Upload
others
View
19
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
OPEN ACCES
Vol. 13 No. 2: 160-167 Oktober 2020
Peer-Reviewed
AGRIKAN
Jurnal AgribisnisPerikanan(E-ISSN 2598-8298/P-ISSN 1979-6072)
URL: https:https://ejournal.stipwunaraha.ac.id/index.php/AGRIKAN/
DOI: 10.29239/j.agrikan.13.2.160-167
Peranan Hormon Inferent Terhadap Indeks Kematangan Gonad Dan Pertumbuhan Ikan Betok Ambon (Chrysiptera cyanea)
(The Role of Inferent Hormones on Gonad Maturity Index and Growth of
Ambon Betok Fish (Chrysiptera cyanea))
Melani Andi1, Muhammad Irfan1 dan Juharni1
1 Program Studi Budidaya Perairan, FPIK. Universitas Khairun, Ternate, Indonesia, Email: [email protected],
[email protected], [email protected] Info Artikel:
Diterima: 13 Agust. 2020
Disetujui: 04 Okt. 2020
Dipublikasi: 05 Okt. 2020
Review Articles
Keyword:
Inferent hormones, gonad
maturity index, growth, ambon
fish.
Korespondensi:
Muhammad Irfan
Universitas Khairuna
Ternate, Indonesia
Email: [email protected]
Copyright© Oktober 2020
AGRIKAN
Abstrak. Salah satu jenis ikan hias laut yang dapat dikembangkan melalui usaha budidaya adalah ikan betok
ambon. Budidaya ikan ini cukup menguntungkan, dan mudah dalam pemeliharaannya.Untuk menjaga
kelestarian dan keberlanjutan usaha budidaya ikan betok ambon, maka salah satu cara yang ditempuh adalah
dengan memahami dan mengetahui aspek pertumbuhan dan reproduksi dari jenis ikan ini melalui pemberian
hormon inferent secara tepat.Review artikel ini bertujuan untuk mengungkapkan peranan hormon inferent
terhadap aspek reproduksi dan pertumbuhan ikan betok ambon.Reproduksi merupakan proses
perkembangbiakan pada makhluk hidup termasuk ikan betok ambon. Jumlah telur yang dihasilkan ikan betok
ambon bervariasi antara 900-3.500 butir Hormon inferent merupakan salah satu jenis hormon reproduksi
yang berfungsi untuk dapat memacu dan mempercepat tingkat kematangan gonad pada hewan termasuk
ikan.Penentuan dosis hormon inferent didasarkan pada penentuan dosis inferent pada ikan umumnya sekitar
10 mg – 80 mg atau sekitar 0,1 ml – 0,8 ml. Umumnya ikan yang diberi hormon inferent dengan dosis 40-60
mg/l dapat meningkatkan indeks kematangan gonad sampai sebesar 25%, pada ikan betok ambon sebesar 30%.
Dosis hormon inferent sekitar 20-40 mg dapat meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan
betok ambon.
Abstract. One type of marine ornamental fish that can be developed through cultivation is betok Ambon fish.
Cultivation of this fish is quite profitable, and easy to maintain. To maintain the sustainability and
sustainability of Betok Ambon fish farming, one way to take is to understand and know the growth and
reproduction aspects of this type of fish through the provision of inferent hormones appropriately. Review
article This aims to reveal the role of the inferent hormone on the aspects of reproduction and growth of Betok
Ambon fish. Reproduction is the reproduction process in living things including Betok Ambon fish. The
number of eggs produced by Betok Ambon fish varies between 900 and 3,500. Inferent hormone is one type of
reproductive hormone that functions to spur and accelerate the level of gonad maturity in animals including
fish. The determination of the inferent hormone dosage is based on the determination of the inferent dose in
fish, generally around 10 mg - 80 mg or about 0.1 ml - 0.8 ml. Generally, fish that are given inferent hormone
at a dose of 40-60 mg / l can increase the gonad maturity index by 25%, in betok Ambon fish by 30%. Inferent
hormone doses around 20-40 mg can increase the growth and survival of ambon betok fish.
I. PENDAHULUAN
Pengelolaan sumberdaya perairan Indonesia
yang menyangkut penyediaan bahan pangan
dalam bidang perikanan merupakan faktor
penting dalam menunjang pembangunan bangsa
dan negara.Keperluan akan sumberdaya tersebut
dirasakan semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya pertambahan penduduk.
Perkembangan penduduk yang pesat
mengakibatkan semakin meningkatnya
kebutuhan protein terutama protein hewani yang
berasal dari laut. Salah satu upaya yang perlu
dilakukan adalah dengan memanfatkan protein
hewani dari laut melalui usaha budidaya berbagai
jenis ikan budidaya yang bernilai ekonomis
penting seperti ikan air laut dan ikan hias laut
(Lingga dan Susanto, 1993).
Perkembangan bisnis produk perikanan
non-konsumsi termasuk komoditas ikan hias di
Indonesia mengalami perkembangan yang cukup
pesat dan memiliki prospek yang menjanjikan
secara ekonomi. Sejak tahun 2011 nilai
perdagangan ikan non-konsumsi melebihi target
yang telah ditetapkan yaitu mencapai Rp 565
miliar dari target sebesar Rp 350 miliar (Suharno
dan Gani, 2013).
Ikan hias merupakan salah satu komoditas
perikanan yang menjadi komoditas perdagangan
Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 2 (Oktober 2020)
161
yang potensial di dalam maupun di luar negeri.
Ikan hias dapat dijadikan sebagai sumber
pendapatan devisa bagi negara. Kelebihan dari
usaha ikan hias adalah dapat diusahakan dalam
skala besar maupun kecil ataupun skala rumah
tangga, selain itu perputaran modal pada usaha
ini relatif cepat (Sihombing, 2013).
Ikan hias laut mempunyai nilai jual yang
tinggi di pasaran nasional dan internasional
seperti clown fish, cardinal banggai, dan lain-lain
(Kusrini, 2012). Oleh karena itu, pengembangan
ikan hias laut melalui usaha budidaya sangat
mutlak diperlukan untuk tetap menjaga
kelestariannya. Salah satu jenis ikan hias laut yang
dapat dikembangkan melalui usaha budidaya
adalah ikan betok ambon. Hal ini disebabkan
karena jenis ikan ini memiliki nilai jual di
pasaran, dengan harga sekitar Rp. 5000 per ekor.
Selain itu juga, budidaya ikan ini cukup
menguntungkan, dan mudah dalam
pemeliharaannya. Untuk berkembang secara baik,
maka perlu penyesuaian kondisi lingkungan
hidup seperti suhu, tekanan aerasi pada media
serta penggunaan pakan yang berkualitas (Gani,
2013).
Salah satu Upaya untuk meningkatkan
produksi ikan betok ambon adalah ketersediaan
induk matang gonad. Ketersediaan induk matang
gonad dapat meningkatkan ketersediaan benih
secara berkelanjutan. Salah satu cara yang
diperlukan adalah ketersediaan teknologi yang
mampu mempercepat pertumbuhan dan
kematangan gonad. Menurut Tang dan Affandi
(2004) strategi kematangan gonad dapat dilakukan
dengan memanipulasi hormonal.
Pertumbuhan dan pematangan gonad
memainkan peranan penting dalam budidaya
ikan. Untuk memperoleh benih yang berkualitas,
induk harus benar-benar matang gonad dan
memiliki ukuran tubuh yang sesuai (Tomasoa
dkk; 2018). Untuk menjaga kelestarian dan
keberlanjutan budidaya ikan betok ambon, maka
salah satu cara yang ditempuh adalah dengan
memahami aspek pertumbuhan dan reproduksi
dari jenis ikan ini dengan menggunakan hormon
inferent (Puspitarini dan Andriyono, 2015). Review
artikel ini bertujuan untuk mengungkapkan
peranan hormon inferent terhadap aspek
reproduksi dan pertumbuhan ikan betok ambon.
II.PEMBAHASAN
2.1. Biologi Ikan Betok Ambon
2.1.1. Klasifikasi dan Morfologi
Ikan betok ambon termasuk dalam kelas
Actinopterygii, family Fomacentridae, genus
Chrysiptera, dan spesies Chrysiptera cyanea
(Gani, 2013). Ikan betok ambon memiliki tubuh
langsing. Seluruh tubuh ikan ini berwarna
dominan biru cerah, terkadang di sertai titik- titik
putih. Pada ujung sirip punggung biasanya
terdapat titik berwarna hitam letaknya dipangkal
siripnya. Perbedaan jantan dan betina dapat
dilihat dari poster tubuh, warna dan ukuran.
Jantan kelihatan memanjang, bagian sirip ekor
dan dada berwarna orange dan ukurannya lebih
besar sedangkan betina kelihatan pendek dan
agak bulat, bagian sirip ekor dan dada teransparan
(Puspitarini dan Andriyono, 2015).
Ciri-ciri induk ikan betok ambon jantan
yaitu ukuran tubuh yang lebih besar dari induk
betina yaitu berukuran 7-8 cm dan dibagian ekor
terdapat warna kuning yang menyebabkan ikan
ini menjadi indah. Induk betina berukuran lebih
kecil dari pada induk jantan yaitu berkisar 6-7 cm
dan terdapat bercak putih pada sirip. Ikan betina
memiliki noda atau bintik hitam yang terdapat
pada sirip punggung, sedangkan yang jantan tidak
memliki bintik hitam melainkan warna orange
pada siripnya (Gani, 2013). Pada ikan betok
ambon, induk jantan lebih besar. Selanjutnya
dikatakan bahwa induk betina yang akan memijah
mempunyai ciri-ciri perut buncit dan genital
papilanya menonjol, sedangkan induk jantan
agresif bergerak mengejar induk betina (Suharno
dkk; 2013).
Gambar 1. Ikan Betok Ambon (Dwi Saputra, 2013)
Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 2 (Oktober 2020)
162
2.1.2. Habitat
Ikan betok ambon merupakan ikan yang
habitat hidupnya di sekitar terumbu karang atau
perairan dangkal yang tidak jauh dari bibir pantai.
Bentuk tubuhnya agak pipih dan memanjang
dengan kepala yang berukuran cukup besar.
Ukuran tubuhnya tergolong pendek dengan
panjang hanya mencapai sekitar 7 cm (Dwi
Saputra, 2016).
Ikan betok ambon ditemukan diantara
puing-puing dan karang laguna yang terlindung
dan karang didaerah subtidal. Ikan betok ambon
dapat ditemukan pada kedalaman 0 sampai 10 m,
namun biasanya ditemukan dalam air dengan
kedalaman 0 sampai 6.737 m (0 sampai 22.103 kaki)
pada perairan laut (Zipcodezoo, 2014). Menurut
Lachlan et al; (2018), ikan betok ambon bisa
ditemukan pada kedalaman 30-50 m.
Ikan betok ambon hidup pada perairan laut
berkarang yang memiliki salinitas 8,1–8,4 dan
suhu berkisar antara 25-28°C. Termasuk jenis ikan
hias laut yang berasal dari Indo-Pasifik dan
Australia (FishLore, 2013). Ikan betok ambon
merupakan ikan perenang aktif yang sering
terlihat keluar masuk karang dan kadang-kadang
berlarian ditempat terbuka secara bergerombol
(Susanto, 2006).
2.1.3. Kebiasaan Makan
Ikan betok ambon termasuk jenis ikan
diurnal atau ikan yang aktif mencari makan pada
siang hari, saat intensitas cahaya lebih tinggi, dan
aktivitas makan akan berkurang dimalam hari,
sejalan dengan berkurangnya intensitas cahaya
matahari (Mustafa dkk, 2017). Pemberian pakan
ikan betok ambon disesuaikan dengan bukaan
mulutnya. Pada saat larva berumur 3 hari, dberi
pakan alami berupa Clorella sp, dan rotifera.
Setelah larva berumur 20 hari, dapat diberikan
pakan artemia sampai umur 30 hari. Saat berumur
lebih dari 30 hari dapat diberi pakan pellet
(Bapary, 2011). Secara umum, jenis pakan yang
dapat diberikan pada jenis ikan ini adalah pakan
buatan, pakan hidup seperti artemia, udang renik,
jentik nyamuk, yang sesuai dengan bukaan
mulutnya (Gani, 2013).
2.1.4. Tingkah Laku
Ikan betok ambon mempunyai sifat
mendiami habitat dan sebaran tempat hidup yang
menetap dan berusaha mempertahankan habitat
dimana ikan tersebut berada. Tingkah laku yang
unik dari ikan ini adalah merubah warnanya
dalam seketika, hal ini terjadi apabila ikan ini
terancam, seringkali terlihat berenang dengan
cepat mengejar makanan atau hanya bermain-main
dan memiliki gerakan yang sangat gesit. Ikan
betok ambon betina mempunyai ekor berwarna
putih, sedangkan yang jantan berwarna merah.
Tubuhnya langsing dengan warna bagian dalam
biru tua atau biru gelap. Tetapi, dalam kondisi
aman, kadang tampak warna biru kehijauan
(Suharno dan Gani, 2013). Keagresifan ikan betok
ambon ditujukan bukan untuk memangsa atau
mengganggu ikan jenis lain yang ada di terumbu
karang, tapi dimaksudkan agar ikan jenis lain
tidak berani memangsa atau mengusik sarangnya.
Selain itu, ikan betok ambon merupakan perenang
handal yang mampu bergerak cepat dan gesit
untuk menangkap makanannya (Dwi Saputra,
2016).
2.2. Reproduksi
Reproduksi merupakan proses
perkembangbiakan pada makhluk hidup termasuk
ikan betok ambon. Adjie dan Fatah (2015)
menyatakan bahwa reproduksi merupakan hal
yang sangat penting dari suatu siklus hidup
organisme, dengan mengetahui biologi reproduksi
ikan dapat memberikan keterangan yang berarti
mengenai tingkat kematangan gonad, fekunditas,
frekuensi dan musim pemijahan, dan ukuran ikan
pertama kali matang gonad dan memijah.
Kinerja reproduksi merupakan suatu proses
yang berkelanjutan pada ikan akibat adanya
rangsangan dari luar ataupun dari dalam tubuh
ikan itu sendiri. Rangsangan tersebut dapat
berupa rangsangan hormonal ataupun rangsangan
lingkungan. Rangsangan hormonal yang terjadi
pada induk ikan betina berbeda dengan induk
jantan. Pada induk betina, rangsangan hormonal
ditujukan untuk pembentukan telur dan
pematangannya, sedangkan pada ikan jantan
rangsangan tersebut untuk pembentukan
sperma.Perkembangan gonad pada ikan
membutuhkan hormon gonadotropin yang
dilepaskan oleh kelenjar pituitari yang kemudian
terbawa aliran darah masuk ke gonad.
Gonadotropin kemudian masuk ke sel teka,
menstimulir terbentuknya hormon yang kemudian
akan masuk ke sel granulosa kemudian masuk ke
dalam hati melalui aliran darah dan merangsang
hati untuk mensintesis vitelogenin yang akan
dialirkan lewat darah menuju gonad untuk diserap
oleh oosit sehingga penyerapan vitelogenin ini
disertai dengan perkembangan diameter telur
(Sumantri 2006).
Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 2 (Oktober 2020)
163
Reproduksi pada ikan betina melibatkan
dua proses utama, yaitu (1) perbesaran ovari secara
bertahap dengan pembentukan kuning telur
melalui proses yang disebut vitelogenesis; dan (2)
maturasi, ovulasi, dan pemijahan. Kedua proses
ini diatur oleh hormon gonadotropin; FSH (Follicle
Stimulating Hormon) terlibat dalam vitelogenesis,
sementara LH (Luteinizing Hormone) memacu
maturasi dan ovulasi (Sun dan Pankhurst, 2004).
Reproduksi ikan berada di bawah kontrol poros
hipotalamus-pituitarigonad dan melibatkan tiga
faktor yang meliputi sinyal lingkungan, sistem
hormon, serta organ reproduksi. Pada banyak
kasus, sinyal lingkungan untuk proses
pematangan gonad serta ovulasi dan pemijahan
tidak diketahui. Hal ini terutama menjadi masalah
bagi spesies yang tidak memijah secara spontan di
dalam wadah budidaya (Zairin, 2003). Seperti
halnya ikan betok ambon, merupakan jenis ikan
yang sulit memijah, oleh karena itu untuk
mempercepat proses pemijahannya dapat
digunakan hormone reproduksi inferent yang
memiliki fungsi seperti hormone reproduksi
lainnya (Wayne, 2016).
Dalam proses perkawinan ikan betok
ambon, induk ikan jantan sangat protektif dalam
menjaga telur yang telah dibuahi kurang lebih 4
hari masa inkubasi sampai telur menetas (Suharno
dkk, 2013). Proses pembuahan pada ikan ini terjadi
diluar tubuh, dimana induk betina melepaskan
telur dan diiukuti pelepasan spermatozoa oleh
induk jantan. Sperma dikeluarkan dalam jumlah
yang sangat banyak dibandingkan dengan telur
yang akan di buahi. Walaupun demikian,
spermatozoa memiliki kesempatan yang sama
untuk dapat membuahi sel telur (Sutisna dan
Ratna, 1995). Sepasang induk ikan betok ambon
dapat memijah secara terus menerus dengan
selang waktu 4-5 hari sekali. Induk ikan ini
memelihara telurnya selama 4 hari dan akan
menetas pada hari ke 4. Jumlah telur yang
dihasilkan bervariasi antara 900-3.500 butir
(Yulianti, 2013). Menurut Suharno (2013) telur ikan
betok ambon dapat melakukan pemijahan dengan
nilai Fecundity Rate (FR) dan Hatching rate (HR)
mencapai diatas 99%.
2.3. Hormon
Hormon adalah zat organik yang diproduksi
oleh sel-sel khusus dalam badan, dirembeskan ke
dalam peredaran darah yang walaupun dengan
jumlah yang sangat kecil dapat merangsang sel-sel
tertentu untuk berfungsi (Partodihardjo, 1980).
Dalam pengertian yang lain, hormon adalah
substansi kimia yang dihasilkan oleh kelenjar
endokrin atau kelenjar buntu yang berfungsi
mengatur dan mengkatalisa proses metabolisme
kimia di dalam target organ atau jaringan
(Kusmiati, 1988).
Umumnya hormon digunakan untuk
mengontrol pertumbuhan, reproduksi,
metabolisme, tingkah laku manusia dan vertebrata
lainnya (Matty, 1985). Semua hormon bersifat khas
dan selektif dalam pengaruhnya terhadap organ
sasaran yang ditentukan secara genetik.Organ
sasaran segera bereaksi terhadap salah satu
hormon untuk menghasilkan zat atau perubahan-
perubahan sebagaimana telah diprogramkan
secara genetik (Kusmiati, 1988). Hormon memiliki
fungsi untuk memberikan sinyal ke sel target
selanjutnya akan melakukan suatu tindakan atau
aktivitas tertentu. Pada prinsipnya pengaturan
produksi hormon dilakukan oleh hipothalamus
(bagian dari otak). Hipothalamus mengontrol
sekresi banyaknya kelenjar lain, terutama kelenjar
pituitary, yang juga mengontrol kelenjar-kelenjar
lain.Hipothalamus akan memerintahkan kelenjar
pituitary untuk mensekresikan hormon dengan
mengirim faktor regulasi ke lobus anterior dan
mengirim impuls saraf ke posteriornya (Basuki,
2007).
Hormon inferent merupakan salah satu jenis
hormon reproduksi yang berfungsi untuk memacu
dan mempercepat tingkat kematangan gonad pada
hewan termasuk ikan. Hormon ini dapat pula
mengaktifkan gonad ikan yang telah steril
menjadi gonad aktif (Matty, 1985). Hormon
inferent memiliki fungsi kerja yang sama seperti
hormon-hormon reproduksi lainnya, seperti
Oodev, FSH-RH, dan LH-RH. Mekanisme kerja
hormon inferent jika disuntikkan pada ikan akan
menyebabkan perilisan gonadotropin endogen
(Gth) dari hypothalamus seperti FSH-RH dan LH-
RH serta terjaga konsentrasi FSH dan LH analog
yang terdapat pada tubuh (Jalabert, 2005).
Pertumbuhan sel interestial ovarium dan
pemasakan folikel akan mengalami pertambahan
diameter dan kematangan telur hingga tahap siap
untuk diovulasikan atau ikan siap dipijahkan
(Cholifah, 2016). Basuki (2007) menyatakan bahwa
Gonadotropic Hormone (GTH) terbagi dua yakni
Follicle stimulating hormone (FSH) yang berperan
dalam perkembangan oosit dan Luteinizing
Hormone (LH) yang berperan dalam pemicu
kematangan oosit.
Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 2 (Oktober 2020)
164
Penentuan dosis hormon inferent
didasarkan pada penentuan dosis inferent pada
ikan umumnya sekitar 10 mg – 80 mg atau sekitar
0,1 ml – 0,8 ml. Pada dosis sekitar 40 mg dapat
menigkatkan kematangan gonad ikan betok
ambon (Wayne, 2016). Hasil penelitian Tomasoa
dkk (2018) mendapatkan hormon reproduksi
oodev dengan dosis 1 mL/kg dapat meningkatkan
pertumbuhan panjang tubuh pada jantan (0,9 cm)
maupun betina (0,7 cm) ikan giru.
2.4. Indeks Kematangan Gonad
Indeks kematangan gonad (IKG) merupakan
tahapan pada saat perkembangan gonad sebelum
dan sesudah ikan ikan memijah (Effendie, 1997).
Indeks gonad merupakan suatu indeks kuantitatif
yang menunjukkan suatu kondisi kematangan
seksual ikan sehingga pada umumnya semakin
panjang tubuh ikan maka semakin besar pula nilai
indeks gonad yang diperoleh.Hal ini
menunjukkan bahwa ovarium yang lebih matang
memiliki bobot dan ukuran lebih besar, termasuk
penambahan dari ukuran telur (Adjie dan Fatah,
2015).
Pengukuran indeks kematangan gonad
dapat dilakukan dengan cara membandingkan
berat gonad terhadap berat tubuh ikan (Effendie,
1997). Indeks kematangan gonad diukur dari
perbandingan bobot tubuh dengan berat gonad
ikan jantan dan betina menggunakan timbangan
yang mempunyai ketelitian 0,01 gram. Berat gonad
ikan diukur dengan cara membedah ikan contoh
yang telah diawetkan, gonadnya diambil untuk
kemudian ditimbang dengan timbangan eletronik
dengan ketelitian 0,0001 mg. Berat gonad contoh
diambil dengan cara memotong sebagian gonad
pada bagian anterior, tengah dan posterior gonad
untuk kemudian ditimbang. Jumlah telur pada
gonad contoh dihitung di bawah mikroskop yang
dilengkapi micrometer dengan pembesaran 10 x 4
kali (Prianto dkk; 2014).
Selama proses reproduksi sebagian energi
dipakai untuk perkembangan gonad. Bobot gonad
ikan akan mencapai maksimum sesaat ikan akan
memijah kemudian akan menurun dengan cepat
selama proses pemijahan berlangsung sampai
selesai. Menurut Effendi (1997), pertumbuhan
bobot gonad ikan betina pada stadium matang
gonad dapat mencapai 10-25% dari bobot tubuh.
Indeks kematangan gonad pada ikan betina lebih
besar dari ikan jantan. Ikan dengan indeks
kematangan gonad 19% dapat mengeluarkan telur
(Permana, 2009). Umumnya Ikan yang diberi
hormon inferent dengan dosis 40-60 mg/l dapat
meningkatkan indeks kematangan gonad sampai
sebesar 25%, pada ikan betok ambon sebesar 30%
(Wayne, 2016).
Indek kematangan gonad ikan betok jantan
pada TKG IV berkisar 1,3-15,0% dan ikan betina
berkisar antara1,2-17,1%. Tingkat kematangan
gonad (TKG) IV ditandai dengan adanya volume
ovari mencapai lebih dari 70%. rongga perut,
berwarna kuning, butir telur mudah dipisahkan,
bila perut ditekan telur mudah keluar, dan siap
memijah (Adjie dan Fatah, 2015)..
Ukuran pertama kali matang gonad ikan
betina adalah pada panjang total 160 mm dan ikan
jantan pada panjang total 177 mm (Prianto dkk;
2014). Pada ikan kepe-kepe atau butterflyfish
dengan bobot 10-25 gram, dapat meningkatkan
kematangan gonad hingga mencapai TKG III
(Fountier, 2016). Tingkat kematangan Gonad
(TKG) III ditandai dengan: ovari kelihatan
membesar mencapai 60% rongga perut, berwarna
kuning, butir telur mulai kelihatan oleh mata
(Adjie dan Fatah, 2015). Selanjutnya hasil
penelitian Adjie dan Fatah (2015) mengungkapkan
bahwa pada ikan red devil (A. labiatus) pertama
kali matang gonad pada ukuran panjang total
antara 9,66-11,47 cm, sedangkan pada A.citrinellus
terjadi pada kisaran panjang total 7,9-11,95 cm.
Pada ikan giru, dosis hormon oodev 1 ml/kg dapat
meningkatkan nilai indeks kematangan gonad
jantan dan betina yaitu 0,47% dan 0,58% (Tomasoa
dkk; 2018).
2.5. Pertumbuhan
Pertumbuhan ikan adalah perubahan
ukuran dapat berupa panjang atau berat dalam
waktu tertentu. Sedangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan ikan diantaranya
jumlah dan ukuran makanan yang tersedia,
kualitas air, umur dan ukuran ikan, serta
keturunan (Effendie, 1997).
Induk ikan betok ambon jantan memiliki
ukuran tubuh 7-8 cm dan betina 5-6 cm.
Penggunaan hormon inferent pada berbagai dosis
untuk memacu tingkat kematangan gonad dan
pertumbuhan pada ikan betok ambon belum
banyak dilakukan. Dari berbagai studi pustaka
diperoleh bahwa beberapa penelitian yang terkait
dengan hal ini antara lain yang dilakukan oleh
Sutiana dkk (2017) menggunakan dosis hormon
tiroksin 15, 20, dan 25/kg pakan pada ikan koi
tidak mempengaruhi pertumbuhan panjang
maupun berat pada ikan koi. Pada ikan tetra
Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 2 (Oktober 2020)
165
kongo hormon 17 alfa metiltestosteron dengan
dosis 1,2, dan 4 mg/l, dapat meningkatkan
pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan tetra
kongo (Arfah dkk, 2002). Dosis hormon inferent
sekitar 20-40 mg dapat meningkatkan
pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan betok
ambon (Wayne, 2016). Pada ikan family
Cyprinidae dosis hormon inferent sekitar 60-70
mg/l dapat meningkatkan pertumbuhan dan
kelangsungan hidup (Fragille, 2015). Dosis hormon
1-10 ml/kg pakan dapat meningkatkan
pertumbuhan berat ikan red devil, sebesar 5-20
gram. Arfah dkk (2002) mendapatkan berat benih
ikan tetra kongo sebesar 1,65 gram dengan
menggunakan hormon 17α-metil testosteron dosis
4 mg/l. Selanjutnya dikatakan bahwa hormon 17α-
metil testosteron dapat memacu pertumbuhan
melalui tiga cara yaitu merangsang nafsu makan,
merangsang sintesa protein dan menekan
perkembangan gonad. Sedangkan Wayne (2016)
menyatakan bahwa hormon inferent dengan dosis
tepat dapat mengaktifkan dan mempercepat
perkembangan gonad sehingga ikan betok ambon
dapat memijah lebih cepat. Peningkatan
perkembangan gonad ikan betok ambon yang
disuntik hormon inferent terjadi karena adanya
peran gonadotropin eksogen yang mempengaruhi
aktivitas gonad. HCG merupakan chorionik
gonadotropin yang mempunyai sifat aktivitas
biologis ganda, yaitu berefek FSH (folikel
stimulating hormone) dan LH (luitenizing
hormone). FSH bertanggung jawab terhadap
perkembangan oosit (vitelogenesis) dan LH
pemicu kematangan oosit (Tahapari dan Sinarni
Dewi, 2013).
III. PENUTUP
Hormon inferent memiliki peranan yang
sangat besar dalam meningkatkan pertumbuhan
dan memacu tingkat reproduksi ikan betok
ambon. Peranan tersebut antara lain dapat
mempercepat kematangan gonad, mengaktifkan
gonad yang steril, meningkatkan indeks
kematangan gonad, serta menambah pertambahan
bobot dan panjang tubuh ikan. Hormon inferent
dengan dosis 40-60 mg/l dapat meningkatkan
indeks kematangan gonad ikan betok ambon
sebesar 30%. Dosis hormon inferent sekitar 20-40
mg dapat meningkatkan pertumbuhan dan
kelangsungan hidup ikan betok ambon.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
dosen pembimbing, atas segala arahan dan
masukan yang diberikan dalam penulisan artikel
review ini, dan juga kepada teman-teman
seangkatan yang banyak membantu.
REFERENSI
Adjie, S, dan Fatah, K. 2015. Biologi Reproduksi Ikan Red Devil (Amphilopus labiatus) dan (Amphilopus
citrinellus) Di Waduk Kedungombo, Jawa Tengah. Jurnal Widya Riset Perikanan Tangkap, 7 (1):
17-24.
Arfah, H, Alimuddin,K, Sumantadinata, dan J. Ekasari, 2002. Seks Reversal Pada Ikan Tetra Kongo Stadia
Larva. Jurnal Akuakultur Indonesia, 1 (2): 69-74.
Bapary,M.A.J., Amin, M. N., Taekuchi, Y., Takemura, A. 2011. The stimulatory effects of long wavelengths
of light on the ovarian development in the tropical damselfish, Chrysiptera cyanea. Aquaculture,
314:188-192.
Basuki, F. 2007. Optimalisasi Pematangan Oosit dan Ovulasi Pada Ikan Mas Koki Melalui Penggunaan
Inhibitor Aromatase. Disertasi. Sekoloah Pasca Sarjana. IPB. Bogor. 90 hal.
Cholifah, D.E, 2016. Pengaruh Induksi Hormon Oocyte Developer (Oodev) Terhadap Kematangan Gonad
Calon Induk Ikan Nilem (Osteochilus hasselti). Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Air
Langga. Surabaya. Skripsi. 44 hal.
Dwi Saputra, 2016. Menyelami Keganasan Ikan Blue Devil. ww net. com.
Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 2 (Oktober 2020)
166
Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan.Pustaka Nusa Tama. Bogor. 122 hal.
FishLore. 2013. Saltwater Aquarium & Reef Tank Book. FishLore.com.
Fragille, 2015. Kebutuhan Hormon Inferent. www.net.com.
Fountier, A.2016. Index Maturity of Butterfly Fish. Report Research. 35 p.
Gani, 2013. Profil Komoditas Blue Devil (Betok Ambon).
Jalabert, B. 2005. Particularities of Reproduction and Oogenesis in Teleost Fish Compared to Mammals.
Reproduction Natural Development, 45:261-279.
Kusmiati,T.1988.Aplikasi Isotop pada Penetapan Hormon. Departemen Perindustrian Pusbinlat Industri.
SMAK. Bogor. 76 Hal.
Kusrini, 2012. Teknologi Produksi Benih Ikan Hias Laut Untuk Melestarikan Sumberdaya Genetiknya.
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias Jl. Perikanan No. 13, Pancoran Mas,
Depok. Hal 65-70.
Lachlan, C.F, Tumbul, J.W, Knot, A.N, Natsha A. Hardi. 2018. The Devil In the Deep: Expanding the Known
Habitat of the Rare and Protechted Fish. European Journal of Ecology, 4 (1):22-29.
Lingga, P dan Susanto, H. 1991. Ikan Hias Air Tawar. Seri Perikanan. Penebar Swadaya, Jakarta. 235 pp.
Matty,A.J. 1985. Fish Endocrinology. Croom Helm. London. 265 p.
Mustafa, Y, La Anadi, dan Arami, H, 2017. Respon Ikan Betok (Chrysiptera sp.) Terhadap Pemberian
Beberapa Jenis Umpan Dalam Wadah Percobaan.Jurnal MSP,2 (3): 207-214.FPIK. Universitas
Haluuleo. Kendari.
Partodihardjo, 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara. Jakarta. 560 hal.
Prianto, E, Kamal, M.M, Muchsin, I, Kartamihardja, S.E, 2014. Biologi Reproduksi Ikan Betok Di Paparan
Banjiran Lubuk Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Bawal, 6 (3): 137-146.
Puspitarini, A.D, Andriyono, S. 2015. Teknik Pembenihan Ikan Hias Blue Devils (Chrysiptera cyanea). Di
BAlai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung. Researchgate, Januari, 2015.
Sihombing, F., N. W. Artini dan R. K. Dewi. 2013. Kontribusi Pendapatan Nelayan Ikan Hias Terhadap
Pendapatan Total Rumah Tangga di Desa Serangan. E Jurnal Agribisnis dan Agrowisata.
Universitas Udayana. 2(4).13 hal.
Suharno, A. dan Gani, A.S.2013. Efektivitas Pemijahan Ikan Blue Devil (Chrysiptera cyanea) dengan
jumlah pasangan jantan betina yang berbeda. Balai Besar Laut Ambon.
http://abganfish.blogspot.com. 20/2/2015.
Sumantri D. 2006. Efektifitas Ovaprim dan Aromatase Inhibitor dalam Mempercepat Pemijahan pada Ikan
Lele Dumbo Clarias sp. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Sun B and Pankhurst NW. 2004. Patterns of Oocyte Growth, Vitellogenin and Gonadal Steroid
Concentrations in Greenback Flounder. Journal of Fish Biology, 64:1399-1412.
Susanto, H, 1996. Teknik Kawin Suntik Ikan Ekonomis. Penebar Swadaya. Jakarta.
Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 2 (Oktober 2020)
167
Susanto, H. 2006. Ikan Hias Air Laut. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sutisna dan F.Ratna. 1995. Aktivitas Reproduksi Ikan Betok Ambon. www.net.com.
Tang, U.M, dan Affandi, R, 2004. Biologi Reproduksi Ikan. Universitas Riau Press. Pekanbaru. Riau.
Tahapari, E, dan Sinarni Dewi, 2013. Peningkatan Performa Reproduksi Ikan Patin Siam Pada Musim
Kemarau Melalui Induksi Hormonal. Berita Biologi, 12 (2): 203-209.
Tomasoa, M.A, Azhari, D, Balansa, W. 2018. Pertumbuhan dan Pematangan Gonad Ikan Giru Amphiprion
clarkia Yang Diberi Pakan Mengandung Hormon Oodev. Jurnal Teknologi Perikanan dan
Kelautan, 9 (2): 163-168.
Wayne, H, 2016. Implementation, Inferent Hormone to Fish. Report of Research. www.research gate. 10 p.
Yulianti, Y. 2013. Teknik Budidaya Blue Devil (Chrysiptera cyanea). Balai Besar Pengembangan Budidaya
Laut Lampung, Lampung, 5-7 hal.
Zairin Jr M. 2003. Endokrinologi dan Perannya Bagi Masa Depan Perikanan Indonesia. Orasi ilmiah.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 40 hal.
Zipcodezoo. 2014. Chrysiptera cyanea. United Satets America. Error Hyperlink reference not valid.. (15
Desember 2014).