113
PERAN UNICEF DALAM MENGATASI CHILD SOLDIERING DI MYANMAR TAHUN 2010-2013 (Skripsi) Oleh Agitha Mulyadi HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG 2018

PERAN UNICEF DALAM MENGATASI CHILD SOLDIERING DI …digilib.unila.ac.id/47229/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdf · departemen pemerintahan dan organisasi-organisasi yang tertarik

Embed Size (px)

Citation preview

i

PERAN UNICEF DALAM MENGATASI CHILD SOLDIERING DI

MYANMAR TAHUN 2010-2013

(Skripsi)

Oleh

Agitha Mulyadi

HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

2018

ii

ABSTRAK

PERAN UNICEF DALAM MENGATASI CHILD SOLDIERING DI

MYANMAR TAHUN 2010-2013

Oleh

Agitha Mulyadi

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran yang telah dilakukan UNICEF

sebagai organisasi internasional dalam mengatasi permasalahan perekrutan

tentara anak di Myanmar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif kualitatif. Penelitian ini berfokus pada peranan UNICEF dalam

permasalahan perekrutan tentara anak di Myanmar yang dilihat dari tiga peranan

yaitu Peran Motivator, Peran Komunikator, dan Peran Mediator. Mengingat

bahwa Myanmar memiliki jumlah tentara anak terbanyak di dunia. Dengan Peran

Motivator UNICEF melakukan upaya dan kegiatan perbaikan kondisi psikis

mantan tentara anak dan juga telah melakukan beberapa penandatanganan

kebijakan dengan pemerintah Myanmar. Peran sebagai Motivator dijalankan oleh

UNICEF dengan memberi dorongan kepada masyarakat dunia agar lebih peduli,

mendukung dan melindungi hak-hak anak dan menentang pelanggaran terhadap

hak-hak anak. Dalam pelaksanaannya, UNICEF memperkuat kerjasama dengan

departemen pemerintahan dan organisasi-organisasi yang tertarik untuk

mempromosikan pendidikan yang kuat, sistem kepedulian kesehatan, dan

melindungi anak-anak Myanmar. Peran Komunikator yang UNICEF lakukan

adalah mengkampanyekan perlindungan anak dari exploitasi. UNICEF dengan

pengumpulan data yang akurat di lapangan kemudian dilaporkan ke forum.

Laporan-laporan tersebut berguna untuk membuka mata dunia bahwa

pelanggaran terhadap hak anak juga dalam keadaan yang mendesak untuk diatasi

mengingat pentingnya peranan anak-anak untuk masa depan dunia, dan juga

Peran Mediator yaitu UNICEF menjadi jembatan dalam penyaluran pendanaan

dari sejumlah bantuan baik atas nama individu maupun negara. UNICEF bekerja

untuk melindungi anak-anak dari kemiskinan, kekerasan, penyakit, dan

diskriminasi. UNICEF memiliki peran utama dalam tujuan nya yaitu untuk

mengakhiri adanya perekrutan tentara anak-anak di dunia, khususnya Myanmar.

Kata kunci : Peran Motivator, Peran Komunikator, dan Peran Mediator, Tentara

Anak Myanmar, UNICEF.

iii

ABSTRACT

THE ROLE OF UNICEF IN OVERCOME CHILD SOLDIERING IN

MYANMAR 2010-2013

By

Agitha Mulyadi

This thesis analyzes the role that UNICEF has taken as an international

organization in Myanmar. The method used in this research is qualitative

descriptive. This study discusses UNICEF in the context of the recruitment of

child soldiers in Myanmar, which is seen from three roles: Motivator Role,

Communicator Role, and Role Mediator. Given that Myanmar has the most

number of child soldiers in the world. With the Motivator's Role, UNICEF made

efforts and activities to improve the psychological condition of former child

soldiers and also signed several policy agreements with the Myanmar

government. The role as a Motivator is run by UNICEF by encouraging the

world community to be more concerned, support and protect children's rights and

influence children's rights. In its implementation, UNICEF is building

partnerships with government departments and organizations interested in

enhancing strong education, health care systems, and protecting Burmese

children. The role of the communicator that UNICEF is doing is campaigning for

children from exploitation. UNICEF by using the right data in the forum is then

entered into the forum. Reports that are useful to open up a world that deflects

the rights of children and also in urgent situations to be overcome given the role

of children for the future of the world, and also the role of the Mediator, UNICEF

is the compiler of various individuals as well as the state. UNICEF works to

protect children from poverty, violence, disease and discrimination. UNICEF has

a major role in the task of recording child soldiers in the world, especially

Myanmar.

Keywords : Motivator Role, Communicator Role, and Role of Mediator,

Myanmar Child Army, UNICEF.

iv

PERAN UNICEF DALAM MENGATASI CHILD SOLDIERING DI

MYANMAR TAHUN 2010-2013

Oleh

Agitha Mulyadi

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar

SARJANA HUBUNGAN INTERNASIONAL

Pada

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2018

Judul Skripsi

Nama Mahasiswa

No. Pokok Mahasiswa

Jurusan

Fakultas

: PERAN UMCEF DALAM MENGATASICHILD SOLDIERING DI MYANMAR

'TAHUN 2010-2013

Agitha Mutyadi

t4r607tOM

Hubungan lnternasional

NIP 19s707281

MENGESAIIKAN

l. Tim Penguji

: Drs. Agus Hadiawan, M.Si

Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 17 Oktober 2018

vl

: Dr. Sind"t*

f"nto, M.Si

Ilmu Sosial dan Ihnu Folitik

/."€.s

r::fd

Yagbertandatangan d

IhN]trt

.husm

Almd kmiatt

lbHP/Telp. Rumah

SURAT PERTTYATAAII

i bawah ini :

AgithaMulyadi

14t607rcM

Hubungan Internasioal

Jl. Malabar2 BlokJ 2l Wayhalim

082r80197888

hgru ini menyatakan bahvra skripsi saya yang berjudul *PERAN UI\IICEF

DAI,AIil I}IENGATASI CEITD SOLI'IENING DI MYANMAR TAEUN

2Jl}2!lll3 adalah benm-benar hasil karya sendiri, bukan plagiat (milik orang

hin) ataupun dibuatkan oleh orang lain. Apabila di kemudian hari hasil

@itian/ skripsi saya" ada pihak-pihak yang merasa keberatan maka saya akan

ncrmsgung jawab sesuai dengan peraturan dan siap dntuk dicabut gelar

&demik saya

Dcmftian surat pernyataan ini saya buat da-lam keadaan sadar dan tidak dalam

Elrrm pihak-pihak manapun.

Bandar Lampung, l7 Oktober 2018

NPM 1416071004

viii

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap penulis Agitha Mulyadi. Lahir di Palembang

pada tanggal 1 Agustus 1996 sebagai anak keempat dari

lima bersaudara, buah hati dari pasangan Bapak Dr.

Mulyadi. M.A dan Ibu Yennie Abdul Gannie. Pendidikan

formal yang pernah penulis tempuh dimulai dari Taman

Kanak-Kanak Pembina 1 Palembang kemudian ke jenjang Sekolah Dasar di SD

Negeri 6 Palembang pada tahun 2002 dan lulus di tahun 2008. Penulis menempuh

pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 17 Palembang

pada tahun 2008 dan lulus di tahun 2011. Selanjutnya, pada tingkat Sekolah

Menengah Akhir di SMA Negeri 1 Palembang pada tahun 2011 dan lulus di

tahun 2014. Penulis melanjutkan pendidikan pada tahun 2014 dengan terdaftar

sebagai mahasiswi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Lampung pada tahun 2014 melalui jalur masuk Seleksi Nasional

Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Sejak di bangku perkuliahan,

penulis aktif dalam kegiatan organisasi dan partisipasi seminar seperti seminar

FEALAC Outreach Program ―The Implementation of the Indonesia Foreign

Policy in the Framework of FEALAC : Opportunities and Challanges”. Dan

penulis juga berpartisipasi pada beberapa kegiatan HMJ Hubungan Internasional

yaitu menjadi Laision Officer(LO) di PSNMHII xxx 2018. Penulis juga aktif

N

ix

didalam berbagai kegiatan non-akademik. Pada tahun 2013 penulis menjabat

sebagai Ketua Umum Organisasi Theater SMA Negeri 1 Palembang. Pada tahun

2014 sampai 2018 penulis juga meraih beberapa prestasi dan penghargaan

sebagai Top 6 Wajah Sumeks (2014), Ambassador Indosat Social Media (2014),

Runner Up 1 MIA Palembang (2015), as the Main Speaker in Inspiring Talkshow

“Personal Branding in Public” (2018).

x

MOTTO

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka

mengubah diri mereka sendiri”.

(Q.S. Ar-Ra‟d:11)

The world as we have created it is a process of our thinking. It can not be

changed without changing our thinking

(Albert Einstein)

xi

SANWACANA

Bismillahirrahmanirrahiim

Puji syukur atas keridhoan Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat,

nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “PERAN UNICEF DALAM MENGATASI CHILD SOLDIERING

DI MYANMAR TAHUN 2010-2013”

Shalawat serta salam tidak lupa penulis sanjungkan kepada Nabi Muhammad

SAW sebagai suri tauladan yang baik bagi kaumnya.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan studi

dan memperoleh gelar Sarjana Ilmu Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sebagai bentuk

dari adanya keterbatasan kemampuan. Penulis berharap agar skripsi ini

bermanfaat untuk pembacanya dan untuk perkembangan penelitian dalam kajian

ilmu sosial dan ilmu politik khususnya pada ilmu hubungan internasional.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak-

pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan

terimakasih kepada :

1. Ibunda dan Ayahanda tersayang dan tercinta, Ibu Yennie Abdul Ganie dan

Mama Mella Karmela S.E, Ayah Dr. Mulyadi, M.A atas semua kasih sayang,

xii

doa, ridho, dukungan dan materi yang tidak pernah ada hentinya diberikan

untuk Agitha walaupun terpisah oleh jarak. Terimakasih telah senantiasa

bekerja keras untuk menjadikan Agitha sebagai anak yang berpendidikan.

Semoga Ibunda Mama dan Ayahanda selalu dalam perlindungan Allah SWT

serta cinta dan kasih-Nya.

2. Ayuk-ayukku dan adikku tersayang, Dini Muldini Prabu Putri, S.E, Wendy

Octapradini, A.Md, Chania Mulyadi, A.Md, dan Muhammad Kim Deo

Mulyadi. Terimakasih telah memberikan warna yang indah di setiap kerinduan

yang dibatasi oleh jarak dan memberikan keceriaan yang menghilangkan rasa

penat dalam menempuh perkuliahan di tanah rantau. Semoga Allah selalu

memberikan jalan dalam mengejar cita-cita agar dapat menjadi kebanggaan

orangtua.

3. Bapak Dr. Syarief Makhya, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Lampung.

4. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si, selaku Pembimbing Akademik dan

Pembimbing Utama Skripsi yang telah membantu, membimbing, memberikan

saran dan kritik serta motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi ini.

5. Abang Indra Jaya Wiranata, S.IP, M.A, selaku pembimbing kedua skripsi saya

yang telah membantu, membimbing, mengarahkan, memberikan saran, kritik

dan motivasi serta meluangkan waktunya dengan penulis untuk bertukar

pikiran sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

6. Bapak Dr. Sindung Haryanto, M.Si, selaku dosen pembahas dan penguji yang

telah memberikan saran dan kritik kepada penulis dalam penyusunan skripsi.

xiii

7. Seluruh jajaran dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Lampung.

8. Staf Akademik dan Staf Kemahasiswaan Jurusan Hubungan Internasional

Universitas Lampung yang telah membantu dan mempermudah penulis dalam

proses administrasi dari awal perkuliahan hingga akhir perkuliahan.

9. Sahabat-sahabatku tercinta Debra Andini, Yolanda Dwi Putri, Novinka Dian

Malino, dan Lidya Novadinda. Terimakasih telah menjadi penyemangat dan

pengingat disaat penulis kehilangan arah untuk bertahan menjalani perkuliahan

dan menjadi anak rantau ini. Syoleyha is my true support system after family!

10. Seluruh teman-teman seperjuangan Jurusan Hubungan Internasional 2014

yang tidak bisa saya ucapkan satu persatu. See you on top!

11. Teristimewa sahabatku Rivan Aji Putranto, S.E dan Ari Irfani Dwi Setiawan,

S.Ikom. Terimakasih telah menjadi saksi dan sosok sahabat yang selalu ada

dalam setiap hari-hari penulis lewati untuk berjuang di tanah rantau.

Terimakasih dan saya beruntung memiliki kalian dihidup saya, hanya itu yang

dapat penulis ucapkan.

12. My Long Distance Friendship (neon) Dwi Rizka, S.E, Rizky Mentari, Aulia

Annisa, S.T, Taga Vega, S.T, Nur. M. Rendi, S.T, Raka Medio Hidayat, S.T

(best7) Agus Triadi, S.IP, M. Idham Akbar, A.Md, Gilang Hasibuan, Erwin.

Walaupun dipisahkan jarak kalian selalu menjadi penyemangat penulis untuk

menjadi tempat berkeluh kesah.

13. Kesayanganku Chindy Fara Ameralda S. Hub. Int dan Nurika Amalia S. Hub.

Int, terimakasih untuk canda, tawa, airmata, dan semuanya. My sister from

another mother!

xiv

14. Teman seperjuangan Cavenray Jundepta, S.E, Ade Novianti, Evan Saputra,

S.E, Pramudya Ananta, S.I.Kom, terimakasih telah menjadi bagian yang

penting dalam hidup penulis selama menjadi anak rantau.

15. My Second Family Ayah Dr. Nugi Nurdin dan Bunda Huzaimah Srikandi

terimakasih atas semangat dan dukungan yang tidak pernah berhenti dari awal

perkuliahan hingga akhir.

16. Kyai dan Atu, dan adik-adik terkasih di Jurusan Hubungan Internasional

2013, 2015 dan 2016 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu atas semua

semangat, dukungan dan doa yang telah diberikan. Semangat untuk kalian!

17. Terimakasih untuk teman-teman KKN Kecamatan Seputih Raman, Desa

Rama Oetama yaitu Nabila Casogi, S.Ked, Rani, S.H, Rahmad A, S.E, Aditia

Kurniawan, S.P, Kurniawan, S.H, S.E, dan Margaretha Sandra, S.P.

Terimakasih untuk semua kenangan dan pelajaran hidup yang tidak akan

pernah bisa terlupakan.

18. Semua pihak yang telah mendoakan dan mendukung penulis dalam bentuk

apapun. Semoga Allah SWT membalas semua ketulusan dan kebaikan yang

telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini bermanfaat.

Bandar Lampung, 17 Oktober 2018

Penulis,

Agitha Mulyadi

xv

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL LUAR .................................................................................. i

ABSTRAK ............................................................................................................ ii

ABSTRACT ......................................................................................................... iii

HALAMAN JUDUL DALAM ........................................................................... iv

MENYETUJUI ...................................................................................................... v

MENGESAHKAN ............................................................................................... vi

SURAT PERNYATAAN ................................................................................... vii

RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... viii

MOTTO ................................................................................................................. x

SANWACANA ..................................................................................................... xi

DAFTAR ISI ........................................................................................................ xv

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xviii

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xix

DAFTAR GRAFIK ............................................................................................. xx

DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xxi

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 14

1.3 Tujuan Penelitian................................................................................ 15

1.4 Kegunaan Penelitian ........................................................................... 15

1.5 Manfaat Penelitian.............................................................................. 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 17

2.1 Penelitian Terdahulu .......................................................................... 17

2.2 Landasan Konseptual ......................................................................... 27

2.2.1 Teori Peran ........................................................................... 28

2.2.2 Konsep Organisasi Internasional ......................................... 29

2.2.3 Human Right ........................................................................ 32

2.2.4 Hak Anak ............................................................................. 34

2.2.5 Konsep Tentara Militer ........................................................ 36

2.2.6 Konsep Tentara Anak........................................................... 37

2.3 Bagan Kerangka Pikir ........................................................................ 40

xvi

BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 41

3.1 Tipe Penelitian.................................................................................... 41

3.2 Fokus Penelitian ................................................................................. 42

3.3 Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 42

3.4 Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 43

3.5 Teknik Analisis Data .......................................................................... 44

BAB IV GAMBARAN UMUM .......................................................................... 48

4.1 Pengertian UNICEF ........................................................................... 48

4.2 Fungsi UNICEF.................................................................................. 49

4.2.1 Fungsi UNICEF Secara Umum............................................ 50

4.2.2 Fungsi UNICEF Dalam Kasus Tentara Anak di Myanmar . 52

4.3 Tugas UNICEF ................................................................................... 53

4.3.1 Tugas UNICEF Secara Umum ............................................. 53

4.3.2 Tugas UNICEF Dalam Kasus Tentara Anak di Myanmar .. 54

4.4 Program Kerja UNICEF ..................................................................... 55

4.4.1 Program Kerja UNICEF Secara Umum ............................... 56

4.4.2 Program Kerja UNICEF di Myanmar .................................. 57

4.4.3 Latar Belakang Keberadaan UNICEF di Myanmar ............. 60

4.5 Mekanisme Internasional Perlindungan Anak. .................................. 62

4.6 Latar Belakang dan Kondisi Tentara Anak di Myanmar ................... 63

4.7 Metode Perekrutan Tentara Anak di Myanmar .................................. 75

4.7.1 Perekrutan Tentara Anak Oleh Pemerintah ......................... 76

4.7.2 Perekrutan Tentara Anak Oleh non–Pemerintah ................. 81

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 84

5.1 Peran Motivator: Upaya Perbaikan kondisi Psikis Mantan Tentara

Anak dan Kebijakan Pemerintah Myanmar ...................................... 90

5.1.1 Program DDR (Disarmament, Demobilization, and

Reintegration) ....................................................................... 91

5.1.2 Kerjasama UNICEF Dengan Pemerintah Myanmar Dalam

Country Programme 2011-2015 dan Joint Action Plan

2012 .................................................................................... 100

5.1.3 Lokakarya Konsultatif ........................................................ 111

5.1.4 Peninjauan Kembali Konvensi Perlindungan Anak ........... 114

5.1.5 Kebijakan Akta Kelahiran .................................................. 115

5.2 Peran UNICEF Sebagai Komunikator : Upaya Mengkampanyekan

Perlindungan Anak dari Exploitasi .................................................. 118

5.2.1 Sosialisasi Melalui Media Cetak dan Elektronik Tentang

Tentara Anak ...................................................................... 119

5.2.2 Mendatangkan Artis Internasional ..................................... 120

5.3 Peran Mediator Internasional: Peranan Bantuan Internasional ........ 123

xvii

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN........................................................... 129

6.1 Kesimpulan....................................................................................... 129

6.2 Saran ................................................................................................. 131

6.3 Hambatan Dalam Penulisan ............................................................. 133

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 1. Pembagian Tugas Tentara Anak .......................................................... 4

Gambar 2. Kategori Tentara Anak ......................................................................... 9

Gambar 3. Kerangka Pikir.................................................................................... 40

Gambar 4. Tentara Anak di Myanmar ................................................................. 67

Gambar 5. Peran Motivator UNICEF .................................................................. 91

Gambar 6. Country Programme Structure 2011-2015 ....................................... 101

Gambar 7. Pernyataan Penandatanganan Joint Action Plan (JAP) ................... 105

xix

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 1. Pihak Perekrut Tentara Anak .................................................................. 10

Tabel 2. Jumlah Tentara Anak di Myanmar 2010-2013 ....................................... 12

Tabel 3. Penelitian Terdahulu ............................................................................... 25

Tabel 4. The Country Programme 2011-2015 Summary Budget Table ((in US$

„000)) ..................................................................................................... 126

Tabel 5. Country Programme Budget Allocation 2006-2010 (in US$ „000)....... 127

xx

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Jumlah Tentara Anak 2007-2016........................................................... 13

xxi

DAFTAR SINGKATAN

BGF = Border Guard Forces

BSPP = Burmese Socialist Programme Party

CPB = The Communist Party of Burma

CRC = Convention on the Right Child

DDR = Disarmament, Demobilization, and Reintegration

HAM = Hak Asasi Manusia

HIV/AIDS = Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency

Syndrome

IGO = Intergoverment Organization

ILO = International Labor Organization

JAP = Joint Action Plan

KA = The Karenni Army

KIA = Kachin Independence Army

KIO = Kachin Independence Organization

KNLA = The Karen National Liberation Army

NGO = Non-Government Organization

MBOA = Myanmar Buddhist Orphanage Association

MDGs = Millennium Development Goals

NLD = National League for Democracy

PBB = Perserikatan Bangsa-Bangsa

RMO = Ratana Metta Organization

SDPC = State Peace and Development Council

SLORC = State Law and Order Restoration Council

SPDC = The State Peace and Development Council

SSA-S = The Shan State Army-South

UNHCR = The United Nations High Commissioner for Refugees

UNICEF = The United Nation International Children‟s Fund

UNRRA = The United Nation Relief and Rehabilitation Agency

UWSA = The United Wa State Army

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggunaan senjata masih menjadi alternatif dalam menyelesaikan konflik

atau perbedaan pendapat yang timbul dalam kehidupan sosial antar negara.

Sengketa bersenjata atau perang adalah suatu kegiatan yang mempunyai dampak

yang sangat luas. Dengan adanya sengketa bersenjata, hal ini mendekatkan

manusia terhadap kematian yang sia-sia ataupun kekerasan yang akan terjadi.

Pada umumnya metode-metode penyelesaian konflik digolongkan dalam dua

kategori yaitu dengan cara penyelesaian damai dan cara penyelesaian secara

paksa atau dengan kekerasan perang (Starke, 2008 : 646).

Berdasarkan hal tersebut tidak dapat dipungkiri perang membawa lebih

banyak kerugian, baik untuk pihak yang terlibat secara langsung dalam perang itu

sendiri, rakyat sipil yang tidak berdosa termasuk wanita dan anak-anak yang

merupakan kaum lemah dan seharusnya dilindungi dari sasaran dan serangan

pertempuran (Ambarwati, Ramdhany, D., Rusman, R. 2009 : 45). Konflik yang

memicu terjadinya peperangan memang tidak jarang memakan banyak korban

dan menimbulkan banyak efek kerugian akibat perang. Salah satu dari sekian

banyak yang terkena efek perang adalah anak-anak. Anak-anak seringkali tidak

mengetahui sebab terjadinya perang itu sendiri. Karenanya tidak jarang beberapa

2

dari mereka tidak hanya menjadi korban dari pihak-pihak yang berkonflik,

melainkan malah menjadi pelaku perang itu sendiri.

Fenomena tersebut dikenal dengan istilah Child Soldier atau tentara anak

yang sering kali tidak menjadi fokus utama pemerintah atau negara ketika terjadi

perang atau konflik bersenjata. Sebagaimana dalam kasus tentara anak di

Myanmar. Tentara anak didefinisikan sebagai seseorang yang berusia dibawah 18

tahun yang menjadi anggota atau bekerja dalam satuan prajurit atau tentara

pemerintah maupun kelompok ilegal dalam keadaan ada maupun tidak ada

konflik bersenjata (UNICEF, 2001).

Myanmar adalah satu-satunya negara Asia yang muncul di hampir setiap

daftar negara yang merekrut tentara anak secara global. Sejak kemerdekaan

negara itu pada tahun 1948, Myanmar secara politik tidak stabil dan terlibat

dalam konflik sipil. Hal tersebut yang membuat tentara nasional Myanmar

Tatmadaw Kyi dan hampir semua kelompok etnis Burma secara sistematis

merekrut tentara anak (Thomson, 2002 : 269). Pada tahun 2002, Human Rights

Watch merilis sebuah laporan: Child Soldiers in Burma, yang mengemukakan

beberapa statistik mengejutkan, menyebut Myanmar sebagai negara terbesar di

dunia yang merekrut tentara anak-anak. Menurut laporan tersebut, Myanmar

memiliki 70.000 tentara anak di bawah usia 18 tahun. Jumlah tentara anak

tersebut merupakan 20% dari total tentara yang aktif bertugas di negara tersebut

(Kaplan, 2005 : 28).

Fenomena tentara anak di Myanmar dapat dipahami dengan konteks

militerisasi di masyarakat. Banyaknya konflik yang terjadi di Myanmar telah

mempengaruhi semua aspek kehidupan bermasyarakat sebagai akibat benturan

3

kepentingan antar kelompok. Pemberontakan etnis yang terus berlangsung

berdampak negatif terhadap perkembangan sosial masyarakat di Myanmar itu

sendiri serta gesekan politik berperan memperburuk kondisi di dalam negeri.

Kondisi politik yang jauh dari kata stabil juga telah menimbulkan konflik

horizontal yang mengakibatkan perang sipil dimana berdampak pada krisis

ekonomi dan terisolasinya daerah pedesaan, terutama daerah yang menjadi tempat

berlangsungnya konflik.

Hal itu pula yang mengakibatkan pelayanan publik yang menjadi kebutuhan

primer masyarakat seperti dalam bidang kesehatan dan pendidikan menjadi

semakin memprihatinkan. Konsekuensinya adalah banyak anak-anak di Myanmar

hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Selain tidak mendapatkan pendidikan

yang layak, kondisi kesehatan juga berada jauh dari tingkat kelayakan yang

mengakibatkan kebanyakan dari mereka terjerumus ke dalam perekrutan tentara

di bawah umur ketika konflik bersenjata.

Mengingat Negara Myanmar merupakan negara yang mempraktekkan

prinsip non intervensi, yaitu prinsip yang mengemukakan bahwa suatu negara

tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan atau permasalahan dalam negeri

dari negara lain. Prinsip ini yang membuat organisasi nasional maupun organisasi

internasional sulit untuk terlibat langsung dalam setiap konflik yang terjadi di

negara Myanmar. Hal tersebut yang membuat UNICEF selaku Organisasi

Internasional mengalami kesulitan berinteraksi langsung dengan pihak

pemerintahan Myanmar karena adanya prinsip non-intervensi ini.

Secara historis, munculnya anak–anak sebagai tentara anak yang terlibat

langsung dalam konflik bersenjata dimulai semenjak abad ke 18. Anak–anak

4

secara tidak langsung telah turut serta dalam konflik bersenjata. Pada waktu itu,

anak–anak dapat dikatakan hanya sebagai penggembira dan diberi bertugas

sebagai penabuh genderang perang. Dimulai dari situlah perkembangan menuju

sesuatu yang tidak baik dengan mulai merekrut anak–anak untuk menjadi kadet

yang berfungsi membantu sebuah angkatan perang. Hingga pada akhirnya

dimulailah babak baru sebuah fenomena anak–anak yang tergabung dalam

angkatan bersenjata di suatu negara guna membantu dan terlibat langsung dalam

konflik atau perang.

Terdapat berbagai macam tugas yang di berikan dalam perekrutan tentara

anak, seperti yang dijelaskan pada gambar berikut :

Gambar 1. Pembagian Tugas Tentara Anak Sumber : http://aft.org/sites/files/content_area_full_width/public/periodicals/Solsier-Chart.html

Seperti pada gambar di atas yang menjelaskan tugas-tugas tentara anak

yang dijadikan sebagai pejuang, koki, kurir, budak seks, tameng, maupun

informan untuk keperluan intelejen. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)

5

mendokumentasikan lebih dari 4.000 kasus anak-anak yang direkrut dan

digunakan dalam konflik bersenjata di seluruh dunia pada tahun 2013. Dalam

laporan itu tertulis 8 pemerintahan dan 51 grup bersenjata terbukti merekrut atau

menggunakan, membunuh atau melukai, melakukan kekerasan seksual atau

memperkosa anak-anak dalam konflik atau serangan lainnya (Narwati, Enny.,

Hastuti, Lina, 2008 : 24).

Myanmar mempunyai permasalahan yang cukup kompleks, seperti

permasalahan sosial, ekonomi, hingga politik. Semenjak memperoleh

kemerdekaan dari Inggris, Myanmar selalu diwarnai dengan konflik. Ada dua

jenis konflik yang ada di negara ini, yaitu konflik etnis dan konflik terhadap

pemerintahan militer yang telah berlangsung selama kurang lebih 6 dekade.

Myanmar memiliki sejumlah catatan pelanggaran HAM yang menjadi perhatian

komunitas internasional, seperti kekerasan terhadap satu etnis, pengusiran, dan

juga masalah perekrutan tentara anak.

Perekrutan tentara anak dilakukan oleh tentara nasional Myanmar yakni

Tatmadaw Kyi yang merupakan organisasi militer Myanmar, terutama yang

bertanggungjawab mengamankan teritorial dan pertahanan negara yang didirikan

pada tahun 1948 bertepatan dengan kemerdekaan Myanmar (Kirkham, 2015 : 9).

Dalam menjalankan perannya di pemerintahan, Tatmadaw Kyi melakukan

perluasan dan penambahan kekuatan secara internal yaitu dengan melakukan

perekrutan anggota militernya guna menambah jumlah pasukan. Pada tahun 1988,

Tatmadaw Kyi mulai melakukan perekrutan kepada anak-anak untuk bergabung

dalam angkatan militernya. Selain oleh Tatmadaw Kyi, tentara anak juga

digunakan oleh angkatan bersenjata non pemerintah yang memiliki tujuan untuk

6

mendapatkan otonomi dan hak demokrasi yang lebih besar dari rezim militer

yang berkuasa pada saat itu.

Praktek perekrutan anak ke dalam tentara yang dilakukan oleh Tatmadaw

Kyi dan Border Guard Forces BGF telah berlangsung sejak kurangnya kuota

personel angkatan bersenjata dan tidak adanya prosedur perekrutan yang ketat.

Anak-anak menjadi target rekrut paling mudah karena mereka rentan akan

tekanan dan mudah dikelabui. Perekrutan dan penggunaan anak ke dalam tentara

biasanya terjadi pada anak-anak yang miskin dan tidak berpendidikan, yang mana

rata-rata dari mereka belum menyelesaikan sekolah, hal inilah yang dimanfaatkan

kelompok perekrut (Paul, 2013 : 2).

Perekrutan tentara anak antara tentara nasional sedikit berbeda dengan yang

dilakukan oleh kelompok etnis. Tatmadaw, Tentara Nasional Myanmar, biasanya

merekrut anak-anak melalui proses perekrutan desentralisasi atau dapat disebut

dengan Unit Jaringan Perekrutan. Mereka direkrut di bawah ancaman akan

dipenjarakan apabila tidak mengikuti perintah, dan dengan janji-janji palsu

berupa gaji yang besar. Tentara etnis biasanya merekrut dengan cara mewajibkan

wajib militer bagi setiap satu orang dari keluarga yang menjadi anggotanya.

Sebagian juga ada yang relawan bergabung dengan militer dengan berbagai

alasan seperti ingin membalas dendam, tidak ada kegiatan karena tidak

bersekolah (Myoe, Maung A,. 2009 : 15).

Perekrutan oleh BGF sebagian besar dilakukan secara paksa. Ketika BGF

gagal mendapatkan calon rekrut di pedesaan, maka BGF memaksa agar warga

pedesaan membayar dengan sejumlah uang. Keadaan ekonomi masyarakat yang

terbilang rendah dijadikan senjata oleh BGF untuk merekrut paksa tentara anak

7

(Paul. 2013 : 28). Keadaan seperti inilah yang kemudian dimanfaatkan pihak-

pihak perekrut tentara anak. Karena kondisi ekonomi yang terdesak sedangkan

kebutuhan demi kelangsungan hidup harus tetap dijalani dan dihadapi yang

kemudian membuat masyarakat sekitar menganggap permasalahan ini merupakan

alternatif terbaik yang harus mereka pilih dan jalani untuk kelangsungan hidup.

Perekrutan anak sebagai tentara dalam konflik bersenjata bertentangan

dengan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional yang dapat ditetapkan

terhadap pelaku kejahatan perang atau war crime berdasarkan Statuta Roma

Pasal 8 Ayat 2 (b) xxvi: “Memperkerjakan atau melibatkan anak-anak di bawah

umur 15 tahun ke dalam wajib dinas militer atau menggunakan mereka secara

aktif untuk ikut serta dalam konflik bersenjata”. Dan tak lupa mengenai protokol

tambahan konvensi tersebut yang menerangkan mengenai larangan keterlibatan

anak–anak dalam konflik bersenjata (OHCRC, 2012).

PBB sebagai badan internasional juga dengan tegas menolak penggunaan

tentara anak dalam konflik yang melibatkan negara. Hal ini ditindaklanjuti

dengan adanya pertemuan PBB dimana lebih dari seratus negara kini telah

menandatangani perjanjian internasional untuk tidak melibatkan anak dalam

perang sebagai tentara dalam pertemuan tersebut, serta mengutus UNICEF

sebagai kepanjangan tangan dari PBB dalam bidang anak-anak untuk turun

langsung menangani permasalahan tersebut. UNICEF sendiri dibangun dalam

rangka untuk merawat anak–anak di seluruh dunia dan bekerja pada

menyelesaikan masalah–masalah seperti kekerasan terhadap anak.

UNICEF berupaya melalui berbagai kegiatannya untuk melindungi anak–

anak dan memungkinkan anak–anak tersebut mengembangkan potensinya secara

8

penuh. Pemberian nobel kepada UNICEF pada tahun 1965 merupakan salah satu

bukti tindakan langsung dari dunia internasional terhadap kepedulian dan

pengakuan bahwa kesejahteraan anak tidak dapat dipisahkan dari perdamaian

dunia. Hal ini yang mendasari UNICEF untuk terus peduli terhadap kesejahteraan

anak, dalam kasus ini yakni penggunaan tentara anak.

Ketentuan hukum kerja dari UNICEF secara jelas menggambarkan adanya

prioritas dalam perbaikan hukum tentang hak-hak anak. Selain itu, UNICEF

menaruh fokus yang besar pada peningkatan mutu terhadap implementasi hak-

hak anak, pencegahan keadaan bahaya yang mungkin dialami oleh anak, serta

pengawasan diterapkannya aturan atau konvensi yang berhubungan dengan hak

anak. UNICEF mencoba untuk menunjukkan peranan besarnya dalam menjaga

hak-hak anak untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam sistem

internasional. Seperti halnya peranan yang diberikan UNICEF yang tidak pernah

absen di semua permasalahan hak anak di dunia.

Seperti pada gambar dibawah ini, keterlibatan tentara anak tidak terbatas

pada anak laki-laki saja, namun juga anak perempuan. Anak perempuan biasanya

untuk tujuan seksual, diperkosa, bahkan dipaksa menikah. Sementara anak laki-

laki ditugaskan sebagai mata-mata, pengantar pesan, pengangkut barang, penjaga

mobil senjata, tukang masak, dll. Penggunaan tentara anak disebabkan beberapa

alasan. Anak-anak dapat menunjukkan peran tentara yang lebih efisien daripada

orang dewasa, semangat yang tinggi, dapat memainkan peran ganda sebagai

kombatan dan sebagai pengantar barang atau pesan, tidak mudah dikenali, dan

yang paling menguntungkan adalah bahwa pola pikir anak-anak lebih mudah

dimanipulasi dan anak-anak lebih patuh daripada tentara dewasa.

9

Gambar 2. Kategori Tentara Anak Sumber : World Vision 2013

Gambar di atas menjelaskan secara terperinci jumlah tentara anak yang

direkrut, dijelaskan pula mengenai jumlah tentara wanita dan laki-laki, maupun

usia tentara anak yang di rekrut di Burma Myanmar, sejak tahun 2012

permasalahan perekrutan tentara anak yang berumur dibawah 18 tahun bahkan

ada yang berumur 11 tahun. Perekrutan didominan tentara anak laki-laki namun

angka perekrutan tentara perempuan juga memiliki angka rekrut yang tinggi.

Berdasarkan laporan dari Child Soldiers Global Report 2010 diperkirakan

kurang lebih delapan belas negara melakukan perekrutan tentara anak, seperti

yang tertera dalam tabel berikut:

10

Tabel 1. Pihak Perekrut Tentara Anak

Sumber : http://www.childsoldiersglobalreport.org

Dari tabel di atas negara Myanmar melakukan perekrutan tentara anak baik

organisasi resmi pemerintah maupun oleh kelompok non-pemerintah. Di saat

yang sama, tidak sedikit pula negara seperti, Argentina, Bolivia, China, dan

Korea Utara yang menjadikan militer sebagai salah satu bagian dari pendidikan di

sekolah, dimana anak–anak dapat ikut bergabung dalam proses latihan fisik dasar

dan ikut serta dalam kegiatan upacara latihan baris berbaris. Sedangkan di negara

seperti Amerika Serikat dan Kanada, anak–anak yang telah berusia 17 tahun ke

atas dapat bergabung ke dalam angkatan militer atas izin dari orang tua mereka

(Scott, 2010 : 52).

Di Myanmar anak-anak dijadikan sebagai komoditas dan dijual kepada

militer yang putus asa akibat perintah untuk memenuhi kuota yang diperintahkan

oleh atasannya. Di dalam kehidupan militer, semakin banyak tentara yang

TENTARA ANAK TENTARA ANAK

NEGARA DALAM ORGANISASI DALAM KELOMPOK

RESMI PEMERINTAH PARAMILITER

Burundi X

Chad X X

Filipina X

India X X

Iran X

Israel X

Kolumbia X X

Kongo X X

Libya X

Myanmar X X

Nepal X

Pantai Gading X

Peru X

Somalia X

Sudan X X

Uganda X X

Yaman X

Zimbabwe X

11

direkrut, maka semakin mudah untuk naik pangkat. Dalam laporan Human Right

Watch, juga ditemukan bahwa tentara dewasa dibebankan untuk merekrut

sebanyak mungkin orang. Syarat ini harus dipenuhi untuk memperoleh

kenaikan jabatan, bahkan dalam beberapa kasus perekrut akan dibayar sebesar

$25 sampai $50 untuk setiap anak yang direkrut. Anak-anak yang masih berusia

sepuluh tahun ditargetkan dan dipaksa menjadi tentara dalam perekrutan massal

yang dilakukan oleh tentara nasional Tatmadaw Kyi (Vera, A., Simon, F., 2006).

Perekrutan tentara anak di Myanmar dilakukan dengan pemaksaan dan

penculikan, bahkan ada beberapa menggunakan ancaman terhadap keselamatan

mereka atau keluarga mereka. Anak-anak yang di rekrut harus mengerjakan

berbagai macam tugas, mulai dari bertempur, menyapu ranjau dan layanan

pendukung operasi militer lainnya. Apabila ada diantara mereka yang melarikan

diri dan tertangkap, maka akan dipecat, diadili di pengadilan militer, dipenjara

selama 1 sampai 2 tahun (Thomson, 2002 : 302).

Tentara anak yang direkrut tidak mendapatkan bantuan hukum sama sekali

dan tidak punya hak menolak penahanan sebelum diadili secara independen oleh

pengadilan sipil. Tentara anak yang dituduh desersi atau perbuatan lari

meninggalkan dinas ketentaraan akan dimasukkan dalam penjara militer dan tidak

jarang mendapat penyiksaan, pelecehan seksual maupun perlakuan buruk lainnya.

Sampai saat ini ada 250.000 anak yang dijadikan tentara dan 40% adalah anak

perempuan (UNICEF for Myanmar, 2010).

Data menyebutkan dalam kurun waktu 2010–2013 penggunaan tentara anak

di Myanmar telah mengalami penurunan, sebagaimana diperlihatkan dalam tabel

berikut:

12

Tabel 2. Jumlah Tentara Anak di Myanmar 2010-2013

Tahun Jumlah

2010 5750

2011 5300

2012 5000

2013 4800

Sumber : http://metro.co.uk/2013/03/18/3525856

Meskipun dalam tabel menunjukkan penurunan angka perekrutan tentara

anak di Myanmar dari tahun ketahun dari tahun 2010-2013, peran dari organisasi

internasional sangat diperlukan dalam membantu mengurangi jumlah bahkan

menghentikan fenomena perekrutan tentara anak yang di khawatirkan akan terus

menerus terjadi jika tidak diawasi dan ditanggapi secara serius.

Myanmar telah berada di Fragile State Index (FSI) yang sebelumnya

dikenal sebagai Failed State Index. Grafik dalam lampiran dibawah menunjukkan

bahwa tingkat konflik berbasis negara dalam kasus perekrutan tentara anak

memburuk dari 2007 hingga 2009. Namun terdapat penurunan yang mulai

membaik pada tahun 2010. Hal inilah yang kemudian menjadi menarik melihat

bahwa angka penurunan jumlah perekrutan tentara anak terjadi semenjak

keterlibatan dan masuknya peranan UNICEF selaku organisasi internasional

untuk memperjuangkan hak-hak anak di seluruh dunia termasuk Myanmar.

13

Grafik 1. Jumlah Tentara Anak 2007-2016 Source: Fund for Peace (fundforpeace.org/fsi/indicators)

Salah satu organisasi yang berkaitan dalam perlindungan anak adalah

UNICEF (United Nations Children‘s Emergency Fund), salah satu badan di

bawah PBB yang memberikan pelayanan teknis, pembangunan kapasitas,

advokasi, perumusan kebijakan, dan mempromosikan isu-isu mengenai anak.

UNICEF merupakan organisasi internasional yang bertugas mendorong

kesadaran para pembuat keputusan dalam memformulasi ide hak-hak anak

menjadi suatu tugas yang bersifat praktikal. Salah satu tugas UNICEF lainnya

adalah memberikan perlindungan terhadap anak yang terlibat dalam situasi

konflik bersenjata di berbagai negara, salah satunya Myanmar (UNICEF, 2010).

Di suatu daerah konflik, perempuan dan anak-anak adalah korban yang

paling rentan mengalami tindakan yang tidak manusiawi. Hal ini tidak mengenal

gender ataupun usia. Hal tersebut secara jelas menggambarkan adanya

pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Myanmar. UNICEF memobilisasi

kemauan politik dan sumber daya material untuk membantu negara-negara,

khususnya negara berkembang, memastikan keamanan untuk anak-anak dan

14

membangun kapasitas mereka untuk mewujudkan kebijakan yang tepat dan

memberikan layanan untuk anak-anak dan keluarga mereka.

Meskipun dari segi jumlah masih kalah dibandingkan yang terjadi di

negara-negara lain, akan tetapi hal tersebut merupakan kekhawatiran tersendiri

bagi kelangsungan hidup anak-anak di Myanmar. Mengingat luas wilayah negara

tersebut yang tidak terlalu besar maka dapat dikatakan bahwa jumlah tentara anak

tergolong banyak, meskipun dari tahun ke tahun menunjukkan adanya

pengurangan jumlah, namun tidak menutup kemungkinan apabila jumlahnya juga

dapat kembali bertambah.

1.2 Rumusan Masalah

Konflik di Myanmar yang turut menyeret anak-anak menjadi tentara

merupakan kasus serius yang harus ditindak lanjuti. Anak-anak tersebut tidak

hanya dijadikan tentara, tetapi juga sebagai mata-mata, pengantar pesan,

pengangkut barang, bahkan pekerja seksual. Pelanggaran HAM terhadap anak

inilah yang membuat UNICEF mengambil tindakan untuk mengatasi

permasalahan tersebut. Tindakan lebih lanjut yang diharapkan dapat mengubah

situasi dan kondisi di Myanmar. Maka peneliti akan mendeskripsikan peran

organisasi internasional yaitu UNICEF yang memiliki tanggungjawab untuk

melindungi anak-anak dalam kasus perekrutan tentara anak ke dalam kelompok

militer di Myanmar. Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka pertanyaan

penelitian yang akan dikaji adalah “Bagaimana peran UNICEF (United

Nations International Children’s Emergency Fund) dalam mengatasi

perekrutan tentara anak di Myanmar?”

15

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penulis menetapkan tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui peran UNICEF dalam menangani kasus

perekrutan tentara anak di Myanmar.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai data awal untuk peneliti selanjutnya

yang ingin meneliti tentang keamanan internasional khususnya mengenai kasus

perekrutan tentara anak. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi wawasan

bagi masyarakat dunia khususnya Myanmar tentang pelanggaran atas perekrutan

tentara anak. Serta penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi

penulis dan pembaca pada umumnya tentang peran UNICEF dalam kasus

perekrutan tentara anak.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kesimpulan ilmiah dari isu

yang diangkat. Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu manfaat teoritis

dan praktis :

1.5.1 Teoritis

Penelitian ini diharapkan turut mengembangkan teori-teori ilmu hubungan

internasional, yang berkaitan dengan teori organisasi internasional, hak asasi

manusia dan hak anak khususnya di negara Myanmar. Penelitian ini berguna

untuk memaparkan dinamika keamanan internasional yang terjadi di Myanmar

dalam hal isu perekrutan tentara anak. Serta penelitian ini diharapkan dapat

16

bermanfaat untuk memperkaya wawasan akademisi Hubungan Internasional pada

kajian keamanan global.

1.5.2 Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai peran

UNICEF sebagai organisasi internasional dengan permasalahan perekrutan

tentara anak dalam upaya menghentikan perekrutan tentara anak.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai isu-isu hak asasi manusia telah banyak dilakukan.

Penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu berada pada tema

yang sama, yaitu berkaitan dengan hak asasi manusia. Pada bagian ini, penelitian

ini menggunakan empat kajian pustaka. Terdapat Penelitian terdahulu yang dapat

relevan dan mendukung penelitian ini. Berdasarkan hasil-hasil penelitian

sebelumnya, penulis mengadopsi teori-teori Organisasi Internasional, namun

tidak semua elemen atau variabel dikaji sama dengan penelitian sebelumnya.

Perbedaan paling mendasar antara lain penelitian ini dengan penelitian

sebelumnya adalah dimana pengunaan subjek yang diambil, hal ini dilakukan

agar tidak menjadi plagiatisme pada penelitian yang dilakukan.

Penelitian pertama yang penulis jadikan kajian pustaka adalah penelitian

dari Dorma Elvrianty Sirait yaitu Mahasiswa dari Universitas Riau. Penelitian

dari Dorma Elvrianty Sirait tersebut berjudul “Peran UNICEF Dalam Menangani

Perekrutan Tentara Anak (Child Soldiering) di Myanmar pada Tahun 2007-

2010”. Dalam penelitiannya Dorma Elvrianty Sirait menjelaskan peran dari

organisasi internasional yaitu UNICEF di Myanmar. Penelitian Dorma tentang

tentara anak tersebut mengambil kurun waktu 2007-2010.

18

Tahun dimana terdapat peningkatan perekrutan tentara anak yang terus

menerus terjadi di Myanmar. Analisa penelitian Dorma menjelaskan bahwa

UNICEF mampu mengatasi salah satu isu HAM, yaitu keprajuritan anak di

Myanmar dalam perekrutan anak-anak tidak hanya sebagai tentara anak, tetapi

juga mata-mata, kuli, tukang masak, dan bahkan untuk tujuan seksual. Perbedaan

dengan penelitian yang penulis buat ini bisa dilihat dari fokus waktu yang

diambil, yang menggambarkan bahwa dalam kurun waktu dapat memiliki

perbedaan permasalahan maupun penyelesaian.

Teori dan konsep yang digunakan salah satunya adalah organisasi

internasional karena yang dibahas adalah UNICEF yang merupakan organisasi

pemerintah atau Intergoverment Organization (IGO). UNICEF mampu berperan

untuk memperjuangkan hak anak seperti tercantum dalam konstitusi dasar dan

mengakhiri adanya tentara anak di Myanmar. Dalam penelitian Dorma ini peran

UNICEF di Myanmar juga dapat dilihat dari bantuan yang diberikan yaitu dengan

cara melindungi anak dari kemiskinan, kekerasan penyakit, dan deskriminasi

yang bertujuan untuk mengakhiri adanya perekrutan anak sebagai tentara. Namun

yang membedakannya dengan penelitian ini, dapat dilihat dari peran UNICEF.

Dalam penelitian ini UNICEF bukan berperan untuk mengakhiri sebuah

permasalahan anak dalam salah satu sektor pekerja anak seperti tentara saja,

namun dalam penelitian ini peran UNICEF yang ingin dilihat adalah pada

pemenuhan hak anak atas hidup dengan aman dan tentram melalui tiga peranan

UNICEF yaitu Peran Mediator, Peran Komunikator dan Peran Motivator.

Penelitian kedua yang penulis jadikan kajian pustaka adalah penelitian dari

Desi Winarty yaitu Mahasiswi dari Universitas Hasanuddin. Penelitian dari Desi

19

Winarty ini berjudul “Peranan UNICEF Dalam Menangani Masalah Tentara

Anak di Afrika Tengah (2007-2012)” dalam penelitiannya Desi Winarty

menjelaskan peran dari organisasi internasional yaitu UNICEF di Afrika Tengah.

Permasalahan anak di Myanmar berbeda dengan permasalahan anak di

Afrika Tengah. UNICEF prihatin dengan semakin meningkatnya jumlah tentara

anak-anak yang direkut oleh kelompok-kelompok bersenjata di Republik Afrika

Tengah. Penulis menggunakan teori peran Organisasi Internasional, dimana pada

penelitian ini menggambarkan peranan dari UNICEF sebagai organisasi

internasional yang akan menangani masalah tentara. Sesuai dengan tugasnya

menyediakan bantuan darurat bagi anak-anak dan juga memfasilitasi

perkembangan dan kehidupan anak-anak didunia.

UNICEF menemukan Fakta pelanggaran terhadap anak dan masalah

kesehatan, kesejahteraan dan lainya. Fakta-fakta tersebut antara lain: (Children

Associated With Armed Goups and Forces Central Africa).

1. Setidaknya 1.500 anak telah dikaitkan dengan kelompok-kelompok bersenjata

yang ada di Afrika Tengah.

2. Sejak tahun 2007, sekitar 1.150 anak-anak telah direkrut oleh kelompok-

kelompok bersenjata telah didemobilisasi dan reintegrasi ke dalam masyarakat

dan keluarga mereka.

3. 450 anak yang di rekrut oleh kelompok UFDR yang dilepaskan pada bulan

April dan Mei 2007, sekitar 75 persen diantaranya anak laki-laki berusia antara

13-17 dan 75 persen terindikasi telah berpartisipasi dalam operasi militer dan

pertempuran. Sekitar 10 persen dari anak-anak seumuran itu digunakan untuk

dukungan logistik dalam pertempuran.

20

Dalam mengurangi perekrutan tentara anak tindakan yang dilakukan

UNICEF dalam menangani tentara anak di Afrika Tengah adalah sebagai berikut:

(Children Associated With Armed Goups and Forces Central Africa).

1. Sejak tahun 2007 bekerjasama dengan organisasi mitra termasuk Danish

Refugee Council (DRC) dan International Rescue Committee (IRC), UNICEF

Afrika Tengah telah membantu 1.150 anak laki-laki dan perempuan

didemobilisasi dengan dukungan psiko-sosial, perawatan multi 2011, Building

Resilience) disiplin, pendidikan, kegiatan yang menghasilkan pendapatan dan

bantuan reintegrasi mereka.

2. Perekrutan anak-anak oleh kelompok bersenjata telah menurun secara

signifikan, sebagai akibat dari proses perdamaian dan dialog politik pada

tahun 2008 dan penurunan dalam bentrokan bersenjata antara kelompok

pemberontak dan tentara nasional. Namun, 350-500 anak diperkirakan masih

terhubung dengan berbagai kelompok bersenjata, seperti APRD (l'Armée

Populaire pour la Restauration de la République et la democratie), UFDR

(Union des Forces Démocratiques pour le Rassemblement) dan kelompok

pemberontak lainya.

3. Program Pencegahan, Perlucutan, Demobilisasi dan Reintegrasi berfokus

pada seluruh masyarakat, sampai saat ini sekitar 95.000 anak-anak termasuk

mantan tentara anak-anak, yang selamat dan korban kekerasan seksual dan

berbasis gender dan anak-anak dari etnis minoritas, yang berpartisipasi dalam

kegiatan psikososial, dukungan kelompok, sepak bola, bola voli dan kegiatan

bermain lainnya.

21

Berdasarkan pemaparan data diatas dapat dilihat UNICEF telah

memberikan konstribusi baik dalam program maupun aksi nyata dalam

permasalahan perekrutan tentara anak di Afrika Tengah.

Dan penelitian ketiga yang ditulis oleh Alvian Rizky yaitu mahasiswa dari

Universitas Diponegoro. Penelitian dari Alvian Rizky ini berjudul “Ketiadaan

Peran ASEAN dalam Kasus Perekrutan Tentara Anak di Myanmar dalam

Perspektif English School 2017. Pada penelitian ini, penulis meneliti bahwa dari

akademisi The University of Nottingham menyebutkan bahwa salah satu faktor

absennya ASEAN pada kasus tentara anak karena prinsip non-interferensi

sehingga menyulitkan ASEAN untuk menangani isu-isu hak asasi manusia yang

dilakukan negara anggota ASEAN termasuk kasus di Myanmar. Keinginan

anggota ASEAN untuk memperbaiki situasi politik dan keamanan Myanmar

terhambat karena adanya lack of consensus.

Dalam perspektif English School berpandangan bahwa tindakan ASEAN

untuk menghormati kedaulatan Myanmar merupakan usaha untuk mengurangi

tindakan saling melukai antar negara (inter-state harm) dan tensi anarki

internasional. Kondisi ketiadaan peran ASEAN pada kasus perekrutan tentara

anak Myanmar berlawanan dengan ratifikasi yang telah dilakukan ASEAN pada

CRC dan OPAC. Fakta telah diratifikasinya CRC dan OPAC sudah seharusnya

menjadi dasar legal dan moral bagi ASEAN untuk ikut memberikan respon dalam

kasus tentara anak Myanmar. Karena dengan meratifikasi sama dengan menaati

dan menindak jika terdapat pelanggaran pada kedua konvensi tersebut.

Dalam situasi ini, ASEAN berada dalam posisi dilematis karena seharusnya

dapat memberikan respon untuk menindak pelanggaran hak asasi manusia yang

22

terjadi di Myanmar, tetapi terhalangi oleh prinsip non-interferensi dan konsensus

ASEAN. Sebaliknya, respon PBB, NGO dan beberapa negara tetangga pada

kasus tentara anak Myanmar merupakan cerminan standar tunggal karena respon

yang dilakukan komunitas internasional konsisten untuk tetap menaati hukum

humaniter internasional tanpa terhalangi oleh standar apapun. Maka dari itu

penulis memasukkan penelitian ini sebagai referensi karena ingin melihat

perbandingan yang dilakukan Organisasi Internasional diluar UNICEF dalam

kasus perekrutan tentara anak.

Prinsip non-interferensi yang menjadi dasar ASEAN dalam bertindak juga

dipengaruhi adanya lack of trust yaitu kurangnya rasa saling percaya dari

tingkatan grass roots masyarakat ASEAN walaupun telah terjalin kerjasama

selama bertahun-tahun (Quayle, 2007 : 28). Selain prinsip non-interferensi,

terdapat faktor lain yang menyebabkan ASEAN absen dalam mengatasi

perekrutan tentara anak dan pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar, yaitu di

ASEAN terdapat ketentuan mengenai konsensus untuk menentukan suatu

tindakan ASEAN dilaksanakan atau tidak. Suatu permasalahan di ASEAN dapat

diangkat oleh AICHR dan ACWC jika terdapat adanya konsensus atau

kesepakatan antara anggota ASEAN. Jika tidak adanya kebulatan suara atau

negara yang diangkat kasusnya menolak, kasus yang diajukan tidak akan dibahas

oleh ASEAN.

Pendapat dari akademisi The University of Nottingham juga menyebutkan

bahwa konsensus ASEAN telah menghambat penyelesaian isu hak asasi manusia

di regional Asia Tenggara. Aliran Masyarakat English School berpendapat bahwa

hubungan internasional adalah state-centric dan empiris (Buzan, 2004 : 46).

23

Bebas dari adanya intervensi merupakan bentuk dari positive sovereignty dan hal

ini mendapat dukungan dari piagam PBB tentang tidak adanya hak komunitas

internasional untuk mengintervensi segala yang berkaitan dengan urusan yang

dapat merusak yurisdiksi domestik suatu negara (Linklater, 2005 : 102).

Keinginan anggota ASEAN untuk memperbaiki situasi politik negara dan

keamanan di Myanmar terhambat karena adanya lack of consensus (Bercovitch &

DeRouen, 2011 : 284).

Penelitian keempat adalah penelitian yang ditulis oleh Lilian Peters, beliau

adalah konsultan perlindungan anak dengan minat khusus dalam penganalisa

penderitaan anak-anak dalam konflik bersenjata. Lilian Peters telah bekerja di

Belanda untuk Pax Christi and Dutch Interchurch menetap beberapa tahun di

Timur Tengah dan Afrika Utara untuk the American Friends Service Committee

(Quaker), UNICEF dan Koalisi Internasional untuk menghentikan penggunaan

prajurit anak. Diperkirakan 300.000 anak di bawah usia 18 tahun direkrut dan

digunakan oleh tentara dan kelompok bersenjata dalam konflik kekerasan di

hampir 30 negara di seluruh dunia (Flock, 2012 : 20).

Tingkat kesalahan dalam perekrutan tentara anak sedang diperdebatkan.

Secara umum, rekrutmen dan penggunaan anak-anak untuk tujuan militer

dianggap sebagai kejahatan perang yang dilakukan oleh orang bertanggungjawab

atas perekrutan tersebut karena anak-anak tidak dalam posisi pengambilan

keputusan tetapi bertindak sesuai petunjuk. Dengan demikian, anak-anak tidak

boleh dituntut untuk berpartisipasi dalam pasukan perang atau grup. Namun,

mengingat pengalaman mereka, komunitas dan negara yang terlibat mungkin

memiliki pandangan berbeda. Posisi mereka pada usia minimum di mana anak-

24

anak menanggung kesalahan atas tindakan mereka dan hukuman yang diperlukan,

kemungkinan akan relevan untuk memperlakukan anak yang diduga sebagai

pelaku dalam peperangan. Kejahatan di bawah hukum internasional seperti

genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan perang kejahatan yang termasuk

perekrutan tentara anak. Dengan memberikan dukungan jangka panjang, negara

dan lembaga lain berkontribusi pada rekonstruksi negara, pemberantasan

kemiskinan dan keadilan sosial, sehingga mengurangi risiko perselisihan, konflik

dan penggunaan anak-anak untuk tujuan militer. Pencegahan perekrutan dan

penggunaan tentara anak harus menjadi bagian dari program kemanusiaan dan

intervensi. Termasuk peningkatan kesadaran, akses pendidikan, kesempatan

pelatihan kerja, bantuan penempatan kerja, skala kecil investasi dan dukungan-

dukungan masyarakat.

Penerbitan pencatatan kelahiran dan pembebasan dokumen sangat penting

untuk mencegah perekrutan. Anak-anak dan masyarakat luas harus dimasukkan

dalam pencegahan konflik, perdamaian, rekonsiliasi dan rekonstruksi dan bentuk-

bentuk alternatif resolusi konflik dan pendekatan keadilan restoratif yang layak

untuk dipromosikan dan didukung oleh dunia internasional. Demiliterisasi,

demobilisasi, rehabilitasi dan reintegrasi mantan tentara anak harus melibatkan

keluarga dan komunitas anak.

25

Tabel 3. Penelitian Terdahulu No Aspek Penelitian Keterangan

1. Judul Peran UNICEF dalam menangani perekrutan tentara anak (Child

Soldiering) di Myanmar (2007-2010)

Peneliti Dorma Elvrianty Sirait (Universitas Riau)

Metode Penelitian Kualitatif

Hasil Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa UNICEF dapat membuat

program-program yang dapat mendidik mantan tentara anak.

Seseorang yang pernah di medan perang akan membutuhkan

dukungan psikologi yang besar agar dapat terhindar dari trauma

dan keinginan balas dendam. Selain itu, tentara kombatan yang

telah dicuci otak biasanya akan sangat susah untuk menghilangkan

budaya kekerasan yang telah tertanam di dalam dirinya, sehingga

memungkinkan menjadi ancaman bagi lingkungannya.

Perbedaan Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi peran UNICEF

sebagai organisasi internasional di bawah naungan PBB dalam

mengatasi perekrutan tentara anak (child soldiering) di Myanmar.

Kontribusi Menjadi referensi bagi penelitian penulis serta membantu dalam

proses penyusunan penelitian tentang peranan UNICEF dalam

perekrutan tentara anak.

2. Judul Peranan UNICEF Dalam Menangani Masalah Tentara Anak di

Afrika Tengah (2007-2012)

Peneliti Desi Winarty (Universitas Hassanudin)

Metode Penelitian Kualitatif

Hasil Hasil Penelitian Menunjukan bahwa UNICEF telah memberikan

pembiayaan yang cukup besar dalam membangun fasilitas bagi

perlindungan anak korban perekrutan tentara anak. UNICEF juga

berusaha menjalin hubungan dan mengajak semua pihak yang

terlibat konflik untuk tidak menggunakan anak-anak sebagai

tentara dan juga sebagai sasaran kekerasan.

Perbedaan Perbedaan Penelitian ini adalah penelitian ini membuktikan bahwa

peranan dari UNICEF sebagai organisasi internasional berhasil

memberikan bantuan dan menangani masalah tentara anak di

wilayah Afrika Tengah.

Kontribusi Menjadi referensi bagi penelitian penulis serta membantu dalam

proses penyusunan penelitian tentang Peranan UNICEF di Negara

lain.

3. Judul Ketiadaan Peran ASEAN dalam Kasus Perekrutan Tentara Anak

di Myanmar dalam Perspektif English School 2017

Peneliti Alvian Rizky H (Universitas Diponerogo)

Metode Penelitian Kualitatif

26

Hasil Terdapat beberapa faktor ASEAN absen pada kasus tentara anak

di Myanmar, yaitu karena terganjal oleh prinsip non-interferensi

dan konsensus yang merupakan wujud dari penghormatan

kedaulatan negara lain untuk menghindari dari rusaknya kerangka

masyarakat internasional. Prinsip-prinsip tersebut juga merupakan

wujud untuk menciptakan keadilan internasional, dengan

memberikan hak non-intervensi, negara berdaulat dan menentukan

nasib sendiri kepada setiap negara anggotanya.

Perbedaan Perbedaan Penelitian ini adalah penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui dan menganalisis keterlibatan ASEAN sebagai salah

satu Organisasi Internasional dalam menangani masalah tentara

anak di wilayah Myanmar.

Kontribusi Menjadi referensi bagi penelitian penulis serta membantu dalam

proses penyusunan penelitian tentang Peranan Organisasi

Internasional lainnya dalam kasus prekrutan tentara anak di

Myanmar.

4. Judul War is no Child‘s Play: Child Soldiers from Battlefield to

Playground.

Peneliti Lilian Peters as a child protection consultant with a special

interest in the plight of children in armed conflict.

Metode Penelitian Kualitatif

Hasil Terlepas dari semua perkembangan positif yang dilakukan

UNICEF untuk permasalahan perekrutan tentara anak, nyatanya

sejumlah anak masih direkrut dan digunakan untuk tujuan militer,

dan pelaku tidak bertanggungjawab. Jelas harus ada pembuatan

undang-undang, pengembangan program, dan pelatihan, untuk

penegakan hukum, implementasi, pemantauan dan pelaporan.

Sekretaris Jenderal PBB berpendapat : untuk pindah ke „era

aplikasi‟. Alat canggih untuk menjembatani kesenjangan antara

teori dan praktek adalah implementasi dari langkah-langkah

hukum internasional, ekonomi dan militer.

Perbedaan Perbedaan Penelitian ini adalah penelitian ini dijelaskan secara

jelas dan langsung oleh aktor yang ada didalam Organisasi

UNICEF sebagai organisasi internasional berhasil memberikan

bantuan dan menangani masalah tentara anak di beberapa wilayah

di dunia.

Konstribusi Menjadi referensi bagi penelitian penulis serta membantu dalam

proses penyusunan penelitian tentang peranan UNICEF dan aksi

yang dilakukan dalam penghentian perekrutan tentara anak di

dunia.

5. Judul Peran UNICEF dalam mengurangi perekrutan Child Soldiering di

Myanmar tahun 2010-2013.

Peneliti Agitha Mulyadi (Universitas Lampung)

27

Metode Penelitian Kualitatif

Target Penelitian Menjelaskan kondisi perekrutan tentara anak yang terjadi pada

tahun 2010-2013 di Myanmar. Dan menjelaskan pencapaian dan

tindakan yang dilakukan UNICEF dalam permasalahan tersebut.

Perbedaan Perbedaan Penelitian ini adalah penelitian ingin membuktikan

bahwa terdapat peranan dari UNICEF sebagai organisasi

internasional yang cukup signifikan dan berhasil memberikan

bantuan, mengurangi perekrutan tentara anak dalam menangani

masalah tentara anak di wilayah Myanmar (2010-2013). Rentan

waktu antara tahun 2010 sampai dengan 2013, dikarenakan mulai

adanya pergeseran pemerintahan yang dimulai pada tahun 2010

dimana terjadi pemilihan umum presiden yang berujung pada

pembubaran junta militer di negara tersebut pada tahun 2011 yang

mengakibatkan adanya perubahan kebijakan dalam penggunaan

tentara anak, serta dalam kurun waktu tersebut hingga tahun 2013

baik pemerintah Myanmar dan UNICEF sendiri telah melakukan

beberapa perjanjian dan tindakan nyata untuk melepaskan anak-

anak tersebut terkait dengan pengurangan pemakaian tentara anak

di Myanmar.

Konstribusi Menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya serta membantu

dalam proses penyusunan penelitian tentang Peranan UNICEF

khususnya permasalahan perekrutan tentara anak di Myanmar.

Note : Diolah sendiri oleh penulis dari berbagai Sumber.

2.2 Landasan Konseptual

Perspektif dalam penelitian ini adalah perspekrif pluralis atau pluralisme.

Ada empat asumsi dasar perspektif pluralis (Viotti, 2011 : 40). Pertama, bahwa

aktor non negara adalah adalah faktor utama dalam world politics dalam

hubungan internasional, seperti organisasi MNCs. Kedua, bahwa negara bukan

aktor tunggal. Dalam proses pengambilan kebijakan ada peran para birokrat,

kelompok kepentingan, dan individu-individu yang berusaha mempengaruhi

proses pengambilan kebijakan. Ketiga, negara bukanlah aktor rasional. menurut

kaum pluralis, proses pengambilan kebijakan luar negeri bukan proses rasional

melainkan proses sosial yaitu hasil perselisihan, tawar-menawar dan kompromi

28

antar aktor yang berbeda. Keempat, agenda politik internasional yang luas, tidak

lagi hanya persoalan ekonomi.

Isu-isu dalam hubungan internasional tidak lagi didominasi oleh isu politik

dan ekonomi. Dalam penulisan penelitian ini, kerangka teoritik yang penulis

gunakan untuk menjelaskan permasalahan adalah:

2.2.1 Teori Peran

Sebastian Harnisch menyatakan bahwa teori peran pertama kali muncul

dalam Analisa Politik Luar Negeri pada tahun 1970. Pada tahun tersebut para ahli

teori mulai mencoba untuk memastikan pola perilaku negara-negara dalam

struktur “bipolar” perang dingin seperti gerakan non-blok, sekutu dan satelit.

Sejak saat itu semakin banyak ahli teori peran yang berpendapat bahwa terdapat

perluasan peran sosial seperti pemimpin, mediator, insisiator dan kontra peran

seperti pengikut, aggressor dan lain-lain sebagai struktur sosial Hubungan

Internasional yang berkembang (Harnisch, 2011 : 7).

Para ahli berpendapat bahwa peran dalam hubungan internasional tidak

dapat dipandang atau diteorikan tanpa mengacu pada peran lain dan pengakuan

melalui masyarakat. Thies dan Andrews menyebutkan peran adalah posisi sosial

atau aktor yang diakui oleh sosial yang dibentuk oleh harapan sendiri yaitu ego

dan harapan orang lain (Harnisch, Role Theory : 8). Kemudian menurut Harnisch,

role expectation untuk aktor terorganisir seperti negara atau organisasi

internasional dapat bervariasi. Role expectation setiap orang berbeda sesuai

dengan ruang lingkupnya sehingga kewajiban merekapun menjadi berbeda.

Kemudian, menurut sebagian peneliti peran dan identitas saling berkaitan.

Identitas adalah bahwa lembaga atau kelompok mendefinisikan dirinya melalui

29

mata orang lain dan dihadapan masyarakat. Dalam hubungan internasional,

negara atau aktor-aktor yang lain memiliki peran yang dibentuk oleh identitas

organisasi mereka (Harnisch, Role Theory : 10-13). Konsep peran dalam

organisasi internasional adalah pada peran apa yang dimainkan oleh organisasi

dalam melakukan perubahan sistem internasional. Peran organisasi internasional

terbagi menjadi tiga: sebagai instrumen, arena dan aktor (Archer, 2001 : 65).

Peran sebagai instrumen berarti bahwa organisasi internasional digunakan

sebagai alat atau intrumen oleh anggotanya untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Peran sebagai arena adalah organisasi internasional sebagai suatu tempat atau

forum bagi dibuatnya kebijakan atau bagi diambilnya suatu tindakan. Terakhir

peran sebagai aktor yaitu organisasi internasional sebagai aktor independen dalam

sistem internasional (Archer, 2001 : 79).

UNICEF berperan sebagai aktor independen dalam sistem internasional

yang mampu mengupayakan perlindungan dan pencegahan dalam mengurangi

perekrutan tentara anak. Dalam memenuhi perannya UNICEF terbatas pada ruang

lingkup dan spesifikasi organisasi. Sehingga dalam melaksanakan kewajibannya

UNICEF mampu bekerjasama dengan pihak-pihak yang berkonflik karena

identitasnya sebagai organisasi internasional yang netral, tidak berpihak dan

mandiri.

2.2.2 Konsep Organisasi Internasional

Organisasi internasional merupakan suatu istilah dalam hubungan

internasional yang menunjukkan tentang adanya kerjasama pada beberapa negara

yang dibentuk melalui suatu gerakan organisasi, yang mana tujuannya bisa

bersifat umum maupun khusus. Clive Archer mendefenisikan organisasi

30

internasional sebagai sebuah struktur formal yang berkesinambungan, yang

pembentukannya didasarkan pada perjanjian antar anggota-anggotanya dari dua

atau lebih negara untuk mencapai tujuan bersama (Archer, 1983 : 55).

Organisasi Internasional yaitu UNICEF memiliki beberapa aturan dalam

menjalankan fungsi operasionalnya di suatu negara. Dalam menjalankan

perannya sebagai organisasi internasional tersebut, UNICEF juga memiliki

prinsip-prinsip dasar yaitu : (Grahame, 2004 : 8).

1. Mempertahankan hak-hak anak dan menuntut adanya kesetaraan gender serta

etika dimata dunia.

2. Menegaskan bahwa kelangsungan hidup, perlindungan dan perkembangan

anak adalah tujuan pembangunan universal yang berguna untuk memajukan

hidup dari manusia itu sendiri. Oleh karena itu, UNICEF banyak memberikan

perhatian terhadap permasalahan pendidikan anak didunia sekalipun.

3. Memobilisasi sumber daya antara kemauan pemerintah dan negara, khususnya

kemauan dari negara berkembang.

4. Memberikan komitmen penuh untuk memastikan perlindungan khusus bagi

anak-anak yang dirugikan oleh peperangan, kemiskinan, cacat, korban bencana

alam, dan segala bentuk kekerasan serta eksploitasi terhadap anak-anak.

5. Melalui Konvensi Hak Anak juga berusaha menegakkan hak-hak anak sebagai

prinsip etik dan standar internasional terhadap perilaku anak-anak. UNICEF

juga menegaskan bahwa kelangsungan hidup, perlindungan dan perkembangan

anak-anak merupakan pembangunan individu yang menjadi bagian integral

dari kemajuan manusia itu sendiri.

31

UNICEF dibentuk untuk memberi perlindungan dari ancaman kemiskinan,

kekerasan, penyakit, dan diskriminasi terhadap anak tanpa membedakan kelamin,

bahasa atau agama. Kemudian sejak pengadopsian konvensi hak-hak anak (the

Convention on the Rights of the Child, CRC) pada tahun 1989, UNICEF sering

kali menjadi mitra kritis terhadap pemerintah yang membiarkan pelanggaran

terhadap hak-hak anak. Dengan adanya konvensi tersebut, UNICEF memiliki

otoritas global untuk mempengaruhi para pengambil kebijakan, dan berbagai

mitra di tingkat dasar guna mewujudkan hak-hak setiap anak (www.unicef.org).

Terdapat lima fokus area atau bidang yang menjadi dasar dari segala

kegiatan yang dilakukan UNICEF, yaitu: (Verloren, 2009 : 23).

1. Kelangsungan Hidup dan Perkembangan Anak (Child Survival an

Development);

2. Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome

(HIV/AIDS) pada anak;

3. Pendidikan Dasar dan Kesetaraan Gender (Basic Education and Gender

Aquality);

4. Perlindungan Anak dari Kekerasan, eksploitasi dan Penyiksaan (Child

Protection from Violence, Exploitation, and Abuse);

5. Advokasi Kebijakan dan Persekutuan Hak Anak (Policy Advocacy and

Partnership for Children‗s Right).

Menurut W.W Biddle dan L. J. Biddle bahwa peran suatu lembaga

organisasi internasional dalam bentuk bantuan kepada pihak lain dapat dibedakan

sebagai berikut : (Biddle dan Biddle, 1965 : 215-218).

32

1. Peran sebagai motivator yang berarti suatu lembaga bertindak untuk

memberikan dorongan kepada masyarakat internasional untuk berbuat sesuatu

guna mencapai tujuan.

2. Peran sebagai komunikator, yang berarti suatu lembaga menyampaikan suatu

informasi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

3. Peran sebagai mediator, yang berarti suatu lembaga menjadi penengah atau

pihak yang menjembatani kedua belah pihak dalam membangun hubungan

yang baik.

2.2.3 Human Right

Secara harfiah hak asasi manusia (HAM) dapat dimaknakan sebagai hak-

hak yang dimiliki seseorang karena keberadaannya sebagai manusia. Hak-hak ini

bersumber dari pemikiran moral manusia, dan diperlukan untuk menjaga harkat

dan martabat suatu individu sebagai seorang manusia. Dengan kata lain, HAM

secara umum dapat diartikan sebagai hak-hak yang melekat pada diri segenap

manusia sehingga mereka diakui keberadaannya tanpa membedakan seks, ras,

warna kulit, bahasa, agama, politik, kewarganegaraan, kekayaan, dan kelahiran.

Menurut sistem PBB, dalam upaya pemajuan dan peningkatan HAM dikenal tiga

bidang utama yakni :

1. Upaya pembakuan standar internasional;

2. Kegiatan monitoring/pemantauan pelaksanaan HAM;

3. Jasa nasehat dan kerjasama teknik.

PBB melalui badan-badan bawahannya mempunyai peranan sentral dalam

pembakuan standar dengan mengesahkan berbagai instrument atau konvensi Hak

Asasi Manusia. Kegiatan pemantauan dilakukan untuk mengetahui sejauh mana

33

negara-negara anggota PBB memberikan jasa nasehatnya termasuk bantuan

kerjasama teknik dalam bentuk seminar, pelatihan dan penanganan secara khusus

beberapa kategori HAM. Dalam upaya pemantauan konvensi yang telah

diratifikasi oleh negara, terdapat enam badan pemantauan instrument, yakni :

1. Komite HAM : Memantau hak-hak sipil dan politik;

2. Komite Ekonomi dan sosial budaya : memantau pelaksanaan hak-hak tersebut;

3. Komite penghapusan segala bentuk diskriminasi: khusus memantau mengenai

segala bentuk diskriminasi;

4. Komite anti penyiksaan : memantau pelaksanaan konvensi anti penyiksaan;

5. Komite penghapusan diskriminasi wanita : memantau diskriminasi wanita;

6. Komite hak-hak anak : khusus memantau pelaksanaan konvensi hak-hak anak.

Selain itu masih terdapat mekanisme lainnya di PBB seperti dibentuknya

beberapa kelompok kerja dan pelapor khusus serta utusan khusus untuk

menangani masalah-masalah HAM tertentu menurut temanya atau negaranya.

Demikianlah sungguh luas dan beranekaragam hak-hak yang dimajukan,

dikembangkan, diawasi dan dilindungi oleh PBB dan beberapa badan khusus

demi tercapainya kehidupan umat yang harmonis, damai dan bersahabat.

Selain itu, prinsip tanggungjawab negara dalam kaitannya dengan

penegakan Hak Asasi Manusia diatur dalam Article 2 (1) International Covenant

on Civil and Political Rights dan Article 2 International Covenant on Economic,

Social and Cultural Rights yang berisi bahwa setiap negara wajib menjamin

kesamaan Hak untuk masyarakatnya tanpa adanya pembedaan ras, suku, agama,

usia, gender, dan lain-lain.

34

2.2.4 Hak Anak

Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,

dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan

negara. Hak anak tersebut mencakup non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi

anak, hak kelangsungan hidup, perkembangan dan penghargaan terhadap

pendapat anak (UU Perlindungan Anak Bab l Pasal l No.12 dan Bab ll Pasal 2).

Konvensi PBB, yang membahas menganai hak anak tahun 1989

mendefinisikan anak sebagai orang yang berusia di bawah 18 tahun. Semua orang

yang berada pada usia dibawah usia 18 tahun adalah anak-anak, menurut

UNICEF (Sirait, 2010 : 40). Pada konvensi hak-hak anak yang termasuk dalam

PBB, UNICEF sebagai organisasi internasional memiliki misi yang berpanutan

pada konvensi hak-hak anak tersebut. Konvensi tersebut memiliki 4 prinsip dasar

hak-hak yang harus dipenuhi yaitu :

1. Hak untuk kelangsungan hidup, dimana hak ini merupakan hak untuk

mendapatkan kehidupan yang layak, serta mendapat akses dalam hal

pelayanan kesehatan. Anak-anak dalam hal ini berarti berhak mendapatkan

gizi yang baik, tempat tinggal yang layak, dan layanan kesehatan yang

memadai.

2. Hak untuk mengembangkan diri, dalam hal ini termasuk juga hak untuk

mendapatkan pendidikan, informasi, kreatifitas seni dan budaya. Hak ini juga

berlaku bagi mereka yang cacat, serta mereka juga berhak mendapat perhatian

dan pendidikan khusus penyandang cacat.

3. Hak untuk berpartisipasi, dalam hal ini termasuk juga hak untuk berpendapat,

berorganisasi, dan berkelompok. Anak-anak dapat dengan bebas dan berani

35

mengungkapkan pendapat, serta keinginan mereka tanpa adanya pihak yang

menekan, baik dari orangtua atau pihak manapun.

4. Hak untuk mendapat perlindungan, dimana perlindungan tersebut berlaku

dalam segala bentuk, seperti eksploitasi, diperlakukan secara kejam,

membahayakan, dan diperlakukan tidak adil secara hukum.

Dari ke empat prinsip hak-hak dasar pada anak yang harus dipenuhi dan

tercantum dalam konvensi PBB, terlihat pada poin keempat mengenai hak anak

atas perlindungan juga merupakan sesuatu hal yang wajib dan harus didapatkan

semua anak.

Dalam Konvensi Hak-Hak Anak terdapat empat prinsip umum. Prinsip-

prinsip ini dimaksudkan untuk membentuk interpretasi atas Konvensi ini secara

keseluruhan, dan dengan demikian memberikan arahan bagi program penerapan

dalam lingkup nasional. Empat prinsip dasar dari Konvensi ini diatur dalam Pasal

2, 3, 6, dan 12.

1. Non Discrimination (Pasal 2) artinya semua hak yang diakui dan terkandung

dalam CRC harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun.

Prinsip ini merupakan pencerminan dari prinsip universalitas Hak Asasi

Manusia;

2. Best Interest of The Child (Pasal 3) artinya bahwa dalam semua tindakan yang

menyangkut anak, maka yang terbaik bagi anak haruslah menjadi

pertimbangan yang utama.

3. Survival and Development (Pasal 6) artinya bahwa hak hidup yang melekat

pada setiap anak harus diakui dan bahwa Hak Anak atas kelangsungan hidup

dan perkembangannya harus dijamin.

36

4. Respect for The Views of The Child (Pasal 12) artinya bahwa pendapat anak,

terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu

diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan (Eddyono, 2015 : 12).

2.1.5 Konsep Tentara Militer

Secara harfiah militer berasal dari kata Yunani, dalam bahasa Yunani

adalah orang yang bersenjata siap untuk bertempur, orang-orang ini terlatih dari

tantangan untuk menghadapi musuh, sedangkan ciri-ciri militer sendiri

mempunyai organisasi teratur, pakaiannya seragam, disiplinnya tinggi, mentaati

hukum yang berlaku dalam peperangan. Apabila ciri-ciri ini tidak dimiliki atau

dipenuhi, maka itu bukan militer, melainkan itu suatu gerombolan bersenjata

(Salam, 2006 : 13). Secara Universal tentara militer profesional sendiri memiliki

beberapa ketentuan dan persyaratan baik mengenai usia, kondisi fisik dan mental.

Militer menurut Amiroeddin Syarif adalah orang yang dididik, dilatih dan

dipersiapkan untuk bertempur. Karena itu bagi mereka diadakan norma-norma

atau kaidah-kaidah yang khusus, mereka harus tunduk tanpa reserve pada tata

kelakuan yang ditentukan dengan pasti dan pelaksanaannya diawasi dengan

sangat ketat. Angkatan Militer memiliki peran yang sangat penting dalam sebuah

negara. Keamanan sebuah negara selalu berbanding lurus dengan kekuatan

angkatan militer negara tersebut. Oleh karena itu semua negara akan berupaya

semaksimal mungkin untuk menjadikan angkatan militernya menjadi benteng

pertahanan terkuat dibanding negara lain untuk memastikan keamanan negara

mereka masing-masing dalam keadaaan aman dan terlindungi dari berbagai

macam ancaman baik internal maupun eksternal. Dengan ketentuan dan basis

perekrutan yang telah disepakati tiap masing-masing negara.

37

2.2.6 Konsep Tentara Anak

Tidak ada definisi yang pasti tentang tentara anak, namun terdapat

kesepahaman bersama yang juga ditulis oleh The Coalition to Stop the Use of

Child Soldier bahwa tentara anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18

tahun yang menjadi anggota atau dipekerjakan untuk tentara pemerintahan atau

kelompok bersenjata lainnya, baik tentara regular maupun non-ragular

(Geneva, 1946 : 9). Tentara anak atau Child Soldier didefinisikan sebagai

seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang menjadi anggota atau bekerja

dalam satuan prajurit atau tentara pemerintah maupun kelompok ilegal dalam

keadaan ada maupun tidak ada konflik bersenjata (www.child-soldiers.org).

Batasan usia tersebut mengacu pada konvensi Hak Anak tahun 1989 yang

mendifinisikan anak sebagai manusia yang berusia di bawah 18 tahun. Meskipun

tidak dinyatakan secara tegas, tetapi di CRC dinyatakan bahwa ketidakmatangan

jasmani dan mental bagi manusia di bawah usia 18 tahun memerlukan

pengamanan dan pemeliharaan khusus. Eben Kaplan menulis :

---The United Nations International Children‗s Fund (UNICEF)

defines child soldiers as any child-boy or girl-under eighteen years

of age, who is part of any kind of regular or irregular armed force

or armed group in any capacity." This age limit is relatively new,

established in 2002 by the Optional Protocol to the Convention

on the Rights of the Child. Prior to 2002, the 1949 Geneva

Conventions and the 1977 Additional Protocols set fifteen as the

minimum age for participation in armed conflict. While some

debate exists over varying cultural standards of maturity, nearly

80 percent of conflicts involving child soldiers include combatants

below the age of fifteen, with some as young as seven or eight

(Kaplan, 2005 : 214).

The United Nations International Children‗s Fund mendefinisikan tentara

anak seperti anak-anak laki-laki atau perempuan di bawah 18 tahun, yang

38

merupakan bagian dari jenis angkatan bersenjata reguler atau tidak teratur atau

kelompok bersenjata dalam kapasitas apapun. Batasan umur ini didirikan pada

tahun 2002 oleh Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak. Sebelum tahun

2002, konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 menetapkan 15 tahun

sebagai usia minimum untuk partisipasi dalam konflik bersenjata. Sementara

beberapa perdebatan ada yang menjelaskan bahwa lebih dari berbagai standar

budaya kematangan, hampir 80 persen dari konflik yang melibatkan tentara anak-

anak termasuk kombatan di bawah usia 15 tahun, dengan beberapa diantaranya

berusia 8 tahun (Cohn dan Goodwin, 1994 : 121).

Menurut penelitian Singer terdapat perbedaan antara pendaftaran dan wajib

militer, termasuk kapasitas seorang anak yang setuju untuk bergabung dengan

angkatan bersenjata. Meskipun ada yang berpendapat bahwa anak-anak dapat

membuat keputusan yang rasional karena didasarkan pada tujuan untuk

berlindung, tetapi meniadakan unsur pilihan lainnya seperti adanya tekanan

secara sosial politik, ekonomi dan budaya yang tidak dapat dikesampingkan

(McBrinde, 2014 : 7). Selain itu, Davison juga menambahkan “The idea that

children would volunteer to participate in armed conflict, subjecting

themselves to the horrific treatment most child soldiers receive from their

superiors, is nearly unimaginable‖ (Asser, 2013 : 7).

Berdasarkan kutipan tersebut, dapat dikatakan bahwa anak-anak yang

secara sukarela direkrut sebagai tentara merupakan pengaruh manipulasi

yang memanfaatkan ketidakdewasaan dan keingintahuan mereka. Sedangkan

Menurut Asian Human Rights Correspondence (AHRC), beberapa faktor

penyebab meningkatnya penggunaan tentara anak, yaitu:(www.child-soldiers.org)

39

1. Tentara yang berusia muda lebih mematuhi perintah dan lebih takut pada

atasan, sehingga memudahkan kontrol dan mobilisasi oleh kelompok

bersenjata.

2. Penyebaran senjata ringan otomatis yang meningkatkan partisipasi anak–anak

dalam pertempuran.

3. Meskipun sejumlah anak dipaksa menjadi tentara atau prajurit, sejumlah anak

secara sukarela bergabung dalam tentara reguler maupun kelompok bersenjata.

Terutama anak-anak yang berasal dari keluarga yang kekurangan.

4. Represi yang kuat sehingga memaksa anak–anak dalam wilayah konflik untuk

bergabung dalam kelompok bersenjata. Sejumlah anak bergabung dalam

rangka mencari perlindungan dari kelompok bersenjata dan arena propaganda

kemenangan dalam pertempuran.

5. Akar dari permasalahan konflik bersenjata yang dapat menyebabkan, dan

meningkatkan intensitas tentara anak. Yang terdiri dari beberapa variabel

antara lain : kemiskinan, kesenjangan ekonomi, toleransi yang rendah,

diskriminasi, militerisasi masyarakat, dan lain–lain.

40

2.3 Bagan Kerangka Pikir

KONFLIK MYANMAR

1. INTERNAL POLITIK

2. ETNIS

PELANGARAN HAM

· Serangan Terhadap Warga Sipil dan Pemukiman

Penduduk

· Pemerkosaan dan Pelecehan Seksual

· Pembunuhan Masal

· Penyiksaan

· Penculikan dan Perekrutan Anak-anak sebaai

tentara

Peran UNICEF

· Peran Motivator

· Peran Komunikator

· Peran Mediator

Gambar 3. Kerangka Pikir

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif kualitatif yang

menitikberatkan pada analisis terhadap interpretasi data relevan atas isu yang

diteliti. Penelitian deskriptif kualitiatif yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan data yang didapatkan melalui sumber dokumen, situs resmi Negara

Myanmar www.myanmar.com/gov maupun situs resmi organisasi UNICEF

www.unicef.org jurnal dan website yang relevan www.child-soldiers.org yang

dideskripsikan dalam penjabaran paragraf. Penelitian kualitatif menekankan pada

pemahaman mendalam mengenai sikap dan perilaku (Creswell, 2014 : 12).

Dalam penelitian ini penulis menginterpretasikan informasi yang diperoleh

melalui variabel yang diteliti. Seperti penelitian kualitatif pada umumnya,

penelitian ini juga bersifat induktif, dimana peneliti menarik kesimpulan umum

dari pernyataan yang sesuai dengan topik yang relevan. Namun, dalam penarikan

kesimpulan yang diambil peneliti mempertimbangkan konsep dan teori yang

digunakan sebagai pertimbangan. Dalam hal ini peneliti tidak mencoba untuk

menguji hipotesis, namun akan mencoba mendeskripsikan informasi dari data

yang diperoleh dengan variabel yang diteliti.

42

3.2 Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada Peran Motivator, Peran Komunikator, Peran

Mediator yang dilakukan UNICEF sebagai organisasi internasional dan kebijakan

pemerintah Myanmar yang berpengaruh terhadap permasalahan perekrutan

tentara anak di Myanmar. UNICEF menggunakan pendekatan intervensi non-

militer dan mengedepankan tindakan preventif. Hal tersebut dapat terlihat ketika

organisasi internasional ini hanya menjalankan perannya tanpa menggunakan

instrumen-instrumen kekerasan militer. Tujuan utama UNICEF mengintervensi

Myanmar adalah untuk menyelamatkan dan melindungi korban selamat terutama

anak-anak dari sebuah tragedi kemanusiaan serta memberi jaminan atas HAM.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Data dalam penelitian dapat dibagi menjadi dua, yaitu data primer dan data

sekunder (Creswell, 2002 : 35). Data primer merupakan data yang berasal dari

sumber utama dari informan, misalnya dari wawancara. Sedangkan penelitian ini

menggunakan hasil analisis data sekunder yang didapatkan melalui buku, jurnal,

publikasi resmi maupun penelitian sebelumnya yang relevan dengan topik yang

dibahas. Sumber data yang akan digunakan dimulai sejak tahun 2010 dimana

pada tahun tersebut terdapat penurunan jumlah perekrutan tentara anak di

Myanmar. Sumber data dalam penelitain ini ada dua macam, yaitu :

1. Data Primer. Data primer atau data yang pertama adalah data yang langsung

diperoleh dari sumber data pertama di lokasi penelitian atau obyek penelitian

(Bungin, 2006 : 132). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

kualitatif yang diperoleh dari informan yang secara langsung memberikan data

kepada peneliti. Pertama peneliti mengirimkan email permohonan penelitian

43

dengan pihak UNICEF for Myanmar, melaui Email resmi yaitu

[email protected], yang kemudian mendapat balasan dari staf dan diteruskan

pada Ms. Noriko Izumi selalu Chief Child Protection UNICEF for Myanmar.

Setelah mendapat jawaban dari Ms. Noriko, peneliti di sambungkan dan

dikirimkan identitas dan kontak informan yaitu Mr. Ramesh Sheresta.

Bertepatan langsung dengan kegiatan Mr. Ramesh untuk datang ke Indonesia

dalam rangka Forum, akhirnya Informan yaitu Mr. Ramesh diwawancara dan

diobservasi langsung oleh peneliti di kantor UNICEF di Jakarta.

2. Data Sekunder. Data sekunder adalah data yang telah terlebih dahulu

dikumpulkan dan dilaporkan oleh orang atau instansi luar dari penelitian

sendiri, dan yang dikumpulkan itu sesungguhnya merupakan data asli

(Pandutika, 2006 : 68). Data sekunder dalam penelitian ini melalui sumber

dokumen, situs resmi Negara Myanmar www.myanmar.com/gov maupun situs

resmi organisasi UNICEF www.unicef.org jurnal dan website yang relevan

www.child-soldiers.org yang dideskripsikan dalam penjabaran paragraf.

Peneliti juga membaca Buku “No Child At All‖ A Report about Child Soldiers

in Burma, buku ―My Gun Was As Tall As Me: Child soldier in Burma‖,

Maupun buku ―Sold to Be Soldiers : The Recruitment and Use of Child

Soldiers in Burma‖.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data secara dokumentasi

dan juga wawancara, upaya mengumpulkan data dan informasi yang relevan dari

data primer dan data sekunder. Peneliti mencari dan pengumpulkan data yang

relevan berdasarkan kronologi waktu sehingga akan menimbulkan urutan dan

44

menunjukkan kejadian yang kronologis dan sistematis sehingga segala program

dan proyeksi kejadian di masa yang akan datang akan dapat diprediksi.

Terkait dengan fenomena peran UNICEF dalam menangani kasus

perekrutan tentara anak di Myanmar. Adapun tempat yang peneliti gunakan

sebagai tempat untuk mencari data-data tersebut yaitu peneliti mendatangi

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta, Perpustakaan Pusat

Universitas Lampung, Ruang Baca Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Lampung, juga mencari Artikel dan Jurnal Ilmiah. Dan dalam

pengumpulan data primer peneliti melakukan wawancara secara langsung dengan

Mr. Ramesh Sheresta selaku perwalikan dari UNICEF for Myanmar di kantor

UNICEF for Indonesia yang terletak di Jakarta Pusat.

3.5 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara interaktif. Menurut

Sugiyono, aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan

berlangsung secara terus menerus sampai selesai. Maksudnya, dalam analisis data

peneliti ikut terlibat langsung dalam menjelaskan dan menyimpulkan data yang

diperoleh dengan mengaitkan teori yang digunakan (Sugiyono, 2010 : 246).

Dalam penelitian kualitatif terdapat beberapa langkah analisis data (Miles dan

Huberman, 1994 : 10-12) analisis data kualitatif terbagi menjadi tiga langkah,

yaitu : (Walliman, 2011 : 131).

1. Reduksi data. Reduksi data merupakan suatu proses pemilihan, pemusatan

perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data awal

yang muncul dari catatan tertulis. Reduksi data merupakan suatu analisis yang

mempertajam, memilih, memfokuskan, membuang, serta menyusun data-data

45

dengan suatu cara untuk dapat menarik kesimpulan atau digambarkan dan

diverifikasi (Sugiyono, 2014 : 247). Peneliti mengumpulkan data mengenai

perekrutan tentara di dunia secara umum, khususnya pada negara Myanmar.

Peneliti mencari data melalui laporan dari Pemerintah Myanmar, PBB,

UNICEF, dan data resmi yang ada di internet untuk mencari jawaban yang

sesuai dengan penelitian. Peneliti hanya membuang data yang tidak sesuai

dengan fokus penelitian yang akan diteliti.

2. Penyajian Data (Data Display). Pada tahap ini, penulis menyajikan data yang

dapat berupa asumsi, konsep, definisi, maupun sebuah deksripsi informasi

yang tersusun untuk menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan

selanjutnya. Peneliti mendeskripsikan informasi yang telah diklasifikasikan

sebelumnya mengenai persepsi pemustaka kemudian diolah dan yang disajikan

dalam bentuk teks naratif. Peneliti melakukan pengumpulan data yang telah

didapatkan melalui reduksi data kemudian disajikan dalam bentuk tabel

dengan tujuan untuk menggabungkan data yang telah tersusun. Peneliti

mengolah data tersebut dengan mengunakan konsep yang relevan.

3. Pengambilan Kesimpulan (Conclusion). Penulis menarik kesimpulan dan dari

setiap data yang digunakan. Dalam tahap ini, penulis menarik simpulan dari

data yang telah ditelaah untuk menjawab pertanyaan dari rumusan masalah.

BAB IV

GAMBARAN UMUM

4.1 Pengertian UNICEF

UNICEF adalah sebuah organisasi internasional di bawah naungan PBB

(Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang bergerak di bidang kesehatan dan gizi, air dan

kebersihan lingkungan, perlindungan, serta pendidikan dan HIV/AIDS dalam

rangka bantuan kemanusiaan pasca perang dunia II, yang mengkhususkan pada

bantuan kemanusiaan anak-anak yang ada di dunia (Basic Fact about the United

Nations, 2011 : 36). UNICEF didirikan oleh majelis umum PBB pada tanggal 11

Desember 1946 (www.unicef.org). Perlindungan Anak merupakan permasalahan

setiap negara dan salah satu prioritas untuk UNICEF. Semua anak mempunyai hak

untuk dilindungi dari berbagai pelanggaran.

UNICEF melakukan tugasnya dengan aturan normatif internasional yang

ada berdasarkan keputusan PBB dan tentu saja dengan kerjasama dengan negara

bersangkutan baik dalam keadaan krisis maupun dalam keadaan stabil dengan

melakukan upaya-upaya pencegahan agar anak-anak dapat terlindungi dengan

baik. Permasalahan terkait anak dan wanita sudah berlangsung semenjak lama di

seluruh dunia, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang. Inisiatif dari

PBB untuk mendirikan UNICEF merupakan jawaban atas keresahan tersebut.

Pada awal masa pembentukannya, UNICEF berfokus pada pertolongan terhadap

anak-anak serta wanita yang menjadi korban yang membuat banyak dari mereka

49

kehilangan tempat tinggal serta keluarga yang diakibatkan dari kebrutalan perang.

UNICEF yang bukan lembaga non-profit mendapat suntikan dana dari badan lain

PBB dan organisasi internasional yang memiliki tujuan yang sama, yakni untuk

meningkatkan kesejahteraan anak-anak pada masa itu.

UNICEF merupakan kepanjangan tangan dari PBB yang fokus pada anak-

anak di seluruh dunia dan bekerja untuk menyelesaikan masalah-masalah seperti

kekerasan terhadap anak, perdagangan anak hingga eksploitasi anak. UNICEF

mendukung gagasan bahwa seorang anak harus memiliki masa depan yang kuat,

maka mereka membutuhkan kualitas di awal pertumbuhan mereka. Semenjak saat

itu gagasan lain mengenai cara-cara perlindungan terhadap anak-anak mulai

dilakukan termasuk diantaranya mendirikan suatu lembaga khusus yang khusus

menangani anak-anak. Salah satu agenda UNICEF dalam upayanya

menyelesaikan permasalahan kekerasan, perdagangan dan eksploitasi anak adalah

kasus perekrutan tentara anak di Myanmar. maka dari itu UNICEF menjadi aktor

penting yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut.

4.2 Fungsi UNICEF

UNICEF sangat peduli dengan kaum anak-anak dan melihat situasi anak-

anak dari tiap negara berbeda-beda karena kesejahteraan antara anak-anak di

negara berkembang sangat berbeda dengan kesejahteraan anak-anak di negara

maju. Hal-hal ini selalu berkaitan baik dengan sistem pemerintahan dan sistem

perekonomian negara bersangkutan. Oleh karena itu, kesejahteraan anak-anak di

negara berkembang lebih mendapatkan perhatian khusus dari UNICEF agar dapat

melakukan kerjasama-kerjasama dengan berbagai pihak guna mendapatkan

keseimbangan dalam menangani masalah seputar anak (Grahame, 2004 : 8).

50

4.2.1 Fungsi UNICEF Secara Umum

UNICEF adalah sebuah organisasi anak perusahaan dari PBB yang didirikan

setelah berakhirnya Perang Dunia II, pada bulan Desember 1946. Di awal

berdirinya, tujuan utama organisasi ini adalah untuk memberikan pertolongan

berupa perawatan kesehatan yang layak dan makanan untuk anak-anak dan

perempuan yang ada di dunia. UNICEF memiliki beberapa fungsi, yaitu

penyediaan infrastruktur pendidikan dasar untuk anak di seluruh dunia,

meningkatkan tingkat hidup anak di negara-negara berkembang, kesetaraan

gender melalui pendidikan bagi anak perempuan, perlindungan anak-anak dari

segala bentuk kekerasan, eksploitasi dan pelecehan, melindungi dan advokasi hak

anak, imunisasi bayi dari berbagai penyakit, pemberian vaksin dan penyediaan

gizi yang memadai serta air minum yang aman dan steril. Sebagai organisasi di

bawah naungan PBB yang berkonsentrasi terhadap permasalahan anak, UNICEF

menjalankan fungsinya diantaranya : (Maddocks, 2004 : 15).

1. Memberi pengarahan dan pemecahan masalah bagi negara-negara yang

menghadapi kasus tentara anak.

2. Memberi masukan dan bantuan bagi rencana dan penerapan kebijakan

kesejahteraan anak, baik berupa dana maupun tenaga.

3. Mendukung pelatihan bagi para pekerja sosial UNICEF di seluruh dunia demi

tercapainya tujuan UNICEF.

4. Melakukan koordinasi dan memantau pemberian bantuan baik dalam skala

kecil maupun besar untuk metode yang lebih baik.

5. Mengorganisir proyek-proyek yang sifatnya lebih luas.

51

6. Bekerjasama baik dengan negara maupun lembaga internasional lain

dalam hal pemberian bantuan bagi negara yang membutuhkan.

Melakukan berbagai riset mengenai pengembangan, analisis situasi hingga

pemberian bantuan tepat sasaran kepada anak-anak dan wanita adalah fungsi

sentral dari mandat UNICEF. Ini adalah output program yang sangat mendukung

upaya peningkatan kesejahteraan dalam negeri dan lembaga ini adalah bagian dari

upaya yang dilakukan PBB untuk mendukung kapabilitas suatu negara sebagai

tujuan meningkatkan pembentukan manusia dan dapat memenuhi hak asasi tiap

warga negara tersebut. Pengkajian dan analisis diharapkan dapat menunjukkan

kondisi anak apakah sudah memenuhi standar kelayakan seperti yang telah

ditetapkan oleh PBB atau belum, apabila belum memenuhi maka UNICEF

sebagai kepanjangan tangan dari PBB diharapkan mampu untuk mencari jalan

keluar atau memberikan solusi yang dapat diambil terkait dengan kasus yang

dihadapi oleh masing-masing negara bersangkutan yang beberapa di antaranya

dapat didukung oleh PBB (Child and Women analytical center).

Selain menjalankan fungsinya, UNICEF juga memiliki tujuan, yaitu

membantu anak-anak dan kaum perempuan di seluruh dunia yang paling

membutuhkan pertolongan dalam krisis kemanusiaan. Sebagai salah satu

organisasi internasional yang secara khusus memberikan perhatian terhadap anak-

anak, untuk menyediakan kebutuhan hidup bagi jutaan anak-anak lahir dalam

kemiskinan di daerah termiskin di negara berkembang.

UNICEF memberikan kebutuhan terbaik bagi anak-anak untuk hidup,

seperti mengirim anak-anak ke sekolah, memastikan bahwa semua anak

diimunisasi dan bergizi baik, mencegah penyebaran HIV/AIDS di kalangan muda,

52

melibatkan semua orang dalam menciptakan lingkungan protektif bagi anak-anak,

serta mencapai kesetaraan bagi mereka yang didiskriminasi terutama pada

perempuan (Maddocks, 2004 : 6).

4.2.2 Fungsi UNICEF Dalam Kasus Tentara Anak di Myanmar

Semenjak masuknya UNICEF pada tahun 2004 di Myanamr, permasalahan

tentara anak belum bisa diatasi secara maksimal, hal ini mengakibatkan UNICEF

hanya bisa mengintervensi secara perlahan dan belum mendapatkan hasil yang

signifikan. UNICEF sendiri pada awalnya dapat masuk ke Myanmar dikarenakan

adanya bencana alam yang menerjang negara tersebtu dan UNICEF menjadi salah

satu agen Organisasi Internasional yang ditugaskan untuk membantu memberikan

bantuan berupa tenda dan obat-obatan di Myanmar.

Pada tahun 2008, kembali terjadi bencana alam yang menimpa Myanmar,

pada saat itulah UNICEF kembali memberikan bantuan berupa persediaan

makanan, obat-obatan dan tenda pada tahun tersebut UNICEF sudah mulai dapat

merangkul pemerintah Myanmar untuk dapat meningkatkan kesejahteraan

terhadap anak-anak di negara tersebut dalam berbagai bidang. Diantaranya dalam

bidang kesehatan, pendidikan dan pembuatan sarana kesehatan, dan lain-lain

(Maddocks, 2004 : 4).

Di tahun yang 2010, UNICEF menjalankan fungsinya sebagai advokat

dengan mengusulkan pada pemerintah Myanmar dengan cara membuat Country

Programme untuk mendukung dan menindaklanjuti adanya peningkatan

kesejahteraan anak-anak di Myanmar itu sendiri. Secara garis besar Country

Programme berisikan tentang kontribusi terhadap realisasi dengan penekanan

terhadap anak-anak secara umum dalam hal kesehatan dan pendidikan.

53

Pada tahun 2012 UNICEF kembali menjalankan fungsinya dengan

mengajak pemerintah Myanmar untuk bekerjasama dalam upayanya

menghentikan penggunaan tentara anak di Myanmar. Kerjasama ini dinamakan

Joint Action Plan, dimana dalam Joint Action Plan tersebut baik UNICEF

maupun pemerintah Myanmar berdedikasi untuk menghentikan baik praktek

penggunaan tentara anak baik oleh tatmadaw selaku junta militer Myanmar, juga

oleh kelompok-kelompok separatis yang juga menggunakan anak-anak di bawah

umur sebagai prajuritnya. Dalam Joint Action Plan tersebut juga merupakan

realisasi nyata dari pemerintah Myanmar untuk mencegah adanya perekrutan

terhadap anak-anak yang akan dimasukkan ke dalam kesatuan militer di masa

yang akan datang.

4.3 Tugas UNICEF

Tugas UNICEF menyediakan bantuan darurat bagi anak-anak setelah

Perang Dunia II. Sumber dana digunakan untuk kebutuhan darurat anak-anak di

Eropa dan Cina paska perang berupa pengadaan pangan, obat-obatan, sandang dan

pakaian. UNICEF adalah salah satu badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa

yang memberikan pelayanan teknis, pembangunan kapasitas, advokasi,

perumusan kebijakan, dan melakukan promosi isu-isu mengenai anak. Selama

lebih dari 60 tahun, UNICEF memainkan peranan penting dalam membantu

pemerintah memajukan hidup anak-anak dan wanita (Maddocks, 2004 : 6).

4.3.1 Tugas UNICEF Secara Umum

Pada bulan Desember 1950, Sidang Umum mengubah mandat UNICEF

untuk menanggapi kebutuhan yang tidak terungkap tetapi sangat mendesak dari

54

sekian banyak anak yang tak terhitung jumlahnya di negara-negara berkembang.

Untuk memenuhi mandatnya, UNICEF berkerjasama dengan badan PBB lainnya,

yang memiliki beberapa misi, antara lain: (Child and Women health issue).

1. Menciptakan situasi dunia yang sehat

2. Mengentaskan kemiskinan dan kekurangan gizi

3. Mengentaskan buta huruf dan berusaha agar anak-anak mendapatkan

pendidikan dasar.

4. Menciptakan suatu lingkungan fisik, sosial, dan psikologis yang baik untuk

pertumbuhan dan perkembangan anak.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

UNICEF sangat berfokus pada kesejahteraan masyarakat, khususnya anak-anak di

seluruh belahan dunia. Dengan menjalankan fungsi dan tugas tersebut, UNICEF

terus mengupayakan adanya standar kehidupan yang lebih baik lagi bagi anak-

anak di seluruh dunia, tidak hanya dalam bidang kesehatan namun juga dari segi

pendidikan dan ekonomi.

4.3.2 Tugas UNICEF Dalam Kasus Tentara Anak di Myanmar

Realisasi tugas UNICEF terhadap kasus tentara anak di Myanmar dapat

dilihat dari berjalannya Joint Action Plan yang dilakukan baik oleh UNICEF

maupun pemerintah Myanmar itu sendiri. Selain Joint Action Plan, UNICEF juga

menjalankan tugasnya untuk mensejahterakan kehidupan anak-anak. Kaitannya

dengan tentara anak ialah dengan melaksanakan program DDR (Disarmament,

Demobilization dan Reintegration). Dimana dalam program DDR tersebut

UNICEF turun langsung ke kamp-kamp militer, baik milik tatmdaw maupun

55

milik kelompok separatis yang menggunakan anak-anak sebagai prajurit di

kesatuan militernya.

Program DDR merupakan suatu operasi yang sudah dilakukan oleh

UNICEF di banyak negara-negara yang memiliki kasus serupa, yakni penggunaan

anak-anak sebagai tentara. Diantaranya, Kolombia, Nepal, Sudan Selatan, Kongo,

dan India. Yang berbeda adalah untuk kasus di Myanmar UNICEF tidak

membentuk suatu badan khusus seperti apa yang telah mereka lakukan di

beberapa negara yang disebutkan diatas. Untuk Nepal, UNICEF sengaja

membentuk UNMIN (United Nations Mission in Nepal) dan UNMISS (United

Nations Mission in South Sudan). Dimana kedua badan tersebut dibentuk oleh

UNICEF untuk menangani permasalahan tentara anak di negara tersebut.

Sementara untuk kasus penggunaan tentara anak di Myanmar, UNICEF mengajak

pemerintah Myanmar itu sendiri yang berupa Joint Action Plan sebagai bentuk

kerjasama sebagai bukti keseriusan pemerintahan Myanmar untuk menyelesaikan

kasus tentara anak di negaranya.

4.4 Program Kerja UNICEF

Setiap organisasi yang dibentuk memiliki program kerjanya masing-masing

sesuai dengan fungsi dan tujuan yang hendak dicapai oleh organisasi tersebut.

Dalam hal ini UNICEF sebagai organisasi yang fokus pada kesejahteraan anak

memiliki program kerja untuk meningkatkan kesejahteraan anak-anak yang

berada di seluruh dunia (Beigbeder, 2001 : 5). Secara rinci, program kerja yang

dilakukan disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi di negara-negara

tertentu meskipun tujuan yang hendak dicapai adalah sama. Namun pendekatan

yang dilakukan harus disesuaikan dengan yang terjadi di lapangan dan juga untuk

56

menghindari adanya konflik dengan pihak-pihak tertentu. Khususnya dalam hal

ini yang terjadi di Myanmar, untuk menjalankan program kerjanya, UNICEF

selain memiliki programmnya sendiri, mereka juga mengajak pemerintah

Myanmar untuk turun langsung mengatasi permasalahan anak-anak di negara

tersebut. Mulai dari kesehatan dan pendidikan anak yang sifatnya umum, hingga

permasalahan tentara anak yang menjadi isu panas dan menjadi tujuan utama bagi

UNICEF di negara tersebut.

4.4.1 Program Kerja UNICEF Secara Umum

UNICEF bertugas untuk memberi serta mengupayakan solusi terbaik di

negara-negara yang membutuhkan. Sebelumnya, UNICEF dibentuk dengan tujuan

untuk menyediakan bantuan darurat dan memberikan bantuan pelayanan

kesehatan kepada korban selama perang dunia II. Kemudian UNICEF

berkembang menjadi advokat global untuk melindungi dan mempromosikan

HAM, terutama anak-anak dan wanita dengan merubah standar kualitas anak-anak

di setiap belahan dunia. Seiring dengan berjalannya waktu, kesejahteraan anak di

negara-negara berkembang sering diabaikan dan bahkan dalam prakteknya sering

kali seorang anak tidak mendapatkan hak-haknya. Hal tersebut yang mendorong

UNICEF untuk memperluas gerakannya dalam menjalankan fungsinya sebagai

organisasi perlindungan hak-hak anak internasional.

Terjadi banyak kasus kekerasan, kekerasan terhadap anak dapat terdiri dari

berbagai bentuk kekerasan fisik, seperti memukul, menendang, hingga pelecehan

seksual. Adapun kekerasan mental seperti bentuk ancaman hingga intimidasi juga

dialami oleh anak-anak. UNICEF bekerja untuk membantu anak-anak baik yang

masih memiliki orang tua, mereka yang terpisah dari keluarganya hingga anak-

57

anak tanpa keluarga. UNICEF memberikan dukungan berupa sistem asuh, dan

mencari alternatif untuk lembaga impersonal besar dimana anak-anak sering

mengalami kondisi tanpa pengawasan, kehilangan kasih sayang, dan menerima

perlakuan disiplin yang terlalu keras. UNICEF juga bekerja sama dengan

pemerintah untuk membuat mereka menyadari situasi krisis yang melibatkan anak

yatim dan anak-anak yang rentan lainnya. Kemudian mengamankan komitmen

mereka untuk mendanai pelayanan dan pusat perawatan bagi anak-anak tanpa

pengasuhan.

4.4.2 Program Kerja UNICEF di Myanmar

UNICEF telah bekerja di Myanmar secara berkelanjutan sejak tahun 1950.

Dalam kurun waktu yang cukup lama tersebut, UNICEF terus berupaya untuk

melindungi anak-anak di Myanmar meskipun keadaan politik dan ekonomi yang

tidak menentu. UNICEF berkomitmen untuk membangun dunia yang lebih baik

melalui perlindungan hak-hak anak dan menjaga mereka dari hal-hal yang tidak

diinginkan. UNICEF menggunakan ranah kebijakan dalam mengadvokasi, sebagai

penasehat teknikal, pendonor dan mitra pembangunan. Sebagai advokat, UNICEF

bekerja untuk meningkatkan perhatian terhadap isu penting dan menyuarakannya

secara konsisten untuk melindungi hak-hak anak.

Ketika suatu isu telah mendapatkan perhatian dunia, UNICEF akan

berfungsi sebagai mitra teknikal yang secara langsung mempengaruhi proses

perencanaan dan peninjau kembali suatu kebijakan. Sebagai pendonor, UNICEF

memberikan dukungan terhadap peningkatan aktifitas dan fasilitas guna

mengingkatkan proses kebijakan termasuk mendukung kelompok kerja, peninjau

kebijakan, monitoring system dan evaluasinya. UNICEF juga menggunakan

58

kebijakan lintas batas dengan mengkorelasikan kebijakan secara global, regional,

nasional dan substansial. Strategi ini akan menyediakan pandangan terdasar yang

dapat berpengaruh secara positif dan mengubah kebijakan.

Sejak mengadopsi CRC sebagai landasan kegiatannya, UNICEF telah

mengintegrasikan hak-hak anak ke dalam setiap misinya. UNICEF bekerja untuk

melindungi anak-anak dan perempuan dari eksploitasi, kekerasan dan

penelantaran. Hal tersebut dilakukan dengan meningkatkan kesadaran anggota

masyarakat dan organisasi berbasis masyarakat tentang cara pencegahan

penyalahgunaan eksploitasi, perdagangan, dan penelantaran. Selain itu, UNICEF

juga memberi edukasi mengenai pelatihan kejuruan dan kegiatan rekreasi untuk

anak-anak yang rentan dan para pemuda, termasuk anak jalanan dan pekerja anak.

Meskipun secara konstitusi, Myanmar menjamin akses pendidikan wajib dan

gratis bagi semua anak, tetapi rendahnya tingkat investasi di sektor pendidikan

telah menghambat pendidikan dasar yang berkualitas bagi anak-anak. Hal ini

mendorong UNICEF untuk terus menerus memperkuat sektor pendidikan guna

memberikan pendidikan dan pengetahuan kepada anak-anak agar tidak terjerumus

ke dalam perekrutan tentara anak (www.unicef.org/Myanmar/education.html)

UNICEF membentuk program kerja 5 tahun di Myanmar yang disebut

Country Programme. Program tersebut dilaksanakan pertama kali pada 2006

hingga 2010, dan bertujuan untuk meningkatkan dukungan UNICEF kepada

pemerintah Myanmar. ―To Contribute to the fulfillment of the rights of children,

young people and women to survival, growth, development, protection and

participation with a special focus on the families, the poor, and the hard-to-reach

areas‖ (data.unfpa.org). Dukungan UNICEF juga ditujukan untuk membantu

59

Myanmar dalam merealisasikan MDGs. Beberapa tahun belakangan, program

negara Myanmar telah mengalami perubahan dari pendekatan pelayanan

pemasrahan menjadi pendekatan berbasis hak. Pemerintah Myanmar mulai mau

untuk menerima gagasan mengenai beberapa isu perlindungan seperti

perdagangan manusia.

Keadilan terhadap anak-anak, pekerja anak, perekrutan anak di bawah umur

dan lain sebagainya. Myanmar juga telah menginisiasikan beberapa tahapan

penting untuk menyediakan pondasi kekuatan yang legal terhadap program

perkembangan anak sejak usia dini ketika Myanmar meratifikasi CRC (Codline,

2010). Dalam bidang kesehatan, UNICEF juga mengupayakan pembangunan

nutrisi dan peningkatan gizi bagi anak-anak dan menjaga kesehatan mereka. Salah

satunya dengan memberikan imunisasi kepada anak-anak agar mereka kebal

terhadap penyakit mematikan. UNICEF memberikan sekitar 90% dari vaksin

untuk diberikan kepada anak-anak di Myanmar (www.unicef.org /Myanmar/healt

h_nutrition.html).

Bahkan UNICEF mengkampanyekan imunisasi rutin dan memperluas

cakupan imunisasi di daerah yang sulit dijangkau serta memberikan peralatan

untuk memastikan bahwa vaksin dapat mempertahankan potensinya. Selain itu,

UNICEF juga memberikan pelatihan kepada staf pusat kesehatan dalam

pengelolaan terpadu, meningkatkan akses terhadap obat esensial, memastikan

ketersediaan fasilitas standard dan perawatan obstertik darurat di rumah sakit.

Angka kematian balita di Myanmar terbilang sangat tinggi. Setiap tahun terdapat

sekitar 56.000 anak di bawah usia 5 tahun meninggal di negara tersebut, dan

43.000 diantaranya berusia kurang dari 1 bulan (Selth, 2002 : 79).

60

Tingginya angka kematian balita tersebut diakibatkan oleh gizi buruk dan

kurangnya pengetahuan akan menjaga kesehatan yang baik. Sementara jumlah

staf kesehatan sangat sedikit apabila dibandingkan dengan populasi masyarakat,

yakni 1 : 21.822, dan jumlah bidan dibandingkan dengan populasi masyarakat,

yakni 1 : 4.144 (Minsitry of National Planning and Economic Development and

UNICEF, 2012 : 16). Berdasarkan data jumlah tenaga medis di Myanmar tersebut

maka tidak mengherankan jika pelayanan kesehatan sangat lemah, terutama di

daerah pelosok dan perbatasan dimana anak-anak dan wanita di area tersebut

merupakan masyarakat miskin yang tidak mampu untuk mendapat pelayanan

kesehatan yang baik.

4.4.3 Latar Belakang Keberadaan UNICEF di Myanmar

Isu pelanggaran Hak Asasi Manusia seakan sudah melekat dengan

Myanmar, isu HAM di negara tersebut tidak hanya terjadi pada orang dewasa

semata, anak-anak di bawah umur tidak lepas dan menjadi korban dari adanya

pelanggaran HAM di Myanmar. UNICEF sebagai kepanjangan tangan dari PBB

yang berfokus pada kesejahteraan anak tentu tidak tinggal diam dengan apa yang

telah menimpa anak-anak di Myanmar, dimana pelanggaran HAM yang terjadi

ada banyak macamnya, mulai dari kekerasan terhadap anak, pelecehan seksual,

hingga yang dianggap memprihatinkan oleh masyarakat internasional yakni

penggunaan tentara anak di Myanmar. Dalam konvensi Hak Anak Internasional

(Convention on the Right of the Child, CRC) pasal 38 ayat 3 berbunyi ―states

parties shall refrain from recruiting any person who has not attained the age of

15 years into their armed forces. In recruiting among those persons who have

attained the age of 15 years but who have not yet attained age the age of 18 years.

61

States parties shall endeavor to give priority to the oldest.‖ (UN Convention on

the Right of the Child–Article 38/3).

Pernyataan di atas merupakan komitmen untuk melindungi dan

menyelamatkan anak dari segala konflik, khususnya konflik bersenjata juga

tertuang dalam Plan of Action Concerning Children in Armed Conflict saat

Council of Delegates, Red Cross and Red Cressent pada bulan Desember 1995

yang berbunyi: ―To promote the principle of non-recruitment and non-

participation in armed conflict of children under the age of 18 years‖ (Plan of

Action Concerning Children in Armed Conflict, 1995).

Isu tentang Hak Asasi Manusia merupakan isu yang sensitif dan sudah

berlangsung sejak lama, khususnya dinegara berkembang. Adanya konvensi

mengenai hak asasi tersebut diharapkan akan memberikan perlindungan ke

seluruh manusia secara menyeluruh, baik orang dewasa hingga anak-anak.

Perlindungan terhadap anak mencakup segala permasalahan penting dan

mendesak. Keberagaman jenisnya sesuai dengan nilai-nilai perilaku dalam

kehidupan masyarakat. Kemiskinan dan kondisi politik yang tidak stabil serta

penuh konflik membuat anak-anak tidak memiliki perlindungan dari segala

macam ancaman, termasuk keikutsertaan dalam konflik itu sendiri secara

langsung. Akibatnya anak-anak secara tidak langsung memiliki beraneka macam

resiko serta ancaman, dimana kedua hal tersebut mencerminkan adanya peluang

untuk terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan hak-hak anak.

Sebelumnya legalisasi keikutsertaan anak-anak dalam kelompok bersenjata

dimulai dengan protokol tambahan 1 dan 2 konvensi Geneva pada tahun 1977

yang mengatur tentang usia minimum anak untuk berpartisipasi langsung dalam

62

konflik pada usia 15 tahun. Kemudian usia minimum 15 tahun diganti oleh ILO

menjadi 18 tahun pada tahun 1999 dan dijadikan acuan organisasi perlindungan

anak lainnya, termasuk organsiasi internasional UNICEF.

CRC dideklarasikan dengan tujuan menjaminan perlindungan anak dari

penggunaan mereka sebagai kombatan di negara manapun. Setiap Negara

memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk melidungi warga negaranya

terutama anak-anak dan hak-hak mereka. Tetapi pada kenyataannya, terdapat

beberapa negara yang mengabaikan isi dari konvensi tersebut, salah satu

diantaranya adalah Myanmar. Kegagalan pemerintah Myanmar dalam melindungi

hak-hak anak di negara tersebut tentu harus segera diselesaikan. Anak-anak yang

masih berada dalam belenggu militeristik, baik yang ada di kamp militer

pemerintah maupun kelompok separatis, harus segera diselamatkan. Oleh karena

itu, peran serta UNICEF menjadi faktor penting dalam menanggulangi

permasalahan perekrutan tentara anak di Myanmar.

4.5 Mekanisme Internasional Perlindungan Anak.

Salah satu mekanisme internasional yang penting bagi perlindungan anak

adalah Komite Hak-Hak Anak (Committee on the Rights of the Child), yang

terdiri dari 18 anggota yang dipilih oleh negara–negara anggota Konvensi dan

yang bertugas dalam kapasitasnya sebagai perorangan. Fungsi utama dari Komite

yang bertemu tiga kali dalam setahun itu adalah menelaah laporan–laporan dari

negara–negara anggota yang diminta untuk diserahkan secara berkala.

Laporan itu diharapkan berisi informasi mengenai undang-undang dan

berbagai upaya lain yang telah diadopsi oleh negara anggota, yang memberikan

pengaruh pada hak-hak yang diakui dalam Konvensi tersebut dan kemajuan-

63

kemajuan yang telah dicapai dalam pelaksanaan hak-hak itu. Ketika suatu laporan

telah diterima, Komite mengundang pemerintah untuk mengirimkan delegasinya

guna mempresentasikan laporan dan menjawab segala pertanyaan yang mungkin

diajukan oleh Komite. Anggota komite juga memberikan komentar mengenai

informasi yang termuat dalam laporan, serta informasi relevan lainnya yang

diterima dari badan-badan PBB lainnya serta lembaga swadaya masyarakat

(NGO). Komite kemudian membuat observasi simpulan dan rekomendasi yang

sering berkaitan dengan legislasi, termasuk rujukan mengenai celah-celah yang

ada dalam legislasi yang sedang berlaku atau ketentuan-ketentuan hukum yang

dianggap oleh Komite tidak cocok dengan Konvensi tersebut.

Ada sejumlah mekanisme lain yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak

anak. Secara fundamental, anak menikmati hak-hak asasi manusia dan oleh karena

itu semua mekanisme hak-hak asasi manusia di tingkat internasional dan regional

harus memberikan perlindungan bagi mereka. Harus diingat bahwa hal yang sama

berlaku di tingkat nasional, dimana mekanisme perlindungan hak-hak asasi

manusia seperti mahkamah konstitusi atau constitutional courts juga harus

menjamin bahwa mereka menjunjung tinggi hak-hak anak untuk mendapatkan

perlindungan.

4.6 Latar Belakang dan Kondisi Tentara Anak di Myanmar

Salah satu pelanggaran berat HAM yang terjadi di Myanmar, dialami oleh

anak-anak di bawah umur. Kebutuhan akan tenaga militer menjadi salah satu

alasan kuat mengapa anak-anak sampai harus direkrut untuk memenuhi kuota

tenaga militer di Myanmar, dimana perekrutan anak di bawah umur dilakukan

oleh kesatuan militer dari pihak pemerintah maupun kelompok non-pemerintah.

64

Setelah demonstrasi yang terus terjadi di Myanmar, junta militer melakukan

modernisasi pada sistem dan memperkuat tenaga militernya. Tahun-tahun

berikutnya kekuatan militer terus menjadi fokus utama, bahkan 50% pengeluaran

pemerintah dikhususkan untuk memenuhi perlengkapan militer Myanmar

(Rangoon, 1997 : 34). Pemerintah saat itu juga meningkatkan jumlah tenaga

angkatan laut, angkatan udara, juga batalion infanteri yang meningkat paling pesat

sebanyak 3 kali lipat (www.hrw.org). Tercatat pada tahun 1990 junta militer

manargetkan tenaga militer sampai pada 500.000 orang persoel (Selth, 2002 : 79).

Tentu saja, terjadi kesulitan saat junta militer harus dihadapkan dalam

pemenuhan kuota personelnya. Hal itulah yang memunculkan tugas-tugas baru

bagi unit batalion dengan melakukan perekrutan-perekrutan tenaga baru.

Perekrutan ini akhirnya membuat para senior harus menunjuk junior-juniornya

untuk mencari rekrutan baru demi memenuhi tugas mereka, yang akhirnya

menyentuh lebih banyak anak-anak di bawah umur untuk direkrut sebagai tenaga

militer. Kondisi ini dijelaskan oleh salah seorang battalion commander bernama

Mynt Soe dalam wawancaranya saat menjabat:

--“The high ranking officers realized that recruitment by recruiting offices alone was

insufficient, so they issued orders that recruitment should also be done as part of

each battalion‘s operations. We had a quota system: we recruit for our battalion and

also for other units like the Regional Command. Our battalion was ordered to

recruit 12 people every four months. We couldn‘t meet this quota, so at every

meeting they scolded the battalion officers. To solve the problem, battalion officers

pressured their junior officers to recruit.… We set a rule that soldiers who wanted

their 30 days‘ annual leave must guarantee that they will return with at least one

recruit. Any soldier who wanted a discharge after 10 years of service had to get four

new recruits for the battalion before we would approve his discharge. That‘s why

there is a problem of child soldier” (Solas, 2002 : 25).

Meningkatnya jumlah tentara merupakan bukti keberhasilan upaya

perekrutan tentara anak. Kebutuhan pemenuhan kuota membuat junta militer terus

mendorong upaya lebih jauh untuk merekrut tentara-tentara baru di seluruh

65

penjuru Myanmar. Berbagai janji manis, sampai pada upaya pemaksaan dilakukan

untuk merekrut anak-anak di bawah umur. Konvensi Hak Anak, Convention on

the Right Child (CRC), menyatakan seseorang yang masih berusia di bawah 18

tahun dikategorikan sebagai anak-anak, dan umur 18 tahun sebagai usia minimum

bagi seseorang untuk direkrut sebagai tentara (www.unicef.org). Eben Kaplan

menyatakan dalam publikasinya di Council on Foreign Relation bahwa:

--―The United Nations International Children‘s Fund (UNICEF) defines child

soldiers as any child-boy or girl-under eighteen of age, who is part of any kind of

regular or irregular armed force or armed group in any capacity. This age limit is

relatively new, established in 2002 by the Optional Protocol to the Convention on

the Rigt of the Child. Prior to 2002, the 1949 Geneva Convention and the 1977

Additional Protocols set fifteen as the minimum age ofor participation in armed

conflict. While some debate exists over varying cultural standards of maturity,

nearly 80 percent of conflicts involving child soldiers include combatants below the

age of fifteen, with some as young as seven or eight.‖ (Kaplan, 2006 : 24).

Sebagaimana kondisi anak-anak pada umumnya, secara fisik maupun

mental seharusnya belum cukup untuk menjalani, dan mengalami kejadian di

lapangan dimana terdapat konflik sampai pada kasus pembunuhan. Tergabungnya

anak-anak di bawah umur ini, umumnya terjadi karena terdapatnya faktor-faktor

pendukung dari anak-anak itu sendiri. Salah satunya adalah masalah ekonomi

keluarga. Kemiskinan yang melanda rakyat Myanmar akibat inflasi dan

melonjaknya harga bahan pokok membuat masyarakat membanting tulang untuk

memenuhi kebutuhan pangan. Tercatat dalam laporan The World Food

Programme bahwa 32% anak mengalami gizi buruk di Myanmar (www.wfp.org).

Lonjakan harga ini berimbas pada sistem pendidikan di Myanmar kala itu,

kemiskinan membuat pendidikan tidak menyentuh seluruh kalangan dan biaya

kebutuhan sekolah yang terbilang mahal membuat banyak anak-anak harus

berhenti bersekolah bahkan sejak tingkat sekolah dasar (Human Right Watch,

2007 statistic).

66

Mynt Soe menambahkan dalam wawancaranya dengan Human Right Watch

“Those who volunteered were people who‘d failed their school exams, or had

financial or family problems.. Volunteers probably account for only 5 percent of

recruits, but even among those many don‘t want to fight, they just joined because

of personal problems” (The Recruitment and Use of Child Soldiers in Burma,

2010). Hal ini menandakan anak-anak mengalami masa kebingungan dimana

mereka ingin terlepas dari permasalahan pribadi, namun memutuskan bergabung

lantaran mengira dengan menjadi tentara anak membantu perekonomian

keluarganya. Sayangnya, sering kali perekrut memakai jalur kekerasan dengan

pemaksaan, kekerasan fisik dan juga intimidasi untuk merekrut seorang anak.

Seorang tentara anak, menceritakan bagaimana kala itu Ia direkrut secara paksa.

Dalam wawancaranya dengan Human Right Watch, Myin Win mengaku

telah direkrut sebanyak dua kali sebagai tentara anak, Ia menceritakan

pengalamannya saat pertama kali direkrut:

--―I come from a very poor family. My father died when I was very young, and

my mother is unemployed. I‘m the youngest of 10 brothers and sisters.... I never

went to school, and at age seven or nine I started working, tending herds of

buffalos and cattle. I was born in 1989, and in 2000 I went to Rangoon to sell

some garden produce like ginger. On the way I lost my travel pass from the

Ward leader, and at Bago railway station some soldiers came on board and

asked everyone for ID cards. I realized I‘d lost my recommendation letter, and

they took me. The same day they sent me to the Mingaladon Su Saun Yay in

handcuffs (U.N Spotghlights Child Soldiers).

Tidak hanya pelanggaran dari segi umur kematangan seseorang, namun

perekrutan dilakukan secara paksa dengan berbagai cara. Pada tahun 1974, PBB

memproklamirkan The Declaration on the protection of women and children in

emergency, yang menyatakan bahwa ―All forms of repression and cruel and

inhuman treatment of women and children, including imprisonment, torture,

shooting, mass arrests, collective punishment, destruction of dwellings and

67

forcible eviction, committed by belligerents in the course of military operations

or in occupied territories shall be considered criminal‖ (www2.ohchr.org).

Sedangkan pada kenyataanya, kondisi rakyat Myanmar dalam hal ini anak-

anak di bawah umur diperlakukan secara tidak adil oleh para perekrut. Scott Gate

berargumen bahwa anak-anak dihadapkan dengan kondisi kemiskinan,

kebosananan dan di beberapa daerah anak-anak merupakan seorang yatim piatu

(Gate, 2002 : 128). Hal-hal tersebut membuat menjadi sasaran oleh para perekrut

untuk mengajak mereka bergabung dengan kelompok bersenjata. Dengan kata

lain, anak-anak mungkin menjadi relawan untuk bergabung ke dalam kelompok

bersenjata karena melihat adanya peluang untuk keluar dari kemiskinan dan

memiliki status kesejahteraan yang lebih baik, meskipun akan kekurangan

kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Sementara kondisi perekonomian

yang terpuruk menyebabkan para orang tua merelakan anak mereka menjadi

tentara atau angkatan bersenjata, baik dari pihak pemerintah maupun pemerintah

separatis (Achavarina and Reich, 2006 : 134).

Gambar 4. Tentara Anak di Myanmar Sumber : http://burmalibrary.org/docs3/NoChildhood-ocr.pdf

68

Tentara baru yang direkrut, termasuk anak-anak dikirim ke Mingaladon dan

Mandalay untuk mendapat pendidikan di kamp-kamp militer dengan rincian 500

sampai 1.000 anak yang ditempatkan di Mingaladon dan 300 sampai 500 anak di

Mandalay (Simon, 2006 : 38). Kamp pertama ini juga berfungsi sebagai tempat

karantina yang nantinya akan menyeleksi calon tentara yang secara fisik

memenuhi dan mampu bertahan. Banyak diantara mereka yang tewas atau

terkontaminasi malaria dan penyakit lainnya. Setelah itu, mereka dikirim untuk

menjadi satu dengan lebih dari 20 kamp pelatihan di Myanmar dan memperoleh

pelatihan militer selama 4 sampai 5 bulan. Pelatihan bagi tentara anak usia di

bawah 18 tahun akan terasa lebih sulit dibandingkan dengan yang usianya lebih

tua. Hal tersebut disebabkan karena tentara anak mendapatkan tugas tambahan

seperti memotong kayu, membersihkan kamp dan pekerjaan-pekerjaan rumah

lainnya (Achavarina dan Reich, 2006 : 5). Isolasi dari keluarga mereka, pimpinan

yang brutal dan penyiksaan terhadap mereka menyebabkan banyak dari mereka

melarikan diri dari kamp.

Tentara anak yang melarikan diri hanya memiliki sedikit pilihan. Jika

mereka kembali ke rumah, resikonya adalah mudah ditangkap dan dikembalikan

ke kamp militer. Beberapa diantara mereka lebih memilih untuk bergabung

dengan tentara oposisi dan meneruskan bertempur. Selain itu, ada pula yang

mencari pekerjaan illegal ke negara-negara tetangga dan masuk ke jaringan

penjualan manusia ilegal. Kebanyakan mereka mendapatkan fasilitas yang tidak

memadai, terutama dalam mendapatkan fasilitas kesehatan yang layak di kamp

militer, sehingga mengalami gizi yang buruk hingga mudah terserang penyakit.

69

Anak-anak memiliki berbagai macam fungsi dalam suatu kesatuan militer.

Tentara anak diasumsikan memiliki tugas yang berbeda dalam angkatan

bersenjata atau kelompok separatis. Pejuang yang taat, murah, dan efektif

merupakan alasan yang menjadikan mereka mudah untuk direkrut. Harapan anak-

anak ini adalah agar mereka dapat membantu keluarga dengan menerima upah

sebagai tentara, sedangkan uang yang harusnya mereka terima menjadi sesuatu

yang tabu untuk dipertanyakan. Seperti yang dikatakan oleh Myn Win pada

interviewnya dengan Human Rights Watch ―We had salary of 3,000 kyat but

received only 200 kyat. We were told the rest was saved in the bank for us but we

never saw any bank account‖

(www.hrw.org/news/2007/11/02/suffer-little-

soldiers).

Seorang anak yang berusia 12 tahun dikirim ke dalam medan pertempuran

dan ditempatkan di garis depan. Tentara anak dikategorikan sebagai pelanggaran

Hak Asasi Manusia. Tentara anak juga dipaksa untuk bekerja sebagai buruh dalam

suatu pekerjaan militer dan menghasilkan uang bagi atasannya, seperti bertani,

membuat batu bata, serta beternak hewan peliharaan. Prajurit yang memiliki

tingkat lebih tinggi tidak memberikan uang yang sesuai bagi anak-anak tersebut.

Akibatnya mereka mencuri makanan dari desa setempat. Bagi pemberontak, anak-

anak dilihat sebagai sumber daya yang layak untuk dieksploitasi karena mudah

untuk dipengaruhi dan dibentuk pemikirannya untuk mendukung tindakan para

pemberontak. Anak-anak dijadikan pengintai, penjarah makanan dan berburu,

serta melakukan pekerjaan mengangkat beban berat berupa persenjataan atau

kebutuhan kamp. Bagi tentara anak perempuan, tugas yang diberikan kepada

mereka lebih berat secara mental. Tidak hanya berbagi tugas dengan tentara laki-

70

laki, namun tentara anak perempuan dipaksa untuk menjadi budak seks bagi para

tentara dan atasan mereka (www.child-soldiers.org).

Dalam prakteknya, kondisi tentara anak benar-benar ditekan sampai pada

batas yang sangat extreme seperti harus bergabung dalam barisan terdepan saat

perang. Selain harus menempuh masa latihan yang berbobot setara dengan tentara

dewasa, mereka harus selalu siap apabila dikirim untuk bertugas di barisan depan.

Kesiapan fisik dan mental sebagai anak-anak tidak diperhitungkan. Proses latihan

yang berat harus mereka lalui sejak pagi, tentu saja fisik anak-anak yang masih

lemah belum dapat melakukan semua latihan dengan sempurna. Selama masa

latihan, kerap kali tentara anak dibantu oleh tentara-tentara yang lebih tua untuk

membantu proses latihan berlangsung. Namun banyak juga yang akhirnya

mendapat hukuman karena tidak dapat menjalankan latihan dengan benar. Myn

Win kembali menjelaskan:

―I couldn‘t do all the training. Even lifting the gun was too hard for me. The G3

[assault rifle] came up to my shoulder. But the trainers were sympathetic and

understanding, they favored me and the other youngsters. I think about half were

underage but can‘t guess exactly. In my platoon, about half were my age. The

trainers didn‘t say anything about my age but they were sympathetic. They said to

the youngest, ―We don‘t want to train you but it‘s our duty, we have orders.‖ I

was missing my family and I cried. For some parts of the training we young

trainees were allowed to stay in the barracks, but then whenever people lost

things we were blamed and punished by the camp authorities—five lashes with a

bamboo stick, and I cried then too‖ (Sufferie : 2010, 50).

Setelah mengalami berbagai kejadian dan pelatihan yang berat merekapun

dikirim dalam medan perang di barisan terdepan. Terkadang tugas mereka

dianggap mudah sehingga mereka harus melakukan tugas-tugas tambahan seperti

membawa perlengkapan-perlengkapan yang berat. Hal ini tentu saja tidak mudah,

karena mereka dituntut untuk melakukan tugas dengan benar di barisan terdepan

dalam kondisi fisik yang terbatas dan mental yang dipaksa untuk siap menghadapi

71

kejadian-kejadian di medan perang serta berjuang untuk bertahan demi

menyelamatkan nyawa mereka sendiri (www.hrw.org).

Tentara-tentara anak ini banyak yang pada akhirnya bertahan dalam tim

sampai mereka dewasa. Tidak banyak pilihan yang dimiliki oleh mereka. Memori-

memori mengerikan pada masa kanak-kanak terus tertanam menyebabkan tentara-

tentara anak ini tumbuh menjadi pribadi yang terbiasa tidak bebas. Dalam

pertempuran, anak-anak dibiarkan untuk terbiasa melihat kondisi kekerasan. Aung

Zaw salah satu mantan tentara anak menceritakan kisahnya ―I can‘t remember

how old I was the first time in fighting. About 13. That time we walked into a

Karenni ambush, and four of our soldiers died. I was afraid because I was very

young so I tried to run back, but [the captain] shouted, ―Don‘t run back! If you

run back I‘ll shoot you myself!‖ (www.hrw.org).

Sementara rekan dari Aung Zaw, bernama Aung Aung menuturkan

(www.hrw.org). Myn Win menjelaskan lebih lanjut, selain harus siap bertempur,

dan bertugas tentara anak tidak diizinkan untuk menjalin kontak berlebih dengan

penduduk di Desa. Sehingga merekapun tidak diperbolehkan untuk menjalin

hubungan kekeluargaan di medan perang. Bahkan anak-anak dipaksa untuk

melakukan hal-hal yang sangat jauh dari nilai kemanusiaan. Selain dibiarkan

untuk memiliki sifat serakah, mereka diajarkan untuk mencuri sampai

diperintahkan untuk membunuh warga.

Tentara anak harus hidup terpisah dari keluarga, tanpa memori dan ingatan

kuat yang melekat tentang kehangatan keluarga dan justru harus mengalami

kondisi fisik dan mental yang semakin buruk. Perekrutan tentara anak tentunya

72

membawa dampak negatif bagi anak-anak itu sendiri. Beberapa diantaranya

disebutkan dalam Combating Child Trafficking, yaitu : (Sadag, 2005 : 16).

1. Dampak emosional

Anak-anak yang direkrut menjadi tentara anak tumbuh menjadi pribadi yang

pemalu, tidak mau bersosialisasi dan kurang percaya diri. Salah satu faktornya

adalah karena merasa ditipu oleh orang-orang yang mereka percayai seperti

keluarga atau teman saat perekrutan tentara. Tentara yang berhasil merekrut

tentara baru akan mendapatkan upah tambahan sebagai bonus, sehingga

menceritakan kondisi yang tidak sebenarnya kepada anak-anak yang masih

polos.

2. Dampak fisik

Anak-anak yang mendapat perlakuan tidak baik dan kasar akan mendapat

kecacatan fisik. Terutama bagi anak perempuan yang direkrut menjadi tentara

anak, mereka tidak hanya bertugas sebagai tentara namun juga sebagai budak

seks yang memungkinkan mereka untuk tertular infeksi kelamin seperti

HIV/AIDS. Hal tersebut merupakan kondisi yang memprihatinkan. Ditambah

dengan keadaan kamp-kamp pelatihan militer yang kurang fasilitas dan

kebersihannya menjadikan anak-anak rentan terhadap penyakit.

3. Dampak psikologi

Anak-anak yang direkrut menjadi tentara secara psikis telah mengubah

perilaku bersosialisasi dan perkembangan pendidikan mereka. Kurangnya

perhatian dari keluarga atau kerabat terdekat menyebabkan mereka melenceng

dari norma-norma sosial yang ada. Mereka hanya memiliki sedikit teman dan

73

berkecenderungan untuk bertindak kasar sebagai dampak jangka panjang

dalam kehidupannya.

Oleh sebab itu, perekrutan tentara anak di Myanmar merupakan

permasalahan kompleks yang memilki dampak negatif bagi anak-anak sebagai

penerus bangsa. Tanggung jawab untuk melindungi hak-hak manusia milik warga

negara merupakan tugas penting pemerintah di suatu negara. Pasal 4 CRC

menyebutkan bahwa:

―Government have a responsibility to take all available measeures to make sure

children‘s rights are respected, protected and fulfilled. When countries ratify the

convention, they agree to review their laws relating to children. This involves

assessing their social services, legal, health and educational systems, as well as

levels of funding for these services. Government are then obliged to take all

necessary steps to ensure that the minimum standards set by the convention on

these areas are being met. They must help families protect children;s rights and

create an environment where they can grow and reach their potential. In some

instances, this may involve changing existing laws or creating new ones. Such

legislative changes are not imposed, but come about through the same process by

which any law is created or reformed within a country. Article 41 of the convention

points out the when a country already has higher legal standards than those seen in

the convention, the higher standards always prevail‖ (Article 4, The convention On

The Right Of The Child).

Kemudian pasal 6 dalam CRC juga menyebutkan bahwa,”Children have a

right to live. Government should ensure that children survive and develop

healthy‖. Berdasarkan kutipan pasal tersebut, pemerintah Myanmar seharusnya

memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak-hak anak dari keterlibatan

mereka dalam suatu konflik. Namun praktik di lapangan masih menunjukkan

bahwa perekrutan tentara anak masih berlangsung dan pemerintah setempat tidak

mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Sistem pemerintahan yang tidak

demokratis, kondisi politik yang tidak stabil, dan beberapa bencana alam telah

menempatkan anak-anak ke dalam kondisi yang tidak kondusif untuk

mendapatkan hak mereka, termasuk direkrut sebagai angkatan bersenjata. Bahkan

pemerintah melalui militer menjadi pelaku perekrut tentara anak itu sendiri.

74

Tidak sedikit juga anak-anak sipil juga dieksploitasi oleh angkatan militer.

Penduduk sipil, termasuk anak-anak baik pria dan wanita yang berusia 10 tahun

sering dipaksa untuk melakukan berbagai macam aktivitas buruh meski dalam

kurun waktu yang sebentar. Mereka dipaksa untuk menjadi pelacak ranjau yang

menyisir jalan yang jaraknya tidak dekat untuk memastikan ada atau tidak ranjau

di jalan yang nanti akan dilewati kendaraan militer. Tidak hanya tugas yang

sangat membahayakan, tapi anak-anak tersebut juga beresiko menjadi target

penyerangan oleh kelompok musuh. Terlebih lagi, pemerkosaan kepada wanita di

bawah umur telah dilaporkan kepada komisi ILO (Report of the Director General

to the members of the Governing, ILO, 21/5/99, testimonies No.157, 176).

Di satu sisi, konsep tanggung jawab untuk melindungi lebih luas daripada

intervensi kemanusiaan. Tanggung jawab untuk melindungi dibagi menjadi tiga,

yaitu: tanggung jawab untuk mencegah, tanggung jawab untuk merespon, dan

tanggung jawab untuk membangun kembali. Intervensi militer yang menjadi satu

bentuk intervensi kemanusiaan biasanya dilakukan sebagai tanggung jawab untuk

merespon saja. Komunitas internasional memiliki tanggung jawab untuk

mencegah krisis, termasuk memediasi kelompok-kelompok yang berkonflik.

Tanggung jawab untuk melindungi fokus pada perlindungan hak asasi manusia di

suatu negara, seperti merealisasikan ketahanan bagi setiap manusia.

Di sisi lain, doktrin tanggung jawab untuk melindungi lebih sempit daripada

intervensi kemanusiaan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh James Pattison bahwa

intervensi kemanusiaan dapat dijalankan dalam merespon krisis kemanusiaan

yang bervariasi dan tidak memerlukan izin dari dewan keamanan Perserikatan

Bangsa-Bangsa (Pattison, 2010 : 13). Namun dari semua itu, yang terpenting

75

adalah tanggung jawab untuk melindungi dan memberikan pandangan dari siapa

yang seharusnya merespon dan mengintervensi suatu negara yang sedang

bermasalah.

Permasalahan perekrutan anak ini memerlukan adanya campur tangan

masyarakat internasional melalui organisasi-organisasi yang bergerak di bidang

perlindungan anak untuk memberi motivasi, komunikasi dan perantara guna

mencegah perluasan perekrutan tentara anak di Myanmar. UNICEF selaku

organisasi internasional yang dibentuk di bawah naungan PBB merupakan aktor

penting dalam menyelesaikan perekrutan tentara anak khususnya di Myanmar.

UNICEF dibentuk dengan tujuan untuk melindungi hak-hak anak, termasuk

perlindungannya dari tindakan ekploitasi pihak-pihak berkepntingan atau dalam

konflik.

4.7 Metode Perekrutan Tentara Anak di Myanmar

Perekrutan anak-anak di bawah umur menjadi sebuah tugas baru bagi para

tentara batalion. Di Myanmar, maraknya perekrutan anak di bawah umur terjadi

beriringan dengan pemaksaan, intimidasi dan juga kekerasan fisik.

Ketidakmampuan masyarakat untuk melawan, rakyat kecil seakan mau tak mau

harus berhadapan dengan kekuatan junta militer. Tentu para perekrut mengetahui

bahwa mengajak, atau sampai memaksa anak-anak di bawah umur bergabung

menjadi tentara merupakan hal yang ilegal. Namun hal ini menjadi sesuatu yang

diperbolehkan dan hak anak-anak tersebut dirampas, bahkan proses perekrutanpun

akhirnya menjadi ajang jual beli anak oleh para perekrut.

Munculnya cara-cara kejam ini, tentunya membuat iba mengingat adanya

harapan anak-anak yang ingin memiliki kehidupan yang lebih layak dan seakan

76

secara suka rela menjadi rekrutan baru. Menurut Davidson yang dikutip oleh Julie

McBride dalam The War Crime of Child Soldier Recruitment mengatakan “The

idea that children would volunteer to participate in armed conflict, subjecting

themselves to the horrific treatment most child soldiers receive from their

superiors, is nearly unimaginable‖ (Mcbrinde, 2014 : 7).

Dalam bukunya Julie menjelaskan banyaknya keraguan akan kemampuan

anak-anak di bawah umur dalam menentukan dan memahami suatu kejadian

semakin menghilangkan kebenaran tentang masuknya anak secara suka sebagai

tentara. Myanmar merupakan negara dengan salah satu tenaga tentara anak di

bawah umur terbanyak di dunia. Di bawah junta militer, dimana angkatan

bersenjata Pemerintah Myanmar disebut dengan Tatmadaw, bertanggung jawab

menjadi faktor utama penggunaan angkatan bersenjata di bawah umur di

Myanmar (www.child-soldiers.org).

Namun, konflik politik dan juga demokrasi di Myanmar memunculkan

semakin banyak gerakan-gerakan kelompok non pemerintah yang menyebar di

seluruh penjuru Myanmar. Kedua kelompok ini pemerintah dan non pemerintah

tercatat telah merekrut anak-anak di bawah umur dengan berbagai cara. Dari

pihak pemerintah, Tatmadaw Kyi (angkatan darat) merupakan perekrut tentara

anak terbanyak. Sedangkan dari kelompok non pemerintah di Myanmar, The

United WA State Army (UWSA) merupakan pengguna tentara anak terbanyak

dengan catatan perkiraan 1.000 anak (Achvarina dan Reich, 2006 : 134).

4.7.1 Perekrutan Tentara Anak Oleh Pemerintah

Tatmadaw atau disebut juga tentara bersenjata Myanmar, merupakan faktor

terbesar terjadinya perekrutan anak-anak di bawah umur di Myanmar. Sebagai

77

tentara pemerintah, Tatmadaw terbagi atas 3 cabang, yaitu Tatmadaw Kyi

angkatan darat, Tatmadaw Lei angkatan udara, dan Tatmadaw Yei angkatan laut.

Pada tahun 1996, tercatat 50.000 lebih anak-anak di bawah umur telah tergabung

menjadi tentara anak di Myanmar (Brett and McCallin, 1998 : 78). Dalam catatan

penelitian Human Right Watch menyatakan, pendaftaran relawan tentara

Myanmar telah dibuka sejak tahun 1990. Dari seluruh jumlah Tatmadaw, 35-45 %

merupakan anak-anak berumur di bawah 18 tahun, dan 15-20 % merupakan anak-

anak yang berumur di bawah 15 tahun (Human Right Watch, 2002 : 8).

Dilaporkan jumlah tentara anak dalam pemerintah meningkat mencapai

lebih dari 70.000 anak (Human Right Watch, 2002 : 12). Pada tahun 2002,

tepatnya bulan Mei, SPDC mengklaim bahwa untuk menjadi tentara atau relawan

tentara usia minimal yang diperbolehkan adalah minimal 18 tahun. Sementara

pada bulan oktober di tahun yang sama, Pemerintah Myanmar kembali

menegaskan bahwa yang berada dalam kesatuan militernya murni merupakan

relawan yang masuk tanpa ada paksaan dan semuanya berusia di atas 18 tahun.

Namun bukti mengindikasikan bahwa sebagian besar tentara yang baru saja

direkrut merupakan hasil paksaan dan sebanyak 35-45 % diindikasikan adalah

anak-anak di bawah umur (Richard, 2004 : 103).

Upaya pemenuhan yang terus terjadi salah satunya diakibatkan oleh adanya

tentara yang hilang, tumbang, dll. Kondisi ini membuat tentara batalion harus

memenuhi kuota tentara sebagai tugas baru mereka. Urgensi ini kemudian

berdampak pada cara-cara perekrutan yang dilakukan secara paksa, menjebak

anak-anak, mengancam, membuat data secara palsu, bahkan tercatat terjadi

penculikan anak yang disengaja oleh tentara batalion (www.hrw.org). Maung Zaw

78

Oo, salah seorang tentara anak menceritakan telah dipukuli saat mengatakan

umurnya masih 16 tahun, dan dipaksa mengatakan bahwa saat itu usianya sudah

menginjak umur 18 tahun di Su Saun Yay (www.hrw.org).

Tentara batalion bekerjasama dengan calo sipil untuk mencari anak-anak di

bawah umur yang dapat direkrut, sehingga anak-anak di desa terpencil sekalipun

menjadi incaran tentara batalion. Salah seorang anak di bawah umur yang tidak

disebutkan identitasnya bercerita kepada Human Right Watch tentang pemaksaan

yang dilakukan oleh tentara batalion. Ia merupakan salah seorang anak yang

direkrut saat berumur 16 tahun dan menjadi petugas kesehatan di Rakhine. “Now

they have two ways of recruiting: they come to the village and demand a certain

number of recruits, or they demand [forced labor] porters and later keep them as

recruits. When children go as porters and don‘t come back, people know they‘ve

been forced into the army‖ (Human Rights Watch interview with Rakhine state

health worker, 2007).

Banyaknya kebutuhan tentara rekrutan baru juga menjadi ajang pencarian

yang menguntungkan bagi tentara batalion. Terungkap beberapa kisah lain tentang

kondisi perekrutan tentara anak, salah satunya adalah kisah yang diungkapkan

mantan Sersan, Myo Aung dalam wawancaranya dengan Human Right Watch :

--―The Defense Ministry imposes a quota. Each battalion had to recruit eight new

soldiers every four months. For example, if someone requests leave, we‘d tell him

that if he brings back a new soldier he‘ll get paid 50,000 kyat. No matter how you

recruit him. That money is supposed to be for the recruit but really goes to the

recruiter, and maybe he only gives the recruit 10,000 of it. Sometimes it came from

the battalion budget, sometimes the battalion commander himself had to put in his

own money, because if he didn‘t send 24 recruits a year he‘d be summoned by the

regional commander and he worried about that. That is why children are recruited.

Sometimes we went to the recruiting centers and bought recruits from them‖

(www.hrw.org/reports/2007/burma1007/6).

79

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa upaya perekrutan tentara

baru telah berubah menjadi bisnis bagi tentara batalion. Harga rekrutan baru pada

tahun 2007 di Mingaladon a major recruitment holding facility adalah 25,000 –

35,000 Kyat (Soe, 2007) sedangkan data terakhir yang juga disebutkan dalam

berbagai wawancara dengan para mantan batalion maupun sersan dalam

penelitian Human Right Watch menyatakan harga rekrutan tentara baru naik

mencapai 50,000 Kyat. Tentara batalion yang tidak mampu mencukupi target

kuota, harus mencari uang untuk membeli rekrutan baru. Myin Win, seorang

mantan rekrutan mengungkapkan “Recruiters never release their victims easily. If

they fail when they approach one Su Saun Yaythen they‘ll take you to another,

and there‘s lots of bribery, so most approaches to Su Saun Yays are successful.”

(www.hrw.org/reports/2007).

Kenyataan ini, semakin memperjelas kondisi anak-anak di bawah umur

telah menjadi korban perdagangan manusia. Ditambahkan lagi bahwa perekrutan

ini berlaku di hampir seluruh distrik yang memilki sumberdaya manusia

melimpah khususnya banyak anak-anak di wilayah tersebut.

Setiap distrik

maupun desa diharuskan untuk menyumbang kepada kesatuan militer berupa

anak-anak yang diharuskan menjadi tentara. Apabila pemerintahan setempat tidak

dapat melaksanakan peraturan tersebut ataupun tidak memenuhi kuota yang

ditetapkan maka akan mendapatkan hukuman. Sementara bagi distrik yang dapat

melaksanakan aturan tersebut akan mendapatkan hadiah apabila dapat memenuhi

kuota. Prosedur ini telah menghasilkan perekrutan paksa secara luas, serta

perpindahan wilayah perekrutan (Keairns, 2002 : 10).

80

Sasaran dari perekrutan tentara anak mayotitas merupakan anak yatim piatu

dan anak jalanan biasanya menjadi sasaran dominan perekrutan tentara anak

(Keairns, 2002 : 12). Biasanya mereka terdapat di jalanan, stasiun kereta api,

terminal bus dan pelabuhan kapal feri, juga di pasar dan tempat-tempat

keramaian. Caranya yakni oknum perekrut berpura-pura menjadi seorang tentara

atau memang seorang tentara menghampiri anak-anak tersebut. Saat mereka

diminta untuk menunjukkan kartu identitas mereka, yang sebagian besar belum

memilikinya mereka tidak dapat menunjukkannya. Akibatnya mereka diancam

akan dimasukkan ke penjara dalam waktu yang lama, namun oleh para perekrut

mereka kemudian diberi iming-iming tidak akan dimasukkan ke penjara dan akan

menerima sejumlah uang mulai dari 1.000-10.000 Kyat dan 50 kilogram beras

apabila mereka mau untuk dijadikan relawan militer (Scott, 2002 : 128).

Sumber lain adalah sistem Ye Nyunt, sering mengatasnamakan dirinya

sebagai organisasi pemuda Ye Nyunt pada kenyataannya merupakan jaringan

kamp yang dijalankan oleh militer. Pada bulan Juli 2002, pemerintah mengklaim

bahwa program Ye Nyunt bukan merupakan pelatihan militer, namun hanya

program pelatihan pendidikan untuk anak-anak yang kurang mampu atau yatim

piatu. Pemerintah juga berkilah bahwa program tersebut sudah diberhentikan

semenjak tahun 2000. Relawanan dengan pernyataan tersebut, penelitian

mengungkapkan bahwa terdapat 50 hingga 100 kamp Ye Nyunt di Myanmar,

masing-masing berisi 50 sampai 200 anak laki-laki.

Di masa lalu, program Ye Nyunt mengambil anak laki-laki dari yatim piatu

atau para pengungsi, akan tetapi sekarang banyak pemudia yang diculik dan

dipaksa dimasukkan ke kamp-kamp Ye Nyunt. Di sana mereka tidak

81

diperbolehkan melakukan kontak dengan keluarga ataupun orang dari luar

pangkalan militer. Jika seorang anak tertangkap mencoba melarikan diri, seluruh

anak yang berada dalam satu kelompok dipaksa untuk menganiayanya. Anak-anak

tersebut nantinya dipaksa mendaftar sebagai tentara karena mereka telah dianggap

kuat secara fisik.

Anak-anak yang dipaksa menjadi relawan dari kamp Ye Nyunt tersebut

kemudian dikirim ke kamp central Su Saun Yay yang berada dekat Mingaladon

dan Mandalay dimana mereka sudah akan ditempatkan di kamp-kamp pelatihan

militer di Myanmar. Seorang mantan tentara menjelaskan bahwa selama lebih dari

4 tahun, terdapat anggota baru sebanyak 35-45% yang berusia di bawah 18 tahun

dan 15-20% berusia di bawah 15 tahun. Usia paling muda diperkirakan 11 dan 13

tahun (Brett dan McCallin, 1998 : 33).

4.7.2 Perekrutan Tentara Anak Oleh non–Pemerintah

Dalam buku Sold to be Soldiers: The Recruitment and Use of Child Soldiers

in Burma disebutkan bahwa penggunaan tentara anak juga dilakukan oleh

setidaknya tujuh kelompok pemberontak, Perekrutan tentara anak tidak hanya

dilakukan oleh pihak pemerintah. Perekrutannya pun memiliki tujuannya masing-

masing. Namun secara umum kelompok-kelompok pemberontak tersebut

merupakan kelompok separatis, yang ingin memerdekakan wilayahnya dari

campur tangan pusat. Ke tujuh kelompok tersebut diantaranya :

(www.mmpeacemonitor.org).

1. The Karenni Army

2. Karrenni Nationaloties People‘s Liberation Front (KNPLF)

3. The United Wa State Army (UWSA)

82

4. The Democratic Karen Benevolent Army

5. The Karen National Liberation Army Peace Council

6. The Shan State Army-South (SSA-S)

7. Kachin Independence Organization (KIO) / Kachin Independence Army (KIA)

Yang juga melakukan perekrutan tentara anak guna menambah angkatan

bersenjata mereka (Human Right Watch, 2007 : 11-12). Human Right Watch

memperkirakan terdapat lebih dari 7.000 tentara anak yang berada ditangan

kelompok-kelompok separatis di Myanmar. Salah satunya the United Wa State

Army atau UWSA yang diperkirakan masih memiliki 1.000 tentara anak (Child

Soldier in Non-state Armed Group, 2007).

Metode yang digunakan dalam merekrut anak juga hampir mirip dengan apa

yang dilakukan oleh tatmadaw. Namun para perekrut menggunakan pendekatan

yang berbeda dan tidak dapat digeneralisasi. Sebagaimana yang dilakukan

UWSA, yakni mereka mengaku sebagai angkatan bersenjata pemerintah yang

kemudian memaksa anak-anak untuk melakukan wajib militer. Meskipun

kebijakan usia 18 tahun merupakan angka yang mutlak, beberapa diantara mereka

tetap merekrut anak di bawah umur. Hal tersebut diakui oleh beberapa tentara

yang diwawancarai oleh Human Right Watch, dengan penjelasan bahwa banyak

tentara mendekati anak-anak untuk dijadikan relawan setelah mengungsi dari desa

mereka atau kehilangan keluarganya.

-- “Human Right Watch interviewed boys who were taken directly into the Burma

army at ages as young as eleven. Boys younger than this are recruited also, but they

are often detained until they grow slightly larger before becoming soldiers. One boy

interviewed was captured at age ten, and was the detained in a cell in an army

camp and usedas a servant by the officers for three years before being forced into

the army.‖ (Bimali dan Pathak, 2009 : 14). Selain itu, ada seorang anak yang

diwawancarai UNICEF mengatakan: “a group of soldiers knocked loudly on the

door. Five others, all about the same age, did not escape and were taken bt the

soldiers. I was crying. I was dragged out of my house and put on a boat and taken

to Rangoon. I was considered an adult.‖ (Solas, 2002 : 25).

83

Berdasarkan kutipan wawancara, dijelaskan bagaimana pemaksaan pada

anak-anak agar mereka mau direkrut sebagai tentara berlangsung. Anak-anak

direkrut dengan cara sembunyi-sembunyi dan secara paksa oleh tentara militer,

polisi, atau bahkan tentara pemerintahan saat mereka berada di jalan, sekolah dan

panti asuhan. Selain itu, terdapat pula dorongan dari lingkungan sekitar seperti

orang tua yang menjadikan anak-anak mereka mau direkrut. Kemiskinan,

kurangnya perhatian dan kurangnya pendidikan menjadi beberapa faktor

pendorong dari kemauan seorang anak untuk menjadi tentara. Perekrutan tentara

anak juga menjadi ladang penghasilan bagi para perekrut.

Prajurit yang membawa rekrutan baru biasanya dibayar 1.000 hingga 10.000

Kyat secara tunai dan 15 hingga 50 kg beras per rekrutan (Davidson, 2002 : 33).

Di beberapa batalion, prajurit yang telah menjadi tentara selama 5 tahun dapat

segera naik pangkat jika ia telah membawa 5 orang rekrutan baru. Hasilnya adalah

beberapa diantara mereka berpindah haluan kerja menjadi perekrut tentara anak.

Selain itu, dengan menjadi perekrut tentara anak, mereka tidak harus terlibat

langsung dalam kegiatan militer yang mana mereka ditempa dengan sangat berat

serta perlakuan yang tidak baik.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Pelanggaran terhadap hak anak di Myanmar menjadi perhatian dunia

internasional. Peranan Negara yang seharusnya menjadi sumber perlindungan

terhadap warganya tidak lagi dapat dirasakan oleh anak-anak di Myanmar.

Terlibatnya anak-anak dalam keadaan berbahaya dan tidak seharusnya yaitu

dalam angkatan militer membuat dunia Internasional mengambil tindakan untuk

segera menghentikan pelanggaran tersebut. Apapun alasannya, keterlibatan anak

di dalam militer adalah kejahatan dan pelanggaran kemanusiaan. Karena setiap

anak memiliki hak sebagaimana yang dituangkan dalam Konvensi Anak, yang

meliputi hak untuk mendapatkan pendidikan, layanan kesehatan, dan juga

keamanan. UNICEF memiliki tiga peran penting dalam upaya mengurangi

perekrutan tentara anak di Myanmar, yaitu :

1. Pertama, UNICEF mengambil peran motivator dengan membentuk program

DDR dan peninjauan kembali undang-undang perlindungan anak. UNICEF

juga mendorong pemerintah Myanmar untuk meluncurkan kebijakan

pencatatan kelahiran untuk memastikan semua kelahiran telah terregistrasi.

Dari mulai di tandatangani kebijakan dan kesepakatan antara UNICEF dan

pemerintah Myanmar yang terus terjadi sampai saat ini, seperangkat hukum

dan resolusi-resolusi dan kesepakatan-kesepakatan telah dikeluarkan oleh

130

berbagai negara dan organisasi internasional, terutama PBB sebagai organisasi

bangsa-bangsa di dunia. PBB dengan agen khususnya yang menangani

permasalahan anak yaitu UNICEF terus melakukan usaha terbaiknya baik itu

mengidentifikasi permasalahan yang terjadi, mencari jalan keluar dari

permasalahan keterlibatan tentara anak ini, sampai pada reintegrasi anak-anak

yang telah berhasil dikeluarkan dari angkatan militer. Pencegahan perekrutan

anak sebagai tentara menjadi prioritas utama pemerintahan Myanmar.

2. Kedua, upaya UNICEF untuk mengkampanyakan perlindungan anak dari

eksploitasi dalam bentuk tentara anak menjadi bagian dari peran komunikator.

Peran ini diwujudkan UNICEF melalui pengumpulan data yang akurat di

lapangan untuk disampaikan kepada publik internasional dan domestik.

UNICEF juga melibatkan selebritis internasional dalam kampanye-kampanye

perlindungan terhadap anak dan sosialisasi mengenai perekrutan tentara anak

di Myanmar. Sehingga masyarakat internasional dapat lebih peka dan perduli

akan permasalahan ini.

3. Ketiga, peran mediator dalam menjaga kondisi lingkungan yang kondusif

untuk melindungi anak-anak agar tidak direkrut menjadi tentara dengan

mengupayakan sosialisasi mengenai pentingnya pendidikan. Peran mediator

juga membuat infomasi dan analisis mengenai permasalahan perekrutan tentara

anak di Myanmar yang UNICEF sampaikan melalui berbagai media

mendorong masyarakat lokal maupun internasional merespon dan memberikan

dukungan bahkan bantuan baik dalam bentuk dukungan secara langsung

maupun donasi sejumlah dana baik atas nama pribadi maupun negara.

131

6.2 Saran

Saran yang diberikan peneliti untuk peran yang dilakukan UNICEF dalam

mengatasi permasalahan perekrutan tentara anak di Myanmar adalah :

1. Dalam menjalankan peran sebagai Motivator, UNICEF mengalami beberapa

kekurangan karena pada kenyataannya, berbagai pasal yang mengatur hal

mengenai perekrutan tentara anak masih banyak dilanggar. Ketika terjadi

sebuah pelanggaran, yang berperang sebagai penegak hukum adalah hukum

nasional masing–masing negara. Sehingga tanpa keinginan dan perjuangan

yang teguh untuk menegakannya maka konvensi dan revolusi tidak akan

efektif sehingga dibutuhkannya rasa keseriusan pemerintah Myanmar dalam

merespon dan menyelesaikan permasalahan perekrutan tentara anak.

2. Peran Komunikator menghasilkan beberapa aksi dan tindakan, misalhnya

keterlibatan artis atau membuat masyarakat internasional menangkap dan

untuk pemerintah Myanmar, diharapkan agar tetap konsisten dan membuka diri

untuk diawasi dan dievaluasi oleh Pihak pengawas agar terjalin sinergi yang

baik dan upaya penghentian perekrutan tentara anak dapat terealisasi dengan

maksimal.

3. Peran Mediator mencoba untuk mengantisipasi keterlibatan perekrutan tentara

anak dalam militer maupun kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia

terutama hak anak, kiranya faktor pendidikan, keluarga, dan lingkungan

menjadi faktor penentu. Berdasarkan pengalaman di negara Myanmar sebagai

negara berkembang, anak yang dilibatkan militer disebabkan karena mereka

tidak mengenyam pendidikan, tidak memiliki kehidupan ekonomi keluarga

yang mumpuni, dan lingkungan yang tidak kondusif.

132

Dalam memperbaiki kondisi ini maka diperlukan upaya serius dan

menyeluruh, baik itu perbaikan ekonomi dan edukasi yang merata juga tentunya

diikuti dengan perbaikan sistem hukum dan kebijakan pemerintahan. Dan

keseluruhan hal tersebut merupakan kewajiban negara. Pemerintah Myanmar

seharusnya bersikap tegas dalam mengawasi dan melindungi anak dalam

perekrutan anak sebagai tentara dan menghukum pelakunya dengan seberat-

beratnya. Selain itu, negara anggota harus lebih serius terhadap penerapan

berbagai konvensi dan perjanjian yang khusus melindungi anak dan kepentingan

anak dalam situasi konflik bersenjata.

Kegiatan UNICEF turun ke daerah konflik untuk mengkondisikan suatu

penerapan kerja lapangan yang akan mencegah perekrutan tentara anak dengan

cara memeberikan sosialisasi kepada pihak orang tua dan tokoh masyarakat untuk

membawa anak dibawah umur ke penampungan guna perlindungan, pembinaan,

pendidikan dan hal-hal berkaitan dengan survival untuk membekali anak agar

tetap mendapatkan hak mereka yang sudah diatur dalam Konvensi hak-hak anak.

PBB sebagai organisasi internasional, seharusnya dapat secara tegas

menerapkan sanksi-sanksi kepada negara yang melanggar konvensi dan resolusi.

Jika faktor politik dan ekonomi lebih dikedepankan daripada aturan hukum, maka

resolusi dan konvensi hanya akan menjadi tulisan yang tertuang dalam meja-meja

perjanjian. Diperlukan kesadaran bahwa dalam situasi apapun ketika perang,

masalah pokoknya adalah penghormatan terhadap hak asasai manusia dan

perlindungan warga sipil khususnya wanita dan anak-anak. Tidak ada toleransi

bagi negara manapun yang melakukan kejahatan perang.

133

6.3 Hambatan Dalam Penulisan

Tidak dapat dipungkiri ketika melakukan penelitian semua peneliti pasti

akan mendapatkan sebuah permasalahan dan hambatan dalam meneliti.

Permasalahan dapat terjadi perihal data, pengolahan data, maupun hal-hal lainnya.

Pada penelitian yang berjudul “Peran UNICEF dalam mengatasi Child

Soldiering di Myanmar Tahun 2010-2013” peneliti mengalami hambatan dan

kesulitan dalam memperoleh data, mengingat bahwa negara Myanmar adalah

negara yang menganut prinsip Non-Intervensi yaitu prinsip yang mengemukakan

bahwa suatu negara tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan atau

permasalahan dalam negeri dari negara lain yang membuat peneliti sulit untuk

mendapatkan data secara terperinci dan akurat mengenai negara maupun

permasalahan yang terjadi.

Diharapkan peneliti selanjutnya ketika ingin meneliti hal yang sama

sebaiknya dapat terjun langsung ke lapangan dengan langsung mengunjungi

negara yang bersangkutan yaitu Myanmar agar dapat lebih jelas dan dapat

mengamati secara langsung semua permasalahan dan konflik yang ada di negara

tersebut. Agar dapat lebih memberikan infomasi terhadap masyarakat

internasional maupun pihak-pihak yang ingin meneliti permasalahan yang ada di

Myanmar khususnya perekrutan tentara anak.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Asia, I., 1997. “No Child At All‖ A Report about Child Soldiers in Burma. PT.

Thailand Frasio.

Andrew, S., 2002. “Burma‘s Armed Forces: Power Without Glory Norwalk‖, CT:

EastBridge.

Ambarwati, Ramdhany, D., Rusman, R. 2009. Hukum Humaniter Internasional

Studi Hubungan Internasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Amos, P., 2000. Militer dan Politik. Jakarta : PT. Grafindo Persada

Archer, C., 2011. International Organization, London: University of Aberdeen,

1983 UNICEF Humanitarian Action for Children

Benett, A., 2010. International Organizations: Principles and Issues, University of

Delaware.

Beah, I., 2008. A Long Way Gone – Memoar Seorang Tentara Anak. Yogyakarta:

PT.Bentang Pustaka.

Human Right Watch, 2002.―My Gun Was As Tall As Me: Child soldier in

Burma‖, New York: Human Right Watch.

Human Right Watch, 2007.―Sold to Be Soldiers : The Recruitment and Use of

Child Soldiers in Burma‖, New York: Human Right Watch.

Kirkham, A. 2015. Listening to Voices – Perspectives From the Tatmadaw‘s

Rank and File. The Centre for Peace and Conflict Studies (CPCS), PT.

Church Aid.

Marshalsea, R., 2013. Child Soldiers International Chance for Change: Ending

The Recruitment and Use of Child Soldiers in Myanmar. PT. London, Crd.

Myoe, Maung A,. 2009. Building the Tatmadaw: Myanmar Armed Force Since

1948. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.

135

Narwati, E., Hastuti, L., 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam

Konflik Bersenjata. Jakarta. Group Din Sos.

See R., McCallin, M., 1998. “Children: The Invisible Soldiers. Save the

Children”, Sweden

Susetyo, H., 2010. Child Soldier: Pelibatan anak dalam konflik bersenjata.

Starke, J., 2008. Pengantar Hukum Internasional 1 (Introduction to international

Law: Bambang Iriana Djajaatmadja), Sinar Grafika.

Thomson, C., 2002. Political Stability and Minority Groups in Burma. Geographical Review.

Verloren, A,. 2009. Global Organizations: The United Nations Children‗s Fund.

New York : Infobase Publishing.

Vera, A., Simon, F., 2006. “No Place to hide: Refugees, Displeaced Persons, and

The Recruitment of Child Soldiers”. International Security publishing.

JURNAL

Achvarina, R. Laporan Human Rights Watch. Sold to be Soldiers: The

Recruitment and Use of Child Soldiers in Burma.

Article 4, dalam The convention On The Right Of The Child

Barbara S., Burma Centre for Ethnic Studies. Analysis Paper No.1. January 2012.

“Child Soldiers and International Law”. African Security Review.

Brett, R., McCallin, M., 1998. “Children: The Invisible Soldiers‖, New York.

Coalition to Stop the Use of Child Soldiers (CSUC), Child Soldiers Report,

2001”, http://www.child-soldiers.org

Creswell. C., Child Soldiers Global Report 2004 www.child-soldiers.org

Child Soldier International, 2015. ―Under Radar: on going recruitment and use of

children by Myanmar army”, London: Child Soldier International.

Child Soldier Organization. Child Soldiers: The Use of Child Soldiers‖,

http://www.childsoldiers.org/user_upliads/pdf/finalmaimaibriefingpaperfe

b10english395033.pdf

136

Child Soldiers International. 2009. Louder Than Words – An agenda for action to

end state use of child soldiers. London: Child Soldiers International.

Child and Women health issue”,

http://www.unicef.com.au/LinkClick.aspx?link=106&tabid=71

Child and Women analytical cente

http://www.unicef.org/sitan/index_43348.html

Child Soldier in Non-state Armed Group”,

http://www.hrw.org/reports/2007/burma1007/7.htm

Commitment adopted in the “Plan of Action Concerning Children in Armed

Conflict,” Council of Delegates, Red Cross and Red Cressent 1995

Denov, M., 2010. Child Soldiers – Sierra Leone‘s Revolutionary United Front.

New York: Cambridge University Press

Fund Raising Strategy for UNICEF Myanmar Country Programme 2006-

2010”,http://www.unicef.org/Myanmar/PR_Fund_Raising_Strategy.pdf

Human Right Watch, 2007 statistic”,

https://www.hrw.org/reports/2007/burma1007/6.htm

ILO, “Report of the Director General to the members of the Governing

(No.29)”,ILO, 21/5/99, testimonies No.157, 176.

James, P., 2010. “Humanitarian Intervention and Responsibility to Protect:

Who Should Interverne‖, United States: Oxford Univercity Press.

Keairns, Y., 2002. “The Voices of Girl Child Soldiers: Summary‖. Quaker UN

Office,

Kaplan, E., 2005. Child Soldier Around the World. Diakses pada

http://www.cfr.org/publication/9331/#6,

Maddocks, 1997. US Embassy, Burma: Foreign Economic Trends Report,

Rangoon.

Pawan, B., Bishni P., 2009. “Child Soldier: Crime Against Humanity”. Dalam

jurnal Conflict Center.

Paul, K. 2013. Burma Centre for Ethnic Studies: The Border Guard Forces: The

Need to Reassess the Policy. Briefing Paper.

Scott, G., 2002. “Recruitment and Allegiance: The Microfoundations of

Rebellion.”, dalam journal of Conflict Resolution, Vol.46. No.1.

137

Su-Ann, O., 2013. “Prospects for Ending Child Soldiering in Myanmar‖, dalam

jurnal Singapore‘s Institute Of Southeast Asia Studies (ISEAS).

Warren, S., 2007. Suffer the Little Soldier”,

https://www.hrw.org/news/2007/11/02/suffer-little-soldiers

The Tatmadaw : The State Military, Key Factors in Child Recruitment”,

https://www.hrw.org/reports/2007/burma1007/6.htm

The Tatmadaw‟s Staffing Crisis, diakses pada 22 Agustus 2018

https://www.hrw.org/reports/2007/burma1007/6.htm

The Convention on the right of the Child, Guiding principles: general

requirements for all rights”,

http://www.unicef.org/crc/files/Guiding_Principles.pdf UNICEF, Summary: Child

Soldier Global Report 2008, Coalition to Stop the Use of the Chils

Soldier.

UNICEF, “Situation Analysis of Children in Myanmar: July 2012, Myanmar:

Minsitry of National Planning and Economic Development and UNICEF

United Nations Children‟s Fund (UNICEF): New York 2011. Situasi Anak-anak

di Dunia 1994 ; Dana PBB untuk Anak-anak (UNICEF).

UNICEF Myanmar: Country programme brief 2011-2015, halaman 8”,

https://data.unfpa.org/downloadDoc.unfpa?docId=163

UNICEF, “Adult Wars, Child Soldier‖, Thailand: solas Co, Ltd, 2002

UNICEF. 2014, Helping children stay healthy and well-nourished”,

http://www.unicef.org/Myanmar/health_nutrition.html

UNICEF, “UNICEF: Combating Child Trafficking‖, Perancis: SADAG, 2005

UNICEF, “UNICEF Myanmar: Country Programmee Brief 2011-2015”, Yangon:

UNICEF Myanmar, 2014

UN Convention on the Right of the Child – Article 38/3

U.N Spotghlights Child Soldiers”,

https://www.hrw.org/reports/2007/burma1007/6.htm

Wells, S,. 2004. Contemporary Southeast Asia Vol. 26. “Crimes Against Child

Soldiers in Armed Conflict Situations: Application and Limits of

International Humanitarian Law”.

138

SUMBER ONLINE

https://www.child-soldiers.org/child-soldiers-in-myanmar.

http://internasional.metrotvnews.com/dunia/Gbm4GoeN-pbb-ribuan-anak-

dijadikan- tentara-dalam-konflik-bersenjata

http://www.burmalibrary.org/show.php?cat=411&lo=d&sl=1.

http://unscr.com/en/search

http://cirp.org/library/ethics/UNconvention/

http://www.UNICEF.org/about/who/index_introduction

http://www.amnesty.org/en/library/ info/ASA16/001/2011

http://www.humanium.org/en/child -soldier/

http://burmalibrary.org/docs/pyithu_hlutt aw_election_law.htm

http://www.childsoldiers.org/our_goals.php

http://www.humanium.org/en/childsoldier/

http://www.law.georgetown.edu/library/r esearch/guides/IGOsNGOs.cfm

https://www.unicef.org/mdg/28184_28229.htm

file:///C:/Users/WINDOWS/Downloads/Documents/basic-facts-about-the-un.pdf

http://en.wikipedia.org/wiki/Military_use_of_children, Military use children.

https://www.warchild.org.uk/issues/child-soldiers.

http://childrenandarmedconflict.un.org/children-not-soldiers/

www.unicef.org/emerg/files/childsoldiers.pdf.

http://www.unicef.org/protection/index_armedconflict.html, UNICEF. 2011.

Child Protection from Violence Exploitation and Abuse.

www.child-soldiers.org Child Soldiers Global Report 2004 hlm 13.

139

www.savethechildren.net, History of Save The Chidren,

https://www.unicef.org/childsurvival/

http://www.humanium.org/en/child-soldier/

https://www.hrw.org/reports/2007/burma1007/6.htm

https://www.unicef.org/infobycountry/myanmar_statistics.html

http://www.unicef.org/about/execboard/files/Myanmar_final_approved_CPD_9_S

ept_2010.pdf