Upload
nguyenduong
View
238
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
PERBEDAAN KOMITMEN KERJA
BERDASARKAN ORIENTASI PERAN GENDER
DEVI SETIAWATI
UNIVERSITAS GUNADARMA
ABSTRAK
Sex dan gender kerap diidentifikasi sebagai hal yang sama. Kerancuan ini berpengaruh besar
dalam kehidupan manusia. Secara biologis, manusia dibedakan menjadi dua sex, yaitu laki-laki dan
perempuan. Sementara gender adalah aspek non-fisiologis dari sex yang memiliki harapan budaya
terhadap femininitas dan maskulinitas. Salah satu bidang yang terimbas oleh kerancuan sex dan
gender adalah bidang kerja. Stereotipe yang ada di masyarakat ikut mengimbas dunia kerja. Pada
dasarnya, dunia kerja lebih dipengaruhi oleh peran gender, bukan peran jenis kelamin. Sementara
bidang kerja terbagi menjadi bidang kerja tradisional (didominasi nilai femininitas) dan non-tradisional
(didominasi nilai maskulinitas. Hal yang menarik dari permasalahan ini adalah bahwa komitmen
karyawan terhadap pekerjaan akan rendah jika kriteria pekerjaan tidak sesuai dengan karakteristik
orientasi peran gender.
Penelitian ini dilakukan terhadap 91 karyawan yang bekerja pada bidang manajemen.
Selanjutnya diperoleh data bahwa terdapat 28 orang subjek yang termasuk kategori orientasi peran
gender feminin dan 24 orang subjek memiliki orientasi peran gender maskulin, sedangkan sisanya,
yaitu 39 orang subjek tidak termasuk dalam dua kelompok tersebut. Pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan kuesioner untuk selanjutnya dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Untuk skala
komitmen kerja (OCS), reliabilitasnya sebesar 0.8369 dari 46 item yang diujicobakan, terdapat 35
item yang valid. Adapun reliabilitas untuk skala orientasi peran gender (PAQ) terbagi atas 3 sub-skala
yakni sub-skala femininitas sebesar 0.7274, sub-skala maskulinitas sebesar 0.7412 dan sub-skala
maskulinitas - femininitas sebesar 0.2188. dari ketiga sub-skala tersebut, terdapat 24 item yang
diujicobakan, namun hanya 14 item yang valid. Pada penelitian ini, sub-skala maskulinitas-femininitas
tidak diikutsertakan dalam analisis data karena reliabilitasnya terlalu kecil.
Berdasarkan hasil penelitian, maka diketahui bahwa mean empirik kelompok maskulin sebesar
177.08 dan mean empirik kelompok feminin sebesar 164.82, dimana mean hipotetik sebesar 140
dengan standar deviasi yaitu 35. Dengan demikian, diperoleh hasil bahwa kelompok subjek dengan
kecenderungan orientasi peran gender maskulin memiliki komitmen kerja yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kelompok subjek yang memiliki kecenderungan orientasi peran gender
feminin. Kemudian, berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan dengan menggunakan Uji Mann-
Whitney, diperoleh nilai Z = -1.800 dan nilai asymp. sig. (2 tailed) adalah sebesar 0.072. Selanjutnya
dikarenakan penelitian ini sudah mengarah pada satu titik, maka disarankan untuk menghitung one-
tailed probability dengan cara membagi dua skor probabilitas two-tailed. Dengan demikian, maka skor
probabilitas one-tailed pada penelitian ini adalah sebesar 0.036 (p < 0.05).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
komitmen kerja secara signifikan antara subjek dengan kecenderungan orientasi peran gender
feminin dan maskulin pada karyawan yang bekerja di bidang non-tradisional.
Simpulan hasil deskriptif subjek menunjukkan bahwa Komitmen kerja afektif tergolong tinggi pada
kelompok subjek berjenis kelamin laki-laki, berusia antara 26-35 tahun dengan jumlah tanggungan
sebanyak tiga orang. Komitmen kerja kontinuans tertinggi terdapat pada subjek dengan tingkat
pendidikan S2 dengan masa bekerja antara 2-10 tahun. Sementara komitmen kerja afektif tertinggi
adalah pada Technical Service Department. Merujuk pada data deskriptif yang telah dikumpulkan, hal
ini dapat terjadi karena para karyawan merasakan adanya kesesuaian antara latar belakang
pendidikan (dalam hal ini jurusan teknik) dengan kriteria pekerjaan yang saat ini dilaksanakan.
Kata Kunci : Komitmen Kerja, Orientasi Peran Gender
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gejala globalisasi dapat dirasakan di berbagai segi kehidupan. Salah satu gejala globalisasi
yang dapat dilihat di Indonesia adalah semakin banyaknya perusahaan-perusahaan multinasional
yang masuk dan ikut berperan dalam kancah perekonomian, mulai dari raksasa eksplorasi dan
produksi hasil bumi hingga usaha skala kecil menengah setaraf multi level marketing kosmetik
atau peralatan rumah tangga. Hal ini tentu saja menimbulkan persaingan dengan perusahaan
skala nasional yang telah ada terlebih dahulu. Demikian juga halnya dengan para karyawan. Era
globalisasi juga meningkatkan persaingan di kalangan karyawan lokal maupun asing di tingkatan
yang sama. Di sisi lain, globalisasi juga membawa dampak positif, yaitu terbukanya kesempatan
untuk bekerja di perusahaan berskala internasional. Dengan semakin terbukanya peluang kerja
tentu akan mempengaruhi komitmen kerja karyawan.
Menurut Morrow (dalam Chang, 1999), komitmen profesi merupakan sikap seseorang
terhadap karirnya. Karyawan dengan komitmen karir yang tinggi diindikasikan memiliki kebutuhan
dan harapan yang tinggi terhadap organisasi tempatnya bekerja, serta lebih termotivasi saat
harapannya terpenuhi. Hal senada juga diungkapkan oleh Blau (dalam Meyer, Allen & Smith,
1993) yang mendefinisikan komitmen karir sebagai sikap seseorang terhadap keahliannya,
termasuk profesinya.
Pendapat yang lebih rinci kemudian dinyatakan oleh Meyer, Allen & Smith (1993) dengan
membagi komitmen kerja menjadi tiga komponen, yaitu affective commitment (komitmen afektif),
continuance commitment (komitmen kontinuans), dan normative commitment (komitmen
normatif). Motivasi karyawan dengan komitmen afektif yang kuat cenderung bertahan pada
pekerjaannya karena keinginannya sendiri, sementara karyawan dengan komitmen kontinuans
yang tinggi bertahan pada pekerjaannya atas dasar kebutuhan, sedangkan pada karyawan
dengan komitmen normatif yang kuat bertahan pada pekerjaannya karena merasakan adanya
keharusan atau kewajiban. Ketiga komponen komitmen ini hadir dalam diri setiap karyawan,
namun dalam kadar yang berbeda-beda sehingga akan menghasilkan perilaku yang berbeda
pula sebagai latar belakang dalam mempertahankan pekerjaannya.
Kecenderungan lain yang semakin lazim dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
multinasional dalam era globalisasi ini adalah tidak lagi berpatokan pada jenis kelamin ketika
akan merekrut karyawan-karyawannya. Hal ini merupakan salah satu dampak dari semakin
digembar-gemborkannya issue tentang kesetaraan gender serta penghargaan yang setara antara
laki-laki dan perempuan.
Menurut Betz & Fitzgerald (1987) salah satu aspek kehidupan yang dipengaruhi oleh gender
ini adalah keterlibatan seseorang dalam suatu jenis pekerjaan. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa
kini laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam memasuki dunia kerja di
berbagai bidang, baik tradisional maupun non-tradisional. Bidang kerja tradisional dideskripsikan
sebagai suatu bidang kerja yang didominasi oleh perempuan, sementara bidang kerja non-
tradisional lebih didominasi oleh laki-laki
Van Dusen & Sheldon (dalam Basow, 1980) menyebutkan bahwa bidang kerja tradisional
tidak memerlukan komitmen jangka panjang, memiliki jam kerja yang relatif fleksibel, jenis
pekerjaannya tersedia di mana-mana, majikan tidak perlu berinvestasi sepenuhnya di bidang
pelatihan kerja, serta merupakan perpanjangan dari fungsi perempuan secara alamiah, yaitu
merawat dan melayani orang lain serta melakukan pekerjaan rumah tangga. Salah satu contoh
dari bidang pekerjaan tradisional adalah perawat. Sementara itu bidang kerja non-tradisional
cenderung memerlukan komitmen jangka panjang, jam kerjanya sudah ditentukan, serta
diperlukan pengetahuan tertentu yang dapat digunakan dalam menjalankan tugasnya. Salah satu
contohnya adalah pekerjaan pada bidang manajemen.
Parsons & Bales (dalam Megawangi, 1999 dan dalam Spence & Buckner, 1995) juga
menambahkan bahwa peran yang dijalankan oleh laki-laki adalah peran instrumental yang
bertujuan untuk mencapai kepentingan kelompoknya, misalnya mencari nafkah, sedangkan peran
perempuan dalam kelompoknya adalah peran emosional atau ekspresif yang bertujuan menjaga
keselarasan dan kerja sama dalam kelompoknya, misalnya peran sebagai pemberi cinta,
perhatian dan kasih sayang. Selanjutnya peran-peran ini akan disebut sebagai peran gender
yaitu sekumpulan harapan akan kelaziman terhadap kegiatan-kegiatan yang pantas dilakukan
oleh laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bidang kerja tradisional
(misalnya perawat) merupakan bidang kerja yang membutuhkan kualitas peran gender
feminin/emosional/ekspresif yang lebih dominan, sedangkan bidang kerja non-tradisional
(misalnya bidang kerja manajemen) merupakan bidang kerja yang membutuhkan kualitas peran
gender maskulin/instrumental yang lebih dominan. Meski demikian, menurut Spence & Buckner
(1995), setiap bidang pekerjaan memerlukan kedua kualitas peran gender tersebut secara
bersamaan, namun dalam komposisi dan intensitas yang berbeda-beda. Hal ini juga
menunjukkan bahwa pembagian bidang kerja sangat dipengaruhi oleh kualitas peran gender dan
bukan perbedaan jenis kelamin.
Menurut Irving, Coleman & Cooper (1997), karyawan akan merasa tertekan jika orientasi
peran gendernya tidak sesuai dengan karakteristik pada bidang pekerjaannya. Perasaan tertekan
ini pada gilirannya akan membuat karyawan merasa kurang terikat secara afektif terhadap
pekerjaannya.
Dari uraian di atas, maka permasalahan yang ingin dikaji secara lebih lanjut dalam penelitian
ini adalah apakah ada perbedaan komitmen kerja berdasarkan orientasi peran gender pada
karyawan yang bekerja di bidang kerja non-tradisional ?
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menguji perbedaan komitmen
terhadap pekerjaan berdasarkan orientasi peran gender pada karyawan yang bekerja di bidang
kerja non-tradisional.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai komitmen karyawan
terhadap pekerjaan berdasarkan orientasi peran gender dari karyawan itu sendiri dan
diharapkan dapat memberikan gambaran dan penjelasan kepada organisasi serta semua
pihak yang terlibat di dalamnya mengenai komitmen karyawan terhadap pekerjaan dan dapat
mengambil langkah-langkah yang sesuai sehingga dapat meningkatkan komitmen karyawan
terhadap pekerjaannya.
2. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya di
bidang Psikologi Industri dan Organisasi serta dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam
melakukan penelitian secara lebih lanjut, terutama dengan cara mengkaji variabel-variabel
lain yang berkaitan dengan komitmen terhadap pekerjaan dan orientasi peran gender.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Komitmen Kerja
1. Pengertian Komitmen Kerja
Menurut Spector (2000), terdapat banyak definisi yang berbeda mengenai komitmen,
namun seluruhnya melibatkan keterikatan individu terhadap pekerjaannya. Komitmen kerja
merupakan sebuah variabel yang mencerminkan derajat hubungan yang dianggap dimiliki
oleh individu terhadap pekerjaan tertentu dalam organisasi. Jadi, komitmen kerja dapat
didefinisikan sebagai derajat hubungan individu dalam memandang dirinya sendiri dengan
pekerjaannya dalam organisasi tertentu (Jewell & Siegall, 1998). Greenberg & Baron (1993)
mengemukakan bahwa komitmen kerja merefleksikan tingkat identifikasi dan keterlibatan
individu dalam pekerjaannya dan ketidaksediaannya untuk meninggalkan pekerjaan tersebut.
Secara garis besar, Meyer, Allen & Smith (1993) melakukan pendekatan kepada ketiga
komponen komitmen ini berangkat dari sudut pandang bahwa komitmen merupakan sebuah
keadaan psikologis yang mengkarakteristikkan hubungan karyawan dengan organisasi, dan
memiliki implikasi terhadap keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan keanggotaan
dalam organisasi.
Lee, dkk (2000) mendefinisikan komitmen kerja sebagai hubungan psikologis antara
seseorang dengan pekerjaannya yang didasarkan pada reaksi afektif terhadap pekerjaan
tersebut. Selanjutnya juga dikatakan bahwa seseorang yang memiliki komitmen kerja yang
tinggi akan lebih kuat mengidentifikasikan dirinya dengan pekerjaan tersebut dan mengalami
lebih banyak perasaan positif mengenai pekerjaannya. Hubungan emosional yang dirasakan
seseorang terhadap pekerjaannya tersebut memiliki dampak terhadap berbagai perilaku kerja
yang ditampilkan dan yang lebih penting berdampak terhadap keinginan karyawan untuk
mempertahankan pekerjaan tersebut.
Dari uraian beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen kerja
merupakan keterikatan individu terhadap pekerjaan yang merefleksikan tingkat keterlibatan
individu terhadap pekerjaan serta keinginan individu untuk tetap menjadi bagian dari
pekerjaan tersebut.
2. Komponen Komitmen Kerja
Mowday, Steers dan Porter (dalam Spector, 2000) mengemukakan bahwa komitmen
organisasi terdiri dari tiga komponen, yaitu penerimaan dan keyakinan yang kuat terhadap
nilai-nilai dan tujuan-tujuan organisasi, kesediaan individu untuk berusaha dengan sungguh-
sungguh demi kepentingan organisasi serta keinginan yang kuat untuk mempertahankan
keanggotaannya di dalam organisasi tersebut.
Meyer, Allen & Smith (1993) melakukan pengembangan dan generalisasi dari model tiga
komponen komitmen organisasi ke dalam konsep komitmen kerja. Meyer & Allen (1991)
menyatakan bahwa mereka lebih memilih menyebut ketiga komitmen tersebut dengan
menggunakan istilah tiga komponen, bukan tipe, karena menurut mereka, hubungan seorang
karyawan dengan pekerjaannya memiliki derajat yang berbeda-beda dari ketiga komponen
komitmen tersebut.
Misalnya, karyawan yang menerima gaji yang diterima lebih kecil dari harapannya
memutuskan untuk tetap mempertahankan pekerjaannya, karena merasa memiliki hubungan
emosional yang kuat dengan pekerjaannya serta adanya perasaan kepatuhan untuk tetap
mempertahankan pekerjaan tersebut. Karyawan lain mungkin mempertahankan
pekerjaannya karena merasa meninggalkan pekerjaan tersebut merupakan hal yang sulit
dilakukan jika dilihat dari sudut pandang ekonominya. Ia membutuhkan pekerjaan tersebut
dan sulit untuk mendapatkan alternatif pekerjaan lain, meskipun merasa tidak memiliki ikatan
emosional yang kuat dengan pekerjaannya. Ini berarti komitmen kerja berkembang sebagai
hasil pengalaman yang berbeda serta memiliki implikasi yang berbeda pula.
Berdasarkan contoh di atas, maka Meyer & Allen (1991) menyatakan bahwa jika ingin
mendapatkan pemahaman yang jelas mengenai hubungan karyawan dengan pekerjaannya,
maka pengukuran komitmen kerja seharusnya merefleksikan ketiga bentuk komitmen
tersebut secara bersama-sama daripada mencoba untuk melihatnya secara terpisah.
Model tiga komponen komitmen kerja yang dikembangkan oleh Meyer, Allen & Smith
(dalam Spector, 2000) terdiri dari komitmen kerja afektif, komitmen kerja kontinuans, dan
komitmen kerja normatif. Adapun definisi dari setiap komponen komitmen kerja adalah
sebagai berikut :
a. Komitmen kerja afektif (affective occupational commitment), yaitu komitmen sebagai
keterikatan afektif/psikologis karyawan terhadap pekerjaannya. Komitmen ini
menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka
menginginkannya.
b. Komitmen kerja kontinuans (continuance occupational commitment), mengarah pada
perhitungan untung-rugi dalam diri karyawan sehubungan dengan keinginannya untuk
tetap mempertahankan atau meninggalkan pekerjaannya. Artinya, komitmen kerja di sini
dianggap sebagai persepsi harga yang harus dibayar jika karyawan meninggalkan
pekerjaannya. Komitmen ini menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan
karena mereka membutuhkannya.
c. Komitmen kerja normatif (normative occupational commitment), yaitu komitmen sebagai
kewajiban untuk bertahan dalam pekerjaan. Komitmen ini menyebabkan karyawan
bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka merasa wajib untuk melakukannya serta
didasari pada adanya keyakinan tentang apa yang benar dan berkaitan dengan masalah
moral.
3. Faktor-faktor Anteseden dari Komponen Komitmen Kerja
Menurut Meyer, Allen & Smith (1993) tiap komponen komitmen memiliki anteseden
tersendiri. Komitmen afektif dapat ditumbuhkan oleh karakteristik personal-struktural yang
berkaitan dengan tugas dan pengalaman kerja (Mowday, dalam Meyer, Allen & Smith, 1993).
Jika pengalaman kerja dalam organisasi sesuai harapan dan memenuhi kebutuhan dasar
karyawan, maka ia akan cenderung untuk membangun keterikatan afektif yang lebih kuat
terhadap pekerjaannya (Meyer & Allen, dalam Meyer, Allen & Smith (1993).
Komitmen kontinuans diduga tersusun saat karyawan menyadari bahwa mereka telah
memiliki akumulasi investasi dalam perusahaan yang akan hilang jika mereka meninggalkan
organisasi tersebut. Komitmen kontinuans dapat terbentuk saat karyawan menyadari
kurangnya atau terbatasnya ketersediaan kesempatan kerja yang ada di organisasi maupun
di pasaran kerja (dalam Irving, Coleman & Cooper, 1997). Adapun bentuk investasi dalam
organisasi atau pekerjaan tidak terbatas pada investasi dana semata, namun dapat pula
berupa lamanya waktu pendidikan/pelatihan yang telah ditempuh, lamanya waktu kerja, dan
status kepegawaian (Meyer, Allen & Smith, 1993).
Komitmen normatif, selain merupakan hasil dari pengalaman kerja yang menyenangkan,
juga merupakan hasil sosialisasi pengalaman-pengalaman yang menekankan pada
kepantasan untuk mempertahankan kesetiaan karyawan pada pihak atau organisasi yang
mempekerjakannya (Meyer, Allen & Smith, 1993). Selanjutnya Scholl (dalam Meyer, Allen &
Smith, 1993) menyatakan bahwa komitmen normatif dapat pula terbentuk melalui penerimaan
keuntungan-keuntungan, seperti pembayaran subsidi biaya pendidikan/pelatihan, yang
menciptakan sebuah rasa kewajiban untuk membalas dalam diri karyawan. Dengan kata lain
karyawan merasa bahwa organisasi telah menanamkan investasi didalam dirinya.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Kerja
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi komitmen karyawan terhadap organisasi.
Dalam Schultz & Schultz (1990) dikemukakan bahwa faktor personal dan faktor organisasi
dapat meningkatkan komitmen terhadap pekerjaan.
Greenberg & Baron (1993) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi
komitmen karyawan terhadap pekerjaan, yaitu karakteristik pekerjaan, kesempatan akan
adanya pekerjaan lain, karakteristik individu serta perlakuan organisasi terhadap karyawan
baru
B. Orientasi Peran Gender
1. Pengertian Gender
Dalam penelitian ini istilah “gender” akan dipakai untuk memberikan batasan yang jelas
dan terpisahkan dari “sex”. Menurut Lips (dalam Stevenson, 1994) “sex” merupakan istilah
bagi kondisi biologis seseorang, yaitu jantan dan betina, atau male dan female. Money
(dalam Stevenson, 1994) menyebutkan bahwa fenomena biologis ini terkait erat dengan
susunan kromosom, gen dan pengaruh hormon dalam tubuh manusia tersebut. Sedangkan
menurut Deaux (dalam Stevenson, 1994) istilah “gender” mengacu pada kondisi psikologis
atau kategori sosial yang diasosiasikan dengan keadaan biologis seseorang. Hal senada juga
disampaikan oleh Lips (dalam Stevenson, 1994) yang menyatakan bahwa gender adalah
aspek non-fisiologis dari sex, harapan budaya terhadap femininitas dan maskulinitas.
Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan di atas, tampak jelas bahwa gender memang
terkait dengan sex, namun gender tidak sama dengan sex. Jika sex berada dalam batasan
fisiologis, maka gender berada dalam batasan psikologis. Selain dipengaruhi oleh faktor
fisiologis dari sex, gender juga dipengaruhi oleh aspek-aspek sosial-budaya yang berlaku di
masyarakat dimana individu hidup. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa gender
merupakan persepsi seseorang tentang maskulinitas dan femininitas di dalam dirinya terkait
dengan stereotip maskulin dan feminin yang diharapkan oleh masyarakat.
2. Femininitas dan Maskulinitas
Menurut Constantinople (dalam Spence & Buckner, 1995) femininitas dan maskulinitas
berada pada dua kutub yang berlawanan. Pemikiran ini kemudian melahirkan sejumlah
pertanyaan akan validitas konsep, karena dirasakan banyak sifat yang berada dalam domain
feminin dan domain maskulin tidak berhubungan satu dengan yang lainnya (sifat feminin
bukan merupakan lawan dari sifat maskulin, dan sebaliknya). Spence dan Buckner (1995)
menegaskan bahwa sifat-sifat yang telah disebutkan tadi tidak berkorelasi sama sekali,
sehingga sifat-sifat dalam domain feminin dan domain maskulin pun tidak perlu memiliki
korelasi yang kuat satu dengan yang lainnya.
Sebagai jawaban atas kritik terhadap pendapat Constantinople, lahirlah dua alat ukur,
yaitu Bem Sex Role Inventory (BSRI) dan Personal Attributes Questionnaire (PAQ) (Irving,
Coleman & Cooper, 1997). Pada kedua alat ukur ini terdapat dua kelompok sifat-sifat yang
diharapkan pada manusia. Satu kelompok berisi karakteristik instrumental, yang kerap
diasosiasikan dengan karakteristik laki-laki, dan disebut skala maskulinitas (M). Kelompok
lainnya berisi karakteristik ekspresif, yang kerap diasosiasikan dengan karakteristik
perempuan, dan disebut skalam femininitas (F). Basow (1980) menjabarkan beberapa
karakteristik kecenderungan orientasi peran gender feminin dan maskulin dalam Tabel 1. di
bawah ini :
Tabel 1.
Karakteristik Kecenderungan Orientasi Peran Gender
Feminin dan Maskulin (Menurut Basow, 1980)
Feminin Maskulin
1. Tidak terlalu agresif
2. Tidak terlalu mandiri
3. Sangat emosional
4. Tidak menyembunyikan perasaan
5. Sangat subjektif
6. Sangat mudah terpengaruh
7. Sangat penurut
8. Sangat tidak suka matematika dan
sains
9. Sangat pasif
10. Tidak suka persaingan
11. Sangat tidak logis
12. Senang berada di rumah
13. Kurang memiliki skill berbisnis
14. Mudah sakit hati
15. Tidak suka petualangan
16. Sulit membuat keputusan
17. Mudah menangis
18. Hampir tidak pernah bertindak
sebagai pemimpin
19. Tidak terlalu percaya diri
20. Tidak suka bertindak agresif
21. Tidak terlalu ambisius
22. Sangat tergantung
23. Tidak berbicara secara terbuka
tentang seks kepada laki-laki
24. Tidak menggunakan kata-kata kasar
25. Sangat lembut
1. Sangat agresif
2. Sangat mandiri
3. Tidak terlalu emosional
4. Hampir selalu menyembunyikan
perasaan
5. Sangat objektif
6. Tidak mudah terpengaruh
7. Sangat dominan
8. Menyukai matematika dan sains
9. Sangat aktif
10. Sangat suka bersaing
11. Sangat logis
12. Senang berada di luar rumah
13. Sangat berbakat dalam berbisnis
14. Tidak mudah sakit hati
15. Sangat menyukai petualangan
16. Mudah membuat keputusan
17. Tidak pernah menangis
18. Selalu bertindak sebagai pemimpin
19. Sangat percaya diri
20. Terkadang bertindak agresif
21. Sangat ambisius
22. Tidak terlalu tergantung
23. Berbicara secara terbuka tentang seks
kepada laki-laki
24. Terkadang menggunakan kata-kata
kasar
25. Sangat kasar
26. Sangat memahami perasaan orang
lain
27. Sangat religius
28. Sangat mamperhatikan penampilan
dirinya
29. Sangat pendiam
30. Sangat membutuhkan rasa aman
31. Menyukai karya seni dan karya
sastra
32. Mudah mengungkapkan perasaan
secara lembut
26. Tidak terlalu memahami perasaan
orang lain
27. Tidak terlalu religius
28. Tidak terlalu mamperhatikan
penampilan dirinya
29. Sangat ceria
30. Tidak terlalu membutuhkan rasa aman
31. Tidak menyukai karya seni dan karya
sastra
32. Tidak mudah mengungkapkan
perasaan dengan lembut
3. Peran Gender
Dalam setiap budaya, gender seringkali diasosiasikan dengan hal-hal penting lain,
termasuk peran, tingkah laku, kesenangan dan atribut-atribut lain yang diasumsikan sebagai
khas pria atau wanita (Baron dan Byrne, 1974). Dengan demikian, peran gender mengarah
pada peran sebagai laki-laki atau perempuan, dalam arti melekatnya atribusi sosial karena
jenis kelamin seseorang. Jadi, peran gender merupakan peran yang diharapkan untuk
ditampilkan seseorang sesuai dengan jenis kelaminnya, yaitu laki-laki atau perempuan,
dalam suatu budaya tertentu (Strong & De Vault, 1989).
Menurut Spence & Buckner (1995), peran gender (gender role) merupakan sekumpulan
syarat yang mengacu pada harapan-harapan normatif tentang posisi-posisi yang harus
ditempati oleh laki-laki dan perempuan yang dipegang oleh para anggota budaya atau sub-
budaya tertentu. Kita dapat menemukan stereotip yang serupa dalam masyarakat, bahwa
laki-laki harus memiliki sifat maskulin dan berperan sebagai pemimpin, sementara
perempuan diharapkan memiliki sifat maskulin dan berperan sebagai pendukung laki-laki.
Menurut Tang & Tang (2001), penyimpangan dari peran gender akan menimbulkan
konsekuensi negatif secara sosial dan psikologis.
Parsons & Bales (dalam Spence dan Buckner, 1995 & Megawangi, 1999) mendefinisikan
bahwa secara umum manusia memiliki dua jenis peran yang saling mengisi, yang dinamakan
peran instrumental dan peran ekspresif, terlepas dari apapun jenis kelamin manusia tersebut.
Peran instrumental merupakan perilaku yang berorientasi pada pencapaian tujuan yang
ditujukan langsung untuk memenuhi tujuan kelompok. Peran ekspresif merupakan perilaku
yang bertujuan untuk menjaga keselarasan dan kerja sama kelompok.
Dari berbagai definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peran gender adalah
sekumpulan pola-pola tingkah laku atau sikap-sikap yang dituntut oleh lingkungan dan
budaya tempat individu itu berada untuk ditampilkan secara berbeda oleh pria dan wanita
sesuai jenis kelaminnya.
4. Orientasi Peran Gender
Orientasi peran gender oleh Tang & Tang (2001) didefinisikan sebagai kepemilikan
seseorang atas sifat-sifat kepribadian stereotip maskulin dan feminin yang diharapkan
masyarakat. Kemudian Spence & Buckner (1991) memberikan definisi orientasi peran gender
yang tidak jauh berbeda dengan definisi sebelumnya, yaitu sejumlah karakteristik yang
berkaitan dengan harapan normatif yang harus dimiliki oleh pria dan wanita sebagai anggota
budaya atau subbudaya tertentu.
Definisi lain dikemukakan oleh Spence & Helmreich (dalam Robinson, 1995) bahwa
orientasi peran gender adalah karakteristik yang nampaknya memiliki harapan sosial yang
berbeda pada tiap-tiap jenis kelamin Sementara menurut Raguz (1991) adalah persepsi
seseorang tentang maskulinitas dan femininitas dalam dirinya.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa masyarakat telah menetapkan
sekelompok harapan tertentu terhadap kaum laki-laki, yang tentu saja berbeda dengan
harapan terhadap kaum perempuan.
5. Karakteristik Orientasi Peran Gender
Stets & Burke (1991) menjelaskan beberapa karakteristik maskulin dan feminin
berdasarkan alat ukur Bem Sex Role Inventory (BSRI). Spence & Helmreich (dalam
Robinson, 1991) menyatakan bahwa karakteristik instrumentality sering dikaitkan dengan
maskulin, sedangkan karakteristik expresiveness sering dikaitkan dengan feminin. Lebih
lanjut lagi dijelaskan karakteristik maskulin antara lain mandiri, mudah membuat keputusan
dan tidak mudah menyerah, sedangkan karakteristik feminin antara lain adalah emosional,
suka menolong orang lain serta memahami perasan orang lain. Akan tetapi, karakteristik
maskulin dimiliki oleh pria dan wanita, tapi diyakini bahwa lebih dominan pada laki-laki.
Demikian juga sebaliknya, karakteristik feminin dimiliki oleh pria dan wanita, tapi diyakini
bahwa pada wanita lebih dominan.
6. Implikasi Gender dalam Dunia Kerja
Salah satu bidang yang terkena imbas kerancuan “sex” dan “gender” adalah bidang
kerja. Vianello (1990) menggambarkan bagaimana stereotip yang ada dalam masyarakat ikut
mengimbas dunia kerja. Menurut Novarra (dalam Vianello, 1990), jika seorang perempuan
harus bekerja, maka apa yang dikerjakannya di luar rumah tak jauh dari perannya dalam
rumah tangga. Bahkan di awal era kesetaraan gender, masih ada pendapat bahwa tabu
hukumnya bagi kaum perempuan untuk bergerak di bidang politik atau bidang publik, jika
perannya tidak sebangun dengan perannya dalam rumah tangga. Misalnya adalah bidang
kerja yang terkait dengan pengasuhan anak, pengurusan rumah tangga, pembuatan pakaian,
perawatan orang sakit dan cacat, dan pendidikan. Perbedaannya terletak pada lokasi kerja,
yaitu di luar rumah, dan dengan bekerja di luar rumah perempuan pekerja mendapat imbalan
atas jasanya. Pendapat kontroversial Novarra ini perlahan-lahan mulai singgah dengan
adanya fakta semakin banyak perempuan yang membebaskan diri dari peran tradisionalnya
dan lebih terlibat pada kehidupan publik, bahkan berada di tampuk kepemimpinan.
Kecenderungan ini sangat terasa di negara-negara dengan haluan politik sosialis. Selain itu,
kini semakin banyak pula institusi-institusi profesional yang menangani “pekerjaan-pekerjaan
perempuan” tersebut dengan sejumlah karyawan laki-laki terlibat atau bahkan berperan
penting di dalamnya (Vianello, 1990).
Hal ini menunjukkan bahwa kini dunia kerja lebih menitikberatkan faktor kemampuan
individu dan mulai meninggalkan pendapat konvensional tentang pembagian kerja menurut
jenis kelamin. Mungkin jika kita ingin menganalisa lebih jauh lagi, secara tersirat, masyarakat
mulai mengakui kepemilikan kualitas feminin dan maskulin dalam diri tiap manusia walaupun
masih ada keterikatan dengan stereotip tentang laki-laki dan perempuan secara umum.
C. Bidang Kerja Tradisional dan Non-Tradisional
Secara umum, bidang kerja dibagi menjadi dua, yaitu bidang kerja tradisional dan non-
tradisional. Awalnya pembagian bidang kerja seperti ini dilakukan berdasarkan pada pemisahan
tugas menurut perbedaan jenis kelamin. Bidang kerja tradisional didominasi oleh perempuan,
sementara bidang kerja non-tradisional didominasi oleh laki-laki (Betz & Fitzgerald, 1987). Hal ini
dilakukan karena adanya perbedaan kekuatan fisik antara laki-laki dan perempuan (Basow,
1980). Pekerjaan yang memerlukan kekuatan fisik tinggi diserahkan kepada laki-laki dan
digolongkan sebagai pekerjaan non-tradisional.
1. Pengertian Bidang Kerja Tradisional dan Non-Tradisional
Bidang kerja tradisional dideskripsikan sebagai bidang kerja yang didominasi oleh
perempuan (Betz & Fritzgerald, 1987). Menurut Parsons & Bales (dalam Megawangi, 1999
dan dalam Spence & Buckner, 1995) peran yang dijalankan perempuan adalah peran
emosional atau ekspresif yang bertujuan menjaga keselarasan dan kerja sama dalam
kelompok, misalnya adalah peran sebagai pemberi cinta, perhatian dan kasih sayang. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa bidang kerja tradisional merupakan bidang kerja yang
membutuhkan kualitas feminin/emosional/ekspresif yang lebih dominan.
Menurut Betz dan Fitzgerald (1987), bidang kerja non-tradisional didefinisikan sebagai
bidang kerja yang didominasi oleh laki-laki. Sementara menurut Parsons & Bales (dalam
Megawangi, 1999 dan dalam Spence & Buckner, 1995), peran yang dijalankan laki-laki
adalah peran instrumental yang bertujuan mencapai kepentingan kelompoknya, misalnya
peran sebagai pencari nafkah. Maka dapat disimpulkan bahwa bidang kerja non-tradisional
merupakan bidang kerja yang membutuhkan kualitas maskulin/instrumental yang lebih
dominan. Namun menurut Spence & Buckner (1995), pekerjaan apapun membutuhkan
kualitas feminin dan maskulin secara bersamaan, dalam komposisi dan intensitas yang
berbeda-beda.
2. Kriteria Bidang Kerja Tradisional dan Non-Tradisional
Kriteria bidang kerja tradisional datang dari Van Dusen dan Sheldon (dalam Basow,
1980). Menurut Van Dusen dan Sheldon bidang kerja tradisional adalah bidang kerja yang
tidak memerlukan komitmen jangka panjang, memiliki jam kerja yang fleksibel, pekerjaan
tersebut tersedia dimana-mana, majikan tidak sepenuhnya perlu berinvestasi di bidang
pelatihan kerja, merupakan “perpanjangan” dari fungsi perempuan secara alamiah, yaitu
merawat dan melayani orang lain, melakukan pekerjaan rumah tangga, dan seterusnya.
Menurut Basow (1980), perawat merupakan salah satu contoh bidang kerja tradisional.
Selain itu, Van Dusen dan Sheldon (dalam Basow, 1980) juga menyebutkan beberapa kriteria bidang
kerja non-tradisional, yaitu memerlukan komitmen jangka panjang, jam kerja sudah ditentukan,
diperlukan pengetahuan tertentu yang dapat digunakan untuk menjalankan tugas, sarat akan
kompetisi, memiliki tujuan yang harus dicapai dalam jangka waktu tertentu, dan sebagainya. Contoh
bidang kerja non-tradisional adalah bidang kerja manajemen dimana diperlukan pengetahuan dan
skill tertentu untuk dapat menjalankan pekerjaan dengan baik, memiliki tujuan yang harus dicapai
agar dapat mengembangkan usaha, dan seterusnya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan data yang didapat dari subjek penelitian yang bekerja di level
manajemen pada bidang kerja maintenance mesin pesawat di PT. Aero Nasional Indonesia yang
berlokasi di Curug-Tangerang. Subjek penelitian merupakan karyawan pada level manajemen yang
diambil dari 7 departemen atau bagian yang ada di PT. ANI, tidak termasuk karyawan bagian
operasional. Dengan demikian teknik sampling yang digunakan adalah stratified sampling.
Pembatasan pada responden penelitian dilakukan pada masa kerja, dengan batas minimal
bekerja selama dua tahun, tingkat pendidikan minimal D3, umur responden maksimal usia 55 tahun
(usia pensiun) dan batas usia minimal secara otomatis mengikuti usia di batas minimal masa bekerja,
yaitu 25 tahun.
Teknik pengumpulan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala orientasi peran
gender dan skala komitmen kerja. Skala orientasi peran gender yang digunakan dalam rangka
pengumpulan data pada penelitian ini adalah mengadaptasi dari Personal Attributes Questionnaire
(PAQ) yang dikembangkan oleh Spence & Helmreich pada tahun 1974, sedangkan skala komitmen
mengadaptasi dari Occupational Commitment Scale (OCS) yang dikembangkan oleh Meyer & Allen
pada tahun 1990.
Uji validitas dalam penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan teknik Korelasi Product
Moment Pearson, yaitu dengan mengkorelasikan skor tiap-tiap item dengan skor total dalam skala,
sedangkan reliabilitas instrumen dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan teknik Alpha
Cronbach. Sementara itu, uji statistik yang digunakan adalah statistik non parametrik dengan
menggunakan Mann-Whitney Test. Analisis validitas dan reliabilitas serta analisis statistik dilakukan
dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS Ver. 11.5 for Windows.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Berdasarkan pengujian validitas yang telah dilakukan, maka diperoleh hasil validitas untuk sub-
skala Femininitas bergerak dari 0.3255 – 0.6176, untuk sub-skala Maskulinitas bergerak dari 0.2550 –
0.5243. Dari 24 item yang diujikan, item yang valid sebanyak 14, sedangkan item yang gugur atau
tidak valid sebanyak 10 item. Untuk validitas pada Skala Komitmen Kerja (OCS) bergerak dari 0.2158
– 0.6130. Setelah diujicobakan maka dapat diketahui bahwa item yang valid adalah sebanyak 35
item, sedangkan yang gugur adalah sebanyak 11 item. adapun item-item yang gugur pada sub-skala
komitmen afektif sebanyak 2 item, pada sub-skala komitmen kontinuans sebanyak 6 item dan pada
sub-skala normatif sebanyak 3 item.
Reliabilitas untuk sub-skala femininitas sebesar 0.7274, untuk sub-skala maskulinitas sebesar
0.7412, sedangkan untuk Skala Komitmen Kerja (OCS) diketahui memiliki reliabilitas sebesar 0.8369.
Selanjutnya, dari 91 orang subjek, diperoleh data bahwa terdapat 28 orang subjek yang termasuk
kategori orientasi peran gender feminin dan 24 orang subjek memiliki orientasi peran gender
maskulin, sedangkan sisanya, yaitu 39 orang subjek tidak termasuk dalam dua kelompok tersebut.
Dikarenakan jumlah subjek pada kelompok orientasi peran gender feminin dan maskulin, masing-
masing, kurang dari 30 orang, maka analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam
penelitian ini adalah statistik non parametrik. Adapun teknik analisisnya adalah uji data dua sampel
tidak berhubungan (independent) yaitu Uji Mann-Whitney. Dari hasil analisis data, didapat nilai Z = -
1.800 dan nilai asymp. sig. (2 tailed) adalah sebesar 0.072.
Menurut Field (2000), pada penelitian yang sudah menuju pada satu arah, maka untuk lebih
membuktikan hipotesis penelitian yang telah dibuat, disarankan untuk menghitung one-tailed
probability dengan cara membagi dua skor probabilitas two-tailed. Dengan demikian, maka skor
probabilitas one-tailed pada penelitian ini adalah sebesar 0.036 (p < 0.05), yaitu dari 0.072 dibagi 2.
Maka berdasarkan nilai tersebut, diketahui bahwa terdapat perbedaan komitmen kerja secara
signifikan antara subjek dengan kecenderungan orientasi peran gender feminin dan maskulin pada
karyawan yang bekerja di bidang non-tradisional.
Selanjutnya berdasarkan data dari perhitungan descriptive statistics diketahui bahwa nilai mean
komitmen pada kelompok feminin adalah 164.82, sedangkan nilai mean untuk kelompok maskulin
adalah 177.08. dengan demikian, berarti komitmen karyawan yang memiliki orientasi peran gender
maskulin lebih tinggi jika dibandingkan dengan komitmen karyawan yang memiliki orientasi peran
gender feminin. Dengan demikian, hipotesis, terdapat perbedaan komitmen kerja karyawan
berdasarkan orientasi peran gender, dimana pada karyawan dengan orientasi peran gender maskulin
memiliki komitmen yang lebih tinggi daripada karyawan dengan orientasi peran gender feminin,
diterima.
Pembahasan
Hasil pengujian hipotesis menunjukkan terdapat perbedaan komitmen kerja pada karyawan yang
memiliki orientasi peran gender feminin dan maskulin. Secara terinci, perbandingan mean empirik dan
mean hipotetik komitmen kerja karyawan berdasarkan orientasi peran gender dapat dilihat pada
Tabel 1. dibawah ini.
Tabel 1.
Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik Komitmen Kerja Berdasarkan Orientasi Peran
Gender
Orientasi
Peran Gender Mean Empirik Mean Hipotetik Standar Deviasi
Feminin 164.82 140 35
Maskulin 177.08 140 35
Berdasarkan tabel di atas serta hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa karyawan dengan
kecenderungan orientasi peran gender maskulin memiliki tingkat komitmen yang lebih tinggi terhadap
pekerjaannya (dalam hal ini jenis pekerjaan non-tradisional) jika dibandingkan dengan karyawan yang
memiliki kecenderungan orientasi peran gender feminin. Bidang pekerjaan non-tradisional yang
memiliki dominasi karakteristik maskulin sangat mungkin menjadi penghalang bagi karyawan yang
memiliki kecenderungan orientasi peran gender feminin untuk berkomitmen lebih besar terhadap
pekerjaannya, karena ketidaksesuaian antara karakteristik pekerjaan dengan kecenderungan
orientasi peran gender yang ada di dalam dirinya. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
Irving, Coleman & Cooper (1997), bahwa karyawan akan merasa tertekan jika orientasi peran
gendernya tidak sesuai dengan karakteristik pada bidang pekerjaannya. Perasaan tertekan ini pada
gilirannya akan membuat karyawan merasa kurang terikat secara afektif terhadap pekerjaannya.
Menurut pemaparan di atas, maka diketahui bahwa secara umum, komitmen afektif relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan komitmen lainnya, baik pada kelompok subjek dengan kecenderungan
orientasi peran gender feminin dan maskulin. Berdasarkan data deskriptif yang telah dikumpulkan,
hal ini mungkin saja terjadi karena karyawan merasa lingkungan kerjanya menyenangkan, pekerjaan
tidak monoton, para karyawan mendapat banyak pengalaman baru, rekan kerja kompak dan atasan
juga perhatian terhadap bawahannya. Selain itu, banyak karyawan yang menyatakan bahwa bidang
pekerjaan saat ini sangat sesuai dengan keinginan, latar belakang pendidikan, bahkan sekaligus
dapat sebagai sarana untuk menyalurkan hobi. Hal ini membuat seluruh karyawan dapat bekerja
dengan iklim kekeluargaan yang cukup kental.
Kondisi kerja yang demikian ternyata tanpa disadari membuat karyawan merasa nyaman untuk
bekerja di perusahaan tersebut, sehingga para karyawan enggan untuk mencari pekerjaan baru.
Kenyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Mowday (dalam Meyer, Allen & Smith, 1993) yang
menyatakan bahwa komitmen afektif dapat ditumbuhkan oleh karakteristik personal-struktural yang
berkaitan dengan tugas dan pengalaman kerja. Kenyataan yang dirasakan karyawan tersebut juga
sesuai dengan hasil penelitian dari Meyer & Allen (dalam Meyer, Allen & Smith, 1993) bahwa
hubungan yang paling kuat dan konsisten dihasilkan dari pengalaman kerja. Jika pengalaman kerja
dalam organisasi sesuai harapan dan memenuhi kebutuhan dasar karyawan, maka ia akan
cenderung untuk membangun keterikatan afektif yang lebih kuat terhadap pekerjaannya.
Dari perhitungan komitmen kerja berdasarkan usia, diketahui bahwa komitmen kerja tertinggi
(dalam hal ini komitmen kerja afektif) adalah pada kelompok subjek dengan usia antara 26-35 tahun.
Hal ini wajar karena kelompok usia tersebut merupakan usia produktif. Menurut Hall (dalam
Robinson, 2003), rentang usia tersebut termasuk pada tahap perkembangan, dimana karyawan akan
mengerahkan segala kemampuannya dengan optimal untuk bekerja.
Jika hasil penelitian dipilah menurut jenis kelamin, maka komitmen kerja tertinggi adalah pada
subjek dengan jenis kelamin laki-laki. Dapat terjadi demikian karena bidang kerja ini juga cenderung
menuntut kemampuan fisik yang cukup berat dan hal itu sangat dimungkinkan dimiliki oleh karyawan
laki-laki.
Selanjutnya, jika hasil penelitian dipilah berdasarkan status perkawinan, maka komitmen tertinggi
ada pada kelompok subjek penelitian dengan status kawin, karena karyawan pada status kawin telah
memiliki keluarga. Hal ini membuat karyawan memiliki tanggung jawab untuk membiayai kehidupan
keluarganya.
Berdasarkan jumlah tanggungan, maka diketahui bahwa komitmen kerja tertinggi adalah pada
kelompok subjek dengan jumlah tanggungan sebanyak tiga orang. Hal ini otomatis membuat
karyawan bekerja sebaik mungkin agar dapat menopang kehidupan keluarga yang membutuhkan
biaya relatif besar.
Jika ditinjau dari tingkat pendidikan, komitmen kerja kontinuans tertinggi terdapat pada subjek
dengan tingkat pendidikan S2. Hal ini dapat terjadi karena pada subjek dengan tingkat pendidikan S2
mendapat gaji yang lebih besar jika dibandingkan dengan karyawan pada tingkat pendidikan yang
lebih rendah. Dengan penghasilan yang relatif besar, terutama jika dapat mencukupi berbagai
kebutuhan, maka karyawan cenderung enggan untuk mencari pekerjaan baru karena hal yang sama
belum tentu bisa didapatkan di perusahaan lain.
Jika hasil penelitian ini dikelompokkan berdasarkan masa bekerja, maka dapat diketahui bahwa
komitmen tertinggi adalah pada kelompok subjek penelitian yang memiliki masa bekerja antara 2-10
tahun. Menurut Morrow & McElroy (1987), masa bekerja memang memegang peranan penting dalam
mempengaruhi komitmen karyawan terhadap pekerjaannya. Pada rentang tersebut, karyawan berada
pada tahap lanjutan, dimana karyawan cenderung untuk berusaha semampunya untuk
mempertahankan posisi serta segala hal yang telah dimilikinya di dalam perusahaan. Selain itu rasa
memiliki serta rasa kekeluargaan yang telah terbentuk sebelumnya juga akan mempengaruhi para
karyawan untuk tetap berkomitmen terhadap pekerjaannya itu.
Berdasarkan hasil perhitungan komitmen kerja berdasarkan departemen, maka diketahui bahwa
komitmen kerja (afektif) tertinggi adalah pada Technical Service Department. Merujuk pada data
deskriptif yang telah dikumpulkan, hal ini dapat terjadi karena para karyawan merasakan adanya
kesesuaian antara latar belakang pendidikan (dalam hal ini jurusan teknik) dengan kriteria pekerjaan
yang saat ini dilaksanakan.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang telah diuraikan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan
bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam hal komitmen kerja antara karyawan yang memiliki
kecenderungan orientasi peran gender feminin dan maskulin pada karyawan yang bekerja di bidang
kerja non-tradisional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karyawan dengan kecenderungan
orientasi peran gender maskulin memiliki tingkat komitmen yang lebih tinggi terhadap pekerjaannya
(dalam hal ini jenis pekerjaan non-tradisional) jika dibandingkan dengan karyawan yang memiliki
kecenderungan orientasi peran gender feminin, yang berada pada taraf sedang.
Secara umum, komitmen afektif relatif lebih tinggi dibandingkan dengan komitmen lainnya, baik
pada kelompok subjek dengan kecenderungan orientasi peran gender feminin dan maskulin. Hal ini
mungkin saja terjadi karena karyawan merasa lingkungan kerjanya menyenangkan sehingga
membuat seluruh karyawan dapat bekerja dengan iklim kekeluargaan yang cukup kental. Komitmen
kerja afektif tergolong tinggi pada kelompok subjek dengan usia antara 26-35 tahun karena rentang
usia tersebut termasuk pada tahap perkembangan, dimana karyawan akan mengerahkan segala
kemampuannya dengan optimal untuk bekerja.
Komitmen kerja tertinggi adalah pada subjek dengan jenis kelamin laki-laki karena bidang kerja
ini juga cenderung menuntut kemampuan fisik yang cukup berat dan hal itu sangat dimungkinkan
dimiliki oleh karyawan laki-laki. Komitmen tertinggi juga ada pada kelompok subjek penelitian dengan
status kawin dan memiliki tanggungan sebanyak 3 orang, karena karyawan pada status kawin telah
memiliki keluarga. Hal ini membuat karyawan memiliki tanggung jawab untuk membiayai kehidupan
keluarganya. Selanjutnya, komitmen kerja kontinuans tertinggi terdapat pada subjek dengan tingkat
pendidikan S2 karena adanya gaji yang lebih besar jika dibandingkan dengan karyawan pada tingkat
pendidikan yang lebih rendah. Komitmen tertinggi juga terdapat pada kelompok subjek penelitian
yang memiliki masa bekerja antara 2-10 tahun, dimana karyawan berada pada tahap lanjutan serta
cenderung untuk berusaha semampunya untuk mempertahankan posisi dan segala hal yang telah
dimilikinya di dalam perusahaan. Komitmen kerja afektif tertinggi adalah pada Technical Service
Department. Hal ini dapat terjadi karena para karyawan merasakan adanya kesesuaian antara latar
belakang pendidikan (dalam hal ini jurusan teknik) dengan kriteria pekerjaan yang saat ini
dilaksanakan.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian serta dengan memperhatikan penjabaran di bagian-bagian
sebelumnya, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut :
1. Kepada perusahaan yang bersangkutan, disarankan untuk tetap mempertahankan iklim kerja
yang selama ini telah terjalin dengan baik agar karyawan tetap bersemangat dalam menjalankan
aktivitas di perusahaan. Saran lainnya kepada perusahaan adalah agar lebih memperhatikan
kebutuhan karyawannya dalam hal perluasan pengetahuan melalui seminar/training/pendidikan
guna peningkatan skill karyawan dan untuk memperkuat komitmen normatif karyawan terhadap
pekerjaan, khususnya dan perusahaan pada umumnya.
2. Kepada peneliti selanjutnya, disarankan untuk mengadakan replikasi penelitian serupa, pada
bidang kerja lain (bidang kerja tradisional) maupun pada pekerjaan lain di bidang kerja non-
tradisional. Dengan keragaman ini diharapkan hasil yang didapat pun dapat digeneralisasikan
dalam lingkup yang lebih luas lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Anastasi, A. & Urbina, S. 2003. Tes Psikologi (Psychological Testing 7e-Jilid 1). Alih Bahasa:
Robertus Hariono S. Imam. Jakarta: PT Indeks, Gramedia Grup.
Azwar, S. 2005. Tes Prestasi (Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar – Edisi II).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baron, P. A & Byrne, C. 1974. Sexuality and the Dual-Earner Couple: Multiple Roles and Sexual
Functioning. Journal of Family Psychology, Vol. 12, No. 3, 354-368.
Basow, S. A. 1980. Sex-Role Stereotypes . Traditions and Alternatives. Monterey, California :
Brooks/Cole Publishing Company.
Betz, N. E. & Fitzgerald, L. F. 1987. The Career Psychology of Women. London : Academic Press.
Coleman, G. L. & Cooper, P. 1997. Psikologi Untuk Kelompok Profesional (Psikologi Untuk Manajer).
Jakarta: Arcan.
Field, A. 2000. Discovering Statistics Using SPSS for Windows : Advanced Techniques for the
Beginner. London : Sage Publications, Ltd.
Greenberg, J & Baron, R. A. 1993. Behavior in Organizations (Fourth Edition). Singapore.: Allyn and
Bacon.
Irving, P. G., Coleman, D. F., & Cooper, C. L. 1997. Further Assesments of a Three-Component
Model of Occupational Commitment : Generalizability and Differences across Occupations.
Journal of Applied Psychology, Vol. 82, No. 3, 444-452.
Jewell, L.N. & Siegall, M. 1998. Psikologi Industri/Organisasi Modern:Psikologi Terapan Untuk
Memecahkan Berbagai Masalah di Tempat Kerja, Perusahaan, Industri dan Organisasi (Edisi
Kedua). Jakarta: Arcan.
Kalbfleisch, P. J. & Cody, M. J. 1995. Gender, Power and Communication in Human Relationships.
New Jersey: Lawrence Erlbaum Associate Inc. Publishing.
Lee, S., Craswell, J. P., & Allen, N. J. 2000. Foundations of Behavioral Research (Fourth Edition).
Orlando, Florida: Hartcourt Brace College Publishers.
Matlin, M.W. 1999. Psychology (Third Edition). Florida : Hartcourt Brace College Publishers.
Megawangi, R. 1999. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung :
Penerbit Mizan.
Meyer, J. P., Allen, N. J., & Smith, C. A. 1993. Commitment to Organizations and Occupations:
Extension and Test of a Three-Component Conceptualization. Journal of Applied Psychology,
Vol. 78, No. 4, 538-551.
Raguz, M. 1991. Masculinity and Femininity. An Empirical Definition. Nijmegen: Drukkerij Quickprint
BV.
Robinson, J. P., Shaver, R. R., & Wrightman, L. S. 1991. Measures of Personality and Social
Psychological Attitudes. California : Academic Press, Inc.
Robinson, J. P. 1995. Organizational Behavior. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Schultz, D. P. & Schultz, S. E. 1990. Psychology and Industry Today (An Introduction to Industrial and
Organizational Psychology-Fifth Edition). New York: Maxwell Mc Millan.
Spector, P. E. 2000. Industrial and Organizational Psychology : Research and Practice (Second
Edition). New York: John Wiley & Sons, Inc.
Spence, J. T., & Helmreich, R. L. 1974. The Personal Attributes Questionnaire.
http://www.atkinson.yorku.ca/~psyctest/paq.pdf.
Stets, H. L., & Burke, G. 1991. Sex and Gender in Society (Second Edition). New Jersey: Prentice
Hall.
Stevenson, M. R. 1994. Gender Roles Through the Life Span. A Multidisciplinary Perspective.
Muncie, Indiana: Ball State University.
Sugiyono. 2002. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.
Suryabrata, S. 2003. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: Andi Offset.
Tang, T. N. & Tang, C. S. 2001. Gender Role Internalization, Multiple Roles and Chinese Women’s
Mental Health. Psychology of Women Quarterly, Vol. 25, 181-196. USA: Blackwell
Publishers.
http://csubak.edu/~lhecht/Classes/BEHS501/Articles/GenderRoleInternalization.pdf.
Vianello, M. 1990. Gender Inequality. A Comparative Study of Discrimination and Participation.
London: Sage Publications Ltd.