Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERAN POLITIK MILITER (ABRI) ORDE BARU TERHADAP
DEPOLITISASI POLITIK ISLAM DI INDONESIA
(Studi Terhadap Hegemoni Politik Militer Orde Baru Terhadap Politik
Islam Tahun 1967-1990)
Oleh
EDHY HARIYANTO
101045222258
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
JURUSAN SIYASAH SYAR’IYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN
HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1427 H/2006M
PERAN POLITIK MILITER (ABRI) ORDE BARU TERHADAP
DEPOLITISASI POLITIK ISLAM DI INDONESIA
(Studi Terhadap Hegemoni Politik Militer Orde Baru Terhadap Politik
Islam Tahun 1967-1990)
Oleh
EDHY HARIYANTO
101045222258
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
JURUSAN SIYASAH SYAR’IYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN
HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1427 H/2006M
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT. Penulis panjatkan atas
segala rahmat dan karunia-NYA yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga
dapat menyelesaikan tugas penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga
tetap dilimpahkan kepada nabi Muhammad SAW, rasul paling mulia dan penutup
para Nabi, serta iringan doa untuk keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya
yang selalu setia sampai akhir zaman.
Tidak terasa perjalanan panjang menempuh studi di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta telah berakhir. Satu tahap perjalanan akademis
yang merupakan perjalnan kecil dibalik kehidupan, telah penulis telusuri dengan
segala suka dan duka, bahagia bercampur haru mengiringi rasa syukur atas
karunia ini tidak dapat penulis sembunyikan dari lubuk hati yang paling dalam.
Akhirnya penulis tersadarkan bahwa perjalan dalam menyelesaikan skripsi
ini telah memberikan perjalanan hidup yang melekat dalam sanubari, sekecil
apapun pekerjaan yang kita lakukan, apabila kita hadapi dengan penuh
penghayatan dan keikhlasan, maka tak akan menghasilkan kesia-siaan. Dan
seberat apapun pekerjaan bila kita nikmati sebagai tahapan pelajaran hidup yang
harus kita lalui, maka tidak akan terasa sulit sesuatu yang pada awalnya
menantang akan berubah menjadi sesuatu yang menyenangkan.
Kebahagiaan besar bagi penulis adalah dapat menyelesaikan skripsi ini,
dan merupakan karya istimewa yang penulis capai. Untuk itu terimakasih yang tak
terhingga kepada Almarhum Ayahanda yang tercinta dan Ibunda yang tercinta dan
sangat aku sayangi dan cintai yang merupakan pahlawan dalam hidupku, yang
dengan segala pengorbanannya telah memberikan curahan kasih sayang,
membesarkan, mendidik serta memberikan dorongan, baik moril maupun materil
kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Sepenuhnya penulis menyadari bahwa selesainya penulisan skripsi ini
bukan semata-mata atas usaha penulis sendiri. Namun juga karena bantuan dan
motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulisa ingin menyampaikan
terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Amin Suma, SH, Selaku Dekan Fakultas Syari’ah
dan hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
serta staf-stafnya.
2. Bapak Asmawi M.Ag, selaku ketua jurusan Siyasah Syar’iyah, Ibu
Sri Hidayati M.Ag selaku sekretaris jurusan Siyasah Syar’iyah yang
penuh keikhlasan dan kesabaran telah mencurahkan ilmu dan
pengetahuannya selama penulis dalam masa studi.
3. Bapak Drs. Tabrani Syabirin M.Ag, selaku pembimbing skripsi ini
yang telah dengan tulus dan penuh kesabaran sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan dengan baik dan benar.
4. Dosen-dosen fakultas Syari’ah yang telah memberikan beberapa
materi, ilmu dan tuntunan serta budi pekertinya semasa kuliah
hingga selesainya skripsi ini.
5. Pimpinan dan karyawan perpustakaan utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Syari’ah, perpustakaan Imparsial,
dan perpustakaan CSIS yang telah memberikan fasilitas terhadap
penulis dalam megadakan penelitian kepustakaan.
6. Sahabat-sahabat dan teman-temanku yang telah memberikan
motivasi dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi.
7. Terseleaikannya skripsi ini juga tidak terlepas dari motivasi dan
dorongan dari teman - teman yang tergabung dalam organisasi
primordial mahasiswa daerah Bangka Belitung, PAMALAYU
BABEL (Persatuan Mahasiswa Melayu Kepulauan Bangka
Belitung), Bung Juned, Bung Marbawi, Bung Alfi, Bung Cablak,
Bung Sigit, Bung Imam, dan semuanya.
Hanya kepada merekalah penulis berucap: terimakasih yang tiada taranya,
semoga pengorbanan, dukungan, ilmu, dan kebaikan serta ketulusan dan
keikhlasan mereka dibalas oleh Allah SWT, baik di dunia maupun di
akhirat.Amin.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari
sempurna serta tidak lepas dari kesalahan-kesalahan, maka enulis mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan penyusunan
skripsi.
Semoga skripsi ini menjadi petunjuk yang berharga bagi mereka yang
membacanya, dan khususnya bagi penulis sendiri. Akhirnya penulis hanya bisa
berdoa kepada mereka yang sudah membantu dengan tulus semoga jasa dan
kebaikan yang tak ternilai dapat balasan yang lebih dan berlipat ganda dari Allah
SWT. Amin Ya Robbul Alamin.
Ciputat, 20 Februari 2007
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................
i
DAFTAR ISI ..........................................................................................................
iv
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah.............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
....................................... 11
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan .................................................
13
D. Metodelogi Penelitian .................................................................
14
E. Sistematika Penulisan ...............................................................
17
BAB II POTRET POLITIK ISLAM ERA AWAL ORDE BARU
DAN 1990 ........................................................................................
18
A. Pandangan Umat Islam Indonesia Terhadap Politik
Kenegaraan Indonesia
.................................................................................... 18
B. Budaya Politik Islam Indonesia dan Dampaknya Terhadap
Politik Militer
........................................................................................ 42
C. Peranan Politik Islam Masa Awal Orde Baru .......................
49
D. Partai Politik Islam Tahun 1970-an ........................................
52
BAB III ORIENTASI ORDE BARU TERHADAP PEMBANGUNAN
INDONESIA ..................................................................................
57
A. Hubungan Orde Baru dan ABRI ............................................
57
B. Karakteristik Politik Militer ABRI .........................................
60
C. Misi Politik Militer ABRI Pada Masa Orde Baru ..................
66
BAB IV ABRI DALAM MENATA PERPOLITIKAN NASIONAL ......
70
A. Sejarah Politik Hukum ABRI/TNI ...........................................
70
B. Konsep Dwifungsi ABRI/TNI dan Dampaknya Terhadap
Politik Sipil ..... ............................................................................
91
C. Kegagalan Orde Lama dan Peran ABRI/TNI .........................
103
D. Strategi ABRI Dalam Rangka Depolitisasi Politik Islam .......
107
BAB V PENUTUP .......................................................................................
115
A. Kesimpulan (Runtuhnya Orde Baru, dengan Indikator-
indikator politik militer di akhir Orde Baru)
...................................... 115
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................
120
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setelah terjadi tragedi nasional gerakan tiga puluh September 1965 atau
lebih dikenal dengan G-30S/PKI yang gagal, maka suksesi kepemimpinan
nasional terjadi dalam keadaan tidak normal. Pada tahun 1966 Soeharto menerima
surat perintah 11 Maret 1966 dari presiden Soekarno dan diberi kekuasaan
eksekutif untuk mengamankan keadaan. Hal ini menggambarkan bahwa secara
nonsubstansial Soeharto telah menjadi pemimpin nasional. Tampuk kekuasaan
nasional nonsubstansial yang berada di tangan Soeharto pada tahun 1967 lewat
sidang umum MPRS telah memindahkan seluruh kekuasaan eksekutif kepada
Soeharto, dan secara resmi Soekarno tidak memiliki kekuasaan apapun.1 Pada saat
pertama Jenderal Soeharto menjabat sebagai presiden Republik Indonesia, hal ini
menandai berakhirnya rezim Orde Lama dan lahirnya rezim baru yaitu Orde Baru.
Pada masa awal kelahirannya, Orde Baru yang diidentikkan dengan
Soeharto sebagai presiden yang berlatar belakang militer telah menyadari bahwa
tugas dari kaum militer bukanlah untuk membuat kebijakan-kebijakan
perekonomian.2 Dia mempercayakan pembuatan kebijakan ekonomi tersebut
kepada orang-orang sipil, khususnya kepada sekelompok ahli ekonomi dari
Universitas Indonesia yang dipimpin oleh Profesor Widjojo Nitisastro. Hal ini
1 Eep Saefulloh Fatah, Agenda – Agenda Besar Demokratisasi Psca Orde Baru,
(Bandung: Mizan), cet.I, h.163
2 Noor Azmah Hidayah, Millah Jurnal Studi Agama, ( Yogyakarta: Magister Studi Islam
UII), vol.IV,h.49
ditandai dengan pengiriman beberapa orang dari kelompok ini oleh presiden
Soeharto ke Universitas California-Berkeley untuk mengikuti pelatihan yang
berkenaan dengan upaya stabilitas ekonomi dalam negeri, di samping bantuan dari
sebuah perutusan dana moneter internasional yang dikirim ke Jakarta untuk
pertama kalinya memperjelas posisi hutang luar negeri Indonesia.
Ciri terpenting bentuk daripada perpolitikan yang dijalankan oleh Orde Baru
pada masa awal terbentuknya rezim ini tahun 1967-1990 adalah dominannya
peran politik militer melalui penerapan ideologi “dwifungsi ABRI” sehingga
mensubordinasikan kekuatan politik lain secara relatif penuh. Sekalipun secara de
facto ”dwifungsi ABRI” telah dijalankan bersamaan dengan sejarah awal
terbentuknya republik, namun perumusan dwifungsi ABRI sebagai sebuah
konsepsi dan ideologi politik baru terjadi pada dekade 1950-an.3
Dalam pidatonya A.H. Nasution pada saat dies natalis Akademi Militer
Nasional di Magelang, 11 Nopember 1958 mengintrodusir konsepsi “jalan tengah
“tentang posisi dan peran militer di Indonesia.4 A.H. Nasution tidak
menginginkan ABRI dalam posisi dan peran militer model negara Barat yang
hanya menjadi kekuatan HANKAM (Pertahanan dan Keamanan), dan tidak pula
dalam posisi militer model negara-negara junta militer sebagai diktator. Menurut
Nasution, ABRI harus mengambil posisi “jalan tengah” yaitu dengan menjalankan
3 Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru, Masalah Dan Masa
Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional (Bandung: PT.Remaja Rosda Karya 2000 ),cet I Edisi
II, hal.135
4 Ibid, hal,135
fungsi sosial politik lain sambil tetap menghindari terbentuknya dominasi politik
militer atas sipil.5
Namun dalam perkembangan politik kemudian, konsepsi jalan tengah
Nasution diberi baju baru oleh rezim Orde Baru dipenghujung tahun 1960-an,
setelah Soeharto menjabat sebagai presiden RI. Baju baru itu, berupa konsep “
dwifungsi ABRI “ yang dihasilkan melalui seminar AD II ditahun 1966
melegitimasikan tidak saja peran politik militer terbatas, melainkan dalam
prakteknya sebuah kekuasaan politik yang sangat luas.6
Dilihat dari sisi pertarungan pemikiran politik, ideologi dwifungsi ABRI
yang kemudian disosialisasikan dan dimapankan dalam praktek politik Orde Baru
adalah hasil pertarungan antar tiga versi pemikiran tentang peranan militer dalam
politik yang berkembang diawal kelahiran Orde Baru, yaitu: versi Soeharto – Ali
Murtopo, versi A. H. Nasution, dan juga versi Mohammad Hatta. Soeharto
sebagai presiden dan Ali Murtopo menginginkan peran militer yang besar untuk
melakukan stabilisasi kehidupan politik. Nasution juga menginginkan peran
militer yang besar, namun kemudian segera dikurangi dari waktu ke waktu sejalan
dengan berkurangnya tingkat krisis sosial, ekonomi dan politik warisan Orde
Lama. Berbeda dengan keduanya, Hatta malah menyarankan militer untuk
kembali ke tangsi atau barak untuk membuka jalan bagi Orde Baru merealisasikan
janji-janji demokratisasi dan keadilan sosialnya.7
5 A.H.Nasution, Kekarjaan ABRI ( Jakarta : Seruling Mas,1971),cet. I, hal.19
6 Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru, Masalah dan Masa
Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional , hal.136 7 Deliar Noer, Mohammad Hatta: Biografi Politik (Jakarta: CSIS,1974),cet.I, hal.92
Maka, dwifungsi ABRI dalam persepsi penguasa Orde Baru adalah
melibatkan militer dalam proses politik dan pemerintahan baik di tingkat lokal
maupun nasional secara luas. Elemen-elemen yang terlibat dalam proses politik
dan pemerintahan, seperti birokrasi, partai politik, parlemen, dan badan eksekutif
secara umum, hampir tidak ada satu pun yang steril dari penetrasi militer.8 Setelah
terjadinya perdebatan antara ke tiga versi pemikiran di atas mengenai peran dan
fungsi militer dalam politik nasional, maka pada akhirnya versi Soeharto - Ali
Murtopo yang diterima untuk diterapkan. Ali Murtopo merupakan seorang
intelektual militer yang sangat anti dengan Islam. Ali Murtopo ketika itu
memangku jabatan sebagai komandan Intelijen yang merekayasa tentang politik
Islam.9 Dengan demikian, diterimanya versi Soeharto dan Ali Murtopo yang
sangat Islamifobia (anti dengan gerakan Islam politik dan memusuhi Islam), dan
tergesernya versi Nasution dan Hatta, tidak saja menyebabkan Nasution harus
terdepak dari lingkaran kekuasaan dan dibatasi peranannya dalam pemerintahan
Soeharto, namun lebih jauh lagi berimplikasi terhadap keterbukaan jalan bagi
akumulasi kekuasaan ekonomi dan politik militer dan jalan untuk mereduksi dan
bahkan melenyapkan peran dan aktivitas politik Islam dari arena perpolitikan di
Indonesia. Budaya politik Orde Baru dengan jargon politiknya ideologi
“Depelopmentalisme “atau ideologi paham pembangunan ekonomi nasional yang
digagas dan dikembangkannya, kemudian dijadikan sebagai instrumen legitimasi
rezim. Ideologi yang dikonsepsikan oleh Orde Baru pada saat itu melalui sebuah
8 Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrsi Ala Orde Baru, Masalah Dan Masa
Depan demokrasi Terpimpin Konstitusional, hal. 136 9 S. Yusnanto, et al, Gerakan Militan Islam (Jakarta: The Ridep Institute, 2003), cet. II,
hal 8
langkah rekayasa politik, karena dengan rekayasa politik tersebut Orde Baru
menyakini dapat menciptakan stabilitas politik nasional. Dan dengan demikian
ideologi yang telah dikonsepsikannya dapat diterapkan. Dalam langkah
penerapan ideologi inilah Orde Baru pada akhirnya mewajibkan pengamalan
Pancasila secara mutlak dalam kehidupan seluruh masyarakat Indonesia. Cara ini
merupakan salah satu langkah Orde Baru untuk merealisasikan gagasan-gagasan
yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945. Orde Baru beralasan bahwa
pembangunan ini tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya kestabilan politik.
Sebab itu kestabilan merupakan syarat mutlak yang harus ada. Masa demokrasi
liberal dan masa demokrasi terpimpin telah membuktikan kegagalannya dalam
pembangunan yang disebabkan tidak adanya kestabilan politik atau keadaan
negara yang dipenuhi oleh kegiatan politik yang banyak ditandai oleh perdebatan
ideologis yang tidak habis-habisnya serta perebutan kursi dan jabatan antar
kelompok elit bangsa, sehingga energi pemerintah tercurahkan hanya untuk
mengurusi masalah-masalah yang dapat menghambat pembangunan.
Pada masa awal Orde Baru dengan diterapkan konsep Soeharto dan Ali
Murtopo tentang dwifungsi ABRI berdampak terhadap timbulnya perasaan dan
pikiran bahwa keterlibatan Islam dalam politik praktis cenderung mengganggu
kestabilan politik. Orde Baru dengan konsep dwifungsinya yang dijalankan oleh
ABRI telah menganggap bahwa gerakan Islam politik yang dijalankan oleh
kelompok aktivis politik Islam yang ketika itu diwakili oleh Masyumi sebagai
gerakan ekstrem kanan. ABRI pada saat itu telah menggap bahwa Masyumi sama
dengan PKI, yaitu menyimpang dari Pancasila dan UUD 45, dan menyatakan
akan menindak tegas setiap individu atau kelompok yang menyimpang dari
Pancasila dan UUD 45.10
Ini dibuktikan dengan pernyataan ABRI ketika pada
tanggal 21 Desember 1966 dalam pertemuan komandan militer wilayah ABRI,
yang dipimpin oleh Jenderal Panggabean, seorang Katolik yang taat, bahwa
pembentukan politik Islam yang terorganisasi akan menjadi tantangan terhadap
rezim baru dan kepemimpinan militer. Sikap ini juga berakar dari antagonisme
budaya masa lalu antara santri dan abangan, karena kebanyakan pejabat tinggi
pada waktu itu berkultur abangan sekuler.11
Keadaan ini juga mengindikasikan
bahwa Soeharto yang juga ditopang oleh ABRI tidak menyukai pengorganisasian
kembali politisasi Islam. Usaha menghidupkan atau memformulasikan kembali
agama Islam sebagai sebuah alat gerakan politik, seperti pada masa Orde Lama,
dimana Islam oleh kelompok politik tertentu telah dijadikan sebagai sebuah
ideologi untuk kepentingan politik mereka, dan itu oleh Orde Baru telah
dipersamakan dengan radikalisme Islam. Ali Murtopo yang Islamfobia ini
diangkat oleh Soeharto sebagai salah satu dari dua belas perwira staf pribadi
Soeharto, sebagai pembantu politik kepercayaannya. Dalam menjalankan tugas
dan perannya Ali Murtopo yang Islam fobia bersekutu dengan kelompok Katolik
dan tokoh Jawa. Tidak mengherankan jika kebijakan politik pada awal
pemerintahan Orde Baru banyak merugikan kaum muslimin, karena kelompok Ali
Murtopo yang memegang kendali pemerintahan didominasi orang-orang yang
cenderung memusuhi Islam. Dalam pikiran kelompok ini, Islam merupakan
potensi yang amat membahayakan apabila diberi kesempatan untuk terlibat di
10
M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik; Era Orde Baru ( Ciputat: PT. Logos Wacana
Ilmu 2001), cet. I, hal.36 11 Ibid, hal. 36
dalam membuat dan mengatur kebijakan pemerintahan negara. Menurut asumsi
mereka, Islam itu identik dengan “ Darul Islam “ atau negara Islam dengan
hukum Islamnya. Sehingga mereka cenderung untuk menghancurkan dan
melenyapkan peran politik Islam.
Oleh karena itu pandangan yang dimiliki Orde Baru mengenai politik Islam
adalah pandangan yang menganggap Islam tidak lebih dari sebuah agama dalam
pengertian ibadah yang sempit dan soal-soal kemasyarakatan yang tidak bersifat
politik praktis.12
Orde Baru pada tahun 1973 dalam rangka menciptakan stabilitas politik dan
kehidupan masyarakat telah menetapkan beberapa kebijakan yaitu pemerintah
pada tahun 1973 telah memutuskan untuk melakukan restrukturisasi sistem
kepartaian. Dalam struktur politik yang baru ini, seluruh partai politik, kecuali
Golkar harus bergabung dalam dua partai politik. Keempat partai Islam; NU,
Parmusi, PSII dan Perti digabung dalam partai baru yaitu PPP (Partai Persatuan
Pembangunan ), yang tidak mencantumkan kata-kata Islam, baik dalam namanya
maupun dalam asasnya. Sedangkan lima partai lain yang berlatar belakang
nasionalis ( PNI, IPKI dan Murba ), Parkindo dan Katolik digabung dalam Partai
Demokrasi Indonesia ( PDI ). Dan pada tahun 1985 pemerintah memberlakukan
asas tunggal Pancasila untuk seluruh partai politik dan organisasi massa. Setelah
Pancasila dikukuhkan sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan politik dan
kemasyarakatan, tentu tidak boleh ada lagi perdebatan ideologi kenegaraan dan
kemasyarakatan, karena semua rakyat dan bangsa Indonesia, melalui MPR, telah
12
Alfian dan Nazaruddin Syamsuddin, Profil Budaya Politik Indonesia, ( Jakarta: PT.
Pustaka Utama Grafiti 1991),cet.I hal.80
menyatakan kebulatan tekadnya untuk menganggap Pancasila sebagai satu-
satunya asas dalam kehidupan kenegaraan, politik dan kemasyarakatan.
Langkah-langkah dan berbagai kebijakan yang telah ditetapkan oleh aktor-
aktor politik Orde Baru tersebut merupakan sebuah langkah atau kebijakan dalam
rangka Orde Baru untuk melenyapkan peran dan aksi kelompok politik Islam atau
yang disebut dengan depolitisasi politik Islam. Oleh karena itu depolitisasi politik
Islam berarti sebuah usaha dan kegiatan yang diorganisasikan secara sistemik dan
prosedural oleh ABRI sebagai aktor utama Orde Baru untuk melenyapkan dan
menyingkirkan formalisasi ideologi Islam dari kehidupan panggung politik
nasional.
Peranan dan pengaruh presiden Soeharto yang berlatar belakang militer dan
di topang oleh ABRI sebagai penyokong utama penyelenggaraan kekuasaan yang
sangat besar dan tak terbatas atau suatu kekuasaan yang telah menjelma menjadi
suatu kekuasaan absolut atau otoriter. Dengan berbagai kebijakan yang telah
dikeluarkan oleh Orde Baru dari masa awal kekuasaannya hingga tahun 1990
yang ABRI sebagai pilar utamanya telah memainkan peranan yang sangat besar
dalam menyingkirkan Islam sebagai gerakan politik atau golongan Islam politik
tidak akan mendapat tempat lagi untuk hidup dan bernapas dalam suatu alam di
mana Pancasila telah dikukuhkan sebagai satu-satunya sumber kehidupan sosial
dan politik di negara Indonesia.13
Pergantian rezim kekuasaan pemerintahan baru membuat kalangan
pemimpin dan aktivis politik Islam menaruh harapan yang sangat besar untuk
13 Ibid, hal.82
memainkan peran politik mereka. Harapan itu terutama tampak jelas di kalangan
pemimpin Masyumi dan pengikut-pengikutnya yang selama demokrasi terpimpin
benar-benar disudutkan oleh presiden Soekarno. Ini dikarenakan mereka merasa
menjadi bagian penting dari kekuatan-kekuatan koalisi (seperti militer, kelompok
fungsional, kesatuan pelajar, organisasi sosio-keagamaan dan sebagainya ) yang
telah behasil menghancurkan PKI dan menjatuhkn rezim Soekarno, dan mereka
sudah memperkirakan kembalinya Islam dalam panggung diskursus politik
nasional.
Sejarah politik Islam di Indonesia sejak dulu memang sering dipakai
hanya sebagai instrumen atau alat oleh kekuasaan pemerintahan. Harapan umat
Islam untuk politik keislamannya ternyata membuat umat Islam harus gigit jari
dan kembali bergumul seperti pergumulannya dimasa Orde Lama.14
Realita kegagalan politik Islam untuk berkiprah, yaitu dengan ditolaknya
rehabilitasi partai Masyumi oleh rezim Orde Baru pada 17 Mei 1967. Kenyataan
ini dipertegas oleh pernyatan presiden Soeharto, bahwa “ militer tidak menyetujui
rehabilitasi kembali partai Masyumi “. Dari pernyataan ini nampak jelas bahwa
kalangan militer masih amat curiga terhadap politik Islam. Seperti dicatat oleh
Harold Crouch, ini terutama amat terasa di kalangan “ perwira – perwira yang
pernah terlibat dalam pertempuran bersenjata melawan Darul Islam dan
pemberontakan pemberontakan regional lainnya yang dilakukan oleh kaum
muslim ”. Dan sebagai ganti dari partai Masyumi pemerintah memberikan izin
untuk mendirikan Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI), hal ini disepakati oleh
14
Al-Chaidar, Reformasi Prematur, Jawaban Islam Terhadap Reformasi Total (Jakarta:
Darul Falah, 1998), cet.I hal.32
Orde Baru setelah terjadi negosiasi antara aktivis politik Islam dengan pemerintah
Orde Baru. Kesediaan Orde Baru untuk mendirikan partai tersebut, setelah
pemerintah Orde Baru mempertimbangkan bahwa ketiadaan mekanisme politik
untuk mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan-kepentingan
konstituen politik Islam di atas akan menumbuhkan rasa frustasi yang lebih
dalam, yang pada gilirannya dapat mendorong mereka ke arah ekstrimisme politik
yang lebih membahayakan. Akan tetapi pemberian izin tersebut telah diikuti
dengan pembatasan dan kontrol yang sangat ketat oleh pemerintah terhadap para
mantan aktivis partai Islam Masyumi, kalau tidak , dilarang sama sekali.
Yang lebih penting lagi, obsesi memperoleh kemenangan mutlak di
seluruh wilayah Indonesia telah mengakibatkan rezim Orde Baru, yang
didominasi oleh kelompok militer (ABRI), menggunakan langkah koersif dan
kooptasi untuk mempengaruhi hasil pemilu.15
Berbagai perkembangan setelah pemilu I Orde Baru 1971 hanya
memperbesar rasa frustasi umat Islam. Kekalahan dalam pemilu tidak hanya
tercermin dalam merosotnya wakil Islam di parlemen. Dan ini juga tampak dalam
komposisi kabinet baru pemerinthan Orde Baru, dimana keterlibatan tokoh-tokoh
politik Islam benar-benar mulai dikebiri. Salah satu kasus yang paling jelas
mengindikasikan hal itu, yaitu mulai memudarnya dominasi NU (Nahdatul
Ulama) di Departemen Agama (Depag).
Dengan latar belakang masalah tersebut, penulis ingin mengetahui lebih
jauh dan mendalam tentang peran dan pengaruh hegemoni politik militer (ABRI)
15 Ibid, hal.34
serta pandangan militer tahun 1967–1990 terhadap politik Islam di Indonesia.
Bermula dari persoalan dan permasalahan diatas maka penulis bermaksud
menuangkannya dalam skripsi yang berjudul “PERAN POLITIK MILITER
(ABRI) ORDE BARU TERHADAP DEPOLITISASI POLITIK ISLAM DI
INDONESIA “(Studi hegemoni politik militer Orde Baru terhadap politik
Islam tahun 1967 – 1990)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Praktek politik militer telah mendominasi panggung perpolitikan
nasional di Indonesia lebih kurang dua dekade. ABRI (Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia) yang pada masa Orde Baru terdiri dari Angkatan Darat,
Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian merupakan tulang punggung
penggerak dari sistem pengelolaan dan pengaturan sistem pemerintahan Orde
Baru. Dari ketiga angkatan dan satu dari kepolisian, Angkatan Darat merupakan
aktor atau pelaku utama dalam merekayasa sistem perpolitikan nasional.
Dominasi atau hegemoni kelompok elit militer terhadap panggung politik nasional
berimplikasi terhadap peran politik masyarakat sipil. Dengan permasalahan ini,
penulis akan membatasi pembahasan skripsi ini yaitu tentang peran yang telah
dilakukan oleh politik militer yang merupakan kekuatan nyata (real power) yang
didesain melalui institusi formal sistem pertahanan dan keamanan negara
Indonesia. Pembahasan ini akan ditinjau dari tahun 1967 – 1990. Dan juga akan
menganalisa proses serta peran atau kiprah yang telah dilakukan politik militer
dalam menghancurkan dan menyingkirkan peran politik Islam.
Dari tema yang penulis ajukan dalam penulisan skripsi ini agar supaya
lebih terarah dan jelas dalam pembahasannya, maka obyek penelitian akan penulis
batasi hanya pada peran politik yang telah dimainkan oleh kelompok militer pada
masa Orde Baru yaitu dari tahun 1967-1990. Dan dampak apa yang telah
ditimbulkan oleh politik militer tersebut terhadap politik Islam, yaitu sebuah
usaha atau gerakan politik untuk menerapkan kembali Islam secara formalistik
sebagai sebuah ideologi politik atau disebut juga Islam politik.
Pembahasan skripsi ini penulis batasi hanya sampai pada tahun 1990
oleh karena penulis melihat kebijakan dan strategi politik pemerintahan Orde Baru
ketika mulai memasuki era 90-an sudah mulai berbalik arah, yaitu pemerintahan
Orde Baru ketika dimulainya dekade 90-an sudah banyak mengakomodir dan
menempatkan tokoh-tokoh muslim di dalam lingkaran kekuasaannya dan pada
waktu yang sama Soeharto juga menyingkirkan tokoh-tokoh militer (ABRI) yang
sudah mulai terlihat sulit untuk dikendalikan oleh Soeharto, dan mencapai
puncaknya ketika presiden Soeharto waktu itu mengizinkan berdirinya ICMI
(Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada tahun 1991 yang dimotori oleh
tokoh muslim kepercayaan Soeharto yaitu B.J.Habibie. Sikap akomodatif presiden
Soeharto terhadap tokoh-tokoh muslim ketika itu berarti menandai berakhirnya
dominasi politik militer Orde Baru dan strategi depolitisasi politik Islam oleh
kelompok militer (ABRI).
Dalam penulisan ini, agar pembahasan skripsi lebih terarah, jelas dan
mudah untuk dipahami penulis akan merumuskan masalah mengenai peran politik
yang dijalankan oleh kelompok elit militer, khususnya angkatan darat dalam
rangka melakukan depolitisasi politik Islam di Indonesia yang merupakan
kelompok mayoritas.
Untuk lebih rinci dan jelasnya dapat penulis ajukan beberapa pertanyaan
sebagai berikut :
1. Apa peran yang telah dimainkan oleh kelompok politik militer ?
2. Bagaimakah kelompok militer menjalankan peran politiknya
pada masa dua dekade awal Orde Baru ?
3. Bagaimanakah kelompok militer memandang politik Islam yang
diperankan oleh kelompok muslim sebagai mayoritas penduduk ?
4. Bagaimanakah elit politik militer mereduksi dan bahkan
menyingkirkn kelompok politik Islam pada masa dua dekade
awal Orde Baru ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan munculnya berbagai permasalahan yang ada, sehingga tujuan
dan urgensi yang ingin penulis dapatkan dari penelitian ini sebagai berikut :
1. untuk mengetahui ideologi yang diperankan oleh militer
2. untuk mengetahui politik praktis militer dalam pengelolaan
pemerintahan negara
3. untuk mengetahui pandangan kelompok militer terhadap politik
Islam
4. untuk mengetahui politik militer pada dua dekade awal Orde
Baru 1967-1990
Sedangkan manfaat dari penulisan ini, antara lain:
1. manfaat teoritis; hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dibidang ilmu politik,
khususnya yang berkenaan dengan politik militer di Indonesia
era 1967-1990 serta dapat menjadi bahan pertimbangan dan
masukan bagi para pengelola negara ini untuk tidak melibatkan
kalangan militer dalam panggung politik nasional.
2. manfaat praktis; yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat
meningkatkan kewaspadaan dan prinsip kehati-hatian bagi
kalangan politik sipil, khususnya umat Islam di Indonesia untuk
tidak mengulang kembali sejarah kelam panggung politik
nasional masa lalu.
D. Metodelogi Penelitian
Dalam penelitian ini sesuai dengan tema yang penulis pilih, maka
penulis membutuhkan data-data yang berhubungan dengan tema penelitian
penulisan skripsi ini. Oleh karena itu berdasarkan tema tersebut maka data yang
dibutuhkan yaitu data-data yang berhubungan dengan politik, baik politik militer
maupun politik sipil, khususnya pada masa Orde Baru. Dan juga literatur tentang
ideologi, pembangunan dan literatur tentang politik Islam.
Adapun data-data tersebut penulis dapatkan diantaranya diperpustakaan
utama UIN Jakarta, perpustakaan TNI, LIPI, Imparsial, tulisan berbagai media
yang berhubungan dengan penelitian dan juga diskusi dengan pakar politik militer
dari CSIS dan LIPI.
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library reseach), maka
penelitian yang dipakai dan digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah:
1. Penelitian kepustakaan
Penelitian ini digunakan untuk memperoleh landasan teori yang
dipakai dalam menganalisa data. Dasar-dasar dari teori ini
diperoleh dari mencari dan mengumpulkan serta buku-buku yang
bisa dikategorikan sebagai pustaka primer dan data pustaka
sekunder. Karena bertitik tolak dari penelitian yang bersifat
literer, maka sumber data penulisan skripsi ini sepenuhnya
didasarkan pada riset kepustakaan (library reseach). Artinya
pengumpulan data-data diperoleh dari karya-karya otoritatif
(sumber primer) dan karya-karya yang mendukung relevansi
pembahasan skripsi ini.
Kajian tentang politik militer di Indonesia sebelumnya telah
banyak ditulis oleh ilmuan dan para peneliti di bidang ilmu
politik, beberapa diantaranya karya: Abdoel Fatah
“Demiliterisasi Tentara, Pasang Surut Politik Militer 1945-
2004”, Bahtiar Effendy “Islam dan Negara”, M. Din Syamsuddin
“Islam dan Politik; Era Orde Baru” dan juga Bahtiar Effendy,
“Jalan Tengah Politik Islam;Kaitan Islam, Demokrasi, dan
Negara yang Tidak Mudah”, akan tetapi pembahasan yang
membatasi peran hegemoni politik militer sampai pada tahun
1990 belum penulis temukan, oleh karena itu penulis melihat
adanya pergeseran politik Orde Baru memasuki era 90-an.
2. Analisis data
setelah diperoleh data dari berbagai sumber (primer dan
sekunder) yang berkaitan dengan objek penelitian maka
selanjutnya dilakukan analisis terhadap data yang diperoleh
tersebut.
Adapun metode analisis yang akan digunakan dalam penulisan skripsi
ini yaitu bersifat deskriptif analitif, yang mana hal ini dimaksud untuk
menggambarkan objek penelitian secara gamblang dan terperinci dengan cara
mengelaborasi berbagai pendapat atau data yang muncul, demi untuk
menggambarkan sosok dari sebuah objek. Selanjutnya menganalisis secara cermat
konsep maupun metodelogi pemikiran yang dipakai dimana ia menjadi titik tolak
pemikiran itu sendiri.
Adapun teknis penulisan skripsi ini, mengacu pada buku pedoman
penulisan skripsi, tesis dan disertasi yang diterbitkan oleh UIN Jakarta press tahun
2004.
E. Sistematika penulisan
Untuk merealisasikan penulisan karya ilmiah ini, maka penulis
menuangkannya dalam bentuk sistematika penulisan agar memudahkan pembaca
dalam menelaah karya tulis ini. Dan sebagai langkah awal adalah sebagai berikut:
BAB I.: Pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi
penelitian, sistematika penulisan.
BAB II.: Potret politik Islam era awal Orde Baru dan 1990 yang terdiri dari
pandangan Islam terhadap politik kenegaraan Indonesia, budaya
politik Islam Indonesia dan dampaknya terhadap politik militer,
peran politik Islam masa awal Orde Baru, partai politik Islam tahun
70-an.
BAB III.: Orientasi Orde Baru terhadap pembangunan Indonesia yang terdiri
dari hubungan Orde Baru dan ABRI, karakteristik politik militer
ABRI, misi politik militer ABRI pada Orde Baru.
BAB IV.: ABRI dalam menata perpolitikan nasional terdiri dari sejarah
politik hukum ABRI/TNI, konsep dwifungsi ABRI/TNI dan
dampaknya terhadap politik sipil, kegagalan Orde Lama dan peran
TNI, strategi ABRI dalam depolitisasi politik Islam.
BAB V : Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran serta beberapa
buku yang dijadikan referensi dalam penulisan skripsi ini.
BAB II
POTRET POLITIK ISLAM ERA AWAL ORDE BARU SAMPAI 1990
A. Pandangan Umat Islam Indonesia Terhadap Politik Kenegaraan
Indonesia
Negara Indonesia dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, secara
kuantitas umat Islam sebagai komponen masyarakat sipil yang terbesar merasa
memiliki hak dan tanggungjawab terhadap perkembangan, pertumbuhan dan
kemajuan bangsa dan negara ini. Hal ini dikarenakan umat Islam telah berperan
besar dalam sejarah kelahiran negara bangsa Indonesia. Islam sebagai sebuah
agama dan Islam sebagi sebuah ajaran telah hadir jauh sebelum wujud negara
Indonesia tampak. Dan ia hadir dalam denyut jantung dari pra embrio sampai
menjadi embrio yang pada akhirnya lahir apa yang disebut dengan bangsa
Indonesia.16 Umat Islam Indonesia bukan hanya hadir sebagai bangsa Indonesia,
tapi ia telah banyak melahirkan atau menjadi ibu kandung dari pergerakan
nasional sampai mengantarkan bangsa ini kepintu gerbang kemerdekaan untuk
lepas dari cengkeraman bangsa penjajah dan penindas.
Setelah negara bangsa Indonesia diproklamirkan kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta, maka sejak saat itu bangsa
Indonesia memasuki tahapan baru dalam kehidupannya berbangsa dan bernegara.
Pada tahun-tahun awal pasca revolusi kemerdekaan di negeri yang mayoritas
16
Adi Sasono, dalam pengantar; Tidak Ada Negara Islam, Surat-surat Nurcholish
Madjid-Mohammad Roem, ( Jakarta: Djambatan), hal.XIX
penduduknya Islam ini diwarnai dengan pergulatan demokrasi yang sangat kental.
Pergulatan tersebut terjadi di antara kelompok-kelompok yang ingin
memperjuangkan ide-ide mereka mengenai bentuk dan ideologi negara bangsa
menurut perspektif kelompok mereka masing-masing.
Perjalanan sejarah politik Indonesia, di mana Islam merupakan bagian
yang tak terpisahkan, juga diwarnai perdebatan ideologis yang justru mengganggu
usaha mereka dalam menegakkan negara demokratis. Perdebatan ideologis
pertama yang terjadi diantara para pendiri bangsa ini, yaitu dalam sidang pertama
BPUPKI (Badan Persiapan Usaha Proklamasi Kemerdekaan Indonesia), yaitu
ketika para pendiri bangsa ini sedang mempersiapkan “perangkat lunak”
kenegaraan Indonesia.17
Pada kesempatan itu, semangat “formalisasi” hubungan
antara Islam dan negara.
Menurut Herbert Feith di dalam buku “Partisipasi dan Partai Politik” yang
disunting oleh Miriam Budiarjo, bahwa konflik perdebatan ideologi telah terjadi
di Indonesia, yaitu sejak bangkitnya nasionalisme modern yang dimulai pada
tahun 1900 dan 1910-an. Faktor perselisihan ideologi ini terjadi di dalam gerakan
tersebut, yaitu perselisihan antara golongan Islam dan komunis pada tahun 1920-
an, antara golongan Islam dan nasionalis sekuler pada permulaan tahun 1930-an,
serta antara golongan nasionalis yang pro dan yang anti-Jepang pada tahun
sebelum 1942.18
Setelah proklamasi kemerdekaan, pada saat tokoh-tokoh gerakan
nasionalis menjadi tokoh-tokoh pemerintahan, ruang lingkup mereka semakin
17
Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam;Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara
yang Tidak Mudah, (Jakarta: Ushul Press), hal.34
18 Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia),
hal.227
meluas dan cepat. Mereka mencurahkan sebagian besar waktu mereka untuk
menuangkan ide-ide, ini disebabkan setelah 1945 pertentangan-pertentangan
ideologi semakin meruncing. Sehingga banyak dari kesatuan militer dari republik
muda itu yang berjuang melawan Belanda selama empat tahun berikutnya, jelas-
jelas mempunyai dasar ideologi-sosialis, nasionalis, Islam dan sebagainya.19
Sebagaimana semua partai politik, republik juga harus menghadapi
pemberontakan komunis dan pemberontakan kelompok Islam radikal, seraya tetap
mengadakan perlawanan terhadap Belanda.
Untuk mengetahui bagaimana Umat Islam di Indonesia memandang
hubungan antara agama yang mereka anut, dengan negara sebagai sebuah
organisasi yang harus dikelola untuk kemajuan dan kesejahteraan umat manusia
baik di dunia maupun di akhirat. Dari fakta sejarah dapat kita ketahui bahwa,
kondisi bumi nusantara sebelum agama Islam datang sudah berkembang berbagai
kepercayaan, baik berupa kepercayaan asli seperti animisme, maupun agama-
agama Hindu dan Budha yang berasal dari Asia Selatan. Bahkan percampuran
ajaran pun (sinkretisme) dari berbagai kepercayaan dan agama-agama itu telah
berkembang dengan pesat. Dari keadaan itu dapat diketahui bahwa, bagian dari
masyarakat tertentu telah mencampur adukkan unsur-unsur dari ajaran agama.
Peranan agama dalam kehidupan masyarakat pada masa itu sangat besar
dan sangat mempengaruhi pola dan karakter kehidupan. Dari peninggalan sejarah
19
Ibid, hal.227
dapat diketahui bagaimana suatu agama sangat berperan dalam kehidupan
termasuk pengaruh agama terhadap kekuasaan dan susunan masyarakat.20
Masuknya agama Islam, tidak merubah hubungan agama dengan negara
(kekuasaan). Kerajaan-kerajaan Islam seperti raja-raja terdahulu, kerajaan Islam
sesuai dengan ajaran agama Islam mempergunakan agama sebagai landasan
kekuasaan raja.21 Perkembangan membawa perubahan dan perkembangan baru di
kalangan masyarakat Indonesia.
Umat Islam Indonesia seperti umat Islam di negara lainnya, atau bahkan di
negara asal agama Islam itu sendiri, yaitu dunia Arab, memiliki satu pandangan
yang sama, bahwa eksistensi suatu negara adalah satu keniscayaan yang wajib dan
harus ada demi keberlangsungan kehidupan umat manusia. Artinya, mengutip
pendapat Husein Muhammad di dalam buku civic education dan pendidikan
kewargaan, negara diperlukan untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan
masyarakat manusia secara bersama-sama. Kata negara telah diterima secara
umum, sebagai pengertian yang menunjukkan sebuah organisasi teritorial suatu
bangsa yang memiliki kedaulatan yang mandiri. Negara merupakan integrasi dari
kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara juga
sebagai sebuah agensi (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk
mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan
gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Ini dikarenakan manusia hidup
didalam suasana kerjasama dan antagonistis (pertentangan). Dan negara adalah
20
Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia; Kestabilan, Peta Kekuatan Politik dan
Pembangunan, (Jakarta: CV. Rajawali), hal.36
21 Ibid, hal.36
organisasi yang di dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara
sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan
tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu.22 Dari definisi tersebut dapat dikatakan
bahwa negara mempunyai dua tugas, yaitu pertama, mengendalikan dan mengatur
gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni yang bertentangan satu sama lainnya,
supaya tidak antagonistis yang membahayakan. Dan yang kedua,
mengorganisasikan dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-
golongan kearah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya.
Berdasarkan definisi negara di atas, dalam hubungannya dengan umat
manusia yang secara sosial memiliki hak dan tanggung jawab terhadap
pengelolaan dan penyelenggaraan negara. Maka negara Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, memiliki pandangan yang beraneka ragam dalam
memahami hubungan antara agama dengan negara. Hal ini disebabkan perbedaan
cara memahami dan menginterpretasikan ajaran yang terdapat di dalam agama
Islam itu sendiri. Jadi tugas dan tanggung jawab dalam pengelolaan negara oleh
sebagian umat Islam tidak hanya dipandang sebagai tanggung jawab manusia
sebagai mahluk sosial akan tetapi juga sebagai mahluk Tuhan yang harus
mempertanggung jawabkan kehidupannya di kehidupan akhirat.
Hubungan antara agama dan negara telah menimbulkan perdebatan yang
terus berkelanjutan tidak hanya terjadi di negara Indonesia, namun juga di negara-
negara lainnya di belahan dunia ini. Pada hakekatnya, negara sebagai sebuah
persekutuan hidup manusia secara bersama, merupakan suatu manifestasi dari
22
A.Ubaidillah (et.all), Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM dan Masyarakat
Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press), hal.33
sifat manusia yaitu sifat kodrati manusia sebagai mahluk individu dan mahluk
sosial.23
Perlu disadari bahwa manusia sebagai warga negara selain sebagai
mahluk sosial, juga merupakan mahluk Tuhan.
Pada dasarnya yang menjadi perdebatan adalah, apakah hal-hal yang
berkaitan dengan negara hanya merupakan suatu manifestasi dari kesepakatan
antara manusia sebagai mahluk sosial, atau hal itu berkaitan dengan manusia
sebagai mahluk Tuhan yang menerima wahyu dan petunjuk dari Tuhan dalam
ajaran-ajaran-Nya. Oleh karena itu dasar ontologis manusia masing-masing sangat
menentukan pemahaman konsep hubungan antara agama dengan negara.24
Pola hubungan antara agama dan negara, pada umumnya terdapat
beberapa konsep menurut beberapa aliran dan paham yang berkembang di
beberapa negara dan termasuk juga di Indonesia.
1. Hubungan agama dan negara menurut paham teokrasi.
Menurut paham teokrasi bahwa hubungan antara agama dan negara seperti
dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama,
karena pemerintahan menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman-firman
Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan
atas titah Tuhan. Dengan demikian, urusan kenegaraan dan politik merupakan
manifestasi firman Tuhan. Sistem pemerintahan teokrasi ada yang langsung dan
tidak langsung, menurut paham teokrasi langsung, raja atau kepala negara
memerintah sebagai penjelmaan Tuhan, maka dalam paham teokrasi tidak
23
Ibid, hal.124
24 Ibid, hal.125
langsung, yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan adalah raja atau
kepala negara yang memiliki otoritas atas nama Tuhan atau kehendak Tuhan.
2. Hubungan agama dan negara menurut paham sekuler.
Selain paham teokrasi, terdapat juga paham sekuler dalam praktik
pemerintahan, dalam kaitan hubungan agama dan negara. Menurut paham sekuler
agama dan negara harus dibedakan dan dipisahkan. Dalam negara sekuler, tidak
ada hubungan antara sistem kenegaraan dan agama. Dalam paham sekuler, negara
adalah mutlak urusan manusia dengan manusia lainnya (antroposentris).
Sedangkan agama adalah urusan manusia dengan sang penciptanya ( Tuhan ).
3. Hubungan agama dan negara menurut paham komunis.
Komunisme merupakan suatu paham yang berlandaskan pada filosofi
materialisme dialektis dan materialisme historis. Paham ini dipelopori oleh Karl
Marx. Dalam pandangan paham ini agama sebagai candu masyarakat.
Menurutnya, manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Agama dalam pandangan
ini merupakan suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya
sendiri. Manusia adalah dunia manusia sendiri yang kemudian menghasilkan
masyarakat negara. Sedangkan agama dipandang sebagai realisasi fantastis
mahluk manusia, dan agama adalah keluhan mahluk tertindas, oleh karena itu
agama harus ditekan bahkan dilarang.
4. Hubungan agama dan negara menurut pandangan Islam
Dalam Islam, hubungn agama dan negara menjadi perdebatan yang cukup
hangat dan berlanjut hingga kini di antara para ahli. Bahkan menurut Azyumardi
Azra, perdebatan ini telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung
hingga dewasa ini.25
Masih menurut Azyumardi, ketegangan perdebatan tentang agama dan
negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai
agama (din) dan negara (dawlah). Dan adapun menurut Munawir Sjadzali, ada
tiga aliran dalam rangka hubungan agama dan negara. Pertama, aliran yang
menganggap bahwa Islam adalah agama yang paripurna, yang mencakup segala-
galanya, termasuk masalah negara. Oleh karena itu, agama tak dapat dipisahkan
dari negara, dan urusan negara adalah urusan agama, serta sebaliknya.
Aliran kedua, mengatakan bahwa bahwa Islam tidak ada hubungannya
dengan negara, karena Islam tidak mengatur kehidupan bernegara atau
pemerintahan. Menurut aliran ini, nabi Muhammad tidak punya misi untuk
mendirikan negara.
Aliran ketiga, berpendapat bahwa Islam tidak mencakup segala-galanya,
tapi mencakup seperangkat prinsip dan tata nilai etika tentang kehidupan
bermasyarakat, termasuk bernegara. Maka ada dua model hubungan Islam dan
Negara dalam aliran ketiga tersebut, yaitu pertama model hubungan integralistik.
Model hubungan integralistik ini diartikan sebagai hubungan totalitas, dimana
agama Islam dengan seperangkat ajarannya dan negara merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan lembaga yang menyatu
(integral). Ini juga memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu
lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.
25
Ibid, hal.127
Model hubungan kedua adalah hubungan simbiosis-mutualistik. Menurut
model ini hubungan antara agama dan negara terdapat hubungan yang saling
membutuhkan. Dimana agama harus dijalankan dengan baik. Hal ini hanya dapat
dilaksanakan jika ada lembaga yang bernama negara. Sementara itu, negara juga
tidak dapat dibiarkan berjalan sendiri tanpa agama. Sebab tanpa agama, akan
terjadi kekacauan dan amoral dalam negara. Menurut Ibnu Taimiyah (tokoh Sunni
salafi terkemuka), bahwa agama dan negara benar-benar berkelindan. Tanpa
kekuasaan yang bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya. Sementara itu,
negara tanpa disiplin hukum wahyu pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik.
Hal seperti ini juga dikemukakan oleh Al-Ghazali dan Al-Mawardi. Dalam buku
teori politiknya yang sangat terkenal “al-ahkaamu as-shulthaniyyah” Al-Mawardi
mengungkapkan bahwa “negara dibangun untuk menggantikan tugas kenabian
dalam rangka memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia “.
Dalam menafsirkan politik Islam di Indonesia dapat digunakan beberapa
tinjauan teoritis. Dalam tinjauan teoritis ini, hubungan Islam dan politik di
Indonesia telah memiliki tradisi yang amat panjang. Akar-akar genealogisnya
dapat ditelususri ke belakang hingga abad ke-13 dan awal abad ke-14, ketika
pertama kali diperkenalkan dan disebarkan di kepulauan ini. Dalam perjalanan
sejarah inilah Islam sambil mengadakan dialog yang bermakna dengan realitas
sosio-kultural dengan politik setempat.
Upaya teoritisasi politik Islam di Indonesia didasarkan kepada kisah
mengenai kekalahan-kekalahan politik Islam secara formal.26
Upaya teoritisasi
26
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, (Jakarta: Paramadina), hal.23
politik Islam Indonesia berkembang menjadi kurang normatif dibandingkan
dengan upaya-upaya serupa di jantung wilayah Islam, baik pada periode klasik
maupun modern. Oleh karena itu, teori mengenai politik Islam Indonesia secara
substantif dibangun diatas landasan-landasan empirik dimana perjumpaan antara
Islam dan politik di kepulauan ini berlangsung.
Dari landasan di atas dapat dikemukakan, bahwa selama empat dekade
upaya-upaya teoritis tersebut, sedikitnya terdapat lima pendekatan teoritis
dominan yang pengaruhnya, hingga tingkat tertentu, masih terasa hingga dewasa
ini.
Pendekatan Dekonfensionalisasi Islam
Pendekatan ini dikembangkan oleh C.A.O. Van Nieuwenhuijze, ia
mencoba menjelaskan hubungan politik antara Islam dan negara nasional modern
Indonesia, terutama untuk melihat peran Islam dalam revolusi nasional dan
pembangunan bangsa dalam kerangka teori dekonfensionalisasi.27
Dalam teori politik dekonfensionalisasi ini yang dilihat adalah
kecenderungan akomodasionis kelompok-kelompok sosio-kultural dan politik
Belanda. Situasi sosio-keagamaan Indonesia dimungkinkan dilakukannya studi
kasus perbandingan untuk menguji sejauh mana teori ini bisa diterapkan secara
lintas kultural dan kebangsaan. Indonesia pada periode awal kemerdekaan dapat
dilihat sebagai sebuah arena dengan cukup banyak aktor kuat dengan latar
belakang sosial-keagamaan yang berbeda (misalnya muslim, kristen, nasionalis,
sekularis, modernis, dan ortodoks).
27 Ibid, hal. 24
Islam, menurut Cieuwenhuijze, adalah faktor yang dominan dalam
revolusi nasional. Kalangan Islam, dalam interaksi mereka dengan faktor-faktor
lain, rela melepaskan orientasi mereka “ yang formal dan kaku.” Ini, katanya lebih
lanjut, “agar daya panggil mereka mencakup daya jangkauan yang lebih luas, dan
pada saat yang sama tetap ada jaminan bahwa umat Islam mengakui peran yang
telah mereka mainkan”.
Pesan pokok pendekatan teoritis Nieuwenhuijze terhadap politik Islam di
Indonesia modern barangkali adalah keharusannya untuk menampilkan diri dalam
bentuknya yang obyektif, bukan subyektif, dan karenanya tidak “skripturalistik”.
Teori di atas dalam konteksnya merupakan penafsiran kreatif atas prinsip-prinsip
Islam secara sedemikian rupa, dalam rangka memapankan kembali relevansinya
dengan kehidupan di Indonesia abad ke-20 an, yang lebih penting, di zaman
Indonesia kontemporer.
Pendekatan Domestikasi Islam28
Teori ini sering diasosiasikan dengan karya-karya Harry J.Benda
mengenai Islam di Indonesia. Dalam teori ini salah satu unsur terpenting adalah
perkembangan perebutan kekuasaan antara Islam dan unsur-unsur non Islam
dalam masyarakat Indonesia.29
Indonesia pada periode pasca kolonial
digambarkan sebagai duplikasi ajang pertempuran dimana perebutan kekuasaan
yang terulang kembali antara kalangan Islam dan Jawa tampaknya dimenangkan
kelompok yang terakhir, yaitu” Jawa”. Hal ini tampak dalam rangka tujuan yang
ingin dicapai yaitu: menghilangkan pengaruh “cengkeraman politik” Islam. Jika
28
Ibid, hal. 28 29
Ibid, hal.30
demikian, maka dapat dikatakan bahwa Islam di Indonesia kontemporer telah
didomestikasi secara terus menerus.
Pendekatan Skismatik dan Aliran30
Jika Benda menawarkan analisis mengenai politik Islam di Indonesia
sebagai perebutan kekuasaan terus menerus antara Islam dan Jawa-isme, dimana
yang pertama selalu berhasil dikalahkan, maka teori ini mencoba untuk
menunjukkan salah satu sumber paling esensial dari pengelompokan-
pengelompokan sosial politik yang berkembang dalam realitas politik di
Indonesia. Dari teori ini politik Indonesia di asumsikan sebagai arena pertarungan
politik antara ortodoksi dan sinkretisme. Teori ini memilah-milah lapisan yang
membentuk masyarakat politik Jawa kedalam “dua kelas religio-ideologis yang
secara logika berbeda satu sama lainn: Jawa (priyayi-abangan) dan Islam.
Menurut Clifford Geertz proses Islamisasi di Indonesia, khususnya pulau
Jawa merupakan proses sinkretisasi antara Islam dan Hinduisme. Pada tahun
1950-an Geertz, mengamati tiga varian kebudayaan Jawa, yaitu priyayi, santri dan
abangan, sebagaimana dijelaskan dalam bukunya, The Religion of Java.
Menurutnya, sub-varian priyayi banyak dipengaruhi oleh ajaran Hindu-Budha dan
pandangan mistik Jawa. Sementara sub-varian abangan sangat kental dipengaruhi
animisme Jawa. Hanya sub-varian santri yang lebih murni mempertahankan
ajaran Islam, dan itupun disertai pandangan elemen-elemen Jawa.31
30
Ibid, hal. 31 31
Masykuri Abdillah, Demokrasi Di Persimpangan Makna, Respon Intelektual Muslim
Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), (Yogyakarta: Tiara Wacana), hal.23
Dalam perkembangan, sub-varian santri dan abangan cenderung
membedakan umat Islam Indonesia menurut orientasi-orientasi keagamaan
mereka. Abangan merupakan kelompok umat Islam yang tidak menjalankan
kewajiban-kewajiban Islam dan masih mempraktikkan unsur-unsur tradisional
tertentu yang berhubungan dengan Hinduisme, Buddhisme dan Animisme.
Sebaliknya, santri adalah muslim yang taat, yang menjalankan kewajiban-
kewajiban Islam dalam kehidupan masyarakat.32
Pendekatan Trikotomi33
Dalam pendekatan ini dirumuskan pertanyaan bagaimanakah para aktivis
politik Islam memberi respon terhadap berbagai tantangan yang dihadapkan
kepada mereka oleh kelompok elit penguasa. Dalam pandangan pendukung teori
ini, mereka mengakui obsesi masyarakat politik Islam dengan gagasan negara
Islam.34 Mereka juga menyadari antagonisme politik antara kelompok santri
dengan abangan. Terlepas dari itu, mereka tidak otomatis mengasumsikan bahwa
semua aktivis politik Islam memperlihatkan intensitas yang sama sehubungan
dengan agenda negara Islam. Dalam teori ini nampak sekali keragaman dan
kompleksitas politik Islam, dan terdapat tiga pendekatan politik, yaitu
fundamentalis, reformis, dan akomodasionis dalam masyarakat politik Islam.35
Dalam pandangan ketiga kelompok aktivis politik Islam tersebut, Islam
merupakan bagian integral dari batang tubuh politik Islam. Akan tetapi dalam
32
Ibid, hal.24
33 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal. 40
34 Ibid, hal.40
35 Ibid, hal.40
pandangan mereka mengenai konsep dan ideologi perjuangan umat Islam terdapat
perbedaan yang sangat fundamen. Sejalan dengan konsep kekuasaan, maka tujuan
akhir dari konsep perjuangan politik kelompok fundamentalis, tidak diragukan
lagi, adalah pembentukan negara Islam.36 Sementara itu, bagi kelompok reformis,
tujuan akhirnya adalah kemenangan partai-partai Islam secara formal dalam
pemilihan umum. Dengan itu, kesempatan untuk membangun sebuah masyarakat
Islam tidak serta merta harus dengan negara Islam. Sedangkan dalam pandangan
kelompok akomodasionis, bahwa tuntutan ideologis dan politisnya mendapatkan
jaminan-jaminan administratif dan politik.
Menurut Allan Samson dalam bukunya “Conception of Politik, Power, and
Ideology in Contemporary Indonesian Islam”, keragaman respon politik umat
Islam juga menunjukkan berkembangnya pandangan berdimensi ganda umat
Islam mengenai ideologi negara. Bagi kelompok fundamentalis, berbanding lurus
dengan pandangan mereka tentang kekuasaan dan perjuangan umat Islam,
pertarungan demi memperjuangkan ideologi Islam adalah sebuah tuntutan
imperatif. Sebaliknya, kelompok akomodasionis dan reformis bersedia menerima
kompromi ideologis untuk mendapatkan konsesi-konsesi politis tertentu.
Kepemimpinan dua kelompok politik terakhir ini jelas lebih pragmatis. Mereka
bisa bekerja sama dengan kelompok penguasa-penguasa sekular jika hal itu
menguntungkan kelompok-kelompok yang mereka wakili.
Dalam perdebatan mengenai masalah ideologi dan undang-undang dasar
negara, kelompok santri secara politik mengelompokkan diri dalam aliran politik
36
Ibid, hal.43
dengan ideologi yang agamis (Islam), sedangkan kalangan priyayi dan abangan
secara politik mengelompokkan dalam aliran politik dengan ideologi yang
sekuler.37 Pada masa sebelum kemerdekaan memang telah terjadi perdebatan-
perdebatan antara A.Hasan dan Mohammad Natsir dari kalangan modernis disatu
pihak dengan Soekarno dari kalangan sekuler.
Arti penting dari pendekatan trikotomi ini adalah untuk mendapatkan
gambaran bagaimana umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia dapat
memecahkan permasalahan politik dalam kerangka persoalan yang realistik.
Pendekatan Islam Kultural
Teori terakhir adalah pendekatan Islam kultural, yang dikembangkan oleh
Donald K. Emmerson. Dalam teori ini diupayakan untuk meninjau kembali kaitan
doktrinal yang formal antara Islam dan politik atau Islam dan negara.38
Menurutnya, kelompok Islam militan mungkin menganut pandangan bahwa Islam
yang berada di luar kekuasaan adalah Islam yang tidak lengkap.
Emmerson juga mengatakan, jika diletakkan dalam perspektif historis dan
empirisnya di Indonesia, maka perumusan teori ini tampaknya dilandaskan kepada
upaya-upaya umat Islam, setelah tahun-tahun kekalahan politis pada sedikitnya
lima bidang: konstitusi, fisik, pemilihan umum, birokrasi, dan simbol untuk
mengerahkan kembali energi mereka dalam rangka mengembangkan sisi non-
politis dari agama mereka. Hal ini dilakukan adalah untuk menghindari
37
Firdaus Syam, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra Di Pentas Politik Indonesia
Modern, (Jakarta: Khairul Bayan), hal.47
38 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal.45
perseteruan politik dengan golongan lain dan sesama rekan sendiri, dalam rangka
menumbuhkan kesadaran keagamaan dan sosial para pengikutnya.
Yang lebih inheren dari pendekaan ini adalah agar supaya Islam yang
lebih substantif dan simpatik bisa hadir dan lebih memainkan perannya.39 Strategi
ini dilakukan dengan cara menerapkan ajaran Islam sebagai kesalehan individu
para pengikutnya dan tidak dengan menonjolkan simbol-simbol yang bersifat
formalistik. Dari upaya ini diharapkan umat Islam dapat mempengaruhi
pemerintah yang bersifat otoriter dan menawarkan konsesi-konsesi yang tidak
merugikan umat Islam.
Dari kelima pendekatan teoritis yang dominan di atas, maka dapat
ditelusuri dan diketahui bagaimana umat Islam Indonesia memandang hubungan
politik dan negara. Umat Islam Indonesia bukan merupakan suatu kelompok umat
Islam yang tunggal dan homogenitas, akan tetapi umat Islam Indonesia
merupakan suatu umat yang sangat beragam dan heterogenitas. Sifat dasar Islam
Indonesia yang heterogenitas ini telah melahirkan pandangan yang berbeda-beda
di dalam umat Islam sendiri mengenai politik kenegaraan Indonesia.
Dengan tidak tunggalnya umat Islam yang ada di wilayah nusantara ini,
maka akan melahirkan pandangan yang berbeda-beda juga mengenai hubungan
politik dan negara. Dan dari lima pendekatan teoritis diatas, maka umat Islam
Indionesia dapat di kelompokkan ke dalam tiga kelompok arus utama dalam
memandang hubungan Islam dan negara.
39
Ibid, hal.46
Tiga arus utama (mainstream) politik Islam di Indonesia pada masa awal
Orde Baru tidak berbeda dengan politik Islam pada masa Orde Lama. Lahirnya
ketiga kelompok arus utama politik Islam di Indonesia juga merupakan hasil
dialektis antara umat Islam dengan sosio-kultural dan politik tertentu di tanah
air.40
Tiga arus utama politik Islam di Indonesia tersebut, yaitu arus Islam
formalistik, arus Islam substantivistik, dan arus Islam fundamendalistik. Arus
yang pertama dimaksudkan untuk mengacu pada bentuk pemikiran mereka yang
mempertahankan pelaksanaan yang ketat dari bentuk-bentuk Islam yang formal.
Dalam konteks politik mereka menunjukkan orientasi yang cenderung
mempertahankan bentuk-bentuk pra-konsepsi politik Islam, misalnya pentingnya
partai politik Islam yang formal (menggunakan nama Islam), ungkapan, idiom-
idiom, dan simbol-simbol politik Islam, dan terutama, landasan organisasi secara
konstitusional Islam.41
Formalisme Islam dalam politik dapat dilihat, misalnya pada masa awal
Orde Baru berdiri. Kelompok ini sangat vokal menyerukan dihidupkan kembali
piagam Jakarta, karena menurut mereka umat Islam telah memainkan peran
penting dalam mendirikan rezim Orde Baru. Arus formalistik dan legalistik juga
dapat dilihat dalam orientasi politik para aktivis partai dari kalangan umat Islam,
yang secara historis telah menyakini bahwa partai politik dengan nama Islam
sebagai satu-satunya sarana yang mungkin bagi artikulasi kepentingan politik
orang-orang Islam.
40
M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos), hal.151
41 Ibid, hal.152
Orientasi politik formalistik dan legalistik di satu pihak menunjukkan
bahwa kulturisasi Islam harus ditrasformasikan ke dalam politisasi. Dan politisasi
harus memunculkan simbolisme Islam.42 Agenda-agenda para aktivis politik
Islam pada masa awal Orde Baru ini menurut sejumlah pengamat menggambarkan
keadaan bahwa ketidakmapuan mereka dalam mensintesakan landasan teologis
dan filosofis dengan realitas sosio-kultural dan politik yang ada.43 Hal ini
khususnya berkenaan dengan upaya mereka untuk merumuskan hubungan antara
Islam dan negara yang dapat diterima secara nasional.
Arus yang kedua, yaitu arus yang menekankan keniscayaan adanya
lembaga-lembaga sebagai badan formal untuk melaksanakan prinsip-prisip Islam
merupakan sifat dasar dari formalisme Islam. Kelompok ini menekankan
pentingnya tingkat makna substansial sambil menolak bentuk-bentuk pemikiran
formalistik.
Istilah ini dimaksudkan untuk menunjukkan orientasi politik mereka yang
menekankan tuntutan manifestasi substansial nilai-nilai Islam dalam aktivitas
politik, bukan sekedar manifestasinya yang normal, baik dalam ide-ide maupun
kelembagaannya. Bagi pendukung orientasi ini, yang lebih penting adalah
eksistensi intrinsik ajaran-ajaran Islam dalam arena politik Indonesia, dan untuk
mendorong Islamisasi perlu dilakukan kulturalisasi, yaitu penyiapan landasan
budaya, menuju terwujudnya masyarakat Indonesia modern.44
42
Ibid, hal.153
43 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal.128
44 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, hal.156
Bagi kaum substantivis, bahwa dalam persfektif sejarah, kulturalisasi ini
telah memasuki persaingan antara kekuatan-kekuatan budaya yang beragam di
Indonesia, dan Islam hanya salah satu di antaranya. Agar Islam memenangkan
kompetisi ini, Islamisasi menurut kaum substantivis, mestinya mengambil bentuk
kulturalisasi, bukan politisasi; gerakan-gerakan Islam mestinya menjadi utamanya
gerakan budaya daripada gerakan politik.
Gagasan-gagasan bagi penekanan Islamisasi budaya telah diperjuangkan
oleh mereka yang dikenal sebagai pemikir-pemikir indigenis (pemikir yang
menekankan pentingnya memperhatikan unsur-unsur pribumi atau lokal dalam
memahami Islam), yang berupaya memperhatikan cita-cita Islam bagi budaya
nasional Indonesia, yang membedakannya secara jelas antara Islam dan negara.
Sebagai sebuah strategi baru untuk revitalisasi Islam dengan penuh kesadaran para
pemikir-pemikir indigenis merasa yakin bahwa hanya dengan pendekatan Islam
“kultural” jangka panjanglah yang dapat menetralkan kecurigaan militer sambil
secara perlahan-lahan memperkuat akar Islam dalam kehidupan bangsa secara
keseluruhan.45 Salah seorang pencetus indigenisme adalah Abdurrahman Wahid,
tokoh NU yang sejak awal tahun 80-an terkenal karena gagasannya tentang
“pribumisasi Islam” dalam menghadapi kultur masyarakat Indonesia, dimana
Islam hanya berfungsi sebagai salah satu faktor komplementer bagi bangsa
Indonesia secara keseluruhan.
Tapi, sebagaimana yang dikemukakan Fahry Ali dan Bahtiar Effendy,
bahwa pemecahan masalah yang ditawarkan Abdurrahman Wahid sifatnya
45
Robert W. Hefner dan Patricia Horvatich, Islam Di Era Negara Bangsa, (Yogya:
Tiara Wacana), hal.106
temporal dan hanya bermakna praktis. Idenya Islam sebagai faktor komplementer
bagi kultur Indonesia hanya memberikan “manuver” politik sesaat, dan kemudian
hanya mengarah pada status quo.46 Ini dikarenakan Abdurrahman Wahid, sebagai
aktivis dalam gerakan Islam, nampaknya telah menghadapi logika politik
situasional, yaitu pada saat munculnya ide pendirian ICMI (Ikatan Cendikiawan
Muslim Indonesia) oleh B.J. Habibie yang telah berhasil merangkul beberapa
orang tokoh dan pemikir Islam. Dengan lantang Abdurrahman Wahid sebagai
ketua NU pada saat itu menolak untuk bergabung meskipun sudah didekati oleh
B.J Habibie, bahkan Abdurrahman menuduh bahwa ICMI sebagai sarang
fundamentalis Islam dan sektarianisme dan fokusnya adalah eksklusivistik dan
elitis daripada pan-Indonesia.47
Menurutnya perjuangan demokrasi dan keadilan
dalam sejarah ini seharusnya menerima preseden yang kurang lebih inklusif,
termasuk dari komunitas muslim. Islam seharusnya tidak diidealkan sehingga ia
dianggap sebagai satu-satunya alasan untuk demokrasi, hukum atau keadilan
ekonomi. Sebaliknya Islam digunakan semata-mata sebagai “landasan
inspirasional untuk kerangka nasional tentang masyarakat demokratik”.48 Ide
Abdurrahman tersebut dalam bacaan sebagian pemikir Islam ketika itu merupakan
sebuah ide responsif yang kelihatannya bersifat pragmatis, dan belum terbangun
secara utuh. Akan tetapi kritikan Abdurrahman Wahid tersebut sangat direspon
oleh sebagian kelompok militer yang memang sangat membenci Islam. Dan hal
ini sangat disadari oleh Abdurrahman Wahid, karena militer sudah mulai
46 Fahri Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung: Mizan), hal.
191-192
47 Robert W. Hefner, Islam Pasar Keadilan, (Yogyakarta: Lkis), hal.23
48 Robert W. Hefner dan Patricia Horvatich, Islam Di Era Negara Bangsa, (Yogya:
Tiara Wacana), hal.139
ditinggalkan oleh Suharto dengan mendirikan ICMI itu adalah sebagai salah satu
jalan untuk mengimbangi penentang-penentangnya di militer, akan tetapi juga
untuk memecah belah gerakan pro-demokrasi berdasarkan garis keagamaan.
Akan tetapi kritikan dan tuduhan Abdurrahman Wahid terhadap ICMI ketika
itu telah ditanggapi oleh sebagian orang-orang yang tergabung di dalam ICMI,
bahwa Abdurrahmanlah yang sebenarnya mengipas-ngipas api sektarianisme dan
bukan mereka.49
Karena Abdurrahman Wahid setelah itu terlihat menjalin
hubungan yang sangat dekat dengan Jenderal L.B Moerdani dengan kelompok pro
demokrasi yang mereka bentuk, seorang jenderal Katolik Jawa yang sangat
membenci Islam. Hal ini menurut mereka berbeda dengan Nurcholish Madjid,
seorang pemikir “non-sektarian” substantivis. Dengan program pembaharuannya,
ia telah berupaya menawarkan kerangka pemikiran yang lebih substansial dan
sistematik.50
Nurcholish Madjid menemukan bahwa, Islam adalah agama fitrah yang
menekankan potensi-potensi yang inheren dalam diri manusia dalam kebebasan
dan kebaikan, Islam adalah agama universal yang mengajarkan cita-cita
kemanusiaan universal, yang mengajarakan inklusivisme, bukan eksklusivisme.51
Pandangan ini didasarkan oleh Nurcholis Madjid dari renungannya atas Islam dan
historisitas umat Islam Indonesia.52
Hakikat Islam yang inklusif ini, menurut
Nurcholish Madjid menyatakan bahwa bentuk interrelasi dan interaksi yang
49
Robert W. Hefner, Islam Pasar Keadilan, hal.23 50
Ibid, hal. 193 51
Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Kita, (Jakarta: Univ.Paramadina), hal.40
52 M.Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, hal. 158
inklusif mesti ditegakkan oleh umat Islam Indonesia dalam hubungannya dengan
pluralisme masyarakat Indonesia.
Justifikasi filosofis dan historis para pemikir Islam mengenai hubungan
yang serasi antara Islam dan negara telah mendorong mereka melakukan
substansiasi atas bentuk-bentuk yang ada dari lembaga-lembaga politik. Tingkat
substansi dari pengamatan atas masalah-masalah umat Islam mendorong mereka
meluncurkan pengembangan masyarakat lewat kegiatan-kegiatan non-politik,
yang walaupun demikian memiliki implikasi politik. Oleh karena itu mereka
dimasukkan ke dalam mainstream politik substantivistik.
Arus yang ketiga yaitu, arus fundamentalisme yang secara diametral
mainstreamnya bertentangan dengan mainstream arus pertama dan kedua. Pada
arus ketiga ini cenderung untuk mengangkat kembali sendi-sendi Islam ke dalam
realitas politik sekarang. Mainstream ini, pada titik pangkalnya berkeyakinan
bahwa kedua mainstream pertama telah gagal menunjukkan Islam sebagai
keseimbangan tandingan dalam merespon sistem politik Indonesia.
Kemunculan fundamentalisme Islam di Indonesia dipengaruhi oleh faktor
internasional, yakni perkembangan fundamentalisme Islam di dunia Islam, dan
oleh dinamika dialektis internal dalam politik Islam Indonesia itu sendiri.53
Dengan disebabkan ketidakmampuan dan ketidakefektipan gerakan-
gerakan Islam yang mapan di hadapan rezim yang melakukan depolitisasi atas
Islam melahirkan kelompok penentang dalam masyarakat Islam Indonesia.
Kelompok ini bersikap sangat reaksioner dalam menantang penguasa, dan
53
M.Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, hal.160
diantara mereka juga menantang kemapanan Islam dengan menawarkan semacam
alternatif.
Sejarah Islam di Indonesia masa Orde Baru telah menyaksikan
kemunculan sejumlah kelompok sempalan, termasuk Islam Jamaah di Jawa
Timur, kelompok Islam Isa Bugis, Jamaah Tabligh dan Jamaah Tanbih. Selain itu
terdapat pula di kalangan generasi muda Islam lingkaran-lingkaran keluarga
(usrah).54
Bagi kalangan fundamentalisme menjelaskan bahwa, Islam terdiri dari
dasar –dasar yang imperatif untuk “aksi”, suatu ide yang keluar dari karakteristik
transformatif dari Islam dan pembelaannya yang nyata bagi orang-orang “lemah
dan dilemahkan” (mustad’afin). Ide tentang transformatif Islam dikemukakannya
dari elaborasi atas sejumlah ayat-ayat al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang
menyatakan bahwa misi Islam adalah mentransformasi masyarakat dari kegelapan
menuju terang.
Jika transformasi masyarakat berarti perubahan sosial, maka dapat
disimpulkan bahwa hakikat Islam transformatif menuntut suatu proses perubahan,
apakah itu secara revolusioner ataupun evolusioner. Maka pilihan antara kedua
kemungkinan perubahan ini tidak jelas dalam pemikiran mainstream politik
fundamentalis Islam Indonesia.55
Dan ketiga arus utama politik Islam tersebut masih tetap eksis hingga kini
di bumi nusantara ini. Semuanya menjadi bagian dari nuansa Islam Indonesia, dan
54
Ibid, hal.161
55 Ibid, hal.163
menjadi arus utama dalam memandang pemikiran hubungan antara Islam dan
negara.
B. Budaya Politik Islam Indonesia dan Dampak terhadap Politik militer
Politik Indonesia mencerminkan kompleksitas budaya dari suatu eksistensi
negara kepulauan (nusantara) yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, yang
sangat beragam dalam geografi, bahasa, maupun identitas etnik disatu pihak, dan
dalam status sosial, posisi ekonomi, dan ideologi keagamaan dipihak lain.
Konstruksi fisik negara Indonesia dan sosial masyarakatnya yang sangat
heterogen ini sangat berpengaruh terhadap konstruksi bangsa Indonesia yang
dicita-citakan. Ikatan kebangsaan merupakan salah satu bentuk ikatan sosial,
disamping ikatan keluarga dan ikatan kesukuan.
Sebagai sebuah negara bangsa, kebangsaan Indonesia yang terdapat di
wilayah nusantara ini, dalam pembentukan awalnya sangat dipengaruhi oleh unsur
Islam sebagai agama mayoritas penduduknya.56 Dari realitas sosial, Islam sebagai
agama mayoritas masyarakat Indonesia, maka dari sebagian elite bangsa
Indonesia menjadikan agama Islam sebagai ideologi perjuangan politiknya, dan
sebagian lagi menjadikan Islam sebagai panduan moral dan etika saja, dan bahkan
sebagian lagi Islam tidak dijadikan sebagai standar apapun di dalam politik
Indonesia.
Umat Islam di Indonesia, walaupun sebagai umat mayoritas negara
Indonesia, akan tetapi bukan merupakan suatu komunitas tunggal (monolitik)
56
Tatang Muttaqin, dkk, Membangun Nasionalisme Baru, (Jakarta: Direktorat
Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga BAPPENAS), hal.27
dalam pandangan dan budaya politiknya.57
Dari komunitas yang monolitik inilah,
maka tercipta budaya politik yang sangat beragam dan kompleks. Budaya politik
di satu sisi dan Islam di sisi yang lain merupakan dua hal yang berkaitan sangat
erat dalam sejarah perjalanan pendirian negara dan bangsa ini.
Kebudayaan adalah pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang
isinya adalah perangkat-perangkat, model-model pengetahuan, yang secara
kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menginterpretasi dan
memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai referensi atau
pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan)
sesuai dengan lingkup yang dihadapinya. Oleh karena itu, budaya merupakan
nilai- nilai dan adat kebiasaan yang terdapat di dalam masyarakat.58
Sedangkan
Islam sendiri merupakan suatu agama yang dibawa oleh nabi Muhammad, rasul
Tuhan dengan ajaran-ajaran yang langsung dari Tuhan untuk disebarkan kepada
seluruh umat manusia.
Kebudayaan lebih dekat dengan ilmu fenomena masyarakat, hal ini
disebabkan karena sistem politik dapat ditinjau sebagai bagian dari sistem sosial
yang hidup dalam sociosphere yang merupakan bidang penelaahan bidang
sosiologi, antropologi, maupun geografi.59
Maka budaya politik tidak lain adalah
pola tingkah laku individu yang terlibat di dalam politik kenegaraan secara
langsung dan orientasi para pelakunya terhadap kehidupan politik yang dihayati,
57
Asep Gunawan (ed), Artikulasi Islam Kultural, Dari Tahapan Moral Ke Periode
Sejarah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal.VIII
58 A.Ubaidillah,dkk, Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani,
(Jakarta: IAIN Jakarta Press), hal. 14
59 Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar, (Bandung:
Sinar Baru Algesindo), hal. 24
diamalkan dan diperjuangkan oleh para anggota suatu sistem politik tertentu.60
Budaya politik juga merupakan persefsi manusia, pola sikapnya terhadap berbagai
masalah politik dan peristiwa politik yang terbawa pula ke dalam pembentukan
struktur dan proses kegiatan politik masyarakat maupun pemerintahan, karena
menyangkut soal kekuasaan, aturan, dan wewenang.61 Pada prinsipnya, budaya
politik sebagai salah satu unsur atau bagian kebudayaan merupakan satu dari
sekian banyak jenis lingkungan dan unsur yang mengelilinginya dapat memberi
pengaruh dan dampak terhadap perkembangan dan aktivitas politik dan sistem
politik tertentu.
Hubungan saling mempengaruhi antara budaya Indonesia yang telah
tumbuh dan berkembang sebelum negara bangsa Indonesia berdiri dengan agama
Islam yang masuk ke nusantara ini, telah memberi warna dan pola hidup dan
budaya politik tersendiri. Secara historis, umat Islam dengan ajaran yang dianut
dan dijadikan pegangan hidupnya berperan besar dalam menentukan sejarah
tumbuh dan berkembangnya perjalanan politik bangsa dan negara ini, dari sejak
pra kemerdekaan, pada masa kemerdekaan; Orde Lama, Orde Baru dan bahkan
pada masa sekarang.
Interaksi antara ajaran Islam dengan budaya bangsa-bangsa yang ada di
negara Indonesia telah menghasilkan pola dan bentuk pemikiran umat Islam
tentang politik berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, kultur politik Islam
atau orientasi atas nilai-nilai Islam yang diperjuangkan. Nilai-nilai dari kultur
politik Islam, jika dilihat dari sejumlah pengukuran, dan secara umum ada tiga
60
Ibid, hal. 24
61 Ibid, hal. 26
dimensi dari orientasi politik Islam, yaitu orientasi nilai-nilai politik simbolik
Islam, kedua orientasi atas politik Islam sebagai tuntutan legal spesifik, dan ketiga
yaitu orientasi politik Islam yang substantif.62
Budaya politik yang pada umumnya mencakup beberapa hal, yaitu
orientasi politik, sikap terhadap sistem politik, bagian-bagiannya, serta sikap
terhadap peran kita sendiri dalam sistem tersebut.63 Maka kebudayaan politik
suatu masyarakat merupakan suatu proses menginternalisasikan suatu nilai-nilai
ke dalam kesadaran dirinya, perasaan, dan evaluasi diri serta perilaku hidupnya.
Oleh karena itu mengutip pernyataan Almond ; 64
budaya politik bukan
merupakan suatu kenyataan yang statis dan tidak berkembang dalam ruang
lingkup kehidupan manusia, sebaliknya merupakan sesuatu yang terus berubah
dan berkembang sesuai dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Dengan dinamika politik yang selalu berubah dan berkembang, maka
budaya politik Islam di Indonesia juga akan terus berubah dan berkembang, ini
dipengaruhi berbagai faktor perubahan di dunia global. Budaya politik Islam di
Indonesia dari periode pra kemerdekaan sampai pada periode sekarang terus
berubah dan berkembang. Studi ini untuk mengetahui sejauh mana doktrin dari
ajaran Islam mempengaruhi para elite politik muslim dalam berpolitik.
Studi ini menekankan pembahasan tentang budaya politik Islam pada
masa akhir Orde Lama dan masa awal Orde Baru hingga tahun 1990. Pada masa
62 Jamhari (ed), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada),
hal. 213
63 Firdaus Syam, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra Di Pentas Politik Indonesia,
hal.21
64Ibid, hal.22
akhir Orde Lama budaya politik Islam sangat simbolistik dan ideologis, seperti
keadaan pada masa awal Orde Lama. Masa akhir dari Orde Lama merupakan
masa demokrasi terpimpin sejak Presiden Soekarno mengeluakan dekrit presiden
5 Juli 1959, yaitu Soekarno dengan didukung oleh kelompok militer menyatakan
kembali ke UUD 1945.65
Dengan keluarnya dekrit tersebut, secara simbolik menandai kekalahan
kultur atau budaya politik Islam yang bersifat legalistik dan formalistik. Di bawah
demokrasi terpimpin presiden Soekarno, artikulasi legalistik dan formalistik
perjuangan gagasan, cita-cita, dan ide dari praktik politik Islam, terutama gagasan
perjuangan Islam sebagai dasar ideologi negara, mulai menunjukkan implikasi-
implikasi bawaannya yang negatif.66
Adapun budaya politik Islam yang legalistik dan formalistik pada masa
akhir Orde Lama yang diwakili oleh partai Masyumi, pada akhirnya dibubarkan
oleh presiden Soekarno dan pemimpin utamanya (seperti Mohammad Natsir dan
Sjafruddin Prawiranegara) di penjarakan. Dengan alasan bahwa oposisi mereka
terhadap pemerintah yang tak berkesudahan, dan juga keterlibatan mereka dalam
pemberontakan PRRI.
Memasuki tahun 1966, setelah terjadinya pemberontakan G30-S PKI
terjadilah pergantian rezim. Rezim Orde Lama dengan demokrasi terpimpinnya
telah digantikan oleh rezim Orde Baru yang dinahkodai oleh Letnan Jenderal
Soeharto sebagai presidennya. Pada tahun pertama dengan mulai berkuasanya
pemerintah Orde Baru, banyak pemimpin politik Islam yang menaruh harapan
65
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal. 110
66 Ibid, hal.110
besar. Ini disebabkan oleh karena kelompok politik Islam merasa menjadi bagian
penting dari kekuatan-kekuatan koalisi (seperti militer, kelompok fungsional,
kesatuan mahasiswa dan pelajar, organisasi soaial-keagamaan dan sebagainya)
yang telah berhasil menghancurkan PKI dan menjatuhkan presiden Soekarno.
Kedua, yaitu langkah pemerintah Orde Baru membebaskan bekas - bekas tokoh
Masyumi yang pada masa Soekarno di penjara (termasuk Mohammad Natsir,
Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo, Prawoto
Mnagkusasmito, dan Hamka). Harapan kelompok politik Islam tersebut, pada
akhirnya tidak menjadi kenyataan setelah pemerintah Orde Baru, dengan
kelompok militer dalam upaya memperkuat perannya sebagai pembela Pancasila
dan UUD 1945, pada Desember 1966 menyatakan bahwa mereka: "akan
mengambil tindakan-tindakan tegas terhadap siapa saja, dari kelompok mana saja,
dan dari aliran apa saja, yang ingin menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945
seperti yang pernah dilakukan melalui pemberontakan Partai Komunis di Madiun,
Gestapu, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia [sebuah gerakan Islam yang paling
fanatik pada 1950-an dan memperoleh basis dukungannya di Jawa Barat yang
berupaya mendirikan negara Islam dengan kekuatan senjata] dan Masyumi- Partai
Sosialis Indonesia…dikutip dari Allan Samson di dalam buku Bahtiar Effendy,
Islam dan Negara.
Pemikiran politik Islam di Indonesia, khususnya gagasan mengenai
hubungan antara Islam dan negara yang sangat bersifat ideologis di kalangan
aktivis politik Islam pada masa akhir Orde Lama, pada kenyataannya terus
diperjuangkan sampai pada masa awal Orde Baru. Dalam pandangan kelompok
ini, bahwa dimensi-dimensi teologis atau filosofis politik Islam dalam memahami
hubungan agama dan negara menjadi prasyarat mutlak dalam membangun dan
mengembangkan bentuk dan landasan dasar negara bangsa ini. Pada dasarnya
pemahaman ini merupakan produk pemahaman umat Islam atas doktrin-doktrin
keagamaan mereka, akan tetapi pada akhirnya merupakan faktor yang sangat
esensial dalam mepengaruhi dan membentuk pemikiran dan praktik para politisi
muslim, khususnya generasi pada masa Orde Lama.67
Dinamika politik Indonesia pada masa Orde Lama yang sangat tidak
menentu, yang pada umunya diakibatkan oleh perdebatan perjuangan untuk
kepentingan ideologis kelompok tertentu dari bangsa yang sangat heterogen dan
multikultural ini, berakhir dengan kebuntuan, permusuhan ideologis dan politis
yang sangat meruncing, dan bahkan kekerasan.
Setelah pemerintah Orde Baru berusaha menata kembali format politik
Indonesia, berberapa pemimpin politik Islam generasi lama menunjukkan sikap
reaktif. Karena itu, terlepas dari kenyataan bahwa agenda-agenda politik mereka
pada tahun-tahun pertama pemerintahan Orde Baru (yakni mendesak supaya
legalisasi piagam Jakarta; menuntut rehabilitasi Masyumi; dan berusaha keras
untuk melibatkan secara langsung para mantan pemimpin Masyumi dalam
Parmusi yang baru didirikan) ditolak, sikap formalistik politik Islam masa lalu
tetap tidak berubah. Inilah yang membuat budaya politik Islam yang merupakan
suatu orientasi politik, sikap terhadap sistem dan perilaku diri sendiri terhadap
format politik dan agama menjadi kaku.
67
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal.128
C. Peran Politik Islam Era Awal Orde Baru
Era awal Orde Baru yang dimulai pada tahun 1966 sejak Soeharto
mengambil alih kekuasaan untuk mengendalikan ketertiban dan keamanan dalam
negara, dan disahkan melalui sidang MPRS tahun itu. Orde Baru yang pada saat
berdirinya dinakhodai oleh jenderal Soeharto, dikonsepsikan sebagai orde koreksi
total terhadap segala penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama yang afiliasi
politiknya lebih cenderung kepada kelompok komunis.
Pilihan politik Orde Baru adalah pembangunan yang berorientasi kepada
modernisasi sebagai pilihan strategis yang memiliki dua pengaruh. Pertama,
pemerintah Orde Baru memiliki basis ideologi yang kuat yang langsung
menyentuh hajat hidup orang banyak, sehingga dapat menaikkan dukungan serta
partisipasi politik. Kedua, dukungan dan partisipasi politik masyarakat pada
giliran berikutnya mendukung kelangsungan proses pembangunan sekaligus
mengukuhkan posisi pemerintahan Orde Baru itu sendiri. Dan dalam pidato
kenegaraannya 16 Agustus 1967, Jenderal Soeharto menyatakan bahwa tujuan
Orde Baru adalah untuk mempertahankan dan memurnikan eksistensi dan
implementasi Pancasila serta UUD 1945, sebagaimana ditegaskan oleh Tap.
MPRS No.10/MPRS/1966.
Politik Islam hanya memainkan peran sebagai aktor yang ikut membidangi
kelahiran rezim Orde Baru, dan setelah Orde Baru terciptakan, peran politik Islam
seperti pada masa Orde Lama tidak pernah terdengar lagi. Keterlibatan politik
Islam dalam membidangi kelahiran Orde Baru sangat tampak sekali yaitu ketika
umat Islam berperan besar dalam usaha untuk menghancurkan PKI (Partai
Komunis Indonesia). Hal ini dikarenakan umat Islam, di sisi lain menganggap
komunisme sama dengan ateis, dan karena itu menjadi musuh utama agama dan
sila pertama Pancasila. Dengan demikian, perjuangan melawan komunisme
dianggap sebagai salah satu aspek jihad melawan musuh-musuh Islam.68
Tidak ada seorangpun yang dapat menafikkan bahwa umat Islam telah
memainkan peranan yang sangat besar dalam menghancurkan kekuatan komunis
di Indonesia dan sebagai salah satu komponen penegak Orde Baru yang sangat
utama.69
Oleh karena itu, pada permulaan lahirnya Orde Baru peranan politik
Islam untuk mendorong dan menjadi penggagas utama untuk melakukan kegiatan
politik yang dilandasi oleh sistem demokrasi.
Kegagalan para aktivis politik Islam untuk memperjuangkan rehabilitasi
partai Masyumi, maka pada pertengahan tahun 1967, dibentuk panitia tujuh untuk
bernegosiasi dengan pemerintah Orde Baru mengenai kemungkinan didirikannya
partai baru.70 Wadah politik baru ini dimaksudkan untuk “menyatukan seluruh
aspirasi dan kekuatan organisasi Islam yang ada dan yang tidak tergabung dalam
sebuah partai“. Pada mulanya Orde Baru tidak mengizinkan berdirinya partai baru
tersebut, dikarenakan Orde Baru sangat khawatir akan ketiadaan mekanisme
politik untuk mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan-kepentingan
konstituen politik Islam di atas, akan menumbuhkan rasa frustasi yang lebih
68 Masykuri Abdillah, Demokrasi Di Persimpangan Makna, Respon Intelektual Muslim
Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), hal.40
69 Asep Gunawan (ed ), Artikulasi Islam Kultural, Dari Tahapan Moral Ke Periode
Sejarah, hal.267
70 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal. 113
dalam, yang pada gilirannya dapat mendorong mereka ke arah ekstremisme
politik yang lebih membahayakan.71
Dikarenakan alasan tersebut maka
pemerintahan Orde Baru menyepakati maksud mereka untuk mendirikan
organisasi politik baru. Akan tetapi kesuksesan tersebut diraih setelah melalui
perjuangan yang sangat berat, izin mendirikan partai politik baru pun akhirnya
diberikan kepada bekas konstituen Masyumi.
Demikianlah, pada tanggal 20 Februari 1968, Partai Muslimin Indonesia
(Parmusi) didirikan di bawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman
Harun, dua aktivis Muhammadiyah. Akan tetapi didirikannya Parmusi tampaknya
tidak menunjukkan adanya perubahan apa pun dalam hal hubungan antara para
pemimpin dan aktivis Islam politik dengan elite pemerintahan Orde Baru. Hal ini
dikarenakan pemerintahan Orde Baru setidak-tidaknya sama khawatir dengan para
pendahulunya yang selalu mengartikulasikan ideologi politik Islam dengan; (1)
tuntutan kelompok Islam agar Piagam Jakarta dilegalisasikan kembali pada sidang
MPRS tahun 1968, dan (2) dilangsungkan kongres umat Islam Indonesia pada
tahun yang sama.
Dari perkembangan awal ini, pada akhirnya berimplikasi pada, (1) harapan
kelompok Islam untuk memainkan peran lebih besar di bawah pemerintahan Orde
Baru segera menyusut, (2) perkembangan-perkembangan itu menumbuhkan sikap
saling curiga dan memusuhi yang jauh lebih dalam antara para pemimpin serta
aktivis politik Islam dan elite pemerintahan Orde Baru.
71
Ibid, hal.113
D. Partai politik Islam tahun 1970-an
Partai politik merupakan salah satu sarana masyarakat untuk berpartisipasi
dalam politik. Definisi partai politik secara umum adalah suatu kelompok yang
terorganisir, yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-
cita yang ingin diperjuangkan secara bersama-sama.72 Partai politik yang terdapat
di dalam suatu negara tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan negara. Mengutip
pendapat seorang sarjana bernama Sigmund Neumann , definisi partai politik
adalah, organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif
dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada cara untuk
menguasai kekuasaan pemerintahan dan bersaing untuk memperoleh dukungan
rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang
berbeda-beda.73
Dengan demikian partai politik merupakan perantara besar yang
menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga
pemerintahan yang resmi dan yang mengaitkannya dengan aksi politik di dalam
masyarakat politik yang lebih luas. Pada umumnya masih banyak definisi partai
politik, akan tetapi di dalam pembahasan ini hanya dikemukakan dua definisi saja.
Partai politik sebagai sebuah sarana dan instrumen untuk
mengartikulasikan suatu orientasi dan cita-cita, maka partai politik memiliki
beberapa fungsi. Baik artikuasi kepentingan maupun penggabungan kepentingan
(interest aggregation) yang dilakukan oleh partai politik dalam suatu sistem
72
Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia),
hal. 16
73 Ibid, hal. 16
politik merupakan sebuah masukan (input) yang disampaikan kepada instansi-
instansi yang berwenang untuk membuat keputusan yang bersifat mengikat.
Partai politik sebagai sebuah instrumen perjuangan dan artikulasi
kepentingan dari suatu kelompok yang memiliki keragaman kepentingan seperti
di negara Indonesia ini, semestinya harus bersifat alamiah dan berdasarkan seleksi
alam dalam evolusi kehidupan partai tersebut. Artinya di negara yang sangat multi
etnis, multi kultural, dan multi agama yang menjadi realita yang tidak tunggal;
tentunya memiliki keragaman kepentingan yang ingin diperjuangkannya, apalagi
umat Islam sebagai umat mayoritas pemilik saham terbesar di negara ini harus
diberi kebebasan dalam membentuk dan menetapkan corak dan ideologi
partainya.
Kebebasan dalam menentukan hidup dan matinya suatu partai di negara
yang menganut sistem demokrasi adalah konstituen partai tersebut, dan bukan
rezim suatu pemerintahan, seperti yang terjadi di negara Indonesia pada masa
Orde Baru dahulu. Peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru di
Indonesia pada tahun 1966 telah menjadi malapetaka besar bagi kehidupan
perpartaian di Indonesia. Dalam hal ini yang merasakan dampak kerugian besar
dari kebijakan rezim tersebut adalah umat Islam. Pada kenyataannya sistem yang
telah diterapkan oleh rezim Orde Baru tidak memberi ruang kebebasan dan
kesempatan bagi kelomopk umat Islam tertentu untuk memperjuangkan aspirasi
dan mengaktualisasikan kepentingan mereka melalui partai politik yang sesuai
dengan corak dan karakter kelompok mereka.
Pada masa awal lahirnya Orde Baru, umat Islam menaruh harapan besar
untuk dapat berpartisipasi dan berperan dalam mengatur dan menjalankan roda
pemerintahan negara dengan berjuang melalui partai politik mereka. Akan tetapi
harapan tersebut menjadi sirna dan hilang setelah pemerintahan Orde Baru yang
di topang oleh militer (TNI-Angkatan Darat), pada tahun 1971 menetapkan suatu
kebijakan yang sangat melukai hati dan perasaan umat Islam.
Militer (khususnya TNI-AD) sebagai penopang utama rezim Orde Baru
sangat mencurigai dan mengkhawatirkan jika umat Islam Indonesia akan
menjadikan Islam sebagai dasar negara dan membentuk negara Islam Indonesia.
Di atas kanvas yang besar, inilah periode yang diisi oleh militer yang membangun
dominasinya dalam politik Indonesia dan dengan dukungan kekuasaan Barat,
mengintegrasikan kembali negara ini dengan sistem kapitalis global.
Kepemimpinan militer yang dominan memandang bahwa partai-partai
politik hanya berhasil memecah–belah Indonesia menurut garis-garis agama dan
ideologi, yang mengancam persatuan nasional dan pada akhirnya menimbulkan
kehancuran politik dan ekonomi.74 Orde Baru yang dikomandani oleh Soeharto
mempercayakan kepada Ali Murtopo untuk menciptakan kendaraan politik yang
mampu memenangi pemilihan. Dan Ali Murtopo menjadikan Golkar yang lahir
pada tahun 1964 sebagai kendaraan politik Orde Baru yang pada pemilu pertama
Orde Baru sangat sukses dan meraih suara terbanyak.
74
Vedi R. Hadiz dan David Bouchier (ed), Pemikiran Sosial Dan Politik Indonesia
1965-1999, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti), cet. I, hal. 15
Setelah kekalahan partai-partai politik pada pemilu pertama tahun 1971
berimplikasi terhadap masa depan sistem politik dengan multi partai seperti pada
masa Orde Lama.
Diperlemah oleh kinerjanya yang buruk, posisi tawar partai-partai sangat
berkurang. Ali Murtopo tidak menyia-nyiakan waktu untuk memprakarsai suatu
reorganisasi sistem politik secara besar-besaran, dengan memaksa sembilan partai
politik oposisi untuk melebur menjadi dua partai yang disponsori oleh pemerintah
dengan nama yang sama sekalipun tidak menjelaskan apa-apa, yaitu PPP (Partai
Persatuan Pembangunan) dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Militer setelah
sukses memaksa difusi partai-partai politik, untuk selanjutnya semakin
mendepolitisasi masyarakat, dengan ketentuan baru diciptakan, yaitu untuk
mencegah keberadaan partai-partai politik di tingkat yang lebih rendah di tingkat
kabupaten.75 Organisasi-organisasi massa yang berafiliasi ke partai juga dilarang
dan para anggaotanya diserap ke dalam badan-badan korporatis yang didukung
oleh negara, yang pada gilirannya digabung ke dalam Golkar.76
Dari gerakan Orde Baru didukung oleh militer ini, kelompok muslim
merupakan target khusus dan utama untuk menyeragamkan perpolitikan melalui
penyederhanaan keberadaan partai-partai politik.77
Ini mencerminkan bahwa
kaum militer pada waktu itu yang kebanyakan abangan dan mitra-mitranya yang
sekuler atau beragama Kristen sama-sama takut akan kemungkinan munculnya
partai partai Islam sebagai kekuatan politik penting.
75
Ibid, hal.17 76
Ibid, hal.17 77 Ibid, hal.18
Setelah penyederhanaan partai-partai poltik dan dengan dihapuskannya
sistem multi partai setelah pemilu pertama Orde Baru, maka politik Islam yang
semestinya memiliki kebebasan untuk mengekpresikan orientasi politik mereka
secara langsung telah hilang dan mati dari hiruk pikuk panggung politik nasional.
BAB III
ORIENTASI ORDE BARU TERHADAP PEMBANGUNAN INDONESIA
A. Hubungan Orde Baru dengan ABRI/TNI
Orde Baru yang lahir dalam situasi ketidakstabilan politik, ekonomi dan
hukum di tanah air yang diakibatkan oleh G30-S/PKI yang berdampak pada
kekacauan dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat. Hancurnya perekonomian
negara Indonesia pada saat itu disebabkan tingginya tingkat angka inflasi,
sehingga rakyat mengalami kesusahan untuk mendapatkan kebutuhan untuk hidup
mereka keseharian.
Dari keadaan perekonomian negara yang tidak stabil inilah, Orde Baru
atau era pemerintahan nasional baru yang dimulai dengan kepemimpinan
Soeharto melalui sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)
tahun 1966. Orde Baru dengan pemerintahan baru telah mengkonsepsikan dirinya
sebagai koreksi total terhadap pemerintahan Orde Lama yang lebih cenderung
berpihak kepada kalangan kiri (Komunis). Sebagai koreksi total terhadap
pembangunan yang telah dipraktikkan oleh Orde Lama, pilihan Orde Baru adalah
pembangunan yang berorientasi kepada modernisasi sebagai pilihan strategis yang
memiliki dua pengaruh.78 Pertama, pemerintah Orde Baru dengan demikian
memiliki basis “ideologi” kuat yang langsung menyentuh hajat hidup orang
banyak, sehingga dapat menarik dukungan serta partisipasi politik. Kedua,
78
Firdaus Syam, Amien Rais & Yusril Ihza Mahendra Di Pentas Politik Indonesia
Modern, (Jakarta: Khairul Bayan), hal.74
dukungan dan partisipasi politik rakyat pada giliran berikutnya mendukung
kelangsungan proses pembangunan sekaligus mengukuhkan posisi pemerintahan
Orde Baru itu sendiri.
Koreksi total Orde Baru terhadap segala penyelewengan yang terjadi pada
masa Orde Lama, adalah suatu tindakan yang dilakukan dalam rangka untuk
mempercepat proses pembangunan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD’45.
Hal ini bertolak belakang dengan konsep pemerintahan pada masa Orde Lama,
jika pada masa Orde Lama pembangunan ditekankan pada bidang politik, maka
pada masa Orde Baru mengubahnya menjadi pembangunan pada bidang ekonomi.
Orde Baru selalu mengusung jargon “politik no” dan “ekonomi yes” yang sangat
lantang disuarakan pada masa-masa awal Orde Baru. Pada masa itu para
pendukung Orde Baru malah menciptakan pemikiran-pemikiran tandingan seperti
ide-ide pragmatik, deideologisasi, deparpolisasi, berorientasi pada program
pembangunan.79
Pada masa awal Orde Baru stabilitasi politik telah dianggap sebagai salah
satu dasar berpikir yang empiris bagi masyarakat di Indonesia, termasuk proses
dalam sistem politik itu sendiri. Oleh karena itu usaha penataan kembali kekuatan-
kekuatan politik di Indonesia, telah dianggap sebagai pembuktian terhadap teori
yang melihat adanya hubungan yang positip diantara kehidupan politik dengan
pertumbuhan ekonomi dan sebaliknya kenyataan ekonomi dengan kenyataan
politik.
79
Fahry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi
Pemikiran Islam Orde Baru, (Bandung: Mizan), hal.95
Setelah kekuasaan secara penuh berada ditangan Soeharto pada tahun
1968 dan berakhirnya dualisme kepemimpinan di Indonesia, maka untuk pertama
kalinya sidang MPRS menghasilkan rencana ekonomi lima tahun pertama Orde
Baru yang di sahkan MPRS sebagai tugas kabinet mendatang.80 Soeharto dan
orang-orang kepercayaannya, di bawah petunjuk asisten intelijen pribadinya Ali
Murtopo, maka telah mulai untuk meletakkan dasar-dasar dari rezim Orde Baru.
Langkah pertama yaitu dengan menjadikan organisasi birokrasi dan Golkar
sebagai instrumen utama Orde Baru.81
Pada awal berdirinya rezim Orde Baru, TNI telah memainkan peran yang
sangat dominan, bahkan rezim ini menurut sebagian pengamat politik Barat
sebagai rezim diktator militer.82
Perwira-perwira tinggi militer khususnya AD
(Angkatan Darat) telah menjabat posisi kunci di kabinet dan pada level atas
birokrasi, dan telah dialokasikan 20% untuk kursi jabatan di DPR.
Golkar pada masa Orde Baru diposisikan sebagai partai pemerintah, oleh
karena itu Golkar memiliki dua sokoguru yang kuat, yaitu Angkatan Bersenjata
(kelompok pendukung utama) mempunyai misi untuk menjamin kemenangan
Golkar. Alasannya adalah, bahwa hanyalah melalui kemenangan Golkar stabilitas
politik dan Pancasila bisa dipertahankan. Sedangkan kekuatan kedua adalah
birokrasi. Semua pegawai negeri sipil adalah anggota organisasi yang disebut
80
Sjahrir, Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok, (Jakarta: LP3ES), hal.128
81 Angel Rabasa dan John Haseman, The Military And Democracy In Indonesia, (Santa
Monica: RAND), hal.36
82 Ibid, hal. 36
Korpri (Korp pegawai republik Indonesia) dengan garis hirarkisnya turun sampai
ke tingkat desa untuk menjamin kemenangan Golkar.
Orde Baru yang ditulang punggungi oleh militer amatlah traumatis dengan
disintegrasi nasional dan stabilitas politik yang dapat menghambat rencana
pemerintah untuk menjalankan pembangunan ekonomi. Lebih jauh lagi Orde Baru
melakukan penekanan dan pembatasan secara luas partisipasi politik rakyat secara
langsung. Kooptasi negara terhadap berbagai kekuatan masyarakat, serta berbagai
regulasi ekonomi dan politik pada masa Orde Baru juga dilakukan melalui
intimidasi dan kebijakan politik represif kelompok militer, yang berlindung
dibalik jargon stabilitas dan keamanan nasional.
Menurut Richard Tante, pada masa Orde Baru juga aktualisasi politik
masyarakat telah ditekan di bawah bayang-bayang kekuasaan militer yang sangat
besar, terutama melalui praktek intelijen. Dalam kerangka ini, Tante kemudian
menyebutkan Orde Baru sebagai pemerintahan yang menjalankan model “negara
militer rente”.83
B. Karakteristik Politik Militer ABRI/TNI
Karaktristik militer Indonesia pada masa Orde Baru adalah militer politik
dan bukan militer profesional. Militer politik merupakan antitesa dari teori
Huntington. Persepsi tentara mengenai dirinya sebagai kekuatan politik berasal
83
Eef Saefullah Fatah, Zaman Kesempatan, Agenda-agenda Besar Demokratisasi
Pasca Orde Baru, (Bandung: Mizan), hal.10
dari perbedaan yang kabur tentang fungsi militer dan fungsi politik dalam masa
perang kemerdekaan melawan Belanda.84
Sebagai tentara politik, ABRI memiliki karakter inti yang dipopulerkan
oleh Finer dan Janowitz, yaitu: militer secara sistematis mengembangkan
keterkaitan yang erat dengan sejarah perkembangan bangsa serta arah evolusi
negara. Hal ini dilakukan dengan mengkombinasikan prinsip hak sejarah
(birthright principle) dan prinsip kompetensi (competence principle). Berangkat
dari dua prinsip dasar inilah ABRI/TNI menciptakan peran sosial dan politiknya.
Prinsip hak sejarah menurut ABRI/TNI didasarkan pada suatu interpretasi sejarah
bahwa militer berperan besar dalam sejarah pembentukan bangsa dan juga telah
melakukan pengorbanan yang tidak terhingga untuk membentuk dan
mempertahankan negara. Pada gilirannya, sejarah asal–usul dan peran awal militer
tersebut telah membentuk suatu tradisi dan seperangkat nilai.85 Sedangkan prinsip
kompetensi didasarkan pada ide bahwa militer merupakan institusi terbaik yang
dimiliki negara untuk mempertahankan dan mencapai kepentingan nasional
bangsa. Faktor utama bagi kelompok militer yang mendasari penilaian ini pada
masa Orde Baru, yaitu wacana tentang ketidak mampuan institusi sipil untuk
mengelola negara, ditandai dengan merebaknya berbagai krisis nasional.
Dari dua prinsip hak yang dikombinasikan oleh ABRI ini, maka pada
akhirnya ABRI menjelma menjadi kekuatan sosial politik yang paling
berpengaruh dalam menentukan arah dan kebijakan negara. Perpaduan dua prinsip
84
Harold Crouch, Militer dan Politik Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan), hal.22
85 Indria Samego, “…Bila ABRI menghendaki”, (Bandung: Mizan), hal. 62
tersebut dilakukan sepanjang sejarah perkembangan militer Indonesia, mulai dari
masa perjuangan kemerdekaan Indonesia hingga pasca Orde Baru.
Pada masa Orde Lama, militer Indonesia berkonsentrasi untuk
mengedepankan hak sejarah, terutama dengan mengidentifikasi dirinya sebagai
aktor yang berperan penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan dan
mendukung penuh kebijakan nasionalistik pemerintah untuk meredam gerakan–
gerakan separatis serta upaya untuk mewujudkan kedaulatan teritorial Indonesia.
Wacana ini dikembangkan terus untuk membentuk pemahaman bahwa ABRI
merupakan suatu entitas yang lahir dengan sendirinya (self-creating entity) yang
berbeda dengan militer di negara Barat dan memiliki kemanunggalan dengan
rakyat.
Di tahap kedua, militer Indonesia menjelma menjadi penjaga dan penyelamat
bangsa (the guardian and the savior of the nation). Ini dilakukan dengan
menempatkan militer Indonesia sebagai pelindung utama Pancasila. Penempatan
ini mulai dirintis oleh Nasution melalui perumusan doktrin dwifungsi di tahun
1950-an dan mendapat kulminasinya dalam pemberontakan PKI 1965.
Pada tahap akhir, yaitu dengan mengkombinasikan antara hak sejarah
dengan prinsip kompetensi militer dengan menempatkan militer Indonesia sebagai
satu- satunya aktor yang mampu menegakkan integritas bangsa sekaligus menjadi
aktor pembangunan nasional. Perpaduan ini dilakukan dengan memperkenalkan
strategi pembangunan politik - ekonomi yang menggabungkan tahap pertumbuhan
lima tahun yang diperkenalkan oleh Rostow dengan strategi stabilisasi politik -
keamanan yang diungkapkan oleh Huntington. Kombinasi model Rostow–
Huntington ini menghasilkan strategi pembangunan terencana jangka panjang
yang menempatkan stabilitas politik keamanan sebagai prasyarat utama
pembangunan ekonomi. Strategi ini menempatkan militer di titik sentral.
Politik militer di Indonesia yang telah di mulai sejak masa Orde Lama dan
mencapai puncak akumulasinya pada masa Orde Baru. Politik militer Indonesia
sangat dipengaruhi oleh karakter budaya Jawa, seperti mitologi Jawa dan konsep
Jawa tentang kekuasaan, dimana seorang satria harus memiliki kesetiaan tanpa
pamrih kepada raja.86
Dipihak lain, satria tidak terbatas kepada peran militer
semata – mata. Ia juga adalah seorang administrator, yang pada akhirnya
melahirkan karakter militer yang sangat otoriter dan refresif.
Dalam mengidentifikasi karakter politik militer ABRI/TNI yang berjalan
selama masa pemerintahan rezim Orde Lama dan Orde Baru, maka dapat
ditelusuri dengan berbagai peran politik dan sejauh mana keterlibatan kelompok
militer dalam suatu pemerintahan.
Konsep pemerintahan (pretorianisme) lebih banyak mengacu pada
fenomena keterlibatan atau intervensi kelompok militer dalam arena politik atau
urusan-urusan pemerintahan suatu negara. Alasan keterlibatan militer ini menurut
Nodlinger disebabkan oleh pandangan subyektif kaum militer yang
menggambarkan korp mereka sebagai perwira-perwira yang bertanggung jawab
86
Ulf Sunddhaussen, Politik Militer Indonesia 1945 – 1967, Menuju Dwi fungsi ABRI,
(Jakarta: LP3ES), h.468
dan berjiwa patriotik yang mengintervensi pemerintahan sipil karena tanggung
jawabnya kepada konstitusi dan negara.87
Dalam konteks pemerintahan negara modern campur tangan korp militer
dalam arena politik dirujuk dengan beberapa sebutan diantaranya, “prajurit
berkuda” karena posisi tradisional para perwira militer tersebut sebagai
penunggang kuda, atau dikenal juga sebagai “tentara berbaju sipil”. Julukan lain
adalah “pasukan bedah besi” karena pengalaman campur tangan militer melalui
tindakan tegas tentara untuk memulihkan situasi politik dan ekonomi.88
Sedangkan sebutan militer sebagai “birokrat bersenjata” lantaran sikap politik
mereka dan cara pemerintahan korp perwira militer yang nyaris mirip dengan
pemerintahan sipil.
Campur tangan militer terhadap pemerintahan sipil melalui beberapa cara
yang kemudian lazim menjadi ciri khas rezim militeristik. Diantara bentuk
campur tangan militer itu antara lain:
a.Ancaman militer secara terang-terangan untuk tidak melakukan kudeta
terhadap pemerintahan sipil jika tuntutan yang mereka ajukan dikabulkan.
b.Mengambil alih kekuasaan pemerintah dan mengubah rezim sipil menjadi
rezim militer.
Sedangkan cirri-ciri rezim militer (sekalipun pimpinannya telah mengganti
atribut-atribut militer dengan sipil, seperti presiden atau perdana menteri) adalah:
a.Tentara mendapat kekuasaannya melalui kudeta
87
A. Ubaidillah, et. Al, Pendidikan Kewargaan, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
Madani, (Jakarta: IAIN Press), hal.103
88 Ibid, hal.104
b.Para pejabat petinggi negara telah bertugas atau terus bertugas dalam
angkatan bersenjata.
c.Pemerintahan masih terus bergantung kepada dukungan perwira militer aktif
dalam mempertahankan kekuasaannya.
Elit militer atau para pretorian memiliki sikap politik yang umumnya sama, di
antaranya memiliki sikap meragukan kegiatan politik massa dan peranan politisi
sipil, dan sikap menunjukkan tingkah laku politik mempertahankan kepentingan
kelompok militer yang bersekutu. Dan dalam pemerintahan, mereka membentuk
struktur otoritarian
Secara umum tipologi pretorianisme, menurut Nordlinger, dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga model pretorian, yaitu :
1. Moderator Pretorian
Ciri khas moderator pretorian adalah mereka menggunakan hak veto atas
keputusan pemerintahan dan politik, tanpa menguasai pemerintahan itu
sendiri. Meskipun pihak sipil yang memerintah, namun kekuasaan mereka
diawasi oleh militer yang tidak akan menerima supremasi pihak sipil.
2. Pengawal Pretorian
Pemerintahan militer model ini merupakan fase lanjutan dari model
moderator pretorian. Jika yang pertama bersifat konservatif, kelompok ini
lebih bersifat reaksioner terhadap kebijakan sipil ketika menjalankan
pemerintahannya. Sebagai kelompok reaksioner mereka berusaha melakukan
perubahan-perubahan, prinsip-prinsip dasar dalam politik, ekonomi dan
kehidupan sosial, dengan tetap membatasi kegiatan dan hak sipil.
3. Penguasa Proterian
Pemerintahan militer model ini memiliki karakteristik yang berbeda
dengan kedua model pemerintahan militer di atas. Model ketiga ini tidak saja
menguasai pemerintahan tapi juga mendominasi rezim yang berkuasa, bahkan
kadangkala mencoba menguasai sebagian besar kehidupan politik-ekonomi
dan sosial melalui pembentukan struktur dan cara-cara mobilisasi.
C. Misi Politik Militer ABRI Pada Masa Orde Baru
Kekecewaan para perwira ABRI terhadap pemerintah sipil muncul
kembali pada awal 1950-an, ketika pemerintah akan melakukan rasionalisasi
tentara. Kekesalan juga muncul karena pemerintah ingin menentukan jabatan –
jabatan kunci di Angkatan Darat. Ini menghasilkan pertistiwa 17 Oktober 1952
yang merupakan gerakan politik yang dilakukan oleh perwira-perwira ABRI
untuk memaksa presiden Soekarno membubarkan DPRS yang dianggap telah
merugikan pihak militer.89
Perkembangan politik berikutnya di Indonesia adalah terjadinya
ketidakstabilan politik sebagai akibat dari pertentangan politik yang hebat dan
mendalam antara partai-partai politik. Ketidakstabilan dan konflik ideologis
antara partai-partai politik berujung pada pemberontakan daerah yang dilakukan
oleh PRRI/Permesta.90
Kekacauan–kekacauan politik yang terjadi pada masa Orde Lama berakhir
setelah Orde Baru tampil ke atas panggung kekuasaan di tengah kemelut sekitar
89
Indria Samego et. al,’’....Bila ABRI Menghendaki, hal. 83
90 Ibid, hal. 83
kehancuran sistem demokrasi terpimpin. Di bawah demokrasi terpimpin kaidah-
kaidah birokrasi telah menjadi lumpuh ketika inflasi merajalela tak terkendali
dengan konflik-konflik politik yang memuncak, sehingga polarisasi kekuatan-
kekuatan yang paling bertentangan itu tidak dimungkinkan dilakukannya
perbaikan-perbaikan administratif.91 Setelah pengambilalihan kekuasaan ditahun
1966, perhatian utama para perwira senior lebih tertuju pada terciptanya kondisi-
kondisi menguntungkan untuk meluasnya kesempatan perdagangan, dengan
harapan akan dapat dimanfaatkan bersama rekan-rekan usaha mereka dengan
sebaik–baiknya. Dan banyak pula perwira yang relatif berorientasi “profesional”
berhasrat untuk mengembangkan sistem yang lebih tertib, yang menghormati
patokan-patokan birokrasi dan profesi.
Dalam tahun – tahun permulaan Orde Baru, jenderal-jenderal “politik” dan
“uang” pada lingkaran terdekat dengan presiden diberi keleluasan bergerak
sebebas – bebasnya. Pada dekade tahun 1970-an kekuasaan yang berlebihan
tersebut mendapat tantangan-tantangan dari perwira-periwa yang berhaluan
pembaharuan, yang berhasrat untuk membangun suatu sistem yang lebih
berdisiplin. Mereka yang mendengungkan pembaharuan itu, sebenarnya bukanlah
untuk mengadakan perubahan yang radikal, akan tetapi untuk menyelamatkan
sistem itu menurut aturannya. Seperti lawan-lawan militernya, mereka pun
menginginkan militer yang tetap berkuasa.
Politik militer Orde Baru merupakan suatu fase kontinuitas dari peran
politik militer pada masa Orde Lama. Seperti pada masa Orde Lama, militer pada
91
Harold Crouch, Militer dan Politik Di Indonesia, hal.343
masa Orde Baru terus berusaha memantapkan dan mengokokohkan posisi dan
peran politiknya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Militer Pada masa
Orde Baru menghendaki adanya ketertiban dan kondisi yang stabil dan baik dari
segi politik, ideologi maupun masyarakat. Militer pada masa ini memposisikan
dirinya sebagai penjaga integritas bangsa dan negara, pengaman jalannya
pembangunan, melindungi keamanan dan ketertiban negara, penjaga ideologi
tunggal Pancasila, dan sebagai dinamisator dari pada pembangunan.
Pada masa awal Orde Baru, tindakan politik yang dimainkan oleh
kelompok militer adalah untuk mengembangkan kepentingan bersama yang
melampaui kepentingan golongan militer dan menentang kepentingan kelas yang
diwakili oleh golongan komunis.92
Hal ini dikarenakan ABRI/TNI-AD tujuan
utamanya adalah stabilitas nasional dan pembangunan ekonomi nasional.
Landasan politik militer ABRI khususnya TNI-AD mendapat
legitimasinya setelah lahirnya konsep “Dwifungsi ABRI” pada masa Orde Baru
dan pada masa Orde Lama dikenal dengan “konsep jalan tengah” ABRI yang
diperkenalkan oleh Nasution pada 1958, yang intinya pemberian kesempatan
kepada ABRI, sebagai salah satu kekuatan politik bangsa, untuk berperan serta di
dalam pemerintahan atas dasar “ Asas Negara Kekeluargaan”. Konsep Nasution
juga dicetuskan sebagai upaya untuk mencegah militer melakukan kudeta
terhadap pemerintah sipil.93
Karena jika sekali kudeta dilakukan, maka kudeta
berikutnya secara simultan akan datang silih berganti.
92
Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967,Menuju Dwi Fungsi ABRI,
hal.445
93 Indria Samego et al, “....Bila ABRI Menghendaki”, hal.59
Pada masa awal Orde Baru dari konsep dwifungsi ABRI tersebut lahirlah
suatu perwujudan yang nyata dari orientasi politik militer ABRI, yaitu dengan
penugasan prajurit ABRI dalam lembaga-lembaga, instansi, badan, atau organisasi
diluar jajaran ABRI.94 Penugasan ini dalam rangka untuk mengamankan bangsa
Indonesia dari pengaruh komunisme, dan pada masa selanjutnya untuk
menyukseskan pembangunan nasional.
94
Ibid, hal.96
BAB IV
ABRI/TNI DALAM MENATA PERPOLITIKAN NASIONAL
A. Sejarah Politik Hukum ABRI/TNI
Dalam catatan berbagai produk hukum yang dibuat sejak Republik ini
berdiri, tarik menarik posisi ABRI yang pada awalnya disebut TNI (Tentara
Nasional Indonesia) dalam politik nasional berhubungan secara langsung dengan
situasi politik konstekstual dan besarnya desakan keterlibatan TNI didalam
politik. Tidak bisa di pungkiri bahwa dilegalisasi kehendak TNI dalam kebijakan
masa lalu adalah hasil dorongan otoritas politik sipil disatu sisi dan desakan TNI
disisi lain.
Dalam sejarah politik hukum TNI ada empat persoalan mendasar yang
melatar belakangi dan memberi legitimasi bagi TNI untuk terlibat di dalam dunia
politik yang semestinya menjadi hak masyarakat sipil.
a. Konsep manunggal TNI dengan rakyat
Konsep “manunggal dengan rakyat”,” tentara rakyat”, atau “tentara
pejuang” yang telah menjadi ciri khas jati diri TNI di masa revolusi fisik (yang
pada awalnya adalah tentara keamanan rakyat/TKR) kemudian memberi watak
dan kepribadian tersendiri pada angkatan perang Indonesia yang dilahirkan dari
dan oleh rakyat.95
Dalam pengertian TNI dari dan oleh rakyat mengandung makna
95
Hidayat Mukmin, TNI dalam politik luar negeri, (Jakarta: sinar harapan), hal.43
bahwa TNI pada mulanya berasal dari berbagai golongan masyarakat, elemen, dan
organisasi. Kelompok pergerakan yang dimaksud antara lain ialah PETA, KNIL,
Laskar pemuda sosialis Indonesia (Pesindo) yang condong kekiri
(sosialis/komunis), Barisan banteng yang dekat dengan partai nasional Indonesia
(PNI/Nasionalis), Hizbullah yang erat dengan partai Islam Masyumi, Tentara
pelajar (TP), Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) dan kumpulan orang-
orang daerah. Diantara golongan itu, ada yang sangat setia kepada organisasi
politik yang mereka ikuti. Ketika memasuki tentara, corak politik dan sikap
organisasi masing-masing masih dibawa serta. Disamping itu, perang gerilya
melawan kolonial memaksa tentara melakukan tugas diluar bidang militer, karena
sifat perang itu menyeluruh dan semesta.96
Mereka yang berasal dari berbagai
elemen itu pada sidang PPKI ke-3 tanggal 22 Agustus 1945 ditetapkan untuk
dibentuk menjadi Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR bertugas untuk
memelihara ketertiban dan kemanana di daerah-daerah. 97 Mereka ini didorong
untuk berbakti dan mengabdi kepada bangsa dan Negara yang kedaulatannya
menghadapi pihak penjajah. BKR mempersenjatai, melengkapi, dan membekali
diri sendiri; disusun secara kedaerahan (teritorial administrative), menurut daerah
asal mereka masing-masing. Baru pada tanggal 7 juni 1947 dikeluarkan penetapan
presiden yang antara lain menetapkan bahwa mulai tangggal 3 juni 1947 disahkan
secara resmi berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam TNI ini
96
Abdoel Fatah, Demiliterisasi tentara, pasang surut politik militer 1945-2004,
(Yogyakarta: LkiS), hal.54
97 Hidayat Mukmin, Dwifungsi ABRI, Perkembangan dan perannya dalam kehidupan
politik di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada university press), hal.10
tergabung TRI, biro kesatuan dari perjuangan, dan pasukan-pasukan bersenjata
lainnya.
Pada masa itu, para perwira militer juga mengurusi masalah politik,
ekonomi, pemerintahan dan sebagainya. Oleh karena itu keterlibatan ABRI/TNI
dalam panggung politik di tanah air tidak dapat dilepaskan dari sejarah lahir,
tumbuh dan berkembangnya ABRI/TNI dalam perjuangan bangsa Indonesia.
ABRI/TNI lahir bersamaan dengan meletusnya revolusi rakyat, ia lahir dari anak-
anak rakyat sendiri, oleh karena itu ABRI/TNI menyatakan dirinya juga sebagai
anak kandung dari revolusi kemerdekaan. ABRI adalah angkatan bersenjata yang
lahir dan tumbuh dengan kesadaran untuk melahirkan kemerdekaan, membela dan
mengisi kemerdekaan. ABRI pertama-tama angkatan bersenjata pejuang dan baru
setelah itu angkatan bersenjata profesional. Kelahiran dan pertumbuhan ABRI
yang demikian itu membuat ABRI juga berhak dan merasa wajib ikut menentukan
haluan Negara dan jalannya pemerintahan. Inilah sebab pokok, mengapa ABRI
mempunyai dua fungsi, yakni sebagai kekuatan militer dan pertahanan dan
keamanan yang merupakan status dan kedudukan ABRI sebagai alat Negara, dan
fungsi sebagai kekuatan sosial dan politik yang merupakan alat pejuang rakyat.98
TNI sebagai alat perjuangan rakyat selama masa perang gerilya setelah
terjadi agresi militer Belanda ke-2 dengan menyerang dan menduduki ibu kota RI
Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948. Dengan adanya serangan tersebut
presiden Soekarno dan wakil presiden Mohammad Hatta beserta beberapa menteri
di tahan Belanda. Dan mandat untuk memimpin pemerintahan darurat republik
98
Ibid, hal.7
Indonesia (PDRI) diserahkan Soekarno kepada Mr. Syarifudin di Sumatera.99
Namun perjuangan sesungguhnya terletak pada perjuangan bersenjata seluruh
rakyat dengan pemimpin TNI sebagai inti kekuatan, yang secara strategis
dipimpin oleh Jenderal Sudirman. Pelaksanaannya dikendalikan oleh kolonel
A.H.Nasution selaku panglima komando Jawa, menyatakan berlakunya
“pemerintahan militer untuk seluruh tanah Jawa” dengan tujuan untuk
menyelamatkan Republik Indonesia. Dikelurkanlah instruksi MBDK
No.1/MBDK/1948 yaitu “intruksi bekerja pemerintah militer untuk seluruh Jawa”
yang menetapkan landasan perjuangan :
1.Republik harus tetap berjuang sebagai negara
2.Pemerintahan harus terus berjalan
3.Pemerintahan militer adalah satu-satunya alat dan perjuangan
Dan adapun susunan pemerintah militer seluruh Jawa adalah sebagai berikut:
a). Panglima besar angkatan perang sebagai pemimpin tertinggi
b). Panglima tentara dan teritorial Jawa untuk pimpinan Jawa dan Madura
c). Gubernur militer untuk propinsi
d). Komando militer daerah untuk keresidenan
e). Komando distrik militer untuk kabupaten, dan
f). Komando onder distrik militer untuk kecamatan
Dari uraian diatas dapat diketahui, bahwa selama mengobarkan perang
gerilya itu TNI tidak hanya melaksanakan fungsi militer, melainkan juga
melaksanakan fungsi sosial politik, dengan menugaskan pula personil militer pada
99
Ibid, hal.17
bidang-bidang non militer. Disamping itu para komandan daerah untuk masing-
masing tingkat juga melaksanakan fungsi pembinaan politik; minimal mencegah
timbulnya ketegangan dan atau bentrokan antara kekuatan-kekuatan politik yang
ada dan maksimal menggalang potensi rakyat untuk menghadapi musuh. Selama
perang gerilya itulah TNI secara nyata hidup menyatu dan manunggal dengan
rakyat dan melaksanakan perang rakyat semesta.100
Konsep kemanunggalan TNI dengan rakyat atau ”tentara rakyat”, atau
“tentara pejuang” yang selanjutnya menjadi simbol dari ciri khas jati diri TNI,
secara formal konsep tersebut di tuangkan dan menjadi salah satu bagian dari
Doktrin Ubaya Cakti yang ditetapkan dalam seminar Angkatan Darat I di
Bandung, April 1965. Dalam doktrin itu disebutkan bahwa jati diri dan citra diri
mereka adalah sebagai “anak revolusi, tentara rakyat, tentara pejuang” dan
kekuatan “progresif revolusioner” yang salah satu tugasnya adalah membela sang
saka merah putih hingga titik darah penghabisan, serta menjadi suatu kekuatan
sosial politik dan kekuatan militer yang berperan sebagai alat revolusi, alat
demokrasi, dan alat kekuasaan negara.101
Dan adapun doktrin Tri Ubaya Cakti yang dihasilkan pada seminar
Angkatan Darat I di Bandung tahun 1965, terdiri atas tiga bagian : pertama,
Doktrin Kekaryaan TNI yang menetapkan Angkatan Bersenjata merupakan suatu
“kekuatan sosial politik dan kekuatan militer, ”bagian daripada “kekuatan-
100
Ibid, hal.18
101 Salim said, Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi, (Jakarta: Aksara karunia), hal.60
kekuatan progresif revolusioner,”menetapakan sekaligus perannya sebagai alat
revolusi, alat demokrasi, dan alat kekuasaan negara.102
Bagian kedua dari doktrin Tri Ubaya Cakti disebut Doktrin Perang
Revolusi Indonesia. Di sini ditekankan bahwa hakikat perang revolusi Indonesia
adalah “Perlawanan adil yang bersifat semesta dan dilakukan secara ofensif-
revolusioner tanpa kenal menyerah yang dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai
bagian dari Perjuangan Umat Manusia terhadap OLDEFO (old emerging forces)
atau kekuatan lama yang memaksa – NEKOLIM (neokolonialisme) untuk
mentjapai tujuan Revolusi Indonesia dan tudjuan membentuk Dunia Baru jang
adil dan makmur bersih dari penindasan dan penghisapan.”103
Sedangkan bagian ketiga disebut Doktrin Pembinaan Potensi Perang
Revolusi Indonesia. Doktrin ini menekankan perlunya penggalangan kekuatan-
kekuatan progresif – revolusioner domestik dan internasional dalam menghadapi
ancaman NEKOLIM. Menurut doktrin ini, tugas pokok dari pembinaan potensi
perang revolusi Indonesia ialah menghimpun secara maksimal semua potensi
yang laten, semua daya dan dana dibidang ideologi, politik, ekonomi, sosial
budaya dan militer, baik didalam maupun di luar negeri, dalam sistem
persenjataan sosial dan sistem persenjataan teknologis, untuk menyusun dan
memperoleh kekuatan, kesiagaan daya tahan serta mengerahkannya guna
menjamin kelangsungan dan tercapainya tujuan revolusi.
102
Departemen Angkatan Darat, Doktrin perdjuangan “Tri Ubaya Cakti “, (Djakarta:
Departemen Angkatan Darat), hal.10
103 Departemen Angkatan Darat, Doktrin Perdjuangan, hal.21
Perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme, menurut doktrin ini,
tidak harus hanya bertumpu pada penggunaan senjata-senjata canggih, melainkan
juga pada peran kader-kader revolusioner yang menurut dokumen ini merupakan
faktor penentu untuk menunjang konsepsi pembinaan potensi perang revolusi
Indonesia. “ Karena itu diperlukan pembentukan kader-kader yang berjiwa
progresif – revolusioner sebagai INSAN POLITIK yang sadar dan sanggup
mengamalkan doktrin-doktrin Revolusi.
b. Fungsi Kekaryaan ( Dwifungsi TNI )
Fungsi kekaryaan TNI adalah bentuk tindak lanjut merupakan suatu
materialisasi dari fungsi TNI sebagai kekuatan sosial politik. Peran sospol atau
dwifungsi TNI tersebut mengacu kepada konsep “jalan tengah” seperti yang
diungkapkan Nasution di Magelang pada tahun 1958. Pada tahun 1958 dalam
peringatan ulang tahun Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang, Jawa
Tengah 13 Nopember, Jenderal A.H.Nasution selaku KSAD mengucapkan pidato
seperti berikut:
Posisi TNI bukanlah sekedar alat sipil seperti di negara-negara Barat, dan
bukan pula sebagai rezim militer yang memegang kekuasaan negara, ia adalah
sebagai suatu kekuatan sosial, kekuatan rakyat yang bahu membahu dengan
kekuatan rakyat lainnya. Ia berbeda dengan sifat individualistis disatu pihak
dan sifat totaliter di pihak lain, seperti yang dikenal di dunia Barat dan
Timur.104
104
A.H.Nasution, Dwifungsi ABRI: Pada mulanya dan kini, (Jakarta: Prisma), hal.41
Nasution juga menjelaskan bahwa TNI tidak mengikuti tingkah laku kaum
militer di Amerika latin yang memainkan peran politik secara langsung, dan tidak
pula merupakan institusi yang pasif dalam politik, seperti militer di Eropa Barat.
TNI akan mencari “jalan tengah” diantara kedua hal yang ekstrim itu. TNI tidak
melibatkan dirinya kedalam politik dengan kudeta, tetapi tidak pula menjadi
penonton di dalam arena politik. Nasution menyatakan, perwira TNI harus diberi
kesempatan melakukan partisipasinya di dalam pemerintahan atas dasar individu,
artinya tidak ditentukan oleh institusi.105
Isi pidato tersebut pada masa selanjutnya dianggap sebagai konsepsi awal
tentang pemikiran dwifungsi, meski pada masa itu istilah itu belum ada dan belum
diberi nama. Kemudian oleh Prof. Djoko Sutono, sarjana hukum ketatanegaraan
yang terkemuka pada masa itu, memberi nama “jalan tengah” (middle way), yaitu
jalan tengah yang memadukan antara perwira militer professional yang menolak
keterlibatan militer dalam politik dan perwira militer yang menginginkan militer
mendominasi kehidupan politik.106
Konsepsi “jalan tengah” diatas mengandung makna sebagai berikut.
Pertama, militer Indonesia tidak akan melakukan kudeta dan mendominasi
kekuasaan. Kedua, militer Indonesia tidak bersikap pasif atau hanya sebagai
penonton dipinggir arena politik, tetapi akan ikut terlibat dalam menentukan
kebijakan negara. Ketiga, militer Indonesia adalah sebagai kekuatan sosial,
disamping sebagai kekuatan pertahanan. Keempat, militer Indonesia hanya
105
Yahya A.Muhaimin, Perkembangan militer dalam politik di Indonesia 1945-1966,
(Yogyakarta: Gadjah Mada university), hal.116
106 Stanley Adi Prasetyo (ed), Jenderal tanpa pasukan, politisi tanpa partai
:Perjalanan hidup A.H.Nasution, (Jakarta: pusat data analisa Tempo), hal.35
merupakan salah satu kekuatan sosial diantara kekuatan-kekuatan sosial lainnya.
Kelima, keikutsertaan perwira TNI dalam politik adalah secara individual, bukan
institusional.107
Selanjutnya, pada Maret 1962, Sekolah Staf dan Komando Angkatan
Darat (Seskoad) di Bandung merumuskan doktrin Perang Wilayah, yang membuat
tentara bisa menjangkau langsung ke masyarakat. Karena itu, staf umum
Angkatan Darat ditambah dengan staf teritorial dan bagian staf kekaryaan.
Dengan konsep perang wilayah ini, tentara lebih mudah menjalankan peran di luar
bidang pertahanan, terutama di bidang politik. Kemudian dibentuk Komando
Daerah Militer (Kodam) di tingkat propinsi; Komando Resort Militer (Korem)
yang sama tingkatnya dengan keresidenan; Komando Distrik Militer ( Kodim)
yang sejajar dengan Kabupaten (district); Komando Rayon Militer ( Koramil )
setingkat dengan kecamatan (subdistrict); dan Bintara Pembina Desa (Babinsa) di
desa. Dari fungsi teritorial inilah pada masa Orde Baru lebih banyak digunakan
untuk sarana kegiatan politik tentara.108
Pelibatan militer untuk masuk ke dalam wilayah sipil sebenarnya telah
diperkuat oleh presiden Soekarno sebelumnya, Soekarno menyatakan didalam
pidatonya di Dewan Konstituante Bandung pada 22 April 1959 “ABRI merupakan
golongan fungsional yang telah berjasa dimasa lalu, sehingga wajar bila mereka
duduk di dalam DPR akan datang”.
107
Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara, Pasang surut politik militer 1945-2004,
(Yogyakarta: LkiS), hal.141
108 Ibid, hal.142
Secara yuridis pengakuan fungsi kekaryaan tersebut kembali diperkuat dan
dilegalisasikan ketika Nasution bersama masa pemuda serta anggota golongan
karya lainnya yang dimobilisasi oleh tentara berhasil mendesak presiden Soekrno
mendeklarasikan kembali UUD 1945.109 Kesediaan Soekarno untuk
mendeklarasikan kembali UUD 1945 di satu sisi telah menjadi momentum yang
sangat urgen dan sebagai dasar bagi TNI bahwa fungsi sosial politik (sospol) TNI
telah mendapat landasan konstitusional sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1)
UUD 45 yang membolehkan golongan fungsional untuk duduk di MPR. Dengan
demikian, dekrit presiden 1959 telah memberikan legalitas yang lebih kuat bagi
keterlibatan politik militer.
Setelah berakhirnya rezim Orde Lama yang ditandai dengan jatuhnya
Soekarno dari kursi kepresidenan, maka rezim Orde Lama yang disimbolkan
dengan Soekarno beralih kerezim Orde Baru yang diawali dengan tragedi 30
september 1965 yang dilakukan oleh PKI. Orde Baru yang terbentuk pada tahun
1966 diawali dengan Jenderal Soeharto sebagai presiden kedua. Latar belakang
Soeharto yang militer pada tahun 1967 telah memperkuat dan bahkan memberi
kedudukan yang lebih istimewa fungsi sosial politik TNI khususnya Angkatan
Darat ( TNI AD). Pada masa Soekarno konsep dwifungsi diperkuat melalui Tap
MPRS No.II/MPRS/1960 dan pada masa awal Orde Baru lebih diperkokoh
kembali dengan Tap.MPRS No.XXIV/MPRS/1966. Dan bahkan kemudian
diperkuat melalui pencantumannya dalam Tap.MPR No.IV/MPR/1978 tentang
GBHN Bab.IV mengenai pola umum pelita.
109
Salim Said, Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi, hal.40
Kendati fungsi sosial politik ABRI/TNI sudah memiliki landasan hukum
yang cukup kuat, pemerintah masih menganggap perlu untuk mengaturnya secara
lebih ekplisit dalam undang-undang. Barulah pada tahun 1982 fungsi ABRI
sebagai kekuatan HANKAM dan kekuatan sosial politik diatur dalam UU No.20
tahun 1982, khususnya tercantum dalam pasal 26 dan 28. Pada pasal 26 dari
undang-undang ini ditegaskan sekali lagi bahwa, Angkatan Bersenjata
mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan sebagai
kekuatan sosial. Sedangkan pada pasal 28 dijelaskan, bahwa Angkatan Bersenjata
sebagai kekuatan sosial bertindak selaku dinamisator dan stabilisator yang
bersama-sama kekuatan sosial lainnya memikul tugas dan tanggung jawab
mengamankan dan mensukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan
serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Meski ruang berpendapat dan melontarkan ide serta kritik makin dikontrol
ketat oleh pemerintahan Orde Baru, namun hal tersebut pada masa ABRI dibawah
kepemimpinan Jenderal M. Jusup tentara masih membiarkan Nasution
mengemukakan pendapat dan kritikannya terhadap penyimpangan konsep
dwifungsi ABRI/TNI, namun hal dan keadaan tersebut tidak dapat dinikmati dan
didapatkannya lagi ketika ABRI/TNI di bawah pimpinan Jenderal TNI
L.B.Moerdani.110
Demikianlah pada akhir tahun 1980 Nasution pada satu
wawancara mengemukakan111
:
…Epilog Peristiwa 30 September 1965 telah memproses perubahan yang
melampaui “jalan tengah“ itu, baik di tingkat politik maupun tekniknya. Saya
110
Salim Said, Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi, hal.126
111 A.H.Nasution, Dwifungsi ABRI: Pada Mulanya dan Kini, hal.66
tetap berkeyakinan bahwa hal itu perlu dikoreksi karena tidaklah serasi, baik
dengan semangat kekeluargaan yang dibawa Pancasila dan UUD 45, maupun
khususnya dengan asas kedaulatan ditangan rakyat yang tercantum dalam
pasal 1 UUD 1945. Jika tidak kita koreksi maka kita membuka perkembangan
identitas kenegaraan dan ketentaraan yang lain dan yang kita cita-citakan dan
yang kita junjung tinggi sejak 1945.
Sikap pemerintahan Orde Baru yang tetap mempertahankan konsep
dwifungsi sospol ABRI, mencerminkan bahwa presiden Soeharto yang berlatar
belakang militer memiliki kepentingan dan ambisi politik yang lebih besar untuk
melibatkan TNI masuk lebih jauh ke dalam wilayah politik. Tujuannya agar TNI
dapat menjadi pilar kekuatan yang menopang rezim otoritarian yang dibentuknya.
Selama kepemimpinan Soeharto terbukti bahwa TNI telah menjelma dan bahkan
menjadi sebuah instrumen kontrol yang sangat efektif dan produktif untuk
meredam dan membunuh kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
kehidupan sosial dan politik yang menjadi hak setiap warga masyarakat
Indonesia.
Sejak tahun 1967 dengan semakin dikokohkannya legalisasi peran sosial
politik TNI di masa Orde Baru mendorong terjadinya invasi politik militer yang
semakin deras ke dalam wilayah yang semula menjadi domain kaum sipil.
Jabatan-jabatan dalam pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di daerah,
semakin lama semakin banyak yang diduduki oleh kelompok tentara. Dari rentang
waktu tahun 1967 sampai tahun 1990, mengutip pernyataan kepala staf kekaryaan
Hankam, Letjen TNI M.Kharis Suhud menyebutkan bahwa ada 8.025 anggota
ABRI yang ditugas-karyakan di posisi-posisi strategis. Diantaranya ada yang
menjabat duta besar, konsul jenderal, gubernur, bupati, sekjen di berbagai
departemen, dirjen, irjen, kepala lembaga, asisten menteri dan sekretaris
menteri.112
c. Komando Teritorial (Koter) dan Pembinaan Teritorial (Binter)
Lahirnya konsep teritorial TNI memang tidak bisa dipisahkan dari sejarah
kelahirannya, nilai-nilai yang membentuk jati diri tentara, dan doktrin yang
dianutnya. Sebagai lembaga yang lahir dimasa awal kemerdekaan dan di tengah
keharusan menangkal ancaman, baik yang datang dari dalam (pemberontakan)
maupun dari luar (agresi militer), oleh karena itu TNI membentuk struktur
organisasinya yang dimulai dari tingkat pusat sampai ketingkat yang paling
rendah yaitu desa. Komando teritorial ini berfungsi sebagai bagian dari strategi
militer, yang menempatkan perang gerilya sebagai strategi utama.
Pada tahun 1960 Nasution sebagai kepala staf angkatan darat (KSAD)
memerintahkan Seskoad untuk merumuskan pengalaman perang gerilya TNI
kedalam bentuk doktrin-doktrin militer. Maka lahirlah doktrin perang wilayah
pada bulan Desember 1960.113
Perang wilayah adalah “perang yang bersifat
semesta, yang menggunakan seluruh kekuatan nasional secara total, dengan
mengutamakan kekuatan militer sebagai unsur kekuatannya, agar dengan counter
offensive dapat menetukan kesudahan perang untuk mempertahankan kedaulatan
112
Salim Said, Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi, hal.94
113 Ibid, hal.44
negara.114
Doktrin perang wilayah berakar jauh kedalam sejarah TNI. Perang
wilayah yang merupakan sebuah nama baru sistematisasi berbagai pengalaman
dan praktek perang gerilya. Hal tersebut seperti yang diputuskan oleh Nasution
beberapa bulan setelah berakhirnya perang gerilya. Nasution selaku kepala staf
angkatan darat (KSAD) pada tanggal 20 Juli 1950 menandatangani surat
keputusan No.83/KSAD/Pnt/50 yang membagi wilayah Indonesia ke dalam tujuh
wilayah militer yang masing-masing disebut Tentara dan Teritorium(T dan T).115
Jenderal T.B.Simatupang menjelaskan pembentukan T dan T sebagai sesuatu
yang tak terpisahkan dari ancaman perang dunia ketiga sebagai akibat perang
dingin yang amat mencemaskan pada waktu itu. Menurut Simatupang, “untuk
menghadapi kemungkinan pecahnya perang dunia yang dapat mengakibatkan
invasi salah satu pihak ke Indonesia sekalipun kita menjalankan, maka digariskan
cara berperang yang disebut perang teritorial dan pada dasarnya merupakan dari
pengalaman kita selama perang rakyat melawan Belanda.” Oleh karena itu
tulisnya selanjutnya, “Apa yang disebut organisasi teritorial yang telah
berkembang selama perang rakyat melawan Belanda tidak dihapuskan melainkan
justru dikembangkan.”116
Masih merupakan kelanjutan pemanfatan pengalaman perang gerilya, pada
tahun 1958, ketika sedang menumpas pemberontakan PRRI yang berubah dari
perang konvensional menjadi perang gerilya, Nasution membentuk panitia doktrin
114 Dikutip dari dokumen Seskoad dalam Hidayat Moekmin, “PKI versus Perang
Wilajah, penilaian kembali suatu doktrin”, (Karya wira jati: edisi khusus), No.21, 1966,hal.11
115 A.H.Nasution, Tjatatan – tjatatan, hal.135
116 Simatupang, ”Saya Adalah orang yang Berhutang” dalam Viktor Matondang (ed),
Percakapan dengan Dr.T.B. Simatupang, (Jakarta: Gunung Mulia), hal.65-87
Angkatan Darat dengan Letkol Rukminto Hendradiningrat sebagai ketuanya.
Menurut Pauker, laporan panitia doktrin itu menyimpulkan bahwa operasi-operasi
TNI dalam menghadapi para pemberontak di Sumatera Tengah dan Sulawesi
Utara itu, hanya akan berhasil jika mendapat dukungan rakyat seperti yang
dialami TNI pada masa perang gerilya melawan Belanda dahulu.117 Hasil kerja
panitia inilah yang mempercepat lahirnya Doktrin Perang Wilayah.
Sementara Doktrin perang wilayah dipersiapkan di Seskoad pada tanggal
24 Oktober 1958 sejumlah 16 Komando Daerah Militer (Kodam) dibentuk untuk
menggantikan tujuh T dan T yang ada sejak tahun 1950. Bersamaan dengan
selesainya perumusan Doktrin Perang Wilayah di Seskoad pada tahun 1960,
dibentuk pulalah Komando Distrik Militer (Kodim) di hampir semua ibu kota
daerah tingkat II. Dengan dipelopori oleh Siliwangi, Komando Rayon Militer
(Koramil) dibentuk disetiap kecamatan pada tahun berikutnya. Pada tahun 1963,
untuk setiap desa tentara menempatkan sejumlah bintara yang bertugas sebagai
Bintara Pembina Desa (Babinsa). Dengan cara seperti ini, maka di akhir tahun
1963 seluruh wilayah Indonesia sudah hampir sempurna dikontrol oleh militer
dengan menggunakan aparat teritorial mereka.118
Proses institusionalisasi Koter sebagai bagian dari perang gerilya
sebenarnya hanya diperuntukkan sementara dan bersifat tentativ. Namun seiring
dengan menguatnya politik militer/TNI –AD pada 1958-1959, yang ditandai
dengan “konsep jalan tengah” sebagai dasar fungsi sospol TNI (dwifungsi TNI)
serta berhasilnya tentara mendesak Soekarno untuk melakukan Dekrit Presiden 5
117
Guy J.Pauker, The Indonesian Doctrine, hal.16
118 Sundhasen, The Road, hal.141-142
Juli 1959, sifat dan tujuan konsep teritorial mulai bergeser. Konsep tersebut yang
awalnya hanya bersifat tentativ, lambat laun menjadi permanen dengan ditandai
terbentuknya doktrin teritorial TNI pada 1960-an.
Salah satu konsekuensi dari doktrin-doktrin tersebut, menurut Pauker,
adalah keputusan TNI untuk mendukung pemerintahan otoriter rezim demokrasi
terpimpin di bawah presiden Soekarno, yakni suatu rezim yang memberi
kesempatan legal bagi tentara memainkan peran politik. Lewat pelaksanaan
Doktrin Perang Wilayah, TNI akhirnya juga menciptkan sebuah pola baru
hubungan sipil-militer dalam semua tingkat pemerintahan, dari pusat hingga ke
tingkat paling bawah. Apa yang dilakukan oleh para perwira yang bertanggung
jawab mengembangkan Doktrin Perang Teritorial itu menurut Pauker, adalah
“memformulasikan sebuah filsafat pemerintahan berdasarkan konsep militer
mengenai hubungan sipil-militer.”119
Konsep hubungan sipil-militer masa itu dijelaskan lebih jauh oleh
Panglima Angkatan Darat, Letjen.TNI Ahmad Yani, dalam kuliahnya di Seskoad
Pakistan pada 1965. Menurut Ahmad Yani, hubungan sipil-militer menurut UUD
1945, berbeda dengan norma-norma Barat yang sudah baku di mana kontrol sipil
atas militer dipertahankan dengan kuat. “Sistem kami,” kata Yani,” tidak
mengenal perbedaan antara sipil dan militer.” Keduanya dianggap sebagai
“pemegang saham” Revolusi. Angkatan Bersenjata Indonesia diakui sebagai suatu
kekuatan yang memainkan peran yang amat penting dimasa Revolusi, dan karena
itu diberi kesempatan untuk ikut menentukan kebijakan nasional, sama
119
Pauker, The Indonesian Doctrine, hal.5
kedudukannya dengan partai-partai politik dan lembaga-lembaga politik lainnya.
Kata Yani selanjutnya, berbeda dengan kecurigaan barat, kekhususan militer yang
dimilki oleh Indonesia itu tidak pernah dimanfaatkan untuk menguasai negara.
Militer Indonesia lebih melihat diri sebagai pengawal Revolusi. “ Karena itu para
politisi sipil sepanjang mereka loyal kepada cita-cita Revolusi dan tidak melihat
kami sebagai ancaman”.120
Memasuki masa Orde Baru pada 1965 konsep teritorial yang telah
dikembangkan pada masa Orde Baru tidak diubah, bahkan justru menjadi salah
satu bagian infrastruktur yang menopang rezim otoritarian Soeharto. Struktur serta
unsur-unsur teritorial di tingkat Kodam sampai Koramil dibebani tugas sospol, di
antaranya melakukan seleksi calon bupati sampai lurah, penempatan anggota
ABRI pada jabatan-jabatan pemerintahan daerah, mendorong masyarakat agar
memilih Golkar yang pada awal dibentuknya sebagai sekretariat bersama (sekber
Golkar) dalam pemilu, dan menjadi salah satu penentu dalam memutuskan
kebijakan-kebijakan di daerah melalui peran pemimpin koter di dalam Muspida.
Selain itu, koter telah menjadi alat kekerasan yang bersifat legal untuk dijadikan
alternatif utama dalam resolusi konflik dan penyelesaian berbagai pesoalan sosial,
seperti sengketa perburuhan, pertanahan, dan sebagainya.
Organisasi Teritorial pada masa Orde Baru yang dimulai pada tahun 1966
digunakan untuk tujuan politik dan stabilitas negara, yang dalam perjalanannya
sangat efektif sebagai alat politik rezim Orde Baru untuk mendukung dan
120
Liutenant General Ahmad Yani, The Indonesian Doctrine of War, (Djakarta:
Indonesian Army Informtion Service), hal.11
memenangkan Golkar pada tiap pemilu, yang membuat rakyat tidak senang
kepada tentara.121
Salim Said menyatakan dalam tulisannya122
:
….Dalam kenyataannya, aparat teritorial pada masa Orde Baru digunakan atau
disalahgunakan untuk tujuan-tujuan politik penguasa dengan mengangkat
panglima Kodam menjadi aparat pelaksana Kopkamtib dan pembina Golkar.
Kedudukan sebagai pelaksana khusus (Laksus) Kopkamtib inilah yang
menjauhkan rakyat dari aparat teritorial tersebut, karena pada akhirnya aparat
teritorial menjadi alat untuk menggiring dan mengontrol rakyat bagi
suksesnya program politik dan ekonomi penguasa.
Komando teritorial pada masa Orde Baru merupakan sebuah mekanisme
kontrol eksternal pemerintah terhadap lembaga dan kekuatan politik lain.
Pengembangan sistem kontrol eksternal ini mengacu pada usaha kepemimpinan
tentara dalam rangka usaha untuk mengendalikan prilaku setiap entitas, terutama
entitas politik dalam masyarakat dalam rangka menciptakan dan menjamin
stabilitas politik dan keamanan yang diyakini sebagai syarat pembangunan
ekonomi. Kontrol eksternal ini dilakukan baik dengan mengefektifkan struktur
organisasi tentara, membangun lembaga kontrol baru maupun bekerja sama
dengan institusi-institusi pemerintahan lainnya yang banyak dikepalai oleh orang-
orang berlatar balakang ketentaraan.123
121 Harold Crouch, Indonesia: Democratization and The Threat of Disintegration,
(Singapore: Institute of Southeast Asian Studies), hal.118 .
122 Salim Said, Militer Indonesia Dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan), hal.301
123 Dwi Pratomo Yulianto, Militer dan kekuasaan, (Yogyakarta: Narasi), hal.41
Oleh karena itu dilakukan langkah-langkah pengamanan dan pencegahan
kemungkinan gejolak dalam masyarakat, baik yang disebabkan oleh ketidak
puasan dalam masyarakat maupun hal-hal yang bersifat ideologis.
d. Bisnis Militer
Keterlibatan militer dalam bidang ekonomi tidak dapat dipisahkan dari
dampak negatif peran ganda yang dijalankan oleh militer Indonesia, yang dikenal
secara umum dengan dwifungsi ABRI.124
Terdapat dua aspek yang menonjol
dalam tubuh militer, pertama aspek yang terkandung di dalam konsep dwifungsi
ABRI, yaitu pertama, peran militer sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan,
dan kedua peran strategis yang berkaitan dengan bidang kekaryaan ABRI. Dan
adapun dalam bidang kekaryaan ini terdapat dua aspek penting dalam keterlibatan
politik ekonomi militer Indonesia, yakni kekaryaan di bidang sosial ekonomi dan
kekaryaan di bidang sosial politik.
Secara histories, aktivitas bisnis militer telah dimulai sejak tahun 1950-an,
yaitu sejak A.H.Nasution membenarkan tujuh institusi tentara dan teritorium (T
dan T) ketika itu untuk menghimpun logistik sendiri. Menurut catatan Richard
Robinson, aktivitas mereka terbatas hanya pada “pengadaan barang secara illegal”
yang meliputi “pemasukan secara paksa berbagai macam peralatan barang-barang
transportasi dan pengerahan jasa tenaga kerja dari para petani”.125
Pada awalnya
belum terorganisasi secara mapan dan teratur dan masih dalam konteks perang
124
Iswahyudi, Bisnis Militer Orde Baru: Keterlibatan ABRI dalam Bidang Ekonomi
dan Pengaruhnya terhadap Pembentukan Rezim Otoriter, (Bandung: P.T Remaja Rosda Karya),
hal.103
125 Ibid.
gerilya, kegiatan mereka bersifat illegal yang dikenal dengan penyelundupan
candu.
Tanda-tanda untuk membuat bisnis tentara menjadi formal dimulai sejak
Ibnu Sutowo menjabat staf kepala teritorium II di Sumatera Selatan pada 1949.
Pada saat itu Ibnu Sutowo berhasil mengkoordinir pengelolaan tambang emas di
Rejang Lebong Tandai untuk keperluan perjuangan militer, yang kemudian
mengantarkannya menduduki jabatan direktur utama P.T Ekploitasi tambang
minyak di Sumatera Utara pada Desember 1957. Perusahaan tersebut merupakan
cikal bakal PT Pertamina yang berlokasi di Plaju sungai Gerong.
Proses formalisasi bisnis militer kemudian bersamaan dengan keluarnya
surat edaran KSAD saat itu, Letjen A.H. Nasution. Ia dengan mengatasnamakan
pemerintah/penguasa perang pusat (peperpu), pada 3 Juni 1959 mengeluarkan
keputusan dengan nomor: Prt/Peperpu/040/1059 yang isinya melarang semua
kegiatan politik untuk sementara. Keputusan ini diambil ketika Soekarno berada
di luar negeri. Dari keputusan inilah, timbulnya perubahan konstalasi politik yang
tajam pada 1959. Kekuasaan Parlemen dan partai politik makin melemah, dan
pengaruh militer semakin meluas dan menguat.126
Adanya penahanan dan tuntutan
pemecatan jaksa agung Gatot Tarunamiharja, S.H. karena berusaha membongkar
kasus penyelundupan dan korupsi yang dilakukan perwira Angkatan Darat.127
Hal
ini mengindikasikan makin kuatnya kekuatan politik ekonomi militer dan jaringan
bisnis militer di Indonesia.
126
Moch.Nurhasim (Ed), Praktek-praktek Bisnis Militer: Pengalaman Indonesia,
Burma, Filifina dan Korea Selatan, (Jakarta: The Ridep Institute), hal.20
127 Herbert Feith, Soekarno dan Militer dalam Demokrasi Terpimpin, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan), hal.76
Penguasaan sumber- sumber ekonomi oleh militer setelah era nasionalisasi
pada masa Orde Lama, semakin membesar dan meggurita pada masa Orde Baru.
Para perwira militer baik tinggi maupun menengah, semakin banyak ditempatkan
dalam perusahaan-perusahaan negara. Dalam tulisannya Arief Yulianto mencatat,
bahwa sejak 1970-1980 ada sekitar 18 BUMN dengan status khusus dan persero
yang jabatan terasnya ditempati oleh perwira tinggi AD, mulai dari direktur
hingga presiden komisaris128
, yang berkat hasil nasionalisasi terbagi dalam
beberapa kriteria. Kriteria tersebut mencakup perusahaan-perusahaan BUMN
yang masuk generasi pertama, kedua dan ketiga. Sementara generasi keempat
BUMN didorong oleh gelombang “Deregulasi, globalisasi dan swastanisasi”.
Pada generasi ini sifat dan status hukumnya kabur, tidak jelas dan ambivalen.
Bila ditilik dari aspek ekonomi makro Indonesia, lingkup keterlibatan
militer dalam bidang bisnis diera Orde Baru berkaitan erat dengan model
teknokratisme dan birokratisme yang bersifat otoritarian sebagai konsekuensi dari
bentuk sistem pemerintahan praetorian.129 Menurut catatan Arief Yulianto,
BUMN-BUMN yang ditempati oleh para perwira TNI- AD pada 1970-1980 yaitu:
Bank Indonesia, BNI 46, Bank Exim, Bank Bumi Daya, Bank Tabungan Negara,
Taspen, Asuransi Jiwasraya, Asuransi Kerugian Jasa Raharja, Percetakan Uang
RI, Perusahaan Daerah Industri Batam dan Asuransi Jasa Indonesia.
B. Konsep Dwi Fungsi ABRI/TNI Dan Dampaknya terhadap Politik Sipil
128
Arif Yulianto, Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orde Baru; Di tengah
Pusaran Demokrasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hal.583-586
129 Iswahyudi, Bisnis Militer Orde Baru: Keterlibatan ABRI dalam Bidang Ekonomi
dan Pengaruhnya terhadap Pembentukan Rezim Otoriter, hal.125
Pada masa perang kemerdekaan Tentara Nasional Indonesia (TNI)-AD
merupakan aktor utama dalam membawa Indonesia untuk lepas dari agresi militer
Belanda ke dua. Dengan pengalaman sebagai aktor utama selama sekitar empat
tahun inilah Tentara Nasional Indonesia (TNI)-AD telah berhasil mengukir jati
dirinya yang memiliki otonomi relativ secara kelembagaan, bahkan terhadap
pemerintahan yang sedang berkuasa. TNI-AD dalam ini telah merasa mengukir
sebuah histories yang pada akhirnya menjadi landasan bagi mereka untuk
bertindak. Mereka berani menentang setiap upaya yang mereka pandang
mencampuri apa yang diyakini sebagai “urusan intenal tentara”.
Berlandaskan kemenangan pihak tentara dalam mempertahankan
kebenaran sikap mereka selama menghadapi tentara pendudukan Belanda telah
memberikan rasa percaya diri yang besar untuk langkah-langkah berikutnya,
terutama dalam rangka untuk mempertahankan dan menegakkan keutuhan bangsa
dan negara tanpa harus mengikuti garis kebijakan ataupun bimbingan dari para
“politisi sipil” yang selama itu dipandang lebih berpengalaman dan terampil
dalam urusan pengelolaan negara.
Masa pasca revolusi, pergulatan dan pertarungan politik tentang otonomi
kelembagaan tentara ini justru semakin berkepanjangan. Hal ini disebabkan
timbulnya pandangan untuk menempatkan institusi tentara di bawah supervisi
otoritas politik sipil atau penerapan asas supremasi sipil atas tentara dalam
konstelasi politik demokrasi parlementer pada saat itu.130
Kepemimpinan
Angkatan Darat menurut A.H.Nasution, pada dasarnya tak pernah keberatan
130
Dwi Pratomo Yulianto, Militer dan Kekuasaan, hal.172
dengan pandangan tersebut, namun menuntut adanya garis batas yang jelas antara
wewenang dan prerogative ’antara elit sipil dan militer sebagai sebuah prasyarat
untuk dipertahankannya supremasi sipil tersebut.131 Dari pernyataan tokoh militer
ketika itu kita dapat mengetahui bahwa tokoh militer yang dikenal paling Barat
sekalipun, menuntut adanya “otonomi militer” atas segala urusan internal mereka,
terutama ayng berkaitan dengan masalah-masalah teknis ketentaraan dan
pertahanan.
Hal ini belakangan terbukti menjadi sebuah fakta dengan adanya resistensi
dari pihak tentara apabila terjadi intervensi yang dilakukan oleh para politisi sipil
terhadap segala urusan internal kelembagaan tentara; pengalokasian anggaran,
promosi jabatan, kebijakan kepangkatan, teknis pertahanan, mutasi jabatan dan
sebagainya.132
Peran politik militer yang telah dimulai pada masa Orde Lama berperan
besar bagi para politisi militer untuk melangkah lebih jauh dalam memainkan
peran politik mereka. Pada masa Orde Baru tentara telah mampu menempatkan
dirinya sebagai bagian dari atau bahkan identik dengan kekuasaan itu sendiri. Hal
ini bukan tidak sekedar hanya tampak dari peran yang mereka mainkan secara
massif dalam bidang-bidang non kemiliteran terutama dalam bidang politik dan
pemerintahan, serta ekonomi maupun keterlibatan mereka dalam “urusan
perumusan kebijakan publik”, namun juga adanya upaya menggunakan segala
instrumen dan mekanisme yang dimiliki tentara untuk menjaga kelangsungan
131
Ulf Sundhase, Politik Militer 1945-1967, Menuju Dwifungsi ABRI terj. Hasan
Basari, (Jakarta: LP3ES), hal.172
132 Dwi Pratomo Yulianto, Militer dan Kekuasaan, hal.174
kondisi politik.133
Pada masa Orde Baru yang dimulai pada tahun 1967, yang
ditandai dengan naik Jenderal Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia, juga
telah terjadi perluasan makna ‘urusan internal tentara’ dalam arti klasik; masalah
teknis pertahanan dan kebijakan pesonalia militer, kini juga tercakup di dalamnya
‘klaim’ militer atas posisi politik dan pemerintahan serta ekonomi.Hal diatas
sangat berkaitan erat dan bahkan sebagai implikasi yang sangat signifikan
daripada konsep “dwfungsi ABRI/TNI”, yang memberikan landasan doktrinal
bagi tentara untuk terlibat dalam urusan-urusan non kemiliteran. Dari konsep
dwifungsi ABRI inilah yang pada akhirnya menempatkan ABRI sebagai sebuah
institusi atau lembaga menjadi lembaga politik istimewa dengan hak otonom dan
perwira militer secara personal sebagai pelaku politik praktis yang sangat otoriter
dan menjadikan negara ini sebagai negara yang militeristik (penulis).
Dari penjabaran dan interpretasi konsep dwifungsi ABRI/TNI ini telah
menjadikan peran politik militer sangat mendominasi dan bahkan menghegemoni
peran politik kelompok sipil sejak tahun 1967 sampai tahun 1990, walaupun
masih tersisa pada masa menjelang keruntuhan rezim Orde Baru pada 21 Mei
1998. Dari tahun 1990 sampai 1998 peran politik kelompok militer sudah mulai
berkurang, hal ini ditandai dengan mulai berubahnya afiliasi politik Soeharto, di
mana kelompok politik Islam dari kalangan sipil sudah banyak menduduki posisi
penting dalam lembaga negara.134
Konsep dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru yang pada mulanya berasal
dari “konsep jalan tengah” yang dikemukakan oleh pimpinan Angkatan Darat
133
Ibid, hal.247
134 Noor Azmah Hidayati, Jurnal Studi Agama Millah, (Yogyakarta), hal.54-55.
(AD) Jenderal A.H.Nasution, Nopember 1958 di Akademi Militer Nasional di
Magelang. Konsep jalan tengah yang di introdusir oleh Nasution kemudian
dipertegas lagi pada seminar Angkatan Darat II pada Agustus 1966 yang
menegaskan perlunya peran sosial politik TNI diakui dan didukung oleh
masyarakat Indonesia.135 Demikian pula menurut Salim Said yang harus diingat
bahwa pertama, pemerintahan Orde Baru adalah sebuah rezim yang didirikan oleh
TNI, khususnya TNI-AD, yang dinyatakan secara terbuka pada seminar
Angkatan Darat II, pada bulan Agustus 1966 di Bandung. Kedua, ketetapan untuk
mendirikan pemerintahan itu didasarkan pada asumsi adanya hak sah TNI terlibat
dalam urusan-urusan non militer –terutama dalam bidang politik sebagai
implementasi dari konsep jalan tengah kepala staf Angkatan Darat
A.H.Nasuiton.136
Konsep dwifungsi ABRI/TNI sebagaimana telah disebutkan diatas, yaitu
mempunyai akar sejarah yang sangat panjang sejak berdirinya tentara Republik
Indonesia, yang membentuk diri sendiri, mencari senjata sendiri dan memilih
pemimpinnya sendiri. Dari sejarah kelahiran tentara inilah mengakibatkan mereka
merasa memiliki hak yang sama dengan kaum sipil dalam menentukan kebijakan
dan jalannya pembinaan dan pembangunan negara. Tentara juga telah
menjalankan pemerintahan militer selama masa agresi militer Belanda I dan II,
akibat dari lumpuhnya beberapa pemerintahan sipil di daerah-daerah. Dan juga
terjadinya pemberontakan-pemberontakan dibeberapa daerah menyebabkan
135
Juwono Sudarsono, dalam pengantar buku Salim Said Tumbuh dan Tumbangnya
Dwifungsi, hal.xxii
136 Salim Said, Militer Indonesia dan Politik:Dulu, Kini dan Kelak, hal.4
tentara selalu menjadi alat pemadam api kerusuhan di dalam negeri. Penetapan
keadaan darurat perang juga membuat tentara masuk lebih dalam lagi pada
perkara-perkara politik, ekonomi, dan administrasi umum pengelolan negara.
Pada masa presiden Soekarno yaitu Orde Lama, selain Soekarno juga
militer merasa tidak puas dengan elit politik dan partai yang selalu gagal
menunjukkan prestasi yang baik untuk kepentingan bangsa dan negara. Selain itu
juga keterlibatan dan campur tangan politisi sipil ke dalam tubuh TNI,137
seperti
kasus pelantikan Bambang Utoyo menjadi KSAD, kasus Iwa Kusumasumantri
melantik secara langsung anggota TNI menjadi pejabat, dan lainnya, telah
menciptakan pihak militer. Untuk mengatasi persoalan ini, timbullah beberapa
pendapat dikalangan perwira tentang peran TNI dalam bidang politik. Pertama,
TNI menerima saja posisi sebagai alat sipil; kedua, TNI tidak harus memandang
hanya dari sisi teknik militer dalam menghadapi berbagai persoalan, tapi juga
harus ikut dalam menyelesaikan berbagai krisis politik pada masa itu.138 TNI
tidak bisa sekedar menjadi penonton dalam berbagai masalah pembinaan bangsa.
Semua keputusan seminar Angkatan Darat kedua itu dibawa kepada
seminar pertahanan keamanan pada Nopember 1966, yang menghasilkan doktrin
pertahanan keamanan nasional dan doktrin perjuangan ABRI yang diberi nama
Catur Dharma Eka Karma (CADEK), yang mengembangkan dan memperluas
konsep dwifungsi ABRI. Catur Dharma Eka Karma (CADEK) adalah doktrin
ABRI sebagai kekuatan pertahanan dan doktrin ABRI sebagai kekuatan sosial
137
Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara, Pasang Surut Politik Militer 1945-2004,
hal.139
138 Stanley Adi Prasetyo (ed), Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa
Partai:Perjalanan Hidup A.H.Nasution, hal.116
politik. Doktrin itu berlaku bagi semua angkatan dan polisi, sebelumnya, masing-
masing angkatan dan polisi memiliki doktrin sendiri-sendiri, yaitu Tri Ubaya
Cakti untuk TNI-AD, Eka Casana Jaya untuk TNI-AL, Swa Bhuana Paksa untuk
TNI-AU dan Tata Tentrem Kerta Raharja untuk Polisi.139 Setelah seminr
pertahanan keamanan itu, para elit pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan
Soeharto memutuskan untuk merumuskan kembali “jalan tengah“ konsepsi
Nasution, dan menyatakan bahwa peran ABRI pertama-tama sebagai kekuatan
pertahanan, kemudian sebagai kekuatan sosial politik. Langkah ini ditempuh
adalah untuk membenarkan peran militer yang semakin meluas setelah G30S.
Konsep dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru juga dirumuskan secara jelas
dalam kertas kerja Panglima ABRI pada seminar Asosiasi Ilmu Politik Indonesia
pada Februari 1991. Dalam CADEK disebutkan juga penampilan ABRI sebagai
pelopor, dinamisator dan stabilisator dalam rangka pembangunan Indonesia.
Landasan konsep Dwifungsi ABRI/TNI sebagai kekuatan Sosial dan
Politik:
a. Secara defacto, sejak Dewan Nasional dibentuk 12 Mei 1957 ketiga
kepala staf angkatan dan kepolisian dimasukkan sebagai anggota
dalam Dewan Nasional itu.
b. Secara yuridis, ketika Dewan Perancang Nasional dibentuk Oktober
1958, wakil-wakil dari militer diikutsertakan, dan terbitlah Undang-
undang No.80 tahun 1958, yang mengatur militer sebagai golongan
fungsional, undang-undang itu dirancang oleh presiden bersama DPR.
139
Mabes TNI
c. Dekrit presiden 5 Juli 1959 tentang berlakunya kembali UUD 45,
maka fungsi sosial politik militer memiliki landasan konstitusional
yang semakin kuat, pasal 2 ayat 1 UUD 45, “MPR terdiri atas DPR,
ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-
golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan UU.
d. Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 yang menyebutkan pertama,
tentara dan polisi diikutsertakan dalam proses produksi dengan tidak
mengurangi tugas utama masing-masing. Kedua, golongan-golongan
di dalam masyarakat wajib berusaha mencapai tujuan nasional dan tak
terkecuali juga tentara dan turut juga memikul tanggungjawab. Ketiga,
peran dan kegiatan tentara dan polisi di bidang produksi membuat
pendekatannya dengan rakyat menjadi lebih intensif dalam proses
pembangunan, terutama dalam industrialisasi dan pelaksanaan
reformasi tanah.
e. Tap MPRS No.XXIV/MPRS/1966, yang memuat penyelenggaran
Dwifungsi ABRI, khususnya kekaryaan dan operasi bakti (civic
mission) supaya betul-betul dilandaskan dasar manfaat, dan
memperhitungkan suasana dan keadaan yang dinilai kembali oleh
MPR setiap lima tahun sekali.
f. Undang-undang No.15 tentang pemilu dan Undang-undang No.16
tahun 1969 tentang Susduk MPR, DPR, dan DPRD, baik ditingkat I
maupun tingkat II, juga disebutkan fungsi ABRI sebagai alat negara
dan sebagai kekuatan sosial. Berawal dari kedua UU inilah Demokrasi
di bawah Orde Baru terhalang dan bahkan lumpuh total, dimana peran
MPR dan DPR sebagai parlemen tidak berjalan signifikan.140
g. Undang-undang No.20 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok
Pertahanan Keamanan Negara, yang memuat juga fungsi ABRI
sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai kekuatan sosial.
Dalam UU ini tidak disebutkan fungsi politik ABRI, di dalam pasal 26
hanya dinyatakan “Angkatan Bersenjata mempunyai fungsi sebagai
kekuatan pertahanan keamanan”. Akan tetapi di dalam pasal 28 ayat
(1) disebutkan “Angkatan Bersenjata sebagai kekuatan sosial bertindak
selaku dinamisator dan stabilisator yang bersama-sama dengan
kekuatan sosial lainnya memikul tugas dan tanggungjawab
mengamankan dan menyukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi
kemerdekaan serta meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia.
h. Undang-undang No.2 tahun 1988 tentang prajurit ABRI. Hal yang
terpernting dalam UU ini adalah tentang sumpah prajurit. Pasal 3 ayat
(2) menyatakan bahwa “Prajurit ABRI bersumpah setia kepada NKRI
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45”. Ini berarti bahwa tentara
harus setia kepada pemerintah selama pemerintah setia dan
melaksanakan Pancsila dan UUD 45, membela, melindungi, dan
memperjuangkan kepentingan rakyat, serta didukung oleh rakyat.
140
Moh,Mahfud MD, Konfiurasi Politik dan Hukum pada Era Orde Lama dan Orde
Baru, dalam A.S Hikam dan Mulyana W. Kusuma (ed), Wacana Politik Hukum dan Demokrasi
Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), halxxxiii-xxxiv
Disamping landasan konstitusional di atas, dwifungsi mempunyai landasan
doktrin. Catur Dharma Eka Karma (CADEK) adalah doktrin ABRI sebagai
kekuatan pertahanan keamanan dan doktrin ABRI sebagai kekuatan sosial politik.
Dengan keberadaan seperangkat aturan-aturan hukum yang menjadi asas
legal formal bagi tentara, baik secara kelembagaan maupun secara personal yang
mengatur tentang peran dan fungsi sosial politik kelompok militer, telah
menyebabkan tersentralisasinya kekuasaan pada satu kelompok, baik di tingkat
pusat maupun daerah (penulis). Dari tersentralisasinya kekuasaan pada kelompok
militer khususnya TNI AD, berimplikasi terhadap peran politik sipil, khususnya
umat Islam sebagai umat mayoritas di Indonesia.
Dwifungsi ABRI, yang merupakan alat utama Orde Baru Soeharto,
mengakibatkan tindakan aparat pemerintah menjadi penghalang utama dalam
pertumbuhan civil society, yang merupakan salah satu faktor utama dalam tataran
negara demokrasi. Akan tetapi Orde Baru dengan didukung oleh berbagai
komponen seperti, birokrat, kelompok teknokrat, pemilik modal dan yang utama
yaitu kelompok militer, Orde Baru memiliki orientasi sebuah negara yang sangat
kuat. Orientasi negara kuat Orde Baru ditempuh dengan berbagai cara, antara lain
politik sentralisasi dan penguatan eksekutif, pendekatan keamanan, dan
pendayagunaan dan perluasan Dwifungsi militer. Perluasan peran sosial politik
militer mau tak mau akan menyempitkan dan membatasi ruang dan waktu gerak
masyarakat sipil untuk bertindak secara lebih otonom dalam menyampaikan
aspirasinya, karena militer merupakan kekuatan utama pihak eksekutif yang
sekaligus memiliki hak monopoli untuk menggunakan kekerasan.141
Menurut
pendapat Liddle dalam rumusan hasil penelitiannya menyebutkan, bahwa dalam
tindakan awal-awal Soeharto, terdapat dua unsur kunci strategis politiknya, yaitu
mengandalkan Angkatan Darat sebagai tonggak dukungan politik yang utama
(membangun sumber daya koersifnya), dan upaya mendapatkan legitimasi lebih
luas dengan tetap bekerja dalam jalur kostitusional (membangun sumberdaya
persuasive).142
Selanjutnya Liddle menyatakan,” semua aktivitas dijustifikasi
dengan doktrin dwifungsi, membela negeri dan memainkan peran aktif dalam
kehidupan politik dalam negeri.”143
Pada masa Orde Baru konsep dwifungsi ABRI berperan aktif dan sangat
produktif untuk menghambat pertumbuhan civil society. Kemandirian politik
tidak diciptakan karena adanya depolitisasi yang dilakukan oleh Orde Baru,
dengan mekanisme kontrol korporatisasinya yang dijalankan secara eksklusioner,
dan tak mustahil dengan jalan kekerasan. Kebebasan juga tidak bisa diciptakan,
karena Orde Baru tidak membolehkan organisasi atau kelompok kepentingan
yang ingin bebas dari negara.144 Konsep dwifungsi dengan perpaduan strategi
yang dijalankan oleh Orde Baru ternyata sangat efektif untuk mempengaruhi
kondisi psikologis (alam bawah sadar ) masyarakat sipil khususnya yang berada di
pedesaan, yang merupakan 60% penduduk Indonesia (penulis).
141
Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara, Pasang Surut Politik Militer 1945-2004,
hal.174
142 Robert W Liddle, Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kewenangan Politik,
(Jakarta: LP3ES), hal.114
143 Ibid, hal.115
144 Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara, Pasang Surut Politik Militer 1945-2004,
hal.176
Politik tentara pada masa Orde Baru dengan konsep dwifungsi ABRI jelas
berbeda dengan konsep politik sipil, yang pada umunya umat Islam, hal ini
dikarenakan Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia. Karena di
dalam politik militer tidak dikenal istilah kelompok oposisi. Oleh karena itu,
pemerintah yang berkuasa cenderung otoriter.145
Dari sistem pemerintahan negara yang dijalankan dan diterapkan oleh
Orde Baru dengan sistem politiknya yang ditopang oleh militer sangat bertolak
belakang dengan sistem politik yang diperankan oleh kelompok sipil, yang
menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan berkembang di
dalam masyarakat. Dan pada masa Orde Baru juga tidak ada satu ideologi pun
yang boleh bertentangan dengan ideologi rezim Orde Baru. Orde Baru dengan
ditopang oleh militer telah memaksakan masyarakat untuk menerima hanya satu
ideologi, padahal ideologi merupakan cita-cita sebuah kelompok yang mendasari
suatu program untuk mengubah dan memperbaharui masyarakat.146
Ideologi politik militer pada dasarnya adalah ideologi politik tertutup,
yang biasanya bersifat totaliter pada seluruh bidang kehidupan. Pada umunya
suatu negara yang menganut suatu ideologi tertutup mengandaikan bahwa
kekuasaan secara ekslusif terletak dalam genggaman tangan suatu elit yang
melegitimasikan monopolinya atas kekuasaan, dengan klaim bahwa mereka itu
pengemban kemurnian sebuah ideologi.147
Dan adapun ciri khas dari sebuah
145
M.Alfan Alfian M, Mahalnya Harga Demokrasi, (Jakarta: Intrans), hal.10
146 Franz Mgnis Suseno, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hal 367
147 Ibid, hal.368
ideologi tertutup ialah bahwa, betapapun besarnya perbedaan antara tuntutan
pelbagai ideologi, namun selalu akan ada tuntutan, bahwa orang harus mutlak taat
terhadap ideologi itu, dan itu berarti terhadap elit yang mengembannya, dan orang
tidak diizinkan mempersoalkannya.
C. Kegagalan Orde Lama dan Peran TNI
Kebijakan ABRI di bidang sosial politik telah dimulai sejak ABRI
menetapkan konsep dwifungsinya. Dari konsep tersebut mengakibatkan ABRI
mendominasi dan sebagai aktor utama dalam perjalanan sejarah perpolitikan
rezim Orde Baru.
ABRI sebagai tulang punggung penopang kekuasaan rezim Orde Baru,
telah dimulai sejak awal berdirinya rezim otoriter orde ini pada tahun 1967. Hal
ini tampak dari elit-elit penguasa Orde Baru yang secara kuantitas mereka berasal
dari kalangan militer, baik militer aktif maupun pasif (purnawirawan).
Orde Baru yang sejak kelahirannya mengorientasikan diri kepada negara
yang kuat (strong state). Dalam rangka membangun negara yang kuat ini, Orde
Baru membangun elit penguasa yang terdiri dari kelompok militer, birokrat,
teknokrat, dan pemilik modal. Rezim Orde Baru untuk mewujudkan sebuah
negara yang kuat telah merancang sebuah sistem pemerintahan yang terpusat,
yaitu sistem pemerintahan yang terpusat ditangan sebuah lembaga negara yaitu
lembaga eksekutif. Akibatnya lembaga-lembaga lainnya secara tidak langsung
menjadi lemah atau telah diperlemah oleh sistem yang sengaja direkayasa.
Kenyataan empiris menunjukkan bahwa pada saat kelahirannya, Orde
Baru disibukkan oleh “ pengelolaan krisis dan pengendalian kerusakan” dalam
berbagai lapangan kehidupan.148 Dalam kerangka ini, menjadi wajar apabila sejak
kelahirannya, Orde Baru memiliki obsesi yang khas: “melakukan pembangunan
tanpa ada gangguan-gangguan berbentuk konflik politik “. Dari obsesi Orde Baru
yang ingin membangun dalam keadaan dan suasana politik yang tertib dan
terkendali, maka Orde Baru menerapkan strategi maksimalisasi produktivitas
ekonomi dan minimalisasi konflik politik. Dalam kerangka maksimalisasi
produktivitas ekonomi dan minimalisasi konflik ini, keamanan, harmoni,
konsensus, dan kompromi dijadikan sebagai tujuan sekaligus batasan kegiatan
politik masyarakat.149
Sementara konflik politik “diharamkan”.
Orde Baru yang ditulangpunggungi oleh militer sangat traumatis dengan
disintergrasi nasional dan instabilitas politik yang terjadi sepanjang dua puluh
tahun pertama masa pasca kemerdekaan. Dalam kerangka ini, stabilitas politik dan
pembatasan partisipasi menjadi pilihan yang dianggap tak tertawarkan.
Sebagaimana telah disinggung diawal, Orde Baru sejak awal kelahirannya telah
berusaha untuk menghindarkan diri sejauh mungkin dari akibat-akibat buruk dan
merugikan akibat polarisasi ideologi dan politik serta merebaknya konflik
politik.150
Orde Baru merupakan pemerintahan yang berkesimpulan bahwa
polarisasi dan konflik itulah yang telah membusukkan sistem politik Indonesia
148 Eef Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan; Agenda-agenda Besar Demokratisasi
Pasca- Orde Baru, (Jakarta: Mizan), hal.49
149 Ibid, hal.49
150 Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan; Agenda-agenda Besar Demokratisasi
Pasca- Orde Baru, hal.51
pada masa lalu. Sebagaimana dikataakan oleh William Liddle di dalam buku Eep
Saefulloh, bahwa ada tiga bentuk konflik politik yang pernah terjadi masa pra-
Orde Baru dan dihindari pengulangannya oleh Orde Baru, yaitu konflik
keagamaan (1950-1955), konflik kesukuan (1956-1961), dan konflik kelas (1961-
1965).
Sesuai dengan jargon Orde Baru ketika itu, pembangunan ekonomi, yes
dan konflik politik, no. Maka Orde Baru untuk mencapai stabilitas politik dan
pertumbuhan ekonomi, Orde Baru menerjemahkan lebih lanjut lagi pendekatan
keamanan dengan memberikan tanggung jawab tersebut kepada ABRI sebagai
institusi yang memiliki otoritas untuk menggunakan kekerasan (manajemen
kekerasan). Dari tanggung jawab itu telah menjadikan asas legalitas bagi ABRI
untuk bertindak “super agresif ” terhadap semua yang dianggapnya
membahayakan stabilitas, dan stabilitas sendiri dipandang oleh ABRI sebagai
sesuatu yang statis, pada hal dinamika masyarakat menghendaki stabilitas yang
dinamis.151
Tindakan ABRI dengan pendekatan keamanan yang berlebihan ini
menimbulkan suasana yang menakutkan bagi kehidupan masyarakat Indonesia.
Keterlibatan ABRI lebih jauh untuk mengkaji dan membahas berbagai kebijakan
mengenai persoalan negara telah dimulai sejak embrio awal kelahiran Orde Baru
pada 1966. Hal tersebut tercermin dari berbagai seminar yang diadakan ABRI,
khususnya Angkatan Darat (AD).
151
Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara, Pasang Surut Politik Militer 1945-2004,
hal.159
Didorong oleh rasa tanggung jawab ABRI atas nasib bangsa dan negara,
maka diadakanlah seminar Angkatan Darat II di SESKOAD Bandung pada
tanggal 25-31 Agustus 1966.152 Seminar ini membahas tiga permasalahan pokok
bangsa dan negara, pertama; stabilitas sosial dan politik, yang meliputi: (1)
masalah persatuan dan kesatuan yang kokoh dan dinamis sebagai prasyarat untuk
mensukseskan program-program nasioanal kita, serta peranan Angkatan
Bersenjata/TNI-AD khususnya; (2) masalah memelihara situasi yang stabil dan
dinamis, walaupun diselenggarakan pemilu tepat pada waktunya; (3) masalah
penyelenggaraan pemilu yang aman agar terjamin representasi yang demokratis
dan kuat bagi kekuatan-kekuatan Pancasilais, sehingga konsensus nasional
berdasarkan Pancasila tetap terjamin utuh dalam MPR pilihan rakyat; dan (4)
masalah landasan dan norma-norma kepemimpinan nasional pada umumnya
sebagai prasyarat untuk membina negara dan bangsa kearah terciptanya Orde
Baru berdasarkan Pancasila. Kedua, stabilitas sosial ekonomi, yang melikputi: (1)
masalah pengendalian dan pengusahaan, dan penekanan inflasi serta cara-cara
meningkatkan daya beli rakyat; (2) pengembangan produktivitas dan efisiensi
kerja dari semua kekuatan sosial ekonomi kita; dan (3) peranan angkatan
bersenjata, TNI-AD khususnya dalam sektor produksi dan distribusi. Ketiga,
kedudukan dan peranan ABRI khusus TNI-D dalam revolusi Indonesia sebagai
alat revolusi, alat penegak demokrasi dan sebagai alat pertahanan dan keamanan
negara (alat revolusi = alat perjuangan). Masalah ketiga merupakan
penyempurnaan dari Doktrin perjuangan TNI-AD “Tri Ubaya Cakti “ hasil dari
152
Hidayat Mukmin (et. All), Dwifungsi ABRI, Perkembangan dan Perannya dalam
Kehidupan Politik Di Indonesia, hal.34
seminar Angkatan Darat I yang diselenggarkan pada tanggal 2-9 April 1965.
Sebagaimana diketahui, dalam doktrin perjuangan TNI-AD “ Tri Ubaya Cakti “
inilah untuk pertama kalinya dirumuskan doktrin dwifungsi ABRI. Dalam doktrin
tersebut ditegaskan bahwa kedudukan TNI-AD sebagai golongan karya ABRI
merupakan suatu kekuatan sosial politik dan kekuatan militer; adalah bagian
daripada kekuatan progresif-revolusioner yang menetapkan sekaligus peranannya
sebagai alat revolusi, alat demokrasi, dan alat kekuasaan negara.
D. Strategi ABRI dalam Rangka Depolitisasi Politik Islam
Dengan mulai berkuasanya pemerintahan Orde Baru menyusul gagalnya
kudeta PKI pada 1965, banyak pemimpin politik Islam yang menaruh harapan
besar. Harapan itu nampak jelas dikalangan bekas pemimpin Masyumi dan
pengikut-pengikutnya yang selama periode demokrasi terpimpin merasa benar-
benar disudutkan. Ini dikarenakan mereka merasa menjadi bagian terpenting dari
kekuatan-kekuatan koalisi (seperti militer, kelompok fungsional, kesatuan
mahasiswa dan pelajar, organisasi sosial-keagamaan dan sebagainya) yang telah
berhasil menghancurkan PKI dan menjatuhkan pemerintahan Soekarno, mereka
membayangkan kembalinya Islam dalam panggung diskursus politik nasional.153
Pada masa awal Orde Baru berkuasa, ABRI merupakan salah satu elemen
utama yang turut berperan dalam membidangi kelahiran Orde Baru. Pada masa-
masa awal Orde Baru inilah ABRI mulai banyak memainkan perannya di bidang
politik, sehingga kemudian ABRI menjadi faktor utama yang menetukan hampir
153
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina), hal.111
seluruh bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Besarnya peran ABRI dalam
pengaturan dan pengelolaan negara, disebabkan oleh Orde Baru yang konsepnya
berorientasi pada pembangunan ekonomi dan mensejahterakan bangsa dan negara
menghendaki suatu keadaan negara yang stabil dan terkendali. Dengan alasan,
ketidak normalan kondisi dan situasi negara pada saat itu telah memaksa ABRI
memainkan peran yang sangat dominan dalam politik negara.154 Dan peran
dominan ABRI dalam politik sebagaimana dikatakan oleh jenderal Ali Murtopo,
disebabkan pada saat itu juga belum adanya kelompok politik sipil yang
mempunyai program pembangunan yang baik dan jelas.155
Dengan kekacauan dan ketidak jelasan kondisi dan situasi negara yang
terjadi pada masa Orde Lama yang berdampak pada pertumbuhan dan
perkembangan kemajuan ekonomi bangsa dan negara, telah memaksa kelompok
militer sebagai kekuatan politik yang sangat dominan dalam merumuskan dan
menetapkan berbagai kebijakan.
Dominasi kelompok militer dalam panggung politik nasional berdampak
pada peran dan ruang politik sipil. Oleh karena itu hampir semua kelompok
pernah menjadi korban daripada hegemoni politik militer Orde Baru tersebut. Dari
banyaknya korban hegemoni politik kelompok militer tersebut, maka kelompok
politik Islam yang paling menyakitkan.156
154 Salim Said, Genesis of Power General Sudirman and The Indonesian Military In
Politics 1945-49, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies and Heng Mui Keng Terrace),
hal.146
155 Ibid, hal.146
156 M Alfan Alfian M, Mahalnya Harga Demokrasi, hal.9
Penjinakan aktivisme dan idealisme politik Islam oleh kalangan militer
didasarkan pada pandangan kelompok militer terhadap aktivitas dan cita-cita umat
Islam pada masa Orde Lama yang ingin mendirikan “negara Islam” dan
menjadikan “Islam sebagai dasar negara”.157 Kecurigaan kelompok militer
terhadap politik Islam ditandai dengan ketidaksediaan kelompok militer terhadap
rehabilitasi partai Masyumi pada masa awal Orde Baru. Dalam hal ini, beberapa
kali kontak senjata antara mereka dengan unsur-unsur politik Islam pada masa
lalu sangat memainkan peran seperti dicatat oleh Harold Crouch, hal ini terutama
sangat terasa dikalangan “perwira-perwira yang pernah terlibat dalam
pertempuran bersenjata melawan Darul Islam dan pemberontakan-pemberontakan
regional lainnya yang dilakukan oleh umat Islam.” Demikian pula, mereka yang
“ikut serta dalam upaya pemerintah pusat untuk menumpas PRRI benar-benar
merasa tidak senang dengan “pengkhianatan” Masyumi yang bersimpati, atau
sedikitnya tidak menyalahkan pemberontakan yang mengorbankan 2.500 nyawa
tentara itu.”158
Dari pengalaman kelompok militer dalam memadamkan pemberontakan
umat Islam yang terjadi pada tahun 1950 dan 1960-an, mengakibatkan militer
berpandangan bahwa politik Islam sebagai ancaman terhadap stabilitas dan
keamanan negara.159
Dengan kekhawatiran Orde Baru terhadap stabilitas dan
157
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam Di Indonesia, hal.112
158 Harold Crouch, Indonesia: Democratization and The Threat of Disintegration,
hal.201
159 Angel Rabasa dan John Haseman, The military And Democracy In Indonesia;
Challenges, Politics, and Power, (Santa Monica: RAND; National Security Research Division),
hal.61
keamanan negara yang dapat menghambat dan menghalangi cita-cita yang telah
dikonsepkannya, maka Orde Baru yang ditopang oleh institusi militer telah
melakukan depolitisasi terhadap kelompok politik Islam yang bersifat ideologis
dan fundamentalis.160 Depolitisasi politik Islam merupakan sebuah usaha dan
strategi politik yang dijalankan oleh ABRI khususnya Angkatan Darat sebagai
unsur utama kekuatan Orde Baru untuk menyingkirkan aktivis politik Islam yang
berusaha untuk menghidupkan dan memformulasikan kembali ideologi Islam
sebagai sebuah ideologi politik mereka. Sebagaimana dikatakan oleh Don
Emerson, mereka berusaha melakukan domestikasi atas politik Islam;
menempatkannya pada posisi “minoritas” dan “out sider” dimana situasi ini
pernah dikeluhkan oleh Natsir dengan pernyataan,” mereka telah memperlakukan
kami sebagai kucing kurap”.161
Dalam rangka kelompok militer untuk melenyapkan dan menyingkirkan
peran dan aktivitas kelompok politik Islam yang ideologis dan formalistik, maka
kelompok militer yang disebut dengan TNI/ABRI telah merumuskan beberapa
strategi politik. Strategi politik TNI/ABRI dilakukan melalui beberapa kebijakan
yang ditetapkan oleh institusinya maupun perwira tinggi militer.162
Diantara
kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh militer, yaitu; pertama, pada Desember
1966, kelompok militer menyatakan bahwa mereka akan mengambil tindakan-
tindakan tegas terhadap siapa saja, dari kelompok mana saja, dan dari aliran apa
160 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam; Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara
yang Tidak Mudah, (Jakarta: Ushul Press), hal.36
161 Ibid, hal.36
162 Angel Rabasa dan John Haseman, The Military and Democracy In Indonesia;
Challenges, Politics, and Power, hal.62
aja, yang ingin menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 seperti yang pernah
dilakukan melalui pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun, Gestapu,
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (sebuah gerakan Islam fanatik yang paling
kuat pada 1950-an dan memperoleh dukungannya di Jawa Barat yang berupaya
mendirikan negara Islam dengan kekuatan senjata) dan Masyumi”. Kedua,
ABRI/TNI menggunakan langkah-langkah Koersif dan kooptatif untuk
mempengaruhi hasil pemilu pertama tahun 1971, dimana ABRI/TNI menjadi
tulang punggung Golkar. Ketiga, Amir Machmud yang kala itu sebagai menteri
dalam negeri mengeluarkan peraturan menteri (Permen 12/1969)” yang
dimasudkan untuk memurnikan wakil-wakil Golkar di badan-badan legislatif
tingkat provinsi dan lokal”, peraturan ini menyebutkan bahwa “ seluruh anggota
kelompok-kelompok fungsional yang ditugaskan di badan-badan pemerintahan di
tingkat provinsi dan lokal harus diganti jika mereka bergabung ke dalam partai-
partai politik (PNI, NU, Parmusi, PSII, Perti, dan lain sebaginya). Selain itu juga,
ia juga mengeluarkan sebuah peraturan pemerintah (PP 6/1970) yang mempunyai
konsekuensi luas dalam pemilihan umum, yang menegaskan bahwa “kelompok-
kelompok tertentu dikalangan pegawai negeri sipil tidak diperbolehkan menjadi
anggota partai-partai politik: anggota ABRI, semua pegawai negeri sipil yang
bekerja pada Departeman pertahanan, hakim dan penuntut umum, pejabat-pejabat
khusus seperti Gubernur BI, dan para pemegang jabatan penting lain yang
ditetapkan oleh presiden.” Keempat, pemerintah melakukan restrukturisasi sistem
kepartaian pada januari 1973, yaitu pemerintah mengharuskan kesembilan partai
yang ada bergabung kedalam dua partai politik baru. Kelima, penerapan konsep
massa mengambang di mana aktivitas-aktivitas partai di tingkat desa dan
kecamatan hampir sepenuhnya dihapuskan. Keenam, yaitu dalam pidato
tahunanya di depan DPR, 16 Agustus 1982, presiden Soeharto menegaskan bahwa
dasar ideologi mereka satu-satunya adalah Pancasila.163 Ketujuh, yaitu
pemberlakuan UU keormasan yang dikeluarkan pada tahun 1985, yang
mewajibkan semua organisasi sosial-keagamaan dan mahasiswa untuk menerima
pancasila sebagai asas tunggal.
Dalam kondisi negara yang tidak menentu pada masa Orde Lama, di mana
kekacauan yang terjadi berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan bangsa dan negara seutuhnya. Oleh kaena itu, Soeharto sebagai
presiden yang berlatar belakang militer (Angkatan Darat) dan berpangkat terakhir
jenderal, ia melihat bahwa penyebab dari stagnasinya pembangunan dan
pertumbuhan negara adalah:
1. Tidak adanya pemimpin yang kuat dan bisa mengintegrasikan seluruh
elemen kekuatan negara.
2. Konflik ideologi politik (khususnya Islam Politik) dengan kelompok
kepentingan yang lainnya yang tidak ada kesudahannya.
3. Lemahnya elit-elit politik sipil yng mengendalikan dan menjalankan
roda pemerintahan negara.
4. Tidak adanya kekuatan yang dominan dalam mengendalikan
perpolitikan negara.
163
Presiden Soeharto, Amanat Kenegaraan IV 1982-1985, (Jakarta: Inti Idayu Press),
hal.11
Oleh karena itu, berangkat dari keempat faktor tersebut diatas, Soeharto
yang telah resmi menjadi presiden RI kedua pada 1967, mulai mengatur dan
menetapkan strategi dan taktik untuk menata faktor-faktor yang dipandang
sebagai penghambat kemajuan dan pertumbuhan negara. Dalam rangka penataan
tersebut Soeharto telah menjadikan tiga poros utama sebagai penyangga
kelangsungan kekuasaan rezim Orde Baru. Ketiga poros itu adalah; TNI AD
sebagai kekuatan utama, Golkar (sebagai golongan yang dikaryakan, yang juga
diisi oleh sebagian orang-orang dari petinggi Angkatan Darat, maupun pegawai
negeri sipil pemerintahan), dan ketiga birokrasi (semua pegawai pada lembaga
pemerintah yang juga sebagian diisi oleh kalangan dari militer dan wajib
mendukung dan bergabung di Golkar). Sehingga pada masa Orde Baru dikenal
dengan istilah “tiga jalur kekuasaan, yaitu jalur A (ABRI), jalur B (birokrasi) dan
jalur G (Golkar) sebagai mesin politik utama untuk melegitimasikan dan
melanggengkan kekuasaan Soeharto yang dikenal dengan rezim Orde Baru.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Keterlibatan tentara Indonesia (khususnya Angkatan Darat) dalam politik
berbeda dengan tentara di negara lain pada umumnya yang telah melakukan
kudeta dalam perebutan kekuasaan politik. Militer Indonesia sudah memainkan
peranan politiknya dari sejak revolusi kemerdekaan dan mencapai puncaknya
pada masa Orde Baru memegang tampuk kekuasaan dibawah komando Mayor
Jenderal Soeharto. Tumbangnya Orde Lama merupakan suatu berkah bagi tentara,
khususnya Angkatan Darat (TNI-AD) yang mengasumsikan korps mereka sebagai
pahlawan yang telah menyelamatkan keutuhan negara dan Pancasila sebagai asas
negara dari ancaman negara komunis.
Keberhasilan Angkatan Darat mendominasi kekuasaan setelah
menyingkirkan lawan-lawan politiknya yang kurang terorganisasi. Angkatan
Darat mengembangkan organisasi politiknya untuk memenuhi tanggung jawab di
bawah undang-undang darurat perang serta membangun dirinya sendiri menjadi
kekuatan politik penting yang mandiri. Setelah Angkatan Darat berhasil
mendominasi kekuasaan, maka satu persatu Angkatan Darat mulai menyingkirkan
orang-orang yang dipandang sebagai lawan politiknya. Dalam hal ini pada
puncaknya tahun 1990 Orde Baru berhasil menghapus pusat-pusat kekuatan sipil
yang mandiri itu disertai dengan konsolidasi kekuasaan dalam angkatan
bersenjata.
Orde Baru setelah melakukan konsolidasi kekuasaan mulai menjalankan
program-program pembangunan ekonomi yang telah terpuruk akibat krisis
ekonomi. Seiring dengan langkah Orde Baru melakukan pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi, Orde Baru disatu sisi berusaha melakukan pembungkaman
dalam rangka pembangunan politik dan rasionalisasi politik rakyat. Hal ini
dilakukan oleh Orde Baru karena Orde Baru telah mengharamkan rakyat untuk
bebas membicaakan urusan politik, sehingga Orde Baru sangat terkenal dengan
jargonnya “ekonomi yes, politik no”.
Dalam pembungkaman urusan politik inilah, umat Islam sebagai umat
mayoritas penduduk negeri ini merasakan bahwa ketidakbebasan tersebut telah
merugikan mereka dalam mengekpresikan kebebasan politik dan obsesi politik
mereka. Hal ini dikarenakan Orde Baru yang ditopang oleh militer masih trauma
dengan politik Islam yang terjadi pada masa Orde Lama. Dan khususnya
Angkatan Darat tidak menginginkan kembalinya gerakan politik Islam yaitu suatu
gerakan yang sangat gigih untuk memformalisasikan Islam sebagai sebuah
ideologi negara Indonesia dan gerakan Islam yang lebih mengutamakan
simbolisasi Islam sebagai alat perjuangan kepentingan politik mereka. Hal yang
pada hakikatnya menurut Abdurrahman Wahid gerakan yang lebih mengarah pada
sektarianisme dan menghambat proses demokratisasi di negara kita, sebagaimana
kritikan Abdurrahman Wahid pada saat pendirian ICMI. Kritikan Abdurrahman
Wahid ketika itu ternyata sangat tepat jika kita melihat realitas politik yang terjadi
pasca Orde Barut. Karena gerakan politik sektarianisme seperti yang dikatakan
Abdurrahman Wahid itulah yang pada hakikatnya sangat berpotensi mengundang
militer untuk mengalahkan dan menyingkirkan mereka dari panggung kekuasaan
politik. Jadi penyingkiran Islam politik pada masa Orde Baru tidak lebih
merupakan sebagai reaksi dari ketakutan dan kekhawatiran dari pihak TNI (TNI-
AD) akan kehilangan pengaruh dan kekuasaan dalam mengendalikan urusan
politik negara ini.
Orde Baru yang ditopang oleh militer (Angkatan Darat) dari sejak
berdirinya tahun 1966 telah berhasil mendominasi seluruh lapangan kehidupan
dan menghegemoni politik sipil yang mayoritas umat Islam. Kekuasaan Orde
Baru yang ditopang oleh militer, memasuki tahun 1991 sudah menandakan
kelemahan dan longgarnya kontrol kekusaan yang dilakukan oleh kelompok
militer sebagaimana sebelum tahun 1990-an, dimana segala sesuatu harus
mendapat izin dari pihak militer.
Kelemahan politik tentara atau Orde Baru setelah mengalami masa
penurunan, dan mencapai puncaknya pada tahun 1998, di mana Presiden Soeharto
pada waktu itu sebagai komandan Orde Baru tidak dapat mempertahankan tampuk
kekuasaannya dari desakan gelombang reformasi.
Lenyapnya legitimasi Orde Baru tidak terlepas dari bencana krisis politik
yang terjadi di Indonesia pada 1998 yang disebabkan oleh krisis ekonomi yang
melanda Indonesia dan kawasan regional Asia Tenggara sejak juli 1997. Dampak
dari krisis tersebut yaitu terjadinya pelarian modal besar-besaran ke luar negeri,
terjadinya tekanan terhadap mata uang rupiah. Akibat ini semua yaitu;
pengangguran dan kemiskinan meningkat drastis, harga kebutuhan hidup pokok
sehari-hari melambung dan bahkan sangat susah untuk didapatkan, bahakan
inflasi mencapai 100%. Krisis politik ini melemahkan legitimasi rezim Soeharto
yang memang sudah semakin lemah dari sejak 1991.
Kejatuhan Orde Baru disebabkan juga karena menjelang kejatuhannya,
para pejabat Orde Baru banyak yang melakukan perjanjian simbolik dan beberapa
langkah kebijakan ekonomi yang tujuannya untuk memperpanjang kekuasaan.
Langkah-langkah tersebut di antaranya adalah dua kali pertemuan dengan IMF
pada Oktober 1997 dan Januari 1998, yang membiarkan dolar bergerak bebas
pada Agustus 1997, likuidasi 16 belas bank pada November 1997, dan menyususn
RAPBN pada Januari 1998. Pada saat jatuhnya nilai tukar rupiah, kegagalan
mekanisme pembayaran perdagangan luar negeri, penyelesaian kredit atau
pinjaman dari perusahaan besar, dan sistem perbankan yang buruk, serta besarnya
pinjaman swasta nasional diluar negeri telah meruntuhkan fundamental ekonomi
Indonesia yang rapuh.
Ini semua pada realitanya disebabkan oleh kelambatan pemerintah
mengantisipasi krisis ekonomi dan langkah-langkah kebijakan pemerintah yang
tidak berarti banyak untuk perbaikan ekonomi yang pada akhirnya membuat
kepercayaan masyarakat hilang terhadap upaya kesungguhan pemerintah dalam
mengatasi krisis.
Kejatuhan rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998 yang ditandai dengan
pengunduran diri sang jenderal besar Soeharto sebagai presiden, jika kita
bandingkan dengan kejatuhan presiden Soekarno pada rezim Orde Lama, maka
sangat serupa. Pola dan cara kejatuhan Orde Baru hampir tidak berbeda dengan
apa yang dialami oleh Orde Lama menjelang kejatuhannya. Kejatuhan dari dua
rezim ini khususnya disebabkan oleh krisis ekonomi yang melanda negara ini.
Akan tetapi pada masa Orde Lama krisis ekonomi bukan disebakan oleh ketidak
mampuan kerja para elit pemerintah dalam menangani dan mengatur
perekonomian negara, akan tetapi lebih disebabkan oleh suasana dan kondisi
politik yang terus menenrus dalam suasana konflik dan pertentangan antara elit-
elit politik. Sedangkan pada masa Orde Baru sebelum terjadinya krisis ekonomi,
kondisi politik di Indonesia masih dalam keadaan aman dan tenang. Maka
kejatuhan rezim Orde Baru lebih disebabkan ketidak mampuan elit-elit Orde
Baru, khususnya tim ekonomi yang menangani krisis pada tahun 1997.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri, Demokrasi Dipersimpangan Makna, Yogyakarta, Tiara
Wacana, cet. II, 2004
Abdulgani, Roeslan, Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta, Pustaka Merdeka,
cet. I, 1986
Alfian ,M.Alfan, Mahalnya Harga Demokrasi, Jakarta, INTRANS, cet. I, 2001
Ali, Fahri dan Effendy Bahtiar, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi
Pemikiran Islam Orde Baru, Bandung, Mizan, 1999
A.Muhaimin,Yahya , Perkembangan militer dalam politik di Indonesia 1945-
1966, Yogyakarta,Gadjah mada university
Angkatan Darat, Doktrin Perjuangan “Tri Ubaya Cakti” Djakarta: Departemen
Angkatan Darat, 1965
Angkatan Darat, Doktrin Perdjuangan, 1965
Angel, Rabasa and Haseman, John, the military and Democracy in indonesia;
challenges, politics, and power, Santa Monica, RAND, MR-1599-SRF,
2002
Azmah Hidayati, Noor Jurnal Studi Agama Millah, Yogyakarta, vol.IV,2005
Bourchier, David dan Hadiz, Vedi R , Pemikiran Sosial Dan Politik Indonesia
1965-1999, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, cet. I, 2006
Budiardjo, Miriam (peny), Partisipasi Dan Partai Politik, Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia, cet. III, 1998
Chaidar, Al, Reformasi Prematur, Jawaban Islam Terhadap Reformasi Total,
Jakarta, cet.I, 1998
Crouch, Harold, Militer dan Politik Di Indonesia, (terj) Th. Sumarthana, Jakarta,
Sinar Harapan, cet.I, 1986
____________, Indonesia: Democratization and The Threat of Disintegration,
Singapore, Institute of Southeast Asian Studies, 2000
____________, Indonesia: Democratization and The Threat of Disintegration,
Singapore, Institute of Southeast Asian Studies, 2000
Effendy, Bahtiar, Jalan Tengah Politik Islam;Kaitan Islam, Demokrasi, dan
Negara yang Tidak Mudah, Jakarta, Ushul Press, Ushul Press, cet. I, 1998
_____________,Islam dan Negara Transformasi pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, Jakarta, Universitas Paramadina, cet. I, 1998
Fatah, Eep Saefulloh, Zaman Kesempatan Agenda – agenda Besar Demokratisasi
Pasca Orde Baru, Bandung, Mizan, cet.I, 2000
________________, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru, Masalah dan
Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Bandung, Remaja
Rosda Karya, cet.I, 2000
Fattah, Abdoel, Demiliterisasi Tentara, Pasang Surut Politik Militer 1945-2004,
Yoyakarta, LKiS, cet.I, 2005
Feith, Herbert, Soekarno dan Militer dalam Demokrasi Terpimpin (terj), Jakarta,
Pustaka Sinar Harapan, cet. I, 1995
Gunawan, Asep (ed), Artikulasi Islam Kultural; Dari Tahapan Moral ke Periode
Sejarah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, cet. I, 2004
Harmain, Bennya K, Konfiurasi Politik dan Hukum pada Era Orde Lama dan
Orde Baru, Yogyakarta, ELSAM ,cet. I, 1997
Hefner, W Robert dan Horvatich, Patricia, Islam Di Era Negara Bangsa; Politik
dan Agama Muslim Asia Tenggara, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001
Hefner, W Robert, Islam Pasar Keadilan; Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan
Demokrasi,Yogyakarta: Lkis, 2000
Iswandi, Bisnis Militer Orde Baru: Keterlibatan ABRI dalam Bidang Ekonomi
dan Pengaruhnya terhadap Pembentukan Rezim Otoriter, Bandung,P.T
Remaja Rosda Karya, 1998
Jamhari (ed), Gerakan Salafi Radikal Di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, cet. I, 2004
Kantaprawira, Rusadi, Sistem Politik Indonesia Suatu Model Pengantar,
Bandung, Sinar Baru Algesindo, cet. VI, 1990
Karim, M. Rusli, Negara Dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta, Tiara
Wacana, cet.I, 1999
Kompas, Persoalan Paradigmatis RUU TNI, 16 Agustus 2004
Liddle, R.William, Islam, Politik Dan Modernisasi, Jakarta, Pustaka Sinar
Harapan, cet.I, 1997
Liddle,R.William, Pemilu-Pemilu Orde Baru:Pasang Surut Kewenangan Politik,
Jakarta,LP3ES
Madjid, Nurcholish, Indonesia Kita, Jakarta, Univ.Paramadina Jakarta, cet. III,
2004
Marpaung, Rusdi,dkk, Menuju TNI Profesional Tidak Berbisnis Dan Tidak
Berpolitik, Jakarta, Imparsial, cet. I, 2005
Mukmin, Hidayat (ed), Dwifungsi ABRI, Perkembangan dan Perannya dalam
Kehidupan Politik di Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University
Press, cet.VII, 1993
Muttaqin, Tatang,et.all, Membangun Nasionalisme Baru, Jakarta, Direktorat
Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, Dan Olah Raga (Bappenas), cet. I, 2006
Nasution, Abdul Haris, Dwifungsi ABRI: Pada Mulanya dan Kini, Djkarta,
Prisma, 1980
___________, DwiFungsi ABRI, Djakarta: Seruling Masa, cet.I,1971
___________, Kekarjaan ABRI, Jakarta, cet.I,1974
___________, Tjatatan-Tjatatan tentang Politik Militer Indonesia, Djakarta,
C.V.Pembimbing, cet. I, 1955
Noer, Deliar, Mohammad Hatta: Biografi Politik, Jakarta, cet.I, 1974
Novianto,Cholid et all, Memenangkan Hati Rakyat; Akbar Tanjung Dan Partai
Golkar 1998-2004, Jakarta, cet. II, 2004
Nurhasim, Moch (Ed), Praktek-praktek Bisnis Militer: Pengalaman Indonesia,
Burma, Filifina dan Korea Selatan, Jakarta, The Ridep Institute, 2003
Nusa Bhakti, Ikrar (et.all), Tentara Yang Gelisah, Posisi ABRI dalam Gerakan
Reformasi, Bandung, Mizan, cet. I, 1999
Pauker, J Guy, The Bridge Between Generations in Indonesian Military Politics,
May 1976, Internet, http:/www.rand.org/publications/P/P5655/
Presiden Soeharto, Amanat Kenegaraan IV 1982-1985, Jakarta: Inti Idayu Press,
1985
Said, Salim, Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi, Perkembangan Pemikiran
Politik Militer Indonesia 1958-2000, Jakarta, Aksara Karunia, cet.I, 2002
_________, Genesis of Power, General Sudirman And The Indonesian Military in
Politic 1945-49, Institute of Southeast Asian Studies and Pustaka Sinar
Harapan, Singapore & Jakarta, cet.I, 1992
_________, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak, Jakarta, pustaka
sinar harapan, cet.IV 2001
Samego, Indra, Bila ABRI Menghendaki, Bandung, Mizan, cet.I, 1998
Sanit, Arbi, Sistem Politik Indonesia; Kestabilan, Peta Kekuatan Politik Dan
Pembangunan, Jakarta, CV.Rajawali, cet. II, 1982
_________, Perwakilan Politik Di Indonesia, Jakarta, CV.Rajawali, cet. I, 1985
Santoso, Agus Edy (peny), Tidak Ada Negara Islam; Surat-surat Nurcholish
Madjid-Mohammad Roem, Jakarta, Djambatan, cet.II, 2000
Simatupang,T.B., Saya adalah Orang yang Berhutang, Victor Matondang (ed),
Percakapan dengan Dr.T.B.Simatupang, Jakarta, Gunung Mulia,1955
Sjahrir, Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok; Sebuah Tinjauan Prospektif, Jakarta,
LP3ES, cet. I, 1986
Stanley, Adi Prasetyo & Toriq Hadad (ed), Pengalaman Brasil dan Beberapa
Negara Lain, Terj.Bambang Cipto, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1996
Stanley, Adi Prasetyo (ed), Jenderal tanpa pasukan, politisi tanpa partai
:Perjalanan hidup A.H.Nasution, Jakarta : pusat data analisa Tempo
__________, Jenderal tanpa pasukan, politisi tanpa partai :Perjalanan hidup
A.H.Nasution, Jakarta : pusat data analisa Tempo
__________, The Role of Military in Indonesia, dalam John J. Johnson (ed), The
Role of the Military in Underdeveloped Countries, Princeton, New Jersey:
Princeton University Press,1962
Sundhaussen, ULF, Politik Militer Inonesia 1945-1966; Menuju Dwifungsi ABRI
,(terj). Hasan Basari, Jakarta,LP3ES,cet,I, 1986
Suseno, Fanz Magnis, Etika Politik; Prinsip-prinsip Dasar Kenegaraan Modern,
Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, cet. VI, 2001
Symsuddin, Nazaruddin, Alfian, Profil Budaya Politik Indonesia, Jakarta, Pustaka
Utama Grafiti, cet.I, 1991
Tebba, Sudirman, Islam Orde Baru; Perubahan Poltik Dan Keagamaan,
Yogyakarta, cet. I, 1993
Widjajanto, Andi, dkk, Dinamika Reformasi Sektor Keamanan, Jakarta, Imparsia;
The Indonesian Human Rights Monitor,cet. I, 2005
Yani,Ahmad, The Indonesian Doctrine of War, Djakarta: Indonesian Army
Informtion Service, 1965
Yulianto, Dwi Pratomo, Militer dan Kekuasaan, Puncak-Puncak Krisis Hubungan
Sipil-Militer di Indonesia, Yogyakarta, Narasi, cet.I, 2005