Upload
dotram
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
31FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Peran Pengawasan Pemerintah Daerah dan
Implikasinya Pada Pembangunan Kawasan
Perumahan1
Oleh Indah Wahyuni Damayanti2
ABSTRACTABSTRACTABSTRACTABSTRACTABSTRACT
The purpose of this study was to determine the factors that influence the.effectiveness. of housing policies in Banjarbaru especially the provisionof public facilities/social. This study used. a descriptive approach inthe form of case studies. The number of respondents. who researchedmany as 68 people were selected. purposively. Data collection. by inter-view technique, observation and documentation study. The resultsshowed. that: (l) Implementation Kebiiakan Banjarbaru City Govern-ment for the provision of public facilities/social facilities are still poorbecause of. weak. supervision (2) Factors affecting the implementation.of. housing policy in. Banjarbaru. City covers aspects of the implement-ing. rules and institutions. The substance of the regulations governingthe obligation to provide. public. facilities. or social amenities that thedeveloper has not. stated. with. strict. sanctions and the attitudes andbehavior of officialswho still provide opportunities for corruption, col-lusion and nepoteisme (CCN), (3) The social impact caused by poor.provision of. public facilities and social facilities byhousing developersis the emergence of. such. dissatisfaction. does not irregularvehicleparking facilities, recreational areas. and places of worship.
1 Ditulis uang dari Tesis berjudul “Implimentasi Kebijakan Pembangunan Perumahan diKota Banjarbaru” yang dibuat oleh Indah Wahyuni Damayanti dibawah bimbinganDr. Syahriani, MSDr. Syahriani, MSDr. Syahriani, MSDr. Syahriani, MSDr. Syahriani, MS dan Drs. Nurul Azkar, MSiDrs. Nurul Azkar, MSiDrs. Nurul Azkar, MSiDrs. Nurul Azkar, MSiDrs. Nurul Azkar, MSi.
2 Indah Wahyuni DamayantiIndah Wahyuni DamayantiIndah Wahyuni DamayantiIndah Wahyuni DamayantiIndah Wahyuni Damayanti adalah mahasiswa Program Magister Sains AdministrasiPembangunan Universitas Lambung Mangkurat (MSAP-UNLAM) angkatan II, danstatus pekerjaannya saat itu adalah sebagai staf Pemko Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
32 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
A. PENDAHULUANA. 1. Latar Belakang
Kota senantiasa tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi
dan dinamikanya. Dalam perkembangannya tidak akan sama satu kota
dengan kota yang lainnya. Suatu kota dapat berkembang secara
alamiah ataupun secara teratur dan terarah sesuai rencana kota.
Faktor-faktor perkembangan dan pertumbuhan yang bekerja pada
suatu kota dapat mengembangkan dan menumbuhkan kota pada suatu
arah tertentu.
Perkembangan wilayah kota yang sering dikonotasikan dengan
perkembangan kota biasanya sangat menekankan pada aspek-aspek
fisik saja seperti pembangunan prasarana kota dan perluasan wilayah
kota. Padahal perluasan wilayah kota sesungguhnya merupakan
tuntutan terhadap adanya kebutuhan yang semakin meningkat akan
prasarana kota. Pembangunan perkotaaan tidak hanya sekadar
membangun kebutuhan prasarana itu saja, tetapi juga memikirkan hal-
hal yang berkaitan dengan pemeliharaan, perencanaan dan penataan
lingkungan kota. Sebagaimana dicatat Daldjoeni (1987:14l),”Literatur
tentang seluk beluk kota biasanya berkisar pada perencanaan kota
secara fisik dan pembangunan sektor ekonomi belaka. Namun
pembangunan fisik saja tidaklah cukup, maka pembangunan yang
bersifat jasmani dan rohani perlu diciptakan agar perkembangan kota
tidak menimbulkan masalah yang rawan”.
Di. Indonesia,. kegiatan. pembangunan yang dilaksanakan selama
30 tahun terakhir sejak dekade 1980, telah menghasilkan peningkatan
ekonomi yang cukup pesat. Peningkatan investasi berbagai sektor
pembangunan tampak cukup signifikan. Namun hal ini diiringi dengan
jumlah penduduk yang kian bertambah. Implikasinya adalah semakin
mendesaknya kebutuhan akan lahan, baik untuk areal industri dan
usaha lainnya maupun untuk perumahan. Perumahan dan pemukiman
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Perumahan
merupakan jati diri manusia, baik secara perorangan maupun dalam
suatu kesatuan dan kebersamaan dengan lingkungan alamnya.
Perumahan dan pemukiman juga mempunyai peranan yang sangat
strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sehingga
33FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan
kehidupan dan penghidupan. masyarakat (Marsono, l995).
Lahan juga merupakan sumber alam yang tidak ternilai harganya,
terutama untuk pembangunan. Semua sektor pembangunan, terutama
pembangunan fisik seperti pertanian, perumahan dan pemukiman,
perindustrian, pertambangan dan transportasi memerlukan lahan. Di
satu sisi lahan yang ada tidak pernah bertambah dan di sisi lain
kebutuhan akan lahan terus meningkat untuk berbagai keperluan.
Kondisi seperti ini sering menyebabkan timbulnya konflik, timbulnya
benturan-benturan kepentingan antar sektor, antar pengusaha, antar
anggota masyarakat baik mengenai penguasaan dan pemilikan lahan
maupun mengenai penggunaaannya, sehingga harus ditangani secara
konsepsional dan menyeluruh melalui perencanaan Tata Ruang
(Blaang, 1986).
Pada akhir dasawarsa 1970-an muncul fenomena baru di kota-
kota besar di Indonesia dalam hal pembangunan perumahan. Bila
sebelumnya rumah-rumah baru dibangun secara individual oleh calon
penghuni, maka sejak akhir 1970-an mulai berkembang sistem
pembangunan perumahan dalam bentuk kelompok perumahan yang
dibangun oleh pengembang perumahan swasta. Sistem pembangunan
perumahan ini semakin berkembang dengan didirikannya Perum
PERUMNAS. oleh pemerintah pada tahun 1974. Tugas utama Perum
PERUMNAS adalah untuk membangun ribuan unit rumah per. tahun
yang kemudian dijual secara kredit kepada masyarakat dengan sistem
pembiayaan melalui Kredit Pemilikan Rumah Bank rabungan Negara
(KPR-BTN). Kecenderungan pembangunan kelompok perumahan ini
lalu berkembang ke berbagai kota lain di Indonesia seiring dengan
makin meningkatnya kebutuhan rumah untuk semua golongan
masyarakat.
Kota Banjarbaru, sebagai salah satu kota utama di provinsi
Kalimantan Selatan, tampak paling cepat tanggap terhadap peluang
dan kebutuhan pengembangan perumahan tersebut. Sebagai kota hasil
pemecahan wilayah dari Kabupaten Banjar (tahun 1999), Kota
Banjarbaru menginginkan kemajuan pembangunan di segala bidang.
Terlebih dengan visi misi Kota Banjarbaru sebagai “Kota Empat
34 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Dimensi”, yakni sebagai Kota Pemerintahan, Kota Perdagangan dan
Jasa, Kota Pemukiman, dan Kota Pendidikan; dengan kondisi geografis
yang strategis berada di antara Banjarmasin (ibukota Propinsi
Kalimantan Selatan) dan Martapura (ibukota Kabupaten Banjar).
Faktanya, selama 10 tahun terakhir sejak menjadi daerah otonom, Kota
Banjarbaru telah sangat maju pembangunan fisiknya dan para
pengembang perumahan telah membangun ribuan unit rumah baru
berbasis KPR BTN.
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (pasal ll)
mengatur wewenang Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan
penataan ruang yang meliputi pengaturan, pembinaan, dan
pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah kota dan
kawasan strategis kota; pelaksanaan penataan ruang wilayah kota;
pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kota; dan kerjasama
penataan ruang antar kota/kabupaten. Pertumbuhan dan
perkembangan Kota Banjarbaru pada dasarnya tidak maju dengan
sendirinya, tetapi akan selalu terkait dengan kemajuan daerah
sekitarnya (hinterland kota) maupun terhadap Kota Banjarmasin
sebagai ibukota propinsi Kalimantan Selatan.
Dalam rangka menciptakan suatu wilayah pemukiman yang
memenuhi persyaratan, maka diperlukan suatu perencanaan dan
pembangunan lingkungan yang dilengkapi dengan fasilitas umum
(fasum) dan fasilitas sosial (fasos) yang layak. Kedua fasilitas ini
lazimnya dibutuhkan oleh warga penghuni kawasan perumahan.
Apabila suatu lingkungan perumahan yang luas tidak dilengkapi
dengan fasum/////fasos, maka lingkungan perumahan tersebut akan
terlihat kumuh. Menurut aturan yang ada, setelah memperoleh Ijin
Peruntukan penggunaan Tanah (IPPT) dari Pemerintah Daerah, pihak
pengembang perumahan sebenarnya wajib menyediakan fasilitas
umum dan fasilitas sosial sesuai kebutuhan masyarakat penghuni
lingkungan perumahan. Namun demikian, dari hasil pengamatan awal
untuk penelitian ini, pengembang perumahan di Banjarbaru yang
jumlahnya pada tahun 2009 sudah mencapai 50 buah perusahaan
pengembang, cenderung mengabaikan kewajiban tersebut. Tercatat
hanya ada 4 kawasan pengembang perumahan yang tetap konsisten
35FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
sesuai dengan peruntukan perijinan lahan yang diberikan. Dan itulah
salah satu sebab mengapa kajian tentang hal itu dianggap penting dan
urgen.
A. 2. Pokok Permasalahan
Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor I Tahun l997,
sebenarnya merupakan ketentuan wajib bagi setiap perusahaan
pengembang perumahan untuk menyediakan. fasilitas umum (fasum)
dan fasilitas sosial (fasos). di lingkungan kawasan pemukiman yang
dibangunnya; dan ketentuan itu menjadi prasyarat sebelum ada ijin
Pemerintah Daerah kepada perusahaan pengembang untuk melakukan
kegiatan pembangunannya. Hal itu pula yang sangat jelas termuat
dalam Surat Keputusan Walikota Banjarbaru Nomor 262 Tahun 2004
tentang Ketentuan Dasar Pembangunan Perumahan di wilayah Kota
Banjarbaru.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan betapa banyaknya
perusahaan pengembang yang tidak mentaati aturan tersebut, dan
cenderung mengenyampingkan aturan Rencana Umum Tata Ruang
Kota (RUTRK) di Kota Banjarbaru. Bahkan dalam beberapa kasus lahan
untuk fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) tersebut dapat
diperjualbelikan oleh pihak pengembang sehingga dalam komplek
perumahan tersebut tidak ada sarana untuk memperoleh lingkungan
sosial dan fisik yang teratur, aman, serasi dan nyaman. Padahal
sebelumnya para pengembang yang ingin membangun perumahan
terlebih dahulu harus mengurus lzin Peruntukan Penggunaan Tanah
(IPPT), sesuai Perda Kota Banjarbaru Nomor I0 Tahun 2003 tentang
izin peruntukan penggunaan tanah. Aturan ini menetapkan bahwa
bagi perusahaan pengembang yang memiliki luas areal lahan lebih dari
2500 meter persegi diwajibkan untuk menyiapkan 30 %. dari luas
kawasan untuk fasilitas umum (fasum) dan atau fasilitas sosial (fasos),
serta lebar jalan masuk atau jalan utama kompleks perumahan. harus
selebar l0 (sepuluh) meter, sedangkan jalan lingkungan harus dengan
lebar 8 (delapan) meter.
36 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan pokok permasalahan dan dengan mengambil kasus
di Kota Banjarbaru, maka perumusan masalah yang diajukan untuk
penelitian ini adalah: Mengapa aturan kebijakan tentang persyaratan
pembangunan kawasan pemukiman kurang dipatuhi oleh para
pengembang perumahan di Kota Banjarbaru, dan bagaimana
implikasinya atas kenyamanan bermukim bagi para penghuni di
komplek perumahan yang bersangkutan?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi efektivitas kebijakan pemerintah dalam
pengaturan pembangunan perumahan, khususnya dalam hal
penyediaan fasum dan fasos oleh pengembang, sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku.
B. METODOLOGIB. 1. Teorisasi Masalah
Pemukiman kota, sesuai dengan definisinya, ialah konsentrasi
penduduk yang berpenghidupan non-agraris (Sinulingga, 1999). Oleh
karena merupakan konsentrasi penduduk, maka pemukiman adalah
merupakan kebutuhan yang sangat penting. Di dalam setiap rencana
kota, kawasan pemukiman harus dirancang sedemikian rupa agar
sesuai dengan daya dukung kota dan memungkinkan para
penghuninya bisa hidup di lingkungan yang bersih dan sehat. Secara
spesifik, pemukiman harus dilayani oleh fasilitas pembuangan secara
teratur agar lingkungan pemukiman tetap nyaman. Pemukiman juga
membutuhkan fasilitas umum seperti taman bermain bagi anak-anak,
lapangan terbuka, tempat ibadah, tempat pendidikan, dan seterusnya.
Dan kriteria semacam itu menjadi tren di kawasan perumahan modern
yang dibangun oleh suatu perusahaan pengembang (developer) yang
berorientasi bisnis namun sekaligus berupaya memberikan layanan
terbaik bagi para konsumennya.
Namun dalam konteks kebutuhan masyarakat umum, perumahan
adalah sebuah kebutuhan sosial yang membutuhkan campur tangan
37FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Pemerintah. Perumahan adalah salah satu kebutuhan dasar bagi
peningkatan kualitas hidup manusia sehingga pengembangan
perumahan yang sehat dan layak bagi masyarakat Indonesia
merupakan wadah untuk pengembangan sumberdaya manusia (Aziz,
2005). Perumahan berkaitan erat dengan kondisi penduduk dan faktor
sosial ekonomi lainnya. Untuk mengantisipasi permasalahan yang ada
dalam bidang perumahan rakyat itulah Pemerintah telah membuat
program-program dan menentukan kebijakan-kebijakan.
Dalam sejarahnya, kebijakan yang dibuat Pemerintah bisa dicatat
dimulai sejak era Pelita I tahun 1969. Kala itu pembangunan
perumahan sifatnya masih merupakan persiapan-persiapan untuk
pembangunan perumahan yang sesungguhnya baru dimulai pada
Pelita II. Pada waktu itu program perumahan baru pada taraf
peningkatan penelitian dan pengembangan di bidang teknik teknologi
perumahan dan bahan bangunan murah, pengembangan proyek-
proyek percontohan, penyuluhan tentang rumah sehat dan penyiapan
sarana kelembagaan dan penunjang lainnya yang diperlukan bagi
pembangunan perumahan dalam Pelita II dan seterusnya.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1969, kemudian
dibentuk sektor khusus tentang papan (baca: perumahan), yang diketuai
oleh Menteri PUTL (Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik). Sektor khusus
ini mempunyai tugas untuk menciptakan sebuah iklim yang kondusif
yang memungkinkan mendorong usaha-usaha pembangunan
perumahan di kota dan desa; dan kemudian untuk tujuan itu dikaitkan
dengan Undang-Undang tentang Penanaman. Modal Dalam Negeri.
Tujuan strategisnya adalah, sektor perumahan murah untuk masyarakat
yang berpenghasilan rendah dapat dijadikan kebijakan prioritas. Untuk
kebijakan perumahan masyarakat perkotaan dilakukan dengan
mengusahakan pembangunan perumahan sebanyak-banyaknya dengan
melihat adanya berbagai golongan penghasilan masyarakatnya.
Sedangkan untuk masyarakat pedesaan, pemerintah mengusahakan dan
menerapkan program pemugaran perumahan desa. Kebijakan
perumahan yang telah digariskan dalam Pelita II terus dilanjutkan dan
ditingkatkan pada Pelita III. Peningkatan ini menyangkut programnya
dan penangannya, dimana azas keterjangkauan dan pemerataan lebih
38 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
ditekankan pelaksanaannya. Tetapi sejak Pelita IV, kebijakan
pembangunan perumahan lebih diarahkan pada pembangunan
pemukiman. Dengan demikian dalam pembangunan perumahan terkait
dengan aspek pembangunan pemukiman; dan untuk membangun
rumah dengan jumlah yang besar pada setiap tahunnya, Pemerintah
melibatkan pihak swasta (developer) untuk mengambil bagian dalam
pembangunan perumahan ini. Dan keluarlah PeraturanMenteri Dalam
Negeri Nomor 2 Tahun 1984, sebagai perbaikan dari Permendagri Nomor
5 Tahun 1974.
Menurut pasal 5 ayat (l) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
5 Tahun 1974, perusahan pembangunan perumahan adalah suatu
perusahaan yang berusaha dalam bidang perumahan dari berbagai
jenis jumlah yang besar diatas suatu areal tanah yang akan merupakan
suatu kesatuan lingkungan pemukiman yang dilengkapi dengan
prasarana-prasarana dan fasilitas-fasilitas sosial yang diperlukan oleh
masyarakat penghuninya. Sedangkan pengertian perusahaan
pembangunan perumahan sederhana atau perumahan murah menurut
pasal I ayat (1) Permendagri Nomor 2 Tahun 1984 adalah perusahan
yang membangun jenis-jenis rumah sebagaimana yang disebutkan
dalam rencana proyek yang sudah disetujui oleh Bank Tabungan
Negara, di atas areal tanah yang merupakan kesatuan lingkungan
pemukiman, dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan fasilitas sosial
yang diperlukan oleh masyarakat yang menghuninya. Dalam
pengertian ini tidak termasuk pembangunan perumahan yang
diselenggarakan oleh PERUM. PERUMNAS (perusahaan umum
pembangunan perumahan nasional).
Oleh karena itu dalam Permendagri Nomor 3 Tahun l987 Pasal 1
ayat (l), lebih tegas disebutkan bahwa pengertian Perusahaan
Pembangunan Perumahan yang selanjutnya disebut perusahaan adalah
badan usaha yang berbentuk badan hukum yang mengusahakan
pembangunan perumahan di atas areal tanah di lingkungan
pemukiman yang dilengkapi dengan fasilitas lingkungan, utilitas umum
dan prasarana sosial lainnya yang diperlukan masyarakat penghuni
lingkungan pemukiman.
39FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Adapun yang dimaksud dengan prasarana lingkungan, utilitas
umum dan fasilitas sosial menurut Permendagri Nomor 3 Tahun 1987
itu, adalah:
(1) Prasarana Lingkungan adalah kelengkapan lingkungan yang
meliputi antara lain:
(a) Jalan;
(b) Saluran pembuangan air limbah;
(c) Saluran pembuangan air hujan.
(2) Utilitas umum adalah bangunan-bangunan yang dibutuhkan dalam
sistem pelayanan lingkungan yang diselenggarakan oleh Instansi
pemerintah dan terdiri dari, antara lain:
(a) Jaringan air bersih;
(b) Jaringan listrik;
(c) Jaringan gas;
(d) Jaringan telepon;
(e) Terminal angkutan/bus shelter;
(f). Kebersihan/pembuangan sampah.
(3) Fasilitas sosial adalah fasilitas yang dibutuhkan masyarakat dalam
lingkungan pemukiman. yang meliputi antara lain:
(a) Pendidikan;
(b) Kesehatan;
(c) Perbelanjaan dan niaga;
(d) Pemerintahan dan pelayanan umum;
(e) Peribadatan;
(f) Rekreasi dan kebudayaan;
(g) Olahraga dan lapangan terbuka;
(h) Pemakaman umum.
Penyediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang biasa dikenal
dengan “fasum” dan “fasos”, dalam skema pembangunan perumahan
oleh pengembang adalah mutlak sesuai dengan persyaratan yang
ditentukan oleh Pemda setempat. Bahkan bila pengembang tidak
menyediakan fasum/fasos, maka Pemda setempat dimungkinkan
untuk tidak memberikan ijin lokasi (Ijin Peruntukan Penggunaan
Tanah/IPPT). Karena itu perencanaan dan pembangunan lingkungan
40 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
ini seharusnya dapat memberikan keseimbangan sosial dan dapat
memberikan kesempatan untuk membina individu dan keluarga
sejahtera. Dengan kata lain, perencanaan dan pembangunan
lingkungan perumahan harus selalu mempertimbangkan kemungkinan
penggabungan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial
yang telah ada dengan tidak mengurangi kualitas lingkungan secara
menyeluruh.
Pemerintah Kota Banjarbaru telah menetapkan visi pembangunan
“Kota Empat Dimensi”, dan salah satu dimensinya adalah menjadikan
Kota Banjarbaru sebagai kota pemukiman yang layak huni. Berbagai
kebijakan diterbitkan untuk mewujudkan tatanan kota yang ideal,
antara lain penataan Rencana Umum Tata Ruang Kota Banjarbaru
(RUTRK). Bertolak dari RUTRK tersebut Pemerintah Kota Banjarbaru
mengeluarkan Keputusan Walikota Banjarbaru Nomor 27A Tahun
2009 sebagai dasar hukum untuk menata kawasan perumahan dan
pemukiman di Kota Banjarbaru sebagaimana aturan perundangan di
atasnya. Merujuk pada Keputusan Walikota itu jelas sekali bahwa
pelaku utama untuk menjamin terlaksananya kebijakan tersebut adalah
para pengembang perumahan di wilayah Kota Banjarbaru dengan
supervisor oleh Dinas Kebersihan Pertamanan dan Tata Ruang, dan
Dinas Pekerjaan Umum Kota Banjarbaru. Kendati hanya implisit,
regulasi itu juga tampaknya berharap adanya peran warga masyarakat
penghuni pemukiman dan masyarakat di sekitar kawasan pemukinan
untuk ikut serta melakukan pengawasan atas ketaatan para
pengembang perumahan. Dan karena itu, sebenarnya tidak ada alasan
bahwa sebuah kawasan pemukiman sampai tidak memiliki fasos dan
fasum yang memadai.
B. 2. Kerangka Konseptual
Sejumlah penelitian tentang pembangunan kawasan pemukiman
dan peran perusahaan pengembang perumahan sudah dilakukan di
berbagai lokasi dengan pelbagai contoh kasusnya. Dari beberapa
penelitian yang terdahulu itu antara lain dapat dirujuk studi yang
dilakukan oleh Sugiantoro (2000), Zainuddin (2001), Moeljono (2001),
dan Anwar (2003).
41FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Sugiantoro yang meneliti kasus kebijakan pemanfaatan ruang di
Kotamadya Malang ternyata menemukan fakta bahwa sejumlah Perda.
dan bahkan UU yang berkaita dengan tata ruang telah dilanggar oleh
perusahaan pengembang. Bahkan sejumlah bangunan diketahui tidak
menggunakan Ijin Mendirikan Bangunan, sehingga sangat mendesak
untuk dilakukan sosialisasi tentang kebijakan tata ruang sebagai
solusinya. Sedangkan Zainuddin dalam penelitiannya menemukan
fakta bahwa terjadinya alih fungsi fasilitas sosial dan fasilitas umum
oleh perusahaan pengembang lebih disebabkan karena sikap dan
perilaku aparat yang tidak dapat mendudukkan dirinya sebagai
pelayan masyarakat; sehingga ketika perusahaan pengembang sangat
berorientasi pada keuntungan semata, maka terjadilah pelanggaran-
pelanggaran aturan, dan celakanya tidak ada sanksi atas pelanggaran
aturan tersebut. Kasus serupa dengan versi lain juga ditemukan oleh
Moeljono dalam penelitiannya. Bahwa terdapat pelanggaran oleh
perusahaan pembangunan perumahan terhadap PP Nomor 29 tahun
1974 mengenai penjualan kapling siap bangun dan adanya ketentuan
dilarang menjual tanah matang tanpa bangunan/rumah yang berdiri
diatasnya. Hal itu bisa terjadi ternyata karena lemahnya. pengawasan
dalam pemberian Ijin Peruntukan dan Penggunaan Tanah (IPPT), yang
mestinya merujuk pada aturan-aturan pembangunan pemukiman
berwawasan lingkungan dan peka sosial. Dan studi Anwar, yang
mengambil kasus Kota Banjarmasin, lebih menguatkan lagi adanya
kelemahan pengawasan aparatur yang berwenang, sehingga Tata
Ruang Kota tidak bisa dimaksimalkan sesuai rencana.
Merujuk pada Steinhoff (1979), secara konseptual, pengawasan
adalah evaluasi terhadap pelaksanaan untuk melihat apakah tujuan-
tujuan dapat diwujudkan, dan penerapan tindakan perbaikan apabila
tujuan-tujuan tersebut tidak dapat diwujudkan. Steinhoff. menyatakan
bahwa esensi dari pengawasan adalah tindakan perbaikan. Akan tetapi
Steinhoff juga menyatakan bahwa agar pengawasan itu dapat
dilakukan secara efektif, harus diciptakan beberapa pra kondisi sebagai
berikut:
(a)Harus dirumuskan standar yang baik untuk kepentingan evaluasi.
(b)Harus dikembangkan sistem pengumpulan data tentang
pelaksanaan sesuatu rencana.
42 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
(c) Para manajer harus diberi otoritas untuk melaksanakan tindakan
perbaikan apabila hal itu memang diperlukan.
Dengan demikian secara implisit Steinhoff menyatakan bahwa
langkah-langkah dalam pengawasan adalah:
(a)Perumusan standar untuk kepentingan evaluasi.
(b)Pengembangan sistem pengumpulan data tentang pelaksanaan
sesuatu rencana.
(c) Pemberian otoritas kepada manajer untuk melakukan tindakan
perbaikan.
(d) Tindakan perbaikan.
Pembangunan suatu kawasan pemukiman di sebuah Kota, seperti
halnya Kota Banjarbaru, seharusnya mengacu pada perencanaan
strategis yang dimuat dalam Rencana Umum Tata Ruang Wilayah
(RUTRW). Dan merujuk pada konsep Steinhoff itu tentulah ada yang
keliru ketika suatu implementasi kebijakan ternyata tidak sesuai dengan
tujuan strategis yang telah ditetapkan sebelumnya.
Implementasi rencana strategis pembangunan suatu kawasan,
pada dasarnya terpulang pada pemahaman para pelaksana tentang
apa urgensi dari suatu perencanaan strategis itu. Namun demikian,
perencanaan strategis acapkali kurang dipahami sebagai awal dari
sebuah impelementasi kebijakan. Selama ini perhatian para perumus
kebijakan lebih banyak dipusatkan pada policy formulation dan policy
outcomes. Akibatnya terjadi kesenjangan pada implementasi, padahal
pada tahapan implementasi inilah dapat dianalisis kemungkinan
terjadinya gap antara tujuan yang ingin dicapai dan hasil dari kebijakan
itu sendiri, sehingga dapat dinilai kinerja dari suatu kebijakan.
Salah satu kelemahan yang mendasar yang sering dialami oleh
para pelaksana kebijakan publik adalah adanya persepsi bahwa
implementasi adalah bagian yang terpisahkan dari perencanaan
kebijakan. Padahal keberhasilan implementasi sangat dipengaruhi oleh
bagaimana desain kebijakan mampu merumuskan secara komprehensif
aspek pelaksanaan sekaligus metode evaluasi yang akan dilaksanakan.
Pentingnya implementasi kebijakan ini dapat disimak dari pendapat
Grindle sebagaimana dikutip Wahab (1991), bahwa implementasi
43FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
kebijaksanaan sesungguhnya bukanlah sekadar bersangkut paut
dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam
prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi; melainkan
lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik keputusan dan siapa
yang memperoleh apa dari suatu kebijaksanaan.
Terkait dengan pengertian implementasi, Jones (1984)
mendefinisikannya sebagai suatu proses antara suatu perangkat tujuan
dan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa implementasi merupakan
suatu rangkaian kegiatan yang secara langsung mengantarkan pro-
gram ke arah efek yang diharapkan. Dengan kata lain, proses
implementasi kebijakan publik itu baru dapat dilaksanakan apabila
tujuan-tujuan kebijakan telah ditetapkan, program-program
pelaksanaan telah dibuat, dan dana untuk menunjang kegiatan tersebut
telah dialokasikan guna mencapai tujuan kebijakan yang telah
ditetapkan. Tahapan-tahapan kegiatan sebelum implementasi
kebijakan dilaksanakan disebut perencanaan kebijakan yang
merupakan formulasi kebijakan atau tahapan dalam pembuatan
kebijakan. Namun demikian yang menjadi persoalan adalah bagaimana
suatu program kebijakan dapat berlangsung secara optimal sehingga
dapat diterima dan didukung secara optimal oleh berbagai pihak (stake-
holders).
Meminjam konsep Moore (Badjuri dan Yuwono, 2002), mestinya
perlu diperhatikan dasar pendekatan yang tepat agar kebijakan publik
dapat didukung oleh berbagai pihak. Paling tidak ada lima dasar
pendekatan yang dapat dipilih, yaitu: pendekatan advokasi
enterprenerial, pendekatan pengembangan kebijakan, pendekatan
negoisasi, pendekatan delibrasi publik, dan pendekatan komunikasi
strategis. Kelima pendekatan itu, semuanya bisa dilakukan, tetapi tentu
saja harus mempertimbangkan untuk apa dan kepada siapa kebijakan
ditujukan. Dalam konteks perusahaan pengembang, tampaknya
pendekatan pengembangan kebijakan dan pendekatan deliberasi publik
lebih relevan untuk dipertimbangkan. Pendekatan pengembangan
kebijakan adalah perlibatan secara luas berbagai pihak dalam proses
konsultasi agar menghasilkan suatu keputusan yang berkualitas,
44 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
dengan melakukan pengembangan, mendesain dan mengoperasi-
onalisasikan proses pembuatan keputusan dalam ruang lingkup
tanggung jawab kewenangan pengambil kebijakan publik. Sedangkan
pendekatan delibrasi publik adalah pelibatan publik secara lebih luas;
yang tidak saja melibatkan struktur formal tetapi juga pihak diluar
struktur formal tersebut, seperti kelompok masyarakat yang tertarik,.
atau yang terkena dampak kebijakan baik langsung maupun tidak
langsung, dan bahkan masyarakat awam yang mempunyai
kemampuan untuk merespon sebuah proposal kebijakan publik.
Akan tetapi perlu dipahami bahwa pencapaian tujuan
implementasi kebijakan itu ditentukan oleh sejumlah faktor pendukung.
Merujuk pada Mazmanian dan Sabatier (Wahab, 1997), faktor-faktor
yang mempengaruhi pencapaian tujuan dari suatu implementasi
kebijakan menyangkut tiga variabel, yaitu:
(1). Mudah atau tidaknya masalah dikendalikan:
(a) Kesukaran-kesukaran teknis.
(b) Keseragaman perilaku kelompok sasaran.
(c) Prosentase kelompok sasaran dibandingkan dengan jumlah
penduduk.
(d) Ruang lingkup perilaku yang diinginkan.
(2) Kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi:
(a) Kejelasan dan konsistensi tujuan.
(b) Digunakan teori kausal yang memadai.
(c) Ketepatan alokasi sumber dana.
(d) Keterpaduan hirarki dalam dan diantara lembaga pelaksana.
(e) Aturan-aturan dari badan pelaksana.
(f) Rekrut pejabat pelaksana.
g) Akses formal pihak lain.
(3) Variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi:
(a) Kondisi sosial-ekonomi dan teknologi.
(b) Dukungan publik.
(c) Sikap dan sumber yang dimiliki kelompok-kelompok.
(d) Dukungan dari pejabatatasan.
(e) Komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat-pejabat
pelaksana.
45FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Dari ketiga variabel tersebut sebagai variabel bebas akan
mempengaruhi tahapan-tahapan proses implementasi sebagai variabel
tergantung. Model analisis ini disebut Model Proses Implementasi
Kebijakan (A Model of the Policy Implementation Process), dan pertama
kali dikembangkan oleh van Meter dan van Horn (1975). Teori tersebut
didasari oleh argumentasi bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses
implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan
dilaksanakan. Suatu model konseptual yang menghubungkan antara
kebijakan dengan prestasi kerja yang dipisahkan oleh sejumlah variabel
bebas yang saling berkaitan.
Adapun variabel-variabel bebas itu adalah :
(1)Ukuran dan tujuan kebijaksanaan.
(2)Sumber-sumber kebijaksanaan.
(3)Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan
pelaksanaan.
(4)Ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksana.
(5)Sikap para pelaksana.
(6)Lingkungan ekonomi, sosial dan politik.
46 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Gambar 1. Model Kerangka Konseptual.
Bertolak dari pemahaman bahwa perijinan merupakan salah satu
bentuk pelayanan publik yang diberikan oleh instansi pemerintah yang
bentuk pelayanannya adalah ijin (Ratminto, 2008), maka pemberian
ijin harus dipahami sebagai tugas pemerintah demi pemenuhan
kebutuhan masyarakat. Pemda memiliki otoritas memberikan ijin,
sebagai implementasi. Keputusan Walikota Banjarbaru Nomor 27A
Tahun 2009; tetapi di sisi lain Pemda juga wajib mengamankan agar
aturan-aturan yang dimuat dalam Keputusan Walikota itu
47FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
dilaksanakan oleh subyeknya, yakni para pengembang perumahan. Dari
perspektif layanan publik, implementasi kebijakan berupa perijinan
tersebut bermakna pengaturan (regulasi) untuk pemenuhan
kenyamanan masyarakat juga pada akhirnya. Para penghuni sebuah
pemukiman adalah konsumen bagi perusahaan pengembang, dan
karena itu boleh jadi hubungannya terbatas pada pola simbiosis
mutualistik bisnis. Tetapi, konsumen perumahan itu juga adalah warga
Kota, dan mereka sesungguhnya berhak mendapatkan layanan
maksimal dari Pemerintah Kota (lihat Gambar 1). Dan di situlah pokok
perhatian penelitian ini.
B. 3. Metode Penelitian
Pada dasarnya pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
merujuk pada prinsip-prinsip penelitian deskriptif analisis studi kasus.
Akan tetapi dalam teknis pelaksanaannya penelitian ini. hanya
dimaksudkan sebagai upaya untuk memahami sebuah gejala tanpa
bermaksud untuk membangun atau menguji sebuah teori. Dimaksud
dengan gejala disini adalah indikasi-indikasi dari bentuk ketidakpuasan
konsumen atas diabaikannya penyediaan fasum dan fasos oleh
pengembang perumahan, dan secara khusus dalam hal ini pemukim
perumahan di lokasi penelitian terpilih. Dari perspektif penelitian
deskriptif, model analisisnya memang dimaksudkan untuk
menggambarkan adanya hubungan antar variabel atau faktor-faktor
yang dominan dapat mempengaruhi kebijakan, dalam hal ini rasa
ketidak puasan yang timbul pada warga masyarakat (pemukim) atas
kebijakan selama ini. Namun demikian deskripsi penelitian ini tidak
sampai pada taraf menguji kesahihan hubungan antar variabel.
Lokasi pengamatan untuk penelitian ini sebenarnya meliputi
seluruh kawasan pemukiman yang dibangun pengembang di Kota
Banjarbaru yang dilakukan sejak Januari hingga Maret 2010. Namun
demikian, sebagai kasus, dalam penelitian sengaja hanya diambil 4
kawasan perumahan dan pemukiman yaitu: Komplek Perumahan
Halim Permai Banjarbaru Selatan, Komplek Perumahan Balittan XII,
Komplek Griya Angkasa Komplek Berlina Jaya, dan Komplek Banua
Permai. Semua kawasan pemukiman itu berciri pemukiman untuk
48 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
konsumen kelas menengah, yang secara. teoritis penghuninya dapat
diasumsikan berpenghasilan cukup besar dan rata-rata berpendidikan
cukup baik (SLTA ke atas). Pilihan atas lokasi penelitian didasarkan
pada ciri pemukimnya itu penting sekali ditetapkan sedari awal, karena
penelitian ini akan memposisikan mereka sebagai “penilai” atas
kelayakan fasilitas yang diterimanya dari pengembang.
Sebagai instrumen utama dalam penelitian ini adalah wawancara.
Wawancara semula dirancang dilakukan kepada kepala rumah tangga
di lokasi pemukiman kasus, namun ternyata tidak semua kepala rumah
tangga bersedia, dan hanya mewakilkan kepada anggota rumah
tangganya. Dari pola pemilihan sampel secara purposive, terpilih 68
orang sebagai informan dalam penelitian ini; dengan ciri jenis kelamin
44 orang (65%) di antaranya adalah laki-laki, dan hanya 9 orang (13%)
yang statusnya tidak/belum kawin. Sedangkan dalam kaitan status
pendidikan, sebagaimana yang diharapkan, hanya 10 orang (15%) yang
mengaku berlatar belakang pendidikan formal setara SLTP, dan
selebihnya adalah berpendidikan SLTA; bahkan 52 orang (76%)
mengaku berpendidikan Perguruan Tinggi. Karena itu pula cukup
wajar ketika hanya 10 orang pula yang mengaku berlatar pekerjaan
sebagai buruh, dan selebihnya adalah pelaku pekerjaan di sektor for-
mal, terutama PNS (sebanyak 43 orang atau 63 persen).
Dalam upaya menafsir data hasil penelitian di lapangan, sejumlah
hal yang berkaitan dengan persepsi informan ditafsirkan secara
kualitatif. Tetapi ketika informasinya berkaitan dengan data kuantitatif,
seperti penilaian tentang ukuran fasos dan fasum,. maka deskripsinya
merujuk pada analisis Chi-Kuadrat (X²) untuk sekadar mengetahui
bagaimana korelasinya.
C. HASIL PENELITIAN1. Aspek Demografis dan Kebijakan Penggunaan Lahan
Berdasarkan Rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kota Banjarbaru Tahun 2008-2028,. upaya efektivitas pelaksanaan
pengembangan dan pembangunan kawasan yang saling menunjang,
agar pertumbuhan dan. perkembangan kegiatan fisik serta kegiatan
sosial ekonomi maupun budaya yang terjadi di masa yang akan datang
49FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
dapat terakomodir secara baik, maka perencanaan ruang kota
Banjarbaru didasarkan menjadi orientasi spasial (ruang) dan orientasi
sektoral dimana keduanya harus mendapatkan rencana struktur yang
seimbang dan berhasil guna.
Pembagian wilayah kota ini dimaksudkan sebagai salah satu
upaya dan strategi pengembangan pada masa mendatang, sesuai
dengan karakteristik serta kecenderungan pola perkembangan yang
terjadi saat ini. Selain faktor daya dukung alam dan lingkungan
memungkinkan untuk dikembangkan kearah tersebut.
Rencana alokasi fungsi jenjang pelayanan di Pusat Kota dan Sub
pusat Kota di Wilayah Kota Banjarbaru adalah sebagai berikut:
(1). Pusat Kota (Kecamatan Banjarbaru Utara), berfungsi sebagai:
a) Pusat Perkantoran dan Pemerintahan skala Kota, antara lain
Kantor Walikota Banjarbaru, DPRD Kota dan Polresta
Banjarbaru;
b) Pusat Perdagangan dan Jasa, antara lain Pasar Bauntung, Hotel
Permata, Gedung BNI, BRI dan Bank Mandiri.
c) Pemukiman.
d) Taman Kota.
e) Hutan Kota.
(2)Pusat Kota (Kecamatan Banjarbaru Selatan), berfungsi sebagai:
a) Pusat Perdagangan dan Jasa
b) Pemukiman
c) Pendidikan Tinggi, antara lain Unlam, Uvaya, Uniska dan STIMI.
d) Taman Kota.
e) Perkantoran dan pemerintahan.
(3) Sub Pusat Kota (Kecamatan Landasan Ulin), berfungsi sebagai:
a) Kawasan bandar udara, terletak bandara Syamsuddin Noor.
b) Perdagangan dan Jasa.
c) Perumahan dan pemukiman.
d) Pertanian dan perkebunan.
e) Kawasan Industri, antara lain home industry berupa aneka usaha
makanan kering.
(4) Sub Pusat Kota (Kecamatan Liang Anggang), berfungsi sebagai:
a) Kawasan Industri, antara lain tersedia Lingkungan Industri Kecil
Liang Anggang.
50 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
b) Perdagangan dan Jasa. antara lain pusat kuliner panggalaman.
c) Perumahan dan pemukiman.
d) Pertanian dan perkebunan.
(5) Sub Pusat Kota (Kecamatan Cempaka), berfungsi sebagai:
a) Pusat Perkantoran dan Pemerintahan Provinsi.
b) Perdagangan dan Jasa.
c) Perumahan dan Pemukiman.
d) Pertanian dan Perkebunan.
e) Pariwisata berupa lokasi penambangan intan tradisional di
Cempaka.
f) Pertambangan berupa penggalian tambang gol C (batu, kerikil
dan pasir).
Menyadari bahwa faktor penduduk merupakan hal yang
signifikan terhadap kebutuhan akan tempat tinggal, maka
perkembangan jumlah penduduk sejalan dengan meningkatnya
kebutuhan terhadap tempat tinggal. Jumlah penduduk Kota Banjarbaru
dari awal pemekaran hingga Tahun 2008 terus meningkat. Rata-rata
pertumbuhan penduduk mencapai kisaran 3,42 %. per tahun atau
meningkat sebanyak 37.388 orang selama 9 tahun terakhir hingga 2010.
Kota Banjarbaru mengalami pertumbuhan penduduk paling tinggi di
Kalimantan Selatan, yang rata-rata pertumbuhan penduduknya hanya
sebesar 1,8 % (BPS, 2008).
Jumlah penduduk menurut data terakhir (BPS, 2008) adalah 164.216
jiwa. Angka ini menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah penduduk
sebesar 3,13 % dari tahun sebelumnya (2007) dimana jumlah penduduk
adalah l59.230 jiwa. Rasio penduduk antara laki-laki dan perempuan
dari tahun 1999-2008 hampir tidak berubah dengan kisaran laki-laki adalah
5l % dan perempuan 49 %.
Dari data kecamatan menunjukan bahwa kepadatan penduduk
yang paling tinggi adalah Kecamatan Banjarbaru Selatan dengan
kepadatan penduduk mencapai 1.661 jiwa/Km². Dan yang terendah
adalah Kecamatan Cempaka dengan kepadatan penduduk hanya 177.
jiwa/Km². Perbedaan penyebaran penduduk dari yang terbanyak
hingga yang paling sedikit mungkin disebabkan karena kurang
meratanya fasilitas di kecamatan-kecamatan yang ada di Kota
51FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Banjarbaru dimana pusat kegiatan perekonomian utama lebih banyak
di Kecamatan Banjarbaru Selatan .
Dari tahun 1999-2008, kepadatan penduduk di Kota Banjarbaru
rata-rata terus meningkat. Rata-rata kepadatan penduduk di Kota
Banjarbaru adalah sebesar 442. jiwa per KM persegi. Dibanding dengan
daerah lain di Kalimantan Selatan, Kota Banjarbaru merupakan daerah
kedua setelah Kota Banjarmasin yang memiliki kepadatan penduduk
yang paling tinggi dibandingkan daerah lainnya. Hal ini lumrah karena
di Kota Banjarbaru terdapat sarana pendidikan, kesehatan dan
prasarana pembangunan yang jauh lebih lengkap dibandingkan
dengan daerah lainnya.
Penguasaan tempat tinggal dapat digunakan sebagai salah satu
indikator yang dapat memperlihatkan kesejahteraan rumah tangga,
yaitu semakin tinggi. persentase rumah tangga yang menempati tempat
tinggal berstatus milik sendiri di suatu daerah, semakin baik
kesejahteraan daerah tersebut. Dikaitkan dengan kepemilikan rumah
tempat tinggal tentunya sangat erat hubungannya dengan tingkat
pertumbuhan laju penduduk. Dengan tingkat pertumbuhan penduduk
sebesar 3,42 %. per tahun menempatkan jumlah penduduk sebesar
164.216 jiwa. (BPS,2008), dan dengan asumsi setiap rumah ditempati
oleh 4 orang, maka Kota Banjarbaru membutuhkan sebanyak 41.504
rumah.
Di Kota Banjarbaru 69,94 %. rumah tangga dengan status
penguasaan tempat tinggalnya adalah milik sendiri, kontrak sebesar
6,56 %. sewa sebesar 11,11 %. dan rumah dinas/bebas sewa/lainnya
sebesar 13,40 %. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kemampuan
pemenuhan kebutuhan akan perumahan dan tempat tinggal rata-rata
rumah tangga di Kota Banjarbaru secara umum relatif cukup baik,
yang dapat dilihat dari kemampuan warga untuk memenuhi kebutuhan
tempat tinggalnya sendiri.
Konsep yang digunakan dalam perencanaan Kota Banjarbaru
adalah sistem perkotaan. dengan ibukota sebagai Pusat Kegiatan Lokal
(PKL). PKL sebagai Pusat Pelayanan Tersier meliputi Kecamatan
Banjarbaru Utara. Kecamatan Banjarbaru Selatan, Kecamatan
Landasan Ulin, Kecamatan Liang Anggang dan Kecamatan Cempaka.
52 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
PKL Kota Banjarbaru merupakan kawasan perkotaan sedang (RPJM
Kota Banjarbaru, 2008). PKL (Pusat Kegiatan Lokal) ditetapkan dengan
kriteria:
a. Kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat
kegiatan industri dan jasa yang melayani skala kecamatan atau
beberapa kecamatan; dan/atau;
b. Kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul
transportasi yang melayani skala kecamatan atau beberapa
kecamatan.
Dalam pengendalian untuk kawasan permukiman, ketentuannya
adalah sebagai berikut:
a. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah 40-80%, kecuali
penggunaan untuk olah raga ruang terbuka dan Ruang Terbuka
Hijau (RTH) diarahkan 15%.
b. Ketinggian Lantai Bangunan (KLB) di kawasan strategis kota
disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.
c. Angka Ruang Terbuka (ART) di Kota Banjarbaru adarah 20-60%.
d. Dalam hal ruang milik jalan tidak cukup luas, lebar ruang
pengawasan jalan ditentukan dari tepi badan jalan paling sedikit
dengan ukuran sebagai berikut:
(1) Jalan arteri primer l5 (lima belas) meter.
(2) Jalan kolektor primer l0 (sepuluh) meter.
(3) Jalan lokal primer 7 (tujuh) meter.
(4) Jalan lingkungan primer 5 (lima) meter.
(5) Jalan arteri sekunder 15 (lima belas) meter.
(6) Jalan kolektor sekunder 5 (lima) meter.
(7) Jalan lokal sekunder 3 (tiga) meter.
(8) Jalan lingkungan 2 (dua) meter.
Dalam rangka pengendalian Tata Ruang Kota Banjarbaru, pemerintahKota Banjarbaru telah menempuh beberapa kebijakan yang dilakukan melalui:(l) Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2001 tentang Rencana Umum
Tata Ruang Kota Banjarbaru Tahun 2000-2010;
(2) Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2003 tentang Izin Peruntukan
penggunaan Tanah;
53FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
(3) Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
peraturan. Daerah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Retribusi Izin
Mendirikan Bangunan;
(4) Keputusan Walikota Banjarbaru Nomor 262 Tahun 2004 tentang
Ketentuan Dasar Pembangunan Perumahan di Kota Banjarbaru;
(5) Keputusan Walikota Banjarbaru Nomor 34.A Tahun 2010 tentang
pembentukan Tim Koordinasi Pemberian Izin Peruntukan
Penggunaan Tanah Kota Banjarbaru.
Pengendalian pembangunan perumahan di Kota Banjarbaru
selama ini meliputi instrumen-instrumen: (1) Izin Mendirikan Bangunan
(IMB), dan (2) lzin Peruntukan Penggunaan Tanah (PPT).
(l) Izin Mendirikan Bangunan
Dalam rangka pengaturan dan penataan bangunan yang ada di
Kota Banjarbaru, Pemerintah Kota Banjarbaru telah menerbitkan
peraturan Daerah Kota Banjarbaru Nomor 07 Tahun 2000 tentang
Retribusi Izin Mendirikan Bangunan yang selanjutnya dilakukan
perubahan menjadi perda Nomor 16 Tahun 2009. Selain untuk
mengatur penataan bangunan yang ada tujuan dari perda Kota
Banjarbaru Nomor 16 Tahun 2008 ini juga bermaksud untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat di bidang pembangunan
perumahan dan penataan bangunan sehingga sesuai dengan RUTRK
yang terah ada. untuk memperoleh Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
setiap pemohon diwajibkan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan
tertentu seperti :
(a)Pemohon mengisi formulir yang telah tersedia di Kantor Kelurahan,
ditandatangani oleh pemohon;
(b)Permohonan disampaikan dengan beberapa lampiran, yakni :
o Fotocopy KTP yang masih berlaku;
o Fotocopy tanda lunas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
o Fotocopy sertifikat/surat-surat status tanah tersebut;
o surat pernyataan tidak ada masalah atas tanah tersebut;
o Gambar Rencana site plan perumahan (tapak perumahan)
54 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Formulir pemohon yang telah lengkap pengisiannya harus
ditandatangani oleh tetangga samping kiri dan samping kanan serta
muka dan belakang bangunan yang akan dibangun tersebut. Formulir
yang telah ditandatangani oleh semua tetangga diserahkan kepada
Ketua Rukun Tetangga, Lurah, dan Camat setempat untuk
ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan. Formulir
permohonan dari pemohon yang sudah ditandatangani oleh Camat di
wilayahnya masing-masing, kemudian diserahkan kepada Walikota
Banjarbaru melalui Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BP2T) dan
Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Kota Banjarbaru untuk
diproses.
1. Izin Peruntukan penggunaan Tanah (IPPT)
Sebagai instrumen utama dalam pengendalian tata ruang
terutama dalam pembangunan perumahan yang mengatur kewajiban
bagi developer dalam hal penyediaan fasilitas umum/fasilitas sosial.
adalah pemberian Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) sebesar
30% dari luas tanah yang dimiliki apabila luas tanahnya lebih dari 2.500
meter persegi.
Menurut Peraturan Daerah Kota Banjarbaru Nomor l0 Tahun 2003
tentang lzin Peruntukan Penggunaan Tanah, yang dimaksud dengan
Izin Peruntukan Penggunaan Tanah adalah izin yang diberikan oleh
Pemerintah Daerah kepada usaha perorangan, badan hukum dan atau
badan usaha untuk menggunakan tanah sesuai dengan Rencana
Struktur Tata Ruang Daerah (STRD), yang meliputi Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK),
dan Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK) atau site plan.
Untuk memperoleh Izin IPPT, setiap orang atau badan usaha
diharuskan:
(a) Mengisi formulir yang telah disediakan di Badan Pelayanan Perijinan
Terpadu (BP2T) Kota Banjarbaru;
(b) Formulir tersebut diisi dan ditandatangani oleh pemohon;
(c) Formulir yang sudah diisi dan ditandatangani tersebut dilampiri:
o Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP);
o Fotocopy tanda lunas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
55FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
o Fotocopy sertifikat tanah yang dimaksud;
o Surat pemyataan tanah tidak bermasalah;
o Gambar rencana site plan perumahan (tapak perumahan).
Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) diberikan untuk para
Pengembang Perumahan yang bermaksud menggunakan suatu lahan
tertentu untuk pembangunan pemukiman (perumahan). Tujuan
pengendalian pembangunan fisik Kota Banjarbaru melalui lzin
Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) ini adalah untuk menjaga agar
penggunaan atau pemanfaatan lahan yang ada di Kota Banjarbaru
benar-benar sesuai dengan RUTRK yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah Kota Banjarbaru. Setelah semua persyaratan pemohon
dipenuhi, maka oleh pemerintah Kota Banjarbaru, dalam hal ini Dinas
Kebersihan dan Pertamanan, diteliti terlebih dahulu persyaratan
administrasinya apakah sudah lengkap atau belum sesuai peraturan
kemudian diadakan rapat koordinasi yang melibatkan pemohon dan
para stakeholders untuk memutuskan bahwa izin tersebut bisa
diteruskan/diterbitkan atau tidak (SK Walikota Banjarbaru No.34A
Tahun 2010).
56 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Tabel 1. Ketentuan Dasar Pembangunan perumahan diTabel 1. Ketentuan Dasar Pembangunan perumahan diTabel 1. Ketentuan Dasar Pembangunan perumahan diTabel 1. Ketentuan Dasar Pembangunan perumahan diTabel 1. Ketentuan Dasar Pembangunan perumahan di
Wilayah Kota BanjarbaruWilayah Kota BanjarbaruWilayah Kota BanjarbaruWilayah Kota BanjarbaruWilayah Kota Banjarbaru
Sumber: SK Walikota Banjarbaru Nomor 262/2004.
Tugas dan fungsi dari Tim Koordinasi Pemberian Perizinan
Peruntukan dan Penggunaan Tanah adalah sebagai berikut:
(l)Membantu Walikota Banjarbaru dalam rangka pengendalian
peruntukan penggunaan tanah;
(2)Memberikan pertimbangan kepada walikota Banjarbaru dalam
rangka pemberian Izin Peruntukan Penggunaan Tanah;
(3)Mengadakan pengawasan dan pengendalian lzin Peruntukan
Penggunaan Tanah serta pemanfaatan tanahnya;
(4)Membuat dan menandatangani hasil rekomendasi rapat;
57FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
(5)Memberikan dan menolak Izin Peruntukan Penggunaan Tanah;
(6)Melaporkan seluruh hasil kegiatan Tim kepada DKPTR Kota
Banjarbaru dan Walikota Banjarbaru.
Keputusan Walikota Banjarbaru Nomor 262 Tahun 2004 tentang
Ketentuan Dasar Pembangunan Perumahan di wilayah Kota
Banjarbaru menetapkan sejumlah kewajiban bagi Pengembang
Perumahan (Tabel 1). Setelah pemohon menyatakan bersedia untuk
memenuhi ketentuan-ketentuan sesuai Keputusan Walikota tersebut
maka diterbitkanlah Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT)
dengan ketentuan lahan 30% untuk fasilitas umum/fasilitas sosial
seterusnya diproses oleh Kantor Pertanahan Kota Banjarbaru. Pada
tahapan selanjutnya. sertifikat lahan fasum/fasos tersebut diserahkan
kepada Pemerintah Kota Banjarbaru melalui Dinas Pendapatan
Pengelolaa Keuangan dan Asset Daerah sebagai aset Pemerintah
Daerah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat lingkungan
perumahan sebagai sarana umum dan sosial.
C. 2. Implementasi Kebijakan
Selama 5 tahun sejak tahun 2005, Pemko Banjarbaru telah
menerima sertifikat 293 buah untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial
yang telah diserahkan oleh. Kantor Pertanahan dengan luasan sebesar
l. 439.766.583 m² (Tabel 2). Dari data pada Tabel 2 tampak sekali aset
fasum dan fasos yang telah diserahkan oleh pengembang perumahan
kepada Pemerintah Kota Banjarbaru terus meningkat yang
menunjukkan bahwa luas areal fasum/fasos yang menjadi aset
Pemerintah Kota Banjarbaru juga semakin luas. Masalahnya adalah,
dari pengamatan untuk penelitian ini terbukti tidak seluruh luasan
fasum/fasos tersebut telah dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
58 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Tabel 2. Jumlah Sertifikat untuk Fasilitas. Umum/SosialTabel 2. Jumlah Sertifikat untuk Fasilitas. Umum/SosialTabel 2. Jumlah Sertifikat untuk Fasilitas. Umum/SosialTabel 2. Jumlah Sertifikat untuk Fasilitas. Umum/SosialTabel 2. Jumlah Sertifikat untuk Fasilitas. Umum/Sosial
Sumber: Pemko Banjarbaru, 2010.
Kebijakan peruntukan dan penggunaan tanah di Kota Banjarbaru
dituangkan dalam Rencana umum Tata Ruang Kota (RUTRK) yang
kemudian menjadi Peraturan Daerah (Perda) dan diimplementasikan
dalam bentuk Keputusan Walikota Banjarbaru. Demikian pula
pengendalian tata ruang Kota Banjarbaru dalam hal pemukiman dan
perumahan yang sesuai dengan Rencana umum Tata Ruang Kota
Banjarbaru dituangkan dalam bentuk kebijakan yang mengatur agar
perumahan tidak kumuh, layak, representatif serta berwawasan
lingkungan.
Implementasi kebijakan tentang pembangunan perumahan yang
dilakukan oleh Pengembang Perumahan khususnya dalam penyediaan
fasilias umum / fasilitas sosial telah diatur daram pemberian Ijin
Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) yang dijabarkan dengan Surat
Keputusan Walikota Banjarbaru Nomor 27 A Tahun 2009. Dalam proses
pelaksanaannya sudah barang tentu diperlukan suatu kebijakan yang
mengatur pelaksanaanya yang meliputi: aspek peraturan dan aspek
institusi pelaksana dimana kedua aspek tersebut saling berhubungan
dan keterkaitan satu sama lain. Kedua aspek inilah yang dinilai paling
berperan daram implementasi kebijakan pembangunan perumahan di
Kota Banjarbaru.
Di dalam melakukan kegiatan pelaksanaan Ijin Peruntukan
penggunaan Tanah sebagai instrumen pengendalian pembangunan
perumahan yang dilakukan oleh pengembang perumahan sangat
ditentukan oleh peraturan yang mendukungnya. Dalam pelaksanaan
Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah di Kota Banjarbaru, peran Dinas
59FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Kebersihan, Pertamanan dan Tata Ruang Kota Banjarbaru adalah
sebagai instansi yang melaksanakan kebijakan. Perumusan kebijakan
atau pembuat peraturan yang mendukung dalam proses penerbitan
ljin Peruntukan Penggunaan Tanah dilakukan oleh Pemerintah Kota
Banjarbaru.
Dalam melaksanakan kegiatan penataan ruang di bidang
pemukiman telah diatur dalam Peraturan Daerah yang berhubungan
dengan penanganan Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah adalah
Peraturan Daerah Nomor l0 Tahun 2003 tentang ljin Peruntukan
Penggunaan Tanah. Sedangkan dalam penerbitan ijin dilakukan rapat
koordinasi tim berdasarkan Keputusan Walikota Nomor 34.A Tahun
2010 dimana semua institusi terkait ikut berperan dalam penentuan
Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah.
Sedangkan bagi pengembang perumahan yang telah mendapatkan
Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah akan membangun perumahan
harus menaati ketentuan pembangunan perumahan yang tertuang
dalam Peraturan Daerah Nomor 07 Tahun 2000 jo. Perda Nomor 16
Tahun 2009 tentang Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan dan Keputusan
walikota Banjarbaru Nomor 262 Tahun 2004 tentang Ketentuan Dasar
Pembangunan Perumahan di wilayah Kota Banjarbaru.
Dalam Perda Nomor 10 Tahun 2003 tentang ljin peruntukan
penggunaan Tanah diatur mengenai ketentuan perijinan, besarnya tarif
serta sanksi administrasi. Dalam ketentuan pemberian ijin
pembangunan perumahan bagi pengembang adalah kewajiban untuk
penyediaan fasilitas umum/fasilitas sosial seluas 3 % dari luas lahan
yang dimiliki (minimal 2.500 M²) termasuk didalamnya adalah
infrashuktur jalan yang memadai. Ketentuan tersebut biasanya dapat
dipenuhi oleh pemohon ijin dengan site plan perumahan yang akan
dibangun. Namun ketika ijin sudah diterbitkan oleh Pemerintah Kota
Banjarbaru dan pengembang membangun komplek perumahan,
kewajiban penyediaan fasilitas umum/fasilitas sosial tersebut belum
bisa dipastikan tidak berubah dari perencanaan awal sesuai site plan.
Pengawasan dan pengendalian terhadap ketaataan para pengembang
terhadap ijin yang telah diterbitkan tersebut terputus. Hal ini disebabkan
peraturan yang mengikat para pengembang tentang pembangunan
perumahan tidak tegas sanksinya.
60 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Dalam Perda Nomor 10 Tahun 2003. pasal 21,. dinyatakan bahwa
setiap orang atau badan hukum yang melakukan pelanggaran terhadap
Perda ini diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000 (lima juta rupiah). Namun,
rupanya sanksi tersebut tidak terlalu berarti bagi pengembang sehingga
ketidakpatuhan terhadap aturan masih mungkin bisa dilakukan oleh
pengembang perumahan.
Dari hasil pengamatan di lapangan, masih terdapat lokasi fasum/
fasos yang semestinya diberikan pengembang ternyata dialihfungsikan.
Sebab-sebab terjadinya alih fungsi fasilitas umum dan fasilitas sosial
oleh pengembang perumahan itu adalah:
(1) Merupakan suatu postulat bahwa setiap perusahaan pembangunan
perumahan cenderung untuk memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya.
Didasarkan pada asumsi tersebut maka ada justifikasi
kecenderungan perusahaan pembangunan perumahan untuk
mengalihfungsikan fasilitas sosial dan fasilitas umum menjadi kapling
siap bangun untuk dipasarkan kembali kepada calon user;
(2) Bahwa lemahnya pengawasan dan kurang mantapnya koordinasi
dengan instansi teknis yang memberikan rekomendasi berkaitan
dengan pemberian ijin, sehingga dapat dimungkinkan terjadinya
kolusi dalam pemberian ijin perubahan site plan;
(3) Bahwa terjadi ketidakpatuhan terhadap peraturan disebabkan
karena komitmen yang tidak tegas yang diformulasikan dalam
bentuk adanya kepentingan kolaboratif antara aparatur pemerintah
dengan developer yang tidak jujur.
Tidak adanya koordinasi dan pengawasan yang ketat inilah yang
menyebabkan sering terjadinya alih fungsi fasilitas umum/fasilitas sosial
yang dilakukan oleh pengembang. Lemahnya pengawasan, tidak
adanya koordinasi yang dapat menguatkan komitmen dari instansi
terkait, serta kurang tegasnya sanksi tampaknya dimanfaatkan oleh
pihak pengembang yang secara diam-diam telah melakukan kolusi
dengan aparat instansi terkait. Lagipula. dalam Permendagri Nomor 3
Tahun 1987. tentang penyediaan dan pemberian hak atas tanah untuk
keperluan perusahaan pembangunan perumahan tidak secara jelas
61FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
mencantumkan sanksi yang tegas terhadap larangan alih fungsi fasilitas
umum/fasilitas sosial. Di satu sisi secara hukum aturan yang ada tidak
memiliki kekuatan hukum yang jelas, dan di sisi lain menjadi salah
satu kendala dalam tahap implementasinya.
Aturan sanksi itu sebenarnya sudah agak jelas dari perspektif peran
Pemda. Penyediaan fasilitas umum/fasilitas sosial itu hukumnya wajib
bagi para pengembang; karena apabila pengembang tidak menyediakan
fasilitas umum/fasilitas sosial, maka Pemerintah Kota Banjarbaru
(berhak untuk) tidak akan memberikan Ijin Peruntukan Penggunaan
Tanah. Fatsun yang ada menyebutkan bahwa sanksi. bila. pengembang
melakukan pelanggaran terhadap penyediaan fasilitas umum dan
fasilitas sosial bisa berupa kondite buruk; atau bisa juga berupa
permintaan kompensasi lahan baru jika plot lahan fasum/fasos
ternyata sudah terlanjur dibangun perumahan. Namun demikian,
pokok persoalannya kembali pada aspek pengawasan, apakah aturan
tentang kompensasi itu berlanjut hingga ke taraf eksekusi. Tidak ada
instrumen dan lembaga yang secara tegas bertugas mengawasi apabila
pengembang tetap nakal atau mangkir dengan kewajibannya itu.
Padahal kinerja Tim Koordinator yang bertanggungjawab dalam
implementasi program juga kurang memuaskan. Dalam beberapa
kasus, pejabat yang seharusnya hadir dalam acara Rapat Koordinasi
justru sering mewakilkan kepada salah satu stafnya yang tidak
mempunyai kompetensi di bidang yang dibicarakan. Alasannya macam-
macam, termasuk karena kesibukan tugas dinas lainnya, seperti yang
diakui oleh S.
“Atasan saya sedang menghadiri tugas lain sehingga saya yang
mewakili. Kan tidak perlu bicara banyak, yang penting tidak
bermasalah” (Wawancara dengan informan S, l5 Februari 2010).
Dalam rapat koordinasi tim IPPT adalah masing-masing anggota
menyampaikan pendapatnya atas permohonan yang diajukan oleh
pengembang Perumahan disesuaikan tugas dan fungsi jabatan yang
dipangkunya. Tetapi, karena tidak semua yang hadir memiliki
kompetensi dan otoritas yang tepat, acara itupun jadi sekadar seremonial
belaka. Padahal dalam proses penerbitan IPPT yang melibatkan seluruh
instansi terkait itu mestinya ditunjukkan adanya koordinasi antar tim
62 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
sehingga pemerintah selaku pembuat kebijakan tetap berwibawa dalam
membuat keputusan untuk para pengembang. Lemahnya pengawasan
dan kurang mantapnya koordinasi instansi teknis membuka peluang
terjadinya kolusi dalam pemberian ijin serta menimbulkan bias atas
tafsir Keputusan Walikota. Dan hal itulah yang diakui oleh seorang
staf Dinas terkait (Od) yang sering hadir mewakili pimpinannya dalam
rapat koordinasi.
“Kadang ada saja pemohon (pengembang) yang minta
kebijaksanaan, karena mereka punya tanah kaplingan sudah lama
sebelum keluar peraturan sekarang yang mensyaratkan jalan
lingkungan harus 8 meter. Padahal ketika mereka menjual
kaplingan tanah, rencana jalan lingkungan itu masih 4 meter,.
dan kalau diubah jadi 8 meter pasti tidak cukup lahannya untuk
fasilitas umum/sosial. Jadi yang dibicarakan adalah bagaimana
baiknya supaya usaha mereka bisa tetap jalan, dan aturan bisa
ditaati” (Wawancara dengan Od, 27 Pebruari 2010).
Selain koordinasi, kelemahan dalam monitoring hasil keputusan
tim juga menjadi salah satu kendala dalam mengendalikan
pengawasan. Hal ini tampak dalam proses penyerahan sertifikat yang
kadangkala amat lama terpendam di Kantor Pertanahan Kota
Banjarbaru; sehingga tim koordinasi praktis tidak mampu memantau
apakah sudah diserahkan atau belum sertifikat tersebut, dan apakah
site plan-nya masih seperti waktu disetujui dulu, atau sudah berubah
dari perencanaan awal.
Pokok persoalannya tampaknya adalah komunikasi antar instansi
terkait. Secara teoritik dipahami bahwa tujuan dan sasaran kebijakan
seharusnya ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group)
sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan
sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama
sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi
dari kelompok sasaran. Berdasarkan hasil verifikasi dengan sejumlah
Camat yang terlibat dalam rapat koordinasi, diakui bahwa komunikasi
yang terjadi cukup baik. Para pelaksana program di tingkat kecamatan
ke bawah pada dasarnya cukup memahami maksud aturan yang
berkaitan dengan fasum dan fasos di komplek perumahan. Tetapi,
63FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
sebagaimana diakui mereka, urusan pemberian sanksi bukanlah ranah
kekuasaan mereka; dan justru itu ketika ada pelanggaran aturan main
oleh perusahaan pengembang, mereka tidak punya kekuatan apapun
untuk melakukan intervensi. Bagi aparatur di tingkat kecamatan ini,
kalaupun ada pihak yang lebih berhak untuk mengajukan keberatan,
opininya justru adalah warga masyarakat yang tinggal di komplek
perumahan itu sendiri.
Pembangunan kawasan pemukiman untuk menyediakan
perumahan bagi warga kota adalah bisnis yang mengikuti hukum
ekonomi. Dari hasil verifikasi dengan kelompok pengembang, rupanya
tidak semua mereka mengabaikan aturan yang berkaitan dengan hak
penghuni perumahan atas fasum dan fasos. Bahkan untuk beberapa
pengembang kelas menengah atas yang mengutamakan bonafiditas
perusahaan, justru kondisi fasum dan fasos itu yang mereka tonjolkan
sebagai jualan.
“Kami sudah tahu kalau dalam membangun perumahan ada
aturan untuk fasum/fasos 30 persen. Kami selalu mengikuti
aturan itu, karena masyarakat juga tidak mau kalau jalannya
sempit dan lingkungan pemukimannya tidak indah. Rumah yang
kami bangun akan kurang laku kalau tidak ada keindahan dan
itu salah satu daya tarik pemasaran yang kami tawarkan kepada
konsumen” (Wawancara dengan Pengembang M, tanggal 7
Maret 2010).
Informasi yang disampaikan oleh pengembang M itu seleras
dengan verifikasi yang disampaikan oleh seorang narasumber,
penghuni sebuah pemukiman baru, yang ketika memilih kawasan justru
mempertimbangkan antara lain aspek keindahan lingkungan dan
kenyamanan hunian.
“Kami mencari rumah yang memiliki lahan agak luas. Lebih-
lebih di Banjarbaru cukup banyak pilihan perumahan yang
harganya rata-rata sama antar perumahan yang satu dengan yang
lain” (Wawancara dengan Sup, tanggal 9 Maret 2010).
Dengan demikian, kalau sampai terjadi kasus adanya
penyimpangan dalam hal pembangunan fasum dan fasos, maka gejala
64 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
itu jelas berkaitan dengan tidak adanya pilihan lain bagi konsumen
yang terpaksa harus membeli rumah di kawasan yang kurang baik
fasilitasnya. Tetapi dengan mengacu pada kasus penyimpangan yang
dilakukan oleh pengembang, maka faktor-faktor penyebabnya bukan
hanya karena adanya sikap pasif konsumen, tetapi karena hal itu
menguntungkan bagi pihak pengembang. Dari hasil verifikasi di
sejumlah kawasan pemukiman yang ada di Kota Banjarbaru, fasum
dan fasos yang dialihfungsikan menjadi bangunan atau dijual kembali
oleh pengembang kepada pihak ketiga dengan kisaran harga Rp 300
ribu sampai Rp 400 ribu per meter persegi, tergantung pada lokasi
kawasan pemukiman tersebut. Tetapi, fenomena itu kembali terpulang
pada pihak pengembangnya, karena dari penelitian ini pula terbukti
bahwa beberapa kawasan pemukiman ternyata patut dinilai positif
dan memiliki kredibilitas yang baik dalam kaitan kewajiban
pembangunan fasum dan fasos tersebut (Tabel 3). Dan karena alasan
itu pula beberapa pengembang perumahan patut. dinilai cukup buruk
perilakunya, karena misalnya telah mengalihfungsikan lahan fasum
dan fasos, atau malah tidak menyediakannnya sama sekali; meskipun
sayangnya perilaku buruk tersebut ternyata tidak pernah digugat oleh
para penghuni komplek perumahan yang bersangkutan.
Tabel 3. Kondisi Fasum/Fasos Perumahan Baru di KotaTabel 3. Kondisi Fasum/Fasos Perumahan Baru di KotaTabel 3. Kondisi Fasum/Fasos Perumahan Baru di KotaTabel 3. Kondisi Fasum/Fasos Perumahan Baru di KotaTabel 3. Kondisi Fasum/Fasos Perumahan Baru di Kota
BanjarbaruBanjarbaruBanjarbaruBanjarbaruBanjarbaru
Sumber: Data survei 2010.
Kondisi pemukiman yang cukup ideal di Banjarbaru hanya dapat
ditemukan di empat komplek perumahan, yang kebetulan dibangun
oleh perusahaan pengembang kelas menengah atas. Beberapa komplek
perumahan diketahui telah berubah kawasan fasum dan fasosnya,
tetapi perubahan itu ditoleransi karena sesuai dengan kesepakatan
65FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
dengan para penghuni pemukiman. Tetapi ada 36 pengembang (72%)
yang sebenarnya melanggar komitmen, dan bahkan 29 di antaranya
menunjukkan kinerja yang sangat buruk sebagai pengembang yang
mestinya menyediakan fasum dan fasos yang memadai untuk para
penghuni komplek perumahan yang dibangunnya. Adapun ciri
pengembang yang buruk perilakunya itu, mereka adalah pengembang
yang hanya mampu membangun rumah tipe kecil sederhana,
jumlahnya terbatas, dan lokasinya kurang strategis. Namun demikian,
salah satu fasilitas yang paling buruk yang dibuat oleh kelompok
pengembang ini adalah tidak adanya saluran akhir drainase sehingga
ketika hujan besar turun pasti jalanan dan kawasan di situ akan
tergenang banjir.
C. 3. Penilaian Subyektif Pemukim
Dampak sosial yang ingin dilacak dalam penelitian ini adalah
kerugian yang diderita oleh para penghuni perumahan, terutama isu
yang berkaitan dengan kenyamanan dan rasa aman. Secara operasional
didefinisikan bahwa kenyamanan pemukim itu diukur dari tersedianya
fasum dan fasos, dan mereka benar-benar dapat memanfaatkan fasilitas
tersebut sebagai warga komunitas setempat dalam berinteraksi sosial.
Sedangkan rasa aman lebih pada penilaian subyektif pemukim tentang
kondisi lingkungan pemukimannya ketika musim hujan (bebas banjir
atau tidak), sumber air minum (bermasalah atau tidak kala musim
kemarau), dan tempat pembuangan sampah sementara (dalam kaitan
keindahan dan rasa aman dari sumber penyakit). Ternyata, penilaian
semacam itu tergantung pada masa mukim yang bersangkutan dan
apakah komplek perumahan itu merupakan kawasan pemukiman lama
atau masih baru. Tidak dapat diingkari bahwa pada umumnya
kawasan pemukiman baru masih kurang dirasakan dampak negatif
dari ketiadaan fasum dan fasos, bahkan di komplek perumahan yang
berskala kecil sekalipun. Dampak negatif itu umumnya baru dirasakan
ketika komplek perumahan itu sudah berdiri di atas sepuluh tahun
dan para penghuninya semakin padat sehingga masing-masing pemilik
rumah memperbesar ukuran bangunan rumahnya, dan yang lebih
parah ketika drainase yang buruk tidak mengakomodir pembuangan
66 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
limbah rumah tangga. Tetapi, kasus semacam itu hanya terjadi di
kawasan pemukiman yang warganya termasuk dalam kelompok
masyarakat menengah ke bawah. Untuk kasus pemukiman kelas
menengah ke atas, meskipun sudah berdiri di atas sepuluh tahun, tidak
tampak terjadi perubahan fisik pada sebagian bangunan rumah yang
semula memang sudah baik kualitas dan memadai ukuran luasnya;
dan lingkungan pemukimannya juga cukup terpelihara keindahannya.
Semula diduga penilaian pemukim atas kualitas fasum dan fasos
itu berhubungan dengan tingkat pendidikan dan status pekerjaan.
Alasannya, tingkat pendidikan itu diduga mempengaruhi kemampuan
seseorang untuk melakukan sebuah penilaian kritis. Sedangkan latar
belakang pekerjaan diduga mempengaruhi kemampuan seseorang
untuk melakukan negosiasi dan posisi tawar. Namun, analisis Chi-
kuadrat memberikan gambaran bahwa hubungan antara penilaian atas
dampak ketidakpuasan dari terabaikannya fasos dan fasum dengan
tingkat pendidikan ternyata tidak signifikan (0,326) dan hanya bernilai
13,621 dengan peluang independensi 75%. Demikian pula
hubungannya dengan status pekerjaan, tidak signifikan. Tidak
signifikannya korelasi antar variabel itu boleh jadi karena kekeliruan
mengambil sampel narasumber. Namun demikian perlu dicatat bahwa,
ternyata warga penghuni perumahan memiliki indikator tersendiri
berkaitan dengan ihwal kenyamanan tinggal di lokasi mukim. Bagi
sebagian besar penghuni komplek perumahan di Kota Banjarbaru, akses
ke jalan protokol ternyata sangat menentukan persepsi mereka tentang
kenyamanan lokasi mukim, dan hal itulah yang terabaikan ketika
peneliti merancang penelitian ini. Dan ketika akses jalan jadi perhatian,
mereka justru menuntut adanya peran Pemerintah Daerah untuk
memperbaiki jalan di dalam dan menuju komplek perumahan mereka
yang kondisinya buruk. Mereka tidak mempersoalkan buruknya kondisi
jalan di lingkungan pemukiman itu sebagai kinerja pengembang.
Ada kecenderungan faktual yang agak aneh, bahwa ketika
bangunan rumah sudah ditempati pemiliknya, maka seperti gugurlah
sudah segala kewajiban pengembang perumahan untuk memberikan
layanan kepada warga komunitas setempat. Dan karena itu pula nyaris
tidak ada responden dalam penelitian ini yang tampak ingin
67FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
menyalahkan pihak pengembang perumahan ketika ada masalah yang
berkaitan dengan kurang memadainya kualitas fasum dan fasos di
lingkungan mukim mereka. Hal itu bukan berarti bahwa mereka tidak
merasakan dampak negatif dari buruknya kondisi fasum dan fasos,
karena 88,7% responden dalam penelitian ini sebenarnya
menyadarinya. Mereka rupanya mengira urusan fasum dan fasos itu
adalah wilayah kewenangan Pemda, dan karena itu pula 22%
responden dalam penelitian ini mengaku pernah melaporkan kondisi
buruk lingkungan mukimnya kepada aparatur Pemda yang
dikenalnya, dan lalu kecewa karena tidak ada tindak lanjutnya. Tetapi
mereka yang telah berinisiatif menyampaikan keluhan itu, meskipun
tidak terlalu benar dalam konteks siapa yang sebenarnya berkewajiban
memfasilitas hal itu, tentu saja lebih baik daripada mereka yang skeptis
dan jumlahnya ternyata jauh lebih besar.
D. KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan:
1. Pengadaan fasum dan fasos oleh pengembang perumahan, yang
seharusnya sesuai dengan site plan, ternyata tergantung pada
bonafiditas perusahaan pengembang perumahan; dan
perusahaan pengembang kelas menengah atas cenderung sangat
menaruh perhatian dengan hal itu tetapi semata-mata karena
faktor bisnis belaka.
2. Pada kasus pemukiman yang buruk kondisi fasum dan fasosnya,
ihwalnya bukan hanya karena rendahnya komitmen pihak
pengembang untuk menyediakannya, tetapi juga karena
rendahnya tingkat kepedulian warga setempat untuk menggugat
hal itu sebagai hak mereka.
3. Khusus yang berkaitan dengan fungsi pengawasan Pemda, kasus
beberapa lokasi pemukiman di Kota Banjarbaru yang buruk fasum
dan fasosnya adalah bukti bahwa aturan tertulis yang menjaga
komitmen pengembang perumahan sebenarnya tidak bermakna
apa-apa ketika kinerja pengawasan dari instansi Pemda tidak
menjamin tegaknya aturan yang berkaitan dengan kewajiban
pengembang menyediakan fasum dan fasos yang baik.
68 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
DAFTAR RUJUKAN
Anonimous, 2008. Kota Banjarbaru Dalam Angka. BPS, Banjarbaru.
_________, 2008, Analisis Kondisi Sosial. Ekonomi Kota Banjarbaru.
BPS, Banjarbaru.
_________, 2009. Rencana Pembangunan Jangka. Panjang Daerah
Tahun 2009-2028. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kota Banjarbaru, Banjarbaru.
Anwar, Khairuddin, 2003. Implementasi Kebiiakan pengendalian Tata
Ruang Kota (Suatu studi tentang Pengendalian dan
pemanfaatan Ruang Kota Melalui Pelayanan Advice. planning.
di Kota Banjarmasin). Tesis pada Program Pascasarjana Uni-
versitas Brawijaya, Malang.
Aziz, Moch. Ali, 2005. Dakwah Pemberdayaan Masyarakat. Pustaka
Pesantren, Yogyakarta.
Blaang, C. Djemabut, 1986. Perumahan dan Pemukiman sebagai
Kebutuhan Dasar. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Daldjoeni, N., 1981. Seluk. Beluk Masyarakat Kota. Alumni, Bandung.
Dunn, William, 1999. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Islamy, M. Irfan, 1997. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebiiaksanaan
Negara. Bumi Aksara, Jakarta
Koestoer, Raldi, l997. Perspektif Lingkungan Desa Kota: Teori dan
Kasus. Universitas Indonesia Pers, Jakarta.
Koestoer, Raldi, 2001. Dimensi Keruangan Kota: Teori dan Kasus.
Universitas Indonesia Pers, Jakarta.
Marsono, l995. Undang-Undang dan Peraturan-peraturan di Bidang
Perumahan dan Pemukiman. Djambatan, Jakarta .
Mondy, Wayne R., A. Sharplin, S.R. Premaux & J.R. Gordon. 1990.
Management and Organizational Behavior. Allyn and Bacon,
Boston.
69FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Muljono, R., 2001. Pengawasan Terhadap Penguasaan dan Penggunaan
Tanah oleh Perusahaan Pembangunan Perumahan (Studi Kasus
di Kotamadya Daerah Tingkat II Malang). Tesis pada Program
Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang.
Munir, Rozi dan Priyono Tjiptoheriyanto, 1986. Penduduk dan
Pembangunan Ekonomi. Bina Aksara, Jakarta.
Nugroho, Iwan dan Rochmin Dahuri, 2004. Pembangunan Wilayah.
LP3ES, Jakarta.
Ratminto dan Atik Serti Winarsih, 2008. Manajemen Pelayanan. Pustaka
Pelajar,Yogyakarta.
Santoso, Jo, 2006. Menyiasati Kota Tanpa Warga. Centropolis-Center
for Metropolitan Studies. Universitas Tarumanegara, Jakarta.
Sarman, Mukhtar, 2004. Pengantar Metodologi Penelitian Sosial.
Pustaka Fisip Unlam, Banjarmasin.
Sinulingga, Budi S., 1999. Pembangunan Kota: Tinjauan Regional dan
Lokal. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Soetomo, 2009. Pembangunan Masyaraka. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Steinhoff, Dan, 1979. The World of Bussiness. The University of Michi-
gan. Michigan.
Sugiantoro, 2000. Implementasi Kebijakan pemanfaatan Ruang Kota
Melalui Pelayanan Advices. Planning. Tesis pada Program
Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang.
Sumarjono, Maria S., 2008. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Sunyoto, Usman, 2008. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat.
Pustaka pelajar,Yogyakarta.
Syakrani & Syahriani, 2001. Implementasi Otonomi Daerah dalam
Perspektif Good Governance. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Tjiptono, Fandy, 1996. Manajemen Jasa. Andi Offset, Yogyakarta.
Wahab, Solichin Abdul, 1997. Analisis Kebijaksanaan. PT Bumi Aksara,
Jakarta.
Wibawa, Samodra dkk, l994. Evaluasi Kebijakan Publik. PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
70 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Wrihatnolo, Randy R. & RN Dwijowijoto, 2006. Manajemen
Pembangunan Indonesia: Sebuah Pengantar dan Panduan
untuk Pemberdayaan Masyarakat. PT Elex Komputindo, Jakarta.
Yudohusodo, Siswono dkk,1991. Rumah untuk Seluruh Rakyat.
INKOPPOL Bharakerta, Jakarta.
Yunus, Hadi S., 2000. Struktur Tata Ruang Kota. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Zainudin, Arif, 2001. Sebab-sebab Terjadinya Alih Fungsi Fasilitas sosial
dan Fasilitas Umum oleh Perusahaan Pembangunan Perumahan.
Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Brawijaya,
Malang.