Upload
ave-harysakti
View
217
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Sampah Visual dari media ruang luar (Baliho, Bando Jalan, Papan Reklame) yang pemasangan tidak teratur dan tidak mematuhi norma hak asasi warga negara perlu dibersihkan. Pada artikel ini dibahas aturan dan strategi agar pembangunan media ruang luar dapat mempercantik wajah kota dan mensejahterakan masyarakatnya dari perspektif visual.
Citation preview
1
PERENCANAAN PEMBANGUNAN MEDIA RUANG LUAR
TANPA SAMPAH VISUAL GUNA MENUNJANG
KESEJAHTERAAN WARGA KOTA MALANG
( Studi Kasus Kota Malang )
Ave Harysakti
(Pascasarjana Arsitektur Lingkungan Binaan, Universitas Brawijaya)
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Pembangunan adalah segala upaya yang dilakukan secara terencana dalam melakukan
perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat,
meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas manusia 1, dimana kualitas hidup itu
adalah ketersediaan kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan,
keadilan, kebahagiaan, rasa aman, kenyamanan, dan lain-lain. Disini berarti pembangunan
disadari sebagai sebuah upaya pemenuhan kebutuhan manusia, disediakan oleh pemerintah
untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Di dalam melaksanakan proses pembangunan
pemerintah harus mempertimbangkan konsekuensi yang akan di dapat, sehingga proses
pembangunan tersebut tidak menimbulkan kerusakan, baik kerusakan sosial maupun kerusakan
alam.
Namun pada kenyataannya banyak ditemui kekurang-berhasilan pemerintah dalam hal
melaksanakan pembangunan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat ini, sebagai
contoh adalah menyediakan lingkungan yang nyaman sebagai wadah masyarakat menjalani
kehidupan sosialnya. Pemerintah terlalu fokus pada pembangunan-pembangunan yang berskala
besar padahal banyak hal kecil lainnya yang walaupun terlihat sepele namun kenyataannya
berdampak besar pada kenyamanan masyarakat pada suatu daerah dalam hal ini misalnya
kenyamanan visual. Pemerintah daerah berperan dalam penanggulangan masalah sosial, maka
sistem perencanaan dan anggaran otonomi daerah harus lebih terarah dalam memenuhi tuntutan-
tuntutan kesejahteraan rakyat. Hal ini berarti peran pemerintah daerah sangat penting dalam
mengakomodasikan serta menyediakan lingkungan binaan perkotaan yang nyaman bagi
masyarakat.
Visual berhubungan erat dengan mata atau penglihatan, menurut Hernowo (2007), visual
merupakan tindakan melihat (dengan mata) 2, jadi dapat ditarik kesimpulan kenyamanan visual
adalah kenyamanan penglihatan (visual comfort). Istilah sampah visual untuk pertama kali
dipopulerkan oleh Jean Baudrillard, salah seorang pemikir Perancis yang banyak menaruh
perhatian terhadap perilaku konsumsi masyarakat sekarang. Menurut Baudrillard (2005 p24),
sampah visual merupakan ―kebiasaan‖ para kapitalis yang dengan simultan tanpa jeda
menawarkan beragam produknya melalui berbagai spanduk dan banner di pinggiran jalan, juga
1 http://carapedia.com/pengertian_definisi_pembangunan_info204, di akses tgl. 05 Mei 2013
2 http://carapedia.com/pengertian_definisi_visual_info2164.html, di akses Jumat tgl. 05 Mei 2013
2
penayangan iklan-iklan di setiap stasiun televisi, yang kesemuanya justru menimbulkan
―kelelahan‖ berikut ―ketertindasan‖ psikologis bagi mereka yang melihatnya (menontonnya).
Pada kesempatan lain, Baudrillard mengistilahkan pula sampah visual sebagai kitsch. Secara
literal, kitschen dalam bahasa Jerman berarti, ―memungut sampah dari jalan‖. Hal ini senada
dengan lanjutan penjelasan Baudrillard, ―…budaya modern ditandai dengan ‗pengumpulan‘ tanpa
orang tahu fungsinya‖. ―Pengumpulan‖ sebagaimana dimaksudkannya di sini adalah,
pengumpulan individu akan pengalaman melihat dan mendengar yang sesungguhnya tak
dibutuhkannya (Baudrillard, 2005). Selanjutnya Sambutinarbuko (2011) berpendapat bahwa
tindakan para kapitalis ini justru akhirnya menimbulkan kelelahan dan keresahan warga kota
akibat mengalami ketertindasan secara psikologis dikarenakan kemanapun warga melangkahkah
kakinya, disitu mereka dipaksa melihat iklan yang belum tentu mereka butuhkan. Kemerdekaan
visual masyarakat telah direnggut, mereka terjajah oleh pihak-pihak yang mementingkan
keuntungan bagi dirinya sendiri tanpa sedikitpun timbal-balik yang menguntungkan masyarakat.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud sampah visual adalah bila
seseorang "dipaksa" menonton/melihat sesuatu sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bagi
orang tersebut mungkin karena berada "di luar jangkauan". Pernahkah kita merasa ―risih‖ dengan
banner iklan suatu produk jam tangan di pinggir jalan? Pernahkah kita terganggu dengan iklan
mobil mewah di televisi? Mungkin kita ingin tapi diluar kemampuan, apabila iya, maka kesemua
hal tersebut hanyalah ―sampah visual‖ bagi kita. Sesungguhnya kita tak membutuhkan iklan
tersebut karena sudah pasti tak memiliki kemampuan finansial untuk membelinya, namun tanpa
dinyana-nyana, kita melihatnya mungkin di televisi atau di jalan saat melintas, dan itu dapat
mengakibatkan kelelahan psikologis—penindasan, tekanan. Inilah yang disebut Baudrillard
sebagai ―efek keterkejutan‖ dalam iklan. Sehingga bilamana efek ini secara simultan dicerap oleh
masyarakat dapat menimbulkan depresi karena ketidak mampuan di atas.
Dewasa ini, di mana ekspansi kapitalisme kian masif di tengah masyarakat kita, nyaris tak
mungkin menghindari sampah visual. Berbagai gambar produk konsumtif telah memenuhi ruang
publik kita; jalanan, alun-alun, kantor-kantor pelayanan umum, bahkan perguruan tinggi. Kini,
tinggal dimensi psikologis dan mentalitas kita yang diuji atasnya.
Sampah visual ini dapat berupa:
a. Media ruang luar (outdoor signs) seperti reklame, banner, baliho, selebaran, spanduk,
poster, rontek, iklan bando, tulisan, coretan, gambar grafiti dan sejenisnya yang
bertebaran di tembok jalan, tiang listrik, halte, atau di tempat publik lainnya; atau
b. Media dalam ruang (in door) seperti iklan/acara di televisi, radio.
Memang semakin maraknya Iklan-iklan produk menunjukan perkembangan dunia ekonomi
suatu wilayah, juga berarti menjadi pemasukan bagi pemerintah daerah. Namun yang menjadi
masalah adalah pengaturan tempat pemasangan/peletakan iklan-iklan tersebut apakah
3
mengganggu kualitas wajah kota dan ruang publik atau tidak? Apakah untuk beriklan dan meraih
keuntungan harus dengan mengorbankan lingkungan dan kenyamanan visual masyarakat?
Tulisan ini lebih menyoroti tentang media ruang luar (outdoor signs) karena berhubungan
dengan kualitas wajah sebuah kota/wilayah, sejauh mana pemerintah daerah dapat menyajikan
komposisi manis, antara kedinamisan dunia ekonomi dengan estetika visual dan tatakelola ruang
publik serta ruang terbuka hijau yang didedikasikan bagi kenyamanan warganya tanpa dijejali
perintah untuk membeli produk barang dan jasa.
Pendekatan yang dilakukan untuk menempatkan media reklame ruang luar (outdoor signs)
selama ini lebih kepada pendekatan ekonomi, yaitu bagaimana caranya agar mendapatkan
pemasukan bagi PAD sebanyak mungkin. Dengan demikian, kecenderungannya adalah
pemasangan dengan penempatan yang asal-asalan walaupun secara ekonomi mungkin menarik
dan mudah dilihat sasaran pembaca (Lihat Gambar 1 pada lampiran). Namun dengan
mengabaikan estetika ruang kota, akhirnya justru akan menimbulkan kesemrawutan pada
penampilan visual ruang kota, karena penempatan/pemasangan iklan luar ruang banyak
memanfaatkan lahan hijau yang diposisikan sebagai taman kota atau sempadan jalan sehingga
membuat efek jalan raya menjadi lebih sempit, mengurangi kenyamanan dan membahayakan
pengguna jalan. Padahal taman kota dimaksudkan sebagai ruang terbuka hijau bagi warga
masyarakat untuk sarana relaksasi dari kesibukan dan rutinitas tetapi malah justru dijajah oleh
pelaku bisnis barang dan jasa untuk mempromosikan produknya.
Hal ini karena banyak sekali ditemui di Indonesia disadari atau tidak telah menjadi suatu
penyakit yang mengganggu masyarakat. Efek visualnya, pola pemasangan yang menyampah
seperti itu menjadikan wajah ruang publik Indonesia, termasuk di dalamnya kota-kota besar
seperti di Jakarta, Yogyakarta, Medan, Bandung dan banyak kota lain di Indonesia terlihat
berjerawat penuh dengan centang perentang sampah visual berbentuk media. Bahkan dibeberapa
daerah di Indonesia fenomena media ruang luar agar tidak menjadi sampah visual ini, telah
menimbulkan reaksi dari masyarakat seperti di kota Yogyakarta, memunculkan gerakan
masyarakat yang dinamakan 'Reresik Sampah Visual' (bersih-bersih sampah visual), ratusan
reklame liar dan yang sudah kadaluarsa bahkan ada beberapa ditemukan dipaku di pohon
peneduh, ditempel di tiang listrik dan juga ditancapkan di taman berupa rontek, umbul-umbul
maupun stiker dan tembok-tembok sepanjang Jalan Solo/Jalan Urip Sumoharjo, Jalan Jendral
Sudirman dan Jalan P.Diponegoro dicopot, bahkan dipimpin langsung oleh Walikota Yogyakarta
Haryadi Suyuti (Lihat Gambar 2 pada lampiran), ini menunjukan sebenarnya masyarakat umum
pun banyak merasa terganggu dengan iklan ruang luar yang semrawut memenuhi pinggir jalan
dan ruang publik lainnya.
Lebih jauh lagi, dengan maraknya diadakan pilkadasung, kemerdekaan hak visual warga kota
semakin dijajah oleh hadirnya iklan-iklan politik yang menampilkan wajah-wajah politisi yang
menjajakan diri dan membuat pencitraan semu akan kompetensi dirinya dan partainya agar warga
kota mau memilih politisi tersebut berkat janji-janji manis yang ditampilkannya pada iklan politik
4
tersebut. Tidak masalah dengan para politisi ini menggunakan hak untuk dipilihnya sebagai warga
negara, namun yang menjadi masalah adalah tindakan politisi ini dengan memasang iklan-iklan
politiknya secara serampangan adalah jelas-jelas melanggar hak asasi warga kota lainnya demi
keuntungan dirinya sendiri.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa media ruang luar jenis promosi dagang dan
politik yang bertebaran seantero kota di Indonesia saat ini adalah merupakan Sampah Visual
(Visual Garbage) yang akhirnya menjadi Polusi Visual (Visual Pollution) yang berdampak kepada
kesehatan mental dan psikologi rakyat Indonesia, serta menurunkan kualitas visual ruang publik
karena merusak estetika kota. Polusi Visual ini juga merupakan bahaya laten karena tanpa
disadari dapat menjadi pendorong kehidupan materialistik glamour tanpa didukung kemampuan
untuk mencapainya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang makmur, bersahaja dan suka gotong-
royong, bukan bangsa yang biasa hidup mewah (glamour) dan individualistis. Kehadiran media
ruang luar berupa iklan-iklan tersebut di atas telah jelas dapat meracuni sifat hakiki bangsa
Indonesia. Oleh sebab itu, media ruang luar ini harus memperoleh perhatian serius oleh kita agar
tidak menjadi sampah visual, dan sesegera mungkin dapat diatur keberadaannya sehingga tidak
terlanjur memberikan efek buruk bagi bangsa Indonesia baik secara psikologis dan ekonomis.
Disinilah Pemerintah Daerah berperan penting sebagai “policy power” yang berwenang untuk
mengatur penataan media ruang luar demi menjaga kesehatan (health), keselamatan (safety),
serta kenyamanan dan kesejahteraan umum bagi warga kotanya dalam arti luas (general welfare
of the public at large).
Sejujurnya masyarakat tetap membutuhkan media ruang luar/iklan sejenisnya sebagai
sumber informasi atas keberadaan produk barang atau jasa guna memenuhi kebutuhan hidup dan
kehidupannya. Sebaliknya, masyarakat juga membutuhkan ruang publik yang hijau, teduh, aman
dan bebas dari teror visual. Khalayak luas pun mendambakan ruang publik yang dapat digunakan
tanpa terusik hadirnya sampah visual iklan luar ruang.
Agar diperoleh konteks yang faktual maka ditentukan studi kasus tulisan ini adalah di Kota
Malang, karena pada saat ini banyak ditemui media ruang luar (outdoor) yang jelas-jelas tidak
tertata dengan baik dan rapi, bahkan ada yang cenderung membahayakan pengguna jalan akibat
penataan yang salah (Lihat Gambar 3 pada lampiran). Lebih jauh lagi dapat ditemukan pula
kecenderungan vandalisme, dimana media iklan tersebut dipasang dengan cara yang kasar seperti
memaku di pohon, tiang listrik, tiang telepon, tembok pagar, dan pada jembatan.
Dari uraian di atas, maka dapat di simpulkan sebagai berikut :
a. Fenomena media ruang luar (outdoor signs) yang mendominasi fasade (tampak depan) ruang
terbuka publik pada seluruh ruas jalan dan ruang publik di kota Malang, dimana dimensi dan
penempatan media ruang luar dalam kota tersebut menurunkan kualitas visual ruang kota,
bahkan kesan semrawut ini akhirnya menjadikan media ruang luar sebagai Sampah Visual
bagi masyarakat.
5
b. Kehadiran media ruang luar (outdoor signs) di kota Malang cenderung lebih memanfaatkan
potensi ekonomi kota secara maksimal, dan agar mendapatkan pemasukan bagi PAD
sebanyak mungkin. Penekanan sisi ekonomi tersebut mengesampingkan fungsi media luar
ruang sebagai salah satu elemen penataan kota sebagai suatu lingkungan binaan yang harus
memperhatikan keberadaan ruang publik dan nilai-nilai kemasyarakatannya.
c. Ketidak-harmonisan antara media ruang luar dengan lingkungan sekitarnya dapat
menimbulkan kekacauan (chaos) dalam sistem visual kota. Demikian pula perancangan
bentuk dan penataan media luar ruang yang kurang tepat akan menghasilkan ‗kegagalan‘
identitas suatu kota (mewujudkan visi dan misi Kota Malang).
d. Pentingnya peran “policy power” Pemerintah Kota Malang yang berwenang untuk mengatur
penataan media ruang luar demi menjaga kesehatan (health), keselamatan (safety), serta
kenyamanan dan kesejahteraan umum bagi warga kotanya dalam arti luas (general welfare of
the public at large).
1.2. Hak Warga Negara Indonesia dalam Konteks Kenyamanan Visual
Hak visual warga kota yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah adalah hak memilih
untuk melihat atau tidak melihat suatu obyek yang dihadirkan dalam ruang publik. Hal ini berarti
pemerintah harus menghormati hak visual warga kota ini dengan tidak semena-mena dalam
mengolah karya bangunnya beserta atribut yang menyertainya dalam hal ini perletakan,
ukuran/dimensi, pemilihan warna, ornamentasi maupun muatan/pesan yang tersirat ataupun
tersurat yang berpengaruh langsung pada visual mayarakat.
Dalam UUD 1945 telah terdapat pasal-pasal yang mengatur hak asasi warga negara
Indonesia sebagai manusia yang sederajat dan memiliki hak visual dalam kehidupannya, seperti:
- Pasal 27 ayat 2, ―Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan‖. Penghidupan yang layak disini berarti salah satunya memiliki hak untuk
memperoleh kenyamanan visual pada lingkungannya.
- Pasal 28C ayat 2, ―Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.‖ Pasal ini dapat menjadi dasar
dalam warga negara menuntut hak visualnya secara kolektif melalui gerakan damai
pembersihan sampah visual yang mengganggu kenyamanan visual dilingkungannya.
- Pasal 28H ayat 1, ‖Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan‖. Pada pasal ini warga kota berhak untuk terbebas dari “teror visual” akibat dari
penggunaan media-media visual dan memperoleh pemandangan kota yang nyaman dalam
lingkungannya.
- Pasal 28I ayat 3, ―Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban‖. Pada pasal ini warga kota dalam konteks hak
6
visualnya berhak untuk memperoleh pemandangan kota yang memiliki identitas budaya dan
bernuansa tradisional di dalam kehidupan jaman yang modern. Jadi tidak ada pemaksaan harus
mengikuti pola kehidupan modern termasuk dalam hak visualnya.
- Pemasangan alat peraga kampanye juga telah diatur pada pasal 101 ayat 2 UU Nomor 10
Tahun 2008, dimana pasal tersebut mengharuskan setiap kontestan pemilu dalam memasang
alat peraganya harus mempertimbangkan etika, estetika dan keindahan kota.
2. Pemerintah Kota Malang, Teori Ruang Publik, dan Media Ruang Luar
2.1. Visi dan Misi Kota Malang
Pemerintah Kota Malang dalam pelaksanaan pembangunan berpedoman pada RPJM
Daerah dimana didalamnya termuat Visi Kota Malang, yaitu :
"TERWUJUDNYA KOTA MALANG SEBAGAI KOTA PENDIDIKAN YANG BERKUALITAS,
KOTA SEHAT DAN RAMAH LINGKUNGAN, KOTA PARIWISATA YANG BERBUDAYA,
MENUJU MASYARAKAT YANG MAJU DAN MANDIRI" 3
Sesuai konteks tulisan ini, sebagai salah satu dari visi Kota Malang di atas yaitu Kota Sehat
dan Ramah Lingkungan, mengandung makna bahwa pembangunan di Kota Malang diarahkan
untuk mewujudkan Kota yang sehat dan berwawasan lingkungan. Pengertian kota sehat dan
ramah lingkungan adalah sebagai berikut: Kota sehat adalah kota yang memiliki kualitas
lingkungan fisik dan sosial kemasyarakatan yang baik sehingga menjadi kota yang memberikan
rasa aman, nyaman dan sehat bagi warga kotanya (City fit to live in); Kota yang ramah lingkungan
adalah kota yang dalam melaksanakan pembangunan selalu memperhatikan kelestarian daya
dukung lingkungan.
Dalam rangka mewujudkan Visi Kota Malang, maka dirumuskan upaya-upaya yang akan
dilaksanakan ke dalam Misi Kota Malang Tahun 2009-2013, sebagai berikut:
1. Mewujudkan dan Mengembangkan Pendidikan yang Berkualitas;
2. Mewujudkan Peningkatan Kesehatan Masyarakat;
3. Mewujudkan Penyelenggaraan Pembangunan yang Ramah Lingkungan;
4. Mewujudkan Pemerataan Perekonomian dan Pusat Pertumbuhan Wilayah Sekitarnya;
5. Mewujudkan dan Mengembangkan Pariwisata yang Berbudaya;
6. Mewujudkan Pelayanan Publik yang Prima.
2.2. Ruang Publik
Istilah ruang publik (public space) pernah dilontarkan Lynch dengan menyebutkan bahwa
ruang publik adalah nodes dan landmark yang menjadi alat navigasi di dalam kota (Lynch dalam
Budihardjo et al, 1998). Secara teori, ruang publik dapat diartikan sebagai tempat yang dapat
diakses secara fisik maupun visual oleh masyarakat umum. Ruang publik adalah suatu ekosistem
3 http://www.malangkota.go.id/mlg_halaman.php?id=1606073, di akses 06 Mei 2013
7
yang dapat memberi ruang tumbuh bagi perubahan peradaban, sekaligus menjadi modal sosial
dan ekonomi masyarakat untuk bertumbuh dan berkembangnya manusia serta kemanusiaan
secara sehat dan produktif, termasuk ruang publik di sini seperti jalan raya, trotoar, taman kota,
atau lapangan terbuka.
2.3. Sistem Visual
Menurut Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, (1990), pengertian sistem biasanya
dikaitkan dengan konteks letak atau positional context. Sistem adalah seperangkat unsur yang
secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.
Dari pengertian tersebut, sistem dapat diartikan sebagai suatu susunan yang terdiri dari
banyak unsur yang saling berkaitan dan mendukung satu dengan yang lain dalam membentuk
kesatuan. Jadi Sistem Visual dapat didefinisikan sebagai susunan dari komponen-komponen
visual atau unsur-unsur visual yang saling berkaitan dan saling mendukung yang membentuk
suatu kesatuan.
2.4. Media Ruang Luar
Media Ruang Luar merupakan salah satu media yang diletakan di luar ruangan yang pada
saat ini telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, yang memiliki tujuan menyampaikan
pesan promosi suatu produk atau jasa. Salah satu jenis media ruang luar adalah Reklame dalam
Perda no. 4 tahun 2006 Kota Malang, media ruang luar jenis reklame dijelaskan sebagai:
Reklame adalah benda, alat, perbuatan atau media yang menurut bentuk, susunan dan corak
ragamnya untuk tujuan komersial, dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau
memujikan suatu barang, jasa atau orang ataupun untuk menarik perhatian umum kepada
suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau yang dapat dilihat, dibaca atau
didengar dari suatu tempat oleh umum, kecuali yang dilakukan oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah.
3. Kota Malang dan Media Ruang Luarnya
Reklame ruang luar merupakan media dengan berbagai macam bentuk dan corak yang
banyak digunakan untuk tujuan komersial. Keberadaan reklame ruang luar di Kota Malang muncul
sebagai dampak aktivitas perekonomian yang tumbuh baik, yang menuntut kemudahan
penyampaian informasi kepada masyarakat luas. Sebagai kota nomor 2 terpadat di Jawa Timur,
sudah hampir dapat dipastikan bahwa Kota Malang akan menjadi daerah potensial pemasangan
reklame.
Peraturan pemerintah kota Malang yang mengatur tentang Media Ruang Luar jenis
Reklame dan sejenisnya adalah Perda No. 4 Tahun 2006 mengatur tentang Reklame, Perda ini ini
diatur kembali secara lebih detail dalam Peraturan Walikota tentang Reklame yaitu Peraturan
WaliKota No. 4 tahun 2008 tentang Tata Cara Penghitungan Pajak Reklame, Peraturan WaliKota
No. 21 tahun 2008 yang mengatur tentang Titik Pemasangan Reklame dan Peraturan WaliKota
8
No. 22 tahun 2008 yang mengatur tentang tata cara perijinan, pemasangan, dan pencabutan ijin
reklame.
Pada dasarnya masyarakat tetap membutuhkan media ruang luar/iklan/reklame dan
sejenisnya sebagai sumber informasi atas keberadaan produk barang atau jasa guna memenuhi
kebutuhan hidup. Pemerintah juga memerlukan pajaknya untuk PAD, dan pengusaha memerlukan
media ini untuk promosi, bahkan sebenarnya media ruang luar/iklan/reklame dan sejenisnya ini
bila di letakan pada tempat yang benar dengan penataan yang benar, rapi dan ukuran dimensi
yang sesuai dengan lingkungannya, justru akan mempercantik wajah kota, jadi seberapapun
banyaknya reklame tak menjadi masalah asalkan penataannya rapi dan sesuai serta tidak
menyalahi aturan.
Perda dan Perwali yang ada saat ini belum sepenuhnya mampu dijadikan pedoman dalam
penataan reklame. Substansi peraturan tidak menjelaskan secara detail mengenai teknis
pemasangan reklame di lapangan, dimana penekanan didalamnya hanya pada petunjuk
pelaksanaan perhitungan pajak reklame dan ketentuan yang terkait masalah itu. Kondisi seperti ini
diperburuk oleh prosedur peijinan reklame oleh birokrasi yang kurang terkoordinasi antar satuan
perangkat kerjanya. Pengeluaran ijin pemasangan reklame kurang memperhatikan kesesuaian
lokasi dan jenis reklame yang akan dipasang.
Disinyalir pemasangan reklame atau spanduk juga banyak yang menyalahi Perda 4/2006
tentang Penyelenggaraan Reklame. Dalam perda tersebut, pasal 21 ayat d, tidak boleh memasang
reklame pada batang, ranting pohon, tiang listrik atau tiang telepon. Tapi faktanya, hampir semua
spanduk yang dipasang melintang di pertigaaan atau perempatan ditancapkan antar tiang telepon.
Bahkan ada pula yang dipasang antar tiang telepon dengan pohon (Lihat Gambar 4,5, dan 6 pada
lampiran). Pemasangan spanduk yang melanggar ini antara lain terlihat di pertigaan Jalan
Sarangan, perempatan Jalan Kaliurang, pertigaan Jalan Ijen dengan Jalan Bandung dan Jalan Ijen
dengan Jalan Jakarta. Pemasangan itu jelas-jelas sudah melanggar, tapi ada kesan dibiarkan oleh
pemkot.
Pada Perwali no. 22/2008 pasal 12 butir 3 disebutkan “Jarak minimal reklame tetap jenis
reklame bando jalan dan sejenisnya yang melintang di jalan dengan traffic light berjarak minimal 25
(dua puluh lima) meter dari traffic light‖. Pada Gambar 7 di lampiran jika diperhatikan pada gambar
tersebut, nampak bahwa traffic light jaraknya tidak sampai 25 meter dari baliho yang di depannya,
sehingga agak menutupi pandangan pengendara yang akan melintas ke jembatan Soekarno-
Hatta. Tentu saja ini menganggu pengendara, karena kasus seperti ini ada terjadi dibeberapa ruas
jalan di kota Malang, dimana Baliho jaraknya dekat dengan rambu-rambu lalu lintas, bahkan
bergerombolnya media ruang luar di pertigaan atau perempatan tersebut sering kali menutupi
penanda jalan seperti nama jalan. Dengan meriahnya media ruang luar yang berwarna-warni
dipinggiran jalan berakibat pula dapat mengalihkan perhatian pengguna jalan yang seharusnya
waspada saat melintasi jalan raya.
9
Penempatan media ruang luar yang menggunakan sempadan jalan juga kurang diperhatikan
sehingga menyebabkan jalan jadi terlihat sempit misalnya dijalan Soekarno Hatta dan jalan Jendral
Agung Soeprapto (Lihat Gambar 8 pada lampiran).
Dipaparkan dalam Perwali No.22 Tahun 2008 disebutkan bahwa pemasang reklame harus
memenuhi enam standar yang sudah ditetapkan, di antaranya standar estetis, standar teknis,
standar fiskal, standar administrasi, serta standar keselamatan. Namun, dalam standar
keselamatan pemasangan baliho itu tidak dijelaskan dengan rinci teknis dan spesifikasi
pemasangannya. Untuk standar keselamatan ini, disebutkan pemasang wajib menjaga supaya
reklame yang dipasang tidak mengganggu lalulintas dan membahayakan masyarakat. Namun,
faktanya standar yang ditetapkan ini masih diabaikan, ada beberapa kasus baliho-baliho ukuran
besar yang ada di pinggiran jalan tersebut jatuh akibat angin atau cuaca hujan lebat dan menimpa
mobil-mobil yang tengah terparkir.
Agar tercipta penataan Media Ruang Luar yang baik untuk mendukung wajah kota yang
cantik dan ramah Lingkungan sesuai visi dan misi Kota Malang perlu adanya kerjasama yang
bersinergi antara semua unsur terlibat diantaranya Masyarakat sebagai pengguna ruang publik
sekaligus objek, Para Pelaku Bisnis Media Ruang Luar/Pemilik Reklame dan Pemerintah sebagai
penentu kebijakan Media Ruang Luar beserta satuan perangkat kerjanya.
4. Perencanaan Media Ruang Luar Kota Malang Tanpa Sampah Visual
Adapun butir-butir pemikiran untuk menyusun perencanaan media ruang luar di wilayah kota
Malang yang ramah lingkungan dan menghindari terjadinya sampah visual adalah sebagai berikut:
a. Rasionalisasi Harga Media Iklan. Pemerintah setempat dapat membuat kebijakan harga
berdasarkan lokasi penempatan media iklan, dimana semakin mendekati pusat kota maka
harga pemasangan semakin mahal (semahal mungkin?). Hal ini dimaksudkan agar para
pemasang iklan berpikir dua kali untuk memasang iklannya secara sembarangan karena
terbatas anggaran (budget) iklannya sehingga pihak kapitalis benar-benar secara selektif
memilih iklan yang akan dipasang. Untuk iklan politik/kampanye harus ditentukan tarif
pemasangan media iklan yang termahal agar dapat memberatkan biaya kampanye dan
membuat para politisi tersebut dapat secara hati-hati dan tidak sembarangan dalam memasang
iklan pencitraan diri dan menyampaikan janji-janji muluknya kepada warga kota.
Jadi Pemerintah Kota Malang tidak perlu khawatir terhadap penurunan PAD karena Media
Ruang Luar secara kuantitas benar menurun, namun secara kualitas (pendapatan pemkot tetap
atau mungkin meningkat).
b. Proporsianalisasi Jumlah Pemasangan Media Iklan. Pemerintah setempat dapat membuat
kebijakan jumlah pemasangan berdasarkan lokasi dan dalam radius tertentu. Dapat pula
berdasarkan koridor jalan-jalan utama dimana ditentukan koridor jalan apa saja yang boleh
dipasang media iklan beserta pembatasan dalam jumlahnya, di luar koridor yang ditentukan
tersebut, tidak boleh dipasang media iklan apapun yang dianggap mengganggu hak visual
warga kota. Misalnya, pada Alun-Alun Kota Malang hanya boleh dipasang 3 buah media iklan
10
besar dan 20 media iklan kecil. Pada koridor-koridor jalan yang menghubungkan alun-alun
tersebut hanya boleh dipasang media iklan dalam radius 300 meter dari pusat alun-alun dan
jumlahnya sebanyak 15 iklan per masing-masing koridor. Untuk iklan politik/kampanye
ditentukan secara spesifik jumlah media iklan baik besar maupun kecilnya yang boleh dipasang
agar tidak menyampahi visual kota.
c. Pengaturan Intensitas Pemasangan dan Dimensi Media Iklan. Pemerintah setempat dapat
membuat kebijakan yang mengatur jatah pemasangan iklan dalam setahun dari suatu merek
dagang atau perusahaan dengan durasi pemasangan tertentu pula. Diatur pula jenis media iklan
dan dimensi/ukurannya agar didapat keseragaman dan tidak semrawut.
d. Pengaturan Cara Pemasangan Media Iklan. Pemerintah setempat dapat membuat kebijakan
tentang pengaturan cara pemasangan media yaitu penampang lebar media iklan harus
dipasang sejajar jalan (penampang tidak memotong arah jalan), hal ini dimaksudkan agar
pengguna jalan dalam hal ini warga kota tidak dipaksa untuk melihat langsung pada media iklan.
Pemasangan media iklan juga tidak boleh sembarangan dengan memaku di pohon atau
memasang pada andang bambu/kayu, harus dipasang dengan rapi pada tempat yang telah
disediakan sesuai kebijakan-kebijakan di atas.
e. Merumuskan Muatan Media Iklan. Pemerintah dapat membentuk komisi yang dapat
merumuskan kriteria media iklan dan muatannya seperti, dari segi penampilan atau desain
harus terlihat menarik, komunikatif, menggunakan bahasa yang santun, dan enak di pandang
mata dari baik dari segi desain maupun dari segi penempatan media tersebut.
f. Pengalihan Media Iklan. Pemerintah dapat mulai memikirkan dan mensosialisasikan bahwa
media iklan tidak hanya berupa baliho, spanduk, umbul-umbul dan lain-lain yang penyampaian
pesannya bersifat acak dan tidak bersasaran pasti. Media iklan konvensional di atas dapat
dialihkan dengan menggunakan media kaos oblong, t-shirt, jaket dan sejenisnya. Hal ini
disebabkan sifat dari media iklan yang satu ini adalah tidak permanen dan insidensial serta
dapat tepat sasaran. Misalnya sebuah kaos dengan sablonan iklan produk A dipakai oleh
seseorang yang beraktivitas di alun-alun akan dapat dilihat oleh orang-orang yang berlalu-lalang
di alun-alun tersebut. Dari sekian banyak orang-orang yang lewat, dipastikan ada beberapa
orang yang tertarik membaca isi iklan pada kaos yang dipakai tersebut karena merasa
membutuhkan produk A. Jadi dalam hal ini akan didapat pembaca iklan yang tepat sasaran dan
bukannya sembarang sasar saja. Selanjutnya pada jam tertentu pemakai kaos iklan tersebut
akan bergerak meninggalkan lokasi alun-alun itu sehingga sifat pemasangan iklannya adalah
insidensial saja dan tidak permanen. Tentunya hal ini akan lebih bermanfaat karena iklan dapat
disampaikan, dan dilain pihak warga kota tidak merasa terganggu oleh kehadiran iklan tersebut.
g. Membuat Master Plan Pemasangan Media Iklan. Sebenarnya membuat master plan ini
tidaklah sesulit dibayangkan selama memang pemerintah memiliki komitmen untuk membuat
kotanya bersih dari segala sampah visual. Adapun sekilas cara membuat master plan ini dapat
diusulkan sebagai berikut :
11
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah membuat database tentang perusahaan-
perusahaan dan produk-produk dagang yang aktif mengiklankan dirinya. Datanya dapat
dikumpulkan melalui pemerintah membuat sistem pendaftaran calon pemasang media iklan
baik secara offline maupun online;
Langkah kedua, menginventarisasikan koridor jalan dan ruang terbuka yang memiliki potensi
pembaca iklan paling banyak untuk selanjutnya mengatur jumlah alokasi media iklan disetiap
lokasi yang telah disepakati serta menentukan radius daerah bebas iklan;
Langkah ketiga, mengatur dimensi media iklan dan tarif pemasangannya untuk selanjutnya
ditentukan intensitas pemasangan iklan dalam setahun untuk masing-masing perusahaan;
Langkah keempat, membuat simulasi suasana visual kota setelah iklan-iklan terpasang
sesuai master plan yang dibuat dengan menggunakan perangkat lunak pengolah animasi
seperti 3DS Max, Maya 3D dan lain-lain. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh rasa visual yang
pas dan dianggap tidak mengganggu hak visual warga kota. Dalam pembuatannya harus
dilakukan seminar yang melibatkan para warga kota untuk menyumbangkan ide pemikiran
bagi kenyamanan visual lingkungannya dan diadakan sosialisasi secara intensif kesegala
pihak; dan
Langkah kelima adalah melakukan aplikasi, monitoring dan evaluasi.
h. Mengatur Punishments dan Rewards Bagi Pemasang Media Iklan. Bagian ini adalah yang
paling penting, dimana harus ada penegakan aturan yang jelas dari pemerintah bagi para
pemasang media iklan. Dibuat sanksi-sanksi yang memberatkan dan memiliki efek jera bagi
para pelanggar dan dibuat pula penghargaan bagi para pemasang yang terbukti tertib dan
disiplin dalam mematuhi peraturan pemasangan media iklan yang ditetapkan oleh pemerintah
tersebut.
5. Kesimpulan
1. Bahwa Media Ruang Luar/Reklame memang mempengaruhi kualitas wajah kota, karena itu
harus dilakukan perencanaan penataan Media Ruang Luar/Reklame yang baik dengan
menimbang banyak hal seperti kepentingan masyarakat, pemilik media, lingkungan,
peraturan perundang-undangan, serta visi dan misi daerah, dan pemerintah berkewajiban
untuk menyusun suatu perencanaan pembangunan Media Ruang Luar yang baik itu bagi
kemaslahatan orang banyak.
2. Berdasarkan hal tersebut diatas, faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam
perencanaan Pembangunan Media Ruang Luar Kota Malang adalah :
Peraturan Perundang-undangan tentang Media Ruang Luar (eksisting);
Aktor yang terlibat yaitu Masyarakat sebagai pengguna ruang publik, para pelaku Bisnis
sebagai Pemilik Media Ruang Luar serta peran pemerintah dan satuan perangkat kerja
Pemerintah Kot Malang sebagai penentu kebijakan dan memiliki ―Policy Power‖;
Perencanaan Peraturan Daerah tentang Media Ruang Luar yang lebih lengkap dan rinci;
dan
12
Perencanaan Media Ruang Luar sesuai Peraturan Daerah yang direncanakan seperti
pada poin di atas.
3. Rekomendasi penataan Media Ruang Luar Kota Malang adalah sebagai berikut:
Rasionalisasi Harga Media Ruang Luar;
Proporsianalisasi Jumlah Pemasangan Media Iklan;
Pengaturan Intensitas Pemasangan dan Dimensi Media Ruang Luar;
Pengaturan Cara Pemasangan Media Ruang Luar;
Merumuskan Muatan Media Ruang Luar;
Pengalihan Media Ruang Luar;
Membuat Master Plan Pemasangan Media Ruang Luar; dan
Mengatur Punishments dan Rewards Bagi Pemasang Media Ruang Luar.
4. Dalam konteks otonomi daerah, pelaksanaan otonomi daerah sebagai amanat UUD
1945 secara konstitusional maupun legal diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran
serta masyarakat. Oleh sebab itu Pemkot Malang wajib memperhitungkan hak warga
negara yang dituangkan dalam UUD 1945 termasuk yang berhubungan dengan
kenyamanan visual karena hal ini menyangkut kesejahteraan masyarakat pula.
== Sekian dan Semoga Bermanfaat ==
13
HALAMAN LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
Buku Teks, Jurnal, Prosiding:
Baudrillard, Jean P, 2005. Violence of the Virtual and Integral Reality. Diterjemahkan: Dr.
Marilyn Lambert-Drache. IJBS. Volume 2, Nomor 2, Juli 2005.
Branch, Mellvile C. 1996. Perencanaan Kota Komprehensif. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Budihardjo, Eko. dan Djoko Sujarto. 1998. Kota Yang Berkelanjutan. Jakarta Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Budihardjo, Eko. dan Sudanti Hardjohubojo. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan. Bandung :
Penerbit Alumni.
Hadi, Sudharto P. 2001. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan. Yogjakarta: Gajah
Mada University Press.
Pemkot Malang, 2006, Perda Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Reklame Kota Malang 2006.
Malang: Pemerintah Kota Malang.
Pemkot Malang, 2008, Salinan Perwali Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Titik Pemasangan
Reklame Kota Malang 2008. Malang: Pemerintah Kota Malang.
Pemkot Malang, 2008, Salinan Perwali Nomor 22 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Perijinan,
Pemasangan Reklame Kota Malang 2008. Malang: Pemerintah Kota Malang.
Purwono, 2000. Akuntansi Lingkungan Suatu Tinjauan dalam Menghadapi Era Globalisasi
dan Prospek Penerapannya di Indonesia. Solo: Universitas Negeri Surakarta.
Snyder, James. C. dan Catanese, Anthony, J. 1996. Perencanaan Kota. Jakarta : Penerbit
Erlangga.
Internet:
Sumbotinarbuko, 2011. Sampah Visual Itu Berbentuk Iklan Luar Ruang.
http://sumbotinarbuko.com/sampah-visual-itu-berbentuk-iklan-luar-ruang.html, diakses tanggal 05
Mei 2013.
14
GAMBAR:
Gambar 1. Salah satu sudut kota Jogja (Jl.Solo) yang semarak dengan umbul-umbul. (sumber: http://sumbo.files.wordpress.com/2012/09/sampah-visual-di-jl-solo.jpg)
Gambar 2. Walikota Haryadi Suyuti dan perwakilan lembaga kepolisian menurunkan sampah visual milik lembaga kepolisian. (http://lifestyle.kompasiana.com/hobi/2012/10/02/hari-ini-jogja-mencanangkan-kawasan-bebas-sampah-visual-498039.htm)
Gambar 3. Pertigaan Sulfat – Temanggung Suryo, Lowok Waru, Kota Malang. (sumber: dokumentasi pribadi, 2013)
15
Gambar 4. Reklame di Jl. Simpang Kalpataru yang dipasang pada tiang telepon dan tiang listrik. (sumber: dokumentasi pribadi, 2013)
Gambar 5. Reklame yang dipaku pada pohon selain menyalahi peraturan juga tergolong perbuatan vandalisme. (sumber: dokumentasi pribadi, 2013)
Gambar 6. Reklame yang dipasang berjejer di jalan sekitar Universitas Brawijaya Malang, padahal dengan muatan reklame yang sama. (sumber: dokumentasi pribadi, 2013)
16
Gambar 7. Jarak antar Baliho diJalan Soekarno Hatta yang kurang dari 450 meter, serta jarak antar Bliho dengan taffic light yang kurang dari 25 meter (sumber: dokumentasi pribadi, 2013)
Gambar 8. Reklame politik dipinggir Jalan Jaksa Agung Suprapto, membuat jalan terkesan penuh dan sempit. (sumber: dokumentasi pribadi, 2013)