Upload
dangminh
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
PERAN UNICEF DALAM MENGATASI CHILD SOLDIERING DI
MYANMAR TAHUN 2010-2013
(Skripsi)
Oleh
Agitha Mulyadi
HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2018
ii
ABSTRAK
PERAN UNICEF DALAM MENGATASI CHILD SOLDIERING DI
MYANMAR TAHUN 2010-2013
Oleh
Agitha Mulyadi
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran yang telah dilakukan UNICEF
sebagai organisasi internasional dalam mengatasi permasalahan perekrutan
tentara anak di Myanmar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif kualitatif. Penelitian ini berfokus pada peranan UNICEF dalam
permasalahan perekrutan tentara anak di Myanmar yang dilihat dari tiga peranan
yaitu Peran Motivator, Peran Komunikator, dan Peran Mediator. Mengingat
bahwa Myanmar memiliki jumlah tentara anak terbanyak di dunia. Dengan Peran
Motivator UNICEF melakukan upaya dan kegiatan perbaikan kondisi psikis
mantan tentara anak dan juga telah melakukan beberapa penandatanganan
kebijakan dengan pemerintah Myanmar. Peran sebagai Motivator dijalankan oleh
UNICEF dengan memberi dorongan kepada masyarakat dunia agar lebih peduli,
mendukung dan melindungi hak-hak anak dan menentang pelanggaran terhadap
hak-hak anak. Dalam pelaksanaannya, UNICEF memperkuat kerjasama dengan
departemen pemerintahan dan organisasi-organisasi yang tertarik untuk
mempromosikan pendidikan yang kuat, sistem kepedulian kesehatan, dan
melindungi anak-anak Myanmar. Peran Komunikator yang UNICEF lakukan
adalah mengkampanyekan perlindungan anak dari exploitasi. UNICEF dengan
pengumpulan data yang akurat di lapangan kemudian dilaporkan ke forum.
Laporan-laporan tersebut berguna untuk membuka mata dunia bahwa
pelanggaran terhadap hak anak juga dalam keadaan yang mendesak untuk diatasi
mengingat pentingnya peranan anak-anak untuk masa depan dunia, dan juga
Peran Mediator yaitu UNICEF menjadi jembatan dalam penyaluran pendanaan
dari sejumlah bantuan baik atas nama individu maupun negara. UNICEF bekerja
untuk melindungi anak-anak dari kemiskinan, kekerasan, penyakit, dan
diskriminasi. UNICEF memiliki peran utama dalam tujuan nya yaitu untuk
mengakhiri adanya perekrutan tentara anak-anak di dunia, khususnya Myanmar.
Kata kunci : Peran Motivator, Peran Komunikator, dan Peran Mediator, Tentara
Anak Myanmar, UNICEF.
iii
ABSTRACT
THE ROLE OF UNICEF IN OVERCOME CHILD SOLDIERING IN
MYANMAR 2010-2013
By
Agitha Mulyadi
This thesis analyzes the role that UNICEF has taken as an international
organization in Myanmar. The method used in this research is qualitative
descriptive. This study discusses UNICEF in the context of the recruitment of
child soldiers in Myanmar, which is seen from three roles: Motivator Role,
Communicator Role, and Role Mediator. Given that Myanmar has the most
number of child soldiers in the world. With the Motivator's Role, UNICEF made
efforts and activities to improve the psychological condition of former child
soldiers and also signed several policy agreements with the Myanmar
government. The role as a Motivator is run by UNICEF by encouraging the
world community to be more concerned, support and protect children's rights and
influence children's rights. In its implementation, UNICEF is building
partnerships with government departments and organizations interested in
enhancing strong education, health care systems, and protecting Burmese
children. The role of the communicator that UNICEF is doing is campaigning for
children from exploitation. UNICEF by using the right data in the forum is then
entered into the forum. Reports that are useful to open up a world that deflects
the rights of children and also in urgent situations to be overcome given the role
of children for the future of the world, and also the role of the Mediator, UNICEF
is the compiler of various individuals as well as the state. UNICEF works to
protect children from poverty, violence, disease and discrimination. UNICEF has
a major role in the task of recording child soldiers in the world, especially
Myanmar.
Keywords : Motivator Role, Communicator Role, and Role of Mediator,
Myanmar Child Army, UNICEF.
iv
PERAN UNICEF DALAM MENGATASI CHILD SOLDIERING DI
MYANMAR TAHUN 2010-2013
Oleh
Agitha Mulyadi
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUBUNGAN INTERNASIONAL
Pada
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
Judul Skripsi
Nama Mahasiswa
No. Pokok Mahasiswa
Jurusan
Fakultas
: PERAN UMCEF DALAM MENGATASICHILD SOLDIERING DI MYANMAR
'TAHUN 2010-2013
Agitha Mutyadi
t4r607tOM
Hubungan lnternasional
NIP 19s707281
MENGESAIIKAN
l. Tim Penguji
: Drs. Agus Hadiawan, M.Si
Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 17 Oktober 2018
vl
: Dr. Sind"t*
f"nto, M.Si
Ilmu Sosial dan Ihnu Folitik
/."€.s
r::fd
Yagbertandatangan d
IhN]trt
.husm
Almd kmiatt
lbHP/Telp. Rumah
SURAT PERTTYATAAII
i bawah ini :
AgithaMulyadi
14t607rcM
Hubungan Internasioal
Jl. Malabar2 BlokJ 2l Wayhalim
082r80197888
hgru ini menyatakan bahvra skripsi saya yang berjudul *PERAN UI\IICEF
DAI,AIil I}IENGATASI CEITD SOLI'IENING DI MYANMAR TAEUN
2Jl}2!lll3 adalah benm-benar hasil karya sendiri, bukan plagiat (milik orang
hin) ataupun dibuatkan oleh orang lain. Apabila di kemudian hari hasil
@itian/ skripsi saya" ada pihak-pihak yang merasa keberatan maka saya akan
ncrmsgung jawab sesuai dengan peraturan dan siap dntuk dicabut gelar
&demik saya
Dcmftian surat pernyataan ini saya buat da-lam keadaan sadar dan tidak dalam
Elrrm pihak-pihak manapun.
Bandar Lampung, l7 Oktober 2018
NPM 1416071004
viii
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap penulis Agitha Mulyadi. Lahir di Palembang
pada tanggal 1 Agustus 1996 sebagai anak keempat dari
lima bersaudara, buah hati dari pasangan Bapak Dr.
Mulyadi. M.A dan Ibu Yennie Abdul Gannie. Pendidikan
formal yang pernah penulis tempuh dimulai dari Taman
Kanak-Kanak Pembina 1 Palembang kemudian ke jenjang Sekolah Dasar di SD
Negeri 6 Palembang pada tahun 2002 dan lulus di tahun 2008. Penulis menempuh
pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 17 Palembang
pada tahun 2008 dan lulus di tahun 2011. Selanjutnya, pada tingkat Sekolah
Menengah Akhir di SMA Negeri 1 Palembang pada tahun 2011 dan lulus di
tahun 2014. Penulis melanjutkan pendidikan pada tahun 2014 dengan terdaftar
sebagai mahasiswi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Lampung pada tahun 2014 melalui jalur masuk Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Sejak di bangku perkuliahan,
penulis aktif dalam kegiatan organisasi dan partisipasi seminar seperti seminar
FEALAC Outreach Program ―The Implementation of the Indonesia Foreign
Policy in the Framework of FEALAC : Opportunities and Challanges”. Dan
penulis juga berpartisipasi pada beberapa kegiatan HMJ Hubungan Internasional
yaitu menjadi Laision Officer(LO) di PSNMHII xxx 2018. Penulis juga aktif
N
ix
didalam berbagai kegiatan non-akademik. Pada tahun 2013 penulis menjabat
sebagai Ketua Umum Organisasi Theater SMA Negeri 1 Palembang. Pada tahun
2014 sampai 2018 penulis juga meraih beberapa prestasi dan penghargaan
sebagai Top 6 Wajah Sumeks (2014), Ambassador Indosat Social Media (2014),
Runner Up 1 MIA Palembang (2015), as the Main Speaker in Inspiring Talkshow
“Personal Branding in Public” (2018).
x
MOTTO
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka
mengubah diri mereka sendiri”.
(Q.S. Ar-Ra‟d:11)
The world as we have created it is a process of our thinking. It can not be
changed without changing our thinking
(Albert Einstein)
xi
SANWACANA
Bismillahirrahmanirrahiim
Puji syukur atas keridhoan Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat,
nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “PERAN UNICEF DALAM MENGATASI CHILD SOLDIERING
DI MYANMAR TAHUN 2010-2013”
Shalawat serta salam tidak lupa penulis sanjungkan kepada Nabi Muhammad
SAW sebagai suri tauladan yang baik bagi kaumnya.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan studi
dan memperoleh gelar Sarjana Ilmu Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sebagai bentuk
dari adanya keterbatasan kemampuan. Penulis berharap agar skripsi ini
bermanfaat untuk pembacanya dan untuk perkembangan penelitian dalam kajian
ilmu sosial dan ilmu politik khususnya pada ilmu hubungan internasional.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan
terimakasih kepada :
1. Ibunda dan Ayahanda tersayang dan tercinta, Ibu Yennie Abdul Ganie dan
Mama Mella Karmela S.E, Ayah Dr. Mulyadi, M.A atas semua kasih sayang,
xii
doa, ridho, dukungan dan materi yang tidak pernah ada hentinya diberikan
untuk Agitha walaupun terpisah oleh jarak. Terimakasih telah senantiasa
bekerja keras untuk menjadikan Agitha sebagai anak yang berpendidikan.
Semoga Ibunda Mama dan Ayahanda selalu dalam perlindungan Allah SWT
serta cinta dan kasih-Nya.
2. Ayuk-ayukku dan adikku tersayang, Dini Muldini Prabu Putri, S.E, Wendy
Octapradini, A.Md, Chania Mulyadi, A.Md, dan Muhammad Kim Deo
Mulyadi. Terimakasih telah memberikan warna yang indah di setiap kerinduan
yang dibatasi oleh jarak dan memberikan keceriaan yang menghilangkan rasa
penat dalam menempuh perkuliahan di tanah rantau. Semoga Allah selalu
memberikan jalan dalam mengejar cita-cita agar dapat menjadi kebanggaan
orangtua.
3. Bapak Dr. Syarief Makhya, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Lampung.
4. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si, selaku Pembimbing Akademik dan
Pembimbing Utama Skripsi yang telah membantu, membimbing, memberikan
saran dan kritik serta motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini.
5. Abang Indra Jaya Wiranata, S.IP, M.A, selaku pembimbing kedua skripsi saya
yang telah membantu, membimbing, mengarahkan, memberikan saran, kritik
dan motivasi serta meluangkan waktunya dengan penulis untuk bertukar
pikiran sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
6. Bapak Dr. Sindung Haryanto, M.Si, selaku dosen pembahas dan penguji yang
telah memberikan saran dan kritik kepada penulis dalam penyusunan skripsi.
xiii
7. Seluruh jajaran dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Lampung.
8. Staf Akademik dan Staf Kemahasiswaan Jurusan Hubungan Internasional
Universitas Lampung yang telah membantu dan mempermudah penulis dalam
proses administrasi dari awal perkuliahan hingga akhir perkuliahan.
9. Sahabat-sahabatku tercinta Debra Andini, Yolanda Dwi Putri, Novinka Dian
Malino, dan Lidya Novadinda. Terimakasih telah menjadi penyemangat dan
pengingat disaat penulis kehilangan arah untuk bertahan menjalani perkuliahan
dan menjadi anak rantau ini. Syoleyha is my true support system after family!
10. Seluruh teman-teman seperjuangan Jurusan Hubungan Internasional 2014
yang tidak bisa saya ucapkan satu persatu. See you on top!
11. Teristimewa sahabatku Rivan Aji Putranto, S.E dan Ari Irfani Dwi Setiawan,
S.Ikom. Terimakasih telah menjadi saksi dan sosok sahabat yang selalu ada
dalam setiap hari-hari penulis lewati untuk berjuang di tanah rantau.
Terimakasih dan saya beruntung memiliki kalian dihidup saya, hanya itu yang
dapat penulis ucapkan.
12. My Long Distance Friendship (neon) Dwi Rizka, S.E, Rizky Mentari, Aulia
Annisa, S.T, Taga Vega, S.T, Nur. M. Rendi, S.T, Raka Medio Hidayat, S.T
(best7) Agus Triadi, S.IP, M. Idham Akbar, A.Md, Gilang Hasibuan, Erwin.
Walaupun dipisahkan jarak kalian selalu menjadi penyemangat penulis untuk
menjadi tempat berkeluh kesah.
13. Kesayanganku Chindy Fara Ameralda S. Hub. Int dan Nurika Amalia S. Hub.
Int, terimakasih untuk canda, tawa, airmata, dan semuanya. My sister from
another mother!
xiv
14. Teman seperjuangan Cavenray Jundepta, S.E, Ade Novianti, Evan Saputra,
S.E, Pramudya Ananta, S.I.Kom, terimakasih telah menjadi bagian yang
penting dalam hidup penulis selama menjadi anak rantau.
15. My Second Family Ayah Dr. Nugi Nurdin dan Bunda Huzaimah Srikandi
terimakasih atas semangat dan dukungan yang tidak pernah berhenti dari awal
perkuliahan hingga akhir.
16. Kyai dan Atu, dan adik-adik terkasih di Jurusan Hubungan Internasional
2013, 2015 dan 2016 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu atas semua
semangat, dukungan dan doa yang telah diberikan. Semangat untuk kalian!
17. Terimakasih untuk teman-teman KKN Kecamatan Seputih Raman, Desa
Rama Oetama yaitu Nabila Casogi, S.Ked, Rani, S.H, Rahmad A, S.E, Aditia
Kurniawan, S.P, Kurniawan, S.H, S.E, dan Margaretha Sandra, S.P.
Terimakasih untuk semua kenangan dan pelajaran hidup yang tidak akan
pernah bisa terlupakan.
18. Semua pihak yang telah mendoakan dan mendukung penulis dalam bentuk
apapun. Semoga Allah SWT membalas semua ketulusan dan kebaikan yang
telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini bermanfaat.
Bandar Lampung, 17 Oktober 2018
Penulis,
Agitha Mulyadi
xv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL LUAR .................................................................................. i
ABSTRAK ............................................................................................................ ii
ABSTRACT ......................................................................................................... iii
HALAMAN JUDUL DALAM ........................................................................... iv
MENYETUJUI ...................................................................................................... v
MENGESAHKAN ............................................................................................... vi
SURAT PERNYATAAN ................................................................................... vii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... viii
MOTTO ................................................................................................................. x
SANWACANA ..................................................................................................... xi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xviii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xix
DAFTAR GRAFIK ............................................................................................. xx
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xxi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 14
1.3 Tujuan Penelitian................................................................................ 15
1.4 Kegunaan Penelitian ........................................................................... 15
1.5 Manfaat Penelitian.............................................................................. 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 17
2.1 Penelitian Terdahulu .......................................................................... 17
2.2 Landasan Konseptual ......................................................................... 27
2.2.1 Teori Peran ........................................................................... 28
2.2.2 Konsep Organisasi Internasional ......................................... 29
2.2.3 Human Right ........................................................................ 32
2.2.4 Hak Anak ............................................................................. 34
2.2.5 Konsep Tentara Militer ........................................................ 36
2.2.6 Konsep Tentara Anak........................................................... 37
2.3 Bagan Kerangka Pikir ........................................................................ 40
xvi
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 41
3.1 Tipe Penelitian.................................................................................... 41
3.2 Fokus Penelitian ................................................................................. 42
3.3 Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 42
3.4 Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 43
3.5 Teknik Analisis Data .......................................................................... 44
BAB IV GAMBARAN UMUM .......................................................................... 48
4.1 Pengertian UNICEF ........................................................................... 48
4.2 Fungsi UNICEF.................................................................................. 49
4.2.1 Fungsi UNICEF Secara Umum............................................ 50
4.2.2 Fungsi UNICEF Dalam Kasus Tentara Anak di Myanmar . 52
4.3 Tugas UNICEF ................................................................................... 53
4.3.1 Tugas UNICEF Secara Umum ............................................. 53
4.3.2 Tugas UNICEF Dalam Kasus Tentara Anak di Myanmar .. 54
4.4 Program Kerja UNICEF ..................................................................... 55
4.4.1 Program Kerja UNICEF Secara Umum ............................... 56
4.4.2 Program Kerja UNICEF di Myanmar .................................. 57
4.4.3 Latar Belakang Keberadaan UNICEF di Myanmar ............. 60
4.5 Mekanisme Internasional Perlindungan Anak. .................................. 62
4.6 Latar Belakang dan Kondisi Tentara Anak di Myanmar ................... 63
4.7 Metode Perekrutan Tentara Anak di Myanmar .................................. 75
4.7.1 Perekrutan Tentara Anak Oleh Pemerintah ......................... 76
4.7.2 Perekrutan Tentara Anak Oleh non–Pemerintah ................. 81
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 84
5.1 Peran Motivator: Upaya Perbaikan kondisi Psikis Mantan Tentara
Anak dan Kebijakan Pemerintah Myanmar ...................................... 90
5.1.1 Program DDR (Disarmament, Demobilization, and
Reintegration) ....................................................................... 91
5.1.2 Kerjasama UNICEF Dengan Pemerintah Myanmar Dalam
Country Programme 2011-2015 dan Joint Action Plan
2012 .................................................................................... 100
5.1.3 Lokakarya Konsultatif ........................................................ 111
5.1.4 Peninjauan Kembali Konvensi Perlindungan Anak ........... 114
5.1.5 Kebijakan Akta Kelahiran .................................................. 115
5.2 Peran UNICEF Sebagai Komunikator : Upaya Mengkampanyekan
Perlindungan Anak dari Exploitasi .................................................. 118
5.2.1 Sosialisasi Melalui Media Cetak dan Elektronik Tentang
Tentara Anak ...................................................................... 119
5.2.2 Mendatangkan Artis Internasional ..................................... 120
5.3 Peran Mediator Internasional: Peranan Bantuan Internasional ........ 123
xvii
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN........................................................... 129
6.1 Kesimpulan....................................................................................... 129
6.2 Saran ................................................................................................. 131
6.3 Hambatan Dalam Penulisan ............................................................. 133
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Gambar 1. Pembagian Tugas Tentara Anak .......................................................... 4
Gambar 2. Kategori Tentara Anak ......................................................................... 9
Gambar 3. Kerangka Pikir.................................................................................... 40
Gambar 4. Tentara Anak di Myanmar ................................................................. 67
Gambar 5. Peran Motivator UNICEF .................................................................. 91
Gambar 6. Country Programme Structure 2011-2015 ....................................... 101
Gambar 7. Pernyataan Penandatanganan Joint Action Plan (JAP) ................... 105
xix
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 1. Pihak Perekrut Tentara Anak .................................................................. 10
Tabel 2. Jumlah Tentara Anak di Myanmar 2010-2013 ....................................... 12
Tabel 3. Penelitian Terdahulu ............................................................................... 25
Tabel 4. The Country Programme 2011-2015 Summary Budget Table ((in US$
„000)) ..................................................................................................... 126
Tabel 5. Country Programme Budget Allocation 2006-2010 (in US$ „000)....... 127
xx
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1. Jumlah Tentara Anak 2007-2016........................................................... 13
xxi
DAFTAR SINGKATAN
BGF = Border Guard Forces
BSPP = Burmese Socialist Programme Party
CPB = The Communist Party of Burma
CRC = Convention on the Right Child
DDR = Disarmament, Demobilization, and Reintegration
HAM = Hak Asasi Manusia
HIV/AIDS = Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency
Syndrome
IGO = Intergoverment Organization
ILO = International Labor Organization
JAP = Joint Action Plan
KA = The Karenni Army
KIA = Kachin Independence Army
KIO = Kachin Independence Organization
KNLA = The Karen National Liberation Army
NGO = Non-Government Organization
MBOA = Myanmar Buddhist Orphanage Association
MDGs = Millennium Development Goals
NLD = National League for Democracy
PBB = Perserikatan Bangsa-Bangsa
RMO = Ratana Metta Organization
SDPC = State Peace and Development Council
SLORC = State Law and Order Restoration Council
SPDC = The State Peace and Development Council
SSA-S = The Shan State Army-South
UNHCR = The United Nations High Commissioner for Refugees
UNICEF = The United Nation International Children‟s Fund
UNRRA = The United Nation Relief and Rehabilitation Agency
UWSA = The United Wa State Army
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggunaan senjata masih menjadi alternatif dalam menyelesaikan konflik
atau perbedaan pendapat yang timbul dalam kehidupan sosial antar negara.
Sengketa bersenjata atau perang adalah suatu kegiatan yang mempunyai dampak
yang sangat luas. Dengan adanya sengketa bersenjata, hal ini mendekatkan
manusia terhadap kematian yang sia-sia ataupun kekerasan yang akan terjadi.
Pada umumnya metode-metode penyelesaian konflik digolongkan dalam dua
kategori yaitu dengan cara penyelesaian damai dan cara penyelesaian secara
paksa atau dengan kekerasan perang (Starke, 2008 : 646).
Berdasarkan hal tersebut tidak dapat dipungkiri perang membawa lebih
banyak kerugian, baik untuk pihak yang terlibat secara langsung dalam perang itu
sendiri, rakyat sipil yang tidak berdosa termasuk wanita dan anak-anak yang
merupakan kaum lemah dan seharusnya dilindungi dari sasaran dan serangan
pertempuran (Ambarwati, Ramdhany, D., Rusman, R. 2009 : 45). Konflik yang
memicu terjadinya peperangan memang tidak jarang memakan banyak korban
dan menimbulkan banyak efek kerugian akibat perang. Salah satu dari sekian
banyak yang terkena efek perang adalah anak-anak. Anak-anak seringkali tidak
mengetahui sebab terjadinya perang itu sendiri. Karenanya tidak jarang beberapa
2
dari mereka tidak hanya menjadi korban dari pihak-pihak yang berkonflik,
melainkan malah menjadi pelaku perang itu sendiri.
Fenomena tersebut dikenal dengan istilah Child Soldier atau tentara anak
yang sering kali tidak menjadi fokus utama pemerintah atau negara ketika terjadi
perang atau konflik bersenjata. Sebagaimana dalam kasus tentara anak di
Myanmar. Tentara anak didefinisikan sebagai seseorang yang berusia dibawah 18
tahun yang menjadi anggota atau bekerja dalam satuan prajurit atau tentara
pemerintah maupun kelompok ilegal dalam keadaan ada maupun tidak ada
konflik bersenjata (UNICEF, 2001).
Myanmar adalah satu-satunya negara Asia yang muncul di hampir setiap
daftar negara yang merekrut tentara anak secara global. Sejak kemerdekaan
negara itu pada tahun 1948, Myanmar secara politik tidak stabil dan terlibat
dalam konflik sipil. Hal tersebut yang membuat tentara nasional Myanmar
Tatmadaw Kyi dan hampir semua kelompok etnis Burma secara sistematis
merekrut tentara anak (Thomson, 2002 : 269). Pada tahun 2002, Human Rights
Watch merilis sebuah laporan: Child Soldiers in Burma, yang mengemukakan
beberapa statistik mengejutkan, menyebut Myanmar sebagai negara terbesar di
dunia yang merekrut tentara anak-anak. Menurut laporan tersebut, Myanmar
memiliki 70.000 tentara anak di bawah usia 18 tahun. Jumlah tentara anak
tersebut merupakan 20% dari total tentara yang aktif bertugas di negara tersebut
(Kaplan, 2005 : 28).
Fenomena tentara anak di Myanmar dapat dipahami dengan konteks
militerisasi di masyarakat. Banyaknya konflik yang terjadi di Myanmar telah
mempengaruhi semua aspek kehidupan bermasyarakat sebagai akibat benturan
3
kepentingan antar kelompok. Pemberontakan etnis yang terus berlangsung
berdampak negatif terhadap perkembangan sosial masyarakat di Myanmar itu
sendiri serta gesekan politik berperan memperburuk kondisi di dalam negeri.
Kondisi politik yang jauh dari kata stabil juga telah menimbulkan konflik
horizontal yang mengakibatkan perang sipil dimana berdampak pada krisis
ekonomi dan terisolasinya daerah pedesaan, terutama daerah yang menjadi tempat
berlangsungnya konflik.
Hal itu pula yang mengakibatkan pelayanan publik yang menjadi kebutuhan
primer masyarakat seperti dalam bidang kesehatan dan pendidikan menjadi
semakin memprihatinkan. Konsekuensinya adalah banyak anak-anak di Myanmar
hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Selain tidak mendapatkan pendidikan
yang layak, kondisi kesehatan juga berada jauh dari tingkat kelayakan yang
mengakibatkan kebanyakan dari mereka terjerumus ke dalam perekrutan tentara
di bawah umur ketika konflik bersenjata.
Mengingat Negara Myanmar merupakan negara yang mempraktekkan
prinsip non intervensi, yaitu prinsip yang mengemukakan bahwa suatu negara
tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan atau permasalahan dalam negeri
dari negara lain. Prinsip ini yang membuat organisasi nasional maupun organisasi
internasional sulit untuk terlibat langsung dalam setiap konflik yang terjadi di
negara Myanmar. Hal tersebut yang membuat UNICEF selaku Organisasi
Internasional mengalami kesulitan berinteraksi langsung dengan pihak
pemerintahan Myanmar karena adanya prinsip non-intervensi ini.
Secara historis, munculnya anak–anak sebagai tentara anak yang terlibat
langsung dalam konflik bersenjata dimulai semenjak abad ke 18. Anak–anak
4
secara tidak langsung telah turut serta dalam konflik bersenjata. Pada waktu itu,
anak–anak dapat dikatakan hanya sebagai penggembira dan diberi bertugas
sebagai penabuh genderang perang. Dimulai dari situlah perkembangan menuju
sesuatu yang tidak baik dengan mulai merekrut anak–anak untuk menjadi kadet
yang berfungsi membantu sebuah angkatan perang. Hingga pada akhirnya
dimulailah babak baru sebuah fenomena anak–anak yang tergabung dalam
angkatan bersenjata di suatu negara guna membantu dan terlibat langsung dalam
konflik atau perang.
Terdapat berbagai macam tugas yang di berikan dalam perekrutan tentara
anak, seperti yang dijelaskan pada gambar berikut :
Gambar 1. Pembagian Tugas Tentara Anak Sumber : http://aft.org/sites/files/content_area_full_width/public/periodicals/Solsier-Chart.html
Seperti pada gambar di atas yang menjelaskan tugas-tugas tentara anak
yang dijadikan sebagai pejuang, koki, kurir, budak seks, tameng, maupun
informan untuk keperluan intelejen. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)
5
mendokumentasikan lebih dari 4.000 kasus anak-anak yang direkrut dan
digunakan dalam konflik bersenjata di seluruh dunia pada tahun 2013. Dalam
laporan itu tertulis 8 pemerintahan dan 51 grup bersenjata terbukti merekrut atau
menggunakan, membunuh atau melukai, melakukan kekerasan seksual atau
memperkosa anak-anak dalam konflik atau serangan lainnya (Narwati, Enny.,
Hastuti, Lina, 2008 : 24).
Myanmar mempunyai permasalahan yang cukup kompleks, seperti
permasalahan sosial, ekonomi, hingga politik. Semenjak memperoleh
kemerdekaan dari Inggris, Myanmar selalu diwarnai dengan konflik. Ada dua
jenis konflik yang ada di negara ini, yaitu konflik etnis dan konflik terhadap
pemerintahan militer yang telah berlangsung selama kurang lebih 6 dekade.
Myanmar memiliki sejumlah catatan pelanggaran HAM yang menjadi perhatian
komunitas internasional, seperti kekerasan terhadap satu etnis, pengusiran, dan
juga masalah perekrutan tentara anak.
Perekrutan tentara anak dilakukan oleh tentara nasional Myanmar yakni
Tatmadaw Kyi yang merupakan organisasi militer Myanmar, terutama yang
bertanggungjawab mengamankan teritorial dan pertahanan negara yang didirikan
pada tahun 1948 bertepatan dengan kemerdekaan Myanmar (Kirkham, 2015 : 9).
Dalam menjalankan perannya di pemerintahan, Tatmadaw Kyi melakukan
perluasan dan penambahan kekuatan secara internal yaitu dengan melakukan
perekrutan anggota militernya guna menambah jumlah pasukan. Pada tahun 1988,
Tatmadaw Kyi mulai melakukan perekrutan kepada anak-anak untuk bergabung
dalam angkatan militernya. Selain oleh Tatmadaw Kyi, tentara anak juga
digunakan oleh angkatan bersenjata non pemerintah yang memiliki tujuan untuk
6
mendapatkan otonomi dan hak demokrasi yang lebih besar dari rezim militer
yang berkuasa pada saat itu.
Praktek perekrutan anak ke dalam tentara yang dilakukan oleh Tatmadaw
Kyi dan Border Guard Forces BGF telah berlangsung sejak kurangnya kuota
personel angkatan bersenjata dan tidak adanya prosedur perekrutan yang ketat.
Anak-anak menjadi target rekrut paling mudah karena mereka rentan akan
tekanan dan mudah dikelabui. Perekrutan dan penggunaan anak ke dalam tentara
biasanya terjadi pada anak-anak yang miskin dan tidak berpendidikan, yang mana
rata-rata dari mereka belum menyelesaikan sekolah, hal inilah yang dimanfaatkan
kelompok perekrut (Paul, 2013 : 2).
Perekrutan tentara anak antara tentara nasional sedikit berbeda dengan yang
dilakukan oleh kelompok etnis. Tatmadaw, Tentara Nasional Myanmar, biasanya
merekrut anak-anak melalui proses perekrutan desentralisasi atau dapat disebut
dengan Unit Jaringan Perekrutan. Mereka direkrut di bawah ancaman akan
dipenjarakan apabila tidak mengikuti perintah, dan dengan janji-janji palsu
berupa gaji yang besar. Tentara etnis biasanya merekrut dengan cara mewajibkan
wajib militer bagi setiap satu orang dari keluarga yang menjadi anggotanya.
Sebagian juga ada yang relawan bergabung dengan militer dengan berbagai
alasan seperti ingin membalas dendam, tidak ada kegiatan karena tidak
bersekolah (Myoe, Maung A,. 2009 : 15).
Perekrutan oleh BGF sebagian besar dilakukan secara paksa. Ketika BGF
gagal mendapatkan calon rekrut di pedesaan, maka BGF memaksa agar warga
pedesaan membayar dengan sejumlah uang. Keadaan ekonomi masyarakat yang
terbilang rendah dijadikan senjata oleh BGF untuk merekrut paksa tentara anak
7
(Paul. 2013 : 28). Keadaan seperti inilah yang kemudian dimanfaatkan pihak-
pihak perekrut tentara anak. Karena kondisi ekonomi yang terdesak sedangkan
kebutuhan demi kelangsungan hidup harus tetap dijalani dan dihadapi yang
kemudian membuat masyarakat sekitar menganggap permasalahan ini merupakan
alternatif terbaik yang harus mereka pilih dan jalani untuk kelangsungan hidup.
Perekrutan anak sebagai tentara dalam konflik bersenjata bertentangan
dengan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional yang dapat ditetapkan
terhadap pelaku kejahatan perang atau war crime berdasarkan Statuta Roma
Pasal 8 Ayat 2 (b) xxvi: “Memperkerjakan atau melibatkan anak-anak di bawah
umur 15 tahun ke dalam wajib dinas militer atau menggunakan mereka secara
aktif untuk ikut serta dalam konflik bersenjata”. Dan tak lupa mengenai protokol
tambahan konvensi tersebut yang menerangkan mengenai larangan keterlibatan
anak–anak dalam konflik bersenjata (OHCRC, 2012).
PBB sebagai badan internasional juga dengan tegas menolak penggunaan
tentara anak dalam konflik yang melibatkan negara. Hal ini ditindaklanjuti
dengan adanya pertemuan PBB dimana lebih dari seratus negara kini telah
menandatangani perjanjian internasional untuk tidak melibatkan anak dalam
perang sebagai tentara dalam pertemuan tersebut, serta mengutus UNICEF
sebagai kepanjangan tangan dari PBB dalam bidang anak-anak untuk turun
langsung menangani permasalahan tersebut. UNICEF sendiri dibangun dalam
rangka untuk merawat anak–anak di seluruh dunia dan bekerja pada
menyelesaikan masalah–masalah seperti kekerasan terhadap anak.
UNICEF berupaya melalui berbagai kegiatannya untuk melindungi anak–
anak dan memungkinkan anak–anak tersebut mengembangkan potensinya secara
8
penuh. Pemberian nobel kepada UNICEF pada tahun 1965 merupakan salah satu
bukti tindakan langsung dari dunia internasional terhadap kepedulian dan
pengakuan bahwa kesejahteraan anak tidak dapat dipisahkan dari perdamaian
dunia. Hal ini yang mendasari UNICEF untuk terus peduli terhadap kesejahteraan
anak, dalam kasus ini yakni penggunaan tentara anak.
Ketentuan hukum kerja dari UNICEF secara jelas menggambarkan adanya
prioritas dalam perbaikan hukum tentang hak-hak anak. Selain itu, UNICEF
menaruh fokus yang besar pada peningkatan mutu terhadap implementasi hak-
hak anak, pencegahan keadaan bahaya yang mungkin dialami oleh anak, serta
pengawasan diterapkannya aturan atau konvensi yang berhubungan dengan hak
anak. UNICEF mencoba untuk menunjukkan peranan besarnya dalam menjaga
hak-hak anak untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam sistem
internasional. Seperti halnya peranan yang diberikan UNICEF yang tidak pernah
absen di semua permasalahan hak anak di dunia.
Seperti pada gambar dibawah ini, keterlibatan tentara anak tidak terbatas
pada anak laki-laki saja, namun juga anak perempuan. Anak perempuan biasanya
untuk tujuan seksual, diperkosa, bahkan dipaksa menikah. Sementara anak laki-
laki ditugaskan sebagai mata-mata, pengantar pesan, pengangkut barang, penjaga
mobil senjata, tukang masak, dll. Penggunaan tentara anak disebabkan beberapa
alasan. Anak-anak dapat menunjukkan peran tentara yang lebih efisien daripada
orang dewasa, semangat yang tinggi, dapat memainkan peran ganda sebagai
kombatan dan sebagai pengantar barang atau pesan, tidak mudah dikenali, dan
yang paling menguntungkan adalah bahwa pola pikir anak-anak lebih mudah
dimanipulasi dan anak-anak lebih patuh daripada tentara dewasa.
9
Gambar 2. Kategori Tentara Anak Sumber : World Vision 2013
Gambar di atas menjelaskan secara terperinci jumlah tentara anak yang
direkrut, dijelaskan pula mengenai jumlah tentara wanita dan laki-laki, maupun
usia tentara anak yang di rekrut di Burma Myanmar, sejak tahun 2012
permasalahan perekrutan tentara anak yang berumur dibawah 18 tahun bahkan
ada yang berumur 11 tahun. Perekrutan didominan tentara anak laki-laki namun
angka perekrutan tentara perempuan juga memiliki angka rekrut yang tinggi.
Berdasarkan laporan dari Child Soldiers Global Report 2010 diperkirakan
kurang lebih delapan belas negara melakukan perekrutan tentara anak, seperti
yang tertera dalam tabel berikut:
10
Tabel 1. Pihak Perekrut Tentara Anak
Sumber : http://www.childsoldiersglobalreport.org
Dari tabel di atas negara Myanmar melakukan perekrutan tentara anak baik
organisasi resmi pemerintah maupun oleh kelompok non-pemerintah. Di saat
yang sama, tidak sedikit pula negara seperti, Argentina, Bolivia, China, dan
Korea Utara yang menjadikan militer sebagai salah satu bagian dari pendidikan di
sekolah, dimana anak–anak dapat ikut bergabung dalam proses latihan fisik dasar
dan ikut serta dalam kegiatan upacara latihan baris berbaris. Sedangkan di negara
seperti Amerika Serikat dan Kanada, anak–anak yang telah berusia 17 tahun ke
atas dapat bergabung ke dalam angkatan militer atas izin dari orang tua mereka
(Scott, 2010 : 52).
Di Myanmar anak-anak dijadikan sebagai komoditas dan dijual kepada
militer yang putus asa akibat perintah untuk memenuhi kuota yang diperintahkan
oleh atasannya. Di dalam kehidupan militer, semakin banyak tentara yang
TENTARA ANAK TENTARA ANAK
NEGARA DALAM ORGANISASI DALAM KELOMPOK
RESMI PEMERINTAH PARAMILITER
Burundi X
Chad X X
Filipina X
India X X
Iran X
Israel X
Kolumbia X X
Kongo X X
Libya X
Myanmar X X
Nepal X
Pantai Gading X
Peru X
Somalia X
Sudan X X
Uganda X X
Yaman X
Zimbabwe X
11
direkrut, maka semakin mudah untuk naik pangkat. Dalam laporan Human Right
Watch, juga ditemukan bahwa tentara dewasa dibebankan untuk merekrut
sebanyak mungkin orang. Syarat ini harus dipenuhi untuk memperoleh
kenaikan jabatan, bahkan dalam beberapa kasus perekrut akan dibayar sebesar
$25 sampai $50 untuk setiap anak yang direkrut. Anak-anak yang masih berusia
sepuluh tahun ditargetkan dan dipaksa menjadi tentara dalam perekrutan massal
yang dilakukan oleh tentara nasional Tatmadaw Kyi (Vera, A., Simon, F., 2006).
Perekrutan tentara anak di Myanmar dilakukan dengan pemaksaan dan
penculikan, bahkan ada beberapa menggunakan ancaman terhadap keselamatan
mereka atau keluarga mereka. Anak-anak yang di rekrut harus mengerjakan
berbagai macam tugas, mulai dari bertempur, menyapu ranjau dan layanan
pendukung operasi militer lainnya. Apabila ada diantara mereka yang melarikan
diri dan tertangkap, maka akan dipecat, diadili di pengadilan militer, dipenjara
selama 1 sampai 2 tahun (Thomson, 2002 : 302).
Tentara anak yang direkrut tidak mendapatkan bantuan hukum sama sekali
dan tidak punya hak menolak penahanan sebelum diadili secara independen oleh
pengadilan sipil. Tentara anak yang dituduh desersi atau perbuatan lari
meninggalkan dinas ketentaraan akan dimasukkan dalam penjara militer dan tidak
jarang mendapat penyiksaan, pelecehan seksual maupun perlakuan buruk lainnya.
Sampai saat ini ada 250.000 anak yang dijadikan tentara dan 40% adalah anak
perempuan (UNICEF for Myanmar, 2010).
Data menyebutkan dalam kurun waktu 2010–2013 penggunaan tentara anak
di Myanmar telah mengalami penurunan, sebagaimana diperlihatkan dalam tabel
berikut:
12
Tabel 2. Jumlah Tentara Anak di Myanmar 2010-2013
Tahun Jumlah
2010 5750
2011 5300
2012 5000
2013 4800
Sumber : http://metro.co.uk/2013/03/18/3525856
Meskipun dalam tabel menunjukkan penurunan angka perekrutan tentara
anak di Myanmar dari tahun ketahun dari tahun 2010-2013, peran dari organisasi
internasional sangat diperlukan dalam membantu mengurangi jumlah bahkan
menghentikan fenomena perekrutan tentara anak yang di khawatirkan akan terus
menerus terjadi jika tidak diawasi dan ditanggapi secara serius.
Myanmar telah berada di Fragile State Index (FSI) yang sebelumnya
dikenal sebagai Failed State Index. Grafik dalam lampiran dibawah menunjukkan
bahwa tingkat konflik berbasis negara dalam kasus perekrutan tentara anak
memburuk dari 2007 hingga 2009. Namun terdapat penurunan yang mulai
membaik pada tahun 2010. Hal inilah yang kemudian menjadi menarik melihat
bahwa angka penurunan jumlah perekrutan tentara anak terjadi semenjak
keterlibatan dan masuknya peranan UNICEF selaku organisasi internasional
untuk memperjuangkan hak-hak anak di seluruh dunia termasuk Myanmar.
13
Grafik 1. Jumlah Tentara Anak 2007-2016 Source: Fund for Peace (fundforpeace.org/fsi/indicators)
Salah satu organisasi yang berkaitan dalam perlindungan anak adalah
UNICEF (United Nations Children‘s Emergency Fund), salah satu badan di
bawah PBB yang memberikan pelayanan teknis, pembangunan kapasitas,
advokasi, perumusan kebijakan, dan mempromosikan isu-isu mengenai anak.
UNICEF merupakan organisasi internasional yang bertugas mendorong
kesadaran para pembuat keputusan dalam memformulasi ide hak-hak anak
menjadi suatu tugas yang bersifat praktikal. Salah satu tugas UNICEF lainnya
adalah memberikan perlindungan terhadap anak yang terlibat dalam situasi
konflik bersenjata di berbagai negara, salah satunya Myanmar (UNICEF, 2010).
Di suatu daerah konflik, perempuan dan anak-anak adalah korban yang
paling rentan mengalami tindakan yang tidak manusiawi. Hal ini tidak mengenal
gender ataupun usia. Hal tersebut secara jelas menggambarkan adanya
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Myanmar. UNICEF memobilisasi
kemauan politik dan sumber daya material untuk membantu negara-negara,
khususnya negara berkembang, memastikan keamanan untuk anak-anak dan
14
membangun kapasitas mereka untuk mewujudkan kebijakan yang tepat dan
memberikan layanan untuk anak-anak dan keluarga mereka.
Meskipun dari segi jumlah masih kalah dibandingkan yang terjadi di
negara-negara lain, akan tetapi hal tersebut merupakan kekhawatiran tersendiri
bagi kelangsungan hidup anak-anak di Myanmar. Mengingat luas wilayah negara
tersebut yang tidak terlalu besar maka dapat dikatakan bahwa jumlah tentara anak
tergolong banyak, meskipun dari tahun ke tahun menunjukkan adanya
pengurangan jumlah, namun tidak menutup kemungkinan apabila jumlahnya juga
dapat kembali bertambah.
1.2 Rumusan Masalah
Konflik di Myanmar yang turut menyeret anak-anak menjadi tentara
merupakan kasus serius yang harus ditindak lanjuti. Anak-anak tersebut tidak
hanya dijadikan tentara, tetapi juga sebagai mata-mata, pengantar pesan,
pengangkut barang, bahkan pekerja seksual. Pelanggaran HAM terhadap anak
inilah yang membuat UNICEF mengambil tindakan untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Tindakan lebih lanjut yang diharapkan dapat mengubah
situasi dan kondisi di Myanmar. Maka peneliti akan mendeskripsikan peran
organisasi internasional yaitu UNICEF yang memiliki tanggungjawab untuk
melindungi anak-anak dalam kasus perekrutan tentara anak ke dalam kelompok
militer di Myanmar. Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka pertanyaan
penelitian yang akan dikaji adalah “Bagaimana peran UNICEF (United
Nations International Children’s Emergency Fund) dalam mengatasi
perekrutan tentara anak di Myanmar?”
15
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penulis menetapkan tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui peran UNICEF dalam menangani kasus
perekrutan tentara anak di Myanmar.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai data awal untuk peneliti selanjutnya
yang ingin meneliti tentang keamanan internasional khususnya mengenai kasus
perekrutan tentara anak. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi wawasan
bagi masyarakat dunia khususnya Myanmar tentang pelanggaran atas perekrutan
tentara anak. Serta penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi
penulis dan pembaca pada umumnya tentang peran UNICEF dalam kasus
perekrutan tentara anak.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kesimpulan ilmiah dari isu
yang diangkat. Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu manfaat teoritis
dan praktis :
1.5.1 Teoritis
Penelitian ini diharapkan turut mengembangkan teori-teori ilmu hubungan
internasional, yang berkaitan dengan teori organisasi internasional, hak asasi
manusia dan hak anak khususnya di negara Myanmar. Penelitian ini berguna
untuk memaparkan dinamika keamanan internasional yang terjadi di Myanmar
dalam hal isu perekrutan tentara anak. Serta penelitian ini diharapkan dapat
16
bermanfaat untuk memperkaya wawasan akademisi Hubungan Internasional pada
kajian keamanan global.
1.5.2 Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai peran
UNICEF sebagai organisasi internasional dengan permasalahan perekrutan
tentara anak dalam upaya menghentikan perekrutan tentara anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai isu-isu hak asasi manusia telah banyak dilakukan.
Penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu berada pada tema
yang sama, yaitu berkaitan dengan hak asasi manusia. Pada bagian ini, penelitian
ini menggunakan empat kajian pustaka. Terdapat Penelitian terdahulu yang dapat
relevan dan mendukung penelitian ini. Berdasarkan hasil-hasil penelitian
sebelumnya, penulis mengadopsi teori-teori Organisasi Internasional, namun
tidak semua elemen atau variabel dikaji sama dengan penelitian sebelumnya.
Perbedaan paling mendasar antara lain penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya adalah dimana pengunaan subjek yang diambil, hal ini dilakukan
agar tidak menjadi plagiatisme pada penelitian yang dilakukan.
Penelitian pertama yang penulis jadikan kajian pustaka adalah penelitian
dari Dorma Elvrianty Sirait yaitu Mahasiswa dari Universitas Riau. Penelitian
dari Dorma Elvrianty Sirait tersebut berjudul “Peran UNICEF Dalam Menangani
Perekrutan Tentara Anak (Child Soldiering) di Myanmar pada Tahun 2007-
2010”. Dalam penelitiannya Dorma Elvrianty Sirait menjelaskan peran dari
organisasi internasional yaitu UNICEF di Myanmar. Penelitian Dorma tentang
tentara anak tersebut mengambil kurun waktu 2007-2010.
18
Tahun dimana terdapat peningkatan perekrutan tentara anak yang terus
menerus terjadi di Myanmar. Analisa penelitian Dorma menjelaskan bahwa
UNICEF mampu mengatasi salah satu isu HAM, yaitu keprajuritan anak di
Myanmar dalam perekrutan anak-anak tidak hanya sebagai tentara anak, tetapi
juga mata-mata, kuli, tukang masak, dan bahkan untuk tujuan seksual. Perbedaan
dengan penelitian yang penulis buat ini bisa dilihat dari fokus waktu yang
diambil, yang menggambarkan bahwa dalam kurun waktu dapat memiliki
perbedaan permasalahan maupun penyelesaian.
Teori dan konsep yang digunakan salah satunya adalah organisasi
internasional karena yang dibahas adalah UNICEF yang merupakan organisasi
pemerintah atau Intergoverment Organization (IGO). UNICEF mampu berperan
untuk memperjuangkan hak anak seperti tercantum dalam konstitusi dasar dan
mengakhiri adanya tentara anak di Myanmar. Dalam penelitian Dorma ini peran
UNICEF di Myanmar juga dapat dilihat dari bantuan yang diberikan yaitu dengan
cara melindungi anak dari kemiskinan, kekerasan penyakit, dan deskriminasi
yang bertujuan untuk mengakhiri adanya perekrutan anak sebagai tentara. Namun
yang membedakannya dengan penelitian ini, dapat dilihat dari peran UNICEF.
Dalam penelitian ini UNICEF bukan berperan untuk mengakhiri sebuah
permasalahan anak dalam salah satu sektor pekerja anak seperti tentara saja,
namun dalam penelitian ini peran UNICEF yang ingin dilihat adalah pada
pemenuhan hak anak atas hidup dengan aman dan tentram melalui tiga peranan
UNICEF yaitu Peran Mediator, Peran Komunikator dan Peran Motivator.
Penelitian kedua yang penulis jadikan kajian pustaka adalah penelitian dari
Desi Winarty yaitu Mahasiswi dari Universitas Hasanuddin. Penelitian dari Desi
19
Winarty ini berjudul “Peranan UNICEF Dalam Menangani Masalah Tentara
Anak di Afrika Tengah (2007-2012)” dalam penelitiannya Desi Winarty
menjelaskan peran dari organisasi internasional yaitu UNICEF di Afrika Tengah.
Permasalahan anak di Myanmar berbeda dengan permasalahan anak di
Afrika Tengah. UNICEF prihatin dengan semakin meningkatnya jumlah tentara
anak-anak yang direkut oleh kelompok-kelompok bersenjata di Republik Afrika
Tengah. Penulis menggunakan teori peran Organisasi Internasional, dimana pada
penelitian ini menggambarkan peranan dari UNICEF sebagai organisasi
internasional yang akan menangani masalah tentara. Sesuai dengan tugasnya
menyediakan bantuan darurat bagi anak-anak dan juga memfasilitasi
perkembangan dan kehidupan anak-anak didunia.
UNICEF menemukan Fakta pelanggaran terhadap anak dan masalah
kesehatan, kesejahteraan dan lainya. Fakta-fakta tersebut antara lain: (Children
Associated With Armed Goups and Forces Central Africa).
1. Setidaknya 1.500 anak telah dikaitkan dengan kelompok-kelompok bersenjata
yang ada di Afrika Tengah.
2. Sejak tahun 2007, sekitar 1.150 anak-anak telah direkrut oleh kelompok-
kelompok bersenjata telah didemobilisasi dan reintegrasi ke dalam masyarakat
dan keluarga mereka.
3. 450 anak yang di rekrut oleh kelompok UFDR yang dilepaskan pada bulan
April dan Mei 2007, sekitar 75 persen diantaranya anak laki-laki berusia antara
13-17 dan 75 persen terindikasi telah berpartisipasi dalam operasi militer dan
pertempuran. Sekitar 10 persen dari anak-anak seumuran itu digunakan untuk
dukungan logistik dalam pertempuran.
20
Dalam mengurangi perekrutan tentara anak tindakan yang dilakukan
UNICEF dalam menangani tentara anak di Afrika Tengah adalah sebagai berikut:
(Children Associated With Armed Goups and Forces Central Africa).
1. Sejak tahun 2007 bekerjasama dengan organisasi mitra termasuk Danish
Refugee Council (DRC) dan International Rescue Committee (IRC), UNICEF
Afrika Tengah telah membantu 1.150 anak laki-laki dan perempuan
didemobilisasi dengan dukungan psiko-sosial, perawatan multi 2011, Building
Resilience) disiplin, pendidikan, kegiatan yang menghasilkan pendapatan dan
bantuan reintegrasi mereka.
2. Perekrutan anak-anak oleh kelompok bersenjata telah menurun secara
signifikan, sebagai akibat dari proses perdamaian dan dialog politik pada
tahun 2008 dan penurunan dalam bentrokan bersenjata antara kelompok
pemberontak dan tentara nasional. Namun, 350-500 anak diperkirakan masih
terhubung dengan berbagai kelompok bersenjata, seperti APRD (l'Armée
Populaire pour la Restauration de la République et la democratie), UFDR
(Union des Forces Démocratiques pour le Rassemblement) dan kelompok
pemberontak lainya.
3. Program Pencegahan, Perlucutan, Demobilisasi dan Reintegrasi berfokus
pada seluruh masyarakat, sampai saat ini sekitar 95.000 anak-anak termasuk
mantan tentara anak-anak, yang selamat dan korban kekerasan seksual dan
berbasis gender dan anak-anak dari etnis minoritas, yang berpartisipasi dalam
kegiatan psikososial, dukungan kelompok, sepak bola, bola voli dan kegiatan
bermain lainnya.
21
Berdasarkan pemaparan data diatas dapat dilihat UNICEF telah
memberikan konstribusi baik dalam program maupun aksi nyata dalam
permasalahan perekrutan tentara anak di Afrika Tengah.
Dan penelitian ketiga yang ditulis oleh Alvian Rizky yaitu mahasiswa dari
Universitas Diponegoro. Penelitian dari Alvian Rizky ini berjudul “Ketiadaan
Peran ASEAN dalam Kasus Perekrutan Tentara Anak di Myanmar dalam
Perspektif English School 2017. Pada penelitian ini, penulis meneliti bahwa dari
akademisi The University of Nottingham menyebutkan bahwa salah satu faktor
absennya ASEAN pada kasus tentara anak karena prinsip non-interferensi
sehingga menyulitkan ASEAN untuk menangani isu-isu hak asasi manusia yang
dilakukan negara anggota ASEAN termasuk kasus di Myanmar. Keinginan
anggota ASEAN untuk memperbaiki situasi politik dan keamanan Myanmar
terhambat karena adanya lack of consensus.
Dalam perspektif English School berpandangan bahwa tindakan ASEAN
untuk menghormati kedaulatan Myanmar merupakan usaha untuk mengurangi
tindakan saling melukai antar negara (inter-state harm) dan tensi anarki
internasional. Kondisi ketiadaan peran ASEAN pada kasus perekrutan tentara
anak Myanmar berlawanan dengan ratifikasi yang telah dilakukan ASEAN pada
CRC dan OPAC. Fakta telah diratifikasinya CRC dan OPAC sudah seharusnya
menjadi dasar legal dan moral bagi ASEAN untuk ikut memberikan respon dalam
kasus tentara anak Myanmar. Karena dengan meratifikasi sama dengan menaati
dan menindak jika terdapat pelanggaran pada kedua konvensi tersebut.
Dalam situasi ini, ASEAN berada dalam posisi dilematis karena seharusnya
dapat memberikan respon untuk menindak pelanggaran hak asasi manusia yang
22
terjadi di Myanmar, tetapi terhalangi oleh prinsip non-interferensi dan konsensus
ASEAN. Sebaliknya, respon PBB, NGO dan beberapa negara tetangga pada
kasus tentara anak Myanmar merupakan cerminan standar tunggal karena respon
yang dilakukan komunitas internasional konsisten untuk tetap menaati hukum
humaniter internasional tanpa terhalangi oleh standar apapun. Maka dari itu
penulis memasukkan penelitian ini sebagai referensi karena ingin melihat
perbandingan yang dilakukan Organisasi Internasional diluar UNICEF dalam
kasus perekrutan tentara anak.
Prinsip non-interferensi yang menjadi dasar ASEAN dalam bertindak juga
dipengaruhi adanya lack of trust yaitu kurangnya rasa saling percaya dari
tingkatan grass roots masyarakat ASEAN walaupun telah terjalin kerjasama
selama bertahun-tahun (Quayle, 2007 : 28). Selain prinsip non-interferensi,
terdapat faktor lain yang menyebabkan ASEAN absen dalam mengatasi
perekrutan tentara anak dan pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar, yaitu di
ASEAN terdapat ketentuan mengenai konsensus untuk menentukan suatu
tindakan ASEAN dilaksanakan atau tidak. Suatu permasalahan di ASEAN dapat
diangkat oleh AICHR dan ACWC jika terdapat adanya konsensus atau
kesepakatan antara anggota ASEAN. Jika tidak adanya kebulatan suara atau
negara yang diangkat kasusnya menolak, kasus yang diajukan tidak akan dibahas
oleh ASEAN.
Pendapat dari akademisi The University of Nottingham juga menyebutkan
bahwa konsensus ASEAN telah menghambat penyelesaian isu hak asasi manusia
di regional Asia Tenggara. Aliran Masyarakat English School berpendapat bahwa
hubungan internasional adalah state-centric dan empiris (Buzan, 2004 : 46).
23
Bebas dari adanya intervensi merupakan bentuk dari positive sovereignty dan hal
ini mendapat dukungan dari piagam PBB tentang tidak adanya hak komunitas
internasional untuk mengintervensi segala yang berkaitan dengan urusan yang
dapat merusak yurisdiksi domestik suatu negara (Linklater, 2005 : 102).
Keinginan anggota ASEAN untuk memperbaiki situasi politik negara dan
keamanan di Myanmar terhambat karena adanya lack of consensus (Bercovitch &
DeRouen, 2011 : 284).
Penelitian keempat adalah penelitian yang ditulis oleh Lilian Peters, beliau
adalah konsultan perlindungan anak dengan minat khusus dalam penganalisa
penderitaan anak-anak dalam konflik bersenjata. Lilian Peters telah bekerja di
Belanda untuk Pax Christi and Dutch Interchurch menetap beberapa tahun di
Timur Tengah dan Afrika Utara untuk the American Friends Service Committee
(Quaker), UNICEF dan Koalisi Internasional untuk menghentikan penggunaan
prajurit anak. Diperkirakan 300.000 anak di bawah usia 18 tahun direkrut dan
digunakan oleh tentara dan kelompok bersenjata dalam konflik kekerasan di
hampir 30 negara di seluruh dunia (Flock, 2012 : 20).
Tingkat kesalahan dalam perekrutan tentara anak sedang diperdebatkan.
Secara umum, rekrutmen dan penggunaan anak-anak untuk tujuan militer
dianggap sebagai kejahatan perang yang dilakukan oleh orang bertanggungjawab
atas perekrutan tersebut karena anak-anak tidak dalam posisi pengambilan
keputusan tetapi bertindak sesuai petunjuk. Dengan demikian, anak-anak tidak
boleh dituntut untuk berpartisipasi dalam pasukan perang atau grup. Namun,
mengingat pengalaman mereka, komunitas dan negara yang terlibat mungkin
memiliki pandangan berbeda. Posisi mereka pada usia minimum di mana anak-
24
anak menanggung kesalahan atas tindakan mereka dan hukuman yang diperlukan,
kemungkinan akan relevan untuk memperlakukan anak yang diduga sebagai
pelaku dalam peperangan. Kejahatan di bawah hukum internasional seperti
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan perang kejahatan yang termasuk
perekrutan tentara anak. Dengan memberikan dukungan jangka panjang, negara
dan lembaga lain berkontribusi pada rekonstruksi negara, pemberantasan
kemiskinan dan keadilan sosial, sehingga mengurangi risiko perselisihan, konflik
dan penggunaan anak-anak untuk tujuan militer. Pencegahan perekrutan dan
penggunaan tentara anak harus menjadi bagian dari program kemanusiaan dan
intervensi. Termasuk peningkatan kesadaran, akses pendidikan, kesempatan
pelatihan kerja, bantuan penempatan kerja, skala kecil investasi dan dukungan-
dukungan masyarakat.
Penerbitan pencatatan kelahiran dan pembebasan dokumen sangat penting
untuk mencegah perekrutan. Anak-anak dan masyarakat luas harus dimasukkan
dalam pencegahan konflik, perdamaian, rekonsiliasi dan rekonstruksi dan bentuk-
bentuk alternatif resolusi konflik dan pendekatan keadilan restoratif yang layak
untuk dipromosikan dan didukung oleh dunia internasional. Demiliterisasi,
demobilisasi, rehabilitasi dan reintegrasi mantan tentara anak harus melibatkan
keluarga dan komunitas anak.
25
Tabel 3. Penelitian Terdahulu No Aspek Penelitian Keterangan
1. Judul Peran UNICEF dalam menangani perekrutan tentara anak (Child
Soldiering) di Myanmar (2007-2010)
Peneliti Dorma Elvrianty Sirait (Universitas Riau)
Metode Penelitian Kualitatif
Hasil Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa UNICEF dapat membuat
program-program yang dapat mendidik mantan tentara anak.
Seseorang yang pernah di medan perang akan membutuhkan
dukungan psikologi yang besar agar dapat terhindar dari trauma
dan keinginan balas dendam. Selain itu, tentara kombatan yang
telah dicuci otak biasanya akan sangat susah untuk menghilangkan
budaya kekerasan yang telah tertanam di dalam dirinya, sehingga
memungkinkan menjadi ancaman bagi lingkungannya.
Perbedaan Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi peran UNICEF
sebagai organisasi internasional di bawah naungan PBB dalam
mengatasi perekrutan tentara anak (child soldiering) di Myanmar.
Kontribusi Menjadi referensi bagi penelitian penulis serta membantu dalam
proses penyusunan penelitian tentang peranan UNICEF dalam
perekrutan tentara anak.
2. Judul Peranan UNICEF Dalam Menangani Masalah Tentara Anak di
Afrika Tengah (2007-2012)
Peneliti Desi Winarty (Universitas Hassanudin)
Metode Penelitian Kualitatif
Hasil Hasil Penelitian Menunjukan bahwa UNICEF telah memberikan
pembiayaan yang cukup besar dalam membangun fasilitas bagi
perlindungan anak korban perekrutan tentara anak. UNICEF juga
berusaha menjalin hubungan dan mengajak semua pihak yang
terlibat konflik untuk tidak menggunakan anak-anak sebagai
tentara dan juga sebagai sasaran kekerasan.
Perbedaan Perbedaan Penelitian ini adalah penelitian ini membuktikan bahwa
peranan dari UNICEF sebagai organisasi internasional berhasil
memberikan bantuan dan menangani masalah tentara anak di
wilayah Afrika Tengah.
Kontribusi Menjadi referensi bagi penelitian penulis serta membantu dalam
proses penyusunan penelitian tentang Peranan UNICEF di Negara
lain.
3. Judul Ketiadaan Peran ASEAN dalam Kasus Perekrutan Tentara Anak
di Myanmar dalam Perspektif English School 2017
Peneliti Alvian Rizky H (Universitas Diponerogo)
Metode Penelitian Kualitatif
26
Hasil Terdapat beberapa faktor ASEAN absen pada kasus tentara anak
di Myanmar, yaitu karena terganjal oleh prinsip non-interferensi
dan konsensus yang merupakan wujud dari penghormatan
kedaulatan negara lain untuk menghindari dari rusaknya kerangka
masyarakat internasional. Prinsip-prinsip tersebut juga merupakan
wujud untuk menciptakan keadilan internasional, dengan
memberikan hak non-intervensi, negara berdaulat dan menentukan
nasib sendiri kepada setiap negara anggotanya.
Perbedaan Perbedaan Penelitian ini adalah penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dan menganalisis keterlibatan ASEAN sebagai salah
satu Organisasi Internasional dalam menangani masalah tentara
anak di wilayah Myanmar.
Kontribusi Menjadi referensi bagi penelitian penulis serta membantu dalam
proses penyusunan penelitian tentang Peranan Organisasi
Internasional lainnya dalam kasus prekrutan tentara anak di
Myanmar.
4. Judul War is no Child‘s Play: Child Soldiers from Battlefield to
Playground.
Peneliti Lilian Peters as a child protection consultant with a special
interest in the plight of children in armed conflict.
Metode Penelitian Kualitatif
Hasil Terlepas dari semua perkembangan positif yang dilakukan
UNICEF untuk permasalahan perekrutan tentara anak, nyatanya
sejumlah anak masih direkrut dan digunakan untuk tujuan militer,
dan pelaku tidak bertanggungjawab. Jelas harus ada pembuatan
undang-undang, pengembangan program, dan pelatihan, untuk
penegakan hukum, implementasi, pemantauan dan pelaporan.
Sekretaris Jenderal PBB berpendapat : untuk pindah ke „era
aplikasi‟. Alat canggih untuk menjembatani kesenjangan antara
teori dan praktek adalah implementasi dari langkah-langkah
hukum internasional, ekonomi dan militer.
Perbedaan Perbedaan Penelitian ini adalah penelitian ini dijelaskan secara
jelas dan langsung oleh aktor yang ada didalam Organisasi
UNICEF sebagai organisasi internasional berhasil memberikan
bantuan dan menangani masalah tentara anak di beberapa wilayah
di dunia.
Konstribusi Menjadi referensi bagi penelitian penulis serta membantu dalam
proses penyusunan penelitian tentang peranan UNICEF dan aksi
yang dilakukan dalam penghentian perekrutan tentara anak di
dunia.
5. Judul Peran UNICEF dalam mengurangi perekrutan Child Soldiering di
Myanmar tahun 2010-2013.
Peneliti Agitha Mulyadi (Universitas Lampung)
27
Metode Penelitian Kualitatif
Target Penelitian Menjelaskan kondisi perekrutan tentara anak yang terjadi pada
tahun 2010-2013 di Myanmar. Dan menjelaskan pencapaian dan
tindakan yang dilakukan UNICEF dalam permasalahan tersebut.
Perbedaan Perbedaan Penelitian ini adalah penelitian ingin membuktikan
bahwa terdapat peranan dari UNICEF sebagai organisasi
internasional yang cukup signifikan dan berhasil memberikan
bantuan, mengurangi perekrutan tentara anak dalam menangani
masalah tentara anak di wilayah Myanmar (2010-2013). Rentan
waktu antara tahun 2010 sampai dengan 2013, dikarenakan mulai
adanya pergeseran pemerintahan yang dimulai pada tahun 2010
dimana terjadi pemilihan umum presiden yang berujung pada
pembubaran junta militer di negara tersebut pada tahun 2011 yang
mengakibatkan adanya perubahan kebijakan dalam penggunaan
tentara anak, serta dalam kurun waktu tersebut hingga tahun 2013
baik pemerintah Myanmar dan UNICEF sendiri telah melakukan
beberapa perjanjian dan tindakan nyata untuk melepaskan anak-
anak tersebut terkait dengan pengurangan pemakaian tentara anak
di Myanmar.
Konstribusi Menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya serta membantu
dalam proses penyusunan penelitian tentang Peranan UNICEF
khususnya permasalahan perekrutan tentara anak di Myanmar.
Note : Diolah sendiri oleh penulis dari berbagai Sumber.
2.2 Landasan Konseptual
Perspektif dalam penelitian ini adalah perspekrif pluralis atau pluralisme.
Ada empat asumsi dasar perspektif pluralis (Viotti, 2011 : 40). Pertama, bahwa
aktor non negara adalah adalah faktor utama dalam world politics dalam
hubungan internasional, seperti organisasi MNCs. Kedua, bahwa negara bukan
aktor tunggal. Dalam proses pengambilan kebijakan ada peran para birokrat,
kelompok kepentingan, dan individu-individu yang berusaha mempengaruhi
proses pengambilan kebijakan. Ketiga, negara bukanlah aktor rasional. menurut
kaum pluralis, proses pengambilan kebijakan luar negeri bukan proses rasional
melainkan proses sosial yaitu hasil perselisihan, tawar-menawar dan kompromi
28
antar aktor yang berbeda. Keempat, agenda politik internasional yang luas, tidak
lagi hanya persoalan ekonomi.
Isu-isu dalam hubungan internasional tidak lagi didominasi oleh isu politik
dan ekonomi. Dalam penulisan penelitian ini, kerangka teoritik yang penulis
gunakan untuk menjelaskan permasalahan adalah:
2.2.1 Teori Peran
Sebastian Harnisch menyatakan bahwa teori peran pertama kali muncul
dalam Analisa Politik Luar Negeri pada tahun 1970. Pada tahun tersebut para ahli
teori mulai mencoba untuk memastikan pola perilaku negara-negara dalam
struktur “bipolar” perang dingin seperti gerakan non-blok, sekutu dan satelit.
Sejak saat itu semakin banyak ahli teori peran yang berpendapat bahwa terdapat
perluasan peran sosial seperti pemimpin, mediator, insisiator dan kontra peran
seperti pengikut, aggressor dan lain-lain sebagai struktur sosial Hubungan
Internasional yang berkembang (Harnisch, 2011 : 7).
Para ahli berpendapat bahwa peran dalam hubungan internasional tidak
dapat dipandang atau diteorikan tanpa mengacu pada peran lain dan pengakuan
melalui masyarakat. Thies dan Andrews menyebutkan peran adalah posisi sosial
atau aktor yang diakui oleh sosial yang dibentuk oleh harapan sendiri yaitu ego
dan harapan orang lain (Harnisch, Role Theory : 8). Kemudian menurut Harnisch,
role expectation untuk aktor terorganisir seperti negara atau organisasi
internasional dapat bervariasi. Role expectation setiap orang berbeda sesuai
dengan ruang lingkupnya sehingga kewajiban merekapun menjadi berbeda.
Kemudian, menurut sebagian peneliti peran dan identitas saling berkaitan.
Identitas adalah bahwa lembaga atau kelompok mendefinisikan dirinya melalui
29
mata orang lain dan dihadapan masyarakat. Dalam hubungan internasional,
negara atau aktor-aktor yang lain memiliki peran yang dibentuk oleh identitas
organisasi mereka (Harnisch, Role Theory : 10-13). Konsep peran dalam
organisasi internasional adalah pada peran apa yang dimainkan oleh organisasi
dalam melakukan perubahan sistem internasional. Peran organisasi internasional
terbagi menjadi tiga: sebagai instrumen, arena dan aktor (Archer, 2001 : 65).
Peran sebagai instrumen berarti bahwa organisasi internasional digunakan
sebagai alat atau intrumen oleh anggotanya untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Peran sebagai arena adalah organisasi internasional sebagai suatu tempat atau
forum bagi dibuatnya kebijakan atau bagi diambilnya suatu tindakan. Terakhir
peran sebagai aktor yaitu organisasi internasional sebagai aktor independen dalam
sistem internasional (Archer, 2001 : 79).
UNICEF berperan sebagai aktor independen dalam sistem internasional
yang mampu mengupayakan perlindungan dan pencegahan dalam mengurangi
perekrutan tentara anak. Dalam memenuhi perannya UNICEF terbatas pada ruang
lingkup dan spesifikasi organisasi. Sehingga dalam melaksanakan kewajibannya
UNICEF mampu bekerjasama dengan pihak-pihak yang berkonflik karena
identitasnya sebagai organisasi internasional yang netral, tidak berpihak dan
mandiri.
2.2.2 Konsep Organisasi Internasional
Organisasi internasional merupakan suatu istilah dalam hubungan
internasional yang menunjukkan tentang adanya kerjasama pada beberapa negara
yang dibentuk melalui suatu gerakan organisasi, yang mana tujuannya bisa
bersifat umum maupun khusus. Clive Archer mendefenisikan organisasi
30
internasional sebagai sebuah struktur formal yang berkesinambungan, yang
pembentukannya didasarkan pada perjanjian antar anggota-anggotanya dari dua
atau lebih negara untuk mencapai tujuan bersama (Archer, 1983 : 55).
Organisasi Internasional yaitu UNICEF memiliki beberapa aturan dalam
menjalankan fungsi operasionalnya di suatu negara. Dalam menjalankan
perannya sebagai organisasi internasional tersebut, UNICEF juga memiliki
prinsip-prinsip dasar yaitu : (Grahame, 2004 : 8).
1. Mempertahankan hak-hak anak dan menuntut adanya kesetaraan gender serta
etika dimata dunia.
2. Menegaskan bahwa kelangsungan hidup, perlindungan dan perkembangan
anak adalah tujuan pembangunan universal yang berguna untuk memajukan
hidup dari manusia itu sendiri. Oleh karena itu, UNICEF banyak memberikan
perhatian terhadap permasalahan pendidikan anak didunia sekalipun.
3. Memobilisasi sumber daya antara kemauan pemerintah dan negara, khususnya
kemauan dari negara berkembang.
4. Memberikan komitmen penuh untuk memastikan perlindungan khusus bagi
anak-anak yang dirugikan oleh peperangan, kemiskinan, cacat, korban bencana
alam, dan segala bentuk kekerasan serta eksploitasi terhadap anak-anak.
5. Melalui Konvensi Hak Anak juga berusaha menegakkan hak-hak anak sebagai
prinsip etik dan standar internasional terhadap perilaku anak-anak. UNICEF
juga menegaskan bahwa kelangsungan hidup, perlindungan dan perkembangan
anak-anak merupakan pembangunan individu yang menjadi bagian integral
dari kemajuan manusia itu sendiri.
31
UNICEF dibentuk untuk memberi perlindungan dari ancaman kemiskinan,
kekerasan, penyakit, dan diskriminasi terhadap anak tanpa membedakan kelamin,
bahasa atau agama. Kemudian sejak pengadopsian konvensi hak-hak anak (the
Convention on the Rights of the Child, CRC) pada tahun 1989, UNICEF sering
kali menjadi mitra kritis terhadap pemerintah yang membiarkan pelanggaran
terhadap hak-hak anak. Dengan adanya konvensi tersebut, UNICEF memiliki
otoritas global untuk mempengaruhi para pengambil kebijakan, dan berbagai
mitra di tingkat dasar guna mewujudkan hak-hak setiap anak (www.unicef.org).
Terdapat lima fokus area atau bidang yang menjadi dasar dari segala
kegiatan yang dilakukan UNICEF, yaitu: (Verloren, 2009 : 23).
1. Kelangsungan Hidup dan Perkembangan Anak (Child Survival an
Development);
2. Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome
(HIV/AIDS) pada anak;
3. Pendidikan Dasar dan Kesetaraan Gender (Basic Education and Gender
Aquality);
4. Perlindungan Anak dari Kekerasan, eksploitasi dan Penyiksaan (Child
Protection from Violence, Exploitation, and Abuse);
5. Advokasi Kebijakan dan Persekutuan Hak Anak (Policy Advocacy and
Partnership for Children‗s Right).
Menurut W.W Biddle dan L. J. Biddle bahwa peran suatu lembaga
organisasi internasional dalam bentuk bantuan kepada pihak lain dapat dibedakan
sebagai berikut : (Biddle dan Biddle, 1965 : 215-218).
32
1. Peran sebagai motivator yang berarti suatu lembaga bertindak untuk
memberikan dorongan kepada masyarakat internasional untuk berbuat sesuatu
guna mencapai tujuan.
2. Peran sebagai komunikator, yang berarti suatu lembaga menyampaikan suatu
informasi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
3. Peran sebagai mediator, yang berarti suatu lembaga menjadi penengah atau
pihak yang menjembatani kedua belah pihak dalam membangun hubungan
yang baik.
2.2.3 Human Right
Secara harfiah hak asasi manusia (HAM) dapat dimaknakan sebagai hak-
hak yang dimiliki seseorang karena keberadaannya sebagai manusia. Hak-hak ini
bersumber dari pemikiran moral manusia, dan diperlukan untuk menjaga harkat
dan martabat suatu individu sebagai seorang manusia. Dengan kata lain, HAM
secara umum dapat diartikan sebagai hak-hak yang melekat pada diri segenap
manusia sehingga mereka diakui keberadaannya tanpa membedakan seks, ras,
warna kulit, bahasa, agama, politik, kewarganegaraan, kekayaan, dan kelahiran.
Menurut sistem PBB, dalam upaya pemajuan dan peningkatan HAM dikenal tiga
bidang utama yakni :
1. Upaya pembakuan standar internasional;
2. Kegiatan monitoring/pemantauan pelaksanaan HAM;
3. Jasa nasehat dan kerjasama teknik.
PBB melalui badan-badan bawahannya mempunyai peranan sentral dalam
pembakuan standar dengan mengesahkan berbagai instrument atau konvensi Hak
Asasi Manusia. Kegiatan pemantauan dilakukan untuk mengetahui sejauh mana
33
negara-negara anggota PBB memberikan jasa nasehatnya termasuk bantuan
kerjasama teknik dalam bentuk seminar, pelatihan dan penanganan secara khusus
beberapa kategori HAM. Dalam upaya pemantauan konvensi yang telah
diratifikasi oleh negara, terdapat enam badan pemantauan instrument, yakni :
1. Komite HAM : Memantau hak-hak sipil dan politik;
2. Komite Ekonomi dan sosial budaya : memantau pelaksanaan hak-hak tersebut;
3. Komite penghapusan segala bentuk diskriminasi: khusus memantau mengenai
segala bentuk diskriminasi;
4. Komite anti penyiksaan : memantau pelaksanaan konvensi anti penyiksaan;
5. Komite penghapusan diskriminasi wanita : memantau diskriminasi wanita;
6. Komite hak-hak anak : khusus memantau pelaksanaan konvensi hak-hak anak.
Selain itu masih terdapat mekanisme lainnya di PBB seperti dibentuknya
beberapa kelompok kerja dan pelapor khusus serta utusan khusus untuk
menangani masalah-masalah HAM tertentu menurut temanya atau negaranya.
Demikianlah sungguh luas dan beranekaragam hak-hak yang dimajukan,
dikembangkan, diawasi dan dilindungi oleh PBB dan beberapa badan khusus
demi tercapainya kehidupan umat yang harmonis, damai dan bersahabat.
Selain itu, prinsip tanggungjawab negara dalam kaitannya dengan
penegakan Hak Asasi Manusia diatur dalam Article 2 (1) International Covenant
on Civil and Political Rights dan Article 2 International Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights yang berisi bahwa setiap negara wajib menjamin
kesamaan Hak untuk masyarakatnya tanpa adanya pembedaan ras, suku, agama,
usia, gender, dan lain-lain.
34
2.2.4 Hak Anak
Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,
dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan
negara. Hak anak tersebut mencakup non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi
anak, hak kelangsungan hidup, perkembangan dan penghargaan terhadap
pendapat anak (UU Perlindungan Anak Bab l Pasal l No.12 dan Bab ll Pasal 2).
Konvensi PBB, yang membahas menganai hak anak tahun 1989
mendefinisikan anak sebagai orang yang berusia di bawah 18 tahun. Semua orang
yang berada pada usia dibawah usia 18 tahun adalah anak-anak, menurut
UNICEF (Sirait, 2010 : 40). Pada konvensi hak-hak anak yang termasuk dalam
PBB, UNICEF sebagai organisasi internasional memiliki misi yang berpanutan
pada konvensi hak-hak anak tersebut. Konvensi tersebut memiliki 4 prinsip dasar
hak-hak yang harus dipenuhi yaitu :
1. Hak untuk kelangsungan hidup, dimana hak ini merupakan hak untuk
mendapatkan kehidupan yang layak, serta mendapat akses dalam hal
pelayanan kesehatan. Anak-anak dalam hal ini berarti berhak mendapatkan
gizi yang baik, tempat tinggal yang layak, dan layanan kesehatan yang
memadai.
2. Hak untuk mengembangkan diri, dalam hal ini termasuk juga hak untuk
mendapatkan pendidikan, informasi, kreatifitas seni dan budaya. Hak ini juga
berlaku bagi mereka yang cacat, serta mereka juga berhak mendapat perhatian
dan pendidikan khusus penyandang cacat.
3. Hak untuk berpartisipasi, dalam hal ini termasuk juga hak untuk berpendapat,
berorganisasi, dan berkelompok. Anak-anak dapat dengan bebas dan berani
35
mengungkapkan pendapat, serta keinginan mereka tanpa adanya pihak yang
menekan, baik dari orangtua atau pihak manapun.
4. Hak untuk mendapat perlindungan, dimana perlindungan tersebut berlaku
dalam segala bentuk, seperti eksploitasi, diperlakukan secara kejam,
membahayakan, dan diperlakukan tidak adil secara hukum.
Dari ke empat prinsip hak-hak dasar pada anak yang harus dipenuhi dan
tercantum dalam konvensi PBB, terlihat pada poin keempat mengenai hak anak
atas perlindungan juga merupakan sesuatu hal yang wajib dan harus didapatkan
semua anak.
Dalam Konvensi Hak-Hak Anak terdapat empat prinsip umum. Prinsip-
prinsip ini dimaksudkan untuk membentuk interpretasi atas Konvensi ini secara
keseluruhan, dan dengan demikian memberikan arahan bagi program penerapan
dalam lingkup nasional. Empat prinsip dasar dari Konvensi ini diatur dalam Pasal
2, 3, 6, dan 12.
1. Non Discrimination (Pasal 2) artinya semua hak yang diakui dan terkandung
dalam CRC harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun.
Prinsip ini merupakan pencerminan dari prinsip universalitas Hak Asasi
Manusia;
2. Best Interest of The Child (Pasal 3) artinya bahwa dalam semua tindakan yang
menyangkut anak, maka yang terbaik bagi anak haruslah menjadi
pertimbangan yang utama.
3. Survival and Development (Pasal 6) artinya bahwa hak hidup yang melekat
pada setiap anak harus diakui dan bahwa Hak Anak atas kelangsungan hidup
dan perkembangannya harus dijamin.
36
4. Respect for The Views of The Child (Pasal 12) artinya bahwa pendapat anak,
terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu
diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan (Eddyono, 2015 : 12).
2.1.5 Konsep Tentara Militer
Secara harfiah militer berasal dari kata Yunani, dalam bahasa Yunani
adalah orang yang bersenjata siap untuk bertempur, orang-orang ini terlatih dari
tantangan untuk menghadapi musuh, sedangkan ciri-ciri militer sendiri
mempunyai organisasi teratur, pakaiannya seragam, disiplinnya tinggi, mentaati
hukum yang berlaku dalam peperangan. Apabila ciri-ciri ini tidak dimiliki atau
dipenuhi, maka itu bukan militer, melainkan itu suatu gerombolan bersenjata
(Salam, 2006 : 13). Secara Universal tentara militer profesional sendiri memiliki
beberapa ketentuan dan persyaratan baik mengenai usia, kondisi fisik dan mental.
Militer menurut Amiroeddin Syarif adalah orang yang dididik, dilatih dan
dipersiapkan untuk bertempur. Karena itu bagi mereka diadakan norma-norma
atau kaidah-kaidah yang khusus, mereka harus tunduk tanpa reserve pada tata
kelakuan yang ditentukan dengan pasti dan pelaksanaannya diawasi dengan
sangat ketat. Angkatan Militer memiliki peran yang sangat penting dalam sebuah
negara. Keamanan sebuah negara selalu berbanding lurus dengan kekuatan
angkatan militer negara tersebut. Oleh karena itu semua negara akan berupaya
semaksimal mungkin untuk menjadikan angkatan militernya menjadi benteng
pertahanan terkuat dibanding negara lain untuk memastikan keamanan negara
mereka masing-masing dalam keadaaan aman dan terlindungi dari berbagai
macam ancaman baik internal maupun eksternal. Dengan ketentuan dan basis
perekrutan yang telah disepakati tiap masing-masing negara.
37
2.2.6 Konsep Tentara Anak
Tidak ada definisi yang pasti tentang tentara anak, namun terdapat
kesepahaman bersama yang juga ditulis oleh The Coalition to Stop the Use of
Child Soldier bahwa tentara anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18
tahun yang menjadi anggota atau dipekerjakan untuk tentara pemerintahan atau
kelompok bersenjata lainnya, baik tentara regular maupun non-ragular
(Geneva, 1946 : 9). Tentara anak atau Child Soldier didefinisikan sebagai
seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang menjadi anggota atau bekerja
dalam satuan prajurit atau tentara pemerintah maupun kelompok ilegal dalam
keadaan ada maupun tidak ada konflik bersenjata (www.child-soldiers.org).
Batasan usia tersebut mengacu pada konvensi Hak Anak tahun 1989 yang
mendifinisikan anak sebagai manusia yang berusia di bawah 18 tahun. Meskipun
tidak dinyatakan secara tegas, tetapi di CRC dinyatakan bahwa ketidakmatangan
jasmani dan mental bagi manusia di bawah usia 18 tahun memerlukan
pengamanan dan pemeliharaan khusus. Eben Kaplan menulis :
---The United Nations International Children‗s Fund (UNICEF)
defines child soldiers as any child-boy or girl-under eighteen years
of age, who is part of any kind of regular or irregular armed force
or armed group in any capacity." This age limit is relatively new,
established in 2002 by the Optional Protocol to the Convention
on the Rights of the Child. Prior to 2002, the 1949 Geneva
Conventions and the 1977 Additional Protocols set fifteen as the
minimum age for participation in armed conflict. While some
debate exists over varying cultural standards of maturity, nearly
80 percent of conflicts involving child soldiers include combatants
below the age of fifteen, with some as young as seven or eight
(Kaplan, 2005 : 214).
The United Nations International Children‗s Fund mendefinisikan tentara
anak seperti anak-anak laki-laki atau perempuan di bawah 18 tahun, yang
38
merupakan bagian dari jenis angkatan bersenjata reguler atau tidak teratur atau
kelompok bersenjata dalam kapasitas apapun. Batasan umur ini didirikan pada
tahun 2002 oleh Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak. Sebelum tahun
2002, konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 menetapkan 15 tahun
sebagai usia minimum untuk partisipasi dalam konflik bersenjata. Sementara
beberapa perdebatan ada yang menjelaskan bahwa lebih dari berbagai standar
budaya kematangan, hampir 80 persen dari konflik yang melibatkan tentara anak-
anak termasuk kombatan di bawah usia 15 tahun, dengan beberapa diantaranya
berusia 8 tahun (Cohn dan Goodwin, 1994 : 121).
Menurut penelitian Singer terdapat perbedaan antara pendaftaran dan wajib
militer, termasuk kapasitas seorang anak yang setuju untuk bergabung dengan
angkatan bersenjata. Meskipun ada yang berpendapat bahwa anak-anak dapat
membuat keputusan yang rasional karena didasarkan pada tujuan untuk
berlindung, tetapi meniadakan unsur pilihan lainnya seperti adanya tekanan
secara sosial politik, ekonomi dan budaya yang tidak dapat dikesampingkan
(McBrinde, 2014 : 7). Selain itu, Davison juga menambahkan “The idea that
children would volunteer to participate in armed conflict, subjecting
themselves to the horrific treatment most child soldiers receive from their
superiors, is nearly unimaginable‖ (Asser, 2013 : 7).
Berdasarkan kutipan tersebut, dapat dikatakan bahwa anak-anak yang
secara sukarela direkrut sebagai tentara merupakan pengaruh manipulasi
yang memanfaatkan ketidakdewasaan dan keingintahuan mereka. Sedangkan
Menurut Asian Human Rights Correspondence (AHRC), beberapa faktor
penyebab meningkatnya penggunaan tentara anak, yaitu:(www.child-soldiers.org)
39
1. Tentara yang berusia muda lebih mematuhi perintah dan lebih takut pada
atasan, sehingga memudahkan kontrol dan mobilisasi oleh kelompok
bersenjata.
2. Penyebaran senjata ringan otomatis yang meningkatkan partisipasi anak–anak
dalam pertempuran.
3. Meskipun sejumlah anak dipaksa menjadi tentara atau prajurit, sejumlah anak
secara sukarela bergabung dalam tentara reguler maupun kelompok bersenjata.
Terutama anak-anak yang berasal dari keluarga yang kekurangan.
4. Represi yang kuat sehingga memaksa anak–anak dalam wilayah konflik untuk
bergabung dalam kelompok bersenjata. Sejumlah anak bergabung dalam
rangka mencari perlindungan dari kelompok bersenjata dan arena propaganda
kemenangan dalam pertempuran.
5. Akar dari permasalahan konflik bersenjata yang dapat menyebabkan, dan
meningkatkan intensitas tentara anak. Yang terdiri dari beberapa variabel
antara lain : kemiskinan, kesenjangan ekonomi, toleransi yang rendah,
diskriminasi, militerisasi masyarakat, dan lain–lain.
40
2.3 Bagan Kerangka Pikir
KONFLIK MYANMAR
1. INTERNAL POLITIK
2. ETNIS
PELANGARAN HAM
· Serangan Terhadap Warga Sipil dan Pemukiman
Penduduk
· Pemerkosaan dan Pelecehan Seksual
· Pembunuhan Masal
· Penyiksaan
· Penculikan dan Perekrutan Anak-anak sebaai
tentara
Peran UNICEF
· Peran Motivator
· Peran Komunikator
· Peran Mediator
Gambar 3. Kerangka Pikir
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif kualitatif yang
menitikberatkan pada analisis terhadap interpretasi data relevan atas isu yang
diteliti. Penelitian deskriptif kualitiatif yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan data yang didapatkan melalui sumber dokumen, situs resmi Negara
Myanmar www.myanmar.com/gov maupun situs resmi organisasi UNICEF
www.unicef.org jurnal dan website yang relevan www.child-soldiers.org yang
dideskripsikan dalam penjabaran paragraf. Penelitian kualitatif menekankan pada
pemahaman mendalam mengenai sikap dan perilaku (Creswell, 2014 : 12).
Dalam penelitian ini penulis menginterpretasikan informasi yang diperoleh
melalui variabel yang diteliti. Seperti penelitian kualitatif pada umumnya,
penelitian ini juga bersifat induktif, dimana peneliti menarik kesimpulan umum
dari pernyataan yang sesuai dengan topik yang relevan. Namun, dalam penarikan
kesimpulan yang diambil peneliti mempertimbangkan konsep dan teori yang
digunakan sebagai pertimbangan. Dalam hal ini peneliti tidak mencoba untuk
menguji hipotesis, namun akan mencoba mendeskripsikan informasi dari data
yang diperoleh dengan variabel yang diteliti.
42
3.2 Fokus Penelitian
Penelitian ini berfokus pada Peran Motivator, Peran Komunikator, Peran
Mediator yang dilakukan UNICEF sebagai organisasi internasional dan kebijakan
pemerintah Myanmar yang berpengaruh terhadap permasalahan perekrutan
tentara anak di Myanmar. UNICEF menggunakan pendekatan intervensi non-
militer dan mengedepankan tindakan preventif. Hal tersebut dapat terlihat ketika
organisasi internasional ini hanya menjalankan perannya tanpa menggunakan
instrumen-instrumen kekerasan militer. Tujuan utama UNICEF mengintervensi
Myanmar adalah untuk menyelamatkan dan melindungi korban selamat terutama
anak-anak dari sebuah tragedi kemanusiaan serta memberi jaminan atas HAM.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Data dalam penelitian dapat dibagi menjadi dua, yaitu data primer dan data
sekunder (Creswell, 2002 : 35). Data primer merupakan data yang berasal dari
sumber utama dari informan, misalnya dari wawancara. Sedangkan penelitian ini
menggunakan hasil analisis data sekunder yang didapatkan melalui buku, jurnal,
publikasi resmi maupun penelitian sebelumnya yang relevan dengan topik yang
dibahas. Sumber data yang akan digunakan dimulai sejak tahun 2010 dimana
pada tahun tersebut terdapat penurunan jumlah perekrutan tentara anak di
Myanmar. Sumber data dalam penelitain ini ada dua macam, yaitu :
1. Data Primer. Data primer atau data yang pertama adalah data yang langsung
diperoleh dari sumber data pertama di lokasi penelitian atau obyek penelitian
(Bungin, 2006 : 132). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
kualitatif yang diperoleh dari informan yang secara langsung memberikan data
kepada peneliti. Pertama peneliti mengirimkan email permohonan penelitian
43
dengan pihak UNICEF for Myanmar, melaui Email resmi yaitu
[email protected], yang kemudian mendapat balasan dari staf dan diteruskan
pada Ms. Noriko Izumi selalu Chief Child Protection UNICEF for Myanmar.
Setelah mendapat jawaban dari Ms. Noriko, peneliti di sambungkan dan
dikirimkan identitas dan kontak informan yaitu Mr. Ramesh Sheresta.
Bertepatan langsung dengan kegiatan Mr. Ramesh untuk datang ke Indonesia
dalam rangka Forum, akhirnya Informan yaitu Mr. Ramesh diwawancara dan
diobservasi langsung oleh peneliti di kantor UNICEF di Jakarta.
2. Data Sekunder. Data sekunder adalah data yang telah terlebih dahulu
dikumpulkan dan dilaporkan oleh orang atau instansi luar dari penelitian
sendiri, dan yang dikumpulkan itu sesungguhnya merupakan data asli
(Pandutika, 2006 : 68). Data sekunder dalam penelitian ini melalui sumber
dokumen, situs resmi Negara Myanmar www.myanmar.com/gov maupun situs
resmi organisasi UNICEF www.unicef.org jurnal dan website yang relevan
www.child-soldiers.org yang dideskripsikan dalam penjabaran paragraf.
Peneliti juga membaca Buku “No Child At All‖ A Report about Child Soldiers
in Burma, buku ―My Gun Was As Tall As Me: Child soldier in Burma‖,
Maupun buku ―Sold to Be Soldiers : The Recruitment and Use of Child
Soldiers in Burma‖.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data secara dokumentasi
dan juga wawancara, upaya mengumpulkan data dan informasi yang relevan dari
data primer dan data sekunder. Peneliti mencari dan pengumpulkan data yang
relevan berdasarkan kronologi waktu sehingga akan menimbulkan urutan dan
44
menunjukkan kejadian yang kronologis dan sistematis sehingga segala program
dan proyeksi kejadian di masa yang akan datang akan dapat diprediksi.
Terkait dengan fenomena peran UNICEF dalam menangani kasus
perekrutan tentara anak di Myanmar. Adapun tempat yang peneliti gunakan
sebagai tempat untuk mencari data-data tersebut yaitu peneliti mendatangi
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta, Perpustakaan Pusat
Universitas Lampung, Ruang Baca Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Lampung, juga mencari Artikel dan Jurnal Ilmiah. Dan dalam
pengumpulan data primer peneliti melakukan wawancara secara langsung dengan
Mr. Ramesh Sheresta selaku perwalikan dari UNICEF for Myanmar di kantor
UNICEF for Indonesia yang terletak di Jakarta Pusat.
3.5 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara interaktif. Menurut
Sugiyono, aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan
berlangsung secara terus menerus sampai selesai. Maksudnya, dalam analisis data
peneliti ikut terlibat langsung dalam menjelaskan dan menyimpulkan data yang
diperoleh dengan mengaitkan teori yang digunakan (Sugiyono, 2010 : 246).
Dalam penelitian kualitatif terdapat beberapa langkah analisis data (Miles dan
Huberman, 1994 : 10-12) analisis data kualitatif terbagi menjadi tiga langkah,
yaitu : (Walliman, 2011 : 131).
1. Reduksi data. Reduksi data merupakan suatu proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data awal
yang muncul dari catatan tertulis. Reduksi data merupakan suatu analisis yang
mempertajam, memilih, memfokuskan, membuang, serta menyusun data-data
45
dengan suatu cara untuk dapat menarik kesimpulan atau digambarkan dan
diverifikasi (Sugiyono, 2014 : 247). Peneliti mengumpulkan data mengenai
perekrutan tentara di dunia secara umum, khususnya pada negara Myanmar.
Peneliti mencari data melalui laporan dari Pemerintah Myanmar, PBB,
UNICEF, dan data resmi yang ada di internet untuk mencari jawaban yang
sesuai dengan penelitian. Peneliti hanya membuang data yang tidak sesuai
dengan fokus penelitian yang akan diteliti.
2. Penyajian Data (Data Display). Pada tahap ini, penulis menyajikan data yang
dapat berupa asumsi, konsep, definisi, maupun sebuah deksripsi informasi
yang tersusun untuk menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan
selanjutnya. Peneliti mendeskripsikan informasi yang telah diklasifikasikan
sebelumnya mengenai persepsi pemustaka kemudian diolah dan yang disajikan
dalam bentuk teks naratif. Peneliti melakukan pengumpulan data yang telah
didapatkan melalui reduksi data kemudian disajikan dalam bentuk tabel
dengan tujuan untuk menggabungkan data yang telah tersusun. Peneliti
mengolah data tersebut dengan mengunakan konsep yang relevan.
3. Pengambilan Kesimpulan (Conclusion). Penulis menarik kesimpulan dan dari
setiap data yang digunakan. Dalam tahap ini, penulis menarik simpulan dari
data yang telah ditelaah untuk menjawab pertanyaan dari rumusan masalah.
BAB IV
GAMBARAN UMUM
4.1 Pengertian UNICEF
UNICEF adalah sebuah organisasi internasional di bawah naungan PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang bergerak di bidang kesehatan dan gizi, air dan
kebersihan lingkungan, perlindungan, serta pendidikan dan HIV/AIDS dalam
rangka bantuan kemanusiaan pasca perang dunia II, yang mengkhususkan pada
bantuan kemanusiaan anak-anak yang ada di dunia (Basic Fact about the United
Nations, 2011 : 36). UNICEF didirikan oleh majelis umum PBB pada tanggal 11
Desember 1946 (www.unicef.org). Perlindungan Anak merupakan permasalahan
setiap negara dan salah satu prioritas untuk UNICEF. Semua anak mempunyai hak
untuk dilindungi dari berbagai pelanggaran.
UNICEF melakukan tugasnya dengan aturan normatif internasional yang
ada berdasarkan keputusan PBB dan tentu saja dengan kerjasama dengan negara
bersangkutan baik dalam keadaan krisis maupun dalam keadaan stabil dengan
melakukan upaya-upaya pencegahan agar anak-anak dapat terlindungi dengan
baik. Permasalahan terkait anak dan wanita sudah berlangsung semenjak lama di
seluruh dunia, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang. Inisiatif dari
PBB untuk mendirikan UNICEF merupakan jawaban atas keresahan tersebut.
Pada awal masa pembentukannya, UNICEF berfokus pada pertolongan terhadap
anak-anak serta wanita yang menjadi korban yang membuat banyak dari mereka
49
kehilangan tempat tinggal serta keluarga yang diakibatkan dari kebrutalan perang.
UNICEF yang bukan lembaga non-profit mendapat suntikan dana dari badan lain
PBB dan organisasi internasional yang memiliki tujuan yang sama, yakni untuk
meningkatkan kesejahteraan anak-anak pada masa itu.
UNICEF merupakan kepanjangan tangan dari PBB yang fokus pada anak-
anak di seluruh dunia dan bekerja untuk menyelesaikan masalah-masalah seperti
kekerasan terhadap anak, perdagangan anak hingga eksploitasi anak. UNICEF
mendukung gagasan bahwa seorang anak harus memiliki masa depan yang kuat,
maka mereka membutuhkan kualitas di awal pertumbuhan mereka. Semenjak saat
itu gagasan lain mengenai cara-cara perlindungan terhadap anak-anak mulai
dilakukan termasuk diantaranya mendirikan suatu lembaga khusus yang khusus
menangani anak-anak. Salah satu agenda UNICEF dalam upayanya
menyelesaikan permasalahan kekerasan, perdagangan dan eksploitasi anak adalah
kasus perekrutan tentara anak di Myanmar. maka dari itu UNICEF menjadi aktor
penting yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut.
4.2 Fungsi UNICEF
UNICEF sangat peduli dengan kaum anak-anak dan melihat situasi anak-
anak dari tiap negara berbeda-beda karena kesejahteraan antara anak-anak di
negara berkembang sangat berbeda dengan kesejahteraan anak-anak di negara
maju. Hal-hal ini selalu berkaitan baik dengan sistem pemerintahan dan sistem
perekonomian negara bersangkutan. Oleh karena itu, kesejahteraan anak-anak di
negara berkembang lebih mendapatkan perhatian khusus dari UNICEF agar dapat
melakukan kerjasama-kerjasama dengan berbagai pihak guna mendapatkan
keseimbangan dalam menangani masalah seputar anak (Grahame, 2004 : 8).
50
4.2.1 Fungsi UNICEF Secara Umum
UNICEF adalah sebuah organisasi anak perusahaan dari PBB yang didirikan
setelah berakhirnya Perang Dunia II, pada bulan Desember 1946. Di awal
berdirinya, tujuan utama organisasi ini adalah untuk memberikan pertolongan
berupa perawatan kesehatan yang layak dan makanan untuk anak-anak dan
perempuan yang ada di dunia. UNICEF memiliki beberapa fungsi, yaitu
penyediaan infrastruktur pendidikan dasar untuk anak di seluruh dunia,
meningkatkan tingkat hidup anak di negara-negara berkembang, kesetaraan
gender melalui pendidikan bagi anak perempuan, perlindungan anak-anak dari
segala bentuk kekerasan, eksploitasi dan pelecehan, melindungi dan advokasi hak
anak, imunisasi bayi dari berbagai penyakit, pemberian vaksin dan penyediaan
gizi yang memadai serta air minum yang aman dan steril. Sebagai organisasi di
bawah naungan PBB yang berkonsentrasi terhadap permasalahan anak, UNICEF
menjalankan fungsinya diantaranya : (Maddocks, 2004 : 15).
1. Memberi pengarahan dan pemecahan masalah bagi negara-negara yang
menghadapi kasus tentara anak.
2. Memberi masukan dan bantuan bagi rencana dan penerapan kebijakan
kesejahteraan anak, baik berupa dana maupun tenaga.
3. Mendukung pelatihan bagi para pekerja sosial UNICEF di seluruh dunia demi
tercapainya tujuan UNICEF.
4. Melakukan koordinasi dan memantau pemberian bantuan baik dalam skala
kecil maupun besar untuk metode yang lebih baik.
5. Mengorganisir proyek-proyek yang sifatnya lebih luas.
51
6. Bekerjasama baik dengan negara maupun lembaga internasional lain
dalam hal pemberian bantuan bagi negara yang membutuhkan.
Melakukan berbagai riset mengenai pengembangan, analisis situasi hingga
pemberian bantuan tepat sasaran kepada anak-anak dan wanita adalah fungsi
sentral dari mandat UNICEF. Ini adalah output program yang sangat mendukung
upaya peningkatan kesejahteraan dalam negeri dan lembaga ini adalah bagian dari
upaya yang dilakukan PBB untuk mendukung kapabilitas suatu negara sebagai
tujuan meningkatkan pembentukan manusia dan dapat memenuhi hak asasi tiap
warga negara tersebut. Pengkajian dan analisis diharapkan dapat menunjukkan
kondisi anak apakah sudah memenuhi standar kelayakan seperti yang telah
ditetapkan oleh PBB atau belum, apabila belum memenuhi maka UNICEF
sebagai kepanjangan tangan dari PBB diharapkan mampu untuk mencari jalan
keluar atau memberikan solusi yang dapat diambil terkait dengan kasus yang
dihadapi oleh masing-masing negara bersangkutan yang beberapa di antaranya
dapat didukung oleh PBB (Child and Women analytical center).
Selain menjalankan fungsinya, UNICEF juga memiliki tujuan, yaitu
membantu anak-anak dan kaum perempuan di seluruh dunia yang paling
membutuhkan pertolongan dalam krisis kemanusiaan. Sebagai salah satu
organisasi internasional yang secara khusus memberikan perhatian terhadap anak-
anak, untuk menyediakan kebutuhan hidup bagi jutaan anak-anak lahir dalam
kemiskinan di daerah termiskin di negara berkembang.
UNICEF memberikan kebutuhan terbaik bagi anak-anak untuk hidup,
seperti mengirim anak-anak ke sekolah, memastikan bahwa semua anak
diimunisasi dan bergizi baik, mencegah penyebaran HIV/AIDS di kalangan muda,
52
melibatkan semua orang dalam menciptakan lingkungan protektif bagi anak-anak,
serta mencapai kesetaraan bagi mereka yang didiskriminasi terutama pada
perempuan (Maddocks, 2004 : 6).
4.2.2 Fungsi UNICEF Dalam Kasus Tentara Anak di Myanmar
Semenjak masuknya UNICEF pada tahun 2004 di Myanamr, permasalahan
tentara anak belum bisa diatasi secara maksimal, hal ini mengakibatkan UNICEF
hanya bisa mengintervensi secara perlahan dan belum mendapatkan hasil yang
signifikan. UNICEF sendiri pada awalnya dapat masuk ke Myanmar dikarenakan
adanya bencana alam yang menerjang negara tersebtu dan UNICEF menjadi salah
satu agen Organisasi Internasional yang ditugaskan untuk membantu memberikan
bantuan berupa tenda dan obat-obatan di Myanmar.
Pada tahun 2008, kembali terjadi bencana alam yang menimpa Myanmar,
pada saat itulah UNICEF kembali memberikan bantuan berupa persediaan
makanan, obat-obatan dan tenda pada tahun tersebut UNICEF sudah mulai dapat
merangkul pemerintah Myanmar untuk dapat meningkatkan kesejahteraan
terhadap anak-anak di negara tersebut dalam berbagai bidang. Diantaranya dalam
bidang kesehatan, pendidikan dan pembuatan sarana kesehatan, dan lain-lain
(Maddocks, 2004 : 4).
Di tahun yang 2010, UNICEF menjalankan fungsinya sebagai advokat
dengan mengusulkan pada pemerintah Myanmar dengan cara membuat Country
Programme untuk mendukung dan menindaklanjuti adanya peningkatan
kesejahteraan anak-anak di Myanmar itu sendiri. Secara garis besar Country
Programme berisikan tentang kontribusi terhadap realisasi dengan penekanan
terhadap anak-anak secara umum dalam hal kesehatan dan pendidikan.
53
Pada tahun 2012 UNICEF kembali menjalankan fungsinya dengan
mengajak pemerintah Myanmar untuk bekerjasama dalam upayanya
menghentikan penggunaan tentara anak di Myanmar. Kerjasama ini dinamakan
Joint Action Plan, dimana dalam Joint Action Plan tersebut baik UNICEF
maupun pemerintah Myanmar berdedikasi untuk menghentikan baik praktek
penggunaan tentara anak baik oleh tatmadaw selaku junta militer Myanmar, juga
oleh kelompok-kelompok separatis yang juga menggunakan anak-anak di bawah
umur sebagai prajuritnya. Dalam Joint Action Plan tersebut juga merupakan
realisasi nyata dari pemerintah Myanmar untuk mencegah adanya perekrutan
terhadap anak-anak yang akan dimasukkan ke dalam kesatuan militer di masa
yang akan datang.
4.3 Tugas UNICEF
Tugas UNICEF menyediakan bantuan darurat bagi anak-anak setelah
Perang Dunia II. Sumber dana digunakan untuk kebutuhan darurat anak-anak di
Eropa dan Cina paska perang berupa pengadaan pangan, obat-obatan, sandang dan
pakaian. UNICEF adalah salah satu badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa
yang memberikan pelayanan teknis, pembangunan kapasitas, advokasi,
perumusan kebijakan, dan melakukan promosi isu-isu mengenai anak. Selama
lebih dari 60 tahun, UNICEF memainkan peranan penting dalam membantu
pemerintah memajukan hidup anak-anak dan wanita (Maddocks, 2004 : 6).
4.3.1 Tugas UNICEF Secara Umum
Pada bulan Desember 1950, Sidang Umum mengubah mandat UNICEF
untuk menanggapi kebutuhan yang tidak terungkap tetapi sangat mendesak dari
54
sekian banyak anak yang tak terhitung jumlahnya di negara-negara berkembang.
Untuk memenuhi mandatnya, UNICEF berkerjasama dengan badan PBB lainnya,
yang memiliki beberapa misi, antara lain: (Child and Women health issue).
1. Menciptakan situasi dunia yang sehat
2. Mengentaskan kemiskinan dan kekurangan gizi
3. Mengentaskan buta huruf dan berusaha agar anak-anak mendapatkan
pendidikan dasar.
4. Menciptakan suatu lingkungan fisik, sosial, dan psikologis yang baik untuk
pertumbuhan dan perkembangan anak.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
UNICEF sangat berfokus pada kesejahteraan masyarakat, khususnya anak-anak di
seluruh belahan dunia. Dengan menjalankan fungsi dan tugas tersebut, UNICEF
terus mengupayakan adanya standar kehidupan yang lebih baik lagi bagi anak-
anak di seluruh dunia, tidak hanya dalam bidang kesehatan namun juga dari segi
pendidikan dan ekonomi.
4.3.2 Tugas UNICEF Dalam Kasus Tentara Anak di Myanmar
Realisasi tugas UNICEF terhadap kasus tentara anak di Myanmar dapat
dilihat dari berjalannya Joint Action Plan yang dilakukan baik oleh UNICEF
maupun pemerintah Myanmar itu sendiri. Selain Joint Action Plan, UNICEF juga
menjalankan tugasnya untuk mensejahterakan kehidupan anak-anak. Kaitannya
dengan tentara anak ialah dengan melaksanakan program DDR (Disarmament,
Demobilization dan Reintegration). Dimana dalam program DDR tersebut
UNICEF turun langsung ke kamp-kamp militer, baik milik tatmdaw maupun
55
milik kelompok separatis yang menggunakan anak-anak sebagai prajurit di
kesatuan militernya.
Program DDR merupakan suatu operasi yang sudah dilakukan oleh
UNICEF di banyak negara-negara yang memiliki kasus serupa, yakni penggunaan
anak-anak sebagai tentara. Diantaranya, Kolombia, Nepal, Sudan Selatan, Kongo,
dan India. Yang berbeda adalah untuk kasus di Myanmar UNICEF tidak
membentuk suatu badan khusus seperti apa yang telah mereka lakukan di
beberapa negara yang disebutkan diatas. Untuk Nepal, UNICEF sengaja
membentuk UNMIN (United Nations Mission in Nepal) dan UNMISS (United
Nations Mission in South Sudan). Dimana kedua badan tersebut dibentuk oleh
UNICEF untuk menangani permasalahan tentara anak di negara tersebut.
Sementara untuk kasus penggunaan tentara anak di Myanmar, UNICEF mengajak
pemerintah Myanmar itu sendiri yang berupa Joint Action Plan sebagai bentuk
kerjasama sebagai bukti keseriusan pemerintahan Myanmar untuk menyelesaikan
kasus tentara anak di negaranya.
4.4 Program Kerja UNICEF
Setiap organisasi yang dibentuk memiliki program kerjanya masing-masing
sesuai dengan fungsi dan tujuan yang hendak dicapai oleh organisasi tersebut.
Dalam hal ini UNICEF sebagai organisasi yang fokus pada kesejahteraan anak
memiliki program kerja untuk meningkatkan kesejahteraan anak-anak yang
berada di seluruh dunia (Beigbeder, 2001 : 5). Secara rinci, program kerja yang
dilakukan disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi di negara-negara
tertentu meskipun tujuan yang hendak dicapai adalah sama. Namun pendekatan
yang dilakukan harus disesuaikan dengan yang terjadi di lapangan dan juga untuk
56
menghindari adanya konflik dengan pihak-pihak tertentu. Khususnya dalam hal
ini yang terjadi di Myanmar, untuk menjalankan program kerjanya, UNICEF
selain memiliki programmnya sendiri, mereka juga mengajak pemerintah
Myanmar untuk turun langsung mengatasi permasalahan anak-anak di negara
tersebut. Mulai dari kesehatan dan pendidikan anak yang sifatnya umum, hingga
permasalahan tentara anak yang menjadi isu panas dan menjadi tujuan utama bagi
UNICEF di negara tersebut.
4.4.1 Program Kerja UNICEF Secara Umum
UNICEF bertugas untuk memberi serta mengupayakan solusi terbaik di
negara-negara yang membutuhkan. Sebelumnya, UNICEF dibentuk dengan tujuan
untuk menyediakan bantuan darurat dan memberikan bantuan pelayanan
kesehatan kepada korban selama perang dunia II. Kemudian UNICEF
berkembang menjadi advokat global untuk melindungi dan mempromosikan
HAM, terutama anak-anak dan wanita dengan merubah standar kualitas anak-anak
di setiap belahan dunia. Seiring dengan berjalannya waktu, kesejahteraan anak di
negara-negara berkembang sering diabaikan dan bahkan dalam prakteknya sering
kali seorang anak tidak mendapatkan hak-haknya. Hal tersebut yang mendorong
UNICEF untuk memperluas gerakannya dalam menjalankan fungsinya sebagai
organisasi perlindungan hak-hak anak internasional.
Terjadi banyak kasus kekerasan, kekerasan terhadap anak dapat terdiri dari
berbagai bentuk kekerasan fisik, seperti memukul, menendang, hingga pelecehan
seksual. Adapun kekerasan mental seperti bentuk ancaman hingga intimidasi juga
dialami oleh anak-anak. UNICEF bekerja untuk membantu anak-anak baik yang
masih memiliki orang tua, mereka yang terpisah dari keluarganya hingga anak-
57
anak tanpa keluarga. UNICEF memberikan dukungan berupa sistem asuh, dan
mencari alternatif untuk lembaga impersonal besar dimana anak-anak sering
mengalami kondisi tanpa pengawasan, kehilangan kasih sayang, dan menerima
perlakuan disiplin yang terlalu keras. UNICEF juga bekerja sama dengan
pemerintah untuk membuat mereka menyadari situasi krisis yang melibatkan anak
yatim dan anak-anak yang rentan lainnya. Kemudian mengamankan komitmen
mereka untuk mendanai pelayanan dan pusat perawatan bagi anak-anak tanpa
pengasuhan.
4.4.2 Program Kerja UNICEF di Myanmar
UNICEF telah bekerja di Myanmar secara berkelanjutan sejak tahun 1950.
Dalam kurun waktu yang cukup lama tersebut, UNICEF terus berupaya untuk
melindungi anak-anak di Myanmar meskipun keadaan politik dan ekonomi yang
tidak menentu. UNICEF berkomitmen untuk membangun dunia yang lebih baik
melalui perlindungan hak-hak anak dan menjaga mereka dari hal-hal yang tidak
diinginkan. UNICEF menggunakan ranah kebijakan dalam mengadvokasi, sebagai
penasehat teknikal, pendonor dan mitra pembangunan. Sebagai advokat, UNICEF
bekerja untuk meningkatkan perhatian terhadap isu penting dan menyuarakannya
secara konsisten untuk melindungi hak-hak anak.
Ketika suatu isu telah mendapatkan perhatian dunia, UNICEF akan
berfungsi sebagai mitra teknikal yang secara langsung mempengaruhi proses
perencanaan dan peninjau kembali suatu kebijakan. Sebagai pendonor, UNICEF
memberikan dukungan terhadap peningkatan aktifitas dan fasilitas guna
mengingkatkan proses kebijakan termasuk mendukung kelompok kerja, peninjau
kebijakan, monitoring system dan evaluasinya. UNICEF juga menggunakan
58
kebijakan lintas batas dengan mengkorelasikan kebijakan secara global, regional,
nasional dan substansial. Strategi ini akan menyediakan pandangan terdasar yang
dapat berpengaruh secara positif dan mengubah kebijakan.
Sejak mengadopsi CRC sebagai landasan kegiatannya, UNICEF telah
mengintegrasikan hak-hak anak ke dalam setiap misinya. UNICEF bekerja untuk
melindungi anak-anak dan perempuan dari eksploitasi, kekerasan dan
penelantaran. Hal tersebut dilakukan dengan meningkatkan kesadaran anggota
masyarakat dan organisasi berbasis masyarakat tentang cara pencegahan
penyalahgunaan eksploitasi, perdagangan, dan penelantaran. Selain itu, UNICEF
juga memberi edukasi mengenai pelatihan kejuruan dan kegiatan rekreasi untuk
anak-anak yang rentan dan para pemuda, termasuk anak jalanan dan pekerja anak.
Meskipun secara konstitusi, Myanmar menjamin akses pendidikan wajib dan
gratis bagi semua anak, tetapi rendahnya tingkat investasi di sektor pendidikan
telah menghambat pendidikan dasar yang berkualitas bagi anak-anak. Hal ini
mendorong UNICEF untuk terus menerus memperkuat sektor pendidikan guna
memberikan pendidikan dan pengetahuan kepada anak-anak agar tidak terjerumus
ke dalam perekrutan tentara anak (www.unicef.org/Myanmar/education.html)
UNICEF membentuk program kerja 5 tahun di Myanmar yang disebut
Country Programme. Program tersebut dilaksanakan pertama kali pada 2006
hingga 2010, dan bertujuan untuk meningkatkan dukungan UNICEF kepada
pemerintah Myanmar. ―To Contribute to the fulfillment of the rights of children,
young people and women to survival, growth, development, protection and
participation with a special focus on the families, the poor, and the hard-to-reach
areas‖ (data.unfpa.org). Dukungan UNICEF juga ditujukan untuk membantu
59
Myanmar dalam merealisasikan MDGs. Beberapa tahun belakangan, program
negara Myanmar telah mengalami perubahan dari pendekatan pelayanan
pemasrahan menjadi pendekatan berbasis hak. Pemerintah Myanmar mulai mau
untuk menerima gagasan mengenai beberapa isu perlindungan seperti
perdagangan manusia.
Keadilan terhadap anak-anak, pekerja anak, perekrutan anak di bawah umur
dan lain sebagainya. Myanmar juga telah menginisiasikan beberapa tahapan
penting untuk menyediakan pondasi kekuatan yang legal terhadap program
perkembangan anak sejak usia dini ketika Myanmar meratifikasi CRC (Codline,
2010). Dalam bidang kesehatan, UNICEF juga mengupayakan pembangunan
nutrisi dan peningkatan gizi bagi anak-anak dan menjaga kesehatan mereka. Salah
satunya dengan memberikan imunisasi kepada anak-anak agar mereka kebal
terhadap penyakit mematikan. UNICEF memberikan sekitar 90% dari vaksin
untuk diberikan kepada anak-anak di Myanmar (www.unicef.org /Myanmar/healt
h_nutrition.html).
Bahkan UNICEF mengkampanyekan imunisasi rutin dan memperluas
cakupan imunisasi di daerah yang sulit dijangkau serta memberikan peralatan
untuk memastikan bahwa vaksin dapat mempertahankan potensinya. Selain itu,
UNICEF juga memberikan pelatihan kepada staf pusat kesehatan dalam
pengelolaan terpadu, meningkatkan akses terhadap obat esensial, memastikan
ketersediaan fasilitas standard dan perawatan obstertik darurat di rumah sakit.
Angka kematian balita di Myanmar terbilang sangat tinggi. Setiap tahun terdapat
sekitar 56.000 anak di bawah usia 5 tahun meninggal di negara tersebut, dan
43.000 diantaranya berusia kurang dari 1 bulan (Selth, 2002 : 79).
60
Tingginya angka kematian balita tersebut diakibatkan oleh gizi buruk dan
kurangnya pengetahuan akan menjaga kesehatan yang baik. Sementara jumlah
staf kesehatan sangat sedikit apabila dibandingkan dengan populasi masyarakat,
yakni 1 : 21.822, dan jumlah bidan dibandingkan dengan populasi masyarakat,
yakni 1 : 4.144 (Minsitry of National Planning and Economic Development and
UNICEF, 2012 : 16). Berdasarkan data jumlah tenaga medis di Myanmar tersebut
maka tidak mengherankan jika pelayanan kesehatan sangat lemah, terutama di
daerah pelosok dan perbatasan dimana anak-anak dan wanita di area tersebut
merupakan masyarakat miskin yang tidak mampu untuk mendapat pelayanan
kesehatan yang baik.
4.4.3 Latar Belakang Keberadaan UNICEF di Myanmar
Isu pelanggaran Hak Asasi Manusia seakan sudah melekat dengan
Myanmar, isu HAM di negara tersebut tidak hanya terjadi pada orang dewasa
semata, anak-anak di bawah umur tidak lepas dan menjadi korban dari adanya
pelanggaran HAM di Myanmar. UNICEF sebagai kepanjangan tangan dari PBB
yang berfokus pada kesejahteraan anak tentu tidak tinggal diam dengan apa yang
telah menimpa anak-anak di Myanmar, dimana pelanggaran HAM yang terjadi
ada banyak macamnya, mulai dari kekerasan terhadap anak, pelecehan seksual,
hingga yang dianggap memprihatinkan oleh masyarakat internasional yakni
penggunaan tentara anak di Myanmar. Dalam konvensi Hak Anak Internasional
(Convention on the Right of the Child, CRC) pasal 38 ayat 3 berbunyi ―states
parties shall refrain from recruiting any person who has not attained the age of
15 years into their armed forces. In recruiting among those persons who have
attained the age of 15 years but who have not yet attained age the age of 18 years.
61
States parties shall endeavor to give priority to the oldest.‖ (UN Convention on
the Right of the Child–Article 38/3).
Pernyataan di atas merupakan komitmen untuk melindungi dan
menyelamatkan anak dari segala konflik, khususnya konflik bersenjata juga
tertuang dalam Plan of Action Concerning Children in Armed Conflict saat
Council of Delegates, Red Cross and Red Cressent pada bulan Desember 1995
yang berbunyi: ―To promote the principle of non-recruitment and non-
participation in armed conflict of children under the age of 18 years‖ (Plan of
Action Concerning Children in Armed Conflict, 1995).
Isu tentang Hak Asasi Manusia merupakan isu yang sensitif dan sudah
berlangsung sejak lama, khususnya dinegara berkembang. Adanya konvensi
mengenai hak asasi tersebut diharapkan akan memberikan perlindungan ke
seluruh manusia secara menyeluruh, baik orang dewasa hingga anak-anak.
Perlindungan terhadap anak mencakup segala permasalahan penting dan
mendesak. Keberagaman jenisnya sesuai dengan nilai-nilai perilaku dalam
kehidupan masyarakat. Kemiskinan dan kondisi politik yang tidak stabil serta
penuh konflik membuat anak-anak tidak memiliki perlindungan dari segala
macam ancaman, termasuk keikutsertaan dalam konflik itu sendiri secara
langsung. Akibatnya anak-anak secara tidak langsung memiliki beraneka macam
resiko serta ancaman, dimana kedua hal tersebut mencerminkan adanya peluang
untuk terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan hak-hak anak.
Sebelumnya legalisasi keikutsertaan anak-anak dalam kelompok bersenjata
dimulai dengan protokol tambahan 1 dan 2 konvensi Geneva pada tahun 1977
yang mengatur tentang usia minimum anak untuk berpartisipasi langsung dalam
62
konflik pada usia 15 tahun. Kemudian usia minimum 15 tahun diganti oleh ILO
menjadi 18 tahun pada tahun 1999 dan dijadikan acuan organisasi perlindungan
anak lainnya, termasuk organsiasi internasional UNICEF.
CRC dideklarasikan dengan tujuan menjaminan perlindungan anak dari
penggunaan mereka sebagai kombatan di negara manapun. Setiap Negara
memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk melidungi warga negaranya
terutama anak-anak dan hak-hak mereka. Tetapi pada kenyataannya, terdapat
beberapa negara yang mengabaikan isi dari konvensi tersebut, salah satu
diantaranya adalah Myanmar. Kegagalan pemerintah Myanmar dalam melindungi
hak-hak anak di negara tersebut tentu harus segera diselesaikan. Anak-anak yang
masih berada dalam belenggu militeristik, baik yang ada di kamp militer
pemerintah maupun kelompok separatis, harus segera diselamatkan. Oleh karena
itu, peran serta UNICEF menjadi faktor penting dalam menanggulangi
permasalahan perekrutan tentara anak di Myanmar.
4.5 Mekanisme Internasional Perlindungan Anak.
Salah satu mekanisme internasional yang penting bagi perlindungan anak
adalah Komite Hak-Hak Anak (Committee on the Rights of the Child), yang
terdiri dari 18 anggota yang dipilih oleh negara–negara anggota Konvensi dan
yang bertugas dalam kapasitasnya sebagai perorangan. Fungsi utama dari Komite
yang bertemu tiga kali dalam setahun itu adalah menelaah laporan–laporan dari
negara–negara anggota yang diminta untuk diserahkan secara berkala.
Laporan itu diharapkan berisi informasi mengenai undang-undang dan
berbagai upaya lain yang telah diadopsi oleh negara anggota, yang memberikan
pengaruh pada hak-hak yang diakui dalam Konvensi tersebut dan kemajuan-
63
kemajuan yang telah dicapai dalam pelaksanaan hak-hak itu. Ketika suatu laporan
telah diterima, Komite mengundang pemerintah untuk mengirimkan delegasinya
guna mempresentasikan laporan dan menjawab segala pertanyaan yang mungkin
diajukan oleh Komite. Anggota komite juga memberikan komentar mengenai
informasi yang termuat dalam laporan, serta informasi relevan lainnya yang
diterima dari badan-badan PBB lainnya serta lembaga swadaya masyarakat
(NGO). Komite kemudian membuat observasi simpulan dan rekomendasi yang
sering berkaitan dengan legislasi, termasuk rujukan mengenai celah-celah yang
ada dalam legislasi yang sedang berlaku atau ketentuan-ketentuan hukum yang
dianggap oleh Komite tidak cocok dengan Konvensi tersebut.
Ada sejumlah mekanisme lain yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak
anak. Secara fundamental, anak menikmati hak-hak asasi manusia dan oleh karena
itu semua mekanisme hak-hak asasi manusia di tingkat internasional dan regional
harus memberikan perlindungan bagi mereka. Harus diingat bahwa hal yang sama
berlaku di tingkat nasional, dimana mekanisme perlindungan hak-hak asasi
manusia seperti mahkamah konstitusi atau constitutional courts juga harus
menjamin bahwa mereka menjunjung tinggi hak-hak anak untuk mendapatkan
perlindungan.
4.6 Latar Belakang dan Kondisi Tentara Anak di Myanmar
Salah satu pelanggaran berat HAM yang terjadi di Myanmar, dialami oleh
anak-anak di bawah umur. Kebutuhan akan tenaga militer menjadi salah satu
alasan kuat mengapa anak-anak sampai harus direkrut untuk memenuhi kuota
tenaga militer di Myanmar, dimana perekrutan anak di bawah umur dilakukan
oleh kesatuan militer dari pihak pemerintah maupun kelompok non-pemerintah.
64
Setelah demonstrasi yang terus terjadi di Myanmar, junta militer melakukan
modernisasi pada sistem dan memperkuat tenaga militernya. Tahun-tahun
berikutnya kekuatan militer terus menjadi fokus utama, bahkan 50% pengeluaran
pemerintah dikhususkan untuk memenuhi perlengkapan militer Myanmar
(Rangoon, 1997 : 34). Pemerintah saat itu juga meningkatkan jumlah tenaga
angkatan laut, angkatan udara, juga batalion infanteri yang meningkat paling pesat
sebanyak 3 kali lipat (www.hrw.org). Tercatat pada tahun 1990 junta militer
manargetkan tenaga militer sampai pada 500.000 orang persoel (Selth, 2002 : 79).
Tentu saja, terjadi kesulitan saat junta militer harus dihadapkan dalam
pemenuhan kuota personelnya. Hal itulah yang memunculkan tugas-tugas baru
bagi unit batalion dengan melakukan perekrutan-perekrutan tenaga baru.
Perekrutan ini akhirnya membuat para senior harus menunjuk junior-juniornya
untuk mencari rekrutan baru demi memenuhi tugas mereka, yang akhirnya
menyentuh lebih banyak anak-anak di bawah umur untuk direkrut sebagai tenaga
militer. Kondisi ini dijelaskan oleh salah seorang battalion commander bernama
Mynt Soe dalam wawancaranya saat menjabat:
--“The high ranking officers realized that recruitment by recruiting offices alone was
insufficient, so they issued orders that recruitment should also be done as part of
each battalion‘s operations. We had a quota system: we recruit for our battalion and
also for other units like the Regional Command. Our battalion was ordered to
recruit 12 people every four months. We couldn‘t meet this quota, so at every
meeting they scolded the battalion officers. To solve the problem, battalion officers
pressured their junior officers to recruit.… We set a rule that soldiers who wanted
their 30 days‘ annual leave must guarantee that they will return with at least one
recruit. Any soldier who wanted a discharge after 10 years of service had to get four
new recruits for the battalion before we would approve his discharge. That‘s why
there is a problem of child soldier” (Solas, 2002 : 25).
Meningkatnya jumlah tentara merupakan bukti keberhasilan upaya
perekrutan tentara anak. Kebutuhan pemenuhan kuota membuat junta militer terus
mendorong upaya lebih jauh untuk merekrut tentara-tentara baru di seluruh
65
penjuru Myanmar. Berbagai janji manis, sampai pada upaya pemaksaan dilakukan
untuk merekrut anak-anak di bawah umur. Konvensi Hak Anak, Convention on
the Right Child (CRC), menyatakan seseorang yang masih berusia di bawah 18
tahun dikategorikan sebagai anak-anak, dan umur 18 tahun sebagai usia minimum
bagi seseorang untuk direkrut sebagai tentara (www.unicef.org). Eben Kaplan
menyatakan dalam publikasinya di Council on Foreign Relation bahwa:
--―The United Nations International Children‘s Fund (UNICEF) defines child
soldiers as any child-boy or girl-under eighteen of age, who is part of any kind of
regular or irregular armed force or armed group in any capacity. This age limit is
relatively new, established in 2002 by the Optional Protocol to the Convention on
the Rigt of the Child. Prior to 2002, the 1949 Geneva Convention and the 1977
Additional Protocols set fifteen as the minimum age ofor participation in armed
conflict. While some debate exists over varying cultural standards of maturity,
nearly 80 percent of conflicts involving child soldiers include combatants below the
age of fifteen, with some as young as seven or eight.‖ (Kaplan, 2006 : 24).
Sebagaimana kondisi anak-anak pada umumnya, secara fisik maupun
mental seharusnya belum cukup untuk menjalani, dan mengalami kejadian di
lapangan dimana terdapat konflik sampai pada kasus pembunuhan. Tergabungnya
anak-anak di bawah umur ini, umumnya terjadi karena terdapatnya faktor-faktor
pendukung dari anak-anak itu sendiri. Salah satunya adalah masalah ekonomi
keluarga. Kemiskinan yang melanda rakyat Myanmar akibat inflasi dan
melonjaknya harga bahan pokok membuat masyarakat membanting tulang untuk
memenuhi kebutuhan pangan. Tercatat dalam laporan The World Food
Programme bahwa 32% anak mengalami gizi buruk di Myanmar (www.wfp.org).
Lonjakan harga ini berimbas pada sistem pendidikan di Myanmar kala itu,
kemiskinan membuat pendidikan tidak menyentuh seluruh kalangan dan biaya
kebutuhan sekolah yang terbilang mahal membuat banyak anak-anak harus
berhenti bersekolah bahkan sejak tingkat sekolah dasar (Human Right Watch,
2007 statistic).
66
Mynt Soe menambahkan dalam wawancaranya dengan Human Right Watch
“Those who volunteered were people who‘d failed their school exams, or had
financial or family problems.. Volunteers probably account for only 5 percent of
recruits, but even among those many don‘t want to fight, they just joined because
of personal problems” (The Recruitment and Use of Child Soldiers in Burma,
2010). Hal ini menandakan anak-anak mengalami masa kebingungan dimana
mereka ingin terlepas dari permasalahan pribadi, namun memutuskan bergabung
lantaran mengira dengan menjadi tentara anak membantu perekonomian
keluarganya. Sayangnya, sering kali perekrut memakai jalur kekerasan dengan
pemaksaan, kekerasan fisik dan juga intimidasi untuk merekrut seorang anak.
Seorang tentara anak, menceritakan bagaimana kala itu Ia direkrut secara paksa.
Dalam wawancaranya dengan Human Right Watch, Myin Win mengaku
telah direkrut sebanyak dua kali sebagai tentara anak, Ia menceritakan
pengalamannya saat pertama kali direkrut:
--―I come from a very poor family. My father died when I was very young, and
my mother is unemployed. I‘m the youngest of 10 brothers and sisters.... I never
went to school, and at age seven or nine I started working, tending herds of
buffalos and cattle. I was born in 1989, and in 2000 I went to Rangoon to sell
some garden produce like ginger. On the way I lost my travel pass from the
Ward leader, and at Bago railway station some soldiers came on board and
asked everyone for ID cards. I realized I‘d lost my recommendation letter, and
they took me. The same day they sent me to the Mingaladon Su Saun Yay in
handcuffs (U.N Spotghlights Child Soldiers).
Tidak hanya pelanggaran dari segi umur kematangan seseorang, namun
perekrutan dilakukan secara paksa dengan berbagai cara. Pada tahun 1974, PBB
memproklamirkan The Declaration on the protection of women and children in
emergency, yang menyatakan bahwa ―All forms of repression and cruel and
inhuman treatment of women and children, including imprisonment, torture,
shooting, mass arrests, collective punishment, destruction of dwellings and
67
forcible eviction, committed by belligerents in the course of military operations
or in occupied territories shall be considered criminal‖ (www2.ohchr.org).
Sedangkan pada kenyataanya, kondisi rakyat Myanmar dalam hal ini anak-
anak di bawah umur diperlakukan secara tidak adil oleh para perekrut. Scott Gate
berargumen bahwa anak-anak dihadapkan dengan kondisi kemiskinan,
kebosananan dan di beberapa daerah anak-anak merupakan seorang yatim piatu
(Gate, 2002 : 128). Hal-hal tersebut membuat menjadi sasaran oleh para perekrut
untuk mengajak mereka bergabung dengan kelompok bersenjata. Dengan kata
lain, anak-anak mungkin menjadi relawan untuk bergabung ke dalam kelompok
bersenjata karena melihat adanya peluang untuk keluar dari kemiskinan dan
memiliki status kesejahteraan yang lebih baik, meskipun akan kekurangan
kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Sementara kondisi perekonomian
yang terpuruk menyebabkan para orang tua merelakan anak mereka menjadi
tentara atau angkatan bersenjata, baik dari pihak pemerintah maupun pemerintah
separatis (Achavarina and Reich, 2006 : 134).
Gambar 4. Tentara Anak di Myanmar Sumber : http://burmalibrary.org/docs3/NoChildhood-ocr.pdf
68
Tentara baru yang direkrut, termasuk anak-anak dikirim ke Mingaladon dan
Mandalay untuk mendapat pendidikan di kamp-kamp militer dengan rincian 500
sampai 1.000 anak yang ditempatkan di Mingaladon dan 300 sampai 500 anak di
Mandalay (Simon, 2006 : 38). Kamp pertama ini juga berfungsi sebagai tempat
karantina yang nantinya akan menyeleksi calon tentara yang secara fisik
memenuhi dan mampu bertahan. Banyak diantara mereka yang tewas atau
terkontaminasi malaria dan penyakit lainnya. Setelah itu, mereka dikirim untuk
menjadi satu dengan lebih dari 20 kamp pelatihan di Myanmar dan memperoleh
pelatihan militer selama 4 sampai 5 bulan. Pelatihan bagi tentara anak usia di
bawah 18 tahun akan terasa lebih sulit dibandingkan dengan yang usianya lebih
tua. Hal tersebut disebabkan karena tentara anak mendapatkan tugas tambahan
seperti memotong kayu, membersihkan kamp dan pekerjaan-pekerjaan rumah
lainnya (Achavarina dan Reich, 2006 : 5). Isolasi dari keluarga mereka, pimpinan
yang brutal dan penyiksaan terhadap mereka menyebabkan banyak dari mereka
melarikan diri dari kamp.
Tentara anak yang melarikan diri hanya memiliki sedikit pilihan. Jika
mereka kembali ke rumah, resikonya adalah mudah ditangkap dan dikembalikan
ke kamp militer. Beberapa diantara mereka lebih memilih untuk bergabung
dengan tentara oposisi dan meneruskan bertempur. Selain itu, ada pula yang
mencari pekerjaan illegal ke negara-negara tetangga dan masuk ke jaringan
penjualan manusia ilegal. Kebanyakan mereka mendapatkan fasilitas yang tidak
memadai, terutama dalam mendapatkan fasilitas kesehatan yang layak di kamp
militer, sehingga mengalami gizi yang buruk hingga mudah terserang penyakit.
69
Anak-anak memiliki berbagai macam fungsi dalam suatu kesatuan militer.
Tentara anak diasumsikan memiliki tugas yang berbeda dalam angkatan
bersenjata atau kelompok separatis. Pejuang yang taat, murah, dan efektif
merupakan alasan yang menjadikan mereka mudah untuk direkrut. Harapan anak-
anak ini adalah agar mereka dapat membantu keluarga dengan menerima upah
sebagai tentara, sedangkan uang yang harusnya mereka terima menjadi sesuatu
yang tabu untuk dipertanyakan. Seperti yang dikatakan oleh Myn Win pada
interviewnya dengan Human Rights Watch ―We had salary of 3,000 kyat but
received only 200 kyat. We were told the rest was saved in the bank for us but we
never saw any bank account‖
(www.hrw.org/news/2007/11/02/suffer-little-
soldiers).
Seorang anak yang berusia 12 tahun dikirim ke dalam medan pertempuran
dan ditempatkan di garis depan. Tentara anak dikategorikan sebagai pelanggaran
Hak Asasi Manusia. Tentara anak juga dipaksa untuk bekerja sebagai buruh dalam
suatu pekerjaan militer dan menghasilkan uang bagi atasannya, seperti bertani,
membuat batu bata, serta beternak hewan peliharaan. Prajurit yang memiliki
tingkat lebih tinggi tidak memberikan uang yang sesuai bagi anak-anak tersebut.
Akibatnya mereka mencuri makanan dari desa setempat. Bagi pemberontak, anak-
anak dilihat sebagai sumber daya yang layak untuk dieksploitasi karena mudah
untuk dipengaruhi dan dibentuk pemikirannya untuk mendukung tindakan para
pemberontak. Anak-anak dijadikan pengintai, penjarah makanan dan berburu,
serta melakukan pekerjaan mengangkat beban berat berupa persenjataan atau
kebutuhan kamp. Bagi tentara anak perempuan, tugas yang diberikan kepada
mereka lebih berat secara mental. Tidak hanya berbagi tugas dengan tentara laki-
70
laki, namun tentara anak perempuan dipaksa untuk menjadi budak seks bagi para
tentara dan atasan mereka (www.child-soldiers.org).
Dalam prakteknya, kondisi tentara anak benar-benar ditekan sampai pada
batas yang sangat extreme seperti harus bergabung dalam barisan terdepan saat
perang. Selain harus menempuh masa latihan yang berbobot setara dengan tentara
dewasa, mereka harus selalu siap apabila dikirim untuk bertugas di barisan depan.
Kesiapan fisik dan mental sebagai anak-anak tidak diperhitungkan. Proses latihan
yang berat harus mereka lalui sejak pagi, tentu saja fisik anak-anak yang masih
lemah belum dapat melakukan semua latihan dengan sempurna. Selama masa
latihan, kerap kali tentara anak dibantu oleh tentara-tentara yang lebih tua untuk
membantu proses latihan berlangsung. Namun banyak juga yang akhirnya
mendapat hukuman karena tidak dapat menjalankan latihan dengan benar. Myn
Win kembali menjelaskan:
―I couldn‘t do all the training. Even lifting the gun was too hard for me. The G3
[assault rifle] came up to my shoulder. But the trainers were sympathetic and
understanding, they favored me and the other youngsters. I think about half were
underage but can‘t guess exactly. In my platoon, about half were my age. The
trainers didn‘t say anything about my age but they were sympathetic. They said to
the youngest, ―We don‘t want to train you but it‘s our duty, we have orders.‖ I
was missing my family and I cried. For some parts of the training we young
trainees were allowed to stay in the barracks, but then whenever people lost
things we were blamed and punished by the camp authorities—five lashes with a
bamboo stick, and I cried then too‖ (Sufferie : 2010, 50).
Setelah mengalami berbagai kejadian dan pelatihan yang berat merekapun
dikirim dalam medan perang di barisan terdepan. Terkadang tugas mereka
dianggap mudah sehingga mereka harus melakukan tugas-tugas tambahan seperti
membawa perlengkapan-perlengkapan yang berat. Hal ini tentu saja tidak mudah,
karena mereka dituntut untuk melakukan tugas dengan benar di barisan terdepan
dalam kondisi fisik yang terbatas dan mental yang dipaksa untuk siap menghadapi
71
kejadian-kejadian di medan perang serta berjuang untuk bertahan demi
menyelamatkan nyawa mereka sendiri (www.hrw.org).
Tentara-tentara anak ini banyak yang pada akhirnya bertahan dalam tim
sampai mereka dewasa. Tidak banyak pilihan yang dimiliki oleh mereka. Memori-
memori mengerikan pada masa kanak-kanak terus tertanam menyebabkan tentara-
tentara anak ini tumbuh menjadi pribadi yang terbiasa tidak bebas. Dalam
pertempuran, anak-anak dibiarkan untuk terbiasa melihat kondisi kekerasan. Aung
Zaw salah satu mantan tentara anak menceritakan kisahnya ―I can‘t remember
how old I was the first time in fighting. About 13. That time we walked into a
Karenni ambush, and four of our soldiers died. I was afraid because I was very
young so I tried to run back, but [the captain] shouted, ―Don‘t run back! If you
run back I‘ll shoot you myself!‖ (www.hrw.org).
Sementara rekan dari Aung Zaw, bernama Aung Aung menuturkan
(www.hrw.org). Myn Win menjelaskan lebih lanjut, selain harus siap bertempur,
dan bertugas tentara anak tidak diizinkan untuk menjalin kontak berlebih dengan
penduduk di Desa. Sehingga merekapun tidak diperbolehkan untuk menjalin
hubungan kekeluargaan di medan perang. Bahkan anak-anak dipaksa untuk
melakukan hal-hal yang sangat jauh dari nilai kemanusiaan. Selain dibiarkan
untuk memiliki sifat serakah, mereka diajarkan untuk mencuri sampai
diperintahkan untuk membunuh warga.
Tentara anak harus hidup terpisah dari keluarga, tanpa memori dan ingatan
kuat yang melekat tentang kehangatan keluarga dan justru harus mengalami
kondisi fisik dan mental yang semakin buruk. Perekrutan tentara anak tentunya
72
membawa dampak negatif bagi anak-anak itu sendiri. Beberapa diantaranya
disebutkan dalam Combating Child Trafficking, yaitu : (Sadag, 2005 : 16).
1. Dampak emosional
Anak-anak yang direkrut menjadi tentara anak tumbuh menjadi pribadi yang
pemalu, tidak mau bersosialisasi dan kurang percaya diri. Salah satu faktornya
adalah karena merasa ditipu oleh orang-orang yang mereka percayai seperti
keluarga atau teman saat perekrutan tentara. Tentara yang berhasil merekrut
tentara baru akan mendapatkan upah tambahan sebagai bonus, sehingga
menceritakan kondisi yang tidak sebenarnya kepada anak-anak yang masih
polos.
2. Dampak fisik
Anak-anak yang mendapat perlakuan tidak baik dan kasar akan mendapat
kecacatan fisik. Terutama bagi anak perempuan yang direkrut menjadi tentara
anak, mereka tidak hanya bertugas sebagai tentara namun juga sebagai budak
seks yang memungkinkan mereka untuk tertular infeksi kelamin seperti
HIV/AIDS. Hal tersebut merupakan kondisi yang memprihatinkan. Ditambah
dengan keadaan kamp-kamp pelatihan militer yang kurang fasilitas dan
kebersihannya menjadikan anak-anak rentan terhadap penyakit.
3. Dampak psikologi
Anak-anak yang direkrut menjadi tentara secara psikis telah mengubah
perilaku bersosialisasi dan perkembangan pendidikan mereka. Kurangnya
perhatian dari keluarga atau kerabat terdekat menyebabkan mereka melenceng
dari norma-norma sosial yang ada. Mereka hanya memiliki sedikit teman dan
73
berkecenderungan untuk bertindak kasar sebagai dampak jangka panjang
dalam kehidupannya.
Oleh sebab itu, perekrutan tentara anak di Myanmar merupakan
permasalahan kompleks yang memilki dampak negatif bagi anak-anak sebagai
penerus bangsa. Tanggung jawab untuk melindungi hak-hak manusia milik warga
negara merupakan tugas penting pemerintah di suatu negara. Pasal 4 CRC
menyebutkan bahwa:
―Government have a responsibility to take all available measeures to make sure
children‘s rights are respected, protected and fulfilled. When countries ratify the
convention, they agree to review their laws relating to children. This involves
assessing their social services, legal, health and educational systems, as well as
levels of funding for these services. Government are then obliged to take all
necessary steps to ensure that the minimum standards set by the convention on
these areas are being met. They must help families protect children;s rights and
create an environment where they can grow and reach their potential. In some
instances, this may involve changing existing laws or creating new ones. Such
legislative changes are not imposed, but come about through the same process by
which any law is created or reformed within a country. Article 41 of the convention
points out the when a country already has higher legal standards than those seen in
the convention, the higher standards always prevail‖ (Article 4, The convention On
The Right Of The Child).
Kemudian pasal 6 dalam CRC juga menyebutkan bahwa,”Children have a
right to live. Government should ensure that children survive and develop
healthy‖. Berdasarkan kutipan pasal tersebut, pemerintah Myanmar seharusnya
memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak-hak anak dari keterlibatan
mereka dalam suatu konflik. Namun praktik di lapangan masih menunjukkan
bahwa perekrutan tentara anak masih berlangsung dan pemerintah setempat tidak
mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Sistem pemerintahan yang tidak
demokratis, kondisi politik yang tidak stabil, dan beberapa bencana alam telah
menempatkan anak-anak ke dalam kondisi yang tidak kondusif untuk
mendapatkan hak mereka, termasuk direkrut sebagai angkatan bersenjata. Bahkan
pemerintah melalui militer menjadi pelaku perekrut tentara anak itu sendiri.
74
Tidak sedikit juga anak-anak sipil juga dieksploitasi oleh angkatan militer.
Penduduk sipil, termasuk anak-anak baik pria dan wanita yang berusia 10 tahun
sering dipaksa untuk melakukan berbagai macam aktivitas buruh meski dalam
kurun waktu yang sebentar. Mereka dipaksa untuk menjadi pelacak ranjau yang
menyisir jalan yang jaraknya tidak dekat untuk memastikan ada atau tidak ranjau
di jalan yang nanti akan dilewati kendaraan militer. Tidak hanya tugas yang
sangat membahayakan, tapi anak-anak tersebut juga beresiko menjadi target
penyerangan oleh kelompok musuh. Terlebih lagi, pemerkosaan kepada wanita di
bawah umur telah dilaporkan kepada komisi ILO (Report of the Director General
to the members of the Governing, ILO, 21/5/99, testimonies No.157, 176).
Di satu sisi, konsep tanggung jawab untuk melindungi lebih luas daripada
intervensi kemanusiaan. Tanggung jawab untuk melindungi dibagi menjadi tiga,
yaitu: tanggung jawab untuk mencegah, tanggung jawab untuk merespon, dan
tanggung jawab untuk membangun kembali. Intervensi militer yang menjadi satu
bentuk intervensi kemanusiaan biasanya dilakukan sebagai tanggung jawab untuk
merespon saja. Komunitas internasional memiliki tanggung jawab untuk
mencegah krisis, termasuk memediasi kelompok-kelompok yang berkonflik.
Tanggung jawab untuk melindungi fokus pada perlindungan hak asasi manusia di
suatu negara, seperti merealisasikan ketahanan bagi setiap manusia.
Di sisi lain, doktrin tanggung jawab untuk melindungi lebih sempit daripada
intervensi kemanusiaan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh James Pattison bahwa
intervensi kemanusiaan dapat dijalankan dalam merespon krisis kemanusiaan
yang bervariasi dan tidak memerlukan izin dari dewan keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (Pattison, 2010 : 13). Namun dari semua itu, yang terpenting
75
adalah tanggung jawab untuk melindungi dan memberikan pandangan dari siapa
yang seharusnya merespon dan mengintervensi suatu negara yang sedang
bermasalah.
Permasalahan perekrutan anak ini memerlukan adanya campur tangan
masyarakat internasional melalui organisasi-organisasi yang bergerak di bidang
perlindungan anak untuk memberi motivasi, komunikasi dan perantara guna
mencegah perluasan perekrutan tentara anak di Myanmar. UNICEF selaku
organisasi internasional yang dibentuk di bawah naungan PBB merupakan aktor
penting dalam menyelesaikan perekrutan tentara anak khususnya di Myanmar.
UNICEF dibentuk dengan tujuan untuk melindungi hak-hak anak, termasuk
perlindungannya dari tindakan ekploitasi pihak-pihak berkepntingan atau dalam
konflik.
4.7 Metode Perekrutan Tentara Anak di Myanmar
Perekrutan anak-anak di bawah umur menjadi sebuah tugas baru bagi para
tentara batalion. Di Myanmar, maraknya perekrutan anak di bawah umur terjadi
beriringan dengan pemaksaan, intimidasi dan juga kekerasan fisik.
Ketidakmampuan masyarakat untuk melawan, rakyat kecil seakan mau tak mau
harus berhadapan dengan kekuatan junta militer. Tentu para perekrut mengetahui
bahwa mengajak, atau sampai memaksa anak-anak di bawah umur bergabung
menjadi tentara merupakan hal yang ilegal. Namun hal ini menjadi sesuatu yang
diperbolehkan dan hak anak-anak tersebut dirampas, bahkan proses perekrutanpun
akhirnya menjadi ajang jual beli anak oleh para perekrut.
Munculnya cara-cara kejam ini, tentunya membuat iba mengingat adanya
harapan anak-anak yang ingin memiliki kehidupan yang lebih layak dan seakan
76
secara suka rela menjadi rekrutan baru. Menurut Davidson yang dikutip oleh Julie
McBride dalam The War Crime of Child Soldier Recruitment mengatakan “The
idea that children would volunteer to participate in armed conflict, subjecting
themselves to the horrific treatment most child soldiers receive from their
superiors, is nearly unimaginable‖ (Mcbrinde, 2014 : 7).
Dalam bukunya Julie menjelaskan banyaknya keraguan akan kemampuan
anak-anak di bawah umur dalam menentukan dan memahami suatu kejadian
semakin menghilangkan kebenaran tentang masuknya anak secara suka sebagai
tentara. Myanmar merupakan negara dengan salah satu tenaga tentara anak di
bawah umur terbanyak di dunia. Di bawah junta militer, dimana angkatan
bersenjata Pemerintah Myanmar disebut dengan Tatmadaw, bertanggung jawab
menjadi faktor utama penggunaan angkatan bersenjata di bawah umur di
Myanmar (www.child-soldiers.org).
Namun, konflik politik dan juga demokrasi di Myanmar memunculkan
semakin banyak gerakan-gerakan kelompok non pemerintah yang menyebar di
seluruh penjuru Myanmar. Kedua kelompok ini pemerintah dan non pemerintah
tercatat telah merekrut anak-anak di bawah umur dengan berbagai cara. Dari
pihak pemerintah, Tatmadaw Kyi (angkatan darat) merupakan perekrut tentara
anak terbanyak. Sedangkan dari kelompok non pemerintah di Myanmar, The
United WA State Army (UWSA) merupakan pengguna tentara anak terbanyak
dengan catatan perkiraan 1.000 anak (Achvarina dan Reich, 2006 : 134).
4.7.1 Perekrutan Tentara Anak Oleh Pemerintah
Tatmadaw atau disebut juga tentara bersenjata Myanmar, merupakan faktor
terbesar terjadinya perekrutan anak-anak di bawah umur di Myanmar. Sebagai
77
tentara pemerintah, Tatmadaw terbagi atas 3 cabang, yaitu Tatmadaw Kyi
angkatan darat, Tatmadaw Lei angkatan udara, dan Tatmadaw Yei angkatan laut.
Pada tahun 1996, tercatat 50.000 lebih anak-anak di bawah umur telah tergabung
menjadi tentara anak di Myanmar (Brett and McCallin, 1998 : 78). Dalam catatan
penelitian Human Right Watch menyatakan, pendaftaran relawan tentara
Myanmar telah dibuka sejak tahun 1990. Dari seluruh jumlah Tatmadaw, 35-45 %
merupakan anak-anak berumur di bawah 18 tahun, dan 15-20 % merupakan anak-
anak yang berumur di bawah 15 tahun (Human Right Watch, 2002 : 8).
Dilaporkan jumlah tentara anak dalam pemerintah meningkat mencapai
lebih dari 70.000 anak (Human Right Watch, 2002 : 12). Pada tahun 2002,
tepatnya bulan Mei, SPDC mengklaim bahwa untuk menjadi tentara atau relawan
tentara usia minimal yang diperbolehkan adalah minimal 18 tahun. Sementara
pada bulan oktober di tahun yang sama, Pemerintah Myanmar kembali
menegaskan bahwa yang berada dalam kesatuan militernya murni merupakan
relawan yang masuk tanpa ada paksaan dan semuanya berusia di atas 18 tahun.
Namun bukti mengindikasikan bahwa sebagian besar tentara yang baru saja
direkrut merupakan hasil paksaan dan sebanyak 35-45 % diindikasikan adalah
anak-anak di bawah umur (Richard, 2004 : 103).
Upaya pemenuhan yang terus terjadi salah satunya diakibatkan oleh adanya
tentara yang hilang, tumbang, dll. Kondisi ini membuat tentara batalion harus
memenuhi kuota tentara sebagai tugas baru mereka. Urgensi ini kemudian
berdampak pada cara-cara perekrutan yang dilakukan secara paksa, menjebak
anak-anak, mengancam, membuat data secara palsu, bahkan tercatat terjadi
penculikan anak yang disengaja oleh tentara batalion (www.hrw.org). Maung Zaw
78
Oo, salah seorang tentara anak menceritakan telah dipukuli saat mengatakan
umurnya masih 16 tahun, dan dipaksa mengatakan bahwa saat itu usianya sudah
menginjak umur 18 tahun di Su Saun Yay (www.hrw.org).
Tentara batalion bekerjasama dengan calo sipil untuk mencari anak-anak di
bawah umur yang dapat direkrut, sehingga anak-anak di desa terpencil sekalipun
menjadi incaran tentara batalion. Salah seorang anak di bawah umur yang tidak
disebutkan identitasnya bercerita kepada Human Right Watch tentang pemaksaan
yang dilakukan oleh tentara batalion. Ia merupakan salah seorang anak yang
direkrut saat berumur 16 tahun dan menjadi petugas kesehatan di Rakhine. “Now
they have two ways of recruiting: they come to the village and demand a certain
number of recruits, or they demand [forced labor] porters and later keep them as
recruits. When children go as porters and don‘t come back, people know they‘ve
been forced into the army‖ (Human Rights Watch interview with Rakhine state
health worker, 2007).
Banyaknya kebutuhan tentara rekrutan baru juga menjadi ajang pencarian
yang menguntungkan bagi tentara batalion. Terungkap beberapa kisah lain tentang
kondisi perekrutan tentara anak, salah satunya adalah kisah yang diungkapkan
mantan Sersan, Myo Aung dalam wawancaranya dengan Human Right Watch :
--―The Defense Ministry imposes a quota. Each battalion had to recruit eight new
soldiers every four months. For example, if someone requests leave, we‘d tell him
that if he brings back a new soldier he‘ll get paid 50,000 kyat. No matter how you
recruit him. That money is supposed to be for the recruit but really goes to the
recruiter, and maybe he only gives the recruit 10,000 of it. Sometimes it came from
the battalion budget, sometimes the battalion commander himself had to put in his
own money, because if he didn‘t send 24 recruits a year he‘d be summoned by the
regional commander and he worried about that. That is why children are recruited.
Sometimes we went to the recruiting centers and bought recruits from them‖
(www.hrw.org/reports/2007/burma1007/6).
79
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa upaya perekrutan tentara
baru telah berubah menjadi bisnis bagi tentara batalion. Harga rekrutan baru pada
tahun 2007 di Mingaladon a major recruitment holding facility adalah 25,000 –
35,000 Kyat (Soe, 2007) sedangkan data terakhir yang juga disebutkan dalam
berbagai wawancara dengan para mantan batalion maupun sersan dalam
penelitian Human Right Watch menyatakan harga rekrutan tentara baru naik
mencapai 50,000 Kyat. Tentara batalion yang tidak mampu mencukupi target
kuota, harus mencari uang untuk membeli rekrutan baru. Myin Win, seorang
mantan rekrutan mengungkapkan “Recruiters never release their victims easily. If
they fail when they approach one Su Saun Yaythen they‘ll take you to another,
and there‘s lots of bribery, so most approaches to Su Saun Yays are successful.”
(www.hrw.org/reports/2007).
Kenyataan ini, semakin memperjelas kondisi anak-anak di bawah umur
telah menjadi korban perdagangan manusia. Ditambahkan lagi bahwa perekrutan
ini berlaku di hampir seluruh distrik yang memilki sumberdaya manusia
melimpah khususnya banyak anak-anak di wilayah tersebut.
Setiap distrik
maupun desa diharuskan untuk menyumbang kepada kesatuan militer berupa
anak-anak yang diharuskan menjadi tentara. Apabila pemerintahan setempat tidak
dapat melaksanakan peraturan tersebut ataupun tidak memenuhi kuota yang
ditetapkan maka akan mendapatkan hukuman. Sementara bagi distrik yang dapat
melaksanakan aturan tersebut akan mendapatkan hadiah apabila dapat memenuhi
kuota. Prosedur ini telah menghasilkan perekrutan paksa secara luas, serta
perpindahan wilayah perekrutan (Keairns, 2002 : 10).
80
Sasaran dari perekrutan tentara anak mayotitas merupakan anak yatim piatu
dan anak jalanan biasanya menjadi sasaran dominan perekrutan tentara anak
(Keairns, 2002 : 12). Biasanya mereka terdapat di jalanan, stasiun kereta api,
terminal bus dan pelabuhan kapal feri, juga di pasar dan tempat-tempat
keramaian. Caranya yakni oknum perekrut berpura-pura menjadi seorang tentara
atau memang seorang tentara menghampiri anak-anak tersebut. Saat mereka
diminta untuk menunjukkan kartu identitas mereka, yang sebagian besar belum
memilikinya mereka tidak dapat menunjukkannya. Akibatnya mereka diancam
akan dimasukkan ke penjara dalam waktu yang lama, namun oleh para perekrut
mereka kemudian diberi iming-iming tidak akan dimasukkan ke penjara dan akan
menerima sejumlah uang mulai dari 1.000-10.000 Kyat dan 50 kilogram beras
apabila mereka mau untuk dijadikan relawan militer (Scott, 2002 : 128).
Sumber lain adalah sistem Ye Nyunt, sering mengatasnamakan dirinya
sebagai organisasi pemuda Ye Nyunt pada kenyataannya merupakan jaringan
kamp yang dijalankan oleh militer. Pada bulan Juli 2002, pemerintah mengklaim
bahwa program Ye Nyunt bukan merupakan pelatihan militer, namun hanya
program pelatihan pendidikan untuk anak-anak yang kurang mampu atau yatim
piatu. Pemerintah juga berkilah bahwa program tersebut sudah diberhentikan
semenjak tahun 2000. Relawanan dengan pernyataan tersebut, penelitian
mengungkapkan bahwa terdapat 50 hingga 100 kamp Ye Nyunt di Myanmar,
masing-masing berisi 50 sampai 200 anak laki-laki.
Di masa lalu, program Ye Nyunt mengambil anak laki-laki dari yatim piatu
atau para pengungsi, akan tetapi sekarang banyak pemudia yang diculik dan
dipaksa dimasukkan ke kamp-kamp Ye Nyunt. Di sana mereka tidak
81
diperbolehkan melakukan kontak dengan keluarga ataupun orang dari luar
pangkalan militer. Jika seorang anak tertangkap mencoba melarikan diri, seluruh
anak yang berada dalam satu kelompok dipaksa untuk menganiayanya. Anak-anak
tersebut nantinya dipaksa mendaftar sebagai tentara karena mereka telah dianggap
kuat secara fisik.
Anak-anak yang dipaksa menjadi relawan dari kamp Ye Nyunt tersebut
kemudian dikirim ke kamp central Su Saun Yay yang berada dekat Mingaladon
dan Mandalay dimana mereka sudah akan ditempatkan di kamp-kamp pelatihan
militer di Myanmar. Seorang mantan tentara menjelaskan bahwa selama lebih dari
4 tahun, terdapat anggota baru sebanyak 35-45% yang berusia di bawah 18 tahun
dan 15-20% berusia di bawah 15 tahun. Usia paling muda diperkirakan 11 dan 13
tahun (Brett dan McCallin, 1998 : 33).
4.7.2 Perekrutan Tentara Anak Oleh non–Pemerintah
Dalam buku Sold to be Soldiers: The Recruitment and Use of Child Soldiers
in Burma disebutkan bahwa penggunaan tentara anak juga dilakukan oleh
setidaknya tujuh kelompok pemberontak, Perekrutan tentara anak tidak hanya
dilakukan oleh pihak pemerintah. Perekrutannya pun memiliki tujuannya masing-
masing. Namun secara umum kelompok-kelompok pemberontak tersebut
merupakan kelompok separatis, yang ingin memerdekakan wilayahnya dari
campur tangan pusat. Ke tujuh kelompok tersebut diantaranya :
(www.mmpeacemonitor.org).
1. The Karenni Army
2. Karrenni Nationaloties People‘s Liberation Front (KNPLF)
3. The United Wa State Army (UWSA)
82
4. The Democratic Karen Benevolent Army
5. The Karen National Liberation Army Peace Council
6. The Shan State Army-South (SSA-S)
7. Kachin Independence Organization (KIO) / Kachin Independence Army (KIA)
Yang juga melakukan perekrutan tentara anak guna menambah angkatan
bersenjata mereka (Human Right Watch, 2007 : 11-12). Human Right Watch
memperkirakan terdapat lebih dari 7.000 tentara anak yang berada ditangan
kelompok-kelompok separatis di Myanmar. Salah satunya the United Wa State
Army atau UWSA yang diperkirakan masih memiliki 1.000 tentara anak (Child
Soldier in Non-state Armed Group, 2007).
Metode yang digunakan dalam merekrut anak juga hampir mirip dengan apa
yang dilakukan oleh tatmadaw. Namun para perekrut menggunakan pendekatan
yang berbeda dan tidak dapat digeneralisasi. Sebagaimana yang dilakukan
UWSA, yakni mereka mengaku sebagai angkatan bersenjata pemerintah yang
kemudian memaksa anak-anak untuk melakukan wajib militer. Meskipun
kebijakan usia 18 tahun merupakan angka yang mutlak, beberapa diantara mereka
tetap merekrut anak di bawah umur. Hal tersebut diakui oleh beberapa tentara
yang diwawancarai oleh Human Right Watch, dengan penjelasan bahwa banyak
tentara mendekati anak-anak untuk dijadikan relawan setelah mengungsi dari desa
mereka atau kehilangan keluarganya.
-- “Human Right Watch interviewed boys who were taken directly into the Burma
army at ages as young as eleven. Boys younger than this are recruited also, but they
are often detained until they grow slightly larger before becoming soldiers. One boy
interviewed was captured at age ten, and was the detained in a cell in an army
camp and usedas a servant by the officers for three years before being forced into
the army.‖ (Bimali dan Pathak, 2009 : 14). Selain itu, ada seorang anak yang
diwawancarai UNICEF mengatakan: “a group of soldiers knocked loudly on the
door. Five others, all about the same age, did not escape and were taken bt the
soldiers. I was crying. I was dragged out of my house and put on a boat and taken
to Rangoon. I was considered an adult.‖ (Solas, 2002 : 25).
83
Berdasarkan kutipan wawancara, dijelaskan bagaimana pemaksaan pada
anak-anak agar mereka mau direkrut sebagai tentara berlangsung. Anak-anak
direkrut dengan cara sembunyi-sembunyi dan secara paksa oleh tentara militer,
polisi, atau bahkan tentara pemerintahan saat mereka berada di jalan, sekolah dan
panti asuhan. Selain itu, terdapat pula dorongan dari lingkungan sekitar seperti
orang tua yang menjadikan anak-anak mereka mau direkrut. Kemiskinan,
kurangnya perhatian dan kurangnya pendidikan menjadi beberapa faktor
pendorong dari kemauan seorang anak untuk menjadi tentara. Perekrutan tentara
anak juga menjadi ladang penghasilan bagi para perekrut.
Prajurit yang membawa rekrutan baru biasanya dibayar 1.000 hingga 10.000
Kyat secara tunai dan 15 hingga 50 kg beras per rekrutan (Davidson, 2002 : 33).
Di beberapa batalion, prajurit yang telah menjadi tentara selama 5 tahun dapat
segera naik pangkat jika ia telah membawa 5 orang rekrutan baru. Hasilnya adalah
beberapa diantara mereka berpindah haluan kerja menjadi perekrut tentara anak.
Selain itu, dengan menjadi perekrut tentara anak, mereka tidak harus terlibat
langsung dalam kegiatan militer yang mana mereka ditempa dengan sangat berat
serta perlakuan yang tidak baik.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Pelanggaran terhadap hak anak di Myanmar menjadi perhatian dunia
internasional. Peranan Negara yang seharusnya menjadi sumber perlindungan
terhadap warganya tidak lagi dapat dirasakan oleh anak-anak di Myanmar.
Terlibatnya anak-anak dalam keadaan berbahaya dan tidak seharusnya yaitu
dalam angkatan militer membuat dunia Internasional mengambil tindakan untuk
segera menghentikan pelanggaran tersebut. Apapun alasannya, keterlibatan anak
di dalam militer adalah kejahatan dan pelanggaran kemanusiaan. Karena setiap
anak memiliki hak sebagaimana yang dituangkan dalam Konvensi Anak, yang
meliputi hak untuk mendapatkan pendidikan, layanan kesehatan, dan juga
keamanan. UNICEF memiliki tiga peran penting dalam upaya mengurangi
perekrutan tentara anak di Myanmar, yaitu :
1. Pertama, UNICEF mengambil peran motivator dengan membentuk program
DDR dan peninjauan kembali undang-undang perlindungan anak. UNICEF
juga mendorong pemerintah Myanmar untuk meluncurkan kebijakan
pencatatan kelahiran untuk memastikan semua kelahiran telah terregistrasi.
Dari mulai di tandatangani kebijakan dan kesepakatan antara UNICEF dan
pemerintah Myanmar yang terus terjadi sampai saat ini, seperangkat hukum
dan resolusi-resolusi dan kesepakatan-kesepakatan telah dikeluarkan oleh
130
berbagai negara dan organisasi internasional, terutama PBB sebagai organisasi
bangsa-bangsa di dunia. PBB dengan agen khususnya yang menangani
permasalahan anak yaitu UNICEF terus melakukan usaha terbaiknya baik itu
mengidentifikasi permasalahan yang terjadi, mencari jalan keluar dari
permasalahan keterlibatan tentara anak ini, sampai pada reintegrasi anak-anak
yang telah berhasil dikeluarkan dari angkatan militer. Pencegahan perekrutan
anak sebagai tentara menjadi prioritas utama pemerintahan Myanmar.
2. Kedua, upaya UNICEF untuk mengkampanyakan perlindungan anak dari
eksploitasi dalam bentuk tentara anak menjadi bagian dari peran komunikator.
Peran ini diwujudkan UNICEF melalui pengumpulan data yang akurat di
lapangan untuk disampaikan kepada publik internasional dan domestik.
UNICEF juga melibatkan selebritis internasional dalam kampanye-kampanye
perlindungan terhadap anak dan sosialisasi mengenai perekrutan tentara anak
di Myanmar. Sehingga masyarakat internasional dapat lebih peka dan perduli
akan permasalahan ini.
3. Ketiga, peran mediator dalam menjaga kondisi lingkungan yang kondusif
untuk melindungi anak-anak agar tidak direkrut menjadi tentara dengan
mengupayakan sosialisasi mengenai pentingnya pendidikan. Peran mediator
juga membuat infomasi dan analisis mengenai permasalahan perekrutan tentara
anak di Myanmar yang UNICEF sampaikan melalui berbagai media
mendorong masyarakat lokal maupun internasional merespon dan memberikan
dukungan bahkan bantuan baik dalam bentuk dukungan secara langsung
maupun donasi sejumlah dana baik atas nama pribadi maupun negara.
131
6.2 Saran
Saran yang diberikan peneliti untuk peran yang dilakukan UNICEF dalam
mengatasi permasalahan perekrutan tentara anak di Myanmar adalah :
1. Dalam menjalankan peran sebagai Motivator, UNICEF mengalami beberapa
kekurangan karena pada kenyataannya, berbagai pasal yang mengatur hal
mengenai perekrutan tentara anak masih banyak dilanggar. Ketika terjadi
sebuah pelanggaran, yang berperang sebagai penegak hukum adalah hukum
nasional masing–masing negara. Sehingga tanpa keinginan dan perjuangan
yang teguh untuk menegakannya maka konvensi dan revolusi tidak akan
efektif sehingga dibutuhkannya rasa keseriusan pemerintah Myanmar dalam
merespon dan menyelesaikan permasalahan perekrutan tentara anak.
2. Peran Komunikator menghasilkan beberapa aksi dan tindakan, misalhnya
keterlibatan artis atau membuat masyarakat internasional menangkap dan
untuk pemerintah Myanmar, diharapkan agar tetap konsisten dan membuka diri
untuk diawasi dan dievaluasi oleh Pihak pengawas agar terjalin sinergi yang
baik dan upaya penghentian perekrutan tentara anak dapat terealisasi dengan
maksimal.
3. Peran Mediator mencoba untuk mengantisipasi keterlibatan perekrutan tentara
anak dalam militer maupun kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia
terutama hak anak, kiranya faktor pendidikan, keluarga, dan lingkungan
menjadi faktor penentu. Berdasarkan pengalaman di negara Myanmar sebagai
negara berkembang, anak yang dilibatkan militer disebabkan karena mereka
tidak mengenyam pendidikan, tidak memiliki kehidupan ekonomi keluarga
yang mumpuni, dan lingkungan yang tidak kondusif.
132
Dalam memperbaiki kondisi ini maka diperlukan upaya serius dan
menyeluruh, baik itu perbaikan ekonomi dan edukasi yang merata juga tentunya
diikuti dengan perbaikan sistem hukum dan kebijakan pemerintahan. Dan
keseluruhan hal tersebut merupakan kewajiban negara. Pemerintah Myanmar
seharusnya bersikap tegas dalam mengawasi dan melindungi anak dalam
perekrutan anak sebagai tentara dan menghukum pelakunya dengan seberat-
beratnya. Selain itu, negara anggota harus lebih serius terhadap penerapan
berbagai konvensi dan perjanjian yang khusus melindungi anak dan kepentingan
anak dalam situasi konflik bersenjata.
Kegiatan UNICEF turun ke daerah konflik untuk mengkondisikan suatu
penerapan kerja lapangan yang akan mencegah perekrutan tentara anak dengan
cara memeberikan sosialisasi kepada pihak orang tua dan tokoh masyarakat untuk
membawa anak dibawah umur ke penampungan guna perlindungan, pembinaan,
pendidikan dan hal-hal berkaitan dengan survival untuk membekali anak agar
tetap mendapatkan hak mereka yang sudah diatur dalam Konvensi hak-hak anak.
PBB sebagai organisasi internasional, seharusnya dapat secara tegas
menerapkan sanksi-sanksi kepada negara yang melanggar konvensi dan resolusi.
Jika faktor politik dan ekonomi lebih dikedepankan daripada aturan hukum, maka
resolusi dan konvensi hanya akan menjadi tulisan yang tertuang dalam meja-meja
perjanjian. Diperlukan kesadaran bahwa dalam situasi apapun ketika perang,
masalah pokoknya adalah penghormatan terhadap hak asasai manusia dan
perlindungan warga sipil khususnya wanita dan anak-anak. Tidak ada toleransi
bagi negara manapun yang melakukan kejahatan perang.
133
6.3 Hambatan Dalam Penulisan
Tidak dapat dipungkiri ketika melakukan penelitian semua peneliti pasti
akan mendapatkan sebuah permasalahan dan hambatan dalam meneliti.
Permasalahan dapat terjadi perihal data, pengolahan data, maupun hal-hal lainnya.
Pada penelitian yang berjudul “Peran UNICEF dalam mengatasi Child
Soldiering di Myanmar Tahun 2010-2013” peneliti mengalami hambatan dan
kesulitan dalam memperoleh data, mengingat bahwa negara Myanmar adalah
negara yang menganut prinsip Non-Intervensi yaitu prinsip yang mengemukakan
bahwa suatu negara tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan atau
permasalahan dalam negeri dari negara lain yang membuat peneliti sulit untuk
mendapatkan data secara terperinci dan akurat mengenai negara maupun
permasalahan yang terjadi.
Diharapkan peneliti selanjutnya ketika ingin meneliti hal yang sama
sebaiknya dapat terjun langsung ke lapangan dengan langsung mengunjungi
negara yang bersangkutan yaitu Myanmar agar dapat lebih jelas dan dapat
mengamati secara langsung semua permasalahan dan konflik yang ada di negara
tersebut. Agar dapat lebih memberikan infomasi terhadap masyarakat
internasional maupun pihak-pihak yang ingin meneliti permasalahan yang ada di
Myanmar khususnya perekrutan tentara anak.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Asia, I., 1997. “No Child At All‖ A Report about Child Soldiers in Burma. PT.
Thailand Frasio.
Andrew, S., 2002. “Burma‘s Armed Forces: Power Without Glory Norwalk‖, CT:
EastBridge.
Ambarwati, Ramdhany, D., Rusman, R. 2009. Hukum Humaniter Internasional
Studi Hubungan Internasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Amos, P., 2000. Militer dan Politik. Jakarta : PT. Grafindo Persada
Archer, C., 2011. International Organization, London: University of Aberdeen,
1983 UNICEF Humanitarian Action for Children
Benett, A., 2010. International Organizations: Principles and Issues, University of
Delaware.
Beah, I., 2008. A Long Way Gone – Memoar Seorang Tentara Anak. Yogyakarta:
PT.Bentang Pustaka.
Human Right Watch, 2002.―My Gun Was As Tall As Me: Child soldier in
Burma‖, New York: Human Right Watch.
Human Right Watch, 2007.―Sold to Be Soldiers : The Recruitment and Use of
Child Soldiers in Burma‖, New York: Human Right Watch.
Kirkham, A. 2015. Listening to Voices – Perspectives From the Tatmadaw‘s
Rank and File. The Centre for Peace and Conflict Studies (CPCS), PT.
Church Aid.
Marshalsea, R., 2013. Child Soldiers International Chance for Change: Ending
The Recruitment and Use of Child Soldiers in Myanmar. PT. London, Crd.
Myoe, Maung A,. 2009. Building the Tatmadaw: Myanmar Armed Force Since
1948. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.
135
Narwati, E., Hastuti, L., 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam
Konflik Bersenjata. Jakarta. Group Din Sos.
See R., McCallin, M., 1998. “Children: The Invisible Soldiers. Save the
Children”, Sweden
Susetyo, H., 2010. Child Soldier: Pelibatan anak dalam konflik bersenjata.
Starke, J., 2008. Pengantar Hukum Internasional 1 (Introduction to international
Law: Bambang Iriana Djajaatmadja), Sinar Grafika.
Thomson, C., 2002. Political Stability and Minority Groups in Burma. Geographical Review.
Verloren, A,. 2009. Global Organizations: The United Nations Children‗s Fund.
New York : Infobase Publishing.
Vera, A., Simon, F., 2006. “No Place to hide: Refugees, Displeaced Persons, and
The Recruitment of Child Soldiers”. International Security publishing.
JURNAL
Achvarina, R. Laporan Human Rights Watch. Sold to be Soldiers: The
Recruitment and Use of Child Soldiers in Burma.
Article 4, dalam The convention On The Right Of The Child
Barbara S., Burma Centre for Ethnic Studies. Analysis Paper No.1. January 2012.
“Child Soldiers and International Law”. African Security Review.
Brett, R., McCallin, M., 1998. “Children: The Invisible Soldiers‖, New York.
Coalition to Stop the Use of Child Soldiers (CSUC), Child Soldiers Report,
2001”, http://www.child-soldiers.org
Creswell. C., Child Soldiers Global Report 2004 www.child-soldiers.org
Child Soldier International, 2015. ―Under Radar: on going recruitment and use of
children by Myanmar army”, London: Child Soldier International.
Child Soldier Organization. Child Soldiers: The Use of Child Soldiers‖,
http://www.childsoldiers.org/user_upliads/pdf/finalmaimaibriefingpaperfe
b10english395033.pdf
136
Child Soldiers International. 2009. Louder Than Words – An agenda for action to
end state use of child soldiers. London: Child Soldiers International.
Child and Women health issue”,
http://www.unicef.com.au/LinkClick.aspx?link=106&tabid=71
Child and Women analytical cente
http://www.unicef.org/sitan/index_43348.html
Child Soldier in Non-state Armed Group”,
http://www.hrw.org/reports/2007/burma1007/7.htm
Commitment adopted in the “Plan of Action Concerning Children in Armed
Conflict,” Council of Delegates, Red Cross and Red Cressent 1995
Denov, M., 2010. Child Soldiers – Sierra Leone‘s Revolutionary United Front.
New York: Cambridge University Press
Fund Raising Strategy for UNICEF Myanmar Country Programme 2006-
2010”,http://www.unicef.org/Myanmar/PR_Fund_Raising_Strategy.pdf
Human Right Watch, 2007 statistic”,
https://www.hrw.org/reports/2007/burma1007/6.htm
ILO, “Report of the Director General to the members of the Governing
(No.29)”,ILO, 21/5/99, testimonies No.157, 176.
James, P., 2010. “Humanitarian Intervention and Responsibility to Protect:
Who Should Interverne‖, United States: Oxford Univercity Press.
Keairns, Y., 2002. “The Voices of Girl Child Soldiers: Summary‖. Quaker UN
Office,
Kaplan, E., 2005. Child Soldier Around the World. Diakses pada
http://www.cfr.org/publication/9331/#6,
Maddocks, 1997. US Embassy, Burma: Foreign Economic Trends Report,
Rangoon.
Pawan, B., Bishni P., 2009. “Child Soldier: Crime Against Humanity”. Dalam
jurnal Conflict Center.
Paul, K. 2013. Burma Centre for Ethnic Studies: The Border Guard Forces: The
Need to Reassess the Policy. Briefing Paper.
Scott, G., 2002. “Recruitment and Allegiance: The Microfoundations of
Rebellion.”, dalam journal of Conflict Resolution, Vol.46. No.1.
137
Su-Ann, O., 2013. “Prospects for Ending Child Soldiering in Myanmar‖, dalam
jurnal Singapore‘s Institute Of Southeast Asia Studies (ISEAS).
Warren, S., 2007. Suffer the Little Soldier”,
https://www.hrw.org/news/2007/11/02/suffer-little-soldiers
The Tatmadaw : The State Military, Key Factors in Child Recruitment”,
https://www.hrw.org/reports/2007/burma1007/6.htm
The Tatmadaw‟s Staffing Crisis, diakses pada 22 Agustus 2018
https://www.hrw.org/reports/2007/burma1007/6.htm
The Convention on the right of the Child, Guiding principles: general
requirements for all rights”,
http://www.unicef.org/crc/files/Guiding_Principles.pdf UNICEF, Summary: Child
Soldier Global Report 2008, Coalition to Stop the Use of the Chils
Soldier.
UNICEF, “Situation Analysis of Children in Myanmar: July 2012, Myanmar:
Minsitry of National Planning and Economic Development and UNICEF
United Nations Children‟s Fund (UNICEF): New York 2011. Situasi Anak-anak
di Dunia 1994 ; Dana PBB untuk Anak-anak (UNICEF).
UNICEF Myanmar: Country programme brief 2011-2015, halaman 8”,
https://data.unfpa.org/downloadDoc.unfpa?docId=163
UNICEF, “Adult Wars, Child Soldier‖, Thailand: solas Co, Ltd, 2002
UNICEF. 2014, Helping children stay healthy and well-nourished”,
http://www.unicef.org/Myanmar/health_nutrition.html
UNICEF, “UNICEF: Combating Child Trafficking‖, Perancis: SADAG, 2005
UNICEF, “UNICEF Myanmar: Country Programmee Brief 2011-2015”, Yangon:
UNICEF Myanmar, 2014
UN Convention on the Right of the Child – Article 38/3
U.N Spotghlights Child Soldiers”,
https://www.hrw.org/reports/2007/burma1007/6.htm
Wells, S,. 2004. Contemporary Southeast Asia Vol. 26. “Crimes Against Child
Soldiers in Armed Conflict Situations: Application and Limits of
International Humanitarian Law”.
138
SUMBER ONLINE
https://www.child-soldiers.org/child-soldiers-in-myanmar.
http://internasional.metrotvnews.com/dunia/Gbm4GoeN-pbb-ribuan-anak-
dijadikan- tentara-dalam-konflik-bersenjata
http://www.burmalibrary.org/show.php?cat=411&lo=d&sl=1.
http://unscr.com/en/search
http://cirp.org/library/ethics/UNconvention/
http://www.UNICEF.org/about/who/index_introduction
http://www.amnesty.org/en/library/ info/ASA16/001/2011
http://www.humanium.org/en/child -soldier/
http://burmalibrary.org/docs/pyithu_hlutt aw_election_law.htm
http://www.childsoldiers.org/our_goals.php
http://www.humanium.org/en/childsoldier/
http://www.law.georgetown.edu/library/r esearch/guides/IGOsNGOs.cfm
https://www.unicef.org/mdg/28184_28229.htm
file:///C:/Users/WINDOWS/Downloads/Documents/basic-facts-about-the-un.pdf
http://en.wikipedia.org/wiki/Military_use_of_children, Military use children.
https://www.warchild.org.uk/issues/child-soldiers.
http://childrenandarmedconflict.un.org/children-not-soldiers/
www.unicef.org/emerg/files/childsoldiers.pdf.
http://www.unicef.org/protection/index_armedconflict.html, UNICEF. 2011.
Child Protection from Violence Exploitation and Abuse.
www.child-soldiers.org Child Soldiers Global Report 2004 hlm 13.
139
www.savethechildren.net, History of Save The Chidren,
https://www.unicef.org/childsurvival/
http://www.humanium.org/en/child-soldier/
https://www.hrw.org/reports/2007/burma1007/6.htm
https://www.unicef.org/infobycountry/myanmar_statistics.html
http://www.unicef.org/about/execboard/files/Myanmar_final_approved_CPD_9_S
ept_2010.pdf