60
Laporan kasus THALASSEMIA ß-MAYOR Oleh : Yoeharto, S.Ked NIM. I1A002010 Pembimbing : DR. dr. Muh. Darwin T., Sp. PD, K-HOM

Perbaikan Lapsus Thalassemia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Thalassemia

Citation preview

Page 1: Perbaikan Lapsus Thalassemia

Laporan kasus

THALASSEMIA ß-MAYOR

Oleh :Yoeharto, S.KedNIM. I1A002010

Pembimbing :DR. dr. Muh. Darwin T., Sp. PD, K-HOM

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAMFK UNLAM/RSUD ULIN

BANJARMASIN

Oktober, 2012

Page 2: Perbaikan Lapsus Thalassemia

LEMBAR PENGESAHAN

Thalassemia β-Mayor

OlehYoeharto, S. Ked

I1A002010

Pembimbingdr. Muh. Darwin P. Sp.PD. K-HOM

Banjarmasin, Oktober 2012

Telah setuju diajukan

.……………………….(dr. Muh. Darwin P. Sp.PD. K-HOM )

Telah dipresentasikan

.………………………(dr. Muh. Darwin P. Sp.PD. K-HOM )

ii

Page 3: Perbaikan Lapsus Thalassemia

BAB I

PENDAHULUAN

Thalassemia merupakan satu kelompok anemia hemolitik kongenital

herediter yang diturunkan secara autosomal resesif, yang disebabkan karena tidak

adanya atau berkurangnya sintesa dari satu atau lebih rantai-rantai polipeptida dari

globin (1)

Di Indonesia banyak dijumpai kasus thalassemia, hal ini disebabkan oleh

karena migrasi penduduk dan percampuran penduduk. Menurut hipotesis,

migrasi penduduk tersebut diperkirakan berasal dari Cina Selatan yang

dikelompokkan dalam dua periode. Kelompok migrasi pertama diduga memasuki

Indonesia sekitar 3.500 tahun yang lalu dan disebut Protomelayu (Melayu awal)

dan migrasi kedua diduga 2.000 tahun yang lalu disebut Deutromelayu (Melayu

akhir) dengan fenotip Monggoloid yang kuat. Keseluruhan populasi ini menjadi

menjadi Hunian kepulauan Indonesia tersebar di Kalimantan, Sulawesi, pulau

Jawa, Sumatera, Nias, Sumba dan Flores (1).

Thalassemia telah menimbulkan berbagai masalah kesehatan dunia

terutama pada negara-negara berkembang, sehingga WHO (1983) telah

mencantumkan program penanganannya. Keberadaan penyakit tersebut di

Indonesia, harus dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang serius,

karena skrining pengemban sifat kelainan darah tersebut pada berbagai populasi

menujukkan angka yang cukup memprihatinkan. (2).

1

Page 4: Perbaikan Lapsus Thalassemia

Jika tidak ada tindakan preventif atau pengendalian dalam bentuk apapun,

maka angka tersebut akan terus bertambah. Tindakan preventif yang dianjurkan

oleh WHO (1994) dalam pengendalian thalassemia dan hemoglobinopati pada

negara-negara berkembang adalah tindakan preventif berupa skrining penyakit

thalassemia pada pupulasi tertentu, konseling genetik pranikah dan prenatal

diagnosis. Konseling genetik pranikah ditujukan untuk pasangan pranikah

terutama pada populasi yang berprevalensi tinggi (berprevalensi > 5%) untuk

memeriksakan diri apakah mereka mengemban sifat genetik tersebut atau tidak.

Konseling genetik juga ditujukan kepada mereka yang mempunyai kerabat dekat

penderita thalassemia. Berdasarkan penelitian skrining pada donor darah dari

populasi di kota Medan, prevalensi thalassemia (thalassemia alfa dan thalassemia

beta) > 5 % yaitu 7,69% dengan taksiran 6,35 - 9,03%. Karena itu, konseling

genetik harus segera disosialisasikan untuk mengurangi insidensi thalassemia

pada masa yang akan datang.

Berikut dilaporkan sebuah kasus seorang wanita, umur 34 tahun dengan

diagnosis Thalassemia Beta Mayor yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam

Wanita Rumah Sakit Daerah “Ulin” Banjarmasin.

2

Page 5: Perbaikan Lapsus Thalassemia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Thalassemia adalah penyakit lain yang mengakibatkan penurunan dari

produksi eritrosit. Thalassemia adalah kelainan bawaan autosomal resesif pada

pembentukan hemoglobin. Meskipun hemolisis juga timbul pada penyakit ini

tetapi masalah yang lebih penting dan mencolok adalah produksi hemoglobin

yang tidak mencukupi. Letak masalah pada thalassemia adalah pada protein

globulinnya.

Pembuatan tiap rantai peptida diatur oleh satu gen tertentu yang letaknya

pada kromosom dan pembuatan ini melalui mRNA. Kelainan pokok pada

thalassemia terletak pada gangguan pembentukan rantai polipeptida. Ini terjadi

karena didalam sel eritrosit mRNA untuk rantai α dan β berkurang atau tidak ada

sama sekali . bila gangguan mengenai rantai α penyakitnya dinamakan α

Thalassemia dan bila mengenai rantai β, dinamakan β thalassemia. (3)

2.2. Klasifikasi

Klasifikasi berdasarkan kelainan rantai globin

1. Thalassemia α (alpha)

Terjadi karena adanya kelainan gen (kromosom 16) pada gen globin alpha.

Kelainan ini menyebabkan adanya pengurangan atau hilangnya kemampuan

3

Page 6: Perbaikan Lapsus Thalassemia

memproduksi rantai globin alpha sehingga jumlah rantai alpha menurun

(thalassemia jenis ringan) atau tidak ada sama sekali (thalassemia alpha berat).

2. Thalassemia ß (beta)

Terjadinya kelainan/perubahan/mutasi pada gen globin beta (pada kromosom 11)

sehingga produksi rantai polipeptida globin beta berkurang atau tidak ada sama

sekali. (4)

Beta thalassemia terbagi atas 3 bagian:

1. β thalassemia mayor : Terjadi bila kedua orang tuanya membawa gen pembawa

sifat Thalassemia. Gejala penyakit muncul sejak awal masa kanak-kanak dan

biasanya penderita hanya bertahan hingga umur sekitar 2 tahun. Penderita

memerlukan transfusi darah seumur hidupnya. Hb 2-3 gr/dl

2. β thalassemia intermedia : gejala lebih ringan, tranfusi kadang-kadang. dapat

disertai gangguan pertumbuhan, deformitas tulang, splenomegali, anemia berat,

perlu tranfusi.

3. β thalassemia minor/ heterozigot carrier : gejala yang muncul pada penderita

Thalassemia minor bersifat ringan, biasanya hanya sebagai pembawa sifat.

Istilah Thalassemia trait digunakan untuk orang “sehat” namun dapat

mewariskan gen Thalassemia pada anak-anaknya

4

Page 7: Perbaikan Lapsus Thalassemia

5

Page 8: Perbaikan Lapsus Thalassemia

2.3 Epidemiologi

Frekuensi gen thalassemia di Indonesia berkisar 3-10%. Berdasarkan

angka ini, diperkirakan lebih 2000 penderita baru dilahirkan setiap tahunnya di

Indonesia.

2.4 Patofisiologi

Molekul globin terdiri atas sepasang rantai- dan sepasang rantai lain yang

menentukan jenis Hb. Pada orang normal terdapat 3 jenis Hb, yaitu Hb A

(merupakan > 96% dari Hb total, tersusun dari 2 rantai- dan 2 rantai- = 22),

Hb F (< 2% = 22) dan HbA2 (< 3% = 22). Kelainan produksi dapat terjadi

pada ranta- (-thalassemia), rantai- (-thalassemia), rantai- (-thalassemia),

rantai- (-thalassemia), maupun kombinasi kelainan rantai- dan rantai- (-

thalassemia).

Pada thalassemia-, kekurangan produksi rantai beta menyebabkan

kekurangan pembentukan 22 (Hb A); kelebihan rantai- akan berikatan dengan

rantai- yang secara kompensatoir Hb F meningkat; sisanya dalam jumlah besar

diendapkan pada membran eritrosit sebagai Heinz bodies dengan akibat eritrosit

mudah rusak (ineffective erythropoesis).

2.5 Diagnosis

Dari anamnesis akan didapatkan keluhan-keluhan akibat anemia. Pasien

tampak pucat, terdapat gangguan nafsu makan, infeksi berulang, kelemahan

6

Page 9: Perbaikan Lapsus Thalassemia

umum, gangguan tumbuh kembang, dan perut tampak semakin besar akibat

adanya pembesaran hati dan limpa (5).

2.6 Penatalaksanaan

1. Transfusi darah

2. Kelasi besi

3. Pemantauan fungsi organ

4. Splenektomi

5. Suplemen

6. Dukungan psikologis

7. Transplantasi sumsum tulang

7

Page 10: Perbaikan Lapsus Thalassemia

BAB III

LAPORAN KASUS

I. Identitas

Nama penderita : Ny. R

Umur : 34 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Lamunti 12 B Mantangas Kapuas

Pekerjaan : Guru

RMK : 83.98.44

Tanggal masuk RS : 15 September 2012

II. ANAMNESIS

1. Keluhan utama : Lemas

2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan lemas 1 hari

SMRS, lemas dirasakan terus menerus, lemas dirasakan berkurang ketika

beristirahat. Namun pasien lalu pergi ke puskesmas untuk periksa darah,

kemudian didapatkan bahwa Hb pasien rendah lalu pasien dirujuk ke RS Ulin

untuk tambah darah.

Pasien sudah didiagnosa thalassemia sejak usia 7 tahun, setelahnya pasien rutin

kontrol darah ke puskesmas tiap 1 bulan sekali. Sejak usia 7 tahun, pasien

transfusi darah tiap 3 bulan sekali, sampai saat ini. Pasien akan merasakan

lemas apabila mulai terlihat tanda-tanda kurang darah.

8

Page 11: Perbaikan Lapsus Thalassemia

3. Riwayat Penyakit Dahulu:

Thalassemia (+), Hipertensi (-), DM (-), Asma (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga:

Hipertensi (-), DM (-), Asma (-)

III. Pemeriksaan Fisik

A. Pemeriksaan Umum

1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Komposmentis

GCS : 4-5-6

2. Pengukuran

Tanda Vital : Tekanan darah : 100/70 mm/Hg

Nadi : 81 x/menit

RR : 18 x/menit

Suhu : 36,5o C

Berat Badan : 45 kg

Tinggi Badan : 150 cm

3. Kulit : Warna : Sawo matang

Sianosis : Tidak ada

Hemangiom : Tidak ada

Turgor : Cepat kembali

Kelembaban : Cukup

9

Page 12: Perbaikan Lapsus Thalassemia

Pucat : Ada (di akral)

Lain-lain : Tidak ada

4. Kepala : Bentuk : Mesosefali

Wajah : facies cooley

Rambut : Warna : Hitam

Tebal/tipis : Tipis

Distribusi : Merata

Alopesia : Tidak ada

Mata : Pelpebrae : Tidak ada edema

Konjungtiva : Anemis (+/+)

Sklera : Ikterik (-/-)

Pupil : Diameter : 3 mm / 3 mm

Simetris : Isokor

Reflek Cahaya: +/+

Kornea : Jernih, reflek (+)

Telinga : Bentuk : Simetris

Sekret : Tidak ada

Serumen : Minimal

Nyeri : Tidak ada

Hidung : Bentuk : Simetris

Epistaksis : Tidak ada

Sekret : Tidak ada

Mulut : Bentuk : Simetris

10

Page 13: Perbaikan Lapsus Thalassemia

Gusi : Tidak ada perdarahan gusi

Lidah : Bentuk : Simetris

Pucat/tidak : Tidak pucat

Tremor/tidak : Tidak tremor

Kotor/tidak : Tidak kotor

Warna : Merah muda

Faring : Hiperemi : Tidak ada

Edem : Tidak ada

Tonsil : Warna : Merah muda

Pembesaran : Tidak ada

Abses/tidak : Tidak ada

5. Leher : Vena Jugularis: Pulsasi : Teraba Minimal

Tekanan : Tidak Meningkat

Pembesaran KGB : Tidak ada

Deviasi trakea : Tidak ada

Peningkatan JVP : Tidak ada

Kaku kuduk : Tidak ada

Massa : Tidak ada

Tortikolis : Tidak ada

6. Thoraks : Dinding dada/paru :

Bentuk : Simetris

Paru-paru : Inspeksi : Gerakan nafas simetris

Palpasi : Fremitus vokal simetris

11

Page 14: Perbaikan Lapsus Thalassemia

Perkusi : Sonor pada kedua paru

Auskultasi : Suara nafas vesikuler

Ronkhi tidak ada

Wheezing tidak ada

Jantung : Inspeksi : Thrill terlihat

Palpasi : Iktus cordis teraba

Perkusi : - batas atas kanan

ICS 2 linea parasternalis dekstra

- batas bawah kanan

ICS 6 linea parasternalis dextra

- batas kiri atas

ICS 2 linea parasternalis sinistra

- batas kiri bawah

ICS 6 linea axillaris anterior

Auskultasi : Murmur : Murmur diastolik (-)

Gallop (-)

7. Abdomen : Inspeksi : Perut tampak datar

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Perkusi : Timpani

Palpasi :

Hati : Tidak membesar

Lien : Teraba pada schuffner V

Ginjal : Tidak teraba

12

Page 15: Perbaikan Lapsus Thalassemia

Massa : Tidak teraba

8.Ekstremitas : Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-), parese (-)

Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-), parese (-)

IV. Pemeriksaan Penunjang (Lab 12/9/2012)

HEMATOLOGI

Hemoglobin 3,7* 12,00-16,00 g/dL

Leukosit 4,6 4,000 – 10,500 /ul

Eritrosit 1,87* 3,90 – 5,50 juta/ul

Hematokrit 12,2* 37,00 – 47,00 vol%

Trombosit 218 150,000 – 450,000 /ul

RDW-CV 31,4 11.5 – 14.7 %

MCV, MCH, MCHC

MCV 65,7* 80,0 – 97,0 fl

MCH 19,7* 27,0 – 32,0 pg

MCHC 30,9* 32,0 – 38,0 %

HITUNG JENIS

Gran % 47,0* 50.0 – 70.0 %

Limfosit % 46,2* 25.0 – 40.0 %

MID % 6,8 4,0 – 11,0 %

Gran # 2,20* 2,50 – 7,00 ribu/ul

Limfosit # 2,5 1,25 – 4,0 ribu/ul

MID # 0,3 ribu/ul

13

Page 16: Perbaikan Lapsus Thalassemia

V. Pemeriksaan Penunjang (Lab 14/9/2012)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 5,1* 12,00-16,00 g/dL

Leukosit 6,1 4,000 – 10,500 /ul

Eritrosit 2,57* 3,90 – 5,50 juta/ul

Hematokrit 16,7* 37,00 – 47,00 vol%

Trombosit 279 150,000 – 450,000 /ul

RDW-CV 38,8* 11.5 – 14.7 %

MCV, MCH, MCHC

MCV 65,0* 80,0 – 97,0 fl

MCH 19,8* 27,0 – 32,0 pg

MCHC 30,5* 32,0 – 38,0 %

HITUNG JENIS

Basofil % 0,6 0,0 – 1,0 %

Eosinofil % 2,3 1,0 – 3,0 %

Gran % 43,2* 50.0 – 70.0 %

Limfosit % 50,8* 25.0 – 40.0 %

Monosit % 3,1 3,0 – 9,0 %

MID 0,4 Ribu/ul

14

Page 17: Perbaikan Lapsus Thalassemia

VI. Pemeriksaan Penunjang (Lab 16/9/2012)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 8.2* 12,00-16,00 g/dL

Leukosit 6,8 4,000 – 10,500 /ul

15

Page 18: Perbaikan Lapsus Thalassemia

Eritrosit 2,45* 3,90 – 5,50 juta/ul

Hematokrit 25.8* 37,00 – 47,00 vol%

Trombosit 314 150,000 – 450,000 /ul

RDW-CV 38,8* 11.5 – 14.7 %

MCV, MCH, MCHC

MCV 77.9* 80,0 – 97,0 Fl

MCH 23.6* 27,0 – 32,0 pg

MCHC 33.2* 32,0 – 38,0 %

HITUNG JENIS

Basofil % 0,6 0,0 – 1,0 %

Eosinofil % 1,3 1,0 – 3,0 %

Gran % 43,6* 50.0 – 70.0 %

Limfosit % 50,8* 25.0 – 40.0 %

Monosit % 4.5 3,0 – 9,0 %

Basofil # 0,05 <1 ribu/ul

Eosinofil # 0,02 <3 ribu/ul

Gran # 4.29 2,50 – 7,00 ribu/ul

Limfosit # 2.3 1,25 – 4,0 ribu/ul

Monosit # 0,30* 0,30 – 1,00 ribu/ul

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

16

Page 19: Perbaikan Lapsus Thalassemia

Evaluasi Hapusan Darah Tepi :

Eritrosit : Hipokromik Anisopoikilositosis, tear drop (+), cigar cell (+),

target cell (+), polikromasi (+), normoblast (+)

Leukosit : Kesan jumlah normal, neutropeni, sel darah muda (-)

Trombosit : Kesan jumlah normal, giant trombosit (+)

Kesan : DD. Thalassemia + Anemia Defisiensi Besi, disertai Anemia

Hemolitik

Saran : Hb Elektroforesa, SI, TIBC, Feritin, LDH, Bilirubin, Retikulosit

VII.Follow Up Selama Rawat Inap

Follow Up 12/9/2012

S Lemah (-)

Pusing (-)

Muntah (-)

Makan/minum (+/+)

BAB/BAK (+/+)

Demam (-)

O

Sense compos mentis

TD 100/70 mmHg N 91x/menit

Temp 36,8°C RR 21x/menit

Kepala Conjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-)

Leher JVP = (5-2) cmH20, pembesaran KGB (-)

Cor HR = 91x/menit, murmur (-), gallop (-)

Pulmo Vesikuler (+) N, Rhonki (-), Wheezing (-)

Abdomen datar, tegang pada hipokondrium kiri, venektasi (-), lien

schuffner 5, BU(+) normal.

Extremitas Edema extremitas superior (-)

17

Page 20: Perbaikan Lapsus Thalassemia

Edema extrmitas inferior (-)

A Anemia Gravis e.c Thalassemia beta mayor

P IVFD Nacl 0,9% 16 tpm

Inj. Dexamethason 1 amp (k/p)

Transfusi PRC 3-4 kolf (s/d Hb>= 10) dengan Pre Difenhidramin 1 amp IV

P.O :

- Ranitidin 2x1 tab

- Antacid syr 3x1 CI

- B1, B6, B12 2x1 tab

- Paracetamol 3x 500 mg (k/p)

Follow Up 13/9/2012

S Lemah (-)

Pusing (-)

Muntah (-)

Makan/minum (+/+)

BAB/BAK (+/+)

Demam (-)

O

Sense compos mentis

TD 110/70 mmHg N 90x/menit

Temp 36,7°C RR 20x/menit

Kepala Conjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-)

Leher JVP = (5-2) cmH20, pembesaran KGB (-)

Cor HR = 91x/menit, murmur (-), gallop (-)

Pulmo Vesikuler (+) N, Rhonki (-), Wheezing (-)

Abdomen datar, tegang pada hipokondrium kiri, venektasi (-), lien

schuffner 5, BU(+) normal.

18

Page 21: Perbaikan Lapsus Thalassemia

Extremitas Edema extremitas superior (-)

Edema extrmitas inferior (-)

A Anemia Gravis e.c Thalassemia beta mayor

P IVFD Nacl 0,9% 16 tpm

Inj. Dexamethason 1 amp (k/p)

Transfusi PRC 3-4 kolf (s/d Hb>= 10) dengan Pre Difenhidramin 1 amp IV

Post Transfusi PRC 2 kolf

P.O :

- Ranitidin 2x1 tab

- Antacid syr 3x1 CI

- B1, B6, B12 2x1 tab

- Paracetamol 3x 500 mg (k/p)

Follow Up 14/9/2012

S Lemah (+)

Pusing (-)

Muntah (-)

Makan/minum (+/+)

BAB/BAK (+/-)

Demam (+)

O

Sense compos mentis

TD 100/70 mmHg N 92x/menit

Temp 37,5°C RR 18x/menit

Kepala Conjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-)

Leher JVP = (5-2) cmH20, pembesaran KGB (-)

Cor HR = 91x/menit, murmur (-), gallop (-)

Pulmo Vesikuler (+) N, Rhonki (-), Wheezing (-)

Abdomen datar, tegang pada hipokondrium kiri, venektasi (-), lien

19

Page 22: Perbaikan Lapsus Thalassemia

schuffner 5, BU(+) normal.

Extremitas Edema extremitas superior (-)

Edema extrmitas inferior (-)

A Thalassemia beta mayor

P IVFD Nacl 0,9% 16 tpm

Inj. Dexamethason 1 amp (k/p)

Post Transfusi PRC 4 kolf

Transfusi PRC 3-4 kolf (s/d Hb>= 10) dengan Pre Difenhidramin 1 amp IV

P.O :

- Ranitidin 2x1 tab

- Antacid syr 3x1 CI

- B1, B6, B12 2x1 tab

- Paracetamol 3x 500 mg (k/p)

Follow Up 15/9/2012

S Lemah (<)

Pusing (-)

Muntah (-)

Makan/minum (+/+)

BAB/BAK (+/+)

Demam (-)

O

Sense compos mentis

TD 90/50 mmHg N 96x/menit

Temp 36,3°C RR 18x/menit

Kepala Conjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-)

Leher JVP = (5-2) cmH20, pembesaran KGB (-)

Cor HR = 91x/menit, murmur (-), gallop (-)

Pulmo Vesikuler (+) N, Rhonki (-), Wheezing (-)

Abdomen datar, tegang pada hipokondrium kiri, venektasi (-), lien

20

Page 23: Perbaikan Lapsus Thalassemia

schuffner 5, BU(+) normal.

Extremitas Edema extremitas superior (-)

Edema extrmitas inferior (-)

A Thalassemia beta mayor

P IVFD Nacl 0,9% 16 tpm

Inj. Dexamethason 1 amp (k/p)

Post Transfusi PRC 3 kolf

Transfusi PRC 3-4 kolf (s/d Hb>= 10) dengan Pre Difenhidramin 1 amp IV

P.O :

- Ranitidin 2x1 tab

- Antacid syr 3x1 CI

- B1, B6, B12 2x1 tab

- Paracetamol 3x 500 mg (k/p)

Follow Up 16/9/2012

S Lemah (-)

Pusing (-)

Muntah (-)

Makan/minum (+/+)

BAB/BAK (+/+)

Demam (-)

Pucat (+)

O

Sense compos mentis

TD 100/70 mmHg N 91x/menit

Temp 36,8°C RR 21x/menit

Kepala Conjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-)

Leher JVP = (5-2) cmH20, pembesaran KGB (-)

Cor HR = 91x/menit, murmur (-), gallop (-)

Pulmo Vesikuler (+) N, Rhonki (-), Wheezing (-)

Abdomen datar, tegang pada hipokondrium kiri, venektasi (-), lien

schuffner 5, BU(+) normal.

Extremitas Edema extremitas superior (-)

21

Page 24: Perbaikan Lapsus Thalassemia

Edema extrmitas inferior (-)

A Thalassemia beta mayor

P IVFD Nacl 0,9% 16 tpm

Inj. Dexamethason 1 amp (k/p)

Post Transfusi PRC 4 kolf

Transfusi PRC 3-4 kolf (s/d Hb>= 10) dengan Pre Difenhidramin 1 amp IV

P.O :

- Ranitidin 2x1 tab

- Antacid syr 3x1 CI

- B1, B6, B12 2x1 tab

- Paracetamol 3x 500 mg (k/p)

Follow Up 17/9/2012

Pasien APS

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Patologi Molekular dan Sellular

22

Page 25: Perbaikan Lapsus Thalassemia

Beta Thalassemia disebabkan oleh lebih dari 200 poin mutasi dan kadang-

kadang meskipun jarang, dapat disebabkan oleh adanya delesi gen (1).

Thalassemia merupakan penyakit heterogen secara klinis karena berbagai variasi

lesi genetik merusak sintesis rantai globin. Namun, variabilitas genotip pada lokus

yang telah diketahui sering belum cukup untuk menjelaskan fenotipe-fenotipe

yang berbeda pada orang tua dari individu dengan genotipe yang sama. Disparitas

antara genotipe-genotipe dan fenotipe-fenotipe khususnya ditandai pada

thalassemia intermedia dan thalassemia hemoglobin E. Namun, faktor-faktor

genetik yang telah diketahui tidak cukup untuk mempertanggungjawabkan

variabilitas yang telah ditandai, dan pengubah gentik lainnya mungkin ada (2)

Hemolisis dan eritropoiesis yang tidak efektif bersama-sama menyebabkan

anemia yang terjadi pada thalassemia. Kontribusi relatif dari dua proses patologis

ini memberikan efek yang berbeda pada berbagai variasi jenis thalassemia.

Gambar 2 akan mengilustrasikan proses kompleks dari peristiwa yang terjadi pada

eritrosit-eritorsi, yang merupakan hasil dari percepatan destruksi perifer (3)

23

Page 26: Perbaikan Lapsus Thalassemia

Gambar 4.1 Penanganan Thalassemia dan Pengobatan yang Berhubungan dengan Komplikasi (4)

Sumsum tulang pada pasien thalassemia mengandung lima sampai enam

kali lipat prekursor eritroid dari sumsum tulang orang normal (5), 15 kali lipat

jumlah sel apoptotik pada tingkat polikromatofilik dan ortokromik (5,6),

percepatan apoptosis. Penyebab utama dari eritropoiesis yang tidak efektif

disebabkan oleh kelebihan endapan rantai alfa pada prekursor eritroid. Meskipun

mekanisme yang tepat tidak diketahui, jalur kematian reseptor tampaknya

dikaitkan dengan interaksi ligan fas-fas (7). Dalam eritropoiesis normal,

mekanisme apoptosis tampaknya memainkan peran regulasi dan diperlukan untuk

24

Page 27: Perbaikan Lapsus Thalassemia

pematangan eritroid normal (8). Percepatan apoptosis dihubungkan dengan

peningkatan pajanan fosfatidilserin pada ekstraseluler (gambar 2), yang

merupakan sinyal penting untuk penghapusan oleh makrofag yang teraktivasi (9),

yang jumlahnya meningkat pada sumsum tulang penderita thalassemia (10).

4.2 Manifestasi Klinis dan Terapi Supportif Thalassemia

4.2.1 Anemia dan Terapi Transfusi

Terapi transfusi berkelanjutan untuk menjaga kadar hemoglobin berkisar

antara 9-10 g/dl diizinkan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan,

juga untuk mengurangi hepatosplenomegali yang tidak hanya diakibatkan oleh

hematopoiesis extramedullar tetapi juga oleh deformitas tulang (11,12).

4.2.2 Endokrinopati dan Penyakit Tulang

Gangguan pertumbuhan, endokrinopati, khususnya hipogonadisme, merupakan

manifestasi umum pada thalassemia (11,13,14). Sejak manifestasi-manifestasi ini

dihasilkan tidak hanya dari anemia kronik tetapi juga kelebihan zat besi, itu semua

lebih sering pada pasien yang lebih tua atau mereka yang menjalani terapi kelasi

besi yang tidak cukup (11,13). Pengganti hormon diindikasikan untuk sisa

insufisiensi endokrin (14). Terapi hormon pertumbuhan telah memiliki

keberhasilan variabel (13). Hipogonadotropik hipogonadisme mengganggu

kesuburan tetapi dapat diperbaiki dengan menggunakan penggantian hormon pada

pasien laki-laki.

25

Page 28: Perbaikan Lapsus Thalassemia

Gambar 4.2 Patofisiologi Hemolisis dan Hiperkoagulobilitas (4)

Sebagian kecil pasien wanita, termasuk mereka yang dengan thalassemia mayor

atau thalassemia intermedia, telah dapat hamil, baik secara spontan (jika mereka

mendapat terapi kelasi yang adekuat) atau dengan teknik reproduksi bantuan (13).

Kehamilan umumnya muncul dengan aman bila fungsi dasar jantung baik (15).

26

Page 29: Perbaikan Lapsus Thalassemia

Kelasi yang terlalu kuat dikaitkan dengan displasia tulang yang diinduksi

deferoxamin, yang dapat memperlambat kecepatan pertumbuhan pada anak-anak

dan mungkin hanya sebagian reversibel (14). Penatalaksanaan penyakit tulang

meliputi monitoring secara hati-hati pada terapi kelasi, perubahan gaya hidup

(meningkatkan intake kalsium dan aktivitas fisik serta menghindari kebiasaan

merokok), terapi hormonal, dan terapi vitamin D. Penghambat osteoklas seperti

bifosfonat mempunyai potensial untuk mereduksi resorpsi tulang dan mungkin

pendekatan pengobatan yang baik, namun studi lebih lanjut diperlukan sebelum

rutin penggunaan obat ini dapat direkomendasikan (16).

4.2.3 Kelebihan Zat Besi – Patogenesis, Pengukuran, dan Terapi

Kelebihan zat besi menyebabkan banyak mortalitas dan morbiditas yang

berhubungan dengan thalassemia. Deposisi zat besi terjadi di organ viseral

(terutama di jantung, hati, dan kelenjar endokrin), menyebabkan kerusakan

jaringan dan pada akhirnya disfungsi dan gagal organ. Manifestasi yang terjadi

pada jantung karena kelebihan zat besi masih menjadi penyebab utama kematian

(17,18). Baik kelebihan zat besi karena transfusi maupun kelebihan absorpsi zat

besi pada gastrointestinal juga akan berpengaruh. Secata berlawanan, kelebihan

penyerapan besi pencernaan tetap ada meskipun kenaikan besar total beban besi

tubuh.

Hepcidin adalah sebuah peptida kecil yang menghambat absorbsi zat besi

pada usus halus. Kadar hepcidin secara normal akan meningkat ketika pasokan zat

besi tubuh mengalami kenaikan (19). Kadar hepcidin ditemukan rendah pada

pasien dengan thalassemia intermedia dan thalassemia mayor (20). Terlebih lagi,

27

Page 30: Perbaikan Lapsus Thalassemia

serum pasien thalassemia menginhibisi hepcidin messenger ekspresi RNA pada

garis sel HepG2, yang menunjukkan kehadiran faktor humoral dalam menurunkan

regulasi hepcidin (21). Pengamatan ini menunjukkan bahwa regulasi hepcidin atau

agen yang meningkatkan ekspresi hepcidin mungkin berguna secara terapi untuk

penghambatan penyerapan besi yang tidak seharusnya

Secara tepat, sebaiknya pengukuran non-invasif cadangan besi sangat

penting untuk evaluasi dan manajemen terapi kelasi. Serum feritin paling umum

diukur sebagai indikator cadangan besi. Kadar feritin di bawah 2500 mg per

mililiter dikaitkan dengan peningkatan kelangsungan hidup, serta bebas dari

penyakit jantung (22). Namun, kadar feritin serum sangat diandalkan, terutama

ketika penyakit hati muncul (23). Biopsi hati telah sering digunakan tetapi invasif.

Pengukuran non-invasif langsung cadangan besi hepatik mungkin dengan teknik

magnetik susceptometry (dengan menggunakan perangkat kuantum-gangguan

superkonduksi) dan setara atau lebih akurat daripada pengukuran besi hepatik oleh

biopsi hati (18). Namun, hanya empat center di dunia ini yang mampu

melakukannya.

Perlu dicatat bahwa hepatik besi mungkin tidak secara akurat

melambangkan deposisi besi pada organ vital lainnya (seperti jantung). Memang,

kerusakan jantung parah telah diamati pada beberapa pasien dengan khelasi yang

mungkin memadai, dan besi pada otot jantung dan fungsi ventrikel kiri tampaknya

tidak dapat diprediksi dari konsentrasi besi hati, kadar feritin, atau keduanya (24).

Oleh karena itu, teknik-teknik non-invasif untuk pengukuran kadar besi jantung

sedang dikembangkan. Pencitraan resonansi magnetis (MRI) untuk pengukuran

28

Page 31: Perbaikan Lapsus Thalassemia

kadar besi jantung secara teknis bermasalah. Namun, penerapan T 2 gradientecho

Sekuensing lebih sensitif terhadap pengendapan hemosiderin dan tampaknya

berguna untuk pengukuran besi pada otot jantung pasien thalassemia (25), namun

pendekatan ini membutuhkan validasi lebih lanjut dan studi jangka panjang untuk

menentukan manfaatnya dalam menilai efektivitas terapi khelasi

Terapi kelasi besi mempunyai tanggung jawab besar dalam memperpanjang

angka harapan hidup pasien thalassemia mayor (18,22,26). Deferoxamin

berkelanjutan merupakan agen kelasi besi yang paling dikenal, tetapi memiliki

banyak keterbatasan : dibutuhkan perlakuan secara parenteral (menimbulkan rasa

sakit dan mengurangi kepatuhan), efek samping, dan harga (mahal di negara-

negara berkembang) (18).

Banyak usaha telah dilakukan untuk menemukan kelator aktif oral baru.

Deferipon, sebuah kelator oral, awalnya dipikirkan sebagai kelator yang tidak

adekuat yang mungkin memperparah terjadinya fibrosis hepatik. Namun,

pengalaman kumulatif di seluruh dunia mengindikasikan bahwa obat ini aman dan

efektif (27). Penggunaan deferipon jangka panjang tidak menunjukkan adanya

hubungan dengan kerusakan hati (28). Efek samping dari deferipon meliputi

artralgia, nausea dan gejala gastrointestinal lainnya, peningkatan kadar enzim hati,

leukopenia, dan jarang sekali terjadi agranulositosis dan defisiensi zync (29).

Banyak dari efek samping ini dapat dimonitoring dan dikontrol.

Deferipon memiliki banyak keunggulan daripada deferoxamin. Deferipon

dapat menembus membran sel dan kelat beracun spesies besi intraseluler (30).

Pada sebuah studi awal, kadar hemoglobin meningkat dan kebutuhan transfusi

29

Page 32: Perbaikan Lapsus Thalassemia

menurun pada beberapa pasien dengan thalassemia hemoglobin E yang mendapat

terapi deferipon dalam kurun waktu rata-rata 50 minggu (31). Dan yang

terpenting, penelitian terbaru menunjukkan bahwa deferipon mungkin lebih

effektif daripada deferoxamin dalam menyingkirkan zat besi pada miokardium

(24,32,33).

4.3 Diagnosis

Dari anamnesis akan didapatkan keluhan-keluhan akibat anemia. Pada

kasus ini, pasien tampak pucat, terdapat gangguan nafsu makan, infeksi berulang,

kelemahan umum, dan ada riwayat gangguan tumbuh kembang. Pada umumnya

keluhan ini mulai timbul pada usia 6 bulan. Rentang gambaran klinisnya sangatlah

luas, mulai yang asimtomatis sampai yang berat bahkan fatal. Selain itu juga dapat

dijumpai wajah yang tampak khas gambaran mongoloid (facies cooley) akibat

adanya deformitas tulang kepala dengan zigoma yang meninjol. Juga didapatkan

hepatomegali dan splenomegali (34)

Pemeriksaan Hb elektroforesis merupakan pemeriksaan diagnostik yang

utama. Hb biasanya rendah, berkisar antara 2-8g/dl. Mean corpusculer volume

(MCV) dan mean corpusculer hemoglobin (MCH) rendah. Sementara red blood

cell distributing weight (RDW) meningkat. Dari preparat hapus, akan didapatkan

gambaran eritrosit mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan

makroovalositosis, mikrosferosit, polokromasi, basophilic stippling, benda howel-

jolly, poikilositosis. Sementara foto tulang pipih dan ujung tulang panjang tampak

perluasan sumsum tulang sehingga trabekula tampak jelas.(34)

30

Page 33: Perbaikan Lapsus Thalassemia

4.4 Pemeriksaan Penunjang

4.4.1 Darah tepi :

Hb rendah dapat sampai 2-3 g%

Gambaran morfologi eritrosit : mikrositik hipokromik, sel target,

anisositosis berat dengan makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi,

basophilic stippling, benda Howell-Jolly, poikilositosis dan sel target.

Gambaran ini lebih kurang khas.

Retikulosit meningkat.

4.4.2 Sumsum tulang (tidak menentukan diagnosis) :

Hiperplasi sistem eritropoesis dengan normoblas terbanyak dari jenis

asidofil.

Granula Fe (dengan pengecatan Prussian biru) meningkat.

4.4.3 Pemeriksaan khusus :

Hb F meningkat : 20%-90% Hb total

Elektroforesis Hb : hemoglobinopati lain dan mengukur kadar Hb F.

Pemeriksaan pedigree: kedua orangtua pasien thalassemia mayor

merupakan trait (carrier) dengan Hb A2 meningkat (> 3,5% dari Hb total).

4.4.4 Pemeriksaan lain :

Foto Ro tulang kepala : gambaran hair on end, korteks menipis, diploe

melebar dengan trabekula tegak lurus pada korteks.

Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang : perluasan sumsum tulang

sehingga trabekula tampak jelas.

31

Page 34: Perbaikan Lapsus Thalassemia

4.4 Penatalaksanaan

1. Transfusi darah

Beberapa pendapat berlainan mengenai transfusi darah. Secara umum

dikatakan, pasien dengan kadar Hb <7g/dl sudah memerlukan transfusi.

Sebagian menyatakan sebaiknya transfusi sel darah merah dimulai bila kadar Hb

turun mencapai 10g/dl dan dipertahankan pada kadar sekitar 14g/dl (high

transfussion scheme). Adapula yang menyatakan sebaiknya transfusi darah baru

diberikan pada kadar 6g/dl dengan mempertahankan kadar Hb sekitar 10g/dl

(low tranfussion scheme). (35)

Pemberian transfusi PRC secara teratur guna memelihara kadar Hb pada

tingkat 9-10g/dl , membantu mengurangi komplikasi anemia, dan eritropoesis

yang tidak efektif, memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan, mengurangi

hepatosplenomegali, mengurangi hematopoesis ekstrameduler sehingga

mengurangi adanya deformitas tulang serta memperpanjang ketahanan hidup

pada thalassemia mayor. Regimen yang digunakan untuk mempertahankan

konsentrasi Hb sebelum transfusi tidak melebihi dari 9,5g/dl. Telah

menunjukkan penurunan kebutuhan transfusi dan memperbaiki kontrol beban

besi dalam tubuh bila dibandingkan dengan regimen transfusi Hb lebih dari

11g/dl. (36)

Komplikasi utama akibat transfusi darah adalah penyebaran penyakit

infeksi yang terkait transfusi, serta komplikasi dari iron overload akibat transfusi

yang berulang-ulang. (37)

2. Kelasi besi

32

Page 35: Perbaikan Lapsus Thalassemia

Penumpukan besi merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang

paling banyak pada penderita thalassemia. Penumpukan besi terutama terjadi

pada organ-organ viseral terutama pada jantung,hati dan kelenjar endokrin.

Menyebabkan kerusakan jaringan dan disfungsi/gagal organ. Diperkenalkannya

chelating agent (kelasi besi) yang dapat mengeluarkan kelebihan besi dari dalam

tubuh telah mengubah harapan hidup penderita thalassemia. Bila diberikan

bersamaan dengan transfusi PRC, kelasi besi dapat memperlambat terjadinya

penyakit jantung, bahkan pada beberapa penderita hal itu dapat dicegah. (37)

Beberapa kelasi yang ada di pasaran Defoxamine (DFO), Deferiprone,

deferasirox

3. Pemantauan fungsi organ

Melakukan pemeriksaan secara berkala setiap 6 bulan atau lebih cepat bila

diperlukan terhadap kemungkinan adanya gangguan fungsi organ. (38)

4. Splenektomi

Mengingat komplikasi infeksi berat yang terjadi pasca splenektomi, maka

tindakan ini sebaiknya dilakukan pada umur 5 tahun keatas. Pada umur tersebut

fungsi limpa sebagai organ yang berperan dalam pembentukan zat anti terhadap

infeksi sudah dapat diambil alih oleh organ limfoid lain (36). Indikasi

splenektomi, antara lain:

Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita,

menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya

ruptur.

33

Page 36: Perbaikan Lapsus Thalassemia

Hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah

atau kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan

dalam satu tahun.

5. Suplemen

a. Vitamin C. Penderita thalassemia yang mendapat terapi kelasi besi

memperlihatkan defisiensi vitamin C. Vitamin C seharusnya diberikan

dalam jumlah kecil saja guna memperkuat efek pengikatan besi

(3mg/kg/hari saat dimulainya pemberian kelasi besi), pemberian dalam

dosis besar harus dihindari. (38)

b. Vitamin E. Dosis untuk anak diberikan 1UI/kg/hari secara oral (38)

c. Asam folat. Direkomendasikan untuk memberikan asam folat 1mg/hari.

(38)

6. Dukungan psikologis

Kepada penderita diterangkan mengenai penyakitnya dan perlunya

pemberian transfusi serta kelasi besi supaya penderita dapat hidup dan

melakukan aktifitas sehari-hari seperti anak normal lainya.(38)

7. Transplantasi sumsum tulang

Terbentur pada biaya yang tinggi dan kelangkaan donor dengan HLA yang

cocok. Survival ratenya sebesar 59%, sementara penderita yang tidak

mempunyai faktor resiko yang buruk survival rate nya mencapai 90%. (36)

8. Pencegahan

Marriage counseling dan prenatal diagnosis sangatlah penting untuk

pencegahan lahirnya thalassemia mayor. Sedapat mungkin dihindarkan antara

34

Page 37: Perbaikan Lapsus Thalassemia

dua insan heterozygot, agar tidak terjadi bayi homozygot. Prenatal diagnosis

akan memutuskan kehamilan itu dipertahankan atau di gugurkan (36).

BAB V

PENUTUP

35

Page 38: Perbaikan Lapsus Thalassemia

Telah dilaporkan penderita Ny R, umur 34 tahun dengan diagnosis

penyakit thalassemia beta mayor. Kurang lebih 1 bulan yang lalu, pasien pergi ke

puskesmas untuk periksa darah, kemudian didapatkan bahwa Hb pasien rendah,

sehingga pasien dirujuk ke RS.Ulin untuk tambah darah. Pasien sudah didiagnosa

thalassemia sejak usia 7 tahun, setelahnya pasien rutin kontrol darah ke

puskesmas tiap 1 bulan sekali.

Saat umur 9 tahun, pasien transfusi darah tiap 3 bulan sekali, sampai saat

ini. Pasien merasa lemas apabila mulai kurang darah, tidak ada perdarahan gusi,

dan tidak ditemukan adanya ptekie

Selama di rumah sakit, pasien mendapat terapi supportif berupa transfusi

PRC s/d Hb 10. Selain itu, pasien juga mendapatkan terapi injeksi dexametason,

tablet ranitidin, vitamin B6, B12, dan parasetamol.

DAFTAR PUSTAKA

36

Page 39: Perbaikan Lapsus Thalassemia

1. Higgs DR, Thein SL, Woods WG. The molecular pathology of the

thalassaemias. In: Weatherall DJ, Clegg B, eds. The thalassaemia syndromes.

4th ed. Oxford, England: Blackwell Science, 2001:133-91

2. Weatherall DJ. Phenotype-genotype relationships in monogenic disease:

lessons from the thalassaemias. Nat Rev Genet 2001; 2:245-55.

3. Pootrakul P, Sirankapracha P, Hemsorach S, et al. A correlation of

erythrokinetics, ineffective erythropoiesis, and erythroid precursor apoptosis

in Thai patients with thalassemia. Blood 2000;96:2606-12.

4. Rund D, E Rachmilewitz. Medical Progress Beta Thalassemia. NEJM 2005;

353:1135-46

5. Centis F, Tabellini L, Lucarelli G, et al. The importance of erythroid

expansion in determining the extent of apoptosis in erythroid precursors in

patients with b-thalassemia major. Blood 2000;96:3624-9.

6. Mathias LA, Fisher TC, Zeng L, et al. Ineffective erythropoiesis in b-

thalassemia major is due to apoptosis at the polychromatophilic normoblast

stage. Exp Hematol 2000;28:1343-53

7. De Maria R, Testa U, Luchetti L, et al. Apoptotic role of Fas/Fas ligand

system in the regulation of erythropoiesis. Blood 1999; 93:796-803.

8. Testa U. Apoptotic mechanisms in the control of erythropoiesis. Leukemia

2004; 18:1176-99

9. Kuypers FA, de Jong K. The role of phosphatidylserine in recognition and

removal of erythrocytes. Cell Mol Biol 2004;50:147-58.

37

Page 40: Perbaikan Lapsus Thalassemia

10. Angelucci E, Bai H, Centis F, et al. Enhanced macrophagic attack on b-

thalassemia major erythroid precursors. Haematologica 2002;87:578-83

11. Cunningham MJ, Macklin EA, Neufeld EJ, Cohen AR. Complications of b-

thalassemia major in North America. Blood 2004; 104:34-9.

12. Old JM, Olivieri NF, Thein SL. Diagnosis and management of thalassaemia.

In: Weatherall DJ, Clegg B, eds. The thalassaemia syndromes. 4th ed.

Oxford, England: Blackwell Science, 2001:630-85

13. De Sanctis V. Growth and puberty and its management in thalassaemia. Horm

Res 2002;58:Suppl 1:72-9.

14. Raiola G, Galati MC, De Sanctis V, et al. Growth and puberty in thalassemia

major. J Pediatr Endocrinol Metab 2003;16:Suppl 2:259-66.

15. Cohen AR, Galanello R, Pennell DJ, Cunningham MJ, Vichinsky E.

Thalassemia. Hematology (Am Soc Hematol Educ Program) 2004;1:14-34

16. Voskaridou E, Terpos E. New insights into the pathophysiology and

management of osteoporosis in patients with beta thalassaemia. Br J

Haematol 2004;127:127-39

17. Modell B, Khan M, Darlison M. Survival in beta-thalassaemia major in the

UK: data from the UK Thalassaemia Register. Lancet 2000;355:2051-2.

18. Olivieri NF. The b-thalassemias. N Engl J Med 1999;341:99-109. [Erratum,

N Engl J Med 1999;341:1407.]

19. Ganz T. Hepcidin, a key regulator of iron metabolism and mediator of anemia

of inflammation. Blood 2003;102:783-8.

38

Page 41: Perbaikan Lapsus Thalassemia

20. Papanikolaou G, Tzilianos M, Christakis JI, et al. Hepcidin in iron overload

disorders. Blood 2005;105:4103-5

21. Rachmilewitz EA, Weizer-Stern O, Adamsky K, et al. Iron and oxidative

stress in thalassemia: Eighth International Cooley’s Anemia Symposium,

March 2005. Ann N Y Acad Sci 2005;1054:1-6

22. Hoffbrand AV, Cohen A, Hershko C. Role of deferiprone in chelation therapy

for transfusional iron overload. Blood 2003;102: 17-24

23. Brittenham GM, Cohen AR, McLaren CE, et al. Hepatic iron stores and

plasma ferritin concentration in patients with sickle cell anemia and

thalassemia major. Am J Hematol 1993;42:81-5

24. Anderson LJ, Wonke B, Prescott E, Holden S, Walker JM, Pennell DJ.

Comparison of effects of oral deferiprone and subcutaneous desferrioxamine

on myocardial iron concentrations and ventricular function in beta-

thalassemia. Lancet 2002;360: 516-20

25. Voskaridou E, Douskou M, Terpos E, et al. Magnetic resonance imaging in

the evaluation of iron overload in patients with b thalassemia and sickle cell

disease. Br J Haematol 2004;126:736-42.

26. Borgna-Pignatti C, Rugolotto S, De Stefano P, et al. Survival and

complications in patients with thalassemia major treated with transfusion and

deferoxamine. Haematologica 2004;89:1187-93

27. Franchini M, Veneri D. Iron-chelation therapy: an update. Hematol J

2004;5:287- 92.

39

Page 42: Perbaikan Lapsus Thalassemia

28. Wanless IR, Sweeney G, Dhillon AP, et al. Lack of progressive hepatic

fibrosis during long-term therapy with deferiprone in subjects with

transfusion-dependent b-thalassemia. Blood 2002;100:1566-9. [Erratum,

Blood 2003;101:2460.]

29. Ceci A, Baiardi P, Felisi M, et al. The safety and effectiveness of deferiprone

in a large-scale, 3-year study in Italian patients. Br J Haematol 2002;118:330-

6

30. Shalev O, Repka T, Goldfarb A, et al. Deferiprone (L1) chelates pathologic

iron deposits from membranes of intact thalassemic and sickle red blood cells

both in vitro and in vivo. Blood 1995;86:2008-13

31. Pootrakul P, Sirankapracha P, Sankote J, et al. Clinical trial of deferiprone

iron chelation therapy in b-thalassaemia/haemoglobin E patients in Thailand.

Br J Haematol 2003;122:305-10

32. Piga A, Gaglioti C, Fogliacco E, Tricta F. Comparative effects of deferiprone

and deferoxamine on survival and cardiac disease in patients with thalassemia

major: a retrospective analysis. Haematologica 2003;88: 489-96.

33. Hershko C, Link GM, Konijn AM, Cabantchik ZI. Iron chelation therapy.

Curr Hematol Rep 2005;4:110-6

34. Permono B, IDG Ugrasana dalam : Permono B, Sutaryo, Ugrasena IDG,

Widiastuti E dan Abdulsalam, editor. Buku ajar hematologo-onkologi anak.

Badan penerbit IDAI 2005.

40

Page 43: Perbaikan Lapsus Thalassemia

35. Riza, Muhammad. (2008). Diagnosis dan tatalaksana thallasemia.

Disampaikan dalam seminar “ The newest perspective of talasemia”.

Surakarta

36. Run D and Rachmifewitz (2005). Β-thalassemia. N Engl 3 Med

37. Introduction diagnosis of thalasenia. Dari : URL:

http//www.thalassemia.com/thal_SOC_guide.pdf

38. Wahidayat I. (1998) Transfusi darah pada thalassemia. Dalam : Gatot D,

Abdulsalam M, Windiastuti E, Naskah lengkap PKB IKA XLI darah dan

tumbuh kembang : aspek transfuse. Balai penerbit FKUI. Jakarta

41