23
HIKMAH PERISTIWA BUBAT DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER BANGSA Sebuah Pengantar Dialog 1 Oleh: Hariyono 2 “Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa bhinneki rakwa ring apan ke “parwwanose” n mangkaang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal bbhineka tunggal ika tan hana dharmma mangrva” (Konon dikatakan bahwa wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda. Namun bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang. Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda. Namun pada hakekatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua)” Kitab Sutasoma pupuh CXXXIX karya Mpu Tantular. Sesanti “Bhineka Tunggal Ika” dari kitab Sutasoma yang kemudian menjadi sesanti bangsa Indonesia telah mengalami transformasi makna secara dinamis dan substansial. Pendiri bangsa tidak hanya sekedar membatasi dalam keragaman agama, melainkan juga dengan keragaman suku, bahasa, adat istiadat serta kepulauan. (Sedyawati & Subroto, 1992: 7). Dari keberagaman masyarakat itulah juga potensial timbulnya tafsir terhadap sesuatu secara beragam. Dan tentu saja tafsir dan makna kebhinekaan tersebut juga 1 Makalah disampaikan dalam Seminar “Pasuda-Bubat; Sejarah yang Paripurna” yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Timur pada tanggal 6 Maret 2018. Sebagian dari naskah ini sudah pernah disampaikan dalam forum diskusi lain. 2Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang, Deputi Advokasi Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. 1

disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/HIKMAH PERISTIWA... · Web viewSebagian dari naskah ini sudah pernah disampaikan dalam forum diskusi lain. Oleh:

  • Upload
    vanthuy

  • View
    222

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/HIKMAH PERISTIWA... · Web viewSebagian dari naskah ini sudah pernah disampaikan dalam forum diskusi lain. Oleh:

HIKMAH PERISTIWA BUBAT DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER BANGSA Sebuah Pengantar Dialog1

Oleh: Hariyono2

“Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa bhinneki rakwa ring apan ke “parwwanose” n mangkaang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal bbhineka tunggal ika tan hana dharmma mangrva” (Konon dikatakan bahwa wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda. Namun bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang. Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda. Namun pada hakekatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua)”

Kitab Sutasoma pupuh CXXXIX karya Mpu Tantular.

Sesanti “Bhineka Tunggal Ika” dari kitab Sutasoma yang kemudian menjadi

sesanti bangsa Indonesia telah mengalami transformasi makna secara dinamis dan

substansial. Pendiri bangsa tidak hanya sekedar membatasi dalam keragaman agama,

melainkan juga dengan keragaman suku, bahasa, adat istiadat serta kepulauan.

(Sedyawati & Subroto, 1992: 7). Dari keberagaman masyarakat itulah juga potensial

timbulnya tafsir terhadap sesuatu secara beragam. Dan tentu saja tafsir dan makna

kebhinekaan tersebut juga dapat ditarik seiring dengan perkembangan zaman. Makna

tersebut juga potensial berkembang dalam konteks menafsirkan “Peristiwa Bubat” sesuai

dengan pengalaman generasi zaman yang memaknai.

Maksudnya “Peristiwa Bubat” yang selama ini cenderung dimaknai secara

“pejoratif” dan meninggalkan “luka batin” pada sebagian suku Jawa dan sebagaian suku

Sunda perlu disikapi secara bijak. Belajar dan melihat sejarah sebenarnya tidak semata-

mata ditentukan oleh data yang ada, tetapi juga ditentukan oleh “imaginasi dan cita-cita

masa depannya”. Maksudnya dalam proses transformasi kesadaran, manusia justru harus

dapat membebaskan diri dari belenggu masa lalu agar dirinya dapat menjadi subyek

1 Makalah disampaikan dalam Seminar “Pasuda-Bubat; Sejarah yang Paripurna” yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Timur pada tanggal 6 Maret 2018. Sebagian dari naskah ini sudah pernah disampaikan dalam forum diskusi lain.2Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang, Deputi Advokasi Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila.

1

Page 2: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/HIKMAH PERISTIWA... · Web viewSebagian dari naskah ini sudah pernah disampaikan dalam forum diskusi lain. Oleh:

sejarah yang memiliki kadaulatan atau otonomi diri dalam menyikapi hari ini dan masa

depan. “Peristiwa Bubat” hendaknya tidak membelenggu kesadaran sejarah serta visi

kewarganegaraan masyarakat Jawa dan Sunda dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara.

Untuk mengantisipasi pelbagai peristiwa sejarah yang “kontroversial” dan

menyisakan “luka batin” diperlukan keberanian dan terobosan dengan memposisikan

sejarah sebagai proses penyembuhan (healing process). Melalui dialog dan terus

berusaha menempatkan peristiwa masa lalu sesuai dengan konteks zamannya, terdapat

peluang untuk saling menerima informasi dari pelbagai sisi. Informasi tersebut dapat

membuka dan atau melenturkan selaput kesadaran sejarah yang selama ini terlanjur

membeku dan membatu. “Peristiwa Bubat” sebagai suatu peristiwa di masa lalu pasti

tidak dapat diubah, karena sejarah bersifat “einmalig”. Namun, sebagai suatu kisah dan

tafsir terhadap masa lalu kita dapat “mengubahnya” tanpa harus “memperkosa”

peristiwanya demi kehidupan masa kini dan masa depan yang lebih baik.

Untuk itulah seminar yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Propinsi Jawa Timur dengan mengambil Tema “Pasuda-Bubat; Sejarah Yang Paripurna”

memiliki peran yang cukup signifikan. Relasi Majapahit dengan Pajajaran di masa lalu,

yang diwarnai dengan “Perang Bubat" perlu di “reinterpretasi” dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara sesuai dengan kebutuhan zaman, khususnya dalam proses

pergaulan dunia yang makin intensif dengan perkembangan teknologi informasi,

komunikasi dan transportasi.

Warisan narasi sejarah “Peristiwa Bubat”, termasuk narasi yang hidup dalam

cerita rakyat perlu kita pahami dan kembangkan secara kontekstual dan futuristik. Hal

ini perlu mendapat penekanan karena realitas dan sikap generasi muda zaman sekarang

telah berubah dengan munculnya “revolusi tiga T”. “Revolusi tiga T” sejak tahun 1980-

an sering digunakan untuk menjelaskan terjadinya perubahan yang mendasar tentang

perekonomian dan dunia usaha yang juga berpengaruh terhadap hubungan social sebagai

konsekuensi dari perkembangan teknologi di bidang telekomunikasi, transportasi dan

turisme. Bahkan, generasi abad XXI telah hidup dalam era digital dengan segala

konsekuensinya (Schmidt & Cohen, 2013). Nilai-nilai lama terasa tidak relevan

sementara nilai-nilai baru belum terformulasi dan terinternalisasi, termasuk dalam

2

Page 3: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/HIKMAH PERISTIWA... · Web viewSebagian dari naskah ini sudah pernah disampaikan dalam forum diskusi lain. Oleh:

memahami sejarah Indonesia sebelum bangsa Indonesia menjadi satu bagsa dan sat

negara, yaitu saudara sebangsa dan setanah air.

Dalam konteks yang demikian banyak pihak prihatin dengan pelbagai peristiwa

bangsa Indonesia di masa lampau dalam menghadapi tantangan dunia yang telah

berubah secara mendasar. Pendidikan sejarah merupakan sesuatu yang inheren dalam

dirinya untuk membangun kesadaran sejarah melalui melalui internalisasi dan habituasi

nilai (Ryan & Bohlin, 1999). Pelbagai peristiwa kontroversial dilihat secara utuh dan

memfasilitasi si pebelajar untuk bisa memahami konteks zamannya sekaligus menarik

hikmah dari peristiwa yang bersangkutan.

Melalui pendidikan sejarah yang kritis dan kreatif dan bersumber dari pola pikir

(mindset) moralitas bangsa dapat dijaga dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan

dan tantangan zaman. Salah satu referensi untuk mengembangkan pola pikir tersebut

adalah warisan “sejarah kontroversial” bangsa, salah satunya “Peristiwa Bubat” yang

kita bahas sekarang ini.

Melalui dialog dan refleksi tentang “Peristiwa Bubat” yang berbasis pada

moralitas bangsa diperlukan keberanian kita semua terutama para elit untuk

menyikapinya secara cerdas dan futuristik. Dimensi teleologis dari sejarah nasional perlu

memberikan pemahaman bagaimana dalam kebhinekaan bangsa Indonesia, termasuk

pengalaman sejarah di masa lampau dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan

bangsa.

Sebagai bagian dari bahan dialog, penulis akan memaparkan sekilas pentingnya

kesadaran posisi, “Peristiwa Bubat” dalam Keindonesiaan, eksistensi manusia sebagai

agen sejarah, nasionalisme dan energy positif serta kemungkinan mengembangkan

sekaligus melembagakan nilai-nilai dan moralitas bangsa yang relevan dalam

mempertahankan serta meningkatkan karakter sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat,

maju, adil dan makmur.

Sadar Posisi

Disadari atau tidak masyarakat Indonesia cenderung gagap melihat perubahan,

termasuk perubahan sejarah. Sejak zaman penjajahan, pergerakan nasional, revolusi

nasional, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, Orde Baru, dan orde reformasi

pembelajaran dan pendidikan karakter cenderung dianggap sebagai penggalan sejarah

3

Page 4: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/HIKMAH PERISTIWA... · Web viewSebagian dari naskah ini sudah pernah disampaikan dalam forum diskusi lain. Oleh:

yang saling terpisah antara periode yang satu dengan yang lain. Dimensi perubahan

dalam kelanjutan (change in continuity) seolah hilang. Konsekuensinya sejarah yang

notabene merupakan perubahan cenderung dipahami dalam penggalan-penggalan (atom

narrative), bukan kisah yang berangkai dalam keberlanjutan (strings narrative).

Konsekuensinya pendidikan sejarah tidak mampu menjadi bahan refleksi, referensi dan

orientasi kehidupan akibat kehilangan perspektif kesejarahannya yang futuristik.

Realitas baru yang sudah berubah secara mendasar masih cenderung disikapi

dengan cara pandang sempit. Realitas social, budaya, ekonomi dan politik yang sudah

berubah namun pola pikir (mindset) belum banyak mengalami perubahan, sehingga

mental Inlander masih berpengaruh hingga sekarang. Bahkan masih banyak yang

berpola pikir lama dalam menghadapi dunia yang dipengaruhi “revolusi tiga T”,

sehingga tatkala ada kehidupan yang berbeda, menjadi kaget dan reaktif.

Dalam suasana kegalauan tersebut masyarakat telah mengalami dislokasi dan

disorientasi. Mereka sulit memposisikan diri secara bijak dalam proses perubahan

budaya yang semakin mondial atau global. Identitas diri baik sebagai pribadi maupun

komunitas kolektif telah mengalami kekacauan. Nalar dan nurani sebagai karakteristik

manusia yang berbasis nilai luhur sebagaimana diformulasikan dalam pandangan hidup

sekaligus ideology negara, Pancasila, telah mengalami distorsi.

Nilai-nilai luhur yang dibingkai dalam Pancasila banyak yang tidak terealisasi

dalam kehidupan sehari-hari. Banyak karakter elit politik, birokrasi, penegak hukum dan

elit masyarakat yang perilakunya tidak konsisten dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Kita

menyatakan diri sebagai bangsa religius ditengah-tengah anggota warga yang rakus dan

kurang menghargai keyakinan pihak lain. Menyatakan diri sebagai bangsa yang toleran,

namun perbedaan keyakinan sering disikapi dengan kekerasan. Hampir semua

perkembangan dan kemajuan bangsa tidak diawali oleh kekerasan, melainkan oleh

kreativitas, inovasi dari kelompok kecil yang cerdas.

Secara historis, keberadaan masyarakat Nusantara tidak dapat dipisahkan dengan

keanekaragamannya, termasuk pengalaman sejarah di masa lampau. Banyak relasi antar

elemen masyarakat Nusantara di masa lampau yang selain meninggalkan kesamaan juga

diwarnai oleh kompetisi, rivalitas dan konflik. Pengalaman sejarah di masa lampau yang

sempat menimbulkan “luka batin” tidak bisa diobati dan adanya perubahan cara pandang

4

Page 5: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/HIKMAH PERISTIWA... · Web viewSebagian dari naskah ini sudah pernah disampaikan dalam forum diskusi lain. Oleh:

yang diawali dengan sikap berdamai dengan masa lampau. Pelbagai peristiwa masa

lampau yang menyedihkan tidak harus membuat diri kita galau dan sedih. Masa lampau

yang diwarnai oleh peperangan tidak harus membuat diri kita saling berperang. Pelbagai

kisah negative di masa lampau yang negative dapat kita sikapi secara positif.

Keberadaan kita sebagai satu bangsa yang merdeka memberi ruang memaknai

kemerdekaan secara negative, yaitu merdeka dari penjajahan, menjadi kemerdekaan

secara positif, yaitu merdeka untuk mempererat persatuan dan kemajuan bangsa.

Di tengah-tengah masyarakat mengalami “dislokasi” dan “disorientasi”, salah

satu wahana untuk menemukan identitas diri sekaligus memposisikan diri dalam

kehidupan berbangsa adalah pendidikan sejarah yang reflektif, emansipatoris dan

transformatif. Maksudnya dalam proses pembelajaran sejarah potensial untuk

menemukan sesuatu yang dapat menjadi referensi dalam menghadapi realitas yang kini

dan di sini serta membantu memberikan perspektif ke masa depan. Visi sejarah tentang

masa depan inilah yang dapat menjadi pijakan sekaligus menuntun cara pandang

terhadap sejarah, termasuk sejarah “Perang Bubat”.

Pembelajaran sejarah yang dimaksud bukan hanya sekedar mengkaji materi

“Peristiwa Bubat” secara tekstual. Diperlukan suatu pendekatan yang memungkinkan

perubahan dan pengembangan “mindset yang dinamis dan positif” (Dweck, 2007).

Sejarah sebagai suatu peristiwa dan proses merupakan suatu proses dialektika yang

terus mengalir hingga kini menuju masa depan. Sebuah being dalam proses becoming.

Sejarah kehidupan membuktikan bahwa realitas yang kini ada bukan sekedar

produk dari masa lampau. Realitas diri dan lingkungan yang kini kita tempati dan

maknai merupakan suatu rangkaian kausalitas yang selalu terkait dengan konteks zaman

yang terus berubah. Dari proses sejarah itulah manusia dapat memposisikan diri sesuai

dengan semangat dan dinamika zamannya. Keragaman yang di masa kolonial dijadikan

sarana memecahbelah (devide et impera) dipertahankan dalam bentuk sterotipe. Dalam

konteks tersebut dibutuhkan para pendidik yang mampu menggugah cara tafsir baru

terhadap kebhinekaan (peristiwa Bubat) dalam masyarakat secara kontekstual dan

futuristik.

Pendidik perlu menyadari posisinya bukan hanya sekedar menjadi penyambung

lidah penulis buku teks, pengingat dan penghafal materi buku ajar. Peran yang lebih

5

Page 6: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/HIKMAH PERISTIWA... · Web viewSebagian dari naskah ini sudah pernah disampaikan dalam forum diskusi lain. Oleh:

utama dari pendidik adalah fasilitator, motivator, dan inspirator yang terus berusaha

“membuka hati dan pikiran siswa” (Palmer, 2009) agar yang bersangkutan memikili

kemauan dan dorongan internal untuk belajar, termasuk belajar dari perbedaan orang

lain sehingga menjadi lebih dewasa dan bijak. Mendorong siswa untuk menyadari

bahwa hidup adalah gerak yang tidak selalu linier, melainkan selalu terkait dengan

sesuatu yang berbeda. Dan setiap gerak menimbulkan perubahan. Dalam mengarungi

perubahan manusia memerlukan nilai sebagai pegangan hidup agar tidak mengalami

disorientasi nilai.

Sadar posisi merupakan langkah awal dan strategis untuk melakukan perubahan.

Setiap pembelajaran perlu mengubah kebiasaan untuk membangun karakter yang

positif, mengubah “mindset statis” menjadi “mindset berkembang”. “Pendidik yang

berani mengubah dirinya” merupakan prasyarat dan langkah awal untuk menciptakan

pembelajaran secara menarik dan bermakna (Palmer, 2009) dalam melihat dan

memaknai pluralitas kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai utama yang terkandung dalam

dasar negara sekaligus pandangan hidup Pancasila mencakup beberapa prinsip nilai

dasar dan universal yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan.

Berbasis pada nilai-nilai tersebut kebhinekaan yang terjadi pada alam, flora, fauna

hingga komunitas penghuninya dapat disikapi secara positif dan kreatif. Hal ini perlu

penulis tekankan, karena realitas sejarah di masa lampau tidak memiliki makna dan arti

yang signifikan sebelum ditafsirkan dan dimaknai oleh manusia. Untuk itu pemahaman

terhadap “peristiwa Bubat” dalam konteks perjalanan sejarah bangsa menjadi sesuatu

yang perlu dipahami bersama untuk membangun prestasi dan reputasi bangsa yang

besar.

“Peristiwa Bubat” dalam Keindonesiaan

Kisah “Pasunda-Bubat, yang juga sering disebut Perang Bubat diawali dari kisah

asmara sang raja Hayamwuruk. Sang raja jatuh cinta pada putri Sunda, Dyah Pitaloka.

Sang raja ingin menjadikan Dyah Pitaloka sebagai permaisuri.

Ironisnya keinginan dan harapan sang raja tidak berjalan mulus. Terdapat tafsir

dari pejabat Majapahit dan keluarga Dyah Pitaloka yang berbeda. Pejabat yang dibawah

pimpinan Gajah Mada menafsirkan peristiwa tersebut dari kebesaran Majapahit,

sehingga meminta agar putri Sunda diserahkan sebagai tanda persembahan kepada sang

6

Page 7: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/HIKMAH PERISTIWA... · Web viewSebagian dari naskah ini sudah pernah disampaikan dalam forum diskusi lain. Oleh:

raja Majapahit. Rombongan putri Sunda yang merasa berasal dari suatu kelarga raja dan

kerajaan yang berdaulat enggan menerima permintaan Gajah Mada. Konsekuensi dari

“pemahaman” yang berbeda tersebut menyebabkan sebuah tragedy yaitu perang antara

keluarga Dyah Pitaloka dengan prajurit Majapahit. Semua rombongan Dyah Ptaloka

meninggal dalam peperangan.

Kisah diatas bagi pisak Pasundan menimbulkan kesedihan yang sulit terlupakan.

Peristiwa tersebut menjadi pembicaraan yang ikut membentuk memori kolektif secara

turun temurun. Kisah masa lampau yang dapat membuat distorsi kebangsaan. Demikian

pula sebaliknya, walaupun secara fisik pihak Majapahit “menang” namun peristiwa

tersebut juga menimbulkan “luka sejarah” dan “luka batin”. Pasca peristiwa Bubat,

Gajah Mada melakukan “mukti palapa”, mengundurkan diri dari jabatannya. Raja

Hayam Wuruk mengalami kesedihan yang sulit terlupakan. Kebesaran dan Kemegahan

Majapahit terganggu oleh “Peristiwa Bubat” (Poesponegoro & Notosusanto, 1984: 436-

7).

Uniknya kisah tersebut berkembang dengan pelbagai variannya, baik dalam

kisah sejarah yang tertulis dalam Pararaton dan Kidung Sundayana maupun kisah lisan

yang berkembang di masyarakat. Dan kisah yang beragam tersebut sebagian

menginternaisasi sebagai bagian memori kolektif yang kurang kondusif dalam

membangun persaudaraan sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Untungnya

nasionalisme yang dianut bangsa Indonesia adalah nasionalisme inklusif, sebuah

nasionalisme yang tidak hanya mengakui perbedaan di antara warga Indonesia

melainkan juga menerima kesederajatan dan keadilan dari dari pelbagai elemen bangsa.

Dalam konteks itulah, kita perlu bijak dan cerdas dalam menyikapi dan

menyampaikan “Peristiwa Bubat”. Peristiwa sejarah memang tidak boleh dilupakan.

Tetapi kita sebagai generasi penerus sejarah tidak harus terbelenggu oleh peristiwa

tersebut. Kita dapat memahami dan memaafkan “peristiwa Bubat” sebagai bagian dari

perjalanan masa lalu masyarakat Nusantara yang beragam sehingga sering menimbulkan

distorsi komunikasi. Kondisi tersebut sebelum kehadiran penjajah sering menyebabkan

peperangan antara kerajaan-kerajaan tradisional dan setelah kedatangan penjajah sering

dimanfaatkan sebagai sarana “devide et impera”.

7

Page 8: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/HIKMAH PERISTIWA... · Web viewSebagian dari naskah ini sudah pernah disampaikan dalam forum diskusi lain. Oleh:

Kita perlu memahami bahwa di masa lalu kekuasaan politik yang ada di

Nusantara tidak tunggal. Sejak masa Hindu-Budha, Islam hingga colonial, Negara-

negara tradisional ada dan hidup di Nusantara sehingga friksi antar Negara tradisional

cukup tinggi. Misal antara kerajaan Kediri dan Singosari, antara Tidore dan Ternate,

antara Bone dan Gowa dlln. Perbedaan dan persaingan tersebut masih cukup kental

dalam memori kolektif masyarakat, terutama dalam kisah-kisah sejarah local dan tidak

resmi.

Dalam kondisi itulah diperlukan kesadaran dan pemahaman mengapa para

pendiri bangsa membentuk Negara kebangsaan (nation-state) yang tidak berbentuk

monarkhi melainkan republic. Para pendiri bangsa berkeinginan pelbagai Negara-negara

tradisional yang ada menjadi satu bangsa dan satu Negara, sehingga walaupun kita

memiliki latar sejarah yang berbeda sejak tahun 1945 adalah saudara sebangsa dan

setanah air. Demikian pula pemilihan bentuk republic diharapkan utuk menghindari

“sirkulasi elit” yang tidak jelas dan sering diwarnai oleh kekerasan. Kisah pilu dan

seteru nenek moyang tidak ingin diwarisi. Salah satu cara yang mendasar adalah

memposisikan Pancasila sebagai dasar Negara dan pandangan hidup bangsa.

Untuk merealisasi harapan diatas diperlukan keberanian kita semua untuk

bermatamorposis sebagai pribadi yang tidak hanya berperan sebagai obyek sejarah,

melainkan juga sebagai subyek atau agen sejarah. Berani bermetamorfosis dari

kepompong primordial menjadi warga yang cerdas dalam mengantisipasi tantangan

zamannya.

Agen Sejarah

Sejarah dalam masyarakat tradisional sering dilakukan secara monologis melalui

sosialisasi nilai-nilai kultural, terutama aspek kosmogoni. Masyarakat menerima nilai

yang sudah ada tanpa ada upaya untuk mempertanyakan dan menggugat suatu wacana

yang diwarisi dari generasi sebelumnya secara fundamental. Kondisi tersebut sering

dimanfaatkan oleh kelompok dominan untuk melegitimasi posisi dan dominasinya.

Kisah sejarah yang bersifat magis-religius dan mengarah pada kosmosentris lebih

ditonjolkan. Manusia tinggal menjalani aktivitas yang ada. Mereka tidak berani

mempertanyakan asumsi maupun proses sejarah yang dianggap sakral dan dominan.

8

Page 9: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/HIKMAH PERISTIWA... · Web viewSebagian dari naskah ini sudah pernah disampaikan dalam forum diskusi lain. Oleh:

Dekonstruksi terhadap narasi sejarah dianggap tabu walaupun secara de facto

membelenggu dirinya untuk maju.

Dalam masyarakat modern yang sudah menempatkan akal dan hati sebagai

referensi yang sangat signifikan, kisah sejarah disikapi secara berbeda dengan masa

sebelumnya. Sejarah tidak lagi dianggap sebagai kisah yang beku melainkan telah

dianggap sebagai bagian dari pergulatan manusia dalam menghadapi tantangan hidup

yang ada. Pelbagai kisah sejarah tidak hanya untuk mencakup “dimensi penghidupan”,

melainkan juga memberi “pemaknaan terhadap kehidupan”. Individuisasi mulai muncul

dan merangsang manusia untuk bertanggungjawab terhadap proses sejarah zamannya.

Manusia memiliki otonomi diri. Kebebasan manusia memberi ruang untuk “ikut

mengambil peran” dalam menentukan proses sejarah. Sejarah tidak lagi dianggap

sebagai produk absolut kekuatan di luar diri manusia. Kenyataan tersebut membawa

konsekuensi akan peran manusia dalam proses sejarah. Posisi manusia dalam sejarah

tidak dianggap sebagai pelaku sejarah yang pasif. Manusia sebagai agen sejarah

mempunyai fungsi yang aktif dan dinamis dalam mempengaruhi dan menggerakkan

sejarah.

Kisah sejarah disikapi secara reflektif, kritis dan emansipatoris. Kepercayaan

terhadap Tuhan tidak disikapi secara fatalistic. Manusia menyadari bahwa Tuhan telah

memberi kebebasan pada dirinya untuk mengembangkan diri secara maksimal atau

tidak. Eksistensi manusia sebagai “homo sapiens”, mahkluk yang berpikir selalu diminta

tanggungjawab. Tuhan hanya meminta pertanggungjawaban pada manusia yang berakal.

“Orang yang tidak berakal” tidak pernah diminta tanggungjawab. Ironisnya dalam

kehidupan sehari-hari, manusia justru malas berpikir. Kalau diajak berpikir hanya mikir-

mikir. Dendam kolektif akibat peristiwa masa lalu, misalnya Peristiwa Bubat apa layak

dilestarikan bagi orang yang mau berpikir?

Banyak manusia yang mengelak dari kebebasan, sebagaimana pernah

diungkapkan oleh Eric Fromm dengan menyebutnya “escape from freedom”. Mereka

cenderung menerima proses perubahan sosial yang ada secara pasif. Mayoritas manusia

suka berada dalam perasaan rasa aman yang semu, comfort zone. Kedaulatan diri

mereka tergadaikan oleh opini yang diyakini sebagai suatu kebenaran. Mereka

menikmati sebagai sosok resipien dan obyek sejarah.

9

Page 10: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/HIKMAH PERISTIWA... · Web viewSebagian dari naskah ini sudah pernah disampaikan dalam forum diskusi lain. Oleh:

Dialog yang memungkinkan pemikiran kritis dan kreatif dengan tema Perang

Bubat dan atau peristiwa kontroversial lainnya perlu dikembangkan secara terus

menerus. Masyarakat dan peserta didik tidak dibiasakan untuk melihat realitas secara

baru. Mereka distimulasi untuk bermimpi besar, berpikir besar serta berjiwa besar guna

merealisasikan bangsa yang merdeka, mandiri, berdaulat, adil dan makmur.

Belajar dari pengalaman sejarah “peristiwa Bubat” harus didekati secara dialogis

agar memungkinkan pelbagai perspektif tampil dalam segala multiinterpretasinya.

Pendidikan nilai tidak dijadikan alas an untuk mempertahankan status quo. Dengan kata

lain mereka diajak belajar dengan prinsip bermain dan menghindari sikap main-main.

Pembelajaran dalam suasana bermain potensial menimbulkan inspirasi bagi

perkembangan intelektual dan emosional siswa dan guru. Mereka dirangsang untuk

berani melakukan dekonstruksi wawasan serta kesadaran yang sudah dimiliki

berdasarkan pertimbangan yang didukung oleh nalar dan bukti yang akurat.

Tumbuhnya kesadaran diri yang positif sekaligus optimis salah satu indikatornya

adalah munculnya kesadaran bahwa semua peristiwa sejarah di dunia sangat dipengaruhi

oleh kiprah anak-anak manusia. Ada peristiwa sejarah yang berkembang sesuai dengan

apa yang diinginkan (intended results) melainkan juga ada perkembangan sejarah yang

berkembang secara mendadak dan di luar perkiraan dan atau maksud manusia

(unintended results). Hal ini akan semakin kondusif bila pendekatan yang digunakan

sebagai landasan interpretasi tidak terlalu berlebihan dalam menekankan aspek

struktural. Pendekatan struktural memang bagus dalam menjelaskan bagaimana sistem

yang ada mengatur dan membatasi ruang gerak manusia, namun mempunyai kelemahan

seolah manusia sebagai agen tidak berdaya dalam melakukan perubahan.

Demikian pula halnya pendekatan perilaku yang berlebihan justru akan

mengaburkan peran sistem dan struktur kehidupan yang relatif dominan. Kesadaran

peserta didik sebagai agen tetap perlu memahami adanya situasi batas yang selalu ada

dalam aktivitas sosial. Barangkali konsep eksternalisasi dalam kaitannya dengan

internalisasi dan objektifikasi yang dikemukakan oleh Peter L. Berger dapat dijadikan

sebagai salah satu penjelasan. Maksudnya peserta didik tidak hanya diberitahu dan

diajari tentang pelbagai peristiwa pergulatan anak-anak manusia dengan tantangan

jamannya, melainkan juga dirangsang untuk membangkitkan pengetahuan dan kesadaran

10

Page 11: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/HIKMAH PERISTIWA... · Web viewSebagian dari naskah ini sudah pernah disampaikan dalam forum diskusi lain. Oleh:

untuk cancut taliwondo dalam proses sejarah yang dihadapi oleh bangsanya (Hariyono,

1995).

Kita harus berani mempertanyakan kisah sejarah termasuk asumsi yang

mendasarinya sebagai referensi untuk mempertanyakan dirinya sendiri. Maksudnya

dengan terbiasa bertanya, kita mendapat ruang untuk mempertanyakan kembali

kepercayaan-kepercayaan yang bersifat self-limiting. Self-limiting belief adalah apa saja

yang dipersepsikan dan diyakini oleh peserta didik bahwa dirinya terbatas dan tidak

mampu dalam bidang tertentu sehingga membatasi pengembangan potensi dirinya secara

maksimal (Tracy, 2007; 47).

Salah satu materi dari hal tersebut adalah melihat bagaimana proses dialektika

terbentuknya bangsa dan negara Indonesia secara jujur dan obyektif. Sikap keprihatinan,

kesahajaan, kepedulian dan rela berkorban serta mau memberikan maaf para pendiri

bangsa mempunyai peran yang cukup signifikan dalam membentuk agensi sejarah yang

kreatif dan inovatif.

Tanggungjawab Sejarah

Sebagaimana kita ketahui bangsa Indonesia baru ada sejak abad duapuluh.

Secara formal sebagai negara bangsa baru ada sejak tahun 1945. Sebelum abad XX

belum ada kesadaran akan perasaan sebangsa bagi warga Nusantara. Proses penemuan

dan pengembangan kesadaran akan identitas diri tersebut terbentuk melalui proses

dialog yang mengedepankan kesejajaran dan keadilan. Dialog antar anak-anak

pergerakan nasional, maupun dialog mereka dengan tantangan zamannya. Perasaan

senasib dan seperjuangan inilah yang melelehkan batas-batas etnisitas dan lokalitas yang

sebelumnya diakui sebagai suatu bangsa. Sejak saat itu mulai berkembang nilai-nilai

yang menimbulkan kemauan bersama dalam membangun negara republik tercinta

dengan segala cita-cita luhurnya, khususnya memposisikan warga Indonesia yang

beragam dalam ranah persatuan bangsa.

Dalam perjalanan menentukan eksistensi bangsa dan negara telah terjadi

pergulatan yang kadang diselingi dengan kekerasan yang memakan korban jiwa cukup

besar. Masing-masing kelompok berusaha untuk memaknai Indonesia dalam referensi

struktur kognitif-kultural yang dominan di kelompoknya. Ketegangan dan gesekan yang

terjadi seringkali merangsang kekuatan yang ada menjalin koalisi dengan kekuatan di

11

Page 12: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/HIKMAH PERISTIWA... · Web viewSebagian dari naskah ini sudah pernah disampaikan dalam forum diskusi lain. Oleh:

luar Indonesia dalam menjatuhkan saingannya. Hal ini menjadikan bangsa Indonesia

sering kehilangan momentum dalam memanfaatkan pergolakan global untuk

kepentingan bangsa sendiri (Anderson, 1998).

Begitu lemahnya kemampuan berpikir luas dan reflektif menyebabkan sebagian

bangsa Indonesia mudah terjebak pada komunikasi yang manipulatif dan terdistorsi

(Habermas, 1984). Realitas primordial terseret pada primordialisme. Wacana

primordialitas yang hidup dalam realitas pluralitas tidak dapat berkembang secara

maksimal. Khebinekaan yang sudah melekat pada pasa prasejarah mengalami ancaman

dan tantangan.

Harapan untuk melakukan rejuvenisasi terletak pada peran warga negara,

khususnya generasi muda. Kaum muda dengan segala keterbatasan serta kelebihannya

masih merupakan kelompok strategis yang dapat melihat dan mempertimbangkan

kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan lebih visioner. Idealisme yang ada pada

sebagaian pemuda merupakan modal dasar dalam memperjuangkan nilai-nilai kehidupan

berbangsa dan bernegara secara kreatif. Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa kaum

muda bukan sekedar obyek sejarah melainkan dalam pelbagai momentum selalu menjadi

pelopor dan agen perubahan sejarah.

Nasionalisme dan Energi Positif

Ditengah-tengah arus globalisasi muncul kesan bahwa nasionalisme tidak

relevan lagi dalam percaturan dunia. Nasionalisme yang biasanya selalu terkait dengan

eksistensi suatu bangsa dan negara dengan batas-batas yang jelas dan pasti dianggap

bertentangan dengan perkembangan teknologi dan informasi yang mampu menembus

batas-batas teritorial suatu negara. Peralatan teknologi komunikasi dan informasi kini

memang dengan cepat masuk dalam kehidupan rumah tangga dan keseharian.

Memang kemajuan teknologi dan informasi tidak dapat disangkal telah

mempengaruhi realitas masyarakat modern. Namun juga tidak dapat disangkal bahwa

arus informasi yang mengglobal tersebut tidak selamanya membawa kehidupan

masyarakat lebih otonom dan demokratis. Justru sebaliknya dalam masyarakat banyak

aspek kehidupan yang terpasung akibat kurangnya kesadaran kritis. Masyarakat dengan

mudah terjebak pada kehidupan yang konsumtif dan hedonistik sehingga dengan mudah

12

Page 13: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/HIKMAH PERISTIWA... · Web viewSebagian dari naskah ini sudah pernah disampaikan dalam forum diskusi lain. Oleh:

menjadi sasaran eksploitasi kekuatan-kekuatan ekonomi dunia (Falk, 1999). Bargaining

position kita sebagai bangsa menjadi lemah dalam berhadapan dengan bangsa lain.

Sebuah karakter bangsa harus dibangun dengan tetap berpijak pada kemampuan

riil yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Salah satunya adalah menggalang dan

mengaktualisasikan nilai-nilai luhur sehingga mampu menjadi etos yang mendorong

vistuositas (keunggulan) bangsa. Kebanggan nasional yang kini terkoyak oleh pelbagai

perilaku yang sarat dengan kejahatan sosial perlu segera diantisipasi secara kritis dan

kreatif. Dorongan untuk memberlakukan transparansi dalam pelbagai kebijakan dan

kepentingan publik sehingga muncul akuntabilitas menjadi tugas bersama.

Merupakan kewajiban bagi kita bersama membangun pola pkir dan etos kerja

yang lebh berkualitas. Kerjasama dengan bangsa lain, terutama dalam lingkup

masyarakat dunia tidak hanya menampilkan aspek kooperasi (kerjasama) melainkan juga

menampilkan aspek kompetisi (persaingan). Dalam proses persaingan tersebut

diperlukan keahlian dalam bidang yang digeluti. Tetapi dalam proses kerjasama dan

bersaing, biasanya tidak semata-mata ditentukan oleh kompetensi, melainkan juga pola

pikir yang terbuka dalam menghadapi pelbagai perubahan dan perbedaan. Untuk itulah

“kebhinekaan” yang sudah lama menjadi karakter bangsa layak dikembangkan, salah

satunya dengan menyikapi “Peristiwa Bubat” secara bijak dan futuritik.

Dalam konteks yang demikian dibutuhkan sarana dan pemahaman nilai sehingga

kesedihan dan keprihatinan terhadap kisah masa lalu yang pilu menjadi kepedulian yang

dapat memicu etos perjuangan, rela memaafkan, respek dan rela berkorban. Pelbagai

kisah sejarah harus bermuara pada berkembangnya etos kerja dan moralitas bangsa yang

unggul dan luhur.

Salah satu sarana mengembangkan nilai-nilai yang luhur dapat dipetik dari

“Peristiwa Bubat” untuk menumbuhkembangkan etos virtuisitas bangsa di masa depan.

Di sinilah untungnya belajar secara reflektif, kritis dan emansipatoris.

Tentu ini membutuhkan karakter dan sikap hidup yang berbeda dengan masa

sebelumnya. Tanpa kisa sadari globalisasi industry telah berubah menjadi globalisasi

individual. Persepsi diri perlu diubah agar tidak hanya puas menjadi orang yang sedang-

sedang saja (mediocre). Kita perlu melakukan reorientasi secara mendasar terhadap

pelbagai kisah sejarah di masa lalu yang tanpa disadari menimbulkan luka batin kolektif.

13

Page 14: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/HIKMAH PERISTIWA... · Web viewSebagian dari naskah ini sudah pernah disampaikan dalam forum diskusi lain. Oleh:

Bangsa Indonesia dapat menatap ke depan tatkala sudah dapat berdamai dengan

masa lalunya. Kita sulit menjadi bangsa yang maju dan sejahtera tatkala jiwa dan

pikiran kita masih terbelenggu oleh masa lalu yang pilu dan penuh dendam. Kita semua

harus segera “move on” dengan melampaui masa lalu. Kehidupan masa kini memang

dipengaruhi oleh masa lalu, namun tugas kita semua bukan sekedar mewarisi masa lalu

melainkan memposisikan diri di masa sekarang dan masa depan untuk menjadi bangsa

yang lebih maju. SEMOGA.

14