Upload
ledat
View
251
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
PERBEDAAN RERATA KADAR ALBUMIN PADA BALITA STUNTING
DAN NON-STUNTING DI KECAMATAN GUNUNG SUGIH
KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
(Skripsi)
Oleh :
Alfia Nikmah
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
PERBEDAAN RERATA KADAR ALBUMIN PADA BALITA STUNTING
DAN NON-STUNTING DI KECAMATAN GUNUNG SUGIH
KABUPATEN LAMPUNG TENGAH
Oleh :
Alfia Nikmah
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
ABSTRACT
DIFFERENCE OF MEAN ALBUMIN LEVELS IN STUNTING AND NON-
STUNTING CHILDREN UNDER FIVE YEARS OLD AT GUNUNG
SUGIH LAMPUNG TENGAH
By
ALFIA NIKMAH
Backgorund: Stunting or growth retardation is a result of chronic malnutrition.
Stunting is one condition that can affect albumin levels.
Objective: This study aims to determine the difference of mean albumin levels in
stunting and non-stunting children at Gunung Sugih District, Lampung Tengah
Regency.
Method: An observational research using cross sectional approach. Fourty seven
children aged 2-5 years old choosen by purposive sampling. Based on Height for
Age (H/A) z-score index, it consisted of 25 stunting (<-2 SD) and 22 non-stunting
(-2 to 2 SD). The independent variable is stunting and dependent variable is
albumin. Serum albumin levels were examine using Brom Cresol Green methods
with cut-off 3,5-5,0 g/dL.
Result: Mean albumin levels in this study was 4,6±0,22 g/dL with minimum 4,2
g/dL and maximum 5,3 g/dL. Data were normally distributed and analysis using
independent t test showed mean albumin levels in stunting was (4,53 g/dL) lower
than non-stunting (4,70 g/dL). P value 0,007 (p<0,05) and lower of 95% confident
intervals was -0,027 and upper -0,004.
Conclusion: There were difference of mean albumin levels in stunting and non-
stunting children, but in both group showed normal albumin levels.
Keywords: albumin, stunting.
ABSTRAK
PERBEDAAN RERATA KADAR ALBUMIN PADA BALITA STUNTING
DAN NON-STUNTING DI KECAMATAN GUNUNG SUGIH KABUPATEN
LAMPUNG TENGAH
Oleh
ALFIA NIKMAH
Latar Belakang: Stunting atau tinggi badan pendek merupakan manifestasi dari
kurang gizi kronis. Stunting merupakan salah satu kondisi yang dapat
memengaruhi kadar albumin seseorang.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan rerata kadar
albumin pada balita stunting dan non-stunting di Kecamatan Gunung Sugih
Kabupaten Lampung Tengah.
Metode: Metode yang digunakan adalah cross sectional. Sebanyak 47 responden
berusia 2-5 tahun dipilih dengan metode purposive sampling. Berdasarkan indeks
z-score TB/U, 25 balita tergolong stunting (<-2 SD) dan 25 non-stunting (-2 s/d 2
SD). Variabel bebas adalah stunting dan variabel terikat adalah albumin. Kadar
albumin serum diperiksa menggunakan metode Brom Cresol Green (BCG)
dengan cut-off albumin 3,5-5,0 g/dL.
Hasil: Rerata kadar albumin serum pada penelitian ini adalah 4,6±0,22 g/dL
dengan nilai minimum 4,2 g/dL dan maksimum 5,3 g/dL. Data terdistribusi
normal dan hasil uji independent t test menunjukkan rerata kadar albumin serum
balita stunting (4,53 g/dL ) lebih rendah dari balita non-stunting (4,70 g/dL).
Didapatkan nilai p=0,007 (p<0,05) dan 95% Confident Intervals dengan lower (-
0,027) dan upper (-0,004).
Simpulan: Terdapat perbedaan rerata kadar albumin pada balita stunting dan non-
stunting, tetapi pada kedua kelompok menunjukkan nilai albumin yang normal.
Kata kunci: albumin, stunting.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pringsewu pada tanggal 29 September 1997. Penulis
merupakan putri pertama dari tiga bersaudara yang lahir dari bapak Sugiman dan
ibu Aminah.
Saat usia penulis 4 tahun, penulis menjalani pendidikan Taman Kanak-
kanak (TK) di TK Aisiyah Sridadi Kecamatan Kalirejo. Pada tahun 2003, penulis
melanjutkan pendidikan dasar di SDN 1 Poncowarno sampai tahun 2009. Penulis
melanjutkan sekolahnya di SMPN 1 Kalirejo dan lulus dari SMAN 1 Pringsewu
pada tahun 2015.
Pada tahun 2015, penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa di Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung, penulis telah mengikuti beberapa organisasi
baik di dalam kampus maupun di luar kampus. Penulis terdaftar sebagai anggota
FSI Ibnu Sina pada tahun 2015-2017 dan anggota PMPATD Pakis Rescue Team
pada tahun 2015-2018. Organisasi nasional yang penulis ikuti adalah
Perhimpunan Tim Bantuan Medis Mahasiswa Kedokteran Indonesia (PTBMMKI)
dan menjabat sebagai kepala staf Penanggulangan Bencana (PB) pada tahun 2017-
2018.
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan berkat
serta karunianya mencurahkan segala kasih sayangnya dan segala keajaibannya
yang masih bisa membawa saya sampai pada titik ini sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.
Skripsi ini berjudul “PERBEDAAN RERATA KADAR ALBUMIN PADA
BALITA STUNTING DAN NON-STUNTING DI KECAMATAN GUNUNG
SUGIH KABUPATEN LAMPUNG TENGAH” ini disusun sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran di Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Allah SWT yang selalu menuntun saya ke jalan yang terasa sulit namun
memberikan hasil yang teramat indah atas semuanya, terima kasih atas iman
yang masih Engkau berikan sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Prof.Dr.Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P. selaku rektor Universitas Lampung;
3. DR.dr. Muhartono, M.Kes.,Sp.PA selaku Dekan Fakultas Kedokteram
Universitas Lampung;
4. Dr.dr. Khairun Nisa Berawi, S.Ked.,M.Kes.,AIFO. selaku Pembimbing
Utama, yang telah membimbing saya dengan sebaik-baiknya, menuntun dan
mengajari saya dalam banyak hal yang saya belum mengerti, yang disegala
kesibukannya beliau masih mau menyempatkan diri untuk membimbing saya
untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini;
5. dr. Arif Yudho Prabowo, S.Ked. selaku Pembimbing Kedua, terima kasih
saya ucapkan atas kesediaan beliau memberikan bimbingan, saran, masukan,
dan nasihat saat penulisan skripsi, terima kasih banyak atas waktu dan ilmu
yang diberikan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik;
6. dr. Dian Isti Angraini, S.Ked.,MPH. selaku Penguji Utama dan Pembahas
dalam skripsi ini. Terima kasih telah mengajarkan banyak hal yang tidak saya
ketahui, meluangkan waktunya ditengah kesibukan, menjadi pembahas yang
juga selalu memberikan bimbingan, memberikan ilmu dan arahan pada setiap
hal yang belum saya ketahui;
7. Dr.dr. Susianti, S.Ked.,M.Sc. selaku Pembimbing Akademik selama di FK
Unila atas semua bimbingan, saran, kritik, dan nasihatnya selama menempuh
pendidikan dokter;
8. Kepada Ibu, Ayah, dan Adik-adikku yang selalu memberikan dukungan baik
moral maupun materi pada setiap langkah saya, terima kasih Ibu atas doa
pada malam hari yang menjadi pelancar segala urusan saya di dunia, terima
kasih Ayah yang telah bekerja keras untuk memenuhi segala kebutuhan
dalam perkuliahan ini. Terima kasih Adikku tercinta atas semangat dan
motivasi yang diberikan;
9. Kepada keluarga besar, terima kasih banyak untuk rasa percaya dan harapan
yang begitu tinggi yang kalian letakan pada pundak saya, terima kasih atas
segala doa dan dukungannya;
10. Seluruh dosen FK Unila yang telah memberikan ilmu pengetahuan, dukungan
serta nasihat selama penulis menempuh pendidikan dokter;
11. Seluruh staf TU, administrasi, akademik FK Unila, dan seluruh staf yang
bekerja telah banyak membantu dalam proses penelitian ini;
12. Kepada seluruh responden dan orang tua/wali yang bersedia mengikuti
penelitian ini, bidan dan kader kesehatan, serta semua pihak yang membantu;
13. Kepada teman rasa keluarga, anggota grup “Teambotak” dan “Kondangan
Squad” terima kasih sudah selalu hadir dalam setiap langkah dan membantu
segala urusan dalam pengerjaan skripsi ini, terima kasih atas bantuannya,
berjuta cinta kuterima dari kalian;
14. Kepada keluarga PMPATD Pakis Rescue Team, PTBMMKI, FSI Ibnu Sina,
KKN Desa Mumbang Jaya, dan teman-teman yang memberikan banyak
senyum, pengalaman baru, kenangan, dan telah menerimaku apa adanya;
15. Kepada teman-teman satu bimbingan, Maya, Fifi, dan Ulfi terima kasih
karena sudah sering menunggu kehadiran dokter bersama, saling
menyemangati untuk menyelesaikan skripsi kita, kesana kemari bersama;
16. Seluruh rekan sejawat FK Unila angkatam 2015 yang tidak bisa disebutkan
satu persatu, atas semua doa, semangat dan kerja sama nya selama ini;
Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
akan tetapi semoga skripsi yang sederhara ini berguna dan bermanfaat bagi setiap
orang yang membacanya.
Bandarlampung, 23 Januari 2019
Penulis,
Alfia Nikmah
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 5
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 5
1.3.1 Tujuan Umum ........................................................................... 5
1.3.2 Tujuan Khusus .......................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 6
1.4.1 Bagi Penulis .............................................................................. 6
1.4.2 Bagi Institusi Terkait ................................................................ 6
1.4.3 Bagi Masyarakat ....................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 7
2.1 Stunting .............................................................................................. 7
2.1.1 Definisi ...................................................................................... 7
2.1.2 Klasifikasi Stunting ................................................................... 8
2.1.3 Faktor Determinan dan Beban Akibat Stunting ........................ 9
2.1.4 Epidemiologi ........................................................................... 14
2.1.5 Patogenesis Stunting ............................................................... 16
2.2 Albumin ........................................................................................... 18
2.2.1 Definisi .................................................................................... 18
2.2.2 Fungsi Albumin ...................................................................... 19
2.2.3 Nilai Normal Albumin ............................................................ 22
2.2.4 Pemeriksaan Albumin Serum ................................................. 22
2.3 Hubungan Kadar Albumin dengan Kejadian Stunting ..................... 23
2.4 Kerangka Teori ................................................................................ 25
2.5 Kerangka Konsep ............................................................................. 26
2.6 Hipotesis .......................................................................................... 26
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 27
3.1 Desain Penelitian ............................................................................ 27
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... 27
3.2.1 Tempat Penelitian .................................................................. 27
ii
3.3.2 Waktu Penelitian ..................................................................... 27
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ....................................................... 28
3.3.1 Populasi Penelitian .................................................................. 28
3.3.2 Sampel Penelitian ................................................................... 28
3.4 Kriteria Penelitian ............................................................................ 29
3.4.1 Kriteria Inklusi ........................................................................ 29
3.4.2 Kriteria Eksklusi ..................................................................... 29
3.5 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional................................ 29
3.5.1 Identifikasi Variabel ............................................................... 29
3.5.2 Definisi Operasional ............................................................... 29
3.6 Alat dan Bahan .................................................................................. 30
3.6.1 Alat .......................................................................................... 30
3.6.2 Bahan ...................................................................................... 30
3.7 Prosedur Penelitian .......................................................................... 31
3.7.1 Prosedur Pengambilan Data .................................................... 31
3.7.2 Prosedur Pengukuran Tinggi Badan ....................................... 32
3.7.3 Prosedur Pengambilan Darah Vena ........................................ 32
3.7.4 Prosedur Pemeriksaan Albumin Serum .................................. 33
3.7.5 Alur Penelitian ........................................................................ 34
3.8 Pengelolaan dan Analisis Data ......................................................... 35
3.8.1 Pengelolaan Data .................................................................... 35
3.8.2 Analisis Data .......................................................................... 35
3.9 Etika Penelitian ................................................................................ 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 37
4.1 Gambaran Umum Penelitian ............................................................ 37
4.2 Hasil Penelitian ................................................................................ 38
4.2.1 Karakteristik Responden ......................................................... 38
4.2.2 Uji Normalitas Data ................................................................ 39
4.2.3 Analisis Univariat ................................................................... 39
4.2.3.1 Distribusi Status Gizi Balita ....................................... 39
4.2.3.2 Rerata Kadar Albumin Serum Balita .......................... 40
4.2.4 Analisis Bivariat ..................................................................... 40
4.2.4.1 Perbedaan Rerata Kadar Albumin Serum Balita ........ 40
4.3 Pembahasan...................................................................................... 41
4.3.1 Karakteristik Responden ......................................................... 41
4.3.3 Analisis Univariat ................................................................... 42
4.3.3.1 Distribusi Status Gizi Balita ....................................... 42
4.3.3.2 Rerata Kadar Albumin Serum Balita .......................... 46
4.3.4 Analisis Bivariat ..................................................................... 47
4.3.4.1 Perbedaan Rerata Kadar Albumin Serum Balita ........ 47
BAB V SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 51
5.1 Simpulan .......................................................................................... 51
5.2 Saran ................................................................................................ 51
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 53
Lampiran
iii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Klasifikasi status gizi berdasarkan TB/U dan TB/BB............................... 8
2. Kecukupan konsumsi protein yang dianjurkan ....................................... 12
3. Cut-off stunting sebagai masalah kesehatan ............................................ 14
4. Prevalensi status gizi balita (TB/U) menurut Kabupaten/Kota Provinsi
Lampung 2013 ........................................................................................ 15
5. Definisi operasional ................................................................................ 30
6. Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin ..................... 38
7. Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia .................................... 39
8. Uji Normalitas Data Albumin Serum Balita ........................................... 39
9. Distribusi Status Gizi Balita ................................................................... 39
10. Rerata Kadar Albumin Serum Balita ...................................................... 40
11. Perbedaan Rerata Kadar Albumin Serum ............................................... 40
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Teori.......................................................................................... 23
2. Kerangka Konsep ...................................................................................... 24
3. Alur Penelitian .......................................................................................... 32
v
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Penjelasan Penelitian Lampiran 2. Lembar Informed Consent. Lampiran 3. Lembar Persetujuan Etik
Lampiran 4. Surat Keterangan Penelitian
Lampiran 5. Tabulasi Data Responden Lampiran 6. Uji Statistik SPSS Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stunting merupakan kondisi tubuh lebih pendek dibandingkan dengan tinggi
standar untuk usianya. Stunting mengacu pada terhambatnya pertumbuhan
fisik yang irreversible disertai dengan penurunan kognitif yang dapat
berlangsung seumur hidup dan memengaruhi generasi berikutnya. Secara
global, masalah balita pendek (stunting) menjadi yang tertinggi dibandingkan
overweight dan wasting. Sebanyak 22,2% balita di dunia mengalami stunting
dan lebih dari 55% kasusnya terjadi di Asia. Stunting perlu mendapat
perhatian oleh semua pihak karena tingginya kasus tersebut. Berbagai aspek
dapat memengaruhi tingginya angka kejadian stunting, seperti aspek ekonomi,
politik, pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial, budaya, dan lingkungan
(UNICEF, WHO, dan The World Bank, 2018).
Prevalensi balita stunting di Indonesia masih tergolong tinggi. Berdasarkan
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi balita stunting terus
mengalami peningkatan dari tahun 2007 sebesar 36,8%, 2010 sebesar 35,6%,
dan 2013 menjadi 37,2% (Riskesdas, 2013). Hasil Pemantauan Status Gizi
(PSG) tahun 2017, prevalensi stunting telah mengalami penurunan menjadi
29,6% (Kemenkes RI, 2018). Meskipun mengalami penurunan, namun angka
2
tersebut masih cukup tinggi, sehingga pemerintah memasukkan program
penurunan prevalensi balita stunting sebagai salah satu prioritas pembangunan
nasional periode 2015-2019 (Kemenkes RI, 2016).
Stunting merupakan salah satu bentuk malnutrisi yang paling banyak terjadi
selain underweight, wasting, dan overweight. Malnutrisi menjadi penyebab
45% kematian pada balita di dunia. Pada tahun 2015, negara-negara yang
berada dalam naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menargetkan
berakhirnya segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030 dan menjadikannya
sebagai bagian dari tujuan pembangunan berkelanjutan. Masalah stunting
menjadi salah satu dari delapan target perbaikan nutrisi di dunia untuk tahun
2025, yaitu terjadi penurunan 40% kasus stunting pada balita (IFPRI, 2016).
Stunting yang terjadi pada balita akan meningkatkan mortalitas, morbiditas,
dan pengeluaran biaya kesehatan, serta menurunkan kemampuan kognitif,
motorik, dan perkembangan bahasa. Kondisi tersebut memengaruhi prestasi
belajar anak yang berakibat pada rendahnya kapasitas, produktivitas, dan
penghasilan saat dewasa. Buruknya sumber daya manusia menjadi salah satu
faktor rendahnya tingkat ekonomi dan produktifitas suatu bangsa (WHO,
2013). Stunting terjadi akibat kurangnya asupan dan penyerapan nutrisi
ditambah dengan paparan stres dari luar yang berlangsung terus-menerus
(Black dkk., 2008). Stunting dinilai berdasarkan indeks tinggi badan menurut
umur (TB/U) dengan ambang batas (z-score) <-2 Standar Deviasi (SD)
(Riskesdas, 2013).
3
Salah satu nutrisi yang penting untuk masa pertumbuhan adalah protein.
Beberapa penelitian mengenai hubungan asupan protein dengan kejadian
stunting pada balita telah dilakukan di Indonesia. Penelitian yang dilakukan di
kelurahan Jangli Semarang pada tahun 2016 membuktikan bahwa adanya
hubungan antara protein dan z-score TB/U, yaitu semakin tinggi asupan
protein, maka akan semakin tinggi nilai z-score TB/U. Hal tersebut sesuai
dengan fungsi protein sebagai pembentuk jaringan baru, pengganti jaringan
yang rusak, dan menyediakan asam amino yang penting untuk metabolisme.
Ketiga fungsi tersebut akan berpengaruh pada pertumbuhan dan
perkembangan balita (Sundari E. dan Nuryanto, 2016).
Albumin merupakan protein terbanyak dalam plasma darah dan nilainya dapat
dijadikan sebagai salah satu indikator penentuan status kesehatan dan lama
rawat inap di rumah sakit (Kurdanti, 2004). Albumin berfungsi untuk
mempertahankan tekanan osmotik plasma dengan menjaga keseimbangan
distribusi air di tubuh dan membawa beberapa komponen darah seperti ion,
bilirubin, enzim, dan obat (Pedoman Interpretasi Data Klinik, 2011). Selain
keempat zat tersebut, albumin juga sebagai pengangkut kalsium, logam seperti
tembaga dan zink, metheme, steroid, dan hormon lainnya (Murray, Granner,
dan Rodwell, 2014). Salah satu faktor yang memengaruhi sintesis albumin di
hati adalah asupan protein, oleh karena itu,rendahnya konsumsi protein dapat
menurunkan sintesis albumin. Penurunan sintesis albumin akan menurunkan
transport hormon pertumbuhan (Busher, 1990).
4
Penelitian di Mesir pada tahun 2013 mengenai efek asupan zat mikro dan
makro terhadap status gizi anak prasekolah menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan asupan zat mikro dan makro yang signifikan antara anak stunting
dan non-stunting. Salah satu zat makro tersebut adalah protein. Penelitian
tersebut menerapkan cut off untuk kadar albumin sebesar 3,8-5,1 g/dL, dan
hasilnya pada 100 anak yang stunting rata-rata kadar albuminnya adalah 4,27
g/dL, sedangkan 50 anak non-stunting kadar rata-rata albuminnya sebesar 5,00
g/dL. Walaupun masih termasuk normal, namun dari penelitian tersebut dapat
terlihat bahwa kadar albumin pada anak stunting lebih rendah dibandingkan
anak non-stunting (Mikhail, 2013).
Stunting berdampak pada masa sekarang dan masa depan, sehingga perlu
mendapat penanganan khusus. Beberapa provinsi di Indonesia masih
tergolong masalah stunting berat dan serius. Sebagai provinsi dengan
prevalensi stunting 42,6%, Lampung termasuk kategori stunting serius.
Kabupaten Lampung Tengah adalah kabupaten dengan kejadian stunting
paling tinggi di Provinsi Lampung yaitu sebesar 52,7% (Profil Kesehatan
Provinsi Lampung, 2015). Di Lampung Tengah, terdapat 10 desa dengan
persentase balita stunting lebih tinggi dibandingkan dengan desa lainnya yang
disebut dengan desa lokus stunting. Di antara kesepuluh desa lokus stunting,
desa dengan persentase stunting tertinggi adalah desa Buyut Udik Kecamatan
Gunung Sugih yaitu dengan persentase stunting 56,10% (Dinkes Lampung
Tengah, 2018).
5
1.2 Rumusan masalah
Tingginya kejadian stunting pada balita di dunia maupun di Indonesia perlu
mendapatkan perhatian semua pihak. Kabupaten Lampung Tengah memiliki
persentase stunting paling tinggi di Lampung. Terdapat 10 desa di Kabupaten
Lampung Tengah yang menjadi lokus stunting dan di antara kesepuluh desa
tersebut, desa Buyut Udik Kecamatan Gunung Sugih adalah desa dengan
persentase tertinggi, yaitu 56,10%. Stunting dapat mengganggu perkembangan
kognitif, motorik, dan intelektual yang akan memengaruhi produktifitas dan
kapasitas anak tersebut di masa depan. Stunting terjadi akibat kurangnya
nutrisi yang berlangsung kronis dan atau penyakit kronis. Salah satu
komponen yang memengaruhi pertumbuhan adalah albumin. Fungsinya
sebagai transport berbagai komponen penting dalam darah menjadikannya
sebagai salah satu indikator status gizi. Berdasarkan uraian di atas, penulis
ingin melakukan penelitian untuk mengetahui perbedaan rerata kadar albumin
pada balita stunting dan non-stunting di Kecamatan Gunung Sugih Kabupaten
Lampung Tengah.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui perbedaan rerata kadar albumin pada balita stunting dan
non-stunting di Kecamatan Gunung Sugih Kabupaten Lampung
Tengah.
6
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui rerata kadar albumin pada balita stunting di Kecamatan
Gunung Sugih Kabupaten Lampung Tengah;
b. Mengetahui rerata kadar albumin pada balita non-stunting di
Kecamatan Gunung Sugih Kabupaten Lampung Tengah.
1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Bagi Penulis
a. Menambah wawasan dan memperkaya referensi di bidang keilmuan;
b. Mengasah pola pikir, sikap, dan perilaku ilmiah yang benar
berlandaskan pada etika kedokteran, keilmuan, dan hukum yang
berlaku.
1.4.2 Bagi Institusi Terkait
Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan bacaan
terutama untuk penelitian lebih lanjut di Fakultas Kedokteran
Univeristas Lampung.
1.4.3 Bagi Masyarakat
Penelitian ini dapat menambah wawasan masyarakat mengenai stunting
dan pentingnya albumin dalam pertumbuhan, sehingga diharapkan
masyarakat terutama orang tua yang memiliki balita dapat
meningkatkan perhatian terhadap masalah kesehatan balita dan
memberikan gizi seimbang yang penting untuk pertumbuhan dan
perkembangan anaknya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stunting
2.1.1 Definisi
Stunting diartikan sebagai keadaan ketidakseimbangan nutrisi yang
berlangsung kronis dan bermanifestasi pada kekurangan nutrisi.
Stunting (pendek) diukur menggunakan indeks Tinggi Badan
berdasarkan Umur (TB/U). Indeks TB/U adalah tinggi badan seseorang
pada usia tertentu yang dinilai menggunakan z-score dengan satuan
Standar Deviasi (SD), sedangkan yang dimaksud dengan z-score TB/U
adalah nilai yang didapat dari selisih tinggi badan anak dengan tinggi
badan standar dibagi standar deviasi pada tinggi badan standar. Tinggi
badan diukur dengan keadaan berdiri dan umur dinyatakan dalam bulan
(Kemenkes RI, 2018).
Status gizi pada balita dapat dinilai dengan 3 indeks, yaitu Berat Badan
berdasarkan Umur (BB/U), TB/U, dan BB/TB. Dikatakan berat kurang
(underweight) apabila nilai z-score BB/U<-2 SD, kurus (wasting)
apabila nilai z-score BB/TB <-2 SD, dan pendek (stunting) jika z-score
TB/U <-2 SD. Stunting merupakan gabungan dari pendek dan sangat
pendek yang terjadi akibat kekurangan gizi kronis seperti kelaparan,
8
kemiskinan, perilaku tidak sehat, maupun penyakit infeksi yang
berlangsung lama (kronis), sedangkan wasting merupakan gabungan
dari kurus dan sangat kurus yang terjadi akibat kelaparan atau adanya
wabah penyakit di wilayah tersebut. Indikator yang terakhir adalah
underweight yang merupakan gabungan dari gizi buruk dan gizi kurang.
Underweight tidak menggambarkan masalah gizi secara kronis maupun
akut, karena kedua masalah tersebut dapat menyebabkan berat badan
rendah (Riskesdas, 2013).
2.1.2 Klasifikasi Stunting
Stunting dapat dinilai berdasarkan indikator TB/U dengan klasifikasi
sangat pendek, pendek, normal, dan tinggi. Indikator lainnya yang
merupakan gabungan dari TB/U dan BB/TB dapat menunjukkan status
gizi yang lebih spesifik dengan menunjukkan gambaran pendek-kurus,
pendek-normal, dan pendek-gemuk (Riskesdas, 2013; Trihono dkk.,
2015). Pada tabel 1 terdapat klasifikasi status gizi balita berdasarkan
indeks TB/U dan TB/U dengan BB/TB.
Tabel 1. Klasifikasi status gizi berdasarkan TB/U dan BB/TB.
Indikator Klasifikasi Z-score (SD)
TB/U Sangat pendek <-3
Pendek ≥-3 s/d <-2
Normal -2 s/d 2
Tinggi >2
TB/U dan BB/TB Pendek-kurus TB/U <-2 dan BB/TB <-2
Pendek-normal TB/U <-2 dan BB/TB -2 s/d 2
Pendek-gemuk TB/U <-2 dan BB/TB >2
(Riskesdas, 2013).
9
2.1.3 Faktor Determinan dan Beban Akibat Stunting
Stunting menjadi masalah yang serius dan harus segera dituntaskan.
Stunting pada balita tidak hanya memengaruhi pertumbuhan, namun
juga memengaruhi perkembangan dan daya tahan tubuh anak di masa
yang akan datang (WHO, 2010). Stunting sangat dipengaruhi oleh 1000
Hari Pertama Kehidupan (HPK) yaitu terhitung dari awal pembuahan
sampai usia 2 tahun. Pada usia 0-2 tahun, pertumbuhan dan
perkembangan mencapai masa emasnya, sehingga disebut dengan
“golden age”. Faktor-faktor yang memengaruhinya adalah sosio-
ekonomi, asupan nutrisi, infeksi, status nutrisi maternal, penyakit
infeksi, defisiensi mikronutrien, dan lingkungan (WHO, 2018). Terjadi
pertumbuhan yang pesat pada usia 0-2 tahun dan pertumbuhan akan
melambat pada usia 2-5 tahun, kemudian memasuki fase konstan dan
meningkat lagi pada masa pubertas (Istiany A. dan Rusilanti, 2013).
Berdasarkan Studi Diet Total (SDT) tahun 2014, sebanyak 23,6% balita
mendapatkan kecukupan protein sangat kurang (≤80% Angka
Kecukupan Protein (AKP)) dan 10,6% balita mendapat kecukupan
protein kurang (80%-<100% AKP) (Kemenkes RI, 2014). AKP yang
dianjurkan untuk balita usia 1-3 tahun adalah 25 gram dan usia 4-5
tahun sebesar 39 gram, serta diperlukan protein 1-4 g/kg tiap
penambahan jaringan tubuh (Istiany A. dan Rusilanti, 2013).
Konsumsi makanan akan memengaruhi status gizi. Status gizi baik
apabila zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan fisik,
10
perkembangan otak, kesehatan, dan produktivitas kerja yang optimal
tercukupi (Istiany A. dan Rusilanti, 2013). Kekurangan energi dan
protein maupun keduanya yang terjadi pada anak stunting dapat
memengaruhi penurunan sistem imun. Pada defisiensi protein, jumlah
protein yang sedikit tersebut akan digunakan untuk mengkompensasi
organ vital seperti otak dan jantung, sehingga akan terjadi atrofi pada
organ-organ lainnya, misalnya adalah organ limfoid primer seperti
timus dan sum-sum tulang belakang. Jika terjadi atrofi pada timus,
maka selanjutnya akan terjadi leukopenia yaitu berkurangnya jumlah
leukosit sebagai imunitas pada tubuh. Akibatnya, anak stunting lebih
mudah untuk terkena penyakit infeksi dibanding dengan anak normal
lainnya (Anggraeny, 2016).
Selain pertumbuhan, anak stunting juga mengalami keterlambatan
perkembangan (WHO, 2010). Pada balita, perkembangan dapat dinilai
dari 3 hal, yaitu secara fisik, kognitif, dan psikososial (Istiany A. dan
Rusilanti, 2013). Status gizi yang baik diperlukan untuk perkembangan
dan kematangan neuron otak (Ernawati, 2014). Stunting yang terjadi
pada balita dapat menurunkan kemampuan IQ sebesar 5-11 poin. Anak
stunting akan memiliki rasa keingintahuan yang lebih rendah dan
kelemahan motorik karena gangguan pada proses kematangan fungsi
otot. Salah satu faktor yang memengaruhinya adalah status gizi dan
keikutsertaan balita dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
(Solihin, 2013). Penelitian tentang hubungan status gizi lahir dengan
pertumbuhan dan perkembangan menyebutkan bahwa defisiensi nutrisi
11
yang terjadi sampai usia 2 tahun dapat mengurangi sel otak sebanyak
15-20% (Sutiari dan Wulandari, 2011).
Stunting dipengaruhi oleh faktor ibu sebelum hamil sampai setelah
melahirkan. Faktor yang memengaruhi stunting pada proses sebelum
kehamilan adalah tinggi badan dan usia ibu. Anak stunting umumnya
lahir dari ibu yang pendek (tinggi <150 cm). Pada kelompok ibu yang
menikah di usia <19 tahun cenderung melahirkan anak pendek dengan
proporsi sebesar 37% dibanding dengan kelompok ibu yang menikah di
usia 20-34 tahun yaitu sebesar 31,9%. Selama kehamilan, penambahan
berat badan ibu akan memengaruhi panjang lahir bayi. Berdasarkan
studi kohort tumbuh kembang anak Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Balitabangkes) tahun 2013, ibu yang
kenaikan berat badan selama hamil rendah akan melahirkan bayi yang
lahir pendek (panjang badan <50 cm) (Trihono dkk., 2015).
Selain penambahan berat badan, faktor lain yang memengaruhi selama
hamil adalah nutrisi. Nutrisi yang tidak adekuat selama hamil dapat
menyebabkan berat lahir rendah dan panjang lahir pendek. Bayi dengan
berat lahir rendah memiliki kemungkinan untuk mengalami gangguan
perkembangannya sebesar 35,4% lebih besar dibanding bayi dengan
berat lahir normal yang kemungkinannya hanya 25% saja. Bayi dengan
panjang lahir pendek kemungkinan untuk mengalami gangguan
pertumbuhan tiga kali lebih tinggi dibanding bayi dengan panjang lahir
normal (Trihono dkk., 2015; WHO, 2018).
12
Pada fase setelah lahir, faktor yang memengaruhi stunting pada usia 0-2
tahun adalah Air Susu Ibu (ASI) dan makanan pendamping ASI.
Berdasarkan Riskesdas tahun 2013, bayi usia 0-6 bulan yang
mendapatkan ASI eksklusif hanya sebesar 38%, dan 2 dari 3 anak usia
0-24 bulan tidak menerima makanan pengganti ASI (Trihono dkk.,
2015). Pemberian energi dan protein yang semakin baik akan
meningkatkan status gizi balita. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan
penelitian yang melibatkan anak usia 3-5 tahun di Kabupaten Bogor
bahwa setiap penambahan 1% tingkat kecukupan energi pada balita,
maka z-score TB/U akan bertambah 0,032 satuan dan setiap
penambahan 1% tingkat kecukupan protein pada balita, maka z-score
TB/U akan bertambah 0,024 satuan (Solihin, 2013).
Tabel 2. Kecukupan konsumsi protein yang dianjurkan.
Grup Umur Kecukupan Protein (g/hari)
Bayi/anak 0-6 bulan 10
6-12 bulan 16
1-3 tahun 25
4-6 tahun 39
7-9 tahun 45
Laki-laki 10-12 tahun 60
13-15 tahun 65
>15 tahun 60
Perempuan 10-12 tahun 50
13-15 tahun 57
>15 tahun 50
(Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2004).
Kesenjangan balita stunting cukup signifikan jika ditinjau dari segi
lokasi, tingkat pendidikan, tingkat kesejahteraan, maupun jenis kelamin.
Balita stunting lebih banyak ditemukan di pedesaan dibanding
perkotaan. Hal ini berkaitan dengan kecukupan protein. Di pedesaan
umumnya protein yang dikonsumsi adalah protein nabati (Aridiyah,
13
2015). Protein hewani mengandung semua asam amino esensial,
sedangkan protein nabati (kecuali kedelai) tidak mengandung semua
asam amino esensial (Almatsier, 2009). Jika dikelompokkan
berdasarkan tingkat pendidikannya, persentase balita stunting lebih
tinggi pada pendidikan kepala keluarga SD ke bawah dibanding
pendidikan sampai SMP ke atas (Trihono dkk., 2015).
Beban stunting di masa yang akan datang meliputi pendek lintas
generasi, lambatnya perkembangan anak, morbiditas, serta resiko untuk
mengalami penyakit tidak menular. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya, bahwa bayi dengan berat lahir rendah dan panjang lahir
pendek akan tumbuh menjadi anak yang stunting. Anak stunting pada
masa remaja dan dewasa dapat berlanjut menjadi remaja kurus-pendek
dan dewasa pendek yang akan melahirkan bayi dengan berat lahir
rendah dan panjang lahir pendek. Masalah gizi tersebut akan terus
berulang dan membentuk siklus stunting (Trihono dkk., 2015).
Terlambatnya perkembangan pada anak stunting terjadi pada hampir
semua domain perkembangan, sehingga anak stunting akan lebih
tertinggal dibanding anak normal. Selain terlambatnya perkembangan,
anak stuntingjuga lebih beresiko mengalami penyakit tidak menular
saat dewasa. Anak dengan kategori pendek tidak gemuk (IMT <23)
mempunyai resiko 1,5 kali mengalami Diabetes Melitus (DM),
sedangkan anak pendek dan gemuk mempunyai resiko mengalami DM
3,4 kali dibanding anak normal (Trihono dkk., 2015).
14
2.1.4 Epidemiologi
Secara global, masalah balita pendek (stunting) menjadi masalah
kesehatan yang cukup tinggi. Sebanyak 22,2% yaitu sekitar 150,8 juta
balita di dunia mengalami stunting dan pada tahun 2017 lebih dari 55%
kasus tersebut terjadi di Asia. Meskipun demikian, kejadian
stuntingtelah mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya.
Berdasarkan data, 66% kasus stunting terjadi di negara dengan
pendapatan menegah ke bawah (UNICEF, WHO, dan The World Bank,
2018). Cut-off untuk persentase kejadian stunting sebagai suatu masalah
kesehatan di suatu wilayah telah dijelaskan oleh WHO pada tabel 3.
Tabel 3.Cut-off stunting sebagai masalah kesehatan.
Persentase Stunting Keterangan
<20% Rendah
20-29% Medium
30-39% Tinggi
≥40% Sangat tinggi
(WHO, 2010).
Di Asia, Indonesia menduduki urutan kelima prevalensi stunting
tertinggi tahun 2005-2011 (WHO, 2012). Berdasarkan hasil Riskesdas
tahun 2007, 2010, dan 2013 jumlah balita stunting mengalami naik
turun. Balita dengan status gizi sangat pendek persentasenya terus
mengalami penurunan, tetapi balita pendek persentasenya mengalami
fase naik turun. Prevalensi stunting secara nasional pada tahun 2007
sebesar 36,8%, kemudian menurun pada tahun 2010 menjadi 35,6%,
dan pada tahun 2013 meningkat lagi menjadi 37,2% (terdiri dari 18%
sangat pendek dan 19,2% pendek) (Riskesdas, 2013).
15
Di Indonesia terdapat 14 provinsi yang tergolong masalah stunting berat
(prevalensinya 30-39%) dan 15 provinsi dengan kategori stunting serius
(≥40%). Lampung berada pada urutan ke-10 dari 15 provinsi dengan
masalah stunting serius yaitu dengan prevalensi sebesar 42,6% (27,%
balita sangat pendek dan 15% balita pendek) (Riskesdas, 2013; Dinkes
Provinsi Lampung, 2016). Data prevalensi stunting di Kabupaten/Kota
Provinsi Lampung sebagai berikut:
Tabel 4. Prevalensi status gizi balita (TB/U) menurut Kabupaten/Kota
Provinsi Lampung 2013.
Kabupaten/Kota Kategori Status Gizi TB/U
Sangat Pendek Pendek Normal
Lampung Barat 18,7 15,9 65,4
Tanggamus 20,7 19,0 60,3
Lampung Selatan 25,2 17,8 57,0
Lampung Timur 28,3 14,9 56,8
Lampung Tengah 38,6 14,1 47,3
Lampung Utara 20,9 11,6 67,6
Way Kanan 17,4 12,3 70,2
Tulang Bawang 30,5 10,4 59,0
Pesawaran 33,5 17,3 49,2
Pringsewu 24,4 12,6 63,0
Mesuji 27,5 15,9 56,6
Tulang Bawang Barat 22,9 17,2 59,9
Kota Bandar Lampung 30,3 14,3 55,4
Kota Metro 29,4 17,9 52,7
(Dinas KesehatanProvinsi Lampung, 2015).
Berdasarkan tabel di atas, tampak bahwa prevalensi stunting tertinggi di
provinsi Lampung berada di Kabupaten Lampung Tengah yaitu sebesar
52,7%. Di Lampung Tengah terdapat 10 desa lokus stunting yaitu desa
Buyut Udik (56,10%), Mataram Ilir (38,01%), Mataram Udik (29,96%),
Gunung Batin Udik (25,00%),Cabang (24,37%), Tanjung Rejo
(23,23%), Tulung Kakan (21,92%), Gedung Ratu (16,8%), Riau
Periangan (15,83%), danBandar Putih Tua (13,54%). Berdasarkan data
16
tersebut, desa dengan persentase stunting tertinggi adalah desa Buyut
Udik yang berada di Kecamatan Gunung Sugih Kabupaten Lampung
Tengah (Dinkes Lampung Tengah, 2018). Di kecamatan Gunung Sugih
terdapat 2 puskesmas induk yaitu puskesmas Terbanggi Subing dan
puskesmas Gunung Sugih Raya, 7 puskesmas pembantu, dan 81
posyandu (Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Tengah, 2017).
2.1.5 Patogenesis Stunting
Dalam siklus hidup manusia, pertumbuhan dan perkembangan tidak
dapat dipisahkan. Pertumbuhan merupakan penambahan jumlah dan
ukuran sel dikarenakan pembentukan protein baru (Istiany A. dan
Rusilanti, 2013). Apabila selama masa pertumbuhan terjadi
ketidakseimbangan antara asupan yang dikonsumsi dengan kebutuhan
tubuh untuk melakukan metabolisme yang seharusnya, maka akan
terjadi penyesuaian secara fisiologis untuk mempertahankan kerja dari
organ-organ tubuh yang utama. Percobaan yang dilakukan pada hewan
coba menunjukkan bahwa apabila terjadi kekurangan makanan selama
masa pertumbuhan, maka terjadi perubahan pada ukuran organ seperti
jantung, ginjal, timus, dan terutama otot (Briend, 2015).
Patogenesis stunting masih belum diketahui dengan jelas. Studi
epidemiologi menyebutkan bahwa pemberian ASI dan makanan
pendamping ASI yang suboptimal, defisiensi makronutrien dan
mikronutrien, serta infeksi berulang menjadi faktor determinan pada
stunting (Prendergast dan Jean, 2014). Salah satu makronutrien yang
17
menjadi prediktor stunting adalah protein. Fungsi utama dari protein
adalah sebagai zat pembangun, maka dari itu protein sangat dibutuhkan
pada masa pertumbuhan dan perkembangan pada balita (Ernawati,
2016).
Beberapa penelitian di Indonesia menyatakan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan positif antara tingkat kecukupan protein dengan status
gizi pada balita. Salah satunya adalah penelitian mengenai kaitan status
gizi, perkembangan kognitif, dan motorik pada anak usia prasekolah di
Bogor yang menyatakan bahwa setiap penambahan satu persen tingkat
kecukupan protein balita, z-score TB/U balita meningkat sebesar 0,024
satuan (Solihin, 2013). Asupan protein diketahui dapat memengaruhi
matriks protein tulang, formasi tulang, dan kadar plasma Insulin like
Growth Factor-I (IGF-I) yang berfungsi sebagai mediator hormon
pertumbuhan (Mikhail, 2013). Semakin rendah asupan protein, maka
produksi IGF-I akan terganggu dan memengaruhi pertumbuhan tulang
dengan merangsang proliferasi dan diferensiasi kondrosit di lempeng
epifisis sertamemengaruhi produksi osteoblas. Akibatnya, balita akan
mengalami gangguan pertumbuhan linear dan mengakibatkan stunting
(Adani dan Triska, 2017).
Kurangnya asupan makan menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi
dan sebaliknya, penyakit infeksi dapat menurunkan asupan makan.
Pada saat terjadi proses inflamasi, tubuh akan memproduksi C-reactive
protein yang akan melepaskan sitokin proinflamasi seiring dengan
18
berkurangnya nafsu makan. Kondisi tersebut juga akan mengganggu
produksi dan kerja dari chondrocyte growth factor. Inflamasi juga
meningkatkan Interleukin-6 (IL-6) yang dapat menghambat induksi
Growth Hormone (GH) pada IGF-1 dan menghambat kerja IGF-1 pada
pertumbuhan lempeng (Owino dkk., 2016).
Ketika asupan protein kurang, terjadi lonjakan GH dan insulin yang
mengakibatkan peningkatan lipolisis dan pengurangan cadangan lemak
putih serta penurunan kadar leptin. Hipoleptinemia menyebabkan
terganggunya konversi T4 menjadi T3 yang aktif, sehingga maturasi
kondrosit terganggu (Owino dkk., 2016). Selama tidak terjadi infeksi,
penggunaan cadangan otot lebih minimal karna mengutamakan
penggunaan cadangan lemak, namun apabila terjadi bersamaan dengan
infeksi, maka penggunaan asam amino di otot semakin di tingkatkan
sebagai mekanisme untuk memproduksi protein, glutation, dan
membangun respon imun (Briend, 2015). Malnutrisi akut yang disertai
infeksi juga akan mengaktivasi adrenal di hipotalamus untuk
menstimulasi peningkatan hormon kortisol dan IGF-1 serta
menginduksi apoptosis kondrosit (Owino dkk., 2016).
Otot paling banyak terdapat pada ekstremitas. Pengurangan massa otot
di ekstremitas akan memengaruhi penurunan panjang ekstremitas yang
akan bermanifestasi pada tinggi badan pendek. Hal ini sesuai dengan
studi epidemiologi yang mengatakan bahwa stunting banyak terjadi
pada 2 tahun pertama kehidupan seseorang dimana pada fase tersebut
19
sedang terjadi pertumbuhan linear yang dominan pada ekstremitas
bawah. Jadi, kekurangan nutrisi kronis dengan atau tanpa penyakit
infeksi akan menyebabkan penggunaan protein semakin meningkat
sehingga massa otot terus berkurang yang berakibat pada gangguan
pertumbuhan linear pada anak stunting (Briend, 2015).
2.2Albumin
2.2.1 Definisi
Albumin merupakan protein terbanyak dalam plasma dan membentuk
sekitar 60% dari total plasma manusia. Albumin berada pada plasma
(40%) dan ruang ekstraseluler (60%). Albumin disekresikan oleh hati.
Setiap hari, hati akan mensekresikan 25% dari semua sintesis protein
berupa albumin yaitu sebanyak 12 gram. Albumin mulanya berbentuk
preproprotein yaitu protein prekursor yang ketika memasuki retikulum
endoplasma kasar akan mengeluarkan peptida dan heksapeptida di
terminal amino. Ketika protein tersebut disekresikan, maka rantainya
akan diputus (Murray, Granner, dan Rodwell, 2014).
Albumin berbentuk elips sehingga viskositasnya lebih rendah dibanding
fibrinogen. Ikatan albumin terdiri dari rantai polipeptida yang
mengandung 585 asam amino dan 17 ikatan disulfida (Murray,
Granner, dan Rodwell, 2014). Kadar albumin bergantung dengan
asupan protein yang merupakan bentuk kompleks dari asam amino.
Asam amino seperti triptofan, lisin, ortinin, arginine, prolin, treonin,
dan fenilanin akan merangsang pembentukan albumin. Hormon yang
20
memengaruhi sintesis albumin oleh hepar adalah hormon pertumbuhan,
insulin, korteks adrenal, dan testosteron (Busher 1990; Murray,
Granner, dan Rodwell, 2014).
2.2.2 Fungsi Albumin
Albumin berfungsi untuk membentuk jaringan baru dan mengganti
jaringan yang rusak atau mati. Albumin dapat digunakan menjadi salah
satu indikator penentuan status kesehatan dan lama rawat inap di rumah
sakit. Berdasarkan penelitian mengenai hubungan antara kadar albumin
serum awal dengan lama rawat inap dan status pulang pasien dewasa di
rumah sakit didapatkan hasil bahwa pasien dengan albumin kurang
mempunyai kemungkinan 1,89 kali lebih lama masa rawat inapnya
dibanding dengan pasien dengan albumin normal (Kurdanti, 2004).
Albumin serum juga digunakan sebagai salah satu faktor penentu
prognosis di rumah sakit. Penurunan albumin serum akan memperburuk
prognosis penyakit seseorang karena resiko untuk mengalami penyakit
infeksi lebih tinggi. Seperti penelitian yang dilakukan pada anak gizi
buruk yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo
Surabaya, membuktikan bahwa kadar albumin serum pada anak gizi
buruk dengan infeksi lebih rendah dibandingkan dengan anak gizi
buruk tanpa infeksi. Artinya, anak gizi buruk dengan kadar albumin
rendah lebih beresiko mengalami penyakit infeksi (Widjaja, 2013).
Albumin memiliki berat molekul ringan dan konsentrasi yang tinggi,
sehingga albumin dapat mengatur tekanan osmotik plasmadengan
21
menjaga keseimbangan distribusi air di tubuh. Apabila kadar albumin
rendah (hipoalbuminemia), maka akan terjadi penimbunan cairan dalam
jaringan (edema) (Murray, Granner, dan Rodwell, 2014).
Hipoalbuminemia (≤2,5 g/dL) dan edema merupakan salah satu tanda
dari Sindrom Nefrotik (SN). Penelitian yang dilakukan pada 29 anak
yang terdiagnosis SN di rumah sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung
membuktikan bahwa semakin rendah kadar albumin maka semakin
besar persentase edema pada anak penderita SN (Novina, 2014).
Selain menjaga tekanan osmotik, albumin juga berperan untuk
mengangkut beberapa komponen darah seperti ion, bilirubin, hormon,
enzim, obat-obatan, asam lemak bebas, vitamin, kalsium, hormon
steroid tertentu, bilirubin, tembaga, zink, dan triptofan plasma (Murray,
Granner, dan Rodwell, 2014; Pedoman Interpretasi Data Klinik, 2011).
Kadar albumin serum juga akan memengaruhi kalsium serum. Setiap
penurunan 1 g/dL konsentrasi albumin serum, maka konsentrasi serum
total kalsium akan mengalami penurunan sebanyak 0,8 mEq/dL
(Pedoman Interpretasi Data Klinik, 2011). Penelitian tentang hubungan
antara kadar albumin dan kalsium serum pada sindrom nefrotik anak
membuktikan adanya hubungan linear positif yang artinya semakin
rendah kadar albumin serum, maka semakin rendah juga kadar kalsium
serumnya (Garniasih, 2008).
22
2.2.3 Nilai Normal Albumin
Nilai rujukan untuk kadar albumin normal adalah 3,5-5,0 g/dL
(Pedoman Interpretasi Data Klinik, 2011). Kadar albumin akan
mengalami peningkatan pada kondisi dehidrasi. Sebaliknya, kadar
albumin akan menurun pada kondisi-kondisi klinis seperti stadium
akhir pada penyakit hati, sindroma malabsorbsi, hipertiroid, kehamilan,
infeksi kronik, luka bakar, asites, sirosis, sindrom nefrotik, perdarahan
dan malnutrisi (Busher, 1990; Pedoman Interpretasi Data Klinik, 2011).
Secara garis besar penyebab rendahnya kadar albumin ada tiga, pertama
karena berkurangnya sintesis albumin akibat malnutrisi dan gangguan
sintesis pada penyakit hati, kedua yaitu berkurangnya absorbsi albumin
akibat sindrom malabsorbsi, dan terakhir karena peningkatan ekskresi
albumin dari tubuh seperti pada sindroma nefrotik dan luka bakar
(Busher, 1990).
2.2.4 Pemeriksaan Albumin Serum
Pemeriksaan albumin menggunakan serum lebih disarankan karena
tidak melibatkan protein plasma seperti fibrinogen. Protein plasma lebih
mudah dipengaruhi kadarnya oleh beberapa kondisi, seperti pada
konstriksi vena dan posisi berbaring yang berlangsung lama. Konstriksi
vena yang berlangsung lama akan menyebabkan darah terkumpul
sehingga protein plasma dapat meningkat 10-15%, sedangkan berbaring
yang lama akan menurunkan protein plasma 10% (Baron, 1990).
23
Sebagian besar laboratorium klinik menggunakan metode penguat
warna (dye-binding method) dengan Brom Cresol Green (BCG) pada
pengukuran albumin serum. Albumin akan berikatan dengan BCG
untuk membentuk senyawa BCG albumin biru pada 600 nm. Albumin
dalam serum dapat tetap stabil dalam 2 minggu pada penyimpanan suhu
2-8 oC dan masih dapat bertahan sampai 4 bulan pada penyimpanan
suhu -20oC (Supariasa, 2012). Pemeriksaan albumin juga dapat
dilakukan menggunakan metode lain, seperti metode presipitasi,
elektroforesis, ultrasentrifugasi, dan imunologik. Metode presipitasi
kurang efektif karena biasanya digunakan untuk pemeriksaan fungsi
hati, metode ultrasentrifugasi lebih dikhususkan untuk memeriksa
kemurnian fraksi protein, metode elektroforesis membutuhkan waktu
yang lama serta biaya yang mahal dan metode imunologik lebih
dikhususkan untuk memeriksa imunoglobulin (Baron, 1990; Supariasa,
2012).
2.3 Hubungan Kadar Albumin dengan Kejadian Stunting
Penelitian mengenai hubungan kadar albumin dengan kejadian stunting di
Mesir memperoleh hasil bahwa pada anak stunting kadar albuminnya lebih
rendah dibanding anak non-stunting (Mikhail, 2013). Penelitian lainnya
dilakukan terpisah yaitu mengenai hubungan asupan protein dengan kadar
albumin serum dan hubungan asupan protein dengan kejadian stunting pada
balita. Penelitian mengenai hubungan asupan protein dan albumin terhadap
status gizi pasien kanker serviks stadium III menunjukkan adanya hubungan
24
yang signifikan antara asupan protein dengan kadar albumin serum (p<0,05)
(Erikawati, 2017). Semakin tinggi asupan protein, maka kadar albumin serum
juga akan meningkat (Kusuma, 2014). Penelitian pada 49 anak dengan
malnutrisi protein dan energi (23 marasmus, 17 marasmus-kwashiorkor, dan
9 kwashiorkor) didapatkan hasil bahwa pada anak dengan malnutrisi protein
dan energi, kadar albumin plasmanya signifikan lebih rendah dibandingkan
kelompok kontrol (p<0,01) dan kelompok kwashiorkor kadar albuminnya
paling rendah dibandingkan marasmus dan marasmus-kwashiorkor (Suliman,
2011).
Hubungan antara asupan protein dengan stunting telah banyak dijelaskan.
Salah satunya adalah penelitian tantang hubungan asupan protein dengan z-
score TB/U pada balita yang membuktikan bahwa semakin tinggi asupan
protein, maka nilai z-score juga semakin tinggi (Sundari E. dan Nuryanto,
2016). Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang
menyebutkan bahwa setiap penambahan 1% kecukupan protein dapat
menambah z-score TB/U balita sebesar 0,024 satuan (Solihin, 2013).
25
2.4 Kerangka Teori
Keterangan:
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
: Memengaruhi
: Saling memengaruhi
Gambar 1. Kerangka Teori Dikembangkan dari WHO (2013), Trihono (2015),
Solihin (2013), dan Busher (1990) dengan Modifikasi.
Sosial dan kominitas
1. Politik
2. Fasilitas kesehatan
3. Pendidikan
4. Sosial dan budaya
5. Ketersediaan pangan
6. Sanitasi air dan lingkungan
Maternal
1. Kurang nutrisi saat
sebelum hamil, saat
hamil , dan menyusui
2. Penyakit infeksi
3. Usia ibu (<20 tahun)
4. BBLR (<2500 g)
5. Panjang lahir <50 cm
Asupan makanan
1. Protein (terutama
protein hewani)
2. Energi
3. Mikronutrien
Genetik
Infeksi
1. Pencernaan
2. Penurunan respon imun
Albumin
Balita stunting
(TB/U <-2 SD)
Pendek lintas
generasi
Perkembangan
tertinggal
Morbiditas
Penyakit tidak
menular
Faktor Penyebab Dampak
Balita
1. Sindrom Nefrotik
2. Penyakit hepar
3. Dehidrasi
26
2.5 Kerangka Konsep
Gambar 2. Kerangka Konsep
2.6 Hipotesis
Ho: Tidak terdapat perbedaan rerata kadar albumin pada balita stunting dan
non-stunting di Kecamatan Gunung Sugih Kabupaten Lampung Tengah.
Ha: Terdapat perbedaan rerata kadar albumin pada balita stunting dan non-
stunting di Kecamatan Gunung Sugih Kabupaten Lampung Tengah.
Variabel Bebas
Stunting Albumin Serum
Variabel Terikat
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti ingin menganalisis perbedaan rerata kadar
albumin serum pada balita stunting dan non-stunting di Kecamatan Gunung
Sugih Kabupaten Lampung Tengah. Penelitian ini merupakan suatu bentuk
studi observasional (non-eksperimental) dengan satu kali pengukuran pada
satu waktu (cross sectional). Maksudnya adalah pengukuran terhadap
variabel bebas (status gizi stunting dan non-stunting) dan variabel terikat
(kadar albumin) hanya dilakukan satu kali dalam waktu yang bersamaan. Dari
pengukuran tersebut, maka dapat diketahui kadar albumin baik pada balita
stunting dan non-stunting.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Kecamatan Gunung Sugih Kabupaten Lampung
Tengah dan pemeriksaan albumin serum akan dilakukan di
Laboratorium Kesehatan Provinsi Lampung.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober sampai dengan
November 2018.
28
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang
diteliti. Populasi target adalah populasi yang menjadi sasaran akhir
penerapan hasil penelitian, sedangkan populasi terjangkau adalah
bagian dari populasi target yang dapat di jangkau oleh peneliti
(Notoatmodjo, 2010). Populasi target pada penelitian ini adalah balita
stunting dan non-stunting di Provinsi Lampung dan populasi
terjangkaunya adalah balita stunting dan non-stunting di Kecamatan
Gunung Sugih, Kabupaten Lampung Tengah.
3.3.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili
seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Perhitungan sampel pada
penelitian ini menggunakan rumus analitik komparatif numerik tidak
berpasangan sebagai berikut :
(
( 1 2)
Keterangan:
n = Besar sampel minimal
= Deviat baku alfa 1,96 dengan 5% atau 0,05
Z = Deviat baku beta = 0,84 dengan = 20%
x1-x2 = Selisih minimal rerata yang dianggap bermakna,
ditetapkan sebesar 0,25
29
S = Simpangan baku kadar albumin pada penelitian Mikhail
(2013) yaitu 0,43
n 2 (1,96 0,84)0,43
n 2 (2,8)0,43
n 2 4,816
n 2 23,19
n 46,38 (47)
Dari hasil perhitungan menggunakan rumus, maka sampel minimal
dalam penelitian ini adalah 47 sampel. Pada penelitian ini peneliti
menggunakan metode purposive sampling dalam pemilihan sampel,
dimana setiap responden yang memenuhi kriteria penelitian
dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah yang diperlukan terpenuhi.
3.4 Kriteria Penelitian
3.4.1 Kriteria Inklusi
a. Balita usia 2-5 tahun;
b. Balita stunting dan non-stunting berdasarkan hasil pengukuran TB/U;
c. Persetujuan orang tua dalam informed consent.
3.4.2 Kriteria Eksklusi
a. Balita stunting dengan penyakit ginjal, penyakit hati, maupun
dehidrasi;
b. Balita stunting yang vegetarian atau sedang mengonsumsi suplemen
albumin.
30
3.5 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional
3.5.1 Identifikasi Variabel
Variabel bebas (independent) pada penelitian ini adalah status balita
stunting yang diukur dengan antropometri TB/U, sedangkan variabel
terikat (dependent) pada penelitian ini adalah kadar albumin serum.
3.5.2 Definisi Operasional
Tabel 5. Definisi operasional.
Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Skala
Stunting Kondisi tubuh
lebih pendek
dibanding tinggi
badan standar
untuk usianya
(UNICEF, WHO,
dan The World
Bank, 2018).
Microtoise
(TB/U).
1. Non-stunting,
jika hasil
TB/U -2 s/d 2
SD;
2. Stunting, jika
hasil TB/U
<-2 SD
(Kemenkes
RI, 2018).
Kategorik
Albumin
serum
Kadar
albumindalam
serum total
(Supariasa, 2012).
Pemeriksaan
Laboratorium
dengan
metode Brom
Cresol Green
(BCG).
gram/dL Numerik
3.6 Alat dan Bahan
3.6.1 Alat
a. Lembar informed consent;
b. Alat tulis;
c. Microtoise;
d. Kapas Alkohol;
e. Spuit 3 cc;
f. Tourniquet;
31
g. Kapas dan plester;
h. Tabung SST (Serum Separator Tube);
i. Pipet pasteur;
j. Sample cup blue;
k. Sentrifus;
l. Clinic analyzer (ABX Pentra 400).
3.6.2 Bahan
a. Darah vena 3 cc;
b. Brom Cresol Green (BCG).
3.7 Prosedur Penelitian
3.7.1 Prosedur Pengumpulan Data
a. Tentukan populasi target yaitu balita stunting dan non-stunting di
Provinsi Lampung;
b. Mengurus surat perizinan ke Badan Kesatuan Bangsa dan Politik
(Kesbangpol) dan Dinas Kesehatan Lampung Tengah untuk
mendapatkan data jumlah balita stunting pada masing-masing
wilayah kerja puskesmas di Lampung Tengah;
c. Tentukan populasi terjangkau dari penelitian yaitu balita stunting
dan non-stunting di Kecamatan Gunung Sugih Kabupaten Lampung
Tengah;
d. Bekerja sama dengan pihak puskesmas Gunung Sugih dan kader
kesehatan untuk mengumumkan dan mengumpulkan balita stunting
dan non-stunting pada waktu dan tempat yang disepakati.
32
3.7.2 Prosedur Pengukuran Tinggi Badan
a. Sewaktu diukur, anak tidak memakai alas kaki dan penutup kepala;
b. Anak berdiri membelakangi dinding dengan microtoise berada di
tengah bagian kepala dan anak tegak bebas;
c. Tangan dibiarkan tergantung bebas mencapai ke badan;
d. Tumit rapat, tetapi ibu jari kaki tidak rapat;
e. Kepala, tulang belikat, pinggul, dan tumit menempel di dinding;
f. Anak menghadap dengan pandangan lurus ke depan;
g. Baca hasil pengukuran dan catat hasilnya (Supariasa, 2012).
3.7.3 Prosedur Pengambilan Darah Vena
a. Informed consent;
b. Minta anak untuk meluruskan lengannya dan pilih lengan yang
banyak melakukan aktivitas;
c. Minta anak mengepalkan tangannya;
d. Memasang tourniquet (tali pembendung) diatas lipat siku kira-kira
10 cm;
e. Lakukan perabaan untuk memastikan posisi vena, pilih bagian vena
median cubital atau cephalic;
f. Bersihkan kulit pada bagian yang akan diambil menggunakan kapas
alkohol 70% dengan gerakan memutar dari tengah ke tepi lalu
diamkan sampai kering;
g. Tusuk bagian vena dengan posisi lubang jarum menghadap keatas;
h. Lepaskan tourniquet setelah volume darah dianggap cukup, lalu
buka kepalan tangannya. Volume darah yang diambil yaitu 3 cc;
33
i. Letakan kapas di tempat suntikan lalu segera lepaskan jarum, tekan
kapas beberapa saat lalu pasang plester;
j. Berikan identitas pada masing-masing tabung (Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung, 2016).
3.7.4 Prosedur Pemeriksaan Albumin Serum
a. Siapkan sentrifus dan kalibrasi ABX Pentra 400;
b. Lakukan pemeriksaa N-kontrol dan P-kontrol;
c. Sentrifus sampel pada tabung SSTdengan kecepatan 3000 rpm
selama 5-10 menit untuk memisahkan serum dan sel darah;
d. Pisahkan serum dan masukkan ke sample cup blue;
e. Beri identitas pada sample cup blue menggunakan spidol permanen;
f. Masukkan sample cup blue yang sudah diberi identitas ke dalam rak
sampel ABX Pentra 400;
g. Tekan menu utama, pilih worklist, kemudian pilih patient. Tekan
tanda (+);
h. Berikan keterangan data sample characteristics, kemudian beri
tanda checklist pada parameter albumin dan tekan tombol OK;
i. Tekan tombol start maka alat akan otomatis bekerja;
j. Tekan result validation untuk melihat hasil;
k. Albumin dengan BCG akan membentuk kompleks warna hijau biru
dan intensitas warna yang terbentuk sebanding dengan konsentrasi
albumin dalam sampel (Proline, 2016).
34
3.7.5 Alur Penelitian
Gambar 3. Alur Penelitian
Penentuan subjek penelitian
Pengisian lembar Informed consent
Pengukuran tinggi badan (TB/U)
Pengambilan darah vena
Pembuatan proposal dan perizinan
Pengumpulan data balita stunting
dan non-stunting
Publikasi hasil penelitian
Penentuan subjek penelitian
Pengisian lembar Informed consent
Pengukuran tinggi badan (TB/U)
Pengambilan darah vena
Pemeriksaan kadar albumin serum
dan memberitahukan hasilnya ke
orang tua/wali responden
Penginputan dan analisis data
Penulisan hasil dan pembahasan
Pembuatan proposal dan perizinan
Pengumpulan data balita stunting
dan non-stunting
35
3.8 Pengelolaan dan Analisis Data
3.8.1 Pengelolaan Data
Data yang telah diperoleh akan diolah di komputer dengan bantuan
software SPSS versi 23 untuk menilai apakah data terdistribusi normal
atau tidak. Tahapannya sebagai berikut:
a. Editing
Mengoreksi data yang tidak jelas, apabila terjadi kekurangan atau
kesalahan data dapat dengan mudah terlihat dan segera dilakukan
perbaikan.
b. Koding
Kegiatan pemberian kode numerik (angka) atau mengkonversikan
data yang dikumpulkan selama penelitian.
c. Entri Data
Kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam
software.
d. Output Komputer
Hasil data yang telah dianalisis oleh komputer kemudian dicetak.
3.8.2 Analisis Data
Analisis statistik dengan menggunakan program komputer untuk
mengolah data yang diperoleh, lalu akan dilakukan dua macam analisis
data, yaitu analisis univariat dan analisis bivariat.
a. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi
frekuensi masing-masing variabel, baik variabel bebas maupun
36
variabel terikat. Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan perhitungan statistik sederhana yaitu
persentase atau proporsi. Uji normalitas data menggunakan uji
Shapiro-Wilk karena jumlah sampel dalam penelitian <50 sampel.
Jika didapatkan nilai p>0,05 maka dinyatakan bahwa data
terdistribusi normal dan apabila p<0,05 maka normalitas data
dilanjutkan dengan menggunakan logaritma (Notoatmodjo, 2010).
b. Analisis Bivariat
Analisis Bivariat yang digunakan untuk melihat perbedaan kadar
albuminserum pada anak stunting dan non-stunting menggunakan uji
analisis statistik independent t test tidak berpasangan dengan interval
kepercayaan 95% ( 5%). Jika didapatkan nilai p<0,05 maka Ho
ditolak dengan kesimpulan terdapat perbedaan rerata kadar albumin
pada dua kelompok. Sebelum dilakukannya uji statistik independent
t test dilakukan uji normalitas terlebih dahulu. Jika dalam uji
normalitas sebelumya data tidak terdistribusi normal bahkan setelah
dilakukan metode logaritma maka uji bivariat alternatif yang
digunakan adalah uji Mann-Whitney (Notoatmodjo, 2010).
3.9 Etika Penelitian
Peneliti telah mendapat surat izin etika penelitian oleh Komisi Etik Penelitian
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dengan nomor
5066/UN26.18/PP.05.02.00/2018.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai perbedaan rerata kadar albumin pada
balita stunting dan non-stunting di Kecamatan Gunung Sugih Kabupaten
Lampung Tengah, didapatkan simpulan sebagai berikut.
a. Rerata kadar albumin serum pada balita di Kecamatan Gunung Sugih
Kabupaten Lampung Tengah adalah 4,6 g/dL, dengan nilai minimum 4,2
g/dL dan nilai maksimum 5,3 g/dL;
b. Rerata kadar albumin serum pada balita stunting lebih rendah yaitu 4,53
g/dL dibanding rerata kadar albumin serum pada balita non-stunting yaitu
4,70g/dL;
c. Terdapat perbedaan rerata kadar albumin pada balita stunting dan non-
stunting di Kecamatan Gunung Sugih Kabupaten Lampung Tengah yang
signifikan dan bermakna secara statistik dengan nilai p=0,007 (<0,05).
5.2 Saran
a. Bagi peneliti selanjutnya:
1) Perlu dilakukan perekaman data mengenai diet responden dan faktor
lainnya yang dapat memengaruhi kadar albumin serum pada balita;
52
2) Perlu penelitian lebih lanjut pada kelompok usia yang berbeda baik
dengan menambahkan variabel lain atau menggunakan metode
pemilihan sampel yang berbeda.
b. Bagi puskesmas:
1) Perlu meningkatkan deteksi dini pada kasus baru stunting secara
berkala dan melakukan intervensi semaksimal mungkin pada balita
stunting, sehingga tumbuh kejar dapat tercapai dan mencegah dampak
jangka pendek maupun jangka panjang dari stunting;
2) Lebih mengaktifkan kader kesehatan untuk meningkatkan kunjungan
balita ke posyandu, sehingga pelayanan standar untuk balita dapat
tercapai.
c. Bagi masyarakat, khususnya orang tua yang memiliki balita agar rutin
memeriksakan pertumbuhan dan perkembangan anaknya di posyandu,
serta meningkatkan pengetahuan dan perhatian terhadap masalah
kesehatan balita.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah SM, Yakubu AM, Bugaje MA, dan Akuyam SM. 2018. Serum total
proteins and albumin levels among malnourished children aged 6-59 months
in Zaria. Niger Journal of Paediatric. 45(1):15-18.
Academy of Nutrition and Dietetics. 2016. Pocket guide to nutrition assesment 3rd
edition. Chicago: Academy of Nutrition and Dietetics.
Academy of Nutrition and Dietetics Evidence Analysis Library. 2009. Nutrition
screening adults (NSA): serum proteins albumin and prealbumin. Tersedia
dari: http://www.andeal.org/topic.cfm?menu=3584&cat=4302
Adani FY dan Triska SN. 2017. Perbedaan asupan energi, protein, zink, dan
perkembangan pada balita stunting dan non stunting. Amerta Nutrition.1(2):
46-51.
Akirov A, Hiba M, Alaa A, dan Ilan S. 2017. Low albumin levels are associated
with mortality risk in hospitalized patients. The American Journal
ofMedicine. 130(12):11-19.
Almatsier S. 2009. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Anggraeny O, Chardina D, Ekanti NP, Minarty S, dan Ratih SD. 2016. Korelasi
pemberian diet rendah protein terhadap status protein, imunitas,
hemoglobin, dan nafsu makan tikus wistar jantan. Indonesian Journal of
Human Nutrition. 3(2):105-122.
Aridiyah FO, Ninna R, dan Mury R. 2015. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian stunting pada anak balita di wilayah pedesaan dan perkotaan. e-
Jurnal Pustaka Kesehatan. 3(1):163-170.
54
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes). 2013. Riset
kesehatan dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Tengah. 2017. Kecamatan Gunung
Sugih dalam angka 2017. Gunung Sugih: Badan Pusat Statistik Kabupaten
Lampung Tengah.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Tengah. 2019. Jumlah penduduk
menurut kelompok umur sasaran program di Kabupaten Lampung Tengah
tahun 2014. Tersedia dari: https://lampungtengahkab.bps.go.id.
Baron DN. 1990. Kapita Selekta Patologi Klinik. Edisi ke-4. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Black RE, Lindsay HA, Zulfiqar AB, Laura EC, Majid E, Colin M, dkk. 2008.
Maternal and child undernutrition: global and regional exposures and health
consequences.
Briend A, Tanya K, dan Carmel D. 2015. Wasting and stunting-similarities and
differences: policy and programmatic implication. Food and Nutritional
Bulletin. 36(1):15-23.
Busher JT. 1990. Serum albumin and globulin. Chapter 101. 3th ed. Tersedia dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK204/#_NBK204_pubdet_
Dinas Kesehatan Lampung Tengah. 2018. Data 10 lokus desa stunting Kabupaten
Lampung Tengah. Gunung Sugih: Dinas Kesehatan Lampung Tengah.
Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2015. Profil kesehatan provinsi lampung
tahun 2015. Bandar Lampung: Dinas Kesehatan Provinsi Lampung.
Ernawati F, Sri M, Made DS, dan Amalia S. 2014. Hubungan panjang badan lahir
terhadap perkembangan anak usia 12 bulan. 37(2):109-118.
Erikawati Y. 2017. Hubungan asupan protein dan serum albumin terhadap status
gizi pasien kanker serviks stadium III hemoradiasi RSUD Dr. Saiful Anwar
Malang [tesis]. Malang: Universitas Brawijaya.
55
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. 2016. Buku panduan clinical skill
laboratory. Bandar Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Garniasih D, Julistio TB, dan Herry G. 2008. Hubungan antara kadar albumin dan
kalsium serum pada sindrom nefrotik anak. Sari Pediatrik. 10(2):100-105.
Illahi RK dan Lailatul M. 2016. Gambaran sosial budaya gizi etnik madura dan
kejadian stunting balita usia 24-59 bulan di Bangkalan. Media Gizi
Indonesia. 11(2):135-143.
International Food Policy Research Institute (IFPRI). 2016. Global nutrition
report 2016: from promise to impact: ending malnutrition by 2030.
Washington DC: IFPRI.
Istiany A dan Rusilanti. 2013. Gizi terapan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman interpretasi data
klinik. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Buku studi diet total: survei
konsumsi makanan individu Indonesia 2014. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Situasi balita pendek. Jakarta:
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Penilaian Status Gizi. Jakarta:
Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Buku saku pemantauan status
gizi tahun 2017. Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat.
Kurdanti W, Haman H, dan Juffrie. 2004. Hubungan antara kadar serum albumin
awal dengan lama rawat inap dan status pulang pasien dewasa di rumah
sakit. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 1(1):19-25.
56
Kusuma H, Maghfiroh, dan Bintanah S. 2014. Hubungan asupan protein dan
kadar albumin pada pasien kanker di rumah sakit Roemani Muhammadiyah
Semarang. Gizi Universitas Muhammadiyah Semarang. 3(2):43-52.
Mikhail WZA, Hassan MS, Hanaa HE,Sahar AK, Hend YH, dan Maysa AS.
2013. Effect of nutrition status on growth pattern of stunted preschool
children in Egypt. Acad J. Nutr. 2(1):1-9.
Murray RK, Granner DK, dan Rodwell VW. 2009. Biokimia harper. 27th ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Notoatmodjo S. 2010. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Novina, Dida AG, dan Nanan S. 2014. Korelasi kadar albumin serum dengan
persentase edema pada anak penderita sindrom nefrotik dalam serangan.
Majalah Kedokteran Bandung. 47(1):55-59.
Owino V, Tahmeed A, Michael F, Paul K, Alexander L, Mark M, dkk. 2016.
Environmental enteric dysfunction and growth failure/stunting in global
child health. Pediatrics. 138(8):1-10.
Prendergast AJ dan Jean HH. 2014. The stunting syndrome in developing
countries. Paediatrics and International Child Health. 34(4):250-265.
Pongsibidang FAK, Murniati T, dan Stefana. 2016. Gambaran kadar albumin
serum pada vegetarian lacto-ovo. Jurnal e-Biomedik. 4(1):1-6.
Proline. 2016. Albumin FS: reagen diagnostik untuk pemeriksaan in vitro secara
kuantitatif terhadap albumin pada serum atau plasma dengan sistem
fotometrik. Tersedia di: https://proline1.prodiathecro.co.id.
Rukmana E, Dodik B, dan Ikeu E. 2016. Faktor resiko stunting pada anak usia 6-
24 bulan di kota Bogor. Jurnal MKMI. 12(3):192-199.
Solihin RDM, Faisal A, dan Dadang S. 2013. Kaitan antara status gizi,
perkembangan kognitif, dan perkembangan motorik pada anak usia
prasekolah. Penelitian Gizi dan Makanan. 36(1):62-72.
57
Suliman OS, Mustafa AM, Zein AK, Abdelrahim OM, dan Chrestover H. 2011.
Acute phase reactants in Sudanese children with severe protein-energy
malnutrition. Sudanese Journal Of Paedriatrics. 11(1):48-59.
Sundari E dan Nuryanto. 2016. Hubungan asupan protein, seng, zat besi, dan
riwayat penyakit infeksi dengan z-score TB/U pada balita. Journal of
Nutrition College. 4(5):520-529.
Supariasa I, Bakri B, dan Fajar I. 2012. Penilaian status gizi. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Sutiari NK dan Wulandari D. 2011. Hubungan status gizi waktu lahir dengan
pertumbuhan dan perkembangan anak usia prasekolah di Desa Peguyangan
Kota Denpasar. Jurnal Ilmu Gizi. 2(2):109-117.
Taguri AE, Ibrahim B, Salah MM, Ahmed AM, Olivier G, Pilar G, dkk. 2009.
Risk factors for stunting among under-fives in Libya. Public Health
Nutrition. 12(8):1141-1149.
Throop JL, Marie EK, dan Leah AC. 2004. Albumin in health and disease: cause
and threatment of hypoalbuminemia. Compendium: 940-949.
Trihono, Atmarita, Dwi HT, Anies I, Nur H, Teti T, dkk. 2015. Pendek (stunting)
di Indonesia, masalah dan solusinya. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.
Uliyanti, Didik GT, Sapja A. 2017. Faktor yang berhubungan dengan kejadian
stunting pada balita usia 24-59 bulan. Jurnal Vokasi Kesehatan. 3(2):67-77.
UNICEF, WHO, dan World Bank Group. 2018. Levels and trends in child
malnutrition: key findings of the 2018 edition of the joint child malnutririon
estimates. Geneva: World Health Organization.
White JV, Peggi G, Gordon J, Ainsley M, dan Marsha S. 2012. Consensus
statement of the academy of nutrition and dietetics/american society for
parenteral and enteral nutrition: characteristics recommended for the
identification and documentation of adult malnutrition (undernutrition).
Journal of The Academy of Nutrition and Dietetics. 112(5):730-738.
58
Widjaja NA, Siti NH, dan Roedi I. 2013. Pengaruh penyakit infeksi terhadap
kadar albumin anak gizi buruk. Sari Pediatri. 15(1):46-50.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan pangan dan gizi di era
otonomi daerah dan globalisasi: program dan abstrak. Jakarta: LIPI.
World Health Organization. 2010. Nutrition landscape information system (NLIS)
country profile indicators: interpretation guide. Geneva: World Health
Organization.
World Health Organization. 2013. Childhood stunting: contex, causes, and
consequences-WHO conceptual framework for stunting. Tersedia di:
http://www.who.int/nutrition/events/2013_childhoodstunting_colloquium_1
4Oct_conceptualFramework_colour.pdf.
World Health Organization. 2012. World health statistics 2012. Tersedia dari:
http://www.who.int/gho/publication/world_health_statistics/EN_WHS2012
_Full.pdf.
World Health Organization. 2018. Reducing stunting in children: equity
consideration for achiefing the global nutrition targets 2025. Tersedia dari:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/260202/1/9789241513647-eng.pdf.
Zhang Z, Suzette LP, Menghua L, dan Eric MM. 2017. Evaluation of blood
biomarkers associated with risk of malnutrition in older adults: a systematic
review and meta-analysis. Nutrients. 829(9):1-20.