14
PERJALANAN MITOLOGIS DALAM NOVEL HAJI BACKPACKER 9 NEGARA SATU TUJUAN KARYA AGUK IRAWAN Novi Sri Purwaningsih Universitas Pamulang [email protected] Abstrak Penelitian ini mencoba memahami cerita perjalanan yang terpengaruh oleh wacana kolonial dalam penggambarannya mengenai tempat dan orang-orang asing yang ditemui tokoh utama cerita selama perjalanannya. Permasalahan itu dipahami dengan teori travel writing Carl Thompson yang mengatakan bahwa cerita perjalanan pada dasarnya tentang negosiasi diri dengan liyan sebagai akibat terjadinya pergerakan dalam ruang. Penelitian ini menunjukkan bahwa segi penggambaran dunia lebih menonjolkan subjektivitas dengan memperlihatkan gerakan dari pandangan jarak jauh ke jarak dekat. Dari segi pola cerita perjalanan yang digunakan, novel ini memperlihatkan tiga kecenderungan, yaitu romantik, eksploratif, dan mitologis. Dibandingkan dengan sifat romantik dan eksploratifnya, pola cerita perjalanan mitologis tampak lebih kuat dan berpengaruh terhadap perjalanan tokoh cerita. Dalam perjalanannya, tokoh cerita seakan dipandu oleh kekuatan gaib yang satu saat seperti menjadi kenyataan. Menyatunya hal-hal nyata dan gaib dalam cerita perjalanan novel ini konsisten sebagaimana strategi peliyanannya yang dominan, yaitu gabungan antara strategi peliyanan kolonial dan poskolonial, disebut strategi peliyanan neo-kolonialisme karena sumber nilai yang dominan adalah nilai primordial. Selanjutnya, terimplikasi agenda etis yang menunjukkan sikap pluralistik dan toleransi dengan mengacu pada nilai-nilai primordial. Nilai-nilai itu membuat novel ini mencoba untuk memahami, tidak segera menghakimi masyarakat dan tempat-tempat Asia yang dikunjungi tokoh utama cerita. Secara politis, cerita perjalanan dalam novel ini berhasil melaksanakan agenda pembebasan diri dari hegemoni kolonialisme, tidak terperangkap dalam neo-kolonialisme yang menganut nilai-nilai kosmopolit Barat sebagai bekas penjajah wilayah geografis, sosial, dan kultural Asia. Kata kunci: agenda, mitologis, neo-kolonialisme, pluralistik, primordial LATAR BELAKANG MASALAH Periode awal 2000-an ini televisi, media online, dan media cetak, Indonesia banyak membahas mengenai cerita perjalanan. Televisi sebagai media penyiaran yang paling banyak

PERJALANAN MITOLOGIS DALAM NOVEL HAJI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Novi-Sri.pdf · Thailand, Laos, Vietnam, China, India, Tibet, Nepal, Iran, dan Saudi Arabia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERJALANAN MITOLOGIS DALAM NOVEL HAJI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Novi-Sri.pdf · Thailand, Laos, Vietnam, China, India, Tibet, Nepal, Iran, dan Saudi Arabia

PERJALANAN MITOLOGIS DALAM NOVEL HAJI BACKPACKER 9 NEGARA SATU TUJUAN

KARYA AGUK IRAWAN

Novi Sri Purwaningsih Universitas Pamulang [email protected]

Abstrak Penelitian ini mencoba memahami cerita perjalanan yang terpengaruh oleh wacana kolonial dalam penggambarannya mengenai tempat dan orang-orang asing yang ditemui tokoh utama cerita selama perjalanannya. Permasalahan itu dipahami dengan teori travel writing Carl Thompson yang mengatakan bahwa cerita perjalanan pada dasarnya tentang negosiasi diri dengan liyan sebagai akibat terjadinya pergerakan dalam ruang. Penelitian ini menunjukkan bahwa segi penggambaran dunia lebih menonjolkan subjektivitas dengan memperlihatkan gerakan dari pandangan jarak jauh ke jarak dekat. Dari segi pola cerita perjalanan yang digunakan, novel ini memperlihatkan tiga kecenderungan, yaitu romantik, eksploratif, dan mitologis. Dibandingkan dengan sifat romantik dan eksploratifnya, pola cerita perjalanan mitologis tampak lebih kuat dan berpengaruh terhadap perjalanan tokoh cerita. Dalam perjalanannya, tokoh cerita seakan dipandu oleh kekuatan gaib yang satu saat seperti menjadi kenyataan. Menyatunya hal-hal nyata dan gaib dalam cerita perjalanan novel ini konsisten sebagaimana strategi peliyanannya yang dominan, yaitu gabungan antara strategi peliyanan kolonial dan poskolonial, disebut strategi peliyanan neo-kolonialisme karena sumber nilai yang dominan adalah nilai primordial. Selanjutnya, terimplikasi agenda etis yang menunjukkan sikap pluralistik dan toleransi dengan mengacu pada nilai-nilai primordial. Nilai-nilai itu membuat novel ini mencoba untuk memahami, tidak segera menghakimi masyarakat dan tempat-tempat Asia yang dikunjungi tokoh utama cerita. Secara politis, cerita perjalanan dalam novel ini berhasil melaksanakan agenda pembebasan diri dari hegemoni kolonialisme, tidak terperangkap dalam neo-kolonialisme yang menganut nilai-nilai kosmopolit Barat sebagai bekas penjajah wilayah geografis, sosial, dan kultural Asia.

Kata kunci: agenda, mitologis, neo-kolonialisme, pluralistik, primordial

LATAR BELAKANG MASALAH

Periode awal 2000-an ini televisi, media online, dan media cetak, Indonesia banyak

membahas mengenai cerita perjalanan. Televisi sebagai media penyiaran yang paling banyak

Page 2: PERJALANAN MITOLOGIS DALAM NOVEL HAJI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Novi-Sri.pdf · Thailand, Laos, Vietnam, China, India, Tibet, Nepal, Iran, dan Saudi Arabia

dilihat menampilkan berbagai reality show bertema perjalanan dari konsep eksploratif hingga

turistik. Konsep perjalanan eksploratif dicontohkan oleh Jejak Petualang yang melakukan

perjalanan hanya seorang diri. Konsep perjalanan turistik dicontohkan seperti My Trip My

Adventure, Eksplore Indonesia, Survivor, dan Jalan-Jalan Selebriti yang menggambarkan

perjalanan bersama.

Media online banyak menghadirkan tulisan, foto-foto, dan video bertema perjalanan. Salah

satu media online yang mengangkat tema perjalanan ialah naked-traveler.com yang dibuat pada

2005. Blog tersebut berisi kumpulan tulisan perjalanan yang dikirim oleh para pembacanya.

Media cetak banyak menghasilkan buku panduan perjalanan, jurnal tentang perjalanan, laporan

perjalanan hingga novel perjalanan. Penelitian ini memfokuskan kajiannya pada novel Haji

Backpacker 9 Negara Satu Tujuan (2014) karya Aguk Irawan M.N. yang selanjutnya ditulis Haji

Backpacker. Novel ini menceritakan perjalanan tokoh Mada melintasi sembilan negara untuk

mencari jati dirinya setelah memberontak terhadap Tuhan. Negara-negara tersebut meliputi

Thailand, Laos, Vietnam, China, India, Tibet, Nepal, Iran, dan Saudi Arabia.

Novel Haji Backpacer ini bernafas Islami dan memiliki perbedaan dengan novel sejenis

lainnya. Dalam hal isu keagamaan novel Haji Backpacker lebih banyak menggambarkan Islam di

lingkup Asia yang justru belum banyak diungkapkan dalam karya sastra lainnya. Oleh karena itu,

diasumsikan banyak budaya lain yang ditemui. Pertemuan dengan budaya lain di luar tempat asal

penulis akan menimbulkan negosiasi sehingga pelaku perjalanan dapat beradaptasi dengan

tempat dan budaya yang baru.

Negosiasi yang terjadi antara pelaku perjalanan (diri) dengan budaya lain (liyan) tersebut

yang menjadi pembahasan utama dalam cerita perjalanan kaitannya dengan teori Travel Writing

yang dipaparkan oleh Carl Thompson. Negosiasi tersebut dapat diungkapkan oleh penulis cerita

perjalanan melalui penggambaran dunia, pengungkapan diri, representasi liyan, dan agenda

(sosial, budaya, politik, dan ekonomi) dalam cerita perjalanan. Pola penggambaran dunia,

pengungkapan diri, dan representasi liyan dalam novel Haji Backpacker mengimplikasikan

agenda (sosial, budaya, politik, dan ekonomi).

LANDASAN TEORI

Page 3: PERJALANAN MITOLOGIS DALAM NOVEL HAJI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Novi-Sri.pdf · Thailand, Laos, Vietnam, China, India, Tibet, Nepal, Iran, dan Saudi Arabia

Salah satu pengertian “perjalanan” (travel) yaitu pertemuan antara diri dan liyan yang

disebabkan oleh pergerakan melalui ruang dan dibatasi pada pengertian perjalanan sebagai

cerita perjalanan (travel writing) (Thompson, 2011: 9). Cerita perjalanan bertujuan melaporkan

dunia yang luas dan orang atau tempat yang asing (unfamiliar) (Thompson, 2011: 10). Untuk

meraih kepercayaan pembaca terhadap cerita perjalanannya, Thompson menunjukkan sebuah

strategi yang disebut epistemological decorum. Dalam pembagian jenis pola perjalanan,

Thompson (2011: 128) membedakan menjadi dua pola, yaitu perjalanan turistik dan perjalanan

eksploratif. Perjalanan turistik merupakan perjalanan yang telah direncanakan, diatur, bahkan

lebih mengedepankan tingkat kenyamanan traveler selama perjalanan. Sebaliknya, perjalanan

eksploratif mengandung tingkat ketidakpastian cukup tinggi karena perjalanan tersebut tidak

diatur atau direncanakan seperti perjalanan turistik.

Dalam cerita perjalanan juga sering digambarkan semacam ziarah atau pencarian karena

membawa pembaharuan diri. Ziarah dan pencarian merupakan perjalanan yang sering dianggap

sebagai ritus perjalanan penting pada periode sebelum akhir abad kedelapan belas (Thompson,

2011: 106). Perjalanan ziarah merupakan perjalanan spiritual, terdapat perubahan eksistensial,

dan melibatkan peningkatan keyakinan. Perjalanan ini mengandung ketidaknyamanan, rasa

kehilangan, dan penderitaan selama perjalanan (Thompson, 2011: 106).

Terungkapnya pola perjalanan tersebut sekaligus mengungkapkan macam diri dalam cerita

perjalanan, yaitu diri pencerahan, diri romantik, dan diri postmodern. Diri pencerahan cenderung

objektif sekaligus pengamat dan subjek yang kaku sehingga tetap berjarak dengan dunia

(Thompson, 2011: 115-118). Diri romantik atau diri yang terlibat cenderung subjektif, yakni

bereaksi terhadap peristiwa di sekitarnya. Berbeda dengan diri romantik atau dikatakan sebagai

subjek yang longgar, bersifat psikologis karena pengalaman mempengaruhi batinnya (Thompson,

2011: 115). Diri post-modern memiliki sifat lentur dan terus berubah. Diri sebenarnya tidak bisa

ditentukan, di samping diri (post-modern), ada diri yang lain. Dengan demikian, dalam diri post-

modern menunjukkan batas yang kabur antara diri dengan liyan karena keduanya tumpang

tindih.

Selain mengenai pengungkapan diri, penulis perjalanan (traveler) memerlukan strategi

peliyanan untuk mendefinisikan keunikan dan superioritas traveler. Dalam representasi liyan ini,

Page 4: PERJALANAN MITOLOGIS DALAM NOVEL HAJI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Novi-Sri.pdf · Thailand, Laos, Vietnam, China, India, Tibet, Nepal, Iran, dan Saudi Arabia

Thompson menjelaskan adanya tiga strategi peliyanan meliputi peliyanan kolonial, neo-kolonial,

dan poskolnial. Pertama, strategi peliyanan kolonial menunjukkan cara-cara kolonial untuk

mendominasi maupun menghegemoni yang dijajah. Kedua, mengenai strategi peliyanan neo-

kolonial. Sejak berakhirnya masa kejayaan kekuasaan kolonial, cerita perjalanan berubah menjadi

apa yang dikatakan Lisle (via Thompson, 2011: 154) sebagai ‘cosmopolitan vision’ (visi

kosmopolitan) yaitu visi di mana cerita perjalanan berusaha untuk tidak merendahkan, tetapi

untuk mengangkat pihak lain dengan perbedaan budayanya.

Ketiga, strategi poskolonial memandang cerita perjalanan tanpa kecuali sebagai kekuatan

untuk kebaikan dunia atau secara sederhana sebagai perantara merayakan kebebasan manusia

(Cocker via Thompson, 2011: 162). Pada masa poskolonial ini muncul penulis perjalanan dari

dunia ketiga, dari kelompok-kelompok yang disebut subaltern. Cerita perjalanan yang ditulis oleh

penulis poskolonial berupaya menentang stereotipe dan sikap Barat terhadap budaya atau

tempat lain. Dari berbagai pendapat ini, kemudian agenda dalam cerita perjalanan dikatakan

sebagai implikasi etis dan politis yang merepresentasikan masyarakat dan budaya lain

(Thompson, 2011: 7). Dalam penelitian ini, agenda dalam cerita perjalanan dapat ditelusuri dari

cara penulis atau narator menggambarkan dunia yang berupa tempat dan orang. Agenda juga

dapat terimplikasi dari genre perjalanan, misal perjalanan wisata/turistik, perjalanan eksploratif,

dan sebagainya.

PEMBAHASAN

Penggambaran Dunia dan Epistemological Decorum

Penggambaran dunia dalam novel Haji Backpacker meliputi Thailand, Laos, Vietnam, Cina,

Tibet, Nepal, India, Pakistan, Iran, dan Saudi Arabia sebagai negara-negara yang dikunjungi.

Dalam penggambaran dunia ini terdapat dua pola penggambaran dunia, yakni pola objektif dan

pola subjektif. Penggambaran objektif tidak melibatkan perasaan, pandangan, sikap, dan

penilaian narator. Dunia yang digambarkan dalam cerita perjalanan dikatakan berjarak dengan

penulis (narator).

Sesampai di perbatasan para penumpang turun untuk mengantri di imigrasi perbatasan. Cukup cepat rupanya. Para penumpang kemudian kembali ke bus untuk membawanya menuju Thai Lao Friendship Bridge sebuah jembatan yang melintasi sungai Mekong.

Page 5: PERJALANAN MITOLOGIS DALAM NOVEL HAJI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Novi-Sri.pdf · Thailand, Laos, Vietnam, China, India, Tibet, Nepal, Iran, dan Saudi Arabia

Di jembatan itu bendera-bendera Thailand berjajar lalu disambut dengan bendera-bendera Laos. Setengah jam kemudian bus sudah memasuki imigrasi Vientieane. Dan kembali penumpang turun untuk mengisi formulir kedatangan. Mada mulai mengantri, namun saat petugas melihat tampang Mada, petugas tersebut langsung memerintahkan Mada di antrian bebas visa. Lumayan..., Mada bisa secepatnya kembali ke bus yang sudah menunggu untuk duduk istirahat (Irawan, 2014: 96).

Penggambaran di atas selintas menggambarkan subjektivitas tokoh yang bertumpang-tindih

dengan narator, yaitu seperti yang terlihat dari kata “cukup cepat” dan “lumayan”, subjektivitas

itu sangat dekat dengan netralitas, mengambil posisi tengah-tengah sehingga yang terasa

dominan tetap kesan objektifnya.

Tidak hanya dalam menggambarkan tempat-tempat yang dikunjungi, objektivitas juga

terlihat dalam penggambaran mengenai orang-orang yang ada di negara di atas. Narator/tokoh

cerita menggambarkan tokoh yang berasal dari Indonesia, yang ditemuinya di Thailand, juga

penduduk asli masing-masing negara yang dikunjungi. Selanjutnya mengenai penggambaran

dunia subjektif yang melibatkan perasaan, penilaian, penafsiran, atau pandangan narator.

Penggambaran dunia subjektif juga dikatakan sebagai keterlibatan diri dalam menggambarkan

dunia.

Sebagaimana dalam penggambaran objektif, penggambaran dunia secara subjektif ini juga

ditunjukkan narator di berbagai negara Asia yang dikunjungi tokoh Mada. Di antara kasus-kasus

yang menunjukkan penggambaran subjektif, terdapat kasus yang berbentuk pertanyaan-

pertanyaan, yang diarahkan untuk pembaca sehingga sifatnya tidak personal. Karena bersifat

tidak personal, maka subjektivitas semacam itu dikatakan sebagai subjektivitas kolektif.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan wujud lain dari ekspresi, artinya sesuatu yang tidak

terduga karena lepas dari norma atau pandangan yang sudah ada. Perhatikan kutipan di bawah

ini.

Siapa yang tak terkesima oleh ukuran kota yang sudah masuk kategori megapolitan ini? Siapa yang tak takjub melihat modernitas arsitektur kuburan Muhammad Ali Jinnah-sang Bapak Pendiri Pakistan, sang Quaid-e-Azam (Pemimpin Yang Agung)? Di mana lagi di Pakistan kita bisa melihat hiruk pikuk orang seramai di kota ini, dengan luas sebesar ini, dengan gedung tinggi dan peninggalan kolonial bertebaran di segala penjuru? (Irawan, 2014: 275)

Page 6: PERJALANAN MITOLOGIS DALAM NOVEL HAJI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Novi-Sri.pdf · Thailand, Laos, Vietnam, China, India, Tibet, Nepal, Iran, dan Saudi Arabia

Dari dua cara penggambaran dunia dalam novel ini, maka penggambaran dunia secara

subjektif lebih dominan daripada penggambaran dunia secara objektif. Pola penggambaran dunia

dalam novel ini bergerak dari objektif ke subjektif. Penggambaran dunia secara objektif ada yang

menggambarkan dunia secara objektif murni sehingga menyerupai wacana ilmiah seperti

penjelasan dalam buku-buku geografi. Ditemukan juga penggambaran dunia secara objektif

dengan menampilkan subjektivitas, namun pandangan objektif yang lebih dominan.

Penggambaran dunia secara objektif menginformasikan dunia yang dikunjungi, sedangkan

penggambaran dunia secara subjektif menunjukkan kehadiran (keterlibatan) diri yang lebih

dominan.

Novel Haji Backpacker sebagai sebuah cerita perjalanan terkandung strategi-strategi untuk

meraih kepercayaan pembaca atau yang disebut epistemological decorum oleh Thompson.

Strategi yang dominan digunakan narator/penulis novel ini ialah strategi objektivis faktual

(detail). Strategi ini ditemukan dalam penggambaran dunia di berbagai negara Asia yang

dikunjungi untuk menunjukkan kekhasan suatu negara seperti makanan, transportasi, dan lain-

lain. Tujuannya untuk menginformasikan kepada pembaca mengenai hal-hal asing atau baru di

berbagai negara Asia. Selain itu, strategi empirik dalam hal pemunculan beberapa bahasa asing,

baik bahasa Inggris maupun bahasa lokal untuk meyakinkan bahwa tokoh cerita benar-benar

melakukan perjalanan ke beberapa negara Asia dan berinteraksi langsung dengan penduduk di

sana.

Pengungkapan Diri dalam Novel Haji Backpacker

Cerita perjalanan dalam penelitian ini memperlihatkan pola campuran, yaitu antara pola

eksploratif, pola romantik, pola ziarah, bahkan pola picaresque. Pola picaresque sebenarnya

termasuk eksploratif, tetapi mengandung hal-hal mistis seperti dongeng tentang petualangan

seorang pangeran yang penuh dengan peristiwa-peristiwa magis dalam upayanya menemukan

(kembali) putri yang hilang. Penelitian ini memilih istilah pola perjalanan mitologis yang sekaligus

akan mengungkapkan diri mitologis.

Perjalanan eksploratif ditunjukkan dari perjalanan Mada yang tidak terencana, tidak seperti

perjalanan turistik yang biasanya diatur oleh sebuah agen perjalanan. Perjalanan yang dilakukan

Page 7: PERJALANAN MITOLOGIS DALAM NOVEL HAJI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Novi-Sri.pdf · Thailand, Laos, Vietnam, China, India, Tibet, Nepal, Iran, dan Saudi Arabia

tokoh Mada ini berangkat dari rasa keraguan terhadap keyakinannya selama menjadi seorang

Muslim. Hal ini terjadi karena Mada tidak mampu menghadapi musibah yang datang padanya

seperti meninggalnya ibunya, ditinggalkan calon istri di hari pernikahan, lalu sang ayah pun

meninggal saat Mada berada di Thailand. Penderitaan ini digambarkan narator sebagai sebuah

petualangan yang berakhir bahagia karena berhasil mencapai tujuan di sebuah tempat suci bagi

Muslim di dunia, yaitu Mekah, Saudi Arabia.

Ada kenyataan lain yang juga menunjukkan bahwa sebagian besar masalah teratasi justru

karena pertolongan orang lain, termasuk kekuatan gaib. Dalam hal ini sifat eksploratif novel

menjadi melemah. Begitu juga subjek yang tersingkap darinya. Hal ini pula yang membuat novel

ini menjadi dekat dengan pola cerita perjalanan yang lain, yaitu perjalanan ziarah dan mitologis.

Perjalanan ziarah adalah perjalanan ke tempat-tempat yang sakral atau suci dengan maksud

untuk memperkuat iman, memperbesar kekayaan spiritual, dan biasanya melalui berbagai

penderitaan. Tempat-tempat yang dianggap suci dalam cerita perjalanan ini merujuk pada

tempat-tempat ibadah seperti masjid, kuil, vihara, Istana Potala, dan Mekah yang masing-masing

terletak di Cina, Tibet, India, Pakistan, dan Saudi Arabia. Hanya saja, di antara penggambaran

tempat-tempat ibadah tersebut, yang terutama adalah masjid dan makam.

Perjalanan mitologis ialah perjalanan yang di dalamnya tokoh yang melakukan perjalanan

masuk ke berbagai wilayah yang jauh dan asing. Meskipun demikian, ia tidak pernah merasa takut

dan terasing karena di sepanjang perjalanan selalu akan ada kekuatan kodrati maupun adikodrati

yang memberikan pertolongan padanya. Dalam perjalanan yang penuh petualangan ini sang

tokoh sebenarnya tidak beranjak dari posisinya semula. Sejauh apa pun ia mengembara, yang

ditemukannya adalah dunia yang sudah lama dikenalnya. Begitu pula perjalanan Mada yang

membawanya kembali kepada posisinya semula, yaitu sebagai orang yang beriman.

Hal itu menunjukkan adanya keyakinan animis yang demikian tumbuh dalam komunitas

kecil yang biasanya disebut sebagai suku-suku tribal yang muncul jauh sebelum terbentuknya

masyarakat feodal yang melahirkan cerita perjalanan picaresque. Oleh karena itu, dengan

mendasarkan diri pada pengertian mengenai masyarakat pendukung epik yang diberikan oleh

Georg Lukacs (via Faruk, 2010: 92), yaitu masyarakat yang masih sangat dekat dengan alam dan

kekuatan-kekuatan adikodrati dewa-dewa. Penelitian ini menyebut perjalanan Mada di atas

Page 8: PERJALANAN MITOLOGIS DALAM NOVEL HAJI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Novi-Sri.pdf · Thailand, Laos, Vietnam, China, India, Tibet, Nepal, Iran, dan Saudi Arabia

sebagai perjalanan epik atau mitologis. Lukacs mengajukan cerita perjalanan Odyssey sebagai

contoh dari perjalanan epik atau mitologis yang demikian.

Pola perjalanan yang ada di dalam novel ini tidak sepenuhnya sama dengan perjalanan

mitologis karena di dalamnya terkandung juga pola perjalanan yang eksploratif dan ziarah.

Apabila di dalam cerita perjalanan epik sang tokoh tidak pernah merasakan keraguan sedikit pun

dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ada di hadapannya, di dalam novel ini Mada

digambarkan sebagai tokoh yang sejak semula ragu, mengalami kegoyahan iman kepada Tuhan.

Di samping itu, apabila perjalanan epik/mitologis mengimplikasikan kepercayaan yang animistik,

politeis, perjalanan ziarah mengimplikasikan kepercayaan yang monotheis.

Dari pola perjalanan yang demikian dengan berbagai indikasi tambahannya, dapat

dikatakan bahwa diri yang diungkapkan oleh cerita perjalanan ini adalah diri campuran antara

diri yang ukhrawi dengan duniawi, diri yang monoteistik dengan yang animistik dan politeistik.

Dengan didukung oleh kenyataan bahwa ajaran keagamaan yang dianut Mada sebenarnya

adalah ajaran keagamaan yang berbasis tasawuf. Dalam sejarah Islam di Indonesia diri yang

demikian bisa dimasukkan ke dalam diri penganut Islam tradisional yang secara organisasional

dimasukkan ke dalam bagian dari umat Nahdlatul Ulama (NU).

“Alhamdulillah, aku sudah bisa dekat dengan ayah. Aku selalu berziarah. Aku juga, alhamdulillah, bisa berziarah ke makam Rasul. Semoga Allah mengampuni dosa-dosaku…”

“Amin, amin…jadi, kapan kamu pulang?” “Insyaallah, selepas ibadah haji nanti, kak. Doakan aku…” “Emang kamu punya uang?” “Setidak-tidaknya,” seloroh Mada, aku bisa menelpon kakak dari sini. Itu artinya

aku punya… (Irawan, 2014: 308)

Kutipan di atas menunjukkan keyakinan Mada yang bergerak di antara keyakinan sufistik

yang vertikal dan abstrak dengan kehidupan duniawi yang konkret, antara kedekatan dengan

Tuhan dengan ikatan yang kuat pada kerabat. Meskipun digambarkan sebagai penganut tasawuf,

kekuatan dan daya hidup Mada tidak hanya didorong oleh kekuatan Illahiah yang impersonal,

melainkan juga ikatan dalam hubungan dengan orang tua yang bersifat personal. Di dalam

sejarah sistem kepercayaan umat manusia, keyakinan keagamaan yang juga dipengaruhi oleh

ikatan kerabat yang demikian dikenal sebagai keyakinan animis yang memuja nenek moyang.

Page 9: PERJALANAN MITOLOGIS DALAM NOVEL HAJI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Novi-Sri.pdf · Thailand, Laos, Vietnam, China, India, Tibet, Nepal, Iran, dan Saudi Arabia

Halnya berbeda dari keyakinan agama Islam yang mengikatkan diri pada Tuhan yang Esa dan

bersifat impersonal.

Representasi Liyan dalam Novel Haji Backpacker

Representasi liyan dalam novel Haji Backpacker didasarkan pada beberapa kategori

seperti sosial, ras, geografi, politik, dan budaya/tradisi. Strategi kolonial berdasar sosial

memandang Asia (Timur) terdiri dari kesatuan sosial yang tidak utuh, liyan berstatus sosial tinggi

dipandang buruk, sedangkan liyan berstatus sosial rendah dipandang baik. Peliyanan berdasar

ras memandang Barat sebagai liyan berkulit putih yang heterogen, ada Barat yang diposisikan

lebih tinggi daripada Timur, ada juga Barat yang disejajarkan dengan Timur, dan tidak melakukan

pelecehan terhadap Timur.

Liyan berdasar geografis meliputi negara-negara yang dikunjungi yang sudah disebutkan

sebelumnya. Wilayah geografis pada liyan dibatasi pada ruang perbatasan, ruang kota, ruang

pegunungan, dan persawahan. Pandangan terhadap liyan dipengaruhi cara pandang kolonial

pada ruang perbatasan dan ruang kota, sedangkan pandangan poskolonial ditujukan pada ruang

pegunungan dan ruang persawahan. Liyan berdasar politik memicu cara pandang yang

dipengaruhi kolonial karena politik dalam novel ini dianggap sumber dari konflik yang terjadi di

negara seperti Pakistan dan Iran. Konflik politik menyeret agama sebagai korbannya sehingga

menyebabkan aksi-aksi terorisme dan kekerasan lainnya.

Liyan berdasar kebudayaan/tradisi selalu dipandang baik meskipun kebudaayaan/tradisi

berbeda dengan diri. Narator menggambarkan subjek atau diri sebagai diri yang mudah

membaur dengan ritual-ritual keagamaan di tempat asing selama masih satu keyakinan dengan

dirinya, yakni Islam. Berbeda saat melihat ritual keagamaan di Tibet yang menunjukkan ritual

agama Buddha. Selain Tibet, India sebagai liyan memberikan pengaruh kuat terhadap diri yang

terungkap. Banyaknya kasus dalam novel ini yang menunjukkan penghargaan budaya lain

semakin menguatkan sikap plural narator/Mada sebagai subjek postmodernis. Dikatakan

demikian karena subjek/diri dalam cerita perjalanan ini menunjukkan tumpangtindih antara diri

Page 10: PERJALANAN MITOLOGIS DALAM NOVEL HAJI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Novi-Sri.pdf · Thailand, Laos, Vietnam, China, India, Tibet, Nepal, Iran, dan Saudi Arabia

dengan liyan, penemuan diri, Tuhan, dan kerabat sehingga hierarki antara Barat dan Timur tidak

berlaku lagi di sini.

Dari pemaparan mengenai strategi peliyanan ini, narator/tokoh cerita lebih banyak

menggunakan pandangan yang mendua terhadap liyan atau negara-negara yang dikunjungi.

Pandangan mendua ini menunjukkan perubahan

pandangan dari pandangan buruk (merendahkan) menjadi pandangan yang baik. Pandangan

yang buruk/merendahkan masih dipengaruhi oleh pandangan kolonial, sedangkan pandangan

baik/menghargai liyan merupakan pandangan poskolonial. Dengan demikian, antara kolonial

atau poskolonial, strategi peliyanan yang digunakan dalam novel Haji Backpacker menunjukkan

strategi peliyanan poskolonial.

“Aku pikir, menjadi manusia dan beragama itu hak setiap orang,” jawab Fuzhi. “Haruskah perbedaan mendatangkan pertikaian? Itulah politik. Aku pedagang. Dan aku bukan politisi” (Irawan, 2014: 210).

Kutipan di atas sebagai salah satu bukti bahwa novel ini memperlihatkan kecenderungan

pluralistik dalam strategi peliyanannya. Negeri-negeri Asia yang dikunjungi digambarkan sebagai

tempat-tempat dan orang-orang yang tidak homogen, mengandung unsur Timur dan Barat di

dalam dirinya secara sekaligus. Dasar nilai yang digunakan narator dalam novel perjalanan ini

tidak eksplisit dan hanya dapat dilihat secara analitik. Dalam novel ini setidaknya terdapat dua

pernyataan mengenai sikap apolitis. Pertama adalah sikap seorang tokoh cerita bernama Fuzhi

yang mengecam diskriminasi etnis/agama yang terjadi di Cina. Kedua ditunjukkan oleh sikap

Mada terhadap konflik politik antara Iran dengan Pakistan. Pandangan Fuzhi di atas tampaknya

didasarkan pada hak asasi manusia yang dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)1

1 Kebebasan beragama merupakan salah satu hak asasi manusia yang tercantum dalam Pasal 2 The Universal

Declaration of Human Rights, yang dalam bahasa Indonesia berbunyi, “Setiap orang berhak atas semua hak dan

kebebasan yang tercantum dalam Deklarasi ini, tanpa perbedaan apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin,

bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status

lainnya. Selanjutnya, pembedaan tidak dapat dilakukan atas dasar status politik, hukum atau internasional dari

negara atau wilayah seseorang berasal, apakah itu independen, kepercayaan, non-pemerintahan sendiri, atau

berada di bawah batasan kedaulatan yang lain” (The Universal Declaration of Human Rights, diakses dari

www.un.or pada tanggal 15 Oktober 2015 pukul 11.00 WIB).

Page 11: PERJALANAN MITOLOGIS DALAM NOVEL HAJI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Novi-Sri.pdf · Thailand, Laos, Vietnam, China, India, Tibet, Nepal, Iran, dan Saudi Arabia

dan dapat dimasukkan ke dalam bagian dari nilai-nilai kosmpolitan. Begitu juga nilai yang kedua

mengenai “perbedaan”2 di atas.

Kenyataan tersebut yang membuat strategi peliyanan novel ini lebih tepat ditempatkan

dalam strategi peliyanan postmodern3 daripada peliyanan neo-kolonial. Neo-kolonial ialah istilah

yang kadang-kadang digunakan untuk tatanan dunia modern, yang sebagian besar negara-

negara maju di Barat memiliki bentuk nyata dari dominasi kolonial. Namun demikian, terus

menjalankan kekuasaan yang sangat besar di seluruh dunia melalui ekonomi dan budaya.4 Dalam

bahasa yang lebih sederhana, Loomba (2003: 9) menjelaskan bahwa kondisi neo-kolonial

merupakan kondisi yang berusaha lepas dari dominasi maupun pengaruh kolonial, namun masih

tergantung dalam hal ekonomi dan budaya.Hal tersebut tidak dengan sendirinya diartikan bahwa

novel ini menolak nilai-nilai Barat. Ia hanya membedakan diri dari Barat seperti yang terungkap

dalam kasus perbedaan tafsir mengenai mimpi

Agenda dalam Novel Haji Backpacker

Novel Haji Backpacker sebagai cerita perjalanan menggambarkan jejak-jejak Islam di

beberapa negara Asia di luar Indonesia yang meliputi Thailand, Pakistan, Iran, Saudi Arabia, Cina,

dan India. Akan tetapi, di antara negara-neagra tersebut ada satu negara sebagai tempat diri

narator/tokoh cerita menemukan dirinya, yaitu Islam yang sesuai dengan dirinya. Tempat yang

dimaksud ialah India yang memiliki persamaan dengan Islam di negeri tokoh cerita, yakni

Indonesia (Irawan, 2014: 237). Persamaan ini terutama dalam hal ajaran tasawuf dan tokoh sufi

yang ditemui di India yang juga terdapat di Indonesia, bahkan wali yang menjadi pimpinan

mereka juga dihormati di Indonesia. Ajaran keagamaan yang berlatarbelakang tasawuf, di

2 The Universal Declaration of Human Rights, loc. cit.

3 Postmodern sering digunakan untuk menggambarkan pergeseran selera dan gaya yang terjadi dalam budaya Barat

pada pertengahan hingga akhir abad ke-20. Jadi, penyebutan postmodernisme memilih dari berbagai sumber

sehingga sulit untuk mengkategorikannya secara tepat, tetapi mewujudkan gaya atau kepekaan postmodernis

biasanya perwujudan main-main yang bersifat ironis. Penganut postmodernis biasanya menyatakan bahwa

kebenaran adalah relatif dan mutlak bahwa moral dan narasi besar mengenai kemajuan dan perkembangan sejarah

hanyalah fiksi (Carl Thompson, 2011, Travel Writing, Routledge Taylor & Francis Group, New York, hlm. 204). 4 Ibid, hlm. 202

Page 12: PERJALANAN MITOLOGIS DALAM NOVEL HAJI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Novi-Sri.pdf · Thailand, Laos, Vietnam, China, India, Tibet, Nepal, Iran, dan Saudi Arabia

Indonesia dianut oleh para penganut Islam tradisional yang secara organisasi dimasukkan ke

dalam bagian dari umat Nahdlatul Ulama (NU).

Sehubungan dengan penjelasan di atas, relasi antara Timur, Barat, dan Islam

menunjukkan hubungan yang saling mempengaruhi. Dalam novel Haji Backpacker ini Timur

mencakup negara-negara yang menjadi bekas jajahan Barat, termasuk Indonesia. Islam juga

ditemukan di Timur seperti Indonesia, Thailand, India, Pakistan, Iran, dan Saudi Arabia. Islam yang

ditemukan di negara-negara tersebut berbeda-beda karena diri narator/tokoh cerita sudah

memiliki standar keislamannya sendiri. Ketika diri dalam novel melihat ritual keagamaan yang

tidak sesuai dengannya, ia memberikan jarak meskipun diri tetap terpengaruh.

Setelah diri menemukan Islam yang sesuai dengan jati dirinya, yakni Islam tradisional

seperti di Indonesia diri membaur sebagaimana tergambar di India. Kemudian mengenai Barat

yang kehadirannya sangat minim di dalam novel ini. Meskipun demikian, Barat tetap

teridentifikasi dari gambaran negara-negara Timur yang juga menggambarkan Islam di beberapa

negara. Jadi, antara Timur, Islam, dan Barat, Islamlah yang kedudukannya lebih penting karena

pada akhirnya Islam yang menjadi perantara lancarnya perjalanan yang dilakukan oleh diri hingga

perjalanannya usai.

Dalam novel Haji Backpacker, terdapat beberapa hal yang menunjukkan bahwa Islam

tradisional yang tergambar dari subjek mitologis merupakan Islam sinkretik, yang menurut Islam

modern telah dipengaruhi TBC.5 Adanya kepercayaan terhadap animisme-dinamisme

digambarkan dari komunikasi lewat mimpi antara diri tokoh dengan kedua orang tuanya yang

telah meninggal. Kehadiran sosok kedua orang tuanya yang telah meninggal memberikan

pengaruh yang kuat di kehidupannya sebagai manusia. Hal ini menguatkan adanya kepercayaan

animisme seperti yang pernah dibahas sebelumnya. Tergambar pula pada saat berada di India,

makam seorang pimpinan tarekat terkenal di India begitu banyak didatangi para peziarah yang

percaya bahwa mereka bisa memperoleh berkah di sana.

Dari seluruh uraian di atas, novel Haji Backpacker telah berusaha membebaskan diri dari

wacana kolonial maupun poskolonial. Novel ini juga tidak menunjukkan wacana neo-kolonial

5 TBC digunakan kelompok modern untuk menyebut tiga jenis kebatilan/keburukan yang masih dilakukan oleh umat

Islam hingga saat ini. TBC n singkatan dari takhayul, bid’ah, dan churofat (ajaran yang tidak masuk akal).

Page 13: PERJALANAN MITOLOGIS DALAM NOVEL HAJI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Novi-Sri.pdf · Thailand, Laos, Vietnam, China, India, Tibet, Nepal, Iran, dan Saudi Arabia

karena nilai-nilai yang terdapat di dalamnya bukan nilai-nilai universal Barat, tetapi nilai-nilai NU.6

Meskipun nilai-nilai yang tergambar adalah nilai-nilai NU, bukan berarti tidak ada nilai-nilai

universal. Dalam novel ini juga terdapat nilai-nilai universal yang berdasarkan nilai Barat, tetapi

yang dominan adalah nilai-nilai NU. Hal itu tidak berarti bahwa agendanya terperangkap pada

wacana Barat yang disebut dengan wacana neo-kolonial.

KESIMPULAN

Dari segi penggambaran dunia, negara-negara yang dikunjungi tokoh lebih menonjolkan

subjektivitas dengan memperlihatkan gerakan dari pandangan jarak jauh ke jarak yang dekat.

Dari segi pola cerita perjalanan yang digunakan, novel ini memperlihatkan tiga kecenderungan,

yaitu kecenderungan kepada pola cerita perjalanan romantik, pola perjalanan eksploratif, dan

pola cerita perjalanan mitologis. Dibandingkan dengan sifat romantik dan eksploratifnya, pola

cerita perjalanan mitologis tampak lebih kuat dan lebih berpengaruh terhadap perjalanan tokoh

cerita. Di sepanjang perjalanan dan di banyak masalah yang dihadapi, tokoh cerita seakan

dipandu oleh kekuatan gaib, terutama mimpi atau bisikkan yang satu saat seakan menjadi

kenyataan. Menyatunya hal-hal nyata dan gaib dalam cerita perjalanan dalam novel Haji

Backpacker konsisten dalam strategi peliyanannya yang dominan, yaitu gabungan antara strategi

peliyanan kolonial dengan poskolonial, yang disebut sebagai strategi peliyanan neo-kolonialisme

karena sumber nilai yang dominan adalah nilai lokal/primordial.

Selanjutnya, dari ketiga hal di atas terimplikasi agenda etis dan politis. Secara etis, novel

Haji Backpacker menunjukkan sikap pluralistik dan toleransi dengan mengacu pada nilai-nilai

lokal/primordial. Nilai-nilai itu membuat novel ini mencoba untuk memahami dan tidak segera

melakukan penghakiman terhadap masyarakat dan tempat-tempat Asia yang dikunjungi tokoh.

Secara politis, cerita perjalanan dalam novel ini berhasil melaksanakan agenda pembebasan diri

dari hegemoni kolonialisme, tidak terperangkap ke dalam neo-kolonialisme yang menganut nilai-

nilai kosmopolit Barat sebagai bekas penjajah wilayah geografis, sosial, dan kultural dari Asia. Hal

6 Lihat Clifford Geertz, 1989, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta, hlm. 202-204

Page 14: PERJALANAN MITOLOGIS DALAM NOVEL HAJI …susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/Novi-Sri.pdf · Thailand, Laos, Vietnam, China, India, Tibet, Nepal, Iran, dan Saudi Arabia

itu menunjukkan sikap postmodern novel ini sebagaimana telah disebutkan dalam strategi

peliyanan.

DAFTAR PUSTAKA Bhabha, Homi K. 1994. Location of Culture. New York: Routledge.

_____. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra dan Strukturalisme Genetik sampai Post-

modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. _____. 2012. Metode Penelitian Sastra Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

http://www.goodreads.com/book/show/10318904-haji-backpacker-2. Diakses pada 1 Oktober 2015 pukul 10.43 WIB.

Irawan, Aguk. 2014. Haji Backpacker 9 Negara Satu Tujuan. Jakarta: MBooks. Lisle, Debbie. 2006. The Global Politics of Contemporary Travel Writing. New York: Cambridge

University Press. Loomba, Ania. Kolonialisme/Pascakolonialisme. 2003. Yogyakarta: Penerbit Bentang. Said, Edward W. 2010. Orientalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. The Universal Declaration of Human Rights diakses dari www.un.or pada Kamis, 15 Oktober

2015 pukul 11.00 WIB.

Thompson, Carl. 2011. Travel Writing. New York: Routledge Taylor & Francis Group.