107
PERAN TEUNGKU MUHAMMAD DAUD BEUREUEH DALAM PEMBERONTAKAN DI ACEH 1953-1962 SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum.) Disusun Oleh: Muhammad Illham NIM: 1111022000012 K O N S E N T R A S I A S I A T E N G G A R A JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2016 M

PERAN TEUNGKU MUHAMMAD DAUD BEUREUEH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/32193/1/MUHAMMAD...Masa awal kemerdekaan di Aceh tahun 1953-1962 menjadi awal ... ini

Embed Size (px)

Citation preview

PERAN TEUNGKU MUHAMMAD DAUD BEUREUEH DALAM

PEMBERONTAKAN DI ACEH 1953-1962

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum.)

Disusun Oleh:

Muhammad Illham

NIM: 1111022000012

K O N S E N T R A S I A S I A T E N G G A R A

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H/2016 M

i

ABSTRAK

Muhammad Illham

Peran Teungku Muhammad Daud Beureueh Dalam Pemberontakan di Aceh

1953-1962.

Masa awal kemerdekaan di Aceh tahun 1953-1962 menjadi awal

meletusnya peristiwa berdarah yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud

Beureueh dalam menegakkan Syariat Islam di Aceh. Perjuangan yang dianggap

suatu pemberontakan timbul akibat kekecewaan rakyat Aceh terhadap Pemerintah

Pusat akibat dari janji-janji semu yang di ucapkan oleh Soekarno yang menjabat

Presiden saat itu tidak kunjung terwujud. Rakyat Aceh yang sebelumnya berjuang

mempertahankan kedaulatan RI dengan seluruh jiwa raganya, sangat geram

karena salah satu keinginan untuk mendirikan negara yang berlandaskan Syariat

Islam tidak kunjung tercapai, dan berujung pada pemberontakan rakyat Aceh

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasca kemerdekaan, konflik

terjadi antar kedua belah pihak yaitu pemerintah pusat dan rakyat aceh dibawah

pimpinan Daud Beureueh bertikai mempertahankan ideologinya untuk dijadikan

sebuah landasan suatu negara. Sesuatu hal yang sangat menarik, dan dalam kajian

ini penulis ingin mengetahui bagaimana latar belakang pemberontakan serta usaha

dan upaya yang dilakukan pihak Daud Beureueh dalam memperjuangkan dan

mempertahankan ideologi Islam yang menjadi cita-cita rakyat Aceh.

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulilahi robbi alalamin, segala puja dan puji syukur ke hadirat

Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan inayah-Nya kepada penulis,

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagaimana

mestinya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada muara ilham,

lautan ilmu, yang tidak pernah larut yakni keharibaan baginda nabi Muhammad

SAW, serta keluarga, para sahabat-sahabatnya dan seluruh pengikutnya.

Skripsi yang berjudul Peran Teungku Muhammad Daud Beureueh dalam

Pemberontakan Di Aceh 1953-1962 ditulis dalam rangka menyelesaikan studi

Strata satu (S1) pada Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah dan

Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Alhamdulillah telah

diselesaikan, hal ini tidak semata-mata berhasil dengan tenaga dan upaya sendiri,

namun banyak pihak yang telah berpartisipasi membantu dalam menyelesaikan

penulisan skripsi ini baik yang bersifat moril maupun materil, baik dalam sumber-

sumber kajian atau pun sharing pendapat. Karena itu penulis mengucapkan terima

kasih atas kerjasama, dorongan, dan bantuannya. Ucapan terima kasih tersebut

penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A., selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang telah memberikan persetujuan atas

persyaratan untuk memenuhi siding skripsi.

2. Bapak H. Nurhasan, M.A., selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan

Islam dan Mrs. Shalikatus Sadiyah, M.Pd selaku Sekretaris Jurusan Sejarah

dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang telah banyak

membantu dalam memproses berjalannya pembuatan skripsi ini.

iii

3. Drs. H. Azhar Saleh, M.A., selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan

waktu untuk membantu, dan membimbing dalam proses menyelesaikan

skripsi ini.

4. Ibu Hj. Tati Hartimah, M.A., selaku Dosen Penasehat Akademik yang selalu

memotivasi diri saya dalam meningkatkan kemampuan bekerja keras dalam

menyelesaikan skripsi.

5. Bapak/ Ibu seluruh dosen Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam yang

memberikan sumbangsih ilmu dan pengalamannya.

6. Seluruh staff dan pegawai Perpustakaan Adab dan Humaniora, Perpustakaan

Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional Republik

Indonesia, Perpustakaan Universitas Indonesia, dan Arsip Nasional Republik

Indonesia, yang telah menjembatani penulis dengan sumber-sumber primer

dan sekunder terkait penelitian ini.

7. Kedua orangtuaku tersayang, papa Muchdi dan mama Nunung, dan keluarga

di rumah yang telah memberikan perhatian dan curahan kasih sayangnya yang

luar biasa.

8. Eki Renata Anggraini (cicak) yang selalu menemani dan memberikan suntikan

semangat serta doa yang tulus sehingga penulis selalu dapat termotivasi dan

dapat menyelesaikan penelitian ini.

9. Sahabat-sahabatku Paisyal, Ghanis, dan Eko (coker), yang selalu menemani

dalam memberikan inspirasi kepada saya.

10. Seluruh kawan-kawan di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Mitra

Zalman (Ucok) yang telah memperkenalkan saya dengan sosok Daud

iv

Beureueh. Kepada Egi Zulhansah, Muliadin Iwan, Taki, Humaedi dan kawan

seperjuangan SKI 2011 lainnya yang selalu memberikan dukungannya kepada

penulis.

Akhirnya, hanya kepada Allah jualah penulis menyerahkan segalanya,

semoga amal kebaikan yang telah mereka berikan akan mendapat balasan yang

setimpal dari Allah SWT. Amin ya Robbal alamin.

Ciputat, 16 Mei 2016

Penulis

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR....ii

DAFTAR ISI.......v

DAFTAR LAMPIRANvii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Permasalahan....7

1. Identifikasi Masalah...7

2. Pembatasan Masalah..7

3. Perumusan Masalah...8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian8

D. Kerangka Teori.9

E. Metode Penelitian...11

F. Tinjauan pustaka13

G. Sistematika penulisan.15

BAB II Biografi Tgk. M. Daud Beureueh

A. Lingkungan Keluarga.16

B. Riwayat Pendidikan...18

C. Karya-karyanya..23

BAB III Kiprah Tgk. M. Daud Beureueh dalam Pemberontakan di Aceh

A. Pembentukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Aceh.....25

B. Kedudukan dan Sikap Tgk. M. Daud Beureueh Dalam Pemberontakan di

Aceh...30

vi

C. Respon Rakyat Aceh Terhadap Pemberontakan Tgk. M. Daud Beureueh di

Aceh...41

BAB IV Pemberontakan dalam Perjuangan Menegakkan Syariat Islam di

Aceh

A. Usaha-usaha Menegakkan Syariat Islam di Aceh..47

B. Respon Pemerintah Terhadap Pemberontakan Tgk. M. Daud Beureueh...54

C. Upaya penyelesaian Akhir Pemberontakan Tgk. M. Daud Beureueh...67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan78

B. Saran-saran.....80

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................82

LAMPIRAN-LAMPIRAN..86

vii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran I Gambar Tokoh Muhammad Daud Beureueh.86

2. Lampiran II Gambar Keadaan Aceh..87

3. Lampiran III Peta wilayah uleebalang tahun1930-an..88

4. Lampiran IV Gambar Muhammad Daud Beureueh dan Ulama Aceh.89

5. Lampiran V Gambar Pidato yang dilakukan oleh Muhammad Daud

dalam Rapat Dewan Pertahanan Daerah90

6. Lampiran VI Gambar Staf Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah

Karo....91

7. Lampiran VII Surat selebaran sisa-sisa feodal..92

8. Lampiran VIII Missi Hardi 195993

9. Lampiran IX Surat Tgk. M. Daud Beureueh Kepada Soekarno..95

10. Lampiran X MAKLUMAT No. GM-14-M....96

11. Lampiran XI Surat Anakanda Kepada Ayahanda Daud Beureueh..97

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Aceh sebuah kesultanan muslim di Sumatera, Islam secara khas

menunjukan nuansa esoterisme pemikiran Ibn Arabi.1 Fenomena Aceh yang

berawal dari sebuah kerajaan berdaulat hingga menjadi salah satu bagian dari

Indonesia senantiasa berada dalam situasi kritis yang berkesinambungan.

Berbagai krisis muncul seperti krisis politik yaitu pertikaian pendapat dan

pandangan di antara pemerintah pusat dan Aceh yang berkisar pada permasalahan

kekecewaan, penindasan, dan ketidaktulusan pusat dalam menjalankan sistem

pemerintahan di Aceh.2 Sejak indonesia merdeka pada tahun 1945, Aceh telah

bergelimang dalam berbagai konflik diantarnya persoalan perang saudara seperti

perang Cumbok tahun 1946-1947 yang terjadi antara kaum Uleebalang dengan

kaum ulama yang bergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).3 Jika

dilihat dari berbagai persoalan yang terjadi, untuk kasus di Aceh penulis

berpendapat ini merupakan suatu perjuangan yang terjadi dibawah pimpinan Daud

Beureueh, karena pada saat itu melalui PUSA Daud Beureueh menginginkan

proklamasi dimaknai secara nyata di Aceh. Dimana tujuan perjuangan Daud

Beureueh adalah menegakan syariat Islam di tanah rencong dan menanamkan

sikap anti penjajahan.4

Perjuangan rakyat Aceh tidak berhenti begitu saja, pasca kemerdekaan

Republik Indonesia Belanda melakukan agresi bersenjata untuk kembali

1Harun Nasution dkk., Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta, Djambatan, 1992), hal.52-

57. 2Abdulah Sani Usman, Krisis Legitimasi Politik dalam Sejarah pemerintahan di Aceh,

(Jakarta, Badan Litbang dan diklat kementrian Agama RI, 2010), hal.1. 3Persatuan ulama seluruh Aceh PUSA terbentuk pada tahun 1939. Didirikan oleh Tgk. M.

Daud Beureueh yang bertujuan untuk menghapuskan eksistensi hulu balang dan berfungsi untuk

mengatur tonggak pemerintahan di Aceh dengan berlandaskan syariat Islam. Lihat M.Nur El

Ibrahimy, Tgk. M. Daud Beureueh Peranannya dalam Pergolakan di Aceh, (Jakarta, Gunung

Agung, 1982), hal.72-77. 4Perlu untuk diketahui bahwa tidak semua kaum Uleebalang bersikap sama dengan kaum

uleebalang yang terdapat di Pidie sebagai pemicu gerakan PUSA, tetapi banyak kaum uleebalang

lainnya di Aceh berasal dari kaum ulama dan intelektual.

2

menduduki seluruh kepulauan Indonesia. Dalam usahanya menjajah Indonesia,

Belanda menyiarkan berita-berita melalui surat kabar radio bahwa kedatangannya

bukan untuk menjajah Indonesia melainkan untuk menjaga keamanan yang

diakibatkan oleh perang Dunia II. Selain melalui propaganda, Belanda juga

melakukan dua agresi militer bersenjata, yaitu agresi pertama tahun 1947 dan

agresi kedua tahun 1948. Akibat serangan itu hampir seluruh wilayah Indonesia

berhasil ditaklukan. Dan daerah yang belum dikuasai satu-satunya adalah Aceh.

beberapa kali Belanda berusaha menghancurkan perlawanan rakyat Indonesia di

daerah Aceh selalu digagalkan. Baik darat, udara, atau pun laut percobaan

serangan Belanda dapat digagalkan dan Aceh berhasil mempertahankan

kedaulatan kemerdekaan Republik Indonesia. Dan menjadikan Aceh sebagai

daerah modal.5

Aceh dijuluki sebagai daerah modal, selain karena kegigihan dari kekuatan

rakyat Aceh mempertahankan Republik Indonesia juga karena terdapat alat

komunikasi seperti pers dan radio. Dengan adanya alat komunikasi tersebut

mempermudah hubungan antara pemerintah daerah-daerah lain antara pemerintah

Aceh dengan pemerintah pusat. Melalui media ini dapat menyampaikan berita

secara praktis dan membangkitkan gelora semangat rakyat Aceh dalam

mempertahankan kedaulatan RI hingga titik darah penghabisan.6 Peranan pers dan

radio di bidang ekonomi juga terlihat dari siaran tentang kebutuhan para pejuang

agar masyarakat dapat membantunya dalam bentuk makanan, pikiran dan

persediaan perlengkapan lainnya. Dan bantuan ekonomi lainnya adalah

pengumpulan dana sumbangan untuk membeli pesawat yang sangat dibutuhkan

untuk kelancaran perjuangan. Pesawat yang dibeli berkat terkumpulnya

sumbangan masyarakat Aceh, yang kemudian oleh Soekarno diberi nama

Seulawah RI-001. Peran Aceh semakin penting ketika Teungku Muhammad

Daud Beureueh diangkat menjadi Gubernur militer Aceh, Langkat, dan Tanah

Karo yang berhasil menyatukan pasukan Aceh dari TRI, laskar Aceh, berbagai

divisi, dan tentara pelajar. Semakin banyak yang datang ke Medan Area maka

5A. K. Jakobi, Aceh Daerah Modal, (Jakarta, Yayasan Seulawah RI-001, 1992). hal.219.

6S.M. Amin, Kenangan-kenangan di Masa Lampau, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978).

hal.103.

3

dibentuk suatu badan koordinasi yang disebut RIMA (Resimen Istimewa Medan

Area).7 Satu-satunya front yang tidak mampu ditaklukan Belanda pada agresi

militer kedua adalah sektor barat atau utara front Medan Area yang dipertahankan

oleh RIMA pasukan dari Aceh.

Ketika dalam keadaan krisis saat ibukota RI di Yogyakarta diduduki

Belanda. Pemerintah pusat dipindahkan ke Bukit Tinggi dan membentuk

Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dengan agresi militer Belanda

yang kedua dapat dikatakan seluruh Sumatera telah berada dibawah kekuasaan

Belanda. Satu-satunya daerah yang masih utuh belum dimasuki Belanda adalah

Daerah Aceh. Hal ini menjadi faktor utama Aceh sebagai daerah modal

mempertahankan kedaulatan RI. Aceh sebagai garis pertahanan RI terakhir

mempunyai peran yang sangat amat penting, dimana ketika negara boneka yang

didirikan oleh Belanda sudah mengepung RI. Pada saat itu Aceh menjadi penting

sebagai alternatif satu-satunya yang menentukan cita-cita bangsa dan negara RI.

Dan ketika itu Presiden Soekarno memohon meminta bantuan kepada Gubernur

militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo Daud Beureueh untuk bersedia turut

mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang tengah berkobar untuk

mempertahankan kemerdekaan. Saat itu Soekarno memanggil Daud Beureueh

dengan sebutan kakak. Selain meminta rakyat Aceh turut serta dalam perjuangan,

Soekarno juga meminta bantuan untuk membeli sebuah pesawat dari sumbangan

masyarakat Aceh yang secara ikhlas dan tulus memberi sumbangan yang sangat

berharga untuk bangsa yang sedang berjuang sebagai tanda kesetiaan rakyat Aceh

pada NKRI.

Hampir seluruh wilayah RI telah diduduki oleh Belanda, tetapi Aceh tak

sedikit pun mundur menyerahkan daerahnya ke tangan penjajah. Bahkan ketika

Indonesia sampai diujung tanduk, melalui lidah manis Soekarno lebih dahulu

meminta bantuan kepada Aceh untuk membantu mempertahankan kemerdekaan

RI. Tapi sama halnya seperti Belanda, manis di bibir tak sama seperti kenyataan

yang ada. Aceh dikhianati dengan digabungkannya provinsi Aceh dibawah

provinsi Sumatera Utara. Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureueh saat itu

7Muhammad Ibrahim, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh,

Depdikbud, 1978). hal.210.

4

terpedaya oleh tangisan Soekarno yang berjanji akan memberikan hak

menerapkan Syariat Islam di bumi Aceh, jika Aceh mau bergabung membantu

memperjuangkan mempertahankan kedaulatan kemerdekaan Republik Indonesia.

Pertentangan politik dengan pemerintah pusat yang terjadi setelah Aceh

digabungkan kembali menjadi bagian atau residen Sumatra Utara setelah

sebelumnya menjadi provinsi yang terpisah dengan provinsi Sumatra Utara. Hal

ini membawa kepada suatu keadaan yang meresahkan akibat adanya tarik menarik

antara Aceh dan pemerintah pusat, atau dengan kata lain pemerintah pusat tidak

mengakui pembentukan provinsi Aceh yang terpisah sehingga terjadi tumpang-

tindih kebijakan yang membawa kepada krisis kekuasaan.8 Terkait teori kesadaran

sejarah Kuntowijoyo, hal ini dapat memberikan tantangan, kritik, pendapat, serta

sikap dalam pertentangan antara rakyat Aceh dibawah pimpinan Daud Beureueh

dengan pemerintah pusat.

Aceh ketika awal perjuangan kemerdekaan Indonesia secara de facto

merupakan bagian dari provinsi Sumatera dengan kebijakan undang-undang

sementara tahun 1945 yang membagi wilayah Indonesia dalam 10 provinsi.

Setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17

Agustus 1945,9 rakyat Aceh dibawah pimpinan Daud Beuereuh dan ulama-ulama

lainnya bergerak dan berjuang mempertahankan proklamasi kemerdekaan.10

Daud

Beureueh, orang kuat Aceh dan benteng Republik dalam revolusi, menolak untuk

menerima suatu pekerjaan di Jakarta dan tetap bermukim di Aceh sambil

memperhatikan perkembangan. Pada saat itu revolusi kemerdekaan Indonesia tak

luput dari pengamatan Daud Beureueh. Dia mengamati dengan tenang dan hati

hati setiap perkembangan yang terjadi. Dan selama tokoh-tokoh Masyumi

memegang kedudukan yang penting dalam kabinet dia tidak melakukan tindakan

apapun, akan tetapi pada bulan mei 1953 ditemukan bukti bahwa dia telah

menjalin hubungan dengan Kartosuwirjo dari Darul Islam. Gerakan Darul Islam

bagaimanapun merupakan bagian dari akibat sampingan proses sosial politik yang

8Ibid., hal.177-178.

9 17 Agustus 1945 atau 9 Ramadhan 1364 Hijriah.

10 A. Hajsimy, Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamadun

Bangsa, (Jakarta, Bulan Bintang, 1997), hal.109.

5

terjadi pasca kemerdekaan.11

Ketika masa kabinet Ali terbentuk, tersebar desas-

desus bahwa pemerintah pusat melalui kabinet bermaksud menangkapi orang-

orang terkemuka Aceh. Berita tersebut kemudian sampai di telinga Daud

Beureueh bahwa ia dan sejumlah kawan-kawannya akan ditangkap oleh tentara

dengan alasan menyimpan senjata gelap.12

Daud Beureueh menyatakan bahwa ia

tidak berkeberatan bila ditangkap dan dibunuh, akan tetapi jangan dengan alasan

yang dibuat-buat dan jangan mengelabui mata rakyat. Selanjutnya Daud Beureueh

menyatakan dalam suratnya bahwa dalam menghadapi tindakan sewenang-

wenang pihak tentara, rakyat akan melalui tiga tahap; tahap sabar, tahap benci dan

tahap melawan. Sekarang rakyat sudah sampai kepada tahap kedua. Maka oleh

karena itu beliau mengharapkan kebijaksanaan Presiden Soekarno, kiranya hal-hal

yang tidak diinginkan dapat dihindari.13

Aceh memang pada akhirnya memberontak melalui gerakan DI/TII Aceh.

Pada 21 September 1953 di Aceh meletus suatu peristiwa berdarah yang

merupakan tragedi bagi rakyat Tanah Rencong. Ini merupakan awal perjuangan

dalam menegakan syariat Islam.14

Daud Beureueh mengumumkan bahwa di Aceh,

yang kini merupakan bagian dari Darul Islam, tidak ada lagi pemerintahan

Pancasila. Selain persoalan ideologi keagamaan pemberontakan Darul Islam

adalah bentuk perlawanan terhadap pengaruh pemerintahan pusat yang kian

merasuk. Pemerintah merespon cepat tindakan yang dianggap sebagai

pemberontakan tersebut. Ali Sastroamidjojo mengirimkan pasukan-pasukan untuk

menghalau kaum perjuangan dari kota-kota yang penting.15

Dalam usahanya

memulihkan keamanan di Aceh Ali Sastroamidjojo memilih tindakan kekerasan.16

Usahanya tidak langsung berbuahkan hasil, tetapi melalui beberapa proses. Daud

Beureueh yang mundur dari Batee ke Lapang kira-kira sebelah utara Sampoi Niet,

Lhok Sukon (Aceh Utara) dalam usaha penyelesaian keamanan menemui jalan

11

Ibid., hal.197-198. 12

M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta, Serambi, 2010), hal.

514. 13

Lihat lampiran XI. 14

Ibid., hal.1 . 15

Ibid., hal.514-515. 16

Ibid., hal.162.

6

buntu militer yang berlanjut sampai tahun 1959.17

Pada akhir Mei 1959 dilakukan

upaya akhir yaitu musyawarah antara dewan revolusi dan misi Hardi untuk

mencapai persetujuan leburlah Negara Bagian Aceh dari Negara Islam

Indonesia.18

Misi Hardi dengan Keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Misi/1959,

telah berusaha ke arah memenuhi keinginan dan hasrat rakyat Aceh. Keputusan

ini telah memberikan hak kepada daerah Aceh untuk memakai sebutan Daerah

Istimewa Aceh.19

Seperti yang telah dijelaskan diatas, maka tercetuslah pemberontakan

DI/TII di Aceh yang dipelopori oleh Tgk. M. Daud Beureueh, pemimpin DI/TII

Aceh yang tampil sebagai pemegang kekuasaan melalui revolusi sosial dan

menjadi gubernur militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada 1948-1950,

memimpin pemberontakan melawan kendali Jakarta pada 1953-1962 atas dasar

dua alasan, yakni menentang diserapnya Aceh ke dalam Provinsi Sumatra Utara

dan gagalnya republik melaksanakan hukum Islam.20

Pemberontakan Daud

Beureueh bertujuan untuk mendirikan negara Islam Indonesia, bukan untuk

mencapai Aceh merdeka, karena ia percaya bahwa itulah yang diperjuangkan oleh

orang Aceh sedemikian gigihnya selama revolusi mempertahankan kemerdekaan

Republik Indonesia.21

Maka dari itu penulis tertarik untuk membahas sepak

terjang Tgk. M. Daud Beureueh dalam sebuah proposal berjudul: Peran Tgk. M.

Daud Beureueh Dalam Pemberontakan di Aceh 1953-1962.

17

M. C. Ricklefs, Op.Cit., hal.515. 18

M. Nur. El Ibrahimy, Op.Cit., hal.168-171. 19

Perkataan istimewa ini menimbulkan associatie-associatie pikiran pada suatu daerah

yang memang benar-benar bersifat istimewa, suatu daerah yang berhak luas mengatur hal-hal

dalam setiap bidang pemerintahan. Akan tetapi hak yang diberikan, isi pada statusistimewa itu

pada hakikatnya bukanlah suatu hal yang luar biasa, oleh karena yang diberikan itu hanyalah hak

otonomi yang berpokok pangkal pada undang-undang tahun 1957 sehingga perkataan istimewa

itu sebenarnya tidak tepat, antara nama tidak sesuai dengan isi, menurut penafsiran yang lazim

daripada perkataan istimewa. Lihat M. Nur. El Ibrahimy, Op. Cit., hal.186. 20

Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra Antara Sumatra Antara Indonesia dan Dunia,

(Jakarta, KITLV & NUS publising, 2010). hal. 388-389. 21

Ibid., hal.341.

7

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Pasca kemerdekaan terjadi konflik yang disebabkan perbedaan pendapat

antara pemerintah pusat dengan rakyat Aceh. Dan agresi Belanda juga terjadi

setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, kembali menggugat serta

memporak-porandakan seluruh Indonesia kecuali Aceh. Kenyataan bahwa

Belanda telah mampu menduduki kembali Indonesia ditolak. Semangat anti

penjajahan dalam diri rakyat Aceh selalu dipertahankan. Pada era Orde Lama

krisis legitimasi di Aceh tidak ditunaikan janji pemerintah pusat berupa penerapan

syariat Islam yang tak terwujud menjadi akar permasalahan. Krisis melalui

ketetapan yang berakibat pengalihan kuasa pemerintah Aceh yang berbentuk

provinsi yang terpisah menjadi residen dari provinsi Sumatera Utara. Dalam

pengalihan kuasa rakyat masih dapat bersabar, namun ketika ideologi dituntut

tidak terpenuhi dan perjuangan tumpah darah rakyat Aceh mempertahankan

kedaulatan tak dianggap, akhirnya meletus lah konflik akibat dari kekecewaan dan

sebagai ekspresi kebangkitan rakyat aceh yang merasa harga diri masyarakat Aceh

terlecehkan oleh janji-janji dan iming-iming pemerintah.

Dalam penelitian ini terdapat masalah yang telah diidentifikasi oleh

penulis. Dan juga sebagai kajian lebih mendalam mengenai konflik yang terjadi

secara vertikal antara rakyat Aceh dengan pemerintah pusat, yaitu:

1. Terjadinya krisis legitimasi yang disebabkan oleh pengalihan kuasa

dan ideologi yang tidak direalisasikan.

2. Pemberontakan pimpinan Tgk. M. Daud Beureueh atas kendali

pemerintah pusat akibat diserapnya Aceh ke dalam Provinsi Sumatera

Utara.

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi penulis tentang apa yang dipaparkan diatas, maka

penulis membatasi permasalahan yaitu seputar Peran Tgk. M. Daud Beureueh

dalam Menegakan Syariat Islam di Aceh mengenai pengalihan kuasa dan ideologi

yang tidak direalisasikan. Pada saat itu menjadi tahun pemberontakan dalam

8

menentang sikap pemerintah baik dalam mengatur otonomi daerah maupun

menetapkan ideologi suatu negara. Adapun batasan tahunnya dimulai dari

perjuangan Tgk. M. Daud Beureueh pada tahun 1953 sampai kembalinya Tgk. M.

Daud Beureueh kepangkuan Republik Indonesia pada tahun 1962. Dan

pembatasan subjeknya yaitu: terkait pengaruh Islam dan Barat, mengenai rakyat

Aceh dan Pemerintah Pusat. Serta objeknya mengenai perjuangan Tgk. M. Daud

Beureueh dalam menegakkan syariat Islam di Tanah Rencong.

3. Perumusan Masalah

Dari pemaparan mengenai pemberontakan Tgk. M. Daud Beureueh dalam

menegakan syariat Islam di Aceh, adapun perumusan masalah penelitian ini dapat

dibaca dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa motif yang melatarbelakangi pemberontakan Tgk. M. Daud Beureueh

di Aceh?

2. Seberapa besar pengaruh Tgk. M. Daud Beureueh dalam pemberontakan

di Aceh?

3. Bagaimana hasil dari perjuangan Tgk. M. Daud Beureueh dalam

menegakan syariat Islam di Aceh?

4. Bagaimana respon pemerintah terhadap pemberontakan Tgk. M. Daud

Beureueh?

5. Apa solusi pemerintah dalam mengatasi pemberontakan di Aceh?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini tujuan yang ingin penulis capai adalah:

1. Menjelaskan motif tercetusnya pemberontakan oleh rakyat Aceh terhadap

kendali pemerintah.

2. Menjelaskan peran Tgk. M. Daud Beureueh dalam peristiwa berdarah di

Aceh.

3. Mengetahui bentuk usaha atau upaya yang dilakukan rakyat Aceh dalam

menegakan syariat Islam.

9

4. Menjelaskan hasil yang dicapai pada pemberontakan DI/TII dalam

memperjuangankan menegakan syariat Islam di Aceh.

5. Menjelaskan respon pemerintah pusat terkait pemberontakan rakyat Aceh.

Adapun dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai

berikut:

1. Dapat memberikan wawasan dan menambah pengetahuan tentang peran

dan kontribusi Tgk. M. Daud Beureueh dalam peristiwa berdarah di Aceh.

2. Sebagai bentuk khazanah keilmuaan dan pengembangan sejarah keislaman

Nusantara studi kasus: Aceh.

3. Pembelajaran masa lalu untuk kehidupan dimasa yang akan datang dalam

bentuk nyata, sebagai kontribusi positif dari penulis dalam rangka

sosialisasi sejarah Nusantara.

4. Memberikan informasi dan data kepada pembaca mengenai peristiwa

berdarah di Aceh.

D. Kerangka Teori

Fenomena yang terjadi pada pristiwa berdarah di Aceh adalah bentuk

revolusi sosial suatu kelompok oleh rakyat Aceh dibawah pimpinan Daud

Beureueh yang menginginkan terwujudnya ideologi keagamaan dalam sebuah

Negara. Pada kasus ini penulis melihat konflik terjadi karena adanya hukum

sebab-akibat, sebab keinginan rakyat Aceh tidak terpenuhi, berakibat munculnya

pemberontakan dalam menegakan syariat Islam. Dalam sudut pandang teori

kesadaran sejarah, hal ini memberikan dampak tantangan, kritik, pendapat, dan

sikap. Studi kasus tentang pemberontakan DI/TII di Aceh terkait teori kesadaran

sejarah memunculkan budaya progresif dalam bidang politik.

Seperti pemikiran Marx, mengenai etika humanis yang meyakini bahwa

manusia pada hakikatnya baik, dan dalam keadaan tertentu yang menguntungkan

akan dapat membebaskan diri dari lembaga-lembaga yang menindas, menghina,

dan menyesatkan.22

Dan untuk mencapai hal tersebut kekerasan dipandang

22

Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,

2008), hal.85.

10

sebagai alat sah yang harus dipakai. Kekerasan dalam kasus peristiwa berdarah ini

dipakai oleh pemerintah pusat yang menganggap pemberontakan Daud Beurueh

sebagai suatu tindakan yang menentang pemerintahan.

Bisa dilihat dimensi sosial dari proses politik itu mencakup status dan

peranan elite politik terhadap masyarakat Aceh bagaimana interaksi dalam

perjuangan menegakan syariat islam yang menimbulkan suatu konflik. Jadi

menurut analisa penulis ini merupakan suatu pemahaman keyakinan tentang Neo

Fundamentalisme Islam yang lebih menitik beratkan pada cita-cita ideologi

politik yaitu sebagai berikut:

1. Al-Quran dan Hadits sebagai sumber 1/6 paling otoritatif.

2. Skriptualis (tulisan), literalis, tekstualis.

3. Negara Islam sebagai cita-cita politik tentang berdasar pada syariat

Islam.

4. Anti modernisme Barat, demokrasi dan ideologi-ideologi lainnya.

Pemahaman ini bersifat frontal yang mengarah pada kekerasan yang

melahirkan ideologi baru yang bernama Ideologi Negara IslamNon

ParlementerTarbiyah.23

Maka dari itu berdasarkan penjelasan diatas, penelitian ini ingin menguji

teori paradigma perubahan sosial dengan pendekatan konflik seperti yang

dikemukakan oleh T. Persons dan N. Smelzer mengatakan bahwa masyarakat

dikonsepsikan sebagai sistem yang mempunyai fungsi adaptasi, integrasi,

mempertahankan diri, dan member orientasi tujuan. Hal tersebut mencakup ide

masyarakat dengan adanya proses adaptasi untuk menghadapi pengaruh faktor

eksogen dan endogen, maka tetap ada dinamika sosial. Kerangka teoritis tersebut

juga menonjol dalam studi perubahan sosial sebagai bentuk perkembangan.

Masalah sosial yang terjadi adalah kekecewaan, penindasan, dan ketidaktulusan

pusat dalam menjalankan sistem pemerintahan.

23

Tarbiyah, Takfiri adalah dimana mulai mengkafirkan apa-apa yang berasal dari barat.

Hal ini menjadi dasar pemikiran gerakan salafi dan jihadi.

11

E. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah dan metode yang akan

digunakan didalam penyusunan penelitian ini adalah metode historis yang bersifat

deskriptif analisis. Metode historis adalah proses menguji dan menganalisa secara

kritis sumber data, baik itu sumber primer: Ensiklopedi, Artikel, Jurnal, Majalah,

Surat Kabar yang sezaman ataupun sumber sekunder seperti buku-buku.24

Data

yang diperoleh tersebut disusun secara teratur dan sistematis lalu dianalisis secara

kualitatif. Kemudian poin-poin yang autentik ditulis dan dipaparkan sesuai

bentuk, kejadian, suasana dan masanya. Adapun analisa faktor-faktor politik

menjadi faktor pendukung.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mencapai penulisan sejarah, oleh

karena itu upaya merekonstruksi masa lampau dari obyek yang diteliti

menggunakan metode historis yang bersifat deskriptif analisis. Dengan

menggunakan metode ini melalui pemaparan penulis diharapkan dapat membantu

untuk mengetahui fakta dan sejarah mengenai peran Tgk. M. Daud Beureueh

dalam pemberontakan di Aceh 1953-1962. Adapun dalam melakukan penelitian

ini penulis menggunakan metode historis25

, yaitu:

1. Heuristik, kegiatan untuk mencari data atau pengumpulan bahan-bahan

atau sumber sejarah. Hal ini merupakan tahap awal yang harus dilakukan.

Adapun dalam pengumpulan data-data dan sumber yang akan digunakan

dalam membuat skripsi ini penulis menggunakan penelitian kepustakaan

library research. Dalam kaitannya dengan sumber-sumber seperti arsip,

jurnal, ensiklopedi, artikel/ majalah, surat kabar, dan buku-buku, penulis

mencari sumber dengan mengunjungi beberapa perpustakaan seperti;

perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan

Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

perpustakaan Nasional, Arsip Nasional, perpustakaan UI, melalui toko

buku di wilayah Jakarta, Tangerang, dan Depok, serta melalui katalog-

katalog dan website. Selain itu penulis juga menggunakan buku-buku

koleksi pribadi yang berhubungan dengan kajian penelitian ini.

24

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta, UI Pers, 1975), hal.32. 25

Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta, Logos, 1999), hal.54.

12

2. Verifikasi, setelah melakukan heuristik atau pengumpulan sumber-sumber

baik dalam bentuk artefak, hasil-hasil dari persitiwa bersejarah ataupun

melalui dokumen-dokumen tertulis yang merupakan rekaman peristiwa,

maka tahap selanjutnya yang harus dilakukan adalah kritik sumber.26

Kritik sumber adalah usaha untuk mendapatkan sumber-sumber yang

relevan dan terbukti keaslian sumber Otentiksitas dangan pembahasan

sejarah yang ingin disusun sesuai dengan tema kajian. Disini penulis

melakukan kritik sumber melalui pengujian data yaitu: tampilan sumber

eksternal dan isi sumber internal. Dengan mengidentifikasi keaslian

sumber otentik dan keabsahan tentang kesahihan sumber kredibilitas. Baik

sumber primer dan sekunder penulis melakukan pengujian data untuk

mendapatkan hasil yang maksimal.

3. Interpretasi atau penafsiran sejarah, seringkali disebut juga dengan analisis

sejarah. Dalam sumber terkait peristiwa berdarah di Aceh, penulis

menggunakan studi komparatif yaitu menganalisis sebagian besar sumber

melalui buku-buku memaparkan Tgk. M. Daud Beureueh sebagai

pemberontak, hal ini bertolak belakang dengan pemikiran penulis bahwa

ini adalah peristiwa perjuangan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri untuk

penulis. Tujuannya agar data yang ada mampu untuk mengungkap

permasalahan yang ada, sehingga diperoleh pemecahannya dalam sudut

pandang berbeda atau dua sisi.27

4. Historiografi, tahap ini adalah tahap yang terakhir dalam metode historis.

Setelah melakukan tahap heuristik, verifikasi dan interpretasi, selanjutnya

historiografi. Dengan menulis pemaparan atau laporan hasil penelitian

dalam suatu urutan yang sistematik yang telah diatur dalam pedoman

penelitian. Dalam hal ini penulis berusaha menyusun penelitian ini

berdasarkan kronologi waktu dan tema-tema tertentu yang akhirnya isi inti

dari penelitian atau klimaks dari penelitian ini. Tahap ini merupakan

rangkaian dari keseluruhan teknik metode pembahasan.

26

Ibid., hal. 35-37. 27

Louis Gottschalk, Op. Cit., hal. 54.

13

F. Tinjauan Pustaka

Untuk mendapatkan hasil yang dikehendaki sesuai dengan topik

permasalahan, penulis mencari beberapa literature terkait pemberontakan rakyat

Aceh khususnya peran Daud Beureueh dalam menegakan syariat Islam, namun

tidak banyak sumber-sumber dalam artikel, majalah dan surat kabar yang

memberikan informasi secara detail mengenai peristiwa berdarah tersebut. Dalam

kaitannya dengan judul, penelitian ini ingin menyajikan hasil penelitian yang

menjadi pembahasan pokok dalam berbagai literature yang ada. Adapun beberapa

literature yang dijadikan tinjauan pustaka, sebagai berikut:

Melalui artikel, majalah/surat kabar Kabinet dan Aceh oleh pembantu-

CHAS yang dimuat dalam majalah Dalam Negeri, WAKTU No.41, tanggal 7

November28

. Mengurai informasi tentang bagaimana pemerintah pusat seakan

menutupi penyebab meletusnya peristiwa berdarah di Aceh, dengan

mengesampingkan alasannya yang lebih diungkapkan adalah mengenai

pemberontakan yang terjadi pada peristiwa berdarah yang banyak menelan korban

di kalangan rakyat Aceh. Dan mengenai Cumbok Affairs pemerintah pusat

menganggap kesalahan terjadi pada pertentangan yang terjadi antara PUSA

dengan kaum hulu balang. Dalam beberapa pemaparan majalah Dalam Negeri

tersebut penulis melihat informasi dan data yang disajikan lebih mengarah pada

pembelaan terhadap PUSA dibanding terhadap pemerintah pusat.

Sama halnya dengan artikel, majalah/surat kabar yang berjudul Tentang

soal memulihkan keamanan di Atjeh yang terbit WAKTU No.23, tanggal 25 djuni

1955. Memaparkan tentang bagaimana keamanan di Aceh yang belum terkendali.

Hal itu terlihat pada bantuan militer terhadap pamong praja untuk mematahkan

pemberontakan Daud Beureueh. Berbeda dengan sebelumnya artikel,

majalah/surat kabar yang berjudul Karena keterkaitan Ideologis yang ditulis oleh

Taufik Abdullah melalui Panji Masyarakat No.419. Jika dikaitkan dengan

28

Dalam artikel, majalah/surat kabar ini untuk tahun penerbitan tidak terlihat, hal itu

dikarenakan karena sumber yang ada sangat rentan dan penulis menemukan sebagian teks hilang

terjadi akibat pengalihan dari sumber nyata yang di scan dan dipublikasikan via website online.

Terlepas dari sisi eksternalnya untuk kritik internalnya artikel, majalah/surat kabar Dalam Negeri

ini menggunakan penulis masih terkendala dalam menganalisa karena bahasa yang digunakan

bahasa yang berada di jaman sebelum dan pasca kemerdekaan.

14

penelitian penulis, melihat kasus Aceh sebagai perjuangan pengalihan kuasa dan

ideologi keagamaan. Pemaparan lebih detail dijelaskan oleh Taufik Abdullah

mengenai pilar-pilar kepemimpinan, sikap masyarakat Aceh yang bersifat

spontanitas dan enthusiasme.

Dalam literature yang lain penulis menemukan beberapa buku yang

mendukung permasalahan dari topik ini, M. Nur El Ibrahimy, Tgk. M. Daud

Beureueh perananya dalam pergolakan di Aceh, Jakarta: Gunung Agung, 1982.

Dalam buku ini membahas peranan Daud Beureueh dalam pemberontakan yang

terjadi di Aceh dimulai dari sebabnya, sumbangan rakyat Aceh kepada pendirian

Republik serta terkait pristiwa berdarah secara kronologis. Dalam buku ini juga

membahas biografi singkat mengenai Daud Beureueh.

Semangat Merdeka: 70 tahun menempuh jalan pergolakan & perjuangan

yang ditulis oleh A. Hasjmy, 1985 adalah sebuah buku yang memuat perjalanan

A. Hasjmy juga peristiwa sejarah yang terjadi kurun waktu 70 tahun penulis.

Banyak peristiwa-peristiwa sejarah yang tercatat dibuku ini selama perang

kolonial melawan Belanda, dan berbagai pergolakan politik di Aceh seperti

pertempuran dan pemberontakan juga disajikan lengkap dibuku ini. Komentar

komentar dan analisa analisanya terhadap pembahasan juga melengkapi kisah

perjalanan hidup penulis dalam kancah pergolakan di Aceh. Adapun kisah

pemberontakan terhadap tentara Jepang, Pergerakan PUSA, Gema Proklamasi di

Aceh sampai kepada bagaimana tentara Aceh mempertahankan kemerdekaan RI

merupakan sebagaian dari banyak kisah sejarah lainnya yang dikemukakan Oleh

Hasjmy, Termasuk juga kisah dalam penahanannya dalam penjara oleh

pemerintahaan RI yang disebabkan oleh diproklamirkannya Darul Islam (DI) di

Aceh oleh Tgk. M. Daud Beureueh.

Penulis juga melakukan perbandingan pada tiap literature yang ada.

Seperti dalam buku Memahami Sejarah Konflik Aceh yang ditulis oleh Mr. S. M.

Amin yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2014.

Bertentangan dengan buku Sejarah dan dokumen-dokumen pemberontakan di

Atjeh oleh Alibasjah Talsya, Mr. S. M. Amin ingin memberikan informasi kepada

pembaca dalam sudut pandang yang berbeda. Peristiwa berdarah di Aceh

15

dilihatnya sebagai suatu perjuangan dalam menegakan ideologi keagamaan. Hal

ini bertujuan untuk memberikan dan memperkaya pembaca mengenai studi kritis

dalam sejarah Aceh maupun sejarah Indonesia diawal berdirinya republic ini.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman secara keseluruhan, skripsi ini terbagi

dalam lima bab. Adapun susunan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I Merupakan pendahuluan yang meliputi penjabaran singkat

mengenai permasalahan yang menjadi fokus kajian, identifikasi

masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, kerangka teori, metode penelitian, tinjauan pustaka,

serta sistematika penulisan.

BAB II Membahas biografi Tgk. M. Daud Beureueh dari mulai lingkungan

keluarga, riwayat pendidikan, dan karya-karyanya dalam berbagai

bentuk dari masa pra-kemerdekaan, kemerdekaan, dan pasca

kemerdekaan.

BAB III Membahas lebih mendalam mengenai peranan Tgk. M. Daud

Beureueh dalam pemberontakan untuk menegakan syariat Islam di

Aceh. Baik kedudukan, sikap, dan kontribusi nyatanya dalam

konflik yang disebut juga sebagai peristiwa berdarah di Aceh.

BAB IV Membahas mengenai pemberontakan yang menjadi peristiwa

berdarah di Aceh. Baik melalui upaya-upayanya, dan hasil

perjuangan dalam bentuk perubahan sosial dengan menggunakan

pendekatan konflik. Serta respon pemerintah pusat melalui

kebijakan-kebijakannya terhadap perjuangan masyarakat Aceh

yang dipimpin oleh Daud Beureueh.

BAB V Berisikan penutup yang terdiri atas kesimpulan mengenai jawaban

permasalahan penelitian, dan saran sebagai masukan terhadap

penelitian.

16

BAB II

BIOGRAFI TEUNGKU MUHAMMAD DAUD BEUREUEH

A. Lingkungan Keluarga

Teungku Muhammad Daud Beureueh, aslinya bernama Muhammad

Daud.29

Ia dilahirkan pada tanggal 17 September 189930

di kampung Beureueh,

Beureuneun atau yang sekarang termasuk Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie,

Daerah Istimewa Aceh.31

Daud Beureueh adalah salah satu tokoh ulama besar di

Aceh, ia juga merupakan tokoh kontroversial yang populer dikalangan masyarakat

Aceh, dalam perjuangannya mengibarkan serta menegakan panji-panji Islam di

bumi Aceh akibat rasa ketidakpuasannya atas pemerintahan Soekarno.32

Ketika semasa hidupnya dihabiskan di Aceh, dari situlah Daud Beureueh

dikatakan sebagai anak Aceh tulen. Seperti dalam sebuah karangan yang ditulis

oleh Anggraini dalam majalah Indonesia Merdeka, No.214 yang terbit di

Banjarmasin, pada tanggal 1 oktober 1953, berjudul Siapa Teungku Daud

Beureueh, bekas Gubernur Aceh yang memberontak. Menjelaskan mengenai

nama asalnya Muhammad Daud, yang diberikan orang tuanya sejak lahir.33

Gelar

Teungku34

berasal dari masyarakat Aceh, merupakan sebutan yang diberikan

kepada ulama Aceh atau sebutan kepada setiap orang yang dihormati.35

Sedang

tambahan Beureueh adalah nama tempat kampung kelahirannya. Penamaan ini

29

Harun Nasution dkk., Op. Cit., hal.202-203. 30

Menurut A. Hasjmy, dalam buku Ulama Aceh Pejuang Kemerdekaan dan

Pembangunan Tamadun Bangsa,Tgk. M. Daud Beureueh lahir dalam tahun 1316 Hijriah atau

sekitar tahun 1896 Masehi seperti yang dipaparkan dalam Ensiklopedi Islam Indonesia yang

disusun oleh Harun Nasution dkk. 31

A. Hasjmy, Op. Cit., hal.119-120. 32

H.M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, (Jakarta, Gelar Media Indonesia,

2009), hal.231-323. 33

El Ibrahimy, Op. Cit., hal.221-222. 34

Sekedar info, berbeda dengan Teungku (tgk.). Sebutan Tengku adalah titel

kebangsawanan di Sumatera Timur. Teuku adalah titel kebangsawanan di Aceh, sedangkan

Tuanku adalah titel Sultan Aceh dan turunannya atau sebagai sebutan sultan-sultan di Sumatera. 35

Anthony Reid, Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera,

(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), hal. 12-17.

17

adalah suatu kebiasaan pada sebagian masyarakat di Sumatera yang menaruhkan

nama kampungnya ke dalam namanya.36

Jika dianalisa lebih mendalam mengenai Muhammad Daud nama yang

diberikan kedua orang tuanya adalah dua nama Nabiyullah yang diberikan kitab

Al Quran dan Zabur. Dari penamaan yang diberikan, penulis berasumsi bahwa

keinginan kedua orang tuanya adalah menjadikan Daud Beureueh sebagai ulama

sekaligus mujahid37

yang siap membela, menyebarkan, mengibarkan, dan

menegakan panji-panji yang berdasar pada syariat Islam. Dilihat dari lingkungan

hidupnya Daud Beureueh tumbuh dan besar dilingkungan religius yang sarat

dengan nilai-nilai Islam.38

Dan ketika memasuki masa dewasa di bawah bayang-

bayang keulamaan ayahnya yang sangat kuat, yang mengilhami jejak hidupnya.

Ayahnya bernama Teungku Ahmad yang pada waktu itu menjadi Keucik

(lurah) Kampung Beureueh. Ayahnya merupakan seorang ulama yang

berpengaruh dikampungnya, mendapat gelar dari masyarakat setempat dengan

sebutan Imeuem (imam) Beureueh. Ibunya bernama Aminah. Menurut A.

Hasjmy dikatakan bahwa kakek Teungku Muhammad Daud Beureueh berasal dari

Kerajaan Pattani Darussalam, namanya Haji Muhammad Adami.39

Sementara

Daud Beureueh sendiri beristrikan tiga orang. Istri yang pertama bernama

Teungku Cut Halimah atau sering dipanggil Mi Usi, darinya dikaruniai tujuh

orang putra/putri. Istri yang kedua bernama Teungku Asma dipanggil Mi Paleue,

darinya dikaruniai tiga orang putra/putri. Istri yang ketiga bernama Cutnyak

Asiyah terkenal dengan panggilan Mi Beureueh, dikaruniai seorang putra yang

bernama Hatta, jika diakumulasikan semuanya berjumlah sebelas orang

putra/putri.40

Daud Beureueh melalui anak tertuanya Teungku Maryam,

mempunyai anak yaitu cucunya yang bernama Nila Inangda Mayang Keumala

36

El Ibrahimy, Op. Cit., hal. 222-223. 37

Mujahid adalah orang yang berjuang demi membela agama Islam. Sumber melalui

http://kbbi.web.id/mujahid di akses pada tanggal 31 Januari 2016, Pukul 13:37 WIB. 38

Nilai-nilai Islam yang dimaksud terlihat dimana ketika Maghrib tiba, Hikayat Perang

Sabil selalu dikumandangkan di setiap meunasah (masjid kampung). Ibid., hal. 337-338. 39

Kerajaan Pattani Darussalam adalah kerajaan Islam Melayu yang terletak di ujung

paling utara Semenanjung Tanah Melayu dan setelah dijajah Siam, sekarang menjadi Thailand

Selatan. A. Hasjmy melalui bukunya yang berjudul Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan

dan Pembangunan Tamadun Bangsa. hal.120. 40

A. Hasjmy, Op. Cit., hal.120-121.

http://kbbi.web.id/mujahid

18

yang bersuamikan Tan Sri Sanusi Junit41

telah mempersembahkan cicit untuk

Daud Beureueh. Tidak banyak literature yang dapat penulis gali mengenai

keluarga Daud Beureueh, baik mengenai keluarga lingkungan ataupun orang

terdekatnya.

Ketenaran tokoh di Aceh senantiasa melekat pada kharisma kampungnya.

Kampung adalah sebuah entitas politik42

yang pengaruhnya ditandai dengan

tokoh-tokoh perlawanan. Hal ini terjadi akibat cita-cita yang belum tercapai. Jika

dikaitkan dengan tempat tinggalnya Daud Beureueh berasal dari tanah Aceh,

tepatnya didaerah Pidie. Orang-orang Pidie terkenal berwatak keras, ulet dan suka

merantau. Mungkin sekali bila penulis katakan, karena watak orang Pidie

demikian rupa, maka Daud Beureueh tumbuh menjadi manusia yang keras, dan

ulet, hal ini terlihat juga setelah ia menjadi pemimpin umat.43

Terlebih lagi Daud

Beureueh mendapatkan gelar Teungku adalah karena ia ulama yang berasal dari

rakyat jelata. Jelaslah kemauan, keinginan dan pendiriannya yang kuat yang

membuat Daud Beureueh sangat disegani oleh masyarakat Aceh.44

B. Riwayat Pendidikan

Dalam riwayat pendidikannya Daud Beureueh memperoleh pendidikannya

dari lembaga pendidikan tradisional.45

Sebelum membahas hal itu lebih jauh

penulis ingin mencoba memaparkan sedikit mengenai sejarah pendidikan Islam di

41

Tri Sri Dato Seri Sanusi Junid atau suami dari cucu Daud Beureueh yaitu Nila Inangda

Keumala lahir 10 Juli 1943, adalah tokoh politik Malaysia yang menjabat sebagai Menteri

Pembangunan Negara dan Luar Bandar pada tahun 1981. Menteri Pertaninan sewatu berumur 38

tahun pada tahun 1986. Dan Tan Sri Sanusi menjadi Menteri Besar Kedah Darul Aman yang

ketujuh pada tahun1996-1999. Sumber melalui http://m.kompasiana.com/dandibachtiar/tan-sri-

sanusi-junid-putra-aceh-yang-jadi-menteri-di-malaysia_550e5dcaa33311b82dba8166 diakses pada

tanggal 31 januari 2016, Pukul 15:41 WIB. 42

Entitas politik adalah wujud politik. Jika dikaitkan dengan dengan entitas budaya

menurut Kuntjaraningrat. Analisa penulis mengenai penelitian ini adalah sebagai bentuk entitas

ideal, yaitu merupakan kompleks dari ide-ide gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dsb. Jelas

kaitannya dalam kasus perjuangan ini adalah terkait nilai-nilai keagamaan dalam menegakan

syariat Islam di Aceh. Sumber melalui http://kbbi.web.id/entitas di akses pada tanggal 31 Januari

2016, Pukul 17:30 WIB. 43

Bukti dari sifatnya yang keras dan tegas terlihat ketika dalam suatu khotbah Jumat di

Masjid Raya Kutaraja, dalam mengupas Islam dengan komunis, Daud Beureueh sangat militant,

tegas dan enteng dalam menyampaikan vonis haram dan kafir terhadap orang yang tidak

disukainya dalam kasus ini disebutkan untuk menjauhkan kaum Muslimin dari PKI. 44

El Ibrahimy, Op. Cit., hal. 222. 45

Harun Nasution, Op. Cit., hal 202.

http://m.kompasiana.com/dandibachtiar/tan-sri-sanusi-junid-putra-aceh-yang-jadi-menteri-di-malaysia_550e5dcaa33311b82dba8166http://m.kompasiana.com/dandibachtiar/tan-sri-sanusi-junid-putra-aceh-yang-jadi-menteri-di-malaysia_550e5dcaa33311b82dba8166http://kbbi.web.id/entitas

19

Aceh. Pendidikan Islam yang berlandaskan ayat-ayat Al Quran adalah rasa

kesadaran beriman dan beramal salih yang berdasarkan ilmu pengetahuan,

sehingga manusia menjadi makhluk sosial yang menghayati ajaran-ajaran Islam

dalam kehidupannya.46

Baik dalam kehidupan politik, ekonomi ataupun dalam

kehidupan sosial. Dengan berpedoman ayat-ayat Al Quran, pendidikan Islam

bertujuan untuk:

a. Membina manuslia Muslim yang beriman dan beramal salih sehingga

memenuhi syarat untuk menjadi Khalifah Allah di atas bumi, yang

bertugas memakmurkan dunia raya.47

b. Membina manusia Mukmin yang beramar makruf dan bernahi

mungkar, sehingga mereka memiliki syarat-syarat untuk ditampilkan

menjadi umat pilihan di depan mata dunia.48

c. Membina Jamaah Ansarullah yang bertugas melaksanakan Dakwah

Islamiyah dengan hikmah kebijaksanaan dan ajaran-ajaran yang indah

sebagai syarat mutlak bagi kaum Muslimin untuk menjadi umat yang

beruntung dan mendapat kemenangan.49

d. Membina angkatan Dakwah yang tugasnya bejihad membela rakyat

melarat yang tertindas, dengan segala daya, dana dan jiwa, sebagai

syarat mutlak untuk mendapat ampunan Allah dan kemenangan di

dunia dan di akhirat.50

Pengertian dan tujuan pendidikan Islam ini merupakan hal penting ketika

kita mengenyam pendidikan Islam dimanapun.51

Selain itu, mengetahui

pengertian dan tujuan bermanfaat untuk mengkaji mengenai suatu penelitian

terkait pendidikan, yang dalam kasus ini penulis akan mencoba untuk

menjelaskannya. Seperti yang dijelaskan dalam berbagai literature, Daud

Beureueh tidak mengalami masa-masa usia sekolah atau tidak masuk sekolah ke

lembaga pendidikan resmi yang dibuat Belanda seperti: Volkschool, Goverment

46

Landasan: Q.S. Al Alaq: 1-5 dan At Taubah: 122. 47

Landasan: Q.S. An Nur: 55-56. 48

Landasan: Q.S. Ali Imran: 110. 49

Landasan: Q.S. Ali Imran: 104 dan An Nahl: 125. 50

Landasan: Q.S. An Nisa: 74 dan Ash Shaf:10-12. 51

A. Hasjmy, Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978),

hal. 51-53.

20

Indlandsche School, atau HIS.52

Hal tersebut dikarenakan banyak putra/putri Aceh

tidak diizinkan orangtuanya untuk memasuki sekolah-sekolah yang didirikan oleh

kaphe53

, terutama untuk putra/putri ulama. Dan terlebih lagi masih sangat

kuatnya anti penjajahan dan gema berkumandangnya Hikayat Perang Sabil.54

Hal

ini membuktikan bahwa tidak benar yang dikatakan pengamat yang mengatakan

bahwa orang Aceh jaman penjajahan anti ilmu pengetahuan, melainkan yang

benar bahwa rakyat Aceh saat itu dan bahkan sampai sekarang, anti penjajahan,

seperti yang diterangkan oleh A. Hasjmy dalam bukunya Ulama Aceh Mujahid

Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamadun Bangsa.

Walaupun Daud Beureueh dan masyarakat Aceh baik dikalangan ulama

maupun rakyat jelata tidak memasuki lembaga pendidikan yang didirikan kaum

penjajah, namun mereka tidak buta huruf dan juga tidak buta ilmu karena

mereka mendapat pendidikan di pusat-pusat pendidikan seperti pesantren,

madrasah seperti, dayah/zawiyah.55

Jika dikaji lebih dalam pendidikan yang

bernama dayah/zawiyah berdiri ketika masa Kerajaan Islam Perlak, sebagai

Kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara. Hal ini merupakan upaya utama yang

dilakukakan dengan mendirikan tempat-tempat pendidikan bagi putra/putri

negara, dalam rangka mempunyai pengetahuan yang luas. Ini merupakan perintah

Sultan56

untuk memberi pengetahuan yang luas melalui bidang pendidikan. Dan

masa itu pendidikan dayah/zawiyah diajarkan oleh ulama-ulama yang juga

mempunyai pengetahuan yang luas.

52

Volkschool atau yang dikenal sekolah desa selama tiga tahun, muncul sekitar tahun

1915 ketika jaman penjajahan Belanda, diperuntukkan bagi anak-anak peribumi yang tinggal di

desa-desa. Motif pembangunan sekolah ini adalah ekonomi. Sumber melalui

http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/3515/volkschool diakses pada tanggal 31 Januari

2016, Pukul:19:52 WIB. Goverment Indlandsche School adalah sekolah rakyat lima tahun. A.

Hasjmy, Op. Cit., Sedangkan HIS adalah sekolah dasar selama tujuh tahun dengan bahasa Belanda

sebagai pengantar, diperuntukkan untuk anak-anak pribumi. Sumber melalui Anthony Reid, Op.

Cit., hal. 13. 53

Kaphe adalah sebutan kafir oleh masyarakat Aceh untuk Belanda atau penjajah. 54

Hikayat Perang Sabil merupakan syair perang sabil yang ditulis dan disebarkan pada

waktu perlawanan anti-Belanda. Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatera Antara Indonesia dan

Dunia, (Jakarta: KITLV, 2011), hal. 338. 55

El Ibrahimy, Op. Cit., hal. 221-222. 56

Hal yang melatarbelakangi pendidikan masa itu adalah ketika itu Ayah Sultan sangat

mementingkan pendidikan dan ilmu pengetahuan untuk putranya, hal itu terlihat dari pemikiran

Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah yang juga mementingkan pendidikan dan ilmu

pengetahuan terinspirasi dari ayahnya.

http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/3515/volkschool

21

Setelah berdiri banyak tempat-tempat pendidikan yang bernama zawiyah

dalam Kerjaan Islam Perlak, pada akhir abad ke-3 H atau abad ke-10 M.

Berdirilah pendidikan Islam yang bernama Zawiyah Cot Kala didirikan oleh

pangeran Muhammad Amin yang sekaligus merupakan seorang ulama atau lebih

dikenal dengan nama Teungku Chik Cot Kala. Kata-kata zawiyah seiring

perkembangan jaman berubah sebutan menjadi dayah menjadi Dayah Cot

Kala.57

Mempunyai akar sejarah dalam bidang pendidikan yang kuat,

memunculkan upaya yang dilakukan Kerajaan Aceh Darussalam untuk menyusun

lembaga-lembaga pendidikan, yand disesuaikan dengan system dan organisasi

pendidikan atau pengajaran yang disusun oleh Perdana Menteri Nizamuddin dari

Daulah Abbasiyah sekitar abad ke-16 M. dan seiring perkembangan pendidikan di

Aceh membawa ajaran wajib dalam rangka membasmi buta huruf tadan buta ilmu.

Adapun tingkatan pendidikan di Aceh sekitar abad ke-17 M adalah sebagai

berikut:

a. Meunasah atau madrasah, yaitu sekolah permulaan yang sama dengan

sekolah dasar. Didirikan ditiap-tiap kampung atau desa, untuk

mengajar murid-murid menulis dan membaca huruf Arab.

b. Rangkang, melalui Masjid sebagai pusat segala kegiatan umat, ini

merupakan pendidikan tingkat menengah pertama atau yang dikenal

dengan nama Madrasah Tsanawiyah. Diajar mengenai fiqh atau hukum

Islam.58

c. Dayah, dapat disamakan dengan Sekolah Menengah Atas atau

Madrasah Aliyah. Dalam tingkatan ini murid-murid diajarkan

mengenai kitab-kitab dan kajian fiqh lebih mendalam.

d. Dayah Teungku Chik, atau yang disebut Dayah Manyang, disamakan

dengan akademik. Teungku Chik artinya guru besar. Diajarkan

mengenai pelajaran tentang bahasa, fiqh, hukum Islam, sejarah, ilmu

manthiq, tauhid, tasawuf, ilmu falak, tafsir, hadits.

57

Ibid., hal. 51-56. 58

Diajar mengenai hukum islam yaitu tentang rubuk ibadah, tauhid, tasawuf, sejarah Islam

dan umum, dan bahasa Arab. Melalui buku-buku berbahasa Melayu dan Arab.

22

e. Jamiah Baiturrahman, setara dengan tingkatan universitas mempunyai

Daar atau fakultas. Di ajar oleh guru-guru besar, ulama atau sarjana,

dari Aceh maupun didatangkan dari Arab, Turki, Persia dan India.59

Kembali dalam fokus kajian mengenai pendidikan Daud Beureueh. Dalam

pusat-pusat pendidikan yang bernama dayah/zawiyah Daud Beureueh dan ulama

sejaman mempelajati baca tulis Arab dan pengetahuan Agama Islam. Dalam

riwayat pendidikannya dari beberapa dayah terkemuka di Tanah Aceh, Daud

Beureueh menimba ilmu pengetahuan, bahasa Arab, terutama sekali ilmu-ilmu

syariat dan hakikat serta ilmu-ilmu lain yang erat hubungannya dengan

pengembangan dan pembinaan Islam dalam melahirkan ulama besar dan

pemimpin rakyat.60

Pada mulanya Daud Beureueh belajar di Pesantren Titeue,

yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Hamid selama satu setengah tahun,

kemudian pindah ke Pesantren Lie Leumbeue dibawah pimpinan Tgk. Ahmad

Harun yang terkenal dengan sebutan Teungku di Tenoh Mirah. Setelah empat

setengah tahun belajar ia keluar sebagai ulama tulen atau tempaan pesantren

sejati. Setelah lulus Daud Beureueh menikah dengan Tgk. Halimah di kampung

Usi Meunasah Dayah. Pada tahun 1930, ia membentuk Jamiah Diniyah dan

kemudian mendirikan Madrasah Saadah Abadiyah di Blang Paseh, Sigli. Ini

merupakan pengembangan dari lembaga pesantrennya. Dan sejak itu Daud

Beureueh mulai terkenal dengan gelar Teungku di kampung Usi Meunasah

Dayah.61

62

Setelah Daud Beureueh mendirikan kedua lembaga pendidikannya,

kemudian ia menjadi pemimpin dalam mempelajari huruf latin sehingga teman

ulama sejamannya menjadi pandai membaca dan menulis huruf. Ilmu itu mereka

dapat ketika memasuki usia sekolah dalam lembaga pendidikan resmi yang

didirikan oleh Belanda yaitu Government Inlandsache School di kota kecil

59

A. Hasjmy, Op. Cit., hal. 63-71. 60

A. Hasjmy, Op. Cit., hal. 121-123. 61

Harun Nasution dkk., Op. Cit., hal. 202. 62

Pada mulanya kebanyakan penduduk kampung Usi menganut kepercayaan suluk, yang

bersumber kepada ajaran-ajaran Al Hallaj yang terkenal dalam sejarah ilmu Tasawuf. Mereka

bertekad, bahwa Allah, Muhammad dan Adam, hakikatnya adalah satu, ibarat kain, benang dan

kapas. Dengan petunjuk-petunjuk yang terus menerus dari Tgk. M. Daud Beureueh, kebanyakan

mereka telah kembali ke jalan yang benar. Sumber melalui M. Nur El Ibrahimy dalam bukunya

Tgk. M. Daud Beureueh Peranannya Dalam Pergolakan di Aceh. hal. 222.

23

Seulimeum. Dikatakan oleh Anthony Reid Tgk. M. Daud Beureueh tahun 1910-

1946 mendapatkan pendidikannya pada Europese School di Sigli. Dan hal itu

yang dianggap Anthony Reid bahwa Daud Beureueh lebih bersifat ke Eropaan

dibanding uleebalang lainnya.63

C. Karya-karyanya

Dalam hal ini, sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam mengenai

karya-karya Tgk. M. Daud Beureueh. Disini penulis membagi karya-karyanya

menjadi 3 bagian yaitu: pertama pemikiran, merupakan hasil dari manusia, tak

jarang manusia yang berfikir menghasilkan pemikiran-pemikiran yang bermanfaat

bagi kemajuan jaman, namun dalam menerapkan pemikiran tersebut banyak

tantangan yang harus dihadapi. Bukan mengenai tantangan tersebut, tapi

bagaimana hal itu menjadi pecutan semangat untuk menghadapi tantangan jaman

yang mencoba melawan arus manusia.

Dalam kasus ini jelas pemikiran Daud Beureueh merupakan pemikiran

politik, yaitu menciptakan konsep Negara Islam Indonesia di Aceh.64

Islam

sebagai dasar Negara dan Syariat Islam, sebagaimana diperintahkan Allah SWT.

Dan dijalankan oleh Rasulullah SAW. Tantangan yang dihadapi dalam

mewujudkan pemikirannya adalah pemerintah pusat. Pemerintah menganggap

pembentukan negara Islam ini adalah suatu tindakan pemberontakan dan

menentang terhadap kebijakan pemerintah. Dan hasil dari pemikiran ini maka

tercetuslah Republik Islam Aceh (RIA)65

berdiri pada 15 Agustus 1961. Tetapi

tidak lama berselang setelah perundingan antara Daud Beureueh dengan pihak

pemerintah Indonesia akhirnya tercapailah rumusan yaitu bahwa di Aceh dibentuk

sebagai Daerah Istimewa Aceh (DISTA) dengan penerapan syariat Islam dengan

batas-batas yang diperbolehkan oleh perundang-undangan republik Indonesia.

Sebelum pada akhirnya Aceh kembali kepangkuan Negara Kesatuan Republik

Indonesia dan bagian dari NKRI.66

63

Ibid., hal. 350. 64

Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal 200-205. 65

RIA akhirnya berhenti pada bulan juli akibat dari propaganda pemerintah pusat dan

perpecahan dalam kubu DI/TII. 66

Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal 205-208.

24

Kedua adalah bentuk, melalui karyanya Daud Beureueh membentuk

Jamiah Diniyah dan Madrasah Saadah Abadiyah di Blang Paseh, Sigli. Ini

adalah bentuk nyata bagaimana Daud Beureueh ingin memberikan sesuatu yang

bermanfaat bagi penerus dalam bidang pendidikan. Jika dikaji melalui pemikiran

pembaharuan dalam dunia Islam menurut At Tahtawi (1801-1873) kaitannya

dengan Daud Beureueh, ini adalah bentuk yang lebih spesifik. Karena Menurut At

Tahtawi, untuk menuju kesejahtraan ialah dengan berpegang kepada agama dan

budi pekerti yang baik. Dan menganjurkan pendidikan yang universal. Tujuan

pendidikan menurut pendapatnya mencakup kecintaan kepada bangsa dan At

Tahtawi juga berpendapat ulama harus mengetahui ilmu-ilmu modern agar

mereka dapat menyesuaikan syariat dengan kebutuhan zaman modern.67

Hal ini

terlihat pada Daud Beureueh yang mempelajari huruf latin untuk menambah

pengetahuannya yang lebih luas.

Menurut pandangan James Siegel, antropolog Amerika, anggota

Departement of Antrophology di Cornel University mengenai Daud Beureueh

yang dianggap sebagai ulama yang berani (militant) dan reformis dari sejarah

Aceh. James Siegel mengatakan bahwa Daud Beureueh pernah bersedia

membantu mengerjakan obyek-obyek yang bermanfaat bagi umum dengan

menyediakan diri sebagai alat dalam usaha membangun masjid, perbaikan dan

pembuatan jalan-jalan, memperbaiki saluran-saluran Irigasi.68

Ia juga termasuk

uleebalang yang kaya dan paling giat dalam membuka perkebunan kopi di Tangse

sekitar tahun 1930-an untuk membantu perekonomian masyarakat sekitar.69

67

Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban,

(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002). hal. 397-398. 68

El Ibrahimy, Op. Cit., hal. 228-235. 69

Anthony Reid, Op. Cit., hal. 350.

25

BAB III

PERAN TEUNGKU MUHAMMAD DAUD BEUREUEH DALAM

PEMBERONTAKAN DI ACEH

A. Pembentukan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia di Aceh

Perjuangan Daud Beureueh menegakan syariat Islam di Aceh terjadi pada

masa Era Orde Lama 1953-1962 telah menimbulkan peristiwa berdarah, atau yang

lebih dikenal dengan pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia Aceh

(DI/TII Aceh). Meletus pada 20 september 1953,70

perjuangan untuk menciptakan

negara Islam di Aceh sebagai suatu negara bagian dari Negara Islam Indonesia.

Pembentukan negara Islam yang berlandaskan kepada pelaksanaan syariat Islam

adalah cita-cita Daud Beureueh. Pemberontakan ini timbul akibat kekecewaan

terhadap Soekarno, serta harga diri yang terlecehkan karena tidak memenuhi

janjinya untuk menjadikan negara Indonesia sebagai sebuah negara yang

berlandaskan kepada Islam.71

Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya pemberontakan yang terjadi

tahun 1953-1962 oleh Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/ TII) Aceh adalah

rasa sakit hati rakyat Aceh atas perjuangan mempertahankan kedaulatan RI yang

dipandang sebelah mata setelah berhasil mempertahankan kemerdekaan, serta

kecewa dengan pemerintah karena wilayah Aceh dimasukan kedalam wilayah

Sumatera Utara dan janji pemerintah mengenai hak istimewa bagi daerah Aceh

tidak kunjung terwujud.72

Sedangkan pendapat lebih kuat menurut Anthony Reid,

faktor perjuangan melawan kendali Jakarta pada 1953-1962 didasari dua alasan,

yakni menentang diserapnya Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara, dan

gagalnya Republik melaksanakan hukum Islam.73

Pertentangan politik dengan

pemerintah pusat membawa kepada suatu keadaan yang meresahkan akibat

70

Dilihat pada beberapa literature peristiwa perjuangan di Aceh oleh Tgk. M. Daud

Beureueh dipandang sebagai suatu pemberontakan yang menentang kebijakan pemerintah dalam

menerapkan dasar negara Indonesia pasca kemerdekaan dan mengubur alasan kenapa

pemberontakan itu terjadi serta perjuangan gigihnya rakyat Aceh mengusir penjajah saat itu. 71

Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal.200. 72

__________, Ensiklopedi Islam untuk Pelajar. 73

Anthony Reid, Op. Cit., hal. 338.

26

adanya tarik menarik antara Aceh dengan pemerintah pusat. Pemerintah pusat

tidak mengakui pembentukan provinsi Aceh yang terpisah sehingga terjadi

tupmang-tindih kebijakan yang membawa kepada krisis kekuasaan pemerintahan

di Aceh.

Dalam permasalahan ideologi, yaitu penerapan perundang-undangan Islam

yang dikehendaki oleh rakyat Aceh gagal diberikan oleh pemerintah pusat. Hal ini

menjadi masalah dan membawa pertikaian atau konflik di era Orde Lama, Darul

Islam Tentara Islam Indonesia (DI/ TII) Aceh dengan pemerintah pusat, awalnya

disebabkan permasalahan kekuasaan dan selanjutnya masalah ideologi. menurut

kacamata penulis dalam kasus ini konflik dapat melenyapkan unsur-unsur yang

memecah belah dan menegakan kembali. Artinya konflik yang terjadi juga dapat

meredakan ketegangan antara pihak-pihak yang bertentangan, sehingga konflik

dapat berfungsi sebagai stabilisator sistem sosial. Sisi positifnya konflik dapat

menciptakan jenis-jenis interaksi yang baru di antara pihak yang bertentangan.

Dan konflik juga berlaku sebagai rangsang untuk menciptakan aturan-aturan dan

sistem norma baru, yang mengatur pihak-pihak yang bertentangan sehingga

keteraturan sosial Republik Indonesia khususnya Aceh dapat terwujud.74

Pada kenyataannya pembentukan Negara Islam yang merupakan cita-cita

impian Daud Beureueh terilhami dari perjuangan DI/TII pimpinan Imam

Soekarmadji Maridjan Kartosuwiryo.75

Kartosuwiryo adalah pemimpin pusat

yang pertama kali mencetuskan gerakan ini di Jawa Barat pada 7 Agustus 1949.

Ini merupakan alasan Daud Beureueh merangsang dan ikut berjuang juga dalam

melahirkan Negara Islam di Aceh sebagai suatu Negara Bagian dari Negara Islam

Indonesia. Selain itu, alasan lain Daud Beureueh untuk tidak meminta bantuan

atau bergabung menyatukan kekuatan dengan DI/ TII Kartosuwiryo adalah karena

Daud Beureueh melihat ada tekanan hebat yang dilakukan pemerintah pusat

terhadap gerakan Kartosuwiryo. Perjuangannya di Jawa direspon dengan sikap

74

Ulfah Fajarini, Konflik dan Integrasi: Potret Keagamaan Masyarakat Sawangan,

(Jurnal: Al-Turas Vol. 11, No. 3, September 2005). hal. 289. 75

Imam Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo (1905-1962) lahir pada 7 Februari 1905.

Adalah pemimpin yang menentang legitimasi dan otoritas Republik Indonesia yang baru merdeka,

antara 1948 dan 1962. Kartosuwiryo dikeluarkan dari sekolah kedokteran pada 1927. Karena

nasionalisme radikalnya, dan secara politik aktif berasosiasi erat dengan H.O.S. Tjokroaminoto,

pemimpin Sarekat Islam. Kartosuwiryo terilhami oleh pendirian Tjokroaminoto bahwa sebuah

negara Indonesia yang merdeka harus didasarkan pada prinsip-prinsip Islam. Lihat Ensiklopedi

Islam Ringkas, hal. 356.

27

keras oleh pemerintah pusat. Melalui Tentara Nasional Indonesia gerakan yang

dianggap sebagai pemberontak ini berhasil ditumpas di berbagai wilayah di Jawa

Barat.76

Walaupun mengikuti pola DI/ TII Kartosuwiryo, hakikatnya gerakan DI/

TII Aceh lebih merupakan gerakan peringatan kepada penguasa Jakarta agar tidak

sewenang-wenang dan melupakan sumbangan Aceh di masa lalu dengan

mengorbankan seluruh jiwa raga dan harta berharga masyarakat Aceh.77

Hubungannya dengan masyarakat Aceh adalah konteks dimensi perilaku

kolektif. Dimana suatu gerakan tidak hanya melakukan protes dan demonstrasi,

melainkan berakibat pada pengrusakan harta benda dan juga mengakibatkan

jatuhnya korban jiwa. Dari hubungan antar kelompok ini melibatkan suatu

gerakan sosial yaitu DI/ TII yang bertujuan menginginkan perubahan dalam

kekuasaan ataupun ideologi negara.78

Dalam pembentukannya perjuangan Daud

Beureueh terinspirasi dari perjuangan dakwah yang ditempuh oleh Rasulullah

SAW. Adapun langkah-langkah perjuangan menegakan syariat Islam di Aceh

melalui tiga tahap, yaitu:

1. Pertama, tahap pembinaan dan pengkaderan

Pada tahapan ini Daud Beureueh sangat serius dalam menanamkan nilai-

nilai dan norma Islam dalam kehidupan masyarakat di Aceh.79

Diketahui Islam di

Indonesia sulit berkembang karena ada tiga penyebab. Pertama, jarak Indonesia

dengan pusat Islam terlalu jauh. Kedua, Islam sampai ke Indonesia adalah Islam

kosmopolitan, dimana hubungan antar pemeluk Islam sedunia begitu dekat lalu

berubah menjadi Islam parokial, yang lokal. Ketiga, Islam di Indonesia menjadi

Islam pedesaan dan menjadi Islam petani. Ini berbeda dengan Timur Tengah yang

memiliki kaum pedagang yang mobil. Sebelum abad ke-15 M mobilitas para

pedagang sangat tinggi namun ketika sampai di Indonesia menjadi Islam petani

yang mobilitasnya makin menurun. Dan dipengaruhi oleh budaya agraris yang

relative statis dan percaya mistik.80

76

Cyrill Glasse, Op. Cit., hal. 356. 77

Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal. 201. 78

Ibid. hal. 160. 79

Pada masa kesultanan Aceh, Islam mengalami proses pelembagaan yang sangat jelas

sebagai kekuatan sosial budaya dan politik. pada masa itu kekuatan pengaruh Islam semakin

dirasakan di hamper seluruh aspek kehidupan masyarakat Aceh. lihat Ensiklopedi Tematis Dunia

Islam, hal. 65. 80

Kuntowijoyo, Op. Cit., hal. 28-29.

28

Hal itu merupakan sebuah tantangan untuk Daud Beureueh dalam

menanamkan Islam di masyarakat Aceh. Dalam pembinaan nilai dan norma Islam

Daud Beureueh dalam bidang pendidikan mendirikan dua lembaga yaitu Jamiah

Diniyah dan Madrasah Saadah Abadiyah di Blang Paseh, Sigli sekitar tahun

1930. Dengan tujuan agar nafas Islam selalu ada di dalam masyarakat Aceh dan

membebaskan buta huruf dan buta ilmu dikalangan masyarakat Aceh. Terutama

mengenai ilmu-ilmu syariat dan hakikat serta ilmu-ilmu yang erat hubungannya

dengan pengembangan dan pembinaan Islam dalam melahirkan ulama besar dan

pemimpin rakyat.81

2. Kedua, Tahap Interaksi dan Perjuangan

Pada tahap pembinaan aktifitas di bidang pendidikan yang dilakukan Daud

Beureueh adalah tandingan dari pendidikan yang di buat oleh kolonial Belanda.

Dan secara tidak langsung Islam sudah berinteraksi di kalangan masyarakat Aceh,

bagaimana di perkenalkan secara sederhana melalui pendidikan tradisional dan

dakwah-dakwah. Rasa keimanan yang kuat sudah tertanam di masyarakat Aceh

kemudian menemui pergesekan ideologi. Antara ide-ide yang dianggap benar

tentang Islam dengan ide-ide karena pengaruh barat melalui Ideologi Pancasila.

Pada periode ini perjuangan Daud Beureueh begitu berat karena memperjuangkan

nilai-nilai keIslaman dalam cita-cita nya mendirikan negara yang berlandaskan

syariat Islam.

Melalui dakwah-dakwahnya Daud Beureueh ingin menciptakan

masyarakat Aceh yang mempunyai semangat yang berkobar-kobar dalam

memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Dalam substansinya dakwah adalah

menyeru kepada mentauhidkan Allah dan seruan ibadah hanya kepada-Nya serta

seruan untuk meninggalkan penyembahan kepada berhala dan seruan untuk

melepaskan diri dari kehidupan diluar ketentuan Islam seperti zaman jahiliyah.

Dan ketika Soekarno mengkhianati cita-cita revolusi itu. Soekarno dianggap

sebagai alasan di segala macam maksiat dan kemungkaran. Soekarno menentang

Islam, memisahkan Islam dari negara, dan pemerintahan, dan Islam itu sendiri

dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Pancasila selalu diagung-agungkan dengan

81

A. Hasjmy, Op. Cit., hal. 121-123.

29

penafsiran dan pelaksanaannya itu bukan merupakan wadah untuk Islam.82

Dalam

pernyataannya, ini menjadi alasan Daud Beureueh mengangkat senjata dan

berjanji ditengah-tengah masyarakat Aceh, atas permintaan rakyat Aceh untuk

memimpin dan berjanji, berjuang bersama-sama hingga kemenangan tercapai,

melaksanakan hukum Allah di Republik Indonesia.83

3. Ketiga, Tahap Penerimaan Kekuasaan

Jika kaitannya dengan dakwah yang ditempuh Rasulullah SAW. Tahapan

ini adalah tahapan menerapkan Islam secara praktis dan menyeluruh, sekaligus

menyebarkan risalah Islam ke penjuru dunia. Berbeda pada perjuangan yang

dilakukan Daud Beureueh, Islam sebagai ilmu yang revolusioner. Memiliki

kemampuan untuk mengubah, dalam periode ilmu berbagai masalah

kemasyarakatan dapat dicarikan jawabannya dalam Islam. Misal mengenai

ketimpangan sosial, pemilikan tanah, hubungan kerja, ataupun masalah modal dan

penguasaan pasar. Islam memiliki jawaban dari persoalan itu. Tetapi hal itu masih

terbatas pada tingkat formulasi normatif, dan belum mengangkat Islam menjadi

teori sosial. Keadaan ini yang mungkin dianggap pemerintah saat itu masih tidak

percaya bahwa ide Islam bisa menjadi kenyataan. Dan menganggap itu sebagai

ide abstrak atau dengan kata lain non progresif.84

Setelah melakukan langkah-langkah mulai dari pembinaan, pengkaderan,

interaksi dan perjuangan. Aceh pada awal perjuangan kemerdekaan Indonesia

secara de facto85

yang merupakan bagian dari provinsi Sumatera, dengan

kebijakan undang-undang sementara tahun 1945 yang membagi wilayah

Indonesia menjadi 10 provinsi. Pergantian pemerintahan Jepang kepada

pemerintahan Indonesia secara otomatis menghapus dan menggantikan undang-

undang peradilan, baik dari zaman Belanda maupun Jepang menjadi perundang-

undangan Republik Indonesia yang diatur dalam lembaran Negara No. 23/ 1947.

Dengan berlakunya undang-undang ini, segala bentuk perundang-undangan dan

struktur pemerintahan di Aceh yang berlaku pada era Belanda dan Jepang telah

82

Pada Saat Soekarno tidak menepati janjinya, Pancasila dengan penafsiran dan

pelaksanaannya dianggap sebagai syirik yang sesat dan menyesatkan yang hanya sesuai dengan

agama lain di luar agama Islam. 83

Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal. 201. 84

Kuntowijoyo, Op. Cit., hal. 30-31. 85

De facto adalah pengakuan secara kenyataan, pada kasus Aceh ini bersifat sementara.

30

berubah. Namun pada kenyataannya walaupun mengalami perubahan, secara

prinsipnya perundang-undangan tersebut masih menyerupai kedua era Belanda

dan Jepang. Dan perlu ditekankan perubahan yang terjadi bukan berarti

merupakan pengembalian kepada bentuk asal perundang-undangan Aceh atau

hasil perundingan perundang-undangan yang sesuai dengan kehendak masyarakat

Aceh. Hal ini juga yang menyebabkan rakyat Aceh semakin geram dengan

pemerintah pusat dan alasan munculnya gerakan DI/TII Aceh.86

B. Kedudukan dan Sikap Tgk. M. Daud Beureueh dalam Perjuangan di

Aceh

Pada masanya perjuangan dengan berlandas pada syariat Islam, Daud

Beureueh memiliki rentan waktu yang lama. Mulai dari masa kolonial Belanda,

masa kedudukan Jepang, masa pra dan pasca kemerdekaan, dan masa revolusi.

Adapun kedudukan Daud Beureueh adalah sebagai berikut:

Ulama, seperti pemaparan penulis diatas dalam riwayat pendidikan, Daud

Beureueh dikenal sebagai ulama tulen. Hal itu terlihat dari pendidikan yang Daud

Beureueh jalani di Pesantren sekitar 6 tahun sebelum ia dikenal oleh rakyat Aceh

sebagai seorang ulama. Pada saat menjadi ulama, Daud beureueh mendirikan

lembaga pendidikan dan pemimpin dalam mengawali mempelajari huruf latin.

Peran sebagai ulama makin terlihat tatkala ia menyelesaikan persoalaan yang

terjadi di masyarakat. Dalam tahun 1920-1930-an, Daud Beureueh dan para ulama

lainnya, baik yang muda maupun yang sebaya dengannya, telah berhasil

memberantas gerakan kebatinan saleek buta,87

dimana bagi mereka gerakan itu

adalah suatu ancaman karena dapat merusak akidah keIslaman masyarakat Aceh.

Ketua PUSA, Persatuan Ulama Seluruh Aceh adalah organisasi modern

pertama dan sebuah gerakan rakyat yang berhasil muncul di Aceh setelah

pendudukan militer. Berdiri pada tahun 1939-1942, organisasi ini menghimpun ke

86

Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal. 178-179. 87

Saleek buta ialah satu aliran kebatinan yang tumbuh di Aceh sekitar abad ke-19 dan

awal ke-20 M, sampai dengan tahun tiga puluhan. Di antara ajaran saleek buta, bahwa Tuhan dan

makhluk adalah satu, atau bersatunya Allah dengan manusia. Dan bagi mereka, syariat Islam

seperti yang diamalkan tidak berlaku. Dalam buku A. Hasjmy, Op. Cit., hal. 105.

31

mayoritas ulama aktif di Aceh dalam program pengembangan sekolah-sekolah

agama yang lebih modern dan peningkatan Kekuatan Islam Aceh.88

Organisasi ini

lahir dalam konfrensi pada bulan Mei tahun 1939, oleh Teungku Abdul Rahman

dari perguruan Al- Islam di Peusangan. Lahir pada masa kolonial organisasi ini

muncul sebagai pejuang dalam mengambil kekuasaan dari Belanda di Aceh. Hal

itu terlihat dari konflik yang terjadi antara PUSA dengan uleebalang. Suatu

hubungan antara uleebalang dengan Belanda menjadi alasan mengapa PUSA

ingin memimpin sistem pemerintahan di Aceh.

Meskipun berdiri di saat situasi tegang, tetapi dalam perkembangannya

PUSA telah menunjukan dirinya sebagai suatu faktor politik yang sangat penting.

Dalam empat tahun terakhir setelah berdirinya PUSA, kekuasaan Belanda di Aceh

mengalami kemerosotan. Perubahan sikap dan perilaku antara uleebalang dan

rakyat Aceh menjadi bukti nyata makin rapuhnya kekuasaan uleebalang.

Perubahan sikap dan perilaku terlihat dari kemarahan dan kebencian masyarakat

Aceh akibat penindasan dan skandal beberapa uleebalang yang tergambar di

majalah Penjedar yang terbit di Medan pada bulan November 1938.89

Kemerosotan juga terlihat di bidang ekonomi, yaitu dengan munculnya

PUSA sebagai kaum tandingan atau atasan baru, sebagai motor penggerak

perekonomian rakyat dalam bentuk kaum pedagang yang berkembang didaerah

seperti Sigli, Garot, Bireun, dan Idi. Dan dalam dunia pendidikan terlihat pada

aliran pembaharuan yang pada dasarnya rakyat Aceh menganggap Belanda

sebagai kaphe, dengan munculnya sekolah-sekolah keagamaan dengan

berlandaskan Islam menjadi tandingan untuk sekolah-sekolah yang didirikan

Belanda. Berbeda dalam bidang politik, perjuangan mendapatkan kekuasaan oleh

ulama dianggap Belanda sebagai suatu gerakan perlawanan yang begitu

berpengaruh. Tapi aneh ketika sikap politik Belanda membiarkan gerakan yang di

pimpin oleh ulama tumbuh dan berkembang.90

88

Anthony Reid, Op. Cit., hal. 280. 89

Majalah Penjedar awalnya didirikan oleh mantan pemimpin PKI Xarim M. S., tetapi

kemudian majalah ini beralih ke tangan seorang wartawan Medan yaitu mantan pemimpin PSII,

Mohammad Said, menjadi pemimpin redaksinya pada bulan November dengan tujuannya yaitu

menggantikan kedudukan raja-raja uleebalang. 90

Anthony Reid, Op. Cit., hal. 58-63.

32

Menurut analisa penulis terhadap sikap politik Belanda melalui golongan

pembesar atau petinggi Belanda, melihat perjuangan melalui organisasi yang

dipimpin ulama melalui PUSA sebagai sebuah hal yang wajar dan tidak

mengkhawatirkan, sebaliknya pada tahun 1930an munculnya Muhammadiyah

sebagai sebuah gerakan non-Aceh yang terbuka dan menerima kebangkitan

nasionalisme Indonesia justru menimbulkan kekhawatiran oleh Belanda. Jadi

kekhawatiran Belanda timbul melalui ruang lingkup. PUSA gerakan pembaharuan

ruang lingkupnya lebih kecil dibanding dengan Muhammadiyah.

Gubernur Militer merangkap panglima divisi X TRI,91

pada masa revolusi

demi menciptakan proses pertahanan politik nasional, di wilayah Aceh, melalui

keputusan wakil Presiden Muhammad Hatta, Daud Beureueh dilantik menjadi

Gubernur Tentara di wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada tanggal 27

Agustus 1947 di Bukit Tinggi. Melalui Daud Beureueh, kekuatan bersenjata di

Aceh dapat dibentuk dan dileburkan dalam wadah Tentara Nasional Indonesia

(TNI), yang sebelumnya terdiri dari berbagai barisan pejuang kekuatan bersenjata

Aceh yang tidak terkawal.92

Hal ini didasarkan pertimbangan politis, karena selain Daud Beureueh

seorang ulama dan pemimpin rakyat yang sangat berpengaruh, juga karena banyak

diantara pemimpin laskar rakyat itu adalah muridnya. Dengan demikian, Daud

Beureueh dapat dijadikan figur pemersatu di wilayah Aceh. kemudian atas dasar

posisi strategis yang dimilikinya, Daud Beureueh diangkat sebagai Gubernur

Aceh pertama 1950. Namun tiga tahun kemudian, 21 september 1953, terjadi

perselisihan pandangan politik antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Hal itu yang menyebabkan Daud Beureueh bersama rakyat mengangkat senjata,

dan terjadilah tragedi berdarah atau lebih dikenal peristiwa berdarah.93

Proklamator Darul Islam, sebelum mengkaji mengenai kedudukan Daud

Beureueh dalam gerakan Darul Islam di Aceh, penulis ingin memberikan

informasi bagaimana cikal bakal timbulnya Darul Islam di Aceh. Darul Islam

adalah nama yang diberikan kepada sebuah gerakan pejuang Islam di Jawa Barat,

91

El Ibrahimy, Op. Cit., hal. 47. 92

Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal. 184-186. 93

Harun Nasution, Op. Cit., hal. 202-203.

33

Indonesia, yang menentang legitimasi dan otoritas Republik Indonesia yang baru

merdeka, antara 1948 dan 1962. Dipimpin oleh Sukarmadji Maridjan

Kartosuwiryo (1905-1962), kekuatan militer Darul Islam resmi dikenal sebagai

Tentara Islam Indonesia (TII) dengan basisnya didataran tinggi Jawa Barat,

mencoba memproklamasikan Negara Islam Indonesia 7 Agustus 1949 melalui

Kartosuwiryo yang dianggap sebagai pemimpin yang kharismatik. Beraliansi

dengan pejuang Islam di Aceh pimpinan Daud Beureueh dan di Sulawesi Selatan

pimpinan Kahar Muzakkar, melalui Piagam Jakarta, pemimpin Islam menyetujui

sebuah negara pluralitas94

demi kesatuan nasional. Imbalannya adalah adanya

pernyataan bahwa umat Islam wajib menjalankan hukum Islam. Hal ini

merupakan klaim minimalis atas sistem politik, walaupun secara konstitusional

tidak pernah dijadikan undang-undang. Bagi kartosuwiryo dan pengikutnya pada

1945 bergerak dalam sayap radikal politik Islam hal ini merupakan

pengkhianatan.95

Ketidak senangan mereka diperkuat oleh munculnya

keprihatinan terhadap pengaruh politis sayap kiri didalam barisan kaum

nasionalis.96

Tepat tanggal 21 September 1953 (12 Muharam 1373 Hijriah), Daud

Beureueh memproklamirkan berdirinya Darul Islam, negara Islam di Aceh. Aceh

memberontak dari Republik Indonesia yang berlandasrkan Pancasila dan

bergabung dengan Negara Islam Indonesia yang berlandaskan syariat Islam.

Berbeda dengan gerakan Darul Islam di Jawa Barat, di daerah Aceh sendiri selain

lebih lambat munculnya, gerakan ini pun relatif lebih singkat, antara 1953-1957.

Dan perjuangan terakhir pada tahun 1962, saat itu Daud Beureueh dianggap

sebagai tokoh sparatis dalam mewujudkan apa yang dicita-citakannya.97

Dalam

94

Pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk, berkaitan dengan sistem sosial

dan politik. Melalui kebudayaan muncul berbagai kebudayaan yang berbeda dalam suatu

masyarakat. Dalam kaitannya dengan perjuangan menegakan syariat Islam di Aceh adalah tentang

sebuah prinsip-prinsip Islam sebagai payung ideologi bagi penduduk Indonesia. Sumber melalui

http://kbbi.web.id/pluralisme di akses pada tanggal 16 Februari 2016, Pukul 09:50 WIB. 95

Pandangan alternatif Kartosuwiryo mengenai Indonesia dan tuntutannya akan sebuah

negara yang sepenuhnya Islam dijabarkan dalam risalahideologis 1946 bertajuk Haluan Politik

Islam. Dia menulis bahwa hanya dengan beridirinya Darul Islam-lah kese