9
LESTARI PAPER NO. 03 PERAN HPH DALAM MENJAGA KEBERLANJUTAN HUTAN ALAM Nana Suparna

PERAN HPH DALAM MENJAGA KEBERLANJUTAN HUTAN ALAM · 4 LESTARI PAPERS: Peran HPH Dalam Menjaga Keberlanjutan Hutan Alam Hutan Alam adalah salah satu pertahanan terakhir da-

Embed Size (px)

Citation preview

LESTARI PAPER NO. 03

PERAN HPH DALAM MENJAGA KEBERLANJUTAN HUTAN ALAM

Nana Suparna

Daftar Isi:

1. Pendahuluan

2. Prospek Hutan Produksi

3. Perkembangan Usaha IUPHHK-HA

4. Penutup

1

1

2-5

5-6

Publikasi ini dibuat dengan dukungan dari Rakyat Amerika Serikat melalui United States Agency for International Development (USAID). Isi dari publikasi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Tetra Tech dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau

Pemerintah Amerika Serikat.

Indonesia memiliki kawasan hutan seluas 120,53 juta ha atau sekitar 63% dari luas daratannya, yang terdiri dari kawasan hutan konservasi (21,90 juta ha), kawasan hutan lindung (29,64 juta ha), dan kawasan hutan pro-duksi (68,99 juta ha). Hutan tropis di Indonesia me- rupakan salah satu yang terluas di dunia selain Brazil dan Republik Kongo (Tolo 2012). Sebagai sumber daya alam yang tidak saja bernilai tinggi bagi konservasi, hutan Indonesia juga dieksploitasi sejak jaman kerajaan untuk kepentingan sosial.

Intensitas eksploitasi terhadap hutan menjadi sema-kin tinggi pada masa VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Demikian pula ketika era pemerinta- han Soekarno, dimana tata kelola kehutanan bersifat desentralistik. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 64 tahun 1957, pemerintah mendesentralisasikan tata kelola kehutanan di luar Pulau Jawa kepada pemerintah propinsi. Puncak dari eksploitasi hutan sebagai komoditi ekonomi adalah di era pemerintah orde baru.

Sumber daya hutan seluas 143 juta hektar telah dijadi- kan sebagai sumber devisa negara yang penting untuk pembangunan. Hingga tahun 2000, jumlah Hak Peng- usahaan Hutan (HPH) meningkat sekitar 600 unit de- ngan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta hek-tar. Devisa negara yang disumbangkan cukup besar setelah minyak bumi. Pada tahun 1980-an sebesar USD 200 juta per tahun; tahun 1990-an sebesar USD 9 mil-yar per tahun; sampai dengan awal 1990-an sektor ke-hutanan memberikan kontribusi terhadap pendapatan nasional kedua terbesar setelah minyak dan gas (Nur-rochmat, 2005).

Kawasan hutan produksi yang luasnya mencakup 57% dari total kawasan hutan, pada dasarnya memiliki pe- ran cukup signifikan baik dalam konteks pembangunan ekonomi maupun dalam konteks menjaga kelangsu- ngan kawasan hutan di Indonesia. Sekalipun dalam beberapa tahun terakhir mulai menurun kontribusin-ya. Hal ini disebabkan banyaknya perusahaan yang ti-dak aktif akibat biaya transaksi yang mahal, risiko bisnis yang meningkat, regulasi yang kurang kondusif serta lemahnya status lahan kehutanan. Termasuk harga kayu dalam negeri yang murah. Dari sekitar 269 jumlah pe-rusahaan HPH diperkirakan ada sekitar 30% yang tidak aktif.1

Dalam peta jalan (roadmap) pembangunan hutan pro-duksi tahun 2016 – 2045, disebutkan bahwa untuk mengoptimalkan hutan produksi salah satu langkahnya adalah dengan meningkatkan produktivitas hutan alam dan membangun hutan tanaman dari tahun 2016 hing-ga 2045. Luas lahan yang dibutuhkan sekitar 17,05 juta hektar tanaman dan diprediksi dapat menghasilkan kayu bulat mencapai 572 juta m3/tahun. Sementara untuk hutan alam, pengelolaannya perlu dilakukan secara op-timal pada areal seluas 20 juta hektar sehingga meng-hasilkan kayu bulat sekitar 28 juta m3 per tahun. 2

Dalam prakteknya, keberadaan hutan alam produksi sangat ditentukan oleh keberlanjutan usaha para peme- gang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan profesionalisme unit mana-jemennya. Dengan kata lain, pengelolaan hutan alam produksi secara lestari (PHPL) menjadi kunci dari ke-berhasilan menjaga hutan alam produksi, dan secara ti-dak langsung juga menjaga keberadaan kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lindung. Dengan demi- kian, profesionalisme dan kinerja Unit Manajemen (UM) pengelola hutan alam produksi menjadi penentu atas keberhasilan pengelolaan hutan alam produksi. Sebalik- nya kegagalan pengelolaan hutan alam produksi oleh UM berkontribusi terhadap degradasi dan deforestasi hutan.

Untuk konteks Indonesia, ternyata tidak hanya sekedar persoalan profesionalisme dan kinerja dari UM yang berkontribusi terhadap keberadaan dan kelangsungan fungsi hutan, namun juga persoalan ada tidaknya pi- hak/institusi yang bertanggung jawab terhadap hutan di lapangan (site) juga memiliki peran sangat penting. Mengingat tatkala tidak ada pihak/institusi yang ber- tanggung jawab di lapangan, maka hampir dapat di-pastikan bahwa kawasan hutan tersebut akan ber- alih menjadi aset tak bertuan. Dalam arti akses pe- manfaatan hutan menjadi sangat terbuka untuk siapa saja, dan ada kecenderungan dikelola secara ilegal. Situasi ini menjadi potensi deforestasi dan kon-versi hutan menjadi lahan pertanian atau perkebu-nan. Ini berarti, keberadaan dan keberlanjutan usa- ha dari pemegang IUPHHK-HA dengan jaminan pen-gelolaannya secara lestari merupakan keniscayaan. Mengingat hal ini menjadi kunci untuk mempertahan- kan keberadaan dan fungsi dari hutan alam produksi.

1 Sugiono, Munas Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Jakarta, 19 Oktober 2016.

2 Roadmap Pembangunan Hutan Produksi Indonesia 2016 - 2045

1. Pendahuluan 2. Prospek Hutan Produksi

WWW.LESTARI-INDONESIA.ORG LESTARI PAPERS: Peran HPH Dalam Menjaga Keberlanjutan Hutan Alam

1

2

3 APHI, 2016

Tanpa ada jaminan secara formal dan mengikat atas pengelolaan yang lestari, maka keberadaan pemegang izin dapat menjadi beban dalam pembangunan ke-hutanan Indonesia dimasa depan. Dalam perkemba- ngannya, usaha IUPHHK-HA atau usaha konsesi hutan alam dari tahun ke tahun ternyata terus menurun. Pada tahun 1992, dari 580 UM telah dikelola areal hutan sebesar 61,36 juta hektar. Kemudian tahun 2015, hanya ada 269 UM (178 aktif) dengan wilayah kelola hanya 20,62 juta hektar. Ini berarti luas kawasan hu- tan alam produksi yang dikelola berkurang sekitar 66% selama kurun waktu 23 tahun. Dengan demikian, maka luas kawasan hutan alam produksi eks HPH

3. Perkembangan Usaha IUPHHK-HA

(secara defacto tidak ada pengelolaannya) menjadi se-makin terlantar dan berpotensi “open akses”. Sehing- ga pada akhirnya mengakibatkan kerusakan kawasan hutan secara masif dan permanen. Tidak hanya pada HPH, hal yang sama juga terjadi dengan HTI dima-na dari luas lahan konsesi sebanyak 10,57 juta hektar tercatat sekitar 35% yang tidak dikelola. Kemudian, kawasan hutan produksi yang dikonversi menjadi kebun (sawit dll) ada sekitar 10 juta ha. 3

Perkembangan usaha konsesi hutan alam dalam kurun waktu 23 tahun terakhir dapat dilihat pada tabel 1 beri-kut.

Tahun Jumlah Konsesi (unit)

Luas Areal Konsesi (x Juta Ha)

Produksi (x Juta m3) Produktivitas

Hutan alam (m3/ha/th)

Surat Keputusan Luas Efektif Kuota Realisasi

1 2 3 4 5 6 7(6/4)

1992 580 61.38 42.97 - 26.05 0.61

2000 362 39.16 27.41 - 3.45 0.12

2001 351 36.42 25.49 5.6 1.81 (32%) 0.07

2002 270 28.08 19.66 5.3 3.02 (57%) 0.15

2003 267 27.80 19.46 6.1 4.10 (67%) 0.21

2004 287 27.82 19.47 6.7 3.51 (52%) 0.18

2005 285 27.72 19.40 7.2 5.72 (79%) 0.29

2006 322 28.78 20.15 9.1 5.59 (61%) 0.28

2007 323 28.16 19.71 9.1 6.11 (67%) 0.31

2008 308 25.90 18.13 9.1 4.69 (52%) 0.26

2009 304 25.66 19.96 9.1 5.42 (60%) 0.27

2010 304 24.95 17.46 9.1 5.75 (63%) 0.33

2011 295 23.24 16.27 9.1 6.28 (69%) 0.39

2012 294 23.90 16.73 8.72 5.07 (58%) 0.30

2013 286 22.80 15.96 8.72 3.68 (42%) 0.23

2014 275 20.69 11.48 10.55 5.35 (51%) 0.34

2015 269 20.62 14.43 10,98 5.83 (53%) 0.40

Tabel 1. Perkembangan Usaha Konsesi Hutan Alam

Note : Dari 269 konsesi yang ada pada tahun 2015, hanya 178 konsesi yang aktif, atau hanya 66%.

LESTARI PAPERS: Peran HPH Dalam Menjaga Keberlanjutan WWW.LESTARI-INDONESIA.ORG Hutan Alam

WWW.LESTARI-INDONESIA.ORG LESTARI PAPERS: Peran HPH Dalam Menjaga Keberlanjutan Hutan Alam

3

Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa luas hutan alam produksi yang “open akses”, berbanding lurus dengan jumlah usaha (UM) konsesi hutan alam yang berhenti. Karenanya, untuk mencegah kawasan semakin terde-gradasi dan disisi lain mengembalikan produktivitasnya, maka sebagian areal hutan alam eks konsesi hutan alam

dapat diubah sebagai areal Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemas-yarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Restorasi eko-sistim (RE), Jasa Lingkungan, Hasil Hutan Bukan Kayu, Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK) dan usaha- usaha perkebunan.

Tabel 2. Perkembangan Kawasan Hutan Produksi

Note:

: Total luas kawasan hutan alam produksi eks konsesi hutan (HPH).

: Total luas areal kerja izin konsesi hutan alam tahun 2015 : 20,62 juta ha.

Kondisi tahun 2015 :

• dikonversi menjadi kebun sekitar 10 juta ha • dialokasikan untuk HTI, HTR, HKm, HD, RE, Jasling, HHBK dan IUPK 12,62 juta ha, dan • masih merupakan kawasan hutan terlantar yang “open akses” 35,75 juta ha (termasuk 7,72 juta ha yang dimoratorium)

4 LESTARI PAPERS: Peran HPH Dalam Menjaga Keberlanjutan WWW.LESTARI-INDONESIA.ORG Hutan Alam

Hutan Alam adalah salah satu pertahanan terakhir da-lam menjaga fungsi ekosistem dan konservasi hutan tropis di Indonesia. Kerusakan vegetasi hutan alam akan semakin menambah dan mempercepat keterpurukan kehidupan masyarakat terutama yang sumber peng-hidupannya tergantung pada hutan. Setidaknya ada 4 (empat) faktor utama yang menentukan agar hutan alam produksi di Indonesia dapat dikelola secara ber- kelanjutan, yaitu:

1.Kepastian Status Kawasan

Kepastian hak di dalam kawasan hutan produksi me- rupakan salah satu faktor penentu dalam keberha- silan pengelolaan hutan alam produksi. Namun hal ini tidaklah mudah mengingat kompleksitas persoalan dalam pengelolaan kawasan. Diantaranya adalah tum- pang tindih antara hak pengelolaan “adat” dan hak “negara” yang belum dapat diatasi, sehingga kawasan hutan “negara”, termasuk areal kerja konsesi hutan alam, terus “menyusut” menjadi hak “masyarakat tertentu”.

Persoalan kepastian dan jaminan kawasan hutan ti- dak bisa diserahkan kepada unit usaha, sebab UM ti-dak mempunyai hak memiliki atas tanah hutan dan ti-dak mempunyai kewenangan hukum untuk mengatasi- nya. Tanah hutan tetap merupakan “aset” negara, se- dangkan pemegang IUPHHK hanya berhak meman- faatkan kayu/hutan yang ada diatasnya saja dengan beberapa pembatasan. Upaya yang sedang dilaku- kan oleh pemerintah dalam menjamin kepastian kawa- san adalah pembuatan tata ruang, pelaksanaan ba-tas partisipatif, one map policy, pengukuhan kawasan hutan, “pemutihan hak tanah” dan penegakkan hukum. Namun usaha-usaha tersebut perlu akselerasi dan pen-jabaran yang tepat agar bisa efektif dalam pelaksanaan-nya dan dapat optimal pencapaiannya.

2. Memiliki Nilai Ekonomi

Sekalipun masih terdapat 269 unit usaha konsesi di ta-hun 2015, namun diperkirakan hanya 60% yang aktif beroperasi. Sementara 40% selebihnya tidak berlanjut. Hal ini dikarenakan kegiatan pengusahaan hutan seca- ra ekonomis tidak menguntungkan. Beberapa faktor yang menyebabkan kegiatan usaha ini terhenti ber- operasi adalah biaya produksi yang terus meningkat, harga jual kayu bulat yang relatif stagnan, areal kerja yang bermasalah dan potensi hutan yang menurun.

Terkait dengan meningkatnya biaya produksi kayu bu-

lat pada hakekatnya sulit dihindari. Mengingat kondisi ekonomi politik dalam 3 tahun terakhir yang menca- kup kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) setiap tahun, kenaikan harga suku cadang dan barang penun-jang produksi lainnya hampir setiap tahun akibat in- flasi, dan kenaikan pungutan dari kegiatan administra-si. Kegiatan pengusahaan hutan yang tergolong bisnis dengan biaya ekonomi tinggi semakin sulit dikelola ketika pada sisi lain dihadapkan pada harga jual kayu bulat yang semakin rendah, konflik di areal kerja baik dengan perusahaan lain (tambang) dan hak-hak mas-yarakat lokal atas lahan. Termasuk kondisi iklim/cuaca yang tidak menentu.

Dalam 15 tahun terakhir ada kecenderungan jika riap tumbuh hutan semakin kecil. Sehingga jatah tebang tahunan menurun dan berpengaruh negatif terhadap besarnya biaya produksi. Terlebih lagi kegiatan investa-si dalam membangun hutan alam melalui penanaman jenis-jenis unggulan setempat tidak berjalan efektif atau kurang dilakukan karena biaya modal yang ter- batas. Oleh karena itu, Dana Reboisasi (DR) yang se- belumnya ditempatkan sebagai Dana Jaminan Reboi- sasi (DJR) penting untuk dikembalikan fungsinya seba- gai DJR, agar dapat membiayai kegiatan pembangu- nan hutan alam produksi.

Pada sisi lain, harga jual kayu bulat dari hutan alam sangat tertekan akibat rendahnya efisiensi dan daya saing industri kayu pertukangan dalam negeri, sehing- ga tidak mampu membeli kayu bulat dengan standar harga internasional. Ada disparitas harga kayu bulat hutan alam antara harga internasional dengan domes-tik yang mencapai 100% dibanding harga internasio- nal. Harga kayu bulat hutan alam internasional jauh le- bih mahal dari pada harga domestik, namun tidak bisa dimanfaatkan karena ada pelarangan ekspor kayu bulat. Yang lebih ironis, harga jual kayu bulat yang rendah juga diperburuk dengan peredaran kayu-kayu bulat hutan alam yang ilegal. Dengan demiki-an adanya kebijakan yang dapat meningkatkan harga jual kayu bulat dari konsesi hutan alam akan sangat membantu meningkatkan kinerja konsesi hutan alam saat ini, yang pada gilirannya membantu kemampuan perusahaan untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan alamnya berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian hutan.

3. Fungsi menjaga lingkungan hidup.

Sistem dan praktek pengelolaan hutan alam produk-

si harus dapat dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian. Kegiatan produksi di hutan alam dituntut mempertahankan fungsi hutan alam produksi terha-dap lingkungan, baik fungsi hydro orology, iklim maupun keanekaragaman hayati.

Fungsi lingkungan hutan alam produksi dapat dicapai dengan penerapan pembalakan ramah lingkungan (Re-duce Impact Logging), dan melalui pengelolaan yang terarah dan tepat dari areal-areal hutan alam yang mempunyai nilai konservasi tinggi. Namun saat ini ha- nya sekitar 12,3% saja dari UM konsesi hutan alam yang beroperasi yang sudah melaksanakan teknik Reduce Impact Logging (RIL) secara utuh. Demikian pula hal- nya UM yang sudah melaksanakan pengelolaan kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi (HCV), jumlah- nya tidak berbeda jauh dengan yang sudah melak-sanakan teknik RIL dalam pengelolaannya, dimana salah satu indikatornya adalah adanya pencapaian standar pengeloaan hutan alam berdasarkan standar Forest Stewardship Council (FSC standard) yang baru men-capai 11,8 %.

Adanya kebijakan dan insentif serta upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah yang dapat mendo- rong penerapan praktik teknik RIL di konsesi hutan alam, serta diterapkannya pengelolaan areal-areal yang mempunyai nilai konservasi tinggi secara tepat dan terarah menjadi salah satu kunci keberhasilan penge- lolaan hutan alam produksi dari aspek lingkungan. Na-mun demikian, tanpa peran dan kebijakan pemerintah yang kondusif, praktek pembalakan yang ramah lingku- ngan sulit dicapai. Demikian pula tanpa kejelasan sta-tus areal kerja serta lemahnya penegakan hukum, maka pengelolaan areal-areal yang mempunyai nilai konservasi tinggi tidak akan berhasil.

4. Diterima secara sosial budaya oleh masyarakat .

Keberadaan usaha konsesi hutan alam akan diterima masyarakat setempat manakala sekurang-kurangnya 3 (tiga) hal dapat dipenuhi oleh perusahaan, yaitu:

1.Proses penerbitan izin konsesi

Peta izin konsesi yang diberikan pemerintah kepada pemegang konsesi, seringkali tidak diakui dan dihorma- ti oleh masyarakat setempat. Akibatnya terjadi keti- dakharmonisan antara UM konsesi dengan masyara- kat setempat. Di banyak kasus, biasanya hal ini disele-saikan dengan pemberian “kompensasi” produksi per satuan volume produksi kepada masyarakat setem-

WWW.LESTARI-INDONESIA.ORG LESTARI PAPERS: Peran HPH Dalam Menjaga Keberlanjutan Hutan Alam

5

pat. Namun itupun tidak menjamin bahwa areal kerja UM tidak diserobot sebagai tempat bertani/berla- dang masyarakat. Kapan saja masyarakat setempat memerlukannya, pemegang izin konsesi tidak mampu mencegahnya. Dengan demikian pada saat sebelum izin konsesi hutan diberikan kepada perusahaan, maka seharusnya ada mekanisme persetujuan masyarakat setempat untuk mengakui secara dejure dan menghor-matinya secara defacto izin konsesi yang dimiliki peru-sahaan untuk melakukan kegiatan usahanya di lapangan.

2. Keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan usahanya.

Kondisi disharmoni pada poin 1 diatas semakin terbu- ka ketika masyarakat yang berada di sekitar konsesi tidak menikmati manfaat ekonomi dan hanya sebagai penonton dari kegiatan usaha pemegang konsesi. Para pemegang izin konsesi umumnya berkeinginan untuk menggunakan tenaga kerja setempat sejauh memenu- hi persyaratan sesuai dengan keperluan dan bidang kerjanya. Namun seringkali tenaga kerja lokal dinilai kurang produktif karena persoalan etos kerja dan ke- terampilan kerja. Karena itu, upaya yang terus mene- rus dan efektif yang dapat meningkatkan keterampilan dan produktivitas tenaga kerja setempat menjadi pen- ting dalam mengurangi disharmoni.

3. Manfaat rente ekonomi terhadap masyarakat setempat

Iuran kehutanan yang disetorkan oleh pemegang izin konsesi kepada pemerintah secara resmi meliputi: Iuran Izin Konsesi, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR) dan Penggantian Nilai Tegakan (PNT). Iuran izin konsesi dan PBB dibayar berdasarkan luas konsesi, dan khusus PBB dibayar setiap tahun. Sedangkan PSDH, DR dan PNT dibayar berdasarkan volume produk-si kayu. Disamping itu, ada pembayaran “kompensasi” kepada masyarakat setempat, yang merupakan pu- ngutan tidak resmi dan tidak ada standarnya, kecuali di Papua dan Papua Barat yang diatur melalui Peratu- ran Gubernur. Karenanya, agar masyarakat sekitar hutan merasa memiliki keberadaan pengusahaan hutan yang ada di sekitarnya, maka pemerintah seharus- nya mengalokasikan secara khusus biaya pembangunan dan pemberdayaan masyarakat setempat dari kelima jenis iuran yang telah dipungut dari pemegang konsesi.

6

4. Penutup

Terlepas dari kekurangan yang ada dari kehadiran Unit Manajemen (UM) pengelola hutan alam, namun yang pasti hingga sekarang pemegang izin konsesi hutan mempunyai peran penting dan positif dalam menjaga dan mengelola hutan alam produksi untuk kepenti- ngan ekonomi, lingkungan dan sosial budaya masyara- kat, selama dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah ke- lestarian hutan. Usaha konsesi hutan alam yang me- nguntungkan secara ekonomi dan dilakukan berdasar- kan prinsip-prinsip kelestarian di kawasan hutan alam produksi tidak lagi bisa dihindari untuk menjaga hutan alam produksi. Beberapa kebijakan dan regulasi yang perlu dibangun dan dikembangkan untuk mendorong terlaksananya pengelolaan hutan alam produksi yang berkelanjutan adalah sebagai berikut :

1. Sebelum izin konsesi hutan diberikan kepada perusahaan, sangat penting dibangun suatu me-kanisme persetujuan masyarakat setempat agar bersedia mengakui secara dejure dan menghor-matinya secara defacto ketika pemegang izin konsesi melakukan kegiatan usahanya di lapa- ngan. Proses awal dimaksud tentu saja meru- pakan kebijakan dan regulasi pemerintah yang diberlakukan pada saat sebelum izin konsesi diterbitkan.

2. Adanya kebijakan yang dapat meningkatkan harga jual kayu bulat dari konsesi hutan alam, sehingga pada gilirannya pemegang izin konsesi hutan alam memiliki kemampuan untuk melak-sanakan kegiatan pengelolaan hutan alamnya berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian hutan.

3. Dana Reboisasi (DR) yang sebelumnya ditem-patkan sebagai Dana Jaminan Reboisasi (DJR) harus dikembalikan fungsinya sebagai DJR, se- hingga dapat membiayai kegiatan pembangunan hutan alam produksi dalam rangka peningkatan riap tumbuh hutan dan membantu menekan biaya produksi dari kayu bulat yang dipanennya.

4. Terbangunnya peran dan kebijakan Pemerintah yang kondusif yang dapat mendorong terlaksa- nanya pengelolaan hutan untuk menjaga fungsi lingkungan hidup, melalui :

a. Implementasi teknik pembalakan yang ramah lingkungan (RIL);

b. Pengelolaan areal-areal hutan yang mempunyai nilai konservasi tinggi (HCV);

c. Kejelasan status areal kerja;

d. Penegakan hukum.

5. Perbaikan cara penilaian kinerja terhadap UM pengelola konsesi hutan alam dan peningkatan kompetensi lembaga penilai kinerja pengelolaan hutan untuk memperbaiki kepatuhan pelaku usaha melaksanakan kewajibannya sesuai keten-tuan.

6. Adanya upaya yang terus menerus dan efektif yang dapat meningkatkan keterampilan dan pro-duktivitas kerja tenaga kerja setempat (sekitar konsesi hutan) agar tidak menimbulkan dishar-moni baik dengan tenaga-tenaga pendatang dari kota maupun perusahaan itu sendiri.

7. Dana atau iuran yang dibayarkan oleh pemegang konsesi kepada pemerintah seharusnya sebagian dialokasikan secara khusus untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat setempat.

LESTARI PAPERS: Peran HPH Dalam Menjaga Keberlanjutan WWW.LESTARI-INDONESIA.ORG Hutan Alam