Upload
vankhuong
View
229
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
Jurai Research and
Consulting (JRC)
Mendekatkan Opini
Publik dengan Opini Elit
PERILAKU PEMILIH (VOTING BEHAVIOUR) PADA PEMILU 2014DI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR
(Studi Kasus Pada Desa Gunung Mulyo Kecamatan Sekampung Udik danDesa Rajabasa Batanghari Kecamatan Sukadana)
KOMISI PEMILIHAN UMUMKABUPATEN LAMPUNG TIMUR
Terselenggara Atas Kerjasama :
Komisi Pemilihan Umum KabupatenLampung Timur
&Jurai Research and Consulting (JRC)
Jurai Research and
Consulting (JRC)
Mendekatkan Opini
Publik dengan Opini Elit
PERILAKU PEMILIH (VOTING BEHAVIOUR) PADA PEMILU 2014DI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR
(Studi Kasus Pada Desa Gunung Mulyo Kecamatan Sekampung Udik danDesa Rajabasa Batanghari Kecamatan Sukadana)
KOMISI PEMILIHAN UMUMKABUPATEN LAMPUNG TIMUR
Terselenggara Atas Kerjasama :
Komisi Pemilihan Umum KabupatenLampung Timur
&Jurai Research and Consulting (JRC)
Jurai Research and
Consulting (JRC)
Mendekatkan Opini
Publik dengan Opini Elit
PERILAKU PEMILIH (VOTING BEHAVIOUR) PADA PEMILU 2014DI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR
(Studi Kasus Pada Desa Gunung Mulyo Kecamatan Sekampung Udik danDesa Rajabasa Batanghari Kecamatan Sukadana)
KOMISI PEMILIHAN UMUMKABUPATEN LAMPUNG TIMUR
Terselenggara Atas Kerjasama :
Komisi Pemilihan Umum KabupatenLampung Timur
&Jurai Research and Consulting (JRC)
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali
yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas
segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya. Sehingga
Jurai research and Consulting mampu menyelesaikan Pengkajian Evaluasi pemilu
2014 yang berjudul “PERILAKU PEMILIH (VOTING BEHAVIOUR) PADA
PEMILU 2014 DI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR (Studi Kasus Pada Desa
Gunung Mulyo Kecamatan Sekampung Udik dan
Desa Rajabasa Batanghari Kecamatan Sukadana)”
Jurai Research and Consoulting (JRC) merupakan sebuah lembaga advokasi dan
diseminasi sosial. JRC memiliki komitmen yang kuat untuk melakukan
promosi riset-riset social, politik, kebijakan public dan pembangunan dari
aspek ekonomi, hokum good governance dan otonomi daerah. Lembaga ini
secara independent menjunjung tinggi nilai-nilai intelektual sebagai landasan
kinerja. JRC menyajikan hasil kerja berupa penemuan, pengkajian, research
dan lain-lain dengan budaya akademisi. Hasil kerja JRC merupakan hasil
research yang dapat dipertanggung jawabkan oleh kalangan intelektual. Pada
sisi Lingkup kerja JRC melakukan penelitian Politik, Kebijakan public,
pembangunan, otonomi daerah, keuangan daerah, pemberdayaan masyarakat,
konsultan CSR, Advokasi Masyarakat, Konsultasi Politik, research Ilmiah
dan kajian strategis. JRC bekerja di lingkup local yakni hanya di provinsi
Lampung. Adapun Visi dari JRC adalah membangun perubahan bersama
antara Negara, masyarakat dan swasta.
Sebagai salah satu bentuk program kerja,JRC melakukan pengkajian Evaluasi Pemilu
2014 di beberapa kabupaten di Lampung. Evaluasi itu melingkupi tema (Perilaku
pemilih, Politik uang dan melek Politik).
ii
Dalam penyusunannya, JRC memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena
itu kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. KPUD Lampung Timur
2. Masyarakat desa Gunung Mulyo kecamatan Sekampung Udik dan
desa Rajabasa kecamatan Sukadana
3. Abdurahman Sholeh,Anggota Panwas Kabupaten lampung Timur
tahun 2014
4. Samsul Arifin Ketua KPUD Lampung Timur tahun 2014
5. Arifah, ketua bappilu partai golkar
Meskipun penulis berharap isi dari Laporan pengkajian ini bebas dari kekurangan dan
kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun laporan ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata kami berharap agar hasil pengkajian ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Bandar Lampung, Juli 2015Penyusun
SudiyantoDirektur Jurai Research And Consulting
ii
Dalam penyusunannya, JRC memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena
itu kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. KPUD Lampung Timur
2. Masyarakat desa Gunung Mulyo kecamatan Sekampung Udik dan
desa Rajabasa kecamatan Sukadana
3. Abdurahman Sholeh,Anggota Panwas Kabupaten lampung Timur
tahun 2014
4. Samsul Arifin Ketua KPUD Lampung Timur tahun 2014
5. Arifah, ketua bappilu partai golkar
Meskipun penulis berharap isi dari Laporan pengkajian ini bebas dari kekurangan dan
kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun laporan ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata kami berharap agar hasil pengkajian ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Bandar Lampung, Juli 2015Penyusun
SudiyantoDirektur Jurai Research And Consulting
ii
Dalam penyusunannya, JRC memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena
itu kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. KPUD Lampung Timur
2. Masyarakat desa Gunung Mulyo kecamatan Sekampung Udik dan
desa Rajabasa kecamatan Sukadana
3. Abdurahman Sholeh,Anggota Panwas Kabupaten lampung Timur
tahun 2014
4. Samsul Arifin Ketua KPUD Lampung Timur tahun 2014
5. Arifah, ketua bappilu partai golkar
Meskipun penulis berharap isi dari Laporan pengkajian ini bebas dari kekurangan dan
kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun laporan ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata kami berharap agar hasil pengkajian ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Bandar Lampung, Juli 2015Penyusun
SudiyantoDirektur Jurai Research And Consulting
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. v
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................................... 5
BAB II TUJUAN KONSEPTUAL
A. Konsep Pemilu ................................................................................................... 7
1. Pengertian Pemilu........................................................................................... 7
2. Azas Pemilu.................................................................................................... 8
3. Sistem Pemilihan Umum................................................................................ 9
B. Konsep Partai Politik.......................................................................................... 11
1. Pengertian Partai Politik................................................................................. 11
2. Fungsi dan Tujuan Partai Politik .................................................................... 12
C. Tinjauan Prilaku Memilih dan Politik Uang ...................................................... 14
1. Perilaku Memilih............................................................................................ 14
2. Metode Prilaku Memilih ................................................................................ 14
3. Mengawasi Politik Uang ................................................................................ 18
D. Kerangka Interaktif Peneliti ............................................................................... 19
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitain............................................................................................... 20
B. Jenis Data ........................................................................................................... 20
C. Lokasi Pemilihan................................................................................................ 20
D. Sumber Data dan Informasi................................................................................ 21
E. Pengumpulan dan Pengolahan Data .................................................................. 21
F. Analisa / Interprestasi Data................................................................................. 21
iv
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Profil Responden ................................................................................................ 22
B. Keikutsertaan Dalam Pemilu.............................................................................. 24
C. Pola Politik Uang............................................................................................................ 26
D. Peta Politik ..................................................................................................................... 30
E. Faktor dan Penyebab Terjadinya Politik Uang ............................................................... 35
F. Kebijakan Mengatasi Fenomena Politik Uang................................................................ 38
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .................................................................................................................... 41
B. Saran............................................................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA
v
DAFTAR TABEL
Tabel Keterangan Tabel Hal
1.1 Tingkat Partisipasi Pemilu 1955 – 2014.......................................................... 2
1.2 Tingkat Partisipasi Pemilih Pada Pemilu 2014............................................... 3
1.3 Suara sah dan Tidak Sah................................................................................. 4
1.4 Desa-Desa dengan Partisipasi Pemilih Terendah Di Lampung Timur............ 5
2.1 Perbandingan sistem Proporsional dan Distrik Murni.................................... 10
4.1 Profil Responden Berdasarkan umur.......................................................................... 22
4.2 Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan............................................................ 22
4.3 Responden Berdasarkan Pekerjaan........................................................................... 23
4.4 Responden Berdasarkan Penghasilan....................................................................... 23
4.5 Keikut Sertaan Dalam Pemilu Legislatif 2014.......................................................... 24
4.6 Alasan Tidak Ikut Pemilu.......................................................................................... 25
4.7 Alasan Ikut Pemilu.................................................................................................... 25
4.8 Waktu Memutuskan Pilihan Calon........................................................................... 26
4.9 Pertimbangan Politik Uang....................................................................................... 27
4.10 Sikap Terhadap Politik Uang.................................................................................... 27
4.11 Bentuk Pemberian yang disukai................................................................................ 28
4.12 Besar Uang Yang Diberikan Calon........................................................................... 28
4.13 Rata – Rata Mendapatkan Pemberian Uang............................................................. 28
4.14 Waktu Pemberian Uang............................................................................................ 29
4.15 Pertimbangan Terhadap Politik Uang Berdasarkan Desa-Kota................................ 30
4.16 Sikap Terhadap Politik Uang.................................................................................... 31
4.17 Pertimbangan Politik Uang Berdasarkan Tingkat Pendidikan................................... 31
4.18 Pertimbangan Politik Uang Berdasarkan Tingkat Pendidikan.................................. 32
4.19 Pertimbangan Politik Uang Berdasarkan Pekerjaan.................................................. 33
4.20 Sikap Terhadap Politik Uang Terkait Latar Belakang Pekerjaan.............................. 33
4.21 Pertimbangan Politik Uang Berdasarkan Tingkat Penghasilan.......................... 34
4.22 Sikap Terhadap Politik Uang Terkait Penghasilan..................................................... 34
4.23 Pemberian Politik Uang............................................................................................ 36
4.24 Nilai Anggota Dewan Terpilih................................................................................. 36
vi
4.25 Penyebab Terjadinya Politik Uang 37
4.26 Tokoh atau Organisasi ynag mengajak Tolak Politik Uang 39
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demokrasi saat ini sudah menjadi pilihan yang dianggap terbaik untuk mengelola kehidupan
berbangsa dan bernegara oleh sebagian besar negara-negara di belahan dunia. Di Indonesia
setelah melalui dinamika kehidupan politik yang panjang. Dalam negara demokrasi,
partisipasi pemilih menjadi elemen penting demokrasi perwakilan. Ia adalah fondasi praktik
demokrasi perwakilan. Persoalannya, terdapat sejumlah masalah menyangkut partisipasi
pemilih yang terus menggelayut dalam setiap pelaksanaan pemilu. Sayangnya, persoalan itu
tidak banyak diungkap dan sebagian menjadi ruang gelap yang terus menyisakan pertanyaan.
Beberapa persoalan terkait dengan partisipasi dalam pemilu diantaranya adalah fluktuasi
kehadiran pemilih ke TPS, suara tidak sah yang tinggi, gejala politik uang, misteri derajat
melek politik warga, dan langkanya kesukarelaan politik. Masalah tersebut perlu dibedah
sedemikian rupa untuk diketahui akar masalah dan dicari jalan keluarnya. Harapannya,
partisipasi dalam pemilu berada pada idealitas yang diimajinasikan. Oleh karena itu, program
riset menjadi aktivitas yang tidak terhindarkan dalam manajemen pemilu.
Partisipasi politik rakyat tentu tak lepas dari kondisi atau sistem politik yang sedang
berproses. Sistem kepolitikan bangsa Indonesia hingga dewasa ini telah berkali-kali
mengalami perubahan, mulai dari orde baru sampai pada reformasi. Disadari bahwa
reformasi sering dimaknai sebagai era yang lebih demokratis. Kehadiran dan Ketidakhadiran
Pemilih di TPS (Voter turn-out). Partisipasi pemilih sejak pemilu 1999 sampai dengan pemilu
2014 bergerak fluktuatif.
Menyimak tabel 1.1, menunjukkan bahwa terjadi penurunan pastisipasi yang signifikan pada
pemilu tahun 2009 sebesar 70,90%. Kemudian pada tahun pemilu 2014, secara bertahap
partisipasi masyarakat meningkat pada tahun tersebut menjadi 75,10%. Penyempurnaan ini
tidak terlepas dari target yang kerap disuarakan oleh komisioner KPU yang menargetkan
partisipasi pemilu 2014 meningkat sekurang-kurangnya menjadi 75%.
1
2
Tabel 1.1
Tingkat Partisipasi Pemilu 1955 - 2014
Tahun Pemilu Partisipasi Pemilih Golput
1955 91,40% 8,60%
1971 96,60% 3,40%
1977 96,50% 3,50%
1982 96,50% 3,50%
1987 96,40% 3,60%
1992 95,10% 4,90%
1997 93,60% 6,40%
1999 92,60% 7,40%
2004 84,10% 15,90%
2009 70,90% 29,10%
2014 75,10% 24,90%
Sumber: Dari Berbagai Sumber
Secara umum tujuan utama dari pemilihan umum secara langsung adalah terbentuknya
sebuah struktur politik lokal dan nasional yang demokratis serta sistem pemerintahan yang
mampu berjalan secara efektif. Pemilu yang berkualitas pada dasarnya dapat dilihat dari dua
sisi, yaitu dilihat dari sisi proses dan hasilnya. Pemilu dapat dikatakan demokratis dan
berkualitas dari sisi prosesnya apabila pemilu itu berlangsung secara demokratis aman, tertib,
dan lancar sesuai dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sedangkan
apabila di lihat dari sisi hasilnya, pemilu itu harus dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat dan
pemimpin negara yang mampu mensejahterakan rakyat, di samping dapat juga mengangkat
harkat dan martabat bangsa di mata dunia Internasional. (Rozali Abdullah, 2009).
Berdasarkan data hasil pemilu 2014, menunjukkan adanya keberhasilan penyelenggaraan
pemilu dari sisi penguatan partisipasi masyarakat. Namun demikian tingkat partisipasi
pemilih di daerah-daerah berbeda dengan hasil secara nasional. Sebagai contoh di Lampung
Timur yang menunjukkan tingkat partisipasi masyarakatnya hanya 69%. Seperti tersaji pada
tabel 1.2, menunjukkan tingkat partisipasi tertinggi masyarakat Lampung Timur dalam
pemilu berada di Kecamatan Batanghari dan Pekalongan yang tingkat partisipasinya di atas
rata-rata tingkat partisipasi nasional.
3
Sedangkan tingkat pasrtisipasi paling rendah terjadi di Kecamatan Gunung Pelindung, Braja
Selebah, Labuhan Maringgai, Mataram Baru dan Pasir Sakti dan Melinting. Pada kecamatan
tersebut, tingkat partisipasi cukup kritis sebesar 62% - 65% [simak tabel 1.2].
Data tersebut, apabila disandingkan dengan tingkat partisipasi pemilih secara nasional
menunjukkan adanya selisih yang timpang. Ditengah gencarnya sosialisasi yang
dikembangkan oleh KPU, namun masih terdapat daerah-daerah dengan jurang partisipasi
politik pemilu yang sangat curam.
Tabel 1.2
Tingkat Partisipasi Pemilih Pada Pemilu 2014
No KecamatanKelurahan
/Desa
Nomor
TPS
Jumlah
Pemilih DPT
Jumlah
Pengguna Hak
Pilih dalam DPT
Persen
(%)
1 Gunung Pelindung 5 39 16.815 10.472 62%
2 Braja Selebah 7 37 18.467 11.676 63%
3 Labuhan Maringgai 11 105 52.152 32.964 63%
4 Mataram Baru 7 44 22.471 14.145 63%
5 Pasir Sakti 8 64 29.314 18.540 63%
6 Melinting 6 40 20.321 13.088 64%
7 Sukadana 20 128 55.583 36.381 65%
8 Waway Karya 11 59 28.168 19.087 68%
9 Way Jepara 16 97 40.351 27.503 68%
10 Bandar Sribhawono 7 71 35.832 24.847 69%
11 Marga Tiga 13 74 35.399 24.298 69%
12 Sekampung 17 104 50.604 35.008 69%
13 Jabung 15 77 38.267 26.844 70%
14 Marga Sekampung 8 40 21.156 14.753 70%
15 Sekampung Udik 15 122 54.515 38.100 70%
16 Way Bungur 8 41 18.245 12.837 70%
17 Labuhan Ratu 11 71 33.194 23.774 72%
18 Metro Kibang 7 40 16.979 12.284 72%
19 Bumi Agung 7 36 14.506 10.569 73%
20 Raman Utara 11 68 29.967 21.984 73%
21 Purbolinggo 12 70 32.569 24.103 74%
4
22 Batanghari Nuban 13 76 32.702 24.526 75%
23 Batanghari 17 84 42.682 32.632 76%
24 Pekalongan 12 85 36.719 27.794 76%
Sumber : KPU Lampung Timur 2014
Untuk lebih detail melihat fenomena Voter turn-out dalam pemilu tahun 2014 akan lebih
terlihat pada level partisipasi di tingkat desa. Dari total 264 desa di Kabupaten Lampung
Timur dilakukan pemetaan dengan cara mengurutkan tingkat partisipasi tertinggi dan
terendah pada tingkat desa.
Tabel 1.3
Desa-Desa dengan Partisipasi Pemilih Tertinggi Di Lampung Timur
Kecamatan Kelurahan/Desa
Jumlah
Pemilih
DPT
Jumlah
Pengguna Hak
Pilih dalam
DPT
Persen
Sekampung Udik Gunung Mulyo 600 577 96%
Batanghari Telogo Rejo 1.533 1.297 85%
Marga Sekampung Bukit Raya 797 679 85%
Sumber : KPU Lampung Timur 2014
Hasilnya pengurutan tingkat partisipasi pemilu menunjukkan bahwa tingkat partisipasi
tertinggi dapat mencapai 96% di Desa Gunung Mulyo Kecamatan Sekampung Udik,
sedangkat tingkat partisipasi terendah Desa Marga Sari kecamatan Labuhan Maringgai dan
Desa Rajabasa Batanghari Kecamatan Sukadana dengan tingkat partisipasinya hanya 50%
[simak tabel 1.3 dan tabel 1.4].
5
Tabel 1.4
Desa-Desa dengan Partisipasi Pemilih Terendah Di Lampung Timur
Kecamatan Kelurahan/Desa
Jumlah
Pemilih
DPT
Jumlah
Pengguna Hak
Pilih dalam
DPT
Persen
Jabung Negara Saka 1.115 582 52%
Labuhan Maringgai Marga Sari 6.378 3.172 50%
Sukadana Rajabasa Batanghari 1.285 639 50%
Sumber : KPU Lampung Timur 2014
Melihat data tabel 1.3 dan tabel 1.4 menunjukkan bahwa adanya varian partisipasi yang
terjadi di masyarakat. Berbagai dugaan muncul, mulai dari karakter masyarakatnya,
pengetahuan masyarakatnya, atau dikarenakan akses terhadap pemilu yang terbatas, serta
adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Perbandingan data tersebut, selanjutnya
digunakan untuk menentukan lokasi studi/riset secara lebih sempit dan terfokus dalam
melihat fenomena perilaku pemilih dan tingkat partisipasinya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan adanya ketimpangan partisipasi pemilih dan
bagaimana perilaku pemilih. (1) Sejauh mana pilihan-pilihan itu bersifat rasional (2) Apakah
rekam jejak, program atau janji peseta pemilu menjadi bahan pertimbangan memilih, dan
(3) Bagaimana tingkat rasionalitas pemilih dalam pemilu. Maka yang menjadi rumusan
masalah penelitian ini adalah “Bagaimana Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2014 di Kabupaten
Lampung Timur, studi perbandingan tingkat partisipasi tinggi dan tingkat partisipasi rendah”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perilaku pemilih dalam pemilu 2014 di
Kabupaten Lampung Timur, diantaranya:(1) Pertimbangan-pertimbangan pilihan masyarakat,
(2) rekam jejak, program atau janji peserta pemilu menjadi bahan pertimbangan pemilih, dan
(3) tingkat rasionalitas pemilih dalam pemilu.
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, berupa manfaat akademis dengan
menghasilkan sejumlah informasi terkait dinamika perilaku pemilih dalam pemilu, serta
menambah khasanah pengetahuan tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan perilaku
6
pemilih. Sedangkan secara praktis hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dalam
krangka penyempurnaan penyelenggaraan pemilu, khususnya dalam peningkatan partisipasi
pemilih serta kualitas pemilihan umum di masa yang akan datang.
7
BAB II
TINJAUAN KONSEPTUAL
A. Konsep Pemilu
1. Pengertian Pemilu
Pemilihan umum sering disebut juga dengan ”Political Market”, artinya bahwa pemilihan
umum adalah pasar politik tempat individu/masyarakat berinteraksi untuk melakukan
kontrak sosial (perjanjian masyarakat) antara peserta pemilihan umum (partai
politik/perorangan) dengan pemilih (rakyat) yang memiliki hak pilih setelah terlebih dahulu
melakukan serangkaian aktivitas politik yang meliputi kampanye, propaganda, iklan politik
melalui media massa cetak, audio (radio) maupun audio fisual (televisi) serta media lainnya
seperti spanduk, pamflet, selebaran bahkan komunikasi antar pribadi yang berbentuk face to
face (tatap muka) atau lobby yang berisi penyampaian pesan mengenai program, platform,
azas, idiologi serta janji-janji politik lainnya guna meyakinkan pemilih sehingga pada
pencoblosan dapat menentukan pilihannya terhadap salah satu partai politik/peserta
perorangan yang menjadi peserta pemilihan umum untuk mewakilinya dalam badan legislatif
maupun eksekutif.
Pemilu dalam pandangan minimalis merupakan proses pengambilan kebijakan umum,
mempunyai makna penting, yaitu merupakan proses terbaik dibanding, misalkan sistem karir
atau pengangkatan untuk menentukan pemimpin politik, kemudian, memungkinkan
pergantian kekuasaan secara berkala dan membuka akses bagi aktor-aktor baru masuk ke
dalam arena kekuasaan, dan memungkinkan partisipasi rakyat secara langsung untuk
menentukan pemimpin sesuai dengan kehendak mereka. (Sutoro eko, 2006)
Pemilihan umum adalah pemberian suara oleh rakyat melalui pencoblosan atau
pencontrengan tanda gambar untuk memilih wakil-wakil rakyat menjadi anggota legislatif,
atau menjadi kepala pemerintahan. Fungsi pemilu adalah mengatur prosedur seseorang untuk
dipilih menjadi anggota legislatif atau kepala pemerintahan. Sementara tujuan dari pemilu
ada tiga :
a) Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif
kebijakan umum.
b) Mekanisme untuk memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada
legislatif maupun eksekutif sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin.
7
8
c) Sarana memobilisasikan atau menggalang dukungan rakyat terhadap negara danpemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum, pada pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa “Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
Pemilu sebagaimana kita pahami merupakan perwujudan dari negara yang menganut sistem
demokrasi. Sutoro Eko (2006) mengemukakan bahwa pemilu yang demokratis (kompetitif,
liberal, dan partisipatif) membutuhkan partisipasi pemilih yang rasional-otonom, yaitu
pemilih yang menggunakan hak pilihnya secara bebas, terbuka, dan mandiri dengan
menggunakan referensi secara rasional berdasarkan idiologi dan program partai.
Sementara itu, Eep Syaepulah Fatah mengatakan bahwa pemilu yang demokratis harus
memiliki dua syarat; yaitu: (1) Ada pengakuan terhadap hak pilih universal, semua warga
negara, tanpa pengecualian yang bersifat politik dan idiologis, diberi hak untuk memilih dan
dipilih dalam pemilu. (2) Ada keleluasaan untuk membentuk tempat penampungan bagi
pluralitas aspirasi masyarakat.
2. Azas Pemilu
Beberapa azas pemilihan umum yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang pemilu yangberlaku di Indonesia adalah :
a. Langsung, artinya rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan
suaranya menurut aspirasi dan hati nuranuinya tanpa perantara dan tanpa tingkatan
b. Umum, artinya semua warga negara yang telah berusia 17 tahun atau telah menikah
berhak untuk ikut memilih, dan untuk yang berusia 21 tahun berhak untuk dipilih
dengan tanpa ada diskriminasi (pengecualian)
c. Bebas, artinya rakyat pemilih berhak memilih menurut hati nuraninya tanpa adanya
pengaruh, tekanan atau paksaan dari siapaun/dengan apapun.
d. Rahasia, artinya rakyat pemilih dijamin oleh peraturan tidak akan diketahui oleh pihak
siapapun dan dengan jalan apapun siapa yang dipilihnya atau kepada siapa suaranya
diberikan (secret ballot)
9
e. Jujur, artinya, dalam penyelenggaraan pemilu, penyelenggara, pemerintah, peserta
pemilu, masyarakat, pengawas dan semua komponen yang terlibat dalam pelaksanaan
pemilu harus bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
f. Adil, artinya, dalam penyelenggaraan pemilu, semua pihak, baik peserta pemilu
maupun pemilih harus mendapatkan perlakukan yang sama serta bebas dari
kecurangan pihak manapun.
3. Sistem Pemilihan Umum
Mirim Budiardjo (2008) mengemukakan bahwa dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu:
a. Sistem Distrik (Single Member Constituency)
Sistem Distrik (Single Member Constituency) yaitu satu daerah pemilihan memilih satu
wakil. Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang tertua dan didasarkan atas kesatuan
geografis (yang biasanya disebut distrik, karena kecilnya daerah yang diliputi)
mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Untuk keperluan itu daerah
pemilihan dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam dewan
perwakilan rakyat ditentukan oleh jumlah distrik. Calon yang dalam satu distrik
memperoleh suara yang terbanyak, dinyatakan menang, sedangkan suara yang ditujukan
kepada calon lain dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi. Sistem pemilihan ini
dipakai di Inggris, Kanada, Amerika Serikat dan India.
b. Sistem Perwakilan Berimbang/Proporsional (Multy Member Constituency)
Sistem ini berarti satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil. Sistem ini
dimaksudkan untuk menghilangkan beberapa kelemahan dari sistem distrik. Gagasan
pokok nya ialah bahwa jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu golongan atau partai
adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Untuk keperluan ini ditentukan
sesuatu perimbangan, misalnya: 1 : 400.000, yang berarti bahwa satu kursi mewakili
400.000. pemilih. Negara untuk pemilihan anggota DPR dianggap satu daerah pemilihan.
Namun di dalam prakteknya untuk Indonesia, sistem proporsional ini sudah mengalami
perubahan dengan menentukan daerah pemilihan tidak lagi berdasarkan wilayah negara,
tetapi daerah provinsi, bahkan provinsipun sudah terbagi menjadi beberapa daerah
pemilihan. Hal ini menunjukan adanya penyempitan istilah daerah pemilihan, yang
berarti memasukan nilai distrik dalam konsep
10
proporsional tersebut. Disamping itu, sistem ini juga dikombinasikan dengan Sistem Daftar(List System).
Tabel 2.1Perbandingan sistem Proporsional dan Distrik Murni
Sistem Unsur Proporsional Murni Distrik Murni
Daerah
pemilihan
Basis wilayah
Ukuran besar
Jumlah daerah pemilihan sedikit
Basis penduduk
Ukuran kecil
Jumlah daerah pemilihan banyak
Wakil Lebih dari satu daerah pemilihan
Azas wakil bebas
Hubungan dengan pemilih
melalui partai
Kurang/tidak dikenal
Dicalonkan partai
Pengawasan pemilih kurang
Bertanggung jawab kepada partai
Hanya satu daerah pemilihan
Ada syarat domisili
Hubungan dengan pemilih langsungatau
melalui partai
Diawasi pemilih
Dicalonkan pemilih dan partai
Pengawasan pemilih kuat
Bertanggung jawab kepda pemilih
Suara Tidak ada yang hilang
Mayoritas mutlak(di atas 50
Persen
Ada yang hilang
Mayoritas sederhana (bisa di bawah 50
persen)
Partai Menguntungkan partai kecil
Cenderung multi partai
Kekuasaan besar terhadap wakil
Organisasi partai setingkat desa
Merugikan partai kecil
Cenderung bipartai
Kekuasaan kecil terhadap wakil
Organisasi partai setingkat desa
Organisasi
Pelaksana
Bersifat otonom Bersifat otonom
Sistem
pemerintahan
Mengarah ke perintahan koalisi
Sentralisasi
Tidak mengarah ke pemerintah koalisi
Desentralisasi
Sumber : Bintan R Saragih, 1997
Di Indonesia menganut sistem proporsional, merujuk pada tabel 2.1 teridentifikasi pada
bagian wakil menunjukkan bahwa dengan sistem proporsional terdapat sejumlah kelemahan
yang identik dengan penelitian ini, yaitu : (1) Calon wakil rakyat Kurang/tidak dikenal (2)
wakil rakyat Dicalonkan partai (3) Pengawasan pemilih kurang dan (4) wakil rakyat
Bertanggung jawab kepada partai.
11
B. Konsep Partai Politik
1. Pengertian Partai Politik
Partai politik merupakan salah satu pilar demokrasi yang memiliki posisi penting dalam
pelembagaan politik masyarakat. Pada Negara-negara berkembang seperti Indonesia
kehidupan politik termasuk di dalamnya perkembangan partai politik marak dibicarakan dan
menjadi sesuatu yang sering mengundang perdebatan, oleh karena itu memahami arti penting
partai politik menjadi awalan untuk mengkaji kehidupan partai politik.
Mengenai pengertian partai politik, terdapat beberapa pendapat ahli yang secara umum
menekankan bahwa partai politik pada aspek mempertahankan dan merebut kekuasaan.
Menurut Roger Saltau dalam Leo Agustino (2007:101). Partai politik merupakan sekelompok
warga Negara yang terorganisir yang bertindak sebagai satu kesatuan politik dengan
memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan
melakukan kebijakan mereka sendiri. Selain itu Sigmund Neumann dalam A. Rahman,
(2007:102) menyebutkan bahwa partai politik adalah dari aktifitas-aktifitas politik yang
berusaha untuk menguasai pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar
persaingan dengan suatu golongan-golongan atau golongan-golongan lain yang memiliki
pandangan yang berbeda.
Carl Friedrich dalam Ramlan Surbakti (1999:116) memberikan batasan bahwa partai politik
sebagai kelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau
mempertahankan kekuasaan dalam pemerintaahan bagi pemimpin partainya, dan berdasar
kekuasan itu akan memberikan kegunaan materiil dan idiil kepada anggotanya. Pendapat
lainnya, seperti yang dikemukakan Miriam Budiardjo (2003 : 161) bahwa partai politik
sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,
nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan
politik dan merebut kedudukan politik – (biasanya) dengan cara konstitusionil – untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka tentunya memiliki ideologi tersendiri terkait
dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
Merujuk pada beberapa defenisi partai politik di atas, setidaknya dapat dirumuskan bahwa
partai politik merupakan kumpulan masyarakat yang terorganisir yang memiliki orientasi,
nilai-nilai dan cita-cita yang sama dan melakukan persaingan dengan kelompok lain untuk
12
meraih kekuasaan, serta memiliki ideologi dalam mewujudkan tujuan-tujuan yang ingin
dicapai.
2. Fungsi dan Tujuan Partai Politik
Sebagai salah satu pilar demokrasi partai politik memiliki fungsi yang sangat mendasar
mengingat konsep kedaulatan rakyat yang mendasari proses demokrasi menempatkan partai
politik sebagai saluran utama proses demokrasi. Sesuai dengan pengertiannya menurut
Miriam Budiardjo (2003:163-164) partai politik memiliki beberapa fungsi sebagai berikut:
1. Partai sebagai sarana komunikasi politik
Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi
masyarakat sedemikan rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat dapat
dikurangi.
2. Partai sebagai sarana sosialisasi politik
Partai politik juga memainkan peranan sebagai sarana sosialisasi politik (instrument of
political socialization). Di dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai proses
melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang
umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada.
3. Partai sebagai sarana recruitment politik
Partai Politik juga berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut
aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai politik (political recruitment).
4. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik (conflict management)
Dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat
merupakan soal yang wajar. Jika sampai terjadi konflik, partai politik berusaha untuk
mengatasinya.
Bagi Ramlan Surbakti (1999:116-121) fungsi utama partai politik ialah mencari dan
mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang disusun berdasarkan
ideologi tertentu. Cara yang digunakan oleh partai politik dalam sistem politik demokrasi
untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan ialah ikut serta dalam pemilihan umum,
sedangkan cara yang digunakan partai tunggal dalam sistem politik totaliter berupa paksaan
fisik dan psikologik oleh suatu diktatorial kelompok (komunis) maupun diktatorial individu
(fasis).
13
Menurut UU No. 15 Tahun 2011 Tentang Partai Politik, disebutkan bahwa partai politik
memiliki tujuan tertentu sebagai berikut:
a. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia
yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
b. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk
kesejahteraan masyarakat.
c. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan
menetapkan kebijakan negara.
d. Partisipasi politik warga negara Indonesia, dan
e. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi
dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
Berdasarkan pendapat beberapa pakar dan ketentuan undang-undang tentang partai politik,
tujuan dan fungsi partai politik, maka dalam kajian ini yang akan menjadi penekanan adalah
fungsi partai politik adalah sebagai sarana pendidikan politik dan sebagai sarana rekruitmen
politik pada saat pemilihan umum.
C. Tinjauan Perilaku Memilih
1. Perilaku Memilih
Perilaku memilih adalah keikutsertaan warga dalam pemilu sebagai rangkaian pembuatan
keputusan. (Joko J. Prihatmoko, 2008). Perilaku memilih adalah bagian dari perilaku politik,
karena perilaku politik mencakup semua kegiatan politik, termasuk kegiatan dalam
pemilihan.
Menurut model mikrososiologis Georg Simmel (1890) yang mengatakan bahwa setiap
manusia terikat oleh lingkaran sosial, contohnya keluarga, lingkaran rekan-rekan, tempat
kerja dan sebagainya. Paul F. Lazarsfeld menerapkan cara pikir ini kepada para pemilih.
Seorang pemilih hidup dalam konteks tertentu, status ekonominya, agamanya, tempat
tinggalnya, pekerjaannya, dan usianya mendefinisikan lingkaran sosial yang mempengaruhi
keputusan sang pemilih. Setiap lingkaran sosial memiliki normanya sendiri, kepatuhan
terhadap norma-norma tersebut menghasilkan integrasi. Namun konteks ini turut mengontrol
perilaku individu dengan cara memberikan tekanan agar sang individu menyesuaikan diri,
14
sebab pada dasarnya setiap orang ingin hidup dengan tentram, tanpa bersitegang dengan
lingkungan sosialnya. (Dieter Roth, 2008).
2. Model Perilaku Memilih
Keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan
membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilu, kalau
memutuskan memilih, memilih partai atau kandidat. Untuk menjawab persoalan tersebut,
Ramlan Surbakti (1999) mengemukakan jawaban dengan beberapa model/pendekatan, seperti
berikut :
a. Pendekatan struktural yang melihat kegiatan memilih sebagai produk dari konteks
struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemilu,
permasalahan dan program yang ditonjolkan oleh setiap partai.
b. Pendekatan sosiologis, cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan
konteks sosial. Konkretnya pilihan seseorang dalam pemilihan umum dipengaruhi latar
belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti jenis kelamin, tempat tinggal (kota-
desa), pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan, dan agama.
c. Pendekatan ekologis, memandang bahwa dalam daerah pemilihan terdapat perbedaan
karakteristik pemilih berdasarkan unit teritorial, seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan
kabupaten.
d. Pendekatan pilihan rasional, yaitu melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi
untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya ongkos memilih dan kemungkinan
suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari
alternatif berupa pilihan yang ada.
Selain itu pandangan lain yang sejalan mengemukakan bahwa konsepsi perilaku pemilih
Affan Gaffar (1992:4-9) perilaku pemilih dapat dilihat dari dua pendekatan: (1) pendekatan
sosiologis (Mahzab Colombia) dan (2) pendekatan psikologis (Mahzab Michigan). Tambahan
dari Ramlan Surbakti (2010:187) pendekatan pilihan rasional. Adman Nursal (2004:54-73)
mengelaboransi beberapa pendekatan dengan menambahkan satu pendekatan lainnya, yaitu:
(1) pendekatan sosiologis, (2) Pendekatan psikologis, (3) pendekatan rasional, dan (4)
pendekatan marketing.
Quist dan Crano (2003) dalam Firmanzah (2004:113) rasionalitas pemilih dapat
menggunakan model (smiliarity) dan Ketertarikan (attraction). Selanjutnya Firmanzah
15
(2004:115) menambahkan dua jenis kesamaan yang akan menilai kedekatan partai politik
atau seorang kontestan, yaitu: (1) kesamaan hasil akhir (policy-problem-solving) dan (2)
kesamaan faham atau nilai-nilai (ideology). Atas dasar tersebut Firmanzah (2007)
mengelompokkan pemilih dalam empat kelompok yaitu: (1) pemilih rasional (2) pemilih
kritis (3) pemilih tradisional dan (4) pemilih skeptis.
1. Perilaku Pemilih Golput
Isitilah perilaku non voting dalam bahasa Indonesia diartikan tidak memilih atau lebih
dikenal dengan golput (golongan putih). Dalam beberbagai literatur perilaku memilih,
perilaku non voting umumnya digunakan untuk merujuk pada fenomena ketidakhadiran
seseorang dalam Pemilu dalam (Asfar, 1998 : 173). Non voting merupakan mereka yang
dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara
pada Pemilu dalam (Ariyanto, 2011:54). Oleh karenanya perilaku non voting umumnya
dimanifestasikan dalam bentuk ketidakhadiran pada saat pemilihan.
Sanit (1992:39) menggunakan konsep perilaku non voting atau golput untuk merujuk pada
tiga fenomena berikut: Pertama, orang yang tidak menghadiri TPS sebagia aksi protes
terhadap pelaksanaan pemilu atau sistem politik yang ada. Kedua, orang yang menghadiri
TPS namun tidak menggunakan hak pilihnya secara benar, seperti menusuk lebih dari satu
tanda gambar. Ketiga, orang yang menggunakan hak pilihnya namun dengan jalan menusuk
bagian putih dari kartu suara. Dalam konteks ini, perilaku non voting merupakan refleksi
protes atau ketidakpuasan terhadap sistem politik yang sedang berjalan.
Ariyanto (2011:56) membuat kesimpulan penelitiannya bahwa penyebab perilaku non-voting
disebabkan oleh 2 hal yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal meliputi faktor teknis dan faktor pekerjaan. Faktor teknis yang dimaksud
adalah adanya kendala yang bersifat teknis yang dialami oleh pemilih sehingga
menghalanginya untuk menggunakan hak pilih. Contohnya sakit, sibuk bekerja, sedang
keluar kota serta berbagai hal lainnya yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih. Kondisi
itulah yang secara teknis membuat pemilih tidak datang ke TPS untuk menggunakan hak
pilihnya. Faktor pekerjaan merupakan pekerjaan sehari-hari pemilih. Berdasarkan data BPS
tahun 2010 bahwa sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor informal, dimana
16
penghasilannya terkait dengan intensitasnya bekerja. Banyak pemilih yang tidak memilih
karena tidak mau meninggalkan pekerjaannya.
Faktor eksternal meliputi faktor administrasi, faktor sosialisasi dan faktor politik. Faktor
adminisistratif adalah faktor yang berkaitan dengan aspek adminstrasi yang mengakibatkan
pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak terdata sebagai pemilih,
tidak mendapatkan kartu pemilihan tidak memiliki identitas kependudukan (KTP). Hal-hal
administratif seperti inilah yang membuat pemilih tidak bisa ikut dalam pemilihan. Faktor
sosialisasi adalah faktor tidak memilihnya pemilih karena kurangnya informasi yang
diperoleh terkait jadwal dan tempat pemilihan serta kurangnya kesadaran politik. Faktor
politik adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik masyarakat tidak
mau memilih. Seperti ketidak percaya dengan partai, tak punya pilihan dari kandidat yang
tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan.
Kondisi inilah yang mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya.
17
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode yang dipakai dalam riset ini adalah metode campuran. Dengan metode kuantitatif
berusaha mencari generalisasi atas masalah yang diteliti. Kerangka teori pada metode
kuantitatif dimaksudkan untuk diuji kebenarannya sehingga hasil akhir dari penelitian adalah
diterima atau ditolaknya sebuah teori/kerangka pemikiran dan dibangunnya kerangka
pemikiran baru atas sebuah permasalahan. Sedangkan secara kualitatif penelitian
dimaksudkan untuk mencari pemaknaan atau kedalaman atas sebuah permasalahan. Di mana
kerangka teori berfungsi sebagai pisau analisis untuk membantu peneliti merangkai dan
memberi makna atas berbagai fakta yang ditemukan dalam penelitian. Secara praktis respon
secara kuantitatif dikonfirmasi melalui penjelasan kualitatif serta dilakukan pendalaman
terhadap temuan-temuan penelitian.
B. Jenis Data
Sumber data penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer berupa data
yang diperoleh melalui survei dan wawancara. Data sekunder dalam peneltian ini berupa
dokumen hasil pemilihan umum di Kabupaten Lampung Timur dan beberapa artikel dan
berita di media. Sumber data pada metode kuantitatif bersifat random, sedangkan pada
kualitatif bersifat purposive.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus desa-kota dengan partisipasi tinggi dan partisipasi
rendah untuk melihat bagaimana perilaku pemilih saat pemilu 2014 yang lalu. Pemilihan
kedua desa/kelurahan tersebut dilakukan secara purposive dengan mempertimbangkan
karakteristik ke dua desa tersebut mewakili wilayah dengan partisipasi tinggi dan partisipasi
rendah. Namun demikian, temuan di kedua desa tersebut tidak untuk digeneralisasi, namun
temuan yang ada dapat menjadi cerminan di desa-desa lainnya. Kedua desa yang menjadi
lokasi penelitian, yaitu (1) Desa Gunung Mulyo Kecamatan Sekampung Udik, sebagai
representasi Desa dengan Partisipasi Tinggi, (2) sedangkan untuk representasi desa dengan
partisipasi rendah, yaitu Desa Rajabasa Batanghari Kecamatan Sukadana.
17
18
D. Sumber Data dan Informasi
Sumber data penelitian ini berasal dari angket responden di kedua desa dan hasil elite
interview dengan KPUD, Panwas, dan Partai Politik atau Caleg. Dalam menentukan jumlah
sampel yang harus diambil dari populasi dalam suatu kegiatan penelitian sangat tergantung
dari keadaan populasi itu sendiri, semakin homogen keadaan populasinya maka jumlah
sampel semakin sedikit, begitu juga sebaliknya. Adapun penentuan jumlah sampel yang
dikembangkan oleh Roscoe dalam Sugiyono (2010: 131) adalah: (1) Ukuran sampel yang
layak dalam penelitian adalah antara 30 sampai dengan 500, (2) Bila sampel dibagi dalam
kategori (misalnya : pria-wanita, pegawai negeri-swasta dan lain-lain) maka jumlah anggota
sampel setiap kategori minimal 30.
Merujuk pada ketentuan tersebut, jumlah responden di Desa Gunung Mulyo Kecamatan
Sekampung Udik dan Desa Rajabasa Batanghari Kecamatan Sukadana masing-masing
sebanyak 100 orang. Responden terpilih tersebut diperoleh dengan melakukan random
sampling berdasarka Daftar Pemilih Tetap (DPT) di desa tersebut. Sedangkan untuk data
informan dipilih secara purposivesampling atau sampel bertujuan, yaitu unsur KPUD,
Panwas, dan Parpol/Caleg.
E. Pengumpulan dan Pengolahan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan survei dan mewawancarai responden serta
dilanjutkan dengan in depth interview terhadap informan. Setelah data terkumpul selanjunya
dilakukan klasifikasi atau dikumpulkan untuk membangun argumen, serta dilakukan
pemilahan data sesuai relevansinya.
F. Analisis/Interpretasi Data
Dengan menggunakan metode campuran, analisis data secara kuantitatif dilakukan dengan
menggunakan statistik sederhana. Selanjutnya dialakukan analisis kualitatif dengan
menginterpretasikan sesuai dengan pola, model, atau pun teori yang digunakan.
19
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Responden dan Informan
1. Profil Responden dan Informan
Bagian ini merupakan deskripsi gambaran profil responden berdasarkan usia, latar belakang
pendidikan, pekerjaan serta penghasilan. Sedangkan dalam beberapa variabel kontrol lainnya
seperti: Jenis Kelamin, Suku, dan Agama jumlahnya cenderung homogen. Berikut adalah
uraian profil responden berbasis desa dengan partisipasi tinggi dan rendah berdasarkan
kelompok usia.
Tabel 4.1
Profil Responden Berdasarkan Usia
Kelompok Usia Tinggi Rendah Persen
17-25 13,0 15,0 14,0
26-35 23,0 31,0 27,0
36-45 22,0 26,0 24,0
46-55 23,0 15,0 19,0
>55 19,0 13,0 16,0
Total 100,0 100,0 100,0
Berdasarkan tampilan dari tabel 4.1, dapat dilihat bahwa masyarakat berdasarkankelompok
usia responden cukup merata. Namun, kelompok usia yang di kategorikan dewasa cukup
dominan persentasenya di bandingkan dengan variabel kelompok usia remaja dan tua.
Dimana sebanyak 23,0 % responden yang berasal dari kelompok usia antara 26-35 tahun
dan kelompok usia 46-55 tahun merupakan kelompok yang masuk dalam kategori
kelompok usia terbanyak. Sedangkanpada desa dengan partisipasi rendah di dominasi oleh
masyarakat dengan kelompok usia 26-35 tahun dengan persentase sebesar 31,0%.
19
20
Tabel 4.2
Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan Tinggi Rendah Total
S1 2,0 2,0 2,0
Diploma 3,0 0,0 1,5
SMA 16,0 3,0 9,5
SMP 28,0 38,0 33,0
SD 51,0 57,0 54,0
Total 100,0 100,0 100,0
Data pada tabel 4.2 menampilkan kesenjangan latar belakang pendidikan yang cukup
mencolok pada masyarakat. Dimana masyarakat dengan angka partisipasi tinggi
berlatarbelakang pendidikan Sekolah Dasar (SD) adalah sebanyak 51,0 % dan 57,0 % pada
desa dengan partisipasi rendah. Sedangkan untuk lulusan SMA adalah 16,0 % (desa
partisipasi tinggi) berbanding 3,0 % untuk desa dengan partisipasi rendah dan disusul di
urutan terendah berlatarbelakang pendidikan S1 yang sama banyaknya (2,0%).
Tabel 4.3
Responden Berdasarkan Tingkat Penghasilan
Penghasilan Keluarga Tinggi Rendah Total
<= 1000000 84,0 63,0 73,5
1.000.001-2.000.000 5,0 33,0 19,0
2.000.000-5.000.000 11,0 4,0 7,5
Total 100,0 100,0 100,0
Berdasarkan tabel 4.3, dapat di gambarkan bahwa secara mayoritas penghasilan keluarga
rata-rata di bawah Rp.1.000.000,-00 yang di wakilkan dengan persentase responden
sebanyak 84,0 % untuk angka desa dengan partisipasi tinggi dan sebanyak 63,0% pada
desa dengan partisipasi rendah. Kemudian mengurut pada kelompok masyarakat yang
berpenghasilan sekitar Rp. 2.000.000,-00 ke atas justru tergolong hanya segelintir
masyarakat.
21
Tabel 4.4
Responden Berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan Tinggi Rendah Total
PNS 1,0 2,0 1,5
Wiraswasta 9,0 11,0 10
Wirausaha 1,0 1,0 1
Buruh Tani 65,0 76,0 70,5
IRT 5,0 4,0 4,5
Belum/ tidak bekerja 19,0 6,0 12,5
Total 100,0 100,0 100,0
Melihat data pada tabel tabel 4.4, dapat diketahui bahwa mayoritas masyarakat desa dengan
angka partisipasi tinggi bekerja sebagai Buruh Tani, yaitu sebanyak 65,0 % dan pada desa
dengan partisipasi rendah mencapai sebanyak 76,0 %. Sedangkan untuk responden yang
bekerja sebagai wirausaha sebanyak 1,0 % pada desa dengan partisipasi tinggi maupun
rendah.
Melihat data profil responden menunjukkan tidak ada perbedaan yang sangat curam
diantara responden pada desa dengan partisipasi tinggi dengan responden pada desa dengan
partisipasi terrendah. Hanya pada aspek tingkat penghasilan dan jenis pekerjaan saja yang
menunjukkan desa dengan partisipasi rendah lebih meninojol dibandingkan dengan desa
partisipasi rendah. Selain data penelitian yang bersumber dari responden pada dua desa,
dengan jumlah masing-masing 100 orang, atau total 200 orang diperoleh juga data
wawancara dari Informan. Sebanyak tiga orang informan yang diwawancarai, yaitu: (1)
Samsul Arifin (Ketua KPUD 2014), (2) Abdurrohman Sholeh (anggota Panwaskab Lampung
Timur), (3) ArifahTrisianti, SE (Ketua Bapilu DPD II Partai Golkar Lampung Timur).
Data dan informasi dari kedua kelompok sumber data tersebut selanjutnya menjadi hasil
penelitian dalam analisis dan pembahasan untuk menjawab pertanyaan penelitian mengenai
bagaimana perilaku pemilih dalam pemilihan umum di Kabupaten Lampung Timur. Secara
khusus memotret karakter dan perilaku pemilih pada desa dengan partisipasi tertinggi dan
desa dengan partisipasi terendah. Elaborasi kedua kelompok data dan konsepsi serta teori
menjadikan hasil penelitian dapat memberikan gambaran pola perilaku pemilih.
22
B. Partisipasi Pada Pemilu Legislatif dan Presiden dan Wakil Presiden
Bagian ini akan mengulas mengenai partisipasi responden terhadap Pemilihan Umum pada
2014 lalu. Baik dalam Pemilu Legislatif, maupun dalam Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden. Riset ini menunjukan adanya perubahan dalam partisipasi masyarakat, khususnya
untuk bagian desa yang masuk dalam kategori partisipasi rendah terkait ruang lingkup dan
momentum politik. Berbagai alasan pemilih menjadi sebuah temuan yang menggambarkan
perbandingan pemilih untuk menggambarkan alasan pemilih untuk turut serta dalam momen
Pemilihan Umum.
Tabel 4.5
Keikut Sertaan Dalam Pemilu Legislatif 2014
Kesertaan pada pemilu 2014 Tinggi Rendah Total
Tidak 4,0 17,0 10,5
Ya 95,0 52,5 73,8
TT/TJ 1,0 30,5 15,8
Total 100,0 100,0 100,0
Berdasarkan tabel di atas, bahwa keikutsertaan masyarakat pada desa dengan partisipasi
tinggi dalam Pemilu Legislatif 2014 ( DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota)
mencapai sebanyak 95,0%. Sedangkan pada desa dengan partisipasi rendah, tingkat
keterlibatan masyarakat mencapai 52,5 % dalam Pemilu Legislatif 2014 lalu.
Tabel 4.6
Alasan Tidak Ikut Pemilu
Alasan Tidak ikut pemilu Tinggi Rendah Total
Tidak tahu memilih caleg 0,0 17,0 8,5
Lainnya 66,7 0,0 33,4
TT/TJ 33,3 83,0 58,2
Total 100,0 100,0 100,0
Dari sejumlah responden yang tidak ikut pemilu pada tabel 4.6 mengemukakan alasan tidak
ikut pemilu dikarenakan tidak tahu memilih caleg sebanyak 17,0% pada desa dengan
partisipasi rendah. Pada desa dengan partisipasi tinggi yang memilih alasan lainnya sebanyak
66,7%. Sedangkan sebanyak 83,0% masyarakat desa dengan tingkat partisipasi rendah
tidak mengungkapkan alasannya untuk tidak mengikuti Pemilu.
23
Tabel 4.7
Alasan Ikut Pemilu
Alasan ikut pemilu Tinggi Rendah Total
Kewajiban warga negara 74,0 27,7 50,9
hak warga negara 8,3 24,4 16,4
ingin punya wakil rakyat yang lebih baik 16,7 15,2 16,0
Ingin ada perubahan di Pemerintahan 0,0 1,1 0,6
Lainnya 0,0 1,1 0,6
TT/TJ 1,0 30,5 15,8
Total 100,0 100,0 100,0
Pada tabel 4.7 menunjukkan bahwa sebanyak 74,0% masyarakat desa dengan angka
partisipasi tinggi mengungkapkan alasan ikut serta dalam Pemilu adalah di karenakan
Kewajiban bagi seorang warga negara. Sedangkan 30,5% pemilih dari desa dengan angka
partisipasi rendah tidak mengungkapkan alasan partisipasi dalam Pemilu. Selain itu,
pemilih pada desa dengan partisipasi rendah memiliki kesadaran bahwa sesungguhnya ikut
pemilu merupakan hak warga negara sebesar 24,4% dan 15% diantaranya ingin punya
wakil rakyat yang lebih baik.
Tabel 4.8
Keikutsertaan dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Kesertaan pada Pilpres 2014 Tinggi Rendah Total
Tidak 3,0 12,1 7,6
Ya 90,5 50,8 75,7
TT/TJ 6,5 37,1 16,8
Total 100,0 100,0 100,0
Data pada tabel 4.8 menunjukan angka tertinggi dalam keikutsertaan Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden (90,5%) dari desa dengan tingkat partisipasi tinggi. Sedangkan pada desa
dengan partisipasi rendah mencapai 50,8% walaupun 37,1% dari tingkat partisipasi rendah
tidak mengungkapkan keikutsertaan dalam Pilpres 2014.
24
Tabel 4.9
Penilaian Terhadap Kualitas Pelaksanaan Pilpres
Kualitas pelaksanaan pilpres 2014 Tinggi Rendah Total
lebih baik 62,2 22,0 41,9
biasa saja 24,5 53,0 38,9
lebih buruk 3,1 1,0 2,0
TT/TJ 10,2 24,0 17,2
Total 100,0 100,0 100,0
Secara umum masyarakat pada desa dengan partisipasi tinggi sebanyak 62,2% pada tabel 4.9
berasumsi bahwa kualitas pelaksanaan Pilpres berlangsung lebih baik dibandingkan dengan
pemilihan umum sebelumnya. Sedangkan 53,0% masyarakat pada desa dengan partisipasi
rendah menilai kalau pelaksanaan Pilpres berjalan biasa saja.
Tabel 4.10
Penyebab Penurunan Partisipasi Pemilih Saat Pilpres
Penyebab penurunan partisipasi pemilih Tinggi Rendah Total
Terbatasnya calon alternatif 5,0 34,0 19,5
Banyaknya isu negatif 1,0 14,0 7,5
kurangnya sosialisasi 9,0 11,0 10,0
kejenuhan masyarakat 28,0 7,0 17,5
ketidakpercayaan masyarakat 26,0 3,0 14,5
Lainnya 8,0 1,0 4,5
TT/TJ 23,0 30,0 26,5
Total 100,0 100,0 100,0
Tabel 4.10, menunjukan bahwa 34,0% masyarakat pemilih dari desa dengan partisipasi
rendah menganggap faktor terbatasnya calon alternatif, 14,0% banyaknya isu negatif dan
11,0% menilai kurangnya sosialisasi sebgaai penyebab menurunnya partisipasi pemilih dalam
Pilpres. Sedangkan sebanyak 28,0% pemilih dari desa dengan tingkat partisipasi tinggi
menyebut kejenuhan masyarakat dan 26% karena ketidak percayaan masyarakat menjadi
penyebab penurunan partisipasi dalam Pilpres.
Berdasarkan hasil penelitian terkait partisipasi pemilih dalam pemilihan umum legislatif dan
pemeilihan presiden dan wakil presiden tahun 2014 menunjukkan adanya partisipasi dominan
25
sebesar 95% dan partisipasi minimum sebesar 52,5%. Selanjutnya terdapat beberapa
temuan lainnya, yaitu: (1) Masyarakat yang tidak memilih beralasan tidak tahu memilih
caleg, hal ini menunjukan masih banyak pemilih yang tidak mengenal caleg yang akan dipilih
(2) Masyarakat yang ikut memilih sebagian besar beralasan bahwa ikut pemilu sebagian
kewajiban dan hak warga negara, sebagian kecil berlasan ingin punya wakil yang lebih baik
(3) Selaras dengan hasil pemilu, pada pilpres 2014 pada desa dengan partispasi tinggi
maupun rendah, terjadi peneurunan partisipasi (4) Bagi pemilih di desa partisipasi tinggi
kualitas pilpres lebih baik dibanding pilpres sebelumnya, sedangkan pemilih di desa denga
partisipasi rendah sebaliknya menilai pelaksanaan pilpres biasa saja dan (5) Secara umum
menurunnya partisipasi pemilih pada saat pileg dan pilpres disebabkan terbatasnya calon
yang bersaing, kejenuhan pemilih dan ketidak percayaan masyarakat pada calon.
Tinggi rendahnya partisipasi pemilih kerap menjadi ukuran kesusksesa pemilihan umum,
namun demikian terdapat banyak aspek yang mempengaruhi sukses pemilu, diantaranya: (1)
kualitas calon yang berkompetisi (2) perangkat hukum yang cukup (3) kinerja penyelenggra
pemilu dan (4) pemilih yang cerdas. Merujuk pada empat ukuran tersebut, menunjukkan
terdapat sejumlah keterbatasan yang menjadi penyebab adanya tingkat partisipasi pemilih
yang rendah dan tidak terukurnya rasionalitas pilihan masyarakat. Meski demikian,
mengingat dinamisnya perilaku masyarakat memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan
perilaku dan sikap secara cepat.
Pengenalan pemilih terhadap calon merupakan kendala terbesar dalam pemilu, khususnya
pemilihan anggota legislatif. Salah satu faktor terbesar rendahnya partisipasi pemilih lebih
disebabkan karena tidak tahu memilih calon. Kondisi ini menjelaskan bahwa banyak calon
yang tidak dikenal atau terbatasnya kualitas calon-calon yang akan dipilih. Hal ini disebabkan
masih terbatasnya sosialisasi yang dilakukan KPUD maupun sosialisasi yang dilakukan
oleh calon-calon dan partai politik. Hal ini sesuai hasil wawancara dengan informan, berikut:
“Sosialisasi pemilu dilakukan dengan pembentukan relawan demokrasi yang membantu
melakukan sosialisasi tentang pemilu, termasuk teknis memilih saat pemilihan umum, selain
itu sosialisasi tentang DCS dan DCT, namun terkait informasi tentang identitas dan profil
calon-calon kurang ditekankan. Sosialisasi ke masyarakat masih terbatas, sebagai
penyelenggara KPUD lebih fokus melakukan sosialisasi kepada partai politik dalam
bentuk koordinasi proses pencalonan. Disisi lain partai politik menilai sudah melakukan
26
pembekalan terhadap para calon dan selanjutnya para calon yang melakukan sosialisasi ke
masyarakat (Hasil Wawancara: SamsulArifin dan ArifahTrisianti, SE).
Selaras antara hasil survei dan wawancara menjelakan bahwa rendahnya partsisipasi pemilih
pada Rajabasa Batanghari Kecamatan Sukadana lebih disebabkan terbatasnya pengenalan
pemilih terhadap calon sebagai akibat minimnya sosialisasi terhadap identitas dan track
recordcalon termasuk yang dilakukan oleh partai politik dan para caleg. Selama ini
kampanye pemilu lebih diidentikkan dengan pemasangan banner dan spanduk yang berisi
gambar saja, sedangkan visi misi atau janji politik yang berifat pembaharuan atau inovasi
jarang dimunculkan. Keterbatas ini juga merupakan sisi lemah dari sistem proporsional murni
yang dikemukakan Saragih (1997) bahwa dalam sistem proporsional caleg yang berkompetisi
dalam jumlah besar, selain itu hubungan dengan pemilih cenderung melalui partai politik
serta calon kurang bahkan tidak dikenal oleh pemilih.
C. Aspek Pendukung Dalam Memilih
Pertimbangan masyarakat desa untuk terlibat aktif dalam Pemilu sebagian besar dikarenakan
kesadaran akan Hak dan Kewajiban sebagai warga negara. Atapun kesadaran moral untuk
ber-empati agar seminimal mungkin bisa memiliki wakil rakyat yang lebih baik dari
sebelumnya. Pilihan untuk ikut serta dalam Pemilu akan menghasilkan sebuah pertimbangan
baru yang sederhana. Yaitu pertimbangan untuk memilih wakil rakyat baru dengan anggapan
paling sederhana adalah lebih baik dari sebelumnya. Bagian ini akan mengurai berbagai
variabel yang menjadi sumber pendukung bagi para pemilih, baik pada desa dengan
partisipasi tinggi maupun tingkat partisipasi rendah. Bagian ini meliputi (1) Sumber informasi
pemilu (2) Waktu memutuskan pilihan (3) pengaruh orang lain dalam memilih, dan (4)
tingkat pengenalan terhadap para caleg.
27
Tabel 4.11
Sumber Informasi Pemilu
Sumber Informasi Pemilu Tinggi Rendah Total
Sosialisasi oleh Parpol 6,0 11,2 8,6
sosialisasi oleh ormas/PT 2,0 1,0 1,5
sosialisasi oleh KPU & Bawaslu 18,0 31,6 24,7
sosialisasi oleh Pemda 3,0 0,0 1,5
Tokoh Ormas 60,0 20,4 40,4
Keluarga/ Kerabat 6,0 18,4 12,1
Cari sendiri 5,0 4,1 4,5
TT/TJ 0,0 13,3 6,6
Total 100,0 100,0 100,0
Tabel 4.11 menunjukan tokoh Ormas menjadi pilihan terbanyak (60,0%) dalam sumber
informasi Pemilu pilihan masyarakat desa dengan angka partisipasi tinggi. Sedangkan
sebanyak 31,6% masyarakat pada desa dengan tingkat partisipasi rendah memilih sosialisasi
dari KPU dan Bawaslu sebagai pertimbangan pemilih terkait sumber informasi Pemilu. Data
tersebut menunjukkan kinerja KPU dalam memfasilitasi pemilih untuk mendapatkan
informasi tentang pemilu secara luas belum tercapai, mengingat sebagian besar informasi
pemilu diperoleh dari tokoh masyarakat, keluarga dan kerabat serta sosialisai parpol mekipun
jumlahnya 8,6%.
Tabel 4.12
Waktu Memutuskan Pilihan
Waktu Memutuskan Pilihan Tinggi Rendah Total
> 3 bulan 38,4 4,0 21,1
1 bulan 29,3 70,0 49,7
1 Minggu 12,1 20,0 16,1
1 hari 12,1 0,0 6,0
TT/TJ 8,1 6,0 7,0
Total 100,0 100,0 100,0
Tabel 4.12 menunjukkan 70,0% dari desa dengan partisipasi rendah menganggap 1 bulan
adalah waktu ideal untuk memutuskan Pilihan. Sedangkan pada desa dengan angka
partisipasi tinggi, 38,4% beranggapan bahwa kurang dari 3 bulan adalah waktu untuk
28
memutuskan pilihan pada Pemilu. Data tersebut memperlihatkan bahwa, pemilih pada desa
dengan partisipasi tinggi sudah memiliki pilihan sejak jauh-jauh hari. Sedangkan desa dengan
partisipasi rendah, lebih berhati-hati dalam menentukan pilihannya, sehingga memutuskan
pilihannya dekat dengan hari pencoblosan.
Tabel 4.13
Pengaruh orang lain dalam pilihan Pemilu dan Pilpresn 2014
Pengaruh orang lain dalam pilihan pemilu dan
pilpres 2014Tinggi Rendah Total
Menentukan Sendiri 92,9 81,6 87,3
dipengaruhi Orang Lain 4,0 5,1 4,1
TT/TJ 3,0 13,3 8,1
Total 100,0 100,0 100,0
Tabel di atas merupakan gambaran persentase pengaruh orang lain dalam pilihan di Pemilu
dan Pilpres 2014. Sebanyak 81,6% pemilih dari desa dengan partisipasi rendah berargumen
bahwa pilihan yang menentukan adalah diri sendiri. Sedangkan pada desa dengan tingkat
partisipasi tinggi yang beranggapan demikian sebanyak 92,9%. Data ini menunjukkan bahwa
masyarakat relatif mandiri dalam menentukan pilihannya, hal ini dimaklumi mengingat
pilihan publik di desa relatif berhubungan dengan praktek kekerabatan. Sehingga pilihan-
pilihannya tidak terlalu rumit dengan pertimbangan yang kompleks.
Tabel 4.14
Tingkat Pengenalan Terhadap Caleg dan Programnya
Tingkat Pengenalan Terhadap Caleg Tinggi Rendah Total
hampir semua caleg 2,0 1,1 1,5
sebagian caleg 16,0 7,4 11,9
sedikit caleg 5,0 35,1 19,6
hanya beberapa saja 30,0 33,0 31,4
TT/TJ 47,0 23,4 35,6
Total 100,0 100,0 100,0
Mengacu pada tabel 4.14, dominan masyarakat desa dengan partisipasi tinggi (sebanyak
47,0%) tidak mengungkapkan tingkat pengenalan atau pengetahuan terhadap caleg dan
programnya. Sedangkan 35,1% pada desa dengan partisipasi rendah mengungkapkan
29
pengenala terhadap sedikit caleg dan programnya. Pada desa dengan partisipasi rendah
kemampuan mengenal calon lebih baik dibandingkan pada desa dengan partisipasi rendah.
Sebanyak 65,1% responden pada desa dengan partisipasi rendan mengenal sedikit caleg
dan beberapa diantaranya. Meski demikian, mayoritas pemilih memeliki keterbatasan dalam
mengenali semua calon.
Berdasarkan uraian hasil penelitian terkait aspek pendukung dalam menentukan pilihan,
terdapat sejumlah temuan, yaitu: (1) KPUD sebagai penyelenggara pemilu terbatas dalam
melakukan sosialisasi pemilu pada masyarakat, masyarakat lebih banyak mendapat
informasi pemilu dari tokoh masyarakat dan keluarga/kerabat (2) pemilih pada desa
dengan partisipasi tinggi sejak jauh hari sudah menetukan pilihan politiknya, sedangkan
pemilih pada desa dengan partisipasi rendah membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk
menentukan pilihannya (3) secara umum pemilih tidak terlalu dipengaruhi orang lain dalam
menentukan pilihannya dan (4) secara umum caleg yang berkompetisi tidak terlalu dikenali
pemilih, pada desa dengan partisipasi rendah pengenalan terhadap caleg lebih memadai
dibandingkan pemilih pada desa dengan partisipasi tinggi.
Dilihat dari aspek pendukung dalam memilih, menegaskan bahwa hasil wawancara dengan
KPUD dan Parpol pada bagian sebelumnya menunjukkan bahwa informasi pemilihan umum
lebih banyak diakses pemilih dari tokoh masyarakat dan kerabat dibandingakan informasi
bersumber dari KUPUD, Panwas maupun partai politik. Terkait dengan waktu, kemandirian
menunjukkan pemilih relatif memiliki kemampuan menentukan pilihan, namun demikian
tingkat pengenalan terhadap calon masih rendah. Kondisi ini tentunya lebih menjadi
tanggung jawab partai politik yang memiliki sejumlah tujuan sesuai ketentuan UU No. 15
Tahun 2011 Tentang Partai Politik, yang menyebutkan bahwa partai politik memiliki
tujuan tertentu, khususnya: (a) Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar
menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dan (b) menguatnya partisipasi politik warga
negara Indonesia.
30
D. Perilaku dan Rasionalitas Pemilih
Secara konseptual perilaku pemilih dapat dipetakan dalam 4 kategori, yaitu: (1) pendekatan
sosiologis (2) Pendekatan psikologis (3) Pendekatan rasional dan (4) Pendekatan marketing.
Pada bagian ini, perilaku pemilih dipetakan berdasarkan sejumlah aspek-aspek yang menjadi
alasan dan pertimbangan bagi pemilih dalam menentukan pilihan pada saat pemilu 2014 yang
lalu.
Tabel 4.15
Pertimbangan Utama Dalam Memilih Calon
Pertimbangan Memilih Tinggi Rendah Total
Kesamaan latar belakang 14,1 8,0 11,1
Kualitas personal kandidat 72,7 60,0 66,3
Pertimbangan keuntungan personal 3,0 13,0 8,0
Lainnya (performance partai/Citra
Politik) 2,0 1,0 1,5
TT/TJ 8,1 18,0 13,1
Total 100,0 100,0 100,0
Mengacu pada tabel 4.15, tergambar bahwa kualitas personal kandidat menjadi faktor
utama sebagai pertimbangan dalam memilih calon bagi masyarakat desa dengan angka
partisipasi rendah (60,0%). Sedangkan pada desa dengan partisipasi tinggi mengungkapkan
kesamaan latar belakang sebagai pertimbangan utama dalam memilih calon (14,1%).
Tabel 4.16
Alasan Utama Dalam Memilih Calon
Alasan Memilih Calon Tinggi Rendah Total
Mengutamakan kemampuan partai 10,1 21,0 15,6
Menilai keseuaian ideologi 19,2 41,0 30,2
Mengutamakan kedekatan nilai-nilai 57,6 15,0 36,2
Tidak menimbang posisi ideologi 0,0 5,0 2,5
TT/TJ 13,1 18,0 15,6
Total 100,0 100,0 100,0
Tabel 4.16 menunjukkan berbagai alasan utama dalam memilih calon. Sebanyak 57,6% dari
desa dengan partisipasi tinggi mengutamakan alasan kedekatan nilai-nilai. Sedangkan 41,0%
31
dari desa dengan partisipasi rendah menjadikan kesesuaian ideologi sebagai alasan utama
dalam memilih calon.
Selain alasan dan pertimbangan utama dalam menentukan pilihan, hal lain yang turut
mempengaruhi perilaku pemiliha adalah toleransi terhadap praktek politik uang.
Sebagaimana azas pemilihan umum yang sering dikampanyekan yaitu langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil kerap terdistorsi dengan maraknya praktek politik uang.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan adanya inkonsistensi pemilih dalam menilai
praktek politik uang.
Tabel 4.17
Toleransi Politik Uang
Toleransi Politik Uang Tinggi Rendah Total
Tidak bisa diterima 79,8 40,0 59,8
bisa diterima 10,1 16,0 13,1
TT/TJ 10,1 44,0 27,1
Total 100,0 100,0 100,0
Tabel 4.17 menunjukkan 79,8% masyarakat pemilih dari desa dengan partisipasi tinggi
menyatakan tidak bisa mentolerir politik uang. Sedangkan mayoritas dari desa dengan
partisipasi rendah (44,0%) tidak mengungkapkan pendapatnya terhadap toleransi politik
uang, walaupun 40,0% dari masyarakat desa dengan partisipasi rendah menyatakan pendapat
yang sama dengan jawaban mayoritas dari masyarakat desa dengan partisipasi tinggi. Data
pada tabel 4.17 menunjukkan mayoritas pemilih tidak menerima adanya praktek politik
uang dalam pemilihan umum, khususnya di desa dengan partisipasi rendah, sedangkan
pemilih pada desa dengan partisipasi rendah cenderung tidak tegas terhadap praktek politik
uang.
32
Tabel 4.18
Sikap Terhadap Politik Uang
Sikap Terhadap Politik Uang Tinggi Rendah Total
menerima dan memilih calon sesuai keinginan 57,6 15,3 36,5
menerima dan memilih calon 4,0 1,0 2,5
Menolak 27,3 19,4 23,4
TT/TJ 11,1 62,2 36,5
88 0,0 2,0 1,0
Total 100,0 100,0 100,0
Tabel diatas menunjukkan sikap pemilih terhadap politik uang. Pada desa dengan partisipasi
tinggi (sebanyak 57,6%), mengungkapkan akan tetap menerima uang dan memilih calon
sesuai dengan keinginan pribadi. Sedangkan 62,2% dari desa dengan partisipasi rendah
tidak mengungkapkan sikapnya. Kaitan antara tabel 4.17 dengan tabel 4.18, menunjukkan
bahwa adanya inkonsistensi pemilih dalam menilai praktek politik uang.
Tabel 4.19
Bentuk pemberian yang disukai
Bentuk Pemberian Yang Disukai Tinggi Rendah Total
Uang tunai 62,6 8,0 35,2
Kaos 13,1 2,0 7,5
Bantuan sosial 3,0 9,0 6,0
Jilbab 1,0 11,0 6,0
Kalender 5,1 2,0 3,5
Tas kerja 1,0 2,0 1,5
Lainnya 3,0 0,0 1,5
TT/TJ 11,1 66,0 38,7
Total 100,0 100,0 100,0
Berdasarkan data pada tabel 4.19, dapat di gambarkan bahwa sebanyak 62,6% masyarakat
dari desa dengan partisipasi tinggi terang-terangan lebih memilih uang tunai sebagai bentuk
pemberian yang disukai. Sedangkan sebanyak 66,0% masyarakat pada desa dengan
partisipasi rendah tidak mengungkapkan bentuk pemberian seperti apa yang disukai. Namun,
masyarakat pada desa dengan partisipasi rendah cenderung lebih memilih jilbab (11,0%)
sebagai pemberian yang disukai dibandingkan uang tunai. Data pada tabel 4.19
33
mengisyaratkan bahwa pemilih menilai politik uang tidak benar, namun apabila diberi uang
atau sembako masyarakat relatif bisa menerimanya, khusunya pada desa dengan partisipasi
tinggi. Sedangkan pada desa dengan partisipasi rendah cenderung tidak tegas terhadap
pemeberian calon kepada pemilih selama masa sosilaisasi dan kampanye.
Selain perilaku pemilih dan toleransi politik uang hal yang juga terkait dengan perilaku
pemilih adalah fenomena non voting atau golongan putih (golput). Dalam penelitian ini,
fenomena golput lebih identik pada desa dengan partisipasi rendah. Pada desa yang
partisipasinya rendah menunujukkan adanya sikap yang menyebabkan tingginya angka
golput. Meski demikian, pada desa dengan partisipasi tinggi, juga memberikan penilaian
kekecewaan dan ketidak puasan terhadap pelaksanaan pemilihan umum, [simak tabel 4.20].
Tabel 4.20
Fenomena Golput dan Penyebab Terjadinya Golput
Penyebab golput Tinggi Rendah Total
Kekecewaan masyarakat terhadap elit parpol 49,5 26,0 37,7
Beberapa kali pemilu tidak ada perubahan 5,1 29,0 17,1
Ketidakpercayaan masyarakat pada parpol dan
calonnya 15,2 18,0 16,6
Kebosanan pemilu 4,0 4,0 4,0
Ketidakpercayaan masyarakat pada netralitas &
profesinalitas 3,0 1,0 2,0
Lainnya 12,1 2,0 7,0
TT/TJ 11,1 20,0 15,6
Total 100,0 100,0 100,0
Tabel 4.20, di atas menggambarkan anggapan 49,5% masyarakat desa dengan partisipasi
tinggi bahwa golput di sebabkan kekecewaan masyarakat terhadap elit parpol. Sedangkan
29,0% dari masyarakat desa dengan angka partisipasi rendah menganggap beberapa kali
pemilu yang tidak ada perubahan, 20% kecewa terhadap elit, dan 18% tidak percaya pada
calon yang bersaing menjadi penyebab utama rendahnya partispasi pemilih atau menjadi
golput.
34
Berdasarkan deskripsi data pada bagian perilaku pemilih dan rasionalitas pemilih, secara
spesifik terdapat sejumlah temuan, sebagai berikut: (1) pemilih pada desa dengan partisipasi
tinggi maupun rendah mengedepankan kualitas personal kandidat dalam menetukan
pilihannya (2) untuk alasan utama memilih, pemilih dengan partisipasi tinggi
mengedepankan kedekatan nilai-nilai, sedangkan desa dengan partisipasi rendah mimilih
alasan kesesuaian ideologi sebagai alasan memilih (3) sebagian besar pemilih di desa dengan
partisipasi tinggi tidak membenarkan praktek politik uang, sedangkan di desa dengan
partisipasi rendah cenderung ragu-ragu dalam menilai politik uang, bahkan sebagian
diantaranya cenderung toleran terhadap politik uang (4) adanya inkonsistensi pemilih dalam
menilai politik uang, pemilih cenderung membohongi kandidat, dimana sebagian besar
pemilih akan menerima politik uang meskipun penetuan pilihan dilakukan sendiri. Selain itu,
sebagian besar pemilih, sangat menyukai pemberian beruapa uang dan sembako dalam proses
kampanye calon. Kondisi ini identik dengan jargon yang sering muncul saat pemilu maupun
pilkada yaitu “ambil uangnya, jangan pilih orangnya” (5) Fenomena golput, merupakan
bangian tersendiri dalam pemilihan umum, khususnya di desa dengan partisipasi rendah
merasa kecewa terhadap elit, tidak yakin dengan calon dan pemilu tidak membawa perubahan
sebagai alasan tidak hadir dalam pemilu.
E. Pemetaan Perilaku Pemilih dan Pengelompokan Pemilih
Terkait kualitas caleg dalam pemilu sebagai pertimbangan dalam menentukan pilihan
merupakan salah satu aspek perilaku memilih. Hasil wawancara dengan salah satu Pengurus
Parpol dan KPUD serta Panwas menjelaskan bahwa:
“Partai politik sudah berusaha memaksimalkan seleksi caleg dari kalangan kader, salah satu
kesulitan parpol adalah memenuhi kuota caleg perempuan sering terkadang kurang selektif,
disisi lain parpol juga melakukan rekruitmen caleg non kader. KPUD sebagai penyelenggara
sudah memberikan himbauan agar partai politik melaksanakan fungsi parpol secara optimal,
namun demikian SDM di setiap parpol berbeda-beda kualitasnya, sehingga tidak semua
partai menjalankan fungsinya, terutama melakukan sosialisasi politik kepada masyarakat”
Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa pertimbangan pemilih terhadap kualitas
personal calon dapat dinilai sebagai bentuk pengharapan semata. Mengingat uraian hasil
pembahasan sebelumnya yang mengungkapkan sebagian besar calon tidak dikenal oleh
pemilih. Ketidaksiapan partai politik menjadi hambatan pembentukan perilaku pemilih.
35
Hal ini disebabkan tidak berfungsinya parpol secara baik seperti di kemukana Budiardjo
(2003:163-164) salah satu fungsi pokok partai politik adalah sebagai sebagai sarana
recruitment politik. Pada fungsi ini seyogyanya partai politik mencari dan mengajak orang
yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai politik (political
recruitment). Fenomena ketidak siapan parpol tercermin dari tidak selektifnya pemenuhan
kuota 30% caleg perempuan, partai politik merekrut caleg non kader serta SDM partai politik
yang masih terbatas dalam memahami fungsi dan perannya.
Terkait dengan perilaku pemilih berdasarkan elaborasi dari beberapa pendekatan Nursal
(2004:54-73) dengan menambahkan satu pendekatan lainnya, maka terdapat empat
pendekatan perilaku pemilih yaitu: (1) pendekatan sosiologis, (2) Pendekatan psikologis, (3)
pendekatan rasional, dan (4) pendekatan marketing.
Tabel 4.21
Pertimbangan Utama Dalam Memilih Calon dan Pendekatan Perilaku Pemilih
Pertimbangan MemilihPendekatan Perilaku
PemilihTinggi Rendah Total
Kesamaan latar belakang Pendekatan Sosiolagis 14,1 8,0 11,1
Kualitas personal kandidat Pendekatan Psikologis 72,7 60,0 66,3
Pertimbangan keuntungan personal Pendekatan Rasional 3,0 13,0 8,0
Lainnya (performance partai/Citra Politik) Pendekatan Marketing 2,0 1,0 1,5
TT/TJ - 8,1 18,0 13,1
Data pada tabel 4.21, menunjukkan bahwa pada desa dengan partisipasi tinggi dominan
perilaku pemilih pada pendekatan Psikologis (72,7%) dan sebagian kecil pada pendekatan
sosiologis. Sedangkan perilaku pemilih pada desa dengan partisipasi rendah sebesar (60,0%)
pada pendekatan Psikologis, sebagian variannya pada pendekatan rational choice.
Pada pengelompokan pemilih, baik pada desa dengan partisipasi tinggi dan partisipasi rendah
menunjukkan adanya pemilih yang mempertimbangkan kedekatan nilai-nilai, kesesuaian
ideologi dan mengutamakan kemampuan partai politik.
36
Dalam hasil wawancara dengan informan komisioner KPUD menunjukkan bahwa:
“Saat ini masyarakat semakin melek terhadap calon dan kriteria calon, ada pemilih yang
dikarenakan keterikatan emosional. Track Record calon juga menjadi pertimbangan pemilih.
Sebagai contoh terdapat caleg yang terpilih kembali yang membuktikan bahwa track record,
kinerja dan pengalaman menjadi pertimbangan memilih”
Polarisasi pemilih berdasalkan hasil survei dan wawancara menunjukkan bahwa pemilih pada
desa dengan partisipasi tinggi lebih menimbang kedekatan nilai-nilai tertentu, sedangkan
pemilih pada desa dengan partisipasi rendah lebih menimbang kedekatan ideologi dan
kemampuan partai politik. Hal ini sesuai dengan konsepsi yang dikemukakan Firmanzah
(2007) dalam pengelompokan pemilih mengelompokkan pemilih dalam empat kelompok
yaitu: (1) Pemilih rasional (2) Pemilih kritis (3) Pemilih tradisional dan (4) Pemilih skeptis.
Tabel 4.22
Alasan Utama Dalam Memilih Calon dan Pengelompokan Pemilih
Alasan Memilih Calon Pengelompokan Pemilih Tinggi Rendah
Mengutamakan kemampuan partai Pemilih Rasional 10,1 21,0
Menilai keseuaian ideologi Pemilih Kritis 19,2 41,0
Mengutamakan kedekatan nilai-nilai Pemilih Tradisional 57,6 15,0
Tidak menimbang posisi ideologi Pemilih Skeptis 0,0 5,0
TT/TJ - 13,1 18,0
Berdasarkan olah data pada tabel 4.22 berdasarkan alasan memilih calon disesuaikan dengan
pengelompokan kategori pemilih menunjukkan bahwa pemilih pada desa dengan partisipasi
tinggi lebih cenderung pada pemilih tradisional (57,6%) dan pemilih kritis sebesar (19,2%).
Sedangkan pada desa dengan partisipasi pemilih rendah pengelompokan pemilih lebih
cenderung pada pemilih kritis (41,1%) dan pemilih rasional sebesar (21,0%). Elaborasi hasil
survei, wawancara dan konsep pengelompokan pemilih dapat dikelompokkan pemilih di desa
dengan partisipasi tinggi sebagai pemilih tradisional – kritis, sedangkan pemilih di desa
dengan partisipasi rendah sebagai kelompok pemilih kritis – rasional.
Pemetaan perilaku pemilih dan pengelompokan pemilih menunjukkan adanya identifikasi
positif bahwa perilaku pemilih lebih dominan pada pendekatan psikologis dimana pemilih
menentukan pilihannya berdasarkan proses sosialisasi politik dalam dirinya untuk mengenali
37
gejala politik yang berkembang dengan harapan pilihan politiknya akan membawa perubahan
yang lebih baik. Selain itu, pada pengelompokan pemilih terdapat arsiran pada kelompok
pemilih kritis, yaitu pemilih yang mempertimbangkan kesesuaian ideologi dengan
kompetensi calon beserta gagasan-gagasan politiknya. Namun demikian perilaku pemilih
pada penelitian ini terbilang “semu”, hal ini dikarenakan berlangsungnya praktek-praktek anti
demokrasi dalam proses demokrasi pada saat pemilihan umum. Politik uang masih menjadi
bagian dalam dinamika pemilu 2014 yang lalu. Istilah serangan fajar sering terdengar
menjelang pemilu, pada bagian ini perilaku pemilih terdistorsi oleh praktek politik uang. pada
sisi etika, pemilih menjali liar votters dengan tetap menerima pemberian uang namun tidak
memilih calon yang memberikan uang. Kondisi demikian tentunya bententang dengan azas
pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Selain persoalan politik uang perilaku pemilih, juga berkaitan dengan fenomena non voting
atau golongan putih. Hasil penelitian pada desa dengan partispasi tinggi maupun rendah
menunjukkan bahwa terjadi penurunan partisipasi pemilih pada pemilihan presiden dan wakil
presiden dibandingak dengan hasil pemilihan legislatif. Berdasarkan hasil wawancara dengan
informan menunjukkan bahwa:
“Pemilu presiden dan wakil presiden, merupakan tahap akhir rangkaian pemilihan, terlebih
di Lampung pemilihan Gubernur dilakukan secara bersamaan dengan pemilu legislatif.
Kondisi ini menimbulkan kejenuhan pemilih dalam mengikuti pilpres. Selain itu, hubungan
interaksional antara calon legislatif khususnya daerah lebih dekat dibandingkan dengan
calon-calon presiden. Rendahnya tingkat kepercayaan terhadap calon-calon presiden juga
mempengaruhi turunya partisipasi pemilih pada pilpres”
Sesuai dengan hasil wawancara dan survei menunjukkan fenomen golput yang terjadi lebih
disebabkan faktor eksternal pemilih, seperti yang dikemukakan Ariyanto (2011:56). Bahwa
alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik masyarakat tidak mau memilih. Seperti
ketidak percaya dengan partai, tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa
pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Kondisi inilah yang mendorong
masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya.
Dengan demikian rasionalitas pemilih dalam pemilu 2014, khususnya di kedua desa lokasi
penelitian belum sesuai harapan. Untuk menjadi mendorong seseorang menjadi pemilih
rasional bukanlah perkara yang mudah. Menjadikan seseorang pemilih rasional dibutuhkan
38
informasi yang cukup, kemampuan analisis yang tajam, waktu yang panjang serta
independensi pemilih. Biaya yang besar dan kemauan kuat dari masyarakat merupakan
modal utama menjadi pemilih yang rasional. Meski demikian pemilu yang sudah berlangsung
bukanlah tidak berhasil, hanya saja kualitasnya rendah dan belum sesuai harapan.
39
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil dan pembahan tentang perilaku pemilih, yang meliputi
pertimbangan dan alasan dalam menentukan pilihan serta perbandingan antara desa dengan
partisipasi tinggi dan desa dengan partisipasi rendah terdapat sejumlah kesimpulan, berikut:
1. Kualitas personal calon, Rekam jejak calon serta janji politik calon menjadi pertimbangan
utama pemilih dalam menentukan pilihan politik, namun demikian partai politik
dinilai belum mampu mempersiapkan calon-calonnya secara selektif. Partai politik dinilai
belum optimal dalam melakukan sosialisasi pemilu. Selain itu, Penyelenggara pemilu
belum mampu memberikan informasi tentang identitas dan track record masing-masing
calon.
2. Pada desa dengan partisipasi tinggi perilaku pemilih lebih identik pada pendekatan
psikologis – sosiologis. Sedangkan perilaku pemilih pada desa dengan partisipasi rendah
sebesar identik dengan pendekatan psikologis – rasional. Rasionalitas pemilih dalam
menetukan pilihan masih jauh dari harapan, kecenderungan pemilih lebih identik dengan
kategori pemilih emosional.
3. Pengelompokan kategori pemilih menunjukkan bahwa pemilih pada desa dengan
partisipasi tinggi lebih adalah pemilih dalam kelompok pemilih tradisional – kritis,
Sedangkan pada desa dengan partisipasi pemilih rendah pengelompokan pemilih lebih
cenderung pada pemilih kritis – rasional. Pemilih di desa dengan partisipasi rendah dapat
dikatakan sedikit rasional dibandingkan pemilih pada desa dengan partisipasi tinggi.
4. Toleransi politik menyebabkan varian perilaku pemilih menjadi bertambah, yaitu perilaku
pemilih psikologis – “semu”. Praktek-praktek anti demokrasi dalam pemilu terjadi secara
bersamaan. Serangan fajar sering terdengar menjelang pemilu, pada bagian ini perilaku
pemilih terdistorsi oleh praktek politik uang. pada sisi etika, pemilih menjali liar votters
dengan tetap menerima pemberian uang namun tidak memilih calon yang memberikan
uang.
5. Masih tingginya angka non voting atau golongan putih. Pada desa dengan partispasi tinggi
maupun rendah menunjukkan bahwa terjadi penurunan partisipasi pemilih pada pemilihan
presiden dan wakil presiden disebabkan faktor eksternal pemilih, yaitu: ketidak percaya
39
40
dengan partai, tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa
pemilu akan membawa perubahan dan perbaikan.
B. Saran
Berdasarkan rumusan kesimpulan penelitian tentang perilaku pemilih, yang meliputi
pertimbangan dan alasan dalam menentukan pilihan serta perbandingan antara desa dengan
partisipasi tinggi dan desa dengan partisipasi rendah terdapat sejumlah saran, sebagai berikut:
1. Penguatan kapasitas partai politik dan kualitas caleg menjadi sesuatu yang mutlak, partai
politik sejak jau hari (tiga tahun) sebelum pemilihan umum sudah menyiapkan kadernya
untuk mengikuti pemilihan umum. Sehingga partai politik bisa menseleksi calonnya
yang benar-benar matang. Pemilih akan dihadapkan dengan persaingan kualitas antar
calon dan antar partai, bukan seperti sekarang dimana persaingan antar calon lebih
berdasarkan jumlah uang yang dihabiskan.
2. Selama ini, tingkat pengenalan pemilih terhadap calon sangat rendah dan hanya
mengenal nama dan informasi umum saja. Oleh karena itu, perlu adanya pengenalan
terhadap calon yang lebih seragam mengenai track record setiap calon yang diumumkan
di ruang-ruang publik yang difasilitasi oleh penyelenggara. Sehingga peluang masyarakat
untuk mendapatkan alternatif argumentasi memilih semakin luas dalam mempengaruhi
perilaku dan sikap politiknya.
3. Pendidikan dan pemberdayaan politik harus ditingkatkan sedini mungkin oleh
pemerintah daerah, penyelenggara pemilu, aktor-aktor demokrasi terlebih lagi partai
politik yang harus melakukan penguatan fungsinya yaitu: sosialisasi politik, pendidikan
politik, komunikasi politik, serta rekruitmen politik kompetitif.
4. Penguatan rasionalitas pemilih, dapat ditingkatkan dengan penyempurnaan proses
sosialisasi pemilih bahkan proses pemilihannya. Konsep e-campaign dan e-voting dapat
menjadi pertimbangan dalam modernisasi dan efisiensi penyelenggaraan pemilu. Selain
itu dapat meminimalisir potensi-potensi kecurangan dan persaingan tidak sehat antar
calon, bahkan membatasi peluang penyelenggara untuk menyalahgunakan
kewenangannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Rozali. 2009. Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas. RajawaliPers. Jakarta.
Agustino, Leo.2007. Perihal Ilmu Politik. Grahan Ilmu. Yogyakarta.
Asfar, Muhammad. 1998. Perilaku Non Voting Di Bawah Sistem PolitikHegemonik, Tesis Program Studi Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada(UGM), Yogjakarta
Ariyanto, Bismar. 2011. Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih DalamPemilu, Dalam Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik (edisi revisi). PT. GramediaPustaka Utama. Jakarta.
Eko, Sutoro. 2006. Meletakkan Desa Dalam Desentralisasi dan Demokrasi dalamAbdul Gaffar Karim: Kompleksitas Persoalan otonomi Daerah DiIndonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Fatah, R. Eep Saefulloh. 1994. Masalah dan Prospek Demokrasi di IndonesiaGhalia Indonesia. Jakarta.
Firmanzah. 2008. Marketing Politik : Antara Pemahaman dan Realitas. YayasanObor Indonesia. Jakarta.
Gaffar, Affan. 2004. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. PustakaPelajar. Yogyakarta.
Nursal, Adman. 2004. Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sanit, Arbi. 1992. Aneka Pandangan Fenomena Golput, Pustaka Sinar Harapan.Jakarta.
Rahman.A. 2007. Sistem Politik Indonesia. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Saragih, Bintan R. 1997.Fungsi Perwakilan, Pembuatan Keputusan, danPembentukan Legitimasi, Badan Pendidikan dan Pelatihan Depdagri,Jakarta.
Surbakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. PT. Gramedia WidiasaranaIndonesai. Jakarta.
Prihatmoko, Joko J. 2008. Mendemokratiskan Pemilu, Dari Sistem SampaiElemen Teknis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Roth. Dieter. 2008. Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori-Teori, Instrumen danMetode. Fur Die Freihheit. Jakarta.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta.Bandung.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 TentangPenyelenggara Pemilihan Umum
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 20111 Tentang PartaiPolitik
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang PemilihanUmum
Dokumen kerja KPU Lampung Timur 2014.