28
www.legalitas.org www.l e ga l it a s.org www.legalitas.org www.l e ga l it a s.org ANALISA KONTROVERSI SYARI’AH DENGAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG MASALAH MENIKAHI WANITA NON MUSLIM Oleh IRSYADI, M.Ag Panitera/sekretaris Pengadilan Agama Lubuk Basung Sumatera barat Secara umum ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KHI dalam bidang hukum perkawinan merupakan penegasan ulang dan penjabaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Maksud penjabaran dari KHI adalah bertujuan membawa ketentuan-ketentuan UU no 1 tahun 1974 ke dalam ruang lingkup yang bernafaskan Islam. Ketentuan pokok yang bersifat umum dalam UU no. 1 tahun 1974 dijabarkan dan dirumuskan menjadi ketentuan yang bersifat khusus bagi mereka yang beragama Islam. Dengan demikian buku I KHI merupakan aturan dan hukum khusus yang diberlakukan dan diterapkan secara khusus bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Dalam tulisan ini penulis akan memaparkan ketentuan umum perkawinan yang terdapat dalam buku I KHI. 1. Dasar-Dasar Perkawinan Dalam pasal 2 dan 3 ditegaskan, perkawinan adalah suatu aqad yang sangat kuat sebagai pelaksanaan perintah Allah, dengan tujuan mewujudkan keluarga sakinah,, mawaddah dan rahmah. 1 Penegasan ini sejalan dengan al-Qur’an di antaranya surat an-nisa’ ayat 21 1 Depag. RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Dirbun Bapera Isam, 1995/1996), h. 196.

Perkawinan Beda Agama

  • Upload
    ratna26

  • View
    37

  • Download
    6

Embed Size (px)

DESCRIPTION

perkawinan beda agama

Citation preview

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    ANALISA KONTROVERSI SYARIAH DENGAN KOMPILASI HUKUM

    ISLAM TENTANG MASALAH MENIKAHI WANITA NON MUSLIM Oleh IRSYADI, M.Ag

    Panitera/sekretaris Pengadilan Agama Lubuk Basung Sumatera barat

    Secara umum ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KHI

    dalam bidang hukum perkawinan merupakan penegasan ulang dan

    penjabaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU

    Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun

    1975.

    Maksud penjabaran dari KHI adalah bertujuan membawa

    ketentuan-ketentuan UU no 1 tahun 1974 ke dalam ruang lingkup

    yang bernafaskan Islam. Ketentuan pokok yang bersifat umum dalam

    UU no. 1 tahun 1974 dijabarkan dan dirumuskan menjadi ketentuan

    yang bersifat khusus bagi mereka yang beragama Islam. Dengan

    demikian buku I KHI merupakan aturan dan hukum khusus yang

    diberlakukan dan diterapkan secara khusus bagi masyarakat

    Indonesia yang beragama Islam.

    Dalam tulisan ini penulis akan memaparkan ketentuan umum

    perkawinan yang terdapat dalam buku I KHI.

    1. Dasar-Dasar Perkawinan

    Dalam pasal 2 dan 3 ditegaskan, perkawinan adalah suatu aqad yang

    sangat kuat sebagai pelaksanaan perintah Allah, dengan tujuan

    mewujudkan keluarga sakinah,, mawaddah dan rahmah.1 Penegasan

    ini sejalan dengan al-Quran di antaranya surat an-nisa ayat 21

    1 Depag. RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Dirbun Bapera Isam,

    1995/1996), h. 196.

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    ) :21( Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian

    kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri.

    Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang

    kuat(QS. An-Nisa ; 21)

    Surat Ar-Rum ayat 21

    ) :21( Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

    untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan

    merasa tentram dengannya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa

    kasih dan sayang sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar

    terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berfikir(QS. Al-Rum : 21)

    Kemudian di antara hadis nabi yaitu

    :

    ) (2 Dan dari Anas Bin Malik ra sesungguhnya nabi saw telah bersabda:

    Sesungguhnya aku shalat, tidur, berpuasa dan berbuka dan menikahi

    wanita, maka siapa yang benci terhadap sunnahku maka tidak

    termasuk golonganku (Muttafaqaun alaik)

    2M. Ismail, al-Kahlany, Subul al-Salam, (t.p., t.t.), Juz III, h. 110

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    Di samping itu pasal 2 KHI mempertegas landasan filosofis

    perkawinan berdasar Pancasila yang diatur dalam pasal 1 UU No.

    tahun 1974.

    Sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 1 UU No. 1 tahun

    1974, landasan filosofis perkawinan nasional adalah Pancasila

    dengan mengaitkan perkawinan berdasar Sila Pertama. Yakni

    berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Landasaran filosofis itu

    dipertegas dan diperluas dalam pasal 2 KHI yang intinya:

    - Perkawinan semata-mata mentaati perintah Allah

    - Melaksanakan perkawinan adalah ibadah

    - Ikatan perkawinan persifat : miitsaaqan qholidzah3

    Dalam penegasan landasan filosofis ini dirangkum secara

    terpadu antara akidah, ubudiyah dan muamalah berkaitan

    langsung di dalamnya antara segi huququllah dengan huququl ibad.

    Selain dari itu di dalamnya terdapat penegasan dan

    pemasyarakatan simbol Islam berupa pernyataan ikatan bersifat

    miitsaaqan qhulidzan. Simbol landasan filosofis ini memberikan

    kesadaran dan pengertian kepada masyarakat bahwa perkawinan

    mentaati perintah Allah sekaligus merupakan ibadah4 serta harus

    dipertahankan kelangsungan dan kelestariannya.

    Pasal 5-10 berbicara tentang pencatatan perkawinan, proses

    pelaksanaannya, isbat nikah, perceraian dan rujuk. Secara garis

    besar pasal-pasal ini mengatur tentang pelaksanaan harus tercatat

    dan menjadi alat bukti, mengenai hal tersebut dalam kajian fikih

    persoalan ini belum mendapat perhatian. Karena itu ia menjadi

    persoalan ijtihadi. Meskipun demikian pada kesimpulannya hal

    3 Depag RI, op.cit., h. 96 4Menurut Ibrahim Husen, Penegasan Kompilasi bahwa pernikahan

    adalah ibadah nampaknya masih perlu didiskusikan secara mendalam karena tidak setiap pelaksanaan perintah Allah dapat dipandang sebagai ibadah, lihat Tim Ditbinbapera, Berbagai Pandangan terhadap Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: yayasan al-Hikmah, 1994), h. 58

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    tersebut membawa kepada kemaslahatan karena ia sangat

    diperlukan sesuai dengan kaidah:

    5 Peminangan

    Dalam UU no 1 tahun 1974 tidak diatur cara pertunangan.

    Maka demi tertibnya cara-cara pertunangan berdasarkan moral dan

    yuridis, KHI lebih menjabarkan pengaturannya. Karena hukum Islam

    mensyariatkan pertunangan dengan tujuan agar kedua belah pihak

    yang hendak membangun rumah tangga mengetahui dan mengenal

    calon pasangannya sehingga tidak terjadi penyesalan di kemudian

    hari. Di antara nash yang mengatur tentang pertunangan antara lain

    dalam surat al-Baqarah ayat 235 dan hadis Nabi dari Muqhirah bin

    Syubah pernah meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah

    bertanya kepadanya sudahkah anda melihatnya ? Belum, jawab

    Rasulullah lihatlah ia, kata rasul selanjutnya sebab hal itu dapat

    mengekalkan keharmonisan kamu berdua (HR NasaI ibn majah dan

    tarmizi)

    2. Rukun dan Syarat Perkawinan (pasal 14-29)

    Pengaturan rukun dan syarat perkawinan dalam KHI adalah

    untuk mengatur secara Islami ketentuan syarat perkawinan yang

    diatur pada bab II pasal 7 no 1 tahun 1974. Apa yang diatur dalam

    pasal tersebut masih bersifat umum. Tidak diatur bagaimana

    kekhususan rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam.

    Jika semata-mata berdasar pasal 7 tersebut, masyarakat luas belum

    tahu secara utuh apa-apa rukun dan syarat perkawinan. Untuk itu

    dianggap sangat perlu mengaturnya secara limitatif dalam KHI. Maka

    apa yang dimaksud pasal 7 UU no. 1 tahun 1974 diatur lebih luas

    dalam bab IV KHI mulai pasal 14-29.

    5Ali Ahmad al-Nadhwi, al-Qawaid al-Fiqhiyah, (Damsik : Dar al-Qalam,

    1986), h. 107

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    Di samping itu menghapuskan masalah ikhtilaf dalam rukun

    dan syarat perkawinan misalnya soal mengenai saksi. Selama ini

    terdapat perbedaan pendapat apakah saksi merupakan rukun nikah

    atau tidak. Untuk menghilangkan perbedaan tersebut maka pasal 14

    KHI secara tegas menetapkan dua orang saksi sebagai rukun nikah.

    Secara utuh pasal 14 KHI berbunyi ;

    Untuk melaksanakan perkawinan harus ada

    1. Calon suami;

    2. Calon istri;

    3. Wali nikah;

    4. Dua orang saksi;

    5. Ijab dan kabul Memperhatikan jumlah rukun nikah yang dikemukakan dalam pasal

    14 di atas nampak dengan jelas bahwa jumlah ini bersumber dari

    rumusan hukum mazhab Syafii namun demikian bukan berarti

    persoalan ini tidak diatur dalam al quran atau hadis nabi. Hanya

    saja pengaturannya bersifat interpretable. 6

    Mengenai batas usia perkawinan telah diatur dalam pasal 7

    ayat (1) Undang-Undang nomor 1 tahun 1974, yaitu : perkawinan

    hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan

    belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam

    belas) tahun. Ketentuan batas umur ini seperti disebutkan dalam

    kompilasi hukum Islam pasal 15 ayat (1) didasarkan kepada

    pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga

    perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip yang diletakkan Undang-

    Undang Perkawinan, bahwa calon suami istri telah masak jiwa

    raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik

    6Tim Dirbinbapera, op.cit., h. 59

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik

    dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon

    suami istri yang masih di bawah umur.

    Di samping itu perkawinan mempunyai hubungan dengan

    masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang rendah

    bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran lebih

    tinggi. Berhubung dengan itu, maka Undang-Undang ini menentukan

    batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun wanita.

    Masalah penentuan umur dalam Undang-Undang Perkawinan

    maupun dalam Kompilasi, memang bersifat ijtihadiyah, sebagai

    usaha pembaharuan pemikiran fiqh yang lalu. Namun demikian,

    apabila dilacak referensi syari-nya mempunyai landasan yang kuat.

    Misalnya isyarat Allah dalam surat an-Nisa 4:9

    ) :6( Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya

    meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang

    mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu

    hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka

    mengucapkan perkataan yang benar.(QS. An-Nisa : 9)

    Ayat tersebut memang bersifat umum, tidak secara langsung

    menunjukkan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh pasangan usia

    muda - di bawah ketentuan yang diatur UU no. 1 tahun 1974 dan

    Kompilasi Hukum Islam akan menghasilkan keturunan yang

    dikhawatirkan kesejahteraannya. Akan tetapi berdasarkan

    pengamatan berbagai pihak, rendahnya usia kawin, lebih banyak

    menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan tujuan

    perkawinan, yaitu terwujudnya ketentraman dalam rumah tangga

    berdasarkan kasih dan sayang. Tujuan ini tentu akan sulit terwujud,

    apabila masing-masing mempelai belum masak jiwa dan raganya,

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    kematangan dan integritas pribadi yang stabil akan sangat

    berpengaruh di dalam menghadapi liku-liku dan badai rumah

    tangga.

    Secara metodologis, langkah penentuan kawin didasarkan

    kepada metode maslahat mursalah 7 Namun demikian karena

    sifatnya ijtihady, yang kebenarannya relatif, ketentuan tersebut tidak

    bersifat kaku. Artinya apabila karena sesuatu dan lain hal

    perkawinan dari mereka yang usianya di bawah 21 tahun atau

    sekurang-kurangnya 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk

    wanita Undang-Undang tetap memberikan jalan keluar. Pasal 7 ayat

    (2) menegaskan :

    Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta

    dispensasi kepada pengadilan agama atau pejabat lain yang ditunjuk

    oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.

    Jadi yang perlu dicatat dalam materi rukum dan syarat adalah :

    1. Patokan syarat usia mempelai (pasal 15 KHI)

    - Tidak lagi didasarkan pada ukuran syarat yang

    mengambang yakni aqil baligh

    - Tapi sudah didifinitif secara positif pada patokan umur yakni

    patokan umur wanita 16 dan pria 19 tahun

    2. Tidak diperbolehkan kawin paksa (pasal 16 dan pasal

    17)

    - Penekanan terutama diberi kepada calon mempelai wanita

    untuk melakukan penolakan

    3. Dengan demikian birrul walidain tidak boleh dipakai

    sebagai dasar perisai bagi orang tua untuk memaksakan

    perkawinan putrinya.

    4. Tidak diperkenankan untuk mempermudah kewenangan wali

    hakim harus lebih dahulu ada putusan Pengadilan Agama.

    7Rahmat Djanika, Sosialisasi Hukum Islam, Kontroversi Pemikiran Islam

    di Indonesia, (Bandung : Rosda Karya, 1991), h. 251

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    5. Mahar

    Mahar adalah kewajiban calon suami yang harus diberikan

    kepada calon istrinya, sebagai suatu penghormatan dan pemuliaan

    Islam kepada kaum wanita. Dalam al-Quran hanya disebutkan dasar

    persyariatannya semata, tanpa terperinci atau menjelaskan kadar

    jumlah maupun cara pelaksanaannya. Hal ini dapat dilihat dalam

    Q.S an-Nisa ayat 4. Dalam hadis Nabi memang diutarakan pula

    persoalan mahar itu. Namun secara keseluruhan, hadis pun tidak

    memberikan secara tegas batas tertentu yang bersifat mengikat,

    bahkan dalam sebuah hadis dinyatakan dalam keadaan terpaksa,

    dapat saja mahar berupa cincin kawat (sesuatu yang sangat rendah

    nilainya). Dan para fuqahaklah yang kemudian memberikan

    batasan-batasannnya, yang tentu saja dipengaruhi oleh kondisi

    sosial setempat. Oleh karena itu pasal-pasal yang mengatur tentang

    mahar dalam KHI dapat dibenarkan oleh hukum Islam.

    Dalam persoalan mahar sebagaimana tertera dalam pasal 35

    ayat (2), nampaknya merupakan rumuasn yang diambil dari

    pendapat Abu Hanifah, Ahmad, Daud, dan salah satu pendapat

    Imam Syafii yang sah.

    Jadi pengaturan mahar dalam KHI adalah bertujuan :

    - Untuk menertibkan masalah mahar

    - Menetapkan kepastian hukum bahwa mahar bukan rukun

    nikah

    - Menetapkan etis mahar atas asas kesederhanaan dan

    kemudahan bukan didasari atas asas prinsip ekonomi, status

    dan gengsi

    - Menseragamkan konsepsi yuridis dan etik mahar agar terbina

    ketertiban dan persepsi yang sama di kalangan masyarakat dan

    aparat penegak hukum.

    6. Poligami

    Pada prinsipnya Kompilasi Hukum Islam mengizinkan

    seseorang beristeri sampai 4 orang, sejalan dengan surat An-Nisa

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    ayat 3 menurut penafsiran jumhur ulama. Hanya saja dalam

    pelaksanaannya Kompilasi menetapkan persyaratan cukup berat.

    Yaitu antara lain, adanya keharusan mendapat izin dari Pengadilan

    Agama, isteri mengandung aib berat dan persetujuan isteri (pasal 56

    58). Dengan demikian terlihat KHI berusaha mempersulit

    pelaksanaannya. KHI hendak memberlakukan asas monogami.

    Apa yang diatur oleh KHI ini merupakan terobosan baru, sebab

    baik dalam al-Quran, hadis Nabi maupun dalam kitab-kitab fikih

    persyaratan seperti itu tidak dijumpai. Meskipun demikian,

    mengingat tujuan utama perkawinan adalah membangun keluarga

    sejahtera lahir batin atau mitsaqan ghalidzan (pasal 2), sedangkan

    kenyataan menunjukkan bahwa poligami pada umumnya dapat

    menghambat tujuan tersebut di samping status hukumnya itu

    hanyalah boleh (mubah). Kebolehan itupun kalau ditelusuri

    sejarahnya digantungkan pada situasi dan kondisi masa permulaan

    Islam.8 Dengan demikian poligami :

    Harus didasarkan pada alasan yang enumeratif. Tanpa terpenuhi

    salah satu alasan tidak boleh poligami :

    1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban

    2. Isteri cacat atau sakit yang tidak dapat disembuhkan

    3. Isteri mandul

    - Harus memenuhi syarat :

    1. Mesti ada persetujuan isteri,

    2. Mampu berlaku adil,

    3. Kepastian atas kemampuan menjamin kehidupan

    4. Harus ada izin PA

    Dalam hal ini dilibatkan campur tangan Pengadilan Agama.

    Poligami bukan semata-mata urusan pribadi, tetapi juga menjadi

    urusan kekuasaan negara yakni mesti ada izin Pengadilan Agama.

    Tanpa ada izin pengadilan agama perkawinan dianggap poligami

    8Tim Ditbinbapera, op.cit, h. 180

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    liar. Dia tidak sah dan tidak mengikat. Perkawinan tetap dianggap

    never existed meskipun perkawinan tersebut dilakukan dihadapan

    PPN

    7. Pencegahan Perkawinan

    Aturan pencegahan dalam KHI pada dasarnya mengambil alih

    seluruh ketentuan yang diatur dalam Bab III UU No. 1 tahun 1974.

    Hanya ada satu tambahan berupa pencegahan atas alasan

    perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien (pasal 61)

    Selama ini pencegahan perkawinan atas perbedaan agama

    ditolak oleh PA atas alasan UU No. 1 tahun 1974 tidak menyebutkan

    hal itu sebagai alasan pencegahan.

    Untuk tercapainya kepastian hukum dan ketertiban umum,

    pencegahan mesti atas campur tangan penguasa (PA) dan selama

    belum ada keputusan PA, perkawinan tidak boleh dilangsungkan.

    8. Batalnya perkawinan (pasal 70 76)

    Bab XI KHI mengatur tentang pembatalan perkawinan. Materi

    rumusan hampir sama dengan yang dirumuskan dalam Bab IV UU.

    No. 1 tahun 1974 cuma saja KHI lebih terperinci dalam membedakan

    alasan pembatalan, yaitu :

    1. Pembatalan atas pelanggaran larang batal demi

    hukum (pasal 70)

    2. Pembatalan atas pelanggaran syarat dapat dibatalkan (pasal

    71)

    Pelanggaran yang dapat dibatalkan menurut (pasal 71) ini hanya

    menyangkut pihak yang dirugikan haknya atau melanggar peraturan

    yang berlaku.

    Sama halnya dengan pencegahan, pembatalan perkawinan

    diarahkan kepada kepastian hukum dan ketertiban umum dengan

    jalan campur tangan penguasa yakni PA. Dengan demikian batalnya

    suatu perkawinan, baru sah dan mengikat harus berdasar putusan

    Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

    9. Hak dan kewajiban suami isteri (pasal 77 84)

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    Pengaturan tentang hak dan kewajiban suami isteri dalam

    Kompilasi Hukum Islam bertujuan :

    1. Terwujudnya tujuan cita-cita sakinah, mawaddah dan rahmah

    menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama (pasal 77 ayat

    1)

    2. Penghapusan diskriminasi katagoris atas pemeliharaan dan

    pendidikan anak-anak dengan asas tanggung jawab bersama

    (pasal 77 ayat 3)

    3. Menghapus diskriminasi normatif dalam pelaksanaan hak dan

    kewajiban berdasarkan asas persamaan hak :

    - Suami atau isteri mempunyai hak yang sama untuk

    mengajukan gugat ke PA atas tindakan kelalaian

    (negligence) penolakan (refuse) atau ketidakmampuan

    (failure) melaksanakan kewajiban (pasal 77 ayat 5)

    - Sama-sama berhak secara musyawarah menentukan

    tempat kediaman

    - Sama-sama berhak melaksanakan perbuatan hukum

    (pasal 79 ayat 3)

    4. Menseimbangkan harkat derajat suami isteri secara

    fungsional berdasarkan asas kodrati alamiah dan

    biologis dalam acuan :

    - Suami sebagai kepala keluarga (chief of the family)

    - Isteri sebagai ibu rumah tangga (pasal 79 ayat 1)

    5. Mempunyai hak dan derajat yang sama dalam

    kehidupan masyarakat dalam acuan :

    - Sama-sama bebas aktif dalam kehidupan masyarakat

    - Sama-sama berhak mengembangkan profesi dan karir

    Dalam uraian di atas nampaknya KHI melenturkan makna al-

    rijal qawwamuna ala al-nisa ke arah aktualisasi. KHI tidak lagi

    memahami parameter ini dalam arti sempit, kaku dan mutlak. Tetapi

    dipahami dalam suatu wawasan keseimbangan yang proporsional

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    tanpa mengabaikan sifat kodrati alamiah berdasarkan biologis dan

    psikologis.

    10.Putusnya Perkawinan (pasal 113 148)

    Aturan perceraian yang dirumuskan dalam Bab XIV, Bab

    XVII, Bab XVIII dan Bab XIX, merupakan perluasan atas aturan yang

    ditetapkan dalam Bab VII PP No. 9 tahun 1975. Hal-hal yang

    dibicarakan dalam KHI antara lain.

    1. Campur tangan pengadilan dalam perceraian :

    - Perceraian hanya dapat dilakukan di sidang Pengadilan

    Agama

    - Bentuk perceraian terdiri dari cerai talak dan cerai gugat

    Dalam hal ini hak untuk mengajukan perceraian tidak lagi monopoli

    suami tetapi hak kedua belah pihak untuk mengajukan ke

    Pengadilan.

    1. tambahan alasan perceraian :

    - Gugat cerai baru memenuhi syarat formil dan materil apabila

    didasarkan atas alasan yang sah

    - Alasan cerai yang sah telah ditetapkan secara enumeratif

    dalam pasal 19 PP No. 9 tahun 1975 jo penjelasan pasal 39 UU

    No. 1 tahun 1974

    Alasan tersebut kemudian oleh KHI ditambah :

    1. Karena suami melanggar taklik talak (pasal 116 huruf g)

    2. Peralihan agama atau murtad (pasal 116 huruf h)

    B. Dasar-dasar Pemikiran Pelarangan Menikahi wanita non Muslim

    Di antara tujuan pernikahan dalam konteks kehidupan sosial

    adalah agar pernikahan tersebut dapat memperbaiki moral,

    membersihkan masyarakat dari perbuatan-perbuatan keji seperti

    terpelihara dari perbuatan zina dan tetap komitmen kepada ajaran

    Islam. Namun tujuan itu sulit tercapai bila tidak menikahi wanita-

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    wanita shalihah yang berpegang teguh kepada agama dan

    memelihara kehormatan. Kebolehan menikahi wanita ahli kitab

    mengandung banyak resiko dan memberikan dampak negatif. Untuk

    itu agar tidak terjadi kondisi yang tidak diinginkan maka pernikahan

    dengan wanita non muslim tersebut harus ditutup (dilarang). Hikmah

    yang dipetik dari pelarangan tersebut antara lain.

    Pertama : pengaruh terhadap kondisi keluarga Menikahi wanita ahli kitab akan mendatangkan situasi tidak

    menguntungkan pada ke-Islaman seseorang, karena mereka memiliki

    aroma kemusyrikan9 ditambah bila suami tidak mempunyai

    kepribadian yang kuat dan tidak mempunyai pengaruh dalam

    keluarga ternyata dalam keluarga isteri tetap kukuh terhadap

    agamanya maka tidak tertutup kemungkinan ia akan membawa

    anak-anak ke gereja.10

    Di samping itu larangan perkawinan dengan non muslim

    dilatarbelakangi oleh harapan terciptanya keluarga sakinah.

    Perkawinan baru akan harmonis bila terdapat kesamaan pandangan

    hidup antara suami isteri, karena jangankan perbedaan agama

    perbedaan status sosial seperti budaya dan tingkat pendidikan

    antara suami isteri justru mengakibatkan kegagalan perkawinan.

    Ditambahkan lagi bahwa kalau seorang wanita muslim dilarang

    kawin dengan laki-laki non muslim karena kekhawatiran ia atau

    anak-anaknya akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang bertentangan

    dengan ajaran Islam.11

    9 Abdul Mutaal M al-Jabary, Perkawinan Antar Agama Tinjauan Islam,

    Penerjemah M. Azhari hatim, Judul asliJaremet al-Zawaj bi ghairi al-Muslimat, (Surabaya: Risalah Gusti, 1994), h. 76

    10Humaidi bin Abdul Aziz al-Humaidy, Kawin Campur dalam Syariat Islam, penerjemah Kathur Suhardi, judul asli Ahkam Nikah al-Kuffur ala Mazahib al-Arbaah (Jakarta : Pustaka al-Kausar, 1992) h. 28, lihat juga M.Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998), h. 14

    11M. Qurasy Shihab, Wawasan al-Quran, (Bandung: Mizan, 2001), h. 197-199

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    Kedua : pengaruh terhadap masyarakat

    Wanita-wanita ahli kitab yang terdapat dalam masyarakat

    Islam akan menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat

    Islam, lebih fatal lagi bila keberadaan mereka dalam masyarakat

    Islam telah terprogram untuk fungsi sebagai duta untuk

    menyusupkan pemikiran ke dalam umat Islam disertai dengan

    pengaruh-pengaruh politis yang sudah dikemas sedemikian rupa

    yang tidak mungkin ketahui umat Islam untuk menghancurkan

    umat Islam itu sendiri dari dalam12

    Kebolehan menikahi wanita non muslim adalah berdasarkan

    kaedah syariah yang normal, di mana suami memiliki tanggung

    jawab kepemimpinan terhadap isteri serta memiliki kewenangan

    untuk mengarahkan keluarga dan anak-anak dengan akhlak Islam.

    Laki-laki muslim dibolehkan mengawini non muslimah yang ahli

    kitab, supaya perkawinan itu untuk membawa misi kasih sayang dan

    harmonis. Sehingga terkikis dari hati isterinya rasa tidak senang

    terhadap Islam sehingga dengan perlakuan suaminya yang baik, yang

    pada akhirnya suami dapat mengenalkan keindahan dan keutamaan

    agama Islam secara amaliyah praktis sehingga ia merasakan

    perlakuan yang baik dan mendapatkan ketenangan, kebebasan

    beragama bilamana kondisi tersebut di atas tidak terwujud maka

    ulama sepakat melarang perkawinan tersebut.

    Umar bin Khatab pernah melarang Thalhah dengan Yahudi

    dan Hadzaifah bin al-Yaman dengan wanita Nasrani,13 yang

    mengatakan :

    12Humaidy bin Abdul Aziz, op.cit., h. 28-29 13Syamsuddin M.bin M. al-Khatib al-Syarbiny, Mugni al-Muhtaj, (Beirut:

    Dar al-Kitabi, t.t), h. 308

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    Artinya : Bahwasanya halal menceraikannya juga halal

    menikahinya akan tetapi jauhilah mereka dari

    kamu.

    di lain riwayat Umar pernah berkata :

    Laki-laki muslim (boleh) mengawini perempuan Nasrani dan

    (sebaliknya) laki-laki Nasrani tidak (boleh) mengawini

    perempuan Muslim

    Adapun sikap Umar yang tidak menyukai Thalhah dan

    Hazaifah yang mengawini perempuan Yahudi dan Nasrani ialah

    karena khawatir diikuti oleh orang-orang muslim lainnya sehingga

    mereka akan menjauhi perempuan-perempuan muslim atau

    kemungkinan ada maksud tertentu sehingga Umar menyuruh

    menceraikannya.14 Muhammad Ali al-Sabuny memandang pendapat

    Umar itu demi kemaslahatan umat khususnya umat Islam.15

    Kesan yang dapat ditarik dari pernyataan Umar tersebut

    adalah bahwa bilamana pembolehan menikahi wanita non muslim

    (ahli kitab) secara bebas akan menumbuhkan efek di kemudian hari,

    baik terhadap keluarga maupun umat Islam secara umum. Karena

    bila tidak dilarang tentu akan banyak wanita-wanita muslim tidak

    mendapatkan suami dan sesuai dengan kecendrungan laki-laki

    untuk mencari wanita yang cantik baik dari kalangan muslimah

    maupun bukan muslimah, sehingga lambat laun akan mengurangi

    nilai-nilai keberagaman umat Islam. Jadi langkah Umar merupakan

    langkah preventif untuk masa mendatang.

    14Abi Jafar M.Jarir al-Thalaby, Jami al-Bayan, (Beirut: Dar al-Fikr, 1398

    H/ 1987 M), Juz. III. H. 222 15M. Ali al-Sabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Quran, (Beirut: Dar al-

    Quran al-Karim, 1999), Juz. I, h. 204-205

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    Menurut Sayyid Qutub perkawinan dengan wanita non muslim

    hanya akan menimbulkan keburukan dalam rumah tangga muslim.

    Kenyataan tak bisa dipungkiri bahwa beristeri Yahudi, Kristen atau

    atheis akan membentuk keluarga dan anak-anak dengan ideologinya

    yang pada akhirnya mencetak generasi yang jauh dari Islam16. Abdul

    Mutaal Muhammad al-Jabry menambahkan bahwa perkawinan

    merupakan ikatan lahir batin yang dalam, kokoh dan kekal antara

    suami isteri, suatu ikatan yang mencakup timbal balik yang luas

    antara keduanya, maka tidak boleh tidak, harus terdapat kesatuan

    hati yang dipertemukan dalam suatu ikatan yang tidak bisa diurai.

    Untuk itu harus ada kesamaan persepsi antara suami isteri. Dalam

    hal ini persepsi yang dituntut adalah persepsi agama, karena

    kepercayaan agama merupakan pondasi yang mengisi jiwa,

    mempengaruhinya, melukiskan perasaan serta menentukan jalan

    kehidupan mendatang.17

    Menikahi wanita ahli kitab yang aktif memerangi Islam

    mayoritas ulama sepakat melarangnya, akan tetapi yang perlu

    dicermati adalah bila ahli kitab itu aktif dan nyata-nyata kelihatan

    memerangi Islam tentu kaum muslimin bisa menghindarinya, tetapi

    bila wanita non muslim yang aktif itu secara diam-diam dan sangat

    sulit untuk dilacak, tidak bisa membedakan yang baik baik dari

    kalangan mereka .Agaknya hal ini pula salah satu yang

    melatarbelakangi sebagian ulama melarang pernikahan dengan

    wanita non muslim.

    16Sayyid Qutub, Tafsir fi Zhilal al-Quran, penerjemah Aunur Rafiq Shaleh

    Tamhid, judul asli Fi Zhilal al-Quran, (Jakarta: Rabbani Press, 2000), h. 14 17Abdul Mutaal Muhammad Muhammad al-Jabry, Perkawinan Campuran

    Menurut Pandaangan Islam, penerjemah Drs. Ahmad Syatari, judul asli Jarimah al-Zawaj bi ghairi al-Muslimat Fiqh wa siyasah ,(Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 14

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    Ibnu Hamman dari mazhab Hanafi menukilkan ijmak ulama

    tentang alasan pelarangan menikahi wanita yang aktif memerangi

    umat Islam;

    1. Terbuka kesempatan bagi wanita ahli kitab tersebut untuk

    menyebarkan fitnah.

    2. Anak-anak yang dilahirkan akan terbias dan bahkan mengikuti

    moral orang kafir.

    3. Bila wanita ahli kitab yang aktif itu tertawan, maka statusnya

    menjadi budak.

    Sedangkan kondisi yang menyusup seperti intelijen musuh

    tentunya sangat sulit untuk diketahui. Menurut hemat penulis agar

    lebih berhati-hati lebih baik pelarangannya bersifat umum baik

    terhadap yang memerangi secara aktif ataupun secara non aktif.

    C. Analisa Kontroversi Syariah dengan Kompilasi Hukum Islam tentang Masalah Menikahi Wanita Non Muslim

    Ada dua term yang dipergunakan dalam bahasa Indonesia

    berkaitan dengan masalah perkawinan, yaitu dengan kata kawin

    dan nikah. Kawin diartikan membentuk keluarga dengan lawan

    jenis; bersuami atau beristeri, melakukan hubungan kelamin18

    Sedangkan al-Quran menggunakan term yang berkaitan

    dengan masalah ini yaitu al-nikah dan al-zawj. Term al-nikah berarti

    aqad atau perjanjian; secara majazi diartikan sebagai hubungan

    seks.19 Sedangkan al-zawj berarti pasangan.20 Dengan demikian,

    antara al-nikah dengan al-zawj mempunyai kaitan erat, karena

    18Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa

    Indonesia,(Jakarta: Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Indonesia, 1991), h. 456

    19Ibid. 20Muhammad Ghalib M, Al-Kitab Makna dan Cakupannya, (Jakarta:

    Paramadina, 1998), h. 165

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    pernikahan bertujuan menjadikan seseorang memiliki pasangan dari

    lawan jenis secara sah.

    Kata al-nikah dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak

    23 kali dalam al-Quran.21 Sedang kata al-zawj dalam berbagai

    bentuk kata jadinya ditemukan sebanyak 81 kali dalam al-Quran,22

    pengertian secara umum menunjuk kepada pasangan, termasuk di

    dalamnya pasangan suami isteri.

    Analisis uraian ini secara khusus membahas tentang

    perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab dikaitkan

    dengan perbedaan pandangan dengan Kompilasi Hukum Islam.

    Pendapat mayoritas ulama mulai dari Sahabat Tabiin, ulama-

    ulama masa awal dan kontemporer mengatakan bahwa kawin dengan

    wanita ahli kitab hukumnya boleh berdasarkan firman Allah surat al-

    Maidah ayat 5.23

    Mempertegas pendapat di atas, al-Thabathabi menyatakan,

    larangan mengawini laki-laki dan perempuan musyrik dalam surat.

    al-Baqarah ayat 221 ditujukan kepada laki-laki dan perempuan dan

    kalangan penyembah berhala, dan tidak termasuk ahli kitab,24

    karena kawin dengan ahli kitab tidak dilarang.

    Bila dibandingkan antara surat al-Maidah ayat 5 dengan surat

    al-Baqarah ayat 221, maka tampaklah adanya perbedaan antara

    status musyrik dengan ahli kitab. Masing-masing mempunyai

    ketentuan sendiri, yakni haram menikahi musyrik dan boleh

    21M. Fuad Abd al-Baqi, Al-Mujam al-Mufahras li Alfazh al-Quran al-

    Karim, (Beirut: Dar al-fikr, 1407/1987), h. 718 22Ibid. h. 332-334. 23Syekh al-Imam al-Zahid al-Mufiq, Al-Muhazzib fi Fiqh al-Imam al-Syafii,

    (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 61. Lihat juga Syekh al-Islam Abi Yahya Zakariya al-Anshari, Fathu al-Wahab, (Mekah: al-Huramaini, t.th), Jil. II, h. 45, lihat juga Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Qasim alAnsyari al-Najd al-Hanbali, Majmu Fatawa, Syaikh al-Islam ibn Taimiyah (Beirut: dar al-Arabiyah li al-Thibaah wa al-Nasyr al-Tawzi, 1398), jil. XII, h. 178

    24M. Husain al-Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, (Beirut: Muassasah al-Alam li al-Mathbuah, 1403.H/1983), Juz.II, h. 203

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    menikahi ahli kitab. Ini disebabkan karena perbedaan antara ahli

    kitab dengan musyrik ketika dua kata penghubung waw (5) seperti

    yang terdapat dalam Q.S. al-Baqarah ayat 105, yakni :

    ) :105(

    Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tidak

    menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari

    Tuhamnu (QS.al-Baqarah : 105).

    Jadi ayat di atas jelas menunjukkan adanya perbedaan antara

    ahli kitab dengan musyrik, karena dibatasi oleh kata penghubung

    waw. Karenanya wajar menurut mayoritas ulama antara ahli kitab

    dengan musyrik berbeda.

    Praktek Rasulullah SAW mengawini Maria al-Qibtiyah, seorang

    perempuan Nasrani (Kristen). Praktek Rasulullah SAW ini kemudian

    diikuti oleh beberapa orang sahabat. Diantaranya Usman bin Affan

    menikahi Nailah binti al-Fara fisah al-Kalbiyah yang bergama

    Nasrani. Sedangkan Huzaifah menikahi seorang perempuan Yahudi

    yang berasal dari Negeri Madyan.25

    Sekalipun mayoritas ulama pada dasarnya sepakat

    membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab, namun

    dalam kebolehan tersebut juga terjadi perbedaan pendapat :

    1. Menurut sebagian mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali

    memandang bahwa hukum perkawinan tersebut makruh.

    2. Menurut pandangan sebagian mazhab Maliki, Ibn Qasim dan

    Khalil, menyatakan bahwa perkawinan tersebut diperbolehkan

    secara mutlak.

    25Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar

    Baru Van Hoeve, 1996), h. 47 - 48

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    3. Az-Zarkasyi (mazhab Syafii) berpendapat bahwa perkawinan

    tersebut disunatkan apabila wanita ahli kitab itu diharapkan

    dapat masuk Islam, seperti perkawinan Usman bin Affan

    dengan Nailah.26

    Menurut hemat penulis terjadinya perbedaan pandangan

    dalam kebolehan menikahi wanita ahli kitab tersebut adalah sebagai

    ihtiathi (kehati-hatian) dalam melaksanakan syariat Islam.

    Adapun golongan yang tidak membolehkan laki-laki non muslis

    kawin dengan ahli kitab di antaranya golongan Syiah Imamiyah,

    Sayyid Qutub mereka berargumentasi dengan firman Allah Q.S. al-

    Baqarah ayat 221

    ) :221( menurut golongan ini ahli kitab termasuk ke dalam golongan

    musyrik berdasarkan riwayat Ibnu Umar ketika beliau ditanya

    tentang hukum mengawini wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Beliau

    menjawab dengan ayat di atas dan menambahkan, saya tidak

    mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dan pada anggapan

    seorang wanita (Nasrani), bahwa Tuhannya Isa pada hal Isa hanya

    seorang manusia dan hamba Allah.27

    Kemudian mereka beralasan dengan Q.S. al-Munthahanah ayat 10

    Janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)

    dengan perempuan-perempuan kafir.

    26M.Ali Hasan, op.cit, h. 13 27Ibnu Katsir al-Qusy ad-Damsyiqi, Tafsir al-Quran al-Azim, (Beirut: Dar

    al-Fikr, 1992), Jil. II, h. 28

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    Karena ahli kitab termasuk kepada golongan kafir maka Allah

    melarang kaum muslim berpegang kepada tali perkawinan wanita-

    wanita kafir.28

    Al-Thabarsi memahami makna Q.S. al-Maidah ayat 5

    menunjukkan kepada perempuan ahli kitab yang telah memeluk

    Islam. Atas dasar pemahaman demikian ia berpendapat bahwa

    melakukan akad nikah dengan ahli kitab hukumnya terlarang secara

    mutlak.29 Pendapat tsb didasarkan kepada firman Allah Q.S. al-

    Baqarah ayat 221. Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat

    sahabat Abdullah bin Umar yang secara tegas melarang perkawinan

    seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab dengan alasan mereka

    adalah orang musyrik. Ia mengatakan Saya tidak mengetahui

    kemusyrikan yang lebih besar dari keyakinan seorang wanita yang

    berkata Tuhannya adalah Isa. Di samping itu berargumentasi dengan

    perintah Tuhan dalam Q.S. al-Mumthahanah ayat 1 yang melarang

    menjadikan orang-orang kafir sebagai wali.30

    Menurut hemat penulis pendapat Ibn Umar ini didorong oleh

    kehati-hatian yang sangat akan kemungkinan timbulnya fitnah bagi

    suami atau anak-anaknya, jika kawin dengan wanita ahli kitab,

    sebab kehidupan suami isteri akan membawa konsentrasi lagis

    berupa timbulnya cinta kasih di antara mereka, dan hal tersebut

    dapat membawa suami condong kepada agama isterinya. Di samping

    itu, kebanyakan anak lebih cenderung kepada ibunya.

    Senada dengan pendapat Syiah di atas Kompilasi Hukum

    Islam pasal 40 huruf c menyatakan, dilarang melangsungkan

    28Syaikh Humaidy bin Abdul Aziz al-Humaidy, Ahkam Nikah al-Kufah ala

    al-Mazahib al-Arbaah, terjemahan, Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1992), h. 25

    29 Abu al-Fadl Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud al-Alusi al-Baghdadi, Ruh al-Bayan fi Tafsir al-Quran al-Azhim wa al-Sab al-Matsani, (Beirut : Dar Ihya al Turats Arabi, t.th), Juz. VI, h. 65 - 66

    30Muhammad ali al-Shabuni, Rawai al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Quran, (Beirut : Dar al-Fikr, t.th), h. 537

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena

    keadaan tertentu; c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.

    Sejalan dengan KHI, fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 1

    Juni 1980 menyatakan

    1. Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non

    muslim adalah haram hukumnya

    2. Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini

    wanita bukan muslim

    Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita

    ahli kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan

    bahwa mafsadahnya lebih besar dari pada maslahatnya. Majelis

    Ulama Indonesia menfatwakan bahwa perkawinan tersebut haram

    hukumnya.31

    Dari uraian di atas penulis lebih cenderung kepada pendapat

    jumhur yang membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahli

    kitab. Karena sekalipun ahli kitab pada masa Rasulullah sudah

    berada dalam keadaan musyrik namun al-Quran dalam hal ini tetap

    membolehkan untuk menikahi ahli kitab, sedang ahli kitab yang

    penulis maksud adalah ahli kitab yang muhsanat, yaitu perempuan

    yang memelihara kehormatannya. Dengan pengertian seperti itu

    dapat dipahami bahwa perempuan ahli kitab yang ditunjuk al-Quran

    adalah perempuan yang berperangai baik.

    Melihat kepada analisis kebahasaan, banyak ayat-ayat al-

    Quran yang membedakan antara ahlul kitab dengan musyrik yang

    dibatasi oleh huruf athaf waw. Selain surat al-Baqarah ayat 105

    yang dikemukakan jumhur di atas, di antaranya :

    ) :82(

    31Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis

    Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat MUI Masjid Istiqlal, 1995), h. 91

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhan nyata

    terhadap orang-orang yang beriman iadalah orang-orang Yahudi

    dan orang-orang musyrik

    Surat al-Baiyinah ayat 1

    ) :1( Orang-orang kafir, yakni ahlul kitab dan orang-orang musyrik,

    (mengatakan bahwa mereka tidak akan meninggalkan

    (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata

    Surat al-Baiyinah ayat 6

    ) :6( Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni ahlul kitab dan orang-

    orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam, mereka kekal

    di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk .

    dari ayat-ayat di atas tampak bahwa secara kebahasaan al-

    Quran membedakan antara ahlul kitab dengan musyrik. Kalau

    memang sama antara ahlul kitab dengan musyrik maka tidak

    mungkin al-Quran membedakannya dalam penyebutannya.

    Sedangkan dalam hal ini al-Quran tidak mungkin salah dan keliru

    dalam susunan redaksinya. Pendapat seperti ini juga dikemukakan

    oleh Ibnu Qudamah yang menyatakan bahwa lafadz syirik tidak

    mencakup ahlul kitab. 32 dengan adanya perbedaan antara ahlul

    kitab dengan musyrik maka konsekuensi ayat 221 dari surat al-

    32Ibnu Qudamah, Al-Mughny, (Maktabatu al-Riyadh: al-Haditsah, t.th.),

    Jil. VI, h. 590

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    Baqarah tidak tepat dipakaikan untuk menyatakan bahwa laki-laki

    muslim dilarang menikahi ahlul kitab.

    Adanya kebolehan menikahi ahlul kitab bagi laki-laki muslim

    dengan dalil tersendiri (surat al-Maidah ayat 5) sebenarnya

    mempunyai hikmah dan rahasia tersendiri. Hikmah tersebut antara

    lain adalah untuk menunjukkan bahwa pada dasarnya antara orang

    muslim dengan ahlul kitab mempunyai persamaan dalam hal prinsip-

    prinsip pokok (al-mabadi al-asasiyah) keimanan, seperti masalah ke-

    Tuhanan, kepercayaan tentang adanya hari kemudian, perhitungan

    pahala dan dosa dan lain-lain. Titik persamaan tersebut merupakan

    jembatan dalam rangka mewujudkan kelanggengan dan kebahagiaan

    kehidupan berumah tangga. Sehingga dengan adanya kebolehan laki-

    laki muslim menikahi perempuan ahlul kitab, diharapkan perempuan

    ahlul kitab tersebut akan memeluk agama Islam setelah bergaul dan

    mengetahui kelebihan-kelebihan Islam. Hikmah besar ini tentu kecil

    sekali kemungkinannya terwujud bila antara suami isteri berbeda

    jauh keimanan.

    Di samping itu hikmah lain yang dapat dilihat adalah, boleh

    jadi seorang laki-laki muslim menetap di suatu daerah yang di situ

    tidak ada seorangpun wanita muslimah kecuali wanita ahlul kitab,

    sehingga dikhawatirkan akhlaknya lama-kelamaan akan menjadi

    rusak bila ia harus membujang. Maka dalam keadaan seperti ini

    kebolehan menikahi ahlul kitab sesuai dengan ketentuan ayat 4

    surat al-Maidah tentu mempunyai hikmah tersendiri ketika itu

    dengan tetap melihat segi kemaslahatan.

    Memperhatikan hukum kebolehan menikahi ahlul kitab secara

    mubah bagi laki-laki muslim, hendaklah dipertimbangkan secara

    mendalam dan cermat terutama pada zaman sekarang. Tidak

    selayaknya mereka memahami sesuatu yang mubah ini dengan

    mencakup semua ahlul kitab secara mutlak. Sebab yang dimaksud

    dengan wanita ahlul kitab di sini adalah mereka yang menjaga

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    kehormatannya dan tidak sembarang wanita yang ditegaskan al-

    Quran dalam surat al-Maidah ayat 5 tersebut :

    ) :5( Wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-

    orang diberi kitab sebelum kamu (QS. al-Maidah : 5)

    Dalam melaksanakan sesuatu yang mubah ini, seorang laki-

    laki muslim harus meneliti mental dan akhlak wanita ahlul kitab

    tersebut. Kita lihat sendiri di samping kemurnian agama mereka

    sudah tidak terjamin lagi, akhlak mereka pun sudah banyak yang

    terbawa kepada corak kehidupan bebas dan permisivisme. Sehingga

    sangat janggal bila dihubungkan dengan nilai-nilai Islami yang

    dikehendaki Islam dalam membina rumah tangga.

    Menurut penulis, hukum mubah harus dihubungkan dengan

    alasan mengapa pernikahan tersebut dibolehkan. Salah satu

    hikmahnya sebagaimana yang telah penulis ungkapkan di atas

    adalah dalam rangka berdakwah kepada mereka dengan harapan

    mereka bisa memeluk agama suaminya (Islam). Tetapi apabila

    sebaliknya yang terjadi di mana justru laki-laki muslim yang terbawa

    kepada agama si isteri maka hukum mubah dalam hal ini dapat

    berubah menjadi haram. Maka dalam hal ini menurut pendapat

    penulis kita dapat mempergunakan metode . Menurut hemat penulis bahwa tujuan digunakannya metode

    ini adalah untuk menghindari kemudharatan yang mungkin timbul

    sebagai akibat dilakukannya perkawinan antara laki-laki muslim

    dengan wanita ahlul kitab. Dengan demikian lebih berorientasi

    kepada akibat perubahan yang dilakukan seseorang.

    Berbicara tentang kemudharatan yang harus diperhatikan

    ketika akan menetapkan hukum berdasarkan metode , maka perlu dipahami bahwa zariah yang akan membawa kepada

    kemafsadatan itu harus ditetapkan berdasarkan penelitian yang

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    seksama. Dalam kaitan ini penulis akan mencoba mengemukakan

    berbagai bukti akibat dilangsungkannya perkawinan antara laki-laki

    muslim dengan wanita ahlul kitab. Setidak-tidaknya ada dua akibat

    negatif dari dilangsungkannya perkawinan tersebut : pertama,

    beralihnya agama suami kepada agama yang dianut oleh isteri, dan

    kedua, pada umumnya agama yang dianut oleh anak-anak dari

    perkawinan tersebut mengikut kepada agama ibunya.

    Hal ini menurut hemat penulis adalah kemudharatan yang

    asasi, karena suami tidak dapat menjaga agamanya dan agama anak-

    anaknya. Pada hal menjaga agama termasuk kepada unsur maslahat

    yang menempati peringkat dharuriyat. Dengan kata lain

    kemaslahatan menghendaki agar perkawinan antara laki-laki muslim

    dengan wanita ahlul kitab yang diperbolehkan al-Quran, dilarang.

    Di samping, sebagaimana diketahui bahwa tujuan perkawinan

    adalah untuk memperoleh ketentraman dan ketenangan jiwa

    sebagaimana dimaksud surat ar-Rum ayat 21. Tetapi berkenaan

    dengan hal demikian, apakah tujuan demikian dapat dicapai

    sedangkan antara suami dan isteri berbeda akidah.

    Dalam hal ini kita membuat pengandaian, apabila si suami

    memiliki kepribadian yang kuat dan tegar serta berpengaruh kepada

    isterinya, maka ada kemungkinan keluarga ini masih mampu

    memelihara warna Islam. Tetapi tidak sedikit yang terjadi sebaliknya,

    justru isteri yang lebih berpengaruh dari pada suami. Yang lebih

    parah lagi apabila isteri tetap kokoh dengan keyakinannya maka

    keyakinan tersebut akan ditanamkannya pada anak-anaknya

    sebagaimana tersebut di atas. Hal ini mungkin saja terjadi karena

    memang ibulah yang mempunyai waktu luas dalam bergaul dengan

    anak-anaknya bila dibandingkan dengan sang ayah.

    Kemudian apabila kita kaitkan dengan pendidikan sang anak

    yang dididik oleh ibu bapak yang berbeda akidah, sudah jelas akan

    memberikan kerancuan dan keraguan bagi sang anak.

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    Karena itu menurut hemat penulis jalan yang lebih aman

    adalah menghindar dari persoalan-persoalan yang banyak

    mengandung teka-teki dan memilih jalan yang sudah jelas

    arahannya, yaitu kawin dengan sesama muslim. Dengan demikian

    resiko yang dihadapi lebih kecil dalam membina rumah tangga.

    Prinsip inilah yang dikandung oleh metode seperti yang telah disinggung di atas.

    Disadari atau tidak, ternyata bahwa kemaslahatan pada suatu

    saat harus didahulukan dari pada nash. Al-Quran dan Hadis secara

    eksplisit telah membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahlul

    kitab, namun kemaslahatan menghendaki lain. Dengan

    menggunakan metode sadd al-dzariah kebolehan menikahi wanita

    ahlul kitab berubah menjadi haram. Haram di sini bukan haram

    lidzatihi tetapi haram lisaddi al-dzariah. Metode ini sebenarnya

    merupakan pengejewantahan dari kaidah yang terkenal :

    menghindari mafsadat lebih didahulukan daripada menarik

    Kemaslahatan

    dari sisi maqashid al-syariah metode ini dimaksudkan untuk

    merealisasikan kemaslahatan yang dijadikan tujuan utama

    disyariatkannya hukum Islam. Salah satu aspek yang esensial

    (dharuriyah) dalam kasus ini adalah memelihara agama (hifzu al-din).

    Inilah mungkin yang dimaksud oleh Rasulullah SAW

    pilihlah yang beragama (dalam hal ini sudah tentu yang

    seiman) agar selamat (HR. Bukhari Muslim)

    Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, pendapat ini

    tampaknya selaras dengan pandangan yang dianut oleh Kompilasi

  • www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    www.legalitas.org

    www.

    legali

    tas.or

    g

    Hukum Islam seperti yang terdapat dalam pasal 40 ayat (c) yang

    menyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara

    seorang pria dengan seorang yang tidak beragama Islam dan pasal 44

    yang menyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang

    melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak

    beragama Islam.

    Menurut hemat penulis ketentuan yang terdapat dalam KHI

    tersebut telah tepat dan keputusan yang bijaksana dalam

    memelihara kemuliaan agama Islam.

    Di samping itu penulis juga berpendapat bila mafsadat yang

    dimaksud tersebut hilang maka dalam hal ini hakim pengadilan

    agama boleh saja berpendapat sesuai dengan pendapat mayoritas

    ulama karena KHI tidak termasuk dalam hirarkhis perudang-

    undangan maka KHI termasuk hukum tidak tertulis artinya sama

    dengan kitab-kitab fikih lainnya. Dengan demikian dalam hal-hal

    tertentu seperti diduga oleh hakim, maksudnya tidak akan muncul

    hakim boleh berpindah pendapat.

    Walaupun KHI membuka peluang untuk merujuk kitab-kitab

    fikih lama, tetapi untuk menyamakan persepsi jangan sampai dalam

    dua perkara yang sama putusannya berbeda, sebaiknya KHI

    disamakan eksistensinya seperti undang-undang. Jadi tidak mengapa

    KHI dalam bentuk Instruksi Presiden namun KHI tetap dijadikan

    rujukan primer oleh penegak keadilan.