Upload
trantram
View
232
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
i
PERBEDAAN DERAJAT KEASAMAN (pH) SALIVA
PADA PEROKOK KRETEK DAN NON KRETEK
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KEDOKTERAN
OLEH:
Aprilia Larasati
1113103000065
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2016 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 29 September 2016
Aprilia Larasati
Materai
Rp. 6000,-
iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERBEDAAN DERAJAT KEASAMAN (pH) SALIVA PADA PEROKOK
KRETEK DAN NON KRETEK
Laporan penelitian
Diajukan kepada Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Kedokteran (S. Ked)
Oleh
Aprilia Larasati
1113103000065
Pembimbing I
drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D
NIP. 19780402 200901 2 003
Pembimbing II
dr. Fikri Mirza Putranto, Sp.THT-KL
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/ 2016 M
iv
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Laporan Penelitian berjudul PERBEDAAN DERAJAT KEASAMAN (pH)
SALIVA PADA PEROKOK KRETEK DAN NON KRETEK yang diajukan
oleh Aprilia Larasati (NIM: 1113103000065), telah diujikan dalam sidang di
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan pada 29 September 2016. Laporan
Penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Kedokteran (S.Ked) pada Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter.
Ciputat, 29 September 2016
DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang
drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D
NIP. 19780402 200901 2 003
Penguji I
Dr. Endah Wulandari, M.Biomed
NIP.19711009 200501 2 005
Penguji II
dr. Achmad Luthfi, Sp.B, KBD
NIP. 19660420 199412 1 001
PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN
Pembimbing I
drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D
NIP. 19780402 200901 2 003
Pembimbing II
dr. Fikri Mirza Putranto, Sp.THT-KL
PIMPINAN FAKULTAS
Dekan FKIK UIN
Prof. Dr. H. Arif Sumantri, M.Kes
NIP. 19650808 198803 1 002
Kaprodi PSKPD
dr. Achmad Zaki, M.Epid, Sp.OT
NIP. 19780507 200501 1 005
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
puji dan syukur kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah
melimpahkan rahmat dan ridho-Nya sehingga Laporan Penelitian berjudul
“Perbedaan Derajat Keasaman (pH) Saliva pada Perokok Kretek dan Non Kretek”
ini dapat terselesaikan. Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang selalu menjadi panutan kehidupan umat manusia.
Penulis menyadari laporan penelitian ini tidak dapat terselesaikan tanpa
adanya dukungan serta bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. dr. Achmad Zaki, Sp.OT, M.Epid selaku Ketua Program Studi Kedokteran dan
Profesi Dokter yang telah membimbing penulis selama menjalani pendidikan
di Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. dr. Flori Ratna Sari, Ph.D selaku Penanggung Jawab Riset Program Studi
Kedokteran dan Profesi Dokter angkatan 2013.
4. drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D selaku Pembimbing I yang telah
meluangkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk membimbing penulis baik
dalam pengambilan data, penyusunan laporan, hingga laporan ini dapat
terselesaikan.
5. dr. Fikri Mirza Putranto, Sp.THT-KL selaku Pembimbing II yang terus
memberikan bimbingan, arahan, dan saran-saran yang sangat membangun
dalam pelaksanaan penelitian, termasuk dalam pengolahan statistika penelitian.
6. Ibu Zeti Harriyati, M. Biomed dan Ibu Endah Wulandari, M.Biomed selaku PJ
Laboratorium Biologi dan Biokimia, serta Ibu Lilis dan Ibu Suryani selaku
Laboran, yang turut membantu dalam pengambilan data penelitian.
vi
7. Bapak dan Ibu yang tercinta, Yunus Runtu S.Kom dan Ida Pangestu Wenny
A.Md, serta kakak kandung penulis, Nia Yunisila S.E., M.M. dan Retna
Lestari, S.Psi dan adik kandung penulis, Anggun Rahmawati, yang senantiasa
memberikan dukungan, semangat, dan lantunan do’a yang tak pernah putus
untuk penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
8. Arwinda Tanti Mendriyani, Ichtiarsyah Suminar, Zata Yuda Amaniko, dan
Arian Aditya Adi Nugroho, teman-teman seperjuangan dalam penelitian ini
yang terus bersemangat bersama dalam menyelesaikan penelitian ini.
9. Tim Riset PSKPD angkatan 2012 M.Reza Syahli, S.Ked, Abqariyatuzzahra,
S.Ked, Faruq Yufarriqu Mufaza, S.Ked, Sari Dewi Apriani, S.Ked dan Nabila
Syifa, S.Ked yang membimbing penulis melaksanakan dan menyelesaikan
penelitian ini
10. Seluruh responden penelitian yang telah bersedia menjadi sampel penelitian
sehingga penulis bisa mendapatkan ilmu yang baru dari hasil penelitian ini.
11. Seluruh pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan baik langsung
maupun tak langsung yang tentunya tidak dapat disebutkan satu persatu
Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak dalam mewujudkan laporan penelitian yang jauh lebih baik.
Semoga penelitian yang telah dilakukan ini mendapat barokah dan Ridho dari
Allah SWT, serta memberikan manfaat bagi semua orang. Aamiin.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ciputat, 29 September 2016
Penulis
vii
ABSTRAK
Aprilia Larasati. Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter. Perbedaan
Derajat Keasaman (pH) Saliva pada Perokok Kretek dan Non Kretek
Latar Belakang: Rokok berdasarkan bahannya dikategorikan menjadi dua
kelompok, yaitu rokok kretek dan non kretek. Rokok kretek merupakan rokok
dengan bahan dasar tembakau dan cengkeh. Merokok dapat menyebabkan
gangguan fisiologis dalam tubuh manusia, termasuk saliva. Rokok dapat
menyebabkan pH saliva menjadi lebih asam dan mempengaruhi kualitas
kesehatan mulut. Studi literatur menunjukkan bahwa pH saliva yang diperiksa
segera setelah orang merokok kretek lebih asam dibandingkan orang yang
mengkonsumsi rokok non kretek. Tujuan: penelitian ini menganalisis perbedaan
derajat keasaman (pH) saliva pada perokok kretek dan non kretek. Metode:
Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan melibatkan 110 laki-laki
yang terdiri dari 31 perokok kretek, 47 perokok non kretek, dan 32 non perokok
sebagai kontrol. Seluruh subjek penelitian mengisi formulir riwayat merokok, dan
dilakukan pemeriksaan fisik gigi mulut oleh dokter gigi serta dilakukan
pengambilan saliva tidak terstimulasi. Pengukuran pH saliva dilakukan dengan
indikator pH universal. Hasil: Penurunan derajat keasaman (pH) saliva secara
signifikan lebih rendah pada perokok kretek dibandingkan dengan perokok non
kretek (p= 0,004). Parameter klinis dari kesehatan gigi dan mulut (OHIS, DI, CI)
lebih tinggi pada perokok kretek dibandingkan dengan perokok kretek dan non
perokok. Simpulan: penurunan pH saliva terbesar disebabkan oleh merokok
kretek dan mempengaruhi kesehatan gigi mulut.
Kata Kunci: Rokok kretek, rokok non kretek, pH saliva, kesehatan mulut
viii
ABSTRACT
Aprilia Larasati. Medical Study Program. The Difference of Salivary pH on
Kretek and Non Kretek Smokers.
Background: Cigarette, based on the substance, is categorized into two groups,
kretek and non kretek. Kretek is kind of cigarette which has tobacco and clove as
its basic materials. Smoking cause several physiological disturbances in human
body, including saliva. Smoking can turn salivary pH become more acidic and
affect the quality of oral hygiene. A literature study shows that salivary pH
examined immediately after smoking with kretek is more acidic than those who
smoking non kretek. Objective: The aim of this study is to analyze the difference
of salivary pH on Kretek and Non Kretek Smokers. Methods: This study used
cross sectional method and comprised 110 men which consist of 31 kretek
smokers, 47 non kretek smokers, and 32 non-smokers as a control group. All
participants filled out form of smoking history and completed physical
examination of mouth and teeth by the dentist and performed unstimulated saliva
collection. The measurement of salivary pH was done using universal pH
indicator. Result: Salivary pH was significantly lower between kretek smokers
with non kretek smokers (p=0,004). The clinical parameter of oral health (OHIS,
DI, CI) were higher in kretek smokers than both of non kretek smokers and non-
smokers. Conclusion: The most decreased salivary pH is caused by kretek
smoking and can affect the oral health.
Key: Kreteks, non kreteks, salivary pH, oral health
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL .............................................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................. iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... v
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
ABSTRACT .................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1.Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2.Rumusan Masalah ......................................................................................... 3
1.3.Hipotesis ........................................................................................................ 3
1.4.Tujuan .......................................................................................................... 3
1.5.Manfaat Penelitian ........................................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 5
2.1.Landasan Teori .............................................................................................. 5
2.1.1.Saliva ................................................................................................... 5
2.1.1.1.Definisi Saliva ........................................................................ 5
2.1.1.2.Embriologi Kelenjar Saliva .................................................... 6
2.1.1.3.Anatomi Kelenjar Saliva ........................................................ 7
2.1.1.4.Komposisi dan Fungsi Saliva ................................................. 9
2.1.1.5.Mekanisme Sekresi Saliva .................................................... 11
2.1.1.6. Pengaturan dan Faktor Sekresi Saliva ................................. 14
2.1.1.7. Metode Pengambilan Saliva ................................................ 17
2.1.1.8. Pengaturan & Faktor Pengaruh pH Saliva ........................... 18
2.1.1.9.Metode Pengukuran pH Saliva ............................................. 19
2.1.2.Tembakau/Rokok .............................................................................. 20
2.1.2.1.Definisi Rokok ...................................................................... 20
2.1.2.2.Jenis Rokok .......................................................................... 20
2.1.2.3.Kandungan Rokok ................................................................ 22
2.1.2.4.Rokok Kretek ........................................................................ 23
2.1.2.5. Efek Rokok Terhadap pH Saliva ......................................... 24
2.1.3.Kesehatan Gigi dan Mulut ................................................................ 25
2.1.3.1.Status Kesehatan Gigi dan Mulut ......................................... 25
2.1.3.2.Efek Rokok Terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut................ 27
2.2.Kerangka Teori............................................................................................ 29
2.3.Kerangka Konsep ........................................................................................ 30
2.4.Definisi Operasional.................................................................................... 31
x
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 34
3.1.Desain Penelitian ......................................................................................... 34
3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................... 34
3.3.Kriteria Subjek Penelitian ........................................................................... 34
3.4.Besar Sampel ............................................................................................... 35
3.5.Alat dan Bahan ............................................................................................ 37
3.6.Cara kerja Penelitian ................................................................................... 37
3.7.Alur Penelitian ............................................................................................ 38
3.8.Identifikasi Variabel .................................................................................... 38
3.8.Rencana Manajemen dan Analisis Data ...................................................... 39
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 40
4.1.Hasil Penelitian ........................................................................................... 40
4.1.1.Karakteristik Subjek Penelitian ......................................................... 40
4.1.2.Karakteristik Perokok ....................................................................... 41
4.1.3.Status Kesehatan Gigi dan Mulut...................................................... 41
4.1.4. Derajat Keasaman (pH) Saliva Subjek Penelitian ............................ 42
4.1.5. Hubungan Jenis Rokok dan Konsumsi Kopi dengan Derajat Keasaman
(pH) Saliva ................................................................................................. 43
4.2.Pembahasan ................................................................................................. 43
4.3.Aspek Keislaman ........................................................................................ 47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 50
5.1.Kesimpulan ................................................................................................. 50
5.2.Saran ............................................................................................................ 50
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 51
LAMPIRAN ..................................................................................................... 57
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Dua tahap sekresi kelenjar saliva ................................................... 5
Gambar 2.2. Sel asinar kelenjar saliva ................................................................ 7
Gambar 2.3. Kelenjar saliva dan duktusnya........................................................ 8
Gambar 2.4. Mekanisme produksi saliva primer .............................................. 12
Gambar 2.5. Histologi fungsional dari salivon ................................................. 13
Gambar 2.6. Sekresi elektrolit oleh sel asinar dan duktus kelenjar saliva ........ 14
Gambar 2.7. Inervasi kelenjar saliva ................................................................. 15
Gambar 2.8. Pengaruh merokok terhadap jaringan periodontal ....................... 28
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Komponen inorganik saliva ............................................................. 10
Tabel 2.2. Interpretasi Nilai DI dan CI ............................................................ 26
Tabel 4.1.Karakteristik subjek penelitian ......................................................... 40
Tabel 4.2.Karakteristik Perokok ....................................................................... 41
Tabel 4.3. Status Kebersihan Mulut Subjek Penelitian ..................................... 41
Tabel 4.4. Status Kesehatan Gigi dan Mulut Subjek Penelitian ....................... 42
Tabel 4.5. Hubungan Jenis Rokok dan Konsumsi Kopi dengan Derajat Keasaman
(pH)
Saliva…………………………………………………………………………..43
xiii
DAFTAR SINGKATAN
ANUG : Acute Necrotizing Ulcerative Gingivitis
CA : Carbonic Anhydrase
CI : Calculus Index
CO : Carbon monoxide
DI : Debris Index
GATS : Global Adult Tobacco Survey
GI : Gingiva Index
IB : Indeks Brinkman
KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia
OHIS : Oral Hygiene Index Simplified
pH : power of Hydrogen
SKM : Sigaret Kretek Mesin
SKT : Sigaret Kretek Tangan
WHO : World Health Organization
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Formulir Informed Consent dan Data Responden ................................. 57
2. Dokumentasi Penelitian ........................................................................ 68
3. Riwayat Penulis .................................................................................... 70
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rokok secara epidemiologi sudah menjadi suatu hal yang bersifat global
terhadap timbulnya penyakit, penurunan produktivitas individu, kecacatan dan
kematian. Hal tersebut yang menyebabkan rokok menjadi salah satu ancaman
besar bagi kesehatan masyarakat dunia.
Berdasarkan data WHO 2013, 6 juta orang meninggal setiap tahun akibat
rokok, dimana 83% di antaranya adalah perokok aktif. 80% perokok di seluruh
dunia berasal dari negara dengan ekonomi rendah, termasuk Indonesia.1 Data
Tobacco Atlas 2015 menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-6 berkaitan
dengan prevalensi konsumsi rokok terbanyak pada usia ≥18 tahun sejak tahun
2008-2013 berturut-turut sebesar 50%; 83%; dan 79%.2
Selain itu, berdasarkan Tobacco Atlas 2015, Indonesia menjadi negara
keempat dengan konsumsi rokok tertinggi di dunia setelah Cina, Rusia, dan
Amerika Serikat. Lebih buruk dari itu, Indonesia menjadi negara ketiga di antara
negara dengan jumlah perokok pria berusia ≥ 18 tahun lebih dari 10 juta, yaitu
sebesar 50,6 juta. Indonesia juga menempati urutan pertama terkait smoking
trends yang cenderung stabil di angka 50-60% di antara negara berkembang lain
nya, Thailand, Mesir, Algeria, Jamaika, dan Kuba, yang berhasil menurunkan tren
menjadi ≤ 40% dalam jangka waktu 1980-2013.2
Menurut data survey Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013,
jumlah perokok di Indonesia yang berusia ≥ 15 tahun adalah sebesar 36,3%. Jika
dibandingkan dengan survey sebelumnya, angka yang diperoleh dari
RISKESDAS terus naik, yaitu dari tahun 2010 sebesar 34,7% dan tahun 2007
sebesar 34,2%.3 Konsumsi rokok tampaknya tidak pernah surut dan masih dapat
2
ditolerir oleh masyarakat di berbagai penjuru dunia, khususnya di Indonesia,
meskipun mereka mengetahui dampak buruk yang akan timbulkan oleh rokok.
Hal tersebut dapat dilihat secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, seperti di
lingkungan rumah, perkantoran, angkutan umum, tempat makan jalanan, bahkan
di lingkungan sosial anak sekolahan. Bila sebelumnya orang mulai berani
merokok sejak SMP, sekarang anak kelas 5 SD sudah banyak yang tertangkap
sedang merokok.4,5
Bahan utama pembuatan rokok adalah tembakau. Nikotin merupakan salah
satu kandungan utama yang terdapat di dalam tembakau yang menimbulkan sifat
adiktif pada perokok. Selain itu, proses pembuatan rokok dilengkapi dengan
beberapa zat lain seperti tar, benzene, formaldehida, dan hidrogen sianida. Zat-zat
tersebut masuk ke dalam lima puluh zat karsinogenik yang akan terhisap setiap
mengkonsumsi satu batang rokok.6
Rokok, berdasarkan jenisnya, terdiri atas rokok kretek, yaitu rokok
campuran tembakau, dan rokok non kretek, yaitu rokok dengan kandungan
tembakau dengan penambah rasa dan aroma tertentu.7,8 Rokok kretek dan non
kretek memiliki kandungan tar dan nikotin yang berbeda. Kadar tar dan nikotin
dua kali lebih banyak terdapat pada rokok kretek dibandingkan kadar tar dan
nikotin pada rokok non kretek.8
Rongga mulut merupakan organ yang pertama kali terpapar oleh rokok,
sehingga terdapat sistem pertahanan pertama yang dimilikinya, salah satunya
adalah saliva. Saliva merupakan produk dari kelenjar eksokrin pada rongga mulut
yang disekresikan oleh ketiga kelenjar saliva utama, yaitu kelenjar parotis,
kelenjar sublingualis, dan kelenjar submandibularis, serta kelenjar saliva kecil
lainnya.9 Saliva mengandung 99,5% air, dan 0,5% komponen lainnya, seperti
elektrolit, mukus, glikoprotein, enzim, serta anti mikroba.10 Saliva berfungsi
dalam melubrikasi dan melindungi mukosa mulut dengan musin, sehingga
mencegah penempelan radikal bebas. Selain itu, saliva juga berfungsi menetralisir
pH mulut dari mikroorganisme yang menghasilkan metabolit yang bersifat asam.9
3
Tarigan tahun 1993 melaporkan bahwa pH normal saliva berkisar antara
6,2-7,4. pH saliva yang rendah dapat memicu pembentukan karies gigi. Selain itu,
pH saliva yang rendah dapat menyebabkan proses biokimiawi tidak dapat berjalan
dengan optimal, termasuk kerja enzim amilase dalam memecah karbohidrat
kompleks dalam sistem pencernaan. Voelker dkk tahun 2013 melakukan studi
pendahuluan hubungan rokok dengan pH saliva, kapasitas buffer, kualitas saliva,
dan jumlah Streptococcus mutans pada perokok. Kanwar dkk pada tahun yang
sama juga melakukan penelitian mengenai efek jangka panjang merokok terhadap
pH saliva dan kualitas saliva. Prasetyo tahun 2014 dan Syifa tahun 2015 juga
melakukan penelitian dalam mendeteksi pH saliva pada perokok. Hasil dari
penelitian tersebut didapatkan bahwa terjadi penurunan pH saliva antara perokok
dibandingkan dengan non perokok (p =0,01).11-15
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perubahan pH saliva
yang lebih signifikan pada kelompok perokok dilihat dari jenis rokok yang
dikonsumsi. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui perbedaan
penurunan derajat keasaman saliva yang ditimbulkan antara perokok yang
mengkonsumsi rokok kretek dan yang mengkonsumsi rokok non kretek.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana peran rokok terhadap derajat keasaman (pH) saliva pada
perokok kretek dan perokok non kretek.
1.3 Hipotesis Penelitian
pH saliva perokok kretek lebih asam daripada pH saliva perokok non kretek.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui peran rokok terhadap kualitas saliva.
4
1.4.2. Tujuan Khusus
1.4.2.1. Untuk mengetahui derajat keasaman (pH) saliva pada perokok kretek dan
perokok non kretek.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1. Bagi peneliti
- Merupakan syarat kelulusan preklinik Program Studi Pendidikan Dokter.
- Memperkuat penelitian sebelumnya dengan tema yang sama.
- Menambah pengetahuan mengenai peran rokok terhadap derajat keasaman
(pH) saliva.
- Memberikan informasi mengenai perbandingan derajat keasaman (pH)
saliva pada perokok kretek dan perokok non kretek.
1.5.2. Bagi masyarakat
- Memberikan informasi mengenai perbandingan derajat keasaman (pH)
saliva pada perokok kretek dan perokok non kretek.
1.5.3. Bagi civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Memberikan gambaran mengenai perubahan kualitas saliva akibat rokok
yang dapat digunakan sebagai referensi penelitian lebih lanjut.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Saliva
2.1.1.1. Definisi Saliva
Saliva adalah cairan tubuh yang disekresi oleh tiga kelenjar saliva utama
(parotis, submandibularis, dan sublingualis) dan beberapa kelenjar saliva kecil
lainnya.16,17,18 Saliva yang disekresikan oleh kelenjar saliva mayor dibedakan
berdasarkan komposisi nya, tetapi mekanisme bagaimana saliva ini disekresikan
hampir sama antar kelenjar saliva tersebut. Berdasarkan eksperimen mikropunktur
pada kelenjar submandibular tikus, terdapat demonstrasi mengenai proses
pembentukan saliva yang melibatkan dua tahap: tahap pertama sel asinar
memproduksi saliva primer yang berbentuk seperti cairan plasma isotonik. Pada
tahap kedua, cairan kaya NaCl ini selanjutnya dimodifikasi saat saliva sedang
melewati epitel duktus, dimana sebagian besar NaCl diabsorpsi di tempat ini, dan
K+ biasanya disekresikan. Karena epitel duktus sangat sedikit permeabel terhadap
air, hasil saliva akhir biasanya bersifat hipotonik.18
Gambar 2.1. Dua tahap sekresi kelenjar saliva.
(Sumber: Marcelo AC, Tetsuji N, James EM., 2009)
6
2.1.1.2. Embriologi Kelenjar Saliva
Sistem kelenjar saliva manusia dibedakan menjadi dua grup eksokrin.
Kelenjar saliva mayor terdiri dari kelenjar parotis, kelenjar submandibular, dan
kelenjar sublingual. Sebagai tambahan, mukosa saluran aerodigestif bagian atas
dilapisi oleh ratusan kelenjar saliva minor yang berukuran lebih kecil
dibandingkan kelenjar saliva mayor. Fungsi utama dari kelenjar saliva adalah
untuk mensekresi saliva, yang berperan utama dalam lubrikasi, digesti, imunitas,
dan kontrol keseluruhan homeostasis di dalam tubuh.
Perkembangan saliva secara embriologi dimulai sejak minggu keenam
hingga minggu kedelapan. Perkembangan kelenjar saliva meliputi tiga tahap.
Tahap pertama ditandai dengan adanya primordial anlage (anlage berasal dari
bahasa Jerman yang berarti untuk membentuk atau untuk mempersiapkan) dan
pembentukan tunas duktus (duct buds) yang bercabang. Sel epitel bersilia
membentuk lapisan lumina, dan permukaan eksternal dilapisi oleh sel mioepitel
ektodermal. Munculnya lobulus dan kanalisasi duktus muncul selama tahap
kedua. Asinus primitif dan daerah duktus distal, yang keduanya mengandung
mioepitel, dibentuk saat minggu ketujuh embrionik. Tahap ketiga ditandai dengan
maturasi asinus dan duktus interkalaris, disertai dengan hilangnya tonjolan
jaringan ikat interstisial.19,20
Kelenjar saliva pertama yang muncul pada minggu keenam gestasi adalah
kelenjar parotis, yang selanjutnya diikuti oleh pembentukan kelenjar
submandibular. Selama minggu ke-9 embrionik, proses pembentukan kelenjar
sublingual terjadi. Selanjutnya, selama minggu ke-12 gestasi, kelenjar saliva
minor mulai terbentuk dari unit tubuloasinar yang berasal dari ektoderm saluran
respirasi atas.21,22
7
Gambar 2.2. Sel asinar kelenjar saliva
(Sumber : http://pocketdentistry.com/15-salivary-glands-and-tonsils/)
2.1.1.3. Anatomi Kelenjar Saliva
A. Kelenjar Parotis
Kelenjar parotis merupakan kelenjar terbesar dengan berat sekitar
15-30 gr untuk setiap kelenjar. Selain kelenjar parotis, terdapat kelenjar parotis
tambahan yang dibedakan secara histologi dari kelenjar parotis dengan ada nya sel
asinar musin sebagai tambahan dari sel asinar serosa.24 Bentuk kelenjar parotis
bervariasi, namun lebih sering ditemukan berbentuk triangular dengan apeks di
bagian inferiornya. Kelenjar ini rata-rata memiliki panjang 6 cm dan lebar 3,3
cm.25 Kelenjar ini berjumlah sepasang dan terletak di inferior dan anterior telinga,
berada di antara kulit dan otot masseter. Duktus parotis (duktus Stensen) masuk
ke rongga mulut menembus otot buccinator dan bermuara dekat gigi molar atas
kedua. Kelenjar parotis tambahan bisa ditemukan di anterior otot masseter di
antara duktus parotid dan zigoma. Duktus parotid berfungsi mensekresikan saliva
serosa ke dalam vestibulum kavitas oral.26,27
B. Kelenjar Sublingualis
8
Merupakan kelenjar saliva yang berada di atas otot milohioideus
dan ditutupi oleh membran mukosa dari dasar mulut.26 Kelenjar ini terletak di
inferior lidah dan di superior dari kelenjar submandibularis.27 Kelenjar
sublingualis merupakan kelenjar saliva terkecil di antara kelenjar saliva mayor
lainnya, dengan bentuk seperti kacang almond dan berat sekitar 4 gram. Kelenjar
ini memiliki dua duktus, duktus sublingualis mayor (duktus Bartholin) yang
berjalan dari pars inferior kelenjar sublingualis kemudian berakhir bersama duktus
submandibularis pada kurunkula sublingualis, dan duktus sublingualis minor yang
berjalan dari pars superior kelenjar sublingualis kemudian bermuara di plika
sublingualis.25,28,29
C. Kelenjar Submandibularis
Kelenjar submandibularis merupakan kelenjar saliva mayor yang
terletak di dasar mulut; di medial dan sebagian inferior dari mandibular. Kelenjar
ini terdiri dari lobus superfisial berukuran besar yang berada di dalam triangular
digastrik dari leher dan lobus profunda berukuran kecil yang berada di posterior
dasar mulut. Kedua lobus tersebut kemudian bertemu di sekitar batas posterior
dari otot milohioideus. Kelenjar submandibularis memiliki duktus dengan panjang
sekitar 5 cm pada orang dewasa, dengan dinding yang lebih tipis dibandingkan
dengan dinding duktus parotis. Duktus submandibularis (duktus Wharton)
berjalan dari lateral ke medial dan bermuala di kurunkula sublingualis.25,26,28,29
Gambar 2.3. Kelenjar saliva dan duktusnya
(Sumber : Tortora, 2011)
9
2.1.1.4. Komposisi dan Fungsi Saliva
Fungsi utama kelenjar saliva adalah untuk memproduksi saliva yang
berperan dalam proses digesti, lubrikasi, dan proteksi tubuh. Berdasarkan cara
menghasilkan produk sekretoriknya, kelenjar saliva merupakan kelenjar eksokrin
yang bersifat merokrin, yaitu kelenjar yang melibatkan proses eksositosis tipikal
protein dalam mensekresi produknya. Berdasarkan produk sekretoriknya, kelenjar
saliva dibedakan menjadi kelenjar serosa dan kelenjar mukosa. Kelenjar parotis
memproduksi sekret serosa (encer) yang mengandung enzim amilase saliva dalam
jumlah besar. Kelenjar sublingualis memproduksi sekret mukoserosa (dominan
sekret yang bersifat kental), yang berfungsi sebagai buffer dan lubrikan.
Sedangkan sekret dari kelenjar submandibularis bersifat seromukosa (90% serosa,
10% mukosa), yang mengandung campuran dari buffer, glikoprotein yang disebut
musin, dan amilase saliva.24,26,27,29,30
Secara kimiawi, saliva terdiri atas 99,5% air dan 0,5% larutan. Di antara
larutan tersebut antara lain adalah ion-ion, seperti natrium, kalium, klorida,
bikarbonat, dan fosfat. Selain itu, kandungan saliva lainnya adalah gas terlarut dan
substansi organik yang bervariasi, termasuk urea dan asam urat, mukus, IgA,
enzim bakteriolitik lisozim, dan amilase saliva yang merupakan enzim digestif
untuk memecah karbohidrat.27
Di antara komponen inorganik, air merupakan komponen terbesar. Selain
itu, terdapat bikarbonat yang berkaitan dengan buffer dari saliva, sedangkan
kalsium dan fosfat memiliki peran dalam menjaga integritas mineral gigi. pH
saliva cenderung asam pada saat dalam keadaan istirahat, yaitu sekitar 5,75–7,05
(ada yang menyebutkan 6,35–6,85), dan bisa meningkat hingga 8,0 seiring dengan
peningkatan salivary flow rate. Berikut ini adalah beberapa komponen inorganik
paling penting yang terdapat di saliva:17,27
10
Tabel 2.1. Komponen inorganik saliva
(Sumber: Fȃbiȃn K, et al., 2007)
Berdasarkan komposisi organik, protein merupakan komponen yang
sangat penting. Jumlah total protein saliva sekitar 0,5 – 3 mg/mL. berbeda dengan
pH saliva, protein saliva cenderung lebih stabil dan independen dari salivary flow
rate. Saliva memiliki protein yang mengandung prolin dengan kadar tinggi (35-
40%), dinamakan PRPs (proline-rich proteins), yang meliputi hampir 70%
kandungan protein total di saliva parotis manusia. Protein paling penting yang
berasal dari glandular salah satunya adalah α-amilase, PRPs, lisozim, histatin atau
horseradish peroxidase enzyme (mencegah degradasi proteolitik enzimatik dari
enamel gigi), dan staterin (mengontrol supersaturasi yang berkaitan dengan
kalsium dan fosfat). Selain itu, protein terpenting yang berasal dari sel-sel imun
adalah mieloperoksidase (MPO), defensin, dan imunoglobulin (90-98% IgA, 1-
10% IgG, dan sedikit IgM, IgD, IgE).31
Secara histologis, sel sekretorik utama dari kelenjar saliva terdiri dari sel
sekretorik mukosa dan sel sekretorik serosa. Sel sekretorik mukosa berbentuk
kuboid sampai silindris dan membentuk susunan yang disebut tubulus mukosa.
Sel sekretorik mukosa banyak terdapat pada kelenjar saliva sublingualis dan
sedikit terdapat pada kelenjar saliva submandibularis. Namun, pada sel sekretorik
mukosa kedua kelenjar tersebut, terdapat tudung sel serosa yang disebut sel
demilun serosa yang memiliki sifat yang sama dengan sel sekretorik mukosa. Sel
demilun ini memproduksi amilase dan lisozim. Di sisi lain, sel sekretorik mukosa
berbentuk segitiga dan bertaut satu sama lain membentuk massa sferis, sehingga
sering disebut dengan asinus serosa. Sel asinar serosa banyak terdapat pada
kelenjar parotis, dan memiliki banyak retikulum endoplasma kasar, kompleks
Komponen Saliva Non Stimulasi Saliva Terstimulasi
Air ~94% ~94%
pH 5,75–7,05 Hingga 8,0
Bikarbonat 5–10 mM/L Hingga 40–60 mM/L
Fosfat 4–5 mM/L 4–5 mM/L
Sodium 1–5 mM/L Hingga 100 mM/L
Klorida 5 mM/L Hingga 70 mM/L
Potasium 15 mM/L 30–40 mM/L
Kalsium 1 mM/L 3–4 mM/L
11
golgi, dan granula sekretorik, sehingga sel ini banyak menghasilkan protein. Salah
satu produk protein utama yang dihasilkan oleh sel sekretorik adalah enzim
pencernaan amilase.30
Saliva memiliki berbagai macam peran di dalam kavitas oral. Seorang
individu mungkin bisa merasakan tanda dan gejala tertentu akibat kekurangan
produksi saliva, baik pada kondisi istirahat maupun selama makan. Berikut ini
adalah fungsi-fungsi dari saliva:32
Melubrikasi jaringan mulut (untuk berbicara dan menelan)
Menunjang indera pengecap (contohnya melalui protein seperti gustin)
Mengontrol kesehatan mukosa mulut, melalui faktor-faktor pertumbuhan
yang menunjang proses penyembuhan luka, dan sistatin, yang
menghambat enzim destruktif seperti sistein protease
Membantu proses digesti, melalui amilase dan lipase
Membersihkan material yang tertinggal di rongga mulut
Sebagai buffer terhadap asam yang berasal dari plak gigi dan konsumsi
makanan dan minuman tertentu, serta mencegah erosi yang disebabkan
oleh paparan asam lemah dalam jangka waktu lama (contoh: muntah dan
refluks)
Berperan sebagai reservoir untuk ion (Ca, Po, F) dalam remineralisasi
Mengontrol mikroflora di mulut, melalui mediator imunologi, enzimatik,
peptida, dan kimiawi
2.1.1.5. Mekanisme Sekresi Saliva
Pada proses salivasi, tahap pertama adalah sel asinar memproduksi saliva
primer yang bersifat relatif isotonik terhadap plasma. Kanal ion dan transporter
yang diekspresikan di membran apikal dan basolateral sel sekretorik di kelenjar
saliva berperan dalam sekresi saliva, aktivitasnya yang saling terkoordinasi
menimbulkan transport ion dari sisi serosa (basolateral) ke sisi luminal (apikal).
Gradien osmotik yang terbentuk pada saat terjadi sekresi ion, memicu
12
perpindahan air secara transelular melalui aquaporin 5 (Aqp5), kanal air utama
yang diekspresikan di membran apikal sel sekretorik.33,34
Perpindahan air di kelenjar saliva membutuhkan sekresi Cl-. Cl- disekresi
secara transelular oleh sel asinar. Transpor ion klorida melibatkan Na+K+ATPase
untuk menghasilkan energi, sehingga terjadi influks Cl- melalui kanalnya yang
terdapat di membran basolateral. Konsentrasi ion kalsium intraselular yang
meningkat akan membuka kanal klorida pada membran luminal dan kanal kalium
pada membran basolateral. Pembukaan kanal ini akan menginduksi perpindahan
ion klorida dari dalam sel ke lumen dan perpindahan ion kalium dari dalam sel ke
ruang interstisial. Protein transporter Cl- yang diekspresikan di membran
basolateral harus dapat mengakumulasikan Cl- di atas ambang potensialnya,
sehingga banyaknya klorida di dalam lumen akan menarik natrium melalui
transpor paraseluler dan terbentuklah NaCl. Perbedaan gradien osmotik yang
terbentuk akibat peningkatan NaCl akan menginduksi penarikan air ke dalam
lumen.24,29,35,36
Gambar 2.4. Mekanisme produksi saliva primer
(Sumber: Catalan MA, Nakamoto T, Melvin JE., 2010)
Tahap selanjutnya adalah pembentukan saliva akhir. Komposisi ionik
akhir dari saliva berasal dari proses transpor di sel asinar dan duktus. Secara
umum, terdapat tiga tipe utama duktus di kelenjar saliva: duktus interkalaris,
duktus striata, dan duktus ekskretorik. Duktus interkalaris dan duktus striata
adalah duktus interlobularis, sedangkan duktus ekskretorik adalah duktus
13
ekstralobularis. Pada saat saliva primer melewati duktus, terjadi reabsorpsi NaCl
dan sekresi K+ dan HCO3- tanpa disertai reabsorpsi air. Hal ini dikarenakan duktus
kelenjar saliva bersifat tidak permeabel terhadap air, sehingga hasil akhir dari
tahap ini berupa saliva yang bersifat hipotonik.29,35
Gambar 2.5. Histologi fungsional dari salivon
(Sumber: Ekstrom J, et al., 2012)
Kanal natrium di epitel, ENaC, yang diekspresikan di membran apikal
duktus kelenjar saliva, berperan dalam reabsorpsi natrium. Selain itu, reabsorpsi
natrium juga dipengaruhi oleh Na+/H+ exchanger yang juga berada di membran
apikal duktus kelenjar saliva. Selain itu, ion klorida juga aktif diabsorpsi di
membran apikal duktus kelenjar saliva melalui kanal klorida dan Cl-/HCO3-
exchanger. Di sisi lain, konsentrasi ion kalium saliva lebih tinggi dibandingkan
konsentrasi kalium di plasma akibat sekresi ion kalium sebagai respon dari duktus
interlobularis dan ekstralobularis. Sekresi ion kalium dikontrol oleh K+/H+
exchanger dan kotransporter K+-HCO3- di membran apikal duktus kelenjar
saliva.18
14
Gambar 2.6. Sekresi elektrolit oleh sel asinar dan duktus kelenjar saliva
(Sumber: Marcelo AC, et al., 2009)
Selain itu, pengaturan pH saliva juga dipengaruhi oleh enzim, yaitu enzim
carbonic anhydrase (CA). Enzim CA tipe VI merupakan enzim CA spesifik yang
disekresikan oleh sel asinar serosa kelenjar saliva parotis dan submandibular. CA
VI berfungsi untuk mengkatalisis berbagai produk, salah satunya hidrasi
reversibel dari karbon dioksida, sehingga menyebabkan alkalinisasi saliva. Selain
itu, CA VI juga berperan dalam netralisasi plak asam pada permukaan gigi dan
menurunkan risiko demineralisasi enamel. CA VI bekerja di pelikel enamel dan
mencegah karies melalui akselerasi proses pembuangan ion hidrogen dan produk
metabolik yang bersifat asam dari flora di permukaan gigi.67
2.1.1.6. Pengaturan & Faktor Sekresi Saliva
Sekresi, aliran darah, dan pertumbuhan kelenjar saliva sebagian besar
dikontrol oleh cabang sistem saraf otonom. Walaupun sistem saraf parasimpatis
lebih memiliki peran dalam rerata sekresi saliva dibandingkan sistem saraf
simpatis, namun proses sekresi dari kelenjar saliva distimulasi oleh kedua cabang
tersebut.24 Rangsangan dari luar dapat mempengaruhi produksi saliva melalui
jalur aferen dengan cara menerima rangsangan dari reseptor sensori. Aroma yang
terhirup melalui hidung akan diteruskan melewati lamina kribosa kemudian
mencapai reseptor olfaktorius dan akan menstimulasi sekresi saliva oleh kelenjar
submandibular. Namun, aroma yang bersifat iritatif seperti aroma pedas bisa
15
menstimulasi kelenjar parotis untuk memproduksi saliva. Selain itu, lokasi
rangsangan dilidah oleh rasa seperti asam, manis, pahit, dan asin, bisa
mempengaruhi produksi saliva dari jenis kelenjar saliva yang berbeda.
Rangsangan yang didapat pada bagian anterior lidah akan menyebabkan sekresi
saliva dari kelenjar submandibular, sedangkan rangsangan yang diterima pada
bagian posterior dan lateral lidah akan menginduksi kelenjar parotis untuk
memproduksi saliva. Variasi tersebut terjadi akibat perbedaan inervasi dari
kelenjar saliva, yaitu nervus fasialis yang mempersarafi kelenjar submandibular
dan kelenjar sublingual, dan nervus glosofaringeus yang mempersarafi kelenjar
parotis. Selain rangsangan aroma dan rasa, produksi saliva juga dipengaruhi oleh
aktivasi parasimpatis yang diinduksi oleh mekanoreseptor pada gusi yang aktif
selama mengunyah makanan.37
Gambar 2.7. Inervasi kelenjar saliva
(Sumber: Smith PM, 2004)
Impuls rangsangan akan diteruskan ke tingkat yang lebih tinggi hingga
akhirnya saliva dapat diproduksi. Nervus fasialis dan glosofaringeus berakhir di
nukleus traktus solitarius di medula oblongata. Selanjutnya, jalur eferen nervus
fasialis akan melewati ganglion submandibular untuk mencapai kelenjar
submandibular dan kelenjar sublingual. Di sisi lain, jalur eferen nervus
glosofaringeus akan melewati ganglion otik untuk mencapai kelenjar parotis.38
Inervasi parasimpatis dari kelenjar saliva mayor mengikuti percabangan
nervus kranialis, yaitu nervus fasialis (n.VII) yang menginervasi kelenjar
16
submandibular dan kelenjar sublingual, dan nervus glosofaringeus (n.IX) yang
menginervasi kelenjar parotis.37 Stimulasi parasimpatis akan mengaktivasi
aktivitas sel asinar dan mekanisme transpor duktus, sehingga terjadi vasodilatasi
glandular dan kontraksi mioepitel. Asetilkolin (ACh) yang berperan sebagai
neurotransmiter parasimpatik beraksi di reseptor muskarinik kelenjar saliva.
Selanjutnya, pembentukan inositol trifosfat akan meningkatkan konsentrasi ion
kalsium di dalam sel, akibat pengeluarannya dari tempat penyimpanan ion
kalsium atau dari plasma. Second messenger inilah yang secara signifikan
memberikan efek terhadap sekresi volume saliva. Sekresi glandular ditingkatkan
oleh enzim asetilkolinesterase, yaitu enzim yang menghambat pemecahan ACh.
Stimulasi saraf parasimpatis menginduksi sekresi saliva yang kaya akan air dan
ion, bukan protein.24,32
Inervasi simpatis untuk kelenjar saliva sebagian besar berasal dari nervus
spinal torakal dari ganglion servikal superior. Ikatan antara neurotransmiter
simpatis, norepinefrin, dengan reseptor α-adrenergik akan menimbulkan
pembentukan cAMP, yang nanti nya akan memicu fosforilasi berbagai macam
protein dan aktivasi enzim. Peningkatan cAMP akan menimbulkan peningkatan
kandungan enzim dan mukus di saliva.37
Selain itu, terdapat berbagai macam faktor lainnya yang mempengaruhi
saliva, terutama dalam hal laju aliran saliva, antara lain sebagai berikut:
1. Hidrasi. Kondisi hiperhidrasi dapat meningkatkan laju aliran saliva dan
sebaliknya.
2. Irama sirkadian. Laju aliran saliva dapat meningkat pada saat akhir siang
hari dan menurun hingga mencapai nol selama tidur.
3. Konsumsi obat. Obat yang bersifat antikolinergik seperti antidepresan,
antipsikotik, antihistamin, dan antihipertensi dapat menurunkan laju aliran
saliva.
4. Konsumsi alkohol. Alkohol dapat menurunkan laju aliran saliva.
5. Penyakit sistemik. Psikoemosional bisa dipengaruhi oleh kondisi penyakit
sistemik dan menyebabkan perubahan komposisi biokimia saliva.
17
6. Jenis kelamin. Perempuan cenderung memiliki kelenjar saliva yang lebih
kecil dari segi ukuran dibandingkan dengan laki-laki, sehingga laju aliran
saliva pada perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.
2.1.1.7. Metode Pengambilan Saliva
Secara umum, pengukuran sekresi saliva dapat dilakukan dengan beberapa
cara, di antaranya dengan menggunakan sekresi saliva tanpa distimulasi dan saliva
dengan stimulasi. Resting saliva atau saliva yang disekresikan tanpa stimulasi
menggambarkan laju aliran saliva basal yang dalam sehari berada di mulut selama
14 jam. Stimulated saliva atau saliva yang distimulasi, disekresikan selama
mengkonsumsi makanan, sehingga berada di dalam mulut selama kurang lebih 2
jam. Teknik pengumpulan saliva tanpa distimulasi bertujuan untuk menilai status
kelenjar saliva dan komponen yang terkandung di dalamnya, sedangkan saliva
yang distimulasi digunakan untuk menilai fungsi cadangan kelenjar saliva.39,40
Pengumpulan saliva harus dilakukan pada waktu yang terstandarisasi,
berdasarkan siklus diurnal. Subjek sebaiknya tidak makan dalam waktu 60 menit
sebelum pengampilan saliva. Saliva tanpa stimulasi dapat diambil jika
sebelumnya subjek menghindari stimulasi kimiawi (contoh: asam), fisik (contoh:
dingin, panas, tekanan), biologis (contoh: rasa, mengunyah), dan fisiologis
(contoh: membayangkan makanan). Sedangkan saliva dengan stimulasi bisa
diperoleh dengan cara stimulasi mengunyah, dan/atau stimulasi rasa (contoh:
permen, lemon).
Terdapat empat cara yang biasa digunakan dalam penelitian untuk
mengumpulkan saliva tanpa stimulasi:40,41
1. Passive Drool
Metode ini sangat direkomendasikan, baik untuk dewasa maupun
anak usia 6 tahun ke atas, karena murah dan bisa digunakan dengan
hampir seluruh alat analisis. Pada metode ini, saliva dikumpulkan secara
pasif tanpa ada rangsangan mekanoreseptor dalam waktu beberapa menit.
18
2. SalivaBio Oral Swab
Metode ini bisa dijadikan sebagai alternatif selain metode passive
drool karena mudah dilakukan. Metode ini juga membantu dalam
menyaring makromolekul dan partikulat lain yang tidak dibutuhkan namun
terdapat pada saliva, oleh karena itu, metode swab biasa digunakan untuk
mendeteksi komponen saliva. Pada metode ini, alat-alat yang dibutuhkan
adalah sentrifuge untuk pemutaran sampel yang sudah dikumpulkan
dengan meletakkan swab, kapas, atau sponge gauze pada orifisium
kelenjar saliva.
3. Spitting
Saliva dikumpulkan di rongga mulut terlebih dahulu dengan
keadaan mulut tertutup, kemudian setiap satu menit dikeluarkan dan
ditampung di dalam wadah. Metode ini dilakukan selama lima hingga lima
belas menit.
4. Suction
Saliva dikumpulkan dengan menggunakan alat seperti syringe,
micropipette, saliva ejector atau dengan gentle suction. Aspirasi saliva
dapat disesuaikan dengan kelenjar saliva apa yang akan diteliti.
2.1.1.8. Pengaturan & Faktor Pengaruh pH Saliva
Saliva memiliki sistem penyangga atau buffer berupa bikarbonat, fosfat,
dan sistem protein untuk mengontrol keseimbangan ion. Berbeda dengan fosfat,
kadar bikarbonat di dalam saliva sangat dipengaruhi oleh laju aliran saliva.
Konsentrasi bikarbonat pada saliva tanpa stimulasi adalah 5–10 mM/L, dan bisa
meningkat hingga 4–60 mM/L dengan stimulasi, berbeda dengan konsentrasi
fosfat 4–5 mM/L dan tidak dipengaruhi peningkatannya oleh laju aliran saliva.
Perubahan bikarbonat yang dipengaruhi oleh laju aliran saliva dapat mengubah
pH saliva. Pada laju aliran saliva 0,5 ml/menit, didapatkan pH saliva sebesar 7,3
dan pada laju aliran saliva 1,0 ml/menit, terjadi peningkatan pH saliva menjadi
7,5.17,42
19
Pada keadaan tidak terstimulasi, bikarbonat dan fosfat secara seimbang
berperan dalam menjaga derajat keasaman saliva. Sedangkan saat terstimulasi,
kerja kelenjar parotis akan meningkat, sehingga konsentrasi bikarbonat akan
meningkat dan memegang 90% peranan sebagai penyangga. Selain itu, pada saat
terstimulasi, kadar bikarbonat yang direabsorpsi kemungkinan menjadi lebih
sedikit, sehingga peningkatan kadar bikarbonat di saliva berbanding lurus dengan
peningkatan laju aliran saliva. Sedangkan pada keadaan penurunan laju aliran
saliva, pH saliva dapat turun hingga mencapai angka kritis, yaitu 5,0 dan
penyangga yang lebih berperan adalah protein.42
Jika kadar bikarbonat meningkat, tidak hanya terjadi peningkatan pH
saliva dan kapasitas penyangga, proses remineralisasi akan terfasilitasi, dan juga
akan memberikan efek ekologis pada flora normal di rongga mulut. Secara
spesifik, peningkatan pH saliva akan menekan pertumbuhan mikroorganisme
asidurik (toleran terhadap asam), seperti bakteri kariogenik Streptococcus mutans
dan Candida albicans.32
Karena hubungan antara pH dan laju aliran saliva, maka faktor yang
mempengaruhi laju aliran saliva dapat menyebabkan perubahan pada pH saliva.
Selain itu, asupan makanan tinggi karbohidrat juga dapat menyebabkan penurunan
pH saliva karena sifat karbohidrat yang mudah difermentasi melalui proses
glikolisis oleh bakteri Streptococcus mutans dan Lactobacillus acidophilus.43
2.1.1.9. Metode Pengukuran pH Saliva
Pengukuran pH saliva bisa dilakukan baik secara semikuantitatif maupun
secara kuantitatif. Pengukuran pH saliva dengan menggunakan kertas lakmus dan
indikator pH merupakan cara pengukuran secara semikuantitatif, yaitu dengan
hasil berupa warna yang mengandung makna nilai tertentu. Indikator nilai nya
berupa pH <7 yang berarti asam, dan pH >7 yang mengandung makna basa.
Sedangkan penggunakan alat ukur digital merupakan cara pengukuran yang
bersifat kuantitatif karena menghasilkan angka yang tingkat ketelitiannya lebih
tinggi.
20
Teknik pengukuran pH saliva sudah dilakukan di beberapa penelitian di
Indonesia. Syifa (2015), melakukan penelitian untuk melihat efek merokok jangka
panjang terhadap pH saliva dengan menggunakan indikator pH. Saliva yang tidak
distimulasi dikumpulkan di dalam tabung, kemudian indikator pH universal
dicelupkan selama 3 detik dan dilakukan pembacaan secara langsung dalam 30
detik setelah strip dicelupkan dengan menyesuaikan warna di papan indikator pH
universal.15
Pada penelitian terhadap pH saliva perokok dan non perokok yang
dilakukan oleh Prasetyo (2014), pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan
pH meter LAQUAtwin Horiba, yang merupakan alat ukur pH digital. Saliva yang
telah dikumpulkan ke dalam tabung diambil dengan menggunakan mikropipet dan
kemudian diteteskan ke alat pH meter yang telah dikalibrasi terlebih dahulu
sebelumnya, kemudian hasilnya akan keluar dalam beberapa saat.14
2.1.2. Tembakau / Rokok
2.1.2.1. Definisi Rokok
Berdasarkan PP No. 81/1999 Pasal 1 Ayat (1), rokok adalah hasil olahan
tembakau terbungkus, termasuk cerutu dan bentuk lainnya, yang dihasilkan dari
tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau
sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.
Menurut Sitepoe (2000), merokok adalah kegiatan membakar tembakau
kemudian dihisap, baik menggunakan rokok maupun pipa. Temperatur pada
sebatang rokok yang sedang dibakar adalah 90 derajat celcius untuk ujung rokok
yang dibakar dan 30 derajat celcius untuk ujung rokok yang terselip di antara bibir
perokok.44,45
2.1.2.2. Jenis Rokok
Berikut ini adalah pembagian rokok berdasarkan bahan pembungkus
rokok, isi rokok, proses pembuatan rokok, dan penggunaan filter pada rokok:46,47
1. Rokok berdasarkan bahan pembungkus:
21
a. Klobot : Rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun
jagung
b. Kawung: Rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun
aren
c. Sigaret : Rokok yang bahan pembungkusnya berupa kertas
d. Cerutu : Rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun
tembakau
2. Rokok berdasarkan bahan baku atau isi:
a. Rokok putih : Rokok yang bahan baku atau isinya hanya
daun tembakau dengan penambah rasa dan aroma tertentu
b. Rokok kretek : Rokok yang bahan baku atau isinya berupa
daun tembakau dan cengkeh dengan penambah rasa dan
aroma tertentu
c. Rokok klembak: Rokok yang bahan baku atau isinya
berupa daun tembakau, cengkeh, dan kemenyan dengan
penambah rasa dan aroma tertentu
3. Rokok berdasarkan proses pembuatannya:
a. Sigaret Kretek Tangan (SKT): Rokok yang proses
pembuatannya dilakukan dengan cara digiling atau dilinting
dengan menggunakan tangan atau alat bantu sederhana
b. Sigaret Kretek Mesin (SKM) : Rokok yang proses
pembuatannya dilakukan dengan mesin yang hasil
keluarannya berupa rokok batangan
4. Rokok berdasarkan penggunaan filter:
a. Rokok filter : Rokok yang di bagian pangkalnya
terdapat gabus
b. Rokok non filter : Rokok yang di bagian pangkalnya tidak
terdapat gabus
Beberapa contoh rokok tipe SKM tanpa filter yang dijual di pasaran adalah
Djisamsoe, Sampoerna Hijau, dan Gudang Garam merah. SKM sendiri dibagi
22
menjadi 2 kategori, yaitu sigaret kretek mesin full flavor (SKM FF) dan sigaret
kretek mesin low tar low nikotin (SKM LTLN). SKM FF yaitu rokok kretek
mesin yang dalam proses pembuatannya ditambahkan aroma rasa yang khas,
seperti Gudang Garam Filter Internasional, Djarum Super. Sedangkan SKM
LTLN merupakan rokok kretek mesin dengan kadar tar dan nikotin yang rendah
serta jarang menggunakan aroma yang khas, seperti A Mild, Star Mild, LA Lights,
dan Surya Slim. Di sisi lain, rokok jenis SPM yang berada di pasaran antara lain
Malboro, Dunhill, Lucky Strike, dan Country.48
2.1.2.3. Kandungan Rokok
Sebatang rokok memiliki kandungan lebih dari 4000 zat kimia, dan 2000
di antaranya memiliki dampak yang tidak baik bagi kesehatan tubuh, diantara nya
adalah bahan radioaktif (polonium-201) dan bahan-bahan yang digunakan di
dalam cat seperti aseton, gas beracun (hidrogen sianida), dan sebagainya.49,50
Terdapat 3 komponen utama pada rokok yaitu: 1) Nikotin, adalah zat yang
bersifat adiktif atau menyebabkan kecanduan; 2) Tar, adalah zat yang bersifat
karsinogenik atau menimbulkan kanker; 3) Karbon Monoksida (CO), adalah gas
beracun yang memiliki afinitas atau kemampuan ikatan dengan hemoglobin di sel
darah merah lebih kuat dibandingkan dengan oksigen. Nikotin pada rokok bekerja
di otak dengan cara menstimulasi pelepasan dopamin yang menimbulkan rasa
nyaman dan ketergantungan. Akibatnya, seseorang yang mencoba untuk berhenti
merokok akan memiliki gejala putus nikotin seperti: rasa tidak nyaman, sulit
konsentrasi, dan mudah marah.60
Amonia, beserta senyawa pembentuknya seperti diamonium fosfat (DAP)
dan urea, merupakan salah satu bahan tambahan yang terdapat di dalam rokok.
Walaupun ditolak oleh sebagian besar perusahaan tembakau di Amerika Serikat,
badan pengawas obat dan makanan di Amerika Serikat, FDA (Food and Drug
Administration), berargumen bahwa penggunaan ammonia bertujuan untuk
meningkatkan dan mengontrol masuknya alkaloid nikotin ke jalur pernapasan
perokok. Hal tersebut diperkuat oleh teori amonium-garam yang menyatakan
bahwa ketika dimasukkan ke dalam campuran tembakau, amonia bereaksi dengan
garam nikotin (indigenous nicotine salts) dan melepaskan nikotin bebas atau basal
23
(free nicotine) melalui proses peningkatan pH, sehingga mengakibatkan jumlah
nikotin yang masuk ke tubuh menjadi lebih besar.61
2.1.2.4. Rokok Kretek
Rokok kretek mulai terkenal di Indonesia sejak produksinya
dikembangkan di kota Kudus, Jawa Tengah. Pengusaha ras Cina turut berperan
penting dalam sejarah perusahaan kretek besar di Indonesia (Djarum, Bentoel,
Gudang Garam, Sampoerna). Pada awalnya, rokok kretek terdiri atas tembakau
dan cengkeh yang dibungkus oleh daun.56
Kretek yang diproduksi dewasa ini mengandung tembakau, cengkeh yang
dihancurkan, dan saus, yang memberi aroma yang khas. Pencampuran antara
tembakau dan cengkeh ini dianggap mampu mengintensifikasikan rasa dari
produk rokok tersebut.
Berdasarkan tes berbasis mesin (Machine-Based Test), kretek
menimbulkan paparan nikotin, karbon monoksida, dan tar terhadap tubuh yang
lebih besar dibandingkan dengan rokok putih (white cigarettes) atau rokok non
kretek lainnya. Asap yang diinhalasi dari rokok kretek bisa mengandung tiga
bahan kimiawi tambahan yang bersifat toksik: eugenol, anethole, dan coumarin.
Dari 33 merek rokok kretek di Indonesia, semua nya mengandung eugenol, 13 di
antaranya mengandung anethole, dan 19 di antara nya mengandung coumarin.58,62
1. Eugenol
Eugenol yang memiliki sifat anestesi dapat menginhibisi reseptor nyeri di
mulut dan tenggorokan, sehingga menurunkan efek samping yang
dirasakan akibat rokok dan membuat inisiasi rokok lebih mudah.
Eugenol, dalam dosis tinggi, diklasifikasikan sebagai bahan karsinogenik
bagi manusia dan telah diidentifikasi sebagai toksik pada jaringan paru.
Ketika masuk ke tubuh melalui inhalasi, jika dibandingkan masuk melalui
ingesti, eugenol mencapai kadar yang jauh lebih tinggi di dalam tubuh dari
dosis harian yang direkomendasikan.
2. Anethole
24
Zat ini memberikan rasa manis pada rokok kretek dan ditemukan pada
saus yang merupakan bagian dari rokok.
Anethole telah diteliti bersifat toksik terhadap hepar.
3. Coumarin
Zat ini merupakan agen pemberi rasa yang dapat ditemukan di bahan-
bahan alami seperti kayu manis dan rumput vanilla. Coumarin juga
digunakan sebagai pestisida alami yang telah digunakan secara komersial
untuk membasmi tikus.
Dalam dosis besar, coumarin dapat menyebabkan efek karsinogenik
terhadap manusia.
Coumarin sudah ditarik dari pasaran Amerika Serikat sejak tahun 1954,
namun hingga penelitian tahun 2007 di Indonesia, zat ini masih ditemukan
di 19 dari 33 merek rokok kretek.
2.1.2.5. Efek Rokok Terhadap pH Saliva
Paparan rokok secara terus-menerus tidak hanya membahayakan perokok
itu sendiri (perokok aktif), namun juga orang-orang di sekitarnya (perokok pasif).
Asap rokok arus samping, yang merupakan asap rokok yang dilepaskan ke
lingkungan sekitar, empat hingga enam kali lebih banyak dibandingkan dengan
asap rokok arus utama, yang merupakan asap rokok yang dihisap oleh perokok
aktif. Hal itu menunjukkan bahwa perokok pasif juga berisiko mengalami efek
samping yang tidak kalah beratnya dibandingkan perokok aktif bila terpapar
dalam jangka waktu yang lama. Merokok dalam jangka waktu menahun dapat
mempengaruhi refleks yang berkaitan dengan saliva, yaitu pada taste receptor
sebagai tempat utama sekresi saliva. Pada orang yang baru memulai untuk
merokok, terjadi peningkatan aktivitas kelenjar saliva.51 Selain itu, rokok juga
dapat menurunkan kapasitas buffer pada saliva sehingga bisa menyebabkan
derajat keasaman saliva menjadi rendah atau asam.55 Salah satu contoh kandungan
pada rokok yang menyebabkan penurunan pH saliva menjadi asam adalah karbon
monoksida (CO). CO secara tidak langsung dapat mempengaruhi pH saliva
dengan cara meningkatkan kadar karbon dioksida (CO2) di darah. Ketika
25
diinhalasi, CO dari asap rokok akan diabsorpsi melalui paru dan masuk ke aliran
darah. Selanjutnya, CO akan berikatan dengan hemoglobin (Hb) membentuk
karboksihemoglobin (COHb). COHb akan menyebabkan penurunan saturasi O2
sehingga menginduksi kondisi hipoksemia. Keadaan hipoksemia ini akan
mengakibatkan penurunan oksigenasi ke jaringan dan sel. Selanjutnya, terjadi
proses glikolisis anaerob di jaringan dan sel sehingga terjadi peningkatan kadar
laktat dan CO2. CO2 akan ditransfer ke saliva pada rerata yang lebih tinggi, diikuti
dengan penurunan pH saliva.65,66
2.1.3. Kesehatan Gigi dan Mulut
2.1.3.1. Status Kesehatan Gigi dan Mulut
Status kesehatan gigi dan mulut menggambarkan kondisi kebersihan gigi
dan mulut yang dikategorikan menjadi kebersihan yang baik, sedang, atau buruk.
OHI-S, Oral Hygiene Index Simplified, merupakan indeks umum yang digunakan
oleh Greene dan Vermilion dengan variabelnya berupa DI (Debris Index) dan CI
(Calculus Index). Berikut ini adalah rumus perhitungan OHI-S:52
OHI-S = DI + CI
Dengan pembagian skor dari hasil perhitungan sebagai berikut:
- Skor 0,0–1,2 : baik
- Skor 1,3–3,0 : sedang
- Skor 3,1–6,0 : buruk
Debris Index adalah penilaian debris yang ada di permukaan gigi, sedangkan
Calculus Index adalah penilaian kalkulus yang ada di permukaan gigi. Jumlah
permukaan gigi yang diperiksa adalah 6 buah, yaitu empat permukaan gigi
posterior dan dua permukaan gigi anterior. Bagian posterior gigi yang diperiksa
merupakan gigi molar satu atau molar dua. Pada molar atas, permukaan gigi yang
diperiksa adalah sisi bukal atau pipi, sedangkan pada molar bawah, permukaan
gigi yang diperiksa adalah sisi lingual atau lidah. Bagian anterior gigi yang
diperiksa permukaan gigi insisor kanan atas dan permukaan gigi insisor kiri
bawah.52
26
Tabel 2.2. Interpretasi Nilai DI dan CI
Skor Debris Index (DI) Calculus Index (CI)
0 Tidak ada debris Tidak ada kalkulus
1 Terdapat debris menutupi tidak lebih
dari 1/3 permukaan gigi
Kalkulus supragingiva menutupi
tidak lebih dari 1/3 permukaan
gigi
2 Terdapat debris menutupi lebih dari
1/3 sampai 2/3 permukaan gigi
Kalkulus supragingiva menutupi
lebih dari 1/3 sampai 2/3
permukaan gigi
3 Terdapat debris menutupi lebih dari
2/3 permukaan gigi
Kalkulus supragingiva menutupi
lebih dari 2/3 permukaan gigi
(Sumber: Kartiyani, 2010)
Pengukuran status gingiva, menurut Loe dan Silness, menggunakan
parameter dari Gingival Index. Status gingiva menggambarkan kondisi gingiva
dalam keadaan normal atau inflamasi, baik inflamasi ringan, sedang, dan berat.
Gingival Index adalah hasil pembagian skor yang didapatkan dengan jumlah gusi
yang diperiksa. Berikut ini adalah kriteria skor GI:52
- 0 : gingiva normal
- 1 : inflamasi ringan pada gingiva yang ditandai dengan perubahan warna,
sedikit edema, palpasi tidak terjadi perdarahan
- 2 : inflamasi sedang pada gingiva yang ditandai dengan perubahan warna,
edema, mengkilat, palpasi terjadi perdarahan
- 3 : inflamasi berat pada gingiva yang ditandai dengan perubahan warna
menjadi merah terang atau merah menyala, edema terjadi ulserasi,
perdarahan spontan
Penggolongan keparahan inflamasi pada gingiva dapat ditentukan
berdasarkan GI:
- 0,0-1,0 = inflamasi ringan
- 1,1-2,0 = inflamasi sedang
- 2,1-3,0 = inflamasi berat
27
2.1.3.2. Efek Rokok Terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut
Rokok tidak hanya menyebabkan efek ke sistem kardiovaskular dan paru
saja, namum banyak di antara sistem tubuh manusia yang akan terganggu akibat
paparan rokok secara berkepanjangan. Salah satu nya adalah sistem pencernaan,
contohnya di rongga mulut. Kebiasaan merokok berkaitan dengan perubahan
mukosa dan jaringan periodontal.
Menurut Widijanto (2010) dan George (2008), kapasitas dapar dan pH
saliva pada perokok lebih rendah dibandingkan dengan bukan perokok.
Bikarbonat merupakan salah satu komponen penting di dalam saliva yang
berperan dalam pengaturan sistem dapar saliva. Kadar bikarbonat yang menurun
akan menyebabkan kegagalan saliva dalam menetralisasi produk hasil
metabolisme flora di rongga mulut, terutama di plak gigi, dan akhirnya
mengakibatkan demineralisasi enamel dan dentin. Proses itu yang mendasari
penelitian mengenai prevalensi karies gigi lebih tinggi pada perokok
dibandingkan dengan bukan perokok.53,54
Selain itu, merokok juga dapat mengakibatkan penurunan laju aliran saliva
yang pada akhirnya memiliki keterkaitan dengan berkurangnya fungsi saliva
dalam menetralisasi produk asam di rongga mulut. Selain itu, peningkatan
populasi Streptococcus mutans juga terjadi akibat modifikasi fungsi saliva oleh
pengaruh rokok. Enzim glukosiltransferase yang dimiliki oleh mikroorganisme
tersebut mengakibatkan peningkatan produksi glukan adhesif, yang menyebabkan
perlekatan dan akumulasi mikroba pada pelikel saliva di permukaan gigi. Hal
tersebut merupakan salah satu tahap awal patogenesis karies gigi.
Di sisi lain, rokok juga memberikan dampak terhadap jaringan
periodontal. Dampak tersebut berhubungan erat dengan kuantitas konsumsi
merokok per hari dan lamanya merokok. Menurut Bouqot (dalam Debora (2011)),
nikotin yang merupakan salah satu produk yang dihasilkan dari pembakaran rokok
merupakan vasokonstriktor, sehingga menyebabkan gangguan vaskularisasi ke
jaringan periodontal dan menyebabkan nekrosis hingga ulserasi jaringan gingiva,
sehingga meningkatkan risiko terjadinya infeksi gingiva hingga gingivitis kronis,
28
yang dikenal sebagai acute necrotizing ulcerative gingivitis (ANUG). ANUG
ditandai ditandai dengan nekrosis papil interdental, gingivitis ulceromembranosa,
dan ulkus spesifik pada membran mukosa yang dikenal dengan abklatsch ulcer.
Di sisi lain, hasil pembakaran rokok juga meningkatkan risiko hilangnya
perlekatan membran periodontal yang memicu pembentukan kantung periodontal
dan selanjutnya kerusakan tulang alveolar dan resesi gingiva. Hal tersebut
menyebabkan gigi menjadi goyang dan mudah terlepas.55
Selain itu, penurunan kualitas kesehatan gigi dan mulut, terutama dari nilai
CI dan GI yang tinggi, akan menyebabkan gangguan kerja dari enzim karbonat
anhidrase VI, sehingga terjadi penurunan buffer dari saliva dalam mengontrol pH
di permukaan gigi setelah terpapar oleh hasil fermentasi karbohidrat dan
menyebabkan risiko karies gigi meningkat.67
Gambar 2.8. Pengaruh merokok terhadap jaringan periodontal
(Sumber: Debora, 2011)
29
2.2. Kerangka Teori
Faktor yang mempengaruhi pH saliva
Rokok Konsumsi
kopi
Paparan bahan
kimia dalam
jangka
panjang
Karies
gigi
Terdapat
karbo-
hidrat
Jenis rokok
Kandungan
kimia lebih
tinggi
Kretek
Nikotin
Produksi
sitokin pro-
inflamatorik
dan mediator
inflamasi
Lama merokok
& jumlah
batang perhari
Radikal bebas
Sisa
makanan
pada gigi
berlubang
Induksi
glikolisis
oleh bakteri
kariogenik
Fermentasi
glukosa
Coumarin Eugenol
Efek anti-
inflamasi
Inhibisi
sintesis
prostaglan
din &
imuno-
globulin
dalam
saliva
Gangguan sistem
buffer di rongga
mulut
Risiko
infeksi
mikroorga
nisme
meningkat
Produksi saliva
menurun
Kadar bikar-bonat
dalam saliva
menurun
Zat toksik
terhadap
kelenjar
saliva
Perlekatan &
akumulasi di
permukaan
gigi
Deminera-
lisasi enamel
& dentin
Penurunan
kesehatan gigi &
mulut pH saliva menurun
Aktivitas kelenjar
saliva menurun Gangguan
penetralisiran
produk
metabolit
flora
Risiko infeksi
bakteri
asidurik
Vasokons
triksi
jaringan
gingiva
Iskemik
gingiva
Instabi-
litas
gingiva
30
2.3. Kerangka Konsep
= Variabel bebas
= Variabel yang diteliti
= Variabel perancu
Kebiasaan merokok
- Jenis rokok
- Kandungan rokok
dan asap rokok
- Efek panas
pembakaran
Derajat keasaman (pH)
saliva menjadi asam
Kerusakan sel dan jaringan
saliva
- Lama merokok dan
jumlah merokok perhari
- Karies gigi
- Kebiasaan minum kopi
-
Status kesehatan gigi dan
mulut menurun
31
2.4. Definisi Operasional
No. variabel Definisi Pengukur Alat
Ukur
Cara Ukur Skala
Pengukuran
1. pH saliva Derajat keasaman
yang digunakan
untuk menyatakan
tingkat keasaman
atau kebasaan
suatu cairan
kompleks pada
rongga mulut
yang terdiri atas
campuran hasil
sekresi beberapa
kelenjar saliva
Peneliti Indikator
pH
universal
Strip pH
dicelupkan
ke dalam
tabung ukur
selama 3
detik
kemudian
perubahan
warna
disesuaikan
dengan papan
warna yang
tersedia dari
pabrik
Numerik
2 Status
merokok
Dikatakan
perokok jika saat
pengambilan
sampel telah
menjadi perokok
aktif dan masuk
kriteria inklusi
Peneliti Form
identitas
dan
riwayat
merokok
Melakukan
wawancara
dan pengisian
form data
subjek
penelitian
Kategorik
nominal
3 Derajat
keparahan
merokok
Nilai yang
menunjukkan
derajat keparahan
merokok yang
didapat dari hasil
perkalian jumlah
batang rokok
Peneliti Indeks
Brinkman
Pengisian
form data
subjek
penelitian
Numerik
32
perhari dengan
lama merokok
dalam tahun
4 Jenis
rokok
kretek
Salah satu jenis
rokok yang terdiri
atas campuran
tembakau dengan
cengkeh
Peneliti Form
data
subjek
penelitian
Pengisian
form data
subjek
penelitian
Kategorik
nominal
5 Jenis
rokok
bukan
kretek
Semua jenis rokok
selain rokok
kretek, seperti
rokok putih,
herbal, dan
lainnya
Peneliti Form
data
subjek
penelitian
Pengisian
form data
subjek
penelitian
Kategorik
nominal
6 Konsumsi
kopi
Kebiasaan
mengkonsumsi
rokok dalam
sehari dengan
jenis kopi apapun
Peneliti Form
data
subjek
penelitian
Pengisian
form data
subjek
penelitian
Numerik
7 OHIS
(Oral
Hygiene
Index
Simplified)
Nilai yang
menunjukkan
status kebersihan
mulut
Dokter
gigi
Indeks
OHIS
Pemeriksaan
gigi dan
mulut
Numerik
8 DI (Debris
Index)
Nilai yang
menunjukkan
ketebalan debris
di permukaan gigi
Dokter
gigi
Indeks DI Pemeriksaan
gigi dan
mulut
Numerik
9 CI
(Calculus
Index)
Nilai yang
menunjukkan
kalkulus pada gigi
Dokter
gigi
Indeks CI Pemeriksaan
gigi dan
mulut
Numerik
10 GI Nilai yang Dokter Indeks GI Pemeriksaan Numerik
33
(Gingival
Index)
menunjukkan
gingiva, berupa
warna,
konsistensi, dan
kecenderungan
perdarahan
gigi gigi dan
mulut
34
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini bersifat analitik bivariat tidak berpasangan dengan desain
penelitian berupa studi potong lintang (cross sectional study), dimana
pengumpulan data atau variabel yang akan diteliti dilakukan secara bersamaan
dalam satu waktu.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat
Pengukuran pH pada saliva akan dilakukan di Medical Research
Laboratory dan sekitar kampus Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.2.2 Waktu
Penelitian dilakukan selama bulan Maret – Juni 2016.
3.3 Kriteria Subjek Penelitian
Kriteria inklusi umum:
1. Laki-laki
2. Usia 20-55 tahun
3. Bersedia menyetujui informed consent
4. Kriteria partipisan perokok kretek:
Menjadi perokok aktif dengan mengkonsumsi rokok kretek minimal 5
tahun
5. Kriteria partisipan perokok non kretek:
Menjadi perokok aktif dengan mengkonsumsi rokok non kretek
minimal 5 tahun
35
Kriteria ekslusi umum:
1. Sedang berpuasa saat pengambilan saliva
2. Tidak dapat berpartisipasi karena kondisi psikologis yang buruk (gaduh
gelisah, agitasi)
3. Memiliki riwayat penyakit sistemik yang berhubungan dengan kelenjar
saliva (DM, tumor)
4. Mengkonsumsi obat-obatan yang dapat mempengaruhi konsentrasi saliva
3.4 Besar Sampel
Besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan rumus besar sampel
penelitian analitik tidak berpasangan dengan variabel numerik yakni sebagai
berikut:
Keterangan:
Zα = kesalahan tipe I sebesar 5% = 1,645
Zβ = kesalahan tipe II sebesar 10% = 1,282
(X1 – X2) = selisih minimal yang dianggap bermakna = 2,00
S = Sg = standar deviasi, diperoleh dengan rumus:
Keterangan:
Sg = standar deviasi gabungan
S1 = standar deviasi kelompok 1 pada penelitian sebelumnya
n1 = besar sampel kelompok 1 pada penelitian sebelumnya
S2 = standar deviasi kelompok 2 pada penelitian sebelumnya
n2 = besar sampel kelompok 2 pada penelitian sebelumnya
36
Hasil perhitungan berdasarkan penelitian I Putu tahun 2014:
(Sg)2= [0,2522 x (20-1) + 0,2602 x (20-1)]
20+20-2
= 1,206576 + 1,2844
38
Sg = √0,065552
Sg = 0,256
Setelah dimasukkan ke dalam rumus:
N = 2 [(1,645 + 1,645) x 0,256]2
(0,23)2
N = 26,82 (Bulatkan 27)
Berdasarkan kerangka teori didapatkan tiga faktor yang mempengaruhi pH
saliva tetapi tidak dapat dikeluarkan pada penelitian ini, yaitu karies gigi, lama
merokok dan jumlah rokok perhari, dan kebiasaan mengkonsumsi kopi. Dengan
demikian, jika digunakan rumus besar sampel rule of ten, didapatkan perhitungan
sebagai berikut:
N1=N2= confounding factors x 10
= 3 x 10 = 30
Dengan demikian, jumlah sampel yang digunakan untuk penelitian ini diambil
berdasarkan hasil terbesar dari perhitungan sampel, yaitu 30 orang untuk setiap
kelompok.
37
3.5 Alat dan Bahan
3.5.1 Alat Penelitian
Tabung sampel 15 mL
Corong 40 mL
Indikator pH universal Merck
Rak tabung
Coolbox berisi es batu
3.5.2 Bahan Penelitian
Saliva perokok kretek
Saliva perokok non kretek
3.6 Cara Kerja Penelitian
Menentukan subjek penelitian sesuai dengan kriteria inklusi.
Mendapatkan informed consent dari subjek penelitian, pengisian rekam
medis dan kuesioner serta memberikan penjelasan kepada subjek
mengenai prosedur pengambilan saliva.
Subjek tidak diperbolehkan makan dan minum 1 jam sebelum
pengambilan saliva.
Pemeriksaan gigi dan mulut responden dilakukan oleh dokter gigi, untuk
mengetahui status GI (Gingival Index), CI (Calculus Index), dan OHIS
(Oral Hygiene Index Simplified).
Subjek diminta untuk meludahkan saliva (unstimulated saliva) pada
tabung sampel 15 mL melalui corong setiap 1 menit dengan total 5 kali
pengambilan (5 menit) dan tidak berbicara selama proses tersebut. Waktu
pengambilan saliva antara pukul 09.00 – 11.00 pagi untuk meminimalisir
efek sirkadian.
Tabung berisi saliva dimasukkan ke dalam tempat yang berisi es pendingin
komposisi saliva hingga dibawa ke Laboratorium FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
38
Pengukuran pH saliva dengan indikator pH universal. Strip dimasukkan ke
dalam tabung hingga terendam selama 3 detik dan dilakukan pembacaan
langsung dalam 30 detik setelah strip dicelupkan.
Strip disesuaikan dengan papan indikator pH universal dan dicatat
perubahan warna yang terjadi.
3.7 Alur Penelitian
3.8 Identifikasi Variabel
Variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain:
Variabel bebas atau independen pada penelitian ini adalah rokok kretek
dan rokok non kretek
Variabel terikat atau dependen pada penelitian ini adalah pH saliva
Variabel perancu pada penelitian ini adalah karies gigi, lama merokok dan
kebiasaan merokok, serta kebiasaan mengkonsumsi kopi
Pembuatan proposal penelitian
Ethical clearance dari komisi etik
Pemilihan subjek penelitian
Pemeriksaan pH saliva sampel
Inform consent kepada subjek
Pengambilan sampel saliva
Pengolahan data
39
3.9 Rencana Manajemen dan Analisis Data
Data hasil pengukuran pH saliva dan data kuesioner dari subjek penelitian
dikumpulkan kemudian dimasukkan ke dalam komputer dan dianalisis dengan
menggunakan SPSS v22. Data dianalisa secara deskriptif untuk mengetahui
rerata, standar deviasi, median, dan nilai minimum serta maksimum.
Normalitas distribusi data diuji dengan Kolmogorov Smirnov untuk jumlah
sampel lebih dari 50 dan uji Shapiro Wilk untuk jumlah sampel kurang dari
50.
Uji hipotesis untuk membandingkan pH saliva perokok non kretek dan
perokok kretek menggunakan uji unpaired t-test, namun jika distribusi data
tidak normal, uji Mann Whitney bisa digunakan untuk pengujian. Untuk
menganalisis pengaruh variabel rokok kretek, non kretek, dan non perokok
terhadap pH saliva, uji Jonckheere Tepstra Test digunakan karena kelompok
dalam variabel independen bersifat berjenjang. Sedangkan uji hipotesis untuk
membandingkan status kesehatan gigi dan mulut pada perokok kretek, non
kretek, dan non perokok sebagai kontrol, uji one way anova digunakan apabila
distribusi data normal. Selanjutnya, analisis post hoc Tukey HSD dipilih bila
hasil uji homogenesitas menunjukkan nilai normal. menggunakan Dilihat dari
p value, jika nilai p<0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan
antara pH dari perokok kretek dan perokok non kretek.
40
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Penelitian ini menggunakan 110 sampel yang terdiri dari 31 sampel
perokok kretek, 47 sampel perokok non kretek dan 32 sampel non perokok.
Karakteristik 110 sampel tersebut seperti usia, tingkat pendidikan, dan kebiasaan
konsumsi kopi dapat dilihat pada tabel 4.1 di bawah ini.
Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian (n=110)
Karakteristik
Perokok Kretek
n=31
Perokok Non
Kretek
n=47
Non Perokok
n=32
(100%) (100%) (100%)
Usia
20-24 tahun
25-44 tahun
45-64 tahun
Rerata ± SD
0(0)
12(38,8)
19(61,3)
1(2,1)
29(61,7)
17(36,2)
3(9,4)
18(56,3)
11(34,4)
46,07 ± 7,86 39,67 ± 7,66 37,88 ± 10,03
Konsumsi Kopi
0-2 gelas
>2 gelas
Median
16(51,6)
15(48,4)
30(63,8)
17(36,2)
29(90,6)
3(9,4)
2 (0-7)* 2 (0-5)* 2 (0-7)*
*median (minimal-maksimal)
Hasil penelitian menunjukkan usia subjek penelitian berkisar antara 20
hingga di atas usia 55 tahun. Usia 45-64 tahun merupakan kelompok terbanyak
pada kelompok perokok kretek (61,3%), sedangkan usia 25-44 tahun merupakan
kelompok terbanyak pada kelompok perokok non kretek (61,7%). Usia 25-44
tahun juga merupakan kelompok usia dengan jumlah non perokok tertinggi
dibandingkan dengan kelompok usia lainnya (56,3%). Berdasarkan konsumsi
kopi, kelompok perokok kretek yang mengkonsumsi lebih dari 2 gelas kopi per
41
hari nya lebih besar (48,4%) jumlahnya dibandingkan kelompok non kretek dan
non perokok (36,2% dan 9,4%).
4.1.2 Karakteristik Perokok
Didapatkan karakteristik dari data perokok sebanyak 78 orang berikut ini.
Tabel 4.2 Karakteristik Perokok (n=78)
Jumlah (n) Persentase (%)
Jenis Rokok
Kretek 31 39.7
Non Kretek 47 60.3
Indeks Brinkman
Ringan (≤ 200) 31 39.7
Sedang (201-600) 27 34.6
Berat (>600) 20 25.6
Berdasarkan jenis rokok, rokok non kretek menjadi jenis rokok yang
terbanyak dikonsumsi oleh perokok (60,3%). Berdasarkan indeks Brinkman, hasil
penelitian menunjukkan jumlah terbanyak berada pada kelompok indeks
Brinkman kelompok ringan (39,7%) dan kelompok sedang (34,6%).
4.1.3 Status Kesehatan Gigi dan Mulut Subjek Penelitian
Tabel 4.3 Status Kebersihan Mulut Subjek Penelitian (n=110)
Karakteristik
Perokok Kretek
n=31
Perokok Non Kretek
n=47
Non Perokok
n=32
(100%) (100%) (100%)
OHIS
Baik 0 (0) 0 (0) 4 (12,5)
Sedang 19 (61,3) 38 (80,9) 25 (78,1)
Buruk 12 (38,7) 9 (19,1) 3 (9,4)
42
Tabel 4.4 Status Kesehatan Gigi dan Mulut Subjek Penelitian (n=110)
Karakteristik
Kretek
n = 31
Non Kretek
n = 47
Non Perokok
n = 32
p value
Debris Index (DI) 1,00 (0,33-2,00)* 1,00 (0,33-1,67)* 0,83 (0,17-1,50)* 0,019**
Calculus Index (CI) 1,83 (1,00-2,83)* 1,67 (0,67-2,67)* 1,67 (0,33-2,33)* 0,018**
Gingiva Index (GI) 1,33 (0,83-6,00)* 1,17 (0,33-2,33)* 1,17 ± 0,50 0,192
OHIS Score 2,81 ± 0,71 2,54 ± 0,59 2,26 ± 0,80 0,009**
*median (minimal-maksimal)
**p <0,05
Berdasarkan status kesehatan gigi dan mulut, kelompok perokok kretek
dengan status kebersihan mulut (OHIS) yang buruk memiliki persentase lebih
besar (38,7%) dibandingkan dengan perokok non kretek dan non perokok (19,1%;
9,4%). Dari hasil uji one way anova, didapatkan perbedaan nilai OHIS perokok
kretek yang secara bermakna lebih tinggi dibandingkan dengan perokok non
kretek dan non perokok (p= 0,009). Selain itu, berdasarkan hasil uji Jonckheere-
Terpstra Test, terdapat perbedaan bermakna pada nilai DI dan CI perokok kretek
(p= 0,019; 0,018) dibandingkan dengan perokok kretek dan non perokok. Dari
analisis post hoc didapatkan perbedaan bermakna OHIS antara perokok kretek
dengan non perokok (p= 0,006; Tukey HSD). Begitu pula dengan analisis antar
kelompok dengan uji Mann Whitney, didapatkan nilai bermakna DI dan CI antara
perokok kretek dengan non perokok (p= 0.031; 0.012). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa rokok kretek cenderung dapat menurunkan kualitas kesehatan
gigi dan mulut lebih besar dibanding rokok non kretek dan non perokok.
4.1.4 Derajat Keasaman (pH) Saliva Subjek Penelitian
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa nilai median derajat keasaman
(pH) saliva pada subjek perokok dengan jenis rokok kretek (6,00 (5,00-7,00))
lebih rendah dibandingkan subjek perokok dengan jenis rokok non kretek (6,00
(5,00-8,00)). Sedangkan derajat keasaman pada subjek non perokok didapatkan
hasil lebih tinggi (7,00 (6,00-8,00)) dibandingkan dengan subjek perokok.
43
4.1.5 Hubungan Jenis Rokok dan Konsumsi Kopi dengan Derajat Keasaman
(pH) Saliva
Tabel 4.5 Hubungan Jenis Rokok dan Konsumsi Kopi dengan Derajat Keasaman
(pH) Saliva
Karakteristik Jumlah
(n)
pH
median (minimal-
maksimal)
Effect Size p value
Jenis Rokok
0,025*
Kretek 31 6 (5-7)
-0,329 Non Kretek 47 6 (5-8)
Non Perokok 32 7 (6-8)
Konsumsi Kopi
0,000**
>2 gelas 35 6 (5-7)
-0,453 ≤2 gelas 75 6 (5-8)
*p <0,05
**p <0,001
Setelah dilakukan uji statistik Jonckheere-Terpstra Test pada pH perokok
kretek, non kretek, serta pH non perokok sebagai kontrol, didapatkan hasil p value
0.025. Sedangkan dari konsumsi kopi, berdasarkan analisis bivariat dengan uji
Mann Whitney terdapat pula perbedaan signifikan derajat keasaman (pH) saliva
kelompok yang mengkonsumsi lebih dari 2 gelas sehari dengan yang
mengkonsumsi kurang dari atau sama dengan 2 gelas per harinya (p= <0,001).
Selain itu dari hasil perhitungan, jenis rokok (0,329) dan konsumsi kopi (0,453)
sama-sama memiliki effect size yang sedang menurut klasifikasi Cohen.
4.2 Pembahasan
Penelitian dengan 110 sampel perokok yang terdiri dari 31 sampel perokok
kretek dan 47 sampel perokok non kretek ini memiliki karakteristik subjek
penelitian dengan rerata usia 46,07 tahun untuk kelompok perokok kretek dan
39,67 tahun untuk kelompok perokok non kretek. Rentang usia pada perokok
kretek terbanyak adalah usia 45-64 tahun, sedangkan usia 25-44 tahun merupakan
rentang usia terbanyak pada kelompok perokok non kretek. Hal tersebut berbeda
bila dikaitkan dengan hasil Global Adult Tobacco Survey: Indonesia Report 2011
44
yang menunjukkan bahwa kelompok perokok laki-laki di Indonesia didominasi
oleh kelompok usia 25-44 tahun, dimana dari 29,2 juta perokok, 26,9 juta diantara
nya adalah perokok kretek. Sedangkan usia 45-64 tahun memegang prevalensi
tertinggi kelompok perokok yang mengkonsumsi hand-rolled cigarettes.
Berdasarkan frekuensi merokok pada perokok laki-laki, kelompok usia 25-44
tahun juga memegang persentase tertinggi untuk kelompok perokok kretek harian
(daily kretek smokers), dan diikuti oleh kelompok usia 45-64 tahun. Dalam GATS
2011 disebutkan pula bahwa kelompok usia 25-44 tahun mengkonsumsi rokok
kretek dengan jumlah rerata terbesar (12,1 batang/hari) dan diikuti oleh kelompok
usia 45-64 tahun (11,8 batang/hari).63
Sebagian besar subjek penelitian mengkonsumsi kopi setiap hari nya. Pada
kelompok perokok kretek didapatkan 51,6% mengkonsumsi 0-2 gelas kopi setiap
hari nya. Sedangkan pada kelompok perokok non kretek didapatkan 63,8%
mengkonsumsi 0-2 gelas kopi perhari (Tabel 4.1). Walaupun tidak ada perbedaan
bermakna antara konsumsi kopi perokok kretek dan non kretek, namun kebiasaan
mengkonsumsi kopi ini menyebabkan kemungkinan terjadi perubahan pH saliva.
Seperti penelitian Syifa (2015), yang menyatakan pengaruh kopi terhadap
penurunan pH saliva yang signifikan. Selain itu, terdapat penelitian Andriany dkk
(2012) yang menunjukkan terdapat pengaruh kopi Ulee Kareng (Arabica Coffee)
terhadap penurunan pH saliva.15,57
Peran rokok terhadap pH saliva pada penelitian ini dilihat dari jenis rokok
yang dikonsumsi. Didapatkan jumlah sampel perokok kretek lebih sedikit (39,7%)
dibandingkan perokok non kretek sebesar 60,3% (Tabel 4.2). Setelah dilakukan
uji statistik, pH saliva perokok kretek berbeda bermakna dengan pH saliva
perokok non kretek dan non perokok (p=0,025). Hal ini menunjukkan bahwa pH
saliva perokok kretek lebih asam dibandingkan pH saliva perokok kretek dan non
perokok. Hasil ini sesuai dengan penelitian Arta (2014), bahwa didapatkan
penurunan pH saliva yang lebih signifikan pada perokok kretek dibandingkan
dengan non kretek (p=0,03). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Syifa
(2015), juga menyatakan hasil bermakna perbedaan pH saliva perokok kretek dan
non kretek (p=0,038). Hasil tersebut terjadi karena perbedaan kandungan antara
45
rokok kretek dan non kretek. Rokok kretek memiliki kandungan tar lebih tinggi
dibandingkan rokok jenis lainnya. Berdasarkan penelitian Malson (2003), rokok
kretek lebih banyak mengeluarkan tar, nikotin, dan karbon monoksida
dibandingkan dengan rokok non kretek melalui uji coba berbasis mesin.58
Dibandingkan dengan pH saliva non perokok, pada penelitian ini perbedaan
bermakna didapatkan baik dengan pH saliva kelompok perokok kretek (p<0,001)
dan dengan pH saliva kelompok perokok non kretek (p=0,002). Hal tersebut
menunjukkan bahwa kandungan zat kimia pada rokok sangat berperan dalam
menurukan derajat keasaman saliva.
Sampel perokok yang didapatkan pada penelitian ini sebagian besar
mengkonsumsi kopi setiap harinya. Pada penelitian ini didapatkan hasil bermakna
hubungan antara pH saliva dengan konsumsi kopi (p<0,001). Penyebab penurunan
pH saliva menjadi asam adalah kandungan karbohidrat sederhana yang tinggi di
dalam kopi akan menyebabkan tingginya proses fermentasi di dalam mulut oleh
bakteri sehingga asam terbentuk dan menyebabkan penurunan pH saliva tersebut
sampai di bawah 5.5.15,57
Penelitian ini juga melakukan perhitungan effect size untuk menilai
besarnya efek jenis rokok dan konsumsi kopi terhadap pH saliva sebagai
pelengkap informasi hasil analisis bivariat melalui uji signifikansi. Hasil
berdasarkan jenis rokok (0,329) dan konsumsi kopi (0,453) menggambarkan effect
size yang sedang terhadap pH saliva. Hal ini menggambarkan bahwa variabel-
variabel independen dalam penelitian ini memiliki kekuatan perbedaan dengan
tingkat sedang terhadap variabel dependen. Effect size ini dapat dijadikan acuan
bahwa dalam penelitian berikutnya, jumlah sampel yang digunakan sebaiknya
lebih besar dalam rangka meningkatkan power dari analisis, walaupun secara uji
signifikansi sudah memberikan hasil yang bermakna.64
Peran rokok terhadap pH saliva juga dapat dilihat dari kebiasaan merokok
yang dikategorikan dengan indeks Brinkman. Berdasarkan penelitian Amaniko
(2016), pH saliva perokok berat berbeda bermakna dengan dengan perokok
ringan-sedang dan non perokok sebagai kontrol (p<0,001). Hal ini menunjukkan
46
bahwa semakin lama konsumsi rokok dan semakin banyak jumlah batang rokok
yang dikonsumsi setiap harinya berpengaruh terhadap perubahan pH saliva
menjadi asam yang terjadi pada kelompok perokok. Hal ini sesuai dengan
penelitian Syifa (2015) yang menyatakan perbedaan bermakna pH saliva perokok
indeks Brinkman ringan dengan perokok indeks Brinkman berat (p= 0,027).
Selain itu, pada penelitian ini dilakukan analisis pH saliva kelompok perokok
dengan non perokok. Didapatkan hasil perbedaan bermakna pada pH saliva
kelompok kretek (p=0,004) maupun kelompok non kretek (p<0,001) bila
dibandingkan dengan non perokok. Berdasarkan penelitian Mangoenprasodjo
(2004) dalam Krisna (2011), kandungan rokok kretek yang salah satunya terdiri
atas cengkeh ternyata mengandung bahan eugenol yang jika dihisap saat merokok
dapat masuk melalui lubang mikro bagian organik dari email hingga mampu
mencapai perbatasan email dan dentin, sehingga menyebabkan terbentuknya
karies gigi atau gigi berlubang, dan hal tersebut sangat dipengaruhi oleh lamanya
seseorang merokok atau indeks Brinkman-nya.8,15
Hal ini berkebalikan dengan hasil penelitian Al-Weheb (2005), yang
melihat efek rokok terhadap karies gigi dan pH saliva. Didapatkan pH saliva
perokok (7,32 ± 0,40) lebih tinggi dibandingkan non perokok (7,24 ± 0,42).
Perbedaan ini bisa terjadi akibat beberapa faktor yang memungkinkan, salah
satunya adalah metode pengambilan sampel saliva. Pada penelitian tersebut
digunakan sampel saliva yang distimulasi.19
Selain mempengaruhi pH saliva, rokok juga dapat mempengaruhi
kesehatan gigi dan mulut pada penelitian ini. Hal ini dibuktikan dari nilai OHIS
yang tinggi pada kelompok perokok. Indeks ini diperoleh dari hasil penilaian DI
dan CI. Pada penelitian ini ditemukan perbedaan bermakna pada nilai DI, CI, dan
OHIS perokok kretek (p= 0,019; 0,018; 0,009) dibandingkan dengan perokok non
kretek dan non perokok. Hal ini sejalan dengan penelitian Syifa (2015) yang
meneliti OHIS pada perokok dan non perokok menunjukkan nilai bermakna (p =
0,021). Walaupun tidak ada perbedaan bermakna pada GI score, namun nilai GI
perokok kretek (6,00) lebih tinggi dibandingkan dengan perokok non kretek dan
non perokok (2,33; 0,50). Berdasarkan penelitian Farida (1995), hal tersebut
47
terjadi karena tinggi nya kadar eugenol di rokok kretek menyebabkan efek toksin
sekaligus efek anti inflamasi yang besar akibat dihambatnya sintesis prostaglandin
dan antibakteri di dalam saliva, sehingga menyebabkan kerusakan pada gigi.
Akibatnya, permukaan gigi menjadi kasar dan mempercepat akumulasi plak pada
gigi. Selain itu, kadar nikotin yang tinggi pada rokok kretek berperan sebagai
vasokonstriktor di jaringan gingiva, sehingga menyebabkan risiko perdarahan
pada gingiva. Nikotin juga berperan sebagai inhibitor produksi antibodi sehingga
meningkatkan risiko infeksi pada gingiva.59 Hal ini sesuai dengan penelitian Dani,
dkk (2012), pada sembilan merek rokok kretek di Indonesia, bahwa kandungan
nikotin 7 dari 9 merk rokok tersebut melebihi standar kadar nikotin di Indonesia
yang ditetapkan sebesar 2%.50 Penelitian dari Anton, dkk (2006), yang mencari
risiko merokok kretek terhadap penyakit periodontium menunjukkan bahwa efek
nikotin menyebabkan risiko infeksi di jaringan gingiva yang seharusnya bisa
dicegah dengan kemotaktik dan fagositik polimorfonukleus.56
pH merupakan salah satu sarana penting dalam menjaga integritas gigi dan
jaringan rongga mulut, terutama dalam pengaturan demineralisasi dan
remineralisasi jaringan keras di gigi. Penurunan pH menjadi asam akan
meningkatkan proses demineralisasi gigi, sehingga karies gigi akan cepat
meningkat frekuensinya dalam suasana asam. Sedangkan kenaikan pH akan
menjadikan suasana rongga mulut basa dan memicu pembentukan kalkulus atau
karang gigi. Kalkulus adalah plak hasil dari kalsifikasi yang bersifat patologis
yang berhubungan dengan penyakit periodontal.20
Dengan bukti-bukti yang ditemukan pada penelitian ini, baik perokok
maupun masyarakat diharapkan dapat mengurangi serta menghindari kebiasaan
merokok.
4.3 Aspek Keislaman
Allah SWT telah memberikan pedoman dan petunjuk hidup secara rinci
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, salah satunya adalah dalam hal
48
menjaga kesehatan tubuh yang merupakan amanah dari-NYA. Allah SWT
berfirman:
Artinya: “….Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan….” (QS. Al-Baqarah: 195)
Allah juga berfirman:
Artinya: “….Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha
Penyayang kepadamu….” (QS. An-Nisaa: 29).
Dalam Bughyah al-Mustarshidin :
باك ن ت بح من معروف ال حالل أق يه اذ ال حال اذهاب ف مال ال ال وال تار و خ ه ي عمال ت س ال ا أو أك
عوطا س ا أو شرب ه دخان ال رجال من مروءة ذو ب د ال تى وق مه أف تحري مة ب كمال أهل من أئ ال
Tembakau adalah termasuk daripada perkara yang terburuk dalam perkara halal,
karena dalam perbuatan menghisapnya berlakulah kehilangan hal (kerohanian
yang baik yang diamali seseorang ahli rohaninya) dan kehilangan harta, dan orang
yang mempunyai maruah dari kalangan ahli rohani yang baik martabatnya (orang
yang ada maruah dari kalangan lelaki) tidak melakukan perbuatan menggunakan
tembakau itu menyedotnya melalui hidung, atau menghisap asapnya, dan telah
memberi fatwa tentang haramnya imam-imam dari kalangan ahli rohani yang
sempurna (a’immah min ahl al-kamal) (seperti Sayyid ‘Abd Allah al-Haddad dan
seterusnya…).
Baik dalam Al-Qur’an, Hadist, dan pendapat ulama telah dijelaskan bahwa
manusia tidak diperbolehkan melakukan hal yang dapat mengakibatkan
49
kebinasaan bagi dirinya, apalagi sampai membunuh dirinya sendiri. Merokok
merupakan salah satu kebiasaan hidup yang dapat memicu kerusakan pada tubuh
manusia karena berbagai komponen kimia yang terkandung di dalamnya. Tidak
hanya masalah kesehatan gigi dan mulut, merokok juga dapat menjadi faktor
risiko berbagai macam penyakit, tidak terkecuali penyakit kardiovaskuler, seperti
stroke. Menurut baseline health research tahun 2007, 15,4% kematian di dunia
disebabkan oleh penyakit stroke. Selain itu, tidak hanya perokok aktif yang
mendapatkan kerugian akibat merokok, perokok pasif atau orang yang berada di
sekitar perokok juga berisiko menerima dampak buruk akibat terpapar oleh asap
rokok. Nabi bersabda:
“Tidak ada kemudharatan terhadap diri sendiri dan tidak juga kepada orang
lain” (HR. Ibnu Majah no 2341).
Oleh karena itu, sebaiknya para perokok mulai berusaha untuk mengurangi
konsumsi rokok hingga akhirnya berhenti. Tujuan nya tidak hanya untuk menjaga
kesehatan diri sendiri dan kesehatan orang di sekitarnya, namun dalam rangka
bertakwa kepada Allah SWT dengan menjalankan perintah dan menjauhi
larangan-NYA.
50
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan:
Didapatkan kecenderungan derajat keasaman (pH) saliva perokok kretek
lebih asam dibandingkan perokok non kretek (p = 0,004) dan memiliki nilai
terendah dibandingkan perokok kretek dan non perokok (p= 0,025).
5.2 Saran
Untuk penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan:
1. Dibutuhkan penelitian lanjutan dengan penilaian kadar bikarbonat antara
saliva perokok kretek dan perokok non kretek.
2. Dibutuhkan penelitian lanjutan dengan penilaian pH perokok dengan tipe
rokok batangan dibandingkan dengan rokok tipe elektronik atau vape.
51
DAFTAR PUSTAKA
1. World Heart Organization: Tobacco: Deadly in Any Form or Disguise.
Switzerland: WHO Press; 2006: 11-27
2. World Lung Foundation. The Tobacco Atlas 5th ed. Atlanta: American Cancer
Society, Inc; 2015: 8-23
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013. Jakarta: Kemenkes RI; 2013: 132-38
4. Thamrin AMH. Deteksi Waktu Transportasi Mukosiliar pada Perokok dan Non
Perokok dengan Uji Sakarin. Repository UIN Jakarta; 2014: 1-59
5. Gondodiputro S. Bahaya tembakau dan bentuk-bentuk sediaan tembakau.
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat FK UNPAD; 2007: 1-19. [internet].
Available from: http://recources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi.
Accessed July 23rd, 2016
6. Korsmeyer EP, Kranzler HR. Encyclopedia of Drugs, Alcohol and Addictive
Behaviour Vol.4.3rd ed. Detroit: Macmillan Reference USA; 2009. p.95-130
7. Aula LE. Stop Berhenti Merokok. Yogyakarta: Garailmu;2010: 1-20
8. Arta IPKP. Perbedaan pH Saliva pada Perokok Putih dan Perokok Kretek
Sesaat Setelah Merokok. Jurnal Universitas Mahasaraswati Denpasar; 2013:
12-15
9. Almeida PDV, Grẻgio AMT, Machado MAN, Lima AAS, Azevedo LR. Saliva
composition and functions: a comprehensive reviews. J Contemp Dent Pract.
2008. March; 9(3):72-80
10. Devi TJ. Saliva- a potential diagnostic tool. Journal of Dental and Medical
Sciences. 2014 February; 13(2):52-7
11. Tarigan R. Kesehatan Gigi dan Mulut edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 1995: 1-11
12. Voelker MA, Simmer-Beck M, Cole M, Keeven E, Tira D. Preeliminary
Findings on The Correlation of Saliva pH, Buffering Capacity, Flow,
Consistency and Streptococcus mutans in Relation to Cigarette Smoking. J
Dent Hyg. 2013;87(1):30-7
52
13. Kanwar A, Sah K, Grover N, Chandra S, Singh RR. Long Term Effect of
Tobacco on Resting Whole Mouth Salivary Flow Rate and pH: An
Institutional Based Comparative Study. European Journal of General
Dentistry. 2013;2(3): 296-9
14. Prasetyo BD. Deteksi Derajat Keasaman (pH) Saliva pada Pria Perokok dan
Non Perokok. Repository UIN Jakarta 2014; 6-30
15. Syifa N. Peran Rokok Terhadap Derajat Keasaman (pH) Saliva. Repository
UIN Jakarta 2015; 6-24, 40-44
16. Kidd EAM, Bechal SJ. Dasar-Dasar Karies Gigi dan Penanggulangannya.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1992: 7-28
17. Fȃbiȃn TK, Fȇjerdy P, et al. Saliva in Health and Disease, Chemical Biology
of. Budapest: John Wiley and Sons, Inc; 2007: 1-10
18. Marcelo AC, Tetsuji N, James EM. The Salivary Gland Fluid Secretion
Mechanism. The Journal of Medical Investigation 2009; 56: 24-28
19. Al-Weheb MA. Smoking and Its Relation to Caries Experience and Salivary
Lactobacilli Count. J Coll Dentistry 2005;17(1): 85-92
20. Amerongen AV. Ludah dan Kelenjar Ludah, Ed. ke-2. Yogyakarta: Gajah
Mada Press
21. Harris B. The Intractable Cigarette ‘Filter Problem’. Tobacco Control
2011;20(1): 10-16
22. Myers EN, Ferris RL. Salivary Gland Disorders. Germany: Springer-Verlag
Berlin Heidelberg; 2007: 1-16
23. Mrzezo. Salivary Glands and Tonsils [serial online] 2015: 184-195. Tersedia
dari http://pocketdentistry.com/15-salivary-glands-and-tonsils/ [Diakses pada
20 Maret, 2016].
24. Holsinger FC, Bui DT. Anatomy, Function, and Evaluation of the Salivary
Glands. Berlin: Springer Berlin Heidelberg; 2007: 2-16
25. Carlson ER, Ord RA. Textbook and Color Atlas of Salivary Gland Pathology.
USA: Wiley-Blackwell; 2008: 4-36
26. Martini FH. Fundamentals of Anatomy and Physiology. 9th ed. US: Pearson
Publisher, 2012: 870-873
53
27. Tortora GJ, Derrickson B. The Digestive System. In Roesch B, editor.
Principles of Anatomy and Physiology. 12th ed. US: John Wiley & Sons, Inc;
2009. p. 929-931
28. Moore KL, Dalley AF. Anatomi Berorientasi Klinis Jilid 3. Edisi 3. Jakarta:
Erlangga, 2013. hal. 124-125
29. Ekstrom J, Khosravani N, Castagnola M, Messana I. Saliva and The Control
of Its Secretion. Berlin: Springer; 2012: 20-30
30. Mescher AL. Organs Associated with The DIgestive Tract. In Mescher AL,
editor. Junqueira's Basic Histology Text & Atlas. 12th ed. US: McGraw-Hill
Companies, Inc; 2010: 276-230
31. Marilia AF, Angȇlicas RH, Melissa TK. Saliva and Dental Erosion. J Appl
Oral Sci 2012;20(5): 493-502
32. Walsh LJ. Clinical Aspects of Salivary Biology for The Dental Clinician.
Journal of The University of Australia 2012: 1-12
33. Krane CM, et al. Salivary Acinar Cells From Aquaporin 5-Deficient Mice
Have Decreased Membrane Water Permeability and Altered Cell Volume
Regulation. In Catalan MA, Nakamoto T, Melvin JE. The Salivary Gland
Fluid Secretion Mechanism. The Journal of Medical Investigation 2009; 56:
24-28
34. Ma T, et al. Defective Secretion of Saliva in Transigenic Mice Lacking
Aquaporin-5 Channels. In Catalan MA, Nakamoto T, Melvin JE. The
Salivary Gland Fluid Secretion Mechanism. The Journal of Medical
Investigation. 2009. December; 56: 24-28
35. Catalan MA, Nakamoto T, Melvin JE. The Salivary Gland Fluid Secretion
Mechanism. The Journal of Medical Investigation 2009; 56: 192-195
36. Zeng W, et al. Membrane Specific Regulation of Cl- Channels by Purinergic
Receptors in Rat Submandibular Gland Acinar and Duct Cells. In Catalan
MA, Nakamoto T, Melvin JE. The Salivary Gland Fluid Secretion
Mechanism. The Journal of Medical Investigation 2009; 56: 24-28
37. Smith PM. Mechanism of Salivary Secretion. In: Edgar WM, O’Mullane DM,
Dawes C, editors. Saliva and Oral Health 3rd ed. London: British Dental
Association; 2004: p. 1-16
54
38. Petersen P.E. Global Framework Convention on Tobacco Control: The
Implications for Oral Health. Community Dental Health 2003;20: 137-38
39. Palomares CF, Munoz-Montagud JV, Sanchiz V, Herreros B, Hernandez V,
Minguez M, et al. Unstimulated Salivary Flow Rate, pH and Buffer Capacity
of Saliva in Healthy Volunteers. Rev Esp Enferm Dig. 2004; 96(11); p.773-
783
40. Greenberg, Glick, Ship. Burket's Oral Medicine Ed 11. India: BC Decker Inc,
2008: 191-220
41. Saliva Collection and Handling Advice 3rd ed. [Internet] 2013. Available from:
https://salimetrics.com. Accessed March 20th 2016: 1-20
42. Pedersen AML. Saliva. Copenhagen: Institute of Odontology; 2007: 9-17, 79-
94
43. Suryadinata A. Kadar Bikarbonat Saliva Penderita Karies dan Bebas Karies.
Saintis. 2012 September; 1(1): p. 35-36
44. Susana D, Hartono B, Fauzan H. Penentuan Kadar Nikotin dalam Asap
Rokok. Makara Kesehatan 2003;(2): 38-41
45. Iwan T. Fenomena Konsumsi Rokok Era Baru: Perilaku Merokok Terhadap
Citra Simbolisme Personal. Jurnal Universitas Atma Jaya Jogjakarta; 2009:
16-20
46. Susanto A. Pengendalian Kualitas Fisik Perokok di Perusahaan Rokok
Djagung Padi. Jurnal Universitas Brawijaya; 2001: 6-15
47. Anggreani D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Rokok Kretek di
Kota Parepare. Jurnal Universitas Hasanuddin 2013: 5-6
48. Cornelius T, Waluyo DI. Analisis Pola Konsumsi Rokok Sigaret Kretek
Mesin, Sigaret Kretek Tangan, dan Sigaret Putih Mesin. Kajian Ekonomi dan
Keuangan 2003;7(4):1-73
49. Negoro SS. Rokok Kretek. [Internet] 2000. [Diakses pada 17 Mei 2016].
Available from http;//www.joglosemar.com/health/nicotine.htm
50. Kusuma DA, Yuwono SS, Wulan SN. Studi Kadar Nikotin dan Tar Sembilan
Merk Rokok Kretek Filter yang Beredar di Wilayah Kabupaten Nganjuk. J
Tek Per 2012; 5(3): 151-5
55
51. Susana D, Hartono B, Fauzan H. Penentuan Kadar Nikotin dalam Asap
Rokok. Makara Kesehatan UI 2003;7(2): 38-41
52. Kartiyani I, Santoso O. Paparan Pengaruh Sulfur Terhadap Kejadian
Gingivitis: Studi pada Pekerja Tambang Belerang di Gunung Welirang,
Pasuruan, Jawa Timur. Jurnal PDGI. Januari 2010; 59(1): hlmn. 24-28
53. Widijanto S. Peranan Kebiasaan Merokok Terhadap Insidensi Karies. Jurnal
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia 2010;7: 388-94
54. Stookey GK. The Effect of Saliva on Dental Caries. JADA 2008; 139(5): 11-
17
55. Tumilisar DL. Tembakau dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan Mulut. J
Kedokt Meditek. 2011; 17(44): 19-23
56. Rahardjo A, Aristyani D, Djoharnas H. Risiko Merokok Kretek Non Filter dan
Filter Terhadap Penyakit Periodontium pada Buruh Pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta. Indonesian Journal of Dentistry 2006; 16: 321-4
57. Andryani P, Hakim RF, Mahlianur. Pengaruh Konsumsi Kopi Ulee Kareng
(Arabika) terhadap pH Saliva pada Usia Dewasa Muda. Dentika Dental Jurnal
2012;17(2): 151-55
58. Malson JL, Lee EM, Murty R, Moolchan ET, Pickworth WB. Clove cigarette
smoking: biochemical, physiological, and subjective effects. Pharmacol
Biochem Behaviour. 2003 Feb;74(3): 739-45
59. Soetiarto F. Mengenal Lebih Jauh Rokok Kretek. Media Litbangkes
1995;5(4): 31-33
60. Kementerian Kesehatan RI. Data dan Informasi Kesehatan Penyakit Tidak
Menular. Jakarta: Kemenkes RI; 2012: 29-35
61. Geiss O, Kotzias D. Tobacco. European Comission: Cigarettes, and Cigarette
Smoke. Italy: European Communities; 2007: 1-24
62. Tobacco Free Kids. Kreteks In Indonesia. USA: Tobacco Free Center; 2009.
63. World Health Organization. Global Adult Tobacco Survey: Indonesia Report
2011. Jakarta: Institut Penelitian dan Pengembangan Nasional Kemenkes RI;
2011; 15-17, 20,24,36
64. Agung S. Studi Deskriptif Effect Size Penelitian-Penelitian di Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma. Jurnal Penelitian 2010;14(1): 1-17
56
65. Tanabe M, Takahashi T, Shimoyama K, et al. Effects of Rehydration and
Food Consumption on Salivary Flow, pH, and Buffering Capacity in Young
Adult Volunteers during Ergometer Exercise. Journal of the International
Society of Sports Nutrition 2013;10(49): 1-6
66. Kumar R, Prakash S, Kushwah AS, et al. Breath Carbon Monoxide in
Cigarette and Bidi Smokers in India. Indian J Chest Dis Allied Sci 2010;52:
19-24
67. Arabaci T, Çiçek Y, Beydemir S, et al. Are Increased Salivary Carbonic
Anhydrase VI Levels Related to the Amount of Supragingival Dental
Calculus Formation and Clinical Periodontal Scores? Journal of Dental
Sciences 2015;10: 123-7
57
LAMPIRAN
Lampiran 1
Formulir Informed Consent dan Data Responden
FORMULIR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN
Judul Penelitian:
Peran rokok terhadap skor kualitas hidup.
Peneliti Utama:
drg. Laifa Annisa Hendarmin, PhD
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah, Jl. Kertamukti
Pisangan Ciputat, Jakarta 15419, Telepon: 021-74716718, 021-7401925
Kontak pada keadaan darurat:
Peneliti Utama : drg. Laifa Annisa Hendarmin, PhD (0817-0710263)
Anda diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Partisipasi Anda bersifat
sukarela, dalam arti Anda bebas untuk turut serta atau menolaknya. Anda juga bebas
berbicara karena kerahasiaan Anda terjamin.
Sebelum membuat keputusan, Anda akan diberitahu detail penelitian ini berikut
kemungkinan manfaat dan risikonya, serta apa yang harus Anda kerjakan. Tim peneliti
akan menerangkan tujuan penelitian ini dan memberikan formulir persetujuan untuk
dibaca. Anda tidak harus memberikan keputusan saat ini juga, formulir persetujuan
dapat Anda bawa ke rumah untuk didiskusikan dengan keluarga, sahabat atau dokter
Anda.
Jika Anda tidak memahami apa yang Anda baca, jangan menandatangani formulir
persetujuan ini. Mohon menanyakan kepada dokter atau staf peneliti mengenai apapun
yang tidak Anda pahami, termasuk istilah-istilah medis. Anda dapat meminta formulir ini
dibacakan oleh peneliti. Bila Anda bersedia untuk berpartisipasi, Anda diminta
menandatangani formulir ini dan salinannya akan diberikan kepada Anda.
58
Apa tujuan penelitian ini?
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui keadaan rongga mulut para pria perokok dan
non-perokok dan mengukur salivary flow rate, derajat keasaman, kadar ion kalsium,
kadar protein total pada salivanya.
Mengapa saya diminta untuk berpartisipasi?
Anda diminta berpartisipasi karena Anda telah merokok rutin selama minimal 5 tahun
dan telah memenuhi kriteria penelitian ini atau sebagai kelompok kontrol yang tidak
pernah merokok sama sekali.
Berapa banyak orang yang mengikuti penelitian ini?
Lima puluh perokok dan lima puluh non-perokok akan mengikuti penelitian ini.
Di mana penelitian akan berlangsung?
Penelitian akan dilakukan di Medical Research Laboratory, Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN SyarifHidayatullah Jakarta.
Apa yang harus saya lakukan?
Jika memenuhi kriteria, Anda akan diikutkan dalam penelitian. Jika Anda setuju untuk
mengikuti penelitian, maka Anda harus mengikuti seluruh prosedur penelitian termasuk
mengisi rekam medis, pemeriksaan fisik, gigi dan mulut, dan pengumpulan saliva.
Pengisian Rekam Medis untuk mengumpulkan informasi
Anda akan mengisi rekam medis dengan sejumlah pertanyaan untuk mengetahui data
pribadi, mengenai kesehatan dan kesejahteraan, jumlah rokok yang dikonsumsi,
kebiasaan mengenai pola makan dan menjaga kebersihan rongga mulut serta, mengenai
keluhan di rongga mulut.
Pemeriksaan fisik dan gigi mulut
Anda akan menjalani pemeriksaan fisik berupa pengukuran berat badan dan tinggi
badan. Untuk pemeriksaan gigi mulut untuk mengetahui adanya kelainan rongga mulut
berupa radang gusi, kerusakan jaringan penyangga gigi, gigi berlubang, infeksi jamur
rongga mulut, sudut bibir pecah-pecah & meradang, sindroma mulut terbakar, serta
pengukuran banyaknya ludah yang dihasilkan dan derajat keasaman saliva (ludah).
Pengumpulan saliva
59
Anda akan diminta untuk mengumpulkan ludah selama kurang lebih 5 menit didalam
mulut, lalu meludahkannya kedalam tabung steril. Ludah Anda akan dikumpulkan
kurang lebih sebanyak 1 ml.
Pengisian Kuisioner SF-36
Anda akan diminta untuk mengisi kuisioner pengukuran skor kualitas hidup. Di dalam
kuisioner tersebut terdapat 36 poin pertanyaan. Silahkan diisi sesuai dengan keadaan
yang sebenar-benarnya, sesuai dengan keadaan yang dirasakan oleh Anda.
Berapa lama saya harus menjalani penelitian ini? Dapatkah saya berhenti dari
penelitian sebelum waktunya?
Penelitian ini akan memakan waktu maksimal 1.5 jam dengan rincian, 30 menit untuk mengisi rekam medis, 30 menit pemeriksaan fisik dan gigi mulut, dan 15 menit untuk pengumpulan ludah, dan 15 menit untuk Pengisian kuisioner
Akankah saya mendapat kompensasi?
Anda akan menerima souvenir dari Tim Peneliti untuk serangkaian penelitian ini.
Souvenir ini diberikan sebagai tanda terima kasih atas partisipasi Anda dalam penelitian
ini. Anda juga dapat berkonsultasi masalah gigi, mulut dan kesehatan secara umum
kepada dokter dan dokter gigi.
Siapa yang dapat saya hubungi bila mempunyai pertanyaan, keluhan, atau bertanya
tentang hak-hak saya sebagai subyek penelitian?
Jika Anda memiliki pertanyaan maupun keluhan berkaitan dengan partisipasi Anda atau
hak- hak sebagai subyek penelitian, Anda dapat menghubungi Peneliti Utama pada
nomor telepon yang tercantum di halaman pertama formulir ini, jika anggota tim
peneliti tidak dapat dihubungi.
Ketika Anda menandatangani formulir ini, Anda setuju untuk berpartisipasi dalam
penelitian ini. Ini berarti Anda sudah membaca informed consent, pertanyaan Anda
telah dijawab, dan Anda memutuskan untuk berpartisipasi.
Nama Partisipan Tanda tangan Tanggal
Nama Pengumpul data Tanda tangan Tanggal
Jam Pemeriksaan: …………………
60
DATA PRIBADI
Nama
TTL
:
:
……………………………………...
........................................
Jenis Kelamin : L / P
Alamat : ......................................................................................................................................
Telepon
Berat Badan
Tinggi Badan
IMT
:
:
:
:
........................
................. kg
................. cm
........................
HP
: …………….
Pekerjaan
Penghasilan/
bulan
1. <1.500.000
Pendidikan
Status
:
:
:
:
........................
2. 1.500.000-
2.500.000
SMA/S1/S2/S3/……
Status Marital
Agama
3. 2.500.000-3.500.000
:
:
…………….
…………….
4. >3.500.000
5. …………….
PENYAKIT SISTEMIK : (jawab dengan ADA atau TIDAK ADA dan obat-obatan)
Hepatitis B/C :
HIV :
TBC :
Diabetes Mellitus :
Hipertensi :
61
FREKUENSI MEROKOK
1. Apakah anda hampir setiap hari merokok:
1) Ya
2) Tidak, berapa hari dalam seminggu anda merokok …………..
2. Berapa rata-rata jumlah batang rokok yang anda habiskan dalam sehari:
………….. batang/hari
3. Jenis rokok yang biasa anda konsumsi:
1) Kretek
2) Filter
3) Membuat sendiri
4) Lainnya: …………..
4. Sudah berapa lama anda mulai merokok: ………….. tahun
5. Apakah alasan anda pertama kali merokok?
1) iseng
2) penasaran/coba-coba
3) diajak/dipaksa teman
4) mencontoh orang tua
5) terlihat dewasa/keren
6) terlihat seperti tokoh idola
7) lainnya....
6. Siapa yang pertama kali memperngaruhi kamu untuk merokok
1) tidak ada
2) orang tua
3) saudara
4) teman
5) iklan
6) lainnya....
62
7. Dimana biasanya anda merokok
1) di rumah
2) di tempat kerja
3) di tempat teman
4) di tempat umum
5) lainnya....
8. Biasanya anda mendapatkan rokok darimana
1) orang tua
2) teman
3) beli sendiri
4) lainnya
9. Keadaan apa yang membuat anda merokok
1) saat bosan
2) saat stress/kesal/marah
3) merasa gugup/hilangkan ketegangan
4) saat mulut merasa tidak enak
5) saat santai/iseng
6) saat melihat orang merokok
7) lainnya
KEINGINAN BERHENTI MEROKOK
Diadopsi dari WHO
1. Apakah anda pernah mencoba berhenti merokok
1) Ya
2) Tidak (langsung ke pertanyaan No.16)
2. Kapan anda mencoba berhenti merokok: ………….. tahun
3. Berapa kali anda berusaha berhenti merokok?.......... kali
4. Apakah anda sukses dalam berhenti merokok pada saat itu?
1) Ya
2) Tidak
5. Berapa lama anda berhenti merokok pada saat itu?....... hari
63
6. Apa cara yang anda gunakan untuk berhenti merokok pada saat itu?
1) ke dokter
2) Permen
3) Obat
4) lainnya ....
7. Apakah anda mau berhenti merokok?
1) Ya, karena....
2) Tidak
8. Bagaimana tindakan keluarga saat anda merokok
1) ditegur
2) dibiarkan
3) lainnya....
9. Seberapa besar pengaruh iklan dalam mempengaruhi anda merokok
1) besar sekali
2) besar
3) biasa saja
4) tidak ada pengaruh
5) sangat tidak ada pengaruh
10. Keadaan apa yang anda peroleh dari setelah merokok
1) memberi kenikmatan
2) memberi rasa percaya diri
3) membantu melepaskan rasa tertekan oleh masalah
4) dapat memusatkan konsentrasi
11. Menurut Anda, apakah ada dampak merokok terhadap Anda?
1) Ya, ada. ..........
2) Tidak
12. Menurut Anda, adakah dampak rokok terhadap lingkungan?
1) Ya, ada. ..........
2) Tidak
64
KETERGANTUNGAN TERHADAP NIKOTIN
Diadopsi dari Fagerstrom Nicotine Dependence
1. Seberapa cepat anda merokok yang pertama kali setelah anda bangun tidur?
Setelah 60 menit (0)
31-60 menit (1)
6-30 menit (2)
dalam 5 menit (3)
2. Apakah anda mengalami kesulitan untuk tidak merokok didaerah yang
terlarang/dilarang merokok
Tidak (0)
Ya (1)
3. Kapan paling sulit bagi anda untuk tidak merokok?
Merokok pertama kali pada pagi hari (1)
Waktu lainnya (0)
4. Berapa batang rokok anda habiskan dalam sehari?
10 atau kurang dari itu (0)
11-20 (1)
21-30 (2)
31 atau lebih (3)
5. Apakah anda lebih sering merokok pada jam-jam pertama bagun tidur
dibandingkan dengan waktu lainnya?
Tidak (0)
Ya (0)
6. Apakah anda merokok walaupun sedang sakit sampai hanya tiduran ditempat
tidur hampir sepanjang hari ?
Tidak (0)
Ya (1)
65
Kesimpulan:
Jumlah Skor:………………… Intepretasi:…………………….
1-2: Ketergantungan rendah
3-4: Ketergantungan rendah sampai sedang
5-7: Ketergantungan sedang
8 + : Ketergantungan tinggi
RIWAYAT GIGI DAN MULUT
Kunjungan terakhir ke drg. :
Jenis perawatan :
Frekuensi & waktu sikat gigi : Kali/hari; pagi / siang / sore / malam
Penggunaan obat kumur : Ya / Tidak; ........ kali/hari; Merek.............
Keluhan mulut kering : Ya / Tidak; Sejak ............. hari/minggu/bulan/tahun
Asupan air putih/hari : Gelas
SALIVA
Laju aliran saliva tanpa stimulasi : ml/menit
pH :
Ion Ca :
8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8
Debris index Debris index
Calculus index Calculus index
66
CPITN CPITN
CPITN CPITN
Calculus index Calculus index
Debris index Debris Index
8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8
GI tidak dapat digantikan
6 1 4
4 1 6
DEBRIS INDEX (DI)
0 : Tidak ada debris/stain
1 : Debris lunak yang menutupi tidak lebih dari 1/3 permukaan gigi atau adanya stain ekstrinsik tanpa
adanya debris pada permukaan gigi tersebut
2 : Debris lunak yang menutupi lebih dari 1/3 permukaan gigi namun tidak lebih dari 2/3 permukaan
gigi
3 : Debris lunak yang menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi
GI=
67
CALCULUS INDEX (CI) pengganti : 21/41
GINGIVA INDEX (GI)
0 : Tidak ada kalkulus
1 : Kalkulus supragingiva menutupi tidak lebih dari 1/3 permukaan gigi
2 : Kalkulus supragingiva menutupi lebih dari 1/3 permukaan gigi namun tidak lebih dari 2/3 permukaan gigi
dan/atau terdapat sedikit/bercak kalkulus subgingiva di servikal gigi
3 : Kalkulus supragingiva menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi dan/atau kalkulus subgingiva yang menutupi
atau melingkari permukaan servikal gigi
0 : Gingiva normal
1 : Inflamasi ringan, sedikit perubahan warna, sedikit edema, tidak ada perdarahan saat probing
2 : Inflamasi sedang, kemerahan, edema & licin mengkilat, perdarahan saat probing
3 : Inflamasi berat, kemerahan & edema yang jelas, ulserasi. Kecenderungan untuk perdarahan spontan
68
Lampiran 2
Dokumentasi Penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
Pengisian Informed Consent
dan Kuesioner
Pemeriksaan Gigi dan Mulut Pengukuran pH saliva
dengan Indikator Universal
69
Pengambilan Sampel Saliva
70
Lampiran 3
Riwayat Penulis
Identitas :
Nama : Aprilia Larasati
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 28 April 1995
Agama : Islam
Alamat : Jl. Ibnu Sina 3 No 72, Komplek UIN Ciputat,
Tangerang Selatan
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan:
2001-2007 : SD Bani Saleh 6 Bekasi
2007-2010 : SMP Bani Saleh 2 Bekasi
2010-2013 : SMAN 2 Bekasi
2013-sekarang : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta