102
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (RUU KUHP) INDONESIA Penulisan Hukum (SKRIPSI) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : Erwan Adi Priyono NIM. E0008335 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

i

PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB

UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN RANCANGAN

UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

(RUU KUHP) INDONESIA

Penulisan Hukum

(SKRIPSI)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1

Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh :

Erwan Adi Priyono

NIM. E0008335

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012

Page 2: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

Page 3: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

Page 4: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Erwan Adi Priyono

NIM : E0008335

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :

PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB

UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN RANCANGAN

UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (RUU

KUHP) INDONESIA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya

saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan

dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak

benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan

penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum

(skripsi) ini.

Surakarta,

Yang membuat pernyataan

Erwan Adi Priyono

NIM. E0008335

Page 5: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

MOTTO

“Man Jadda Wajada”

(Siapa Yang Bersungguh-sungguh Maka Ia Akan Berhasil)

Pengorbananku adalah cita-citaku

“Untuk mencintai kehidupan engkau harus mengingat-ingat kematian. Sebab

hanya mereka yang ingat kematian sajalah yang mempersiapkan diri dengan

menebarkan kebaikan-kebaikan kepada alam dan sesama manusia”

Page 6: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

I would like to dedicated all my love and my appreciation to my Mother and

Father, thanks for being a good parents for me.

Especially for my Mom Hj. Sumiyati I pround of you.

For my Familly and my lovely brothers, thanks for your support and pray.

I always remember about our love

For The H. Suprayitno’s family

And

INDONESIA

Page 7: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

ABSTRAK

Erwan Adi Priyono, E 0008335. 2012. PERBANDINGAN PENGATURAN

EUTHANASIA DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

(KUHP) DENGAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-

UNDANG HUKUM PIDANA (RUU KUHP) INDONESIA. Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertanggungjawaban dokter atas

tindakan euthanasia ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Indonesia serta kaitannya dalam pertanggung jawaban secara pidana serta untuk

membandingkan pengaturan euthanasia dalam Rancangan Undang-Undang Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia mendatang terkait

pertanggung jawaban pidana yang dilakukan oleh dokter.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum

normatif sosiologis untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subyek dan

obyek penelitian yang berkaitan dengan pengaturan euthanasia dalam KUHP dan

RUU KUHP. Sumber data yang diperoleh dari data primer dan data sekunder.

Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi kepustakaan dan

wawancara terstruktur di Pengadilan Negeri Surakarta. Penganalisisan data secara

kualitatif, penelitian hukum ini berusaha untuk mengerti atau memahami gejala

yang diteliti untuk kemudian mengkaitkan atau menghubungkan bahan–bahan

hukum yang relevan dan menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan. Kesatu,

Selama ini ketentuan hukum yang mengatur mengenai masalah euthanasia yaitu

ketentuan dalam Pasal 344 KUHP pada dasarnya rumusannya sulit untuk

digunakan sebagai dasar dalam melakukan tuntutan terhadap masalah euthanasia.

Kedua, Munculnya Konsep Rancangan Pasal 574 RUU KUHP tahun 2005 yang

mempunyai unsur-unsur menyangkut euthanasia, belum memberikan pengaturan

secara jelas mengenai euthanasia itu sendiri.

Kata kunci : euthanasia, KUHP, RUU KUHP

Page 8: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

ABSTRACT

Erwan Adi Priyono, E0008335. 2012. COMPARATIVE ON EUTHANASIA

ROLE IN KUHP WITH RUU KUHP OF INDONESIA. Faculty Of Law

Sebelas Maret University Of Surakarta.

This research aims to know about the doctor responsibility in euthanasia

act viewing from KUHP of Indonesia and the relation on the privat law

responsibilty and also to compare in the management of euthanasia on the next

RUU KUHP of Indonesia in relation to the responsibilty of privat law which done

by the doctor.

In this research, the writer uses normative-sociologis law research to give

the discription or explanation on research subject and object which in relation to

the role of euthanasia on KUHP and RUU KUHP. The data source which have

gotten from primer data and secunder data. The tehnicque of data collecting

which use is librarian study and structured interview which has done in Surakarta

Court. The data analysis is kualitatif this law research trying to know or

understand the syndrom which researched and then involved it with the law

material which relevan and become point in the librarian law research.

Based on the research result and the discussion there is a conclusion.

First, so far the law regulation which manage about euthanasia problem which is

the regulation on article 344 KUHP basicly the pattern is difficult tobe done as

the basic concept in doing the about euthanasia problem. Secondly, there is

concept of the design of article 574 RUU KUHP on year 2005 which has the

content about euthanasia, has given the clear management yet about euthanasia.

Keywords : euthanasia, KUHP, RUU KUHP

Page 9: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat,

karunia, segala nikmat, dan kekuatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi/penulisan hukum yang berjudul “PERBANDINGAN PENGATURAN

EUTHANASIA DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

(KUHP) DENGAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-

UNDANG HUKUM PIDANA (RUU KUHP) INDONESIA”. Penulisan hukum

ini sebagai tugas akhir guna memenuhi syarat-syarat dalam mencapai derajat

Sarjana (S1) dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini tidak terlepas

dari dorongan dan bantuan banyak pihak. Oleh karenanya, penulis dengan ini

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof.Dr.Hartiwiningsih,S.H.M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Rehnalemken Ginting, S.H., M.H selaku Ketua Bagian Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Bapak Dr. M. Hudi Asrori. S, S.H.,M.Hum. selaku Pembimbing

Akademik penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bimbingan

kepada penulis.

4. Bapak Rehnalemken Ginting, S.H., M.H dan Ibu Siti Warsini, S.H., M.H.

selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, perhatian,

dan pengarahan yang sangat berharga bagi penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

5. Bapak dan ibu dosen, serta karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta, terimakasih-ku ucapkan atas semua ilmu dan kenangan

yang telah dibagi.

Page 10: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

6. Bapak H. Budhy Hertantiyo, S.H., M.H. selaku Hakim Pengadilan Negeri

Surakarta, telah memberikan bimbingan selama penelitian, serta Bapak

dan Ibu Pegawai Pengadilan Negeri Surakarta.

7. Bapak dan Ibuku H. Suprayitno dan Hj. Sumiyati, yang selalu memberikan

dukungan, kepercayaan, dan doa-doa yang selalu terpanjatkan di setiap

malam. Inilah salah satu bentuk baktiku.

8. Kakakku Saiful Dwi Priyatno yang selalu memberikan kasih sayang, doa,

dan motivasinya.

9. Sahabat-sahabatku SMA (Angga, Tabah, Hengky, Fredy, Mu‟arif, Widy

Jebol, Jack, Karyo) Terimakasih telah memberikan banyak hal di lewati

bersama kalian. Jaga kebersamaan kita.

10. Sahabat-sahabatku kelompok diskusi hukum (Yusuf, Immas, Putut, Pras

Adut). Walaupun hanya beberapa orang, tetapi ilmu yang kalian berikan

sangat berharga. Semoga di kemudian hari ilmu itu dapat kita terapkan.

Tetap berjuang dan jangan pernah berhenti untuk belajar.

11. Teman-teman “Kost Putra Dewo” (Akil, Aji, Aryo, Bayu cebong) tetep

kompak ya, yang telah memberikan arti sebuah kebersamaan, dari

semester 3 hingga sekarang.

12. Anak-anak Hukum angkatan 2008, terutama (Septa, Gangga, Eric, Pradha,

Ndaru, Hengki R, Nico E, Ryan, Farid, Adhi, Purbo, Angger, Lindu, Titis,

Indah, Nanda, dll) terima kasih sudah berjuang bersama, saling mengisi

ketika kuliah. Sukses buat kita semua. Tetep komunikasi ya.

13. Teman-teman FOSMI, terutama (Perry, Rohmadi, Yoga, Lutfal, Ismail,

Rintis, Asri, Mas Muhson, Mas Suryo, Mas Pras, Mas Ryan, Johan, Ukie,

Radit, dll) yang telah banyak memberikan pengalaman berorganisasi.

14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Page 11: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu

kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak, penulis harapkan

demi perbaikan yang berkelanjutan. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat

bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan di kemudian hari. Terima kasih.

Surakarta, 7 Juni 2012

Penulis

Erwan Adi Priyono

Page 12: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING..……………………….

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI..................................................

HALAMAN PERNYATAAN…………………………………………..

ABSTRAK……………………………………………………………....

HALAMAN MOTTO...............................................................................

HALAMAN PERSEMBAHAN...............................................................

KATA PENGANTAR………………………………………..................

DAFTAR ISI……………………………………………………………

DAFTAR TABEL.....................................................................................

DAFTAR GAMBAR................................................................................

DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................

BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………

A. Latar Belakang………..……………………………………..

B. Rumusan Masalah…………………………………………...

C. Tujuan Penelitian……………………………………………

D. Manfaat Penelitian…………………………………………..

E. Metode Penelitian…………………………………………...

F. Sistematika Penulisan Hukum………………………………

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………….

A. Kerangka Teori………..…………………………………….

1. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana..........................

a. Pengertian Tindak Pidana.............................................

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana……………….................

c. Jenis-Jenis Tindak Pidana…………………………….

2. Tinjauan Umum Tentang Kriteria Kematian..…………..

3. Tinjauan Umum Tentang Euthanasia................................

a. Pengertian Euthanasia..................................................

b. Unsur-Unsur Euthanasia..............................................

c. Bentuk-bentuk Euthanasia...........................................

d. Bentuk-bentuk Semu Euthanasia................................

e. Euthanasia Ditinjau Dari Segi Kedokteran..................

i

ii

iii

iv

v

vii

viii

ix

xii

xiv

xv

xvi

1

1

6

6

7

8

12

14

14

14

14

15

19

23

24

24

27

27

Page 13: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii

d. Bentuk-bentuk semu euthanasia...................................

e. Euthanasia Ditinjau Dari Segi Kedokteran...................

f. Euthanasia Ditinjau Dari Segi Agama..........................

g. Perkembangan HAM Tentang Euthanasia....................

4. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Terhadap

Nyawa...............................................................................

a. Pengertian Tindak Pidana Terhadap Nyawa................

b. Pembagian Tindak Pidana Terhadap Nyawa................

c. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Terhadap Nyawa..........

B. Kerangka Pemikiran…….....………………………………...

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………….

A. Pengaturan Euthanasia di dalam Hukum Pidana

Indonesia…………..............................................................

1. Pengaturan Euthanasia di Mancanegara……....………

2. Penanganan Kasus Euthanasia di Indonesia……......…

3. Pengaturan Euthanasia di dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia……...……

B. Perbedaan Pengaturan Euthanasia Dalam Rancangan

Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(RUU KUHP) Indonesia……….........................……….....

1. Pengaturan Euthanasia Dalam Rancangan Undang-

Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU

KUHP) Indonesia Tahun 1999/2000............................

2. Pengaturan Euthanasia Dalam Rancangan Undang-

Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU

KUHP) Indonesia Tahun 2005.....................................

BAB IV. PENUTUP…………………………………………………….

A. Kesimpulan……………………………………………….....

B. Saran…………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………...

LAMPIRAN……………………………………………………………..

31

36

37

40

41

41

41

42

43

46

46

46

49

52

72

75

77

83

83

85

87

90

Page 14: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Perbedaan pengaturan euthanasia dalam KUHP dengan RUU

KUHP..........................................................................................

82

Page 15: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Kerangka Berpikir...................................................................

Gambar 2: Bagan Pengaturan Euthanasia Dalam KUHP…………….....

43

71

Page 16: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Ijin Penelitian dan Surat Keterangan Penelitian Dari

Pengadilan Negeri Surakarta ............................................

89

Page 17: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia sebagai negara berkembang tidak dapat menghindari adanya

kemajuan dan perkembangan di bidang kedokteran khususnya dan bidang

teknologi pada umumnya. Akibat kemajuan teknologi yang tak terbayangkan

dalam menyongsong milenium baru ini, menjadi penyebab terjadinya perubahan-

perubahan di berbagai bidang dan struktur masyarakat baik secara cepat atau

lambat. Demikian pula semakin banyak penemuan-penemuan di berbagai bidang

khususnya dalam hal ini di bidang medis.

Dengan perkembangan diagnosa, suatu penyakit dapat lebih sempurna

dilakukan dan pengobatan penyakitpun dapat berlangsung dengan cepat. Dengan

peralatan, rasa sakit si pasien diharapkan dapat diperingan agar kehidupan

seseorang dapat diperpanjang untuk jangka waktu tertentu dengan respirator.

Perkembangan teknologi dibidang medis ini dengan harapan agar dokter diberi

kesempatan untuk mengobati si pasien sebagai upaya bagi si pasien untuk sembuh

menjadi lebih besar, namun ada kalanya menimbulkan kesulitan di kalangan

dokter sendiri. Seperti penggunaan alat respirator yang dipasang untuk menolong

pasien, di mana jantung pasien berdenyut namun otaknya tidak berfungsi dengan

baik.

Selain kasus tersebut di atas banyak lagi masalah yang dihadapi dokter dalam

mengobati pasien, seperti halnya pasien yang tidak mungkin lagi diharapkan

sembuh atau hidup sehat karena belum ditemukan obatnya, sehingga pasien

merasakan sakit yang terus menerus, dalam hal ini apakah dokter harus

menghilangkan nyawa pasien atau euthanasia dengan teknik yang ada atau

membiarkan pasien begitu saja atau menyuruh pulang kembali ketengah

keluarganya. Menyadari hal itu kewajiban dokter adalah menghormati dan

melindungi setiap insan dengan menjalankan tugasnya semata-mata hanya untuk

Page 18: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

menyembuhkan dan mengurangi penderitaan pasien dengan ilmu pengetahuan

yang dimilikinya dan berdasarkan sumpah jabatan dan kode etik kedokteran.

Perlu diketahui bahwa perkembangan euthanasia dalam pengaturan hukum di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Uruguay telah melangkah begitu

jauh yang di antaranya disebutkan sebagai berikut, “Hukum dapat menganggap

seseorang tidak bersalah, bila ia melakukan perbuatan membunuh yang

bermotifkan perasaan kasihan sebagai kelanjutan dari permintaan si korban

kepadanya berulang-ulang”. Di Amerika Serikat yang menganut aliran hukum

Anglo Saxon, “melakukan euthanasia bukan suatu yang perlu dipermasalahkan

karena dalam sistem hukum yang demikian memungkinkan seseorang untuk

meminta putusan pengadilan untuk mengesahkan suatu tindakan”. California

menjadi negara bagian yang membuat undang-undang dan telah mengeluarkan

suatu produk legislatif perihal “Hak untuk mati” dalam bentuk undang-undangnya

yang diberi nama “The Natural Death Act” 1976

(http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view).

Uruguay dan Amerika merupakan contoh dari negara yang setuju dengan

euthanasia, tetapi ada juga negara yang sampai dengan saat ini tidak setuju atau

belum memenuhi aturan hukumnya tentang euthanasia ini, seperti halnya

Indonesia dan Belanda. Di negara Belanda kasus euthanasia yang pertama terjadi

pada tahun 1952, ketika pengadilan di Utrech dalam keputusannya pada tanggal

11 Maret 1952 menjatuhkan hukuman bersyarat kepada seorang dokter, yang atas

permintaan dengan jalan suntikan mengakhiri hidup kakaknya yang sangat

menderita karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Demikian juga

terhadap kasus Leeuwarder Euthanasia proses 1973. Pengadilan Leeuwarder

dalam keputusannya tanggal 21 Januari 1973 menjatuhkan hukuman bersyarat

selama satu minggu kepada Nyonya Posman yang telah sengaja memberikan

suntikan kepada ibunya yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

Dua putusan pengadilan tersebut membuktikan bahwa di Belanda, euthanasia

belum dapat dilakukan (http://typecat.com/pdf/skripsi-tentang-euthanasia.html#).

Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai

euthanasia (Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas

Page 19: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

permintaan dirinya sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa

seseorang. Dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang

menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia.

Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa

setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya

dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu

alasan kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk

sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera

diakhiri hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia

beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya,

karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa

diganggu gugat oleh manusia.

Masalah euthanasia ini memang menyangkut nyawa manusia. Bila dilihat dari

kacamata hukum, khususnya hukum pidana Indonesia, maka euthanasia dapat

dikategorikan ke dalam kejahatan terhadap nyawa orang, sebagaimana diatur dan

diancam pidana dalam Pasal 334 KUHP. Secara historis, pasal ini belum pernah

menjaring pelaku euthanasia, sehingga tidak efektif. Oleh karena itu dalam

rangka pembangunan hukum, terutama pembaharuan hukum pidana, maka Pasal

334 KUHP tersebut perlu ditinjau kembali, agar dapat berdaya guna, berhasil

guna dan sesuai dengan perkembangan sosial (Rehnalemken Ginting, 2009 : 2).

Dewasa ini hampir tidak ada bidang kehidupan masyarakat yang tidak

terjamah oleh hukum, baik sebagai kaidah maupun sikap tindak manusia yang

teratur dan unik. Hal ini terutama disebabkan karena pada dasarnya manusia

mempunyai hasrat untuk hidup teratur. Akan tetapi keteraturan bagi seseorang

belum tentu sama dengan keteraturan bagi orang lain. Oleh karena itu diperlukan

kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia agar kepentingan-

kepentingannya tidak bertentangan dengan kepentingan-kepentingan sesama

warga masyarakat. Salah satu kaidah yang diperlukan manusia adalah kaidah

hukum yang mengatur hubungan antara manusia untuk mencapai kedamaian

melalui keserasian antara ketertiban dengan ketentraman (Soerjono Soekanto,

1987 : 1).

Page 20: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

Kehadiran hukum hampir pada setiap jengkal kehidupan manusia merupakan

salah satu ciri dari masyarakat kita dewasa ini (Sajipto Raharjo, 1986 : 83).

Namun dalam realitanya, hukum itu sering ketinggalan bila dibandingkan dengan

perkembangan masyarakat yang senantiasa berubah sesuai dengan tuntutan

kemajuan zaman. Hukum yang tadinya diharapkan mengatur, kini harus ditata

lebih dahulu agar dapat sesuai dengan perkembangan masyarakat yang begitu

dinamis. Dengan demikian tujuan hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat

yang dinamis itu dapat tercapai.

Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum, sesuai dengan ketentuan Pasal 1

ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Indonesia berusaha membenahi hukum-hukumnya agar sesuai dengan tuntutan

kehidupan masyarakat di abad modern ini. Aktivitas seperti itu dapat dicapai

melalui pembangunan hukum dalam kerangka pembangunan nasional.

Pembaharuan hukum merupakan bagian dari pembangunan hukum yang

dilakukan secara terarah dan terpadu meliputi bidang-bidang hukum tertentu,

termasuk didalamnya hukum pidana. Menurut Soedarto yang dikutip oleh

Rehnalemken Ginting dalam bukunya, pembaharuan hukum pidana yang

menyeluruh harus meliputi hukum pidana material (hukum pidana substantif),

hukum pidana formal (hukum acara pidana), dan hukum pelaksanaan pidana

(strafvollstreckungsgesetz). Mengingat luasnya bidang pembaharuan hukum

pidana itu, maka pada kesempatan ini yang disoroti hanyalah hukum pidana

material, khususnya yang menyangkut masalah euthanasia dalam Kitab Undang–

Undang Hukum Pidana (KUHP) (Rehnalemken Ginting, 2009 : 3).

Substansi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(RUU KUHP) yang di dalamnya mengandung sistem hukum pidana materiil,

beserta asas-asas hukum pidana yang mendasarinya, disusun dan diformulasikan,

dengan berorientasi pada berbagai pokok pemikiran dan ide dasar keseimbangan,

yang antara lain mencakup. Pertama, keseimbangan antara moralitas yang

berkaitan dengan kepentingan negara, kepentingan umum/masyarakat dan

kepentingan individu/perorangan. Kedua, keseimbangan antara perlindungan

terhadap kepentingan publik, kepentingan pelaku tindak pidana, dan kepentingan

Page 21: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

korban tindak pidana. Ketiga, keseimbangan antar unsur, faktor objektif, dan

subjektif. Keempat, keseimbangan antara kriteria formal dan materiil. Kelima,

keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan elastisitas atau fleksibilitas dan

keadilan. Keenam, keseimbangan antara kearifan lokal/kearifan fartikularistik,

nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global (Syaiful Bakhri, 2011 : 98).

Mengingat begitu pentingnya permasalahan euthanasia dalam hal ini ilmu

medis bersatu dengan ilmu hukum dimana permasalahan euthanasia di Negara

Indonesia juga tidak menyetujuinya akan hal tersebut. Tetapi sebenarnya yang

harus kita pikirkan adalah dengan adanya kematian tersebut karena pada

prinsipnya sebuah kematian dialami oleh setiap makhluk Tuhan yaitu manusia

tapi dalam hal euthanasia sendiri apakah kematian merupakan bagian dari hak

asasi manusia (HAM).

Adanya teknologi medis semakin maju dengan alat respirator sehingga dapat

menghambat sebuah kematian yang bersifat sementara dengan hal tersebut apakah

bisa menghargai adanya kematian padahal euthanasia sendiri belum mempunyai

sistem yang jelas dalam sistem hukum Indonesia baik dalam KUHP atau Undang-

Undang Kesehatan. Munculnya Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) diharapkan dapat menjelaskan mengenai

pengaturan euthanasia tersebut secara jelas. Mengingat pentingnya pendapat

mengenai euthanasia yang kontroversi sehingga dibutuhkan peranan dari para

tokoh masyarakat baik dari sarjana hukum ataupun dokter untuk mengungkapkan

pendapatnya bagaimana mengantisipasi permasalahan mengenai euthanasia

sendiri.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka hal-hal tersebut mendasari dan

melatarbelakangi penulis untuk menyajikan penulisan hukum dengan judul

PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB

UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN RANCANGAN

UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (RUU

KUHP) INDONESIA.

Page 22: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

B. Rumusan Masalah

Berdasar latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis merumuskan

masalah untuk mengetahui dan menegaskan masalah-masalah apa yang hendak

diteliti sehingga dapat memudahkan penulis dalam mengumpulkan, menyusun,

menganalisa, dan mengkaji data secara lebih rinci. Adapun permasalahan yang

akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan euthanasia di mancanegara dan hukum positif

Indonesia ?

2. Bagaimana pengaturan euthanasia dalam Rancangan Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian

Suatu kegiatan penelitian harus mempunyai tujuan yang hendak dicapai

dengan jelas. Tujuan penelitian diperlukan untuk memberikan arah dalam

melangkah dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Objektif

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban dokter atas tindakan

euthanasia ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) Indonesia serta kaitannya dalam pertanggung jawaban secara

pidana.

b. Untuk menganalisis dan mengetahui perbedaan pengaturan euthanasia

dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (RUU KUHP) mendatang terkait pertanggung jawaban pidana

yang dilakukan oleh dokter.

2. Tujuan Subjektif

a. Untuk menambah pengetahuan penulis di bidang Hukum Pidana dalam

hal mengenai perbandingan pengaturan euthanasia dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan perkembangan

Page 23: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

pengaturannya dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia.

b. Untuk melatih kemampuan penulis dalam menerapkan teori ilmu

hukum, mengembangkan dan memperluas wacana pemikiran serta

pengetahuan yang didapat selama masa perkuliahan guna menganalisis

mengenai perbandingan pengaturan euthanasia dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Rancangan Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia.

c. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar akademik

sarjana dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Salah satu pemilihan masalah dalam penelitian ini adalah hasil penelitian ini

dapat memberikan manfaat. Karena nilai dari sebuah penelitian ditentukan oleh

besarnya manfaat yang dapat diambil dari adanya penelitian tersebut. Adapun

manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini antara lain :

1. Manfaat Teoretis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan

sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu

hukum pada umumnya, dan hukum pidana pada khususnya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan

literatur kepustakaan tentang perbandingan pengaturan euthanasia

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(RUU KUHP) Indonesia.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan penalaran,

membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengembangkan

Page 24: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh

selama dibangku kuliah.

b. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan

pemahaman, memberikan tambahan masukan dan pengetahuan kepada

pihak-pihak terkait dengan masalah yang sedang diteliti, dan juga

kepada berbagai pihak yang berminat pada permasalahan yang sama.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,

prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum

yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki. 2005 : 35). Penelitian hukum dilakukan

untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu, penelitian

hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-know di dalam

hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam

menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki. 2005 : 41).

Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori maupun

konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun penelitian ini

adalah penelitian hukum normatif sosiologis. Penelitian hukum normatif

sosiologis adalah penelitian hukum ini merupakan penggabungan dari

penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan dengan

penelitian hukum empiris atau sosiologis.

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, atau data sekunder, yang

terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tertier. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji

dan ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti

Page 25: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

yaitu dalam hal analisis perbandingan pengaturan euthanasia dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Rancangan Undang-

Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang berfokus pada usaha

untuk mengetahui perbandingan pengaturan euthanasia dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan perkembangan

pengaturannya dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia.

Sedangkan penelitian hukum empiris atau sosiologis adalah penelitian

yang mengkaji hukum dalam realitas atau kenyataan di dalam masyarakat

(law in action). Penelitian hukum empiris mengungkapkan hukum yang

hidup (living law) dalam masyarakat melalui perbuatan yang dilakukan

oleh masyarakat.

2. Sifat Penelitian

Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat

prespektif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat prespektif, ilmu yang

mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai, keadilan, validitas aturan hukum,

konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum, sebagai ilmu terapan,

ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-

rambu dalam melaksanakan aktivitas hukum (Peter Mahmud Marzuki,

2005 : 22).

Penelitian ini bersifat preskriptif, yaitu dimaksudkan untuk

memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukan.

Argumentasi disini dilakukan untuk memberikan perspektif atau penelitian

mengenai benar atau salah menurut hukum terhadap fakta-fakta atau

peristiwa hukum dari hasil penelitian.

3. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan

pendekatan tersebut, maka peneliti akan mendapatkan informasi dari

berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya.

Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah

Page 26: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

pendekatan Undang-Undang (statute approach), pendekatan kasus (case

approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan

komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual

(conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005 : 93).

Adapun pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan Undang-Undang (statute approach) dan pendekatan

komparatif (comparative approach). Pendekatan undang-undang ini

dengan menelaah undang-undang yang bersangkut paut dengan isu hukum

yang sedang ditangani, dengan maksud untuk mencari dasar yuridis

pertanggungjawaban dokter terhadap tindakan euthanasia. Sedangkan,

pendekatan komparatif ini dengan berusaha membandingkan dasar hukum

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan perkembangan

pengaturan/dasar hukum dalam Rancangan Undang-Undang Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) terhadap masalah

euthanasia tersebut.

4. Jenis dan Sumber Data Penelitian

Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki,

mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal

adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum dalam hal ini

bahan hukum dalam hal ini bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa

data hukum sekunder.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoratif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri

dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah di

dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-

putusan hakim. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992

Tentang Kesehatan

Page 27: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004

Tentang Praktik Kedokteran.

4) Kode Etik Dokter Kesehatan Kerja Indonesia.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud

Marzuki, 2005 : 141). Bahan hukum sekunder sebagai pendukung

dari data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks

yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan

sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung

penelitian ini Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah :

1) Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana Indonesia Tahun 1999/2000 dan 2005.

5. Teknik Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian

ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan (Library Research) dan

wawancara kepada narasumber. Yang dimaksud dengan studi kepustakaan

yaitu suatu bentuk pengumpulan bahan hukum melalui membaca,

mengkaji, dan mempelajari literatur, hasil penelitian terdahulu, dan

membaca dokumen yang berhubungan dengan penelitian yang erat

kaitannya dengan permasalahan yang dibahas kemudian dikategorisasi

menurut jenisnya.

Sedangkan yang dimaksud dengan wawancara adalah mencari sumber

bahan hukum dari narasumber secara langsung dengan teknik wawancara

terstruktur (tanya jawab). Dalam hal ini wawancara yang dilakukan

penulis di Pengadilan Negeri Surakarta dengan salah satu hakim, yaitu

Bapak H. Budhy Hertantiyo, S.H.,M.H. Untuk mengumpulkan bahan

hukum berkaitan dengan masalah yang dikaji.

6. Teknik Analisis Data

Analisis bahan hukum merupakan tahap paling penting dalam suatu

penelitian. Karena didalam penelitian ini, bahan yang diperoleh akan

Page 28: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

diproses dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai didapat suatu

kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari penelitian.

Teknik analisis dalam penelitian hukum ini adalah teknik kualitatif.

Mengkualitatifkan bahan hukum adalah fokus utama dari penelitian

hukum ini, dimana penelitian hukum ini berusaha untuk mengerti atau

memahami gejala yang diteliti untuk kemudian mengkaitkan atau

menghubungkan bahan–bahan hukum yang relevan dan menjadi acuan

dalam penelitian hukum kepustakaan.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Sistematika penulisan dalam penelitian hukum ini terdiri dari empat (4) bab

yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan, dan penutup. Selain itu

ditambah dengan daftar pustaka. Adapun sistematika yang terperinci adalah

sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis mengemukakan latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan

hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis memaparkan sejumlah landasan teori

dari para pakar dan doktrin hukum berdasarkan literatur-

literatur yang berhubungan dengan permasalahan

penelitian yang diangkat. Tinjauan pustaka dibagi menjadi

dua (2) yaitu :

1. Kerangka teori, yang berisikan tinjauan mengenai

tindak pidana, kriteria kematian, euthanasia, tindak

pidana terhadap nyawa.

Page 29: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

2. Kerangka pemikiran, yang berisikan gambaran alur

berpikir dari penulis berupa konsep yang akan

dijabarkan dalam penelitian ini.

BAB III : PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis hendak menguraikan pembahasan dan

hasil perolehan dari penelitian yang dilakukan. Berpijak

dari rumusan masalah yang ada, maka dalam bab ini

penulis akan membahas dua pokok permasalahan yaitu

pengaturan euthanasia di mancanegara dan hukum positif

Indonesia serta perbedaan pengaturan euthanasia dalam

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (RUU KUHP) di masa yang akan datang.

BAB IV : PENUTUP

Pada bab ini penulis mengemukakan kesimpulan dari hasil

penelitian serta memberikan saran yang relevan dengan

penelitian terhadap pihak–pihak yang terkait dengan

penelitian tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 30: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoretis

1. Tinjauan Tentang Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

Dalam KUH-Pidana (WvS) dikenal istilah strafbaarfeit atau yang

dalam ilmu pengetahuan hukum disebut delik. Sedangkan pembuat

undang-undang dalam merumuskan undang-undang mempergunakan

istilah peristiwa pidana, perbuatan pidana atau tindak pidana.

Strafbaarfeit sendiri berarti suatu kelakuan manusia yang diancam

pidana oleh peraturan perundang–undangan, jadi disini yang diancam

pidana adalah manusia. Sehingga banyak ahli hukum yang mengartikan

strafbaarfeit sebagai tindak pidana.

Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti

“sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de

werkelijkheid”, sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga

secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan

sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang

sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui

bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai

pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan (Lamintang,

1997 : 181).

Istilah strafbaarfeit sendiri diterjemahkan oleh pakar hukum

pidana Indonesia dan pakar / ahli hukum dari negara lain dengan istilah

yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai istilah delik,

peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, pelanggaran pidana,

perbuatan yang melawan hukum atau bertentangan dengan tata hukum

dan diancam pidana apabila perbuatan yang dilarang itu dilakukan oleh

orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Pendapat tersebut misalnya :

Page 31: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

1) Menurut Pompe yang dikutip oleh Lamintang dalam bukunya,

Perkataan “strafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan

sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib

hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah

dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman

terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib

hukum dan terjaminnya kepentingan umum” atau sebagai “de

normovertreding (verstoring der rechtsorde), waaraan de

overtreder schuld heeft en waarvan de bestraffing dienstig is voor

de handhaving der rechts orde en de behartiging van het algemeen

welzjin” (Lamintang, 1997 : 182).

2) Menurut Moeljatno yang dikutip oleh Adami Chazawi dalam

bukunya, menyatakan :

Bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan hukum, yang bilamana larangan tersebut tidak dipatuhi maka

dapat dikenai sanksi berupa sanksi pidana. Dengan kata lain, kata

straafbaarfeit diartikan sebagai bentuk perbuatan pidana adalah

perbuatan manusia yang tidak dibenarkan secara hukum dan

dikenakan sanksi bagi para pelanggarnya (Adami Chazawi, 2002:

71).

b. Unsur-Unsur Dalam Tindak Pidana

Suatu perbuatan untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana

atau tindak pidana, maka perbuatan tersebut juga harus memenuhi

unsur tindak pidana, yaitu :

1) Subyek Tindak Pidana

Siapa yang menjadi subyek tindak pidana sebagaimana

tercantum dalam KUHP yaitu seorang manusia sebagai pelaku,

hal ini terdapat dalam perumusan tindak pidana KUHP,

sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno yang dikutip oleh

Senja Puspita Dewi dalam skripsinya yaitu :

Page 32: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

“Yang dapat menjadi subyek tindak pidana sebagaimana

tercantum dalam KUHP yaitu seorang manusia sebagai

pelaku, hal ini terdapat di dalam perumusan tindak pidana

KUHP. Daya pikir merupakan syarat bagi subyek tindak

pidana, juga pada wujud hukumnya yang tercantum dalam

Pasal KUHP yaitu hukuman penjara dan hukuman denda”.

KUHP dalam perumusannya menggunakan kata “Barang

siapa“, hal itu menunjukkan yang menjadi subyek tindak

pidana adalah manusia. Namun dalam perkembangan

selanjutnya, dalam pergaulan hidup kemasyarakatan bukan

hanya manusia saja yang terlibat, seperti contohnya badan

hukum, sehingga yang dapat memungkinkan melakukan tindak

pidana bukan hanya manusia akan tetapi badan hukum juga

bisa melakukan perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh

manusia sehingga bisa termasuk dalam perumusan tindak

pidana. Kemungkinan badan hukum dikenai hukuman pidana

apabila melanggar hukum atau perundang–undangan yang

berlaku, hukuman yang dikenakan dapat berupa denda yang

harus dibayar oleh badan hukum yang bersangkutan (Senja

Puspita Dewi, 2007 : 10).

2) Harus Ada Perbuatan

Dengan perkembangan didalam masyarakat maka untuk

menguraikan perbuatan manusia dalam perkembangannya

dapat dilihat dari aktifitasnya. Biasanya perbuatan yang

dilakukan bersifat positif atau aktif tetapi ada pula perbuatan

yang negatif atau pasif yang dapat dikatakan sebagai perbuatan

pidana, yaitu :

a) Mengetahui adanya permufakatan jahat tetapi tidak

dilaporkan walaupun ada kesempatan untuk melapor pada

yang berwajib.

b) Tidak bersedia menjadi saksi dimuka pengadilan.

c) Bersifat melawan hukum

Page 33: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

Mengenai sifat melawan hukum, merupakan sesuatu hal

yang sangat penting, karena dalam tindak pidana hal–hal

yang bersifat tidak melawan hukum sudah tidak lagi

menjadi persoalan hukum pidana. Pengertian melawan

hukum itu sendiri ada dua yaitu melawan hukum formil dan

melawan hukum materiil, seperti yang dikemukakan oleh

Moeljanto yang dikutip oleh Senja Puspita Dewi dalam

skripsinya, yaitu :

(1) Melawan hukum formil, yaitu :

Apabila perbuatan telah sesuai dengan larangan

undang-undang, maka disitu ada kekeliruan letak

melawan hukumnya perbuatan sudah nyata, dan

sifatnya melanggar ketentuan undang-undang kecuali

jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh

undang-undang.

(2) Melawan hukum materiil, yaitu :

Ada yang berpendapat, bahwa belum tentu kalau semua

perbuatan yang sesuai dengan larangan undang-undang

itu bersifat melawan hukum. Bagi mereka yang

dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja tetapi

disamping undang-undang (hukum tertulis) ada juga

hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau

kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat

(Senja Puspita Dewi, 2007 : 11).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan melawan hukum formil adalah telah memenuhi

unsur-unsur yang disebutkan dalam rumusan dari dalam undang-undang

dan sifat melawan hukumnya harus berdasar undang-undang.

Sedangkan yang dimaksud dengan melawan hukum materiil adalah

suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak dilihat dari undang-

undang dan juga aturan-aturan hukum yang tertulis.

Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, sesuatu tindakan itu

dapat merupakan “een doen” atau “een niet doen” atau dapat

merupakan “hal melakukan sesuatu” ataupun “hal tidak melakukan

sesuatu”, yang terakhir ini di dalam doktrin juga sering disebut sebagai

Page 34: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

“een nalaten” yang juga berarti “hal mengalpakan sesuatu yang

diwajibkan (oleh undang-undang).

Sungguh pun demikian setiap tindak pidana yang terdapat di dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita

jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi

menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur

objektif.

Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-

unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan

diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang

terkandung di dalam hatinya.

Sedang yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif itu adalah

unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan mana

tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)

2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaaan atau poging

seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP

3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat

misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,

pemerasan, pemalsuan dan lain-lain

4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte read seperti

yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan

menurut Pasal 340 KUHP

5) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di

dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :

1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid

2) Kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seorang

pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415

KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari

Page 35: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398

KUHP

3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai

penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat

(Lamintang, 1997 : 193-194).

c. Jenis-jenis Tindak Pidana

Perbuatan / tindak pidana yang diatur dalam KUHP buku II KUHP

terdiri dari XXXII bab dan buku ke-II terbagi menjadi IX bab. Secara

umum tindak pidana dapat dibedakan ke dalam beberapa pembagian:

a) Tindak pidana yang dimaksud dapat dibedakan secara kualitatif

atas kejahatan dan pelanggaran:

(1) Kejahatan

Secara doktrin kejahatan adalah rechtdelicht, yaitu

perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas

apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-

undang atau tidak. Sekalipun tidak dirumuskan sebagai

delik dalam undang-undang, perbuatan ini benar-benar

dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang

bertentangan dengan keadilan. Jenis tindak pidana ini juga

sering disebut sebagai mala per se. Perbuatan-perbuatan

yang dapat dikualifikasikan sebagai rechtdelicht dapat

disebut antara lain pembunuhan, pencurian dan sebagainya.

(2) Pelanggaran

Jenis tindak pidana ini disebut wetsdelicht, yaitu

perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari

sebagai suatu tindak pidana, karena undang-undang

merumuskannya sebagai delik. Perbuatan-perbuatan ini

baru disadari sebagai tindak pidana oleh masyarakat oleh

karena undang-undang mengancamnya dengan sanksi

pidana. Tindakan pidana ini disebut juga mala qui

prohibita. Perbuatan-perbuatan yang dapat dikualifikasikan

Page 36: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

sebagai wetsdelicht dapat disebut misalnya memarkir mobil

disebelah kanan jalan, berjalan di jalan raya disebelah

kanan dan sebagainya.

Dalam perkembangan pembagian tindak pidana secara kualitatif

atas kejahatan dan pelanggaran seperti tersebut diatas tidak diterima.

Penolakan terhadap pembagian tindak pidana secara kualitatif tersebut

bertolak dari kenyataan, bahwa ada kejahatan yang baru disadari

sebagai tindak pidana oleh masyarakat setelah dirumuskan dalam

undang-undang pidana. Dengan demikian tidak semua kejahatan

merupakan perbuatan yang benar-benar telah dirasakan masyarakat

sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terdapat juga

pelanggaran yang memang benar-benar telah dirasakan oleh masyarakat

sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, sekalipun

perbuatan itu belum dirumuskan sebagai tindak pidana dalam Undang-

undang. pembagian tindak pidana tersebut adalah sebagai berikut :

a) Delik Materiil (materieel delict) dan delik formil (formeel delict),

(1) Delik Materiil

Adalah delik yang dianggap telah selesai dengan

ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan

hukuman undang-undang. Tindak pidana yang dikualifikasikan

sebagai tindak pidana materiil dapat disebut misalnya

pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP dan

tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378

KUHP dan sebagainya.

(2) Delik Formil

Adalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya

tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh

undang-undang. Tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai

tindak pidana formil dapat disebut misalnya pencurian

sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP, penghasutan

sebagaimana diatur dalam Pasal 160 KUHP.

Page 37: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

b) Delicta commissionis, delicta omissionis dan delicta commissionis

per omissionem commissa

Suatu tindak pidana itu dapat terdiri dari suatu pelanggaran terhadap

suatu larangan atau dapat terdiri dari suatu pelanggaran terhadap

suatu keharusan.

(1) Delicta commissionis

Adalah delik-delik berupa pelanggaran terhadap larangan-

larangan di dalam undang-undang. Misalnya, melakukan

pencurian, penipuan, pembunuhan, dan sebagainya.

(2) Delicta omissionis

Adalah delik-delik berupa pelanggaran terhadap keharusan-

keharusan menurut undang-undang. Misalnya, tidak menghadap

sebagai saksi dimuka persidangan Pengadilan sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 522 KUHP.

(3) Delicta comisionis per omnisionis commissa

Adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, akan

tetapi dilakukan dengan cara tidak berbuat.

c) Opzettelijke delicten dan culpooze delicten

Berkenaan dengan disyaratkannya suatu “kesengajaan” (opzet) atau

“ketidaksengajaan” (culpa) di dalam berbagai rumusan delik, kita

dapat membedakan antara :

(1) Opzettelijke delicten

Adalah delik-delik yang oleh pembentuk undang-undang telah

disyaratkan bahwa delik-delik tersebut harus dilakukan “dengan

sengaja” dengan,

(2) Culpooze delicten

Adalah delik-delik yang oleh pembentuk undang-undang telah

dinyatakan bahwa delik-delik tersebut cukup terjadi “dengan

tidak sengaja” agar pelakunya dihukum.

d) Zelfstandige delicten dan voortgezette delicten

Page 38: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

Yang dimaksud dengan zelfstandige delicten adalah delik-delik

yang berdiri sendiri, sedang yang dimaksud dengan voortgezette

delicten adalah delik-delik yang pada hakikatnya merupakan suatu

kumpulan dari beberapa delik yang berdiri sendiri, yang karena

sifatnya dianggap sebagai satu delik.

e) Enkelvoudige delicten dan samengestelde delicten

(1) Enkelvoudige delicten

Adalah delik-delik yang pelakunya telah dapat dihukum dengan

satu kali saja melakukan tindakan yang dilarang oleh undang-

undang.

(2) Samengestelde delicten

Adalah delik-delik yang pelakuya hanya dapat dihukum

menurut sesuatu ketentuan pidana tertentu apabila pelaku

tersebut telah berulangkali melakukan tindakan yang sama yang

dilarang oleh undang-undang.

f) Aflopende delicten dan voortdurende delicten

(1) Aflopende delicten

Adalah delik-delik yang terdiri dari satu atau lebih tindakan

untuk menyelesaikan suatu kejahatan.

(2) Voortdurende delicten

Adalah delik-delik yang terdiri dari satu atau lebih tindakan

untuk menimbulkan suatu keadaan yang bertentangan dengan

sesuatu norma.

g) Klacht delicten dan gewone delicten

(1) Klacht delicten

Adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada

pengaduan dari orang yang dirugikan.

(2) Gewone delicten

Adalah tindak pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan

adanya suatu pengaduan.

h) Gemene delicten dan politieke delicten

Page 39: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

Gemene delicten merupakan suatu delik-delik umum, sedangkan

yang disebut politieke delicten yaitu merupakan suatu delik-delik

politik.

i) Delicten communia dan delicta propria

Yang dimaksud dengan delicten communia itu adalah delik-delik

yang dapat dilakukan oleh setiap orang, sedang yang dimaksud

delicta propria adalah delik-delik yang hanya dapat dilakukan oleh

orang-orang yang mempunyai sifat-sifat tertentu, misalnya sifat-

sifat sebagai pegawai negeri, sebagai nakoda ataupun sebagai

anggota militer.

j) Eenvoudige delicten, gequalificeerde delicten dan gepriviligieerde

delicten

(1) Eenvoudige delicten

Adalah delik-delik yang sederhana adalah delik-delik dalam

bentuk yang pokok seperti yang telah dirumuskan oleh

pembentuk undang-undang.

(2) Gequalificeerde delicten

Adalah delik-delik dengan pemberatan adalah delik-delik dalam

bentuk yang pokok, yang karena di dalamnya terdapat keadaan-

keadaan yang memberatkan maka hukuman yang diancam

menjadi diperberat.

(3) Gepriviligieerde delicten

Adalah delik-delik dengan keadaan yang meringankan adalah

delik-delik dalam bentuk yang pokok, yang karena di dalamnya

terdapat keadaan-keadaan yang meringankan, maka hukuman

yang diancam menjadi diperingan (Lamintang, 1997 : 212-224).

2. Tinjauan Tentang Kriteria Kematian

Tubuh manusia adalah suatu kesatuan psychosomatik dengan faal

integrative dari otak. Kalau faal integrative otak sama sekali hilang,

Page 40: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

manusia dikatakan mati. Oleh karena itu ditetapkan diagnosa mati dengan

3 hal :

a. Berhentinya pernafasan otonom

b. Berhentinya denyut jantung otonom

c. Electro Encephhalograam (E.E.G) menjadi datar (menentukan otak

tidak memprodusir listrik).

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kriteria kematian berkembang,

mulai dari penghembusan nafas terakhir, kemudian berhentinya detak

jantung, sampai pada kematian otak (brain death). Menurut Peraturan

Pemerintah No.18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Anatomis serta

Transparansi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia, bahwa mati atau

meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran

yang berwenang menyatakan fungsi otak, pernafasan dan atau denyut

jantung seseorang telah berhenti.

Sadar bahwa tentang kematian ini akan mempunyai implikasi hukum

dan implikasi teknis lapangan, maka Ikatan Dokter Indonesia pada Tahun

1985 telah mengajukan usul perubahan dan penambahan terhadap

Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1981 terutama yang berkenaan dengan

definisi seperti yang tercantum dalam Pasal 1 butir 9 dari Peraturan

Pemerintah tersebut, dengan definisi mati sebagai berikut :

Seseorang yang dinyatakan mati bila :

a. Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau

irreversible, atau

b. Bila terbukti telah terjadi kematian batang otak (Rehnalemken Ginting,

2009 : 11).

3. Tinjauan Tentang Euthanasia

a. Pengertian Euthanasia

Perkataan Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yang berarti

mengakhiri dengan sengaja kehidupan seseorang dengan cara kematian

yang tenang dan mudah (Ahmad Ramli, 1989 : 94).

Page 41: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

Definisi lain menyebutkan bahwa euthanasia yang dalam bahasa

Yunani (euthanasia, eu = baik, thanatos = kematian) berarti mengakhiri

dengan sengaja kehidupan pasien dengan cara kematian yang tenang dan

mudah (Soemarmo Markam. Cs, 1984 : 40).

Euthanasia dapat diartikan sebagai perbuatan yang dengan sengaja

memperpendek hidup ataupun dengan sengaja tidak berbuat untuk

memperpanjang hidup demi kepentingan si pasien oleh seorang dokter

atau bawahannya yang bertanggung jawab padanya (Suwarto, 2009 :

171).

Sejak abad ke-19, terminologi euthanasia dipakai untuk

menyatakan penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi

yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter.

Pemakaian terminologi euthanasia ini mencakup tiga kategori, yaitu :

1) Pemakaian secara sempit

Secara sempit euthanasia dipakai untuk tindakan menghindari

rasa sakit dari penderitaan dalam menghadapi kematian. Dalam

hal ini berarti perawatan dokter yang bertujuan untuk

menghilangkan penderitaan yang dapat dicegah sejauh

perawatan itu tidak bertentangan dengan kaidah–kaidah

hukum, etika, atau adat yang berlaku.

2) Pemakaian secara lebih luas

Secara lebih luas, terminologi euthanasia dipakai untuk

perawatan yang menghindarkan rasa sakit dalam penderitaan

dengan resiko efek hidup diperpendek.

3) Pemakaian paling luas

Dalam pemakaian yang paling luas ini, euthanasia berarti

memendekkan hidup yang tidak lagi dianggap sebagai side

effect,melainkan sebagai tindakan untuk menghilangkan

penderitaan pasien.

Dalam buku Kodeki (Kode Etik Kedokteran Indonesia)

“euthanasia“ diartikan sebagai berikut :

Page 42: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

1) Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa

penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir.

2) Waktu hidup akan terakhir, diringankan penderitaan si sakit

dengan memberinya obat penenang.

3) Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan

sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya (Kode

Etik Kedokteran, 1969 : 30).

Ada pula yang mengatakan bahwa euthanasia sebagai pertolongan

waktu meninggal, artinya :

1) Yang dihadapi selalu orang yang menjelang meninggal.

2) Yang dihadapi ialah orang yang akan meninggal, yang dalam

keadaannya itu sedang menderita.

3) Membawa pertolongan dan peringatan dalam penderitaan

menjelang meninggal (M.A. Ihromi, 1979 : 24–25).

Dalam definisinya Aliansi Pro–Life mendefinisikan euthanasia

sebagai “setiap tindakan atau kelalaian yang dimaksudkan untuk

mengakhiri hidup seorang pasien atas dasar bahwa hidupnya tidak layak

dijalani“. Lebih lanjut dalam definisi modern, euthanasia dikatakan

sebagai sebuah kematian yang baik dibawa oleh seorang dokter

memberikan obat atau injeksi untuk membawa damai akhir sekarat (BBC

News, 1999 : 1).

Pengertian lain mengenai euthanasia dikatakan sebagai tindakan

mempercepat kematian pada penderita penyakit yang tidak dapat

disembuhkan dengan melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan

medis, dengan maksud untuk membantu korban menghindarkan diri dari

penderitaan dalam menghadapi kematiannya (Petrus Yoyo Karyadi, 2001

: 28).

Sedangkan perumusan–perumusan yang dibuat oleh “ Euhanasia

Studie Gruap “ dari KNMG Holland (semacam IDI di negara kita) yang

dikutip oleh Rehnalemken Ginting dalam bukunya menyebutkan sebagai

berikut :

Page 43: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

“Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu

(nalaten) untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja

melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup

seorang pasien dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan

pasien itu sendiri“ (Rehnalemken Ginting, 2009 : 9).

b. Unsur-unsur euthanasia

Menurut Petrus Yoyo Karyadi, unsur–unsur euthanasia adalah

sebagai berikut :

1) Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

2) Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak

memperpanjang hidup pasien.

3) Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan

kembali.

4) Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya.

5) Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya (Petrus Yoyo

Karyadi, 2001 : 29).

c. Bentuk-bentuk euthanasia

Dr. Franz Magnis Suseno S.J (1984 : 4) yang dikutip Petrus Yoyo

Karyadi dalam bukunya membedakan empat arti euthanasia, yaitu

sebagai berikut:

1) Euthanasia Murni

Adalah usaha untuk meringankan kematian seseorang tanpa

memperpendek hidupnya. Di situ termasuk semua usaha

perawatan dan pastoral agar yang bersangkutan dapat mati

dengan “baik”.

2) Euthanasia Pasif

Adalah kalau tidak dipergunakan semua kemungkinan

tehnik kedokteran yang sebetulnya tersedia untuk

memperpanjang kehidupan.

3) Euthanasia Tidak Langsung

Adalah usaha untuk memperingan kematian dengan efek

sampingan bahwa pasien barangkali meninggal dalam waktu

lebih cepat. Di sini termasuk pemberian segala macam obat

Page 44: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

narkotik, hipnotika, dan anelgetika yang barangkali secara de

facto dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu

disengaja.

4) Euthanasia Aktif (Mercy Killing)

Adalah proses kematian diringankan dengan

memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung. Dalam

euthanasia aktif ini masih perlu dibedakan, apakah pasien

menginginkannya, tidak menginginkannya, atau tidak berada

dalam keadaan dimana keinginannya dapat diketahui (Petrus

Yoyo Karyadi, 2001 : 29-30).

Dalam makalahnya yang disampaikan pada seminar Pengkajian

Hak Mati untuk mati bagi masyarakat Indonesia, Ketut Gede Widjaya,

S.H. (1989 : 4-5) yang dikutip Petrus Yoyo Karyadi dalam bukunya

membagi euthanasia ke dalam 4 kategori dasar, yaitu :

1) Euthanasia Aktif atas kehendak yang bersangkutan (active

voluntary euthanasia)

Adalah bila orang yang bersangkutan meminta agar

hidupnya diakhiri dengan segera dan dokter atau orang lain

mengambil tindakan-tindakan untuk mempercepat kematian

orang tersebut. Orang tersebut menghendaki kematiannya

karena sudah tidak sanggup menderita sakit yang

berkepanjangan, sudah tidak mempunyai harapan sembuh,

sedang dokter atau orang lain merasa kasihan atas

penderitaannya dan berusaha mengakhiri hidupnya dengan

cepat tanpa rasa sakit.

Fenglin Guo mengemukakan active voluntary euthanasia is

usually the administration of a lethal drug or other methods to

terminate the life of patient who is in a state of constant

suffering. Dalam terjemahannya, euthanasia aktif atas

kehendak yang bersangkutan biasanya dilakukan dengan

pemberian obat mematikan atau metode lain untuk mengakhiri

hidup pasien yang dalam keadaan penderitaan berkepanjangan

(Fenglin Guo, 2006 : 167).

Page 45: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

2) Euthanasia Pasif atas kehendak yang bersangkutan (passive

voluntary euthanasia)

Adalah bila orang yang bersangkutan menghendaki segala

usaha pertolongan untuk memperpanjang hidupnya dihentikan,

sehingga maut bisa segera menjemputnya berhubung ia sudah

tidak tahan lagi akan penderitaan yang berkepanjangan.

3) Euthanasia Pasif tidak atas kehendak orang yang bersangkutan

(passive non-voluntary euthanasia)

Adalah bila orang yang bersangkutan sudah tidak mampu

lagi menyatakan kehendaknya dan dokter atau orang lain

memutuskan untuk menghentikan usaha-usaha pertolongan

yang dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwanya karena

penyakitnya sudah tidak tertolong lagi.

4) Euthanasia Aktif tanpa kehendak dari orang yang bersangkutan

(active non–voluntary euthanasia)

Adalah bila orang yang bersangkutan sudah dalam keadaan

parah, sehingga tak mampu lagi untuk menyatakan

kehendaknya dan dokter atau orang lain kasihan, mengakhiri

hidup orang tersebut dengan cara yang tidak menimbulkan

sakit sehingga orang tersebut bebas dari penderitaannya (Petrus

Yoyo Karyadi, 2001 : 31-33).

Active non–voluntary euthanasia mengacu pada pasien

yang tidak dalam posisi untuk memiliki, atau mengungkapkan,

memandang mengenai kelanjutan hidupnya (Fenglin Guo, 2006

:167).

J.E. Sahetapy yang dikutip oleh Rehnalemken Ginting dalam

bukunya membedakan euthanasia dalam 3 jenis, yaitu:

1) Action to permit death to occur

Biasanya disebut dengan euthanasia dalam arti yang pasif

(permission), dimana kematian dapat terjadi karena pasien

dengan sungguh–sungguh dan secara cepat menginginkan mati.

Page 46: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

Kematian pasien dalam hal ini terjadi seolah-olah merupakan

kerjasama antara pasien dan dokter yang merawatnya. Karena

pasien sadar dan tahu bahwa penyakit yang dideritanya sudah

tidak mungkin dapat disembuhkan walaupun dengan

pengobatan dan perawatan bagaimanapun juga. Oleh sebab itu,

untuk mengurangi/menghilangkan penderitaannya, pasien

kemudian meminta kepada dokter agar :

a) Tidak memberikan pengobatan untuk penyembuhan

terhadap penyakitnya.

b) Tidak diadakan perawatan di rumah sakit lagi, tetapi agar

dibiarkan saja di rumahnya sendiri. Dengan demikian

pasien berharap akan dapat hidup dengan tenang dan

damai.

2) Failure to take action to prevent death

Dalam hal ini kematian terjadi karena kelalaian atau

kegagalan dari dokter dalam mengambil suatu tindakan untuk

mencegah adanya kematian. Ini terjadi apabila dokter akan

mengambil suatu tindakan guna mencegah kematian, tetapi ia

tidak mengerjakan apa–apa, karena ia tahu bahwa tindakan /

pengobatan yang hendak dilakukan / diberikan kepada pasien

itu hanya akan sia–sia saja. Pengobatan / tindakan dokter yang

diberikan dokter kepada pasien dipandang sebagai perbuatan

yang tidak berarti, sehingga sudah tidak ada cara–cara

penyembuhan yang normal.

Akhirnya dokter yang bersangkutan membiarkan saja

terhadap pasiennya sampai ajalnya datang. Jadi tindakan

membiarkan tidak memberikan pengobatan pada pasien itu

datang dari inisiatif dokter, tidak atas permintaan yang datang

dari pasiennya.

3) Positive action to cause death

Page 47: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

Biasanya disebut dengan euthanasia dalam arti aktif

(causation). Atas dasar permintaan atau desakan dari pasien

atau keluarganya meminta pada dokter untuk bertindak secara

positif guna mempercepat kematian pasien tersebut.

Dokter dalam hal ini bertindak aktif untuk mempercepat

kematian pasiennya dengan tenang, misalnya dengan

memberikan obat-obatan penghilang rasa kesadaran, morfin

dalam dosis tinggi dan lain sebagainya (Rehnalemken Ginting,

2009 : 12-13).

d. Bentuk–bentuk semu euthanasia

Disebut bentuk semu dari euthanasia karena mirip dengan

euthanasia karena mirip dengan euthanasia, tetapi sebetulnya bukan

euthanasia. Bentuk–bentuk pengakhiran hidup yang mirip dengan

euthanasia ini disebut oleh H.J.J. Leenen adalah sebagai schijngestaten

van euthanasie (Fred Ameln, 1986 b : 8). Adapun yang termasuk ke

dalam bentuk semu dari euthanasia adalah sebagai berikut :

1) Memberhentikan pengobatan (perawatan) medis yang sudah

tidak ada gunanya (zinloos)

Untuk menentukan apakah suatu pengobatan atau

perawatan adalah tidak ada gunanya lagi, maka harus melihat

kriteria–kriteria medik tertentu. Adapun kriteria tersebut adalah

apakah tindakan medik terhadap pasien akan mencapai efek

yang dituju, dan apakah hal ini dapat diharapkan secara

reasonable (Fred Ameln, 1984 : 5).

Dengan perkataan lain berarti harus ada suatu perbandingan

yang reasonable antara tindakan medik dengan efeknya (hasil).

Jika tidak terdapat perbandingan yang reasonable, berarti dapat

dinilai bahwa tindakan medik tersebut adalah sama sekali

sudah tidak ada gunanya (zinloos), sehingga dokter pun tidak

lagi berwenang untuk melakukan tindakan medik.

Page 48: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

Walaupun akhirnya pasien tersebut meninggal dunia,

dokter tetap tidak dapat dianggap telah melakukan euthanasia

(pasif), karena sudah tidak berwenang melakukan pengobatan.

Justru bila dokter tetap melakukan pengobatan, maka ia telah

melakukan penganiayaan terhadap pasien.

Dalam bukunya yang berjudul Rechten van Mensen In de

Gezondheissorg, 1978 halaman 239, Leenen mengatakan

bahwa :

De arts is slecht bevoegd tot handelen indien dat zinning

is en waar zijn handelen zinloos wordt, eindigt zijn

bevoegdheid tot dat handelen en gaat dit over in

mishandelen. Immers de arts maakt zich bij zijn werk

niet aan juridisch mishandelen schuldig, voor zover hij

handelt conform het beoogde doel en indien hij beschikt

over de toesteming van de patient.

Terjemahannya adalah :

Seorang dokter hanya ada wewenang untuk bertindak

jika tindakan tersebut adalah berguna, dimana

tindakannya adalah tidak ada gunanya lagi, maka

terjadilah penganiayaan. Seorang dokter tidak melakukan

penganiayaan yuridis selama ia bertindak sesuai dengan

tujuan yang ia sebagai dokter ingin mencapai dan selama

ia sudah mendapatkan izin atau persetujuan dari pasien

(Fred Ameln, 1986 b : 10).

Berdasarkan pendapat Leenen di atas, dapat disimpulkan

bahwa seorang dokter seharusnya tidak memulai suatu terapi

ataupun tidak meneruskan terapi, apabila memang secara

yuridis tidak dapat lagi diharapkan suatu hasil, walaupun hal ini

mengakibatkan meninggalnya pasien. Dalam hal demikian,

berarti tidak terdapat euthanasia (pasif), tidak ada perbuatan

yang dapat dihukum, karena dokter sendiri sudah tidak

kompeten melakukan tindakan medik. Justru bila dokter tetap

melakukan medikasi, maka ia terancam telah melakukan

penganiayaan.

2) Penolakan perawatan medik oleh pasien (keluarganya)

Page 49: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

Penolakan perawatan medik ini ada yang mengakibatkan

matinya pasien, dan ada juga yang tidak mengakibatkan

matinya pasien.

Pada umumnya bila tidak ada izin dari pasien, dokter tidak

diperkenankan untuk melakukan tindakan medik untuknya,

walaupun akhirnya akan mengakibatkan meninggalnya pasien

tersebut.

Penolakan perawatan medik erat kaitannya dengan hak–hak

pasien. Pasien mempunyai hak untuk menolak seluruh terapi

ataupun sebagian terapi. Adapun yang melandasi hak-hak

pasien ini adalah karena adanya the right of self determination

atas badannya sendiri.

Jadi, apabila pasien telah menolak perawatan medik dan

kemudian pasien tersebut meninggal, maka dokter tidak dapat

disalahkan telah melakukan tindakan euthanasia (pasif).

Meninggalnya pasien tersebut hanya sebagai bentuk semu dari

euthanasia (Petrus Yoyo Karyadi, 2001 : 37).

3) Memberhentikan pengobatan (perawatan) medik karena mati

otak (braindeath)

Kriteria mati otak benar-benar mulai diperhatikan sejak

tahun 1970-an. Ini diakibatkan oleh perkembangan teknologi

biomedis yang begitu pesat, sehingga mendesak dunia medis

untuk merubah dan merumuskan kembali pengertian matinya

seseorang.

Dahulu, pengertian matinya seseorang ditentukan oleh

denyut jantung. Apabila jantung seseorang sudah tidak

berdenyut lagi (tidak bernafas) maka orang tersebut sudah

dianggap meninggal dunia. Akan tetapi, sekarang dengan

adanya teknologi canggih di bidang medis, orang dapat

bernafas kembali walaupun secara artifisial. Denyut jantung

yang tersendat-sendat dapat dipacu dengan alat pacu jantung,

Page 50: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

sehingga sekarang kita sudah dapat berbicara tentang “mayat

hidup“.

Pada tahun 1974 Dewan Kesehatan Belanda telah

memberikan kriteria kapan seseorang dapat dinyatakan mati

otak, yaitu jika :

a) Otak mutlak tidak lagi berfungsi

b) Fungsi otak mutlak tidak lagi dapat dipulihkan kembali

(Fred Ameln, 1984 : 13).

Jadi misalnya ada seorang pasien (korban) kecelakaan lalu

lintas dan korban tersebut dibawa ke rumah sakit, kemudian ia

segera dirawat dan dipasang sebuah respirator. Tetapi ternyata

pasien tersebut bagian belakang kepalanya sudah hancur, yang

berarti ia sudah mati batang otaknya. Pasien tersebut hanya

dapat hidup secara vegetatif dengan pernafasan artifisial.

Kemudian dokter mencabut respirator yang dipasang pada

pasien tersebut sehingga pernafasan artifisialnya berhenti maka

seorang itupun segera meninggal.

Pelepasan respirator tersebut tidak termasuk dalam

tindakan euthanasia, melainkan hanya merupakan pengakhiran

hidup yang mirip dengan euthanasia, karena pasien tersebut

batang otaknya sudah mati, yang berarti ia sudah meninggal

dunia. Dalam hal ini dokter tidak dapat dipersalahkan telah

melakukan tindakan euthanasia, ia bebas dari segala tuntutan

hukum.

4) Pengakhiran hidup pasien akibat persediaan peralatan medis

yang terbatas (emergency)

Bentuk euthanasia semu ini dapat terjadi apabila di suatu

rumah sakit kekurangan alat medis. Misalnya adanya suatu

tabrakan bus dan banyak korban yang harus ditolong.

Kemudian para korban tersebut dibawa ke ruang darurat

(emergency). Ternyata banyak korban yang harus dipasangi

Page 51: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

respirator, sedangkan alat tersebut sangat terbatas. Respirator

tidak mungkin dipasang secara bergantian dan pasien yang satu

ke pasien yang lainnya sehingga ada beberapa pasien yang

tidak terpasangi respirator dan kemudian mereka pun

meninggal dunia. Maka dalam hal ini tidak terjadi kasus

euthanasia, dokter atau tenaga medis lainnya yang sedang

bertugas di ruang darurat tersebut tidak dapat disalahkan telah

melakukan euthanasia.

5) Euthanasia “akibat situasi dan kondisi (sikon)“

Euthanasia akibat sikon adalah suatu situasi apabila pasien

masih ingin atau besar harapannya untuk hidup dan dokter

masih mampu mengupayakan pengobatan, tetapi berhubung

kondisi ekonomi pasien yang tidak mampu membiayai

pengobatannya, maka upaya pengobatan terpaksa dihentikan

dan pasien meninggal.

Euthanasia akibat sikon tidak termasuk dalam pengertian

euthanasia. Ia hanya bentuk semu dengan euthanasia. Dalam

euthanasia akibat sikon tidak terdapat tindakan euthanasia.

Dokter tidak dapat disalahkan telah lalai atau membiarkan

meninggal terhadap orang yang perlu ditolong, tetapi karena

kondisi ekonomi dari pasien yang memang sudah tidak mampu

lagi untuk membayar biaya perawatan.

Euthanasia akibat sikon pada hakikatnya hampir sama

dengan bentuk semu euthanasia yakni penolakan perawatan

medis oleh pasien. Dokter atau rumah sakit mungkin

sebelumnya telah menawarkan terlebih dahulu kepada pasien

mengenai pengobatan yang akan dilakukan dokter terhadapnya.

Pengobatan itu dimaksudkan untuk memperpanjang hidup

pasien atau bahkan untuk menyembuhkan penyakitnya (Petrus

Yoyo Karyadi, 2001 : 35-37).

Page 52: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

e. Euthanasia Ditinjau Dari Segi Kedokteran dan Kode Etik

Kedokteran Indonesia

Pesatnya perkembangan teknologi kedokteran, memungkinkan

dokter memprediksi kematian seorang pasien dengan lebih tepat. Hal ini

dapat menimbulkan masalah yang pelik dan rumit bagi perkembangan

dunia medis. Seperti halnya yang terjadi di negara-negara Barat, yang

bersistem liberalis dan berpaham sekuler, dengan beranggapan bahwa

manusia mempunyai hak untuk menentukan kematiannya sendiri

(euthanasia), bilamana dokter memutuskan bahwa seorang pasien sudah

tidak ada harapan untuk hidup.

Akibat dari kemajuan teknologi kedokteran, euthanasia telah

dilegalkan secara khusus dan tertulis oleh sebagian negara-negara maju,

seperti yang terjadi di Belanda, walaupun disertai dengan syarat-syarat

tertentu. Pelegalan euthanasia ini, menjadi perdebatan pro dan kontra,

baik dari sudut pandang dunia medis, yuridis atau religi. Dengan

informasi teknologi global yang berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya,

memungkinkan kasus ini merambah ke Indonesia. Akan tetapi, apakah

hukum kita mampu mengantisipasi kemungkinan terjadinya kasus ini.

Salah satu pasal dari Kode Etik Kedokteran Indonesia yang relevan

dengan masalah euthanasia, adalah Pasal 9 (Panitia Redaksi

Musyawarah Kerja Susila Kedokteran, 1969 : 3) yang berbunyi :

“Seorang dokter harus senantiasa mengingatkan akan kewajiban

melindungi hidup makhluk insani”.

Dalam penjelasan Pasal 9 tersebut di atas, diuraikan bahwa segala

perbuatan terhadap si sakit bertujuan memelihara kesehatan dan

kebahagiaannya. Dengan sendirinya dokter harus mempertahankan dan

memelihara kehidupan manusia, meskipun hal itu kadang-kadang akan

terpaksa melakukan tindakan medik lain misalnya operasi yang

membahayakan. Tindakan ini diambil setelah diperhitungkan masak-

masak bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan jiwa si sakit

selain pembedahan yang selalu mengandung resiko.

Page 53: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

Naluri terkuat dari makhluk hidup termasuk manusia adalah

mempertahankan hidupnya. Untuk itu manusia diberi akal, kemampuan

berfikir dan mengumpulkan pengalamannya. Dengan demikian,

membangun dan mengembangkan ilmu untuk menghindarkan diri dari

bahaya maut adalah merupakan tugas dokter. Ia harus berusaha

memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani. Hal ini, berarti

dokter dilarang mengakhiri hidup pasien (euthanasia), walaupun

menurut ilmu kedokteran dan pengalamannya pasien tersebut tidak

mungkin sembuh.

Jadi, jelas bahwa Kode Etik Kedokteran Indonesia melarang

tindakan euthanasia aktif. Dengan kata lain, dokter tidak boleh bertindak

sebagai Tuhan (don’t play God). Medical ethnic must be pro life, not pro

death. Dokter adalah orang yang menyelamatkan atau memelihara

kehidupan, bukan orang yang menentukan kehidupan itu sendiri (life

savers, not life judgers).

Sebetulnya Kode Etik Kedokteran Indonesia sudah lama

berorientasi pada pandangan-pandangan Hipocrates yang telah menerima

euthanasia pasif. Begitu juga dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia,

berarti ia juga menerima euthanasia dalam bentuk pasif.

Adalah tugas ilmu kedokteran untuk membantu meringankan

penderitaan pasien, atau bahkan berusaha menyembuhkan penyakit

selama masih dimungkinkan. Pasien yang benar-benar menderita atas

penyakitnya, sudah menjadi tugas dokter untuk ikut membantu

meringankan penderitaannya, walaupun kadang-kadang dari tindakan

peringanan tersebut dapat mengakibatkan hidup pasien diperpendek

secara perlahan-perlahan (euthanasia tidak langsung) (Petrus Yoyo

Karyadi, 2001 : 85-87).

f. Euthanasia Ditinjau dari Segi Agama

Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak

ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang

atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama

Page 54: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter

bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan

yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia,

walaupun dengan dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang

dalam keadaan coma dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak

berkenan dihadapan Tuhan.

Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila

dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa

orang harus ke dokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau

memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak

akan mati. Apabila seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka

dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda

proses kematian. Jadi upaya medis pun dapat dipermasalahkan sebagai

melawan kehendak Tuhan. Dalam hal seperti ini manusia sering

menggunakan standart ganda. Hal-hal yang menurutnya baik, tidak perlu

melihat pada hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil yang bisa

mendukung pendapatnya.

Dalam Islam euthanasia secara tegas dan jelas dilarang oleh Islam,

pelarangan ini terdapat dalam tafsir Al-Maut, Al-Faal dan sebagaimana

firman Allah dalam Surat An-Nisaa‟ : 29 dan Surat Al-Isra : 33.

Tindakan euthanasia aktif ini, disamakan dengan pembunuhan dengan

kesengajaan, yang mana pelakunya dapat dihukum qishash, sebagaimana

hadist Nabi yang berbunyi :

“Barangsiapa membunuh dengan sengaja, maka ia harus dihukum

qishash” (HR. Ibnu Majjah)”.

Sedang pada euthanasia pasif atau negatif (tafsir Al-Maut, Al-

Munfa‟il) yang merupakan tindakan penghentian perawatan atau

pengobatan dalam Islam tidak dilarang, akan tetapi tindakan penghentian

ini haruslah tidak berdasarkan keinginan untuk mempercepat kematian,

karena hal itu dapatlah disamakan dengan bunuh diri.

Page 55: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

Dalam agama Katolik yang diatur dalam Kitab Suci Perjanjian

Baru (Injil) sebagian besar tidak memuat secara langsung tentang aturan-

aturan kehidupan secara konkret. Injil hanya memberikan prinsip-prinsip

dasar yang harus dipegang oleh orang Katolik dalam bertingkah laku.

Pada intinya Injil menghendaki agar umat Katolik bersedia menghormati

martabat setiap manusia sebagai konsentrasi ciptaan menurut citra

(gambaran) Allah. Prinsip-prinsip tadi harus dicari oleh umat sendiri

dengan bimbingan Roh Kudus.

Pandangan ajaran agama Katolik terhadap euthanasia aktif pada

hakikatnya sama dengan membunuh (menghilangkan nyawa) pasien,

sekalipun dengan dalih yang argumentatif. Membunuh adalah melanggar

perintah ke-6 (enam) dari sesepuh perintah Allah, yaitu “jangan

membunuh” dan lagi “marah dan membunuh berakar dari kebencian”

(Matius 5 : 21-22).

Menurut agama Katolik kehidupan dan kematian adalah anugerah

Allah dari surga. Hidup matinya seseorang adalah hak Allah semata.

Manusia tidak mempunyai wewenang untuk menentukan secara definitif

hidup matinya orang lain atau dirinya sendiri. Alasan seperti rasa kasihan

melihat penderitaan pasien, alas an ekonomi atau kerepotan mengurus

pasien tersebut adalah tidak bisa mengesampingkan hak eksklusif dari

Allah Bapak, yaitu hak untuk menentukan kehidupan dan kematian atas

setiap manusia. Segala pengorbanan melalui jalan euthanasia adalah

pengorbanan yang sia-sia belaka. Dalam hal euthanasia tidak akan

pernah dicapai kesatuan pendapat etis sepanjang masa. Namun, hal ini

tentu tidak berarti bahwa kita berhenti berupaya mencari pedoman etika,

moral maupun hukum terhadap masalah euthanasia yang tampaknya

akan sering dihadapi para dokter. Kemajuan ilmu dan teknologi masa

kini sudah saatnya diantisipasi secara dini dengan rumusan-rumusan

etika dan hokum secra tegas dan bermoral. Dengan demikian, maksud

dan tujuan menolong pasien benar-benar dapat diwujudkan, sebagai

cerminan keluhuran profesi kedokteran dan bukan malah menjadikan

Page 56: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

profesi dokter sebagai “monster” pencabut nyawa (Chrisdiono M.

Achadiat, 2002).

g. Perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) Terhadap Euthanasia

Dalam perkembangan dalam bidang teknologi dengan munculnya

“revolusi biomedis”, dewasa ini di negara-negara barat mulai

membicarakan tentang “the right to die”. Bahkan hak asasi manusia dari

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak lepas dari sasaran amandemen.

Pada tahun 1950 suatu petisi yang ditandatangani oleh 2513 orang

terkemuka Inggris dan Amerika Serikat menginginkan agar dalam

deklarasi tersebut ditambah dengan “hak bagi penderita yang tidak bisa

lagi diobati akan euthanasia sukarela” (Petrus Yoyo Karyadi, 2001 : 25).

Di lain pihak juga terdapat gugatan ditujukan terhadap konstitusi

negara Amerika Serikat yang terkenal sebagai “Bill of Right” tentang

kampanye ”The Right to Die” di atas, sebagaimana diketahui bahwa hak-

hak dasar manusia yang meliputi hak untuk hidup, kemerdekaan dan

untuk mengejar kebahagiaan, perlu juga dilakukan amandemen untuk

memasukkan pula didalamnya tentang “kematian dengan penuh

martabat”.

“The Right to Die” ini berkaitan dengan munculnya revolusi

biomedis dan tentunya berkaitan dengan masalah euthanasia. Hak untuk

mati ini diperjuangkan secara keras oleh mereka yang mendukung

euthanasia. Bagi mereka yang mendukung euthanasia berpendapat

bahwa euthanasia adalah layak untuk memberikan hak mati kepada

seorang pasien yang menderita suatu penyakit pada stadium terminal dan

sudah lama menderita karena penyakitnya itu.

Jadi dari uraian diatas di negara Indonesia pada dasarnya belum

bisa mengakui adanya hak untuk mati. Berbeda dengan di negara barat

yang sudah mulai bisa menerima adanya hak untuk mati sebagai hak

asasi, yang dibuktikan dengan adanya kampanye tentang “The Right to

Die” terhadap Deklaration of Human Right and Bill of Right sehingga

Page 57: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

perlu adanya amandemen terhadap deklarasi tersebut (Senja Puspita

Dewi, 2007 : 19).

4. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Terhadap Nyawa

a. Pengertian Tindak Pidana Terhadap Nyawa

Kejahatan terhadap nyawa adalah penyerangan terhadap nyawa

orang lain. Kepentingan hukum yang dilindungi dan yang merupakan

obyek kejahatan ini adalah nyawa (leven) manusia. Hal ini termuat

dalam KUHP bab XIX dengan judul “kejahatan terhadap nyawa” yang

diatur dalam pasal 338-350 KUHP. Dalam KUHP kejahatan terhadap

“orang” mencakup hal-hal sebagai berikut :

1) Kehormatan (penganiaan)

2) Membuka rahasia

3) Kebebasan kemerdekaan pribadi

4) Nyawa

5) Badan/tubuh

6) Harta benda/kekayaan (Leden Marpuang, 2000 : 2)

b. Pembagian Tindak Pidana Terhadap Nyawa

Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau

dikelompokkan atas 2 dasar, yaitu :

1) Atas dasar unsur kesalahannya

Berkenaan dengan tindak pidana terhadap nyawa tersebut pada

hakikatnya dapat dibedakan sebagai berikut :

a) Dilakukan dengan sengaja yang diatur dalam pasal bab XIX

KUHP

b) Dilakukan karena kelalaian atau kealpaan yang diatur bab XIX

KUHP

c) Karena tindak pidana lain yang mengakibatkan kematian yang

diatur dalam pasal 170, 351 ayat 3 KUHP, dan lain-lain.

2) Atas dasar obyeknya (nyawa)

Atas dasar obyeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka

kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan dalam 3

macam, yaitu :

Page 58: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

a) Kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam

pasal 338, 339, 340, 344, 345 KUHP

b) Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah

dilahirkan, dimuat dalam pasal 341, 342, dan 343 KUHP

c) Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam

kandungan ibu (janin), dimuat dalam pasal 346, 347, 348, dan

349 KUHP.

c. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Terhadap Nyawa

1) Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (pasal 388 KUHP)

2) Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh tindak

pidana lain (pasal 339 KUHP)

3) Pembunuhan berencana (moord)

Pembunuhan dengan rencana lebih dulu atau disingkat dengan

pembunuhan berencana, adalah pembunuhan yang paling berat

ancaman pidananya dari seluruh bentuk kejahatan terhadap nyawa

manusia, hal ini diatur dalam pasal 340 KUHP

4) Pembunuhan bayi oleh ibunya (pasal 341 KUHP)

5) Pembunuhan bayi oleh ibunya secara berencana

Pembunuhan bayi berencana yang dimaksudkan di atas, adalah

pembunuhan bayi sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 342

KUHP

6) Pembunuhan atas permintaan korban

Hal ini dimuat dalam pasal 344 KUHP

7) Penganjuran agar bunuh diri

Hal ini diatur oleh pasal 345 KUHP dengan sanksi hukuman pidana

penjara selama-lamanya empat tahun

8) Pengguguran kandungan

Kata pengguguran kandungan adalah terjemahan dari kata abortus

provocateur yang dalam kamus kedokteran diterjemahkan dengan

membuat keguguran, pengguguran kandungan diatur dalam KUHP

pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP (Moeljatno, 2001 : 122-125) .

Page 59: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1 : Bagan Kerangka Pemikran

EUTHANASIA

KUHP

Pasal 574 RUU KUHP Pasal 344 KUHP

Perbedaan

Solusi Terhadap Penanganan

Euthanasia

Perumusan Masalah :

1. Pengaturan euthanasia di mancanegara dan Indonesia

khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) Indonesia

2. Perbedaan pengaturan euthanasia dalam Rancangan Undang-

Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP)

Indonesia

RUU KUHP Tahun 2005

Page 60: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

Keterangan :

Kerangka pemikiran dalam bentuk skema di atas mencoba memberikan

gambaran yang disusun secara sistematis terkait alur berfikir dalam menjawab

permasalahan dalam penelitian ini. Kerangka pemikiran yang merupakan jawaban

atas permasalahan yaitu dalam hal perbandingan pengaturan euthanasia dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Rancangan Undang-

Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia.

Persoalan menjelang akhir kehidupan manusia juga semakin problematik dan

dilematis, setelah teknologi medis dapat merekayasa teknik perpenjangan hidup

secara mekanik atau teknologi respirator kematian seseorang. Melalui teknik

respirator kematian pasien dapat ditunda untuk jangka waktu tertentu. Euthanasia

atau hak mati bagi pasien sudah ratusan tahun dipertanyakan, tetapi belum semua

bangsa dan negara bersedia membenarkannya termasuk Indonesia. Masalah

euthanasia senantiasa menjadi masalah aktual dimana sejumlah pakar dari disiplin

ilmu telah mencoba membahas euthanasia dari berbagai sudut pandang. Namun

demikian pandangan medis, sosial, agama, dan yuridis masih mengandung

berbagai ketidak puasan, sulit dijawab secara tepat dan objektif.

Pada waktu sekarang dengan adanya teknologi medis semakin maju dengan

alat respirator sehingga dapat menghambat sebuah kematian yang bersifat

sementara dengan hal tersebut apakah bisa menghargai adanya kematian padahal

euthanasia sendiri belum mempunyai sistem yang jelas dalam sistem hukum

Indonesia baik dalam KUHP atau Undang-Undang Kesehatan. Munculnya

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga dirasakan

belum menjelaskan mengenai pengaturan euthanasia tersebut secara jelas.

Mengingat pentingnya pendapat mengenai euthanasia yang kontroversi sehingga

dibutuhkan peranan dari para tokoh masyarakat baik dari sarjana hukum ataupun

dokter untuk mengungkapkan pendapatnya bagaimana mengantisipasi

permasalahan mengenai euthanasia sendiri.

Penulis mencoba melihat mengenai perbandingan pengaturan euthanasia

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Rancangan

Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia.

Page 61: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

Seperti diketahui bahwa pengaturan euthanasia dalam KUHP dan Undang-

Undang Kesehatan belum memberikan kejelasan berkaitan dengan pengaturan

terhadap tindakan euthanasia tersebut. Berdasarkan hal tersebut nantinya

pengaturan euthanasia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat lebih

jelas dan dapat memberikan solusi terhadap tindakan euthanasia tersebut. Agar di

kemudian hari nantinya pengaturan euthanasia ini dapat memberikan

perlindungan dan manfaat baik dari dokter, pasien dan seluruh warga negara

Indonesia umumnya.

Page 62: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengaturan Euthanasia Di Manca Negara dan Hukum Positif Indonesia

1. Pengaturan Euthanasia Di Manca Negara

Pada dasarnya terhadap tindakan euthanasia di negara-negara barat seperti

negara Amerika Serikat mereka telah melegalkan adanya tindakan euthanasia

dengan syarat-syarat tertentu. Di negara-negara barat yang bersistem liberalis

dan berpaham sekuler, dalam penanganan terhadap euthanasia, mereka

beranggapan bahwa manusia mempunyai hak untuk menentukan kematiannya

sendiri bilamana dokter memutuskan bahwa seorang pasien sudah tidak ada

harapan untuk hidup.

Sebagai contoh yang pertama adalah pengaturan euthanasia di negara

Belanda. Dalam jurisprudensi di Negara Belanda kasus euthanasia yang

pertama adalah dari tahun 1952 ketika Pengadilan di Utrecht dalam

keputusannya pada tanggal 11 Maret menjatuhkan hukuman bersyarat

(voorwaardelijke) kepada seorang dokter, dimana atas permintaan kakaknya

yang sangat menderita karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan,

mengakhiri hidup kakaknya tersebut dengan suntikan.

Kasus lain yang sangat terkenal ialah Leeuwarden euthanasia process

tahun 1973. Dalam kasus ini Nyonya Postma Van Boven, dokter di

Oosterwoldwe, mengakhiri hidup ibunya dengan suntikan morfin atas

permintaan yang bersangkutan sendiri karena ia menderita penyakit yang

tidak dapat disembuhkan. Ibunya tersebut sudah tidak mau makan lagi dan

pernah menjatuhkan diri dengan sengaja dari tempat tidurnya dengan

membenturkan kepalanya di atas ubin dengan harapan akan dapat mengakhiri

hidupnya.

Nyonya Postma dan suaminya, yang juga jadi dokter, keduanya

memberitahukan kepada ibunya bahwa permintaannya itu tidak dapat

dikabulkan, akibatnya ibunya memberontak dan tidak mau lagi berbicara

dengan anak-anaknya. Akhirnya nyonya Postma tidak dapat menolak desakan

Page 63: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

ibunya lagi dan memberikan suntikan. Oleh Pengadilan Leeuwarden dalam

keputusannya pada tanggal 21 Februari 1973 ia dijatuhi hukuman bersyarat

selama satu minggu.

Hal yang menarik dalam Leeuwarden euthanasia process ini ialah

kenyataan bahwa pengadilan menerima dan menyetujui beberapa

pertimbangan yang dikemukakan oleh seorang Inspektur Kesehatan Rakyat

yang diajukan sebagai saksi ahli. Dikemukakannya bahwa:

a. Persoalan disini menyangkut orang yang menderita penyakit yang tidak

dapat disembuhkan

b. Penderitaannya sedemikian hebatnya, sehingga perasaan sakit tak tertahan

lagi

c. Pasien sendiri telah mengajukan permintaan dengan sangat untuk

mengakhiri hidupnya

d. Pasien sudah di dalam periode akhir hidupnya (stervens periode), dan

e. Pelakunya adalah dokter yang mengobatinya

Dengan beberapa pertimbangan yang dikemukakan oleh seorang Inspektur

Kesehatan Rakyat tersebut yang dapat diterima dan disetujui oleh pengadilan,

dapat dijadikan alasan untuk meringankan hukuman. Hal ini penting dan

perlu mendapat perhatian dalam menanggulangi masalah euthanasia dengan

hukum pidana (Rehnalemken Ginting, 2009 : 46-47).

Belanda merupakan negara yang mengijinkan praktek euthanasia untuk

mengakhiri penderitaan pasien-pasien yang menderita sakit dengan harapan

hidup yang tipis. Meski dokter yang melakukan praktek pembunuhan halus

ini harus mengikuti peraturan yang ketat, dimana negara Belanda telah

melegalisasikan euthanasia. Belanda pada tanggal 10 April 2001 menerbitkan

Undang-undang yang mengijinkan euthanasia, undang-undang ini dinyatakan

efektif dan berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda

menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktek euthanasia

(Sheldon, Tony, 1999). Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun

(kronis) dan tidak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri

penderitaannya. Sebuah karangan berjudul The Slippery Slope of Dutch

Page 64: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

Euthanasia dan majalah Human Life International Special Report Nomor 67,

November 1998, halaman 3 (tiga) melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap

dokter di Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan

dituntut di pengadilan dengan syarat mengikuti beberapa prosedur yang telah

ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan

sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan

menjawab sekitar 50 pertanyaan.

Sebagai contoh yang kedua pada tanggal 21 April 1975 di Amerika Serikat

kasus seorang wanita di New Jersey, seorang perempuan berusia 21 (dua

puluh satu) tahun yang dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat

bantu pernapasan (respirator) karena kehilangan kesadaran akibat pemakaian

alkohol dan zat psikotropika secara berlebihan. Oleh karena tidak tega

melihat penderitaan sang anak, maka orang tuanya meminta agar dokter

menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan tersebut. Kasus permohonan

ini kemudian dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama

permohonan orang tua pasien ditolak, namun pada pengadilan tingkat

banding permohonan dikabulkan sehingga alat bantu tersebut dilepaskan pada

tanggal 31 Maret 1976. Setelah penghentian penggunaan alat bantu tersebut,

pasien dapat bernapas spontan walaupun masih dalam keadaan vegetatif. Dan

baru sembilan bulan kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut

meninggal akibat infeksi paru-paru (pneumonia).

Euthanasia agresif dinyatakan legal dibanyak negara bagian di Amerika.

Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara

eksplisit mengizinkan pasien terminal (pasien yang tidak mungkin lagi

disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada

tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya euthanasia dengan

memberlakukan undang-undang tentang kematian yang pantas (Oregon

Death with Dignity Act). Syarat-sayarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana

pasien terminal berusia 18 tahun (delapan belas tahun) ke atas boleh minta

bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam

enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali, dimana dua

Page 65: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 (lima belas) hari diantaranya)

dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak

boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus

mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis (harapan sembuh) serta

memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada

dalam keadaan gangguan mental. Hukum juga mengatur secara tegas bahwa

keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh

berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa

maupun kecelakaan ataupun juga polis simpanan hari tuanya.

Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa

depan, sebab dalam Amerika Serikat juga ada usaha untuk meniadakan

undang-undang negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan

Undang-Undang Northern Territory di Australia. Sebuah lembaga survei

terkenal yaitu survey Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% (enam

puluh prosen) orang Amerika mendukung dilakukannya euthanasia.

Kemajuan teknologi kedokteran di negara-negara maju menjadikan

euthanasia telah dilegalkan secara khusus dan tertulis. Seperti halnya di

Belanda, walaupun pelegalan euthanasia telah disertai dengan syarat-syarat

tertentu namun penanganan terhadap masalah euthanasia masih juga terdapat

perdebatan pro dan kontra. Permasalahan ini juga terdapat di beberapa negara

bagian di Amerika Serikat, meskipun di negara-negara tersebut pengaturan

terhadap euthanasia telah dilegalkan, tetapi selalu terdapat pro dan kontra

mengingat institusi kehakiman yang ada selama ini tidak bisa

menyeimbangkan kemajuan pengetahuan dalam bidang kedokteran.

2. Penanganan Kasus Euthanasia di Indonesia

Sejauh ini penanganan terhadap euthanasia di Indonesia belum dapat

dilakukan secara spesifik. Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas

permintaan dirinya sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan

nyawa seseorang. Dan hal ini di negara Indonesia masih menjadi kontroversi

diantara beberapa kalangan, karena dalam masyarakat Indonesia terdapat

Page 66: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

pihak yang menyetujui terhadap adanya euthanasia dan ada juga pihak yang

tidak setuju dengan euthanasia.

Pihak yang menyetujui terhadap euthanasia dapat dilakukan, hal ini

berdasarkan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk

mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang

cukup mendukung yaitu alasan kemanusiaan. Dengan keadaan dirinya yang

tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat

melakukan permohonan euthanasia untuk segera mengakhiri hidupnya.

Sementara pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap

manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah

hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak dapat diganggu

gugat oleh manusia.

Pada dasarnya perbedaan pendapat ini mempunyai sudut pandang yang

berbeda terhadap masalah euthanasia, sehingga sulit untuk mencarikan jalan

keluar dari perbedaan tersebut. Namun, di negara Indonesia mempunyai

ketentuan hukum dalam mengatur masalah euthanasia ini, yaitu melalui Pasal

344 KUHP. Di mana di negara Indonesia penanganan masalah euthanasia

berdasarkan Pasal 344 KUHP yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap

nyawa. Euthanasia di Indonesia secara hukum merupakan pembunuhan atas

permintaan korban, yaitu permintaan pasien pada dokter.

Penanganan masalah euthanasia di Indonesia berkaitan dengan pasal-pasal

KUHP diantaranya yaitu Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, Pasal 340

KUHP tentang pembunuhan berencana, Pasal 344 KUHP tentang unsur-unsur

euthanasia, dan Pasal 345 KUHP tentang dorongan atau bantuan melakukan

pembunuhan. Terhadap penanganan kasus euthanasia di Indonesia, dalam

Pasal 63 ayat (2) KUHP, memungkinkan dokter sebagai pelaku dijerat

dengan Pasal 344 KUHP, yang didalamnya terpenuhi unsur “atas permintaan

sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Bilamana unsur ini

mendatangkan kesulitan bagi jaksa, maka alternatif hukum dengan

menggunakan Pasal 338 KUHP sebagai pasal umum yang mengatur

Page 67: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

pembunuhan, yang unsurnya hanyalah terjadi kematian seseorang akibat

perbuatannya.

Sebagai contoh, pada tahun 2006 dimana terdapat seorang wanita yang

berusia 50 (lima puluh) tahun yang menderita penyakit kanker payudara

stadium akhir dengan metastase (penyebaran tumor) yang telah resisten

(kebal) terhadap tindakan kemoterapi dan radiasi. Wanita tersebut mengalami

nyeri tulang yang hebat dimana sudah tidak dapat lagi diatasi dengan

pemberian dosis morphin intravena. Hal ini ditunjukkan dengan adanya

rintihan ketika istirahat dan nyeri bertambah hebat saat wanita tersebut

mengubah posisinya. Walaupun tampak bisa tidur namun ia sering meminta

diberi analgesik, dan keluarganya pun meminta untuk dilakukan penambahan

dosis pemberian obat analgesik. Saat dilakukan diskusi antara dokter dan

keluarga wanita tersebut, dokter memberitahu bahwa penambahan obat

analgesik dapat mempercepat kematian klien.

Pada kondisi ini pasien selalu merasakan nyeri, dan keluarganya merasa

cemas, pasien dan keluarganya meminta untuk menambahkan dosis morphin

untuk mengurangi rasa nyeri pasien tersebut. Namun dokter tidak bisa

memberikan tindakan tersebut karena dengan pemberian tambahan dosis

morphin terhadap pasien akan dapat mengurangi rasa nyeri pasien tetapi

konsekuensinya akan dapat membahayakan dan mempercepat kematian

pasien. Tetapi apabila tindakan tersebut tidak dilakukan, maka pasien dan

keluarganya menyalahkan dokter dan apabila keluarga pasien kecewa

terhadap pelayanan di rumah sakit bisa menuntut ke pengadilan.

Penderitaan pasien dengan kanker payudara yang sudah mengalami

metastase mengeluh nyeri yang tidak berkurang dengan dosis morphin yang

telah ditetapkan. Pasien meminta penambahan dosis pemberian morphin

untuk mengurangi keluhan nyerinya. Keluarganya mendukung keinginan

pasien agar terbebas dari keluhan nyeri. Konflik yang terjadi :

a. Penambahan dosis pemberian morphin dapat mempercepat kematian

pasien.

b. Tidak memenuhi keinginan pasien terkait dengan pelanggaran hak pasien

Page 68: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

Terhadap penanganan kasus seperti ini dokter di Indonesia hanya mampu

untuk memberikan tindakan alternatif terhadap pasiennya. Di mana tindakan

alternatif yang diberikan yaitu menuruti keinginan pasien untuk menambah

dosis morphin tidak dilakukan sesering mungkin dan apabila diperlukan.

Artinya penambahan diberikan kadang-kadang pada saat tertentu misalnya

pada malam hari agar klien bisa tidur cukup. Padahal tindakan yang

dilakukan oleh dokter ini merupakan tindakan euthanasia pasif. Karena

apabila dokter menuruti keinginan pasiennya dengan memberikan tambahan

dosis morphin, maka akan dapat mempercepat kematian pasien, dan hal ini

merupakan tindakan euthanasia aktif. Untuk itu dalam hal ini dokter hanya

bisa melakukan tindakan alternatif saja, yang juga mempertimbangkan hak

pasiennya.

Berdasarkan uraian contoh di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa

penanganan terhadap kasus euthanasia (euthanasia aktif) di negara Indonesia

pada dasarnya belum dapat dilakukan atau dilarang, dan di Indonesia pada

dasarnya baru bisa menerima tindakan euthanasia dan bersifat pasif (Senja

Puspita Sari, 2007 : 41-44).

3. Analisis Pengaturan Euthanasia Dalam Hukum Positif Indonesia

Sejarah pembentukan KUHP dapat kita ketahui, bahwa pembentuk

undang-undang ini pada saat itu (zaman Hindia Belanda), juga menganggap

bahwa jiwa manusia sebagai miliknya yang paling berharga, dibandingkan

dengan miliknya yang paling berharga, dibandingkan dengan milik manusia

yang lainnya. Oleh sebab itu, setiap perbuatan apapun motif dan coraknya

sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan jiwa

manusia, hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.

Jadi masalah keselamatan jiwa daripada warga negara, selalu dilindungi

negara. Dalam hal ini tidak boleh dilupakan adanya dua kepentingan yakni

kepentingan masyarakat dan kepentingan individu yang dituntut.

“Kepentingan masyarakat, bahwa seorang yang telah melanggar suatu

peraturan hukum pidana, harus mendapatkan hukuman yang setimpal

dengan kesalahannya, guna keamanan masyarakat, dan kepentingan orang

Page 69: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

yang dituntut, bahwa ia harus diperlakukan sedemikian rupa sehingga

jangan sampai orang yang tidak berdosa mendapat hukuman, atau kalau

memang ia berdosa, jangan sampai ia mendapat hukuman yang terlalu

berat, tidak seimbang dengan kesalahannya (Wirjono Prodjodikoro, 1977 :

16).

Pandangan dari pembentuk undang-undang Hindia Belanda itu rupanya

masih tetap dianut oleh pemerintah sekarang. Ini terbukti bahwa dalam

KUHP sendiri, perihal keselamatan dan keamanan jiwa manusia masih

dijamin dengan tanpa perubahan sedikitpun. Memang merupakan kenyataan

sampai sekarang, bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan

idiologi, tentang keselamatan dan keamanan jiwa manusia Indonesia dijamin

oleh undang-undang. Hal ini juga merupakan pencerminan daripada prinsip

equality before the law yang tentunya harus juga diterapkan terhadap

keamanan dan keselamatan jiwa manusia (Djoko Prakoso & Djaman Andhi

Nirwanto, 1984 : 70-71).

Undang-undang yang tertulis dalam KUHP Indonesia hanya melihat dari

dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan

dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja

menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter

selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa

melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak peduli apakah

tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk

mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan coma atau rasa sakit yang

sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat

menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang

tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti

pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal–pasal dalam

Undang–Undang yang terdapat dalam KUHP.

Jika dilihat dari tiap jenis euthanasia ada aspek moral dan etika yang harus

menjadi pertimbangan yang mendalam, mengingat penentuan hidup dan mati

tidak ditangan manusia semata. Apabila melihat lebih jauh mengenai hak-hak

pasien untuk menentukan nasib sendiri, euthanasia nampak sebagai pilihan

cerdas untuk mengakhiri penderitaan karena pasien tidak berkeberatan

Page 70: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

hidupnya berakhir jika dilihat dari jenis euthanasia sukarela. Namun

penghargaan atas nilai insani ini tidak begitu saja dapat dapat diabaikan

meskipun oleh si pemilik jiwa itu sendiri yaitu pasien. Karena bagaimanapun

akan membuka peluang bagi yang lain untuk begitu mudah mengakhiri hidup

yang tidak lagi mampu menahan penderitaan. Hal ini bertentangan dengan

fitrah manusia untuk berjuang dan bertahan hidup meskipun harus

menghadapi tantangan dan penderitaan (Alexandra Indriyanti Dewi, 2008 :

81).

Suatu intervensi medis yang bertujuan untuk mengurangi penderitaan

pasien namun dapat mengakibatkan kematian pasien atau membantu pasien

bunuh diri disebut euthanasia aktif. Di Indonesia hal ini tidak dapat

dibenarkan menurut Undang-undang, karena tujuan dari euthanasia aktif

adalah mempermudah kematian pasien. Sedangkan euthanasia pasif

bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan pasien namun

membiarkannya dapat berdampak pada kondisi pasien yang lebih berat

bahkan memiliki konsekuensi untuk mempercepat kematian pasien. Misalnya

rasa nyeri pada pasien dengan penyakit kanker dapat ditatalaksanakan oleh

petugas kesehatan profesional yang telah dilatih dengan manajemen nyeri,

namun hal tersebut tidak dapat membantu sepenuhnya pada penderitaan

pasien. Upaya untuk mengurangi penderitaan nyeri pasien mungkin akan

mempercepat kematiannya, namun tujuan utama dari tindakan adalah untuk

mengurangi rasa nyeri dan penderitaan pada pasien-pasien dengan penyakit

kanker (Petrus Yoyo Karyadi,2001 : 45-46).

Di dalam hukum pidana ada tiga permasalahan pokok yaitu, pertama

adalah perumusan perbuatan yang dapat dipidana atau perbuatan yang

dikriminalisasikan, yang kedua adalah pertanggungjawaban pidana dan yang

terakhir adalah sanksi, baik yang berupa pidana (straf) maupun yang berupa

tindakan (maatregel) (Muladi, 1990 : 2).

Pasal 344 KUHP harus memenuhi tiga permasalahan pokok dalam hukum

pidana tersebut, yaitu merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu

sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati merupakan

Page 71: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

perumusan perbuatan yang dapat dipidana, kemudian barang siapa yang

berarti orang yang melakukan perbuatan yang dilarang serta harus

mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut, dan yang belakangan ini

adalah sanksi berupa pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Seperti telah diketahui bahwa unsur-unsur dalam euthanasia memenuhi

rumusan Pasal 344 KUHP, dengan demikian memenuhi pula tiga

permasalahan pokok dalam hukum pidana. Secara teoritis pasal ini dapat

dioperasionalkan untuk menjaring perbuatan euthanasia yang merupakan

kejahatan terhadap nyawa itu. Tetapi dalam prakteknya belum pernah ada

kasus euthanasia di Indonesia, sebagaimana diatur dan diancam pidana

berdasarkan pasal 344 KUHP yang sampai ke Pengadilan.

Euthanasia dalam KUHP dikategorikan sebagai kejahatan terhadap

nyawa. Euthanasia secara hukum merupakan pembunuhan atas permintaan

korban, yakni permintaan pasien pada dokter. Pasal-pasal yang dapat

diterapkan berkaitan dengan euthanasia adalah Pasal 338 KUHP tentang

pembunuhan murni, Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, Pasal

344 KUHP tentang unsur-unsur yang memuat kriteria euthanasia dan Pasal

345 KUHP tentang bantuan dan dorongan pembunuhan dalam KUHP.

Dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP, memungkinkan dokter sebagai pelaku

euthanasia dijerat dengan Pasal 344 KUHP, yang didalamnya harus terpenuhi

unsur “atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan

hati”. Bilamana unsur ini mendatangkan kesulitan bagi jaksa, maka alternatif

hukum dengan menggunakan Pasal 338 KUHP sebagai pasal umum yang

mengatur tentang pembunuhan, dimana unsurnya hanya terjadinya kematian

seorang yang diakibatkan perbuatan orang lain.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memang tidak pernah

mencantumkan secara eksplisit istilah euthanasia dalam pasal-pasalnya,

namun bila dikaji lebih mendalam ternyata terdapat unsur-unsur dalam pasal

tersebut dan mencakup pengertian itu. Pasal 344 yang dikenal sebagai pasal

yang dapat dimasukkan dalam kategori euthanasia, yang menyebutkan

kalimat dengan unsur :

Page 72: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

“Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu

sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum

penjara selama-lamanya 12 tahun”.

Pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP juga dapat dikatakan

bersangkutan dengan masalah euthanasia (anonim, 2002).

Dalam Pasal 338 KUHP dikatakan bahwa :

“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain diancam karena

pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun (lima belas

tahun)”.

Dalam Pasal 340 KUHP berbunyi :

“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu

merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan

rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau

selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun (dua puluh tahun)”.

Dalam Pasal 345 KUHP berbunyi :

“Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri,

menolongnya dalam perbuatan ini atau memberi sarana padanya untuk itu,

dancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun (empat tahun) kalau

orang itu jadi bunuh diri”.

Dalam Pasal 359 KUHP berbunyi :

“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang

lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun (lima tahun)

atau pidana kurungan paling lama 1 tahun (satu tahun)” (Anonim,2006 :

107-111).

Apabila kita perhatikan, pasal-pasal tersebut diatas, yaitu Pasal 338, 340

dan 344 KUHP, ketiga-tiganya adalah mengandung makna larangan untuk

membunuh. Selanjutnya pasal 338 KUHP merupakan aturan umum daripada

perampasan nyawa orang lain. Pasal 340 KUHP aturan khususnya, karena

dengan dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dulu”. Oleh sebab itu,

Pasal 340 KUHP ini biasa dikatakan sebagai pasal pembunuhan berencana.

Begitu pula jika diperhatikan lebih lanjut, bahwa Pasal 344 KUHP pun

Page 73: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

merupakan aturan khusus daripada Pasal 338 KUHP. Hal ini, karena

disamping Pasal 344 KUHP tersebut mengandung makna perampasan nyawa

atau pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP, pada Pasal

344 KUHP ditambahkan pula unsur “atas permintaan sendiri yang jelas

dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Jadi masalah euthanasia ini dapat

menyangkut dua aturan hukum, yakni Pasal 338 KUHP dan Pasal 344 KUHP.

Dalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concurcus idealis, yang

merupakan sistem pemberian pidana juga terjadi satu perbuatan pidana yang

masuk dalam beberapa peraturan hukum. Concursus idealis ini diatur dalam

Pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa :

1. Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana,

maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu,

jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana

pokok yang paling berat.

2. Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang

umum diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya

yang khusus itulah yang dikenakan (Moeljatno, 1971 : 42).

Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas Lex specialis de rogat legi

generali, yaitu bahwa peraturan-peraturan yang khusus akan mendesak atau

mengalahkan peraturan-peraturan yang sifatnya umum. Yang dimaksud

sebagai peraturan khusus disini adalah :

“Peraturan pidana yang mempunyai atau memuat unsur-unsur yang

termuat dalam peraturan pidana yang umum, akan tetapi juga memuat

peraturan-peraturan pidana yang tak termuat dalam peraturan pidana umum”

(Muladi, 1977).

Sehubungan dengan adanya concursus idealis ini, maka Hazewinkel

Suringa yang dikutip oleh Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto dalam

bukunya, mengatakan sebagai berikut :

“Ada concurcus idealis, apabila pernyataan yang sudah memenuhi suatu

rumusan delik, mau tidak mau (noodzakelijk-co ipso) juga masuk dalam

peraturan pidana lain, baik karena banyaknya peraturan-peraturan yang

dibuat oleh pembentuk undang-undang, maupun karena diaktifkannya

aturan-aturan lain berhubungan dengan cara dan tempat perbuatan itu

dilakukan, orang yang melakukan dan obyek terhadap apa perbuatan itu

dilakukan” (Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, 1984 : 77).

Page 74: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

Dengan adanya hal-hal seperti tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa

masalah euthanasia yang menyangkut dua aturan hukum, yaitu Pasal 338

KUHP dan 344 KUHP, maka yang dapat diterapkan adalah Pasal 344 KUHP.

Apabila tidak terdapat asas Lex specialis derogat legi generali yang

disebutkan dalam Pasal 63 (2) KUHP itu, maka aturan pemidanaan yang

dipakai adalah Pasal 338 KUHP. Hal ini disebabkan karena ancaman pidana

penjara pada Pasal 338 KUHP (yaitu 15 tahun), lebih berat daripada ancaman

pidana yang terdapat pada Pasal 344 KUHP (yang hanya 12 tahun). Hal ini

dapat dimengerti karena dalam concursus idealis akan diterapkan sistem

absorbsi, sebagaimana disebutkan pada Pasal 63 (1) KUHP, yang memilih

ancaman pidananya yang terberat. Oleh sebab itu, di dalam KUHP kita, hanya

ada satu pasal saja yang mengatur tentang masalah euthanasia, yaitu Pasal

344 KUHP.

Ditinjau dari sudut pandang hukum dalam KUHP, euthanasia dapat

diuraikan sebagai berikut :

a. Euthanasia Aktif

Pada dasarnya euthanasia aktif terjadi apabila dokter atau tenaga

kesehatan lainnya secara sengaja melakukan tindakan untuk

memperpendek (mengakhiri) hidup pasien. Menurut Daniel Gorman,

euthanasia aktif didefinisikan sebagai mengambil tindakan secara

langsung yang menyebabkan kematian pasien (Daniel Gorman, 1998 :

857).

Euthanasia aktif dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu :

1) Euthanasia Aktif Atas permintaan Pasien

Terhadap tindakan euthanasia aktif atas permintaan pasien yang

diatur secara eksplisit oleh pasal 344 KUHP. Dokter atau tenaga

kesehatan lainnya yang telah melakukan euthanasia aktif ini dapat

dituntut berdasarkan Pasal 344 KUHP.

Pasal 344 KUHP berbunyi :

Page 75: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

“Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan

yang tegas dan sungguh-sungguh dari orang lain itu sendiri

dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas

tahun”.

Berdasarkan Pasal 344 KUHP tersebut di atas dapat diketahui

bahwa ketentuan pidana yang diatur dalam pasal tersebut itu sama

sekali tidak mempunyai unsur subyektif, melainkan hanya mempunyai

unsur-unsur obyektif, yaitu masing-masing :

a) Beroven atau menghilangkan

b) Leven atau nyawa

c) Een ander atau orang lain

d) Op verlangen atau atas permintaan

e) Uitdrukkelijk an ernstig atau secara tegas-tegas dan sungguh-

sungguh.

Dalam hal permintaan yang sifatnya tegas dan sungguh-sungguh

yang disampaikan kepada pelaku (dokter) oleh seorang anak kecil

(belum dewasa) atau orang yang berpenyakit jiwa, mengenai tindak

pidana pembunuhan sesuai dengan Pasal 344 KUHP menerangkan

bahwa pelaku (dokter) dapat dipersalahkan karena telah melakukan

suatu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu atau moord, jika

dokter kemudian ternyata benar-benar telah memenuhi permintaan

yang yang dikemukakan oleh seorang anak kecil atau oleh seorang

yang berpenyakit jiwa.

Jadi berdasarkan uraian diatas dalam masalah euthanasia aktif atas

permintaan pasien terhadap pelaku (dokter) dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana dan dapat dituntut dengan hukuman

penjara selama-lamanya dua belas tahun.

2) Euthanasia Aktif Tanpa Permintaan Pasien

Berdasarkan Pasal 388 KUHP yang berbunyi :

Page 76: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain,

karena salah telah melakukan pembunuhan dihukum dengan

hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”.

Pada Pasal 340 KUHP, berbunyi :

“Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih

dahulu menghilangkan nyawa orang lain, karena salah telah

melakukan pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu,

dihukum dengan hukuman mati atau dengan hukuman penjara

seumur hidup atau dengan hukuman penjara sementara selama-

lamanya dua puluh tahun”.

Berdasarkan pasal tersebut di atas, secara alternatif dapat dijadikan

dasar penuntutan terhadap pelaku (dokter) yang telah melakukan

euthanasia aktif tanpa permintaan pasien. Apabila pelaku (dokter)

tersebut terbukti telah melakukan perencanaan atas tindakannya itu,

berarti dokter dapat dituntut berdasarkan Pasal 340 KUHP. Sedangkan

apabila tidak terbukti adanya perencanaan terlebih dahulu pada diri

dokter, maka Pasal 338 KUHP dapat diberikan terhadapnya.

Dalam kasus euthanasia aktif tanpa permintaan pasien ini, dokter

mendapat kesulitan untuk membuktikan bahwa ketika ia melakukan

euthanasia memang benar-benar tanpa perencanaan terlebih dahulu,

karena dokter tidak mungkin secara tiba-tiba (tanpa perencanaan)

melakukan euthanasia terhadap pasien. Dapat dipisahkan bahwa

sebelum dokter melakukan euthanasia terlebih dahulu memikirkan

pertimbangan-pertimbangan ini. Misalnya rasa belas kasihan melihat

pasien yang menderita terus menerus, melihat penyakitnya yang tidak

ada harapan untuk sembuh kembali, atau kondisi ekonomi dari

keluarga pasien yang semakin kesulitan. Justru karena dokter telah

memperhitungkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka dokter

telah dianggap merencanakan terlebih dahulu atas tindakan euthanasia

yang dilakukan terhadap pasiennya. Maka dari itu dalam kasus

euthanasia tanpa permintaan pasien sebagai bahan dasar untuk

melakukan penuntutan adalah Pasal 340 KUHP.

3) Euthanasia Aktif Tanpa Sikap Dari Pasien

Page 77: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

Euthanasia tanpa sikap adalah apabila pada saat akan

dilangsungkan euthanasia, pasien yang bersangkutan sudah dalam

keadaan coma (tidak sadar), yang berarti tidak dapat diketahui

keinginannya yang sebenarnya. Apakah pasien meminta euthanasia

atau tidak memintanya.

Dalam menghadapi kasus euthanasia tanpa sikap, minimal ada dua

masalah yang akan muncul. Pertama, misalnya semula pasien memang

(pada saat masih sadar) telah meminta kepada dokter secara tegas dan

sungguh-sungguh agar dilakukan euthanasia atas dirinya. Akan tetapi,

pada saat akan dilakukan euthanasia, pasien tersebut dalam keadaan

coma, tanpa adanya komunikasi lagi. Untuk lebih jelasnya dapat kita

beri contoh, misalnya pada tanggal 1 Januari 2012 keadaan pasien

masih sadar. Pada saat itu ia membuat surat perjanjian secara tegas dan

sungguh-sungguh dengan dokter agar nanti tanggal 10 Januari 2012

dilakukan euthanasia terhadap dirinya. Akan tetapi, pada tanggal 5

Januari 2012 pasien tersebut sudah tidak sadar diri. Dalam hal ini

apakah permintaan pasien tersebut tetap berlaku dan dokter akan tetap

melakukan euthanasia pada tanggal 10 Januari 2012, atau mungkin

bila pasien sadar ia akan menarik kembali permintaan euthanasianya

itu. Maka dalam hal ini dokter dan keluarga yang menentukan sikap

apakah tetap dilakukan euthanasia atau tidak.

Berdasarkan aksi coma bahwa naluri terkuat dari setiap mahkluk

hidup selalu ingin mempertahankan hidupnya, maka walaupun pasien

sudah (sedang) dalam keadaan coma, tetap diasumsikan bahwa pasien

tersebut tidak menginginkan hidupnya diakhiri. Dengan demikian,

dokter yang melakukan euthanasia aktif tanpa sikap dari pasien dapat

dituntut berdasarkan Pasal 388 KUHP atau 340 KUHP (Lamintang dan

Samosir, 1993 : 141-143).

Apabila terbukti bahwa dokter dalam melakukan euthanasia aktif

tersebut dengan disertai perencanaan terlebih dahulu, maka dokter

dapat dituntut berdasarkan Pasal 340 KUHP. Sedangkan bila tidak

Page 78: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

terbukti adanya perencanaan terlebih dahulu pada diri dokter, maka ia

terancam oleh Pasal 338 KUHP.

Masalah yang kedua, apabila seorang pasien dalam keadaan coma

sehingga tidak diketahui apa kehendaknya, kemudian keluarga pasien

mendesak dokter yang merawatnya untuk melakukan euthanasia aktif,

karena keluarganya sudah tidak tahan lagi melihat penderitaan pasien

tersebut. Dalam kasus seperti ini keluarga pasien tersebut yang telah

mendesak dokter untuk melakukan euthanasia dapat dituntut

melakukan euthanasia, dalam kasus seperti ini keluarga pasien

tersebut dapat dituntut berdasarkan uitloking (pembujukan) Pasal 55

KUHP, yang berbunyi :

a) Dihukum seperti pelaku dari suatu perbuatan yang dapat dihukum :

(1) Barang siapa yang melakukan, menyuruh, melakukan, atau ikut

melakukan perbuatan itu,

(2) Barang siapa dengan pemberian janji, penyalahgunaan

kekuasaan atau kepandangan, kekerasan, ancaman atau

kebohongan, atau dengan memberikan kesempatan, sarana atau

keterangan, dengan sengaja telah menggerakkan orang lain

untuk melakukan perbuatan itu

b) Mengenai perbuatan-perbuatan yang terakhir itu hanyalah

menyangkut perbuatan yag disengaja telah digerakkannya untuk

dilakukan oleh orang lain, beserta akibat-akibatnya.

Untuk itu adanya uitlokking (pembujukan), harus memenuhi dua

syarat, yaitu sebagai berikut :

a) Bahwa perbuatan yang telah digerakkan untuk dilakukan oleh

orang lain itu harus menghasilkan suatu voltooid delict atau suatu

delik yang selesai, atau menghasilkan suatu strafbaarpoging atau

percobaan yang dapat di hukum.

b) Bahwa tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang itu

disebabkan karena orang tersebut telah bergerak oleh suatu

uitlokking yang dilakukan oleh orang lain dengan menggunakan

salah satu cara yang telah disebutkan di dalam Pasal 55 ayat (1)

angka 2 KUHP.

Page 79: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

Dapat diasumsikan bahwa keluarga pasien dalam keadaan

mendesak kepada dokter untuk melakukan euthanasia tersebut disertai

dengan keterangan-keterangan. Misalnya, keterangan keadaan pasien

yang tidak mungkin sembuh kembali, alasan ekonomis, atau merasa

kasihan melihat penderitaannya pasien yang berkepanjangan. Maka

dengan segala pemberian keterangan tersebut, keluarga pasien dapat

dianggap sebagai uitlokker yang telah menggerakkan (uitlokking)

dokter sebagai uitgelokte untuk menghilangkan nyawa orang lain

(pasien). Jadi berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa

terhadap keluarga pasien yang bersangkutan dapat dituntut

berdasarkan Pasal 55 KUHP. Kedua syarat untuk adanya uitlokking

tersebut di atas telah terpenuhi.

Sedangkan dokter (pelakunya) sendiri dapat dituntut

menghilangkan nyawa orang lain (pasien). Dalam hal ini berarti tidak

terdapat unsur “perencanaan” terlebih dahulu pada diri dokter karena

dokter sendiri dalam melakukan tindakan euthanasianya atas dasar

desakan dari keluarga pasien. Jadi, keluarga pasien dapat diancam

penjara selama-lamanya lima belas tahun, sama seperti pelakunya

sendiri (dokter) (Gerson W. Bawengan, 1995 : 10).

Berdasarkan masalah euthanasia tanpa sikap pasien tersebut di atas

lebih merupakan masalah teoritis belaka. Kecil kemungkinan untuk

terjadi dalam praktek, karena dokter (keluarga pasien) sendiri takut

akan ancaman hukuman penjara. Akan tetapi dalam praktek dapat saja

terjadi, misalnya keluarga pasien yang terus mendesak dokter untuk

melakukan euthanasia terhadap pasien yang bersangkutan, karena

keluarga pasien ingin segera mendapatkan harta warisan, yaitu dengan

cara mendesak dokter untuk mengakhiri hidup pasien tersebut.

b. Euthanasia Tidak Langsung

Euthanasia tidak langsung terjadi apabila dokter atau tenaga medis

lainnya tanpa maksud mengakhiri hidup pasien melakukan suatu tindakan

medis untuk meringankan penderitaan pasien, walaupun dengan

Page 80: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

mengetahui adanya resiko bahwa dari tindakan medis tersebut dapat

mengakibatkan hidup pasien diperpendek.

Seperti halnya euthanasia aktif, euthanasia tidak langsung dapat

dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu :

1) Euthanasia Tidak Langsung Atas Permintaan Pasien

Dalam kasus euthanasia tidak langsung atas permintaan pasien,

maka terhadap pelakunya (dokter) dapat dituntut berdasarkan Pasal

344 atau Pasal 359 KUHP.

Pasal 359 KUHP, berbunyi :

“Barang siapa yang karena salahnya telah menyebabkan

meninggalnya orang lain, dihukum dengan hukuman penjara

selama-lamanya lima tahun atau dengan hukuman kurungan

selama-lamanya satu tahun”.

Apabila dokter dapat membuktikan bahwa tindakan medik yang

dilakukannya itu hanya dimaksudkan untuk meringankan penderitaan

pasien, maka terhadapnya paling berat hanya dapat tuntutan Pasal 359

KUHP. Sedangkan apabila dokter tidak dapat membuktikan bahwa

tindakan medik yang dilakukannya itu hanya dimaksudkan untuk

meringankan penderitaan pasien, maka dokter dapat dituntut

berdasarkan Pasal 344 KUHP.

2) Euthanasia Tidak Langsung Tanpa Permintaan Pasien

Dokter yang tidak dapat membuktikan bahwa tujuan dari tindakan

medis yang dilakukannya itu adalah untuk meringankan penderitaan

pasien, maka dokter dianggap telah melakukan pembunuhan yang

telah direncanakan terlebih dahulu. Terhadapnya dapat dituntut

berdasarkan Pasal 340 KUHP.

Sebaliknya apabila dokter dapat membuktikan bahwa tindakan

medis yang dilakukannya itu bertujuan untuk meringankan penderitaan

pasien, maka dokter dapat dituntut berdasarkan Pasal 359 KUHP, atas

kesalahannya yang telah mengakibatkan meninggalnya pasien.

3) Euthanasia Tidak Langsung Tanpa Sikap Pasien

Page 81: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

Euthanasia dalam kategori ini didasarkan oleh asumsi bahwa

naluri terkuat dari setiap makhluk hidup termasuk manusia adalah

selalu berusaha mempertahankan hidupnya. Naluri tersebut seharusnya

diberlakukan juga terhadap pasien yang sudah dalam keadaan coma.

Terhadap pasien yang masih dalam keadaan coma tetap harus

dianggap bahwa dia ingin mempertahankan hidupnya dan tidak ada

keinginan untuk dieuthanasia (diakhiri hidupnya).

Dokter yang melakukan suatu tindakan medis terhadap pasien, dan

dokter tidak dapat membuktikan bahwa tindakan medis tersebut

dimaksudkan untuk meringankan penderitaan pasien maka dokter

tersebut dianggap telah melawan hak pasien. Oleh karena itu baginya

dapat dituntut berdasarkan Pasal 340 KUHP. Dan ia dianggap telah

merencanakan pembunuhan (euthanasia) terhadap pasien tersebut.

Apabila dokter tersebut dapat membuktikan bahwa tindakan medis

yang dilakukannya itu bertujuan meringankan penderitaan pasien,

maka dokter tersebut paling berat hanya dapat dituntut berdasarkan

Pasal 359 KUHP.

Dalam menghadapi masalah euthanasia tidak langsung ini, baik

atas permintaan atau tanpa permintaan maupun tanpa sikap dari pasien

ternyata dokter telah diberi beban untuk membuktikan terhadap

“tindakan medisnya”. Apabila jaksa yang harus membuktikan

“tindakan medis” dokter yang bersangkutan, maka jaksa akan

mendapat kesulitan karena jaksa sendiri tidak kompeten dalam hal

tindakan medis. Jadi menurut pendapat penulis adalah tepatnya apabila

dokter sendiri yang harus membuktikan “tindakan medisnya”, karena

ia sendiri yang kompeten dengan hal tersebut. Sedangkan dokter yang

membuktikan hal tersebut (sebagai tersangka) atau dapat juga dokter

ahli lainnya yang telah ditunjuk oleh pengadilan (jaksa yang

menuntutnya).

Page 82: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

Dari uraian pembahasan di atas maka dapat diketahui bahwa dalam

memberikan medikasi kepada pasien harus selalu sesuai dengan

standar profesi medisnya.

c. Euthanasia Pasif

Euthanasia pasif dapat terjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya

secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medis kepada pasien yang

dapat memperpanjang hidupnya. Menurut Daniel Gorman, euthanasia

pasif didefinisikan sebagai memungkinkan pasien untuk mati oleh

perlakuan (Daniel Gorman, 1998 : 857). Dalam hal ini euthanasia pasif

dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu :

1) Euthanasia Pasif Atas Permintaan Pasien

Euthanasia pasif atas permintaan pasien ini, berkaitan erat dengan

hak-hak pasien, antara lain yaitu :

a) Hak atas informasi

b) Hak memberikan persetujuan

c) Hak memilih dokter

d) Hak memilih rumah sakit

e) Hak atas rahasia kedokteran

f) Hak menolak pengobatan

g) Hak menolak suatu tindakan medis tertentu

h) Hak untuk menghentikan pengobatan

Jadi dalam hal ini apabila pasien sudah meminta kepada dokter

untuk menghentikan pengobatan atau menghentikan terhadap tindakan

medis yang dilakukan oleh dokter, hal ini berarti adalah hak pasien.

Dengan demikian pasien tersebut sudah tidak lagi peduli dengan resiko

kematiannya. Dalam hal ini dokter tidak kompeten untuk melakukan

pengobatan terhadap pasien tersebut. Walaupun pasien tersebut akan

segera meninggal dunia setelah dilakukan euthanasia pasif, dokter

tetap tidak dikenakan tuntutan hukuman. Justru apabila dokter tetap

memberikan pengobatan atau tindakan medis terhadap pasien, maka

dokter akan dapat diancam telah melakukan penganiayaan.

Page 83: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

2) Euthanasia pasif Tanpa Permintaan Pasien

Euthanasia pasif tanpa permintaan pasien berarti dokter sendirilah

yang berinisiatif untuk berbuat pasif, tanpa melakukan pengobatan.

Hal ini biasa dilakukan oleh dokter karena adanya anggapan bahwa

tindakan medis yang dilakukan dokter terhadap pasien sudah tidak ada

gunanya.

Dalam hal ini apabila dokter dapat membuktikan bahwa tindakan

medis yang dilakukannya terhadap pasien benar-benar memang sudah

tidak ada gunanya lagi, maka dokter akan terbebas dari tuntutan

hukum, walaupun pasien tersebut meninggal dunia. Dalam hal ini

meninggalnya pasien tersebut dapat disebut sebagai bentuk semu

euthanasia.

Sedangkan apabila dokter tidak dapat membuktikan bahwa

tindakan medis yang dilakukan tersebut sudah tidak ada gunanya lagi,

maka dokter dapat diancam berdasarkan Pasal 304 jo Pasal 306 (2)

KUHP.

Pasal 304 KUHP, berbunyi :

“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan

seseorang yang ia wajib memeliharanya, atau yang berdasarkan

hukum yang berlaku baginya atau yang berdasarkan perjanjian ia

wajib merawatnya atau mengurusnya, dalam keadaan sengsara,

dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun dan

delapan bulan atau dengan hukuman denda setinggi-tingginya

empat ribu lima ratus rupiah”.

Pasal 306 KUHP, berbunyi :

“Apabila salah satu perbuatan tersebut menyebabkan meninggalnya

anak itu, maka ia dihukum dengan hukuman penjara selama-

lamanya sembilan tahun”.

Menurut pendapat penulis bahwa apabila dokter tidak dapat

membuktikan bahwa tindakan medis yang akan dilakukannya itu sudah

tidak ada gunanya lagi, maka dokter dapat dituntut berdasarkan Pasal

304 jo Pasal 306 (2) KUHP. Alasannya, karena bila dokter tidak dapat

membuktikan hal tersebut, berarti dokter masih mempunyai kewajiban

Page 84: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

untuk melakukan tindakan medis (pengobatan). Tindakan medis atau

pengobatan berarti masih mempunyai arti dan ada gunanya, namun

dokter telah melakukan tindakan euthanasia pasif tanpa permintaan.

3) Euthanasia Pasif Tanpa Sikap Pasien

Euthanasia pasif tanpa sikap pasien dilakukan dokter biasanya

berdasarkan pertimbangan bahwa pengobatan sudah tidak ada gunanya

lagi. Tetapi untuk keadaan “tanpa sikap” atau pasien dalam keadaan

tidak sadar atau coma, hal ini tidak dapat diketahui kehendak dari

pasien yang sebenarnya.

Pada euthanasia tanpa permintaan pasien adalah kondisi dimana

pasien masih sadar tetapi pasien sudah tidak tahu lagi apa yang harus

diperbuat, apakah harus menolak euthanasia atau menerima

euthanasia. Pada prinsipnya disini pasien “tanpa permintaan”, dalam

keadaan ini pasien dianggap melakukan euthanasia, sedangkan dalam

hal “tanpa sikap” pasien berarti seperti telah dijelaskan di atas. Dengan

demikian akibat hukum yang ditimbulkan antara keduanya tidak ada

perbedaan.

Jadi apabila dokter dapat membuktikan bahwa tindakan medis

yang akan dilakukan tersebut sudah tidak ada gunanya lagi, maka

dokter tidak akan mendapatkan tuntutan hukum. Tetapi apabila dokter

tidak dapat membuktikan bahwa tindakan yang akan dilakukan

tersebut sudah tidak ada gunanya lagi, maka baginya (dokter) akan

dikenakan tuntutan Pasal 304 jo Pasal 306 (2) KUHP (Petrus Yoyo

Karyadi, 2001:54-71).

Secara formal hukum berlaku di negara kita memang tidak mengijinkan

tindakan euthanasia oleh siapapun (termasuk para tenaga medis dan dokter),

sebagaimana tercermin dalam pasal-pasal KUHP tersebut. Tersirat pada pasal

344 KUHP di atas, yang jelas-jelas dilarang oleh KUHP adalah euthanasia

aktif, dengan atau tanpa permintaan pasien/keluarganya. Akan tetapi

penerapan dari Pasal 344 KUHP tersebut sulit diterapkan pada kasus

penanganan euthanasia karena adanya beberapa faktor. Menurut Ahmad Ube

Page 85: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

yang dikutip oleh Haryadi dalam jurnalnya, ada beberapa faktor yang

menyebabkan susahnya penanganan euthanasia dengan hukum pidana (Pasal

344 KUHP). Faktor itu meliputi : faktor yang berada diluar hukum pidana

dan faktor yang terdapat didalam hukum pidana (Ahmad Ube, 2000 : 58),

adalah sebagai berikut :

a. Faktor yang berada diluar Hukum Pidana

1) Didalam perbuatan euthanasia biasanya ada kerjasama antara pelaku

dan korban (misalnya dokter dengan keluarganya), sehingga perbuatan

tersebut tidak pernah dilaporkan kepada aparat penegak hukum untuk

diproses sebagai khasus pidana.

2) Keluarga korban atau masyarakat kurang atau tidak tahu bahwa telah

terjadi kematian yang disebut sebagai euthanasia, dengan perkataan

lain masyarakat kita masih awam terhadap hukum, apalagi menyangkut

masalah euthanasia yang jarang terjadi.

3) Alat-alat kedokteran di rumah sakit di Indonesia belum semoderen

negara-negara maju, seperti adanya respirator, hertlung machines,

organ transplants dan sebagainya yang dapat mencegah kematian

seseorang secara teknis untuk beberapa hari, minggu atau beberapa

bulan.

4) Kebanyakan keadaan sosial ekonomi masyarakat Indonesia berada

dibawah standart kehidupan yang layak, sehingga biaya untuk

perawatan kesehatan maupun pengobatan cukup memprihatinkan.

Keadaan ini membawa pengaruh pula terhadap perbuatan euthanasia,

terutama euthanasia pasif.

b. Faktor yang berada didalam Hukum Pidana

1) Rumusan (formula) pasal terlalu universal, sehingga sulit untuk

menentukan perbuatan mana yang termasuk euthanasia aktif, dan mana

yang termasuk euthanasia pasif. Kemudian tidak dapat diketahui mana

euthanasia yang dilakukan orang pada umumnya / dan mana

euthanasia yang dilakukan dokter pada khususnya. Hal ini penting

karena masalah euthanasia tidak sesederhana seperti rumusan Pasal 344

KUHP.

2) Dalam rumusan Pasal 344 KUHP terdapat kalimat “atas permintaan

orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati” yang

merupakan unsur yang harus dipenuhi untuk menentukan apakah orang

yang melakukannya dapat dipidana berdasarkan pasal ini atau tidak,

apabila tidak dipenuhi akan merupakan pembunuhan yang dapat

dikenakan pasal 338, 340 KUHP (Haryadi, 2007 : 87-88).

Adanya beberapa faktor tersebut menunjukkan bahwa hukum pidana

Indonesia khususnya yang terdapat dalam KUHP belum mengakomodir

secara penuh pengaturan masalah euthanasia itu sendiri. Menariknya,

Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan (yang dikenal sebagai

Page 86: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

Undang-Undang Kesehatan) ternyata belum mengakomodasi mengenai

euthanasia ini dalam pasal-pasalnya, sedangkan di lain pihak beberapa Pasal

KUHP tadi masih belum memberikan batasan serta penjelasan yang tegas

dalam hal euthanasia.

Page 87: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

Skema Euthanasia Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia

Atas Permintaan

(Pasal 344 KUHP)

AKTIF Tanpa Permintaan

(Pasal 340 KUHP)

Tanpa Sikap

(Pasal 340, 338, 55 KUHP)

Atas Permintaan

(Pasal 344, 359 KUHP)

EUTHANASIA TIDAK LANGSUNG Tanpa Permintaan

(Pasal 340,359 KUHP)

Tanpa Sikap

(Pasal 340, 359 KUHP)

Atas Permintaan

(Tidak dihukum)

PASIF Tanpa Permintaan

(Pasal 304 jo 306 (2) KUHP)

Tanpa Sikap

(Pasal 304 jo 306 (2) KUHP)

Gambar 2. Sumber : Petrus Yoyo Karyadi, 2001 : 71

Page 88: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

B. Pengaturan Euthanasia Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia

Keinginan melakukan pembaharuan hukum pidana, khususnya Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah dimulai sejak tahun 1946 mengingat

undang-undang pidana ini merupakan warisan kolonial Belanda, yang tidak sesuai

lagi dengan situasi Indonesia merdeka. Kebutuhan pembaharuan hukum pidana

menjadi penting dengan memperhatikan karakteristik hukum pidana berwawasan

ke-Indonesiaan. Pembentukan KUHP baru ini ditujukan dengan semangat pada

perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan reformasi hukum demi rakyat.

Pembaharuan hukum pidana adalah jalan terbaik dengan terbentuk RUU KUHP

menjadi KUHP nasional sebagai kebutuhan primer bangsa dan negara dalam

reformasi hukum pada abad ke-21 ini.

Dalam perkembangannya, pemikiran tentang latar belakang dan proses

pembaharuan KUHP tidak hanya didasari keinginan untuk menggantikan

karakteristik kolonial dari KUHP yang merupakan “copy” dari KUHP Belanda

1886, namun dilandasi pula dengan semangat demokratisasi hukum dalam arti

luas yang ingin mempertimbangkan baik aspirasi-aspirasi infrastruktural,

suprastruktural, kepakaran dan aspirasi internasional. Sebagai catatan dapat

dikemukakan bahwa, pengaruh kolonial dalam hukum pidana terjadi secara

sistematis melalui asas konkordansi, doktrin, text book dan jurisprudensi

pengadilan Belanda. Sepanjang berkaitan dengan aspirasi internasional, dalam hal

ini bisa berbentuk standard, asas maupun nilai-nilai dan norma, baik yang masih

bersifat “soft law” pada tahap-tahap “enunctiative, declarative and prescriptive”

maupun dalam bentuk “hard law” pada tahap-tahap “enforcement and

criminalization” (Muladi, 2006 : 1).

Dalam sejarah KUHP, terbukti bahwa Bagian Khusus KUHP yang terdiri atas

Kejahatan (Misdrijeven or Crimes) dan Pelanggaran (Overtredingen or Infraction)

ternyata lebih tua daripada Bagian Umumnya (Alegemene Bepalingen or General

Part). Kriminalisasi dan hukum acaranya terbentuk terlebih dahulu untuk

menghindarkan terjadinya perbuatan main hakim sendiri. Baru kemudian disadari

Page 89: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

perlunya ketentuan umum untuk mengatur penggunaan aturan-aturan pidana yang

bermacam-macam seperti ruang lingkup berlakunya hukum pidana, sanksi pidana

dan tindakan, alasan penghapus pidana, percobaan, penyertaan sebagai perluasan

pertanggungjawaban pidana, concursus atau pembarengan tindak pidana yang

merupakan peringanan pidana, daluwarsa, nebis in idem dan sebagainya. Bahkan

dikatakan oleh van Bemmelen (1979) bahwa dalam buku „Praktijke Criminele‟

yang ditulis oleh Philips Wieland pada tahun 1506 dan 1516, diuraikan terlebih

dahulu hukum acara pidana pada bagian pertama, dan dalam bagian kedua

diuraikan satu per satu delik-delik khusus. Di antara kedua bagian tersebut

ditambahkan beberapa ketentuan umum seperti pidana pada umunya dan dasar-

dasar penghapusan pidana.

Keinginan mempunyai sebuah hukum pidana nasional telah lama menjadi

obsesi bangsa ini. Namun demikian, keinginan yang obsesif itu, hendaknya tidak

diletakkan dalam kesadaran sekadar menggantikan Wetboek van Strafrecht,

produk hukum pidana pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Tetapi lebih jauh

dari itu, hendaknya dilandasi oleh suatu semangat atau keinginan memiliki sebuah

hukum pidana yang dapat difungsikan dalam tatanan negara demokratis.

Semangat ini menjadi relevan dalam konteks politik kita saat ini yang berada

dalam transisi, yakni transisi dari meninggalkan rezim politik otoriter Orde Baru

menuju sistem politik baru yang belum sepenuhnya terbentuk (demokratis atau

bukan). Konteks atau “semangat zaman” inilah yang harusnya dijawab dalam

penyusunan hukum pidana baru (RUU KUHP). Lebih tegas lagi, artinya,

penyusunan RUU KUHP harus diletakkan sebagai bagian dari proyek Reformasi

saat ini.

Pembaharuan hukum pidana merupakan perubahan mendasar pada ancaman

sanksi pidana dari ketentuan undang-undang pidana lama yang dimuat di dalam

KUHP dengan terbentuknya KUHP baru untuk lebih memerhatikan pada aspek

perlindungan HAM, keadilan dan kebenaran (Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti,

2011 : 1-2). Selanjutnya saat kodifikasi akhir abad kedelapan belas dan pada

permulaan abad kesembilan belas, diadakan pemisahan yang jelas dari Bagian

Umum dalam RUU KUHP ini, pembagian tindak pidana berupa kejahatan

Page 90: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

(misdrijven, crimes) dan pelanggaran (overtredingen, infractions) tidak dilakukan

lagi. Dalam RUU KUHP ini, pembagian tindak pidana berupa kejahatan

(misdrijven, crimes) dan pelanggaran (overtredingen, infractions) tidak dilakukan

lagi. Hal ini dilakukan mengingat dalam sejarah tidak ada defenisi yang jelas dan

kriteria konklusi kualitatif sebagaimana yang terjadi dalam hukum Anglo Saxon

yang merumuskannya sebagai mala in se dan mala prohibita. Mala in se adalah

“acts wrong in themselves”, sedangkan mala prohibita merupakan “acts wrong

because they are prohibited”.

RUU KUHP, telah masuk dalam program prioritas pembahasan tahun 2010,

yang kemudian menjadi program luncuran prioritas tahun 2011, yang tertuang

dalam keputusan DPR. No. 02 B/DPR RI/II/2010-2011. RUU KUHP, sudah

disampaikan Menteri Hukum dan HAM kepada Presiden terakhir dengan surat

No. M.HH.PP.02.03-34 tanggal 10 November 2010. Kajian dan analisis akhir

terhadap RUU KUHP, diarahkan pada pertempuran dan penyesuaian dengan

perkembangan hukum pidana, dengan pertimbangan rumusan tindak pidana,

adanya kriminalisasi, dalam perundang-undangan, sebelum disyahkan KUH-

Pidana.

Dalam perkembangannya, makna pembaharuan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Nasonal yang semula semata-mata diarahkan kepada misi tunggal

yang mengandung makna “dekolonisasi” Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

dalam bentuk “rekodifikasi”, dalam perjalanan sejarah bangsa pada akhirnya juga

mengandung berbagai misi yang lebih yang lebih luas sehubungan dengan

perkembangan baik nasional maupun internasional. Adapun misi kedua adalah

misi “deokratisasi hukum pidana” yang antara lain ditandai dengan masuknya

Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia dan hapusnya tindak pidana

penaburan permusuhan atau kebencian (haatzaai artikelen) yang merupakan

tindak pidana formil dan dirumuskan kembali sebagai tindak pidana penghinaan

yang merupakan tindak pidana materiil.

Misi ketiga adalah misi “konsolidasi hukum pidana” karena sejak

kemerdekaan perundang-undangan hukum pidana mengalami pertumbuhan yang

pesat baik didalam maupun diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan

Page 91: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

berbagai kekhasannya, sehingga perlu ditata kembali dalam kerangka asas-asas

hukum pidana yang diatur dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Disamping itu penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru dilakukan

atas dasar misi keempat yaitu misi “adaptasi dan harmonisasi” terhadap berbagai

perkembangan hukum yang terjadi baik sebagai akibat perkembangan di bidang

ilmu pengetahuan hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standart serta

norma yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia Internasional.

Berbagai misi tersebut diletakkan dalam kerangka politik hukum yang tetap

memandang perlu penyusunan hukum pidana dalam bentuk kodifikasi dan

unifikasi yang dimaksud untuk menciptakan dan menegakkan konsistensi,

keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum dengan memperhatikan

antara kepentingan nasional, kepentingan masyarakat dan kepentingan individu

dalam Negara Republik Indonesia berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Harus diakui bahwa di era kemerdekaan telah banyak dilakukan usaha untuk

menyesuaikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan kolonial dengan

kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka dan dengan

perkembangan kehidupan sosial lainnya, baik nasional maupun internasional.

Dalam hal ini disamping berbagai perubahan yang dilakukan melalui Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana telah beberapa kali mengalami pembaharuan dan

atau perubahan.

1. Pengaturan masalah euthanasia dalam RUU KUHP tahun 1999/2000

Dalam Rancangan KUHP Tahun 1999/2000 dapat ditemukan pengaturan

masalah euthanasia dalam Pasal 477 yang berbunyi sebagai berikut :

“Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain

tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan

keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana penjara paling

lama 9 (sembilan) tahun”.

Page 92: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

Dalam penjelasan dikatakan bahwa ketentuan dalam pasal ini mengatur tindak

pidana yang dikenal dengan euthanasia aktif. Bentuk euthanasia pasif tidak diatur

dalam ketentuan ini karena masyarakat maupun dunia kedokteran tidak

menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan anti.

Meskipun euthanasia aktif dilakukan atas permintaan orang yang

bersangkutan yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, namun perbuatan

tersebut tetap diancam dengan pidana. Hal ini berdasarkan suatu pertimbangan

karena perbuatan tersebut dinilai bertentangan dengan moral agama. Di samping

itu juga untuk mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki, misalnya oleh

pembuat justru diciptakan suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga timbul

permintaan untuk merampas nyawa dari yang bersangkutan.

Ancaman pidana disini tidak ditujukan terhadap kehidupan seseorang

melainkan ditujukan terhadap penghormatan kehidupan manusia pada umumnya,

meskipun dalam kondisi orang tersebut sangat menderita, baik jasmani maupun

rohani. Jadi motif pembunuhan tidak relevan untuk dipertimbangkan dalam tindak

pidana. Pengertian “tidak sadar” dalam ketentuan pasal ini harus diartikan sesuai

dengan perkembangan dalam dunia kedokteran.

Pasal ini dirancang dan direncanakan untuk menggantikan Pasal 344 KUHP,

jika diteliti lebih lanjut dapat diketahui bahwa redaksi Pasal 477 KUHP Konsep

Rancangan Buku II KUHP sama bunyinya dengan Pasal 344 KUHP.

Perbedaannya hanya terletak pada ancaman pidananya, pada Pasal 344 KUHP

ancaman pidananya lebih berat yakni pidana penjara paling lama dua belas tahun,

sedangkan Pasal 477 Konsep Rancangan Buku II KUHP lebih ringan yakni

pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

Pasal 477 Konsep Rancangan Buku II KUHP tersebut perlu diformulasikan

kembali. Sebab kalau tidak, pasal ini akan mengalami nasib yang sama seperti

Pasal 344 KUHP. Belum pernah diterapkan dalam kasus euthanasia. Padahal

teknologi kedokteran semakin canggih, warga masyarakat semakin sadar akan hak

dan kewajibannya dalam mengarungi kehidupan, sehingga dapat diramalkan

kasus euthanasia akan terus meningkat.

Page 93: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77

2. Perkembangan pengaturan masalah euthanasia dalam RUU KUHP tahun

2005

Dalam perkembangannya, ada beberapa perubahan-perubahan berkaitan

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana setelah

Konsep RUU KUHP Tahun 1999/2000. Hal ini bertujuan agar nantinya RUU

KUHP ini dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan yang terkait dengan

ketentuan hukum pidana di masa yang akan datang. Adanya perubahan RUU

KUHP tersebut berimplikasi pada perubahan pengaturan euthanasia dalam RUU

KUHP.

Pengaturan euthanasia dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) terdapat dalam Pasal 574 RUU KUHP dan

Pasal 575 RUU KUHP, antara lain :

Pasal 574 RUU KUHP berbunyi :

“Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain

tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan

keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan)

tahun”.

Pasal 575 RUU KUHP berbunyi :

“Dokter yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal

574 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling

lama 12 (dua belas) tahun”.

Menurut penjelasan RUU KUHP pengaturan Pasal 574 RUU KUHP diatas

ditujukan untuk menjerat perbuatan euthanasia aktif. Bentuk "euthanasia pasif'"

tidak diatur dalam ketentuan tersebut karena masyarakat maupun dunia

kedokteran tidak menganggap pembuatan tersebut sebagai perbuatan anti.

Meskipun "euthanasia aktif" dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan

yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, namun perbuatan tersebut tetap

diancam dengan pidana. Hal ini berdasarkan suatu pertimbangan karena perbuatan

tersebut dinilai bertentangan dengan moral agama. Di samping itu juga untuk

mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki, misalnya oleh pembuat tindak

Page 94: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

pidana justru diciptakan suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga timbul

permintaan untuk merampas nyawa dari yang bersangkutan.

Ancaman pidana di sini tidak ditujukan terhadap kehidupan seseorang,

melainkan ditujukan terhadap penghormatan kehidupan manusia pada umumnya,

meskipun dalam kondisi orang tersebut sangat menderita, baik jasmani maupun

rohani. Jadi motif pembuat tidak relevan untuk dipertimbangkan dalam tindak

pidana. Pengertian "tidak sadar" dalam ketentuan Pasal ini harus diartikan sesuai

dengan perkembangan dalam dunia kedokteran.

Mengenai perumusan euthanasia yang tercantum dalam Rancangan Undang-

Undang Kitab Undang Hukum Pidana Tahun 2005 tersebut, ancaman perbuatan

ini dapat dikatakan relatif lebih ringan bila dibandingkan dengan KUHP yang

berlaku sekarang. Hal ini disebabkan dalam rumusan Pasal 574 RUU KUHP

tersebut dalam keadaan coma atau tidak sadar, sedangkan dalam Pasal 344 KUHP

yang berlaku saat ini tidak ada disebutkan mengenai hal tersebut, sehingga

ancaman hukumannya pada saat 12 tahun penjara.

Mengenai unsur permintaan harus ditegaskan, apakah cukup dengan lisan atau

harus tertulis. Sebaiknya permintaan tersebut dibuat dalam bentuk tertulis dan

diatas kertas bermaterai, agar dapat dipergunakan sebagai bukti adanya

permintaan yang nyata dan sungguh-sungguh. Demikian juga halnya dengan

unsur tidak sadar harus dipertegas, sehingga ada kriteria yang dapat dipergunakan

untuk menilainya.

Ancaman pidana yang relatif ringan menunjukkan bahwa tindak pidana

euthanasia ini dilakukan atas permintaan si pasien atau keluarganya dan dokter

yang melakukan perbuatan tersebut, karena alasan kemanusiaan untuk

menghilangkan penderitaan yang berat karena penyakit pasien tidak lagi dapat

disembuhkan, serta pasien tersebut mungkin sudah berada dalam akhir hidupnya.

Dokter yang melakukan perbuatan itu sudah berada dalam situasi yang harus

menentukan pilihan dalam konflik kepentingan, yaitu mempertahankan hidup

untuk memperpanjang penderitaan atau mempercepat kematian untuk

menghilangkan penderitaan (Suwarto, 2009 : 175).

Page 95: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

79

Mengenai ancaman pidana yang relatif ringan, menurut pendapat Budhy

Hertantiyo (salah satu Hakim di Pengadilan Negeri Surakarta) :

Bahwa rumusan RUU KUHP Nasional berkaitan dengan tindakan euthanasia

ini sudah baik. Dalam ancaman pidananya sudah mengandung asas minimum

maksimum. Asas minimum maksimum yang dimaksud disini adalah adanya

ancaman pidana minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 9 (sembilan) tahun.

Jadi hakim berhak memutus perkara sesuai dengan kadar perbuatannya dan

nantinya dapat menjatuhkan sesuai dengan batas minimal ataupun batas

maksimal ancaman pidana tersebut. Ini berbeda dengan ketentuan yang

terdapat dalam KUHP yang berlaku saat ini dimana tidak adanya asas

minimum maksimum, dimana hakim hanya memutus berdasarkan hukuman

yang paling berat (maksimal) yang tercantum dalam KUHP tersebut. Oleh

karenanya diharapkan nantinya hakim dapat menentukan ancaman pidana

dari tindakan euthanasia itu sendiri dengan bijak.

Perkembangan lain yang terdapat RUU KUHP adalah, bahwa dalam RUU

KUHP tersebut menyebutkan profesi “dokter” (Pasal 575 RUU KUHP) yang

dalam KUHP yang berlaku sekarang tidak diatur. Menurut penulis, adanya

pengaturan berkaitan dengan dengan profesi dokter terhadap Pasal 574 RUU

KUHP menegaskan bahwa tindakan euthanasia di Indonesia itu dilarang atau

tidak diperbolehkan dilakukan oleh siapapun sekalipun itu seorang dokter yang

atas permintaan dari pasien. Selain itu, alasan pemidanan nantinya juga harus

diperhatikan faktor dari pelaku, apakah pelaku tersebut mengetahui akibat dari

euthanasia itu dan juga akibat hukum dilakukannya perbuatan euthanasia itu

sendiri.

Di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat sudah dirasakan sekali perlunya

mengubah atau membuat baru undang-undang yang ada kaitannya dengan

euthanasia. Untuk negara kita hal itu barangkali belum dirasakan begitu perlu,

tetapi di masa mendatang masalah ini semakin menantang untuk ditanggulangi

dengan hukum pidana. Dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional,

khususnya hukum pidana material (substantif), masalah prospek pengaturan

euthanasia dalam KUHP Indonesia di masa mendatang perlu mendapat perhatian

dari pembentuk undang-undang.

Prof. Olga Lelacic dari fakultas hukum SPLIT mengemukakan bahwa seorang

pasien yang meminta dokter untuk mengakhiri hidupnya sebetulnya tidak ingin

mati tetapi ingin mengakhiri penderitaanya. Namun demikian di negara kita

Page 96: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

80

belum ada hukum yang jelas mengenai euthanasia ini. Dasar dari penentuan

tindakan boleh dilakukan euthanasia atau tidak boleh dilakukan euthanasia

adalah pedoman yang dikeluarkan oleh Pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia,

yaitu Surat Edaran No.702/PB/H.2/09/2004 tentang euthanasia.

Untuk mempertimbangkan perlu tidaknya suatu perubahan atau pembaharuan

undang-undang ada tiga faktor yang harus diperhatikan oleh pembuat undang-

undang sebagai berikut :

a. Pembuat harus memperhatikan semua argumen-argumen yang pro dan

kontra terhadap euthanasia.

b. Pembuat undang-undang harus menanyakan pada diri sendiri, apakah

mungkin untuk membuat peraturan undang-undang yang jelas dan yang

memberi kepastian hukum dan yang tidak menimbulkan kesulitan

interpretasi.

c. Pembuat undang-undang harus dapat memperhitungkan pula akibat dari

perubahan atau pembaharuan undang-undang tersebut.

Ketiga faktor tersebut diatas perlu diperhatikan pembentuk undang-undang,

agar peraturan perundang-undangan yang dihasilkan dapat berdayaguna dan

berhasilguna. Atas dasar ini menurut hemat penulis, rumusan pasal 574 RUU

KUHP yang direncanakan menggantikan pasal 344 KUHP perlu diformulasikan

kembali agar bisa mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi serta perkembangan.

Di Indonesia data yang pasti tentang euthanasia, belum ada namun perdebatan

tentang masalah euthanasia sudah dimulai, karena euthanasia telah menjadi

masalah etika yang penting, dan ilmu kedokteran mampu untuk memperpanjang

hidup seseorang. Alat bantu kehidupan seperti respirator, ginjal bantuan, dan

suplai makanan melalui infus, telah memungkinkan seseorang untuk bertahan

hidup walaupun secara alamiah seseorang telah kehilangan kemampuan untuk

bertahan hidup.

Menurut John Lorber dari American Medicine Assosiation yang dikutip oleh

Suwarto dalam jurnalnya, mengungkapkan :

“Antara membunuh dengan membiarkan mati dapat dibedakan dengan tegas.

Perbedaan pembunuhan adalah menyebabkan kematian, sedangkan

membiarkan mati adalah membolehkan kematian terjadi. Yang kedua adalah

Page 97: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

81

sebab terjadinya kematian oleh penyakit yang dideritanya atau oleh tidak

adanya pengobatan” (Suwarto, 2009 : 172).

Dari pendapat diatas dapatlah kita bedakan nantinya antara pembunuhan

dengan euthanasia. Harapannya prospek perkembangan hukum pidana khususnya

dalam RUU KUHP dapat mengakomodir benar bilamana nantinya terjadi kasus

euthanasia di Indonesia. Apabila dilihat dari RUU KUHP yang tertuang dalam

Pasal 574 RUU KUHP, dirasakan bahwa pasal tersebut masih banyak kekurangan

terkait dengan pengaturan tentang euthanasia pada khususnya. Tidak adanya

ketentuan yang pasti berkaitan dengan pengaturan euthanasia pasif, dengan kata

lain membuat seolah-olah pemerintah secara tidak langsung melegalkan tindakan

euthanasia pasif tersebut. Adanya ketidak jelasan tersebut dapat berimplikasi pada

lahirnya hak untuk mati bagi pasien. Apabila ini sampai terjadi, hal ini sangat

bertentangan dengan prinsip “menghormati kehidupan”, dimana prinsip ini

merupakan prinsip yang penting dalam etika medis. Kita tidak saja harus

mempertahankan kehidupan sedapat mungkin, tetapi kita juga harus bertanya

kehidupan yang bagaimana yang masih dianggap manusia dan layak

dipertahankan.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa euthanasia

di Indonesia ini tetap dilarang. Larangan ini terdapat dalam Pasal 344 KUHP yang

sampai sekarang masih berlaku. Akan tetapi dalam perumusan Pasal 344 KUHP

yang sekarang ini, dapat menimbulkan kesulitan bagi jaksa untuk menerapkan

atau mengadakan penuntutan. Di sisi lain, hadirnya Rumusan Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) belum memberikan

gambaran yang jelas tentang pengaturan euthanasia itu sendiri. Pasal 574 RUU

KUHP yang berkaitan dengan masalah euthanasia yang mengatur atau berlaku

bagi euthanasia aktif sedangkan euthanasia pasif tidak ada pengaturan yang jelas

dan pasti dikarenakan bahwa euthanasia pasif dianggap sebagai perbuatan anti.

Adanya RUU KUHP ini, sebaiknya dikaji lebih mendalam lagi agar nantinya

apabila RUU KUHP ini disahkan akan dapat berguna, bermanfaat dan dapat

memberikan pengaturan yang jelas terkait tindakan euthanasia itu sendiri. Baik

euthanasia aktif ataupun euthanasia pasif.

Page 98: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

82

Perbedaan pengaturan euthanasia dalam KUHP dengan RUU KUHP

KUHP RUU KUHP

1999/2000

RUU KUHP

2005

BELANDA

Pengaturan Pasal 344 KUHP Pasal 477

RUU KUHP

Pasal 574

RUU KUHP

Dilegalkan

Ancaman

Pidana

12 (dua belas)

tahun penjara

9 (sembilan)

tahun penjara

Minimal 2

(dua) tahun

dan maksimal

9 (sembilan)

tahun penjara

--

Penjelasan Pasal ini melarang

adanya euthanasia

yang aktif, yaitu

suatu tindakan

yang positif dari

dokter untuk

mempercepat

terjadinya

kematian . Pasal

344 KUHP,

merupakan

pengkhususan dari

Pasal 338 KUHP,

yang mengatur

tentang

perampasan nyawa

orang lain secara

umum. Tetapi

dengan adanya

asas Lex specialis

de rogat legi

generali dalam

concursus idealis,

yang diatur pada

Pasal 63 ayat (2)

KUHP, maka

terhadap masalah

euthanasia hanya

dapat diterapkan

Pasal 344 KUHP

saja.

Ketentuan

dalam pasal

ini mengatur

tindak pidana

yang dikenal

dengan

euthanasia

aktif. Bentuk

euthanasia

pasif tidak

diatur dalam

ketentuan ini

karena

masyarakat

maupun

dunia

kedokteran

tidak

menganggap

perbuatan

tersebut

sebagai

perbuatan

anti.

Pengaturan

Pasal 574

RUU KUHP

diatas

ditujukan

untuk menjerat

perbuatan

euthanasia

aktif. Bentuk

"euthanasia

pasif'" tidak

diatur dalam

ketentuan

tersebut karena

masyarakat

maupun dunia

kedokteran

tidak

menganggap

pembuatan

tersebut

sebagai

perbuatan anti.

Penerapan

pelegalan

terhadap

tindakan

euthanasia

dalam

negara

Belanda

dilandasi

oleh

beberapa

syarat yang

harus

dipenuhi,

antara lain :

pasien harus

mengadakan

konsultasi

dengan

rekan

sejawat

(tidak harus

seorang

spesialis)

dan

membuat

laporan

dengan

menjawab

sekitar 50

pertanyaan.

Tabel. 1 : Perbedaan pengaturan euthanasia dalam KUHP dan RUU KUHP

Page 99: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

83

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan :

Dari uraian pembahasan masalah diatas, maka dalam kesempatan ini, penulis

dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Alasan apapun untuk euthanasia pasti memerlukan jawaban yang tidak

mudah, apalagi bagi setiap orang yang memiliki agama tertentu dan

menyakini keajaiban Tuhan. Namun, secara manusiawi, setiap orang pasti

dihadapkan pada pilihan yang dianggap terbaik bagi semua pihak

meskipun tidak selalu memuaskan. Hal ini juga yang akhirnya melandasi

hukum Indonesia untuk melarang euthanasia dengan segala bentuknya.

Namun harus pula dipikirkan jalan terbaik untuk menekan biaya

perawatan dan rumah sakit bagi mereka yang tanpa harapan hidup tetapi

harus mempertahankan hidup. Atau setidaknya jalan keluar agar orang –

orang yang ada di sekitar pasien tetap bisa hidup dan bertahan. Pengaturan

masalah euthanasia di Indonesia, satu-satunya hanya terdapat di dalam

Pasal 344 KUHP. Pasal ini melarang adanya euthanasia yang aktif, yaitu

suatu tindakan yang positif dari dokter untuk mempercepat terjadinya

kematian. Pasal 344 KUHP, merupakan pengkhususan dari Pasal 338

KUHP, yang mengatur tentang perampasan nyawa orang lain secara

umum. Tetapi dengan adanya asas Lex specialis de rogat legi generali

dalam concursus idealis, yang diatur pada Pasal 63 ayat (2) KUHP, maka

terhadap masalah euthanasia hanya dapat diterapkan Pasal 344 KUHP

saja. Walaupun telah diadakan pengaturan secara khusus, tetapi penerapan

Pasal 344 KUHP ini, dirasakan sangat sulit. Hal ini disebabkan karena

pasal ini menyebutkan adanya unsur “atas permintaan sendiri, yang jelas

dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Bagaimana seandainya si pasien

tersebut in persistent vegetative state, sehingga dia tidak dapat

berkomunikasi. Untuk memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam

Page 100: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

84

Pasal 344 KUHP ini memang sulit. Oleh karenanya masalah euthanasia

tidak pernah terjadi di Indonesia yang sampai diajukan ke Pengadilan.

Meskipun demikian, eksistensi ketentuan dalam Pasal 344 KUH-Pidana

perlu untuk tetap dipertahankan.

2. Munculnya Konsep Rancangan KUHP Pasal 477 tahun 1999/2000 dan

Pasal 574 RUU KUHP tahun 2005 yang mempunyai unsur-unsur

menyangkut euthanasia, belum memberikan pengaturan secara jelas

mengenai euthanasia itu sendiri. Pasal 574 RUU KUHP hanya ditujukan

untuk menejerat perbuatan euthanasia aktif. Bentuk "euthanasia pasif'"

tidak diatur dalam ketentuan tersebut karena masyarakat maupun dunia

kedokteran tidak menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan anti.

Ini berimplikasi pada ketidak jelasan pengaturan euthanasia dimasa yang

akan datang.

Page 101: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

85

B. Saran :

Dari uraian kesimpulan diatas maka dalam penelitian ini penulis ingin

memberikan sedikit saran yaitu sebagai berikut :

1. Pasal 344 KUHP merupakan pasal yang mengatur dan mengancam dengan

pidana perbuatan euthanasia, dalam kenyataannya pasal ini belum menjaring

perbuatan euthanasia sebagai tindak pidana. Oleh karena eksistensi pasal ini

perlu dipertahankan maka sebaiknya harus dirubah redaksinya atau

rumusannya. Dalam rumusan baru nanti sebaiknya dibedakan antara

euthanasia umum dengan euthanasia khusus. Terhadap euthanasia khusus

tidak dikenakan pidana atau dihilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan,

sebab perbuatan tersebut dilakukan berdasarkan kriteria tertentu seperti

standart profesi kedokteran yang menilai bahwa penyakit seseorang sudah

tidak mungkin untuk disembuhkan, adalah suatu putusan tentang hal tersebut

dari tim dokter setelah konsultasi dengan dokter ahli lainnya, serta adanya

permintaan dari pasien atau keluarganya agar hidup pasien diakhiri karena

tidak tahan lagi mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Dengan

demikian rumusan baru harus memudahkan aparat penegak hukum menjaring

perbuatan euthanasia sebagai tindak pidana, karena rumusannya dapat

dioperasionalkan dan diinterpretasikan sesuai dengan dinamika masyarakat

serta perkembangan ilmu dan teknologi. Untuk menunjang hal tersebut perlu

digarap materi standart penanganan euthanasia dengan hukum pidana,

sehingga penanggulangan tersebut nantinya dapat berdayaguna dan

berhasilguna.

2. Perlu adanya kajian lebih mendalam lagi terkait dengan Pasal 574 RUU

KUHP yang diprediksikan sebagai pengganti dari Pasal 344 KUHP yang

mengatur atau unsur-unsur dari pasal tersebut berkaitan dengan tindakan atas

euthanasia. Kajian lebih mendalam diperlukan terkait dengan penjelasan dari

Pasal 574 RUU KUHP yang hanya mengatur berkaitan euthanasia aktif.

Sedangkan euthanasia pasif hanya dikatakan sebagai tindakan anti. Substansi

dari klausul pasal tersebut sebaiknya disesuaikan agar nantinya tidak terjadi

Page 102: PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM KITAB …... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id UNDANG (Surakarta Oleh : commit to user i PERBANDINGAN PENGATURAN EUTHANASIA DALAM

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

86

ketidakjelasan dalam pengaturannya, baik itu euthanasia aktif ataupun

euthanasia pasif. Agar nantinya menghasilkan suatu pasal yang jelas dan tegas

yang nantinya berimplikasi apabila terjadi tindakan tersebut maka akan ada

suatu landasan hukum bagi pengadilan ataupun aparat penegak hukum dalam

menyelesaikan masalah ini. Terhadap perumusan pasal 574 RUU KUHP

tersebut penulis berharap akan nantinya pasal tersebut dapat mengalami

perubahan dan dilengkapi seperti tambahan berikut :

a. Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain

tersebut yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas

permintaan keluarganya dalam hal orang lain tersebut tidak sadar, dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9

(sembilan) tahun.

b. Apabila perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat pertama, dilakukan

terhadap seorang penderita yang tidak menentu nasibnya, dan sudah tidak

dapat diharapkan lagi penyembuhannya yang dinyatakan oleh lebih dari

seorang dokter, perbuatan ini tidak dipidana.

c. Ketentuan dalam ayat kedua harus disertai pula permohonan secara tertulis

dari penderita dan atau keluarganya, dengan ditandatangani oleh saksi-

saksi.

Dengan perumusan pasal 574 RUU KUHP yang diperbaharui diatas, akan

terjadi dua kemungkinan, yaitu dilarangnya euthanasia sebagaimana

disebutkan dalam ayat (1), dan diperbolehkannya euthanasia dalam keadaan

tertentu, sebagaimana disebutkan dalam ayat (2) dan (3). Dengan demikian

nantinya pasal 574 RUU KUHP dapat mudah untuk diterapkan atau dipenuhi

unsur-unsurnya, sehingga bersifat aktif tidak seperti perumusan yang saat ini

yang bersifat pasif.