27
Perang Pun Ada Aturannya K. Mustarom

Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

Perang Pun Ada Aturannya

K. Mustarom

Page 2: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

 

PERANG PUN ADA ATURANNYA 

 

K. Mustarom 

Laporan Khusus  

Edisi 03 | Januari 2016 

 

 

 

ABOUT US 

Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS 

merupakan  sebuah  lembaga  kajian  independen  yang  bekerja  dalam  rangka 

membantu  masyarakat  untuk  mencegah  segala  bentuk  kezaliman.  Publikasi  ini 

didesain  untuk  dibaca  oleh  pengambil  kebijakan  dan  dapat  diakses  oleh  semua 

elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu 

dari  sekian  banyak  media  yang  mengajak  segenap  elemen  umat  untuk  bekerja 

mencegah  kezaliman. Media  ini  berusaha  untuk menjadi  corong  kebenaran  yang 

ditujukan  kepada  segenap  lapisan  dan  tokoh  masyarakat  agar  sadar  realitas  dan 

peduli  terhadap  hajat  akan  keadilan.  Isinya  mengemukakangagasan  ilmiah  dan 

menitikberatkan  pada metode  analisis  dengan  uraian  yang  lugas  dan  tujuan  yang 

legal.  Pandangan  yang  tertuang  dalam  laporan  ini  merupakan  pendapat  yang 

diekspresikan oleh masing­masing penulis. 

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e­mail ke: 

[email protected]  

Seluruh laporan kami bisa didownload di website: www.syamina.org  

Page 3: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

 

 

 

DAFTAR ISI

Daftar Isi ....................................................................................................... 3

Executive Summary ....................................................................................... 4

Perang Pun Ada Aturannya ........................................................................... 7

Prinsip Hukum Kemanusiaan Internasional dalam Kontrateorisme ................. 11

Policy Laundering .......................................................................................... 18

Rezim Pemaksaan Global .............................................................................. 25

Kesimpulan .................................................................................................... 26

 

Page 4: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

4

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

EXECUTIVE SUMMARY 

Lebih  dari  150  tahun,  Hukum  Kemanusiaan 

Internasional  (IHL)  melindungi  layanan  kesehatan 

kepada kombatan yang terluka, baik dari pihak kawan 

maupun  lawan.  Perlindungan  tersebut  mampu 

memberikan obat yang cukup vital bagi kemanusiaan 

di tengah kondisi perang. Pada tahun 1864, beberapa 

negara  sepakat  untuk  membentuk  IHL  tentang 

layanan  kesehatan.  Hukum  tersebut  menyatakan 

bahwa  kombatan  yang  sakit  dan  terluka  dari  pihak 

yang  bertikai  yang  berada  di  luar  pertempuran  akan 

dilindungi  dan  dirawat.  Tentu  saja,  perlindungan 

kepada mereka  yang  terluka  akan  sia­sia  tanpa  akses 

kepada personel dan bantuan medis. Karenanya, IHL 

juga  melindungi  mereka  yang  memberikan  layanan 

medis dan sarana untuk melakukannya. Mereka tidak 

boleh  diserang,  ditembak,  atau  dicegah  dari 

menjalankan fungsinya secara tepat.  

Perlindungan  tersebut  tidak  dicabut  kecuali  jika 

personel  tersebut  melakukan  aksi  yang 

membahayakan  musuh  di  luar  fungsi  kemanusiaan 

mereka.  Meski  demikian,  perlindungan  tersebut 

hanya  bisa  dicabut  setelah  mereka  diberi  peringatan 

dengan batas waktu  yang  layak.  Personel medis  juga 

tidak boleh dihukum jika mereka memberi pelayanan 

kesehatan, bahkan kepada musuh yang  terluka  sekali 

pun.  Dalam  IHL,  perlindungan  tersebut  tidak 

melemah meski musuh tersebut didefinisikan sebagai 

teroris. Contoh, dalam IHL  tidak boleh  ada pejuang 

yang  terluka  yang  dicegah  untuk  mendapatkan 

layanan  kesehatan  meski  ia  masuk  dalam  daftar 

teroris.  Namun  sayangnya,  perang  global  melawan 

teror menjadi  titik balik yang mengancam etik  dasar 

dalam  IHL  tersebut.  Sebagai  bagian  dari  respon 

terhadap  ancaman  terorisme,  beberapa  negara 

menyerang  para  pelayan  kesehatan,  atau  menahan, 

mencegah, bahkan menghukum mereka.  

Hari ini, perang melawan teror menjadi semacam 

cek kosong bagi negara untuk melakukan segala yang 

mereka  inginkan.  Aturan  internasional,  yang 

harapannya  bisa  memperlunak  dampak  perang 

terhadap  warga  sipil,  tidak  lebih  dari  sekadar  janji 

kosong terhadap warga sipil yang keinginannya untuk 

mendapatkan  keadilan  dan  pertanggungjawaban 

sering diabaikan. 

Dalam  sebuah  penelitian  yang  dilakukan  oleh 

Harvard  Law  School  Program  in  International  Law 

dan  Armed  Conflict,  disimpulkan  bahwa  seringkali 

dengan  atas  nama  kekuatan  hukum  dan  dukungan 

politik  dari  Dewan  Keamanan  PBB,  negara 

menghukum—di  waktu  perang  maupun  damai—

berbagai  bentuk  dukungan,  termasuk  meliputi 

layanan  kesehatan,  kepada  organisasi  teroris.  Respon 

tersebut mengabaikan dua prinsip dasar perlindungan 

yang diberikan oleh IHL dalam hal layanan medis. 

Pertama, kebijakan kontraterorisme menganggap 

layanan kesehatan sebagai bentuk dukungan tidak sah 

terhadap  musuh.  Padahal,  menurut  International 

Committee  of  Red  Cross  (ICRC),  ide  besar  dibalik 

Konvensi  Jenewa  I  tahun  1949  adalah  bahwa 

“layanan kesehatan, meskipun diberikan kepada pihak 

musuh, selalu legitimate, dan tidak termasuk tindakan 

Page 5: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

5

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

permusuhan.  Personel  medis  selalu  ditempatkan  di 

atas konflik.”  

Kedua, kebijakan kontra  terorisme mengabaikan 

kemungkinan bahwa  sebuah  organisasi  teroris  sangat 

mungkin  mempekerjakan  petugas  medis  untuk 

bekerja  di  bawah  otoritasnya.  Karenanya,  undang­

undang  anti  terorisme  nasional  seringkali  melarang 

petugas  medis  untuk  melakukan  tindakan  di  bawah 

arahan  dan  kendali  dari  kelompok  teroris.  Padahal, 

sistem  perlindungan  IHL  tentang  layanan  kesehatan 

sebagian  bergantung  pada  mutual  trust  di  antara 

pihak  yang  bertikai.  Lambang  Konvensi  Jenewa 

mungkin  adalah  manifestasi  paling  tampak  dari  hal 

tersebut.  Dengan  menampilkan  lambang  tersebut 

akan  memberikan  notifikasi  kepada  pihak  musuh 

bahwa  personel  dan  objek  yang  memakainya  dapat 

mengklaim  manfaat  untuk  mendapatkan 

perlindungan khusus. 

Dewan  Keamanan  nampaknya  menganggap 

bahwa  pemberian  layanan  kesehatan  kepada  Al 

Qaidah  dan  sekutunya  paling  tidak  sebagai  dasar 

untuk  menuduh  mereka  sebagai  teroris.  Menurut 

kesimpulan  dari  penelitian  Harvard  Law  School 

Program  on  International  Law  and  Armed Conflict, 

dengan  menghukum  tenaga  medis  karena  tuduhan 

membantu  teroris,  beberapa  negara  justru  telah 

melanggar kewajiban mereka dalam perjanjian IHL. 

Rasionalitas  yang  dipakai  untuk  memahami 

prinsip kemanusiaan—terutama netralitas—seringkali 

terjebak  pada  logika  “with  us  or  against  us”  yang 

selama  ini  menjadi  penyokong  agenda 

kontraterorisme.  Sementara  netralitas  berarti  tidak 

berpihak,  pendekatan  kontraterorisme  seringkali 

membuat pengkubuan. Framing yang dilakukan oleh 

kontraterorisme menghadirkan sebuah ancaman yang 

eksistensial.  Karena  itulah,  pada  tahun  2011,  ICRC 

meminta kepada seluruh negara untuk mengeluarkan 

dari  undang­undang  anti  terorisme  segala  aktivitas 

yang  bersifat  kemanusiaan,  tidak  berat  sebelah,  dan 

dilakukan  tanpa  membedakan  pembedaan  musuh. 

Jika  tidak,  larangan  memberikan  layanan  kesehatan 

terhadap  orang  yang  terluka  dan  menuduh  aktivitas 

kemanusiaan  tersebut  sebagai  dukungan  terhadap 

terorisme  berarti  “meragukan  ide  di  balik  pendirian 

ICRC—dan  tentunya  lembaga  palang  merah  dan 

bulan  sabit  merah  nasional—lebih  dari  150  tahun 

yang lalu.” 

Tak  hanya  menghadapi  risiko  serangan  dan 

pembunuhan—yang selama ini coba ditutupi dengan 

alibi  collateral  damage—aksi  kemanusiaan  juga  coba 

direstriksi dengan  sejumlah aturan yang mempersulit 

bantuan kemanusiaan kepada para korban di wilayah 

konflik atau yang terlibat dalam konflik.  

Sejumlah  negara  menerapkan  aturan  yang  lebih 

ketat  terhadap  lembaga  kemanusiaan,  meningkatan 

tindakan  militer  dan  kepolisian  dalam  menghadapi 

pihak­pihak  yang  dianggap  menentang,  serta 

menyusun  serangan  terhadap  aktivis  sosial  dan  para 

pembela  hak  asasi  manusia.  Namun,  sejumlah 

tindakan  represif  tersebut  seolah  dianggap  wajar 

karena  dipersepsikan  sebagai  bagian  dari  “perang 

melawan teror”. 

Laporan  dari  Statewatch  dan  Transnational 

Institute  menyatakan  bahwa  banyak  standar  global 

kontraterorisme  dibuat  oleh  pemerintah  AS  dan 

kemudian  diadopsi  oleh  PBB,  G7/G8,  IMF,  Bank 

Dunia.  Setelah  itu,  standar  tersebut  disebarkan 

melalui  badan­badan  regional  seperti  FATF  sebelum 

Page 6: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

6

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

akhirnya  diadopsi menjadi  regulasi  dan hukum yang 

mengikat  kepada  negara­negara  anggota.  Praktik 

tersebut  dikenal  dengan  istilah  policy  laundering, 

pencucian  kebijakan.  Sayangnya,  sekumpulan 

kebijakan yang tidak akuntabel tersebut tidak pernah 

mendapatkan perhatian kritis dari publik. 

Pasca  Serangan  11  September,  organisasi  antar 

pemerintah mulai mengembangkan dan menguatkan 

rezim  pemaksaan  global  dengan  menggunakan  ‘soft 

law’  (resolusi,  prinsip,  panduan,  dll),  yang  bisa 

disepakati  dan  diratifikasi  secara  lebih  cepat 

dibanding  konvensi  antar  pemerintah  tradisional, 

yang seringkali membutuhkan waktu bertahun­tahun 

untuk disepakati. Para akademisi menyebut proses ini 

sebagai  ‘pemaksaan  secara  keras melalui  aturan  yang 

lunak’. 

Menurut  Physicians  for  Human  Rights,  selama 

14  tahun  terakhir,  pemerintah  AS  telah  merusak 

hukum  internasional  dengan  menyatakan  bahwa 

dalam  memerangi  teroris,  aturan  tidak  berlaku. 

Argumen  ini  pada  dasarnya  cacat  dan  sangat 

berbahaya.  Di  Suriah,  Bashar  al­Assad  juga  telah 

merobek  hukum  perang  dengan  mengklaim  bahwa 

semua boleh dalam memerangi  teroris. Empat  tahun 

telah  berlalu  dan  250.000  orang  telah  tewas—

masyarakat  internasional  masih  tetap  lumpuh  soal 

Suriah  dan  serangan  terhadap  rumah  sakit  dan 

pembunuhan  dokter  telah  menjadi  norma  baru  di 

negara ini. 

“Cukup,  bahkan  perang  pun  ada  aturannya” 

adalah  kulminasi  dari  sebuah  kekecewaan mendalam 

atas  peristiwa  yang  terus  berulang.  Perang  global 

melawan terorisme telah mengancam etika dasar dari 

hukum  kemanusiaan  internasional  (IHL),  yaitu 

perlindungan  layanan  kesehatan  bagi  seluruh  pihak 

yang  terluka.  Kebijakan  kontraterorisme  saat  ini 

banyak  yang  bertentangan  dengan  beberapa 

perlindungan yang dijamin dalam IHL. 

Banyak  organisasi  kemanusiaan  yang  bekerja 

keras  untuk  membantu  menyelamatkan  nyawa 

mereka yang menjadi  korban dalam konflik. Mereka 

berusaha  menjangkau  jutaan  orang  yang  tak 

beruntung  di  seluruh  dunia,  yang  seharusnya  tidak 

boleh  kita  lupakan  dan  abaikan.  Untuk  itu,  mereka 

rela  mempertaruhkan  nyawanya,  kebebasannya,  dan 

menempatkan  diri  mereka  dalam  bahaya  untuk 

membantu  sesama.  Itulah  mengapa  mereka  sering 

dijuluki  sebagai  warriors  without  weapons,  ksatria 

tanpa  senjata.  Dan  kini,  para  ksatria  tersebut 

menghadapi sebuah dilema dan ancaman: membantu 

mereka  yang membutuhkan,  dengan  risiko  dibunuh 

atau  dihukum  dengan  tuduhan  terkait  dengan 

terorisme,  atau  membiarkan  mereka  yang 

membutuhkan  sendiri  tanpa  pertolongan.  Paling 

tidak,  tindakan  kemanusiaan  mereka  masih 

membuktikan bahwa dunia masih punya hati.prinsip, 

panduan,  dll),  yang  bisa  disepakati  dan  diratifikasi 

secara  lebih  cepat  dibanding  konvensi  antar 

pemerintah tradisional, yang seringkali membutuhkan 

waktu bertahun­tahun untuk disep 

Page 7: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

7

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

PERANG PUN ADA ATURANNYA

“Pasien  kami  terbakar  di  tempat  tidurnya.  Dokter,  perawat,  dan  staff  kami  yang  lain 

terbunuh saat mereka bekerja. Kolega kami harus saling mengoperasi satu sama lain. Salah satu 

dokter  kami  meninggal  di  meja  operasi  saat  rekannya  mencoba  menyelamatkan  nyawanya. 

Hari  ini  kami  memberikan  penghormatan  kepada  mereka  yang  meninggal  dalam  sebuah 

serangan  yang  menjijikkan  ini.  Dan  kami  juga  memberikan  penghargaan  kepada  staf  kami 

yang masih terus merawat yang terluka, meski harus menyaksikan rekan mereka terbunuh dan 

rumah sakit mereka masih dalam kondisi terbakar. 

Ini  bukanlah  sekadar  serangan  atas  rumah  sakit  kami—tapi  ini  adalah  sebuah  serangan 

terhadap Konvensi  Jenewa. Hal  ini tidak bisa ditoleransi. Konvensi  tersebut mengatur aturan 

perang  dan  dibuat  untuk  melindungi  warga  sipil  dalam  konflik—termasuk  pasien,  pekerja 

medis, dan fasilitasnya. Mereka membawa kemanusiaan (humanity) ke dalam situasi yang tidak 

manusiawi. 

Konvensi Jenewa bukanlah bingkai hukum yang abstrak—mereka adalah pembeda antara 

hidup dan mati bagi tim medis yang berada di medan tempur. Mereka yang membuat pasien 

bisa  memiliki  akses  menuju  fasilitas  kesehatan  dengan  aman  dan  membuat  kami  bisa 

memberikan layanan kesehatan juga dengan aman, tanpa khawatir dibunuh. 

Menyerang rumah  sakit di daerah perang adalah terlarang dan kami berharap dilindungi. 

Namun, puluhan pasien kami, termasuk tiga anak, dan 12 staf kami terbunuh… 

Sangat  tidak  bisa  diterima  jika  negara  bersembunyi  di  balik  ‘gentlemen’s  agreements’ 

karena dengan demikian mereka telah menciptakan sebuah kondisi yang bebas bagi semuanya 

dan lingkungan yang kebal hukum. Sangat tidak bisa diterima bahwa pengeboman rumah sakit 

dan  pembunuhan  staf  dan pasien  rumah  sakit  diabaikan begitu  saja  dengan menganggapnya 

sebagai collateral damage atau dikesampingkan sebagai sebuah kesalahan. 

Hari  ini  kami melawan  demi  penghormatan  terhadap Konvensi  Jenewa.  Sebagai  dokter, 

kami  melawan  demi  pasien  kami.  Dan  kami  membutuhkan  kalian,  sebagai  anggota 

masyarakat,  untuk berdiri  bersama kami  dan mengatakan bahwa  cukup,  bahkan perang  pun 

ada aturannya.”1 

1 http://www.msf.org/article/afghanistan-enough-even-war-has-rules

Page 8: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

8

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

Pernyataan di atas disampaikan oleh Dr.

Joanne Liu, presiden MSF Internasional dalam

sebuah konferensi pers di Jenewa, 7 Oktober

2015 silam untuk menanggapi sebuah serangan

yang diarahkan terhadap Rumah Sakit MSF di

Kunduz, Afghanistan. Bukan terhadap Al

Qaidah, Taliban, atau Islamic State kecaman

tersebut diarahkan, tapi terhadap pemain lain

yang selama ini bersembunyi di balik

‘‘gentlemen’s aggreements’’ untuk bisa bebas

melakukan segalanya, dengan mengabaikan

aturan dan etika internasional. Entitas tersebut

bernama pemerintah AS, negara yang

mengklaim diri sebagai pioner demokrasi dan

menjadikan perlindungan hak asasi manusia

dan kebebasan sebagai alat jual utama dalam

setiap kebijakannya. Padahal, sebagai pra

kondisi sebelum membuka rumah sakit, MSF

sudah bernegosiasi dengan AS, Afghanistan,

NATO, dan juga Taliban. ‘‘Kami menerima

dukungan dari seluruh kelompok tersebut untuk

mengoperasikan rumah sakit ini. Dan bagian

dari proses tersebut adalah dengan membagikan

koordinat GPS kami kepada seluruh pihak.

Dan terakhir, kami membagikan koordinat

GPS tersebut pada tanggal 29 September

2015,’’2 demikian penjelasan Jason Cone,

eksekutif direktur MSF AS. Menanggapi

serangan mereka ke rumah sakit yang masih

berfungsi secara aktif tersebut, pemerintah AS

merilis pernyataan yang terus berubah, dalam

empat hari mereka memberikan empat

pernyataan yang berbeda.3

Joanne Liu juga mengatakan bahwa,

"Serangan tidak bisa dikesampingkan hanya

sebagai sebuah kesalahan atau konsekuensi

tidak terhindarkan dari perang. Serangan

tersebut tidak sekadar mengenai MSF, tapi juga

pekerjaan kemanusiaan di mana pun dan secara

fundamental merendahkan prinsip-prinsip inti

dari kegiatan kemanusiaan. Jika kita biarkan ini

semua, seolah-olah tidak terjadi apa-apa, pada

dasarnya kita telah memberikan cek kosong

kepada negara manapun yang sedang

berperang. Jika kita tidak melindungi ruang

medis tersebut untuk menjalankan aktivitas

kita, maka tidak mungkin untuk melakukan

pekerjaan dalam konteks lain seperti di Suriah,

Sudan Selatan, dan Yaman."

2http://www.democracynow.org/blog/2015/11/12/even_war_has_rules 3 http://www.theguardian.com/us-news/2015/oct/06/doctors-without-borders-airstrike-afghanistan-us-account-changes-again

Page 9: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

9

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

Pengeboman fasilitas kesehatan tidak hanya

berhenti di Kunduz. Di Yaman, serangan udara

koalisi yang dipimpin oleh Arab Saudi, yang

didukung oleh AS, telah membunuh lebih dari

lima ribu rakyat Yaman. Dan sebulan yang lalu,

September 2015, pesawat Saudi buatan

Amerika Serikat mengebom pesta pernikahan

di Mokha, yang menewaskan 300 warga sipil.

Untuk merespon kritikan atas serangan

tersebut, Saudi hanya menjawab dengan ‘‘ini

adalah perang’’,4 dan AS meski mengucapkan

bela sungkawa, namun terus memberikan

dukungan logistik dan intelijen dalam operasi

militer tersebut.

Tak hanya itu, tiga minggu setelah

serangan di Kunduz, rumah sakit MSF lainnya

di Yaman dibom oleh serangan udara Arab

Saudi, meski atap rumah sakit tersebut

dibubuhi logo MSF dan koordinat GPS juga

telah dibagikan berulang kali kepada koalisi

pimpinan Arab Saudi.

Di Suriah, kelompok hak asasi manusia

melaporkan bahwa banyak sipil yang menjadi

korban di Aleppo akibat serangan udara Rusia.

Moskow membantah tuduhan tersebut dengan

4 http://www.huffingtonpost.com/raymond-c-offenheiser/even-war-has-rules_b_8362408.html

terus melancarkan kampanye pengeboman dan

menyangkal akan adanya korban sipil.

Dalam konflik bersenjata akhir-akhir ini,

tragedi seperti pengeboman Rumah Sakit MSF

adalah sesuatu yang umum terjadi. Dan di saat

Konvensi Jenewa dibuat untuk memperlunak

dampak perang terhadap warga sipil, ia tidak

lebih dari sekadar janji kosong terhadap warga

sipil yang keinginannya untuk mendapatkan

keadilan dan pertanggungjawaban sering

diabaikan.

Dari beberapa kejadian di atas, satu hal

yang jelas, banyak serangan udara dalam konflik

bersenjata yang terjadi akhir-akhir ini, di mana

banyak warga sipil yang terbunuh, yang

dilakukan tanpa akuntabilitas. Perang melawan

terorisme tak lebih dari sekadar cek kosong

yang dengan sangat fleksibel digunakan oleh

pemerintah AS dan sekutunya untuk

“Kami perlu paham bahwa pemerintah

masih menghormati aturan tersebut,

karena aturan tersebut lah yang masih

membuat kami bisa tetap mengirimkan

orang ke daerah perang dan merawat

para korban.”

Page 10: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

10

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

melakukan segala yang mereka inginkan.

Jason Cone menegaskan bahwa ‘‘Ini tentu

saja melanggar hukum internasional. Bagi kami,

ini adalah tentang menguatkan fakta bahwa

terdapat Konvensi Jenewa yang mengatur

hukum perang… kami perlu paham bahwa

pemerintah masih menghormati aturan

tersebut, karena aturan tersebut lah yang masih

membuat kami bisa tetap mengirimkan orang

ke daerah perang dan merawat para korban.’’5

Kecaman keras juga disampaikan oleh

Physician for Human Rights, Organisasi

pembela hak asasi manusia yang didirikan oleh

para dokter. Mereka mengatakan bahwa,

‘‘Masyarakat internasional harus bertindak

untuk menghentikan pergeseran mematikan ini

menuju pelanggaran hukum yang akan

membatalkan usaha susah payah selama

beberapa dekade dalam rangka melakukan

perlindungan warga sipil. Hal ini dapat mulai

dengan menyerukan penyelidikan internasional

independen atas serangan di rumah sakit MSF

di Kunduz. Dan kita harus mengambil tindakan

tegas untuk menghentikan pelanggaran di

Suriah dan daerah konflik lainnya. Tidak ada

5http://www.democracynow.org/blog/2015/11/12/even_war_has_rules

negara yang kebal hukum, dan tidak ada negara

yang boleh menulis ulang hukum. Satu-satunya

cara untuk mulai memulihkan standar yang

mulai melemah ini adalah dengan membawa

mereka yang melanggar ke pengadilan.’’6

6 http://physiciansforhumanrights.org/blog/its-about-civilian-protection.html

‘‘Kita harus mengambil tindakan tegas

untuk menghentikan pelanggaran di

Suriah dan daerah konflik lainnya.

Tidak ada negara yang kebal hukum,

dan tidak ada negara yang boleh

menulis ulang hukum.”

Page 11: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

11

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

Prinsip Hukum Kemanusiaan

Internasional dalam Kontraterorisme

Lebih dari 150 tahun, Hukum

Kemanusiaan Internasional (IHL) melindungi

layanan kesehatan kepada kombatan yang

terluka, baik dari pihak kawan maupu lawan.

Perlindungan tersebut mampu memberikan

obat yang cukup vital bagi kemanusiaan di

tengah kondisi perang. Pada tahun 1864,

beberapa negara sepakat untuk membentuk

IHL tentang layanan kesehatan. Hukum

tersebut menyatakan bahwa kombatan yang

sakit dan terluka dari pihak yang bertikai yang

berada di luar pertempuran akan dilindungi dan

dirawat.7

Tentu saja, perlindungan kepada mereka

yang terluka akan sia-sia tanpa akses kepada

personel dan bantuan medis. Karenanya, IHL

juga melindungi mereka yang memberikan

layanan medis dan sarana untuk melakukannya.

Mereka tidak boleh diserang, ditembak, atau

dicegah dari menjalankan fungsinya secara

tepat. Perlindungan tersebut tidak dicabut

kecuali jika personel tersebut melakukan aksi

yang membahayakan musuh di luar fungsi 7https://www.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/Article.xsp?action=openDocument&documentId=56ABFEBA91E2947EC12563CD00515348

kemanusiaan mereka. Meski demikian,

perlindungan tersebut hanya bisa dicabut

setelah mereka diberi peringatan dengan batas

waktu yang layak. Personel medis juga tidak

boleh dihukum jika mereka memberi pelayanan

kesehatan, bahkan kepada musuh yang terluka

sekali pun.

Dalam IHL, perlindungan tersebut tidak

melemah meski musuh tersebut didefinisikan

sebagai teroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh

ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk

mendapatkan layanan kesehatan meski ia masuk

dalam daftar teroris.8

8 Dustin A. Lewis, et.al, "Medical Care In Armed Conflict: International Humanitarian Law And State Responses To Terrorism", Harvard Law School Program on International Law and Armed Conflict, September 2015, hal. 6

Page 12: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

12

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

Namun sayangnya, perang global melawan

teror menjadi titik balik yang mengancam etik

dasar dalam IHL tersebut. Sebagai bagian dari

respon terhadap ancaman terorisme, beberapa

negara menyerang para pelayan kesehatan, atau

menahan, mencegah, bahkan menghukum

mereka. Serangan yang diarahkan kepada

fasilitas layanan kesehatan di area yang

dikontrol oleh teroris bukan satu atau dua kali

saja terjadi, begitu juga dengan penyalahgunaan

layanan kesehatan profesional dalam menyiksa

terduga teroris. Banyak pihak yang mengecam,

namun praktik kejam seperti itu masih juga

terus berjalan.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan

oleh Harvard Law School Program in

International Law dan Armed Conflict,

disimpulkan bahwa seringkali dengan atas nama

kekuatan hukum dan dukungan politik dari

Dewan Keamanan PBB, negara menghukum-----

di waktu perang maupun damai-----berbagai

Page 13: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

13

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

bentuk dukungan, termasuk meliputi layanan

kesehatan, kepada organisasi teroris. Respon

tersebut mengabaikan dua prinsip dasar

perlindungan yang diberikan oleh IHL dalam

hal layanan medis.9

Pertama, kebijakan kontraterorisme

menganggap layanan kesehatan sebagai bentuk

dukungan tidak sah terhadap musuh.Padahal,

menurut International Committee of Red Cross

(ICRC), ide besar dibalik Konvensi Jenewa I

tahun 1949 adalah bahwa ‘‘layanan kesehatan,

meskipun diberikan kepada pihak musuh, selalu

legitimate, dan tidak termasuk tindakan

permusuhan.Personel medis selalu ditempatkan

di atas konflik.’’10 Di tengah-tengah

kekhawatiran tersebut, pada tahun 2011, ICRC

meminta kepada negara untuk mengeluarkan

dari undang-undang anti terorisme seluruh

aktivitas yang bersifat kemanusiaan, bersifat

tidak berat sebelah dan dilakukan tanpa

pandang bulu. Pelarangan layanan kesehatan

terhadap orang yang dituduh teroris dan

menuduhnya sebagai bentuk dukungan pada

terorisme akan ‘‘sangat bertentangan dengan ide

besar di balik pendirian ICRC-----dan tentu saja

9 Dustin A. Lewis, et.al, hal. 4 10ICRC, “Commentary on GC I”, p. 192

kalangan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah

Nasional-----lebih dari 150 tahun yang lalu.’’

Kedua, kebijakan kontra terorisme

mengabaikan kemungkinan bahwa sebuah

organisasi teroris sangat mungkin

mempekerjakan petugas medis untuk bekerja di

bawah otoritasnya. Karenanya, undang-undang

anti terorisme nasional seringkali melarang

petugas medis untuk melakukan tindakan di

bawah arahan dan kendali dari kelompok

teroris. Padahal, sistem perlindungan IHL

tentang layanan kesehatan sebagian bergantung

pada mutual trust di antara pihak yang bertikai.

Lambang Konvensi Jenewa mungkin adalah

manifestasi paling tampak dari hal tersebut.

Dengan menampilkan lambang tersebut akan

memberikan notifikasi kepada pihak musuh

bahwa personel dan objek yang memakainya

dapat mengklaim manfaat untuk mendapatkan

perlindungan khusus. IHL meminta kepada

pihak yang berperang-----termasuk kelompok

bersenjata-----untuk melindungi rasa percaya

tersebut dengan mengawasi dan mengontrol

personel, transportasi, dan unit medis mereka.11

11ICRC, Commentary on APs, para. 736

Page 14: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

14

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

Tulisan dari Harvard Law School Program

in International Law dan Armed Conflict

menunjukkan bahwa komitmen IHL terhadap

janji itu sendiri masih belum lengkap dan

menciptakan garis cacat dalam hal

perlindungan. Respon negara terhadap

terorisme semakin memperburuk garis cacat

tersebut. Dan kebijakan kontra terorisme justru

memberi ancaman yang semakin memperlemah

norma dan etika tersebut.12

Kekhawatiran tersebut bukanlah

kekhawatiran yang abstrak. Dalam konflik yang

terjadi akhir-akhir ini, respon negara terhadap

terorisme telah memicu perhatian lebih

terhadap ruang lingkup dan implemantasi

perlindungan IHL terhadap layanan kesehatan:

Dalam konflik bersenjata di dalam negeri,

Peru menuntut dokter yang memberikan

bantuan medis terhadap anggota Sendero

Luminoso;13

Kolombia menghukum tenaga medis

profesional yang mengelola layanan

spesialis jangka panjang terhadap anggota

Fuerzas Armadas Revolucionarias de

12 Dustin A. Lewis, et.al, hal. 6 13De La Cruz-Flores v. Peru, Merits, Reparations, and Costs, Judgment, Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No. 115 (Nov.18, 2004)

Colombia (Kelompok Bersenjata

Revolusioner Kolombia);14

Suriah menahan dokter yang memberikan

layanan kesehatan kepada pejuang

kelompok oposisi yang terluka,15 dan

mereka juga menyerang fasilitas layanan

kesehatan di wilayah yang dikontrol oleh

teroris;16

AS menuntut dokter asal AS karena ia

setuju untuk menjadi dokter ‘‘panggilan’’

bagi anggota Al-Qaidah yang terluka saat

dokter tersebut berkunjung ke Arab

Saudi.17 Mereka juga menghukum warga

AS yang berusaha melakukan perjalanan ke

Irak dan Suriah untuk memberikan layanan

medis kepada anggota Islamic State (IS)

yang terluka dan di rumah sakit yang

berada di wilayah kekuasaan IS.18 Selain itu,

mereka juga menuntut warga Kanada

karena memberikan pelajaran bahasa

Inggris di klinik Al-Qaidah di Afghanistan

14Court of Justice of Colombia, Criminal Cassation Chamber, Case No. 27227, May 21, 2009, p. 3. 15U.N. Human Rights Council, Report of the independent international committee of inquiry on the Syrian Arab Republic, U.N. doc.A/HRC/25/65, 12 Februari 2014, para. 111 16Ben Hubbard, “ISIS-Imposed Fuel Embargo Threatens Syria’s Medical Centers,” New York Times, 18 Juni 2015, 17U.S. v. Shah, 474 F.Supp.2d 492, 498–499 (2007); U.S. v. Farhane, 634 F.3d 127, 140–141 (2011); id., partial dissent of Chief District Judge Dearie, at 175, 181 fn 8. 18U.S. v. Conley, “Plea Agreement and Statement of Facts relevant to Sentencing,” Criminal Action No. 14-cr-00163-RM, D. Colo., 10 September 2014

Page 15: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

15

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

untuk membantu para perawat membaca

label obat-obatan.19

AS dan Inggris sedang mengevaluasi

apakah mereka akan menghukum-----saat

mereka kembali-----tenaga medis yang

dilaporkan memberikan layanan kesehatan

di wilayah yang dikuasai oleh IS.20

Dalam 25 tahun terakhir, kelompok yang

dituduh sebagai teroris dan aktor non-state

lainnya telah mengontrol akses kepada

masyarakat sipil di berbagai wilayah konflik:

Afghanistan, Chechnya, Kolombia, Gaza, Irak,

Lebanon, Mali, Nepal, Nigeria, Pakistan, Peru,

Filipina, Somalia, Suriah, dan Yaman.21 Untuk

merespon hal ini, negara mengambil

pendekatan yang lebih agresif untuk mencegah,

mengintersepsi, dan menghukum terorisme.

Dan Dewan Keamanan PBB-----yang

beranggotakan AS, Inggris, Prancis, Rusia, dan

China-----telah menjadi pengendali kunci dari

respon tersebut, dengan meminta kepada

negara anggota PBB untuk mengambil langkah

19U.S. v. Warsame, 537 F.Supp.2d 1005, 1019 (2008). See infra Section 5: “Domestic Proceedings against Medical Caregivers — United States of America.” 20Marga Zambrana and Emma Graham-Harrison, “American and Canadian among group of medics in Isis stronghold,” The Guardian, 23 Maret 2015. 21Katherine H. A. Footer and Leonard S. Rubenstein, “A human rights approach to health care in conflict,” 95 IRRC No. 889 (2013) 176

yang lebih luas untuk mengadapi ancaman

terorisme. Namun anehnya, Dewan Keamanan

tidak meminta kepada negara anggota untuk

mengecualikan layanan kesehatan di masa

perang, meski sejatinya layanan semacam itu

dilindungi dalam IHL. Justru, Dewan

Keamanan nampaknya menganggap bahwa

pemberian layanan kesehatan kepada Al Qaidah

dan sekutunya paling tidak sebagai dasar untuk

menuduh mereka sebagai teroris. Menurut

kesimpulan dari penelitian Harvard Law School

Program on International Law and Armed

Conflict, dengan menghukum tenaga medis

karena tuduhan membantu teroris, beberapa

negara justru telah melanggar kewajiban mereka

dalam perjanjian IHL.22

Masalah mendasar dari semua ini adalah

beberapa negara menolak untuk mengakui

adanya konflik bersenjata dengan teroris. Atau,

kalau pun mereka mengakui, negara tidak

mampu memberikan indikasi bagaimana

konflik dimulai, dengan kriteria apa ia akan

berakhir, ruang lingkup geografisnya, dan

meliputi siapa saja.

22 Dustin A. Lewis, et.al, hal. 16

Page 16: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

16

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

IHL sangat menekankan perlindungan

terhadap personel militer dan sipil yang

ditugaskan secara eksklusif untuk melakukan

tugas medis oleh pihak yang terlibat dalam

konflik. Konvensi tersebut juga memberikan

perlindungan kepada petugas medis yang tidak

ditunjuk oleh salah satu pihak, meski

perlindungan tersebut jauh lebih sedikit.

Lembaga kemanusiaan non pemerintah, baik

internasional maupun lokal, termasuk juga

individu yang tidak berafiliasi, mungkin akan

mengalami risiko yang lebih besar. Apalagi jika

kita melihat sifat kebanyakan konflik yang

melibatkan kelompok non-negara, lembaga

kemanusiaan yang tidak ditunjuk secara resmi

lah yang seringkali memberikan layanan medis

kepada kelompok yang dituduh sebagai teroris.

Secara umum, terlibat dalam aksi

kemanusiaan-----termasuk memberikan layanan

medis kepada pihak yang terluka dan yang sakit

dalam konflik bersenjata-----berarti memegang

prinsip kemanusiaan (humanity), tidak berat

sebelah (impartiality), dan independen.Prinsip

humanity menegaskan bahwa organisasi harus

fokus untuk mengurangi penderitaan umat

manusia. Prinsip impartialityi berartidipandu

oleh kebutuhan, memprioritaskan mereka yang

paling membutuhkan, dan tidak melakukan

diskriminasi terhadap mereka yang

membutuhkan.23 Sedang prinsip independen

berarti otonom dari pemerintah sehingga

organisasi tersebut bisa bertindak sesuai dengan

prinsip kemanusiaan. Selain itu, banyak

lembaga kemanusiaan yang juga dipandu oleh

prinsip keempat: netralitas (neutrality). Prinsip

ini secara umum berarti tidak memihak salah

satu pihak dalam permusuhan atau dalam

perdebatan ideologis, rasial, agama, atau politik.

23 Vivienne Nathanson, “Medical ethics in peacetime and wartime: the case for a better understanding,” 95 IRRC No. 889 (2013) 195–196. Menurut penulis tersebut, “aturan etiknya cukup jelas dan sederhana. Pelayanan harus diberikan berdasarkan kebutuhan; orang yang paling membutuhkan dirawat pertama kali.” Idem, hal. 196.

Page 17: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

17

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

Dengan memegang prinsip tersebut, yang mengacu pada

IHL,24 berarti membedakan kemanusiaan dari aktor lain

yang ada di medan perang. Persepsi di antara pihak yang

berperang tentang apakah satu organisasi memegang prinsip

tersebut seringkali penting untuk mendapatkan dan

mempertahankan akses untuk memberikan bantuan

kemanusiaan. Namun demikian, rasionalitas yang dipakai

untuk memahami prinsip kemanusiaan-----terutama

netralitas-----seringkali terjebak pada logika ‘‘with us or against

us’’ yang selama ini menjadi penyokong agenda

kontraterorisme. Sementara netralitas berarti tidak berpihak,

pendekatan kontraterorisme seringkali membuat

pengkubuan.

Dilema ini diungkapkan oleh Jean Pictet, pakar hukum

ICRC dan salah satu arsitek Konvensi Jenewa. Pada tahun

1979 dia menyatakan bahwa:

‘‘Jika seseorang menghadiahi Palang Merah dilema yang

cukup populer dan merusak yang terkandung dalam frase,

‘‘siapa yang tidak bersamaku berarti melawanku’’, maka

jawabannya adalah, ‘‘Saya bersama dengan mereka yang

menderita, dan itu cukup.’’25

24 Article 63(1)(a) GC IV

25Jean Pictet, The Fundamental Principles of the Red Cross Proclaimed by the Twentieth International Conference ofthe Red Cross, Vienna, 1965: Commentary (1979), https://www.icrc.org/eng/resources/documents/misc/fundamental-principles-commentary-010179.htm

“Jika seseorang

menghadiahi Palang Merah

dilema yang cukup populer

dan merusak yang

terkandung dalam frase,

‘‘siapa yang tidak bersamaku

berarti melawanku’’, maka

jawabannya adalah, ‘‘Saya

bersama dengan mereka

yang menderita, dan itu

cukup.”

Page 18: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

18

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

Hari ini, ungkapan Pictet tersebut harus

berhadapan dengan kebijakan kontraterorisme.

Bagi organisasi kemanusiaan seperti ICRC,

framing yang dilakukan oleh kontraterorisme

menghadirkan sebuah ancaman yang

eksistensial. Karena itulah, pada tahun 2011,

ICRC meminta kepada seluruh negara untuk

mengeluarkan dari undang-undang anti

terorisme segala aktivitas yang bersifat

kemanusiaan, tidak berat sebelah, dan

dilakukan tanpa membedakan pembedaan

musuh.26 Jika tidak, larangan memberikan

layanan kesehatan terhadap orang yang terluka

dan menuduh aktivitas kemanusiaan tersebut

sebagai dukungan terhadap terorisme berarti

‘‘meragukan ide di balik pendirian ICRC-----dan

tentunya lembaga palang merah dan bulan sabit

merah nasional-----lebih dari 150 tahun yang

lalu.’’27

26International Committee of the Red Cross, International Humanitarian Law and the challenges of contemporary armed conflicts, doc. 31IC/11/5.1.2, Oktober 2011, Geneva, h. 53 27Idem, supra note 31, h. 53

Policy Laundering

Tidak dapat dipungkiri bahwa sejumlah

kebijakan kontraterorisme yang diterapkan oleh

pemerintah maupun oleh lembaga internasional

telah memberikan dampak negatif terhadap

kehidupan politik dan sosial di masyarakat. Atas

nama perang melawan terorisme, kemanusiaan

seolah diabaikan. Tak hanya menghadapi risiko

serangan dan pembunuhan-----yang selama ini

coba ditutupi dengan alibi collateral damage-----

aksi kemanusiaan juga coba direstriksi dengan

sejumlah aturan yang mempersulit bantuan

kemanusiaan kepada para korban di wilayah

konflik atau yang terlibat dalam konflik.

Sejumlah negara menerapkan aturan yang

lebih ketat terhadap lembaga kemanusiaan,

meningkatan tindakan militer dan kepolisian

dalam menghadapi pihak-pihak yang dianggap

menentang, serta menyusun serangan terhadap

aktivis sosial dan para pembela hak asasi

manusia. Namun, sejumlah tindakan represif

tersebut seolah dianggap wajar karena

dipersepsikan sebagai bagian dari ‘‘perang

melawan teror’’.

Page 19: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

19

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

Meski akhir-akhir ini retorika

kontraterorisme cenderung berkurang

pengaruhnya, sejumlah kebijakan masih

melekat dalam birokrasi keamanan nasional

maupun internasional. Kontrateorisme bukan

lagi sekadar penggunaan kekuatan militer atau

hardpower, namun juga pendekatan sistematis

yang salah satu tujuannya adalah menghentikan

aliran dana ke teroris, melakukan kontranarasi

melawan teroris melalui media sosial dan

internet, memberikan sanksi terhadap pihak

yang dianggap teroris dan organisasinya melalui

pembekuan aset, dan lain-lain. Institusionalisasi

kebijakan kontrateorisme secara global tersebut

berdampak pada ruang sosial politik masyarakat

secara global.

Selain serangan langsung terhadap lembaga

kemanusiaan yang memberikan layanan medis

di wilayah konflik, ancaman terhadap

kemanusiaan yang dilakukan atas nama perang

global melawan terorisme juga terjadi dalam

bentuk berbagai aturan yang merestriksi

gerakan lembaga kemanusiaan. Atas nama

menghambat pendanaan terorisme, lembaga

kemanusiaan dituduh sebagai entitas yang

paling rentan terhadap penyalahgunaan.

Sejumlah rekomendasi, aturan, dan kebijakan

pun dikeluarkan untuk mengantisipasi hal

tersebut. Salah satu lembaga yang

merekomendasikan kebijakan pengetatan aturan

terhadap lembaga kemanusiaan adalah FATF

(Financial Action Task Force), lembaga yang

didirikan atas usulan dari negara G7 pada tahun

1990.28 Pada awalnya, FATF banyak

berkonsentrasi untuk memerangi praktik

pencucian uang, namun sejak tahun 2001 fokus

utama mereka beralih untuk memerangi

pendanaan terorisme.

FATF merilis beberapa rekomendasi yang

harus dijalankan oleh negara anggota. Mereka

harus membuat undang-undang kriminal yang

spesifik, melakukan pengawasan, membuat

sistem penyimpanan data, membuat regulasi

industri layanan keuangan, dan melakukan

kerjasama kepolisian secara internasional sesuai

dengan panduan dari FATF. Selain itu, negara

anggota juga harus melakukan evaluasi secara

cermat terhadap kepolisian nasional dan sistem

peradilan untuk menilai kesesuaian mereka

dengan Rekomendasi FATF.

28http://www.fatf-gafi.org/pages/aboutus/

Page 20: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

20

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

Untuk bisa dianggap sebagai negara yang

patuh, FATF membuat panduan secara sangat

detail, yaitu dengan membuat lebih dari 250

kriteria negara yang patuh menjalankan 40 plus

9 rekomendasi FATF.29 Hadiah bagi yang

patuh, mereka akan dianggap sebagai tempat

yang aman untuk menjalankan bisnis.30

Sedangkan sanksi bagi anggota yang tidak

menjalankan rekomendasi tersebut, mereka

akan masuk dalam black list FATF yang

berdampak pada tekanan ekonomi seperti

persepsi sebagai negara berisiko, kelayakan

investasi, suku bunga kredit perbankan asing ke

debitur nasional, risiko keamanan investasi, dan

lain-lain. Indonesia sendiri bukanlah anggota

FATF, namun menjadi anggota Asia Pacific

Group on Money Laundry yang merupakan

anggota dari FATF.

Salah satu rekomendasi FATF yang paling

kontroversial adalah Rekomendasi VIII tentang

organisasi non profit (NPO). Rekomendasi

tersebut meminta kepada negara untuk ‘‘melihat

kembali undang-undang dan regulasi terkait

29 FATF, “International Standards on Combating Money Laundering and the Financing of Terrorism and Proliferation: The FATF Recommendations”, Paris: FATF/OECD, 2013 30 http://www.fatf-gafi.org/topics/high-riskandnon-cooperativejurisdictions/

dengan entitas yang bisa disalahgunakan untuk

mendanai terorisme’’, dengan mengatakan

bahwa ‘‘Organisasi non profit adalah entitas

yang rawan tersebut... negara harus memastikan

bahwa mereka tidak bisa disalahgunakan’’ untuk

tujuan pendanaan terorisme.

Rekomendasi tersebut kemudian diperluas

lagi secara signifikan melalui interpretasi dan

panduan FATF yang secara sangat kuat

menekankan kepada negara untuk membuat

prosedur pendaftaran atau pemberian ijin NPO,

membuat sistem laporan keuangan, melakukan

pertukaran data tersebut dengan badan penegak

Policy laundering adalah penggunaan

forum antar pemerintah oleh

pemerintah satu negara sebagai sarana

tidak langsung untuk mendorong

kebijakan internasional yang sulit

dimenangkan jika kebijakan tersebut

dibuat dengan menggunakan

pendekatan langsung melalui proses

politik reguler di dalam negeri.

Page 21: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

21

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

hukum, dan menerapkan sanksi kepada mereka

yang tidak patuh.

Penerapan Rekomendasi VIII dalam

banyak kasus berarti menyusutnya ruang

keuangan, operasional dan politik bagi NPO

khususnya dan bagi masyarakat sipil pada

umumnya. Selain itu, bagian-bagian dari

masyarakat sipil yang paling terpengaruh adalah

organisasi yang bekerja di daerah berisiko tinggi

dan kebutuhan tinggi terhadap pengembangan,

daerah konflik dan hak asasi manusia. Hal ini,

ironisnya, justru kontraproduktif untuk

mengurangi ancaman terorisme.

Salah satu faktor potensial yang

berkontribusi pada risiko penyalahgunaan

teroris yang lebih besar adalah kebijakan yang

sangat ketat pada NPO, yang justru berpotensi

memaksa NPO untuk melakukan aksi bawah

tanah atau menggunakan saluran yang kurang

formal untuk melanjutkan pekerjaan mereka.

Rekomendasi FATF tersebut pun seolah

menjadi alat ‘‘pencuci kebijakan’’ pada rezim

untuk melakukan sejumlah tindakan represif.

Laporan dari Statewatch dan Transnational

Institute menunjukkan bahwa program FATF

untuk mempromosikan regulasi keuangan telah

digunakan oleh pemerintah yang represif untuk

menekan masyarakat sipil, dan bahkan

melanggar hak asasi manusia.31 Sampai saat ini,

rekomendasi dan evaluasi FATF dibuat dengan

sedikit pengawasan, transparansi atau

akuntabilitas publik. Rapat mereka berlangsung

di balik pintu yang tertutup, dengan notulasi

yang tidak lengkap, dan tidak ada mekanisme

untuk mendapatkan informasi lebih lanjut

mengenai proses pengambilan keputusan

mereka. Peraturan FATF gagal untuk

memperhitungkan HAM-----tidak ada

perlindungan yang berarti bagi kebebasan

berserikat dan berekspresi.32 Akibatnya, negara-

negara yang menerapkan peraturan FATF

berisiko melegitimasi penindasan NGO dan

masyarakat sipil.33

Setelah melakukan pengujian terhadap

pengaruh regulasi FATF di hampir 160 negara,

laporan tersebut menemukan bahwa aturan

31 Ben Hayes, “Counter-terrorism, ‘Policy Laundering’ and the FATF: Legalising Surveillance, Regulating Civil Society”, Amsterdam/London: Transnational Institute and Statewatch, 2012 32https://www.opensocietyfoundations.org/voices/obscure-global-organization-s-unwittingly-undermining-civil-society 33 http://fatfplatform.org/wp-content/uploads/2015/07/Catalogue-of-governmentoverregulation-July-2015_final-edited.pdf

Page 22: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

22

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

FATF telah digunakan oleh beberapa

pemerintah sebagai ‘‘instrument untuk

membatasi ruang masyarakat sipil… kebebasan

untuk mengakses dan mendistribusikan sumber

daya keuangan untuk pembangunan, resolusi

konflik, dan pekerjaan-pekerjaan kemanusiaan

lainnya.’’34

Pada bulan April 2013, Laporan dari

Utusan Khusus PBB atas hak kebebasan untuk

berasosiasi, Maina Kiai, memberikan perhatian

khusus pada hukum dan regulasi yang

membungkan kebebasan bermajelis dan

berasosiasi di seluruh dunia. Laporan tersebut

34 Ben Hayes, “Counter-terrorism, Policy Laundering and the FATF”

berfokus pada akses kepada sumber daya

keuangan untuk kelompok masyarakat sipil dan

hak untuk membuat perserikatan yang damai.

Laporan tersebut menyorot rekomendasi

VIII FATF tentang organisasi non profit

(NPO). Menurut laporan tersebut, FATF

‘‘gagal memberikan ukuran yang spesifik untuk

melindungi sektor masyarakat sipil dari

pembatasan-pembatasan akan hak mereka

untuk bebas berserikat…’’35

Yang terjadi saat ini adalah hukum dan

kebijakan internasional dengan jaringan global

yang diubah menjadi aturan dan regulasi

nasional. Dalam kesimpulan Ben Hayes, FATF

telah memberi jalan bagi dilakukannya ‘‘policy

laundering’’, pencucian kebijakan dengan

melegitimasi tindakan represi dan koersi

melalui pengabsahan regulasi NPO paling

represif di dunia, dan memberikan cek kosong

kepada rezim represif untuk membuat undang-

undang yang bisa membatasi ruang politik di

mana lembaga non pemerintah dan masyarakat

sipil beroperasi.36

35http://www.ohchr.org/Documents/HRBodies/HRCouncil/RegularSession/Session23/A.HRC.23.39_EN.pdf 36 http://www.statewatch.org/analyses/no-171-fafp-report.pdf

Peraturan FATF gagal untuk

memperhitungkan HAM----tidak

ada perlindungan yang berarti bagi

kebebasan berserikat dan

berekspresi. Akibatnya, negara-

negara yang menerapkan peraturan

FATF berisiko melegitimasi

penindasan NGO dan masyarakat

sipil.

Page 23: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

23

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

Karena jaringannya semakin meluas secara

global, kekuasaan pejabat negara, penuntut, dan

investigator berada dalam tingkat yang cukup

tinggi, sedang pada saat yang sama jaminan

untuk mereka yang tertuduh, terdakwa, dan

‘‘komunitas yang dicurigai’’ seringkali tidak

diperhatikan. Mereka yang menjadi korban

dalam jaringan global ini antara lain adalah

lembaga kemanusiaan, organisasi

pembangunan, lembaga non pemerintah,

pembela hak asasi manusia, pengelola

komunitas, mediator konflik, dan mereka yang

pekerjaannya dihambat atau dilumpuhkan

dengan regulasi yang sangat berat atau manuver

hukum yang bermotif politik.

Yang dimaksud dengan konsep ‘‘policy

laundering’’ adalah penggunaan forum antar

pemerintah oleh pemerintah satu negara sebagai

sarana tidak langsung untuk mendorong

kebijakan internasional yang sulit dimenangkan

jika kebijakan tersebut dibuat dengan

menggunakan pendekatan langsung melalui

proses politik reguler di dalam negeri.37 Teknik

ini menjadi salah satu alat utama pemerintah 37 Imran Hosein, “On International Policy Dynamics: Challenges for Civil Society” in Spreading the Word on the Internet. Vienna: Organisation for Security and Cooperation in Europe, 2003, http://www.osce.org/fom/13871.

untuk mengatasi beberapa keluhan mengenai

pelanggaran hak kebebasan sipil hingga

kebijakan-kebijakan lain yang cenderung

mengabaikan privasi atas nama ‘perang

melawan teror’.38

Fitur penting dalam policy laundering

adalah forum shifting, yang terjadi saat

beberapa aktor berusaha untuk mendapatkan

peran dalam organisasi internasional yang sesuai

dengan tujuan dan kepentingan mereka.

Beberapa contoh kebijakan kontroversial yang

‘dicuci’ atas nama perang melawan teror adalah

tindakan pengawasan telekomunikasi,

pengawasan pergerakan orang, dan

diberlakukannya sistem identifikasi biometrik

(terutama fingerprinting).

Kisah pelanggaran hak asasi manusia yang

paling masyhur adalah penjara Guantanamo,

program rendisi CIA dan penyiksaan yang

digunakan secara meluas atas nama ‘‘perang

melawan teror’’. Bingkai kontraterorisme secara

bertahap melekat pada setiap aturan dan praktik

internasional. Pekerjaan dari badan

internasional yang mengembangkan dan

38 Policy Laundering Project, ”The Problem of Policy Laundering, 2005 http://www.policylaundering.org/PolicyLaunderingIntro.html.

Page 24: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

24

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

mengimplementasikan aturan tersebut

dibentengi dari penelitian publik. ‘‘Komunitas

internasional’’ menerima aturan tersebut tanpa

kritikan sama sekali. Di sisi lain, kebijakan

eksepsional yang mereka buat pasca peristiwa

11 September justru kini menjadi norma baru.

Laporan dari Statewatch dan Transnational

Institute menyatakan bahwa banyak standar

global kontraterorisme dibuat oleh pemerintah

AS dan kemudian diadopsi oleh PBB, G7/G8,

IMF, Bank Dunia. Setelah itu, standar tersebut

disebarkan melalui badan-badan regional

seperti FATF sebelum akhirnya diadopsi

menjadi regulasi dan hukum yang mengikat

kepada negara-negara anggota. Sayangnya,

sekumpulan kebijakan yang tidak akuntabel

tersebut tidak pernah mendapatkan perhatian

kritis dari publik.

Jika tidak ada reformasi dan perbaikan,

legislasi kontraterorisme akan terus menjadi

dalih bagi restriksi ruang politik di mana publik

seharusnya memiliki kebebasan untuk

mengorganisir, mendebat, melakukan

kampanye, memprotes, dan berusaha

mempengaruhi atau melakukan kontrol

terhadap pihak yang memerintah mereka.39

39 http://www.statewatch.org/analyses/no-171-fafp-report.pdf

“Banyak standar global

kontraterorisme dibuat oleh

pemerintah AS dan kemudian

diadopsi oleh PBB, G7/G8, IMF,

Bank Dunia. Setelah itu, standar

tersebut disebarkan melalui badan-

badan regional seperti FATF

sebelum akhirnya diadopsi menjadi

regulasi dan hukum yang mengikat

kepada negara-negara anggota.”

Page 25: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

25

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

Rezim Pemaksaan Global

Jika konsep ‘policy laundering’ menjelaskan

tentang teknik yang digunakan oleh pemerintah

nasional untuk mempengaruhi agenda

organisasi antar pemerintah, konsep rezim

pemaksaan global bisa membantu untuk

menjelaskan motif dan hasil dari kerjasama

kontraterorisme. Disokong oleh hukum dan

konvensi internasional, rezim pemaksaan global

didesain untuk mengkriminalisasi perilaku

tertentu pada level internasional dan untuk

memudahkan ruang gerak investigasi dan

penuntutan di seluruh dunia.40 Rezim tersebut

mewajibkan kepada negara anggota untuk

mengkriminalisasi aksi tertentu, memfasilitasi

investigasi lintas perbatasan, dan membantu

dalam melakukan tuntutan dengan cara

memberikan bukti dan/atau mengekstradisi

tersangka.

Pada awal perang melawan terorisme,

pemerintah Bush berusaha mengelak dari

hukum internasional dengan terus

mengarahkan berbagai agenda organisasi antar

40 Transnational Institute (2005) ‘Global Enforcement Regimes Transnational Organised Crime, International Terrorism and Money Laundering’, TNI Crime and Globalisation seminar, Amsterdam, 28-29 April 2005, http://www.tni.org/crime-docs/enforce.pdf.

Pasca Serangan 11 September,

organisasi antar pemerintah

mulai mengembangkan dan

menguatkan rezim pemaksaan

global dengan menggunakan

‘soft law’ (resolusi, prinsip,

panduan, dll), yang bisa

disepakati dan diratifikasi secara

lebih cepat dibanding konvensi

antar pemerintah tradisional,

yang seringkali membutuhkan

waktu bertahun-tahun untuk

disepakati. Para akademisi

menyebut proses ini sebagai

‘pemaksaan secara keras melalui

aturan yang lunak’.

Page 26: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

26

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

pemerintah untuk melegitimasi dan

mengakomodir elemen-elemen kunci dari

strategi kontraterorismenya dalam aturan dan

kebijakan internasional. Amerika Serikat

memegang kepemimpinan, misalnya, dalam

mengembangkan rezim internasional yang

mengatur pencegahan pendanaan terorisme dan

pem-blacklist-an teroris, memberikan bantuan

teknis dalam meningkatkan kontraterorisme di

negara berkembang, serta berbagai mekanisme

pengawasan, termasuk data biometrik

penumpang pesawat terbang.

Negara G8 dan Uni Eropa menjadi partner

kunci dalam perang melawan teror bukan

karena mereka bisa memberikan bantuan yang

berarti dalam melacak pelaku serangan 11

September, tapi lebih karena mereka memiliki

pengaruh dalam penentuan standar global.41

Pasca Serangan 11 September, organisasi antar

pemerintah mulai mengembangkan dan

menguatkan rezim pemaksaan global dengan

menggunakan ‘soft law’ (resolusi, prinsip,

panduan, dll), yang bisa disepakati dan

diratifikasi secara lebih cepat dibanding

konvensi antar pemerintah tradisional, yang

41Rees, W. (2006) Transatlantic Counterterrorism Co-operation: The New Imperative. London: Routledge.

seringkali membutuhkan waktu bertahun-tahun

untuk disepakati. Para akademisi menyebut

proses ini sebagai ‘pemaksaan secara keras

melalui aturan yang lunak’.42

Kesimpulan

Selama 14 tahun terakhir, pemerintah AS

telah merusak hukum internasional dengan

menyatakan bahwa dalam memerangi teroris,

aturan tidak berlaku. Argumen ini pada

dasarnya cacat dan sangat berbahaya. Di Suriah,

Bashar al-Assad juga telah merobek hukum

perang dengan mengklaim bahwa semua boleh

dalam memerangi teroris. Empat tahun telah

berlalu dan 250.000 orang telah tewas-----

masyarakat internasional masih tetap lumpuh

soal Suriah dan serangan terhadap rumah sakit

dan pembunuhan dokter telah menjadi norma

baru di negara ini.43

AS harus bertanggung jawab dalam

meruntuhkan hukum yang dengan penuh

kehati-hatian dirancang dan diterapkan selama

puluhan tahun dalam upaya untuk melindungi

42Scheiber, C. (2006) ‘Hard Coercion through Soft Law? The Case of the International Anti-Money Laundering Regime’, Paper presented at the annual meeting of the International Studies Association, San Diego, 22 Maret 2006. 43 http://physiciansforhumanrights.org/blog/its-about-civilian-protection.html

Page 27: Perang Pun Ada Aturannya - 37.187.53.9537.187.53.95/uploads/Syamina_Lapsus03012016.pdfteroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan

27

Laporan Khusus | 03/Januari 2016 

warga sipil dari neraka perang. Tapi di

Afghanistan, Gaza, Irak, Suriah, Yaman, dan

banyak zona konflik lainnya, warga sipil lah

yang menderita karena pemerintah mengklaim

pengecualian pada hukum.44

‘‘Cukup, bahkan perang pun ada aturannya’’

adalah kulminasi dari sebuah kekecewaan

mendalam atas peristiwa yang terus berulang.

Perang global melawan terorisme telah

mengancam etika dasar dari hukum

kemanusiaan internasional (IHL), yaitu

perlindungan layanan kesehatan bagi seluruh

pihak yang terluka. Kebijakan kontraterorisme

saat ini banyak yang bertentangan dengan

beberapa perlindungan yang dijamin dalam

IHL.

Banyak organisasi kemanusiaan yang

bekerja keras untuk membantu menyelamatkan

nyawa mereka yang menjadi korban dalam

konflik. Mereka berusaha menjangkau jutaan

orang yang tak beruntung di seluruh dunia,

yang seharusnya tidak boleh kita lupakan dan

abaikan. Untuk itu, mereka rela

mempertaruhkan nyawanya, kebebasannya, dan

menempatkan diri mereka dalam bahaya untuk

44 Idem

membantu sesama. Itulah mengapa mereka

sering dijuluki sebagai warriors without

weapons, ksatria tanpa senjata. Dan kini, para

ksatria tersebut menghadapi sebuah dilema dan

ancaman: membantu mereka yang

membutuhkan, dengan risiko dibunuh atau

dihukum dengan tuduhan terkait dengan

terorisme, atau membiarkan mereka yang

membutuhkan sendiri tanpa pertolongan.

Paling tidak, tindakan kemanusiaan mereka

masih membuktikan bahwa dunia masih punya

hati.