Wangkung-
Rahong. Selain itu, dalam upaya mengentaskan kemiskinan Gereja juga turut serta
mendirikan dan mendampingi koperasi. Komisi PSE, melalui Koperasi
Kopkardios, telah mendampingi banyak koperasi yang tersebar di seluruh wilayah
Manggarai.68
Menurut Ketua PSE saat ini, koperasi Kopkardios telah membawahi
16 anggota puskopdit. Selain itu, koperasi milik keuskupan telah terdaftar sebagai
inkopdit Indonesia.69
2.4.3 Bidang Sosial Pendidikan
Gereja Keuskupan Ruteng pertama-tama melalui para misionaris telah
merintis pendidikan di Manggarai. Sejak tahun 1911 telah dibuka sekolah-sekolah
di Reo dan Labuan Bajo. Tahun 1925 jumlahnya berkembang pesat menjadi 25
sekolah. Sekolah-sekolah ini tersebar sampai ke daerah terpencil. Bahkan ketika
Perang Dunia II berkecamuk, jumlah sekolah tetap bertambah menjadi 52 sekolah.
Saat itu, sekolah-sekolah Katolik dilayani 117 orang guru untuk 7.638 orang
murid. Para misionaris yang paling berjasa adalah Serikat Sabda Allah (SVD).
Para misionaris ini dalam karya pastoralnya juga dibantu oleh para suster SSpS.
Atas permintaan Mgr. Leven, pada tanggal 2 September 1942 tibalah di Ruteng
Sr. Theodorina SSpS, Sr. Elisabethine SSpS, Sr. Sophina SSpS, dan Sr.
Crispianiana SSpS. Setahun kemudian para suster ini mendirikan asrama dan
Kursus Rumah Tangga (KRT). Kursus ini mencakup aspek pengetahuan seperti
pendidikan agama, moral, bahasa Indonesia, merawat bayi, ilmu gizi, dan
pengetahuan tentang resep dan aspek keterampilan memasak, menjahit,
68
Ibid. 69
Hasil wawancara per telepon seluler dengan RD. Robertus Pelita, Ketua Komisi PSE
Keuskupan Ruteng, pada 17 April 2020.
30
membersihkan, dan mengatur rumah, latihan kepemimpinan umat antara lain
memimpin doa.70
Setelah menangani kursus yang berpusat di Ruteng selama 33 tahun
(1943-1975), para suster SSpS mengadakan kursus keliling “Pendidikan
Kesejahteraan Keluarga” (PKK) bagi para gadis di pelosok-pelosok Manggarai.
Dalam rentang waktu dua belas tahun (1975-1987), Tim Kursus pimpinan para
suster SSpS ini berhasil menyelenggarakan 89 Kursus Dasar dan 3 Kursus Kader
di wilayah Manggarai. Melalui kursus-kursus ini para suster SSpS mendidik
perempuan-perempuan dalam menggapai masa depan. Kursus-kursus
keterampilan seperti ini kemudian dilakukan pula oleh biara-biara suster lainnya
yang masuk ke Manggarai seperti CIJ sejak tahun 1960 dan Ursulin sejak tahun
1968.71
Kemajuan dunia pendidikan di Manggarai terdorong cepat dengan
hadirnya lembaga-lembaga pendidikan seperti SPG yang didirikan pada tahun
1947 di Ruteng (sejak 1958 dikelola oleh bruderan Aloysius) dan tahun 1959
Akademi Pendidik Kateketik (APK) yang kemudian menjadi Sekolah Tinggi
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) yang dipimpin oleh Pater Rosmalen,
SVD. Pendidikan di Manggarai semakin berkembang, ketika tahun 1955 Pater
Leo Perik SVD mendirikan Seminari Pius XII Kisol. Alumnus seminari ini,
ditambah dengan alumnus Seminari Yohanes Paulus II Labuan Bajo yang
didirikan Pater J. Voyenciak dan Pater John Salu tahun 1987, tidak hanya
menghasilkan banyak imam, tetapi juga sejumlah kader awam yang kini berkarya
di seluruh pelosok tanah air (bahkan penjuru bumi).72
Dewasa ini pastoral pendidikan tetap menjadi prioritas Gereja Katolik
Manggarai. Melalui Yayasan Sukma dan yayasan lainnya Gereja Katolik
mengelola 21 unit TK, 265 SDK, 30 SLTP, 22 SMU/SMK dan dua lembaga
perguruan tinggi (STKIP dinaikkan status menjadi Universitas Katolik dan
70
Martin Chen dan Charles Suwendi (ed.), Iman, Budaya dan Pergumulan Sosial, op.
cit., hlm. 22. Gambaran tentang peran Gereja Keuskupan Ruteng dalam bidang sosial pendidikan
juga dapat dilihat dalam Panitia Sinode III Keuskupan Ruteng, op. cit., hlm. 219. 71
Ibid., hlm. 23. 72
Ibid., hlm. 24.
31
STIPAS). Untuk mendukung pembinaan di luar sekolah, Keuskupan Ruteng
memiliki 11 asrama (belum termasuk yang dikelola oleh biara-biara) yang
menampung dan membina ribuan siswa-siswi dari seluruh Manggarai.73
2.4.4 Bidang Lingkungan Hidup (Ekologi)
Gereja Keuskupan Ruteng memiliki perhatian terhadap masalah ekologi.
Hal ini ditunjukkan Gereja Keuskupan Ruteng dengan sebuah gerakan
penghijauan. Selama tahun 2008 pelbagai kegiatan dicanangkan, antara lain
gerakan 1000 pohon. Setiap paroki wajib menanam seribu pohon di tanah-tanah
paroki dan tanah-tanah yayasan Sukma. Selain itu, umat juga didorong untuk
menanam pohon di tanah milik mereka atau di tanah-tanah milik umum yang
memungkinkan terciptanya ruang tebuka hijau. Menyertai gerakan ini,
dilaksanakan pula pelbagai seminar tentang lingkungan hidup, katekese, dan
rekoleksi khusus untuk penyadaran akan pentingnya lingkungan lestari.74
Pelbagai kegiatan advokasi menolak pertambangan juga terus-menerus
digencarkan. Peristiwa bersejarah penting tentang demo tolak tambang terbesar
terjadi pada tanggal 13 Oktober 2014 yang serentak di tiga pusat Kabupaten:
Ruteng, Labuan Bajo, dan Borong. Gereja lokal menolak pertambangan di daerah
Flores, terutama karena Flores tidaklah cocok sebagai daerah pertambangan.
Selain Flores adalah pulau kecil dan merupakan kawasan cincin api (gunung
berapi), lokasi-lokasi pertambangan berada di wilayah hutan yang menjadi sumber
air, dekat dengan pemukiman penduduk, dan mencaplok areal kebun milik warga.
Tambang mengancam kelestarian alam Flores. Oleh karena itu, Gereja selalu giat
menyadarkan umatnya tentang bahaya tambang dan seringkali juga terlibat dalam
gerakan demo massal menentang kebijakan di bidang pertambangan.75
Pelbagai kegiatan animasi dan advokasi bidang lingkungan hidup dimotori
oleh Komisi JPIC Keuskupan Ruteng dalam kerja sama dengan JPIC SVD dan
JPIC Fransiskan, serta beberapa LSM yang peduli lingkungan hidup. Semua
paroki, juga terlibat dalam gerakan peduli lingkungan hidup dimaksud. Tak dapat
73
Ibid., hlm. 25. 74
Panitia Sinode III Keuskupan Ruteng, op. cit., hlm. 241. 75
Ibid., hlm. 242.
32
dimungkiri bahwa pelbagai kegiatan itu telah membawa beberapa hasil nyata,
seperti terjadinya penghijauan di Golo Lusang, banyak paroki sudah menanam
1000 pohon di tanah-tanah paroki, dalam kerja sama dengan PSE dan pemerintah
daerah, dan semakin banyak umat yang terlibat dalam gerakan tolak tambang.76
2.5 Tantangan dalam Pembangunan di Keuskupan Ruteng
2.5.1 Kemampuan Intelektual Umat Masih Rendah
Tantangan pastoral yang nyata yang dialami Gereja Keuskupan Ruteng
yang tidak dapat dielakkan adalah rendahnya kemampuan intelektual umat.
Rendahnya kemampuan intelektual tidak terlepas dari tingkat pendidikan umat.
Padahal salah satu instrumen yang turut menentukan kualitas intelektual manusia
adalah pendidikan. Pendidikan memiliki peranan penting dalam rangka
membentuk manusia pembangun. Meski demikian proses pendidikan memang
tidak pernah netral. Dilihat dari fungsinya, menurut Moeljarto Tjokrowinoto
pendidikan merupakan instrumen yang digunakan untuk mempermudah integrasi
generasi muda ke dalam logika sistem yang ada dan mencapai konformitas
dengan sistem dan karena itu melestarikan sistem; atau bisa menjadi wahana
dengan mana manusia secara kritis dan kreatif mempermasalahkan sistem yang
ada dan berpartisipasi dalam proses transformasi sistem.77
Data BPS Manggarai (2019) sebagaimana dikutip oleh Marianus
Mantovanny Tapung menyebutkan bahwa pada tahun 2018 dari total 339.910 jiwa
penduduk Manggarai, terungkap bahwa angka usia produktif antara 15-64 tahun
di Manggarai mencapai 59,24%. Sementara yang belum produktif 36,92% (0-14
tahun) dan sudah tidak cukup produktif sekitar 3,84% (umur 65 tahun ke atas).
Hal ini mau menunjukkan bahwa sebagian besar pendudukan di Manggarai
berusia produktif. Akan tetapi, dari persentasi jumlah tenaga kerja produktif ini
ada 35.000 penduduk Manggarai yang adalah tenaga kerja yang tidak tamat
76
Ibid. 77
Moeljarto Tjokrowinoto, Pembangunan, Dilema dan Tantangan (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), hlm. 31.
33
Sekolah Dasar (SD).78
Itu berarti bahwa hampir sebagian besar penduduk yang
berusia produktif dipenuhi dengan tenaga kerja yang belum terdidik dan terlatih.
Kenyataan di atas tentunya membawa pengaruh terhadap jalannya
pembangunan yang terjadi di Keuskupan Ruteng. Ada dampak yang ditimbulkan
dari rendahnya kualitas intelektual dalam pembangunan di Keuskupan Ruteng.
Hal ini diakui ketua Komisi PSE bahwa dalam memberikan sosialisasi dan
pelatihan kepada umat membutuhkan waktu yang lama untuk menyerap materi
yang diberikan.79
Oleh karena itu, rendahnya kualitas intelektual umat di
Keuskupan Ruteng sangat berpengaruh pada semangat pembangunan, sehingga
secepatnya masalah ini harus dibenah agar pembangunan di Keuskupan Ruteng
dapat berjalan dengan lancar.
2.5.2 Tantangan Kultural
Gereja Keuskupan Ruteng dalam pelayanannya berjumpa dengan situasi
umatnya yang kompleks. Salah satu tantangan yang dialami Gereja adalah
menghadapi kebudayaan yang dimiliki umatnya. Praktik kebudayaan yang
mendapat sorotan dalam konteks umat Keuskupan Ruteng adalah pesta budaya
maupun pesta Gerejani yang semakin menjamur. Pesta budaya yang diadakan
umat Keuskupan Ruteng lebih berorientasi kepada penghabisan anggara. Padahal
bila dilihat dari kondisi ekonomi, umat Keuskupan Ruteng masih miskin. Akan
tetapi demi mengadakan pesta budaya, mereka rela untuk berutang. Kemudian
kebiasaan baru yang mulai muncul di Manggarai saat ini adalah pesta Gerejani
dalam rangka syukuran atas penerimaan sebuah sakramen. Yang menjadi sorotan
dalam hal ini tidak terletak pada pestanya, tetapi lebih pada anggaran yang
dihabiskan untuk pesta tersebut. Sama halnya dengan pesta budaya, umat rela
berutang demi mengadakan pesta Gerejani. Dengan demikian, kedua acara ini
tentu saja membutuhkan biaya yang besar.
78
Marianus Mantovanny Tapung, “‟Putus Sekolah‟ dan Politik Pendidikan yang
Visioner”, dalam Max Regus dan Fidelis Den (ed.), Omnia in Caritate, Lakukanlah Semua dalam
Kasih, op. cit., hlm. 249. 79
Hasil wawancara per telepon seluler dengan RD. Robertus Pelita, Ketua Komisi PSE
Keuskupan Ruteng, pada 17 April 2020.
34
Selain itu, terdapat pula dua praktik yang melekat pada masyarakat
Mangggarai yakni paca (belis) dan sida. Praktik paca (belis) dan sida selalu
mewarnai kehidupan orang Manggarai dari waktu ke waktu. Kedua praktik ini
untuk masa sekarang telah mengalami degradasi nilai. Paca (belis) yang bertujuan
sebagai bentuk penghargaan terhadap seorang perempuan dari keluarga laki-laki
kini mengalami pergeseran makna dan nilai. Hal yang sama juga terjadi pada
praktik sida, di mana sida juga mengalami pengaburan makna. Pada zaman
dahulu sida hanya berlaku saat kematian, upacara kenduri, dan membayar belis,
maka saat ini sida telah berlaku dalam beberapa hal baru seperti untuk biaya
sekolah. Praktik sida telah menjadi kendala bagi orang Manggarai untuk maju
dalam perekonomian. Hal ini terjadi karena pengeluaran untuk sida selalu terjadi
pada setiap tahun dengan jumlah yang besar pula. Tidak heran bila paca (belis)
dan sida kini dianggap sudah dikomersialisasi karena sudah mengalami
pergeseran makna yang sebenarnya. Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa
kebudayaan merupakan salah satu akar persoalan umat Keuskupan Ruteng masih
berada dalam lingkaran kemiskinan.
2.5.3 Isolasi Fisik
Wilayah Keuskupan Ruteng yang terletak di ujung Barat pulau Flores,
sebagaimana wilayah yang lainnya di pulau Flores memiliki topografi bergunung-
gunung. Hal ini berarti bahwa sebagian besar wilayah Keuskupan Ruteng
bergunung-gunung dan berbukit-bukit. Sebagian besar paroki-paroki yang ada di
Keuskupan Ruteng terletak di daerah pegunungan. Topografi yang demikian turut
mempengaruhi transportasi yang menghubungkan satu wilayah dengan wilayah
lain. Salah satu masalah yang dialami sebagian besar umat Keuskupan Ruteng
hingga saat ini adalah akses transportasi antarkampung dan juga antara kampung
dan kota serta antar stasi dan pusat paroki. Buruknya akses transportasi sangat
mempengaruhi mobilisasi umat di Keuskupan Ruteng.
Selain itu, buruknya akses transportasi di Keuskupan Ruteng turut
mempengaruhi pelayanan Gereja terhadap umatnya. Kenyataan inilah juga yang
menjadikan program Keuskupan Ruteng dalam membebaskan kaum miskin belum
berjalan secara maksimal. Hal ini juga menyebabkan biaya yang harus
35
dikeluarkan untuk suatu kegiatan menjadi jauh lebih besar bila dibandingkan
dengan wilayah yang memiliki jalur transportasi yang lancar. Oleh karena itu,
untuk memperlancar pembangunan di Keuskupan Ruteng harus terlebih dahulu
membuka isolasi antar wilayah agar akses antarkampung atau kampung ke kota
semakin mudah.
2.5.4 Mentalitas Umat
Selain isolasi fisik, tantangan besar yang dialami Gereja Keuskupan
Ruteng dalam membangun keuskupan khususnya dalam bidang ekonomi umat
adalah mentalitas. Mentalitas yang dimaksudkan di sini adalah mentalitas
membangun. Menurut Ketua Komisi PSE, saat ini tantangan yang dialami para
petani Manggarai adalah rendahnya etos kerja. Kenyataan ini nampak dari
hilangnya kebanggaan orang Manggarai sebagai petani.80
Bila melihat pelbagai
upaya yang telah dibuat Gereja Keuskupan Ruteng selama ini, telah banyak hal
yang dilakukan.
Gereja selama berkarya di Keuskupan Ruteng telah berkecimpung dalam
semua segi kehidupan umat Keuskupan Ruteng. Akan tetapi, kenyataannya
hingga saat ini jumlah kaum miskin di Keuskupan Ruteng masih tinggi. Itu berarti
bahwa pembangunan yang telah dilakukan Gereja Keuksupan Ruteng sejak
dahulu hingga saat ini belum mampu mengubah mentalitas umat. Segala bentuk
program yang dibuat Gereja Keuskupan Ruteng belum berhasil membawa umat
kepada cara berpikir yang baru. Umat masih nyaman dengan pola pikir yang lama
dan malah mempertahankan pola pikir yang lama dalam menghadapi suatu
perubahan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.
Selain itu, mentalitas umat diperburuk dengan program bantuan yang
diberikan oleh pemerintah.81
Adanya program bantuan uang tunai dan pelbagai
80
Hasil wawancara per telepon seluler dengan RD. Robertus Pelita, Ketua Komisi PSE
Keuskupan Ruteng, pada 17 April 2020. 81
Salah satu contoh program bantuan yang sedang berlangsung sejak masa
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai masa kepemimpinan Presiden Joko
Widodo adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT). Sepintas bantuan ini memang efektif dalam
menjawabi kebutahan rakyat. Akan tetapi bila dilihat dari jenis bantuan yang diberikan dan
dampak lanjutan, sebenarnya bantuan ini lebih bersifat karitatif. Padahal yang diharapkan dari
36
jenis bantuan lain yang diberikan pemerintah, alih-alih membawa kesejahteraan
bagi masyarakat, tetapi dalam kenyataannya justru mempermiskinkan
masyarakat.82
Hal ini terjadi karena program yang dibuat pemerintah tidak
berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. Sumbangan yang diberikan
pemerintah malah memperlemah semangat inovasi dari masyarakat.
2.5.5 Tantangan yang Muncul dari Petugas Pastoral (Gereja)
Tantangan lain yang turut mempengaruhi perjuangan Gereja dalam
membebaskan kaum miskin, juga berasal dari para petugas pastoral. Para petugas
pastoral merupakan agen utama dalam usaha membebaskan kaum miskin. Ada
beberapa tantangan yang muncul dari para petugas pastoral atau Gereja sendiri
dalam membebaskan kaum miskin. Pertama, pelayanan Gereja masih cenderung
bersifat liturgisentris. Itu berarti bahwa Gereja masih berfokus pada pelayanan
liturgis semata. Urusan Gereja hanya berada pada seputar altar. Dalam konteks ini
kegiatan liturgi dilihat masih jauh lebih tinggi dari pada kegiatan sosial. Padahal
yang diharapkan dari upaya membebaskan kaum miskin adalah Gereja yang
terlibat. Gereja yang terlibat di sini berarti bahwa Gereja yang turut mengambil
bagian dalam situasi dunia, yang memberi garam dan terang bagi dunia.
Kedua, para pelayan Gereja menjalankan pelayanan cenderung
berdasarkan minat pribadi yang dimilikinya. Hal ini terjadi manakala para petugas
pastoral mengabaikan realitas yang dialami umat, tetapi di pihak lain ia
mendahulukan minat pribadinya. Upaya membebaskan kaum miskin merupakan
perjuangan yang penuh dengan resiko, di mana setiap orang akan berbenturan
dengan kepentingan tertentu. Oleh karena itu, Gereja dalam pelayanannya tidak
boleh berdasarkan pada minat, tetapi harus berdasarkan kenyataan sosial yang
dialami umatnya.
Ketiga, kemampuan para petugas pastoral dalam bidang ilmu lain masih
minim. Hal ini berarti bahwa para petugas pastoral tidak memiliki keahlian dalam
pemerintah adalah program yang menghasilkan transformasi dalam masyarakat melalui program
pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat bisa menghasilkan sesuatu untuk hidupnya. 82
Kenyataan ini pernah dialami negara-negara Eropa pascaperang Dunia II, tetapi kini hal
yang sama juga dialami negara-negara Dunia Ketiga termasuk Indonesia. Lihat, Johannes Muller,
Pembangunan Masyarakat Lintas Ilmu (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 36.
37
bidang lain selain pelayanan sakramen. Kenyataan ini menjadi alasan yang kuat
bagi para petugas pastoral untuk tidak aktif dalam aksi sosial untuk membebaskan
kaum miskin. Minimnya keahlian dalam bidang ilmu yang lain juga menjadi
halangan bagi Gereja untuk militan dalam berjuang bersama umat.
Keempat, Gereja belum berani keluar dari zona nyaman. Hal ini berarti
bahwa Gereja dalam pelayanannya belum berani melawan sistem yang tidak adil.
Konsekuensi yang ditempuh dari perlawanan ini adalah siap menerima resiko bila
terjadi pertentangan antara Gereja dan pihak lain dalam usahanya membebaskan
kaum miskin.
2.5.6 Partisipasi Umat Masih Rendah
Rendahnya partisipasi umat dalam menyukseskan program Keuskupan
Ruteng untuk membebaskan kaum miskin tidak terlepas dari beberapa hal berikut
yakni pertama, program yang dijalankan Gereja terlalu besar, karena itu
memerlukan waktu dan tenaga yang ekstra untuk melaksanakannya. Kedua,
perencanaan kegiatan belum melibatkan umat secara keseluruhan. Dengan
demikian tidak heran bila sebagian besar umat kurang memahami tujuan dari
program yang dicanangkan Gereja.
Ketiga, Gereja memiliki pengaruh yang lebih besar dalam mengambil
setiap kebijakan pastoral, sedangkan suara umat hanya bersifat usulan saja.
Keempat, program yang dijalankan Gereja terlalu padat dan singkat.83
Artinya
program yang dijalankan Gereja berlangsung pada jangka waktu singkat dan juga
melibatkan semua komisi dengan sasaran umat yang sama. Kelima, umat melihat
program yang dicanangkan Gereja sebagai proyek seperti yang dilakukan
pemerintah. Oleh karena itu, tidak heran bila dalam pelaksanaannya umat bekerja
asal jadi, tanpa melihat unsur kontinuitas dari kegiatan yang telah dijalankan.
2.5.7 Dana
Tantangan laten yang dialami Gereja dalam melaksanakan setiap program
pastoral, khususnya dalam konteks membebaskan kaum miskin adalah anggaran.
83
Hasil wawancara per telepon seluler dengan RD. Robertus Pelita, Ketua Komisi PSE
Keuskupan Ruteng, pada 17 April 2020.
38
Anggaran adalah perencanaan yang menggambarkan penerimaan dan pengeluaran
dalam sebuah kegiatan atau program. Anggaran menunjukkan besarnya biaya
yang diperlukan untuk melakukan suatu kegiatan.84
Meski demikian, berkaitan
dengan anggaran atau dana, Gereja Keuskupan Ruteng memiliki tantangan
tersendiri yakni kemampuan finansial yang masih rendah. Hal ini terjadi karena
pada dasarnya sumber dana Gereja Keuskupan Ruteng berasal dari dana tetap85
yang dikumpulkan dari umat beriman dan lembaga yang dikelola Gereja serta
dana tidak tetap yang berasal dari dana sumbangan baik dari dalam maupun dari
luar negeri.
Rendahnya kemampuan finansial tidak terlepas dari dua faktor yakni
pertama, ketimpangan rancangan anggaran Gereja. Hal ini tampak dalam
anggaran yang hanya berfokus pada biaya kehidupan pastoran, sedangkan
anggaran untuk reksa pastoral lainnya sangat minim. Selain itu, kenyataan ini juga
turut dipicu dengan minimnya kemampuan pelayan pastoral dalam mengelola
keuangan secara ketat dan berimbang. Kedua, partisipasi umat dalam keuangan
Gereja mandiri belum maksimal. Hal ini dapat dilihat dari pencapaian iuran
Gereja mandiri yang tidak mencapai target (rata-rata di bawah 50%), dan kolekte
yang rendah. Ada dua alasan mengapa kenyataan ini bisa terjadi yakni secara
personal masih rendah kesadaran umat tentang kolekte sebagi wujud syukur atas
rahmat Allah dan hakekatnya sebagai anggota Gereja. Sedangkan secara sistem,
hal ini disebabkan oleh sistem pemungutan dan pengelolaan yang belum efisien,
transparan dan akuntabel.86
84
Frederikus Djelahu Maigahoaku dan Martin Chen, “Perencanaan Program Pastoral
Diakonia” dalam Martin Chen dan Agustinus Manfred Habur (ed.), Diakonia Gereja, Pelayanan
Kasih bagi Orang Miskin dan Marginal (Jakarta: Penerbit Obor, 2020), hlm. 186. 85
Dana tetap yang dimaksudkan adalah dana APP. Adapun pengalokasian dana APP ini
antara lain, 30% dari total dana yang ada diberikan ke KWI, sedangkan 70% untuk keuskupan.
Selanjutnya dana 70% tersebut dihitung menjadi 100% untuk anggaran program Keuskupan
dengan pembagian 30% untuk Komisi PSE, 25% untuk Puspas, 15% untuk komisi-komisi lainnya,
5% untuk Lembaga Caritas, dan 25% dikembalikan ke paroki. Hasil wawancara per telepon seluler
dengan RD. Robertus Pelita, Ketua Komisi PSE Keuskupan Ruteng, pada 17 April 2020. 86
Panitia Sinode III Keuskupan Ruteng, op. cit., hlm. 313.
39
2.6 Dasar-Dasar Pelayanan Gereja Keuskupan Ruteng Terhadap Kaum
Miskin
2.6.1 Dasar Biblis
2.6.1.1 Dasar dari Perjanjian Lama: Eksodus sebagai Model Kepedulian
Allah
Berbicara tentang kemiskinan, tidak terlepas dari realitas Allah sebagai
pembebas utama. Hal ini secara eksplisit dilukiskan dalam Perjanjian Lama, di
mana kaum miskin dan realitas kemiskinan mendapat tempatnya. Kitab suci
Perjanjian Lama memuat kisah tentang kemiskinan dan perjuangan untuk keluar
dari situasi kemiskinan itu. Perjanjian Lama melukiskan campur tangan Allah
dalam membebaskan kaum miskin dari situasi kemiskinan. Kitab Keluaran
merupakan salah satu dari sekian banyak kitab Perjanjian Lama yang lebih banyak
mengisahkan karya agung Allah dalam membebaskan kaum miskin dan tertindas.
Dalam Keluaran 3:10 Tuhan berfirman kepada Musa, “Jadi sekarang, pergilah,
Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel,
keluar dari Mesir.” Perintah Tuhan kepada Musa dalam kutipan tadi merupakan
bentuk tanggapan Tuhan atas penderitaan yang dialami umat-Nya.
Eksodus adalah renungan tentang pembebasan kaum Israel dari Mesir.
Peristiwa pembebasan itu merupakan kesempatan Allah melaksanakan karya yang
mendasar dan mementukan bagi dan dalam umat yang dipilih-Nya. Karya
pembebasan Allah itu merupakan karya pembebasan demi dan bagi umat yang
tertindas.87
Karya pembebasan Allah atas umat Israel terjadi melalui beberapa
tahap. Pertama, umat berada dalam kesusahan dan penderitaan. Penderitaan yang
mereka alami datangnya dari luar yakni dari raja bangsa Mesir, Firaun. Di Mesir
mereka diperlakukan sebagai budak dan ditindas. Hal inilah yang mendorong
mereka untuk sampai pada tahap kedua, di mana mereka berseru kepada Allah.
Seruan kepada Allah menunjukkan ketidakberdayaan mereka dalam
menanggung penderitaan yang sedang mereka alami. Satu-satunya andalan
mereka saat itu adalah Allah mereka. Kemudian tahap ketiga, Allah mendengar
seruan dan melihat penderitaan mereka. Itu berarti bahwa Allah tidak pernah
87
St. Darmawijaya, Keterlibatan Allah Terhadap Kaum Miskin (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1991), hlm. 41.
40
menutup telinga dan mata terhadap penderitaan yang sedang dialami umat-Nya.
Oleh karena itu, pada tahap keempat, Allah melibatkan diri dan meringankan
penderitaan mereka. Bentuk keterlibatan diri Allah terjadi ketika Ia memilih dan
mengutus Musa kepada umat-Nya sebagai pembebas bagi mereka.88
Karya agung Allah itu sungguh nyata ketika Ia memilih Musa dan Harun
sebagai pengantara-Nya terhadap umat Israel. Musa bertindak sebagai pengantara
yang membebaskan umat Israel dengan memimpin umat Israel dalam ziarah
mereka di padang gurun. Perjalanan keluar dari Mesir menuju padang gurun
memiliki makna yang mendalam bagi umat Israel, di mana mereka keluar dari
penindasan menuju suatu dunia yang baru yang bebas dan merdeka. Allah
sendirilah yang menuntun umat Israel selama perjalanan umat Israel di padang
gurun. Padang gurun merupakan suatu perjalanan yang harus dilalui umat Israel
dalam memasuki dunia baru yang dijanjikan Tuhan sendiri kepada mereka.
2.6.1.2 Dasar dari Perjanjian Baru: Yesus sebagai Tokoh Pembebas
Kehadiran Yesus di tengah dunia merupakan suatu bentuk solidaritas dan
keberpihakan Allah atas realitas hidup manusia yang penuh dengan dosa. Dosa
melahirkan penderitaan dalam kehidupan umat manusia. Hal ini terjadi karena
manusia semakin jauh dari Tuhan atau bahkan mau menjadi sama seperti Tuhan.
Putera Allah menjadi manusia bukan karena kebaikan manusia, tetapi Ia datang
karena manusia sudah berlumuran dosa yang menyebabkannya miskin akan
rahmat penebusan dari Allah. Putera Allah datang untuk mengembalikan martabat
manusia sebagai citra Allah dan menjadi kaya akan rahmat dan kasih Allah
sendiri. Adapun cara yang dilakukan Yesus untuk mengembalikan martabat
manusia adalah dengan membuat “orang buta melihat, orang lumpuh berjalan,
orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan
kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (Mat 11:5-6). Inilah alasan mendasar
Yesus memilih posisi yang paling hina yakni dilahirkan di kandang yang miskin.
88
Ibid., hlm. 44.
41
Dengan menempatkan diri di pihak kaum miskin, Ia dapat memenangkan mereka
bagi Allah.89
Solidaritas Yesus terhadap kaum miskin kemudian sungguh nyata dalam
seluruh karya pewartaan-Nya. Spirit yang menggerakkan Yesus dalam hidup-Nya
adalah kerahiman Bapa dengan menyatakan belarasa terhadap kaum miskin dan
lemah. Injil melukiskan secara jelas solidaritas Yesus terhadap kaum miskin dan
lemah. Melihat orang-orang yang lelah dan terlantar seperti domba yang tidak
bergembala, hati-Nya tergerak oleh belas kasihan (Mat 9:36). Ketika melihat
banyak orang yang menderita sakit, hati-Nya tergerak oleh belas kasihan (Mat
14:14). Ia juga berbela rasa dengan orang kusta (Mrk 1:41), orang buta (Mat
20:34), dan orang yang tidak mempunyai apa-apa untuk dimakan (Mrk 8:2). Hal
inilah yang mendorong Yesus untuk bertindak melawan kelompok elit Yahudi
yang tidak memperhatikan kaum miskin dan bahkan menciptakan struktur
ketidakadilan yang menciptakan kemiskinan. Atas perjuangannya ini Ia pun harus
menjadi tebusan bagi banyak orang.90
Sikap hidup Yesus ini berlaku juga bagi semua pengikut-Nya. Misi Yesus
menyelamatkan orang-orang miskin dan menderita terus menjadi tugas para
pengikut-Nya. Keterbukaan diri dan kesediaan untuk berada di tempat orang
miskin adalah sikap yang semestinya. Pilihan Gereja untuk memperhatikan kaum
miskin sangat jelas mengungkapkan panggilannya di tengah dunia sesuai dengan
misi Yesus sendiri, sebab kemiskinan telah melanda umat dan masyarakat dunia.
Selain itu, gerakan yang dilakukan Gereja bukan hanya sampai pada level
karitatif, tetapi harus mampu memberdayakan umat menjadi mandiri.91
Oleh
karena itu, misi Yesus untuk mengembalikan martabat manusia sebagai citra
Allah dan menjadi kaya akan rahmat dan kasih Allah sendiri dapat terpenuhi.
89
Rikardus Muga Buku, “Mengapa Kandang?”, Majalah Dwibulan Keuskupan Maumere,
IV (Desember, 2009), hlm. 7. 90
Frans Harjawiyata (ed.), Yesus dan Situasi Zaman-Nya (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1998), hlm. 52. 91
Rikardus Muga Buku, loc. cit.
42
2.6.1.3 Dasar dari Jemaat Perdana
Pelayanan terhadap kaum miskin yang menjadi salah satu karya misi
Gereja juga memiliki dasar dalam kehidupan jemaat perdana. Kisah Para Rasul
melukiskan bagaimana jemaat perdana di Yerusalem hidup bersama.
Kebersamaan ini mencakup pelbagai segi seperti yang telah dihidupi oleh jemaat
perdana. Sikap khas yang dimiliki oleh jemaat perdana ditunjukkan dengan
perlakuan terhadap harta milik dan cita-cita hidup miskin yang mereka hayati.92
Cara hidup jemaat perdana dilukiskan dengan jelas dalam Kisah Para Rasul
bahwa “segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari
mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua
orang sesuai dengan keperluan masing-masing” (Kis. 2:44-45).
Dasar milik bersama ialah kesatuan mereka di dalam iman akan Yesus.
Jati diri inilah yang mendorong dan mempersatukan mereka untuk memberi
kesaksian konkret dalam milik bersama. Iman menghasilkan kasih dan kasih
konkret menyata dalam kerelaan untuk saling membantu dalam kesusahan. Selain
itu, terhadap semua jemaat, milik pribadi dipertahankan (Kis 12:12) sekalipun
sikap menimbun harta tidak diperkenankan. Hal yang ditekankan di sini adalah
spontanitas Kristen yang menyata dalam kerelaan untuk membantu dan tidak
dipaksakan oleh suatu sistem atau ideologi. Cita-cita dan praktik milik bersama
dan saling membantu bukanlah demi memuja kemiskinan itu sendiri, melainkan
merupakan ungkapan rasa solider dengan sesama yang berkekurangan.93
Oleh
karena itu, bercermin pada praktik hidup jemaat perdana Gereja dituntut untuk
peka terhadap realitas kemiskinan, sehingga dapat membongkar sekat-sekat yang
memisahkan kehidupan umat.
2.6.2 Ajaran-Ajaran Gereja
2.6.2.1 Ajaran Konsili Vatikan II
Tema kaum miskin dalam Konsili Vatikan II sebenarnya menjadi salah
satu dari ketiga tema yang disodorkan Paus dalam rangkaian pidato pembukaan
92
Guido Tisera, Bercermin Pada Jemaat Perdana: Membaca dan Merenungkan Kisah
Para Rasul (Maumere: Penerbit Ledalero, 2002), hlm. 47. 93
Ibid., hlm. 48.
43
Konsili. Ketiga tema yang disodorkan tersebut yakni keterbukaan pada dunia
modern; persatuan umat kristiani; dan Gereja kaum miskin. Akan tetapi dalam
perjalanan diskusi, konsili hanya berhasil mengembangkan dua tema pertama.
Diskusi tentang tema kaum miskin belum mendapat perhatian yang serius dalam
seluruh konsili. Atas intervensi Kardinal Lercaro, setelah mendapat masukan dari
salah satu komisi tidak resmi yang terdiri dari beberapa penasihat ahli konsili dan
uskup Dunia Ketiga yang membicarakan tema “Gereja kaum miskin”, akhirnya
tema kaum miskin dimasukan.94
Tema ini kemudian muncul dalam dokumen
konsili, yang terdapat dalam dokumen Lumen Gentium nomor 8 yang berbunyi:
Seperti Kristus melaksanakan karya penebusan dalam kemiskinan dan
penganiayaan, begitu pula Gereja dipanggil untuk menempuh jalan yang
sama supaya menyalurkan buah-buah keselamatan kepada manusia. Kristus
Yesus “walaupun dalam rupa Allah, ... telah mengosongkan diri-Nya dan
mengambil rupa seorang hamba” (Flp 2:6-7), dan demi kita Ia “menjadi
miskin, meskipun Ia kaya” (2Kor 8:9). Demikianlah Gereja, kendati
memerlukan upaya-upaya manusiawi untuk menunaikan perutusannya,
didirikan bukan untuk mengejar kemuliaan duniawi, melainkan untuk
menyebarluaskan kerendahan hati dan pengikraran diri juga melalui
teladannya. Kristus diutus oleh Bapa untuk “menyampaikan kabar baik
kepada orang-orang miskin, ... untuk menyembuhkan mereka yang putus asa”
(Luk 4:18), untuk “mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Luk 19:10).
Begitu pula Gereja melimpahkan cinta kasihnya kepada semua orang yang
terkena oleh kelemahan manusiawi. Bahkan, dalam mereka yang miskin dan
menderita Gereja mengenali citra pendirinya yang miskin dan menderita,
berusaha meringankan kemelaratan mereka dan bermaksud melayani Kristus
dalam diri mereka.95
Kutipan Lumen Gentium di atas menegaskan bahwa misi Gereja di tengah
dunia adalah dalam rangka mengambil bagian dalam karya keselamatan Kristus.
Itu berarti bahwa Kristus sendirilah yang menjadi dasar karya misi Gereja.
Sebagaimana Kristus yang menghampakan diri-Nya demi menyelamatkan
manusia yang berdosa, maka hendaknya Gereja juga meneladani sikap Yesus
dengan meninggalkan segala bentuk privilese duniawi. Gereja dituntut untuk
selalu membaharui diri dan menyadari misi khusus yang diembannya dari Kristus.
Gereja harus berani berpihak pada yang kalah seperti kaum miskin dan menderita.
94
C. Putranta, “Gereja Kaum Miskin dalam Konsili Vatikan II dan Dokumen Rederasi
Konferensi Uskup-Uskup Asia”, dalam J.B. Banawiratma (ed.), Kemiskinan dan Pembebasan
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987), hlm. 105. 95
Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, No. 8, penerj. R.
Hardawirayana, op. cit., hlm. 79.
44
Kasih Bapa yang ditunjukkan melalui Kristus harus diteruskan Gereja kepada
mereka yang terpinggirkan, mereka yang miskin.
Misi Gereja dalam meneruskan kasih Bapa melalui Kristus, lebih lanjut
ditegaskan dalam dokumen tentang Kegiatan Misioner Gereja (Ad Gentes). Kasih
Allah harus dibagikan kepada semua orang yang membutuhkan. Hal ini
dirumuskan secara rinci dalam Ad Gentes nomor 5 bahwa:
Perutusan itu terus berlangsung, dan di sepanjang sejarah menjabarkan
perutusan Kristus sendiri, yang diutus untuk mewartakan Kabar Gembira
kepada kaum miskin. Atas dorongan Roh Kristus, Gereja harus menempuh
jalan yang sama seperti yang dilalui oleh Kristus sendiri, yakni jalan
kemiskinan, ketaatan, pengabdian dan pengurbanan diri sampai mati, dan dari
kematian itu muncullah Ia melalui kebangkitan-Nya sebagai pemenang.
Sebab demikianlah semua rasul berjalan dalam harapan. Dengan mengalami
banyak kemalangan dan dukaderita, mereka menggenapi apa yang masih
kurang pada penderitaan Kristus bagi Tubuh-Nya, yakni Gereja.96
Kedua kutipan di atas merupakan bentuk perhatian konsili atas realitas
kemiskinan yang terjadi saat ini. Gereja berdasarkan pandangan konsili harus
berani mengemban misinya untuk membawa keselamatan di tengah dunia. Gereja
juga harus menempatkan Kristus sebagai dasar dalam misi keselamatannya. Kasih
Kristus harus ditunjukkan melalui perhatian atas mereka yang miskin dan melarat.
Oleh karena itu, misi pembebasan Gereja di tengah dunia dapat membawa kaum
miskin keluar dari kungkungan penderitaan yang mereka alami.
2.6.2.2 Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia (FABC)97
Pembentukan FABC merupakan salah satu tonggak sejarah bagi umat
Kristiani di Asia. Hal ini menandai permulaan kesadaran baru akan sekian banyak
ikatan tradisional, yang menyatukan pelbagai bangsa di dunia ini. Orientasi dasar
FABC sejak awal mula yakni dialog. Dialog membebaskan Gereja dari
96
Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, Ad Gentes, No5, ibid., hlm. 418. 97
Federasi Konferensi-Konferensi para Uskup Asia (FABC) merupakan lembaga lintas–
nasional yang menghimpun pelbagai Gereja setempat di Asia, yang diwakili oleh para Uskup,
dalam persaudaraan, dan kerja sama. Para anggota Federasi ialah Konferensi-Konferensi Uskup-
Uskup di Asia Selatan, Tenggara dan Timur yakni Bangladesh, Cina, India-Nepal, Indonesia,
Jepang, Korea, Laos-Cambodia, Malaysia-Singapura-Brunei, Myanmar, Pakistan, Filipina, Sri
Lanka, Thailand, dan Vietnam. Kawasan Hukum gerejawi Hongkong dan Macao bergabung juga
sebagai anggota. Federasi ini dibentuk pada sidang bersejarah 180 Uskup Asia di Manila pada
bulan November 1970, pada saat kunjungan Paus Paulus VI. R. Hardawiryana, Dokumen Sidang-
Sidang Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia 1970-1991 (Jakarta: DOKPEN KWI,
1995), hlm. 9.
45
kecenderungan menjadi jemaat yang berpusatkan pada diri, dan
menggabungkannya dengan rakyat di segala bidang dan dimensi kehidupannya.
Menurut pandangan para Uskup, di Asia dialog harus dilaksanakan khususnya di
tiga bidang yang saling berkaitan, yakni agama-agama Asia, kebudayaan-
kebudayaan Asia, dan massa kaum miskin yang meluap.98
Para Uskup menyadari bahwa salah satu persoalan yang dialami umat
Katolik Asia yang mempunyai dampak besar bagi bidang kehidupan lainnya
adalah kemiskinan. Dikatakan bahwa rakyat Asia kaya kerohaniannya, tetapi
miskin hal-hal jasmani, sebab sebagian besar rakyat Asia ialah massa kaum
miskin. Kenyataan ini merupakan suatu masalah yang mendasar bagi umat
Katolik Asia. Hal ini menyebabkan mereka tetap berada di bawah kungkungan
kemiskinan dan sulit untuk keluar dari belenggu kemiskinan. Kemungkinan untuk
keluar dari kungkungan kemiskinan itu tertutup, sebab mereka hidup dalam
penindasan yakni struktur-struktur sosial, ekonomi, dan politik, yang sarat
ketidakadilan. Oleh karena itu, bagi para Uskup, dialog dengan kaum miskin
berarti sungguh mengalami kemiskinan. Itu berarti bahwa Gereja tidak hanya
bekerja untuk mereka, secara paternalistis, melainkan bekerja bersama mereka.99
Lebih jauh para Uskup Asia dalam refleksinya menegaskan bahwa dalam
keberpihakannya terhadap kaum miskin, Gereja bertekad untuk sungguh-sungguh
menjadi „Gereja kaum miskin‟. Gereja kaum miskin berarti bahwa Gereja harus
bertindak ke arah keterlibatan makin intensif dengan kehidupan umat, menyatu
dengan kaum miskin, berusaha menyusun program-program pengembangan
manusiawi dan menyeluruh, penuh hormat terhadap martabat manusia, dan serasi
dengan kebudayaan-kebudayaan Asia. Selain itu, Gereja juga harus memihak pada
mereka dalam perjuangan mereka demi keadilan dan demi swadaya, swasembada
mereka. Gereja juga menekankan bahwa orang-orang kaya sendiri pun menjadi
anggota sejati Gereja kaum miskin dengan menunaikan kewajiban-kewajiban
mereka dalam keadilan dan cinta kasih terhadap kaum miskin. Gereja tidak dapat
membentuk pulau-pulau kemewahan di lautan kemiskinan dan penderitaan. Oleh
karena itu, posisi Gereja-Gereja Asia menjadi jelas dalam misinya terhadap kaum
98
Ibid., hlm. 11. 99
Ibid., hlm. 41.
46
miskin yakni berjuang bersama kaum miskin, bukan hanya berjuang untuk kaum
miskin; bahwa Gereja bersedia menderita dan mati seperti Tuhannya, asal saja
kaum miskin di Asia dapat hidup.100
2.6.2.3 Konfersensi Waligereja Indonesia (KWI)
Gereja Indonesia memiliki kepedulian yang besar terhadap realitas
kemiskinan. Hal ini terutama dilihat dari komitmen para uskup se-Indonesia untuk
bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dalam membangun bangsa. Hidup
menggereja merupakan bagian dari kehidupan bernegara, maka hendaknya Gereja
juga mempunyai peran dalam kehidupan bernegara.101
Salah satu isu yang
menjadi keprihatinan Gereja Indonesia adalah kemiskinan. Gereja, khususnya
sejak Sinode Para Uskup 1971, memilih sikap mendahulukan pelayanan kepada
rakyat kecil. Rakyat kecil adalah „orang yang tersisih‟ karena tidak mampu dan
miskin serta tidak memiliki koneksi maupun keterampilan yang dapat
meningkatkan hidup mereka. Mereka juga tidak memiliki kekuasaan atau akses
kepada kekuasaan serta alat produksi.102
Menyadari sikapnya ini, Gereja berusaha tanggap terhadap realitas
masyarakat dan berusaha membebaskan kaum miskin dari kemiskinan. Adapun
kenyataan kemiskinan ini mendorong para uskup se-Indonesia untuk menyatakan
sikapnya yakni, pertama, membaharui tekad untuk bersama kaum miskin dan
lemah terus menumbuhkan sikap berani memulai dengan kekuatan dan potensi
yang ada, tanpa menggantungkan diri pada kekuatan-kekuatan ekonomi berskala
besar. Kedua, mendorong mereka yang diberkati dengan kekuatan ekonomi besar
agar lebih jujur dan bekerja sama dalam mencari jalan keluar bagi kaum miskin.
Tujuan dari usaha ini adalah agar kaum miskin mandiri secara ekonomi.
Ketiga, mendorong serta mendesak para pembuat dan pelaksana kebijakan
publik untuk berubah dari kecenderungan memperdagangkan jabatan dan mandat
bagi keuntungan sendiri menuju keberanian membuat dan melaksanakan
100
Ibid., hlm. 242. 101
Sidang Sinodal KWI 2003 (I), “Pengantar” Spektrum, 1/XXXII (Mei 2004), hlm. 3. 102
Hasil Sidang Agung KWI dan Gereja Katolik Indonesia (Jakarta: DOKPEN KWI,
2003), hlm. 40.
47
kebijakan publik yang sungguh-sungguh berpihak kepada kaum miskin dan
kesejahteraan bersama. Keempat, mendorong para cerdik-pandai untuk aktif
terlibat dalam mengkaji kembali dan mengubah gagasan serta cara-cara berpikir,
terutama di bidang ekonomi, yang merugikan kaum miskin dan lemah.103
Sikap-sikap yang disampaikan Gereja ini bertujuan untuk memberdayakan
potensi dan energi ekonomi rakyat. Hal ini berarti bahwa segala bentuk upaya
yang tertuang dalam kebijakan publik dan kerja sama dengan kekuataan ekonomi
berskala besar semata-mata diarahkan pada proses pemberdayaan. Oleh karena
itu, semua usaha pemberdayaan tidak boleh menciptakan ketergantungan kaum
miskin terhadap pemerintah atau kekuatan ekonomi dalam skala besar, tetapi
membebaskan mereka dari ketergantungan.
2.6.2.4 Sinode III 2013-2015 Keuskupan Ruteng
Sinode III Keuskupan Ruteng memiliki perhatian yang serius terhadap
tema kemiskinan. Hal ini secara eksplisit tertuang dalam bidang diakonia. Sikap
Gereja Kuskupan Ruteng melalui sinode sangat jelas dengan beberapa hasil
keputusan sinode.104
Poin pertama yang menjadi sikap Gereja Kuskupan Ruteng
adalah pelayanan terutama terarah kepada orang-orang miskin menderita, yang
kurang beruntung, sebab dalam diri merekalah tampak wajah Yesus yang menjerit
memohon uluran tangan kasih kita.
Poin kedua, dalam aksinya, lebih daripada tindakan karitatif, pelayanan
sosial Gereja Keuskupan Ruteng harus bercorak transformatif, artinya Gereja
dalam kerja sama dengan pelbagai pihak perlu juga berjuang untuk mengatasi akar
ketidakadilan sosial penyebab kemiskinan dan memperbaharui kehidupan
masyarakat sesuai dengan nilai-nilai injili seperti keadilan, kebebasan, kejujuran,
kebenaran dan cinta kasih.
Poin ketiga, Gereja Keuskupan Ruteng mesti memperjuangkan kehidupan
sosial yang ditata dengan prinsip personalitas, kesejahteraan umum, solidaritas,
dan subsidiaritas. Prinsip personalitas berarti pribadi manusia harus selalu dan
103
Sidang Sinodal KWI 2006 (I), “Habitus Baru: Ekonomi yang Berkeadilan”, Spektrum,
1/XXXV (Maret 2007), hlm. 147. 104
Panitia Sinode III Keuskupan Ruteng, op. cit., hlm. 11.
48
tetap menjadi subjek, dasar dan tujuan dari kehidupan bersama. Kesejateraan
umum mesti menjadi tujuan dari setiap aktivitas bersama manusia. Kesejahteraan
umum merupakan keseluruhan kondisi sosial yang memungkinkan setiap orang,
baik sebagai pribadi maupun kelompok, untuk dapat memperoleh kepenuhan
kebutuhannya secara lebih mudah.
Prinsip subsidiaritas memberikan ruang pengorganisasian diri masyarakat
pada tingkat yang lebih rendah, sejauh itu dapat dilakukan. Nilai kebebasan dan
martabat manusia menuntut bahwa manusia dalam kelompok yang paling kecil
dapat mengatur kehidupannya sendiri. Solidaritas menunjukkan hakikat sosial dari
manusia, yang memberikan perhatiannya demi persatuan yang lebih mengikat
antarmanusia. Pelbagai perbedaan sebagai wujud dari ketidakadilan tidak dapat
diatasi hanya dengan mengandalkan hukum dan aturan. Pada basis yang paling
dalam, perlu ada solidaritas yang tertanam dalam diri manusia. Tanggung jawab
terhadap orang lain karena kesadaran akan kesetaraan derajad sebagai manusia,
merupakan basis dari solidaritas.
Sikap Gereja Keuskupan Ruteng melalui sinode III ini merupakan bentuk
keprihatinan dan sekaligus usaha membebaskan kaum miskin dari kemiskinan,
sebab kemiskinan mewarnai kehidupan umat Keuskupan Ruteng. Gereja akan
betul-betul mengakar di wilayah Keuskupan Ruteng hanya bila ia sanggup
menerjemahkan karya pewartaannya bagi transformasi sosial, membawa kaum
miskin keluar dari kemiskinannya.
49
BAB III
SELAYANG PANDANG TENTANG KAUM MISKIN
Pada bab II telah dijelaskan tentang Gereja Keuskupan Ruteng yang
mencakup gambaran umum tentang Gereja, sejarah terbentuknya Gereja
Keuskupan Ruteng. Kemudian dijelaskan pula selayang pandang tentang Gereja
Keuskupan Ruteng yang ditinjau dari beberapa sudut pandang. Pada bagian ini
juga telah dijelaskan pelbagai karya pastoral yang telah dilaksanakan Gereja
Keuskupan Ruteng dalam usahanya mengembangkan kehidupan umatnya. Selain
itu, dikemukakan pula beberapa tantangan pastoral yang menjadi penghambat
perealisasian program yang telah dijalankan Gereja Keuskupan Ruteng. Akhirnya
dijelaskan pula dasar-dasar pelayanan Gereja dalam usahanya membebaskan
kaum miskin. Selanjutnya pada bab ini akan dijelaskan secara panjang lebar
tentang kaum miskin dan pembebasan kaum miskin.
3.1 Pengertian Kaum Miskin
3.1.1 Secara Etimologis
Secara etimologis istilah “kaum miskin” berasal dari bahasa Latin “pauper,
pauperis” yang berarti miskin.105
Webster’s Third New International Dictionary,
memberikan arti kata “pauper” (kaum miskin) sebagai berikut:
(1) Orang yang miskin harta dan hanya berharap dari belas kasihan (a person
destitute of means except such as are derived from charity). (2) Manusia yang
sangat miskin (a very poor person). (3) Sesuatu yang membuat orang menjadi
miskin (one allowed to sue in forma pauperi).106
105
Alb. Smit, Elementa Linguae Latinae (Revisa), Liber Primus (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2006), hlm. 193. 106
Webster‟s Third New International Dictionary of The English Language “pauper”
(United State: Merriam-Webster Inc., 1989), hlm. 1657.
50
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “miskin” berarti tidak berharta;
serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah).107
Jadi, secara etimologis yang
dimaksud dengan kata kaum miskin adalah orang yang tidak memiliki harta
kekayaan dan hidup serba kekurangan serta hanya berharap dari belas kasihan
orang lain.
3.1.2 Secara Realis
Merujuk kepada arti kaum miskin secara etimologis, kaum miskin
merupakan orang atau sekelompok orang yang tidak memiliki harta dan serba
kekurangan. Keadaan ini mengakibatkan mereka hidup dalam penderitaan,
kelaparan, dan kemiskinan. Kelompok ini juga sangat rentan terhadap pelbagai
praktik diskriminasi dan ketidakadilan. Selain itu, kebutuhan pokok yang
seharusnya dimiliki seperti sandang, pangan dan papan serta pendidikan dan
kesehatan tidak dapat dinikmati oleh kelompok ini.108
Kenyataan ini mendorong
kelompok ini semakin terpinggirkan dari kehidupan bermasyarakat dan juga
menjadi kelompok yang tidak diperhitungkan.
Situasi yang dialami kaum miskin bila dibiarkan begitu saja akan
menimbulkan dampak psikologis yang berbahaya. Hal ini terjadi bila kaum
miskin mencari sesama yang senasib untuk menerima keadaan miskin, sehingga
secara perlahan akan timbul perasaan senasib. Keadaan ini akan menjadi semakin
berbahaya bila situasi kemiskinan diinternalisasi sebagai identitas terberi bagi
kaum miskin. Oleh karena itu, kemungkinan yang terjadi adalah kecemburuan
sosial antara kaum miskin dan kelompok kaya.
Menanggapi persoalan yang dialami kaum miskin ini, sidang pleno
MASRI (Majelis Antar-Serikat Religius Indonesia) tahun 1984 sebagaimana
dikutip oleh C. Putranta menyebut kaum miskin sebagai “orang miskin dan kecil”.
Pernyataan dokumen ini berbunyi demikian, orang miskin adalah
orang yang tak berdaya karena mengalami aneka macam pemiskinan... yang
membuat semakin banyak orang hidup semakin tidak manusiawi dan tidak
107
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 4, cet. 9
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 921. 108
Yvon Ambroise, Memberdayakan Kaum Miskin, penerj. Vincent de Ornay (Maumere:
LPBAJ, 2000), hlm. 61.
51
menggambarkan bahwa dia adalah citra Allah yang bermartabat sebagai
manusia. Pada umumnya mereka hidup di bawah taraf kewajaran
manusiawi.109
Konsep tentang kaum miskin ini merupakan hasil dari sebuah refleksi
yang mendalam tentang nasib kaum miskin dengan penekanan pada aneka macam
pemiskinan yang dialami kaum miskin. Hal ini berarti bahwa kemiskinan yang
dialami kaum miskin bukanlah suatu situasi terberi, tetapi hasil dari praktik
ketidakadilan yang dilakukan secara struktural oleh pihak lain atas kelompok ini.
Selain itu, sidang FABC (Federation of Asian Bishops’ Conferences)
menghasilkan suatu definisi yang komplit tentang kaum miskin. Dokumen FABC
menyebutnya dengan kata miskin, yakni:
Miskin bukan dalam nilai-nilai, kualitas ataupun potensi-potensi manusiawi.
Miskin berarti bahwa mereka dilucuti dari kemungkinan mencapai harta dan
sumber-sumber material yang mereka perlukan untuk bisa hidup secara
sungguh manusiawi. Dikatakan dilucuti, karena mereka hidup di bawah
penindasan, yakni, di bawah struktur-struktur sosial, ekonomis dan politis
yang dalam dirinya sudah mengandung ketidakadilan.110
Kaum miskin di sini merupakan kelompok yang dikorbankan dalam
struktur-struktur sosial, ekonomi dan politik yang tidak adil. Oleh karena itu,
perjuangan yang dilakukan harus melibatkan kaum miskin itu sendiri. Akan tetapi
kekuatan kaum miskin belum cukup, sehingga peran kaum cendekiawan di sini
sangat diperlukan untuk memberi kesadaran dan pendasaran atas perjuangan
mereka. Kolaborasi antara kaum miskin dan kelompok cendekiawan akan berhasil
meruntuhkan sistem sosial yang tidak adil dan melahirkan struktur yang adil dan
menghasilkan kesejahteraan semua orang.
Pemahaman yang lebih komprehensif tentang kaum miskin dikemukakan
oleh Michel Mollat dalam bukunya, Orang Miskin di Abad Pertengahan,
sebagaimana dikutip oleh Muller:
Kaum miskin adalah mereka yang tetap atau sementara dalam keadaan
lemah, tergantung dan remeh, dalam keadaan kekurangan yang berbeda-beda
menurut zaman dan pola masyarakat, serta dalam keadaan tak berdaya dan
109
C. Putranta, “Gereja Kaum Miskin dalam Konsili Vatikan II dan Dokumen Rederasi
Konferensi Uskup-Uskup Asia”, dalam J. B. Banawiratma (ed.), Kemiskinan dan Pembebasan. op.
cit., hlm. 98. 110
R. Hardawiryana, Dokumen Sidang-Sidang Federasi Konferensi-Konferensi Para
Uskup Asia 1970-1991, op.cit., hlm. 41.
52
terhina. Orang miskin tidak memiliki uang, koneksi, pengaruh, kuasa,
pengetahuan, keterampilan teknis, kelahiran yang terhormat, kekuatan fisik,
kemampuan intelektual, kebebasan pribadi, bahkan harkat manusia. Mereka
hidup dari hari ke hari dan tidak punya peluang sedikit pun untuk melepaskan
diri dari keadaannya tanpa bantuan orang lain. Definisi semacam ini meliputi
semua orang yang tersingkirkan dan dicabut hak-haknya, semua orang aneh,
dan semua anggota kelompok marginal.111
Gambaran lengkap tentang kaum miskin yang dikemukakan Mollat di atas
menunjukkan bahwa kaum miskin merupakan mereka yang tidak memiliki apa-
apa dalam hidupnya, selain kemiskinan. Oleh karena itu, menjadi jelas di sini
bahwa kaum miskin adalah mereka yang tidak diperhitungkan sama sekali dalam
kehidupan bermasyarakat.
3.2 Karakteristik Kaum Miskin
3.2.1 Mutu Kesehatan Rendah
Kaum miskin umumnya merupakan kelompok yang sangat rentan dalam
hal kesehatan. Hal ini disebabkan oleh mutu kesehatan yang rendah atau kurang
memadai. Rendahnya mutu kesehatan disebabkan oleh banyak indikator seperti
kurangnya tenaga kesehatan, kurangnya dokter ahli dan dokter umum yang
melayani masyarakat di daerah pedesaan atau daerah pedalaman; sedangkan kalau
ditinjau dari fasilitas yang ada, masih banyak wilayah yang tidak terjangkau dari
Puskesmas dan klinik kesehatan. Ditinjau dari penyakit yang diderita, John
Madeley mengemukakan bahwa secara global malaria menelan korban sekitar
satu juta jiwa setiap tahun – kebanyakan anak-anak dan wanita hamil. Dua juta
orang meninggal setiap tahun karena TBC (Tuberculosis). Setengah dari kematian
global akibat kanker terjadi di negara-negara berkembang. Penyakit asma
meningkat rata-rata sebesar 50% setiap sepuluh tahun di kota-kota di negara-
negara berkembang.112
Faktor lain yang memperburuk kesehatan kaum miskin menurut Eko
Prasetyo adalah ongkos kesehatan yang mahal.113
Mahalnya biaya kesehatan
111
Johannes Muller, op. cit., hlm. 8. 112
John Madeley, Big Business Poor People, Bisnis Besar Menguasai Masyarakat
Miskin, penerj. Alexander Jebadu (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2013), hlm. 115. 113
Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sakit (Yogyakarta: Resist Book, 2005), hlm. 44.
Ulasan yang terdapat dalam bukunya ini menggunakan bahasa yang ringan, tetapi disampaikan
dalam bahasa yang kritis.
53
menurut Prasetyo, turut melahirkan beberapa ekses yakni menimbulkan
pandangan bahwa akses tehadap kesehatan hanya merupakan monopoli orang
kaya saja, sedangkan orang miskin tidak dilayani. Mahalnya biaya kesehatan juga
turut mempengaruhi pelayanan yang diberikan petugas kesehatan terhadap pasien.
Selain itu, sanitasi lingkungan yang buruk turut mempengaruhi juga kualitas
kesehatan kaum miskin. Rumah yang tidak layak huni dan minimnya sirkulasi
udara misalnya, dapat pula menjadi faktor pendorong munculnya penyakit
menular. Kemudian gizi makanan yang rendah, juga turut mempengaruhi sistem
kekebalan tubuh manusia.114
Oleh karena itu, masalah kesehatan dapat melahirkan
banyak dampak negatif dalam kehidupan, seperti rentan terhadap penyakit,
produktivitas kerja menurun, angka kematian usia produktif yang cukup tinggi
(kematian akibat stroke, jantung), juga kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga
terganggu.115
Rendahnya mutu kesehatan kaum miskin tidak terlepas dari absennya
pemerintah dalam memperhatikan kesehatan kaum miskin. Terdapat indikasi
bahwa dalam menangani masalah kesehatan pemerintah mulai lepas tangan.
Menurut Madeley salah satu faktor pemicu yang mempengaruhi perhatian
pemerintah dalam hal ini adalah masalah kesehatan dilihat sebagai arena bisnis.116
Hal ini berarti bahwa dalam menangani masalah kesehatan rakyatnya, negara
harus bisa mendapat keuntungan. Banyaknya rumah sakit swasta juga turut
menyebabkan meningkatnya biaya kesehatan. Sejalan dengan Madeley, Eko
Prasetyo juga berpendapat bahwa penanganan masalah kesehatan menjadi sasaran
empuk dari bisnis yang mendatangkan keuntungan yang besar bagi rumah sakit
yang dipelopori oleh perusahaan-perusahaan swasta.117
3.2.2 Rumah Tidak Layak Huni
Rumah (papan) merupakan salah satu dari ketiga (selain pangan dan
sandang) unsur dasar yang mesti dimiliki oleh setiap manusia. Kepemilikan
114
Ibid. 115
Masalah-masalah kesehatan ini merupakan temuan yang dihasilkan dalam sinode III
Keuskupan Ruteng. Lihat Panitia Sinode III Keuskupan Ruteng, op. cit., hlm. 200. 116
John Madeley, op. cit., hlm. 119. 117
Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sakit, op. cit., hlm. 57.
54
rumah menunjukkan bahwa orang tersebut menetap di suatu tempat setidaknya
secara permanen. Namun yang menjadi persoalan sekarang adalah ada banyak
orang miskin yang tidak memiliki rumah sebagai tempat tinggal atau bahkan
hanya memiliki gubuk kecil yang tidak layak huni. Ketiadaan rumah sebagai
tempat hunian memberikan dampak yang sangat besar baik secara fisik maupun
secara psikis. Dampak secara fisik dari ketiadaan rumah adalah manusia akan
mengalami kesulitan untuk melindungi diri dari suhu atau cuaca yang tidak
menentu. Rumah juga merupakan tempat seseorang untuk beristirahat dan
menghilangkan rasa letih; sedangkan secara psikis ketiadaan rumah menimbulkan
perasaan inferior terhadap orang yang punya rumah layak huni. Hal inilah yang
mendorong mereka untuk merasa bahwa kehadiran mereka tidak diperhitungkan
dalam suatu kelompok masyarakat.
Masalah ketiadaan kepemilikan rumah rupanya bukan hanya masalah
sekelompok kecil orang di suatu daerah tertentu, tetapi masalah ini sudah menjadi
masalah global. Mengingat sangat seriusnya permasalahan ini, Paus Yohanes
Paulus II dalam ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis” nomor 17 menguraikan secara
sangat jelas bahwa salah satu krisis yang dialami oleh hampir semua negara
adalah krisis perumahan. Kekurangan perumahan dialami di mana-mana di dunia,
dan sebagian besar disebabkan oleh adanya aktivitas urbanisasi yang semakin
meningkat setiap tahun.118
Walaupun tidak harus dibuat kajian yang ilmiah dan
sistematis, namun dapat disimpulkan bahwa kelompok yang tidak memiliki rumah
umumnya merupakan kaum miskin. Jangankan berjuang demi membangun rumah
yang layak, perjuangan yang sangat hebat dari kaum miskin adalah
mempertahankan hidup.
3.2.3 Memiliki Lahan yang Sempit
Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang sebagian besar
penduduknya berprofesi sebagai petani. Hal ini berarti bahwa sebagian besar
rakyat bekerja dan mencari nafkah di sektor pertanian. Keuntungan yang dapat
diambil dari kenyataan ini adalah pendapatan negara mayoritas juga
118
Yohanes Paulus II, Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, penerj. P. Turang Pr (Jakarta:
DOKPEN KWI, 1988), hlm. 24.
55
disumbangkan oleh sektor pertanian. Ahmad Erani Yustika dalam bukunya
membuat perbandingan antara sektor pertanian dan industri manufaktur.119
Contoh yang diambil Yustika adalah pada tahun 1971, ketika pembangunan
ekonomi mulai dijalankan secara sistematis. Kontribusi sektor pertanian pada
tahun tersebut bagi pendapatan nasional (produk domestik bruto) mencapai
44,8%, atau hampir separuh dari pendapatan nasional. Sumbangan dari sektor
perekonomian jauh lebih banyak bila dibandingkan sektor industri manufaktur
yang hanya menyumbangkan sebesar 8,4% terhadap pendapatan nasional. Dilihat
dari sumbangan aspek kesempatan kerja, sektor pertanian menyerap jumlah
tenaga kerja yang jauh lebih banyak yakni mencapai 64%, sedangkan sektor
industri manufaktur hanya menyumbangkan 6,5%. Kenyataan ini secara jelas mau
menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan kegiatan ekonomi yang paling
penting dalam konteks Indonesia.120
Namun gambaran tentang pentingnya sektor pertanian bagi rakyat
Indonesia berdasarkan temuan Yustika ternyata tidak mengalami kemajuan,
bahkan setelah melewati beberapa tahun mengalami kemunduran. Hal ini secara
nyata dilihat dari perubahan yang drastis selama 30 tahun kemudian. Tahun 2001
misalnya, secara umum penyerapan tenaga kerja tidak mengalami perubahan yang
berarti yakni sektor pertanian hanya menyerap tenaga kerja sebanyak 43,8% dan
hanya menyumbang pendapatan nasional sebesar 17,0%. Sebaliknya, sektor
industri manufaktur menyumbangkan pendapatan nasional sebesar 25%, tetapi
hanya menyerap tenaga kerja sebesar 13,3%.121
Pembangunan ekonomi yang telah berjalan selama 30 tahun dengan
demikian tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Dominasi industrialisasi
meminggirkan sektor perekonomian yang menjadi andalan 30 tahun sebelumnya.
Semakin besarnya dominasi industri dalam pembangunan ekomoni di Indonesia
akhirnya melahirkan suatu masalah baru yakni pengangguran. Logika industri
yang berupaya mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan menekan biaya
produksi pada akhirnya mengorbankan masyarakat petani yang tidak lagi
119
Ahmad Erani Yustika, Negara Vs Kaum Miskin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),
hlm. 22. 120
Ibid., hlm. 22-23. 121
Ibid., hlm. 24.
56
memiliki lapangan pekerjaan. Dampak bagi pendapatan nasional dari sektor
pertanian dari tahun ke tahun akhirnya juga semakin menurun, sedangkan sektor
industri semakin tinggi.122
Tantangan yang semakin nyata dan besar dari perubahan kebijakan
pembangunan ini juga diperparah oleh dukungan pemerintah untuk bergerak di
sektor industri. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang akhir-akhir
ini mengundang investor dari luar untuk mengolah sumber daya alam. Temuan
Wartaya Winangun memperlihatkan bahwa adanya dukungan pemerintah yakni
penerbitan Paket kebijaksanaan Pemerintah Oktober (Pakto) 1993.123
Kebijakan
pemerintah yang mengutamakan sektor industri melahirkan persoalan baru yakni
konflik terjadi antara petani dan pemerintah serta pihak ketiga yang memiliki
modal besar.
Noer Fauzi dalam bukunya membeberkan beberapa konflik yang terjadi
antara para petani dan pemerintah terkait kebijakan tentang kepemilikan dan
pengelolaan tanah, pertama, ketika pemerintah mewajibkan petani untuk
mempergunakan unsur-unsur revolusi hijau, demi tercapai dan terjaganya
swasembada beras. Kedua, perkebunan-perkebunan mengambil alih tanah-tanah
yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat. Ketiga, terdapat sejumlah kasus di mana
pemerintah melakukan pengambilalihan (penggusuran) tanah untuk apa yang
dinyatakan sebagai “program pembangunan”, baik oleh pemerintah maupun
swasta. Keempat, konflik akibat eksploitasi hutan.124
Deretan konflik yang terjadi
menunjukkan peminggiran peran para petani dalam pembangunan ekonomi dan
diganti dengan industri. Meluasnya aktivitas industri menyebabkan lahan yang
dimiliki rakyat semakin sempit.
122
Ibid. 123
Y. Wartaya Winangun, Tanah, Sumber Nilai Hidup (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2004), hlm. 81. Dalam pakto ini ditetapkan peraturan-peraturan yang mempermudah dan
memperlancar penanaman modal asing dan dalam negeri dalam soal pengusahaan tanah. 124
Noer Fauzi, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 197-201.
57
3.2.4 Rendahnya Pendapatan
Para petani merupakan golongan terendah pendapatannya di Indonesia.
Pendapatan yang rendah itu disebabkan oleh produksi yang rendah. Produksi yang
rendah ini disebabkan oleh lahan usaha yang sempit dan dikelola dengan
teknologi yang sederhana serta peralatan yang serba terbatas, sebagaimana telah
dijelaskan dalam poin sebelumnya di atas. Keadaan ini juga diperparah jika lahan
usahanya adalah milik orang lain yang harus disewa atau dengan bagi hasil.
Menurut Winagun dampak langsung dari kepemilikan lahan yang sempit
sebagaimana dialami oleh masyarakat agraris di Indonesia adalah rendahnya
pendapatan.125
Konsekuensi lebih lanjut dari rendahnya pendapatan juga turut
mempengaruhi kemampuan rakyat dalam menabung dan menambah investasi.126
Rendahnya pendapatan dan tidak adanya investasi turut mempengaruhi teknologi
dan peralatan yang digunakan dalam bertani. Oleh karena itu, derita yang dialami
para petani merupakan suatu siklus tertutup yang sulit untuk dibongkar.
Konsekuensi logis dari pendapatan rendah adalah rakyat mengalami kesulitan
dalam memenuhi kebutuhan pokoknya misalnya sandang, pangan, papan dan
kesehatan.
Pendapatan yang rendah ternyata tidak hanya dialami oleh para pekerja di
sektor pertanian, tetapi pada sektor lain juga mengalami nasib yang sama.
Masalah ini juga dialami oleh para buruh, para pekerja yang bekerja sebagai
tenaga honorer, pelayan tokoh atau para pekerja lain yang digaji per bulan.
Penerapan upah minimum regional (UMR) terhadap para pekerja merupakan salah
satu strategi yang diambil sebagai hasil perundingan pemerintah dan perusahaan
yang mengorbankan rakyat sebagai tenaga kerja. Yustika melihat bahwa
kebijakan UMR merupakan suatu bentuk penindasan yang paling nyata terhadap
raykat.127
125
Y. Wartaya Winangun, op. cit., hlm. 69 126
Ibid. 127
Dasar terjadinya penetapan upah minimum regional (UMR) di Indonesia dapat dilihat
dari perkawinan antara pemerintah dan perusahaan. Hal itu berarti bahwa seluruh proses operasi
perusahaan harus dijauhkan dari ekonomi biaya tinggi (hing costs economy) sehingga mengundang
minat investor, baik domestik maupun asing, menanamkan modalnya. Secara alamiah, untuk
operasi perusahaan yang memproduksi barang-barang tertentu, Indonsesia sejak mula memang
58
Selain itu, penetapan kenaikan upah minimum (UM) yang terjadi pada
setiap tahun sangat kecil. Kenyataan ini bisa dilihat dari kebijakan pemerintah
melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang menaikkan upah
minimum provinsi pada tahun 2020.128
Pendapatan rendah yang dialami kaum
miskin bila dibandingkan dengan pengeluaran untuk kebutuhan pokok rumah
tangga saja sebenarnya tidak mencukupi. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan
jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok rumah
tangga yang dikeluarkan dan pendapatan yang diterima. Biaya yang dikeluarkan
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari jauh lebih besar dari pada pendapatan
yang diterima. Untuk mengetahui secara jelas ketimpangan ini dapat dihitung
dengan menggunakan perbandingan upah minimum regional (UMR) dan
kebutuhan fisik minimum (KFM).
telah mengundang minat investasi karena sumber daya alam yang terkandung begitu melimpah.
Tetapi tidak cukup sampai di situ, negara juga masih mengintrodusir penurunan biaya produksi
tersebut lewat penekanan upah buruh. Atas relasi ketiga faktor produksi, yakni tanah, modal, dan
buruh pemerintah telah meyakinkan bahwa kedua faktor produksi yang pertama bisa saja mahal,
tetapi buruh tidak boleh menjadi variabel yang mengganggu proses produksi. Efisiensi operasi
perusahaan, pada pengertian seperti ini, tidak lain adalah mengayunkan palu kebijakan untuk
mengetuk upah buruh agar tidak terlihat menjulang. Dalilnya sederhana saja: setiap kenaikan upah
buruh dipastikan akan meningkatkan biaya produksi, sehingga membuat pemerintah ogah
membuka usaha atau enggan datang ke Indonesia. Rumus itulah yang diterima secara taklit dalam
peta sirkulasi ekonomi Indonesia, sehingga merupakan alasan penting dari munculnya kebijakan
minimum (UM). Oleh karena itu, ideologi UM merupakan pertemuan dari dua hal absurd untuk
dipahami. Pertama, negara yang terlanjur malas untuk berpikir menggerakkan kegiatan secara
kreatif sehingga memutuskan investor sebagai pihak paling utama yang harus dihormati dan dibela
keberadaannya. Kedua, investor bengal yang dengan senang hati mempercayai dalil bahwa
efisiensi usaha bisa dicapai dengan jalan menurunkan biaya produksi, dan itu cuma bisa diperoleh
dengan cara menekan tingkat upah buruh. Traktat ini terang saja merupakan persekutuan ilegal
yang dipraktikkan secara telanjang oleh negara dan korporasi, sambil melupakan bahwa tenaga
kerja merupakan faktor produksi yang paling memiliki sisi sosial, sehingga setiap penentuan
bagian materi yang diterimanya tidak boleh luput dari asas sosial tersebut. Oleh karena itu,
terhadap perkawinan pemerintah dan perusahaan yang terjadi di Indonesia dibutuhkan gerakan dari
rakyat untuk melerai hubungan antara keduanya, agar pemerintah kembali pada tugasnya untuk
mengurus kesejahteraan rakyat. Lihat, Ahmad Erani Yustika, op. cit., hlm. 47-48. 128
Provinsi yang memiliki UMR tertinggi dari ke 34 provinsi adalah DKI Jakarta dari
sekitar Rp 3.940.973 pada 2019 menjadi sekitar Rp 4.276.349 pada 2020. Provinsi yang memiliki
UMP terndah adalah DIY dari Rp 1.570.922 menjadi sekitar Rp 1.704.607 pada 2020, sedangkan
provinsi NTT berada pada urutan ke 30 yakni dari Rp 1.793.293 pada 2019 menjadi sekitar Rp
1.945.902 pada 2020. Lihat, Fika Nurul Ulya, “UMP 34 Provinsi Naik 8,51 Persen Tahun 2020,
Nerikut Daftar Lengkapnya”, dalam Kompas. com, 18 Oktober 2019,
https://Money.Kompas.Com/Read/2019/10/18/131354326/Ump-34-Provinsi-Naik-851-Persen-
Tahun-2020-Berikut-Daftar-Lengkapnya, diakses pada 23 Oktober 2019.
59
3.2.5 Angka Buta Huruf yang Tinggi
Harbison dan Myers sebagaimana dikutip oleh Didik J. Rachbini
mengemukakan bahwa pengembangan sumber daya manusia (SDM) merupakan
proses untuk meningkatkan pengetahuan manusia, keahlian dan keterampilan
serta kemampuan orang-orang dalam masyarakat.129
Menurut Rachbini, ditinjau
dari ilmu ekonomi, hal ini bisa dijabarkan sebagai proses akumulasi sumber daya
manusia dan investasinya secara efektif dalam pembangunan ekonomi suatu
bangsa. Salah satu jalan yang ditempuh untuk mengembangkan kemampuan
manusia dalam pembangunan adalah dengan pendidikan formal, baik di sekolah
umum maupun sekolah kejuruan.130
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan esensial yang harus dipenuhi
seseorang untuk bisa menjadi manusia yang baik. Akan tetapi kebutuhan ini tidak
sepenuhnya bisa diperoleh setiap orang. Hal ini disebabkan oleh lemahnya
kemampuan ekonomi masyarakat dan kurangnya fasilitas penunjang yang
mendukung pendidikan. Kenyataan ini tidak terlepas dari masalah sebelumnya
yakni rendahnya pendapatan. Meskipun pemerintah akhir-akhir ini sudah gencar
dengan program pendidikan 9 tahun dan juga pemberian bantuan bagi siswa yang
kurang mampu,131
tetapi program ini belum dijalankan secara merata. Hal ini
menyebabkan tingginya angka putus sekolah.
Menurut Eko Prasetyo, tingginya angka putus sekolah dan buta huruf
masih menjadi masalah yang yang lumrah bagi masyarakat Indonesia.132
Hal ini
akan berdampak pada lemahnya daya berpikir dan tidak dapat berpikir futuristik.
Prasetyo lebih jauh menegaskan bahwa mereka yang berpendidikan rendah dan
buta huruf pada dasarnya lebih memfokuskan diri pada hal-hal praktis dan jangka
pendek. Mereka tidak sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang
129 Didik J. Rachbini, Pembangunan Ekonomi dan Sumber Daya Manusia (Jakarta: PT
Grasindo, 2001), hlm. 123. 130
Ibid., hlm. 124. 131
Salah satu program bantuan yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia saat ini adalah
Kartu Indonesia Pintar (KIP). Lihat, “Kartu Indonesia Pintar”, dalam
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kartu_Indonesia_Pintar, diakses pada 18 Februari 2020. 132
Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sekolah (Yogyakarta: Resist Book, 2005), hlm.
39.
60
“bagaimana” dan “mengapa” kondisi hidup mereka terjadi demikian.133
Pola pikir
seperti ini lama-kelamaan melihat sebuah ketimpangan sosial sebagai sebuah
fakta yang diterima begitu saja. Bahkan perubahan sebagai upaya perbaikan taraf
hidup dapat dilihat sebagai sebuah ancaman bagi eksistensi mereka. Meski
demikian diperlukan kerja keras dalam membebaskan butah huruf yang dialami
kaum miskin. Usaha ini harus menjadi tugas utama pemerintah melalui kebijakan
anggaran, guna membangun fasilitas dan biaya pendidikan yang terjangkau bagi
semua anak bangsa agar cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terwujud.
3.2.6 Rendahnya Keterampilan/Kreativitas
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan dua arti terhadap kata
kreativitas yakni (1) kemampuan untuk mencipta; daya cipta (2) perihal berkreasi;
kekreatifan.134
Oleh karena itu, kreativitas merupakan kemampuan yang dimiliki
seseorang untuk menciptakan sesuatu. Menciptakan dalam hal ini tidak berarti
menciptakan dari ketiadaan, tetapi menciptakan dari sesuatu yang telah ada.
Menciptakan yang dimaksudkan adalah mengolah sesuatu menjadi sesuatu yang
baru dan mengalami pertambahan nilai. Akan tetapi kreativitas bukan merupakan
sesuatu yang muncul dengan sendirinya, melainkan harus senantiasa diasah.
Masalah yang kerap kali mewarnai kehidupan kaum miskin adalah
rendahnya keterampilan. Hal ini tidak terlepas dari masalah sebelumnya yakni
rendahnya pendidikan. Menurut Philip H. Combs dan Manzoor Ahmed,
pendidikan memampukan seseorang untuk mejadi lebih kreatif.135
Combs dan
Ahmed berpendapat bahwa seorang yang berpendidikan tinggi selalu pandai
melihat peluang yang ada dan selalu berinovasi.136
Peluang ini akan berguna
apabila dimanfaatkan melalui keterampilan yang dimiliki.
Keterampilan yang dimiliki akan membantu seseorang untuk menambah
nilai dari suatu barang. Suatu barang yang sama akan memiliki nilai lebih apabila
diolah sedemikian rupa. Misalnya satu sisir pisang yang terdiri dari 10 buah dijual
133
Ibid. 134
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., hlm. 739. 135
Philip H. Combs dan Manzoor Ahmed, Memerangi Kemiskinan di Pedesaan Melalui
Pendidikan Non-Formal (Jakarta: Penerbit CV. Rajawali, 1984), hlm. 78. 136
Ibid.
61
di pasar seharga Rp. 5.000, tetapi bila diolah menjadi pisang goreng yang mana
satu buah di bagi empat potong dengan harga 2 potong Rp.500, maka nilai pisang
itu akan bertambah 2 kali lipat dari harga semula. Oleh karena itu, dari contoh di
atas dapat disimpulkan bahwa kreativitas merupakan salah satu faktor penting
yang harus dimiliki oleh seorang manusia agar keluar dari kemiskinan.
3.2.7 Banyak Anak
Keluarga miskin seringkali diidentikkan dengan memiliki banyak anak.
Hal ini tidak terlepas dari anggapan yang sudah akrab dalam masyarakat yakni
banyak anak banyak rejeki. Akan tetapi pandangan ini sebenarnya berangkat dari
suatu kenyataan bahwa kaum miskin dalam menjalankan suatu usaha
membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Tidak adanya teknologi dan modal
mendorong kaum miskin untuk memiliki banyak anak dalam memudahkan proses
produksinya. Biaya produksi yang dikeluarkan untuk memproduksi suatu barang
menjadi lebih murah.
Pandangan yang diamini kaum miskin ini sebenarnya tidak mengubah
situasi yang mereka alami ke arah yang lebih baik, tapi menghantar mereka
kepada suatu persoalan baru yang lebih parah dalam pembangunan. Menurut H.
Abdul Ahmadi dan Kaelani HD, salah satu faktor penghambat pelaksanaan
pembangunan ekonomi adalah sangat tingginya tingkat pertambahan penduduk di
Indonesia, di samping faktor-faktor lainnya, misalnya kekurangan modal,
besarnya proporsi anak-anak di bawah umur kerja, dan kurangnya tenaga-tenaga
terdidik dan terlatih bagi pelaksanaan pembangunan.137
Pertambahan penduduk
secara kumulatif akan semakin memerosotkan pendapatan nasional, sebab
konsumsi yang dibutuhkan oleh kelompok ini akan mengurangi pendapatan
semestinya disediakan oleh investor (modal). Secara umum, menurunya
pendapatan nasional perkapita ini berarti semakin menyusutkan barang dan jasa
yang dapat dinikmati setiap orang.
Selain itu, pandangan kaum miskin yang bertumpu pada manusia sebagai
satu-satunya faktor produksi sudah tidak relevan lagi pada zaman industri
137
H. Abdul Ahmadi dan Kaelani HD, Kependudukan di Indonesia dan Pelbagai
Aspeknya (Semarang: Mutiara Permata Widia, 1982), hlm. 63.
62
sekarang ini. Saat ini dalam kegiatan produksi, tenaga kerja manusia sudah pelan-
pelan digantikan dengan tenaga mesin. Sekali pun dengan suatu alasan banyaknya
anak akan berpengaruh pada tingginya pendapatan nasional, tetapi pendapatan
nasional belum menjamin kenaikan pendapatan perkapita. Hal ini terjadi jikalau
pertumbuhan penduduk tetap tinggi meskipun pendapatan nasional naik, karena
kenaikan produksi akan habis untuk memberi makan bagi mereka yang lahir.138
Oleh karena itu, filosofi banyak anak yang terjadi pada kaum miskin sebenarnya
tidak serta merta memecahkan persoalan yang dialami kaum miskin, malah
menjerumuskan mereka pada suatu kemelaratan yang berkepanjangan.
3.3 Jenis-Jenis Kemiskinan
Menurut J.B. Banawiratma dan J. Muller, penentuan jenis-jenis
kemiskinan yang disematkan kepada seseorang atau kelompok tertentu tidak
mudah dilakukan. Anggapan bahwa orang miskin itu dapat dikenal sebagai
gelandangan, pengemis, pedagang asongan dan buruh harian tidak dapat
menegaskan bahwa mereka termasuk dalam kelompok kaum miskin. Masalah
kemiskinan kalau dilihat secara langsung dalam kehidupan sehari-hari memiliki
banyak segi dan dimensi, mulai dari yang bersifat material sampai pada segi yang
bersifat mental, dan banyak dimensi lainnya, sehingga tidak mudah untuk
menentukan tolok ukur yang tepat mengenai kemiskinan.139
Hal ini juga menjadi
kendala dalam menentukan siapa saja yang dapat disebut sebagai kaum miskin itu.
Meski demikian untuk mengetahui siapa saja yang termasuk dalam kategori
sebagai kaum miskin, perlu dibuat klasifikasi perihal jenis-kenis kemiskinan agar
dapat mengetahui seseorang atau sekelompok orang dikatakan miskin atau tidak.
3.3.1 Kemiskinan Individual dan Kemiskinan Struktural
Menurut Gutierrez sebagaimana dikutip oleh Martin Chen, kemiskinan
individual merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor yang
berasal dari dalam diri orang miskin sendiri seperti malas, tak kreatif, dan tak
138
Ibid., hlm. 64. 139
J.B. Banawiratma dan J. Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, Kemiskinan sebagai
Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 124.
63
kompetitif, tak tekun dan tak disiplin. Kemiskinan individual ini bisa diatasi
dengan pendidikan, pembinaan, dan training.140
Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh faktor
dari luar diri orang miskin seperti penindasan dan penghisapan. Struktur sosial
mengakibatkan kemiskinan. Oleh karena itu, hanya dengan perubahan sosial
radikal orang miskin mampu mendapat kesempatan hidup secara layak.141
Menurut Soedjatmoko, ada dua ciri khas kemiskinan struktural, pertama,
kesenjangan yang lebar antara kelompok kaya dan mayoritas masyarakat miskin.
Kedua, lambannya mobilitas sosial akibat kungkungan struktur sosial yang ada.142
Jadi, kemiskinan struktural merupakan kemiskinan masif yang dialami mayoritas
masyarakat akibat struktur sosial yang tidak adil, yang menguntungkan elite
tertentu dan yang menghambat mobilitas sosial, sehingga diperlukan perubahan
struktural mendasar untuk memperbaiki nasib mayoritas masyarakat yang miskin.
3.3.2 Kemiskinan Material dan Kemiskinan Spiritual
Menurut Gutierrez sebagaimana dikemukakan Martin Chen, kemiskinan
material merupakan situasi kehidupan manusia yang mengalami kekurangan atau
ketiadaan barang-barang yang mutlak perlu demi kelangsungan hidupnya.
Kemiskinan tidak hanya terikat pada aspek ekonomi saja tetapi juga meliputi
aspek politik dan sosio-kultural. Itu berarti kemiskinan juga menyangkut
hilangnya ruang gerak partisipasi dalam kehidupan politik (demokrasi politik)
maupun matinya ekspresi nilai-nilai kultural masyarakat (sosiokultural) akibat
penindasan dan penetrasi ideologis (pencangkokan nilai) oleh aparat penguasa.
Orang miskin tidak hanya mengalami kekurangan ekonomis tetapi juga
kehilangan martabat manusia sebagai makhluk politik yang bebas dan makhluk
kultural yang autentik.143
140
Martin Chen, Teologi Gustavo Gutierrez (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 52. 141
Ibid. 142
Soedjatmoko, “Dimensi-Dimensi Struktural Kemiskinan,” dalam Alfian, Melly G.
Tan, Selo Soemardjan (ed.), Kemiskinan Struktural. Suatu Bunga Rampai (Jakarta: YIIs, 1980),
hlm. 47. 143
Martin Chen, Teologi Gustavo Gutierrez, op. cit., hlm. 53.
64
Sedangkan kemiskinan spiritual merupakan suatu sikap dari seseorang
yang secara aktif terbuka dan terarah pada pewahyuan Kerajaan Allah.
Kemiskinan spiritual dalam bahasa biblis, tak lain dari sikap miskin di hadapan
Allah (spiritual childhood), yaitu keterarahan diri manusia secara total kepada
Allah. Kemiskinan ini dapat juga berarti sikap diri yang tidak terikat pada barang-
barang duniawi. Selain itu, kemiskinan spiritual juga berarti kesiapan dan
kesediaan seseorang menjawab tawaran rahmat Allah secara utuh.144
3.3.3 Kemiskinan Mutlak dan Kemiskinan Relatif
Kemiskinan mutlak menurut Banawiratma dan Muller berarti bahwa
kebutuhan-kebutuhan pokok yang primer dan sekunder tidak terpenuhi.
Kebutuhan-kebutuhan primer seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, kerja
yang wajar, dan pendidikan dasar tidak terpenuhi; sedangkan kebutuhan-
kebutuhan sekunder seperti hak berpartisipasi, rekreasi atau lingkungan hidup
yang menyenangkan tidak terpenuhi.145
Sedangkan kemiskinan relatif menurut Banawiratma dan Muller lebih
menekankan pada pembagian pendapatan nasional yang berarti bahwa ada
perbedaan mencolok antara pelbagai lapisan atau kelas dalam masyarakat. Itu
berarti bahwa dalam pembagian pendapatan nasional terjadi perbedaan yang tajam
antara dua kelompok yakni yang kaya memiliki pendapatan yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan pendapatan yang diterima kaum miskin. Konsekuensinya
ialah bahwa kelompok kaya semakin kaya, sedangkan kelompok miskin semakin
melarat. Dengan demikian, pasti ada orang yang bisa disebut miskin dibandingkan
mereka yang sangat kaya.146
144
Ibid., hlm. 54. 145
J.B. Banawiratma dan J. Muller, op. cit., hlm. 126. 146
Ibid.
65
3.4 Sebab-Sebab Adanya Kemiskinan
3.4.1 Dari Dalam
3.4.1.1 Motivasi
Kata motivasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki dua
pengertian. Pertama, dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau
tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Kedua, usaha
yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak
melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau
mendapat kepuasan dengan perbuatannya.147
Motivasi dengan demikian berarti bahwa dorongan yang timbul dari dalam
diri seseorang baik secara sadar atau tidak sadar yang menyebabkannya tergerak
untuk merealisasikannya. Menurut Ambroise, dorongan yang timbul dalam diri
seseorang sangat berpengaruh terhadap aktualisasi dirinya.148
Dorongan yang kuat
dari dalam diri seseorang dapat menghasilkan energi positif yang membawa
kepada suatu kemajuan. Sebaliknya dorongan yang lemah dari dalam diri
seseorang dapat menghambat kemajuan.149
Kaum miskin dengan demikian dapat
dikatakan sebagai seseorang atau sekelompok orang yang memiliki motivasi yang
lemah. Lemahnya motivasi dalam diri kaum miskin dapat menghambat usaha
mereka untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.
Selain itu, dilihat dari tujuan perjuangan kaum miskin, mereka lebih
berorientasi pada kebutuhan jangka pendek. Hal inilah yang menyebabkan mereka
tidak memiliki suatu idealisme yang menggerakkan mereka untuk berjuang.
Idealisme ini mendorong mereka untuk berjuang lebih keras lagi, bukan hanya
berpikir tentang kebutuhan saat ini, tetapi apa yang diharapkan untuk kehidupan
jangka panjang agar kelangsungan hidup pada masa yang akan datang tetap
terjaga.
147
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., hlm. 930. 148
Yvon Ambroise, op. cit., hlm. 89. 149
Ibid.
66
3.4.1.2 Mentalitas
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mentalitas adalah keadaan dan
aktivitas jiwa (batin), cara berpikir, dan berperasaan150
seseorang. Mentalitas yang
dimiliki seseorang pada hakekatnya baik bila digunakan secara maksimal. Meski
demikian menurut Koentjaraningrat mentalitas yang dimiliki seseorang sangat
dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu dan latar belakangnya.151
Koentjaraningrat menegaskan bahwa seseorang atau sekelompok orang yang
memiliki pengalaman traumatis pada masa lalu atau terlahir sebagai keluarga
yang dikenal miskin umumnya akan memiliki masalah mental yang serius yang
berdampak pada perkembangan mental yakni merasa tidak percaya diri, penakut,
dan pasif. Sebaliknya seseorang atau sekelompok orang yang dibesarkan dalam
suatu situasi yang baik, dari aspek ekonomi, sosial dan politik yang stabil
memiliki kemungkinan untuk berkembang secara baik.152
Mentalitas dengan demikian dapat menyebabkan kemiskinan. Hal ini
terjadi karena pikiran atau perasaan masa lalu mereka senantiasa menghantui
mereka. Kaum miskin seringkali melihat keadaannya sebagai keterberian dan
akhirnya menerimanya sebagai takdir. Inilah yang menyebabkan mereka tidak
mempunyai daya juang untuk keluar dari situasi kesulitan tersebut. Perjuangan
untuk keluar dari lingkaran kemiskinan dilihat sebagai kemustahilan. Buntunya
jalan keluar yang muncul dari kaum miskin sendiri, dibutuhkan usaha eksternal
sebagaimana yang selalu diperjuangkan oleh Freire yakni upaya penyadaran.153
Hanya melalui usaha penyadaran kaum miskin dapat melihat keadaan dan
mengubah cara berpikirnya. Oleh karena itu, satu-satunya jalan yang ditempuh
untuk mendongkrak mentalitas kaum miskin seturut Freire adalah pendidikan
yang merangsang penyadaran akan eksistensi mereka sebagai manusia yang
memiliki martabat yang setara dengan orang lain.154
150
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., hlm. 901. 151
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: PT Gramedia,
1974), hlm. 77. 152
Ibid. 153
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, penerj. Utomo Dananjaya, dkk. (Jakarta:
LP3ES, 1985), hlm. 26. 154
Ibid.
67
3.4.2 Dari Luar
3.4.2.1 Struktur Sosial
A. Suryawasita, SJ dalam tulisannya yang berjudul Analisis Sosial
mendefinisikan struktur sosial sebagai keseluruhan institusi serta saling
berhubungannya satu sama lain. Kata struktur menunjukkan saling adanya
hubungan antarbagian dari keseluruhan. Struktur sosial dengan demikian berarti
interaksi manusia yang sudah berpola dalam institusi-institusi ekonomi, politik,
agama, keluarga dan budaya.155
Setiap orang pada umumnya hidup dalam struktur sosial tertentu. Struktur
sosial ini akan mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku seseorang dalam
hidupnya. Struktur sosial akan menentukan kualitas hidup masyarakat yang ada di
dalam struktur tersebut. Perjuangan untuk memperbaiki ketimpangan-
ketimpangan yang ada dalam struktur sosial akan menemukan banyak kesulitan.
Salah satu problem yang sulit diatasi dalam struktur sosial adalah pelaksanaan
keadilan, sebab tanggung jawab ini terletak pada struktur masyarakat. Justru
karena tergantung pada struktur masyarakat inilah maka tanggung jawab atas
ketidakadilan sosial menjadi tanggung jawab semua pihak. Melihat kenyataan ini,
secara jelas Suryawasita menegaskan bahwa sering individu yang hidup dalam
masyarakat tidak dapat bertindak dengan adil meskipun dia telah insaf dan sadar.
Dia tidak dapat bertindak dengan adil karena struktur sosial yang ada tidak
memungkinkannya.156
Kemiskinan merupakan dampak dari struktur sosial yang
tidak adil. Oleh karena itu, usaha membebaskan kaum miskin merupakan usaha
yang sangat besar dan satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah perombakan
struktur yang tidak adil.
3.4.2.2 Struktur Ekonomi
Banawiratma dan Muller mengemukakan bahwa antara kemiskinan dan
ekonomi memiliki hubungan yang erat, sebab jika ekonomi tidak berhasil, maka
155
A. Suryawasita, “Analisis Sosial”, dalam J. B. Banawiratma (ed.), Kemiskinan dan
Pembebasan, op. cit., hlm. 12. 156
Ibid., hlm. 13.
68
usaha mengatasi masalah kemiskinan juga mustahil.157
Salah satu tantangan nyata
yang menggerogoti perkembangan perekonomian negara-negara berkembang saat
ini adalah neoliberal. Negara-negara maju dengan ideologi kapitalisme berusaha
menjajah kembali negara-negara lain secara ekonomi melalui perdagangan bebas.
Aktor lapangan dari perdagangan bebas adalah perusahaan-perusahaan
transnasional. Cengkraman perusahaan-perusahaan transnasional atas negara-
negara berkembang saat ini menyebabkan negara-negara berkembang tidak
berdaya.158
Perusahaan-perusahaan transnasional saat ini telah mengambil alih semua
sektor perekonomian negara berkembang. Kenyataan ini menjadikan negara-
negara berkembang hanya bisa menjadi konsumen, tempat pemasaran produk-
produk perusahaan transnasional. Meluasnya sepak terjang perusahaan-
perusahaan transnasional dalam menguasai hajat hidup masyarakat negara
berkembang akan melahirkan persoalan baru yakni kemiskinan. Menurut
Hadiwardoyo, kemiskinan merupakan dampak dari sistem ekonomi yang tidak
adil, di mana kaum miskin tidak dapat keluar dari situasi yang dihadapi karena
sistem ekonomi yang ada.159
Oleh karena itu, untuk keluar dari situasi kemiskinan,
maka dibutuhkan perbaikan atas sistem ekonomi yang tidak adil yang diusung
oleh ideologi kapitalis.
3.4.2.3 Politik
Menurut Matias Daven politik secara hakiki adalah “seni pemakaian
kemungkinan yang nyata”, politik tidak pernah boleh menjadi perkara hitam
putih, wajib dan terkutuk, benar atau salah.160
Politik dalam arti itu berusaha
menjadi penengah antara kenyataan (yang dianalisis) dan tujuan-tujuan
(pembangunan) yang dicita-citakan. Politik harus mengambil keputusan-
keputusan, artinya harus memilih antara sejumlah sasaran yang sering dinilai
157
J.B. Banawiratma dan J. Muller, op. cit., hlm. 197. 158
Benny Denar, Mengapa Gereja (Harus) Tolak Tambang, Sebuah Tinjauan Etis,
Filosofis dan Teologis Atas Korporasi Tambang (Maumere: Penerbit Ledalero, 2015), hlm. 63. 159
Al. Purwa Hadiwardoyo, “Keadilan Sosial dan Sistem Ekonomi”, dalam J.B.
Banawiratma, (ed.) Aspek-Aspek Teologi Sosial (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1988) hlm. 43. 160
Mathias Daven, “Filsafat Pancasila” (Bahan Kuliah, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik
Ledalero, Maumere, 2016), hlm. 85.
69
sama-sama baik tetapi tidak bisa diwujudkan sekaligus dan harus mengatasi
bermacam-macam kendala. Politik dengan demikian menuntut pemikiran strategis
dengan urutan prioritas yang jelas.
Politik sebagai tindakan-tindakan menyata dalam setiap kebijakan politik
yang diambil oleh para politisi. Kebijakan-kebijakan yang diambil merupakan
hasil kompromi dari pelbagai pihak yang berkepentingan. Atas nama kepentingan
rakyat, pemerintah mengambil sebuah kebijakan yang bertujuan mensejahterakan
rakyat. Akan tetapi, sering kali para penguasa mengabaikan amanat yang
diberikan oleh rakyat terhadap mereka. Menurut Albert Widjaya ada tiga bentuk
pengabaian pemerintah terhadap rakyatnya, yakni praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme.161
Ketiga bentuk praktik penyimpangan ini bagi Widjaya merupakan
pengkhianatan atas amanat yang telah diberikan oleh rakyat.162
Padahal politik
merupakan suatu tindakan yang mengabdi pada kepentigan bersama ke arah yang
lebih baik.
Kaum miskin sebagai bagian dari masyarakat mempunyai hak untuk
dipenuhi kebutuhannya. Satu-satunya jalan yang memungkinkan terpenuhinya hak
mereka adalah melalui para politisi. Oleh karena itu, bila politik tidak dijalankan
dengan benar, maka kaum miskin akan tetap menderita, sebab kebutuhan mereka
tidak masuk dalam kebijakan politik pemerintah.
3.5 Pembebasan Kaum Miskin
3.5.1 Pengertian Pembebasan
3.5.1.1 Arti Etimologis
Kata “pembebasan” berasal dari kata dasar “bebas” yang ditambah prefiks
“pe” dan sufiks “an”. Kata dasar “bebas” itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti:
(1) Lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya
sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa).
(2) Lepas dari (kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dan sebagainya). (3)
Tidak dikenakan (pajak, hukuman, dan sebagainya). (4) Tidak terikat atau
161
Albert Widjaya, Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi (Jakarta: Penerbit LP3ES,
1982), hlm. 141. 162
Ibid.
70
terbatas oleh aturan dan sebagainya. (5) Merdeka (tidak dijajah, diperintah,
atau tidak dipengaruhi oleh negara lain atau kekuasaan asing). (6) Tidak
terdapat (didapati) lagi.163
3.5.1.2 Arti Realis
Berdasarkan arti etimologis, pembebasan secara realis dimengerti sebagai
pembebasan dari penindasan sosial ekonomi maupun politik. Pembebasan
semacam itu mengakui sejarah rakyat dan kekuatan rakyat miskin untuk
mengubah situasi sejarah mereka yang tertindas dan menderita.164
Albert Camus
memberikan definisi kebebasan, baginya “kebebasan adalah masalah orang yang
tertindas, dan pelindungnya selalu datang dari golongan tertindas pula.”165
Pandangan Camus ini berasal dari kenyataan Eropa zaman feodal dulu, bahwa
masyarakat tani tetap menjadi tempat berkembang biaknya penindasan, sebab ia
melihat kemenangan kebebasan pada tahun 1789 adalah kemenangan penduduk
kota.166
Pembebasan dengan demikian mengandaikan adanya subjek dan objek
pembebasan. Subjek pembebasan adalah manusia-manusia yang bertindak untuk
membebaskan mereka yang terikat, melarat, terpinggirkan dan yang hidup susah.
Dalam memperjuangkan kebebasan, Camus akhirnya menegaskan bahwa objek
pembebasan adalah manusia-manusia yang terikat, melarat, terpinggirkan dan
yang hidup susah.167
Oleh karena itu, kaum miskin dapat bertindak serentak
sebagai subjek dan objek pembebasan.
Selain itu, Gustavo Gutierrez seperti yang dikutip oleh Martin Chen,
memberikan sumbangan yang cukup dalam memahami pembebasan.168
Ia
mendefinisikan pembebasan dari sudut pandang Kristiani. Pertama, pembebasan
memperlihatkan realitas konfliktual dalam proses ekonomi, politik, sosio-budaya
yang membagi masyarakat dalam kelas kaya dan kelas miskin. Kedua,
pembebasan menunjuk pada martabat pribadi manusia yang memiliki kebebasan
163
Departemen Pendidikan Nasional, op.cit., hlm. 118. 164
Edenio Valle, “Dialog Bersama Kaum Miskin dan Tertindas”, dalam Georg
Kirchberger dan John Mansford Prior (ed.), Mengendus Jejak Allah, Dialog dengan Masyarakat
Pinggiran, Jilid II (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1997), hlm. 290. 165
Albert Camus, Krisis Kebebasan, penerj. Edhi Martono (Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2013), hlm. 72. 166
Ibid. 167
Ibid., hlm. 75. 168
Martin Chen, Teologi Gustavo Gutierrez, op. cit., hlm. 80.
71
dan tanggung jawab atas nasibnya. Ketiga, istilah pembebasan memiliki dasar
biblis yang fundamental, yakni karya pembebasan Allah bagi umat-Nya. Ia
melanjutkan bahwa pembebasan merupakan perjuangan manusia dalam
mewujudkan diri secara autentik dan dalam mengatasi struktur sosial yang
menindas dan menghisap dengan berpangkal pada rahmat pembebasan yang
diberikan Allah.169
Pembebasan adalah suatu usaha yang sangat luas dan dalam untuk lepas
dari situasi yang mengikat dan menekan. Pembebasan bukanlah suatu proyek
yang dilakukan oleh seorang ahli ilmu alam di mana terjadi pengobjekan terhadap
alam. Pembebasan hanya mungkin bila melibatkan kaum miskin, tertindas
serentak sebagai subjek dan objek pembebasan. Pembebasan sejati hanya
mungkin terjadi berdasarkan suatu kesadaran kaum miskin untuk
bertanggungjawab atas hidupnya. Kesadaran yang timbul dalam diri kaum miskin
dan tertindas akan betul-betul mengakar bila dilandasi suatu keyakinan akan
rahmat pembebasan yang diberikan Allah.170
3.5.2 Dasar-Dasar Pembebasan
Secara historis perjuangan demi kebebasan sudah terjadi sejak lama. Hal
ini mau menegaskan bahwa kebebasan merupakan salah satu ciri yang melekat
pada manusia dalam keberadaannya di antara manusia lainnya. Itu berarti bahwa
perjuangan pembebasan kaum miskin dari situasi mereka saat ini bukan
merupakan perjuangan yang baru mucul sekarang, melainkan sudah berlangsung
dalam kurun waktu yang lama. Oleh karena itu, berikut ini akan dijelaskan dasar-
dasar perjuangan demi pembebasan.
169
Ibid., hlm. 81. 170
A. Suryawasita, Teologi Pembebasan Gustavo Gutierrez (Yogyakarta: Penerbit
Jendela, 2001), hlm. 53.
72
3.5.2.1 Martabat Manusia
a. Pernyataan Hak-Hak Asasi Manusia Menurut Perserikatan Bangsa-
Bangsa171
Menurut Satya Ariananto, istilah hak asasi manusia (HAM) merupakan
suatu istilah yang relatif baru, dan menjadi bahasa sehari-hari semenjak Perang
Dunia II dan pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945.
Istilah tersebut menggantikan istilah natural rights (hak-hak alam) karena konsep
hukum alam – yang berkaitan dengan istilah natural rights – menjadi suatu
kontroversi, dan frasa the rights of man yang muncul kemudian dianggap tidak
mencakup hak-hak wanita.172
Meski demikian, paham hak asasi sudah lahir di
Inggris dalam abad ke-17. Inggris memiliki tradisi perlawanan yang lama
terhadap segala usaha raja untuk mengambil kekuasaan mutlak. Pada tahun 1215
para bangsawan sudah memaksa raja untuk memberikan Magna Charta
Libertatum yang melarang penahanan, penghukuman, dan perampasan benda
dengan sewenang-wenang. Tahun 1679 menghasilkan pernyataan Habeas Corpus,
pernyataan ini menjadi dasar prinsip hukum bahwa orang hanya boleh ditahan
atas perintah hakim.173
Perkembangan selanjutnya dipengaruhi oleh filsafat Jhon Locke (1632-
1704) yang di samping menuntut toleransi religius (kecuali terhadap orang
Katolik dan ateis), mengemukakan bahwa semua orang diciptakan sama dan
memiliki hak-hak alamiah (natural rights) yang tidak dapat dilepaskan
(inalineable), di antaranya termasuk hak atas hidup, kemerdekaan dan hak milik,
tetapi juga hak untuk mengusahakan kebahagiaan. Gagasan-gagasan Locke amat
berpengaruh dalam abad ke-18, terutama di daerah jajahan Inggris di Amerika dan
di Perancis, dan menjadi dasar filosofis liberalisme. Revolusi Perancis pada 1789
menghasilkan suatu “pernyataan tentang hak-hak manusia dan warga negara”
171
Sebagian besar penjelasan tentang sejarah perkembangan hak asasi manusia dalam
subbagian ini dikutip dari Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1987), hlm. 159-161. 172
Satya Ariananto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia (Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015), hlm. 65. 173
Franz Magnis-Suseno, op. cit., hlm. 159.
73
(Déclaration des droits des hommes et des citozens) yang kemudian menjadi
pedoman bagi banyak pernyataan hak-hak asasi manusia.174
Selama abad ke-19, borjuasi liberal memperjuangkan negara
konstitusional dan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia dengan melawan
pemerintah-pemerintah yang feodal dan absolut. Selain itu, pada abad yang sama
ada kontestan baru yang masuk ke panggung perjuangan yakni kaum buruh.
Meskipun pada mulanya mereka mendukung perjuangan borjuasi dalam
memerangi sisa-sisa feodalisme, tetapi pada akhirnya mereka melawan borjuasi
untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia pekerja. Tetapi pada
abad ke-20 terjadi pergeseran yakni perjuangan melawan penindasan yang
dilakukan oleh negara sendiri atau oleh suatu sistem pemerintahan yang totaliter
terhadap masyarakatnya sendiri atau sebagian dari padanya.175
Pernyataan hak-hak asasi sedunia yang pertama, yang diterima oleh
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1984
tidak hanya memuat hak-hak asasi yang diperjuangkan oleh liberalisme dan
sosialisme, melainkan juga mencerminkan pengalaman penindasan oleh rezim-
rezim fasis dan nasionalsosialis tahun dua puluh sampai empat puluhan.176
Pasal 1
dalam pernyataan HAM PBB berbunyi: “Semua manusia dilahirkan bebas dan
sama dalam martabat dan hak. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan harus
bertindak terhadap sesama manusia dalam semangat persaudaraan.”177
Hal ini
berarti bahwa setiap manusia memiliki kebebasan dan martabat yang sama yang
melekat dalam diri setiap pribadi. Oleh karena itu, segala tindakan yang
membatasi kebebasan dan pelecehan terhadap martabat manusia tidak dapat
dibenarkan. Kebebasan dan martabat manusia sangat menentukan eksistensi
manusia dalam hidupnya di dunia ini.
174
Ibid., hlm. 160. 175
Ibid. 176
Ibid., hlm. 161. 177
Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, penerj. Burhan Tsany dan S.
Maimoen (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hlm. 183.
74
Kebebasan dan martabat yang dimiliki manusia tidak dapat dibelenggu
atas dasar alasan apapun. Hal ini secara jelas termaktub dalam pasal 2 HAM PBB
yang berbunyi:
Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam
deklarasi ini, dengan tanpa pembedaan apa pun seperti ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, asal mula
kebangsaan bangsa atau sosial, harta milik, status kelahiran atau status
lainnya.178
Pasal ini mengandung prinsip nondiskriminasi atas setiap pribadi, sebab setiap
pribadi tidak pernah ditentukan oleh segala atribut yang melekat pada dirinya
sejauh ia sebagai seorang manusia. Harus diakui bahwa pada dasarnya manusia
tidak pernah lahir dalam suatu dunia a historis, sebab sejak lahir ia de fakto sudah
masuk ke dalam suatu dunia yang mempunyai sistem dan nilai yang tertentu yang
tidak bisa dielakkan. Akan tetapi kenyataan ini tidak menjadi alasan untuk
memperlakukan setiap orang berdasarkan kriteria yang terdapat dalam setiap latar
belakang manusia, melainkan menjadi suatu kekayaan yang mendorong setiap
orang untuk menghargai kebebasan dan martabat sesamanya.
Pernyataan HAM PBB bila dihubungkan dengan perjuangan pembebasan
kaum miskin, maka terdapat kesamaan dasar dan tujuan yakni kebebasan dan
martabat manusia. Kaum miskin menjadi korban ketidakadilan dalam kehidupan
bersama, di mana kebebasan dan martabat mereka tidak pernah diakui, sehingga
kaum miskin tidak dapat mengaktualisasikan diri dan keluar dari persoalan pelik
yang sedang mereka hadapi. Kaum miskin memiliki hak yang sama dengan orang-
orang kaya untuk menikmati kebebasan dan diperlakukan setara dengan yang
lainnya.
b. Hak-Hak Asasi Manusia dalam Pancasila
Pancasila lahir pada tanggal 1 Juni 1945, ketika Sukarno menyampaikan
pandangannya mengenai dasar-dasar filsafat bagi negara Indonesia Merdeka. Isi
pidato Sukarno tidak saja mengikat, tetapi juga pada dasarnya disetujui oleh
seluruh anggota BPUPKI. Pidato Sukarno sama sekali tidak menyinggung soal
hak-hak asasi manusia karena pusat perhatiannya tidak ke situ. Tetapi ia menyebut
178
Ibid., hlm. 184.
75
beberapa konsep yang berkaitan dengan soal ini, misalnya musyawarah, mufakat
kekeluargaan, gotong-royong. Ia menyebut kosep-konsep itu dalam hubungan
dengan penolakannya terhadap demokrasi Barat. Menurut Sukarno, demokrasi
Barat hanya berisi demokrasi politik, tetapi tidak mengenal demokrasi ekonomi.
Oleh karena itu, Sukarno berusaha membangun demokrasi yang mencakup
demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, yakni demokrasi yang mampu
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.179
Meski demikian
pandangan tentang hak asasi manusia sudah terimplisit dalam beberapa pasal yang
merupakan hasil perjuangan Bung Hatta yakni pasal 1 ayat 2 dan juga dalam pasal
28. Selain itu, semangat hak-hak asasi manusia juga tercermin pada pasal 27 ayat
1 dan 2, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, pasal 31 ayat 1, pasal 32, pasal 23, dan
pasal 34.180
Dapat disimpulkan bahwa konsep hak asasi manusia sudah
terkandung di dalam lima sila Pancasila.
Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila ini mengandung
pengertian dan keyakinan akan adanya Tuhan. Keyakinan akan adanya Tuhan
Yang Maha Esa itu bukanlah suatu dogma atau kepercayaan yang tidak dapat
dibuktikan kebenarannya melalui akal-pikiran, melainkan suatu kepercayaan yang
berakar pada pengetahuan yang benar yang dapat diuji atau dibuktikan melalui
kaidah-kaidah logika. Atas dasar keyakinan demikianlah maka Negara Indonesia
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Negara memberikan jaminan
kebebasan kepada setiap penduduk untuk memeluk agama sesuai dengan
keyakinannya dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pandangan ini dipertegas dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi:
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.181
Sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Sila ini mengandung
kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang didasarkan pada potensi budi-nurani
manusia dalam hubungannya dengan norma-norma dan kebudayaan pada
179
M. Dawam Rahardjo, “Pancasila dan Masalah Hak-Hak Asasi Manusia”, dalam Alex
Lanur (ed), Pancasila sebagai Ideologi Terbuka (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 28. 180
Ibid., hlm. 32. 181
Darji Darmodihardjo, Orientasi Singkat Pancasila (Malang: Universitas Brawijaya
Malang, 1976), hlm. 43.
76
umumnya, baik terhadap pribadi-pribadi, sesama maupun terhadap alam dan
hewan. Memasukan konsep kemanusiaan yang adil dan beradab berarti bahwa
setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sederajat dan sama terhadap
Undang-Undang Negara, mempunyai kewajiban dan hak-hak yang sama; setiap
warga negara dijamin haknya serta kebebasannya yang menyangkut hubungan
dengan Tuhan, dengan seseorang, dengan negara, dengan masyarakat dan
menyangkut pula kemerdekaan menyatakan pendapat dan mencapai kehidupan
yang layak sesuai dengan hak asasi manusia. Dasar dari sila kedua terdapat dalam
pasal 27, 28, 29, 30, dan 31 UUD 1945. 182
Sila ketiga, “Persatuan Indonesia”. Persatuan berasal dari kata satu, yang
berarti utuh, tidak terpecah-belah. Dalam konteks Indonesia persatuan
mengandung dua makna yakni makna geografis yang berarti sebagai bumi yang
membentang dari 95⁰ - 141⁰ bujur Timur dan dari 6⁰ lintang Utara sampai 11⁰
lintang Selatan, dan makna politis yakni bangsa yang hidup dalam wilayah
tersebut. Indonesia dalam sila ke-3 ini ialah Indonesia dalam pengertian bangsa.
Paham kebangsaan Indonesia tidaklah sempit, tetapi dalam arti menghargai
bangsa lain sesuai dengan sifat kehidupan bangsa itu sendiri.183
Oleh karena itu,
semangat egoisme yang melahirkan perpecahan harus ditinggalkan demi
memupuk semangat pesaudaraan yang mengarah kepada persatuan bangsa
Indonesia.
Sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan.” Kerakyatan berasal dari kata rakyat, yang
berarti sekelompok manusia yang berdiam dalam satu wilayah tertentu.
Kerakyatan dalam sila ini berarti bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat.
Hikmat kebijaksanaan berarti penggunaan pikiran atau rasio yang sehat selalu
mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa. Permusyawaratan merupakan
salah satu kekhasan Indonesia dalam merumuskan dan memutuskan sesuatu
berdasarkan kehendak rakyat. Perwakilan adalah suatu sistem yang
memungkinkan rakyat turut serta dalam kehidupan bernegara yang dilakukan
melalui badan-badan perwakilan. Oleh karena itu, sila keempat ini berarti bahwa
182
Ibid., hlm. 45. 183
Ibid., hlm. 47.
77
rakyat dalam menjalankan kekuasaannya melalui sistem perwakilan dan
keputusan-keputusan yang diambil dengan jalan musyawarah yang dipimpin oleh
pikiran yang sehat serta penuh tanggung jawab kepada rakyat yang diwakilinya.
Sila ini juga mengandung hak-hak dan kebebasan yang memungkinkan
terwujudnya pemerintahan yang demokratis. Hal ini tercakup dalam pasal 28
UUD 1945 yakni “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.184
Sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.” Keadilan
sosial berarti keadaan di mana seluruh masyarakat menikmati keadilan. Itu berarti
bahwa setiap orang Indonesia mendapat perlakuan yang adil dalam bidang
hukum, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Hal ini secara jelas termaktub
dalam pasal 27 ayat 2 UUD 1945 bahwa, “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”185
Pasal ini menjadi
landasan yang kuat bagi kaum miskin dalam perjuangan untuk mendapatkan
hidup yang layak.
Kelima sila Pancasila di atas menurut Soerjanto Poespowardjo merupakan
unsur konstitutif kodrat manusia dan inheren padanya.186
Kodrat manusia di sini
baginya adalah keseluruhan struktur, dinamika serta perwujudan yang
kesemuanya mengungkapkan realitas manusia qua talis.187
Oleh karena itu,
Pancasila mencerminkan nilai-nilai kodrati yang fundamental sifatnya dan bukan
sekedar perwujudan konkret yang mengungkapkan kode-kode atau kebiasaan
sehari-hari.
c. Hak-Hak Asasi Manusia dalam Gereja Katolik
Gereja Katolik merupakan salah satu institusi yang sampai saat ini tetap
konsisten dengan perjuangannya membela hak asasi manusia. Gereja
memperjuangkan hak-hak dan keadilan bagi mereka yang ditindas secara tidak
adil dan berjuang untuk memulihkan martabat mereka yang mengalami
184
Ibid., hlm. 49. 185
Ibid., hlm. 50. 186
Soerjanto Poespowardjo, Filsafat Pancasila Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya
(Jakarta: PT Gramedia, 1989), hlm. 55. 187
Ibid.
78
ketidakadilan dalam pelbagai segi kehidupan. Gereja mendedikasikan
perjuangannya demi membebaskan kaum miskin dari situasi yang sedang mereka
alami. Meski demikian, jika dilihat dari sejarah perjuangan Gereja dalam
membebaskan kaum miskin, Gereja Katolik dinilai terlambat sadar dalam
perjuangan membebaskan hak asasi manusia. Hal ini dapat dilihat dari sikap
Gereja yang baru muncul sejak Konsili Vatikan II tahun 1962-1965, 17 tahun
setelah deklarasi universal HAM oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada tanggal 10 Desember 1948. Menurut Magnis-Suseno sebagimana dikutip
Mathias Daven, secara historis gagasan hak asasi manusia diperjuangkan oleh
ideologi-ideologi sekular, bukan perjuangan agama-agama.188
Meski terkesan
terlambat, sikap Gereja jelas bahwa perjuangannya untuk menegakkan hak asasi
manusia.
Salah satu dokumen Gereja yang berbicara tentang manusia adalah
dokumen Gaudium et Spes, khususnya nomor 12 yang menyatakan bahwa dasar
martabat manusia adalah diciptakan menurut gambar Allah. Menindaklanjuti
pandangan ini, konsili menegaskan bahwa budi manusia adalah dasar martabat
manusia karena diterima dari budi Ilahi yang mendorongnya untuk senantiasa
mencari dan mencintai yang serba benar dan baik.189
Selanjutanya dalam
dokumen yang sama pada nomor 16 menyatakan bahwa martabat manusia juga
didasarkan pada hati nurani dan kebebasan, sebab dalam hati nuraninya manusia
menemukan hukum yang tidak diterima dari dirinya sendiri, melainkan harus
ditaati. Martabat manusia adalah mematuhi hukum itu, dan menurut hukum itu
pula ia akan diadili. Kebebasan merupakan tanda yang mulia gambar Allah dalam
diri manusia. Martabat manusia menuntut agar ia bertindak menurut pilihannya
yang sadar dan bebas tanpa paksaan dari luar.190
Dasar terdalam martabat manusia adalah Sabda yang menjelma, sebab
Dialah gambar Allah yang tidak kelihatan yang menyempurnakan martabat
manusia. Kodrat manusia disambut di dalam Dia dan bukannya dienyahkan,
188
Mathias Daven, op. cit., hlm. 179. 189
Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, No.12, penerj. R.
Hardawirayana SJ, op. cit., hlm. 534. 190
Ibid., hlm. 538.
79
sehingga dalam diri kita pun kodrat itu diangkat mencapai martabat yang amat
luhur. Kristus mengangkat martabat manusia menjadi lebih tinggi dalam misteri
penebusan dengan menumpahkan darah-Nya secara sukarela.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Gereja Katolik
sangat menjunjung tinggi martabat manusia, karena ia adalah gambar Allah. Hal
ini juga terjadi karena pada manusia terdapat hati nurani dan kebebasan. Lebih
jauh martabat manusia disempurnakan dalam misteri inkarnasi dan mencapai
puncaknya dalam penebusan dengan menumpahkan darah-Nya di atas kayu salib.
Secara jeli Matias Daven melihat sikap Gereja bahwa sekalipun ideologi-ideologi
sekularistik yang pernah mencetuskan ide budaya kemanusiaan universal
kehilangan relevansi, tetapi yang tetap eksis di panggung dunia adalah agama-
agama termasuk Gereja Katolik.191
Oleh karena itu, eksistensi Gereja Katolik
sebenarnya sangat ditentukan oleh tanggapannya terhadap isu martabat manusia
sebagaimana diperjuangkan melalui hak asasi manusia.
3.5.2.2 Dasar Biblis
Pemebebasan kaum miskin merupakan salah satu tema pokok yang
terdapat dalam Kitab Suci. Merujuk pada kisah pembebasan yang terdapat dalam
Perjanjian Lama, dapat dilihat bahwa persoalan yang dialami kaum miskin
sangatlah pelik. Akan tetapi bila diteliti secara serius, bagi Suryawasita
kemiskinan dalam konteks Kitab Suci lebih dilihat sebagai kemiskinan
spiritual.192
Kemiskinan spiritual menurutnya merupakan suatu sikap yang aktif,
terbuka dan terarah kepada kerajaan Allah, yang dilandasi dengan sikap
kerendahan hati, dan suatu penyesalan yang mendalam karena telah berdosa dan
menyadari diri sebagai makhluk lemah.193
Allah adalah pembebas. Hal ini tampak dalam keberpihakan Allah
terhadap kaum miskin, lemah, menderita dan terpinggirkan dalam kehidupan
bermasyarakat. Allah terlibat dalam setiap kesulitan yang dialami kaum miskin,
karena ia sungguh berpihak terhadap mereka. Keberpihakan Allah terhadap kaum
191
Mathias Daven, op. cit., hlm. 181. 192
A. Suryawasita, op. cit., hlm. 57. 193
Ibid.
80
miskin dalam Perjanjian Lama nyata dalam diri wakil-wakil-Nya seperti Musa
dan para nabi yang diutus-Nya, lalu disempurnakan dalam diri Putra-Nya Yesus
Kristus dalam Perjanjian Baru. Menurut Frans Harjawiyata, perjuangan
pembebasan Allah yang telah terjadi melalui para nabi dan Yesus merupakan
warisan yang sangat besar bagi Gereja untuk menjalankan panggilannya di tengah
dunia yakni pembebasan kaum miskin.194
Oleh karena itu, Gereja dituntut untuk
secara konsekuen membela hak-hak kaum miskin, lemah, menderita dan
terpinggirkan.
Pernyataan Harjawiyata di atas tadi juga senada dengan Congar, bahwa
ajaran untuk mengasihi Tuhan dan sesama dalam Kitab Suci sebenarnya mau
menunjukkan bahwa Gereja dalam ziarahnya di dunia ini tidak hanya fokus
berelasi dengan Allah, tetapi juga dipanggil untuk sesama yang miskin dan
menderita.195
Hal ini nyata dalam ajaran dan tindakan Yesus ketika selama
berkeliling mengajar di Palestina, Ia memilih untuk mengutamakan kaum miskin
dan makan bersama dengan mereka. Ajaran Yesus dalam Injil Markus 10: 21
berbunyi: “hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kau miliki
dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di
sorga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku.” Tindakan Yesus yang
istimewa terhadap orang berdosa yang diidentikkan dengan orang miskin terdapat
dalam Injil Matius 9: 11 dilukiskan: “pada waktu orang Farisi melihat hal itu,
berkatalah mereka kepada murid-murid Yesus: „mengapa gurumu makan
bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?”196
Tindakan Yesus ini menjadi model bagi perjuangan Gereja dalam
keberpihakannya terhadap kaum miskin. Gereja tidak cukup hanya dengan praktik
kesalehan, juga tidak hanya dengan nasihat-nasihat biblis tentang kebahagiaan
eskatologis, tetapi juga harus terlibat secara langsung dalam membebaskan kaum
miskin. Partisipasi Gereja dalam pemebasan kaum miskin sebagaimana telah
194
Frans Harjawiyata (ed.), op.cit., hlm. 52. 195
Y. Congar, Gereja Hamba Kaum Miskin, penerj. R. Hardjono (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1973), hlm. 90. 196
Orang berdosa dalam konteks Kitab Suci termasuk kaum miskin, lemah, dan
terpinggirkan. Oleh karena itu, bagi orang Farisi pergaulan Yesus dengan orang berdosa
merupakan suatu bentuk tindakan najis.
81
diamanatkan Yesus harus tetap dijalankan dengan setia, agar kehadiran Gereja
sungguh berdampak transformatif bagi kaum miskin.
3.5.3 Tujuan Pembebasan
3.5.3.1 Tujuan Kini
Tujuan kini merupakan hasil yang harus dicapai saat ini. Hal ini
menunjukkan sesuatu yang hadir di sini dan kini. Pembebasan yang mau dicapai
dalam konteks ini adalah keluarnya manusia dari situasi kemiskinan dan
kemelaratan menuju situasi mapan, situasi yang wajar dan manusiawi. Perjuangan
ini dapat terwujud bila menempatkan kaum miskin sebagai subjek dan objek
pembebasan. Sebagai subjek dan objek pembebasan, kaum miskin sendirilah yang
menjadi pelopor pembebasan dan berani melangkah keluar dari situasi yang
sedang dialami, meskipun pada saat yang sama membutuhkan bantuan dari pihak
lain.197
Pembebasan benar-benar terwujud bilamana harkat dan martabat setiap
orang diperlakukan secara setara. Hal ini dapat dilakukan dengan memberantas
setiap sistem yang tidak adil, baik sistem ekonomi, politik, sosial maupun budaya.
Akar dari kemiskian adalah sistem yang tidak adil, sehingga setiap orang yang
lahir dalam sistem tersebut mengalami kesulitan untuk menikmati hidup secara
setara. Perjuangan individu untuk keluar dari sistem yang ada akan terasa sia-sia
karena ia masih hidup dalam sistem yang ada.198
Satu-satunya jalan keluar yang bisa ditempuh untuk mencapai pembebasan
adalah memperbaiki struktur yang ada. Struktur ekomomi yang tidak adil
sebagaimana ditunjukkan oleh ekonomi neoliberal, telah melahirkan kesenjangan
yang semakin tajam antara negara-negara Eropa dengan negara-negara di Dunia
Ketiga199
. Hal ini terjadi karena negara-negara Eropa bertindak sebagai produsen,
sedangkan negara-negara Dunia Ketiga hanya sebagai konsumen. Selain itu,
197
J.B. Banawiratma, “Analisis Sosial dan Pembebasan: Refleksi Teologis”, dalam J.B.
Banawiratma (ed.), Kemiskinan dan Pembebasan, op. cit.,133. 198
J.B. Banawiratma dan J. Muller, op. cit., hlm. 203. 199
Dunia Ketiga merupakan nama yang diberikan kepada negara-negara yang belum
maju serta masih tertinggal jauh dari proses perkembangan. Mereka tidak cukup ambil bagian
dalam perkembangan mondial. Umumnya mereka dilukiskan sebagai negara yang ketinggalan
dalam proses perkembangan sosial, ekonomi, dan politik. A. Suryawasita, op.cit., hlm. 1.
82
struktur politik yang cenderung mengarah kepada totaliter dapat menyebabkan
terjadinya kemiskinan. Kemiskinan terjadi manakalah kepentingan masyarakat
tidak menjadi prioritas dalam setiap kebijakan yang dibuat.
Cita-cita pembebasan di sini dan kini baru akan terwujud apabila sekat-
sekat yang membagi manusia ke dalam kelompok-kelompok dibongkar sampai
tuntas. Hal ini ditandai dengan kesejahteraan ekonomi yang merata, pendidikan
dinikmati semua orang, pelayanan kesehatan yang memadai, kebebasan untuk
berpendapat dijamin, dan hak asasi manusia ditegakan.
3.5.3.2 Tujuan Eskatologis
Menurut pandangan Kristen, perjuangan pembebasan tidak hanya
mencakup tujuan masa kini, tetapi juga mempunyai dimensi eskatologis.
Eskatologi menurut Karl Rahner seperti dikutip Remigius Ceme adalah ajaran
tentang hal-hal terakhir, tetapi sesungguhnya merupakan ajaran tentang manusia
sejauh ia adalah makhluk yang terbuka kepada masa depan yang disediakan Allah
sendiri yang sifatnya absolut.200
Hal ini secara nyata ditunjukkan dalam diri
Yesus. Misi Yesus selama berada di dunia adalah membebaskan manusia dari
penderitaan dan dosa. Pembebasan yang diperjuangkan Yesus tidak hanya untuk
masa kini, tetapi mempunyai dimensi eskatologis.
Menurut Leonardo Boff, Yesus merupakan tokoh pembebas utama yang
membebaskan manusia dari situasi tertindas.201
Boff berpendapat bahwa sikap dan
tindak laku Yesus menampilkan wujud konkret Kerajaan Allah dan
mengejawantahkan cinta Bapa.202
Wujud Kerajaan Allah yang diperjuangkan
Yesus selama di dunia ini adalah membongkar sekat-sekat yang membuat
manusia hidup dalam pelbagai kelompok yang melahirkan ketidakadilan. Proyek
pembebasan yang dikerjakan Yesus merupakan antisipasi akan kesempurnaan
pada masa eskatologis, di mana tidak ada lagi penindasan, penderitaan, dan kaum
miskin.
200
Remigius Ceme, Hidup yang Sesungguhnya (Maumere: Penerbit Ledalero, 2017), hlm.
48. 201
Leonardo Boff, Yesus Kristus Pembebas, penerj. Aleksius Armanjaya dan G.
Kirchberger (Maumere: LPBAJ, 2000), hlm. 34. 202
Ibid.
83
Selain itu, kehadiran Yesus di tengah dunia merupakan tanda kehadiran
Allah secara nyata. Allah dalam diri Yesus mau menyapa umat-Nya secara
langsung. Hal ini merupakan wujud kepedulian Allah kepada manusia, khususnya
bagi manusia yang tertindas dan berada di bawah kuasa dosa. Setiap kali Yesus
melakukan mukjizat, pada saat itulah Allah hadir dan menunjukkan kebesaran
serta kuasa-Nya yang membebaskan.203
Oleh karena itu, tujuan eskatologis pembebasan kaum miskin merupakan
suatu persiapan akan masa yang akan datang. Hal ini ditandai dengan kehadiran
Yesus yang adalah subjek pembebasan. Kehadiran Yesus hendak membongkar
tatanan kehidupan bermasyarakat pada masanya yang tidak adil. Pembebasan
eskatologis memang benar-benar terwujud pada masa yang akan datang, tetapi
pembebasan itu sudah mulai terwujud pada masa kini dan di sini.204
Pembebasan
di sini dan kini merupakan suatu antisipasi akan pembebasan eskatologis,
sehingga kita diarahkan untuk menantikan kesempurnaan itu.
203
J.B. Banawiratma, “Analisis Sosial dan Pembebasan: Refleksi Teologis”, dalam J.B
Banawiratma, (ed.), Kemiskinan dan Pembebasan, op. cit., hlm. 139. 204
Georg Kirchberger, Allah Menggugat, Sebuah Dogma Kristiani (Maumere: Penerbit
Ledalero, 2007), hlm. 392.
84
BAB IV
PERAN GEREJA KEUSKUPAN RUTENG DALAM MEMBEBASKAN
KAUM MISKIN
Pada bab III telah diuraikan secara panjang lebar tentang kaum miskin.
Setelah itu dijelaskan pula beberapa karakteristik yang dimiliki kaum miskin yang
dapat menjadi sebuah indikator untuk menentukan siapa itu kaum miskin. Selain
itu, untuk mengetahui kemiskinan yang sangat kompleks dijelaskan pula jenis-
jenis kemiskinan yang dialami kaum miskin. Kemiskinan tidak muncul dengan
sendirinya, sehingga dijelaskan pula sebab-sebab timbulnya kemiskinan. Setelah
itu, dijelaskan pembebasan kaum miskin yang menjadi misi Gereja yang dilandasi
dengan dasar-dasar perjuangan Gereja dalam usaha membebaskan kaum miskin.
Pada bab IV ini akan dijelaskan peran Gereja Keuskupan Ruteng dalam
membebaskan kaum miskin.
4.1 Gereja Keuskupan Ruteng dalam Konteks Membebaskan Kaum
Miskin
Pada hakekatnya, Gereja adalah persekutuan orang yang beriman kepada
Kristus. Wujud iman kepada Kristus itu, ditunjukkan melalui kesaksian hidup
sesuai dengan ajaran Kritus sendiri. Menjadi pengikut Kristus juga terwujud
dalam turut melakukan apa yang sudah dilakukan oleh Yesus Kristus. Itu berarti
bahwa menjadi pengikut Kristus harus masuk dalam gerakan yang sudah
dimulaiNya, berlaku dan bertindak sebagaimana yang dilakukan oleh Yesus
sepanjang hidupNya di dunia ini.205
Misi Yesus selama berkarya di dunia ini adalah mewartakan Kerajaan
Allah. Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus itu, sudah mulai menyata ketika
205
J.B. Banawiratma (ed.), Spiritualitas Transformatif (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1990), hlm. 69.
85
Yesus mengadakan mukzijat penyembuhan terhadap orang yang sakit maupun
yang kerasukan setan. Selain itu, Kerajaan Allah juga menyata dalam tindakan
Yesus yang menyapa dan mendekatkan diri pada orang-orang pinggiran, termasuk
kaum miskin. Kaum miskin mendapat tempat istimewa dalam karya pelayanan
Yesus. Hal ini secara nyata dilihat dalam sabda bahagia yang diucapkan Yesus
(Luk.6:20-23). Dengan demikian, menjadi jelas apa yang ditegaskan dalam Lumen
Gentium nomor 3 bahwa tujuan pewartaan Yesus agar semua orang dipanggil ke
arah persatuan dengan Kristus itu, sebab kita berasal dari-Nya, hidup karena-Nya,
menuju kepada-Nya.206
Meski demikian, pemenuhan defenitif janji Kerajaan Allah baru terlaksana
pada saat yang akan datang. Namun, bukan berarti pewartaan Yesus hanya
sekadar hiburan semata. Karya pembebasan Yesus selama berada di dunia ini
merupakan suatu bentuk persiapan menuju keselamatan kekal itu. Selanjutnya
misi Yesus ini, diteruskan kepada Gereja melalui para rasul-Nya. Gereja diberi
tugas untuk mewartakan Kerajaan Allah kepada dunia. Pewartaan itu harus
bersifat membebaskan dan bukannya membelenggu umat manusia.
Gereja Keuskupan Ruteng dalam konteks ini memiliki panggilan yang
sama, yakni mewartakan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah yang diwartakan Gereja
Keuskupan Ruteng harus bersifat kontekstual. Hal ini berarti bahwa seluruh karya
pewartaan Gereja harus berdasarkan pada realitas kehidupan umat Keuskupan
Ruteng. Dalam konteks Gereja Keuskupan Ruteng, salah satu realitas yang
mewarnai sejarah perjalanannya adalah kemiskinan. Gereja Keuskupan Ruteng
telah memasuki usia satu abad. Usia seperti ini menandakan kematangan dan
kemadirian, sebab dilihat dari jumlah umat, sebagian besar masyarakat Manggarai
adalah umat Katolik sehingga Gereja mengalami kemudahan dalam karya
pastoralnya. Akan tetapi beberapa kenyataan ironis tetap muncul, di tengah
rentetan keberhasilan yang mewarnai sejarah perjalanannya, ternyata masih
terdapat begitu banyak kekurangan yang dialami Gereja Keuskupan Ruteng yang
mesti dibenah, dan salah satunya adalah masalah kemiskinan.
206
Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, No. 3, penerj. R.
Hardawirayana, op. cit., hlm. 71.
86
Menghadapi realitas kemiskinan yang dialami umat Kesukupan Ruteng,
Gereja dituntut untuk bekerja lebih keras dan berjuang bersama umat untuk
memberantas kemiskinan yang dialami umatnya. Pilihan membebaskan kaum
miskin merupakan bentuk partisipasi Gereja dalam misi Yesus. Gereja harus
berani menyapa umatnya yang miskin dan berjuang membebaskan kaum miskin,
agar kaum miskin sungguh merasakan kehadiran Kerajaan Allah yang diwartakan
Gereja itu. Gereja juga harus mendahulukan kaum miskin dalam karya
pewartaannya. Hal ini tidak berarti bahwa orang kaya tidak mendapat perhatian
dari Gereja, tetapi pilihan mendahulukan kaum miskin merupakan bentuk
solidaritas Gereja terhadap mereka yang terpinggirkan dan miskin agar mereka
memiliki martabat yang setara dengan yang lainnya.
Pilihan Gereja Keuskupan Ruteng atas kaum miskin mau menegaskan
bahwa Gereja tidak hanya berfokus pada kehidupan liturgis semata. Hal ini berarti
iman kepada Allah harus memiliki matra sosial, artinya Gereja tidak boleh
menutup diri atau bersembunyi di balik kesalehannya, tetapi Gereja harus berani
terlibat dengan realitas sosial yang tidak adil. Gereja harus berani menunjukkan
kesaksian imannya di tengah dunia, sebagaimana Yesus yang datang tidak hanya
berkata-kata saja, tetapi Ia juga berbuat. Maka Gereja juga harus berani
melaksanakan setiap ajaran yang telah diwartakan-Nya. Oleh karena itu, Gereja
Keuskupan Ruteng sependapat dengan Paul Budi Kleden, bahwa Gereja di sini
dituntut untuk beriman dengan mata terbuka, sehingga mampu melihat pelbagai
tantangan dalam kehidupan umatnya dan menangkap pelbagai peluang untuk
mengatasi tantangan tersebut.207
Usaha membebaskan kaum miskin bukanlah pekerjaan yang mudah untuk
dilakukan, sehingga menjadi jelas bahwa Gereja Keuskupan Ruteng tidak dapat
bekerja sendirian. Itu berarti bahwa Gereja harus terbuka untuk bekerja sama
dengan pelbagai pihak, sehingga setiap usaha yang bertujuan untuk membebaskan
kaum msikin dapat berjalan dengan baik dan efektif. Namun, satu hal yang perlu
diingat bahwa usaha yang dilakukan Gereja Keuskupan Ruteng tidak bermaksud
untuk menggantikan peran negara atau pemerintah. Tetapi sebagai salah satu
207
Paul Budi Kleden, op. cit., hlm.134.
87
institusi yang berada dalam suatu negara, Gereja wajib menjalankan tugasnya
untuk membebaskan kaum miskin agar mereka dapat mengekspresikan dirinya
sebagaimana mestinya.
4.2 Usaha-Usaha Gereja Keuskupan Ruteng dalam Membebaskan Kaum
Miskin
Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang sangat kompleks
untuk dikaji dan diatasi. Hal ini menuntut tindakan yang besar dan kekuatan yang
besar pula. Menyadari kompleksitas masalah kemiskinan ini, maka yang dituntut
adalah melakukan pelbagai upaya yang memungkinkan agar masalah kemiskinan
ini dapat diatasi. Tujuan utama dari semua usaha ini adalah agar kaum miskin
dapat dibebaskan dari persoalan yang sedang mereka alami. Oleh karena itu,
berikut diuraikan beberapa upaya yang dapat dilakukan Gereja Keuskupan Ruteng
dalam membebaskan kaum miskin.
4.2.1 Pastoral Transformatif
Menurut J. B. Banawiratma, pastoral transformatif merupakan suatu visi
untuk mewujudkan Kerajaan Allah. Visi tentang Kerajaan Allah berkaitan erat
dengan panggilan dan pengutusan dari Allah.208
Gereja dipanggil dan diutus Allah
untuk menjadi agen transformasi sosial di tengah dunia. Pastoral transformatif
merupakan salah satu dari beberapa model pastoral Gereja dan merupakan
penyempurnaan dari beberapa model tersebut. Beberapa model pastoral Gereja
berdasarkan Hasil Sidang Pastoral Keuskupan Ruteng 2019209
, yakni pertama,
pastoral karitatif. Pastoral karitatif adalah tindakan langsung menolong orang
yang miskin dan menderita seperti memberi makan kepada orang lapar,
mengunjungi yang sakit dan memberi pertolongan bagi orang yang bersusah.
Model ini merujuk pada perbuatan belas kasih yang bersifat kedermawanan atau
pemberian secara sukarela.
Kedua, pastoral reformatif. Pastoral ini menekankan pemberdayaan,
pengembangan dan penguatan orang miskin dan sengsara sehingga mandiri untuk
208
J.B. Banawiratma (ed.), Spiritualitas Transformatif, op. cit., hlm. 58. 209
Mgr. Silvester San, “Hasil Sidang Pastoral Keuskupan Ruteng 2019” dalam
http://www.indonesiakoran.com/news/nusantara/read/80537/hasil.sidang.pastoral.keuskupan.ruten
g..2019, diakses pada 12 Februari 2020.
88
mencukupi kebutuhan hidupnya. Pendekatan yang digunakan dalam pastoral
reformatif berupa community development. Community development adalah
sebuah usaha menghasilkan aset-aset yang dapat meningkatkan kapasitas
penduduk demi memperbaiki kualitas hidup mereka. Adapun nilai-nilai yang
terkandung dalam communnity development adalah keadilan, kesetaraan,
akuntabilitas, partisipasi, kerja sama dan proses belajar yang berkelanjutan.210
Beberapa contoh community development yakni pembangunan pusat kesehatan,
pendidikan dan pelatihan, koperasi kredit, pemberdayaan kelompok tani,
kelompok migran, dan kelompok difabel. Dalam hal ini orang “tidak hanya diberi
ikan tetapi juga kail untuk menangkap ikan”.
Ketiga, pastoral transformatif. Pastoral ini terungkap dalam tindakan untuk
melayani umat manusia secara multi-dimensional (roh, jiwa dan tubuh) dan multi-
sektoral (ekonomi, politik, kultural, pendidikan, dan hukum). Pastoral model ini
bukan terutama melayani orang per orang melainkan pelayanan secara komunal
untuk mengubah sistem dan struktur yang tidak adil dan menindas dalam
masyarakat menuju kehidupan sosial yang manusiawi dan bermartabat.
Lebih lanjut Banawiratma menguraikan bahwa pastoral transformatif
terjadi melalui pola refleksi-aksi-refleksi-aksi terus-menerus.211
Pola ini dapat
dilukiskan melalui beberapa tahap. Pertama, menyadari visi melalui refleksi.
Adapun nilai-nilai yang direfleksikan sebagai landasan perjuangan pada tahap ini
yakni Kerajaan Allah, penyelamatan, dan transformasi yang membebaskan.
Kedua, melibatkan diri dalam aksi. Aksi yang diperjuangkan meliputi keadilan,
perdamaian, keharmonisan ciptaan Allah dan memelihara kesejahteraan dunia.
Ketiga, bersama-sama menguji, mencari dan memperdalam visi, yang berakhir
dengan aksi lanjut pada tahap keempat. Dalam aksi lanjut ini yang dibuat adalah
mencari alternatif tindakan praktis untuk mengubah struktur dan sistem yang tidak
adil.
210
Rhonda Phillips dan Robert H. Pittman (ed.), An Introduction to Community
Development (Abingdon: Routledge, 2009), hlm. 10. 211
J.B. Banawiratma (ed.), Spiritualitas Transformatif, op. cit., hlm. 76.
89
Gereja Keuskupan Ruteng dalam karya pastoralnya dituntut untuk
melampaui kedua karya pastoral sebelumnya yakni pastoral karitatif dan pastoral
reformatif. Hal ini disebabkan karena untuk menciptakan tatanan masyarakat yang
terbebas dari kemiskinan perlu diberantas akar dari persoalannya. Akar dari
persoalan kemiskinan yang dialami kaum miskin adalah struktur sosial yang tidak
adil, yang mengorbankan kaum miskin. Struktur ekonomi kapitalisme neoliberal
misalnya merupakan salah satu akar penyebab kemiskinan di Manggarai. Dengan
demikian Gereja Keuskupan Ruteng harus berani mengambil langkah
transformatif.212
Gereja Keuskupan Ruteng mesti berani melakukan transformasi sosial,
baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Gereja Keuskupan
Ruteng harus berani berjuang bersama kaum miskin untuk mengubah struktur
sosial yang tidak adil yang menciptakan perpecahan menuju Umat Allah yang
satu dan setara. Perjuangan Gereja Keuskupan Ruteng dengan demikian akan
menghasilkan suatu tatanan kehidupan masyarakat atau umat yang baru. Oleh
karena itu, visi Kerajaan Allah yang diwartakan Gereja akan menjadi relevan
apabila perjuangannya membuahkan hasil yang nyata.
4.2.2 Mewartakan Kabar Gembira
Kabar gembira yang dibawa Yesus adalah mewujudkan Kerajaan Allah.
Gambaran Kerajaan Allah adalah Allah yang meraja, yang membebaskan manusia
dari segala belenggu yang mengikatnya. Dari pihak manusia, dibutuhkan
keterbukaan, sebagai jawaban atas karya Allah ini. “Kabar baik bagi yang miskin,
pembebasan bagi yang ditahan, penglihatan bagi yang buta, pembebasan bagi
yang tertindas” merupakan tanda atau wujud hadirnya Kerajaan Allah itu (Luk
212
Salah satu jalan alternatif yang perlu dilakukan Gereja Keuskupan Ruteng dalam
mengubah struktur ekonomi yang tidak adil di Manggarai adalah melalui gerakan Ekonomi Baku
Peduli. Ekonomi Baku Peduli didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, solidaritas, dan
kelestarian alam serta keadilan. Melawan sistem eksploitasi untung karena orang lain rugi.
Ekonomi Baku Peduli mengandung unsur care yang resiprokal. Ekonomi ini tidak semata-mata di-
drive oleh pemburuan untung atau profit. Untung memang dikejar, tetapi harus bersamaan dengan
tanggung jawab akan tata kehidupan bersama yang lebih baik. Uraian lengkap tentang ekonomi
baku peduli dapat dilihat dalam Cypri Djehan Paju Dale, Kuasa Pembangunan dan Pemiskinan
Sistematik, op. cit., hlm. 172-176. Lihat juga Cypri Jehan Paju Dale, “Ketidakadilan dalam Segelas
Kopi Manggarai, Senjakala Kapitalisme Neoliberal, dan Ekonomi Baku Peduli”, dalam Rikard
Rahmat (ed.), Gereja Itu Politis. op. cit., hlm. 137-140.
90
4:18-19).213
Inilah misi Yesus yang dilaksanakan dalam seluruh hidup-Nya, lewat
kata dan tindakan, lewat tanda-tanda heran yang dibuat-Nya. Di situlah kiranya
jelas bahwa Yesus membawa kabar gembira bagi kaum miskin, tersingkir dan
terlupakan.
Menurut Hortensius Mandaru, kaum miskin inilah yang menjadi alamat
pewartaan kabar gembira Yesus.214
Lebih jauh Mandaru menegaskan bahwa kaum
miskin dipilih bukan karena kondisi material mereka ataupun sikap hati mereka,
tetapi karena Kerajaan Allah adalah kerajaan keadilan yang akan mengakhiri
semua bentuk ketidakadilan, penindasan dan penderitaan.215
Itu berarti bahwa
keselamatan tidak berasal dari kemiskinan atau kaum miskin, tetapi dari Allah
yang sekarang mulai meraja di dalam diri Yesus.
Gereja Keuskupan Ruteng dalam usahanya mewartakan kabar gembira
harus mampu membebaskan kaum miskin dari kemiskinan. Itu berarti bahwa
pewartaan yang diberikan Gereja Keuskupan Ruteng harus mampu mewujudkan
transformasi dalam diri umat. Umat yang disapa Gereja dengan kabar gembira
Yesus harus menikmati pembebasan dan pada akhirnya mereka mengalami kasih
Allah. Dengan demikian kehadiran Gereja dalam hal ini juga bukan menjadi
problem bagi Umat Allah, khususnya kaum miskin. Setiap orang yang disapa oleh
Gereja harus mengalami pembebasan dari setiap belenggu. Gereja juga harus bisa
mewujudkan Kerajaan Allah di tengah dunia melalui misi luhurnya mewartakan
kabar gembira Yesus Kristus. Oleh karena itu, agar Gereja tetap berada pada jalan
panggilannya, maka ia harus selalu menimba kekuatannya dalam terang Yesus
Kristus sumber kabar gembira itu.
213
J.B. Banawiratma, dan J. Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, Kemiskinan sebagai
Tantangan Hidup Beriman, op. cit., hlm. 283. 214
Hortensius Mandaru, Solidaritas Kaya Miskin Menurut Lukas (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1992), hlm. 162. 215
Ibid.
91
4.2.3 Bersolider dengan Kaum Miskin
Solidaritas bagi Paulo Freire berarti menuntut agar orang masuk ke situasi
orang lain dan ini adalah gerakan radikal.216
Prinsip dasar solidaritas adalah
menekankan hakikat sosial yang intrinsik dari pribadi manusia, kesetaraan semua
orang dalam martabat dan hak-hak serta jalan bersama individu-individu dan
bangsa-bangsa menuju kesatuan yang semakin kokoh.217
Solidaritas sejati tehadap
kaum miskin berarti berjuang di sisi mereka untuk mengubah kenyataan objektif
yang menciptakan kaum miskin tersebut. Sikap solidaritas sejati itu dapat
ditemukan dalam pribadi Yesus. Sikap solidaritas Yesus ini ditemukan dalam
tanda perjamuan malam terakhir di mana Yesus memberi contoh tentang
kerendahan hati, kemerdekaan, dan cinta kasih. Menurut Longginus Farneubun,
seluruh hidup Yesus mengungkapkan solidaritas kepada kaum miskin, kaum
tertindas, dan yang mengalami penderitaan karena praktik ketidakadilan dalam
masyarakat. Puncak dari solidaritas Yesus kepada kaum miskin dan tertindas
adalah ketika Ia dipaku di kayu salib, lambung-Nya ditikam dengan tombak dan
wafat.218
Solidaritas yang ditunjukkan Yesus merupakan dasar bagi Gereja
Keuskupan Ruteng dalam menumbuhkan sikap solider-Nya terhadap kaum miskin
dan tertindas. Hal ini secara tegas dikemukakan oleh Hortensius Mandaru bahwa
dasar solidaritas Kristen bukanlah cita-cita kemiskinan asketik ataupun sistem
komunistik yang mewajibkan, tetapi semata-mata cinta kasih kepada sesama yang
miskin dan menderita.219
Ada banyak hal yang dapat dilakukan Gereja Keuskupan
Ruteng sebagai ungkapan solider terhadap sesama yang miskin dan menderita.
Salah satu bentuk sikap solider yang ditunjukkan Gereja Keuskupan Ruteng
adalah melalui aksi puasa pembangunan (APP). APP merupakan gerakan
persekutuan hidup umat Katolik untuk menghadirkan semangat solidaritas
216
Paulo Freire, “Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan”,
dalam Omi Intan Naomi (penyunt.), Menggugat Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998),
hlm. 440. 217
Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, Kopendium Ajaran Sosial Gereja,
penerj. Yosef Maria Florisan, Paul Budi Kleden, dan Otto Gusti Madung (Maumere: Penerbit
Ledalero, 2009), hlm. 131. 218
Longginus Farneubun, “Gereja Kaum Miskin”, Media, 1/VII (Oktober 2012), hlm. 45. 219
Hortensius Mandaru, Solidaritas Kaya Miskin Menurut Lukas, op. cit.,hlm. 168.
92
kristiani. Solidaritas Allah membuat keselamatan menjadi nyata bagi manusia dan
seluruh dunia. Gereja mengimani bahwa Yesus wafat demi keselamatan
manusia.220
APP mendidik umat Katolik untuk bertobat dan bersolider, sehingga pada
akhirnya tercapai persaudaraan sejati di antara umat manusia. Karena itu, hasil
yang dinantikan dari sebuah APP adalah aktualisasi iman kristiani dalam bentuk
pembaharuan diri yang semakin sesuai dengan jati dirinya yang sejati. Dana APP
merupakan ungakapan konkret dari semangat pertobatan dan niat-niat baik dari
umat yang berpantang dan berpuasa. Selain itu, APP juga sebagai ungkapan
solidaritas umat Gereja terhadap sesama yang ditimba dari solidaritas Allah
terhadap manusia. Secara tradisional derma APP diperuntukkan bagi kaum
miskin.221
Tujuan utama APP adalah untuk meringankan kebutuhan sesama yang
berkekurangan. Meski demikian dalam perkembagan selanjutnya bantuan ini
mengarah kepada pembangunan. Pembangunan di sini menjadi bentuk proses
menuju kemandirian umat. Usaha-usaha yang dilakukan bercorak edukatif-
produktif. Intinya tetap berkisar pada konteks “preferential option for (and with)
the poor dan oppressed”. Itu berarti bahwa, mendahulukan kaum miskin dan
tertindas, memperjuangkan keadilan, keutuhan ciptaan, kesejahteraan umum,
merupakan wujud kesetiaan kepada ajaran Yesus.222
4.2.4 Live In
Live in berarti tinggal bersama (ada di dalam). Hal ini berarti bahwa
Gereja (para pemimpin Gereja) turun ke tengah umat untuk tinggal dan turut
merasakan suka dan duka yang dialami umatnya. Gereja akan turut merasakan
penderitaan yang dialami kaum miskin hanya bila ia terjun secara langsung di
tengah kaum miskin. Atas dasar inilah Banawiratma dan Muller berpendapat
220
Fajar Kristianto, “Efektivitas Pemanfaatan Dana APP di Paroki Santo Yohanes Rasul
Wonorigi Tahun 2010-2011”, Orientasi Baru, 1/XXV (April 2016), hlm. 39. 221
Ibid., hlm. 40. 222
Ibid., hlm. 41.
93
bahwa realitas kemiskinan hanya bisa dialami sebagai keprihatinan dan tantangan
oleh orang yang berani memasuki dunia kaum miskin.223
Senada dengan Banawiratma dan Muller, Paus Fransiskus dalam surat
untuk hari orang sakit sedunia tahun 2019 secara gamblang melukiskan perhatian
Gereja terhadap kaum miskin. Dalam suratnya Paus Fransiskus menegaskan
bahwa:
Kadang-kadang, sangat sedikit yang dibutuhkan untuk memulihkan
pengharapan. Cukup berhenti sejenak, tersenyum dan mendengarkan. Untuk
kali ini, marilah kita mengesampingkan data angka-angka: kaum miskin
bukanlah data angka-angka yang dikutip ketika membanggakan karya dan
rancangan kita. Kaum miskin adalah orang-orang yang harus dijumpai;
mereka kesepian, tua dan muda, diundang ke tempat tinggal kita untuk ikut
makan; pria, wanita dan anak-anak yang mencari kata yang ramah.224
Hadirnya Gereja di tengah kaum miskin, dapat menjadi kesempatan untuk
menyapa mereka yang terpinggirkan, dan turut mendorong Gereja untuk
mengubah paradigma berpikirnya tentang kaum miskin. Hal ini dapat ditunjukkan
melalui kebijakan yang dibuat Gereja terhadap kaum miskin. Program-program
yang dibuat untuk membebaskan kaum miskin dari kemiskinan tidak hanya
rekaan belaka, tetapi berdasarkan data dan melalui pengalaman langsung. Melihat
pokok persoalan yang dialami kaum miskin secara langsung, akan membantu
Gereja untuk menentukan titik tolak pelayanannya terhadap kaum miskin.
Gereja Keuskupan Ruteng harus berani meninggalkan kemegahan
pastoran untuk mengetahui secara langsung suka dan duka umatnya. Kalau selama
ini Gereja hanya mengetahui keadaan umatnya berdasarkan data-data berupa
angka statistik, maka mulai saat ini Gereja harus terjun ke tengah umat untuk
mengalami secara langsung kehidupan umatnya. Itu berarti Gereja harus
berlangkah lebih jauh dalam membuat kebijakannya dengan tidak hanya membuat
kebijakan berpijak pada data, tetapi berusaha melihat secara langsung keadaan
umat, sebab kemiskinan yang dialami umat sangat kompleks.
223
J.B. Banawiratma dan J. Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, Kemiskinan sebagai
Tantangan Hidup Beriman, op. cit., hlm. 128. 224
Paus Fransiskus, “Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Orang Miskin Sedunia III”,
http://w2.vatican.va/content/francesco/en/events/event.dir.html/content/vaticanevents/en/2019/6/1
3/messaggio-giornatapoveri.html), diakses pada 03 Maret 2020.
94
Selain itu, hadirnya Gereja di tengah kaum miskin akan menumbuhkan
keyakinan dalam diri kaum miskin, bahwa mereka juga mendapat perhatian dari
Gereja. Keterlibatan Gereja dengan demikian akan mendapat sambutan yang baik
dari kaum miskin. Hal ini juga turut menumbuhkan harapan dalam diri kaum
miskin untuk bekerja sama dengan Gereja dalam membebaskan diri mereka dari
kemiskinan. Dengan demikian kaum miskin akan siap melaksanakan secara
proaktif kebijakan yang diambil Gereja untuk membebaskan mereka dari
belenggu kemiskinan. Di sisi lain, Gereja juga tidak mengalami kesulitan dalam
menjalankan usahanya untuk membebaskan kaum miskin dari situasi mereka.
Oleh karena itu, dengan melakukan live in, kebijakan Gereja dalam membebaskan
kaum miskin dari belenggu kemiskinan akan tepat sasaran dan dirasakan langsung
oleh kaum miskin.
4.2.5 Pola Penyadaran
Paulo Freire sebagaimana dikemukakan oleh Roem Topatimasang, dkk.,
menggolongkan kesadaran manusia ke dalam tiga tahap225
yakni pertama,
kesadaran magis, yaitu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui
kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya, kaum miskin yang tidak
mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan.
Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun
supranatural) sebagai penyebab ketakberdayaan. Kedua, kesadaran naif. Keadaan
yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah melihat „aspek manusiawi‟ sebagai
akar penyebab masalah masyarakat. Itu berarti bahwa dalam menganalisis
penyebab kemiskinan masyarakat, kesalahannya terletak pada masyarakat sendiri.
Masyarakat dianggap malas, tidak memiliki kewiraswastaan atau tidak memiliki
budaya membangun. Ketiga, kesadaran kritis. Kesadaran ini lebih melihat sistem
dan struktur sebagai sumber masalah utama. Itu berarti bahwa masalah
kemiskinan yang dialami kaum miskin berasal dari struktur ekonomi, sosial,
politik dan budaya yang tidak adil.
225
Roem Topatimasang, Toto Rahardjo, dan Mansour Fakih (penyunt.), Pendidikan
Populer, Membangun Kesadaran Kritis (Jogjakarta: INSISTPress, 2005), hlm. 28-30.
95
Pola penyadaran di sini sangat penting dalam membebaskan kaum miskin
dari belenggu kemiskinan. Sebagian besar masyarakat atau umat yang ada di
Manggarai masih berada pada level kesadaran magis dan kesadaran naif. Hal ini
dapat dilihat dari reaksi yang mereka berikan atas kemiskinan yang mereka alami.
Terkadang mereka mengeluh atas situasi yang mereka alami, tetapi mereka tidak
mengetahui sebab dari kemiskinan yang mereka alami. Mereka juga dituduh
sebagai masyarakat yang tidak mampu berwiraswasta, karena memang pendidikan
mereka rendah. Akhirnya kenyataan ini mereka terima sebagai kenyataan terberi.
Sebagian besar masyarakat Manggarai adalah petani, tetapi akhir-akhir ini
profesi ini mulai ditinggalkan. Para petani yang ada di Manggarai sudah mulai
frustrasi dengan profesi sebagai petani. Kenyataan ini dilukiskan oleh Benediktus
Kalakoe bahwa kebanggaan sebagai seorang petani tidak ada dalam masyarakat
petani Manggarai. Anak-anak muda mulai menjual lahan pertanian mereka,
membeli motor, dan beralih profesi menjadi tukang ojek. Selain itu, ada juga yang
memutuskan untuk merantau ke luar daerah atau ke luar negeri walaupun mereka
tidak tahu apa yang akan mereka kerjakan sampai di sana.226
Semua hal di atas
tidak terlepas dari kenyataan bahwa kemiskinan yang mereka alami terjadi secara
natural juga karena kesalahan mereka sendiri.
Menghadapi situasi kemiskinan yang dialami masyarakat atau umat
Keuskupan Ruteng, perjuangan Gereja ke depannya adalah memberikan
kesadaran kritis. Gereja Keuskupan Ruteng harus menunjukkan kepada umatnya
akar dari persoalan yang sedang mereka alami saat ini. Akar persolan yang
menyebabkan kemiskinan dalam hal ini adalah struktur dan sistem yang tidak adil.
Oleh karena itu, tugas Gereja Keuskupan Ruteng harus mampu memberikan
kesadaran kritis terhadap umatnya, agar umatnya bisa melihat situasi yang mereka
alami bukan karena faktor atau keadaan luar manusia (natural), dan juga bukan
karena kesalahan mereka semata-mata, tetapi lebih jauh dari pada itu struktur dan
sistem yang tidak adil-lah yang menciptakan ketimpangan di tengah umat.
226
Benediktus Kalakoe, “Dari Gereja Miskin Amerika Latin menuju Gereja Petani
Manggarai”, dalam Rikard Rahmat (ed.), Gereja Itu Politis, op.cit., hlm. 592-593.
96
Salah satu jalan yang dapat dilakukan Gereja dalam membangun
kesadaran kritis dari umatnya selain pendidikan formal adalah melalui katekese.
Katekese yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah katekese umat. Menurut
Afra Siauwarjaya, katekese umat adalah usaha mengembangkan iman, agar umat
makin mendalam relasinya dengan Kristus secara kritis dan bertanggungjawab.227
Lebih lanjut ia menegaskan bahwa tujuan katekese umat tidak hanya berhenti
pada tahap penyadaran dalam kelompok, melainkan harus diarahkan pada
penghayatan iman dalam hidup nyata, dalam perjuangan menegakkan keadilan,
membela kaum miskin dan tertindas dalam terang Injil.228
4.2.6 Bergerak dari Pinggir
Umumnya pendekatan yang dipakai dalam mengatasi kemiskinan atau
membebaskan kaum miskin sebagaimana diuraikan Banawiratma dan Muller
yaitu pendekatan dari atas atau dari bawah.229
Hal ini mengandaikan bahwa segala
usaha yang dilakukan akan gagal, bila rakyat atau umat tidak ikut serta, maka
diperlukan pendekatan dari bawah. Tetapi semua usaha hanya bisa berhasil kalau
ada kerangka politik yang menunjang atau paling tidak memungkinkan usaha dari
bawah, sehingga pendekatan dari atas juga diperlukan.230
Meski demikian, kedua pendekatan ini belum mampu menjawabi
persoalan yang dialami kaum miskin. Apabila menggunakan pendekatan dari
bawah, maka akan ada bahaya bahwa umat terjerumus ke dalam ketidaktahuan
dan egoisme kelompok. Itu berarti bahwa basis perjuangan umat adalah demi
kepentingannya sendiri tanpa memperhitungkan kelompok yang lain atau
kebaikan semua pihak. Sedangkan bila pendekatan yang digunakan yaitu dari atas,
maka akan muncul bahaya bahwa kaum miskin hanya diperlakukan sebagai objek
pembangunan dan pelaksana perintah dari atas. Itu berarti bahwa pendapat dan
keprihatinan mereka tidak didengarkan, apalagi diikutsertakan dalam keputusan
yang sangat mempengaruhi hidup mereka.
227
Afra Siauwarjaya, Membangun Gereja Indonesia, jilid 2 (Jakarta: Penerbit Kanisius,
1987), hlm. 65. 228
Ibid. 229
J.B. Banawiratma dan J. Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, Kemiskinan sebagai
Tantangan Hidup Beriman, op. cit., hlm. 230. 230
Ibid.
97
Oleh karena itu, hendaknya Gereja memilih alternatif pendekatan lain
yakni Gereja hendaknya bergerak dari pinggir ke pusat. Hal ini berarti bahwa
pembebasan tidak dimulai dari atas lapisan tertinggi hierarki Gereja, karena para
petinggi Gereja ingin mempertahankan pengaruh mereka, juga tidak dimulai dari
bawah, karena keegoisan dan ketidaktahuan umat, tetapi dimulai dari pinggir ke
pusat. Menurut Michael Lowy, kelompok-kelompok sosial yang berada pada
lintas-silang bidang keagamaan Gereja-lah yang menjadi kekuatan pendorong
utama dari pembaharuan ini, dalam satu dan lain cara, yakni mereka yang
memang berada di pinggiran dalam hubungan kelembagaannya dengan Gereja,231
misalnya saja para imam asing atau kongregasi religius.
Perjuangan untuk menolak aktivitas pertambangan di Flores, khususnya di
Manggarai misalnya, peran Ordo Fransiskan dan SVD sangat menonjol. Kedua
serikat religius ini melalui Komisi JPIC-nya masing-masing menjadi pioneer
perjuangan tolak tambang yang menjadi perjuangan Gereja Keuskupan Ruteng
sampai saat ini.232
Itu berarti bahwa gerakan tolak tambang yang menjadi salah
satu kampanye pastoral lingkungan hidup/ekologi Gereja Keuskupan Ruteng
mendapat pengaruh dari kedua komisi ini. Gerakan tolak tambang pada awalnya
bukan berasal dari para petinggi Gereja Keuskupan Ruteng dan juga dari umat
Keuskupan Ruteng, melainkan terutama berasal dari inisiatif kedua komisi ini.
231
Michael Lowy, Teologi Pembebasan, penerj. Roem Topatimasang (Yogyakarta:
INSIST Press, 1999), hlm. 42. 232
Sejarah penolakan terhadap aktivitas pertambangan di Flores dan Manggarai
khususnya dimulai pada tahun 2008. Pioneer utama dari perjuangan ini adalah JPIC OFM
Indonesia dan JPIC SVD. Untuk menggemakan perjuangan ini dilakukan beberapa seminar
akademis, yakni seminar pertama terjadi pada tanggal 6-9 November 2008 di Detusoko, sebuah
kota kecil sekitar 25 km ke arah timur dari kota Ende di Flores tengah, yang dipioneer oleh Komisi
JPIC SVD Provinsi Ende dan JPIC OFM Indonesia. Para peserta yang menjadi sasaran dari
seminar ini adalah semua uskup dan para pemimpin tarekat religius yang berkarya di Flores.
Seminar akademis kedua, diadakan di STFK Ledalero, Maumere pada tanggal 14 Februari 2009
yang diponeer oleh Forum cendekiawan asal manggarai (FORCAM). Peserta yang menjadi
sasaran dari seminar ini adalah para mahasiswa yang belajar di STFK Ledalero dan mahasiswa/i
Akademi Perawat St. Elisabeth Lela di Kabupaten Sikka. Seminar ketiga, diadakan di Ruteng,
yang dianggap sebagai kota utama dari tiga kabupaten di Flores bagian barat, pada tanggal 23
April 2009 yang dipioneer oleh JPIC Provinsi Ruteng dan JPIC OFM Indonesia. Peserta yang
menjadi sasaran dari seminar ketiga ini adalah para tokoh agama, mahasiswa, perwakilan
pemerintah, dan tokoh-tokoh masyarakat pedesaan. Seminar akademis keempat diadakan di kota
Labuan bajo, Flores bagian barat, pada tanggal 25 April 2009 yang diselenggarakan oleh JPIC
SVD Ruteng dan JPIC OFM Indonesia, dan dihadiri oleh perwakilan pemerintah, mahasiswa,
tokoh agama dan tokoh mayarakat pedesaan. Lihat Alexander Jebadu, Bahtera Terancam Karam,
op. cit., hlm. 248-249.
98
Gerakan ini kemudian mendapat dukungan dari Gereja dan umat setelah mendapat
pencerahan dari kedua komisi ini bersama dengan organisasi-organisasi lainnya.
Bahkan gerakan yang dimulai dari pinggir ini dapat mempengaruhi pandangan
Gereja Keuskupan Ruteng, khususnya dalam dokumen sinodenya. Oleh karena
itu, menjadi jelas bahwa gerakan dari pinggir ke pusat dapat menjadi salah satu
model pendekatan sebagai alternatif dalam usaha membebaskan kaum miskin di
Keuskupan Ruteng.
4.2.7 Pendekatan Holistik
Pendekatan holistik merupakan suatu usaha membebaskan kaum miskin
dari kemiskinan dalam seluruh aspeknya hidupnya. Hal ini berarti bahwa aspek
personalitas atau martabat pribadi kaum miskin sangat dijunjung tinggi. Manusia
tidak boleh dikorbankan dalam pengejaran kepentingan ekonomi. Sebaliknya
manusia harus selalu “menjadi subjek, dasar dan tujuan” dari setiap kegiatan,
termasuk kegiatan ekonomi.233
Selain itu, pendekatan holistik juga berarti bahwa usaha membebaskan
kaum miskin mencakup pelbagai aspek baik fisik maupun non-fisik. Aspek non-
fisik mencakup psikologis dan religius.234
Hal ini mengingat kemiskinan terdapat
dalam banyak jenis, termasuk kemiskinan material maupun spiritual. Untuk
menghilangkan kemiskinan dalam segala segi kehidupan manusia perlu
melibatkan berbagai macam aspek di atas.
Gereja Keuskupan Ruteng mempunyai tugas untuk membebaskan kaum
miskin secara integral. Hal ini mengingat realitas kemiskinan di Manggarai tampil
dalam pelbagai jenis wajah yakni kemiskinan individual, struktural, material,
spiritual, mutlak dan relatif. Berhadapan dengan realitas kemiskinan ini, Gereja
harus mampu membebaskan manusia dari kemiskinan dalam pelbagai jenisnya.
Oleh karena itu, Gereja dalam usahanya harus menggunakan pelbagai pendekatan
yang mungkin. Pelbagai pendekatan ini akan semakin efektif bila Gereja terbuka
233
Sidang Sinodal KWI 2006 (I), “Habitus Baru: Ekonomi yang Berkeadilan”, Spektrum,
1/XXXV (Maret 2007), hlm. 148. 234
Paul Budi Kleden, loc. cit.
99
untuk bekerja sama dengan pelbagai pihak, sehingga usaha membebaskan kaum
miskin secara holistik dapat terwujud.
Selain Gereja Keuskupan Ruteng sebagai institusi yang berjuang
membebaskan kaum miskin, terdapat beberapa pihak yang memiliki peran yang
sangat menentukan dalam usaha membebaskan kaum miskin dari kemiskinan,
yakni pertama, diri sendiri. Usaha membebaskan kaum miskin harus dimulai dari
diri sendiri yakni para petugas pastoral. Itu berarti bahwa para petugas pastoral
mesti menghidupi semangat kemiskinan dalam kehidupan hariannya. Semangat
inilah yang menjiwai perjuangan para petugas pastoral dalam memperjuangkan
kepentingan kaum miskin. Adanya keselarasan antara perjuangan dan cara hidup
menjadi modal yang kuat bagi para petugas pastoral dalam perjuangan
membebaskan kaum miskin. Iniah yang menjadi tantangan yang harus dilewati
oleh para petugas pastoral Keuskupan Ruteng dalam usaha membebaskan kaum
miskin. Mustahil bersolider dengan kaum miskin kalau di lain pihak cara hidup
para petugas pastoral tidak sesuai dengan perjuangan yang sedang dilakukannya.
Kedua, dalam keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dalam sebuah
masyarakat. Sebagai unit yang paling kecil, keluarga menjadi dasar bagi
kehidupan masyarakat. Pembangunan yang terjadi dalam masyarakat akan
berjalan dengan baik bila melibatkan unit-unit terkecil dalam masyarakat secara
intensif. Usaha Gereja Keuskupan Ruteng dalam membebaskan kaum miskin
mesti menjadikan keluarga sebagai basis pertama. Itu berarti bahwa usaha Gereja
pertama-tama harus menjadikan keluarga sebagai sasaran utama. Dengan
menjadikan keluarga sebagai sasaran utama dalam usaha membebaskan kaum
miskin, usaha Gereja Keuskupan ruteng akan berjalan dengan efektif.
Ketiga, tokoh adat. Masyarakat Manggarai hingga saat ini masih sangat
kental dengan adat istiadat. Hal ini dapat dilihat dari setiap upacara adat yang
terjadi di Manggarai. Tidak mengherankan apabila masyarakat Manggarai hingga
saat ini lebih aktif dalam upacara adat di bandingkan kegiatan gerejani. Inilah
yang menjadi catatan evaluatif bagi Gereja Keuskupan Ruteng dalam karya
pelayanannya membebasakan kaum miskin. Dalam usaha membebaskan kaum
miskin, Gereja Keuskupan Ruteng perlu berdialog dan bekerja sama dengan para
100
tokoh adat untuk menyadarkan masyarakat dan mencari jalan yang terbaik dalam
usaha membebaskan kaum miskin dari kemiskinan. Salah satu tantangan Gereja
Keuskupan Ruteng dalam membebaskan kaum miskin adalah kebudayaan. Oleh
karena itu, hendaknya Gereja memulai karya pelayanannya dengan berdialog dan
bekerja sama dengan tokoh adat agar setiap usaha yang dilakukan Gereja dapat
diterima masyarakat dengan antusias sebagaimana halnya kegiatan budaya
setempat.
Keempat, pemerintah. Pemerintah merupakan pelaku utama dalam usaha
membebaskan kaum miskin dari belenggu kemiskinan. Usaha yang dibuat
pemerintah menyata dalam setiap program yang dibuat demi kepentingan rakyat,
khususnya kaum miskin. Program yang dibuat pemerintah bukan pertama-tama
bersifat karitatif, tetapi lebih bersifat transformatif. Itu berarti bahwa program-
program yang dibuat harus mampu membawa kaum miskin keluar dari belenggu
kemiskinan. Pemerintah harus memungkinkan kaum miskin bangkit dari
keterpurukan hidupnya. Usaha yang dilakukan pemerintah dengan demikian
menjadi jauh lebih kompleks yakni menciptakan struktur sosial, politik dan
ekonomi yang adil. Semua perjuangan ini hanya menjadi mungkin berdasarkan
sejauh mana pemerintah berpihak kepada kepentingan bersama.
4.3 Program-Program Konkret Gereja Keuskupan Ruteng dalam
Membebaskan Kaum Miskin
Gereja Keuskupan Ruteng dalam sinode III mempunyai perhatian yang
serius dalam usaha membebaskan kaum miskin. Terlepas dari semua pencapaian
yang telah dicapai Gereja Keuskupan Ruteng dalam sejarah perkembangannya
selama seabad lebih, namun Gereja Keuskupan Ruteng tetap berusaha
memperbaiki karya pelayanannya melalui beberapa program pastoral yang
mencakup beberapa bidang karya pastoralnya. Ada empat karya pastoral yang
yang bersinggungan langsung dengan upaya Gereja dalam membebaskan kaum
miskin dari belenggu kemiskinan, yakni bidang sosial politik, ekonomi,
pendidikan, dan lingkungan hidup. Peningkatan pelayanan pada keempat bidang
karya pastoral ini dapat menjadi solusi yang mampu menjawabi penderitaan yang
dialami kaum miskin. Keempat bidang karya pastoral ini juga memiliki program-
program konkretnya masing-masing sebagai bentuk perannya dalam
101
membebaskan kaum miskin. Oleh karena itu, berikut akan diuraikan program-
program konkret yang dilakukan Gereja Keuskupan Ruteng dalam upaya
membebaskan kaum miskin.
4.3.1 Bidang Sosial Politik
Pada hakekatnya, politik dapat dipahami dalam dua segi, yakni pertama,
segala upaya untuk membangun kesejahteraan bersama. Kedua, segala hal yang
berkaitan dengan kekuasaan seperti pemilu, penyelenggaraan kekuasaan, dan
pengawasan.235
Akan tetapi partisipasi Gereja dalam bidang sosial politik lebih
dilihat sebagai uapaya mewujudkan poin pertama di atas. Meski demikian, dalam
perjuangannya Gereja juga tidak serta merta mengabaikan poin kedua, karena
kedua poin di atas saling mengandaikan. Berhadapan dengan poin kedua di atas,
Gereja sejauh dapat harus bersikap kritis agar tidak terjebak dalam lingkaran
kekuasaan yang justru menumpulkan sikap kritis Gereja.
Selain demi mewujudkan kesejahteraan bersama, partisipasi Gereja dalam
bidang sosial politik juga untuk mendorong tercapainya kesetaraan kemelekan
politik236
di level masyarakat. Hal ini disadari bahwa sebagian besar masyarakat
Manggarai belum melek politik. Masyarakat masih melihat politik hanya sebatas
pada peristiwa pemilu, entah pada lembaga eksekutif maupun legislatif dari
tingkat daerah sampai tingkat nasional. Kenyataan ini mau menunjukkan bahwa
tidak heran bila dalam kehidupan sehari-hari masyarakat seringkali apatis
terhadap setiap kebijakan para penguasa dan di sisi lain para penguasa bertindak
sewenang-wenang atas jabatannya.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan kesejateraan bersama dan kemelekan
politik di kalangan masyarakat atau umat, Gereja Keuskupan Ruteng dalam
sinode III 2013-2015 menghasilkan beberapa program konkret yakni pertama,
dalam rangka mengatasi praktik korupsi. Masalah korupsi merupakan salah satu
235
Panitia Sinode III Keuskupan Ruteng, op. cit., hlm. 175. 236
Melek politik artinya pertama-tama paham apa itu politik, sadar akan posisi
istimewanya sebagai pemegang kedaulatan, tahu hak-hak dan kewajiban-kewajiban politiknya,
serta mampu mengartikulasikan hak-hak dan kewajiban politiknya itu. Lihat Rikard Rahmat,
“Menyongsong Gereja yang Politis” dalam Rikard Rahmat (ed.), Gereja Itu Politis., op. cit., hlm.
16.
102
dari sekian banyak masalah dalam dunia politik. Praktik korupsi sudah semakin
menjamur dalam dunia politik, termasuk di Manggarai, sehingga tidak heran bila
orang yang melakukan korupsi tidak pernah merasa bersalah atas perbuatannya.
Para koruptor merasa malu apabila kemudian tindakannya diketahui publik.
Fenomena ini merupakan suatu potret buram dalam dunia politik kita saat ini.
Oleh karena itu, melihat kenyataan ini Gereja Keuskupan Ruteng berusaha
menanggapinya melalui beberapa program yakni:237
a) Penyusunan dan sosialisasi materi iman dan anti korupsi dalam seluruh reksa
pastoral pewartaan Keuskupan Ruteng, antara lain dalam katekese umat,
renungan doa bulan rosario, khotbah Minggu, seminar dan lokakarya;
b) giatkan kampanye “budaya malu” korupsi di seluruh Keuskupan Ruteng.
Kedua, dalam rangka mengatasi rendahnya pemahaman dan kesadaran
politik di kalangan umat atau masyarakat dan para politisi. Rendahnya
pemahaman dan kesadaran masyarakat dan politisi dalam berpolitik berdampak
langsung pada motivasi masyarakat dan politisi dalam berpolitik. Hal ini juga
mengakibatkan hilangnya rasa tanggung jawab masyarakat dan para politisi untuk
mengambil bagian dalam urusan politik sehingga cita-cita kesejahteraan semakin
jauh dari harapan. Politik bagi masyarakat tidak lebih dari pesta demokrasi yang
berlangsung selama lima tahun sekali. Sedangkan bagi para politisi sendiri, politik
tidak lebih dari perjuangan untuk meraih kekuasaan dan keuntungan pribadi
semata. Tidak heran bila para politisi dengan segala cara merebut atau
mempertahankan kekuasaannya. Oleh karena itu, atas dasar kenyataan ini maka
Gereja Keuskupan Ruteng menetapkan beberapa program konkret yakni:238
a) Penyelenggaraan kegiatan pendampingan politisi Katolik baik dalam bentuk
ibadat maupun dalam bentuk dialog/sharing ataupun seminar/lokakarya demi
sosialisasi prinsip dan nilai Katolik dalam berpolitik.
b) Pewartaan secara sistematis dan masif tema kejujuran dalam seluruh
pewartaan maupun praksis kehidupan Gereja.
237
Panitia Sinode III Keuskupan Ruteng, op. cit., hlm. 191. 238
Ibid., hlm. 192.
103
c) Kampanye secara masif „tolak politik uang‟ dalam momen-momen menjelang
pemilihan presiden, pemilihan legislatif, pemilihan kepala daerah, dan
pemilihan kepala desa, antara lain melalui mimbar Gereja, media sosial, dan
katekese umat.239
Ketiga, meningkatkan pemahaman dan kesadaran kritis profetis hierarki.
Gereja menyadari bahwa untuk meningkatkan partisipasi umat dalam dunia
politik diperlukan pendidikan politik. Peran sebagai pendidik inilah yang
hendaknya diperhatikan Gereja dalam misinya pada bidang sosial politik.
Kenyataannya masih banyak para klerus yang minim pengetahuan tentang politik.
Bahkan tidak jarang ditemukan para klerus yang turut berpolitik praktis. Oleh
karena itu, demi meningkatkan pemahaman dan kesadaran kritis profetis para
klerus, Gereja Keuskupan Ruteng pun melakukan:240
a) Penyelenggaraan pendidikan politik kritis profetis bagi para klerus
Keuskupan Ruteng.
b) Penyusunan dan penetapan prinsip-prinsip keterlibatan kritis profetis klerus
dalam dunia politik.241
c) Pengawasan ketat terhadap klerus Keuskupan Ruteng dalam menjalankan
fungsi pastoral sosial politik.242
239
Berkaitan dengan masalah politik uang, Gereja Keuskupan Ruteng secara tegas
menolak praktik ini. Hal ini misalnya dilakukan paroki St. Fransiskus Asisi Karot, Keuskupan
Ruteng, di mana para politisi dari paroki tersebut diminta untuk mengambil sumpah. Salah satu
poin dalam sumpah yang diikrarkan tersebut ialah menolak secara tegas pembusukan politik
dengan melakukan politik uang. Lihat, Jo Kenaru, “Di Gereja Katolik Ruteng Para Caleg
Bersumpah Tolak Politik Uang”, dalam Viva, 24 Maret 2019, https://www-viva-co-
id.cdn.ampproject.org/v/s/www.viva.co.id/amp/pemilu/berita-pemilu/1133286-di-Gereja-
Katolik-ruteng-para-caleg-bersumpah-tolak-politik uang?, diakses pada 20 Februari 2020. 240
Panitia Sinode III Keuskupan Ruteng, loc. cit. 241
Upaya Gereja dalam meminimalisasi praktik berpolitik praktis dari para klerus pun
biasa dikeluarkan uskup sebagai bagian dari surat gembalanya. Uskup melalui surat gembalanya
memberikan garis pedoman kepada umatnya untuk memilih calon yang layak untuk dipilih
berdasarkan pelbagai kriteria yang ada. Lebih dari itu, uskup selaku pemimpin Gereja lokal
mengharapkan kerja keras para klerus untuk menjalankan fungsi pastoralnya agar proses pemilu
dapat berjalan sesuai dengan harapan bersama. Mgr. Silvester San, “Surat Gembala Administrator
Apostolik Keuskupan Ruteng Tentang Pemilu 2019”, Komsos Ruteng, 24 Januari 2019, dalam
https://keuskupanruteng.org/surat-gembala-administrator-apostolik-keuskupan-ruteng-
tentang-pemilu-2019/, diakses pada 20 Februari 2020. 242
Berkaitan dengan poin ini, Mgr. Siprianius Hormat, selaku Uskup Ruteng secara tegas
mengingatkan bahwa ia akan menegur secara keras para imamnya yang melakukan politik praktis.
104
d) Penolakan bantuan-bantuan dana bila terindikasi hal itu memiliki motif-motif
politik tertentu.
Dalam konteks peran Gereja untuk membebaskan kaum miskin, semua
program konkret di atas merupakan solusi yang ditawarkan Gereja sebagai bentuk
partisipasi dalam mewujudkan keadilan sosial. Hal ini berarti bahwa politik
memiliki peranan penting dalam mewujudkan kesejateraan bersama. Meski
demikian, posisi yang diambil Gereja dalam perjuanganya dilihat sebagai seruan
moral. Gereja tidak berorientasi pada kekuasaan, yang pada gilirannya
mengkotak-kotakan masyarakat atau umatnya. Sikap Gereja jelas yakni berjuang
demi terwujudnya kesejahteraan bersama, di mana dalam berpolitik yang
diperjuangkan adalah hak semua orang dan semua orang mengambil bagian dalam
menentukan nasib bersama sebagai warga negara. Itu berarti perjuangan Gereja
jauh melampaui usaha perebutan kekuasaan. Politik akan betul-betul memberikan
hasil yang baik jika dijalankan secara bersih sesuai dengan nilai-nilai yang baik
dan benar. Dengan demikian menjadi jelas pada akhirnya praktik politik yang
bersih dapat menghasilkan kebijakan yang mengutamakan kepentingan bersama.
4.3.2 Bidang Sosial Ekonomi
Karya pastoral Gereja Keuskupan Ruteng pada bidang sosial ekonomi
merupakan sebuah kemendesakan untuk saat ini. Pada dasarnya, kegiatan sosial
dalam bidang ekonomi merupakan setiap aktivitas yang berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan masyarakat, seperti sandang, pangan, papan dan
kesehatan.243
Mengingat pentingnya pastoral di bidang ekonomi ini, maka pastoral
di bidang sosial ekonomi harus dilihat sebagai bagian yang melekat dari tugas
perutusannya itu.
Saat ini masalah kemiskinan di Keuskupan Ruteng sangatlah kompleks.
Ada beberapa masalah dasar yang menjadi isu pokok kemiskinan di Keuskupan
Ruteng berdasarkan temuan sinode III Keuskupan Ruteng. Pertama, kemiskinan
Lihat Christo Lawudin, “Mgr. Sipri Hormat: Saya akan Jewer Pastor yang Berpolitik Praktis”,
dalam Flores Pos, 14 Maret 2020, https://florespos.co.id/berita/detail/mgr-sipri-hormat-saya-akan-
jewer-pastor-yang-berpolitik-praktis, diakses pada 25 Maret 2020. 243
Panitia Sinode III Keuskupan Ruteng, op. cit., hlm. 196.
105
melilit kehidupan umat Keuskupan Ruteng. Kedua, mutu kesehatan
masyarakat/umat, khususnya ibu dan anak yang rendah. Ketiga, pariwisata
mengancam eksistensi dan identitas kehidupan penduduk lokal. Keempat, pola
dan praktik pertanian kimia anorganik yang merusak manusia dan lingkungan.
Berdasarkan beberapa masalah yang mendesak di atas, ada beberapa
sektor yang menjadi perhatian Gereja Keuskupan Ruteng dalam rangka
membebaskan kaum miskin, pertama, berkaitan dengan mutu kesehatan yang
rendah. Rendahnya mutu kesehatan yang dialami umat Keuskupan Ruteng
mempunyai hubungan langsung dengan kemiskinan. Betapa tidak, ada banyak
orang sakit yang ada di Keuskupan Ruteng yang tidak mendapat perawatan
kesehatan yang memadai karena mereka tidak mempunyai kemampuan untuk
membayar biaya. Fasilitas kesehatan yang serba terbatas juga turut mempengaruhi
mutu kesehatan masyarakat Manggarai. Khusus untuk masalah kesehatan ibu dan
anak, dapat dilihat dari angka kematian ibu dan anak yang masih tinggi.244
Masalah rendahnya kesehatan yang dialami umat Keuskupan Ruteng bila dilihat
secara luas timbul selain oleh karena kesadaran umat sendiri yang masih rendah,
tetapi juga karena struktur yang turut menciptakan kondisi demikian. Oleh karena
itu, ada beberapa program yang dilakukan Gereja Ruteng dalam meningkatkan
mutu kesehatan umat di Keuskupan Ruteng, yakni:245
a) Pengembangan pastoral kesehatan yang meliputi pewartaan (katekese),
ibadat/misa, dan pelayanan sosial kesehatan (rumah sakit, BKIA, bakti sosial
kesehatan).
b) Pembentukan komisi kesehatan yang mengorganisasi dan mengkoordinasi
pastoral kesehatan di Keuskupan Ruteng.
c) Pengintegrasian materi tentang kesehatan ibu dan anak termasuk KBA dalam
KPPK.
244
Data BPS Manggarai menunjukkan bahwa pada tahun 2018 terdapat 78 kasus bayi
yang lahir mati. Lihat BPS Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Dalam Angka 2019, op.
cit., hlm. 93. Data BPS Manggarai Timur juga menunjukkan bahwa pada 2018 terdapat 108 kasus
bayi yang lahir mati. BPS Kabupaten Manggarai Timur, Kabupaten Manggarai Timur Dalam
Angka 2019, op. cit., hlm. 63. Sedangkan data BPS Manggarai Barat pada tahun 2018 terdapat 61
kasus bayi yang mati. BPS Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Manggarai Barat Dalam
Angka 2019, op. cit., hlm. 89. 245
Panitia Sinode III Keuskupan Ruteng, op. cit., hlm. 213.
106
d) Kerja sama dengan pihak berkompeten dalam melakukan penyuluhan
kesehatan.
e) Penyadaran umat, khususnya OMK, remaja pelajar, serta mahasiswa akan
bahaya HIV/AIDS dan narkoba.
f) Membantu orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan dan
mengarahkan mereka pada pelayanan rumah sakit jiwa Bruder Caritas di
Leda, Ruteng.
Kedua, berkaitan dengan pertanian kimia anorganik. Sebagian besar umat
Keuskupan Ruteng berprofesi sebagai petani. Tantangan bagi para petani di
Keuskupan Ruteng saat ini dalam bertani adalah semakin menurunnya
produktivitas lahan pertanian. Hal ini bila ditelisik lebih jauh, tidak terlepas dari
mentalitas umat yang sudah mulai berubah dan cenderung mengejar penghasilan
yang besar dengan cara yang instan. Kenyataan ini dapat dilihat dari para petani
yang lebih gemar menggunakan pupuk kimia anorganik demi meningkatkan
produktivitas lahan.246
Praktik ini di satu sisi kelihatan sangat menguntungkan
untuk jangka pendek, tetapi di sisi lain berdampak buruk untuk jangka panjang.
Tidak mengherankan bila saat ini produktivitas lahan mulai menurun. Penghasilan
masyarakat tidak seimbang dengan biaya yang dikeluarkan. Oleh karena itu,
terhadap praktik ini Gereja Keuskupan Ruteng melalui Sinode III menetapkan
beberapa program, yakni:247
a) Pengembangan pertanian orgnanik di seluruh wilayah Keuskupan Ruteng
melalui pembentukan kebun contoh di setiap paroki.
b) Pengadaan pelatihan pembuatan pupuk organik bagi kelompok-kelompok
tani.
c) Sosialisasi pertanian organik dan pembuatan pupuk organik melalui mimbar
dan katekese serta menyadarkan umat akan dampak negatif dari pertanian
kimia anorganik.
246
Hasil wawancara per telepon seluler dengan RD. Robertus Pelita, Ketua Komisi PSE
Keuskupan Ruteng, pada 17 April 2020. 247
Panitia Sinode III Keuskupan Ruteng, op. cit., hlm. 214.
107
d) Penyuluhan dan pelatihan pengelolahan pertanian organik dan pembuatan
pupuk organik di semua paroki dan kelompok umat dalam wilayah
Keuskupan Ruteng melalui komisi PSE.
e) Pembuatan dan penyediaan modul-modul yang berisi informasi dan
pengetahuan organik di sekolah-sekolah.
Ketiga, berkaitan dengan pariwisata. Tak dapat disangkal bahwa saat ini
pariwisata merupakan salah satu kegiatan bisnis yang paling menjanjikan bagi
setiap negara. Hal yang sama juga terjadi di tingkat lokal, misalnya di Manggarai
sedang gencar mempromosikan tempat-tempat pariwisata. Salah satu wisata
unggulan di Manggarai khususnya di wilayah Manggarai Barat yang telah lama
mendunia adalah Komodo. Binatang Komodo yang telah mendunia itu telah
berhasil menggaet para wisatawan mancanegara maupun lokal untuk berkunjung
ke sana.
Kenyataan ini tentunya membawa dampak positif kepada masyarakat
Manggarai Barat. Akan tetapi, tidak dapat dielakkan bahwa dampak negatif juga
turut hadir melalui sektor pariwisata ini. Dilihat dari sisi ekonomi, keuntungan
sebagian besar jatuh ke tangan para kapitalis, sedangkan rakyat kecil hanya
mendapatkan remah-remah. Kemudian dilihat dari sisi budaya, pariwisata turut
mengikis kearifan lokal yang sudah terpelihara selama bertahun-tahun melalui
perjumpaan dengan budaya baru yang sama sekali berbeda dengan budaya lokal
setempat. Oleh karena itu, terhadap sektor pariwisata Gereja Keuskupan Ruteng
melalui programnya dalam sinode III berjuang untuk248
:
a) Merumuskan dan mewujudkan pastoral pariwisata untuk menjamin
pelestarian, keutuhan dan keterkaitan nilai-nilai Injil dan budaya lokal serta
memberi kesaksian tentang kehadiran Kerajaan Allah yang menyelamatkan
melalui – pendidikan dan pelatihan kepariwisataan dan – aneka kegiatan
rohani, seperti misa, rekoleksi, dan katekese pariwisata.
b) Melestarikan tradisi dan warisan budaya lokal dalam bentuk nilai-nilai
kearifan lokal, simbol-simbol, busana, (songke, bero, bali belo, sapu curuk),
kuliner (rebok [rodo dan siki seko], lomak, kolo, cobol, saung ndusuk, tibu,
248
Ibid., hlm. 215.
108
rani, kompiang, gola manggarai), tari dan nyanyi. Hal ini dapat dilakukan
melalui kegiatan-kegiatan berikut: diskusi budaya, mengadakan perlombaan
seni/kekayaan budaya (mbata, ndundu ndake, danding, rawa, ragasulung, sae,
caci, rangkuk alu, sunding tongkeng, jarang dongka), membudidayakan
produk lokal, kegiatan promosi budaya, mendokumentasikan atribut-atribut
budaya.
Keempat, pengembagan koperasi. Koperasi di Keuskupan Ruteng
mengalami perkembangan yang sehat. Hal ini ditunjukkan dengan perkembangan
koperasi yang mencapai 16 puskopdit dan saat ini koperasi milik Keuskupan
Ruteng sudah terdaftar sebagai inkopdit Indonesia.249
Dalam rangka
mengembangkan koperasi di Keuskupan Ruteng, Gereja Keuskupan Ruteng
melalui sinode III mencanangkan beberapa program yakni:250
a) Pengembangan pastoral koperasi yang menanamkan dan mengembangkan
nilai-nilai kristiani, seperti solidaritas, tanggung jawab sosial, kejujuran, dan
subsidiaritas.
b) Penugasan pastor paroki untuk memfasilitasi pembentukan koperasi paroki
atau mendorong umat masuk menjadi anggota koperasi yang sehat yang
sudah ada di paroki serta mendampingi mereka secara pastoral.
4.3.3 Bidang Sosial Pendidikan
Pendidikan merupakan hak semua orang. Pendidikanlah yang
memungkinkan seseorang menjadi sungguh-sungguh manusia. Menyadari
pentingnya pendidikan bagi hidup manusia, Gereja pun turut berpartisipasi dalam
dunia pendidikan sebagai bentuk tanggung jawabnya dalam membentuk manusia
sebagai pribadi yang matang dan sebagai anggota masyarakat dapat mewujudkan
kesejahteraan bersama. Peran Gereja dalam dunia pendidikan dilihat sebagai
bentuk tanggung jawabnya atas pembentukan pribadi manusia.251
Namun lebih
249
Hasil wawancara per telepon seluler dengan RD. Robertus Pelita, Ketua Komisi PSE
Keuskupan Ruteng, pada 17 April 2020. 250
Panitia Sinode III Keuskupan Ruteng, op. cit., hlm. 216. 251
Nota Pastoral tentang Pendidikan, Lembaga Pendidikan Katolik: “Media Pewartaan
Kabar Gembira, Unggul dan Lebih Berpihak pada Kaum Miskin” (Jakarta: Sekretariat Jenderal
KWI, 2008), hlm. 6-7.
109
dari itu, peran ini ditempuh Gereja sebagai bentuk partisipasinya dalam upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang telah diamanatkan dalam
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta Undang-Undang Sisdiknas.
Meski peran Gereja dilihat sebagai bentuk partisipasi dalam peran
pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Akan tetapi jika dilihat secara
historis peran Gereja dalam pendidikan di Manggarai sudah terlihat jauh sebelum
masa kemerdekaan Indonesia yakni dengan mendirikan sekolah di Labuan Bajo
dan di Reo pada tahun 1911. Sejak awal kedatangannya, Gereja memulai misinya
di Manggarai dengan mendirikan sekolah-sekolah. Hal ini berarti bahwa misi
Gereja dalam membentuk manusia sebagai pribadi yang matang sangatlah besar.
Perhatian Gereja dalam bidang pendidikan tidak hanya bertumpu pada
pendidikan formal, tetapi juga pendidikan nonformal. Berkaitan dengan lembaga
pendidikan formal, Gereja Keuskupan Ruteng telah mendirikan lembaga
pendidikan dari tingkat PAUD hingga perguruan tinggi. Hal ini tentunya dilihat
sebagai bentuk tanggung jawab Gereja dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan nonformal juga mendapat perhatian penting dalam misi Gereja.
Pendidikan nonformal dilaksanakan di luar sekolah, di mana keluarga sebagai
pelaku pertama. Peran orangtua dalam pendidikan nonformal sangat penting,
sebab orang pertama yang dikenal anak adalah orangtuanya. Dengan demikian
dalam pendidikan peran orangtua harus diperhitungkan sebagai salah satu unsur
yang turut menentukan kesuksesan sebuah pendidikan. Ada tiga unsur yang
diperhatikan Gereja dalam pelaksanaan pendidikan yakni insan-nsan pendidikan,
siswa dan orangtua.
Pentingnya pastoral pendidikan juga ditetapkan Gereja melalui beberapa
program konkretnya yakni berkaitan dengan pendidikan dasar dan menengah;
berkaitan dengan pendidikan tinggi; dan berkaitan dengan peran yayasan Sukma
dan yayasan Katolik lainnya di Keuskupan Ruteng. Oleh karena itu, berikut akan
diuraikan program-program Gereja Keuskupan Ruteng berdasarkan Sinode III
110
berkaitan dengan pastoral di bidang sosial pendidikan: pertama, berkaitan dengan
pendidikan dasar dan menengah:252
a) Membangun etos kerja yang baik dari insan-insan pendidikan (guru, kepala
sekolah, pegawai, dan tenaga pendidikan lainnya) melalui aneka kegiatan
pembinaan, seperti: rekoleksi, retret, pelatihan, dan supervisi pendidikan.
b) Pengembangan manajemen sekolah yang profesional, akuntabel, kreatif dan
transparan.
c) Pengembangan manajemen pembelajaran yang partisipatif, kritis, kreatif, dan
kontekstual.
d) Mengusahakan pendampingan dan pembinaan asrama yang intensif,
profesional, kristiani, dan bertanggungjawab berdasarkan standar baku
pengelolaan pastoral asrama yang dikeluarkan oleh Komisi Pendidikan
Keuskupan Ruteng.
e) Melanjutkan pengumpulan Dana Abadi Pendidikan yang dikelola oleh
Komisi Pendidikan untuk membiayai kegiatan pastoral pendidikan, beasiswa
bagi anak-anak miskin serta mendukung pembangunan fasilitas sekolah dan
asrama.
Kedua, berkaitan dengan pendidikan tinggi. Perhatian Gereja Kuskupan
Ruteng dalam pendidikan tidak hanya diarahkan pada pendidikan dasar dan
menengah, tetapi juga pada pendidikan tinggi. Hal ini dapat dilihat dari peran
Gereja Keuskupan Ruteng dalam mendirikan dua lembaga pendidikan tinggi yang
ada di Manggarai yakni Universitas Katolik St. Paulus Ruteng dan Sekolah Tinggi
Ilmu Pastoral St. Sirilus Ruteng. Dua pendidikan tinggi yang ada di Manggarai
saat ini merupakan lembaga pendidikan milik Gereja Keuskupan Ruteng. Tujuan
pendirian kedua lembaga pendidikan tinggi ini adalah demi mendidik mahasiswa
menjadi agen perubahan di Manggarai dan juga menjadi pelayan pastoral yang
handal di tengah umat. Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan peran
pendidikan tinggi bagi pembangunan hidup bermasyarakat dan berumat, Gereja
Keuskupan Ruteng melalui sinode III menetapkan:253
252
Panitia Sinode III Keuskupan Ruteng, op. cit., hlm. 235. 253
Ibid., hlm. 236.
111
a) Peningkatan status STKIP St. Paulus Ruteng menjadi universitas untuk
menjawabi kebutuhan masyarakat, sambil memperhatikan mutu pelayanan
demi melahirkan cendekiawan yang berilmu dan beriman.
b) Pengembangan proses pembelajaran dan penelitian serta pengabdian
masyarakat yang berkualitas sehingga para mahasiswa sungguh-sungguh
dapat menjadi tenaga kerja kreatif, inovatif, berdaya saing, dan mandiri.
Ketiga, berkaitan dengan peran yayasan Sukma. Semua pendidikan
Katolik berada di bawah naungan yayasan Sukma. Itu berarti perkembangan
pastoral pendidikan di Manggarai sangat ditentukan oleh peran yayasan dalam
mengatur manajemen pendidikan Katolik. Oleh karena itu, melihat pentingnya
peran yayasan dalam mengatur pendidikan Katolik di Manggarai, sinode III
Keuskupan Ruteng dalam programnya memutuskan untuk:254
a) Merevitalisasi dan mereformasi lembaga yayasan Sukma agar menjadi
lembaga penyelenggara pendidikan dengan struktur baru yang ramping dan
terfokus, sehingga mampu mengarahkan lembaga pendidikan yang
dikelolanya secara efektif dan efisien sesuai dengan kebijakan pastoral
pendidikan Keuskupan Ruteng.
b) Membuat MoU dengan tiga kabupaten di Keuskupan Ruteng untuk menjamin
eksistensi dan identitas SDK-SDK dan menguatkan peran yayasan Sukma
sebagai penyelenggara pendidikan 265 SDK.
c) Membuat petisi kepada pemerintah pusat untuk menolak kebijakan penarikan
guru-guru negeri (guru PNS) dari sekolah swasta dan menjamin penempatan
guru-guru PNS di sekolah swasta sebagai wujud tanggung jawab Negara
terhadap pendidikan.
4.3.4 Bidang Lingkungan Hidup
Perhatian Gereja Keuskupan Ruteng terhadap isu lingkungan hidup dapat
dikatakan sudah nampak melalui pelbagai kebijakan pastoralnya. Hal ini patut
disadari bahwa keberlangsungan hidup manusia dan makluk lainnya di atas bumi
sangat bergantung pada sikap dan tindakan manusia terhadapnya. Demikian pula
254
Ibid., hlm. 237.
112
dengan keberlangsungan hidup dari generasi yang akan datang sangat bergantung
pada sikap dan tindakan generasi yang hidup pada saat ini. Adanya pergeseran
paradigma berpikir yang telah berkembang selama bertahun-tahun turut
membentuk cara pandang manusia terhadap alam.
Menurut Pater Leo Kleden paradigma ialah pola dasar yang melandasi
cara pikir dan sikap hidup manusia dalam satu masyarakat.255
Pergeseran
paradigma ini terjadi dimulai dari kebudayaan pramodern, modern, dan
postmodern. Lebih lanjut Pater Leo menjelaskan bahwa ketiga tahap ini
mempunyai kekhasannya dalam memandang alam lingkungan hidupnya.
Kebudayaan pramodern memandang dunia sebagai kosmos yang memiliki
kedekatan dengan yang sakral, sehingga Tuhan dilihat sebagai pusat kehidupan
atau dikenal dengan Theosentrisme. Tetapi dalam keudayaan modern terjadi
pergeseran di mana manusia melihat dirinya sebagai subjek, sedangkan alam
dilihat sebagai objek. Pandangan ini melahirkan sikap antroposentrik, di mana
manusia dilihat sebagai pusat dari segala sesuatu. Tahap terakhir adalah
kebudayaan postmodern, di mana dunia tidak dilihat sebagai objek, tetapi sebagai
lingkup hidup, “home”. Itu berarti bahwa manusia dilihat sebagai makluk yang
mengada bersama yang lain dalam dunia.256
Berdasarkan kerangka teoretis yang dijelaskan oleh Pater Leo Kleden di
atas, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat Manggarai dalam melihat dunia
masih berada pada tahap modern, di mana alam dilihat sebagai objek. Anggapan
ini juga didukung dengan kenyataan praktik eksploitasi terhadap alam secara
masif. Cara pandang antroposentrisme ini melahirkan beberapa praktik yang
keliru dari masyarakat. Hal ini pun menyata dalam beberapa kasus yang marak
terjadi akhir-akhir ini yakni pertambangan yang merusak ekosistem.257
Saat ini
255
Untuk memahami konsep paradigma berpikir masyarakat Manggarai dalam
memandang alam lingkungan hidupnya, saya menggunakan konsep paradigma kebudayaan yang
dikemukakan oleh Pater Leo Kleden dalam bagian terakhir kuliah Filsafat Manusia. Lihat, Leo
Kleden, “Filsafat Manusia” (Bahan Kuliah, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere,
2019). 256
Ibid. 257
Akhir-akhir ini juga di manggarai Timur terjadi pro-kontra berkaitan dengan
pembukaan pabrik semen yang akan terjadi di Lingko Lolok, Lamba Leda, Maggarai Timur.
Menurut Ferdy Hasiman, kebijakan bupati Manggarai Timur dengan mendatangkan investor untuk
membuka pabrik semen di Lingko Lolok dengan tujuan untuk menyerap tenaga kerja dan
113
masyarakat baru mulai sadar akan dampak buruk dari adanya pertambangan,
khusus untuk Manggarai pertambangan telah membawa kehancuran bagi
lingkungan hidup. Masyarakat yang tinggal di sekitar daerah lingkar tambang
bukannya mengalami kesejahteraan, tetapi malah mengalami penderitaan yang
lebih serius karena lahan pertanian mereka sudah berubah menjadi lahan tandus
dan rusak.
Selain praktik pertambangan, saat ini juga persoalan lain yang turut
memperparah kerusakan lingkungan hidup ialah makin maraknya penebangan
pohon secara liar. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap ketersediaan air
tanah. Saat ini masyarakat Manggarai sudah mulai merasakan dampak dari
kekeringan air. Hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan air yang
menyediakan air untuk kehidupan mereka, kini dimusnahkan. Dampak lain yang
timbul dari penebangan pohon secara liar ini adalah bencana bajir dan longsor
pada beberapa tahun terakhir di Manggarai. Oleh karena itu, menghadapi
beberapa isu di atas, maka Gereja Keuskupan Ruteng bertekad untuk258
:
a) Melanjutkan gerakan tanam 1000 pohon di setiap tanah paroki dan tanah
keuskupan, khususnya di lahan kritis dan sumber mata air.
b) Melanjutkan gerakan penolakan terhadap tambang (mineral) melalui kegiatan
penyadaran, pemberdayaan masyarakat, dan demo tolak tambang.
Usaha-usaha yang dilakukan Gereja Keuskupan Ruteng dalam
melestarikan lingkungan hidup merupakan satu langkah awal dari cara pandang
yang baru terhadap dunia, yakni dunia dilihat sebagai lingkup hidup, “home”.
Dengan melihat dunia sebagai “home”, maka segala sikap dan perilaku yang
merusakkan alam dapat dihindari. Hal ini tentunya mempunyai dampak positif
terhadap eksistensi manusia dan makluk hidup lainnya. Sedangkan dalam konteks
membebaskan kaum miskin, upaya Gereja Keuskupan Ruteng dapat dilihat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat merupakan omong kosong. Kemudian lebih lanjut
Hasiman berpendapat bahwa jangan sampai agenda pembukaan pabrik semen hanya sebagai kedok
untuk membuka usaha yang lain, mengingat wilayah tersebut merupakan bekas tambang mangan
yang telah ditutup. Untuk uraian selengkapnya tentang masalah pabrik semen di Lingko Lolok,
lihat Ardy Abba, “Janji Bupati Agas di Balik Rencana Pabrik Semen Lingko Lolok Omong
Kosong”, dalam VoxNtt.com, 13 April 2020, https://voxntt.com/2020/04/13/janji-bupati-agas-di-
balik-rencana-pabrik-semen-lingko-lolok-omong-kosong/61299/, diakses pada 20 April 2020. 258
Panitia Sinode III Keuskupan Ruteng, op. cit., hlm. 255.
114
sebagai usaha untuk mencegah keserakahan manusia saat ini, agar generasi yang
hidup pada masa yang akan datang tidak mengalami kemiskinan yang lebih akut
karena semua kekayaan alam yang ada saat ini dihabiskan hanya untuk keinginan
generasi masa kini. Oleh karena itu, perjuangan Gereja dilihat sebagai upaya
menyelamatkan generasi masa kini dan kehidupan generasi yang hidup pada masa
yang akan datang.
4.4 Strategi Gereja Keuskupan Ruteng dalam Membebaskan Kaum Miskin
Semua program konkret yang telah dirancang Gereja Keuskupan Ruteng
merupakan suatu idealisme yang diharapkan mampu menjawabi situasi umat saat
ini dan di sini. Akan tetapi idealisme tersebut harus berhadapan dengan pelbagai
kendala yang ada selama pelaksanaan program berlangsung. Gereja harus realistis
bahwa dalam pelaksanaan pelbagai program tidak terlepas dari pelbagai kendala
baik internal maupun eksternal. Untuk mengatasi kendala yang ada maka
diperlukan sebuah strategi yang dapat meminimalisasi segala bentuk hambatan,
sehingga semua program yang telah dirancang sebelumnya dapat terealisasi
dengan baik. Salah satu strategi yang ditawarkan sebagai jalan keluar untuk
merealisasikan program-program yang telah dirancang Gereja Keuskupan Ruteng
dalam usahanya membebaskan kaum miskin adalah dengan melakukan
pembenahan manajemen pastoral. Manajemen pastoral yang baik memungkinkan
semua program yang telah dirancang bersama dapat diterjemahkan secara efektif
dan efisien di kemudian hari.
4.4.1 Pembenahan terhadap Manajemen Pastoral: Suatu Upaya Strategis
Membebaskan Kaum Miskin
Manajemen pastoral merupakan proses untuk merencanakan,
mengorganisasikan, mengarahkan, dan mengendalikan manusia dan sumber daya
lainnya dalam organisasi Gereja baik di keuskupan, paroki, stasi, wilayah,
kelompok basis atau juga di lembaga dan organisasi pastoral lainnya agar tercipta
efisiensi dan efektivitas pelayanan pastoral.259
Adanya manajemen pastoral
merupakan suatu prasyarat agar kegiatan pastoral menjadi proses yang rasional,
259
Marselus R. Payong, “Menjadi Gembala Berwatak Manajer dan Menjadi Manajer
Berhati Gembala”, dalam Max Regus dan Fidelis Den (ed.), Omnia in Caritate, Lakukanlah
Semua dalam Kasih (Jakarta: Penerbit Obor, 2020), hlm. 184.
115
purposif, transparan, objektif, dan akuntabel. Ada empat fungsi manajemen
pastoral yang pada hakikatnya dapat mendukung terwujudnya suatu program
pastoral yakni fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan
pengendalian.
4.4.1.1 Fungsi perencanaan (Planning)
Perencanaan merupakan syarat utama yang harus dilalui dalam fungsi
manajemen. Perencanaan adalah menentukan apa yang terjadi atau apa yang akan
dilakukan di masa depan dengan mempertimbangkan pelbagai peluang, sumber
daya dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan.260
Itu
berarti bahwa kesuksesan suatu program pastoral dalam Keuskupan Ruteng sangat
ditentukan dengan sejauh mana perencanaan program dilakukan dengan baik.
Menurut Marselinus R. Payong, suatu perencanaan yang baik memiliki
beberapa kriteria:261
Pertama, signifikansi (significancy). Artinya suatu
perencanaan harus memiliki nilai manfaat, khususnya terhadap pemecahan
masalah tertentu. Dalam konteks kemiskinan misalnya, perencanaan kegiatan
harus berorientasi pada pemecahan masalah yang sedang dialami kaum miskin.
Kedua, fisibilitas (feasibility). Itu berarti bahwa perencanaan yang baik harus
dapat direalisasikan minimal sebagian besar dari apa yang direncanakan.
Ketiga, relevansi (relevancy). Suatu perencanaan yang baik memiliki
keterkaitan dengan kebutuhan riil yang dihadapi, khususnya berkaitan dengan
pemecahan masalah yang diharapkan. Keempat, kepastian (certainity).
Perencanaan yang baik harus memiliki derajat kepastian, khususnya dalam hal
kelengkapan, keterlaksanaannya, keturunannya, keberimbangannya, dan
keterlibatan semua komponen organisasi. Kelima, ketelitian (parsiomoniousness).
Itu berarti bahwa dalam merancang program pastoral, Gereja Keuskupan Ruteng
mesti memiliki garis komando yang jelas dengan fungsi serta tugas yang pasti,
agar pelaksanaan tugas tidak tumpang tindih.
260
Ibid. 261
Ibid., hlm. 184-185.
116
Keenam, adaptabilitas (adaptability). Perencanaan yang baik juga harus
bersifat dinamis, artinya selalu memberikan ruang yang fleksibel bagi tuntuntan-
tuntutan baru yang mungkin tidak diakomodasi dalam detil perencanaan. Ketujuh,
dapat diukur (measurable). Perencanaan yang baik hendaknya juga bisa diukur
ketercapaiannya. Itu berarti bahwa dalam perencanaan sangat diperlukan adanya
indikator yang dapat dijadikan ukuran kesuksesan suatu program. Indikator
merupakan suatu tanda atau bukti bahwa tujuan dari sebuah program tercapai.262
Gereja Kuskupan Ruteng sejauh ini telah membuat rancangan program-
program yang konkret dalam Sinode III. Semua program tersebut merupakan
langkah awal bagi karya pastoral demi membebaskan kaum miskin dari belenggu
kemiskinan. Itu berarti bahwa sejauh ini Gereja Keuskupan Ruteng telah
menjalankan fungsi pertama dalam manajemen pastoral. Langkah berikut yang
menjadi tugas Gereja ke depannya adalah pengorganisasian, sehingga semua
program yang telah dibuat dapat diaktualisasi berdasarkan tujuan yang hendak
dicapai.
4.4.1.2 Pengorganisasian (Organizing)
Fungsi kedua dalam manajemen adalah pengorganisasian. Berkaitan
dengan organisasi, dalam manajemen dibagi menjadi organisasi formal dan
organisasi informal. Menurut Barnard sebagaimana diuraikan Harold Koontz,
Cyril O‟Donnell dan Heinz Weihrich, organisasi formal merupakan sebuah
aktivitas yang dijalankan seorang atau lebih yang dikoordinasi secara sadar
menuju suatu tujuan tertentu. Sedangkan organisasi informal merupakan setiap
aktivitas pribadi gabungan tanpa tujuan gabungan yang sadar, meskipun mungkin
memberi sumbangan kepada hasil-hasil gabungan itu.263
Organisasi yang
dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah organisasi formal.
Organisasi yang baik harus dilengkapi dengan uraian tugas yang jelas dari
masing-masing komisi atau seksi serta kualifikasi dan kompetensi kepengurusan
262
Frederikus Djelahu Maigahoaku dan Martin Chen, “Perencanaan dan Program Pastoral
Diakonia”, dalam Martin Chen dan Agustinus Manfred Habur (ed.), Diakonia Gereja, Pelayanan
Kasih bagi Orang Miskin dan Marginal (Jakarta: Penerbit Obor, 2020), hlm. 182. 263
Harold Koontz, Cyril O‟Donnell dan Heinz Weihrich, Manajemen 1, ed. Alfonsus
Sirait (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1996), hlm. 283.
117
yang tepat untuk menduduki komisi atau seksi tersebut. Dalam konteks
manajemen pastoral Gereja Keuskupan Ruteng, kualifikasi dan kompetensi
kepengurusan perlu diperjelas, tidak hanya kompentensi teknis tetapi juga
mencakup beberapa atribut kepribadian yang mendukung, seperti loyalitas,
kesediaan, kemauan berkorban, memiliki integritas iman yang terpancar dalam
sikap dan perilaku hidup harian.264
Uraian tugas sangat penting karena akan
menjadi acuan untuk merumuskan tugas pokok dan fungsi dari masing-masing
personalia pada berbagai komisi atau seksi dan posisinya. Selain itu, perlu
ditetapkan juga norma-norma yang mengatur tugas pokok dan fungsi serta
hubungan kerja antarkomisi atau antarseksi sehingga menjadi panduan bersama
untuk melakukan segala tugas pokok dan fungsi sebaik-baiknya.
Fungsi pengorganisasian juga berkaitan erat dengan memanfaatkan secara
baik dan benar sumber daya manusia yang ada yakni dengan memilih dan
menempatkan para pengurus pada pelbagai komisi atau seksi sesuai dengan
struktur organisasi yang ada. Ada beberapa hal penting yang menjadi syarat
pemilihan dan penempatan para pengurus dalam pelbagai komisi atau seksi,
yakni kompetensi pengurus, beban kerja, dan reward.265
Kompetensi pengurus
merupakan faktor yang paling menentukan dalam manajemen sumber daya
manusia. Itu berarti bahwa yang diharapkan adalah menempatkan orang yang
sesuai dengan bidang keahlian atau kompetensi yang dimilikinya. Hal lain yang
perlu diperhitungkan adalah bahwa dalam memilih orang untuk ditempatkan
dalam sebuah komisi atau seksi mesti mempertimbangkan minat yang dimilikinya
atas tugas yang akan diembannya.
Setelah itu, pengelolaan kepengurusan juga harus memperhitungkan beban
kerja dari para pengurus atau petugas pastoral. Karya pastoral yang efektif sangat
bergantung pada besar kecilnya beban kerja yang dimiliki oleh para petugas
pastoral. Dalam karya pastoral, beban kerja bisa diukur dari volume pekerjaan
atau juga medan pastoral yang dilayani dan jumlah umat yang harus dilayaninya.
264
Marselus R. Payong, “Menjadi Gembala Berwatak Manajer dan Menjadi Manajer
Berhati Gembala”, dalam Max Regus dan Fidelis Den (ed.), Omnia in Caritate, Lakukanlah
Semua dalam Kasih, op. cit., hlm. 191. 265
Ibid.
118
Hal ini dapat terjadi ketika rasio perbandingan antara jumlah petugas pastoral
lebih sedikit dari pada jumlah umat yang harus dilayani. Selain itu, reward atau
imbalan juga penting dalam pengelolaan sumber daya manusia. Para petugas
pastoral berhak atas upah dan jaminan hidup yang layak, minimal kebutuhan-
kebutuhan dasarnya terpenuhi. Imbalan hendaknya disesuaikan dengan beban
kerja, tingkat kerumitan pekerjaan, dan prestasi-prestasi yang didapat.
4.4.1.3 Pengarahan (Leading)
Fungsi ketiga yang penting dalam manajemen adalah pengarahan.
Pengarahan merupakan suatu proses untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia
akan tergerak dengan sukacita dan penuh semangat untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan bersama.266
Fungsi pengarahan dalam manajemen patoral Gereja
Keuskupan Ruteng mencakup beberapa aspek penting, yakni motivasi,
kepemimpinan, komunikasi dan penyelesaian konflik. Seorang petugas pastoral
harus mampu memberikan motivasi kepada setiap anggota yang berada di bawah
kepemimpinannya. Hal ini penting, sebab motivasi yang diberikan dapat memberi
dorongan kepada bawahan untuk bertindak sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan.
Ada dua teknik yang dapat dilakukan petugas pastoral dalam memberikan
motivasi kepada para bawahannya, yakni penguatan positif dan partisipasi.
Dalam penguatan positif, petugas pastoral harus menciptakan lingkungan kerja
yang baik dengan memuji yang berprestasi baik dan menghukum yang berprestasi
buruk yang menimbulkan hasil negatif. Sedangkan dalam teknik partisipasi,
petugas pastoral harus mengikutsertakan mereka dalam mengambil keputusan,
sehingga mereka merasa ikut terlibat.
Selain motivasi, dalam fungsi pengarahan yang tidak kalah penting adalah
kepemimpinan. Kepemimpinan dilihat sebagai pengaruh, seni atau proses
mempengaruhi orang-orang sehingga mereka akan berusaha mencapai tujuan
kelompok dengan kemauan dan antusias.267
Hal ini berarti bahwa seorang petugas
266
Harold Koontz, Cyril O‟Donnell dan Heinz Weihrich, Manajemen 2, ed. Gunawan
Hutauruk, MBA (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1996), hlm. 94. 267
Ibid., hlm. 147.
119
pastoral harus memiliki jiwa kepemimpinan. Dari sekian banyak gaya
kepemimpinan, kepemimpinan yang demokratis merupakan gaya kepemimpinan
yang paling ideal dan efektif dalam memelihara relasi antara atasan dan bawahan
dalam sebuah organisasi. Kemudian, seorang petugas pastoral juga harus mampu
membangun semangat kerja tim dan selalu melakukan koordinasi dan sinkronisasi
terhadap pelbagai aktivitas seksi. Dalam manajemen pastoral, fungsi koordinasi
dan sinkronisasi harus dilakukan secara rutin dan berkesinambungan terutama
untuk menyelaraskan pelbagai program dan kegiatan serta capaian-capaiannya.
Komunikasi juga merupakan aspek yang penting dalam fungsi
pengarahan. Menurut Barnard sebagaimana dikutip Harold Koontz, Cyril
O‟Donnell dan Heinz Weihrich, komunikasi merupakan sarana penghubung
antara orang-orang dalam organisasi untuk mencapai tujuan bersama.268
Komunikasi yang dibangun harus berdampak pada tercapainya setiap rencana
yang telah dibuat. Untuk menghasilkan komunikasi yang sehat dan efektif
diperlukan media sebagai perantara agar setiap aspirasi yang dimiliki setiap
anggota dapat tersalur dengan baik. Hal yang sama juga dapat memudahkan
petugas pastoral untuk memberikan arahan kepada semua anggota
kepengurusannya.
Aspek terakhir yang tidak kalah penting dalam fungsi pengarahan adalah
kemampuan menyelesaikan konflik. Seorang petugas pastoral harus memiliki
kemampuan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam organisasi yang
dipimpinnya. Konflik terjadi manakala muncul perbedaan pendapat atau
pandangan baik antara individu maupun antara seksi dalam suatu organisasi.
Peran seorang petugas pastoral adalah menjadi penengah yang mampu
menemukan benang merah atau mensintesiskan pelbagai pandangan yang ada.269
Oleh karena itu, peran petugas pastoral sangat menentukan ketika menghadapi
sebuah konflik yang terjadi dalam organisasi yang dipimpinnya.
268
Ibid., hlm. 169. 269
Dr. Marselus R. Payong, M.Pd, “Menjadi Gembala Berwatak Manajer dan Menjadi
Manajer Berhati Gembala”, dalam Dr. Max Regus dan Dr. Fidelis Den (ed.), Omnia in Caritate,
Lakukanlah Semua dalam Kasih, op. cit., hlm. 195.
120
4.4.1.4 Pengendalian (Controlling)
Fungsi manajemen yang terakhir adalah pengendalian. Fungsi ini
berkaitan dengan aktivitas untuk mengetahui capaian-capaian dalam pelaksanaan
tugas pada pelbagai komisi atau seksi dengan menggunakan ukuran dan standar
tertentu. Ada tiga tahap penting yang mesti dilakukan Gereja Keuskupan Ruteng
dalam menjalankan fungsi pengendalian, yakni (1) standar sebagai kriteria
keberhasilan atau ketercapaian, (2) pengukuran sebagai kegiatan untuk
mengetahui ketercapaian hasil dengan kriteria-kriteria keberhasilan, dan (3)
memperbaiki penyimpangan yang tidak dikehendaki dari standar dan
perencanaan.270
Pertama, standar merupakan merupakan kriteria yang dipakai untuk
mengukur prestasi kerja yang telah dicapai berdasarkan rencana yang telah
ditetapkan. Standar yang biasa digunakan dalam mengukur prestasi kerja adalah
standar kuantitatif dan kualitatif. Standar kuantitatif dapat dilihat dari pencapaian
yang ditunjukkan dengan angka-angka, sedangkan standar kualitatif dapat diukur
dengan penilaian-penilaian persepsional yang diungkapkan secara bebas maupun
diungkapkan melalui skala-skala pengukuran tertentu.271
Kedua, pengukuran sebagai kegiatan untuk mengetahui ketercapaian hasil
dengan kriteria-kriteria keberhasilan. Langkah ini sangat penting untuk
mengetahui sudah sejauh mana pencapaian atau prestasi program pastoral yang
telah dicapai berdasarkan rencana yang telah dibuat. Prestasi yang dicapai
merupakan suatu indikator bahwa suatu program pastoral terlaksana dengan baik.
Oleh karena itu, pencapaian ini pun dapat menjadi titik tolak dalam prencanaan
yang dibuat untuk masa yang akan datang.
Ketiga, memperbaiki penyimpangan yang tidak dikehendaki dari standar
dan perencanaan. Hal ini berarti bahwa apabila pencapaian atau prestasi yang
diperoleh dalam program pastoral tidak sesuai dengan standar dan prencanaan,
270
Harold Koontz, Cyril O‟Donnell dan Heinz Weihrich, Manajemen 2, ed. Gunawan
Hutauruk, MBA, op. cit., hlm. 197. 271
Marselus R. Payong, “Menjadi Gembala Berwatak Manajer dan Menjadi Manajer
Berhati Gembala”, dalam Max Regus dan Fidelis Den (ed.), Omnia in Caritate, Lakukanlah
Semua dalam Kasih, op. cit., hlm. 197.
121
maka pada tahap ini akan diambil langkah perbaikan. Ada banyak langkah
perbaikan yang dapat dipilih untuk mencapai prestasi sesuai dengan rencana yang
telah dibuat, misalnya dengan menambah jumlah anggota dalam sebuah komisi
atau seksi dalam sebuah kepengurusan, mengadakan latihan atau pendampingan
bagi para pengurus, dan pilihan yang terakhir dengan mengganti pengurus yang
lama dengan yang baru.
Fungsi pengendalian sebagai bagian terakhir dalam manajemen pastoral
memiliki peran yang sangat penting. Melihat betapa pentingnya fungsi
pengendalian ini dalam sebuah manajemen pastoral, maka fungsi ini dapat
dilakukan Gereja Keuskupan Ruteng pada setiap tahun atau pada setiap akhir
tonggak tertentu. Meski demikian, apabila dilihat dari pentingnya fungsi
pengendalian ini dalam rangka memperbaiki kinerja demi mencapai standar yang
telah ditetapkan, maka fungsi pengendalian dapat dilakukan secara terus-menerus
pada setiap bulan dalam jenjang yang lebih kecil, jika memiliki data-data prestasi
yang dicapai.
4.5 Refleksi Kritis Atas Peran Gereja dalam Upaya Membebaskan Kaum
Miskin
Peran Gereja dalam upaya membebaskan kaum miskin dari kemiskinan
merupakan suatu bentuk partisipasi Gereja dalam karya keselamatan Allah bagi
umat manusia. Gereja menyadari bahwa panggilannya lebih mengutamakan
mereka yang terpinggirkan. Oleh karena itu, berkaitan dengan peran Gereja dalam
membebaskan kaum miskin, akan diuraikan beberapa refleksi kritis atas beberapa
bidang karya pastoral Keuskupan Ruteng.
4.5.1 Bidang Sosial Politik
Perjuangan Gereja dalam membebaskan kaum miskin memungkinkan
Gereja untuk terlibat dalam bidang politik. Meski demikian harus diakui bahwa
misi utama Gereja dalam masyarakat adalah misi keagamaan bukan politis,
ekonomis atau sosial.272
Misi keagamaan yang diemban Gereja dalam hal ini
adalah mewartakan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah itu membawa keselamatan
272
John Boylon, “Imam dan Politik”, dalam Romanus Satu dan Herman Embuiru Wetu
(ed.), Gereja Milenium Baru (Tangerang: Yayasan Gapura, 2000), hlm. 181.
122
kepada semua orang tanpa terkecuali. Gereja sebagai sarana keselamatan Allah
juga harus mampu mengemban semua tugas yang diberikan kepadanya,
khususnya membebaskan kaum miskin dan menderita.
Upaya Gereja dalam membebaskan kaum miskin melalui bidang politik
hendaknya menyadarkan Gereja, bahwa sesungguhnya Gereja tidak memiliki
kompetensi politik. Memang harus diakui bahwa perjuangan Gereja melalui
politik untuk membebaskan kaum miskin dan tertindas merupakan suatu
keharusan. Akan tetapi harus tetap diperhatikan bahwasannya Gereja tidak
mempunyai kompetensi untuk mengajukan kebijakan-kebijakan konkret-
praktis.273
Hal ini dikarenakan kebijakan-kebijakan konkret praktis memerlukan
kompetensi politis. Dalam hal ini menjadi jelas bahwa Gereja sebagai Gereja tidak
diberi kompetensi apa-apa dalam bidang politik.
Tidak adanya kompetensi Gereja dalam bidang politik tidak berarti bahwa
Gereja tidak mempunyai sumbangsih terhadap kehidupan berpolitik. Peran Gereja
dalam bidang politik yang berkaitan dengan pengambilan kebijakan politik demi
kepentingan kaum miskin diemban oleh para politik Katolik. Mereka memiliki
kompetensi dalam mengambil kebijakan politisi bukan karena mereka Katolik,
tetapi karena mereka politisi. Dengan demikian, menjadi relevan program yang
dicanangkan Gereja Keuskupan Ruteng berkaitan dengan bidang sosial politik
yakni dengan berfokus pada para politisi agar berpolitik sesuai dengan nilai-nilai
keKatolikan. Hal ini menghantar pada suatu tujuan agar para politisi Katolik
menjalankan tugas sesuai dengan ajaran iman Katolik dengan memperjuangkan
kesejahteraan bersama, khususnya hak kaum miskin dan menderita.
4.5.2 Bidang Sosial Ekonomi
Keterlibatan Gereja dalam bidang sosial ekonomi merupakan sebuah
kemendesakan. Hal ini terjadi karena perekonomian berkaitan dengan hajat hidup
orang banyak. Sebagaimana Yesus dalam karya pelayanannya memberi makan
kepada orang banyak (Mat. 14:13-21; 15:32-39; Mrk. 6:30-44; Luk. 9:10-17; Yoh.
6:1-13), demikian pula Gereja mengambil bagian dalam karya pelayanan Yesus
273
Franz Magnis-Suseno, “Iman dan Politik”, dalam Eduard R. Dopo (ed.), Keprihatinan
Sosial Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 35.
123
itu. Semua karya pelayanan yang dilakukan Yesus bertujuan untuk membebaskan
manusia dari belenggu kemiskinan. Ada beberapa sektor yang menjadi perhatian
Gereja dalam meningkatkan kehidupan ekonomi umat di Keuskupan Ruteng
yakni kesehatan, pertanian, dan pariwisata.
Kesehatan merupakan bagian penting dalam pelayanan Gereja. Pelayanan
terhadap orang sakit sudah ditunjukkan Yesus selama pewartaan-Nya di Palestina
(Mat. 8:1-4; Mrk. 1:40-45; Luk. 5:12-16). Yesus menyembuhkan orang sakit dan
serentak pada saat yang sama orang tersebut mengalami trasformasi dalam
hidupnya untuk menjalani kehidupan yang baru. Gereja Keuskupan Ruteng dalam
pelayanannya di bidang kesehatan dilihat sebagai bentuk partisipasi dalam
pelayanan yang telah ditunjukkan Yesus. Gereja melihat pelayanan dalam bidang
kesehatan sebagai upaya membebaskan manusia dari penderitaan.
Adanya penderitaan dapat menjadi halangan bagi orang yang beriman
kepada Kristus untuk mewujudkan iman dalam hidupnya sehari-hari. Kesehatan
merupakan kondisi yang memungkinkan seseorang mengaktualisasi pontesi yang
ada dalam dirinya. Itu berarti kondisi kesehatan dalam hal ini bukan hanya secara
fisik saja, tetapi juga secara rohani. Oleh karena itu, dalam hal ini dapat
dibenarkan misi Gereja dalam bidang kesehatan sebagai upaya membebaskan
mereka yang menderita karena sakit. Gereja Keuskupan Ruteng telah melakukan
pelbagai upaya untuk menyadarkan umatnya agar menjaga hidup sehat melalui
pola hidup yang sehat. Selain melakukan pola penyadaran, Gereja juga turut
membangun fasilitas kesehatan bagi masyarakat.
Selain sektor kesehatan, Gereja juga turut memperhatikan sektor petanian.
Sebagian besar umat Katolik Keuskupan Ruteng berprofesi sebagai petani.
Kenyataan ini mendorong Gereja agar pelayanannya selalu kontekstual yaitu
sesuai dengan latar belakang umatnya. Tantangan yang dialami para petani di
Keuskupan Ruteng adalah modernisasi dalam pertanian serentak membawa
dampak negatif. Harus diakui bahwa pertanian modern telah membantu para
petani untuk mendapat hasil yang memuaskan. Akan tetapi praktik ini telah
terbukti membawa masalah baru yakni menurunnya produktivitas lahan.
Kemudian para petani bergantung pada perusahaan mulai dari pembibitan hingga
124
perawatan. Dalam proses perawatan juga, demi meningkatkan produktivitas lahan
para petani saat ini gemar menggunakan pupuk kimia.
Pola praktik pertanian yang demikian bila dilihat dari aktivitas jangka
panjang sangat merugikan generasi yang akan datang. Hal ini terjadi karena
praktik pertanian seperti ini dapat merusak lingkungan. Memang harus diakui
bahwa pola pertanian lama yang menggunakan pupuk organik kurang
memberikan hasil yang memuaskan, tetapi keuntungan yang diperoleh dari
praktik ini adalah dapat berlangsung untuk waktu yang lama. Oleh karena itu,
Gereja harus tetap berjuang menyelamatkan generasi yang akan datang dengan
menggalakkan pertanian organik untuk generasi sekarang.
Perhatian Gereja dalam bidang sosial ekonomi juga terarah kepada sektor
pariwisata. Pariwisata saat ini telah menjadi prioritas pemerintah mulai dari pusat
sampai ke daerah. Dampak dari kebijakan pemerintah dalam pengembangan
pariwisata sangat terasa dengan kebijakan Presiden Jokowi yang menetapkan
Taman Nasional Komodo sebagai tempat pariwisata premium.274
Pengembangan
pariwisata yang terjadi di Manggarai tidak hanya membawa keuntungan positif,
tetapi juga tidak menutup kemungkinan adanya dampak negatif. Di sini Gereja
harus menentukan sikap secara bijak, sehingga dalam konteks ini Gereja
mendukung pengembangan pariwisata. Memang harus diakui bahwa Gereja tidak
mempunyai pengaruh untuk menolak adanya pengembangan pariwisata di
Keuskupan Ruteng, tetapi jalan yang ditempuh Gereja Keuskupan Ruteng adalah
dengan mengingatkan pemerintah untuk mengembangkan pariwisata sambil
memperhatikan kepentingan masyarakat umum. Lebih dari itu usaha yang dibuat
adalah dengan melibatkan masyarakat setempat dalam mengolah pariwisata yang
ada dengan mengutamakan kearifan lokal daerah setempat.
274
Rakhmat Nur Hakim, “Jokowi: Labuan Bajo Destinasi Wisata Premium, Jangan
Dicampur dengan Menengah ke Bawah”, Kompas.Com, 28 November 2019,
https://amp.kompas.com/nasional/read/2019/11/28/11181551/jokowi-labuan-bajo-destinasi-
wisata-premium-jangan-dicampur-dengan-menengah, diakses pada 15 April 2020.
125
4.5.3 Bidang Sosial Pendidikan
Dalam karya pastoral Gereja Keuskupan Ruteng, pendidikan merupakan
bidang yang sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini mengingat bahwa dalam
rangka mewartakan ajaran iman kepada umat, Gereja harus terlebih dahulu
mendidik umat untuk menjadi pribadi yang berpengetahuan. Pengetahuan yang
dimaksudkan bukan hanya tentang bidang ilmu tertentu saja, tetapi lebih pada
pengetahuan yang bersifat integral yang mencakup segala bidang. Dalam konteks
membebaskan kaum miskin, pendidikan memainkan peran yang sangat penting
dalam menumbuhkan kesadaran akan realitas kehidupan di tengah umat.
Pendidikan memungkinkan seorang manusia merefleksikan secara kritis keadaan
sosial yang tidak adil. Ketidakadilan itu menyata dalam perbedaan yang mencolok
antara yang miskin dan yang kaya. Inilah yang menjadi tujuan Gereja Keuskupan
Ruteng berkecimpung dalam dunia pendidikan.
Misi pendidikan yang dijalankan Gereja Keuskupan Ruteng diterjemahkan
melalui sekolah-sekolah yang didirikannya yakni dari tingkat PAUD hingga
perguruan tinggi. Gereja Keuskupan Ruteng mendirikan sekolah-sekolah tersebut
agar umatnya dapat dididik secara berkelanjutan dari tingkat dasar hingga ke
tingkat yang lebih tinggi. Dengan sistem pendidikan yang berkelanjutan ini,
Gereja sebenarnya hendak mendidik umatnya untuk menjadi pribadi yang
sungguh mengenal hidupnya. Meski demikian, peran Gereja dalam pendidikan
tidak hanya terjadi dalam pendidikan formal seperti di sekolah-sekolah, tetapi
juga pendidikan nonformal.
Pendidikan nonformal yang dimaksudkan adalah pendidikan yang terjadi
di luar lingkungan sekolah yakni di dalam lingkungan keluarga. Keluarga
merupakan tempat persemaian yang paling pertama seorang anak. Dalam
keluarga, seorang anak dididik untuk pertama kalinya. Oleh karena itu, menyadari
pentingnya peran keluarga dalam mendidik anak-anaknya, maka Gereja juga turut
berpartisipasi dalam mendorong setiap keluarga Katolik untuk mendidikan anak-
anaknya dengan baik dan benar. Hal ini dilakukan Gereja terhadap calon keluarga
baru melalui Kursus Persiapan Perkawinan Katolik.
126
Akan tetapi dalam karya pastoral di bidang pendidikan, Gereja harus
mengakui bahwa ruang gerak Gereja dalam pendidikan formal masih terbatas
hanya pada sekolah-sekolah milik Gereja. Sedangkan untuk sekolah yang bukan
berada di bawah yayasan milik keuskupan, Gereja tidak memliki otoritas yakni
sekolah swasta non-Katolik dan sekolah negeri. Meski demikian, upaya yang
masih relevan bagi mereka yang berada di sekolah negeri dapat ditempuh melalui
pendidikan nonformal yang terjadi baik dalam keluarga, maupun dalam asrama-
asrama milik Gereja.
Selain itu, di tengah perkembangan teknologi yang semakin canggih dan
tuntutan dunia kerja yang menekankan keahlian, tantangan Gereja dalam bidang
pendidikan adalah menyesuaikan model pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhan dunia kerja sambil mempertahankan nilai-nilai keKatolikan dalam diri
peserta didik.
4.5.4 Bidang Lingkungan Hidup
Pastoral dalam bidang lingkungan hidup merupakan bentuk partisipasi
Gereja dalam menjaga keutuhan ciptaan Allah. Sebagaimana ditegaskan dalam
Gaudium et Spes nomor 12 bahwa alam diperuntukkan bagi manusia sebagai
pusat dan puncaknya.275
Sebagai pusat dan puncak dalam hal ini bukan berarti
manusia melihat alam disubordinasikan terhadap manusia, sehingga
membenarkan eksploitasi terhadap alam. Paradigma berpikir demikian harus
diubah dengan melihat alam sebagai ”home”, tempat tinggal manusia. Saat ini
terjadi krisis lingkungan hidup karena perilaku manusia yang menjadikan alam
sebagai objek pemenuhan kebutuhan manusia. Praktik ini secara langsung
mengancam kehidupan yang ada di bumi termasuk hidup manusia sendiri.
Keberpihakan terhadap keutuhan alam dan ciptaan mendorng Gereja
dalam karya pelayanannya untuk mewartakan secara masif tema ekologi. Betapa
tidak kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya kelestarian ekologi turut
menjadi pertimbangan penting dalam setiap keputusan khususnya dalam
pembangunan. Hal ini berangkat dari realitas saat ini di mana terjadi krisis
275
Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, No. 12, penerj. R.
Hardawirayana SJ, op. cit., hlm. 534.
127
lingkugan hidup secara besar-besaran mulai dari perubahan iklim yang ekstrim
hingga cuaca yang tidak menentu. Selain itu bencana alam seperti kekeringan,
banjir dan tanah longsor merupakan rentetan akibat kerusakan linkungan.
Berangkat dari kenyataan ini Gereja mesti menanamkan kesadaran dalam diri
manusia tentang pentingnya kelestarian alam. Meski demikian, apabila dilihat dari
gerakan yang diinisiasi Gereja Keuskupan Ruteng saat ini, karya pastoral
Keuskupan Ruteng di bidang lingkungan hidup belum menggema secara luas.
Gerakan yang dijalankan Gereja Keuskupan Ruteng masih dalam ranah yang
sempit, misalnya saja program penghijauan yang dicanangkan Gereja Keuskupan
Ruteng masih terbatas pada lahan milik Gereja.
128
BAB V
PENUTUP
Pada bab penutup ini penulis akan membahas kesimpulan dan saran. Pada
bagian pertama penulis akan menyimpulkan seluruh pembahasan dengan bertitik
tolak pada pertanyaan pokok perihal sejauh mana peran Gereja Keuskupan Ruteng
dalam membebaskan kaum miskin. Setelah itu, pada bagian kedua akan diuraikan
pula saran-saran sebagai rekomendasi bagi pihak-pihak yang memiliki tanggung
jawab dalam pelayanan pastoral untuk membebaskan kaum miskin dari
kemiskinan, khususnya para agen pastoral dan para pengurus Gereja yang terlibat
langsung dalam karya pelayanan terhadap kaum miskin.
5.1 Kesimpulan
Telah diuraikan sebelumnya bahwa perkembangan dunia dewasa ini yang
ditandai dengan kemajuan dalam pelbagai bidang kehidupan manusia telah
membawa perubahan dalam kehidupan manusia. Kemajuan yang dicapai manusia
saat ini telah memudahkannya dalam memenuhi semua kebutuhan hidupnya.
Meski demikian, harus diakui bahwa kemajuan tersebut tidak dengan sendirinya
menegasikan tantangan-tantangan yang timbul sebagai ekses dari kemajuan yang
ada. Banyaknya masalah yang timbul saat ini menegaskan anggapan ini bahwa
kemajuan dalam pelbagai bidang kehidupan khususnya ilmu pengetahuan dan
teknologi belum bisa mengatasi masalah yang dialami umat manusia. Salah satu
masalah yang dialami umat manusia saat ini yang mewarnai perkembangan dunia
adalah kemiskinan yang semakin meraja lela.
Kemiskinan sebagai tantangan global telah membuka mata semua orang
bahwa kemajuan dalam pelbagai bidang kehidupan turut melahirkan kemiskinan
di pihak lain. Masalah kemiskinan yang terjadi secara global juga turut dirasakan
secara nyata oleh umat Keuskupan Ruteng. Kemiskinan yang dialami umat
129
Keuskupan Ruteng terjadi dalam banyak dimensi kehidupan. Ada banyak umat
Keuskupan Ruteng yang hidup di bawah garis kemiskinan, tidak terhitung dengan
masyarakat yang hidup di sekitar garis kemiskinan. Kenyataan ini mau
menggambarkan bahwa umat Keuskupan Ruteng masih berada dalam lingkaran
kemiskinan.
Dalam sejarah perkembangannya, sejak tahun 1912 ketika Gereja Katolik
masuk ke Manggarai, Gereja telah berperan dalam membangun kehidupan orang
Manggarai dalam pelbagai dimensi kehidupan, bukan hanya dalam bidang rohani,
tetapi dalam bidang lain juga menjadi fokus perhatian Gereja. Sejak
kedatangannya hingga saat ini, Gereja telah berperan dalam beberapa bidang
kehidupan umat, yakni dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, dan ekologi.
Dalam bidang politik, Gereja Katolik Manggarai turut mengambil bagian dalam
mendidik umat untuk berpartisipasi dalam bidang politik. Gereja juga menjadi
pelopor dalam setiap gerakan yang menentang kebijakan pemerintah yang tidak
pro rakyat.
Sedangkan dalam bidang ekonomi, Gereja Keuskupan Ruteng telah
berperan penting dalam mengembangkan ekonomi umat seperti dalam sektor
pertanian, perkebunan, peternakan, pertukangan, koperasi dan sektor kreatif
lainnya. Hal ini mau membuktikan kepedulian Gereja terhadap pembangunan
perekonomian umat Keuskupan Ruteng. Selain itu, Gereja juga telah berjasa
dalam mengembangkan pendidikan di Manggarai. Sejak awal kehadiran Gereja di
Manggarai, telah didirikan sekolah pertama tahun 1911 di Reo dan Labuan Bajo.
Dalam perkembangan selanjutnya Gereja juga mengembangkan pendidikan
hingga perguruan tinggi. Selain pendidikan formal, Gereja juga berjasa dalam
mengembangkan pendidikan nonformal melalui penyelenggaraan kursus.
Selain itu, Gereja juga memiliki perhatian yang besar terhadap isu
lingkungan hidup. Selama ini Gereja Keuskupan Ruteng telah aktif dalam rangka
melestarikan lingkungan dengan mengadakan penghijauan di semua lahan milik
Gereja. Gereja juga telah menjadi pelopor aksi penolakan terhadap operasi
tambang di beberapa wilayah di Manggarai. Semua usaha yang dilakukan Gereja
merupakan bentuk peran dalam membangun ekonomi umat. Gereja Kuskupan
130
Ruteng telah berjuang membawa umat Keuskupan Ruteng untuk keluar dari
keterbelakangan baik dari segi psikis maupun fisik.
Besarnya perhatian Gereja sejak masa lalu hingga sekarang dalam
pembangunan hidup umat, khususnya dalam kesejahteraan ekonomi, tidak dengan
sendirinya menghilangkan masalah kemiskinan. Angka kemiskinan di Keuskupan
Ruteng yang mencakup tiga kabupaten masih terbilang tinggi. Hal ini mau
menegaskan bahwa perjuangan Gereja dalam membebaskan kaum miskin belum
berhasil sepenuhnya. Dengan demikian, realitas kemiskinan ini menjadi dorongan
bagi Gereja Keuskupan Ruteng untuk menyatakan keberpihakannya terhadap
kaum miskin. Misi yang diemban Gereja Keuskupan Ruteng dalam menghadapi
realitas kemiskinan adalah dengan membebaskan kaum miskin.
Dasar perjuangan Gereja dalam membebaskan kaum miskin sudah tersurat
dalam kitab suci dan ajaran sosial Gereja. Dalam Perjanjian Lama Allah
membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Perhatian Allah terhadap
bangsa Israel nyata ketika Ia memilih Musa untuk membawa mereka keluar dari
tanah Mesir. Selanjutnya dalam Perjanjian Baru, misi pembebasan Allah
terlaksana dalam diri Yesus. Kedatangan Yesus di dunia ini mau menegaskan
solidaritas Allah terhadap penderitaan manusia, di mana Ia mau menjadi sama
seperti manusia kecuali dalam hal dosa. Selama karya pewartaanNya, Yesus
selalu memperhatikan yang miskin dan menderita, bahkan pada akhirnya Ia
sendiri rela menderita dan mati di kayu salib. Kesaksian hidup Yesus inilah yang
menjadi semangat dan dasar pelayanan jemaat perdana terhadap kaum miskin.
Ajaran Sosial Gereja juga secara tegas menyatakan keberpihakan terhadap kaum
miskin. Oleh karena itu, atas dasar inilah Gereja Keuskupan Ruteng menyatakan
keberpihakan terhadap kaum miskin dengan berjuang bersama kaum miskin untuk
bebas dari belenggu kemiskinan.
Berdasarkan inspirasi biblis dan ajaran sosial Gereja, Gereja Keuskupan
Ruteng berusaha untuk membebaskan kaum miskin. Ada banyak pilihan yang
dapat dilakukan Gereja Keuskupan Ruteng dalam usaha membebaskan kaum
miskin. Akan tetapi lebih dari itu, Gereja Keuskupan Ruteng mewujudkan usaha
itu dalam program-program konkret sebagaimana dipaparkan dalam hasil sinode
131
III Keuskupan Ruteng. Perjuangan Gereja Keuskupan Ruteng dalam
membebaskan kaum miskin sudah dicanangkan Gereja Keuskupan Ruteng dalam
sinode III.
Ada empat bidang pelayanan pastoral Gereja Keuskupan Ruteng yang
bersinggungan langsung dalam usaha membebaskan kaum miskin. Keempat
bidang pastoral ini saling berkaitan satu sama lain yakni pastoral dalam bidang
sosial politik, ekonomi, pendidikan dan ekologi. Telah diuraikan secara detail
semua program yang akan dilakukan Gereja Keuskupan Ruteng dalam rangka
upaya membebaskan kaum miskin dari lingkaran kemiskinan. Akan tetapi semua
program itu akan dijalankan dengan efektif dan efisien bila menggunakan strategi
pastoral yang tepat.
Salah satu strategi yang ditawarkan dalam tulisan ini dalam rangka upaya
membebaskan kaum miskin adalah dengan melakukan pembenahan manajemen
pastoral. Adanya manajemen pastoral yang baik dapat memudahkan
pengimplementasian program pastoral sebagaimana yang telah dirancang
sebelumnya. Dalam kerangka manajemen pastoral yang baik, pelaksanaan
program pastoral dalam upaya membebaskan kaum miskin dapat terealisasi,
sehingga peran Gereja dalam upaya membebaskan kaum miskin dapat tercapai.
5.2 Saran
Berdasarkan uraian yang terdapat dalam kesimpulan di atas, maka tulisan
ini bertujuan untuk menjadi landasan dalam membebaskan kaum miskin dari
realitas kemiskinan. Oleh karena itu, penulis memberikan beberapa usul saran
bagi para klerus dan para umat Keuskupan Ruteng serta pihak pemerintah daerah
agar berperan aktif dalam uasaha membebaskan kaum miskin.
5.2.1 Bagi Para Klerus Keuskupan Ruteng
Para klerus memiliki peran yang sangat sentral dalam tugas pelayanan
pastoral, khususnya dalam usaha membebaskan kaum miskin. Berdasarkan solusi
yang ditawarkan dalam tulisan ini, ada beberapa saran yang menjadi perhatian
para klerus Keuskupan Ruteng. Pertama, para klerus harus memiliki kemampuan
132
dalam manajemen pastoral. Itu berarti bahwa para klerus sebagai petugas pastoral
harus memahami tugas dan fungsinya dengan baik. Kedua, para klerus harus
melakukan pembenahan manajemen pastoral mulai dari tingkat keuskupan,
paroki, lingkungan, stasi sampai KBG. Itu berarti bahwa setiap kepengurusan dari
tingkat keuskupan harus sinkron dengan kepengurusan paroki sampai ke tingkat
KBG. Tujuannya agar semua program yang dibuat di tingkat keuskupan dapat
terlaksana hingga ke tingkat KBG, karena didukung dengan struktur
kepengurusan yang rapi dan jelas. Ketiga, para klerus memberikan sosialisasi
kepada umat yang menjadi pengurus dari tingkat keuskupan hingga tingkat KBG,
sehingga umat dapat memahami tugas dan fungsinya dengan baik dalam struktur
kepengurusan.
5.2.2 Bagi Umat Keuskupan Ruteng
Peran umat sangat penting demi terlaksananya program pastoral dalam
sebuah keuskupan. Hal yang sama juga diharapkan dari umat Keuskupan Ruteng.
Bagi umat Keuskupan Ruteng, khususnya yang menjadi pengurus komisi atau
seksi dari tingkat keuskupan hingga tingkat KBG, harus memahami fungsi dan
tugasnya dalam struktur kepengurusan agar menjalankan tugas dengan baik dan
bertanggungjawab. Sedangkan bagi umat seluruhnya, harus mendukung semua
program Gereja Keuskupan Ruteng dalam membebaskan kaum miskin dengan
cara melibatkan diri secara aktif.
5.2.3 Bagi Pemerintah dan Penguasa di Keuskupan Ruteng
Pemerintah lokal dapat melakukan kerja sama dengan Gereja Keuskupan
Ruteng dalam membebaskan kaum miskin dengan menjadikan komisi-komisi di
tingkat keuskupan atau seksi-seksi di tingkat paroki sebagai mitra. Hal ini penting
mengingat sasaran dari perjuangan pemerintah dan Gereja adalah masyarakat atau
umat Keuskupan Ruteng. Oleh karena itu, adanya kerja sama antara pemerintah
dan Gereja dapat mempermudah perjuangan dalam membebaskan kaum miskin di
Keuskupan Ruteng.
133
DAFTAR PUSTAKA
I. Dokumen-Dokumen Gereja
Hardawiryana, R. Dokumen Sidang-Sidang Federasi Konferensi-Konferensi Para
Uskup Asia 1970-1991. Jakarta: DOKPEN KWI, 1995.
Hasil Sidang Agung KWI dan Gereja Katolik Indonesia. Jakarta: DOKPEN KWI,
2003.
Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian. Kopendium Ajaran Sosial
Gereja. penerj. Yosef Maria Florisan, Paul Budi Kleden, dan Otto Gusti
Madung. Maumere: Penerbit Ledalero, 2009.
Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik, Buku Informasi dan Referensi.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996.
Konsili Vatikan. Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja, Ad Gentes. Penerj. R.
Hardawirayana. Jakarta: Penerbit Obor, 2013.
--------------------. Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini,
Gaudium et Spes. Penerj. R. Hardawirayana. Jakarta: Penerbit Obor, 2013.
---------------------. Konstitusi tentang Liturgi Suci, Sacrosanctum Concilium.
Penerj. R. Hardawirayana. Jakarta: Penerbit Obor, 2013.
---------------------. Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Lumen Gentium. Penerj.
R. Hardawirayana. Jakarta: DOKPEN KWI, 1990.
Nota Pastoral tentang Pendidikan, Lembaga Pendidikan Katolik: “Media
Pewartaan Kabar Gembira, Unggul dan Lebih Berpihak pada Kaum
Miskin”. Jakarta: Sekretariat Jenderal KWI, 2008.
Panitia Sinode III Keuskupan Ruteng. Dokumen Sinode III 2013-2015 Keuskupan
Ruteng Pastoral Kontekstual Integral. Yogyakarta: asdaMEDIA, 2016.
Yohanes Paulus II. Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis. Penerj. P. Turang Pr. Jakarta:
DOKPEN KWI, 1988.
II. Dokumen Pemerintah
BPS Kabupaten Manggarai. Kabupaten Manggarai Dalam Angka 2019. Ruteng:
BPS Kabupaten Manggarai, 2019.
BPS Kabupaten Manggarai Timur. Kabupaten Manggarai Timur Dalam Angka
2019. Borong: BPS Kabupaten Manggarai Timur, 2019.
BPS Kabupaten Manggarai Barat. Kabupaten Manggarai Barat Dalam Angka
2019. Labuan Bajo: BPS Kabupaten Manggarai Barat, 2019.
134
Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia. Penerj. Burhan Tsany
dan S. Maimoen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
III. Kamus dan Esiklopedi
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 4, cet. 9.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Heuken, A. “Hierarki”, Ensiklopedi Gereja, jilid III H-J. Jakarta: Yayasan Cipta
Lokal Caraka, 2004.
Webster‟s Third New International Dictionary of The English Language “pauper”.
United State: Merriam-Webster Inc., 1989.
IV. Buku-Buku
Ahmadi, H. Abdul dan Kaelani HD. Kependudukan di Indonesia dan Pelbagai
Aspeknya. Semarang: Mutiara Permata Widia, 1982.
Ambroise, Yvon. Memberdayakan Kaum Miskin. Penerj. Vincent de Ornay.
Maumere: LPBAJ, 2000.
Ariananto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2015.
Banawiratma, J. B. Gereja dan Masyarakat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986.
Banawiratma, J.B, ed. Spiritualitas Transformatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1990.
Banawiratma, J.B dan J. Muller. Berteologi Sosial Lintas Ilmu, Kemiskinan
sebagai Tantangan Hidup Beriman. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993.
Boff, Leonardo. Yesus Kristus Pembebas. Penerj. Aleksius Armanjaya dan G.
Kirchberger. Maumere: LPBAJ, 2000.
Budi Kleden, Paul. Teologi Terlibat, Politik dan Budaya dalam Terang Teologi.
Maumere: Penerbit Ledalero, 2012.
Camus, Albert. Krisis Kebebasan. Penerj. Edhi Martono. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2013.
Ceme, Remigius. Hidup yang Sesungguhnya. Maumere: Penerbit Ledalero, 2017.
Congar, Y. Gereja Hamba Kaum Miskin. Penerj. R. Hardjono. Yogyakarta:
Peberbit Kanisius, 1973.
Chen, Martin. Teologi Gustavo Gutierrez. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002.
135
Chen, Martin dan Charles Suwendi, ed. Iman, Budaya, dan Pergumulan Sosial.
Jakarta: Penerbit Obor, 2012.
Darmawijaya, St. Keterlibatan Allah Terhadap Kaum Miskin. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 1991.
Darmodihardjo, Darji. Orientasi Singkat Pancasila. Malang: Universitas
Brawijaya Malang, 1976.
Denar, Benny. Mengapa Gereja (Harus) Tolak Tambang, Sebuah Tinjauan Etis,
Filosofis dan Teologis Atas Korporasi Tambang. Maumere: Penerbit
Ledalero, 2015.
Erani Yustika, Ahmad. Negara Vs Kaum Miskin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003.
Fauzi, Noer. Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas. Penerj. Utomo Dananjaya, dkk.
Jakarta: LP3ES, 1985.
H. Combs, Philip dan Manzoor Ahmed. Memerangi Kemiskinan di Pedesaan
Melalui Pendidikan Non-Formal. Jakarta: Penerbit CV. Rajawali, 1984.
Harjawiyata, Frans, ed. Yesus dan Situasi Zaman-Nya. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1998.
J. Rachbini, Didik. Pembangunan Ekonomi dan Sumber Daya Manusia. Jakarta:
PT Grasindo, 2001.
Jacobs, Tom. Gereja Menurut Vatikan II. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987.
Jebadu, Alexander. Bahtera Terancam Karam. Maumere: Penerbit Ledalero,
2018.
Jehan Paju Dale, Cypri. Kuasa, Pembangunan dan Pemiskinan Sistemik. Labuan
Bajo: Sunspirit, 2013.
Kirchberger, Georg. Allah Menggugat, Sebuah Dogma Kristiani. Maumere:
Penerbit Ledalero, 2007.
Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: PT
Gramedia, 1974.
Koontz, Harold, Cyril O‟Donnell dan Heinz Weihrich. Manajemen 1. Ed.
Alfonsus Sirait. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1996.
------------------------------------------------------------------------. Manajemen 2. Ed.
Gunawan Hutauruk, MBA. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1996.
136
Lowy, Michael. Teologi Pembebasan. Penerj. Roem Topatimasang. Yogyakarta:
INSIST Press, 1999.
Madeley, John. Big Business Poor People, Bisnis Besar Menguasai Masyarakat
Miskin. Penerj. Alexander Jebadu. Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
2013.
Magnis-Suseno, Franz. Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern. Jakarta: Penerbit Gramedia, 1987.
Mandaru, Hortensius. Solidaritas Kaya Miskin Menurut Lukas. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 1992.
Muller, Johannes. Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2006.
Phillips, Rhonda dan Robert H. Pittman, ed. An Introduction to Community
Development. Abingdon: Routledge, 2009.
Poespowardjo, Soerjanto. Filsafat Pancasila Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya.
Jakarta: PT Gramedia, 1989.
Prasetyo, Eko. Orang Miskin Dilarang Sakit. Yogyakarta: Resist Book, 2005.
-----------------. Orang Miskin Dilarang Sekolah. Yogyakarta: Resist Book, 2005.
Regus, Max dan Kanisius Teobaldus Deki, ed. Gereja Menyapa Mangggarai,
Gereja Menyapa Manggarai. Manggarai: Yayasan Theresia Pora Plate,
2011.
Siauwarjaya, Afra. Membangun Gereja Indonesia, jilid 2. Jakarta: Penerbit
Kanisius, 1987.
Smit, Alb. Elementa Linguae Latinae (Revisa), Liber Primus. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2006.
Suroto, Strategi Pembangunan dan Perencanaan Kesempatan Kerja. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1992.
Suryawasita, A. Teologi Pembebasan Gustavo Gutierrez. Yogyakarta: Penerbit
Jendela, 2001.
Tisera, Guido. Bercermin Pada Jemaat Perdana: Membaca dan Merenungkan
Kisah Para Rasul. Maumere: Penerbit Ledalero, 2002.
Tjokrowinoto, Moeljarto. Pembangunan, Dilema dan Tantangan. Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 1996.
Topatimasang, Roem, Toto Rahardjo, dan Mansour Fakih (penyunt.). Pendidikan
Populer, Membangun Kesadaran Kritis. Jogjakarta: INSISTPress, 2005.
137
Widjaya, Albert. Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Penerbit
LP3ES, 1982.
Winagun, Y. Wartaya. Tanah, Sumber Nilai Hidup. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2004.
Wuryandari, Ganewati, ed. Pengembangan Wilayah Nusa Tengggara Timur dari
Perspektif Sosial, Analisis Pelaksanaan Kebijakan. Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2015.
V. Artikel dan Jurnal
Banawiratma, J.B. “Analisis Sosial dan Pembebasan: Refleksi Teologis”, dalam
J.B Banawiratma, ed. Kemiskinan dan Pembebasan, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1987.
Boylon, John. “Imam dan Politik”, dalam Romanus Satu dan Herman Embuiru
Wetu, ed. Gereja Milenium Baru. Tangerang: Yayasan Gapura, 2000.
Djelahu Maigahoaku, Frederikus dan Martin Chen, “Perencanaan Program
Pastoral Diakonia”, dalam Martin Chen dan Agustinus Manfred Habur, ed.
Diakonia Gereja, Pelayanan Kasih bagi Orang Miskin dan Marginal.
Jakarta: Penerbit Obor, 2020.
Dua, Mikhael. “Globalisasi Ekonomi, Budaya Kapitalis dan Demokrasi”, Jurnal
Ledalero, Vol. 12, No. 2, Desember 2014.
Freire, Paulo. “Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang
Memanusiakan”, dalam Omi Intan Naomi, penyunt. Menggugat
Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Hadiwardoyo, Al. Purwa. “Keadilan Sosial dan Sistem Ekonomi”, dalam J.B.
Banawiratma, SJ, ed. Aspek-Aspek Teologi Sosial. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1988.
Justin Sodo, Robert. “Manggarai dalam Lensa Kemiskinan: Potret Representatif
Kemiskinan NTT?”, dalam Rikard Rahmat, ed. Gereja Itu Politis. Jakarta:
JPIC OFM, 2012.
Kalakoe, Benediktus. “Dari Gereja Miskin Amerika Latin menuju Gereja Petani
Manggarai”, dalam Rikard Rahmat, ed. Gereja Itu Politis. Jakarta: JPIC
OFM, 2012.
Magnis-Suseno, Franz. “Iman dan Politik”, dalam Eduard R. Dopo, ed.
Keprihatinan Sosial Gereja. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991.
Payong, Marselinus R. “Menjadi Gembala Berwatak Manajer dan Menjadi
Manajer Berhati Gembala”, dalam Max Regus dan Fidelis Den, ed. Omnia
in Caritate, Lakukanlah Semua dalam Kasih. Jakarta: Penerbit Obor,
2020.
138
Putranta, C. “Gereja Kaum Miskin dalam Konsili Vatikan II dan Dokumen
Federasi Konferensi Uskup-Uskup Asia”, dalam J.B. Banawiratma, ed.
Kemiskinan dan Pembebasan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987.
Rahardjo, M. Dawam. “Pancasila dan Masalah Hak-Hak Asasi Manusia”, dalam
Alex Lanur, ed. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka. Yogyakarta:
Kanisius, 1995.
Rahmat, Rikard. “Menyongsong Gereja yang Politis”, dalam Rikard Rahmat, ed.
Gereja Itu Politis. Jakarta: JPIC OFM, 2012.
Soedjatmoko, “Dimensi-Dimensi Struktural Kemiskinan”, dalam Alfian, Melly G.
Tan, Selo Soemardjan, ed. Kemiskinan Struktural. Suatu Bunga Rampai.
Jakarta: YIIs, 1980.
Suryawasita, A. “Analisis Sosial”, dalam J. B. Banawiratma, ed. Kemiskinan dan
Pembebasan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987.
Tapung, Marianus Mantovanny. “‟Putus Sekolah‟ dan Politik Pendidikan yang
Visioner”, dalam Max Regus dan Fidelis Den, ed. Omnia in Caritate,
Lakukanlah Semua dalam Kasih. Jakarta: Penerbit Obor, 2020.
Tisera, Guido. “Inspirasi Firman bagi Pembaharuan Gereja Milenium Ketiga”,
dalam Romanus Satu dan Herman Embuiru Wetu, ed. Gereja Milenium
Ketiga. Tangerang: Yayasan Gapura, 2000.
Valle, Edenio. “Dialog Bersama Kaum Miskin dan Tertindas”, dalam Georg
Kirchberger dan John Mansford Prior, ed. Mengendus Jejak Allah, Dialog
dengan Masyarakat Pinggiran, Jilid II. Ende: Penerbit Nusa Indah, 1997.
VI. Manuskrip
Daven, Mathias. “Filsafat Pancasila”. Bahan Kuliah, Sekolah Tinggi Filsafat
Katolik Ledalero, 2016.
Jebadu, Alexander. “Politik Ekonomi Pasar Bebas”. Bahan Kuliah, Sekolah
Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, 2018.
Kleden, Leo. “Filsafat Manusia”. Bahan Kuliah, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik
Ledalero, 2019.
VII. Majalah
Chen, Martin. “Untuk Mewartakan Tahun Rahmat Tuhan Telah Datang”,
Bengkes. 5, Edisi Yubileum 100 Tahun Gereja Katolik Manggarai, 2012.
Farneubun, Longginus. “Gereja Kaum Miskin”, Media. 1/VII: 45, Oktober, 2012.
139
Kristianto, Fajar. “Efektifitas Pemanfaatan Dana APP di Paroki Santo Yohanes
Rasul Wonorigi Tahun 2010-2011”, Orientasi Baru. 1/XXV: 39, April,
2016.
Muga Buku, Rikard. “Mengapa Kandang?”, Majalah Dwibulan Keuskupan
Maumere. IV: 7, Desember, 2009.
Sidang Sinodal KWI 2003 (I), “Pengantar” Spektrum. 1/XXXII: 3, Mei, 2004.
Sidang Sinodal KWI 2006 (I), “Habitus Baru: Ekonomi yang Berkeadilan”,
Spektrum. 1/XXXV: 148, Maret, 2007.
VIII. Internet
“Daftar provinsi di Indonesia menurut PDRB tahun 2016”.
<https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_provinsi_di_Indonesia_menurut_PD
RB_tahun_2016> diakses pada 28 Maret 2019.
“Kartu Indonesia Pintar”.
<https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kartu_Indonesia_Pintar> diakses pada 18
Februari 2020.
“Keuskupan Ruteng”. <https://id.wikipedia.org/wiki/Keuskupan_Ruteng> diakses
pada 9 Februari 2020.
“Kutuk Uskup dan Sukma yang Merana”. Tempo.com, 6 Agustus 1977.
<https://majalah.tempo.co/read/agama/75239/kutuk-uskup-dan-sukma-
yang-merana?read=true> diakses pada 18 April 2020.
Abba, Ardi. “Janji Bupati Agas di Balik Rencana Pabrik Semen Lingko Lolok
Omong Kosong”. VoxNtt.com, 13 April 2020,
<https://voxntt.com/2020/04/13/janji-bupati-agas-di-balik-rencana-pabrik-
semen-lingko-lolok-omong-kosong/61299/> diakses pada 20 April 2020.
Kenaru, Jo. “Di Gereja Katolik Ruteng Para Caleg Bersumpah Tolak Politik
Uang”. Viva, 24 Maret 2019, <https://www-viva-co-
id.cdn.ampproject.org/v/s/www.viva.co.id/amp/pemilu/berita-
pemilu/1133286-di-Gereja-Katolik-ruteng-para-caleg-bersumpah-tolak-
politikuang> diakses pada 20 Februari 2020.
Kroll, Luisa. “Forbes Billionaires 2018: Meet The Richest People On The Planet”.
<https://www.forbes.com/sites/luisakroll/2018/03/06/forbes-billionaires-
2018-meet-the-richest-people-on-the-planet/#756b4c0d6523> diakses 28
Maret 2019.
Lawudin, Christo. “Mgr. Sipri Hormat: Saya akan Jewer Pastor yang Berpolitik
Praktis”. Flores Pos, 14 Maret 2020,
<https://florespos.co.id/berita/detail/mgr-sipri-hormat-saya-akan-jewer-
pastor-yang-berpolitik-praktis> diakses pada 25 Maret 2020.
140
Mgr. Silvester San, “Surat Gembala Administrator Apostolik Keuskupan Ruteng
Tentang Pemilu 2019”. Komsos Ruteng, 24 Januari 2019,
<https://keuskupanruteng.org/surat-gembala-administrator-apostolik-
keuskupan-ruteng-tentang-pemilu-2019/> diakses pada 20 Februari 2020.
Mgr. Silvester San. “Hasil Sidang Pastoral Keuskupan Ruteng 2019”.
<http://www.indonesiakoran.com/news/nusantara/read/80537/hasil.sidang.
pastoral.keuskupan.ruteng..2019> diakses pada 12 Februari 2020.
Nur Hakim, Rakhmat. “Jokowi: Labuan Bajo Destinasi Wisata Premium, Jangan
Dicampur dengan Menengah ke Bawah”. Kompas.Com, 28 November
2019.
<https://amp.kompas.com/nasional/read/2019/11/28/11181551/jokowi-
labuan-bajo-destinasi-wisata-premium-jangan-dicampur-dengan-
menengah> diakses pada 15 April 2020.
Nurul Ulya, Fika. “UMP 34 Provinsi Naik 8,51 Persen Tahun 2020, Nerikut
Daftar Lengkapnya”, Kompas. com, 18 Oktober 2019,
<https://Money.Kompas.Com/Read/2019/10/18/131354326/Ump-34-
Provinsi-Naik-851-Persen-Tahun-2020-Berikut-Daftar-Lengkapnya>
diakses pada 23 Oktober 2019.
Patno, Vinsen. “Membangun Sinergitas Lembaga Pendidikan Katolik”,
HidupKatolik.com, 28 Mei 2019. <https://www.hidupKatolik.com>
diakses pada 20 Maret 2020.
Paus Fransiskus, “Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Orang Miskin Sedunia III”.
<http://w2.vatican.va/content/francesco/en/events/event.dir.html/content/v
aticanevents/en/2019/6/13/messaggio-giornatapoveri.html> diakses pada
03 Maret 2020.
IX. Wawancara
Pelita, Robertus. Wawancara per telepon seluler, 17 April 2020.