Upload
others
View
15
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
56
BAB III
PELESTARIAN BUDAYA SABU DAN PERUBAHAN AKULTURASI
(Di Kelurahan Kambaniru dan Kecamatan Umalalu)
Dalam bab ini, akan dibahas mengenai hasil penelitian yang dimulai dengan
pembahasan deskripsi umum daerah penelitian yakni Kelurahan Kambaniru dan Kecamatan
Umalulu, perjumpaan orang Sabu dan budayanya dengan orang Sumba, serta proses
akulturasi yang terjadi dalam penerimaan unsur-unsur budaya Sumba dalam budaya Sabu di
kelurahan Kambaniru dan Kecamatan Umalulu Kabupaten Sumba Timur.
A. SELAYANG PANDANG KOMUNITAS ORANG SABU
1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Sumba Timur – Kelurahan
Kambaniru dan Kecamatan Umalulu
Gambar 1. Peta Pulau Sumba
57
Kabupaten Sumba Timur merupakan salah satu kabupaten dari keempat kabupaten
di Pulau Sumba, propinsi Nusa Tenggara Timur. Wilayah kabupaten ini menempati
bagian timur dari Pulau Sumba. Sebelah utara berbatasan dengan Selat Sumba, sebelah
timur dengan Laut Sabu, sebelah selatan dengan Samudra Hindia, dan sebelah barat
dengan kabupaten Sumba Barat. Kondisi topografi Sumba Timur secara umum datar (di
daerah pesisir), landai sampai bergelombang (wilayah dataran rendah <100 meter) dan
berbukit (pegunungan). Daerah dengan ketinggian di atas 1000 m hanya sedikit di
wilayah perbukitan dan gunung. Lahan pertanian terutama di dataran pantai utara, yang
memiliki cukup air di permukaan maupun sungai-sungai besar. Setidaknya terdapat 88
Sungai dan mata air yang tidak kering di musim kemarau. Kabupaten ini beriklim tropis
dengan musim hujan yang relatif pendek dan musim kemarau yang panjang (delapan
bulan). Musim hujan biasanya terjadi di bulan Desember sampai Maret untuk daerah
pesisir dan November sampai April di daerah pedalaman. Jumlah curah hujan dalam
setahun 1.860 milimeter, sehingga daerah ini termasuk daerah beriklim kering. Meskipun
keadaan tanahnya kurang subur, lebih dari separuh penduduk kabupaten Sumba Timur
ini adalah petani. Selain itu ada juga yang bekerja sebagai peternak, pegawai, buruh,
nelayan, wiraswasta dan lain-lain.
a. Kelurahan Kambaniru 1
1) Luas dan Batas Wilayah
Adapun Keluharan Kambaniru merupakan salah satu kelurahan yang
berada di Kecamatan Kambera, yang terletak di Kabupaten Sumba Timur
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Luas wilayah kelurahan Kambaniru adalah 16
Km2 yang terdiri dari 8 RW dan 30 RT dengan batas wilayah sebagai berikut :
1 Renstra Kelurahan Kambaniru Tahun 2013, hal. 3
58
Sebelah Timur berbatasan dengan Muara sungai Kambaniru dan kelurahan
Mauhau
Sebelah Barat berbatasan dengan kelurahan Prailiu
Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Sumba
Sebelah Selatan berbatasan dengan kelurahan Wangga.
2) Kondisi Demografi Kelurahan Kambaniru
Jumlah penduduk kelurahan Kambaniru adalah sebanyak 6.552 jiwa
terdiri dari :
Laki-laki : 3. 306 jiwa
Perempuan : 3. 216 jiwa
Jumlah Kepala Keluarga : 1. 535 KK
Adapun data ini dapat berubah (tidak tetap), mengingat terjadinya
pertambahan jumlah penduduk karena kelahiran atau pendatang baru dan
menetap serta adanya pengurangan jumlah penduduk yang disebabkan oleh
karena kematian dan penduduk yang keluar daerah dengan alasan lain seperti
sekolah, kuliah, atau mencari pekerjaan di luar daerah Sumba. Kondisi wilayah
Kelurahan Kambaniru terdiri dari sebagian hanya ditumbuhi oleh pohon kelapa
dan lontar, sebagian wilayahnya terdapat hamparan persawahan irigasi yang
setiap tahun menghijau. Kelurahan Kambaniru memiliki sungai dengan panjang
± 1500M. Wilayah kelurahan Kambaniru beriklim panas terutama pada bulan
Agustus – Oktober.
Tingkat pendidikan penduduk di kelurahan Kambaniru dapat dikatakan
cukup baik. Hal ini nampak dari data tingkat pendidikan yakni sekitar 5 %
penduduk yang tidak pernah sekolah; 10 % penduduk tidak tamat SD; 18%
59
penduduk tamat SD; 20 % tamat SLTP; 33 % jumlah penduduk telah tamat
SLTA; dan 14% penduduk yang telah tamat perguruan tinggi.
Berdasarkan kondisi wilayah dan tingkat pendidikan tersebut, turut
mempengaruhi mata pencaharian penduduk yang bervariasi. Sebagian penduduk
memiliki mata pencaharian sebagai petani, peternak, nelayan, buruh, tukang,
montir dan penganguran tak kentara (kebanyakan pemuda). Sedangkan bagi
mereka yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi seperti SMA dan
Perguruan Tinggi, memiliki pekerjaan yang bersifat organisasi seperti di bagian
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Pegawai Negeri Sipil (Guru, pegawai
kantor, perawat, bidan), pegawai swasta, berdagang dan lain sebagainya.
Dari segi kepercayaan dan keagamaan, secara keseluruhan penduduk
Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba
(GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen Katholik. Adapun
dalam wilayah kelurahan Kambaniru terdapat beberapa suku yang mendiaminya
yakni suku Sabu, Sumba, Rote, Jawa, Flores, Timor, dan lain-lain. Dan sebagian
besar wilayah Kambaniru didiami oleh masyarakat suku Sabu.
b. Kecamatan Umalulu 2
1) Letak Geografis Kecamatan Umalulu
Kecamatan Umalulu terletak di Pulau Sumba bagian Barat Laut
Kabupaten Sumba Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur. Luas kecamatan
Umalulu 307, 9 Km² atau 30.790 hektar dengan letak yang umumnya di
sepanjang pantai utara berbukit dan curah hujan yang sangat rendah dan tidak
merata tiap tahun, dimana musim penghujan relatif pendek bila dibanding
2 Umalulu dalam Angka 2013, hal.2-3
60
musim kemarau. Menurut PP No. 46 Tahun 1992 kecamatan Umalulu
berbatasan dengan :
Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Sawu
Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Paberiwai dan Kahaungu Eti
Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Rindi
Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Pandawai
2) Kondisi Demografi Kecamatan Umalulu
Kecamatan Umalulu mempunyai wilayah administrasi yang terdiri dari 9
Desa dan 1 Kelurahan, 26 Dusun, 53 rukun tetangga, 3449 rumah tangga.
Berdasarkan data sensus Desember 2012, jumlah penduduk kecamatan Umalulu
sebanyak 16.734 jiwa, dengan jumlah rumah tangga sebanyak 3.488 yang terdiri
dari 8.567 orang laki-laki dan perempuan berjumlah 7.982 jiwa. Topografi
wilayah kecamatan Umalulu sebagian besar merupakan daerah pantai dengan
curah hujan yang rendah dan tidak merata tiap tahun. Ketinggian masing-masing
desa/kelurahan dari permukaan laut berada di antara 3–340 m.
Adapun tingkat pendidikan penduduk di Umalulu yang belum bisa
dikatakan baik. Hal ini dilihat dari data tingkat pendidikan yang menyatakan
bahwa sekitar 30% dari jumlah penduduk yang tidak bersekolah atau tidak
menyelesaikan pendidikannya di tingkat Sekolah Dasar (SD); 20% penduduk
menyelesaikan pendidikannya hingga ke tingkat SD; 15% untuk tingkat SLTP
dan 25 % tingkat SLTA; 10% untuk tingkat perguruan tinggi, baik tingkat D3,
S1,dan lain sebagainya.
Berdasarkan tingkat pendidikan penduduk yang rendah, membawa
pengaruh terhadap mata pencaharian penduduk. Sebagian besar penduduk
memiliki mata pencaharian sebagai petani, dan lainnya menjadi peternak,
61
nelayan, pedagang, industri kerajinan, guru, perawat, pegawai negeri dan
pegawai swasta. Dari segi kepercayaan dan keagamaan, sebagian besar dari
penduduk Umalulu menganut agama Kristen Protestan, dan ada juga penduduk
yang masih menganut kepercayaan Marapu, dan agama lain seperti agama Islam
dan Hindu.
2. Sejarah Perjumpaan Komunitas Orang Sabu di Kambaniru dan Umalulu3
Orang Sabu adalah pendatang terbesar yang sifatnya imigrasi ke daerah Sumba.
Kedatangan mereka di Sumba dilakukan secara bertahap sejak dahulu kala yakni pada
masa para leluhur hingga proses migrasi pada saat ini. Kebanyakan mereka datang dan
langsung menempati daerah-daerah pesisir laut dan di daerah khusus yang telah
ditetapkan oleh pemerintah NTT dan kolonial Belanda seperti di kelurahan Kambaniru
dan Umalulu. Demikianlah sejarah kedatangan orang Sabu pertama kali di Sumba,
dimulai dari kisah legenda sejarah masyarakat Sumba dan Sabu, keterlibatan dengan
pihak ketiga (yakni Belanda dan misi penyebaran agama Kristen) dan migrasi orang
Sabu ke daerah Sumba hingga saat ini.
a. Hubungan Emosional antara Suku Sumba dan Sabu
Hubungan antara leluhur dari kedua Suku Bangsa (Sumba dan Sabu)
Legenda menuturkan bahwa nenek moyang orang Sabu terdahulu berdiam
di Tanjung Sasar pada sebuah kampung yang bernama “Paraingu Hawu” (negeri
Sabu). Tuturan silsilah yang beredar di suku Sumba maupun di Sabu mengatakan
bahwa para leluhurnya bersaudara kandung. Leluhur suku Sabu bernama Hawu
Meha (Laki-laki) dan leluhur suku Sumba bernama Humba Meha (Perempuan).
Humba Meha kawin dengan Umbu Harandipa Wolu Mandoku.4 Meskipun
3 Hasil wawancara dengan Pdt. Pala Hambarandi, S. Si., Teol pada tanggal Sabtu, 12 Oktober 2013
4 Bnd. F. D. Wellem Injil dan Marapu, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004 ), h.126-127
62
Humba Meha menetap di Sumba, Hawu Meha tetap menjalin hubungan
persaudaran dengan Humba Meha. Hawu Meha memberikan sebuah panggilan
manis bagi saudaranya di Sumba dengan sebutan ‘Do Wa’ (artinya orang yang
tinggal di bagian barat – bira wa : barat). Panggilan ini pun menjadi panggilan
yang lazim digunakan kepada orang sabu yang berada di Sumba hingga pada
masa kini. 5
Hubungan Marga (Kabihu atau Udu)
Marga-marga (Kabihu) di Sumba dan marga-marga (udu-udu) di Sabu
mempunyai hubungan persaudaraan karena berasal dari leluhur yang sama dan
hanya istilah/nama saja yang berbeda, misalnya : Luku Walu (Sumba) = Do Na
Luru (Sabu); Watupelitu (Sumba) = Do Na Taga (Sabu); Anamburung (Sumba) =
Do Na Horo (Sabu); Mbaradita (Sumba) = Do Ke Koro (Sabu); Nipa (Sumba) =
Do Na Hipa (Sabu); Matalui (Sumba) = Do Na Mata (Sabu), dan lain-lain
sebagainya.
Hubungan Kawin Mawin
Kawin mawin telah terjadi di antara orang Sabu dan orang Sumba sejak
zaman dahulu kala hingga saat ini, antara lain :
1) Umbu Jara Watu (bangsawan Sabu) kawin dengan Rambu Mai Nggadi (anak
dari Umbu Tarubu Huru Nggaba / bangsawan Lukumara).
2) Umbu Kaho Manu dengan Rambu Bangu Kahi (putri bangsawan Ruku
Maru).
3) Umbu Jami Riwu (bangsawan Sabu) kawin dengan Rambu Paji Jera
maramba hawu (Putri bangsawan Mangili )
5 Wawancara dengan Bpk. D. D. Hebi pada tanggal Selasa 15 Oktober 2013
63
4) Umbu Ngg. Haumara (putra bangsawan Watupelit - Melolo) kawin dengan
putri bangsawan sabu Melolo (Do Na Taga - saudari dari Ama Nai Jawa
(Raja Sabu) dan Ama Dima Talo).
5) Umbu Njanja Taranau (bangsawan Mangili) kawin dengan Rambu Kado
Buki (bangsawan Mesara - Sabu).
6) Perkawinan antara putra Sabu dengan putri Rende
7) Perkawinan antara anak Raja Mangili dan Melolo menikah dengan anak Raja
Seba (Sawu)
b. Transmigran dari Pulau Sabu (Rai Hawu)
Perpindahan penduduk dari Pulau Sabu telah terjadi sejak zaman dulu hingga
sekarang, baik secara mandiri maupun atas prakarsa pemerintah.
1. Transmigran Mandiri6
Perpindahan secara madiri telah terjadi dari zaman dahulu yaitu dalam
kelompok-kelompok misalnya marga Hawu – Horikundu, Kanatang-Dukuwatu,
Haloi-Anajawa, Kabundung – Kanjonga Luku. Selain itu pada tahun 1848 terjadi
juga perpindahan orang Sabu ke Sumba. Mereka itu berpindah dalam suatu
kelompok yang besar degan membawa serta istri dan anak-anaknya. Mereka
berdiam di Kadumbul, pantai utara, bagian timur Sumba. Mereka berpindah atas
inisiatif sendiri untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Mereka itu hidup
berintegrasi dengan masyarakat Sumba.7
2. Transmigran oleh Pemerintah Hindia – Belanda
a) Atas usul Raja Seba Ama Nia Jawa
6 Wawancara dengan Bpk. Makana pada tanggal Senin 14 Oktober 2013
7 Bnd. F. D. Wellem, Injil dan Marapu, h. 127
64
Raja Seba mengusulkan kepada Residen Izaac Esser pada tahun 1862
untuk memindahkan 400 orang Sabu ke Kadumbul dengan maksud untuk
memberi kesempatan memperoleh lapangan kerja dan mendapatkan kehidupan
yang lebih baik dan juga untuk mengekang gerak-gerik orang Ende yang
merugikan penduduk Sumba.8
b) Atas inisiatif pemerintah Hindia Belanda
Pemerintah Hindia Belanda mentransmigrasikan sejumlah orang Sabu ke
Sumba pada akhir abad ke-19. Mereka itu ditempatkan di Melolo (wilayah
Kerajaan Melolo) dan di Kambaniru (wilayah kerajaan Kambera).
c) Atas Inisiatif Pemerintah NTT
Pemerintah NTT memindahkan penduduk dari Sabu ke Sumba.
Perpindahan ini terjadi pada masa bapak Gubernur El Tari. Mereka yang
dipindahkan itu pada tahun 1977 ditempatkan di Petawang sebanyak 33
keluarga. Adapun perpindahan itu bermotif ekonomi demi memperoleh
kehidupan yang lebih baik.
Adapun latar belakang perpindahan orang Sabu ke sumba bervariasi.
Perpindahan bermotif ekonomi (perdagangan), karena di Sumba terdapat banyak
pohon lontar, bermotif politis yakni menyangkut keamanan dan untuk memadamkan
peperangan yang terjadi dan untuk mencegah perdagangan budak yang dilakukan oleh
orang-orang Ende.9 Perpindahan orang Sabu juga bermotif agama yakni penyebaran
agama Kristen. Demikianlah sejarah keberadaan orang Sabu di Sumba Timur yang
secara langsung berjumpa dan berinteraksi dengan masyarakat Sumba hingga saat ini.
8 Bnd. Oe. H. Kapita, Sumba dalam Jangkauan Jaman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), h. 27.
9 Kapita dalam bukunya ‘Sumba dalam Jangkauan Jaman’ menuturkan bahwa perpindahan sejumlah
besar orang Sabu ke Sumba juga terkait dengan persoalan perang Mbatakapidu (Juli-Agustus 1874) antara Ama
Kuji Bire (Saudara ) dengan Umbu Ndai Litiata Tanahomba (Raja Mbatakapidu).
65
B. BUDAYA DAN ADAT ISTIADAT SABU
Sebuah ungkapan populer dalam Bahasa Indonesia ”Di mana bumi dipijak, di situ
langit dijunjung”. Artinya dimana kita berada dan menetap maka kebiasaan setempat
harus kita ikuti atau perhatikan. Hal ini kelihatannya tidak berlaku secara penuh bagi
komunitas orang Sabu yang bermigrasi dan berdomisili di Kambaniru dan Umalulu. Akan
tetapi karena budaya itu bersifat dinamis maka ia mengalami perubahan sesuai dengan
perkembangan zaman dan pengaruh perjumpaan dengan orang Sumba. Di sini akan
diuraikan mengenai beberapa unsur budaya Sabu yang tetap dilaksanakan oleh orang Sabu
di Kambaniru dan Umalulu, sebagai berikut:
1) Sistem peralatan dan perlengkapan :
a) Pakaian Adat Orang Sabu :10
1. Pakaian adat laki-laki sabu terdiri dari ikat kepala, kemeja berlengan panjang
berwarna putih polos. Tubuh bagian bawah ditutupi oleh sarung tenun dan
sehelai kain tenun berukuran kecil diselempangkan di bagian bahu.
2. Pakaian adat perempuan sabu : biasanya mengenakan baju kebaya pendek dan
bagian bawahnya mengenakan kain tenun dua kali lilitan dan tanpa asesories.
3. Pakaian adat perkawinan sabu :
Pakaian pengantin laki-laki terdiri dari selendang yang digunakan pada
bahu pria, destar pengikat kepala sebagai lambang kebesaran/kehormatan,
kalung mutisalak yaitu sebagai mas kawin dengan liontin gong, sepasang
gelang emas, ikat pinggang/sabuk yang memiliki 2 kantong pengganti
dompet/tas, Habas/perhiasan leher terbuat dari emas
Pakaian pengantin perempuan terdiri dari sarung wanita yang diikat
bersusun dua pada pinggul dan sedada, pending (ikat pinggang terbuat dari
10
Wawancara dengan Ibu M. V. Lobo pada Jumat, 11 Oktober 2013
66
emas), gelang emas dan gading, muti salak/kalung dan liontin dari emas,
mahkota kepala wanita dan tusuk konde berbentuk uang koin / uang emas
pada zaman dahulu, anting/giwang emas, sanggul wanita berbentuk bulat
diatas/puncak kepala wanita
Gambar 2. Pakaian Adat Perkawinan Sabu
b) Seni Bangunan (Rumah dan Kubur) 11
Rumah orang Sabu asli berbentuk panggung (kelaga), seperti perahu yang
dibalik yakni mempunyai anjungan dan buritan. Adapun letak dan bentuk rumah
sabu disesuaikan letak pulau Sabu yang ditandai selalu mengarah ke Utara (‘Bodae)
atau selatan (‘Bollou). Orang Sabu mencari tempat yang tidak jauh dari sungai,
pinggiran laut. Rumah dapat dibangun di atas kuburan, karena dalam kehidupan
orang Sabu, kuburan selalu berada di bawah kolong rumah kelaga. Bahan bangunan
rumah Sabu biasanya diambil dari pohon lontar dan kelapa. Akan tetapi pada masa
sekarang ini, rumah asli sabu hanya tinggal beberapa buah saja, karena kebanyakan
orang Sabu sudah membangun rumah yang terbuat dari semen dan seng. Sedangkan
uburan terletak di depan atau samping rumah dan telah berbentuk rumah seperti
kuburan orang Sumba. Berdasarkan aturan pemerintah, maka kuburan orang Sabu
juga bertempat di tempat pekuburan umum yang telah disediakan di daerah Sumba.
11
Wawancara dengan Bpk W. Lobo pada tanggal Kamis 10 Oktober 2013
67
Gambar 3. Rumah Asli Sabu di Kambaniru dan Umalulu
2) Sistem mata pencaharian12
Masyarakat Sabu dikenal sebagai masyarakat agraris dan nelayan. Tetapi seiring
dengan perkembangan zaman, orang Sabu tidak hanya memiliki satu pekerjaan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tetapi orang Sabu terkenal memiliki karakter
sebagai orng yang rajin dan tekun dalam bekerja sehingga orang Sabu selalu
merangkap beberapa pekerjaan harian diantaranya mengerjakan sawah tadah hujan,
berkebun (sayur, bawang, pepaya, ubi, kacang tanah, kacang hijau, jagung dan lain-
lain), memelihara lontar dan kelapa, memelihara ternak (sapi, babi, kuda, kambing,
ayam), nelayan, membuat garam, menenun, berdagang (hasil tenun, tuak/due/nira, gula
sabu dan gula lempeng, hasil kebun), dan juga bekerja sebagai pegawai swasta,
pegawai negeri, pendeta, guru injil, tentara, polisi dan lain sebagainya. Semuanya tidak
dikerjakan secara terpisah, karena orang Sabu membagi waktu dan juga dalam
kehidupan mereka terdapat pembagian tugas.
Dalam melakukan pekerjaan, orang Sabu juga bekerja sama dengan orang Sumba
dan suku lainnya. Kesemua hal yang dikerjakan orang Sabu tidak hanya untuk
12
Wawancara dengan Bpk Y.H.R pada tanggal Kamis 09 Oktober 2013
68
memenuhi kebutuhan jasmani, tetapi merupakan bagian dari tanggung jawab untuk
memelihara kehidupan sosial dan keagamaan.
Gambar 4. Beberapa mata Pencaharian Orang Sabu (Non-Pegawai)
3) Sistem kemasyarakatan
Dalam kehidupan sosial orang Sabu, dimulai dari keluarga batih terdiri dari ayah,
ibu dan anak-anak. Keluarga batih kemudian membentuk keluarga besar (huwue kaba
gatti) dan menempati sebuah rumah adat (Amu Kepue) yang dihuni oleh seluruh
anggota keluarga dari garis keturunan nenek (Heidau Appu).
a. Sistem Kekerabataan13
Dalam masyarakat Sabu terpelihara hubungan kekeluargaan yang sangat kuat,
yang mana dibangun atas dasar kombinasi antara garis keturunan ayah (patrilineal)
yaitu udu dan garis ibu (matrilineal) yaitu hubi. Adapun garis Udu ini terikat pada
satu wilayah (rai) sebaliknya garis hubi berlaku lintas wilayah. Udu menunjukkan
kepada rumpun keluarga (marga) dan hubi menunjukkan derajat/status/ kedudukan
13
Wawancara dengan Bpk. S.L. pada tanggal Jumat 11 Oktober 2013; bnd Robert Riwu Kaho, Orang
Sabu dan Budayanya, h. 58-63
69
sosial seseorang. Dalam sebuah udu terdapat berbagai hubi. Udu adalah persekutuan
orang-orang yang seketurunan karena berasal dari leluhur/nenek moyang yang satu.
Masing-masing udu secara turun temurun tinggal menetap dalam suatu wilayah atau
tanah yang disebut rai udu. Selanjutnya, udu itu akan berkembang banyak dan dapat
terbagi lagi dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil yakni kerogo. Tetapi ada
juga udu yang tidak terbagi dalam kerogo. Contohnya dalam udu do nataga terdiri
dari kerogo Najingi, Naliru, Napuluji, Napuliru, Najohina.
Sedangkan garis ibu atau hubi berperan dalam urusan siklus hidup seseorang,
pernikahan dan kematian. Dengan adanya hubi, maka orang-orang yang sebelumnya
‘terpisah’ disebabkan mereka menjadi anggota dari udu tertentu yang berbeda, dapat
kembali berkumpul menjadi satu kelompok yang lebih besar yaitu hubi. Berdasarkan
hubi, kaum perempuan Sabu terbagi atas dua kelompok yakni tergolong Hubi Ae dan
hubi Iki. Hubi juga berkaitan erat dengan pemakaian sarung bagi kaum perempuan
Sabu. Setiap perempuan Sabu harus memakai sarung yang sesuai dengan jenis/motif
yang berlaku bagi hubinya pada waktu acara pernikahan atau kematian. Demikianlah
orang sabu memiliki kewargaan rangkap yaitu sebagai warga/udu/kerogo dan
sekaligus sebagai warga hubi/wini. Contohnya dalam satu udu Do Nalodo, terdiri
dari beberapa orang dengan hubi yang berbeda-beda seperti Hubi Iki atau Hubi Ae.
b. Persatuan adat menurut tempat
Setiap udu hidup berdampingan dengan udu-udu lainnya dalam Rai
(kampung). Dalam setiap rai terdapat beberapa udu dan setiap udu terdiri dari
beberapa kerogo. Contoh dalam satu Rai terdapat berbagai marga atau udu dan
70
kerogo seperti Udu Do Nataga, Udu Do Nahoro (kerogo Nakahu, Napuhaga,
Napawa), Udu Namata (kerogo Napupenu, Nagalode dan lain-lain).14
c. Sistem Pemerintahan 15
Sistem pemerintahan asli dalam masyarakat Sabu adalah sistem pemerintahan
yang bercorak religius. Dalam sistem pemerintahan ini tidak ada pemisahan antara
urusan agama dengan urusan bukan agama, antara urusan kerohanian dengan urusan
kejasmanian, atau urusan sakral dengan urusan keduniawian. Pucuk pimpinannya
adalah Mone Ama (imam). Tugas Mone Ama ialah menyangkut urusan keagamaan
dan pemerintahan, serta menjaga kesejahteraan hidup masyarakat, kerukunan,
bertugas menegakkan adat-istiadat dalam masyarakat.
d. Adat Istiadat
1) Adat perkawinan 16
Tahapan dalam proses menuju perkawinan adat Sabu sebagai berikut :
Tahap pertama terdiri dari musyawarah keluarga untuk memutuskan waktu
perkenalan dan peminangan (Oro Li), siapa juru bicaranya atau Mone Li17
dan
persiapan pelaksanaan kenoto hingga Hegutu Ka’do.
Tahap kedua : Oro Li (perkenalan). Tahap ini bertujuan untuk menyampaikan
isi hati dari sang pria terhadap gadis sabu dan keluarganya. Bingkisan yang
dibawa keluarga lelaki berisi sirih-pinang (muda dan kering), tembakau dan
kapur sirih yang dibungkus dengan selimut Sabu. Jika dalam hubungan antara
laki-laki dan perempuan telah melakukan pelanggaran adat seperti hamil
sebelum menikah, maka akan dibahas juga mengenai upacara pembersihan
14
Wawancara dengan Bpk. Mapana, pada Selasa, 08 Oktober 2013 15
Robert Riwu Kaho, Orang Sabu dan Budayanya, (Yogyakarta : Jogja Global Media, 2005), h. 63-64 16
Wawancara dengan Bpk Mahari pada tanggal Sabtu, 12 Oktober 2013 17
Mone Li atau juga disebut Mone pedai li atau mone uba (si pembicara) adalah seorang yang sudah
berumah tangga, memahami adat perkawinan Sabu, pandai menutur silsilah, menguasai tata krama, mahir
berbicara bahasa Sabu yang halus, dan mengenal keluarga perempuan.
71
yang disebut dengan lonye kelaga18
(pembersihan rumah), yang dilaksanakan
sebelum proses masuk minta.
Masuk minta dan lamaran (ma ami). Biasanya tahap ini dilakukan bersamaan
dengan proses lonye kelaga. Pada tahap ini, keluarga menyatakan permintaan
secara langsung kepada pihak perempuan untuk dapat memberikan anak
perempuan menjadi isteri dari anak laki-laki mereka. Keluarga laki-laki akan
membawa siri pinang, sarung sabu, kebaya dan cincin.19
Pada tahap ini, kedua
belah pihak akan kembali membicarakan mengenai persiapan pelaksanaan
kenoto (pemaho kenoto) yakni waktu pelaksanaan kenoto dan juga mengenai
ihi kenoto dan bada welli yakni pembawaan pihak laki-laki dalam pelaksanaan
upacara adat Kenoto serta pelaksanaan hegutu kado (membawa perempuan
keluar dari rumah dan memberikan ucapan terima kasih kepada ibu dari anak
perempuan).
Gambar 5. Masuk Minta
18
Biasanya, pihak laki-laki diharuskan membawa seekor babi dan sekarung beras sebagai lambang
permintaan maaf pada pihak keluarga dan untuk membersihkan rumah atau nama baik keluarga perempuan yang
telah menangung aib dari penyimpangan yang telah dilakukan. 19
Kalau pihak laki-laki berasal dari suku Sumba, biasanya mereka juga akan membawa seekor kuda dan
sebuah mamuli mas sebagai lambang identitas diri. Hal ini telah diberitahukan terlebih dahulu pada tahap oro lii.
72
Kenoto. Dalam bahasa sabu, istilah upacara perkawinan adat ini disebut
dengan istilah “Kenoto”. Sebelum pelaksanaan adat kenoto, dalam keluarga
laki-laki akan mengadakan pertemuan keluarga untuk mempersiapkan bahan
atau isi dari kenoto. Pertemuan ini disebut dengan istilah ihi kenoto (Sambung
Tangan). Keluarga lelaki akan mengundang dan keluarga besar (udu dan hubi)
dan para kerabat untuk memberi informasi bahwa anak laki-laki dari keluarga
akan meminang perempuan dan mengharapkan agar para undangan (baik yang
merupakan keluarga maupun kenalan) dapat mengambil bagian dalam
pelakasanaan adat kenoto yakni memberi bantuan (berupa tenaga dan
materi/uang) dalam melengkapi isi dari kenoto yang akan dibawa kepada
keluarga perempuan. Adapun benda atau barang bawaan yang dijadikan
sebagai ihi kenoto sesuai ketentuan pada waktu oro li ialah : (a) sirih pinang
dilengkapi kapur, dan tembakau seadanya. Sirih pinang itu bersyarat: (1) Sirih
yang masih bertangkai secukupnya, (2) Pinang muda dengan tangkainya
secukupnya, (3) Pinang kering; (4) Sarung dan Selimut Sabu;20
(5) Bada
Welli.21
Dalam upacara adat kenoto ini, ada beberapa orang yang memiliki
peranan penting seperti Pili dida/unu Deo (sesuai artinya orang pertama dan
utama yang mengambil atau mengangkat isi bungkusan/kenoto). Biasanya pili
dida itu adalah saudara laki-laki ibu si gadis atau yang paling berhak atas diri
20
Syarat ini tidak berlaku umum, dan hanya dikenakan kepada pasangan yang terlanjur melakukan hal
yang tidak dibolehkan, yakni bahwa mereka sudah hidup berdampingan sebagai layaknya suami istri sebelum
menikah sah. Karena kesalahan itulah maka sebagi sanksi, pihak pria dikenakan syarat membawa sarung dan
selimut sabu sebagai penutup malu pihak wanita. Sarung atau selimut juga diberikan kepada saudara kandung
laki-laki atau perempuan (kakak) dari mempelai perempuan yang telah didahului dalam urusan pernikahan,
sebagai lambang permintaan ijin untuk menikah lebih dahulu dari saudaranya. 21
Bada Weli adalah sejumlah binatang yang diserahkan sebagai ungkapan perasaan dan ikatan bathin
dari pihak lelaki. Besar atau jumlahnya sesuai belis kenoto yang berlaku pada waktu ibu atau neneknya dahulu.
Belis itu sudah termasuk dengan satu ekor untuk pili dida (saudara laki-laki ibu si gadis). Jumlah itu pantang
dilebihkan atau dikurangi dari belis ibu atau neneknya, karena sesuai kepercayaan orang sabu perempuan yang
meminta belis melebihi ibu atau neneknya akan ditimpa musibah atau malapetaka berupa penyakit yang dahsyat
yaitu badanya akan luka-luka sampai seluruh tubuhnnya hancur berantakkan (ta habba ta wugu )
73
ibu si gadis; Benni Ha’u Kenoto (yang memangku kenoto), biasanya yang
dipilih adalah do ana ina yang artinya seorang ibu yang masih bertalian erat
hubungan darah/keluarga dengan ibu si gadis. Do ana ina mengandung arti
kalau ibu si gadis telah meninggal dunia, maka ibu itulah salah satunya yang
berhak memandikan mayat ibu si gadis. Selain itu, peran gereja dan
pemerintah juga sangat penting. Dari pihak gereja, akan memimpin pada awal
dan mengakhiri pelaksanaan adat kenoto dengan doa bersama-sama.
Sedangkan pihak pemerintahan akan turut mengambil peran dalam pencatatan
nikah adat yang telah berlangsung atas kedua mempelai. Surat nikah adat akan
dibacakan dan ditandatangani didepan umum oleh kedua mempelai, kedua juru
bicara dan pihak pemerintah yang hadir (lurah atau camat).
Gambar 6. Kenoto
Memboyong Isteri ke Rumah Suami (Aggo-lere-kelao-Ana Mobenni). Setelah
dinyatakan sah, maka tiba saatnya mempelai perempuan akan dibawa ke
rumah laki-laki. Orang tua perempuan akan menabur kacang hijau kepada
pasangan suami isteri dan bersama-sama mengantar ke rumah suami (lere
74
kelao). Ketika rombongan yang membawa perempuan telah sampai di depan
rumah, keluarga laki-laki akan melakukan penyambutan dengan melempar
kacang tanah dan orang tua laki-laki akan menyambut dan memangku kedua
mempelai sambil dilaksanakan upacara pe’jore donahu nga ke’bui atau acara
salngg menyuapkan makanan berupa gula sabu bercampur kacang hijau.
Setelah itu, barulah kedua mempelai dipersilahkan untuk memasuki rumah dan
diadakan makan bersama bagi semua yang hadir mengikuti acara tersebut.
Hengutu Kado. Acara ini dilakukan 3 hari setelah perkawinan. Pada siang hari
suami isteri yang baru akan mengunjungi rumah orang tua sang isteri.
Tujuannya adalah (1). Untuk mengucap terima kasih kepada orang tua karena
urusan perkawinannya sudah selesai dengan baik, (2). Untuk permohonan
pamit dari sang isteri kepada orang tua dan kerabatnya. Isteri akan membawa
sirih – pinang dan amplop (berisi uang untuk ibunya) yang dimasukkan ke
dalam sarungnya, sedangkan suaminya akan mengendong seekor ayam jantan
merah. Isteri akan menuangkan isi dalam sarungnya ke pangkuan ibunya dan
suaminya akan menyerahkan bawaannya kepada ayah mertuanya.
2) Adat kematian22
Orang Sabu memahami meninggal (made) sebagai peristiwa kembali
kepada Deo Ama untuk hidup bersama dengan para leluhur di alam gaib (Juli
Haha). Kematian dalam pandangan orang Sabu di bedakan menjadi dua
berdasarkan penyebab terjadinya : (a) Made Netta (mati manis) yaitu meninggal
secara wajar seperti menderita penyakit dan (b) Made harro (mati asin) yaitu
meninggal secara tiba-tiba dan mendadak. Kematian ini terdiri dari made rekka
(bunuh diri) dan made rekka karena kecelakaan, disambar petir, tenggelam, dan
22
Wawancara dengan Bpk W.Lobo pada hari Jumat 11 Oktober 2013
75
lain-lain. Adapun upacara kematian dan pemakaman itu dilaksanakan sesuai
dengan kepercayaan dari almarhum dan keluarga. Bagi orang Sabu yang
menganut kepercayaan Jingitiu, kedua jenis kematian ini menyebabkan adanya
perbedaan upacara pelaksanaannya, dan penetapan upacara tergantung kepada
hasil musyawarah keluarga dan juga perekenomian keluarga yang bersangkutan.
Akan tetapi karena orang Sabu di Kambaniru dan Umalulu telah menganut agama
Kristen, sehingga tidak ada lagi perbedaan dalam upacara kematian dan
penguburan bagi kedua jenis kematian tersebut. Adapun upacara kematian
dilaksanakan sesuai dengan iman Kristen dan tata ibadah gereja yang melayani
berupa ibadah penghiburan selama 3 hari yang diadakan pada malam hari dan
ibadah pemakaman pada waktu siang menjelang sore hari.23
Ketika orang Sabu meningal, keluarga besar akan berkumpul di amu kepue.
Jenasah dimandikan dengan cara dilap dengan air oleh anggota keluarga dan
marga. Jika laki-laki dimandikan oleh saudara kandung laki-laki atau oleh warga
lelaki dalam dara amu-nya yang se-hubi dengan dia; jika perempuan oleh saudara
kandung perempuan atau anak perempuannya atau warga perempuan dalam
rumahnya yang se-hubi dengannya. Pakaian yang digunakan oleh si mati, jika
yang meninggal adalah seorang laki-laki, akan memakai selimut dan kemeja
putih, digunakan dengan ikat pinggang dan destar pengikat kepala dan tanpa
hiasan. Jika perempuan, maka akan dipakaikan sarung yang dililit pada pinggang
bersama kebaya. Tentunya jenis kain selimut dan sarung tersebut disesuaikan
dengan marga atau hubi dari si mati. Kemudian jenasah akan dibaringkan di atas
sebuah tempat tidur beralaskan sebuah tikar, dengan kepala diarahkan ke utara
(arah laut). Kemudian pada bagian atas tubuh jenasah diselimuti dengan kain
23
Wawancara dengan Bpk. Pdt. Y. Djara pada hari Rabu, 16 Oktober 2013
76
(laki-laki) atau sarung (perempuan), disesuaikan dengan hubi dari si mati. Pada
bagian atas (atap) tempat pembaringan jenasah akan diikat kain (selimut Sabu
atau kain panjang) sebagai ‘tenda’ yang melambangkan layar perahu bagi si mati
yang akan berlayar ke Juli - Haha.
Setiap orang yang meninggal tidak langsung dikebumikan, tetapi akan
disemayamkan (lingo) selama 2 - 3 hari di ammu kepue. Kecuali bagi anak bayi
yang baru lahir, maka ia akan segera dikuburkan pada pagi harinya. Selama
jenasah disemanyamkan, kaum keluarga dan anggota marga (udu/hubi) serta
kerabat, akan datang melayat dan berkumpul di rumah duka. Mereka akan
membawakan selimut (laki-laki) atau sarung (perempuan) atau hewan dan beras
(babi atau kambing) bagi si mati. Adapun yang membawa hewan dan berasal
adalah anggota keluarga terdekat seperti saudara laki-laki, paman, atau suami dari
saudara perempuan dari yang meninggal. Pada masa kini, orang yang berasal dari
suku lain pun akan datang melayat, biasanya mereka membawa uang atau bahan
makanan sebagai sumbangan bagi keluarga duka. Sepanjang siang dan malam
akan terdengar ratapan duka (Huhu Kebie) berisi nyanyian dalam bahasa Sabu
yang menuturkan silsilah keluarga dari si mati. Orang yang melakukan Huhu
Kebie adalah seorang ibu yang tubuhnya akan dibungkus atau ditutupi dengan
kain atau selimut dari bagian kepalanya.
Pada saat peristiwa kematian ini, keluarga harus mempersiapkan dan
menyediakan sirih pinang (Kenana kela awo dan tembakau) dan dibagikan
kepada setiap orang yang datang melayat. Bagi orang Sabu yang telah beragama
Kristen akan dilaksanakan ibadah penghiburan pada malam hari selama 3 malam
berturut-turut sebelum pelaksanaan upacara penguburan. Pada malam lingo
kedua, keluarga besar akan mengadakan pertemuan musyawarah keluarga
77
(p’owu), yakni untuk membahas dan menentukan waktu dan acara penguburan,
persiapan kebutuhan terkait dengan peti jenasah dan letak dan bentuk kuburan
(ta’go rai dare), serta pelaksanaan acara puru ked’di. Pada malam lingo terakhir
sebelum jenasah dikuburkan, biasanya tepat jam 12 malam, keluarga besar akan
memasukkan jenasah dalam peti yang telah disiapkan. Dalam peti tersebut telah
berisi selimut atau sarung, sirih pinang, tembakau dan pakaian dari si mati.
Upacara pemakaman orang Sabu dilakukan pada siang menjelang sore hari
(jam 3 petang). Letak kubur orang Sabu yang masih menganut kepercayaan
Jingitiu biasanya berada di bawah balai-balai rumah, berbentuk bulat telur dan
jenasah ditaruh dalam posisi duduk bagi. Sedangkan bagi yang telah beragama
Kristen, letak kubur berada di depan atau samping rumah, atau pada masa kini
berdasarkan aturan pemerintah, maka orang Sabu dikuburkan di tempat
pemakaman umum. Bentuk lubang kubur yang dibuat ialah segi panjang dan
ukurannya disesuaikan dengan ukuran peti jenasah. Upacara pemakaman
dilaksanakan sesuai dengan tata cara ibadah pemakaman Gereja dari si mati.
Setelah pelaksanaan pemakaman, pada malam harinya akan diadakan acara
Keleku (ucapan syukur) dimana keluarga bersama kerabat akan kembali
berkumpul di rumah duka, untuk bersama-sama mensyukuri peristiwa kematian
dan upacara penguburan yang telah selesai dilaksanakan serta mendoakan
keluarga yang berduka untuk dapat menjalani kehidupan dengan baik.
Baik peristiwa made netta maupun made harro, bila yang meninggal adalah
sang suami, maka diadakan upacara puru atau ke’ddi bagi isteri yang ditinggal
mati. Upacara ini dimaksudkan ialah membawa pulang kembali isteri dari si mati
ke pangkuan keluarga / marganya. Acara ke’ddi biasanya dilakukan pada malam
hari setelah jenasah suaminya dikuburkan. Tetapi pada masa sekarang ini, acara
78
ini dilakukan sebelum jenasah dikuburkan, di depan rumah dan dilihat oleh semua
orang yang mengikuti acara penguburan jenasah.
Ritual lainnya terkait dengan upacara kematian adat Sabu yang biasa
dilakukan di Sumba ialah Ru’Ketu. Hal ini dilakukan bagi setiap orang Sabu yang
meninggal di luar pulau sabu, maka rambut dan pakaian serta foto dari orang
yang telah meninggal akan dibawa ke Sabu. Tujuannya ialah untuk memberitahu
keluarga yang di Sabu mengenai peristiwa kematian dan simbol kembalinya si
mati ke Sabu.
Gambar 7. Kematian
e. He’ngedo 24
Cium hidung (disebut cium idung atau hengedo) merupakan budaya orang Sabu
yang biasanya diberikan kepada orang-orang istimewa. Cium hidung ini dilakukan
sebagai salah satu bentuk salam perkenalan, persahabatan, maupun sebagai salah
satu bentuk ungkapan kasih, penerimaan dan penghormatan dalam sebuah ikatan
kekeluargaan dan kekerabatan di dalam kehidupan sosial dan budaya
kemasyarakatan. Ciuman ini dilakukan dengan tidak mengenal umur, gender, profesi
bahkan status sosial. Dalam keseharian masyarakat NTT, cium hidung menjadi tanda
24
Wawancara dengan Bpk. D. D. Hebi pada Selasa, 15 Oktober 2013
79
perdamaian. Konflik yang sehebat apa pun akan berakhir dengan sendirinya setelah
berciuman hidung.
Gambar 8. Cium Sabu saat Kenoto
f. Budaya Lontar 25
Dalam kehidupan orang Sabu, pohon lontar dipahami sebagai pohon
kehidupan. Keyakinan ini disebabakan karena pada saat musim kemarau yang
waktunya sangat panjang, nira dari lontar mengandung banyak vitamin menjadi
minuman yang memberikan banyak manfaat bagi orang Sabu. Adapun makanan
pokok orang sabu bukanlah jagung atau beras tetapi nira (lontar) dan Gula Sabu (air
nira yang dimasak menjadi gula berbentuk cair), dan juga merupakan makanan dari
ternak piaraan orang Sabu. Tidak ada satupun dari bagian-bagian pohon lontar yang
tidak bermanfaat bagi oarang masyarakat Sabu, mulai dari akar (Amo), batang (La),
pelepah (Appa), daun (Rau), mayang (Hubi), buah (Wue).
Mayang Lontar yang menghasilkan air nira adalah bagian terpenting dalam
mencukupi kebutuhan pangan orang Sabu. Air nira yang pertama dikumpulkan, akan
menjadi makanan pokok bagi keluarga, baik diminum secara langsung atau bisa
25
Pohon Siwalan (Lontar) merupakan pohon palma (Palmae dan Arecaceae) yang kokoh dan kuat.
Berbatang tunggal dengan ketinggian mencapai 15-30 cm dan diameter batang sekitar 60 cm. Daunnya besar-
besar mengumpul dibagian ujung batang membentuk tajuk yang membulat. Setiap helai daunnya serupa kipas
dengan diameter mencapai 150 cm. Tangkai daun mencapai panjang 100 cm. Buah Lontar (Siwalan)
bergerombol dalam tandan dengan jumlah sekitar 20-an butir. Buahnya bulat dengan diameter antara 7-20 cm
dengan kulit berwarna hitam kecoklatan. Setiap butirnya mempunyai 3-7 butir daging buah yang berwarna
kecoklatan dan tertutupi tempurung yang tebal dan keras.
80
dimasak menjadi gula sehingga bisa bertahan dalam tempo waktu yang lama. Gula
sabu merupakan salah menjadi kebutuhan pokok bagi orang Sabu, karena bisa
menjadi pengganti nasi. Dengan mengkonsumsi gula sabu dan air, seseorang dapat
bertahan, tidak mengkonsumsi nasi selama sehari. Selain itu, juga dipercaya bahwa
dapat mengurangi penyakit maag. Sehingga sangat dianjurkan bagi penderita maag
untuk mengkonsumsi gula sabu terlebih dahulu sebelum sarapan pagi hari.
Selain nira, daun lontar pun sangat berguna dalam kehidupan orang Sabu.
Daun lontar yang berbentuk kipas besar dan utuh dipakai untuk berbagai keperluan
yakni menjadi anyaman untuk menampung air, nira (haik), makan ternak, dipakai
untuk membuat alat musik tradisional dan keranjang anyaman penyimpanan
makanan seperti tempat makan (Pai), tempat menaruh pakaian atau sirih pinang
(Beka), sebagai bakul (Hope), tempat menyimpan benih dan persediaan makanan
dalam jumlah lebih dari seratus kilo disebut (Hoka). Selain itu, daun lontar juga bisa
digunakan untuk penutup atas rumah seperti seng. Batang lontar (La) adalah bahan
pokok kebutuhan papan bagi orang sabu. Batang lontar bisa dimanfaatkan untuk
bahan utama pembangunan sebuah rumah mulai dari tiang, lantai maupun kap
rumah, sementara dinding rumah dapat juga menggunakan daun lontar yang telah
dirangkai dan diikat secara rapi (Ru hibi hiu). Tangkai pohon lontar yang kokoh
dapat digunakan untuk pagar tanaman dan tongkat. Sementara batangnya dapat
dipakai sebagai tiang penyangga dan balokan rumah. Buah lontar dapat dimakan
isinya yang masih muda, sedangkan buah lontar yang telah tua dijadikan makanan
hewan piaraan orang Sabu. Demikianlah pohon lontar menjadi begitu penting dan
bermanfaatnya bagi kehidupan orang Sabu sehingga telah masuk menjadi budaya
mereka.
81
Gambar 9. Hasil Lontar
g. Sirih Pinang (Kenana Kela)
Sirih pinang merupakan makanan yang memiliki peranan penting dalam
kehidupan orang Sabu. Sirih pinang ini dikonsumsi dalam kehidupan sehari-hari
dan juga disertai kebiasaan menghisap tembakau (bukan dibakar seperti rokok).
Tidak hanya sebatas persoalan konsumsi sehari-hari, tetapi sirih pinang merupakan
salah satu unsur dari barang bawaan pada saat prosesi upacara perkawinan adat.
Dalam upacara kematian, sirih pinang diwajibkan harus ada baik untuk disuguhkan
kepada pelayat ataupun kepada si mati.
Gambar 10. Sirih Pinang
82
4) Bahasa
Orang Sabu biasanya berkomunikasi dengan menggunakan bahasa asli Sabu yang
memiliki beberapa dialek, antara lain dialek Raijua, Mesara, Timu, dan Seba. Selain itu
orang Sabu juga menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan suku
lain seperti orang Sumba dan lain-lain. Akan tetapi untuk masa sekarang ini,
kebanyakan orang Sabu di perantauan tidak lagi menggunakan bahasa Sabu di rumah
dan dalam pergaulan sehari-hari. Orang Sabu di Sumba pun telah mahir dalam
menggunakan bahasa Sumba dalam pergaulan sehari-hari. 26
5) Kesenian
Kesenian yang paling menonjol adalah seni tari dan tenun ikat.
a. Tenun Ikat 27
Tenun ikat mereka yang terkenal adalah Hii Hawu (sarung sabu) dan Higi
Huri (selimut). Tenun Sabu yang terkenal adalah motif flora dan fauna serta motif
geometris. Motif tenunannya adalah pohon kelapa, kelopak bunga dan lain
sebagainya. Warna yang dipakai adalah coklat kemerahan atau biru.
Gambar 11. Kain Tenun Sabu
26
Wawancara dengan Bpk. M.L.D pada tanggal Kamis 17 Oktober 2013 27
Wawancara dengan Ibu Nape (salah seorang penenun kain Sabu) pada tanggal Jumat 11 Oktober 2013
83
b. Seni tari 28
Tarian Sabu yang terkenal antara lain pe’doa dan ledo hau.
1) Tarian Pe’ doa
Tarian Pe’doa dilakukan oleh pria dan wanita sambil bergandengan tangan
di atas bahu, berderet melingkar, menggerakkan kaki searah jarum jam,
dihentakkan sesuai irama tertentu menurut nyanyian mone pe’jo, diiringi oleh
suara hentakan kaki yang yang telah diikat dengan pedue pada pergelangan kaki
para penari. Tarian ini melambangkan kebersamaan, persekutuan dan kegotong
royongan. Tarian ini biasanya dilakukan pada malam hari, pada bulan-bulan
tertentu yakni bulan da’ba, ‘bangaliwu dan a’a (Mei, Juni dan Juli).
2) Tarian Ledo Hawu
Tarian Ledo Hau adalah tarian yang dilakukan berpasangan pria dan wanita
diiringi gong dan tambur serta giring-giring pada kaki pria.
Gambar 12. Tarian Sabu
6) Sistem religi dan kehidupan kerohanian29
28
Wawancara Bpk Mapana pada tanggal Rabu 09 Oktober 2013 29
Wawancara dengan Bpk Pdt. Y. Djara pada hari Rabu, 16 Oktober 2013; bnd. Robert Riwu Kaho,
Orang Sabu dan Budayanya, h. 76-125
84
Sebelum menganut agama Kristen, orang Sabu menganut kepercayaan tradisional
yang disebut Jingitiu. Kini masyarakat Sabu di Sumba telah menganut agama Kristen
Protestan. Meskipun demikian, dalam kehidupan sehari-hari dan adat istiadat, masih
dipengaruhi oleh norma dan nilai kepercayaan asli tersebut, seperti berikut ini:
a) Kepercayaan pada satu zat Ilahi yang disapa dengan “Deo Ama”, suatu oknum Ilahi
yang Maha Tinggi. Deo Ama juga disapa dengan sebutan “Deo Woro Deo Pennji”
(Tuhan pencipta semesta) atau “Deo Mone Ae” (Tuhan Maha Kuasa/ Maha Agung).
b) Segala ciptaan terdiri dari dua unsur esensial yang berpasang-pasangan. Orang Sabu
membedakan antara dua unsur esensial itu atas jenis kelamin laki-laki dan
perempuan, berbeda tetapi setara dan saling melengkapi.
c) Sebagai ciptaan Deo Ama, manusia merupakan bagian dari alam raya, harus selalu
menjaga hubungan atau relasi yang baik dengan penciptanya, disebut dengan
“Meringgi” atau dingin yang mendatangkan damai sentosa, mengerru (hijau/
kesuburan) dan merede (kelimpahan).
d) Untuk menjaga relasi yang harmonis antara manusia, alam dan Tuhan maka dalam
tatanan kehidupan diatur juga tentang ritual-ritual keagamaan, hubungan
kekerabatan dan hukum adat (uku rai).
e) Kepercayaan terhadap arwah leluhur. Orang sabu percaya bahwa kematian sebagai
kesempatan dimana seseorang bertemu dengan leluhurnya yang sudah
mendahuluinya di dunia gaib yaitu di Juli – Haba. Setelah dikuburkan, arwah orang
mati dipercayai akan berlayar dengan perahu yang dinakhodai oleh Ama Piga Laga
menuju ke Juli – Haba, dipercayai berada di Tanjung Sasar di pantai utara pulau
Sumba. Orang Sabu juga mempercayai bahwa antara keluarga yang sudah
meninggal dengan yang masih hidup tetap memiliki hubungan yang terjalin erat.
85
Karena itu, orang Sabu akan menggunakan nama para orang tua/leluhur yang sudah
meninggal pada anak atau cucunya yang baru lahir sebagai bentuk penghormatan.
f) Tentang Wango atau iblis. Orang Sabu mempercayai wango adalah roh jahat yang
senantiasa ber-gentayangan serta melayang-melayang di udara yang sewaktu-waktu
menggoda manusia berbuat jahat dan kotor.
g) Jimat berbentuk benda-benda dan juga berupa kata-kata (Lii Pana) baik untuk
menyembuhkan dan menjaga diri serta membahayakan orang lain.
Berdasarkan pemaparan unsur-unsur budaya Sabu di Kambaniru dan Umalulu, dapat
dikatakan bahwa meskipun orang Sabu tidak berada di pulau Sabu, tetapi warisan budaya
leluhur tetap dipertahankan dan dilaksanakan di Sumba. Nampak juga bahwa dalam
pelaksanaan adat istiadat budaya Sabu terdapat pengaruh agama Kristen tetapi nilai dan
norma dari kepercayaan asli tetap mempengaruhi kehidupan orang Sabu di Kambaniru dan
umalulu. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan lokasi tempat tinggal dan perjumpaan
dengan budaya asing (budaya Sumba) tidak serta merta dapat mengubah budaya orang
Sabu. Identitas budaya Sabu dipertahankan sebagai sebuah jati diri untuk membedakan
komunitas mereka dengan masyarakat Sumba dan budayanya.
C. PROSES AKULTURASI
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam kehidupan komunitas
orang Sabu di Kelurahan Kambaniru dan Kecamatan Umalulu, ditemukan bahwa
perjumpaan dan interaksi sosial telah terjadi antara orang Sabu dengan masyarakat
Sumba sejak zaman dahulu kala hingga saat ini. Sebagaimana yang telah dipaparkan
terlebih dahulu mengenai perjumpaan dan kontak orang Sabu dengan orang Sumba
terjadi melalui berbagai hal seperti melalui hubungan nenek moyang, pengaruh penjajah,
hubungan kekerabatan dan kawin – mawin para raja dan keturunannya hingga pada masa
86
kini terjadi melalui hubungan pergaulan sehari-hari, dalam persekutuan di gereja,
hubungan perkawinan campuran, hubungan kerja sama dalam mata pencaharian, bahasa,
dalam ranah pendidikan dan lain sebagainya.30
Melalui perjumpaan dan interaksi yang
terjadi secara langsung dan terus menerus sejak zaman dahulu hingga saat ini, tanpa
disadari membawa pengaruh terhadap budaya Sabu yang menyebabkan terjadinya
perubahan dalam budaya Sabu dengan Sumba.
Hal ini sepadan dengan apa yang dinyatakan oleh Spradley bahwa perubahan sosial
budaya yang dialami oleh setiap kelompok masyarakat terjadi akibat adanya reaksi setiap
orang dalam merespons berbagai interaksi dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik
maupun lingkungan sosial. Setiap respon yang diberikan akan melahirkan konsekuensi
dalam kehidupan selanjutnya, baik positif maupun negatif.31
Adapun perubahan yang
terjadi dalam komunitas orang Sabu dan budayanya di Kambaniru dan Umalulu
disebabkan oleh komunikasi dan interaksi yang terjadi selama perjumpaan orang Sabu
dengan orang Sumba berlangsung. Perubahan yang terjadi tidak hanya menyangkut
perubahan lingkungan fisik seperti mengenai tempat pemukiman komunitas orang Sabu
yang tidak lagi hanya terdapat pada daerah pesisir pantai dan berbentuk kampung (rai
udu) tetapi pada sekarang karena fakor pekerjaan dan perkawinan, beberapa orang Sabu
telah keluar dari kampung (rai udu) dan menetap di daerah kota dan pegunungan serta
hidup berdampingan dengan orang Sumba. Perubahan sosial budaya yang terjadi dalam
komunitas orang Sabu juga menyangkut perubahan dalam pelaksanaan adat istiadat
budaya Sabu.32
Adapun fenomena perubahan dalam unsur budaya Sabu yang disebabkan
karena perjumpaan dan interaksi antara orang Sabub dengan orang Sumba dan
budayanya inilah yang disebut dengan istilah Akulturasi.
30
Wawancara dengan Bpk. Makana pada tanggal Senin 14 Oktober 2013 31
James P. Spradley, Metode Etnografi (penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth), (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1997), h. 120-121 32
Wawancara dengan Bpk. Mapana, pada Selasa 8 Oktober 2013
87
Sebagaimana yang dipaparkan oleh Harsono mengenai defenisi akulturasi oleh Gilin
dan Gilin, sebagai “proses di mana masyarakat–masyarakat yang berbeda–beda
kebudayaannya mengalami perubahan oleh kontak yang lama dan langsung, tetapi
dengan tidak sampai kepada percampuran yang komplit dan bulat dari kedua kebudayaan
itu.” Selanjutnya, Koentjaraningrat menyatakan bahwa proses akulturasi itu timbul bila
suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan yang tertentu tentu dihadapkan
dengan unsur–unsur kebudayaan asing itu dengan lambat laun diterima dan diolah ke
dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan
sendiri.33
Maka dapat dipahami bahwa akulturasi budaya Sabu dapat terjadi ketika adanya
kontak antar budaya Sabu dengan budaya Sumba secara intensif dalam waktu yang lama,
dimana melalui interaksi tersebut menimbulkan adanya perubahan dalam budaya Sabu
atau budaya Sumba. Adapun kontak dan interaksi antara orang Sabu dengan orang
Sumba digambarkan dalam penjelasan oleh bpk Makana : 34
Pada awalnya orang Sabu berlum dapat dan mengerti mengenai bahasa
Sumba. Sehingga mengalami kesulitan dalam interaksi. Untuk dapat
berinteraksi, maka mereka menggunakan isyarat dan simbol berupa barang
atau gambar dalam menjelaskan maksud dan tujuan pembicaraan. Karena
orang Sabu adalah pendatang, maka harus berupaya untuk mempelajari
bahasa Sumba sedikit demi sedikit dalam setiap perjumpaan yang terjadi baik
di laut, ladang dan pasar (barter hasil ladang dan laut). Hal ini berlaku juga
bagi para raja, mereka saling mempelajari bahasa untuk menolong dalam
menjalani hubungan. Lama kelamaan dari proses belajar bahasa, akhirnya
orang Sabu pun dapat memahami dan melakukan interaksi yang baik dengan
orang Sumba. Demikian juga dengan orang Sumba, karena desakan
kebutuhan ekonomi (seperti barter jagung dengan ikan) maka mempelajari
bahasa Sabu. Tidak hanya itu, orang Sabu dan orang Sumba pada masa kini
telah menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini
mempermudah proses interaksi di antara kami, baik dalam hubungan sosial,
pekerjaan dan pelayanan di gereja.
33
Harsono, op. cit., h. 187 34
Wawancara dengan Bpk. M.L.D
88
Adapun kontak antar budaya Sabu dengan budaya Sumba ini berlangsung baik
antar individu dari masing-masing budaya maupun dalam lingkup antar kelompok
budaya Sabu dengan budaya Sumba. Hal ini sepadan dengan yang dijelaskan oleh
Harsono mengenai bentuk-bentuk kontak kebudayaan yang menimbulkan proses
akulturasi.35
Bentuk-bentuk kontak tersebut dapat terjadi antara setiap anggota dari dua
kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat di Sumba, baik dalam hubungan
persahabatan dan kekerabatan yang terlalin antara para raja Sabu dengan raja Sumba,
atau pengabar Injil (orang Sabu) dengan masyarakat Sumba, yang mana dapat
diklasifikasikan dalam hubungan persahabatan ataupun dalam persoalan perang yang
terjadi antara orang Sabu dengan orang Sumba. Selain dalam bidang pemerintah, sosial
dan keagamaan, kontak antara orang Sabu dengan orang Sumba pun terjadi dalam bidang
pekerjaan dan bidang ekonomi.
Dalam kontak yang terjalin antara orang Sabu dengan orang Sumba, tanpa disadari
terjadinya proses adaptasi yang mana lambat laun menimbulkan adanya penerimaan dan
pengadopsian unsur-unsur budaya Sumba menjadi bagian dalam budaya Sabu seperti
dalam penggunaan bahasa. Dengan penerimaan unsur-unsur budaya Sumba dalam
komunitas orang Sabu itulah menyebabkan terjadinya perubahan dalam budaya Sabu di
Kambaniru dan Umalalu. Adapun unsur-unsur budaya Sumba yang masuk dalam budaya
Sabu, tentunya membawa perubahaan dalam budaya Sabu itu sendiri. Perubahan inilah
yang disebut dengan perubahan akulturatif. Perubahan akulturatif yang dimaksud ialah
perubahan yang terjadi dalam budaya Sabu karena pengaruh unsur budaya Sumba yang
diadopsi menjadi bagian dalam budaya Sabu, namun hal itu tidak menyebabkan
hilangnya unsur budaya Sabu asli. Contohnya dalam penggunaan bahasa Sumba oleh
35
Harsono, op. cit., h.188-189
89
orang Sabu. Di mana dalam hubungan antar orang Sabu tetap menggunakan bahasa
Sabu. Sehingga mereka tidak meninggalkan budaya asli.
Adapun interaksi sosial yang terjalin dalam masyarakat Sumba dengan komunitas
orang Sabu merupakan awal pijakan terjadinya sebuah proses akulturasi budaya Sabu di
Sumba Timur khususnya di kelurahan Kambaniru dan Umalulu. Dalam perjumpaan dan
kontak antara dua budaya yang berbeda tersebut, mendorong individu dari masing-
masing kelompok budaya tersebut beradaptasi satu dengan yang lain. Tentunya sebagai
pendatang, orang Sabu akan berupaya untuk melakukan penyesuaian dengan masyarakat
Sumba, sehingga maksud dan tujuan kehadirannya di pulau Sumba dapat diterima dan ia
boleh mencapainya.
Orang Sabu memiliki sifat dan sikap yang mudah bergaul, serta kecapakan lokal
seperti dalam budaya lontar, nelayan dan mengelolah makanan, sikap suka menolong
serta jasa/bantuan mereka terhadap orang Sumba. Hal ini mendukung mereka untuk
dapat diterima dengan baik dan menjalin hubungan dengan masyarakat Sumba.
Penerimaan tersebut tidak hanya sebatas dalam menjalin pergaulan dan hubungan sosial
tetapi nampak juga ketika orang Sabu mendapat kepercayaan dalam menyelesaikan
persoalan yang terjadi di Sumba. Salah satu bukti dari penerimaan orang Sabu itu dengan
adanya hibah sebagai hadiah atas jasa dan bantuan mereka dalam menolong orang
Sumba. Dalam sejarah orang Sabu dan Sumba terdapat perjanjian Raja Sumba yang
menghibahkan tanah sepanjang pesisir pantai di Sumba Timur menjadi milik orang Sabu.
Meskipun perjanjian secara lisan, akan tetapi tetap diberlakukan hingga saat ini oleh
masyarakat Sumba.36
Demikianlah orang Sabu pun mendapatkan perlakuan yang
istimewa oleh masyarakat Sumba ketimbang suku lain yang berada di Sumba. Inilah
36
Wawancara dengan Bpk Pdt. Elias Rawambani, S. Th
90
yang dikatakan dengan potensi akulturasi seorang imigran sebelum berimigrasi yang
mempermudah berlangsungnya proses akulturasi.
Sebagaimana yang dipaparkan oleh Bakker bahwa proses akulturasi akan
berlangsung jika empat syarat yang terdiri syarat persenyawaan, syarat keseragaman,
fungsi dan syarat seleksi.37
Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua unsur budaya asing
yang dapat diterima dan diolah menjadi bagian dalam kebudayaan sendiri. Tidak semua
unsur budaya Sumba yang dapat dengan mudah diserap dan diterima oleh orang Sabu.
Meskipun telah terjadi perjumpaan dan interaksi yang cukup lama dengan orang Sumba,
sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya, bahwa orang Sabu di
Kambaniru dan Umalulu tetap menjaga dan memelihara identitas budaya asli mereka.
Perubahan akulturasi yang terjadi dalam komunitas orang Sabu hanya terdapat pada
beberapa unsur budaya Sabu saja, yang disebabkan dengan proses adaptasi dengan
lingkungan dan budaya masyarakat Sumba.
Dalam proses akulturasi budaya Sabu di Sumba, nampak adanya unsur budaya
Sumba yang sulit diterima dan diganti ialah terkait dengan sistem ajaran, falsafah, norma
dan nilai dari kepercayaan asli Marapu yang berbeda dengan kepercayaan orang Sabu,
sehingga unsur ini tidak diterima atau diadopsi dalam kehidupan orang Sabu di Sumba
Timur. Hal ini nampak dalam penjelasan oleh bapak Y.H.R. yang menyatakan bahwa :38
Orang Sabu yang di Kambaniru dan Umalulu telah beragama Kristen. Meskipun
demikian kami tetap memegang nilai-nilai budaya Sabu. Sehingga ketika kami
bergaul dengan orang Sumba, kami tetap tidak terpengaruh dengan kepercayaan
Marapu. Karena itu bertentangan dengan kepercayaan dan budaya kami.
Contohnya, orang Sumba mempercayai Marapu sebagai pencipta dan ketika
melakukan ritual upacara kematian, seperti persembahan hewan yang dipotong,
papanggu (ata) yang ikut mati bagi golongan maramba, dan lain sebagainya. Hal
itu tidak berlaku dalam budaya kami.
37
J. W. M. Bakker. SJ., Filsafat Kebudayaan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2014), h. 116 38
Wawancara dengan Bpk. Y.H.R.
91
Penjelasan tambahan dari bapak Mahari yang menuturkan mengenai adat
perkawinan Sumba seperti :39
Dalam adat istiadat perkawinan Sumba terdapat istilah adat hilir (silih/ sikap
menghindar) antara ayah mertua dengan anak mantu dan ipar lelaki dari suami.
Sedangkan dalam adat perkawinan budaya Sabu, hal itu tidak berlaku dalam
budaya Sabu. Hal lainnya ialah sistem perkawinan adat Sumba yakni mengenai
penetapan makna belis putus tidak sesuai dengan pemahaman makna belis atau
mas kawin dalam perkawinan adat Sabu. Ketika terjadi perkawinan campur,
seorang lelaki Sumba menikah dengan perempuan Sabu, hal ini tidak terjadi dalam
keluarga Sabu. Artinya, hubungan anak mantu (Sumba) dengan mertua (Sabu)
terjalin seperti biasa, hilir tidak berlaku dalam keluarga Sabu. Makna belis putus
juga tidak berlaku dalam kalangan komunitas orang Sabu, karena dalam
perkawinan itu dilaksanakan adat Kenoto.
Nampaklah bahwa dalam beberapa unsur budaya Sabu yang memegang peranan
penting seperti yang digambarkan di atas, tidak mengalami perubahan akulturasi.
Adapun dalam proses adaptasi, hanya terdapat beberapa unsur budaya Sumba yang dapat
diserap oleh orang Sabu dan menjadi bagian dalam kehidupan sehari-harinya.
Pengadopsian beberapa unsur itu terjadi dalam rentang waktu yang lama dan melalui
berbagai peristiwa dan adat istiadat masyarakat Sumba. Adapun penerimaan unsur
budaya Sumba itu tidak secara langsung menjadi bagian budaya, tetapi unsur tersebut
masih mengalami seleksi dan pengolahan. Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh
Bakker mengenai syarat-syarat penerimaan unsur budaya asing, demikianlah yang terjadi
dalam budaya Sabu. Hanya unsur budaya Sumba yang memiliki keseragaman budaya,
nilai tambah dan berperan sangat penting dalam kebutuhan orang Sabu, unsur-unsur
budaya itulah yang dengan mudah dapat diterima dan dijadikan bagian dari budaya Sabu.
Penerimaan unsur itu dimulai dari seorang atau sejumlah individu yang kemudian
menyebar menjadi bagian dari sub kebudayaan keluarga, kelompok sehingga lama
kelamaan mendapat dukungan oleh semua anggota masyarakat. Contohnya, gula Sabu
39
Wawancara dengan Bpk Mahari
92
dinikmati oleh sebagian orang Sumba, kemudian disebarkan bahkan dijual dan
dikonsumsi sebagai minuman dan obat bagi masyarakat Sumba.
Selain bahasa, unsur-unsur budaya Sumba yang mudah diterima dalam orang Sabu
ialah terkait dengan peralatan dan perlengkapan kehidupan di Sumba seperti penggunaan
kuda sebagai sarana transportasi. Selain itu, pemakaian sarung Sumba sebagai pakaian
dalam pekerjaan atau adat istiadat, sarung atau selimut Sumba yang menjadi barang
bawaan saat upacara kematian. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Sabu juga meniru
cara pemakian sarung perempuan Sumba. Pemakaian sarung Sabu tidak lagi dilipat dua
kali dan dililit pada pinggang tetapi cukup dililitkan pada bagian pinggang.40
Adapun
berikut ini adalah beberapa wujud akulturasi yang terjadi dalam komunitas orang Sabu di
Kambaniru dan Umalulu yakni :
1. Bahasa
Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan
bahasa Sumba dan bahasa Sabu dalam pergaulan sehari-hari antara komunitas Sabu
dan masyarakat Sumba. Penggunaan bahasa Sabu tidak hanya dalam hal pergaulan
tetapi juga dalam pemberian nama tempat atau kota di daerah Sumba Timur dengan
menggunakan bahasa Sumba diantaranya seperti nama kota Umalulu yang sering
disebut dengan Melolo (bahasa Sabu), Kali Uda, Rae Kiha, Rame Nyiu, Rame Due,
dan beberapa daerah lainnya. Adapun penamaan ini memiliki makna yang disesuaikan
dengan keberadaan daerah atau tempat tersebut. Selain itu pemberian nama panggilan
Sabu atau Sumba pada lelaki (ama atau umbu) dan perempuan (ina atau rambu) tidak
hanya diberikan sesuai suku budaya nya sendiri, tetapi seorang lelaki Sumba dapat
dipanggil ama dalam pergaulan sehari-hari, demikian juga dengan perempuan.
2. Organisasi Sosial Kemasyarakatan
40
Wawancara dengan Bpk. D. D. H
93
Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan, misalnya dalam hal
kepemimpinan nampak dari peran orang Sabu yang penting dalam sistem pemerintahan
dan pelayanan GKS. Dahulunya di Sumba, pucuk pemerintahan dipimpin oleh kaum
maramba Sumba. Namun pada masa kini, orang Sabu pun memiliki kesempatan untuk
memangku jabatan dan peran penting dalam bidang pemerintahan dan gereja. Contohnya,
dalam bidang gereja di wilayah Sumba, banyak orang Sabu menjadi pendeta, vikaris, guru
injil yang bekerja sama dengan orang Sumba. Dalam bidang pemerintahan daerah, orang
Sabu juga memangku jabatan tinggi dan bekerja sama dengan orang Sumba seperti wakil
bupati, kepala kantor, anggota DPRD, dokter, camat dan lain sebagainya.
3. Sistem Perkawinan
Ada beberapa hal terkait dengan wujud akulturasi budaya Sabu di Sumba, seperti
acara adat ihi kenoto (sambung tangan) yang ditiru dan dipraktekkan oleh masyarakat
Sumba yakni dalam istilah acara ‘kumpul tangan’. Dalam acara ini, pihak lelaki akan
mengundang keluarga besar dan kerabat untuk dapat bersama-sama menangung dan
mempersiapkan mas kawin atau belis yang akan dihantar ke rumah pihak perempuan.
Selain itu, pada tahapan masuk minta dalam perkawinan campur antara perempuan Sabu
dan lelaki Sumba, terdapat pelaksanaan pengungkapan identitas Sumba dalam hantaran
lamaran berupa seekor kuda dan sebuah mamuli mas, atau pemberian sarung Sumba
sebagai sambutan dan hadiah kepada mempelai pengantin sebagai anggota keluarga yang
baru.
4. Adat Kematian
Wujud akulturasi yang nampak dalam adat kematian Sabu ialah berupa perubahan
yang terjadi terkait dengan pembawaan kain sumba oleh orang Sabu yang melayat. Selain
itu letak dan bentuk kubur tidak hanya ditimbuni tanah dan diletakkan di bawah rumah,
94
tapi di depan atau samping rumah dan berbentuk seperti yang dilakukan oleh orang
Sumba.
5. Peralatan Hidup dan Teknologi
Wujud akulturasi dari peralatan hidup dan teknologi dalam kehidupan orang Sabu di
Sumba ialah seperti dalam pemakaian haik (tempat penyimpanan air, nira). Pada masa
sekarang ini sudah tidak lagi digunakan, diganti dengan penggunaan botol bekas atau
tempat penampungan air lainnya. Selain itu, atap rumah yang sudah tidak lagi
menggunakan daun lontar diganti dengan alang, seperti yang dilakukan oleh orang Sumba.
Contoh lainnya ialah seni bangunan rumah orang Sabu di Sumba. Pada masa sekarang
ini, makna letak dan bangunan rumah sudah tidak diperhatikan lagi. Yang dahulunya
menggambarkan letak pulau Sabu dan atapnya seperti perahu terbalik. Tetapi sekarang
letak rumah seperti letak rumah Sumba yakni menghadap ke jalan. Selain itu, rumah orang
Sabu dibangun tidak dalam bentuk rumah kelaga yang terbuat dari bahan pohon lontar.
Tetapi beberapa rumah terbuat dari semen dan seng mengikuti pola bangunan masa kini,
dan ada juga yang membangun rumah seperti model bangunan rumah Sumba yang
memakai menara pada bagian atap. Wujud akulturasi lainnya ialah pada bentuk kubur dari
orang Sabu di Sumba juga mengalami perubahan. Kuburan asli orang Sabu biasanya
cukup ditimbun dengan tanah dan diletakkan di bawah rumah sehingga tersembunyi.
Tetapi di Sumba, kuburan orang Sabu telah terbuat dari bahan batu dan semen dan
diletakkan di depan atau samping rumah, sebagaimana bentuk kubur dalam budaya
Sumba.
6. Kesenian
Wujud akulturasi dalam bidang kesenian terlihat dari seni tenun dan seni tari . Dalam
seni tenun, motif tenunan telah dikreasikan sesuai tuntutan pemesanan, contohnya gambar
mamuli dan kuda pada sarung Sabu. Sarung Sabu juga tidak hanya digunakan oleh orang
95
Sabu, tetapi juga dipakai oleh orang Sumba. Cara berpakaian orang Sabu telah mengalami
perubahan dan akulturasi seperti penggunaan kain selimut atau sarung Sumba oleh orang
Sabu. Selain itu cara pemaikaan sarung lebih mengikuti tata cara pemakaian sarung
Sumba.
Wujud akulturasi dalam seni tari ialah pada jenis tarian pe’doa tidak dilakukan terkait
dengan upacara Jingitiu dan dipentaskan pada malam hari, tetapi di Sumba, tarian ini
dipentaskan oleh orang Sabu pada saat siang hari seperti dalam memeriahkan acara HUT
RI, acara di gereja atau pertemuan khusus menyambut tamu dan lain sebagainya.
7. Wujud akulturasi dalam pemukiman orang Sabu. Perkampungan asli orang Sabu (rai)
yang terdiri dari kumpulan udu/kerogo tidak lagi berlaku. Perkampungan orang Sabu
tidak hanya terdapat di daerah yang dekat muara sungai atau pingir laut, tetapi orang Sabu
pun telah menetap di daerah pegunungan Sumba Timur. Hal ini juga dipengaruhi oleh
keadaan geografis Sumba, mata pencaharian, dan hubungan perkawinan. Karena itu
dalam perkampungan orang Sabu telah hidup berdampingan dengan orang Sumba.
8. Wujud Akulturasi dalam sistem mata pencaharian. Orang Sabu terkenal sebagai nelayan
yang unggul, dan penyadap nira lontar (due). Ketika berada di Sumba, mata
pencahariannya pun berubah sesuai dengan keadaan geografis di Pulau Sumba dan
pengaruh agama Kristen. Dalam hal bertani, orang Sabu pun belajar dan mengadopsi cara
bercocok tanam di sawah tadah hujan sebagaimana yang dilakukan oleh orang Sumba.
Dari uraian pembahasan hasil penelitian mengenai proses akulturasi budaya Sabu yang
terjadi di Sumba Timur khususnya di Kelurahan Kambaniru dan Umalulu menunjukkan
bahwa dalam perjumpaan budaya Sabu dengan budaya Sumba, orang Sabu tetap memelihara
budaya aslinya dan juga mengalami perubahaan akulturatif yang disebabkan adanya unsur
budaya Sumba yang diterima dan diolah menjadi bagian budaya Sabu. Hal ini sesuai dengan
pemaparan yang disampaikan oleh Berry bahwa ada dua dimensi yang mendasari proses
96
akulturasi yakni terkait dengan pemeliharan warisan indentitas budaya asli dan pemeliharaan
hubungan atau kontak dengan kelompok budaya lain. Selanjutnya berdasarkan dua dimensi
tersebut, maka proses akulturasi tersebut dapat terwujud dalam empat strategi berupa
integrasi, separasi, asimilasi, and marginalisasi.41
Dalam proses akulturasi budaya Sabu dengan budaya Sumba, strategi integrasi
terwujud ketika orang Sabu tetap memelihara budaya aslinya selama ia menjalin interaksi dan
hubungan sosial dengan masyarakat Sumba dalam kehidupan sehari-harinya. Contohnya,
dalam bidang mata pencaharian sebagai bertani, orang Sabu bekerja sebagai petani dengan
menyesuaikan dan mempelajari serta mengadopsi cara bercocok tanam pada di sawah tadah
hujan. Lainnya ialah dalam penggunaan bahasa Sumba dalam pergaulan sehari-hari. Strategi
separasi terjadi ketika komunitas Sabu hanya memiliki fokus untuk menghidupi nilai-nilai
budaya aslinya dan sekaligus mencoba menghindari berinteraksi dengan yang lain. Hal ini
nampak dengan adanya komunitas Sabu di Kambaniru dan Umalulu, yang mana masih
terdapat orang-orang Sabu tertentu yang menutup diri dalam pergaulan dengan orang Sumba.
Sehingga lebih memilih untuk berinteraksi dengan sesama orang Sabu dari pada dengan
masyarakat Sumba. Strategi asimilasi terjadi manakala orang Sabu tidak lagi
mempertahankan identitas budayanya dan kemudian membangun hubungan dan interaksi
dengan budaya Sumba dalam kehidupan sehari-hari. Di sini orang Sabu tersebut telah
beradaptasi dan membuka dirinya untuk menerima unsur-unsur budaya Sumba menjadi
bagian kehidupannya, bahkan ia dapat meninggalkan budaya aslinya. Hal ini terjadi bagi
orang Sabu yang telah menetap bukan lagi di pesisir pantai atau pada perkampungan orang
Sabu tetapi karena faktor pekerjaan, ia telah menetap di daerah kota atau daerah pelosok di
dataran pegunungan seperti Tabundung, Tanara, sehingga hidup berdampingan dan
41
Colleen Ward and Arzu Rana-Deuba, Acculturation and Adaptation Revisited. Journal of Cross-
Cultural Psychology, Western Washington University, Vol. 30, No. 4, July, 1999, 422-442 diunduh dari
http://www.uk.sagepub.com/thomas2e/study/articles/section3/Article68.pdf
97
berinteraksi secara langsung dan terus menerus dengan masyarakat Sumba. Perjumpaan dan
interaksi yang berlangsung secara intensif dalam waktu yang lama, menghasilkan pengaruh
terhadap dialek, bahasa, cara berpakaian, dan mata pencaharian yang mana telah mengikuti
budaya Sumba. Strategi marginalisasi terjadi ketika adanya kemungkinan orang Sabu untuk
memelihara budaya aslinya sementara ia membuka ruang untuk berinteraksi dengan orang
Sumba hanya dalam beberapa unsur budaya dan adat istiadat. Contohnya ketika orang Sabu
di Kambaniru yang menjalin hubungan dan interaksi dengan orang Sumba dalam bidang
pekerjaan seperti di pasar, kantor, gereja.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjumpaan orang Sabu dengan orang Sumba
dapat menjadi pendorong terjadinya proses akulturasi budaya Sabu. Proses akulturasi itu pun
berjalan dengan baik, yang mana terjadinya strategi integrasi antara beberapa unsur
kebudayaan Sumba dengan unsur kebudayaan Sabu. Adapun beberapa akibat akulturasi
dalam komunitas orang Sabu seperti berikut :
Substitusi. Contohnya ialah perubahan pemakaian sarung atau kain Sumba serta cara
penggunaannya oleh orang Sabu. Hal ini terjadi disebabkan karena penyesuaian dengan
budaya dan masyarakat Sumba, dan cara pemakaian sarung Sabu seperti cara berpakaian
orang Sumba dianggap lebih mudah dan sederhana.
Sinkretisme. Contohnya ialah nampak dalam cara membangun rumah dan kubur. Tidak
lagi seperti kebiasaan lama dimana letak rumah sesuai dengan letak pulau Sabu dan letak
kubur berada di bawah rumah. Pada masa kini, orang Sabu membangun rumah
disesuaikan dengan keadaan geografis di Sumba bahkan mengikuti cara orang Sumba
membangun rumah dan kuburan.
Addition. Penambahan gambar mamuli dan kuda sebagai simbol identitas suku Sumba
pada motif sarung Sabu. Contoh lain ialah dalam sistem perkawinan yang mana terjadi
antara lelaki Sumba dengan perempuan Sabu. Pada tahap masuk minta, biasanya
98
dilakukan acara penyataan identitas suku Sumba dengan pemberian sebuah mamuli mas
dan seekor kuda sebagai hantaran lamaran pihak lelaki kepada perempuan Sabu.
Originasi. Contohnya, dalam pembuatan rumah, tidak lagi menggunakan bahan dari
pohon lontar tetapi atap rumah dapat menggunakan rumput alang, daun kelapa dan seng
sedangkan bagian lainnya menggunakan pohon kelapa, balok dan lain sebagainya yang
disesuaikan dengan keadaan alam di daerah Sumba, dan kemampuan ekonomi dari
pemilik rumah tersebut.
Demikianlah pembahasan hasil penelitian mengenai perjumpaan budaya Sabu
dengan budaya Sumba yang menunjukkan adanya unsur budaya Sabu yang lebih dominan
dilestarikan dan juga adanya perubahan beberapa unsur budaya Sabu akibat proses
akulturasi budaya Sabu yang terjadi di Kelurahan Kambaniru dan Umalulu.