Upload
vunguyet
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN RANCANGAN
UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
(RUU KUHP) INDONESIA
Penulisan Hukum
(SKRIPSI)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh :
Erwan Adi Priyono
NIM. E0008335
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Erwan Adi Priyono
NIM : E0008335
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN RANCANGAN
UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (RUU
KUHP) INDONESIA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya
saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan
dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak
benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan
penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum
(skripsi) ini.
Surakarta,
Yang membuat pernyataan
Erwan Adi Priyono
NIM. E0008335
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTTO
“Man Jadda Wajada”
(Siapa Yang Bersungguh-sungguh Maka Ia Akan Berhasil)
Pengorbananku adalah cita-citaku
“Untuk mencintai kehidupan engkau harus mengingat-ingat kematian. Sebab
hanya mereka yang ingat kematian sajalah yang mempersiapkan diri dengan
menebarkan kebaikan-kebaikan kepada alam dan sesama manusia”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
I would like to dedicated all my love and my appreciation to my Mother and
Father, thanks for being a good parents for me.
Especially for my Mom Hj. Sumiyati I pround of you.
For my Familly and my lovely brothers, thanks for your support and pray.
I always remember about our love
For The H. Suprayitno’s family
And
INDONESIA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
ABSTRAK
Erwan Adi Priyono, E 0008335. 2012. PERBANDINGAN PENGATURAN
EUTHANASIA DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
(KUHP) DENGAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-
UNDANG HUKUM PIDANA (RUU KUHP) INDONESIA. Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertanggungjawaban dokter atas
tindakan euthanasia ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Indonesia serta kaitannya dalam pertanggung jawaban secara pidana serta untuk
membandingkan pengaturan euthanasia dalam Rancangan Undang-Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia mendatang terkait
pertanggung jawaban pidana yang dilakukan oleh dokter.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum
normatif sosiologis untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subyek dan
obyek penelitian yang berkaitan dengan pengaturan euthanasia dalam KUHP dan
RUU KUHP. Sumber data yang diperoleh dari data primer dan data sekunder.
Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi kepustakaan dan
wawancara terstruktur di Pengadilan Negeri Surakarta. Penganalisisan data secara
kualitatif, penelitian hukum ini berusaha untuk mengerti atau memahami gejala
yang diteliti untuk kemudian mengkaitkan atau menghubungkan bahan–bahan
hukum yang relevan dan menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan. Kesatu,
Selama ini ketentuan hukum yang mengatur mengenai masalah euthanasia yaitu
ketentuan dalam Pasal 344 KUHP pada dasarnya rumusannya sulit untuk
digunakan sebagai dasar dalam melakukan tuntutan terhadap masalah euthanasia.
Kedua, Munculnya Konsep Rancangan Pasal 574 RUU KUHP tahun 2005 yang
mempunyai unsur-unsur menyangkut euthanasia, belum memberikan pengaturan
secara jelas mengenai euthanasia itu sendiri.
Kata kunci : euthanasia, KUHP, RUU KUHP
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
ABSTRACT
Erwan Adi Priyono, E0008335. 2012. COMPARATIVE ON EUTHANASIA
ROLE IN KUHP WITH RUU KUHP OF INDONESIA. Faculty Of Law
Sebelas Maret University Of Surakarta.
This research aims to know about the doctor responsibility in euthanasia
act viewing from KUHP of Indonesia and the relation on the privat law
responsibilty and also to compare in the management of euthanasia on the next
RUU KUHP of Indonesia in relation to the responsibilty of privat law which done
by the doctor.
In this research, the writer uses normative-sociologis law research to give
the discription or explanation on research subject and object which in relation to
the role of euthanasia on KUHP and RUU KUHP. The data source which have
gotten from primer data and secunder data. The tehnicque of data collecting
which use is librarian study and structured interview which has done in Surakarta
Court. The data analysis is kualitatif this law research trying to know or
understand the syndrom which researched and then involved it with the law
material which relevan and become point in the librarian law research.
Based on the research result and the discussion there is a conclusion.
First, so far the law regulation which manage about euthanasia problem which is
the regulation on article 344 KUHP basicly the pattern is difficult tobe done as
the basic concept in doing the about euthanasia problem. Secondly, there is
concept of the design of article 574 RUU KUHP on year 2005 which has the
content about euthanasia, has given the clear management yet about euthanasia.
Keywords : euthanasia, KUHP, RUU KUHP
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat,
karunia, segala nikmat, dan kekuatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi/penulisan hukum yang berjudul “PERBANDINGAN PENGATURAN
EUTHANASIA DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
(KUHP) DENGAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-
UNDANG HUKUM PIDANA (RUU KUHP) INDONESIA”. Penulisan hukum
ini sebagai tugas akhir guna memenuhi syarat-syarat dalam mencapai derajat
Sarjana (S1) dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini tidak terlepas
dari dorongan dan bantuan banyak pihak. Oleh karenanya, penulis dengan ini
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof.Dr.Hartiwiningsih,S.H.M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Rehnalemken Ginting, S.H., M.H selaku Ketua Bagian Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Dr. M. Hudi Asrori. S, S.H.,M.Hum. selaku Pembimbing
Akademik penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bimbingan
kepada penulis.
4. Bapak Rehnalemken Ginting, S.H., M.H dan Ibu Siti Warsini, S.H., M.H.
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, perhatian,
dan pengarahan yang sangat berharga bagi penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
5. Bapak dan ibu dosen, serta karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta, terimakasih-ku ucapkan atas semua ilmu dan kenangan
yang telah dibagi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
6. Bapak H. Budhy Hertantiyo, S.H., M.H. selaku Hakim Pengadilan Negeri
Surakarta, telah memberikan bimbingan selama penelitian, serta Bapak
dan Ibu Pegawai Pengadilan Negeri Surakarta.
7. Bapak dan Ibuku H. Suprayitno dan Hj. Sumiyati, yang selalu memberikan
dukungan, kepercayaan, dan doa-doa yang selalu terpanjatkan di setiap
malam. Inilah salah satu bentuk baktiku.
8. Kakakku Saiful Dwi Priyatno yang selalu memberikan kasih sayang, doa,
dan motivasinya.
9. Sahabat-sahabatku SMA (Angga, Tabah, Hengky, Fredy, Mu‟arif, Widy
Jebol, Jack, Karyo) Terimakasih telah memberikan banyak hal di lewati
bersama kalian. Jaga kebersamaan kita.
10. Sahabat-sahabatku kelompok diskusi hukum (Yusuf, Immas, Putut, Pras
Adut). Walaupun hanya beberapa orang, tetapi ilmu yang kalian berikan
sangat berharga. Semoga di kemudian hari ilmu itu dapat kita terapkan.
Tetap berjuang dan jangan pernah berhenti untuk belajar.
11. Teman-teman “Kost Putra Dewo” (Akil, Aji, Aryo, Bayu cebong) tetep
kompak ya, yang telah memberikan arti sebuah kebersamaan, dari
semester 3 hingga sekarang.
12. Anak-anak Hukum angkatan 2008, terutama (Septa, Gangga, Eric, Pradha,
Ndaru, Hengki R, Nico E, Ryan, Farid, Adhi, Purbo, Angger, Lindu, Titis,
Indah, Nanda, dll) terima kasih sudah berjuang bersama, saling mengisi
ketika kuliah. Sukses buat kita semua. Tetep komunikasi ya.
13. Teman-teman FOSMI, terutama (Perry, Rohmadi, Yoga, Lutfal, Ismail,
Rintis, Asri, Mas Muhson, Mas Suryo, Mas Pras, Mas Ryan, Johan, Ukie,
Radit, dll) yang telah banyak memberikan pengalaman berorganisasi.
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak, penulis harapkan
demi perbaikan yang berkelanjutan. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan di kemudian hari. Terima kasih.
Surakarta, 7 Juni 2012
Penulis
Erwan Adi Priyono
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING..……………………….
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI..................................................
HALAMAN PERNYATAAN…………………………………………..
ABSTRAK……………………………………………………………....
HALAMAN MOTTO...............................................................................
HALAMAN PERSEMBAHAN...............................................................
KATA PENGANTAR………………………………………..................
DAFTAR ISI……………………………………………………………
DAFTAR TABEL.....................................................................................
DAFTAR GAMBAR................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………
A. Latar Belakang………..……………………………………..
B. Rumusan Masalah…………………………………………...
C. Tujuan Penelitian……………………………………………
D. Manfaat Penelitian…………………………………………..
E. Metode Penelitian…………………………………………...
F. Sistematika Penulisan Hukum………………………………
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………….
A. Kerangka Teori………..…………………………………….
1. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana..........................
a. Pengertian Tindak Pidana.............................................
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana……………….................
c. Jenis-Jenis Tindak Pidana…………………………….
2. Tinjauan Umum Tentang Kriteria Kematian..…………..
3. Tinjauan Umum Tentang Euthanasia................................
a. Pengertian Euthanasia..................................................
b. Unsur-Unsur Euthanasia..............................................
c. Bentuk-bentuk Euthanasia...........................................
d. Bentuk-bentuk Semu Euthanasia................................
e. Euthanasia Ditinjau Dari Segi Kedokteran..................
i
ii
iii
iv
v
vii
viii
ix
xii
xiv
xv
xvi
1
1
6
6
7
8
12
14
14
14
14
15
19
23
24
24
27
27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
d. Bentuk-bentuk semu euthanasia...................................
e. Euthanasia Ditinjau Dari Segi Kedokteran...................
f. Euthanasia Ditinjau Dari Segi Agama..........................
g. Perkembangan HAM Tentang Euthanasia....................
4. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Terhadap
Nyawa...............................................................................
a. Pengertian Tindak Pidana Terhadap Nyawa................
b. Pembagian Tindak Pidana Terhadap Nyawa................
c. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Terhadap Nyawa..........
B. Kerangka Pemikiran…….....………………………………...
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………….
A. Pengaturan Euthanasia di dalam Hukum Pidana
Indonesia…………..............................................................
1. Pengaturan Euthanasia di Mancanegara……....………
2. Penanganan Kasus Euthanasia di Indonesia……......…
3. Pengaturan Euthanasia di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia……...……
B. Perbedaan Pengaturan Euthanasia Dalam Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RUU KUHP) Indonesia……….........................……….....
1. Pengaturan Euthanasia Dalam Rancangan Undang-
Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU
KUHP) Indonesia Tahun 1999/2000............................
2. Pengaturan Euthanasia Dalam Rancangan Undang-
Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU
KUHP) Indonesia Tahun 2005.....................................
BAB IV. PENUTUP…………………………………………………….
A. Kesimpulan……………………………………………….....
B. Saran…………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………...
LAMPIRAN……………………………………………………………..
31
36
37
40
41
41
41
42
43
46
46
46
49
52
72
75
77
83
83
85
87
90
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Perbedaan pengaturan euthanasia dalam KUHP dengan RUU
KUHP..........................................................................................
82
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Kerangka Berpikir...................................................................
Gambar 2: Bagan Pengaturan Euthanasia Dalam KUHP…………….....
43
71
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Ijin Penelitian dan Surat Keterangan Penelitian Dari
Pengadilan Negeri Surakarta ............................................
89
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia sebagai negara berkembang tidak dapat menghindari adanya
kemajuan dan perkembangan di bidang kedokteran khususnya dan bidang
teknologi pada umumnya. Akibat kemajuan teknologi yang tak terbayangkan
dalam menyongsong milenium baru ini, menjadi penyebab terjadinya perubahan-
perubahan di berbagai bidang dan struktur masyarakat baik secara cepat atau
lambat. Demikian pula semakin banyak penemuan-penemuan di berbagai bidang
khususnya dalam hal ini di bidang medis.
Dengan perkembangan diagnosa, suatu penyakit dapat lebih sempurna
dilakukan dan pengobatan penyakitpun dapat berlangsung dengan cepat. Dengan
peralatan, rasa sakit si pasien diharapkan dapat diperingan agar kehidupan
seseorang dapat diperpanjang untuk jangka waktu tertentu dengan respirator.
Perkembangan teknologi dibidang medis ini dengan harapan agar dokter diberi
kesempatan untuk mengobati si pasien sebagai upaya bagi si pasien untuk sembuh
menjadi lebih besar, namun ada kalanya menimbulkan kesulitan di kalangan
dokter sendiri. Seperti penggunaan alat respirator yang dipasang untuk menolong
pasien, di mana jantung pasien berdenyut namun otaknya tidak berfungsi dengan
baik.
Selain kasus tersebut di atas banyak lagi masalah yang dihadapi dokter dalam
mengobati pasien, seperti halnya pasien yang tidak mungkin lagi diharapkan
sembuh atau hidup sehat karena belum ditemukan obatnya, sehingga pasien
merasakan sakit yang terus menerus, dalam hal ini apakah dokter harus
menghilangkan nyawa pasien atau euthanasia dengan teknik yang ada atau
membiarkan pasien begitu saja atau menyuruh pulang kembali ketengah
keluarganya. Menyadari hal itu kewajiban dokter adalah menghormati dan
melindungi setiap insan dengan menjalankan tugasnya semata-mata hanya untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
menyembuhkan dan mengurangi penderitaan pasien dengan ilmu pengetahuan
yang dimilikinya dan berdasarkan sumpah jabatan dan kode etik kedokteran.
Perlu diketahui bahwa perkembangan euthanasia dalam pengaturan hukum di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Uruguay telah melangkah begitu
jauh yang di antaranya disebutkan sebagai berikut, “Hukum dapat menganggap
seseorang tidak bersalah, bila ia melakukan perbuatan membunuh yang
bermotifkan perasaan kasihan sebagai kelanjutan dari permintaan si korban
kepadanya berulang-ulang”. Di Amerika Serikat yang menganut aliran hukum
Anglo Saxon, “melakukan euthanasia bukan suatu yang perlu dipermasalahkan
karena dalam sistem hukum yang demikian memungkinkan seseorang untuk
meminta putusan pengadilan untuk mengesahkan suatu tindakan”. California
menjadi negara bagian yang membuat undang-undang dan telah mengeluarkan
suatu produk legislatif perihal “Hak untuk mati” dalam bentuk undang-undangnya
yang diberi nama “The Natural Death Act” 1976
(http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view).
Uruguay dan Amerika merupakan contoh dari negara yang setuju dengan
euthanasia, tetapi ada juga negara yang sampai dengan saat ini tidak setuju atau
belum memenuhi aturan hukumnya tentang euthanasia ini, seperti halnya
Indonesia dan Belanda. Di negara Belanda kasus euthanasia yang pertama terjadi
pada tahun 1952, ketika pengadilan di Utrech dalam keputusannya pada tanggal
11 Maret 1952 menjatuhkan hukuman bersyarat kepada seorang dokter, yang atas
permintaan dengan jalan suntikan mengakhiri hidup kakaknya yang sangat
menderita karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Demikian juga
terhadap kasus Leeuwarder Euthanasia proses 1973. Pengadilan Leeuwarder
dalam keputusannya tanggal 21 Januari 1973 menjatuhkan hukuman bersyarat
selama satu minggu kepada Nyonya Posman yang telah sengaja memberikan
suntikan kepada ibunya yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
Dua putusan pengadilan tersebut membuktikan bahwa di Belanda, euthanasia
belum dapat dilakukan (http://typecat.com/pdf/skripsi-tentang-euthanasia.html#).
Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai
euthanasia (Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
permintaan dirinya sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa
seseorang. Dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang
menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia.
Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa
setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya
dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu
alasan kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk
sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera
diakhiri hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia
beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya,
karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa
diganggu gugat oleh manusia.
Masalah euthanasia ini memang menyangkut nyawa manusia. Bila dilihat dari
kacamata hukum, khususnya hukum pidana Indonesia, maka euthanasia dapat
dikategorikan ke dalam kejahatan terhadap nyawa orang, sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 334 KUHP. Secara historis, pasal ini belum pernah
menjaring pelaku euthanasia, sehingga tidak efektif. Oleh karena itu dalam
rangka pembangunan hukum, terutama pembaharuan hukum pidana, maka Pasal
334 KUHP tersebut perlu ditinjau kembali, agar dapat berdaya guna, berhasil
guna dan sesuai dengan perkembangan sosial (Rehnalemken Ginting, 2009 : 2).
Dewasa ini hampir tidak ada bidang kehidupan masyarakat yang tidak
terjamah oleh hukum, baik sebagai kaidah maupun sikap tindak manusia yang
teratur dan unik. Hal ini terutama disebabkan karena pada dasarnya manusia
mempunyai hasrat untuk hidup teratur. Akan tetapi keteraturan bagi seseorang
belum tentu sama dengan keteraturan bagi orang lain. Oleh karena itu diperlukan
kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia agar kepentingan-
kepentingannya tidak bertentangan dengan kepentingan-kepentingan sesama
warga masyarakat. Salah satu kaidah yang diperlukan manusia adalah kaidah
hukum yang mengatur hubungan antara manusia untuk mencapai kedamaian
melalui keserasian antara ketertiban dengan ketentraman (Soerjono Soekanto,
1987 : 1).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Kehadiran hukum hampir pada setiap jengkal kehidupan manusia merupakan
salah satu ciri dari masyarakat kita dewasa ini (Sajipto Raharjo, 1986 : 83).
Namun dalam realitanya, hukum itu sering ketinggalan bila dibandingkan dengan
perkembangan masyarakat yang senantiasa berubah sesuai dengan tuntutan
kemajuan zaman. Hukum yang tadinya diharapkan mengatur, kini harus ditata
lebih dahulu agar dapat sesuai dengan perkembangan masyarakat yang begitu
dinamis. Dengan demikian tujuan hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat
yang dinamis itu dapat tercapai.
Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum, sesuai dengan ketentuan Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia berusaha membenahi hukum-hukumnya agar sesuai dengan tuntutan
kehidupan masyarakat di abad modern ini. Aktivitas seperti itu dapat dicapai
melalui pembangunan hukum dalam kerangka pembangunan nasional.
Pembaharuan hukum merupakan bagian dari pembangunan hukum yang
dilakukan secara terarah dan terpadu meliputi bidang-bidang hukum tertentu,
termasuk didalamnya hukum pidana. Menurut Soedarto yang dikutip oleh
Rehnalemken Ginting dalam bukunya, pembaharuan hukum pidana yang
menyeluruh harus meliputi hukum pidana material (hukum pidana substantif),
hukum pidana formal (hukum acara pidana), dan hukum pelaksanaan pidana
(strafvollstreckungsgesetz). Mengingat luasnya bidang pembaharuan hukum
pidana itu, maka pada kesempatan ini yang disoroti hanyalah hukum pidana
material, khususnya yang menyangkut masalah euthanasia dalam Kitab Undang–
Undang Hukum Pidana (KUHP) (Rehnalemken Ginting, 2009 : 3).
Substansi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RUU KUHP) yang di dalamnya mengandung sistem hukum pidana materiil,
beserta asas-asas hukum pidana yang mendasarinya, disusun dan diformulasikan,
dengan berorientasi pada berbagai pokok pemikiran dan ide dasar keseimbangan,
yang antara lain mencakup. Pertama, keseimbangan antara moralitas yang
berkaitan dengan kepentingan negara, kepentingan umum/masyarakat dan
kepentingan individu/perorangan. Kedua, keseimbangan antara perlindungan
terhadap kepentingan publik, kepentingan pelaku tindak pidana, dan kepentingan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
korban tindak pidana. Ketiga, keseimbangan antar unsur, faktor objektif, dan
subjektif. Keempat, keseimbangan antara kriteria formal dan materiil. Kelima,
keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan elastisitas atau fleksibilitas dan
keadilan. Keenam, keseimbangan antara kearifan lokal/kearifan fartikularistik,
nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global (Syaiful Bakhri, 2011 : 98).
Mengingat begitu pentingnya permasalahan euthanasia dalam hal ini ilmu
medis bersatu dengan ilmu hukum dimana permasalahan euthanasia di Negara
Indonesia juga tidak menyetujuinya akan hal tersebut. Tetapi sebenarnya yang
harus kita pikirkan adalah dengan adanya kematian tersebut karena pada
prinsipnya sebuah kematian dialami oleh setiap makhluk Tuhan yaitu manusia
tapi dalam hal euthanasia sendiri apakah kematian merupakan bagian dari hak
asasi manusia (HAM).
Adanya teknologi medis semakin maju dengan alat respirator sehingga dapat
menghambat sebuah kematian yang bersifat sementara dengan hal tersebut apakah
bisa menghargai adanya kematian padahal euthanasia sendiri belum mempunyai
sistem yang jelas dalam sistem hukum Indonesia baik dalam KUHP atau Undang-
Undang Kesehatan. Munculnya Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) diharapkan dapat menjelaskan mengenai
pengaturan euthanasia tersebut secara jelas. Mengingat pentingnya pendapat
mengenai euthanasia yang kontroversi sehingga dibutuhkan peranan dari para
tokoh masyarakat baik dari sarjana hukum ataupun dokter untuk mengungkapkan
pendapatnya bagaimana mengantisipasi permasalahan mengenai euthanasia
sendiri.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka hal-hal tersebut mendasari dan
melatarbelakangi penulis untuk menyajikan penulisan hukum dengan judul
PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN RANCANGAN
UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (RUU
KUHP) INDONESIA.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
B. Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis merumuskan
masalah untuk mengetahui dan menegaskan masalah-masalah apa yang hendak
diteliti sehingga dapat memudahkan penulis dalam mengumpulkan, menyusun,
menganalisa, dan mengkaji data secara lebih rinci. Adapun permasalahan yang
akan dikaji dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaturan euthanasia di mancanegara dan hukum positif
Indonesia ?
2. Bagaimana pengaturan euthanasia dalam Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia ?
C. Tujuan Penelitian
Suatu kegiatan penelitian harus mempunyai tujuan yang hendak dicapai
dengan jelas. Tujuan penelitian diperlukan untuk memberikan arah dalam
melangkah dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban dokter atas tindakan
euthanasia ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) Indonesia serta kaitannya dalam pertanggung jawaban secara
pidana.
b. Untuk menganalisis dan mengetahui perbedaan pengaturan euthanasia
dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (RUU KUHP) mendatang terkait pertanggung jawaban pidana
yang dilakukan oleh dokter.
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk menambah pengetahuan penulis di bidang Hukum Pidana dalam
hal mengenai perbandingan pengaturan euthanasia dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan perkembangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
pengaturannya dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia.
b. Untuk melatih kemampuan penulis dalam menerapkan teori ilmu
hukum, mengembangkan dan memperluas wacana pemikiran serta
pengetahuan yang didapat selama masa perkuliahan guna menganalisis
mengenai perbandingan pengaturan euthanasia dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia.
c. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar akademik
sarjana dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Salah satu pemilihan masalah dalam penelitian ini adalah hasil penelitian ini
dapat memberikan manfaat. Karena nilai dari sebuah penelitian ditentukan oleh
besarnya manfaat yang dapat diambil dari adanya penelitian tersebut. Adapun
manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini antara lain :
1. Manfaat Teoretis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan
sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu
hukum pada umumnya, dan hukum pidana pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan
literatur kepustakaan tentang perbandingan pengaturan euthanasia
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RUU KUHP) Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan penalaran,
membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengembangkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh
selama dibangku kuliah.
b. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan
pemahaman, memberikan tambahan masukan dan pengetahuan kepada
pihak-pihak terkait dengan masalah yang sedang diteliti, dan juga
kepada berbagai pihak yang berminat pada permasalahan yang sama.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki. 2005 : 35). Penelitian hukum dilakukan
untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu, penelitian
hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-know di dalam
hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki. 2005 : 41).
Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori maupun
konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun penelitian ini
adalah penelitian hukum normatif sosiologis. Penelitian hukum normatif
sosiologis adalah penelitian hukum ini merupakan penggabungan dari
penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan dengan
penelitian hukum empiris atau sosiologis.
Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, atau data sekunder, yang
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tertier. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji
dan ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
yaitu dalam hal analisis perbandingan pengaturan euthanasia dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Rancangan Undang-
Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang berfokus pada usaha
untuk mengetahui perbandingan pengaturan euthanasia dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan perkembangan
pengaturannya dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia.
Sedangkan penelitian hukum empiris atau sosiologis adalah penelitian
yang mengkaji hukum dalam realitas atau kenyataan di dalam masyarakat
(law in action). Penelitian hukum empiris mengungkapkan hukum yang
hidup (living law) dalam masyarakat melalui perbuatan yang dilakukan
oleh masyarakat.
2. Sifat Penelitian
Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat
prespektif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat prespektif, ilmu yang
mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai, keadilan, validitas aturan hukum,
konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum, sebagai ilmu terapan,
ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-
rambu dalam melaksanakan aktivitas hukum (Peter Mahmud Marzuki,
2005 : 22).
Penelitian ini bersifat preskriptif, yaitu dimaksudkan untuk
memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukan.
Argumentasi disini dilakukan untuk memberikan perspektif atau penelitian
mengenai benar atau salah menurut hukum terhadap fakta-fakta atau
peristiwa hukum dari hasil penelitian.
3. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, maka peneliti akan mendapatkan informasi dari
berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
pendekatan Undang-Undang (statute approach), pendekatan kasus (case
approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan
komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual
(conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005 : 93).
Adapun pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan Undang-Undang (statute approach) dan pendekatan
komparatif (comparative approach). Pendekatan undang-undang ini
dengan menelaah undang-undang yang bersangkut paut dengan isu hukum
yang sedang ditangani, dengan maksud untuk mencari dasar yuridis
pertanggungjawaban dokter terhadap tindakan euthanasia. Sedangkan,
pendekatan komparatif ini dengan berusaha membandingkan dasar hukum
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan perkembangan
pengaturan/dasar hukum dalam Rancangan Undang-Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) terhadap masalah
euthanasia tersebut.
4. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki,
mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal
adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum dalam hal ini
bahan hukum dalam hal ini bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa
data hukum sekunder.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoratif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri
dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah di
dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-
putusan hakim. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992
Tentang Kesehatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran.
4) Kode Etik Dokter Kesehatan Kerja Indonesia.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud
Marzuki, 2005 : 141). Bahan hukum sekunder sebagai pendukung
dari data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks
yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan
sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung
penelitian ini Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah :
1) Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia Tahun 1999/2000 dan 2005.
5. Teknik Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian
ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan (Library Research) dan
wawancara kepada narasumber. Yang dimaksud dengan studi kepustakaan
yaitu suatu bentuk pengumpulan bahan hukum melalui membaca,
mengkaji, dan mempelajari literatur, hasil penelitian terdahulu, dan
membaca dokumen yang berhubungan dengan penelitian yang erat
kaitannya dengan permasalahan yang dibahas kemudian dikategorisasi
menurut jenisnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan wawancara adalah mencari sumber
bahan hukum dari narasumber secara langsung dengan teknik wawancara
terstruktur (tanya jawab). Dalam hal ini wawancara yang dilakukan
penulis di Pengadilan Negeri Surakarta dengan salah satu hakim, yaitu
Bapak H. Budhy Hertantiyo, S.H.,M.H. Untuk mengumpulkan bahan
hukum berkaitan dengan masalah yang dikaji.
6. Teknik Analisis Data
Analisis bahan hukum merupakan tahap paling penting dalam suatu
penelitian. Karena didalam penelitian ini, bahan yang diperoleh akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
diproses dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai didapat suatu
kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari penelitian.
Teknik analisis dalam penelitian hukum ini adalah teknik kualitatif.
Mengkualitatifkan bahan hukum adalah fokus utama dari penelitian
hukum ini, dimana penelitian hukum ini berusaha untuk mengerti atau
memahami gejala yang diteliti untuk kemudian mengkaitkan atau
menghubungkan bahan–bahan hukum yang relevan dan menjadi acuan
dalam penelitian hukum kepustakaan.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika penulisan dalam penelitian hukum ini terdiri dari empat (4) bab
yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan, dan penutup. Selain itu
ditambah dengan daftar pustaka. Adapun sistematika yang terperinci adalah
sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis mengemukakan latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan
hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis memaparkan sejumlah landasan teori
dari para pakar dan doktrin hukum berdasarkan literatur-
literatur yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian yang diangkat. Tinjauan pustaka dibagi menjadi
dua (2) yaitu :
1. Kerangka teori, yang berisikan tinjauan mengenai
tindak pidana, kriteria kematian, euthanasia, tindak
pidana terhadap nyawa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
2. Kerangka pemikiran, yang berisikan gambaran alur
berpikir dari penulis berupa konsep yang akan
dijabarkan dalam penelitian ini.
BAB III : PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis hendak menguraikan pembahasan dan
hasil perolehan dari penelitian yang dilakukan. Berpijak
dari rumusan masalah yang ada, maka dalam bab ini
penulis akan membahas dua pokok permasalahan yaitu
pengaturan euthanasia di mancanegara dan hukum positif
Indonesia serta perbedaan pengaturan euthanasia dalam
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (RUU KUHP) di masa yang akan datang.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini penulis mengemukakan kesimpulan dari hasil
penelitian serta memberikan saran yang relevan dengan
penelitian terhadap pihak–pihak yang terkait dengan
penelitian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoretis
1. Tinjauan Tentang Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Dalam KUH-Pidana (WvS) dikenal istilah strafbaarfeit atau yang
dalam ilmu pengetahuan hukum disebut delik. Sedangkan pembuat
undang-undang dalam merumuskan undang-undang mempergunakan
istilah peristiwa pidana, perbuatan pidana atau tindak pidana.
Strafbaarfeit sendiri berarti suatu kelakuan manusia yang diancam
pidana oleh peraturan perundang–undangan, jadi disini yang diancam
pidana adalah manusia. Sehingga banyak ahli hukum yang mengartikan
strafbaarfeit sebagai tindak pidana.
Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti
“sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de
werkelijkheid”, sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga
secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan
sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang
sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui
bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai
pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan (Lamintang,
1997 : 181).
Istilah strafbaarfeit sendiri diterjemahkan oleh pakar hukum
pidana Indonesia dan pakar / ahli hukum dari negara lain dengan istilah
yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai istilah delik,
peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, pelanggaran pidana,
perbuatan yang melawan hukum atau bertentangan dengan tata hukum
dan diancam pidana apabila perbuatan yang dilarang itu dilakukan oleh
orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Pendapat tersebut misalnya :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
1) Menurut Pompe yang dikutip oleh Lamintang dalam bukunya,
Perkataan “strafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan
sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib
hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah
dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman
terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib
hukum dan terjaminnya kepentingan umum” atau sebagai “de
normovertreding (verstoring der rechtsorde), waaraan de
overtreder schuld heeft en waarvan de bestraffing dienstig is voor
de handhaving der rechts orde en de behartiging van het algemeen
welzjin” (Lamintang, 1997 : 182).
2) Menurut Moeljatno yang dikutip oleh Adami Chazawi dalam
bukunya, menyatakan :
Bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, yang bilamana larangan tersebut tidak dipatuhi maka
dapat dikenai sanksi berupa sanksi pidana. Dengan kata lain, kata
straafbaarfeit diartikan sebagai bentuk perbuatan pidana adalah
perbuatan manusia yang tidak dibenarkan secara hukum dan
dikenakan sanksi bagi para pelanggarnya (Adami Chazawi, 2002:
71).
b. Unsur-Unsur Dalam Tindak Pidana
Suatu perbuatan untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana
atau tindak pidana, maka perbuatan tersebut juga harus memenuhi
unsur tindak pidana, yaitu :
1) Subyek Tindak Pidana
Siapa yang menjadi subyek tindak pidana sebagaimana
tercantum dalam KUHP yaitu seorang manusia sebagai pelaku,
hal ini terdapat dalam perumusan tindak pidana KUHP,
sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno yang dikutip oleh
Senja Puspita Dewi dalam skripsinya yaitu :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
“Yang dapat menjadi subyek tindak pidana sebagaimana
tercantum dalam KUHP yaitu seorang manusia sebagai
pelaku, hal ini terdapat di dalam perumusan tindak pidana
KUHP. Daya pikir merupakan syarat bagi subyek tindak
pidana, juga pada wujud hukumnya yang tercantum dalam
Pasal KUHP yaitu hukuman penjara dan hukuman denda”.
KUHP dalam perumusannya menggunakan kata “Barang
siapa“, hal itu menunjukkan yang menjadi subyek tindak
pidana adalah manusia. Namun dalam perkembangan
selanjutnya, dalam pergaulan hidup kemasyarakatan bukan
hanya manusia saja yang terlibat, seperti contohnya badan
hukum, sehingga yang dapat memungkinkan melakukan tindak
pidana bukan hanya manusia akan tetapi badan hukum juga
bisa melakukan perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh
manusia sehingga bisa termasuk dalam perumusan tindak
pidana. Kemungkinan badan hukum dikenai hukuman pidana
apabila melanggar hukum atau perundang–undangan yang
berlaku, hukuman yang dikenakan dapat berupa denda yang
harus dibayar oleh badan hukum yang bersangkutan (Senja
Puspita Dewi, 2007 : 10).
2) Harus Ada Perbuatan
Dengan perkembangan didalam masyarakat maka untuk
menguraikan perbuatan manusia dalam perkembangannya
dapat dilihat dari aktifitasnya. Biasanya perbuatan yang
dilakukan bersifat positif atau aktif tetapi ada pula perbuatan
yang negatif atau pasif yang dapat dikatakan sebagai perbuatan
pidana, yaitu :
a) Mengetahui adanya permufakatan jahat tetapi tidak
dilaporkan walaupun ada kesempatan untuk melapor pada
yang berwajib.
b) Tidak bersedia menjadi saksi dimuka pengadilan.
c) Bersifat melawan hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Mengenai sifat melawan hukum, merupakan sesuatu hal
yang sangat penting, karena dalam tindak pidana hal–hal
yang bersifat tidak melawan hukum sudah tidak lagi
menjadi persoalan hukum pidana. Pengertian melawan
hukum itu sendiri ada dua yaitu melawan hukum formil dan
melawan hukum materiil, seperti yang dikemukakan oleh
Moeljanto yang dikutip oleh Senja Puspita Dewi dalam
skripsinya, yaitu :
(1) Melawan hukum formil, yaitu :
Apabila perbuatan telah sesuai dengan larangan
undang-undang, maka disitu ada kekeliruan letak
melawan hukumnya perbuatan sudah nyata, dan
sifatnya melanggar ketentuan undang-undang kecuali
jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh
undang-undang.
(2) Melawan hukum materiil, yaitu :
Ada yang berpendapat, bahwa belum tentu kalau semua
perbuatan yang sesuai dengan larangan undang-undang
itu bersifat melawan hukum. Bagi mereka yang
dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja tetapi
disamping undang-undang (hukum tertulis) ada juga
hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat
(Senja Puspita Dewi, 2007 : 11).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan melawan hukum formil adalah telah memenuhi
unsur-unsur yang disebutkan dalam rumusan dari dalam undang-undang
dan sifat melawan hukumnya harus berdasar undang-undang.
Sedangkan yang dimaksud dengan melawan hukum materiil adalah
suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak dilihat dari undang-
undang dan juga aturan-aturan hukum yang tertulis.
Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, sesuatu tindakan itu
dapat merupakan “een doen” atau “een niet doen” atau dapat
merupakan “hal melakukan sesuatu” ataupun “hal tidak melakukan
sesuatu”, yang terakhir ini di dalam doktrin juga sering disebut sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
“een nalaten” yang juga berarti “hal mengalpakan sesuatu yang
diwajibkan (oleh undang-undang).
Sungguh pun demikian setiap tindak pidana yang terdapat di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita
jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi
menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur
objektif.
Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-
unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan
diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang
terkandung di dalam hatinya.
Sedang yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif itu adalah
unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan mana
tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.
Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:
1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)
2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaaan atau poging
seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP
3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat
misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,
pemerasan, pemalsuan dan lain-lain
4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte read seperti
yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan
menurut Pasal 340 KUHP
5) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di
dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :
1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid
2) Kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seorang
pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415
KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398
KUHP
3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat
(Lamintang, 1997 : 193-194).
c. Jenis-jenis Tindak Pidana
Perbuatan / tindak pidana yang diatur dalam KUHP buku II KUHP
terdiri dari XXXII bab dan buku ke-II terbagi menjadi IX bab. Secara
umum tindak pidana dapat dibedakan ke dalam beberapa pembagian:
a) Tindak pidana yang dimaksud dapat dibedakan secara kualitatif
atas kejahatan dan pelanggaran:
(1) Kejahatan
Secara doktrin kejahatan adalah rechtdelicht, yaitu
perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas
apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-
undang atau tidak. Sekalipun tidak dirumuskan sebagai
delik dalam undang-undang, perbuatan ini benar-benar
dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan keadilan. Jenis tindak pidana ini juga
sering disebut sebagai mala per se. Perbuatan-perbuatan
yang dapat dikualifikasikan sebagai rechtdelicht dapat
disebut antara lain pembunuhan, pencurian dan sebagainya.
(2) Pelanggaran
Jenis tindak pidana ini disebut wetsdelicht, yaitu
perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari
sebagai suatu tindak pidana, karena undang-undang
merumuskannya sebagai delik. Perbuatan-perbuatan ini
baru disadari sebagai tindak pidana oleh masyarakat oleh
karena undang-undang mengancamnya dengan sanksi
pidana. Tindakan pidana ini disebut juga mala qui
prohibita. Perbuatan-perbuatan yang dapat dikualifikasikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
sebagai wetsdelicht dapat disebut misalnya memarkir mobil
disebelah kanan jalan, berjalan di jalan raya disebelah
kanan dan sebagainya.
Dalam perkembangan pembagian tindak pidana secara kualitatif
atas kejahatan dan pelanggaran seperti tersebut diatas tidak diterima.
Penolakan terhadap pembagian tindak pidana secara kualitatif tersebut
bertolak dari kenyataan, bahwa ada kejahatan yang baru disadari
sebagai tindak pidana oleh masyarakat setelah dirumuskan dalam
undang-undang pidana. Dengan demikian tidak semua kejahatan
merupakan perbuatan yang benar-benar telah dirasakan masyarakat
sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terdapat juga
pelanggaran yang memang benar-benar telah dirasakan oleh masyarakat
sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, sekalipun
perbuatan itu belum dirumuskan sebagai tindak pidana dalam Undang-
undang. pembagian tindak pidana tersebut adalah sebagai berikut :
a) Delik Materiil (materieel delict) dan delik formil (formeel delict),
(1) Delik Materiil
Adalah delik yang dianggap telah selesai dengan
ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan
hukuman undang-undang. Tindak pidana yang dikualifikasikan
sebagai tindak pidana materiil dapat disebut misalnya
pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP dan
tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378
KUHP dan sebagainya.
(2) Delik Formil
Adalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya
tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang. Tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai
tindak pidana formil dapat disebut misalnya pencurian
sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP, penghasutan
sebagaimana diatur dalam Pasal 160 KUHP.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
b) Delicta commissionis, delicta omissionis dan delicta commissionis
per omissionem commissa
Suatu tindak pidana itu dapat terdiri dari suatu pelanggaran terhadap
suatu larangan atau dapat terdiri dari suatu pelanggaran terhadap
suatu keharusan.
(1) Delicta commissionis
Adalah delik-delik berupa pelanggaran terhadap larangan-
larangan di dalam undang-undang. Misalnya, melakukan
pencurian, penipuan, pembunuhan, dan sebagainya.
(2) Delicta omissionis
Adalah delik-delik berupa pelanggaran terhadap keharusan-
keharusan menurut undang-undang. Misalnya, tidak menghadap
sebagai saksi dimuka persidangan Pengadilan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 522 KUHP.
(3) Delicta comisionis per omnisionis commissa
Adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, akan
tetapi dilakukan dengan cara tidak berbuat.
c) Opzettelijke delicten dan culpooze delicten
Berkenaan dengan disyaratkannya suatu “kesengajaan” (opzet) atau
“ketidaksengajaan” (culpa) di dalam berbagai rumusan delik, kita
dapat membedakan antara :
(1) Opzettelijke delicten
Adalah delik-delik yang oleh pembentuk undang-undang telah
disyaratkan bahwa delik-delik tersebut harus dilakukan “dengan
sengaja” dengan,
(2) Culpooze delicten
Adalah delik-delik yang oleh pembentuk undang-undang telah
dinyatakan bahwa delik-delik tersebut cukup terjadi “dengan
tidak sengaja” agar pelakunya dihukum.
d) Zelfstandige delicten dan voortgezette delicten
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Yang dimaksud dengan zelfstandige delicten adalah delik-delik
yang berdiri sendiri, sedang yang dimaksud dengan voortgezette
delicten adalah delik-delik yang pada hakikatnya merupakan suatu
kumpulan dari beberapa delik yang berdiri sendiri, yang karena
sifatnya dianggap sebagai satu delik.
e) Enkelvoudige delicten dan samengestelde delicten
(1) Enkelvoudige delicten
Adalah delik-delik yang pelakunya telah dapat dihukum dengan
satu kali saja melakukan tindakan yang dilarang oleh undang-
undang.
(2) Samengestelde delicten
Adalah delik-delik yang pelakuya hanya dapat dihukum
menurut sesuatu ketentuan pidana tertentu apabila pelaku
tersebut telah berulangkali melakukan tindakan yang sama yang
dilarang oleh undang-undang.
f) Aflopende delicten dan voortdurende delicten
(1) Aflopende delicten
Adalah delik-delik yang terdiri dari satu atau lebih tindakan
untuk menyelesaikan suatu kejahatan.
(2) Voortdurende delicten
Adalah delik-delik yang terdiri dari satu atau lebih tindakan
untuk menimbulkan suatu keadaan yang bertentangan dengan
sesuatu norma.
g) Klacht delicten dan gewone delicten
(1) Klacht delicten
Adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada
pengaduan dari orang yang dirugikan.
(2) Gewone delicten
Adalah tindak pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan
adanya suatu pengaduan.
h) Gemene delicten dan politieke delicten
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Gemene delicten merupakan suatu delik-delik umum, sedangkan
yang disebut politieke delicten yaitu merupakan suatu delik-delik
politik.
i) Delicten communia dan delicta propria
Yang dimaksud dengan delicten communia itu adalah delik-delik
yang dapat dilakukan oleh setiap orang, sedang yang dimaksud
delicta propria adalah delik-delik yang hanya dapat dilakukan oleh
orang-orang yang mempunyai sifat-sifat tertentu, misalnya sifat-
sifat sebagai pegawai negeri, sebagai nakoda ataupun sebagai
anggota militer.
j) Eenvoudige delicten, gequalificeerde delicten dan gepriviligieerde
delicten
(1) Eenvoudige delicten
Adalah delik-delik yang sederhana adalah delik-delik dalam
bentuk yang pokok seperti yang telah dirumuskan oleh
pembentuk undang-undang.
(2) Gequalificeerde delicten
Adalah delik-delik dengan pemberatan adalah delik-delik dalam
bentuk yang pokok, yang karena di dalamnya terdapat keadaan-
keadaan yang memberatkan maka hukuman yang diancam
menjadi diperberat.
(3) Gepriviligieerde delicten
Adalah delik-delik dengan keadaan yang meringankan adalah
delik-delik dalam bentuk yang pokok, yang karena di dalamnya
terdapat keadaan-keadaan yang meringankan, maka hukuman
yang diancam menjadi diperingan (Lamintang, 1997 : 212-224).
2. Tinjauan Tentang Kriteria Kematian
Tubuh manusia adalah suatu kesatuan psychosomatik dengan faal
integrative dari otak. Kalau faal integrative otak sama sekali hilang,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
manusia dikatakan mati. Oleh karena itu ditetapkan diagnosa mati dengan
3 hal :
a. Berhentinya pernafasan otonom
b. Berhentinya denyut jantung otonom
c. Electro Encephhalograam (E.E.G) menjadi datar (menentukan otak
tidak memprodusir listrik).
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kriteria kematian berkembang,
mulai dari penghembusan nafas terakhir, kemudian berhentinya detak
jantung, sampai pada kematian otak (brain death). Menurut Peraturan
Pemerintah No.18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Anatomis serta
Transparansi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia, bahwa mati atau
meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran
yang berwenang menyatakan fungsi otak, pernafasan dan atau denyut
jantung seseorang telah berhenti.
Sadar bahwa tentang kematian ini akan mempunyai implikasi hukum
dan implikasi teknis lapangan, maka Ikatan Dokter Indonesia pada Tahun
1985 telah mengajukan usul perubahan dan penambahan terhadap
Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1981 terutama yang berkenaan dengan
definisi seperti yang tercantum dalam Pasal 1 butir 9 dari Peraturan
Pemerintah tersebut, dengan definisi mati sebagai berikut :
Seseorang yang dinyatakan mati bila :
a. Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau
irreversible, atau
b. Bila terbukti telah terjadi kematian batang otak (Rehnalemken Ginting,
2009 : 11).
3. Tinjauan Tentang Euthanasia
a. Pengertian Euthanasia
Perkataan Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yang berarti
mengakhiri dengan sengaja kehidupan seseorang dengan cara kematian
yang tenang dan mudah (Ahmad Ramli, 1989 : 94).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Definisi lain menyebutkan bahwa euthanasia yang dalam bahasa
Yunani (euthanasia, eu = baik, thanatos = kematian) berarti mengakhiri
dengan sengaja kehidupan pasien dengan cara kematian yang tenang dan
mudah (Soemarmo Markam. Cs, 1984 : 40).
Euthanasia dapat diartikan sebagai perbuatan yang dengan sengaja
memperpendek hidup ataupun dengan sengaja tidak berbuat untuk
memperpanjang hidup demi kepentingan si pasien oleh seorang dokter
atau bawahannya yang bertanggung jawab padanya (Suwarto, 2009 :
171).
Sejak abad ke-19, terminologi euthanasia dipakai untuk
menyatakan penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi
yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter.
Pemakaian terminologi euthanasia ini mencakup tiga kategori, yaitu :
1) Pemakaian secara sempit
Secara sempit euthanasia dipakai untuk tindakan menghindari
rasa sakit dari penderitaan dalam menghadapi kematian. Dalam
hal ini berarti perawatan dokter yang bertujuan untuk
menghilangkan penderitaan yang dapat dicegah sejauh
perawatan itu tidak bertentangan dengan kaidah–kaidah
hukum, etika, atau adat yang berlaku.
2) Pemakaian secara lebih luas
Secara lebih luas, terminologi euthanasia dipakai untuk
perawatan yang menghindarkan rasa sakit dalam penderitaan
dengan resiko efek hidup diperpendek.
3) Pemakaian paling luas
Dalam pemakaian yang paling luas ini, euthanasia berarti
memendekkan hidup yang tidak lagi dianggap sebagai side
effect,melainkan sebagai tindakan untuk menghilangkan
penderitaan pasien.
Dalam buku Kodeki (Kode Etik Kedokteran Indonesia)
“euthanasia“ diartikan sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
1) Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa
penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir.
2) Waktu hidup akan terakhir, diringankan penderitaan si sakit
dengan memberinya obat penenang.
3) Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan
sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya (Kode
Etik Kedokteran, 1969 : 30).
Ada pula yang mengatakan bahwa euthanasia sebagai pertolongan
waktu meninggal, artinya :
1) Yang dihadapi selalu orang yang menjelang meninggal.
2) Yang dihadapi ialah orang yang akan meninggal, yang dalam
keadaannya itu sedang menderita.
3) Membawa pertolongan dan peringatan dalam penderitaan
menjelang meninggal (M.A. Ihromi, 1979 : 24–25).
Dalam definisinya Aliansi Pro–Life mendefinisikan euthanasia
sebagai “setiap tindakan atau kelalaian yang dimaksudkan untuk
mengakhiri hidup seorang pasien atas dasar bahwa hidupnya tidak layak
dijalani“. Lebih lanjut dalam definisi modern, euthanasia dikatakan
sebagai sebuah kematian yang baik dibawa oleh seorang dokter
memberikan obat atau injeksi untuk membawa damai akhir sekarat (BBC
News, 1999 : 1).
Pengertian lain mengenai euthanasia dikatakan sebagai tindakan
mempercepat kematian pada penderita penyakit yang tidak dapat
disembuhkan dengan melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan
medis, dengan maksud untuk membantu korban menghindarkan diri dari
penderitaan dalam menghadapi kematiannya (Petrus Yoyo Karyadi, 2001
: 28).
Sedangkan perumusan–perumusan yang dibuat oleh “ Euhanasia
Studie Gruap “ dari KNMG Holland (semacam IDI di negara kita) yang
dikutip oleh Rehnalemken Ginting dalam bukunya menyebutkan sebagai
berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
“Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu
(nalaten) untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja
melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup
seorang pasien dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan
pasien itu sendiri“ (Rehnalemken Ginting, 2009 : 9).
b. Unsur-unsur euthanasia
Menurut Petrus Yoyo Karyadi, unsur–unsur euthanasia adalah
sebagai berikut :
1) Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
2) Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak
memperpanjang hidup pasien.
3) Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan
kembali.
4) Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya.
5) Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya (Petrus Yoyo
Karyadi, 2001 : 29).
c. Bentuk-bentuk euthanasia
Dr. Franz Magnis Suseno S.J (1984 : 4) yang dikutip Petrus Yoyo
Karyadi dalam bukunya membedakan empat arti euthanasia, yaitu
sebagai berikut:
1) Euthanasia Murni
Adalah usaha untuk meringankan kematian seseorang tanpa
memperpendek hidupnya. Di situ termasuk semua usaha
perawatan dan pastoral agar yang bersangkutan dapat mati
dengan “baik”.
2) Euthanasia Pasif
Adalah kalau tidak dipergunakan semua kemungkinan
tehnik kedokteran yang sebetulnya tersedia untuk
memperpanjang kehidupan.
3) Euthanasia Tidak Langsung
Adalah usaha untuk memperingan kematian dengan efek
sampingan bahwa pasien barangkali meninggal dalam waktu
lebih cepat. Di sini termasuk pemberian segala macam obat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
narkotik, hipnotika, dan anelgetika yang barangkali secara de
facto dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu
disengaja.
4) Euthanasia Aktif (Mercy Killing)
Adalah proses kematian diringankan dengan
memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung. Dalam
euthanasia aktif ini masih perlu dibedakan, apakah pasien
menginginkannya, tidak menginginkannya, atau tidak berada
dalam keadaan dimana keinginannya dapat diketahui (Petrus
Yoyo Karyadi, 2001 : 29-30).
Dalam makalahnya yang disampaikan pada seminar Pengkajian
Hak Mati untuk mati bagi masyarakat Indonesia, Ketut Gede Widjaya,
S.H. (1989 : 4-5) yang dikutip Petrus Yoyo Karyadi dalam bukunya
membagi euthanasia ke dalam 4 kategori dasar, yaitu :
1) Euthanasia Aktif atas kehendak yang bersangkutan (active
voluntary euthanasia)
Adalah bila orang yang bersangkutan meminta agar
hidupnya diakhiri dengan segera dan dokter atau orang lain
mengambil tindakan-tindakan untuk mempercepat kematian
orang tersebut. Orang tersebut menghendaki kematiannya
karena sudah tidak sanggup menderita sakit yang
berkepanjangan, sudah tidak mempunyai harapan sembuh,
sedang dokter atau orang lain merasa kasihan atas
penderitaannya dan berusaha mengakhiri hidupnya dengan
cepat tanpa rasa sakit.
Fenglin Guo mengemukakan active voluntary euthanasia is
usually the administration of a lethal drug or other methods to
terminate the life of patient who is in a state of constant
suffering. Dalam terjemahannya, euthanasia aktif atas
kehendak yang bersangkutan biasanya dilakukan dengan
pemberian obat mematikan atau metode lain untuk mengakhiri
hidup pasien yang dalam keadaan penderitaan berkepanjangan
(Fenglin Guo, 2006 : 167).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
2) Euthanasia Pasif atas kehendak yang bersangkutan (passive
voluntary euthanasia)
Adalah bila orang yang bersangkutan menghendaki segala
usaha pertolongan untuk memperpanjang hidupnya dihentikan,
sehingga maut bisa segera menjemputnya berhubung ia sudah
tidak tahan lagi akan penderitaan yang berkepanjangan.
3) Euthanasia Pasif tidak atas kehendak orang yang bersangkutan
(passive non-voluntary euthanasia)
Adalah bila orang yang bersangkutan sudah tidak mampu
lagi menyatakan kehendaknya dan dokter atau orang lain
memutuskan untuk menghentikan usaha-usaha pertolongan
yang dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwanya karena
penyakitnya sudah tidak tertolong lagi.
4) Euthanasia Aktif tanpa kehendak dari orang yang bersangkutan
(active non–voluntary euthanasia)
Adalah bila orang yang bersangkutan sudah dalam keadaan
parah, sehingga tak mampu lagi untuk menyatakan
kehendaknya dan dokter atau orang lain kasihan, mengakhiri
hidup orang tersebut dengan cara yang tidak menimbulkan
sakit sehingga orang tersebut bebas dari penderitaannya (Petrus
Yoyo Karyadi, 2001 : 31-33).
Active non–voluntary euthanasia mengacu pada pasien
yang tidak dalam posisi untuk memiliki, atau mengungkapkan,
memandang mengenai kelanjutan hidupnya (Fenglin Guo, 2006
:167).
J.E. Sahetapy yang dikutip oleh Rehnalemken Ginting dalam
bukunya membedakan euthanasia dalam 3 jenis, yaitu:
1) Action to permit death to occur
Biasanya disebut dengan euthanasia dalam arti yang pasif
(permission), dimana kematian dapat terjadi karena pasien
dengan sungguh–sungguh dan secara cepat menginginkan mati.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Kematian pasien dalam hal ini terjadi seolah-olah merupakan
kerjasama antara pasien dan dokter yang merawatnya. Karena
pasien sadar dan tahu bahwa penyakit yang dideritanya sudah
tidak mungkin dapat disembuhkan walaupun dengan
pengobatan dan perawatan bagaimanapun juga. Oleh sebab itu,
untuk mengurangi/menghilangkan penderitaannya, pasien
kemudian meminta kepada dokter agar :
a) Tidak memberikan pengobatan untuk penyembuhan
terhadap penyakitnya.
b) Tidak diadakan perawatan di rumah sakit lagi, tetapi agar
dibiarkan saja di rumahnya sendiri. Dengan demikian
pasien berharap akan dapat hidup dengan tenang dan
damai.
2) Failure to take action to prevent death
Dalam hal ini kematian terjadi karena kelalaian atau
kegagalan dari dokter dalam mengambil suatu tindakan untuk
mencegah adanya kematian. Ini terjadi apabila dokter akan
mengambil suatu tindakan guna mencegah kematian, tetapi ia
tidak mengerjakan apa–apa, karena ia tahu bahwa tindakan /
pengobatan yang hendak dilakukan / diberikan kepada pasien
itu hanya akan sia–sia saja. Pengobatan / tindakan dokter yang
diberikan dokter kepada pasien dipandang sebagai perbuatan
yang tidak berarti, sehingga sudah tidak ada cara–cara
penyembuhan yang normal.
Akhirnya dokter yang bersangkutan membiarkan saja
terhadap pasiennya sampai ajalnya datang. Jadi tindakan
membiarkan tidak memberikan pengobatan pada pasien itu
datang dari inisiatif dokter, tidak atas permintaan yang datang
dari pasiennya.
3) Positive action to cause death
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Biasanya disebut dengan euthanasia dalam arti aktif
(causation). Atas dasar permintaan atau desakan dari pasien
atau keluarganya meminta pada dokter untuk bertindak secara
positif guna mempercepat kematian pasien tersebut.
Dokter dalam hal ini bertindak aktif untuk mempercepat
kematian pasiennya dengan tenang, misalnya dengan
memberikan obat-obatan penghilang rasa kesadaran, morfin
dalam dosis tinggi dan lain sebagainya (Rehnalemken Ginting,
2009 : 12-13).
d. Bentuk–bentuk semu euthanasia
Disebut bentuk semu dari euthanasia karena mirip dengan
euthanasia karena mirip dengan euthanasia, tetapi sebetulnya bukan
euthanasia. Bentuk–bentuk pengakhiran hidup yang mirip dengan
euthanasia ini disebut oleh H.J.J. Leenen adalah sebagai schijngestaten
van euthanasie (Fred Ameln, 1986 b : 8). Adapun yang termasuk ke
dalam bentuk semu dari euthanasia adalah sebagai berikut :
1) Memberhentikan pengobatan (perawatan) medis yang sudah
tidak ada gunanya (zinloos)
Untuk menentukan apakah suatu pengobatan atau
perawatan adalah tidak ada gunanya lagi, maka harus melihat
kriteria–kriteria medik tertentu. Adapun kriteria tersebut adalah
apakah tindakan medik terhadap pasien akan mencapai efek
yang dituju, dan apakah hal ini dapat diharapkan secara
reasonable (Fred Ameln, 1984 : 5).
Dengan perkataan lain berarti harus ada suatu perbandingan
yang reasonable antara tindakan medik dengan efeknya (hasil).
Jika tidak terdapat perbandingan yang reasonable, berarti dapat
dinilai bahwa tindakan medik tersebut adalah sama sekali
sudah tidak ada gunanya (zinloos), sehingga dokter pun tidak
lagi berwenang untuk melakukan tindakan medik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Walaupun akhirnya pasien tersebut meninggal dunia,
dokter tetap tidak dapat dianggap telah melakukan euthanasia
(pasif), karena sudah tidak berwenang melakukan pengobatan.
Justru bila dokter tetap melakukan pengobatan, maka ia telah
melakukan penganiayaan terhadap pasien.
Dalam bukunya yang berjudul Rechten van Mensen In de
Gezondheissorg, 1978 halaman 239, Leenen mengatakan
bahwa :
De arts is slecht bevoegd tot handelen indien dat zinning
is en waar zijn handelen zinloos wordt, eindigt zijn
bevoegdheid tot dat handelen en gaat dit over in
mishandelen. Immers de arts maakt zich bij zijn werk
niet aan juridisch mishandelen schuldig, voor zover hij
handelt conform het beoogde doel en indien hij beschikt
over de toesteming van de patient.
Terjemahannya adalah :
Seorang dokter hanya ada wewenang untuk bertindak
jika tindakan tersebut adalah berguna, dimana
tindakannya adalah tidak ada gunanya lagi, maka
terjadilah penganiayaan. Seorang dokter tidak melakukan
penganiayaan yuridis selama ia bertindak sesuai dengan
tujuan yang ia sebagai dokter ingin mencapai dan selama
ia sudah mendapatkan izin atau persetujuan dari pasien
(Fred Ameln, 1986 b : 10).
Berdasarkan pendapat Leenen di atas, dapat disimpulkan
bahwa seorang dokter seharusnya tidak memulai suatu terapi
ataupun tidak meneruskan terapi, apabila memang secara
yuridis tidak dapat lagi diharapkan suatu hasil, walaupun hal ini
mengakibatkan meninggalnya pasien. Dalam hal demikian,
berarti tidak terdapat euthanasia (pasif), tidak ada perbuatan
yang dapat dihukum, karena dokter sendiri sudah tidak
kompeten melakukan tindakan medik. Justru bila dokter tetap
melakukan medikasi, maka ia terancam telah melakukan
penganiayaan.
2) Penolakan perawatan medik oleh pasien (keluarganya)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Penolakan perawatan medik ini ada yang mengakibatkan
matinya pasien, dan ada juga yang tidak mengakibatkan
matinya pasien.
Pada umumnya bila tidak ada izin dari pasien, dokter tidak
diperkenankan untuk melakukan tindakan medik untuknya,
walaupun akhirnya akan mengakibatkan meninggalnya pasien
tersebut.
Penolakan perawatan medik erat kaitannya dengan hak–hak
pasien. Pasien mempunyai hak untuk menolak seluruh terapi
ataupun sebagian terapi. Adapun yang melandasi hak-hak
pasien ini adalah karena adanya the right of self determination
atas badannya sendiri.
Jadi, apabila pasien telah menolak perawatan medik dan
kemudian pasien tersebut meninggal, maka dokter tidak dapat
disalahkan telah melakukan tindakan euthanasia (pasif).
Meninggalnya pasien tersebut hanya sebagai bentuk semu dari
euthanasia (Petrus Yoyo Karyadi, 2001 : 37).
3) Memberhentikan pengobatan (perawatan) medik karena mati
otak (braindeath)
Kriteria mati otak benar-benar mulai diperhatikan sejak
tahun 1970-an. Ini diakibatkan oleh perkembangan teknologi
biomedis yang begitu pesat, sehingga mendesak dunia medis
untuk merubah dan merumuskan kembali pengertian matinya
seseorang.
Dahulu, pengertian matinya seseorang ditentukan oleh
denyut jantung. Apabila jantung seseorang sudah tidak
berdenyut lagi (tidak bernafas) maka orang tersebut sudah
dianggap meninggal dunia. Akan tetapi, sekarang dengan
adanya teknologi canggih di bidang medis, orang dapat
bernafas kembali walaupun secara artifisial. Denyut jantung
yang tersendat-sendat dapat dipacu dengan alat pacu jantung,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
sehingga sekarang kita sudah dapat berbicara tentang “mayat
hidup“.
Pada tahun 1974 Dewan Kesehatan Belanda telah
memberikan kriteria kapan seseorang dapat dinyatakan mati
otak, yaitu jika :
a) Otak mutlak tidak lagi berfungsi
b) Fungsi otak mutlak tidak lagi dapat dipulihkan kembali
(Fred Ameln, 1984 : 13).
Jadi misalnya ada seorang pasien (korban) kecelakaan lalu
lintas dan korban tersebut dibawa ke rumah sakit, kemudian ia
segera dirawat dan dipasang sebuah respirator. Tetapi ternyata
pasien tersebut bagian belakang kepalanya sudah hancur, yang
berarti ia sudah mati batang otaknya. Pasien tersebut hanya
dapat hidup secara vegetatif dengan pernafasan artifisial.
Kemudian dokter mencabut respirator yang dipasang pada
pasien tersebut sehingga pernafasan artifisialnya berhenti maka
seorang itupun segera meninggal.
Pelepasan respirator tersebut tidak termasuk dalam
tindakan euthanasia, melainkan hanya merupakan pengakhiran
hidup yang mirip dengan euthanasia, karena pasien tersebut
batang otaknya sudah mati, yang berarti ia sudah meninggal
dunia. Dalam hal ini dokter tidak dapat dipersalahkan telah
melakukan tindakan euthanasia, ia bebas dari segala tuntutan
hukum.
4) Pengakhiran hidup pasien akibat persediaan peralatan medis
yang terbatas (emergency)
Bentuk euthanasia semu ini dapat terjadi apabila di suatu
rumah sakit kekurangan alat medis. Misalnya adanya suatu
tabrakan bus dan banyak korban yang harus ditolong.
Kemudian para korban tersebut dibawa ke ruang darurat
(emergency). Ternyata banyak korban yang harus dipasangi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
respirator, sedangkan alat tersebut sangat terbatas. Respirator
tidak mungkin dipasang secara bergantian dan pasien yang satu
ke pasien yang lainnya sehingga ada beberapa pasien yang
tidak terpasangi respirator dan kemudian mereka pun
meninggal dunia. Maka dalam hal ini tidak terjadi kasus
euthanasia, dokter atau tenaga medis lainnya yang sedang
bertugas di ruang darurat tersebut tidak dapat disalahkan telah
melakukan euthanasia.
5) Euthanasia “akibat situasi dan kondisi (sikon)“
Euthanasia akibat sikon adalah suatu situasi apabila pasien
masih ingin atau besar harapannya untuk hidup dan dokter
masih mampu mengupayakan pengobatan, tetapi berhubung
kondisi ekonomi pasien yang tidak mampu membiayai
pengobatannya, maka upaya pengobatan terpaksa dihentikan
dan pasien meninggal.
Euthanasia akibat sikon tidak termasuk dalam pengertian
euthanasia. Ia hanya bentuk semu dengan euthanasia. Dalam
euthanasia akibat sikon tidak terdapat tindakan euthanasia.
Dokter tidak dapat disalahkan telah lalai atau membiarkan
meninggal terhadap orang yang perlu ditolong, tetapi karena
kondisi ekonomi dari pasien yang memang sudah tidak mampu
lagi untuk membayar biaya perawatan.
Euthanasia akibat sikon pada hakikatnya hampir sama
dengan bentuk semu euthanasia yakni penolakan perawatan
medis oleh pasien. Dokter atau rumah sakit mungkin
sebelumnya telah menawarkan terlebih dahulu kepada pasien
mengenai pengobatan yang akan dilakukan dokter terhadapnya.
Pengobatan itu dimaksudkan untuk memperpanjang hidup
pasien atau bahkan untuk menyembuhkan penyakitnya (Petrus
Yoyo Karyadi, 2001 : 35-37).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
e. Euthanasia Ditinjau Dari Segi Kedokteran dan Kode Etik
Kedokteran Indonesia
Pesatnya perkembangan teknologi kedokteran, memungkinkan
dokter memprediksi kematian seorang pasien dengan lebih tepat. Hal ini
dapat menimbulkan masalah yang pelik dan rumit bagi perkembangan
dunia medis. Seperti halnya yang terjadi di negara-negara Barat, yang
bersistem liberalis dan berpaham sekuler, dengan beranggapan bahwa
manusia mempunyai hak untuk menentukan kematiannya sendiri
(euthanasia), bilamana dokter memutuskan bahwa seorang pasien sudah
tidak ada harapan untuk hidup.
Akibat dari kemajuan teknologi kedokteran, euthanasia telah
dilegalkan secara khusus dan tertulis oleh sebagian negara-negara maju,
seperti yang terjadi di Belanda, walaupun disertai dengan syarat-syarat
tertentu. Pelegalan euthanasia ini, menjadi perdebatan pro dan kontra,
baik dari sudut pandang dunia medis, yuridis atau religi. Dengan
informasi teknologi global yang berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya,
memungkinkan kasus ini merambah ke Indonesia. Akan tetapi, apakah
hukum kita mampu mengantisipasi kemungkinan terjadinya kasus ini.
Salah satu pasal dari Kode Etik Kedokteran Indonesia yang relevan
dengan masalah euthanasia, adalah Pasal 9 (Panitia Redaksi
Musyawarah Kerja Susila Kedokteran, 1969 : 3) yang berbunyi :
“Seorang dokter harus senantiasa mengingatkan akan kewajiban
melindungi hidup makhluk insani”.
Dalam penjelasan Pasal 9 tersebut di atas, diuraikan bahwa segala
perbuatan terhadap si sakit bertujuan memelihara kesehatan dan
kebahagiaannya. Dengan sendirinya dokter harus mempertahankan dan
memelihara kehidupan manusia, meskipun hal itu kadang-kadang akan
terpaksa melakukan tindakan medik lain misalnya operasi yang
membahayakan. Tindakan ini diambil setelah diperhitungkan masak-
masak bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan jiwa si sakit
selain pembedahan yang selalu mengandung resiko.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Naluri terkuat dari makhluk hidup termasuk manusia adalah
mempertahankan hidupnya. Untuk itu manusia diberi akal, kemampuan
berfikir dan mengumpulkan pengalamannya. Dengan demikian,
membangun dan mengembangkan ilmu untuk menghindarkan diri dari
bahaya maut adalah merupakan tugas dokter. Ia harus berusaha
memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani. Hal ini, berarti
dokter dilarang mengakhiri hidup pasien (euthanasia), walaupun
menurut ilmu kedokteran dan pengalamannya pasien tersebut tidak
mungkin sembuh.
Jadi, jelas bahwa Kode Etik Kedokteran Indonesia melarang
tindakan euthanasia aktif. Dengan kata lain, dokter tidak boleh bertindak
sebagai Tuhan (don’t play God). Medical ethnic must be pro life, not pro
death. Dokter adalah orang yang menyelamatkan atau memelihara
kehidupan, bukan orang yang menentukan kehidupan itu sendiri (life
savers, not life judgers).
Sebetulnya Kode Etik Kedokteran Indonesia sudah lama
berorientasi pada pandangan-pandangan Hipocrates yang telah menerima
euthanasia pasif. Begitu juga dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia,
berarti ia juga menerima euthanasia dalam bentuk pasif.
Adalah tugas ilmu kedokteran untuk membantu meringankan
penderitaan pasien, atau bahkan berusaha menyembuhkan penyakit
selama masih dimungkinkan. Pasien yang benar-benar menderita atas
penyakitnya, sudah menjadi tugas dokter untuk ikut membantu
meringankan penderitaannya, walaupun kadang-kadang dari tindakan
peringanan tersebut dapat mengakibatkan hidup pasien diperpendek
secara perlahan-perlahan (euthanasia tidak langsung) (Petrus Yoyo
Karyadi, 2001 : 85-87).
f. Euthanasia Ditinjau dari Segi Agama
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak
ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang
atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter
bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan
yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia,
walaupun dengan dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang
dalam keadaan coma dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak
berkenan dihadapan Tuhan.
Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila
dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa
orang harus ke dokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau
memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak
akan mati. Apabila seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka
dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda
proses kematian. Jadi upaya medis pun dapat dipermasalahkan sebagai
melawan kehendak Tuhan. Dalam hal seperti ini manusia sering
menggunakan standart ganda. Hal-hal yang menurutnya baik, tidak perlu
melihat pada hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil yang bisa
mendukung pendapatnya.
Dalam Islam euthanasia secara tegas dan jelas dilarang oleh Islam,
pelarangan ini terdapat dalam tafsir Al-Maut, Al-Faal dan sebagaimana
firman Allah dalam Surat An-Nisaa‟ : 29 dan Surat Al-Isra : 33.
Tindakan euthanasia aktif ini, disamakan dengan pembunuhan dengan
kesengajaan, yang mana pelakunya dapat dihukum qishash, sebagaimana
hadist Nabi yang berbunyi :
“Barangsiapa membunuh dengan sengaja, maka ia harus dihukum
qishash” (HR. Ibnu Majjah)”.
Sedang pada euthanasia pasif atau negatif (tafsir Al-Maut, Al-
Munfa‟il) yang merupakan tindakan penghentian perawatan atau
pengobatan dalam Islam tidak dilarang, akan tetapi tindakan penghentian
ini haruslah tidak berdasarkan keinginan untuk mempercepat kematian,
karena hal itu dapatlah disamakan dengan bunuh diri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Dalam agama Katolik yang diatur dalam Kitab Suci Perjanjian
Baru (Injil) sebagian besar tidak memuat secara langsung tentang aturan-
aturan kehidupan secara konkret. Injil hanya memberikan prinsip-prinsip
dasar yang harus dipegang oleh orang Katolik dalam bertingkah laku.
Pada intinya Injil menghendaki agar umat Katolik bersedia menghormati
martabat setiap manusia sebagai konsentrasi ciptaan menurut citra
(gambaran) Allah. Prinsip-prinsip tadi harus dicari oleh umat sendiri
dengan bimbingan Roh Kudus.
Pandangan ajaran agama Katolik terhadap euthanasia aktif pada
hakikatnya sama dengan membunuh (menghilangkan nyawa) pasien,
sekalipun dengan dalih yang argumentatif. Membunuh adalah melanggar
perintah ke-6 (enam) dari sesepuh perintah Allah, yaitu “jangan
membunuh” dan lagi “marah dan membunuh berakar dari kebencian”
(Matius 5 : 21-22).
Menurut agama Katolik kehidupan dan kematian adalah anugerah
Allah dari surga. Hidup matinya seseorang adalah hak Allah semata.
Manusia tidak mempunyai wewenang untuk menentukan secara definitif
hidup matinya orang lain atau dirinya sendiri. Alasan seperti rasa kasihan
melihat penderitaan pasien, alas an ekonomi atau kerepotan mengurus
pasien tersebut adalah tidak bisa mengesampingkan hak eksklusif dari
Allah Bapak, yaitu hak untuk menentukan kehidupan dan kematian atas
setiap manusia. Segala pengorbanan melalui jalan euthanasia adalah
pengorbanan yang sia-sia belaka. Dalam hal euthanasia tidak akan
pernah dicapai kesatuan pendapat etis sepanjang masa. Namun, hal ini
tentu tidak berarti bahwa kita berhenti berupaya mencari pedoman etika,
moral maupun hukum terhadap masalah euthanasia yang tampaknya
akan sering dihadapi para dokter. Kemajuan ilmu dan teknologi masa
kini sudah saatnya diantisipasi secara dini dengan rumusan-rumusan
etika dan hokum secra tegas dan bermoral. Dengan demikian, maksud
dan tujuan menolong pasien benar-benar dapat diwujudkan, sebagai
cerminan keluhuran profesi kedokteran dan bukan malah menjadikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
profesi dokter sebagai “monster” pencabut nyawa (Chrisdiono M.
Achadiat, 2002).
g. Perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) Terhadap Euthanasia
Dalam perkembangan dalam bidang teknologi dengan munculnya
“revolusi biomedis”, dewasa ini di negara-negara barat mulai
membicarakan tentang “the right to die”. Bahkan hak asasi manusia dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak lepas dari sasaran amandemen.
Pada tahun 1950 suatu petisi yang ditandatangani oleh 2513 orang
terkemuka Inggris dan Amerika Serikat menginginkan agar dalam
deklarasi tersebut ditambah dengan “hak bagi penderita yang tidak bisa
lagi diobati akan euthanasia sukarela” (Petrus Yoyo Karyadi, 2001 : 25).
Di lain pihak juga terdapat gugatan ditujukan terhadap konstitusi
negara Amerika Serikat yang terkenal sebagai “Bill of Right” tentang
kampanye ”The Right to Die” di atas, sebagaimana diketahui bahwa hak-
hak dasar manusia yang meliputi hak untuk hidup, kemerdekaan dan
untuk mengejar kebahagiaan, perlu juga dilakukan amandemen untuk
memasukkan pula didalamnya tentang “kematian dengan penuh
martabat”.
“The Right to Die” ini berkaitan dengan munculnya revolusi
biomedis dan tentunya berkaitan dengan masalah euthanasia. Hak untuk
mati ini diperjuangkan secara keras oleh mereka yang mendukung
euthanasia. Bagi mereka yang mendukung euthanasia berpendapat
bahwa euthanasia adalah layak untuk memberikan hak mati kepada
seorang pasien yang menderita suatu penyakit pada stadium terminal dan
sudah lama menderita karena penyakitnya itu.
Jadi dari uraian diatas di negara Indonesia pada dasarnya belum
bisa mengakui adanya hak untuk mati. Berbeda dengan di negara barat
yang sudah mulai bisa menerima adanya hak untuk mati sebagai hak
asasi, yang dibuktikan dengan adanya kampanye tentang “The Right to
Die” terhadap Deklaration of Human Right and Bill of Right sehingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
perlu adanya amandemen terhadap deklarasi tersebut (Senja Puspita
Dewi, 2007 : 19).
4. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Terhadap Nyawa
a. Pengertian Tindak Pidana Terhadap Nyawa
Kejahatan terhadap nyawa adalah penyerangan terhadap nyawa
orang lain. Kepentingan hukum yang dilindungi dan yang merupakan
obyek kejahatan ini adalah nyawa (leven) manusia. Hal ini termuat
dalam KUHP bab XIX dengan judul “kejahatan terhadap nyawa” yang
diatur dalam pasal 338-350 KUHP. Dalam KUHP kejahatan terhadap
“orang” mencakup hal-hal sebagai berikut :
1) Kehormatan (penganiaan)
2) Membuka rahasia
3) Kebebasan kemerdekaan pribadi
4) Nyawa
5) Badan/tubuh
6) Harta benda/kekayaan (Leden Marpuang, 2000 : 2)
b. Pembagian Tindak Pidana Terhadap Nyawa
Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau
dikelompokkan atas 2 dasar, yaitu :
1) Atas dasar unsur kesalahannya
Berkenaan dengan tindak pidana terhadap nyawa tersebut pada
hakikatnya dapat dibedakan sebagai berikut :
a) Dilakukan dengan sengaja yang diatur dalam pasal bab XIX
KUHP
b) Dilakukan karena kelalaian atau kealpaan yang diatur bab XIX
KUHP
c) Karena tindak pidana lain yang mengakibatkan kematian yang
diatur dalam pasal 170, 351 ayat 3 KUHP, dan lain-lain.
2) Atas dasar obyeknya (nyawa)
Atas dasar obyeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka
kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan dalam 3
macam, yaitu :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
a) Kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam
pasal 338, 339, 340, 344, 345 KUHP
b) Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah
dilahirkan, dimuat dalam pasal 341, 342, dan 343 KUHP
c) Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam
kandungan ibu (janin), dimuat dalam pasal 346, 347, 348, dan
349 KUHP.
c. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Terhadap Nyawa
1) Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (pasal 388 KUHP)
2) Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh tindak
pidana lain (pasal 339 KUHP)
3) Pembunuhan berencana (moord)
Pembunuhan dengan rencana lebih dulu atau disingkat dengan
pembunuhan berencana, adalah pembunuhan yang paling berat
ancaman pidananya dari seluruh bentuk kejahatan terhadap nyawa
manusia, hal ini diatur dalam pasal 340 KUHP
4) Pembunuhan bayi oleh ibunya (pasal 341 KUHP)
5) Pembunuhan bayi oleh ibunya secara berencana
Pembunuhan bayi berencana yang dimaksudkan di atas, adalah
pembunuhan bayi sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 342
KUHP
6) Pembunuhan atas permintaan korban
Hal ini dimuat dalam pasal 344 KUHP
7) Penganjuran agar bunuh diri
Hal ini diatur oleh pasal 345 KUHP dengan sanksi hukuman pidana
penjara selama-lamanya empat tahun
8) Pengguguran kandungan
Kata pengguguran kandungan adalah terjemahan dari kata abortus
provocateur yang dalam kamus kedokteran diterjemahkan dengan
membuat keguguran, pengguguran kandungan diatur dalam KUHP
pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP (Moeljatno, 2001 : 122-125) .
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1 : Bagan Kerangka Pemikran
EUTHANASIA
KUHP
Pasal 574 RUU KUHP Pasal 344 KUHP
Perbedaan
Solusi Terhadap Penanganan
Euthanasia
Perumusan Masalah :
1. Pengaturan euthanasia di mancanegara dan Indonesia
khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) Indonesia
2. Perbedaan pengaturan euthanasia dalam Rancangan Undang-
Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP)
Indonesia
RUU KUHP Tahun 2005
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Keterangan :
Kerangka pemikiran dalam bentuk skema di atas mencoba memberikan
gambaran yang disusun secara sistematis terkait alur berfikir dalam menjawab
permasalahan dalam penelitian ini. Kerangka pemikiran yang merupakan jawaban
atas permasalahan yaitu dalam hal perbandingan pengaturan euthanasia dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Rancangan Undang-
Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia.
Persoalan menjelang akhir kehidupan manusia juga semakin problematik dan
dilematis, setelah teknologi medis dapat merekayasa teknik perpenjangan hidup
secara mekanik atau teknologi respirator kematian seseorang. Melalui teknik
respirator kematian pasien dapat ditunda untuk jangka waktu tertentu. Euthanasia
atau hak mati bagi pasien sudah ratusan tahun dipertanyakan, tetapi belum semua
bangsa dan negara bersedia membenarkannya termasuk Indonesia. Masalah
euthanasia senantiasa menjadi masalah aktual dimana sejumlah pakar dari disiplin
ilmu telah mencoba membahas euthanasia dari berbagai sudut pandang. Namun
demikian pandangan medis, sosial, agama, dan yuridis masih mengandung
berbagai ketidak puasan, sulit dijawab secara tepat dan objektif.
Pada waktu sekarang dengan adanya teknologi medis semakin maju dengan
alat respirator sehingga dapat menghambat sebuah kematian yang bersifat
sementara dengan hal tersebut apakah bisa menghargai adanya kematian padahal
euthanasia sendiri belum mempunyai sistem yang jelas dalam sistem hukum
Indonesia baik dalam KUHP atau Undang-Undang Kesehatan. Munculnya
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga dirasakan
belum menjelaskan mengenai pengaturan euthanasia tersebut secara jelas.
Mengingat pentingnya pendapat mengenai euthanasia yang kontroversi sehingga
dibutuhkan peranan dari para tokoh masyarakat baik dari sarjana hukum ataupun
dokter untuk mengungkapkan pendapatnya bagaimana mengantisipasi
permasalahan mengenai euthanasia sendiri.
Penulis mencoba melihat mengenai perbandingan pengaturan euthanasia
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Seperti diketahui bahwa pengaturan euthanasia dalam KUHP dan Undang-
Undang Kesehatan belum memberikan kejelasan berkaitan dengan pengaturan
terhadap tindakan euthanasia tersebut. Berdasarkan hal tersebut nantinya
pengaturan euthanasia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat lebih
jelas dan dapat memberikan solusi terhadap tindakan euthanasia tersebut. Agar di
kemudian hari nantinya pengaturan euthanasia ini dapat memberikan
perlindungan dan manfaat baik dari dokter, pasien dan seluruh warga negara
Indonesia umumnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengaturan Euthanasia Di Manca Negara dan Hukum Positif Indonesia
1. Pengaturan Euthanasia Di Manca Negara
Pada dasarnya terhadap tindakan euthanasia di negara-negara barat seperti
negara Amerika Serikat mereka telah melegalkan adanya tindakan euthanasia
dengan syarat-syarat tertentu. Di negara-negara barat yang bersistem liberalis
dan berpaham sekuler, dalam penanganan terhadap euthanasia, mereka
beranggapan bahwa manusia mempunyai hak untuk menentukan kematiannya
sendiri bilamana dokter memutuskan bahwa seorang pasien sudah tidak ada
harapan untuk hidup.
Sebagai contoh yang pertama adalah pengaturan euthanasia di negara
Belanda. Dalam jurisprudensi di Negara Belanda kasus euthanasia yang
pertama adalah dari tahun 1952 ketika Pengadilan di Utrecht dalam
keputusannya pada tanggal 11 Maret menjatuhkan hukuman bersyarat
(voorwaardelijke) kepada seorang dokter, dimana atas permintaan kakaknya
yang sangat menderita karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
mengakhiri hidup kakaknya tersebut dengan suntikan.
Kasus lain yang sangat terkenal ialah Leeuwarden euthanasia process
tahun 1973. Dalam kasus ini Nyonya Postma Van Boven, dokter di
Oosterwoldwe, mengakhiri hidup ibunya dengan suntikan morfin atas
permintaan yang bersangkutan sendiri karena ia menderita penyakit yang
tidak dapat disembuhkan. Ibunya tersebut sudah tidak mau makan lagi dan
pernah menjatuhkan diri dengan sengaja dari tempat tidurnya dengan
membenturkan kepalanya di atas ubin dengan harapan akan dapat mengakhiri
hidupnya.
Nyonya Postma dan suaminya, yang juga jadi dokter, keduanya
memberitahukan kepada ibunya bahwa permintaannya itu tidak dapat
dikabulkan, akibatnya ibunya memberontak dan tidak mau lagi berbicara
dengan anak-anaknya. Akhirnya nyonya Postma tidak dapat menolak desakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
ibunya lagi dan memberikan suntikan. Oleh Pengadilan Leeuwarden dalam
keputusannya pada tanggal 21 Februari 1973 ia dijatuhi hukuman bersyarat
selama satu minggu.
Hal yang menarik dalam Leeuwarden euthanasia process ini ialah
kenyataan bahwa pengadilan menerima dan menyetujui beberapa
pertimbangan yang dikemukakan oleh seorang Inspektur Kesehatan Rakyat
yang diajukan sebagai saksi ahli. Dikemukakannya bahwa:
a. Persoalan disini menyangkut orang yang menderita penyakit yang tidak
dapat disembuhkan
b. Penderitaannya sedemikian hebatnya, sehingga perasaan sakit tak tertahan
lagi
c. Pasien sendiri telah mengajukan permintaan dengan sangat untuk
mengakhiri hidupnya
d. Pasien sudah di dalam periode akhir hidupnya (stervens periode), dan
e. Pelakunya adalah dokter yang mengobatinya
Dengan beberapa pertimbangan yang dikemukakan oleh seorang Inspektur
Kesehatan Rakyat tersebut yang dapat diterima dan disetujui oleh pengadilan,
dapat dijadikan alasan untuk meringankan hukuman. Hal ini penting dan
perlu mendapat perhatian dalam menanggulangi masalah euthanasia dengan
hukum pidana (Rehnalemken Ginting, 2009 : 46-47).
Belanda merupakan negara yang mengijinkan praktek euthanasia untuk
mengakhiri penderitaan pasien-pasien yang menderita sakit dengan harapan
hidup yang tipis. Meski dokter yang melakukan praktek pembunuhan halus
ini harus mengikuti peraturan yang ketat, dimana negara Belanda telah
melegalisasikan euthanasia. Belanda pada tanggal 10 April 2001 menerbitkan
Undang-undang yang mengijinkan euthanasia, undang-undang ini dinyatakan
efektif dan berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda
menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktek euthanasia
(Sheldon, Tony, 1999). Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun
(kronis) dan tidak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri
penderitaannya. Sebuah karangan berjudul The Slippery Slope of Dutch
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Euthanasia dan majalah Human Life International Special Report Nomor 67,
November 1998, halaman 3 (tiga) melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap
dokter di Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan
dituntut di pengadilan dengan syarat mengikuti beberapa prosedur yang telah
ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan
sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan
menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sebagai contoh yang kedua pada tanggal 21 April 1975 di Amerika Serikat
kasus seorang wanita di New Jersey, seorang perempuan berusia 21 (dua
puluh satu) tahun yang dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat
bantu pernapasan (respirator) karena kehilangan kesadaran akibat pemakaian
alkohol dan zat psikotropika secara berlebihan. Oleh karena tidak tega
melihat penderitaan sang anak, maka orang tuanya meminta agar dokter
menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan tersebut. Kasus permohonan
ini kemudian dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama
permohonan orang tua pasien ditolak, namun pada pengadilan tingkat
banding permohonan dikabulkan sehingga alat bantu tersebut dilepaskan pada
tanggal 31 Maret 1976. Setelah penghentian penggunaan alat bantu tersebut,
pasien dapat bernapas spontan walaupun masih dalam keadaan vegetatif. Dan
baru sembilan bulan kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut
meninggal akibat infeksi paru-paru (pneumonia).
Euthanasia agresif dinyatakan legal dibanyak negara bagian di Amerika.
Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara
eksplisit mengizinkan pasien terminal (pasien yang tidak mungkin lagi
disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada
tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya euthanasia dengan
memberlakukan undang-undang tentang kematian yang pantas (Oregon
Death with Dignity Act). Syarat-sayarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana
pasien terminal berusia 18 tahun (delapan belas tahun) ke atas boleh minta
bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam
enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali, dimana dua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 (lima belas) hari diantaranya)
dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak
boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus
mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis (harapan sembuh) serta
memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada
dalam keadaan gangguan mental. Hukum juga mengatur secara tegas bahwa
keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh
berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa
maupun kecelakaan ataupun juga polis simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa
depan, sebab dalam Amerika Serikat juga ada usaha untuk meniadakan
undang-undang negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan
Undang-Undang Northern Territory di Australia. Sebuah lembaga survei
terkenal yaitu survey Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% (enam
puluh prosen) orang Amerika mendukung dilakukannya euthanasia.
Kemajuan teknologi kedokteran di negara-negara maju menjadikan
euthanasia telah dilegalkan secara khusus dan tertulis. Seperti halnya di
Belanda, walaupun pelegalan euthanasia telah disertai dengan syarat-syarat
tertentu namun penanganan terhadap masalah euthanasia masih juga terdapat
perdebatan pro dan kontra. Permasalahan ini juga terdapat di beberapa negara
bagian di Amerika Serikat, meskipun di negara-negara tersebut pengaturan
terhadap euthanasia telah dilegalkan, tetapi selalu terdapat pro dan kontra
mengingat institusi kehakiman yang ada selama ini tidak bisa
menyeimbangkan kemajuan pengetahuan dalam bidang kedokteran.
2. Penanganan Kasus Euthanasia di Indonesia
Sejauh ini penanganan terhadap euthanasia di Indonesia belum dapat
dilakukan secara spesifik. Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas
permintaan dirinya sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan
nyawa seseorang. Dan hal ini di negara Indonesia masih menjadi kontroversi
diantara beberapa kalangan, karena dalam masyarakat Indonesia terdapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
pihak yang menyetujui terhadap adanya euthanasia dan ada juga pihak yang
tidak setuju dengan euthanasia.
Pihak yang menyetujui terhadap euthanasia dapat dilakukan, hal ini
berdasarkan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk
mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang
cukup mendukung yaitu alasan kemanusiaan. Dengan keadaan dirinya yang
tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat
melakukan permohonan euthanasia untuk segera mengakhiri hidupnya.
Sementara pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap
manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah
hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak dapat diganggu
gugat oleh manusia.
Pada dasarnya perbedaan pendapat ini mempunyai sudut pandang yang
berbeda terhadap masalah euthanasia, sehingga sulit untuk mencarikan jalan
keluar dari perbedaan tersebut. Namun, di negara Indonesia mempunyai
ketentuan hukum dalam mengatur masalah euthanasia ini, yaitu melalui Pasal
344 KUHP. Di mana di negara Indonesia penanganan masalah euthanasia
berdasarkan Pasal 344 KUHP yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap
nyawa. Euthanasia di Indonesia secara hukum merupakan pembunuhan atas
permintaan korban, yaitu permintaan pasien pada dokter.
Penanganan masalah euthanasia di Indonesia berkaitan dengan pasal-pasal
KUHP diantaranya yaitu Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, Pasal 340
KUHP tentang pembunuhan berencana, Pasal 344 KUHP tentang unsur-unsur
euthanasia, dan Pasal 345 KUHP tentang dorongan atau bantuan melakukan
pembunuhan. Terhadap penanganan kasus euthanasia di Indonesia, dalam
Pasal 63 ayat (2) KUHP, memungkinkan dokter sebagai pelaku dijerat
dengan Pasal 344 KUHP, yang didalamnya terpenuhi unsur “atas permintaan
sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Bilamana unsur ini
mendatangkan kesulitan bagi jaksa, maka alternatif hukum dengan
menggunakan Pasal 338 KUHP sebagai pasal umum yang mengatur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
pembunuhan, yang unsurnya hanyalah terjadi kematian seseorang akibat
perbuatannya.
Sebagai contoh, pada tahun 2006 dimana terdapat seorang wanita yang
berusia 50 (lima puluh) tahun yang menderita penyakit kanker payudara
stadium akhir dengan metastase (penyebaran tumor) yang telah resisten
(kebal) terhadap tindakan kemoterapi dan radiasi. Wanita tersebut mengalami
nyeri tulang yang hebat dimana sudah tidak dapat lagi diatasi dengan
pemberian dosis morphin intravena. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
rintihan ketika istirahat dan nyeri bertambah hebat saat wanita tersebut
mengubah posisinya. Walaupun tampak bisa tidur namun ia sering meminta
diberi analgesik, dan keluarganya pun meminta untuk dilakukan penambahan
dosis pemberian obat analgesik. Saat dilakukan diskusi antara dokter dan
keluarga wanita tersebut, dokter memberitahu bahwa penambahan obat
analgesik dapat mempercepat kematian klien.
Pada kondisi ini pasien selalu merasakan nyeri, dan keluarganya merasa
cemas, pasien dan keluarganya meminta untuk menambahkan dosis morphin
untuk mengurangi rasa nyeri pasien tersebut. Namun dokter tidak bisa
memberikan tindakan tersebut karena dengan pemberian tambahan dosis
morphin terhadap pasien akan dapat mengurangi rasa nyeri pasien tetapi
konsekuensinya akan dapat membahayakan dan mempercepat kematian
pasien. Tetapi apabila tindakan tersebut tidak dilakukan, maka pasien dan
keluarganya menyalahkan dokter dan apabila keluarga pasien kecewa
terhadap pelayanan di rumah sakit bisa menuntut ke pengadilan.
Penderitaan pasien dengan kanker payudara yang sudah mengalami
metastase mengeluh nyeri yang tidak berkurang dengan dosis morphin yang
telah ditetapkan. Pasien meminta penambahan dosis pemberian morphin
untuk mengurangi keluhan nyerinya. Keluarganya mendukung keinginan
pasien agar terbebas dari keluhan nyeri. Konflik yang terjadi :
a. Penambahan dosis pemberian morphin dapat mempercepat kematian
pasien.
b. Tidak memenuhi keinginan pasien terkait dengan pelanggaran hak pasien
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Terhadap penanganan kasus seperti ini dokter di Indonesia hanya mampu
untuk memberikan tindakan alternatif terhadap pasiennya. Di mana tindakan
alternatif yang diberikan yaitu menuruti keinginan pasien untuk menambah
dosis morphin tidak dilakukan sesering mungkin dan apabila diperlukan.
Artinya penambahan diberikan kadang-kadang pada saat tertentu misalnya
pada malam hari agar klien bisa tidur cukup. Padahal tindakan yang
dilakukan oleh dokter ini merupakan tindakan euthanasia pasif. Karena
apabila dokter menuruti keinginan pasiennya dengan memberikan tambahan
dosis morphin, maka akan dapat mempercepat kematian pasien, dan hal ini
merupakan tindakan euthanasia aktif. Untuk itu dalam hal ini dokter hanya
bisa melakukan tindakan alternatif saja, yang juga mempertimbangkan hak
pasiennya.
Berdasarkan uraian contoh di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
penanganan terhadap kasus euthanasia (euthanasia aktif) di negara Indonesia
pada dasarnya belum dapat dilakukan atau dilarang, dan di Indonesia pada
dasarnya baru bisa menerima tindakan euthanasia dan bersifat pasif (Senja
Puspita Sari, 2007 : 41-44).
3. Analisis Pengaturan Euthanasia Dalam Hukum Positif Indonesia
Sejarah pembentukan KUHP dapat kita ketahui, bahwa pembentuk
undang-undang ini pada saat itu (zaman Hindia Belanda), juga menganggap
bahwa jiwa manusia sebagai miliknya yang paling berharga, dibandingkan
dengan miliknya yang paling berharga, dibandingkan dengan milik manusia
yang lainnya. Oleh sebab itu, setiap perbuatan apapun motif dan coraknya
sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan jiwa
manusia, hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.
Jadi masalah keselamatan jiwa daripada warga negara, selalu dilindungi
negara. Dalam hal ini tidak boleh dilupakan adanya dua kepentingan yakni
kepentingan masyarakat dan kepentingan individu yang dituntut.
“Kepentingan masyarakat, bahwa seorang yang telah melanggar suatu
peraturan hukum pidana, harus mendapatkan hukuman yang setimpal
dengan kesalahannya, guna keamanan masyarakat, dan kepentingan orang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
yang dituntut, bahwa ia harus diperlakukan sedemikian rupa sehingga
jangan sampai orang yang tidak berdosa mendapat hukuman, atau kalau
memang ia berdosa, jangan sampai ia mendapat hukuman yang terlalu
berat, tidak seimbang dengan kesalahannya (Wirjono Prodjodikoro, 1977 :
16).
Pandangan dari pembentuk undang-undang Hindia Belanda itu rupanya
masih tetap dianut oleh pemerintah sekarang. Ini terbukti bahwa dalam
KUHP sendiri, perihal keselamatan dan keamanan jiwa manusia masih
dijamin dengan tanpa perubahan sedikitpun. Memang merupakan kenyataan
sampai sekarang, bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan
idiologi, tentang keselamatan dan keamanan jiwa manusia Indonesia dijamin
oleh undang-undang. Hal ini juga merupakan pencerminan daripada prinsip
equality before the law yang tentunya harus juga diterapkan terhadap
keamanan dan keselamatan jiwa manusia (Djoko Prakoso & Djaman Andhi
Nirwanto, 1984 : 70-71).
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP Indonesia hanya melihat dari
dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan
dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja
menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter
selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa
melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak peduli apakah
tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk
mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan coma atau rasa sakit yang
sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat
menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang
tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti
pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal–pasal dalam
Undang–Undang yang terdapat dalam KUHP.
Jika dilihat dari tiap jenis euthanasia ada aspek moral dan etika yang harus
menjadi pertimbangan yang mendalam, mengingat penentuan hidup dan mati
tidak ditangan manusia semata. Apabila melihat lebih jauh mengenai hak-hak
pasien untuk menentukan nasib sendiri, euthanasia nampak sebagai pilihan
cerdas untuk mengakhiri penderitaan karena pasien tidak berkeberatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
hidupnya berakhir jika dilihat dari jenis euthanasia sukarela. Namun
penghargaan atas nilai insani ini tidak begitu saja dapat dapat diabaikan
meskipun oleh si pemilik jiwa itu sendiri yaitu pasien. Karena bagaimanapun
akan membuka peluang bagi yang lain untuk begitu mudah mengakhiri hidup
yang tidak lagi mampu menahan penderitaan. Hal ini bertentangan dengan
fitrah manusia untuk berjuang dan bertahan hidup meskipun harus
menghadapi tantangan dan penderitaan (Alexandra Indriyanti Dewi, 2008 :
81).
Suatu intervensi medis yang bertujuan untuk mengurangi penderitaan
pasien namun dapat mengakibatkan kematian pasien atau membantu pasien
bunuh diri disebut euthanasia aktif. Di Indonesia hal ini tidak dapat
dibenarkan menurut Undang-undang, karena tujuan dari euthanasia aktif
adalah mempermudah kematian pasien. Sedangkan euthanasia pasif
bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan pasien namun
membiarkannya dapat berdampak pada kondisi pasien yang lebih berat
bahkan memiliki konsekuensi untuk mempercepat kematian pasien. Misalnya
rasa nyeri pada pasien dengan penyakit kanker dapat ditatalaksanakan oleh
petugas kesehatan profesional yang telah dilatih dengan manajemen nyeri,
namun hal tersebut tidak dapat membantu sepenuhnya pada penderitaan
pasien. Upaya untuk mengurangi penderitaan nyeri pasien mungkin akan
mempercepat kematiannya, namun tujuan utama dari tindakan adalah untuk
mengurangi rasa nyeri dan penderitaan pada pasien-pasien dengan penyakit
kanker (Petrus Yoyo Karyadi,2001 : 45-46).
Di dalam hukum pidana ada tiga permasalahan pokok yaitu, pertama
adalah perumusan perbuatan yang dapat dipidana atau perbuatan yang
dikriminalisasikan, yang kedua adalah pertanggungjawaban pidana dan yang
terakhir adalah sanksi, baik yang berupa pidana (straf) maupun yang berupa
tindakan (maatregel) (Muladi, 1990 : 2).
Pasal 344 KUHP harus memenuhi tiga permasalahan pokok dalam hukum
pidana tersebut, yaitu merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
perumusan perbuatan yang dapat dipidana, kemudian barang siapa yang
berarti orang yang melakukan perbuatan yang dilarang serta harus
mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut, dan yang belakangan ini
adalah sanksi berupa pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Seperti telah diketahui bahwa unsur-unsur dalam euthanasia memenuhi
rumusan Pasal 344 KUHP, dengan demikian memenuhi pula tiga
permasalahan pokok dalam hukum pidana. Secara teoritis pasal ini dapat
dioperasionalkan untuk menjaring perbuatan euthanasia yang merupakan
kejahatan terhadap nyawa itu. Tetapi dalam prakteknya belum pernah ada
kasus euthanasia di Indonesia, sebagaimana diatur dan diancam pidana
berdasarkan pasal 344 KUHP yang sampai ke Pengadilan.
Euthanasia dalam KUHP dikategorikan sebagai kejahatan terhadap
nyawa. Euthanasia secara hukum merupakan pembunuhan atas permintaan
korban, yakni permintaan pasien pada dokter. Pasal-pasal yang dapat
diterapkan berkaitan dengan euthanasia adalah Pasal 338 KUHP tentang
pembunuhan murni, Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, Pasal
344 KUHP tentang unsur-unsur yang memuat kriteria euthanasia dan Pasal
345 KUHP tentang bantuan dan dorongan pembunuhan dalam KUHP.
Dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP, memungkinkan dokter sebagai pelaku
euthanasia dijerat dengan Pasal 344 KUHP, yang didalamnya harus terpenuhi
unsur “atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan
hati”. Bilamana unsur ini mendatangkan kesulitan bagi jaksa, maka alternatif
hukum dengan menggunakan Pasal 338 KUHP sebagai pasal umum yang
mengatur tentang pembunuhan, dimana unsurnya hanya terjadinya kematian
seorang yang diakibatkan perbuatan orang lain.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memang tidak pernah
mencantumkan secara eksplisit istilah euthanasia dalam pasal-pasalnya,
namun bila dikaji lebih mendalam ternyata terdapat unsur-unsur dalam pasal
tersebut dan mencakup pengertian itu. Pasal 344 yang dikenal sebagai pasal
yang dapat dimasukkan dalam kategori euthanasia, yang menyebutkan
kalimat dengan unsur :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
“Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum
penjara selama-lamanya 12 tahun”.
Pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP juga dapat dikatakan
bersangkutan dengan masalah euthanasia (anonim, 2002).
Dalam Pasal 338 KUHP dikatakan bahwa :
“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun (lima belas
tahun)”.
Dalam Pasal 340 KUHP berbunyi :
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu
merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun (dua puluh tahun)”.
Dalam Pasal 345 KUHP berbunyi :
“Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan ini atau memberi sarana padanya untuk itu,
dancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun (empat tahun) kalau
orang itu jadi bunuh diri”.
Dalam Pasal 359 KUHP berbunyi :
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang
lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun (lima tahun)
atau pidana kurungan paling lama 1 tahun (satu tahun)” (Anonim,2006 :
107-111).
Apabila kita perhatikan, pasal-pasal tersebut diatas, yaitu Pasal 338, 340
dan 344 KUHP, ketiga-tiganya adalah mengandung makna larangan untuk
membunuh. Selanjutnya pasal 338 KUHP merupakan aturan umum daripada
perampasan nyawa orang lain. Pasal 340 KUHP aturan khususnya, karena
dengan dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dulu”. Oleh sebab itu,
Pasal 340 KUHP ini biasa dikatakan sebagai pasal pembunuhan berencana.
Begitu pula jika diperhatikan lebih lanjut, bahwa Pasal 344 KUHP pun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
merupakan aturan khusus daripada Pasal 338 KUHP. Hal ini, karena
disamping Pasal 344 KUHP tersebut mengandung makna perampasan nyawa
atau pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP, pada Pasal
344 KUHP ditambahkan pula unsur “atas permintaan sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Jadi masalah euthanasia ini dapat
menyangkut dua aturan hukum, yakni Pasal 338 KUHP dan Pasal 344 KUHP.
Dalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concurcus idealis, yang
merupakan sistem pemberian pidana juga terjadi satu perbuatan pidana yang
masuk dalam beberapa peraturan hukum. Concursus idealis ini diatur dalam
Pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa :
1. Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana,
maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu,
jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana
pokok yang paling berat.
2. Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang
umum diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya
yang khusus itulah yang dikenakan (Moeljatno, 1971 : 42).
Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas Lex specialis de rogat legi
generali, yaitu bahwa peraturan-peraturan yang khusus akan mendesak atau
mengalahkan peraturan-peraturan yang sifatnya umum. Yang dimaksud
sebagai peraturan khusus disini adalah :
“Peraturan pidana yang mempunyai atau memuat unsur-unsur yang
termuat dalam peraturan pidana yang umum, akan tetapi juga memuat
peraturan-peraturan pidana yang tak termuat dalam peraturan pidana umum”
(Muladi, 1977).
Sehubungan dengan adanya concursus idealis ini, maka Hazewinkel
Suringa yang dikutip oleh Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto dalam
bukunya, mengatakan sebagai berikut :
“Ada concurcus idealis, apabila pernyataan yang sudah memenuhi suatu
rumusan delik, mau tidak mau (noodzakelijk-co ipso) juga masuk dalam
peraturan pidana lain, baik karena banyaknya peraturan-peraturan yang
dibuat oleh pembentuk undang-undang, maupun karena diaktifkannya
aturan-aturan lain berhubungan dengan cara dan tempat perbuatan itu
dilakukan, orang yang melakukan dan obyek terhadap apa perbuatan itu
dilakukan” (Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, 1984 : 77).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Dengan adanya hal-hal seperti tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
masalah euthanasia yang menyangkut dua aturan hukum, yaitu Pasal 338
KUHP dan 344 KUHP, maka yang dapat diterapkan adalah Pasal 344 KUHP.
Apabila tidak terdapat asas Lex specialis derogat legi generali yang
disebutkan dalam Pasal 63 (2) KUHP itu, maka aturan pemidanaan yang
dipakai adalah Pasal 338 KUHP. Hal ini disebabkan karena ancaman pidana
penjara pada Pasal 338 KUHP (yaitu 15 tahun), lebih berat daripada ancaman
pidana yang terdapat pada Pasal 344 KUHP (yang hanya 12 tahun). Hal ini
dapat dimengerti karena dalam concursus idealis akan diterapkan sistem
absorbsi, sebagaimana disebutkan pada Pasal 63 (1) KUHP, yang memilih
ancaman pidananya yang terberat. Oleh sebab itu, di dalam KUHP kita, hanya
ada satu pasal saja yang mengatur tentang masalah euthanasia, yaitu Pasal
344 KUHP.
Ditinjau dari sudut pandang hukum dalam KUHP, euthanasia dapat
diuraikan sebagai berikut :
a. Euthanasia Aktif
Pada dasarnya euthanasia aktif terjadi apabila dokter atau tenaga
kesehatan lainnya secara sengaja melakukan tindakan untuk
memperpendek (mengakhiri) hidup pasien. Menurut Daniel Gorman,
euthanasia aktif didefinisikan sebagai mengambil tindakan secara
langsung yang menyebabkan kematian pasien (Daniel Gorman, 1998 :
857).
Euthanasia aktif dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu :
1) Euthanasia Aktif Atas permintaan Pasien
Terhadap tindakan euthanasia aktif atas permintaan pasien yang
diatur secara eksplisit oleh pasal 344 KUHP. Dokter atau tenaga
kesehatan lainnya yang telah melakukan euthanasia aktif ini dapat
dituntut berdasarkan Pasal 344 KUHP.
Pasal 344 KUHP berbunyi :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
“Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan
yang tegas dan sungguh-sungguh dari orang lain itu sendiri
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas
tahun”.
Berdasarkan Pasal 344 KUHP tersebut di atas dapat diketahui
bahwa ketentuan pidana yang diatur dalam pasal tersebut itu sama
sekali tidak mempunyai unsur subyektif, melainkan hanya mempunyai
unsur-unsur obyektif, yaitu masing-masing :
a) Beroven atau menghilangkan
b) Leven atau nyawa
c) Een ander atau orang lain
d) Op verlangen atau atas permintaan
e) Uitdrukkelijk an ernstig atau secara tegas-tegas dan sungguh-
sungguh.
Dalam hal permintaan yang sifatnya tegas dan sungguh-sungguh
yang disampaikan kepada pelaku (dokter) oleh seorang anak kecil
(belum dewasa) atau orang yang berpenyakit jiwa, mengenai tindak
pidana pembunuhan sesuai dengan Pasal 344 KUHP menerangkan
bahwa pelaku (dokter) dapat dipersalahkan karena telah melakukan
suatu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu atau moord, jika
dokter kemudian ternyata benar-benar telah memenuhi permintaan
yang yang dikemukakan oleh seorang anak kecil atau oleh seorang
yang berpenyakit jiwa.
Jadi berdasarkan uraian diatas dalam masalah euthanasia aktif atas
permintaan pasien terhadap pelaku (dokter) dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana dan dapat dituntut dengan hukuman
penjara selama-lamanya dua belas tahun.
2) Euthanasia Aktif Tanpa Permintaan Pasien
Berdasarkan Pasal 388 KUHP yang berbunyi :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain,
karena salah telah melakukan pembunuhan dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”.
Pada Pasal 340 KUHP, berbunyi :
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih
dahulu menghilangkan nyawa orang lain, karena salah telah
melakukan pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu,
dihukum dengan hukuman mati atau dengan hukuman penjara
seumur hidup atau dengan hukuman penjara sementara selama-
lamanya dua puluh tahun”.
Berdasarkan pasal tersebut di atas, secara alternatif dapat dijadikan
dasar penuntutan terhadap pelaku (dokter) yang telah melakukan
euthanasia aktif tanpa permintaan pasien. Apabila pelaku (dokter)
tersebut terbukti telah melakukan perencanaan atas tindakannya itu,
berarti dokter dapat dituntut berdasarkan Pasal 340 KUHP. Sedangkan
apabila tidak terbukti adanya perencanaan terlebih dahulu pada diri
dokter, maka Pasal 338 KUHP dapat diberikan terhadapnya.
Dalam kasus euthanasia aktif tanpa permintaan pasien ini, dokter
mendapat kesulitan untuk membuktikan bahwa ketika ia melakukan
euthanasia memang benar-benar tanpa perencanaan terlebih dahulu,
karena dokter tidak mungkin secara tiba-tiba (tanpa perencanaan)
melakukan euthanasia terhadap pasien. Dapat dipisahkan bahwa
sebelum dokter melakukan euthanasia terlebih dahulu memikirkan
pertimbangan-pertimbangan ini. Misalnya rasa belas kasihan melihat
pasien yang menderita terus menerus, melihat penyakitnya yang tidak
ada harapan untuk sembuh kembali, atau kondisi ekonomi dari
keluarga pasien yang semakin kesulitan. Justru karena dokter telah
memperhitungkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka dokter
telah dianggap merencanakan terlebih dahulu atas tindakan euthanasia
yang dilakukan terhadap pasiennya. Maka dari itu dalam kasus
euthanasia tanpa permintaan pasien sebagai bahan dasar untuk
melakukan penuntutan adalah Pasal 340 KUHP.
3) Euthanasia Aktif Tanpa Sikap Dari Pasien
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Euthanasia tanpa sikap adalah apabila pada saat akan
dilangsungkan euthanasia, pasien yang bersangkutan sudah dalam
keadaan coma (tidak sadar), yang berarti tidak dapat diketahui
keinginannya yang sebenarnya. Apakah pasien meminta euthanasia
atau tidak memintanya.
Dalam menghadapi kasus euthanasia tanpa sikap, minimal ada dua
masalah yang akan muncul. Pertama, misalnya semula pasien memang
(pada saat masih sadar) telah meminta kepada dokter secara tegas dan
sungguh-sungguh agar dilakukan euthanasia atas dirinya. Akan tetapi,
pada saat akan dilakukan euthanasia, pasien tersebut dalam keadaan
coma, tanpa adanya komunikasi lagi. Untuk lebih jelasnya dapat kita
beri contoh, misalnya pada tanggal 1 Januari 2012 keadaan pasien
masih sadar. Pada saat itu ia membuat surat perjanjian secara tegas dan
sungguh-sungguh dengan dokter agar nanti tanggal 10 Januari 2012
dilakukan euthanasia terhadap dirinya. Akan tetapi, pada tanggal 5
Januari 2012 pasien tersebut sudah tidak sadar diri. Dalam hal ini
apakah permintaan pasien tersebut tetap berlaku dan dokter akan tetap
melakukan euthanasia pada tanggal 10 Januari 2012, atau mungkin
bila pasien sadar ia akan menarik kembali permintaan euthanasianya
itu. Maka dalam hal ini dokter dan keluarga yang menentukan sikap
apakah tetap dilakukan euthanasia atau tidak.
Berdasarkan aksi coma bahwa naluri terkuat dari setiap mahkluk
hidup selalu ingin mempertahankan hidupnya, maka walaupun pasien
sudah (sedang) dalam keadaan coma, tetap diasumsikan bahwa pasien
tersebut tidak menginginkan hidupnya diakhiri. Dengan demikian,
dokter yang melakukan euthanasia aktif tanpa sikap dari pasien dapat
dituntut berdasarkan Pasal 388 KUHP atau 340 KUHP (Lamintang dan
Samosir, 1993 : 141-143).
Apabila terbukti bahwa dokter dalam melakukan euthanasia aktif
tersebut dengan disertai perencanaan terlebih dahulu, maka dokter
dapat dituntut berdasarkan Pasal 340 KUHP. Sedangkan bila tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
terbukti adanya perencanaan terlebih dahulu pada diri dokter, maka ia
terancam oleh Pasal 338 KUHP.
Masalah yang kedua, apabila seorang pasien dalam keadaan coma
sehingga tidak diketahui apa kehendaknya, kemudian keluarga pasien
mendesak dokter yang merawatnya untuk melakukan euthanasia aktif,
karena keluarganya sudah tidak tahan lagi melihat penderitaan pasien
tersebut. Dalam kasus seperti ini keluarga pasien tersebut yang telah
mendesak dokter untuk melakukan euthanasia dapat dituntut
melakukan euthanasia, dalam kasus seperti ini keluarga pasien
tersebut dapat dituntut berdasarkan uitloking (pembujukan) Pasal 55
KUHP, yang berbunyi :
a) Dihukum seperti pelaku dari suatu perbuatan yang dapat dihukum :
(1) Barang siapa yang melakukan, menyuruh, melakukan, atau ikut
melakukan perbuatan itu,
(2) Barang siapa dengan pemberian janji, penyalahgunaan
kekuasaan atau kepandangan, kekerasan, ancaman atau
kebohongan, atau dengan memberikan kesempatan, sarana atau
keterangan, dengan sengaja telah menggerakkan orang lain
untuk melakukan perbuatan itu
b) Mengenai perbuatan-perbuatan yang terakhir itu hanyalah
menyangkut perbuatan yag disengaja telah digerakkannya untuk
dilakukan oleh orang lain, beserta akibat-akibatnya.
Untuk itu adanya uitlokking (pembujukan), harus memenuhi dua
syarat, yaitu sebagai berikut :
a) Bahwa perbuatan yang telah digerakkan untuk dilakukan oleh
orang lain itu harus menghasilkan suatu voltooid delict atau suatu
delik yang selesai, atau menghasilkan suatu strafbaarpoging atau
percobaan yang dapat di hukum.
b) Bahwa tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang itu
disebabkan karena orang tersebut telah bergerak oleh suatu
uitlokking yang dilakukan oleh orang lain dengan menggunakan
salah satu cara yang telah disebutkan di dalam Pasal 55 ayat (1)
angka 2 KUHP.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Dapat diasumsikan bahwa keluarga pasien dalam keadaan
mendesak kepada dokter untuk melakukan euthanasia tersebut disertai
dengan keterangan-keterangan. Misalnya, keterangan keadaan pasien
yang tidak mungkin sembuh kembali, alasan ekonomis, atau merasa
kasihan melihat penderitaannya pasien yang berkepanjangan. Maka
dengan segala pemberian keterangan tersebut, keluarga pasien dapat
dianggap sebagai uitlokker yang telah menggerakkan (uitlokking)
dokter sebagai uitgelokte untuk menghilangkan nyawa orang lain
(pasien). Jadi berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa
terhadap keluarga pasien yang bersangkutan dapat dituntut
berdasarkan Pasal 55 KUHP. Kedua syarat untuk adanya uitlokking
tersebut di atas telah terpenuhi.
Sedangkan dokter (pelakunya) sendiri dapat dituntut
menghilangkan nyawa orang lain (pasien). Dalam hal ini berarti tidak
terdapat unsur “perencanaan” terlebih dahulu pada diri dokter karena
dokter sendiri dalam melakukan tindakan euthanasianya atas dasar
desakan dari keluarga pasien. Jadi, keluarga pasien dapat diancam
penjara selama-lamanya lima belas tahun, sama seperti pelakunya
sendiri (dokter) (Gerson W. Bawengan, 1995 : 10).
Berdasarkan masalah euthanasia tanpa sikap pasien tersebut di atas
lebih merupakan masalah teoritis belaka. Kecil kemungkinan untuk
terjadi dalam praktek, karena dokter (keluarga pasien) sendiri takut
akan ancaman hukuman penjara. Akan tetapi dalam praktek dapat saja
terjadi, misalnya keluarga pasien yang terus mendesak dokter untuk
melakukan euthanasia terhadap pasien yang bersangkutan, karena
keluarga pasien ingin segera mendapatkan harta warisan, yaitu dengan
cara mendesak dokter untuk mengakhiri hidup pasien tersebut.
b. Euthanasia Tidak Langsung
Euthanasia tidak langsung terjadi apabila dokter atau tenaga medis
lainnya tanpa maksud mengakhiri hidup pasien melakukan suatu tindakan
medis untuk meringankan penderitaan pasien, walaupun dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
mengetahui adanya resiko bahwa dari tindakan medis tersebut dapat
mengakibatkan hidup pasien diperpendek.
Seperti halnya euthanasia aktif, euthanasia tidak langsung dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu :
1) Euthanasia Tidak Langsung Atas Permintaan Pasien
Dalam kasus euthanasia tidak langsung atas permintaan pasien,
maka terhadap pelakunya (dokter) dapat dituntut berdasarkan Pasal
344 atau Pasal 359 KUHP.
Pasal 359 KUHP, berbunyi :
“Barang siapa yang karena salahnya telah menyebabkan
meninggalnya orang lain, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya lima tahun atau dengan hukuman kurungan
selama-lamanya satu tahun”.
Apabila dokter dapat membuktikan bahwa tindakan medik yang
dilakukannya itu hanya dimaksudkan untuk meringankan penderitaan
pasien, maka terhadapnya paling berat hanya dapat tuntutan Pasal 359
KUHP. Sedangkan apabila dokter tidak dapat membuktikan bahwa
tindakan medik yang dilakukannya itu hanya dimaksudkan untuk
meringankan penderitaan pasien, maka dokter dapat dituntut
berdasarkan Pasal 344 KUHP.
2) Euthanasia Tidak Langsung Tanpa Permintaan Pasien
Dokter yang tidak dapat membuktikan bahwa tujuan dari tindakan
medis yang dilakukannya itu adalah untuk meringankan penderitaan
pasien, maka dokter dianggap telah melakukan pembunuhan yang
telah direncanakan terlebih dahulu. Terhadapnya dapat dituntut
berdasarkan Pasal 340 KUHP.
Sebaliknya apabila dokter dapat membuktikan bahwa tindakan
medis yang dilakukannya itu bertujuan untuk meringankan penderitaan
pasien, maka dokter dapat dituntut berdasarkan Pasal 359 KUHP, atas
kesalahannya yang telah mengakibatkan meninggalnya pasien.
3) Euthanasia Tidak Langsung Tanpa Sikap Pasien
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Euthanasia dalam kategori ini didasarkan oleh asumsi bahwa
naluri terkuat dari setiap makhluk hidup termasuk manusia adalah
selalu berusaha mempertahankan hidupnya. Naluri tersebut seharusnya
diberlakukan juga terhadap pasien yang sudah dalam keadaan coma.
Terhadap pasien yang masih dalam keadaan coma tetap harus
dianggap bahwa dia ingin mempertahankan hidupnya dan tidak ada
keinginan untuk dieuthanasia (diakhiri hidupnya).
Dokter yang melakukan suatu tindakan medis terhadap pasien, dan
dokter tidak dapat membuktikan bahwa tindakan medis tersebut
dimaksudkan untuk meringankan penderitaan pasien maka dokter
tersebut dianggap telah melawan hak pasien. Oleh karena itu baginya
dapat dituntut berdasarkan Pasal 340 KUHP. Dan ia dianggap telah
merencanakan pembunuhan (euthanasia) terhadap pasien tersebut.
Apabila dokter tersebut dapat membuktikan bahwa tindakan medis
yang dilakukannya itu bertujuan meringankan penderitaan pasien,
maka dokter tersebut paling berat hanya dapat dituntut berdasarkan
Pasal 359 KUHP.
Dalam menghadapi masalah euthanasia tidak langsung ini, baik
atas permintaan atau tanpa permintaan maupun tanpa sikap dari pasien
ternyata dokter telah diberi beban untuk membuktikan terhadap
“tindakan medisnya”. Apabila jaksa yang harus membuktikan
“tindakan medis” dokter yang bersangkutan, maka jaksa akan
mendapat kesulitan karena jaksa sendiri tidak kompeten dalam hal
tindakan medis. Jadi menurut pendapat penulis adalah tepatnya apabila
dokter sendiri yang harus membuktikan “tindakan medisnya”, karena
ia sendiri yang kompeten dengan hal tersebut. Sedangkan dokter yang
membuktikan hal tersebut (sebagai tersangka) atau dapat juga dokter
ahli lainnya yang telah ditunjuk oleh pengadilan (jaksa yang
menuntutnya).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Dari uraian pembahasan di atas maka dapat diketahui bahwa dalam
memberikan medikasi kepada pasien harus selalu sesuai dengan
standar profesi medisnya.
c. Euthanasia Pasif
Euthanasia pasif dapat terjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya
secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medis kepada pasien yang
dapat memperpanjang hidupnya. Menurut Daniel Gorman, euthanasia
pasif didefinisikan sebagai memungkinkan pasien untuk mati oleh
perlakuan (Daniel Gorman, 1998 : 857). Dalam hal ini euthanasia pasif
dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu :
1) Euthanasia Pasif Atas Permintaan Pasien
Euthanasia pasif atas permintaan pasien ini, berkaitan erat dengan
hak-hak pasien, antara lain yaitu :
a) Hak atas informasi
b) Hak memberikan persetujuan
c) Hak memilih dokter
d) Hak memilih rumah sakit
e) Hak atas rahasia kedokteran
f) Hak menolak pengobatan
g) Hak menolak suatu tindakan medis tertentu
h) Hak untuk menghentikan pengobatan
Jadi dalam hal ini apabila pasien sudah meminta kepada dokter
untuk menghentikan pengobatan atau menghentikan terhadap tindakan
medis yang dilakukan oleh dokter, hal ini berarti adalah hak pasien.
Dengan demikian pasien tersebut sudah tidak lagi peduli dengan resiko
kematiannya. Dalam hal ini dokter tidak kompeten untuk melakukan
pengobatan terhadap pasien tersebut. Walaupun pasien tersebut akan
segera meninggal dunia setelah dilakukan euthanasia pasif, dokter
tetap tidak dikenakan tuntutan hukuman. Justru apabila dokter tetap
memberikan pengobatan atau tindakan medis terhadap pasien, maka
dokter akan dapat diancam telah melakukan penganiayaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
2) Euthanasia pasif Tanpa Permintaan Pasien
Euthanasia pasif tanpa permintaan pasien berarti dokter sendirilah
yang berinisiatif untuk berbuat pasif, tanpa melakukan pengobatan.
Hal ini biasa dilakukan oleh dokter karena adanya anggapan bahwa
tindakan medis yang dilakukan dokter terhadap pasien sudah tidak ada
gunanya.
Dalam hal ini apabila dokter dapat membuktikan bahwa tindakan
medis yang dilakukannya terhadap pasien benar-benar memang sudah
tidak ada gunanya lagi, maka dokter akan terbebas dari tuntutan
hukum, walaupun pasien tersebut meninggal dunia. Dalam hal ini
meninggalnya pasien tersebut dapat disebut sebagai bentuk semu
euthanasia.
Sedangkan apabila dokter tidak dapat membuktikan bahwa
tindakan medis yang dilakukan tersebut sudah tidak ada gunanya lagi,
maka dokter dapat diancam berdasarkan Pasal 304 jo Pasal 306 (2)
KUHP.
Pasal 304 KUHP, berbunyi :
“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan
seseorang yang ia wajib memeliharanya, atau yang berdasarkan
hukum yang berlaku baginya atau yang berdasarkan perjanjian ia
wajib merawatnya atau mengurusnya, dalam keadaan sengsara,
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun dan
delapan bulan atau dengan hukuman denda setinggi-tingginya
empat ribu lima ratus rupiah”.
Pasal 306 KUHP, berbunyi :
“Apabila salah satu perbuatan tersebut menyebabkan meninggalnya
anak itu, maka ia dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya sembilan tahun”.
Menurut pendapat penulis bahwa apabila dokter tidak dapat
membuktikan bahwa tindakan medis yang akan dilakukannya itu sudah
tidak ada gunanya lagi, maka dokter dapat dituntut berdasarkan Pasal
304 jo Pasal 306 (2) KUHP. Alasannya, karena bila dokter tidak dapat
membuktikan hal tersebut, berarti dokter masih mempunyai kewajiban
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
untuk melakukan tindakan medis (pengobatan). Tindakan medis atau
pengobatan berarti masih mempunyai arti dan ada gunanya, namun
dokter telah melakukan tindakan euthanasia pasif tanpa permintaan.
3) Euthanasia Pasif Tanpa Sikap Pasien
Euthanasia pasif tanpa sikap pasien dilakukan dokter biasanya
berdasarkan pertimbangan bahwa pengobatan sudah tidak ada gunanya
lagi. Tetapi untuk keadaan “tanpa sikap” atau pasien dalam keadaan
tidak sadar atau coma, hal ini tidak dapat diketahui kehendak dari
pasien yang sebenarnya.
Pada euthanasia tanpa permintaan pasien adalah kondisi dimana
pasien masih sadar tetapi pasien sudah tidak tahu lagi apa yang harus
diperbuat, apakah harus menolak euthanasia atau menerima
euthanasia. Pada prinsipnya disini pasien “tanpa permintaan”, dalam
keadaan ini pasien dianggap melakukan euthanasia, sedangkan dalam
hal “tanpa sikap” pasien berarti seperti telah dijelaskan di atas. Dengan
demikian akibat hukum yang ditimbulkan antara keduanya tidak ada
perbedaan.
Jadi apabila dokter dapat membuktikan bahwa tindakan medis
yang akan dilakukan tersebut sudah tidak ada gunanya lagi, maka
dokter tidak akan mendapatkan tuntutan hukum. Tetapi apabila dokter
tidak dapat membuktikan bahwa tindakan yang akan dilakukan
tersebut sudah tidak ada gunanya lagi, maka baginya (dokter) akan
dikenakan tuntutan Pasal 304 jo Pasal 306 (2) KUHP (Petrus Yoyo
Karyadi, 2001:54-71).
Secara formal hukum berlaku di negara kita memang tidak mengijinkan
tindakan euthanasia oleh siapapun (termasuk para tenaga medis dan dokter),
sebagaimana tercermin dalam pasal-pasal KUHP tersebut. Tersirat pada pasal
344 KUHP di atas, yang jelas-jelas dilarang oleh KUHP adalah euthanasia
aktif, dengan atau tanpa permintaan pasien/keluarganya. Akan tetapi
penerapan dari Pasal 344 KUHP tersebut sulit diterapkan pada kasus
penanganan euthanasia karena adanya beberapa faktor. Menurut Ahmad Ube
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
yang dikutip oleh Haryadi dalam jurnalnya, ada beberapa faktor yang
menyebabkan susahnya penanganan euthanasia dengan hukum pidana (Pasal
344 KUHP). Faktor itu meliputi : faktor yang berada diluar hukum pidana
dan faktor yang terdapat didalam hukum pidana (Ahmad Ube, 2000 : 58),
adalah sebagai berikut :
a. Faktor yang berada diluar Hukum Pidana
1) Didalam perbuatan euthanasia biasanya ada kerjasama antara pelaku
dan korban (misalnya dokter dengan keluarganya), sehingga perbuatan
tersebut tidak pernah dilaporkan kepada aparat penegak hukum untuk
diproses sebagai khasus pidana.
2) Keluarga korban atau masyarakat kurang atau tidak tahu bahwa telah
terjadi kematian yang disebut sebagai euthanasia, dengan perkataan
lain masyarakat kita masih awam terhadap hukum, apalagi menyangkut
masalah euthanasia yang jarang terjadi.
3) Alat-alat kedokteran di rumah sakit di Indonesia belum semoderen
negara-negara maju, seperti adanya respirator, hertlung machines,
organ transplants dan sebagainya yang dapat mencegah kematian
seseorang secara teknis untuk beberapa hari, minggu atau beberapa
bulan.
4) Kebanyakan keadaan sosial ekonomi masyarakat Indonesia berada
dibawah standart kehidupan yang layak, sehingga biaya untuk
perawatan kesehatan maupun pengobatan cukup memprihatinkan.
Keadaan ini membawa pengaruh pula terhadap perbuatan euthanasia,
terutama euthanasia pasif.
b. Faktor yang berada didalam Hukum Pidana
1) Rumusan (formula) pasal terlalu universal, sehingga sulit untuk
menentukan perbuatan mana yang termasuk euthanasia aktif, dan mana
yang termasuk euthanasia pasif. Kemudian tidak dapat diketahui mana
euthanasia yang dilakukan orang pada umumnya / dan mana
euthanasia yang dilakukan dokter pada khususnya. Hal ini penting
karena masalah euthanasia tidak sesederhana seperti rumusan Pasal 344
KUHP.
2) Dalam rumusan Pasal 344 KUHP terdapat kalimat “atas permintaan
orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati” yang
merupakan unsur yang harus dipenuhi untuk menentukan apakah orang
yang melakukannya dapat dipidana berdasarkan pasal ini atau tidak,
apabila tidak dipenuhi akan merupakan pembunuhan yang dapat
dikenakan pasal 338, 340 KUHP (Haryadi, 2007 : 87-88).
Adanya beberapa faktor tersebut menunjukkan bahwa hukum pidana
Indonesia khususnya yang terdapat dalam KUHP belum mengakomodir
secara penuh pengaturan masalah euthanasia itu sendiri. Menariknya,
Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan (yang dikenal sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Undang-Undang Kesehatan) ternyata belum mengakomodasi mengenai
euthanasia ini dalam pasal-pasalnya, sedangkan di lain pihak beberapa Pasal
KUHP tadi masih belum memberikan batasan serta penjelasan yang tegas
dalam hal euthanasia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Skema Euthanasia Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
Atas Permintaan
(Pasal 344 KUHP)
AKTIF Tanpa Permintaan
(Pasal 340 KUHP)
Tanpa Sikap
(Pasal 340, 338, 55 KUHP)
Atas Permintaan
(Pasal 344, 359 KUHP)
EUTHANASIA TIDAK LANGSUNG Tanpa Permintaan
(Pasal 340,359 KUHP)
Tanpa Sikap
(Pasal 340, 359 KUHP)
Atas Permintaan
(Tidak dihukum)
PASIF Tanpa Permintaan
(Pasal 304 jo 306 (2) KUHP)
Tanpa Sikap
(Pasal 304 jo 306 (2) KUHP)
Gambar 2. Sumber : Petrus Yoyo Karyadi, 2001 : 71
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
B. Pengaturan Euthanasia Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia
Keinginan melakukan pembaharuan hukum pidana, khususnya Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah dimulai sejak tahun 1946 mengingat
undang-undang pidana ini merupakan warisan kolonial Belanda, yang tidak sesuai
lagi dengan situasi Indonesia merdeka. Kebutuhan pembaharuan hukum pidana
menjadi penting dengan memperhatikan karakteristik hukum pidana berwawasan
ke-Indonesiaan. Pembentukan KUHP baru ini ditujukan dengan semangat pada
perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan reformasi hukum demi rakyat.
Pembaharuan hukum pidana adalah jalan terbaik dengan terbentuk RUU KUHP
menjadi KUHP nasional sebagai kebutuhan primer bangsa dan negara dalam
reformasi hukum pada abad ke-21 ini.
Dalam perkembangannya, pemikiran tentang latar belakang dan proses
pembaharuan KUHP tidak hanya didasari keinginan untuk menggantikan
karakteristik kolonial dari KUHP yang merupakan “copy” dari KUHP Belanda
1886, namun dilandasi pula dengan semangat demokratisasi hukum dalam arti
luas yang ingin mempertimbangkan baik aspirasi-aspirasi infrastruktural,
suprastruktural, kepakaran dan aspirasi internasional. Sebagai catatan dapat
dikemukakan bahwa, pengaruh kolonial dalam hukum pidana terjadi secara
sistematis melalui asas konkordansi, doktrin, text book dan jurisprudensi
pengadilan Belanda. Sepanjang berkaitan dengan aspirasi internasional, dalam hal
ini bisa berbentuk standard, asas maupun nilai-nilai dan norma, baik yang masih
bersifat “soft law” pada tahap-tahap “enunctiative, declarative and prescriptive”
maupun dalam bentuk “hard law” pada tahap-tahap “enforcement and
criminalization” (Muladi, 2006 : 1).
Dalam sejarah KUHP, terbukti bahwa Bagian Khusus KUHP yang terdiri atas
Kejahatan (Misdrijeven or Crimes) dan Pelanggaran (Overtredingen or Infraction)
ternyata lebih tua daripada Bagian Umumnya (Alegemene Bepalingen or General
Part). Kriminalisasi dan hukum acaranya terbentuk terlebih dahulu untuk
menghindarkan terjadinya perbuatan main hakim sendiri. Baru kemudian disadari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
perlunya ketentuan umum untuk mengatur penggunaan aturan-aturan pidana yang
bermacam-macam seperti ruang lingkup berlakunya hukum pidana, sanksi pidana
dan tindakan, alasan penghapus pidana, percobaan, penyertaan sebagai perluasan
pertanggungjawaban pidana, concursus atau pembarengan tindak pidana yang
merupakan peringanan pidana, daluwarsa, nebis in idem dan sebagainya. Bahkan
dikatakan oleh van Bemmelen (1979) bahwa dalam buku „Praktijke Criminele‟
yang ditulis oleh Philips Wieland pada tahun 1506 dan 1516, diuraikan terlebih
dahulu hukum acara pidana pada bagian pertama, dan dalam bagian kedua
diuraikan satu per satu delik-delik khusus. Di antara kedua bagian tersebut
ditambahkan beberapa ketentuan umum seperti pidana pada umunya dan dasar-
dasar penghapusan pidana.
Keinginan mempunyai sebuah hukum pidana nasional telah lama menjadi
obsesi bangsa ini. Namun demikian, keinginan yang obsesif itu, hendaknya tidak
diletakkan dalam kesadaran sekadar menggantikan Wetboek van Strafrecht,
produk hukum pidana pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Tetapi lebih jauh
dari itu, hendaknya dilandasi oleh suatu semangat atau keinginan memiliki sebuah
hukum pidana yang dapat difungsikan dalam tatanan negara demokratis.
Semangat ini menjadi relevan dalam konteks politik kita saat ini yang berada
dalam transisi, yakni transisi dari meninggalkan rezim politik otoriter Orde Baru
menuju sistem politik baru yang belum sepenuhnya terbentuk (demokratis atau
bukan). Konteks atau “semangat zaman” inilah yang harusnya dijawab dalam
penyusunan hukum pidana baru (RUU KUHP). Lebih tegas lagi, artinya,
penyusunan RUU KUHP harus diletakkan sebagai bagian dari proyek Reformasi
saat ini.
Pembaharuan hukum pidana merupakan perubahan mendasar pada ancaman
sanksi pidana dari ketentuan undang-undang pidana lama yang dimuat di dalam
KUHP dengan terbentuknya KUHP baru untuk lebih memerhatikan pada aspek
perlindungan HAM, keadilan dan kebenaran (Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti,
2011 : 1-2). Selanjutnya saat kodifikasi akhir abad kedelapan belas dan pada
permulaan abad kesembilan belas, diadakan pemisahan yang jelas dari Bagian
Umum dalam RUU KUHP ini, pembagian tindak pidana berupa kejahatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
(misdrijven, crimes) dan pelanggaran (overtredingen, infractions) tidak dilakukan
lagi. Dalam RUU KUHP ini, pembagian tindak pidana berupa kejahatan
(misdrijven, crimes) dan pelanggaran (overtredingen, infractions) tidak dilakukan
lagi. Hal ini dilakukan mengingat dalam sejarah tidak ada defenisi yang jelas dan
kriteria konklusi kualitatif sebagaimana yang terjadi dalam hukum Anglo Saxon
yang merumuskannya sebagai mala in se dan mala prohibita. Mala in se adalah
“acts wrong in themselves”, sedangkan mala prohibita merupakan “acts wrong
because they are prohibited”.
RUU KUHP, telah masuk dalam program prioritas pembahasan tahun 2010,
yang kemudian menjadi program luncuran prioritas tahun 2011, yang tertuang
dalam keputusan DPR. No. 02 B/DPR RI/II/2010-2011. RUU KUHP, sudah
disampaikan Menteri Hukum dan HAM kepada Presiden terakhir dengan surat
No. M.HH.PP.02.03-34 tanggal 10 November 2010. Kajian dan analisis akhir
terhadap RUU KUHP, diarahkan pada pertempuran dan penyesuaian dengan
perkembangan hukum pidana, dengan pertimbangan rumusan tindak pidana,
adanya kriminalisasi, dalam perundang-undangan, sebelum disyahkan KUH-
Pidana.
Dalam perkembangannya, makna pembaharuan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Nasonal yang semula semata-mata diarahkan kepada misi tunggal
yang mengandung makna “dekolonisasi” Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dalam bentuk “rekodifikasi”, dalam perjalanan sejarah bangsa pada akhirnya juga
mengandung berbagai misi yang lebih yang lebih luas sehubungan dengan
perkembangan baik nasional maupun internasional. Adapun misi kedua adalah
misi “deokratisasi hukum pidana” yang antara lain ditandai dengan masuknya
Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia dan hapusnya tindak pidana
penaburan permusuhan atau kebencian (haatzaai artikelen) yang merupakan
tindak pidana formil dan dirumuskan kembali sebagai tindak pidana penghinaan
yang merupakan tindak pidana materiil.
Misi ketiga adalah misi “konsolidasi hukum pidana” karena sejak
kemerdekaan perundang-undangan hukum pidana mengalami pertumbuhan yang
pesat baik didalam maupun diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
berbagai kekhasannya, sehingga perlu ditata kembali dalam kerangka asas-asas
hukum pidana yang diatur dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Disamping itu penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru dilakukan
atas dasar misi keempat yaitu misi “adaptasi dan harmonisasi” terhadap berbagai
perkembangan hukum yang terjadi baik sebagai akibat perkembangan di bidang
ilmu pengetahuan hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standart serta
norma yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia Internasional.
Berbagai misi tersebut diletakkan dalam kerangka politik hukum yang tetap
memandang perlu penyusunan hukum pidana dalam bentuk kodifikasi dan
unifikasi yang dimaksud untuk menciptakan dan menegakkan konsistensi,
keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum dengan memperhatikan
antara kepentingan nasional, kepentingan masyarakat dan kepentingan individu
dalam Negara Republik Indonesia berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Harus diakui bahwa di era kemerdekaan telah banyak dilakukan usaha untuk
menyesuaikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan kolonial dengan
kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka dan dengan
perkembangan kehidupan sosial lainnya, baik nasional maupun internasional.
Dalam hal ini disamping berbagai perubahan yang dilakukan melalui Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana telah beberapa kali mengalami pembaharuan dan
atau perubahan.
1. Pengaturan masalah euthanasia dalam RUU KUHP tahun 1999/2000
Dalam Rancangan KUHP Tahun 1999/2000 dapat ditemukan pengaturan
masalah euthanasia dalam Pasal 477 yang berbunyi sebagai berikut :
“Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain
tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan
keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana penjara paling
lama 9 (sembilan) tahun”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
Dalam penjelasan dikatakan bahwa ketentuan dalam pasal ini mengatur tindak
pidana yang dikenal dengan euthanasia aktif. Bentuk euthanasia pasif tidak diatur
dalam ketentuan ini karena masyarakat maupun dunia kedokteran tidak
menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan anti.
Meskipun euthanasia aktif dilakukan atas permintaan orang yang
bersangkutan yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, namun perbuatan
tersebut tetap diancam dengan pidana. Hal ini berdasarkan suatu pertimbangan
karena perbuatan tersebut dinilai bertentangan dengan moral agama. Di samping
itu juga untuk mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki, misalnya oleh
pembuat justru diciptakan suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga timbul
permintaan untuk merampas nyawa dari yang bersangkutan.
Ancaman pidana disini tidak ditujukan terhadap kehidupan seseorang
melainkan ditujukan terhadap penghormatan kehidupan manusia pada umumnya,
meskipun dalam kondisi orang tersebut sangat menderita, baik jasmani maupun
rohani. Jadi motif pembunuhan tidak relevan untuk dipertimbangkan dalam tindak
pidana. Pengertian “tidak sadar” dalam ketentuan pasal ini harus diartikan sesuai
dengan perkembangan dalam dunia kedokteran.
Pasal ini dirancang dan direncanakan untuk menggantikan Pasal 344 KUHP,
jika diteliti lebih lanjut dapat diketahui bahwa redaksi Pasal 477 KUHP Konsep
Rancangan Buku II KUHP sama bunyinya dengan Pasal 344 KUHP.
Perbedaannya hanya terletak pada ancaman pidananya, pada Pasal 344 KUHP
ancaman pidananya lebih berat yakni pidana penjara paling lama dua belas tahun,
sedangkan Pasal 477 Konsep Rancangan Buku II KUHP lebih ringan yakni
pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
Pasal 477 Konsep Rancangan Buku II KUHP tersebut perlu diformulasikan
kembali. Sebab kalau tidak, pasal ini akan mengalami nasib yang sama seperti
Pasal 344 KUHP. Belum pernah diterapkan dalam kasus euthanasia. Padahal
teknologi kedokteran semakin canggih, warga masyarakat semakin sadar akan hak
dan kewajibannya dalam mengarungi kehidupan, sehingga dapat diramalkan
kasus euthanasia akan terus meningkat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
2. Perkembangan pengaturan masalah euthanasia dalam RUU KUHP tahun
2005
Dalam perkembangannya, ada beberapa perubahan-perubahan berkaitan
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana setelah
Konsep RUU KUHP Tahun 1999/2000. Hal ini bertujuan agar nantinya RUU
KUHP ini dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan yang terkait dengan
ketentuan hukum pidana di masa yang akan datang. Adanya perubahan RUU
KUHP tersebut berimplikasi pada perubahan pengaturan euthanasia dalam RUU
KUHP.
Pengaturan euthanasia dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) terdapat dalam Pasal 574 RUU KUHP dan
Pasal 575 RUU KUHP, antara lain :
Pasal 574 RUU KUHP berbunyi :
“Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain
tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan
keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan)
tahun”.
Pasal 575 RUU KUHP berbunyi :
“Dokter yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
574 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun”.
Menurut penjelasan RUU KUHP pengaturan Pasal 574 RUU KUHP diatas
ditujukan untuk menjerat perbuatan euthanasia aktif. Bentuk "euthanasia pasif'"
tidak diatur dalam ketentuan tersebut karena masyarakat maupun dunia
kedokteran tidak menganggap pembuatan tersebut sebagai perbuatan anti.
Meskipun "euthanasia aktif" dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan
yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, namun perbuatan tersebut tetap
diancam dengan pidana. Hal ini berdasarkan suatu pertimbangan karena perbuatan
tersebut dinilai bertentangan dengan moral agama. Di samping itu juga untuk
mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki, misalnya oleh pembuat tindak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
pidana justru diciptakan suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga timbul
permintaan untuk merampas nyawa dari yang bersangkutan.
Ancaman pidana di sini tidak ditujukan terhadap kehidupan seseorang,
melainkan ditujukan terhadap penghormatan kehidupan manusia pada umumnya,
meskipun dalam kondisi orang tersebut sangat menderita, baik jasmani maupun
rohani. Jadi motif pembuat tidak relevan untuk dipertimbangkan dalam tindak
pidana. Pengertian "tidak sadar" dalam ketentuan Pasal ini harus diartikan sesuai
dengan perkembangan dalam dunia kedokteran.
Mengenai perumusan euthanasia yang tercantum dalam Rancangan Undang-
Undang Kitab Undang Hukum Pidana Tahun 2005 tersebut, ancaman perbuatan
ini dapat dikatakan relatif lebih ringan bila dibandingkan dengan KUHP yang
berlaku sekarang. Hal ini disebabkan dalam rumusan Pasal 574 RUU KUHP
tersebut dalam keadaan coma atau tidak sadar, sedangkan dalam Pasal 344 KUHP
yang berlaku saat ini tidak ada disebutkan mengenai hal tersebut, sehingga
ancaman hukumannya pada saat 12 tahun penjara.
Mengenai unsur permintaan harus ditegaskan, apakah cukup dengan lisan atau
harus tertulis. Sebaiknya permintaan tersebut dibuat dalam bentuk tertulis dan
diatas kertas bermaterai, agar dapat dipergunakan sebagai bukti adanya
permintaan yang nyata dan sungguh-sungguh. Demikian juga halnya dengan
unsur tidak sadar harus dipertegas, sehingga ada kriteria yang dapat dipergunakan
untuk menilainya.
Ancaman pidana yang relatif ringan menunjukkan bahwa tindak pidana
euthanasia ini dilakukan atas permintaan si pasien atau keluarganya dan dokter
yang melakukan perbuatan tersebut, karena alasan kemanusiaan untuk
menghilangkan penderitaan yang berat karena penyakit pasien tidak lagi dapat
disembuhkan, serta pasien tersebut mungkin sudah berada dalam akhir hidupnya.
Dokter yang melakukan perbuatan itu sudah berada dalam situasi yang harus
menentukan pilihan dalam konflik kepentingan, yaitu mempertahankan hidup
untuk memperpanjang penderitaan atau mempercepat kematian untuk
menghilangkan penderitaan (Suwarto, 2009 : 175).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Mengenai ancaman pidana yang relatif ringan, menurut pendapat Budhy
Hertantiyo (salah satu Hakim di Pengadilan Negeri Surakarta) :
Bahwa rumusan RUU KUHP Nasional berkaitan dengan tindakan euthanasia
ini sudah baik. Dalam ancaman pidananya sudah mengandung asas minimum
maksimum. Asas minimum maksimum yang dimaksud disini adalah adanya
ancaman pidana minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 9 (sembilan) tahun.
Jadi hakim berhak memutus perkara sesuai dengan kadar perbuatannya dan
nantinya dapat menjatuhkan sesuai dengan batas minimal ataupun batas
maksimal ancaman pidana tersebut. Ini berbeda dengan ketentuan yang
terdapat dalam KUHP yang berlaku saat ini dimana tidak adanya asas
minimum maksimum, dimana hakim hanya memutus berdasarkan hukuman
yang paling berat (maksimal) yang tercantum dalam KUHP tersebut. Oleh
karenanya diharapkan nantinya hakim dapat menentukan ancaman pidana
dari tindakan euthanasia itu sendiri dengan bijak.
Perkembangan lain yang terdapat RUU KUHP adalah, bahwa dalam RUU
KUHP tersebut menyebutkan profesi “dokter” (Pasal 575 RUU KUHP) yang
dalam KUHP yang berlaku sekarang tidak diatur. Menurut penulis, adanya
pengaturan berkaitan dengan dengan profesi dokter terhadap Pasal 574 RUU
KUHP menegaskan bahwa tindakan euthanasia di Indonesia itu dilarang atau
tidak diperbolehkan dilakukan oleh siapapun sekalipun itu seorang dokter yang
atas permintaan dari pasien. Selain itu, alasan pemidanan nantinya juga harus
diperhatikan faktor dari pelaku, apakah pelaku tersebut mengetahui akibat dari
euthanasia itu dan juga akibat hukum dilakukannya perbuatan euthanasia itu
sendiri.
Di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat sudah dirasakan sekali perlunya
mengubah atau membuat baru undang-undang yang ada kaitannya dengan
euthanasia. Untuk negara kita hal itu barangkali belum dirasakan begitu perlu,
tetapi di masa mendatang masalah ini semakin menantang untuk ditanggulangi
dengan hukum pidana. Dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional,
khususnya hukum pidana material (substantif), masalah prospek pengaturan
euthanasia dalam KUHP Indonesia di masa mendatang perlu mendapat perhatian
dari pembentuk undang-undang.
Prof. Olga Lelacic dari fakultas hukum SPLIT mengemukakan bahwa seorang
pasien yang meminta dokter untuk mengakhiri hidupnya sebetulnya tidak ingin
mati tetapi ingin mengakhiri penderitaanya. Namun demikian di negara kita
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
belum ada hukum yang jelas mengenai euthanasia ini. Dasar dari penentuan
tindakan boleh dilakukan euthanasia atau tidak boleh dilakukan euthanasia
adalah pedoman yang dikeluarkan oleh Pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia,
yaitu Surat Edaran No.702/PB/H.2/09/2004 tentang euthanasia.
Untuk mempertimbangkan perlu tidaknya suatu perubahan atau pembaharuan
undang-undang ada tiga faktor yang harus diperhatikan oleh pembuat undang-
undang sebagai berikut :
a. Pembuat harus memperhatikan semua argumen-argumen yang pro dan
kontra terhadap euthanasia.
b. Pembuat undang-undang harus menanyakan pada diri sendiri, apakah
mungkin untuk membuat peraturan undang-undang yang jelas dan yang
memberi kepastian hukum dan yang tidak menimbulkan kesulitan
interpretasi.
c. Pembuat undang-undang harus dapat memperhitungkan pula akibat dari
perubahan atau pembaharuan undang-undang tersebut.
Ketiga faktor tersebut diatas perlu diperhatikan pembentuk undang-undang,
agar peraturan perundang-undangan yang dihasilkan dapat berdayaguna dan
berhasilguna. Atas dasar ini menurut hemat penulis, rumusan pasal 574 RUU
KUHP yang direncanakan menggantikan pasal 344 KUHP perlu diformulasikan
kembali agar bisa mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi serta perkembangan.
Di Indonesia data yang pasti tentang euthanasia, belum ada namun perdebatan
tentang masalah euthanasia sudah dimulai, karena euthanasia telah menjadi
masalah etika yang penting, dan ilmu kedokteran mampu untuk memperpanjang
hidup seseorang. Alat bantu kehidupan seperti respirator, ginjal bantuan, dan
suplai makanan melalui infus, telah memungkinkan seseorang untuk bertahan
hidup walaupun secara alamiah seseorang telah kehilangan kemampuan untuk
bertahan hidup.
Menurut John Lorber dari American Medicine Assosiation yang dikutip oleh
Suwarto dalam jurnalnya, mengungkapkan :
“Antara membunuh dengan membiarkan mati dapat dibedakan dengan tegas.
Perbedaan pembunuhan adalah menyebabkan kematian, sedangkan
membiarkan mati adalah membolehkan kematian terjadi. Yang kedua adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
sebab terjadinya kematian oleh penyakit yang dideritanya atau oleh tidak
adanya pengobatan” (Suwarto, 2009 : 172).
Dari pendapat diatas dapatlah kita bedakan nantinya antara pembunuhan
dengan euthanasia. Harapannya prospek perkembangan hukum pidana khususnya
dalam RUU KUHP dapat mengakomodir benar bilamana nantinya terjadi kasus
euthanasia di Indonesia. Apabila dilihat dari RUU KUHP yang tertuang dalam
Pasal 574 RUU KUHP, dirasakan bahwa pasal tersebut masih banyak kekurangan
terkait dengan pengaturan tentang euthanasia pada khususnya. Tidak adanya
ketentuan yang pasti berkaitan dengan pengaturan euthanasia pasif, dengan kata
lain membuat seolah-olah pemerintah secara tidak langsung melegalkan tindakan
euthanasia pasif tersebut. Adanya ketidak jelasan tersebut dapat berimplikasi pada
lahirnya hak untuk mati bagi pasien. Apabila ini sampai terjadi, hal ini sangat
bertentangan dengan prinsip “menghormati kehidupan”, dimana prinsip ini
merupakan prinsip yang penting dalam etika medis. Kita tidak saja harus
mempertahankan kehidupan sedapat mungkin, tetapi kita juga harus bertanya
kehidupan yang bagaimana yang masih dianggap manusia dan layak
dipertahankan.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa euthanasia
di Indonesia ini tetap dilarang. Larangan ini terdapat dalam Pasal 344 KUHP yang
sampai sekarang masih berlaku. Akan tetapi dalam perumusan Pasal 344 KUHP
yang sekarang ini, dapat menimbulkan kesulitan bagi jaksa untuk menerapkan
atau mengadakan penuntutan. Di sisi lain, hadirnya Rumusan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) belum memberikan
gambaran yang jelas tentang pengaturan euthanasia itu sendiri. Pasal 574 RUU
KUHP yang berkaitan dengan masalah euthanasia yang mengatur atau berlaku
bagi euthanasia aktif sedangkan euthanasia pasif tidak ada pengaturan yang jelas
dan pasti dikarenakan bahwa euthanasia pasif dianggap sebagai perbuatan anti.
Adanya RUU KUHP ini, sebaiknya dikaji lebih mendalam lagi agar nantinya
apabila RUU KUHP ini disahkan akan dapat berguna, bermanfaat dan dapat
memberikan pengaturan yang jelas terkait tindakan euthanasia itu sendiri. Baik
euthanasia aktif ataupun euthanasia pasif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
Perbedaan pengaturan euthanasia dalam KUHP dengan RUU KUHP
KUHP RUU KUHP
1999/2000
RUU KUHP
2005
BELANDA
Pengaturan Pasal 344 KUHP Pasal 477
RUU KUHP
Pasal 574
RUU KUHP
Dilegalkan
Ancaman
Pidana
12 (dua belas)
tahun penjara
9 (sembilan)
tahun penjara
Minimal 2
(dua) tahun
dan maksimal
9 (sembilan)
tahun penjara
--
Penjelasan Pasal ini melarang
adanya euthanasia
yang aktif, yaitu
suatu tindakan
yang positif dari
dokter untuk
mempercepat
terjadinya
kematian . Pasal
344 KUHP,
merupakan
pengkhususan dari
Pasal 338 KUHP,
yang mengatur
tentang
perampasan nyawa
orang lain secara
umum. Tetapi
dengan adanya
asas Lex specialis
de rogat legi
generali dalam
concursus idealis,
yang diatur pada
Pasal 63 ayat (2)
KUHP, maka
terhadap masalah
euthanasia hanya
dapat diterapkan
Pasal 344 KUHP
saja.
Ketentuan
dalam pasal
ini mengatur
tindak pidana
yang dikenal
dengan
euthanasia
aktif. Bentuk
euthanasia
pasif tidak
diatur dalam
ketentuan ini
karena
masyarakat
maupun
dunia
kedokteran
tidak
menganggap
perbuatan
tersebut
sebagai
perbuatan
anti.
Pengaturan
Pasal 574
RUU KUHP
diatas
ditujukan
untuk menjerat
perbuatan
euthanasia
aktif. Bentuk
"euthanasia
pasif'" tidak
diatur dalam
ketentuan
tersebut karena
masyarakat
maupun dunia
kedokteran
tidak
menganggap
pembuatan
tersebut
sebagai
perbuatan anti.
Penerapan
pelegalan
terhadap
tindakan
euthanasia
dalam
negara
Belanda
dilandasi
oleh
beberapa
syarat yang
harus
dipenuhi,
antara lain :
pasien harus
mengadakan
konsultasi
dengan
rekan
sejawat
(tidak harus
seorang
spesialis)
dan
membuat
laporan
dengan
menjawab
sekitar 50
pertanyaan.
Tabel. 1 : Perbedaan pengaturan euthanasia dalam KUHP dan RUU KUHP
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan :
Dari uraian pembahasan masalah diatas, maka dalam kesempatan ini, penulis
dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Alasan apapun untuk euthanasia pasti memerlukan jawaban yang tidak
mudah, apalagi bagi setiap orang yang memiliki agama tertentu dan
menyakini keajaiban Tuhan. Namun, secara manusiawi, setiap orang pasti
dihadapkan pada pilihan yang dianggap terbaik bagi semua pihak
meskipun tidak selalu memuaskan. Hal ini juga yang akhirnya melandasi
hukum Indonesia untuk melarang euthanasia dengan segala bentuknya.
Namun harus pula dipikirkan jalan terbaik untuk menekan biaya
perawatan dan rumah sakit bagi mereka yang tanpa harapan hidup tetapi
harus mempertahankan hidup. Atau setidaknya jalan keluar agar orang –
orang yang ada di sekitar pasien tetap bisa hidup dan bertahan. Pengaturan
masalah euthanasia di Indonesia, satu-satunya hanya terdapat di dalam
Pasal 344 KUHP. Pasal ini melarang adanya euthanasia yang aktif, yaitu
suatu tindakan yang positif dari dokter untuk mempercepat terjadinya
kematian. Pasal 344 KUHP, merupakan pengkhususan dari Pasal 338
KUHP, yang mengatur tentang perampasan nyawa orang lain secara
umum. Tetapi dengan adanya asas Lex specialis de rogat legi generali
dalam concursus idealis, yang diatur pada Pasal 63 ayat (2) KUHP, maka
terhadap masalah euthanasia hanya dapat diterapkan Pasal 344 KUHP
saja. Walaupun telah diadakan pengaturan secara khusus, tetapi penerapan
Pasal 344 KUHP ini, dirasakan sangat sulit. Hal ini disebabkan karena
pasal ini menyebutkan adanya unsur “atas permintaan sendiri, yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Bagaimana seandainya si pasien
tersebut in persistent vegetative state, sehingga dia tidak dapat
berkomunikasi. Untuk memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Pasal 344 KUHP ini memang sulit. Oleh karenanya masalah euthanasia
tidak pernah terjadi di Indonesia yang sampai diajukan ke Pengadilan.
Meskipun demikian, eksistensi ketentuan dalam Pasal 344 KUH-Pidana
perlu untuk tetap dipertahankan.
2. Munculnya Konsep Rancangan KUHP Pasal 477 tahun 1999/2000 dan
Pasal 574 RUU KUHP tahun 2005 yang mempunyai unsur-unsur
menyangkut euthanasia, belum memberikan pengaturan secara jelas
mengenai euthanasia itu sendiri. Pasal 574 RUU KUHP hanya ditujukan
untuk menejerat perbuatan euthanasia aktif. Bentuk "euthanasia pasif'"
tidak diatur dalam ketentuan tersebut karena masyarakat maupun dunia
kedokteran tidak menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan anti.
Ini berimplikasi pada ketidak jelasan pengaturan euthanasia dimasa yang
akan datang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
B. Saran :
Dari uraian kesimpulan diatas maka dalam penelitian ini penulis ingin
memberikan sedikit saran yaitu sebagai berikut :
1. Pasal 344 KUHP merupakan pasal yang mengatur dan mengancam dengan
pidana perbuatan euthanasia, dalam kenyataannya pasal ini belum menjaring
perbuatan euthanasia sebagai tindak pidana. Oleh karena eksistensi pasal ini
perlu dipertahankan maka sebaiknya harus dirubah redaksinya atau
rumusannya. Dalam rumusan baru nanti sebaiknya dibedakan antara
euthanasia umum dengan euthanasia khusus. Terhadap euthanasia khusus
tidak dikenakan pidana atau dihilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan,
sebab perbuatan tersebut dilakukan berdasarkan kriteria tertentu seperti
standart profesi kedokteran yang menilai bahwa penyakit seseorang sudah
tidak mungkin untuk disembuhkan, adalah suatu putusan tentang hal tersebut
dari tim dokter setelah konsultasi dengan dokter ahli lainnya, serta adanya
permintaan dari pasien atau keluarganya agar hidup pasien diakhiri karena
tidak tahan lagi mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Dengan
demikian rumusan baru harus memudahkan aparat penegak hukum menjaring
perbuatan euthanasia sebagai tindak pidana, karena rumusannya dapat
dioperasionalkan dan diinterpretasikan sesuai dengan dinamika masyarakat
serta perkembangan ilmu dan teknologi. Untuk menunjang hal tersebut perlu
digarap materi standart penanganan euthanasia dengan hukum pidana,
sehingga penanggulangan tersebut nantinya dapat berdayaguna dan
berhasilguna.
2. Perlu adanya kajian lebih mendalam lagi terkait dengan Pasal 574 RUU
KUHP yang diprediksikan sebagai pengganti dari Pasal 344 KUHP yang
mengatur atau unsur-unsur dari pasal tersebut berkaitan dengan tindakan atas
euthanasia. Kajian lebih mendalam diperlukan terkait dengan penjelasan dari
Pasal 574 RUU KUHP yang hanya mengatur berkaitan euthanasia aktif.
Sedangkan euthanasia pasif hanya dikatakan sebagai tindakan anti. Substansi
dari klausul pasal tersebut sebaiknya disesuaikan agar nantinya tidak terjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
ketidakjelasan dalam pengaturannya, baik itu euthanasia aktif ataupun
euthanasia pasif. Agar nantinya menghasilkan suatu pasal yang jelas dan tegas
yang nantinya berimplikasi apabila terjadi tindakan tersebut maka akan ada
suatu landasan hukum bagi pengadilan ataupun aparat penegak hukum dalam
menyelesaikan masalah ini. Terhadap perumusan pasal 574 RUU KUHP
tersebut penulis berharap akan nantinya pasal tersebut dapat mengalami
perubahan dan dilengkapi seperti tambahan berikut :
a. Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain
tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas
permintaan keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9
(sembilan) tahun.
b. Apabila perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat pertama, dilakukan
terhadap seorang penderita yang tidak menentu nasibnya, dan sudah tidak
dapat diharapkan lagi penyembuhannya yang dinyatakan oleh lebih dari
seorang dokter, perbuatan ini tidak dipidana.
c. Ketentuan dalam ayat kedua harus disertai pula permohonan secara tertulis
dari penderita dan atau keluarganya, dengan ditandatangani oleh saksi-
saksi.
Dengan perumusan pasal 574 RUU KUHP yang diperbaharui diatas, akan
terjadi dua kemungkinan, yaitu dilarangnya euthanasia sebagaimana
disebutkan dalam ayat (1), dan diperbolehkannya euthanasia dalam keadaan
tertentu, sebagaimana disebutkan dalam ayat (2) dan (3). Dengan demikian
nantinya pasal 574 RUU KUHP dapat mudah untuk diterapkan atau dipenuhi
unsur-unsurnya, sehingga bersifat aktif tidak seperti perumusan yang saat ini
yang bersifat pasif.