35
CLINICAL SCIENCE SESSION PERDARAHAN POST PARTUM Oleh : Wildan Firdaus 1301-1211-0064 Anindita Noviandhari 1301-1211-0042 Illyasha Hazreny Binti Zainudin 1301-1211-0064 Nesya Fannia Rahmy 1301-1211-0064 Lukman Hidayat D. P. 1301-1211-0064 Preseptor :

Perdarahan Postpartum.docx

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Perdarahan Postpartum

Citation preview

CLINICAL SCIENCE SESSION

PERDARAHAN POST PARTUM

Oleh :

Wildan Firdaus 1301-1211-0064

Anindita Noviandhari 1301-1211-0042

Illyasha Hazreny Binti Zainudin 1301-1211-0064

Nesya Fannia Rahmy 1301-1211-0064

Lukman Hidayat D. P. 1301-1211-0064

Preseptor :

BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNPAD-RSHS

BANDUNG

2006

I. Pendahuluan

Kehamilan dan persalinan menimbulkan risiko kesehatan yang besar termasuk

bagi perempuan yang tidak mempunyai masalah kesehatan sebelumnya. Kira-kira 40%

ibu hamil mengalami masalah kesehatan yang berkaitan dengan kehamilan dan 15%

menderita komplikasi jangka panjang maupun komplikasi yang mengancam jiwa. World

Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa dalam tahun 1995 hampir 515.000

ibu hamil meninggal karena komplikasi kehamilan dan persalinan. Sebagian besar

kematian tersebut terjadi di negara-negara berkembang karena ibu hamil kurang

mendapatkan akses terhadap perawatan penyelamatan hidup (life saving care). Di negara

berkembang, ibu hamil lebih cenderung mendapatkan perawatan antenatal dibandingkan

post natal. Nyatanya, lebih dari separuh jumlah seluruh kematian ibu terjadi dalam 24

jam setelah melahirkan yang disebabkan ibu terlalu banyak mengeluarkan darah.

Perdarahan hebat adalah penyebab paling utama dari kematian ibu di seluruh

dunia. Di berbagai negara, paling sedikit seperempat dari seluruh kematian ibu

disebabkan oleh perdarahan. Proporsinya berkisar antara kurang dari 10% sampai hampir

60%. Walaupun seorang ibu hamil dapat bertahan hidup setelah mengalami perdarahan

pasca persalinan, namun dia akan mengalami anemia berat dan masalah kesehatan yang

berkepanjangan. Diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap

tahunnya. Paling sedikit 128.000 wanita mengalami perdarahan yang menyebabkan

kematian. Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu empat jam setelah

melahirkan dan merupakan akibat dari masalah yang timbul selama persalinan kala tiga.

Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Babinszki et.al. pada tahun 1999 terhadap

5800 wanita di RS angkatan udara Amerika Serikat menunjukkan bahwa insidensi

terjadinya perdarahan pasca persalinan pada wanita dengan paritas yang rendah sekitar

0,3% namun meningkat 1,9% pada wanita yang telah melahirkan empat kali atau lebih.

II. Perdarahan Post Partum

Perdarahan post partum atau perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan

dengan jumlah lebih dari 500 ml yang terjadi setelah janin lahir.

Berdasarkan waktu terjadinya, perdarahan pasca persalinan dibagi menjadi dua

yaitu :

1. Perdarahan pasca persalinan dini atau primer yaitu perdarahan yang terjadi dalam 24

jam setelah persalinan.

2. Perdarahan pasca persalinan lambat atau sekunder yaitu perdarahan yang terjadi

setelah 24 jam persalinan. Ada beberapa literatur yang mengatakan bahwa tenggat

waktu dari perdarahan pascapersalinan ini sampai 5 bulan setelah persalinan.

Berdasarkan jumlah darah yang keluar berdasarkan perkiraan perdarahan yang

terjadi maka perdarahan pasca persalinan dibagi menjadi dua yaitu :

1. Perdarahan sedang yaitu bila jumlah darah yang dikeluarkan lebih dari 500 ml.

2. Perdarahan berat yaitu bila jumlah darah yang dikeluarkan lebih dari 1000 ml.

Suatu penelitian kuantitatif telah mengungkapkan bahwa jumlah darah yang

hilang pada saat persalinan pervaginam tanpa penyulit pada umumnya lebih dari 500 ml

(Pritchard, Baldwin et.al., 1962; Newton, 1966) dan mereka yang menjalani operasi

(pembedahan Caesar ) pada umumnya kehilangan 1000 ml atau lebih. Namun sebenarnya

hasil perkiraan jumlah rata-rata darah yang keluar tersebut hanya setengah dari jumlah

darah yang hilang sehingga tetap memerlukan perhatian medis yang serius. Hal ini

disebabkan lima persen pasien dengan perdarahan yang signifikan memenuhi kriteria

perdarahan pasca persalinan. Bagi ibu hamil dengan anemia berat, kehilangan darah 200-

250 ml saja dapat berakibat fatal. Hal ini sangat penting untuk dipertimbangkan karena di

negara berkembang terdapat banyak ibu hamil yang menderita anemia berat.

III. Faktor Predisposisi

Beberapa faktor dapat menjadi faktor predisposisi dan etiologi terjadinya

perdarahan pasca persalinan, antara lain dibagi menjadi tiga bagian besar:

1. Perdarahan dari tempat implantasi plasenta

a. Miometrium hipotonik- atoni uteri

Beberapa anestesi umum- hidrokarbon halogen

Perfusi miometrium buruk- hipotensi

- Perdarahan

- Analgesik konduksi

Overdistensi uterus- anak besar, kehamilan kembar, hidramnion

Partus lama

Partus presipitatus

Induksi persalinan dengan oksitosin

Paritas tinggi

Riwayat atoni uteri pada kehamilan sebelumnya

Korioamnionitis

b. Retensi plasenta

Kotiledon tertinggal, plasenta suksenturiata

Plasenta akreta, inkreta, perkreta

2. Trauma traktus genitalis

Episiotomi yang luas

Laserasi perineum, vagina, atau serviks

Ruptur uteri

3. Gangguan koagulopati

Penerbitan terbaru, penelitian dengan populasi besar menunjukkan faktor risiko

yang teridentifikasi adalah sisa plasenta (3,5 x lipat), kegagalan untuk maju dalam kala II

(3,4 x), plasenta akreta (3,3 x), laserasi (2,4 x), persalinan dengan alat (2,3 x), bayi yang

besar untuk usia kehamilan (1,9 x), kelainan hipertensif (1,7 x), induksi persalinan (1,4 x)

dan augmentasi persalinan dengan oksitosin (1,4 x) (Sheiner, 2005).

Untuk mengingat penyebab PPH, digunakan 4 T, yaitu tone (tonus), tissue

(jaringan), trauma dan thrombosis. (Society of Obstetricians and Gynecologists of

Canada, 2002).

a. Tonus

Atoni uteri dan kegagalan berkontraksi dan retraksi serat otot miometrium dapat

menyebabkan perdarahan cepat dan berat serta syok hipovolemi. Peregangan berlebih

dari uterus baik absolut atau relatif adalah faktor risiko utama untuk atoni. Keadaan ini

dapat disebabkan oleh kehamilan multifetus, polihidramnion atau kelainan fetus (mis.

hidrosefalus berat), kelainan struktur uterus, atau kegagalan melahirkan plasenta.

Kontraksi miometrium yang buruk biasanya terjadi karena kelelahan otot. Hal ini

dapat disebabkan persalinan yang diperpanjang atau persalinan cepat yang dipaksakan,

terutama jika distimulasi. Bisa juga karena diinhibisi kontraksinya karena obat semacam

gas anastesi halogenasi, nitrat, NSAID, MgSO4, beta-simpatomimetik dan nifedipine.

Penyebab lain termasuk tertanamnya plasenta di segmen bawah uterus, toksin bakteri

(mis. chorioamnionitis, endomyometritis, septikemia), hipoksia karena hipoperfusi atau

uterus Couvelaire pada abruptio plasenta, serta hipotermi karena resusitasi massif atau

ekteriorisasi uterus yang lama. Data terbaru menunjukkan grande multipara bukan faktor

risiko independent pada PPH.

b. Tissue (Jaringan)

Kontraksi dan retraksi uterus mengakibatkan pelepasan dan pengeluaran dari

plasenta. Pelepasan dan pengeluaran komplit dari placenta mengakibatkan retraksi

berlanjut dan oklusi optimal pembuluh darah.

Tertahannya suatu bagian dari plasenta lebih sering terjadi bila plasenta

membentuk suatu lobus aksesoris. Plasenta sebaiknya diinspeksi untuk bukti adanya

pembuluh darah fetus berjalan di pinggir plasenta dan berhenti pada robekan di

membrannya. Temuan tersebut menunjukkan adanya lobus yang tertahan.

Plasenta lebih sering tertahan pada usia kehamilan preterm yang ekstrim

(terutama <24 minggu), dan perdarahan signifikan biasa terjadi. Hal ini harus dipikirkan

pada setiap persalinan dengan umur kehamilan sangat muda, baik spontan maupun

diinduksi.

Kegagalan pemisahan komplit dari plasenta terjadi pada plasenta akreta dan

variannya. Pada kondisi ini, plasenta telah menginvasi melebihi landasan lekukan normal

dan menempel secara abnormal. Perdarahan signifikan dari area yang tertanam normal

(dan sekarang terlepas) dapat menandakan adanya akreta parsial. Pada akreta komplit,

yaitu keadaan seluruh permukaan plasenta secara abnormal tertanam, atau invasi yang

lebih berat (plasenta inkreta atau perkreta), bisa tidak menyebabkan perdarahan hebat

pada awalnya, namun diperlukan usaha lebih agresif dilakukan untuk melepas plasenta.

Semua pasien dengan plasenta previa perlu diberitahukan tentang risiko PPH

berat, termasuk perlunya transfuse dan histerektomi. Darah dapat mendistensikan uterus

dan menghambat kontraksi efektif ("bleeding begets bleeding").

c. Trauma

Kerusakan pada traktus genital bisa terjadi spontan atau karena manipulasi yang

digunakan untuk melahirkan bayi. Kelahiran Cesarean meyebabkan perdarahan dua kali

lebih banyak dibandingkan kelahiran per vaginam. Insisi pada segmen bawah yang

kontraktilnya lebih buruk dapat sembuh dengan baik tapi tergantung pada suturasi,

vasospasme dan clotting untuk hemostasis.

Ruptur uterine lebih sering terjadi pada pasien dengan parut SC sebelumnya.

Uterus yang telah melewati prosedur yang mengakibatkan gangguan total atau parsial

pada ketebalanl dinding berisiko untuk mengalami ruptur pada kehamilan di masa depan.

Termasuk ke dalamnya fibroidektomi, uteroplasti untuk abnormalitas congenital, reseksi

ektopik kornual atau servikal dan perforasi uterus selama dilatasi, kuretase, biopsy,

histeroskopi, laparoskopi atau pemasangan IUD.

Trauma bisa terjadi setelah persalinan sangat lama atau berat, terutama bila pasien

memiliki PSR atau PSA dan uterus telah distimulasi dengan oksitosin atau prostaglandin.

Trauma juga bisa terjadi setelah manipulasi ekstrauterine atau intrauterine dari fetus.

Risiko tertinggi terdapat pada versi internal dan ekstraksi kembar kedua, namun, ruptur

uteri juga bisa terjadi pada versi eksternal. Selain itu, trauma bisa terjadi karena usaha

pelepasan retensi plasenta manual atau dengan instrument. Uterus harus selalu dikontrol

dengan tangan pada abdomen pada prosedur tersebut.

Laserasi servikal lebih sering dihubungkan dengan persalinan forcep, dan serviks

sebaiknya diperiksa setelahnya. Kelahiran per vaginam yang dibantu (forcep atau vakum)

tidak boleh dilakukan bila serviks belum dilatasi penuh. Laserasi servikal bisa terjadi

spontan. Pada kasus-kasus ini, ibu seringkali tidak bisa menahan untuk mengeran

sebelum serviks dilatasi penuh. Jarang sekali, eksplorasi manual atau instrument dari

uterus bisa merusak serviks.

Laserasi bagian vaginal samping sering dihubungkan dengan persalinan vaginal

operatif, tapi bisa terjadi spontan terutama bila tangan fetus terpresentasi dengan kepala.

Laserasi bisa terjadi selama manipulasi distosia bahu.

Trauma bagian vaginal bawah terjadi baik spontan atau karena episiotomi.

Laserasi spontan biasanya melibatkan forniks posterior, namun, trauma pada daerah

periurethral dan klitoral bisa terjadi dan bermasalah.

d. Trombosis

Segera setelah masa postpartum, gangguan pada sistem koagulasi dan trombosit

tidak mengakibatkan perdarahan berlebihan, ini menunjukkan betapa efisiennya kontraksi

dan retraksi uterus dalam mencegah perdarahan (Baskett, 1999). Deposisi fibrin di atas

tempat plasenta dan bekuan darah di dalam pembuluh yang mensuplainya memainkan

peranan penting pada jam-jam dan hari-hari setelah melahirkan, dan kelainan di daerah

ini dapat menyebabkan PPH lambat atau mengeksaserbasi perdarahan dari sebab lain.

Jumlah fibrinogen meningkat selama kehamilan dan jumlahnya setelah masa

kehamilan harus diawasi dengan hati-hati. Pada akhirnya, koagulopati dilusional bisa

terjadi setelah PPH hebat dan resusitasi dengan kristalloid dan PRC.

IV. Etiologi

1. Trauma Jalan Lahir

Trauma jalan lahir adalah kerusakan jalan lahir yang dikarenakan persalinan.

Trauma jalan lahir dapat dibagi berdasarkan struktur yang terkena yaitu:

a. Vulva Dan Vagina

Robekan pada klitoris atau sekitarnya dapat menimbulkan perdarahan yang cukup

banyak. Robekan perineum sering juga mengenai muskulus levator ani sehingga setiap

robekan perineum harus dijahit dengan baik agar tidak menimbulkan kelemahan

dasar panggul atau prolaps.

Kadang-kadang muskulus levator ani rusak dan menjadi lemah tanpa terjadinya

ruptur perinei, misalnya jika kepala terlalu lama meregang dasar panggul. Terjadi pula

colpaporrhexis, yaitu robeknya vagina bagian atas sedemikian rupa hingga serviks

terpisah dari vagina.

Etiologi dan gejala-gejala colporrhexis sama dengan ruptur uterus. Untuk

mencegah colporrhexis yang violent (akibat trauma), jika kita memasukkan tangan ke

dalam vagina, hendaknya kita selalu menahan fundus uteri dengan tangan lainnya.

Terapi yang terbaik ialah laparotomi.

b. Serviks Uteri

Robekan –robekan kecil selalu terjadi pada persalinan. Oleh karena itu, robekan

yang harus mendapat perhatian kita ialah robekan yang dalam, yang kadang-kadang

sampai ke forniks. Robekan biasanya terdapat di pinggir samping serviks bahkan

kadang-kadang sampai ke segmen bawah rahim dan membuka parametrium. Robekan

yang sedemikian dapat membuka pembuluhpembuluh darah yang besar dan

menimbulkan perdarahan yang hebat.

Robekan semacam ini biasanya terjadi pada persalinan buatan; ekstraksi dengan

forseps, ekstraksi pada letak sungsang, versi dan ekstraksi, dekapitasi, perforasi, dan

kranioklasi terutama jika dilakukan pada pembukaan yang belum lengkap.

Robekan ini jika tidak dijahit, selain menimbulkan perdarahan juga dapat menjadi

penyebab servisitis, parametritis, dan mungkin juga terjadi pembesaran karsinoma serviks.

Kadang-kadang menimbulkan perdarahan nifas yang lambat.

Perdarahan paskapersalinan pada uterus yang berkontraksi baik harus memaksa

kita untuk memeriksa serviks uteri dengan pemeriksaan spekulum. Sebagai profilaksis,

sebaiknya semua persalinan buatan yang sulit menjadi indikasi untuk pemeriksaan

spekulum.

Tanda dan Gejala

Perdarahan segera

Darah segar mengalir segera setelah bayi lahir

Uterus berkontraksi baik

Plasenta lengkap

Pucat

Lemah

Menggigil

Penatalaksanaan

Periksalah dengan seksama dan perbaiki robekan pada serviks atau vagina dan

perineum.

Lakukan uji pembekuan darah sederhana jika perdarahan terus berlangsung.

Kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang

dapat pecah dengan mudah menunjukkan adanya koagulopati.

2. Atonia uteri

Atonia uteri adalah suatu kegagalan uterus untuk berkontraksi lima belas detik

setelah dilakukan rangsangan taktil terhadap fundus uteri. Atonia uteri dapat pula

diartikan sebagai kelelahan pada otot uterus sehingga tidak mampu lagi berkontraksi,

padahal kontraksi uterus diperlukan untuk konstriksi pembuluh darah besar yang terbuka

akibat pelepasan plasenta.

Secara fisiologis, dalam beberapa menit setelah kelahiran bayi, timbul kontraksi

uterus yang kuat dan pengurangan permukaan intrauterin yang mengarah pada pemisahan

plasenta dari tempat implantasinya pada desidua maternal. Kehilangan darah 200-400 ml

disebabkan terbukanya sinus-sinus plasenta. Pada keadaan normal, jumlah perdarahan

dibatasi oleh kontraksi dari serabut miometrium karena pembuluh-pembuluh darah yang

menyuplai sinus plasenta dikelilingi oleh serabut otot polos tersebut dan akan

terkompresi bila serabut otot berkontraksi sehingga suplai darah ke sinus menurun.

Pada keadaan tertentu, terdapat gangguan terhadap mekanisme tersebut yang

mengarah pada terjadinya atonia uteri. Beberapa faktor predisposisi yang dapat

menyebabkan atonia uteri adalah :

1. Kehamilan sebelumnya :

paritas tinggi

perdarahan pasca persalinan sebelumnya yang disebabkan oleh atonia uteri

uterine fibroid

luka parut pada uterus

anomali pada uterus

2. Kehamilan sekarang :

uterus terlalu teregang (overdistention)

kelainan persalinan

tindakan anestetik

kelainan plasenta

infeksi uterus

pembedahan Caesar

Seorang wanita dengan paritas yang tinggi mempunyai resiko yang lebih besar

terhadap terjadinya atonia uteri karena adanya kelemahan serabut miometrium sehingga

tidak bisa berkontraksi dengan baik atau karena peningkatan insidensi terjadinya faktor

predisposisi lain seperti persalinan yang tidak normal dan plasenta previa. Selain itu,

kelainan uterus ataupun luka parut pasca operasi uterus sebelumnya dapat menyebabkan

distorsi anatomi sehingga mengganggu kontraktilitas miometrium.

Tanda dan gejala

Uterus tidak berkontraksi dan lunak

Perdarahan segera setelah anak lahir

Perdarahan banyak

Fundus uteri tinggi

Syok hipovolemik

Penatalaksanaan

Teruskan pemijatan uterus.

Berikan uterotonika

Tabel 1. Jenis Uterotonika dan Cara Pemberian

JENIS DAN

CARA

OKSITOSIN ERGOMETRIN MISOPROSTOL

Dosis dan cara

pemberian

awal

I.V. : Infus 20 unit

dalam 1 liter

larutan garam

fisiologis dengan

60 tetesan permenit

I.M. : 10 unit

I.M. atau I.V.

(secara perlahan):

0,2 mg

Oral 600 mcg atau

rektal 400 mcg

Dosis lanjutan I.V. : Infus 20 unit

dalam 1 liter

larutan garam

fisiologis dengan

40 tetesan permenit

Ulangi 0,2 mg I.M.

setelah 15 menit.

Jika masih

diperlukan, beri

I.M./I.V. setiap 2-4

jam

400 mcg 2-4 jam

setelah dosis awal

Dosis

maksimal

perhari

Tidak lebih dari 3

liter larutan dengan

oksitosin

Total 1 mg atau 5

dosis

Total 1200 mcg atau

3 dosis

Indikasi

kontra atau

hati-hati

Tidak boleh

memberi I.V.

secara cepat atau

bolus

Preeklampsia,

vitium kordis,

hipertensi

Nyeri kontraksi

Asma

Antisipasi dini akan kebutuhan darah dan lakukan tranfusi sesuai kebutuhan.

Jika perdarahan terus berlangsung:

- Pastikan plasenta lahir lengkap;

- Jika terdapat tanda-tanda sisa plasenta (tidak adanya bagian permukaan

maternal atau robeknya membran dengan pembuluh darahnya), keluarkan sisa

plasenta tersebut;

- Lakukan uji pembekuan darah sederhana. Kegagalan terbentuknya

pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang dapat pecah

dengan mudah menunjukkan adanya koagulopati.

Jika perdarahan terus berlangsung dan semua tindakan diatas telah dilakukan,

lakukan:

- Kompresi bimanual internal, atau

- Kompresi aorta abdominalis.

Jika perdarahan terus berlangsung setelah dilakukan kompresi:

- Lakukan ligasi arteri uterina dan ovarika;

- Lakukan histerektomi jika terjadi perdarahan yang mengancam jiwa setelah

ligasi.

3. Retensio Plasenta

Istilah retensio plasenta dipergunakan jika plasenta belum lahir ½ jam sesudah

anak lahir. Penyebab retensio dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Fungsional

a. His kurang kuat (penyebab terpenting).

b. Plasenta sukar terlepas karena tempat insersi di sudut tuba, bentuk plasenta

membranacea atau anularis, dan ukuran plasenta yang sangat kecil. Plasenta yang

sukar lepas karena penyebab di atas disebut plasenta adhesiva.

2. Patologi-anatomi

Pada keadaan dimana terdapatnya lapisan desidua yang tipis atau tidak adanya

lapisan desidua, plasenta akan tertanam lebih dalam dan mengakibatkan pelepasan

plasenta secara spontan dari tempat implantasinya akan mengalami kesulitan.

Plasenta akreta : vili khorealis menanamkan diri lebih dalam sampai ke batas atas

lapisan miometrium.

Plasenta inkreta : vili khorealis masuk ke dalam lapisan miometrium.

Plasenta percreta : vili khorealis menembus lapisan miometrium dan mencapai

lapisan serosa

Tanda dan Gejala

Plasenta belum lahir setelah 30 menit

Perdarahan segera

Uterus kontraksi baik

Tali pusat putus akibat traksi berlebihan

Inversio uteri akibat tarikan

Perdarahan lanjutan

Penatalaksanaan

Jika plasenta terlihat dalam vagina, mintalah ibu untuk mengedan. Jika anda dapat

merasakan plasenta dalam vagina, keluarkan plasenta tersebut.

Pastikan kandung kemih sudah kosong. Jika diperlukan, lakukan kateterisasi

kandung kemih.

Jika plasenta belum keluar, berikan oksitosin 10 unit I.M. jika belum dilakukan pada

penanganan aktif kala tiga.

Jika plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit pemberian oksitosin dan uterus

terasa berkontraksi, lakukan penarikan tali pusat terkendali. Hindari penarikan tali

pusat dan penekanan fundus yang terlalu kuat karena dapat menyebabkan inversi

uterus.

Jika penarikan tali pusat terkendali belum berhasil, cobalah untuk mengeluarkan

plasenta secara manual. Plasenta yang melekat dengan kuat mungkin merupakan

plasenta akreta. Usaha untuk melepaskan plasenta yang melekat kuat dapat

mengakibatkan perdarahan berat atau perforasi uterus, yang biasanya membutuhkan

tindakan histerektomi.

Lakukan uji pembekuan darah sederhana jika perdarahan terus berlangsung.

Kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang

dapat pecah dengan mudah menunjukkan adanya koagulopati.

Jika terdapat tanda-tanda infeksi (demam, sekret vagina berbau), berikan antibiotika

untuk metritis.

4. Sisa Plasenta

Kontraksi dan retraksi uterus mengakibatkan pelepasan dan pengeluaran dari

plasenta. Pelepasan dan pengeluaran komplit dari placenta mengakibatkan retraksi

berlanjut dan oklusi optimal pembuluh darah.

Tertahannya suatu bagian dari plasenta lebih sering terjadi bila plasenta

membentuk suatu lobus aksesoris. Setelah persalinan dan terjadi perdarahan yang

minimal. Plasenta sebaiknya diinspeksi untuk bukti adanya pembuluh darah fetus

berjalan di pinggir plasenta dan berhenti pada robekan di membrannya. Temuan tersebut

menunjukkan adanya lobus yang tertahan.

Tanda dan Gejala

Plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap

Perdarahan segera maupun perdarahan berulang

Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang, subinvolusi

Febris, nadi cepat

Syok

Penatalaksanaan

Raba bagian dalam uterus untuk mencari sisa plasenta. Eksplorasi manual uterus

menggunakan teknik yang serupa dengan teknik yang digunakan plasenta yang tidak

keluar.

Keluarkan sisa plasenta dengan tangan, cunam ovum, atau kuret besar.

Lakukan uji pembekuan darah sederhana jika perdarahan terus berlangsung.

Kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang

dapat pecah dengan mudah menunjukkan adanya koagulopati.

5. Ruptur uteri

Ruptura uteri adalah robeknya dinding rahim, pada saat kehamilan atau

persalinan dengan atau tanpa robeknya peritoneum. Ruptur uteri merupakan penyebab

pendarahan pasca persalinan yang cukup jarang. Insidensinya berkisar 1 dalam 20.000

persalinan. Kejadian ini dapat menyebabkan kematian anak mendekati 100% dan kematian

ibu sekitar 30%.

Faktor-faktor yang mengakibatkan ruptura uteri dapat diklasifikasikan menjadi:

a. Sebelum terjadi kehamilan

1. Operasi miometrium

Operasi seksio sesar atau histerotomi

Ruptur uteri sebelumnya

Insisi miomektomi melalui endometrium

Reseksi kornu dalam dari tuba bagian interstitial

Metroplasi

2. Trauma uterus koinsidental

Aborsi dengan alat: kuret

Trauma tajam atau tumpul: kecelakaan, pisau, peluru

Silent rupture pada kehamilan sebelumnya

3. Anomali kongenital

b. Saat masa kehamilan

1. Sebelum persalinan

Kontraksi spontan, persisten, intensif

Induksi persalinan : oksitosin, prostaglandin

Instilasi intraamnion: salin atau prostaglandin

Perforasi oleh tekanan kateter inrtauterin

Trauma luar: tajam atau tumpul

Versi luar

Overdistensi uterus: hidraamnion, kehamilan kembar

2. Sewaktu persalinan

Versi internal

Persalinan dengan forseps

Presentasi bokong

Tekanan uterin yang kuat sewaktu persalinan

Manual plasenta yang sulit

3. Kelainan didapat

Plasenta inkreta atau pankreta

Gestasional trophoblastic neoplasia

Adenomiosis

Retroversi uterus

Ruptura uteri dibagi menjadi tiga berdasarkan tingkatannya :

1. Ruptura uteri tingkat satu/incomplete

Fundus uteri rupture sampai menyentuh ostium uteri externa. Diagnosis

ditegakkan dengan pemeriksaan pervaginal dan adanya kesulitan untuk mempalpasi

fundus uteri di dinding abdomen. Biasanya ditandai dengan:

Nyeri perut mendadak

Tidak jelas ada tanda perdarahan intraabdominal

Perdarahan pervaginam

Dapat terjadi syok

His bisa ada/tidak ada

BJJ bisa +/-

Bagian janin tidak teraba langsung dibawah dinding perut

Urin bila bercampur darah

Pada eksplorasi rahim setelah janin lahir terdapat robekan dinding rahim tanpa ada

robekan perimetrium.

2. Ruptura uteri tingkat dua/complete

Seluruh uterus mengalami rupture sampai ke vagina.

3. Ruptura uteri tingkat tiga

Seluruh uterus, cervix dan vagina sampai ke luar vulva.

Tanda dan Gejala

Perdarahan segera (Perdarahan intraabdominal dan/ atau vaginum)

Nyeri perut berat

Nyeri tekan perut

Syok

Penatalaksanaan

Langkah-langkah yang harus diambil dalam menangani ruptura uteri:

a. Atasi syok dengan segera, berikan infus cairan intravena, transfusi darah, dan oksigen.

Paska operasi pasien diletakkan secara Fowler supaya infeksi terbatas pada pelvis

dan diberi antibiotik dalam dosis yang tinggi.

b. Laparotomi.

Tindakan histerektomi atau histerorafi bergantung pada bentuk, jenis dan luas

robekan

c. Reposisi manual dilakukan tanpa menggunakan tenaga yang kuat. Dalam proses

reposisi uterus terdapat beberapa mekanisme yang digunakan, yaitu :

1. Reposisi dengan pendorongan.

Reposisi ini dilakukan dengan anastesi umum dan secara bertahap. Penekanan

pertama kali dilakukan pada daerah korpus yang terakhir kali mengalami ruptur,

sampai pada akhirnya menangani daerah fundus. Bagian paling sulit adalah ketika

melewati lingkaran retraksi diantara segmen atas dan bawah uterus. Ketika uterus

sudah kembali ke posisi normal, tangan tetap berada didalam rongga uterus

sampai ergometri atau oksitosin mulai bekerja dan menghasilkan kontraksi yang

adekuat.

2. Reposisi dengan tekanan hidrostatik.

Jika dorongan dengan tangan gagal, maka perlu dilakukan reposisi dengan

menggunakan metode O’Sullivan’s hydrostatik. Ujung dari pipa air dimasukkan

kedalam fornix posterior dan asisten menutup daerah vulva disekitar lengan

operator. Ciran saline hangat dilairkan kedalamnya ( bilas sampai 10 liter) sampai

tekanan cairan tersebut akan mengembalikan uterus ke posisi semula.

3. Reposisi dengan melalui rute abdominal

Jika metode lain gagal maka abdomen harus dibuka. Lingkaran konstriksi harus

di insisi kemudian bagian belakang dari lingkaran itu dibagi kemudian fundus

ditarik ke atas dan bekas insisi dijahit kembali.

6. Inversio Uteri

Uterus dikatakan mengalami inversi jika bagian dalam menjadi diluar saat

melahirkan plasenta. Inversio uteri jarang terjadi dengan angka insidensi 1 : 20.000 dari

persalinan. Dapat terjadi spontan (misalkan pada yang persalinan cepat, akibat tali pusat

yang pendek, atau adanya mioma pada fundus) dan iatrogenik (misalkan pada penekanan

daerah fundus yang berlebihan atau akibat penarikan tali pusat yang terlalu kuat pada saat

melahirkan plasenta).

Derajat Inversio uteri dibagi 3 yaitu:

1. Fundus menjadi turun

2. Turunnya fundus hingga melewati servik

3. Semua bagian uterus hingga servik mengalami inversi hingga bisa memasuki

vagina, bahkan dapat terlihat pada vulva.

Tanda dan Gejala

Rasa nyeri pada perut bagian bawah

Sensasi penuh daerah vagina

Perdarahan melalui vagina

Syok

Penurunan dan lekukan pada daerah fundus bahkan dapat menjadi tidak teraba

Inspekulo pada derajat II dan III, dapat terlihat massa lunak berwarna merah

Penatalaksanaan

Reposisi sebaiknya dilakukan segera. Dengan berjalannya waktu, lingkaran

konstriksi sekitar uterus yang terinversi akan mengecil dan uterus akan terisi darah.

Jika ibu sangat kesakitan, berikan petidin 1 mg/kgBB (tetapi jangan lebih dari 100

mg) I.M. atau I.V. secara perlahan atau berikan morfin 0,1 mg/kgBB I.M. Jangan

berikan oksitosin sampai inversi telah direposisi.

Jika perdarahan berlanjut, lakukan uji pembekuan darah sederhana. Kegagalan

terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang dapat pecah

dengan mudah menunjukkan adanya koagulopati.

Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal setelah mereposisi uterus:

ampisillin 2gr I.V. + metronidazol 500mg I.V.

atau sefazolin 1gr I.V. + metronidazol 500mg I.V.

Jika terdapat tanda-tanda infeksi (demam, sekret vagina berbau), berikan antibiotika

untuk metritis.

Jika dicurigai terjadi nekrosis, lakukan histerektomi vaginal. Hal ini mungkin

membutuhkan rujukan ke pusat pelayanan kesehatan tersier.

7. Gangguan Pembekuan Darah

Kelainan bisa sudah ada sebelumnya atau didapat. Trombositopenia bisa

dihubungkan dengan penyakit sebelumnya, seperti idiopathic thrombocytopenic purpura

atau didapat sekunder pada sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes, low

platelet count), abruption plasenta, disseminated intravascular coagulation (DIC) atau

sepsis.

Kelainan sistem pembekuan yang sudah ada sebelumnya seperti familial

hipofibrinogenemia, bisa terjadi, namun kelainan yang didapat lebih sering bermasalah.

DIC akibat abruption plasenta, HELLP syndrome, IUFD, emboli cairan amnion dan

sepsis bisa terjadi.

Penatalaksanaan

Rawat bersama dengan bagian penyakit dalam.

Tranfusi darah segar, kontrol D.I.C dengan heparin.

Tabel 2. Tanda dan Gejala Perdarahan Post Partum Berdasarkan Etiologi

Gejala dan tanda

yang selalu ada

Gejala dan tanda

yang kadang adaDiagnosis kemungkinan

Uterus tidak berkontraksi

dan lembek

Perdarahan segera setelah

anak lahir

Syok Atonia uteri

Perdarahan segera

Darah segar mengalir

segera setelah bayi lahir

Uterus kontraksi baik

Plasenta lengkap

Pucat

Lemah

Menggigil

Robekan jalan lahir

Plasenta belum lahir

setelah 30 menit

Perdarahan segera

Uterus kontraksi baik

Tali pusat putus

akibat traksi

berlebihan

Inversio uteri

akibat tarikan

Perdarahan lanjutan

Retensio plasenta

Plasenta atau sebagian

selaput (mengandung

pembuluh darah) tidak

lengkap

Perdarahan segera

Uterus berkontraksi

tetapi tinggi fundus

tidak berkurang

Tertinggalnya sebagian

plasenta

Uterus tidak teraba

Lumen vagina terisi

massa

Tampak tali pusat (jika

plasenta belum lahir)

Perdarahan segera

Nyeri sedikit atau berat

Syok neurogenik

Pucat dan limbung

Inversio uteri

Subinvolusi uterus

Nyeri tekan perut bawah

Perdarahan >24jam

Anemia

Demam

Endometritis atau sisa

plasenta (terinfeksi atau

tidak)

setelah persalinan.

Perdarahan sekunder,

bervariasi (ringan atau

berat, terus menerus atau

tidak teratur) dan berbau

(jika disertai infeksi)

Perdarahan segera

(Perdarahan

intraabdominal dan/ atau

vaginum)

Nyeri perut berat

Syok

Nyeri tekan perut

Denyut nadi ibu

cepat

Ruptur uteri

V. Komplikasi

a. Sindrom Sheehan

Perdarahan banyak kadang-kadang diikuti dengan sindrom Sheehan, pada kasus

klasik ditandai adanya kegagalan laktasi, amenore, atrofi payudara, rontok rambut pubis

dan aksila, superinvolusi uterus, hipotiroid, dan insufisiensi korteks adrenal.

Patogenesisnya tidak begitu diketahui karena kelainan endokrin seperti ini tidak terjadi

pada kebanyakan wanita dengan perdarahan. Namun pada beberapa kasus ditemukan

beberapa tingkat nekrosis hipofisis anterior dengan gangguan sekresi satu atau lebih

hormon tropik. Insidensi sindrom Sheehan diperkirakan 1 dalam 10000 persalinan

b. Syok irreversibel

c. Sepsis akibat terjadi infeksi.

d. Gagal ginjal akut

VI. Prognosis

Wanita dengan perdarahan pasca persalinan seharusnya tidak meninggal akibat

perdarahannya, sekalipun untuk mengatasinya perlu dilakukan histerektomi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, T Gary, Williams Obstetrics 22nd Edition. 2005. USA.McGraw-Hill

Companies,Inc

2. El-Mowafi, Diaa M. Obstetrics Simplified. Department of Obstetrics & Gynecology,

Benha Faculty of Medicine, Egypt. 2002.

Webs_On_David/gfmer/Books/El_Mowafi/bibliography.htm

3. Krisnadi, Sofie R.et all. editor. Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan

Ginekologi Rumah Sakit Dr.Hasan Sadikin. Bagian Pertama. 2005. Bandung. Bagian

Obstetri dan Ginekologi FK Unpad, Perjan RSHS.

4. Mose, Johanes C, Patologi Obstetri, Bandung, Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran, Cetakan I, 2005. EGC.

5.

http://www.who.int/reproductive-health/impac/Symptoms/Vaginal_bleeding_after_S2

5_S34.html