111
PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN (Studi Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur Kuningan Jawa Barat) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : MUHAMAD SIDIK NIM 11140440000031 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1440 H /2019 M

PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT

KEPERCAYAAN

(Studi Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur Kuningan Jawa Barat)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

MUHAMAD SIDIK

NIM 11140440000031

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1440 H /2019 M

Page 2: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Page 3: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Page 4: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Page 5: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

iv

ABSTRAK

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui praktik perkawinan orang Islam

dengan Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan dan untuk memahami keabsahan

perkawinan orang Islam dengan Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan

berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum Islam.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan

menggunakan pendekatan yuridis empiris. Penelitian yang dilakukan dengan

melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan

jurnal (library research) yang berhubungan dengan skripsi ini, peneliti juga

melakukan wawancara terhadap pelaku perkawinan antara orang Islam dan

Penghayat Kepercayaan di Cigugur Kuningan Jawa Barat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih ada praktik perkawinan orang

Islam dengan Penghayat Kepercayaan dengan menggunakan tatacara perkawinan

menggunakan penghayat maupun menggunakan hukum Islam. Hal tersebut

dilakukan agar perkawinan tersebut diakui oleh negara sehingga salah satu dari

pasangan tersebut terpaksa tunduk dan patuh terhadap salah satu agama atau

kepercayaannya. Akan tetapi tidak membuat mereka tunduk menjadi orang Islam

atau penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan. Fenomena tersebut menjadi sesuatu

yang biasa di Cigugur karena secara historis dan kultur masyarakat Cigugur yang

hidup saling berdampingan antar pemeluk agama dan kepercayaan dalam satu

wilayah khususnya diwilayah paleban. Bahkan secara sosial masyarakat dalam

satu keluarga di Cigugur pada umumnya terdapat berbagai agama yang dianut.

Perkawinan tersebut menurut hukum Islam dan peraturan perundang-

undangan di Indonesia tidaklah dapat diterima karena hukum Islam melarang

adanya orang Islam melangsungkan perkawinan dengan orang yang tidak

beragama Islam, begitupun didalam undang-undang perkawinan yang menyatakan

bahwa perkawinan hanya dapat dilakukan sepanjang masing-masing mempelai

memiliki agama yang sama dan dilangsungkan menurut agamanya.

Kata Kunci : Perkawinan, Beda Agama, Penghayat Kepercayaan

Pembimbing : Hj. Rosdiana, M.A

Daftar Pustaka : 1964-2018

Page 6: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah S.W.T, karena

berkat rahmat, nikmat serta karunia dari Allah SWT penulis dapat menyelesaikan

skripsi dengan judul “PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT

KEPERCAYAAN (Studi Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur

Kuningan Jawa Barat)”. Sholawat serta salam penulis panjatkan kepada Nabi

Muhammad Shallallahu‟Alayhi wa Sallam, yang telah membawa umat manusia

dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini.

Selanjutnya, dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan

bimbingan, arahan, dan serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam

kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih khususnya kepada:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H. M.H Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

beserta Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Dr. Mesraini Ketua Program Studi Hukum Keluarga M.Ag Ahmad Chairul

Hadi, M.A Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga, yang terus

mendukung dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan

penyusunan skripsi

3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. Ketua Program Studi Hukum Keluarga

beserta Arip Purkon dan Indra Rahmatullah, S.HI., M.H. Sekretaris

Program Studi Hukum Keluarga 2015-2019, yang terus mendukung dan

memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan penyusunan skripsi ini

serta mengizinkan penulis untuk mengabdi di prodi.

4. Penguji I dan II Bapak Dr. K.H. A Juaini Syukri, Lc, M.A dan Ibu

Hotnidah Nasution, M.Ag yang telah menguji skripsi peneliti agar lebih

baik sehingga membuat skripsi peneliti menjadi lebih sempurna.

5. Hj. Rosdiana, M.A., sebagai dosen penasehat akademik dan pembimbing

skripsi penulis, yang telah sabar dan terus memberikan arahannya untuk

membimbing penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

Page 7: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

vi

6. Ayahanda dan Ibunda tercinta Ibu Kamtiyah, Bapak Bubun, kakak dan

adik yang tersayang Ayu Budi dan Imron yang selalu memberikan suport

untuk menyelesaikan skripsi ini

7. Petugas KESBANGPOL Kuningan, Petugas Kecamatan dan Kelurahan

Cigugur Kuningan Jawa Barat serta para narasumber yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan data-data terkait penelitian ini.

8. Semua pihak yang terkait yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Tidak ada yang bisa penulis berikan untuk membalas jasa-jasa kalian

kecuali dengan ucapan do‟a dan terima kasih.

9. Keluarga besar Moot Court Community, Rahmi, Ksatria, Syanel, Zul,

Nila, Dalillah, Edy, Bang Raziv, Bang Alif, Bang Tresna, Ka Mala, Bang

Reza, Lilis, Nun, Bang Rama, Bedil, Jabar, Najla, Panji dan semua yang

tidak bisa disebutkan satu-satu.

10. Keluarga Besar Pondos: Riyadh, Satria Pren, Ilham Madon, Indrak Kumis,

Bopung, Ipeh, Ulhaq, Abu, Oday,Ajeng, Legina, Eneng, Teguh, Ahong,

Pace, Alim Mahmud, Afdal, Qopal, Apeng, Fitrah, Pres Rifki, Botem,

Dani dan khususnya keluarga besar Presidium HMI Komisariat Fakultas

Syariah dan Hukum 2016-2018, Keluarga Besar HMI Hukum Keluarga.

Peneliti menyadari dalam penulisan skripsi ini banyak terdapat kekurangan

dan perbaikan. Namun, peneliti tetap berharap agar karya ilmiah ini dapat

memberikan manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk

perbaikan dan penyempurnaan karya ilmiah ini di masa mendatang. Sekian dan

Terima kasih.

Jakarta, 4 April 2019

Muhamad Sidik

Page 8: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN ............................................... i

LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... ii

ABSTRAK .................................................................................................... iii

KATA PENGANTAR .................................................................................. iv

DAFTAR ISI ................................................................................................. vi

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, dan Perumusan

Masalah ................................................................................ 7

C. Tujuan Penelitian ................................................................. 8

D. Manfaat penelitian ................................................................ 8

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual ....................................... 9

F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .................................. 13

G. Metode Penelitian................................................................. 14

H. Pedoman Penulisan ............................................................. 17

I. Sistematika Penulisan .......................................................... 18

BAB II ASPEK HUKUM PERKAWINAN BAGI ORANG ISLAM

DAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN DI INDONESIA .... 20

A. Tinjauan Perkawinan Menurut Perundang-Undangan ......... 20

B. Perkawinan dalam Hukum Islam ......................................... 29

C. Perkawinan Penghayat Kepercayaan Menurut Perundang-

Undangan ............................................................................. 32

D. Perkawinan antar Agama dan Penghayat Kepercayaan

menurut Perundang-undangan dan Hukum Islam ............... 37

BAB III GAMBARAN UMUM CIGUGUR KUNINGAN JAWA

BARAT DAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN SUNDA

WIWITAN .....................................................................................44

A. Profil Cigugur, Kuningan Jawa Barat .................................. 44

B. Identitas Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan ............... 50

Page 9: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

viii

BAB IV ANALISIS PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN

PENGHAYAT KEPERCAYAN SUNDA WIWITAN DI

CIGUGUR KUNINGAN JAWA BARAT ............................. 61

A. Praktik Perkawinan Orang Islam dengan Penghayat

Kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur Kuningan

Jawa Barat ............................................................................ 61

B. Keabsahan Perkawinan Orang Islam dengan Penghayat

Kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur Kuningan Jawa

Barat ..................................................................................... 67

C. Analisis Penulis ................................................................... 73

BAB V PENUTUP .................................................................................. 79

A. Kesimpulan .......................................................................... 79

B. Saran ..................................................................................... 81

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 82

Page 10: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai mahkluk sosial tidakakan pernah terlepas dari

keberadaan manusia lainnya untuk hidup saling membaur antara satu sama

lain maupun berinteraksi tanpa memandang ras, suku dan agama. Keinginan

manusia untuk saling berinteraksi merupakan upaya untuk membentuk

dirinya sebagai manusia yang utuh dan dapat hidup bersama dengan manusia

lainnya. Manusia diciptakan untuk saling berpasang-pasangan antara pria dan

wanita yang terjalin dalam suatu ikatan untuk membentuk kehidupan secara

bersama-sama dan saling melengkapi satu sama lain melalui perkawinan. 1

Perkawinan merupakan perosalan yang esensial dalam kehidupan

manusia, sebab perkawinan tidak hanya sebatas ikatan untuk membentuk

keluarga melainkan untuk memenuhi kebutuhan laihr dan bathin. Akan tetapi

secara hukum Islam, perkawinan sebagai ibadah yang merupakan mitsaqan

ghalidzan (ikatan yang sangat kuat baik dengan sesama manusia maupun

ikrar janji setia kepada Allah SWT) serta untuk memperoleh keturunan untuk

mempertahankan generasi.2

Senada dengan hal tersebut, dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan adalah suatu

ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri

dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan merupakan

suatu peristiwa hukum yang sangat penting dalam kehidupan manusia dengan

berbagai konsekuensi hukumnya. Karena itu hukum mengatur masalah

perkawinan ini secara detail.3

1 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004),

h.25

2 Wasman & Wadah Nuromiyah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Perbandingan

Fiqh Dan Hukum Positif, (Yogyakarta: Teras, 2011), h.29

3 Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014) h.10

Page 11: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

2

Agama Islam mengatur bahwa untuk mewujudkan sebuah perkawinan

yang sah dalam Islam, ada beberapa rukun dan syarat sah yang harus dipenuhi

oleh setiap calon pengantin. Dalam hal perkawinan, rukun merupakan sesuatu

hal yang harus ada untuk menentukan apakah perkawinan tersebut sah atau

tidak sah. Adapun rukun yang menentukan sahnya sebuah pernikahan antara

lain adalah4:

1. Pengantin lelaki (calon suami)

2. Pengantin perempuan (calon isteri)

3. Wali nikah dari pihak calon pengantin perempuan

4. Saksi laki-laki sebanyak dua orang

5. Ijab dan Kabul yang terjadi pada proses akad nikah

Begitupun di Indonesia melalui Pasal 28B ayat 1 Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 negara menjamin hak setiap

manusia untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui

perkawinan yang sah. Suatu perkawinan dapat dikatan sah apabila memenuhi

ketentuan dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan yang menegaskan bahwa:

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Artinya agar suatu perkawinan dakui oleh negara maka harus

dilangsungkan menurut masing agama dan kepercayaannya. Kedua syarat

tersebut bersifat kumulatif sehingga keduanya harus terpenuhi agar suatu

perkawinan bisa dikatakan sah menurut hukum Indonesia.5

Pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan

dalam suatu perkawinan karena pencatatan perkawinan merupakan suatu

4 Mahmud Syaltut, Al-fatawa Dirasrah li Musykilat al-Muslim al-Mua‟ashirah fi Hayatihi

alyaumiyah wa al-„Ammah, (Mesir: dar al-Kalam), h.268-269.

5 Nasul Umam Syafi‟i dan Ufi Ulfiah, Ada Apa dengan Nikah Beda Agama, (Tangerang:

Qultum Media, 2004), h.187.

Page 12: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

3

syarat diakui dan tidaknya perkawinan oleh negara. Bila suatu perkawinan

tidak dicatat maka perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara, begitu pula

sebagai akibat yang timbul dari perkawinan tersebut.6 Pencatatan perkawinan

bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi

yang bersangkutan maupun bagi orang lain dan masyarakat, karena dapat

dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat dalam suatu daftar

yang khusus disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan

di manapun, terutama sebagai alat bukti tertulis yang otentik, dengan adanya

surat bukti itu, maka perkawinan harus dicatatkan.7

Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa untuk

melaksanakan pencatatan perkawinan bagi pasangan calon suami istri yang

beragama Islam harus dilakukan dihadapan Pegawai Pencatatan Perkawinan

di Kantor Urusan Agama sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang

Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Namun

bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan

kepercayaan itu selain agama Islam yakni mereka yang beragama Kristen,

Hindu, Budha, Katolik dan Kong Hu Cu serta seluruh aliran kepercayaan

dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.

Meski telah diatur secara jelas tentang tatacara perkawinan yang diatur

dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak

berarti bahwa undang-undang ini telah mengatur seluruh aspek yang

berhubungan dengan perkawinan secara menyeluruh.8 Seperti masih

maraknya perkawinan dibawah umur maupun perkawinan poligami yang

dilangsungkan tanpa seizin istri yang sudah ada bahkan yang paling menjadi

6 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit Universitas

Diponegoro, 2008) h.10

7 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta:

Departemen Agama, 2001) h.15

8 Analisa Yuridis Perkawinan Beda Agama di Indonesia Oleh : Anggreni Carolina Palandi,

Lex Privatum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013. h.197.

Page 13: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

4

perhatian adalah tentang fenomena perkawinan beda agama yang terjadi

ditengah-tengah kehidupan manusia.9 Tak sampai disitu bahkan di Desa

Cigugur Kuningan Jawa Barat terdapat perkawinan yang dilangsungkan

antara orang Islam dan mereka yang mengangut Penghayat Kepercayaan

Sunda Wiwitan.

Sehingga jika kita merujuk pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan seharusnya perkawinan antara seorang

muslim dan penghayat kepercayaan tidak memenuhi unsur dari ayat 1

sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Sebab baik Islam maupun

Penghayat Kepercayaan merupakan suatu unsur yang terpisah yang diakui

keberadaannya dinegara Indonesia.10

Bahkan secara yuridis Pasal 8 ayat 4

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 jo. Undang-undang 24 Tahun 2013

Tentang Administrasi Kependudukan menjelaskan persyaratan dan tata cara

pencatatan peristiwa penting bagi penduduk yang agamanya belum diakui

sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau

bagi penghayat kepercayaan berpedoman pada peraturan perundang-

undangan. Dengan demikian perkawinan bagi penghayat kepercayaan

pertama-tama dilangsungkan menurut tata cara kepercayaannya selanjutnya

dapat dikatakan sah oleh negara apabila apabila dicatatkan menurut peraturan

peundang-undangan yang berlaku.11

Bahkan tata cara pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan

lebih lanjut dijelaskan dalam pasal pasal 81 Peraturan Pemerintah Nomor 37

Tahun 2007 mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan bagi Penghayat

Kepercayaan yang menyebutkan12

;

9 M. Amin Summa, Kawin Beda Agama di Indonesia: Telaah Syariah dan Qanuniah,

(Ciputat: Lentera Hati, 2005), h.10-11

10 Moh. Soehadha, Kebijakan Pemerintah Tentang Agama Resmi serta Implikasinya, jurnal

ESENSIA, No.1 Januari 2004, h.101

11 Heru Susetyo, Pencatatan Perkawinan bagi Golongan Penghayat, Jurnal Hukum dan

Pembangunan (Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun 1997), h, 156

12 Abdul Mutholib Ilyas, Abdul Ghofur Imam, Aliran Kepercyaan dan Kebatinan di

Indonesia, (Surabaya; Amin, 1998), hlm 12-13

Page 14: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

5

(1) Perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan dihadapan Pemuka

Penghayat Kepercayaan

(2) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat

(1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan, untuk

mengisi dan menandatangani surat perkawinan Penghayat Kepercayaan

(3) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimkasud pada ayat (2)

didaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina

organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Artinya pelangsungan perkawinan yang dilakukan oleh orang Islam

dengan Penghayat Kepercayaan memiliki tatacara yang berbeda menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bahkan dapat

disamakan dengan perkawinan berbeda agama maupun kepercayaan yang

dianut.

Sulit diterimanya perkawinan beda agama tidak hanya terdapat didalam

Undang-undang perkawinan maupun Undang-undang Administrasi

Kependudukan melainkan secara tegas termuat didalam QS. Al-Mumtahanah

ayat 10 yang menerangkan sebagai berikut:

)٠١: الممتحنت )

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah

kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji

(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka

jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka

janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-

Page 15: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

6

orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang

kafir itu tiada halal pula bagi mereka” (Al-Mumtahanah : 10)

Ayat diatas dipandang memberikan sebuah muatan hukum tersendiri

dalam bidang perkawinan, walaupun tidak menyebut Ahlul kitab, istilah yang

digunakannya adalah “orang-orang kafir” dan Ahlul kitab adalah salah satu

dari kelompok orang-orang kafir. Dengan demikian, walaupun ayat ini tidak

menyebut Ahlul kitab, ketidak-halalan tersebut tercakup dalam kata “orang-

orang kafir”. Sehingga Ayat ini dijadikan dasar utama dalam mengkonstruksi

ketentuan larangan kawin lintas agama. Ayat ini melarang secara tegas bahwa

laki-laki yang beragama islam dilarang mengawini wanita musyrik dan

larangan agar tidak mengawinkan wanita beriman dengan laki-laki musyrik.13

Bahkan negara juga tidak mengakui perkawinan yang dilangsungkan

dengan berbeda agama atau kepercayaan sejatinya dikuatkan oleh Mahkamah

Konstitusi dengan menolak permohonan untuk menghapuskan aturan yang

melarang nikah beda agama maupun kepercayaan melalui putusan nomor

68/PUU-XII/2014.14

Serta Majelis Ulama Indonesia telah memberikan fatwa

Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 bahwa perkawinan beda agama baik

laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab adalah haram dan tidak sah.

Namun demikian dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa setiap orang berhak

membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan

yang sah yang kemudian lebih lanjut dalam ayat 2 menjelaskan perkawinan

yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon

istri yang bersagkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Kebebasan tersebut mengartikan hendak memberikan otonomi

kepada setiap orang baik laki-laki maupun perempuan dalam kehidupan

13

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1977) h. 580.

14 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20 1 5 0618181711– 2 0 – 6 0 9 3 0 /mahkamah-

konstitusi -tolak- gugatan- menikah- beda- agama di akses pada 12 Desember 2018 Pukul 16.42

WIB.

Page 16: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

7

berkeluarga merupakan upaya untuk memberikan peluang yang besar untuk

menjalani kehidupan sosial masyarakat.15

Adanya ketentuan yang menyatakan perkawinan dapat dilangsungkan

atas kehendak bebas calon suami dan istri yang bersangkutan yang

melatarbelakangi seseorang dapat bebas atas kehendaknya untuk

melangsungkan perkawinan baik sesama agama yang mereka anut maupun

dengan kepercayaannya. Atas hal persoalan tersebutlah peneliti tertarik untuk

membahas PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT

KEPERCAYAAN (Studi Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan di

Cigugur Kuningan Jawa Barat)

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis menyusun

identifikasi masalah sebagai berikut:

a) Bagaimana aturan mengenai keabsahan perkawinan orang Islam

dengan Penghayat Kepercayaan?

b) Apa yang melatar belakangi perbedaan pencatatan perkawinan yang

dilangsungkan oleh orang Islam dengan Penghayat Kepercayaan?

c) Mengapa Mahkamah Konstitusi menolak untuk melegalkan

perkawinan lintas agama maupun kepercayaan?

d) Mengapa MUI membuat keputusan untuk mengharamkan

perkawinan lintas agama?

e) Bagaimana Implikasi terhadap perkawinan muslim dan penghayat

kepercayaan?

f) Bagaimana sahnya perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974?

g) Bagaimana HAM menilai terhadap perkawinan orang Islam dengan

Penghayat Kepercayaan?

15

Khaeron Sirin, Perkawinan Madzhab Indonesia: Pergulatan AntaraNegara, Agama dan

Perempuan Ed.1 Cet.1, (Yogyakarta: CV. Budi Utama, 2018), h.109

Page 17: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

8

2. Batasan Masalah dan Perumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Agar penelitian dalam skripsi ini tidak melebar maka penulis

membatasi masalah terhadap aturan mengenai keabsahan

perkawinan yang dilangsungkan oleh orang Islam dan Penghayat

Kepercayaan Sunda Wiwitan.

2. Rumusan Masalah

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dalam pasal 2 ayat 1 telah menyatakan bahwa perkawinan adalah

sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu. Tetapi, pada masyarakat Cigugur Kuningan

Jawa Barat terdapat sejumlah penghayat kepercayaan Sunda

Wiwitan yang menikah dengan orang Islam. Dari permasalahan

tersebut maka penulis menyusun pertanyaan penelitian sebagai

berikut:

a. Bagaimana praktek perkawinan orang Islam dengan Penghayat

Kepercayaan?

b. Bagaimana legalitas atas perkawinan yang dilangsungkan oleh

orang Islam dengan Penghayat Kepercayaan?

C. Tujuan Penelitian

Penulisan ini dibuat dengan tujuan untuk dapat menjawab permasalahan

serta memberikan pengertian yang lebih dalam mengenai hal-hal yang

berkaitan dengan perkawinan orang Islam dan Penghayat Kepercayaan seperti

berikut;

1. Untuk mengetahui tentang praktek perkawinan orang Islam dengan

Penghayat Kepercayaan.

2. Untuk mengetahui legalitas atas perkawinan yang dilangsungkan oleh

orang Islam dengan Penghayat Kepercayaan.

Page 18: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

9

Sehingga dapat menjadi rujukan bagi pemangku kebijakan dalam

menyelesaiakan problematikan perkawinan yang terjadi antara orang Islam

dan penghayat kepercayaan.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah dan

merumuskan hasil-hasil penelitian tersebut kedalam bentuk tulisan.

b. Menerapkan teori-teori yang diperoleh dari bangku perkuliahan dan

menghubungkan dengan praktik di lapangan maupun menurut

peraturan yang ada.

c. Untuk memperoleh manfaat ilmu pengetahuan dibidang hukum pada

umumnya maupun dibidang hukum bisnis pada khususnya yaitu

dengan mempelajari litelatur yang ada dikombinikasikan dengan

perkembangan yang terjadi dilapangan.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan wawasan secara umum mengenai perkawinan umat

beragama Islam dengan penghayat kepercayaan.

b. Menambah khazanah pengetahuan keilmuan dan rujukan bagi

akademisi tentang persaingan usaha di sektor perbankan baik secara

yuridis maupun sosiologis

c. Selanjutnya menjadi bahan tambahan terhadap mahasiswa yang akan

melakukan penelitian berkaitan dengan perkawinan umat beragama

Islam dengan penghayat kepercayaan.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Perkawinan

Di dalam Undang-undang Nomor 1 ahun 1974 Tentang Perkawinan

yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Page 19: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

10

2. Agama dan Penghayat Kepercayaan

Secara historis jika ada orang bangsa Melayu beragama lain selain

agama Islam yang disebabkan proses perjalanan sejarah yang berbeda,

akan tetapi secara identitas sosial dari prespektif sosio-antropologis tetap

sama yakni harus dihargai dan dihormati baik identitas atau jati diri yang

merka miliki. Konsep Islam yang menghargai perbedaan dan toleransi

kebersamaan sangat jelas dan bukanlah persoalaan lagi.16

Hal ini

menciptakan koherensi sebagai masyarakat majemuk (plural society) di

Indonesia, yang tercermin dalam sila pertama Pancasila yang

menerangkan setiap agama patut menjalankan ajaran agamanya apapun

agama dan kepercayaannya itu. Bahkan para founding fathers sejatinya

telah memprediksi tentang masyarakat pluralistik-Indonesia dengan

merumuskan nilai kelima Pancalisa sebagai pedoman kehidupan

berbangsa dan bernegara. Sehingga meskipun keyakinan berbeda akan

tetapi asal-usulnya sama dalam bingkai “Bhineka Tunggal Ika”.17

Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai pancalisa

sebagai filosofi groundslag dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

merupakan perwujudan dari kesadaran kolektif bangsa yang

menghendaki tatanan bernegara yang mencerminkan plurarisme ditengah

kemajemukan yang terjadi dinegara Indonesia. Dalam mewujudkan rasa

kebersamaan dapat tercermin dari sila pertama pancasila yang

menegaskan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsepsi universal

untuk mengakomodir setiap ajaran agama maupun ajaran kepercayaan

yang dianut oleh masyarakat di Indonesia.18

16

Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2013), h.90.

17 Prof. Dr. Abdullah Idi, M.Ed, DINAMIKA SOSIOLOGIS INDONESIA: Agama Dan

Pendidikan Dalam Perubahan Sosial, (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2015), h.22.

18 Al Khanif,SH.MA.LL.M, Ph.D, Pancasila dalam Pusaran Globalisasi, (Yogyakarta:

LKis, 2017), h.416.

Page 20: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

11

Jaminan untuk mengakomodir kebabasan beragama dan menyakini

kepercayaan telah dituangkan dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun, pengakuan negara

didalam konstitusi untuk beribadat dan meyakini kepercayaan

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa bersebrangan dengan Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1965 Tentaang Pencegahan Penyalahgunaan

dan/atau Penodaan Agama menyebutkan hanya ada enam agama yang

diakui secara resmi oleh negara yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan

Buddha serta Kong Hu Cu.19

Kemudian muncul Intruksi Menteri Agama No.4 Tahun 1978

tentang kebijakan mengenai aliran kepercayaan yang tak lagi urusan

Departemen Agama Republik Indonesia karena dianggap bukan sebagai

agama. Hingga pada akhirnya Kejaksaan Agung melalui Keputusan

Nomor 004/JA/011984 mendirikan Badan Koordinasi Pengawasan

Kepercayaan Masyarakat (BAKOR PAKEM).20

Sehingga demikian negara hanya mengakui enam agama saja,

sedangkan negara belum mengakui secara resmi agama-agama asli

Nusantara seperti Kejawen (kepercayaan masyarakat jawa), Sunda

Wiwitan (kepercayaan masyarakat Sunda), Kaharingan (Dayak),

Parmalim (kepercayaan masyarakat sumatera utara) dll.21

Perdebatan mengenai Kepercayaan dan Agama sejatinya memiliki

perbedaan yang cukup signifikan. Menurut A. Ridwan dan Flora Liman

Pangestu sebuah agama sejatinya memiliki beberapa kriteria yang harus

dipenuhi yaitu22

:

19

Tim Lindsey, Helen Pausacker, Religion, Law and Intolerance in Indonesia, (New York:

Routledge), h.24.

20 Abdullahi Ahmed an- Na'im, Islam Dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan

Syariah, (Jakarta: Mizan Pustaka, 2007), h.412.

21 https://tirto.id/agama-agama-yang-dipinggirkan-bnP3 diakses pada 25 januari 2019 Pukul

11:43 WIB.

22 A. Ridwan dan Flora Liman Pangestu, Persoalan Praktis Filsafat Hukum Dalam

Himpunan Distingsi, (Jakarta: Universitas Atmajaya, 1992) , h.15

Page 21: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

12

a) Memiliki Kitab Suci

b) Ada Nabi atau Rasul-rasulnya

c) Ada ajaran yang tunggal dan universal secara fundamental di seluruh

dunia, meskipun secara actual bisa saja mengandung perbedaan yang

disebabkan karena perbedaan aliran-aliran

d) Adanya kesatuan sistem yang menghubungkan antara ajaran

kepercayaan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut

agama tersebut dengan berbagai akaran tentang kebaktian yang harus

dipenuhi oleh setiap orang yang menjadi penganut atau umatnya; dan

e) Adanya penganut atau umatnya diseluruh dunia

Sebaliknya, kepercayaan sesungguhnya merupakan bagian dari

agama, karena untuk dapat memeluk suatu agama dan menjadi umat dari

agama tersebut pertama-tama haruslah meyakini dan memiliki

kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan segala ajaran. Akan

tetapi, kepercayaan bagi Penghayat Kepercayaan tidak dapat pula

dikatakan sebagai suatu agama, pencarian kemakrifatan peribadatan

dikalangan Penghayat Kepercayaan merupakan akibat yang logis dari

pembudayaan dan pengembangan fitrah manusia, yang akan

menimbulkan perenungan dan sikap hidup yang bersifat atau berdimensi

yang diantaranya yakni:23

a. Kebatinan yang mencangkup moral, etika atau kesusilaan.

b. Kejiwaan yang merupakan pengembangan jiwa maupun mental serta

budi luhur manusia sebagai sikap rohaniah.

c. Kerohanian yang menjadi dimensi peribadatan sukma manusia

sebagai jalan kebenaran sembah sukma kepada Tuhan untuk

kesempurnaan hidup.

Oleh karena itu, untuk menyebut sesuatu agama maupun

kepercayaaan haruslah diteliti dan dicermati dengan seksama agar tidak

23

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

(Sebuah Wacana), (Jakarta: Bidang Pelesatarian dan Pengembangan Kebudayaan ASDEP Urusan

Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 2002), h. 33-34.

Page 22: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

13

menyinggung para penganutnya ditengah persatuan dan kesatuan bangsa

karena hingga detik ini pun belum ada suatu ketentuan atau aturan yang

pasti mengenai apakah kepercayaan merupakan satu kesatuan dalam

lingkup agama ataukah merupakan hal yang berbeda.

F. Tinjauan Kajian Terdahulu

Dalam pembuatan skripsi mengenai Perkawinan Orang Islam Dengan

Penghayat Kepercayaan (Studi Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan Di

Cigugur Kuningan Jawa Barat) ini peneliti mejumpai berbagai ada perbedaan

dan persamaan dengan penelitian lain, sebagai berikut:

1. Judul Skripsi: Perkawinan Penghayat Aliran Kepercayaan Agama

Djawa Sunda Dan Problematikanya ditulis oleh Cassandra S Paulira.

Fakultas Hukum Universitas Indonesia Skripsi tersebut membahas Fokus

pada problematika pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan

sunda wiwitan di Cigugur Kuningan Jawa Barat yang dilakukan kantor

catatan sipil berdasarkan Undang-undang Administrasi Kependudukan.

Perbedaan pada penelitian saat ini adalah Skripsi ini menitik beratkan

kepada perkawinan bagi orang Islam dengan non-Islam yang merupakan

agama yang diakui di Indonesia sedangkan di Skripsi ini membahas

mengenai orang Islam dengan Penghayat Kepercayaan.

2. Judul Skripsi: Perkawinan Penghayat Kepercayaan Berdasarkan

Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia (tinjauan terhadap

ketentuan dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang

perkawinan dan undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang

administrasi kependudukan) ditulis oleh Olviani Shahnara Fakultas

Hukum Program Sarjana Universitas Indonesia. Skripsi tersebut

membahas Penerapan dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan terhadap perkawinan Penghayat

Kepercayaan serta pencatatan perkawinannya pada prakteknya di

lapangan terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 370 K/TUN/2003.

Page 23: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

14

Perbedaan pada penelitian saat ini adalah Skripsi tersebut tidak

menjelaskan bagaimana perkawinan lintas agama atau kepercayan antara

orang Islam dengan Penghayat Kepercayaan.

3. Judul Skripsi: Perubahan Sosial Masyarakat Cigugur (Analisis

Perubahan Sistem Mata Pencaharian Masyarakat Cigugur, Kuningan,

Jawa Barat ditulis oleh Ferinaldi. Skripsi tersebut hanya membahas

tentang keihidupan secara luas masyarakat Cigugur Kuningan Jawa

Barat, tidak banyak menyinggung mengenai perkawinan khususnya

mengenai perkawinan antar agama dan kepercayaan. Perbedaan pada

penelitian saat ini adalah skripsi tersebut tidak menjelaskan bagaimana

perkawinan antara orang Islam dengan Penghayat Kepercayaan yang

terjadi di Cigugur Kuningan Jawa Barat.

G. Metode Penelitian

Metodologi peneltian merupaka suatu sarana pokok dalam

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni. Untuk itu penulis

dalam mengembangkan penelitian ini menggunakan berbagai metodologi

penelitian sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasari

pada metode sistematika dan pemikiran-pemikiran tertentu yang

bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu

beserta dangan bagaimana menganalisanya. Pada penelitian ini untuk

mencari dan mendapatkan jawaban atas masalah yang diajukan dengan

mencari data, dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan

dengan dua cara, yaitu menggunakan pendekatan yuridis normatif

(normative legal research), dan pendekatan yuridis empiris (empirical

legal research).24

Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan menelaah ketentuan

normatif yang diterapkan dalam praktek dan sebagai studi kasus atau

24

Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), h.13.

Page 24: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

15

penelitian hukum yang nondoktrinal, yang bekerja untuk menemukan

jawaban-jawaban yang benar dengan pembuktian kebenaran yang dicari

di atau dari fakta-fakta sosial yang bermakna hukum sebagaimana yang

tersimak dalam kehidupan sehari-hari, atau pula fakta-fakta tersebut

sebagaimana yang telah derinterprestasi dan menjadi bagian dari dunia

makna yang hidup di lingkungan suatu masyarakat tertentu.25

Penelitian

hukum empiris merupakan salah satu jenis penelitian yang menganalisis

dan mengkaji bekerjanya hukum di dalam masyarakat.26

Pendekatan secara yuridis empiris disebut juga dengan sosiologis

(field research) Dilakukan dengan cara mengadakan penelitian secara

langsung kelapangan, yaitu dengan melihat penerapan peraturan

perundang-undangan atau aturan hukum yang lain yang berkaitan dengan

perkawinan orang Islam dengan Penghayat Kepercayaan, serta

melakukan wawancara dengan beberapa responden yang dianggap dapat

memberikan informasi mengenai perkawinan orang Islam dengan

Penghayat Kepercayaan hanya mengacu pada aturan-aturan Perkawinan

dan Adiminstrasi Kependudukan.

2. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, yang

dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang

bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Proses dan

makna (perspektif subjek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif.

Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian

sesuai dengan fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga

bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian

dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.

25

Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Penelitian Hukum Normatif: Analisis Filosofikal dan

Dogmatikal, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), h.121.

26 Salim HS., Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Tesis dan Disertasi,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), h.20.

Page 25: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

16

Penelitian hukum pada dasarnya merupkan suatu kegitan ilmiah

yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikirn tertentu, yang

bertujuan untuk mempeljari suatu atau beberapa gejala hukum tertentu

dengan jalan menganalisanya kecuali, jika diadakan pemeriksaan yang

mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan

suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam

gejala yang bersangkutan.27

3. Bahan Hukum

Materi dalam skripsi ini diambil dari data-data sekunder. Adapun

data-data sekunder yang dimaksud ialah:

a. Bahan hukum primer.

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh

pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini di antaranya Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang

Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk,

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 37

Tahun 2007 mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan bagi

Penghayat Kepercayaan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

68/PUU-XII/2014 dan Fatwa MUI Nomor: 4/MUNAS

VII/MUI/8/2005.

b. Bahan hukum sekunder.

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau hasil

kajian tentang Keabsahan suatu perkawinan, dan tatacara pencatatan

perkawinan seperti jurnal-jurnal hukum, karya tulis ilmiah, dan

beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di

atas.

c. Bahan hukum tersier.

27

Bambang Sunggono, Metedologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

2012), h.38.

Page 26: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

17

Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan

keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedi, dan lain-lain.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini analisis data yang digunakan adalah

dengan menganalisis data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan

dan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif dengan studi kelapangan.

Observasi dilakukan dengan menggunakan sample responden dan

kuesioner di daerah Desa Cigugur Kuningan Jawa Barat. Studi

kepustakaan dilakukan dengan mencari referensi untuk mendukung

materi penelitian ini melalui berbagai literatur seperti buku, bahan ajar

perkuliahan, artikel, jurnal, skripsi, tesis dan Undang-Undang di berbagai

perpustakaan umum serta universitas.

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis data dalam penelitian ini diawali dengan

mengumpulkan berbagai dokumen peraturan perundang-undangan serta

bahan hukum lainnya yang berhubungan dengan judul dalam skripsi ini.

kemudian dari hasil tersebut, dikaji isi (content), baik terkait kata-kata

(word), makna (meaning), simbol, ide, tema-tema dan berbagai pesan

lain yang dimaksudkan dalam isi peraturan perundang-undang tersebut.28

Secara detail langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan

analisis tersebut adalah: Pertama, semua bahan hukum yang diperoleh

melalui normatif disistematisir dan diklasifikasikan menurut objek

bahasanya. Kedua, setelah disistematisir dan diklasifikasikan kemudian

dilakukan eksplikasi, yang diuraikan dan dijelaskan objek yang diteliti

berdasarkan teori. Ketiga, bahan yang dilakukan evaluasi, yakni dinilai

dengan menggunakan ukuran ketentuan hukum maupun teori hukum

yang berlaku.

28

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2012, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjuan

Singkat), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. h.24.

Page 27: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

18

H. Pedoman Penulisan

Pedoman yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi ini

berpacu dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku “Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”

I. Sistematika Penulisan

Sesuai dengan buku Pedoman Penulisan Skripsi tahun 2017 dimana

didalamnya termaktub kebijakan penulisan skripsi untuk Fakultas Syariah dan

Hukum. Maka sistematika didalam penulisan skripsi ini tebagi dalam lima

bab, dengan perincian sebagai berikut :

BAB -I : Pendahuluan. Bab ini membahas mengenai Latar Belakang

Masalah, dilanjutkan dengan Identifikasi Masalah, Pembatasan

dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode

Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB-II : Aspek Hukum Perkawinan Bagi Orang Islam Dan Penghayat

Kepercayaan Di Indonesia. Bab ini menjelaskan mengenai: Aspek

Hukum Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974, Perkawinan dalam Hukum Islam, Perkawinan Beda Agama

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan antar

Agama dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan dan Perkawinan Beda Agama

menurut Hukum Islam.

BAB -III : Gambaran Umum Desa Cigugur Kuningan Jawa Barat Dan

Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan. Bab ini menjelaskan

mengenai: Profil Desa Cigugur Kuningan Jawa Barat, Visi dan

Misi Desa Cigugur Kuningan Jawa Barat dan Kehidupan Sosial

Masyarakat Desa Cigugur Kuningan Jawa Barat. Sejarah Aliran

Kepercayaan Sunda Wiwitan.

BAB -IV : Analisis Mengenai Perkawinan Orang Islam Dengan Penghayat

Kepercayaan Sunda Wiwitan Di Cigugur Kuningan Jawa Barat.

Page 28: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

19

Bab ini merupakan bab yang paling pokok dari penulisan skripsi

ini yang akan menganalisis Identitas Penghayat Kepercayaan

Sunda Wiwitan, Praktik perkawinan orang Islam dengan

Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan di Desa Cigugur

Kuningan Jawa Barat, Upaya untuk mendapatkan pengakuan

terhadap sahnya perkawinan menurut hukum positif dan Analisis

Pribadi.

BAB -V : Penutup. Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian di

skripsi ini yang berisi kesimpulan dan rekomendasi.

Page 29: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

20

BAB II

ASPEK HUKUM PERKAWINAN BAGI ORANG ISLAM DAN

PENGHAYAT KEPERCAYAAN DI INDONESIA

A. Tinjauan Umum Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974

1. Pengertian Perkawinan

Secara etimologi, kata kawin menurut bahasa disamakan dengan

kata “nikah”, atau kata, zawaj. Kata “nikah” disebut dengan an-nikh dan

az-ziwaj. Secara harfiah, an-nikh berarti al-wath'u, adh-dhammu dan al-

jam'u. Al-wath'u berasal dari kata wathi'a - yatha'u - wath'an yang

artinya berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki,

menaiki, menggauli dan bersetubuh atau bersenggama.29

. Sejalan dengan hal tersebut Wahbah al-Zuhaily mengistilahkan

“nikah” memiliki pengertian al-wathi‟ dan al-dammu wa al-tadakhul.

Terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jam‟u, atau „ibarat „an

al-wath wa al-„aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.30

Menurut Sayyuti Thalib Perkawinan adalah perjanjian suci

membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan.31

Wirjono Prodjodikoro juga mengemukakan bahwa

perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang

perempuan yang memenuhi syarat-syarat maupun ketentuan yang

termasuk dalam peraturan perundang-undangan.32

29

Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,

(Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), h.1461.

30 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqhul Islamii Wa Adillatuhu, Terjemahan oleh Mahmuddin

Syukri. Juz VII, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989), h.29.

31 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986),

h.47.

32 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika), 2004, h.3.

Page 30: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

21

Pengertian diatas menerangkan secara umum bahwa perkawinan

yang sah hanya dilakukan oleh seorang pria dan wanita agar menjadi

keluarga yang bahagia dan tidak menyebutkan bahwa harus

dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan yang dimiliki laki-laki

maupun perempuan. Sedangkan Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974 mendefinisikan bahwa perkawinan adalah Ikatan lahir

bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1,

Perkawinan adalah

“Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa”.

Pengertian perkawinan tersebut menurut jika dijabarkan terdapat

beberapa unsur yang menjadi penting untuk dipahami yaitu33

:

a) Ikatan lahir bathin34

Dalam suatu perkawinan tidak hanya cukup dengan ikatan

lahir saja atau ikatan lahir batin saja, akan tetapi keduanya bersifat

kumulatif dan tidak bisa terpisahkan satu sama lain. Ikatan lahir

merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan hubungan

hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama

sebagai suami isteri. Sedangkan ikatan batin merupakan ikatan yang

tidak nampak, tidak nyata, yang hanya dapat dirasakan oleh pihak-

pihak yang mengikatkan dirinya. Ikatan batin ini merupakan dasar

ikatan lahir, sehingga dijadikan pondasi pertama dalam membentuk

dan membina keluarga yang kekal dan bahagia.

33

R.Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di

Indonesia, (Surabya: Airlangga University Press, 2002), h.38.

34 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, 2005), h.46.

Page 31: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

22

b) Antara seorang pria dengan seorang wanita

Ikatan Perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pra dan

wanita. Dengan demikian undang-undang ini tidak melegalkan

hubungan perkawinan antara pria dengan pria maupun wanita

dengan wanita atau antara waria dengan waria. Sehingga hal tersebut

dapat dikategorikan sebagai unsur yang mengandung asas monogami

dalam perkawinan.

c) Sebagai suami istri

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, persekutuan

antara seorang pria dengan seorang wanita dipandang sebagai suami

isteri, apabila ikatan mereka didasarkan pada suatu perkawinan yang

sah. Suatu perkawinan dianggap sah bila memenuhi syarat-syarat

intern yaitu: kesepakatan mereka, kecakapan dan juga adanya izin

dari pihak lain yang harus diberikan untuk melangsungkan

perkawinan. Adapun syarat-syarat ekstern harus juga terpenuhi

seperti: syarat yang menyangkut formalitas-formalitas pelagsungan

perkawinan.

d) Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

merupakan tujuan dari perkawinan. Yang dimaksud keluarga disini

adalah satu kesatuan yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak yang

merupakan sendi dasar susunan masyarakat Indonesia. Dalam

mewujudkan kesejahteraan maasyarakat, sangat penting artinya

kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga. Membentuk keluarga yang

bahagia erat hubungannyadengan keturunan yang merupakan pula

tujuan perkawinan, sedangkan pemeliharaan dan pendidikan anak-

anak menjadi hak dan kewajiban orang tua. Untuk dapat mencapai

hal ini maka diharapkan adanya kekekalan dalam perkawinan, yaitu

bahwa sekali orang melakukan perkawinan maka tidak akan bercerai

untuk selama-lamanya, kecuali cerai karena kematian.

e) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila (yaitu sila

pertama), maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan

Page 32: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

23

agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai

unsur lahir atau jasmani saja, akan tetapi unsur batin atau rohani juga

mempunyai peranan penting.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, definisi mengenai

perkawinan tidak artikan secara jelas sebagaimana yang didefinisikan

dalam Undang-undang Perkawinan, akan tetapi pengaturan mengenai

perkawinan termuat didalam Pasal 26 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata. Dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa undang-undang

memandang perkawinan hanya dalam hubungan perdata. 35

Berdasarkan aturan diatas R. Subekti juga memberi definisi

perkawinan ialah suatu hidup bersama antara seorang laki-laki dan

perempuan yang memenuhi syarat dalam aturan tersebut. Dengan kata

lain bahwa, menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, perkawinan

itu hanya dilihat dari segi keperdataan dan mengabaikan segi

keagamaan.36

Dengan demikian jelas nampak perbedaan mengenai pengertian

perkawinan menurut KUH Perdata dan menurut Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan menurut KUH Perdata

hanya sebagai „Perikatan Perdata‟ sedangkan perkawinan menurut

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tidak hanya sebagai ikatan perdata

tetapi juga merupakan „Perikatan Keagamaan‟.37

Dari pengertian tersebut jelas terlihat bahwa dalam sebuah

perkawinan memiliki dua aspek yaitu38

:

35 Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1974), h.8.

36 Zainudin dan Afwan Zainudin, Kepastian Hukum Perkawinan Siri dan

Permasalahannya, (Yogyakarta: CV.Budi Utama, 2017), h.13.

37 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: CV. Mandar Maju,

2003), h.7-8.

38 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Prenada

Media Group, 2008), h.103-104

Page 33: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

24

a. Aspek Formil (Hukum), hal ini dinyatakan dalam kalimat „ikatan

lahir batin‟ artinya bahwa perkawinan disamping mempunyai nilai

ikatan secara lahir tampak pula memiliki ikatan batin yang dapat

dirasakan terutama oleh yang bersangkutan dan ikatan batin ini

merupakan inti dari perkawinan;

b. Aspek Sosial Keagamaan, dengan disebutkannya „membentuk

keluarga‟ dan berdasarkan „Ketuhanan Yang Maha Esa‟ artinya

perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan

kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani tapi unsur batin

berperan penting.

Dengan demikian hakekat perkawinan itu bukan sekedar dilihat

dari segi keperdataan dan mengabaikan segi keagamaan atau ikatan

formal belaka, tetapi juga ikatan batin. Oleh karena itu setiap pasangan

yang telah mengikatkan dirinya menjadi sepasang suami isteri juga

merasakan adanya ikatan batin, hal ini penting untuk dimiliki sebab tanpa

adanya hal tersebut suatu perkawinan mungkin akan menjadi rapuh.

2. Rukun dan Syarat Perkawinan

Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang memiliki

akibat hukum apabila dilangsungkannya perkawinan tersebut. Adanya

akibat hukum, penting sekali kaitnaya dengan sah tidaknya perbuatan

hukum. Oleh karena itu, sah tidaknya suatu pernikahan ditentukan oleh

hukum yang berlaku. Salah satunya mengenai rukun dan syarat

perkawinan.39

Dalam melaksanakan suatu perikatan perkawinan terdapat rukun

dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada

untuk menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) dan sesuatu

itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.40

Syarat-syarat pernikahan

39

Mubarok Jaih, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani

Quraisy, 2005), h.32.

40 Komisi Ateketik Keuskupan Agung Semarang, Mewujudkan Hidup Beriman dalam

Masyarakat dan Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h.63.

Page 34: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

25

merupakan suatu perbuatan hukum untuk menentukan sahnya

pernikahan.41

Abd al-Wahhab Khalaf menjelaskan bahwa syarat adalah

sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung pada keberadaan

sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan

hukum tersebut. Maka pernikahan menjadi sah dan menimbulkan adanya

segala hak dan kewajiban bagi kedua pasangan suami apabila dipenuhi

syarat tersebut.42

Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa

syarat dan rukun perkawinan itu sangat penting untuk dipenuhi dalam

melaksanakan perkawinan. Sebab hal tersebutlah yang akan menentukan

sah atau tidaknya suatu perkawinan.43

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam Undang-

undang Perkawinan syarat sahnya perkawinan yang diatur dalam Pasal 2

yang menjelaskan perkawinan dilangsungkan menurut agama dan

kepercayaannya. Perumusan Pasal 2 ini mengartikan tidak ada

perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya

itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”. Sehingga jika

disimpulkan bahwa sah atau tidaknya perkawinan itu tergantung pada

ketentuan agama dan kepercayaan dari masing-masing individu atau

orang yang akan melaksanakan perkawinan tersebut.

Adapun syarat-syarat perkawinan lebih lanjut diatur dalam Pasal 6

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu:44

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

41

Abd al-Wahhab Khalaf, „Ilm Usul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), h.118.

42 Rohmansyah. Fiqih Ibadah dan Muamalah. (Yogyakarta: Lembaga Penelitian, Publikasi

dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 2017), h.102.

43 Al-Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul

Mujtahid Wa-Nihayatul Muqtashid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h.409.

44 Mustaming, Al-Syiqaq dalam Putusan Perkawinan di Pengadilan Agama Tanah Luwu,

(Yogyakarta: CV.Budi Utama, 2015), h.69.

Page 35: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

26

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai

umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang

tua,

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia

atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka

izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang

masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan

kehendaknya,

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam

keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin

diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang

mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas

selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan

kehendaknya,

5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut

dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih

diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan

dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan

melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat

memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orangorang

tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini,

6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku

sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu

dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Sedangkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

menyebutkan bahwa:

1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16

(enam belas) tahun.

Page 36: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

27

2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta

dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh

kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua

orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang

ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2)

pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6

ayat (6).

Seperti yang telah diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974. Di dalam ketentuan ini ditentukan dua syarat

untuk dapat melangsungkan perkawinan, yaitu syarat intern dan syarat

ekstern.45

Syarat intern yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan

melaksanakan perkawinan, yang meliputi:

1. Persetujuan kedua belah pihak;

2. Izin dari kedua orang tua apabila belum mencaoai umur 21 tahun;

3. Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun pengecualiannya yaitu

ada dispensasi dari pengadilan;

4. Kedua belah pihak tidak dalam keadaan kawin;

5. Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus melewati masa

tunggu (iddah).

Bagi wanita yang putus perkawinannya karena perceraian, masa

iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari.

Syarat ekstern yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-

formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat itu meliputi :

1. Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan

Rujuk;

2. Pengumuman, yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat yang

memuat :

45

Kelil Wardiono dkk, Hukum Perdata, (Surakarta: Muhammadiyah University Press,

2018), h.64.

Page 37: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

28

a. Nama, umur, Agama/Kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman

dari calon mempelai dan dari orang tua calon. Di samping itu

disebutkan juga nama istri atau suami yang terdahulu;

b. Hari, tanggal, jam. Dan tempat perkawinan itu dilangsungkan.

Sedangkan menurut KUH Perdata, syarat untuk melangsungkan

perkawinan dibagi menjadi dua macam yaitu syarat materiil dan syarat

formil.

1. Syarat materiil

a. Syarat materiil absolut

b. Syarat materiil relatif

2. Syarat formal

a. Sebelum perkawinan dilangsungkan

b. Pada saat perkawinan dilangsungkan

Syarat materiil absolut adalah syarat yang mengenai pribadi

seorang yang melangsungkan perkawinan. Adapun syarat-syarat tersebut

dapat dilihat dalam ketentuan pasal-pasal sebagai berikut:46

Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1974 bahwa, pada azasnya

dalam suatu peristiwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang

isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

Ketentuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 selaras dengan

ketentuan Pasal 27 KUHPerdata yang menentukan bahwa dalam waktu

yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang

perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki-

laki sebagai suaminya.

Pada pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 terdapat

ketentuan pengecualian yang menentukan bahwa pengadilan dapat

memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang

apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam pasal

ini memberi kesan bahwa setiap suami diperbolehkan beristeri lebih dari

46

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Cet.5, (Jakarta:

Kencana, 2015), h.110.

Page 38: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

29

seorang, walaupun lebih dulu harus minta izin pada pengadilan dan telah

memenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.

Syarat materiil relatif adalah syarat yang mengenai ketentuan-

ketentuan yang merupakan larangan bagi seorang untuk kawin dengan

orang tertentu.47

Dalam melakukan perkawinan ada perkawinan yang

dilarang dilakukan seperti yang termuat di dalam pasal 8 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan:

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun

ke atas

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara

saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang

dengan saudara neneknya.

c. Hubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu datau

bapak tiri.

d. Berhubungann susuan, yaitu orangtua susuan, saudara susuan dan

bibi susuan.

e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau

kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari

seorang.

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang

berlaku, dilarang kawin.

Menurut Pasal 39 PP Nomor 9 Tahun 1975 mengatur seorang janda

yang hendak kawin lagi. Apabila perkawinan putus karena perceraian,

waktu tunggu bagi yang masih datang bulan ditetapkan 3 kali suci

dengan sekurangkurangnya 90 hari dan bagi yang tidak datang bulan

ditetapkan 90 hari.

Syarat formil sebelum dilangsungkan perkawinan dalam Peraturan

Pemerintah atau PP Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 2 ayat 1 berbunyi bahwa

pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya

47

Suhardana, Hukum Perdata I, (Jakarta: Prenhallindo, 2001), h.93.

Page 39: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

30

menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat. Sedangkan

dalam pasal 3 ayat 1 PP Nomor 9 tahun 1975 menentukan bahwa setiap

orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan

kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan

dilangsungkan. Adapun yang termasuk rukun perkawinan itu adalah,

adanya calon mempelai pria dan wanita, ada wali nikah, dua orang saksi,

dan akad nikah.48

B. Perkawinan dalam Hukum Islam

Secara etimologi, nikah atau ziwaj dalam bahasa Arab artinya adalah

mendekap atau berkumpul.49

Sedangkan secara terminologi, nikah adalah

akad atau kesepakatan yang ditentukan oleh syara‟ yang bertujuan agar

seorang laki-laki memiliki keleluasaan untuk bersenang-senang dengan

seorang wanita dan menghalalkan seorang wanita untuk bersenang-senang

dengan seorang laki-laki.

Menurut Syara‟, nikah adalah aqad antara calon suami isteri untuk

membolehkan keduanya bergaul sebagai suami isteri.50

Aqad nikah artinya

perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita

dengan seorang laki-laki.51

Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur‟an

dengan arti kawin, seperti dalam surat An-Nisa‟ ayat 3:52

) ٣ : أنيست)

48

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, cet. 2,

(Yogyakarta: Liberty, 1997), h.30.

49 Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh „Ala Maz|ahib Al-„Arba‟ah, Juz 4 (Dar El-Hadits,

2004), h.7.

50Asmin, Status Perkawinan antarAgama Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986), h.28.

51Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1974),

h.63.

52 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan

Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), h.35.

Page 40: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

31

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim,

maka kawinilah peremuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga

atau empat orang, dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup satu

orang.” (An-Nisa : 3)

Menurut Ulama Syafi‟iyah nikah adalah suatu akad dengan

menggunakan lafal nikah atau zawj yang pada dasarnya memberikan makna

wathi‟ (hubungan intim). Sehingga jika diartikan bahwa pernikahan seseorang

dapat memiliki atau dapat kesenangan dari pasangannya.53

Dalam pandangan

Islam di samping perkawinan itu sebagai perbuatan ibadah, perkawinan juga

merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah, berarti: menurut

qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul

berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan

untuk umatnya. Meski sebagai bentuk ibdah akan tetapi perkawinan juga bisa

saja dilarang untuk dilangsungkan apabila melakukan perkawinan dengan

orang yang berbeda agama.54

Sedangkan di Indonesia bagi umat Islam selain tunduk dan patuh

terhadap Al-Quran dan Hadist sebagai sumber hukum dalam perkawinan,

mengikat sebuah hukum formil yakni Kompilasi Hukum Islam. Dalam buku I

Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai perkawinan memberikan

pengertian tentang perkawinan yang tertuang didalam Pasal 2, yaitu:55

“Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad

yang sangat kuat atau mitsaaqan ghaliidhan untuk mentaati perintah

Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”

Ungkapan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan “berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat

Islam merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang

melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.

53

Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat I, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), h.298.

54 Wahbah al-Zuhaylî, Al-Fiqh Al-Islâmî Wa Adillatuh, Jilid IX, h.6654.

55 Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2012), h.7.

Page 41: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

32

Dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa

perkawinan bertujuan untuk membangun kehidupan rumah tangga yang

sakinah, mawaddah dan rahmah. Adapun dalam Rukun dan Syarat

perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan dalam Pasal 14 yakni:

Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:

a. Calon Suami;

b. Calon Isteri;

c. Wali nikah;

d. Dua orang saksi dan;

e. Ijab dan Kabul.

Dalam Islam para imam madzhab memiliki pandangan yang berbeda

mengenai rukun perkawinan. Imam asy-Syafi‟i menyebutkan bahwa rukun

nikah itu ada lima, yaitu calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi dan

sigat. Menurut Imam Malik rukun nikah itu adalah wali, mahar calon suami,

calon istri, sigat.56

Mahar/ mas kawin adalah hak wanita. Karena dengan

menerima mahar, artinya mereka suka dan rela dipimpin oleh laki-laki yang

baru saja mengawininya. Mempermahal mahal adalah suatu hal yang dibenci

Islam, karena akan mempersulit hubungan pernikahan di antara sesama

manusia. Dalam hal pemberian mahar ini, pada dasarnya hanya sekedar

perbuatan yang terpuji (istishab) saja, walaupun menjadi syarat sahnya nikah.

Sebagaimana saksi menjadi syarat sahnya nikah menurut Imam asy-syafi‟i.57

C. Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan dalam Peraturan Perundang-

undangan

1. Landasan Hukum Penghayat Kepercayaan

Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai salah satu

bagian dari warisan budaya bangsa yang juga dikenal dengan budaya

spiritual secara realistis masih hidup dan berkembang serta diyakini oleh

56

Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh „Ala Mazahib Al-„Arba‟ah, Juz 4 (Dar El-Hadits, 2004),

h.12. 57

Abu Zahrah, Muhammad. Al Ahwal Al Syakhsiyah, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arobi, 1957),

h.123.

Page 42: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

33

sebagian masyarakat Indonesia. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang

Maha Esa merupakan karya kebatinan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa

dalam menghayati dan mengamalkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa

dalam konsepsi kesatuan, kesempurnaan, kesejahteraan dan kebahagiaan

lahir dan batin manusia yang menyakininya baik untuk dunia maupun

untuk kehidupan setelahnya.58

Dalam Pasal 1 ayat 3 Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri

dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 43/41 Tahun 2009

tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap

Ketuhanan Yang Maha Esa menyebutkan bahwa Masyarakat Indonesia

yang sampai saat ini masih bertahan dengan kepercayaan adat asli

Indonesia disebut sebagai “Penghayat Kepercayaan”. Adapun penjelasan

mengenai Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui

dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang

Maha Esa.

Menurut Agus Cremers Kepercayaan adalah perbuatan percaya

yang intens, secara pribadi dan sangan fundamental untuk menjalani

kehidupan yang terjadi dalam bentuk keagamaan ataupun tidak.59

Adapun pengertian lain mengenai kepercayaan dapat dilihat dalam Pasal

1 angka 18 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang

Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan yang menyebutkan:

Kepercayaan adalah peryataan dan pelaksanaan hubungan pribadi

dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang diwujudkan

dengan perilaku ketaqwaan dan peribadatan terhadap Ketuhanan Yang

58 Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

(Sebuah Wacana), (Jakarta: Bidang Pelesatarian dan Pengembangan Kebudayaan ASDEP Urusan

Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 2002), h. 35.

59 Agus Cremers, Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler:

Sebuah Gagasan Baru Dalam Psikologi Agama, Cet I, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h.48.

Page 43: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

34

Maha Esa serta pengalaman budi luhur yang ajarannya bersumber dari

kearifan lokal bangsa Indonesia.

Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 19 menegaskan bahwa:

Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,

selanjutnya disebut sebagai Penghayat Kepercayaan adalah setiap yang

mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap

Tuhan Yang Maha Esa.

Semangat negara pasca reformasi untuk menjamin hak setiap warga

negara terutama bagi Penghayat Kepercayaan dibuktikan dengan

membuat wadah organisasi Penghayat Kepercayaan guna memberikan

perlindungan dan menjamin hak-hak Penghayat Kepercayaan dalam

menjalankan kegiatan spiritual yang dapat dilihat dalami Pasal 1 ayat 4

Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan

Pariwisata Nomor 43/41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan

Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa,

bahwa Penghayat Kepercayaan adalah suatu wadah penghayat

kepercayaan yang terdaftar di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.60

Organisasi Penghayat Kepercayaan harus melaporkan

organisasinya pada Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, kemudian

akan dibuatkan Suat Keterangan Terinventarisasi yang menyatakan

bahwa organisasi Penghayat kepercayaan terinventaris oleh negara, yang

kemudian mengajukan kepada Gubernur atau Bupati Walikota untuk

diterbitkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) organisasi Penghayat

Kepercayaan.

Penjaminan negara terhadap Penghayat Kepercayaan semakin

diperkuat dengan hadirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang semula melalui Undang-

undang Administrasi Kependudukan mereka sulit untuk dicatatkan di

kantor catatan sipil sebagai warga negara karena harus dipaksa memilih

60

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ba746a098f9c/aliran-kepercayaan-semakin-

mendapat-legitimasi-hukum diakses pada 26 Januari 2019 Pukul 00.15 WIB

Page 44: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

35

salah satu agama dari enam agama yang diakui atau mengosongkan

kolom agama di Kartu Tanda Penduduknya. Kini sudah mendapatkan

kepastian hukum dengan memberikan hak kepada para Penghayat

Kepercayaan untuk mencantumkan identitas dirinya di Kartu Tanda

Penduduk dengan mencantumkan dirinya sebagai Penghayat kepercayaan

tanpa harus mengkosongkan kolom agama atau terpaksa memilih satu

dari enam agama yang diakui.61

2. Status Hukum Perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan.

Pasal 28B ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa Setiap warga negara berhak

membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan

yang sah, amanat konstitusi tersebut mengharuskan negara memberikan

hak kepada setiap warga negaranya untuk mendapatkan pengakuan atas

perkawinan yang dilangsungkan terutama bagi Penghayat Kepercayaan.

Dalam hal ini Penghayat Kepercayaan tetap tunduk dan patuh

terhadap Undang-undang Perkawinan yang kemudian dujelaskan melalui

Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun 1975 yang dalam BAB II yang

mengatur mengenai pencatatan perkawinan dalam pasal 2 (1) dijelaskan

bahwa pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat

sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954

tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

Penganut Penghayat Kepercayaaan berdasarkan aturan diatas maka

merujuk pada peraturan perundang-undangan lain yang mencangkup

perkawinan diluar agama Islam. Untuk mendapatkan keabsahan suatu

perkawinan sejatinya diakomodir dalam Undang-undang Nomor 23 tahun

2006 tentang Administrasi Kependudukan, meski belum mencangkup

secara detail untuk melindungi hak Penghayat Kepercayaan setidaknya

61

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41886935 diakses pada 26 Januari 2019 Pukul

00.22 WIB

Page 45: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

36

negara mengakui keberadaan dari aliran-aliran kepercayaan dan juga hak

dari penghayatnya.

Penjaminan hak Penghayat kepercayaan didalam Undang-undang

Administrasi Kependudukan tidak lain merupakan bentuk koherensi

Pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang

menyebutkan bahwa sahnya perkawinan adalah dilakukan menurut

hukum masing-masing agama dan kepercayaannya serta dicatatkan

menurut peraturan-perundang-undangan.62

Lebih lanjut, pemerintah telah memberikan aturan mengenai

keabsahan perkawinan yang dilangsungkan oleh Penghayat Kepercayaan

yang melalui Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun

2007 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan yang menyebutkan bahwa63

:

Surat Perkawinan Penghayat Kepercayaan adalah bukti terjadinya

perkawinan Penghayat Kepercayaan yang dibuat, ditandatangani dan

disahkan oleh Pemuka Penghayat Kepercayaaan

Adapun secara detail mengenai pelaksanaan dan tata cara

memperoleh keabsahan perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan

dijelaskan dalam BAB X tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pencatatan

Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan Pasal 81, 82, 83 dan Pasal 88

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan

Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan.64

Pasal 81 menjelesakan:

(1) Perkawinan Penghayat Kepercayaan dilakukan di hadapan Pemuka

Penghayat Kepercayaan.

62

Harun Nur Rosyid, dkk, Pedoman Pelestarian Kepercayaan Masyarakat, (Jakarta:

Proyek Pelestarian dan Pengembangan Tradisi dan Kepercayaan, 2004), hlm 27.

63 Ahmad Syafii Mufid (ed), Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di

Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012), h.97.

64 Drs.Abdul Mutholib Ilyas, Drs.Abdul Ghofur Imam, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan

di Indonesia, (Surabaya: Amin, 1988), h12-13.

Page 46: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

37

(2) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan,

untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan Penghayat

Kepercayaan.

(3) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) didaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis

membina organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang

Maha Esa.

Selanjtnya, Pasal 82 menjelesakan:

Peristiwa perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat

(2) wajib dilaporkan kepada Instansi Pelaksana (UPTD) paling lambat 60

(enam puluh) hari dengan menyerahkan:

a. surat perkawinan Penghayat Kepercayaan;

b. fotokopi KTP;

c. pas foto suami dan istri;

d. akta kelahiran; dan

e. paspor suami dan/atau istri bagi orang asing.

Pasal 83 menjelesakan:

(1) Pejabat Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana mencatat

perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dengan tata cara:

a. menyerahkan formulir pencatatan perkawinan kepada pasangan

suami istri;

b. melakukan verifikasi dan validasi terhadap data yang tercantum

dalam formulir pencatatan perkawinan; dan

c. mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan

kutipan akta perkawinan Penghayat Kepercayaan.

(2) Kutipan akta perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf

c diberikan kepada masing-masing suami dan istri.

Selanjutnya pada BAB XIII Ketentuan Peralihan Pasal 88

menjelesakan: Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:

Page 47: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

38

a. Pelayanan administrasi yang berkaitan dengan pencatatan sipil di

kecamatan, masih tetap dilaksanakan oleh Instansi Pelaksana sampai

dibentuknya UPTD Instansi Pelaksana; dan

b. Perkawinan Penghayat Kepercayaan yang dilakukan sebelum

Peraturan Pemerintah ini berlaku wajib dicatatkan paling lama 2

(dua) tahun setelah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 82 huruf a, huruf b, huruf c dan/atau huruf e.

Dari ketentuan tersebut, pemuka Penghayat Kepercayaan memiliki

peran yang sangat penting dalam pelaksanaan perkawinan yang

dilangsungkan oleh penganut Penghayat Kepercayaan. Pemuka

Penghayat Kepercayaan bertanggung jawab dalam melaksanakan

pencatatan perkawinan serta mengisi dan menandatangani surat atas

terjadinya perkawinan Penghayat Kepercayaan yang nantinya akan

dijadikan bukti ke Kantor Catatan Sipil untuk mendapatkan keabsahan.

D. Perkawinan Antar Agama dan Penghayat Kepercayaan menurut

Peraturan Perundang-undangan dan Hukum Islam

1. Perkawinan Antar Agama dan Penghayat Kepercayaan dalam

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

Pengaturan hukum perkawinan di Indonesia diatur didalam

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sejatinya tidak ada aturan yang

menjelaskan mengenai legalitas perkawinan antar agama dan Penghayat

Kepercayaan, semuanya mengacu kepada Pasal 2 yang menyatakan

perkawinan adalah sah apabila dilangsungkan menurut agama dan

kepercayaannya. Secara eksplisit Undang-undang Perkawinan tidak

secara tegas memperbolehkan atau melarang suatu perkawinan yang

antar agama dan Penghayat Kepercayaan.65

Hazairin mengungkapkan bahwa aturan Pasal 2 Undang-undang

Perkawinan bahwa tidak ada lagi upaya untuk melanggar hukum

65

Sudargo Gautama, Hukum Antar Golongan, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1980),

h.12.

Page 48: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

39

agamanya sendiri, jadi bagi orang yang beragama Islam tidak ada

kemungkinan untuk melangsungkan perkawinan dengan melanggar

aturan hukum agamanya demikian bagi agama-agama yang lain termasuk

bagi pemeluk penghayat kepercayaan.66

Namun, Pasal 8 huruf (f) Undang-undang Perkawinan menyatakan

Perkawinan dilarang antara dua orang yang: mempunyai hubungan yang

oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin,

maksudnya pelarangan perkawinan antar agama maupun kepercayaan

berlaku apabila agama atau kepercayaannya melarang terjadinya

perkawinan tersebut.67

Sehingga Pasal 2 dan Pasal 8 Undang-undang

Perkawinan menyerahkan permasalahan nikah antar agama maupun

kepercayaan kepada masing-masing pihak.

Meski demikian, Pasal 66 Undang-undang Perkawinan

menyebutkan bahwa peraturan-peraturan lama dapat diberlakukan selama

Undang-undang perkawinan belum mengaturnya. Dengan demikian

polemik perkawinan antar agama dan Penghayat Kepercayaan mungkin

dapat dikoherensikan kepada pengaturan perkawinan campuran

sebagaimana aturan sebelum lahirnya Undang-undang perkawinan,

namun menurut Pasal 57 Undang-undang Perkawinan menyebutkan

bahwa perkawinan campuran itu hanya terkait perkawinan antar negara

yakni bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan Warga

Negara Asing (WNA).

Oleh karena itu banyak pihak yang menyatakan bahwa perkawinan

campuran mengenai antar agama dan Penghayat Kepercayaan tidak

diatur didalam Undang-undang perkawinan, maka aturan terhadap

pelaksanaan perkawinan antar agama dan Penghayat Kepercayaan

mengacu kepada Peraturan Perkawinan Campuran (Gemengde Huwelijke

Reglement Staatblad 1898 Nomor 158) yang di dalam Pasal 7 ayat 2

66

Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalian Indonesia, 1978), h.16.

67 Sayut Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), h.18

Page 49: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

40

GHR tersebut tidak sama sekali melarang perkawinan beda agama. 68

Bahkan tidak ada aturan baik dalam GHR maupun Undang-undang

Perkawinan yang membahas mengenai aturan antar agama dan

Penghayat Kepercayaan, semua aturan tersebut kembali kepada Pasal 2

ayat 1 dan 2 Undang-undang Perkawinan.

2. Perkawinan Antar Agama dan Pernghayat Kepercayaan dalam

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan

Menurut Undang-undang Administrasi Kependudukan perkawinan

beda agama maupun antar Kepercayaan hanya ditekankan pada instansi

yang berhak untuk mencatatkan sebuah perkawinan serta bagaimana

prosedur dilaksanakannya. Lahirnya Undang-undang Administrasi

Kependudukan memberikan wewenang baru kepada Kantor Catatan Sipil

untuk mencatatkan suatu perkawinan, yang mana sebelum ada aturan ini

berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor

1400/K/Pdt/1986 yang menyebutkan bahwa Kantor Catatan Sipil bisa

menolak untuk mencatatkan perkawinan yang terjadi apabila kedua

pasangan calon suami isteri berbeda agama dan keyakinan karena belum

ada legalitasnya.69

Persoalan mengenai pelaksanaan perkawinan antar agama dan

Penghayat Kepercayaan dalam Undang-undang Administrasi

Kependudukan menjawab kebuntuan hukum yang ada sekaligus sebagai

sintesa untuk mencegah adanya penyeludupan hukum. Dalam Pasal 35

huruf a memberikan kemungkinan untuk diberikannya ruang terhadap

pelaksanaan perkawinan antar agama dan Penghayat Kepercayaan di

Indonesia, adapun pasal tersebut menjelaskan sebagai berikut:

“Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34

berlaku pula bagi: a. Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan;”

68

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, Cet 1, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), h.66.

69 Muhammad Fauzan, Kaidah Penemuan Hukum Yurisprudensi Bidang Hukum Perdata,

(Jakarta: Kencana, 2014), h.32-33.

Page 50: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

41

Kemudian dalam bagian penjelasan Pasal 35 Undang-undang

Administrasi Kependudukan mengenai perkawinan yang ditetapkan oleh

pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda

agama. Namun bukan berarti perkara yang mudah untuk dapat keabsahan

atas perkawinan yang terjadi sebab harus ada permohonan kepengadilan

yang kemudian Hakim Pengadilan Negeri akan menilai dan

mempertimbangkan untuk ditetapkan permohonan tersebut.70

Polemik mengenai perkawinan antar agama didalam Undang-

undang Administrasi Kependudukan ialah sebatas pada pencatatan

perkawinan terkait keabsahan suatu perkawinan, adapun bagi pasangan

yang berbeda agama atau kepercayan ia harus mendapat penetapan dari

pengadilan sehingga keabsahan perkawinanya ditentukan oleh Hakim

yang akan menetapkan barulah ia boleh dicatatkan pada instansi

setempat. Maksud dari instansi setempat adalah bukan mengacu pada

Pasal 34 ayat 4 Undang-undang Administrasi kependudukan yang

menyatakn:

“Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk

yang beragama Islam dilakukan oleh KUAKec.”

Sebab Kantor Urusan Agama (KUA) hanya mencatatkan

perkawinan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut

agama Islam dan memeluk Agama Islam bagi kedua pasangan laki-laki

maupun perempuan, diluar daripada itu maka dicatatkan melalui Kantor

Catatan Sipil, termasuk perkawinan beda agama sebagai kewenangan

baru pasca lahirnya Undang-undang Administrasi Kependudukan.71

3. Perkawinan antar Agama dan Penghayat Kepercayaan menurut

Hukum Islam

70

Neneng Djubaidah, Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat (Menurut Hukum

Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam), Cet. I (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) h.225

71 Frans Hendra Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, (Jakarta: Kompas Media

Nusantara, 2009), h.143.

Page 51: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

42

Kompilasi Hukum Islam secara tegas mengatur tentang larangan

perkawinan antara orang Islam dengan orang yang bukan beragama

Islam. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 40 huruf (c) dan Pasal 44

Kompilasi Hukum Islam. Pada pasal 40 huruf (c) mengatur larangan

melangsungkan perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita

yang yang tidak beragama Islam. Pasal 44 mengatur bahwa seorang

wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria

yang tidak beragama Islam.72

Dalam hukum Islam perempuan yang beragama Islam dilarang

menikah dengan laki-laki yang bukan beragama Islam baik dia itu ahli

kitab ataupun lainnya dalam situasi dan keadaan apapun. Adapun Al-

Qur‟an dalam Surat Al-Baqarah ayat 221 menjelaskan:73

( ٢٢١ : البقرة )

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum

mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari

wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu

menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum

mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang

musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,

sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah

menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia

supaya mereka mengambil pelajaran”(Al-Baqarah - 221)

72

Agus Hermanto, LARANGAN PERKAWINAN: Dari Fikih, Hukum Islam, Hingga

Penerapannya Dalam Legislasi Perkawinan Indonesia, (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books,

2016), h.122.

73 Syekh Muhammad Yusuf Qardlawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Bangil: PT. Bina

Ilmu, 1976), h.252.

Page 52: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

43

Meskipun ayat diatas telah menerangkan tentang larangan menikah

dengan orang yang tidak beragama Islam akan tetapi, sering terjadi orang

Islam membangkang aturantersebut untuk menikah dengan orang yang

tidak beragama Islam. Seiring berjalannya waktu pasti aka nada

pergeseran nilai pemahaman agama dalam dirinya, terutama saat

memiliki keturunan maka akan terjadi pertentangan untuk

memperebutkan status agama anaknya, sehingga tidak ada ketenangan

yang hakiki dalam hatinya, dan bisa berimplikasi pada keharmonisan

rumah tangganya. Begitu pentingnya nilai agama yang harus dimiliki

oleh orang yang mencari pasangan hidupnya untuk menciptakan keluarga

yang penuh cinta dan keberkahan.74

Selain itu Majelis Ulama Indonesia melalui dalam Fatwa Majelis

Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 1 Juni 1980 difatwakan bahwa:

1. Pernikahan wanita Muslimah dengan laki-laki non-muslim adalah

haram hukumnya.

2. Seorang laki-laki Muslim dilarang mengawini wanita bukan muslim.

Tentang pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahli

Kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan

bahwa mafsadah-nya lebih besar daripada maslahat-nya, Majelis

Ulama Indonesia memfatwakan pernikahan itu haram.

Pengharaman ini bertitik dari pemahaman Al-Qur‟an Surat Al-

Baqarah ayat 221 serta melihat realitas yang banyak menimbulkan

implikasi negative maka MUI memutuskan hukum haram terhadap

perkawinan beda agama.75

Kemudian Fatwa MUI tentang perkawinan

beda agama tanggal 1 Juni 1980 tersebut, pada tanggal 28 Juni 2005

74

Ali Mansur, Hukum dan Etika Pernikahan dalam Islam, (Malang: UB Press, 2017), h.15-

16.

75 Gibtiah, Fikih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2016), h.32.

Page 53: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

44

diubah oleh Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4/MUNAS

VII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama sebagai berikut:76

1. Perkawinan antara orang Islam dengan orang bukan Islam adalah

haram dan tidak sah.

2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahli Kitab, menurut

Qaul Mu‟tamad, adalah haram dan tidak sah.

Dari penjelasan tersebut sebenarnya mengartikan bahwa persoalan

nikah beda agama dalam konteks negara Indonesia adalah persoalan

hukum. Sementara tafsiran agama-agama tentang pernikahan antara

penganut agama bersangkutan dengan penganut agama lain adalah

persoalan teologis dan tafsir-tafsir keagamaan.77

76

Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan Dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut

Hukum Tertulis Di Indonesia Dan Hukum Islam,(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.120.

77 Ahmad Baso & Ahmad Nurcholis, Pernikahan Beda Agama; Kesaksian, Argumen

Keagamaan dan Analisis Kebijakan, (Jakarta: Komnas HAM, 2005), h.7.

Page 54: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

45

BAB III

GAMBARAN UMUM DESA CIGUGUR KUNINGAN JAWA BARAT DAN

PENGHAYAT KEPERCAYAAN SUNDA WIWITAN

A. Profil Cigugur, Kuningan Jawa Barat

1. Lokasi, Letak dan Luas Daerah Cigugur, Kuningan Jawa Barat

Pada awalnya desa ini bernama Padara, nama yang merujuk pada

pendiri desa yaitu; Ki Gede Padara. Beliau hidup kira-kira pada abad ke

XIV, namun belum ada sumber yang pasti mengenai keberadaanya.

Nama Ki Gede Padara awalnya berasal dari kata Padar Tarak yakni

sebutan masyarakat setempat yang memberikan gelar atau julukan bagi

pendiri desa ini yang melakukan laku tapa dengan tekun. Menurut tokoh

masyarakat, kata padar Tarak kemudian berkembang akibat adanya

penyederhanaan menjadi Padara, sedangkan kata Cigugur yang menjadi

nama desa ini, menurut ketua adat, berasal dari kata gugur yang berarti

halilintar. Nama Cigugur menurut cerita lisan diberikan oleh Sunan

Gunung Djati yang ketika hendak mengambil air wudhu tiba-tiba ada

halilintar yang menandakan akan turun hujan.

Desa Cigugur adalah salah satu desa yang terletak di kecamatan

Cigugur kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Desa ini menjadi salah satu

tujuan wisata yang ada di kabupaten Kuningan. Wisatawan yang

berkunjung ke desa ini tidak saja berasal dari kabupaten Kuningan

semata melainkan juga dari Cirebon, Majalengka, dan daerah-daerah

sekitarnya. Kehidupan masyarakat Cigugur umumnya adalah seorang

petani sebab kehidupan pertanian sangat dekat dengan mereka sebab

secara geografis sebagian wilayahnya adalah persawahan dan ladang

sehingga bisa jadi sarana utama penunjang ekonomi masyarakatnya.78

Desa Cigugur terletak pada titik kordinat 1080 27‟ 15” BT dan 05

0

58‟ 8” LS. Secara geografis posisi Kelurahan Cigugur, Kecamatan

78

R.H. Hasan Mustapa, Adat Istiadat Orang Sunda, Penerjemah: Maryati Sastrawijaya,

(Bandung: Penerbit Alumni, 1985), h.83.

Page 55: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

46

Cigugur, Kabupaten Kuningan merupakan salah satu Kelurahan yang

terletak di sebelah barat dari “pusat kota” Kabupaten Kuningan yang

berjarak + 3,5 Km dari Ibu Kota Kabupaten dan terletak di kaki gunung

Ciremai bagian timur. Berada pada ketinggian + 661 M dari permukaan

laut. Luas wilayah Kelurahan Cigugur adalah 300,15 Ha dengan batas

wilayah sebagai berikut:

Sebelah Uatara : Kelurahan Cipari

Sebelah Timur : Kelurahan Kuningan

Sebelah Selatan : Kelurahan Sukamulya

Sebelah Barat : Desa Cisantana

Di sebelah utara desa Cigugur, yakni desa Cipari, ditemukan

berbagai macam benda peninggalan zaman pra-sejarah, mulai dari peti

mati yang terbuat dari batu, dolmen, menhir, dan juga benda-benda

hiasan yang terbuat dari berbagai macam jenis bebatuan.

2. Keadaan Iklim

Kelurahan Cigugur dengan ketinggian kurang lebih 661 mdpl pada

umumnya dipengaruhi oleh iklim tropis dan angin muson dengan suhu

rata-rata di Kelurahan Cigugur adalah 180 – 28

0 C.

3. Kondisi Demografi79

Jumlah Penduduk Kelurahan Cigugur tercatat sebanyak 7.394

orang/jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 2.320

Jiwa/Km2. Komposisi Penduduk di Kelurahan Cigugur tercatat sebagai

berikut:

Jenis Kelamin

NO Jenis Kelamin Jumlah

1. Laki-Laki 3.807 Orang

2. Perempuan 3.587 Orang

79

Pak Hasyim, Petugas Kelurahan Cigugur Kuningan Jawa Barat, Interview Pribadi,

Cigugur, 1 Maret 2019

Page 56: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

47

Agama dan Kepercayaan80

NO Agama Jumlah

1. Islam 4.434 Orang

2. Protestan 216 Orang

3. Katholik 2.706 Orang

4. Hindu 2 Orang

5. Budha 4 Orang

6. Kepercayaan 184 Orang

7. Lain-Lain 0 Orang

Pendidikan

NO Pendidikan Jumlah

1. Lulusan SD / Sederajat 1.442 Orang

2. Lulusan SLTP / Sederajat 898 Orang

3. Lulusan SLTA / Sederajat 1.607 Orang

4. Lulusan Akademi / Universitas 668 Orang

Pekerjaan

NO Pekerjaan Jumlah

1. PNS / TNI / POLRI 475 Orang

2. Wiraswasta / Pedangang 583 Orang

3. Karyawan Swasta 590 Orang

4. Buruh 668 Orang

5. Petani 294 Orang

6. Peternak 296 Orang

7. Industri Kecil 4 Orang

80

Pak Hasyim, Petugas Kelurahan Cigugur Kuningan Jawa Barat, Interview Pribadi,

Cigugur, 1 Maret 2019

Page 57: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

48

4. Kehidupan Sosial Masyarakat Cigugur Kuningan Jawa Barat

Gambar 1.1 (Wilayah Cigugur tempat kehidupan masyarakat cigugur)

Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur

sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya

merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap

masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar

manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Tidak ada masyarakat

yang tidak mengalami perubahan, sebab kehidupan sosial adalah

dinamis. Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami

perubahan-perubahan, termasuk perubahan yang menyentuh unsur-unsur

dari kebudayaan. Koentjaraningrat berpendapat bahwa tujuh unsur

kebudayaan universal tersebut, yaitu81

:

Sistem Religi

Organisasi Sosial

Sistem Pengetahuan

Bahasa

Kesenian

Sistem Mata Pencarian Hidup

81

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1980), h.217.

Page 58: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

49

Sistem peralatan hidup dan teknologi

Perbedaan keyakinan yang dimiliki masyarakat Cigugur tidak

membuat mereka saling membenci melainkan saling menghormati dan

menghargai keyakinan masing-masing sehingga mereka bisa hidup

berdampingan secara damai. Di antara contoh dari sikap penghargaan

terhadap keyakinan orang lain adalah dengan kebebasan menjalankan

keyakinannya, seperti pelaksanaan upacara tradisi Seren Taun yang

dilaksanakan oleh penganut Penghayat Kepercayaan82

Di samping melalui mitos, masyarakat memiliki mekanisme sendiri

dalam menjaga dan melestarikan kehidupannya. Salah satu cara yang

digunakan oleh masyarakat untuk keselamatan hidupnya adalah melalui

upacara tradisi. Seperti upacara Seren Taun. Upacara Seren Taun

merupakan salah satu tradisi yang dimiliki oleh masyarakat agraris Sunda

sebagai ungkapan rasa syukur pada pemberian Tuhan yang melimpah

melalui tanah yang subur dan hasil yang melimpah. Upacara ini juga

merupakan bentuk ajaran moral yang disampaikan secara nonverbal

supaya manusia berlaku adil terhadap alam.

Ungkapan syukuran tersebut disimbolkan dengan penyerahan

berbagai produk pertanian yang dihasilkan, terutama padi. Karena padi

tidak bisa dipisahkan dengan kisah Pwah Aci Sanghyang Asri (Dewi Sri)

pemberi kesuburan yang turun ke Marcapada, seperti yang ada dalam

kisah klasik masyarakat Pasundan. Pada upacara Seren Taun inilah, kisah

klasik Karuhun masyarakat agraris Sunda digambarkan, termasuk tentang

perjalanan turunnya Pwah Aci Syanghyang Asri, ke muka bumi.

Upacara Seren Taun ini dihadiri oleh berbagai kalangan masyarakat

yang datang sendiri maupun yang diundang. Tamu tetap yang selalu

menghadiri upacara ini adalah beberapa masyarakat adat yang tersebar di

Jawa, seperti masyarakat Badui di Kanekes, Banten, masyarakat Sedulur

Sikep (Samin) di Jepara, masyarakat Osing di Banyuwangi, dan

82

Pak Hasyim, Petugas Kelurahan Cigugur Kuningan Jawa Barat, Interview Pribadi,

Cigugur, 1 Maret 2019

Page 59: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

50

masyarakat Bumi Segandu atau lebih dikenal sebagai Dayak Indramayu.

Kedatangan mereka karena adanya undangan dari ketua Adat masyarakat

Cigugur dan juga rasa persahabatan. Persahabatan ini terjalin karena

mereka sama-sama merasa sebagai “kelompok yang tersisih” dengan

menganut “agama lokal”.

Kehidupan masyarakat di desa Cigugur yang berbeda agama dan

kepercayaan tak membuat jarak diantara kehidupan masyarakat

melainkan menjadikan kekuatan atas persatuan dan kesatuan masyarakat

di Cigugur, inilah keunikan desa Cigugur yang banyak orang mengakui

sikap toleransi keberagaman di wilayah ini.83

Ira Indrawarna pun

mengungkapkan bahwa sikap toleransi dapat dilihat dari stratasosioal

yang paling dasar yakni keluarga, sebab di Cigugur fenomena menikah

antar agama dan kepercayaan bukanlah hal yang tabu. Melainkan

menjadi sesuatu hal yang umum dan lumrah terjadi namun tidak

membuat terjadinya perselisihan sebab Ira memahami bahwa agama dan

kepercayaan pada dasarnya sama yakni mengajarkan nilai kebaikan

sesama manusia bukan memberikan tirai dalam kehidupan sosial.

Lebih lanjut, bahwa sikap toleransi dan keberagaman dapat dilihat

dari pemakaman yang ada di Cigugur, jika pada umumnya tempat

pemakaman dibagi berdasarkan golongan agama dan kepercayaan, lain

halnya dengan Cigugur yang justru menjadikan tempat pemakaman

umum adalah satu dan tidak ada pengkotak-kotakan wilayah untuk

agama dan kepercayaan. Bahkan apabila terdapat tokoh masyarakat yang

meninggal dunia tak jarang pada tradisi “tahlilan” dilangsungkan dengan

doa dari berbagai agama dan kepercayaan yang ada di Cigugur.

Masuknya agama Kristen dan menjadi salah satu agama yang

dianut oleh masyarakat Cigugur menjadi salah satu penyebab terjadinya

perubahan sistem mata pencaharian masyarakat Cigugur, meskipun tidak

merubah secara langsung, artinya tidak merubah dari satu profesi ke

83

Pak Hasyim, Petugas Kelurahan Cigugur Kuningan Jawa Barat, Interview Pribadi,

Cigugur, 1 Maret 2019

Page 60: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

51

profesi lain. Contohnya, masyarakat Cigugur yang berprofesi sebagai

peternak, sebelum Kristen masuk hewan ternak mereka adalah ayam,

bebek atau budidaya ikan. Tetapi setelah Kristen masuk ada yang

menjadikan babi sebagai hewan ternak mereka.

Gambar 1.2 (Gedung Paseban pusat kegiatan Penghayat Sunda Wiwitan)

Perubahan sistem mata pencaharian masyarakat Cigugur sesuai

dengan teori evolusi kebudayaan Lewis Henry Morgan. Menurutnya,

keseragaman dan kelangsungan evolusi berasal dari kebutuhan material

manusia yang bersifat universal dan terus-menerus. Sejarah manusia

mengikuti tiga fase berbeda: Kebuasan, Barbarisme, dan Peradaban,

dibatasi oleh terobosan teknologi yang berarti. Begitulah, dalam fase

kebuasan rendah terlihat pola pencarian nafkah yang sangat sederhana

dengan mengumpulkan buah-buahan dan biji-bijian.84

84

Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008),

h.121

Page 61: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

52

B. Identitas Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan

1. Sejarah Penghayat Sunda Wiwitan

Agama lokal merupakan sesuatu yang diidentikan pada sistem

kepercayaan asli nusantara, yaitu agama tradisional yang telah ada atau

lebih dahulu dikenal masyarakat Indonesia jauh sebelum kedatangan

agama-agama yang diakui saat ini seperti Islam, Katolik, Kristen, Hindu,

Budha dan Kong Hu Cu. Adapun agama lokal tersebut tersebar hampir

disetiap daerah dengan berbagi nama kepercayaan yang diyakini dan

dianut oleh masyarakat Indonesia seperti Sunda Wiwitan yang dipeluk

oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten; Sunda Wiwitan

aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan ada beberapa

penamaan lain) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat; agama Buhun di Jawa

Barat; Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur; agama Parmalim,

agama asli Batak; agama Kaharingan di Kalimantan; kepercayaan Tonaas

Walian di Minahasa, Sulawesi Utara; Tolottang di Sulawesi Selatan;

Wetu Telu di Lombok; Naurus di Pulau Seram di Propinsi Maluku, dan

lain-lain.

Sunda wiwitan adalah sebuah aliran kepercayaan orang-orang

Sunda terdahulu. Mereka meyakini kepercayaan tersebut sebagai

kepercayaan Sunda asli/kepercayaan masyarakat asli Sunda.85

Kepercayaan Sunda Wiwitan terdiri dari dua kata “Sunda” dan

“wiwitan”. Menurut Djatikusumah sebagai mana dikutip Ira, Sunda dapat

dimaknai dengan tiga konsep dasar, yaitu:

Filosofis yang berarti bersih, indah bagus cahaya.

Etnis yang merujuk kepada sebuah komunitas masyarakat layaknya

masyarakat lainnya.

Geografis yang merujuk pada penamaan suatu wilayah. Dalam hal

ini di bedakan dengan istilah Sunda besar yang meliputi pulau besar

85

Roger L. Dixson, Sejarah Suku Sunda, Jurnal: Teologi dan Pelayanan, Oktober, 2000,

h.203

Page 62: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

53

di Indonesia (saat itu nusantara) seperti jawa, Sumatera, Kalimantan,

dan Sunda kecil yang meliputi Bali, Sumbawa, Lombok Flores dan

lain-lain.

Sedangkan wiwitan berarti asal mula. Dengan demikian, Sunda

wiwitan berarti Sunda asal atau Sunda yang asli. Dengan pengertian di

atas, Sunda wiwitan dimaknai sebagai aliran kepercayaan yang dianut

oleh orang Sunda asli dari dahulu hingga saat ini. Kepercayaan Sunda

wiwitan juga dibuktikan dengan adanya temuan arkeologi di berbagai

daerah seperti situs Cipari kabupaten Kuningan, situs Arca Domas di

Kanekes Kabupaten Lebak, serta yang paling fenomenal situs gunung

padang yang ada di kabupaten Cianjur. Temuan tersebut menunjukkan

bahwa orang Sunda awal telah memiliki sistem kepercayaan.86

Masyarakat tradisional Sunda menganut paham kepercayaan yang

memuja terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (Animisme dan

Dinamisme) yang di kenal dengan Agama/aliran Sunda wiwitan. Akan

tetapi ada pihak yang berpendapat bahwa agama Sunda wiwitan juga

memiliki unsur Monoteisme purba, yaitu di atas para dewata dan hyang

dalam pantheon-nya terdapat dia tunggal tertinggi maha kuasa yang tak

berwujud yang disebut Hyang Kersa yang di samakan dengan Tuhan

Yang Maha Esa.87

Pada tahun 1848 aliran kepercayaan ini dikenal dengan nama

Agama Djawa Sunda disingkat ADS atau dikenal pula sebagai

Madraisme mengambil nama pendirinya, Pangeran Madrais Alibasa

Widjaja Ningrat, yang dipercaya sebagai keturunan Sultan Gebang

Pangeran Alibasa I. Sedangkan menurut cucunya yang masih hidup,

Pangeran Djatikusumah, nama Madrais berasal dari Muhammad Rais,

sebuah nama yang identik dengan kultur Islam. Pada usia muda Pangeran

Madrais mendapat pendidikan pesantren, ini merupakan pengaruh kakek

86

Ira Indrawarna, Berketuhanan dalam Perspektif Kepercayaan Sunda Wiwitan, Jurnal

melintas, 30 Januari 2014, h.109-112.

87 Ekadjati, Edi S, Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah, (Jakarta: Pustaka Jaya,

1995), h.72-73.

Page 63: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

54

dari pihak ibu yang pengasuhnya. Namun dari beberapa catatan yang

diketahui, ia menunda pelajarannya dan pergi mengembara ke berbagai

“paguron” yang ada di Jawa Barat.

Pengembaraan Pangeran Madrais merupakan babak penting dalam

sejarah ADS, karena dari pengembaraan itulah ADS dan pokok-pokok

ajarannya lahir. Secara teologis, ada yang memandang bahwa ajaran-

ajaran ADS merupakan hasil ramuan tasawuf Islam dengan mistisme

Jawa yang dibingkai dengan unsur-unsur kebudayaan Sunda. Dari

Cigugur, ADS berkembang ke pelosok Jawa Barat seperti Indramayu,

Majalengka, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Padalarang, Bogor,

Purwakarta, bahkan sampai DKI Jakarta. Jumlah penganut ADS

dipercaya pernah mencapai lebih dari 100.000 orang, namun yang

tercatat dalam buku cacah jiwa hanya sekitar 25.000 orang.

Pada tahun 1940, tepatnya pada tanggal 18 Sura 1872 tahun Jawa,

Pangeran Madrais yang adalah pendiri dan pimpinan ADS, meninggal

dunia. Jenazahnya dimakamkan di Kampung Pasir, sebuah bukit yang

terletak di sebelah barat Cigugur. Kepemimpinan ADS dilanjutkan oleh

puteranya Pangeran Tedjabuana Alibasa Kusuma Widjaja Ningrat.

Dalam masa kepemimpinan puteranya inilah ADS dihadapkan pada

berbagai tantangan berat.

Pertama, waktu Jepang masuk Cigugur, tuduhan bahwa Madrais

dan para pengikutnya adalah kaki tangan Van der Plas semakin gencar.

Di bawah ancaman penguasa militer Jepang, pimpinan ADS dipaksa

untuk menandatangani surat pernyataan pembubaran ADS. Dengan

mempertimbangkan keselamatan para penganutnya dari berbagai

penganiayaan, pimpinan ADS yang baru menyetujui penandatanganan

surat pernyataan tersebut. Ia sendiri beserta keluarganya mengungsi ke

Bandung dan kemudian pergi ke Tasikmalaya. Dari tempat pengungsian

tersebut itulah pimpinan ADS meminta ketegasan para pengikutnya

untuk tetap bertahan atau menyerah untuk dibawa kembali ke Cigugur.88

88

Dodo, Tokoh Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan, Interview Pribadi, Cigugur, 1

Maret 2019.

Page 64: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

55

Setelah Jepang menyerah, dan Indonesia telah menyatakan

kemerdekaan, Belanda masih dua kali melakukan agresi militer. Pada

tahun 1947 Cigugur kembali dikuasai oleh tentara Belanda. Tanggal 21

Desember 1954, pusat kegiatan ADS diserang dan dibakar oleh tentara

DI/TII. Meski kebakaran tersebut tidak fatal karena hanya memusnahkan

bagian belakang gedung, namun secara psikologis cukup mengintimidasi.

Setelah peristiwa tersebut, Pangeran Tedjabuana dan keluarganya

memutuskan pindah ke Cirebon dan dari sanalah kepemimpinannya

dijalankan. Tahun 1955 ADS berhasil menjadi anggota Badan Kongres

Kebatinan Indonesia yang disingkat BKKI. Sejak itu pula para penganut

ADS dapat melakukan kegiatan keagamaan mereka nyaris tanpa

halangan.

Namun akhirnya sepuluh tahun kemudian di saat Indonesia

dinyatakan merdeka dari penjajahan asing, tepatnya tanggal 21

September 1964, Pangeran Tedjabuana sebagai pimpinan ADS ketika itu

terpaksa harus membuat pernyataan bermaterai yang isi pokoknya

membubarkan organisasi ADS, ia dan keluarganya menyatakan diri

menjadi penganut Katolik. Selain menandatangani surat tersebut,

pimpinan ADS juga meminta para pengikutnya untuk tidak lagi

meneruskan organisasi ADS, baik secara perorangan maupun secara

kolektif.89

Hal tersebut dilakukan oleh pimpinan ADS, sebagai akibat

dari terbitnya Surat Keputusan Panitia Aliran Kepercayaan Masyarakat

(PAKEM) Kabupaten Kuningan, tertanggal 18 Juni 1964, yang

menetapkan bahwa perkawinan ADS yang selama itu dianggap sah

secara adat, adalah perkawinan liar dan tidak sah lagi menurut hukum.

Penetapan tersebut tertuang secara jelas dalam Surat Keputusan

No.01/SKPTS/BK.PAKEM/K.p./VI/64. Surat Keputusan tersebut

memang tidak secara langsung menyangkut pembubaran ADS, namun

pada kenyataannya membuat kesulitan bagi para penganutnya dalam

89

Dodo, Tokoh Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan, Interview Pribadi, Cigugur, 1

Maret 2019.

Page 65: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

56

menjalani kehidupan sehari-hari, khususnya ketika harus berurusan

dengan pemerintah, termasuk mendaftarkan anak-anak mereka ke

sekolah. Oleh karena itu, secara langsung atau tidak Surat Keputusan

tersebut menuntut para penganut ADS untuk menikah lagi secara hukum

menurut tata cara agama tertentu.

2. Ajaran Kepercayaan Penghayat Sunda Wiwitan

Ajaran Madrais merupakan sebuah ajaran yang mendasarkan

ajarannya pada ajaran asli Sunda atau yang dikenal dengan Sunda

wiwitan atau dengan nama lain dikenal dengan Agama Djawa Sunda,

Konsep dari ajaran Sunda Wiwitan ini memiliki beberapa aspek seperti:

Konsep Tuhan, Manusia dan Mistik Menuju Manusia Sejati

Pikukuh Tilu

Hukum Adat, Pernikahan dan Kematian

a) Konsep Tuhan, Manusia dan Mistik Menuju Manusia Sejati

Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan memposisikan Tuhan

berada di hierarkis tertinggi yang berarti berada diatas segala-

galanya. Tuhan begitu sempurna karena sifat-Nya. Tuhan berada

disisi yang selalu dekat pda setiap mahkluk ciptaan-Nya, termasuk

terhadap manusia.90

Para penganut Penghayat Kepercayaan Sunda

Wiwitan menyebut Tuhan dengan sebutan Gusti Sikang Sawiji-Wiji

yang diartikan sebagai inti dari kelangsungan kehidupan dunia.

Sebagaimana dihayati bahwa Tuhan selalu inheren pada setiap

ciptaan-Nya, maka diyakini bahwa adanya keberadaan manusia

dimuka bumi sebagai bukti paling nyata keberadaan Tuhan yang

diyakini bagi Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan.91

90

Dodo, Tokoh Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan, Interview Pribadi, Cigugur, 1

Maret 2019.

91 Yayasan Trimulya, Pikukuh Adat Karuhun Urang, Pemaparan Budaya Spiritual,

Cigugur Kuningan, 2000. hlm 16

Page 66: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

57

Dalam ajaran Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan,

manusia digambarkan dalam bentuk simbol lingkaran yang diatasnya

terdapat seekor burung garuda. Di dalam lingkarannya terdapat satu

peta dunia yang didukung oleh dua ekor naga. Peta dunia

menggambarkan jiwa manusia dan juga eksistensinya yang

menyebar diseluruh dunia. Dalam lingkaran terdapat tulisan Purwa

Wisada yang mengandung arti bahwa manusia harus selalu sadar

asal muasal dan juga tujuan hidupnya. Sedang dua ekor naga

diartikan sebagai dua kekuatan nafsu yang ada pada diri manusia

yakni kebaikan dan kejahatan. Adapun didalam segitiga itu terdapat

gambar api yang diartikan sebagai unsur alam yang diyakini sebagai

kekuatan hakiki. Gambar segitiga dan api ini melambangkan rasa

sejati manusia yang senantiasa dikendalikan oleh kekuatan api.92

Uraian simbolik demikian merupakan bagian yang tidak dapat

dipisahkan dari kebudayaan, sebab hal tersebut merupakan suatu

makna-makna yang menentukan realitas sebagaimana diyakini dan

yang sebagian lain menentukan harapan-harapan normatif yang

dibebankan pada manusia.93

Sedangkan konsep mistik menuju manusia sejati dalam

Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan adalah upaya yang harus

dilakukan oleh manusia untuk mencapai derajat manusia sejati.

Sebagai imanensi Tuhan yang tidak lagi suci, karena telah

terkontaminasi dengan berbagai macam unsur alam yang ada didunia

ini, manusia harus menghilangkan segala kotoran yang ada didalam

dirinya dengan bersemedi didepan api yang merupakan simbol

kekuatan. Cara yang ditempuh didalam meditasi adalah bersikap

tentram, heneng, hanung dan menang. Keempat lamgkah dalam

92

Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia Mistik dalam berbagai Kebatinan Jawa,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h.111.

93 Thomas O‟Dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, Penerj. Tim Yasogama,

(Jakarta: Rajawali, 1990), h.4.

Page 67: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

58

semedi tersebut merupakan tahapan yang sifatnya integratif sehingga

harus dilakukan secara sistematis dan terstruktur sesuai dengan

urutan yang ada.

Dengan filosofis Pengahayat Kepercayaan Sunda Wiwitan

yang diharapkan manusia dapat memilih dan menyaring setiap

getaran yang datang dari luar diri manusia yang akan mempengaruhi

sifat sejati manusia.94

b) Pikukuh Tilu

Pikukuh Tilu pada dasarnya menekan pada pada:

Kesadaran tinggi kodrat manusia (cara ciri manusia);

Kodrat kebangsaan (cara ciri bangsa):

Mengabdi kepada yang seharusnya (madep ka ratu raja).

Dalam ajaran Sunda Wiwitan aliran Madrais, ada beberapa

konsep kunci dalam memahami Pikukuh tilu, yakni Tuhan, manusia

dan manusia sejati. Tuhan menurut aliran ini adalah diatas segala-

galanya. Tuhan adalah Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Adil, Maha

Murah dan Maha Bijaksana. Terutama dengan Manusia, sebagai

makhluk yang paling sempurna.95

Dasar religi ajaran Penghayat Kepercayaan (kepercayaan asli

Sunda sebelum masuknya agama-agama besar) adalah kepercayaan

yang bersifat “monoteis”, penghormatan kepada roh nenek moyang,

dan kepercayaan kepada satu kekuasaan yakni Sanghyang Keresa

(Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha

Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang

Maha Gaib) yang bersemayam di Buana Nyungcung (Buana Atas).

Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada

94

Nursananingrat. B, Purwawisada Agama Djawa Sunda, (Bandung: Pastoral, 1964), h.15-

16

95 Ira Indrawardana et.al. (eds), Jejak Sejarah Kiyai Madrasis: Pangeran Sadewa Alibasa

Kusumawijayaningrat, h.13.

Page 68: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

59

pikukuh untuk menyejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia

ramai). Pada dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal

memiliki keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia

melalui Kabuyutan; titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Konsep

buana bagi masyarakat adat Cigugur berkaitan dengan titik awal

perjalanan dan tempat akhir kehidupan.

Bagi masyarakat adat di Cigugur, Tuhan harus dihayati dengan

keyakinan bahwa dalam hidup dan kehidupan ini terwujud

perpaduan serta jalinan di antara segala ciptaan Tuhan YME sebagai

pernyataan ke-Agungan-Nya, Kuasa, dan Sabda-Nya yang telah

terwujud dalam ke-Agungan semesta, sedangkan pancaran kasih

yang Maha Adil terwujud dalam kemurahan-Nya di mana segala

cipta dan kehidupan telah diatur dengan fungsinya.96

Para ahli antropologi sebenarnya telah banyak melakukan

kajian terhadap agama, kehidupan keberagamaan, dan ritual

keagamaan yang hidup dalam masyarakat. Seperti yang dilakukan

oleh Claude Levi-Strauss (1966) yang meneliti pikiran keagamaan

yang ada pada masyarakat primitif, atau penelitian Clifford Geertz

(1960) tentang kehidupan keberagamaan di Mojokuto (Pare) dan

juga dalam salah satu tulisannya (1966) ia dengan jelas ingin

mempelajari kebudayaan suatu masyarakat dengan “pintu

gerbangnya” aspek ritual yang hidup di masyarakat.

c) Hukum Adat Sunat, Pernikahan dan Kematian dalam

Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan

Sebagaimana ajaran dalam Islam menganal adanya tradisi

sunat (khitan) yang bertujuan untuk menyucikan diri manusia lebih

suci serta bersih dari najis atau kotoran. Adapun pemotongan pada

sunat dilakukan terhadap organ khusus dari diri manusia yang pada

96

Mohammad Fathi Royyani, Upacara Seren Taun di Cigugur Kabupaten Kuningan Jawa

Barat: Tradisi Sebagai Basis Pelestarian Lingkungan, Juranal Niologi Indonesia 4 (5): 99-415,

2008, h.411.

Page 69: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

60

umumnya dilakukan kepada laki-laki.97

Akan tetapi bagi Penghayat

Kepercayaan Sunda Wiwitan meyakini bahwa Gusti Kang Sawiji-

Wiji telah menciptakan seluruh alam beserta isinya dengan sangat

sempurna, sehingga tidak diperkenankan bagi penganut Penghayat

Kepercayaan Sunda Wiwitan untuk melakukan sunat.

Tidak diperkenankannya sunat dikarenakan sama saja

menghilangkan sebagaian anggota tubuh manusia, sehingga tidak

sama sekali dianjurkan sebab Tuhan telah menciptakan manusia

secara sempurna, sehingga tidak perlu lagi ada yang ditambah

maupun dikurangi guna menjaga kesempurnan yang diberikan-Nya

kepada seluruh apa yang telah diciptakan. Dengan demikian menjadi

orang yang tidak bersyukur dan kufur bagi Penghayat Kepercayaan

Sunda Wiwitan yang melakukan sunat.

Sedangkan, konsep perkawinan mengandung makna awal

tunggal akhir jadi sawaji (awalnya satu, akhirnya jadi menyatu).

Artinya setiap man usia itu mulanya tunggal atau satu atau sendiri

yang kemudian pada akhirnya akan menyatu dengan pasangannya

masing-masing dalam kehidupan melalui suatu hukum dan hubungan

batin yang terjalin. Perkawinan sendiri bukanlah semata-mata ibadah

dan rasa cinta kepada Tuhan semesta, melainkan juga untuk

memelihara keturunan manusia, menjaga alam dan sebagai jalan

untuk meraih kesempurnaan hidup.98

Sebelum melangsungkan suatu perkawinan kedua calon

pengantin diharuskan meminta persetujuan kepada kedua orang tua

masing-masing. Setelah mendapatkan restu dari orang tua masing-

masing maka mereka akan dijawibkan menjalani tradisi masar atau

pertunangan yang juga dimaknai masa saling mengenal yang

97

Taufiq Hidayatullah, Khitan Wanita Prespektif Hukum Islam dan Kesehatan,

(Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008), h.767.

98 Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan

Masagung, 1985), h.132-133.

Page 70: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

61

sekurang-kurangnya adalah 100 hari. Hal ini dilakukan dengan

tujuan agar kedua calon pasangan yang akan menikah itu jimah,

tidak lagi berubah pikiran. Adapun dianjurkannya masar yang

dianggap baik adalah pada bulan-bulan tertentu seperti bulan

Syawal, Apit (Zulqaidah), Rayagung (Zulhijjah), Syuro (Muharram)

dan Sapar. Kemudian ikatan janji suci dilakukan dihadapan pemuka

penghayat kepercayaan sebagai penghulu sebagaimana perkawinan

bagi orang Islam.99

Sebagaimana pada tradisini Sunda Wiwitan masyarakat baduy

Ciboleger Banten yang memiliki rukun hirup dalam kehidupan

rumah tangga yang diartikan tidak boleh bercerai, maka bagi

Penghayat Kepercayan Sunda Wiwitan di Cigugur Kuningan Jawa

Barat, juga meyakini bahwa dalam perkawinan tidak ada kata

berpisah. Sebab mereka telah mengikrarkan janji suci untuk hidup

bersama baik suka maupun duka.

Para Penghayat Kepercayaan murni berpegang teguh kepada

apa yang diyakini maupun apa yang diwarisinya secara turun

temurun. Terutama pengenai perkawinan yang ideal yang bagi

mereka adalah perkawinan yang dilakukan menurut tatacara

kepercayaan yang mereka anut sebagaimana makna Marriage

Preference.100

Selain sunat dan perkawinan dalam ajaran Penghayat Sunda

Wiwitan juga mengatur tentang kematian. Dalam proses kematian

ketika ada seorang yang akan meninggal dunia atau sedang dalam

keadaan sakaratul maut maka akan ada orang yang mendampingi

orang tersebut sambil mengatakan wajoh lawan yang diartikan

sebagai “ayo lawan”. Hal ini dialkukan sebagai bentuk motivasi agar

99

Bapak Wahyu, Tokoh Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan, Interview Pribadi,

Cigugur, 1 Maret 2019.

100 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, (Bandung: Penerbit Alumni, 1980), h.32.

Page 71: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

62

orang yang hendak meninggal itu dapat melawan ajalnya. Kemudian

tata cara penguburan jenazahnya akan lebih dahulu dibungkus

dengan kain hitam yang dimasukan kedalam peti kayu jati.

Kemudian dimasukan kedalam liang kubur yang kemudian ditaburi

arang, kapur dan beras disekitar peti mati.

Page 72: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

63

BAB IV

ANALISIS PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT

KEPERCAYAAN SUNDA WIWITAN DI DESA CIGUGUR

KUNINGAN JAWA BARAT

A. Praktik Perkawinan Orang Islam dengan Penghayat Kepercayaan

Sunda Wiwitan di Desa Cigugur Kuningan Jawa Barat

Fenomena perkawinan antar agama dan kepercayaan di Cigugur terjadi

karena memang kondisi sosial masyarakat yang hidup saling berdampingan

antar agama dan kepercayaan. Jika pada umumnya masyarakat Jawa Barat

memeluk agama Islam maka diwilayah Cigugur pun demikian adanya, namun

persebaran masyarakat dengan memeluk agama lain selain Islam juga tak

kalah banyak jumlahnya. Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya

bahwa jumlah pemeluk agama selain Islam diwilayah ini berjumlah 3.112

orang dari total seluruhnya 7.546 orang yang tinggal diwilayah ini.

Perkawinan bagi Penghayat Kepercayan Sunda Wiwitan mengandung

makna awal tunggal akhir jadi sawaji atau awalnya satu, akhirnya jadi

menyatu. Artinya setiap manusia itu mulanya tunggal atau satu atau sendiri

yang kemudian pada akhirnya akan menyatu dengan pasangannya masing-

masing dalam kehidupan melalui suatu hukum dan hubungan batin yang

terjalin. Perkawinan sendiri bukanlah semata-mata ibadah dan rasa cinta

kepada Tuhan semesta, melainkan juga untuk memelihara keturunan manusia,

menjaga alam dan sebagai jalan untuk meraih kesempurnaan hidup.101

Begitupun didalam agama Islam sebagaimana yang termuat di dalam

Kompilasi Hukum Islam bahwa “Perkawinan menurut Hukum Islam adalah

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan ghaliidhan untuk

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Oleh

karenanya, Persamaan makna mengenai perkawinan bagi penghayat Sunda

Wiwitan dan agama Islam selain sebagai bentuk ikatan lahir batin antara laki-

101

Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan

Masagung, 1985), h.132-133

Page 73: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

64

laki dan wanita juga sebagai bentuk ibadah kepada Yang Maha Kuasa inilah

yang menjadikan fenomena perkawinan antar orang Islam dan penghayat

kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur Kuningan Jawa Barat.

Setidaknya sudah banyak perkawinan yang terjadi antara orang Islam

dengan penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan, peristiwa tersebut telah

berlangsung sejak lama dan berkembang sampai saat ini. Bapak Asep dan Ibu

Ice misalnya yang menikah berbeda agama dan kepercayaan dimana Bapak

Asep yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan serta Ibu Ice yang

menganut agama Islam, ada juga Bapak Barhum yang menganut agama Islam

menikah dengan Ibu Juju yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan, selain

itu juga ada pasangan Bapak Indra dan Ibu Icih, Bapak Nana dengan Ibu Uun,

Bapak Arsindang dengan Ibu Hapinah. Mereka adalah masyarakat Cigugur

yang melangsungkan perkawinan antar pemeluk agama Islam dengan

penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan.

Untuk menentukan menggunakan tatacara dan pelaksanaan perkawinan

yang terjadi, maka hal tersebut dapat dilangsungkan berdasarkan kesepakatan

kedua mempelai dan masing-masing keluarga. Namun rata-rata perkawinan

yang dilangsungkan menggunakan tatacara adat sesuai kepercayan penghayat

Sunda Wiwitan seperti yang dilangsungkan oleh Bapak Asep dan Ibu Ice.

a. Perkawinan Orang Islam dan Penghayat Kepercayaan Sunda

Wiwitan dengan Menggunakan Perkawinan Adat Sunda Wiwitan

Lebih lanjut bapak Wahyu mengungkapkan bahwa perkawinan

dengan menggunakan adat Sunda Wiwitan tidak jauh berbeda dengan

perkawinan yang dilangsungkan menurut agama Islam, seperti terdapat

rukun dan syarat yang harus dipenihi sebagai bentuk sahnya suatu

perkawinan seperti:102

1) Adanya kedua calon mempelai baik laki-laki dan wanita

2) Adanya Saksi

3) Adanya wali nikah

102 Wahyu, Tokoh Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan, Interview Pribadi, Cigugur, 1

Maret 2019.

Page 74: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

65

Yang membedakan dengan perkawinan yang dilangsungkan

menurut agama Islam hanya pada proses Ijab qabulnya, jika didalam

hukum Islam prosesi ijab kabul dilakukan oleh wali dari pihak

perempuan yang menikahkan pengantin wanita kepada pengantin pria

dengan lafadz “Saya nikahkan funlan binti fulan dengan fulan bin fulan”

kemudian mempelai laki-laki menjawab dengan mengucapkan lafadz

“Saya terima nikahnya fulan binti fulan”, maka lain halnya dengan

perkawinan yang dilangsungkan oleh penghayat kepercayaan Sunda

Wiwitan.

Secara akad nikah Perkawinan yang dilangsungkan menurut

kepercayaan Sundan Wiwitan mula-mula, tangan kanan mempelai laki-

laki dengan tangan kanan mempelai wanita saling disatukan dengan

menempelkan kedua ibu jari masing seperti mengikat janji, yang

kemudian kedua tangan mempelai laki-laki dan wanita tersebut ditutup

dengan tangan wali nikahnya. Kemudian anaknya mengucapkan

keinginannya untuk menikah dengan pasangan yang ada dihadapannya

kepada orang tua atau walinya masing-masing yang kemudian wali

tersebut akan memberikan izin untuk menikah dengan pasangan tersebut.

Adapun lafadz yang di ucapan atau yang disampaikan berupa103

:

“Bapak, abdi sabagei anak bapa ngarasa bahwa abditeh

ngagaduhan naluri dasar kanggo kahoyongan sinareng ngalanjutkeun

kahirupan kanggo ngabentuk keluarga anu bahagia sareng sejahtera

lahir batin”104

Kemudian Wali tersebut akan menjawab:

“Bapak sabagei wali ngesahkeun, kahoyongan kanggo ngabentuk

keluarga anu bahagia jeung sejahtera lahir sinarenh batin“105

103 Wahyu, Tokoh Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan, Interview Pribadi, Cigugur, 1

Maret 2019.

104 Bapak, saya sebagai anak bapak merasa bahwa saya ini mempunyai naluri dasar untuk

keinginan untuk melanjutkan kehidupan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera

lahir dan bathin

105 Bapak sebagai wali mengesahkan, keinginan untuk membentuk keluarga yang bahagia

dan sejahtera lahir dan bathin

Page 75: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

66

Setelah itu disaksikan oleh para saksi kemudian dikatan sah apabila

para saksi mengatakan perkawinan tersebut sah.

Perkawinan yang dilangsungkan menurut penghayat kepercayaan

Sunda Wiwitan pada dasarnya tidak dilakukan di Kantor Urusan Agama

Cigugur, sebab kantor agama hanya menikahkan kedua pasangan yang

memeluk agma Islam, sehingga pelaksanaan perkawinan hanya

dilangsungkan menurut ketentuan adat yang ada.

Pemilihan praktik perkawinan dengan menggunakan tradisi adat

penghayat kepercayan Sunda Wiwitan dilakukan karena memang

masyarakat Cigugur yang melangsungkan perkawinan antar agama dan

kepercayan hidup disekitaran wilayah kesatuan masyarakat adat Sunda

Wiwitan yang secara sosial kultur hidup saling membaur bahkan

masyarakat sekitar acapkali mempelajari nilai-nilai kebudayaan di

gedung Paseban sebagai pusat dan simbol masyarakat kepercayaan

Sunda Wiwitan.106

b. Perkawinan Orang Islam dan Penghayat Kepercayaan Sunda

Wiwitan dengan Menggunakan Hukum Islam

Pelaksanaan perkawinan antara orang Islam dan penghayat

kepercayaan Sunda Wiwitan jika menggunakan prinsip hukum Islam,

maka kedua pasang calon harus turut dan patuh terhadap rukun dan

syarat perkawinan sebagaimana yang digariskan didalam Islam

sebagaimana Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan

bahwa:

Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:

1) Calon Suami;

2) Calon Isteri;

3) Wali nikah;

4) Dua orang saksi dan;

5) Ijab dan Kabul.

106 Dodo, Tokoh Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan, Interview Pribadi, Cigugur, 1

Maret 2019.

Page 76: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

67

Lebih lanjut pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum Islam menjelaskan

bahwa pasangan calon mempelai tersebut tidak boleh beragama lain

selain Islam khusunya bagi pria yang akan menikahkan wanita yang

bukan beragama Islam, hal tersebut terjadi pada pasangan bapak Nana

dan ibu Uun yang menikah menggunakan tatacara pelaksanaaan sesuai

hukum Islam.

Kedua mempelai dan pihak keluarga bersepakat untuk

melangsungkan perkawinan tersebut menggunakan hukum Islam,

sehingga Ibu Uun harus terlebih dahulu mengucapkan dua kalimat

syahadat untuk memeluk agama Islam agar perkawinan yang

dilangsungkan sesuai dengan rukun dan syarat yang ditentukan.

Perkawinan pun dilangsungkan di Kantor Urusan Agama sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.107

B. Legalitas Perkawinan Orang Islam dengan Penghayat Kepercayaan

Sunda Wiwitan di Desa Cigugur Kuningan Jawa Barat dalam Peraturan

Perundang-undangan

Secara umum dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun1974

tentang Perkawinan telah dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir

batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Selanjutnya dalam Pasal 2 Undang-undang Perkawinan menjelaskan

juga bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya itu. selanjutnya dalam ayat (2)

dijelaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Sehingga aturan mengenai mendapatkan keabsahan

perkawinan bagi setiap perkawinan baik perkawinan oleh agama resmi,

penghayat kepercayaan atau antar agama dan pengahayat kepercayaan tetap

107 Pak Haji, Ketua RW 07 serta Tokoh Umat Islam di Cigugur, Interview Pribadi, Cigugur,

1 Maret 2019.

Page 77: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

68

mengacu pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang menegaskan

bahwa perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut agama dan

kepercayaanya.108

Sedangkan pelaksanaan perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan

dalam hal ini Sunda Wiwitan, maka suatu perkawinan yang dikatan sah

apabila memenuhi syarat Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007

tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan dalam Pasal 81 menjelesakan:

(1) Perkawinan Penghayat Kepercayaan dilakukan di hadapan Pemuka

Penghayat Kepercayaan.

(2) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan, untuk

mengisi dan menandatangani surat perkawinan Penghayat Kepercayaan.

(3) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

didaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina

organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan

dalam suatu perkawinan karena pencatatan perkawinan merupakan suatu

syarat diakui dan tidaknya perkawinan oleh negara. Bila suatu perkawinan

tidak dicatat maka perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara, begitu pula

sebagai akibat yang timbul dari perkawinan tersebut. Pencatatan perkawinan

bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi

yang bersangkutan maupun bagi orang lain dan masyarakat, karena dapat

dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat dalam suatu daftar

yang khusus disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan

di manapun, terutama sebagai alat bukti tertulis yang otentik, dengan adanya

surat bukti itu, maka perkawinan harus dicatatkan.

Kemudian Pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 2 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menyatakan bahwa:

108

Soedjito Tjokrowisastro, Pedoman Penyelenggaraan Catatan Sipil, (Jakarta: Bina

Aksara, 1985), h.6.

Page 78: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

69

1) Bagi yang beragama Islam pencatatannya oleh pegawai pencatat

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954

tentang Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk.

2) Bagi mereka yang bukan Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai

pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.

Pengaturan mengenai perkawinan antara orang Islam dan penghayat

kepercayaan Sunda Wiwitan seyogianya tidak disinggug dalam aturan mana

pun baik dalam Undang-undang Perkawinan maupun Undang-undang

Administrasi Kependudukan. Akan tetapi hal tersebut dapat diqiyaskan

tentang perkawinan berdasarkan penetapan hakim dalam Undang-undang

Administrasi Kependudukan sebagai berikut:

Pasal 34 Undang-undang Administrasi Kependudukan menjelaskan:

(1) Perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan wajib

dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat

terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal

perkawinan.

(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat

Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan

menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.

(3) Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-

masing diberikan kepada suami dan istri.

(4) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang

beragama Islam dilakukan oleh KUAKec.

(5) Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat

(4) dan dalam Pasal 8 ayat (2) wajib disampaikan oleh KUAKec kepada

Instansi Pelaksana dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah

pencatatan perkawinan dilaksanakan.

(6) Hasil pencatatan data sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak

memerlukan penerbitan kutipan akta Pencatatan Sipil.

(7) Pada tingkat kecamatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan pada UPTD Instansi Pelaksana.

Page 79: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

70

Kemudian didalam Pasal 35 menegaskan:

Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku

pula bagi:

a. Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan

b. Perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas

permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.

Lebih lanjut Pasal 36 menyatakan;

Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan,

pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.

Yang dimaksud dengan Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan

adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama,

sedangkan yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan oleh

pengadilan dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 35 huruf a UU Adminduk

yaitu, perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.109

Pasal 35 Undang-undang Administrasi Kependudukan sering dijadikan

landasan bagi pasangan yang menikah berbeda agama untuk mendapat

keabsahan dari negara, akan tetapi dalam hal ini penghayat kepercayaan

Sunda Wiwitan bukan lah merupakan bagian dari agama, karena negara

hanya mengakui enam agama yang ada di Indonesia yakni Islam, Khatolik,

Protestan, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Terlebih secara konsep teoritis

bahwa Islam yang merupakan agama resmi yang diakui melalui Undang-

undang No 1/PNPS/1965 berbeda dengan Penghayat Kepercayaan yang

merupakan agama lokal yang menjaga nilai-nilai budaya nusantara khususnya

Sunda Wiwitan.

Ihwal pengakuan agama Islam dan agama-agama lainnya sebagai mana

Undang-undang No 1/PNPS/1965 dibina dan diawasi dalam lingkup

Kementerian Agama di Republik Indonesia, berbeda dengan Penghayat

Kepercayaan yang harus terlebih dahulu untuk mendaftarkan Kepercayannya

109

Abdul Syukur dan Tim Hukumonline.com, Tanya Jawab Tentang Nikah Beda Agama

Menurut Hukum di Indonesia, (Tanggerang: Literarti, 2014), h.66.

Page 80: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

71

kepada pemerintah akan tetapi bukan kepada Kementerian Agama melainkan

kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Para penghayat

kepercayaan di Indonesia esesnsinya diakui dalam Pasal 29 Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan setiap warga

negara berhak beribadah sesuai agama dan kepercayaan agama itu.

Jika menelisik makna “kepercayaan” secara historis pada tahun 1970

Penghayat Kepercayaan se-Indonesia mengadakan Simposium di Yogyakarta

dengan mendatangkan para pelaku sejarah yang terlibat didalam penyusunan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk bercerita

mengenai makna Pasal 29 tersebut. Adapun dijelaskan bahwa Pasal 29

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesungguhnya

mengakui eksistensi Penghayat Kepercayan yang sejalan dengan Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Didalam isi yang terkadung

didalam Konvenan HAM Internasional tersebut selalu menyebut atau

membedakan dua hal yakni; religion (agama) dan believe (Kepercayaan)

Sehingga berdasarkan praktik perkawinan yang dilangsungkan atas

perkawinan antara orang Islam dan penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan

apabila tunduk ada aturan hukum Islam maka upaya untuk mendapatkan

legalitasnya tunduk dan patuh pada ketentuan dalam pasal 2 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Serta bagi mereka yang melangsungkan

menggunakan tatacara adat Sunda Wiwitan mengacu pada Pasal 81 Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-undang

Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Namun bagi penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan upaya untuk

mendapatkan pengakuan negara atas perkawinan yang dilangsungkan

menurut tatacara adat masih mengalami berbagai hambatan. Sebab dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tersebut mensyaratkan

Perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan dihadapan Pemuka Penghayat

Kepercayaan, sedangkan bagi penghayat kepercayaaan Sunda Wiwitan

sampai saat ini tidak memiliki pemuka penghayat. Karena dalam aturan

tersebut pemuka penghayat harus memenuhi unsur dalam ayat 3 yang

Page 81: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

72

berbunyi: Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimkasud pada

ayat (2) didaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis

membina organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha

Esa.

Sedangkan penghayat kepercayan Sunda Wiwitan sampai saat ini

belum terdaftar didalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selaku

kementerian yang membina organisasi penghayat kepercayaan, sehingga

banyak dari kalangan penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan sulit

mendapatkan pengakuan negara terutama untuk mendapatkan akta

perkawinan.

Namun sejatinya terlepas dari persoalan tersebut, seharusnya negara

menjunjung tinggil prinsip equality before the law bagi seluruh masyarakat

tanpa memandang agama, suku, ras dan kepercayaannya.Begitupun didalam

suatu perkawinan, sebab merujuk kepada Pasal 10 Undang-undang Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa setiap orang

berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui

pernikahan yang sah yang kemudian lebih lanjut dalam ayat 2 menjelaskan

perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon

suami dan calon istri yang bersagkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Kebebasan tersebut mengartikan hendak memberikan

otonomi kepada setiap orang baik laki-laki maupun perempuan dalam

kehidupan berkeluarga merupakan upaya untuk memberikan peluang yang

besar untuk menjalani kehidupan sosial masyarakat.

Apalagi implikasi terhadap status perkawinan yang tidak diakui oleh

Negara berdampak sosial yang luas dan berat yaitu berbentuk hidup bersama

yang menurut hukum negara adalah tanpa ikatan perkawinan yang sah. Hal

ini pun mempunyai akibat hukum yakni apabila lahir anak-anak dari

perkawinan yang tidak dicatatkan, akan menyebabkan anak-anak tersebut

adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah. Artinya, anak itu adalah

Page 82: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

73

anak yang tidak sah, dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan

bapaknya dan keluarga bapaknya.110

Meski demikian bapak Wahyu mengungkapkan sampai saat ini apabila

ada masyarakat pengahayat kepercayaan Sunda Wiwitan yang memang

menginginkan pengakuan negara untuk memperoleh akta perkawinan guna

keperluan keluarga, baik pendidikan bagi anak maupun urusan pekerjaan

suami atau isteri, maka menggunakan testimoni atau mengahdirkan pendapat

dari pemuka penghayat kepecayaan lain yang sudah terdaftar di Indonesia.

Sehingga memang perkawinan bagi penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan

sulit untuk mendapatkan legalitas.

Meski demikian Bapak Wahyu mengungkapkan bahwa tak banyak

masyarakat pegahayat Sunda Wiwitan yang membutuhkan akta nikah, sebab

bagi mereka adanya kepercayaan tersebut lebih dahulu ada daripada negara

ini merdeka, selain itu memang masyarakat Sunda Wiwitan yang memang

memiliki mata pencaharian dengan hidup bertani dan berternak sehingga tak

banyak yang harus bekerja ke kota. Begitupun mengenai pendidikan,

masyarakat Sunda Wiwitan bersekolah di SMP Tri Mulya yang merupakan

yayasan swasta tempat bersekolah atau tempat anak-anak Cigugur pada

umumnya bersekolah dan untuk penghayat Sunda Wiwitan secara khusus.111

C. Analisis Penulis

Pertama penulis akan menganalisis mengenai praktik perkawinan antara

orang Islam dengan penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan khususnya di

wilayah Cigugur Kuningan Jawa Barat. Secara umum kita dapat memahami

bahwa orang Islam adalah masyarakat yang memeluk agama Islam yang

merupakan agama yang diakui keabsahannya dinegara Indonesia serta

penghayat kepercayan Sunda Wiwitan adalah kesatuan masyarakat yang

110

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan

Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), h.5.

111 Wahyu, Tokoh Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan, Interview Pribadi, Cigugur, 1

Maret 2019.

Page 83: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

74

masih memegang nilai-nilai adat dan kepercayan yang menamakan dirinya

sebagai penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan.

Kebebasan Orang Islam dan Penghayat Kepercayaan dalam

menjalankan kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin dalam Pasal 29

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang lebih

khusus ihwal melangsungkan perkawinan yang tidak hanya menjadi

hubungan kepada sesama manusia melainkan juga merupakan bentuk ibadah

kepada Allah SWT bagi orang Islam dan kepada Sanghyang Keresa (Yang

Maha Kuasa).

Praktik perkawinan tersebut sudah berlangsung sejak lama dan menjadi

hal yang biasa di wilayah Cigugur. Akan tetapi jika kita merujuk kepada

Pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan seyogiyanya perkawinan di negara Indonesia hanya dapat

dilangsungkan menurut agama dan kepercayan masing-masing. Yang apabila

mengacu kepada Konvenan HAM Internasional selalu memisahkan dua hal

yakni religion (agama) dan believe (kepercayaan), sehingga dapat dipahami

bahwa adanya agama dan kepercayaan merupakan dua hal yang berbeda.

Oleh karenanya perkawinan antara Orang Islam dan penghayat

kepercayaan Sunda Wiwitan seyogiyanya tidak dapat dilaksanakan jika

mengacu kepada Undang-Undang Perkawinan tersebut.

Begitupun menurut hukum Islam sebagaimana dalam Kompilasi

Hukum Islam yang melarang orang Islam menikah dengan wanita yang tidak

beragama Islam, ketentuan tersebut juga dijelasakan dalam Al-Qur‟an dalam

Surat Al-Baqarah ayat 221 menjelaskan:

( : ٢٢١البقرة)

Page 84: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

75

Artinya; “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,

sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih

baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah

kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)

sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari

orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,

sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah

menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya

mereka mengambil pelajaran” (Al-Baqarah : 221)

Melihat kandungan ayat di atas, dapat dipahami bahwa menikah dengan

seseorang yang berbeda agama dilarang menurut Islam. Syaikh Ahmad

Mustafa al-Farrad berpendapat sesuai dengan pemahaman Imam Syafi‟i

bahwa kata musyrik dalam ayat tersebut berkenaan dengan sekelompok orang

Arab penyembah berhala kala itu sehingga dilarang bagi kaum laki-laki untuk

menikah dengan wanita-wanit musyrik tersebut.112

Namun, ada juga yang

berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan semua kelompok

musyrik tidak hanya penyembah berhala kemudian Allah memberikan

keringanan (rukhsah) yang membolehkan melakukan perkawinan dengan

perempuan ahli kitab yang merdeka.113

Begitupun mengenai identitas penghayat kepercayan Sunda Wiwitan

yang hakikatnya merupakan bnetuk paham dinamisme sehingga memang

diharamkan untuk melangsungkan perkawinan antara orang Islam dengan

penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan baik laki-laki muslim dengan wanita

penghayat atau bahkan sebaliknya. Apalagi bagi perkawinan yang

dilangsungkan menurut kepercayaan, maka sejatinya tidak akan memenuhi

unsur rukun dan syarat perkawinan didalam hukum Islam.

Sebab sejatinya, sebuah ikatan perkawinan memiliki dua aspek yaitu114

:

112

Syaikh Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir al-Imam al-Syafi‟i (terj), Jilid I, (Jakarta: Al-

Mahira, 2008), h.353.

113 M. Ali al-Shabuniy, Tafsir Ayat alAhkam, Juz I, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1991),

h.221.

114 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Prenada

Media Group, 2008), h.103-104

Page 85: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

76

a. Aspek Formil (Hukum), hal ini dinyatakan dalam kalimat „ikatan lahir

batin‟ artinya bahwa perkawinan disamping mempunyai nilai ikatan

secara lahir tampak pula memiliki ikatan batin yang dapat dirasakan

terutama oleh yang bersangkutan dan ikatan batin ini merupakan inti dari

perkawinan;

b. Aspek Sosial Keagamaan, dengan disebutkannya „membentuk keluarga‟

dan berdasarkan „Ketuhanan Yang Maha Esa‟ artinya perkawinan

mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kerohanian, sehingga

bukan saja unsur jasmani tapi unsur batin berperan penting.

Memang praktik perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum dan

tatacara adat tidaklah dilarang sebab negara Indonesia memang negara yang

kaya akan budaya dan adat dan istiadat yang menjadi cirikhas keberagamaan

yang ada. Akan tetapi Hazairin dan Sayyuti Thalib menekan kan bahwa

hukum adat sejatinya memang dapat diterima dengan ketentuan tidak

bertentangan dengan hukum Islam yang berlaku. sehingga semestinya

perkawinan antara orang Islam dengan penghayat kepercayaan Sunda

Wiwitan apablia menggunakan prinsip hukum adat, tidak dapat diterima

karena melanggar ketentuan rukun dan syarat yang ditekankan dalam hukum

Islam.115

Meski sejatinya perkawinan tersebut dapat dikatakan dilarang menurut

agama akan tetapi masih terdapat praktik yang dilangsungkan oleh

masyarakat Cigugur terhadap dilangsungkannya perkawinan Orang Islam

dengan penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan. Secara sosiologis memang

dapat diterima karena memang sosial kultur masyarakat Cigugur yang hidup

berdampingan antar pemeluk agama dan kepercayaan dalam satu wilayah,

sehingga tidak dapat dihindari adanya praktik perkawinan beda agama atau

dengan kepercayaan khususnya antara orang Islam dengan penghayat

kepercayaan Sunda Wiwitan.

115

Akh. Minhaji, Islamic Law and Local Tradition: A Socio-Historical Approach,

(Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta Press, 2008), h.278.

Page 86: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

77

Kedua penulis akan menganalisis mengenai keabsahan perkawinan

orang Islam dengan penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan diwilayah

Cigugur Kuningan Jawa Barat. Meski Pasal 2 Undang-undang Perkawinan

telah menjelaskan perkawinan hanya dapat dilangsungkan menurut masing-

masing agama dan kepercayaan akan tetapi masih ada saja yang melakukan

perkawinan tersebut.

Sehingga suatu perkawinan yang terjadi di negara Indonesia harus

menaati ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Perkawinan bahwa tiap-tiap

perkawinan harus dicatatkan agar dapat diakuinya suatu perkawinan dimata

hukum. Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa untuk

melaksanakan pencatatan perkawinan bagi pasangan calon suami istri yang

beragama Islam harus dilakukan dihadapan Pegawai Pencatatan Perkawinan

di Kantor Urusan Agama sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang

Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Namun

bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan

kepercayaan itu selain agama Islam yakni mereka yang beragama Kristen,

Hindu, Budha, Katolik dan Kong Hu Cu serta seluruh aliran kepercayaan

dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.

Artinya perkawinan orang Islam dan penghayat kepercayaan tidak dapat

dilakukan dihadapan Pegawai Pencatatan Perkawinan di Kantor Urusan

Agama sebab hal tersebut hanya berlaku bagi pasangan yang laki-laki dan

wanitanya beragama Islam. Begitupun bagi perkawinan yang tidak beragama

Islam dapat dicatatkan melalui kantor catatan sipil dalam hal ini bagi orang

yang beragama Khatolik, Hindu, Budha, Protestan dan Kong Hu Cu termasuk

bagi para penghayat kepercayaan.

Namun aturan tersebut hanya dapat dilakukan apabila masing-masing

mempelai laki-laki dan wanita memeluk agama atau kepercayaan yang sama

dengan pasangannya. Sehingga bukan wewenang kantor catatan sipil untuk

mencatat peristiwa tersebut. Akan tetapi jika merujuk pada Pasal 35 Undang-

Page 87: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

78

undang Administrasi Kependudukan mengenai perkawinan yang disahkan

oleh pengadilan. Sejatinya dapat menjawab permasalahan tersebut.

Pasal 35 Undang-undang Administrasi Kependudukan biasa dijadikan

landasan pasangan yang melangsungkan perkawinan beda agama yakni antara

Orang Islam dengan Khatolik atau agama lain yang diakui dinegara

Indonesia. Sehingga demikian bisa saja antara orang Islam dengan pengayat

kepercayaan Sunda Wiwitan meminta pengesahan pengadilan atas

perkawinan yang dilangsungkannya, tanpa harus menjadi bagian dari salah

satu agama atau kepercayan yang diyakini masing-masing mempelai.

Akan tetapi jika dihubungkan antara praktik perkawinan Orang Islam

dan Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan dengan suatu kaidah fikih yaitu:

م على جلب المصالح درء المفاسد مقد

Artinya: “Menolak kemudaratan lebih utama dari pada meraih manfaat”.116

Kaidah tersebut menjelaskan bahwa jika terjadi permasalahan antara

menghilangkan sebuah kemudhorotan dengan sesuatu yang membawa

kemaslahatan maka harus di dahulukan menghilangkan kemadhorotan.

Karena dengan menolak kemadhorotan berarti juga meraih suatu

kemaslahatan. Karena tujuan hukum Islam mengajarkan untuk meraih

kemaslahatan di dunia dan akhirat. 117

Oleh karenanya, perkawinan antara orang Islam dengan penghayat

kepercayaan Sunda Wiwitan apabila menggunakan hukum adat dapat

menimbulkan kemudharatan. Seperti orang Islam akan menjalankan tradisi

kepercayaan yang bertentangan dengan hukum Islam sehingga dapat di

maknai secara hukum Islam perkawinan tersebut tidaklah dianggap sah.

116

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah wa tathbiqotuha fi Al-Madzahib Al-

Arba‟ah, Juz 1, (Beirut: Dar Al-Fikr), h.238.

117 Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif, Kaidah-kaidah Praktis Memahami Fiqih Islami, (t.t:

Pustaka Al-Furqon, 2009), h. 101.

Page 88: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

79

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Praktik perkawinan berbeda agama dan kepercayaan yang terjadi di

Cigugur, Kuningan Jawa Barat terjadi karena kehidupan di Cigugur,

Kuningan Jawa Barat yang merupakan wilayah dengan masyarakat yang

hidup berdampingan antar agama dan kepercayaan yang ada seperti: Islam,

Protestan, Katolik, Penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan, Hindu, Budha

dan Kong Hu Cu. Sehingga tidak dapat dinegasikan bahwa terjadinya pola

interaksi antar agama dan kepercayaaan yang menjadi satu dalam sosial

masyarakat, baik dalam bentuk komunitas hingga sampai menjalin ikatan

lahir batin seperti perkawinan.

Pelaksanaan perkawinan bagi orang Islam dan penghayat kepercayaan

Sunda Wiwitan di Cigugur dilaksanakan dengan menggunakan dua cara:

Pertama, Pelaksanaan perkawinan dengan menggunakan hukum Islam,

dimana salah satu pasangan terlebih dahulu menjadi mualaf dengan

mengucapkan dua kalimat syahadat dan selebihnya dilangsungkan sesuai

aturan perkawinan menurut rukun dan syarat perkawinan bagi orang Islam

Kedua, Pelaksanaan perkawinan dengan menggunakan hukum adat

Sunda Wiwitan, tanpa harus mengikrarkan diriya menjadi bagian penghayat

kepercayaan melainkan hanya pada proses ijab qabul menggunakan tatacara

adat yang telah ditetapkan.

Kesemuanya itu dapat dilaksanakan dengan memilih salah satu bentuk

pelaksanaan perkawinan berdasarkan hasil kesepakatan masing-masing pihak

baik mempelai dan kedua orang tua.

Ihwal memperoleh keabsahan perkawinan antara orang Islam dengan

penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan yang dilangsungkan dapat dilihat dari

praktik perkawinan yang dijalankan. Apabila menggunakan hukum Islam

maka mengacu kepada pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

yang menyatakan bahwa:

Page 89: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

80

1) Bagi yang beragama Islam pencatatannya oleh pegawai pencatat

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954

tentang Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk.

2) Bagi mereka yang bukan Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai

pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.

Akan tetapi bila menggunakan tata cara adat harus memenuhi unsur

yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang

Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan dalam Pasal 81 menjelesakan:

(1) Perkawinan Penghayat Kepercayaan dilakukan di hadapan Pemuka

Penghayat Kepercayaan.

(2) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan, untuk

mengisi dan menandatangani surat perkawinan Penghayat Kepercayaan.

(3) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

didaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina

organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Secara umum dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun1974

tentang Perkawinan telah dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir

batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga mengenai legalitas

perkawinan antar orang Islam dan penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan

harus menaati ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Perkawinan bahwa

tiap-tiap perkawinan harus dicatatkan agar dapat diakuinya suatu perkawinan

dimata hukum.

Pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan

dalam suatu perkawinan karena pencatatan perkawinan merupakan suatu

syarat diakui dan tidaknya perkawinan oleh negara. Bila suatu perkawinan

tidak dicatat maka perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara, begitu pula

Page 90: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

81

sebagai akibat yang timbul dari perkawinan tersebut. Pencatatan perkawinan

bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi

yang bersangkutan maupun bagi orang lain dan masyarakat, karena dapat

dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat dalam suatu daftar

yang khusus disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan

di manapun, terutama sebagai alat bukti tertulis yang otentik, dengan adanya

surat bukti itu, maka perkawinan harus dicatatkan.

Oleh karenanya, perkawinan antara orang Islam dan penghayat

kepercayaan Sunda Wiwitan sulit untuk diterima dinegara Indonesia.

B. Saran

Meski hidup berdampingan antar agama dan kepercayaan pada

masyarakat Cigugur Kuningan Jawa Barat akan tetapi tidak harus

melangsungkan perkawinan antar agama dan kepercayaan. Biarlah

keberagaman dalam menjalankan kehidupan beragama tetap berjalan seperti

biasa, tapi mengenai perkawinan tidak lagi dilangsungkan dengan berbeda

keyakinan.

Page 91: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

82

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI

Al-Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd,

Bidayatul Mujtahid Wa-Nihayatul Muqtashid, (Jakarta: Pustaka Amani,

2007)

Al-Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Cet. 2, (Jakarta: Pustaka

Amani,2002).

Al-Jaziri Abdurrahman, Al-Fiqh „Ala Mazahib Al-„Arba‟ah, Juz 4 (Dar El-Hadits,

2004).

Al-Khanif, Pancasila dalam Pusaran Globalisasi, (Yogyakarta: LKis, 2017).

Al-Munawwir Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,

(Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997).

Al-Zuhaily Wahbah, Al-Fiqhul Islamii Wa Adillatuhu, Terjemahan oleh

Mahmuddin Syukri. Juz VII, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989).

Al-Zuhaili Wahbah, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah wa tathbiqotuha fi Al-Madzahib Al-

Arba‟ah, Juz 1, (Beirut: Dar Al-Fikr).

Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Cet. 5 (Jakarta: Sinar

Grafika, 2014).

An- Na'im, Abdullahi Ahmed, Islam Dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa

Depan Syariah, (Jakarta: Mizan Pustaka, 2007).

Asmin, Status Perkawinan antarAgama Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986).

Cremers, Agus, Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W.

Fowler: Sebuah Gagasan Baru Dalam Psikologi Agama, Cet I,

(Yogyakarta: Kanisius, 1995).

Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2012).

Fuady, Munir, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2014)

Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003)

Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: CV. Mandar

Maju, 2003).

Idi, Abdullah M.Ed, DINAMIKA SOSIOLOGIS INDONESIA: Agama Dan

Pendidikan Dalam Perubahan Sosial, (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara,

2015).

Page 92: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

83

Ilyas, Abdul Mutholib dan Abdul Ghofur Imam, Aliran Kepercyaan dan

Kebatinan di Indonesia, (Surabaya; Amin, 1998),

Irianto, Sulistyowati dan Shidarta, Penelitian Hukum Normatif: Analisis

Filosofikal dan Dogmatikal, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009).

Jaih, Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Pustaka

Bani Quraisy, 2005).

Khalaf Abd al-Wahhab, „Ilm Usul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978).

Komisi Ateketik Keuskupan Agung Semarang, Mewujudkan Hidup Beriman

dalam Masyarakat dan Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Kanisius, 2006).

Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit Universitas

Diponegoro, 2008).

Mustaming, Al-Syiqaq dalam Putusan Perkawinan di Pengadilan Agama Tanah

Luwu, (Yogyakarta: CV.Budi Utama, 2015).

Nasul, Umam Syafi‟i dkk, Ada Apa dengan Nikah Beda Agama, (Tangerang:

Qultum Media, 2004).

Prawirohamidjojo, R.Soetojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan

Perkawinan di Indonesia, (Surabya: Airlangga University Press, 2002).

Prodjodikoro, Wiryono, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur,

1974).

Ridwan, A. dan Flora Liman Pangestu, Persoalan Praktis Filsafat Hukum Dalam

Himpunan Distingsi, (Jakarta: Universitas Atmajaya, 1992) , h.15

Rohmansyah, Fiqih Ibadah dan Muamalah. (Yogyakarta: Lembaga Penelitian,

Publikasi dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta. 2017).

Rosyid, Harun Nur, dkk, Pedoman Pelestarian Kepercayaan Masyarakat,

(Jakarta: Proyek Pelestarian dan Pengembangan Tradisi dan Kepercayaan,

2004).

Salim HS., Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Tesis dan

Disertasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013).

Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2013), h.90.

Sirin, Khaeron Perkawinan Madzhab Indonesia: Pergulatan AntaraNegara,

Agama dan Perempuan Ed.1 Cet.1, (Yogyakarta: CV. Budi Utama, 2018),

h.109

Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat I, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999).

Page 93: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

84

Soehadha, Moh, Kebijakan Pemerintah Tentang Agama Resmi serta Implikasinya,

jurnal ESENSIA, No.1 Januari 2004, h.101

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2012, Penelitian Hukum Normatif (Suatu

Tinjuan Singkat), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.

Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grapindo Persada,

2004)

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, cet. 2,

(Yogyakarta: Liberty, 1997).

Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika), 2004.

Summa, M. Amin, Kawin Beda Agama di Indonesia: Telaah Syariah dan

Qanuniah, (Ciputat: Lentera Hati, 2005), h.10-11

Sunggono, Bambang, Metedologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2012).

Susetyo, Heru, Pencatatan Perkawinan bagi Golongan Penghayat, Jurnal Hukum

dan Pembangunan (Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun 1997), h,

156

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh

Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group, 2014).

Syaltut Mahmud, Al-fatawa Dirasrah li Musykilat al-Muslim al-Mua‟ashirah fi

Hayatihi alyaumiyah wa al-„Ammah, (Mesir: dar al-Kalam).

Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia,

1986).

Tim Lindsey, Helen Pausacker, Religion, Law and Intolerance in Indonesia, (New

York: Routledge), h.24.

Tutik, Titik Triwulan, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:

Prenada Media Group, 2008)

Waluyo, Bambang, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996).

Wardiono, Kelil, dkk, Hukum Perdata, (Surakarta: Muhammadiyah University

Press, 2018).

Wasman, dkk, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Perbandingan Fiqh Dan

Hukum Positif, (Yogyakarta: Teras, 2011)

Zainudin dan Afwan Zainudin , Kepastian Hukum Perkawinan Siri dan

Permasalahannya, (Yogyakarta: CV.Budi Utama, 2017).

Zuhdi, Masjfuk Masail Fiqhiyah (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1977).

Page 94: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

85

Zahrah Abu, Muhammad. Al Ahwal Al Syakhsiyah, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arobi,

1957).

Jurnal :

Analisa Yuridis Perkawinan Beda Agama di Indonesia Oleh : Anggreni Carolina

Palandi, Lex Privatum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013. h.197.

Internet :

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150618181711-20-60930/mahkamah-

konstitusi-tolak-gugatan-menikah-beda-agama di akses pada 12 Desember

2018 Pukul 16.42 WIB

https://tirto.id/agama-agama-yang-dipinggirkan-bnP3 diakses pada 25 januari

2019 Pukul 11:43 WIB

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ba746a098f9c/aliran-kepercayaan-

semakin-mendapat-legitimasi-hukum diakses pada 26 Januari 2019 Pukul

00.15 WIB

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41886935 diakses pada 26 Januari

2019 Pukul 00.22 WIB

Peraturan Perundang Undangan :

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam,

Departemen Agama, Jakarta, 2001

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007

Page 95: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

86

Page 96: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

87

Page 97: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

88

Page 98: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

89

Page 99: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

90

Page 100: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

91

Page 101: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

92

Pertanyaan : kalau boleh tau, bapak disini bertugas sebagai apa?

Jawaban : sebagai petugas kelurahan di Cigugur.

Pertanyaan : pak, saya pernah mendengar bahwasanya di Cigugur itu

penduduknya memiliki agama yang beragam dan juga ada

penghayat kepercayaan apakah benar?

Jawaban : benar itu ada di Cigugur.

Pertanyaan : Apakah saya boleh tau pak ada agama dan kepercayaan apa saja

yang ada di Cigugur?

Jawaban : disini mayoritas Agama Islam, kristen katolik, penghayat

kepercayaan. Ada juga hindu budha namun tidak terlalu banyak

bisa dihitung jari.

Pertanyaan : pak saya pernah membaca di beberapa kajian atau artikel

bahwasanya dengan warga nya yang beragam terdapat pernikahan

disini, apakah itu benar?

Jawaban : benar, disini banyak perkawinan beda agama yang terjadi,

khususnya di wilayah Paleban. Karena disitu rata-rata orang

beragama kristen, Islam, penghayat kepercayaan tinggal menjadi

satu dalam satu wilayah dan masih masuk dalam kelurahan

Cigugur.

Pertanyaan : Kalau boleh tau kira kira perkawinannya antara agama apa

dengan agama apa ya pak?

Jawaban : disini banyak yang nikah Islam dengan Kristen Katolik, katolik

dengan penghayat kepercayaan, atau Islam dengan Penghayat

Kepercayaan.

Pertanyaan : kira kira apa ya pak latar belakang perkawinan beda agama

tersebut?

Jawaban : untuk lebih pastinya saya kurang tau, namun fenomena tersebut

terjadi karena memang wilayah Cigugur ialah wilayah yang sangat

beragam jadi wajar kalau terjadi perkawinan seperti itu. Apabila

saudara mau tau lebih jauh, adik bisa menghubungi pak aji, pak aji

ini adalah ketua rw007, wilayah rw007 adalah wilayah yang paling

banyak terjadi pernikahan beda agama, maupun dengan penghayat

kepercayaan.

Pertanyaan : kalau saya boleh tau lagi pak, kira kira sejak kapan perkawinan

tersebut terjadi?

Jawaban : untuk lebih pastinya saya juga kurang tau tetapi, generasi kakek

saya dan sebelum kakek saya juga melakukan pernikahan beda

agama, meskipun saya beragama Islam, hidup antara katolik,

Islam, dan lain lain merupakan hal yang wajar.

Page 102: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

93

Page 103: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

94

NAMA : Pak Haji

Pertanyaan : Apakah disini ada pernikahan beda agama?

Jawaban : Ada, banyak.

Pertanyaan : Biasanya agama apa saja yang melakukan pernikahan dengan

penghayat kepercayaan?

Jawaban : Biasanya agama islam dan katolik.

Pertanyaan : Apakah penghayat kepercayaan terdapat penghulu seperti

layaknya Agama Islam ?

Jawaban : Ada pemuka penghayat seperti pencatat perkawinan dan juga

terdapat berita acara (istilah) tetap dicatatkan, ke disdukcapil.

Pertanyaan : Bagaimana tata cara pernikahan penghayat kepercayaan sunda

wiwitan?

Jawaban : Anak memohon pada orangtuanya/wali seperti meminta izin

untuk melakukan pernikahan dengan pria pilihannya untuk dapat

dinikahkan.

Pertanyaan : Seperti pengalaman yang saya dapatkan di baduy, pernikahan

disaksikan oleh naib apakah disini sama ?

Jawaban : Sisini berbeda, disini tidak menggunakan naib, hanya saksi biasa.

Pertanyaan : Bagaimana suasana pernikahan antara penghayat kepercayaan

dengan pemeluk agama contohnya katolik?

Jawaban : Sampai saat ini, banyak yang telah melakukan pernikahan

tersebut, tidak apa-apa, yang penting saling menghargai satu sama

lain.

Page 104: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

95

Pertanyaan : Apabila penghayat dan pemeluk agama mengadakan pernikahan

mayoritas menggunakan budaya yang mana?

Jawaban : Kalo itu saya kurang paham tapi disini semuanya caranya bisa

milih salah satu sesuai kesepakatan biasanya begitusih

Pertanyaan : Kan kalo di Islam dilarang yak pak nikah beda agama nah

bagaimana kira-kira menurut bapak?

Jawaban : Memang, jika berbicara kepada agama itu dilarang tapi disini

sifatnya tidak memaksakan kehendak. Artinya itu terserah masing-

masing dalam menjalankan agama dan kepercayaan karena Islam

juga mengajarkan untuk tidak memaksa, banyak ko orang Islam

yang menikah dengan katolik dan penghayat yang kemudian

pasangannya menjadi orang Islam atau bahkan sebaliknya. Ya kalo

dilihat seimbang.

Page 105: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

96

Page 106: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

97

Pertanyaan : Kalo boleh saya tahu bapak ini menganut kepercayaan atau

agama?

Jawaban : Saya menganut kepercayaan Sunda Wiwitan

Pertanyaan : Apakah bapak sudah menikah ?

Jawaban : Saya sudah menikah

Pertanyaan : Apakah benar bahwa bapak menikah dengan orang yang

beragama, bukan dengan penghayat seperti yang bapak anut ?

Jawaban : Iya saya menikah dengan Istri saya yang bukan penghayat

melainkan orang yang beragama

Pertanyaan : Selain bapak, siapa saja yang melangsungkan perkawinan dengan

agama lain pak?

Jawaban : Ada banyak disini, ponakan saya juga melangsungkan

perkawinan berbeda, dia penghayat kepercayaan nikah dengan

orang islam sekarang tinggal diluar cigugur.

Pertanyaan : Faktor apa sih pak yang biasanya melatarbelakangi hal tersebut ?

Jawaban : Faktornya karena kita hidup di cigugur itu berdampingan antara

penghayat, katolik dan Islam jadi karena hidup berdampingan

yaudah bermasyarakat pada umumnya terus main bareng lama-

lama suka terus minta izin ke orang tua buat nikah

Pertanyaan : Jadi masalah gak sih pak kalo terjadi hal tersebut?

Jawaban : Sebenernya jadi masalah, karena kalo nikah berbeda seperti itu

sulit diakui oleh negara tapi kalo dilingkungan gak masalah, karena

dilingkungan sini dalam satu keluarga aja banyak yang beda agama

Page 107: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

98

Pertanyaan : Nah, bagaimana sih pak cara mendapatkan legalitas dari

perkawinan tersebut

Jawaban : Kalo untuk detailnya saya kurang tau pasti karena biasanya yang

mengurus itu pak wahyu jadi ade bisa tanyakan langsung ke pak

wahyu.

Pertanyaan : Kalo nikah beda agama begitu pak biasanya caranya bagaimana

pak?

Jawaban : Ada dua caranya, harus dipilih mau pake cara agama yang mana

atau cara kepercayaan begitu aja, kalau mau dipindah agamakan

atau mau dipindah dari agama ke penghayat juga bisa, asal yang

terpenting adanya kesepakatan kedua mempelai begitu jadi sifatnya

tidak dipaksakan melainkan dikembalikan kepada masing-masing

calon.

Page 108: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

99

Page 109: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

100

Pertanyaan : sebelum saya mulai wawancara boleh saya tau nama siapa nama

bapak?

Jawaban : nama saya pak Wahyu, saya ada wakil kepala sekolah Trimulya,

saya juga sering membantu penghayat kepercayaan dalam hal

legalitas perkawinan, jadi siapapun penghayat kepercayaan ingin

mendapat pengakuan dari saya yang membantu mengurusnya.

Pertanyaan : bagaimana terkait keabsahan pernikahan di daerah ini?

Jawaban : sebenarnya, ketika dilihat dari yurisprudensi nya semua terjadi

atas 2 hal yakni, de facto dan de jure. De facto pada dasarnya ialah

terdapat mempelai pria dan mempelai wanita de jure nya ialah

dicatatkan sesuai dengan hukum dan perundangan undangan.

Pemerintah pun sudah menyediakan fasilitas melalui adminduk dan

catatan sipil untuk yang non muslim.

Pertanyaan : apa saja syarat kelengkapan berkasnya?

Jawaban : KTP, akta kelahiran, Kartu Keluarga dan kedua orang tuanya.

Pertanyaan : biasanya untuk pernikahan menggunakan hukum positif atau

hukum adat?

Jawaban : Khusus untuk kepercayaan secara defacto menggunakan hukum

adat, dari zaman belanda pun yang digunakan adalah hukum adat.

Ada semacam “staatsblad” nya. Sebelum turunnya adminduk,

digunakan ketetapan pengadilan.

Pertanyaan : sejak kapan penghayat kepercayaan bisa untuk melakukan

pencatatan pernikahan?

Jawaban : Pada tahun 1980, kuningan saat itu belum dapat mencatatkan

perkawinannya, hanya ada beberapa tempat seperti cilacap,

bandung, namun menggunakan catatan pengadilan, namun skrg

sudah dapat dicatatkan setelah keluar UU adminduk. Dengan

catatan agama kristen/katolik harus ada testimoni dari pihak gereja

Pertanyaan : biasanya perkawinan yang dilangsungkan disini baik antar satu

agama maupun berbeda ataupun agama dengan penghayat

kepercayaan biasanya menggunakan tata cara seperti apa?

Jawaban : biasanya disini tata cara pernikahan itu ada dua, pertama bisa

menggunakan tata cara agama bagi yang memeluk, atau tata cara

adat bagi penghayat kepercayaan, tapi kalau berbeda biasanya tidak

boleh bertentangan dari kedua cara tersebut. Biasanya kedua

keluarga berdiskusi mau menggunakan hukum agama, atau cara

adat. Apabila memilih dengan hukum agama, maka dilaksanakan

Page 110: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

101

selayaknya bagaimana yang diatur dalam agama. Misalnya ada

orng kepercayaan nikah dengan orang Islam, maka harus ada

penghulu, walinya dan lain lain sesuai dengan syariat Islam.

Pertanyaan : apakah bila seorang muslim ingin menikah dengan penghayat

kepercayaan, apakah penghayat tersebut harus menjadi muallaf

terlebih dahulu?

Jawaban : tidak semua, dan juga disini tidak diwajibkan untuk menjadi

muallaf, meskipun ada beberapa. Namun ya nikah saja secara

Islam, tapi tidak diharuskan menjadi muallaf, begitu juga

sebaliknya, walaupun dengan cara adat. Disini bebas menghormati

keberagaman, tidak ada pemaksaan sama sekali, bahkan didalam

satu keluarga banyak yang beda agama dan kepercayaan.

Pertanyaan : bagaimana tata cara pernikahan menggunakan hukum adat sunda

wiwitan?

Jawaban : sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pernikahan pada

umumnya, terdapat calon pengantin pria dan calon pengantin

wanita, juga terdapat saksi, dan wali yang menikahkan, namun

tidak terdapat penghulu, hanya disaksikan oleh pemuka penghayat

kepercayaan, disini yang membedakan adalah ijab dan kabulnya,

kalau di Islam berbunyi “saya terima nikah dan kawinnya fullan

binti fullano dengan mahar....” pada penghayat kepercayaan

dilakukan “penggabungan tangan mempelai laki-laki dan mempelai

wanita, jempol didekatkan lalu wali nikah perempuannya berada

diatasnya untuk menutup jempol tersebut, dengan akad, Kemudian

anaknya mengucapkan keinginannya untuk menikah dengan

pasangan yang ada dihadapannya kepada orang tua atau walinya

masing-masing yang kemudian wali tersebut akan memberikan izin

untuk menikah dengan pasangan tersebut.

Adapun lafadz yang di ucapan atau yang disampaikan berupa: “Bapak, saya

sebagai anak bapak merasa bahwa saya ini mempunyai naluri

dasar untuk keinginan untuk melanjutkan kehidupan untuk

membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera lahir dan bathin”

Kemudian Wali tersebut akan menjawab:“Bapak sebagai wali mengesahkan,

keinginan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera

Page 111: PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

102

lahir dan bathin“ Setelah itu disaksikan oleh para saksi kemudian

dikatan sah apabila para saksi mengatakan perkawinan tersebut

sah.

Pertanyaan : bagaimana untuk mendapat keabsahan pernikahan antar

penghayat kepercayaan, maupun penghayat kepercayaan dengan

pemeluk agama?

Jawaban : untuk saat ini karena penghayat kepercayaan belum diakui

negara, dan kita disuruh mendaftar, padahal kita ada sebelum

negara ini terbentuk, jadi caranya adalah kami meminta testimoni,

testimoni yang bersifat formalitas kepada penghayat kepercayaan

lainnya yang ada dibandung untuk menjadi pemuka penghayat

kepercayaan karena kita disini tidak ada melihat banyaknya minat

masyarakat untuk menjadi pemuka penghayat kepercayaan, atas

nama penghayat tsb, nanti di urus beritanya, atas nama penghayat

lain bukan atas nama sunda wiwitan, baru di serahkan ke dukcapil

untuk dicatatkan. Intinya seperti itu saja. Begitupun dengan nikah

beda agama, makanya jarang nikah beda agama, menikah dengan

sesamanya saja. Tapi kalau mau gunain adatnya terserah, bisa

gunakan adat nya masing masing. Karena di gedung paseban

semuanya sama, belajar tentang kehidupan dunia, dan lain-lain.