Upload
phamdung
View
233
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
PERKEMBANGAN POLITIK PARTAI MASYUMI PASCA PEMILU 1955
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh:
Aris Sumanto
11406244042
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2016
i
PERKEMBANGAN POLITIK PARTAI MASYUMI PASCA PEMILU 1955
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh:
Aris Sumanto
11406244042
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2016
v
PERSEMBAHAN
Kupanjatkan Puji Syukur Alhamdullilah Kehadirat Allah SWT
Kupersembahkan Karya Skripsi ini Kepada
“Ibuku Umiyatun”
“Bapakku Sri Sumanto”
Kubingkiskan Karya Skripsi ini Untuk Saudaraku dan Saudariku
“Romadona Sucihapsari, Joko Nugroho, Yoga Singgih Nugroho, Galih Tegar Prayogi”
vi
MOTTO
Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun. Karena yang menyukaimu tidak butuh
itu dan yang membencimu tidak percaya itu.
(Ali bin Abi Thalib)
Kalau hidup Sekedar hidup Babi di Hutan juga Hidup, Kalau bekerja sekedar bekarja Kera
juga bekerja.
(Buya Hamka)
Lakukan langkah kecil untuk membangun impian besarmu
(Penulis)
vii
PERKEMBANGAN POLITIK PARTAI MASYUMI PASCA PEMILU 1955
Oleh:
Aris Sumanto
NIM. 11406244042
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Latar belakang berdirinya
Partai Masyumi, (2) Gambaran perkembangan Partai Masyumi pada masa
Demokrasi Parlementer 1950-1955, (3) Perkembangan Partai Masyumi pasca
pemilu tahun 1955.
Penelitian ini menggunakan metode yang terdiri dari beberapa tahapan. Tahap
pertama, adalah heuristik atau pengumpulan sumber, sumber terbagi menjadi dua
yaitu sumber primer dan sekunder. Sumber primer buku karya A.G Pringgodigdo
yang berjudul Undang-Undang No.7 tahun 1953 tentang pemilihan umum dan
sumber sekunder buku karya Deliar Noer yang berjudul Partai Islam di Pentas
Nasional. tahap kedua adalah verifikasi atau kritik sumber, tahap ketiga adalah
interpretasi yaitu proses menafsirkan fakta-fakta sejarah dan tahap keempat adalah
historiografi atau penulisan sejarah.
Hasil dari penelitian ini sebagai berikut, (1) Latar belakang berdirinya Partai
Masyumi dimulai dari para tokoh-tokoh Islam yang memerlukan wadah partai
untuk berpolitik serta mencakup seluruh aspirasi umat Islam di Indonesia. Suasana
revolusi menurut para tokoh politik Islam sangat sesuai untuk mendirikan partai
ditambah lagi adanya maklumat presiden tanggal 3 November 1945 untuk
mendirikan partai. Pada tanggal 7-8 November 1945 berlangsung Kongres Umat
Islam di Yogyakarta serta memutuskan untuk mendirikan Partai Masyumi. (2)
Perkembangan politik partai Masyumi tahun 1945-1949 ditandai dengan eksistensi
partai dalam pemerintahan meskipun muncul keretakan di tahun 1947 saat
terbentuk kabinet Amir, ia berhasil mendirikan kembali PSII (Partai Syarikat Islam
Indonesia) serta menyatakan diri keluar dari partai Masyumi. Pada tahun
1950-1955 Partai Masyumi mengalami jatuh bangun dalam kabinet pemerintah.
Partai juga mengalami keretakan saat terbentuknya kabinet Wilopo tahun 1952
dengan keluarnya NU (Nahdahtul Ulama). (3) Pasca pemilu 1955, pada tanggal 21
Februari 1957 muncul konsepsi presiden Soekarno yang salah satunya ingin
menyatukan empat pemenang hasil pemilihan umum 1955 yaitu PNI (Partai
Nasional Indonesia), Masyumi, NU dan PKI (Partai Komunis Indonesia), namum
Masyumi menolaknya. Akhirnya pada awal tahun 1958 tokoh partai Masyumi
seperti Natsir dan Sjarifudin Prawiranegara kemudian memimpin Pemberontakan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). PRRI sendiri merupakan jawaban
daerah atas tidak lancarnya kabinet yang terus menujukan jatuh bangun.
Keterlibatan tokoh partai pada PRRI akhirnya mendorong lahirnya Keppres Nomor
200 tahun 1960 yang menyatakan partai Masyumi harus membubarkan diri.
Akhirnya Partai membubarkan diri pada tanggal 13 September 1960.
Kata Kunci : Partai Masyumi, Pemilu 1955, Pembubaran Partai.
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
rahmat serta kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “Perkembangan Politik Partai Masyumi Pasca Pemilu 1955”.
Penelitian skripsi ini bertujuan untuk memenuhi sebagian syarat
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan bagi mahasiswa program S1 pada program
studi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta.
Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga
pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa
hormat mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung
kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai, terutama kepada:
1. Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., MA selaku Rektor Universitas Negeri
Yogyakarta.
2. Prof. Dr. Ajat Sudrajat, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Yogyakarta.
3. Dr. Dyah Kumalasari, M.Pd., Ketua Prodi Pendidikan Sejarah Universitas
Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan izin penelitian.
4. Zulkarnain, M.Pd selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan arahan,
bimbingan, dan saran kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.
5. Rhoma Dwi Aria Y, M.Pd selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
memberikan arahan dan semangat kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.
ix
6. Dewan Penguji Skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk menguji dan
memberikan masukan mengenai skripsi ini.
7. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah yang telah memberikan
bekal kepada penulis dalam penyusunan skripsi.
8. Kedua Orangtuaku serta saudara, saudariku yang telah memberi semangat,
motivasi, doa kepada penulis dalam penyusunan skripsi.
9. Teman-teman dekatku, Aripin, Febrian yang telah sabar mengarahkan dan
memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Seluruh Keluarga Besar HNR 11 dan semua pihak yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.
Terima kasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu karena telah membantu saya baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum
sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat
penulis butuhkan sebagai. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
peulis dan para pembaca. Terima kasih.
Yogyakarta, April 2016
Penulis
Aris Sumanto
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................ v
HALAMAN MOTTO ........................................................................... vi
ABSTRAK ............................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ............................................................................ viii
DAFTAR ISI .......................................................................................... x
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................ xii
DAFTAR ISTILAH ............................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 10
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 10
D. Manfaat Penelitian ................................................................. 11
E. Kajian Pustaka ....................................................................... 12
F. Historiografi yang Relevan .................................................... 16
G. Metode Penelitian .................................................................. 17
H. Pendekatan Penelitian ............................................................ 23
xi
I. Sistematika Pembahasan ......................................................... 25
BAB II LATAR BELAKANG BERDIRINYA PARTAI MASYUMI 27
A. Berdirinya Partai Masyumi .................................................. 27
B. Tokoh Pendiri Partai Masyumi ............................................. 31
C. Tujuan Pembentukan Partai Masyumi ................................. 34
D. Sistem Anggota Partai Masyumi .......................................... 36
E. Program Politik Partai Masyumi .......................................... 39
BAB III PERKEMBANGAN POLITIK PARTAI MASYUMI PADA
MASA DEMOKRASI PARLEMENTER 1950-1955 ............. 44
A. Masa Awal Kemerdekaan 1945-1949 ................................... 44
B. Perkembangan Politik Masyumi Masa Demokrasi Parlementer
1950-1955 .......................................................................... 52
1. Kabinet Natsir ............................................................. 53
2. Kabinet Dr.Sukiman .................................................... 55
3. Kabinet Wilopo ........................................................... 58
4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I ....................................... 61
5. Kabinet Burhanuddin Harahap .................................... 65
BAB IV PERKEMBANGAN POLITIK PARTAI MASYUMI PASCA
PEMILU 1955 .......................................................................... 69
A. Pergolakan Politik Partai Masyumi 1956-1958 .................... 69
B. Pembubaran Partai Masyumi ............................................... 78
BAB V KESIMPULAN ......................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 97
LAMPIRAN . ........................................................................................... 101
xiv
DAFTAR ISTILAH
Demokrasi : Pemerintah yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah
dengan perantaraan wakilnya.
Eksistensi : Keberadaan.
Fraksi : Bagian kecil: pecahan: kelompok dalam DPR atau parlemen
yang memberikan arahan dan tujuan.
Formatur : Orang atau sekelompok orang yang menyusun/membuat
sesuatu.
Furu Iyah : Perkara-perkara kecil.
Ideologi : Kumpulan konsep bersistem yang dijadikan atas pendapat
(kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk
kelangsungan hidup.
Imperialisme : Sistem politik yang bertujuan menjajah negeri lain untuk
mendapatkan kekuatan dan keuntungan yang lebih besar.
Kapitalisme : Sistem dan paham ekonomi yang modalnya bersumber pada
modal pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri
persaingan dalam pasar bebas.
Koalisi : Kerjasama antara beberapa partai untuk memperoleh
kelebihan.
Kolonialisme : Paham tentang penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau
bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu.
xv
Komunisme : Paham atau ideology (di bidang politik) yang menganut ajaran
Karl Marx dan Freedrich Engels, yang hendak menghapus hak
milik perseorangan dan menggantikannya dengan hak milik
bersama yang dikontrol oleh negara.
Konstituante : Panitia atau dewan pembentuk undang-undang dasar.
Konstitusi : Segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan.
Legislatif : Berhak dan berwenang membuat undang-undang: badan yang
membuat undang-undang.
Legitimasi : Pernyataan yang diakui keabsahannya: pengesahan
Majelis Syuro : Dewan Penasehat.
Maklumat Presiden : Pengumuman yang dikeluarkan presiden.
Mosi : Keputusan rapat atau pernyataan pribadi.
Muktamar : Konferensi/ kongres/ rapat/ tandingan/ pertemuan.
Nasionalisme : Paham untuk mencintai bangsa dan negara sendiri.
Parlemen : Lembaga yang terdiri atas wakil-wakil rakyat yang dipilih dan
bertanggung jawab atas perundang-undangan dan pengendalian
anggaran keuangan negara: dewan perwakilan rakyat.
Partai : Perkumpulan (segolongan orang) yang seasa, sehaluan dan
setujuan ( terutama di bidang politik).
Reshuffle : Pergantian
Revolusi : Perubahan ketatanegaraan (pemerintah atau keadaan sosial)
xvi
yang dilakukan dengan kekerasan seperti perlawanan
bersenjata.
Sekuralisme : Paham atau pandangan yang berpendirian bahwa moralitas
tidak perlu didasarkan pada ajaran agama.
Sosialis : Ajaran atau paham kenegaraan dan ekonomi yang berusaha
supaya harta, benda industry, dan perusahaan menjadi milik
negara.
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Lambang Masyumi ............................................................ 101
Lampiran 2. Foto Mohammad Natsir ..................................................... 102
Lampiran 3. Foto tokoh Masyumi dan PRRI ......................................... 103
Lampiran 4. M.Natsir dan anggota PRRI............................................... 104
Lampiran 5. Sidang kabinet inti ............................................................. 105
Lampiran 6. Tokoh Masyumi dipanggil Presiden .................................. 106
xii
Daftar Singkatan
AD/ART : Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
DPAS : Dewan Pertimbangan Agung Sementara
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
DPRDGR : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong
GASBIINDO : Gabungan Sarekat Buruh Indonesia
GPII : Gerakan Pemuda Islam Indonesia
HMI : Himpunan Mahasiswa Islam
IPKI : Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
K.H : Kyai Haji
KSAD : Kepala Staff Angkatan Darat
KEPPRES : Keputusan Presiden
KNIP : Komite Nasional Indonesia Pusat
KMB : Konferensi Meja Bundar
KUII : Kongres Umat Islam Indonesia
MASYUMI : Majelis Syuro Muslimin Indonesia
MIAI : Madjelis Islam A’la Indonesia
MSA : Mutual Security Act
NU : Nahdlatul Ulama
PARKINDO : Partai Kristen Indonesia
PBB : Persatuan Bangsa Bangsa
PERTI : Partai Tarbiyah Islamiyah
PII : Pelajar Islam Indonesia
xiii
PIR : Partai Indonesia Raya
PKI : Partai Komunis Indonesia
PKR : Partai Kedaulatan Rakyat
PNI : Partai Nasional Indonesia
PP : Penetapan Presiden
PPKI : Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
PRRI : Pemberontakan Revolusioner Republik Indonesia
PSI : Partai Sosialis Indonesia
PSII : Partai Sarekat Islam Indonesia
RIS : Republik Indonesia Serikat
RUU : Rancangan Undang-Undang
SDI : Sarekat Dagang Islam
SDII : Sarekat Dagang Islam Indonesia
SI : Sarekat Islam
TNI : Tentara Nasional Indonesia
TT : Teritorial Tertinggi
UUD : Undang-Undang Dasar
UUDS : Undang-Undang Dasar Sementara
USDEK : UUD1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Ala Indonesia,
Ekonomi Terpimpin dan Keadilan Sosial
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada awal abad 20 nasionalisme Indonesia mencapai titik puncak, yaitu
dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia. Indonesia dan negara-
negara Asia lain mengalami penjajahan dan secara serempak membangkitkan
nasionalismenya sendiri-sendiri sehingga menciptakan negara merdeka.
nasionalisme di Indonesia mulai muncul dan menumbuhkan pemikiran rasa
ingin lepas dari penjajahan. Bangkitnya nasionalisme mengarah ke kesadaran
politik. Sebelum kemerdekaan kesadaran politik muncul di abad 20 antara
tahun 1910-1930 pemikiran untuk mencari dasar kemerdekaan bangsa.
Kemunculan partai maupun organisasi karena merasa senasib dan rasa
ingin lepas dari penjajah sehingga muncul nasionalisme bangsa Indonesia.
Kehidupan partai di Indonesia dimulai sejak pemerintahan kolonial Belanda.
Hubungan yang terjadi antara penguasa kolonial beragama Kristen dan
pribumi yang beragama Islam menjadi latar belakang hubungan Belanda-
Indonesia, dalam hal ini keinginan untuk tetap menjajah mengakibatkan
pemerintah kolonial tidak mampu memperlakukan agama pribumi sesuai
dengan agama mereka. Latar belakang ini menjelaskan mengapa terjadi
kebijaksanaan yang berhubungan dengan agama, meskipun dinyatakan bahwa
pemerintah kolonial bersikap netral pada agama.1
1 H.Agus Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985),
hlm.15.
2
Ketika pimpinan Islam semakin menyadari tentang keresahan,
penderitaan rakyat akibat kondisi kolonial dan pentingnya pengaruh politik
akhirnya mendorong para Kyai dan ulama untuk menghimpun kekuatan.
Landasan ideologi Islam digunakan sebagai perjuangan politik untuk
melawan kekuasaan kolonial, hal ini menjadikan Islam sebagai sarana untuk
mengangkat harga diri berhadapan dengan kekuasaan kolonial.2 Meskipun
demikian antara tahun 1910 sampai 1930 selain ideologi Islam timbul
ideologi lain seperti komunis maupun nasionalisme. Islam kemudian tumbuh
sebagai dasar pergerakan politik yang berkembang dengan terbentuknya satu
wadah bernama MIAI (Majelis Syuro A’la Indonesia).
Pada tanggal 21 September 1937 di Surabaya KH Mas Mansyur, KH
Abdulwahab Chasbullah dan KH Ahmad Dahlan berhasil mendirikan MIAI.3
MIAI berdiri atas dasar perlu dibentuknya wadah politik Islam di Indonesia,
hal ini dirasakan perlu dan didukung oleh segenap organisasi islam di
Indonesia.4
Berdirinya MIAI menjadi kekuatan yang mengguncang
pemerintah kolonial Belanda. MIAI memperlihatkan harapan besar bagi kaum
muslimin Indonesia untuk bergerak mencari kemerdekaan. Kegiatan MIAI
turut pula berperan aktif dalam masa pergerakan nasional.
2 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2012), hlm. 34. 3Abdul Karim, Islam dan Kemerdekaan Indonesia (Yogyakarta: Sumbangsih
Press, 2005), hlm.50. 4 Ibid, hlm. 50.
3
Kedatangan Jepang di Indonesia tahun 1942 mempengaruhi
perkembangan MIAI, keputusan Jepang seringkali bertentangan dengan
pemerintah Indonesia. Keputusan Jepang salah satunya adalah melarang
kegiatan kepartaian. Keputusan ini tentu saja menimbulkan masalah baru bagi
partai di Indonesia, tetapi tidak untuk MIAI. MIAI yang diperkenankan terus
berdiri dengan cara menyesuaikan nya dengan keinginan perang Asia Timur
Raya.5
MIAI pun dalam perkembangannya melakukan upaya untuk mengusir
penjajah dari tanah nusantara. Karena itu, pada bulan oktober 1943 Jepang
membubarkan MIAI. Alasannya pembubaran MIAI karena Jepang merasa
bahwa mereka membahayakan kedudukan Jepang serta perkembangan
mereka yang pesat. Apalagi pada waktu itu umat Islam sudah memiliki
pasukan militer yaitu Hizbulloh, pemuda-pemuda yang dididik militer oleh
mereka sendiri. 6
Pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, pada tanggal 7 November 1945,
mengadakan kongres pemimpin umat Islam di gedung Madrasah Mu’alimin
Yogyakarta tokoh-tokoh Islam bersepakat untuk mendirikan partai politik
Islam yang pertama yang diberi nama Masyumi atau kepanjangan dari
(Majelis Syuro Muslimin Indonesia).7 Tujuan didirikannya Partai Masyumi
5
Zulfikar Gazali dkk, Sejarah Politik Indonesia. (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional,1989), hlm.7. 6 Ahmad Syafii Maarif. Islam dan Politik Teori belah bambu masa Demokrasi
terpimpin (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm.21-22.
4
yakni “terlaksana ajaran dan hukum islam di dalam kehidupan individu,
masyarakat dan negara Republik Indonesia menuju keridhaan Illahi, tujuan
ini kemudian dijabarkan dalam Tafzir Azas Muhamadiyah yang
kedudukannya sebagai penjelas dari ideologi Islam yang dianut partai
Masyumi.8
Pasca pembentukan Masyumi 1945 selama kurun waktu 1949-1955,
partai Masyumi ikut serta duduk dalam kabinet. Kabinet Amir Sjarifuddin
berhasil menarik PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) untuk keluar dari
Masyumi. Peristiwa ini terjadi tahun 1947 sehingga menimbulkan keretakan
dalam kalangan Islam walaupun dampak dari keluarnya itu tidak begitu besar.
Keluarnya PSII disebabkan karena kekecewaan sebagian politisinya di
Masyumi yang tidak mendapatkan peran dan kedudukan kurang strategis
seperti Wondoamiseno dan Arundji Kartawinata.9
Pada tahun 1950-1955 menjadi tahun dimana pergolakan jatuh bangun
Masyumi dalam kabinet. Kabinet pertama diisi oleh Natsir (Masyumi) dan
selanjutnya setelah kabinet runtuh diganti dengan Sukiman (Masyumi).
Perdana menteri dari dua kabinet tersebut diisi oleh Masyumi sedangkan
tujuan dari kabinet tersebut sama yaitu: Program Kabinet Natsir antara lain:10
7 Syaifullah, Gerak Politik Muhamadiyah dalam Masyumi, (Jakarta: Pustaka
Utama Grafitti, 1997), hlm.141.
8 Zulfikar Gazali, loc.cit., hlm. 3.
9Ridho Al Hamdi. Partai Politik Islam Teori dan Praktik di Indonesia.
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm. 57. 10
C.s.T. Kansil. Susunan dan Program Kabinet Republik Indonesia. (Jakarta:
Pradnja Paramita, 1970), hlm. 12.
5
Menjalankan tindakan tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk
menjamin kenyamanan dan ketentraman. Membuat dan merencanakan
rencana kemakmuran nasional dalam jangka pendek untuk mempertinggi
kehidupan sosial ekonomi rakyat. Mempercepat usaha penempatan bekas
pejuang dalam lapangan pembangunan. Menyelesaikan persiapan pemilihan
umum untuk membentuk Konstituante dan menyelenggarakan pemilihan
umum dalam waktu yang singkat. Menjalankan politik luar negeri yang bebas
aktif dan yang menuju perdamaian.
Pada tahun 1952 saat kabinet Sukiman berhenti dan digantikan oleh
kabinet Wilopo. Muncul masalah baru dalam internal partai yaitu keluarnya
NU dari tubuh partai Masyumi. Terpilihnya KH Fakih Usman (unsur
Muhamadiyah dalam Masyumi) menjadi Menteri Agama dalam kabinet
Wiloppo menyebabkan masalah yang besar hal ini dikarenakan, menteri
Agama dalam kabinet sebelumnya selalu dipegang NU dengan KH Hasyim
Wahab duduk sebagai menteri.11
NU ingin juga menunjukan bahwa kalangan
ulama berpendidikan tradisional sebenarnya juga mampu menegelola suatu
negara modern. maka dalam Mukhtamar NU di Palembang 1952, menyatakan
diri keluar dari Masyumi.
Partai Masyumi yang sudah ditinggal PSII dan NU terus maju hingga
pemilihan umum 1955. Perdana menteri Boerhanoedin Harahap (Masyumi)
berhasil mengadakan pemilu di tahun 1955. Pemilihan umum tepatnya 25
11
Bibid Suprapto. Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia.
(Jakarta Timur: Ghalia Indonesia) 1985 hlm. 145.
6
September 1955 untuk memilih anggota DPR dan 15 Desember 1955 untuk
memilih anggota Konstituante. Pemilihan umum waktu itu sangat menarik
karena setiap partai mempunyai pendukung fanatik masing-masing yang,
mereka yang muslim akan ke Masyumi, NU (Nahdahtul Ulama).
Pemilu 1955 memperlihatkan posisi partai Masyumi yang jaringan
pendukungnya luas menggambarkan bahwa partai ini merupakan partai
bersifat nasionalis di dalam sistem tersebut. Partai Masyumi diisi pendukung
berasal dari luar Jawa yang wilayah Islamnya kuat, seperti Sumatera sehingga
mampu meenduduki posisi ke dua hasil pemilu.12
Hasil pemilu 4 partai besar
yakni PNI, PKI, NU, dan Masyumi yang mengumpulkan suara 75% dari
keseluruhan pemilih pada pemilihan umum tahun 1955 dan pemilihan daerah
pada tahun 1957.13
Hasil ini membawa partai Masyumi menjadi bagian pilar
pemerintahan selain PNI.
Pasca pemilu partai Masyumi merupakan awal dari babak akhir partai.
Selama kurun waktu 1956 hingga 1958 terjadi masalah hingga membawa
partai bubar. Posisi mulai bergeser pada saat PKI bangkit kembali dan
mempengaruhi kebijakan Soekarno serta diakomodasi dalam pemerintah.
Masyumi sebagai partai Islam menolak paham komunisme PKI.
Pembentukan kabinet Ali-Roem-Idham setelah pemilu 1955, Soekarno
menginginkan PKI dilibatkan dalam kabinet karena menduduki hasil ke
empat hasil pemilu 1955. Keinginan tersebut tidak dipenuhi oleh Ali
12
Ichlasul Amal. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. (Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yogya, 1988), hlm.134.
13 Ibid, hlm. 133.
7
Sastroadmijoyo, Masyumi, NU menolak dan menentang keterlibatan PKI,
karena PKI dipandang tidak mengakui keberadaan Tuhan yang Maha Esa.
Pertentangan antara Soekarno dengan partai Masyumi semakin terbuka saat
penolakan konsepsi Soekarno tentang demokrasi terpimpin untuk
menggantikan demokrasi parlementer.
Akhir Oktober 1956 adanya keinginan Presiden untuk pembubaran
partai politik. Hal ini mendapat reaksi dari pimpinan partai. Presiden
Soekarno mengemukakan pikiran supaya pemimpin partai mengadakan
pertemuan dan musyawarah serta mengambil keputusan untuk dibubarkannya
partai-partai.14
Keputusan Presiden mendapat tanggapan dari Parkindo yang
sebaiknya partai-partai pendukung pemerintah bersama mengundurkan diri
dan membentuk kabinet baru dengan bantuan presiden dan wakil presiden.15
Hal ini menambah konsepsi presiden tentang pembubaran partai politik.
Gejolak kabinet serta adanya keputusan presiden akhirnya membawa
Masyumi kepada pilihan untuk menarik diri dari kabinet. Sidang awal Januari
1957 pemimpin partai Masyumi telah menarik kelima menterinya dari
kabinet yaitu Menteri Kehakiman Muljatno dan Menteri Pekerjaan Umum
dan Tenaga Pangeran Noor. Keputusan penarikan keanggotaan partai
Masyumi disesali Dewan sidang yang kecewa atas pernyataan partai
Masyumi. Penarikan juga dikemukakan pimpinan partai Masyumi, sejak
kabinet terbentuk pada Maret 1956 yang menggap partai Masyumi sudah
14 Pedoman Rakyat, “Presiden Anjurkan Dikuburkan Partai Partai”, 30
Oktober 1956.
15 Pedoman Rakyat, “ Parkindo setuju kabinet bubar”, 2 Januari 1957.
8
turut serta membangun bangsa akan tetapi partai Masyumi harus konstan
dalam tindakan yang tidak selamanya memberi keyakinan jalan yang dituju
tidak ke arah menjaga keselamatan dan kesejahteraan bangsa dan negara.16
Penolakan juga dilakukan pada saat dibentuk kabinet karya yang tidak
memperhatikan kekuatan parlemen, yaitu kabinet Djuanda yang diumumkan
pada 8 April 1957 pasca mundurnya kabinet Ali Rhoem. Penolakan tersebut
bertentangan dengan kebijakan Presiden Soekarno yang hendak menyatukan
seluruh kekuatan bangsa.17
Partai lain yang semula menolak konsepsi
Soekarno seperti NU, akhirnya mulai akomodatif dengan menerima dan
mengirim wakil dalam Kabinet Juanda.
Posisi Partai Masyumi yang tidak masuk dalam kabinet serta
munculnya PRRI (Pemberontakan Revolusioner Republik Indonesia) yang
sebagian anggota Masyumi turut didalamnya akhirnya presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali ke UUD
1945 dan pengambil-alihan oleh Presiden Soekarno seluruh kewenangan
pemerintah dalam tangannya.18
Pada tanggal 5 Juli 1960 dengan perintah
presiden nomor 13 tahun 1960 tentang pengakuan, pengawasan dan
pembubaran partai politik Presiden Soekarno menjalankan kebijakan
penyederhanaan partai partai politik sebagai pelaksanaan Penpres nomor 7
tahun 1959 tentang syarat syarat dan penyederhanaan partai. Pada 21 Juli
16 Pedoman Rakyat, “ Kesibukan Politik di Ibukota”, 11 Januari 1957.
17
Muchamad Ali Safa’at., loc.cit, hal. 164.
18
S.M. Amin, Indonesia Dibawah Rezim Demokrasi Terpimpin. (Jakarta:
Bulan Bintang, 1967). hlm 190.
9
1960 soekarno memanggil pemimpin-pemimpin Masyumi dan PSI.
Memberikan waktu untuk mencukupi syarat kepartaian hingga 30 Desember
1960.
Partai Masyumi menyatakan bahwa Penpres nomor 7 tahun 1959
bertentangan dengan UUD 1945 yang tidak mengenal bentuk hukum
penetapan presiden. Jawaban pimpinan Masyumi dan PSI tidak memuaskan
Soekarno, pada tanggal 17 Agustus 1960 dikeluarkan keputusan presiden
nomor 200 tahun 1960 yang membubarkan Masyumi dan keputusan presiden
nomor 201 tahun 1960 yang membubarkan PSI.19
Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti merasa tertarik mengkaji lebih
dalam dengan judul “Perkembangan Politik Partai Masyumi Pasca Pemilu
1955”. Adapun penulis mengangkat permasalah ke dalam karya tulis ilmiah,
yaitu masih kurangnya penulisan sejarah perkembangan Partai Masyumi
khususnya periode 1955 hingga dibubarkan secara lebih mendalam.
Rentang waktu yang penulis teliti yaitu pada tahun berdirinya Partai
Masyumi 1945 hingga partai membubarkan diri pada tahun 1960. Pada tahun
1945 hingga tahun 1960 merupakan titik pergolakan sistem pemerintahan dari
UUD 1945 yang berganti menjadi UUDS 1950 hingga konsepsi Soekarno
untuk kembali menganut sistem UUD 1945. Sistem ini tidak akan lepas dari
partai-partai besar seperti Partai Masyumi, orientasi Partai Masyumi selain
menjaga kedaulatan Republik Indonesia juga menjalankan politik Islam.
Selama kurun waktu 15 tahun berdiri, Partai Masyumi selalu menjadi peranan
19
Muchamad Ali Safa’at,. op.cit, hlm. 169.
10
penting dalam pemerintahan, terlebih ketika memasuki masa UUDS 1950
Kabinet dipegang Natsir dan selanjutnya dipegang Sukiman, puncaknya pada
pemilihan umum tahun 1955. Pemilu 1955 menjadi wujud kebesaran Partai
Masyumi, dimana partai menempati posisi ke dua setelah PNI. Lima tahun
kemudian yaitu tahun 1960, Partai Masyumi membubarkan, dengan alasan
menolak komunis duduk di pemerintahan yang berujung pada keterlibatan
beberapa tokoh Partai Masyumi dalam PRRI. Bubarnya partai Masyumi
mengakhiri semua aktifitas politik partai Masyumi. Selain itu masa
Demokrasi Parlementer tahun 1955 menjadi fanatik partai, Masyumi yang
ingin menjalankan syariat dan hukum Islam pada kenyataannya menimbulkan
masalah yang berdampak kompleks baik partai, politik, maupun sosial.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang lahirnya Partai Masyumi ?
2. Bagaimana Perkembangan Partai Masyumi pada masa Demokrasi
Parlementer tahun 1950-1955 ?
3. Bagaimana Kondisi Partai Masyumi pasca Pemilihan Umum pada tahun
1955 ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu, tujuan umum dan tujuan
khusus. Adapun tujuan-tujuan tersebut sebagai berikut.
1. Tujuan Umum
a. Mengembangkan kemampuan berfikir secara ilmiah dalam
menganalisa peristiwa sejarah.
11
b. Menerapkan teori dan metodologi sejarah dalam mengkaji
peristiwa.
c. Memberikan pemahaman bahwa perkembangan politik berperan
dalam perkembangan Indonesia.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui Latar belakang berdirinya Partai Masyumi.
b. Mengetahui gambaran tentang Perkembangan Partai Masyumi
pada masa Demokrasi Parlementer tahun 1950-1955.
c. Mengetahui perkembangan Partai Masyumi setelah pemilu tahun
1955 hingga dibubarkan.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu bagi pembaca dan
penulis. Adapun manfaat-manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagi Pembaca
a. Memberikan gambaran latar belakang berdirinya Partai Masyumi.
b. Mengerti perkembangan Partai Masyumi masa Demokrasi
Parlementer.
c. Mengetahui dan memperluas tentang keikutsertaan Partai Masyumi
dalam membangun Bangsa dan Negara hingga dibubarkan pada 1960.
2. Bagi Penulis
a. Menambah pengetahuan tentang Partai Masyumi.
b. Memacu untuk bisa berkarya dalam bidang karya ilmiah.
12
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan telaah atau teori yang menjadi landasan
pemikiran. Hal ini dimaksudkan supaya peneliti dapat memperoleh data-data
atau informasi yang lebih lengkap mengenai permasalahan yang akan dikaji.
Adapun literature yang digunakan penulis sebagai bahan kajian pustaka
sebagai berikut.
Buku yang pertama untuk menjawab rumusan masalah bab II mengenai
motif dan tujuan Masyumi. Buku ini berjudul Modernisasi dan
Fundamentalisme dalam Politik Islam karya Yuzril Ihza Mahendra. Buku ini
menjelasakan tentang perbandingan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan) dan
Partai Masyumi (Indonesia). Buku ini menjelaskan tentang tujuan
pembentukan Masyumi. Partai ini bertujuan mengakkan kedaulutan negara
Republik Indonesia dan agama Islam. Kedua melaksanakan cita-cita Islam
dalam urusan kenegaraan. Penjelasan ini termuat dalam dua naskah resmi
Masyumi, yaitu Pernyataan politik yang dikeluarkan pada 8 November 1945
dan program perjuangan Partai Masyumi yang diumumkan pada 17
Desember.
Pembentukan partai Masyumi sendiri dilakukan oleh beberapa tokoh
seperti Agus Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakhar, Dr. Soekiman
Wirosandjojo, Ki Bagus Hadikusumo, Mohamad Mawardi, Abdul Wahid
Hasim, Muhammad Natsir. Keputusan didirikannya Masyumi oleh tokoh
tersebut bukan hanya sekedar keputusan biasa melainkan sebuah keputusan
dari seluruh umat muslim melalui wakil-wakilnya. Keterwakilan berbagai
13
tokoh Islam mencerminkan partai Masyumi sebagai “partai tunggal Islam di
Indonesia”. Tidaklah mengherankan jika tokoh-tokoh tersebut mengambil
peranan penting dalam tubuh partai Masyumi.
Buku yang kedua berjudul Perkembangan Partai Islam di Pentas
Nasional 1945-1965 karya Deliar Noer. Buku ini digunakan untuk menjawab
rumusan masalah bab III dan sebagai penunjang menjawab rumusan masalah
bab IV. Bab III penulis gunakan saat partai Masyumi dalam kabinet periode
1945-1955. Partai Masyumi menunjukan eksistensi partai Islam untuk duduk
dalam kabinet. Selama kurun waktu 1950 hingga 1955 partai Masyumi jatuh
bangun dalam kabinet. Kabinet masa UUDS 1950 (Undang-Undang Dasar
Sementara) 1950, partai Masyumi memimpin menjadi perdana menteri dalam
kurun waktu 2 kabinet (Kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman). Pasca kebinet
Sukiman, partai Masyumi mulai goyah dengan keluarnya NU dari Masyumi.
Keluarnya NU di tahun 1952, kemudian memutuskan menjadi fraksi sendiri.
Pemilu tahun 1955 kejutan mulai datang dengan hasil dimana NU mendapat
kursi no 3 di bawah partai Masyumi serta tampilnya PKI yang mendapat kursi
di no empat.
Bab IV penulis gunakan untuk mengetahui perkembangan partai
Masyumi pasca pemilu 1955. Pasca pemilihan umum masalah mulai muncul
ketika tahun 1958 anggota Masyumi terlibat dalam PRRI (Pemberontakan
Revolusioner Republik Indonesia). Meskipun konflik dengan PRRI segera
dapat diatasi pemerintah, namun ketika di tahun 1959 masalah ini berdampak
besar. Pada tanggal 21 Juli 1959 Presiden Soekarno memanggil pemimpin-
14
pemimpin partai Masyumi dan (PSI) menyerahkan setumpuk daftar
pertanyaan yang harus dijawab oleh para pemimpin partai secara tertulis
dalam satu minggu. Salah satu pertanyaannya menanyakan keterlibatan
anggota partai dengan PRRI. Akhirnya pukulan terakhir dialami partai Islam
yang gigih mempertahankan prinsipnya dengan jawaban mereka. Pada
tanggal 17 Agustus 1960 akhirnya partai Masyumi mendapat surat yang
menyatakan Masyumi harus bubar. Pada tanggal 13 September 1960
pimpinan pusat partai Masyumi menyatakan partainya bubar.
Buku yang ketiga berjudul Indonesia Dibawah Rezim Demokrasi
Terpimpin buku karya Ichlasul Amal menjelaskan tentang partai politik yang
ternyata mengikuti garis-garis pengelompokan yang sudah ada, salah satunya
PKI, NU, PNI, banyak memperhatikan dan di inspirasi oleh kepentingan dan
pandangan hidup Jawa, sementara partai Masyumi berkembang di daerah
Islamnya kuat, yakni Sunda di Jawa barat. Penggunaan buku ini penulis akan
memfokuskan menggunakannya sebagai landasan menjawab rumusan
masalah pertama dan sebagai pendukung menjawab rumusan masalah kedua.
Buku yang keempat berjudul Pembubaran Partai Politik. buku karya
Muchamad Ali Safa’at yang menjelaskan pembubaran partai politik di
Indonesia. Buku ini menjelaskan Keberadaan partai politik pada masa
kemerdekaan dimulai dari adanya maklumat pemerintah 3 Nopember 1945
yang mendorong tumbuhnya banyak partai politik sesuai dengan keadaan
demokrasi yang dikembangkan untuk maksud mempertahankan kemerdekaan
15
dan menjamin keamanan rakyat. Mulai saat itu partai politik mulai mewarnai
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Buku yang kelima sama dengan judul Pembubaran Partai Politik karya
Dr. Muchamad Ali Safa’at menjelaskan pembubaran partai politik di
Indonesia. menjelaskan bagaimana PKI bangkit kembali dan mempengaruhi
kebijakan Soekarno serta diakomodasi dalam pemerintah. Di sisi lain,
Masyumi sebagai partai Islam menolak paham komunisme Atheis PKI. Pada
saat pembentukan kabinet Ali-Roem-Idham setelah pemilu 1955, Soekarno
menginginkan PKI dilibatkan dalam kabinet karena menduduki hasil ke
empat hasil pemilu 1955. Namun keinginan tersebut tidak dipenuhi oleh Ali
Sastroadmijoyo Masyumi dan NU menolak dan menentang keterlibatan PKI,
karena PKI dipandang tidak mengakui keberadaan Tuhan yang Maha Esa.
Pertentangan antara Soekarno dengan partai Masyumi semakin terbuka
saat penolakan konsepsi Soekarno tentang demokrasi terpimpin untuk
menggantikan demokrasi parlementer. Penolakan juga dilakukan pada saat
dibentuk kabinet karya yang tidak memperhatikan kekuatan parlemen, yaitu
kabinet Djuanda yang diumumkan pada 8 April 1957. Penolakan tersebut
bertentangan dengan kebijakan Presiden Soekarno yang hendak menyatukan
seluruh kekuatan bangsa.
Pada tanggal 17 Agustus 1960 hari proklamasi kemerdekaan Indonesia
dikeluarkan Keppres Nomor 200 tahun 1960 yang membubarkan partai
Masyumi dan Keppres Nomor 201 tahun 1961 yang membubarkan PSI.
Kepres Nomor 200 tahun 1960 menyatakan bahwa “Membubarkan Partai
16
Politik Masyumi termasuk bagian-bagian atau cabang-cabang atau ranting-
rantingnya di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Demikian pula
dengan Keppres Nomor 201 tahun 1960 yang menyatakan “Membubarkan
Partai Sosialis Indonesia, termasuk bagian-bagian atau cabang-cabang atau
ranting-rantingnya di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
F. Historiografi Yang Relevan
Historiografi menjelaskan mengenai kajian-kajian historis dengan tema
atau topik yang sama, yang pernah dilakukan sebelumnya. Dalam bagian ini
juga dijelaskan apa yang membedakan dan kesamaan antara penelitian yang
dilakukan dengan penelitian yang mendahuluinya.
Skripsi pertama karya Nur Efri Setyadi mahassiswa Fakultas Ilmu Sosial
dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta yang berjudul “Eksistensi
Partai Masyumi pada Pemilihan Umum 1955”. Persamaan dengan penulis
yang kerjakan berupa latar belakang serta perjuangan partai masyumi dalam
politik nasional selama kurun waktu 1945-1955. Partai Masyumi merupakan
partai yang dibentuk oleh tokoh-tokoh Islam masa pergerakan. Partai
Masyumi merupakan perwujudan dari kalangan Islam untuk mewujudkan
cita-cita Islam dalam kehidupan bernegara.
Perbedaan dengan skripsi yang di bahas peneliti yaitu, peneliti
memfokuskan perkembangan politik yang dicapai partai Masyumi pasca
pemilihan umum 1955 hingga partai dibubarkan tahun 1960. Sementara
skripsi karya Nur Efri Setyadi memfokuskan pada eksistensi partai Masyumi
dalam pemilihan umum 1955. Hasil pemilihan umum 1955 muncul kejutan
17
dan hasil yang memuaskan diantara beberapa partai peserta pemilihan umum.
Pasca pemilihan umum keterlibatan pemimpin partai Masyumi dalam PRRI,
menjadi satu alasan mengapa partai ini dibubarkan.
Skripsi kedua karya Togap Nauli Napitupulu mahasiswa Fakultas Ilmu
Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta yang berjudul “Soekarno
dalam Demokrasi Terpimpin lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan
pengaruhnya terhadap kondisi politik di Indonesia tahun 1959”. Persamaan
dengan peneliti terletak pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit Presiden
Soekarno yang menyatakan kembali ke UUD 1945 dan pengambil-alihan
oleh Presiden Soekarno seluruh kewenangan pemerintah dalam tangannya
dan menggambarkan kondisi perpolitikan nasional. Wacana Soekarno tentang
penyederhanaan partai diikuti pula dengan keputusan Partai Masyumi
dibubarkan.
Perbedaan dengan skripsi yang penulis teliti yaitu, peneliti membahas
runtutan perkembangan politik partai Masyumi hingga menjadi salah satu
partai besar. Perkembangan pasca pemilu timbul konflik ketika Soekarno
mempunyai gagasan menyatukan empat partai hasil pemilu dalam satu
kabinet. Masyumi tidak menyetujui karena ada komunis di dalamnya.
Kondisi yang memanas akhirnya melalui dekrit Presiden partai Masyumi
dibubarkan.
G. Metodologi Penelitian dan PendeketanPenelitan
Metode sejarah merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis
rekaman dan peninggalan masa lampau berdasarkan data yang diperoleh
18
dengan menempuh proses historiografi.20
Metode sejarah adalah seperangkat
cara dan petunjuk dalam melaksanakan penelitian sejarah. Metode sejarah
membantu penelitian dalam merekonstruksi peristiwa sejarah. Menurut Louis
Gottslack terdapat empat tahap dalam penelitian sejarah yaitu pengumpulan
data (heuristic), kritik sumber (verifikasi), penafsiran (interpretasi), dan
penulis sejarah (historiografi).
1. Heuristik
Menurut terminologinya heuristik (heuristic) berasal dari bahasa Yunani
heuristiken yang berart imengumpulkan atau menemukan sumber. Heuristik
merupakan kegiatan mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data,
atau materi sejarahatauevidensisejarah.21
Sumber merupakan bagian penting
dalam penulisan sejarah karena sumber merupakan pembedaan atar fakta dan
opini.
Sumber sejarah disebut juga data sejarah. Versi bahasa Inggris datum
bentuk tunggal, data bentuk jamak. Sumber sejarah dalam bahasa Latin
datum berarti pemberian. Pengumpulan Sumber merupakan proses yang
dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah.
Sumber sejarah, menurutbahannya, dapat dibagi menjadi dua yaitu tertulis
dan tidak tertulis atau dokumen dan artifact.22
Dokumen dapat berupanaskah,
20
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
2008), hlm. 39.
21
Helius Sjamsudin, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm.
86.
22 Kuntowidjoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2003), hlm.
95.
19
piagam, babad, suratkabar, prasasti, dll. Sumber artefact misalnya kapak,
gerabah, perhiasan, manik-manik, candi, patung.
Sumber yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini diperoleh dari
berbagai perpustakaan antara lain yaitu PerpustakaanPusat UNY,
Laboratorium Sejarah UNY, Jogja Library Center, Perpustakaan ST. Kolase
Ignatius Yogyakarta. Sumber-sumber yang diperoleh kemudian dikategorikan
berdasarkan waktu dan asalnya sebagai berikut.
a. Sumber Primer
Louis Gottschalk mendefinisikan sumber primer sebagai kesaksian
seorang saksi dengan matakepala sendiri atau dengan panca indera atau
juga dengan alat mekanis yang selanjutnya disebut saksi pandangan
mata.23
Ada beberapa sumber primer yang menjadi acuan dalam
penelitian ini.
A. G Pringgodigdo. Undang-Undang No. 7 tahun 1953 tantang
Pemilihan Umum.
Mimbar Indonesia, No. 29. 1960.
Mimbar Indonesia, No.31. 1960.
Pedoman Rakyat “ Presiden Anjurkan Dikuburkan Partai Partai, 30
Oktober 1956.
Pedoman Rakyat “ Parkindo setuju kabinet bubar”, 2 Januari 1957.
Pedoman Rakyat “ Kesibukan Politik di Ibukota, 11 Januari 1957.
23
Louis Gottschalk, op.cit., hlm. 43.
20
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder merupakan kesaksian dari siapapun yang bukan
merupakan saksi mata dan tidak mengalami peristiwa yang
dikisahkanya.24
Sumber sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian
ini sebagai berikut:
Yusril Ihza Mahendra. 1999 Modernisasi dan Fundamentalisme dalam
Politik Islam Jakarta Selatan:Paramidana.
Deliar Noer. 1987 Partai Islam di Pentas Nasional Jakarta: PT Pustaka
Utama Grafiti,
Samsuri. 1967. Politik Anti Komunis. 2004 Yogyakarta:Safian Insani
Press.
Syaifullah. Gerak politik Muhamadiyah dalam Masyumi 1997 Jakarta:
Anem Kosong Anem.
2. Verifikasi
Verifikasi atau kritik sumber adalah upaya untuk mendapatkan
otentisitas dan kredibilitas sumber.25
Kritik sumber ini sangat diperlukan
dalam penulisan sejarah. Kritik sumber yang dilakukan peneliti harus
seobyektif mungkin, agar diperoleh data dan sumber yang benar-benar
sesuai dengan penelitiannya. Kredibilitas data hanya bisa diperoleh
dengan melakukan kritik sumber.
24
Ibid. hlm. 43. 25
Suhartono Wiryo Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2010), hlm. 35.
21
Kritik sumber terdiri dari dua bagian meliputi kritik ekstern dan
kritik intern. Kritik ekstern biasanya digunakan para peneliti untuk
melihat keaslian dari sumber yang didapat seperti kecacatan pada sebuah
dokumen atau menguji otentisitas (keaslian) suatusumber. Sedangkan
kritik intern dalam penulisan sejarah biasanya digunakan untuk melihat
kebenaran dari sumber-sumber misalnya dokumen. Kritik internal
dimaksudkan untuk menguji kredibilitasdan realibilitassuatu sumber.
Kritik sumber terhadap sumber yang peneliti peroleh dilakukan
verifikasi baik secara fisik ataupun non fisik. Kritik sumber secara fisik
dapat dilihat dari tinta dan tulisan yang menunjukkan bahwa sumber
dapat digunakan sebagai sumber yang valid. Selanjutnya kritik sumber
secara non fisik dapat dilihat dari muatan yang disajikan. Melalui muatan
dapat dilihat tahun terbit, penulis, serta muatanisi yang disajikan
menunjukkan bahwa sumber dapat digunakan sebagai sumber yang
valid.
3. Interpretasi
Interpretasi berarti menafsirkan atau member makna kepada fakta-
fakta (fact) atau bukti-bukti sejarah (evidences).26
Interpretasi diperlukan
karena tidak semua sumber sejarah bisa menjelaskan secara utuh
peristiwa sejarah. Diperlukan interpretasi dari peneliti untuk
memunculkan fakta yang utuh dari suatu sumber sejarah. Untuk
menemukan fakta sejarah maka dilakukan sebuah analisis dan untuk
26 Ibid., hlm. 81.
22
menyatukan hasil interpretasi penulis terhadap data yang diperoleh
dilakukan sintesis.
Ada dua macam interpretasi, yaitu analisis dan sintesis.Analisis
berarti menguraikan. Dalam analisis, beberapa kemungkinan yang
dikandung oleh suatu sumber sejarah dicoba untuk dilihat.Sintetis berarti
menyatukan. Dalams intetis, beberapa data yang ada dikelompokkan
menjadi satu dengan generalisasi konseptual.27
Peneliti menganggap Partai Masyumi memiliki peranan besar bagi
perkembangan Indonesia dan juga membawa arah baru bagi agama islam
di Indonesia.
4. Historiografi
Historiografi adalah penyajian hasil interpretasi fakta dalam bentuk
tulisan. Dapat dikatakan historiografi sebagai puncak dari rangkaian kerja
seorang sejarawan, dan dari tahapan inilah dapat diketahui “baik
buruknya” hasil kerja secara keseluruhan. Dukungan sumber-sumber
yang valid sertalengkap, akan membantu penelitian ini menjadi penulisan
yang dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dijadikan pula sebagai
referensi penelitian-penelitian selanjutnya. Dalam penulisan sejarah,
aspek kronologis sangat penting.28
Penyajian penulisan dalam bentuk
tulisan mempunyai tiga bagian: (1) pengantar, (2) hasil penelitian, (3)
simpulan.
27
Kuntowijoyo, op.cit., hlm. 102-103.
28 Ibid., hlm. 104.
23
H. Pendekatan Penelitian
Proses rekonstruksi atau penggambaran peristiwa sejarah sangat
tergantung pada pendekatan yang dilakukan dalam penelitian.29
Pendekatan
dalam penulisan sejarah digunakan untuk mempermudah pengkajian.
Penelitian sejarah tidak hanya mencakup satu pendekatan saja melainkan
beberapa pendekatan. Hal ini disebabkan sebagai upaya pengkajian secara
multidimensional. Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan anatar
lain pendekatan politik dan sosial.
1. Pendekatan Politik
Politik merupakan semua kegiatan yang berhubungan dengan
negara dan pemerintahan. Pendekatan politik didefinisikan oleh Miriam
Budiardjo adalah sebagai macam kegiatan dalam suatu sistem politik
menyangkut proses menetukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan
melaksanakan tujuan-tujuan itu.30
Pendapat lainnya yang mencoba mendiskripsikan persoalan tentang
politik seperti Sartono Kartodirdjo. Menurutnya, pendekatan politik
adalah pendekatan yang mengarah pada struktur kekuasaan, jenis
kepemimpinan, hiererki sosial, pertentangan dan lain sebagainya.31
29
Hariyono, Mempelajari Sejarah secara Efektif. (Jakarta: Pustaka Jaya,
1995), hlm. 97-98.
30
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta: Gramedia Pustaka,
2008), hlm. 8.
31
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah,.
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 144.
24
Pendekatan politik digunakan untuk mengetahui kondisi politik
Partai Masyumi dimana kondisi setelah pemilu 1955 Masyumi
berkembang kemudian mulai hancur perlahan dengan adanya kebijakan
baru Presiden Soekarno sehingga tahun 1960 diibubarkan Presiden.
2. Pendekatan Sosial
Sosial adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan aktifitas sosial
dalam kehidupan bersama, perkembangan metodologi sejarah menjadi
dekat dengan ilmu sosial sebab dalam sejarah penggunaan konsep-
konsep umum yang sering digunakan dalam ilmu sosial. Dengan catatan
selama penggunaan itu untuk ilmu kepentingan analisis sehingga
menambah kejelasan dalam eksplanasi serta interpretasi sejarah.
Konsepsi Presiden Soekarno tentang disatukannya partai pemenang
pemilu 1955 ternyata mendapat pro kontra dari berbagai kalangan partai.
Partai Masyumi secara organisasi melarang anggotanya turut serta dalam
kabinet. Menurut Masyumi prosedur yang ditempuh soekarno
bertentangan dengan UUD dan tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Anggota Partai Masyumi yang masuk ke kabinet terpaksa dikeluarkan
seperti Pangeran Noor sebagai Menteri Pekerjaan Umum. Partai lain
yang semula menolak konsepsi Soekarno seperti NU yang mulai
akomodatif dengan menerima dan mengirim wakil dalam Kabinet
Juanda. Natsir bersama Sjarifuddin kemudian terbang ke Sumatera Barat
untuk memimpin PRRI yang didukung masyarakat Sumatera Barat.
25
I. Sistematika Pembahasan
Guna memperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai
penulisan ini, sedikit penjelasan terhadap garis besar penulisan
“Perkembangan Politik Partai Masyumi Pasca Pemilu 1955”, yaitu :
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab pertama menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka dan historiografi yang
relevan, metode penelitian dan pendekatan penelitian serta sistematika
pembahasan.
BAB II. Latar belakang berdirinya Partai Masyumi.
a. Berdirinya Partai Masyumi
b. Tokoh Pendiri Partai Masyumi
c. Tujuan Pembentukan Partai Masyumi
d. Sistem Anggota Partai Masyumi
e. Program Politik Partai Masyumi
BAB III Bagaimana perkembangan Politik Partai Masyumi pada Demokrasi
Parlementer 1950-1955.
a. Masa Awal Kemerdekaan 1945-1949.
b. Perkembangan Politik Partai Masyumi Masa Demokrasi
Parlementer 1950-1955.
1. Kabinet Natsir.
2. Kabinet Dr.Sukiman.
3. Kabinet Wilopo
26
4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I
5. Kabinet Burhanuddin Harahap
BAB IV. Perkembangan Partai Masyumi pasca Pemilu 1955.
a. Pergolakan Politik Partai Masyumi 1956-1958.
b. Pembubaran Partai Masyumi 1960.
BAB V. Kesimpulan
Bab kelima berisi kesimpulan tetang apa yang sudah disampaikan
dalam penulisan. Kesimpulan ini merupakan jawaban dari
permasalahan pokok yang disajikan di dalam rumusan masalah.
27
BAB II
LATAR BELAKANG BERDIRINYA PARTAI MASYUMI
A. Berdirinya Partai Masyumi
Negara Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritasnya
seorang muslim. Tidaklah mengherankan kiranya jika Indonesia dikatakan
sebagai ranah muslim diantara sekian banyak negara muslim di berbagai
penjuru dunia. Ironisnya, di dalam percaturan ekonomi dan politik nasional,
nasib umat Islam Indonesia berlawanan dengan jumlah penduduknya. Dalam
konteks ini, tidak dipungkiri bahwa pemikiran dan gerakan politik Islam yang
tumbuh dan berkembang di tanah airacapkali dipengaruhi oleh berbagai
pemikiran dan gerakan politik di tingkat global. Kesadaran politik di masa
kolonial membuktikan bahwa pemimpin muslim mengetahui apa yang
dirakan rakayat.
Ketika tokoh-tokohIslam semakin menyadari tentang keresahan,
penderitaan rakyat akibat kondisi kolonial dan pentingnya pengaruh politik
akhirnya mendorong para Kyai dan ulama untuk menghimpun
kekuatan.Landasan ideologi Islam digunakan sebagai perjuangan politik
untuk melawan kekuasaan colonial.Ideologi Islam terwujud sebagai sarana
untuk mengangkat harga diri berhadapan dengan kekuasaan
kolonial.1Mayoritas penduduk Indonesia merupakan muslim hingga para
1 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2012), hlm.34.
28
tokoh kemerdekaan sehingga secara tidak langsung pengaruh yang
diharapkan dalam ideologi Islam mampu tersampaikan.
Menurut Ahmad Syafii Maarif, menyadari dirinya sebagai yang dianut
dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia, Islam melalui pemimpin-
pemimpinnya dalam sejarah kontemporer Indonesia menyatakan bahwa
negara (kekuasaan politik). Politik sangat diperlukan sebagai instrumen
untuk menjamin dan melaksanakan ajaran-ajarannya dalam kehidupan.2
Kondisi ini menantang para aktivis dan pemimpin muslim untuk membenahi
melalui perjuangan politik.
Pada tanggal 21 September 1937 K.H. Mas Mansyur, K.H.
Abdulwahab Chasbullah dan K.H. Ahmad Dahlan berhasil mendirikan MIAI
(Madjelis Islam A’la Indonesia), di Surabaya.3
Ada dua alasan pokok
mengapa MIAI didirikan. Pertama, usaha politik Islam pada waktu itu masih
belum maksimal, sehingga kesadaran mengadakan badan persatuan
dikalangan Islam supaya kedudukan Islam di Indonesia sepadan dengan
besarnya umat Islam. Kedua adalah landasan untuk membimbing pemimpin-
pemimpin umat dalam membentuk MIAI yang waktu itu dipandang cukup
strategis untuk menggalang persatuan diantara partai dan organisasi Islam.4
2
Ahmad Syaffi Maarif. (1988). Islam di masa Demokrasi Liberal dan
Demokrasi Terpimpin, Prisma, No. 5 Tahun XVII, hlm. 25.
3 Abdul Karim. Islam dan Kemerdekaan Indonesia, (Yogyakarta: Sumbangsih
Press, 2005), hlm.50.
4 Ahmad Syafii Maarif. Islam dan Politik Teori belah bambu masa Demokrasi
terpimpin (1959-1965)(Jakarta:Gema Insani Press, 1996), hlm.16.
29
Terbentuknya MIAI menjadi kekuatan baru yang menggetarkan
pemerintahan kolonial Belanda, pemerintah kolonial merasa usahanya sia-sia
meskipun sudah melakukan pembuangan pemimpin nasional serta beberapa.
Justru kaum muslim malah menjadi lebih gigih dalam menata perjuangan
mereka. MIAI merupakan perwujudan kalangan elite tokoh politik Islam
untuk menyalurkan kekuatan menghadapi kolonial. MIAI kemudian
menjelma menjadi organasasi Islam tumbuh dari masa kolonial hingga ke
masa pendudukan Jepang.
Kedatangan Jepang pada Maret 1942, mempunyai pengaruh besar untuk
partai. Partai dilarang melaksanakan kegiatannya kecuali MIAI yang
dibiarkan berdiri kemudian diganti dengan Masyumi. MIAI terus dibiarkan
berdiri karena Jepang menganggap bahwa keuatan Indonesia merupakan
kekuatan muslim, Jepang menggunakan MIAI sebagai sarana mempersatukan
muslim di bawah Jepang. Kekuatan MIAI yang kuat akhirnya menyebabkan
Jepang mengambil sikap untuk memobilisir muslim.
Hal ini menunjukan pengaruh kekuatan umat yang kuat sehingga
Jepang merasa perlu menggunakan kekuatan Islam dibawah kaki tangannya
kemudian membentuk Masyumi sebagai ganti MIAI. Hingga akhirnya pasca
kemerdekaan 1945 terbentuk Masyumi baru murni Indonesia. Pada 1944
kekuatan umat Islam semakin berkembang dengan terbentuknya Hizbullah
sebagai kekukatan militer muslim. Kekuatan yang terhimpun merupakan
langkah positif yang harus diapresiasi ke dalam wujud kemerdekaan.
30
Pada 17 Agustus 1945 Soekarno memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia.Pasca kemerdekaan mulai tumbuh dan berkembang partai politik
terutama dimulai saat pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah No.
X tanggal 3 November 1945, pemerintah tentang anjuran mendirikan partai
politik maka partai-partai politik pun lahir. Dalam pembentukan partai politik
tampak jelas dari pengorganisiran yang terpengaruh ikatan agama, suku dan
kedaerahan.Hadirnya partai politik yang pada mulanya merupakan partai
yang berdiri sabagai partai lanjutan pada masa pergerakan nasional.
Maklumat tersebut menegaskan pemerintah akan anjuran pendirian partai,
partai tersebut antara lain Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia)
murni Indonesia (lihat lampiran 1 halaman 101).5
Partai Masyumi berdiri pada kongres tanggal 7-8 November 1945
sepenuhnya merupakan hasil karya pemimpin-pemimpin umat Islam dalam
sebuah Muktamar Islam Indonesia bertempat digedung Madrasah Mu’allimin
Muhamadiyah, Yogyakarta.6 Kongres tersebut juga mengikrarkan Masyumi
adalah salah satu partai politik Islam di Indonesia dan partai Masyumi-lah
yang akan memperjuangkan nasib umat Islam Indonesia. Partai Masyumi
muncul sebagai partai yang mengakar di masyarakat Indonesia, karena di isi
organisasi utama yaitu NU, Muhamadiyah, Perserikatan Umat Islam hingga
berkembang dengan masuknya organisasi baru. Apabila dikaitkan dengan
5 Lambang Partai Masyumi berwujud Bulan Bintang.
6Syaifullah. Gerak politik Muhamadiyah dalam Masyumi. (Jakarta: Anem
Kosong Anem, 1997), hlm.141.
31
tahun 1945 maka pembentukan partai Masyumi merupakan aspirasi umat
Islam sebagai cerminan dan potensi yang kuat dan konkret.
Dipahami pula pembentukan partai Masyumi dipandang sebagai
jawaban positif umat muslim. Jawaban atas respon Maklumat Presiden 3
November 1945dengan mendirikan partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin
Indonesia) yang dianggap partai dengan berasaskan Islam waktu itu. Pasca
kemerdekaan merupakan perwujudan dari pemikiran politik. PNI (Partai
Nasionalis Indonesia) mewakili golongan Nasionalis, PKI (Partai Komunis
Indonesia) mewakili komunis sedangkan partai Masyumi mewakili golongan
agama Islam.Percaturan lebih nyata ketika pemilu 1955 dimana partai saling
memperjuangkan ideologinya masing-masing.
Menurut M. Natsir Partai Masyumi adalah seluruh daripada cita-cita
pandangan hidup dari ummat Muhammad yang telah ditanamkan benihnya di
Indonesia semenjak berabad-abad.Masyumi adalah Hasrat dari umat Islam
yang diwakili oleh para pemuka agama yang berasal dari seluruh
Indonesia.Cita cita dan pandangan hidup ini telah turut mengakar di bangsa
Indonesia.Perjuangan yang sudah dilakukan tokoh-tokoh Islam di masa lalu
membuktikan agama Islam yang menginginkan sebuah kemenangan serta
wujud kemenangan tanpa ada penindasan atas hak-hak mereka.7
B. Tokoh Pendiri Partai Masyumi
Masyumi didirikan oleh beberapa tokoh Islam, motif pembentukan
Masyumi dari para tokoh partai politik dan gerakan keagamaan Islam yang
7Herbert Feith dan Lance Castles, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965,
(Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 211.
32
sudah berkembang sejak zaman pergerkan nasional. Tokoh tersebut seperti
Agus Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakhar, Dr. Soekiman Wirosandjojo, Ki
Bagus Hadikusumo, Mohamad Mawardi, Abdul Wahid Hasim, Muhammad
Natsir. Keputusan didirikannya Masyumi oleh tokoh tersebut bukan hanya
sekedar keputusan biasa melainkan sebuah keputusan dari seluruh umat
muslim melalui wakil-wakilnya. Hal ini jelas terbukti terlebih ketika para
wakil yang duduk di posisi partai Masyumi merupakan para tokoh pemimpin
muslim.8
Tokoh-tokoh tersebut mewakili kalangan dan merupakan para
pemimpin umat seperti Agus Salim merupakan bekas tokoh SI, Dr. Sukiman
mantan pemimpin SI, Abdul Kahar Muzzakir dan ki Bangun Hadikusumo
adalah tokoh modernis Muhamadiyah. Motif tokoh-tokoh karena didorong
oleh keinginan menyatukan politik Islam ke dalam satu wadah.9Suasana
setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, adalah suasana yang sesuai untuk
mendirikan partai.Zaman pergerakan partai dan organisasi Islam yang ada
dihimpun untuk menghadapi permasalah sosial sehingga perlu satu wadah
untuk mempersatukan mereka.
Keterwakilan berbagai tokoh Islam mencerminkan Masyumi sebagai
“partai tunggal Islam di Indonesia” menurut Yusril Ihza Mahendra di dorong
oleh pandangan modernisme yang positif dan optimis dalam memandang
pluralisme. Perbedaan pendapat antara sesama kelompok Islam, haruslah
8 Syaifulloh, op.cit, hlm. 142.
9 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam politik
sosial. (Jakarta Selatan: Paramadina, 1999), hlm. 62.
33
dilihat sebagai rahmat dari Tuhan, karena perbedaan itu “tidak bersifat
fundamental, tetapi hanya berhubungan dengan masalah-masalah furu iyah
(perkara-perkara kecil).10
Tidaklah mengherankan jika tokoh-tokoh tersebut
mengambil peranan penting dalam Masyumi. Perkara-perkara besar suasana
politik dan sosial yang seharusnya disikapi menurut tokoh partai Masyumi
adalah suasana revolusi Indonesia dan suasana persaingan berbagai golongan
ideologi dalam masyarakat Indonesia.
Suasana setelah revolusi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang
diproklamasikan Soekarno merupakan proses membentuk dan
mempertahankan negara yang diusahakan dengan cara revolusi,
memunculkan berbagai kelompok politik saling bersaing memperebutkan
kekuasaan dan pengaruh.11
Ideologi berupa komunis nasionalis dan agama
serta muncul ideologi baru sosialisme. Keberadaan persaingan ideologi mulai
muncul diawal kemerdekaan ketika tokoh dari golongan islam, komunis dan
sosialis terlibat perbedaan tentang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) pada 21 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa Indonesia
merdeka hanya ada satu partai tunggal yang dinamakan PNI.
Percaturan politik yang panas mulai timbul persaingan serta tekanan
dari luar yang saling menggelorakan ideologi masing-masing ada kala
peropaganda ideologi sering berlangsung. Jawaban atas respon yang
ditujukan kepada partai Masyumi adalah membentuk gagasan negara
10 Ibid, hlm. 65.
11 Ibid, hlm. 67.
34
berdasarkan paham-paham Islam. Secara Eksplisit tidak ada sistematika
pendidikan politik yang diterapkan partai, upaya pendidikan politik yang
diperankan partai Masyumi tidak terlepas dari fungsi artikulasi kepentingan,
seleksi kepemimpinan, dan komunikasi politik. Secara implisit upaya
pendidikan politik partai Masyumi adalah usaha untuk mencapai tujuan yang
dengan cara menginsyafkan dan memperluaskan pengetahuan serta
kecakapan umat islam di Indonesia dalam perjuangan politik.12
Perjuangan politik partai Masyumi yang sangat kuat terjadi pasca
pemilu 1955 yaitu: perjuangan ideologis menghadapi komunisme yang
diperjuangkan PKI (Partai Komunis Indonesia). Propaganda PKI diyakini
oleh Masyumi sebagai propaganda ideologi yang disebarkan melalui media
cetak seperti buku Marxisme. Untuk mengantisipasi propaganda tersebut
Masyumi mengeluarkan kebijakan para anggota. Kebijakan itu adalah buku-
buku yang bertemakan sosialisme-religius atau lebih dikenal dengan buku
bacaan keluarga partai Masyumi.
C. Tujuan Pembentukan Partai Masyumi
Tujuan partai masa itu pada umumnya berhubungan dengan semangat
kebangsaan dalam usaha membentuk dan mempertahankan satu negara
bangsa yang bebas dari penjajahan.Semangat kebangsaan tahun 1945 muncul
berbagai macam ideologi, tetapi mereka sadar disamping ada perbedaan, ada
pula persamaan.Pandangan-pandangan dasar medernisme khususnya yang
12
Syamsuri. Politik Islam Anti Komunis. (Yogyakarta: Safirian Insani Press,
2004), hlm 96.
35
menyangkut sikap bahwa ijtihad harus digalakan dalam menghadapi situasi
yang berubah dan pandangan yang positif dalam memandang
pluralisme.Tokoh-tokoh yang mengambil inisiatif pembentukan partai
Masyumi, acap kali bersifat kolektif, pada umumnya telah menganut
medernisme sejak sedia kala.13
Tokoh-tokoh yang mengambil inisiatif pembentukan partai Masyumi
berinisiatif mendirikan kongres yang dihadiri golongan Islam di Indonesia.
Berkat usaha dengan berbagai golongan Islam berhasil menyelenggrakan
Kongeres Umat Islam Indonesia (KUII), kongres yang berlangsung di
Yogyakarta selama dua hari yang dihadiri sekitar lima ratus utusan
organisasi-organisasi sosil-ekonomi, Islam, tokoh tokoh alim ulama dan
tokoh politik. Inisiatif ini diambil oleh keingian untuk menyatukan potensi
kekuatan politikIslam ke dalam satu wadah perjuangan yang besar kuat dan
berpengaruh. Tujuan Masyumi menurut Anggaran Dasar Masyumi yang
disahkan oleh KUII pada tahun 1945, adalah14
1. Menegakkan kedaulatan negara Republik Indonesia dan agama Islam.
2. Melaksanakan Cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.
Tujuan partai Masyumi diuraikan dalam dua naskah resmi Masyumi,
yaitu pernyataan politik yang dikeluarkan pada November 1945 dan Program
perjuangan partai Masyumi yang diumumkan pada 17 Desember 1945.
Masyumi percaya bahwa Islam menghendaki kesejahteraan masyarakat serta
13
Yusril Ihza Mahendra, loc.cit, hlm. 62.
14 Ibid, hlm. 71.
36
penghidupan yang damai antara bangsa-bangsa di muka bumi ini.Pernyataan
politik tahun 1945 menjelaskan bahwa partai Masyumi sebagai respon
terhadap revolusi Indonesia yang bergolak yaitu tekad bangsa Indonesia
untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Tindakan Belanda
dan kelompok-kelompok kriminal adalah tegas membahayakan kedaulatan
Bangsa Indonesia
Imperialisme, apapun juga manifestasinya adalah suatu kezaliman yang
melanggar melanggar perikamanusiaan.Secara nyata diharamkan oleh Islam.
Program perjuangan yang diumumkan pada 17 Desember 1945 dikatakan
bahwa perjuangan partai Masyumi adalah untuk melenyapkan kolonialisme
dan imperialisme yang penuh kebuasan, kekejaman, dan kepalsuan. Tanah air
harus dibebaskan dari perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan oleh
kolonialisme dan imperialisme.15
D. Sistem Anggota Partai Masyumi
Sejak awal pembentukannya partai Masyumi memiliki keinginan untuk
menjadi partai yang didukung kalangan muslim di Indonesia. Dalam
keanggotaan untuk menjadi partai Masyumi disesuaikan dengan tujuan partai.
Dalam konteks negara, perjuangan anggota itu akan dicapai melalui
pemilihan umum. Pemilihan umum menghendaki adanya anggota yang
banyak dan dukungan luas dalam memilih. Untuk mencapai tujuan anggota
Masyumi mempunyai sistem anggota dua macam yaitu:
15 Ibid, hlm. 72.
37
1. Perseorangan: Anggota perseorangan minimum berumur 18 tahun atau
sudah kawin, tidak dibenarkan merangkap anggota lain dan setiap
anggota memiliki hak suara
2. Organisasi: mempunyai hak untuk memberi nasihat atau saran.
Ide dualisme keanggotaan didasari untuk memperbanyak anggota.
Alasan lain, agar Masyumi dapat dilihat sebagai wakil umat tanpa ada merasa
terwakili.16
Dalam sejarah kepartaian umat Islam di Indonesia di masa
kemerdekaan, keterkaitan seseorang dalam partai tersebut lebih sering
ditentukan oleh kedudukan partai tersebut di tengah pergolakan politik.Bila
kedudukan partai kuat partai itu menjadi pusat. Partai Masyumi merupakan
perwujudan dari organisasi seperti NU dan Muhamadiyah umumnya anggota
Muhamadiyah tergolong pada partai Masyumi sekurang-kurangnya
merupakan pendukungnya.
Awalnya hanya empat organisasi yang masuk partai Masyumi:
Muhamdiyah, NU, Perserikatan Umat Islam dan Persatuan Islam.
Muhamdiyah termasuk pembaharu, NU tradisional, kedua organisasi yang
lain bersifat tradisionalis dalam soal-soal agama, tetapi cenderung bersikap
modern dalam soal dunia sehingga memudahkannya untuk bekerja sama
dengan organisasi modernis. Persatuan Islam (Bandung) dan AL-Irsyad
bergabung dengan Masyumi disusul dengan Al-Jamiyatul Wasliyah, Al-
Ittihadiyah serta PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) menjadi anggota
16
Deliar Noer. Partai Islam di Pentas Nasional (Jakarta: PT Pustaka Utama
Grafiti, 1987), hlm. 48.
38
Masyumi antara tahun 1948-1953. Suatu organisasi islam dapat menjadi
anggota Masyumi bila disetujuai oleh lebih dari separuh anggota istimewa
yang ada. Kecuali Ahmadiyah Lahore(aliran qadian) karena dianggap tidak
Ahlus Sunnah wal Jamaah.17
Eksisitensi Masyumi dalam percaturan politik nasional memang sangat
berpangaruh dengan hasil berbagai anggota yang duduk dalam kursi
pemerintahan. Pada awalnya partai Masyumi yang sangat solid dan mampu
menyatukan kekuatan organisasi Islam, namun ketika terjadi konflik dengan
Soekarno tentang masalah pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesi (PRRI), sehingga anggota istimewa mulai melepaskan ikatan dengan
Masyumi. Kebijaksanaan ini diambil untuk menjaga kelancaran kegiatan
organisasi-organiasi yang bersangkutan dengan hambatan dalam geraknya.
Permasalahan dengan presiden membawa partai Masyumi dibubarkan oleh
presiden Soekarno tahun 1960.
Dalam masa revolusi dukungan Masyumi didapat dari Hizbullah yang
beranggotakan 50.000 orang dan jumlah ini berlipat ganda dengan proklamasi
kemerdekaan. Selain mempunyai 2 anggota utama partai Masyumi juga
mendirikan anak organisasi. Anak organisasi adalah organisasi yang
menghimpun anggota dengan latar belakang pekerjaan tertentu.Anak organasi
di bawah Masyumi bernama Muslimat (wanita), Sarekat Dagang Islam
Indonesia (SDII), Sarekat Tani Islam Indonesia (STII) yang semuanya
17 Ibid, hlm. 49-50.
39
didirikan di masa Revolusi.18
Anak organisasi sebagai pendesak untuk
mencapai tujuan-tujuan Masyumi dan menjadi alat untuk menghadapi
organisasi maupun anak organisasi partai lain.
Pendukung partai Masyumi sendiri cukuplah banyak dan hampir
mencakup lingkup sosial maupun daerah.Organisasi pendukungnya yaitu
Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI), dan Pelajar Islam Indonesia (PII).Selain itu ada pula Mathla’ul Anwar
(bergerak di daerah Banten), Al Khairat (bergerak di pulau Sulawesi,
Nahdahtul Watan (bergerak di daerah Lombok).19
Jumlah anggota pendukung
partai menunjukan kecenderungan akan aliran agama, sosial maupun kelas
pendidikan.
Organisasi yang dihimpun dengan latar belakang sosial mampu
menujukan pengaruh besar dalam tatanan masyarakat.Pengaruh agama sangat
luar biasa ketika dalam lingkup masyarakat kecil mampu dirangkul.Anggota
yang saling berkontribusi mengembangkan ideologi mampu mengokohkan
posisi partai. Sifat keanggotaan partai Masyumi yang mampu berkembang di
beberapa kelas dalam masyarakat merupakan wujud untuk menyalurkan
tujuan partai.
E. Program Politik Partai Masyumi
1. Politik
18 Ibid, hlm. 56.
19
Yuzril Ihza Mahendra, op.cit., hlm. 187-188.
40
Rumusan partai Masyumi menyebutkan bahwa partai itu menghendaki
negara Indonesia menjadi suatu negara hukum yang berdasarkan ajaran-
ajaran Islam.Istilah Negara Islam yang diinginkan partai Masyumi, bukan
merupakan penamaan yang harus diadakan. Tetapi lebih pada bagaimana
“ajaran Islam itu dapat menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara
meskipun bukan sebagai negara Islam”. Rumusan ini bisa disebut dengan apa
saja yang sesuai. Bahkan kalaupun harus dinamakan dengan Pancasila yang
berasal dari bahasa Sansekerta diperbolehkan jika rakyat memang
menghendaki itu. Partai Masyumi lebih memandang esensi dari pada
penggunaan istilah.20
Negara hendaklah menjamin keselamatan jiwa dan benda tiap orang
dan kebebasan beragama.Partai Masyumi lebih menyukai terbentuknya
kabinet presindensiil dengan tanggung jawab kepala negara kepada dewan
perwakilan rakyat. DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) sebaiknya terdiri dari
dua badan: dewan berdasar pemilihan umum dengan perwakilan berimbang
dan senat sebagai wakil daerah yang juga berdasar pemilihan umum. Hak-hak
asasi manusi hendaknya dijamin dalam UUD (Undang-Undang Dasar).Hak-
hak politik, sosial dan ekonomi, kaum wanita sederajat dengan kaum pria.
2. Pendidikan dan Kebudayaan
Menurut rumusan draf UUD Republik Indonesia yang diusulkan oleh
Masyumi, sistem pendidikan nasional diarahkan untuk melahirkan manusia-
manusia yang menguasai ilmu pengetahuan, keterampilan, keimanan kepada
20
Ibid., hlm. 204-206.
41
Tuhan dan akhlak yang mulia. Rumusan sistem pendidikan ini tidak
menyebutkan sistem Islam. Menurut tokoh-tokoh partai Masyumi rumusan-
rumusan umum telah mencerminkan kehendak islam, meskipun tidak
dinyatakan secara eksplisit. Partai Masyumi juga merencanakan pembentukan
Universitas negeri di setiap provinsi.21
Sekolah swasta agama perlu diberi subsidi. Pengajaran rendah
hendaknya juga menumbuhkan keterampilan anak, disamping pengetahuan.
Pendidikan agama di sekolah pemerintah ditujukan untuk pembentukan watak
dan kepribadian sehingga para pemuda menjadi anggota masyarakat yang
bertanggung jawab, berjiwa kemasyarakatan, berdisiplin, dan berkesusilaan.
Pendidikan agama harus harus diajarkan menurut agama yang dianut oleh
murid murid yang bersangkutan. Dalam bidang Kebudayaan, partai Masyumi
menyebutkan bahwa pemerintah yang berkewajiban untuk memajukan
kebudayaan dan kesenian sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas
islam.22
3. Ekonomi
Partai Masyumi berpendapat bahwa pembangunan ekonomi
memerlukan strategi pembangunan yang disusun menurut tahapan-tahapan
tertentu sejalan dengan potensi-potensi yang dimiliki negara. Perekonomian
hendaklah diatur menurut dasar ekonomi terpimpin.Perencanaan Produksi
dan distribusi penting untuk kesejahteraan rakyat seluas-luasnya.Monopoli
21
Ibid., hlm. 264-265.
22 Ibid., hlm. 268.
42
oleh perusahaan swasta dilarang dan konkurensi hendaknya bersifat
membangun. Politik harga dan upah harus sesuai dengan keadaan
perekonomian dalam negeri. Koperasi harus dibangun dengan bantuan
pemerintah.23
Pemerintah juga harus harus membantu nelayan dan memberi
perlindungan kepada para petani dengan memberantas pemerasan terhadap
mereka, menghapuskan sistem tuan tanah menurut hukum dan membagi
tanahnya kepada petani. Pemerintah hendaknya juga memberi kemudahan
bagi golongan menengah Indonesia untuk berkembang dan memperkuat
kedudukannya.Pembentukan undang undang bank perlu diawasi
pemerintah.Sistem pajak yang berlangsung hendaknya disederhanakan, dan
tidak melampaui kekuatan masyarakat.
4. Politik Luar Negeri
Partai Masyumi menentang penjajahan dan membantu tiap usaha untuk
menghapuskannya. Politik luar negeri hendaklah bertujuan mempertahankan
perdamaian dunia dan mencari persahabatan dengan semua bangsa “terutama
dengan bangsa yang berasaskan ketuhanan dan demokrasi”. Kedudukan PBB
(Persatuan Bangsa-Bangsa) hendaklah diperkuat.Negara-negara harus saling
menghormati hak masing-masing dan menjunjung tinggi perjanjian-perjanjian
antar bangsa. Bantuan luar negeri digunakan untuk mempercepat
pembangunan negara, tanpa ikatan militer dan politik.24
23
Deliah Noer. op.cit., hlm. 141. 24 Ibid, hlm. 143.
43
5. Irian Barat
Iran Barat yang belum masuk ke Indonesia masa kemerdekaan menjadi
bagian penting politik Indonesia untuk memperjuangkannya.Irian Barat tetap
merupakan tuntutan partai Masyumi selama belum masuk Indonesia. Ketika
Sukiman dipercaya untuk memimpin pemerintahan tahun 1951 ia
melanjutkan usaha untuk mendapatkan Irian Barat kembali dari pemerintahan
Belanda.Langkah yang dilakukan Sukiman dengan mengirimkan delegasi ke
Belanda dibawah pimpinan Supomo.Tetapi Supomo terpaksa kembali karena
tanpa hasil dengan pemerintahan Belanda. Kabinet Selanjunya Ali I
diharapkan lebih tegas dengan Belanda. Beliau berhasil menghimpun bangsa-
bangsa Asia-Afrika pada suatu konperensi di Bandung. Tetapi kabinet ini
gagal dalam merenggut Irian Barat dari Belanda. Sampai dengan Kabinet Ali
II masalah Irian Barat masih menjadi perjuangan.25
25 Ibid, hlm. 341.
44
BAB III
PERKEMBANGAN POLITIK PARTAI MASYUMI PADA MASA
DEMOKRASI PARLEMENTER 1950-1955
A. Masa Awal kemerdekaan (1945-1950)
Kemerdekaan yang telah diraih bangsa Indonesia merupakan jerih
payah anak bangsa tanpa harus mempertanyakan agama apa, suku mana,
bahasa apa, daerah mana, atau hal yang tidak penting untuk dipertanyakan.
Semua adalah satu Indonesia dan semuanya bekerja keras demi kemakmuran
dan kesejahteraan bersama bangsa dan negara. Hanya saja komposisi
penduduk Indonesia yang mayoritas muslim. Memang betul jika kita adalah
satu nusa, satu bangsa dan satu tanah air. Kenyataan berbicara bahwa
keberagaman itu hanya terlingkup dalam nuansa budaya, tetapi bicara tentang
keberagaman pola pemikiran, idealisme, dan paham yang dipegang masing-
masing individu bangsa.
Kenyataan dalam abad 20 menurut Ahmad Syafii Maarif
mengkategorikan bentuk perbedaan dalam 3 jenis golongan. Golongan
tersebut antara lain Islam, Marxisme/Sosialisme, dan Nasionalisme. Ketiga
golongan muncul ke dalam wujud organisasi partai.1 Islam teraplikasi ke
dalam Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), Marxisme/Sosialisme
teraplikasi ke dalam PKI (Partai Komunis Indonesia) sedangkan
Nasionalisme teraplikasi ke dalam PNI (Partai Nasionalis
1
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah kenegaraan; Studi tentang
Perpecahan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 122.
45
Indonesia). Kebesaran pengaruh partai tersebut baru dapat dimengerti secara
nyata dengan pemilihan umum.
Ketika Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia yang mayoritas
muslim sangat disambut meriah berbagai elemen masyarakat. Dipandang dari
segi politik, kemerdekaan bagi umat Islam diharapkan sebagai titik awal
dalam ajaran Islambisa diterima dalam kehidupan bernegara. Ide ini
sebenarnya adalah kelanjutan dari apa yang pernah dilontarkan oleh tokoh-
tokoh SI (Sarekat Islam) pada akhir 1920-an. Sukiman Wiryosenjoyo dan
Suryopranoto telah menyebut-nyebut tentang pemerintahan Islam, sekalipun
mereka tidak menjelaskan lebih jauh sebenarnya yang dimaksud. Barangkali
yang mereka maksud ialah suatu pemerintahan yang dipegang oleh orang-
orang Islam dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Islam.2
Pasca kemerdekaan untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan alat
perjuangan aspirasi berupa partai politik yang akan menyalurkan aspirasi
politik umat dengan cara-cara demokrasi. Untuk maksud ini pada bulan
November 1945 lewat kongres umat Islam di Yogyakarta dibentuklah partai
politik partai Masyumi. Partai Masyumi yang baru terbentuk sebagai
kelanjutan dari MIAI (Madjelis Islam A’la Indonesia) sejak 1937 dan usaha
Masyumi buatan Jepang 1943. Partai Masyumi kemudian berkembang
menjadi partai besar di Indonesia.
2
Ahmad Syafii Maarif, Potret Perkembangan Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1983), hlm. 12.
46
Walaupun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, kedudukan
umat islam dalam masa permulaan revolusi tidak dapat disebut kuat. Hal ini
tercermin dalam kabinet dan keanggotaan KNIP. Hanya ada dua orang yang
mewakili golongan Islam dalam kabinet yang dibentuk pada bulan Agustus
1945 dan hanya 20 dari 137 anggota KNIP. Kedua menteri tersebut adalah
Wahid Hasjim (Menteri Negara) dan Abikusno Tjokrosujoso (Pekerjaan
Umum).
Dalam badan pekerja KNIP yang jumlahnya 15 orang, hanya ada dua
orang wakil umat muslim yang duduk (Wahid Hasjim dan Sjafruddin
Prawiranegara). Partai Masyumi sebagai perwujudan politik Islam waktu itu
tidak mendesakkan tuntunan perubahan apapun. Partai ini walaupun
menginginkan porsi kursi yang besar, tapi lebih mementingkan persatuan dan
kesatuan serta pertahanan kemerdekaan dari pada mengurusi kepentingan
kelompoknya. Oleh sebab itu, partai tidak setuju dengan perubahan sistem
kabinet presidensil ke kabinet Parlementer.3
Inisiatif perubahan ini datang dari Sjahrir dalam badan pekerja KNIP
(Komite Nasional Indonesia Pusat). Sistem partai dibenarkan, kemudian
diadakan perubahan sistem kabinet yang disetujui Presiden. Persetujuan
antara KNIP dan Presiden mempunyai kekuatan hukum, jadi diumumkan
kabinet Sjahrir yang pertama tanggal 14 November 1945. Posisi kabinet diisi
hanya seorang anggota partai Masyumi, yaitu Haji Mohammad Rasjidi yang
3Deliar Noer. Partai Islam di Pentas Nasional (Jakarta: PT Pustaka Utama
Grafiti, 1987), hlm. 152-153.
47
ditugasi menghadapi soal soal agama. Pada tanggal 3 Januari 1946
Mohammad Natsir dari partai Masyumi diangkat sebagai Menteri Penerangan
dan ketika Departemen Agama diadakan 3 Januari 1946 Rasjidi
mengepalainya sebagai menteri Agama, tetapi Rasjidi maupun Natsir turut
serta dalam kabinet sebagai perseorangan bukan sebagai wakil partai.4
Kekecewaan partai Masyumi dikemukakan dalam sidang KNIP oleh
Natsir dalam sebuah manifesto. Partai Masyumi menekankan pendapatnya
bahwa sistem presidensil akan lebih menjamin stabilitas pemerintah dan
bahwa perubahan itu melanggar Undang-Undang Dasar. Alasan perubahan
sistem ini adalah untuk “membersihkan kalangan pemerintahan dari orang-
orang yang telah bekerja sama dengan Jepang dalam masa pendudukan”,
Masyumi tidak dapat menerimanya. Malah, menurut partai, sebagian besar
dalam kabinet Syahrir merupakan orang-orang yang bekerja sama dengan
Jepang dimasa pendudukan, dan dengan Belanda di masa penjajahan
Masyumi tidak hanya membatasi ketidaksetujuannya terhadap kabinet Sjahrir
karena soal pergantian sistem kabinet. Partai Masyumi pun menolak
kebijakan kabinet Syahrir yang lebih menggunakan upaya perundingan dari
pada sikap “radikal”. Disamping itu partai Masyumi menginginkan adanya
kabinet dengan sistem koalisi.5
Partai-partai lain umumnya setuju dengan apa yang dikemukakan oleh
partai Masyumi tentang pergantian sistem kabinet serta tuntutan kabinet
4 Ibid, hlm. 154
5 Ibid, hlm. 162-163.
48
koalisi. Tekanan ini akhirnya berhasil dan Presiden Soekarno mengemukakan
Sjahrir telah mengembalikan mandatnya dalam sidang KNIP di Solo tanggal
28 Februari 1946, tetapi pada tanggal 2 Maret, Syahrir ditunjuk lagi sebagai
formatur kabinet suatu koalisi. Jadi hanya sebagian keinginan partai yang
terpenuhi. Partai Masyumi tetap menolak Syahrir dan menginginkan agar
Syahrir mengembalikan mandatnya ke presiden. Aspirasi partai Masyumi
semakin hari semakin kuat pada pemerintahan. Kuatnya pengajuan aspirasi
itu membuat hubungan pemerintah dengan pemimpin politik yang beroposisi
itu semakin buruk. Oleh karena mereka kurang diperhatikan, para pemimpin
persatuan perjuangan mulai bertindak.6
Suatu kericuhan terjadi di Solo, menyebabkan pemerintah
mengumumkan keadaan bahaya disana, yang kemudian diperluas ke seluruh
Jawa dan Madura. Perdana menteri Syahrir sendiri diculik pada tanggal 27
Juni di Solo dan baru dilepaskan tanggal 2 Juli. Pada saat yang hamipr sama,
pada tanggal 3 Juli, terjadi apa yang disebut perebutan kekuasaan. Presiden
dituntut untuk membubarkan kabinet Syahrir. Kabinet syahrir sendiri terdiri
dari 30 anggota termasuk 6 anggota Masyumi, yaitu Mohamad Roem
(Menteri Dalam Negeri), Jusuf Wibisono (Menteri Muda Kemakmuran,
Mohamad Natsir (Menteri Penerangan), Sjarifuddin Prawiranegara (Menteri
6 Persatuan perjuangan adalah organisasi yang dipimpin oleh Tan Malaka
yang didirikan di Purwokerto pada tanggal 4 Januari 1946. Masyumi sangat dekat
dengan organisasi ini, karena memiliki pemikiran yang sama yaitu menolak segala
bentuk kebijakan pemerintah. Apalagi pergantian sistem kabinet presidensial ke
sitem parlementer. Deliar Noer. Ibid, hlm. 164.
49
Keuangan), Fathurrahman (Menteri Agama(, dan Wahid Hisjam (Menteri
Negara).7
Pembentukan Kabinet berikutnya menyebabkan perpecahan dalam
Masyumi.Pada tanggal 30 Juni 1947 presiden memberi mandat kepada Amir
Sjarifuddin (Sosialis), Sukiman (Masyumi), A.K. Gani (PNI) dan Setiadjit
(Buruh)untuk membentuk kabinet nasional. Partai Masyumi menuntut kursi
perdana menteri dan menteri pertahanan, menteri luar negeri dan dalam
negeri. Kemudian pada tanggal 2 Juli, tiga formatur yaitu Amir Sjarifuddin,
A.K. Gani, dan Setiadjit berhasil membentuk kabinet dengan Amir
Sjarifuddin menjadi perdana menteri. Amir Sjarifuddin juga mengumumkan
pula berdirinya PSII. Amir menyadari bahwa tanpa adanya golongan islam
dalam kabinetnya kurang kuat, karena sebelumnya tidak ada kesepakatan
dengan Masyumi mengenai komposisi kabinet.8
Keluarnya PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) menjadi pukulan telak
bagi Masyumi sehingga muncul keretakan dalam partai Islam. Keluarnya
PSII disebabkan karena kekecewaan sebagian politisinya di partai Masyumi
yang tidak mendapatkan peran dan kedudukan kurang strategis seperti
Wondoamiseno dan Arundji Kartawinata. Selain itu kemunduran sebagian
elite partai Masyumi disebabkan partai ini yang begitu lunak menghadapi
7 Ibid, hlm. 170-172.
8 Abdul Aziz Thara. Islam dan negara dalam politik orde baru.(Jakarta: Gema
Insani Press, 1996), hlm.160.
50
Belanda untuk berunding dalam berbagai hal.9
Atas dasar itulah PSII
kemudian menjadi fraksi sendiri pada tahun 1947. Disamping itu orang lama
PSII mendesak pusat untuk mendirikan kembali PSII. Konfernsi partai di
Banjarnegara tanggal 13 Juli 1947 mendukung inisiatif untuk mendirikan
PSII.
Pihak Masyumi pasca berdirinya PSII masih bersedia membantu
pemerintahan, terlebih akan dimulainya perundingan terhadap Belanda lagi.
Partai Masyumi bersedia duduk dalam kabinet (13 November 1947) dengan
memperoleh 4 kursi: Wakil perdana Menteri I Samsudin, Menteri dalam
Negeri Moehammad Roem, Menteri Agama K.H Masjkur dan Menteri
Kehakiman Kasman Singodeimedjo. Namun hal ini tidak berlangsung lama,
karena perjanjian Renville yang ditandangani oleh Amir Sjarifuddin dinilai
kurang menguntungkan. Masyumi pun menarik menteri-menterinya dari
kabinet.10
Pada tanggal 23 Januari 1948 Amir menyerahkan mandatnya kepada
presiden setelah ditinggalkan para pendukungnya, yaitu Masyumi, PNI, dan
golongan Syahrir. Keadaan ini diselesaikan Presiden dengan menunjuk Hatta
sabgai formatir. Haata lebih banyak memilih tokoh lawan Amir yaitu
Masyumi dan PNI, masing-masing empat kursi. Keempat tokoh itu adalah
Sukiman Wirjosandjojo (Dalam Negeri), Sjarifuddin Prawiranegara
9 Ridho Al Hamdi. Partai Politik Islam Teori dan Praktik di Indonesia.
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm. 57.
10 Ibid.
51
(Kemakmuran), K.H Masjkur (Agama) dan Mohammad Natsir (Penerangan).
Kabinet Hatta dalam masa revolusi merupakan kabinet dengan usia yang
terlama, yaitu sampai 27 Desember 1949. Dalam kabinet ini Sukiman
bersedia duduk dan bekerja sama, hal yang tidak dilakukan beliau ketika
pimpinan Syahrir dan Amir Sjarifuddin. 11
B. Masa Tahun 1950-1955
Pada bagian ini akan dijelaskan kontribusi Masyumi dalam kabinet
kurun waktu 1950-1955. Masa tahun 1950-1955, Masyumi mengalami
keretekan dengan keluarnya NU dari partai Masyumi.posisi kabinet sendiri
Masyumi menghadapi masa jatuh bangun, tetapi masih aktif dalam kurun
waktu tersebut. Penulis membatasi sampai direntang tahun 1955, karena di
bab IV akan dijelaskan perkembangan partai Masyumi pasca pemilihan
umum 1955 sebagai awal dari kehancuran partai Masyumi.
Perjuangan politik di Indonesia antara tahun 1950-an ditandai dengan
jatuh bangunya kabinet yang rata-rata kurang dari setahun. Hal ini disebabkan
oleh sulitnya terbentuk kabinet koalisi yang tak berumur panjang dan jumlah
partai dan fraksi di parlemen yang banyak, tidak punya dominasi. Partai yang
termasuk besar adalah PNI dan partai Masyumi yang mampu memberi
pengaruh besar dalam kabinet antara tahun 1950-an. Partai-partai kecil lain
umumnya hanya menempatkan diri dan memberi dukungan serta masukan
kepada parlemen.Akhir tahun 1949 mencatat partai Masyumi sebagai salah
satu partai besar. Indonesia kala itu merupakan negara Federasi Republik
11 Deliar Noer, loc.cit.hlm. 186-187.
52
Indonesia Serikat (RIS) yang menerima pengembalian kedaulatan dari pihak
Belanda tanggal 27 Desember 1949. Soekarno kembali dipilih menjadi
Presiden oleh sidang bersama antara senat dan Dewan Perwakilan Rakyat RIS
tanggal 16 Desember 1949. Presiden mengangkat empat formatir kabinet,
Mohamad Hatta, Sultan Hamenkubuwono, Anak Agung Gede Agung dan
Sultan Hamid. Menteri dari partai Masyumi adalah Sjafruddin Prawiranegara
(Menteri Keungan), Abu Hanifah (Menteri Pendidikan), Wahid Hasjim (
Menteri Agama), dan Mohammad Roem (Kementerian Negara).12
Kabinet yang disetir Hatta kala itu dipandang sangat kuat. Hal ini
dikarenakan menteri-menteri yang bertugas pada waktu itu dengan latar
berbagai macam partai yang berbeda dapat bekerja sama dengan baik. Namun
bukan berarti pemerintahan Hatta dengan kedudukan yang kuat tanpa
timbulnya masalah negara. Masa pemerintahan Hatta merupakan masa yang
sulit, berkembangnya Gerakan Perang Ratu Adil yang dipimpin Westerling
berkeinginan untuk membubarkan RIS.13
Menghadapi polemik yang muncul, Natsir mengeluarkan mosi integral
di parlemen. Mosi integral Natsir pada intinya intinya merupakan pemikiran
dan anjuran untuk menggabungkan kembali negara yang terpecah ke dalam
federasi menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Natsir yang
mengeluarkan mosi ini dipercaya sebagai formatir kabinet untuk menyusun
kabinet pertama yang telah disetujui berbagai pihak. Pimpinan RI kembali
12 Ibid, hlm. 199.
13 Ibid, hlm. 201.
53
dipercayakan kepada Soekarno sebagai presiden dan Hatta sebagai wakil
presiden.14
1. Kabinet Natsir
Pada tanggal 21 Agustus 1950 Presiden Soekarno mengangkat
Mohammad Natsir sebagai formatir (pembentuk) kabinet. Natsir dituntut
untuk menyatukan partai sebanyak-banyaknya dalam kabinet. Natsir secara
otomatis memegang jabatan sebagai Perdana Menteri, Natsir dalam
pembentukan kabinet dibantu oleh Sjarifuddin Prawiranegara dan Wahid
Hisjam berpendapatbahwa Partai Masyumi di kabinet harus mencerminkan
pengaruh lebih besar daripada partai-partai lain yang akan duduk dalam
kabinet, dan menentukan pula kursi-kursi dalam kursi kursi mana yang
hendak dibagi antara PNI dan Masyumi. PNI menghendaki agar ia dan
Masyumi masing-masing mempunyai empat kursi dan agar sepuluh kursi lain
disediakan untuk partai-partai yang lain. Formatir Natsir tidak dapat
memenuhi keingan PNI. Disamping itu, ada perbedaan lain terutama yang
menyangkut tipe-tipe tokoh yang akan diangkat. Dasar kepentingan dua partai
iniyang sulit dipertemukan.15
Kabinet Natsir memang tidak bisa merangkul PNI untuk duduk dalam
kabinet karena perbedaan-perbedaan yang ada. Pembentukan kabinet Natsir
juga mendapat kecaman dalam partai karena dianggap melanggar peraturan
partai karena menjabat sebagai ketua partai Masyumi sekaligus perdana
14 Ibid, hlm. 202.
15Anwar Harjono, dkk. Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir.
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hlm. 32-33.
54
menteri. Kecaman pertama dihubungkan dengan keputusan kongres
Desember 1949 yang melarang ketua umum partai menjadi menteri. Maksud
kongres ialah agar ketua umum benar-benar mengkonsolidasi partai. Tetapi
keputusan kongres ini diubah oleh Dewan partai di Bogor 3-6 Juni 1950 dan
menetapkan bahwa “bila diperlukan,kita akan mengambil kepemimpinan
pemerintah di tangan kita. Konperensi juga menghendaki agar kursi-kursi
perdana menteri, dalam negeri dan pertahanan di pegang Masyumi, supaya
keputusan kongres tidak dilanggar, maka memutuskan Natsir nonaktif sebagai
ketua partai. Jusuf Wibisono menjadi penjabat ketua.16
Partai Islam lain tampaknya bersikap dingin terhadap formatir kabinet
Natsir, hanya PSII yang bersedia duduk dalam kabinet, meskipun kemudian
menarik dukungannya. Kabinet Natsir yang terbentuk tanggal 6 September
1950 akhirnya mengalami kegagalan. Kegagalan ini berawal berawal dari
perundingan dengan Belanda mengenai Irian Barat yang dinilai gagal, hingga
persoalan Mosi Hadikusumo untuk mencabut PP No 39 tahun 1950 tentang
pemilihan anggota-anggota daerah. Selain itu, kegagalan perundingan dengan
PNI untuk melakukan reshuffle kabinet berujung fatal. Partai lain, seperti PIR
menarik wakilnya yang dudukdalam kabinet. Natsir limpung dan kabinet tak
bisa lagi dijalankan. Ia harus menyerahkan mandatnya ke presiden pada
tanggal 21 Maret 1951.17
16
Deliar Noer. op.cit., hlm. 205.
17 Rhoma Dwi Aria Yuliantri. (2010). Catatan Singkat Soekiman, Basis, No.
03-04 Tahun 60, hlm. 54.
55
Tajuk Suara Partai Masyumi, Maret/April 1951 tampak jelas dukungan
diberikan kepada Natsir. Hal ini diperkuat dengan keputusan sidang dewan
partai Masyumi ke-V Januari 1951 yang menyokong kabinet Natsir.
Pembentukan formatir yang baru juga disinggung dalam tajuk itu, pada
intinya Masyumi menyerahkan mandat kepada presiden untuk menunjuk
formatir. Masyumi sendiri akan menerima apabila ditunjuk sebagai formatur
asalkan syarat-syarat disetujui.18
2. Kabinet Soekiman
Pasca Natsir mengembalikan mandat kabinet ke Presiden Soekarno
segera setalah itu pembentukan kabinet diserahkan kepada PNI. Presiden
menunjuk Sartono, tetapi kemudian gagal karena tidak bisa menyatukan
koalisi dengan Partai Masyumi, terdapat perbedaan yang tajam dengan
partainya. Akhirnya mandat dikembalikan semula ke Presiden Soekarno.
Presiden kemudian menunjuk dua orang formatir kabinet, yaitu Sukiman
Wiryosanjoyo (Masyumi) dan Sidik Djojosukarto (PNI). Soekiman dan Sidik
diberi waktu lima hari untuk melaksanakan tugas, kemudian diperpanjang
delapan hari hingga 26 April 1951.
Perjalanan Sukiman dari awal memang tidak mudah karena partainya
sendiri tidak mendukung penuh. Hal ini dipicu dari sikap Soekiman yang
tidak terlalu menanggapi keputusan musyawarah dewan partai Masyumi, agar
batas lima hari untuk membentuk kabinet dipegang teguh dan mengembalikan
mandat bila tugas tidak selesai. Pasca lima hari, Soekiman terus maju bahkan
18 Ibid.
56
ia tidak menghadiri rapat pimpinan partai untuk menentukan sikap tehadap
kabinet sedangkan Jusuf Wibisono yang menjadi calon menteri keuangan
hanya hadir sebentar. Rapat menunda sidangnya untuk menentukan sikap
terhadap kabinet secepat-cepatnya. Tetapi perkembangan keadaan hanya
memperlihatkan adanya dua sikap dan pendapat dalam lingkungan pusat
Masyumi.19
Perbedaan pandangan dalam tubuh partai pun mula menyeruak antara
pendukung Natsir dan Sukiman. Sementara partai kecil membentuk koalisi
bersama dan mengangap formatur Sukiman dan Sidik tidak memenuhi
program minimum persetujuan bersama badan permusyawaratan yang terdiri
dari PSII, Partai Rakyat Nasional, Partai Buruh, PERMAI, Perti, Partai
Indonesia Nasional, Partai Tani Indonesia, PKI, Parindra dan Partai
Murba.Setelah Kabinet Sukiman dilantik, Natsir mengambil langkah lain. Ia
berusaha berdamai dengan Sukiman untuk menutupi perbedaan pandangan
antara anggota partai Masyumi pendukung Natsir dan Sukiman. Menurut
Natsir, bahwa perbedaan pandangan anggota-anggota Masyumi mengenai
pembentukan kabinet adalah hal biasa. Keterangan tersebut barangkali
menjadi semacam upaya agar perbedaan dalam tubuh partai tidak semakin
dalam, meskipun Natsir tidak sepenuhnya sependapat dengan Sukiman.20
Kelebihan Soekiman adalah mampu mengandeng PNI untuk duduk
bersama dalam kabinet. Salah satu kebijakan penting pada masa kabinet
19
Deliar Noer. op.cit., hlm. 216.
20Rhoma Dwi Aria Yuliantri. op.cit., hlm. 55.
57
Sukiman adalah keputusan menghandiri keonfernsi di San Fransisco tentang
perjanjian perdamaian dengan Jepang. Kabinet Sukiman memutuskan
undangan itu dan mengirim sebuah delegasi dengan dipimpin oleh menteri
Subardjo. Padatanggal 7 September 1951 kabinet menandatangani perjanjian
San Fransisco dan persetujuan MSA (Mutual Security Act). Kebijakan
politik luar negeri kabinet Sukiman tersebut menimbulka reaksi dari berbagai
partai politik. Polit biro PKI menyatakan bahwa penandatanganan perjanjian
tersebut merupakan gambaran kabinet Sukiman yang menjalankan politik
kolonial atas nama politik nasional. CC PKI juga menyerukan untuk
mencegah Amerikanisasi dan Japanisasi.21
Pihak Natsir juga berpendapat bahwa dengan demikian telah
meninggalkan politik bebas aktif yang memang semenjak 1945 berusaha
menegakannya. Tetapi pandangan Sukiman berbeda, menurutnya dari masa
Revolusi Indonesia berada dalam pengaruh Amerika Serikat. Oleh karena itu,
dalam menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif, ia tidak dapat
melepaskan kecenderungan untuk berpihak kepada Amerika Serikat.22
Permasalah ini kemudian mempengaruhi kabinet, partai Masyumi
walaupun menolak kebijaksanaan Subardjo, tidak bermaksud menarik para
menterinya dari kabinet. Tetapi ketika partai-partai lain mulai keluar dari
kabinet, tidak ada jalan lain bagi Sukiman selain menyerahkan mandat kepada
Presiden tanggal 23 Februari 1952. Soekiman merasa kecewa tehadap
21 Ibid.
22 Deliar Noer. op.cit., hlm. 220.
58
partainya yang dinilainya tidak memberi dukungan pada kabinetnya. Pasca
jatuhnya kabinet, Sukiman tidak pernah hadir dalam rapat pimpinan partai
Masyumi yang membicarakan pembentukan kabinet baru pengganti
sebelumnya.
3. Kabinet Wilopo
Kejatuhan kabinet Sukiman memberi perhatian kembali pada soal-soal
pembentukan pemerintahan baru..Pada tanggal 1 Maret Presiden menunjuk
Prawoto dan Sidik Djojosukarto dari PNI untuk membentuk suatu kabinet
yang kuat dengan dukungan yang luas dan dukungan di parlemen. Usaha
Prawoto dan Sidik juga belum berhasil. Pada tanggal 18 November kedua
formatir Prawoto dan Sidik terpaksa menyerahkan mandat kepada presiden
karen tidak memperoleh persesuaian pendapat.
Pada tanggal 19 Maret Presiden menunjuk Wilopo dari PNI sebagai
formatir membentuk kabinet. Wilopo berhasil membentuk kabinet dengan
kursi wakil perdanamenteri yang akan dipercaya kepada Partai Masyumi.
Partai kemudian menunjuk Prawoto mendampingi Wilopo.Pada tanggal 20
Maret 1952 NU menuntut kursi menteri agama.Prawoto sebagai wakil
perdana menteri meminta formatir Wilopo untuk menyerahkan keputusan
siapakah yang duduk di menteri agama.23
Keputusan Wilopo adalah menunjuk K.H. Fakih Usman (unsur
Muhamadiyah dalam partai Masyumi) sebagai menteri agama. Keputusan ini
akhirnya berujung menjadi mala petaka bagi Partai Masyumi. Pengurus besar
23 Ibid., hlm. 221-222.
59
NU di Surabaya kemudian merapatkan hal ini sertamemperkuat keputusan
dengan kongres NU di Palembang yang menyatakan NU keluar dari Partai
Masyumi. Sukiman yang menghadiri kongres di Palembang menolak
keputusan ini dengan alasan NU adalah organisasi yang berdaulat dan
menyarankan sesama muslim unntuk bekerja sama. Keluarnya NU dari Partai
Masyumi sebenarnya sudah ada benih-benih sejak tahun 1947. Ketika PSII
dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) memboikottindakan Partai Masyumi,
yang tidak mau bekerjasama dengan Amir.24
NU merasa tidak puas ketika dalam pengurusan Partai Masyumi,
keanggotaan perorangan mempunyai nilai sejajar dengan keanggotaan
organisasi NU dalam partai. Parlemen KNIP sampai DPR, NKRI jumlah
anggota wakil dari wakil Partai Masyumi adalah 60 orang. Dari jumlah sekian
yang berasal dari NU hanya 8 orang saja: yaitu K.H. Wahab Hasbullah, K.H.
Muh. Ilyas, Muh. Saleh Suryaningprojo, Muh. Ali Prataningkusumo, A.A
Ahsien, K.H Idham Khalid, A. S Bahmat dan K.H. Zainul Arifin. Berarti
tidak ada unsur keseimbangan anggota NU yang banyak. Disamping itu
ketika Menteri Agama kabinet Sukiman yaitu K.H. Wahid Hasyim mendapat
interplasi secara terbuka dalam sidang parlemen oleh Almez(Masyumi)
tentang perjalanan haji yang mengalami kesulitan, hal ini secara tidak
langsung memunculkan keretakan dalam partai Masyumi sendiri.25
24
Bibid Suprapto. Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia.
(Jakarta Timur: Ghalia Indonesia,1985), hlm. 145.
25 Ibid, hlm. 146.
60
Kejengkelan dalam tubuh NU semakin memuncak ketika kabinet
Wilopo tidak ada yang berasal dari NU. Wilopo sendiri lebih dekat dengan
Natsir. Masyumi sendiri menyerahkan sepenuhnya kepada Wilopo untuk
menunjuk siapa yang akan menjadi menteri agama, namun memilih K.H.
Fakih Usman menjadi Menteri Agama dalam kabinet Wiloppo menyebabkan
masalah yang besar hal ini dikarenakan, menteri Agama dalam kabinet
sebelumnya selalu dipegang NU dengan K.H. HasyimWahab duduk sebagai
menteri.26
NU ingin juga menunjukan bahwa kalangan ulama berpendidikan
tradisional sebenarnya juga mampu menegelola suatu negara modern.maka
dalam Mukhtamar NU di Palembang 1952, menyatakan diri keluar dari
Masyumi.
Semenjak keluarnya NU, Partai Masyumi menjadi lemah. usaha-usaha
dilakukan agar partai Islam tidak terpecah belah pun dilakukan. Usaha
peretmuan yang dilakukan oleh Mohammad Natsir, Wahid Hasjim dan
Abikusno Tjokrosujosso pun juga gagal setelah Wahid Hisjam berpulang
pada tanggal 19 April 1953. Kedudukan partai dalam kabinet Wilopo juga
tidak beruntung,bukan karena kurangnya kerja sama antara menteri,
melainkan karena hubungan antara menteri dalam partainya di luar kabinet.
PNI dan partai Masyumi yang menjadi tulang punggung kabinet dalam
prakteknya kurang lancar.27
26
Ahmad Syafii Maarif. Islam dan Politik Teori belah bambu masa
Demokrasi terpimpin (1959-1965). (Jakarta:Gema Insani Press, 1996), hlm.40.
27 Deliar Noer. loc.cit., hlm. 225.
61
Kurang lancarnya kerja kabinet yang bertumpu pada partai tercermin
dalam soal peristiwa Tanjung Morawa (Sumatera Barat).PNI memutuskan
untuk mendukung mosi ini. PNI mendesak partai Masyumi untuk
membubarkan kabinet, karena PNI menolak cara-cara pemerintah dalam
menyelesaikan masalah Tanjung Morawa. Sementara partai Masyumi setuju
dengan dengan kebijaksanaa menter dalam negeri Roem. Tampaknya tidak
ada jalan lain yang bisa merapatkan kedua partai PNI dan partai Masyumi.
Mosi ini akhirnya menyebabkan kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya
kepada Presiden.28
4. Kabinet Ali Sastroadmijojo
Pasca jatuhnya kabinet Wilopo, presiden kemudian menunjuk Mukarto
bekas menteri luar negeri kabinet Wilopo sebagai pembentuk
kabinet.Mukarto sebagai formatir pun gagal membentuk kabinet. Kegagalan
Mukarto dikarenakan tidak adajalan temu dengan Partai Masyumi. Partai
mengusulkan untuk mengisi tawaran Mukarto tentang kursi dalam negeri
dengan Roem atau Abdul Hakim. PNI melihat ini sebagai desakan Partai
Masyumi untuk membenarkan terkait peristiwa Tanjung Morawa. PNI dalam
pernyataannya mengemukakan bahwa, kecuali Partai Masyumi hampir semua
partai yang akan diajak dalam kabinet sudah dapat menyetujui permintaan
formatir atas dasar program politik.29
28
P.N.H. Simanjutak. Kabinet-Kabinet Republik Indonesia dari Awal
Kemerdekaan Hingga Revolusi. (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 132-133.
29 Ibid, hlm.135.
62
Gagalnya Mukarto kemudian formatir berikutnya, Burhanuddin
Harahap dari Partai Masyumi. Pada tanggal 14 Juni persesuaian tercapai
antara PNI dan formatir kabinet tentang masalah program, tetapi PNI secara
tiba-tiba menuntut kursi Perdana menteri. Dengan demikian PNI melanggar
pendirian semula bahwa kursi perdana menteri harus dipercayakan kepada
formatir, siapapun orangnya. Partai Masyumi menolak tuntutan itukemudian
mandat dikembalikan kepada Soekarno tanggal 18 Juli. Formatir selanjutnya,
Wongsonegoro dari PIR (Partai Indonesia Raya).
Pada tanggal 27 Juli formatir mengemukakan bahwa mengenai kursi
perdana menteri dan wakil perdana menteri, agar diselesaikan PNI dan partai
Masyumi. Pada tanggal 28 Juli, partai Masyumi diperlihatkan posisi
rancangan susunan kabinet oleh formatir. Menurut rancangan tersebut
partaiakan menempati kursi wakil perdana menteri, dalam negeri,
perekonomian dan sosial, sedangkan PNI perdana menteri, luar negeri,
keuangan, pertanian dan perhubungan. Partai juga tidak bisa menerima
beberapa calon nama menteri seperti: Iwa Kusumasumantri, F.S Tobing , Ong
Eng Die, dan Arudji Kartawinata. Masyumi mencurigai orang-orang ini,
terutama Iwa dan Arundji, kiri.Arundji pada tahun 1947 merusak tekad umat
dengan mendirikan kembali PSII. Ong Eng Die pernah menjadi wakil menteri
keungan dalam kabinet Amir Syarifuddin (1947-1948) sebagai wakil Partai
Sosialis kemudian ia menyebarang ke PNI. Karena tidak adanya kesepakatan
dengan Partai Masyumi, akhirnya formatir meninggalkan partai Masyumi.30
30
Deliar Noer. loc.cit., hlm. 136-137.
63
Pada tanggal 1 Agustus 1953, formatir mengemukakan komposisi
kabinet tanpa dukungan partai Masyumi. Pembentukan kabinet Ali
merupakan pukulan telak bagi Masyumi. untuk pertama kali sejak tahun 1950
Partai Masyumi tidak turut serta dalam kabinet. Menurut Jusuf Wibisono
dalam artikel Mimbar Indonesia no 32 tahun 1953 dengan berjudul “Kabinet
baru kita”. Kabinet Ali dinilainya sebagai “jauh berbeda” dengan kabinet
Wilopo, karena tidak menunjukan persatuan nasioanal dan beberapa menteri
yang tidak berbobot. Partai-partai kecil dan pemimpin-pemimpinnya yang
tidak berpengaruh akibat cekcok antara Masyumi dan PNI sampai mendapat
kesempatan untuk duduk berkuasa dalam pemerintahan.31
Partai Masyumi yang tidak duduk dalam kabinet dimanfaatkan
semaksimalkan mungkin oleh PKI untuk memecah konsentrasi pemerintah
tentang PNI-Masyumi, dan seterusnya untuk melumpuhkan partai Masyumi.
Partai Masyumi yang tidak duduk dalam kabinet, akhirnya menjadi oposisi
dan mengajukan beberapa mosi tidak percaya. Mosi pertama pada bula April
1953, K.H. Tjikwan melancarkan mosi tidak percaya terhadap menteri Iskaq
karena tidak berhasil merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Mosi ini akhirnya dibicarakan dalam kabinet serta mengambil keputusan
dengan cara vooting. Mosi K.H. Tjikwan akhirnya ditolak dengan suara 101
lawan 60.
31
Soebagijo I.N. Jusuf Wibisono Karang di Tengah Gelombang. (Jakarta:
Gunung Agung, 1980), hlm. 128.
64
Pada bulan Mei 1955 Jusuf Wibisono dengan Burhanuddin Harahap
mengajukan mosi untuk menasionaliskan semua tanah partikelir sebelum
tahun 1955 berakhir; untuk kemudian dibagi-bagikan kepada rakyat. PKI
waktu itu menentang mosi iu dengan alasan, bahwa nasionalisasi tanah-tanah
partikelir itu merugikan rakyat dan merupakan beban berat pemerintah dalam
bidang keuangan. PKI yang membela kabinet Ali, disikapi Jusuf Wibisono
dalam Suara Masyumi tahun XI/17, 27 Juni 1955 dan tahun XI/18, 1 Juli
1955. Lebih menyolok lagi betapa plinplannya politik yang dianut PKI ialah
sewaktu dalam kabinet Wilopo, Menteri Dalam Negeri Mohammad Roem
mengajukan rencana Undang-undang untuk membeli kembali tanah-tanah
partikelir, PKI justru menyetujui.32
Mosi yang dilancarkan oleh beberapa tokoh partai Masyumi tak
mendapati kabinet jatuh, meskipun pada tanggal 17 Oktober 1954 PIR
mendesak kabinet untuk bubar dengan ancaman akan menarik para
menterinya. Kecaman PIR ditujukan kepada kebijaksanaan ekonomi dan
keuangan pemerintah yang dilakukan oleh menteri-menteri PNI. Kejatuhan
kabinet disebabkan peristiwa Angkatan Darat karena pelantikan Bambang
Utojo.Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) waktu itu adalah Jenderal
Bambang Sugeng.Pada bulan Mei 1955 Bambang Sugeng memasuki pensiun
sehingga diangkatlah kolonel Bambang Utojo sebagai KSAD yang
baru.kolonel Zulkifli Lubis tidak setuju, sebab sewaktu Bambang menjadi
KSAD, Zulkifli sebagai wakil KSAD. Setelah Bambang pensiun maka
32 Ibid., hlm. 129-130.
65
Zulkifli yang paling berhak menduduki KSAD. Zulkifli beranggapan ia
didiskreditasi oleh Kabinet Ali dengan pengangkatan Bambang Utojo. Maka
Zulkifli Lubis mempertahankan haknya dan bersama kawan-kawannya
memboikot pelantikan Bambang Utojo. Akibatnya pelantikan gagal dan
Kabinet Ali jatuh. NU memutuskan pula tanggal 20 Juli agar kabinet
menyerahkan mandatnya ke Presiden.33
5. Kabinet Burhanuddin Harahap
Kejadian pengangkatan Bambang Utojo sebagai KSAD menjadi
membuat wibawa pemerintah dalam kabinet jatuh terutama pada Angkatan
Darat dan mandat kembali dikembalikan Presiden. Presiden yang waktu itu
sedang pergi haji, sebagai gantinya masalah pembentukan cabinet dilakukan
Wakil Presiden Muh.Hatta. Hatta kemudian menunjuk Sukiman (Masyumi),
Wilopo (PNI), dan Assaat (non partai) yang diharap bisa menjembatani kedua
wakil partai Masyumi dan PNI. Pada tanggal 1 Agustus PNI menuntut secara
mutlak kursi perdana menteri. Hal ini tentu saja menimbulkan ketegangan
karena partai Masyumi belum diajak bekerja sama mengenai kursi dalam
kabinet. Assaat berusaha mengatasi dengan mengusulkan agar Hatta menjadi
perdana menteri, tetapi usaha Assaat sia sia, terlebih partai Masyumi
berpendapat agar Sukiman tidak perlu melanjutkan tugasnya. Akhirnya, pada
tanggal 3 Agustus 1955, ketiga formatir mengembalikan mandat kepada
Hatta.34
33
Deliar Noer. op.cit., hlm. 242.
34 P.N.H. Simanjuntak. lop.cit., hlm. 149.
66
Hatta kemudian menunjuk Burhanuddin Harahap (Masyumi) menjadi
formatir kabinet. PNI mengusulkan mencalonkan Hardi, Sunario, dan
Rambitan sebagai wakil perdana menteri, menteri luar negeri dan menteri
pekerjaan umum. Usul kedua dari PNI mencalonkan A. K. Gani sebagai
wakil perdana menteri. Masyumi menolak usul yang diajukan PNI, disamping
itu PNI mengusulkan agar kursi pertahanan tidak diduduki partai Masyumi.
Atas dasar tersebut formatir kemudian meninggalkan PNI. partai Masyumi
beruntung karena NU dan PSII bersedia ikut bergabung dengan kabinet.
Masyumi juga dapat mencapai kerja sama dengan partai kecil lainnya seperti
PIR, Buruh, Demokrat dan Partai Rakyat Indonesia dengan meninggalkan
sebagian keinginannya mengenai kursipemerintahan.35
Kabinet segera mengambil tindakan terutama mengambil langkah-
langkah untuk menyelenggarakan pemilu.Sebelumnya muncul adanya
maklumatpemerintah Republik Indonesia tanggal 1 November 1945 bahwa
akan mengadakan pemilihan umum sebagai bukti bahwa cita-cita dan dasar
kerakyatan itu benar-benar dasar pedoman penghidupan masyarakat dan
negara. Pada bulan November 1952 Kabinet Wilopo berhasil menyusun
rancangan Undang-Undang tentang pemilihan umum (pemilu). Pada tanggal
4 April 1953 diterima pengesahan Undang-undang tentang pemilihan anggota
konstituante dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat.36
35
Delliar Noer. op.cit., hlm. 245.
36 A. G Pringgodigdo. Undang-Undang No. 7 tahun 1953 tentang Pemilihan
Umum. (Yogyakarta: U.P Indonesia N.V. 1953), hlm. 5 – 7.
67
Pemilu 1955 tiap tokoh partai saling mencari simpatisan dan
menggelorakan ideologi mereka masing-masing hingga tokoh seperti Natsir
yang berjuang untuk partai(Lihat lampiran 2 halaman 102).37
Berikut Hasil
pemilihan umum pertama di Indonesia tahun 1955. Pemilu 5 besar
dimenangkan PNI dengan persentase yang sedikit. PNI 22,3% (8.434.653),
Partai Masyumi 20,9 % (7.903.886.), NU 18,4% (6.955.141), PKI 16,4%
(6.179.914), PSII 2.9% (1.0091.160). Pemilihan tersebut menimbulkan
beberapa kekecewaan dan kejutan. Beberapa pimpinan partai Masyumi
merasa bahwa kemajuan Islam menuju kekuasaan nasional kini terhalang
dengan hasil pemilihan umum yang menunjukan partai Islam saling
bersaing.38
Pasca pemilu PNI mengusulkan mengembalikan mandatnya kepada
Presiden. Pada awal 1956 masuk beberapa mosi diantaranya dari Sutardjo
Kartohadikusumo (PIR-Wongsonegoro) dan dari Achsien (NU) serta
Mangunsukarso dari PNI. Sutardjo mendesak kabinet dalam tempo singkat
menyerahkan mandat kepada presiden.Sedangkan Achsien dan Mangunkarso
menyatakan ketidakpercayaannya. Kemudian melalui rapat-rapat dibicarakan
oleh partai Masyumi, NU, PNI dengan maksud melicinkan jalan bagi
pembentukan kabinet baru. Masalah pokok lainnya adalah cara membubarkan
kabinet.39
37
Natsir sedang berkampanye untuk Partai Masyumi.
38 M.C Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern. (Jakarta: PT. Serambil Ilmu
Semesta, 2008), hlm. 496.
39 Deliar Noer. loc.cit. hlm. 248.
68
Pada tanggal 1 Maret 1956 pimpinan partai Masyumi menyampaikan,
sudah waktunya mengembalikan kabinet setelah hasil pemilihan umum
diumumkan. Pada tanggal 3 Maret 1956, akhirnya kabinet Boerhanoeddin
Harahap menggembalikan mandatnya ke presiden.
69
BAB IV
PERKEMBANGAN POLITIK PARTAI MASYUMI PASCA PEMILU 1955
A. Pergolakan Politik Partai Masyumi 1956-1958
Partai-partai yang ikut serta dalam pimilihan umum 1955 menjalankan
fungsi mengartikulasi aspirasi masyarakat untuk mempertahankan kemerdekaan
serta kinerja politik yang memunculkan tokoh-tokoh nasional sebagai wakil
rakyat maupun untuk mengisi jabatan pemerintah. Tak pelak karena keinginan
partai ataupun kubu internal partai muncul bebeapa gejolak maupun pandangan.
Gejolak dalam partai yang merujuk masalah pemerintahan selalu berimbas pada
kekuatan daerah pendukung partai. Gejala ini selalu berkesinambungan dalam
perpolitikan nasional.
Hasil pemilu 1955 ternyata tidak membawa perubahan ke arah yang lebih
baik bagi perjalanan politik nasional. Konflik antara golongan partai kian
menajam. Konflik di tingkat elite itu berakibat pula pada sulitnya membentuk
pemerintahan yang stabil. Persoalan bertambah pelik ketika beberapa daerah
melancarkan pemberontakan dengan rasa tidakpuasnya terhadap pemerintah
pusat. Kondisi semcam ini merangsang militer untuk mendesak Sukarno agar
segera mengumumkan Undang-undang Darurat Perang demi menjaga keutuhan
Negara Republik Indonesia.1
1 Zainal Abidin Amir. Peta Islam Politik Pasca Soeharto. (Jakarta: LP3ES, 2003),
hlm. 42.
70
Pasca pemilu 1955 pelantikan kabinet dilakukan Sukarno dengan
menunjuk Ali-Rhoem-Idham yang dilantik pada tanggal 24 Maret 1956
menggantikan Burhanuddin Harahap. Pada masa kabinet Ali II ini perbedaan-
perbedaan terpusat pada kebijaksanaan kepegawaian, politik luar negeri, masalah
tentara, dan masalah daerah. Masalah-masalah ini menyebabkan timbulnya
ketegangan dalam hubungan antara partai Masyumi (Madjelis Syuro Muslimin
Indonesia) dan PNI (Partai Nasional Indonesia). Sementara di daerah-daerah di
Indonesia, daerah luar jawa umumnya daerah penghasil devisa untuk negara yang
penting untuk menjalankan roda pemerintahan. Tantangan datang dari PNI dan
partai Masyumi, sebagai pendukung kabinet. Tantangan lain dalam kabinet ini
ialah perpecahan Angkatan Darat yang mengakibatkan rusaknya hubungan
angkatan darat dari pusat ke daerah, yang kemudian bermuara ke peristiwa PRRI
(Pemberontakan Revolusioner Republik Indonesia). Keadaan seamakin parah
ketika Bung Hatta meletakkan jabatan kursi Wakil Presiden pada tahun 1956. 2
Pada tahun 1956 masalah daerah menjadi genting sedemikan rupa.
Perasaan tidak puas dengan gejolak politik kemudian melahirkan pembentukan
dewan dewan di berbagai daerah luar Jawa, yang merupakan pelaksanaan
pemerintah tersendiri pula. Lambat laun dewan-dewan mengambil kekuasaan
pemerintah daerah. Pada bulan Desember 1956 para perwira tentara di Sumatera
yang berhasil mendirikan Dewan Banteng yang berisi veteran-veteran dari bekas
2 Bibit Suprapto. Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia. (Jakarta:
Ghalia Indonesia. 1985). hlm. 183-184.
71
divisi Banteng dari masa revolusi. Pada tanggal 20 Desember, komandan resimen
di Sumatera Barat mengambil alih pemerintah sipil. Pada tanggal 22 Desember
kolonel Maludin Simbolon Panglima Divisi Bukit Barisan mengumumkan
pengambil alihan kekuasaan di Sumatera Utara.3
Kejadian ini disusul pula
terbentuknya dewan-dewan dalam tubuh Angkatan Darat di Sulawesi yang
bernama Dewan Manguni.
Perwira militer senior di Indonesia Timur, komandan TT (Teritorial
Tertinggi) -VII , Letnan Kolonel H.N.V (Ventje) Sumual telah menghadiri reuni
SSKAD (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat) di Bandung pada November
1956. Keadaan disana TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan negara
diperbincangkan serta ada seruan untuk persatuan TNI. Sumal rupanya sudah
berhubungan dengan kolonel-kolonel di Sumater seperti, Simbolon dan Husein
dan bersimpati pada mereka, tetapi merasa bahwa dia hanya mempunyai satu
batalyoan di bawah kekuasaan operasionalnya di Sulawesi Selatan, tempat
markas kedudukan besarnya. Panglima Sumual kemudian berangkat pula ke
Jakarta untuk meyakinkan pemerintah pusat tentang gawatnya di Indonesia
Timur dan menyongsong tuntutan Gubernur atas otonomi sipil. 4
Pertengahan Februari sebelumnya pemimpin-pemimpin sipil mengorganisir
diri ke dalam suatu perkumpulan. Perkumpulan tersebut bernama Konsentrasi
3 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Jakarata: Serambi Ilmu, 2008), hlm.
503. 4
Barbara Sillars Harvey, Permesta Pemberontakan Setengah Hati (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1989), hlm. 67.
72
Tenaga untuk keselamatan rakyat Sulawesi. Pemimpinnya dari PKR (Partai
Kedaulatan Rakyat) Residen Andi Burhanuddin, wakil ketua J. Latumabina,
Sekretaris Henk Rondonuwu; pembantu-pembantu ditunjuk dari partai seperti A.
Tadjuddin PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Abdul Muluk Makatita Partai
Masyumi. Maksud mereka untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah agar
mendapatkan pengertian yang lebih baik dari pemerintah pusat atas tuntutan
otonomi provinsi. Tujuan Otonomi mereka adalah untuk memajukan
kemakmuran rakyat Sulawesi, bukan untuk memisahkan mereka dari Republik
Indonesia.5
Himpitan situasi yang begitu berat tidak memungkinkan kabinet tidak
bertahan lama. Partai Masyumi lebih dahulu menarik mentei-menterinya dalam
kabinet. Soekarno mengganggap bahwa demokrasi parlementer tidak sesuai
dengan kepribadian bangsa Indonesia dan kemudain memperkenalkan apa yang
disebut musyawarah dalam mufakat. Sistem multipartai oleh tokoh politik
dinyatakan sebagai salah satu penyebab infektivitas pengambilan keputusan
karena masyarakat lebih didorong ke arah bentuk yang fragmatis.6
Pada tanggal 21 Februari 1957 Soekarano lalu mengemukakan tiga
konsepsinya yang pertama, kabinet akan didasarkan pada empat partai besar hasil
pemilu: PNI, partai Masyumi, NU dan untuk pertama kalinya PKI (Partai
5 Ibid, hlm 62.
6 Rusadi Kantraprawira, Sistem Politik Indonesia (Bandung: Sinar Baru, 1988),
hlm. 189.
73
Komunis Indonesia). Kedua akan dibentuk suatu Dewan Nasional yang
ditetapkan presiden, terdiri dari wakil-wakil daerah dan kelompok-kelompok
fungsional, akan dibutuhkan untuk memberi nasihat pada kabinet. Sistem
Demokrasi Parlementar sudah tidak cocok, harus diganti dengan Demokrasi
Terpimpin. Pengucapan konsepsi itu adalah langkah yang pertama dalam proses
penerimaan Soekarno atas suatu perintah politik yang lebih aktif yang berpuncak
pada Juli 1959.7
Natsir dan partainya menolak konsepsi Presiden tentang sistem partai dan
demokrasi terpimpin. Natsir juga tidak setuju ketika PKI masuk dalam kabinet
karena di kabinet sebelumnya terjadi banyak perdebatan. Suasana semakin
tegang terlebih usaha-usaha untuk melaksanakan konsepsi Presiden mendapat
tantangan di daerah. Penolakan tersebut bertentangan dengan kebijakan Presiden
Soekarno yang hendak menyatukan seluruh kekuatan bangsa.8
Akibatnya,
keadaan dalam negeri menjadi gawat, sedang kabinet semakin lemah. Akhirnya
kabinet Ali II menyerahkan mandat ke Presiden Soekarno tanggal 14 Maret
1957.
Pasca jatuhnya kabinet Ali II yang disusul dengan pemberlakuan darurat
perang. Kemudian Soekarno menunjuk Ir. Juanda, komposisi dari kabinet Juanda
sendiri juga belum bisa dikatakan sebagai politik kaki empat, karena partai
7 Barbara, op.cit., hlm. 28.
8 M.Abdul Karim, Islam dan Kemerdekaan Indonesia (Yogyakarta: Sumbangsih
Press, 2005), hlm. 164.
74
Masyumi pun tidak duduk dalam kabinet, walaupun ada dua orang anggota partai
yang masuk ke kabinet terpaksa dikeluarkan seperti Pangeran Noor sebagai
Menteri Pekerjaan Umum dan Muljadi yang diangkat menteri, berhenti dari
Masyumi atas inisiatif sendiri. Menurut partai Masyumi prosedur yang ditempuh
Soekarno bertentangan dengan UUD dan tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Sementara itu ketika mempergunakan keadaan bahaya perang karena munculnya
pemberontakan dan pembentukan kabinet secara mutlak bertentangan dengan
pasal-pasal dalam undang-undang keadaan bahaya itu sendiri oleh sebab itu
maka partai islam ini melarang angggotanya untuk turut serta dalam kabinet,
meskipun NU duduk dalam kabinet.9
Kondisi dalam konstituante semakin memperburuk karena timbulnya
perbedaan dalam kabinet Juanda. Dalam kelompok konstituante terdapat
kelompok yang berbeda. Golongan Islam menghendaki Dasar Negara Islam,
Golongan Nasionalis menghendaki Dasar Negara Pancasila, sementara golongan
komunis menghendaki dasar negara Komunis. Ketiga kelompok ini sulit untuk
dikompromi, sehingga sidang konstituante. Presiden segera bertindak atas kisruh
yang ada. Amanat tanggal 22 April 1959 di muka sidang konstituante
mengharapkan agar kembali kepada UUD 1945. Langkah serius kemudian
dilakukan dengan mengadakan vooting pada tanggal 30 Mei 1959, dari 468
anggota yang hadir yang setuju kembali ke UUD 1945 ada 269 orang dan tidak
9
P.N.H. Simanjuntak, Kabinet-Kabinet Republik Indonesia dari awal
kemerdekaan hingga refformasi, (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 183.
75
setuju 199 orang. Berarti ini tidak Quarum 2/3, sebagaimana ketentuan untuk
menetapkan atau mengubah Undang Undang Dasar. Sekali lagi diadakan vooting
tanggal 1 dan 2 Juni 1959 tetapi masih gagal dalam Quarum. Keadaan semakin
sulit ketika para anggota sulit dikumpulkan karena kemelut yang berlangsung tak
kunjung usai. Keadaan ini akan membawa situasi dan kondisi yang tidak
menentu. Masyarakat merasa resah dan bertanya-tanya bagaimana kondisi politik
yang terjadi.10
Sebagai akhir kemelut, Presiden mengeluarkan Dekritnya tanggal 5 Juli
1959 yang terkenal dengan nama Dekrit Presiden (Lihat lampiran 5 halaman 105
).11
Dekrit adalah suatu keputusan dari penguasa tertinggi (Presiden atau Raja)
secara sepihak dan bertentangan atau mengubah perundang-undangan yang
berlaku bahkan Undang-undang Dasar, demi keselamatan bangsa dan negara.
Dekrit sendiri sudah memenuhi syarat dimana dikeluarkan presiden Soekarno
secara sepihak tanpa ada persetujuan dahulu dari Lembaga Legislatif. Demi
keselamatan bangsa dan negara, karena kesemrawutan yang terjadi membuaat
efek kurang baik bagi bangsa dan negara.12
10 Deliar Noer. Partai Islam di Pentas Nasional, (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti,1987). hlm. 200.
11
Sidang kabinet kabinet inti yang menghasilkan peraturan penyederhanaan partai
dan pengawasan partai-partai. (1960). Mimbar Indonesia, No. 29. hlm. 6.
12 Deliar Noer, op.cit., hlm. 201.
76
Menurut Ahmad Syafii Maarif, Gejala semacam ini merupakan gejala yang
tidak sehat dalam politik. Kekecewaan Soekarno dengan keadaan, sebenarnya
juga berpangkal pada kegagalan kabinetnya mewujudkan kehendaknya:
membentuk kabinet gotong royong atau kabinet berkaki empat. Dewan nasional
kemudian dibentuk pada tangal 11 Juli 1957, yang diketuai oleh Soekarno.
Kemudian dibentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) pada 22
Juli 1959 dibawah UUD 1945.13
Pembentukan Dewan Nasional memang tidak jelas dasar hukumnya. Oleh
karena itu Hatta, Natsir dan Sjahrir telah mengecam pembentuk dewan ini. Tapi
Soekarno mulai muncul dalam konstitusi. DPAS kemudian diserahkan oleh wakil
ketua Roeslan Abdulghani tokoh PNI. DPAS ini pulalah yang mengusulkan agar
pidato 17 Agustus 1959 dijadikan Manifesto Politik yang kemudian berkembang
menjadi Manifes politik USDEK (UUD1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi
ala Indonesia, Ekonomi Terpimpin dan Keadilan Sosial). Kesemuanya menjadi
landasan dasar bagi pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. Pembentuk dewan-
dewan tersebut pada Maret 1960 ditambah dengan pembentukan DPRDGR(
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong) sebgai ganti DPR (Dewan
Perwakilan Rakyat) pilihan rakyat yang dibubarkan, merupakan mekanisme
demokrasi terpimpin.14
13
Ahmad Syafii Maarif. Islam dan Politik Teori belah bambu masa Demokrasi
terpimpin (1959-1965). (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 48-49.
14 Ibid, hlm. 50.
77
Orang-orang yang duduk dalam dewan-dewan tersebut adalah mereka yang
disukai Soekarno. Oleh karena itu partai Masyumi dan PSII (Partai Syarikat
Islam Indonesia) yang menentang politik Soekarno harus tersingkir. Soekarno
dalam pidatonya pada 17 Agustus 1959 dengan judul penemuan kembali revolusi
kita menjelaskan prinsip-prinsip dasar Demokrasi Terpimpin dalam dua kategori:
1. Tiap-tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum,
masyarakat dan negara.
2. Tiap-tiap orang berhak mendapat penghidupan layak dalam masyarakat,
bangsa dan negara.
Sebelum ada amanat 22 April 1959, Soekarno mengatakan bahwa
demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin atau dalam UUD 45
dikatakan demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Sedangakan dalam kesempatan lain Soekarno
menjelaskan bahwa demokrasi terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan tanpa
anarki liberalisme.
Demokrasi kekeluargaan adalah demokrasi yang mendasarkan sistem
pemerintahan kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan satu kekuasaan
sentral ditangan pemimpin yang mengayomi. Menurutnya sistem semacam inilah
yang sesuai dengan UUD 1945 dan memancarkan kepribadian bangsa
Indonesia.15
Di mata partai Masyumi sistem demokrasi terpimpin akan
membawa bencana bagi Bangsa dan Negara, oleh karena itu harus dilawan.
15 Ibid, hlm. 52-53.
78
Partai Masyumi sebagai cagar demokrasi tampaknya tidak punya pilihan selain
menghadapi Soekarno dan sistemnya, sekalipun dengan tenaga yang tak
seimbang. Harapan partai bahwa rakyat akan berpihak kepada demokrasi, tidak
kepada sistem otoriter. Sementara PKI sengat lihat memanipulasi politik
berpihak sepenuhnya kepada sistem Soekarno.
Tujuan taktik PKI adalah menghancurkan lawan politiknya dan yang
terbesar adalah partai Masyumi. Pembentukan DPRGR ternyata mempercepat
proses kristalisasi di kalangan umat Islam. Sebagai partai yang dikategorikan
menentang revolusi partai Masyumi dituduh sebagai partai turut mendalangi
pemberontakan Permesta PRRI, sekalipun secara hukum tuduhan ini tidak
beralasan. Nasib partai Masyumi dan PSI sudah dibayang kehancuran.
Pembahasan selanjutnya disini penulis akan menjelaskan tentang pembubaran
partai Masyumi.
B. Pembubaran Partai Masyumi
Pembuaran partai Masyumi pada tahun 1960 merupakan pukulan telak bagi
kalangan muslim di Indonesia. Awal pembentukan partai Masyumi merupakan
keterwakilan dari beberapa tokoh islam di Indonesia hingga tahun 1950 Masyumi
masih bertahan meskipun tanpa dukungan PSII karena partai tersebut keluar di
tahun 1947. Menjelang pemilu 1955 Masyumi menghadapi masalah baru dengan
keluarnya NU, keluarnya NU seakan menjadi pukulan telak bagi Masyumi
karena partai tersebut berpengaruh besar dalam kanca politik Masyumi.
79
Pemilu 1955 Masyumi berhasil menduduki posisi ke dua sedangkan partai
lain NU di posisi ketiga. Pasca pemilu muncul konsepsi untuk pembubaran
partai, dalam hal ini Masyumi menjadi korban pembubaran tersebut. Konsepsi
tersebut walaupun ditentang banyak kalangan politisi Islam tetapi akhirnya
mereka terkena dampaknya pula. Petaka partai Masyumi dimulai sejak tahun
1956, ketika diproklamirkannya PRRI. Pemerintah berupaya dengan berbagai
usaha seperti yang dilakukan Moh.Hatta untuk tidak terjadinya pertumpahan
darah namun tak ada hasil.16
Masa demokrasi Terpimpin tahun 1957 mencatat Masyumi bukan saja
tambah renggang dan asing dari Soekarno tetapi juga tambah bertentangan secara
konfontatif dengan presiden. Natsir sebagai ketua umum partai, mempunyai garis
kepemimpinan yang tidak seluruhnya didukung kawan-kawan separtainya.
Perbedaan dengan kelompok Sukiman telah beberapa kali dikemukakan. Dalam
suatu kongres Masyumi di Bandung tahun 1956, para tokoh muda mengecam
Natsir yang dianggap lebih dekat dengan para pemimpin Barat ketimbang Islam
dan dengan demikian jauh dari tokoh tokoh yang lebih terikat dengan Islam.17
16
P.N.H. Simanjuntak. loc.cit., hlm. 190.
17
Para tokoh-tokoh muda tersebut tidak begitu berpengaruh dalam partai
mengguncang kedudukan Natsir karena mereka umumnya menjadi penghubung
pemimpin tertinggi di atas dengan orang awam dan simpatisan partai. Lihat Deliar Noer,
loc.cit, hlm. 369.
80
Anggota-anggota istimewa Masyumi umumnya bersimpati dengan Natsir
walaupun Natsir sendiri turut daalm PRRI (Lihat lampiran 4 halaman 104 ).18
Satu
dua organisasi, seperti Al-Jamiyatul Wasliyah dan Muhamadiyah dalam masa
Demokrasi Terpimpin dipengaruhi oleh kebijakan Soekarno, mereka secara
bersikap akomodarif. Al-Jamiyatul Wasliyah, yang asalnya dari Sumatera Utara
mulai membersihakan diri dari keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI
1958. Karena memang sebagian pemimpin dan anggotanya terlibat.
Muhamadiyah mulai renggang dengan Masyumi pasca pemilu. Hal ini mulai
terasa dalam sidang tanwir Muhamadiyah di Yogyakarta 1956 yang
menghasilkan empat corak pemikiran Muhamdiyah untuk Masyumi. Corak
pemikiran pertama menghendaki Muhamadiyah keluar dari Masyumi. Corak
pemikiran ini menggugat perolehan kursi bagi Muhamadiyah di Dewan dan
Majelis Konstituante yang tidak seimbang, juga posisi kunci di Dewan dan
Majelis konstituante yang tidak di tangan Masyumi. Corak pemikiran kedua
menghendaki pisahnya hubungan Masyumi dengan Muhamadiyah, dan
Muhamadiyah kembali pada tradisi sendiri, yaitu dakwah pada semua lapisan
masyarkat sedangkan untuk masalah politik diserahkan kepada masing-masing
anggota.19
18
Tampak Natsir sedang berjuang dalam PRRI. 19
Syaifullah, Gerak Politik Muhamadiyah dalam Masyumi, (Jakarta: Pustaka
Utama Grafitti, 1997), hlm. 194-196.
81
Corak pemikiran ketiga menghendaki Muhamadiyah dengan partai
Masyumi pisah, Muhamadiyah menjadi partai politik, dan hubungan organisasi
kemasyarakatan dengan organisasi politik melalui federasi. Corak pemikiran ke
empat menghendaki hubungan Muhamadiyah dengan partai Masyumi
berlangsung. Corak pemikiran ini berdasar pada cita-cita yaitu memajukan dan
mengembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam; menegakkan dan
menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya. Dalam keputusan tersebut tampaknya aspirasi tidak
menginginkan Muhamadiyah menjadi partai politik Islam, Muhamadiyah tetap
sebagai gerakan Islam. 20
Satu organisasi yang erat mulanya didirikan partai Masyumi yaitu, Sarikat
Buruh Islam Indonesia yang berganti nama menjadi Gabungan Sarekat Buruh
Islam Indonesia (Gasbiindo) tahun 1960 dengan ketua Jusuf Wibisono, kemudian
melepaskan diri dari partai Masyumi. Gasbiindo merasa lebih tepat untuk berdiri
sendiri. Apalagi Jusuf Wibisono tidak setuju dengan kebijaksanaan partai
Masyumi menghadapi Soekarno dan PRRI. Partai Masyumi setuju dengan
lepasnya ikatan sarekat buruh ini. Jusuf Wibisono kemudian duduk dalam
DPRGR sebagai wakil Gasbiindo.21
20 Ibid, hlm. 197-198.
21
Deliar Noer, op.cit., hlm. 373.
82
Tahun-tahun 1959-1960 merupakan tahun-tahun yang menimbulkan
ketegangan bagi partai Masyumi. Partai mengambil langkah untuk
menyelamatkan anggota istimewa, partai ini memutuskan untuk melepaskan
mereka dari partai termasuk dengan Muhamadiyah. Keputusan ini disetujui oleh
pemimpin partai dan seluruh anggota-anggota istimewa termasuk Muhamadiyah
dalam sebuah rapat tanggal 8 September 1959 di Jakarta. Keputusan ini
merupakan cara untuk menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi
terhadap Masyumi. Suara-suara kemungkinan partai Masyumi dibubarkan
memang sudah terdengar.22
Ketegangan dijumpai dalam lingkungan pimpinan partai sendiri
sehubungan dengan bergabungnya beberapa di antara pemimpin tersebut dengan
PRRI. Permulaan tahun 1958 Natsir, Sjarifuddin Prawiranegara sedang berada di
Sumatera, masing-masing dengan keperluan dan acaranya. Natsir pergi ke
Sumatera Barat. Sjarifuddin Prawiranegara meninggalkan jabatan Gubernur
Bank Indonesia sewaktu dia di Palembang kemudian aktif menyusul Natsir untuk
menyusun kekuatan sosial politik dengan tujuan untuk menghadapi poltik
Sukarno di Jakarta. Tiga tokoh Masyumi yang kesemuanya pernah mengepalai
perdana menteri berkumpul di Sumater Barat dan turut dalam pembicaraan-
pembicaraan yang diadakan oleh wakil-wakil Dewan dan Komandan militer
22 Ibid, hlm. 376.
83
berbagai daerah serta tokoh politik yang kesemuanya menolak kebijakan
pemerintah pusat.23
PRRI kemudian menunjuk Syarifuddin Prawiranegara sebagai orang yang
tepat untuk memimpin pemerintahan tandingan. Sebelum pemerintahan
tandingan ini berdir pada bulan Februari 1958, beberapa tokoh Masyumi di
Jakarta datang ke Padang dan Bukit Tinggi untuk bertemu rekan-rekannya dan
anggota daerah. Keterlibatan anggota partai Masyumi dalam PRRI menjadi
bahan diskusi dalam rapat pimpinan partai Masyumi. Pertama DPP harus
menentukan sikap terhadap persoalan tersebut dan diputuskan untuk
menemuinya ditunjuk Mohammad Roem untuk menemui Natsir dan Sjarifuddin.
guna mencari jalan penyelesaian pertikaian dengan pemerintah pusat.24
Laporan yang ada, Natsir telah mengusulkan agar namanya dipisahkan dari
partai Masyumi, sehingga dengan demikian partai tidak terbawa. Usul Natsir
tidak disetujui oleh anggota DPP, sebab mereka khawatir jangan-jangan
dikatakan “kurang setiakawan”. Jusuf Wibisono berkeyakinan bahwa seandainya
waktu itu partai dapat dan mau mengikuti nasehat Natsir, niscaya jalan sejarah
akan lain dari sekarang, sebab Bung Karno tidak berniat membubarkan Partai
Masyumi. Jusuf tidak berkata bahwa dia tidak dapat menyetujui Partai Masyumi
mendukung masa PRRI. Sebab PRRI dibentuk selain tanpa perundingan terlebih
23
Soebagijo. Jusuf Wibisono Karang di Tengah Gelombang., (Jakarta: Gunung
Agung, 1980). hlm. 230. 24 Ibid, hlm. 233.
84
dahulu dari DPP Masyumi, menurut Jusuf cara beroposisi dengan kekerasan
senjata adalah tidak demokratis dan melawan hukum.25
Dengan perginya Natsir dari Jakarta dan terutama keterlibatannya dalam
PRRI, pimpinan Masyumi jatuh kepada Prawoto Mangkusasmito. Pimpinan
partai lebih mempercayakan kebijaksanaan partai kepada Prawoto
Mangkusasmito dan bukan kepada Sukiman. Pemimpin Masyumi pada
umumnya lebih mempercayakan lanjutan kebijaksanaan partai kepada Prawoto.
Soal pemikiran, Prawoto lebih dekat dengan Natsir. Pengangkatan Prawoto
sebagai pemimpin Masyumi dikokohkan oleh kongres Masyumi di Yogyakarta
pada bulan April 1959. 26
Pada tanggal 10 Februari 1958 pimpinan di Sumatera Barat dengan
dukungan militer daerah mengirim ultimatum ke pusat agar kabinet baru
dibentuk dengan pimpinan Mohammad Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX.
Ultimatum ini tidak dipenuhi oleh kabinet Juanda. Sebelum PRRI
diprokamasikan, Sjarifuddin pergi ke Palembang untuk melihat sejauh mana
tekad dan persiapan Dewan Garuda. Sjarifuddin tetap bersedia memimpin PRRI
dan diproklamasikan PRRI oleh Sjarifuddin Prawiranegara pada tanggal 15
Februari 1958, setalah pemerintah tidak memberi respons yang positif.
25
Ibid.
26 Deliar Noer. op.cit., hlm. 377.
85
Bukittinggi menjadi tempat kedudukan PRRI (Lihat lampiran 3 halaman 103)27
Natsir menjadi juru bicara dan Boerhanoedin Harahap menjadi menteri
pertahanan kan kehakiman. Proklamasi PRRI itu mendapat dukungan dari
segenap lapisan masyarakat Sumatera Barat, sebagian Sumatera Utara, Sulawesi
Utara dan Selatan. Dukungan diberikan juga oleh cabang-cabang partai Islam,
IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), Parkindo (Partai Kristen
Indonesi) dan PSI (Partai Sosialis Indonesia).28
Pemerintah kemudian bertindak atas pendirian PRRI dengan jalan
kekerasan. Pada tanggal 16 Februari Nasution memecat semua pemimpin militer
pemberontak. Pemerintah selanjutnya pesawat pemerintah menyerang Padang,
Bukittinggi dan kota-kota lain di Sumatera di bom angkatan perang pemerintah,
demikian juga Manado dan beberapa kota Sulawesi. Pada tanggal 21 dan 22
Februari kemudian menghancurkan peralatan radio pemberontak dan merusak
alat komunikasi mereka yang utama. Hitungan bulan kekuatan PRRI telah
patah.29
Pada tanggal 23-27 April 1959 diadakan kongres partai Masyumi di
Yogyakarta ditengah ketegangan yang melanda, baik partai maupun umat islam
umumnya. Kongres masih memutuskan agar Dwitunggal Soekarno-Hatta
27
Para tokoh Masyumi dan PRRI. 28 Deliar. op.cit., hlm. 377. 29
Audrey Kahin. Dari Pemberontakan ke Integrasi, Sumatera Barat dan Politik
Indonesia 1926-1988. (Jakarta: Yayasan Obor, 2008). hlm. 329.
86
dipulihkan untuk mengembalikan persatuan nasional. Hal ini menunjukan bahwa
partai tetap tidak setuju dengan penggunaan kekerasan oleh pemerintah terhadap
PRRI. Kongres juga berpendapat bahwa konstituante perlu diberi kesempatan
untuk menyelesaikan tugasnya. Jadi kongres tidak menyetujui keputusan
pemerintah bulan Februari 1959 untuk kembali kepada UUD 1945. Kongres juga
berkewajiban memelihara persatuan umat.30
Masalah Penpres (Penetapan Presiden) ini timbul terutama setelah Penpres
No. 7/1959 keluar yang mengatur sistem kepartaian dalam rangka
penyederhanaan sistem. Prawoto mengatakan bahwa penetapan-penetapan
presiden yang keluar sesudah dekrit presiden, dianggap tidak dimaksudkan
sebagai suatu pembinaan hukum tetapi sebagai penggarisan kebijaksanaan.
Prawoto juga menambahkan untuk masalah kepartaian bahwa pada dasarnya
Partai Masyumi menganggap perlu ada undang-undang kepartaian tersebut
sebagai langkah tindak lanjut dari Maklumat pemerintah tanggal 3 November
1945, yang menganjurkan pembentukan partai politik. Prawoto juga tidak setuju
dengan ketentuan dalam Penpres yang menuntut adanya jumlah tertentu tentang
cabang partai.31
30 Deliar Noer. op.cit., hlm. 381. 31
Zulfikar Ghazali dkk. Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan Prawoto
Mangkusasmito, Wilopo, Ahmad Subardjo. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI. 1998). hlm. 16-17.
87
Penpres tentang partai tampaknya lebih ditujukan kepada Masyumi dan
(PSI). Pasal 9 menyebut bahwa presiden, setelah mendengar pendapat
Mahkamah Agung, dapat melarang atau membubarkan partai yang sedang
melakukan pemberontakan karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam
pemberontakan atau jelas memberikan bantuan, sedangkan partai tidak dengan
resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggota itu.32
Beberapa tokoh Masyumi
dan (PSI) terlibat dalam PRRI, Masyumi tidak pernah secara resmi menyalahkan
mereka. Kenyataan selanjutnya memang menjadi kenyataan ketika beberapa
tokoh Masyumi dipanggil Presiden.
Pada tanggal 21 Juli Presiden Soekarno memanggil pemimpin-pemimpin
Masyumi dan (PSI) (Lihat lampiran 6 halaman 106).33
Pemimpin Masyumi yang
hadir adalah Prawoto Mangkusasmito dan M. Yunan Nasution. PSI yang hadir
adalah Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo dan T.A Murat. Sukiman yang bermaksud
hadir sedang berada di Yogyakarta Pertemuan tersebut Presiden Soekarno
didampingi oleh staf ketiga angkatan, Kepala Polisi, Jaksa Agung, Kepala Staf
Komando Tertinggi, Sekretaris Milter Komando Tertinggi, Mneteri Penerangan
dan Direktur Kabinet. Presiden dalam pertemuannya menyerahkan setumpuk
32
Fathkhrohman. Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Malang: Setara Press,
2010), hlm. 102-103. 33
Pada tanggal 21 Juli Presiden Soekarno memanggil pemimpin-pemimpin
Masyumi dan (PSI) dalam rangka melaksanakan penpres no. 7 tahun 1959 dan penpres
no. 13 tahun 1960. (1960). Mimbar Indonesia, No.31. hlm. 6.
88
daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh para pemimpin partai secara tertulis
dalam satu minggu.34
Pertanyaan pertama menanyakan apakah Masyumi bermaksud menentang
dasar dan tujuan negara. Pertanyaan kedua apakah Masyumi bermaksud
mengubah dasar dan tujuan negara. Masyumi dalam jawabannya menyangkalnya
dan mengatakan bahwa apa yang dianggap partai sebagai dasar dan tujuan negara
ialah seperti yang dicantumkan dalam Mukadimmah UUD dan tidak dalam
manipol. Partai Masyumi membandingkan dengan dasar dan tujuannya dan pada
kesimpulannya keduanya tidak bertentangan.35
Pertanyaan ketiga berhubungan dengan PRRI. Pertanyaan juga berkaitan
dengan Penpres 7/1959 pasal 9(1), yaitu tentang keterlibatan partai. Masyumi
menjawab bahwa ia tidak terlibat dalam pemberontakan PRRI. Masyumi juga
mengatakan bahwa penpres tersebut mulai berlaku tanggal 31 Desember 1959
ketika para pemimpin yang tergabung dalam PRRI telah memisahkan diri atau
keluar dari Masyumi. Pimpinan partai dipilih baru pada kongres bulan April
1959 yang tidak menyebutkan seorang pun dari orang PRRI. Masyumi juga
mengemukakan bahwa 9 September 1958 cabang-cabang partai di Tapanuli,
Sumatera Barat, Riau Daratan, Sulawesi Utara telah dibekukan oleh pemerintah
dan hubungan organisasi dengan pimpinan pusat Masyumi telah putus.
34
Deliar Noer. loc.cit., hlm. 385.
35
Ibid, hlm. 385.
89
Pertanyaan keempat apakah Masyumi telah memenuhi persyaratan lain-lain
dalam Penpres 7/1959 (pasal 9(1)4), Masyumi menjawab bahwa masih cukup
waktu baginya untuk memenuhi syarat-syarat tersebut karena kesempatan masih
diberikan oleh Penpres tersebut sampai tanggal 31 Desember 1960. Jawabannya
Masyumi juga menanggapi soal kesahan Penpres. Partai ini mengakui bahwa
UUD 1945 memang didekritkan dan oleh sebab itu sudah menjadi kenyataan;
partai tidak menolak kenyataan ini. Pendekritan UUD 1945 juga merupakan
permulaan dari suatu sistem pemerintah yang mengganti UUDS 1950. Tetapi
menurut Masyumi, penggunaan keputusan Presiden dalam bentuk Penpres
semenjak Juli 1959 tidak sesuai dengan UUD 1945. Penpres merupakan
pelanggaran terhadap UUD. Partai Masyumi tidak setuju dengan isi surat
Presiden yang dikirim kepada ketua parlemen yang dikemukan bahwa
“Pemerintah memandang perlu mengadakan beberapa peraturan negara lainnya
yakni Penetapan Presiden” atau Penpres. UUD 1945 tidak mengenal hukum jenis
ini, Penpres malah bertentangan dengan jiwa proklamasi kemerdekaan
Indonesia.36
Karena jawaban pimpinan partai Masyumi dan PSI tidak memuaskan
Soekarno, akhirnya pukulan terakhir dialami partai pada tanggal 17 Agustus
1960 hari kemerdekaan Indonesia dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 200
tahun 1960 yang membubarkan Masyumi dan Keppres Nomor 201 tahun 1961
36 Ibid, hlm. 386.
90
yang membubarkan PSI. Kepres Nomor 200 tahun 1960 menyatakan bahwa
“Membubarkan Partai Politik Masyumi termasuk bagian-bagian atau cabang-
cabang atau ranting-rantingnya di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Demikian pula dengan Keppres Nomor 201 tahun 1960 yang menyatakan
“Membubarkan Partai Sosialis Indonesia, termasuk bagian-bagian atau cabang-
cabang atau ranting-rantingnya di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. 37
Kedua Keppres tersebut disampaikan kepada masing-masing partai dengan
pengantar dari Direktur Kabinet Presiden, Tamzil tetanggal 17 Agustus 1960.
Paragraf kedua dan ketiga surat Direktur kabinet presiden menyatakan dalam
waktu 30 hari terhitung sejak tanggal berlakunya Keputusan Presiden tersebut
yaitu tanggal 17 Agustus 1960, pimpinan Masyumi dan PSI diharuskan
menyatakan partainya bubar dengan memberitahukan kepada Presiden. Hal itu
sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2) Penpres Nomor 7 tahun 1959 dan Pasal
8 ayat (2) Perpres Nomor 13 tahun 1960. Apabila dalam jangka waktu tersebut
tidak dibubarkan, maka akan dinyatakan sebagai partai terlarang sebagaimana
diatur di dalam Pasal 8 ayat (3) Perpres Nomor 13 tahun 1960.38
Keluarnya keppres no. 200/1960 itu membuat para pemimpin partai jatuh
kepada dilema. Dilema berujung antara membubarkan diri, yang berarti mereka
tidak dapat menyalurkan aspirasi politiknya melalui Partai Masyumi hasil
37
Muhamad Ali Safa’at. Pembubaran Partai Politik. (Jakarta: Raja Grafindo
Press, 2011), hlm. 169.
38 Ibid, hlm. 170.
91
Mukhtamar Umat Islam di Yogyakarta dan bila tidak membubarkan diri akan
menjadi partai yang terlarang. Kalaupun menjadi partai terlarang dan para
anggota partai akan menjadi anggota partai terlarang, yang berarti bahwa mereka
tidak dapat hidup dengan tenang di Indonesia. Dilema yang berujung ini
kemudian diselesesaikan oleh Prawoto selaku ketua Partai Masyumi.39
Pada tanggal 13 September 1960 pimpinan pusat Partai Masyumi
menyatakan partainya bubar. Pernyataan ini tidak berarti bahwa Partai Masyumi
menyetujui Insturksi Presiden. Terhadap keputusan pembubaran Partai Masyumi,
pada tanggal 9 September Ketua Umum Partai Masyumi Prawoto
Mangunsasmito meminta rekannya Mohammad Roem mengajukan gugatan
kepada Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta. Tuntutan yang diajukan dalam surat
yang ditulis Roem pada intinya berisi: Menyatakan bahwa penetapan Presiden
No. 7 Tahun 1957 dan Peraturan Presiden No. 13 tahun 1960 tidak mempunyai
kekuatan hukum. Membatalkan setidak-tidaknya menyatakan batal hukum
Keputusan Presiden No. 200 tahun tahun 1960. Menghukum tergugar membayar
ongkos perkara. Gugatan itu kemudian ditanggapi dengan pernyataan Ketua
Pengadilan Moh. Rochjani Soe’od pada 11 Oktober yang menyatakan bahwa
pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa perkara tersebut.40
39
Silverio R.L. Aji Sampurno. Latar Belakang Keluarnya Keppres Nomor 200
Tahun 1960 Sekitar Pembubaran Masyumi. (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma,
1995). hlm. 27. 40
Lin Nur Insaniwati. Mohamad Roem Karier Politik dan Perjuangannya (1924-
1968). (Magelang: Indonesiatera, 2002). hlm. 113.
92
Prawoto menawarkan kepada para pemimpin daerah untuk membubarkan
diri atau tidak. Penawaran Prawoto sebenarnya sudah membawa misi pimpinana
pusat partai yang menyatakan membubarkan partai. Walau ada beberapa
pimpinan daerah yang tetap ingin mendirikan partai dan bahkan ada yang
mengusulkan untuk memenuhi Soekarno untuk menyalahkan Natsir. Pengurus
partai Masyumi wilayah Yogyakarta tidak dapat langsung menerima pembubaran
partai, namun ketika pemimpin pusat dengan wilayah bertemu kemudian
memutuskan untuk membubarkan diri.41
Akhirnya tertanggal 13 November 1960
Prawoto menyatakan partai Masyumi bubar.
41
Silverio R.L. Aji Sampurno. op.cit., hlm. 28.
93
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat penulis simpulkan sebagai berikut.
Pertama, latar belakang partai Masyumi adalah partai yang beraliran Islam
yang terbentuk pada susana revolusi. Partai Masyumi merupakan jawaban
umat Islam atas maklumat presiden tanggal 3 November 1945 yang berisi
tentang anjuran didirikannya partai politik. Pada tanggal 7 November 1945,
dalam Kongres Umat Islam di gedung Madrasah Mu’alimin Yogyakarta
tokoh-tokoh Islam bersepakat untuk mendirikan partai politik Islam yang
pertama yang diberi nama Masyumi atau kepanjangan dari Majelis Syuro
Muslimin Indonesia. Tujuan didirikannya Partai Masyumi yakni “terlaksana
ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan individu, masyarakat dan negara
Republik Indonesia menuju keridhaan Illahi. Pendiri partai merupakan para
tokoh-tokoh Islam seperti Sukiman, Natsir dll. Program partai mencakup
berbagai bidang seperti program pembebasan untuk Irian Barat yang waktu
itu masih di tangan pemerintah Belanda.
Kedua, perkembangan partai Masyumi pada masa demokrasi
parlementer 1950-1955 menunjukan jatuh bangun. Jatuh bangun partai
dimulai sejak masa kemerdekaan 1945-1949. Selama kurun waktu 1945-1949
anggota partai duduk di pemerintahan meskipun pada tahun 1947 Amir
Sjarifuddin sebagai formatir kabinet berhasil mendirikan PSII kembali.
Peristiwa ini menimbulkan keretakan dalam kalangan Masyumi walaupun
dampak dari keluarnya itu tidak begitu besar. Berdirinya PSII kembali
94
disebabkan karena kekecewaan sebagian politisinya di Partai Masyumi yang
tidak mendapatkan peran dan kedudukan kurang strategis seperti
Wondoamiseno dan Arundji Kartawinata. Partai Masyumi akhirnya bersedia
ikut dalam kabinet, meskipun sebelumnya menolak kebijakan Amir.
Pada tahun 1950-1955 menunjukan pergolakan jatuh bangun Partai
Masyumi dalam kabinet. Pada tahun 1952 saat kabinet dipimpin Wilopo.
Muncul ketegangan dengan keluarnya NU dalam Masyumi. Keluarnya NU
ditandai dengan terpilihnya KH Fakih Usman (unsur Muhamadiyah dalam
NU) menjadi Menteri Agama dalam kabinet Wiloppo. Hal ini dikarenakan
menteri Agama dalam kabinet sebelumnya Sukiman, dipegang NU dengan
K.H. Hasyim Wahab duduk sebagai menteri. Masyumi yang sudah ditinggal
PSII dan NU terus maju hingga pemilihan umum 1955. Berikut hasil pemilu
5 besar yang dimenangkan PNI dengan persentase yang sedikit. PNI 22,3%
(8.434.653), Masyumi 20,9 % (7.903.886.), NU 18,4% (6.955.141), PKI
16,4% (6.179.914), PSII 2.9% (1.0091.160).
Ketiga, perkembangan politik partai Masyumi pasca pemilu 1955,
menunjukan pergolakan partai yang bermuara harus dibubarkannya partai
Masyumi. Pada tanggal 21 Februari 1957 muncul konsepsi presiden yang
salah satunya ingin menyatukan keempat pemenang hasil pemilu ke dalam
kabinet. Partai Masyumi, NU menolak dan menentang keterlibatan PKI,
karena di beberapa kabinet sebelumnya terjadi perdebatan dengan PKI seperti
masalah Tanjung Morawa. Akhirnya di awal tahun 1958 tokoh partai seperti
Natsir, Sjarifuddin Prawiranegara pergi ke Sumatera Barat memproklamirkan
95
PRRI (Pemberontakan Revolusioner Republik Indonesia) tanggal 15 Februari
1958. PRRI sendiri merupakan jawaban daerah atas tidak lancarnya kabinet
yang terus menujukan jatuh bangun. PRRI mendapat dukungan dari segenap
lapisan masyarakat Sumatera Barat, sebagian Sumatera Utara, Sulawesi Utara
dan Selatan. Pemerintah kemudian mengambil jalan kekerasan untuk
menghentikan pemberontakan. Padang dan kota-kota lain di Sumatera Barat
di bom angkatan perang pemerintah, demikian juga Manado dan beberapa
kota Sulawesi. Kekuatan PRRI akhirnya padam.
Akhir kemelut ketidakharmonisan hubungan beberapa tokoh partai
Masyumi dan pemerintahan Sukarno terjadi saat dikeluarkaanya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Presiden kemudian memanggil tokoh Masyumi untuk
mengajukan pertanyaan. Pertanyaan pertama dan kedua menanyakan apakah
Masyumi ingin menentang dan mengubah dasar negara. Masyumi dalam
jawabannya menyangkalnya dan mengatakan bahwa apa yang dianggap partai
sebagai dasar dan tujuan negara ialah seperti yang dicantumkan dalam
Mukadimmah UUD dan tidak dalam manipol. Pertanyaan ketiga
berhubungan dengan PRRI. Partai Masyumi menyangkal keterlibatan
beberapa tokohnya karena sebelumnya di kongres Masyumi tahun 1959,
mereka sudah menyatakan diri keluar. Pertanyaan keempat apakah Masyumi
telah memenuhi persyaratan dalam Penpres 7/1959 (pasal 9(1)4), Masyumi
menjawab bahwa masih cukup waktu baginya untuk memenuhi syarat-syarat
tersebut karena kesempatan masih diberikan oleh Penpres tersebut sampai
tanggal 31 Desember 1960.
96
Akhirnya pukulan terakhir dialami partai Islam yang gigih
mempertahankan prinsipnya. Pada tanggal 17 Agustus 1960 hari
kemerdekaan Indonesia – pimpinan pusat Partai Masyumi menerima surat
dari Direktur Kabinet Presiden yang mengemukakan bahwa Masyumi harus
dibubarkan. Dalam waktu 30 hari sesudah tanggal keputusan ini, yaitu
tanggal 17 Agustus 1960, pimpinan partai Masyumi harus menyatakan
partainya bubar. Pembubaran ini harus diberitahukan kepada Presiden
secepatnya, kalau tidak partai Masyumi akan diumumkan sebagai “partai
terlarang”. Pada tanggal 13 September 1960 pimpinan pusat partai Masyumi
Prawoto Mangkusasmito menyatakan partainya bubar.
97
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
A.G. Pringgodigdo. Undang-Undang No. 7 tahun 1953 tantang PemilihanUmum.
Yogyakarta: U.P Indonesia N.V.
Abdul Aziz tara. (1996). Islam dan Negara dalam Politik Orde
Baru.Jakarta:Gema Insani Press.
Abdul Karim. (2005). Islam danKemerdekaan Indonesia. Yogyakarta:
Sumbangsih Press.
Ahmad Syafii Maarif. (1985).Islam dan Masalah kenegaraan; Studi tentang
Perpecahan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES.
_______. (1983). Potret Perkembangan Islam di Indonesia. Yogyakarta:
Shalahuddin Press.
_______. (1996). Islam dan Politik Teori belah bambu masa Demokrasi terpimpin
(1959-1965). Jakarta:Gema Insani Press.
Artawijaya. (2014). Belajar dari Partai Masjumi. Jakarta Timur: Al-Kautsar.
Audrey Kahin. (2008). Dari Pembenrontakan ke Integrasi Sumatera Barat dan
Politik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor.
Barbara Sillars Harvey. (1989). Permesta Pemberontakan Setengah Hati (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.
Bibit Suprapto. (1985). Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia.
Jakarta Timur: Ghalia Indonesia.
Deliar Noer. (1987).Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: PT Pustaka Utama
Grafiti.
M.Abdul Karim. (2005).Islam dan Kemerdekaan
IndonesiaYogyakarta:Sumbangsih Press.
Ichlasul Amal. (1988). Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta:PT. Tiara
Wacana Yogya.
Fatkhuroman. (2010).Pembubaran Partai Politik di Indonesia. Malang: Setara
Press.
98
Muhamad Ali Safaat. (2011). Perkembangan Pembubaran Partai Politik. Jakarta:
Raja Grafindo Press.
C.S.T Kansil. (1987). Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Angkasa Baru.
H.Agus Suminto. (1985).Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES.
Hariyono. (1995).Mempelajari Sejarah secara Efektif. Jakarta: Pustaka Jaya.
Helius Sjamsudin (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Herbert Feith dan Lance Castles. (1988)Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965.
Jakarta: LP3ES.
Khoirul Fathoni, Muh. Zen. (1992).NU pasca Khittah. Yogyakarta: Media Widya
Mandala.
Kuntowijoyo. (2013).Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
_______. (2003). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.
Lin Nur Insaniwati. (2002). Mohamad Roem Karier Politik dan Perjuangannya
(1924 – 1968). Magelang: Indonesiatera
Gottschalk Louis. (2008).Mengerti Sejarahterjemahan Nugroho Notosusanto.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Ricklefs. M.C (2008). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT. Serambil Ilmu
Semesta.
Miriam Budiardjo. (2008).Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka.
S.M. Amin. (1967). Indonesia Dibawah Rezim Demokrasi Terpimpin. Jakarta:
Bulan Bintang.
P.N.H. Simanjuntak. (2003). Kabinet Kabinet Republik Indonasia dari Awal
Kemerdekaan sampai Reformasi. Jakarta: Djambatan.
Musyrifah Sunanto. (2012).Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Ridho Al Hamdi. (2013). Partai Politik Islam Teori dan Praktik di
Indonesia.Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rusadi Kantraprawira, (1988). Sistem Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru.
99
Sartono Kartodirdjo. (1992). Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Silverio R.L. Aji Sampurno. (1995). Latar Belakang Keluarnya Keppres Nomor
200 Tahun 1960 Sekitar Pembubaran Masyumi. Yogyakarta: Universitas
Sanata Dharma.
Soebagijo I.N. (1980). Jusuf Wibisono Karang di Tengah Gelombang. Jakarta:
Gunung Agung.
Suhartono Wiryo Pranoto.(2010) Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Syaifullah. (1997).Gerak Politik Muhamadiyah dalam Masyumi. Jakarta: Pustaka
Utama Grafitti.
Syamsuri. (2004). Politik Islam Anti Komunis. Yogyakarta: Safirian Insani Press.
Zainal Abidin Amir. (2003). PetaIslam Politik Pasca Soeharto. Jakarta: LP3ES.
Zulfikar Gazali dkk.(1989). Sejarah Politik Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
_______. (1998). Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan Prawoto Mangkusasmito,
Wilopo, Ahmad Subarjo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional.
Yusril Ihza Mahendra. (1999).Modernisme dan Fundamentalisme dalam politik
sosial. Jakarta Selatan: Paramadina.
Majalah :
Rhoma Dwi Aria Yuliantri. (2011).“Catatan Kecil Soekiman: Sepuluh Bulan
Menjadi Perdana Menteri”. Basis, Nomor 03-04, hlm 53-56.
Ahmad Syafii Maarif. (1988). “Islam di Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi
Terpimpin”. Prisma, No. 5 Tahun XVII, hlm. 25.
Koran :
Mimbar Indonesia “Gambar”, No. 29, 16 Juli 1960.
Mimbar Indonesia“Gambar”, No.31.30 Juli 1960.
100
Pedoman Rakyat, “Presiden Anjurkan Dikuburkan Partai Partai”, 30 Oktober
1956.
Pedoman Rakyat, “ Parkindo setuju kabinet bubar”, 2 Januari 1957.
Pedoman Rakyat, “ Kesibukan Politik di Ibukota”, 11 Januari 1957.
Internet :
Kopral Cepot. (2011).Cerita-amriki-di-prri-dan-cia-di-permesta. Tersedia pada
https://serbasejarah.wordpress.com. Diakses tanggal 20 april 2016.
Chaerolriezal (2014). Mengenang sejarah pembubaran partai. Tersedia pada
http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Diakses tanggal 20 April 2016.
101
Lampiran 1 Lambang Partai Masyumi.
Sumber: http://chaerolriezal.blogspot.co.id/2014/02/mengenang-sejarah-
pembubaran-partai.html
Diakses tanggal 20 April 2016, jam 14.45 WIB.
102
Lampiran 2 Foto Mohammad Natsir
Sumber: Artawijaya. (2014). Belajar dari Partai Masjumi. Jakarta Timur: Al-
Kautsar.
103
Lampiran 3 Pemimpin Masyumi dan Anggota PRRI
Sumber: https://serbasejarah.wordpress.com/2011/03/20/cerita-amriki-di-prri-dan-
cia-di-permesta/
Diakses tanggal 20 april 2016, pukul 15.12 wib
104
Lampiran 4 M.Natsit (tengah) saat berjuang di PRRI
Sumber: Artawijaya. (2014). Belajar dari Partai Masjumi. Jakarta Timur: Al-
Kautsar.
105
Lampiran 5 Sidang kabinet Inti mengenai Penyederhanaan Partai.
Sumber: Majalah Mimbar Indonesia, No. 29, 16 Juli 1960. hlm. 6.
106
Lampiran 6 Tokoh Masyumi dipanggil Presiden.
Sumber: Majalah Mimbar Indonesia, No.31, 30 Juli 1960. hlm. 6.