2
PERJALANAN DALAM BUS ANTAR KOTA Sudah enam bukan aku menabung uang jajan yang diberikan ibuku. Setiap hari buku tabunganku kupandangi. Untuk mempercepat jumlah tabungan aku tidak pernah jajan di sekolah. Setiap waktu istirahat aku pergi ke perpustakaan sekolahku. Deretan angka seakan membentuk arloji indah yang pernah kulihat di sebuah toko. Tabunganku memang sudah banyak dan aku berencana membeli jam tangan dari tabunganku. Rencananya jam itu akan aku pakai persisi dihari ulang tahunku. Pada senin pagi ketika aku mau berangkat ke sekolah, Ibu masuk ke kamarku dengan raut muka agak murung. Timbul tanda tanya dalam diriku. “Ada apa, Bu ?” “Kemarin Kak Tia bilang, ia membutuhkan tambahan uang untuk membayar SPP. Padahal uang yang Ibu punyai hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari kita dan kebutuhan sekolahmu. Ibu harap kamu tak keberatan memberikan uang tabunganku untuk membantu Kak Tia.” “Bagaimana, Fer ?” Aku tersentak dan marah. Aku selalu diminta berkorban untuk kakakku. Aku merasa ibu selalu mengutamakan kakakku. Kemudian dengan suara agak berat aku menjawab, “Tidak bias, Bu! Aku juga punya kebutuhan, jawabku sambil melangkah pergi ke sekolah tanpa pamitan pada ibuku. Ibuku marah. Aku tak menggubrisnya. Hari itu sepulang sekolah aku langsung menuju terminal kota. Kucari bus jurusan Kotamabau rumah nenekku. Bus masih terisi separuh penumpang. Kupilih duduk di deretan kursi belakang keputusanku sudah bulat, aku akan minggat ke rumah nenekku. Aku ingin membuat ibuku bingung dan susah karena aku tidak akan sekolah lagi. Suasana panas dan kepulan asap rokok penumpang yang menyesakkan menambah kesesakan hatiku. Hatiku gelisah tak menentu. Tas sekolah yang ada dipangkuanku kubolak-balik untuk menentramkan hatiku. Tiba- tiba kudengar sapaan anak laki-laki pedagang asongan menawarkan dagangannya kepada para penumpang bus. Kudengar pedagang asongan yang seusiaku itu bercakap-cakap dengan kenek bus. “Sudah lama kamu tidak berjualan di bus ini ?” “Sebulan aku merawat ibuku yang sakit”, jawab anak itu dengan suara yang agak tersendat. Raut mukanya menunjukkan bahwa dia sedang sedih. “Dan sekarang sudah sembuh ?” “Seminggu yang lalu ibuku meninggal”, kata anak itu dengan mata yang berkaca-kaca. Anak itu menyembunyikan kesedihannya dengan menata dagangannya.

Perjalanan Dalam Bus Antar Kota

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Contoh Cerita

Citation preview

Page 1: Perjalanan Dalam Bus Antar Kota

PERJALANAN DALAM BUS ANTAR KOTA

Sudah enam bukan aku menabung uang jajan yang diberikan ibuku. Setiap hari buku tabunganku kupandangi. Untuk mempercepat jumlah tabungan aku tidak pernah jajan di sekolah. Setiap waktu istirahat aku pergi ke perpustakaan sekolahku. Deretan angka seakan membentuk arloji indah yang pernah kulihat di sebuah toko. Tabunganku memang sudah banyak dan aku berencana membeli jam tangan dari tabunganku. Rencananya jam itu akan aku pakai persisi dihari ulang tahunku.

Pada senin pagi ketika aku mau berangkat ke sekolah, Ibu masuk ke kamarku dengan raut muka agak murung. Timbul tanda tanya dalam diriku.

“Ada apa, Bu ?”

“Kemarin Kak Tia bilang, ia membutuhkan tambahan uang untuk membayar SPP. Padahal uang yang Ibu punyai hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari kita dan kebutuhan sekolahmu. Ibu harap kamu tak keberatan memberikan uang tabunganku untuk membantu Kak Tia.”

“Bagaimana, Fer ?”

Aku tersentak dan marah. Aku selalu diminta berkorban untuk kakakku. Aku merasa ibu selalu mengutamakan kakakku. Kemudian dengan suara agak berat aku menjawab, “Tidak bias, Bu! Aku juga punya kebutuhan, jawabku sambil melangkah pergi ke sekolah tanpa pamitan pada ibuku. Ibuku marah. Aku tak menggubrisnya.

Hari itu sepulang sekolah aku langsung menuju terminal kota. Kucari bus jurusan Kotamabau rumah nenekku. Bus masih terisi separuh penumpang. Kupilih duduk di deretan kursi belakang keputusanku sudah bulat, aku akan minggat ke rumah nenekku. Aku ingin membuat ibuku bingung dan susah karena aku tidak akan sekolah lagi.

Suasana panas dan kepulan asap rokok penumpang yang menyesakkan menambah kesesakan hatiku. Hatiku gelisah tak menentu. Tas sekolah yang ada dipangkuanku kubolak-balik untuk menentramkan hatiku. Tiba-tiba kudengar sapaan anak laki-laki pedagang asongan menawarkan dagangannya kepada para penumpang bus. Kudengar pedagang asongan yang seusiaku itu bercakap-cakap dengan kenek bus.

“Sudah lama kamu tidak berjualan di bus ini ?”

“Sebulan aku merawat ibuku yang sakit”, jawab anak itu dengan suara yang agak tersendat. Raut mukanya menunjukkan bahwa dia sedang sedih.

“Dan sekarang sudah sembuh ?”

“Seminggu yang lalu ibuku meninggal”, kata anak itu dengan mata yang berkaca-kaca. Anak itu menyembunyikan kesedihannya dengan menata dagangannya.

“Oh……….., aku ikut berbela sungkawa ya! Maaf aku tidak tahu, ujar kenek bisitu sambil mengelus anak laki-laki itu. Ada perasaan haru emnyambar batinku. Alangkah cintanya anak itu kepada ibunya. Dan aku……..? Bus ini akan menjadi kemarahanku pada ibuku. Perjalananku ini kulakukan karena kemarahanku pada ibuku yang kuanggap tidak adil. Tiba-tiba terbayang raut wajah ibuku yang mulai berkerut menanggung beban sendirian sepeninggal ayahku. Ada perasaan bersalah pada ibuku. Ya Tuhan………, apa artinya pengorbananku dibanding anak itu. Aku melompat dari bus yang mesinnya sudah mulai dihidupkan. Rencanaku untuk minggat dari rumah dan membuat ibuku bingung kuurungkan. Aku tak peduli penumpang lain terbengong-bengong melihatku. Kalaupun aku belum bias berkorban banyak seperti pedagang asongan itu, paling tidak aku tidak membuat ibuku bingung dan sedih.