119

Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kajian tentang peranan sektor informal sebagai katup pengaman masalah ketenagakerjaan di Indonesia

Citation preview

  • KAJIAN EVALUASI PEMBANGUNAN SEKTORAL

    Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    Kedeputian Evaluasi Kinerja Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

    2009

    RREEPPUUBBLLIIKK IINNDDOONNEESSIIAA

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    ii

    KATA PENGANTAR

    Dengan semakin meningkatnya jumlah tenaga kerja di Indonesia,

    penciptaan lapangan kerja menjadi isu yang sangat penting

    dalam pembangunan sektor ketenagakerjaan. Upaya penciptaan

    lapangan kerja telah dilakukan namun masih belum mencukupi.

    Kondisi pasar kerja Indonesia menunjukkan sebagian besar dari

    angkatan kerja bekerja pada lapangan kerja informal dengan

    tingkat pendidikan dan keterampilan rendah. Dalam kaitan itu,

    sektor informal justru terlihat cukup berperan dalam hal

    penyerapan tenaga kerja di Indonesia.

    Untuk itu, pada tahun 2009 di lingkungan Deputi Evaluasi Kinerja

    Pembangunan, telah dilaksanakan kajian untuk melakukan

    evaluasi atas masalah ketenagakerjaan khususnya yang terkait

    dengan sektor informal. Laporan evaluasi tersebut berjudul Peran

    Sektor Informal sebagai Katup Pengaman Masalah

    Ketenagakerjaan. Diharapkan kajian ini dapat bermanfaat dan

    menjadi masukan bagi kita semua khususnya dalam konteks

    penyusunan kebijakan di masa yang akan datang

    Kami mengharap masukan, saran, dan kritik yang membangun

    untuk perbaikan dan penyempurnaan kajian ini. Akhirnya, terima

    kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu

    hingga laporan kajian ini tersusun.

    Jakarta, Desember 2009

    Plt. Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan

    Dr. Ir. Dedi M. Masykur Riyadi

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    iii

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR ... ii DAFTAR ISI .. iii DAFTAR TABEL ...... v DAFTAR GAMBAR ... vi BAB I PENDAHULUAN .................................................. 1 1.1. Latar Belakang dan Perumusan Masalah ............. 1 1.2. Tujuan Penelitian .................................................. 7 1.3. Ruang Lingkup Kajian ........................................... 8 1.4. Sistematika ........................................................... 9 BAB II TINJAUAN LITERATUR ........................................ 10 2.1. Konsep Sektor Informal ........................................ 10 2.2. Peluang Sektor Informal bagi Kaum Miskin Kota .. 23 2.3. Munculnya Kegiatan Sektor Informal .................... 26 2.4. Sektor Informal dan Penyerapan Angkatan Kerja . 28 2.5. Kekuatan Sektor Informal ..................................... 33 2.6. Dualisme di Indonesia ........................................... 36 BAB III METODOLOGI DAN DATA AWAL ........................ 39 3.1. Kerangka Pemikiran.............................................. 39 3.2. Metodologi ............................................................ 44 3.3. Model dan Pengukuran Variabel dalam Model ...... 50 3.4. Sumber Data ........................................................ 54 3.5. Hipotesis ............................................................... 55 BAB IV ANALISIS DESKRIPTIF ....................................... 57 4.1. Permasalahan Pengangguran dalam RPJM ......... 57 4.2. Intervensi yang telah dilakukan di bidang

    ketenagakerjaan ................................................... 71 4.3. Sektor Informal sebagai Penyerap Tenaga Kerja

    Berkualitas Rendah .............................................. 74

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    iv

    BAB V ANALISIS KUANTITATIF (INTERPRETASI MODEL) ............................................................... 81

    5.1. Hasil Regresi ........................................................ 84 5.2. Pembangunan Kota, Penciptaan Kesempatan

    Kerja dan Pengembangan Sektor Informal Desa ..................................................................... 89

    5.3. Keterbatasan dan Kontribusi Kajian ...................... 93 BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................... 96 6.1. Kesimpulan ........................................................... 96 6.2. Rekomendasi ........................................................ 98 DAFTAR PUSTAKA ........................................................... .99

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    v

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1 Variabel dan Sumber Data .................................. 54 Tabel 2 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja

    menurut Status Pekerjaan Utama, Agustus 2007 - Februari 2009 (juta orang) .................................... 79

    Tabel 3 Hasil Regresi Model ............................................ 85

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    vi

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1 Kondisi Ketenagakerjaan, Agustus 2008 ........... 61 Gambar 2 Tingkat Pengangguran Terbuka dan Tingkat

    Pengangguran Usia Muda ............................... 63 Gambar 3 Persentase Angka Pengangguran Terbuka,

    Februari 2006 .................................................... 66 Gambar 4 Angka Pengangguran Terbuka .......................... 67 Gambar 5 Pengangguran Terbuka berdasar Tingkat

    Pendidikan, Jenis Kelamin, dan Daerah ............ 69

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang dan Perumusan Masalah

    Masalah utama yang dihadapi kebanyakan Negara

    Sedang Berkembang (NSB) termasuk Indonesia hingga saat

    ini adalah bagaimana memanfaatkan faktor manusia yang

    melimpah dan kebanyakan tidak terlatih (unskilled) bagi

    pembangunannya, sehingga penduduk yang besar bukan

    merupakan beban pembangunan, justru menjadi modal

    pembangunan. Dengan demikian peranan sektor informal

    menjadi penting, terutama karena kemampuannya dalam

    menyerap banyak tenaga kerja dan tidak menuntut tingkat

    keterampilan yang tinggi. Bahkan sektor informal ini bisa

    menjadi wadah pengembangan sumberdaya manusia, dimana

    tenaga kerja yang tidak terlatih (unskilled) tersebut dapat

    meningkatkan keterampilannya dengan memasuki sektor

    informal terlebih dahulu sebelum masuk ke sektor formal.

    Menurut Widodo (2005) dalam diskusi yang digelar

    Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) dengan

    topik Sektor Informal Yogyakarta, sektor informal adalah

    sektor yang tidak terorganisasi (unorganized), tidak teratur

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    2

    (unregulated), dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar

    (unregistered). Di Negara Sedang Berkembang, sekitar 30-70

    persen populasi tenaga kerja di perkotaan bekerja di sektor

    informal. Sektor informal memiliki karakteristik seperti jumlah

    unit usaha yang banyak dalam skala kecil; kepemilikan oleh

    individu atau keluarga, teknologi yang sederhana dan padat

    tenaga kerja, tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah,

    akses ke lembaga keuangan daerah, produktivitas tenaga

    kerja yang rendah dan tingkat upah yang juga relatif lebih

    rendah dibandingkan sektor formal. Kebanyakan pekerja di

    sektor informal perkotaan merupakan migran dari desa atau

    daerah lain. Motivasi pekerja adalah memperoleh pendapatan

    yang cukup untuk sekedar mempertahankan hidup (survival).

    Mereka tinggal di pemukiman kumuh, dimana pelayanan

    publik seperti listrik, air bersih, transportasi, kesehatan, dan

    pendidikan yang sangat minim.

    Sektor informal memberikan kemungkinan kepada

    tenaga kerja yang berlebih di perdesaan untuk migrasi dari

    kemiskinan dan pengangguran. Sektor informal sangat

    berkaitan dengan sektor formal di perkotaan. Sektor formal

    tergantung pada sektor informal terutama dalam hal input

    murah dan penyediaan barang-barang bagi pekerja di sektor

    formal. Sebaliknya, sektor informal tergantung dari

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    3

    pertumbuhan di sektor formal. Sektor informal kadang-kadang

    justru mensubsidi sektor formal dengan menyediakan barang-

    barang dan kebutuhan dasar yang murah bagi pekerja di

    sektor formal.

    Penggunaan modal pada sektor informal relatif sedikit

    apabila dibandingkan dengan sektor formal sehingga cukup

    dengan modal sedikit sudah dapat mempekerjakan orang.

    Dengan menyediakan akses pelatihan dan ketrampilan, sektor

    informal dapat memiliki peran yang yang besar dalam

    pengembangan sumber daya manusia. Sektor informal

    memunculkan permintaan untuk tenaga kerja semiterampil

    dan tidak terampil. Sektor informal biasanya menggunakan

    teknologi tepat guna dan menggunakan sumber daya lokal

    sehingga akan menciptakan efisiensi alokasi sumber daya.

    Sektor informal sangat penting artinya dalam proses

    pembangunan dan proses modernisasi masyarakat yang

    sebagian besar masih bersifat tradisional atau semi-

    tradisional. Sebelum bekerja dan berusaha di sektor formal,

    tenaga kerja dari sektor tradisional berusaha dan bekerja

    terlebih dahulu di sektor informal. Setelah memperoleh

    pengetahuan, keahlian dan pengalaman di sektor informal,

    barulah mereka beralih dan mengalihkan usahanya ke sektor

    formal yang bersifat modern. Selain itu, sektor informal penting

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    4

    artinya bagi negara berpenduduk besar, dimana sektor

    informal yang bersifat padat karya mampu menyerap tenaga

    kerja dalam jumlah besar. Bagi Indonesia, kedua fungsi sektor

    informal di atas sangat besar artinya. Selain menghadapi

    kelebihan penduduk, Indonesia juga menghadapi masalah dari

    kondisi masyarakatnya yang masih dipengaruhi oleh unsur-

    unsur tradisional.

    Sejak dekade 70-an Indonesia mengalami era

    pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta terjadi pula

    pergeseran struktur yang cepat dari sektor pertanian ke sektor

    non pertanian. Oleh karena pertanian pada umumnya terdapat

    di desa sedangkan industri terdapat di kota, maka migrasi

    desa ke kota merupakan arah perpindahan tenaga kerja yang

    pada umumnya terjadi dalam proses industrialisasi. Tenaga

    kerja yang berlebih (terutama yang tidak mempunyai tanah)

    terdorong dan tertarik untuk mencari pekerjaan di kota.

    Berbagai faktor pendorong (push factor) di desa dan berbagai

    faktor penarik (pull factor) di kota mempengaruhi penduduk

    desa untuk pindah atau (bermigrasi) ke kota.

    Hal menarik yang terlihat dari perpindahan tenaga

    kerja dari desa ke kota adalah banyaknya tenaga kerja yang

    masuk ke dalam usaha kecil-kecilan di kota, yang bersifat

    swakarya dan swadaya. Usaha kecil-kecilan ini dapat

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    5

    berbentuk usaha perdagangan seperti pedagang kaki lima,

    penjual bakso, asongan, dan sebagainya. Selain itu juga pada

    jasa pengangkutan seperti tukang becak, tukang ojeg, dan

    lain-lain; industri kecil dan rumah tangga (cottage industry dan

    home industry); ataupun bentuk-bentuk usaha lainnya. Usaha-

    usaha tersebut sering disebut sektor informal karena sifatnya

    yang tidak mempunyai hubungan dengan pemerintah, baik

    dalam hal perijinan, perpajakan maupun perlindungan. Sektor

    informal ini sering juga disebut murky sectors, urban

    unorganized sectors, off-farm, grey area sectors, dan lain-lain.

    Sektor informal sering dipandang sebagai sektor

    transisi bagi tenaga kerja dari sektor pertanian di desa ke

    sektor industri di kota. Fenomena munculnya sektor informal

    hanyalah bersifat temporer. Akibat keterampilan yang

    terbatas, para pencari kerja dari desa, pada awal

    kepindahannya untuk sementara berusaha dan bekerja di

    sektor informal. Setelah mapan dan berpengalaman mereka

    akan mengalihkan usahanya ke sektor formal. Di sinilah terjadi

    proses formalisasi sektor informal, dimana terjadi peralihan

    status usaha yang tadinya informal menjadi formal, dan

    berpindahnya pekerja yang tadinya bekerja di sektor informal

    ke sektor formal. Namun pada kenyataannya seringkali proses

    ini tidak berjalan seperti yang diharapkan. Yang terjadi adalah

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    6

    usaha di sektor informal khususnya industri kecil dan industri

    rumah tangga semakin menjamur. Demikian juga dengan

    jumlah pekerjanya. Tenaga kerja dari desa sebagian besar

    bukan diserap oleh sektor industri (yang formal) tetapi oleh

    sektor jasa (terutama yang informal).

    Hal tersebut menandakan bahwa usaha yang tadinya

    berstatus informal tidak berubah menjadi formal. Demikian

    juga pekerja yang berada di sektor informal tetap berada di

    sektor tersebut. Dengan kata lain, sektor informal bukan

    menjadi sektor transisi, tetapi justru menjadi sektor yang dituju

    oleh pencari kerja dari sektor tradisional (pertanian). Selain itu

    juga menjadi sektor yang dituju oleh pencari kerja pertama

    (first-job seekers) yang tidak tertampung di sektor formal

    maupun pekerja sektor formal yang tidak memperoleh

    penghasilan yang cukup, sehingga secara sambilan ataupun

    serius merangkap berusaha dan bekerja di sektor informal.

    Dari kedua hal tersebut maka menarik untuk mengkaji

    bagaimana kecenderungan sektor informal di Indonesia,

    apakah bersifat permanen ataukah temporer dan bagaimana

    proses formalisasi sektor informal. Masalah formalisasi sektor

    informal ini erat kaitannya dengan perencanaan

    ketenagakerjaan di Indonesia.

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    7

    1.2. Tujuan Penelitian

    Kajian ini mencoba membahas sektor informal secara

    komprehensif dengan melihat berbagai aspek penting dari

    sektor informal. Adapun tujuan dari kajian ini antara lain:

    1. Memahami bagaimana terbentuknya sektor informal di

    Indonesia, hal ini dilakukan dengan penelaahan aspek

    historis dari perekonomian Indonesia, sehingga dapat

    dipahami mengapa dan bagaimana sektor informal muncul

    dalam perekonomian di Indonesia.

    2. Meninjau apakah terjadi proses formalisasi sektor informal

    di Indonesia. Hal ini dilakukan dengan mencari hubungan

    antara migrasi desa-kota dengan sektor informal. Teori

    Todaro (Harris-Todaro) tentang migrasi menganggap

    bahwa migrasi desa-kota telah menimbulkan terjadinya

    sektor informal di kota. Dengan demikian akan dibuktikan

    apakah bukan sektor informal yang justru menjadi

    pendorong dan penarik penduduk desa untuk bermigrasi

    ke kota. Melalui pembuktian ini akan dapat disimpulkan

    apakah formalisasi sektor informal di Indonesia terjadi atau

    tidak

    3. Formulasi kebijakan dalam penanganan sektor informal

    yang disusun dari hasil pembuktian model migrasi. Dengan

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    8

    demikian diharapkan dapat membantu memecahkan

    masalah ketenagakerjaan secara umum.

    1.3. Ruang Lingkup Kajian

    Tujuan pertama dari kajian ini akan dijelaskan dengan

    teori-teori dualisme, yaitu memahami bagaimana terbentuknya

    sektor informal di perkotaan. Untuk itu perlu menelusuri

    sejarah perekonomian Indonesia mulai masa kolonial hingga

    saat ini. Kemudian tujuan yang kedua akan dijawab dengan

    menggunakan teori pembangunan yang dualistik terutama

    model migrasi Todaro/Harris-Todaro. Model ini digunakan

    untuk membuktikan terjadi atau tidaknya proses formalisasi

    sektor informal di Indonesia. Hal ini dilakukan dengan

    menambahkan variabel pendapatan dan jumlah tenaga kerja

    di sektor informal sebagai salah satu variabel bebas penentu

    proporsi penduduk yang bermigrasi ke kota. Dari hasil

    pengujian model tersebut maka dapat ditarik beberapa saran

    kebijakan dengan memperhatikan variabel-variabel dalam

    model tersebut.

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    9

    1.4. Sistematika

    Kajian evaluasi ini dibagi dalam enam bab. Bab

    pertama merupakan bab pendahuluan yang memuat latar

    belakang dan perumusan masalah, tujuan, ruang lingkup

    kajian serta sistematika pembahasan. Bab kedua merupakan

    telaah literatur terhadap beberapa teori pembangunan

    dualistik, konsep sektor informal dan migrasi desa-kota. Bab

    ketiga membahas metodologi. Kemudian bab keempat

    merupakan analisis deskriptif, sedangkan bab kelima

    merupakan analisis dari model yang disajikan pada bab tiga,

    sekaligus juga disampaikan mengenai keterbatasan model

    dan kontribusi kajian ini. Bab terakhir, yaitu bab keenam

    merupakan kesimpulan dan rekomendasi dari kajian ini.

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    10

    BAB II

    TINJAUAN LITERATUR

    2.1. Konsep Sektor Informal

    Konsep sektor informal muncul dalam konsep

    keterlibatan pakar-pakar internasional dalam perencanan

    pembangunan di Dunia Ketiga. Gejala ini muncul setelah

    kelahiran negara-negara maju setelah berakhirnya Perang

    Dunia kedua. Pada waktu itu muncullah gagasan-gagasan di

    tingkat internasional maupun nasional untuk mempercepat laju

    pertumbuhan ekonomi pada negara-negara dimaksud. Melalui

    lembaga-lembaga internasional didirikanlah lembaga-lembaga

    untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di negara-negara

    berkembang seperti The World Bank, International Monetary

    Found (IMF) dan juga International Labour Organization (ILO).

    Lembaga-lembaga tersebut melakukan berbagai studi

    mengusulkan kebijakan dan turut campur tangan dalam

    pengambilan keputusan menyangkut berbagai bidang yang

    dianggap mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara

    berkembang. Pada tahun 1972 ILO meluncurkan program

    untuk World Employment Programme (WEP) sebagai konsep

    sektor informal yang pertama kali diperkenalkan di dunia

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    11

    internasional.

    Luthfi (2008) dalam artikelnya yang berjudul

    Kemiskinan Kota dan Sektor Informal membahas

    perkembangan berbagai konsep sektor informal sekaligus

    dengan berbagai perdebatannya. Dalam artikel tersebut

    disebutkan bahwa konsep sektor informal di negara sedang

    berkembang pertama kali muncul pada saat dilakukan

    serangkaian penelitian tentang pasar tenaga kerja perkotaan

    di Afrika. Konsep ini diperkenalkan oleh Keith Hart seorang

    antropolog Inggris pada tahun 1971 dengan menggambarkan

    sektor informal sebagai bagian angkatan kerja yang tidak

    terorganisir. Lewat tulisannya yang berjudul Informal Income

    Opportunities and Urban Employment in Ghana, dikemukakan

    bahwa penyelidikan empirisnya tentang kewiraswastaan di

    Acca dan kota-kota lain Afrika bertentangan dengan apa yang

    selama ini diterima dalam perbincangan tentang

    pembangunan ekonomi. Dalam laporannya kepada organisasi

    buruh sedunia (ILO), Hart mengajukan model dualisme

    terhadap kesempatan memperoleh pendapatan pada

    angkatan kerja perkotaan. Konsep informalitas diterapkan

    kepada bekerja sendiri (self employed).

    Namun, ciri-ciri dinamis dari konsep sektor informal

    yang diajukan Hart menjadi hilang ketika telah dilembagakan

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    12

    dalam birokrasi ILO. Informalitas didefinisikan ulang sebagai

    sesuatu yang sinonim dengan kemiskinan. Sektor informal

    menunjuk kepada cara perkotaan melakukan sesuatu dengan

    ciri-ciri : (a) mudah memasukinya dalam arti keahlian, modal,

    dan organisasi; (b) perusahaan milik keluarga; (c) beroperasi

    pada skala kecil; (d) intensif tenaga kerja dalam produksi dan

    menggunakan teknologi sederhana; dan (e) pasar yang tidak

    diatur dan berkompetitif.

    Karakteristik negatif yang dilekatkan pada sektor

    informal oleh ILO, banyak mendapatkan kritikan dari berbagai

    ilmuwan yang berkecimpung dalam bidang Sosiologi,

    khususnya Sosiologi Ekonomi. Mereka menganggap bahwa

    aktivitas sektor informal merupakan suatu tanda

    berkembangnya dinamika kewiraswastaan masyarakat. Hal ini

    mirip dengan yang disampaikan Hernando de Soto, seorang

    ekonom dari Peru yang banyak dirujuk pemikirannya terutama

    yang berkaitan dengan pemberdayaan sektor informal,

    mempunyai tesis bahwa kegagalan sektor informal untuk

    dapat terintegrasi ke dalam pasar disebabkan oleh kapitalisme

    yang semestinya mampu memperkaya orang-orang yang

    terlibat di dalamnya sebagaimana terjadi di dunia barat.

    Namun di negara-negara berkembang, kapitalisme

    belum mampu membawa berkah kekayaan kepada

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    13

    masyarakat. Prinsip pemecahan yang diusulkan terhadap

    masalah tersebut adalah dengan memberikan perlakuan yang

    seimbang dan peningkatan kesalingmengisian di antara kedua

    sektor tersebut. Diskriminasi yang merugikan terhadap sektor

    informal perlu diakhiri. Pendukung sektor informal

    mengusulkan agar disamping penghapusan diskriminasi

    melalui peraturan, pemerintah diharapkan mengambil

    kebijakan yang dapat merangsang pertumbuhan sektor

    informal melalui berbagai fasilitas seperti bantuan kredit,

    bimbingan manajerial, peningkatan keterampilan, promosi

    pemasaran, dan pemasokan bahan mentah. Dengan usaha-

    usaha ini, diharapkan tercipta hubungan yang seimbang,

    koperatif, dan saling menguntungkan antara kedua sektor

    yang berdampingan tersebut. Dengan demikian, sedikit demi

    sedikit ketimpangan struktural (structural inequality) dapat

    dihilangkan.

    Konsep ini mendapatkan kritik tajam dari Leys (1974).

    Menurut Leys, konsep dan garis-garis kebijakan ILO tentang

    sektor informal tersebut akan memacu berkembangnya

    kapitalisme lokal yang otonom berdasarkan pemerasan

    tenaga kerja murah. Penelitian menunjukkan bahwa program-

    program resmi yang bertujuan untuk merangsang industri di

    sektor informal tidak banyak bermanfaat. Peningkatan bantuan

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    14

    negara tidak bisa diharapkan selama sistem politiknya

    didominasi oleh kepentingan-kepentingan yang berhubungan

    dengan sektor formal. Situasi ini mengandung paradoks,

    karena perubahan kebijakan yang dianjurkan akan merugikan

    kaum elit yang bertanggungjawab untuk melaksanakannya.

    Dengan mengabaikan kenyataan ini, misi ILO di Kenya

    melakukan kesalahan akibat kenaifan.

    Breman (1976), berdasarkan berbagai penelitian

    menyimpulkan bahwa hubungan antara sektor informal dan

    sektor formal tidak bisa dilihat sebagai dualitas dari dua sektor

    yang berdiri sendiri, melainkan sebagai hubungan

    ketergantungan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa

    ketertinggalan dan ketidakberdayaan sektor informal

    merupakan syarat bagi kemajuan sektor formal, sedangkan

    hubungan antara kedua sektor menunjukkan subordinasi dan

    ketergantungan yang pertama kepada yang kedua. Sebuah

    penelitian tentang industri kecil di Kalkuta menunjukkan bahwa

    penyebab kemiskinan para pengusaha kecil bukanlah kecilnya

    lingkup usaha atau kesalahan manajemen, melainkan

    ketimpangan pembagian surplus dari atas. Kenyataan ini tidak

    jauh berbeda dengan ketimpangan pertukaran barang pada

    zaman kolonial ketika surplus ekonomi dan kebutuhan dasar

    subsistensi penduduk jajahan disedot ke negara induk

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    15

    penjajahnya. Bagi Breman, yang ada adalah suatu sektor

    kapitalis yang berhubungan erat dengan ekonomi

    internasional dan sektor lain yang mengikuti cara-cara

    produksi pra-kapitalis atau bukan kapitalis. Komponen-

    komponen sektor ini saling mempengaruhi satu dengan

    lainnya dan secara berangsur-angsur kehilangan identitas dan

    otonominya, sehingga akan berhadapan dengan suatu

    kesatuan sistem yang koheren dengan watak dan

    dinamikanya. Berdasarkan pandangan bahwa sektor informal

    ada berkat sektor formal, Breman menyimpulkan bahwa

    ketertinggalan yang pertama hanya dapat diakhiri dengan

    perubahan radikal keseluruhan sistem ekonomi. Dengan

    demikian Breman, seperti Burgess dalam perdebatannya

    dengan Turner, tidak setuju dengan kapitalisme, tetapi tidak

    menawarkan program praktis.

    Dalam kondisi perdebatan abstrak tersebut, Tokman

    tampil dengan pandangan yang lebih operasional. Dia setuju

    bahwa subordinasi pada tingkat internasional dan nasional

    merupakan salah satu ciri dari ketertinggalan pembangunan.

    Analisis atas sektor informal hanyalah salah satu cara untuk

    melihat gejala yang lebih luas. Subordinasi internal, menurut

    Tokman, menjelma di lapangan dalam bentuk kekurangan

    akses dari suatu sektor (yang disebut sektor informal) kepada

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    16

    sumber-sumber daya dan pasar yang berakibat pada

    keterbatasan kemampuan untuk berkembang. Pertanyaannya

    ialah seberapa jauh ketergantungan itu ada dan apakah ada

    ruang tersisa bagi pertumbuhan evolusioner. Untuk menjawab

    pertanyaan tersebut, Tokman mengusulkan agar sektor

    informal tidak dilihat sebagai bagian yang sepenuhnya

    integral, tetapi tidak pula sebagai bagian yang sama sekali

    terpisah, melainkan sebagai sesuatu yang memiliki kaitan

    dengan keseluruhan ekonomi, tetapi pada saat yang sama

    memiliki otonomi yang cukup. Oleh karena itu, perlu

    dibedakan antara kelompok kegiatan sektor informal yang

    beroperasi di bawah kondisi oligopoli, dan kelompok lain yang

    tidak.

    Sthurman dalam Manning dan Effendi (1985)

    mengemukakan istilah sektor informal sebagai sejumlah

    kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Alasan berskala kecil

    karena: (i) umumnya mereka berasal dari kalangan miskin; (ii)

    sebagai suatu manifestasi dari situasi pertumbuhan

    kesempatan kerja di negara berkembang; (iii) bertujuan untuk

    mencari kesempatan kerja dan pendapatan untuk memperoleh

    keuntungan; (iv) umumnya mereka berpendidikan sangat

    rendah; (v) mempunyai keterampilan rendah, dan (vi)

    umumnya dilakukan oleh para migran. Dari ciri-ciri tersebut

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    17

    dapat digambarkan bahwa usaha-usaha di sektor informal

    berupaya menciptakan kesempatan kerja dan memperoleh

    pendapatan untuk dirinya sendiri. Menurut Sthurman

    konseptualisasi sektor informal yang tersebut di atas walaupun

    bermanfaat tetapi belum dapat memecahkan masalah definisi.

    Hal ini disebabkan masih diperlukannya beberapa definisi

    untuk menentukan batasan sektor informal baik dari sudut

    pandang operasional maupun penelitian.

    Simanjuntak dalam Manning dan Effendi (1985),

    memberikan ciri-ciri yang tergolong sebagai sektor informal,

    yaitu: (i) kegiatan usaha umumnya sederhana; (ii) skala usaha

    relatif kecil; (iii) usaha sektor informal umumnya tidak

    mempunyai izin usaha; (iv) untuk bekerja di sektor informal

    lebih mudah daripada di sektor formal; (v) tingkat pendapatan

    di sektor informal biasanya rendah; (vi) keterkaitan sektor

    informal dengan usaha-usaha lain sangat kecil; dan (vii)

    usaha-usaha di sektor informal sangat beraneka ragam.

    Usaha-usaha sektor informal yang dimaksud diantaranya

    pedagang kaki lima, pedagang keliling, tukang warung,

    sebagian tukang cukur, tukang becak, sebagian tukang

    sepatu, tukang loak serta usaha rumah tangga seperti:

    pembuat tempe, pembuat kue, pembuat es mambo, pembuat

    barang anyaman dan lain-lain.

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    18

    Dipak Mazundar dalam Manning dan Effendi (1985)

    memberikan definisi sektor informal sebagai pasaran tenaga

    kerja yang tidak dilindungi. Salah satu perbedaan antara

    sektor formal dan informal sering dipengaruhi oleh jam kerja

    yang tidak tetap dalam jangka waktu tertentu. Hal ini

    disebabkan oleh tidak adanya hubungan kontrak kerja jangka

    panjang dalam sektor informal, cara penghitungan upah

    berdasarkan hari atau jam kerja dan menonjolnya usaha

    mandiri.

    Jan Breman dalam Manning dan Effendi (1985),

    membedakan sektor formal dan informal yang menunjuk pada

    suatu sektor ekonomi masing-masing dengan konsistensi dan

    dinamika strukturnya sendiri. Sektor formal digunakan dalam

    pengertian pekerja bergaji atau harian dalam pekerjaan yang

    permanen meliputi: (i) sejumlah pekerjaan yang saling

    berhubungan yang merupakan bagian dari suatu struktur

    pekerjaan yang terjalin dan amat terorganisir; (ii) pekerjaan

    secara resmi terdaftar dalam statistik perekonomian; dan (iii)

    syarat-syarat bekerja dilindungi oleh hukum. Kegiatan-

    kegiatan perekonomian yang tidak memenuhi kriteria ini

    kemudian dimasukkan dalam istilah sektor informal yaitu suatu

    istilah yang mencakup pengertian berbagai kegiatan yang

    sering kali tercakup dalam istilah umum usaha mandiri.

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    19

    Meskipun telah berlangsung selama lebih dari 20 tahun

    sejak dilontarkannya konsep sektor informal pada dasawarsa

    1970-an hingga saat ini, perdebatan tentang sektor informal

    masih juga belum mencapai kesepakatan. Sektor informal

    dipandang sebagai cara bekerja yang mempunyai ciri-ciri

    tertentu, yaitu: (i) mudah dimasuki, (ii) pemakaian sumber-

    sumber daya lokal, (iii) pemilikan oleh keluarga, (iv) berskala

    kecil, (v) padat karya dan pemakaian teknologi yang

    sederhana, (vi) keterampilan yang dimiliki di luar system

    pendidikan formal, dan (vii) bergerak di pasar yang kompetitif

    dan tidak berada di bawah pengaturan resmi. Selain itu, ILO

    menemukan adanya kegiatan-kegiatan ekonomi yang selalu

    lolos dari pencacahan, pengaturan dan perlindungan oleh

    pemerintah tetapi mempunyai makna ekonomi karena bersifat

    kompetitif dan padat karya, memakai input dan teknologi lokal

    serta beroperasi atas dasar kepemilikan sendiri oleh

    masyarakat lokal. Kegiatan-kegiatan inilah yang kemudian

    dinobatkan sebagai sektor informal.

    Berdasarkan berbagai pendapat tersebut dapat

    disimpulkan bahwa konsep sektor informal lebih difokuskan

    pada aspek ekonomi, sosial dan budaya. Aspek ekonomi

    meliputi penggunaan modal rendah, pendapatan rendah, dan

    skala usaha relatif kecil. Aspek sosial meliputi tingkat

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    20

    pendidikan formal rendah, berasal dari kalangan ekonomi

    lemah, dan umumnya berasal dari migran. Sedangkan dari

    aspek budaya diantaranya kecenderungan untuk beroperasi di

    luar sistem regulasi, penggunaan teknologi sederhana, dan

    tidak terikat oleh curahan waktu kerja. Dengan demikian,

    sektor informal lebih menitikberatkan kepada suatu proses

    memperoleh penghasilan yang dinamis dan bersifat kompleks.

    Kehadiran sektor informal dapat dilihat dari dua segi yaitu segi

    positif dan negatif. Segi positif diantaranya mampu

    menciptakan lapangan kerja sendiri, mampu menyerap

    angkatan kerja yang sekaligus sebagai katup pengaman

    terhadap pengangguran dan kerawanan sosial, dan

    menyediakan kebutuhan bahan pokok untuk kalangan

    ekonomi menengah ke bawah. Sedangkan dari segi

    negatifnya adalah mengganggu lalu lintas, mengganggu

    keindahan kota dan mengganggu kebersihan.

    Adapun ciri-ciri kegiatan sektor informal dapat

    disimpulkan sebagai berikut: (i) manajemennya sederhana; (ii)

    tidak memerlukan izin usaha; (iii) modal rendah; (iv) padat

    karya; (v) tingkat produktivitas rendah; (vi) tingkat pendidikan

    formal biasanya rendah; (vii) penggunaan teknologi

    sederhana; (viii) sebagian besar pekerja adalah keluarga dan

    pemilikan usaha oleh keluarga; (ix) mudahnya keluar masuk

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    21

    usaha; dan (x) kurangnya dukungan dan pengakuan

    pemerintah.

    Dalam Ensiklopedia Ekonomi, Bisnis dan Manajemen

    (1997) dijelaskan bahwa belum ada kebulatan pendapat

    tentang batasan yang tepat untuk sektor informal di Indonesia,

    tetapi terdapat kesepakatan tidak resmi antara para ilmuwan

    yang terlibat dalam penelitian masalah-masalah sosial untuk

    menerima definisi kerja sektor informal di Indonesia sebagai:

    a. Sektor yang tidak menerima bantuan atau proteksi

    ekonomi dari pemerintah;

    b. Sektor yang belum dapat menggunakan (karena tidak

    mempunyai akses) bantuan, meskipun pemerintah telah

    menyediakannya;

    c. Sektor yang telah menerima bantuan pemerintah tetapi

    bantuan tersebut belum sanggup membuat sektor

    tersebut mandiri.

    Berdasarkan definisi kerja tersebut, disepakati pula

    serangkaian ciri sektor informal di Indonesia, antara lain:

    a. Kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik, karena

    unit usaha timbul tanpa menggunakan fasilitas atau

    kelembagaan yang tersedia secara formal;

    b. Pada umumnya unit usaha tidak memiliki izin usaha;

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    22

    c. Pola kegiatan usaha tidak teratur dengan baik, dalam

    arti lokasi maupun jam kerja;

    d. Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu

    golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini;

    e. Unit usaha berganti-ganti dari satu subsektor ke

    subsektor lain;

    f. Teknologi yang digunakan masih tradisional;

    g. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga

    skala operasinya juga kecil;

    h. Dalam menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan

    formal, sebagian besar hanya diperoleh dari

    pengalaman sambil bekerja;

    i. Pada umumnya unit usaha termasuk kelompok one

    man enterprise, dan kalau memiliki pekerja, biasanya

    berasal dari keluarga sendiri;

    j. Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal

    dari tabungan sendiri, atau dari lembaga keuangan

    tidak resmi; dan

    k. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi oleh

    golongan masyarakat kota/desa berpenghasilan

    rendah atau menengah.

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    23

    2.2. Peluang Sektor Informal bagi Kaum Miskin Kota

    Setidaknya terdapat dua teori yang menjelaskan

    tentang kaum miskin kota, yaitu Teori Marjinalitas dan Teori

    Ketergantungan (Lutfi, 2008). Kaum miskin kota, dalam Teori

    Marjinalitas yang menjelaskan tentang pemukiman kumuh,

    dilihat sebagai penduduk yang secara sosial, ekonomi, budaya

    dan politik tidak berintegrasi dengan kehidupan masyarakat

    kota. Secara sosial, kaum miskin kota memiliki ciri-ciri yang

    mengungkapkan adanya disorganisasi internal dan isolasi

    eksternal. Secara budaya, kaum miskin kota mengikuti pola

    hidup tradisional perdesaan dan terkungkung dalam budaya

    kemiskinan. Secara ekonomi, kaum miskin kota hidup seperti

    parasit karena lebih banyak menyerap sumber daya kota

    daripada menyumbangkannya, boros, konsumtif, cepat puas,

    tidak berorientasi pasar, tidak berjiwa wiraswata, dan

    berproduksi secara pas-pasan. Sementara itu secara politik,

    kaum miskin kota berwatak apatis, tidak berpartisipasi dalam

    kehidupan politik, mudah terpengaruh oleh gerakan-gerakan

    politik revolusioner karena frustasi, disorganisasi sosial dan

    ketidakpastian yang mereka alami.

    Sebaliknya, dalam Teori Ketergantungan, masyarakat

    miskin kota tersebut dilihat sebagai pendatang miskin yang

    tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan yang memadai,

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    24

    sehingga mereka tidak dapat ambil bagian dalam sektor

    formal. Satu-satunya kemungkinan bagi kaum miskin kota

    adalah bekerja di sektor informal, seperti penjaja makanan,

    pedagang kecil, pemulung sampah yang tidak membutuhkan

    keterampilan khusus. Secara budaya, kaum miskin kota juga

    memiliki ciri-ciri yang sama dengan golongan lain yaitu

    menginginkan hidup yang lebih baik dan dapat

    menyekolahkan anak-anaknya, serta mau bekerja keras..

    Tetapi, di mata golongan yang berkuasa, kaum miskin kota

    dipandang rendah sebagai sumber malapetaka kota yaitu

    sumber kejahatan, pelacuran, dan kekotoran. Secara

    ekonomis, kaum miskin kota lebih banyak memberi daripada

    menerima. Merekalah yang membersihkan dan memanfaatkan

    sisa-sisa konsumsi golongan lain dalam masyarakat kota.

    Dengan melihat konteks perkotaan di negara-negara

    berkembang, jelaslah bahwa Teori Ketergantungan lebih tepat

    untuk menjelaskan kemiskinan di perkotaan dibandingkan

    dengan Teori Marjinalitas.

    Teori Ketergantungan yang menggambarkan kaum

    miskin kota sebagai warga kota yang tidak memiliki

    keterampilan dan pengetahuan menunjukkan bahwa peluang

    yang dimiliki oleh kaum miskin kota berada pada sektor

    informal. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan yang erat

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    25

    antara kemiskinan perkotaan dengan sektor informal. Sektor

    informal sering kali dikaitkan dengan kaum miskin kota yang

    tidak terdidik sehingga kaum miskin tersebut hanya mampu

    bekerja di sektor informal yang tidak membutuhkan keahlian

    khusus.

    Peluang sektor informal untuk tetap bertahan atau

    berkembang, dapat dilihat dari dua sisi. Dari sisi penawaran,

    seperti telah dibahas sebelumnya, masih terdapat persoalan

    struktural ketenagakerjaan di dalam negeri yang memberi

    peluang besar bagi pertumbuhan sektor informal. Dengan

    adanya krisis ekonomi, peluang tersebut semakin besar,

    terbukti pada saat krisis ekonomi tahun 1998 lalu telah

    memberi sejumlah dorongan positif bagi pertumbuhan output

    (bukan produktivitas) di sektor tersebut. Dorongan positif

    tersebut diberikan melalui labour market effect, yaitu

    pertumbuhan jumlah unit usaha, pekerja dan pengusaha

    akibat meningkatnya jumlah pengangguran (akibat banyak

    pekerja di sektor formal yang di PHK-kan). Dorongan positif

    lainnya dari sisi penawaran (produksi) adalah munculnya

    tawaran dari sektor formal untuk melakukan mitra usaha atau

    aliansi dengan sektor informal apabila kondisi memaksa.

    Dengan kata lain, muncul kesempatan besar untuk melakukan

    kemitraan atau misalnya subcontractring antara industri besar

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    26

    dengan industri kecil.

    2.3. Munculnya Kegiatan Sektor Informal

    Ulasan tentang kegiatan-kegiatan sektor informal

    selama ini umumnya terfokus secara eksklusif pada konteks

    kontemporernya, yaitu membahas tentang tingkat penghasilan

    pengusaha, jumlah tenaga kerja, latar belakang sosial

    ekonomi para pekerja dan sebagainya. Ulasan-ulasan tersebut

    ternyata belum mampu memberikan gambaran yang utuh

    tentang fenomena informalitas. Oleh karena itu dalam hal ini

    perlu dijelaskan munculnya gejala sektor informal dalam

    konteks sejarah karena melalui sejarah ini dapat menyingkap

    akar-akar kegiatan sektor informal serta keterkaitannya

    dengan perkembangan-perkembangan makro dalam sistem

    sosial ekonomi yang lebih luas.

    Salah satu kajian yang dilakukan oleh Bappeda Kota

    Pontianak (2007), menyebutkan pernyataan yang disampaikan

    oleh Francois Valentijn bahwa kegiatan-kegiatan seperti yang

    dikemukakan pada ekonomi informal saat ini sudah ada sejak

    tahun 1724 di kota Batavia (Jakarta). Pada saat itu di

    sepanjang jalan kota terdapat penjaja-penjaja yang berkeliling

    membawa segala macam barang yang diperdagangkan.

    Mereka menjual bermacam-macam sayuran, porselin, kain,

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    27

    barang kerajinan, teh, roti, air minum, bunga, pakaian bekas,

    kaos kaki dan lain-lain. Praktek penjualan semacam itu

    sebelumnya dilarang oleh VOC dan baru diperbolehkan pada

    tahun 1739. Pada abad itu sistem penjajahan telah de facto

    menduduki posisi tertentu dalam sistem perekonomian kota

    yang nantinya akan diisi oleh kegiatan informal. Kebiasaan

    ibu-ibu rumah tangga di Batavia membeli kebutuhan rutin

    mereka di halaman rumahnya telah membuka sistem

    penjajaan ke rumah-rumah sebagai kebutuhan tetap bagi

    jalannya ekonomi kota. Dengan bekal mobilitas yang tinggi ini,

    para pedagang informal secara perlahan akan menguasai

    segmen pasar ini. Dalam sebuah kajian lain, ada yang

    menyimpulkan bahwa cikal bakal ekonomi informal perkotaan

    mulai muncul pada abad ke-19, kemudian mengambil bentuk

    modernnya pada dasawarsa 1920 atau 1930-an, sedangkan

    mencapai proporsi dominannya mulai dasawarsa 1950-an.

    Pada abad ke-19 tenaga kerja di sektor pertanian

    mulai berlimpah karena laju pertumbuhan penduduk yang

    tinggi. Hal ini membuat semakin banyak tenaga kerja mencari

    sumber penghidupan lain. Sektor perdagangan dan industri

    kecil menawarkan jalan keluar kepada para pencari pekerjaan

    tersebut. Pada tahun 1990 tercatat bahwa sepertiga rumah

    tangga perdesaan di Jawa penghasilannya diperoleh dari

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    28

    perdagangan dan industri kecil. Sedangkan pada tahun 1904--

    1905 gejala ini meluas yakni seluruh rumah tangga perdesaan

    memperoleh pendapatan sebesar 15 persen dari perdagangan

    dan industri kecil.

    Jennifer Alexander dan Paul Alexander (1989)

    menjelaskan bahwa pasar-pasar semakin ramai dan warung--

    warung dan gerobak-gerobak penjual barang kelontong

    semakin banyak, serta sektor non pertanian berkembang

    dengan pesat sehingga penduduk Jawa yang terlibat dalam

    kegiatan pertanian pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20

    menunjukkan adanya kemunculan ekonomi sektor informal.

    Pada dasawarsa 1940-an di Jakarta telah muncul usaha

    mandiri berskala kecil seperti bengkel-bengkel reparasi

    sepeda, tukang loak dan penjual botol bekas. Alat angkut

    becak sebagai sarana transportasi diperkenalkan di Jakarta

    pada tahun 1936 yang dari tahun ke tahun terus bertambah

    sampai era tahun 80-an.

    2.4. Sektor Informal dan Penyerapan Angkatan Kerja

    Munculnya sektor informal di kota tidak terlepas dari

    latar belakang sejarah perekonomian tradisional yaitu

    perekonomian perdesaan yang sebagian besar didasarkan

    pada struktur pertanian dengan pola bercocok tanam

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    29

    sederhana. Oleh karena rendahnya upah tenaga kerja di

    sektor pertanian dan semakin langkanya lahan-lahan

    pertanian di perdesaan, maka banyak tenaga kerja yang

    memilih alternatif lain untuk urbanisasi dan bekerja di sektor

    non pertanian. Dalam hubungan ini ternyata sebagian besar

    angkatan kerja terserap pada sektor informal.

    Angkatan kerja merupakan bagian dari tenaga kerja

    yang mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja,

    yang sedang mencari pekerjaan dan yang melakukan kegiatan

    lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. Dengan

    demikian tidak semua penduduk dapat dikategorikan sebagai

    tenaga kerja, sebab diantara penduduk tersebut ada yang

    kurang mampu memproduksi barang atau jasa misalnya anak-

    anak di bawah usia kerja, dan orang yang lanjut usia atau

    jompo.

    Secara praktis pengertian tenaga kerja biasanya hanya

    dilihat dari segi umur dengan memperhatikan batas umur

    sehingga kemudian dapat ditentukan golongan tenaga kerja

    dan golongan bukan tenaga kerja. Di tiap-tiap negara batas

    umur tenaga kerja ini tidak sama. Dengan memperhatikan hal

    tersebut, keseluruhan penduduk apabila dilihat dari sudut

    ketenagakerjaan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua

    yaitu: penduduk usia kerja (working age population) dan

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    30

    penduduk di luar usia kerja (non working age population).

    Yang menjadi pertanyaan adalah apakah semua tenaga kerja

    berpartisipasi aktif dalam pekerjaan. Secara ekonomis tidak

    semua tenaga kerja terlibat dalam pekerjaan atau kegiatan

    produktif. Hanya sebagian dari mereka yang sesungguhnya

    terlibat, sedangkan sebagian lainnya tidak terlibat. Mereka

    yang tidak terlibat dalam kegiatan yang produktif disebut

    bukan angkatan kerja (non in the labour force). Sedangkan

    mereka yang terlibat dalam pekerjaan atau usaha produktif

    disebut angkatan kerja (labour force).

    Angkatan kerja terdiri dari golongan yang bekerja dan

    golongan yang sedang mencari kerja atau menganggur.

    Golongan yang bekerja adalah orang-orang yang sudah aktif

    dalam kegiatannya yaitu dalam proses produksi guna

    menghasilkan barang atau jasa. Sedangkan golongan yang

    sedang mencari kerja adalah orang yang menawarkan jasa

    tenaga atau pikiran untuk proses produksi guna menghasilkan

    barang atau jasa. Jumlah orang yang dapat terserap dalam

    suatu pekerjaan tergantung dari besarnya permintaan

    (demand) dalam masyarakat. Besar kecilnya permintaan

    tenaga kerja dipengaruhi antara lain oleh aktivitas ekonomi

    maupun tingkat upah. Permintaan tenaga kerja ini dapat

    datang dari sektor formal maupun sektor informal. Beberapa

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    31

    karakteristik tersebut dapat mempengaruhi permintaan

    maupun penawaran angkatan kerja untuk masuk kerja

    (terserap) oleh sektor informal. Oleh karena itu kaitan antara

    sektor informal dan penyerapan angkatan kerja dapat

    dikemukakan sebagai berikut:

    (i) Persyaratan Masuk. Angkatan kerja mudah terserap

    pada sektor informal karena sektor informal memberikan

    kebebasan kepada angkatan kerja untuk masuk maupun

    keluar dari pekerjaan tanpa adanya persyaratan-

    persyaratan seperti yang diberlakukan pada sektor

    formal. Akibatnya bagi angkatan kerja yang

    berminat/tertarik untuk memasuki kerja di sektor informal

    langsung dapat terserap sesuai dengan jenis yang

    diminati.

    (ii) Waktu kerja. Dari segi waktu kerja sektor informal

    memberikan kebebasan waktu kepada angkatan kerja.

    Dengan adanya kebebasan waktu kerja ini, angkatan

    kerja akan lebih fleksibel dalam menjalankan usahanya

    sehingga bagi siapapun yang memasuki sektor ini dapat

    memilih waktu yang diinginkan.

    (iii) Umur. Secara relatif bekerja pada sektor informal tidak

    memiliki batas umur yang mengikat seperti yang

    diberlakukan pada sektor formal. Artinya bekerja di

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    32

    sektor informal tidak terdapat istilah usia produktif atau

    non produktif. Siapapun yang berminat memasuki sektor

    ini dalam usia berapapun dapat membuka dan

    menjalankan usahanya. Dari gambaran ini bagi angkatan

    kerja yang sudah tidak dipekerjakan di sektor formal

    (dipensiunkan misalnya) dan masih berminat untuk

    bekerja dapat terserap pada sektor informal.

    (iv) Jenjang pendidikan. Umumnya pekerjaan di sektor

    informal dipandang sebagai pekerjaan yang inferior,

    sehingga bagi angkatan kerja yang mempunyai

    pendidikan formal terbatas (rendah) apalagi buta huruf,

    yang sulit memasuki sektor formal masih dapat diterima

    di sektor informal.

    Dengan tertampungnya angkatan kerja di sektor

    informal, mereka dapat dikatakan telah terserap pada sektor

    informal. Menggarisbawahi keunggulan-keunggulan sektor

    informal tersebut, maka keberadaan sektor informal jangan

    hanya dipandang sebagai hal yang negatif saja tetapi juga

    harus diperhatikan segi positifnya. Dari segi positifnya sektor

    informal mempunyai dampak sebagai berikut: (i) mempunyai

    daya kemampuan untuk menyerap angkatan kerja. Hal ini

    mengingat keterbatasan sektor formal dalam menyerap

    angkatan kerja; dan (ii) mampu menciptakan lapangan kerja

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    33

    baru.

    Sektor informal yang selama ini bagi sebagian orang

    dianggap lebih sering sebagai beban yang mencemari

    keindahan dan ketertiban kota, justru perlu dilindungi,

    dibangun, dikembangkan atau dibina sehingga dampak

    negatifnya bisa dihilangkan karena sektor ini mampu

    menciptakan lapangan kerja sendiri tanpa bantuan

    pemerintah. Sektor ini telah memberi andil dan ikut berperan

    dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar mengenai

    proses pembangunan ekonomi dan perubahan sosial.

    2.5. Kekuatan Sektor Informal

    1. Daya Tahan

    Selama krisis ekonomi, terbukti sektor informal tidak

    hanya dapat bertahan, bahkan berkembang pesat. Dari sisi

    permintaan, akibat krisis ekonomi pendapatan riil rata-rata

    masyarakat turun drastis dan terjadi pergeseran permintaan

    masyarakat, dari barang-barang sektor formal atau impor

    (yang harganya relatif mahal) ke barang-barang sederhana

    buatan sektor informal (yang harganya relatif murah).

    Misalnya, sebelum krisis terjadi, banyak pegawai-pegawai

    kantoran, mulai dari kelas menengah hingga tinggi makan

    siang di restoran-restoran mahal di luar kantor. Di masa krisis,

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    34

    banyak dari mereka merubah kebiasaan dari makan siang di

    tempat yang mahal ke rumah-rumah makan sederhana atau

    warung-warung murah di sekitar kantor mereka.

    Dari sisi penawaran, akibat banyak orang di-PHK-kan

    di sektor formal selama masa krisis, ditambah lagi dengan

    sulitnya angkatan kerja baru mendapat pekerjaan di sektor

    formal, maka suplai tenaga kerja dan pengusaha ke sektor

    informal meningkat. Selain itu, relatif kuatnya daya tahan

    sektor informal selama krisis, juga dijelaskan oleh tingginya

    motivasi pengusaha di sektor tersebut dalam

    mempertahankan kelangsungan usahanya. Bagi banyak

    pelaku, usaha di sektor informal merupakan satu-satunya

    sumber penghasilan mereka, sehingga berbeda dengan rekan

    mereka di sektor formal, pengusaha-pengusaha di sektor

    informal sangat adaptif menghadapi perubahan situasi dalam

    lingkungan usaha mereka.

    2. Padat Karya

    Dibandingkan dengan sektor formal, khususnya usaha

    skala besar, sektor informal pada umumnya adalah usaha

    skala kecil bersifat padat karya. Hal ini sesuai dengan kondisi

    di Indonesia yang memiliki persediaan tenaga kerja yang

    sangat banyak, walaupun akibatnya upah tenaga kerja

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    35

    menjadi relatif lebih murah jika dibandingkan di negara-negara

    lain yang jumlah penduduknya yang lebih sedikit dari

    Indonesia. Dengan asumsi faktor-faktor lain mendukung

    (seperti kualitas produk yang dibuat baik dan tingkat efisiensi

    usaha serta produktivitas pekerja tinggi), maka upah murah

    merupakan salah satu keunggulan komparatif yang dimiliki

    usaha kecil di Indonesia.

    3. Keahlian Khusus (Tradisional)

    Apabila dilihat dari jenis-jenis produk yang dibuat di

    oleh industri kecil dan industri rumah tangga di Indonesia,

    dapat dikatakan bahwa produk-produk yang dihasilkan

    umumnya sederhana dan tidak membutuhkan pendidikan

    formal, tetapi membutuhkan keahlian khusus (traditional skill).

    Disinilah keunggulan lain sektor informal, yang dapat

    membuat mereka bertahan walaupun terdapat persaingan

    yang ketat dari sektor formal, termasuk impor yang sangat

    tinggi. Keahlian khusus tersebut biasanya dimiliki pekerja atau

    pengusaha secara turun temurun.

    4. Permodalan

    Kebanyakan pengusaha di sektor informal

    menggantungkan diri pada uang (tabungan) sendiri, atau dana

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    36

    pinjaman dari sumber-sumber informal (di luar sektor

    perbankan/keuangan) untuk kebutuhan modal kerja dan

    investasi mereka, walaupun banyak juga pengusaha-

    pengusaha kecil yang memakai fasilitas-fasilitas kredit khusus

    dari pemerintah. Selain itu, investasi di sektor informal rata-

    rata jauh lebih rendah daripada investasi yang dibutuhkan

    sektor formal. Tentu, besarnya investasi bervariasi menurut

    jenis kegiatan dan skala usaha.

    2.6. Dualisme di Indonesia

    Dualisme diartikan sebagai situasi yang tidak seragam,

    di dalamnya secara tegas masyarakat dapat dibagi menjadi 2

    (dua) kelompok, yaitu kelompok masyarakat tradisional dan

    modern. Keduanya berada pada ruang dan waktu yang

    bersamaan, kondisi ini bersifat kronis dan permanen.

    Kehadiran dan kemajuan satu kelompok pengaruhnya sangat

    kecil atau tidak sama sekali terhadap kemajuan kelompok

    lainnya.

    Terdapat 3 (tiga) jenis dualisme, yaitu dualisme sosial,

    ekologi dan ekonomi. Ismalina (2005) menjelaskan bahwa

    dualisme sosial di Indonesia pertama kali dikemukakan oleh

    William Boeke. Boeke menjelaskan mengapa rakyat Indonesia

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    37

    dapat bertahan dalam menghadapi sistem tanam paksa

    (cultuurstelsel) Pemerintah Hindia-Belanda (sistem modern),

    yang jelas mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi rakyat

    Indonesia. Menurut pengamatan Boeke, hal ini disebabkan

    rakyat Indonesia pada waktu itu mengembangkan pula sistem

    sosial-ekonomi lain (sistem tradisional), yang dapat

    didefinisikan sebagai kekuatan lokal sosial. Kekuatan ini

    sangat efektif menjadi persembunyian dan mekanisme

    kebertahanan hidup masyarakat dari sistem sosial-ekonomi

    Pemerintah Hindia Belanda Meski hidup secara subsisten,

    masyarakat Indonesia tetap mampu bertahan hidup dari

    keberadaan sistem tradisional tersebut.

    Dualisme ekologi di Indonesia dijelaskan oleh Geertz

    (1963), yaitu terdapat 2 (dua) ekosistem di Indonesia

    Indonesia Dalam (sebagian besar Jawa, Bali Selatan dan

    Lombok Barat) yang mewakili ekosistem padat penduduk

    dengan pertanian padi, tebu, palawija, dan Indonesia Luar

    (Luar Jawa dan sebagian Jawa Barat) yang mewakili

    lingkungan yang relatif kosong dengan pola pertanian ladang,

    perkebunan dan pertambangan. Adanya intervensi penjajah

    yang mengarahkan pola produksi berorientasi ekspor, namun

    tidak didukung oleh sektor lainnya terutama sektor padat

    modal di luar Jawa mengakibatkan sektor pertanian di Jawa

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    38

    mengalami kemandegan, ditambah lagi penduduk Jawa

    mengalami pertumbuhan yang cepat, sehingga akibatnya

    terjadi proses pemiskinan di Jawa.

    Dualisme ekonomi dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu

    dualisme teknologi, finansial dan regional. Dalam hal

    teknologi, di Indonesia terdapat dua sektor yaitu sektor yang

    bercirikan barat dengan perkebunan dan pertambangan yang

    padat modal dan sektor pertanian dan industri rumah

    tangga/industri kecil yang padat karya. Selanjutnya,

    segmentasi pasar uang di negara sedang berkembang telah

    menyebabkan terjadinya dualisme. Sektor padat modal dapat

    dengan mudah memperoleh tambahan modal dari pasar uang

    yang terorganisir, sedangkan sektor padat karya kebanyakan

    tidak memiliki akses terhadap pasar uang terorganisasir,

    sehingga mereka dilayani oleh pasar uang yang tidak

    terorganisir seperti pengijon, dan tengkulak. Hal ini

    menyebabkan semakin produktifnya sektor padat modal,

    sebaliknya stagnannya sektor padat karya, atau bahkan

    memburuk. Selanjutnya, ketidakseimbangan pembangunan

    juga telah menyebabkan kesenjangan antar daerah, sehingga

    terjadi dualisme regional. Ketiga jenis dualisme tersebut, lebih

    lanjut telah memunculkan sektor formal dan informal.

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    39

    BAB III

    METODOLOGI DAN DATA AWAL

    3.1. Kerangka Pemikiran

    Migrasi Desa-Kota

    Mobilitas penduduk dibedakan menjadi dua, yaitu

    mobilitas permanen dan mobilitas non permanen. Mobilitas

    permanen adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk

    menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas

    politik/negara maupun batas administratif/bagian dalam suatu

    negara. Jika perpindahan melampaui batas politik/negara

    disebut sebagai migrasi internasional. Sedangkan jika hanya

    melampaui batas administratif dalam suatu negara disebut

    migrasi internal. Migrasi internal ini dapat terjadi antar provinsi,

    antar kabupaten/kota, antar kota, antar desa, antara desa-kota

    atau sebaliknya, dan sebagainya.

    Mobilitas non permanen dapat berbentuk migrasi

    sirkuler, yaitu perpindahan seseorang ke daerah lain dengan

    niatan akan kembali lagi ke daerah asal ataupun berbentuk

    nglaju (commuting), yaitu kegiatan seseorang pulang-pergi

    secara kontinyu dari suatu tempat ke tempat lainnya. Migrasi

    sirkuler biasanya dilakukan oleh penduduk desa yang untuk

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    40

    sementara pada periode waktu tertentu, terutama pada

    periode menunggu antara musim tanam dan musim panen,

    mencari tambahan penghasilan di kota. Sedangkan nglaju

    biasanya dilakukan oleh orang-orang yang bertempat tinggal

    di desa pinggiran kota yang setiap hari pergi-pulang ke pusat

    kota tempat kerja/usaha/ sekolahnya berada.

    Migrasi yang terjadi di Indonesia sebagian besar

    merupakan migrasi dari desa ke kota. Dengan

    berkembangnya sektor informal di kota maka mobilitas yang

    sangat relevan adalah migrasi sirkuler dan komuting. Migran

    sirkuler dan penglaju-lah yang kebanyakan berkecimpung di

    sektor informal kota. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

    pekerja sektor informal di kota kebanyakan merupakan migran

    dari desa yang pada waktu-waktu tertentu pulang kembali ke

    desa, karena pada umumnya keluarganya tetap tinggal di

    desa.

    Namun, data survei dan sensus nasional tidak dapat

    menggambarkan migrasi desa-kota karena tidak ada

    pertanyaan asal desa migran. Demikian juga dengan migrasi

    sirkuler dan komuting tidak dapat dilacak dari hasil sensus

    maupun survei nasional. Data yang dikumpulkan hanya

    memperlihatkan migrasi antar provinsi dan antar

    kabupaten/kota. Dari pertanyaan yang diajukan hanya

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    41

    diperoleh migrasi selama hidup (life time migration), migrasi

    total (total migration) dan migrasi terbaru (recent migration).

    Karena data migrasi desa-kota tidak mungkin diperoleh maka

    akan digunakan proksi.

    Selanjutnya perlu dijelaskan hubungan antara sektor

    informal dan migrasi. Hubungan keduanya dapat dijelaskan

    melalui proses pencarian kerja (job search) di kota dan proses

    formalisasi sektor informal.

    Proses Mencari Kerja di Kota dan Formalisasi Sektor

    Informal

    Menurut Stark (1982), proses mencari kerja di kota

    oleh migran dapat dijelaskan dengan model Todaro/Harris-

    Todaro. Terdapat 2 (dua) pilihan bagi migran dalam usahanya

    mencari kerja di sektor formal kota, pertama, migran dari desa

    memasuki sektor informal terlebih dahulu (pada periode

    pertama) sembari mencari pekerjaan di sektor formal. Strategi

    kedua yang dapat dilakukan oleh migran adalah secara

    intensif mencari kerja di sektor formal dengan menganggur

    pada periode pertama. Menurut Stark banyaknya tenaga kerja

    yang memasuki sektor informal di kota karena merupakan

    pilihan terbaik. Meskipun penghasilan yang diperoleh pada

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    42

    periode pertama lebih besar daripada periode kedua sekalipun

    tetap lebih baik bagi migran untuk tidak bekerja di sektor

    informal pada periode pertama. Masuknya migran dari desa ke

    sektor informal semata-mata terpaksa karena tidak mungkin

    baginya menganggur, bukan karena penghasilan yang lebih

    tinggi.

    Stark mengasumsikan bahwa migrasi dari desa ke kota

    bertujuan untuk mencari kerja di sektor formal kota. Walaupun

    ia bekerja di sektor informal, itu hanyalah untuk sementara

    karena ia akan beralih ke sektor formal nantinya. Dengan

    demikian berarti model Todaro/Harris-Todaro menganggap

    akan terjadi formalisasi sektor informal, yaitu beralihnya

    pekerja sektor informal ke sektor formal serta berubahnya

    status usaha informal menjadi usaha formal. Dengan demikian

    sektor informal sama sekali tidak mempengaruhi keputusan

    seseorang untuk bermigrasi ke kota, melainkan oleh sektor

    formal di kota.

    Akan tetapi, pada kenyataannya proses mencari kerja

    di kota tidak hanya pada sektor formal saja, tetapi juga

    informal. Todaro maupun Stark mengabaikan bahwa banyak

    migran dari desa di negara sedang berkembang semata-mata

    hanya untuk bekerja di sektor informal, tanpa nantinya

    berkeinginan untuk beralih ke sektor formal. Daya tarik sektor

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    43

    informal ini dibuktikan oleh Temple dalam Handayani (1993).

    Penelitian Temple di Jakarta menemukan bahwa migrasi

    ditentukan oleh probabilita untuk memperoleh pekerjaan,

    bukan oleh pendapatan yang akan diperoleh. Oleh karena

    sektor informal bersifat easy to entry maka probabilitas untuk

    memperoleh pekerjaan di sektor informal cukup besar.

    Bermigrasi ke Jakarta, terutama yang berasal dari desa

    disebabkan oleh keyakinannya akan memperoleh pekerjaan di

    kota, yaitu di sektor informal, meskipun pendapatan yang akan

    diperolehnya lebih rendah daripada sektor formal.

    Hackenberg (1980) menyatakan bahwa di kawasan

    Asia Tenggara daya tarik sektor informal cukup tinggi karena

    penghasilan yang dijanjikan, di sektor informal justru cukup

    tinggi. Menurutnya, karena probabilitas memperoleh pekerjaan

    dan penghasilan di sektor informal cukup tinggi maka sektor

    informal telah menjadi daya tarik tersendiri bagi migran di desa

    untuk melakukan job search ke kota. Sebagian migran ke kota

    untuk mencari pekerjaan di sektor formal dan sebagian yang

    lain mencari pekerjaan di sektor informal. Hal ini berarti bahwa

    sektor informal juga mempengaruhi arus migrasi desa-kota.

    Jadi migrasi ke kota juga dipengaruhi oleh perbedaan

    penghasilan riil yang diharapkan antara sektor informal kota

    dengan desa.

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    44

    Dari hasil uji ekonometri jika memang benar pengaruh

    perbedaan tingkat upah riil antara sektor informal di kota

    dengan di desa signifikan dan jika koefisien regresinya lebih

    besar daripada koefisien tingkat upah riil yang diharapkan di

    sektor formal kota dengan desa maka dapat disimpulkan

    bahwa di kota tidak terjadi formalisasi sektor informal.

    Proses migrasi erat kaitannya dengan masalah

    pemilihan, yaitu memilih untuk bermigrasi ke daerah lain atau

    tetap tinggal di daerah asalnya. Jika kemudian ia memutuskan

    untuk bermigrasi maka ia harus memilih ke daerah mana ia

    bermigrasi. Jika rasional maka ia akan memilih daerah yang

    akan memberikan kepuasan maksimum, yang ditentukan oleh

    faktor-faktor ekonomi seperti pendapatan maupun faktor-faktor

    non ekonomi seperti lingkungan sosial yang aman dan

    sebagainya.

    3.2. Metodologi

    Dengan menggunakan teori-teori dualisme, dicoba

    untuk mencapai tujuan pertama dari kajian ini, yaitu

    memahami mengapa dan bagaimana terbentuknya sektor

    informal di Indonesia. Selanjutnya dengan menggunakan teori

    pembangunan dualistik, dicoba untuk mencapai tujuan kedua,

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    45

    yaitu membuktikan terjadi atau tidaknya proses formalisasi

    sektor informal di Indonesia. Lingkup kajian dan analisis

    bersifat makro dan menggunakan data makro yaitu dari data

    hasil survei dan sensus yang dilakukan secara nasional.

    Pengujian model menggunakan data cross section yang mana

    observasinya adalah seluruh provinsi di Indonesia.

    Todaro menyatakan bahwa migrasi desa-kota

    disebabkan oleh perbedaan upah riil antara desa-kota dan

    probabilitas dalam memperoleh pekerjaan di kota. Dalam hal

    ini adalah probabilitas untuk memperoleh kesempatan kerja di

    sektor modern di kota. Jadi, seseorang akan melakukan

    migrasi bilamana terdapat perbedaan expected real income

    selama masa kepindahannya, yang melebihi biaya total yang

    harus dikeluarkan untuk bermigrasi. Sehingga meskipun

    terdapat pengangguran di kota, penduduk desa tetap akan

    bermigrasi ke kota selama masih ada harapan untuk

    memperoleh pekerjaan dengan pendapatan yang lebih tinggi

    daripada pendapatan di desa ditambah biaya untuk

    bermigrasi.

    Harapan tersebut tergambar dari semakin

    meningkatnya probabilitas memperoleh pekerjaan di sektor

    modern kota dengan semakin lamanya ia bermukim di kota,

    biasanya migran ini akan bekerja di sektor informal terlebih

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    46

    dahulu. Oleh karena itu, model migrasi Todaro dikenal juga

    sebagai model migrasi bertingkat. Migrasi dari sektor

    tradisional tidak langsung ke sektor modern kota, melainkan

    melalui sektor tradisional kota terlebih dahulu, atau dikenal

    juga sebagai sektor informal. Melalui model migrasinya ini

    Todaro menjelaskan bahwa proses urbanisasi yang cepat dan

    arus migrasi yang deras dari desa ke kota tercermin dari

    semakin lebarnya perbedaan upah riil antara kota dan desa.

    Hal ini juga dipandang sebagai kritik terhadap model Lewis-Fai

    Ranis (Model L-F-R) yang percaya bahwa tingkat upah di kota

    dan desa akan selalu konstan. Karenanya, teori migrasi

    Todaro lebih baik dalam menjelaskan keadaan di negara

    sedang berkembang.

    Dengan mengasumsikan bahwa keputusan untuk

    bermigrasi merupakan keputusan ekonomi yang rasional, yaitu

    melalui perhitungan untung rugi, maka migrasi ditentukan oleh

    perbedaan dalam expected earnings (bukan accrual earning)

    antara desa dan kota. Perbedaan expected earning ini

    dihitung dengan mengalikan perbedaan pendapatan riil dari

    pekerjaan di desa dan di kota dengan probabilitas migran

    untuk memperoleh pekerjaan di kota. Selain itu, menurut

    Todaro migrasi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non

    ekonomi seperti sistem sosial, kebijakan pemerintah, faktor-

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    47

    faktor psikologis, faktor-faktor demografis dan lain sebagainya.

    Sehingga model migrasi Todaro dapat ditulis sebagai berikut:

    Dengan , ,

    Sehingga,

    Dan ,

    Dimana:

    : tingkat migrasi ke kota

    : jumlah migrasi dari desa ke kota

    : jumlah tenaga kerja di desa

    : jumlah tenaga kerja di kota

    : jumlah tenaga kerja yang bekerja di kota

    : probabilitas memperoleh pekerjaan di kota

    : perbedaan tingkat upah riil desa-kota

    : upah riil di kota

    : upah riil di desa

    z : faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat migrasi, baik yang mewakili cost maupun

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    48

    benefit dari bermigrasi, seperti jarak desa-kota, ada tidaknya relasi di kota, gemerlapnya kota (city-light) dan lain sebagainya

    Sedangkan keputusan untuk bermigrasi atau tidak menurut

    Todaro didasarkan pada persamaan sebagai berikut:

    Dimana:

    : nilai sekarang (present value) dari pendapatan neto

    antara kota dan desa sepanjang jangka waktu perencanaan bermigrasi

    : biaya migrasi

    I : tingkat diskonto

    n : lama waktu perencanaan migrasi

    t : periode waktu bermigrasi, dan t = 0, 1, 2, 3,., n

    Bila V(0) bernilai positif maka orang tersebut akan

    memutuskan untuk bermigrasi ke kota, dan bila nilainya

    negatif atau nol maka orang tersebut tidak akan melakukan

    migrasi. Dengan persamaan tersebut, Todaro menjelaskan

    mengapa migrasi desa-kota tetap berlangsung meskipun di

    kota terjadi pengangguran. Selain itu, Todaro juga dapat

    menjelaskan bilamana keseimbangan dapat terjadi.

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    49

    Harris dan Todaro kemudian memperluas model

    migrasi Todaro dengan melihat pengaruh migrasi 2 (dua)

    sektor terhadap pendapatan di perdesaan, output di perkotaan

    dan output di perdesaan, serta kesejahteraan masyarakat

    secara keseluruhan. Hubungan ini digambarkan dalam suatu

    sistem persamaan yang terdiri dari beberapa persamaan.

    Persamaan migrasi desa-kota dalam sistem persamaan

    tersebut membentuk suatu kondisi keseimbangan yaitu kondisi

    dimana tidak ada lagi migrasi dari desa ke kota ( ).

    Bermula dari hubungan fungsional bahwa migrasi desa-kota

    dipengaruhi oleh perbedaan dalam pendapatan yang

    diharapkan (expected wage different) antara desa dan kota:

    Sebenarnya, fokus utama dari model H-T bukan pada

    arus migrasi seperti halnya model Todaro, melainkan pada

    kondisi keseimbangan statis dari migrasi. Hal ini dikarenakan

    model H-T sebenarnya merupakan perluasan dari model neo-

    klasik 2 sektor atau model L-F-R. Namun demikian, model

    Todaro maupun model H-T sama-sama menyatakan bahwa

    migrasi desa-kota ditentukan oleh perbedaan upah riil kota-

    desa yang diharapkan akan diperoleh (expected income/wage

    differential). Oleh karena itu model ini dapat dikombinasikan

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    50

    menjadi model Todaro/Haris-Todaro (model T/H-T), yaitu

    model yang menyatakan bahwa migrasi dipengaruhi oleh

    perbedaaan upah riil desa-kota dan probabilita memperoleh

    pekerjaan di kota.

    3.3. Model dan Pengukuran Variabel dalam Model

    Kajian ini menganalisis migrasi makro, dengan

    menggunakan total migrasi yang tidak diuraikan dalam migrasi

    per individu, sehingga probabilitas untuk bermigrasi dan tidak

    bermigrasi didefinisikan sebagai rasio antara jumlah yang

    bermigrasi dengan jumlah yang tidak bermigrasi. Probabilitas

    seseorang yang berasal dari a dan bermigrasi ke t adalah

    rasio jumlah penduduk yang berasal dari daerah a dan berada

    di daerah t pada saat terjadi pencacahan dengan jumlah

    penduduk yang berasal dari a. Sedangkan probabilitas

    seseorang yang berasal dari a untuk tidak bermigrasi dari a

    adalah rasio antara jumlah penduduk yang lahir dan berasal

    dari a dan berada di a pada saat terjadi pencacahan dengan

    jumlah penduduk yang berasal dari a. Oleh karena yang

    dipergunakan adalah migrasi total maka karakteristik individu

    sebagai faktor pengaruh bermigrasi seperti umur, jenis

    kelamin dan sebagainya tidak dapat dilihat.

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    51

    Dengan mengasumsikan bahwa migran dari desa tidak

    hanya untuk bekerja di sektor formal, melainkan juga tertarik

    pada sektor informal maka model ini memasukkan sektor

    informal kota sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi

    migrasi desa-kota. Probabilitas memperoleh pekerjaan di

    sektor informal kota merupakan rasio antara jumlah yang

    bekerja di sektor informal kota dengan jumlah angkatan kerja

    di kota.

    Faktor-faktor lain yang diperkirakan mempengaruhi

    migrasi desa-kota adalah tingkat urbanisasi di kota tujuan,

    jarak antara desa-kota, dan proporsi penduduk desa dan kota

    yang berpendidikan. Tingkat urbanisasi diukur dari rasio

    jumlah penduduk kota terhadap penduduk total. Tingkat

    urbanisasi dapat memilki pengaruh yang positif maupun

    negatif terhadap migrasi desa-kota. Jika tingkat urbanisasi

    mewakili daya tarik kota maka hal ini akan menjadi pull factor

    bagi migran, sehingga tingkat urbanisasi memiliki pengaruh

    positif terhadap migrasi desa-kota. Namun, jika tingkat

    urbanisasi ini mewakili kepadatan penduduk maka tingkat

    urbanisasi memiliki pengaruh negatif tingkat urbanisasi

    memiliki pengaruh positif terhadap migrasi desa-kota.

    Jarak antara desa-kota mewakili biaya bermigrasi,

    dimana jarak antara desa-kota memiliki pengaruh negatif

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    52

    terhadap migrasi desa-kota. Karena semakin jauh jarak maka

    akan semakin besar biaya yang harus ditanggung oleh

    migran. Faktor lainnya adalah proporsi penduduk desa dan

    proporsi penduduk kota yang berpendidikan Rasio penduduk

    desa yang berpendidikan diperkirakan memiliki pengaruh

    positif terhadap migrasi ke kota. Penduduk desa yang

    berpendidikan tersebut akan mencari pekerjaan yang

    menurutnya sepadan dengan tingkat pendidikannya.

    Sedangkan proporsi penduduk kota yang berpendidikan dapat

    memiliki pengaruh positif maupun negatif terhadap migrasi

    desa-kota. Jika pengaruhnya positif, berarti migran ke kota

    tertarik oleh taraf pendidikan yang baik dari penduduk kota,

    sehingga kemungkinan migran tersebut bertujuan untuk

    mencari pengalaman maupun menimba ilmu di kota. Tetapi

    jika pengaruhnya negatif, artinya persaingan yang ketat

    karena banyaknya kaum terdidik di kota telah menahan

    penduduk desa atau mungkin juga justru menyebabkan

    sebagian penduduk keluar dari kota.

    Pengaruh kesempatan kerja sektor informal dan sektor

    formal kota terhadap proporsi penduduk yang bermigrasi ke

    kota, dapat dilihat pada model sebagai berikut:

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    53

    Model semi-log

    Model log ganda

    Proporsi jumlah penduduk yang bermigrasi dari

    provinsi asal a ke kota di provinsi tujuan t ( ) terhadap

    jumlah penduduk provinsi a yang tetap tinggal ( ),

    dipengaruhi oleh jumlah pekerja pada sektor informal dan

    formal di provinsi tujuan ( dan ), tingkat

    pendapatan/upah riil rata-rata dari pekerja sektor informal dan

    formal di kota provinsi tujuan (WIKt dan WFKt), tingkat

    pendapatan/upah riil rata-rata dari pekerja sektor informal dan

    formal di kota dan desa pada provinsi asal ( , ,

    , ), jarak antara provinsi asal dan tujuan ( ),

    tingkat urbanisasi di provinsi asal dan tujuan ( dan ),

    serta proporsi penduduk yang berpendidikan di provinsi asal

    dan di kota provinsi tujuan ( dan ).

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    54

    3.4. Sumber Data

    Tabel 1 Variabel dan Sumber Data

    Variabel Definisi Sumber Data

    Proporsi jumlah penduduk yang bermigrasi dari provinsi asal a ke kota di provinsi tujuan t

    SUPAS

    Jumlah penduduk provinsi a yang tetap tinggal SUSENAS

    Jumlah pekerja pada sektor informal di provinsi tujuan

    SUSENAS

    Jumlah pekerja pada sektor formal di provinsi tujuan

    SUSENAS

    WIKt tingkat pendapatan/upah riil rata-rata dari pekerja sektor informal di kota pada provinsi tujuan

    SUSENAS

    WFKt Tingkat pendapatan/upah riil rata-rata dari pekerja sektor informal di kota pada provinsi tujuan

    SUSENAS

    tingkat pendapatan/upah riil rata-rata dari pekerja sektor informal di desa pada provinsi asal

    SUSENAS

    Tingkat pendapatan/upah riil rata-rata dari pekerja sektor informal di kota pada provinsi asal

    SUSENAS

    Tingkat pendapatan/upah riil rata-rata dari pekerja sektor formal di kota pada provinsi asal

    SUSENAS

    Tingkat pendapatan/upah riil rata-rata dari pekerja sektor formal di desa pada provinsi asal

    SUSENAS

    Jarak antara provinsi asal dan tujuan SUSENAS

    Tingkat urbanisasi di provinsi asal SUSENAS

    Tingkat urbanisasi di provinsi tujuan SUSENAS

    Proporsi penduduk yang berpendidikan di provinsi asal

    SUSENAS

    Proporsi penduduk yang berpendidikan di provinsi di kota provinsi tujuan

    SUSENAS

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    55

    3.5. Hipotesis

    Jumlah pekerja di sektor formal dan informal memiliki

    pengaruh positif terhadap proporsi penduduk yang

    bermigrasi ke kota.

    Upah/pendapatan riil rata-rata di sektor informal dan

    formal kota provinsi tujuan menjadi faktor penarik bagi

    migran ke kota provinsi tujuan, sehingga hipotesis

    yang diambil adalah tingkat upah riil rata-rata sektor

    informal dan formal di provinsi tujuan memiliki

    pengaruh positif terhadap proporsi penduduk provinsi a

    yang bermigrasi ke kota provinsi tujuan.

    Upah/pendapatan riil rata-rata di sektor informal dan

    formal di desa dan kota provinsi asal menjadi faktor

    pendorong bagi migran ke kota provinsi tujuan,

    sehingga hipotesis yang diambil adalah tingkat upah riil

    rata-rata sektor informal dan formal kota dan desa

    provinsi asal memiliki pengaruh negatif terhadap

    proporsi penduduk provinsi a yang bermigrasi ke kota

    provinsi tujuan.

    Tingkat urbanisasi dan proporsi penduduk yang

    berpendidikan, baik di provinsi asal maupun di kota

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    56

    provinsi tujuan, dapat berperan sebagai faktor penarik

    maupun faktor pendorong pengaruhnya bisa positif

    maupun negatif.

    .

    Jarak antara provinsi asal dan provinsi tujuan

    merupakan proksi bagi biaya bermigrasi. Semakin jauh

    jarak kepindahan berarti semakin besar biaya yang

    harus ditanggung, maka semakin rendah proporsi

    penduduk di provinsi asal yang bermigrasi ke kota

    provinsi tujuan, sehingga jarak antara provinsi asal dan

    provinsi tujuan memiliki pengaruh negatif terhadap

    proporsi penduduk di provinsi asal yang bermigrasi ke

    kota provinsi tujuan.

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    57

    BAB IV

    ANALISIS DESKRIPTIF

    4.1. Permasalahan Pengangguran dalam RPJM

    Pembangunan ekonomi yang telah ditempuh di masa

    lalu telah menghasilkan berbagai kemajuan yang cukup

    berarti, namun sekaligus juga mewariskan berbagai

    permasalahan prioritas pembangunan masa lalu dimana pada

    tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, telah

    menciptakan peningkatan pendapatan, penurunan jumlah

    kemiskinan dan pengangguran, serta perbaikan kualitas hidup

    manusia secara rata-rata. Namun pembangunan ekonomi

    yang sangat berorientasi kepada peningkatan produksi

    nasional tersebut, tidak disertai dengan pembangunan dan

    perkuatan insitusi publik maupun pasar terutama institusi

    keuangan yang seharusnya berfungsi melakukan alokasi

    sumber daya secara efisien dan bijaksana. Hasil

    pembangunan yang dicapai menimbulkan akibat negatif dalam

    bentuk terjadinya kesenjangan antar golongan pendapatan,

    antar wilayah, dan antar kelompok masyarakat. Oleh karena

    itu, pembangunan nasional diarahkan tidak saja pada

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    58

    pertumbuhan ekonomi, namun pada pembangunan manusia

    secara keseluruhan.

    Meningkatnya tingkat pengangguran terbuka mencapai

    9,5 persen telah berpotensi menimbulkan berbagai

    permasalahan sosial. Kerja merupakan fitrah manusia yang

    asasi. Ekspresi diri diwujudkan dalam bekerja. Apabila

    dicermati konflik dan ketidakamanan yang timbul di berbagai

    daerah sering bersumber dari sulitnya mencari pekerjaan bagi

    penghidupan yang layak. Kemudian pemerintah menempatkan

    penciptaan kesempatan kerja sebagai salah satu sasaran

    pokok dalam Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat

    yang dijabarkan ke dalam berbagai prioritas pembangunan.

    Menurunkan tingkat pengangguran terbuka dengan

    menciptakan lapangan pekerjaan produktif mendapat

    perhatian yang sungguh-sungguh dari Pemerintah.

    Dalam RPJMN 2004-2009 disebutkan beberapa

    permasalahan ketenagakerjaan yang dihadapi, antara lain (i)

    meningkatnya jumlah pengangguran terbuka selama 5 tahun

    terakhir; (ii) menciutnya lapangan kerja formal di perkotaan

    dan di perdesaan pada kurun waktu 2001-2003; (iii) pekerja

    bekerja di lapangan kerja yang kurang produktif; (iv)

    perbedaan upah yang semakin lebar antara pekerja formal

    dan informal; (v) adanya indikasi menurunnya produktivitas di

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    59

    industri pengolahan; dan (vi) meningkatnya tingkat

    penganggur terbuka usia muda (berumur 15-19 tahun).

    Sasaran yang hendak dicapai dalam adalah menurunnya

    tingkat pengangguran terbuka menjadi 5,1 persen pada akhir

    2009.

    Hingga saat ini, masalah pengangguran di Indonesia

    sepertinya tidak pernah terselesaikan secara tuntas. Kondisi

    tersebut semakin diperparah dengan persoalan ekonomi yang

    tidak kunjung selesai. Permasalahan lain berkaitan dengan

    kualitas sumber daya manusia muncul dari para penganggur

    itu sendiri, misalnya dari aspek tingkat pendidikan yang

    rendah. Penganggur berkualifikasi pendidikan tinggipun,

    sering dihadang oleh kesempatan kerja yang sangat terbatas.

    Bahkan, banyak diantara mereka yang bekerja pada posisi

    yang sebetulnya bisa diisi oleh mereka yang berpendidikan

    rendah atau menengah. Kondisi seperti ini memunculkan

    fenomena mismatch, yaitu angkatan kerja yang bekerja pada

    posisi yang tidak sesuai dengan pendidikannya. Selain karena

    sulitnya lapangan pekerjaan, persoalan pengangguran

    semakin bertambah dengan munculnya penganggur baru,

    yaitu mereka yang baru lulus dan kemudian ikut meramaikan

    pasar kerja. Kondisi ini ikut menambah rumitnya persoalan

    ketenagakerjaan di Indonesia.

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    60

    Dalam konsep pengangguran dikenal istilah

    pengangguran terbuka atau open unemployment.

    Berdasarkan konsep tersebut, pengertian penganggur adalah

    penduduk usia kerja atau tenaga kerja yang belum pernah

    bekerja dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan, yang

    sudah pernah bekerja tetapi karena suatu hal berhenti atau

    diberhentikan dan sedang berusaha memperoleh pekerjaan

    kembali, serta mereka yang dibebastugaskan baik yang akan

    dipanggil kembali atau tidak, tetapi sedang berusaha mencari

    pekerjaan. Pengertian tersebut menunjukkan adanya

    perbedaan antara pencari kerja dan penganggur. Para pencari

    kerja bisa saja termasuk mereka yang sedang bekerja, tetapi

    karena belum merasa puas dengan pekerjaan yang

    ditekuninya saat ini, mereka masih mencari pekerjaan yang

    dianggap lebih baik. Sedangkan penganggur, hanya terdiri

    atas pencari kerja baru yaitu mereka yang belum pernah

    bekerja, dan mereka yang pernah bekerja tetapi pada saat

    sedang mencari kerja dalam keadaan tidak memiliki pekerjaan

    (BPS, 2005).

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    61

    Kedua karakteristik penganggur tersebut tentu saja

    sangat berbeda. Bagi penganggur yang pernah bekerja,

    tentunya telah memiliki pengalaman di dunia kerja, tetapi

    karena kurang cocok dengan tempat kerjanya, mereka

    berusaha mencari pekerjaan baru. Sementara bagi para

    penganggur baru, mereka masih belum mempunyai

    pengalaman kerja, tetapi kemungkinan memiliki tingkat

    pendidikan yang lebih baik.

    Gambar 1 Kondisi Ketenagakerjaan, Agustus 2008

    Sumber: Capaian Pembangunan, Bappenas (2009)

  • Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan

    62

    Penganggur atau angkatan kerja yang tidak bekerja

    dan sedang mencari pekerjaan di Indonesia terus bertambah

    dari tahun ke tahun. Data BPS menunjukkan bahwa pada

    tahun 2004 jumlah penganggur di Indonesia berjumlah 10,25

    juta orang, kemudian meningkat menjadi 10,93 juta orang

    pada tahun Agustus 2006. Dan pada Agustus 2008,

    mengalami penurunan menjadi 9,4 juta orang. Adanya krisis

    ekonomi tahun 1997, memang telah membawa dampak besar