6
CDK Edisi Suplemen/ Vol. 44 th. 2017 37 Alamat Korespondensi email: CONTINUING MEDICAL EDUCATION Akreditasi PB IDI–2 SKP [email protected] Perkembangan Terapi Erythropoietin Stimulating Agent untuk Anemia Penyakit Ginjal Kronik Dedyanto Henky Saputra Medical Department PT Kalbe Farma Tbk. Jakarta, Indonesia ABSTRAK Terapi erythropoietin stimulating agent (ESA) merupakan bagian penting manajemen penyakit ginjal kronik. Berbagai evidences menunjukkan bahwa terapi ESA dapat memperbaiki parameter hematologi, menurunkan mortalitas dan morbiditas, serta meningkatkan kualitas hidup pasien penyakit ginjal. Perkembangan produk ESA ditujukan untuk memperpanjang keberadaan obat di dalam tubuh, sehingga efek yang dihasilkan makin panjang dan mengurangi frekuensi penyuntikan, yang tentunya dapat meningkatkan kenyamanan pasien. Kata kunci: Anemia, eritropoietin, ESA, penyakit ginjal kronik. ABSTRACT Erythropoietin stimulating agent (ESA) treatment is an important part in the management of chronic kidney disease. Various evidences showed that ESA therapy may improve hematologic parameters, reduce mortality and morbidity, and improve quality of life. ESA product development aimed to prolong drug availability to maintain effects and to reduce frequency of injection that will improve patient’s comfort. Dedyanto Henky Saputra. Developments of Erythropoietin Stimulating Agent Therapy for Anemia in Chronic Kidney Disease Keywords: Anemia, chronic kidney failure, erythropoetin, ESA. Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik Anemia merupakan komplikasi yang umum dijumpai pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK). Kategori anemia pada pengidap PGK menurut konsensus PERNEFRI 2011 dapat menggunakan parameter hemoglobin (Hb), yaitu apabila kadar Hb kurang dari 14 g/dL untuk pria dan kurang dari 12 g/dL untuk wanita. Berdasarkan data United States Renal Data System (USRDS) tahun 2010, frekuensi anemia PGK pada stadium 1 hingga 4 adalah mencapai 51,8%, sedangkan kadar rerata Hb pada pasien PGK stadium terminal adalah 9,9 g/dL. Meskipun angka pasti prevalensi penderita PGK di Indonesia tidak diketahui, sekitar 60% pasien PGK diperkirakan menderita anemia, dan sekitar 80% di antaranya memerlukan pengobatan. Pada data Rumah sakit Cipto Mangunkusmo tahun 2010, anemia ditemukan pada 100% pasien yang pertama kali menjalani HD, dengan kadar rerata Hb 7,7 g/dL. 1 Anemia pada pasien PGK memiliki gambaran histologis normokrom normositer dengan penyebab multifaktorial. Faktor utama anemia pada PGK adalah tidak adekuatnya produksi eritropoietin karena berkurangnya massa ginjal fungsional. Eritropoietin adalah suatu hormon yang dihasilkan oleh sel peritubular ginjal untuk menstimulasi sumsum tulang agar melakukan proses eritropoiesis, juga berperan dalam proses proliferasi, maturasi, dan pelepasan retikulosit. Faktor penyumbang terjadinya anemia pada PGK lainnya antara lain memendeknya masa hidup sel darah merah hingga 70-80 hari akibat akumulasi toksin di ginjal (masa hidup sel darah normal pada penderita gagal ginjal yang menjalani dialisis), kehilangan darah akibat penggunaan heparin selama dialisis serta antikoagulan oral di antara periode dialisis. Kadar tinggi hepcidin yang mengganggu absorpsi zat besi dan blokade pada sel retikuloendotelial juga terjadi pada banyak pasien PGK. Selain itu, malnutrisi, defisiensi besi, asam folat, vitamin B, tingginya kadar sitokin pro-inflamasi serta penyakit penyerta, seperti infeksi, dapat ikut memperburuk anemia pasien PGK. 2-4 Anemia pada pasien PGK dapat menimbulkan berbagai manifestasi, seperti penurunan fungsi kognitif dan kualitas hidup, stroke, gangguan fungsi seksual, sindrom kardiorenal dan percepatan progresivitas kerusakan ginjal. 5 Tatalaksana Anemia PGK Melalui Terapi Eritropoietin Tujuan penanganan anemia pada pasien PGK adalah untuk mengurangi kebutuhan transfusi darah, menghilangkan gejala anemia, mencegah komplikasi kardiovaskular, menurunkan angka morbiditas dan mortalitas anemia, serta meningkatkan kualitas hidup. Prosedur transfusi darah berulang berisiko hemosiderosis, penularan infeksi, dan risiko

Perkembangan Terapi Erythropoietin Stimulating Agent … suplemen-1 17_Perkembangan... · biosintesis, struktur molekul, dan aktivitas ... (Maintanance of HAemoglobin EXcels with

Embed Size (px)

Citation preview

CDK Edisi Suplemen/ Vol. 44 th. 2017 3736

Alamat Korespondensi email:

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

Akreditasi PB IDI–2 SKP

[email protected]

Perkembangan Terapi Erythropoietin Stimulating Agent untuk Anemia Penyakit Ginjal Kronik

Dedyanto Henky SaputraMedical Department PT Kalbe Farma Tbk. Jakarta, Indonesia

ABSTRAK

Terapi erythropoietin stimulating agent (ESA) merupakan bagian penting manajemen penyakit ginjal kronik. Berbagai evidences menunjukkan bahwa terapi ESA dapat memperbaiki parameter hematologi, menurunkan mortalitas dan morbiditas, serta meningkatkan kualitas hidup pasien penyakit ginjal. Perkembangan produk ESA ditujukan untuk memperpanjang keberadaan obat di dalam tubuh, sehingga efek yang dihasilkan makin panjang dan mengurangi frekuensi penyuntikan, yang tentunya dapat meningkatkan kenyamanan pasien.

Kata kunci: Anemia, eritropoietin, ESA, penyakit ginjal kronik.

ABSTRAcT

Erythropoietin stimulating agent (ESA) treatment is an important part in the management of chronic kidney disease. Various evidences showed that ESA therapy may improve hematologic parameters, reduce mortality and morbidity, and improve quality of life. ESA product development aimed to prolong drug availability to maintain effects and to reduce frequency of injection that will improve patient’s comfort. Dedyanto Henky Saputra. Developments of Erythropoietin Stimulating Agent Therapy for Anemia in chronic Kidney Disease

Keywords: Anemia, chronic kidney failure, erythropoetin, ESA.

Anemia pada Penyakit Ginjal KronikAnemia merupakan komplikasi yang umum dijumpai pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK). Kategori anemia pada pengidap PGK menurut konsensus PERNEFRI 2011 dapat menggunakan parameter hemoglobin (Hb), yaitu apabila kadar Hb kurang dari 14 g/dL untuk pria dan kurang dari 12 g/dL untuk wanita. Berdasarkan data United States Renal Data System (USRDS) tahun 2010, frekuensi anemia PGK pada stadium 1 hingga 4 adalah mencapai 51,8%, sedangkan kadar rerata Hb pada pasien PGK stadium terminal adalah 9,9 g/dL. Meskipun angka pasti prevalensi penderita PGK di Indonesia tidak diketahui, sekitar 60% pasien PGK diperkirakan menderita anemia, dan sekitar 80% di antaranya memerlukan pengobatan. Pada data Rumah sakit Cipto Mangunkusmo tahun 2010, anemia ditemukan pada 100% pasien yang pertama kali menjalani HD, dengan kadar rerata Hb 7,7 g/dL.1

Anemia pada pasien PGK memiliki gambaran histologis normokrom normositer dengan penyebab multifaktorial. Faktor utama anemia pada PGK adalah tidak adekuatnya produksi eritropoietin karena berkurangnya massa ginjal fungsional. Eritropoietin adalah suatu hormon yang dihasilkan oleh sel peritubular ginjal untuk menstimulasi sumsum tulang agar melakukan proses eritropoiesis, juga berperan dalam proses proliferasi, maturasi, dan pelepasan retikulosit. Faktor penyumbang terjadinya anemia pada PGK lainnya antara lain memendeknya masa hidup sel darah merah hingga 70-80 hari akibat akumulasi toksin di ginjal (masa hidup sel darah normal pada penderita gagal ginjal yang menjalani dialisis), kehilangan darah akibat penggunaan heparin selama dialisis serta antikoagulan oral di antara periode dialisis. Kadar tinggi hepcidin yang mengganggu absorpsi zat besi dan blokade pada sel retikuloendotelial juga terjadi pada banyak pasien PGK. Selain itu,

malnutrisi, defisiensi besi, asam folat, vitamin B, tingginya kadar sitokin pro-inflamasi serta penyakit penyerta, seperti infeksi, dapat ikut memperburuk anemia pasien PGK.2-4

Anemia pada pasien PGK dapat menimbulkan berbagai manifestasi, seperti penurunan fungsi kognitif dan kualitas hidup, stroke, gangguan fungsi seksual, sindrom kardiorenal dan percepatan progresivitas kerusakan ginjal.5

Tatalaksana Anemia PGK Melalui Terapi EritropoietinTujuan penanganan anemia pada pasien PGK adalah untuk mengurangi kebutuhan transfusi darah, menghilangkan gejala anemia, mencegah komplikasi kardiovaskular, menurunkan angka morbiditas dan mortalitas anemia, serta meningkatkan kualitas hidup. Prosedur transfusi darah berulang berisiko hemosiderosis, penularan infeksi, dan risiko

( )

ARA

/YKR

/120

9/BR

/1

39CDK Edisi Suplemen/ Vol. 44 th. 201738

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

Gambar 1. Struktur rHEPO konvensional dan darbepoietin alfa.

rejeksi pada calon transplantasi ginjal.1,8

Saat ini NKF-K/DOQI merekomendasikan untuk segera mengatasi anemia apabila kadar Hb atau Hematokrit (Ht) turun hingga 80% batas normal, yaitu pada kadar Hb < 12,5 g/dL (Ht < 37%) untuk pria dewasa dan wanita pasca-menapouse, dan kadar Hb < 11 g/dL (Ht < 33%) untuk wanita pre-menopause dan pre-pubertas. Selanjutnya kadar Hb harus dipertahankan 11-12 g/dL.6 Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) pada tahun 2011 juga merekomendasikan target yang sama. Meningkatkan kadar Hb di atas 12 g/dL pada pasien PGK tidak menghasilkan perbaikan kualitas hidup yang klinis bermakna, sebaliknya meningkatkan risiko hipertensi dan trombosis vaskular serta angka kematian total akibat penyakit kardiovaskular.1,7

Eritropoietin memiliki interaksi langsung dengan reseptor eritropoietin yang berada di permukaan eritrosit, dan memicu aktivasi beberapa jalur transduksi signal, sehingga menghasilkan proliferasi dan diferensiasi terminal sel prekursor eritrosit serta memberikan efek proteksi prekursor apoptosis eritrosit. Saat ini pemberian erythropoietin stimulating agent (ESA) telah masuk dalam panduan tatalaksana anemia pada pasien PGK dan berbagai evidences menunjukkan bahwa eritropoietin rekombinan (rHEPO) dapat memperbaiki parameter hematologi, menurunkan mortalitas dan morbiditas, serta meningkatkan kualitas hidup pasien.9 Eritropoetin rekombinan adalah bentuk sediaan eritropoietin yang diproduksi dengan teknik rekombinan DNA, mempunyai sifat biologis dan kimia yang sama dengan eritropoietin endogen yang terdiri dari 165 asam amino dengan berat molekul 30.000 Dalton. Faktor yang membedakan antara bentuk rekombinan dan eritropoietin endogen

adalah pada pola glikosilasi dari bentuk rekombinan lebih besar, sehingga aktivitas biologis in vivo eritropoietin endogen (70.000 IU/mg) lebih rendah daripada eritropoietin rekombinan (200.000 IU/mg). Rantai glikosilasi rHEPO memiliki peran penting dalam hal biosintesis, struktur molekul, dan aktivitas biologis.10,11

Terapi rHEPO dapat mengurangi kebutuhan transfusi darah, meskipun tidak dapat menggantikan kebutuhan transfusi darah akut (emergency transfusion), sehingga tidak diindikasikan untuk pasien anemia berat yang memerlukan pengobatan segera. Target terapi rHEPO adalah untuk mencapai kadar Hb 11-12 g dL dengan tingkat peningkatan 0,5% setiap minggunya dan meningkatkan hematokrit hingga 30-35%.1

Sejak diperkenalkan pertama kali pada tahun 1989, rHEPO telah mengalami serangkaian perkembangan. Bentuk awal rHEPO yang dipasarkan adalah eritropoietin alfa, beta, delta, dan gamma; rHEPO alfa dan beta yang paling banyak tersedia. Pengembangan produk-produk rHEPO selanjutnya ditujukan untuk memperlama keberadaan obat di dalam tubuh, sehingga efek yang dihasilkan menjadi makin panjang dan frekuensi penyuntikan berkurang, dengan demikian akan meningkatkan kenyamanan pasien khususnya apabila diberikan secara subkutan.10

Berikut ini penjabaran beberapa jenis ESA baru, yaitu darbepoietin alfa, continuous erythropoietin receptor activator (CERA), eritropoietin hibrida, dan roxadustat terkait aplikasinya pada kasus anemia pada PGK.

Darbepoietin AlfaMerupakan pengembangan dari eritropoietin alfa, diproduksi dengan teknologi DNA

rekombinan dari ovarium chinese hamster. Perbedaan dari pendahulunya adalah pada rantai karbohidrat (oligosakarida) yang lebih panjang, sehingga memiliki masa kerja lebih lama juga dan aktivitas biologis lebih baik (Gambar 1). Penambahan rantai karbohidrat meningkatkan berat molekul glikoprotein dari 30.000 menjadi 37.000 Dalton. 12, 13

Mekanisme kerjasama dengan sediaan rHEPO umumnya, yaitu dengan menstimulasi proses eritropoiesis; peningkatan Hb terlihat setelah 2-6 minggu setelah pemberian. Terkait regulasi yang berbeda antara Amerika dan Eropa, terdapat dua pelarut untuk darbepoietin alfa ini, yaitu polisorbat dan albumin. Pelarut polisorbat (mengandung 0,05 mg polysorbate 80 untuk tiap 1 mL nya) digunakan di Eropa (karena produk mengandung albumin tidak boleh dipasarkan di Eropa), sedangkan pelarut albumin (mengandung 2,5 mg human albumin untuk tiap 1 mL nya) digunakan untuk produk yang dipasarkan di luar Eropa.14

Darbepoietin alfa diberikan dengan dosis awal 0,45 mcg/kgBB, secara subkutan atau intravena, frekuensi rerata 1 kali seminggu. Dosis pemeliharaan bertujuan menjaga kadar Hb antara 10-12 g/dL, pada beberapa pasien dapat diberikan subkutan 2 minggu sekali. Bagi pasien yang sebelumnya telah mendapatkan terapi rHEPO alfa, dosis dapat dikonversi sesuai tabel 1.14

Locatelli, et al, (2001) membandingkan darbepoietin alfa (0,45 ug/kgBB/minggu subkutan) dengan rHEPO konvensional (50 U/kgBB 2 kali seminggu) pada 166 pasien secara acak selama 24 minggu. Hasil menunjukkan bahwa kedua kelompok dapat mencapai kadar Hb 11-13 g/dL yang sebanding, yaitu sebesar 93% (darbepoietin) dan 92% (rHu-EPO). Studi Vanreterghem, et al, (1999) pada 522 pasien HD dan PD yang sebelumnya mendapat terapi rHu-EPO 1-3 kali seminggu (kadar Hb 9,25-12,5 g/dL) kemudian dialihkan mendapat darbepoietin 2 minggu sekali selama 52 minggu; menunjukkan bahwa kadar Hb dapat dipertahankan. Studi Graf, et al, (2000) selama 36 minggu dengan jumlah pasien lebih banyak (n=703) hasilnya serupa.15

Saat ini bentuk sediaan darbepoietin alfa yang dipasarkan adalah vial (single dose), prefilled syringe, dan prefilled pen dengan kandungan bervariasi dari 25, 40, 60, 100, 150, 200, 300

CDK Edisi Suplemen/ Vol. 44 th. 2017 3938

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

Tabel 1. Konversi dosis darbepoietin alfa.

Dosis rHEPO alfa sebelumnya(Unit/minggu)

Darbepoietin alfa Dewasa(mcg/minggu)

Darbepoietin alfa Anak(mcg/minggu)

<1500 6,25 Belum ada data

1500-2499 6,25 6,25

2500-4999 12,5 12,5

5000-10999 25 20

11000-17999 40 40

18000-33999 60 60

34000-89999 100 100

>=90000 200 200

Tabel 2. Konversi dosis CERA

Dosis rHEPO alfa sebelumnya

(Unit/minggu)

Dosis Darbepoietin alfa sebelumnya

(mcg/minggu)

CERA1x per bulan (mcg)

CERA2 minggu sekali

(mcg)

<8000 <40 120 60

8000-16000 40-80 200 100

>16000 >80 360 180

Gambar 2. Perbandingan waktu paruh CERA, darbepoietin alfa, eritropoietin alfa, dan eritropoietin beta.

hingga 500 mcg.16

Continuous Erythropoietin Receptor Activator (CERA)Jenis stimulator eritropoiesis yang merupakan gabungan antara bentuk kimia N terminal dari gugus asam amino atau gugus ε asam amino lysine pada eritropoietin dengan methioxy polyethylene glycol buttanoic acid (total BM menjadi 60.000 dalton).

Prinsip CERA adalah menstimulasi reseptor eritropoietin dan proses eritropoiesis di sumsum tulang, sehingga secara efektif memperbaiki anemia pasien PGK. Kelebihan CERA adalah mampu berinteraksi dan secara terus-menerus menstimulasi reseptor eritropoietin, tidak hanya sekali seperti eritropoietin endogen; sehingga selama berada dalam tubuh obat ini mampu mengulang stimulasi proses eritropoiesis secara berkelanjutan. Kelebihan CERA ini mengakibatkan perbedaan besar terutama dalam hal masa kerja yang jauh lebih panjang. Waktu paruh CERA mencapai 130 jam (IV rata-rata 134 jam, SC rata-rata 139 jam) dibandingkan eritropoietin alfa yang hanya 8 jam. Saat ini CERA diklaim sebagai ESA yang memiliki waktu paruh terpanjang. Karena kelebihannya ini, diharapkan pasien tidak perlu disuntik EPO hingga 2-3 kali/minggu, sehingga dapat mengurangi beban tidak hanya pasien tetapi juga tenaga medis.17,18,19

CERA memiliki waktu paruh 6 kali lebih panjang dibandingkan darbepoietin alfa dan 27 kali lebih panjang dibandingkan eritropoietin alfa (Gambar 2).

CERA diberikan dengan dosis awal 0,6 mcg/kgBB untuk mencapai target Hb 10-12 g/dL. Suntikan dapat diberikan secara subkutan atau intravena 2 minggu sekali. Selanjutnya dosis dapat disesuaikan untuk mempertahankan kadar Hb pada 10-12 g/dL. Suntikan subkutan dapat dilakukan pada bagian abdomen, lengan, atau paha. Bagi pasien yang

sebelumnya telah mendapat terapi rHEPO alfa atau darbepoietin alfa, dosis menggunakan sistem konversi seperti pada tabel 2.20

Studi CERA menunjukkan pemberian satu hingga dua kali per bulan mampu mempertahankan kestabilan kadar Hb pada pasien-pasien anemia PGK yang sebelumnya mendapat suntikan EPO 2-3 kali seminggu. Studi melibatkan 1500 pasien dialisis membandingkan CERA IV ataupun SC dibandingkan EPO alfa, beta, atau darbepoetin yang diberikan dengan cara sama ternyata memberikan hasil yang sebanding untuk

mempertahankan kadar Hb antara 10,5-13 g/dL; CERA memiliki keunggulan cukup disuntikkan 1 atau 2 kali/bulan. Studi lain yang penting dalam menilai efikasi CERA adalah ARCTOS, AMICUS, PROTOS dan MAXIMA. Studi ARcTOS (Administration of C.E.R.A. in CKD Patients to Treat Anemia with a Twice MOnthly Schedule) membandingkan CERA (dengan suntikan 1x/2 minggu) dengan darbepoietin alfa (1x/minggu) pada pasien PGK non-HD menghasilkan response rate 97,5% vs 96,3%. Studi AMIcUS (C.E.R.A. AdMinistered Intraveneously for Anemia Correction and SUStained Maintenance in Dialysis) yang membandingkan CERA(1x/2 minggu) dengan EPO alfa/beta (1-3x/minggu) menghasilkan response rate 93,3% vs 91,3%. Studi PROTOS (Patients Receiving C.E.R.A. Once a Month for the MainTenance Of Stable Hemoglobin) yang membandingkan CERA secara SC (1 atau 2 kali sebulan) dengan EPO alfa/beta SC (1-3 kali/minggu) ataupun studi MAXIMA (Maintanance of HAemoglobin EXcels with IV

41CDK Edisi Suplemen/ Vol. 44 th. 201740

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

Gambar 3. Strukur eritropoetin hibrida

Gambar 4. Mekanisme kerja roxadustat

AdMinistration of CERA) yang membandingkan pemberian IV CERA vs EPO alfa/beta yang juga menunjukkan efektivitas yang sebanding dalam memperbaiki kadar Hb pasien anemia PGK. Studi MAXIMA (MAintenance of Haemoglobin EXcels wIth AdMinistration of C.E.R.A) yang bersifat terbuka, paralel pada 540 pasien menunjukkan bahwa pasien yang sebelumnya mendapat terapi Epo konvensional setelah diganti dengan CERA tetap dapat mempertahankan parameter darah dan dapat diberikan secara aman tetapi dengan jarak waktu penyuntikan yang lebih jarang.18, 21, 22

Saat ini bentuk sediaan CERA yang dipasarkan dengan kandungan bervariasi 50, 100, 200, 300, 400, 600,1000 mcg untuk vial dan 50, 75, 100, 150, 200, 250, 400, 600, atau 800 mcg untuk prefilled syringe.20

Eritropoietin Hibrida (Fusion Protein Erythropoietin)Merupakan bentuk eritropoietin yang menyatukan fragmen Fc (Fragment Crytallizable) dari imunoglobulin yang berbeda. Fragmen Fc merupakan bagian dari struktur imunoglobulin yang menentukan sifat biologik imunoglobulin bersangkutan, misalnya kemampuan imunoglobulin untuk melekat pada sel, fiksasi komplemen, kemampuan imunoglobulin menembus plasenta, distribusi imunoglobulin dalam

tubuh, dan lain-lain. Penyatuan (fusi) fragmen Fc dapat memperpanjang waktu paruh obat karena adanya daur ulang via reseptor Fc neonatus (FcRn) dan terciptanya molekul berukuran lebih besar (120 KDalton). Fragmen Fc yang bergabung akan terikat pada FcRn dalam kondisi pH endosom asam dan dilepaskan pada kadar pH darah, suatu jalur yang diketahui berperan menjaga waktu paruh obat yang panjang. Makin besar ukuran hidrodinamik dari penyatuan fragmen Fc akan makin menghambat translokasinya dari sirkulasi darah ke jaringan ekstravaskular dan akan menurunkan bersihannya via ginjal.23,24

IgG1 manusia adalah molekul imunoglobulin manusia yang paling banyak digunakan, tetapi tidak efisien sebagai agonis protein kerja panjang. Hal ini terutama karena IgG1 manusia dapat mengikat reseptor Fcγ I (FcγR I) atau komplemen komponen 1q (C1q), sehingga menyebabkan antibody-dependent cellular cytotoxicity (ADCC) atau complement-dependent cytotoxicity (CDC). Cara mutasi langsung atau penghapusan ikatan FcγR I atau C1q telah dicoba untuk menghilangkan kedua efek samping di atas, tetapi karena residu mutan harus terpapar pada protein eksterior agar menghambat ikatan pada pasangan permukaan reseptor asal, strategi ini dapat memicu respons imunologi yang tidak diinginkan. Alternatif lain adalah menggunakan jenis Fc dari IgG4 yang tidak memiliki ikatan FcγR III atau C1q, akan tetapi fragmen Fc dari IgG4 masih memiliki afinitas ikatan moderat terhadap FcγR I dan fleksibilitas ikatannya tidak sebaik fragmen Fc IgG1. Masalah lain adalah adanya laporan bahwa fragmen FcIgG4 dapat membentuk 2 ikatan disulfida intrakain yang dapat membangkitkan separuh molekul monovalen. Strategi lain untuk menghilangkan kelemahan jenis imunoglobulin ini adalah dengan menciptakan imunoglobulin hibrida.25

Fragmen Fc yang dimiliki rHEPO tipe hibrida didesain, sehingga memiliki struktur hidrofobik yang terdiri dari bagian Hinge-CH2 dari IgD (memiliki fleksibilitas ikatan yang tinggi dan tanpa ikatan Fcγ yang memiliki afinitas terhadap fagosit) dan bagian CH2-CH4 dari IgG4 yang tidak memiliki areaksi

CDK Edisi Suplemen/ Vol. 44 th. 2017 4140

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

aktivasi komplemen. Fragmen Fc rHEPO hibrid juga memiliki afinitas ikatan terhadap FcRn (reseptor neonatus) dari sel endotel tubuh, sehingga akan memicu proses daur ulang. Menurunnya aktivitas ADCC (antibody dependent cell mediated cytotoxicity) dan CDC (complement dependent cytotoxicity) menghasilkan profil keamanan yang lebih baik dan lebih rendahnya risiko reaksi imunologi. Karena ukurannya 3 kali lebih besar daripada eritropoietin konvensional, secara signifikan akan menurunkan bersihan di ginjal; adanya kandungan asam sialat meningkatkan ukuran menjadi sekitar 20 mol/mol atau lebih, sehingga menurunkan laju metabolisme di hati dan memperpanjang waktu paruh, dengan demikian menjadikannya long acting eritropoietin.24,25

Saat ini, eritropoietin hibrida telah lolos studi preklinis dan studi klinis fase 1. Studi in vitro pada tikus menunjukkan profil bioaktivitas yang lebih tinggi dibandingkan darbepoietin alfa. Keamanan, tolerabilitas, farmakokinetik, dan farmakodinamik juga telah melalui uji acak, tersamar ganda, dan kontrol plasebo pada fase 1. Uji klinik fase 2 sedang berjalan untuk melihat efikasi dosis 3 ug/kgBB, 5 ug/kgBB, dan 8 ug/kgBB dengan interval 2 atau 4 minggu yang diberikan secara subkutan pada

pasien dialisis peritoneal serta dosis 5 ug/kgBB dan 8 ug/kgBB dengan interval 2 atau 4 minggu yang diberikan secara intravena pada pasien hemodialisis; lama intervensi adalah selama 12 minggu.26

RoxadustatRoxadustat (juga dikenal sebagai FG-4592) adalah suatu penghambat hypoxia-inducible factors (HIFs) prolyl hydroxylases (PHs) dalam bentuk sediaan oral. HIF adalah faktor transkripsi yang meregulasi ekspresi gen-gen yang merespons kondisi hipoksia, termasuk gen yang dibutuhkan untuk proses eritropoiesis dan metabolisme zat besi. Pada konsentrasi oksigen normal, golongan prolyl hydroxylases (HIF-PHs) menghidrolisis HIF-αsubunit, yang akan berdampak pada degradasi proteosomal yang cepat. Pada saat kadar oksigen menurun, aktivitas HIF-PH berkurang dan HIF-α terakumulasi, mengalami dimerisasi dengan HIF- β,dan bertranslokasi ke dalam nukleus mengaktifkan program transkripsi sebagai respons terhadap hipoksia, sehingga akan meningkatkan eritropoesis. Dengan menghambat HIF-PHs dan meniru respons penurunan kadar oksigen di dalam sel, roxadustat meningkatkan aktivitas HIF dan menstimulasi eritropoiesis. Masa kerja yang singkat, disertai regimen dosis intermiten akan

memberikan lonjakan aktivitas HIF sementara yang akan menstimulasi proses eritropoiesis secara efektif. 27

Hasil studi fase 2 menyimpulkan bahwa roxadustat dapat ditoleransi dengan baik dan dapat mempertahankan kadar Hb hingga minggu ke-19 pada pasien penyakit ginjal kronik tahap terminal dan anemia. Efek roxadustat bersifat independen terhadap inflamasi, yang merupakan kondisi yang sering membutuhkan peningkatan dosis eritropoietin alfa. Terapi roxadustat secara signifikan menurunkan kadar hepcidin, suatu regulator penentu metabolisme besi yang sering menjadi penyebab kondisi hiporesponsif terhadap terapi ESA (erythropoiesis-stimulating agents).28,29

PENUTUPManajemen terapi anemia pada penyakit ginjal kronik saat ini terus berkembang dan menjadi tantangan tersendiri. Terapi berbasis ESA saat ini berusaha menciptakan suatu sediaan yang memiliki masa kerja yang lebih panjang dan cara pemberian yang lebih simpel, sehingga tingkat kenyamanan dan kepatuhan pasien akan semakin baik.

DAFTAR PUSTAKA:

1. Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Konsensus manajemen anemia pada pasien gagal ginjal kronik [Internet]. 2001 [cited 2016 Jul 1]. Available from: https://www.scribd.com/doc/262543327/Pernefri-Konsensus-Manajemen-Anemia-Pada-Pasien-Gagal-Ginjal-Kronik

2. Babitt JL, Lin HY. Mechanisms of anemia in CKD. J Am Soc Nephrol. 2012;23(10):1631–4.

3. Medscape. Anemia of chronic disease and renal failure: Overview, mechanism of anemia of chronic disease, prevalence of anemia of chronic disease and CKD [Internet]. 2016 Jun 1 [cited 2016 Jul 1]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1389854-overview#a2

4. Pinevich AJ, Petersen J. Erythropoietin therapy in patients with chronic renal failure. West J Med. 1992;157(2):154–7.

5. Schmidt RJ, Dalton CL. Treating anemia of chronic kidney disease in the primary care setting: Cardiovascular outcomes and management recommendations. Osteopath Med Prim Care. 2007;1:14.

6. NKF KDOQI guidelines [Internet]. 2006 [cited 2016 Jul 1]. Available from: http://www2.kidney.org/professionals/KDOQI/guidelines_anemia/

7. NKF KDOQI guidelines [Internet]. 2006 [cited 2016 Jul 1]. Available from: http://www2.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_anemiaup/guide1.htm

8. Tanhehco YC, Berns JS. Red blood cell transfusion risks in patients with end-stage renal disease. Semin Dial. 2012;25(5):539–44.

9. Fink J. Treatment for the anemia of chronic kidney disease. Medscape [Internet]. 2002 [cited 2016 Oct 5]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/445253

10. Ng T, Marx G, Littlewood T, Macdougall I. Recombinant erythropoietin in clinical practice. Postgrad Med J. 2003;79(933):367–76.

11. Elliott S, Pham E, Macdougall IC. Erythropoietins: A common mechanism of action. Exp Hematol. 2008;36(12):1573–84.

12. Macdougall IC, Padhi D, Jang G. Pharmacology of darbepoetin alfa. Nephrol Dial Transplant. 2007;22(suppl 4):iv2–iv9.

13. Egrie JC, Browne JK. Development and characterization of darbepoetin alfa. Cancer Network [Internet]. 2002 [cited 2016 Oct 6]. Available from: http://www.cancernetwork.com/cancer-complications/development-and-characterization-darbepoetin-alfa

14. Aranesp - FDA prescribing information, side effects and uses [Internet]. [cited 2016 Oct 6]. Available from: https://www.drugs.com/pro/aranesp.html

15. Portolés J, Krisper P, Choukroun G, de Francisco ALM. Exploring dosing frequency and administration routes in the treatment of anaemia in CKD patients. Nephrol Dial Transplant Off Publ Eur Dial Transpl Assoc - Eur Ren Assoc. 2005;20(Suppl 8):13–7.

16. Amgen launches aranespR darbepoetin alfa prefilled sureClickTM autoinjector for treatment of anemia associated with chemotherapy and chronic kidney disease [Internet]. [cited 2016 Oct 5]. Available from: http://www.amgen.com/media/news-releases/2006/09/amgen-launches-aranespr-darbepoetin-alfa-prefilled-sureclicktm-autoinjector-for-treatment-of-anemia-associated-with-chemotherapy-and-chronic-kidney-disease/

17. Macdougall IC. CERA (Continuous Erythropoietin Receptor Activator): A new erythropoiesis-stimulating agent for the treatment of anemia. Curr Hematol Rep.

43CDK Edisi Suplemen/ Vol. 44 th. 201742

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

2005;4(6):436–40.

18. Ohashi N, Sakao Y, Yasuda H, Kato A, Fujigaki Y. Methoxy polyethylene glycol-epoetin beta for anemia with chronic kidney disease. Int J Nephrol Renov Dis. 2012;5:53–60.

19. Takahashi T, Yamamoto N, Tamura T, Kunitoh H, Nishiwaki Y, Negoro S. Pharmacokinetic and pharmacodynamic profiles of subcutaneous administration of continuous erythropoietin receptor activator in lung cancer patients with anemia induced by chemotherapy. Oncol Lett. 2011;2(6):1033–40.

20. Mircera - FDA prescribing information, side effects and uses [Internet]. [cited 2016 Oct 6]. Available from: https://www.drugs.com/pro/mircera.html

21. Levin NW, Fishbane S, Cañedo FV, Zeig S, Nassar GM, Moran JE, et al. Intravenous methoxy polyethylene glycol-epoetin beta for haemoglobin control in patients with chronic kidney disease who are on dialysis: A randomised non-inferiority trial (MAXIMA). Lancet Lond Engl. 2007;370(9596):1415–21.

22. Kessler M, Martínez-Castelao A, Siamopoulos KC, Villa G, Spinowitz B, Dougherty FC, et al. C.E.R.A. once every 4 weeks in patients with chronic kidney disease not on dialysis: The ARCTOS extension study. Hemodial Int Int Symp Home Hemodial. 2010;14(2):233–9.

23. Bonomini M, Del Vecchio L, Sirolli V, Locatelli F. New treatment approaches for the anemia of CKD. Am J Kidney Dis Off J Natl Kidney Found. 2016;67(1):133–42.

24. Im SJ, Yang SI, Yang SH, Choi DH, Choi SY, Kim HS, et al. Natural form of noncytolytic flexible human Fc as a long-acting carrier of agonistic ligand, erythropoietin. PLOS ONE. 2011;6(9):24574.

25. Genexine [Internet]. [cited 2016 Oct 6]. Available from: http://www.genexine.com/

26. Yang SH, Yang SI, Chung YK. A long-acting erythropoietin fused with noncytolytic human Fc for the treatment of anemia. Arch Pharm Res. 2012;35(5):757–9.

27. FibroGen Inc - SEC Filing [Internet]. [cited 2016 Oct 6]. Available from: http://investor.fibrogen.com/mobile.view?c=253783&v=202&d=3&id=aHR0cDovL2F w a S 5 0 Z W 5 r d 2 l 6 Y X J k L m N v b S 9 m a W x p b m c u e G 1 s P 2 l w Y Wd l P T k 5 M D Q 0 N z Q m R F N F U T 0 x J l N F U T 0 x M D M m U 1 F E R V N D P V N F Q 1 R J T 0 5 f U EFHRSZleHA9JnN1YnNpZD01Nw%3D%3D

28. Besarab A, Chernyavskaya E, Motylev I, Shutov E, Kumbar LM, Gurevich K, et al. Roxadustat (FG-4592): Correction of anemia in incident dialysis patients. J Am Soc Nephrol JASN. 2016;27(4):1225–33.

29. Renal and Urology News. ESRD anemia responds to investigational oral drug [Internet]. 2016 [cited 2016 Oct 6]. Available from: http://www.renalandurologynews.com/anemia/esrd-anemia-responds-to-investigational-oral-drug/article/471105/

Pilih Benar atau Salah Benar Salah

PERTANYAAN CME (Continuing Medical Education)

Perkembangan Terapi Erythropoietin Stimulating Agent untuk Anemia Penyakit Ginjal Kronik

Keterangan :Mulai CDK-183/ volume 38 no. 2, th. 2011, setiap edisi CDK disertai dengan satu/dua artikel • CME yang telah diakreditasi oleh PB IDI.Tandai jawaban yang dipilih.• Dokter akan mendapatkan Serti�kat dengan bobot SKP jika jawaban benar ≥ 60%.• Sertifikat akan dicetak segera setelah dokter mengerjakan kuis CME di setiap edisi, •

CME CDK dapat juga dikerjakan secara online di www.kalbemed.com/CME/CMEOnline.aspx •

SKP

dengan syarat dan ketentuan berlaku

Artikel CME-6: CDK Edisi Suplemen/vol. 44 th. 2017

01. Anemia pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK) umumnya

bersifat mikrositik hipokrom.

02. Faktor penyebab utama anemia pada PGK ialah uremia/ tingginya

kadar ureum darah.

03. Masa hidup eritrosit memendek, bahkan pada penderita PGK yang

menjalani hemodialisis.

04. Anemia pada PGK dapat menganggu fungsi kognitif.

05. Kadar Hb pasien PGK dianjurkan di atas 12 g/dL.

06. Terapi eritropoetin dapat menggantikan terapi transfusi darah.

07. Salah satu efek samping transfusi darah adalah hemosiderosis.

08. Eritropoetin bekerja merangsang produksi eritrosit.

09. Eritropoetin sebenarnya sudah/ dapat diproduksi dalam tubuh sendiri.

10. Terapi eritropoetin dapat dengan segera mengatasi anemia berat.