16
1 PERENCANAAN PEMBANGUNAN MEDIA RUANG LUAR TANPA SAMPAH VISUAL GUNA MENUNJANG KESEJAHTERAAN WARGA KOTA MALANG ( Studi Kasus Kota Malang ) Ave Harysakti (Pascasarjana Arsitektur Lingkungan Binaan, Universitas Brawijaya) 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Pembangunan adalah segala upaya yang dilakukan secara terencana dalam melakukan perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas manusia 1 , dimana kualitas hidup itu adalah ketersediaan kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, keadilan, kebahagiaan, rasa aman, kenyamanan, dan lain-lain. Disini berarti pembangunan disadari sebagai sebuah upaya pemenuhan kebutuhan manusia, disediakan oleh pemerintah untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Di dalam melaksanakan proses pembangunan pemerintah harus mempertimbangkan konsekuensi yang akan di dapat, sehingga proses pembangunan tersebut tidak menimbulkan kerusakan, baik kerusakan sosial maupun kerusakan alam. Namun pada kenyataannya banyak ditemui kekurang-berhasilan pemerintah dalam hal melaksanakan pembangunan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat ini, sebagai contoh adalah menyediakan lingkungan yang nyaman sebagai wadah masyarakat menjalani kehidupan sosialnya. Pemerintah terlalu fokus pada pembangunan-pembangunan yang berskala besar padahal banyak hal kecil lainnya yang walaupun terlihat sepele namun kenyataannya berdampak besar pada kenyamanan masyarakat pada suatu daerah dalam hal ini misalnya kenyamanan visual. Pemerintah daerah berperan dalam penanggulangan masalah sosial, maka sistem perencanaan dan anggaran otonomi daerah harus lebih terarah dalam memenuhi tuntutan- tuntutan kesejahteraan rakyat. Hal ini berarti peran pemerintah daerah sangat penting dalam mengakomodasikan serta menyediakan lingkungan binaan perkotaan yang nyaman bagi masyarakat. Visual berhubungan erat dengan mata atau penglihatan, menurut Hernowo (2007), visual merupakan tindakan melihat (dengan mata) 2 , jadi dapat ditarik kesimpulan kenyamanan visual adalah kenyamanan penglihatan (visual comfort). Istilah sampah visual untuk pertama kali dipopulerkan oleh Jean Baudrillard, salah seorang pemikir Perancis yang banyak menaruh perhatian terhadap perilaku konsumsi masyarakat sekarang. Menurut Baudrillard (2005 p24), sampah visual merupakan ―kebiasaan‖ para kapitalis yang dengan simultan tanpa jeda menawarkan beragam produknya melalui berbagai spanduk dan banner di pinggiran jalan, juga 1 http://carapedia.com/pengertian_definisi_pembangunan_info204 , di akses tgl. 05 Mei 2013 2 http://carapedia.com/pengertian_definisi_visual_info2164.html, di akses Jumat tgl. 05 Mei 2013

Perencanaan Pembangunan Media Ruang Luar Tanpa Sampah Visual - Ave Harysakti

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Sampah Visual dari media ruang luar (Baliho, Bando Jalan, Papan Reklame) yang pemasangan tidak teratur dan tidak mematuhi norma hak asasi warga negara perlu dibersihkan. Pada artikel ini dibahas aturan dan strategi agar pembangunan media ruang luar dapat mempercantik wajah kota dan mensejahterakan masyarakatnya dari perspektif visual.

Citation preview

Page 1: Perencanaan Pembangunan Media Ruang Luar Tanpa Sampah Visual - Ave Harysakti

1

PERENCANAAN PEMBANGUNAN MEDIA RUANG LUAR

TANPA SAMPAH VISUAL GUNA MENUNJANG

KESEJAHTERAAN WARGA KOTA MALANG

( Studi Kasus Kota Malang )

Ave Harysakti

(Pascasarjana Arsitektur Lingkungan Binaan, Universitas Brawijaya)

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Pembangunan adalah segala upaya yang dilakukan secara terencana dalam melakukan

perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat,

meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas manusia 1, dimana kualitas hidup itu

adalah ketersediaan kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan,

keadilan, kebahagiaan, rasa aman, kenyamanan, dan lain-lain. Disini berarti pembangunan

disadari sebagai sebuah upaya pemenuhan kebutuhan manusia, disediakan oleh pemerintah

untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Di dalam melaksanakan proses pembangunan

pemerintah harus mempertimbangkan konsekuensi yang akan di dapat, sehingga proses

pembangunan tersebut tidak menimbulkan kerusakan, baik kerusakan sosial maupun kerusakan

alam.

Namun pada kenyataannya banyak ditemui kekurang-berhasilan pemerintah dalam hal

melaksanakan pembangunan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat ini, sebagai

contoh adalah menyediakan lingkungan yang nyaman sebagai wadah masyarakat menjalani

kehidupan sosialnya. Pemerintah terlalu fokus pada pembangunan-pembangunan yang berskala

besar padahal banyak hal kecil lainnya yang walaupun terlihat sepele namun kenyataannya

berdampak besar pada kenyamanan masyarakat pada suatu daerah dalam hal ini misalnya

kenyamanan visual. Pemerintah daerah berperan dalam penanggulangan masalah sosial, maka

sistem perencanaan dan anggaran otonomi daerah harus lebih terarah dalam memenuhi tuntutan-

tuntutan kesejahteraan rakyat. Hal ini berarti peran pemerintah daerah sangat penting dalam

mengakomodasikan serta menyediakan lingkungan binaan perkotaan yang nyaman bagi

masyarakat.

Visual berhubungan erat dengan mata atau penglihatan, menurut Hernowo (2007), visual

merupakan tindakan melihat (dengan mata) 2, jadi dapat ditarik kesimpulan kenyamanan visual

adalah kenyamanan penglihatan (visual comfort). Istilah sampah visual untuk pertama kali

dipopulerkan oleh Jean Baudrillard, salah seorang pemikir Perancis yang banyak menaruh

perhatian terhadap perilaku konsumsi masyarakat sekarang. Menurut Baudrillard (2005 p24),

sampah visual merupakan ―kebiasaan‖ para kapitalis yang dengan simultan tanpa jeda

menawarkan beragam produknya melalui berbagai spanduk dan banner di pinggiran jalan, juga

1 http://carapedia.com/pengertian_definisi_pembangunan_info204, di akses tgl. 05 Mei 2013

2 http://carapedia.com/pengertian_definisi_visual_info2164.html, di akses Jumat tgl. 05 Mei 2013

Page 2: Perencanaan Pembangunan Media Ruang Luar Tanpa Sampah Visual - Ave Harysakti

2

penayangan iklan-iklan di setiap stasiun televisi, yang kesemuanya justru menimbulkan

―kelelahan‖ berikut ―ketertindasan‖ psikologis bagi mereka yang melihatnya (menontonnya).

Pada kesempatan lain, Baudrillard mengistilahkan pula sampah visual sebagai kitsch. Secara

literal, kitschen dalam bahasa Jerman berarti, ―memungut sampah dari jalan‖. Hal ini senada

dengan lanjutan penjelasan Baudrillard, ―…budaya modern ditandai dengan ‗pengumpulan‘ tanpa

orang tahu fungsinya‖. ―Pengumpulan‖ sebagaimana dimaksudkannya di sini adalah,

pengumpulan individu akan pengalaman melihat dan mendengar yang sesungguhnya tak

dibutuhkannya (Baudrillard, 2005). Selanjutnya Sambutinarbuko (2011) berpendapat bahwa

tindakan para kapitalis ini justru akhirnya menimbulkan kelelahan dan keresahan warga kota

akibat mengalami ketertindasan secara psikologis dikarenakan kemanapun warga melangkahkah

kakinya, disitu mereka dipaksa melihat iklan yang belum tentu mereka butuhkan. Kemerdekaan

visual masyarakat telah direnggut, mereka terjajah oleh pihak-pihak yang mementingkan

keuntungan bagi dirinya sendiri tanpa sedikitpun timbal-balik yang menguntungkan masyarakat.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud sampah visual adalah bila

seseorang "dipaksa" menonton/melihat sesuatu sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bagi

orang tersebut mungkin karena berada "di luar jangkauan". Pernahkah kita merasa ―risih‖ dengan

banner iklan suatu produk jam tangan di pinggir jalan? Pernahkah kita terganggu dengan iklan

mobil mewah di televisi? Mungkin kita ingin tapi diluar kemampuan, apabila iya, maka kesemua

hal tersebut hanyalah ―sampah visual‖ bagi kita. Sesungguhnya kita tak membutuhkan iklan

tersebut karena sudah pasti tak memiliki kemampuan finansial untuk membelinya, namun tanpa

dinyana-nyana, kita melihatnya mungkin di televisi atau di jalan saat melintas, dan itu dapat

mengakibatkan kelelahan psikologis—penindasan, tekanan. Inilah yang disebut Baudrillard

sebagai ―efek keterkejutan‖ dalam iklan. Sehingga bilamana efek ini secara simultan dicerap oleh

masyarakat dapat menimbulkan depresi karena ketidak mampuan di atas.

Dewasa ini, di mana ekspansi kapitalisme kian masif di tengah masyarakat kita, nyaris tak

mungkin menghindari sampah visual. Berbagai gambar produk konsumtif telah memenuhi ruang

publik kita; jalanan, alun-alun, kantor-kantor pelayanan umum, bahkan perguruan tinggi. Kini,

tinggal dimensi psikologis dan mentalitas kita yang diuji atasnya.

Sampah visual ini dapat berupa:

a. Media ruang luar (outdoor signs) seperti reklame, banner, baliho, selebaran, spanduk,

poster, rontek, iklan bando, tulisan, coretan, gambar grafiti dan sejenisnya yang

bertebaran di tembok jalan, tiang listrik, halte, atau di tempat publik lainnya; atau

b. Media dalam ruang (in door) seperti iklan/acara di televisi, radio.

Memang semakin maraknya Iklan-iklan produk menunjukan perkembangan dunia ekonomi

suatu wilayah, juga berarti menjadi pemasukan bagi pemerintah daerah. Namun yang menjadi

masalah adalah pengaturan tempat pemasangan/peletakan iklan-iklan tersebut apakah

Page 3: Perencanaan Pembangunan Media Ruang Luar Tanpa Sampah Visual - Ave Harysakti

3

mengganggu kualitas wajah kota dan ruang publik atau tidak? Apakah untuk beriklan dan meraih

keuntungan harus dengan mengorbankan lingkungan dan kenyamanan visual masyarakat?

Tulisan ini lebih menyoroti tentang media ruang luar (outdoor signs) karena berhubungan

dengan kualitas wajah sebuah kota/wilayah, sejauh mana pemerintah daerah dapat menyajikan

komposisi manis, antara kedinamisan dunia ekonomi dengan estetika visual dan tatakelola ruang

publik serta ruang terbuka hijau yang didedikasikan bagi kenyamanan warganya tanpa dijejali

perintah untuk membeli produk barang dan jasa.

Pendekatan yang dilakukan untuk menempatkan media reklame ruang luar (outdoor signs)

selama ini lebih kepada pendekatan ekonomi, yaitu bagaimana caranya agar mendapatkan

pemasukan bagi PAD sebanyak mungkin. Dengan demikian, kecenderungannya adalah

pemasangan dengan penempatan yang asal-asalan walaupun secara ekonomi mungkin menarik

dan mudah dilihat sasaran pembaca (Lihat Gambar 1 pada lampiran). Namun dengan

mengabaikan estetika ruang kota, akhirnya justru akan menimbulkan kesemrawutan pada

penampilan visual ruang kota, karena penempatan/pemasangan iklan luar ruang banyak

memanfaatkan lahan hijau yang diposisikan sebagai taman kota atau sempadan jalan sehingga

membuat efek jalan raya menjadi lebih sempit, mengurangi kenyamanan dan membahayakan

pengguna jalan. Padahal taman kota dimaksudkan sebagai ruang terbuka hijau bagi warga

masyarakat untuk sarana relaksasi dari kesibukan dan rutinitas tetapi malah justru dijajah oleh

pelaku bisnis barang dan jasa untuk mempromosikan produknya.

Hal ini karena banyak sekali ditemui di Indonesia disadari atau tidak telah menjadi suatu

penyakit yang mengganggu masyarakat. Efek visualnya, pola pemasangan yang menyampah

seperti itu menjadikan wajah ruang publik Indonesia, termasuk di dalamnya kota-kota besar

seperti di Jakarta, Yogyakarta, Medan, Bandung dan banyak kota lain di Indonesia terlihat

berjerawat penuh dengan centang perentang sampah visual berbentuk media. Bahkan dibeberapa

daerah di Indonesia fenomena media ruang luar agar tidak menjadi sampah visual ini, telah

menimbulkan reaksi dari masyarakat seperti di kota Yogyakarta, memunculkan gerakan

masyarakat yang dinamakan 'Reresik Sampah Visual' (bersih-bersih sampah visual), ratusan

reklame liar dan yang sudah kadaluarsa bahkan ada beberapa ditemukan dipaku di pohon

peneduh, ditempel di tiang listrik dan juga ditancapkan di taman berupa rontek, umbul-umbul

maupun stiker dan tembok-tembok sepanjang Jalan Solo/Jalan Urip Sumoharjo, Jalan Jendral

Sudirman dan Jalan P.Diponegoro dicopot, bahkan dipimpin langsung oleh Walikota Yogyakarta

Haryadi Suyuti (Lihat Gambar 2 pada lampiran), ini menunjukan sebenarnya masyarakat umum

pun banyak merasa terganggu dengan iklan ruang luar yang semrawut memenuhi pinggir jalan

dan ruang publik lainnya.

Lebih jauh lagi, dengan maraknya diadakan pilkadasung, kemerdekaan hak visual warga kota

semakin dijajah oleh hadirnya iklan-iklan politik yang menampilkan wajah-wajah politisi yang

menjajakan diri dan membuat pencitraan semu akan kompetensi dirinya dan partainya agar warga

kota mau memilih politisi tersebut berkat janji-janji manis yang ditampilkannya pada iklan politik

Page 4: Perencanaan Pembangunan Media Ruang Luar Tanpa Sampah Visual - Ave Harysakti

4

tersebut. Tidak masalah dengan para politisi ini menggunakan hak untuk dipilihnya sebagai warga

negara, namun yang menjadi masalah adalah tindakan politisi ini dengan memasang iklan-iklan

politiknya secara serampangan adalah jelas-jelas melanggar hak asasi warga kota lainnya demi

keuntungan dirinya sendiri.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa media ruang luar jenis promosi dagang dan

politik yang bertebaran seantero kota di Indonesia saat ini adalah merupakan Sampah Visual

(Visual Garbage) yang akhirnya menjadi Polusi Visual (Visual Pollution) yang berdampak kepada

kesehatan mental dan psikologi rakyat Indonesia, serta menurunkan kualitas visual ruang publik

karena merusak estetika kota. Polusi Visual ini juga merupakan bahaya laten karena tanpa

disadari dapat menjadi pendorong kehidupan materialistik glamour tanpa didukung kemampuan

untuk mencapainya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang makmur, bersahaja dan suka gotong-

royong, bukan bangsa yang biasa hidup mewah (glamour) dan individualistis. Kehadiran media

ruang luar berupa iklan-iklan tersebut di atas telah jelas dapat meracuni sifat hakiki bangsa

Indonesia. Oleh sebab itu, media ruang luar ini harus memperoleh perhatian serius oleh kita agar

tidak menjadi sampah visual, dan sesegera mungkin dapat diatur keberadaannya sehingga tidak

terlanjur memberikan efek buruk bagi bangsa Indonesia baik secara psikologis dan ekonomis.

Disinilah Pemerintah Daerah berperan penting sebagai “policy power” yang berwenang untuk

mengatur penataan media ruang luar demi menjaga kesehatan (health), keselamatan (safety),

serta kenyamanan dan kesejahteraan umum bagi warga kotanya dalam arti luas (general welfare

of the public at large).

Sejujurnya masyarakat tetap membutuhkan media ruang luar/iklan sejenisnya sebagai

sumber informasi atas keberadaan produk barang atau jasa guna memenuhi kebutuhan hidup dan

kehidupannya. Sebaliknya, masyarakat juga membutuhkan ruang publik yang hijau, teduh, aman

dan bebas dari teror visual. Khalayak luas pun mendambakan ruang publik yang dapat digunakan

tanpa terusik hadirnya sampah visual iklan luar ruang.

Agar diperoleh konteks yang faktual maka ditentukan studi kasus tulisan ini adalah di Kota

Malang, karena pada saat ini banyak ditemui media ruang luar (outdoor) yang jelas-jelas tidak

tertata dengan baik dan rapi, bahkan ada yang cenderung membahayakan pengguna jalan akibat

penataan yang salah (Lihat Gambar 3 pada lampiran). Lebih jauh lagi dapat ditemukan pula

kecenderungan vandalisme, dimana media iklan tersebut dipasang dengan cara yang kasar seperti

memaku di pohon, tiang listrik, tiang telepon, tembok pagar, dan pada jembatan.

Dari uraian di atas, maka dapat di simpulkan sebagai berikut :

a. Fenomena media ruang luar (outdoor signs) yang mendominasi fasade (tampak depan) ruang

terbuka publik pada seluruh ruas jalan dan ruang publik di kota Malang, dimana dimensi dan

penempatan media ruang luar dalam kota tersebut menurunkan kualitas visual ruang kota,

bahkan kesan semrawut ini akhirnya menjadikan media ruang luar sebagai Sampah Visual

bagi masyarakat.

Page 5: Perencanaan Pembangunan Media Ruang Luar Tanpa Sampah Visual - Ave Harysakti

5

b. Kehadiran media ruang luar (outdoor signs) di kota Malang cenderung lebih memanfaatkan

potensi ekonomi kota secara maksimal, dan agar mendapatkan pemasukan bagi PAD

sebanyak mungkin. Penekanan sisi ekonomi tersebut mengesampingkan fungsi media luar

ruang sebagai salah satu elemen penataan kota sebagai suatu lingkungan binaan yang harus

memperhatikan keberadaan ruang publik dan nilai-nilai kemasyarakatannya.

c. Ketidak-harmonisan antara media ruang luar dengan lingkungan sekitarnya dapat

menimbulkan kekacauan (chaos) dalam sistem visual kota. Demikian pula perancangan

bentuk dan penataan media luar ruang yang kurang tepat akan menghasilkan ‗kegagalan‘

identitas suatu kota (mewujudkan visi dan misi Kota Malang).

d. Pentingnya peran “policy power” Pemerintah Kota Malang yang berwenang untuk mengatur

penataan media ruang luar demi menjaga kesehatan (health), keselamatan (safety), serta

kenyamanan dan kesejahteraan umum bagi warga kotanya dalam arti luas (general welfare of

the public at large).

1.2. Hak Warga Negara Indonesia dalam Konteks Kenyamanan Visual

Hak visual warga kota yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah adalah hak memilih

untuk melihat atau tidak melihat suatu obyek yang dihadirkan dalam ruang publik. Hal ini berarti

pemerintah harus menghormati hak visual warga kota ini dengan tidak semena-mena dalam

mengolah karya bangunnya beserta atribut yang menyertainya dalam hal ini perletakan,

ukuran/dimensi, pemilihan warna, ornamentasi maupun muatan/pesan yang tersirat ataupun

tersurat yang berpengaruh langsung pada visual mayarakat.

Dalam UUD 1945 telah terdapat pasal-pasal yang mengatur hak asasi warga negara

Indonesia sebagai manusia yang sederajat dan memiliki hak visual dalam kehidupannya, seperti:

- Pasal 27 ayat 2, ―Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan‖. Penghidupan yang layak disini berarti salah satunya memiliki hak untuk

memperoleh kenyamanan visual pada lingkungannya.

- Pasal 28C ayat 2, ―Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara

kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.‖ Pasal ini dapat menjadi dasar

dalam warga negara menuntut hak visualnya secara kolektif melalui gerakan damai

pembersihan sampah visual yang mengganggu kenyamanan visual dilingkungannya.

- Pasal 28H ayat 1, ‖Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan

kesehatan‖. Pada pasal ini warga kota berhak untuk terbebas dari “teror visual” akibat dari

penggunaan media-media visual dan memperoleh pemandangan kota yang nyaman dalam

lingkungannya.

- Pasal 28I ayat 3, ―Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras

dengan perkembangan zaman dan peradaban‖. Pada pasal ini warga kota dalam konteks hak

Page 6: Perencanaan Pembangunan Media Ruang Luar Tanpa Sampah Visual - Ave Harysakti

6

visualnya berhak untuk memperoleh pemandangan kota yang memiliki identitas budaya dan

bernuansa tradisional di dalam kehidupan jaman yang modern. Jadi tidak ada pemaksaan harus

mengikuti pola kehidupan modern termasuk dalam hak visualnya.

- Pemasangan alat peraga kampanye juga telah diatur pada pasal 101 ayat 2 UU Nomor 10

Tahun 2008, dimana pasal tersebut mengharuskan setiap kontestan pemilu dalam memasang

alat peraganya harus mempertimbangkan etika, estetika dan keindahan kota.

2. Pemerintah Kota Malang, Teori Ruang Publik, dan Media Ruang Luar

2.1. Visi dan Misi Kota Malang

Pemerintah Kota Malang dalam pelaksanaan pembangunan berpedoman pada RPJM

Daerah dimana didalamnya termuat Visi Kota Malang, yaitu :

"TERWUJUDNYA KOTA MALANG SEBAGAI KOTA PENDIDIKAN YANG BERKUALITAS,

KOTA SEHAT DAN RAMAH LINGKUNGAN, KOTA PARIWISATA YANG BERBUDAYA,

MENUJU MASYARAKAT YANG MAJU DAN MANDIRI" 3

Sesuai konteks tulisan ini, sebagai salah satu dari visi Kota Malang di atas yaitu Kota Sehat

dan Ramah Lingkungan, mengandung makna bahwa pembangunan di Kota Malang diarahkan

untuk mewujudkan Kota yang sehat dan berwawasan lingkungan. Pengertian kota sehat dan

ramah lingkungan adalah sebagai berikut: Kota sehat adalah kota yang memiliki kualitas

lingkungan fisik dan sosial kemasyarakatan yang baik sehingga menjadi kota yang memberikan

rasa aman, nyaman dan sehat bagi warga kotanya (City fit to live in); Kota yang ramah lingkungan

adalah kota yang dalam melaksanakan pembangunan selalu memperhatikan kelestarian daya

dukung lingkungan.

Dalam rangka mewujudkan Visi Kota Malang, maka dirumuskan upaya-upaya yang akan

dilaksanakan ke dalam Misi Kota Malang Tahun 2009-2013, sebagai berikut:

1. Mewujudkan dan Mengembangkan Pendidikan yang Berkualitas;

2. Mewujudkan Peningkatan Kesehatan Masyarakat;

3. Mewujudkan Penyelenggaraan Pembangunan yang Ramah Lingkungan;

4. Mewujudkan Pemerataan Perekonomian dan Pusat Pertumbuhan Wilayah Sekitarnya;

5. Mewujudkan dan Mengembangkan Pariwisata yang Berbudaya;

6. Mewujudkan Pelayanan Publik yang Prima.

2.2. Ruang Publik

Istilah ruang publik (public space) pernah dilontarkan Lynch dengan menyebutkan bahwa

ruang publik adalah nodes dan landmark yang menjadi alat navigasi di dalam kota (Lynch dalam

Budihardjo et al, 1998). Secara teori, ruang publik dapat diartikan sebagai tempat yang dapat

diakses secara fisik maupun visual oleh masyarakat umum. Ruang publik adalah suatu ekosistem

3 http://www.malangkota.go.id/mlg_halaman.php?id=1606073, di akses 06 Mei 2013

Page 7: Perencanaan Pembangunan Media Ruang Luar Tanpa Sampah Visual - Ave Harysakti

7

yang dapat memberi ruang tumbuh bagi perubahan peradaban, sekaligus menjadi modal sosial

dan ekonomi masyarakat untuk bertumbuh dan berkembangnya manusia serta kemanusiaan

secara sehat dan produktif, termasuk ruang publik di sini seperti jalan raya, trotoar, taman kota,

atau lapangan terbuka.

2.3. Sistem Visual

Menurut Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, (1990), pengertian sistem biasanya

dikaitkan dengan konteks letak atau positional context. Sistem adalah seperangkat unsur yang

secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.

Dari pengertian tersebut, sistem dapat diartikan sebagai suatu susunan yang terdiri dari

banyak unsur yang saling berkaitan dan mendukung satu dengan yang lain dalam membentuk

kesatuan. Jadi Sistem Visual dapat didefinisikan sebagai susunan dari komponen-komponen

visual atau unsur-unsur visual yang saling berkaitan dan saling mendukung yang membentuk

suatu kesatuan.

2.4. Media Ruang Luar

Media Ruang Luar merupakan salah satu media yang diletakan di luar ruangan yang pada

saat ini telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, yang memiliki tujuan menyampaikan

pesan promosi suatu produk atau jasa. Salah satu jenis media ruang luar adalah Reklame dalam

Perda no. 4 tahun 2006 Kota Malang, media ruang luar jenis reklame dijelaskan sebagai:

Reklame adalah benda, alat, perbuatan atau media yang menurut bentuk, susunan dan corak

ragamnya untuk tujuan komersial, dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau

memujikan suatu barang, jasa atau orang ataupun untuk menarik perhatian umum kepada

suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau yang dapat dilihat, dibaca atau

didengar dari suatu tempat oleh umum, kecuali yang dilakukan oleh Pemerintah atau

Pemerintah Daerah.

3. Kota Malang dan Media Ruang Luarnya

Reklame ruang luar merupakan media dengan berbagai macam bentuk dan corak yang

banyak digunakan untuk tujuan komersial. Keberadaan reklame ruang luar di Kota Malang muncul

sebagai dampak aktivitas perekonomian yang tumbuh baik, yang menuntut kemudahan

penyampaian informasi kepada masyarakat luas. Sebagai kota nomor 2 terpadat di Jawa Timur,

sudah hampir dapat dipastikan bahwa Kota Malang akan menjadi daerah potensial pemasangan

reklame.

Peraturan pemerintah kota Malang yang mengatur tentang Media Ruang Luar jenis

Reklame dan sejenisnya adalah Perda No. 4 Tahun 2006 mengatur tentang Reklame, Perda ini ini

diatur kembali secara lebih detail dalam Peraturan Walikota tentang Reklame yaitu Peraturan

WaliKota No. 4 tahun 2008 tentang Tata Cara Penghitungan Pajak Reklame, Peraturan WaliKota

No. 21 tahun 2008 yang mengatur tentang Titik Pemasangan Reklame dan Peraturan WaliKota

Page 8: Perencanaan Pembangunan Media Ruang Luar Tanpa Sampah Visual - Ave Harysakti

8

No. 22 tahun 2008 yang mengatur tentang tata cara perijinan, pemasangan, dan pencabutan ijin

reklame.

Pada dasarnya masyarakat tetap membutuhkan media ruang luar/iklan/reklame dan

sejenisnya sebagai sumber informasi atas keberadaan produk barang atau jasa guna memenuhi

kebutuhan hidup. Pemerintah juga memerlukan pajaknya untuk PAD, dan pengusaha memerlukan

media ini untuk promosi, bahkan sebenarnya media ruang luar/iklan/reklame dan sejenisnya ini

bila di letakan pada tempat yang benar dengan penataan yang benar, rapi dan ukuran dimensi

yang sesuai dengan lingkungannya, justru akan mempercantik wajah kota, jadi seberapapun

banyaknya reklame tak menjadi masalah asalkan penataannya rapi dan sesuai serta tidak

menyalahi aturan.

Perda dan Perwali yang ada saat ini belum sepenuhnya mampu dijadikan pedoman dalam

penataan reklame. Substansi peraturan tidak menjelaskan secara detail mengenai teknis

pemasangan reklame di lapangan, dimana penekanan didalamnya hanya pada petunjuk

pelaksanaan perhitungan pajak reklame dan ketentuan yang terkait masalah itu. Kondisi seperti ini

diperburuk oleh prosedur peijinan reklame oleh birokrasi yang kurang terkoordinasi antar satuan

perangkat kerjanya. Pengeluaran ijin pemasangan reklame kurang memperhatikan kesesuaian

lokasi dan jenis reklame yang akan dipasang.

Disinyalir pemasangan reklame atau spanduk juga banyak yang menyalahi Perda 4/2006

tentang Penyelenggaraan Reklame. Dalam perda tersebut, pasal 21 ayat d, tidak boleh memasang

reklame pada batang, ranting pohon, tiang listrik atau tiang telepon. Tapi faktanya, hampir semua

spanduk yang dipasang melintang di pertigaaan atau perempatan ditancapkan antar tiang telepon.

Bahkan ada pula yang dipasang antar tiang telepon dengan pohon (Lihat Gambar 4,5, dan 6 pada

lampiran). Pemasangan spanduk yang melanggar ini antara lain terlihat di pertigaan Jalan

Sarangan, perempatan Jalan Kaliurang, pertigaan Jalan Ijen dengan Jalan Bandung dan Jalan Ijen

dengan Jalan Jakarta. Pemasangan itu jelas-jelas sudah melanggar, tapi ada kesan dibiarkan oleh

pemkot.

Pada Perwali no. 22/2008 pasal 12 butir 3 disebutkan “Jarak minimal reklame tetap jenis

reklame bando jalan dan sejenisnya yang melintang di jalan dengan traffic light berjarak minimal 25

(dua puluh lima) meter dari traffic light‖. Pada Gambar 7 di lampiran jika diperhatikan pada gambar

tersebut, nampak bahwa traffic light jaraknya tidak sampai 25 meter dari baliho yang di depannya,

sehingga agak menutupi pandangan pengendara yang akan melintas ke jembatan Soekarno-

Hatta. Tentu saja ini menganggu pengendara, karena kasus seperti ini ada terjadi dibeberapa ruas

jalan di kota Malang, dimana Baliho jaraknya dekat dengan rambu-rambu lalu lintas, bahkan

bergerombolnya media ruang luar di pertigaan atau perempatan tersebut sering kali menutupi

penanda jalan seperti nama jalan. Dengan meriahnya media ruang luar yang berwarna-warni

dipinggiran jalan berakibat pula dapat mengalihkan perhatian pengguna jalan yang seharusnya

waspada saat melintasi jalan raya.

Page 9: Perencanaan Pembangunan Media Ruang Luar Tanpa Sampah Visual - Ave Harysakti

9

Penempatan media ruang luar yang menggunakan sempadan jalan juga kurang diperhatikan

sehingga menyebabkan jalan jadi terlihat sempit misalnya dijalan Soekarno Hatta dan jalan Jendral

Agung Soeprapto (Lihat Gambar 8 pada lampiran).

Dipaparkan dalam Perwali No.22 Tahun 2008 disebutkan bahwa pemasang reklame harus

memenuhi enam standar yang sudah ditetapkan, di antaranya standar estetis, standar teknis,

standar fiskal, standar administrasi, serta standar keselamatan. Namun, dalam standar

keselamatan pemasangan baliho itu tidak dijelaskan dengan rinci teknis dan spesifikasi

pemasangannya. Untuk standar keselamatan ini, disebutkan pemasang wajib menjaga supaya

reklame yang dipasang tidak mengganggu lalulintas dan membahayakan masyarakat. Namun,

faktanya standar yang ditetapkan ini masih diabaikan, ada beberapa kasus baliho-baliho ukuran

besar yang ada di pinggiran jalan tersebut jatuh akibat angin atau cuaca hujan lebat dan menimpa

mobil-mobil yang tengah terparkir.

Agar tercipta penataan Media Ruang Luar yang baik untuk mendukung wajah kota yang

cantik dan ramah Lingkungan sesuai visi dan misi Kota Malang perlu adanya kerjasama yang

bersinergi antara semua unsur terlibat diantaranya Masyarakat sebagai pengguna ruang publik

sekaligus objek, Para Pelaku Bisnis Media Ruang Luar/Pemilik Reklame dan Pemerintah sebagai

penentu kebijakan Media Ruang Luar beserta satuan perangkat kerjanya.

4. Perencanaan Media Ruang Luar Kota Malang Tanpa Sampah Visual

Adapun butir-butir pemikiran untuk menyusun perencanaan media ruang luar di wilayah kota

Malang yang ramah lingkungan dan menghindari terjadinya sampah visual adalah sebagai berikut:

a. Rasionalisasi Harga Media Iklan. Pemerintah setempat dapat membuat kebijakan harga

berdasarkan lokasi penempatan media iklan, dimana semakin mendekati pusat kota maka

harga pemasangan semakin mahal (semahal mungkin?). Hal ini dimaksudkan agar para

pemasang iklan berpikir dua kali untuk memasang iklannya secara sembarangan karena

terbatas anggaran (budget) iklannya sehingga pihak kapitalis benar-benar secara selektif

memilih iklan yang akan dipasang. Untuk iklan politik/kampanye harus ditentukan tarif

pemasangan media iklan yang termahal agar dapat memberatkan biaya kampanye dan

membuat para politisi tersebut dapat secara hati-hati dan tidak sembarangan dalam memasang

iklan pencitraan diri dan menyampaikan janji-janji muluknya kepada warga kota.

Jadi Pemerintah Kota Malang tidak perlu khawatir terhadap penurunan PAD karena Media

Ruang Luar secara kuantitas benar menurun, namun secara kualitas (pendapatan pemkot tetap

atau mungkin meningkat).

b. Proporsianalisasi Jumlah Pemasangan Media Iklan. Pemerintah setempat dapat membuat

kebijakan jumlah pemasangan berdasarkan lokasi dan dalam radius tertentu. Dapat pula

berdasarkan koridor jalan-jalan utama dimana ditentukan koridor jalan apa saja yang boleh

dipasang media iklan beserta pembatasan dalam jumlahnya, di luar koridor yang ditentukan

tersebut, tidak boleh dipasang media iklan apapun yang dianggap mengganggu hak visual

warga kota. Misalnya, pada Alun-Alun Kota Malang hanya boleh dipasang 3 buah media iklan

Page 10: Perencanaan Pembangunan Media Ruang Luar Tanpa Sampah Visual - Ave Harysakti

10

besar dan 20 media iklan kecil. Pada koridor-koridor jalan yang menghubungkan alun-alun

tersebut hanya boleh dipasang media iklan dalam radius 300 meter dari pusat alun-alun dan

jumlahnya sebanyak 15 iklan per masing-masing koridor. Untuk iklan politik/kampanye

ditentukan secara spesifik jumlah media iklan baik besar maupun kecilnya yang boleh dipasang

agar tidak menyampahi visual kota.

c. Pengaturan Intensitas Pemasangan dan Dimensi Media Iklan. Pemerintah setempat dapat

membuat kebijakan yang mengatur jatah pemasangan iklan dalam setahun dari suatu merek

dagang atau perusahaan dengan durasi pemasangan tertentu pula. Diatur pula jenis media iklan

dan dimensi/ukurannya agar didapat keseragaman dan tidak semrawut.

d. Pengaturan Cara Pemasangan Media Iklan. Pemerintah setempat dapat membuat kebijakan

tentang pengaturan cara pemasangan media yaitu penampang lebar media iklan harus

dipasang sejajar jalan (penampang tidak memotong arah jalan), hal ini dimaksudkan agar

pengguna jalan dalam hal ini warga kota tidak dipaksa untuk melihat langsung pada media iklan.

Pemasangan media iklan juga tidak boleh sembarangan dengan memaku di pohon atau

memasang pada andang bambu/kayu, harus dipasang dengan rapi pada tempat yang telah

disediakan sesuai kebijakan-kebijakan di atas.

e. Merumuskan Muatan Media Iklan. Pemerintah dapat membentuk komisi yang dapat

merumuskan kriteria media iklan dan muatannya seperti, dari segi penampilan atau desain

harus terlihat menarik, komunikatif, menggunakan bahasa yang santun, dan enak di pandang

mata dari baik dari segi desain maupun dari segi penempatan media tersebut.

f. Pengalihan Media Iklan. Pemerintah dapat mulai memikirkan dan mensosialisasikan bahwa

media iklan tidak hanya berupa baliho, spanduk, umbul-umbul dan lain-lain yang penyampaian

pesannya bersifat acak dan tidak bersasaran pasti. Media iklan konvensional di atas dapat

dialihkan dengan menggunakan media kaos oblong, t-shirt, jaket dan sejenisnya. Hal ini

disebabkan sifat dari media iklan yang satu ini adalah tidak permanen dan insidensial serta

dapat tepat sasaran. Misalnya sebuah kaos dengan sablonan iklan produk A dipakai oleh

seseorang yang beraktivitas di alun-alun akan dapat dilihat oleh orang-orang yang berlalu-lalang

di alun-alun tersebut. Dari sekian banyak orang-orang yang lewat, dipastikan ada beberapa

orang yang tertarik membaca isi iklan pada kaos yang dipakai tersebut karena merasa

membutuhkan produk A. Jadi dalam hal ini akan didapat pembaca iklan yang tepat sasaran dan

bukannya sembarang sasar saja. Selanjutnya pada jam tertentu pemakai kaos iklan tersebut

akan bergerak meninggalkan lokasi alun-alun itu sehingga sifat pemasangan iklannya adalah

insidensial saja dan tidak permanen. Tentunya hal ini akan lebih bermanfaat karena iklan dapat

disampaikan, dan dilain pihak warga kota tidak merasa terganggu oleh kehadiran iklan tersebut.

g. Membuat Master Plan Pemasangan Media Iklan. Sebenarnya membuat master plan ini

tidaklah sesulit dibayangkan selama memang pemerintah memiliki komitmen untuk membuat

kotanya bersih dari segala sampah visual. Adapun sekilas cara membuat master plan ini dapat

diusulkan sebagai berikut :

Page 11: Perencanaan Pembangunan Media Ruang Luar Tanpa Sampah Visual - Ave Harysakti

11

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah membuat database tentang perusahaan-

perusahaan dan produk-produk dagang yang aktif mengiklankan dirinya. Datanya dapat

dikumpulkan melalui pemerintah membuat sistem pendaftaran calon pemasang media iklan

baik secara offline maupun online;

Langkah kedua, menginventarisasikan koridor jalan dan ruang terbuka yang memiliki potensi

pembaca iklan paling banyak untuk selanjutnya mengatur jumlah alokasi media iklan disetiap

lokasi yang telah disepakati serta menentukan radius daerah bebas iklan;

Langkah ketiga, mengatur dimensi media iklan dan tarif pemasangannya untuk selanjutnya

ditentukan intensitas pemasangan iklan dalam setahun untuk masing-masing perusahaan;

Langkah keempat, membuat simulasi suasana visual kota setelah iklan-iklan terpasang

sesuai master plan yang dibuat dengan menggunakan perangkat lunak pengolah animasi

seperti 3DS Max, Maya 3D dan lain-lain. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh rasa visual yang

pas dan dianggap tidak mengganggu hak visual warga kota. Dalam pembuatannya harus

dilakukan seminar yang melibatkan para warga kota untuk menyumbangkan ide pemikiran

bagi kenyamanan visual lingkungannya dan diadakan sosialisasi secara intensif kesegala

pihak; dan

Langkah kelima adalah melakukan aplikasi, monitoring dan evaluasi.

h. Mengatur Punishments dan Rewards Bagi Pemasang Media Iklan. Bagian ini adalah yang

paling penting, dimana harus ada penegakan aturan yang jelas dari pemerintah bagi para

pemasang media iklan. Dibuat sanksi-sanksi yang memberatkan dan memiliki efek jera bagi

para pelanggar dan dibuat pula penghargaan bagi para pemasang yang terbukti tertib dan

disiplin dalam mematuhi peraturan pemasangan media iklan yang ditetapkan oleh pemerintah

tersebut.

5. Kesimpulan

1. Bahwa Media Ruang Luar/Reklame memang mempengaruhi kualitas wajah kota, karena itu

harus dilakukan perencanaan penataan Media Ruang Luar/Reklame yang baik dengan

menimbang banyak hal seperti kepentingan masyarakat, pemilik media, lingkungan,

peraturan perundang-undangan, serta visi dan misi daerah, dan pemerintah berkewajiban

untuk menyusun suatu perencanaan pembangunan Media Ruang Luar yang baik itu bagi

kemaslahatan orang banyak.

2. Berdasarkan hal tersebut diatas, faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam

perencanaan Pembangunan Media Ruang Luar Kota Malang adalah :

Peraturan Perundang-undangan tentang Media Ruang Luar (eksisting);

Aktor yang terlibat yaitu Masyarakat sebagai pengguna ruang publik, para pelaku Bisnis

sebagai Pemilik Media Ruang Luar serta peran pemerintah dan satuan perangkat kerja

Pemerintah Kot Malang sebagai penentu kebijakan dan memiliki ―Policy Power‖;

Perencanaan Peraturan Daerah tentang Media Ruang Luar yang lebih lengkap dan rinci;

dan

Page 12: Perencanaan Pembangunan Media Ruang Luar Tanpa Sampah Visual - Ave Harysakti

12

Perencanaan Media Ruang Luar sesuai Peraturan Daerah yang direncanakan seperti

pada poin di atas.

3. Rekomendasi penataan Media Ruang Luar Kota Malang adalah sebagai berikut:

Rasionalisasi Harga Media Ruang Luar;

Proporsianalisasi Jumlah Pemasangan Media Iklan;

Pengaturan Intensitas Pemasangan dan Dimensi Media Ruang Luar;

Pengaturan Cara Pemasangan Media Ruang Luar;

Merumuskan Muatan Media Ruang Luar;

Pengalihan Media Ruang Luar;

Membuat Master Plan Pemasangan Media Ruang Luar; dan

Mengatur Punishments dan Rewards Bagi Pemasang Media Ruang Luar.

4. Dalam konteks otonomi daerah, pelaksanaan otonomi daerah sebagai amanat UUD

1945 secara konstitusional maupun legal diarahkan untuk mempercepat terwujudnya

kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran

serta masyarakat. Oleh sebab itu Pemkot Malang wajib memperhitungkan hak warga

negara yang dituangkan dalam UUD 1945 termasuk yang berhubungan dengan

kenyamanan visual karena hal ini menyangkut kesejahteraan masyarakat pula.

== Sekian dan Semoga Bermanfaat ==

Page 13: Perencanaan Pembangunan Media Ruang Luar Tanpa Sampah Visual - Ave Harysakti

13

HALAMAN LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA

Buku Teks, Jurnal, Prosiding:

Baudrillard, Jean P, 2005. Violence of the Virtual and Integral Reality. Diterjemahkan: Dr.

Marilyn Lambert-Drache. IJBS. Volume 2, Nomor 2, Juli 2005.

Branch, Mellvile C. 1996. Perencanaan Kota Komprehensif. Yogyakarta: Gajah Mada University

Press.

Budihardjo, Eko. dan Djoko Sujarto. 1998. Kota Yang Berkelanjutan. Jakarta Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.

Budihardjo, Eko. dan Sudanti Hardjohubojo. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan. Bandung :

Penerbit Alumni.

Hadi, Sudharto P. 2001. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan. Yogjakarta: Gajah

Mada University Press.

Pemkot Malang, 2006, Perda Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Reklame Kota Malang 2006.

Malang: Pemerintah Kota Malang.

Pemkot Malang, 2008, Salinan Perwali Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Titik Pemasangan

Reklame Kota Malang 2008. Malang: Pemerintah Kota Malang.

Pemkot Malang, 2008, Salinan Perwali Nomor 22 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Perijinan,

Pemasangan Reklame Kota Malang 2008. Malang: Pemerintah Kota Malang.

Purwono, 2000. Akuntansi Lingkungan Suatu Tinjauan dalam Menghadapi Era Globalisasi

dan Prospek Penerapannya di Indonesia. Solo: Universitas Negeri Surakarta.

Snyder, James. C. dan Catanese, Anthony, J. 1996. Perencanaan Kota. Jakarta : Penerbit

Erlangga.

Internet:

Sumbotinarbuko, 2011. Sampah Visual Itu Berbentuk Iklan Luar Ruang.

http://sumbotinarbuko.com/sampah-visual-itu-berbentuk-iklan-luar-ruang.html, diakses tanggal 05

Mei 2013.

Page 14: Perencanaan Pembangunan Media Ruang Luar Tanpa Sampah Visual - Ave Harysakti

14

GAMBAR:

Gambar 1. Salah satu sudut kota Jogja (Jl.Solo) yang semarak dengan umbul-umbul. (sumber: http://sumbo.files.wordpress.com/2012/09/sampah-visual-di-jl-solo.jpg)

Gambar 2. Walikota Haryadi Suyuti dan perwakilan lembaga kepolisian menurunkan sampah visual milik lembaga kepolisian. (http://lifestyle.kompasiana.com/hobi/2012/10/02/hari-ini-jogja-mencanangkan-kawasan-bebas-sampah-visual-498039.htm)

Gambar 3. Pertigaan Sulfat – Temanggung Suryo, Lowok Waru, Kota Malang. (sumber: dokumentasi pribadi, 2013)

Page 15: Perencanaan Pembangunan Media Ruang Luar Tanpa Sampah Visual - Ave Harysakti

15

Gambar 4. Reklame di Jl. Simpang Kalpataru yang dipasang pada tiang telepon dan tiang listrik. (sumber: dokumentasi pribadi, 2013)

Gambar 5. Reklame yang dipaku pada pohon selain menyalahi peraturan juga tergolong perbuatan vandalisme. (sumber: dokumentasi pribadi, 2013)

Gambar 6. Reklame yang dipasang berjejer di jalan sekitar Universitas Brawijaya Malang, padahal dengan muatan reklame yang sama. (sumber: dokumentasi pribadi, 2013)

Page 16: Perencanaan Pembangunan Media Ruang Luar Tanpa Sampah Visual - Ave Harysakti

16

Gambar 7. Jarak antar Baliho diJalan Soekarno Hatta yang kurang dari 450 meter, serta jarak antar Bliho dengan taffic light yang kurang dari 25 meter (sumber: dokumentasi pribadi, 2013)

Gambar 8. Reklame politik dipinggir Jalan Jaksa Agung Suprapto, membuat jalan terkesan penuh dan sempit. (sumber: dokumentasi pribadi, 2013)