138
PERANAN KURATOR DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : GALUH INDRASWARI NIM: E0005021 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009

PERANAN KURATOR DALAM PENANGANAN PERKARA …/Peranan... · ... yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. ... (BEM FH) periode 2005-2006 ... pengaruh pada kegiatan ekonomi dunia

  • Upload
    dangthu

  • View
    233

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

PERANAN KURATOR DALAM PENANGANAN PERKARA

KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004

TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih

Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

GALUH INDRASWARI

NIM: E0005021

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2009

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum ( Skripsi )

PERANAN KURATOR DALAM PENANGANAN PERKARA

KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004

TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG

Disusun oleh :

GALUH INDRASWARI

NIM: E0005021

Disetujui untuk Dipertahankan

Dosen Pembimbing

Pembimbing

Prof. Dr. Adi Sulistiyono, S.H, M.H NIP. 196302091988031003

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum ( Skripsi )

PERANAN KURATOR DALAM PENANGANAN PERKARA

KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004

TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG

Disusun oleh :

GALUH INDRASWARI

NIM: E0005021

Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi )

Fakultas HukumUniversitas Sebelas Maret Surakarta

pada :

Hari : Kamis

Tanggal : 16 Juli 2009

TIM PENGUJI

1. Djuwityastuti, S.H. ( ................................. ) NIP. 195405111980032001 Ketua 2. Anjar Sri Ciptorukmi N, S.H., M.Hum. ( .................................. ) NIP. 197301221998022001 Sekretaris 3. Prof. Dr. Adi Sulistiyono, S.H., M.H. ( ................................. ) NIP. 196302091988031003 Anggota

MENGETAHUI

Dekan,

Mohammad Jamin, S.H, M.Hum.

NIP.196109301986011001

iv

ABSTRAK

GALUH INDRASWARI. E0005021. PERANAN KURATOR DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum 2009.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kewenangan yang diberikan kepada kurator untuk menjalankan tugas secara efektif dan efisien oleh undang- kepailitan, tugas kurator setelah adanya putusan pailit dari pengadilan niaga, dan kendala-kendala yuridis yang dihadapi oleh kurator dalam mengurus harta pailit.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif. Penelitian ini bersifat deskriptif. Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini adalah dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan kasus (case approach). Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder melalui studi kepustakaan yang terdiri dari dokumen-dokumen, buku-buku literatur, yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil lalu mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan.

Melalui hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kewenangan yang diberikan kepada kurator untuk menjalankan tugas secara efektif dan efisien oleh undang-undang kepailitan meliputi: (1) kurator berwenang menjalankan tugasnya sejak tanggal putusan pailit diucapkan, (2) dapat mengambil alih perkara dan meminta pengadilan untuk membatalkan segala perbuatan hukum debitor pailit, (3) berwenang melakukan pinjaman pada pihak ketiga, (4) tindakan kurator tetap sah walaupun tanpa adanya izin dari hakim pengawas, (5) berwenang mengamankan harta pailit, (6) dapat menerobos hak privasi debitor pailit, dan (7) berhak menjual harta pailit. Tugas kurator setelah adanya putusan pailit dari pengadilan niaga meliputi: (1) kurator harus mengamankan harta pailit, (2) menyelesaikan perikatan-perikatan yang dibuat oleh debitor pailit, (3) melakukan pencatatan harta pailit dan mengadakan rapat pencocokan piutang, (4) memberikan pertanggungjawaban apabila terjadi perdamaian, (5) mengurus harta pailit dan membereskan harta pailit. Kendala-kendala yuridis yang dihadapi oleh kurator dalam mengurus harta pailit, yaitu: (1) benturan antara Pasal 9 dan Pasal 16 undang-undang kepailitan, (2) jangka waktu pencatatan harta pailit adalah pasal yang ilusif, (3) putusan pailit pengadilan niaga Indonesia tidak dapat dieksekusi di luar negeri, (4) tidak diaturnya tanggung jawab kurator terdahulu berkaitan dengan tugasnya jika terjadi pergantian kurator, (5) adanya kekosongan hukum terhadap kurator yang sudah tidak terdaftar dalam organisasi profesi yang resmi ketika tengah menangani perkara kepailitan, dan (6) tidak adanya pembatasan yang jelas mengenai tanggung jawab kurator secara pribadi dan profesi.

v

ABSTRACT GALUH INDRASWARI. E0005021. THE ROLE OF CURATOR IN HANDLING THE BANKRUPTCY CASE BASED ON THE ACT NO. 37 OF 2004 ABOUT THE BANKRUPTCY AND DEBT OBLIGATION DELAY. Law Faculty of Surakarta Sebelas Maret University. Thesis. 2009.

This research aims to find out the authority given to the curator by the Bankruptcy Act to undertake its task effectively and efficiently, the curator’s task after the Commercial Court’s verdict, and the juridical obstacles the curator faces in handling the bankrupted property.

This study belongs to the normative research. This research is descriptive in nature. The research approaches employed was statue and case approaches. The data type used was secondary data deriving from the literary study consisting of documents and literature books relevant to the problem studied. Technique of analyzing data employed was the qualitative data analysis, that is, to collect the data, to qualify and then to connect the theories relevant to the problem and finally to draw on a conclusion to determine the result and to process the result of research into a report.

From the result of research, it can be concluded that the authority given to the curator by the bankruptcy act to undertake its task effectively and efficiently includes: (1) the authority of undertaking its task since the bankruptcy verdict stated, (2) of taking over the case and asking the court to cancel any legal action of bankrupted debtor, (3) of borrowing from the third party, (4) the curator’s action remains to be legitimate in the absence of the supervisory judge’s permission, (5) the authority of securing the bankrupted property, (6) can break through the privacy of bankrupted debtor, and (7) the right to sell the bankrupted property. The curator’s tasks after the bankrupted verdict from the commercial court include: (1) to secure the bankrupted property, (2) against the bonds made by the bankrupted debtor, (3) to inventory the bankrupted property and to hold a meeting of credit matching, (4) give responsibility for reconciliation, (5) the bankrupted property management and settlement. The juridical obstacles the curator faces in handling the bankrupted property include: (1) crash between article 9 and article 16 in Bankruptcy Act, (2) the regulation of bankrupted property registration duration is the article illusive to implement, (3) Indonesian Commercial Court’s bankrupted verdict cannot be executed abroad, (4) the previous curator’s unregulated responsibility relating to its task in the term of curator replacement, (5) the presence of law vacuum for the unregistered curator in the official professional organization during the bankruptcy case handling, and (6) the absence of clear restriction concerning the curator’s personal and professional responsibility.

vi

MOTTO

Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap

dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang

terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kebaikannya. Maka

janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.

- Q.S. An-Nisa : 135 -

Harus ada dari kamu segolongan (orang-orang) yang mengajak kepada

kebaikan, menganjurkan kebaikan dan mencegah yang munkar. Merekalah

orang-orang yang beruntung dan berbahagia.

- Q.S. Ali Imran : 104 -

Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-

olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.

- Q.S. Al Maidah : 32 -

Bukan besar atau kecil yang membuat engkau menang atau gagal, tetapi

jadilah yang terbaik siapapun engkau adanya.

- Douglas Mallock -

Majulah layaknya pedang di tangan pahlawan.

- Penulis -

vii

PERSEMBAHAN

Karya kecil ini penulis persembahkan

kepada :

§ Allah SWT, Pemilik Semesta Raya,

yang senantiasa memberikan yang

terbaik dalam setiap detik episode

kehidupan;

§ Bapak dan Ibu yang telah memberi

dukungan dan tak henti-hentinya

mendoakanku selama ini;

§ Kakakku yang selalu membantu dan

menyemangati;

§ Keponakanku yang telah menjadi

sumber penghiburanku;

§ Indonesia tercinta, tempat aku

bernaung;

§ Almamaterku, Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih

dan Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan penulisan hukum ( skripsi ) dengan judul: “PERANAN

KURATOR DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG

KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN

UTANG”.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai

syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum atau

skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan, baik materil maupun moril

yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini

dengan rendah hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya

kepada :

1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan

kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu hukum melalui

penulisan skripsi.

2. Ibu Ambar Budi S, S.H., M.Hum. selaku Ketua Bagian Hukum Perdata

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Bapak Prof. Dr. Adi Sulistiyono, S.H, M.H. selaku Pembimbing Skripsi yang

telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada penulis.

4. Ibu Rofikah, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan dan

nasihatnya selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

ix

5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga

dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis

amalkan dalam kehidupan masa depan nantinya.

6. Kedua orang tua tercinta, Bapak Cuk Subianto dan Ibunda Sutia, atas segala

doa dan dukungannya selama ini.

7. Kakakku, Ario Bhirowo, yang selalu memberikan kasih sayang, arahan,

dukungan dan motivasi kepada penulis.

8. Kakak iparku, Wuri Handayani Ardi, yang selalu mendukung penulis.

9. Keponakanku, Aruna Arkasetya Putra, yang selalu menjadi sumber

penghiburanku.

10. Seluruh teman-teman Angkatan 2005 FH UNS.

11. Segenap anggota Moot Court Community (MCC).

12. Segenap pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum (BEM FH)

periode 2005-2006 dan 2006-2007.

13. Seluruh teman-teman di kost Putri Shima II yang telah membantu dan

memberi dukungannya selama ini.

14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan

penulisan hukum ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak

kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang

membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya

tulis ini mampu memberikan manfaat bagi penulis maupun para pembaca.

Surakarta, 3 Juli 2009

Penulis

GALUH INDRASWARI

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .................................................... iii

ABSTRAK................................................................................................... iv

HALAMAN MOTTO.................................................................................. vi

HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. vii

KATA PENGANTAR ................................................................................. viii

DAFTAR ISI................................................................................................ x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

B. Pembatasan Masalah .............................................................. 6

C. Perumusan Masalah................................................................ 6

D. Tujuan Penelitian.................................................................... 6

E. Manfaat Penelitian.................................................................. 7

F. Metode Penelitian................................................................... 8

G. Sistematika Penulisan Hukum................................................ 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori ....................................................................... 15

a. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan................................. 15

a. Pengertian Kepailitan..……………………………… 15

b. Dasar Hukum Kepailitan di Indonesia ....…………… 16

c. Faktor-faktor dan Asas-asas Kepailitan ..............….... 17

d. Syarat-syarat Pengajuan Permohonan Pailit ......….... 19

e. Pihak-pihak yang Dapat Mengajukan Pailit .......….... 25

f. Berakhirnya Kepailitan ......................................….... 34

xi

b. Tinjauan Umum Tentang Kurator ................................... 38

a. Pengangkatan, Penggantian dan Pemberhentian

Kurator ....................................................................... 38

b. Tanggung jawab Kurator ............................................ 44

c. Perlawanan Terhadap Kurator.......................... .......... 46

B. Kerangka Pemikiran................................................................ 47

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kewenangan yang Diberikan Kepada Kurator Untuk

Menjalankan Tugas Secara Efektif dan Efisien oleh

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ..................... 50

B. Tugas Kurator Setelah Adanya Putusan Pailit Dari

Pengadilan Niaga ................................................................... 64

C. Kendala-Kendala Yuridis Yang Dihadapi Oleh Kurator

Dalam Mengurus Harta Pailit ................................................ 103

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................ 117

B. Saran....................................................................................... 118

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 122

xii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gejolak moneter yang terjadi di beberapa negara di benua Asia,

termasuk Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah membawa

pengaruh pada kegiatan ekonomi dunia pada umumnya dan nasional pada

khususnya terutama kemampuan dunia usaha untuk mempertahankan

kegiatan usahanya, bahkan termasuk kemampuannya untuk memenuhi

kewajiban pembayaran kepada para kreditornya. Dalam dunia hukum,

debitor yang tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditor dapat

dinyatakan pailit. Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan

pembagian antara para kreditor atas kekayaan debitor oleh kurator.

Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau

eksekusi terpisah oleh Kreditor dan menggantikannya dengan mengadakan

sitaan bersama sehingga kekayaan debitor dapat dibagikan kepada semua

kreditor sesuai dengan hak masing-masing (Sutan Remy Sjahdeini,

2009:22). Sitaan bersama tersebut dimaksudkan sebagai upaya debitor

pailit dan kreditor konkuren serta kreditor preferen untuk menghindari

terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah yang dilakukan oleh

kreditor separatis sehingga pada saat dilakukannya pembagian harta pailit

masing-masing kreditor mendapatkan haknya.

Masalah kepailitan selalu mengikuti lajunya perkembangan

kehidupan ekonomi. Hal ini sesuai dengan pendapat J. Theberke Leonard

“the law system’s working is the prerequisite for economic development”

yang artinya bahwa berjalannya sistem hukum merupakan prasyarat bagi

pembangunan ekonomi (J. Theberke Leonard, 1980:232). Menurut

pendapat Robert J. Landry “bankruptcy provides a way to deal with

financial failures and acts as a savety valve” yang artinya bahwa

kepailitan menetapkan cara untuk menghadapi kegagalan finansial dan

1

xiii

berperan sebagai sebuah katup penyelamat (Robert J. Landry, 2006:4).

Kepailitan merupakan jalan yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan

hutang piutang, apabila debitor berada pada keadaan berhenti membayar,

karena selain memberi perlindungan terhadap kreditor, juga dilindungi

pula kepentingan pihak debitornya, yakni atas dasar kemanusiaan dan juga

untuk ketertiban dan kepentingan umum.

Di Indonesia, peraturan mengenai kepailitan ini ditandai dengan

berlakunya Faillisements Verordening yang diundangkan dalam

Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor

348, namun saat itu permasalahan ini kurang populer sehingga kasus-kasus

kepailitan jarang muncul. Seiring dengan perkembangan jaman, ketentuan

Faillisements Verordening dianggap sebagai peraturan perundang-

undangan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda yang sudah tidak

sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat untuk

penyelesaian utang-piutang serta tidak memadai untuk menanggulangi

dampak negatif makin banyaknya debitor yang akan bangkrut. Maka

diadakanlah penyempurnaan terhadap peraturan tersebut melalui Perpu

Nomor 1/1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang

Kepailitan yang diundangkan pada tanggal 22 April 1998 melalui

Lembaran Negara RI Nomor 87/1998. Penyempurnaan ini sedikit banyak

karena adanya desakan dari International Monetary Found (IMF). Perpu

Nomor 1/1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang

Kepailitan ini disempurnakan dengan beberapa perubahan ketentuan

kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-undang

Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemeritah Pengganti

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-

undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-undang.

Perkembangan pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998

ternyata tidak berjalan mulus. Pelaksanaan Undang-undang Nomor 4

Tahun 1998 masih terdapat banyak kasus-kasus kepailitan yang belum

xiv

mendapatkan kepastian hukum yang maksimal. Salah satu kasus

kontroversial yang terjadi adalah kasus pailit PT. Asuransi Jiwa Manulife

Indonesia (PT. AJMI) pada tahun 2002. PT. AJMI dinyatakan pailit oleh

Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

No.10/PAILIT/2000/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 13 Juni 2002.

Perusahaan asuransi jiwa yang tergolong terbesar di Indonesia itu pada

saat dipailitkan memiliki keadaan keuangan yang cukup baik, dengan aset

senilai Rp 1,3 triliun dan terdapat 400 ribu pemegang polis. Putusan

tersebut telah memicu reaksi yang keras tidak saja dari dalam negeri tetapi

juga dari dunia internasional. Atas putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

tersebut, PT. AJMI telah mengajukan Kasasi. Reaksi-reaksi keras tersebut

akhirnya berhenti setelah kemudian Mahkamah Agung RI dengan Putusan

Nomor: 021K/N/202 tanggal 5 Juli 2002 telah mengabulkan permohonan

Kasasi dari pemohon Kasasi dan membatalkan Putusan Pengadilan Niaga

pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

No.10/PAILIT/2000/PN.NIAGA.JKT.PST (Sutan Remy Sjahdeini,

2002:80).

Skandal pailit PT.AJMI telah memberikan gambaran nyata tentang

kebobrokan hukum di Indonesia yang sangat memalukan. Kedaulatan

hukum dan wibawa pemerintah secara terang-terangan telah diintervensi

pemerintah Kanada maupun International Finance Corporation, salah satu

unit usaha Bank Dunia yang juga pemegang saham PT.AJMI, agar

pemerintah menganulir dan membatalkan pailit PT.AJMI. Kasus pailit

PT.AJMI, mendorong pemerintah agar segera menyelesaikan "pekerjaan

rumah" untuk mengamendemen Undang-undang Kepailitan yang secara

terang-terangan merupakan produk rekayasa dan intervensi IMF

(International Monetary Found). Intervensi IMF tersebut bertujuan untuk

melindungi kepentingan sejumlah perusahaan asing yang beroperasi di

Indonesia, dalam hal ini adalah PT.AJMI. Tanggal 18 Oktober 2004

Pemerintah Indonesia kembali menyempurnakan Undang-undang Nomor

xv

4 Tahun 1998 dengan mengesahkan Undang-undang Nomor 37 Tahun

2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

(http://m.infoanda.com, Surakarta, 11 Mei 2009 pukul 18.51 WIB).

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 telah memberikan

penyempurnaan dalam peraturan kepailitan dimana terdapat beberapa

pokok materi baru dalam Undang-Undang Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pertama, agar tidak

menimbulkan berbagai penafsiran dalam Undang-Undang ini pengertian

utang diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh

waktu. Kedua, mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan

pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran

utang termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi

pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban

pembayaran utang.

Perkembangan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 ternyata

juga belum dapat sepenuhnya mewujudkan adanya kepastian hukum di

bidang kepailitan. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa kasus

kepailitan yang kontroversial setelah disahkannya Undang-undang Nomor

37 Tahun 2004, dua diantaranya yaitu kasus pailit PT. Sarana Perdana

Indoglobal (PT. SPI) dan PT. Adam Air Skyconnection Airlines (PT.

Adam Air). PT. SPI merupakan suatu usaha yang berkedok perusahaan

investasi yang menghimpun dana dari masyarakat. Kemudian PT. SPI

dipailitkan oleh nasabahnya yang berada di Surabaya pada tahun 2007.

Hingga saat ini pemilik PT. SPI, Leonardo Patar Muda Sinaga, masih

menjadi buronan Polisi dan hal ini juga menyulitkan Kurator untuk

menelusuri aset-aset yang dimiliki PT. SPI sehingga hak-hak Kreditor

tidak dapat segera diwujudkan (http://id.dennylawfirm.com, Surakarta, 7

Mei 2009 pukul 20.20 WIB). Sementara itu pada Juni 2008 PT. Adam Air

dipailitkan oleh CV. Cici dan karyawannya yang belum mendapatkan gaji

sejak April 2007. Hampir setengah tahun sejak PT. Adam Air dipailitkan

xvi

tahun 2008 hak para Kreditor atas harta pailit belum mendapat kejelasan

(http://www.hukumonline.com, Surakarta,1 Mei 2009 pukul 15.00 WIB).

Pada proses kepailitan maka setelah jatuhnya putusan kepailitan

ada dua organ yang sangat berperan aktif dalam pelaksanaannya, yaitu

hakim pengawas yang bertugas mengawasi pengurusan dan pemberesan,

kemudian kurator yang bertugas melakukan pengurusan dan pemberesan

harta pailit. Hal ini dikarenakan setelah dinyatakan pailit, debitor pailit

menurut hukum sudah tidak memiliki kemampuan untuk mengelola harta

kekayaannya, sehingga ditunjuklah seorang kurator untuk mengelola,

mengurus dan melakukan pemberesan terhadap harta pailit tersebut.

Kurator sejak ditunjuk berdasarkan putusan pengadilan wajib

mengamankan budel pailit sehingga nantinya dapat dilaksanakan

pemberesan dan pelunasan terhadap tagihan kreditor yang telah diakui dan

dicocokkan piutangnya. Penyelesaian pemberesan atas harta pailit

merupakan salah satu acara dalam kepailitan yang melibatkan kurator

untuk melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit.

Pelaksanaan tugas kurator harus dilakukan oleh seorang yang profesional

dan mengerti segala seluk beluk serta mekanisme yang diatur dalam

undang-undang. Kurator dalam menjalankan tugas kepengurusannya

terhadap harta pailit, bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaiannya

yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit dan segala tindakannya

yang berkaitan dengan pengurusan dan pemberesan harta pailit, kemudian

secara berkala kurator harus menyampaikan laporan kepada hakim

pengawas.

Salah satu bagian terpenting dalam penyelesaian perkara kepailitan

adalah kurator. Kurator dalam menjalankan tugas harus memahami bahwa

tugasnya tidak sekedar menyelamatkan harta pailit yang berhasil

dikumpulkannya untuk kemudian dibagikan kepada para kreditor tapi

sedapat mungkin bisa meningkatkan nilai harta pailit debitor. Lebih jauh

lagi kurator juga dituntut untuk memiliki integritas yang berpedoman pada

xvii

kebenaran dan keadilan serta keharusan untuk menaati standar profesi dan

etika. Keharusan ini bertujuan menghindari adanya benturan kepentingan

dengan debitor ataupun kreditor (Imran Nating, 2004:192).

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji dan

melakukan penelitian dalam rangka penulisan skripsi dengan judul

“PERANAN KURATOR DALAM PENANGANAN PERKARA

KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 37

TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN

KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG”

B. Pembatasan Masalah

Guna memberikan gambaran yang terfokus mengenai objek

bahasan penelitian dalam penulisan hukum ini, maka kasus-kasus yang

akan digunakan untuk melengkapi pembahasan yaitu PT. Sarana Perdana

Indoglobal (PT. SPI) dan PT. Adam Air Skyconnection Airlines (PT.

Adam Air).

C. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan

kewenangan kepada kurator untuk menjalankan tugasnya secara efektif

dan efisien?

2. Bagaimanakah tugas kurator setelah adanya putusan pailit dari

Pengadilan Niaga?

3. Kendala-kendala yuridis apakah yang dihadapi oleh kurator dalam

mengurus harta pailit?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian merupakan kegiatan ilmiah, dimana berbagai data dan

informasi dikumpulkan, dirangkai dan dianalisis yang bertujuan untuk

xviii

mengembangkan ilmu pengetahuan dan juga dalam rangka pemecahan

masalah-masalah yang dihadapi (Soerjono Soekanto, 1986:5). Tujuan

penelitian diperlukan guna memberikan arahan dalam melangkah pada

waktu penelitian.

Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini antara lain sebagai

berikut:

1. Tujuan Obyektif

a. Mengetahui kewenangan yang diberikan kepada kurator untuk

menjalankan tugasnya secara efektif dan efisien oleh Undang-

undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

b. Mengetahui tugas kurator setelah adanya putusan pailit dari

Pengadilan Niaga.

c. Mengetahui kendala-kendala yuridis yang dihadapi oleh kurator

dalam mengurus harta pailit.

2. Tujuan Subyektif

a. Memperoleh data-data sebagai bahan penulisan hukum guna

memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar kesarjanaan

dalam jurusan Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

b. Menambah pengetahuan dan pemahaman penulis dalam bidang

hukum perdata.

c. Menambah pemahaman tentang peranan kurator dalam penanganan

perkara kepailitan berdasarkan Undang-undang No. 37 Tahun 2004

Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini yaitu

sebagai berikut:

xix

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat memberikan kegunaan guna

pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perdata.

b. Memberikan jawaban atas rumusan masalah yang sedang diteliti

oleh penulis.

c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi

penelitian lain yang sejenis.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat mengembangkan kemampuan berpikir penulis sehingga

dapat mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu

hukum yang dipelajari.

b. Sebagai bahan masukan yang dapat digunakan dan memberikan

sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait dan terlibat

dalam penanganan perkara kepailitan.

c. Dapat memperluas cakrawala berpikir dan pandangan bagi civitas

akademika Universitas Sebelas Maret Surakarta, khususnya

mahasiswa fakultas hukum yang menerapkan penulisan hukum ini.

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan

analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan

konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu,

sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti

tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka teori

tertentu. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang

didasarkan pada pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang

bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu,

dengan jalan menganalisanya (Soerjono Soekanto, 1986:42).

xx

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum

ini yaitu:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini

adalah penelitian normatif. Pada penelitian hukum normatif yang

diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mungkin

mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tersier (Soerjono

Soekanto, 1986:52). Hal ini sesuai dengan pandangan Soerjono

Soekanto bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan

penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.

2. Sifat Penelitian

Dilihat dari sifat dan tujuannya, maka bentuk penelitian yang

dilakukan oleh penulis termasuk penelitian deskriptif. Penelitian

deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberi

data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala

lainnya dengan cara mengumpulkan data, menyusun, mengklasifikasi,

dan menginterprertasikannya (Soerjono Soekanto, 1986:10).

Berdasarkan pengertian di atas metode penelitian jenis ini

dimaksudkan untuk menggambarkan semua data yang diperoleh yang

berkaitan dengan judul penelitian secara jelas dan rinci yang kemudian

dianalisis guna menjawab permasalahan yang ada. Pada penelitian ini,

penulis memperoleh gambaran yang lengkap dan jelas tentang peranan

kurator dalam penanganan perkara kepailitan berdasarkan Undang-

undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

xxi

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dilakukan penulis dalam melakukan penulisan

hukum ini adalah dengan pendekatan perundang-undangan (statue

approach) dan pendekatan kasus (case approach). Suatu penelitian

normative tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan

kerana yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi

fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Pendekatan kasus dalam

penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-

norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum

(Johnny Ibrahim, 2005:302).

Pendekatan perundang-undangan dalam penelitian ini adalah

Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Selain itu digunakan pula

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000

Tentang Permohonan Pernyataan Pailit Untuk Kepentingan Umum dan

Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Nomor M.01-HT.05.10 Tahun 2005 Tentang Pendaftaran Kurator dan

Pengurus. Pendekatan kasus yang digunakan dalam penelitian ini

adalah perkara pailit PT. Sarana Perdana Indoglobal (PT. SPI) dan PT.

Adam Air Skyconnection Airlines (PT. Adam Air).

4. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder. Data sekunder tidak diperoleh langsung dari sumbernya,

tetapi diperoleh dari bahan pustaka, yaitu dari peraturan perundang-

undangan dan yurisprudensi, yang meliputi :

a. KUH Perdata, yang digunakan untuk mengetahui dasar-dasar

hukum perdata, khususnya mengenai dasar hukum perikatan;

b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan

Kewajiban Pembayaran Utang serta Undang-Undang Nomor 37

xxii

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang, yang digunakan untuk mengetahui dasar

hukum kepailitan;

c. Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia Nomor M.01-HT.05.10 Tahun 2005 Tentang

Pendaftaran Kurator dan Pengurus, yang digunakan untuk

mengetahui persyaratan pendaftaran kurator.

5. Sumber Data

Dilihat dari jenis data dalam penelitian ini adalah data

sekunder, maka sumber data yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,

dan terdiri dari atas KUH Perdata, KUHD, Undang-undang Nomor

37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang serta peraturan perundang-undangan lainnya

yang terkait.

b. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum pendukung yang

memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer, buku-buku

yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Seri Hukum Bisnis

Kepailitan karangan Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Hukum

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang karangan

Bernadette Waluyo, Penyelesaian Utang-piutang Melalui Pailit

atau Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang dengan editor

Rudhy A.Lontoh, Peranan dan Tanggung jawab Kurator Dalam

Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit karangan Imran Nating,

Jurnal Hukum Bisnis, Journal Of International Law and Policy,

Rutgers Business Law Journal serta Prosiding Rangkaian

Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan

Hukum Bisnis Lainnya.

xxiii

c. Bahan hukum tersier dalam penelitian ini yakni Kamus Besar

Bahasa Indonesia.

6. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang sesuai dan mencakup

permasalahan dalam penelitian hukum ini, maka penulis menggunakan

teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan, yakni kegiatan

pengumpulan data dengan mempelajari buku-buku, dokumen-

dokumen, literatur-literatur, dan lain-lain sesuai dengan permasalahan

yang diteliti.

7. Analisis Data

Menurut Lexy J.Maleong, “analisis data adalah proses

mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan

satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat

dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data” (Lexy

J.Maleong, 2001:103). Analisis data merupakan tahap yang penting

dan menentukan, karena pada tahap ini terjadi proses pengolahan data.

Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam

penelitian hukum ini adalah teknik analisis data kualitatif. Dalam

penelitian kualitatif sumber data bisa berupa orang, peristiwa, lokasi,

benda, dokumen atau arsip. Beragam sumber tersebut menurut cara

tertentu yang sesuai guna mendapatkan data. Pada penelitian kualitatif

proses analisisnya dilakukan sejak awal bersamaan dengan proses

pengumpulan data (H.B. Sutopo, 1988:34).

Teknik analisis data kualitatif yaitu dengan mengumpulkan

data, mengkualifikasikan, lalu menghubungkan teori yang

berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk

xxiv

menentukan kemudian mengolah hasil penelitian menjadi suatu

laporan.

G. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika

penulisan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu sistematika

penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum terbagi dalam 4

(empat) bab yang saling berkaitan dan berhubungan. Sistematika dalam

penulisan hukum ini yaitu sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan mengenai Latar Belakang Masalah,

Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,

Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan Hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan mengenai dua hal yaitu, yang pertama

adalah kerangka teori yang melandasi penelitian serta

mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat pada

penulisan hukum ini, antara lain meliputi: pertama mengenai

Tinjauan Umum Tentang Kepailitan diantaranya yaitu:

pengertian kepailitan, dasar hukum kepailitan di Indonesia,

factor-faktor dan asas-asas kepailitan, syarat-syarat pengajuan

permohonan pailit, pihak-pihak yang dapat mengajukan pailit,

dan barakhirnya kepailitan. Kedua mengenai Tinjauan Umum

Tentang Kurator diantaranya yaitu: pengangkatan,

penggantian dan pemberhentian kurator; tanggung jawab

kurator; dan perlawanan terhadap kurator. Pembahasan yang

kedua mengenai kerangka pemikiran.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan mengenai tentang hasil penelitian dan

pembahasan tentang kewenangan yang diberikan kepada

xxv

kurator untuk menjalankan tugasnya secara efektif dan efisien

oleh Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,

tugas kurator setelah adanya putusan pailit dari Pengadilan

Niaga, dan kendala-kendala yuridis yang dihadapi oleh kurator

dalam mengurus harta pailit.

BAB IV : PENUTUP

Pada bab ini diuraikan mengenai kesimpulan dan saran terkait

dengan permasalahan yang diteliti.

xxvi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tinjauan Umum Tentang Kepailitan

a. Pengertian Kepailitan

Pengertian kepailitan menurut Undang-undang No.37

Tahun 2004 Pasal 1 angka 1 adalah “sita umum atas semua

kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya

dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas

sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. Pengertian

kepailitan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni “keadaan

atau kondisi seseorang atau badan hukum yang tidak mampu lagi

membayar kewajibannya (dalam hal utang-utangnya) kepada si

piutang”.

Pengertian kepailitan menurut Bernadette Waluyo adalah

“eksekusi massal yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditor, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib” (Bernadette Waluyo, 1999:1).

Dalam Black’s Law Dictionary sebagaimana dikutip oleh

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja bahwa pailit atau “Bankrupt”

adalah “the state or condition of a person (individual, partnership,

corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they

are, or become due”. The term includes a person against whom a

involuntary petition has beeb filed, or who has filed a voluntary

petition, or who has been adjudged a bankrupt yang artinya

15

xxvii

“keadaan atau kondisi seseorang (individu, persekutuan, perseroan,

kotamadya) yang tidak sanggup untuk membayar hutang yang

menjadi kewajibannya”. Syaratnya termasuk seseorang yang

melawan permohonan tidak sengaja yang telah terpenuhi, atau

yang telah memenuhi permohonan tidak sengaja, atau orang yang

telah diputuskan bangkrut. Pengertian pailit menurut Black’s Law

Dictionary tersebut dapat dihubungkan dengan “ketidakmampuan

untuk membayar” dari seorang debitor atas utang-utangnya yang

telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan

suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan

secara sukarela maupun atas permintaan pihak ketiga, yakni suatu

permohonan pernyataan pailit ke pengadilan (Black’s Law

Dictionary dalam Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999:11).

Secara etimologi kepailitan berasal dari kata pailit,

selanjutnya istilah “pailit” berasal dari bahasa Belanda “failliet”

yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat.

Istilah “faillet” sendiri berasal dari Perancis yaitu “faillite” yang

berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan dalam

bahasa Inggris dikenal dengan kata “to fail” dengan arti sama, dan

dalam bahasa latin disebut “failure”. Selanjutnya istilah pailit

dalam bahasa Belanda adalah “faiyit”, maka ada pula sementara

orang yang menerjemahkan sebagai “paiyit” atau “faillissement”

sebagai kepailitan. Kemudian pada negara-negara yang berbahasa

Inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan mempergunakan

istilah “bankrupt” dan “bankruptcy” (Viktor M.Situmorang dan

Hendri Soekarso, 1993:18).

b. Dasar Hukum Kepailitan di Indonesia

Dasar umum kepailitan adalah Kitab Undang-undang

Hukum Perdata khususnya Pasal 1131 dan Pasal 1132. Kemudian

xxviii

dasar khusus tentang kepailitan di Indonesia, diatur dalam Undang-

undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (Sutan Remi Syahdeni, 2002:25).

Di Indonesia pengaturan mengenai kepailitan sudah lama

ada yaitu dengan berlakunya Faillisements Verordening yang

diundangkan dalam Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto

Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348. Akan tetapi, karena

permasalahan ini kurang popular sehingga saat itu jarang sekali

kasus kepailitan muncul ke permukaaan. (Ahmad Yani dan

Gunawan Widjaja, 1999:VII).

Peraturan kepailitan di Indonesia mengalami

penyempurnaan karena dianggap tidak dapat memadai terhadap

situasi pada masa sekarang ini, maka pemerintah mengeluarkan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.1 Tahun 1998

Tentang Kepailitan dan pada tanggal 9 September 1998 Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang No.1 Tahun 1998 Tentang

perubahan atas Undang-undang Kepailitan itu telah ditetapkan

menjadi Undang-undang No.4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan.

Pada tahun 2004 pemerintah kembali mengadakan penyempurnaan

terhadap peraturan ini yaitu dengan diundangkannya Undang-

undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

c. Faktor-faktor dan Asas-asas Kepailitan

Berdasarkan penjelasan Undang-undang No.37 Tahun 2004

terdapat beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan

dan penundaan kewajiban pembayaran utang, yaitu:

1) Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam

waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih

piutangnya dari debitor.

xxix

2) Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan

kebendaan (kreditor separatis) yang menuntut haknya dengan

cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan

kepentingan debitor pailit atau para kreditor lainnya yaitu

kreditor preferen dan kreditor konkuren.

3) Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang

dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri.

Misalnya, debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada

seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor

lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor

untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud

untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditor.

Undang-undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini didasarkan pada

beberapa asas. Berdasarkan penjelasan Undang-undang No.37

Tahun 2004 asas-asas tersebut antara lain yaitu:

1) Asas Keseimbangan

Undang-undang No.37 Tahun 2004 mengatur beberapa

ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas

keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang

dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan

lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak,

terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya

penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor

yang tidak beritikad baik.

2) Asas Kelangsungan Usaha

Undang-undang No.37 Tahun 2004 terdapat ketentuan yang

memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap

dilangsungkan.

xxx

3) Asas Keadilan

Asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan

mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para

pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah

terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang

mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing

terhadap debitor, dengan tidak mempedulikan kreditor lainnya.

4) Asas Integrasi

Asas integrasi dalam Undang-undang No.37 Tahun 2004

mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan

hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari

sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

d. Syarat-syarat Pengajuan Permohonan Pailit

Syarat-syarat pailit yang dinyatakan pada Pasal 2 ayat (1)

Undang-undang No.37 Tahun 2004 adalah

“debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.

1) Debitor Mempunyai Dua atau Lebih Kreditor

Keharusan adanya dua kreditor merupakan persyaratan

yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.37

Tahun 2004 yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 1132

Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi:

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para kreditor itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.”

xxxi

Inti rumusan Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata bahwa kebendaan yang merupakan sisi positif harta

kekayaan seseorang harus dibagi secara adil kepada setiap

orang yang berhak atas pemenuhan perikatan individu ini, yaitu

kreditor. Pengertian adil disini adalah harta kekayaan tersebut

harus dibagi secara:

a) pari passau, harta kekayaan harus dibagikan secara

bersama-sama di antara para kreditornya;

b) prorata, sesuai dengan besarnya imbangan piutang

masing-masing kreditor terhadap utang debitor secara

keseluruhan (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja,

1999:107).

Syarat memailitkan debitor berdasarkan Pasal 2 ayat (1)

Undang-undang No.37 Tahun 2004 hanya dimungkinkan

apabila debitor memiliki paling sedikit dua kreditor. Syarat

mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditor dikenal

sebagai concursus creditorum. Undang-undang No.37 Tahun

2004 akan kehilangan raison d’être-nya apabila seorang debitor

hanya memiliki seorang kreditor. Eksistensi dari. debitor yang

hanya memiliki seorang kreditor diperbolehkan mengajukan

pernyataan pailit terhadapnya, maka harta kekayaan debitor

yang menurut ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang

merupakan jaminan utang tidak perlu mengatur mengenai

pembagian hasil penjualan harta kekayaan. Seluruh hasil

penjualan harta kekayaan tersebut sudah pasti merupakan

sumber pelunasan bagi kreditor satu-satunya itu. Tidak akan

ada ketakutan terjadi perlombaan dan perebutan terhadap harta

kekayaan debitor karena hanya ada satu orang kreditor (Sutan

Remy Sjahdeini, 2009:53).

xxxii

Rasio kepailitan adalah jatuhnya sita umum atas semua

harta benda debitor untuk kemudian setelah dilakukan rapat

verifikasi tidak tercapai accord, dilakukan proses likuidasi atas

seluruh harta benda debitor itu untuk kemudian dibagi-bagikan

hasil perolehan kepada semua kreditornya sesuai tata urutan

kreditor tadi menurut ketentuan Undang-undang No.37 Tahun

2004. Dengan demikian jika seorang debitor hanya memiliki

satu orang kreditor saja, maka kepailitan akan kehilangan

rasionya sehingga disyaratkan adanya concursus creditorum

(Setiawan, 2001:53).

2) Tidak Membayar Sedikitnya Satu Utang Jatuh Waktu dan

Dapat Ditagih

Pengertian utang menurut Pasal 1 angka 6 Undang-

undang No.37 Tahun 2004 adalah

“kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor”.

Pengertian utang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

adalah uang yang dipinjam dari orang lain. Berdasarkan

penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004

yang dimaksud dengan utang yang telah jatuh waktu dan dapat

ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah

jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan

waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena

pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang,

maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis

arbitrase.

xxxiii

Utang seyogyanya diberi arti luas; baik dalam arti

kewajiban membayar sejumlah utang tertentu yang timbul

karena adanya perjanjian utang piutang (debitor telah menerima

sejumlah uang tertentu dari kreditornya), maupun kewajiban

pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian

atau kontrak lain yang menyebabkan debitor harus membayar

sejumlah uang tertentu. Utang bukan hanya kewajiban untuk

membayar sejumlah uang tertentu yang disebabkan debitor

telah menerima sejumlah uang tertentu karena perjanjian kredit,

tetapi juga kewajiban membayar debitor yang timbul dari

perjanjian-perjanjian lain (Setiawan, 2001:117).

Suatu perjanjian biasanya terdapat suatu default clause:

“jika debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan seperti di

bawah ini, maka kreditor dapat melakukan penagihan utang

tersebut secara sekaligus meskipun utang belum jatuh tempo”

(misal apabila debitor digugat oleh pihak lain di luar perjanjian

ini, atau barang dibebani sita jaminan dalam suatu gugatan atau

lalai menyerahkan laporan keuangan sesuai dengan jangka

waktu yang telah diperjanjikan atau debitor bercerai dari istri

atau suami). Dengan demikian default clause dapat

diberlakukan dalam suatu klausula perjanjian, meskipun utang

belum jatuh tempo, sehingga kreditor dapat menagih dan

apabila debitor yang ditagih berhenti membayar kewajibannya,

maka kreditor dapat mengajukan kepailitan.

Acceleration clause memberikan hak kepada kreditor

untuk mempercepat jangka waktu jatuh tempo dari utang, jika

kreditor merasa dirinya tidak aman (deems itself insecure).

Acceleration clause lebih luas daripada default clause yang

digunakan apabila kreditor memandang bahwa hal tersebut

perlu dilakukan, meskipun utang belum jatuh tempo, kreditor

xxxiv

dapat mempercepat jatuh tempo utang debitor dalam hal terjadi

event of default, artinya telah terjadi sesuatu atau tidak

dipenuhinya sesuatu yang diperjanjikan oleh debitor dalam

perjanjian kredit sehingga menyebabkan kreditor mempercepat

jatuh tempo. Untuk menggunakan acceleration clause harus

disertai adanya good faith, yang dimaksud good faith adalah

adanya reasonable evidence, dan bukti tersebut tidak harus

berupa putusan Pengadilan. Pada umumnya dalam common law

tidak menyebutkan pengertian good faith tapi di sini justru

ditekankan (Setiawan, 2004:124).

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004

tidak membedakan tetapi menyatukan syarat utang yang telah

jatuh waktu dan utang yang telah dapat ditagih. Penyatuan

tersebut ternyata dari kata “dan” di antara kata “jatuh waktu”

dan “dapat ditagih”. Kedua istilah tersebut sebenarnya berbeda

pengertian dan kejadiannya. Suatu utang dapat saja telah dapat

ditagih tapi belum jatuh waktu. Utang yang telah jatuh waktu

ialah utang yang dengan lampaunya waktu penjadwalan yang

ditentukan dalam perjanjian tersebut, menjadi jatuh waktu dan

karena itu pula Kreditor berhak untuk menagihnya. Akan

tetapi, dapat terjadi bahwa sekalipun belum jatuh waktu tetapi

utang tersebut telah dapat ditagih karena terjadi salah satu dari

peristiwa-peristiwa yang disebut events of default.

Seharusnya kata-kata di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-

undang No.37 Tahun 2004 yang berbunyi “utang yang telah

jatuh waktu dan telah dapat ditagih” diubah menjadi cukup

berbunyi “utang yang telah dapat ditagih” atau “utang yang

telah dapat ditagih baik utang tersebut telah jatuh waktu atau

belum”. Penulisan kalimat tersebut dapat mengurangi selisih

paham apakah utang “telah dapat ditagih” tetapi belum “jatuh

xxxv

waktu” dapat dijadikan alasan untuk mengajukan permohonan

pernyataan pailit (Sutan Remy Sjahdeini, 2009:57).

3) Atas Permohonan Sendiri Maupun Atas Permintaan Seseorang

Atau Lebih Kreditornya

Ketentuan dalam Undang-undang No.37 Tahun 2004

menyatakan bahwa permohonan pernyataan pailit bukan saja

dapat diajukan oleh kreditor tetapi juga memungkinkan

diajukan secara sukarela oleh debitor sendiri. Undang-undang

No.37 Tahun 2004 juga membedakan antara pengajuan

permohonan terhadap debitor yang merupakan perusahaan-

perusahaan bank, perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring

dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian,

perusahaan asuransi, perusahaan re-asuransi, dana pensiun, dan

BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik di satu

pihak dan terhadap debitor non perusahaan-perusahaan yang

telah disebutkan di pihak lain (Sutan Remy Sjahdeini,

2009:103).

Permohonan pernyataan pailit sesuai Pasal 2 Undang-

undang No.37 Tahun 2004, dapat diajukan oleh:

a) Debitor sendiri

b) Seseorang atau lebih kreditor

c) Kejaksaan

d) Bank Indonesia

e) Bapepam

f) Menteri Keuangan

xxxvi

e. Pihak-pihak Yang Dapat Mengajukan Pailit

Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang No.37 Tahun 2004,

pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit ke

pegadilan yaitu:

1) Debitor

Pengertian debitor menurut Pasal 1 angka 3 Undang-

undang No.37 Tahun 2004 adalah “orang yang mempunyai

utang karena perjanjian atau undang-undang yang

pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan”. Pasal 2 ayat

(1) Undang-undang No.37 Tahun 2004 menyatakan bahwa

debitor berhak mengajukan permohonan pailit untuk dirinya

sendiri dalam bahasa Inggris disebut voluntary petition.

Ketentuan bahwa debitor dapat mengajukan permohonan

pernyataan pailit terhadap dirinya sendiri adalah ketentuan

yang dianut oleh banyak negara sehingga hal ini merupakan

ketentuan yang lazim. Akan tetapi, ketentuan tersebut

membuka kemungkinan bagi debitor yang nakal untuk

melakukan rekayasa demi kepentingannya (Sutan Remy

Sjahdeini, 2009:104).

Menurut Retnowulan Sutantio, rekayasa-rekayasa yang

mungkin dilakukan oleh debitor untuk menguntungkan dirinya

sendiri dalam kepailitan yaitu:

a) Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh seorang

pemohon yang dengan sengaja telah membuat utang

kanan-kiri dengan maksud untuk tidak membayar dan

setelah itu mengajukan permohonan untuk dinyatakan

pailit.

b) Kepailitan diajukan oleh teman baik termohon pailit,

yang berkolusi dengan orang atau badan hukum yang

xxxvii

dimohon agar dinyatakan pailit, sedangkan alasan yang

mendukung permohonan tersebut sengaja dibuat tidak

kuat, sehingga jelas permohonan akan ditolak oleh

Pengadilan Niaga. Permohonan semacam ini justru

diajukan untuk menghindarkan agar kreditor lain tidak

dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap

debitor itu, setidak-tidaknya permohonan kreditor lain

akan terhambat (Retnowulan Sutantio, 2001:334).

Permohonan pailit yang diajukan oleh debitor berbentuk

Perseroan Terbatas (PT) harus memenuhi ketentuan Pasal 104

Undang-undang No.40 ayat (1) Tahun 2007 Tentang Perseroan

Terbatas yang berisi:

“Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit atas Perseroan sendiri kepada pengadilan niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”.

2) Dua atau lebih kreditor

Pengertian kreditor menurut Pasal 1 angka 2 adalah

“orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau

undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan”.

Pengertian "kreditor" dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1)

Undang-undang No.37 Tahun 2004 adalah kreditor konkuren,

kreditor separatis dan kreditor preferen. Khusus mengenai

kreditor separatis, mereka dapat mengajukan permohonan

pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan

yang mereka miliki terhadap harta debitor dan haknya untuk

didahulukan. Bilamana terdapat sindikasi kreditor maka

masing-masing kreditor adalah kreditor sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang No.37 Tahun 2004.

xxxviii

Sehubungan dengan hak kreditor untuk mengajukan

permohonan pernyataan pailit maka perlu diperhatikan

jurisprudensi tetap di Belanda sejak putusan HR 26 Juni 1942,

NJ 1942, 585 yang menegaskan bahwa “kewenangan/hak untuk

mengajukan permohonan pailit hanya dimiliki kreditor yang

mempunyai kepentingan wajar (redelijk belang) dalam

kepailitan debitornya. Berkaitan dengan hal ini menarik untuk

menyebut bahwa putusan Pengadilan Niaga

No.33/Pailit/2001/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 20 Agustus 2001

tentang permohonan pailit PT. Asuransi Jiwa Manulife

Indonesia. Putusan tersebut menegaskan bahwa pemegang polis

baru berstatus sebagai kreditor apabila peristiwa yang

dipertanggungjawabkan telah terjadi sehingga karenanya

perusahaan asuransi mempunyai kewajiban atau utang kepada

pemegang polis. Adapun penentuan apakah kreditor pemohon

mempunyai “kepentingan wajar dalam pernyataan pailit”

debitor ditentukan oleh keadaaan yang berlaku pada saat

permohonan diajukan (Fred BG. Tumbuan, 2004:21).

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.37

Tahun 2004, menurut Imran Nating apabila dua atau lebih

kreditor dapat mengajukan permohonan pailit untuk debitor

yang sama maka dua atau lebih kreditor tersebut harus mampu

membuktikan secara sederhana di persidangan mengenai hak

kreditor untuk menagih piutang kepada debitor (Imran Nating,

2004:37). Pembuktian sederhana menurut Ricardo Simanjuntak

merupakan suatu syarat absolut yang membatasi kewenangan

Pengadilan Niaga dalam upaya membuktikan seorang debitor

yang dimohonkan pailit tersebut terbukti mempunyai

sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih,

serta tidak dapatnya debitor tersebut untuk melunasi utangnya

xxxix

yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih tersebut. Konsekuensi

dari pembuktian sederhana yakni utang-utang yang dijadikan

dasar untuk mengajukan pailit adalah utang-utang yang mudah

dibuktikan keberadaan dan kematangannya (Ricardo

Simanjuntak, 2004:52).

3) Kejaksaan untuk kepentingan umum

Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-

undang No.37 Tahun 2004, Kejaksaan dapat mengajukan

permohonan pailit dengan alasan untuk kepentingan umum.

Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)

harus telah terpenuhi yaitu debitor yang mempunyai dua atau

lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang

yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih serta tidak ada pihak

yang mengajukan permohonan pailit.

Menurut penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang

No.37 Tahun 2004, yang dimaksud dengan kepentingan umum

adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan

masyarakat luas, misalnya:

a) debitor melarikan diri;

b) debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan;

c) debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik

Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari

masyarakat;

d) debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan

dana dari masyarakat luas;

e) debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam

menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh

waktu; atau

xl

f) dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan

kepentingan umum.

Tata cara pengajuan permohonan pailit yang diajukan

oleh kejaksaan sama dengan permohonan pailit yang diajukan

oleh debitor atau kreditor, dengan ketentuan bahwa

permohonan pailit dapat diajukan oleh kejaksaan tanpa

menggunakan jasa advokat. Berdasarkan penjelasan Pasal 2

Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2000, dalam

permohonan pernyataan pailit tersebut, kejaksaan dapat

melaksanakannya atas inisiatif sendiri atau berdasarkan

masukan dari masyarakat, lembaga, instansi pemerintah, dan

badan lain yang dibentuk oleh pemerintah seperti Komite

Kebijakan Sektor Keuangan. Kewenangan kejaksaan untuk

mengajukan permohonan pailit demi kepentingan umum

menurut Suhandjono sebenarnya dapat dimanfaatkan dalam

membantu usaha penyelamatan keuangan kekayaan negara.

Kewenangan kejaksaan tersebut juga dapat membantu usaha

penanggulangan krisis ekonomi (Suhandjono, 2001:597).

4) Bank Indonesia

Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (3) Undang-

undang No.37 Tahun 2004 yang dimaksud dengan bank adalah

bank sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-

undangan. Pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi bank

sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia dan

semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan

kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak

perlu dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank Indonesia

untuk mengajukan permohonan kepailitan ini tidak

menghapuskan kewenangan Bank Indonesia terkait dengan

xli

ketentuan mengenai pencabutan izin usaha bank, pembubaran

badan hukum, dan likuidasi bank sesuai peraturan perundang-

undangan. Oleh karena usaha bank amat terkait dengan

kepentingan masyarakat, maka bubarnya suatu bank akan

menimbulkan dampak yang luas bagi masyarakat, baik

terhadap nasabah bank yang bersangkutan, maupun bagi bank-

bank dan pihak lain yang terkait (Bambang Setijoprodjo,

2001:439).

Ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-undang No.37

Tahun 2004 yang menyatakan kewenangan tunggal Bank

Indonesia untuk memailitkan bank memperlihatkan secara

tegas bahwa dunia perbankan tidak dapat disentuh oleh para

mitra bisnisnya, kecuali Bank Indonesia. Dunia perbankan sarat

dengan uang masyarakat yang harus dilindungi sehingga

tembok raksasa yang diciptakan oleh Pasal 2 ayat (3) tersebut

bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat. Pasal 2

ayat (3) ini dalam praktiknya bertentangan dengan prinsip dan

kedudukan Bank Indonesia sebagai pengawas dan pembina

bank. Pilihan terbaik bagi Bank Indonesia justru bukan

memailitkan bank, tetapi bagaimana menyehatkan kembali

kemudian jika tidak bisa lalu ditutup. Memailitkan bank tentu

berakibat pada keharusan mengikuti proses hukum maka akan

terjadi kelambanan dalam menyelesaikan dana masyarakat

pada bank dan pada akhirnya dapat bermuara pada rush serta

kehilangan kepercayaan masyarakat (Thomas Suyatno,

2001:454).

5) Badan Pengawas Pasar Modal

Pasar modal bertujuan menunjang pelaksanaan

pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan

xlii

pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas ekonomi nasional ke

arah peningkatan kesejahteraan rakyat. Pasar modal diyakini

mempunyai peran strategis sebagai salah satu sumber

pembiayaan bagi dunia usaha termasuk usaha kecil dan

menengah. Di sisi lain pasar modal merupakan wahana

investasi bagi masyarakat termasuk pemodal kecil dan

menengah (I Nyoman Tjager, 2001:573).

Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) Undang-undang No.37

Tahun 2004, jika debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek,

Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan

Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat

diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. Permohonan

pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal,

karena lembaga tersebut melakukan kegiatan yang

berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan

dalam efek di bawah pengawasan Badan Pengawas Pasar

Modal. Badan Pengawas Pasar Modal juga mempunyai

kewenangan penuh dalam hal pengajuan permohonan

pernyataan pailit untuk instansi-instansi yang berada di bawah

pengawasannya, seperti halnya kewenangan Bank Indonesia

terhadap bank.

Dilihat dari dua filosofi dasar pengaturan masalah

kepailitan, yaitu distributif dan rehabilitatif, maka kiranya akan

terdapat gambaran yang jelas tentang keberadaan Bapepam

dalam kepailitan perusahaan efek. Filosofi pertama (distributif),

lebih menekankan aspek perlindungan kepada kreditor, dalam

hal ini adalah pemenuhan hak tagihnya pada debitor, sedangkan

filosofi kedua (rehabilitatif) lebih menekankan pada prisip win-

win solution karena debitor memperoleh kesempatan untuk

memperbaiki kinerjanya sehingga diharapkan debitor tersebut

xliii

dapat memenuhi kewajibannya kepada para kreditor di luar

kepailitan. Ternyata tidak hanya kreditor yang memperoleh

manfaat, tetapi juga debitor tetapi juga para stakeholder, yaitu

pemegang saham, supplier, karyawan, nasabah atau pelanggan

dari debitor tersebut turut memperoleh menfaat berupa

kesinambungan pendapatan atau usaha mereka yang terkait

dengan usaha dari debitor. Manfaat tersebut akan semakin

terasa jika debitor yang bergerak di bidang keuangan seperti

perusahaan efek. Mengingat hal tersebut maka kepercayaan

para pelaku bisnis jasa keuangan harus selalu dijaga agar sektor

jasa ini dapat berjalan wajar dan teratur (Robinson Simbolon,

2004:98).

Latar belakang Bapepam diberikan wewenang untuk

mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan efek,

seperti kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan

permohonan pailit terhadap bank, menurut I Nyoman Tjager

dikarenakan peran perusahaan efek merupakan kunci dalam

kegiatan pasar modal (I Nyoman Tjager, 2001:588). Bapepam

sebagai penyambung lidah kreditor harus selalu berpedoman

baku berupa ketentuan hukum dalam menangani permohonan

pernyataan pailit atas perusahaan efek. Adapun pedoman yang

harus ditaati oleh Bapepam, yaitu:

a) Performance keuangan perusahaan efek untuk mengetahui

going concern perusahaan efek dimaksud. Hal ini penting

untuk mengetahui apakah suatu perusahaan efek dapat atau

layak untuk direhabilitasi atau tidak.

b) Asal dari tagihan, apakah harus berasal dari suatu ikatan

utang-piutang atau termasuk tagihan-tagihan yang muncul

akibat transaksi efek.

xliv

c) Nilai tagihan yang menjadi dasar permohonan pernyataan

pailit karena dalam Undang-undang No.37 Tahun 2004

tidak diatur mengenai batasan nilai tagihan yang menjadi

dasar permohonan pernyataan pailit.

d) Penyelesaian hak dan kewajiban perusahaan efek kepada

nasabahnya setelah dinyatakan pailit.

e) Kepentingan dari kreditor lain.

f) Pengaruh kepailitan perusahaan efek terhjadap kondisi

pasar modal secara umum (Robinson Simbolon, 2004:100).

6) Menteri Keuangan

Berdasarkan Pasal 2 ayat (5) Undang-undang No.37

Tahun 2004, apabila debitor adalah perusahaan asuransi,

perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau BUMN yang

bergerak di kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit

hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Penjelasan Pasal

2 ayat (5) Undang-undang No.37 Tahun 2004 terdapat

beberapa pengertian yaitu:

a) Perusahaan asuransi adalah perusahaan asuransi jiwa dan

perusahaan asuransi kerugian. Perusahaan asuransi dan

perusahaan reasuransi adalah perusahaan asuransi dan

perusahaan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam

undang-undang yang mengatur mengenai usaha

perasuransian. Kewenangan untuk mengajukan

permohonan pernyataan pailit bagi perusahaan asuransi

atau perusahaan reasuransi sepenuhnya ada pada Menteri

Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun

tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan

asuransi atau perusahaan reasuransi sebagai lembaga

pengelola risiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola

xlv

dana masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam

pembangunan dan kehidupan perekonomian.

b) Dana pensiun adalah dana pensiun sebagaimana dimaksud

dalam undang-undang yang mengatur mengenai dana

pensiun. Kewenangan untuk mengajukan pailit bagi Dana

pensiun, sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan.

Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat

kepercayaan masyarakat terhadap dana pensiun, mengingat

dana pensiun mengelola dana masyarakat dalam jumlah

besar dan dana tersebut merupakan hak dari peserta yang

banyak jumlahnya.

c) Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang

kepentingan publik adalah badan usaha milik negara yang

seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas

saham. Kewenangan Menteri Keuangan dalam pengajuan

permohonan pailit untuk instansi yang berada di bawah

pengawasannya seperti kewenangan Bank Indonesia

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan Badan Pengawas

Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

f. Berakhirnya Kepailitan

Berakhirnya kepailitan menurut Undang-undang No.37

Tahun 2004 disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

1) Adanya pencabutan kepailitan

Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No.37

Tahun 2004, harta pailit yang tidak cukup untuk membayar

biaya kepailitan maka pengadilan niaga atas usul hakim

pengawas dan setelah mendengar panitia kreditor sementara

jika ada, serta setelah memanggil dengan sah atau mendengar

debitor, dapat memutuskan pencabutan putusan pernyataan

xlvi

pailit. Putusan pencabutan tersebut wajib diucapkan dalam

sidang terbuka untuk umum.

Sekalipun tidak ditentukan secara tegas dalam Undang-

undang No.37 Tahun 2004 namun secara logika hukum dengan

putusan pencabutan kepailitan tersebut maka berakhirlah

kepailitan debitor. Pencabutan kepailitan tersebut maka

berakhir pula kekuasaan kurator untuk mengurus kekayaan

debitor dan selanjutnya debitor berwenang kembali mengurus

harta kekayaannya seperti sebelum putusan pernyataan pailit

diucapkan (Sutan Remy Sjahdeini, 2009:443).

Berakhirnya kepailitan yang disebabkan adanya

pencabutan putusan pernyataan pailit tidak dapat diajukan

rehabilitasi. Pencabutan putusan pernyataan pailit menurut

ketentuan Pasal 215 Undang-undang No.37 Tahun 2004 tidak

dapat dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan

rehabilitasi.

2) Terjadinya perdamaian

Menurut ketentuan Pasal 166 Undang-undang No.37

Tahun 2004 dalam hal pengesahan perdamaian telah

memperoleh kekuatan hukum tetap maka kepailitan berakhir

dan kurator wajib mengumumkan perdamaian tersebut dalam

Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 surat

kabar harian. Perdamaian yang diajukan oleh debitor menurut

Sutan Remy Sjahdeini merupakan salah satu jalan bagi debitor

pailit untuk dapat mengakhiri keadaan pailit sebagaimana

ditentukan oleh pengadilan. Setelah pengesahan perdamaian

memperoleh kekuatan hukum yang tetap maka berakhirlah

kepailitan yang bersangkutan. Berakhirnya kepailitan maka

debitor dapat kembali mengelola perusahaannya atau aset-

xlvii

asetnya seakan-akan tidak pernah terjadi kepailitan

sebelumnya. Akan tetapi, debitor harus senantiasa memenuhi

ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang ditentukan di dalam

perjanjian perdamaian tersebut (Sutan Remy Sjahdeini,

2009:415).

Berakhirnya kepailitan yang disebabkan adanya

perdamaian kemudian dapat diajukan rehabilitasi. Berakhirnya

kepailitan karena adanya perdamaian menurut ketentuan Pasal

215 Undang-undang No.37 Tahun 2004 dapat dijadikan dasar

untuk mengajukan permohonan rehabilitasi.

3) Telah dilakukannya pembagian harta pailit

Berdasarkan ketentuan Pasal 202 ayat (1) Undang-

undang No.37 Tahun 2004, maka segera setelah dilakukannya

pencocokan piutang kreditor kemudian dibayarkannya piutang

para kreditor atau segera setelah daftar pembagian penutup

menjadi mengikat maka kepailitan dianggap berakhir.

Berakhirnya kepailitan yang disebabkan telah dilakukannya

pembagian harta pailit kemudian dapat diajukan rehabilitasi.

Berakhirnya kepailitan karena telah dilakukannya pembagian

harta pailit menurut ketentuan Pasal 215 Undang-undang No.37

Tahun 2004 dapat dijadikan dasar untuk mengajukan

permohonan rehabilitasi.

4) Telah dilakukannya pembagian harta pailit dalam hal kepailitan

orang yang telah meninggal

Sesuai dengan ketentuan Pasal 207 Undang-undang

No.37 Tahun 2004, harta kekayaan orang yang meninggal

harus dinyatakan dalam keadaaan pailit apabila dua atau

xlviii

beberapa kreditor mengajukan permohonan untuk itu dan

secara singkat dapat membuktikan bahwa:

a) Utang orang yang meninggal, semasa hidupnya tidak

dibayar lunas; atau

b) Pada saat meninggalnya orang tersebut, harta

peninggalannya tidak cukup untuk membayar utangnya.

Pengajuan permohonan terhadap debitor yang telah

meninggal dapat dilakukan untuk pertama kalinya ketika

debitor meninggal atau sebelumnya ketika debitor masih hidup

sudah dilakukan pengajuan permohonan pailit kemudian

setelah debitor meninggal kreditor dapat mengajukan

permohonan pailit kembali jika pada waktu masih hidup

debitor tidak memiliki cukup harta untuk membayar utang-

utangnya. Pengajuan permohonan pailit lebih dari sekali dapat

dilakukan sebagaimana diatur pada ketentuan Pasal 19 ayat (3)

Undang-undang No.37 Tahun 2004 dengan syarat pemohon

pailit dapat membuktikan bahwa ada cukup harta untuk

membayar biaya kepailitan.

Setelah permohonan pernyataan pailit diajukan

terhadap orang yang telah meninggal maka berlaku proses

pengurusan, pemberesan hingga pembagian harta pailit, namun

terhadap harta peninggalan harus dipisahkan antara harta

kekayaan orang yang meninggal dengan harta kekayaan ahli

warisnya seperti yang tercantum dalam ketentuan Pasal 209

Undang-undang No.37 Tahun 2004. Berakhirnya kepailitan

yang disebabkan telah dilakukannya pembagian harta pailit

dalam hal kepailitan orang yang telah meninggal kemudian

dapat diajukan rehabilitasi. Berakhirnya kepailitan karena telah

dilakukannya pembagian harta pailit dalam hal kepailitan orang

yang telah meninggal menurut ketentuan Pasal 215 Undang-

xlix

undang No.37 Tahun 2004 dapat dijadikan dasar untuk

mengajukan permohonan rehabilitasi.

2. Tinjauan Umum Tentang Kurator

a. Pengangkatan, Penggantian dan Pemberhentian Kurator

Pengertian kurator berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-

undang No.37 Tahun 2004 yaitu “Balai Harta Peninggalan atau

orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk

mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah

pengawasan hakim pengawas sesuai undang-undang ini”. Tugas

sebagai kurator menurut Pasal 70 ayat (1) Undang-undang No.37

Tahun 2004 dilaksanakan oleh:

1) Balai Harta Peninggalan; atau

2) Kurator lainnya.

Pengertian kurator lainnya berdasarkan Pasal 70 ayat (2)

Undang-undang No.37 Tahun 2004 dan penjelasannya yaitu:

a) Orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang

memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka

mengurus dan/atau membereskan harta pailit. Keahlian

khusus adalah mereka yang mengikuti dan lulus

pendidikan kurator dan pengurus; dan

b) Terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan

tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan

perundang-undangan. Terdaftar adalah telah memenuhi

syarat-syarat pendaftaran sesuai dengan ketentuan yang

berlaku dan adalah anggota aktif organisasi profesi

kurator dan pengurus.

l

Struktur Organisasi Balai Harta Peninggalan (BHP) seperti

dipaparkan oleh Usman Rangkuti, yaitu:

1) Struktur Organisasi BHP terakhir berdasarkan Surat Keputusan

Menteri Kehakiman tanggal 19 Juni 1980 No.: PR.07.01-80

dimana di situ disebutkan bahwa: Balai Harta Peninggalan

merupakan salah satu pelaksana tenis (penyelenggara) hukum

di bidang harta peninggalan dan perwalian dalam lingkungan

Departemen Kehakiman RI, yang berada dan bertanggung

jawab, langsung kepada Direktur Jenderal Hukum dan

Perundang-undangan melalui Direktur Perdata.

2) Balai dipimpin langsung oleh seorang ketua dengan dibantu

oleh sekretaris, dan beberapa orang anggota teknis hukum.

3) Ketua bertugas memimpin perencanaan pelaksanaan,

pemberian bimbingan, dan pengawasan atas segala

penyelenggaraan sesuatu yang berhubungan dengan

pelaksanaan tugas Balai Harta Peninggalan.

4) Sekretaris bertugas memberikan pelayanan teknis dan

administrasi kepada semua unsur Balai Harta Peninggalan dan

sekretaris merangkap sebagai anggota teknis hukum. Sekretaris

dibantu oleh sub. bagian tata urusan yang terdiri dari:

a) Urusan Kepegawaian

b) Urusan Keuangan

c) Urusan Umum

d) Bendahara/Pemegang Buku

e) Seksi terdiri dari sie, wil I, II dan III yang bertugas

menyiapkan penyelesaian masalah perlawanan,

pengampunan, ketidakhadiran kepailitan, dan harta

peninggalan yang tidak ada kuasanya (Onbeheerde

Nalaten Schappen).

f) Anggota teknis hukum bertugas secara cologial

melaksanakan sesuatu yang berhubungan dengan

li

pelaksanaan tugas balai harta peninggalan (Usman

Rangkuti, 2001:379).

Tugas-tugas pekerjaan Balai Harta Peninggalan seperti

yang telah diurutkan oleh Usman Rangkuti, yakni:

1) Selaku wali pengawas (Pasal 366 KUH Perdata).

2) Selaku wali sementara (Pasal 332 KUH Perdata).

3) Selaku pengampu pengawas (Pasal 449 KUH Perdata).

4) Pengurus harta peninggalan orang tidak hadir/sukar dicari

(Pasal 463 KUH Perdata).

5) Pengurus harta peninggalan yang tidak ada kuasanya/tidak

terurus (Pasal 1126, 1127, 1128 dst).

6) Pengampu (kurator) dari harta kekayaan orang yang dinyatakan

pailit (Pasal 70 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004).

7) Pengampu anak yang masih di dalam kandungan (Pasal 348

KUH Perdata jo. Pasal 45 Instructie Balai).

8) Pendaftaran dan pembukaan surat wasiat (Pasal 42 QV. Stbl.

1848 No.10).

9) Pembuatan surat keterangan hak waris untuk golongan timur

asing selain Cina (Pasal 141) Instructie Voor de Gouverment

landmeters Stbl. 1916 No. 517.

10) Selaku pengurus pekerjaan dewan perwalian.

11) Fungsi/jabatan College Van Boedel Weestern (Usman

Rangkuti, 2001:381).

Menurut Vollmar sebagaimana dikutip oleh Zainal Asikin

bahwa Balai Harta Peninggalan (BHP) dalam melakukan tindakan

pemberesan harta pailit/debitor bertindak secara tidak langsung

untuk dan sebagai wakil debitor. Akan tetapi dalam praktik

(yurisprudensi) dengan HR tanggal 5 Maret 1920 dan HR tanggal

28 Oktober 1926 memutuskan bahwa kedudukan BHP tidak dapat

lii

dianggap sebagai pihak yang mewakili debitor di dalam kepailitan

(Zainal Asikin, 2001:77).

Menurut Pasal 15 Undang-undang No.37 Tahun 2004

terdapat ketentuan mengenai pengangkatan kurator, yaitu:

1) Dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat kurator dan

seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan.

2) Dalam hal debitor, kreditor, atau pihak yang berwenang

mengajukan permohonan pernyataan pailit tidak mengajukan

usul pengangkatan kurator kepada pengadilan maka Balai

Harta Peninggalan diangkat selaku kurator.

3) Kurator yang diangkat harus independen, tidak mempunyai

benturan kepentingan dengan debitor atau kreditor, dan tidak

sedang menangani perkara kepailitan dan penundaaan

kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara.

Independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan bahwa

kelangsungan keberadaan kurator tidak tergantung pada debitor

atau kreditor dan kurator tidak memiliki kepentingan ekonomis

yang sama dengan kepentingan ekonomis debitor atau kreditor.

Syarat untuk dapat didaftar sebagai kurator menurut

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia Nomor M.01-HT.05.10 Tahun 2005 Tentang

Pendaftaran Kurator dan Pengurus, yaitu:

1) Warga Negara Indonesia dan berdomisili di Indonesia;

2) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

3) Setia kepada pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia;

4) Sarjana hukum atau sarjana ekonomi jurusan akuntansi;

5) Telah mengikuti pelatihan calon kurator dan pengurus yang

diselenggarakan oleh organisasi profesi Kurator dan pengurus

bekerja sama dengan Departemen Hukum dan HAM Republik

Indonesia;

liii

6) Tidak pernah dipenjara karena melakukan tindak pidana yang

diancam dengan hukuman pidana 5 tahun atau lebih

berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap;

7) Tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga;

8) Membayar biaya pendaftaran; dan

9) Memiliki keahlian khusus.

Demi kepentingan kepailitan sebaiknya Undang-undang

No.37 Tahun 2004 memberikan ketentuan yang tegas mengenai

hal-hal apa saja yang dianggap terjadi atau terdapat benturan

kepentingan yang dimaksud itu. Menurut Sutan Remy Sjahdeini,

dianggap telah terjadi benturan kepentingan apabila terjadi antara

lain hal-hal sebagai berikut:

1) Kurator menjadi salah satu kreditor.

2) Kurator memiliki hubungan kekeluargaan dengan pemegang

saham pengendali atau dengan pengurus dari perseroan debitor.

3) Kurator memiliki saham lebih dari 10% pada salah satu

perusahaan kreditor atau pada perseroan debitor.

4) Kurator adalah pegawai, anggota direksi, atau anggota

komisaris dari salah satu perusahaan kreditor atau dari

perusahaan debitor (Sutan Remy Sjahdeini, 2009:209).

Sewaktu melaksanakan penugasan ternyata kurator

mengetahui bahwa ia ternyata memiliki benturan kepentingan

dengan salah satu atau lebih kreditor, hakim pengawas, atau

dengan anggota majelis hakim untuk penugasan tersebut, maka

kurator wajib:

1) memberitahukan secara tertulis adanya benturan tersebut

kepada hakim pengawas, debitor, rapat kreditor, dan komite

kreditor jika ada, dengan tembusan kepada dewan kehormatan

AKPI, serta wajib segera memanggil rapat kreditor untuk

liv

diselenggarakan secepatnya khusus untuk memutuskan

masalah benturan tersebut; atau

2) segera mengundurkan diri (Standar Profesi Kurator dan

Pengurus, Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia).

Berdasarkan Pasal 71 ayat (1) Undang-undang No.37

Tahun 2004 Pengadilan dapat setiap waktu mengabulkan usul

penggantian kurator, setelah memanggil dan mendengar kurator,

dan mengangkat kurator lain dan/atau mengangkat kurator

tambahan atas:

1) permohonan kurator sendiri;

2) permohonan kurator lainnya, jika ada;

3) usul hakim pengawas; atau

4) permintaan debitor pailit.

Berdasarkan Pasal 71 ayat (2) Undang-undang No.37 Tahun 2004

pengadilan harus memberhentikan atau mengangkat kurator atas

permohonan atau atas usul kreditor konkuren berdasarkan putusan

rapat kreditor yang diselenggarakan dengan persyaratan putusan

tersebut diambil berdasarkan suara setuju lebih dari ½ (satu

perdua) jumlah kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam

rapat dan yang mewakili lebih dari ½ (satu perdua) jumlah piutang

kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.

Jika akan mengundurkan diri maka kurator menyatakan

pengunduran diri secara tertulis kepada pengadilan, dengan

tembusan kepada hakim pengawas, panitia kreditor atau kurator

lainnya jika ada. kurator terdahulu wajib:

1) Menyerahkan seluruh berkas-berkas dan dokumen, termasuk

laporan-laporan dan kertas kerja kurator yang berhubungan

dengan penugasan kepada kurator pengganti dalam jangka

waktu 2x24 jam.

lv

2) Memberikan keterangan selengkapnya sehubungan dengan

penugasan tersebut khususnya mengenai hal-hal yang bersifat

material serta diperkirakan dapat memberikan landasan bagi

kurator pengganti untuk memahami penugasan selanjutnya.

3) Kurator terdahulu wajib membuat laporan pertanggungjawaban

atas penugasannya dan menyerahkan salinan laporan tersebut

kepada kurator pengganti (Standar Profesi Kurator dan

Pengurus, Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia).

b. Tanggung jawab Kurator

Tanggung jawab kurator menurut Jerry Hoff sebagaimana

dikutip oleh Imran Nating dibagi ke dalam dua macam bentuk

pertanggungjawaban, yaitu:

1) Tanggung jawab kurator dalam kapasitas profesi sebagai

kurator

Tanggung jawab kurator dalam kapasitas profesi

sebagai kurator dibebankan pada harta pailit dan bukan pada

kurator secara pribadi yang harus membayar kerugian,

sehingga kerugian yang timbul menjadi beban harta pailit.

Pihak yang menuntut mempunyai tagihan atas harta kepailitan

dan tagihannya adalah utang harta pailit. Perbuatan kurator

tersebut antara lain:

a) Kurator lupa untuk memasukkan salah satu kreditor dalam

rencana distribusi;

b) Kurator menjual aset debitor pailit yang tidak termasuk

dalam harta pailit;

c) Kurator menjual aset pihak ketiga;

d) Kurator berupaya menagih tagihan debitor pailit dan

melakukan sita atas properti debitor, kemudian terbukti

lvi

bahwa tuntutan debitor tersebut palsu (Jerry Hoff dalam

Imran Nating, 2004:116).

2) Tanggung jawab pribadi kurator

Berdasarkan Pasal 72 Undang-undang No.37 Tahun

2004, kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau

kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau

pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit.

Pasal 78 Undang-undang No.37 Tahun 2004, tidak adanya

kuasa atau izin dari hakim pengawas, dalam hal kuasa atau izin

diperlukan, atau tidak diindahkannya ketentuan dalam Pasal 83

dan Pasal 84, tidak mempengaruhi sahnya perbuatan yang

dilakukan oleh kurator kepada pihak ketiga. Kurator

bertanggung jawab terhadap debitor pailit dan kreditor

sehubungan dengan perbuatannya tersebut.

Kerugian yang muncul sebagai akibat dari tindakan atau

tidak bertindaknya kurator menjadi tanggung jawab kurator.

Kurator bertanggung jawab secara pribadi terhadap

perbuatannya tersebut. Kurator harus membayar sendiri

kerugian yang ditimbulkannya. Tanggung jawab ini dapat

terjadi, misalnya jika kurator menggelapkan harta pailit (Imran

Nating, 2004:117).

Dengan tanggung jawab yang dimilikinya dapat timbul

kesan bahwa kurator menggantikan kedudukan direksi/komisaris,

termasuk pemenuhan kewajiban perusahaan sebagai suatu badan

usaha/badan hukum. Perlu diingat bahwa kurator tidak

menggantikan kedudukan direksi/komisaris sehubungan dengan

pengurusan harta kekayaan perusahaan pailit. Kurator hanya

bertanggung jawab atas pengurusan dan pemberesan kekayaan

perusahaan. Kewajiban dan tanggung jawab sebagai pengurus

lvii

perusahaan, di luar pengurusan kekayaan perusahaan, tetap berada

di tangan direksi dan komisaris (Amir Abadi Jusuf, 2004:252).

c. Perlawanan Terhadap Kurator

Perbuatan hukum yang dilakukan oleh kurator menurut

Sutan Remy Sjahdeini tidak serta merta dapat diterima begitu saja

oleh kreditor atau panitia kreditor ataupun oleh debitor pailit

apabila perbuatan hukum itu dirasakan merugikan (Sutan Remy

Sjahdeini, 2009:230). Berdasarkan Pasal 77 Undang-undang No.37

Tahun 2004, setiap kreditor, panitia kreditor, dan debitor pailit

dapat mengajukan surat keberatan kepada hakim pengawas

terhadap perbuatan yang dilakukan oleh kurator atau memohon

kepada hakim pengawas untuk mengeluarkan surat perintah agar

kurator melakukan perbuatan tertentu atau tidak melakukan

perbuatan yang sudah direncanakan. Hakim pengawas harus

menyampaikan surat keberatan kepada kurator maksimal 3 (tiga)

hari setelah surat keberatan diterima dan kurator harus memberikan

tanggapan dalam jangka waktu 3 (tiga) hari setelah menerima surat

keberatan. Setelah itu hakim pengawas memberikan penetapan

setelah menerima tanggapan surat keberatan dari kurator maksimal

dalam jangka waktu 3 (tiga) hari.

lviii

B. Kerangka Pemikiran

Proses persidangan

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 UU No.37 Tahun 2004

Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,

perkara-perkara kepailitan diajukan ke pengadilan yang dalam hal ini

adalah pengadilan niaga dalam lingkungan peradilan umum. Setelah

melakukan pemeriksaan perkara maka putusan pengadilan atas

Pengadilan Niaga

Penetapan hakim pengawas dan kurator

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang

Perkara kepailitan

Putusan pailit

Pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit

Terpenuhinya Hak-hak Kreditor

Berakhirnya kepailitan

Rehabilitasi

Kurator sementara

Peranan Kurator

Bagaimanakah UUKPKPU memberikan

kewenangan kepada kurator untuk

menjalankan tugasnya secara efektif dan

efisien?

Bagaimanakah tugas kurator setelah adanya

putusan pailit dari Pengadilan Niaga?

Kendala-kendala yuridis apakah yang dihadapi

oleh kurator dalam mengurus harta pailit?

lix

permohonan pernyataan pailit diucapkan paling lambat 60 hari sejak

tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan (Pasal 8 ayat (5) UU

No.37 Tahun 2004).

Selama proses pemeriksaan perkara, para kreditor dapat

mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menunjuk kurator

sementara guna mengamankan harta pailit (Pasal 10 ayat (1) UU No.37

Tahun 2004). Pada saat permohonan pernyataan pailit dikabulkan oleh

hakim pengadilan, maka dalam putusan tersebut harus pula ditetapkan

kurator dan seorang hakim pengawas (Pasal 15 ayat (1) UU No.37 Tahun

2004). Putusan pernyataan pailit bersifat serta merta sehingga kurator

berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas

harta pailit sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan meskipun

terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali (Pasal

16 ayat (1) UU No.37 Tahun 2004). Peranan kurator sangat penting untuk

melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit karena kurator

merupakan satu-satunya organ yang menjalankan tugas tersebut (Pasal 69

ayat 1 UU No.37 Tahun 2004).

Setelah hak-hak para kreditor terpenuhi yaitu dengan jalan

pembayaran utang debitor pailit kepada para kreditor yang piutangnya

telah dicocokkan maka berakhirlah kepailitan (Pasal 202 ayat (1) UU

No.37 Tahun 2004). Berakhirnya kepailitan melalui cara perdamaian

ataupun dengan cara pemberesan maka debitor atau ahli warisnya berhak

mengajukan permohonan rehabilitasi kepada pengadilan yang telah

mengucapkan putusan pernyataan pailit (Pasal 215 UU No.37 Tahun

2004).

Melalui kerangka pemikiran tersebut, maka dianggap perlu untuk

melakukan penelitian mengenai peranan kurator dalam perkara kepailitan

berdasarkan UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang yaitu bagaimanakah kewenangan yang

lx

diberikan oleh UU No.37 Tahun 2004 kepada kurator untuk menjalankan

tugas secara efektif dan efisien kemudian bagaimanakah tugas kurator

setelah adanya putusan pailit dari pengadilan niaga sehingga dapat

diketahui kendala-kendala yuridis apakah yang dihadapi oleh kurator

dalam mengurus harta pailit.

lxi

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kewenangan yang Diberikan Kepada Kurator Untuk Menjalankan

Tugas Secara Efektif dan Efisien oleh Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang

Kurator merupakan salah satu organ penting dalam kepailitan.

Tugas utama kurator yakni mengurus dan/atau membereskan harta pailit.

Sedemikian pentingnya tugas kurator maka dalam putusan pernyataan

pailit langsung mengangkat kurator dan hakim pengawas seperti tercantum

dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004. Untuk

melaksanakan tugasnya tersebut kurator harus berpijak pada Undang-

undang No.37 Tahun 2004 dimana dalam undang-undang tersebut terdapat

pasal-pasal yang mengatur mengenai tugas dan wewenang kurator.

Peranan kurator yang begitu penting dalam penanganan kepailitan

tentunya harus didukung dengan aturan hukum yang memadai. Undang-

undang No.37 Tahun 2004 harus mampu menjadi payung hukum bagi

Kurator dalam melaksanakan tugasnya. Peraturan tersebut harus mampu

memberi ruang gerak bagi kurator agar dapat menyelesaikan pengurusan

dan/atau pemberesan harta pailit secara efektif dan efisien.

Pengertian efektif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

berhasil guna (tentang usaha, tindakan). Pengertian efisien menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia yakni tepat atau sesuai untuk mengerjakan

(menghasilkan) sesuatu (dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga,

biaya); mampu menjalankan tugas dengan tepat dan cermat; berdaya guna;

bertepat guna. Untuk mewujudkan peranan kurator secara efektif dan

efisien seperti kedua pengertian di atas maka Undang-undang No.37

Tahun 2004 harus memberikan kewenangan-kewenangan tertentu pada

50

lxii

kurator dalam menjalankan tugasnya. Adapun beberapa kewenangan yang

diberikan oleh Undang-undang No.37 Tahun 2004 agar tugas kurator

dapat diselesaikan secara efektif dan efisien yaitu:

1. Kurator berwenang menjalankan tugasnya sejak tanggal putusan pailit

diucapkan

Undang-undang No.37 Tahun 2004 pada Pasal 15 ayat (1)

menyatakan bahwa dalam putusan pernyataan pailit harus diangkat

kurator dan seorang hakim pengawas. Menurut Pasal 15 ayat (2),

debitor, kreditor ataupun pihak lain yang berkepentingan dalam

perkara pailit ini berhak untuk mengusulkan pengangkatan kurator,

namun apabila tidak diusulkan mengenai pengangkatan kurator maka

Balai Harta Peninggalan diangkat selaku kurator oleh pengadilan

niaga. Pengangkatan tersebut bertujuan mengisi kekosongan jabatan

kurator apabila tidak diusulkan pengangkatan kurator oleh debitor,

kreditor ataupun pihak lain yang berkepentingan.

Pengangkatan kurator bersamaan dengan putusan pernyataan

pailit guna mewujudkan sifat serta merta. Sifat serta merta dari putusan

pailit tersebut dapat dilihat pada Pasal 16 ayat (1) Undang-undang

No.37 Tahun 2004 yakni kurator berwenang untuk melaksanakan tugas

pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit sejak tanggal putusan

pailit diucapkan. Sejak putusan pailit diucapkan atau sejak pukul 00.00

waktu setempat pada tanggal dijatuhkannya putusan pailit maka

kurator dapat langsung menjalankan tugasnya terhadap harta pailit

milik debitor.

Kewenangan kurator untuk menjalankan tugasnya semakin

tegas didukung dalam kelanjutan kalimat Pasal 16 ayat (1) Undang-

undang No.37 Tahun 2004 yakni pengajuan kasasi atau upaya hukum

lain terhadap putusan pailit tidak menghalangi kurator untuk

menjalankan tugasnya. Pada Pasal 16 ayat (2) dinyatakan jika putusan

lxiii

pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau

peninjauan kembali, maka segala perbuatan yang telah dilakukan oleh

kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan

tentang putusan pembatalan pailit tetap sah dan mengikat debitor.

Kewenangan yang diberikan Undang-undang No.37 Tahun 2004 pada

kurator untuk menjalankan tugasnya baik ketika sedang diajukan

upaya hukum lain oleh debitor pailit atau setelah putusan pailit

dibatalkan oleh upaya hukum lain tersebut merupakan suatu bentuk

dukungan terhadap kurator agar menjalankan tugasnya secara efektif

dan efisien tanpa perlu terhambat oleh adanya suatu upaya hukum

sehingga putusan pailit dapat segera dijalankan oleh kurator dan hak-

hak kreditor dapat secepat mungkin terpenuhi.

Perkara pailit PT. Sarana Perdana Indoglobal (PT. SPI) pada

sekitar tahun 2007 diangkat Tafrizal Hasan Gewang, SH.,MH dan

Denny Azani B. Latief, SH selaku tim kurator. Pada perkara pailit PT.

Adam Air yang terjadi pertengahan tahun 2008, hakim dalam amar

putusannya mengangkat Gunawan Widiatmadja dan Anthony Prawira

sebagai tim kurator yang akan memimpin pembagian harta PT. Adam

Air kepada para kreditornya. Hakim PN Jakarta Pusat, Reno Listowo

juga ditunjuk sebagai hakim pengawas. Kemudian pada awal tahun

2009 para kreditor PT. Adam Air mengajukan permohonan

penggantian kurator namun majelis hakim yang diketuai Makassau

malah memutuskan untuk menambah tiga kurator baru yakni, Hendra

Rosa Putra, Tafrizal H. Gewang dan Leni Mardiana.

2. Kurator dapat mengambil alih perkara dan meminta pengadilan untuk

membatalkan segala perbuatan hukum debitor pailit

Suatu tuntutan hukum yang diajukan oleh debitor dan proses

hukum tersebut sedang berjalan selama kepailitan berlangsung, maka

atas permohonan tergugat, perkara harus ditangguhkan untuk

lxiv

memberikan kesempatan bagi kurator mengambil alih perkara yang

didasarkan pada Pasal 28 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004.

Berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) tersebut kurator mempunyai

hak untuk menolak mengambil alih perkara sedangkan menurut Pasal

28 ayat (4), apabila kurator ingin mengambil alih perkara maka tidak

perlu mendapat panggilan dan dapat setiap waktu mengambil alih

perkara sebagaimana tercantum dalam ayat (1) serta dapat memohon

agar debitor dikeluarkan dari perkara.

Kewenangan yang diberikan kepada kurator untuk sewaktu-

waktu mengambil alih perkara debitor pailit dapat digunakan untuk

membuktikan bahwa perbuatan debitor pailit tersebut bertujuan untuk

merugikan kreditor dan hal ini diketahui oleh pihak lawan sesuai

dengan Pasal 30 Undang-undang No.37 Tahun 2004 maka kurator

berhak untuk mengajukan pembatalan atas segala perbuatan debitor

sebelum pailit. Berdasarkan Pasal 36 kurator dapat mengambil

keputusan terhadap nasib perjanjian timbal balik yang belum atau baru

sebagian dipenuhi oleh debitor pailit.

Pasal 41 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004 demi

kepentingan harta pailit, maka kepada pengadilan dapat dimintakan

pembatalan segala perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan

pailit yang merugikan kepentingan keditor yang dilakukan oleh debitor

sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Permohonan seperti

dalam Pasal 41 ayat (1) tersebut dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim

apabila dapat dipenuhi syarat dalam ketentuan Pasal 41 ayat (2) yakni

dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan dilakukan, debitor dan

pihak ketiga tersebut mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa

perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor.

Kewenangan untuk membatalkan perbuatan hukum debitor

dinamakan actio pauliana. Actio pauliana adalah suatu legal recourse

lxv

yang diberikan kepada kurator untuk membatalkan tindakan-tindakan

hukum yang dilakukan oleh debitor pailit sebelum penetapan

pernyataan pailit dijatuhkan apabila kurator menganggap bahwa

tindakan-tindakan hukum yang dilaksanakan oleh debitor pailit

tersebut merugikan kepentingan kreditor-kreditor yang lainnya (Timur

Sukirno, 2001:374).

3. Kurator berwenang untuk melakukan pinjaman pada pihak ketiga

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 69 ayat (1) Undang-

undang No.37 Tahun 2004 yaitu tentang tugas kurator untuk

melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit maka pada

Pasal 69 ayat (2) huruf b maka kurator dapat melakukan pinjaman dari

pihak ketiga guna meningkatkan nilai harta pailit. Pinjaman tersebut

memerlukan izin dari hakim pengawas apabila perlu membebani harta

pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau

agunan atas kebendaan lainnya yang didasarkan pada Pasal 69 ayat (3).

Pembebanan tidak dapat dilakukan pada seluruh harta pailit karena

terdapat pengecualian pada pembebanan tersebut. Pada Pasal 69 ayat

(4) pembebanan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau

agunan atas kebendaan lainnya untuk melakukan pinjaman kepada

pihak ketiga hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta pailit yang

belum dijadikan jaminan utang.

Perlu diingat Pasal 55 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun

2004 bahwa pasal tersebut dengan tegas dinyatakan setiap kreditor

pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau

agunan atas kebendaan lainnya dapat mengeksekusi haknya atas harta

debitor seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Hak eksekusi tersebut

dapat ditangguhkan hingga 90 hari sejak tanggal putusan pernyataan

pailit diucapkan sebagaimana terdapat pada Pasal 56 ayat (2). Pasal 69

ayat (4) dapat dilaksanakan oleh kurator untuk mendapatkan pinjaman

lxvi

dari pihak ketiga agar nilai harta pailit dapat ditingkatkan tanpa

mengurangi hak kreditor yang memegang gadai, jaminan fidusia, hak

tanggungan, hipotek, atau agunan atas kebendaan lainnya untuk

mengeksekusi haknya tersebut dengan cara pinjaman dari pihak ketiga

dibebankan dengan hak pada harta pailit yang belum dijadikan jaminan

utang. Dengan demikian tidak terjadi benturan hak antara kurator dan

kreditor separatis yang mempunyai hak untuk mendahului

mengeksekusi haknya atas harta pailit setelah penangguhan 90 hari

serta setelah penagihannya dicocokkan.

4. Tindakan kurator tetap sah walaupun tanpa adanya izin dari hakim

pengawas

Berdasarkan Pasal 78 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun

2004 tidak adanya kuasa atau izin dari hakim pengawas, jika kuasa

atau izin diperlukan, atau tidak diindahkannya ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 83 dan Pasal 84 yaitu ketentuan dalam rapat

kreditor, tidak mempengaruhi sahnya perbuatan yang dilakukan oleh

kurator terhadap pihak ketiga. Sehubungan perbuatannya tersebut

berdasarkan Pasal 78 ayat (2) kurator sendiri bertanggung jawab

terhadap debitor pailit dan kreditor.

Tindakan kurator tetap sah walaupun tanpa adanya izin dari

hakim pengawas namun tidak berarti kurator dapat melakukan

tindakan pengurusan dan pemberesan sesukanya. Untuk melakukan

tindakannya tersebut, kurator harus memperhatikan hal-hal sebagai

berikut, yaitu:

a. apakah dia berwenang untuk melakukan hal tersebut;

b. apakah merupakan saat yang tepat (terutama secara ekonomi dan

bisnis) untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu;

lxvii

c. apakah terhadap tindakan tersebut diperlukan terlebih dahulu

keikutsertaan dari pihak-pihak tertentu, seperti hakim pengawas,

pengadilan niaga, panitia kreditor, debitor dan sebagainya;

d. harus dilihat cara yang layak dari segi hukum, kebiasaan dan sosial

dalam menjalankan tindakan-tindakan tertentu (Munir Fuady,

1999:44).

Menurut Pasal 78 Undang-undang No.37 Tahun 2004, tidak

adanya kuasa atau izin dari hakim pengawas, jika kuasa atau izin

diperlukan, atau tidak diindahkannya ketentuan dalam Pasal 83 dan

Pasal 84, tidak mempengaruhi sahnya perbuatan yang dilakukan oleh

kurator kepada pihak ketiga. Sehubungan dengan perbuatan tersebut

kurator bertanggung jawab terhadap debitor pailit dan kreditor.

Tanggung jawab kurator dibagi ke dalam dua bentuk seperti yang telah

dipaparkan dalam halaman 44. Menurut Imran Nating kerugian yang

muncul sebagai akibat dari tindakan atau tidak bertindaknya kurator

menjadi tanggung jawab kurator secara pribadi. Kurator harus

membayar sendiri kerugian yang ditimbulkannya. Tanggung jawab ini

dapat terjadi, misalnya jika kurator menggelapkan harta pailit (Imran

Nating, 2004:117).

5. Kurator berwenang untuk mengamankan harta pailit

Sebagaimana ditentukan oleh Pasal 98 Undang-undang No.37

Tahun 2004, maka sejak mulai pengangkatannya kurator harus

melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan

menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat

berharga lainnya serta kemudian memberikan tanda terima. Terhadap

uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya yang termasuk harta

pailit, selain mencatat kurator juga berwenang menyimpannya sendiri

seperti tercantum dalam Pasal 108 ayat (1) Undang-undang No.37

Tahun 2004. Berdasarkan Pasal 108 ayat (2) kurator berwenang untuk

lxviii

menyimpan uang tunai yang tidak diperlukan untuk pengurusan harta

pailit di bank guna kepentingan harta pailit. Menurut penjelasan Pasal

108, yang dimaksud dengan disimpan oleh kurator sendiri dalam

pengertian tidak mengurangi kemungkinan efek atau surat berharga

tersebut disimpan oleh kustodian, tetapi tanggung jawab tetap atas

nama debitor pailit. misalnya deposito atas nama kurator qq debitor

pailit. Menurut Marjan E. Pane tindakan ini merupakan tindakan

pengamanan terhadap sebagian dari harta pailit. Bersamaan dengan

pembekuan rekening, kurator wajib pula membuka rekening baru.

Sangat penting disini bahwa pembukaan rekening harus atas nama

kurator qq debitor pailit karena adalah suatu kekeliruan jika kurator

membuka rekening tersebut atas namanya sendiri mengingat resikonya

cukup besar, misalnya kematian kurator (Marjan E. Pane, 2004:285).

Kurator PT. Adam Air selama bulan Juni 2008 telah

menemukan beberapa aset milik Adam Air yakni di Orange City dan di

Bandara Cengkareng didapatkan lebih dari 1.000 ban pesawat baru dan

220 ban vulkanisir, suku cadang pesawat, 24 unit mobil operasional

untuk karyawan dan direksi di seluruh Indonesia. Kurator juga telah

melakukan pencairan dan pembekuan rekening dan sudah membalik

nama atas kurator c.q Adam Air dalam pailit di Bank Mandiri, BNI,

BRI, BCA, Lippobank, dan beberapa renening giro

(http://www.detikfinance.com, Surakarta,12 Mei 2009 pukul 19.35

WIB).

Sejak pengangkatannya, kurator harus melakukan upaya-upaya

untuk mengamankan harta pailit. Tindakan ini mencakup seluruh harta

debitor. Khusus untuk harta tertentu maka kurator berpedoman dalam

Standar Profesi Kurator dan Pengurus yang dikeluarkan oleh Asosiasi

Kurator dan Pengurus Indonesia, untuk melakukan langkah-langkah

yang diperlukan sebagai berikut:

lxix

a. Rekening Bank

Sesegera mungkin Kurator memberitahukan kepailitan debitor dan

akibat hukumnya kepada bank atau lembaga keuangan lainnya

dimana debitor memiliki rekening dan memastikan bahwa debitor

pailit tidak lagi berwenang untuk mengelola rekening tersebut.

Kemudian kurator meminta bank yang bersangkutan memindahkan

rekening debitor pailit ke dalam rekening kurator yang dibuka

khusus untuk keperluan penugasannya tersebut.

b. Surat Berharga Atas Bawa dan Logam Mulia

Kurator mengambil dan menyimpan seluruh surat berharga, efek

dan logam mulia dengan memberikan tanda terima kepada Debitor.

Kemudian Kurator dapat menyimpan surat berharga, efek dan

logam mulia di suatu tempat yang aman dalam pengawasannya.

c. Surat Berharga Atas Nama

Kurator mengambil dan menyimpan seluruh surat berharga dengan

memberikan tanda terima pada debitor. Kurator dapat menyimpan

surat berharga tersebut di suatu tempat yang aman dalam

pengawasannya. Bila perlu, kurator dapat memberitahukan

kepailitan debitor dan akibat hukumnya pada pihak yang terkait

dengan surat berharga tersebut dan memastikan debitor pailit tidak

berwenang lagi untuk mengelola surat berharga tersebut tanpa

persetujuan kurator.

d. Benda Tidak Bergerak

Kurator dapat meminta dan menyimpan seluruh sertifikat, surat-

surat dan tanda bukti hak lainnya sehubungan dengan benda tidak

bergerak milik debitor. Kurator dapat menyimpan surat berharga

tersebut di suatu tempat yang aman dalam pengawasannya. Bila

perlu, kurator dapat mengirimkan pemberitahuan tentang

pernyataan pailit pada lembaga pendaftaran atau pihak lain yang

berwenang atas harta tidak bergerak debitor pailit.

lxx

e. Benda Bergerak Lainnya

Kurator melakukan tindakan yang dianggap perlu untuk

mengamankan benda bergerak yang termasuk harta pailit.

f. Korespondensi Debitor Pailit

Kurator harus segera melakukan upaya-upaya untuk memastikan

bahwa kurator memiliki akses penuh untuk seluruh korespondensi

yang ditujukan kepada debitor pailit sehubungan dengan harta

pailit (Standar Profesi Kurator dan Pengurus, Asosiasi Kurator dan

Pengurus Indonesia).

Untuk menghindari debitor melakukan hal-hal yang tidak

diinginkan terhadap harta pailit misalnya mengalihkan atau merusak

harta pailit, maka dengan alasan untuk mengamankan harta pailit,

menurut Pasal 99 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004 kurator

dapat minta penyegelan harta pailit kepada hakim pengawas. Menurut

Pasal 99 ayat (2), penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh juru sita di tempat harta tersebut berada dengan dihadiri

oleh dua saksi yang salah satu diantaranya adalah wakil dari

pemerintah daerah setempat. Pengertian wakil dari pemerintah daerah

setempat menurut penjelasan Pasal 99 ayat (2) adalah lurah atau kepala

desa atau yang disebut dengan nama lain. Menurut pendapat Marjan E.

Pane, dengan syarat dapat dilakukan dengan cepat dan tepat maka

penyegelan akan sangat membantu dalam memberikan perlindungan

terhadap harta pailit berupa benda bergerak seperti perhiasan dan/atau

surat-surat berharga (Marjan E. Pane, 2004:285).

6. Kurator berwenang menerobos hak privasi debitor pailit

Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa Undang-undang

No.37 Tahun 2004 tidak menginginkan debitor pailit melakukan

hubungan rahasia dengan pihak-pihak lain yang dapat membahayakan

jumlah dan nilai harta pailit (Sutan Remy Sjahdeini, 2009:224). Untuk

lxxi

mencegah hal itu maka Pasal 105 ayat (1) memberikan kewenangan

kepada kurator untuk membuka surat dan telegram yang dialamatkan

kepada debitor pailit. Pasal 105 ayat (2) mewajibkan kepada kurator

untuk segera menyerahkan kepada debitor pailit surat dan telegram

yang tidak berkaitan dengan harta pailit.

Untuk menghindari Debitor Pailit menjalin komunikasi yang

dapat membahayakan harta pailit maka Pasal 105 ayat (3) Undang-

undang No.37 Tahun 2004 menentukan bahwa semua perusahaan

pengiriman surat dan telegram memberikan kepada kurator, surat dan

telegram yang dialamatkan pada debitor pailit. Berdasarkan penjelasan

Pasal 105 bahwa sejak putusan pailit diucapkan semua wewenang

debitor untuk menguasai dan mengurus harta pailit termasuk

memperoleh keterangan mengenai pembukuan, catatan, rekening bank,

dan simpanan debitor dari bank yang bersangkutan beralih kepada

kurator. Kurator harus segera melakukan upaya-upaya untuk

memastikan bahwa dirinya memiliki akses penuh untuk seluruh

korespondensi yang ditujukan kepada debitor pailit sehubungan

dengan harta pailit (Standar Profesi Kurator dan Pengurus, Asosiasi

Kurator dan Pengurus Indonesia).

7. Kurator berwenang menjual harta pailit

Dijatuhkannya putusan pernyataan pailit memberikan

konsekuensi kurator langsung berwenang untuk malaksanakan

tugasnya. Semenjak saat itulah kurator harus mengamankan harta pailit

bahkan meningkatkan nilai harta pailit tersebut agar ketika pembagian

seluruh kreditor dapat terpenuhi haknya. Pengecualian terhadap

pemenuhan hak-hak kreditor terdapat dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-

undang No.37 Tahun 2004 bahwa setiap kreditor pemegang gadai,

jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas

kebendaan lainnya dapat mengeksekusi haknya tersebut seolah-olah

lxxii

tidak terjadi kepailitan. Akan tetapi eksekusi tersebut tidak dapat

langsung dilaksanakan karena berdasarkan Pasal 56 ayat (1) hak

eksekusi tersebut harus ditangguhkan sampai dengan 90 hari sejak

dijatuhkannya putusan pailit. Penangguhan tersebut bertujuan untuk

memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian, mengoptimalkan

harta pailit, memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara

optimal.

Selama masa penangguhan eksekusi tersebut kurator

berwenang untuk menggunakan harta pailit berupa benda tidak

bergerak maupun benda bergerak atau menjual harta pailit yang berupa

benda bergerak yang berada dalam penguasaannya untuk

kelangsungan usaha debitor yang tercantum pada Pasal 56 ayat (3)

Undang-undang No.37 Tahun 2004. Akan tetapi terhadap kewenangan

menjual harta pailit tersebut sebelumnya telah diberikan perlindungan

yang wajar terhadap kepentingan kreditor atau pihak ketiga.

Berdasarkan penjelasan Pasal 56 ayat (3) yang dimaksud perlindungan

yang wajar adalah perlindungan yang perlu diberikan untuk

melindungi kepentingan kreditor atau pihak ketiga yang haknya

ditangguhkan. Pengalihan harta menyebabkan hak kebendaan tersebut

dianggap berakhir demi hukum. Perlindungan yang wajar, antara lain,

dapat berupa:

a. ganti rugi atas terjadinya penurunan nilai harta pailit;

b. hasil penjualan bersih;

c. hak kebendaan pengganti; atau

d. imbalan yang wajar dan adil serta pembayaran tunai (utang yang

dijamin) lainnya.

Harta pailit yang dapat dijual oleh kurator terbatas pada barang

persediaan (inventory) dan atau benda bergerak (current assets),

meskipun harta pailit tersebut dibebani dengan hak agunan atas

kebendaan.

lxxiii

Ketentuan Pasal 107 Undang-undang No.37 Tahun 2004 juga

memberikan wewenang kepada kurator untuk mengalihkan harta pailit

sejauh diperlukan untuk menutup biaya kepailitan atau apabila

penahanan harta pailit tersebut mengakibatkan kerugian pada harta

pailit walaupun terhadap putusan pailit tersebut diajukan kasasi atau

peninjauan kembali. Harta pailit yang dinilai tidak mencukupi untuk

membayar seluruh biaya kepailitan maka kurator dan kreditor

mengusulkan pada hakim pengawas untuk menyetujui agar perusahaan

debitor dilanjutkan kembali guna memperoleh peningkatan nilai harta

pailit. Nilai harta pailit yang telah dinilai cukup, kemudian hakim

pengawas menghentikan kelanjutan pengurusan perusahaan debitor.

Tata cara pemberesan harta pailit diatur pada Pasal 185 yakni

penjualan dilakukan di muka umum namun apabila tidak tercapai maka

dapat dilakukan penjualan di bawah tangan dengan izin hakim

pengawas. Kurator memiliki wewenang untuk memutuskan tindakan

yang akan diambil terhadap benda pailit yang tidak segera atau tidak

dapat dibereskan.

Kurator dapat memulai pemberesan dan penjualan semua harta

pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan debitor pailit apabila:

a. usul untuk mengurus perusahaan debitor tidak diajukan dalam

jangka waktu sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, atau

usul tersebut telah diajukan tapi ditolak; atau

b. pengurusan terhadap perusahaan debitor dihentikan.

Kewenangan yang diberikan kepada kurator untuk menjual

harta pailit dan memutuskan tindakan pada benda pailit yang tidak

dapat dibereskan ditujukan agar proses pemberesan harta pailit

menjadi lebih cepat selesai karena tidak terlalu banyak pihak yang

turut campur dalam proses pemberesan. Dengan demikian adanya

kurator yang mengambil tindakan dalam penjualan dan pemberesan

harta pailit dapat memberikan arahan terwujudnya kepastian hukum

lxxiv

sehingga tidak akan terjadi perselisihan panjang antara para kreditor

sehingga proses penjualan sampai pembagian harta pailit dapat

berjalan dengan cepat dan para kreditor dapat terpenuhi hak-haknya.

Kewenangan kurator untuk melaksanakan penjualan harta pailit

telah dilaksanakan oleh tim kurator PT. Sarana Perdana Indoglobal

(PT. SPI). Adapun penjualan yang telah dilakukan yaitu:

a. Aset PT SPI yang berupa sebidang tanah dan bangunan sesuai

SHM Nomor 604 atas nama Lisbet Sinaga yang terletak di Jalan

Bukit Sakti No.8 Kel. Ngesrep, Kec.Semarang Selatan, Kodya

Semarang, telah terjual pada proses pelelangan yang berlangsung

pada Jumat, 7 Desember 2007 bertempat di ruang rapat KPKNL

Semarang GKN II lantai IV Jl. Imam Bonjol 1D Semarang.

b. Selain itu aset lain yang juga telah terjual pada hari selasa tanggal

11 Desember 2007 adalah asset PT SPI yang berupa dua unit ruko

beralamat di Jalan Gatot Subroto Kepatihan, Kaliwates, Jember

Jawa Timur.

c. Kemudian aset PT SPI yang berupa tiga unit rumah toko (ruko)

sesuai SHM Nomor 02982, 02983, 02984 tertulis atas nama Lisbet

Sinaga yang terletak di Jl. H Agus salim, Kota Madya Surakarta,

Kec. Laweyan, Kelurahan Sondakan, Surakarta, Jawa Tengah,

telah terjual pada proses pelelangan yang berlangsung pada Selasa,

19 Februari 2008 yang lalu, dan bertempat di aula KPKNL

Surakarta, Jl. Ki Mangunsarkoro No:141 Surakarta.

d. Selain itu aset lain yang juga telah terjual adalah aset PT SPI yang

berupa sebidang tanah seluas 236 m2 sesuai SHM No. 18/Pusat an.

Baritauli Boru Hutapea, berikut bangunan diatasnya terletak di

Jalan Sindoro No. 30 dan 30-A Kel. Pusat Pasar, Kec. Medan, Kota

Medan, proses lelang di Medan berlangsung pada tanggal 6 Maret

2008 kemarin di Hotel Garuda Plaza, Jl. Sisingamangaraja, Medan.

lxxv

e. Setelah itu pada hari Kamis, tanggal 31 Juli 2008, Jam 10.30 WIB

telah dilangsungkan pelelangan aset PT. Sarana Perdana

Indoglobal yang terletak di jalan Batu Ceper IV, Kel.

KebonKelapa, Kec. Gambir, Jakarta Pusat di ruang Rose III, Hotel

THE ACACIA, Jakarta Pusat (http://id.denylawfirm.com,

Surakarta,7 Mei 2009 pukul 20.20 WIB).

B. Tugas Kurator Setelah Adanya Putusan Pailit Dari Pengadilan Niaga

1. Tugas Kurator Untuk Mengamankan Harta Pailit

Sejak mulai pengangkatannya, kurator harus melaksanakan

semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua

surat, dokumen, perhiasan, uang, efek, dan surat berharga lainnya

dengan memberikan tanda terima sesuai dengan ketentuan Pasal 98

Undang-undang No.37 Tahun 2004 dan tindakan-tindakan

pengamanan tersebut seperti telah dipaparkan pada halaman 56.

Sejak pengangkatannya, kurator harus melakukan upaya-upaya

untuk mengamankan harta pailit. Tindakan ini mencakup seluruh harta

debitor, khusus untuk harta tertentu maka kurator berpedoman dalam

Standar Profesi Kurator dan Pengurus yang dikeluarkan oleh Asosiasi

Kurator dan Pengurus Indonesia seperti yang telah dipaparkan pada

halaman 57. Untuk menghindari debitor melakukan hal-hal yang tidak

diinginkan terhadap harta pailit misalnya mengalihkan atau merusak

harta pailit, maka dengan alasan untuk mengamankan harta pailit,

kurator dapat minta penyegelan harta pailit kepada hakim pengawas

berdasarkan Pasal 99 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004.

lxxvi

2. Tugas Kurator Untuk Menyelesaikan Perikatan-perikatan Yang Dibuat

Oleh Debitor Pailit

a. Terhadap tuntutan hukum yang dihadapi oleh debitor pailit

Berdasarkan Pasal 28 Undang-undang No.37 Tahun 2004,

apabila debitor pada saat kepailitan berlangsung sedang

mengajukan suatu tuntutan hukum maka perkara dapat

ditangguhkan dan menunggu kurator untuk mengambil alih

perkara. Akan tetapi apabila Kurator tidak mengindahkan atau

menolak adanya panggilan tersebut maka perkara tetap dapat

diteruskan antara Debitor dengan Tergugat dan di luar tanggungan

harta pailit. Sebenarnya tanpa mendapat panggilanpun setiap waktu

Kurator berwenang mengambil alih perkara dan mohon agar

Debitor dikeluarkan dari perkara.

b. Terhadap perjanjian timbal balik yang dibuat oleh debitor pailit

Menurut Pasal 36 Undang-undang No.37 Tahun 2004,

terhadap perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian

dipenuhi maka pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitor

dapat meminta kepastian kepada kurator tentang kelanjutan

perjanjian tersebut dengan jangka waktu tertentu. Kurator berhak

untuk tidak memberikan tanggapan sehingga perjanjian dianggap

berakhir dan pihak yang mengadakan perjanjian tersebut

diperlakukan sebagai kreditor konkuren. Akan tetapi jika kurator

sanggup untuk meneruskan perjanjian tersebut maka kurator harus

memberikan jaminan atas kesanggupannya tersebut.

c. Terhadap perjanjian sewa-menyewa yang dibuat oleh debitor pailit

Kurator maupun pihak yang menyewakan kepada debitor

dapat menghentikan perjanjian sewa dengan syarat pemberitahuan

lxxvii

penghentian sebelum berakhirnya perjanjian dan sesuai dengan

adat kebiasaan setempat berdasarkan Pasal 38. Akan tetapi jika

uang muka sewa telah dibayar maka perjanjian tidak dapat

dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir. Uang sewa tersebut

dianggap merupakan utang harta pailit.

d. Warisan yang diterima oleh debitor pailit

Berdasarkan Pasal 40 Undang-undang No.37 Tahun 2004,

kurator tidak boleh menerima warisan yang selama kepailitan jatuh

ke tangan debitor, kecuali apabila warisan tersebut menguntungkan

harta pailit. Untuk tidak menerima warisan tersebut kurator

memerlukan persetujuan hakim pengawas.

e. Actio pauliana

Kata-kata actio pauliana ini berasal dari orang Romawi

yang maksudnya menunjuk kepada semua upaya hukum yang

digunakan guna menyatakan batal tindakan debitor yang

meniadakan arti Pasal 1131 KUH Perdata, yaitu debitor yang

bahwa dia akan dinyatakan pailit melakukan tindakan hukum untuk

memindahkan hak atas sebagian kekayaannya atau secara lain

merugikan para kreditornya (Kartini Muljadi, 2001:302).Undang-

undang No.37 Tahun 2004 memiliki suatu konsep yang disebut

actio pauliana yang bertujuan untuk melindungi kreditor dari

tindakan-tindakan yang dilakukan oleh debitor. Ketentuan tersebut

diatur dalam Pasal 41-50 Undang-undang No.37 Tahun 2004.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini ketentuan mengenai actio pauliana

merupakan ketentuan yang lazim adanya pada bankruptcy law dari

banyak negara. Pencantuman ketentuan ini, yang dikenal pula

dengan nama ”claw back provision”, di dalam undang-undang

kepailitan sangat perlu (Sutan Remy Sjahdeini, 2009:249).

lxxviii

1) Actio pauliana sebelum putusan pernyataan pailit

Pasal 41 Undang-undang No.37 Tahun 2004 menyatakan

bahwa untuk kepentingan harta pailit, kepada pengadilan dapat

dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum debitor yang

telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor,

yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

Pembatalan tersebut dapat dilakukan bila dapat dibuktikan

bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, debitor dan pihak

dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui

atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut

akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor. Pembatalan

perbuatan tersebut dikecualikan untuk perbuatan hukum yang

wajib dilakukan debitor berdasarkan perjanjian dan/atau

undang-undang.

Menurut Fred BG. Tumbuan dalam Pasal 41 Undang-

undang No.37 Tahun 2004 terdapat lima syarat yang harus

dipenuhi agar actio pauliana tersebut dapat berlaku yaitu:

a) Debitor telah melakukan suatu perbuatan hukum;

b) Perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan debitor;

c) Perbuatan yang dimaksud telah merugikan kreditor;

d) Pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut dengan

pihak siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan

mengetahui atau sepatutnya mengertahui bahwa perbuatan

hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor

(Fred BG. Tumbuan, 2001:129).

Berdasarkan ketentuan Pasal 42 bukan saja perbuatan

hukum debitor setelah putusan pailit yang dapat dibatalkan,

tetapi juga perbuatan hukum yang dilakukan debitor sebelum

adanya putusan pailit. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, Pasal 42

lxxix

Undang-undang No.37 Tahun 2004 mengatur dengan rinci

jenis perbuatan hukum yang apabila dilakukan dalam jangka

waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit ditetapkan

dapat dibatalkan oleh pengadilan, dengan syarat:

a) Perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan oleh debitor.

b) Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut

dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya

mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan merugikan

kreditor.

c) Perbuatan tersebut memenuhi syarat-syarat sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 42 huruf a sampai dengan g, yaitu:

(1) merupakan perjanjian dimana kewajiban Debitor jauh

melebihi kewajiban pihak dengan siapa perjanjian

tersebut dibuat;

(2) merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan

untuk utang yang belum jatuh tempo dan/atau belum

atau tidak dapat ditagih;

(3) dilakukan oleh debitor perorangan, dengan atau untuk

kepentingan:

(a) suami atau istrinya, anak angkat, atau keluarganya

sampai derajat ketiga;

(b) suatu badan hukum dimana debitor atau pihak lain

adalah anggota direksi atau pengurus atau apabila

pihak tersebut, baik sendiri-sendiri maupun

bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak

langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut

lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal

disetor atau dalam pengendalian badan hukum

tersebut.

(4) dilakukan oleh debitor yang merupakan badan hukum,

dengan atau untuk kepentingan:

lxxx

(a) anggota direksi atau pengurus dari debitor, suami

atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat

ketiga dari anggota direksi atau pengurus tersebut;

(b) perorangan, baik sendiri atau bersama-sama dengan

suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai

derajat ketiga, yang ikut serta secara langsung atau

tidak langsung dalam kepemilikan pada Debitor

lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal

disetor atau dalam pengendalian badan hukum

tersebut;

(c) perorangan yang suami atau istri, anak angkat, atau

keluarganya sampai derajat ketiga, ikut serta secara

langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan

pada debitor lebih dari 50% (lima puluh persen) dari

modal disetor atau dalam pengendalian badan

hukum tersebut.

(5) dilakukan oleh debitor yang merupakan badan hukum

dengan atau untuk kepentingan badan hukum lainnya,

apabila:

(a) perorangan anggota direksi atau pengurus pada

kedua badan usaha tersebut adalah orang yang

sama;

(b) suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai

derajat ketiga dari perorangan anggota direksi atau

pengurus debitor yang juga merupakan anggota

direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya,

atau sebaliknya;

(c) perorangan anggota direksi atau pengurus, atau

anggota badan pengawas pada debitor, atau suami

atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat

ketiga, baik sendiri atau bersama-sama, ikut serta

lxxxi

secara langsung atau tidak langsung dalam

kepemilikan badan hukum lainnya lebih dari 50%

(lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam

pengendalian badan hukum tersebut, atau

sebaliknya;

(d) debitor adalah anggota direksi atau pengurus pada

badan hukum lainnya, atau sebaliknya;

(e) badan hukum yang sama, atau perorangan yang

sama baik bersama, atau tidak dengan suami atau

istrinya, dan atau para anak angkatnya dan

keluarganya sampai derajat ketiga ikut serta secara

langsung atau tidak langsung dalam kedua badan

hukum tersebut paling kurang sebesar 50% (lima

puluh persen) dari modal yang disetor.

(6) dilakukan oleh debitor yang merupakan badan hukum

dengan atau terhadap badan hukum lain dalam satu grup

dimana debitor adalah anggotanya;

(7) ketentuan dalam huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f

berlaku mutatis mutandis dalam hal dilakukan oleh

debitor dengan atau untuk kepentingan:

(a) anggota pengurus dari suatu badan hukum, suami

atau istri, anak angkat atau keluarga sampai derajat

ketiga dari anggota pengurus tersebut;

(b) perorangan, baik sendiri maupun bersama-sama

dengan suami atau istri, anak angkat, atau keluarga

sampai derajat ketiga yang ikut serta secara

langsung atau tidak langsung dalam pengendalian

badan hukum tersebut (Sutan Remy Sjahdeini,

2009:253).

lxxxii

Pasal 43 Undang-undang No.37 Tahun 2004 mengatur

bahwa hibah yang dilakukan oleh debitor dapat dimintakan

pembatalan oleh oleh kurator kepada pengadilan apabila dapat

dibuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan debitor

mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan

kerugian bagi kreditor. Kemudian pada Pasal 44 dinyatakan

bahwa apabila tidak dapat dibuktikan sebaliknya, debitor

dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

tersebut merugikan kreditor , apabila hibah tersebut dilakukan

dalam jangka waktu 1 tahun sebelum putusan pailit diucapkan.

Sutan Remy Sjahdeini memberikan perbedaan antara

Pasal 43 dan Pasal 44 Undang-undang No.37 Tahun 2004,

yakni sebagai berikut:

a) Pasal 43 berlaku untuk hibah yang dilakukan lebih dari1

tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

Sementara dalam Pasal 44 berlaku bagi hibah yang

dilakukan dalam jangka waktu 1 tahun sebelum putusan

pailit diucapkan.

b) Pada Pasal 43 kurator-lah yang harus membuktikan bahwa

pada saat hibah tersebut dilakukan, debitor mengetahui atau

patut mengetahui bahwa hibah tersebut akan menyebabkan

kerugian bagi kreditor. Sementara dalam Pasal 44, debitor-

lah yang harus membuktikan bahwa pada saat hibah

tersebut dilakukan debitor tidak mengetahui atau patut

mengetahui bahwa hibah tersebut akan menyebabkan

kerugian bagi kreditor (Sutan Remy Sjahdeini, 2009:254).

Pasal 45 Undang-undang No.37 Tahun 2004

menentukan, pembayaran suatu utang yang sudah dapat ditagih

hanya dapat dibatalkan apabila dibuktikan bahwa:

lxxxiii

a) Penerima pembayaran mengetahui bahwa permohonan

pernyataan pailit debitor sudah didaftarkan; atau

b) Dalam hal pembayaran tersebut merupakan akibat dari

persekongkolan antara debitor dan kreditor (tertentu)

dengan maksud menguntungkan kreditor tersebut melebihi

kreditor lain.

Pasal 46 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004

menentukan, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 45 bahwa

pembayaran yang telah diterima oleh pemegang surat

pengganti atau surat atas tunjuk yang karena hubungan hukum

dengan pemegang terdahulu wajib wajib menerima

pembayaran dan tidak dapat diminta kembali. Sementara itu

Pasal 46 ayat (2) menentukan jika pembayaran tidak dapat

diminta kembali maka orang yang mendapat keuntungan atas

itu wajib mengembalikan kepada harta pailit jumlah yang telah

dibayar debitor apabila:

a) Dapat dibuktikan bahwa pada waktu penerbitan surat

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersangkutan

mengetahui bahwa permohonan pernyataan pailit debitor

sudah didaftarkan; atau

b) Penerbitan surat tersebut merupakan akibat dari

persekongkolan antara debitor dan pemegang pertama.

Berdasarkan Pasal 47 Undang-undang No.37 Tahun

2004, seluruh tuntutan hak mengenai actio pauliana diajukan

oleh Kurator. Kemudian kreditor dapat mengajukan bantahan

terhadap tuntutan kurator tersebut.

Disahkannya perdamaian seperti tercantum pada Pasal

48 Undang-undang No.37 Tahun 2004 maka tuntutan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dianggap gugur. Akan

lxxxiv

tetapi jika isi perdamaian tersebut adalah pelepasan hak maka

tuntutan dalam Pasal 47 dapat dilanjutkan oleh para pemberes

harta pailit.

Akibat pembatalan perbuatan hukum seperti yang

tercantum dalam Pasal 41-46 Undang-undang No.37 Tahun

2004 bagi orang yang menerima pengalihan harta dari debitor

diatur dalam Pasal 49 yakni orang tersebut harus

mengembalikan barang yang dimaksud kepada kurator dan

dilaporkan kepada hakim pengawas. Jika barang tersebut tidak

dikembalikan maka orang tersebut harus membayar ganti rugi

kepada harta pailit namun jika benda itu diperoleh oleh pihak

ketiga dengan itikad baik dan tidak dengan cuma-cuma maka

harus dilindungi. Dana apabila terdapat kekurangan dalam

pembatalannya dapat menjadi kreditor konkuren.

2) Actio pauliana setelah putusan pernyataan pailit

Actio pauliana setelah putusan pernyataan dalam

Undang-undang No.37 Tahun 2004 terdapat pada Pasal 50,

bahwa setiap orang yang sesudah putusan pailit diucapkan

kemudian membayar untuk memenuhi perikatannya dengan

debitor maka dibebaskan dari harta pailit sejauh tidak

dibuktikan bahwa yang bersangkutan mengetahui adanya

putusan pailit tersebut. Pembayaran sesudah putusan pailit

tidak membebaskan terhadap harta pailit kecuali dapat

dibuktikan bahwa pengumuman putusan pailit tidak mungkin

diketahui di tempat tinggalnya. Kemudian apabila pembayaran

tersebut menguntungkan bagi harta pailit maka Debitor

dibebaskan dari harta pailit.

lxxxv

3. Tugas Kurator Untuk Melakukan Pencatatan Harta Pailit dan

Mengadakan Rapat Pencocokan Piutang

Berdasarkan Pasal 100 Undang-undang No.37 Tahun 2004,

kurator harus membuat pencatatan harta pailit paling lambat 2 hari

setelah menerima surat putusan pengangkatannya sebagai kurator.

Pencatatan harta pailit dapat dilakukan di bawah tangan oleh kurator

dengan persetujuan Hakim Pengawas. Anggota panitia kreditor

sementara berhak menghadiri pembuatan pencatatan tersebut. Segera

setelah melakukan pencatatan harta pailit, kurator harus membuat

daftar yang menyatakan sifat, jumlah piutang dan utang harta pailit,

nama dan tempat tinggal kreditor beserta jumlah piutang masing-

masing (Pasal 102). Kemudian oleh kurator daftar pencatatan tersebut

diletakkan di kepaniteraan pengadilan untuk dapat dilihat oleh setiap

orang dengan cuma-cuma.

Menurut Marjan E. Pane terdapat beberapa cara praktis yang

dapat dilakukan oleh kurator untuk melakukan inventarisasi dan

verifikasi harta/boedel pailit yaitu:

a. Debitor pailit adalah orang-perorangan:

1) Minta status perdata dari si debitor pailit.

2) Minta debitor pailit membuat status harta kekayaan yang

ditandatangani di atas meterai untuk kemudian oleh kurator

diverifikasi kebenarannya kepada instansi yang berwenang jika

perlu misalnya dalam hal kekayaan berupa tanah.

3) Dalam hal debitor kurang/tidak kooperatif maka kurator dapat

meminta untuk dilakukannya paksa badan atas debitor yang

bersangkutan.

4) Dengan persetujuan hakim pengawas melakukan penyegelan

atas harta kekayaan berupa barang bergerak yang dapat secara

mudah digelapkan misalnya perhiasan.

lxxxvi

5) Melapor dan minta bantuan kepada pihak yang berwajib dalam

hal terjadi penggelapan atas harta pailit debitor.

b. Debitor pailit adalah badan hukum:

1) Minta laporan keuangan lengkap dari debitor pailit.

2) Dalam hal kurator tidak mampu membaca laporan keuangan,

maka dengan persetujuan hakim pengawas dapat diangkat ahli

dalam bidang keuangan sehingga dapat mendampingi kurator

dalam membaca laporan keuangan tersebut.

3) Membekukan semua rekening debitor pailit di bank.

4) Melakukan pemeriksaan fisik dari harta pailit dan

menyesuaikannya dengan laporan keuangan.

5) Mempelajari dengan seksama kegiatan usaha dari debitor pailit

untuk menentukan kelanjutan usaha debitor pailit.

6) Memberi penjelasan kepada para direktur perusahaan mengenai

batasan-batasan wewenangnya sehubungan dengan kepailitan

perusahaannya.

7) Melakukan penyegelan terhadap surat-surat berharga yang

dimiliki debitor pailit.

8) Menerapkan paksa badan kepada anggota direksi yang tidak

kooperatif.

9) Minta bantuan polisi dalam hal diperlukan pengamanan

terhadap harta pailit.

10) Membentuk panitia kreditor dalam hal keadaan maupun

kegiatan usaha debitor cukup kompleks (Marjan E. Pane,

2004:282).

Setelah kurator melakukan pencatatan harta seperti tercantum

dalam Pasal 100 Undang-undang No.37 Tahun 2004 selanjutnya

kurator harus melakukan pencocokan piutang kreditor. Pasal 113 ayat

(1) menyatakan bahwa paling lambat 14 hari setelah putusan

pernyataan pailit diucapkan, hakim pengawas harus menetapkan:

lxxxvii

a. batas akhir pengajuan tagihan;

b. batas akhir verifikasi pajak untuk menentukan besarnya kewajiban

pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang

perpajakan;

c. hari, tanggal, waktu, dan tempat rapat kreditor untuk mengadakan

pencocokan piutang.

Paling lambat 5 hari setelah penetapan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 113 ayat (1), kurator wajib memberitahukan penetapan tersebut

kepada semua kreditor yang alamatnya diketahui dengan surat dan

mengumumkannya paling sedikit dalam 2 surat kabar harian.

Berdasarkan Pasal 133, piutang yang dimasukkan pada kurator setelah

lewat jangka waktu dalam Pasal 113 ayat (1) yaitu 14 hari mempunyai

syarat dimasukkan paling lambat 2 (dua) hari sebelum hari

diadakannya rapat pencocokan piutang, piutang tersebut wajib

dicocokkan apabila ada permintaan yang diajukan dalam rapat dan

tidak ada keberatan, baik permintaan tersebut diajukan oleh kurator

maupun oleh salah seorang kreditor yang hadir dalam rapat.

Proses pencocokan piutang adalah penentuan klasifikasi

tentang tagihan-tagihan yang masuk terhadap harta Debitor pailit, guna

diperinci tentang berapa besarnya piutang-piutang yang dapat

dibayarkan kepada masing-masing kreditor, yang diklasifikasikan

menjadi daftar piutang yang diakui maupun yang dibantah atau yang

sementara diakui. Proses pencocokan putang ini dilakukan dalam suatu

penahapan yang disebut rapat verifikasi (Paulus E. Lotulung,

2001:389).

Undang-undang kepailitan mengenal dua jenis pelaporan

kurator yaitu pelaporan berkala dan khusus. Laporan berkala disiapkan

dan disampaikan secara berkala dalam jangka waktu tertentu,

sedangkan laporan khusus disiapkan dan disampaikan sehubungan

dengan tahapan atau kejadian tertentu/khusus dalam proses kepailitan.

lxxxviii

Selain itu kurator harus menyampaikan laporan pendahuluan untuk

kepentingan rapat kreditor pertama. Laporan pendahuluan merekam

hasil kerja kurator selama proses tindakan pendahuluan yang akan

dijadikan acuan bagi kurator atau untuk menyusun rencana kerja.

Laporan pendahuluan setidaknya memuat:

a. informasi umum sehubungan dengan tempat, jenis dan skala

kegiatan usaha debitor pailit;

b. tindakan yang telah diambil kurator dalam rangka pengamanan atas

harta pailit;

c. informasi umum yang telah dikumpulkan atau didapat kurator

tentang keadaan keuangan debitor pailit;

d. uraian atau catatan sementara atas harta pailit, yang setidaknya

memuat identifikasi seluruh rekening bank dan harta kekayaan

penting lain yang dimiliki debitor pailit;

e. uraian atas kewajiban atau utang harta pailit, yang setidaknya

memuat identifikasi kreditor yang diketahui dari catatan debitor

pailit dan tagihan yang telah diajukan terhadap harta pailit; dan

f. sifat kooperatif atau nonkooperatif dari debitor pailit (Standar

Profesi Kurator dan Pengurus, Asosiasi Kurator dan Pengurus

Indonesia).

Pada saat dilakukannya pencocokan piutang, kurator memiliki

beberapa kewajiban sesuai dengan ketentuan Pasal 116 Undang-

undang No.37 Tahun 2004 yaitu:

a. mencocokkan perhitungan piutang yang diserahkan oleh kreditor

dengan catatan yang telah dibuat sebelumnya dari keterangan

debitor pailit; atau

b. berunding dengan kreditor jika terdapat keberatan terhadap

penagihan yang diterima.

Kurator juga berhak meminta kepada kreditor agar memasukkan surat

yang belum diserahkan termasuk memperlihatkan catatan dan surat

lxxxix

bukti asli. Berdasarkan Pasal 117 Kurator juga wajib memasukkan

piutang yang disetujuinya ke dalam suatu daftar piutang yang

sementara diakui sedangkan piutang yang dibantah beserta alasannya

dimasukkan ke dalam daftar tersendiri. Pada daftar piutang tersebut

dibubuhkan pula catatan terhadap setiap piutang apakah termasuk

piutang yang diistimewakan atau dijamin dengan gadai, jaminan

fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya,

atau hak untuk menahan benda bagi tagihan yang bersangkutan dapat

dilaksanakan (Pasal 118 ayat (1)). Kemudian daftar piutang tersebut

dengan surat kepada kreditor yang dikenal dan disertai panggilan untuk

menghadiri rapat pencocokan piutang dengan menyebutkan rencana

perdamaian jika telah diserahkan oleh debitor pailit.

Pada saat dilakukannya rapat pencocokan piutang, hakim

pengawas membacakan daftar piutang yang diakui sementara dan

daftar piutang yang dibantah oleh kurator. Kurator berhak menarik

kembali pengakuan sementara atau bantahannya, atau menuntut supaya

kreditor menguatkan dengan sumpah kebenaran piutangnya yang tidak

dibantah oleh kurator atau oleh salah seorang kreditor. Kemudian

piutang yang tidak dibantah wajib dipindahkan ke dalam daftar piutang

yang diakui yang kemudian dimasukkan dalam berita acara rapat

pencocokan piutang. Kurator mencatat pengakuan surat jika piutang

berupa surat atas tunjuk dan surat atas pengganti. Setelah berakhirnya

pencocokan piutang maka sesuai dengan Pasal 143 ayat (1) kurator

wajib memberikan laporan mengenai keadaan harta pailit dan

selanjutnya kepada kreditor wajib diberikan semua keterangan yang

diminta.

Laporan berkala dalam kepailitan setidaknya mencakup:

a. ringkasan tindakan pengurusan dan pemberesan harta pailit yang

telah diambil oleh kurator berikut alasan singkat mengapa tindakan

itu perlu diambil;

xc

b. rencana pengurusan dan pemberesan harta pailit dan tindakan yang

akan diambil oleh kurator dalam masa 3 bulan ke depan berikut

alasan singkat mengapa tindakan itu perlu diambil;

c. keadaan harta pailit, yang mencakup tindakan pengamanan harta

pailit, uraian atau catatan harta pailit, daftar utang harta pailit,

analisis kelangsungan usaha debitor pailit, rencana pemenuhan

biaya kepailitan, dan kerjasama atau penyediaan informasi dari

debitor pailit (Standar Profesi Kurator dan Pengurus, Asosiasi

Kurator dan Pengurus Indonesia).

4. Tugas Kurator Untuk Memberikan Pertanggungjawaban Apabila

Terjadi Perdamaian

Setelah kurator selesai melakukan pencocokan piutang kreditor

maka tugas selanjutnya adalah melakukan pemberesan harta pailit.

Akan tetapi apabila debitor mengajukan perdamaian maka urusan

perdamaian diselesaikan terlebih dahulu yang didasarkan pada Pasal

144 Undang-undang No.37 Tahun 2004 bahwa debitor pailit berhak

untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua kreditor. Pasal 145

ayat (1) menyatakan bahwa rencana perdamaian paling lambat

diajukan 8 hari sebelum rapat pencocokan piutang. Mengenai rencana

perdamaian tersebut kurator dan panitia kreditor sementara wajib

memberikan pendapat tertulis (Pasal 146).

Pada saat pengesahan perdamaian telah memperoleh kekuatan

hukum tetap maka kepailitan dianggap telah berakhir hal ini tertuang

dalam Pasal 166 Undang-undang No.37 Tahun 2004. Perdamaian

tersebut diumumkan oleh kurator dalam Berita Negara Republik

Indonesia dan paling sedikit 2 surat kabar harian. Kemudian

berdasarkan Pasal 167, Kurator wajib melakukan melakukan

pertanggungjawaban kepada debitor di hadapan hakim pengawas dan

wajib mengembalikan kepada debitor semua benda, uang, buku, dan

xci

dokumen yang termasuk harta pailit dengan menerima tanda terima

yang sah.

Berdasarkan Pasal 168 Undang-undang No.37 Tahun 2004,

apabila debitor tidak memberikan jaminan terhadap pelunasan seluruh

piutang kreditor maka jumlah uang yang menjadi hak kreditor yang

telah dicocokkan berdasarkan hak istimewa yang diakui serta biaya

kepailitan wajib diserahkan langsung kepada kurator sehingga kurator

berwenang untuk menahan semua benda dan uang yang termasuk harta

pailit. Setelah lewat jangka waktu 30 hari setelah putusan perdamaian

dan debitor tidak segera melaksanakan kewajibannya maka kurator

wajib melunasi pembayaran seluruh piutang kreditor menggunakan

harta pailit yang tersedia.

Debitor yang lalai manjalankan kewajibannya dan tidak dapat

membuktikan bahwa perdamaian telah terpenuhi maka kreditor berhak

untuk mengajukan pembatalan perdamaian yang telah disahkan.

Berdasarkan Pasal 172 Undang-undang No.37 Tahun 2004 bahwa

dalam putusan pembatalan perdamaian diperintahkan supaya kepailitan

dibuka kembali, disertai dengan pengangkatan seorang hakim

pengawas, kurator, dan anggota panitia kreditor apabila sebelumnya

terdapat panitia seperti itu. Hakim pengawas, kurator, dan anggota

panitia kreditor sedapat mungkin diangkat dari orang yang sama dalam

perkara kepailitan tersebut. kemudian putusan pembatalan perdamaian

tersebut wajib diumumkan oleh kurator dalam Berita Negara Republik

Indonesia dan 2 surat kabar harian. Setelah kepailitan dibuka kembali

maka tidak dapat lagi ditawarkan perdamaian dan berdasarkan Pasal

175 kurator wajib seketika melakukan pemberesan harta pailit.

5. Tugas Kurator Untuk Melakukan Pengurusan Harta Pailit

Berdasarkan persetujuan panitia kreditor sementara dan sesuai

ketentuan pada Pasal 104 Undang-undang No.37 Tahun 2004, kurator

xcii

dapat melanjutkan usaha debitor yang dinyatakan pailit walaupun

terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau

peninjauan kembali. Akan tetapi apabila tidak diangkat panitia

kreditor, maka kurator memerlukan izin dari hakim pengawas untuk

melanjutkan usaha debitor tersebut. Berdasarkan Pasal 107 bahwa atas

persetujuan hakim pengawas, kurator dapat mengalihkan harta pailit

sejauh diperlukan untuk menutup biaya kepailitan atau apabila

penahanannya tersebut dapat mengakibatkan kerugian pada harta pailit

meskipun pada saat itu diajukan upaya hukum kasasi atau peninjauan

kembali.

Pada saat dilakukannya pencocokan piutang apabila tidak

ditawarkan rencana perdamaian atau jika rencana perdamaian yang

ditawarkan tidak diterima maka kurator atau kreditor yang hadir dalam

rapat pencocokan piutang dapat mengusulkan supaya perusahaan

debitor pailit dilanjutkan. Usul untuk melanjutkan perusahaan debitor

pailit dapat diajukan oleh kurator atau kreditor dalam jangka waktu 8

hari setelah putusan penolakan pengesahan perdamaian memperoleh

kekuatan hukum tetap. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan nilai

harta pailit sehingga ketika pembagian harta pailit jumlahnya dapat

mencukupi untuk membayar seluruh utang debitor pailit. Menurut

pendapat Timur Sukirno, kurator berhak, jika dia merasa bahwa

tindakannya akan secara material meningkatkan harta yang akan

dibagikan kepada para kreditor, untuk melanjutkan keseluruhan atau

sebagian usaha debitor pailit untuk jangka waktu tertentu dan

menunjuk seseorang atau beberapa orang untuk melaksanakan usaha

debitor pailit (Timur Sukirno, 2001:373).

Pada saat harta pailit dalam keadaan tidak mampu membayar,

maka kurator bertindak berdasarkan prinsip meningkatkan atau

setidaknya mempertahankan nilai harta pailit. Keadaan harta pailit

tidak mampu membayar maka tidak berarti kegiatan usahanya secara

xciii

langsung berhenti pula. Kegiatan usaha dapat terus berjalan jika dapat

meningkatkan/mempertahankan nilai harta pailit dengan maksud untuk

kepentingan pemberesan (Standar Profesi Kurator dan Pengurus,

Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia).

Keuntungan dengan diteruskannya perusahaan debitor pailit

yaitu:

a. Dapat menambah harta pailit dengan keuntungan-keuntungan yang

mungkin diperoleh dari perusahaan tersebut.

b. Ada kemungkinan lambat laun debitor akan dapat membayar

utangnya secara penuh.

c. Kemungkinan tercapainya suatu perdamaian (Zainal Asikin,

2001:76).

6. Tugas Kurator Untuk Melakukan Pemberesan Harta Pailit

Berikut ini adalah beberapa prinsip dasar yang harus dianut

oleh kurator dalam melaksanakan penjualan aset debitor pailit:

a. harus menjual aset dengan harga yang paling tinggi;

b. harus memutuskan apakah aset-aset tertentu harus dijual segera dan

asset-aset yang lain harus disimpan terlebih dahulu karena nilainya

akan meningkat di kemudian hari; dan

c. harus kreatif dalam mendapatkan nilai tertinggi atas aset Debitor

pailit (Timur Sukirno, 2001:372).

Tata cara pemberesan harta pailit berdasarkan ketentuan Pasal

185 Undang-undang No.37 Tahun 2004 yakni dengan cara menjual

semua benda di muka umum sesuai dengan tata cara yang ditentukan

dalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi jika penjualan di

muka umum tidak tercapai maka dapat dilakukan penjualan di bawah

tangan seizin hakim pengawas. Terhadap benda yang tidak segera atau

sama sekali tidak dapat dibereskan maka kurator dapat memutuskan

tindakan apa yang akan diambil terhadap benda tersebut dengan izin

xciv

hakim pengawas. Benda debitor pailit ada yang berada di tangan

kreditor yang memiliki hak untuk menahan suatu benda maka kurator

wajib untuk membayar piutang kreditor tersebut agar benda itu dapat

masuk kembali dan menguntungkan harta pailit.

Perlu diingat bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 55 Undang-

undang No.37 Tahun 2004 bahwa setiap kreditor pemegang gadai,

jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas

kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak

terjadi kepailitan. Akan tetapi pada saat penagihan piutang, mereka

hanya dapat melakukan eksekusi setelah dicocokkan penagihannya

serta hanya untuk mengambil pelunasan dari jumlah yang diakui dari

penagihan tersebut.

Meskipun secara prinsip kepailitan tidak menghalangi eksekusi

oleh setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,

hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, namun berdasarkan

ketentuan Pasal 56 Undang-undang No.37 Tahun 2004 hak untuk

melakukan eksekusi hartanya yang berada dalam penguasaan debitor

pailit atau kurator tersebut, kecuali terhadap tagihan kreditor yang

dijamin dengan uang tunai dan hak kreditor untuk menjumpakan

utang, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari sejak

tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Adanya eksekusi harta

terlebih dahulu oleh kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak

tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya tersebut

dikarenakan mereka memiliki piutang yang telah dijamin oleh debitor

dan pemenuhannya pun mendahului kreditor lain.

Setelah perusahaan debitor dilanjutkan ataupun tidak dan

hakim pengawas berpendapat telah cukup uang berdasarkan penjualan

harta pailit maka kurator dapat diperintahkan untuk melakukan

pembagian kepada kreditor yang piutangnya telah dicocokkan.

xcv

Kemudian kurator menyusun suatu daftar pembagian untuk dimintakan

persetujuan kepada hakim pengawas. Adapun daftar pembagian

tersebut berisi rincian tentang penerimaaan dan pengeluaran termasuk

di dalamnya upah kurator, nama kreditor, jumlah yang dicocokkan dari

tiap piutang, dan bagian yang wajib diterimakan kepada kreditor.

Kreditor konkuren harus diberikan bagian yang ditentukan oleh hakim

pengawas sedangkan kreditor separatis dan kreditor preferen

mendapatkan pembayaran dari hasil penjualan benda diagunkan

kepada mereka jika hasil penjualan benda agunan tidak mencukupi

untuk membayar seluruh piutang kreditor yang didahulukan (kreditor

separatis dan kreditor preferen) maka untuk kekurangannya mereka

berkedudukan sebagai kreditor konkuren.

Daftar pembagian harus memuat suatu pertelaan yang terdiri

dari:

a. penerimaan dan pengeluaran (termasuk imbalan jasa kurator);

b. nama-nama para kreditor;

c. jumlah yang dicocokkan dari setiap piutang; dan

d. bagian atau persentase yang harus diterima kreditor untuk setiap

piutang tersebut (Imran Nating, 2004:160).

Daftar pembagian tersebut yang telah disetujui oleh hakim

pengawas kemudian disediakan di kepaniteraan pengadilan agar dapat

dilihat oleh kreditor selama tenggang waktu yang ditetapkan oleh

hakim pengawas. Daftar pembagian tersebut oleh kurator juga harus

diumumkan di dalam 2 surat kabar harian. Berdasarkan Pasal 193 ayat

(1) Undang-undang No.37 Tahun 2004 yakni selama tenggang waktu

yang ditetapkan oleh hakim pengawas, maka kreditor dapat melakukan

perlawanan atas daftar pembagian tersebut dengan mengajukan surat

keberatan disertai alasan kepada panitera pengadilan dengan menerima

tanda bukti penerimaan dari panitera pengadilan.

xcvi

Kurator membayarkan atau membagikan hasil penjualan harta

pailit kepada kreditor konkuren setiap kali terdapat sejumlah uang

tunai yang oleh kurator diperkirakan cukup untuk melunasi bagian

tertentu dari utang secara proporsional, sesuai dengan daftar

pembagian yang telah disetujui oleh hakim pengawas. Pada saat

pembagian kepada kreditor konkuren, kurator harus memastikan

bahwa tidak ada tagihan dari kreditor yang diistimewakan. Kurator

dilarang mendahulukan pembayaran pada kreditor tertentu, kecuali

pada kreditor yang memang didahulukan berdasarkan sifat piutangnya

(Standar Profesi Kurator dan Pengurus, Asosiasi Kurator dan Pengurus

Indonesia).

Menurut Pasal 201 Undang-undang No.37 Tahun 2004 setelah

berakhirnya tenggang waktu untuk melihat daftar pembagian dan

putusan perkara perlawanan terhadap daftar pembagian tersebut telah

diucapkan maka kurator wajib segera membayar pembagian yang

sudah ditetapkan. Berdasarkan Pasal 202, segera setelah dilakukan

pembayaran kepada seluruh kreditor atau setelah daftar pembagian

penutup menjadi mengikat maka kepailitan dianggap telah berakhir.

Kemudian kurator memberikan pengumuman tentang berakhirnya

kepailitan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan 2 surat kabar

harian. Kurator juga wajib memberikan pertanggungjawaban mengenai

pengurusan dan pemberesan yang telah dilakukannya kepada hakim

pengawas paling lambat 30 hari setelah berakhirnya kepailitan. Selain

itu Kurator juga harus memberikan semua buku dan dokumen

mengenai harta pailit yang ada kepada debitor.

Berikut ini gambaran mengenai pelaksanaan tugas kurator untuk

melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit pada perkara pailit PT.

Adam Air dan PT. Sarana Perdana Indoglobal (PT. SPI):

xcvii

1. Perkara Kepailitan PT. Adam Air

Kasus Posisi

PT. Adam Air digugat pailit oleh CV. CICI, PT. Merpati

Indonesia, toko Global, PT. Jaya Makmur, PT. Bintang dan ribuan

karyawannya yang tergabung dalam Forum Serikat Pekerja Adam Air

(Forsikad) pada 14 Mei 2008. Kemudian niat PT. Adam Air untuk

membayar utang secara tunai di persidangan dianggap cukup

membuktikan adanya kewajiban yang sudah jatuh tempo dan dapat

ditagih. Bukti pengakuan utang itu berakibat fatal. Majelis hakim

pengadilan niaga Jakarta Pusat mengeluarkan putusan 9 Juni 2008

yang menyatakan PT. Adam Air pailit. Majelis hakim menggunakan

pengakuan utang tersebut sebagai salah satu alasan untuk mengabulkan

permohonan pailit yang diajukan CV CICI qq Dra. Luvida terhadap

PT. Adam Air. Hakim, pada amar putusannya yang lain, mengangkat

Gunawan Widiatmadja dan Antoni Prawira sebagai tim kurator yang

akan memimpin pembagian harta Adam Air kepada para kreditornya.

hakim PN Jakarta Pusat, Reno Listowo juga ditunjuk sebagai hakim

pengawas. PT. Adam Air juga masih dibebani untuk membayar biaya

perkara sebesar Rp. 5 juta. Hakim menilai keinginan kuasa hukum

Adam Air membayar secara lunas utangnya kepada CV CICI di muka

persidangan adalah suatu perbuatan yang tidak dikenal dalam UU No

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU). Menurut Makassau,

jika Adam Air berkeinginan menyelesaikan kewajibannya, maka

Adam Air bisa menempuh prosedur PKPU. Unsur pailit yang lain

mengenai adanya dua atau lebih kreditor juga dinyatakan terpenuhi.

Hakim merujuk pada bukti adanya surat kuasa yang diberikan kreditor

lain kepada kuasa hukum pemohon. Kreditor itu antara lain PT Merpati

Indonesia, Toko Global, PT Jaya Makmur, PT Bintang dan ribuan

karyawan yang belum memperoleh gaji dua bulan terakhirnya.

xcviii

Kurator mengaku kesulitan melacak aset PT. Adam Air.

Padahal aset yang ada tidak cukup untuk menutup kewajiban

perusahaan yang dipailitkan pada 9 Juni 2008 itu. Hingga 30 Juni 2008

kurator belum mendapatkan laporan keuangan perusahaan 2006-2007,

nama kreditor dan biaya perusahaan yang belum dibayarkan, beberapa

sertifikat tanah dan bangunan. Kurator juga belum melihat AD/ART

perusahaan, berita acara kerja sama PT. Adam Air Sky Connection

dengan PT. Global Transport Service, dan dokumen perjanjian lainnya

sehingga kurator kesulitan dengan status quo yang mengambang ini.

Gunawan selaku kurator menuturkan saat ini aset PT. Adam Air tidak

cukup untuk membayar kewajiban-kewajiban kepada kreditor, hak-hak

para kreditor, karyawan, dan agen tiket PT. Adam Air sehingga

pembagian harta pailit akan dibayar rata berdasarkan persentase.

Menurut Gunawan, PT. Adam Air masih memiliki kewajiban pada

kurator jutaan dolar Amerika. Kewajiban tersebut mulai dari biaya

sewa pesawat dari lessor yang belum dibayar hampir jutaan dolar

hingga dana untuk hak para gaji karyawan dan kreditor lainnya.

Sebelum rapat pailit PT. Adam Air lanjutan digelar, kurator

akan memverifikasi 30 kreditur yang sudah mendaftar, mengawasi aset

yang berada di wilayah operasional PT. Adam Air termasuk suku

cadang, bahan kimia yang mempunyai batas waktu kadaluarsa yang

dapat menurunkan harga keuangan dan melakukan pendekatan

persuasif kepada direksi PT. Adam Air yang lebih kooperatif.

Beberapa aset milik PT. Adam Air yang sudah berhasil diperoleh

kurator yakni aset milik PT. Adam Air di Orange City dan di Bandara

Cengkareng. Di gudang didapatkan lebih dari 1.000 ban pesawat baru

dan 220 ban vulkanisir, suku cadang pesawat, 24 unit mobil

operasional untuk karyawan dan direksi di seluruh Indonesia. Kurator

juga telah melakukan pencairan dan pembekuan rekening dan sudah

membalik nama atas kurator c.q Adam Air dalam pailit di Bank

xcix

Mandiri, BNI, BRI, BCA, Lippobank, dan beberapa renening giro.

Rapat verifikasi yang pertama tersebut dihadiri oleh hakim pengawas

Reno Listowo, SH dan 2 orang kurator Gunawan Widyaatmadja dan

Anthony Prawira, direktur keuangan PT. Adam Air Gustiono Kustanto.

Akan tetapi direktur utama PT. Adam Air, Adam Suherman tidak hadir

karena sakit.

Pada tanggal 14 Januari 2009 karyawan PT. Adam Air

menuntut penggantian kurator yang bertugas mengeksekusi aset

perusahaan penerbangan itu. Alasannya, kurator dianggap tak becus

mengurus pailit dan tak mengerti masalah penerbangan. Akan tetapi,

kurator Gunawan Widyaatmaja menolak tudingan tersebut. Gunawan

mengakui ada kekurangan dalam menjalankan tugas kurator. Gunawan

beralasan keterlambatan tersebut karena tertutupnya informasi dari

debitur pailit sehingga memperlambat kinerja kurator.

Kurator juga merasa terintimidasi dengan tindakan kreditor, terutama

dari para agen perjalanan yang dinilainya sering memaksakan

kehendak, selain itu kreditor banyak yang melampaui batas waktu

untuk mendaftarkan surat utangnya. Timotius Tumbur Simbolon,

kuasa hukum 1.073 travel agen, membantah hal itu. Ia menerangkan

pada rapat kreditur sementara bulan Oktober 2008, dari 1.073 travel

agen, 728 diantaranya diklasifkasikan sebagai kreditor separatis.

direktur PT. Adam Air, Adam Suherman telah mengesahkan dan

menandatangani tagihan 728 travel agen. Sisanya, untuk sementara

dinyatakan sebagai kreditur konkuren dengan jumlah piutang Rp3,523

miliar dan AS$3.980, plus 126 dolar Singapura. Akan tetapi pada

bulan November 2008, kurator malah menyurati agen tersebut untuk

mempertanyakan status Timotius selaku kuasa hukum. Padahal, ketika

rapat kreditur di bulan Oktober tersebut, Timotius bersama dengan

Adam Suherman menandatangani dan mengesahkan tagihan 728 di

hadapan kurator.

c

Permintaan penggantian kurator ditengarai lambannya kurator

dalam memverifikasi jumlah aset dan tagihan kreditur. Enam bulan

pasca-putusan pailit PT. Adam Air, hasil dari verifikasi kurator masih

nihil. Kurator tidak memberikan laporan berkala boedel pailit dan

mengklasifikasian kreditur sejak 9 Juni 2008. Bahkan Gunawan diduga

mendepositokan harta pailit atas nama pribadi Gunawan ke Bank

Mandiri sebesar Rp5 miliar selain itu, Gunawan juga diduga

mentransfer harta pailit sebesar Rp75 juta ke rekening istrinya. Dugaan

penyalahgunaan aset oleh Gunawan tengah di proses di Polda Metro

Jaya. Pada 20 Januari 2008, Anthony dan Gunawan akan diperiksa

sebagai tersangka. Selain jalur pidana, Timotius selaku kuasa hukum

kreditorakan mengajukan gugatan sita aset kurator. Hal itu sesuai

dengan Pasal 72 UU Kepailitan yang menyatakan kurator bertanggung

jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas

pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian

terhadap harta pailit. Menurut Timotius boedel pailit dikuasai secara

pribadi oleh Gunawan. Kreditor juga mengadukan ulah Gunawan dan

Anthony ke komite etik kurator.

Menurut kurator, pergantian kurator hendaknya mengacu pada

Pasal 71 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU No. 37 Tahun 2004.

Artinya, pergantian harus berdasarkan persetujuan lebih dari setengah

kreditur konkuren atau kuasanya. Jumlah piutang harus lebih dari

setengah jumlah piutang kreditur konkuren. Masalahnya, kurator

belum menyelesaikan verifikasi piutang sehingga belum dapat

ditentukan jumlah piutang yang diakui sebagai penentu jumlah suara.

Padahal jumlah suara merupakan syarat pengambilan suara (voting)

atas usulan yang diajukan. Dengan kondisi itu, kurator mengusulkan

untuk mengangkat kurator tambahan agar pemberesan kepailitan PT.

Adam Air lebih cepat. Hingga Januari 2009 pengurusan harta pailit

masih terus dilakukan yakni pendataan aset debitur, verifikasi

ci

kewajiban debitur dan piutang kreditur, serta pengamanan aset pailit.

Kurator melakukan rencana penjualan aset untuk membayarkan

kewajiban ke kreditur, termasuk mantan karyawan.

Pada sidang yang digelar tanggal 19 Januari 2009, majelis

hakim menolak penggantian kurator PT. Adam Air lantaran tidak

memenuhi syarat formil. Penambahan kurator dinilai lebih baik untuk

meningkatkan kinerja kurator. Majelis hakim yang diketuai Makassau

malah memutuskan untuk menambah tiga kurator baru yakni, Hendra

Rosa Putra, Tafrizal H. Gewang dan Leni Mardiana. Penambahan ini

diharapkan bisa meningkatkan kinerja kurator. Penambahan kurator itu

merupakan rekomendasi dari hakim pengawas Reno Listowo. Pada

laporan hakim pengawas, 5 Januari 2009 lalu, Reno menyatakan telah

memberi kesempatan kepada kurator untuk melaporkan hasil kerjanya

pada rapat kreditur terakhir namun sebagian besar kreditur konkuren

dan preferen meminta penggantian kurator. Berdasarkan usulan

tersebut, Reno malah mengusulkan penambahan kurator karena dinilai

lebih memenuhi syarat formil.

Majelis hakim berpendapat, penggantian kurator harus merujuk

pada Pasal 71 ayat (1) dan (2) UU No. 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) No.

37 Tahun 2004. Dihubungkan dengan permohonan kreditor, dasar

hukum yang bisa dipakai adalah Pasal 71 ayat (2) UU Kepailitan.

Artinya, pergantian harus berdasarkan persetujuan lebih dari setengah

kreditur konkuren atau kuasanya dan jumlah piutang harus lebih dari

setengah jumlah piutang kreditur konkuren. Sementara itu, selama

tujuh bulan rapat kreditor berjalan, kurator belum selesai

memverifikasi piutang. Akibatnya belum dapat ditentukan jumlah

piutang yang diakui sebagai penentu jumlah suara. Jumlah suara

merupakan syarat pengambilan suara (voting) atas usulan yang

diajukan. Oleh karena itu, majelis hakim menyatakan permohonan

cii

penggantian kurator tidak memenuhi syarat formil sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 71 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004.

Pada bulan Februari 2009 nasib kepailitan PT Adam Air

semakin terang karena kurator telah selesai melakukan verifikasi

kreditor sementara. Tahap selanjutnya, dengan waktu tiga bulan,

kurator akan melakukan pemberesan terhadap harta pailit untuk

membayar piutang kreditor. Hakim pengawas pailit Reno Listowo

menyatakan perusahaan penerbangan itu resmi berstatus insolvensi.

Oleh karena itu kurator akan mengajukan pembubaran perusahaan ke

Departemen Hukum dan HAM. Bagi 16 kreditur yang tagihannya tidak

diakui kurator, hakim pengawas memberikan waktu dua minggu untuk

mengajukan keberatan kepadanya.

Berdasarkan hasil verifikasi, pegawai PT. Adam Air yang

tergabung dalam Forum Serikat Pekerja Adam Air (Forsikad)

ditetapkan sebagai kreditur istimewa (preferen) dengan piutang sebesar

Rp104,5 miliar. Pegawai Adam Air di Surabaya yang tergabung dalam

Serikat Buruh Anak Bangsa juga terdaftar sebagai kreditur istimewa.

Jumlah tagihan 143 pegawai itu mencapai Rp706,786 juta, namun

notaris memberi catatan bahwa pembayaran gaji dan pesangon 80

pegawai dari 143 pegawai yang juga anggota Serikat Buruh Anak

Bangsa akan diselesaikan secara internal dengan Forsikad dengan

alasan, nama ke-80 pegawai itu tergabung dalam putusan pemecatan

Pengadilan Hubungan Indistrial terhadap anggota Forsikad. Sekitar 40

kreditur ditetapkan sebagai kreditur konkuren. Salah satunya adalah

pemohon pailit CV CICI dengan tagihan Rp89,375 juta. Kreditur

konkuren lain terdiri dari perusahaan yang bekerja sama dengan Adam

Air, antara lain PT Angkasa Pura I dengan tagihan Rp2,5 miliar, PT

Pertamina Rp29,527 miliar, PT Garuda Maintenance Fasilities

Aeroasia Rp33,4 miliar dan Angkasa Pura II sebesar Rp6,6 miliar

sementara tagihan kreditur separatis ditaksir sebesar Rp11,2 miliar.

ciii

Analisis penulis

PT. Adam Air yang diputus pailit pada 9 Juni 2008, majelis

hakim dalam amar putusannya mengangkat Gunawan Widiatmadja dan

Antoni Prawira sebagai tim kurator yang akan memimpin pembagian

harta Adam Air kepada para kreditornya. hakim PN Jakarta Pusat,

Reno Listowo juga ditunjuk sebagai hakim pengawas. Pengangkatan

kurator dan hakim pengawas secara bersamaan dalam suatu amar

putusan pailit telah sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-

undang No.37 Tahun 2004 kemudian tugas kurator selanjutnya

berdasarkan Pasal 15 ayat (4) adalah dengan jangka waktu paling

lambat 5 hari setelah putusan pailit dibacakan, kurator mengumumkan

dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit dalam 2

surat kabar harian mengenai ikhtisar putusan pailit.

Pada saat pengangkatannya, kurator harus mulai melakukan

semua upaya untuk mengamankan harta pailit seperti dinyatakan pada

Pasal 98 Undang-undang No.37 Tahun 2004 namun kurator mengaku

kesulitan melacak aset PT. Adam Air. Aset yang ada tidak cukup untuk

menutup kewajiban perusahaan yang dipailitkan pada 9 Juni 2008 itu.

Hingga 30 Juni 2008 kurator belum mendapatkan laporan keuangan

perusahaan 2006-2007, nama kreditor dan biaya perusahaan yang

belum dibayarkan, beberapa sertifikat tanah dan bangunan. Kurator

juga belum melihat AD/ART perusahaan, berita acara kerja sama PT.

Adam Air dengan PT. Global Transport Service, dan dokumen

perjanjian lainnya. Beberapa aset milik PT. Adam Air yang sudah

berhasil diperoleh kurator hanya aset yang berada di Orange City dan

di Bandara Cengkareng namun terhadap rekening yang telah berhasil

dilacak kurator telah melakukan pencairan dan pembekuan rekening

serta sudah membalik nama atas kurator c.q Adam Air dalam pailit di

Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, Lippobank, dan beberapa renening

giro. Tindakan kurator untuk membekukan dan membalik nama

civ

rekening debitor ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 108 ayat (1)

demi keamanan harta pailit.

Kesulitan kurator untuk melacak aset PT. Adam Air

menyebabkan tidak terpenuhinya tugas kurator untuk melakukan

pencatatan harta pailit yang telah ditetapkan pada Pasal 100 Undang-

undang No.37 Tahun 2004. Pada Pasal 100 Undang-undang No.37

Tahun 2004 kurator harus melakukan pencatatan harta pailit dengan

jangka waktu 2 hari setelah kurator menerima salinan putusan pailit

sedangkan hingga tanggal 30 Juni 2008 kurator belum selesai

melakukan pencatatan harta pailit dan kesulitan untuk melacak aset

padahal PT. Adam Air dinyatakan pailit pada 9 Juni 2008.

Pada tanggal 14 Januari 2009 karyawan PT. Adam Air

menuntut penggantian kurator yang bertugas mengeksekusi aset

perusahaan penerbangan itu. Permintaan penggantian kurator

ditengarai lambannya kurator dalam memverifikasi jumlah aset dan

tagihan kreditur. Enam bulan pasca-putusan pailit Adam Air, hasil dari

verifikasi kurator masih nihil. Kurator tidak memberikan laporan

berkala boedel pailit dan mengklasifikasian kreditur sejak 9 Juni 2008.

Hingga Januari 2009 pengurusan harta pailit masih beragendakan

pendataan aset debitur, verifikasi kewajiban debitur dan piutang

kreditur, serta pengamanan aset pailit. Pada sidang yang digelar

tanggal 19 Januari 2009, majelis hakim menolak penggantian kurator

PT. Adam Air dan memutuskan untuk menambah tiga kurator baru

yakni, Hendra Rosa Putra, Tafrizal H. Gewang dan Leni Mardiana.

Penambahan kurator ini merujuk pada pada Pasal 71 ayat (1) dan (2)

UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (PKPU) No. 37 Tahun 2004. Dihubungkan dengan

permohonan kreditor, dasar hukum yang bisa dipakai adalah Pasal 71

ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004. Artinya, pergantian harus berdasarkan

persetujuan lebih dari setengah kreditur konkuren atau kuasanya dan

cv

jumlah piutang harus lebih dari setengah jumlah piutang kreditur

konkuren. Sementara itu, selama tujuh bulan sejak putusan pailit,

kurator belum selesai memverifikasi piutang. Akibatnya belum dapat

ditentukan jumlah piutang yang diakui sebagai penentu jumlah suara.

Jumlah suara merupakan syarat pengambilan suara (voting) atas usulan

yang diajukan. Oleh karena itu, permohonan penggantian kurator tidak

memenuhi syarat formil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 71 ayat

(2) UU No. 37 Tahun 2004.

Permohonan penggantian kurator yang diajukan pada 14

Januari 2009 selain karena lambannya kurator dalam menjalankan

tugasnya untuk melakukan pencatatan harta pailit juga dipicu adanya

dugaan penyelewengan harta pailit. Kurator diduga mendepositokan

harta pailit atas nama pribadi ke Bank Mandiri sebesar Rp5 miliar

selain itu, Gunawan (kurator) juga diduga mentransfer harta pailit

sebesar Rp75 juta ke rekening istrinya. Dugaan penyalahgunaan aset

ini telah diadukan oleh para Kreditor di Polda Metro Jaya. Pada 20

Januari 2008, Anthony dan Gunawan akan diperiksa oleh pihak

kepolisian dan kemungkinan dapat dinyatakan sebagai tersangka.

Tidak cukup hanya melalui jalur pidana, Timotius selaku kuasa hukum

kreditor akan mengajukan gugatan sita aset kurator. Tuntutan terhadap

tindakan kurator ini dapat diajukan dengan dasar Pasal 72 UU No. 37

Tahun 2004 bahwa kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau

kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan pemberesan

yang menyebabkan kerugian pada harta pailit. Berdasarkan pendapat

Jerry Hoff yang membagi tanggung jawab kurator menjadi 2 bentuk

yaitu dalam kapasitas profesi sebagai kurator dan pribadi maka dugaan

tindakan penggelapan harta pailit yang dilakukan oleh Kurator PT.

Adam Air harus dipertanggungjawabkan secara pribadi. Dugaan

penggelapan harta pailit tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai

cvi

tindakan yang berada pada koridor untuk mengamankan harta pailit

dan lebih mengarah pada tujuan untuk menguntungkan diri sendiri.

Pada bulan Februari 2009 kurator telah selesai melakukan

verifikasi kreditor sementara. Tahap selanjutnya kurator akan

melakukan pemberesan terhadap harta pailit untuk membayar piutang

kreditor. Berdasarkan Pasal 202 UU No. 37 Tahun 2004 setelah

pemberesan harta pailit dan pembagian harta pailit kepada semua

kreditor maka kepailitan dianggap telah berakhir serta berakhirnya

kepailitan ini harus diumumkan dalam Berita Negara Republik

Indonesia dan minimal 2 surat kabar harian. Kurator juga harus

memberikan pertanggungjawaban kepada hakim pengawas dan

menyerahkan semua buku dan dokumen mengenai harta pailit kepada

debitor.

2. Perkara Kepailitan PT. Sarana Perdana Indoglobal (PT. SPI)

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan

PT. Sarana Perdana Indoglobal (SPI), sebuah perusahaan investasi,

terbukti melakukan tindak pidana perbankan dan pencucian uang

dalam sidang kemarin. Tiga anggota direksi PT. SPI divonis bersalah

dengan hukuman penjara dan denda. Mereka adalah direktur utama

Sefri Roring, divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider

6 bulan kurungan; direktur marketing Sahat Sianipar, divonis 8 tahun

penjara denda Rp 10 miliar subsider 6 bulan kurungan; dan komisaris

Hengki Martinus Roring, divonis 10 tahun penjara dan denda Rp 10

miliar subsider 6 bulan kurungan.

Kejahatan yang dilakukan oleh para terdakwa dengan modus

operandi menarik masyarakat atau nasabah untuk menginvestasikan

uangnya di perusahaan tempat terdakwa bekerja dengan iming-iming

keuntungan 3% sampai 6% dalam jangka waktu tiga sampai sembilan

bulan. Tergantung dari nilai dan lamanya kontrak deposit nasabah di

cvii

PT. SPI. Mulai tanggal 1 Juli 2006- 26 Maret 2007, para terdakwa

berhasil menggaet 148 nasabah dengan jumlah dana yang terhimpun

sebesar Rp77.355.000.000, yang disetor nasabah melalui rekening PT.

SPI. Agar semakin meyakinkan, para nasabah diberi jaminan berupa

Bilyet Giro Bank BCA KCP pembangunan Jakarta yang

ditandatangani oleh Elvira Krisnawati (masih buron). Akan tetapi,

setelah dana terkumpul keuntungan sebesar 3% sampai 6% pada setiap

bulannya dari jumlah investasi yang dijanjikan, oleh para terdakwa

tidak pernah dipenuhi. Bahkan bilyet giro yang diberikan setelah

dikliringkan ke bank dananya ternyata kosong.

Kasus ini terungkap setelah ketiga nasabah, yaitu Ir Kardi

Hutomo, Noviana dan D. Pananangan melaporkan tindak pidana yang

dilakukan terdakwa ke Polresta Bandung Barat dan dalam fakta

persidangan terungkap jika ternyata kegiatan PT. SPI dalam

menghimpun dana dari masyarakat tersebut tidak mengantongi izin

dari Bank Indonesia. Para korban kemudian juga menuntut agar PT.

SPI dinyatakan pailit, tuntutan tersebut diajukan ke pengadilan niaga

Jakarta Pusat. Pengadilan niaga Jakarta Pusat mengabulkan tuntutan

pailit tersebut dengan putusan pengadilan niaga pada pengadilan negeri

Jakarta Pusat No. 20/ PAILIT/2007/PN. NIAGA .JKT PST tertanggal

08 Mei 2007. Untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta

pailit tersebut ditunjuk pula Denny Azani B. Latief, SH dan Tafrizal

Hasan Gewang, SH. MH sebagai tim kurator.

Bahwa berdasarkan hasil investigasi dan verifikasi aset, kurator

telah mengumpulkan dan melakukan inventarisasi aset sebagaimana

disebutkan di bawah ini, aset-aset tersebut ada yang telah siap di

lelang, dijadikan barang bukti oleh pengadilan maupun yang sifatnya

baru informasi. Aset-aset PT. SPI dapat di bagi atas :

a. Aset barang tidak bergerak ,

cviii

Asset PT. SPI Ini tersebar di berbagai wilayah seperti Jakarta,

Medan, Solo, Jember, Probolinggo, Surakarta, Bandung dan

Semarang.

b. Aset Tidak Bergerak

1) Aset Mobil

2) Aset yang dijadikan barang bukti

c. Uang tunai sejumlah Rp. 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah)

d. Rekening

Kerja keras tim kurator untuk melacak dan melakukan

pengumpulan aset PT. SPI sekaligus melakukan pencairan aset telah

berhasil mengatasi kendala kepemilikan aset antara lain; aset yang

tidak atas nama PT. SPI, dokumen kepemilikan tidak ada, dan

kesulitan untuk melakukan lelang selain hal tersebut pengurus PT. SPI

yang sampai saat ini masih menyembunyikan informasi tentang

kepemilikan aset PT. SPI. Proses pemberesan dan pencarian aset yang

dilakukan tim kurator telah berlangsung hampir satu tahun. Leo Patar

Sinaga sebagai orang yang masih dalam pengejaran polisi tidak

kunjung tertangkap. Padahal kunci sebagian besar penelusuran aset

pailit PT. SPI sangat tergantung dari keterangan Leo Patar Sinaga.

Sementara 3 (tiga) orang direktur dan satu (1) orang managernya telah

divonis dan dijatuhi hukuman, dan telah berada di Lembaga

Pemasyarakatan.

Kurator memulai pekerjaannya dengan mengumpulkan

dokumen dan informasi dari banyak pihak termasuk dari eks nasabah

sendiri. Tiga bulan pertama tim kurator berkonsentrasi dengan

pemetaan lapangan mengenai letak dan posisi aset dan pengumpulan

dokumen serta informasi. Empat bulan selanjutnya tim kurator

menunjuk tim gabungan yang terdiri advokat, konsultan hukum, juru

penaksir aset untuk membina hubungan dengan pihak penyidik,

kejaksaan, serta pengadilan niaga dengan tujuan melakukan kajian

cix

hukum terhadap status aset, perusahaan-perusahaan, untuk

mempercepat pekerjaan tim kurator.

Usaha pengumpulan budel ternyata tidak semudah yang

dibayangkan, karena hampir seluruh aset yang terdata secara manual

tidak mempunyai kelengkapan dokumen apapun. Sebagai contoh aset

yang berada di Batu Ceper berupa unit ruko tanpa identitas dan kondisi

yang hancur dan berantakan sebagaimana aset yang lainnya, tim

kurator harus memulai mendata dari awal baik status kepemilikan,

sampai kepada izin-izinnya. Kelengkapan tersebut harus dilaksanakan

sebagai persyaratan untuk layak dijual atau dilelang. Proses pendataan

dan pencarian dokumen itu sendiri minimal paling cepat memakan

waktu 4 bulan. Sehingga dengan masa kerja kurang dari satu tahun tim

kurator yang telah berhasil mendata dan melengkapi aset dengan

dokumen hukumnya agar dapat dilelang adalah waktu yang sangat

cepat, mengingat tidak satupun data data kepemilikan yang dipunyai

kurator. Pihak Kepolisian dirasakan cukup membantu pekerjaan

kurator, terutama dalam hal pencarian dan penelusuran aset. Tim

kurator sangat mengantisipasi beratnya pekejaan penelusuran aset oleh

karena Leo Patar Sinaga memegang hampir seluruh dokumen dan

informasi keberadaan aset. Pada bulan Desember 2007 tim kurator PT.

SPI telah melakukan penjualan beberapa aset yaitu:

a. Aset PT SPI yang berupa sebidang tanah dan bangunan sesuai

SHM Nomor 604 atas nama Lisbet Sinaga yang terletak di Jalan

Bukit Sakti No.8 Kel. Ngesrep, Kec.Semarang Selatan, Kodya

Semarang, telah terjual pada proses pelelangan yang berlangsung

pada Jumat, 7 Desember 2007 bertempat di ruang rapat KPKNL

Semarang GKN II lantai IV Jl. Imam Bonjol 1D Semarang.

b. Aset lain yang juga telah terjual pada hari selasa tanggal 11

Desember 2007 adalah asset PT SPI yang berupa dua unit ruko

cx

beralamat di Jalan Gatot Subroto Kepatihan, Kaliwates, Jember

Jawa Timur.

c. Kemudian aset PT SPI yang berupa tiga unit rumah toko (ruko)

sesuai SHM Nomor 02982, 02983, 02984 tertulis atas nama Lisbet

Sinaga yang terletak di Jl. H Agus salim, Kota Madya Surakarta,

Kec. Laweyan, Kelurahan Sondakan, Surakarta, Jawa Tengah,

telah terjual pada proses pelelangan yang berlangsung pada Selasa,

19 Februari 2008 yang lalu, dan bertempat di aula KPKNL

Surakarta, Jl. Ki Mangunsarkoro No:141 Surakarta.

d. Selain itu aset lain yang juga telah terjual adalah aset PT SPI yang

berupa sebidang tanah seluas 236 m2 sesuai SHM No. 18/Pusat an.

Baritauli Boru Hutapea, berikut bangunan diatasnya terletak di

Jalan Sindoro No. 30 dan 30-A Kel. Pusat Pasar, Kec. Medan, Kota

Medan, proses lelang di Medan berlangsung pada tanggal 6 Maret

2008 kemarin di Hotel Garuda Plaza, Jl. Sisingamangaraja, Medan.

Disamping aset-aset tersebut, masih terdapat aset-aset PT SPI yang

masih menunggu jadwal lelang yaitu. Hotel Podomoro, Ruko di Batu

Ceper dan Apartemen Red top.

T. Sondang Siagian, SH selaku kuasa hukum Sdr. Johnny

Wijaya (salah satu kreditor) telah mengajukan surat kepada tim kurator

perihal mohon penundaan lelang dan permohonan untuk mengelola

aset PT. Sarana Perdana Indoglobal berupa Hotel Podomoro dan

Restaurant Golden Time, tim kurator telah menyampaikan hal tersebut

kepada Hakim Pengawas tertanggal 15 Juli 2008 mengenai mohon

sidang pemutus dalam pengurusan budel pailit PT. Sarana Perdana

Indoglobal terhadap Aset PT. Sarana Perdana Indoglobal.

Selanjutnya berdasarkan permohonan kreditor tersebut hakim

pengawas pada 29 Juli 2008 telah mengeluarkan penetapan yang

memberikan ijin kepada kurator Tafrizal Hasan Gewang, SH. MH dan

Denny Azani, SH untuk melanjutkan kegiatan usaha (pengelolaan dan

cxi

pengoperasian) aset PT. Sarana Perdana Indoglobal (Dalam Pailit)

berupa Hotel Podomoro dan New Golden Time Restaurant.

Pertimbangan hakim pengawas antara lain bahwa dalam proses

pemberesan harta pailit PT. SPI telah dilakukan lelang secara berturut-

turut pada tanggal 16 Agustus 2007, 12 Desember 2007, 19 Maret

2008 dengan hasil tidak ada satupun penawar, dan terakhir pada 8 Mei

2008 dengan hasil hanya ada satu penawar yang mengajukan

penawaran harga dibawah limit yang ditawarkan.

Untuk meningkatkan nilai harta pailit, maka permohonan

kurator oleh hakim pengawas dianggap cukup beralasan guna

melanjutkan kegiatan usaha (pengelolaan/operasional) PT. Sarana

Perdana Indoglobal. Hal ini disebabkan karena sejak putusan pailit

dibacakan, debitur pailit (PT. Sarana Perdana Indoglobal) demi hukum

kehilangan haknya untuk bertindak atas harta kekayaannya yaitu harta

kekayaannya yang termasuk dalam budel pailit, termasuk juga hak

untuk mengurus semua kekayaannya yang termasuk ke dalam budel

pailit. Akan tetapi apabila kurator menilai pengelolaan aset podomoro

tersebut tidak mempunyai nilai strategis untuk meningkatkan nilai aset

maka kurator dapat meminta pembatalan pengelolaan tersebut kepada

hakim pengawas, untuk selanjutnya aset dapat dilelang ulang.

Kemudian pada hari Kamis, tanggal 31 Juli 2008, Jam 10.30 WIB

telah dilangsungkan pelelangan aset PT. Sarana Perdana Indoglobal

yang terletak di jalan Batu Ceper IV, Kel. Kebon Kelapa, Kec.

Gambir, Jakarta Pusat.

Pada bulan Februari 2009 tim kurator telah mengajukan

permohonan untuk melakukan pembagian harta pailit kepada hakim

pengawas. Pengajuan tersebut telah diajukan kurator sejak rapat

kreditor terakhir. Penetapan ini secara hukum menjadi dasar bagi tim

kurator untuk melakukan pembagian kepada kreditor dan sekaligus

dapat menjawab permintaan kreditor/nasabah yang meminta

cxii

pembayaran segera dilakukan. Hingga tanggal 23 Februari 2009 sudah

hampir 500 nasabah yang mengirimkan data data dan telah diverifikasi

oleh tim kurator. Tim kurator mengharapkan tanggal 24 Februari 2009

telah menerima penetapan untuk mengeluarkan uang dan

membayarkan kepada kreditor/nasabah.

Setelah mendapat penetapan dari hakim pengawas untuk

melakukan pembagian harta pailit maka pengembalian dana untuk

nasabah yang berdomisili di Jakarta mulai berlangsung pada awal

bulan April 2009. Tim kurator juga telah menjadwalkan pengembalian

dana nasabah yang berdomisili di Bandung pada tanggal 24 April 2009

mulai pukul 10.00 sampai dengan selesai, bertempat di Taman Safura

nomor 43, Sukarno Hatta, Bandung kediaman Bapak Bachtiar (salah

seorang nasabah). Pengembalian dana nasabah PT. SPI yang

berdomisili di Surabaya dijadwalkan pada hari Sabtu, tanggal 2 Mei

2009 mulai pukul pukul 8.00 sampai dengan selesai di Empire Palace

lantai 6, Jalan Blauran 57-75 Surabaya.

Analisis penulis

Majelis hakim yang memutus pailit PT. SPI dengan Putusan

No. 20/ PAILIT/2007/PN. NIAGA.JKT PST tertanggal 08 Mei 2007,

dalam amar putusannya mengangkat Denny Azani B. Latief, SH dan

Tafrizal Hasan Gewang, SH. MH sebagai tim kurator. Pengangkatan

kurator dan hakim pengawas secara bersamaan dalam suatu amar

putusan pailit telah sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-

undang No.37 Tahun 2004 kemudian tugas kurator selanjutnya

berdasarkan Pasal 15 ayat (4) adalah dengan jangka waktu paling

lambat 5 hari setelah putusan pailit dibacakan, kurator mengumumkan

dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit dalam 2

surat kabar harian mengenai ikhtisar putusan pailit.

cxiii

Pada saat pengangkatannya, kurator harus mulai melakukan

semua upaya untuk mengamankan harta pailit seperti dinyatakan pada

Pasal 98 Undang-undang No.37 Tahun 2004. Salah satu upaya untuk

mengamankan harta pailit adalah melakukan penyegelan seperti yang

tercantum dalam Pasal 99 Undang-undang No.37 Tahun 2004. Akan

tetapi pada perkara PT. SPI sebagian aset-asetnya telah diamankan

oleh pengadilan sebagai barang bukti di persedangan karena para

pemilik PT.SPI sebelum dinyatakan pailit telah diproses secara pidana

terlebih dahulu.

Kurator tetap melakukan investigasi dan pencarian terhadap

aset-aset lain milik PT. SPI walaupun pihak pengadilan telah menyita

sebagian aset untuk dijadikan barang bukti di persidangan. Tindakan

pencarian yang dilakukan tersebut agar tugas kurator untuk memenuhi

ketentuan Pasal 100 Undang-undang No.37 Tahun 2004 yakni

pencatatan harta pailit dapat menghasilkan daftar yang benar-benar

sesuai dengan jumlah seluruh aset yang ada. Tindakan pencarian

tersebut menyebabkan jangka waktu pencatatan harta pailit yang hanya

2 hari menjadi tidak terpenuhi karena tiga bulan pertama tim kurator

berkonsentrasi dengan pemetaan lapangan mengenai letak dan posisi

aset dan pengumpulan dokumen serta informasi. Empat bulan

selanjutnya tim kurator menunjuk tim gabungan yang terdiri advokat,

konsultan hukum, juru penaksir aset untuk membina hubungan dengan

pihak penyidik, kejaksaan, serta pengadilan niaga dengan tujuan

melakukan kajian hukum terhadap status aset, perusahaan-perusahaan,

untuk mempercepat pekerjaan tim kurator.

Hakim pengawas pada tanggal 29 Juli 2008 telah mengeluarkan

penetapan yang memberikan ijin kepada kurator untuk melanjutkan

pengelolaan dan pengoperasian aset PT. SPI berupa Hotel Podomoro

dan New Golden Time Restaurant. Untuk meningkatkan nilai harta

pailit, maka permohonan kurator oleh hakim pengawas dianggap

cxiv

cukup beralasan guna melanjutkan pengelolaan/operasional PT. SPI

karena sesuai dengan ketentuan Pasal 104 Undang-undang No.37

Tahun 2004. Hal ini disebabkan karena sejak putusan pailit dibacakan,

debitur pailit demi hukum kehilangan haknya untuk bertindak atas

harta kekayaannya yaitu harta kekayaannya yang termasuk dalam

budel pailit, termasuk juga hak untuk mengurus semua kekayaannya

yang termasuk ke dalam budel pailit seperti tercantum pada Pasal 24

Undang-undang No.37 Tahun 2004.

Pada bulan Februari 2009 tim kurator telah mengajukan

permohonan untuk melakukan pembagian harta pailit kepada hakim

pengawas, tindakan kurator ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal

189 Undang-undang No.37 Tahun 2004. Penetapan ini secara hukum

menjadi dasar bagi tim kurator untuk melakukan pembagian kepada

kreditor. Setelah pemberesan harta pailit dan pembagian harta pailit

kepada semua kreditor maka kepailitan dianggap telah berakhir serta

berakhirnya kepailitan ini harus diumumkan dalam Berita Negara

Republik Indonesia dan minimal 2 surat kabar harian. Kurator juga

harus memberikan pertanggungjawaban kepada hakim pengawas dan

menyerahkan semua buku dan dokumen mengenai harta pailit kepada

debitor.

C. Kendala-Kendala Yuridis Yang Dihadapi Oleh Kurator Dalam

Mengurus Harta Pailit

Menyadari peranan kurator yang semakin penting dalam

penanganan perkara kepailitan maka tugas sebagai kurator tidak semata-

mata diberikan kepada Balai Harta Peninggalan (BHP) tapi juga diberikan

kepada kurator swasta yang notabene berasal dari kalangan profesional

yang memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk bertindak sebagai

kurator. Akan tetapi permasalahan-permasalahan yang timbul dalam

kepailitan tidak dapat hanya dipandang dari ketidakmampuan kurator

cxv

untuk menjalankan tugas namun juga harus dipahami bahwa banyak

pasal-pasal di dalam Undang-undang No.37 Tahun 2004 yang dapat

menimbulkan hambatan bagi kurator dalam melaksanakan tugasnya.

Hambatan tersebut dapat menyebabkan proses pengurusan dan

pemberesan yang dilakukan kurator terhadap harta pailit menjadi semakin

memakan waktu dan kerja kurator menjadi tidak efektif dan efisien.

Adapun pasal-pasal dalam Undang-undang No.37 Tahun 2004 yang dalam

pelaksanaannya dapat menimbulkan hambatan bagi kurator dalam

menjalankan tugasnya yaitu:

1. Undang-undang No.37 Tahun 2004 tidak jelas mengatur kapan

legalitas diberikan kepada kurator untuk melaksanakan tugasnya

Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004

menentukan bahwa dalam putusan pernyataan pailit harus diangkat

kurator dan hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan.

Pasal 16 Undang-undang No.37 Tahun 2004 kurator menyatakan

bahwa berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau

pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan

meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan

kembali kemudian apabila pailit dibatalkan akibat adanya kasasi atau

peninjauan kembali maka perbuatan kurator tetap dianggap sah dan

mengikat debitor. Kedua pasal tersebut menunjukkan bahwa sejak

putusan pernyataan pailit diucapkan kurator telah berwenang untuk

menjalankan tugasnya terhadap harta pailit bahkan apabila diajukan

upaya hukum lain.

Kewenangan kurator tersebut semakin didukung dengan

adanya Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) yaitu debitor kehilangan haknya

terhadap harta pailit sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.

Tanggal putusan tersebut dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat

sehingga kurator dapat langsung melaksanakan tugasnya agar tidak

cxvi

terjadi kekosongan hukum karena sejak pukul 00.00 waktu setempat

debitor pailit sudah tidak berhak lagi terhadap harta pailit. Pelaksanaan

putusan pailit secara serta merta ini juga bertujuan untuk mencegah

adanya itikad buruk dari debitor pailit untuk mengalihkan harta pailit

kepada pihak lain agar ketika kurator melakukan pemberesan sudah

tidak ada lagi harta yang tersisa sehingga hak-hak kreditor tidak dapat

terpenuhi.

Akan tetapi dalam pelaksanaannya hal tersebut sulit

dilaksanakan karena kurator tidak memiliki bukti kewenangannya

untuk bertugas atau legalitas. Hal ini disebabkan dalam Pasal 9

Undang-undang No.37 Tahun 2004, kurator baru mendapatkan salinan

putusan pernyataan pailit paling lambat setelah 3 hari sejak tanggal

putusan pailit diucapkan, padahal kurator harus segera memulai

melaksanakan tugas dan kewenangannya setelah pengangkatan,

apalagi keharusan untuk bertindak cepat sebagai upaya pengamanan

terhadap harta pailit, misalnya: dengan menyimpan semua surat,

dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya seperti

yang tercantum dalam Pasal 98 Undang-undang No.37 Tahun 2004.

Jangka waktu 3 hari tersebut dimungkinkan terjadi hal-hal yang tidak

diinginkan pada harta pailit yang dilakukan oleh pihak-pihak yang

tidak beritikad baik. Resikonya adalah pertanggungjawaban pribadi

kurator apabila terjadi kerugian ataupun kehilangan harta pailit pada

masa pengurusan dan pemberesan harta pailit.

Ketidakpastian dalam Undang-undang No.37 Tahun 2004

tersebut diperburuk lagi dengan fakta dalam praktik bahwa tidak jarang

putusan pailit baru diterima oleh kurator dalam jangka waktu lebih dari

3 hari, khususnya putusan-putusan pailit pada tingkat kasasi dan

peninjauan kembali di mahkamah agung. Dapat dibayangkan

bagaimana akibat dari keterlambatan diterimanya putusan pailit oleh

seorang kurator terhadap keselamatan harta pailit. Keharusan untuk

cxvii

memberitahukan putusan pailit kepada kurator segera pada saat

putusan pailit diucapkan bukanlah suatu hal yang mustahil, karena di

Belanda, negara asal referensi pelaksanaan prinsip ‘zero hour

principle’ tersebut selalu memastikan seorang kurator yang diangkat

mengetahui perihal pengangkatannya sebagai kurator pada hari yang

sama saat putusan pailit tersebut diucapkan (Ricardo Simanjuntak,

2009:39).

Pelaksanaan inventarisasi dan verifikasi harta pailit merupakan

langkah awal yang sangat menentukan dalam proses kepailitan dan

karenanya putusan majelis hakim pengadilan niaga mengenai

pengangkatan kurator agar disampaikan kepada kurator yang ditunjuk

pada hari yang sama dengan tanggal putusan. Hal ini juga untuk

menghindari adanya kemungkinan penolakan dari kurator dan untuk

mengatasi kemungkinan keterlambatan penyampaian putusan dapat

ditempuh jalan dengan mengundang calon kurator pada hari

pembacaan putusan pailit (Marjan E. Pane, 2004:283).

2. Pengaturan jangka waktu pencatatan harta pailit adalah pasal yang

ilusif untuk dilaksanakan

Perkara PT. Adam Air yang diputus pailit pada 9 Juni 2008

hingga tanggal 30 Juni 2008 kurator belum mampu untuk

menyelesaikan pencatatan harta pailit. Kurator perkara pailit PT Adam

Air Sky Connection mengaku kesulitan melacak aset Adam Air.

Padahal aset yang ada tidak cukup untuk menutup kewajiban

perusahaan 2008 itu. Hingga tanggal 30 Juni 2008 kurator belum

mendapatkan laporan keuangan perusahaan 2006-2007, nama kreditor

dan biaya perusahaan yang belum dibayarkan, dan beberapa sertifikat

tanah dan bangunan. Kurator juga belum melihat AD/ART perusahaan,

berita acara kerja sama PT Adam Air Sky Connection dengan PT

cxviii

Global Transport Service, serta dokumen perjanjian lainnya

(http://www.detikfinance.com, Surakarta,12 Mei 2009 pukul 19.35

WIB).

Pada tanggal 16 Februari 2009 kurator PT. Adam Air

mengumumkan daftar piutang sementara. Dari hasil verifikasi,

pegawai PT. Adam Air yang tergabung dalam Forum Serikat Pekerja

Adam Air (Forsikad) ditetapkan sebagai kreditor istimewa (preferen)

dengan piutang sebesar Rp104,5 miliar. Pegawai PT. Adam Air di

Surabaya yang tergabung dalam Serikat Buruh Anak Bangsa juga

terdaftar sebagai kreditor istimewa. Jumlah tagihan 143 pegawai itu

mencapai 706,786 juta. Akan tetapi notaris memberi catatan bahwa

pembayaran gaji dan pesangon 80 pegawai—dari 143 pegawai—yang

juga anggota Serikat Buruh Anak Bangsa, akan diselesaikan secara

internal dengan Forsikad. Alasannya, nama ke-80 pegawai itu

tergabung dalam putusan pemecatan Pengadilan Hubungan Indistrial

terhadap anggota Forsikad. Selain itu, sekitar 40 kreditor ditetapkan

sebagai kreditor konkuren. Salah satunya adalah pemohon pailit CV

CICI dengan tagihan Rp. 89,375 juta. Kreditor konkuren lain terdiri

dari perusahaan yang bekerja sama dengan PT. Adam Air, antara lain

PT Angkasa Pura I dengan tagihan Rp. 2,5 miliar, PT Pertamina Rp.

29,527 miliar, PT Garuda Maintenance Fasilities Aeroasia Rp. 33,4

miliar dan Angkasa Pura II sebesar Rp. 6,6 miliar. Sementara, tagihan

kreditor separatis ditaksir sebesar Rp. 11,2 miliar. Dari hasil verifikasi

tersebut terdapat 16 Kreditor yang tagihannya ditolak

(http://www.hukumonline.com, Surakarta, 1 Mei 2009 pukul 15.15

WIB).

Perkara pailit PT. Sarana Perdana Indoglobal (PT. SPI), proses

pemberesan dan pencarian aset yang dilakukan oleh tim kuratornya

telah berlangsung hampir satu tahun yaitu dari tahun 2007 hingga

2008. Leo Patar Sinaga (salah seorang pemilik PT. Sarana Perdana

cxix

Indoglobal (PT. SPI)) sebagai orang yang masih dalam pengejaran

polisi tidak kunjung tertangkap. Padahal kunci sebagian besar

penelusuran aset pailit PT. SPI sangat tergantung dari keterangan Leo

Patar Sinaga. Sementara 3 (tiga) orang direktur dan satu (1) orang

managernya telah divonis dan dijatuhi hukuman, dan telah berada di

Lembaga Pemasyarakatan (http://id.denylawfirm.com, Surakarta,7 Mei

2009 pukul 20.20 WIB).

Pasal 100 Undang-undang No.37 Tahun 2004 menyatakan

bahwa kurator harus membuat pencatatan harta pailit dalam jangka

waktu 2 hari setelah menerima surat putusan pengangkatannya sebagai

kurator telah memberikan kontribusi dalam ketidakpastian hukum

karena ketentuan dalam pasal ini hampir tidak mungkin dilakukan.

Terutama apabila debitor pailit merupakan Perseroan Terbatas (PT)

yang memiliki cabang banyak bahkan tersebar ke seluruh Indonesia

bahkan dapat dimungkinkan harta pailit merupakan aset-aset yang

tersebar hingga ke luar negeri (Ricardo Simanjuntak, 2009:41).

Terhadap harta pailit tersebut kurator harus melakukan

pencatatan tidak saja berdasarkan laporan dokumen akan tetapi

meliputi juga tinjauan fisik dari setiap harta pailit tersebut sehingga

apabila suatu perusahaan pailit mempunyai cabang di berbagai wilayah

baik di Indonesia maupun di luar negeri maka kurator harus melakukan

pengecekan terhadap harta pailit tersebut. Ditambah lagi jika terdapat

aset-aset di luar negeri yang harus ditelusuri juga oleh kurator. Proses

yang digunakan untuk melakukan pelacakan harta pailit di luar negeri

memerlukan waktu yang tidak singkat karena tentunya banyak

permasalahan prosedural antar negara yang harus diselesaikan oleh

kurator.

Ketentuan mengenai jangka waktu pencatatan harta pailit

tentunya tidak dapat dilaksanakan secara cepat dan mudah seperti

cxx

dalam Pasal 100 Undang-undang No.37 Tahun 2004. Hal tersebut

disebabkan karena tingkat kerumitan setiap perkara pailit berbeda-

beda. Kerumitan tersebut dapat meliputi kedudukan cabang perusahaan

debitor pailit yang berada di berbagai wilayah dan aset-aset perusahaan

yang juga tersebar di berbagai wilayah baik di wilayah Indonesia

ataupun di luar negeri sehingga kehadiran Pasal 100 ini tidak dapat

efektif untuk dijalankan dan dapat menimbulkan kerentaan terhadap

kedudukan kurator. Setiap kreditor dapat menuntut kepada kurator agar

diselesaikannya pencatatan harta pailit sesuai jangka waktu dalam

Undang-undang No.37 Tahun 2004 padahal dalam kenyataannya

pencatatan tersebut membutuhkan waktu yang panjang. Tuntutan dari

kreditor tersebut dapat berpengaruh pada kredibilitas dan reputasi

kurator karena dianggap tidak sanggup melaksanakan tugasnya sesuai

undang-undang.

3. Putusan pailit pengadilan niaga Indonesia tidak dapat dieksekusi

terhadap harta pailit yang ada luar negeri

Kepailitan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.37

Tahun 2004 adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang

pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah

pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-

undang ini. Undang-undang No.37 Tahun 2004 menganut prinsip

universalitas dimana konsekuensi dilakukannya sita umum atas semua

kekayaan debitor pailit tentunya meliputi seluruh harta pailit baik yang

ada di wilayah Indonesia maupun yang berada di luar negeri.

Prinsip universalitas tersebut yang kemudian dapat menjadi

salah satu hambatan dalam pelaksanaan tugas kurator. Kurator

mengalami kesulitan melakukan pengurusan dan pemberesan harta

pailit yang berada di luar negeri karena prinsip universalitas yang

cxxi

dianut Undang-undang No.37 Tahun 2004 dalam sita umum harta

pailit dihadang oleh prinsip regionalitas yang dianut oleh negara-

negara berdaulat, yang membuat putusan pengadilan niaga Indonesia

tidak dapat dieksekusi di luar negeri dimana aset debitor pailit berada.

Dapat dikatakan pailitnya suatu PT di Indonesia belum tentu pailit di

mata hukum asing. Prinsip tersebut sebenarnya juga berlaku di

Indonesia, dimana Indonesia tidak mengenal keberlakuan putusan

pailit dari pengadilan asing (foreign judgment) (Ricardo Simanjuntak,

2009:43).

Pendapat Hikmahanto Juwana sebagaimana dikutip oleh Sutan

Remy Sjahdeini dapat dibenarkan bahwa dalam hukum kepailitan di

Indonesia dapat ditafsirkan bahwa pengadilan niaga tidak akan

mengeksekusi putusan pailit negara asing karena terkait erat dengan

konsep kedaulatan negara. Dengan landasan Pasal 299 Undang-undang

No.37 Tahun 2004 yang esensinya memberlakukan hukum acara

perdata (HIR) pada pengadilan niaga, sementara itu dalam hukum

acara perdata yang berlaku di Indonesia yaitu Pasal 436 Rv secara

tegas menentukan, putusan pengadilan asing tidak dapat diakui dan

tidak dapat dieksekusi oleh putusan pengadilan Indonesia (Hikmahanto

Juwana dalam Sutan Remy Sjahdeini, 2009:446).

Untuk mengatasi kebuntuan dalam permasalahan eksekusi

kepailitan ini, United Nations Commission on International Trade Law

(UNCITRAL) telah menyususn model law mengenai cross border

insolvency yang disebut UNCITRAL Model Law on Cross-Border

Insolvency With Guide to Enacment yang disetujui tahun 1997. Tujuan

dari model law tersebut, sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan

Bagian II Model Law, adalah agar negara-negara dapat melengkapi

hukum kepailitannya secara modern, terharmonisasi (harmonized) dan

adil dalam mengantisipasi kasus-kasus lintas batas (Sutan Remy

Sjahdeini, 2009:446).

cxxii

Penerbitan model law tentang Cross Border Insolvency

diharapkan diharapkan oleh PBB dapat mewarnai pemahaman dan

proses berpikir para pembacanya sehingga dapat mempengaruhi

keseragaman pembangunan prisip-prinsip hukum kepailitan di masing-

masing negara. UNCITRAL Model Law belum secara resmi dibuat

menjadi proyek penelitian di masing-masing negara termasuk

Indonesia (Ricardo Simanjuntak, 2008:61).

Undang-undang No.37 Tahun 2004 yang mengatur mengenai

ketentuan-ketentuan internasional hanya terdapat dalam Bagian

Kesepuluh yang hanya terdiri atas 3 pasal yaitu Pasal 212 sampai Pasal

214. Akan tetapi dari 3 pasal tersebut tidak ada satupun pasal yang

menyebutkan mengenai keweangan yang diberikan kepada kurator

untuk menjalankan tugasnya berkaitan dengan pengurusan dan

pemberesan harta pailit di luar negeri. Tidak adanya traktat dalam hal

kepailitan antara negara Indonesia dengan negara lain dimana harta

pailit berada juga akan semakin mempersulit kurator dalam

menjalankan tugasnya.

4. Tidak diaturnya mengenai tanggung jawab kurator terdahulu berkaitan

dengan tugasnya dalam hal terjadi pergantian kurator

Berdasarkan Pasal 71 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun

2004 pengadilan dapat setiap waktu mengabulkan usul penggantian

kurator, setelah memanggil dan mendengar kurator, dan mengangkat

kurator lain dan/atau mengangkat kurator tambahan atas:

a. permohonan kurator sendiri;

b. permohonan kurator lainnya, jika ada;

c. usul hakim pengawas;atau

d. permintaan debitor pailit.

Berdasarkan Pasal 71 ayat (2) Undang-undang No.37 Tahun

2004 Pengadilan harus memberhentikan atau mengangkat kurator atas

cxxiii

permohonan atau atas usul kreditor konkuren berdasarkan putusan

rapat kreditor yang diselenggarakan dengan persyaratan putusan

tersebut diambil berdasarkan suara setuju lebih dari ½ (satu perdua)

jumlah kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat dan

yang mewakili lebih dari ½ (satu perdua) jumlah piutang kreditor

konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 maupun Undang-undang

Nomor 37 Tahun 2004 sama-sama tidak mengatur mengenai tanggung

jawab kurator terdahulu apabila diadakan penggantian kurator. Pasal

71 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No.37 Tahun 2004 tidak

mengatur mengenai tata cara pengunduran diri kurator serta tidak

diatur pula kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh kurator

yang mengundurkan diri berkaitan dengan tugas yang telah

dilaksanakannya terhadap harta pailit. Kewajban kurator terdahulu

terhadap kurator lama baru terdapat pada ketentuan Standar Profesi

Kurator dan Pengurus yang dikeluarkan oleh Asosiasi Kurator dan

Pengurus Indonesia (AKPI) yaitu salah satu organisasi resmi Kurator

dan Pengurus yang diakui di Indonesia. Ketentuan pada Standar

Profesi kurator dan pengurus tersebut jika akan mengundurkan diri

maka kurator menyatakan pengunduran diri secara tertulis kepada

pengadilan, dengan tembusan kepada hakim pengawas, panitia kreditor

atau kurator lainnya jika ada. Kurator terdahulu wajib:

a. menyerahkan seluruh berkas-berkas dan dokumen, termasuk

laporan-laporan dan kertas kerja kurator yang berhubungan dengan

penugasan kepada kurator pengganti dalam jangka waktu 2x24

jam.

b. Memberikan keterangan selengkapnya sehubungan dengan

penugasan tersebut khususnya mengenai hal-hal yang bersifat

material serta diperkirakan dapat memberikan landasan bagi

kurator pengganti untuk memahami penugasan selanjutnya.

cxxiv

c. Kurator terdahulu wajib membuat laporan pertanggungjawaban

atas penugasannya dan menyerahkan salinan laporan tersebut

kepada kurator pengganti.

Standar Profesi Kurator dan Pengurus yang dikeluarkan oleh

Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) tentunya bukan suatu

peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum

untuk menjatuhkan sanksi pidana ataupun denda kepada pelanggarnya

sehingga ketentuan yang ada pada Standar Profesi Kurator dan

Pengurus tersebut kedudukannya tidak dapat disejajarkan dengan

peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang

dalam hal ini adalah Undang-undang No.37 Tahun 2004 harus

memberikan pengaturan yang jelas mengenai penggantian Kurator ini

agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan sehingga kepastian

hukum dapat terwujud.

5. Adanya kekosongan hukum terhadap kurator yang sudah tidak

terdaftar dalam organisasi profesi yang resmi ketika tengah menangani

perkara kepailitan

Persyaratan kurator berdasarkan Pasal 70 ayat (2) Undang-

undang No.37 Tahun 2004 tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian

hukum. Hal ini dikarenakan Pasal 70 ayat (2) dapat menimbulkan

pertanyaan yakni bagaimanakah aturan hukumnya bila seorang kurator

telah keluar dari keanggotaan oganisasi profesi yang resmi ketika ia

sedang menangani suatu perkara kepailitan. Apakah kemudian secara

otomatis kurator tersebut harus menghentikan segala kegiatannya

sebagai kurator dan apakah Kurator juga langsung dicoret dari daftar

kurator yang ada di kementerian terkait.

Pada Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.08.10.05.10

Tahun 1998 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pendaftaran Kurator

dan Pengurus yang merupakan salah satu peraturan pelaksana dari

cxxv

Undang-undang Nomor 4 tahun 1998 juga tidak diatur mengenai

penyelesaian perselisihan status hukum kurator ini. Maka setelah

lahirnya Undang-undang Nomor 37 tahun 2004, Peraturan Menteri

Kehakiman Nomor M.08.10.05.10 Tahun 1998 kemudian juga

disempurnakan dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia Nomor M.01-HT.05.10 Tahun 2005

Tentang Pendaftaran Kurator dan Pengurus. Akan tetapi Peraturan

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor

M.01-HT.05.10 Tahun 2005 juga tidak memberikan aturan yang tegas

mengenai perubahan status kurator yang sudah tidak terdaftar dalam

keanggotaan oganisasi profesi yang resmi. Pasal 17 ayat (2) Peraturan

Menteri Nomor M.01-HT.05.10 Tahun 2005 tertulis bahwa kurator dan

pengurus yang telah dikeluarkan dari suatu organisasi profesi, tidak

menghilangkan haknya sebagai kurator dan pengurus untuk menangani

perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.

Berdasarkan Pasal 17 ayat (2) tersebut dapat diartikan bahwa seorang

kurator tidak kehilangan haknya untuk menangani suatu perkara

kepailitan walaupun dirinya tidak terdaftar lagi dalam keanggotaan

organisasi profesi yang resmi sedangkan dalam Pasal 18 Peraturan

Menteri Nomor M.01-HT.05.10 Tahun 2005 dinyatakan bahwa kurator

yang berhenti atau diberhentikan yang salah satu alasannya adalah

tidak terdaftar lagi sebagai anggota dari organisasi profesi yang resmi

maka dalam jangka waktu 30 hari sejak tanggal pemberhentian,

mencoret kurator dalam buku register pendaftaran kurator dan

pengurus. Benturan antara Pasal 17 ayat (2) dengan Pasal 18 ini dapat

menimbulkan ketidakpastian hukum karena pada Pasal 17 ayat (2)

dinyatakan bahwa kurator tidak kehilangan haknya, sementara menurut

Pasal 18 hak-hak kurator akan berakhir dalam jangka waktu 30 hari

dengan dicoretnya nama kurator dalam buku register pendaftaran

kurator dan pengurus. Ditambah lagi Peraturan Menteri ini tidak

menjelaskan alasan pemberian jangka waktu 30 hari sebelum

cxxvi

pencoretan nama kurator, karena adanya jangka waktu tersebut

memberikan ketidakpastian hukum terhadap status hukum kurator.

6. Tidak adanya pembatasan yang jelas mengenai tanggung jawab kurator

secara pribadi dan profesi

Tanggung jawab yang dimiliki oleh kurator dapat timbul kesan

bahwa kurator menggantikan kedudukan direksi/komisaris, termasuk

pemenuhan kewajiban perusahaan sebagai suatu badan usaha/badan

hukum. Perlu diingat bahwa kurator tidak menggantikan kedudukan

direksi/komisaris sehubungan dengan pengurusan harta kekayaan

perusahaan pailit. kurator hanya bertanggung jawab atas pengurusan

dan pemberesan kekayaan perusahaan. Kewajiban dan tanggung jawab

sebagai pengurus perusahaan, di luar pengurusan kekayaan perusahaan

tetap berada di tangan direksi dan komisaris (Amir Abadi Jusuf,

2004:252).

Para kreditor PT. Adam Air mengajukan permohonan

penggantian kurator, permohonan tersebut diusulkan oleh pemohon

pailit Luvida, pemilik CV CICI, mantan karyawan PT Adam Air, dan

kuasa hukum 1.073 travel agen yang tergabung dalam Asosiasi

Perusahaan Perjalanan Indonesia DKI Jakarta (ASITA) serta Asosiasi

Perusahaan Agen Penjualan Tiket Penerbangan Indonesia

(ASTINDO). Permintaan penggantian kurator ditengarai lambannya

kurator dalam memverifikasi jumlah aset dan tagihan kreditor. Enam

bulan pasca-putusan pailit PT. Adam Air, hasil dari verifikasi kurator

masih nihil. Kurator tidak memberikan laporan berkala boedel pailit

dan mengklasifikasian kreditor sejak 9 Juni 2008. Bahkan Gunawan

(Kurator) diduga mendepositokan harta pailit atas nama pribadi

Gunawan ke Bank Mandiri sebesar Rp5 miliar. Gunawan juga diduga

mentransfer harta pailit sebesar Rp75 juta ke rekening istrinya. Selain

jalur pidana, para pemohon penggantian kurator juga akan mengajukan

cxxvii

gugatan sita aset kurator (http://www.hukumonline.com, Surakarta,2

Mei 2009 pukul 14.50 WIB).

Undang-undang No.37 Tahun 2004 hanya mengaturan

mengenai tanggung jawab kurator pada Pasal 72 dan Pasal 78 ayat (2)

yang menyatakan bahwa kurator bertanggung jawab atas

kesalahannya atau kelalaiannya dalam menjalankan tugas yang

menyebabkan kerugian harta pailit dan terhadap perbuatan-perbuatan

yang memerlukan persetujuan hakim pengawas namun dilaksanakan

tanpa adanya persetujuan hakim pengawas, kurator sendiri

bertanggung jawab terhadap debitor pailit dan kreditor. Kewenangan

luas yang diberikan oleh Undang-undang No.37 Tahun 2004 kepada

kurator tentunya menjadi beban tersendiri. Kurator harus berhati-hati

dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya karena para pihak

yang merasa dirugikan oleh tindakan kurator dalam melaksanakan

tugasnya dapat mengajukan tuntutan atas kerugian yang dialaminya

kepada kurator. Imran Nating mengutip pendapat Jerry Hoff mengenai

bentuk-bentuk pertanggungjawaban ke dalam dua bentuk yaitu

kapasitas profesi sebagai kurator dan pribadi yang telah dipaparkan

dalam halaman 43. Menurut Tutik Sri Suharti sebagaimana dikutip

oleh Imran Nating, menyatakan bahwa pembebanan tanggung jawab

atas kerugian harta pailit kepada kurator akan membuat kurator

menjadi tidak kreatif dalam melaksanakan tugasnya terutama dalam

upaya meningkatkan nilai harta pailit (Tutik Sri Suharti dalam Imran

Nating, 2004:118).

cxxviii

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penelitian ini mengkaji tiga masalah pokok, yaitu kewenangan yang

diberikan kepada kurator untuk menjalankan tugas secara efektif dan efisien

oleh Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, tugas kurator setelah adanya

putusan pailit dari pengadilan niaga, dan kendala-kendala yuridis yang

dihadapi oleh kurator dalam mengurus harta pailit.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap tiga masalah

pokok diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Kewenangan yang diberikan kepada kurator untuk menjalankan tugas

secara efektif dan efisien oleh Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004

Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

meliputi:

a. Kurator berwenang menjalankan tugasnya sejak tanggal putusan

pailit diucapkan.

b. Kurator dapat mengambil alih perkara dan meminta Pengadilan

untuk membatalkan segala perbuatan hukum debitor pailit.

c. Kurator berwenang untuk melakukan pinjaman pada pihak ketiga.

d. Tindakan Kurator tetap sah walaupun tanpa adanya izin dari hakim

pengawas.

e. Kurator berwenang untuk mengamankan harta pailit.

f. Kurator berwenang menerobos hak privasi debitor pailit.

g. Kurator berwenang menjual harta pailit.

117

cxxix

2. Tugas kurator setelah adanya putusan pailit dari pengadilan niaga,

meliputi:

a. Mengamankan harta pailit.

b. Menyelesaikan perikatan-perikatan yang dibuat oleh debitor pailit.

c. Melakukan pencatatan harta pailit dan mengadakan rapat

pencocokan piutang.

d. Memberikan pertanggungjawaban apabila terjadi perdamaian.

e. Melakukan pengurusan harta pailit.

f. Melakukan pemberesan harta pailit.

3. Kendala-kendala yuridis yang dihadapi oleh kurator dalam mengurus

harta pailit, yaitu:

a. Benturan antara Pasal 9 dan Pasal 16 Undang-undang No.37 Tahun

2004 sehingga timbul ketidakjelasan kapan kurator mulai berwenang

melaksanakan tugasnya.

b. Pengaturan jangka waktu pencatatan harta pailit adalah pasal yang

ilusif untuk dilaksanakan.

c. Putusan pailit pengadilan niaga Indonesia tidak dapat dieksekusi

terhadap harta pailit yang ada luar negeri.

d. Tidak diaturnya mengenai tanggung jawab kurator terdahulu

berkaitan dengan tugasnya dalam hal terjadi pergantian kurator.

e. Adanya kekosongan hukum terhadap kurator yang sudah tidak

terdaftar dalam organisasi profesi yang resmi ketika tengah

menangani perkara kepailitan.

f. Tidak adanya pembatasan yang jelas mengenai tanggung jawab

kurator secara pribadi dan profesi.

B. Saran

1. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang seharusnya memberikan

cxxx

pengaturan yang ketat dalam pemberian sertifikat kurator sehingga

kurator tidak hanya ahli untuk menangani perkara-perkara hukum dalam

kepailitan tetapi juga ahli dalam mengurus perusahaan dan aset-asetnya

yang merupakan harta pailit.

2. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang seharusnya memberikan

beban tanggung jawab kepada hakim pengawas agar dapat membantu

kurator dalam menyelesaikan perkara kepailitan yang sedang ditangani.

3. Untuk mengatasi kendala-kendala yuridis yang dihadapi oleh kurator

dalam menjalankan tugasnya seharusnya Undang-undang Nomor 37

Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang memberikan pengaturan yang tegas, dalam hal sebagai berikut:

a. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 seharusnya memberikan

penetapan agar kurator mendapatkan salinan putusan pengadilan

pada tanggal yang sama dengan tanggal putusan dibacakan sehingga

kurator dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan Pasal

16 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004. Terpenuhinya

ketentuan yang mendukung dilaksanakannya kewenangan kurator

pada Pasal 16 ayat (1) dapat meminimalisir adanya itikad buruk dari

debitor untuk mengalihkan harta pailit agar kreditor tidak terpenuhi

hak-haknya.

b. Undang-undang No.37 Tahun 2004 yang mengharuskan kurator

membuat pencatatan harta pailit dalam jangka waktu 2 hari setelah

mendapatkan surat putusan pengangkatannya sebagai kurator

merupakan pasal yang ilusif untuk dilaksanakan. Seharusnya

Undang-undang No.37 Tahun 2004 memberikan kesempatan kepada

kurator untuk mengajukan permohonan kepada hakim pengawas

mengenai lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melakukan

pencatatan harta pailit sehingga lamanya waktu yang dibutuhkan

oleh kurator tersebut sesuai dengan tingkat kerumitan perkara

cxxxi

kepailitan yang sedang ditangani. Dengan adanya permohonan

jangka waktu tersebut hakim pengawas dapat memberikan penetapan

jangka waktu pencatatan harta pailit yang bisa dijadikan legalitas

bagi kurator untuk menjalankan tugasnya tersebut.

c. Undang-undang No.37 Tahun 2004 tidak memberikan pengaturan

terhadap eksekusi harta pailit yang berada di luar negeri. Padahal

untuk melakukan eksekusi putusan pailit terhadap harta pailit di luar

negeri harus melalui birokrasi yang rumit apalagi jika Indonesia

belum mempunyai suatu perjanjian bilateral atau multilateral dengan

negara yang dituju. Kadangkala putusan pailit di Indonesia terhalang

oleh prinsip regionalitas negara lain sehingga tidak dapat

dilaksanakan di negara tersebut. Seharusnya Undang-undang No.37

Tahun 2004 memberikan pengaturan agar debitor pailit memberikan

surat kuasa (power of attorney) pada kurator untuk mengambil alih

aset perusahannya yang berada di luar negeri sehingga kurator dapat

menjalankan tugasnya secara efektif dan efisien tanpa terhalang

prinsip regionalitas negara lain.

d. Undang-undang No.37 Tahun 2004 tidak mengatur tentang

kewajiban kurator lama berkaitan dengan tugasnya terhadap kurator

baru dalam hal terjadi penggantian kurator dalam suatu perkara

pailit. Seharusnya Undang-undang No.37 Tahun 2004 mengatur

mengenai kewajiban yang harus dilaksanakan kurator lama kepada

kurator baru agar kurator baru tidak menjalankan tugasnya dari nol

lagi atau dengan kata lain kurator baru hanya meneruskan tugas dari

kurator lama sehingga perkara pailit dapat cepat diselesaikan.

e. Undang-undang No.37 Tahun 2004 tidak mengatur apabila terjadi

kekosongan hukum dimana kurator sudah tidak terdaftar dalam

organisasi profesi yang resmi padahal tengah menangani suatu

perkara pailit. Seharusnya Undang-undang No.37 Tahun 2004

mengatur mengenai masa transisi keanggotaan kurator ini sehingga

kurator yang sudah tidak terdaftar dalam organisasi profesi yang

cxxxii

resmi dapat segera digantikan oleh kurator lain yang masih

memenuhi syarat sebagai kurator.

f. Tidak adanya pembatasan yang jelas mengenai tanggung jawab

kurator dapat menghambat kreatifitas kurator dalam menjalankan

tugasnya. Oleh karena jika kurator salah mengambil keputusan dan

menimbulkan kerugian bagi harta pailit maka kuratorlah yang harus

bertanggung jawab untuk mengganti harta pailit tersebut. Seharusnya

Undang-undang No.37 Tahun 2004 memberikan pembatasan yang

jelas mengenai tanggung jawab kurator sehingga kurator tidak

diliputi perasaan takut apabila melakukan kesalahan dan dapat

bertanggung jawab sesuai kapasitasnya terhadap harta pailit.

cxxxiii

Daftar Pustaka

Buku

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. 1999. Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Amir Abadi Jusuf. 2004. Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris Perusahaan Pailit. Dalam Emmy Yuhassarie (Ed.), Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya (hlm. 251-256). Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum

Bahdin Nur Tanjung dan Ardial. 2005. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Proposal, Skripsi, dan Tesis) dan Mempersiapkan Diri Menjadi Penulis Artikel Ilmiah. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup

Bambang Setijoprodjo. 2001. Segi-segi Hukum Kepailitan dan Likuidasi Ditinjau Dari Perspektif Bank. Dalam Rudhy A. Lontoh dkk (Ed.), Penyelesaian Utang-piutang Melalui Pailit atau Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang. (hlm. 433-453). Bandung: Alumni

Bernadette Waluyo. 1999. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung: CV. Mandar Maju

Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Elijana. 2004. Inventarisasi dan Verifikasi Dalam Rangka Pemberesan dan Boedel Pailit. Dalam Emmy Yuhassarie (Ed.), Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya (hlm. 273-278). Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum

Fred BG. Tumbuan. 2001. Pokok-pokok UU Tentang Kepailitan Sebagaimana Diubah oleh Perpu No.1/1998. Dalam Rudhy A. Lontoh dkk (Ed.), Penyelesaian Utang-piutang Melalui Pailit atau Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang. (hlm. 125-136). Bandung: Alumni

. 2004. Mencermati Makna Debitor, Kreditor, dan Utang Berkaitan Dengan Kepailitan. Dalam Emmy Yuhassarie (Ed.), Prosiding

122

cxxxiv

Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya (hlm. 17-22). Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum

. 2004. Pembagian Kewenangan Antara Kurator Dan Organ-Organ Perseroan Terbatas. Dalam Emmy Yuhassarie (Ed.), Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya (hlm. 245-250). Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum

H.B. Sutopo. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press

I Nyoman Tjager. 2001. Pasar Modal Indonesia dan Wewenang BAPEPAM Dalam Kepailitan. Dalam Rudhy A. Lontoh dkk (Ed.), Penyelesaian Utang-piutang Melalui Pailit atau Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang. (hlm. 567-592). Bandung: Alumni

Imran Nating. 2004. Peranan dan Tanggung jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Johnny Ibrahim. 2005. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing

Kartini Muljadi. 2001. Pengertian dan Prinsip-prinsip Umum Hukum Kepailitan. Dalam Rudhy A. Lontoh dkk (Ed.), Penyelesaian Utang-piutang Melalui Pailit atau Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang. (hlm. 75-97). Bandung: Alumni

Lexi J Maleong. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Marjan E. Pane. 2004. Inventarisasi Dan Verifikasi Dalam Rangka Pemberesan Harta Pailit Dalam Pelaksanaannya. Dalam Emmy Yuhassarie (Ed.), Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya (hlm. 279-288). Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum

Munir Fuady. 1999. Hukum Pailit 1998 (Dalam Teori dan Praktek). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

cxxxv

Parwoto Wignjosumarto. 2001. Tugas dan Wewenang Hakim Pemeriksa/Pemutus Perkara, Hakim Pengawas dan Kurator/Pengurus. Jakarta: PT. Tatanusa

Paulus E. Lotulung. 2001. Pencocokan Piutang. Dalam Rudhy A. Lontoh dkk (Ed.), Penyelesaian Utang-piutang Melalui Pailit atau Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang. (hlm. 389-396). Bandung: Alumni

. 2001. Putusan atas Permohonan Pernyataan Pailit dan Presedurnya. Dalam Rudhy A. Lontoh dkk (Ed.), Penyelesaian Utang-piutang Melalui Pailit atau Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang. (hlm. 157-161). Bandung: Alumni

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Retnowulan Sutantio. 2001. Tanggung Jawab Pengurus Perusahaan Debitor Dlam Kepailitan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ricardo Simanjuntak. 2004. Esensi Pembuktian Sederhana Dalam Kepailitan. Dalam Emmy Yuhassarie (Ed.), Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya (hlm. 52-67). Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum

Robinson Simbolon. 2004. Kewenangan Eksklusif Bapepam Dalam Kepailitan. Dalam Emmy Yuhassarie (Ed.), Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya (hlm. 96-105). Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum

Sentosa Sembiring. 2006. Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-undangan Yang Terkait Dengan Kepailitan. Bandung: CV. Nuansa Aulia

Setiawan. 2001. Ordonansi Kepailitan Serta Aplikasinya Kini. Dalam Rudhy A. Lontoh dkk (Ed.), Penyelesaian Utang-piutang Melalui Pailit atau Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang. (hlm. 113-124). Bandung: Alumni

. 2004. Beberapa Catatan Tentang Pengertian Jatuh Tempo Dalam Masalah Kepailitan. Dalam Emmy Yuhassarie (Ed.), Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan

cxxxvi

Wawasan Hukum Bisnis Lainnya (hlm. 122-125). Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum

Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press

Sutan Remy Sjahdeini. 2002. Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

. 2009. Hukum Kepailitan: Memahami Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

Suhandjono. 2001. Fungsi Kejaksaan Dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara serta Pengertian Kepentingan Umum dalam Kepailitan. Dalam Rudhy A. Lontoh dkk (Ed.), Penyelesaian Utang-piutang Melalui Pailit atau Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang. (hlm. 595-607). Bandung: Alumni

Thomas Suyatno. 2001. Bank Indonesia, Bank Tidak Sehat, BPPN dan Masalah Kepailitan. Dalam Rudhy A. Lontoh dkk (Ed.), Penyelesaian Utang-piutang Melalui Pailit atau Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang. (hlm. 454-468). Bandung: Alumni

Timur Sukirno. 2001. Tanggung Jawab Kurator terhadap Harta Pailit dan Penerapan Actio Pauliana. Dalam Rudhy A. Lontoh dkk (Ed.), Penyelesaian Utang-piutang Melalui Pailit atau Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang. (hlm. 369-378). Bandung: Alumni

Usman Rangkuti. 2001. Tugas-tugas BHP Dalam Pemberesan Kepailitan Serta Hambatan Dalam Praktik Dikaitkan Dengan Perpu No. 1 Tahun 1998. Dalam Rudhy A. Lontoh dkk (Ed.), Penyelesaian Utang-piutang Melalui Pailit atau Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang. (hlm. 75-97). Bandung: Alumni

Viktor M. Situmorang dan Hendri Soekarso. 1993. Pengantar Hukum Kepailitan. Indonesia. Jakarta:Rineka Cipta

Zainal Asikin. 2001. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

cxxxvii

Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Dagang

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk WetBoek)

Peraturan Pemeritah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan

Peraturan Kepailitan (Staatsblad 1906 Nomor 217 juncto Staatsblad 1906 Nomor 348)

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemeritah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-undang

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Permohonan Pernyataan Pailit Untuk Kepentingan Umum

Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01-HT.05.10 Tahun 2005 Tentang Pendaftaran Kurator dan Pengurus

Jurnal Leonard J. Theberge. 1980. Law and Economic Development. Journal of

International Law and Policy, Vol. 9, 232

Ricardo Simanjuntak. 2008. Ketentuan Hukum Internasional dari UU No.4 Tahun 1998 (Cross Border Bankruptcy). Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 27, 57-63

. 2009. Efektivitas UU Kepailitan Dalam Perspektif Kurator Dikaitkan Dengan Pemberesan Harta Pailit Perseroan Terbatas. Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 28, 37-45

cxxxviii

Robert J. Landry. 2006. An Empirical Analysis Of The Causes Of Consumer Bankruptcy: Will Bankruptcy Reform Really Change Anything?. Rutgers Business Law Journal, Vol. 3, 4

Internet Adam Air Dinyatakan Pailit. 2008. http://www.hukumonline.com. diakses di

Surakarta,1 Mei 2009 pukul 15.00 WIB

Daftar Piutang Adam Air Ditetapkan. 2008. http://www.hukumonline.com. diakses di Surakarta,1 Mei 2009 pukul 15.15 WIB

Elin Yunita Kristanti dan Eko Huda S. 2002. Kurator Adam Air Tak Mau Diganti. http://us.nasional.vivanews.com. diakses di Surakarta, 10 Mei 2009 pukul 19.15 WIB

Kurator Adam Air Tolak Diganti. 2008. http://www.hukumonline.com. diakses di Surakarta,2 Mei 2009 pukul 14.50 WIB

M. Husni Nanang. 2008. Aset Adam Air Sulit Ditelusuri.

http://www.inilah.com. diakses di Surakarta, 12 Mei pukul 19.00 WIB

Muhammad Halim. 2009. Sekilas Tentang Kepailitan (3). http://halim-livinglaw.blogspot.com. diakses di Surakarta, 12 Juni 2009 pukul 14.45 WIB

Nograhany Widhi K. 2008. Kurator Kesulitan Lacak Aset Adam Air. http://www.detikfinance.com. diakses di Surakarta,12 Mei 2009 pukul 19.35 WIB

PT Sarana Perdana Indoglobal (Dalam Pailit). http://id.denylawfirm.com. diakses di Surakarta, 7 Mei 2009 pukul 20.20 WIB

Rusmin Effendy. 2009. Skandal Pailit Manulife dan Prudential. http://m.infoanda.com. diakses di Surakarta, 11 Mei 2009 pukul 18.51 WIB

Lain-lain Kode Etik Profesi Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia

Standar Profesi Kurator dan Pengurus, Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia