39
PERHATIAN MUHADITHI<N TERHADAP KRITIK HADIS Makalah Diajukan Untuk Seminar Kelas Mata Kuliah Metodologi Penelitian Hadis Dosen Pengampu Prof. DR. H. Zainul Arifin, MA Oleh M. Syukrillah NIM. F08213256 PROGRAM STUDI ILMU HADIS PASCASARJANA UNIVERSITASISLAM NEGERI (UIN) SUNAN AMPEL SURABAYA 2014

Perhatian Muhadisin Terhadap Kritik Hadis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang urgensi penelitian atau kritik hadis dan sebab-sebab para ulama hadis memberikan perhatian yang intensif terhadap pengembangan metodologinya serta Kritik Hadis Dalam Perkembangan Sejarah di Abab pertama dan kedua Hijriyah

Citation preview

  • 0

    PERHATIAN MUHADITHI

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Urgensi hadis nabibaik dalam studi Islam maupun implementasi

    ajarannyabukanlahhal yang asing bagi kaum muslimin umumnya, apalagi bagi

    kalangan ulama. Hal ini mengingat hadis menempati posisi tertinggi sebagai

    sumber hukum dalam sistem hukum Islam (al-Tashri> al-Islami>) setelah al-

    Qura>n.1

    Sebagai referensi tertinggi kedua setelah al-Quran,2 hadis membentuk

    hubungan simbiosis mutualismdengan al-Quran sebagai teks sentral dalam

    peradaban Islam bukan hanya dalam tataran normatif-teoritis namun juga

    terimplementasikan dalam konsensus, dialektika keilmuan dan praktek

    keberagaman umat Islam seluruh dunia sepanjang sejarahnya.Bersama al-Quran,

    hadis merupakan sumber mata air yang menghidupkan peradaban Islam,

    menjadi inspirasi dan referensi bagi kaum muslimin dalam kehidupannya.

    Mengingat strategisnya posisi hadis dan urgensi mempelajarinya, maka

    ulama hadis memberikan perhatian serius dalam bentuk menghafal hadis,

    mendokumentasikan dalam kitabdan mempublikasikannya, menjabarkan cabang-

    cabang keilmuannya, meletakkan kaidah-kaidah dan metodologi khusus untuk

    menjaga hadis dari kekeliruan dan kesalahan dalam periwayatan serta melakukan

    riset-riset untuk meneliti validitas hadis.3

    Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang urgensi penelitian atau kritik

    hadis dan sebab-sebab para ulama hadis memberikan perhatian yang intensif

    terhadap pengembangan metodologinya.

    1Abdullah Hasan al-Hadi>thi, Athar al-H{adi>th al-Nabawy al-Shari>f fi Ikhtila>f al-Fuqaha> (Beirut :

    Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 1, 2005), 3 2Mayoritas ulama sepakat bahwa kedudukan (manzilah) sunnah dalam adillah ash-sharyyah

    menempati posisi kedua setelah Al-Quran karena (1) al-Quran bersifat qat}iy al-thubu>t, sementara sunnah bersifat z}anniyah al-thubu>t, sehingga yang qat}iy diutamakan daripada yang z}anny, (2) karena sunnah berfungsi sebagai baya>>n bagi Al-Quran, sementara kedudukan penjelas (al-baya>n) adalah ta>bi (pengikut) bagi yang dijelaskan (al-mubayyan), (3) secara normatif, Rasulullah SAW secara taqri>ry menetapkan hal tersebut dalam hadis Muadz tatkala diutus ke Yaman. Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Waji>z fi Us}u>l al-Fiqh (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 1, 1419 H), 37-38 3Lihat Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-H{adi>th wa al-Muh{addithu>n (Riyadh: Al-Riasah

    al-Ammah li Idarat al-Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta wa al-Dawah wa al-Iryad, 1404 H/1984 M),

    5-6

  • 2

    BAB II

    PEMBAHASAN

    A. Definisi Kritik Hadis (Naqd al-Hadi>th)

    1. Tinjauan Etimologis

    Dalam bahasa Arab, penelitian (kritik) hadis dikenal dengan naqd al-

    hadi>th.4 Kata naqd secara bahasa adalah meneliti dan membedakan (tingkat

    kualitas) dirham (mata uang perak) dan memisahkan yang palsu darinya (

    ).5Sehingga, dari hasil naqd atau tamyi>z, uang dirham

    tersebut sah atau valid untuk diserahterimakan kepada seseorang atau dapat

    digunakan dalam transaksi keuangan ( . ).6 Dalam

    proses naqd ini, ditampakkan mana yang cacat dan mana yang baik (

    ).7

    Jika dirangkum, naqd secara etimologis antara lain mencakup arti to

    examine critically (menguji secara kritis), to criticize (mengecek), find fault

    (menemukan kesalahan), take exception (mengambil sikap pengecualian atau

    keberatan), to show up the shortcomings (menunjukkan suatu kelemahan atau

    4 Idri,Studi Hadis (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, cet.2, 2013), 275

    5Ibnu Manzhur,Lisa>n al-Arab, Vol. 3 (Beirut: Dar Shadir, cet. 3, 1414 H), 425

    6Muhammad bin Ahmad al-Azhary al-Harawy, Tahdhi>b al-Lughah. Vol. 9 (Beirut: Dar ihya al-

    Turath, cet. 1, 2001), 50, Al-Murtada al-Zabidy, Ta>j al-Aru>s min Jawa>hir al-Qa>mu>s .Vol. 9 (t.t.: Dar al-Hidayah, t.th.), 230, Zain al-din Abu Abdillah al-Razi, Mukhta>r al-Shiha>h (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah, cet. 5, 1420 H/1999 M), 317. Di kalangan ulama hadis generasi awal (mutaqaddimi>n), penggunaan istilah naqd secara etimologis untuk kritik hadis dapat ditemui

    dalam ungkapan mereka seperti al-Auzay (w. 156 H) sebagai berikut:

    . Kami mendengar suatu hadis maka kami paparkan kondisinya kepada teman-teman kami (ahli hadis) sebagaimana dirham yang palsu disingkap kepalsuannya. Apabila mengetahui (validitas)

    hadis tersebut, maka hadisnya kami ambil, apabila mereka mengingkari maka kami buang. Al-Baihaqi>, Marifah al-Sunan wa al-Atha>r. Vol. 1.ed. Abd al-Muthi Amin Qalajy. (Beirut: Dar Qutaibah, cet. 1, 1412 H/1991 M), 143 7 Ibrahim Musthafa, et.all. Muja>m al-Wasi>th, Vol. 2 (Kairo: Dar al-dakwah, t.th.), 944.

  • 3

    kekeliruan).8Selaras dengan makna tersebut, kata kritik dalam Bahasa

    Indonesia berkonotasi pada sifat tidak lekas percaya, tajam dalam menganalisa,

    ada uraian pertimbangan baik buruk terhadap sesuatu karya.9

    Dengan demikian, secara etimologis kritik (naqd) bisa diartikan sebagai

    suatu upaya untuk menentukan mana yang benar (asli) dan mana yang salah

    (palsu/tiruan).Kandungan maknanya mencakup kritik atau penilaian positif (al-

    naqd al-ijabi>) dan makna kritik negatif (al-naqd al-salabi>).

    2. Tinjauan Terminologis

    Naqd secara terminologis, menurut Abubakar Ka>fi> adalah studi tentang

    perawi dan apa yang diriwayatkannya dengan tujuan untuk menyeleksi perawi

    dan periwayatan yang berkualitas baik dari yang berkualitas rendah (

    ).10 Senada dengan itu Mustafa al-Azami>

    mendefinisikan naqd ialah membedakan dan menyaring atau menyeleksi hadis-

    hadis yang sahih dari hadis-hadis yang d{ai>f dan menghukumi (menilai) para

    perawi dengan nilai positif atau negatif (

    ).11

    Sebagai disiplin ilmu, kritik hadis adalah :

    , . ,

    Ilmu yang membahas tentang cara menyeleksi hadis-hadis yang shahih dari yang d}ai>f dan menjelaskan illat-nya serta menetapkan status hukum atas para

    8Hans, Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: Goerge Allen & Unwin Ltd.,

    1970), 990 9Depdikbud.Kamus Besar Bahasa Indonesia(Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1988), 466

    10 Abubakar Ka>fy,Manhaj al-Ima>m al-Bukha>ry fi Tashi>hi al-Aha>di>th wa Tali>liha. (Beirut: Dar

    Ibn Hazm, Cet. 1, 1422 H/2000 M), 37 11

    Muhammad Mustafa al-Azamy, Manhaj al-Naqd Ind al-Muhaddithi>n (Riyadh: al-Ummariyah, 1982), 5

  • 4

    perawinya baik dalam bentuk jarh atau tadil dengan ungkapan atau istilah khusus yang menunjukkan makna tertentu yang dipahami oleh ahlinya.12

    ,

    ,

    Penetapan status cacat atau adil pada periwayat hadis dengan menggunakan idiom khusus berdasar bukti-bukti yang mudah diketahui oleh para ahlinya, dan

    mencermati matan-matan hadis sepanjang sahih sanadnya untuk tujuan mengakui

    validitas atau menilai lemah, dan upaya menyingkap kemusykilan pada matan

    dengan mengaplikasikan tolok ukur yang detail.13

    B. Tujuan, Objek dan Nilai Guna Penelitian (Kritik) Hadis

    Pada dasarnya, kritik hadis tidak diorientasikan untuk menguji kapasititas

    dan otoritas hadis atau sunnah Rasulullah SAW yang telah disepakati (al-mujma

    alaihi) sebagai sumber ajaran Islam utama dan terpenting setelah al-Quran.

    Merujuk definisi terminologis naqd al-h}adi>th, maka naqd al-h}adi>th bertujuan

    untuk menguji dan menganalisis secara kritis apakah secara historis suatu hadis

    dapat dibuktikan kebenarannya berasal dari Nabi atau tidak.14

    Dengan demikian,

    penelitian (kritik) hadis diorientasikan untuk menguji otentitas dan validitas

    informasi hadis dalam proses periwayatannya.15

    Sementara objek kajiannya adalah sanad (al-ruwa>t) dan matan hadis (al-

    marwiya>t).16Kritik sanad disebut kritik eksternal (al-naqd al-kha>riji>).Sementara

    kritik matan disebut juga kritik internal (al-naqd al-da>khili>).

    Adapun nilai guna penelitian hadis, antara lain; (1) untuk mengetahui

    hadis yang dapat diterima atau ditolak untuk pendalilan hukum(istidla>l) dan

    12

    Muh}ammad Ali Qa>shim al-Umary. Dirasa>t fi Manhaj al-Naqd Ind al-Muhaddithi>n (Yordania: Dar al-Nafais, tth), 11 13

    Muh}ammad T{ahir al-Jawabi, Juh}ud al-Muhadithi>n fi Naqd al-Matan al-Hadi>th al-Shari>f (Tunisia: Muassasah Abd al-Karim, 1986), 94 14

    Idri, Studi Hadis, 276 15

    Hal ini karena kegiatan transfer informasi (riwayat) hadis melibatkan banyak orang dengan

    berbagai kualitasnya dalam mata rantai periwayatan yang relatif panjang dengan proses

    kodifikasi dalam kurun waktu yang relatif lama. 16

    Muhammad Ali Qa>shim al-Umary, Dirasa>t fi Manhaj al-Naqd Ind al-Muhaddithi>n (Yordania: Dar al-Nafa>is, t.th.), 20

  • 5

    penarikan kesimpulan hukum (istinba>t}) dalam ijtihad dalam berbagai persoalan

    keagamaan, (2) menguatkan ke-thiqah-an (kepastian keyakinan) akan hadis-hadis

    yang telah diverifikasi validitasnya sebagai sesuatu yang benar-benar berasal dari

    Nabi SAW, (3) sebagai keahlian metodologis bagi para pengkaji dan peneliti

    dalam menyeleksi riwayat-riwayat hadis dan informasi sejarah,17

    (4) menjaga

    orisinalitas ajaran Islam dari upaya penyelewengan (tah}ri>f) dan perubahan

    (tabdi>l) melalui pemalsuan riwayat dan penyisipan ajaran khurafat dan

    isra>iliyya>t, (5) mewaspadai dari ancaman sanksi berdusta atas nama Nabi SAW

    dalam periwayatan hadis.18

    C. Latar Belakang Pentingnya Penelitian (Kritik) Hadis

    Kritik hadis bukan hanya dilatar belakangi oleh keinginan untuk

    memuaskan hasrat ilmiah semata.Akan tetapi ada latar belakang dan motivasi

    yang lebih dalam dan kuat.Dalam hal ini dorongan nilai spiritual dan orientasi

    transcendental sangat berperan. Penjagaan terhadap otentitas dan orisinalitas

    serta validitas sumber referensi keagamaan menjadi hal utama karena akan

    menjadi landasan bagi pemahaman dan pengamalan syariat. Hal ini

    membutuhkan upaya penelitian dan kecermatan dalam transfer sumber referensi

    tersebut.19

    Adapun beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi pentingnya kritik

    hadis adalah:

    1. Pertimbangan teologis

    Hadis menempati posisi tertinggi sebagai sumber hukum dalam sistem

    hukum Islam (al-Tashri> al-Isla>mi>) setelah al-Qura>n. Hal ini berbeda dengan

    17

    Mustafa al-Khan,al-Manhal al-Ra>wy min Taqri>b al-Nawawy (tp: Dar al-Malah} li al-Tabaah wa al-Nashr, ttt), 18 18

    Nur al-Di>n Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulu>m al-Hadi>th (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1998 M), 29-30 19

    Muhammad Mustafa al-Azamy, Manhaj al-Naqd Ind al-Muhaddithi>n (Riyadh: al-Ummariyah, 1982), 6

  • 6

    anggapan kelompok inka>r al-sunnah atau munkir al-sunnah.20 Terdapat landasan

    normatif dan logis bagi kehujahan (otoritas) hadis sebagai mas}dar (sumber) dan

    marja> (rujukan) bagi ajaran Islam, antara lain sebagai berikut;

    1. Dalil Al-Quran

    1) Adanya pelimpahan otoritas kepada Rasulullah SAW untuk menjelaskan

    (tabyi>n) al-Quran.21 Allah SWT mewajibkan manusia untuk mengikuti wahyu

    dan sunnah Rasul-Nya. Sunnah merupakan pengajaran Allah SWT (al-

    h}ikmah) kepada Rasul-Nya yang menyertai pewahyuan al-Quran yang setara

    dengan wahyu itu sendiri.22

    Kalau al-Quran adalah wahyu matluw, maka

    sunnah merupakan wahyu ghair al-matluw.23

    2) Pemberian otoritas penetapan hukum (tashri>) kepada Rasulullah disertai

    ancaman bagi yang sengaja menyelisinya.24

    Perintah untuk berhukum kepada

    keputusannya ketika terjadi perbedaan pendapat dan perselisihan25

    Keputusan

    hukum Nabi yang tidak memberi ruang alternatif pilihan lain bagi orang yang

    beriman untuk menyelisihi keputusan (qad}a >) itu.26 Penegasan otoritas hukum

    pada diri Rasulullah ini disertai ancaman penegasian iman27

    dan penetapan

    sifat hipokrit (nifa>q) bagi mereka tidak mengakuinya,28 serta ancaman keras

    20

    Mereka adalah orang-orang yang skeptis baik secara secara totalitas ataupun parsial terhadap

    otoritas hadis sebagai sumber hukum dan ajaran Islam. Di antara tokohnya di India; Ahmad

    Khan, Ciragh Ali. di Mesir; Tawfiq Shidqiy, Mahmud Abu Rayyah, Ahmad Amin, Rasyad

    Khalifah, Ahmad Shubhiy Manshur, dan Musthafa mahmud. Di Indonesia misalnya; Ir. Ircham

    Sutarto, Abdurrahman, Dalimi Lubis dan Nazwar Syamsu, di Malaysia, seperti Kassim Ahmad.

    Lihat Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis (Jakarta: Kencana, Cet. 1, 2011), 79-114 21

    Al-Quran, 16: 44 22

    Imam al-Shafii berpendapat bahwa ayat-ayat yang menyebut al-Kitab berarti al-Quran dan al-

    hikmah berarti al-Sunnah. Di antara ayat-ayat yang menyebut tentang hal ini yaitu Al-Quran, 4: 113, 2 :129, 231, 3: 164, 62: 2, 33: 34. Lihat al-Sha>fii, Al-Risalah . ed. Ahmad Shakir (Mesir: Maktabah al-H{alaby, Cet. 1, 1358 H/1940 M) 73-76 23

    Al-Quran, 53: 3-4, Abu Muhammad Ali Ibn Hazm al-Andalusy. Al-Ihka>m fi Us}u>l al-Ahka>m. Ed. Ahmad Muhammad Shakir. Vol. 1(Beirut: Dar al-Aq al-Jadi>dah, T.tp), 97 24

    Al-Quran, 24: 63, 4: 65, 59: 7 25

    Ibid., 4: 59 26

    Ibid., 33:36. Menurut Imam al-Shafii, al-hikmah adalah keputusan (qad}a>) Rasulullah dalam bentuk sunnah yang tidak disebutkan secara tekstual dalam al-Quran. Ibid, 83 27

    Ibid., 3: 65 28

    Al-Quran,3: 61

  • 7

    berupa pembiaran dalam kesesatan dan vonis neraka bagi yang membenci

    ajaran Rasulullah SAW.29

    3) Penetapan hak ketaatan kepada Rasulullah SAW. Kewajiban taat tersebut

    sebagaimana kewajiban taat kepada Allah SWT.30 Tentunya, menaati

    Rasulullah berarti menaati ajarannya yang terdokumentasikan dalam hadis.

    4) Penetapan Rasululah sebagai teladan (uswah h}asanah) yang dicontoh dan

    diikuti perikehidupannya,31

    disertai penegasan bahwa Beliau adalah pribadi

    agung yang layak diteladani.32

    Mengikutinya merupakan manifestasi cinta

    kepada Allah .33

    2. Dalil Hadis

    1) Al-Quran dan Sunnah sebagai warisan pusaka Nabi yang wajib dipegang

    teguh.

    Aku telah tinggalkan di tengah-tengah kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitab Allah

    dan sunnah Nabi-Nya.34

    2) Penegasan Rasulullah SAW tentang otoritas pribadinya sebagai utusan

    (Rasul) Allah dalam persoalan hukum (tashri>). Hal ini untuk membantah

    pendapat munki>r al-h}adi>th yang telah disinyalir oleh Rasulullah SAW akan

    muncul.

    29

    Ibid., 3:115 30

    Lihat al-Quran, 3: 64, 4: 59, 69, 80, 8: 60, dll. 31

    Ibid., 33:21 32

    Ibid., 68:4 33

    Ibid., 3: 31 34

    Ma>lik bin Anas al-Madany, al-Muwa>t}a, Vol. 3, ed. Muhammad Must}afa al-Az}amy (Abu> Z{aby: Muassasah Za>yid bin Sult}a>n An, Cet. 1, 1425 H/2004 M), 3338. Hadis ini disahihkan al-

    Albani.merujuk takhrij Rabi bin Hady al-Madkhaly, Hujjiyah Khabar al-Aid wa al-Ahka>m (Kairo: Dar al-Minhaj, Cet. 1, 2005 M) , 15

  • 8

    .

    Ketahuilah, boleh jadi ada seseorang yang sampai kepadanya suatu hadis dariku dalam keadaan dia duduk di atas sofanya kemudian

    berkata Cukuplah antara kami dan kalian Al-Quran (sebagai otoritas hukum), apa yang kita dapatkan ketetapan halalnya (itu

    saja) yang kita halalkan dan apa saja ketetapan haramnya, maka

    itulah yang diharamkan. Sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah SAW adalah sama kedudukannya sebagaimana yang

    diharamkan Allah.35

    3) Penegasan kedudukan sunnah yang setara dengan al-Quran sebagai wahyu

    Allah.

    .

    Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan al-Kitab dan sesuutu yang setara dengannya (yaitu al-hikmah berupa al-sunnah).36

    4) Penjelasan tentang konsekwensi taat dan maksiat terhadap ajaran (sunnah)

    Rasulullah SAW.

    Semua pengikutku akan masuk surga kecuali yang enggan. Mereka (para Sahabat) bertanya; Siapa yang enggan, wahai Rasulullah?. Rasulullah

    35Muhammad bin Id Abd al-Ba>qy (Mesir: Sharikah Maktabah wa Mat}baah Must}afa al-Halaby, Cet. 2, 1395 H/1975 M), 38. Ibn Ma>jah. Sunan Ibn Majah, Vol. 1, ed. Shuaib al-Arnauwt} (Beirut: Da>r al-Risalah al-Ilmiyah, 1430 H/2009 M), 9. Hadis nomor 21. Abu Abd Allah Ahmad bin Hanbal al-Shayba>ny. Musnad al-Ima>m Ahmad bin Hanbal. Vol. 28. Ed. Shuaib al-Arnauwt}, dkk (Beirut: Muasssah al-Risalah, Cet. 1, 1421 H/2001 M), 429. Sahih, merujuk takhrij Rabi bin Hady al-Madkhaly dalam Hujjiyah Khabar al-Ahad fi al-Aqaid wa al-Ahkam (Kairo: Dar al-Minhaj, cet. 1, 2005 M) h. 15 36

    Ibn Ma>jah, SunanIbn Ma>jah.Vol. 7, 13.Hadis nomor. 4604. Abu Da>wud Sulaiman al-Sijista>ny, Sunan Abi Da>wud, Vol. 4, ed. Muhammad Muh{yi al-Di>n Abd al-Humai>d (Beirut: al-Maktabah al-As}riyah, t.th), 200

  • 9

    bersabda: Siapa yang taat kepadaku masuk surga dan siapa yang

    mendurhakaiku maka berarti dia enggan.37

    5) Penegasan Rasulullah kepada umatnya untuk berpegang teguh kepada

    sunnahnya dan sunnah para al-khulafa> al-Ra>shidin.

    .

    Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun kepada seorang hamba habsyi (yang berkulit hitam).

    Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang masih hidup sesudahku

    maka akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian

    berpegang kepada sunnahku dan sunnah khulafa ar-rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah sunnah itu dengan erat dan gigitlah

    dengan gigi geraham kalian (jangan sampai terlepas). jauhilah inovasi

    dalam cara beribadah, karena setiap inovasi semacam itu adalah bidah

    dan setiap bidah adalah sesat. 38

    3. Dalil Al-Ijma> Ijma (konsensus) ulama bahwa hadis sahih merupakan hujah bagi umat

    Islam.39

    Mereka sepakat bahwa al-sunnah al-mut}ahharah memiliki independensi

    dalam penetapan hukum syariat dan produk hukumnya berkedudukan sama

    dengan al-Quran dalam penetapan hal dan haram.40 Dalam tataran realitas,

    terdapat ijma kaum muslimin sepanjang masa untuk meneladani Nabi SAW dan

    menjadikan sunnahnya sebagai landasan berfatwa dan memutuskan hukum sejak

    masa sahabat,41

    tabiin dan generasi berikutnya sampai dewasa ini.42

    37

    Al-Bukhari,Al-Ja>mi al-S{ahi>h, Vol. 9, 92. Hadis terdapat dalam Kitab al-Itis }a>m hadis no. 7280. 38

    HR. Abu Dawud no. 3991. Abu Abd Allah Ahmad bin Hanbal al-Shayba>ny. Musnad al-Ima>m Ahmad bin Hanbal. Vol. 36. Ed. Shuaib al-Arnauwt}, dkk (Beirut: Muasssah al-Risa>lah, Cet. 1, 1421 H/2001 M), 561 39

    S{ubhi al-S}a>lih, Ulu>m al-H{adi>th wa Must}ala>huh: Ard}un wa Dira>satun (Beirut: Dar al-Ilm al-Malayi>n, cet. 15, 1984 M), 291 40

    Ash-Shaukany. Irsha>d al-Fuhul Ila> Tahqi>q al-Haq min Ilm al-Us}u>l, vol. 1 (Riyadh: Dar Fadilah, cet. 1, 1421 H/2000), 187 41

    Al-Amidy mencatat beberapa kejadian para sahabat sebagai bentuk ijma mereka tentang kewajiban ittiba kepada Rasulullah SAW, antara lain; Kasus perbedaan pendapat di kalangan para sahabat tentang kewajiban mandi junub bagi orang yang berhubungan suami istri tanpa

    inzal, Umar menanyakan masalah itu kepada Aisyah dan mendapatkan jawaban bahwa dirinya dan Rasulullah melakukan hal itu dan mandi. Hadis ini dijadikan dalil oleh Umar dan para

    sahabat lainnya. Demikian pula pernyataan Umar di hadapan para sahabat lainya bahwa

    seandainya dia tidak melihat Rasulullah mencium Hajar aswad maka dia tidak akan

  • 10

    4. Dalil Logika (al-Maqu>l)

    Dalil al-Maqu>l yang bisa diajukan untuk menetapkan potensi hujji>yah

    dari sunnah Rasulullah SAW, antara lain; (1) Tidak mungkin beramal dengn

    hanya mengandalkan ketentuan hukum yang bersifat global dalam al-Quran

    tanpa penjelasan sunnah. Proses penyampaian risalah wahyu oleh Nabi SAW

    melibatkan pembacaan al-Quran dan penjelasan dengan sunnah. Sehingga, tidak

    cukup mengambil salah satu dan meninggalkan yang lain.43

    Bahkan, menurut al-

    Auzay (w. 157 H)44, al-Quran lebih membutuhkan (penjelasan) sunnah daripada

    sebaliknya (al-Kita>b ah{waju ila> al-sunnah min al-sunnah ila> al-Kita>b).45 Yahya

    bin Abi Kathi>r (w. 129 H)46

    menegaskan bahwa sunnah adalah penentu hukum

    bagi al-Quran (al-Sunnah qa>d}iyatun ala> al-Kita>b).47 (2) Jika perbuatan Nabi

    mengandung probabilitas hukum; wajib untuk diikuti atau sebaliknya tidak

    wajib. Maka mengambil kemungkinan wajib lebih utama dan lebih hati-hati

    (ikht}iya>t}) dari perbuatan meninggalkan kewajiban,48 (3) Martabat nubuwwah

    adalah level yang tinggi dan mulia. Manusia yang terpilih adalah pemilik sifat-

    sifat yang agung. Mengikuti perbuatannya adalah bentuk kemuliaan. (4)

    Perbuatan Nabi SAW di atas kebenaran adalah suatu keniscayaan, maka

    meninggalkan kebenaran adalah kesalahan dan kebatilan.49

    Otoritas hadis sebagai sumber syariah (al-adillah al-shariyyah) semakin

    bertambah dengan kuatnya relasi fungsional antara hadis dengan al-Quran dalam

    melakukannya. Lihat Al-Amidy, Al-Ihka>m fi Usu>l al-Ahka>m, Vol. 1, ed. Abdul Razzaq al-Afify (Riya>d} : Dar Al-S{amiy, cet. 1, 1424 H/2003 M), 206 42

    Wahbah al-Zuhaily, Al-Waji>z fi Us}u>l al-Fiqh (Beirut : Dar al-Fikr al-Muas}ir, 1419 H/1999 M), 40 43

    Ibid,. 44Abu Amr, Abdurrahman bin Amr bin Yuhmad. Seorang syaikh al-Islam. Pada zamannya menjadi Ima>m (tokoh terkemuka dan rujukan) bagi penduduk negeri Syam di bidang hadis dan fiqh. Berguru kepada Qata>dah, Alqamah, Al-Zuhry, Abu Jafar al-Ba>qir, At}a bin Abi Raba>h}, Makh}u>l, dll. Muridnya antara lain; Sufyan al-Thaury, Syubah dan Imam Malik. Lihat Siyar Ala>m Nubala>. vol. 7, ed. Al-Arnaut, dkk (Beirut: Muassasah al-Risalah, cet 3, 1405), 107-108 45

    Mustafa al-Sibai, Al-Sunnah wa Maka>natuha fi Tashri> al-Isla>mi> (Beirut: al-maktab al-Islamy, cet.3, 1402 H/1982 M), 387 46

    Seorang imam ha>fiz}. Yang menjadi muridnya antara lain al-Auzay, Mamar bin Rasyid, Aban bin yazid, dll. Ayub al-Sakhtiyany berkata: Saya tidak melihat ada orang yang lebih pakar (a>lim)

    di Kota Madinah setelah al-Zuhry daripada Yahya bin Abi Kathi>r. Abu Sahl al-Maghrawy.

    Mausuah Mawa>qif al-Salaf fi al-Aqi>dah.,vol. 2(Kairo: al-Maktabah al-Islamiyah, t.th.), 219 47

    Ash-Shaukany, Irsha>d al-Fuhul, 189 48

    Hal ini bisa dianalogikan dengan orang yang lupa apakah sudah mengerjakan suatu shalat

    fardhu atau belum. Maka orang tersebut mengambil pilihan belum dan segera mengerjakannya. 49

    Al-Amidy, Al-Ihka>m, vol. 1, 237-238. Ash-Shaukany, Irsha>d al-Fuhul, Vol.1, 203-207

  • 11

    wacana agama. Dalam konteks relasi ini, hadis memiliki beberapa fungsi

    terhadap al-Quran, yaitu:

    1- Hadis sebagai penguat dan penegas keterangan Al-Quran. Contohnya

    hadis Rasulullah SAW yang melarang perbuatan syirik, bunuh diri,

    saksi palsu, durhaka kepada orang tua50

    menegaskan dan memperkuat

    larangan tersebut dalam Al-Quran.51

    2- Hadis sebagai penjelas (mubayyin) bagi al-Quran. Dalam hal ada tiga

    bentuk, yaitu (a) penjelasan terperinci atas petunjuk Al-Quran yang

    bersifat global (mujma>l), seperti hadis yang merinci teknis pelaksaan

    sholat52

    yang diperintahkan dalam Al-Quran53

    , (b) mengkhususkan (lex

    specialis) petunjuk yang bersifat umum (a>m) dari Al-Quran. Seperti

    hadis larangan menikahi seorang wanita dengan bibinya dalam semasa54

    sebagai pengkhususan dan pembatasan atas Surat an-Nisa ayat 2455.

    Dan yang ketiga (c) hadis sebagai muqayyid (membatasi dengan

    persyaratan) sesuatu yang bersifat mutlak dalam Al-Quran, seperti

    hadis yang menerangkan tentang bagian tangan yang dipotong dalam

    hukuman bagi pencuri adalah telapak sampai pergelangan tangan

    sebagai taqyi>d kata yadd dalam Al-Quran 5:38. (d)

    3- Hadis sebagai na>sikh (meng-abrogasi) hukum al-Quran, seperti hadis

    La was{iyyah li wa>rith sebagai na>sikh terhadap QS. 2: 180.56

    50

    Muh}ammad bin Isma>il al-Bukha>ry, Al-Ja>mi al-Musnad al-S{ah}i>h al-Mukhtas}ar min Umu>r Rasu>l Allah S{alla Allah alaih wa Sallam Wa Sunanih wa Ayya>mih.Vol. 3, ed. Muhammad Zuhair bin Na>s}ir al-Na>s}ir (t.t. : Da>r T{uruq al-Naja>h, cet. 1, 1422 H), 171, hadis no. 2653 ;

    51

    Sebagai contohal-Quran, 31: 13 dan4: 48 tentang larangan syirik. 22: 30 dan 25: 72 tentang

    larangan perkataan dusta, 17: 23-24 dan47: 22-23 tentang larangan durhaka kepada kedua orang

    tua, 4: 29, 17: 33, dan 5: 32, tentang larangan membunuh jiwa. 52

    Lihat hadis-hadis dalam Muh}ammad bin Isma>il al-Bukha>ry, Al-Ja>mi al-Musnad al-S{ah}i>h pada juz 1 mulai Kitab al-Wudhu sampai Kitab al-Sahwi 53

    al-Quran, 2: 43, 83,110, 4: 88, 10: 87, 24: 56, 30: 31, dll 54Muh}ammad bin Isma>il al-Bukha>ry, Al-Ja>mi., Vol. 7, 12.Hadis no. 5108 dan 5109

    55Di antara penggalan ayatnya :

    56

    Wahbah al-Zuhaily. Al-Waji>z, 38-39. Ini adalah pendapat mayoritas ulama selain Imam ash-Shafii

  • 12

    4- Hadis sebagai penetap hukum baru yang tidak disinggung oleh al-

    Quran (h}adi>th tashri>). Kedudukan al-Sunnah sama dengan al-Quran

    dalam menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Hal ini disepakati

    oleh para ulama menurut Ash-Sha>tiby. Contohnya; hukuman rajam bagi

    pezina muhs}an, keharaman perhiasan emas dan sutra bagi laki-laki,

    kewajiban zakat fitrah, keharaman daging keledai jinak, dll.57

    Dalilnya;

    secara logika hal tersebut tidak mustahil karena Rasulullah diberikan

    sifat mashu >m dan tugas menyampaikan syariat. Adapun secara nash,

    Allah SWT menetapkan hak Rasulullah untuk ditaati secara umum

    termasuk terhadap sunnah istiqla>liyyah (independen)-nya.58

    Mengingat strategisnya posisi hadis maka menjaga dan mempelajarinya

    adalah hal yang sangat penting. Imam Al-Nawawi rah}imahullah menjelaskan

    posisi strategis studi hadis ini sebagai berikut:

    Di antara bidang keilmuan yang paling penting adalah ilmu yang berkenaan dengan ilmu hadis terapan yaitu pengetahuan tentang matan

    hadis dari aspek sahi>h, hasan dan d}ai >f-nya, muttas{il, mursal, munqathi, mud}al, maqlu>b, mashhu>r, ghari>b, azi>z, mutawa>tir, dstnya. Al-Nawawi berargumen bahwa syariat Islam dilandaskan atas al-Qura>n dan sunah-sunah yang diriwayatkan. Di atas sunahlah dibangun mayoritas hukum-

    hukum fikih, karena sebagian besar ayat-ayat yang mengatur masalah

    furu> (fikih-pen) masih bersifat mujma>l (global) sementara penjelasannya terdapat dalam sunah yang menetapkan perincian hukumnya secara tegas

    (muh{kama>t). Di samping itu, dari aspek implementasi, para ulama sepakat bahwa syarat bagi seorang mujtahid yang bertugas sebagai qa>d{i (hakim pengadilan) maupun mufti (ulama pemberi fatwa) haruslah

    memiliki kompetensi keilmuan tentang hadis-hadis hukum. Kenyataan

    inimenurut an-Nawawimenegaskan bahwa studi hadis adalah ilmu yang paling mulia, dan cabang kebaikan yang paling utama, dan bentuk

    qurbah (bernilai pendekatan diri) kepada Allah karena ilmu tersebut menghimpun segala aspek penjelasan terkait seorang makhluk Allah SWT

    yang paling muliayaitu Nabi Muhammad SAW. 59

    Generasi salaf al-s}a>leh memberikan perhatian serius dalam bentuk

    menghafal hadis, mendokumentasikan dalam kitab-kitab dan

    57Muhammd bin Ali al-Shauka>ny, Irsha>d al-Fuh}u>l ila Tahqi>q al-Haq min Ilm al-Us}u>l, ed. Shaikh Ahmad Azw Ina>yah (Beirut: Dar al-Kutub al-Araby, cet. 1, 1419 H/1999 M),96 58

    Al-Quran., 4: 59, 4: 75, 5: 92, 4: 80, 24: 63, 59: 7. Mustafaal-Sibai, al-Sunnah, 382 59

    Abu Zakariya Yahya bin Sharf al-Nawawi. Muqaddimah Syarh al-Nawawi ala> Shahi>h Muslim, Vol. 1 (Kairo: Al-Matbaah al-Mishriyah bi al-Azhar, Cet. 1, 1347 H/1929 M),3-4

  • 13

    mempublikasikannya, menjabarkan cabang-cabang keilmuannya,

    mengaplikasikannya dalam ketetapan hukum syariat, menjelaskan posisi dan

    urgensi hadis kepada umat dan memotivasi umat untuk mempelajarinya dan

    berpegang teguh kepada sunah dalam semua aspek kehidupannya.60

    Dalam konteks ini, para ulama hadis mengambil tanggung jawab utama

    dan peran khusus dalam al-riwa>yah dan al-dira>yah hadis dari zaman ke zaman.

    Mereka berupaya untuk menjaga otentisitas hadis dan mengeksplorasi makna dan

    kandungan hukum dan hikmahnya.61

    2. Pertimbangan Historis-Dokumenter

    Hadis Nabi saw. tidak seluruhnya tertulis pada waktu Nabi masih hidup.

    Hal ini berbeda dengan status periwayatan al-Quran yang mutawa>tir dan qat}iy

    al-wuru>d.62 Pada masa Nabi SAW, metode pemeliharan atau penjagaan hadis (al-

    hifz}) yang dilakukan oleh sahabat dilakukan dengan tiga cara yaitu penjagaan

    secara hafalan (hifz} fi al-s}udu>r) dan penjagaan secara tertulis (hifz} fi al-sutu>r)

    serta penjagaan secara praktik (hifz} fi al-tat}bi>q al-amali>). Ketiga metode

    tersebut saling menunjang dan saling menyempurnakan.

    Metode yang umum dipakai oleh mayoritas sahabat adalah metode

    hafalan dan praktek. Namun demikian, para sahabat yang menggunakan metode

    tulisan atau catatan tidaklah sedikit. Menurut Itr, jumlah para sahabat yang

    mencatat hadis jumlahnya mencapai status muta>watir.63 Dalam penelitiannya,

    Azamy menyampaikan data sebanyak 99 orang sahabat yang menulis hadis serta

    catatan hadis yang diriwayatkan dari mereka.64

    Pencatatan hadis di masa Nabi SAW secara umum ada dua macam, yaitu:

    60

    Lihat Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-H{adi>th wa al-Muh{addithu>n (Riyadh: Al-Riasah al-Ammah li Idarat al-Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta wa al-Dawah wa al-Iryad, 1404 H/1984 M), 5-6. 61

    Sejarah perkembangan hadis dari masa ke masa dapat dibaca dalam Muhammad Muhammad

    Abu Zahwu,Al-H{adi>th wa al-Muhaddithu>n (al-Riyadh: al-Riasah al-ammah li idarah al-buhuth al-Ilmiyah wa al-ifta, 1404 H/1984 M), Nuruddin Itr, Manhaj an-Naqd, 51-80. 62

    Idri,Studi Hadis, 281 63Itr,Manhaj al-Naqd, 40 64

    Lihat Azamy, Dirasa>t., 92-142

  • 14

    Pertama, pencatatan dibawah perintah Nabi yaitu berupa dokumen resmi

    dan formal kenegaraan seperti kontrak sosial (al-wathi>qah), surat perjanjian (al-

    mua>hadah), surat kenegaraan yang dikirim kepada raja-raja (al-risa>lah).65

    Diantara contohnya adalah piagam Madinah (Wathi>qah al-Madi>nah) yang

    merupakan dokumen kenegaraan yang memuat aturan hubungan antarwarga

    negara di atas prinsip toleransi beragama dan kerjasama sosial. Piagam perjanjian

    dengan kaum Nasrani Najran Demikian pula tata aturan hukum pidana, keuangan

    negara, dll.66

    Demikian pula catatan tentang khutbah Nabi saat Fath al-Makkah

    untuk salah seorang penduduk Yaman yang hadir yang bernama Abu Shah.67

    Kedua, pencatatan berdasarkan ijin Nabi SAW. Diantara mereka yang

    mendapatkan ijin adalah;

    (a) Abdullah bin Amr bin al-Ash (w. 63 H). Abdullah bin Amr bin al-Ash

    adalah sahabat yang biasa menemani Rasulullah SAW karena beliau juga

    termasuk salah seorang pencatat wahyu (al-Quran). Abdullah bin Amr

    bin al-Ash meminta ijin kepada Rasulullah untuk menulis hadis dan Nabi

    mengijinkannya. Abdullah bin Amr bin al-Ash menulis langsung

    dihadapan Nabi setiap hadis yang didengarnya sehingga ditegur salah

    seorang tokoh tetapi setelah dikonfirmasi kepada Rasulullah, sikap

    Abdullah bin Amr bin al-Ash dibenarkan oleh beliau. Bahkan banyaknya

    catatan Ibn Amr bin al-Ash diakui oleh Abu Hurairah. Catatan hadis yang

    dikumpulkan oleh Abdullah bin Amr bin al-Ash dikenal dengan nama al-

    S{ahi>fah al-S{a>diqah.68

    (b) Ali bin Abi T{alib RA yang mendokumentasikan hadis dalam s}ah}i>fah

    kecil yang berkaitan dengan masalah diyat dan tawanan perang.

    65

    Sebagaimana yang diteliti oleh Muhammad Hamidullah dalam Majmuah al-Watha>iq al-Siyasiyah li al-Ahd al-Nabawy (Beirut: Dar al-Nafais, cet. 6, 1987), 57. Ta>rikh Tadwi>n al-Sunnah, 35. Itr, Manhaj al-Naqd, 47-48 66

    Bukhari, Vol. 1, 449. Hadis no. 1454 mengenai aturan zakat di zaman Abubakar yang merujuk

    ketentuan Rasulullah SAW. Demikian pula sahifah Amr bin Hazm yang memuat tentang aturan

    zakat yang dicatat saat beliau diutus Rasulullah SAW ke Yaman. Ta>rikh Tadwi>n.., 37 67

    Telah ditakhri>j di muka 68

    Itr, Manhaj, 45-46

  • 15

    (c) S{ah}i>fah Saad bin Ubadah yang berisi tentang keputusan hukum yang

    ditetapkan saat bertugas di Yaman. Sebagaimana hal ini tersebut oleh al-

    Tirmidzi dalam sunannya.69

    Terkait sejarah awal pencatatan hadis ini, muncul polemik tentang hukum

    mencatat hadis di masa Nabi SAW karena adanya beberapa hadis yang dinilai

    kontradiktif antara melarang dan membolehkan.Di antara hadis yang melarang

    adalah hadis dari Abu Said al-Khudry RA bahwa Nabi SAW bersabda:

    .

    Janganlah kalian menulis dariku (selain al-Quran).Barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain al-Quran, hendaklah menghapusnya.Sampaikan hadis dariku dan tidak apa-apa. Barangsiapa

    yang berdusta atas namakuHimam berkata, aku menyangka beliau bersabdamaka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.70

    Sementara hadis lain yang menunjukkan kebolehan adalah hadis dari Abu

    Hurairah RA:

    Tidak ada seorang sahabat Nabi SAW pun yang lebih banyak hadisnya dari padaku selain Abdullah bin Amr, karena dia menulis (hadis)

    sementara saya tidak menulis.71

    Juga hadis dari Abdullah bin Amr bin al-Ash RA:

    Dulunya saya menulis semua (hadis) yang saya dengar dari Rasulullah

    SAW yang ingin saya jaga dan hafalkan. Tetapi orang-orang Qurays

    69

    Ibid,. 70

    Muslim bin al-Hajja>j al-Naisa>bu>ry, al-Musnad al-S{ah{i>h atau dikenal denganSa>h}ih Muslim, Vol. 4, ed. Muhammad Fuad Abdal-Ba>qy (Beirut: Da>r Ih{ya> al-Turath al-Araby, t.th.), 2298. Hadis no. 3004. 71Muh}ammad bin Isma>il al-Bukha>ry, Al-Ja>mi al-Musnad, Vol. 1, 34. Hadis ini terdapat dalam Kitab al-ilm Bab Kitabah al-Ilm, hadis no. 113

  • 16

    kemudian melarang saya melakukannya dan berkata: Apakah kamu hendak menulis semua yang kamu dengar dari Rasulullah SAW padahal

    beliau (juga) seorang manusia yang bisa saja bersabda dalam keadaan

    marah atau senang. Maka akupun menahan diri (untuk tidak menulis)

    hingga aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW, kemudian

    sambil berisyarat menunjuk bibirnya, Beliau bersabda: Tulislah, maka demi Zat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidaklah keluar darinya

    selain kebenaran.72 Juga hadis tentang permintaan seorang pria dari Yaman yang bernama

    Abu Shah yang meminta catatan teks pidato Nabi SAW saat Fath al-Makkah

    kemudian Nabi bersabda:

    Tulislah untuk Abu Fulan (yaitu Abu Syah) 73

    Sejalan dengan pendapat Itr, bahwa keberadaan hadis-hadis baik yang

    menetapkan larangan mencatat hadis ataupun sebaliknya yang memberikan ijin,

    sama-sama valid, sehingga dari aspek thubu>t keduanya tidak diragukan

    kesahihannya.74

    Secara umum pendekatan yang ditawarkan oleh sejumlah ulama hadis

    adalah metode al-jamu wa al-tawfiq (kompromi) dan metode na>sikh wa al-

    mansu>kh (abrogasi).75Namun, pendekatan yang paling tepat dalam masalah ini

    adalah al-jamu wa al-tawfiq (mengkompromikan).76 Dengan melihat bahwa

    masalah ini bukan terkait dengan ubudiyah dan larangan penulisan itu bukanlah

    keharaman pada substansi perbuatannya. Jika larangan menulis bersifat

    substansial, maka tidak akan ada ijin dipihak lain untuk menulisnya. Oleh karena

    itu, larangan dan ijinbersifat kondisional berkaitan dengan faktor sebab (illat)

    tertentu. Sementara hukum itu yadu>ru maa illatihi wujudan wa adaman.

    Menurut pendapat yang dipilih oleh Itr sebabnya adalah kekhawatiran terhadap

    melemahnya perhatian dan konsentrasi kepada penjagaan dan periwayatan al-

    72

    Abu Da>wud Sulaiman al-Sijista>ny, Sunan Abi Da>wud, Vol. 3, 318. Hadis ini terdapat dalamKitab al-Ilm bab Kitabah al-Ilm no. 3646. 73

    Al-Bukhari.Al-Jami al-Sahih.Vol.1, 56. Hadis nomor 112 74

    Itr,Manhaj al-Naqd, 41. Muhammad Ajaj al-Khatib.menyebut 3 hadis tentang larangan menulis hadis dan 8 hadis tentang ijin dan kebolehan menulis. Lihat Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, 303-305 75

    Metode tarjih tidak ditempuh oleh para ulama hadis karena dari aspek thubut setara validitasnya. 76Lihat Itr, Manhaj al-Naqd.. 43, Az}amy, Dira>sat..79

  • 17

    Quran.77Azamy juga menguatkan sebab larangan pendapat ini dengan

    menyebut bahwa illat-nya adalah masalah iltibas catatan selain al-Quran dengan

    al-Quran.Agumennya adalah; (a) Adanya penulisan al-Quran dan hadis yang

    berlangsung dengan imla> (dikte) dari Nabi. Aktivitas penulisan hadis

    berlangsung secara mutawa>tir di kalangan sahabat, seperti ketika Nabi meng-

    imla>-kan surat-surat dan dokumen administrasi kenegaraan. Ini menunjukkan

    bahwa larangan tidak bersifat umum untuk seluruh penulisan hadis, tetapi hanya

    bentuk peringatan untuk tidak menulis sesuatu bercampur dengan penulisan al-

    Quran seperti catatan berkaitan dengan tafsirnya agar tidak terjadi iltibas.(b)

    Adanya pembolehan pencatatan hadis oleh Nabi dalam sejumlah hadis sahih.78

    Pendapat kedua pakar tersebut dapat dibenarkan melihat perbedaan

    ijtihad para sahabat dan ulama berikutnya dalam menetapkan adanya illat ini

    pada realitas (wa>qi) setelah Rasul wafat. Para ulama yang tidak setuju penulisan

    apa saja selain al-Quran agar berkosentrasi sepenuhnya difokuskan kepada

    penulisan dan penjagaan al-Quran dan agar tidak terjadi percampuran teks al-

    Quran dengan teks lainnya dalam catatan naskah yang sama.79 Pada masa Nabi,

    para sahabat mencatat untuk keperluan pribadi dan diwariskan kepada

    keluarganya serta tidak dipublikasikan secara umum. Setelah, masa kodifikasi al-

    Quran sukses dan telah menyebar secara massif, mulailah sahabat yang mencatat

    hadis mempublikasikan dan meriwayatkan hadis untuk umum.80

    Setelah Nabi SAW wafat (11 H/632 M), sejarah perkembangan

    periwayatan hadis memasuki era pencermatan dan pembatasan periwayatan (al-

    tathabbut wa al-iqla>l min al-riwa>yah) pada masa Khulafa al-Rasyidin (sekitar 11

    H sampai 40 H). Para sahabat yang diamanahi kepemimpinan umat yaitu

    Abubakar As-S}iddiq (w. 13 H), Umar bin al-Khattab (w. 23 H), Usman bin

    Affan (w. 35 H) dan Ali bin Abi Thalib (w. 40 H) menerapkan kebijakan

    tersebut didasari pertimbangan antara lain; fokus dan perhatian utama pada

    pembukuan dan otentitas periwayatan al-Quran, peringatan bagi para sahabat

    yang menjadi guru (nara sumber) hadis untuk bersikap waspada dalam aktivitas

    77

    Ibid., 43 78Az }amy,Dira>sat, 79 79

    Rishwan, Kita>bah, 146-147 80

    Itr,Manhaj al-naqd, 45

  • 18

    periwayatan agar tidak terkena ancaman Rasulullah terhadap orang yang

    berdusta dan menyelewengkan hadis, dan pelajaran bagi generasi pelanjut

    (tabiin dan seterusnya) untuk bersikap waspada dan hati-hati dalam menjaga

    otentisitas periwayatan hadis.81

    Setelah periode Khulafa al-Rasyidin masa kodifikasi al-Quran sukses

    dan telah menyebar secara massiv, mulailah sahabat yang mencatat hadis

    mempublikasikan dan meriwayatkan hadis untuk umum.82

    Dalam masa

    pascakhalifah al-Rasyidin, muncul para tabiin senior (kiba>r al-Tabii >n) yang

    bekerja sama dengan para sahabat yang masih hidup pada masa itu. Di antara

    sahabat yang masih hidup setelah periode al-Khulafa al-Rasyidin dan yang

    cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis di antaranya 'Aisah RA (w. 68

    H), Abu Hurairah (w. 58 H), Abdullah bin Abbas RA (w. 68), Abdullah bin

    Umar bin al-Khattab (w. 73 H), dan Jabir bin Abdullah (w. 78 H).

    Penyebaran hadis tersebut seiring dengan penyebaran sahabat secara

    geografis mengikuti perluasan wilayah kekuasaan Islam. Di antara beberapa kota

    yang menjadi pusat periwayatan hadis dan menjadi tempat tujuan para tabiin

    dalam mencari hadis (rihlah li talab al-h}adi>th) yaitu Madinah al-Munawwarah,

    Makkah al-Mukarramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghrib, Yaman dan

    Khurasan. Masa ini disebut juga dengan masa penyebaran periwayatan hadis

    (Intis}a>r al-riwa>yah ila> al-ams}a>r).

    Kebutuhan terhadap penulisan atau dokumentasi hadis semakin

    meningkat pada masa ini karena semakin luasnya Daulah Islamiyah dan semakin

    meningkatnya kekhawatiran terhadap hilangnya sunnah Rasulullah SAW dengan

    meninggalnya para sahabat yang menjadi saksi mata, nara sumber periwayatan

    dan para pelaku sejarah yang pernah hidup dan berjuang bersama Rasulullah

    SAW. Terlebih lagi dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap usaha-usaha

    orang-orang fasik yang ingin menyusupkan hadis-hadis palsu dalam kondisi

    81

    Lihat Abu Zahu, al-Hadi>th wa al-Muhaddithu>n, 63-79. Patut diakui bahwa kebijakan tersebut sangat penting sebagai upaya penjagaan dan pemeliharaan otentisitas hadis. Bahkan, sikap

    memuliakan hadis Nabi, kecermatan dan hati-hati dari kekeliruan periwayatan dan menjaganya

    dari upaya pemalsuan yang dicontohkan oleh para sahabat tersebut diteladani dan diwariskan oleh

    murid-murid mereka yang thiqa>t pada generasi ta>biin dan seterusnya. Walaupun demikian, di sisi lain sikap tersebut berdampak negatif terhadap periwayatan hadis yaitu mayoritas sanad hadis

    berstatus ahad pada t}abaqa>t perawi di era sahabat dan tabiin ini. 82

    Itr,Manhaj al-naqd, 45

  • 19

    fitnah politik dan aliran bidah83 serta tindakan bodoh para pendongeng (al-

    Qas}a>s}) yang menyisipkan hadis-hadis yang tidak ada asalnya (la as}la lah) dalam

    nasehat targhi>b wa tarhi>b.84

    Sementara itu, pada abad awal kedua Hijriyah, kodifikasi (tadwi>n) baru

    dimulai secara formal atas perintah dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w.

    101/7\19). Khalifah Umar bin Abdul Aziz meminta Abubakar bin Muhammad

    bin Hazm, seorang Qa>d}i yang bertugas di Madinah untuk menuliskan untuknya

    hadis-hadis yang diriwayatkannya dari gurunya Amrah binti Abdurrahman al-

    Anshariyah (w. 98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abubakar (w. 106 H):

    - -

    Perhatikan keberadaan hadis-hadis Rasulullah SAW dan catatlah. Saya khawatir hilangnya ilmu itu dan wafatnya ulama (pakar yang

    menguasainya).85

    Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan para pegawai dan ulama seluruh

    dunia Islam supaya mencari dan mengumpulkan hadis-hadis Rasulullah.

    Kalian Perhatikan keberadaan hadis-hadis Rasulullah SAW dan kumpulkanlah.86

    Perhatian besar jugadiberikan oleh Umar bin Abdul Aziz dalam

    penyebaran naskah catatan hadis. Umar bin Abdul Aziz meminta kepada pakar

    hadis terkemuka di zaman tersebut yaitu Ibn syihab al-Zuhri (w. 124 H) untuk

    mengkodifikasifan hadis untuk disebarkan ke seluruh wilayah Islam. Al-Zuhri

    berkata:

    83

    Seperti firqoh Khowarij, syiah, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, dll yang memproduksi hadis

    palsu untuk kepentingan aliran ideologinya. 84

    DR. Yasir al-S{amaly,Al-Wa>d}ih fi Mana>hij al-Muhadithi>n (Oman: Maktabah al-Hamid, cet. 2, 2006 M), 19 85

    Mustafa al-Sibai, al-Sunnah wa Maka>natuha fi al-Tasyri al-Islamy (Beirut: al-Maktab al-Islamy, Cet. 3, 1420 H/1982 M), 104, Burhanuddin Ibrahim bin Umar al-BiqaI, Al-nukat al-Wafiyah bima fi Syarh Alfiyah. Ed. Mahir Yasin al-Fahl. Vol. 2 (Maktabah al-Rusyd Nasyirun, cet. 1, 1428 H/2007 M), 129, Abu Zahu. Al-Hadi>th wa al-Muhaddithu>n, 244 86

    Mustafa al-Sibai, al-Sunnah wa Makanatuha .., 104

  • 20

    Kami diperintah oleh Umar bin Abdul Aziz untuk mengumpulkan sunah-sunnah Nabi. Maka kamipun menulisnya dalam naskah-naskah

    catatan. Kemudian, masing-masing naskah tersebut dikirimkan kepada

    seluruh pelosok negeri dibawah pemerintahannya.87

    Setelah era al-Zuhri, kodifikasi hadis oleh ulama generasi berikutnya

    semakin menyebar luas. Di antara para ulama yang terkemuka adalah Ibnu Jurai>j

    (w. 150 H) dan Ibnu Ish}a>q (w. 156 H) di Kota Makkah, Sai>d bin Arubah (w.

    156 H), al-Rabi> bin S{abi>h (w. 160 H) dan Imam Ma>lik (w. 179 H) di Kota

    Madinah. Di Kota Basrah, dipelopori oleh Hama>d bin Salamah (w. 167 H). Di

    Kota Kufah, di antaranya Sufya>n al-Tsaury (w. 161 H), di Syam Abu Amr al-

    Auzay (w. 157 H), di Wasit} ada Husyaim (w. 173 H), di Khurasan ada Abdullah

    bin al-Mubarak (w. 181 H), Mamar (w. 154 H) di Yaman, Jarir bin Abd al-

    Hamid (w. 188 H) di Ray. Demikian pula terdapat tokoh-tokoh hadis seperti

    Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), al-Laits bin Saad (w. 175 H), Syubah bin al-

    Hajjaj (w. 160 H).88

    Kebanyakan buku (kitab hadis) dalam periode ini belum diberi judul

    atau nama dan belum disusun berdasarkan bab-bab tertentu. Hampir semua buku-

    buku mereka pada periode ini kini sudah tidak ada lagi. Yang tinggal adalah isi

    kandungan dan nama-nama mereka dalam isna>d hadis yang terdapat dalam buku-

    buku (kitab hadis) yang ada kemudian.89

    Dengan demikian, proses penghimpunan dan periwayatan hadis Nabi

    SAWtelah memakan waktu yang sangat panjang.Dalam konteks periodesasi

    penulisan hingga era kodifikasi yang massif dan sempurna telah melewati tiga

    periode.Pertama, periode Taqyi>d; kira-kira semenjak zaman Rasulullah hingga ke

    akhir abad pertama hijrah. Kedua, periode Tadwi>n ; kira-kira dari awal abad

    kedua sampai pertengahan abad itu. Dan ketiga, periode Tas}ni>f ; kira-kira dari

    87Abu Umar Yusuf bin Abd al-Barr al-Qurt}uby, Ja>mi Baya>n al-Ilm wa Fad}lih, Vol. 1, ed. Abu Ashba>l al-Zuhairy (Al-Mamlakah al-Arabiyah al-Suudiyah: Da>r Ibn al-Jauzy, Cet. 1, 1414

    H/1994 M), 331 88

    Must}afa al-Siba>I,Al-Sunnah wa Maka>natuha.., 105 89

    Ugi Suharto, Peranan Tulisan Dalam Periwayatan Hadith, Majalah Islamia, Thn. I No. 2 (Juni-Agustus, 2004), 83

  • 21

    pertengahan abad kedua hingga seterusnya.90

    Oleh karena itu, mata rantai

    periwayatan menjadi cukup panjang yang semakin membuka peluang

    kemungkinan masuknya para perawi bermasalah dalam silsilah sanad.

    Realitas ini menjadi semakin kompleks dengan fenomena

    pemdokumentasian hadis ke dalam kitab-kitab hadis ternyata menggunakan

    berbagai metode dan pendekatan penyusunan yang bervariasi. Memasuki abad

    ke-3 H, gerakan massif di bidang pendokumentasian hadis dalam kitab-kitab

    hadis membuahkan produk berupa puluhan bahkan ratusan kitab-kitab sunnah

    berupa sunan, al-mus}annafa>t, al-jawa>mi, al-masa>nid, kitab-kitab tafsir, kitab al-

    Magha>zi>dan siyar, maupun berbentuk juz-juz khusus yang mencantumkan hadis-

    hadis dalam bab-bab tentang tema-tema tertentu. Beragamnya metode dan

    pendekatan pengumpulan, penyusunan dan kodifikasi sunnah ini melahirkan

    upaya penelitian dan kritik terhadap kualitas hadis-hadis dalam berbagai kitab

    hadis tersebut. Pada abab ini muncul para pakar dan ulama besar di bidang kritik

    hadis, kritik hadis beriringan dengan lahirnya produk-produk keilmuan yang

    unggul berupa kutub al-sittah dan lainnya yang hampir menghimpun seluruh

    hadis-hadis yang tha>bit yang menjadi referensi utama bagi para ulama di bidang

    keilmuan Islam lainnya.91

    3. Pertimbangan Praktis

    Fenomena munculnya pemalsuan hadis merupakan pertimbangan penting

    yang melatarbelakangi upaya para ulama hadis melakukan penelitian dan kritik

    hadis. Fenomena pemalsuan hadis ini mulai semarak di saat perpecahan politik di

    90

    Periode taqyi>d adalah periode ketika hadis dicatat dalam buku-buku kecil (s}ah}i>fah; booklet) oleh para Sahabat dan Tabiin. Jumlah risalah dan catatan kecil mengenai hadis mencapai ratusan

    jumlahnya. Periode tadwi>n, dimulai dengan perintah Umar bin Abd al-Aziz (w. 101 H) yang menjadi khalifah saat itu untuk mengumpulkan dan mencatatkan hadis-hadis Rasulullah SAW.

    Kebanyakan buku dalam periode ini belum diberi nama dan belum disusun berdasarkan bab-bab

    tertentu. Adapun periode tas}ni>f ditandai dengan munculnya buku-buku hadis yang mempunyai nama sendiri dan disusun berdasarkan bab-bab tertentu. Contohnya al-Muwat}t}a susunan Imam Malik bin Anas (w. 179 H), al-Musnad oleh Dawud al-Tayalisi (w. 203 H), al-Mus}annaf oleh

    Abd al-Razzaq (w. 211 H), termasuk al-Ja>mi al-S{{ah}i>h} oleh Imam Bukhari (w. 256 H). Ugi

    Suharto, Peranan Tulisan Dalam Periwayatan Hadith, 82-84 91

    Muhammad Muhammad Abu Syuhbah dan Abd al-Ghany, Difa an al-Sunnah wa Radd Shubh al-Mushtariqi>n wa al-Kita>b al-Muas{iri>n- wa yali>hi al-Radd ala Man Yunkir Hujjiyyah al-Sunnah (Kairo: Maktabah al-Sunnah, cet. 1, 1989 M), 26

  • 22

    kalangan umat Islam muncul semenjak masa Ali bin Abi Thalib (35-40 H).

    Krisis ini berdampak negatif terhadap keberadaan hadis Nabi dengan dibuatnya

    hadis-hadis palsu untuk mendukung faksi masing-masing. Di samping itu peran

    golongan zindik dari musuh-musuh Islam berusaha merusak akidah Islam dan

    sunnah Rasulullah dengan menyebarkan hadis palsu.92

    Tidak sedikit hadis yang dibuat oleh pemalsu hadis yang dapat

    meluluhlantakkan fondasi-fondasi Islam sehingga bila tidak dilakukan koreksi,

    klarifikasi dan dokumentasi khusus, dapat berakibat pada kehancuran ajaran

    Islam.Para ahli hadis berperan penting melalui ilmu kritik hadis untuk menjaga

    eksistensi sumber syariat dalam matan-matan riwayat. Rasulullah SAW

    bersabda:

    Ilmu ini akan diemban oleh orang-orang yang adil di setiap generasi. Mereka menolak penyimpangan yang dilakukakan orang-orang yang

    ekstrim, pemalsuan yang disisipkan (intih{a>l) dari para pendusta (al-mubt{ilu>n) dari sekte-sekte yang bidah dan interpretasi (tawi>l) dari orang-orang bodoh.93

    Walaupun eksistensi sunnah di awal sejarah Islam belum terkodifikasi

    seluruhnya, pemalsuan hadis belum menjadi masalah besar di era al-Khulafa al-

    Rashidin karena di samping banyaknya para penghafal hadis, juga karena masih

    relative dekatnya dengan era Rasulullah SAW. Apalagi sifat dan sikap amanah

    ilmiah generasi era tersebut dan keterjagaan diri mereka dari kedustaan.94

    Al-

    Barra bin Azib berkata:

    Demi Allah, tidak semua hadis yang kami sampaikan dari Rasulullah SAW, kami dengar sendiri dari Rasulullah. Akan tetapi (kami dengar

    92

    Idri,Studi Hadis, 257-259 93

    Sulaima>n bin Ahmad al-T{abary. Musnad Al-Sa>miyyin. Vol. 1, ed. Hamdy bin Abdul Majid as-Salafy (Beirut: Muassasah ar-Risalah, Cet. 1, 1405 H/1984 M), 344. Hadis hasan ghari>b, lihat catatan Abu Muadz dalam Jala>l al-Di>n Al-Suyu>t}i>. Tadri>b al-Ra>wy fi Sharh taqri>b al-Nawawi>, Vol. 1, (al-Riyadh: Dar al-Ashimah, 1423 H), 511 94Akram Dhiya al-Umary. Manhaj al-Naqd Ind al-Muhaddithi>n wa muqa>rinan bi al-Manhaj al-Gharby (Riyadh: Dar Isbaliya, cet.1, 1417 H/1997M ), 17

  • 23

    dengan perantaraan sahabat yang lain) yang kami tidak pernah saling

    meriwayatkan berita dusta.95

    Masalah besar (fitnah) terjadi dan menimpa generasi sahabat yang

    dimulai sejak terbunuhnya Umar bin al-Khatab, kemudian terbunuhnya Utsman

    dan al-fitnah al-kubra yang terjadi antara Ali dan Muawiyah.Dari perpektif

    perkembangan hadis, realitas fitnah ini berpengaruh negatif berupa muncul dan

    berkembang pesatnya pemalsuan hadis.Bahkan informasi jumlah penyebaran

    hadis palsu menunjukkan angka yang sangat besar. Hammad bin zaid

    menginformasikan bahwa kaum zindik telah memalsukan tidak kurang dari

    14.000 hadis. Abd al-Karim ibn Abi al-Auja> mengaku telah membuat 4.000

    hadis yang menghalalkan hal-hal yang haram dan mengharamkan hal-hal yang

    halal.96

    Peta pusat penyebaran sekte-sekte (firqah) bidah tersebut ternyata

    berbanding lurus dengan kualitas periwayatan masing-masing wilayah.Sehingga,

    para ahli kritik hadis mewaspadai jalur-jalur periwayatan dari daerah-daerah

    tertentu.Menurut al-Khatib al-Baghdady bahwa peta penyebaran hadis

    berdasarkan urutan negeri yang paling valid jalur sanad hadis-hadisnya adalah al-

    Haramain (Makkah dan Madinah), kemudian Yaman, Basrah, Kufah, dan Syam.

    Jalur sanad dari para perawi di kalangan penduduk al-Haramain adalah jalur

    sanad yang paling sahih periwayatannya karena sedikitnya tadli>s dan hampir

    tidak pernah ada kasus pemalsuan hadis. Berikutnya adalah riwayat dari para

    perawi di kalangan penduduk Yaman dimana referensi (marja) sanadnya kepada

    penduduk Hijaz (ahl al-Hijaz), riwayat mereka cukup valid (jayyidah) akan tetapi

    secara kuantitas, hadis-hadis dari jalur periwayatan mereka relative sedikit.

    Adapun para perawi dari penduduk Basrah memiliki koleksi sunnah tha>bitah

    dengan sanad yang jelas yang tidak dimiliki oleh tempat lain, ditambah lagi

    secara kuantitas cukup banyak. Sementara itu, para perawi dari penduduk Kufah

    sebanding dengan penduduk Basrah dari aspek kuantitas periwayatan, akan tetapi

    riwayat-riwayat mereka cukup banyak yang bermasalah dan relatif sedikit yang

    95

    Muhammad Abu Zahu. Al-H{adi>th wa al-Muh}addithu>n (Kairo: Dar al-Fikr al-Araby), 157 96

    Nur al-Di>n Itr,Manhaj al-Naqd fi Ulu>m al-H{adi>th (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1998 M), 303

  • 24

    terbebas dari illat.97Adapun periwayatan dari para perawi di kalangan penduduk

    Syamyaitu negeri yang dewasa ini meliputi empat negara yaitu Suriah,

    Yordania, Palestina dan Libanonkebanyakan berstatus mursal dan maqt}u>.

    Namun, jika riwayat mereka muttas}il dan para perawinya thiqa>t, hadisnya

    bernilai s}a>lih (sahih).Mayoritas hadis-hadis yang diriwayatkan oleh penduduk

    Syam berkaitan dengan nasehat dan motivasi beramal (mawa>iz).98

    Sejalan dengan pendapat al-Khati>b al-Baghda>dy, Ibnu Taimiyah

    menegaskan:

    Para ulama hadis sepakat bahwa hadis-hadis yang paling sahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh penduduk Madinah, kemudian penduduk

    Basrah dan kemudian penduduk Syam.99

    Respon para sahabat yunior (s}igha>r) terhadap perkembangan situasi

    keagamaan dengan bersikap hati-hati dalam menerima riwayat hadis.

    Muhammad Ibnu Sirin menginformasikan:

    :

    Mereka (generasi awal Islam) tidak mempertanyakan tentang isnad. Ketika fitnah terjadi, (saat mereka menerima suatu hadis) mereka

    berkata: Sebutkan para perawi hadis kalian. Maka dilihat hadisnya, jika perawinya adalah ahli sunnah maka hadisnya diambil. Jika dilihat

    perawinya dari ahli bidah maka tidak diambil hadis mereka.100

    97Imam Syafii menyatakan bahwa hadis-hadis yang datang dari perawi penduduk Irak yang tidak

    memiliki referensi riwayat yang selaras dengan hadis-hadis Hijaz maka hadis tersebut tidak dapat

    diterima validitasnya walaupun sahih (secara sanad). T{a>wus bin Ki>san berpendapat bahwa 99 %

    hadis dari perawi Irak tidak valid. Lihat Jala>l al-Di>n Al-Suyu>t}i>, Tadri>b Al-Rawy, 63 98

    Jala>l al-Di>n Al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Rawy, 63 99

    S{ubhi al-S}a>lih, Ulu>m al-H{adi>th wa Must}ala>huh: Ard}un wa Dira>satun (Beirut: Dar al-Ilm al-Malayi>n, cet. 15, 1984 M), 154 100

    Muslim bin al-Hajja>j. al-Musnad al-S{ahi>h al-Mukhtas}ar. Vol. 1, Ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqy (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Araby, tth), 15

  • 25

    Realitas ini mendorong upaya penyempurnaan metodologi ilmu hadis

    riwayatan dan dirayah.101

    Dengan berkembangnya ilmu isnad, rija>l al-hadi>th dan

    jarh wa tadi>l, dll yang sangat penting artinya dalam bidang kritik hadis. Di

    antara para sahabat yang membicarakan tentang jarh wa tadi>l adalah Abdullah

    bin Abbas (w. 68 H), Anas bin Malik (w. 92 H), Aisyah (52 H), imran bin

    Husain (w. 65 H) dan Abu Hurairah (w. 59 H).102

    Demikian pula, perkembangan

    teori dan praktek nadq al-hadi>th semakin berkembang pada era setelah itu.

    4. Pertimbangan Teknis

    Masalah secara teknis terkait periwayatan hadis, paling tidak terkait dua

    aspek. Pertama, masalah tingkat kualitas intelektual, kapabilitas (d}abt}) dan

    integritas pribadi (ada>lah) orang-orang yang terlibat dalam periwayatan hadis.

    Kedua, masalah tingkat akurasi dalam pengutipan dan pencatatan hadis. Tidak

    semua orang-orang yang terlibat dalam periwayatan hadis memiliki kualifikasi

    tingkat kualitas intelektual, kapabilitas (d}abt}) dan integritas pribadi (ada>lah)

    yang tinggi. Beragamnya tingkat kualitas dan kualifikasi tersebut menuntut

    adanya parameter atau acuan (qawa>id wa d}awa>bit}) dan metode penelitian

    (manhaj al-naqd) yang tepat.

    Al-ada>lah menurut Ibnu Sholah (w. 643 H) adalah syarat disepakati oleh

    jumhur ulama ahli hadis dan ahli fiqh. Seorang perawi memiliki sifat ada>lah

    yaitu jika memenuhi syarat muslim, ba>ligh, berakal, dan tidak fasik serta terjaga

    sifat muruah-nya.103Menurut Ibnu Hajar, sifat ada>lah yaitu karakter pribadi

    yang senantiasa menjaga ketakwaan, muruah dan marwah. Adapun takwa adalah

    101

    Hasan Fauzy Hasan Al-S{a>idy. Al-Manhaj al-Naqdy Ind al-Mutaqaddimi>n min al-

    Muhaddithi>n wa atha>r Taba>yun al-Manhaj. (TesisJa>amiah Ain Sham, Kairo, 1421 H), 94 102

    Muhammad Luqman Al-Salafy. Ihtima>m al-Muhaddithi>n bi al-Naqd al-Hadi>th Sanadan wa Matanan (Riyadh: Dar al-DaI, cet. 2, 1420 H), 54 103

    Ibnu S{ala>h,Ulu>m al-Hadi>th, 104

  • 26

    konsistensi menjauhi perbuatan buruk berupa kesyirikan, kefasikan, dan

    bidah.104

    Adapun d{abt} adalah syarat yang penting dalam penerimaan informasi dari

    seorang perawi. Terpenuhinya syarat adalah diniyah (Kesalehan dan integritas

    moral) tidak mencukupi untuk kesahihahan riwayatnya, sebelum memenuhi

    syarat ini.Seorang perawi dikatakan memiliki sifat d{abt} apabila ia sadar

    sepenuhnya dalam periwayatan, tidak lalai (dengan ragu atau lupa), menghafal

    dengan baik jika menyampaikan hadis dari hafalan, penulisannya teliti dan valid

    jika meriwayatkan dengan catatan atau kitab. Jika meriwayatkan secara makna

    maka disyaratkan harus memahami hal yang bisa merusak kandungan makna

    hadis yang diriwayatkannya.105

    D{abt}, di kalangan ahli hadis, ada dua macam; d{abt} al-s}adr dan d{abt} al-

    kitab. D{abt} al-s}adr adalah kekuatan dan ketepatan perawi dalam menjaga hadis

    yang didengarnya melalui kemampuan hafalannya dan mampu disampaikan

    kapan saja diinginkan. Adapun D{abt} al-Kita>b adalah ketelitian dan ketepatan

    perawi untuk menjaga catatan hadisnya semenjak didengarnya dan dicatatnya

    sampai waktu disampaikan. Ibnu S{ala>h menyatakan bahwa seorang perawi

    ditolak periwayatannya karena diketahui dia tashahul (meremehkan ketelitian)

    saat mendengar hadis dan menyampaikannya seprti sering keliru, banyak

    keganjilan (shadh dan munkar karena tidak tepat sesuai riwayat yang thiqah)

    dalam periwayatan.106

    Ke-d{a>bit}-an seorang perawi diketahui dengan melakukan menguji dan

    membandingkan periwayatannya (muqa>ranah) dengan periwayatan dari para

    perawi lain yang telah diakui luas ke-thiqa>h-an, kekuatan dan ketelitian

    hafalannya atau membandingkan dengan catatan yang shohih dalam kitab.

    Banyak sedikitnya perbedaan (mukha>lafah) menentukan ukuran ke-d{a>bit}-

    annya.107

    104

    Abu al-Fad}l Ibn Hajar al-Asqala>ny, Nuzhah al-Naz}r fi Tawd}i>h Nukhbah al-Fikar fi Must}alah Ahl Athar , ed. Abd Allah bin Yusuf bin D{aif Allah al-Ruhaily (Riyad} : Mat{baah Safi>r, cet. 1, 1422 H), 69 105Nuruddin itr, Manh}aj al-Naqd.., 80 106

    Ibnu S{ala>h, Ulu>m al-Hadi>th.., 119 107Itr, Manhaj al-Naqd.., 80-dst.

  • 27

    Sebab-sebab yang mengeluarkan seorang perawi dari sifat D{abt} antara

    lain:

    a. Banyak meriwayatkan hadis atas dugaan dan perkiraan (al-wahm), seperti

    menyambung isnad yang mursal, me-marfu>-kan athar yang mauqu>f, dll.

    b. Banyak terbukti menyelisihi atau tidak tepat sesuai dengan perawi yang lebih

    thiqah baik secara kualitas maupun jumlah (mukha>lafah)

    c. Lemahnya hafalan. Sulit di-tarji>h (ditentukan mana yang tepat)

    periwayatannya karena merubah-rubah periwayatan disebabkan kelemahan

    hafalan.

    d. Sering lalai (al-gaflah), ketidakmampuan perawi dalam menyeleksi, meneliti

    dan menentukan mana periwayatnya yang benar dan mana yang keliru.

    e. Keliru yang berat. Lebih sering keliru dalam menyampaikan dibandingkan

    benarnya.

    f. Ketidaktahuan perawi terhadap kandungan hadis. Ketidaktepatan dalam

    meriwayatkan hadis secara makna sehingga mengurangi atau merusak makna

    hadis.

    g. Bersikap meyepelekan (tasa>hul) dalam proses periwayatan, penghafalan dan

    pencatatan hadis. 108

    Ke-d}a>bt}-an para perawi hadis berbeda-beda. Menurut Ibnu Rajab al-

    Hanbali>, klasifikasinya ada empat jenis : (1) perawi yang tertuduh berdusta, (2)

    perawi yang bukan tertuduh tetapi mayoritas hadisnya didasari perkiraan (wahm)

    dan keliru (al-ghalat). (3) perawi yang shodiq (jujur), cukup wahm dalam

    hadisnya, tetapi tidak mendominasi, (4) perawi ha>fiz} yang sangat jarang terkena

    wahm atau sedikit melakukan kesalahan dalam periwayatan. Jenis pertama,

    hadisnya disepakati untuk ditinggalkan atau tidak diriwayatkan dan hadisnya

    tidak boleh dijadikan dalil. Jenis terakhir, disepakati hadisnya dijadikan hujah

    dan dalil. Sementara, jenis kedua, mayoritas ahli hadis tidak berhujah denganya.

    Adapun jenis perawi ketiga, para ahli hadis berbeda pendapat.109

    Adapun dari aspek pengutipan dan pencatatan, secara teknis sejumlah

    hadis mengalami beberapa permasalahan dalam proses penyadurannya. Di

    108

    Lukman al-Salafy, Ihtima>m Muh}adithi>n, 231-245 109

    Ibnu Rajab. Sharah ilal at-Tirmidzi. Vol. 1, 158-161

  • 28

    antaranya, selain ada yang diriwayatkan secara literal (al-riwa>yah bi al-lafz}),

    sebagian hadis diriwayatkan secara makna (al-riwa>yah bi al-mana). Adanya

    pemenggalan kalimat (taqt}i> matn al-h}adi>th), atau disingkat (al-ikhtis}a>r),

    penambahan kata penjelas kalimat (al-ziya>dah), sisipan (al-idra>j), dll. Demikian

    pula pengeditan dan kodifikasi hadis yang berbaur dengan fatwa sahabat

    (mauqu>f) dan ta>biin (mursal).Kondisi-kondisi tersebut menuntut adanya kritik

    ulang terhadap kualitas dan status hadis-hadis tersebut.

    5. Pertimbangan kelemahan dasar manusiawi

    Tidak ada manusia yang terjaga dari dosa dan kesalahan (mas}u>m) setelah

    para nabi. Demikian pula, tidak ada yang mengklaim diri memiliki terjaga (al-

    ishmah) dari kekeliruan.Kesalahan dalam periwayatan hadis Nabi adalah suatu

    hal yang dapat terjadi, karena kesalahan adalah bagian dari fitrah manusia.110

    Oleh karena itu, secara retoris Abd Allah bin al-Muba>rak bertanya: Adakah

    orang yang terhindar dari wahm ? Ibn Mahdi> berkata: Orang yang mengklaim

    dirinya terbebas dari sifat keliru (ghalat}) adalah orang yang tidak waras.111

    Imam Muslim (w. 261 H) berkata: Tidak ada orang yang menukil

    informasi hadis (khabar) dan pembawa atha>r dari generasi salaf terdahulu sampai

    zaman kita, walaupun dari seorang yang paling hafal menyampaikan hafalan dan

    mentransfer hafalannya, kecuali pasti mungkin akan terjadi kekeliruan dan lupa

    baik saat menghafal maupun dalam proses mentransfer.112

    Al-Dhahaby menegaskan bahwa bukanlah syarat thiqah perawi tidak

    pernah sama sekali keliru dalam periwayatan hadis. Imam Ahmad bin Hanbal

    berkata tentang Imam Malik: Malik adalah orang yang paling kokoh (dalam

    periwayatan hadis), (akan tetapi) terkadang melakukan kekeliruan.113

    110

    Musta{fa al-Az{amy, Manhaj al-Nad Ind al-Muh}addithi>n: Nashatuhu wa Ta>rikhuhu wa Adwa>ruhu. (Riyadh:, tp, cet. 2, 1402 H), 5 111

    Al-Murt}ad}a> al-Zain Ahmad, Mana>hij al-Muhaddithi>n fi Taqwiyah al-Aha>di>th al-Hasanah wa al-D{ai>fah (Riyad}: Maktabah al-Rushd, cet.1, 1415 H), 84 112

    Muslim bin al-Hajja>j. al-Tamyi>z. ed. Muhammad Musthafa al-Azhamy (Saudi: Maktabah al-Kauthar, cet. 3, 1410 H), 170 113

    Abu Abdurrahman Muhammad bin Thany. D{awa>bith fi Jarh wa Tadil Ind al-Dhahaby. Vol. 2 (Riyadh: Majalah al-Hikmah, 1421 H), 521

  • 29

    Al-Ashjay menyebutkan keadaan Sufya>n al-Thawry dan berkata:

    Hampir tidak ada seorang pun yang luput dari kekeliruan (al-ghalat}). Dengan

    demikian, jika seseorang mayoritas hafalannya tepat maka dia seorang ha>fiz}

    walaupun (pernah) keliru dalam hafalannya.Apabila kekeliruannya mendominasi

    maka dia ditinggalkan (periwayatan darinya)".114

    Al-Tirmidhi> berkesimpulan

    bahwa; Hal yang menyebabkan adanya kelebihan seorang ulama adalah

    kemampuan hafalan (hifz}), ketepatan (itqa>n), dan kecermatan (tathabbut) dia

    ketika mendengarkan hadis dari gurunya (sima>), walaupun pada dasarnya dia

    tidak terbebas dari kesalahan (khat}a) dan kekeliruan (ghalat}). Itu terjadi pada

    tokoh ulama yang diakui kekuatan hafalannya sekalipun. 115

    Dengan demikian, ilmu kritik hadis dibutuhkan untuk mewaspadai, dan

    mendeteksi celah-celah (illat) yang disebabkan karena kekeliruan dan

    kesalahan periwayatan (wahm wa ghalat}) para perawi yang secara z}a>hir tampak

    valid tapi pada hadis-hadis tertentu rusak kualitas periwayatannya. Dalam

    penelitian (naqd) hadis hal dilakukan dengan mengumpulkan riwayat (jam al-

    t}uruq) dalam berbagai versi shawa>hid wa itiba>r dan melakukan perbandingan

    (muqa>ranah) sehingga dapat ditentukan apakah suatu hadis terdapat sha>dh dan

    illat ataukah tidak.

    Penelitian illat diperlukan untuk mengungkap kekeliruan dan kesalahan

    yang tersembunyi dalam suatu periwayatan. Penelusuran adanya Illat dilakukan

    dengan mengumpulkan sebanyaknya riwayat-riwayat terkait dan melakukan

    perbandingan (muqa>ranah).116 Penelusuriillat adalah hal sangat sulit. Hanya

    pakar yang berpengalaman dalam penelitian hadis, memiliki hafalan dan

    pengetahuan luas tentang riwayat hadis (sanad dan matannya) dan pengenalan

    yang mendalam terhadap para perawi dan riwayat masing-masing serta

    kecermatan dalam penelitian. Tidak bisa seseorang menentukan illat hanya

    bersandar kepada jarh wa tadi >l para perawi.117

    114

    Ibn Rajab al-Hanbaly.Sharh Ilal al-Tirmidhy.Vol. 1, ed. Hamma>m Abd al-Rahi>m Sai>d (al-Zarqa> : Maktabah al-Maktabah, cet. 1, 1407 H/1987), 399 115

    Al-Murt}ad}a> al-Zain Ahmad, Mana>hij al-Muhaddithi>n..., 84 116

    Hamzah al-Malibary. Ulu>m al-Hadi>th, 52 117

    Hamzah al-Malibary,Al-Hadi>th al-Malu >l., 14 dan Nur al-di>n Itr, Manhaj al-Naqd, 447

  • 30

    D. Perhatian Muh}addi>th Terhadap Kritik Hadis Dalam Perkembangan Sejarah

    1. Kritik hadis Masa Nabi SAW

    Bersama era kehidupan Nabi SAW otentitas hadis terjaga. Secara faktual,

    penelitian (kritik) hadis telah terjadi pada masa Nabi, meskipun secara

    konseptual belum ada. Tidak perlunya teori khusus dalam kritik hadis karena

    keberadaan Nabi di tengah para sahabat memudahkan klarifikasi dan pengecekan

    langsung kepada narasumber hadis.118

    Penelitian hadis itupun hanya dalam ruang

    lingkup yang sangat terbatas berupa pengecekan informasi dengan menanyakan

    kepada Nabi untuk ketenangan hati penerima berita, klarifikasi informasi

    langsung oleh Nabi, dan koreksi oleh Nabi terhadap hafalan hadis para sahabat.

    Mustafa al-Azamy memaparkan beberapa contoh hadis dalam hal ini antara lain;

    Dhamam bin Thalabah datang menghadap Rasulullah SAW dan bertanya dan

    mengklarifikasi informasi yang dibawa oleh utusan beliau tentang posisi beliau

    sebagai rasul dan kewajiban-kewajiban dalam Islam. Demikian pula hadis

    taba>yun Ali bin Abi Thalib kepada Rasulullah mengenai pakaian yang

    dikenakan istrinya, Fatimah yang dikatakan istrinya atas perintah Rasulullah,

    dll.119

    Bahkan terdapat riwayat kritik hadis yang dilakukan oleh Nabi sendiri

    yaitu tatkala Nabi mengoreksi secara cermat hafalan para sahabat terhadap doa

    yang diajarkan beliau, yaitu doa sebelum tidur. Disebutkan bahwa al-Bara> bin

    Ayif Biqa>I. Mana>hij al-Muhaddithu>n al-Kha>s wa al-Air, cet. 2, 1430 H), 50-51 119

    Lihat Muhammad Mustafa al-Azamy. Manhaj al-Naqd Ind al-Muhaddithi>n: Nashatuhu wa Ta>rikhuhu (Riyadh: ttp, cet. 2, 1402), 7-10 120

    Al-Bukhari.al-Jami Vol. 1, 98-99. Hadis nomor 247

  • 31

    Kritik pada masa Nabi telah ada meskipun tidak terdapat data atau dalil

    yang dapat diyakini yang menunjukkan bahwa pemalsuan hadis terjadi pada masa

    Rasulullah SAW hingga masa Abubakar al-Shiddi>q.121

    2. Kritik Hadis di era Munculnya krisis (fitnah).

    Walaupun eksistensi sunnah di awal sejarah Islam belum terkodifikasi

    seluruhnya, namun hal tersebut tidak menjadi masalah di era al-Khulafa al-

    Rashidin karena di samping banyaknya para penghafal hadis, juga karena masih

    relative dekatnya dengan era Rasulullah SAW. Apalagi sifat dan sikap amanah

    ilmiah generasi era tersebut dan keterjagaan diri mereka dari kedustaan.122

    Al-

    Barra bin Azib berkata:

    "

    Demi Allah, tidak semua hadis yang kami sampaikan dari Rasulullah SAW, kami dengar sendiri dari Rasulullah. Akan tetapi

    (kami dengar dengan perantaraan sahabat yang lain) yang kami

    tidak pernah saling meriwayatkan berita dusta.123

    Masalah besar (fitnah) terjadi dan menimpa generasi sahabat yang

    dimulai sejak terbunuhnya Umar bin al-Khatab, kemudian terbunuhnya Utsman

    dan al-fitnah al-kubra yang terjadi antara Ali dan Muawiyah. Krisis dan

    pergulatan yang berlatar belakang teologi dan politik semakin menguat pada era

    sesudahnya hingga berpengaruh pada bidang periwayatan hadis.

    Dari perpektif perkembangan hadis, realitas fitnah tersebut berpengaruh

    negatif berupa muncul dan berkembang pesatnya pemalsuan hadis. Bahkan

    informasi jumlah penyebaran hadis palsu menunjukkan angka yang sangat besar.

    Hammad bin Zaid menginformasikan bahwa kaum zindik telah memalsukan

    tidak kurang dari 14.000 hadis. Abd al-Karim ibn Abi al-Auja> mengaku telah

    121

    Akram Dhiya al-Umary, Buhu>th fi Ta>rikh al-Sunnah al-Musharrafah (Madinah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, cet. 5, 1405 H), 13-14 122

    Akram Dhiya al-Umary, Manhaj al-Naqd Ind al-Muhaddithi>n wa Muqa>rinan bi al-Manhaj al-Gharbi> (Riyadh: Da>r Isbaliya, Cet.1, 1417 H/1997M ), 17 123

    Muhammad Abu Zahu>. Al-hadi>th wa al-Muhaddithu>n. (Kairo: Dar al-Fikr al-Araby), 157

  • 32

    membuat 4.000 hadis yang menghalalkan hal-hal yang haram dan mengharamkan

    hal-hal yang halal.124

    Peta pusat penyebaran sekte-sekte (firqah) bidah tersebut ternyata

    berbanding lurus dengan kualitas periwayatan masing-masing wilayah. Sehingga,

    para ahli kritik hadis mewaspadai jalur-jalur periwayatan dari daerah-daerah

    tertentu. Menurut al-Khati>b al-Baghda>di>, peta penyebaran hadis jika diurutkan

    berdasar kualitas jalur sanad yang paling valid adalah al-Haramain (Makkah dan

    Madinah), kemudian Yaman, Basrah, Kufah, dan Syam. Jalur sanad dari para

    perawi di kalangan penduduk al-Haramain adalah jalur sanad yang paling sahih

    periwayatannya karena sedikitnya tadli>s dan hampir tidak pernah ada kasus

    pemalsuan hadis. Berikutnya adalah riwayat dari para perawi di kalangan

    penduduk Yaman dimana referensi (marja) sanadnya kepada penduduk Hijaz

    (ahl al-Hijaz), riwayat mereka cukup valid (jayyidah) akan tetapi secara

    kuantitas, hadis-hadis dari jalur periwayatan mereka relative sedikit. Adapun

    para perawi dari penduduk Basrah memiliki koleksi sunnah tha>bitah dengan

    sanad yang jelas yang tidak dimiliki oleh tempat lain, ditambah lagi secara

    kuantitas cukup banyak. Sementara itu, para perawi dari penduduk Kufah

    sebanding dengan penduduk Basrah dari aspek kuantitas periwayatan, akan tetapi

    riwayat-riwayat mereka cukup banyak yang bermasalah dan relatif sedikit yang

    terbebas dari illat.125Adapun periwayatan dari para perawi di kalangan penduduk

    Syamyaitu negeri yang dewasa ini meliputi empat negara yaitu Suriah,

    Yordania, Palestina dan Libanonkebanyakan berstatus mursal dan maqt}u.

    Namun, jika riwayat mereka muttashil dan para perawinya thiqa>t, hadisnya

    bernilai s}a>lih (sahih). Mayoritas hadis-hadis yang diriwayatkan oleh penduduk

    124

    Itr, Nur al-Di>n. Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadi>th. (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1998 M), 303 125Imam Syafii menyatakan bahwa hadis-hadis yang datang dari perawi penduduk Irak yang

    tidak memiliki referensi riwayat yang selaras dengan hadis-hadis Hijaz maka hadis tersebut tidak

    dapat diterima validitasnya walaupun sahih (secara sanad). Thowus bin Kisan berpendapat bahwa

    99 % hadis dari perawi Irak tidak valid. Lihat Al-Suyu>t}i, Tadri>b Al-Rawy (Kairo: Da>r al-Hadith, 2010), 63

  • 33

    Syam berkaitan dengan nasehat dan motivasi beramal (mawa>iz).126Sejalan

    dengan pendapat al-Khati>b al-Baghda>dy, Ibn Taimiyah menegaskan:

    Para ulama hadis sepakat bahwa hadis-hadis yang paling sahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh penduduk Madinah, kemudian penduduk

    Basrah dan kemudian penduduk Syam.127

    Realitas masalah yang muncul dan tuntutan perkembangan situasi

    keagamaan tersebut direspon oleh para ahli hadis dengan bersikap hati-hati

    dalam menerima riwayat hadis. Mereka tidak sembarang mengambil hadis

    kecuali dari perawi yang dikenal (diri dan kualitasnya). Muhammad Ibnu Sirin

    menginformasikan:

    :

    Mereka (generasi awal Islam) tidak mempertanyakan tentang isnad. Ketika fitnah terjadi, (saat mereka menerima suatu hadis) mereka

    berkata: Sebutkan para perawi hadis kalian. Maka dilihat hadisnya, jika perawinya adalah ahli sunnah maka hadisnya diambil. Jika dilihat

    perawinya dari ahli bidah maka tidak diambil hadis mereka.128

    Dalam perkembangannya, hal tersebut mendorong upaya penyempurnaan

    metodologi ilmu hadis riwayatan dan dirayah.129 Dengan berkembangnya ilmu

    isna>d, rija>l al-h}adi>th dan jarh} wa tadi>l, dan lain-lain yang sangat penting artinya

    dalam bidang kritik hadis. Di antara para sahabat yang membicarakan tentang

    126

    Al-Suyut}i>, Tadri>b al-Ra>wy. (Kairo: Dar al-Hadits, 1431 H), 63 127

    S}ubhi S}alih, Ulu>m al-H{adi>th wa Must}alahu: Ard{un wa Dira>satun (Beirut: Dar al-Ilm al-Malayin, cet. 15, 1984 M), 154 128

    Muslim bin al-Hajja>j, al-Musnad al-S{ahi>h al-Mukhtas}ar. Vol. 1, ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqy (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Araby, tth), 15 129

    al-S{a>idy, Hasan Fauzy Hasan, Al-Manhaj al-Naqdy Ind al-Mutaqaddimi>n min al-

    Muhaddithi>n wa Atha>r Taba>yun al-Manhaj. (TesisJa>amiah Ain Sham, Kairo, 1421 H), 94

  • 34

    jarh} wa tadi>l adalah Abdullah bin Abbas (w. 68 H), Anas bin Malik (w. 92 H),

    Aisyah (52 H), imran bin Husain (w. 65 H) dan Abu Hurairah (w. 59 H).130

    3. Perkembangan Naqd al-Hadi>th di Era Pascashahabat

    Para tabiin mewariskan ilmu dan sunnah dari para sahabat. Mereka

    mengembangkan kaidah seleksi hadis melalui penelitian sanad. Diantara

    pendapat generasi tabiin yang menunjukkan upaya mereka melawan

    dekonstruksi otentitas hadis melalui penyebaran hadis palsu khususnya. Abd

    Allah bin al-Muba>rak (w. 181 H) berkata:

    Sanad adalah bagian dari (masalah) agama, seandainya tidak ada (ilmu) sanad, maka seseorang akan mengatakan tentang agama semaunya 131

    Sufyan Al-Thauri> (w. 161 H) berkata :

    Isnad adalah senjata orang yang beriman, seandainya seorang mukmin tidak punya senjata, maka dengan apa dia akan berperang?132

    Muhammad bin Sirin (w. 110 H) berkata :

    Sesungguhnya ilmu (yang kamu pelajari) ini adalah agama, maka lihatlah dari mana kamu mengambil agamamu.133

    130

    Ihtimam al-Muhadditin, 54 131

    Al-Hasan bin Abd Al-Rahma>n al-Ramahurmudzi, Al-Muh}addi>th al-Fa>sil Baina al-Ra>wi> wa al-Waiy>, ed. DR. Muhammad Ajaj al-Khatib. (Beirut: Dar al-Fikr, Cet. 1, 1391 H/1771 M), 209. S{aifurrahman al-Mubarakfuri, Mannah al-Muni>m fi Syarh Shoh}i>h Musli>m, Juz 1(Dar al-Salam li al-nasyr wa al-Tauzi, al-Riyadh, cet. 1, 1999 M), 36. As-Suyuthi. Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy, Vol. 2, ed. Abu Muadz Thoriq bin Audhillah bin Muhammad (Riyad }: Da>r al-Ashimah, 1423 H), 144 132Nuruddin Itr, Manhaj an-Naqd fi Ulum al-Hadits, 344 133

    Shoifurrahman al-Mubarakfury, Mannah.., Vol. 1, 35

  • 35

    Di antara para tabiin yang bergelut dengan keilmuan kritik hadis era ini

    adalah Said bin al-Musayyib (w. 94 H), al-Qa>s}im bin Muhammad bin Abu Bakar

    (w. 107 H), Salim bin Abd Allah bin Umar bin al-Khattab (w. 106 H), Ali bin

    al-Husain bin Ali (w. 94 H), dll.134

    Pada era ini, pengumpulan riwayat hadis dan kodifikasinya berjalan

    seiring dengan penelitian, kritik dan seleksi hadis. Sehingga, semua tokoh atau

    pakar (ima>m) dalam hadis juga beratensi kepada kritik hadis, meletakkan pondasi

    ilmu hadis dan pengetahuan tentang kondisi perawi dan memberikan catatan

    kritik terhadap sejumlah illat (cacat) periwayatan hadis yang mengurangi

    kualitas perawi dan hadis yang diriwayatkannya.135

    Para era ini lahir para tokoh besar di bidang kritik hadis di berbagai

    wilayah periwayatan dan studi hadis, di antaranya di Madinah: Malik bin Anas

    (w. 179 H), di Makkah; Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), di Kufah; Sufyan al-

    Thaury (w. 161 H), di Bashrah; Shubah (w. 160 H) dan Hammad bin Zaid (w.

    179 H), di Syam; al-Auzay (w. 158 H).136

    Abad ketiga muncul kritikus hadis dan periwayatannya seperti Yazid ibn

    Harun (w. 206 H), Abu Dawud al-Thayalisi (w. 204 H),Abd al-Razaq ibn

    Hammam (w. 211 H), dll. Pada masa ini disusun literature-literatur yang memuat

    teori-teori tentang kritik hadis yang disebut ilmu al-jarh wa al-tadi>l yang

    dipelopori antara lain oleh Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Muhammad ibn Saad

    (w. 230 H), Yahya ibn Main (w. 232 H), Ali ibn al-Madini (w. 234 H), disusul

    al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), dan Abu Dawud al-Sijista>ny (w. 275

    H).137

    134

    Lukman al-Salafi>, Ihtima>m al-Muhaddithi>n.., 56 135

    Ibid., 58 136

    Ibid., 59 137

    Idri, Ilmu Hadis, 295

  • 36

    BAB III

    KESIMPULAN

    1. Penelitian (kritik) hadis adalah perangkat keilmuan yang tujuannya

    adalah untuk menguji dan menganalisis secara kritis dan ilmiah apakah

    suatu hadis dapat dibuktikan validitas kebenarannya berasal dari Nabi

    atau tidak.

    2. Penelitian (kritik) hadis penting dilakukan atas dasar pertimbangan

    teologis, historis-dokumenter, praktis dan pertimbangan teknis serta

    antisaipasi kekeliruan yang menjadi sifat manusiawi.

    3. Eksistensi penelitian (kritik) hadis telah ada sejak era Rasulullah yang

    kemudian berkembang pesat secara faktual dan konseptual pada masa-

    masa berikutnya sesuai tuntutan situasi dan kondisi.

  • 37

    DAFTAR PUSTAKA

    Itr, Nur al-Di>n. Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadi>th. Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1998 M

    Umary (al), Akram Dhiya.Buhu>th fi Ta>rikh al-Sunnah al-Musharrafah.Madinah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, cet. 5, 1405 H.

    _____,. Manhaj al-Naqd Ind al-Muhaddithi>n wa muqa>rinan bi al-Manhaj al-Gharby. Riyadh: Dar Isbaliya, cet.1, 1417 H/1997M.

    Azamy (al), Muhammad Mustafa. Manhaj al-Naqd Ind al-Muhaddithi>n: Nashatuhu wa Ta>rikhuhu. Riyadh: ttp, cet. 2, 1402.

    Amidy (al).Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, ed. Abdul Razzaq al-Afify (Riya>d} : Dar Al-S{amiy, cet. 1, 1424 H/2003 M.

    Baghdady (al),Abubakar. Al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah.Ed. Abu Abdullah al-Sura>qy dan Ibrahim Hamdy al-Madany.Madinah al-Munawwarah: al-

    Maktabah al-Ilmiyah, tth. Baihaqy (al). Marifah al-Sunan wa al-Ar. Juz 1.ed. Abd al-Muthi Amin

    Qalajy.Beirut: Dar Qutaibah, cet. 1, 1412 H/1991 M. Biqa>I, Ali Na>yif.Mana>hij al-Muhaddithu>n al-Kha>s wa al-Air, cet. 2, 1430 H)

    Depdikbud.Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1988) Haditsi (al), Abdullah Hasan.Athar al-H{adith al-Nabawy al-Shari>f fi Ikhtila>f al-

    Fuqaha>. Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 1, 2005 Hans, Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: Goerge Allen &

    Unwin Ltd., 1970.

    Harawy (al), Muhammad bin Ahmad al-Azhary. Tahdhi>b al-Lughah. Jilid 9 (Beirut: Dar ihya al-Turath, cet. 1, 2001.

    Idri.Studi Hadis (Jakarta: Kencana Prenada Media grup,Cet. Ke-2, 2013. Jawabi (al), Muhammad Thahir. Juhud al-Muhadithi>n fi Naqd al-Matan al-Hadi>th

    al-Shari>f. Tunisia: Muassasah Abd al-Karim, 1986. Ka>fy, Abubakar. Manhaj al-Imam al-Bukha>ry fi Tashi>hi al-Aha>di>th wa Tali>liha.

    (Beirut: Dar Ibn Hazm, Cet. 1, 1422 H/2000 M

    Khan (al), Mustafa dalam tahqiq Kitab al-Manhal al-Rawy min Taqrib al-Nawawy (tp: Dar al-Malah} li al-Tabaah wa al-Nashr, ttt).

    Khon, Abdul Majid.Pemikiran Modern Dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu HadisJakarta: Kencana, Cet. 1, 2011

    Manz}ur, Ibn.Lisan al-Arab. Jilid 3 (Beirut: Dar Shadir, cet. 3, 1414 H Mubarakfuri (al), Saif al-Rahman, Mannah al-Muni>m fi Syarh Shoh}i>h Musli>m,

    Juz 1. Dar al-Salam li al-nasyr wa al-Tauzi, al-Riyadh, cet. 1, 1999 M. Musthafa, Ibrahim, et.all. Mujam al-Wasi>t}. Juz 2 (Kairo: Dar al-dakwah, t.th Naisa>bu>ry (al), Muslim bin al-Hajja>j al-Qushairy, al-Musnad al-S{ahi>h al-

    Mukhtas}ar atau Sahih Muslim. Vol. 3. Ed.Muhammad Fuad Abd al-Ba>qy Beirut: Dar Ihya> al-Turath al-Araby, t.th.

    _____. al-Tamyi>z. ed. Muhammad Musthafa al-Azhamy. Saudi: Maktabah al-Kauthar, cet. 3, 1410 H.

    Ramahurmudzi (al), Al-Hasan bin Abdurrahman, Al-muh}addith al-Fa>sil baina al-Ra>wi> wa al-Waiy>, ed. DR. Muhammad Ajaj al-Khatib. (Beirut: Dar al-Fikr, Cet. 1, 1391 H/1771 M

  • 38

    Razi (al), Zain al-din Abu Abdillah.Mukhtar al-S{ihhah (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah, cet. 5, 1420 H/1999 M.

    S{a>idy (al), Hasan Fauzy Hasan. Al-Manhaj al-Naqdy Ind al-Mutaqaddimi>n min al-Muhaddithi>n wa atha>r Taba>yun al-Manhaj. (TesisJa>amiah Ain Sham, Kairo, 1421 H),

    S{a>lih (al),S{ubhi. Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu-Ardhun wa Dirasatun (Beirut: Dar al-Ilm al-Malayin, cet. 15, 1984 M.

    Salafy (al), Muhammad Luqman. Ihtima>m al-Muhaddithi>n bi al-Naqd al-Hadi>th Sanadan wa Matanan (Riyadh: Dar al-DaI, cet. 2, 1420 H

    Shaukany (al). Irshad al-Fuhul Ila> Tahqiq al-Haq min Ilm al-Us}ul, Vol. 1,(Riyadh: Dar Fadilah, cet. 1, 1421 H/2000

    Suharto, Ugi, Peranan Tulisan Dalam Periwayatan Hadith. Majalah Islamia, Thn. I No. 2 (Juni-Agustus, 2004)

    Suyut}i (al), Jalaluddin. Tadri>b al-Ro>wy fi Syarh taqri>b al-Nawawi>, Juz 1, (al-

    Riyadh: Dar al-Ashimah, 1423 H) _____. Tadrib al-Rawy. Kairo: Dar al-Hadits, 1431 H. _____. Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy, Tahqiq; Abu Muadz Thoriq

    bin Audhillah bin Muhammad. Juz 2 (Riyadh: Dar al-Ashimah, 1423 H) Syuhbah, Muhammad Muhammad Abu dan Abd al-Ghany, Difa an al-Sunnah

    wa Radd Syubh al-Musytariqi>n wa al-Kita>b al-Muas{iri>n- wa yali>hi al-Radd ala Man Yunkir Hujjiyyah al-Sunnah (Kairo: Maktabah al-Sunnah, cet. 1, 1989 M)

    T}abary (al), Sulaiman bin Ahmad. Musnad Al-Samiyin. Juz 1, ed. Hamdy bin Abdul Majid as-Salafy (Beirut: Muassasah ar-Risalah, Cet. 1, 1405 H/