88
1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIKKA NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIKKA, Menimbang : a. bahwa dengan dilakukannya beberapa kali perubahan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, maka Peraturan Daerah Kabupaten Sikka Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah perlu dilakukan penyesuaian; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah; Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II dalam Wilayah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIKKA TENTANG POKOK … filePerbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Embed Size (px)

Citation preview

1

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIKKA

NOMOR 5 TAHUN 2012

TENTANG

POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SIKKA,

Menimbang : a. bahwa dengan dilakukannya beberapa kali perubahan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006

tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006

tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, maka

Peraturan Daerah Kabupaten Sikka Nomor 7

Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan

Keuangan Daerah perlu dilakukan penyesuaian;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Peraturan

Daerah tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan

Daerah;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang

Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II dalam Wilayah

2

Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat

dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655);

3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang

Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab

Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4400);

6. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4421);

7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)

sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir

dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4844);

3

8. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4438);

9. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5043);

10. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5234);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang

Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 90,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4416), sebagaimana telah diubah beberapa kali

terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21

Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan

Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 47, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang

Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005

Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4502);

4

13. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang

Standar Akuntansi Pemerintah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 49,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4503) ;

14. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang

Pinjaman Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2005 Nomor 136, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4574);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang

Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2005 Nomor 137, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575) ;

16. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang

Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4576);

17. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 tentang

Hibah Kepada Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2005 Nomor 139, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4577);

18. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);

19. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang

Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar

Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2005 Nomor 150, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4585);

20. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang

Laporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006

5

Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4614);

21. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang

Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4829);

22. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang

Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2010 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5104);

23. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006

tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

sebagaimana telah diubah beberapa kali

terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006

tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011

Nomor 310);

24. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007

tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang

Daerah;

25. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011

tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita

Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 694);

26. Peraturan Daerah Kabupaten Sikka Nomor 28

Tahun 2007 tentang Urusan Pemerintahan yang

Menjadi Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten

Sikka (Lembaran Daerah Kabupaten Sikka Tahun 2007

Nomor 28 Seri F Nomor 21, Tambahan Lembaran

Daerah Kabupaten Sikka Nomor 36);

6

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SIKKA

dan

BUPATI SIKKA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG POKOK-POKOK

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

1. Daerah adalah Kabupaten Sikka.

2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Sikka.

3. Bupati adalah Bupati Sikka.

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD

adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sikka.

5. Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Daerah Kabupaten Sikka.

6. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah

perangkat daerah selaku pengguna anggaran/pengguna barang.

7. Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam

rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan

uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan

dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.

8. Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang

meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,

pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.

9. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat

APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang

dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan

ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

7

10. Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat

SKPKD adalah perangkat daerah selaku pengguna anggaran/pengguna

barang, yang juga melaksanakan pengelolaan keuangan daerah.

11. Pemegang Kekuasaan Umum Pengelolaan Keuangan Daerah adalah

Bupati yang karena jabatannya mempunyai kewenangan

menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan Daerah.

12. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat PPKD

adalah Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah yang

selanjutnya disebut dengan Kepala SKPKD yang mempunyai tugas

melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagai Bendahara

Umum Daerah.

13. Bendahara Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BUD adalah PPKD

yang bertindak dalam kapasitas sebagai Bendahara Umum Daerah.

14. Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan

anggaran untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi SKPD yang

dipimpinnya.

15. Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan

barang milik daerah.

16. Kuasa BUD adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan

sebagian tugas BUD.

17. Kuasa Pengguna Anggaran adalah pejabat yang diberi kuasa untuk

melaksanakan sebagian kewenangan pengguna anggaran dalam

melaksanakan sebagian tugas dan fungsi SKPD.

18. Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD yang selanjutnya disingkat PPK-

SKPD adalah pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha Keuangan

pada SKPD.

19. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan yang selanjutnya disingkat PPTK

adalah pejabat pada unit kerja SKPD yang melaksanakan satu

atau beberapa kegiatan dari suatu program sesuai dengan bidang

tugasnya.

20. Bendahara Penerimaan adalah pejabat fungsional yang ditunjuk untuk

menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan dan

mempertanggungjawabkan uang pendapatan daerah dalam rangka

pelaksanaan APBD pada SKPD.

8

21. Bendahara Pengeluaran adalah pejabat fungsional yang ditunjuk untuk

menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan dan

mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja daerah dalam

rangka pelaksanaan APBD pada SKPD.

22. Entitas pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri atas satu atau

lebih entitas akuntansi yang menurut ketentuan Peraturan Perundang-

undangan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa

laporan keuangan.

23. Entitas akuntansi adalah unit pemerintahan pengguna

anggaran/pengguna barang dan oleh karenanya wajib menyelenggarakan

akuntansi dan menyusun laporan keuangan untuk digabungkan pada

entitas pelaporan.

24. Unit kerja adalah bagian dari SKPD yang melaksanakan satu atau

beberapa program.

25. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya

disingkat RPJMD adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima)

tahun.

26. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah, selanjutnya disebut Rencana

Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) adalah dokumen perencanaan daerah

untuk periode 1 (satu) tahun.

27. Tim Anggaran Pemerintah Daerah yang selanjutnya disingkat TAPD

adalah tim yang dibentuk dengan Keputusan Bupati dan dipimpin oleh

Sekretaris Daerah yang mempunyai tugas menyiapkan serta

melaksanakan kebijakan Bupati dalam rangka penyusunan APBD yang

anggotanya terdiri dari pejabat perencana daerah, PPKD dan pejabat lain

sesuai kebutuhannya.

28. Kebijakan Umum APBD yang selanjutnya disingkat KUA adalah

Dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja dan

pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 (satu)

tahun.

29. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara yang selanjutnya disingkat

PPAS adalah rancangan program prioritas dan patokan batas maksimal

anggaran yang diberikan kepada SKPD untuk setiap program

sebagai acuan dalam penyusunan RKA-SKPD sebelum disepakati dengan

DPRD.

9

30. Rencana Kerja dan Anggaran SKPD yang selanjutnya disingkat RKA-

SKPD adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi

rencana pendapatan, rencana belanja program dan kegiatan SKPD

sebagai dasar penyusunan APBD.

31. Rencana Kerja dan Anggaran Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang

selanjutnya disingkat RKA-PPKD adalah rencana kerja dan anggaran

DPPKAD selaku BUD.

32. Kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau

telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan

kuantitas dan kualitas yang terukur.

33. Fungsi adalah perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu

yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan

nasional.

34. Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi

hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan

yang mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi

kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan

dan mensejahterakan masyarakat.

35. Program adalah penjabaran kebijakan SKPD dalam bentuk upaya

yang berisi satu atau lebih kegiatan dengan menggunakan sumber

daya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai misi

SKPD.

36. Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau

lebih unit kerja pada SKPD sebagai bagian dari pencapaian sasaran

terukur pada suatu program dan terdiri dari sekumpulan tindakan

pengerahan sumber daya baik yang berupa personil (sumber daya

manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana atau

kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumber daya tersebut

sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam

bentuk barang/jasa.

37. Sasaran (target) adalah hasil yang diharapkan dari suatu program atau

keluaran yang diharapkan dari suatu kegiatan.

38. Keluaran (output) adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh kegiatan

yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan

program dan kebijakan.

10

39. Hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya

keluaran dari kegiatan-kegiatan dalam satu program.

40. Kas Umum Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang

ditentukan oleh Bupati untuk menampung seluruh penerimaan daerah

dan digunakan untuk membayar seluruh pengeluaran daerah.

41. Rekening Kas Umum Daerah adalah rekening tempat penyimpanan uang

daerah yang ditentukan oleh Bupati untuk menampung seluruh

penerimaan daerah dan digunakan untuk membayar seluruh

pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan.

42. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.

43. Pengeluaran Daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.

44. Pendapatan Daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai

penambah nilai kekayaan bersih.

45. Belanja Daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai

pengurang nilai kekayaan bersih.

46. Surplus Anggaran Daerah adalah selisih lebih antara pendapatan daerah

dan belanja daerah.

47. Defisit Anggaran Daerah adalah selisih kurang antara pendapatan

daerah dan belanja daerah.

48. Pembiayaan daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar

kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada

tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun

anggaran berikutnya.

49. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disingkat SiLPA

adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran

selama satu periode anggaran.

50. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah

menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang

dari pihak lain sehingga daerah dibebani kewajiban untuk membiayai

kembali.

51. Piutang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada

pemerintah daerah dan/atau hak pemerintah daerah yang dapat dinilai

dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan

Peraturan Perundang-undangan atau akibat lainnya yang sah.

11

52. Utang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar pemerintah

daerah dan/atau kewajiban pemerintah daerah yang dapat dinilai

dengan uang berdasarkan Peraturan Perundang-undangan, perjanjian

atau berdasarkan sebab lainya yang sah.

53. Dana Cadangan adalah dana yang disisihkan guna mendanai kegiatan

yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam

satu tahun anggaran.

54. Investasi adalah penggunaan asset untuk memperoleh manfaat ekonomis

seperti bunga, deviden, royalty, manfaat sosial dan/atau manfaat lainnya

sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam rangka

pelayanan kepada masyarakat.

55. Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD yang selanjutnya disingkat DPA-

SKPD adalah dokumen yang memuat pendapatan dan belanja yang

digunakan sebagai dasar pelaksanaan anggaran oleh pengguna

anggaran.

56. Dokumen Pelaksanaan Anggaran Pejabat Pengelola Keuangan Daerah

yang selanjutnya disingkat DPA-PPKD adalah dokumen pelaksanaan

anggaran DPPKAD selaku BUD.

57. Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran SKPD yang selanjutnya

disingkat DPPA-SKPD adalah dokumen yang memuat perubahan

pendapatan dan belanja yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan

perubahan anggaran oleh pengguna anggaran.

58. Dokumen Pelaksanaan Anggaran Lanjutan yang selanjutnya disingkat

DPAL adalah dokumen yang memuat sisa belanja tahun sebelumnya

sebagai dasar pelaksanaan anggaran tahun berikutnya.

59. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk yang

bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk

mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan

kegiatan dalam setiap periode.

60. Surat Penyediaan Dana yang selanjutnya disingkat SPD adalah dokumen

yang menyatakan tersedianya dana untuk melaksanakan kegiatan

sebagai dasar penerbitan SPP.

61. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah

dokumen yang diterbitkan oleh pejabat yang bertanggung jawab atas

12

pelaksanaan kegiatan/bendahara pengeluaran untuk mengajukan

permintaan pembayaran.

62. SPP Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-UP adalah

dokumen yang diajukan oleh bendahara pengeluaran untuk permintaan

uang muka kerja yang bersifat pengisian kembali (revolving) yang tidak

dapat dilakukan dengan pembayaran langsung.

63. SPP Ganti Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-GU adalah

dokumen yang diajukan oleh bendahara pengeluaran untuk permintaan

pengganti uang persediaan yang tidak dapat dilakukan dengan

pembayaran langsung.

64. SPP Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-TU

adalah dokumen yang diajukan oleh bendahara pengeluaran untuk

permintaan tambahan uang persediaan guna melaksanakan kegiatan

SKPD yang bersifat mendesak dan tidak dapat digunakan untuk

pembayaran langsung dan uang persediaan.

65. SPP Langsung yang selanjutnya disingkat SPP-LS adalah dokumen yang

diajukan oleh bendahara pengeluaran untuk permintaan pembayaran

langsung kepada pihak ketiga atas perjanjian kontrak kerja atau surat

perintah kerja lainnya dan pembayaran gaji dengan jumlah, penerima,

peruntukan dan waktu pembayaran tertentu yang dokumennya

disiapkan oleh PPTK.

66. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah

dokumen yang digunakan/diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa

pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pengeluaran

DPA-SKPD.

67. Surat Perintah Membayar Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat

SPM-UP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pengguna

anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban

pengeluaran DPA-SKPD yang dipergunakan sebagai uang persediaan

untuk mendanai kegiatan.

68. Surat Perintah Membayar Ganti Uang Persediaan yang selanjutnya

disingkat SPM-GU adalah dokumen yang diterbitkan oleh pengguna

anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban

pengeluaran DPA-SKPD yang dananya dipergunakan untuk mengganti

uang persediaan yang telah dibelanjakan.

13

69. Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya

disingkat SPM-TU adalah dokumen yang diterbitkan oleh pengguna

anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban

pengeluaran DPA-SKPD, karena kebutuhan dananya melebihi dari

jumlah batas pagu uang persediaan yang telah ditetapkan sesuai dengan

ketentuan.

70. Surat Perintah Membayar Langsung yang selanjutnya disingkat SPM-LS

adalah dokumen yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa

pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pengeluaran

DPA-SKPD kepada pihak ketiga.

71. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah

dokumen yang digunakan sebagai dasar pencairan dana yang diterbitkan

oleh BUD berdasarkan SPM.

72. Barang Milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh

atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

73. Kerugian Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang

yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan

hukum baik sengaja maupun lalai.

74. Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah

SKPD/unit kerja pada SKPD di lingkungan pemerintah daerah yang

dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa

penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan

mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan

pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

75. Kegiatan Tahun Jamak adalah kegiatan yang dianggarkan dan

dilaksanakan untuk masa lebih dari 1 (satu) tahun anggaran yang

pekerjaannya dilakukan melalui kontrak tahun jamak.

76. Bantuan Operasional Sekolah yang selanjutnya disingkat BOS

merupakan dana yang digunakan terutama untuk biaya non personalia

bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksanaan program wajib

belajar, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

14

BAB II

RUANG LINGKUP

Pasal 2

Ruang lingkup pengelolaan keuangan daerah meliputi:

a. hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta

melakukan pinjaman;

b. kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah

dan membayar tagihan pihak ketiga;

c. penerimaan daerah;

d. pengeluaran daerah;

e. kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang,

surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai

dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan

daerah; dan

f. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka

penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan

umum.

Pasal 3

Pengelolaan keuangan daerah yang diatur dalam peraturan daerah ini

meliputi kedudukan, wewenang, hak dan kewajiban DPRD dan Bupati

dalam pengelolaan keuangan daerah, kekuasaan pengelolaan

keuangan daerah, azas umum dan struktur APBD, penyusunan

rancangan APBD, penetapan APBD, pelaksanaan APBD, laporan

realisasi semester pertama APBD dan perubahan APBD, penatausahaan

keuangan daerah, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pengendalian

defisit anggaran dan penggunaan surplus APBD, pengelolaan keuangan

dan kekayaan daerah, pembinaan dan pengawasan pengelolaan

keuangan daerah, penyelesaian kerugian daerah, pengelolaan keuangan

BLUD dan pengaturan pengelolaan keuangan daerah.

15

BAB III

AZAS UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

Pasal 4

(1) Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-

undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan dan bertanggung jawab

dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan dan manfaat untuk

masyarakat.

(2) Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dalam suatu sistem yang

terintegrasi yang diwujudkan dalam APBD yang setiap tahun ditetapkan

dengan peraturan daerah.

Pasal 5

APBD merupakan wujud kristalisasi aspirasi daerah yang disusun secara

terencana, dengan berorientasi pada kinerja, yang menjadi dasar

pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu.

Pasal 6

(1) Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas

minimal yang terukur secara rasional untuk setiap sumber pendapatan

daerah.

(2) Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas

maksimal, untuk setiap jenis belanja yang bersangkutan.

(3) Pemerintah daerah dilarang melakukan pengeluaran/belanja atas beban

APBD jika untuk belanja tersebut tidak ada atau tidak cukup tersedia

anggarannya, atau untuk tujuan lain selain yang ditetapkan dalam

APBD.

(4) SiLPA APBD dapat dialokasikan sebagian atau seluruhnya untuk

dana cadangan.

16

Pasal 7

(1) Dalam pengelolaan keuangan daerah fungsi pengawasan dibedakan

dengan fungsi pemeriksaan.

(2) Fungsi pengawasan merupakan alat pengendalian yang lebih bersifat

preventif dan represif yang ditujukan untuk meningkatkan daya guna

dan hasil guna anggaran.

(3) Fungsi pemeriksaan merupakan fungsi penilaian independen yang

dilakukan oleh badan/orang yang berkompeten atas setiap aktivitas

penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Pasal 8

Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran harus didukung dengan

adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup.

Pasal 9

(1) Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja sama pembiayaan antar

Kabupaten/kota dan/atau kabupaten dengan Pemerintah

Provinsi/Pemerintah Pusat maupun pihak lain dalam menunjang

percepatan, efisiensi, dan efektivitas pelaksanaan kegiatan di bidang

pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat dengan

persetujuan DPRD.

(2) Pemerintah Daerah dapat melakukan investasi dalam bentuk penyertaan

modal deposito atau bentuk investasi lainnya sepanjang hal tersebut

memberi manfaat bagi daerah maupun untuk peningkatan pelayanan

masyarakat dan tidak mengganggu likuiditas keuangan pemerintah

daerah.

Pasal 10

(1) Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan

desentralisasi dicatat dan dikelola dalam APBD.

17

(2) Semua transaksi keuangan daerah baik penerimaan maupun

pengeluaran dilaksanakan melalui Kas Umum Daerah.

Pasal 11

Penatausahaan keuangan daerah didasarkan atas Standar Akuntansi

Pemerintahan yang berlaku.

BAB IV

KEDUDUKAN, WEWENANG, HAK DAN KEWAJIBAN

DPRD DAN BUPATI DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

Pasal 12

(1) DPRD dalam kedudukannya sebagai lembaga legislatif di daerah

mempunyai kewenangan, hak dan kewajiban dalam pengelolaan

keuangan daerah.

(2) Kewenangan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. bersama Bupati menetapkan KUA dan PPAS sebagai landasan

penyusunan RKA-SKPD;

b. membahas rancangan peraturan daerah tentang APBD berikut

lampirannya sebelum memberikan persetujuan untuk ditetapkan

menjadi peraturan daerah; dan

c. melakukan pengawasan atas pelaksanaan APBD melalui mekanisme

meminta keterangan kepada pemerintah daerah.

(3) Hak DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. mengadakan penyelidikan atas hal-hal tertentu sesuai fungsi DPRD

dalam pengawasan pengelolaan keuangan daerah;

b. melakukan perubahan atas Rancangan Peraturan Daerah tentang

APBD;

c. menentukan anggaran belanja DPRD sebagai bagian yang tidak

terpisahkan dari APBD; dan

d. meminta dan menilai Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati

atas pelaksanaan APBD.

18

(4) Kewajiban DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah

melakukan penjaringan aspirasi masyarakat sebagai landasan proses

penyusunan KUA dan menyampaikan informasi tentang kebijakan APBD

kepada masyarakat.

Pasal 13

Pelaksanaan kewenangan, hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 12 dilaksanakan atas dasar profesionalisme kerja.

Pasal 14

(1) Dalam melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya, DPRD

diberikan penghasilan tetap, tunjangan kesejahteraan dan belanja

penunjang kegiatan yang dianggarkan dalam APBD berdasarkan

peraturan perundang-undangan dan disesuaikan dengan kondisi dan

kemampuan keuangan daerah.

(2) Anggaran Belanja DPRD merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

APBD.

(3) Sekretaris DPRD bertugas menyusun belanja DPRD yang terdiri dari

belanja pimpinan dan anggota DPRD serta melaksanakan pengelolaan

keuangan DPRD.

(4) Kedudukan keuangan pimpinan dan anggota DPRD diatur dengan

Peraturan Daerah.

Pasal 15

(1) Bupati dan Wakil Bupati, karena jabatannya, dalam melaksanakan

tugasnya diberikan gaji dan tunjangan lainnya, biaya operasional dan

biaya penunjang operasional yang besarnya disesuaikan dengan

Peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Anggaran Belanja Bupati dan Wakil Bupati merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari APBD.

(3) Kedudukan Keuangan Bupati dan Wakil Bupati diatur dengan Peraturan

Daerah.

19

BAB V

KEKUASAAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

Bagian Kesatu

Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah

Pasal 16

(1) Bupati selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan

pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam

kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.

(2) Pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) mempunyai kewenangan:

a. menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBD;

b. menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang daerah;

c. menetapkan kuasa pengguna anggaran/pengguna barang;

d. menetapkan bendahara penerimaan dan/atau bendahara

pengeluaran;

e. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan

penerimaan daerah;

f. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang dan

piutang daerah;

g. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang

milik daerah; dan

h. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian tagihan dan

memerintahkan pembayaran.

(3) Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilaksanakan oleh:

a. Kepala SKPKD selaku PPKD; dan

b. Kepala SKPD selaku pengguna anggaran/pengguna barang.

(4) Dalam pelaksanaan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),

Sekretaris Daerah bertindak selaku koordinator pengelolaan keuangan

daerah.

20

(5) Pelimpahan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3),

dan ayat (4), ditetapkan dengan Keputusan Bupati dengan tetap

berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan.

Bagian Kedua

Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah

Pasal 17

(1) Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 16 ayat (4) mempunyai tugas koordinasi di bidang:

a. penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan APBD;

b. penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan barang daerah;

c. penyusunan rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD;

d. penyusunan Ranperda APBD, Perubahan APBD, dan

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD;

e. tugas pejabat perencana Daerah, PPKD dan Pejabat Pengawas

Keuangan Daerah ; dan

f. penyusunan laporan keuangan daerah dalam rangka

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.

(2) Selain tugas-tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), koordinator

pengelolaan keuangan daerah juga mempunyai tugas:

a. memimpin TAPD;

b. menyiapkan pedoman pelaksanaan APBD;

c. menyiapkan pedoman pengelolaan barang daerah;

d. memberikan persetujuan pengesahan DPA-SKPD dan DPA-

PPKD/DPPA-SKPD dan DPPA-PPKD; dan

e. melaksanakan tugas-tugas koordinasi pengelolaan keuangan daerah

lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh Bupati.

(3) Koordinator pengelolaan keuangan daerah bertanggung jawab atas

pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),

kepada Bupati.

21

Bagian Ketiga

Pejabat Pengelolaan Keuangan Daerah

Pasal 18

(1) PPKD mempunyai tugas sebagai berikut :

a. menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan keuangan

daerah;

b. menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;

c. melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan

dengan peraturan daerah;

d. melaksanakan fungsi BUD;

e. menyusun laporan keuangan daerah dalam rangka

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; dan

f. melaksanakan tugas lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan

oleh Bupati.

(2) PPKD selaku BUD berwenang :

a. menyusun kebijakan dan pedoman pelaksanaan APBD;

b. mengesahkan DPA-SKPD dan DPA-PPKD/DPPA-SKPD dan DPPA-

PPKD;

c. melakukan pengendalian pelaksanaan APBD;

d. memberikan petunjuk teknis pelaksanaan sistem penerimaan dan

pengeluaran kas daerah;

e. melaksanakan pemungutan pajak daerah;

f. memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD oleh

bank dan/atau lembaga keuangan lainnya yang telah ditunjuk;

g. mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam

pelaksanaan APBD;

h. menyimpan uang daerah;

i. menetapkan SPD;

j. melaksanakan penempatan uang daerah dan

mengelola/menatausahakan investasi;

22

k. melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat pengguna

anggaran atas beban rekening kas umum daerah;

l. menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian jaminan atas

nama pemerintah daerah;

m. melaksanakan pemberian pinjaman atas nama pemerintah daerah;

n. melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah;

o. melakukan penagihan piutang daerah;

p. melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;

q. menyajikan informasi keuangan daerah;dan

r. melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta

penghapusan barang milik daerah.

Pasal 19

(1) PPKD selaku BUD menunjuk pejabat di lingkungan SKPKD selaku kuasa

BUD.

(2) Penunjukan kuasa BUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan

dengan keputusan Bupati.

(3) Kuasa BUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertugas:

a. menyiapkan anggaran kas;

b. menyiapkan SPD;

c. menerbitkan SP2D; dan

d. menyimpan seluruh bukti asli kepemilikan kekayaan daerah.

(4) Kuasa BUD selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) juga melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 18 ayat (2) huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, huruf k, huruf m,

huruf n, dan huruf o.

(5) Kuasa BUD bertanggung jawab kepada PPKD.

Pasal 20

Pelimpahan wewenang selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat

(4), dapat dilimpahkan kepada pejabat lainnya di lingkungan SKPKD.

23

Bagian Keempat

Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang

Pasal 21

Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang mempunyai tugas dan wewenang :

a. menyusun RKA-SKPD;

b. menyusun DPA-SKPD;

c. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban

anggaran belanja;

d. melaksanakan dan mengawasi anggaran SKPD yang dipimpinnya;

e. melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran;

f. melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;

g. mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam

batas anggaran yang telah ditetapkan;

h. menandatangani SPM;

i. mengelola utang dan piutang yang menjadi tanggung jawab SKPD yang

dipimpinnya;

j. mengelola barang milik daerah/kekayaan daerah yang menjadi

tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya;

k. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan SKPD yang

dipimpinnya;

l. melaksanakan tugas pengguna anggaran/pengguna barang lainnya

berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh Bupati; dan

m. bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Bupati melalui

Sekretaris Daerah.

Pasal 22

(1) Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang dalam melaksanakan

tugas dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada kepala unit

kerja pada SKPD selaku kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna

barang.

(2) Pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan

oleh Bupati atas usul kepala SKPD.

24

(3) Penetapan kepala unit kerja pada SKPD sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) berdasarkan pertimbangan tingkatan daerah, besaran SKPD,

besaran jumlah uang yang dikelola, beban kerja, lokasi, kompetensi,

rentang kendali dan/atau pertimbangan objektif lainnya.

(4) Pelimpahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

meliputi:

a. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban

anggaran belanja;

b. melaksanakan anggaran unit kerja yang dipimpinnya;

c. melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran;

d. mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam

batas anggaran yang telah ditetapkan;

e. menandatangani SPM-LS dan SPM-TU;

f. mengawasi pelaksanaan anggaran unit kerja yang dipimpinnya; dan

g. melaksanakan tugas-tugas kuasa pengguna anggaran lainnya

berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh pejabat pengguna

anggaran.

(5) Kuasa pengguna anggaran bertanggung jawab atas pelaksanaan

tugasnya kepada pengguna anggaran/pengguna barang.

(6) Dalam pengadaan barang/jasa, Kuasa Pengguna Anggaran sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), sekaligus bertindak sebagai Pejabat Pembuat

Komitmen.

(7) Dalam pengadaan barang/jasa, Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang

sebagai Pejabat Pembuat Komitmen sesuai peraturan perundang-

undangan di bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Bagian Kelima

Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan SKPD

Pasal 23

(1) Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang dalam melaksanakan

program dan kegiatan dapat menunjuk pejabat pada unit kerja SKPD

selaku PPTK.

25

(2) PPTK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas:

a. mengendalikan pelaksanaan kegiatan;

b. melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan; dan

c. menyiapkan dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan

kegiatan.

Pasal 24

(1) Penunjukan PPTK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)

berdasarkan pertimbangan kompetensi jabatan, anggaran kegiatan,

beban kerja, lokasi, dan/atau rentang kendali dan pertimbangan objektif

lainnya.

(2) PPTK bertanggung jawab kepada pejabat pengguna anggaran/kuasa

pengguna anggaran.

Bagian Keenam

Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD

Pasal 25

(1) Dalam rangka melaksanakan wewenang atas penggunaan anggaran yang

dimuat dalam DPA-SKPD, kepala SKPD menetapkan pejabat yang

melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada SKPD sebagai pejabat

penatausahaan keuangan SKPD.

(2) PPK-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas:

a. meneliti kelengkapan SPP-LS yang diajukan PPTK;

b. meneliti kelengkapan SPP-UP, SPP-GU dan SPP-TU yang diajukan oleh

bendahara pengeluaran;

c. menyiapkan SPM; dan

d. menyiapkan laporan keuangan SKPD.

(3) PPK-SKPD tidak boleh merangkap sebagai pejabat yang bertugas

melakukan pemungutan penerimaan daerah, bendahara, dan/atau

PPTK.

26

Bagian Ketujuh

Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran

Pasal 26

(1) Bupati atas usul PPKD mengangkat bendahara penerimaan untuk

melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan

anggaran pendapatan pada SKPD.

(2) Bupati atas usul PPKD mengangkat bendahara pengeluaran untuk

melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan

anggaran belanja SKPD.

(3) Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah pejabat fungsional.

(4) Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran dilarang melakukan,

baik secara langsung maupun tidak langsung, kegiatan perdagangan,

pekerjaan pemborongan dan penjualan jasa atau bertindak sebagai

penjamin atas kegiatan/pekerjaan/penjualan tersebut, serta menyimpan

uang pada suatu bank atau lembaga keuangan lainnya atas nama

pribadi.

(5) Dalam hal Pengguna Anggaran melimpahkan sebagian kewenangannya

kepada Kuasa Pengguna Anggaran, Bupati menetapkan bendahara

penerima pembantu dan bendahara pengeluaran pembantu pada unit

kerja terkait.

(6) Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran secara fungsional

bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada PPKD selaku

BUD.

BAB VI

AZAS UMUM DAN STRUKTUR APBD

Bagian Kesatu

Azas Umum APBD

Pasal 27

(1) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan

dan kemampuan pendapatan daerah.

27

(2) Penyusunan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman

kepada RKPD dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat

untuk tercapainya tujuan bernegara.

(3) APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi,

distribusi dan stabilisasi.

(4) APBD, Perubahan APBD, dan pertangungjawaban pelaksanaan APBD

setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Pasal 28

(1) Semua penerimaan dan pengeluaran daerah baik dalam bentuk uang,

barang dan/atau jasa dianggarkan dalam APBD.

(2) Jumlah pendapatan yang dianggarakan dalam APBD merupakan

perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap

sumber pendapatan.

(3) Seluruh pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah

dianggarkan secara bruto dalam APBD.

(4) Pendapatan daerah yang dianggarkan dalam APBD harus berdasarkan

pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 29

(1) Dalam penyusunan APBD, penganggaran pengeluaran harus didukung

dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang

cukup.

(2) Penganggaran untuk setiap pengeluaran APBD harus didukung dengan

dasar hukum yang melandasinya.

Pasal 30

Tahun anggaran APBD meliputi masa 1 (satu) tahun mulai tanggal 1 Januari

sampai dengan 31 Desember.

28

Bagian Kedua

Struktur APBD

Pasal 31

(1) APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri atas:

a. pendapatan daerah;

b. belanja daerah; dan

c. pembiayaan daerah.

(2) Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,

meliputi semua penerimaan uang melalui Rekening Kas Umum Daerah,

yang menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan hak daerah

dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh

daerah.

(3) Belanja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi

semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi

ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu

tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh

daerah.

(4) Pembiayaan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,

meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau

pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran

yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.

Bagian Ketiga

Pendapatan Daerah

Pasal 32

Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a,

terdiri atas:

a. PAD;

b. dana Perimbangan; dan

c. lain-lain pendapatan daerah yang sah.

29

Pasal 33

(1) PAD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf a, mencakup:

a. pajak daerah;

b. retribusi daerah;

c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan

d. lain-lain PAD yang sah.

(2) Lain-lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d

mencakup:

a. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan secara tunai

atau angsuran/cicilan;

b. hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak

dipisahkan;

c. jasa giro;

d. pendapatan bunga;

e. tuntutan ganti rugi;

f. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;

g. komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan

dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.

h. pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan.

i. pendapatan denda pajak.

j. pendapatan denda retribusi.

k. pendapatan hasil eksekusi atas jaminan.

Pasal 34

Pendapatan Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32

huruf b, meliputi:

a. dana bagi hasil;

b. dana alokasi umum; dan

c. dana alokasi khusus.

30

Pasal 35

Lain-lain pendapatan daerah yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal

32 huruf c, merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana

perimbangan, yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan

yang ditetapkan pemerintah.

Pasal 36

Hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 merupakan bantuan berupa

uang, barang dan/atau jasa yang berasal dari pemerintah, masyarakat, dan

badan usaha dalam negeri atau luar negeri yang tidak mengikat.

Bagian Keempat

Belanja Daerah

Pasal 37

(1) Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten yang terdiri dari

urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan

perundang-undangan.

(2) Belanja penyelenggaraan urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas

kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang

diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan,

kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta

mengembangkan sistem jaminan sosial.

Pasal 38

(1) Belanja daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b,

diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan, serta

jenis belanja.

(2) Klasifikasi belanja menurut organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah.

31

(3) Klasifikasi belanja menurut fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

diklasifikasikan berdasarkan urusan pemerintahan.

(4) Klasifikasi belanja berdasarkan urusan pemerintahan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3), diklasifikasikan menurut kewenangan

pemerintahan kabupaten.

(5) Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangan daerah.

(6) Klasifikasi belanja menurut jenis belanja sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), terdiri atas:

a. belanja pegawai;

b. belanja barang dan jasa;

c. belanja modal;

d. bunga;

e. subsidi;

f. hibah;

g. bantuan sosial;

h. belanja bagi hasil dan bantuan keuangan; dan

i. belanja tidak terduga.

(7) Klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan terdiri atas belanja

urusan wajib dan belanja urusan pilihan.

(8) Klasifikasi belanja menurut urusan wajib sebagaimana dimaksud pada

ayat (7) mencakup:

a. pendidikan;

b. kesehatan;

c. pekerjaan umum;

d. perumahan rakyat;

e. penataan ruang;

f. perencanaan pembangunan;

g. perhubungan;

h. lingkungan hidup;

i. pertanahan;

32

j. kependudukan dan catatan sipil;

k. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;

l. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;

m. sosial;

n. ketenagakerjaan;

o. koperasi dan usaha kecil dan menengah;

p. penanaman modal;

q. kebudayaan;

r. kepemudaan dan olah raga;

s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;

t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan

daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian;

u. ketahanan pangan;

v. pemberdayaan masyarakat dan desa;

w. statistik;

x. kearsipan;

y. komunikasi dan informatika;dan

z. perpustakaan.

(9) Klasifikasi belanja menurut urusan pilihan sebagaimana dimaksud pada

ayat (7) mencakup:

a. pertanian;

b. kehutanan;

c. energi dan sumber daya mineral;

d. pariwisata;

e. kelautan dan perikanan;

f. perdagangan;

g. industri; dan

h. ketransmigrasian.

Pasal 39

(1) belanja pegawai merupakan belanja konpensasi, dalam bentuk gaji dan

tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada pegawai

33

negeri sipil yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan.

(2) Uang representasi dan tunjangan Pimpinan dan Anggota DPRD serta gaji

dan uang tunjangan Bupati dan Wakil Bupati serta penghasilan dan

penerimaan lainnya yang ditetapkan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan dianggarkan dalam belanja pegawai.

Pasal 40

(1) Pemerintah daerah dapat memberikan tambahan penghasilan kepada

pegawai negeri sipil berdasarkan pertimbangan yang obyektif dengan

memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan memperoleh

persetujuan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

(2) Persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

pada pembahasan KUA.

(3) Tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan

dalam rangka peningkatan kesejahteraan pegawai berdasarkan beban

kerja, tempat bertugas, kondisi kerja, kelangkaan profesi, prestasi kerja,

dan/atau pertimbangan objektif lainnya.

(4) Tambahan penghasilan berdasarkan beban kerja sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) diberikan kepada pegawai negeri sipil yang

dibebani pekerjaan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang dinilai

melampaui beban kerja normal.

(5) Tambahan penghasilan berdasarkan tempat bertugas sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) diberikan kepada pegawai negeri sipil yang

dalam melaksanakan tugasnya berada di daerah memiliki tingkat

kesulitan tinggi dan daerah terpencil.

(6) Tambahan penghasilan berdasarkan kondisi kerja sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) diberikan kepada pegawai negeri sipil yang

dalam melaksanakan tugasnya berada pada lingkungan kerja yang

memiliki resiko tinggi.

(7) Tambahan penghasilan berdasarkan kelangkaan profesi sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) diberikan kepada pegawai negeri sipil yang

dalam mengemban tugas memiliki ketrampilan khusus dan langka.

34

(8) Tambahan penghasilan berdasarkan prestasi kerja sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) diberikan kepada pegawai negeri sipil yang

memiliki prestasi kerja yang tinggi dan/atau inovasi.

(9) Tambahan penghasilan berdasarkan pertimbangan objektif lainnya

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam rangka peningkatan

kesejahteraan umum pegawai, seperti pemberian uang makan.

(10) Kriteria pemberian tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 41

(1) Kegiatan pemerintah daerah yang dianggarkan pada belanja SKPD

berkenaan dapat mengikat dana anggaran:

a. untuk 1 (satu) tahun anggaran; atau

b. lebih dari 1 (satu) tahun anggaran dalam bentuk kegiatan tahun

jamak sesuai peraturan perundang-undangan.

(2) Kegiatan tahun jamak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

harus memenuhi kriteria sekurang-kurangnya:

a. pekerjaan konstruksi atas pelaksanaan kegiatan yang secara teknis

merupakan satu kesatuan untuk menghasilkan satu output yang

memerlukan waktu penyelesaian lebih dari 12 (dua belas) bulan; atau

b. pekerjaan atas pelaksanaan kegiatan yang menurut sifatnya harus

tetap berlangsung pada pergantian tahun anggaran seperti

penanaman benih/bibit, penghijauan, pelayanan perintis laut/udara,

makanan dan obat di rumah sakit, layanan pembuangan sampah dan

pengadaan jasa cleaning service.

(3) Penganggaran kegiatan tahun jamak sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) berdasarkan atas persetujuan DPRD yang dituangkan dalam nota

kesepakatan bersama antara Bupati dan DPRD.

(4) Nota kesepakatan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

ditandatangani bersamaan dengan penandatanganan nota kesepakatan

KUA dan PPAS pada tahun pertama rencana pelaksanaan kegiatan

tahun jamak.

35

(5) Nota kesepakatan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

sekurang-kurangnya memuat:

a. nama kegiatan;

b. jangka waktu pelaksanaan kegiatan;

c. jumlah anggaran; dan

d. alokasi anggaran per tahun.

(6) Jangka waktu penganggaran kegiatan tahun jamak sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) tidak melampaui akhir masa jabatan Bupati

berakhir.

Bagian Kelima

Pembiayaan Daerah

Pasal 42

(1) Pembiayaan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1)

huruf c terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran

pembiayaan.

(2) Penerimaan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mencakup:

a. SiLPA tahun anggaran sebelumnya;

b. pencairan dana cadangan;

c. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan;

d. penerimaan pinjaman; dan

e. penerimaan kembali pemberian pinjaman.

(3) Pengeluaran pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

mencakup:

a. pembentukan dana cadangan;

b. penyertaan modal pemerintah daerah;

c. pembayaran pokok utang; dan

d. pemberian pinjaman.

(4) Pembiayaan neto merupakan selisih antara penerimaan pembiayaan

dengan pengeluaran pembiayaan.

36

(5) Jumlah pembiayaan neto harus dapat menutup defisit anggaran.

Pasal 43

(1) Pemerintah daerah dapat membentuk dana cadangan dengan Peraturan

Daerah tentang dana cadangan, guna mendanai kegiatan yang

penyediaan dananya tidak dapat sekaligus/sepenuhnya dibebankan

dalam satu tahun anggaran.

(2) Peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dibahas bersamaan dengan pembahasan

rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.

(3) Dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada

rekening tersendiri.

(4) Penerimaan hasil bunga/deviden rekening dana cadangan dan

penempatan dalam portofolio dicantumkan sebagai penambah dana

cadangan berkenaan dalam daftar dana cadangan pada lampiran

rancangan peraturan daerah tentang APBD.

Pasal 44

(1) Investasi jangka pendek merupakan investasi yang dapat segera

diperjualbelikan/dicairkan, ditujukan dalam rangka manajemen kas dan

beresiko rendah serta dimiliki selama kurang dari 12 (dua belas) bulan.

(2) Investasi jangka pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup

deposito berjangka waktu 3 (tiga) bulan sampai dengan 12 (dua belas)

bulan yang dapat diperpanjang secara otomatis, pembelian Surat Utang

Negara (SUN), Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Perbendaharaan

Negara (SPN).

(3) Investasi jangka panjang digunakan untuk menampung penganggaran

investasi yang dimaksudkan untuk dimiliki lebih dari 12 (duabelas)

bulan yang terdiri dari investasi permanen dan non-permanen.

(4) Investasi jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara

lain surat berharga yang dibeli pemerintah daerah dalam rangka

mengendalikan suatu badan usaha, misalnya pembelian surat berharga

untuk menambah kepemilikan modal saham pada suatu badan usaha,

37

surat berharga yang dibeli pemerintah daerah untuk tujuan menjaga

hubungan baik dalam dan luar negeri, surat berharga yang tidak

dimaksudkan untuk dicairkan dalam memenuhi kebutuhan kas jangka

pendek.

(5) Investasi permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertujuan

untuk dimiliki secara berkelanjutan tanpa ada niat untuk

diperjualbelikan atau tidak ditarik kembali, seperti kerjasama daerah

dengan pihak ketiga dalam bentuk penggunausahaan/pemanfaatan aset

daerah, penyertaan modal daerah pada BUMD dan/atau badan usaha

lainnya dan investasi permanen lainnya yang dimiliki pemerintah daerah

untuk menghasilkan pendapatan atau meningkatkan pelayanan kepada

masyarakat.

(6) Investasi non permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertujuan

untuk dimiliki secara tidak berkelanjutan atau ada niat untuk

diperjualbelikan atau ditarik kembali, seperti pembelian obligasi atau

surat utang jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki sampai

dengan tanggal jatuh tempo, dana yang disisihkan pemerintah daerah

dalam rangka pelayanan/pemberdayaan masyarakat seperti bantuan

modal kerja, pembentukan dana secara bergulir kepada kelompok

masyarakat, pemberian fasilitas pendanaan kepada usaha mikro dan

menengah.

(7) Investasi jangka panjang pemerintah daerah dapat dianggarkan apabila

jumlah yang akan disertakan dalam tahun anggaran berkenaan telah

ditetapkan dalam peraturan daerah tentang penyertaan modal dengan

berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

(8) Penyertaan modal dalam rangka pemenuhan kewajiban yang telah

tercantum dalam peraturan daerah penyertaan modal pada tahun-tahun

sebelumnya, tidak diterbitkan peraturan daerah tersendiri sepanjang

jumlah anggaran penyertaan modal tersebut belum melebihi jumlah

penyertaan modal yang telah ditetapkan pada peraturan daerah tentang

penyertaan modal.

(9) Dalam hal pemerintah daerah akan menambah jumlah penyertaan modal

melebihi jumlah penyertaan modal yang telah ditetapkan dalam

peraturan daerah tentang penyertaan modal, dilakukan perubahan

peraturan daerah tentang penyertaan modal yang berkenaan.

38

BAB VII

PENYUSUNAN RANCANGAN APBD

Bagian Kesatu

Kebijakan Umum APBD

Pasal 45

(1) Bupati berdasarkan RKPD menyusun rancangan KUA.

(2) Penyusunan rancangan KUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berpedoman pada penyusunan APBD yang ditetapkan oleh Menteri

Dalam Negeri setiap tahun.

(3) Bupati menyampaikan rancangan KUA tahun anggaran berikutnya

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai landasan penyusunan

RAPBD kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan bulan juni tahun

anggaran berjalan.

(4) Rancangan KUA yang telah dibahas Bupati bersama DPRD dalam

pembicaraan pendahuluan RAPBD sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

selanjutnya disepakati menjadi KUA.

Bagian Kedua

Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara

Pasal 46

(1) Berdasarkan KUA yang telah disepakati, pemerintah daerah dan DPRD

membahas rancangan PPAS yang disampaikan oleh Bupati.

(2) Pembahasan PPAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

paling lambat minggu kedua bulan Juli tahun anggaran sebelumnya.

(3) KUA dan PPAS yang telah dibahas dan disepakati bersama Bupati dan

DPRD dituangkan dalam nota kesepakatan yang ditandatangani bersama

oleh Bupati dan pimpinan DPRD.

(4) Bupati berdasarkan nota kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) menerbitkan pedoman penyusunan RKA-SKPD sebagai pedoman bagi

Kepala SKPD menyusun RKA-SKPD.

39

Bagian Ketiga

Rencana Kerja dan Anggaran SKPD

dan Rencana Kerja dan Anggaran PPKD

Pasal 47

(1) Berdasarkan pedoman penyusunan RKA-SKPD sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 46 ayat (4), Kepala SKPD menyusun RKA-SKPD.

(2) RKA-SKPD disusun dengan menggunakan pendekatan penganggaran

berdasarkan prestasi kerja.

Pasal 48

(1) Penyusunan RKA-SKPD dengan pendekatan prestasi kerja dilakukan

dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran

dan hasil yang diharapkan dari kegiatan dan program termasuk efisiensi

dalam pencapaian keluaran dari hasil tersebut.

(2) Penyusunan anggaran berdasarkan prestasi kerja sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan capaian kinerja,

indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga dan

standar pelayanan minimal.

(3) Standar satuan harga sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan

dengan keputusan Bupati.

Pasal 49

RKA-SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), memuat rencana

pendapatan, belanja untuk masing-masing program dan kegiatan menurut

fungsi untuk tahun yang direncanakan, dirinci sampai dengan rincian obyek

pendapatan, belanja dan pembiayaan serta perkiraan maju untuk tahun

berikutnya.

Pasal 50

(1) Pada SKPKD disusun RKA-SKPD dan RKA-PPKD.

(2) RKA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat

program/kegiatan.

40

(3) RKA PPKD digunakan untuk menampung:

a. pendapatan yang berasal dari dana perimbangan dan pendapatan

hibah;

b. belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial,

belanja bagi hasil, belanja bantuankeuangan dan belanja tidak

terduga; dan

c. Penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan daerah.

Bagian Keempat

Penyiapan Raperda APBD

Pasal 51

(1) RKA-SKPD yang telah disusun oleh kepala SKPD sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 47 ayat (1), disampaikan kepada PPKD.

(2) RKA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selanjutnya dibahas

oleh TAPD.

(3) Pembahasan oleh TAPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

untuk menelaah:

a. kesesuaian RKA-SKPD dengan KUA, PPAS, prakiraan maju pada RKA-

SKPD tahun berjalan yang disetujui tahun lalu, dan dokumen

perencanaan lainnya;

b. kesesuaian rencana anggaran dengan standar analisis belanja,

standar satuan harga;

c. kelengkapan instrumen pengukuran kinerja yang meliputi capaian

kinerja, indikator kinerja, kelompok sasaran kegiatan, dan standar

pelayanan minimal;

d. proyeksi prakiraan maju untuk tahun anggaran berikutnya; dan

e. sinkronisasi program dan kegiatan antar RKA-SKPD.

Pasal 52

(1) PPKD menyusun rancangan Peraturan Daerah tentang APBD berikut

dokumen pendukung berdasarkan RKA-SKPD yang telah ditelaah oleh

TAPD.

41

(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas

Nota Keuangan dan Rancangan APBD.

BAB VIII

PENETAPAN APBD

Bagian Kesatu

Penyampaian dan Pembahasan Rancangan

Peraturan Daerah tentang APBD

Pasal 53

Bupati menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD kepada

DPRD disertai penjelasan dan dokumen pendukungnya pada minggu

pertama bulan Oktober tahun sebelumnya untuk dibahas dalam rangka

memperoleh persetujuan bersama.

Pasal 54

(1) Tata cara pembahasan rancangan Peraturan Daerah tentang APBD

dilakukan sesuai dengan peraturan tata tertib DPRD mengacu pada

peraturan perundang-undangan.

(2) Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menitikberatkan pada

kesesuaian antar KUA serta PPAS dengan program kegiatan yang

diusulkan dalam rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.

Bagian Kedua

Persetujuan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD

Pasal 55

(1) Pengambilan keputusan bersama DPRD dan Bupati terhadap rancangan

Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan selambat-lambatnya 1(satu)

bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.

(2) Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari Gubernur.

42

(3) Atas dasar persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

Bupati menyiapkan rancangan Peraturan Bupati tentang Penjabaran

APBD.

(4) Pengesahan terhadap rancangan Peraturan Bupati sebgaimana

dimaksud pada ayat (1), dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas)

hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.

(5) Apabila sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), belum

disahkan, rancangan Peraturan Bupati tentang APBD ditetapkan

menjadi Peraturan Bupati tentang APBD.

Pasal 56

(1) Apabila DPRD sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal

55 ayat (1), tidak mengambil keputusan bersama dengan Bupati

terhadap Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, Bupati

melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD

tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan,

yang disusun dalam rancangan Peraturan Bupati tentang APBD.

(2) Pengeluaran setinggi-tingginya untuk keperluan setiap bulan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diprioritaskan untuk belanja yang

bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib.

Bagian ketiga

Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan

Peraturan Bupati tentang Penjabaran APBD

Pasal 57

(1) Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD yang telah disetujui

bersama DPRD dan Rancangan Peraturan Bupati tentang Penjabaran

APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati paling lambat 3 (tiga) hari kerja

disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.

(2) Apabila Gubernur tidak memberikan hasil evaluasi dalam waktu 15 (lima

belas) hari sejak rancangan diterima, maka Bupati dapat menetapkan

Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD menjadi Peraturan Daerah

tentang APBD dan Rancangan Peraturan Bupati tentang penjabaran

APBD menjadi Peraturan Bupati tentang Penjabaran APBD.

43

(3) Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi Rancangan Peraturan

Daerah tentang APBD dan Rancangan Peraturan Bupati tentang

Penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati menetapkan

rancangan dimaksud menjadi Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati.

(4) Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi Rancangan Peraturan

Daerah tentang APBD dan Rancangan Peraturan Bupati tentang

Penjabaran APBD bertentangan dengan kepentingan umum dan

peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi, bupati bersama

DPRD melakukan penyempurnaan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari

terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi.

(5) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Bupati dan DPRD, dan

bupati tetap menetapkan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD

dan Rancangan Peraturan Bupati tentang Penjabaran APBD menjadi

Peraturan Daerah dan Peratuaran Bupati, Gubernur membatalkan

Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati dimaksud sekaligus

menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.

Pasal 58

(1) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 57 ayat (5), Bupati harus memberhentikan

pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya DPRD bersama Bupati

mencabut peraturan dimaksud.

(2) Pencabutan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

dilakukan dengan Peraturan Daerah tentang Pencabutan Peraturan

Daerah tentang APBD.

(3) Pelaksanaan pengeluaran atas pagu APBD tahun anggaran sebelumnya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, ditetapkan dengan Peraturan

Bupati.

Pasal 59

(1) Penyempurnaan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57

ayat (4), dilakukan Bupati bersama dengan Badan Anggaran DPRD.

(2) Hasil penyempurnaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan

oleh pimpinan DPRD.

44

(3) Keputusan pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

dijadikan dasar penetapan peraturan daerah tentan APBD.

(4) Keputusan pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (3),

dilaporkan pada sidang paripurna berikutnya.

(5) Keputusan pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4),

disampaikan kepada gubernur, paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah

keputusan tersebut ditetapkan.

Bagian keempat

Penetapan Peraturan Daerah tentang APBD dan

Peraturan Bupati tentang Penjabaran APBD

Pasal 60

(1) Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan rancangan peraturan

Bupati tentang penjabaran APBD yang telah dievaluasi ditetapkan oleh

Bupati menjadi Peraturan Daerah tentang APBD dan Peraturan Bupati

tentang Penjabaran APBD.

(2) Penetapan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan Peraturan

Bupati tentang Penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

dilakukan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember tahun anggaran

sebelumnya.

(3) Bupati menyampaikan Peraturan Daerah tentang APBD dan Peraturan

Bupati tentang Penjabaran APBD kepada Gubernur selambat-lambatnya

7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan.

BAB IX

PELAKSANAAN APBD

Bagian Kesatu

Asas Umum Pelaksanaan APBD

Pasal 61

(1) SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran belanja

daerah untuk tujuan yang tidak tersedia anggarannya, dan/atau yang

tidak cukup tersedia anggarannya dalam APBD.

45

(2) Pelaksanaan belanja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus

didasarkan pada prinsip hemat, tidak mewah, efektif, efisien dan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua

Penyiapan Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD

Pasal 62

(1) PPKD paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah APBD ditetapkan,

memberitahukan kepada semua kepala SKPD agar menyusun dan

menyampaikan rancangan DPA-SKPD.

(2) Rancangan DPA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merinci

sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program, kegiatan, anggaran yang

disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan

dana tiap-tiap satuan kerja serta pendapatan yang diperkirakan.

(3) Kepala SKPD menyerahkan rancangan DPA-SKPD yang telah disusunnya

kepada PPKD paling lambat 6 (enam) hari kerja setelah pemberitahuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan.

Pasal 63

(1) Pada SKPKD disusun DPA-SKPD dan DPA-PPKD.

(2) DPA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat

program/kegiatan.

(3) DPA-PPKD digunakan untuk menampung :

a. pendapatan yang berasal dari dana perimbangan dan pendapatan

hibah;

b. belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial,

belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan dan belanja tidak

terduga; dan

c. penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan daerah.

46

Pasal 64

(1) TAPD melakukan verifikasi rancangan DPA-SKPD dan rancangan DPA-

PPKD bersama dengan kepala SKPD dan kepala SKPKD yang

bersangkutan.

(2) Verifikasi atas rancangan DPA-SKPD dan rancangan DPA-PPKD

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselesaikan paling lambat (15)

hari kerja, sejak ditetapkannya peraturan Bupati tentang penjabaran

APBD.

(3) Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPKD

mengesahkan rancangan DPA-SKPD dan rancangan DPA-PPKD dengan

persetujuan sekretaris daerah.

(4) DPA-SKPD dan DPA-PPKD yang telah disahkan sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) disampaikan kepada kepala SKPD dan kepala SKPKD yang

bersangkutan, satuan kerja pengawasan daerah, dan BPK selambat-

lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal disahkan.

Bagian Ketiga

Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Daerah

Pasal 65

(1) Semua penerimaan daerah dilakukan melalui rekening kas umum

daerah.

(2) Bendahara penerimaan wajib menyetor seluruh penerimaannya ke

rekening kas umum daerah selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja.

(3) Setiap penerimaan harus didukung oleh bukti yang lengkap atas setoran

dimaksud.

Pasal 66

(1) SKPD dilarang melakukan pungutan selain dari yang ditetapkan dalam

Peraturan Daerah.

47

(2) SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima dan/atau

kegiatannya berdampak pada penerimaan daerah wajib mengintensifkan

pemungutan dan penerimaan tersebut.

Pasal 67

(1) Penerimaan SKPD yang merupakan penerimaan daerah tidak dapat

dipergunakan langsung untuk pengeluaran.

(2) Komisi, rabat, potongan atau penerimaan lain dengan nama dan dalam

bentuk apa pun yang dapat dinilai dengan uang, baik secara langsung

sebagai akbibat dari penjualan, tukar-menukar, hibah, asuransi

dan/atau pengadaan barang dan jasa termasuk penerimaan bunga, jasa

giro atau penerimaan lain sebagai akibat penyimpanan dana anggaran

pada bank serta penerimaan dari hasil pemanfaatan barang daerah atas

kegiatan lainnya merupakan pendapatan daerah.

(3) Semua penerimaan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila

berbentuk uang harus segera disetor ke kas umum daerah dan

berbentuk barang menjadi milik/aset daerah yang dicatat sebagai

inventaris daerah.

Pasal 68

(1) Pengembalian atas kelebihan pajak, retribusi, pengembalian tuntutan

ganti rugi dan sejenisnya dilakukan dengan membebankan pada

rekening penerimaan yang bersangkutan untuk pengembalian

penerimaan yang terjadi dalam tahun yang sama.

(2) Untuk pengembalian kelebihan penerimaan yang terjadi pada tahun-

tahun sebelumnya dibebankan pada rekening belanja tidak terduga.

Bagian Keempat

Pelaksanaan Anggaran Belanja Daerah

Pasal 69

(1) Setiap pengeluaran harus didukung oleh bukti yang lengkap dan sah

mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih.

48

(2) Pengeluaran kas yang mengakibatkan beban APBD tidak dapat

dilakukan sebelum rancangan peraturan daerah tentang APBD

ditetapkan dan ditempatkan dalam lembaran daerah.

Pasal 70

Pembayaran atas beban APBD dapat dilakukan berdasarkan SPD, atau DPA-

SKPD, atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPD.

Pasal 71

Gaji pegawai negeri sipil daerah dibebankan dalam APBD.

Pasal 72

Bendahara pengeluaran sebagai wajib pungut Pajak Penghasilan (PPh) dan

pajak lainnya, wajib menyetorkan seluruh penerimaan potongan dan pajak

yang dipungutnya ke rekening Kas Negara pada bank pemerintah atau bank

lain yang ditetapkan Menteri Keuangan sebagai bank persepsi atau pos giro

dalam jangka waktu sesuai ketentuan perundang-undangan.

Pasal 73

(1) Pelaksanaan pengeluaran atas beban APBD dilakukan berdasarkan SPM

yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran.

(2) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan

penerbitan SP2D oleh BUD/kuasa BUD.

(3) Dalam rangka pelaksanaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada

ayat (2), BUD/kuasa BUD berkewajiban untuk:

a. meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh

pengguna anggaran;

b. menguji kebenaran perhitungan tagihan atas beban APBD yang

tercantum dalam perintah pembayaran;

c. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan;

49

d. memerintah pencairan dana sebagai dasar pengeluaran daerah; dan

e. menolak pencairan dana, apabila perintah pembayaran yang

diterbitkan oleh pengguna anggaran tidak memenuhi persyaratan yang

ditetapkan.

Pasal 74

(1) Penerbitan SPM tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/atau jasa

diterima kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.

(2) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas SKPD, kepada pengguna

anggaran/kuasa penguna anggaran dapat diberikan uang persediaan

yang dikelola oleh bendahara pengeluaran.

(3) Bendahara pengeluaran melaksanakan pembayaran dari uang

persediaan yang dikelolanya setelah:

a. meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh

pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran;

b. menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam

perintah pembayaran; dan

c. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan.

(4) Bendahara pengeluaran wajib menolak perintah bayar dari pengguna

anggaran/kuasa pengguna anggaran apabila persyaratan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3), tidak dipenuhi.

(5) Bendahara pengeluaran bertanggung jawab secara pribadi atas

pembayaran yang dilaksanakannya.

Pasal 75

Bupati dapat memberikan izin pembukaan rekening untuk keperluan

pelaksanaan pengeluaran di lingkungan SKPD.

Pasal 76

Setelah tahun anggaran berakhir, Kepala SKPD selaku pengguna anggaran

dilarang menerbitkan SPM yang membebani tahun anggaran berkenaan.

50

Bagian Kelima

Pelaksanaan Anggaran Pembiayaan Daerah

Pasal 77

(1) Pengelolaan anggaran pembiayaan daerah dilakukan oleh PPKD.

(2) Semua penerimaan dan pengeluaran pembiayaan daerah dilakukan

melalui Rekening Kas Umum Daerah.

Pasal 78

(1) SiLPA tahun sebelumnya merupakan penerimaan pembiayaan yang

digunakan untuk:

a. menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil

daripada realisasi belanja;

b. mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja

langsung;

c. mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun

anggaran belum diselesaikan.

(2) Pelaksanaan kegiatan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf b didasarkan pada DPA-SKPD yang telah disahkan kembali oleh

PPKD menjadi DPA Lanjutan SKPD (DPAL-SKPD) tahun anggaran

berikutnya.

(3) Untuk mengesahkan kembali DPA-SKPD menjadi DPAL-SKPD

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala SKPD menyampaikan

laporan akhir realisasi pelaksanaan kegiatan fisik dan non-fisik maupun

keuangan kepada PPKD paling lambat pertengahan bulan Desember

tahun anggaran berjalan.

(4) Jumlah anggaran dalam DPAL-SKPD dapat disahkan setelah terlebih

dahulu dilakukan pengujian terhadap:

a. sisa DPA-SKPD yang belum diterbitkan SPD dan/atau belum

diterbitkan SP2D atas kegiatan yang bersangkutan;

b. sisa SPD yang belum diterbitkan SPP, SPM atau SP2D; atau

c. SP2D yang belum diuangkan.

51

(5) DPAL-SKPD yang telah disahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dapat dijadikan dasar pelaksanaan penyelesaian pekerjaan dan

penyelesaian pembayaran.

(6) Pekerjaan yang dapat dilanjutkan dalam bentuk DPAL memenuhi

kriteria:

a. pekerjaan yang telah ada ikatan perjanjian kontrak pada tahun

anggaran berkenaan; dan

b. keterlambatan penyelesaian pekerjaan diakibatkan bukan karena

kelalaian pengguna anggaran/pengguna barang atau rekanan, namun

karena akibat dari force major.

Pasal 79

(1) Pemindahbukuan dari rekening dana cadangan ke Rekening Kas Umum

Daerah dilakukan berdasarkan rencana pelaksanaan kegiatan, setelah

jumlah dana cadangan yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah

tentang pembentukan dana cadangan yang berkenaan mencukupi.

(2) Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling tinggi

sejumlah pagu dana cadangan yang akan digunakan untuk mendanai

pelaksanaan kegiatan dalam tahun anggaran berkenaan sesuai dengan

yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang Pembentukan Dana

Cadangan.

(3) Pemindahbukuan dari rekening dana cadangan ke rekening kas umum

daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan surat

perintah pemindahbukuan oleh Kuasa BUD atas persetujuan PPKD.

Pasal 80

(1) Penjualan kekayaan milik daerah yang dipisahkan dilakukan sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan.

(2) Pencatatan penerimaan atas penjualan kekayaan daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), didasarkan pada bukti penerimaan yang sah.

Pasal 81

(1) Penerimaan pinjaman daerah didasarkan pada jumlah pinjaman yang

akan diterima dalam tahun anggaran yang bersangkutan sesuai dengan

yang ditetapkan dalam perjanjian pinjaman berkenaan.

52

(2) Penerimaan pinjaman dalam bentuk mata uang asing dibukukan dalam

nilai rupiah.

Pasal 82

Penerimaan kembali pemberian pinjaman daerah didasarkan pada

perjanjian pemberian pinjaman daerah sebelumnya, untuk kesesuaian

pengembalian pokok pinjaman dan kewajiban lainya yang menjadi

tanggungan pihak peminjam.

Pasal 83

(1) Jumlah pendapatan daerah yang disisihkan untuk pembentukan dana

cadangan dalam tahun anggaran bersangkutan sesuai dengan jumlah

yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang Pembentukan Dana

Cadangan.

(2) Pemindahbukuan jumlah pendapatan daerah yang disisihkan yang

ditransfer dari rekening kas umum daerah ke rekening dana cadangan

dilakukan dengan surat perintah pemindahbukuan oleh kuasa BUD atas

persetujuan PPKD.

Pasal 84

Penyertaan modal pemerintah daerah dapat dilaksanakan apabila jumlah

yang akan disertakan dalam tahun anggaran berkenaan telah ditetapkan

dalam peraturan daerah tentang penyertaan modal daerah.

Pasal 85

Pembayaran pokok utang didasarkan pada jumlah yang harus dibayarkan

sesuai dengan perjanjian pinjaman dan pelaksanaannya merupakan

prioritas utama dari seluruh kewajiban pemerintah daerah yang harus

diselesaikan dalam tahun anggaran yang berkenaan.

Pasal 86

Pemberian pinjaman daerah kepada pihak lain berdasarkan Keputusan

Bupati atas persetujuan DPRD.

53

Pasal 87

Pelaksanaan pengeluaran pembiayaan penyertaan modal pemerintah

daerah, pembayaran pokok utang dan pemberian pinjaman daerah

dilakukan berdasarkan SPM yang diterbitkan oleh PPKD.

Pasal 88

Dalam rangka pelaksanaan pengeluaran pembiayaan, kuasa BUD

berkewajiban untuk:

a. meneliti kelengkapan perintah pembayaran/pemindahbukuan yang

diterbitkan oleh PPKD;

b. menguji kebenaran perhitungan pengeluaran pembiayaan yang tercantum

dalam perintah pembayaran;

c. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan; dan

d. menolak pencairan dana, apabila perintah pembayaran atas pengeluran

pembiayaan tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

BAB X

LAPORAN REALISASI SEMESTER PERTAMA APBD DAN

PERUBAHAN APBD

Bagian Kesatu

Laporan Realisasi Semester Pertama APBD

Pasal 89

(1) Pemerintah daerah menyusun laporan realisasi semester pertama APBD

dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada

DPRD selambat-lambatnya pada akhir bulan Juli tahun anggaran yang

bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPRD dan pemerintah

daerah.

54

Bagian Kedua

Perubahan APBD

Pasal 90

(1) Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan

keadaan, dibahas bersama DPRD dengan pemerintah daerah dalam

rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBD tahun anggaran

yang bersangkutan, apabila terjadi:

a. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA;

b. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran

antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja;

c. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya

harus digunakan untuk tahun berjalan;

d. keadaan darurat; dan

e. keadaan luar biasa.

(2) Dalam keadaaan darurat, pemerintah daerah dapat melakukan

pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya

diusulkan dalam rancangan perubahan APBD, dan/atau disampaikan

dalam laporan realisasi anggaran.

(3) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,

sekurang-kurangnya memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. bukan merupakan kegiatan normal dari aktivitas pemerintah daerah

dan tidak dapat diprediksikan sebelumnya;

b. tidak diharapkan terjadi secara berulang;

c. berada di luar kendali dan pengaruh pemerintah daerah; dan

d. memiliki dampak yang signifikan terhadap anggaran dalam rangka

pemulihan yang disebabkan oleh keadaan darurat.

Pasal 91

(1) Perubahan APBD hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu)

tahun anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa.

(2) Keadaan luar biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1)

huruf e adalah keadaan yang menyebabkan estimasi penerimaan

55

dan/atau pengeluaran dalam APBD mengalami kenaikan atau

penurunan lebih besar dari 50% (lima puluh persen).

Pasal 92

(1) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang

Perubahan APBD tahun anggaran yang bersangkutan untuk

mendapatkan persetujuan DPRD sebelum tahun anggaran yang

bersangkutan berakhir.

(2) Persetujuan DPRD terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum

berakhirnya tahun anggaran.

Pasal 93

Proses evaluasi dan Penetapan Rancangan Peraturan Daerah dan

Rancangan Peraturan Bupati tentang Penjabaran Perubahan APBD menjadi

Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati berlaku ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59 dan Pasal 60.

Pasal 94

(1) Pelaksanaan pengeluaran atas pendanaan keadaan darurat dan/atau

keadaan luar biasa ditetapkan dengan peraturan Bupati.

(2) Realisasi pengeluaran dan pendanaan keadaan darurat dan/atau

keadaan luar biasa dicantumkan dalam rancangan peraturan daerah

tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.

BAB XI

PENATAUSAHAAN KEUANGAN DAERAH

Bagian Kesatu

Asas Umum Penatausahaan Keuangan Daerah

Pasal 95

(1) Pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran, bendahara

penerimaan/bendahara pengeluaran dan orang atau badan yang

56

menerima atau menguasai uang/barang/kekayaan daerah, wajib

menyelenggarakan penatausahaan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

(2) Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang

berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas

beban APBD bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat

yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud.

Bagian Kedua

Pelaksanaan Penatausahaan Keuangan Daerah

Pasal 96

(1) Untuk pelaksanaan APBD, Bupati menetapkan:

a. Pejabat yang diberi wewenang menandatangani SPD;

b. Pejabat yang diberi wewenang menandatangani SPM;

c. Pejabat yang diberi wewenang mengesahkan surat

pertanggungjawaban (SPJ);

d. Pejabat yang diberi wewenang menandatangani SP2D;

e. Bendahara penerimaan/pengeluaran; dan

f. Pejabat lainnya yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan APBD.

(2) Penetapan pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan

sebelum dimulainya tahun angaran berkenan.

Pasal 97

Bendahara penerimaan dan/atau bendahara pengeluaran dalam

melaksanakan tugas-tugas kebendaharaan pada satuan kerja dalam SKPD

dapat dibantu oleh pembantu bendahara penerimaan dan/atau pembantu

bendahara pengeluaran sesuai kebutuhan dengan keputusan kepala SKPD.

Pasal 98

(1) PPKD dalam rangka manajemen kas menerbitkan SPD dengan

mempertimbangkan penjadwalan pembayaran pelaksanaan program dan

kegiatan yang dimuat dalam DPA-SKPD.

57

(2) SPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disiapkan oleh kuasa BUD

untuk ditandatangani oleh PPKD.

Bagian Ketiga

Penatausahaan Bendahara Penerimaan

Pasal 99

(1) Penyetoran penerimaan pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

67 ayat (3), dilakukan dengan uang tunai.

(2) Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ke rekening kas umum

daerah pada bank pemerintah yang ditunjuk, dianggap sah setelah

kuasa BUD menerima nota kredit atau tanda setoran.

(3) Bendahara penerimaan dilarang menyimpan uang, cek, atau surat

berharga yang dalam pengusaannya lebih dari 1 (satu) hari kerja

dan/atau atas nama pribadi pada bank atau giro pos.

Pasal 100

(1) Bendahara penerimaan pada SKPD wajib menyelenggarakan pembukuan

terhadap seluruh penerimaan dan penyetoran atas penerimaan yang

menjadi tanggung jawabnya.

(2) Bendahara penerimaan pada SKPD wajib menyampaikan laporan

pertanggungjawaban penerimaan kepada PPKD paling lambat tanggal 10

bulan berikutnya.

(3) PPKD melakukan verifikasi, evaluasi dan analisis atas laporan

pertanggungjawaban penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Bagian Keempat

Penatausahaan Bendahara Pengeluaran

Pasal 101

(1) Permintaan pembayaran dilakukan melalui penerbitan SPP-LS, SPP-UP,

SPP-GU dan SPP-TU.

(2) PPTK mengajukan SPP-LS melalui PPK-SKPD pada pengguna

anggaran/kuasa pengguna anggaran paling lambat 3 (tiga) hari kerja

setelah diterimanya tagihan dari pihak ketiga.

58

(3) Pengajuan SPP-LS dilampiri dengan kelengkapan persyaratan yang

ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4) Bendahara pengeluaran melalui PPK-SKPD mengajukan SPP-UP kepada

pengguna anggaran setinggi-tingginya untuk keperluan satu bulan.

(5) Pengajuan SPP-UP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilampiri

dengan daftar rincian rencana penggunaan dana.

(6) Untuk penggantian dan penambahan uang persediaan, bendahara

pengeluaran mengajukan SPP-GU dan/atau SPP-TU.

(7) Batas jumlah pengajuan SPP-TU sebagaimana dimaksud pada ayat (6)

harus mendapat persetujuan dari PPKD dengan memperhatikan rincian

kebutuhan dan waktu penggunaan.

Pasal 102

(1) Pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran mengajukan permintaan

uang persediaan kepada kuasa BUD dengan menerbitkan SPM-UP.

(2) Pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran mengajukan penggantian

uang persediaan yang telah digunakan kepada kuasa BUD, dengan

menerbitkan SPM-GU yang dilampiri bukti asli pertanggungjawaban atas

penggunaan uang persediaan sebelumnya.

(3) Dalam hal uang persediaan tidak mencukupi kebutuhan, penguna

anggaran/kuasa pengguna anggaran dapat mengajukan tambahan uang

persediaan kepada kuasa BUD dengan menerbitkan SPM-TU.

(4) Pelaksanaan pembayaran melalui SPM-UP dan SPM-LS berpedoman

pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 103

(1) Kuasa BUD menerbitkan SP2D atas SPM yang diterima dari pengguna

anggaran/kuasa pengguna anggaran yang ditujukan kepada bank

operasional mitra kerjanya.

(2) Penerbitan SP2D oleh Kuasa BUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

paling lama 2 (dua) hari kerja sejak SPM diterima.

59

(3) Kuasa BUD berhak menolak permintaan pembayaran yang diajukan

pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran bilamana:

a. pengeluaran tersebut melampaui pagu;dan/atau

b. tidak didukung oleh kelengkapan dokumen sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan.

(4) Dalam hal Kuasa BUD menolak permintaan pembayaran sebagaimana

dimaksud pada ayat (3), SPM dikembalikan paling lama 1 (satu) hari

kerja setelah diterima.

Pasal 104

Tata cara penatausahaan bendahara pengeluaran diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Bupati.

Bagian Kelima

Akuntansi Keuangan Daerah

Pasal 105

(1) Pemerintah daerah menyusun sistem akuntansi pemerintah daerah yang

mengacu kepada standar akuntansi pemerintahan.

(2) Sistem akuntansi pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), ditetapkan dengan peraturan Bupati mengacu pada Peraturan

Daerah ini.

Pasal 106

Bupati berdasarkan standar akuntansi pemerintahan menetapkan Peraturan

Bupati tentang kebijakan akuntansi.

Pasal 107

(1) Sistem akuntansi pemerintah daerah paling sedikit meliputi:

a. Prosedur akuntansi penerimaan kas;

b. Prosedur akuntansi pengeluaran kas;

c. Prosedur akuntansi aset;

d. Prosedur akuntansi selain kas.

60

(2) Sistem akuntansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun

berdasarkan prinsip pengendalian intern sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

BAB XII

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN APBD

Pasal 108

(1) Kepala SKPD selaku pengguna anggaran menyelenggarakan akuntansi

atas transaksi keuangan, asset, utang dan ekuitas dana, yang berada

dalam tanggung jawabnya.

(2) Penyelenggaraan akuntansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

merupakan pencatatan/penatausahaan atas transaksi keuangan di

lingkungan SKPD dan menyiapkan laporan keuangan sehubungan

dengan pelaksanaan anggaran dan barang yang dikelolanya.

(3) Laporan Keuangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2), terdiri

dari laporan realisasi anggaran, neraca dan catatan atas laporan

keuangan yang disampaikan kepada Bupati melalui PPKD selambat-

lambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

(4) Kepala SKPD selaku pengguna anggaran/pengguna barang memberikan

pernyataan bahwa pengelolaan APBD yang menjadi tanggung jawabnya

telah diselenggarakan berdasarkan sistem pengendalian intern yang

memadai, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pasal 109

(1) PPKD menyelenggarakan akuntansi atas transaksi Keuangan, asset,

utang dan ekuitas dana, termasuk transaksi pembiayaan dan

perhitungannya.

(2) PPKD menyusun laporan keuangan pemerintah daerah terdiri dari:

a. laporan realisasi anggaran;

b. neraca;

c. laporan arus kas; dan

d. catatan atas laporan keuangan.

61

(3) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disusun dan

disajikan sesuai dengan Peraturan Pemerintah tentang Standar

Akuntansi Pemerintah.

(4) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilampiri

dengan laporan ikhtisar realisasi kinerja dan laporan keuangan badan

usaha milik daerah/perusahaan daerah.

(5) Laporan Keuangan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat

(2), disusun berdasarkan laporan keuangan SKPD.

(6) Laporan Keuangan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat

(2), disampaikan kepada Bupati dalam rangka memenuhi

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.

Pasal 110

Bupati menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah tentang

Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa Laporan

Keuangan yang telah diperiksa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) paling

lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

Pasal 111

(1) Laporan Keuangan pelaksanaan APBD sebagaimana dimaksud pada

Pasal 109 ayat (2) disampaikan kepada BPK paling lambat 3 (tiga) bulan

setelah tahun anggaran berakhir.

(2) Pemeriksaan Laporan Keuangan oleh BPK sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diselesaikan paling lambat 2 (dua) bulan setelah menerima

laporan keuangan dari pemerintah daerah.

(3) Apabila sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), BPK

belum menyampaikan laporan hasil pemeriksaan, rancangan peraturan

daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 diajukan kepada DPRD.

Pasal 112

Bupati memberikan tanggapan dan melakukan penyesuaian terhadap

laporan keuangan berdasarkan hasil pemeriksaan BPK atas laporan

keuangan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat

(1).

62

BAB XIII

PENGENDALAIAN DEFISIT DAN PENGGUNAAN SURPLUS APBD

Bagian Kesatu

Pengendalian Defisit APBD

Pasal 113

(1) Dalam hal APBD diperkirakan defisit ditetapkan sumber-sumber

pembiayaan untuk menutupi defisit tersebut dalam peraturan daerah

tentang APBD.

(2) Defisit APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditutup dengan

pembiayaan netto.

Pasal 114

Defisit APBD dapat ditutup dari sumber pembiayaan:

a. SiLPA daerah tahun sebelumnya;

b. pencairan dana cadangan;

c. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan;

d. penerimaan pinjaman; dan/atau

e. penerimaan kembali pemberian pinjaman.

Bagian Kedua

Penggunaan Surplus APBD

Pasal 115

Dalam hal APBD diperkirakan surplus, penggunaannya ditetapkan dalam

Peraturan Daerah tentang APBD.

Pasal 116

Penggunaan surplus APBD diutamakan untuk pengurangan utang,

pembentukan dana cadangan, dan/atau pendanaan belanja peningkatan

jaminan sosial.

63

BAB XIV

PENGELOLAAN KEUANGAN DAN

KEKAYAAN DAERAH

Bagian Kesatu

Pengelolaan Kas Umum Daerah

Pasal 117

Semua transaksi penerimaan dan pengeluaran daerah dilaksanakan melalui

rekening kas umum daerah.

Pasal 118

(1) Dalam rangka pengelolaan uang daerah, PPKD membuka rekening kas

umum daerah pada bank yang ditentukan oleh Bupati.

(2) Dalam pelaksanaan operasional penerimaan dan pengeluaran daerah,

Kuasa BUD dapat membuka rekening penerimaan dan rekening

pengeluaran pada bank yang ditetapkan oleh Bupati.

(3) Rekening penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), digunakan

untuk menampung penerimaan daerah setiap hari.

(4) Saldo rekening penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), setiap

akhir hari kerja wajib disetorkan seluruhnya ke rekening kas umum

daerah.

(5) Rekening pengeluaran pada bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

diisi dengan dana yang bersumber dari rekening kas umum daerah.

(6) Jumlah dana yang disediakan pada rekening pengeluaran sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), disesuaikan dengan rencana pengeluaran untuk

membiayai kegiatan pemerintahan yang telah ditetapkan dalam APBD.

Pasal 119

(1) Pemerintah daerah memperoleh bunga dan/atau jasa giro atas dana

yang disimpan pada bank umum berdasarkan tingkat suku bunga

dan/atau jasa giro yang berlaku.

64

(2) Bunga dan/atau jasa giro yang diperoleh pemerintah daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan pendapatan asli

daerah.

Pasal 120

(1) Biaya sehubungan dengan pelayanan yang diberikan oleh bank umum

didasarkan pada ketentuan yang berlaku pada bank umum yang

bersangkutan.

(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibebankan pada belanja

daerah.

Bagian Kedua

Pengelolaan Piutang Daerah

Pasal 121

(1) Setiap pejabat yang diberi kuasa untuk mengelola pendapatan, belanja

dan kekayaan daerah wajib mengusahakan agar setiap piutang daerah

diselesaikan seluruhnya dengan tepat waktu.

(2) Pemerintah daerah mempunyai hak mendahului atas piutang jenis

tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Piutang daerah yang tidak dapat diselesaikan seluruhnya dan tepat

waktu, diselesaikan menurut peraturan perundang-undangan.

(4) Penyelesaian piutang daerah sebagai akibat hubungan keperdataan

dapat dilakukan melalui perdamaian, kecuali mengenai piutang daerah

yang cara penyelesaiannya sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pasal 122

(1) Piutang daerah dapat dihapuskan secara mutlak atau bersyarat dari

pembukuan sesuai dengan ketentuan mengenai piutang daerah yang

cara penyelesaiannya dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan.

65

(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang

menyangkut piutang pemerintah daerah, ditetapkan oleh:

a. Bupati untuk jumlah sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar

rupiah);

b. Bupati dengan persetujuan DPRD untuk jumlah lebih dari

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Bagian Ketiga

Pengelolaan Investasi Daerah

Pasal 123

Pemerintah Daerah dapat melakukan investasi jangka pendek dan jangka

panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat

lainnya.

Pasal 124

(1) Investasi jangka pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123,

merupakan investasi yang dapat segera dicairkan dan dimaksudkan

untuk dimiliki selama 12 (dua belas) bulan atau kurang.

(2) Investasi jangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123,

merupakan investasi yang dimaksudkan untuk dimiliki lebih dari 12

(dua belas) bulan.

Pasal 125

(1) Investasi jangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat

(2) terdiri dari investasi permanen dan non permanen.

(2) Investasi permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dimaksudkan

dimiliki secara berkelanjutan tanpa ada niat untuk diperjualbelikan atau

tidak ditarik kembali.

(3) Investasi non permanen sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) untuk

dimiliki secara tidak berkelanjutan atau ada niat untuk diperjualbelikan

atau ditarik kembali.

66

Bagian Keempat

Pengelolaan Barang Milik Daerah

Pasal 126

(1) Barang milik daerah diperoleh atas beban APBD dan perolehan lainnya

yang sah.

(2) Perolehan lainnya yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

mencakup:

a. barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan/atau yang sejenis;

b. barang yang diperoleh dari kontrak kerja sama, kontrak bagi hasil dan

kerja sama pemanfaatan barang milik daerah;

c. barang yang diperoleh berdasarkan penetapan karena peraturan

perundang-undangan; dan

d. barang yang diperoleh dari putusan pengadilan.

(3) Pengadaan barang/jasa dilaksanakan melalui prosedur pelelangan,

pemilihan langsung, penunjukan langsung dan swakelola.

(4) Sistem dan prosedur pelaksanaan pengadaan sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-

undangan.

Pasal 127

(1) Bupati mengatur pengelolaan barang daerah.

(2) Pengelolaan barang daerah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)

meliputi rangkaian kegiatan dan tindakan terhadap barang daerah yang

mencakup perencanaan kebutuhan, penganggaran, pengadaan,

penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan, penatausahaan, penilaian,

penghapusan, pemindahtanganan dan pengamanan.

(3) Kepala SKPD adalah pengguna barang.

(4) Pengguna barang wajib mengelola barang daerah sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

67

Pasal 128

(1) Barang daerah yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umum

tidak dapat digadaikan, dibebani hak tanggungan dan/atau

dipindahtangankan.

(2) Bupati dengan persetujuan DPRD dapat menetapkan keputusan tentang:

a. penghapusan barang daerah sebagian atau seluruhnya;

b. persetujuan penyelesaian sengketa perdata secara damai;

c. tindakan hukum lain terhadap barang daerah.

Pasal 129

Dalam hal pengelolaan barang daerah menghasilkan penerimaan maka

seluruh penerimaan tersebut disetor langsung ke kas umum daerah sebagai

pendapatan asli daerah.

Bagian Kelima

Pengelolaan Dana Cadangan

Pasal 130

(1) Pemerintah daerah dapat membentuk dana cadangan guna mendanai

kegiatan yang penyediaan dananya tidak dapat dibebankan dalam satu

tahun anggaran.

(2) Pembentukan dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

ditetapkan dengan peraturan daerah.

(3) Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), mencakup

penetapan tujuan, besaran, tahapan penganggaran dan sumber dana

cadangan serta jenis program/kegiatan yang dibiayai dari dana cadangan

tersebut.

(4) Dana cadangan yang dibentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

dapat bersumber dari penyisihan atas penerimaan daerah, kecuali DAK,

pinjaman daerah dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi

untuk pengeluaran tertentu berdasarkan peraturan perundang-

undangan.

68

(5) Penggunaan dana cadangan dalam satu tahun anggaran menjadi

penerimaan pembiayaan APBD dalam tahun anggaran yang

bersangkutan.

Pasal 131

(1) Dana cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1),

ditempatkan pada rekening sendiri yang dikelola PPKD.

(2) Dalam hal dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), belum

digunakan sesuai dengan peruntukannya, dana tersebut dapat

ditempatkan dalam portofolio yang memberikan hasil tetap dengan resiko

rendah.

(3) Hasil dari penempatan dalam portofolio sebagaimana dimaksud pada

ayat (2), menambah dana cadangan.

(4) Posisi dana cadangan dilaporkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan

dari laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.

Bagian Keenam

Pengelolaan Utang, Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah

Pasal 132

Bupati dapat mengadakan utang daerah sesuai dengan ketentuan yang

ditetapkan dalam peraturan daerah tentang APBD.

Pasal 133

(1) Bupati dapat mengadakan pinjaman daerah dengan berpedoman pada

ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) PPKD menyiapkan rancangan Peraturan Bupati tentang Pelaksanaan

Pinjaman Daerah.

(3) Biaya berkenaan dengan pinjaman daerah dibebankan pada anggaran

belanja daerah.

69

Pasal 134

Pinjaman daerah bersumber dari:

a. pemerintah;

b. pemerintah daerah lain;

c. lembaga keuangan bank;

d. lembaga keuangan bukan bank; dan

e. masyarakat.

Pasal 135

(1) Penerbitan obligasi daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah setelah

mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.

(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit

mencakup jumlah dan nilai nominal obligasi daerah yang akan

diterbitkan.

(3) Penerimaan hasil penjualan obligasi daerah dianggarkan pada

penerimaan pembiayaan.

(4) Pembayaran bunga atas obligasi daerah dianggarkan pada belanja bunga

dalam anggaran belanja daerah.

BAB XV

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

Bagian Kesatu

Pembinaan dan Pengawasan

Pasal 136

Pembinaaan pengelolaan keuangan untuk kabupaten dikoordinasikan oleh

gubenur selaku wakil pemerintah.

Pasal 137

DPRD melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah

tentang APBD.

70

Pasal 138

Pengawasan pengelolaan keuangan daerah berpedoman pada ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua

Pengendalian Intern

Pasal 139

(1) Dalam rangka meningkatkan kinerja, tranparansi dan akuntabilitas

pengelolaan keuangan daerah, Bupati mengatur dan menyelenggarakan

sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah daerah yang

dipimpinnya.

(2) Pengaturan dan penyelenggaraan system pengendalian intern

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berpedoman pada ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga

Pemeriksaan Ekstern

Pasal 140

Pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah

dilakukan oleh BPK sesuai dengan peraturan perundang-undangan

BAB XVI

PENYELESAIAN KERUGIAN DAERAH

Pasal 141

(1) Setiap kerugian daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar

hukum atau kelalaian sesorang harus segera diselesaikan sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan.

(2) Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang

karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang

dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan daerah,

wajib mengganti kerugian tersebut.

(3) Kepala SKPD dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah

mengetahui bahwa dalam SKPD yang bersangkutan terjadi kerugian

akibat perbuatan dari pihak manapun.

71

Pasal 142

(1) Kerugian daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala

SKPD kepada Bupati dan diberitahukan kepada BPK selambat-

lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian daerah itu diketahui.

(2) Setelah kerugian daerah tersebut diketahui, kepada bendahara, pegawai

negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang nyata-nyata melanggar

hukum atau melalaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 141 ayat (2), segera dimintakan surat pernyataan kesanggupan

dan/atau pengakuan bahwa kerugian tersebut menjadi tanggung

jawabnya dan bersedia mengganti kerugian daerah dimaksud.

(3) Jika surat keterangan tanggung jawab mutlak tidak mungkin diperoleh

atau tidak dapat menjamin pengembalian kerugian daerah, Bupati

segera mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian

kerugian sementara kepada yang bersangkutan.

Pasal 143

(1) Dalam hal bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat

lain yang dikenai tuntutan ganti kerugian daerah berada dalam

pengampuan, melarikan diri atau meninggal dunia, penuntutan dan

penagihan terhadapnya beralih kepada pengampu/yang memperoleh

hak/ahli waris, terbatas pada kekayaan yang dikelola atau diperolehnya,

yang berasal dari bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau

pejabat lain yang bersangkutan.

(2) Tanggung jawab pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris untuk

membayar ganti kerugian daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

menjadi hapus apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak keputusan

pengadilan menetapkan pengampuan kepada bendahara, pegawai negeri

bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan, atau sejak

bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang

bersangkutan diketahui melarikan diri atau meninggal dunia,

pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris tidak diberi tahu oleh

pejabat yang berwenang mengenai adanya kerugian daerah.

72

Pasal 144

(1) Ketentuan penyelesaian kerugian daerah sebagaimana diatur dalam

peraturan daerah ini berlaku pula untuk uang dan/atau barang bukan

milik daerah, yang berada dalam penguasaan bendahara, pegawai negeri

bukan bendahara, atau pejabat lain yang digunakan dalam

penyelenggaraan tugas pemerintahan.

(2) Ketentuan penyelesaian kerugian daerah dalam peraturan daerah ini

berlaku pula untuk pengelola perusahaan daerah dan badan-badan lain

yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan daerah, sepanjang tidak

diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

Pasal 145

(1) Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang

telah ditetapkan untuk mengganti kerugian daerah dapat dikenai sanksi

administratif dan/atau sanksi pidana.

(2) Putusan pidana atas kerugian daerah terhadap bendahara, pegawai

negeri bukan bendahara dan pejabat lain tidak membebaskan yang

bersangkutan dari tuntutan ganti rugi.

Pasal 146

Kewajiban bendahara, pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain

untuk membayar ganti rugi, menjadi kedaluwarsa jika dalam waktu 5 (lima)

tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut atau dalam waktu 8 (delapan)

tahun sejak terjadinya kerugian tidak dilakukan penuntutan ganti rugi

terhadap yang bersangkutan.

Pasal 147

(1) Pengenaan ganti rugi kerugian daerah terhadap bendahara ditetapkan

oleh BPK.

(2) Apabila dalam pemeriksaan kerugian daerah ditemukan unsur pidana,

BPK menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

73

Pasal 148

Pengenaan ganti kerugian daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara

ditetapkan oleh Bupati.

BAB XVII

PENGELOLAAN KEUANGAN

BADAN LAYANAN UMUM DAERAH

Pasal 149

Bupati dapat menetapkan SKPD atau Unit Kerja pada SKPD yang tugas dan

fungsinya bersifat operasional dalam menyelenggarakan pelayanan umum

dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum

Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB XVIII

PENGATURAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

Pasal 150

Berdasarkan Peraturan Daerah tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan

Daerah ini, Bupati menetapkan Peraturan Bupati tentang Sistem dan

Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah.

BAB XIX

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 151

Semua ketentuan yang berkaitan dengan Pengelolan Keuangan Daerah

sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Peraturan daerah

ini dinyatakan tetap berlaku.

Pasal 152

Peraturan Daerah ini mulai dilaksanakan untuk penyusunan dan

pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2013.

74

BAB XX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 153

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka Peraturan Daerah

Kabupaten Sikka Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan

Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Sikka Tahun 2007

Nomor 27 Seri A Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sikka

Nomor 21) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 154

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan

Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten

Sikka.

Ditetapkan di Maumere

pada tanggal 26 November 2012

BUPATI SIKKA,

CAP.TTD.

SOSIMUS MITANG

Diundangkan di Maumere

pada tanggal 26 November 2012

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN SIKKA,

CAP.TTD.

VALENTINUS SILI TUPEN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SIKKA TAHUN 2012 NOMOR 5

Salinan sesuai dengan Aslinya

KEPALA BAGIAN HUKUM,

CAP.TTD.

MADERLUNG

75

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIKKA

NOMOR 5 TAHUN 2012

TENTANG

POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

I. UMUM

Pengelolaan Keuangan Daerah dilaksanakan dalam suatu sistem

terintegrasi diwujudkan dalam APBD yang setiap tahun ditetapkan

dengan Peraturan Daerah. APBD merupakan instrumen yang menjamin

terciptanya disiplin dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan

kebijakan pendapatan maupun belanja daerah.

Struktur APBD terdiri dari (1) Penerimaan Daerah yang

didalamnya terdapat pendapatan daerah dan penerimaan pembiayaan

daerah; (2) Pengeluaran Daerah yang didalamnya terdapat Belanja

Daerah dan (3) Pengeluaran Pembiayaan Daerah.

Pengelolaan keuangan daerah pada dasarnya dimaksudkan

untuk menghasilkan gambaran tentang kapasitas atau kemampuan

keuangan daerah dalam mendanai penyelenggaraan pembangunan

daerah, sehingga analisis pengelolaan keuangan daerah menjelaskan

tentang aspek kebijakan keuangan daerah, yang berkaitan dengan

pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah guna mewujudkan visi dan

misi.

Sehubungan dengan adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

sebagaimana telah dirubah terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pokok-Pokok

Pengelolaan Keuangan Daerah, maka Pemerintah Daerah menyusun

Peraturan Daerah tentang Pokok-pokok pengelolaan Keuangan Daerah.

76

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

cukup jelas

Pasal 2

cukup jelas

Pasal 3

cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan efektif adalah pencapaian hasil

program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu

dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil.

Yang dimaksud dengan efisien adalah pencapaian

keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau

penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran

tertentu.

Yang dimaksud dengan ekonomis adalah pemerolehan

masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada

tingkat harga yang terendah.

Yang dimaksud dengan transparan adalah prinsip

keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk

mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-

luasnya tentang keuangan daerah.

Yang dimaksud dengan bertanggung jawab adalah

perwujudan kewajiban seseorang untuk

mempertanggungjawabkan pengolahan dan pengendalian

sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang

dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan

yang telah ditetapkan.

Yang dimaksud dengan keadilan adalah keseimbangan

distribusi kewenangan dan pendanaannya dan/atau

keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan

pertimbangan yang obyektif.

77

Yang dimaksud dengan kepatutan adalah tindakan atau

suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan

proporsional.

Yang dimaksud dengan manfaat adalah keuangan daerah

diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Pasal 5

cukup jelas

Pasal 6

cukup jelas

Pasal 7

Ayat (1)

cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan preventif adalah tindakan

penjegahan.

Yang dimaksud dengan represif adalah tindakan

pengendalian setelah terjadi pelanggaran.

Ayat (3)

cukup jelas

Pasal 8

cukup jelas

Pasal 9

cukup jelas

Pasal 10

cukup jelas

Pasal 11

cukup jelas

Pasal 12

cukup jelas

Pasal 13

cukup jelas

78

Pasal 14

cukup jelas

Pasal 15

cukup jelas

Pasal 16

cukup jelas

Pasal 17

cukup jelas

Pasal 18

cukup jelas

Pasal 19

cukup jelas

Pasal 20

cukup jelas

Pasal 21

cukup jelas

Pasal 22

cukup jelas

Pasal 23

cukup jelas

Pasal 24

cukup jelas

Pasal 25

cukup jelas

Pasal 26

cukup jelas

Pasal 27

Ayat (1)

cukup jelas

Ayat (2)

cukup jelas

79

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan fungsi otorisasi adalah anggaran

daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan

dan belanja pada tahun yang bersangkutan.

Yang dimaksud dengan fungsi perencanaan adalah

anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam

merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.

Yang dimaksud dengan fungsi pengawasan adalah

anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah

kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai

dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

Yang dimaksud dengan fungsi alokasi adalah anggaran

daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan

kerja/mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber

daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas

perekonomian.

Yang dimaksud dengan fungsi distribusi adalah kebijakan

anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan

kepatutan.

Yang dimaksud dengan fungsi stabilitas adalah anggaran

pemerintah daerah menjadi alat untuk memelihara dan

mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian

daerah.

Pasal 28

cukup jelas

Pasal 29

cukup jelas

Pasal 30

cukup jelas

Pasal 31

cukup jelas

Pasal 32

cukup jelas

80

Pasal 33

cukup jelas

Pasal 34

cukup jelas

Pasal 35

cukup jelas

Pasal 36

cukup jelas

Pasal 37

cukup jelas

Pasal 38

cukup jelas

Pasal 39

cukup jelas

Pasal 40

cukup jelas

Pasal 41

cukup jelas

Pasal 42

cukup jelas

Pasal 43

cukup jelas

Pasal 44

cukup jelas

Pasal 45

cukup jelas

Pasal 46

cukup jelas

Pasal 47

cukup jelas

81

Pasal 48

cukup jelas

Pasal 49

cukup jelas

Pasal 50

cukup jelas

Pasal 51

cukup jelas

Pasal 52

cukup jelas

Pasal 53

cukup jelas

Pasal 54

cukup jelas

Pasal 55

cukup jelas

Pasal 56

cukup jelas

Pasal 57

cukup jelas

Pasal 58

cukup jelas

Pasal 59

cukup jelas

Pasal 60

cukup jelas

Pasal 61

cukup jelas

Pasal 62

cukup jelas

82

Pasal 63

cukup jelas

Pasal 64

cukup jelas

Pasal 65

cukup jelas

Pasal 66

cukup jelas

Pasal 67

cukup jelas

Pasal 68

cukup jelas

Pasal 69

cukup jelas

Pasal 70

cukup jelas

Pasal 71

cukup jelas

Pasal 72

cukup jelas

Pasal 73

cukup jelas

Pasal 74

cukup jelas

Pasal 75

cukup jelas

Pasal 76

cukup jelas

Pasal 77

cukup jelas

83

Pasal 78

cukup jelas

Pasal 79

cukup jelas

Pasal 80

cukup jelas

Pasal 81

cukup jelas

Pasal 82

cukup jelas

Pasal 83

cukup jelas

Pasal 84

cukup jelas

Pasal 85

cukup jelas

Pasal 86

cukup jelas

Pasal 87

cukup jelas

Pasal 88

cukup jelas

Pasal 89

cukup jelas

Pasal 90

cukup jelas

Pasal 91

cukup jelas

Pasal 92

cukup jelas

84

Pasal 93

cukup jelas

Pasal 94

cukup jelas

Pasal 95

cukup jelas

Pasal 96

cukup jelas

Pasal 97

cukup jelas

Pasal 98

cukup jelas

Pasal 99

cukup jelas

Pasal 100

cukup jelas

Pasal 101

cukup jelas

Pasal 102

cukup jelas

Pasal 103

cukup jelas

Pasal 104

cukup jelas

Pasal 105

cukup jelas

Pasal 106

cukup jelas

Pasal 107

cukup jelas

85

Pasal 108

cukup jelas

Pasal 109

cukup jelas

Pasal 110

cukup jelas

Pasal 111

cukup jelas

Pasal 112

cukup jelas

Pasal 113

cukup jelas

Pasal 114

cukup jelas

Pasal 115

cukup jelas

Pasal 116

cukup jelas

Pasal 117

cukup jelas

Pasal 118

cukup jelas

Pasal 119

cukup jelas

Pasal 120

cukup jelas

Pasal 121

cukup jelas

Pasal 122

cukup jelas

86

Pasal 123

cukup jelas

Pasal 124

cukup jelas

Pasal 125

cukup jelas

Pasal 126

cukup jelas

Pasal 127

cukup jelas

Pasal 128

cukup jelas

Pasal 129

cukup jelas

Pasal 130

cukup jelas

Pasal 131

cukup jelas

Pasal 132

cukup jelas

Pasal 133

cukup jelas

Pasal 134

cukup jelas

Pasal 135

cukup jelas

Pasal 136

cukup jelas

Pasal 137

cukup jelas

87

Pasal 138

cukup jelas

Pasal 139

cukup jelas

Pasal 140

cukup jelas

Pasal 141

cukup jelas

Pasal 142

cukup jelas

Pasal 143

cukup jelas

Pasal 144

cukup jelas

Pasal 145

cukup jelas

Pasal 146

cukup jelas

Pasal 147

cukup jelas

Pasal 148

cukup jelas

Pasal 149

cukup jelas

Pasal 150

cukup jelas

Pasal 151

cukup jelas

Pasal 152

cukup jelas

88

Pasal 153

cukup jelas

Pasal 154

cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SIKKA NOMOR 66