Upload
phungdan
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERKEMBANGAN AGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA
PERKEMBANGAN AGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA
( Study Kasus di Masyarakat Cina Penganut Agama Khonghucu di Tangerang
)
Skripsi
Universitas Islam Negeri
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Disusun Oleh :
GUNAWAN SAIDI
NIM. 104032100985
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARATA
2009
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah, segala puji bagi Allah SWT penulis panjatkan sebagai
ungkapkan rasa syukur atas segala limpahan hidayah, rahmat dan nikmatNya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga Allah SWT limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
membimbing umat manusia untuk mengikuti petunjuk dengan risalahnya yakni
Agama Islam, yang akan menyelamatkan dan menghantarkan pemeluknya menuju
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Penulis sadari bahwa tidak ada manusia di bumi ini dapat melakukan sesuatu
tanpa bantuan manusia lainnya termasuk penulis dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Banyak pihak yang membimbing dan membantu dalam proses penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis
sampaikan kepada pihak-pihak tersebut, terutama kepada :
1. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Dr. M. Amin Nurdin, MA; Ketua
Jurusan Perbandingan Agama, Dra. Ida Rosyida, Ma; Sekretaris Jurusan,
Maulana, MA; serta seluruh civitas akademika Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Ihksan Tanggok, Ma sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi
ini yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaganya serta kesabaran
memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga membuka
cakrawala berpikir dan nuasa keilmuan yang baru.
3. Bapak Asyuntapura selaku ketua MATAKIN serta Ibu Lili, Ceng Eng, Kak
Rudiguna, Victor, Andri dan masyarakat umat Khonghucu yang telah
memberikan banyak sumber utama skripsi ini serta meluangkan waktunya
kepada penulis utnuk dapat berdiskusi secara langsung, sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
4. Pimpinan Perpustakaan Utama dan FUF UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang dalam penulisan skripsi ini memberikan andil dalam hal penyediaan
bahan pustaka dan sumber-sumber bacaan untuk kelancaran penulisan skripsi
ini.
5. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang dengan cinta dan kasih sayangnya telah
membesarkan dan mendidik penulisa hingga sekarang ini. Munajat doanya di
setiap waktu telah memberikan kekuatan lahir dan batin dalam mengarungi
bahtera kehidupan.
6. Kakanda Samini, Saidah, Saminah, Sahwan, Jamaludin, Dika, Aji, Husein,
Ahmad, Ilyas, Nenih, Sar, Nadil yang telah memberikan dorongan waktu
kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Keluarga Besar Beo Tek Bio yang selalu mendorong penulis untuk selalu
mencintai, mencari dan manambah ilmu sampai akhir hayat.
8. Teman-teman mahasiswa Jurusan PA anggkatan 2004 (Ray, CIci, Sofyan,
Dyah, Boim, Breh, Liha, Hesty, Iwenk, Hasby, Putra, Dely, Rina, Oby, Aji,
Ahmad, Oji, Ayat, Aya, dll)
9. Keluarga besar kepala sekolah SDN Perigi Baru II beserta para staf dan guru-
guru yang selalu memberikan motivasi dalam penulisan skripsi ini.
10. Habib Taufik SPd, Ibu Tuti, Ibu Nenty, M. Nafis, Antala’lai dan Istri, Ika dan
Atika, serta Rohim yang telah membantu penulis untuk berbagi pendapat dan
tenaganya berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
11. Pihak-pihak lain yang mungkin belum penulis sebutkan.
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa semoga dukungan, bimbingan, perhatian, dan
motivasi dari semua pihak kepada penulis selama perkuliahan sampai selesainya
skripsi ini menjadi amal ibadah dan bisa memberikan manfaat pada penulis
khususnya dan para pembaca karya ini pada umumnya. Amin.
Jakarta, Februari 2009 M
Rabi’ul Awal 1430 H
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang terdiri dari beribu-
ribu pulau dengan ke anekaragaman suku bangsa, bahasa, sosial
budaya dan agama yang senantiasa menjunjung tinggi serta
menghargai akan adanya perbedaan tersebut.Semboyang bangsa
Indonesia “Bhineke Tunggal Ika” yang harus dihargai dan dihayati oleh
segenap masyarakat Indonesia, dengan demikian terujudlah kedaulatan
dan kesatuan bangsa Indonesia yang meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Kehidupan beragama di Indonesia secara konstitusi ditegasan dalam
rumusan pancasila pada pembukaan dan Undang-undang Dasar 1945
pasal 29, bahwa Negara Republik Indonesia yang bekedaulatan rakyat
berdasarkan pada ketuhanan yang maha Esa, kemanusian yang adil
dan beeadab, persatuan Indonesia dan kerakyataan yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkansuatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kenyataan sisial dan budaya menunjukkan bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa yang riligius, bangsa yang agamis,bangsa yang percaya
pada tuhan Maha Esa. Kehidupan Bangsa Indonesia tidak dapat di
pisahkan dari kehadiran dan perkembangan agama-agama
besar.Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha. Agama Khonghucu adalah
salah satu agama besar di Indonesia yang memiliki umat tidak sedikit
jumlahnya di berbagai peloksok dan pusat-pusat kota seperti halnya di
Tangerang1
Ajaran-ajaran Khonghucu ternyata berpengaruh terhadap
masyarakat luas dari daratan Cina. Rakyat Cina sudah sejak lama telah
melakukan imigrasi ke berbagai tempat dengan membawa budaya dan
kepercayaannya termasuk ajaran-ajaran Khonghucu. Indonesia termasuk
menjadi negara dengan warga pendatang Cina di berbagai wilayah
Nusantara ini. Mereka tetap melaksanakan ajaran-ajaran Khonghucu
dengan penuh khidmat.
Pemerintah Orde Baru mengeluarkan Inpres No. 14 tahun 1967 yang
menghendaki agar adat, budaya dan kepercayaan yang bercirikan Cina
dibatasi atau dipersempit ruang geraknya, sehingga agama Khonghucu
tidak berkembang. Selain itu, pemerintah menghapus mata pelajaran
agama Khonghucu dalam kurikulum pendidikan Sekolah Dasar yang
mengakibatkan para siswa anak-anak Khonghucu pada tahun 1977 dipaksa
mengikuti pelajaran pendidikan agama lain demi memenuhi tuntunan
kurikulum yang berlaku. Umat Khonghucu sering mengakui beragama lain
dengan alasan bahwa pada saat itu Khonghucu bukan agama yang
diakui, sehingga umat Khonghucu tidak diijinkan merayakan hari-hari
1 Wawancara peribadi dengan Ws Asyuntapura ( ketua Majlis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia)
Tangerang 16 Maret 2009
sucinya di depan masyarakat umum. Umat Khonghucu tidak dibenarkan
dan tidak diijinkan menyebut dirinya beragama Khonghucu tetapi harus
mengakui beragama lain yang formal dan tercantum dalam daftar isian
kartu tanda penduduk hanya diberi tanda (“ ”).
Namun jiwa umat Khonghucu begitu semangat walaupun banyak
rintangan yang perlu dihadapinya. Hal itu bukan masalah bagi umat
Khonghucu sehingga mereka tidak mudah menyerah. Umat Khonghucu
semakin semangat dengan adanya larangan kegiatan tersebut, sehingga
timbul dalam pikiran mereka untuk menciptakan misi dan perkembangan
agama Khonghucu.
Keinginan tersebut terwujud pada masa reformasi, dan akhirnya
semua kegiatan diperbolehkan berkat pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid. Pada masa ini dikeluarkan Inpres No. 27 tahun 1998
dan Kepres No. 6 tahun 2000. Inpres No. 14 tahun 1967 dinyatakan dicabut
dan semua ketentuan pelaksanaan yang ada akibat Inpres tersebut
dinyatakan tidak berlaku lagi. Dewan Pengurus Majelis Tinggi Agama
Khonghucu Indonesia (DP. Matakin) melaksanakan arahan presiden tersebut
dengan Surat Nomor 171/MATAKIN/SUI/0505 tanggal 3 Mei 2005 ditambah
dengan surat Komnas HAM Nomor 090/TUA/II/2006 tanggal 26 Februari 2006
yang ditujukan kepada presiden sebagai berikut:
“Dalam masalah hak-hak sipil umat agama Khonghucu, kami telah
mengirim surat kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM,
Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama (Surat Nomor 398/M.
Seneg/6/2006 tanggal 27 Juni 2005 terlampir) untuk menyampaikan
arahan Presiden pada perayaan Tahun Baru Imlek 2556 tanggal 13
Februari 2005 antara lain mengemukakan bahwa dalam memasuki era
baru, era reformasi, pemerintah telah mencabut berbagai peraturan
yang mengandung unsur ketidaksetaraan antar warga negara.
Pemerintah meminta segenap peraturan Pemerintah dari pusat hingga ke
daerah-daerah agar dengan konsisten menjalankan kebijakan
kesetaraan dan menegakkan keadilan yang sebenar-benarnya terhadap
pemeluk agama Khonghucu. Presiden menegaskan bahwa pemerintah
menjamin kemerdekaan pemeluk agama tersebut untuk menjalankan
ibadah agamanya. 2
Hal tersebut telah membawa angin segar dan memberikan
semangat baru bagi masyarakat Cina di Indonesia yang merupakan salah
satu kelompok etnis yang mempunyai hak sama-sama sebagaimana
kelompok etnis lainnya. Indonesia merupakan negara yang plural dalam
berbagai hal; suku, etnis, golongan, budaya, dan agama. Pluralitas ini
sangat disadari sepenuhnya oleh para pendiri bangsa, sehingga muncul
semboyan 'Bhineka Tunggal Ika' yang artinya meski berbeda-beda namun
tetap satu jua yaitu sebagai bangsa Indonesia.
Seperti halnya yang terjadi di berbagai negara yang pluralisik,
masalah pluraltistas biasanya menjadi pisau bermata ganda; di satu sisi bisa
dimanfaatkan untuk menambah daya saing atau kekuatan bangsa itu,
laksana indahnya irama orkes simfoni yang terdiri atas berbagai alat musik.
Sedangkan di sisi lain bisa menjadi alat pemecahan belah yang sangat
ampuh. Demikian juga dengan agama, apabila agama digunakan oleh
2 Yuzril Ihza Mahendra, Menteri Sekretaris Negara, No. B229/M. Sesneg; 3/2006, Hak-Hak
Sipil Umat Agama Khonghucu, (Jakarta: 29 Maret 2006), h. 1.
orang yang mempunyai tujuan negatif, ia bisa menjadi alat pemecah
belah. Namun apabila agama benar dipelajari, dihayati, diamalkan dan
diimani oleh para pemeluknya, maka agama merupakan sesuatu yang
sangat ampuh untuk menyuburkan cinta kasih antara sesama umat manusia
menuju persaudaraan sejati.
Negara Indonesia merupakan negara beragama yang memberikan
legitimasi kepada agama-agama yang berkembang di Indonesia melalui
Undang-Undang Dasar 1945 dan telah menjamin secara konstitusi bagi
agama yang berkembang. Jaminan itu dapat dilihat pada pasal 29 UUD
1945 yang berbunyi :
Ayat ( 1 ) ; Negara berdasar atas ke -Tuhan Yang Maha Esa
Ayat ( 2 ) ; Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya dan untuk beribadah menurut agama dan
kepercayaannya.
Agama yang dianut oleh penduduk di Indonesia ialah: Islam, Kristen,
Hindu, Katholik, Budha, dan Khonghuchu. Hal ini dapat dibuktikan dalam
sejarah perkembangan agama–agama Indonesia karena ( 6 ) agama ini
adalah agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia.
Pada kenyataannya, agama Khonghucu yang dianut oleh minoritas
masyarakat Cina Indonesia mengalami problematika yang membutuhkan
dukungan dan rasa simpatik dari para ilmuwan khususnya ilmuwan
Perbandingan Agama, serta para penganut agama-agama lainnya untuk
mengembangkan sikap toleransi dan kerukunan beragama.
Problematika tersebut sudah menjadi rahasia umum yang terjadi
pada umat Konghuchu dan aliran dan kepercayaan yang berkembang
Indonesia di masa Orde Baru. Di era Reformasi, Khonghucu sebagai sebuah
agama, tentunya mempunyai hak untuk berkembang dan menjalankan
ibadah menurut kepercayaannya.
Untuk itu sesuai dengan latar belakang yang telah diungkapkan
diatas, penulis ingin mengembangkan kajian lebih mendalam melalui
sebuah penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul : "Perkembangan
Agama Khonghucu di Indonesia Pada Masa Reformasi( 1998-2007) (Studi
Kasus pada Masyarakat China Penganut Agama Khonghucu di Tangerang)".
B. Perumusan Masalah
Di era Reformasi semua kegiatan keagamaan yang dilaksanakan
oleh umat Khongcu diperbolehkan dan diakui di Departemen Agama,
sehingga umat Khonghucu berkeinginan untuk mengembangkan misi
Agama Khonghucu. Walaupun di masa Orde Baru umat Khonghucu tidak
merasa nyaman, akan tetapi di masa reformasi merasa nyaman. Semangat
ingin mengembangkan misi Agama Khonghucu terutama di Tangerang
tetap tidak pudar.
Dari latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi satu
permasalaan pokok yang akan penulis bahas melalui pertanyaan penelitian
di berikut ini: Bagaimana perkembangan umat dan misi agama Khonghucu
di Tangerang pada masa Reformasi ?
C. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
analitis, yakni sebuah metode yang menjelaskan masalah-masalah yang
terjadi dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang
hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta
proses-proses yang sedang berlangsung, dan pengaruh-pengaruh dari
suatu fenomena. Penulis dalam hal ini akan menjelaskan dan
menggambarkan serta menganalisa perkembangan agama Khonghucu di
Indonesia khususnya di Tangerang pada masa Reformasi.
Untuk mempermudah penelitian ini, Penulis menggunakan
pendekatan historis (sejarah). Pendekatan historis adalah sebuah
pendekatan yang mengambil latar dari suatu peristiwa masa lalu yang
merupakan sebuah fakta, perubahan dan perkembangannya, sehingga
dengan sejarah dapat diketahui asal usul pemikiran, pendapat tertentu dari
seorang tokoh. 3
Adapun data yang penulis peroleh adalah dari data di lapangan
dan kepustakaan. Dalam penelitian lapangan penulis mendapatkan data
melalui wawancara dan pengamatan langsung untuk memadukan atau
3Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2003), h. 65.
mencari informasi mengenai perkembangan Agama Khonghucu pada
masa Reformasi. Sedangkan data kepustakaan, penulis peroleh dari
beberapa buku primer yang membicarakan sejarah dan perkembangan
agama Khonghucu di Indonesia pada umumnya dan di Tangerang secara
khusus.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku "Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta" yang diterbitkan CeQDA (Center For Quality Development and
Assurance) (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian analisis empirik yang bertujuan untuk
Memberikan gambaran tentang perkembangan umat dan misi Agama
Khonghuchu di Tangerang pada masa reformasi
1. Mencari jawaban dan memberikan gambaran yang rasional dan
empirik (ilmiah) tentang analisis terhadap perkembangan Agama
Khonghuchu di Tangerang pada masa Reformasi.
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini penulis bagi menjadi empat Bab yaitu:
Bab I Pendahuluan berisi latar belakang, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II Pembahasan Teoritis, Sejarah Agama Khonghucu; Sejarah
Lahirnya Agama Khonghucu, Sejarah Perkembangan Agama Khonghucu,
Sejarah Agama Khonghucu di Tangerang..
Bab III Perkembangan agama Khonghucu di Inddonesia pada masa
repormasi, Pengertian reformasi dan kebebasan beragama di Indonesia,
Kebijaan politik tentang agama dan Perkembangan Agama Khonghucu
pada Masa Reformasi.
Bab IV Penutup berisi Kesimpulan dan Saran.
BAB II
PEMBAHASAN TEORITIS
A. Sejarah Agama Khonghucu
1. Sejarah Lahirnya Agama Khonghucu
a. Sebelum Khonghucu lahir
Sejarah memberikan gambaran atau lukisan keadaan
perkembangan agama, bangsa, dan masyarakat, lembaga atau
seseorang pada suatu zaman, yang dapat memahami sejarah,
mengetahui tentang masa lampau dan perkembangannya.
Kita tidak dapat mengetahui seperti apa alam pikiran Cina
sebelum Khonghucu lahir. Kesulitan tersebut karena tidak ada tanda
bukti atau peninggalan secara tertulis yang menceritakan kondisi pada
saat itu. Oleh karena itu, kita hanya dapat meraba-raba alam pikiran
orang Cina sebelum Khonghucu lahir.
Banyak yang telah diketahui mengenai manusia zaman batu
yang hidup di Cina, akan tetapi pengetahuan mengenai peradaban
dan alam pikiran Bangsa Cina tidak begitu banyak diketahui oleh
kebanyakan ilmuwan terutama pada periode kuno.
Pada pusat kota pemerintahan raja-raja Shang sekitar 1.400 SM
terdapat peninggalan inskrip-inskrip singkat tulang dan batu-batuan.
Kota ini merupakan pusat dari suatu peradaban yang cukup maju dan
besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya bangunan-bangunan
yang besar, bejana perunggu yang indah, kain sutra yang ditenun
sempurna, dan banyak lainnya. Mereka merupakan bangsa yang
berbudaya tinggi, namun banyak kitab telah musnah, sehingga
memberi sedikit pengetahuan mengenai upacara-upacara
keagamaan bangsa Cina yang berliku-liku selain organisasi politik yang
luas. Akan tetapi tidak cukup untuk memperoleh banyak pengetahuan
tentang filsafat mereka.4
Tidak banyak yang diketahui mengenai peradaban Bangsa Cina
abad Neolitik/Mitikal (2000 SM) dan abad Dinasti Hsia (abad perunggu
2000-1600 SM). Hal ini sebagaimana yang telah dikemukakan Creel
bahwa tulisan-tulisan mengenai bangsa Cina sekarang ini berasal dari
kota-kota pusat pemerintahan raja-raja Dinasti Shang (1550-1030
SM/1766-1122 SM), dengan ibu kota Anyang sekitar 1.400 SM. Kota ini
merupakan pusat peradaban yang sudah maju. Keadaan di zaman itu
sangat makmur dan tentram serta menjadi buah tutur dan kenangan
manis bagi generasi-generasi belakangan serta diwariskan secara lisan
dari generasi-generasi, sampai kepada masa Khonghucu 551 SM.5
4 H.G.Creel, Alam Pikiran Cina, Terj. Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wancana 1990), h.
11. 5 M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Konghucu di Indoensia (Jakarta: Pelita
Kebajikan, 2005), h. 24.
Rakyat Shang yang berbudaya tinggi ditaklukan (pada tahun
1122 SM menurut penanggalan tradisional) oleh suku liar yang berasal
dari Cina Barat. Para penakluknya ini dipimpin oleh suatu kelompok
yang dikenal dengan nama Chou yang mendirikan Dinasti Chau yang
termasyhur. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam menaklukkan
rakyat Shang dengan kekuatan militer, namun mereka banyak
mengalami hambatan ketika akan mempertahankan wilayahnya.
Beberapa tahun setelah terjadinya penaklukan tersebut, Raja
Chou meninggal. Putranya dinobatkan sebagai penggantinya, namun
kondisi kerajaan menjadi lain. Ia terlampau muda untuk dapat
memerintah secara tegas sesuai dengan yang dibutuhkan oleh
keadaan, maka kemaharajaan mulai terpecah-pecah. Akan tetapi
kondisi yang tidak mengutungkan ini terselamatkan setelah diambil
kekuasaannya oleh pamannya. Semula raja yang masih muda mengira
bahwa dirinya akan dibunuh, tetapi rasa kehawatiran itu tidak
terlaksana karena pamannya masih menaruh perhatian. Setelah
kerajaan Chou kembali pada posisi normal, wali raja ini kembali lunak
dan ia belaku arif serta mau diajak damai. Setelah tujuh tahun ia
memerintah, ia mengembalikan kekuasaanya pada raja yang masih
muda untuk memimpin kerajaan Chou.6
Meskipun kerajan Chou hidup berabab-abad sebelum
Khonghucu, namun bangsa Cina sangat menghormatinya. Tidak hanya
6 Tanggok, Mengenal Lebih Dekat., h. 1-2.
itu, sebagian orang Cina memandangnya lebih tinggi dari Khonghucu.
Pada masa raja-raja Shang dan Chou kebudayaan mempunyai
peranan penting dalam kehidupan suku bangsa Cina.7
Suasana kemelut, kesewenangan pihak penguasa, kehidupan
yang pahit, keamanan diri yang tidak terjamin di masa sesudah Dinasti
Chou membuat orang mengenang kembali akan zaman silam yang
aman dan makmur itu. Nilai-nilai yang berkembang pada zaman itu
dipandang sebagai kebenaran-kebenaran yang mutlak yang harus
dipulihkan. Kaum Bangsawan saling bersaing dan berbuat sekehendak
hati mereka sendiri sehingga timbullah keadaan yang persis sama
dengan keadaan di Palestina sewaktu zaman para hakim tidak ada
raja di Israil dan setiap orang melakukan apa yang dipandangnya
baik.8
Pada masa berkuasanya Dinasti Chou dan Shang, hampir setiap
kehidupan dikuasai oleh kaum ningrat secara turun menurun. Menurut
keluarga kerajaan, raja-raja Chou merupakan keturunan dari leluhur
yang bernama Hoi Chi. Secara harfiah kata tersebut dapat diartikan
sebagai "Miller Ruler" atau lebih tepat seorang dewa pertanian. Cerita
rakyat Shang dan Chou yang menarik ini bukan hanya cerita tentang
dewa pertanian, namun mereka menganggap bahwa setelah
meninggal, para ningrat yang agung dipandang kembali ke surga dan
7 Joesoef Sou'yb, Agama-agama Besar Di Dunia (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1996), Cet-ke
3, h. 175 8 Huston Smith, Agama-agama Manusia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1990), h. 194.
dari sini mereka dapat mengawasi perjalanan anak cucu mereka di
dunia. Tidak hanya itu, mereka juga dipandang dapat memberi
kemakmuran dan kemenangan dalam peperangan. Dengan demikian
bangsa Cina sebelum lahirnya Khonghucu sudah mengenal
kepercayaan kepada Ti (Tuhan atau Dewa tertinggi).
Ti bagi masyarakat Cina pada waktu itu merupakan suatu
kekuatan yang dapat menyatu dengan manusia yakni para kaisar
(Raja). Dalam hal ini, Raja sangat dihormati dan bahkan ditakuti oleh
rakyat sebab diyakini sebagai wakil Tuhan di Bumi. Pada akhirnya raja-
raja purba sebelum lahirnya Khonghucu dianggap sebagai penguasa
serta pembawa ajaran Tuhan. Tampak jelas kiranya bahwa sebelum
lahirnya Khonghucu telah ada nabi-nabi atau raja-raja suci purba yang
diturunkan oleh Tuhan untuk menjaga hubungan harmonis antara
sesama manusia dan Tuhan. Di samping itu, mereka juga mencegah
terjadinya penyelewengan yang menyebabkan tidak ada kedamaian
dan menimbulkan stres serta menurunnya moralitas dan etika.
Khonghucu lahir di kota Tsou, di negeri Lu. Menurut Yoesoef
Soe'yb, lima belas tahun setelah peristiwa di negeri Lu, Khonghucu
bersama muridnya terus mengembara untuk mengajarkan moral,
namun tidak diterima di negeri manapun.
Khonghucu merupakan seorang yang bermoral dan sangat
menjujung tinggi nilai-nilai moral. Jika ia melihat seseorang yang tingkah
lakunya melanggar norma-norma moral, maka ia tidak segan-segan
untuk ikut memperbaikinya. Khonghucu sangat prihatin melihat
kehidupan masa itu, dimana mereka banyak yang senang berfoya-
foya dan bermabuk-mabukan.
Khonghucu adalah nabi besar dan tokoh yang
menyempurnakan ajaran leluhur Cina sebelumnya. Dia tidak sekedar
membawa ajarannya sendiri, melainkan agama yang telah diturunkan
Thian (Tuhan Yang Maha Esa). Setelah ia puas dengan kehidupan
mengembara dan menyebarkan ajarannya, Konghucu wafat pada 479
SM. Ajarannya dilanjutkan oleh cucunya,Tzu-Szu serta tokoh-tokoh yang
lain seperti Meng Tze (372-289). Meng Tze adalah seorang komentator
pada masa itu. Dua setengah abad sepeningal Kung Fu Tze terbentuk
dinasti Chin (221-207 SM), dengan ibu kota Hsien dan yang berkuasa
adalah kaisar Shin Hwang Ti (221-210 SM) yang membangun tembok
besar Cina (Geat Wall). Karena ia ingin melenyapkan kenangan
kepada kebesaran masa silam dan memulai sejarah kebesaran
Tiongkok, ia pun memerintahkan untuk mengumpulkan dan membakar
seluruh karya Khonghucu pada setiap penjuru Tionghoa. Ia memerintah
dengan tangan besi serta dengan kekuasaanya, ia menuruti ajaran
legalitas di bawah pimpinan Li Szu. Dari dinasti Chin itulah bermula lahir
sebutan: Cina (China).
Sepeninggal dinasti Chin, ajaran Khonghucu berkembang
kembali di seluruh Tiongkok yang disebarkan oleh Men Tze. Men Tze
menjabarkan lima asas susila berikut ini :
a. Jen (bersikap asih) yaitu hasrat untuk melakukan hal-
hal yang membawa kebajikan bagi bawahan.
b. /. (bersikap adil) yakni jangan melakukan perbuatan
yang tidak disenangi bawahan atau untuk orang lain melainkan diri
sendiri.
c. /.i (bersikap ramah terhadap bawahan), yakni
jangan bersikap angkuh sombong dan congkak.
d. Chin (berikap bijaksana), yakni menetapkan sesuatu
keputusan berdasarkan atas pengetahuan dan hikmah.
e. Hsin, bersikap jujur, karena tanpa kejujuran pihak
yang berkuasa akan rusak.9
Sedangkan di dalam buku Mengenal Lebih Dekat Agama
Khonghocu di Indonesia, Wu Chang (lima sifat yang mulia) terdiri dari:
a. Ren/Jin: cinta kasih, rasa kebenaran,
kebajikan, tahu diri, halus budi pekerti (sopan santun) rasa tepo seliro
serta dapat menyelami kebenaran.
b. I / Gi, yaitu; rasa solidaritas, senasib,
sepenanggungan dan rasa menyelami kebenaran.
c. Li atau Lee: yaitu sopan santun, tata karma,
dan budi pekerti.
d. Ce atau Ti, yaitu: Bijaksana atau
kebijaksanaan (wisdom), pengertian dan kearifan.
9 Sou'yb, Agama-agama Besar di Dunia, h. 177.
e. Sin: kepercayaan, rasa untuk dapat
dipercaya oleh orang lain serta dapat memegang janji.10
Walaupun Khonghucu telah meninggal, ajarannya masih
berkembang dan dirasakan masyarakat Cina hingga sekarang.
Namanya dikenal didunia dan ajarannya pun tetap dipraktekkan. Ia
adalah seorang guru yang bijaksana yang mengajarkan kepada
murid-muridnya tentang arti kehidupan, serta mampu merubah pola
pikir masyarakat Cina. Dalam hidupnya, ia lebih menekankan belajar,
karena dengan belajar seseorang akan mendapatkan pengetahuan
yang banyak dan bisa mengikuti perkembangan zaman.11 Bagi
Khonghucu, keberhasilan seorang pemimpin bukan diukur dari
kekuasaan tetapi yang lebih penting adalah akhlak yang mulia.
2. Sejarah Perkembangan Agama Khonghucu di
Indonesia
Pendekatan sejarah kiranya merupakan pendekatan terbaik
untuk membicarakan serta menyoroti "masalah Cina", karena
menempatkannya pada tempat serta proporsi yang sebenarnya.
Dengan melihat masa lampau dimana masalah ini timbul dan
10 Tanggok, Mengenal lebih Dekat, h. 68. 11
Tanggok, Mengenal lebih Dekat, h. 21-24.
berkembang kepada masa yang akan datang, masalah ini sudah harus
diselesaikan sesuai dengan cita-cita tentang kebangsaan, yaitu
kesatuan dan persatuan bangsa yang bersifat Bhineka Tunggal Ika
berdasarkan Pancasila.
Para sarjana menemukan bahwa pada zaman akhir pra sejarah
terdapat sejenis bangsa Melayu purba di Indo Cina (300 M). Bangsa
tersebut berkebudayaan Neolithicum. Inilah yang kemudian
dikembangkan mereka hingga menjadi satu kebudayaan sendiri, yang
oleh para ahli prasejarah dinamakan kebudayaan Dongson
(Thongson/Tengswa).
Di Indonesia kedatangan agama Khonghucu diperkirakan sejak
zaman akhir prasejarah dengan diketemukannya benda prasejarah
seperti kapak sepatu yang terdapat di Indo Cina, dan tidak terdapat di
Indonesia dan Asia kecil. Hal ini menunjukan telah terjadi hubungan
antara kerajaan-kerajaan yang terdapat di daratan yang kini disebut
Tiongkok dengan Indonesia. Namun dengan proses akulturasi yang
terjadi dengan lancar menunjukan bahwa kedatangan bangsa
Tiongkok dapat diterima tanpa hambatan.
Di Tiongkok sejak tahun 136 SM, Khonghucu ditetapkan di
sebagai agama resmi, maka dengan demikian orang-orang Tionghoa
datang ke Indonesia membawa sistem dan nilai-nilai religius agama
Khonghucu yang mempunyai arti : yang taat yang lembut hatinya. Di
Indonesia kita menyebut ji, dikarenakan mengikuti istilah yang
digunakan para sajana barat. Pada abad ke -17 sebutan resmi bagi
agama Kong Fu ji adalah agama Ru (Ru jiao). Kong Fu Zi diambil dari
ejaan pin yin yang merupakan ejaan baku bahasa Mandarin. Agama
Kong Fu Ji atau Khonghucu sangat dikenal di Indonesia yang diambil
dari dialek Hokkian (Fujian). Dialek Hokkian berkembang di kalangan
orang Indonesia yang keturunan Cina di pulau Jawa.
Agama Khonghucu pernah diakui sebagai salah satu agama
yang diikuti oleh penduduk bangsa Indonesia sebagaimana
pemerintah nyatakan. Kondisi politik pada saat itu tidak
menguntungkan bagi orang Cina, karena kuatnya pemerintah pada
masa Orde Baru. Keluarnya surat Edaran Menteri dalam Negeri No.
477/74054/BA.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 mengakibatkan
agama Khonghucu tidak jelas statusnya di Indonesia. Banyak penganut
Khonghucu pindah ke agama lain seperti Kristen, Katolik dan Buddha,
padahal kedatangan orang-orang Tionghoa di Indonesia tidak
menimbulkan kesukaran fisik dan mental.12 Telah terjadi proses tukar
menukar nilai-nilai budaya, sehingga tercapai satu tingkat akulturasi
yang sempurna. Selain itu telah terjadi peraturan dan penyesuaian
unsur-unsur religius dan aspek-aspek seremoni di antara agama.
Dari masa ke masa sebelum masa Orde Baru, ajaran Khonghucu
tumbuh dan berkembang dengan berdirinya tempat peribadan
agama Khonghucu, seperti rumah abu untuk menghormati arwah
12 Tanggok, Mengenal Lebih Dekat., h. 1.
leluhur dan kelenteng-kelenteng yang terdapat di berbagai penjuru
tanah air. Hal ini memberi bukti adanya perkembangan Khonghucu di
Indonesia sejak tahun 1688. Kelenteng Thian Ho Kiong dibangun di
Ujung Pandang pada tahun 1819 dan kelenteng Ban Hing Kiong
didirikan di Manado. Sedangkan rumah abu Kong Tik Su di Manado
didirikan pada 1839. Kelenteng tua lainnya antara lain terdapat di
Ancol Jakarta, Tuban, Rembang dan Lasem. Pada 1883 di Surabaya
dibangun klenteng Khonghucu dan dibina oleh Majelis Agama
Khonghucu Indonesia (Makin) Surabaya.
Kurang lebih tahun 1729 terdapat pula sebuah lembaga
Khonghucu yaitu semacam pesantren yang terletak di Jakarta dengan
nama Bing Sing Su Wan, artinya kitab/ Taman pendidikan. Kemudian
pada tahun 1886 di Jakarta diterbitkan Kitab Hikayat Khonghucu yang
disusun oleh Lie Kim Hok. Pada tahun 1900 di Sukabumi diterbitkan Kitab
Thay Hak (ajaran Besar) dan Tiong Yong (tegak sempurna) yang disusun
oleh Tan Bing Tiong. Kedua kitab tersebut dicetak dalam bahasa lama
(orang Belanda menyebutnya waktu itu 'Bahasa Melayoe'). Buku ini
adalah upaya pertama dalam memperkenalkan Khonghucu di
kalangan para pembaca bahasa Melayu. Bahkan yang lebih tua lagi
adalah pada tahun 1897 di Ambon, Maluku, telah dicetak kitab Suci
Thai Hak, Tiong Yong dan Ziaojing (kitab Haww King) yang
diterjemahkan dalam bahasa Melayu.
Dalam perkembangan lebih lanjut, untuk mengokohkan
organisasi yang bersifat lembaga agama, maka didirikan Khong Khauw
Hwee-Khong Khauw Hwee atau Majelis-majelis Agama Khonghucu. Di
Solo diresmikan pada tahun 1918, juga di tempat-tempat lain seperti
Bandung, Bogor, Malang, Ciamis dan lain-lain. Kemudian pada Tanggal
12 April tahun 1923 diselenggarakan Kongres di Yogyakarta, pada saat
itulah diadakan musyawarah dalam rangka membentuk Badan pusat
Khong Kauw Hwee di Bandung.
Pada tanggal 25 September 1924 di Bandung, diadakan kongres
dengan tujuan untuk menyempurnakan tata agama dan peribadatan
yang dahulu pernah dirintis Tiong Hwa Hwee Koan. Kegiatan Khong
Khauw Tjong Hwee menjadi beku, baru pada zaman pendudukan
Jepang peranan Khong Khauw Tjong Hwee sebagai pusat lembaga
agama Khonghucu bangkit kembali pada tahun 50-an dan lahir
kembali dengan wajah baru pada konferensi di Solo pada tanggal 16
April 1955 dengan nama perserikatan Khonghucu Chiao Hui Indonesia.
Sejak tahun 1967 sampai kini berganti nama menjadi MATAKIN atau
Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia. Kemudian pada tanggal 20-
23 diadakan Konferensi di Tangerang untuk membicarakan mengenai
tata agama, tata cara ibadah dan merealisasikan UU perkawinan.
Pada saat itu ketua Matakin di Tangerang, Suryo Utomo.13
13 Wawancara Pribadi dengan Ws. Asyuntapura (Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu
Indonesia) Tangerang, 25 September 2008.
Pada tanggal 25 September 1938 di Solo diadakan konferensi
pengembangan Khong Kauw Hwee di seluruh Jawa. Dua bulan setelah
diadakan konferensi Khong Kauw Hwee di Solo pada tanggal 1939,
diadakan perayaan bersama dalam rangka ulang tahun Khong Kauw
Hwee di Jawa. Pada tanggal 24 April 1940 kembali digelar konferensi
dan menghasilkan beberapa kesepakatan, di antaranya: pertama
harus berdasarkan kitab suci dan semua murid di sekolah Khong Kauw
Hwee supaya diberikan pelajaran agama dari kitab suci; kedua, hal-hal
yang berhubungan dengan upacara perkawinan dan kematian agar
disesuaikan dengan budaya Indonesia.
Ada sebagian orang yang kurang mendorong perkembangan
agama Khonghucu di Indonesia antara lain adalah, pertama orang
Cina tidak mampu bahasa Cina. Kedua, gerakan Islam mengalami
kemajuan di kalangan warga keturunan Cina. Ketiga, orang Cina totok
kurang tertarik dengan ajaran Khonghucu. Keempat, iklim politik di
Indonesia kurang menguntungkan bagi perkembangan agama
Khonghucu. Kelima, orang Cina tidak dapat memperoleh pendidikan di
sekolah, karena sekolah Cina ditutup pada saat itu. Pemerintah
terpaksa tidak mengakui agama Khonghucu sebagai agama pada
tanggal 27 Januari 1979 dan pernyataan ini diperkuat dengan ucapan
H. Tarmizi Taher.14 Namun pada zaman reformasi tampaknya agama
Khonghucu mempunyai peluang yang lebih baik, bahkan Departemen
14 Mely G. Tan, Etnis Tionghoa Di Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h.
202-203.
Agama mengakui 6 agama, yaitu agama Islam, Katolik, Protestan,
Hindu, Budha, dan Khonghucu.15 Kemudian diadakan seminar yang
menyangkut keberadaan Khonghucu di Indonesia terutama di IAIN
pada pada tahun 1998 di Jakarta.
Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
(Gusdur), Agama Khonghucu mulai mendapat angin segar. Hal ini
dapat dilihat dari pertemuan Gusdur dengan tokoh-tokoh agama di
Bali (Oktober 1999), dan dalam pertemuannya dengan Masyarakat
Cina di Beijing (November 1999). Khususnya di kota Tangerang, semua
kegiatan dapat dilaksanakan dengan baik, seperti Kompetisi Barongsai
ASEAN di Junction, BSD City yang diikuti oleh beberapa negara di
antaranya Malaysia, Indonesia, dan Hongkong. Jadi sudah jelas bahwa
pada masa Reformasi sudah tidak ada larangan dari pihak manapun.16
Angin segar bagi agama Khonghucu ini tidak pernah dijumpai pada
masa Orde Baru, namun pada masa Reformasi umat Khonghucu dapat
memanfaatkan hak-haknya hingga sekarang.
Satu hal yang membuat umat Khonghucu di Indonesia ini
mempunyai harapan besar terhadap masa depan agamanya adalah
dengan dicabut Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967 oleh
pemerintah Gusdur yang pada akhirnya umat Khonghucu berlega hati.
Sebelum pencabutan Inpres tersebut, umat Khonghucu tidak
15 Seri Prisma, Agama Dan Tantangan Zaman ( Jakarta: LP3ES, 1985), h. 113-115.
13
“ Kompetisi Barongsai, '' Radar Serpong, Rabu,10 Desember 2008, h. 3.
merayakan tahun baru Imlek secara terbuka dan hanya diperbolehkan
di rumah atau lingkungan masing-masing. Namun ketika Inpres tersebut
dicabut umat Khonghucu di Indonesia dengan lega dapat merasakan
tahun baru Imlek secara terbuka dan tidak ada batasan dalam
lingkungan sendiri.17
Setelah dicabut Inpres No. 14 tahun 1967 (pada bulan Februari
2000), Menteri Dalam Negeri mencabut Surat Edaran tahun 1978
tentang agama yang lima, sehingga tidak ada lagi dokumen resmi
pemerintah yang mengatakan agama yang diakui hanya lima. Oleh
karena itu pemerintah sudah mengakui 6 Agama yaitu: Islam, Kristen,
Katolik, Buddha, Hindu, Khonghucu. Setelah dicabutnya surat Edaran
Menteri Dalam Negeri ini, maka pemerintah tidak mempunyai
kewenangan apapun untuk menentukan mana agama yang resmi dan
mana yang tidak resmi.18
Pada perayaan Tahun baru Imlek Nasional 2557 di Jakarta
Convention Center, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam
sambutannya telah menegaskan bahwa bangsa Indonesia saat ini
tidak ingin bersikap diskriminasi. Oleh karena itu presiden dalam
sambutannya mengingatkan kembali penetapan Presiden No 1 Tahun
1965 yang diundang-undangkan melalui undang-undang Nomor 5
17 Wawancara Pribadi dengan Ws, Asyuntapura, (Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu
Indonesia) Tangerang, 29 September 2008. 18
Chandra Setiwan, “Hak-Hak Sipil Pengalaman Agama Khonghucu,” dalam Martin L
Sinaga (ed.), Bincang Agama di Udara, Fundamentalisme, Pluralisme, Peran Publik Agama (Jakarta:
Radio Pelita Kasih, 2005), h. 277.
Tahun 1969 bahwa agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan
Khonghucu merupakan agama yang dipeluk penduduk Indonesia.
Dengan perkembangan ini warga Tionghoa penganut Khonghucu
menyambut gembira. Umat Khonghucu menyatakan kegembiraannya
dengan memasang iklan ucapan terima kasih di beberapa koran. Umat
Khonghucu sudah bosan dengan aneka bentuk diskriminasi dan
merindukan sebuah harmoni sehingga semua etnis di negeri ini bisa
hidup rukun, saling menghormati keberadaan masing-masing dan
bebas memeluk agama yang dianut. Selain itu yang lebih penting
adalah permintaan Presiden kepada kantor catatan sipil di Indonesia
untuk mencatat perkawinan bagi pemeluk Khonghucu seperti
pencatatan perkawinan agama lainnya.
3. Sejarah Agama Khonghucu di Tangerang
Presiden sudah menetapkan No. 01/1965 yang dengan jelas
menyatakan bahwa agama yang dianut oleh penduduk Indonesia
adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Tetapi
pada kenyataannya Agama Khonghucu yang dianut oleh minoritas
masyarakat Cina mengalami problematika. Pada saat itu sangat
membutuhkan perhatian dan rasa simpatik dari para ilmuan, namun
setelah masuk masa reformasi, keinginan untuk mengembangkan
agama Khonghucu tercapai dengan adanya mahasiswa, khususnya
Jurusan Perbandingan Agama yang sangat membantu Perkembangan
Agama yaitu Khonghucu.
Menurut Dewan Kerohanian Matakin, hampir tiga puluh dua
tahun umat Khonghucu Indonesia merasa terbuang dari saudara-
saudaranya pemeluk agama lain. Sejak tiga puluh dua tahun umat
Khonghucu harus mengalami berbagai kenyataan pahit yang sangat
memperihatinkan pada saat itu. Di antaranya peristiwa pengapusan
mata pelajaran agama Khonghucu sejak dikeluarkannya kurikulum
pendidikan Sekolah Dasar. Peristiwa ini mengakibatkan para siswa
dipaksa mengikuti pelajaran pendidikan agama lain demi memenuhi
tuntutan kurikulum yang berlaku, bahkan sering dipaksa mengaku
beragama lain dengan alasan bahwa Khonghucu bukan agama atau
agama yang tidak diakui atau agama tidak resmi dan sebagainya.
Agama Khonghucu dikait-kaitkan dengan Inpres No.14/1967 yang pada
akhirnya tidak diijinkan merayakan hari-hari sucinya di depan
masyarakat umum. Lembaga atau majelis-majelis agama Khonghucu
tidak dibenarkan dan tidak diizinkan menyelenggarakan kegiatan yang
bersifat formal.
Penyelenggaraan kongres atau konferensi dan pertemuan yang
sejenispun dibatalkan izinnya atau tidak diberi izin sama sekali. Di dalam
Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang berfungsi sebagai identitas diri. Umat
Khonghucu tidak dibenarkan dan tidak diizinkan menyebutkan dirinya
beragama Khonghucu tetapi diharuskan mengaku beragama lain yang
formal dan tercantum dalam daftar isian permohonan kartu penduduk,
atau hanya diberi tanda ("_") seolah-olah tidak memeluk sesuatu
agama. Bahkan ada salah satu perguruan tinggi yang memaksa
seorang calon dokter yang memeluk agama Khonghucu agar bersedia
melakukan sumpah jabatannya dengan memilih salah satu agama
yang dianggap resmi. Untungnya tidak semua, bahkan sebagian besar
perguruan tinggi tidak berbuat hal demikian.
Hal yang lebih memprihatinkan adalah bahwa Kantor Catatan
Sipil yang bertugas mencatat perkawinan sebagaimana yang
ditentukan dalam Undang–undang RI No. 01/1974 tentang perkawinan,
ternyata tidak bersedia dan menolak mencatat perkawinan menurut
tata cara/hukum bagi umat Khonghucu. Kalau tidak bersedia
melakukannya maka dikategorikan "kumpul kebo" atau melanggar
undang-undang perkawinan. Maka untuk mendapatkan pelayanan di
Kantor Catatan Sipil, mereka harus bersedia mengaku beragama lain
dan menikah menurut agama yang formal atau resmi, atau mohon
belas 'kasihan' lembaga agama yang resmi agar mau menerangkan
bahwa kedua mempelai tersebut sudah melakukan perkawinan
menurut agama tersebut. Terakhir yang tidak kurang memperhatikan
bagi umat Khonghucu adalah mereka yang masih berstatus asing bila
ingin mengikuti kemudahan kewarganegaraannya, diwajibkan
mengaku beragama salah satu agama yang dianggap formal.19
Agama Khonghucu telah memasuki babak baru dalam
kehidupan ini dengan penuh harapan. Akan tetapi kebahagiaan ini
agak terusik dengan penolakan Kantor Catatan Sipil (KCS) untuk
mencatat perkawinan yang telah sah menurut Agama Khonghucu
sesuai dengan syarat dalam UU perkawinan No. 01/1974. Hal ini
diketahui saat mendaftarkan pernikahan dengan membawa surat-surat
yang telah disyaratkan pada tanggal 1 Agustus 1995. Penolakan ini
dengan alasan bahwa agama Khonghucu dianggap bukan agama
yang diakui dan dibina Departmen Agama. KCS mengajukan dua
alternatif yaitu mengganti surat nikah dengan agama lain dan
mengaku beragama salah satu agama "resmi" pemerintah. Alternatif ini
ditolak oleh umat Khonghucu mengingat harus mengikuti dan
mengulangi lagi ritual agama lain yang tidak dimengerti dan diyakini
sama sekali. Sedangkan anjuran kedua adalah MAKIN (Majelis Agama
Khonghucu) mengeluarkan surat agar menghilangkan kata "Agama"
dalam stempel MAKIN dan supaya tertulis "Majelis Khonghucu
Indonesia" tanpa agama di depan kata “Khonghucu”, jadi stempel dan
kop surat nikah harus diganti.20
19 Wawancara pribadi dengan Andri (umat Khonghucu), Tangerang, 9 Februari 2009. 20
Wawancara Pribadi dengan Ws, Asyuntapura.
Untuk memberi gambaran mengenai sejarah agama Khonghucu
di Tangerang, pada tahun 1910, di Solo didirikan Khong Kaw Hwee
sebagai lembaga Agama Khonghucu pertama. Pada tanggal 12 April
tahun 1923, diadakan kongres pertama Khong Kaw Hwee (lembaga
pusat Agama Khonghucu) di Yogyakarta dengan kesepakatan memilih
kota Bandung sebagai pusat kegiatan seluruh umat Khonghucu
Indonesia pra-kemerdekaan. Pada tanggal 25-26 September 1924, di
Bandung diadakan kongres kedua yang membahas tentang
penyeragaman tata agama Khonghucu di seluruh nusantara. Pada
tanggal 16 April, di Solo diadakan kongres ketiga. Pada saat itu
lembaga Khong Kaw Hwee berubah namanya menjadi MATAKIN,
kemudian pada Tahun 1963 diselenggarakan kongres yang keempat di
Ciamis yang membahas tentang kerohaniwan, namun pada saat itu
belum ada keputusan tentang kerohaniwan, sehingga baru ada pada
tanggal 5-6 Desember pada tahun 1964 dan diresmikan di Tasikmalaya.
Pada tanggal 20-23 Desember pada tahun 1975 diadakan MUKERSIN
(Musyawarah kerja Nasional seluruh Indonesia) di Tangerang yang
membahas mengenai kerohaniwan dengan tujuan menyempurnakan
tata agama, tata cara ibadah, mengatur mengenai keimanan dan
pengajaran Khonghucu, kebatinan dan tentang perealisasian
perkawinan.21
21 Wawancara Pribadi dengan Ws, Asyuntapura.
Jelaslah bahwa keberadaan Agama Khonghucu di Tangerang,
jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka. Akan tetapi perkembangan
Agama Khonghucu resmi melembaga di Tangerang baru terbentuk
pada tanggal 20 Desember tahun 1975, dengan nama MAKIN (Majelis
Agama Khonghucu) sebagai penggantian nama lembaga pusat
agama Khonghucu dan sekarang menjadi MATAKIN (Majelis Tinggi
Agama Khonghucu Indonesia).
Tanggal 20 Desember 1975 adalah tanggal yang bermakna
ganda bagi umat Khonghucu di kota Tangerang yang berarti ajaran
Khonghucu tidak abstrak dan berpencar-pencar. Tanggal ini adalah
rentan waktu 35 tahun yang memiliki bobot istimewa dan sarat prestasi
(kendati organisasi agama Khonghucu di Tangerang tidak terlepas
Kong kauw Hwee). Bukan hanya tanggal yang bermakna ganda
namun tiap tokoh yang berkecimpung dalam kelembagaan ini
diperingatkan bahwa peranan adalah ambivalensi antara kepentingan
sosial verus keluarga yang merupakan tanggung jawab pribadi.22
Lepas dari masalah pribadi, Jl. Kisamaun No. 145 Tangerang
adalah panggung sejarah semua rasa pahit, getir, dan manis. Di sinilah
tokoh-tokoh lahir kembali, generasi satu hilang namun generasi
berikutnya datang sehingga sekarang banyak generasi pemuda yang
belajar tentang agama Khonghucu. Bagi umat Khonghucu, Gusdur
dianggap sebagai Dewa penyalamat karena mencabut Instruksi
22 Wawancara Pribadi dengan Victor (driver), Tangerang, 10 Februari 2009.
Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat
istiadat Cina. Penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan,
dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin hingga
berlangsung sampai masa sekarang. Hal ini ditetapkan di Jakarta pada
tanggal 17 Januari 2000. Kemudian Amin Rais, pada saat penutupan
sidang umum MPR 1999, telah mengajak semua umat beragama
termasuk yang beragama Khonghucu untuk berdoa atas keselamatan
bangsa Indonesia.
Umat Khonghucu telah merasakan hak-haknya setelah masuk
masa Reformasi hingga sekarang. Namun umat Khonghucu tidak
pernah merasakan hak-hak sipilnya pada masa Orde baru, oleh karena
itu umat Khonghucu menganggap Gusdur sebagai Dewa penyalamat
bagi umat Khonghucu.
Pada masa Reformasi tidak ada diskriminasi di pemerintah pusat
atau daerah, karena elemen masyarakat dan pemerintah sudah
mengakui agama Khonghucu di Indonesia. Pada tahun 70-an ada
peraturan yang menimbulkan diskriminasi tentang agama, terutama
agama Khonghucu yaitu dengan munculnya Inpres Nomor 14 Tanun
1967. Bagi umat Khonghucu inilah akar masalahnya. Sebetulnya dalam
Inpres itu tidak ada satu kata pun mengenai Khonghucu, tetapi
implementasinya pada akhirnya penekan ditujukan kepada umat
Khonghucu. Oleh karena itu bagi umat Khonghucu Gusdur sebagai
dewa penyelamat, karena mencabut Inpres tersebut. Pada masa
pemerintahan Gusdur hingga sekarang, umat Khonghucu khususnya di
Tangerang merasa berlega hati dan semua kegiatan diperbolehkan
dari masa Reformasi hingga sekarang.23
Pemerintah Tangerang sudah mencatat pernikahan pemeluk
agama Khonghucu yang berdasarkan undang-undang Nomor 5 Tahun
1965 yang diperkuat oleh peraturan Presiden Tahun 1969 bahwa
agama Khonghucu merupakan salah satu agama yang diakui oleh
pemerintah hingga sekarang. Menurut Asyuntapura, di dalam kartu
keluarga dan kartu pendudukpun agama Khonghucu sudah
dicantumkan oleh warga Tangerang.24
B. Agama Khonghucu Pada Masa Reformasi
1. Pengertian Reformasi
Reformasi secara bahasa adalah perubahan pada proses
bergulirnya sejarah perpolitikan Indonesia. Masa reformasi di Indonesia
terjadi setelah bergulirnya pemerintahan Orde Baru oleh Presiden
Suharto. Presiden Suharto telah memimpin bangsa Indonesia selama 32
tahun dan telah banyak mengeluarkan keputusan yang sangat
menyakitkan bagi warga etnis Tionghoa. Setelah masa pemerintahan
Suharto, Orde Baru berubah menjadi masa Reformasi. Masa ini mulai
23Wawancara Pribadi dengan Ws, Asyuntapura, (Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu
Indonesia) Tangerang, 25 September 2008 24 Wawancara Pribadi dengan Ceng Eng (Pengamat Budaya Tangerang) Tangerang, 26
Desember 2008.
dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie dan diteruskan oleh Abdurrahman
Wahid, Megawati Soekarno Putri, dan yang sekarang Susilo Bambang
Yudhoyono.
Sebutan Khonghucu merupakan istilah pengikut ajaran Kong Fu
Tse di Indonesia terutama orang-orang Tionghoa yang telah melakukan
migrasi keluar Negara Cina. Tapi di negara barat dikenal dengan istilah
Confucianisme yang berarti faham yang mengikuti ajaran Kun Fu Tse.
Tapi kalau dilihat dari aspek teologi ternyata ajaran yang dibawa oleh
Kong Fu Tse belum bisa dikategorikan sebagai agama, karena tokohnya
tidak banyak mengungkap masalah ketuhanan, melainkan fokus pada
misi moralnya yakni masalah budi perkerti tentang tata susila atau tata
krama dalam kehidupan sosial.25
Ajaran Khonghucu sangat diterima oleh penduduk Indonesia. Hal
ini dibuktikan dengan banyaknya mitologi dan tata cara peribadatan
kelompok keagamaan yang dilengkapi para pengikutnya. Menurut
Asyuntapura, ajarannya menyangkut mempercayai terhadap hal gaib,
yakni mempercayai nenek moyang/leluhur dan sangat menjujung tinggi
etika serta upacara dalam hidup masyarakat, serta sangat
mementingkan kehidupan mental. Hal ini selaras dengan ajaran etika
dalam setiap agama.
25 Bahri Ghajali, Studi Agama-Agama Dunia Bagian Agama Non Semitik (Jakarta: CV.
Pedoman Ilmu Jaya, 1994), h. 60.
Masa reformasi memberikan keberanian umat Khonghucu untuk
mengembangkan diri. Surat edaran yang mencabut Inpres No 14 Tahun
1967 membuat umat Khonghucu berlega hati. Pemerintah daerah,
Kantor Catatan Sipil sejak dari kecamatan, mulai timbul keberanian. KTP
dan perkawinan sudah berstatus Khonghucu. Di samping itu,
Departemen Agama setempat kooperatif, dalam arti, mereka sudah
diakui keberadaannya bahkan mereka ikut membina forum komunikasi
antar umat beragama yang berjumlah enam agama.26
Namun hal ini berbeda dengan Orde Baru yang mana semua
kegiatan umat Khonghucu terbatas seperti kita ketahui bahwa pada
tahun 1967 muncul Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Inpres ini menurut umat
Khonghucu yang menjadi akar masalahnya.
Walaupun begitu peninggalan bersejarah seperti bangunan kuno
masih yang berarsitek Cina yang sudah berusia 400 tahun bisa dijumpai
di Tangerang. Meski sangat tua, namun bangunan ini masih berdiri kokoh
di atas lahan seluas 2,5 hektar dengan luas satu hektar. Di sekeliling
bangunan itu berdiri rumah-rumah kopel atau asrama mantan tentara
komando Distrik militer. Pada zaman dulu rumah itu dimiliki oleh Jho Peng,
seorang mandor keturunan Cina yang mendapatkan kepercayaan
26 Wawancara Pribadi dengan Ceng Eng (Pengamat Budaya) Kamis 24 September 2008.
penuh mengurusi pabrik dan pohon karet oleh pemerintah, dan kini diisi
oleh keluarga Jho Peng27,
Pada masa Orde Baru masyarakat keturunan Tionghoa lebih suka
berwiraswasta dibandingkan menjadi birokrat. Menurut pemerhati
kebudayaan Tionghoa di Tangerang Oey Tjin Eng, selama ini masyarakat
Tionghoa tidak mempunyai kesempatan untuk bergabung ke dalam
Birokrasi, mulai dari pemerintahan sampai kepolisian. Kondisi ini jauh
berbeda ketika sebelum Orde Baru, karena banyak warga keturunan
yang ikut kegiatan birokrasi, seperti menjadi polisi hingga sampai duduk
di pemerintahan bisa diperkirakan 50 persen. Sekarang hampir tidak ada
satupun warga keturunan Tionghoa yang ikut kegiatan birokrasi.28
Pada tanggal 21 Mei 1998, akhirnya sang penguasa otoriter Orde
Baru yaitu Presiden Suharo berhasil dipaksa lengser.29 Dengan lengsernya
Soeharto itu pula, maka sejarah bangsa Indonesia pun bergerak menuju
proses perubahan dengan keluarnya kepres No. 6 Tahun 2000 yang
mencabut Inpres 14 tahun 1967. Menteri dalam Negeri sendiri mencabut
surat edaran tahun 1978 tentang agama yang lima, sehingga tidak ada
lagi dokumen resmi pemerintah yang mengatakan agama yang diakui
hanya lima. Oleh karena itu pemerintah sudah mengakui 6 agama yaitu:
Islam, Kristen, Katolik Buddha, Hindu, dan Khonghucu. Setelah
27 Metro, Tangerang Tribun, Senin, 28 Juni 2008, h. 2.
28 "Pilih Usaha Tangerang Jadi Birokrat" Tangerang Tribun, Rabu, 30 Juni 2008, h. 2.
29 Abdul Wahib Situmorang, Gerakan Sosial Studi Kasus Beberapa Perlawanan
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 59.
dicabutnya surat Edaran Menteri dalam Negeri ini, maka pemerintah
tidak mempunyai kewenangan apapun untuk menentukan mana
agama yang resmi dan mana yang tidak resmi.
Di era Reformasi, pemerintah dibawah kepemimpinan Prof. Dr. Ing
Burhanuddin Joesoef Habibi, telah mengeluarkan Instruksi Presiden nomor
26 tahun 1998 yang berisi bahwa pemerintah akan memberikan
perlakuan dan layanan yang sama kepada seluruh warga negara
Indonesia, dan meniadakan perbedaan dalam segala bentuk, baik ras,
suku, agama, maupun asal usul. Dalam penyelenggaraan layanan
tesebut, tidak ada diskriminasi. Harus dijaga sebaik-baiknya agar jangan
ada sebagian atau sekelompok umat beragama yang merasa
diperlakukan tidak wajar sudah dirasakan bagi umat Khonghucu dan
menyambut gembira penyataan tersebut.
Kemudian pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
diadakan Kongres Nasional oleh FKUB I yang dibuka secara langsung
oleh Menteri Agama M. Mafftuh Basuni yang membicarakan tentang
keberadaan agama Khonghucu di Indonesia pada tanggal 6 s/d 10
Desember 2007 di Hotel Delaga biru, Cipanas, Jawa Barat. Kongres ini
sejalan dengan visi dan misi agama yaitu terwujudnya masyarakat
Indonesia yang taat beragama, maju, sejahtera, cerdas serta saling
menghormati sesama pemeluk agama sebangsa dan senegara dalam
persatuan Republik Indonesia. Umat Khonghucu merasa lega dengan
diadakan kongres tersebut, karena diakui hingga sekarang. Bahkan
Presiden menegaskan kembali untuk tidak lagi bersifat diskriminasi
khususnya status agama Khonghucu di Indonesia.
Ada beberapa isu yang berkembang akhir-akhir ini yang
senantiasa dapat memicu konflik di antara umat beragama, oleh karena
itu perlu diwaspadai dan direspon secara arif. Maka, forum kerukunan
umat beragama selaku wadah pembina dan pemelihara kerukunan
umat beragama melakukan pendekatkan sebagai berikut:
a. Pendekatkan sosiologis dalam menangani konflik secara tuntas
dalam kehidupan masyarakat.
b. Pendekatan Theologis-Elitis artinya para pembuka agama jangan
memposisikan diri sebagai kaum elit, tetapi harus menunjukan
keteladanan secara aqidah pengamanan ajaran agama secara
baik benar
c. Pendekatan sosialnya harus mempunyai jiwa semangat juang
tinggi sekalipun harus banyak pengorbankan energi.
Tujuan dari kongres FKUB adalah untuk melakukan silaturahmi
nasional antara pengurus forum umat agama dan para tokoh antar
umat beragama. Hal ini dilakukan untuk menyamakan persepsi dan
merespon persoalan yang tengah dihadapi agama, menciptakan
suasana konduksif dalam rangka pemeliharaan kerukunan dan
pemberdayaan umat beragama, merumuskan agenda dan program
bersama forum kerukunan umat beragama, serta merespon positif
terhadap persoalan-persoalan umat beragama.30
2. Kebebasan beragama Di Indonesia
Indonesia sebagai negara yang pluralis agama dan etnik, dalam
konstitusinya telah mengatur secara tegas kebebasan beragama.
Dengan berdasarkan kepada ketuhanan, maka Indonesia mengakui
dan percaya kepada adanya Tuhan. Sila ketuhanan yang Maha Esa
mengandung pengertian bahwa bangsa Indonesia percaya dan takwa
terhadap Tuhan yang Maha Esa. Hal ini tergambar dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 alenia ketiga yang berbunyi: ''Atas berkat
rahmat yang Maha Kuasa dan dengan didorong keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan
ini menyatakan kemerdekaannya''.
Dilihat dari undang-undang sudah ada kebebasan,31 tetapi sila
Ketuhanan Yang maha Esa, dapat dijabarkan mengandung makna 4
(empat) butir nilai luhur yang terdiri atas :
a. Percaya dan taqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa
sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut
dasar kemanusian yang adil dan beradab.
30 Jimmy J. Ranpengan, Memelihara Kerukunan Dan Memberdayakan Umat beragama
FKUB'', diakses Tanggal 23 Desember 2008 Dari http:/www.kekuskupanbogor.org/mekar/1-
2008/news7.htm 31
Yunianto, Pendidikan Kewarganagaraan (Bojonegoro: CV Pustaka Manggala, 2006), h. 3.
b. Hormat-menghormati dan berkerja sama antara
pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda
sehingga terbina kerukunan hidup.
c. Saling menghormati kebebasan menjalankan
ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
Dalam perjalanan sejarah agama-agama besar di dunia,
terutama Islam dan Kristen, maupun berbagai ajaran Buddha, Hindu,
Shinto, Taoisme, Zarathustra dan Confucianisme, setiap negara mengatur
dan menjamin hak dan kebebabasan beragama yang dicantumkan
dalam konstitusinya.
Indonesia sebagai bangsa pluralis, dalam konstitusinya mengatur
masalah kehidupan beragama. Dengan rumusan sila ketuhanan atau
suatu kepercayaan yang Maha Esa bahwa negara tidak memaksa
agama atau suatu kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa.
Sebab kepercayaan dan agama itu berdasarkan keyakinan, jadi tidak
dapat dipaksakan dan memang kepercayaan dan agama terhadap
Tuhan yang Maha Esa itu sendiri tidak memaksa manusia untuk
memeluknya.
Pancasila dan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaan itu dan
perjuangan bangsa Indonesia menuju cita-cita nasional terus berjalan.
Hasil-hasil perjuangan satu persatu tercapai di berbagai sektor
kehidupan. Pada masa Orde Baru lahirlah Penetapan Presiden No. 01
tahun 1965 yang menjadi undang-undang No. 01 tahun 1969 yang
merupakan satu produk di sektor hukum. Di dalam undang-undang
tersebut pemerintah menjamin ketertiban dan kelancaran rumah ibadah
agama oleh pemeluknya. Namun pada perayaan Imlek Presiden Susilo
Bambang Yodono kembali menegaskan untuk memberikan hak pemeluk
agama Khonghucu untuk mencatatkan identitas agamanya pada KTP
dan mengakui perkawinan, sebagai perkawinan yang sah dan berhak
untuk dicatat kantor catatan sipil. Selain itu Menteri Dalam Negeri,
Muhammad Ma’arup melalui surat edarannya ke seluruh daerah di
Indonesia yang memantau Kantor Catatan Sipil menambahkan
keterangan agama Khonghucu pada dokumen administrasi
kependudukan umat beragama.32
Penjelasan penetapan presiden ini dengan jelas mengatakan:
''Agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah: Islam, Katolik,
Hindu, Buddha, Kristen dan Khonghucu”. Undangan-undang ini berlaku
di era reformasi pada tahun 2000. Warga Indonesia yang beragama
Khonghucu khususunya di Banten berjumlah 90.053 ada1ah, 11%.33
Kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang paling asasi di
antara hak asasi manusia, karena kebebasan beragama itu bersumber
langsung kepada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
32 Jimmy J. Ranpengan, “Memelihara Kerukunan Dan Memberdayakan Umat beragama
FKUB.'' 33 Leo Suryadinata, Penduduk Indonesia Etis Dan Agama Dalam Era Perubahan Politik
(Jakarta: LP3ES, 2003), h. 23.
Akan tetapi kebebasan beragama bukan pemberian negara atau
bukan pemberian golongan.34
Bagi kerukunan antar agama, kita harus sadar bahwa agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa adalah menyangkut
hubungan pribadi dengan Tuhan yang Maha Esa yang dipercayai dan
diyakininya, maka dikembangankanlah sikap saling menghormati
kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya dan tidak memaksakan suatu agama dan
kepercayaannya itu kepada orang lain Agama adalah masalah
keyakinan dan tidak ada satu kekuasaan duniawi yang mampu dah
berhak mencampuri keyakinan hati seseorang. Apa yang harus kita
lakukan adalah melayani hajat kehidupan beragama bangsa kita
dengan sebaik-sebaiknya dan seadil-adilnya.
Kita ingin kebebasan beragama benar-benar dilaksanakan
sehingga tidak ada golongan agama betapapun kecil jumlah mereka
terdiskriminasi. Hal ini secara jelas diungkapkan Presiden Soeharto yang
menyetujui tentang hak kebebasan beragama di Indonesia. Secara jelas
pula beliau menyatakan bahwa "Agama adalah masalah keyakinan,
dan tidak satu kekuasan duniawi yang mampu berhak mencampuri
keyakinan hati seseorang".
34 Depertamen Agama RI, Kompilasi Peraturan Perundangan-Undang Kerukunan hidup
Umat Agama ( Jakarta: Depag 2003), h. 7-11.
Kebebasan kehidupan beragama dalam Undang-Undang Dasar
45 pasal 29 adalah jaminan konstitusional yang humanistik terhadap
kehidupan beragama di Indonesia. Patut disayangkan jaminan
konstitusional yang humanistik tersebut pada pelaksanaan bertolak
belakang. Jika keyakinan seorang kita arahkan untuk memilih agama
yang dikehendaki oleh pemerintah, berarti kita telah melanggar hak
kebebasan seorang untuk memeluk agama yang sesuai dengan nilai
Pancasila dan UUD 1945.
Pada masa Reformasi agama Khonghucu lebih berkembang di
tengah-tengah masyarakat di Indonesia, karena hak mereka sudah bisa
difungsikan dan UUD 1945 sudah dirasakan hingga sekarang. Umat
Khonghucu di Indonesia sudah dapat memanfaatkan hak-haknya yang
selama Orde Baru dibatasi.
Semua sudah dialami oleh umat Khonghucu seperti kepahitan
selama orde baru, namun masa reformasi membawa rasa gembira
karena sistem pendidikan serta perkawinan sudah dicatat di Kator
Catatan Sipil yang berdasarkan UU No 1/1974 tentang perkawinan.
Departemen Agama juga akan memfasilitas penyediaan guru agama
Khonghucu untuk mengajarkan agamanya.35
35 Tomy Su, Koordinatot Masyarakat Pencita Indonesia diakses tanggal 22 Desember 2008
dari Http://www2.kopas.com/kompas-cetak/0602/24/opini/2441409.htm
BAB III
PERKEMBANGAN AGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA MASA REFORMASI
Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam,
Kristen Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu (Confucius). Hal ini dapat
dibuktikan, dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia.
Karena 6 macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir
seluruh penduduk Indonesia,36 maka tanpa kecuali mereka dapat jaminan
yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar pasal 29 ayat 2. selain itu
mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang
diberikan oleh pasal ini.37
Sebagian peraturan pemerintah mengenai agama, kepercayaan,
dan adat istiadat Cina sangatlah memojokkan mereka (Etinis Cina) yang
merasa terbuang dari saudara-saudarnya pemeluk agama lain. Oleh sebab
itu berbagai fenomenapun muncul dan menjadi sebuah kajian terhadap
peraturan pemerintah yang berkaitan dengan umat Khonghucu mengenai
pengakuan kebebasan beragama serta masalah sosial yang ditimbulkan.
Hal ini berlaku tidak hanya di Tangerang melainkan seluruh Indonesia.
Seperti digambarkan WS Asyuntapura, umat Khonghucu harus mengalami
berbagai kenyatan pahit yang sangat memprihatikan, di antaranya
36 Prisma, Agama Dan Tantangan Zaman (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 113.
37 Muhaimin, Damai Di Dunia Damai Untuk Semua, Prespektif Berbagai Agama (Jakarta:
Pengkajian kerukunan Hidup Umat Beragama, 2004), h. 19.
peristiwa penghapusan mata pelajaran agama Khonghucu di sekolah-
sekolah sejak dikeluarkannya kurikulum sekolah dasar pada tahun 1975.
Peristiwa ini mengakibatkan para siswa dari anak-anak umat Khonghucu
pada 1977 dipaksa mengikuti pendidikan agama lain untuk memenuhi
tuntunan agama yang berlaku, bahkan sering dipaksa mengaku beragama
lain dengan alasan Khonghucu bukan agama yang diakui dan tidak resmi.38
Inpres No. 14 tahun 1967 menyebutkan bahwa umat Khonghucu tidak
diijinkan merayakan hari-hari sucinya di depan masyarakat umum. Lembaga
atau majelis-majelis agama Khonghucu tidak dibenarkan dan tidak diijinkan
menyelenggarakan kegiatan apapun yang bersifat formal.
Penyelenggaraan kongres dan pertemuan yang sejenis dibatalkan ijinnya
atau tidak atau tidak diberi ijin sama sekali.39 Namun menurut Asyuntapura
(Bungsu), kegiatan tetap berjalan secara intern dengan sangat sederhana,
dan dilaksanakan di tempat yang sederhana. Walaupun demikian, untuk
sementara ini yang terpenting adalah makna dari berbagai kegiatan
keagamaan itu sendiri.40
Di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang berfungsi sebagai
identitas diri, umat Khonghucu tidak dibenarkan dan tidak diijinkan
menyebut dirinya agama Khonghucu tetapi terus mengaku beragama lain
yang formal. Pencantuman ini juga termasuk dalam daftar isian
38 Wawancara Pribadi dengan WS. Asyuntapura, (Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu
Indonesia), Tangerang, 29 September 2008. 39
Wawancara Pribadi dengan Rudi Guna Wijaya (Sekretaris MAKIN), Tangerang, 10
Februari 2009. 40
Wawancara Pribadi dengan WS. Asyuntapura, Tangerang, 29 September 2009.
permohonan kartu penduduk. Hal yang paling memperhatinkan adalah
pencatatan perkawinan umat Khonghucu, sebagaimana yang sudah
ditentukan dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan. Ternyata Kantor Catatan Sipil yang bertugas mencatat
perkawinan tidak bersedia dan menolak pencatatan perkawinan mempelai
umat Khonghucu sekalipun telah melakukan perkawinan menurut tata
cara/hukum agama dan lembaga agamanya. Bila tidak bersedia
melakukannya, maka dikatakan ‘kumpul kebo’ atau melanggar undang-
undang perkawinan. Untuk mendapat pelayanan di kantor catatan sipil,
mereka harus bersedia mengaku beragama lain dan mau menikah menurut
agama yang formal atau resmi. Jika tidak, mereka harus mohon belas kasih
lembaga agama yang resmi agar mau menerangkan bahwa mempelai
tersebut sudah melakukan perkawinan menurut agama tersebut. Terakhir
yang tidak kurang memperhatinkan, umat Khonghucu yang masih berstatus
asing bila ingin mengikuti kemudahan kewarganegaraannya, wajib
mengakui beragama salah satu agama yang dianggap formal. Kemudian
Keputusan Presiden Kabinet Republik Indonesia Nomor 127/u/Kep/12/1996
tentang peraturan ganti nama bagi WNI yang memakai nama Cina terjadi
pula bagi umat Khonghucu di Tangerang.41
Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur),
agama Khonghucu mulai mendapat angin segar. Karena mempunyai
harapan besar terhadap masa depan agamanya di Indonesia, dengan
41 Wawancara Pribadi dengan Lili (TU MAKIN), Tangerang, 10 Februari 2009.
dicabut Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967 oleh pemerintah Gusdur,
umat Khonghucu boleh berlega hati. Sebelum pencabutan Inpres tersebut,
umat Khonghucu tidak merayakan tahun baru Imlek secara terbuka dan
hanya diperbolehkan di rumah atau lingkungan masing-masing. Namun
ketika Inpres tersebut dicabut umat Khonghucu di Indonesia dengan lega
dapat merayakan tahun baru Imlek secara terbuka dan tidak ada batasan
dalam lingkungan sendiri.42
Seteleh dicabut Inpres No. 14 tahun 1967 (pada bulan Februari 2000).
Menteri dalam Negeri sendiri mencabut Surat Edaran tahun 1978 tentang
agama yang lima, sehingga tidak ada lagi dokumen resmi pemerintah yang
mengatakan agama yang diakui hanya lima.
A. Kebijakan Politik Tentang Agama
Beberapa kebijakan politik tentang agama Khonghucu (etnis
Tionghoa) di Indonesia selama masa Orde Baru adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang No. I/pn.Ps/1965 tentang pencegahan dan
penyalagunakan dan/atau penodaan agama Pasal 1 bahwa setiap
orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,
menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk
melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di
Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang
42 Wawancara Pribadi dengan Budi (Masyarakat Tionghoa) Tangerang, 29 September 2008.
menyerupai keagamaan dari agama itu dan penafsiran yang
menyimpang dari pokok-pokok agama itu.
2. Resolusi MPRS No. III/RES/MPRS/1966. yang pada pokoknya
menandaskan: percepatan proses integrasi melalui asimilasi warga
negara keturunan asing dengan menghapuskan segala hambatan
yang tidak harmonis dengan warga asli.
3. Keputusan Presidium Kabinet Republik Indonesia No.
127/U/Kep/12/1966, tentang peraturan ganti nama bagi WNI yang
memakai nama Cina.
4. Intruksi Presiden No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan
adat istiadat Cina.
5. Undang-undang Republik Indonesia No. 01 tahun 1974 tentang
perkawinan, adanya penolakan pencatatan perkawinan umat
Khonghucu oleh petugas Kantor Catatan Sipil.
6. Dikeluarkannya Kurikulum pendidikan Sekolah Dasar dan Lanjutan
tahun 1975, tentang penghapusan mata pelajaran agama
Khonghucu, mengakibatkan para siswa anak-anak umat agama
Khonghucu mulai tahun 1977 dipaksa mengikuti pendidikan agama
lain.
7. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054 tanggal 18
November 1978 yang menyatakan bahwa hanya ada 5 agama di
Indonesia.
Beberapa kebijakan politik tentang agama di Indonesia selama masa
reformasi adalah sebagai berikut:
1. Intruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 tentang pengapusan istilah
pribumi dan non pribumi.
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2000 tentang
pencabutan Inpres Nomor 14/1967 tentang agama, kepercayaan
dan adat istiadat China.
3. Keputusan Menteri Agama Nomor 13 tahun 2001, tentang penetapan
Imlek sebagai hari libur fakultatif dan diteruskan dengan pencabutan
larangan penggunaan bahasa Tionghoa baik lisan maupun tulisan.
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 tentang
ditetapkannya hari tahun baru Imlek sebagai hari Nasional.
5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang
sistem pendidikan Nasional, dan Departemen Agama memfasilitasi
penyediaan guru agama Khonghucu.
6. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 dan 9 tahun 2006
tentang pedoman pelaksanaan tugas Kepala Daerah dalam
memelihara kerukunan umat beragama.
7. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor MA/12/2006
tanggal 25 Januari 2006 tentang penjelasan mengenai status
Perkawinan umat Khonghucu.
8. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2007 tentang
pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.
9. Keputusan Menteri dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 470/336/sj
tanggal 24 Februari 2006 tentang Pelayanaan Administrasi
Kependudukan penganut Agama khonghucu.
10. Surat keputusan Departeman Agama Dalam Negeri Republik
Indonesia Nomor 470/3553/M tanggal 30 Agustus 2007 tentang daftar
isian penduduk.43
B. Trauma Politik dan Perkembangan Agama
Ketika bangsa Indonesa memasuki gerbang kemerdekaan,
segalanya tidak lagi dimulai dari awal. Dengan kata lain mereka sama sekali
tidak berada dalam situasi vakum, melainkan telah mewarisi situasi sosial
yang telah tercipta sebelumnya. Polarisasi antara pribumi dan warga asing -
khususnya keturunan Cina- misalnya telah tercipta ratusan tahun
sebelumnya.44 Perbedaan orientasi ideologis, agama, politik, sosial dan
budayanya juga telah terbentuk jauh sebelum masyarakat Indonesia
memproklamasikan diri sebagai sebuah bangsa. Akibatnya, selain
disebabkan oleh kekurangan pengalaman bangsa Indonesia menghadapi
berbagai kesulitan dalam menyatukan misi, bangsa Indonesia harus mencari
kerangka berpikir yang mampu mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut.
Demikian, dalam situasi yang serba sulit itu bangsa Indonesia ternyata
mampu mengatasi beberapa agenda kebangsaan yang paling mendasar
setelah melalui liku-liku panjang serta perdebatan sengit, mereka sepakat
untuk bersama-sama berada dalam suatu negara dan indetitas bangsa.
Mereka berhasil merumuskan Pancasila dan UUD 1945 yang dipandang
43 Depertamen Agama RI, Kompilasi Peraturan Perundangan-Undang Kerukunan hidup
Umat Agama ( Jakarta: Depag 2003), h. 191-196. 44 Tarmizi Tahir, Masyarakat Cina Ketahanan Nasional Dan Integrasi Bangsa Di Indonesia
(Jakarta: Pusat kajian Islam Masyarakat, 1997), h. 7.
dapat menjadi acuan kehidupan bersama. Sayangnya, semangat dan
ketulusan tersebut tidak serta merta menjamin kelancaran proses
implementasi cita-cita kemerdekaan.
Sistem kehidupan politik yang kemudian muncul misalnya, belum
sanggup mengakomodasikan keinginan-keinginan dan tuntunan-tuntunan
berbagai kelompok dan golongan. Setiap golongan menawarkan konsep
ideal dan berusaha memenuhi kepentingannya masing-masing. Akibatnya,
situasi sosial di masa Orde Lama lebih banyak diwarnai oleh proses negosiasi,
tawar menawar, friksi dan konflik antara kelompok. Ada kalanya perbedaan
tersebut dapat diatasi dengan baik sebagaimana yang tercermin dalam
perumusan dan ideologi dan landasan negara, tetapi tidak jarang
perbedaan itu berkembang menjadi konflik yang kemudian menyebabkan
munculnya fraksi dan perpecahan.
Kecenderungan ini akhirnya memuncak ketika Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang melancarkan kudeta tahun 1965 yang sekaligus
mengakhiri pemerintahan Orde Lama. Kudeta yang dilancarkan PKI,
memaksa pemerintah Orde Lama untuk menyerahkan kekuasaan penuh
kepada kekuatan baru yang menamakan diri "Orde Baru". Orde baru tampil
di panggung kepemimpinan nasional dalam situasi politik bangsa Indonesia
terancam ambruk. Maka tugas utama pemerintahan Orde Baru adalah
memulihkan stabilitas keamanan nasional.
Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintahan Orde Baru mulai
menata masalah-masalah sosial budaya dan keagamaan. Perkembangan
Etnis Cina yang notabene beragama Khonghucu mulai mendapat sorotan
negatif pemerintah, karena selalu dijadikan kambing hitam dan korban
diskriminasi rasial. Ini berhubungan dengan Cina di Indonesia yang pantas
menjadi sasaran amarah dan kebencian. Mereka dicap buruk : tidak
patriotis, eksklusif, tidak sosial, memupuk kekayaan, pemakan babi, dan
selalu berorientasi ke negeri Cina. Untuk mengatasinya pemerintah
mengeluarkan Inpres No. 14 tahun 1967 mengenai agama, kepercayaan
dan adat istiadat Cina. Dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah
tersebut, maka perkembangan Etnis Cina (umat agama Khonghucu) resmi
dipasung oleh kebijakan pemerintah Orde Baru.45
Akibat gencarnya penekanan terhadap keturunan Cina berimbas
pada perkembangan agama Khonghucu. Jangankan untuk menambah
kualitas, bahkan umat yang telah adapun berbondong-bondong pindah ke
agama lain, dengan alasan agar tidak menghadapi masalah-masalah
sosial kemasyarakatan yang sangat singnifikan. Semua agama di Indonesia
sudah disetarakan setelah zaman reformasi, Khonghucu sudah mulai
mendapatkan pengakuannya kembali oleh pemerintah pada tahun 2000
yang diawali oleh Presiden Abdurrahman Wahid.46
C. Perkembagan Agama Khonghucu Pada masa Reformasi
45 Wawacara Pribadi dengan Ws. Asyuntapura. 46
Budi Santoso Tanuwibowo, Genta Harmoni (Surakarta 2006), h. 7.
Semenjak bergulirnya masa reformasi, perkembangan agama
Konghucu mulai mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan dicabutnya
Inpres No. 14 Tahun 1967, sehingga segala sesuatu yang berhubungan
dengan agama Khonghucu diberi hak yang sama dengan masyarakat
pribumi yang berbeda-beda agama, ras, dan adat istiadat.
Warga Tionghoa khususnya di Tangerang menyambut gembira dan
merasakan nafas kebebasan yang terpasung selama 32 Tahun. Kegiatan
keagamaan umat Khonghucu menyambut kebebasan yang diraihnya
diawali dengan penyelenggaraan hari besar keagamaan umat Khonghucu,
yaitu peringatan hari lahir Khonghucu di Tangerang yang merupakan
kegiatan keagamaan pertama di muka umum dan terbuka bagi seluruh
elemen masyarakat. Peringatan ini diiringi pula dengan hadirnya budaya
bernuansa Cina yaitu tarian barongsai, yang di masa Orde Baru dilarang.
Penyelenggaran kegiatan keagamaan dan peringatan hari-hari
besar keagamaan yang dulu dilaksanakan hanya di lingkungan sendiri dan
bersifat tertutup serta harus memperoleh ijin dari Mabes POLRI, kini dapat
dilaksanakan secara terbuka. Contohnya adalah perayaan Imlek yang
diselenggarakan pada tahun 2001 dan tahun 2009. Umat Khonghucu
diberikan kebebasan oleh pemerintah hingga sekarang dan menjadikan
tahun baru Imlek sebagai hari libur. Presiden Republik Indonesia Megawati
Soekarno Putri, yang menghadiri peringatan Tahun Imlek di Jakarta pada 17
Febuari 2002, menetapkan tahun baru Imlek sebagai libur nasional
menjelang tahun 2003.
Pada saat orde baru, proses mengenai pengajaran agama
Khonghucu di sekolah dasar dan lanjutkan yang dibekukan sejak tahun
1977, kini mulai diajukan dan menunggu proses dari Depertamen Agama
dan Pendidikan Nasional. Dalam sambutan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono tentang perayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2557 di Jakarta
Convention Center berapa waktu lalu, beliau menegaskan bahwa bangsa
Indonesia saat ini tidak ada diskriminasi. Depertemen Agama juga akan
memfasilitas penyediaan guru agama Khonghucu untuk mengajarkan
agamanya.
Hal diatas menunjukkan bahwa perkembangan agama Konghucu di
era reformasi sedang melalui proses perbaikan yang dilandasi ketulusan,
sikap rendah hati, lebih bersemangat dan saling berbagi. perkembangan ini
dibangun di atas norma-norma luhur, kebijaksanaan, cinta kasih dan
keberanian. Selain perbaikan kualitas umat, peningkatanpun sudah mulai
dirasakan pada kuantitas umat di Tangerang.
Terkait pada pasal 12 A UU No 20/2003 tentang sistem pendidikan
nasional, Departemen Pendidikan memfasilitasi penyediaan guru agama
Khonghucu untuk mengajarkan agama Khonghucu bagi murid-muridnya
yang menganutnya.47 Masyarakat Tionghoa Tangerang menyambut
gembira tentang undang-undang tersebut, dan pada akhirnya mereka
memperkenalkan kembali dan mengajarkan agama Khonghucu kepada
47 Tomy Su, “Presiden, Khonghucu, dan Diskriminasi”, diakses tanggal 24 Desember 2008
dari http://wwwr.kompas.com/kompas-cetak/0602/24/opini/2441409.htm
anak-anaknya setelah reformasi. Pada umumnya tujuan ajaran Khonghucu
adalah mengembangkan manusia, untuk itu umat Khonghucu menekankan
tentang pentingnya pendidikan dan belajar di Tangerang.
Belajar dikonsepsikan oleh penganut Khonghucu sebagai proses yang
holistik dari upaya membangun karakter agar terwujud umat yang
menegakkan firman Thian di muka bumi. Selain itu, belajar bagi mereka
adalah untuk menggemilangkan kebajikan yang bercahaya yaitu berprilaku
cinta kasih, teguh pendirian dan menjunjung tinggi keadilan, mempunyai
keberanian yang dilandasi kebenaran dan harmoni, mempunyai kepekaan
dan kepedulian sosial yang tinggi, hidup penuh dengan kesusilaan,
menjunjung tinggi moral etika, serta bijaksana dan selalu dapat dipercaya
dalam hidup dan kehidupan sehari-hari.
Selain masalah pendidikan, hal yang sangat penting adalah
pencantuman agama Khonghucu bagi masyarakat Tionghoa yang
beragama Khonghucu. Kepala Pemerintah Daerah khususnya Tangerang
Wahidin Halim menegaskan kepada penduduk Tionghoa (Khonghucu)
untuk mencantumkan agamanya. Jika masyarakat Tionghoa yang masih
merasa didiskriminasi soal KTP serta kegiatan sosial, kebudayaan dan
keagamaannya dilarang, maka mereka bisa melapor kepada kepala
daerahnya. Kepala daerah itu akan memberikan sanksi kepada pejabat
yang bersangkutan.
Aktivitas-aktivitas agama Khonghucu berkembang sangat pesat,
seperti kegiatan donor darah, santunan, pentas seni serta perkawinan dan
-10
10
30
50
70
90
110
130
150
1998-2002 2003-2005 2006-2009
pendidikan. Semuanya sudah diakui oleh pemerintah daerah maupun
pusat. Menurut Asyuntapura, negara berkewajiban melayani hajat
beragama warganya secara adil tanpa diskriminasi, harus dijaga sebaik-
baiknya agar jangan ada sebagian atau sekolompok umat beragama yang
merasa diperlakukan tidak wajar dan tidak adil.
"Kami bersyukur ke hadirat Thian, Tuhan yang Maha Esa, atas
bimbingan Nabi Khonghucu kami dapat melalui hal tersulit dalam
pengembangan agama Khonghucu. Ini terbukti dengan dicabutnya Inpres
No 14 Tahun 1967 oleh Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 yang
berdampak baik bagi kualitas dan kuantitas umat Khonghucu di Tangerang
yang mengalami peningkatan 60% atau 50 menjadi 73 dari jumlah yang
aktif sekarang.”48
Tabel perkembangan agama Khonghucu di MAKIN Tangerang
48 Wawancara pribadi dengan WS. Asyuntapura
Patut disyukuri, hak asasi manusia di era reformasi mulai membaik
hingga sekarang. Seiring dengan itu, menurut Asyuntapura agama
Khonghucu di Tangerang mulai ditata kembali. Perbaikan-perbaikan di
segala bidang yang ditindaklanjuti dengan mempersiapkan kader-kader
handal untuk mewujudkan misi-misi perdamaian. Di Tangerang ada
beberapa misi program kerja menyambut pencabutan Inpres No. 14 Tahun
1967 oleh Keppres Nomor tahun 2000 :
1. Membimbing, membina dan memberikan penyuluhan kepada umat
Khonghucu agar dapat hidup dalam jalan suci, biasanya dilakukan
pada malam Jumat dan Minggu pagi yang mengajarkan kasih
sayang terhadap manusia.
2. Membina umat Khonghucu mengamalkan ‘Susi’ (kitab Kempat), dan
‘Ngo King’ (Kitab yang Lima); agar senantiasa dapat menjadi insan
pembaharu yang selalu tanggap dan senantiasa ikut serta aktif
dalam memberikan kontribusi nyata dan positif pada setiap dinamika
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Membimbing dan membina umat Khonghucu agar selalu
menghormati orang tua, bersikap dapat dipercaya oleh kawan dan
sahabat, mencintai dan membimbing generasi muda dan senantiasa
menjadi warga masyarakat dan warga negara yang baik dan
berwawasan kebangsaan.
Program kerja yang selama ini dilakukan oleh umat Khonghucu di
Tangerang diantaranya adalah:
1. Memberdayakan rohaniawan agama Khonghucu dalam rangka
memperkuat pondasi keimanan umat Khonghucu menuju
terciptanya, dialog spiritual yang lebih intens dan kokoh antara umat
Khonghucu dengan Tuhan yang Maha Esa.
2. Memberdayakan umat lewat penanaman dan pengembangan nilai
agama Khonghucu pada setiap individu, sehingga dapat tercapai
dialog internal dalam diri setiap umat, dalam rangka meningkatkan
daya tahan keimanan setiap umat Khonghucu, yang pada akhirnya
mampu membangun jatidiri yang sejati.
3. Meningkatkan dialog institusional dan saling pengertian yang lebih
mendalam dengan semua institusi formal, informal, sosial keagamaan
dan kemasyarakatan; lewat berbagai teknik dan media komunikasi,
dengan tujuan akhir terwujudnya legalitas institusi dalam artian
maupun praktis.
4. Memberdayakan umat Khonghucu di setiap lapisan dan setara
masyarakat agar dapat menjadi insan Khonghucu yang bermoral
dan mampu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat, sehingga
dapat menciptakan dialog sosial yang nyata dan inklusif.
5. Secara sitematis, terencana dan terus menerus melakukan berbagai
kegiatan publikatif, dengan tujuan utama untuk menanamkan
pemahaman yang lebih mendalam akan hakikat dan nilai
Khonghucu, sehingga dapat terjadi dialog kultural yang efektif
dengan seluruh lapisan dan anggota masyarakat.49
Selama ini, program kerja tersebut telah dijalankan dengan baik dan
terus menerus oleh umat Khonghucu di Tangerang.
49 Wawancara Pribadi dengan Ws. Asyuntapura
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan agama Khonghucu di Tangerang pada masa
reformasi tidak terlepas dari peranan umat dan misi ajaran Khonghucu.
Dalam perkembanganya agama Khonghucu meliputi kualitas dan
kuantititas umat Khonghucu yang tidak dibatasi oleh peraturan pemerintah.
Dalam pada itu, umat Khonghucu sangat berterima kasih kepada
pemerintah karena perkembangan kualitas serta kuantitas berkembang
serta penyebaran dan pembinaan agama Khonghucu dilakukan secara
umum. Pemerintah tidak membatasi ruang gerak umat Khonghucu pada
masa reformasi yang terjadi di Tangerang, sebagaimana yang terjadi pada
masa Orde Baru.
Beberapa peraturan pada masa Orde Baru merupakan pelarangan,
serta pembatasan beragama bagi umat Khonghucu yang pada akhirnya
memicu diskriminasi terhadap agama. Hal ini menyebabkan pemerintah
tidak konsisten terhadap pelaksanaan hukum yang telah ditetapkan. Akan
tetapi peraturan itu sudah tidak berlaku di era reformasi.
Keadaan umat Khonghucu di masa reformasi sangat membaik dan
berkembangan. Mulai ada proses perbaikan yang dilandasi ketulusan, sikap
rendah hati dan semangat untuk saling membagi yang dibangun diatas
nilai-nilai kebijaksanaan, cinta kasih dan keberanian.
Keadaan ini diawali dengan keputusan Presiden No.6 tahun 2000 dan
diteruskan oleh Menteri dalam Negeri tanggal 31 Maret 2000 mengenai
pencabutan Intruksi presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang agama,
kepercayaan, dan istiadat Cina. Dengan sekejap kualitas umat Khonghucu
di Tangerang bahkan seluruh Indonesia berkembang.
Umat Khonghucu di Tangerang sudah merasakan angin segar dan
tidak lagi diskriminasi. Presiden Megawati mengumumkan mulai tanggal
2003 Imlek sebagai hari Raya Ethis Tionghua menjadi hari nasional.
Kemudian, Presiden Sosilo Bambang Yudhoyono pada perayaan Imlek
Nasional di Jakarta Convention Center menegaskan kepada bangsa
Indonesia saat ini tidak ingin adanya diskriminasi. Departemen Agama telah
mencatatkan perkawinan bagi pemeluk umat Khonghucu serta memberi
fasilitas penyediaan guru agama Khonghucu untuk mengajarkan
agamanya kepada murid-murid yang menganutnya. Beberapa peraturan
di masa reformasi tersebut benar-benar dijalankan di Tangerang.
Kehidupan keberagamaan umat Khonghucu di Tangerang banyak
mengalami kebebasan terutama kegiatan yang berbau keagamaan.
MAKIN Tangerang merupakan pusat penggerak lembaga keagamaan
umat Khonghucu.
Menurut pandangan penulis, umat Khonghucu di Tangerang sudah
dapat memanfaatkan hak-haknya, sehingga mereka merasakan nyaman,
lega hati dan tidak ada rasa kekhawatiran. Pemerintah Tangerang telah
menginstruksikan pada seluruh dinas kependudukan agar umat Khonghucu
mencantumkan agamanya di KTP. Berdasarkan keputusan Surat Edaran
Menteri Agama tanggal 26 Januari 2006 yang berdasarkan Undang-Undang
No. 5 tahun 1965 yang diperkuat oleh peraturan Presiden tahun 1969 bahwa
agama Khonghucu merupakan salah satu agama yang diakui oleh
Pemerintah Indonesia, sehingga masalah perkawinan dan pendidikan bagi
umat Khonghucu dimudahkan.
Dalam kartu kelurga dan kartu penduduk agama Khonghucu
dicamtumkan agama yang dipeluk oleh warga Tangerang. Pemerintah
Tangerang melaksanakan keputusan yang dikeluarkan oleh presiden
Megawati tersebut. Selain itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menegaskan kembali tidak ada diskriminasi, sehingga umat Khonghucu di
Tangerang berkembang. Etnis Tionghoa Tangerang merasa bebas dari
penjara yang selama ini mengurungnya.
Dengan demikian umat Khonghucu di Tangerang dapat
melaksanakan kegiatan pemberian sembako, donor darah, pengobatan
garatis yang dilaksanakan seminggu sebelum Imlek, bahkan berbagai
festival-festival Cina di Tangerang. Hal tersebut membuat lega hati warga
Khonghucu di Tangerang maupun di tingkat atas dan bawah, karena arti
sesungguhnya reformasi dilaksanakan oleh pemerintah.
Menurut analisis penulis di Tangerang tidak ada lagi diskriminasi dari
kalangan bawah dan atas. Sehingga segala bentuk kegiatan di Tangerang
dapat dilaksanakan seperti hal tersebut di atas.
B. Saran-saran
Semua agama berasal dari Tuhan, dan manusia yang plural itu pun
adalah umat manusia yang satu juga, karena berasal dari satu sejarah dan
keturunan yang sama. penulis berharap kepada rekan-rekan mahasiswa,
khususnya yang mendalami Ilmu Perbandingan Agama, untuk
meningkatkan kajian tentang agama-agama di dunia. Metode efektif untuk
mempelajari agama-agama adalah dengan cara melakukan dialog antara
umat beragama, dengan maksud menghindari adanya penelitian dan
pemahaman–pemahaman yang keliru disebabkan adanya kesenjangan
hubungan antara umat beragama.
DAFTAR PUSTAKA
“Pilih Usaha Tangerang Jadi Birokrat.” Tangerang Tribun, Rabu, 30 Juni 2008.
“Kompetisi Barongsai,” Radar Serpong, Rabu, 10 Desember 2008.
Cahyawan, Pajar. Pendidikan Pancasila dan Kewargangeraan. Jakarta: Depdikbud, 1999
Departemen Agama RI. Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Kerukunan
Hidup Umat Agama. Jakarta: Depag 2003.
Ghajali, Bahri. Studi Agama-Agama Dunia Bagian Agama Non Semitik. Jakarta: CV.
Pedoman Ilmu Jaya, 1994.
Mahendra, Yuzril Ihza Menteri. Sekretaris Negara, No. B229M. Sesneg; 3/2006,
“Hak-Hak Sipil Umat Agama Khonghucu”. Jakarta: 29 Maret 2006.
Metro, Tangerang Tribun, Senin, 28 Juni 2008.
Muhaimin. Damai Di Dunia Damai Untuk Semua, Prespektif Berbagai Agama.
Jakarta: Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, 2004.
Prisma, Agama Dan Tantangan Zaman. Jakarta: LP3ES, 1985.
Ranpengan, Jimmy J. Memelihara Kerukunan Dan Memberdayakan Umat
Beragama FKUB.” Diakses Tanggal 23 Desember 2008 Dari http:/www.kekuskupanbogor.org/mekar/1-2008/news7.htm.
Setiawan, Chandra. “Hak-Hak Sipil Pengalaman Agama Khonghucu.” Dalam Martin
L Sinaga (ed), Bincang Agama di Udara, Fundamentalisme, Pluralisme,
Peran Publik Agama, Jakarta: Radio pelita kasih, 2005.
Situmorang, Abdul Wahib. Gerakan Sosial Studi Kasus Beberapa Perlawanan
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Smith, Huston. Agama-agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Sou’yb, Joesoef. Agama-agama Besar di Dunia. Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1996.
Su, Tomy. “Koordinator Mayarakat Pecinta Indonesia.” Diakses tanggal 22 Desember 2008 dari Http:/www2.Kopas.com/Kompas-
cetak/0602/24/opini/2441409.htm.
Suprayogo, Imam dan tobroni, Metodologi Penelitian Agama. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2003
Suryadinata, Leo, Penduduk Indonesia Etis dan Agama dlam Era Perubahan politk. Jakarta: LP3ES, 2003.
Tahir, Tarmizi. Masyarakat Cina Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa di
Indonesia (Jakarta: Pusat Kajian Islam Masyarakat, 1997).
Tan, mely G. Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Tanggok, M. Ikhsan. Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia
Jakarta: pelita Kebajikan, 2005.
Tanuwibo, Budi Santoso. Genta Harmoni. Surakarta: 2006.
Wawancara Pribadi dengan Ws. Asuntapura (Ketua Majelis Tiggi Agama
Khonghucu Indonesia) Tangerang, tanggal 25 September 2008.
Wawancara Pribadi dengan Eng Eng (Penganut Budaya Tangerang) Tangerang,
Tanggal 26 Desember 2008.
Wawancara Pribadi dengan Rudi Guna Wijaya (Sekretaris MAKIN), Tangerang, 10
Februari 2009.
Wawancara Pribadi dengan lili (TU MAKIN), Tangerang, 10 februari 2009.
Wawancara Pribadi dengan Budi (Masyarakat Tionghoa) Tangerang, 29 September.
Wawancara Pribadi dengan Andri (Umat Khonghucu), Tangerang, 9 Februari 2009.
Wawancara Pribadi dengan Victor (driver), Tangerang, 10 Februari 2009.
Yunianto. Pendidikan Kewarganegaraan. Bojonegoro: CV Pustaka Manggala,
2006.