Upload
nicsen
View
39
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
GI bleeding Translation
Citation preview
Perdarahan gastrointestinal akut adalah suatu masalah klinis yang umum dengan manifestasi
yang beragam. Perdarahan yang dapat terjadi mulai dari yang sedikit hingga masif dan dapat
berasal dari hampir seluruh bagian traktus gastrointestinal, termasuk pankreas, hepar dan
sistem bilier. Walaupun tidak terjadi di kelompok usia tertentu, insidensi pertahun kurang
lebih 170 kasus/100.000 orang dewasa yang meningkat secara perlahan seiring dengan usia,
dan sedikit lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Perdarahan gastrointestinal juga
merupakan penyebab rawat inap pada 1-2% total rawat inap yaitu 300.000 rawat inap per
tahun di Amerika Serikat. Perdarahan gastrointestinal juga merupakan komplikasi yang
umum pada pasien yang dirawat inap dengan penyakit lainnya, terutama pada pasien bedah.
Walaupun beban ekonomi total dari perdarahan gastrointestinal belum dinilai secara resmi,
perkiraan tahunan menunjukkan bahwa perdarahan divertikular sendiri membebani sistem
pelayanan kesehatan hingga lebih dari 1,3 miliar dolar.
Penatalaksanaan pasien-pasien ini seringnya dilakukan secara multidisipliner, melibatkan
kegawatdaruratan, gastroenterologi, perawatan intensif, bedah dan radiologi intervensi.
Pentingnya konsultasi bedah dini dalam perawatan pasien dengan perdarahan sangatlah
penting. Selain membantu resusitasi pasien yang tidak stabil, ahli bedah endoskopik dapat
langsung menegakkan diagnosis dan memulai terapi dalam beberapa situasi. Bahkan ketika
ahli gastroenterologi yang melakukan hal ini, kolaborasi dini dengan ahli bedah dapat
menentukan tujuan dan batas terapi nonoperatif awal. 5-10% pasien yang dirawat karena
perdarahan memerlukan intervensi bedah. Konsultasi operasi segera dapat memberikan waktu
untuk persiapan dan evaluasi preoperasi, juga edukasi pasien dan keluarga jika intervensi
bedah darurat diperlukan.
Sebagian besar pasien dengan perdarahan gastrointestinal akut dapat berhenti dengan
spontan. Hal ini memberikan waktu untuk perencanaan evaluasi. Walaupun demikian,
perdarahan masif terjadi secara persisten pada hampir 15% kasus yang memerlukan
resusitasi, evaluasi, dan perawatan darurat. Perkembangan penatalaksanaan pada pasien-
pasien ini, terutama yaitu terapi yang khusus dan endoskopi dini telah menurunkan durasi
perawatan secara signifikan. Akan tetapi, mortalitas tetap lebih dari 5% dan jauh lebih tinggi
dibandingkan pasien yang dirawat karena alasan lain. Adanya ketidakcocokan antara
kemajuan terapeutik dan hasil ini mungkin berkaitan dengan populasi yang semakin tua
disertai dengan peningkatan komorboditias. Sekarang ini pasien yang memerlukan intervensi
operatif lebih tua dan lebih sakit dibandingkan di masa dulu.
Perdarahan dapat berasal dari regio traktus gastrointestinal manapun dan biasanya
diklasifikasikan berdasarkan lokasinya relatif terhadap ligamentum Treitz. Perdarahan
gastrointestinal atas yaitu 80% dari kasus perdarahan kasus terjadi di proksimal dari
ligamentum Treitz. Ulkus peptikum dan perdarahan varises adalah penyebab tersering
perdarahan gastrointestinal. Sebagian besar perdarahan gastrointestinal bawah berasal dari
colon dengan divertikula dan angiodisplasia. Pada kurang dari 5 persen pasien, penyebab
perdarahan berasal dari usus halus. Perdarahan tersembunyi didefinisikan sebagai perdarahan
persisten atau berulang setelah hasil negatif pada pemeriksaan endoskopi. Perdarahan samar
tidak terlihat jelas pada pasien hingga timbul gejala yang berkaitan dengan anemia.
Penentuan lokasi perdarahan penting untuk mengarahkan intervensi diagnostik segera. Akan
tetapi, tindakan resusitasi yang sesuai lebih penting dari usaha lokalisasi sumber perdarahan.
Pendekatan terhadap pasien
Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, beberapa prinsip dasar evaluasi dan
penatalaksanaan awal harus diikuti. Pendekatan yang logis dan terperinci terhadap
perdarahan gastrointestinal dijelaskan pada gambar (A). Pada saat pasien datang, penilaian
inisial cepat menentukan kedaruratan pasien. Resusitasi dimulai dengan stabilisasi status
hemodinamik pasien dan melakukan pengawasan terhadap kehilangan darah yang masih
berlangsung. Riwayat dan pemeriksaan yang lengkap seharusnya dapat memberikan petunjuk
penyebab dan sumber perdarahan dan menentukan adanya penyakit pneyerta atau
pengobatan. Investigasi spesifik harus dilakukan untuk memperkuat diagnosis. Selanjutnya
terapi definitif dimulai, perdarahan diatasi dan perdarahan berulang dicegah.
Penilaian awal
Keadekuatan jalan napas dan pernapasan pasien merupakan prioritas pertama. Setelah hal ini
telah terjamin, status hemodinamik pasien menjadi perhatian utama dan menjadi dasar untuk
penatalaksanaan selanjutnya. Gejala klinis perdarahan gastrointestinal bervariasi yaitu dari
feses dengan darah samar positif pada pemeriksaan rektum hingga perdarahan yang masif.
Evaluasi awal fokus pada penilaian cepat seberapa besar kekurangan darah yang telah dialami
dan perdarahan yang masih berlangsung. Penilaian ulang status sirkulasi pasien secara
berkelanjutan untuk menentukan agresivitas intervensi dan evaluasi selanjutnya. Riwayat dari
perdarahan, seberapa banyak dan seberapa sering, setidaknya dapat memberikan petunjuk.
Gambar pendekatan secara umum terhadap pasien dengan perdarahan gastrointestinal
akut
Derajat beratnya perdarahan dapat ditentukan secara umum dari parameter klinis yang
sederhana. Obtundansi, agitasi, hipotensi( SBP<90 mmHg pada posisi tegak), disertai dengan
akral dingin, merupakan tanda dari syok perdarahan dan menunjukkan volume darah yang
hilang lebih dari 40%. Denyut jantung saat istirahat >100 x/menit, disertai penurunan tekanan
pulsasi menunjukkan volume darah yang hilang antara 20-40 %. Pada pasien tanpa syok,
perubahan postural dapat dipicu dengan meminta pasien untuk duduk dengan kaki teruntai
untuk 5 menit. Penurunan tekanan darah lebih dari 10mmHg atau peningkatan pulsasi lebih
dari 20x/menit menunjukkan volume darah yang hilang sekurangnya mencapai 20%. Pasien
dengan derajat perdarahan yang lebih ringan dapat didapatkan hasil yang normal.
Hematokrit bukan suatu parameter yang berguna untuk menilai derajat perdarahan pada
situasi akut karena perbandingan sel darah merah dan plasma yang hilang adalah sama.
Hematokrit tidak turun hingga plasma diredistribusi ke ruang intravaskular dan resusitasi
dengan cairan kristaloid. Pada beberapa pasien dengan kehilangan darah yang berat dapat
terjadi bradikardia sekunder dari reflek vagal terhadap jantung, sehingga ada tidaknya tanda
takikardia tidak selalu sesuai. Tanda-tanda hemodinamika ini lebih tidak dapat dipercaya
pada pasien tua dan pasien yang mengonsumsi beta blocker.
Stratifikasi resiko
Tidak semua pasien dengan perdarahan gastrointestinal perlu dirawat di rumah sakit atau
memerlukan evaluasi darurat. Sebagai contoh, pasien dengan perdarahan rectal dalam jumlah
sedikit yang telah berhenti dapat dievaluasi dengan rawat jalan. Tetapi pada banyak pasien,
keputusan ini tidak dapat diambil dengan mudah. Pasien lainnya memerlukan rawat inap dan
observasi tetapi dapat dievaluasi dengan endoskopi secara lebih selektif. Beberapa faktor-
faktor prognosis yang berhubungan dengan prognosis yang buruk termasuk perlu dilakukan
operasi darurat dan kematian terdapat pada tabel berikut (B). Faktor-faktor ini harus dinilai
pada penilaian awal dan resusitasi pasien dengan perdarahan gastrointestinal. Sebagai contoh,
pasien diatas 60 tahun memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan pasien usia
muda dan harus dievaluasi lebih hati-hati. Peningkatan morbiditas ini mungkin adalah
gambaran penyakit yang terjadi bersamaan. Efek merusak dari penyakit komorbid jantung,
ginjal, paru dan hepar harus diperhitungkan ketika mengevaluasi pasien dengan perdarahan
gastrointestinal. Sebagai contoh, suatu penelitian memperkirakan pada pasien perdarahan
dengan penyakit ginjal yang berat memiliki angka mortalitas meningkat hingga 30%, yang
mana meningkat hingga 65% jika terdapat gagal ginjal akut. Faktor lainnya termasuk
beratnya perdarahan awal, perdarahan yang persisten atau berulang dan onset perdarahan saat
dirawat di rumah sakit untuk penyakit lain juga berkontribusi terhadap peningkatan
morbiditas dan mortalitas.
Usaha yang cukup besar dalam mengembangkan suatu sistem untuk menilai resiko untuk
memfasilitasi triase pasien. Sistem penilaian ini telah digunakan untuk memprediksi resiko
perdarahan ulang dan mortalitas, mengevaluasi kebutuhan terhadap perawatan intensif
(Intensive Care Unit/ICU) dan menentukan kebutuhan terhadap endoskopi darurat. Beberapa
sistem penilaian tidak spesifik terhadap perdarahan gastrointestinal (eg. APACHE II scores)
tetapi dapat memberikan informasi umum tentang kondisi pasien dan resiko terhadap
prognosis yang buruk. Beberapa sistem penilaian untuk kondisi spesifik telah dikembangkan
seperti klasifikasi BLEED yang menggunakan 5 kriteria yaitu perdarahan yang sedang
terjadi, tekanan sistolik di bawah 100 mmHg, waktu protrombin lebih 1.2 kali dari nilai
kontrol, perubahan status mental dan penyakit penyerta yang tidak stabil memerlukan
perawatan intensif. Jika terdapat salah satu dari kriteria, maka diprediksi peningkatan sebesar
3 kali lipat terhadap resiko perdarahan ulang, kebutuhan intervensi bedah, dan kematian.
Sistem lain selain itu juga memperhitungkan hasil endoskopi untuk meningkatkan keakuratan
prediksi. Sistem penilaian seperti ini hanya digunakan eksklusif pada studi penelitian, akan
tetapi, sampai sistem penilaian ini diperbolehkan untuk digunakan untuk penggunaan klinis,
sistem penilaian ini hanya digunakan dalam konteks penilaian klinis.
Resusitasi
Semakin berat perdarahan maka semakin agresif resusitasi yang diperlukan. Penyebab
tunggal morbiditas dan mortalitas pada pasien perdarahan adalah kegagalan organ multipel
yang berkaitan dengan resusitasi awal atau lanjutan yang inadekuat. Intubasi dan ventilasi
harus dimulai dini jika terdapat kecurigaan adanya gangguan pernapasan. Pada pasien dengan
instabilitas hemodinamik atau pada pasien yang sedang mengalami perdarahan, harus
digunakan 2 jalur intra vena, pada fossa antecubiti. Pasien yang tidak stabil harus mendapat 2
liter larutan kristaloid, biasanya digunakan ringer laktat yang memiliki komposisi elektrolit
terdekat dengan darah lengkap. Respon terhadap resusitasi cairan harus dicatat. Darah harus
segera diperiksa golongannya, hematokrit, jumlah platelet, profil faktor koagulasi, kimia
rutin, dan tes fungsi hepar. Kateter foley digunakan untuk menilai perfusi organ. Pada pasien
tua dan pasien dengan penyakit jantung, paru atau ginjal berat, penggunaan kateter vena
sentral atau arteri pulmonalis harus dipertimbangkan untuk monitoring lebih ketat. Kapasitas
transpor oksigen darah dapat ditingkatkan dengan supplementasi oksigen. Umumnya, pasien
memiliki prognosis lebih baik dengan perawatan intensif dini.
Keputusan untuk dilakukan transfusi darah tergantung dari respon terhadap pemberian cairan,
usia pasien, penyakit kardiopulmonal yang menyertai dan apakah perdarahan berlanjut. Efek
awal dari infus kristaloid dan parameter hemodinamik pasien harus menjadi kriteria utama.
Sebagai contoh, pasien muda yang sehat dengan perkiraan kehilangan darah 25% yang
merespon terhadap pemberian cairan dengan hemodinamik yang kembali normal mungkin
tidak memerlukan transfusi darah, sedangkan pasien yang lebih tua dengan riwayat jantung
dan jumlah kehilangan darah yang sama memerlukan transfusi. Walaupun hematokrit
memerlukan 12-24 jam untuk mengimbangi sepenuhnya, sehingga digunakan sebagai salah
satu indeks untuk kebutuhan pengganti darah. Secara umum, hematokrit harus dipertahankan
diatas 30% pada dewasa yang lebih tua dan diatas 20% pada dewasa yang lebih muda.
Kecenderungan lesi yang diduga terus mengalami perdarahan atau perdarahan ulang juga
harus diperhitungkan. Sebagai contoh, varises esofagus sangat mungkin untuk terus
mengalami perdarahan dan transfusi dilakukan lebih awal dibandingkan pada Mallory Weiss
tear yang memiliki resiko perdarahan ulang yang rendah. Secara umum, packed red blood
cells adalah bentuk transfusi yang dipilih meskipun whole blood yang dihangatkan dapat
digunakan dalam kondisi kehilangan darah masif. Defek pada koagulasi dan platelet harus
digantikan segera setelah diketahui dan pasien yang memerlukan 10 U darah harus menerima
plasma beku, platelet dan kalsium secara empiris.
Riwayat dan pemeriksaan fisik
Setelah derajat beratnya perdarahan dinilai dan resusitasi dimulai, selanjutnya harus
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis membantu peniliaian awal dari lokasi
dan penyebab perdarahan dan kondisi medis yang mungkin dapat mengubah
penatalaksanaan.
Sangat jelas bahwa karakteristik perdarahan memberikan informasi penting. Lamanya dari
onset, volume, dan frekuensi penting dalam menentukan kehilangan darah. Hematemesis,
melena dan hematochezia merupakan manifestasi yang umum perdarahan akut. Hematemesis
adalah muntah darah dan biasanya disebabkan perdarahan gastrointestinal atas meskipun
jarang, perdarahan dapat berasal dari hidung atau faring. Muntahan dapat berwarna merah
cerah atau tua seperti bubuk kopi. Melena yaitu feses berwarna gelap seperti tar dan berbau
busuk yang menunjukkan perdarahan berasal dari traktus gastrointestinal atas. Meskipun
warna melanotik biasanya timbul dari degradasi asam lambung yang mengkonversi
hemoglobin menjadi hematin, dan berasal dari aktivitas enzim pencernaan dan bakteri di
dalam usus halus, perdarahan dari usus halus bagian distal atau colon ascendens dapat
memberikan gambaran seperti ini, terutama jika isi lumen bergerak cukup lambat. Melena
harus dibedakan dengan feses kehijauan pada pasien yang mendapat suplemen besi. Salah
satu cara membedakannya yaitu dengan tes guaiac, yang mana memberikan hasil negatif pada
suplementasi besi. Hematochezia adalah darah merah segar berasal dari rectum yang dapat
atau tidak bercampur dengan feses. Meskipun hal ini biasanya menunjukkan sumber
perdarahan dari colon bagian distal, perdarahan gastrointestinal bagian atas dapat
menimbulkan hematochezia jika jumlah signifikan.
Riwayat medis dapat memberikan petunjuk untuk diagnosis. Perdarahan kronis dapat
menimbulkan gejala nongastrointestinal seperti syncope, angina, dan infark miokard.
Vomitus yang mendahului perdarahan mungkin menunjukkan penyakit Mallory-Weiss,
sedangkan penurunan berat badan menunjukkan keganasan. Data demografik dapat berguna,
pada pasien usia tua perdarahan disebabkan oleh angiodisplasia, divertikula, colitis iskemik
dan kanker, pada pasien muda perdarahan disebabkan oleh ulkus peptikum, varises dan
divertikula Meckel. Riwayat penyakit, perdarahan atau operasi gastrointestinal sebelumnya
dapat memfokuskan diferensial diagnosis. Nyeri epigastrium yang mendahului mengarah
pada ulkus peptikum, sedangkan riwayat operasi aorta mengarah pada kemungkinan fistula
aortaenterik. Riwayat penyakit hepar menunjukkan perdarahan mungkin dari perdarahan
varises. Obat-obatan yang digunakan juga dapat memberikan petunjuk. Riwayat konsumsi
salisilat, OAINS, dan/atau SSRI sering ditemukan terutama pada pasien usia tua. Obat-obatan
ini berhubungan dengan erosi mukosa gastrointestinal yang umumnya ditemukan di traktus
gastrointestinal bagian atas, tetapi kadang dapat ditemukan pada usus halus dan colon juga.
Perdarahan gastrointestinal pada pasien dengan terapi antikoagulan, warfarin atau heparin
berat molekul rendah biasanya berasal dari patologi gastrointestinal dan penyebabnya bukan
dari penggunaan antikoagulan saja.
Pemeriksaan fisik orofaring dan hidung dapat meniru gejala dengan sumber perdarahan yang
lebih distal dan harus selalu diperiksa. Pemeriksaan abdomen jarang memberikan nilai
diagnostik tetapi penting untuk menyingkirkan massa, splenomegali, adenopati. Nyeri
epigastrik dapat menunjukkan kemungkinan gastritis atau ulkus peptikum. Stigma penyakit
hepar termasuk ikterus, acites, eritema palmar dan caput medusae menunjukkan perdarahan
berasal dari varises, meskipun pada pasien dengan penyakit hepar umumnya perdarahan
berasal dari sumber lain. Pemeriksaan fisik kadang dapat memberi petunjuk terhadap
diagnosis yang lebih samar seperti telangektasis dari sindrom Osler-Weber-Rendu atau lesi
berpigmen mukosa oral dari sindrom Peutz-Jeghers. Pemeriksaan rektal dan anoskopi harus
dilakukan untuk menyingkirkan kanker rectal atau perdarahan dari hemorrhoid.
Lokalisasi
Penatalaksanaan pasien dengan perdarahan gastrointestinal selanjutnya tergantung dari
lokalisasi perdarahan. Algoritma untuk diagnosis perdarahan gastrointestinal akut terdapat
pada gambar (C).
Melena dapat berasal dari perdarahan di usus halus dan colon selain dari traktus
gastrointestinal atas. Hematochezia kadang disebabkan karena perdarahan gastrointestinal
atas yang cepat. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk membedakan
kemungkinan ini yaitu dengan insersi selang nasogastrik dan pemeriksaan hasil aspirasi.
Hematemesis biasanya merupakan tanda diagnostik perdarahan gastrointestinal atas, selang
nasogastrik dapat berguna untuk menilai kecepatan perdarahan yang berlangsung dan untuk
memulai mengeluarkan darah dari lambung agar dapat dilakukan endoskopi. Jika hasil
aspirasi positif, maka lokasi lesi dapat ditentukan. Adanya darah merah atau coffee ground
appearance menunjukkan perdarahan gastrointestinal atas. Uji darah samar jarang
diperlukan. Adanya empedu dalam aspirasi gaster menunjukkan duodenum telah disampel.
Walaupun aspirasi lambung tanpa ditemukan darah dan terdapat empedu secara umum
menyingkirkan perdarahan gastrointestinal atas, kadang hasil ini tidak sesuai. Pada suatu
penelitian menemukan bahwa hanya 6 dari 10 aspirasi nasogastrik berwarna kuning hijau
merupakan empedu dan juga hampir 20% pasien dengan aspirasi tanpa darah tetap terjadi
perdarahan di gastrointestinal atas. Pada pasien dengan melena atau bahkan hematochezia
dari lesi atas, aspirasi nasogastrik mungkin negatif pada kondisi perdarahan duodenum yang
signifikan dengan pilorus kompeten yang mencegah refluks duodenogastrik. Hal-hal ini
menunjukkan bahwa walaupun aspirasi nasogastrik dapat membantu, hampir semua pasien
dengan perdarahan signifikan harus tetap menjalani endoskopi.
Endoskopi memiliki keakuratan tinggi dalam mendeteksi lesi gastrointestinal atas dan jika
hasil negatif perhatian dapat ditujukan pada gastrointestinal bawah. Untuk memaksimalkan
efektivitas, endoskopi dini harus dilakukan dalam 24 jam, bahkan pada pasien yang stabil.
Endoskopi dini dengan terapi khusus telah dibuktikan dapat mengurangi biaya, kebutuhan
untuk transfusi dan mempersingkat lama dirawat. Definisi dan penetapan waktu endoskopi
dini telah banyak diteliti. Walaupun masih terdapat argumen pada pasien yang tidak stabil
dimana endoskopi darurat sering dibutuhkan tetapi pada pasien stabil, endoskopi dalam 6
atau 12 jam tidak lebih menguntungkan dari endoskopi dalam 24 jam.
Klinisi harus mengetahui bahwa esofagogastroduodenoskopi (EGD) dalam kondisi darurat
berhubungan dengan penurunan akurasi dibandingkan dengan prosedur elektif, seringnya
disebabkan karena buruknya visualisasi dan peningkatan signifikan dari insidensi komplikasi
termasuk aspirasi, depresi respirasi dan perforasi gastrointestinal. Menjaga jalan napas
merupakan hal yang kritis dan mungkin memerlukan intubasi endotrakeal. Resusitasi cairan
harus terus berjalan selama pemeriksaan dilakukan.
Evaluasi lanjutan tergantung dari hasil endoskopi dan jumlah perdarahan. Angiografi atau
operasi dapat diperlukan mendahului endoskopi pada kasus perdarahan masif. Untuk
perdarahan lambat atau intermiten dari traktus gastrointestinal bawah, colonoskopi
merupakan tindakan diagnosis awal yang digunakan. Ketika hasil pemeriksaan ini negatif,
tagged red blood cell scan dapat digunakan. Endoskopi kapsul telah diteliti untuk perdarahan
samar yang biasanya berasal dari usus halus. Prosedur diagnosis ini akan didiskusikan
selanjutnya dengan lebih terperinci.
Terapi
Berbagai macam pilihan terapeutik dapat digunakan bergantung pada sumber perdarahan. Hal
ini termasuk farmakologik, endoskopik, angiografik dan bedah. Farmakologik, endoskopik
dan terapi bedah umumnya spesifik pada lokasi perdarahan. Teknik angiografik lebih umum
dan termasuk angiografik selektif dengan injeksi vasokonstriktor biasanya vasopresin atau
dengan embolisasi. Zat embolik yaitu materi non permanen seperti spons gelatin dan
autologous clot atau alat permanen seperti coils. Hanya terdapat sedikit data yang
membandingkan efikasi teknik-teknik tersebut.
Untuk sebagian besar pasien, perdarahan berhenti dan pilihan terapi diberikan untuk
mencegah rekurensi. Resiko rekurensi perdarahan dan kebutuhan untuk intervensi
pencegahan bergantung pada karakteristik lesi, beratnya perdarahan awal, dan pasien-pasien
spesifik. Sebagai contoh, meskipun resiko rekurensi perdarahan divertikular relatif kecil,
reseksi colon elektif tetap diperlukan pada pasien dengan penyakit koroner yang telah
mengalami perdarahan banyak. Pada ±15% pasien mengalami perdarahan persisten, terapi
lebih darurat. Pada pasien dengan instabilitas hemodinamik, tujuan penatalaksanaan yang
tepat yaitu memulai terapi dalam 2 jam dari onset gejala. Semua ini bergantung pada protokol
yang digunakan spesifik masing-masing institusi/rumah sakit untuk penatalaksanaan
multidisipliner. Sangat penting untuk tersedianya ahli endoskopi yang terlatih dalam teknik
hemostasis dan staf penyokong tertentu. Ahli angiografi juga harus tersedia. Walaupun
berbagai modalitas terbaru telah ada untuk mengontrol perdarahan secara nonoperatif,
keterlibatan dini ahli bedah tetap diperlukan.
Penelitian-penelitian dahulu menunjukkan bahwa morbiditas dan mortalitas bedah untuk
perdarahan gastrointestinal meningkat secara signifikan pada pasien yang telah kehilangan
darah lebih dari 6 U (2700ml). Peningkatan ini terlihat jelas terutama pada pasien usia tua dan
yang memiliki komorbid yang berat, sehingga intervensi pada pasien-pasien ini harus lebih
awal dari pasien muda yang sebaliknya kandidat operasi yang lebih baik. Terapi bedah harus
sangat dipertimbangkan pada kehilangan darah yang berat (6U) walaupun terapi suportif dan
khusus telah jauh berkembang terutama endoskopi.
Perdarahan gastrointestinal atas akut
Perdarahan gastrointestinal atas yaitu perdarahan yang terjadi pada traktus gastrointestinal
proksimal dari ligamentum Treitz, merupakan penyebab 80% dari perdarahan gastrointestinal
yang berat. Penyebab perdarahan gastrointestinal atas dikategorikan menjadi perdarahan yang
berhubungan dengan hipertensi portal atau sumber non varises. Sumber non varises
merupakan penyebab dari 80% kasus perdarahan ini dengan ulkus peptikum adalah yang
paling sering. 20% sisa pasien perdarahan yang sebagian besar memiliki sirosis hepar dan
hipertensi portal dapat mengarah pada timbulnya varises gastroesofageal, varises gaster, atau
gastropati hipertensi portal; dimana semua ini dapat mengakibatkan perdarahan
gastrointestinal atas. Walaupun pasien dengan sirosis memiliki resiko tinggi perdarahan
varises, perdarahan non varises merupakan penyebab sebagian besar perdarahan
gastrointestinal atas termasuk pasien sirosis. Akan tetapi, karena morbiditas dan mortalitas
perdarahan varises yang lebih tinggi, pasien dengan sirosis harus diasumsikan memiliki
perdarahan varises. Terapi yang sesuai harus dimulai sampai endoskopi darurat dapat
menunjukkan penyebab lain perdarahan.
Dasar untuk diagnosis dan penatalaksanaan pasien dengan perdarahan gastrointestinal atas
adalah endoskopi bagian atas. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa EGD dini
dalam waktu 24 jam menurunkan kebutuhan transfusi darah, kebutuhan untuk tindakan
bedah, dan mempersingkat durasi rawat inap. Identifikasi endoskopik terhadap sumber
perdarahan dapat mengestimasi resiko perdarahan terus-menerus atau yang akan terjadi dan
menfasilitasi rencana tindakan operasi. Secara umum, 20-35% pasien yang menjalani
endoskopi gastrointestinal atas memerlukan intervensi endoskopik terapeutik dan 5-10% pada
akhirnya memerlukan tindakan bedah.
Walaupun alat terbaik untuk melokalisasi sumber perdarahan, intervensi ini berkaitan dengan
peningkatan resiko dan visualisasi yang buruk dalam kondisi akut. Pada 1-2% pasien dengan
perdarahan gastrointestinal atas, sumber perdarahan tidak dapat diidentifikasi karena darah
yang berlebihan menganggu visualisasi permukaan mukosa. Bilas lambung yang agresif
dengan larutan garam fisiologis suhu kamar sebelum prosedur endoskopi dapat membantu.
Bukti menunjukkan dengan injeksi tunggal eritromisin IV yang menstimulasi pengosongan
gaster dapat meningkatkan visualisasi secara signifikan. Jika identifikasi sumber perdarahan
masih tidak memungkinkan, angiografi dapat digunakan pada pasien yang cukup stabil,
walaupun intervensi bedah harus dipertimbangkan jika kehilangan darah cukup besar atau
pasien tidak stabil secara hemodinamik. Tagged RBC scan jarang diperlukan pada perdarahan
gastrointestinal atas dan penggunaan kontras biasanya merupakan kontraindikasi karena
dapat mengganggu langkah selanjutnya.
Penyebab spesifik perdarahan gastrointestinal atas.
Perdarahan nonvarises
Ulkus peptikum merupakan penyebab tersering perdarahan gastrointestinal atas yaitu
sebanyak 40% kasus. Pada 10-15% pasien dengan ulkus peptikum terjadi perdarahan suatu
saat. Perdarahan merupakan indikasi tersering untuk operasi dan penyebab kematian utama
pada ulkus peptikum.
Epidemiologi ulkus peptikum terus-menerus berubah. Insidensi ulkus peptikum tidak
terkomplikasi telah menurun secara drastis. Perubahan ini disebabkan karena terapi medis
yang lebih baik, termasuk penggunaan PPI (proton pump inhibitor) dan regimen obat untuk
eradikasi Helicobacter pylori. Walaupun terjadi penurunan frekuensi ulkus secara
keseluruhan, jumlah pasien yang menjalani operasi untuk komplikasi yang berhubungan
dengan ulkus tetap stabil hingga sekarang. Laporan terkini menyebutkan ada terjadi
penurunan tetapi tidak secara keseluruhan, komplikasi yang berhubungan dengan ulkus
memerlukan intervensi bedah. Walaupun kebutuhan untuk bedah pada ulkus peptikum
perforasi telah menurun, angka perdarahan ulkus peptikum yang membutuhkan intervensi
bedah tetap stabil. Beberapa penelitian terhadap pasien usia tua didapatkan peningkatan
perdarahan ulkus peptikum yang membutuhkan rawat inap. Sehingga sekarang operasi untuk
perdarahan gastrointestinal atas sering dilakukan pada pasien tua dan yang lebih sakit.
Perdarahan terjadi sebagai akibat erosi mukosa oleh asam peptik. Perdarahan yang signifikan
umumnya terjadi akibat adanya kerusakan arteri di submukosa atau penetrasi ulkus ke
pembuluh darah yang lebih besa, walaupun kehilangan darah kronis biasanya yang terjadi
ulkus. Walaupun ulkus duodenal lebih sering dibandingkan ulkus gaster, ulkus gaster sering
berdarah sehingga perbandingan kasus kedua ulkus ini relatif sama. Perdarahan paling
signifikan terjadi ketika ulkus duodenal atau gaster penetrasi ke cabang-cabang arteri
gastroduodenal atau arteri gastrika sinistra.
Penatalaksanaan, Gambar.. memaparkan penatalaksanaan perdarahan gastrointestinal.
Seperti yang sudah disebutkan, pasien dengan gejala klinis perdarahan gastrointestinal harus
dilakukan endoskopi dalam waktu 24 jam dan sementara menunggu prosedur tersebut, pasien
diberikan PPI. Pendekatan ini telah menunjukkan hasil dapat mengurangi stigmata dari
perdarahan yang baru terjadi pada endoskopi indeks, tetapi tidak memiliki pengaruh terhadap
prognosis, seperti kebutuhan transfusi, mortalitas atau kebutuhan akan operasi. Walaupun
demikian, terapi ini merupakan intervensi yang hemat biaya untuk pasien yang dicurigai
memiliki perdarahan gastrointestinal atas.
Setelah endoskopi indeks, strategi terapi bergantung pada gambaran lesi dari pemeriksaan
endoskopi. Terapi secara endoskopik dilakukan jika perdarahan masi berlanjut atau ketika
perdarahan telah berhenti tetapi terdapat resiko yang signifikan untuk terjadi perdarahan
ulang. Kemampuan untuk memprediksi resiko perdarahan memberikan kesempatan untuk
dilakukan terapi profilaksis, pemantauan yang ketat, dan deteksi dini perdarahan pada pasien
beresiko tinggi. Klasifikasi Forrest dikembangkan dengan tujuan untuk menilai resiko
berdasarkan penemuan endoskopik dan membagi pasien menjadi kelompok resiko rendah,
sedang dan tinggi. Terapi endoskopik direkomendasi pada kasus perdarahan aktif dan juga
pada pasien dengan pembuluh darah yang terlihat (Forrest I-IIa). Pada kasus dengan bekuan
yang melekat (Forrest IIb), bekuan harus dibuang dan lesi dibawahnya dievaluasi. Ulkus
dengan dasar yang bersih atau bintik hitam, karena adanya penumpukan hematin, pada
umumnya tidak diterapi secara endoskopik.
Penatalaksanaan medis, pada kasus pasti perdarahan ulkus peptikum, PPI telah
menunjukkan dapat menurunkan resiko perdarahan ulang dan kebutuhan untuk intervensi
bedah. Sehingga, pasien yang dicurigai maupun yang telah terkonfirmasi perdarahan ulkus
harus diberikan PPI. Berbeda dengan kasus ulkus yang perforasi, yang mana berhubungan
dengan infeksi H.pylori, dan kaitan antara infeksi H.pylori dengan perdarahan lebih lemah.
Hanya 60-70% pasien dengan perdarahan ulkus memiliki H.pylori positif. Hal ini
menimbulkan perdebatan tentang pentingnya terapi H.pylori pada pasien dengan perdarahan
ulkus peptikum. Beberapa penelitian dan meta analisis telah menunjukkan terapi dan
eradikasi H.pylori pada pasien dengan tes positif infeksi H.pylori, memiliki resiko perdarahan
ulang yang lebih rendah. Hal yang penting yaitu setelah infeksi H.pylori dieradikasi, maka
tidak perlu diberikan obat menekan asam lambung dan tidak ada peningkatan resiko terjadi
perdarahan lebih lanjut dengan pendekatan ini.
Pada pasien dengan medikasi ulserogenik seperti OAINS atau SSRI dan datang dengan
perdarahan gastrointestinal, obat-obat ini harus dihentikan. Pasien kemudian harus diberikan
obat alternatif yang nonulserogenik jika memungkinkan. Pada pasien yang mengonsumsi
OAINS, dapat diberikan inhibitor spesifik siklooksigenase 2 sebagai alternatif. Kekhawatiran
terkait kardiotoksisitas obat-obat ini mengakibatkan ditariknya obat tersebut dari pasar,
sehingga menurunkan kegunaan klinis obat-obat alternatif ini. Penelitian juga menunjukkan
bahwa tidak semua inhibitor COX 2 dapat menurunkan insidensi komplikasi gastrointestinal
atas. Oleh karena itu, pendekatan alternatif adalah mengidentifikasi cara untuk menurunkan
efek samping gastrointestinal OAINS. Untuk hal ini, penelitian menunjukkan eradikasi
H.pylori pada pasien yang akan memulai pengobatan ini dapat menurunkan insidensi efek
samping gastrointestinal termasuk perdarahan. Penelitian ini menyorot adanya efek sinergis
H.pylori dan OAINS. Walaupun pendekatan ini memiliki peran preventif terkait perdarahan
gastrointestinal, OAINS tidak dapat direkomendasi pada pasien dengan perdarahan bahkan
setelah eradikasi H.pylori.
Penatalaksanaan endoskopik setelah perdarahan ulkus diidentifikasi, terapi lokal yang
efektif dapat dilakukan secara endoskopik untuk mengontrol perdarahan. Pilihan-pilihan
endoskopik yang tersedia yaitu injeksi epinefrin, probe panas dan koagulasi juga aplikasi
klip. Injeksi epinefrin (1:10.000) pada keempat kuadran lesi dapat mengontrol perdarahan.
Pada pemberian ini telah diteliti bahwa dengan injeksi jumlah besar terkait dengan
hemostasis yang lebih baik, yang mungkin disebabkan karena injeksi menekan pembuluh
darah yang berdarah dan menginduksi terjadinya tamponade. Injeksi epinefrin sendiri
berhubungan dengan kejadian perdarahan ulang yang tinggi. Praktek standar untuk hal ini
adalah memberikan terapi kombinasi yaitu biasanya ditambahkan dengan menggunakan
energi panas. Sumber energi panas dapat berupa probe pemanas, elektrokoagulasi monopolar
atau bipolar, laser atau koagulasi plasma argon (KPA). Yang paling sering digunakan adalah
elektrokoagulasi untuk ulkus perdarahan dan KPA untuk lesi superfisial. Kombinasi injeksi
dengan terapi termal mencapai 90% hemostasis pada perdarahan ulkus peptikum. Peran
hemoklip kurang jelas; beberapa penelitian melaporkan hasil yang berbeda-beda. Hemoklip
yang dapat sulit untuk digunakan mungkin efektif terutama ketika menangani pembuluh
darah yang memancar karena hemoklip dapat mengontrol perdarahan segera.
Perdarahan ulang ulkus berkaitan dengan peningkatan mortalitas yang signifikan dan
pengawasan yang ketat terhadap pasien dengan resiko perdarahan ulang dengan
menggunakan kriteria yang telah disebutkan sebelumnya adalah hal yang penting. Pada
pasien yang mengalami perdarahan ulang, kegunaan percobaan kedua terapi endoskopik
masih bersifat kontroversial tetapi telah dibuktikan. Sebagai contoh, pada suatu penelitian
menunjukkan bahwa percobaan kedua hemostatis secara endoskopik berhasil pada 75%
pasien. Walaupun cara ini gagal pada 25% pasien, yang kemudian akan memerlukan operasi
darurat, tidak terlihat adanya peningkatan morbiditas atau mortalitas dengan pendekatan
terapi ini. Sehingga, sebagian besar klinisi sekarang ini memillih percobaan terapi
endoskopik kedua sebelum memilih cara operasi.
Penatalaksanaan bedah meskipun terapi endoksopik telah berkembang secara signifikan,
pada 10% pasien dengan ulkus peptikum masih membutuhkan intervensi bedah agar
hemostasis yang efektif dapat tercapai. Identifikasi pasien yang kemungkinan besar untuk
gagal pada terapi endoskopik sulit, bagaimanapun juga, waktu untuk mengambil cara bedah
telah banyak diperdebatkan. Untuk membantu pengambilan keputusan ini, beberapa
parameter klinis dan endoskopik telah diajukan untuk mengidentifikasi pasien resiko tinggi
untuk mengalami kegagalan terapi endoskopik. Faktor-faktor klinis yang dipertimbangkan
yaitu syok dan kadar Hb yang rendah saat pasien datang. Pada endoskopi meskipun
klasifikasi Forrest adalah indikator yang paling penting untuk resiko perdarahan ulang, lokasi
dan ukuran ulkus juga penting. Ulkus yang lebih besar dari 2 cm, ulkus duodenal posterior
dan ulkus gaster memiliki resiko perdarahan ulang yang lebih signifikan. Pasien dengan
karakteristik ini perlu pengawasan yang ketat dan mungkin memerlukan intervensi bedah
lebih dini. Penilaian klinis dan keahlian sesuai bidang jelas berperan penting dalam
pengambilan keputusan ini.
Indikasi untuk pembedahan secara tradisional berdasarkan keperluan untuk transfusi darah.
Peningkatan transfusi darah berkaitan dengan peningkatan mortalitas. Walaupun kriteria yang
kurang definitif dari yang sebelumnya, sebagian besar ahli bedah menganggap keperluan
transfusi darah lebih dari 6 U adalah indikasi intervensi bedah, terutama pada pasien usia tua
dan kehilangan 8-10 U pada pasien muda. Indikasi bedah pada ulkus peptikum dirangkum
dalah tabel.. indikasi relatif atau sekunder yaitu termasuk golongan darah yang langka atau
sulit dilakukan uji silang, penolakan terhadap transfusi, datang dengan kondisi syok, usia
lanjut, penyakit komorbid berat dan perdarahan kronis ulkus gaster yang mana mungkin
dapat disebabkan oleh keganasan.
Prioritas utama operasi yaitu mengontrol perdarahan, selanjutnya keputusan harus diambil
terkait kebutuhan untuk prosedur pengurangan asam secara definitif. Setiap langkah dapat
bervariasi tergantung apakah lesi pada ulkus gaster atau duodenal.
Ulkus duodenal langkah pertama pada pembedahan ulkus duodenal adalah mengekspos
lokasi perdarahan. Karena sebagian besar lesi ini terdapat pada bulbus duodenal,
duodenotomi longitudinal atau duodenopyloromyotomi dilakukan. Perdarahan umumnya
dapat ditangani dengan penekanan lalu ligasi dengan benang nonabsorbable. Ketika ulkus
terdapat pada sisi anterior, ligasi 4 kuadran biasanya cukup. Ulkus posterior mengalami erosi
hingga arteri pankreatikoduodenal atau gastroduodenal mungkin memerlukan ligasi pada
pembuluh darah proksimal dan distal dari ulkus, juga jahitan U di bawah ulkus untuk
mengontrol cabang pankreatik. Setelah perdarahan dihentikan, operasi untuk menurunkan
asam secara definitif harus dipertimbangkan. Dengan diketahuinya peran infeksi H.pylori
pada ulkus duodenal, kegunaan prosedur tersebut masih dipertanyakan, berdasarkan alasan
bahwa penutupan lokasi perdarahan secara simpel dan terapi lanjutan untuk infeksi sudah
cukup untuk mencegah terjadinya rekurensi. Berbeda halnya pada ulkus dengan perforasi,
yang mana telah dibuktikan pendekatan seperti sebelumnya lebih baik, bukti lebih lemah
untuk kasus perdarahan ulkus duodenal. Oleh karena itu, kontroversi terus berlanjut.
Keputusan untuk terapi sebaiknya didasarkan dengan kondisi klinis pasien dan pengalaman
ahli bedah.
Sejarahnya, pilihan untuk berbagai operasi didasarkan pada kondisi hemodinamik pasien dan
berdasarkan apakah pasien memiliki riwayat ulkus yang refrakter. Karena pilorus sering
dibuka secara longitudinal untuk mengontrol perdarahan, ditutup dengan piloroplasti,
dikombinasi dengan vagotomi adalah operasi yang paling sering digunakan. Beberapa
penelitian menunjukkan vagotomi sel parietal lebih baik untuk perdarahan ulkus duodenum
pada pasien yang stabil. Walaupun beberapa kelebihan ini dapat hilang jika pylorus sudah
terbagi. Sekarang ini, ketidakpengalaman ahli bedah terhadap prosedur dapat menjadi faktor
penentu. Pada pasien dengan riwayat ulkus duodenal refrakter atau pada pasien yang gagal
diterapi bedah yang lebih konservatif, antrektomi dengan vagotomi trunkal merupakan
prosedur yang lebih cocok. Akan tetapi, prosedur lebih kompleks dan jarang dipakai pada
pasien dengan hemodinamik tidak stabil.
Ulkus gaster. Untuk perdarahan ulkus gaster, kontrol perdarahan adalah prioritas pertama.
Tetapi perdarahan gaster memerlukan gastrotomi dan ligasi dengan jahitan, dan terapi ini
berkaitan dengan resiko tinggi perdarahan ulang hingga 30%. Sebagai tambahan, karena
insidensi keganasan yaitu 10%, reseksi ulkus gaster biasanya dibutuhkan. Eksisi sederhana
berkaitan dengan perdarahan ulang yaitu pada 20% pasien sehingga gastrektomi distal lebih
dipilih, walaupun eksisi dikombinasi dengan vagotomi dan piloroplasti dapat
dipertimbangkan untuk pasien resiko tinggi. Perdarahan ulkus gastter bagian proksimal dekat
dengan gastroesophageal junction lebih sulit untuk ditangani. Gastrektomi proksimal atau
hampir total berhubungan dengan mortalitas yang tinggi khususnya pada kasus perdarahan
akut. Pilihan terapi yaitu gastrektomi distal dikombinasi dengan reseksi lidah proksimal
gaster dan vagotomi dengan pyloroplasti dikombinasi dengan reseksi segitiga atau jahitan
langsung pada ulkus.
Mallory-Weiss Tears adalah suatu robekan mukosa dan submukosa yang terjadi dekat
dengan gastroesophageal junction. Lesi-lesi ini umumnya terbentuk pada pasien alkoholik
setelah suatu periode muntah dan sendawa yang hebat setelah minum alkohol, tetapi dapat
terjadi juga pada pasien dengan riwayat muntah berulang. Mekanisme seperti yang diajukan
oleh Mallory dan Weiss pada tahun 1929 yaitu kontraksi berlebih dari dinding abdomen
terhadap cardia gaster yang tidak relaks, mengakibatkan laserasi mukosa cardia sebagai hasil
dari peningkatan tekanan intragastrik.
Lesi ini merupakan penyebab 5-10% kasus perdarahan gastrointestinal atas. Umumnya
didiagnosis berdasarkan anamnesis. Endoskopi sering digunakan untuk mengkonfirmasi
diagnosis. Untuk menghindari terjadinya misdiagnosis, perlu dilakukan manuver retrofleksi
dan melihat area tetap dibawah gastroesophageal junction. Sebagian besar robekan terjadi di
sepanjang kurvatura minor dan lebih jarang pada kurvatura mayor. Terapi seringnya berupa
terapi suportif karena pada 90% kasus, perdarahan berhenti spontan dan mukosa sembuh
dalam waktu 72 jam.
Pada kasus langka dimana terjadi perdarahan berlanjut, terapi endoskopik lokal dengan
injeksi atau elektrokoagulasi efektif untuk mengatasi kasus ini. Embolisasi angiografik
dengan spons gelatin dapat digunakan pada kasus gagal terapi endoskopik. Jika manuver-
manuver ini gagal, gastrotomi tinggi dan jahitan robekan mukosa diindikasikan. Penting
untuk menyingkirkan diagnosis perdarahan varises pada kasus gagal terapi endoskopik
dengan pemeriksaan menyeluruh pada gastroesophageal junction. Perdarahan berulang dari
Mallory-Weiss tear jarang.
Stress Gastritis Gastritis terkait stres ditandai dengan munculnya erosi superfisial multipel di
seluruh gaster, paling sering di corpus. Diduga erosi ini terjadi akibat luka dari asam dan
pepsin yang dilepaskan karena iskemia dari kondisi hipoperfusi, walaupun OAINS dapat
menimbulkan hal yang sama. Dari tahun 1960 dan 1970, gastritis ini merupakan lesi yang
paling banyak dijumpai pada pasien yang sakit berat dengan morbiditas dan mortalitas yang
tinggi dari perdarahan. Lesi ini berbeda dengan ulserasi soliter yang terkait dengan
hipersekresi asam, yang terjadi pada pasien dengan trauma kepala berat (Cushing’s Ulcers).
Ketika ulserasi stres berkaitan dengan luka bakar luas, lesi ini disebut dengan Curling’s
ulcers. Berbeda dengan lesi terkait OAINS, perdarahan yang signifikan dari ulserasi stres
merupakan fenomena yang umum.
Dengan perkembangan dalam tatalaksana syok dan sepsis, dan penggunaan luas terapi supresi
asam, perdarahan signifikan dari lesi-lesi tersebut jarang dijumpai. Akan tetapi, Penggunaan
terapi supresi asam pada kasus ini berakibat pada peningkatan biaya dan mungkin beberapa
resiko terhadap pasien, dengan peningkatan insidensi pneumonia nosokomial sekunder
terhadap kolonisasi gaster. Masalah-masalah ini telah menarik perhatian untuk
mengidentifikasi subgrup spesifik pada pasien dengan resiko tinggi terhadap gastritis stres
untuk dilakukan terapi profilkatik selektif. Canadian Critical Care Trials group secara
prospektif menelaah ulang 2200 pasien yang dirawat di ICU dan menemukan bahwa insidensi
perdarahan signifikan akibat gastritis terkait stres hanya 0.1% pada pasien yang dianggap
resiko rendah. Faktor-faktor yang meningkatkan resiko perdarahan dari gastritis stres yaitu
penggunaan ventilator lebih dari 48 jam dan koagulopati. Untuk pasien dengan faktor resiko
ini, perdarahan signifikan secara klinis akibat gastritis terkait stres terjadi pada 3.4% pasien.
Pasien dengan faktor resiko ini harus diberikan terapi profilaksis dengan antasida, antagonis
reseptor H2, PPI atau sukralfat. Langkah profilaksis primer tetap melakukan resusitasi yang
sesuai dan agresif.
Pada pasien yang mengalami perdarahan signifikan, terapi supresi asam seringnya berhasil
dalam mengontrol perdarahan. Pada kasus langka, ketika terapi ini gagal, harus
dipertimbangkan untuk diberikan vasopresin atau octreotide melalui arteri gastrika sinistra,
terapi endoskopik atau bahkan embolisasi angiografik. Sejarahnya, saat kasus-kasus ini masih
lebih sering dan pasien ini masih diterapi bedah. Pilihan bedah termasuk vagotomi dan
piloroplasti dengan menjahit perdarahan atau gastrektomi subtotal. Prosedur-prosedur ini
mempunyai angka mortalitas hingga 60%. Untungnya, sekarang ini terapi ini sudah jarang
diperlukan.
Esofagitis esofagus jarang menjadi sumber perdarahan signifikan. Ketika hal ini terjadi,
umumnya terjadi akibat dari esofagitis. Inflamasi esofageal sekunder terhadap paparan
berulang mukosa esofagus terhadap asam lambung pada penyakit GERD yang
mengakibatkan respon inflamasi menyebabkan kehilangan darah kronis. Ulserasi dapat
timbul bersamaan tetapi ulserasi mukosa superfisial umumnya tidak menimbulkan
perdarahan akut dan datang dengan anemia atau feses dengan guaiac positif. Berbagai kuman
infeksi dapat menimbulkan esofagitis, terutama pada pasien dengan immunodefisiensi.
Dengan infeksi, perdarahan kadang dapat menjadi masif. Penyebab lain dari perdarahan
esofagus termasuk obat-obatan, Crohn’s disease dan radiasi.
Terapi biasanya berupa terapi supresi asam, kontrol perdarahan secara endoskopik, biasanya
dengan elektrokoagulasi atau dengan probe panas, dan umumnya berhasil. Pada pasien
dengan etiologi infeksi, terapi spesifik dipertimbangkan. Pembedahan jarang diperlukan.
Lesi Dieulafoy lesi Dieulafoy adalah malformasi vaskular yang ditemukan terutama pada
kurvatura minor gaster dalam jarak 6 cm dari gastroesophageal junction, walaupun lesi ini
dapat timbul di bagian lain dari traktus gastrointestinal. Lesi ini timbul akibat ruptur dari
pembuluh darah yang besar secara abnormal (1-3 mm) pada submukosa gaster. Erosi dari
mukosa gaster di atas dari pembuluh darah ini mengakibatkan perdarahan. Defek mukosa
pada umumnya kecil 2-5 mm dan mungkin sulit untuk diidentifikasi. Perdarahan dari lesi
Dieulafoy dapat masif karena besarnya ukuran arteri yang terkena.
Usaha awal dengan kontrol perdarahan endoskopik seringnya berhasil. Penggunaan terapi
termal atau sklerosan efektif pada 80-100% kasus. Pada kasus gagal terapi endoskopik,
embolisasi angiografik dapat digunakan. Jika terapi-terapi ini gagal, intervensi bedah
mungkin diperlukan. Karena kesulitan-kesulitan visualisasi dan palpasi dari lesi, endoskopi
untuk menandai lesi ini dapat memfasilitasi prosedur ini. Gastrostomi dilakukan untuk
mengidentifikasi sumber perdarahan. Lesi kemudian dijahit. Pasien dengan sumber
perdarahan tidak dapat diidentifikasi, gastrektomi parsial mungkin diperlukan.
Gastric Antral Vascular Ectasia dikenal juga sebagai lambung semangka, GAVE ditandai
dengan kumpulan venula yang berdilatasi tampak sebagai garis linear merah yang konvergen
ke antrum secara longitudinal, sehingga tampak seperti semangka. Perdarahan berat yang
akut jarang terjadi pada GAVE dan sebagian besar pasien datang dengan anemia defisiensi
besi persisten dengan kehilangan darah samar berkelanjutan. Terapi endoskopik diindikasi
untuk perdarahan persisten dan dependen terhadap transfusi. Terapi endoskopik yang
dianjurkan adalah APC. Pasien yang gagal dengan terapi endoskopik harus dipertimbangkan
untuk dilakukan antrektomi.
Malignansi keganasan traktus gastrointestinal atas biasanya berkaitan dengan anemia kronis
atau feses dengan darah samar positif bukan dengan perdarahan signifikan. Kadang pada
pasien dengan keganasan datang dengan lesi ulseratif dengan perdarahan persisten. Gejala ini
karakteristik dari GI stromal tumor (GIST), meskipun dapat terjadi pada lesi lainnya,
termasuk leiomyoma dan limfoma. Angka kejadian perdarahan ulang tinggi walaupun terapi
endoskopik seringnya berhasil mengontrol perdarahan ini. Sehingga, ketika keganasan
didiagnosis, reseksi bedah diperlukan. Luasnya reseksi tergantung dengan lesi spesifik dan
apakah reseksi bersifat kuratif atau paliatif. Reseksi paliatif untuk mengontrol perdarahan
biasanya dengan reseksi segitiga. Operasi kanker yang standar diindikasikan jika
memungkinkan tergantung pada stabilitas hemodinamik pasien.
Fistula aortoenterik fistula aortoduodenal primer adalah lesi yang jarang. Biasanya terjadi
setelah operasi perbaikan aneurisma aorta abdominalis, walaupun mungkin terjadi akibat
aortitis infeksi atau inflamasi, dan fistula terbentuk pada 1% kasus graft aorta. Interval antara
operasi dan perdarahan antara hitungan hari hingga tahun, dengan interval rata-rata yaitu 3
tahun. Interval ini diduga karena melibatkan pembentukan pseudoaneurisma di proksimal
garis jahitan anastomosis sebagai akibat dari infeksi, dengan selanjutnya pembentukan fistula
terjadi ke dalam duodenum yang berada diatasnya.
Diagnosis fistula ini harus dipertimbangkan pada semua pasien perdarahan dengan riwayat
aneurisma aorta abdominalis atau riwayat reparasi aneurisma prostetik. Perdarahan pada
kondisi ini biasanya masif dan fatal kecuali intervensi bedah segera dilakukan. Umumnya,
pasien dengan perdarahan dari fistula aortoenterik datang dengan perdarahan. Perdarahan
yang berhenti secara spontan ini akan diikuti dengan perdarahan masif lanjutan dan biasanya
bersifat fatal. Perdarahan awal ini menandakan endoskopi proksimal darurat karena diagnosis
pada tahap ini dapat menolong nyawa. Adanya bukti perdarahan pada duodenum bagian
distal pada EGD dapat dipertimbangkan untuk diagnosis. CT scan dengan kontras
menunjukkan adanya udara disekitar graft (sugestif terhadap infeksi), mungkin suatu
pseudoaneurisma dan adanya kontras dalam lumen duodenum.
Terapi termasuk ligasi aorta proksimal dari graft, melepas prostesis yang terinfeksi dan
bypass ekstra anatomik. Defek pada duodenum pada umumnya kecil dan dapat diperbaiki.
Prosedur ini kompleks dan pada umumnya menimbulkan komplikasi.
Hemobilia hemobilia biasanya sulit didiagnosis. Pada umumnya berkaitan dengan trauma,
post operasi pada sistem bilier, atau neoplasma hepatik. Penyebab perdarahan gastrointestinal
yang jarang ini harus dicurigai pada siapapun datang dengan perdarahan, nyeri kanan atas,
dan ikterus. Tetapi sayangnya triad ini dijumpai kurang dari 50% pasien dan suatu derajat
kecurigaan yang tinggi diperlukan. Endoskopi dapat membantu dengan mencari darah pada
ampulla. Angiografi adalah prosedur diagnostik yang lebih dipilih. Jika diagnosis
dikonfirmasi, embolisasi angiografik merupakan terapi yang dapat digunakan.
Hemosuccus Pancreaticus penyebab yang jarang perdarahan gastrointestinal atas yaitu
perdarahan dari duktus pankreatikus. Kelainan ini umumnya terjadi akibat erosi pseudokista
pankreas ke arteri splenicus. Kelainan ini ditandai dengan nyeri abdomen dan hematochezia.
Seperti hemobilia, kelainan ini sulit didiagnosis dan memerlukan derajat kecurigaan yang
tinggi pada pasien dengan nyeri abdomen, perdarahan dan riwayat pankreatitis sebelumnya.
Angiografi merupakan pemeriksaan diagnostik dan dilakukan embolisasi sebagai terapeutik.
Pada pasien yang dapat dilakukan pankreatektomi distal, prosedur ini dapat menjadi terapi
definitif.
Perdarahan iatrogenik perdarahan gastrointestinal atas dapat terjadi setelah dilakukan
prosedur diagnostik atau terapeutik. Seperti yang disebut sebelumnya, hemobilia mungkin
disebabkan secara iatrogenik, terutama terjadi setelah prosedur transhepatik perkutaneus.
Penyebab perdarahan iatrogenik lainnya yang sering terjadi yaitu spinkterotomi endoskopik,
terjadi pada 2% kasus. Biasanya bersifat ringan dan sembuh spontan. Perdarahan laten
umumnya terjadi setelah 48 jam pertama dan memerlukan injeksi epinefrin pada lokasi
perdarahan. Intervensi bedah jarang diperlukan.
Gastrostomi perkutaneus endoskopik sekarang ini merupakan prosedur yang semakin sering
dilakukan. Angka perdarahan dilaporkan mencapai hingga 3%. Walaupun sebagian besar
kasus ini terjadi dari lokasi insisi, sebagian disebabkan akibat perdarahan dari mukosa gaster.
Perdarahan ini dapat dikontrol secara endoskopik.
Perdarahan gastrointestinal atas dapat dijumpai pada pasien yang baru menjalani operasi
gastrointestinal atas. Lesi-lesi yang dideskripsikan dapat menyebabkan perdarahan
postoperatif, dan kemungkinan-kemungkinan ini harus dipertimbangkan. Pasien yang
menjalani reseksi dan anastomosis, sumber perdarahan mungkin berasal dari garis jahitan
atau stapler. Pasien dengan perdarahan yang persisten dan intervensi mungkin diperlukan,
ahli endoskopi sering khawatir gangguan yang potensial terhadap jahitan atau jepretan. Akan
tetapi, aman untuk dilakukan endoskopi diagnostik atau bahkan terapeutik dengan
menggunakan insfulasi minimal dan prosedur ini dilakukan dengan hati-hati.
Perdarahan terkait hipertensi portal
Perdarahan gastrointestinal atas merupakan komplikasi yang serius dari hipertensi portal,
yang sering disebabkan oleh sirosis. Perdarahan terkait dengan hipertensi portal umumnya
terjadi akibat perdarahan dari varises. Vena submukosa yang berdilatasi merupakan respon
dari hipertensi portal, memberikan aliran kolateral untuk dekompresi sistem portal ke
sirkulasi vena sistemik. Pada umumnya terjadi pada esofagus bagian distal dan dapat
mencapai ukuran 1-2 cm. seiring dengan membesarnya varises, mukosa diatasnya semakin
menegang dan terjadi ekskoriasi hanya dengan trauma yang minimal.
Walaupun varises ini umumnya dapat dilihat pada esofagus, varises dapat terjadi pada gaster
dan pleksus hemorrhoidal dari rektum. Gastropati hipertensi porta, dilatasi difus dari pleksus
vena mukosa dan submukosa berhubungan dengan gastritis yang terjadi bersama, adalah
suatu kelainan yang masih kurang dimengerti yang mana pada gaster ditemukan gambaran
seperti kulit ular dengan bintik merah seperti ceri. Tidak seperti varises esofagus, kelainan ini
jarang menyebabkan perdarahan mayor.
Varises gastroesofagus terjadi pada kurang lebih 30% pasien dengan sirosis dan hipertensi
porta dan 30% dari kelompok pasien ini mengalami perdarahan varises. Dibandingkan
dengan perdarahan nonvarises, perdarahan varises berkaitan dengan peningkatan resiko
perdarahan ulang, kebutuhan akan transfusi, rawat inap yang lebih lama dan mortalitas yang
meningkat. Perdarahan yang terjadi seringnya masif, disertai dengan hematemesis dan
instabilitas hemodinamik. Fungsi hepar yang masih tersisa, diperkirakan dengan kriteria
Child, berkorelasi erat dengan prognosis pasien. Walaupun adanya perkembangan
penatalaksanaan pasien-pasien ini, mortalitas 6 minggu setelah perdarahan pertama hampir
mencapai 20%.
Penatalaksanaan Gambar.. menunjukkan algoritma penatalaksanaan. Seperti pada sebab lain
dari perdarahan gastrointestinal, resusitasi yang adekuat adalah hal yang diutamakan.
Resusitasi cairan pada pasien dengan sirosis sulit dilakukan untuk mencapai keseimbangan
cairan. Pasien-pasien ini sering memiliki kondisi hiperaldosteronisme yang berhubungan
dengan retensi cairan dan asites. Penelitian hewan coba menunjukkan koreksi yang cepat
pada kekurangan cairan dan tekanan darah meningkatkan resiko perdarahan ulang dari
varises. Pengawasan tekanan vena sentral diindikasikan untuk sebagian besar pasien dan
admisi dini ke ICU perlu dipertimbangkan. Ambang minimal yang rendah untuk diperlukan
intubasi pada kasus ini. Defek koagulasi sering ditemukan dan memerlukan koreksi yang
agresif. Pasien dengan perdarahan varises memiliki persentase besar dalam kondisi sepsis,
yang berkaitan memperparah hipertensi porta dan mengakibatkan perdarahan varises.
Penelitian menunjukkan terapi 7 hari dengan kuinolon menurunkan resiko perdarahan ulang.
Sehingga pasien dengan perdarahan varises harus diberi terapi empiris antibiotik spektrum
luas.
Penatalaksanaan farmakologis Pada pasien dengan sirosis, terapi farmakologis untuk
menurunkan hipertensi porta perlu dipertimbangkan, bahkan saat dipersiapkan untuk
endoskopi proksimal darurat. Vasopresin mengakibatkan vasokonstriksi splanik dan telah
menunjukkan hasil menurunkan perdarahan secara signifikan dibandingkan dengan plasebo.
Tetapi sayangnya, obat ini mengakibatkan vasokonstriksi jantung yang signifikan, yang
berakibat pada iskemia miokardial. Walaupun vasopresin yang dikombinasi dengan
nitrogliserin pada praktek klinis, somatostatin atau analog sintetiknya, octreotide merupakan
obat vasoaktif pilihan. Infus IV secara kontinu obat ini dapat mengontrol perdarahan
sementara dan memberikan waktu untuk resusitasi dan manuver diagnostik dan terapeutik
yang diperlukan.
Penatalaksanaan endoskopik EGD dini sangat penting untuk mengevaluasi sumber
perdarahan karena lebih dari 50% perdarahan disebabkan oleh penyebab non varises,
termasuk ulkus peptikum, gastritis dan Mallory-Weiss tears. Peneilitan menunjukkan bahwa
tidak seperti perdarahan ulkus peptikum, endoskopi dini (dalam kurun waktu 15 jam onset
gejala) dapat mempengaruhi kelangsungan hidup pada kasus perdarahan varises.
Penatalaksanaan lanjutan didasarkan pada hasil penemuan endoskopik, jika perdarahan
varises esofagus diidentifikasi, terapi sklerotik dan pengikatan varises telah menunjukkan
dapat mengontrol perdarahan secara efektif. Walaupun terapi sklerotik, yang menggunakan
berbagai macam obat adalah prosedur yang lebih mudah dilakukan, terapi ini juga
berhubungan dengan perforasi, mediastinitis dan striktur. Pengikatan memiliki angka
komplikasi yang lebih rendah dan ketika ahli yang dapat melakukan tersedia, harus menjadi
terapi pilihan. Pendekatan endoskopik ini kadang sampai dengan 3 kali terapi dalam waktu 24
jam, mengontrol perdarahan pada 90% pasien dengan varises esofagus. Akan tetapi, varises
gaster tidak dapat ditatalaksana secara efektif dengan teknik endoskopik.
Penatalaksanaan lainnya pada pasien yang telah gagal dengan terapi farmakologik atau
endoskopik, tamponade balon dapat menghentikan sementara perdarahan. Selang
Sengstaken-Blakemore terdiri dengan selang gaster dengan balon esofagus dan gaster. Balon
gaster dikembangkan sehingga menekan pada gastroesophageal junction. Jika tindakan ini
tidak dapat mengontrol perdarahan, balon esofagus juga dikembangkan, menekan pleksus
vena diantara kedua balon. Selang Minnesota yang juga memiliki lumen proksimal esofagus
untuk mengaspirasi sekresi yang tertelan. Selang-selang ini berhubungan dengan angka
komplikasi yang tinggi terkait aspirasi dan lokasi yang salah, dengan perforasi esofagus.
Perdarahan terjadi ulang pada saat balon dikempiskan pada 50% pasien. Tamponade balon
disimpan untuk pasien-pasien dengan perdarahan masif untuk dapat diberikan terapi definitif
lainnya.
Pada kasus perdarahan varises refrakter yang tidak dapat dikontrol secara endoskopik,
dekompresi portal darurat diperlukan. Teknik ini diperlukan pada sekitar 10% pasien dengan
perdarahan varises. Walaupun penelitian acak menunjukkan adanya kesamaan antara TIPS
(Transjugular intrahepatic portosystemic shunt) dan shunt bedah pada kasus refrakter ini,
biasanya dicapai dengan menggunakan TIPS secara perkutan. Prosedur TIPS dapat
menyelamatkan nyawa pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil dari perdarahan
varises refrakter dan berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas yang secara signifikan lebih
rendah dibandingkan dengan dekompresi secara bedah. Penelitian menunjukkan bahwa TIPS
mengontrol perdarahan pada 95% kasus. Perdarahan ulang terjadi pada hingga 20% dalam
bulan pertama, biasanya berkaitan dengan oklusi. Angka patensi jangka panjang lebih rendah
walaupun dapat digunakan dengan pengamatan hati-hati dan teknik perkutaneus. Pada pasien
yang tidak dapat dilakukan atau gagal TIPS, intervensi bedah darurat diindikasikan,
walaupun sekarang jarang diperlukan.
Varises gaster terisolasi ditangani mirip dengan penanganan varises esofagus, walaupun
terapi endoskopik jarang berhasil. Terapi farmakologik pada dasarnya diindikasikan tetapi
ketika gagal, dekompresi porta dengan TIPS atau shunt direkomendasikan.
Jarang, varises gaster terisolasi terjadi setelah trombosis vena splanicus. Kelainan ini sering
terjadi pada pasien dengan pankreatitis. Pada pasien ini, tekanan porta sentral normal tetapi
hipertensi pada sisi kiri, dekompresi dari limpa ke pembuluh darah gaster yang pendek
mengakibatkan varises. Kelainan ini paling baik diterapi dengan splenektomi. Walaupun
resiko perdarahan varises lebih tinggi pada grup ini dan splenektomi secara rutin
direkomendasikan, penelitian menunjukkan bahwa insidensi perdarahan varises rendah (4%
dengan rata-rata follow up 34 bulan) dan splenektomi tidak harus secara rutin dilakukan.
Tidak sama dengan perdarahan varises, perdarahan dari gastropati hipertensi portal tidak
dapat dikendalikan dengan terapi endoskopik karena luasnya abnormalitas mukosa. Patologi
yang mendasari kelainan ini melibatkan peningkatan vena prota, sehingga terapi
farmakologis ditujukan untuk menurunkan tekanan vena porta. Jika terapi farmakologis gagal
untuk mengontrol perdarahan akut, TIPS harus dipertimbangkan.
Pencegahan perdarahan ulang setelah perdarahan awal dapat dikendalikan, pencegahan
perdarahan rekuren menjadi prioritas utama. Jika tidak ada terapi lanjutan yang diberikan,
70% pasien akan mengalami perdarahan lanjutan dalam waktu 2 bulan. Resiko perdarahan
ulang tertinggi dalam beberapa jam hingga hari setelah episode pertama. Terapi farmakologis
diberikan untuk mencegah rekurensi yaitu beta blocker non selektif seperti nadolol dan obat
anti ulkus seperti PPI atau sukralfat. Obat-obat ini dikombinasi dengan ligasi endoskopik
yang diulang setiap 10-14 hari hingga semua varises dieradikasi.
Walaupun pendekatan agresif ini berhasil menurunkan perdarahan ulang hingg kurang dari
20%, tindakan ini memerlukan supervisi dan follow up yang intensif. Pada pasien yang tidak
patuh meminum obat atau tidak dapat mentoleransi terapi seperti ini, dekompresi porta elektif
harus dipertimbangkan. Pilihan antara TIPS dan dekompresi operatif pada pasien stabil
bergantung pada fungsi hepar residual. Secara umum, pasien dengan fungsi hepar residual
yang buruk yang dalam status menunggu transplantasi hepar perlu dipertimbangkan untuk
menjalani TIPS. Prosedur ini memberikan pencegahan sementara dan menghindari luka post
operatif pada porta hepatis, yang dapat mempersulit prosedur transplantasi. Sayangnya, TIPS
terkait dengan ensefalopati hepatik hingga 50% pasien dalam kurun waktu 1 taun setelah
prosedur. Komplikasi lainnya seperti trombosis dapat terjadi hingga 30% pasien dalam tahun
pertama. Pasien dengan fungsi hepar bagus yang tidak memerlukan transplanditasi,
dekompresi bedah lebih tepat. Teknik ini memberikan dekompresi jangka panjang yang dapat
bertahan dan dengan angka ensefalopati hepatik yang lebih rendah. Pada pasien dengan
fungsi hepar yang baik, keuntungan-keuntungan ini melebihi morbiditas dan mortalitas
operasi. Shunt elektif yang digunakan yaitu shunt splenorenal distal selektif.
Perdarahan Gastrointestinal Bawah Akut
Ketika dibandingkan dengan perdarahan gastrointestinal atas, perdarahan gastrointestinal
bawah lebih jarang memerlukan perawatan di rumah sakit, yaitu 20% dibanding dengan
perdarahan proksimal dari ligamentum Treitz. Insidensi perdarahan gastrointestinal bawah,
akan tetapi meningkat seiring usia dan perdarahan gastrointestinal bawah lebih sering pada
pasien usia tua. Lebih dari 95% pasien dengan perdarahan gastrointestinal bawah terjadi di
kolon. Usus halus jarang menyebabkan perdarahan ini dan karena lesi ini jarang didiagnosis
dengan kombinasi endoskopi gabungan atas dan bawah, usus halus dipertimbangkan
belakangan. Secara umum, insidensi perdarahan gastrointestinal bawah meningkat seiring
usia dan penyebabnya sering berhubungan dengan usia. Secara spesifik, lesi vaskular dan
penyakit divertikular terjadi pada semua kelompok usia tetapi insidensi meningkat pada usia
pertengahan dan usia lanjut. Pada pasien pediatrik, intususepsi merupakan penyebab
tersering, sedangkan divertikulum Meckel dipertimbangkan dalam diagnosis banding usia
dewasa muda. Presentasi klinis perdarahan gastrointestinal bawah beragam dari perdarahan
berat pada penyakit divertikular atau lesi vaskular dengan gejala ringan sekunder dari fissura
ani atau hemorrhoid.
Diagnosis
Perdarahan gastrointestinal bawah biasanya ditandai dengan hematochezia, yang beragam
dari darah merah segar hingga bekuan-bekuan lama. Jika perdarahan ini lebih lambat atau
erasal dari sumber proksimal, perdarahan gastrointestinal bawah ini ditandai dengan melena.
Perdarahan dari trakturs gastrointestinal bawah lebih ringan dan lebih jarang dan biasanya
berhenti spontan dibandingkan dengan perdarahan gastrointestinal atas. Ketika dibandingkan
dengan perdarahan gastrointestinal atas, tidak ada modalitas diagnostik yang sesensitif atau
spesifik seperti endoskopi untuk membuat diagnosis akurat pada perdarahan gastrointestinal
bawah. Evaluasi diagnostik yang dipersulit lebih lanjut dengan hingga 40% pasien dengan
perdarahan gastrointestinal bawah memiliki lebih dari satu sumber perdarahan. Jika lebih dari
satu sumber perdarahan diidentifikasi, maka penting untuk mengonfirmasi lesi yang
menyebabkan perdarahan sebelum memulai terapi yang agresif. Pendekatan ini kadang
memerlukan suatu periode observasi dengan beberapa episode perdarahan sebelum diagnosis
pasti dapat ditegakkan. Hingga 25% pasien dengan perdarahan gastrointestinal bawah,
sumber perdarahan tidak dapat ditentukan secara akurat.
Algoritma untuk evaluasi perdarahan gastrointestinal bawah pada gambar.. setelah resusitasi
dimulai, langkah pertama dalam pemeriksaan penunjang yaitu menyingkirkan perdarahan
anorektal dengan pemeriksaan RT, anoskopi dan/atau sigmoidoskopi. Dengan perdarahan
yang signifikan, penting untuk mengeliminasi sumber perdarahan gastrointestinal atas.
Aspirasi dari selang nasogastrik yang mengandung empedu dan tidak ada darah
menyingkirkan perdarahan saluran atas pada sebagian besar pasien. Akan tetapi, operasi
darurat untuk perdarahan yang mengancam nyawa dipertimbangkan, EGD preoperatif atau
intraoperatif umumnya diperlukan. Hal ini terutama perlu jika colektomi subtotal untuk
perdarahan masif dipertimbangkan.
Evaluasi lanjutan tergantung pada beratnya perdarahan. Dengan perdarahan mayor dan/atau
perdarahan persisten, pemeriksaan penunjang harus dilanjutkan sesuai dengan stabilitas
hemodinamik pasien. Pada pasien yang tidak stabil yang terus mengalami perdarahan dan
memerlukan resusitasi agresif berkelanjutan, diperlukan kamar bedah untuk diagnosis
ekploratif dan intervensi bedah. Ketika perdarahan sedang, resusitasi dan stabilitas
hemodinamik memberikan waktu untuk evaluasi dan intervensi terapeutik yang lebih terarah.
Colonoskopi tindakan utama karena memungkinkan visualisasi kelainan dan intervensi
terapeutik pada perdarahan di colon, rectum dan ileum distal.
Colonoskopi
Colonoskopi paling cocok dilakukan pada perdarahan minimal hingga sedang, perdarahan
mayor mengganggu visualisasi secara signifikan. Ditambah dengan pada pasien tidak stabil,
sedasi dan manipulasi berhubungan dengan komplikasi tambahan dan dapat mengganggu
resusitasi. Walaupun darah bersifat katartik, persiapan dengan polietilen glikol secara oral
atau melalui selang nasogastrik dapat meningkatkan visualisasi. Penemuan-penemuan yang
dapat ditemukan seperti lokasi perdarahan aktif, bekuan darah yang melekat pada mukosa
atau lubang divertikular, atau darah terlokalisir pada segmen colon spesifik, walaupun
penemuan ini dapat menyesatkan karena peristaltis retrograd di dalam colon. Polip, kanker
dan penyebab inflamasi umumnya dapat dilihat. Sayangnya, angiodisplasia sulit untuk
divisualisasi, terutama pada pasien tidak stabil dengan konstriksi vaskularisasi mesenterium.
Divertikula dapat diidentifikasi pada sebagian besar pasien. Walaupun adanya batas-batas ini,
nilai diagnostik pada ahli yang berpengalaman cukup dapat diterima. Sebagai contoh, pada
beberapa penelitian melaporkan colonoskopi berhasil mengidentifikasi sumber perdarahan
hingga 95% pasien. Sebagian besar perdarahan sekunder dari angiodisplasia atau divertikuli.
Radionuclide Scanning
Radionuclide scanning dengan techentium 99m adalah metode yang paling sensitif tetapi
paling kurang akurat untuk menentukan lokasi perdarahan gastrointestinal. Dengan tekinik
ini, sel darah merah pasien dilabel dan direinjeksi. Darah yang telah dilabel dikeluarkan ke
dalam lumen traktus gastrointestinal, membentuk suatu fokus yang dapat dideteksi secara
scintigraphic. Awalnya, gambar-gambar yang diambil secara frekuen dan kemudian pada
interval 4 jam hingga 24 jam. Scan sel darah merah akan medeteksi perdarahan selambat 0.1
mL/menit dan dilaporkan sensitif lebih dari 90%. Sayangnya, resolusi spatial jelek dan darah
mungkin dapat bergerak retrograd ke dalam colon atau ke distal dalam usus halus.
Keakuratan lokalisasi yang dilaporkan berkisar dari 40-60% terutama tidak akurat dalam
membedakan perdarahan colon bagian kanan atau kiri. Scan sel darah merah jarang
digunakan sebagai pemeriksaan definitif sebelum bedah tetapi sebaliknya digunakan sebagai
pengarah untuk angiografi. Jika scan sel darah merah negatif atau hanya positif setelah
beberapa jam, angiografi kemungkinan besar tidak akan memberikan hasil. Pendekatan
seperti ini menghindari morbiditas yang signifikan dari angiografi.
Angiografi mesenterik
Angiografi selektif menggunakan arteri mesenterika superior atau inferior dapat mendeteksi
perdarahan 0.5 hingga 1.0 mL/menit tetapi secara umum digunakan untuk diagnosis
perdarahan yang sedang berlanjut. Pemeriksaan ini berguna terutama untuk mengidentifikasi
pola vaskuler pada angiodisplasia. Dan mungkin digunakan untuk melokalisasi perdarahan
diverticula yang aktif. Sebagai tambahan, prosedur ini memiliki kemampuan terapeutik.
Infusi vasopresin yang dipandu dengan kateter dapat memberikan kontrol sementara
perdarhana, memungkinkan stabilisasi hemodinamik, walaupun pada 50% pasien akan
mengalami perdarahan ulang ketika medikasi dihentikan. Vasopresin juga dapat diberikan
untuk embolisasi. Walaupun pada colon dengan sirkulasi kolateral yang terbatas membuat
terapi ini kurang disukai dibanding pada traktus gastrointestinal atas. Teknik-teknik ini telah
dianjurkan untuk digunakan pada pasien dengan aman. Biasanya, terapi seperti ini disimpan
untuk pasien dengan kondisi kronis yang tidak memungkinkan terapi bedah. Sayangnya,
angiografi berhubungan dengan resiko komplikasi yang signifikan, yaitu hematoma,
trombosis arteri, reaksi terhadap kontras dan gagal ginjal akut.
Terapi
Pendekatan terapeutik pada perdarahan gastrointestinal bawah bergantung pada identifikasi
lesi. Kriteria untuk pembedahan sama dengan pada perdarahan gastrointestinal atas.
Walaupun adanya kecenderungan kuat untuk menunda hingga lokasi perdarahan dapat
diketahui.
Penyebab spesifik perdarahan gastrointestinal bawah
Perdarahan colon
Penyakit divertikular di AS, divertikula merupakan penyebab tersering perdarahan
gastrointestinal bawah yang signifikan. Pada beberapa seri penelitian menunjukkan bahwa
divertikula merupakan penyebab dari 55% kasus. Di masa lalu, divertikula diduga lebih
jarang pada pasien di bawah 40 tahun tetapi sekarang diagnosis ini menjadi lebih umum pada
kelompok usia ini. Divertikulosis terjadi pada 2/3 populasi barat di usia 80 tahunan. Hanya 3-
15% individu dengan divertikulosis yang mengalami perdarahan. Perdarahan umumnya
terjadi pada leher divertikulum dan diduga merupakan sekunder perdarahan dari vasa recti
yang menembus submukosa. Pada pasien yang mengalami perdarahan, lebih dari 75%
berhenti spontan, walaupun 10% mengalami perdarahan ulang dalam setahun dan hampir
50% dalam 10 tahun. Walaupun penyakit divertikular lebih sering terjadi di sisi kiri,
divertikula pada sisi kanan menyebabkan 50% dari perdarahan.
Metode diagnosis dan terapi terbaik adalah colonoskopi, walaupun keberhasilan terapi
dibatasi oleh besarnya jumlah perdarahan. Jika divertikulum yang berdarah dapat
diidentifikasi, injeksi epinefrin diberikan untuk mengontrol perdarahan. Kauter elektrik juga
dapat digunakan dan metode lebih terkini, klip endoskopik dapat digunakan untuk
mengontrol perdarahan. Jika perdarahan berhenti dengan manuver ini atau berhenti spontan,
penatalaksanaan secara observatif ; akan tetapi, terapi ini memerlukan keputusan klinis yang
didasarkan dari jumlah perdarahan dan adanya komorboditas terutama penyakit jantung.
Jika manuver-manuver ini gagal atau jika perdarahan terjadi kembali, angiografi dengan
embolisasi dapat dipertimbangkan. Embolisasi super selektif pada pembuluh darah colon
yang berdarah memiliki angka keberhasilan >90%, walaupun resiko komplikasi iskemik tetap
menjadi perhatian. Kepastian lokasi perdarahan adalah hal penting. Hemicolectomi tanpa
panduan berkaitan dengan perdarahan ulang lebih dari 50% pasien, dan operasi didasarkan
pada lokalisasi scan sel darah merah sendiri dapat mengakibatkan perdarahan ulang hingga
1/3 pasien. Colektomi subtotal tidak menghilangkan resiko perdarahan ulang dan ketika
dibandingkan dengan reseksi segmental, diikuti dengan peningkatan signifikan pada
morbiditas, terutama diare pada pasien usia lanjut yang mana sisa rektum tidak akan berubah.
Mortalitas dari colektomi subtotal darurat atas indikasi perdarahan mencapai 30%.
Angiodysplasia pada beberapa penelitian, perdarahan sekunder dari lesi vaskuler ini
mengakibatkan 40% dari perdarahan gastrointestinal bawah. Akan tetapi, laporan terkini
mencatat insidensi yang jauh lebih rendah. Angiodysplasia usus atau disebut juga
arteriovenous malformations (AVM) berbeda dengan hamngioma dan kongenital AVM.
Kelainan ini diduga merupakan lesi degeneratif sekunder dari dilatasi progresif pembuluh
darah normal dalam submukosa usus. Angiodysplasia memiliki distribusi gender yang sama
dan hampir semuanya ditemukan pada pasien lebih tua dari 50 tahun. Lesi-lesi ini berkaitan
dengan stenosis aortik dan gagal ginjal, terutama pada pasien usia tua. Perdarahan sering
terjadi dari sisi kanan colon, dimana caecum merupakan lokasi tersering, walaupun kelainan
ini dapat erjadi pada seluruh colon dan usus halus. Sebagian besar pasien datang dengan
perdarahan kronis tetapi hingga 15% dari perdarahan dapat masif. Perdarahan berhenti
spontan pada sebagian besar kasus tetapi 50% akan terjadi perdarahan ulang dalam 5 tahun.
Lesi-lesi ini dapat didiagnosis dengan colonoskopi atau angiograf. Saat colonoskopi, lesi ini
tampak seperti lesi bintang kemerahan dikelilingi oleh mukosa dan dapat diterapi dengan
skleroterapi atau kauter elektrik. Angiografi menunjukkan usus dilatasi, vena lambat kosong
dan kadang pengisian vena dini. Jika lesi ini ditemukan secara tidak sengaja, tidak ada terapi
tambahan yang diindikasikan. Pasien perdarahan akut yang menjalani terapi vasopressin, gel
selektif untuk embolisasi, vasopressin, elektrokoagulasi endoskopik. Jika metode-metode ini
gagal atau perdarahan ulang dan lesi dapat ditentukan, reseksi segental, yang paling umum
yaitu colektomi dextra efektif.
Keganasan karsinoma colorectal adalah penyebab jarang dari perdarahan gastrointestinal
bawah tetapi merupakan kelainan yang harus disingkirkan karena lebih dari 150.000 orang
Amerika didiagnosis setiap tahunnya. Perdarahan biasanya tidak nyeri, intermittent dan
lambat dal sering berhubungan dengan anemia defisiensi besi. Polyp dapat berdarah tetapi
perdarahan biasanya terjadi setelah polypektomi. Polyp juvenil merupakan penyebab
tersering perdarahan pada pasien kurang dari 20 tahun. Kadang neoplasma colon lainnya,
salah satunya GISTs berkaitan dengan perdarahan masif. Alat diagnostik terbaik adalah
colonoskopi. Jika perdarahan karena polyp. Dapat diterapi secara endoskopik.
Penyakit Anorectal penyebab perdarahan saluran anorectal adalah hemorrhoid interna,
fissura ani, dan neoplasia colorectal. Walaupun hemorrhoid adalah kasus tersering pada
perdarahan yaitu 5-10% semua perdarahan gastrointestinal bawah akut. Secara umum,
perdarahan anorectal adalah perdarahan kecil yang ditandai dengan darah merah segar dari
rectum, yang mana dapat dilihat di toilet. Perdarahan hemorrhoid sebagian besar berasal dari
hemorrhoid interna, tidak nyeri dan sering disertai dengan jaringan yang prolaps serta dapat
berkurang secara spontan atau harus dimasukkan kembali secara manual. Fissura ani disisi
lain menyebabkan perdarahan yang sakit setelah adanya pergerakan usus. Perdarahan kadang
merupakan gejala utama pada pasien ini.
Karena penyakit anorectal relatif sering ditemukan, pemeriksaan yang seksama dibutuhkan
untuk menyingkirkan penyebab perdarahan lainnya terutama keganasan. Fissura ani dapat
diterapi secara farmakologis dengan obat pembentuk massa feses (psyllium/metamucil),
meningkatkan intake air, pelembut feses dan salep nitroglycerin topikal atau diltiazem untuk
mengurangi spasme otot sphincter dan mempercepat penyembuhan. Hemorrhoid interna
harus diterapi dengan obat pembentuk massa feses, makan makanan berserat dan minum
yang cukup. Tindakan intervensi seperti ligasi dengan karet gelang, injeksi obat sklerotik dan
koagulasi inframerah dapat digunakan. Jika tindakan-tindakan ini gagal, hemorrhoidektomi
bedah mungkin dapat diperlukan. Sebagian besar perdarahan anorectal berhenti spontan dan
merespon pada diet dan terapi lokal.
Colitis inflamasi pada colon yang disebabkan sejumlah proses termasuk IBD, colitis
infeksiosa, proktitis radiasi setelah terapi keganasan pelvis dan iskemia.
Colitis ulseratif (CU) lebih sering menyebabkan perdarahan dibanding dengan Crohn’s
disease. CU adalah penyakit mukosa yang timbul pada area distal di dalam rectum kemudian
progresif ke proksimal hingga dapat mencapai seluruh colon. Pasien dapat datang dengan
keluhan 20 kali BAB berdarah dalam sehari. Keluhan disertai dengan nyeri abdomen seperti
kram, tenesmus, dan kadang nyeri abdomen. Diagnosis didapatkan dengan anamnesis yang
teliti dan endoskopi fleksibel dengan biopsi. Terapi farmakologis dengan steroid, asam
aminosalisilat, obat immunomodulasi dan terapi suportif merupakan terapi utama CU. Terapi
bedah jarang diindikasikan pada kasus akut kecuali pasien mengalami toxic megacolon atau
perdarahan refrakter terhadap penatalaksanaan medikamentosa.
Bertolak belakang dengan Crohn’s disease yang biasanya berkaitan dengan diare dengan
guaiac positif dan BAB berlendir, tetapi tanpa disertai darah merah segar. Crohn’s disease
dapat terjadi pada seluruh traktus gastrointestinal ditandai dengan skip lesions, penebalan
dinding abdomen transmural dan pembentukan granuloma. Terapi medkamentosa terdiri dari
steroid, antibiotik, immunomodulator dan ASA. Karena Crohn’s disease bersifat rekuren dan
remiten, terapi bedah digunakan sebagai plihan terapi. Perdarahan colon masif dapat
mempersulit CU pada 15% pasien, sedangkan hal ini hanya terjadi pada 1% pasien Crohn’s
disease.
Colitis infeksiosa dapat menyebabkan diare berdarah. Diagnosis ditegakkan dari riwayat dan
kultur feses. C.difficile dan CMV memerlukan perhatian khusus. C.difficile biasanya datang
dengan diare hebat berbau amis pada pasien rawat inap dengan penggunaan antibiotik
sebelumnya. BAB berdarah jarang tetapi dapat terjadi, terutama pada kasus berat yang
berkaitan dengan kerusakan mukosa. Di Amerika utara, terjadi peningkatan frekuensi dan
keparahan colitis akibat C.difficile dalam 15 tahun terakhir. Terapi terdiri dari menghentikan
antibiotik, terapi suportif dan pemberian obat metronidazole oral atau IV atau vancomycin
oral. CMV harus dicurigai pada pasien dengan immunodefisiensi yang datang dengan
keluhan diare berdarah. Endoskopi dengan biopsi dapat mengkonfirmasi diagnosis. Terapinya
ganciclovir IV.
Proctitis radiasi menjadi semakin sering dalam 30-40 tahun terakhir karena penggunaan
radiasi untuk mengobati kanker rectal, kanker prostat dan keganasan ginekologis meningkat.
Pasien datang dengan darah merah segar dari rectum, diare, tenesms dan nyeri kram pelvis.
Endoskopi dapat memperlihatkan karakteristik telangiektasia berdarah. Terapi terdiri dari
antidiare, hidrokortison enema dan endoskopik APC. Pada kasus perdarahan persisten, ablasi
dengan formalin 4%.
Iskemia mesenterium iskemia mesenterium dapat terjadi sekunder dari insufisiensi arteri,
vena akut atau kronis. Faktor predisposisi termasuk penyakit cardiovascular (fibrilasi atrium,
gagal jantung kongestif, infark myocard akut), baru menjalani bedah vaskuler abdomen,
kondisi hiperkoagulasi, medikasi (vasopressor, digoxin), dan vasculitis. Iskemia colon akut
adalah bentuk paling sering dari iskemia mesenterium. Sering terjadi pada fleksura splenicus
dan colon rectosigmoid, tetapi dapat terjadi pada sisi kanan pada 40% pasien. Pasien datang
dengan keluhan nyeri abdomen dan diare berdarah. CT scan sering menunjukkan penebalan
dinding usus. Diagnosis secara umum dikonfirmasi dengan endoskopi, yaitu tampak edema,
perdarahan dan demarkasi antara mukosa normal dan abnorml. Terapi berpusat pada terapi
suportif seperti istirahat usus, antibiotik IV, suport cardiovascular dan koreksi dari aliran
yang rendah. Pada 85% kasus, iskemia sembuh spontan tetapi pada beberapa pasien terjadi
striktur colon. Pada 15% kasus, bedah diindikasikan karena iskemia progresif dan gangren.
Leukositosis, demam, takikardia, kebutuhan akan cairan, asidosis dan peritonitis
mengindikasikan iskemia tidak hilang dan perlu dilakukan intervensi bedah. Saat
pembedahan, reseksi usus yang iskemik dan pembentukan stoma distal diindikasikan.
Penyebab samar dari perdarahan gastrointestinal akut
Perdarahan samar gastrointestinal didefinisikan sebagai perdarahan yang persisten atau
terulang setelah evaluasi awal dengan EGD dan colonoskopi negatif. Perdarahan samar dapat
dibagi lebih jauh menjadi samar-tidak terlihat atau sama-perdarahan terlihat. Perdarahan
samar-tidak terlihat ditandai dengan anemia defisiensi besi atau feses dengan guaiac positif
tanpa adanya perdarahan yang terlihat. Jika endoskopi atas dan bawah gagal untuk
mengidentifikasi sumber perdarahan ini dan pasien tidak memiliki gejala sistemik, maka
biasanya diterapi dengan terapi zat besi dan lebih dari 80% gejala mereda dalam waktu
kurang dari 2 tahun. Perdarahan samar-terlihat ditandai dengan perdarahan yang nyata
persisten atau rekuren.
Perdarahan samar dapat membuat pasien dan dokter frustasi terutama pada perdarahan samar-
tidak terlihat, yang mana tidak dapat dilokalisasi walaupun dengan metode diagnostik yang
agresif. Suatu penelitian dari pusat rujukan tersier melaporkan pasien tipikal dengan
perdarahan samar-tidak terlihat mengalami episode intermitten perdarahan selama 26 bulan,
telah menjalani hingga 20 tes diagnostik, dan menerima rata-rata 20U darah sebelum
diagnosis disimpulkan. Untungnya, perdarahan samar-tidak terlihat hanya terjadi pada 1%
semua kasus perdarahan gastrointestinal. Diagnosis banding perdarahan samar-tidak terlihat
panjang dan bervariasi dan termasuk lesi uss halus yang sebelumnya tidak dibahas. Pada
suatu penelitian 200 pasien dengan perdarahan samar, 60% kasus disebabkan dari usus halus.
Pada pasien ini, ulkus dan erosi usus halus sekunder dari Crohn’s disease, diverticulum
Meckel atau OAINS merupakan penyebab tersering.
Diagnosis
Endoskopi ulang
Penyebab dari perdarahan samar-terlihat sering disebabkan suatu lesi yang terlewat pada
evaluasi awal. Endoskopi atas dan bawah ulang merupakan modalitas penting untuk
mengidentifikasi lesi yang terlewat karena pada 35% pasien dapat diidentifikasi dengan
endoskopi kedua. Sebagian besar perdarahan gastrointestinal samar disebabkan oleh
gastrointestinal bagian bawah. Ketika endoskopi ulang gagal mengidentifikasi sumber
perdarahan, pemeriksaan usus halus harus dilakukan. Pemeriksaan harus dilakukan berurutan
tergantung dengan derajat perdarahan dan status hemodinamik pasien.
Conventional imaging
Langkah selanjutnya yang digunakan mungkin tagged RBC scan, walaupun kegunaan dalam
kondisi ini belum banyak diteliti dan seperti dibicarakan sebelumnya hasilnya belum tentu
benar. Angiografi mungkin berguna tetapi biasanya memerlukan perdarahan berlangsung
signifikan. Tes provokasi termasuk pemberian obat antikoagulan, fibrinolitik atau vasodilator
untuk meningkatkan perdarahan selama angiografi, telah beberapa kali diteliti dan
menunjukkan hasil yang baik tetapi kekhawatiran terjadinya perdarahan yang tidak dapat
dikontrol mengurangi penggunaan metode ini. Enteroclysis usus halus, yang mana
menggunakan selang untuk memasukkan barium, metilselulosa dan udara langsung pada usus
halus, memberikan gambaran yang lebih jelas dibandingkan follow through biasa. Karena
hasil pemeriksaan dilaporkan sangat rendah dan tes sangat tidak nyaman, sekarang jarang
digunakan. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi lesi besar seperti tumor usus halus,
kondisi inflamasi seperti Crohn’s disease dan ulserasi usus halus dari OAINS dan
suplementasi kalium. Limitasi radiografi usus halus yaitu tidak dapat memvisualisasi
angiodysplasia yang menjadi penyebab utama perdarahan samar usus halus.
Pada pasien yang lebih muda, yaitu lebih muda dari 30 tahun, evaluasi awal yang harus
dilakukan yaitu pemeriksaan diverticulum Meckel. Diverticulum Meckel dengan mukosa
yang melepaskan asam ektopik dapat mengakibatkan ulserasi usus halus dan terjadi
perdarahan. Pemeriksaan ini dilakukan dengan pemberian Tc-pertechnetate yang kan diserap
mukosa gaster ektopik di dalam diverticulum dan dapat dilokalisir dengan scinthigrafi
Endoskopi
Endoskopi usus halus pasien yang stabil secara hemodinamik harus menjalani enteroskopi
usus halus. Biasanya dilakukan dengan colonoscope pediatrik. Yang disebut push endoscopy.
Alat ini dapat mencapai 50-70 cm melewati ligamentum Treitz dan memungkinkan
penatalaksanaan endoskopik beberapa jenis lesi. Secara umum, teknik ini berhasil pada 40%
pasien. Sonde pull endoscopy menggunakan enteroscope yang lewat secara pasif hingga ke
bagian paling distal dari usus halus. Balon diujung enteroscope memungkinkan peristaltik
usus halus normal membawa scope hingga ke ileum, mukosa dilihat saat scope ditarik.
Teknik ini merepotkan dan tidak dapat dilakukan intervensi dan sekarang sudah tidak
dilakukan karena adanya endoskopi kapsul.
Double balloon endoscopy adalah teknik lain yang semakin populer. Walaupun sulit
dilakukan, pemeriksaan ini mampu memberikan pemeriksaan lengkap dari usus halus. Di
tangan yang ahli, alat ini dapat mengidentifikasi sumber perdarahan pada 77% kasus dengan
perdarahan samar. Dengan angka keberhasilan hingga 85% jika endoskopi dilakukan dalam 1
bulan setelah episode perdarahan yang terlihat. Keuntungan teknik ini, biopsi dan intervensi
terapeutik dapat dilakukan.
Video Capsule Endoscopy endoskopi kapsul menggunakan kapsul kecil dengan kamera
video yang ditelan dan merekam gambaran video sambil melewati traktus gastrointestinal.
Modalitas ini memungkinkan visualisasi seluruh traktus gastrointestinal tetapi tidak dapat
melakukan intervensi. Selain itu, teknik ini memakan waktu lama karena seseorang harus teru
melihat video untuk mengidentifikasi sumber perdarahan. Walaupun demikian, endoskopi
kapsul alat yang dapat digunakan pada pasien yang stabil secara hemodinamik tetapi tetap
mengalami perdarahan. Teknik ini dilaporkan memiliki angka keberhasilan hingga 90%
dalam mengidentifikasi kelainan usus halus. Biasanya dapat ditoleransi dengan baik oleh
pasien, walaupun dikontraindikasikan pada pasien obstruksi atau gangguan motilitas usus.
Endoskopi intraoperatif enteroskopi intraoperatif dilakukan pada pasien yang memiliki
perdarahan samar dengan ketergantungan dengan transfusi dimana telah dilakukan berbagai
pemeriksaan yang gagal mengidentifikasi sumber perdarahan. Biasanya menggunakan
colonoscope pediatrik melalui mulut atau melalui enterotomi ke dalam usus halus oleh ahli
bedah. Area-area yang mencurigakan kemudian ditandai sebagai kemungkinan untuk reseksi
atau diterapi secara endoskopik bila memungkinkan. Karena laparatomi telah dilakukan,
biasanya dipilih untuk melakukan reseksi bagian yang dicurigai.
Terapi
Perdarahan gastrointestinal samar memerlukan pendekatan yang teliti untuk diagnosis dan
pentalaksanaan. Penyebab spesifik dan tatalaksananya akan dijelaskan lebih lanjut. Hingga
25% kasus perdarahan samar gastrointestinal bawah diagnosis tetap tidak ditemukan dan 33-
50% pasien mengalami perdarahan ulang dalam 3-5 tahun. Penatalaksanaan umumnya
bergantung pada identifikasi lesi. Penggantian zat besi dikombinasi dengan transfusi
intermiten kadang diperlukan.
Penyebab spesifik perdarahan usus halus
Angiodysplasia
Angiodysplasia merupakan penyebab paling sering dari perdarahan usus halus, hingga 40%
kasus pada pasien usia lanjut dan 10% pasien yang lebih muda. Sebagian besar vaskular
ektasis usus halus terjadi di jejunum, kemudian ileum dan terakhir duodenum. Alat diagnostik
yang biasa digunakan umumnya gagal mengidentifikasi lesi-lesi ini. Angiografi jarang
memberikan hasil positif. Sehingga, sebagian besar lesi vaskular usus halus memerlukan
enteroskopi atau endoskopi kapsul untuk identifikasi. Pada kasus dengan perdarahan berat
memerlukan intervensi operatif darurat, endoskopi intraoperatif dapat digunakan. Reseksi
segmental usus halus dipandu endoskopi merupakan terapi pilihan. Kadang, lesi-lesi ini difus,
seperti pada kasus telangiektasis hemorrhagik herediter (Osler-Weber-Rendu syndrome),
gagal ginjal akut atau von Willebrand disease. Pada situasi ini, pengalaman terbatas dengan
pemberian estrogen dan progesteron kemungkinan dapat membantu.
Neoplasia
Tumor usus halus sangat jarang terjadi, tetapi dapat menjadi sumber perdarahan
gastrointestinal. Perdarahan biasanya terjadi akibat erosi mukosa diatas tumor. GISTs
memiliki kecenderungan terbesar untuk terjadi perdarahan. Tumor-tumor usus halus biasanya
didiagnosis dengan CT scan memakai kontras. Terapi berupa reseksi bedah.
Crohn’s disease
Pasien dengan Crohn’s disease mungkin ditandai dengan perdarahan usus halus yang
berhubungan dengan ileitis terminal. Perdarahan umumnya tidak signifikan atau bukan
merupakan satu-satunya gejala yang ada. Diagnosis dengan CT scan memakai kontras dan
terapi awalnya secara medikamentosa
Divertikulum Meckel
Divertikulum Meckel adalah divertukulum sejati yang mengandung seluruh lapisan dinding
usus halus. Kelainan ini merupakan sisa kongenital dari duktus omphalomesenterikus, yang
terjadi pada 2% populasi. Jaringan heterotopik biasanya didapatkan pada dasar divertikulum.
Perdarahan dari divertikulum Meckel biasanya berasal dari lesi ulseratif pada dinding ileum
disisi berlawanan dari diverticulum, yang terjadi akibat mukosa gaster ektopik. Jika imaging
dengan kontras negatif dan perdarahan relatif banyak, angiografi dapat digunakan untuk
diagnosis. Penatalaksanaan bedah biasanya memerlukan reseksi segmental untuk mengambil
juga mukosa ileum di sisi berlawanan.
Divertikula
Tidak seperti divertikulum Meckel, divertikula usus halus merupakan divertikula palsu yang
tidak melibatkan seluruh lapisan usus. Perdarahan dari divertikula usus halus sulit untuk
didiagnosis. Endoskopi kapsul atau pemeriksaan dengan kontras dapat mengkonfirmasi
diagnosis divertikula dan pada situasi tidak ada sumber perdarahan lain, maka dapat diasumsi
divertikula merupakan sumber perdarahan. Pada kasus perdarahan banyak, angiografi atau
endoskopi intraoperatif dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber perdarahan.