Upload
wawan-swaiper-cool
View
209
Download
27
Embed Size (px)
Citation preview
PERENCANAAN PENGEMBANGAN
INVESTASI INDUSTRI
PETROKIMIA TERINTEGRASI
BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
2011
INTEGRASI INDUSTRI PETROKIMIA INDONESIA
KATA PENGANTAR
Kondisi sumber daya alam di Indonesia berupa minyak dan gas bumi merupakan modal dasar bagi
pengembangan industri Petrokimia di tanah air. Elemen-elemen penting yang dibutuhkan untuk
mengembangkan industri Petrokimia di Indonesia telah tersedia melimpah. Dalam praktiknya,
pengalokasian sumber daya untuk diolah bagi pengembangan industri Petrokimia belumlah seoptimal
yang diharapkan. Berbagai hambatan tetap menjadi kendala bagi pengembangan industri tersebut.
Impor akan produksi Petrokimia tetap cukup tinggi sedangkan pemanfaatan sumber daya alam yang
menjadi basis industri tersebut masih cukup rendah. Sebagian besar sumberdaya minyak dan gas
bumi dimanfaatkan di dalam negeri sebagai bahan bakar atau diekspor dalam bentuk bahan mentah.
Dampak dari masalah ini adalah rendahnya daya saing industri Petrokimia nasional dan hilangnya
kesempatan memperoleh devisa yang lebih besar bagi Indonesia. Akibat lebih lanjut adalah hilangnya
kesempatan untuk memperoleh nilai tambah lebih tinggi atas pemanfaatan hasil minyak dan gas bumi
sebagai dampak dari kebijakan untuk mengekspor minyak dan gas bumi sebagai bahan mentah.
Rantai keterkaitan antar proses produksi di sektor Petrokimia tidak terbentuk sehingga melemahkan
daya saing.
Dalam upaya meningkatkan daya saing di sektor industri Petrokimia, pemerintah memiliki peran
paling penting untuk mengarahkan pengembangan industri Petrokimia yang apdatif dan berdaya
saing. Untuk mencapai hal ini diperlukan himpunan strategi yang komprehensif, yaitu mencakup
strategi sektoral, strategi teknologi, strategi bahan baku, strategi investasi dan pengembangan pasar.
Tujuan dari Buku ini adalah untuk memberikan gambaran bagaimana strategi pengembangan industri
Petrokimia di Indonesia. Diharapkan dengan adanya tulisan buku ini diperoleh kajian untuk
mengembangkan industri Petrokimia agar daya saing industri Petrokimia tanah air dapat meningkat.
Jakarta, November 2011
Tim Penulis
ii
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
RINGKASAN
Industri petrokimia secara sederhana dapat didefinisikan sebagai ”industri yang berbahan baku
utama produk migas, batubara, gas metana batubara, serta biomassa yang mengandung senyawa-
senyawa olefin, aromatik, n-parrafin, gas sintesa dan asetilena. Sementara produk yang dihasilkan
adalah beragam senyawa organik mulai dari yang bersifat produk dasar hingga turunan antara lain
seperti Methanol, Ethylene, Propylene, Butadine, Benzene, Toluene, Xylenes, Fuel Co-products,
Pyrolisis Gasoline, Pyrolisis Fuel Oil, Raffinate dan Mixed C4.
Industri petrokimia adalah salah satu industri strategis baik ditinjau dari posisinya dalam struktur
produk domestik bruto (PDB) industri manufaktur maupun dalam konteks keterkaitan dengan
industri hilir lain seperti tekstil, plastik, karet sintetik, kosmetik, pestisida dan lain-lain.
Fundamental Industri petrokimia Indonesia sangat diuntungkan oleh kondisi potensi sumber
bahan baku dan potensi pasar di dalam negeri yang cukup besar. Namun demikian, industri
petrokimia masih menghadapi berbagai permasalahan kompleks yang bersumber dari belum
terintegrasinya bagian industri hulu - hilir. Kondisi ini pada akhirnya menimbulkan berbagai
persoalan baru mulai dari masalah kelangkaan bahan baku, revitalisasi pabrik tua, infrastruktur
hingga masalah penguasaan R&D dan lain sebagainya.
Langkah integrasi industri petrokimia dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan industri hulu
dan hilir yang dikombinasikan dengan sistem klaster industry. Langkah integrasi ini diharapkan
akan memberikan nilai tambah melalui peningkatan efisiensi, profitabilitas dan pemanfaatan
maksimal atas faktor input dan output. Melalui pendekatan klaster akan tercipta peningkatan
keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif yang ditandai dengan peningkatan
kompetensi inti (distinctive competence) di semua rantai produksi industri pertrokimia.
Di negara-negara yang industri petrokimianya sudah lebih maju, pengembangan industri
petrokimia hulu selalu dipelopori oleh pemerintah atau melalui kerjasama antara pemerintah
dengan swasta. Peran pemerintah menjadi lebih penting sebab pemerintah dituntut mampu
mengarahkan integrasi industri secara tepat. Tanpa ada aturan dan batasan yang jelas mengenai
integrasi, industri petrokimia justru berpotensi menimbulkan “negative concentration” dalam
bentuk monopoli, distorsi pasar, dan ketimpangan wilayah (antara wilayah klaster dan non
klaster).
Selain integrasi berbasis klaster, dalam konteks produksi petrokimia integrasi industri juga dapat
diarahkan dalam bentuk integrasi produksi antara kilang minyak dengan petrokimia plant.
Meskipun strategi ini akan memberikan benefit besar berupa efisiensi produksi dan biaya, namun
dalam pelaksanaannya integrasi ini akan banyak menghadapi tantangan. Tantangan terbesar yang
umum dijumpai antara lain ; teknis operasi, distribusi dan pemasaran yang semakin kompleks,
biaya operasional menjadi sangat fleksibel hingga potensi timbulnya konflik antara perencanaan
dan operasional.
iii
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Berangkat dari identifikasi terhadap faktor-faktor kritis dalam analisa SWOT serta dengan
memperhatikan beberapa major issues terkait pengembangan industri petrokimia terintegrasi
yang dikemukakan diatas maka, diperlukan satu rangkain strategi yang komprehensif mencakup
strategi di level bahan baku (feedstock), industri, teknologi, investasi, pengembangan pasar dan
infrastruktur pendukung.
Pada strategi level bahan baku, fokus utama strategi adalah pada terjaminnya pasokan bahan baku
industri dari hulu – hilir secara tepat dan ekonomis. Hal ini akan sejalan dengan strategi level
industri yang difokuskan pada penguatan struktur industri ke sisi hulu melalui peningkatan utilisasi
produksi.
Strategi level teknologi diarahkan pada pengembangan kemampuan industri dalam negeri melalui
penguatan R&D dan transfer knowledge menuju terciptanya industri petrokimia yang ramah
lingkungan (green industri). Strategi penguasaan dan pengembangan pasar diarahkan pada
pengamanan supply dan demand pasar domestik untuk secara bertahap kemuadian
mengembangkan produk industri dapat bersaing di pasar internasional.
Sementara pada level dukungan infrastruktur, strategi difokuskan pada penyediaan sarana dan
prasarana pendukung utama pengembangan klaster petrokimia yang terdiri dari energi – listrik, air
baku industri, dan transportasi – jalan dan pelabuhan.
Khusus dalam konteks strategi level investasi, fokus utama adalah pada perbaikan iklim investasi
secara komprehesif disertai dengan percepatan realisasi investasi pada klaster-klaster industri
petrokimia. Untuk mengembangkan integrasi industri petrokimia dibutuhkan satu kesinambungan
strategi investasi yang mengacu pada tiga tahapan yaitu jangka pendek (crash program), jangka
menengah dan jangka panjang yang dilakukan secara simultan.
Dalam strategi jangka pendek pengembangan investasi industri petrokimia adalah untuk
mendorong industri hulu petrokimia yang cepat menghasilkan bahan baku dan barang setengah
jadi bagi industri lainnya dan mempercepat penyiapan infrastruktur penunjang. Dalam jangka
menengah strategi pengembangan investasi industri Petrokimia difokuskan pada percepatan
pembangunan infrastruktur fisik, diversifikasi dan konversi energi serta peningkatan kualitas SDM
dan teknologi. Sementara dalam strategi jangka panjang pengembangan investasi industri
petrokimia diarahkan pada strategi pengembangan investasi industri skala besar yang terintegrasi
(hulu ke hilir) dan investasi pada inovasi industri berteknologi tinggi.
Analisa investasi menggunakan metode Cost Benefit Analysis menunjukkan bahwa pembangunan
dan penambahan kapasitas produksi hulu pada klaster industri petrokimia secara terintegrasi
dapat mencapai payback periods pada tahun 2016 (4 tahun), dengan asumsi bahwa proyek ini
dilaksanakan secara serempak dan selesai pada akhir tahun 2012.
iv
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ i
RINGKASAN ...................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................. v
DAFTAR TABEL .................................................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 2
1.3. Tujuan Penulisan ....................................................................................................... 2
1.4. Metode Penulisan ....................................................................................................... 2
BAB II Potret Industri Petrokimia Indonesia dan Global
2.1. Klasifikasi Industri Petrokimia ...................................................................................... 4
2.2. Rantai Nilai Industri Petrokimia ................................................................................... 9
2.3. Produksi dan Konsumsi Industri Petrokimia Indonesia ................................................... 10
2.4. Profil Pelaku Utama Industri Petrokimia........................................................................ 13
2.5. Potensi Ketersediaan Bahan baku Dan Lokasi Klaster Industri Petrokimia ........................ 15
2.6. Perkembangan Global Industri Petrokimia .................................................................... 20
2.7. Perbandingan Industri Petrokimia Domestik dengan Negara Lain ................................... 23
2.8. Pelaku Industri Petrokimia Global ................................................................................ 30
BAB III INDUSTRI PETROKIMIA TERINTEGRASI
3.1. Arah Pengembangan Industri Petrokimia Indonesia ....................................................... 33
3.2. Konsep Klaster Industri Petrokimia .............................................................................. 34
3.3. Industri Petrokimia yang Terintegrasi ........................................................................... 36
Box 1 : Konsep Integrasi Industri Petrokimia dan Refinery ............................................. 41
3.4. SWOT Analisis Industri Petrokimia Terintegrasi ............................................................. 43
3.5. Strategi Pengembangan Petrokimia Terintegrasi Berbasis Klaster ................................... 45
BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN INVESTASI INDUSTRI PETROKIMIA
TERINTEGRASI
4.1. Rencana Umum Penanaman Modal Nasional................................................................. 48
4.2. Strategi Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi ........................................................ 50
4.2.1. Strategi jangka pendek (crash program) ............................................................ 52
4.3.1. Strategi Jangka Menengah ............................................................................... 53
4.4.1. Strategi Jangka Panjang ................................................................................... 53
4.3. Analisis Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi ......................................................... 54
4.3.1 Tujuan Investasi .............................................................................................. 54
4.4.1 Metode Cost Benefit Analysis (CBA)................................................................... 56
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI.................................................................. 60
DAFTAR PUSTAKA
v
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. : Pertumbuhan Industri Petrokimia (2005-2010), % ........................................... 5
Gambar 2.2. : Klasifikasi Industri Petrokimia Secara Horisontal ............................................... 6
Gambar 2.3. : Klasifikasi Industri Petrokimia Secara Vertikal................................................... 6
Gambar 2.4. : Pohon Industri Petrokimia .............................................................................. 8
Gambar 2.5. : Rantai Nilai (Value Chain) Industri Petrokimia .................................................. 9
Gambar 2.6. : Distribusi Konsumsi Urea di Indonesia, % ........................................................ 10
Gambar 2.7. : Potensi Minyak Bumi Sebagai Bahan Baku - Juta barel ...................................... 16
Gambar 2.8. : Potensi Gas Bumi Sebagai Bahan Baku – TCF .................................................. 16
Gambar 2.9. : Potensi Batubara dan CBM sebagai Bahan Baku ............................................... 17
Gambar 2.10. : Provinsi Banten ............................................................................................. 18
Gambar 2.11. : Provinsi Jawa Timur....................................................................................... 19
Gambar 2.12. : Provinsi Kalimantan Timur .............................................................................. 20
Gambar 2.13. : Proyeksi Penambahan Kapasitas dan Konsumsi Olefins Dunia (Juta Ton)............ 21
Gambar 2.14. : Perbandingan Biaya Ethane dan Naptha .......................................................... 22
Gambar 2.15. : Pergerakan Harga Minyak Mentah dan Naptha ................................................. 22
Gambar 2.16. : Pergerakan Harga pada Produk Hilir (PE dan PP) ............................................. 23
Gambar 2.17. : Perbandingan Konsumsi Produk Petrokimia pada
Negara ASEAN, Kg/Kapita/Tahun .................................................................... 24
Gambar 2.18. : Komposisi Produk dan Negara Teluk Penghasil Petrokimia ................................ 28
Gambar 3.1. : Bangun Industri Nasional 2025 ....................................................................... 32
Gambar 3.2. : Jaringan Value Chain Klaster Industri Petrokimia .............................................. 35
Gambar 3.3. : Konsep Klaster Industri Petrokimia dan Potensi Manfaatnya .............................. 36
Gambar 3.4. : Faktor Pendorong Percepatan Integrasi Penyulingan
Minyak dan Petrokimia Plant ........................................................................... 39
Gambar 3.5. : Interface Model Penyulingan Minyak and Petrokimia Plant ................................ 41
Gambar 3.6. : Sinergi Penyulingan Minyak and Petrokimia plant – Aliran Input-Output ............. 42
Gambar 3.7. : Hasil Analisa SWOT untuk Industri Petrokimia .................................................. 43
Gambar 4.1. : Kerangka Pemikiran Perumusan Strategi Pengembangan
Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi ........................................................ 50
vi
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. : Kontribusi Sub Industri terhadap Industri Manufaktur non Migas, % ..................... 4
Tabel 2.2. : Produksi Urea di Indonesia (Ton) ........................................................................ 10
Tabel 2.3. : Produksi Amoniak di Indonesia (Ton) .................................................................. 11
Tabel 2.4. : Profil Industri Olefin di Indonesia (000 Ton) ......................................................... 12
Tabel 2.5. : Produksi Aromatik di Indonesia (Juta Ton) – 2009 ................................................ 13
Tabel 2.6. : Pelaku Industri Petrokimia Domestik ................................................................... 13
Tabel 2.7. : Kapasitas Produksi Industri Petrokimia Singapura ................................................. 25
Tabel 2.8. : Neraca Perdagangan Industri Petrokimia Singapura .............................................. 25
Tabel 2.9. : Kerteh Petrochemical Plant ................................................................................. 26
Tabel 2.10. : Gebeng Petrochemical Plant ............................................................................... 26
Tabel 2.11. : Pasir Gudang – Tanjung Langsat Petrochemical Complex ...................................... 27
Tabel 2.12. : Bintulu – Sarawak Petrochemical Plant ................................................................ 27
Tabel 2.13. : Produksi Petrokimia Malaysia .............................................................................. 27
Tabel 2.14. : Profil Perusahaan Petrokimia di UEA .................................................................... 29
Tabel 2.15. : Pelaku Industri Petrokimia Global ........................................................................ 30
Tabel 3.1. : Karekteristik Utama Industri Petrokimia Hulu-hilir ................................................. 37
Tabel 3.2. : Perbandingan Best Practice Pengembangan Industri Petrokimia Dunia ................... 38
Tabel 4.1. : Kebutuhan Bahan Baku dan Produksi Industri Petrokimia Hingga tahun 2015 ......... 55
Tabel 4.2. : Total Kebutuhan Investasi Kilang Minyak Terintegrasi ........................................... 56
Tabel 4.3. : Kondisi Infrastruktur di Wialayah Target Klaster Industri ....................................... 57
Tabel 4.4. : Proyeksi Keuangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi ................................ 59
1
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu industri manufaktur strategis yang memiliki peran penting dalam struktur industri
nasional adalah industri petrokimia. Struktur industri petrokimia yang kuat akan memberikan
landasan kokoh bagi tumbuh dan berkembangnya industri lain baik yang merupakan turunan
langsung ataupun tidak langsung dari industri tersebut. Kuatnya struktur industri petrokimia
terutama di sisi hulu dan antara tidak hanya akan berdampak positif sebagai penghasil bahan
baku yang dapat memberikan kontribusi terhadap pendapatan devisa negara, namun akan
memperkuat dasar dan mendukung percepatan pertumbuhan industri turunan/hilirnya.
Penguatan struktur industri petrokimia melalui pengisian kekosongan pada pohon industri
diharapkan mampu mengisi peluang perluasan dan pengembangan industri hilir yang berimplikasi
pada penguatan struktur industri, pertumbuhan kesempatan berusaha, pertumbuhan tenaga
kerja, serta alternatif penambahan devisa negara.
Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara dengan keanekaragaman sumberdaya alam yang
melimpah sebagai bahan baku utama industri petrokimia berupa minyak bumi, gas alam, batubara
dan biomassa. Ketersediaan bahan baku tersebut dapat mendorong perkembangan industri
petrokimia yang merupakan penopang industri nasional dalam upaya pemenuhan kebutuhan
manusia terhadap pangan, sandang, papan dan energi.
Optimalisasi sumber daya industri petrokimia dalam rangka meningkatkan daya saing industri
dapat dilakukan melalui pemanfaatan potensi internal berupa maksimalisasi kekuatan struktur
industri serta minimalisasi kelemahan/dampak eksternal industri. Faktor internal meliputi :
optimalisasi pemanfaatan sumber daya bahan baku, orientasi pasar domestik, penguatan
keterampilan sumber daya manusia, optimalisasi fasilitas produksi dan jalur distribusi. Faktor
eksternal meliputi : pertumbuhan permintaan, pengguna, teknologi, harga produk serta
persaingan.
Industri petrokimia dapat dikategorikan sebagai jenis industri yang padat modal (capital intensive),
padat teknologi (technology intensive) dan lahap energi (high absorbed energy). Integrasi mutlak
diperlukan bagi suatu industri terlebih jika industri tersebut memiliki peranan strategis. Disamping
itu, dalam pengembanganya perlu ada satu rangkaian kebijakan dan strategi berkesinambungan
(sustainable policy) yang didukung kerjasama baik tingkat lokal, regional maupun internasional.
Kombinasi kebijakan dan strategi yang tepat mutlak dibutuhkan dalam rangka mendorong
terciptanya efisiensi dan peningkatan daya saing industri petrokimia serta industri secara
keseluruhan.
2
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
1.2 Rumusan Masalah
Untuk mempertajam topik pembahasan dalam penulisan kajian ini, maka perlu diidentifikasikan
beberapa masalah pokok dalam industri petrokimia nasional. Berdasarkan uraian awal
sebelumnya berikut ini adalah identifikasi awal terhadap permasalahan dalam pengembangan
industri petrokimia nasional antara lain :
Industri petrokimia menghadapi permasalahan defisit bahan baku dan produk jadi.
Sementara ketersediaan bahan baku merupakan faktor mutlak dalam mendorong
penguatan produksi industri petrokimia.
Belum terbangunnya konsep integrasi pada industri petrokimia antara sektor hulu
(upstream) dan antara (intermediate) dalam rangka mendukung sektor hilir
(downstream). Selain itu belum adanya integrasi yang kuat di tingkat produksi,
khususnya antara kilang minyak dan petrokimia plant.
Belum adanya strategi pengembangan investasi yang tepat dalam mendukung
pengembangan industri petrokimia yang terintegrasi berbasis klaster.
1.3 Tujuan Penulisan
Bertitik tolak dari rumusan masalah diatas maka kajian ini akan difokuskan dan ditujukan untuk
menjawab beberapa hal :
Kajian ini bertujuan menggali peluang usaha industri petrokimia yang berpotensi
ditumbuh kembangkan berdasarkan ketersediaan bahan baku (local content) dan
permintaan (demand) produk industri.
Kajian ini diharapkan dapat menjelaskan model dan arah pengembangan integrasi
industri petrokimia dalam usaha meningkatkan daya saing. Baik integrasi di tingkat hulu
hingga hilir dan integrasi di tingkat produksi (kilang minyak dan petrokimia plat)
Kajian ini diharapkan dapat memberikan usulan kebijakan yang dapat mendukung
pengembangan investasi dalam industri petrokimia. Disamping itu, kajian ini diharapkan
dapat memberikan gambaran peluang dan nilai investasi dalam pengembangan/
pembangunan proyek industri petrokimia terintegrasi berbasis klaster.
1.4 Metode Penulisan
Data-data yang digunakan pada kajian ini adalah data sekunder dengan jenis data time series.
Adapun sumber data yang digunakan adalah sebagai berikut :
Kementerian Perindustrian
3
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Badan Pusat Statistik (BPS)
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
Referensi studi kepustakaan dan hasil forum group discussion (FGD) yang dilakukan oleh
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
Literatur teks book dan publikasi lainnya
Kajian dilakukan dengan metode kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan
menggunakan metode kajian desk study kepustakaan/survei dokumentasi, metode survey
lapangan dan wawancara diskusi dengan narasumber terkait melalui rapat kordinasi (forum group
discussion). Disamping itu, analisa kualitatif turut didukung oleh metode SWOT (strength weakness
opportunities threats) dalam rangka perumusan strategi pengembangan industri. Khusus untuk
analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan model Cost Benefit Analysis (CBA) dalam
menghitung nilai investasi pengembangan integrasi industri petrokimia.
4
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
BAB II
POTRET INDUSTRI PETROKIMIA INDONESIA DAN GLOBAL
2.1 Klasifikasi Industri Petrokimia
Berdasarkan definisi dari Kementerian Perindustrian, industri petrokimia memiliki pengertian
sebagai berikut :
Industri yang berbahan baku utama produk migas (naphta, kondensat yang merupakan
produk samping eksploitasi gas bumi, gas alam), batu bara, gas metana batubara, serta
biomassa yang mengandung senyawa-senyawa olefin, aromatik, n paraffin, gas sintesa,
asetilena dan menghasilkan beragam senyawa organik yang dapat diturunkan dari
bahan-bahan baku utama tersebut, untuk menghasilkan produk-produk yang memiliki
nilai tambah lebih tinggi daripada bahan bakunya. (Roadmap Industri Petrokimia,
Kementerian Perindustrian, 2009)
Dalam arti yang lebih teknis industri petrokimia dapat diartikan pula sebagai industri yang
berbahan baku utama produk migas (naphta, kondensat yang merupakan produk samping
eksploitasi gas bumi, gas alam), batu bara, gas metana batubara, serta biomassa yang
mengandung senyawa-senyawa olefin, aromatik, n paraffin, gas sintesa, asetilena. Sementara
produk yang dihasilkan adalah beragam senyawa organik mulai dari yang bersifat produk dasar
hingga turunan antara lain seperti Methanol, Ethylene, Propylene, Butadine, Benzene, Toluene,
Xylenes, Fuel Co-products, Pyrolisis Gasoline, Pyrolisis Fuel Oil, Raffinate dan Mixed C4.
Tabel 2.1. Kontribusi Sub Industri Petrokimia Terhadap Industri Manufaktur Non Migas, %
Peranan strategis industri petrokimia salah satunya dapat direfleksikan dari besarnya kontribusi industri
petrokimia terhadap industri manufaktur non minyak dan gas. Berdasarkan data BPS, industri petrokimia
merupakan tiga sub kelompok yang memiliki peranan terbesar terhadap industri manufaktur non minyak
dan gas, selain industri makanan minuman (33,2%) dan alat angkut, mesin dan peralatannya (27,3%).
(sumber : Badan Pusat Statistik)
5
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Industri petrokimia memilki nilai strategis sebagaimana yang ditunjukan dari indikator kontribusi
terhadap industri manufaktur non migas. Berdasarkan struktur produk domestik bruto (PDB)
Indonesia, industri petrokimia (pupuk, kimia dan barang dari karet) termasuk dalam tiga besar sub
kelompok industri yang memberikan kontribusi besar terhadap industri manufaktur Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) kontribusi industri petrokimia terhadap industri
manufaktur non migas tercatat sebesar 12,8% pada tahun 2009.
Pada 2010, tingkat pertumbuhan industri petrokimia tercatat sebesar 4,5% per tahun atau
mengalami peningkatan dibandingkan dengan realisasi tahun 2009 pada 1,5%. Namun demikian,
tren pertumbuhan industri petrokimia tersebut cenderung mengalami tren pelemahan jika
dibandingkan dengan pertumbuhan pada tahun 2005 yang masih berada di level 8,8% pa.
Nilai strategis industri petrokimia diatas dapat turut direfleksikan dari rantai nilai (value chain)
yaitu keterkaitan output yang dihasilkan sebagai bahan baku bagi industri lain (hilir). Dalam
industri petrokimia, output yang dihasilkan merupakan bahan baku bagi industri lain (hilir) lainnya
baik secara langsung ataupun tidak langsung seperti industri tekstil, plastik, karet sintetis,
kosmetik, pestisida, bahan pembersih, bahan farmasi, bahan peledak, bahan bakar, kulit imitasi,
otomotif dan lain-lain.
Ditinjau dari proses produksi dan tingkatan jenis produknya industri petrokimia dapat digolongkan
secara horisontal dan vertikal. Penggolongan secara horisontal adalah didasarkan pada proses
produksi dan jenis/karakteristik output yang dihasilkan dalam industri petrokimia atau lebih
dikenal sebagai basis produksi.
Gambar 2.1. Pertumbuhan Industri Petrokimia (2005-2010), %
Industri petrokimia sempat mencatatkan pertumbuhan yang pesat pada tahun 2005 yaitu sebesar 8,8%
(y-o-y). Namun, pencapaian pertumbuhan industri petrokimia cenderung menurun dan mencapai titik
terendah pada 2009 sebesar 1,5% (y-o-y). Pada tahun 2010, industri petrokimia berhasil mencatatkan
pertumbuhan lebih tinggi yaitu sebesar 4,5% (y-o-y). (Sumber : Badan Pusat Statistik – BPS 2010)
6
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Sementara pembagian industri petrokimia secara vertikal adalah penggolongan industri
berdasarkan tingkatan sifat produknya. Apakah berfungsi sebagai produk jadi (final produk),
produk antara (produk setengah jadi) ataupun produk mentah (bahan baku dari industri
lanjutanya). Berikut ini adalah penggolongan industri petrokimia secara vertikal:
Gambar 2.3. Klasifikasi Industri Petrokimia secara Vertikal
Gambar 2.2. Klasifikasi Industri Petrokimia Secara Horisontal
Metana (C1) Olefin Aromatik
menghasilkan produk-produk
seperti amoniak, metanol,
urea, formaldehid, asam
asetat, dsb
menghasilkan produk-produk
seperti etilena, propilena,
butena, butilena, etilen glikol,
polietilena, dsb
Menghasilkan produk-produk
seperti benzena, paraxilena,
ortoxilena, ortoxilena, toluena,
alkil benzena, etil benzena, dsb.
Klasifikasi industri petrokimia secara horisontal terbagi atas Metana (C1), Olefin dan Aromatik. (sumber
Sumber : Roadmap Kementerian Perindustrian)
Industri Petrokimia
Klasifikasi industri petrokimia secara vertikal terbagi atas industri petrokimia hulu yaitu industri C1, olefin
dan aromatik; industri petrokimia antara yaitu industri turunan dari petrokimia hulu seperti etilen glikol,
alkil benzen, pthalik anhidirid, PTA, dsb; industri petrokimia hilir yaitu industri yang menghasilkan produk
yang dimanfaatkan oleh industri pengguna akhir seperti industri plastik, serat, sintetis, dsb. (sumber :
Roadmap Kementerian Perindustrian)
Industri Hulu
Industri Antara
Industri Hilir
Industri Petrokimia
Industri Hulu
Industri Antara Industri Petrokimia
7
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Klasifikasi industri petrokimia secara vertikal dan horisontal seperti yang telah dijelaskan diatas
dapat dijabarkan secara lengkap kedalam suatu pohon industri. Sehingga diperoleh gambaran peta
industri petrokimia dan keterkaitannya baik secara basis produksi maupun sifat dari
produk/output yang dihasilkan. Berikut ini adalah pohon industri petrokimia berbasis migas dan
kondensat.
8
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Gambar 2.4. Pohon Industri Petrokimia
Ka
9
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
2.2 Rantai Nilai Industri Petrokimia
Rantai nilai (value chain) menurut Michael E Porter didefinisikan sebagai model yang digunakan
untuk membantu menganalisis aktivitas-aktivitas spesifik yang dapat menciptakan nilai dan
keuntungan kompetitif bagi keseluruhan organisasi. Rantai nilai yang terintegrasi akan
meningkatkan nilai keseluruhan bagian dalam rantai yang ada.
Dalam rantai nilai industri, industri petrokimia memiliki peranan strategis yaitu dari sisi output
yang dihasilkan merupakan bahan baku untuk industri hilir yang terkait langsung dan tidak
langsung. Adapun jenis-jenis industri yang terkait langsung adalah industri pertambangan, papan,
pangan, sandang, fine chemicals. Sedangkan jenis industri yang terkait tidak langsung adalah alat
transportasi, hankam, usaha kecil menengah (UKM), telekomunikasi.
Dalam rangka meningkatkan daya saing suatu rantai nilai, maka dibutuhkan suatu konsep
pengembangan yang terpadu mencakup semua komponen dalam industri tersebut mulai dari
sektor hulu hingga hilir. Hal tersebut dapat ditempuh antara lain melalui integrasi ataupun
klasterisasi kelompok industri yang sejenis.
Gambar 2.5. Rantai Nilai (Value Chain) Industri Petrokimia
Rantai Nilai (Value Chain) Industri Petrokimia. Dalam suatu rantai nilai (Value Chain), industri petrokimia
memiliki keterkaitan strategis seiring dengan output yang dihasilkan merupakan bahan baku bagi industri
yang berkaitan langsung dan tidak langsung. (sumber : Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam Mineral
(ESDM)
Ka
10
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
2.3 Produksi dan Konsumsi Industri Petrokimia Indonesia
A. Sub Industri Metana (C1)
Industri Petrokimia berbasis bahan baku utama gas-metana menghasilkan produk turunan berupa
amoniac dan methanol. Selanjutnya industri petrokimia berbasis amoniak menghasilkan produk-
produk seperti urea, asam nitrat dan kaprolaktam. Produksi urea pada 2009 mencapai 6,86 juta
ton dengan tingkat rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar 4%. Konsumsi urea di Indonesia
pada 2009 mencapai 6,39 juta ton dimana sebagian besar ditujukan untuk sektor pertanian dalam
skema subsidi sesuai dengan regulasi Kementerian Pertanian.
Tabel 2.2. Produksi Urea di Indonesia (Ton)
Gambar 2.6. Distribusi Konsumsi Urea di Indonesia, %
Total Konsumsi (2009) : 6,38 Juta Ton
Pertanian / Subsidi Pemerintah : 4,67 Juta Ton
Ekspor : 0,61 Juta Ton
Industri : 0,37 Juta Ton
Perkebunan : 0,73 Juta Ton
Perkembangan produksi urea di Indonesia. Total produksi tercatat sebesar 6,86 juta ton pada 2009
dengan tingkat pertumbuhan sebesar per 4% tahun. Kontribusi produsen urea terbesar yaitu Pupuk
Kalimantan Timur dan Pupuk Sriwidjaja. (sumber : Pupuk Sriwidjaja)
Berdasarkan distribusi konsumsi urea di Indonesia adalah ditujukan untuk aktivitas pertanian sebesar
73% dari total konsumsi, perkebunan sebesar 11% dari total konsumsi, Ekspor sebesar 10% dari total
konsumsi dan keperluan industri sebesar 6% dari total konsumsi. (sumber : Pupuk Sriwidjaja)
Ka
11
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Pada 2009, produksi amoniak tercatat sebanyak 4,57 juta ton dengan rata-rata pertumbuhan
produksi per tahun sebesar 5,9%. Sementara itu, konsumsi amoniak domestik tercatat sebanyak
164 ribu ton sedangkan ekspor tercatat sebanyak 354 ribu ton. Sebagian besar hasil amoniak ini
langsung diolah oleh industri pupuk.
Metanol atau metil alkohol adalah produk industri hulu petrokimia yang merupakan turunan dari
gas alam yang digunakan oleh berbagai industri antara lain, industri plywood, tekstil, plastik, resin
sintetis, farmasi, insektisida, pelarut, bahan pendingin, dan juga bahan baku perekat. Produk-
produk turunan metanaol yang umum dihasilkan antara lain :
Metil tetra butil eter (MTBE), heksametilen tetraamin
Formaldehid
Asam asetat
Asetat anhidrida
Metil klorida
Metil akrilat
Dimetil eter
Dimetil amin
Sekitar 60% dari produksi domestik ditujukan untuk memenuhi permintaan ekspor. Saat ini
Indonesia hanya memiliki dua kilang metanol yaitu di daerah Kalimantan Timur. Kedua kilang
tersebut masing-masing dikelola oleh PT. Medco Metanol Bunyu (MMB) dan kilang milik PT. Kaltim
Metanol Industri (KMI). Kedua kilang tersebut memiliki kapasitas total sebesar 990.000 ton/tahun.
Impor metanol masih dibutuhkan untuk mendukung pasokan metanol dalam rangka memenuhi
konsumsi domestik. Pada 2009, volume impor metanol tercatat sebanyak 76,974 ton dengan nilai
US$ 17,3 juta. Impor metanol masih terjadi selain dikarenakan faktor spesifikasi produksi yang
berbeda juga disebabkan adanya insentif harga impor yang lebih murah.
Tabel 2.3. Produksi Amoniak di Indonesia (Ton)
Perkembangan produksi amoniak di Indonesia. Total produksi tercatat sebanyak 4,57 juta ton dengan
tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 5,9% . Produsen terbesar yaitu Pupuk Sriwidjaja
dengan total produksi sebanyak 1,3 juta ton dan Pupuk Kalimantan Timur dengan total produksi
sebanyak 1,8 juta ton. (sumber : Pupuk Sriwidjaja)
Ka
12
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
B. Sub Industri Olefin
Produk olefin digunakan sebagai bahan baku untuk pengolahan polyethylene (PE), ethylene oxide,
ethyl benzene, ethylene glycol (EG), ethylene dichloride (EDC), vinyl chloride monomer (VCM), vinyl
acetate (VAC).
Produsen ethylene hanya ada satu di Indonesia, yaitu: Chandra Asri Petrochemical Center (CAPC).
Pada 2009, produksi ethylene di Indonesia sebanyak 455 ribu ton sedangkan propylene sebanyak
437 ribu ton.
Sementara itu, konsumsi domestik produk olefin jauh lebih banyak dibandingkan produksi
domestik. Konsumsi ethylene domestik tercatat sebanyak 1,1 juta ton sementara propylene
sebanyak 706 ribu ton.
Defisit produksi olefin ini menyebabkan tingginya ketergantungan terhadap aktivitas impor. Pada
2009, volume impor ethylene tercatat sebanyak 664 ribu ton atau ± 60% terhadap konsumsi
domestik. Sedangkan volume impor propylene tercatat sebanyak 269 ribu ton atau 38% terhadap
konsumsi domestik.
C. Sub Industri Aromatik
Benzene dan Paraxylene telah lama diproduksi oleh kilang Pertamina di Cilacap, dengan kapasitas
produksi mencapai 108.000 ton/tahun (benzene) dan 252,000 ton/tahun (paraxylene). Tahun
Tabel 2.4. Profil Industri Olefin di Indonesia (000 Ton)
Analisa produksi dan konsumsi industri olefin di Indonesia. Pada industri olefin, terjadi defisit produksi
yaitu total produksi lebih sedikit dibandingkan total konsumsi. Hal ini mendorong peningkatan peranan
produk impor dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi domestik. (sumber : Kementerian
Perindustrian)
Ka
13
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
2006, Tuban Petrochemical membuka fasilitas produksi dengan kapasitas 300.000 ton benzene
dan 500.000 ton paraxylene per tahun.
2.4 Profil Pelaku Utama Industri Petrokimia
Profil beberapa pelaku utama industri petrokimia domestik sebagai berikut :
Nama Perusahaan Profil Perusahaan
PT Chandra Asri Petrochemical
PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. (CAP), produsen petrokimia terintegrasi dan terbesar di Indonesia. CAP merupakan perusahaan hasil merger vertikal antara PT Chandra Asri dan PT Tri Polyta Indonesia. Kapasitas Produksi
Etylene : 600.000 MT per tahun Propylene : 320.000 MT per tahun Crude C4 : 220.000 MT per tahun
Tabel 2.6 . Pelaku Utama Industri Petrokimia Domestik
Tabel 2.5. Produksi Aromatik di Indonesia (Juta Ton) - 2009
Berdasarkan data, kapasitas produksi industri aromatik untuk produk benzena sebesar 207 ribu ton,
paraxylene sebesar 100 ribu ton dan orthoxylene sebesar 500 ribu ton. (Sumber : PT Tuban
Petrochemical)
Ka
14
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Py-gas : 280.000 MT per tahun Polyethylene : 320.000 MT per tahun Polypropylene : 480.000 MT per tahun Struktur kepemilikan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk, sebesar 66,36% sahamnya dimiliki PT Barito Pacific Tbk. Apleton Investment Ltd menguasai 22,87% saham, dan Marigold Resources Pte. Ltd memiliki 5,52% saham serta sebesar 5,25% dikuasai publik.
PT Petrokimia Gresik
Berdiri : 1972 Status : BUMN Kapasitas Produksi Amoniak : 445.000 MT per tahun Urea : 460.000 MT per tahun
PT Pupuk Sriwidjaja (holding)
Berdiri : 1974 Status : BUMN Kapasitas Produksi Amoniak : 4,5 juta MT per tahun Urea : 6,8 juta MT per tahun
PT Titan Petrokimia Nusantara
Berdiri : 1993 Status : Penanaman Modal Asing Kapasitas Produksi Polyetylene : 450.000 MT per tahun
PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (PT TPPI)
Berdiri : 1993 Status : Penanaman Modal Asing Kapasitas Produksi Light Naphtha : 1.065.000 ton/year Benzene : 207.000 ton/year Toluene : 100.000 ton/year Paraxylene : 500.000 ton/year Orthoxylene : 120.000 ton/year Kerosene : 1.100.000 ton/year Reformate : 335.000 ton/year Fuel oil residu : 72.600 ton/year Fuel gas : 367.000 ton/year Diesel Oil : 189.000 ton/year
Ka
15
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
PT Polytama Propindo
PT Polytama Propindo adalah produsen kedua terbesar PP resin di Indonesia dengan kapasitas produksi mencapai 180.000 ton pada tahun 1996 dan pada tahun 2005 kapasitas produksinya ditingkatkan hingga mencapai 200.000 ton Lokasi PT Polytama Propindo berada di Balongan, Indramayu, Jawa Barat yang berdekatan dengan kilang Pertamina Exor 1 yang mensuplai kebutuhan Propylene bagi PT Polytama Propindo. PT Polytama Propindo merupakan joint Venture( PMA) yang didirikan oleh PT Tirtamas Majutama (80%) yang dimiliki oleh Hashim S. Djoyohadikusumo dan Nissho Iwai Corp. Jepang(10%) dan BP Chemical Co. Inggris (10%).
PT Pertamina Plaju
Kilang Polypropylene Pertamina Plaju dibangun pada tahun 1971 di Plaju Sumatera Selatan, dengan kapasitas produksi 20.000 per tahun, kemudian pada tahun 1994 di lakukan Revamping untuk meningkatkan kapasitasnya menjadi 45.000 ton per tahun Produk yang dihasilkan Pertamina Plaju adalah Polytam / Polypropylene pellet (biji plastik) yang di produksi melalui proses polimerisasi gas propylene dengan modifikasi beberapa aditif yaitu antioxidant, stabilizer, lubricant, antiblokck dan slip agent.
2.5 Potensi Ketersediaan Bahan Baku dan Lokasi Klaster Industri Petrokimia
Indonesia memiliki sumber daya alam berupa minyak bumi, gas alam, batubara dan biomassa yang
realatif besar dan semua sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan dalam mendorong
perkembangan industri petrokimia. Namun demikian, industri petrokimia masih menghadapi
permasalahan terkait dengan kurangnya dukungan kebijakan untuk pemanfaatan sumber daya
minyak bumi, gas alam dan batubara lokal sebagai bahan baku industri petrokimia nasional.
Sebagai contoh, tersedianya sumber bahan baku naphta, condensate dan gas bumi saat ini lebih
banyak ditujukan untuk orientasi ekspor, sementara batubara dan biomassa belum diarahkan
pada pengembangan lanjutan sehingga tetap diekspor dalam bentuk raw material yang minim
nilai tambahnya.
Untuk minyak meskipun jumlahnya tidak besar namun Indonesia masih memiliki potensi cadangan
terbukti sebesar 4 miliar barrel dengan tingkat produksi sekitar 950 ribu barel per day.
Sumber: Kementerian Perindustrian
Ka
16
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Sementara untuk potensi bahan baku industri petrokimia berbasis gas, cadangan gas Indonesia
masih cukup besar yaitu mencapai 180 triliun cubic feet dengan tingkat produksi 2,87 juta cubic
feet per tahun.
Persebaran potensi sumber daya industri petrokimia berbasis minyak bumi. Berdasarkan data, potensi
sumber daya berbasis minyak bumi terbesar terdapat pada wilayah pulau Sumatera bagian tengah,
Kalimantan Timur, dan pulau Jawa bagian barat - timur. (sumber : Kementerian ESDM)
Persebaran potensi sumber daya industri petrokimia berbasis gas bumi. Berdasarkan data, cadangan gas
bumi terbesar terdapat pada wilayah perairan Natuna, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan dan Papua.
(sumber : Kementerian ESDM)
Gambar 2.7. Potensi Minyak Bumi Sebagai Bahan Baku - Juta barel
Gambarl 2.8. Potensi Gas Bumi Sebagai Bahan Baku - TCF
Ka
17
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Diluar kedua sumber bahan baku utama industri petrokimia minyak bumi dan gas, Indonesia juga
dapat mengembangkan sumberdaya bahan baku industri petrokimia berbasis mineral batubara,
baik dalam bentuk batubara biasa maupun dalam bentul coal bed methane (gas batubara). Untuk
kedua sumber bahan baku ini potensinya masih sangat besar dan belum tergarap secara optimal.
Persebaran potensi sumber daya industri petrokimia berbasis batubara. Berdasarkan data, cadangan
batubara dan CBM terbesar terdapat pada wilayah Sumatera bagian tengah dan Kalimantan bagian timur –
selatan (sumber : Kementerian ESDM)
Gambar 2.9. Potensi Batubara dan CBM sebagai Bahan Baku
Penyebaran Potensi Batubara Indonesia
Penyebaran Potensi CBM Indonesia
Ka
18
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Untuk mencapai industri petrokimia yang kompetitif dalam persaingan internasional dengan
mendapatkan pasokan yang stabil dan kompetitif, maka diperlukan suatu kerjasama menyeluruh
yang melibatkan semua pemangku kepentingan dan keterkaitan harmonis terutama antara
industri primer (refinery/migas) dengan industri petrokimia hulu dan industri petrokimia hulu
dengan industri petrokimia antara maupun hilir.
Untuk mendukung hal tersebut, Kementerian Perindustrian telah mencanangkan pengembangan
klaster industri petrokimia. Pendekatan klaster ini digunakan mengingat industri petrokimia
memiliki keterkaitan yang kuat secara horizontal dan vertikal dengan industri hilirnya dan sub-
sektor industri/sektor ekonomi lainnya.
Berdasarkan Roadmap Industri Petrokimia – Kementerian Perindustrian, klaster industri
petrokimia terbagi atas provinsi Banten, Jawa Timur dan Bontang.
Gambar 2.10. Provinsi Banten
Basis Industri : Olefin
Konsentrasi Lokasi : Anyer, Merak, Cilegon
Produsen : PT Chandra Asri
PT. Tri Polyta Indonesia.
PT. TITAN
PT. Styrindo Mono Indonesia
PT.Asahimas Chemical
PT. Dow Chemical Indonesia
PT. Amoco Mitsui PTA Indonesia
PT. GT Petrochem Industries
PT. Satomo Indovyl Monomer
Ka
19
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Gambar 2.11. Provinsi Jawa Timur
Basis Industri : Aromatik
Konsentrasi Lokasi : Tuban, Gresik, Lamongan
Produsen : PT. Trans Pasific Petrochemical Indotama (Jatim),
PT. Petrokimia Gresik
PT. Aktif Indonesia Indah
PT.Akzo Nobel Raung Resin
PT.Albright & Wislon manyar
PT.Arjuna Utama Kimia
PT.Eterindo Nusa Graha
PT.Golden Bridge Chemicals
PT.Maspion Styrene
PT.Mitsui Eterindo Chemical
PT.Pamolite Adhesive
PT.Petro Oxo Nusantara
PT Petrokimia
PT.Petrowidada
PT.Samator Inti Peroxide
PT.Siam Maspion Polymer
PT.Sindopex Perotama
Ka
20
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
2.6 Perkembangan Global Industri Petrokimia
Krisis ekonomi global pada tahun 2008 telah memberikan tekanan besar pada permintaan dan
konsumsi industri petrokimia global. Tercatat pada saat itu terjadi penurunan konsumsi pada
produk (ethylene dan propylene) lebih dari 9 juta ton. Sementara itu, terjadinya krisis global juga
telah menyebabkan credit crunch yang berdampak pada penundaan investasi pembangunan
pabrik-pabrik petrokimia berbiaya tinggi. Meskipun pada periode tersebut masih ada tambahan
kapasitas pabrik baru rata–rata 5 juta ton pertahun yang berasal dari kawasan Timur Tengah.
Gambarl 2.12. Provinsi Kalimantan Timur
Basis Industri : Metana (C1)
Konsentrasi Lokasi : Bontang
Produsen : PT.Balik Papan Forest
PT.Cakram Utama Jaya
PT. DSM Kaltim Melamine
PT.Fintra Hamka Mandiri
PT.Inne Donghwa
PT.Kaltim Hexamindo
PT.Kaltim Hexamindo W
PT.Kaltim Methanol Industry
PT.Kaltim Pacific Amoniak
PT.Kaltim Parna Industri
PT.Lakosta Indah
PT.Pertamina
PT.Prima Adhenas
• Pupuk Kalimantan Timur, PT.
Ka
21
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Skenario proses pemulihan ekonomi global (economy recovery) akan mendorong peningkatan
kapasitas produksi yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2010-2011 khususnya dari kawasan
Timur Tengah dan Asia, meski demikian diperkirakan efek riil penambahan kapasitas baru akan
dirasakan dalam beberapa tahun ke depan, sebab sebagian besar pemilik pabrik masih menahan
produksi untuk mendapatkan kompensasi margin.
Ekspansi kapasitas selama 2008- 2011 diproyeksikan baru akan terserap oleh konsumsi dalam 2
tahun ke depan setidaknya hingga 2012, sehingga operating rate (utilisasi industri) diperkirakan
juga akan mengalami peningkatan.
Perkembangan lain yang saat ini juga perlu diperhatikan adalah terkait tren peralihan sumber
bahan baku utama industri pertokimia dari sumber bahan baku naptha (minyak bumi) beralih
menjadi ethane (gas alam). Faktor utama yang mendorong peralihan ini adalah biaya per unit
produk yang sangat jauh berbeda (lebih rendah) sehingga menarik investor untuk mulai melirik
sumber bahan baku gas alam.
Tren pemanfaatan ethane secara luas berdampak pada kebutuhan investasi baru petrokimia plant
berbasis gas, selain itu hal ini akan mempengaruhi peta persaingan industri petrokimia dunia
bergeser ke negara-negara dengan basis produksi gas besar seperti kawasan Timur Tengah dan
Eropa Timur. Dari sisi harga produk diharapkan masuknya teknologi dengan bahan baku gas alam
akan mendorong harga produk petrokimia lebih kompetitif.
Gambar 2.13. Proyeksi Penambahan Kapasitas dan Konsumsi Olefins Dunia (Juta Ton)
Ditengah terjadinya krisis global yang menyebabkan penurunan permintaan. Ekspansi pabrik baru pada
periode tersebut terus dilakukan terutama yang berasal dari kawasan Timur Tengah sehingga terjadi excess
capacity berupa penambahan kapasitas rata-rata 5 juta ton pertahun. Ekspansi kapasitas selama 2008-
2011 diproyeksikan baru akan terserap oleh konsumsi dalam 2 tahun ke depan setidaknya akhir tahun
2012. (sumber : www.chemsystems.com)
Ka
22
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Dalam jangka pendek, faktor tren harga minyak akan sangat mempengaruhi kinerja industri
petrokimia melalui pergerakan harga naptha sebagai bahan baku utama. Tren pergerakan minyak
diperkirakan masih volatile dalam rentang terbatas terkait kondisi pemulihan ekonomi global yang
belum stabil
Gambar 2.14. Perbandingan Biaya Ethane dan Naptha
Dari perbandingan ini terlihat bahwa proporsi terbesar industri petrokimia dunia masih menggunakan
bahan baku Naphta dan bahan baku ini adalah yang termahal bila dibandingkan dengan bahan baku
lainnya. Secara umum tingkat harga produk Indonesia cukup dapat bersaing, namun terlihat bahwa biaya
overhead dan interest cost di Indonesia sedikit lebih besar dibandingkan dengan di negara lainnya. (sumber
: Industry Analyst Bank Mandiri)
Gambar 2.15. Pergerakan Harga Minyak Mentah dan Naptha
Pergerakan harga minyak mentah dan naptha. Dari perbandingan tren harga minyak dan naptha
menunjukan bahwa terdapat hubungan yang searah baik ketika kenaikan maupun penurunan harga
minyak terhadap harga naptha. (sumber : Bloomberg)
Ka
23
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Dampak nyata dari kondisi harga minyak dan naptha berpengaruh langsung pada tren harga
produk olahan petrokimia antara lain polyethylene dan polypropylene seperti pada ilustrasi berikut
:
2.7 Perbandingan Industri Petrokimia Domestik dengan Negara Lain
Potensi permintaan industri petrokimia domestik masih besar seiring dengan konsumsi produk
petrokimia per kapita yang baru mencapai 9 kg per kapita per tahun. Tingkat konsumsi domestik
ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi produk-produk petrokimia pada negara
utama di wilayah ASEAN seperti Malaysia sebanyak 44 kg/kapita/tahun, Singapura sebanyak 75
kg/kapita/tahun, Thailand sebanyak 18 kg/kapita/tahun dan Philipina sebanyak 10
kg/kapita/tahun.
Namun di tengah potensi permintaan yang tinggi tersebut perkembangan industri petrokimia
nasional masih belum cukup optimal, sehingga berdampak pada tingkat impor produk petrokimia
baik hulu dan hilir yang selalu cenderung meningkat setiap tahun. Hal tersebut semakin
memberatkan bagi industri domestik, ketika pada saat yang bersamaan penerapan aturan
perdagangan bebas antar negara di kawasan ASEAN dan China diberlakukan.
Bagaimana perbandingan industri petrokimia nasional di tengah persaingan industri petrokimia
utama dunia lainnya khususnya dalam konteks strategi pengembangan industri petrokimia ?.
Gambar 2.16. Pergerakan Harga pada Produk Hilir (PE dan PP) – US$/MT
Pergerakan harga produk industri petrokimia yaitu polyethylene (PE) dan polypropylene (PP). Pergerakkan
harga PE dan PP cenderung mengikuti fluktuasi pergerakan harga minyak mentah. Ketika terjadi kenaikan
harga minyak mentah akan mendorong peningkatan harga PE dan PP. Kondisi sebaliknya, ketika terjadi
penurunan harga minyak mentah akan mendorong penurunan harga PE dan PP. (sumber : Bloomberg)
Ka
24
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Berkaca pada pasar internasional, posisi pangsa pasar produk-produk petrokimia Indonesia di
pasar dunia masih relatif kecil yaitu dibawah 0,5% terhadap total produk petrokimia global. Agar
dapat bersaing di pasar internasional, kemampuan produksi industri petrokimia ditentukan oleh
penguasaan bahan baku, teknologi, modal untuk investasi serta tingkat integrasi antar industri.
Integrasi menentukan efisiensi industri dan pada gilirannya meningkatkan daya saing dalam
memenangkan kompetisi pasar.
Berikut ini perkembangan industri petrokimia pada negara wilayah Asia untuk melihat strategi dan
kebijakan yang diambil oleh masing-masing negara.
PROFIL INDUSTRI PETROKIMIA SINGAPURA
Industri petrokimia di Singapura dimulai dari pengembangan Singapore Petrochemical Complex di
Ayer Merbau pada tahun 1984. Perkembangan terakhir, Singapore Petrochemical Complex
terintegrasi dari beberapa industri kilang minyak (upstream) hingga perusahaan yang bergerak
dalam sisi hilir petrokimia (downstream)
Dalam perdagangan internasional, Singapura memegang peranan penting sebagai perantara
perdagangan produk petrokimia dari wilayah Asia termasuk Asia Tenggara menuju Amerika dan
Eropa, begitupun terjadi sebaliknya.
Gambar 2.17. Perbandingan Konsumsi Produk Petrokimia
Pada Negara ASEAN, Kg/Kapita/Tahun
Perbandingan tingkat konsumsi produk petrokimia di ASEAN. Tingkat konsumsi domestik ini relatif lebih
rendah dibandingkan dengan konsumsi produk-produk petrokimia pada negara utama di wilayah ASEAN
seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina. (sumber : Roadmap Industri Petrokimia Indonesia)
Ka
25
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Kebijakan insentif yang dikembangkan oleh Singapura untuk mendorong perkembangan industri
petrokimia diantaranya terdiri dari keringanan bea masuk, tarif serta jaringan penjualan
(marketing network) melalui kerja sama perusahaan Singapura dengan berbagai institusi yang
terdapat di seluruh dunia.
Tabel 2.7. Kapasitas Produksi Industri Petrokimia Singapura
Sumber : Singapore Chemical Industry Council Limited (SCIC)
Tabel 2.8. Neraca Perdagangan Industri Petrokimia Singapura
Ka
26
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
PROFIL INDUSTRI PETROKIMIA MALAYSIA
Industri Petrokimia Malaysia berada dalam empat kawasan industri petrokimia yang merupakan
kawasan yang terintegrasi dari sektor hulu hingga hilir petrokimia. Kawasan tersebut terdiri dari :
1. Kerteh Integrated Petrochemical Complex
2. Gebeng Pahang Integrated Petrochemical Complex
Sumber : Singapore Chemical Industry Council Limited (SCIC)
Tabel 2.9. Kerteh Petrochemical Plant
Sumber : Malaysia Industrial Development Authority (MIDA)
Tabel 2.10. Gebeng Petrochemical Plant
Sumber : Malaysia Industrial Development Authority (MIDA)
Ka
27
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
3. Pasir Gudang – Tanjung Langsat Integrated Petrochemical Complex
4. Bintulu - Sarawak Integrated Petrochemical Complex
Tabel 2.11. Pasir Gudang – Tanjung Langsat Petrochemical
Complex
Sumber : Malaysia Industrial Development Authority (MIDA)
Tabel 2.12. Bintulu – Sarawak Petrochemical Plant
Sumber : Malaysia Industrial Development Authority (MIDA)
Tabel 2.13. Produksi Petrokimia Malaysia
Sumber : Malaysia Industrial Development Authority (MIDA)
Ka
28
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
PROFIL INDUSTRI PETROKIMIA UNI EMIRAT ARAB (UEA)
Uni Emirat Arab (UEA) merupakan negara yang berdasarkan letak geografisnya termasuk dalam
kawasan teluk (Gulf) dengan kapasitas cadangan minyak 98 miliar barel atau hampir 10% dari
cadangan minyak Dunia.
Negara kawasan teluk yang memproduksi produk petrokimia dari hulu maupun hilir adalah Saudi
Arabia, Iran, Qatar, UEA dan Bahrain. Kontribusi terbesar produksi petrokimia adalah Negara
Saudi Arabia dengan kontribusi sebesar 50% sedangkan yang terkecil adalah Bahrain sebesar 1%.
Kebijakan pemerintah UEA dalam rangka pengembangan Industri Petrokimia adalah :
• Produksi Petrokimia dimulai dari hulu (minyak mentah), produk antara/intermediate
(seperti Ethylene dan Propylene) dalam satu kawasan yang terintegrasi dengan refinery
• Melakukan kerjasama dengan negara tujuan ekspor minyak mentah diantaranya ke Jepang
dan Korea Selatan dan negara tersebut memfasilitasi UEA untuk dapat menyewa kilang
penimbunan minyak.
• Meningkatkan kepemilikan saham pada perusahaan industri bahan kimia di seluruh dunia
dengan target tahun 2015 sekitar 16% menjadi 20% pada tahun 2020.
• IPIC yang merupakan holding yang berdiri sejak tahun 1984, dan telah berhasil membangun
suatu kemitraan yang berbentuk portofolio perusahaan dan industri. Investasi pertama IPIC
Gambar 2.18. Komposisi Produk dan Negara Teluk Penghasil Petrokimia
Berdasarkan karakteristik output yang dihasilkan industri petrokimia di UEA, produk kimia dasar
(upstream) memberikan kontribusi sebesar 37%, produk petrokimi antara (intermediate) sebesar 15% dan
produk petrokimia hilir (downstream) sebesar 48% terhadap total produksi. Sementara itu, produksi
petrokimia UEA memberikan kontribusi sebesar 3% terhadap total produksi petrokimia negara-negara di
kawasan Timur Tengah. (sumber : informasi diolah dari berbagai sumber)
Ka
29
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
di luar negeri dimulai tahun 1988 di Spanyol yang dikenal dengan nama perusahaan CEPSA,
yang bergerak di bidang usaha industri minyak terintegrasi. Selanjutnya, IPIC melakukan
investasi di berbagai negara dan yang terakhir pada tahun 2009 di Kanada pada bidang
kimia dengan mengakuisisi 100% perusahaan kimia NOVA
Nama Perusahaan Profil Perusahaan
ADNOC (Abu Dhabi National Oil Company)
Abu Dhabi National Oil Company (ADNOC) didirikan pada tahun 1971, merupakan perusahaan negara dibidang minyak dan gas, termasuk peringkat sepuluh besar di dunia. ADNOC saat ini terus melakukan ekspansi serta mendirikan perusahaan dan anak perusahaan untuk kegiatan eksplorasi minyak dan gas di Abu Dhabi dengan kapasitas produksinya lebih dari 2,7 juta barel per hari Perkembangan perusahaan untuk selama tiga dekade terakhir, ADNOC telah memperluas kegiatan usahanya, dan dapat meningkatkan posisi yang kompetitif dan berhasil menjadi salah satu perusahaan terkemuka di dunia dengan bisnis utamanya adalah minyak yang merupakan kegiatan hulu dan hilir, termasuk transportasi, pemasaran, pengiriman serta distribusi ADNOC memiliki 14 anak perusahaan di berbagai bidang mencakup industri minyak mentah, gas alam dan industri petrokimia terintegrasi, serta mempunyai usaha dibidang jasa transportasi untuk produk-produknya antara lain dilakukan oleh ADCO, ADMA-Merger, GASCO, ADGAS, ZADCO, TAKREER, NDC, ESNAAD, Irshad, subur, Borouge, ADNATCO, NGSCO, dan ADNOC-Distribusi
ADFERT (Abu Dhabi Fertilizer)
Abu Dhabi Pupuk Industries WLL (ADFERT) didirikan pada tahun 1995 di Abu Dhabi (UEA). ADFERT bergerak di bidang pupuk pertanian, yang menggunakan bahan baku dengan hasil produksinya berupa :
NPK Granular dengan kapasitas 48.000 MT /tahun. Pupuk cair dan Suspensi dengan kapasitas
40.000MT/tahun Trace Elemen Foliar 7.000 MT dan Foliar dengan
kapasitas 1000 MT/tahun Saat ini ADFERT telah produksi komersial dan mengekspor pupuk tanaman khususnya di Timur Tengah dan negara lainnya (lebih dari 22 negara) dengan kapasitas produksi 96.000 MT/tahun. Pada dua tahun terakhir ini inovasi baru yang telah diciptakan
Tabel 2.14. Profil Perusahaan Petrokimia di UEA
Ka
30
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
adalah spesial pada penyedia obat-obatan atau nutrisi bagi tanaman khususnya untuk pasar Negara Timur Tengah. ADFERT juga melakukan penelitian dan percobaan untuk menjaga kualitas produk yang terbaik, agar dapat memberikan layanan yang terbaik. Fungsi kegiatan divisi penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan tentang penggunaan pupuk, mengembangkan kompetensi, menyediakan dukungan teknis dan meningkatkan kualitas produk. Penelitian yang intensif dilakukan pada berbagai tanaman untuk memantau penggunaan pupuk bagi tanaman, dampak pada produktivitas tanaman dan respon tanaman terhadap pupuk tersebut. ADFERT juga menjalin hubungan dan komunikasi yang baik dengan sektor swasta, pemerintah dan Universitas untuk riset pertukaran data informasi ilmiah dan teknis
2.8 Pelaku Industri Petrokimia Global
Berikut ini merupakan lima besar perusahaan petrokimia global berdasarkan nilai pendapatan
(US$ Miliar).
Nama Perusahaan Profil Perusahaan
Negara Asal Jerman Estimasi Pendapatan US$ 62,3 Miliar (2008) Produksi
Ethylene Propylene Butadine Benzene
Dow Chemical memiliki 160 anak perusahaan (subsidiary) yang tersebar di seluruh Dunia
Negara Asal Amerika Serikat Estimasi Pendapatan US$ 57,5 Miliar (2008) Produksi
Polystyrene
Sumber : Hasil Studi BKPM
Tabel 2.15. Pelaku Industri Petrokimia Global
Ka
31
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Polyurethanes Polyethylene Polypropylene
Dow Chemical memiliki 175 anak perusahaan (subsidiary) yang tersebar di seluruh Dunia
Exxon Mobil Chemical
Negara Asal Amerika Serikat Estimasi Pendapatan US$ 55 Miliar (2008) Produksi
Olefins Aromatics Fluids Synthetic rubber Polyethylene Polypropylene Oriented polypropylene packaging films
Plasticizers Synthetic lubricant basestocks Additives for fuels and lubricants Zeolite catalysts
Produksi perusahan ditopang oleh pabrik yang tersebar di 20 negara dan dipasarkan pada 150 negara di seluruh Dunia
Lyondell Basell Industries
Negara Asal Belanda Estimasi Pendapatan US$ 51 Miliar Produksi
Minyak mentah (crude oil) gasoline blending components manufactures petrochemicals and polymers
Produksi perusahan ditopang oleh pabrik yang tersebar di 19 negara.
Negara Asal Inggris Estimasi Pendapatan US$ 47 Miliar Produksi
Minyak mentah (crude oil) Produk petrokima hulu hingga hilir
Produksi perusahan ditopang oleh pabrik yang tersebar di 14 negara. Untuk wilayah Asia, berada pada India, Thailand dan China.
Sumber : diolah dari beberapa sumber
Ka
32
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
BAB III
PENGEMBANGAN INDUSTRI PETROKIMIA TERINTEGRASI
Mengingat posisi strategis dari industri petrokimia bagi kelangsungan industri lainnya dan
perekonomian nasional secara keseluruhan maka strategi pengembangan industri petrokimia
harus menjadi perhatian utama semua pemangku kepentingan industri ini. Dalam kebijakan umum
pembangunan industri nasional (Perpres no 28 tahun 2008) industri petrokimia sebenarnya telah
dimasukkan ke dalam salah satu pilar utama industri manufaktur nasional bersama-sama dengan
industri semen, baja dan sebagainya. Artinya secara konsep pengembangan, pemerintah sudah
sangat menyadari benar posisi penting dari industri ini sebagai landasan terbangunnya industri
andalan masa depan. Dengan kata lain, lemahnya industri petrokimia dapat menjadi titik lemah
dari konstruksi bangun industri nasional.
Kebijakan umum tersebut kemudian lebih diperkuat dan dijabarkan dalam Peraturan Menteri
Perindustrian 14/M-IND/PER/1/2010 berbentuk peta panduan pengembangan klaster industri
petrokimia (roadmap pengembangan klaster industri petrokimia). Dalam dokumen tersebut secara
jelas dijabarkan visi, misi dan arah serta konsep pengembangan industri petrokimia nasional.
Meski demikian kebijakan dalam roadmap tersebut masih menyisakan pekerjaan rumah
khususnya pada tingkat implementasi strategi dan belum menjawab secara komprehensif
permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan industri petrokimia.
Gambar 3.1. Bangun Industri Nasional 2025
Bangun Industri Nasional tahun 2025 tersusun dari basis industri manufaktur dan industri andalan masa depan.
Basis Industri Manufaktur, yaitu suatu spektrum industri yang sudah berkembang saat ini dan telah menjadi tulang
punggung sektor industri. Kelompok industri ini keberadaannya masih sangat tergantung pada sumber daya alam
(SDA) dan sumber daya manusia (SDM) tidak terampil. (Sumber : KPIN 2008)
Ka
33
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Salah satu masalah utama dan mendasar yang selalu menjadi major issue di tingkat pusat, daerah
dan pelaku usaha adalah mengenai grand strategy pengintegrasian industri hulu dan hilir. Issue ini
sangat penting dan harus segera diselesaikan sebab akan sangat menentukan arah pengembangan
industri petrokimia selanjutnya. Belajar dari kondisi dan masalah yang berkembang saat ini tampak
jelas bahwa semua itu bersumber dari satu fakta bahwa industri petrokimia yang dibangun di
Indonesia, khususnya industri hulu sebagai landasan industri petrokimia terbentuk tanpa mengkait
kepada satu ‘national grand strategy’. Padahal faktor ini adalah syarat mutlak yang harus dimiliki
suatu negara dalam membangun industri petrokimia yang kuat, stabil dan mandiri.
3.1 Arah Pengembangan Industri Petrokimia Indonesia
Dalam dokumen roadmap industri petrokimia nasional dijelaskan bahwa visi dari pengembangan
industri petrokimia nasional adalah “Mewujudkan industri petrokimia yang berdaya saing dan
mandiri”. Dengan mengusung 4 misi utama
Pemantapan struktur industri petrokimia
Peningkatan efisiensi produksi
Perluasan lapangan kerja dan
Percepatan alih teknologi
Sementara untuk arah pengembanganya sendiri industri ini diarahkan sebagai salah satu industri
prioritas khusus dengan skala usaha industri besar. Pendekatan pengembangan industri
petrokimia nasional ditempuh melalui pendekatan top down dengan harapan pembangunan
industri ini dapat dilakukan secara lebih fokus, sehingga jika industri ini bila berhasil dikembangkan
akan membawa industri-industri lainnya turut berkembang (forward linkage impact)
Untuk mendorong agar fokus pengembangan dapat tercapai secara tepat dan cepat maka
roadmap industri petrokimia langsung diarahkan melalui pengembangan klaster. Dengan
pendekatan klaster diharapkan akan tercipta peningkatan keunggulan komparatif menjadi
keunggulan kompetitif yang ditandai dengan peningkatan kompetensi inti (distinctive competence)
di semua rantai nilai industri pertrokimia. Selain itu melalui pendekatan klaster ini diharapkan
pengembangan industri produk unggulan daerah dapat tercapai.
Pendekatan penting lain yang secara khusus disoroti dan menjadi bagian sasaran dalam roadmap
pengembangan klaster industri petrokimia adalah pengintegrasian semua sub kelompok industri
petrokimia dari hulu hingga hilir. Bahkan dalam jangka panjang integrasi tersebut diperluas
mencakup industri migas dengan industri petrokimia hulu dan hilir melalui penguatan jaringan
distribusi dan infrastruktur.
Konsep dan model integrasi industri petrokimia berbasis klaster menjadi hal yang menarik untuk
dikaji dan diimplementasikan dalam rangka menciptakan satu “national grand strategy” khusus
Ka
34
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
industri petrokimia. Sehingga masalah yang terjadi saat ini pada industri petrokimia dapat
diperbaiki dan dikembangkan menuju terciptanya daya saing industri petrokimia yang mandiri.
3.2 Konsep Klaster Industri Petrokimia
Pengembangan/penguatan klaster industri merupakan alternatif pendekatan yang dinilai efektif
untuk membangun keunggulan daya saing industri dan dan percepatan pembangunan produk
unggulan daerah. Pandangan Porter mengenai klaster industri secara luas adalah “A consequence
of the system of [diamond] determinants is that a nation’s competitive industries are not spread
evenly through the economy but are connected in what the term cluster consisting of industries
related by links of various kinds” (Porter, 1990)
Kendati definisi tersebut belum mendefinisikan klaster industri secara jelas namun ada satu
benang merah hubungan antara kinerja sebuah negara dalam ekonomi global yang diringkaskan
dalam kata “daya saing” dengan klaster industri. Menurut Porter, daya saing dibentuk oleh
interaksi dari beberapa faktor yang disebut sebagai faktor “diamond”. Dimana diamond itu sendiri
dibentuk oleh (1) faktor condition, (2) demand conditions, (3) related and supporting industries,
dan (4) firm strategy, structure and rivalry. Potter juga memasukkan 2 faktor konteks yang
berhubungan secara tidak langsung melalui: (1) role of chance dan (2) role of government. Faktor-
faktor ini lah yang kemudian secara dinamik mempengaruhi posisi daya saing perusahaan dalam
suatu negara. Dalam konsep daya saing Porter merumuskannya sebagai : “competitive advantage
in advanced industries is increasingly determined by differential knowledge, skills and rates of
innovation which are embodied in skilled people and organizational routines”. Hasil hubungan
faktor-faktor ini yang kemudian akan menunjukkan pola pembentukan klaster industri, dimana
hubungan antara bisnis (dan organisasi) seharusnya mendukung pencapaian competitive
advantage.
Bertitik tolak dari konsep yang dikembangkan diatas dapat didefinisikan bahwa klaster industri
petrokimia adalah sebuah jaringan dari sehimpunan industri petrokimia yang saling terkait
(industri inti/core industries – yang menjadi “fokus perhatian, “industri pemasok/supllier
industries, industri pendukungnya/supporting industries, dan industri terkait/related industries),
pihak/lembaga yang menghasilkan pengetahuan/teknologi (termasuk perguruan tinggi dan
lembaga penelitian, pengembangan dan rekayasa/litbang), institusi yang berperan
menjembatani/bridging institutions (misalnya broker dan konsultan), serta pembeli, yang
dihubungkan satu dengan lainnya dalam rantai proses peningkatan nilai (value adding production
chain)”.
Dalam perkembanganganya kunci sukses klaster industri petrokimia terletak pada industri hulu
sebagai industri inti yang merupakan titik masuk pengembangan dan penguatan klaster industri.
Oleh karena itu strategi penguatan struktur, peningkatan utilisasi, penguatan teknologi dan
lainnya harus lebih diarahkan pada sisi hulu sehingga secara bertahap dapat memperkuat mata
rantai nilai industri secara keseluruhan.
Ka
35
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Pengembangan klaster industri terbukti dapat digunakan untuk mengembangkan industri yang
bersifat luas (broad base) dan terfokus pada jenis-jenis produk yang berpeluang memiliki daya
saing internasional yang tinggi di pasar domestik dan global. Lingkup geografis klaster industri
dapat sangat bervariasi, terentang dari satu desa saja atau salah satu jalan di daerah perkotaan
sampai mencakup sebuah kecamatan atau provinsi. Sebuah klaster industri dapat juga melampaui
batas negara menjangkau beberapa negara tetangga (misal Batam, Singapura, Malaysia)
Meski secara konsep pemikiran klaster industri termasuk industri petrokimia ini terus tumbuh dan
berkembang namun setidaknya dalam perkembangan tersebut ada beberapa tujuan dan potensi
manfaat yang dapat dari pembentukan klaster industri petrokimia itu sendiri yaitu :
Pertama ; konsep klaster dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi karena ada akses yang
efisien untuk menyediakan spesialisasi input, tenaga kerja, informasi, institusi dan fasilitas
kepentingan umum. Dalam hal ini daya saing industri petrokimia akan terbentuk sebagai bagian
dari proses inovasi yang berkelanjutan.
Kedua, konsep klaster mempermudah koordinasi antar pelaku maupun menciptakan kompetisi
yang sehat untuk memperbaiki kondisi. Klaster industri akan memaksa penghuninya untuk terus
berinovasi. Hal itu juga akan mendorong mobilitas tinggi dan transfer pengetahuan, yang bisa
diajarkan ke korporasi lain di dalam klaster. Dalam konteks ini keberadaan klaster industri
Gambar 3.2. Jaringan Value Chain Klaster Industri Petrokimia
Dalam konsep klaster industri petrokimia keberadaan industri inti yang merupakan industri hulu akan
sangat ditentukan oleh faktor pembeli, industri pemasok, industri terkait dan industri pendukung sebagai
bagian utama klaster. Keseluruhan bagian industri tersebut dalam proses kegiatannya akan sangat
tergantung pada keberadaan institusi pendukung (Sumber : BPPT - Kementerian Perindustrian)
Ka
36
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
petrokimia akan mendorong terciptanya kolaborasi sinergis yang didasarkan pada keterkaitan dan
kompetensi bisnis dari tiap pelaku usaha.
Ketiga ; klaster dapat memfasilitasi komersialisasi melalui penciptaan peluang bisnis baru atau
kekuatan baru dalam suatu korporasi, dan kemudian penyebaran kekuatan lain melalui
penambahan klaster dari waktu ke waktu. Secara tidak langsung klaster industri akan mendorong
peningkatan nilai tambah pada semua mata rantai industri petrokimia.
Keempat ; adanya klaster industri juga akan memudahkan dari sisi regulator untuk memainkan
peran sebagai pengawas dan melakukan intervensi kebijakan secara tepat, baik dalam bentuk
insentif dan disinsentif.
3.3 Industri Petrokimia yang Terintegrasi
Dalam manajemen strategi korporasi, untuk mengejar pertumbuhan sebuah perusahaan dapat
menerapkan beberapa alternatif strategi. Dua strategi yang umum dikenal dan digunakan adalah
Gambar 3.3. Konsep Klaster Industri Petrokimia dan Potensi Manfaatnya
Dalam konsep klaster industri petrokimia setidaknya ada 4 potensi manfaat yang akan didapat oleh
seluruh stakeholder industri tersebut ; daya saing, peningkatan nilai tambah, sinergi dan peningkatan
peran regulator (Sumber : Tatang Taufik-Pemikiran di Balik Klaster Industri)
Ka
37
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
pertama ; melalui Vertical Integration (Integrasi Vertikal). Ada dua jenis integrasi vertikal, yaitu :
backward integration (integrasi hulu) yaitu: strategi dimana perusahaan menguasai atau membeli
perusahaan pemasoknya dan forward integration (integrasi hilir) yaitu : strategi dimana
perusahaan membeli atau menguasai perusahaan yang lebih dekat dengan konsumen seperti
pedagang besar, pedagang eceran dll
Kedua adalah ; Horizontal Integration (Integrasi Horizontal) : strategi ini dilakukan dengan cara
mengakuisisi perusahaan saingan yang memiliki line of business yang sama. Strategi ini sering
dilakukan perusahaan yang lebih kecil dalam industri yang didominasi satu atau beberapa pesaing
besar.
Konsep manajemen strategi korporasi diatas juga dapat diterapkan dalam konteks pengembangan
industri petrokimia. Adaptasi konsep integrasi vertikal dan horizontal dalam pegembangan industri
petrokimia adalah salah satu jalan keluar untuk memperkuat struktur industri. Meski demikian
dari sudut pandang pemerintah sebagai regulator konsep integrasi ini perlu disesuaikan dan dikaji
lebih dalam agar tujuan dari integrasi dapat tercapai secara maksimal.
Dalam membangun konsep integrasi industri petrokimia adalah sangat penting untuk
memperhatikan karakteristik dan sifat dasar dari industri ini terutama di sisi hulu. Harus dipahami
meskipun industri petrokimia hulu memiliki posisi yang sangat strategis namun industri ini adalah
bersifat high investment, high technology, high risk dan low return sehingga kurang menarik bagi
investor.
Kategori Industri Petrokimia Hulu Industri Petrokimia Antara
Industri Petrokimia Hilir
Sumber bahan baku
Sumber daya alam dari industri primer
Hasil industri hulu hasil industri antara
Sifat Industri high investment, high technology, high risk dan low/medium profit
High/medium investment, high/medium technology
low/medium investment, low/medium technology, low risk dan high profit
SDM Tersedia tenaga ahli dalam negeri
Tersedia tenaga ahli dalam negeri
Tersedia tenaga ahli dalam negeri
EPC Kontraktor luar dan dalam negeri
Kontraktor luar dan dalam negeri
Kontraktor luar dan dalam negeri
Lama pembangunan
30-60 bulan 20-30 bulan 18-24 bulan
Orientasi Padat modal Padat modal dan padat karya
Padat karya
Sumber : Kadin
Tabel 3.1. Karekteristik Utama Industri Petrokimia Hulu-hilir
Ka
38
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Negara
Industri Petrokimia
Industri Jasa (tersier)
Industri Hulu Industri Antara Industri Hilir
China 50-100% Pemerintah 50-100% Pemerintah 100% Swasta 100% Swasta
Saudi Arabia >50% Pemerintah 50% Pemerintah 100% Swasta 100% Swasta
Malaysia >70% Pemerintah 30-60% Pemerintah 100% Swasta 100% Swasta
Korea Selatan
100% Pemerintah* 100% Swasta 100% Swasta 100% Swasta
Pengalaman di negara-negara yang sudah lebih advance dalam industri petrokimia, industri
petrokimia hulu selalu dipelopori oleh Pemerintah atau melalui kerjasama antara Pemerintah
dengan swasta. contoh perusahaan-perusahaan negara bidang industri petrokimia hulu yang
dipelopri oleh Pemerintah antara lain : Saudi Arabia: SABIC,Malaysia: Petronas, China: Sinopec,
Taiwan: CDPC (Chinese Petrochemical Development Corporation), Mesir: ECHEM (Egyptian
Petrochemical Holding Company), Iran: NPC (National Petrochemical Corporation), Singapore:
Temasek dan beberapa negara Timur Tengahh utam seperti Kuwait, Qatar, Abu Dhabi, dll.
Sebagai tindak lanjut dalam penyusunan strategi yang mengadopsi adanya integrasi vertikal dan
horizontal maka pemerintah dituntut harus pula menyiapkan paket kebijakan dan batasan dari
model integrasi yang diinginkan. Sebab tanpa ada aturan dan batasan yang jelas, integrasi vertikal
dan horizontal dalam industri petrokimia berpotensi menjurus pada “negatif concentration”
antara lain dalam bentuk monopoli, distorsi pasar, dan ketimpangan wilayah (khususnya antara
wilyah klaster dan non klaster). Dalam kondisi ideal dan best practice peran aktif pemerintah di
industri hulu akan memberikan kekuataan pada pemerintah untuk menentukan arah
pengembangan industri ke depan, sakaligus meminimalisir efek neagtif monopoli dan segmentasi
pasar. Dalam konteks ini pemerintah tidak hanya berperan sebagai regulator namun dapat juga
berperan langsung sebagai stabilisator melalui perusahaan milik pemerintah (BUMN) yang
memang secara khusus fokus pada pengembangan industri petrokimia.
Sumber : Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Tabel 3.2. Perbandingan Best Practice Pengembangan Industri Petrokimia Dunia
Dengan sifat dan karakteristik industri yang unik peran pemerintah di sisi hulu relatif lebih dominan
dengan tingkat penguasaan antara 50-100%. Penguasaan ini umumnya dilakukan dengan membentuk
perusahaan difokuskan pada pengembangan industri petrokimia hulu. Porsi dominasi ini semakin
bekurang disisi industri antara dan hilir dimana peran ini beralih kepada pihak swasta.
Ka
39
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Dalam roadmap industri petrokimia, pemerintah (kementerian perindustrian) saat ini sudah
menetapkan bahwa pengembangan klaster industri petrokimia adalah didasarkan pada kekuatan
line base produksi (lini produksi utama) dan ketersediaan bahan baku dengan pembagian klaster
sebagai berikut : industri petrokimia berbasis aromatik berlokasi di Jawa Timur (Tuban, Gresik,
Lamongan), petrokimia berbasis C1 berlokasi di Kalimantan Timur (Bontang) serta petrokimia
berbasis olefin di Banten (Anyer, Merak, Cilegon, Serang) dan Jawa Barat (Balongan).
Sementara untuk konsep integrasi produksi arah yang dikembangkan pada tahap awal adalah
melalui pengintegrasian proses produksi antara kilang (penyulingan minyak) dangan industri
petrokimia. Dasar integrasi ini diharapkan akan menjadi landasan bagi pengembangan integrasi
yang lebih luas mencakup seluruh mata rantai nilai industri petrokimia dari hulu hingga hilir.
Langkah integrasi antara kilang minyak dan petrokimia plant adalah satu strategi dan tren industri
petrokimia global saat ini, sebab langkah ini akan memberikan nilai tambah melalui peningkatan
efisiensi, profitabilitas dan pemanfaatan secara maksimal atas faktor input dan output. Beberapa
perkembangan terkini yang secara langsung mendorong proses integrasi industri petrokimia
(kilang minyak dan pertokimia) berjalan lebih cepat adalah : aspek pasar (supply-demand), aspek
ekonomi, aspek lingkungan dan aspek kepastian pasokan secara volume dan harga.
Pendorong
Proses
Integrasi
Market Issue : • Pesatnya permintaan produk petrokimia
dan bahan bakar • Harga petrokimia dan bahan bakar yang
terus meningkat • Dampak krisis ekonomi • Proyek layak secara finansial
Dampak lingkungan:
• Tekanan publik untuk bahan bakar hijau • Green house effect/bahan pangan
(industri pertanian) • Protokol (Kyoto +) kepatuhan &
pelaksanaan • Legislasi
Kekhawatiran tentang keamanan
pasokan:
Ketersediaan cadangan minyak dan produk jauh dari pusat konsumen
Permintaan untuk rumah tangga terus tumbuh -puncak harga minyak ?
Diversifikasi sumber energi fosil ?
Proyek ekonomi: • Menghindari pengaruh fluktuasi pasar
Minyak mentah & harga produk • Optimalisasi investasi melalui sharing
process fasilitas – Economic of scale • Mengurangi biaya operasi: transportasi
dll
Gambar 3.4. Faktor Pendorong Percepatan Integrasi Kilang Minyak dan Petrokimia
Plant
Aspek penting yang mendorong proses integrasi di level kilang minyak dan petrokimia plant adalah :
adanya aspek pasar (supply-demand), aspek ekonomi, aspek lingkungan dan aspek kepastian pasokan
secara volume dan harga. (sumber : Foster Wheeler)
Ka
40
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Kombinasi dari berbagai aspek tersebut telah menyebabkan persaingan global industi petrokimia
semakin ketat yang berdampak pada tuntutan untuk mencapai efisiensi di semua lini produksi.
Sementara disisi lain keterbatasan sumber bahan baku telah menyebabkan fluktuasi harga dan
kekhawatiran terhadap pasokan semakin besar dan salah satu isu yang paling besar efeknya
adalah semakin meningkatnya tuntutan industri ini untuk lebih ramah lingkungan
Melalui integrasi proses produksi antara kilang minyak dan petrokimia plant maka benefit utama
yang dapat diperoleh adalah dalam hal subsitusi pemanfataan input produksi. Hasil utama dari
proses produksi kilang adalah input produksi bagi petrokimia plant (ethane, propylene,
propene,dan rifining gas, sementara output yang dihasilkan pterokimia plant dapat dimanfaatkan
sebagai campuran bahan baku di kilang minyak dalam bentuk pryrolisis gasoline.
Integrasi produksi antara kilang minyak dan petrokimia plant adalah salah satu cara untuk
mengamankan supply bahan baku industri petrokimia sekaligus memberikan kesempatan untuk
terus dapat mengembangkan nilai tambah dari produksi kilang selain bahan bakar. Sehingga
sebagai hasil akhirnya kedua pihak akan memperoleh benefit yang lebih besar dari integrasi
produksi tersebut. Dalam konteks yang lebih luas integrasi produksi ini juga akan memberikan
kesempatan pemanfaatan infrastruktur, energi dan utilitas lain termasuk pula tenaga kerja
operasional.
Meskipun potensi dan benefit dari integrasi operasional antara kilang minyak dan petrokimia
sangat besar namun dalam implementasinya proses integrasi ini juga dihadapkan pada banyak
tantangan. Pertama ; secara teknis operasi integrasi kilang minyak dan petrokimia memilki
kompleksitas yang lebih tinggi. Selain dari sisi teknis kompleksitas integrasi ini juga akan
berdampak pada sistem distribusi dan pemasaran produk Kedua ; dari sisi biaya operasional
integrasi ini membutuhkan sistem pembiyaan yang fleksibel dan besar hal ini terkait dengan
integrasi jaringan produksi dan range produk petrokimia yang luas sehingga menuntut sisem
operasi yang terus update.dan fleksibilitas. Ketiga ; Integrasi berpotensi menimbulkan konflik
antara perencanaan dan operasional, sehingga tidak diperoleh fokus bisnis yang jelas. kondisi ini
adalah konsekuensi alami dari rentang produk yang lebih bervariasi dan beragam.
Dalam aplikasinya beberapa kesulitan dan tantangan diatas sebenarnya dapat diatasi melalui
beberapa cara antara lain pertama ; dengan menggunakan teknologi proses yang lebih maju dan
juga kapitalisasi pada sistem teknologi informasi. Kedua ; pembentukan bisnis kolaboratif yang
melibatkan lebih dari beberapa pihak dan ketiga; merancang perencanaan operasional secara
inovatif dengan teknologi yang efisien dan hemat biaya.
Ka
41
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Box 1 : Konsep Integrasi Industri Petrokimia dan Refinery
Proses integrasi antara kilang minyak dan petrokimia plant secara nyata akan memberikan
manfaat di tingkat pengolahan karena adanya kepastian bahan baku berkualitas tinggi,
meningkatkan nilai produk sampingan, dan efisiensi yang lebih baik melalui pembagian bahan
baku. Salah satu model integrasi kilang minyak dan petrokimia plant yang dikembangkan oleh
Foster Wheeler bahkan telah mengintegrasikan pemanfaatan biomass (biofuel) sebagai aditif
(tambahan) bahan baku pada proses penyulingan minyak.
Konsep integrasi antara kilang minyak dan petrokima plant pada dasarnya akan mencakup tiga
level integrasi, (i) integrasi proses, (ii) integrasi utilitas, dan (iii) fuel gas upgrading.
Integrasi Proses
Integrasi proses merupakan integrasi yang terbentuk sebagai dampak dari adanya pengabungan
proses produksi di tingkat kilang langsung dengan proses produksi petrokimia. Desain kilang akan
jauh lebih inovatif dengan mempertimbngkan produk output petrokimia. Sehingga produk yang
dihasilkan di tingkat kilang secara langsung akan lebih beragam dan memiliki nilai tambah tinggi.
Gambar 3.5. Interface Model Integrasi Kilang Minyak and Petrokimia Plant
Dalam integrasi antara kilang minyak dan petrokimia plant dapat diperoleh banyak manfaat baik dalam
hal proses, utilitas dan gas upgrading. Meski demikian tantangan dalam proses integrasi ini cukup berat
mencakup sisi teknis, biaya dan perencanaan. (sumber : Foster Wheeler)
Ka
42
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Integrasi utilitas
Penyulingan minyak dan industri petrokimia adalah 2 jenis industri dasar yang sangat intensif
dalam penggunaan energi dalam berbagai bentuk yang berbeda termasuk bahan bakar minyak,
bahan bakar gas, tenaga listrik, dll. Dengan mengintegrasikan proses produksi maka pemanfaatan
energi dan bahan/unsur tambahan dapat dilakukan bersama secara lebih efisien, bahkan pada
level tertentu bisa saling menggantikan diantara keduanya. Praktek riil di lapangan menunjukkan
tingkat efisiensi penggunaan energi melalui integrasi ini berkisar 10-60% pada setiap tingkatan
produksi.
Fuel gas upgrading
Gas buang yang dihasilkan dari proses penyulingan minyak umumnya terdiri dari farksi C1/C2 dan
sebagian hidrogen. Hidrokarbon yang dihasilkan dari unit konversi pada dasarnya mengandung
sejumlah besar ethylene dan propylene yang bisa diproses kembali sebagai bahan baku insustri
petrokimia. Sejumlah kilang yang terintegrasi AS dan Eropa telah mengakui memanfaatkan
kesempatan ini mengolahnya kembali menjadi produk petrokimia bernilai tinggi.
Kemajuan dalam teknologi pengolahan di tingkat kilang minyak memainkan peran besar dalam
memfasilitasi integrasi antara kilang minyak dan petrokimia plant. Dalam 30 tahun terakhir
industri penyulingan telah melakukan modernisasi fasilitas penyulingan untuk memenuhi
perubahan kebutuhan konsumsi bahan bakar dan trend spesifikasi bahan baku minyak yang
beralih ke minyak jenis berat yang sour. Kebutuhan untuk meningkatkan margin di tingkat
produksi kilang mendorong pengembangan teknologi untuk lebih mengarah pada integrasi dengan
petrokimia plant yang secara teknis memiliki keterkaitan proses produksi.
Gambar 3.6. Sinergi Penyulingan Minyak and Petrokimia plant – Aliran Input-Output
Pemanfaatan teknologi menjadi kunci utama dalam mengembangkan integrasi antara kilang minyak dan
petrokimia plant. (sumber : Jean-Paul Margotin - Axens)
Ka
43
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
3.4 SWOT Analisis Industri Petrokimia Terintegrasi
Berdasarkan uraian diatas mengenai data dan fakta industri petrokimia nasional, dapat
diidentifikasi beberapa faktor-faktor yang merupakan SWOT (Strength –Weakness –Opportunities -
Threats) dari industri petrokimia. Hasil dari identifikasi dan analisa faktor-faktor SWOT ini akan
dirumuskan menjadi beberapa konsep strategi dalam pengembangan industri petrokimia sebagai
rekomendasi tambahan penyusunan strategi nasional pengembangan industri petrokimia nasional.
Adapun beberapa faktor yang diidentifikasi sebagai unsur SWOT dalam industri petrokimia
nasioanl antara lain sebagai berikut :
Kekuatan
Indonesia merupakan penghasil migas yang potensial.
Bahan baku alternatif untuk industri petrokimia tersedia di Indonesia.
Sudah berkembangnya industri petrokimia hulu dan menengah, serta industri hilirnya.
Teknologi di bidang petrokimia sudah established dan cukup banyak yang diterapkan di industri petrokimia dalam negeri.
Gambar 3.7. Hasil Analisa SWOT Untuk Industri Petrokimia Indonesia
Faktor internal diartikan sebagai kekuatan dan kelemahan internal industri petrokimia. Sedangkan faktor
eksternal yang dimaksud adalah peluang dan ancaman yang disajikan oleh lingkungan di luar industri
petrokimia. (sumber : Kementerian Perindustrian)
Ka
44
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Memiliki tenaga kerja yang berpengalaman dalam bidang produksi, rancang bangun & perekayasaan dan manufaktur peralatan pabrik.
Biaya tenaga kerja di Indonesia murah.
Pangsa pasar produk industri petrokimia dalam negeri semakin meningkat.
Kapasitas pabrik petrokimia yang sudah ada masih dapat ditingkatkan untuk memenuhi peningkatan demand.
Kelemahan
Kurangnya dukungan kebijakan untuk pemanfaatan SDA/Migas, mengakibatkan kurangnya terjaminnya pasokan bahan baku DN.
Industri tidak terintegrasi dengan bahan bakunya.
Kapasitas produksi nasional terpasang kurang mampu memenuhi pasar DN.
Kapasitas produksi per pabrik belum dikategorikan skala dunia.
Ketergantungan teknologi yang tinggi dari negara lain, terutama desain dasar teknologi proses.
Masih lemahnya kerjasama dunia usaha dan litbang.
Terbatasnya penyediaan infrastruktur, menurunnya kinerja pelayanan infrastruktur industri petrokimia.
Masih lemahnya kemampuan penetrasi pasar ekspor.
Belum adanya sinkronisasi dalam hal regulasi beberapa sektor terkait industri petrokimia
Masih tingginya bunga pinjaman.
Bargaining position Indonesia di mata lembaga keuangan /pendanaan investasi regional dan internasional tidak kuat.
Belum termanfaatkannya dana masyarakat secara optimal.
Tingginya pajak, pungutan resmi maupun tidak resmi yang memberatkan industri.
Peluang
Besarnya peluang pasar DN terutama mendukung industri hilirnya maupun peluang pasar ekspor.
Masih rendahnya konsumsi per kapita produk industri petrokimia di DN.
Ka
45
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Konsumsi produk industri petrokimia di Cina tinggi sehingga dapat menjadi pasar bagi produk industri-industri petrokimia hulu dan antara Indonesia.
Adanya AFTA, World Free Trade mendorong penurunan tarif ekspor dan impor produk petrokimia.
Peluang investasi, baik investasi baru maupun perluasan.
Adanya tawaran dari Iran untuk membangun kilang di Indonesia.
Pengembangan industri petrokimia berorientasi daur ulang.
Tantangan
Munculnya pesaing-pesaing yang kuat di kawasan regional/dunia.
Adanya pembangunan industri petrokimia (terintegrasi dengan kilang) di Singapura dan Timur Tengah (Qatar & UEA) yang bahan bakunya murah merupakan kompetitor bagi industri petrokimia hulu dan antara di Indonesia.
Perkembangan teknologi proses yang semakin efisien dan efektif dengan skala dunia.
Semakin terbatasnya cadangan migas sebagai SDA tidak terbarukan.
Munculnya isu keselamatan, kesehatan dan lingkungan hidup.
Praktek persaingan tidak sehat, baik melalui instrumen tarif dan non tarif.
Adanya serbuan produk industri petrokimia hilir dari Cina yang harganya lebih murah.
Daya tarik investasi industri petrokimia di kawasan regional lebih kondusif, terutama dalam bidang infrastruktur.
Tidak stabilnya iklim politik di Indonesia turut mempengaruhi kebijakan pemerintah.
3.5 Strategi Pengembangan Petrokimia Terintegrasi Berbasis Klaster
Berangkat dari identifikasi terhadap faktor-faktor kritis dalam analisa SWOT (Strength –Weakness
–Opportunities -Threats) industri petrokimia serta dengan memperhatikan major issues yang
dikemukakan terdahulu maka dapat disusun beberapa level strategi yang bisa diusulkan dan
dijalankan oleh para pelaku industri petrokimia nasional. Rangkaian strategi yang komprehensif
tersebut dapat dibagi dalam enam level strategi ; strategi di level bahan baku (feedstock), level
industri, level teknologi, level investasi, level pengembangan pasar dan level dukungan
infrastruktur. Strategi ini sendiri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan diharapkan dapat
melengkapi konsep strategi yang ada dalam roadmap pengembangan industri petrokimia dalam
mencapai visi mewujudkan industri petrokimia nasional yang berdaya saing dan mandiri.
Ka
46
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Strategi Level Bahan Baku ; pada level ini strategi difokuskan pada terjaminnya pasokan bahan
baku industri dari hulu – hilir secara tepat dan ekonomis
a. Menciptakan keseimbangan antara potensi bahan baku, tingkat produksi, dan tingkat
permintaan industri petrokimia hulu-hilir
b. Menyiapkan secara terencana dan terukur impor untuk bahan baku, sehingga dapat menjadi
acuan pelaku industri sekaligus harus akan mendukung kebijakan umum pengembangan
industri petrokimia.
c. Memberikan peluang pemanfaatan dan alokasi khusus terhadap sumber bahan baku lokal
secara bertahap dan berkesinambungan untuk mendukung pasokan bahan baku industri
petrokimia dan di sisi dapat menjadi sumber devisa tambahan
Strategi Level Industri ; fokus utama di tingkat industri adalah memperkuat struktur industri ke sisi
hulu melalui peningkatan utilisasi.
a. Menata ulang sistem produksi industri petrokimia hulu - hilir yang bermasalah saat ini
sehingga industri mampu melakukan peningkatan utilisasi produksi.
b. Mengembangkan industri petrokimia berbasis bahan baku alternatif dari dalam negeri
seperti gas, batubara dan bio-energi yang dapat memberikan ‘value added’ tinggi melalui
peningkatan kemampuan R & D.
c. Memacu pengembangan industri petrokimia yang memiliki efisiensi tinggi serta banyak
menggunakan teknologi dalam negeri.
d. Mendorong segera terbentuknya ‘industrial cluster’ petrokimia di wilayah-wilayah stretegis
untuk menciptakan sistem industri yang efisien. Dan
e. Mendorong pengembangan industri petrokimia yang memiliki keterkaitan kuat dengan
sektor ekonomi lainnya.
Strategi Level Teknologi ; strategi teknologi diarahkan pada pengembangan kemampuan dalam
negeri melalui penguatan R&D dan transfer knowledge menuju industri petrokimia yang lebih
ramah lingkungan (green industri)
a. Memperkuat kemampuan teknologi dalam negeri yang berhubungan dengan engineering,
procurement, dan construction (EPC) industri petrokimia.
b. Menstimulasi dan mendorong institusi pendidikan tinggi dan R&D untuk mengembangkan
sumber bahan baku alternatif industri petrokimia demestik.
c. Meningkatkan kemampuan industri di dalam negeri untuk mengembangkan teknologi proses
yang dapat menciptakan produk-produk baru namun tetap ramah lingkungan (green
industri) sehingga akan menciptakan peluang pasar yang lebih luas.
Ka
47
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
d. Memperluas kemitraan dengan institusi pemasok teknologi asing untuk menjamin daya
saing industri petrokimia nasional sekaligus mentrasfer pengetahuan teknologi terkini dari
industri petrokimia.
Strategi Level Investasi ; dalam konteks investasi fokus utama adalah pada perbaikan iklim
investasi secara menyeluruh dan percepatan realisasi investasi pada klaster-klaster industri
petrokimia
a. Membuka kesempatan (promosi) dan menciptakan iklim usaha yang cukup menarik bagi
investor luar negeri, untuk menanamkan investasi di industri petrokimia.
b. Memberikan fasilitasi, kemudahan dan insentif yang terukur bagi calon investor terutama
bagi pengembangan klaster industri petrokimia.
Strategi Level Penguasaan dan Pengembangan Pasar ; difokuskan pada pengamanan supply dan
demand pasar domestik dan secara bertahap mengembangkan produk industri untuk bersaing di
pasar internasional.
a. Strategi penguasaan pasar diarahkan kepada pasar domestik untuk menekan efek pengurasan devisa berkaitan dengan tingginya impor bahan baku dan produk-produk petrokimia.
Memfasilitasi upaya-upaya usaha industri dalam negeri untuk mampu lebih kompetitif terhadap produk impor; dan
Memfasilitasi investasi untuk memproduksi komoditi petrokimia yang permintaannya berkembang di dalam negeri.
b. Strategi pengembangan pasar tertuju baik kepada pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri, dengan target adalah meningkatkan perolehan devisa melalui peningkatan pendapatan dari ekspor, dan membuka kesempatan kepada usaha industri. Alur-alur pendekatan utama di dalam mewujudkan strategi ini mencakup:
Memfasilitasi upaya-upaya usaha industri dalam negeri untuk mampu lebih kompetitif, baik melalui prakarsa-prakarsa teknologis maupun institusional;
Memfasilitasi upaya-upaya usaha industri dalam melakukan ‘product development’.
Strategi Level Dukungan Infrastruktur; dalam konteks ini dukungan infrastruktur difokuskan pada penyediaan sarana dan prasarana pendukung utama pembentukan klaster petrokimia yang terdiri dari energi – listrik, air baku industri, dan transportasi – jalan dan pelabuhan.
Ka
48
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
BAB IV
STRATEGI PENGEMBANGAN INVESTASI INDUSTRI PETROKIMIA TERINTEGRASI
4.1 Rencana Umum Penanaman Modal Nasional
Dalam rangka mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal
dan untuk penguatan daya saing perekonomian nasional serta mempercepat peningkatan
penanaman modal maka pemerintah melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
menyusun satu Rencana Umum Penanaman Modal Nasional (RUPM). RUPM ini adalah amanat
dari Pasal 4 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang merupakan payung besar bagi
kebijakan penanaman modal di Indonesia.
Dalam RUPM dirumuskan bahwa visi penanaman modal nasional adalah untuk mendorong
penanaman modal yang berkelanjutan dalam rangka perwujudan Indonesia yang mandiri, maju
dan sejahtera yang berusaha diwujudkan dalam tiga misi utama yaitu (1) membangun iklim
penanaman modal yang berdaya saing; (2) mendorong diversifikasi dan peningkatan kegiatan
ekonomi yang bernilai tambah; (3) mendorong pemerataan kegiatan perekonomian nasional.
Untuk mencapai visi dan misi diatas BKPM telah menetapkan tujuh arah kebijakan umum
penanaman modal nasional yang diharapkan dapat menjadi arahan dalam menyusun strategi
investasi di semua sektor pengembangan. Ke-tujuh arah kebijakan tersebut adalah sebagai
berikut;
a. Perbaikan iklim penanaman modal di Indonesia
b. Perbaikan pola umum pemberian fasilitas, kemudahan dan/atau insentif
c. Penanaman modal yang berwawasan lingkungan (green investment)
d. Pemberdayaan UMKM terutama yang terkait dengan sektor industri petrokimia
e. Mendorong persebaran penanaman modal
f. Fokus pengembangan adalah pada pangan, infratruktur dan energi
g. Promosi penanaman modal
RUPM sebagai dokumen perencanaan jangka panjang (sampai dengan 2025) adalah bersifat
komplementer terhadap perencanaan sektoral sehingga dapat berfungsi mensinergikan dan
mengoperasionalisasikan seluruh kepentingan sektoral terkait di bidang penanaman modal.
Dengan demikian, diharapkan tidak akan terjadi tumpang tindih dengan penetapan prioritas dari
sektor-sektor industri yang akan dipromosikan oleh masing-masing institusi terkait. Ketujuh arah
kebijakan umum ini nantinya diharapkan pula akan menjadi arah kebijakan bagi penanaman modal
di tingkat pusat dan daerah dalam rangka pengembangan investasi sektor industri strategis
termasuk untuk industri petrokimia terintegrasi berbasis klaster.
Ka
49
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
4.2 Posisi Strategis Badan Koordinasi Penanaman Modal Dalam Roadmap Pengembangan Klaster
Industri Petrokimia
Berkembanganya industri petrokimia di Indonesia secara fundamental didorong dua faktor utama;
pertama dari sisi demand kebutuhan akan bahan baku dan produk industri petrokimia sangat
tinggi. Hal ini tergambar dari beragamnya jenis kebutuhan industri dan konsumsi atas produk
industri petrokimia dari hulu, antara dan hilir. Kedua dari sisi supply, ketersediaan sumber daya
minyak, gas, batubara dan biomassa sebagai basis bahan baku dalam jumlah relatif beragam dan
besar memberikan keuntungan dalam menjamin keberlangsungan produksi bagi pendirian
industri petrokimia.
Namun ada hal penting lain yang cukup besar peranannya dalam mendorong perkembangan
industri petrokimia nasional bahkan akan sangat krusial dalam menjembatani sisi demand dan
supply diatas yaitu investasi. Karakteristik dasar industri petrokimia yang padat modal menuntut
adanya investasi atau capital spending secara intens dan berkelanjutan dalam jumlah yang sangat
besar. Oleh karena itu untuk mendorong perkembangan industri ini maka peran badan koordinasi
penanaman modal di tingkat pusat dan daerah akan sangat menentukan dalam mendorong
masuknya investasi baru dan investasi pengembangan bagi industri petrokimia.
Dalam matrik rencana aksi roadmap pengembangan klaster industri petrokimia untuk periode 5
tahun ke depan (2010-2014) yang telah disusun oleh Departemen Perindustrian tergambar jelas
bahwa lembaga koordinasi penanaman modal adalah penanggung jawab terhadap 6 rencana aksi
nasional pengembangan klaster industri petrokimia; yaitu: (1) mengupayakan insentif fiskal dan
non fiskal, (2) peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur industri petrokimia, (3) promosi
investasi industri petrokimia, (4) pembangunan center of excellence industri petrokimia, (5)
pengembangan industri petrokimia berbasis batubara dan biofeedstock, (6) mengembangkan
klaster industri di daerah lainnya.
Peran atau fungsi kelembagaan diatas masih perlu dirumuskan dan dipadukan dengan fungsi dan
tugas pokok badan koordinasi penanaman modal yang tercantum dalam UU No. 25 Tahun 2007
tentang penanaman modal nasional. Selain itu harus juga dapat diselaraskan dengan arah
kebijakan umum penanaman modal yang ada dalam RUPM yang merupakan tindak lanjut dari
amanat UU penanaman modal nasional.
Bertitik tolak dari keterkaitan berbagai hal diatas serta menindaklajuti usulan strategi di level
investasi yang telah diungkapkan di bab sebelumnya maka dapat dirumuskan strategi
pengembangan investasi industri Petrokimia terintegrasi dalam 3 tahapan meliputi strategi jangka
pendek (crash program), strategi jangka menengah dan strategi jangka panjang.
Meskipun strategi pengembangan industri petrokimia tersebut dikembangkan dalam beberapa
tahapan, namun dalam implementasi pelaksanaannya semua strategi tersebut tidak bersifat
sekuensial yang saling terpisah melainkan saling bersinergi dan bersifat paralel. Selain itu
implementasi strategi juga harus bersifat dinamis terhadap perkembangan dan perubahan
kebijakan industri petrokimia melalui proses evaluasi yang berkalanjutan. Hal ini penting agar
Ka
50
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
strategi yang ada dalam tiap tahapan tidak kaku dan dapat terus dikembangkan sesuai kebutuhan
dan dimensi waktu yang berbeda.
Secara lebih detail mengenai usulan strategi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang
dalam rangka pengembangan industri petrokimia terintegrasi akan dibahas dalam sub bagian
berikutnya.
4.3 Strategi Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Tahapan strategi pengembangan investasi industri petrokimia yang meliputi strategi jangka
pendek (crash program), strategi jangka menengah dan strategi jangka panjang perlu diarahkan
sesuai dengan arah kebijakan pengembangan investasi yang ada di dalam RUPM. Dimana dari
Gambar 4.1. Kerangka Pemikiran Perumusan Strategi Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Peran dan fungsi kelembagaan badan koordinasi penanaman modal dalam roadmap pengembangan
klaster industri petrokimia perlu dipadukan dengan fungsi, tugas pokok, dan arah kebijakan umum
penanaman modal nasional. Rangkaian strategi yang ada dalam tiap tahapan (jangka pendek, menengah
dan panjang) bersifat paralel dan dinamis. (sumber : Analisa Penulis)
Ka
51
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
tujuh arah kebijakan umum tersebut dapat disusun tujuh arah kebijakan khusus investasi industri
petrokimia sebagai berikut ;
1. Dibidang perbaikan iklim penanaman modal, pengembangan investasi industri petrokimia
diarahkan pada ;
Penguatan kelembagaan penanaman modal Pusat dan Daerah yang mendukung
percepatan investasi industri petrokimia terintegrasi
Pengaturan dan perubahan kebijakan bidang industri petrokimia yang mendorong iklim
investasi industri petrokimia terintegrasi
Perbaikan iklim persaingan usaha di bidang industri petrokimia
Pengembangan dan perbaikan hubungan industrial di bidang industri petrokimia
Sistem perpajakan dan kepabeanan yang mendukung integrasi industri petrokimia
2. Di bidang perbaikan pola umum pemberian fasilitas, kemudahan dan/atau insentif,
diarahkan pada ;
Pemberian insentif diberikan untuk mendorong daya saing dan mempromosikan
kegiatan penanaman modal di bidang industri petrokimia yang strategis dan
berkualitas
Pemberian fasilitas, kemudahan, dan/atau insentif PM diberikan pada industri
petrokimia sebagai industri pionir dan prioritas tinggi
Mempertimbangkan klasifikasi wilayah dalam rangka mendorong persebaran dan
pemerataan penanaman modal di bidang industri petrokimia
Pemerintah daerah dapat memberikan insentif fiskal daerah dan kemudahan lainnya
yang mendorong terintegrasinya industri petrokimia
3. Di bidang penanaman modal yang berwawasan lingkungan (green investment)
Bersinergi dengan program pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) terutama yang
terkait sektor kehutanan, energi, dan limbah yang dihasilkan oleh emisi limbah industri
petrokimia
Pemberian fasilitas, kemudahan, dan insentif kepada kegiatan penanaman modal yang
mampu melakukan efisiensi energi dan menggunakan teknologi rendah emisi serta
pengaturan perdagangan karbon (carbon trade) terkait dengan pengelolaan emisi
industri petrokimia
4. Untuk pemberdayaan UMKM terutama yang terkait dengan sektor industri petrokimia
Strategi Naik Kelas, mendorong munculnya usaha mikro kecil dan menengah yang
terkait dengan rantai nilai dalam industri petrokimia
Strategi Aliansi Strategis, memperkuat keterikatan dalam berbagai bidang usaha –
menjadikan industri petrokimia sebagai supporting industry dan mendorong
standarisasi.
5. Di bidang persebaran penanaman modal
Pengembangan klaster industri Petrokimia diarahkan di luar pulau Jawa yang
berdekatan dengan sumber bahan baku dan pasar
Ka
52
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Pemberian fasilitas, kemudahan, dan insentif penanaman modal di bidang industri
petrokimia di luar Pulau Jawa
Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan strategis, antara lain dengan pola
pendekatan KEK
Pengembangan sumber energi yang bersumber dari energi baru dan terbarukan di luar
Pulau Jawa untuk mendorong integrasi industri petrokimia
Percepatan pembangunan infrastruktur di luar Pulau Jawa untuk mengembangkan
industri petrokimia
Pemberian fasilitas, kemudahan, dan insentif penanaman modal bagi penanam modal
yang membangun infrastruktur dan energi yang mendorong percepatan integrasi dan
pengembangan industri petrokimia
6. Fokus pengembangan industri petrokimia diarahkan pula pada perluasan pengembangan
kebutuhan pangan, infrastruktur dan energi
Industri petrokimia untuk pengembangan pangan
Industri petrokimia sebagai pionir pembangunan infrastruktur
Industri petrokimia sebagai anchor dalam pengembangan dan penyediaan energi
Didukung oleh pengembangan industri lain di sektor primer, sekunder, dan tersier yang
terkait untuk mewujudkan integrasi industri petrokimia
7. Untuk promosi penanaman modal di bidang industri petrokimia
Penguatan image building sebagai negara tujuan penanaman investasi industri
petrokimia
Pengembangan strategi promosi yang lebih fokus, terarah dan inovatif
Kegiatan promosi dilaksanakan untuk pencapaian target investasi industri petrokimia
yang telah ditetapkan
Peningkatan peran koordinasi promosi penanaman modal di bidang industri
petrokimia dengan seluruh kementerian/lembaga terkait di Pusat maupun di Daerah
Penguatan peran fasilitasi hasil kegiatan promosi secara pro aktif
Untuk mencapai visi dan misi pengembangan industri petrokimia tertintegrasi serta sesuai arah
kebijakan pengembangan yang sudah diuraikan diatas maka strategi pengembangan invsetasi yang
perlu dilakukan adalah sebagai berikut ;
4.3.1 Strategi Jangka Pendek (Crash Program)
Strategi jangka pendek yang direncanakan dalam rangka pengembangan investasi industri
petrokimia adalah mendorong investasi pada industri hulu Petrokimia yang cepat menghasilkan
bahan baku / setengah jadi bagi industri lainnya dan investasi pada infrastruktur penunjang klaster
industri, yang ditempuh dengan:
Membuka hambatan (debottlenecking) dan memfasilitasi penyelesaian persiapan proyek-
proyek besar dan strategis sektor industri petrokimia hulu.
Ka
53
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Menata dan mengintensifkan strategi promosi penanaman modal ke negara-negara
potensial.
Memperbaiki citra Indonesia sebagai negara tujuan investasi di sektor industri petrokimia.
Mengidentifikasi proyek-proyek penanaman modal industri petrokimia di daerah yang siap
ditawarkan dan dipromosikan sesuai dengan daya lingkungan hidup dan karakteristik
daerah.
Menggalang kerjasama dengan Pemerintah Daerah yang pro bisnis.
Melakukan berbagai terobosan kebijakan terkait dengan penanaman modal di sektor
industri petrokimia hulu.
4.3.2 Strategi Jangka Menengah
Strategi jangka menengah yang dapat direncanakan dalam rangka pengembangan investasi
industri petrokimia adalah fokus pada percepatan pembangunan infrastruktur fisik, diversifikasi
dan konversi sumber energi dan bahan baku serta peningkatan kualitas SDM yang dibutuhkan, hal
ini daapt dilakukan melalui :
Prioritas peningkatan kegiatan penanaman modal perlu difokuskan pada percepatan
pembangunan infrastruktur fisik dan energi melalui skema Kerjasama Pemerintah-Swasta
(KPS)
Melakukan pembaharuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
penanaman modal dalam rangka percepatan pembangunan infrastruktur dan energi
terutama yang mendukung klaster industri petrokimia;
Pemberian fasilitas, kemudahan, dan/atau insentif penanaman modal untuk kegiatan-
kegiatan penanaman modal yang mendukung pengimplementasian kebijakan petrokimia
nasional
Penyiapan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pendukung dalam rangka
pengembangan energi di masa datang.
4.3.3 Strategi Jangka Panjang
Strategi Jangka Panjang investasi adalah melalui pengembangan investasi serta inovasi
berteknologi tinggi pada industri petrokimia skala besar yang terintegrasi (dari hulu ke hilir), hal ini
dapat dicapai melalui :
Pemetaan lokasi pengembangan klaster industri petrokimia termasuk penyediaan
infrastruktur yang mencukupi termasuk pemberian fasilitas, kemudahan, dan/atau insentif
penanaman modal di pusat dan daerah;
Ka
54
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Pemetaan potensi sumber daya dan value chain distribusi untuk mendukung
pengembangan klaster-klaster industri petrokimia dan pengembangan ekonomi;
Koordinasi penyusunan program dan sasaran kementerian/lembaga teknis dan instansi
penanaman modal di pusat dan daerah dalam mendorong industrialisasi petrokimia skala
besar;
Pengembangan sumber daya manusia yang handal dan memiliki keterampilan (talent
worker).
Mempersiapkan kebijakan dan peraturan dalam rangka mendorong kegiatan penanaman
modal yang inovatif, mendorong pengembangan penelitian dan pengembangan (research
and development), menghasilkan produk berteknologi tinggi, dan efisiensi dalam
penggunaan energi;
Membangun citra sebagai negara industri yang ramah lingkungan;
Mendorong Pemerintah Daerah membangun kawasan ekonomi berbasis teknologi tinggi
(technopark).
4.4 Analisis Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
4.4.1 Tujuan Investasi
Setelah mengalami tekanan krisis ekonomi global yang dimulai pada kuartal IV tahun 2008. Pada
awal tahun 2009 industri petrokimia di Indonesia mulai menunjukkan pemulihan. Bahkan pada
tahun 2010 industri petrokimia mampu tumbuh 4,46% dari tahun sebelumnya. Salah satu indikasi
berkembangnya industri petrokimia, tercermin dari meningkatnya konsumsi bahan baku plastik
yang dihasilkan industri petrokimia hulu olefin. Oleh karena itu, produsen petrokimia hulu olefin,
aromatik maupun yang berbasis gas alam (C1) merencanakan untuk menambah kapasitas produksi
dengan tujuan untuk mengantisipasi meningkatnya permintaan.
Indikator penting lainnya dari pemulihan industri ini adalah pada tren investasi industri
manufaktur, sepanjang tahun 2011 (hingga Sep-11) industri petrokimia masuk dalam 2 besar
industri manufaktur dengan nilai investasi terbesar bersama dengan metal, mesin dan elektronik
dengan total investasi mencapai Rp 1,2 triliun. Dalam level yang lebih mikro indikasi adanya
eskpansi di tingkat produksi dapat dilihat dari langkah Chandra Asri (CA) milik Barito Pacific yang
sedang melakukan studi kelayakan (prefeasibility study) untuk membangun naphta cracker
berkapasitas 300.000 barel per hari senilai US$ 5-7 miliar yang terintegrasi dengan plant olefin
center di Cilegon, Banten. Untuk pengadaan minyak mentah rencananya akan dipasok Aramco
dengan jangka waktu kontrak sedikitnya 15 tahun.
Salah satu langkah awal yang saat ini sedang dilakukan oleh pemerintah dan pelaku industri
petrokimia adalah investasi kapasitas produksi baik melalui pembangunan unit plant baru maupun
Ka
55
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
perluasan fasilitas produksi yang sudah ada. Tujuan dari investasi ini sendiri adalah dalam rangka
memperkuat struktur hulu industri petrokimia melalui penyediaan alternatif bahan baku yang
memadai dari segi jumlah dan kualitas.
No Produk Kapasitas Saat Ini
Proyeksi Kebutuhan
2015
Proyek yang Diusulkan
Kapasitas yang Direncanakan
2015
1 Minyak Mentah
950,000 Barrel/hari
1,900,000 Barrel/hari
Pengembangan produksi sumur tua, Impor minyak mentah 900,000 barrel/hari
1,900,000 Barrel/hari
2 Gasoline/ fuel
45,000,000 KL/tahun
62,370,000 KL/tahun
Membangun kilang terintegrasi 3 x 300,000 barrel/hari
63,282,000 KL/tahun
3 Ethylene 600,000 Ton/tahun
1,440,000 Ton/tahun
Membangun cracker naphtha baru 1,000,000 ton /tahun ethylene
1,600,000 Ton/tahun
4 Propylene 540,000 Ton/tahun
1,160,000 Ton/tahun
Membangun cracker naphtha baru 1,000,000 ton /tahun ethylene
1,334,000 Ton/tahun
5 Paraxylene 750,000 Ton/tahun
1,250,000 Ton/tahun
Membangun pabrik aromatik baru 500,000 Ton/tahun paraxylene
1,250,000 Ton/tahun
6 Condensate 100,000 Barrel/hari
100,000 Barrel/hari
Mengoptimalkan penggunaan pabrik
100,000 Barrel/hari
7 Naphtha 7,714,000 Ton/tahun
Membangun cracker naphtha baru 1,000,000 ton /tahun ethylene
7,758,000 Ton/tahun
Berdasarkan estimasi kebutuhan diatas maka dapat ditentukan kebutuhan investasi yang
diperlukan untuk memperkuat struktur produksi industri petrokimia di Indonesia. Dalam kajian ini
akan dilakukan suatu analisis investasi sederhana untuk menghitung tingkat kelayakan investasi
tersebut dengan fokus utama pada kelayakan secara finansial. Dalam proses analisis kelayakan
investasi, evaluasi aspek keuangan ini hanya merupakan aspek awal namun merupakan muara
bagian penting yang akan mendukung aspek-aspek lainnya. Sehingga dari analisis awal tersebut
akan menghasilkan indikasi kuantitatif dan kualitatif apakah analisis industri petrokimia ini layak
atau tidak untuk dilanjutkan.
Tabel 4.1. Kebutuhan Bahan Baku dan Produksi Industri Petrokimia Hingga tahun 2015
Diproyeksikan hingga akhir tahun 2015 kebutuhan bahan baku naptha industri petrokimia nasional akan
mencapai 7,7 juta ton, yang berasal dari 1,9 juta barel minyak per hari. Sementara untuk condensate
diproyeksikan kebutuhannya akan mencapai 100 ribu barel pe hari. (sumber : Diolah dari berbagai
sumber)
Ka
56
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
4.4.2 Metode Cost Benefit Analysis (CBA)
Evaluasi kelayakan pengembangan industri petrokimia dari aspek investasi dapat dilakukan dengan
metode Cost Benefit Analysis. Metode Cost Benefits Analysis adalah metode yang dapat
mengidentifikasi dan mengkonversikan komponen-komponen biaya-biaya dan manfaat-manfaat
yang dihasilkan oleh proyek investasi ke dalam nilai ekonomis atau moneter. Kemudian kita
analisis kelayakan ekonomisnya memanfaatkan alat-alat analisis finansial yang ada seperti Payback
Period, Net Present Value, Return On Investment dan Internal Rate of Return. Dari hasil analisis
tersebut dapat ditetapkan apakah proyek investasi Petrokimia tersebut dapat diterima atau tidak.
Di dalam bab ini, kelayakan proyek pembangunan industri petrokimia di beberapa wilayah di
Indonesia diuji dengan menggunakan metode ini. Kajian ini menggunakan beberapa asumsi di
antaranya adalah sebagai berikut:
nilai investasi adalah nilai perkiraan yang dibutuhkan untuk membangun suatu pabrik
nilai investasi sudah memasukkan perkiraan biaya tanah dan infrastruktur pendukung
biaya-biaya administrasi, hukum dan perizinan tidak dimasukkan ke dalam perhitungan
jadwal investasi tidak mempengaruhi nilai investasi
a. Kebutuhan Investasi
Pembangunan industri petrokimia terutama difokuskan untuk pemenuhan bahan baku yang
dilaksanakan dengan beberapa langkah yaitu pengalokasian gas untuk industri petrokimia dalam
neraca gas nasional 2010-2025, rencana pembangunan refinery untuk memenuhi kebutuhan
nafta, dan penggunaan bahan baku alternatif gasifikasi batubara dan biofeedstock. Biaya investasi
yang diperlukan untuk pembangunan pabrik petrokimia adalah sebagai berikut:
No Pabrik Kapasitas Sekarang
Proyeksi Kapasitas 2015
Action Plan 2015 Biaya
Investasi (US$)
1 Refinery 1,000,000 Barrel/hari
1.900,000 Barrel/hari
Membangun Refinery 900,000 Barrel/hari berkapasitas 3X300 .000 Barrel/hari
15 Miliar
2 Olefin Plant 600,000 (ton/tahun)
1,600,000 ton/tahun
Membangun pabrik Olefin 1,000,000 ton/Tahun
2 Miliar
3 Aromatic Plant 750,000 (ton/tahun)
1,250,000 Ton/tahun
Membangun pabrik Aromatic 500,000 ton/tahun
1 Miliar
4 Condensate splitter
100,000 Barrel/hari
100.000 Barrels/hari
Mengoptimalkan penggunaan pabrik yang ada
0
Total Investasi 18 Miliar
Tabel 4.2. Total Kebutuhan Investasi Kilang Minyak Terintegrasi
Diproyeksikan kebutuhan investasi untuk pengembangan kilang minyak terintegrasi dengan petrokimia
plant mencapai US$ 18 miliar (sumber : Diolah dari berbagai sumber)
Ka
57
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
b. Dukungan Infrastruktur
Adapun infrastruktur yang saat ini sudah dibangun dan disediakan oleh pemerintah di lokasi-lokasi
sebagai berikut:
c. Manfaat dan Biaya (Finansial)
Komponen manfaat atau dalam hal ini dapat disebut pula sebagai efektivitas yang didapat dari
sebuah sistem industri petrokimia dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Manfaat atau efektifitas yang didapat dari peningkatan aktivitas produksi industri
Petrokimia.
2. Manfaat atau efektifitas yang didapat dari pengurangan biaya produksi industri Petrokimia.
3. Manfaat atau efektifitas yang didapat dari peningkatkan perencanaan dan pengendalian
manajemen.
4. Manfaat atau efektifitas yang didapat dari peningkatkan penyerapan tenaga kerja
5. Manfaat atau efektifitas yang didapat dari peningkatkan penerimaan negara yang berasal
dari pajak
Manfaat atau efektifitas dari sebuah proyek investasi dapat juga diklasifikasikan dalam dua bentuk
yaitu : tangible benefits dan intangible benefits
Tangible Benefits atau manfaat keuntungan yang berwujud adalah keuntungan penghematan-
penghematan atau peningkatan-peningkatan di dalam perusahaan yang dapat di ukur secara
kuantitatif dalam bentuk satuan nilai moneter/uang.
Lokasi Pelabuhan Jalan
Banten - Pelabuhan Merak, - Pelabuhan milik PT. Chandra
Asri s.d. 10.000 DWT
Terdapat akses jalan dari dan ke pelabuhan
Tuban Kapasitas pelabuhan sebesar 185.000 DWT dan 40.000 DWT
Terdapat akses jalan dari dan ke pelabuhan
Bontang Kapasitas pelapuhan milik PT. Pupuk Kaltim s.d. 40.000 DWT
Sedang dibangun jalan tol Balikpapan-Sangata
Muara Enim Tanjung Api-Api Rencana proyek jalur KA Muara Enim – Tanjung Api-api 300 km
Tabel 4.3. Kondisi Infrastruktur di Wialayah Target Klaster Industri
Salah satu faktor yang menentukan tingkat keberhasilan pegembangan suatu klaster industri petrokimia
adalah daya dukung infrastruktur khususnya dalam hal penyediaan sumber energi, pelabuhan, jalan dan
air baku industri dan lainnya (sumber : Diolah dari berbagai sumber)
Ka
58
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
Hal yang termasuk diantaranya adalah : keuntungan dari pengurangan biaya operasional,
keuntungan dari pengurangan biaya proses produksi, keuntungan dari pengurangan biaya
transportasi, keuntungan akibat peningkatan produksi, keuntungan akibat pengurangan biaya
persediaan, dan keuntungan akibat penambahan pajak.
Intangible Benefits atau manfaat keuntungan yang tidak berwujud adalah nilai keuntungan yang
sulit atau tidak mungkin di ukur dalam bentuk satuan nilai moneter/uang. Diantaranya adalah
seperti : keuntungan akibat peningkatan penyerapan tenaga kerja dan keuntungan akibat
peningkatan pengambilan keputusan manajerial yang lebih baik. Intangible benefits sulit untuk
diukur dalam satuan nilai moneter/uang, karena itu cara pengukurannya dapat dilakukan dengan
menggunakan penaksiran.
d. Analisis terhadap Kinerja Ekonomi Sektor Industri Petrokimia
Pendekatan untuk memperoleh gambaran tentang kinerja ekonomi sektor Industri petrokimia
mencakup hal-hal sebagai berikut: (i) kontribusi terhadap PDB dan pendapatan devisa yang
mencakup value added di sektor industri petrokimia, besarnya komponen upah dalam value
added, kemampuan ekspor dan ketergantungan impor; (ii) efek pemerataan dari input keterkaitan
antar industri
e. Kontribusi terhadap PDB dan Pendapatan Devisa
Pengukuran besaran-besaran yang diperlukan untuk memperkirakan kontribusi sektor Petrokimia
dari data statistik yang dihasilkan oleh Badan Pusat Statistik secara tajam tidak dilakukan dalam
analisis investasi ini, karena pada tingkat pengelompokan terkecil pun komponen industri
petrokimia tidak dapat dipisahkan dengan tajam.
f. Proyeksi Keuangan
Setelah komponen biaya dan manfaat diketahui, maka cost benefits analysis bisa dilakukan untuk
menentukan apakah proyek pengembangan industri petrokimia layak atau tidak. Dalam analisa
suatu investasi, terdapat dua aliran kas, aliran kas keluar (cash outflow) yang terjadi karena
pengeluaran-pengeluaran untuk biaya investasi, dan aliran kas masuk (cash inflow) yang terjadi
akibat manfaat yang dihasilkan oleh suatu investasi. Aliran kas masuk atau yang sering dikatakan
pula sebagai proceed, merupakan keuntungan bersih sesudah pajak ditambah dengan depresiasi
(bila depresiasi masuk dalam komponen biaya).
Adapun metode-metode yang digunakan dalam cost benefits analysis diantaranya adalah payback
period method
Asumsi harga yang digunakan adalah:
1. Harga minyak mentah per barrel adalah $100 / barrel
2. Harga naphta per barrel adalah $1400 / barrel
3. Harga olefin per ton adalah $1500 / ton
Ka
59
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
4. Harga aromatik per ton adalah $1200 / ton
5. Inflasi sebesar 5%, biaya operasional 70%, dan kapasitas maksimum adalah 80%
Perhitungan proyeksi keuangan investasi petrokimia terintegrasi adalah sebagai berikut :
G. Kesimpulan Investasi
Berdasarkan model proyeksi di atas, maka pembangunan klaster Industri Petrokimia secara
terintegrasi dapat mencapai Payback Periods pada tahun 2016, dengan asumsi bahwa proyek ini
dilaksanakan secara serempak dan selesai pada akhir tahun 2012.
Tabel 4.4. Proyeksi Keuangan Investasi Industri Petrokimia
Dengan menggunakan analisa cost/benefit dan mengacu pada beberapa asumsi asumsi dasar maka
diperoleh hasil bahwa pembangunan klaster industri petrokimia terintegrasi adalah layak. (sumber :
Analisa penulis)
Ka
60
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
• Industri petrokimia merupakan salah satu industri strategis yang tergambar jelas dari
posisinya dalam struktur produk domestik bruto (PDB) Indonesia dengan kontribusi terhadap
industri pengolahan non migas sebesar lebih dari 12,5%. Posisi strategis ini juga mengingat
input dan output yang dihasilkan terkait erat dengan rantai nilai industri lain seperti
pertambangan, perumahan, pangan, sandang, fine chemicals secara langsung dan industri alat
transportasi, telekomunikasi dan lain-lainnya secara tidak langsung. Fundamental industri
petrokimia Indonesia sangat diuntungkan oleh kondisi potensi bahan baku berupa minyak dan
gas bumi dan potensi pasar di dalam negeri yang cukup besar.
• Secara horizontal industri petrokimia dapat dibagi menjadi 3 lini utama berdasarkan teknis
proses produksi dan produknya yaitu industri berbasis metana, olefin dan aromatik.
Sementara itu secara vertikal industri petrokimia dapat dibagi menjadi industri hulu (upstream
industry), industri antara (intermediate industry) dan industri hilir (downstream industry).
Industri petrokimia khususnya di hulu mempunyai sifat high investment, high technology, high
risk, dan low profit.
• Industri petrokimia masih menghadapi banyak permasalahan kompleks yang bersumber dari
belum adanya integrasi strategi di semua lini. Kondisi ini menimbulkan berbagai persoalan
baru mulai dari masalah shortage bahan baku, revitalisasi pabrik tua, infrastruktur hingga
masalah penguasaan R&D dan lainnya.
• Untuk menciptakan daya saing dan kemandirian industri diperlukan satu bentuk kerjasama
antar semua stakeholder pada industri hulu – hilir. Konsep strategi pengembangan industri
petrokimia yang tepat digunakan adalah integrasi berbasis klaster.
• Langkah integrasi berbasis klaster akan memberikan nilai tambah melalui peningkatan
efisiensi, profitabilitas dan pemanfaatan maksimal atas faktor input dan output. Lebih lanjut,
melalui pendekatan klaster akan tercipta peningkatan keunggulan komparatif menjadi
keunggulan kompetitif yang ditandai dengan peningkatan kompetensi inti (distinctive
competence) di semua rantai nilai industri pertrokimia.
• Dalam membangun konsep integrasi industri petrokimia berbasis klaster adalah sangat
penting untuk memperhatikan karakteristik dan sifat dasar dari industri. Pengembangan
industri petrokimia hulu perlu dipelopori oleh pemerintah atau melalui kerjasama antara
pemerintah dengan swasta.
Ka
61
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
• Peran pemerintah menjadi lebih penting sebab pemerintah dituntut mampu mengarahkan
integrasi industri secara tepat agar tidak menjurus pada “negative concentration” dalam
bentuk monopoli, distorsi pasar, dan ketimpangan wilayah (klaster dan non klaster).
• Dalam konteks produksi, integrasi industri dapat diarahkan melalui integrasi antara kilang
minyak dengan pabrik petrokimia. Meskipun akan memberikan benefit besar namun
tantangan yang dihasapi juga cukup besar diataranya ; hambatan teknis operasi, kompleksitas
distribusi dan pemasaran, fleksibilitas biaya operasional hingga sinergi antara perencanaan
dan operasional.
• Analisa investasi menggunakan metode Cost Benefit Analysis menunjukkan bahwa
pembangunan dan penambahan kapasitas produksi pada klaster Industri Petrokimia secara
terintegrasi dapat mencapai payback periods pada tahun 2016, dengan asumsi bahwa proyek
ini dilaksanakan secara serempak dan selesai pada akhir tahun 2012.
Rekomendasi
• Berangkat dari identifikasi terhadap faktor-faktor kritis dalam analisa SWOT serta dengan
memperhatikan major issues yang dikemukakan diatas maka, diperlukan satu strategi yang
komprehensif mencakup strategi mulai dari level bahan baku (feedstock), industri, teknologi,
investasi, dan pengembangan pasar.
• Pada level strategi bahan baku strategi harus difokuskan pada terjaminnya pasokan bahan
baku industri dari hulu – hilir secara tepat dan ekonomis. Hal ini akan sejalan dengan strategi
level industri yang difokuskan pada penguatan struktur industri ke sisi hulu melalui
peningkatan utilisasi produksi.
• Untuk strategi level teknologi ; strategi perlu diarahkan pada pengembangan kemampuan
industri dalam negeri melalui penguatan R&D dan transfer knowledge menuju terciptanya
industri petrokimia yang ramah lingkungan (green industri). Strategi penguasaan dan
pengembangan pasar perlu diarahkan pada pengamanan supply dan demand pasar domestik
dan secara bertahap mengembangkan produk industri untuk bersaing di pasar internasional.
• Sementara untuk strategi level dukungan infrastruktur perlu difokuskan pada penyediaan
sarana dan prasarana pendukung utama pembentukan klaster petrokimia yang terdiri dari
energi – listrik, air baku industri, dan transportasi – jalan dan pelabuhan.
• Khusus dalam konteks strategi level investasi fokus utama strategi pengembangan adalah
pada perbaikan iklim investasi secara menyeluruh dan percepatan realisasi investasi pada
klaster-klaster industri petrokimia. Dalam rencana strategi pengembangan investasi industri
petrokimia yang terintegrasi dibutuhkan satu kesinambungan strategi dengan mengacu pada
tiga periode jangka pendek (crash program), jangka menengah dan jangka panjang yang
dilakukan secara simultan.
Ka
62
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
• Dalam strategi jangka pendek pengembangan investasi industri petrokimia adalah untuk
mendorong industri hulu petrokimia yang cepat menghasilkan bahan baku dan barang
setengah jadi bagi industri lainnya dan mempercepat penyiapan infrastruktur penunjang.
• Dalam jangka menengah strategi pengembangan investasi industri Petrokimia difokuskan
pada percepatan pembangunan infrastruktur fisik, diversifikasi dan konversi energi serta
peningkatan kualitas SDM dan teknologi.
• Sementara dalam strategi jangka panjang pengembangan investasi industri petrokimia
diarahkan pada strategi pengembangan investasi industri skala besar yang terintegrasi
(upstream -> downstream) dan investasi pada inovasi industri berteknologi tinggi.
Ka
63
Perencanaan Pengembangan Investasi Industri Petrokimia Terintegrasi
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur - 2011
DAFTAR PUSTAKA
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). (2010). Pengembangan Investasi Industri Petrokimia
berbasis C1 dan turunannya. Jakarta - BKPM
Charles W.L. Hill dan Gareth R. Jones. (2008). Strategic Management: An Integrated Approach, 9th
Edition. Texas: South-Western Cengage Learning.
Direktorat Perencanaan Industri Manufaktur. (2011). Pengembangan Investasi Industri Petrokimia
Terintegrasi – Olefin. Jakarta
Kamar Dagang dan Industri Indonesia (2010). Kebutuhan Teknologi dan Potensi Kerjasama Riset
dengan Industri. Jakarta
Media data (2010). Progress Industri Petrokimia di Indonesia. Jakarta – PT Media Data Riset
Nugroho, B.P. (2011). Panduan Pengembangan Klaster Industri. Pusat Pengkajian Kebijakan Inovasi
Teknologi : BPPT.
Peraturan Menteri Perindustrian (2010). Peraturan Menteri Perindustrian 14/M-IND/PER/1/2010
Tentang Roadmap Pengembangan Klaster Industri Petrokimia. Jakarta
Peraturan Presiden Republik Indonesia (2008). Peraturan Presiden Republik Indonesia No.28
Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional. Jakarta
Porter, M.E. (1990). The Competitive Advantage of Nations. New York : The Free Press.
Taufik, Tatang (2008). Pemikiran Dibalik Klaster Industri.
http://klasterindustri.blogspot.com/2008/12/pemikiran-di-balik-klaster-industri.html
Wheeler, Foster. (2008). Petrochemicals and Refining : A Changing Business Model ?. Bahrain : ME
Petrotech 2008, 25-28 May.
www.arabianoilandgas.com. “World's 10 largest petrochemicals companies”