148
1 TESIS PERLINDUNGAN HUKUM CERITA RAKYAT YANG DIALIHWUJUDKAN DALAM BENTUK PERTUNJUKKAN SENI MELALUI MEDIA ELEKTRONIK DESYANTI SUKA ASIH K. TUS PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

1

TESIS

PERLINDUNGAN HUKUM CERITA RAKYAT YANG

DIALIHWUJUDKAN DALAM BENTUK

PERTUNJUKKAN SENI MELALUI

MEDIA ELEKTRONIK

DESYANTI SUKA ASIH K. TUS

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 2: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

i

TESIS

PERLINDUNGAN HUKUM CERITA RAKYAT YANG

DIALIHWUJUDKAN DALAM BENTUK

PERTUNJUKKAN SENI MELALUI

MEDIA ELEKTRONIK

DESYANTI SUKA ASIH K. TUS

NIM : 0890561055

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 3: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

ii

PERLINDUNGAN HUKUM CERITA RAKYAT YANG

DIALIHWUJUDKAN DALAM BENTUK

PERTUNJUKKAN SENI MELALUI

MEDIA ELEKTRONIK

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister

Program Studi Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana

DESYANTI SUKA ASIH K. TUS

NIM : 0890561055

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 4: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 10 JULI 2014

Mengetahui

Pembimbing I

Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H.,M.Hum.,LLM

NIP.196111011986012001

Pembimbing II

Dr. I Wayan Wiryawan,S.H.,M.H.

NIP.195503061984031003

Ketua Program Studi

Magister (S2) Ilmu Hukum

Universitas Udayana

Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H.,M.Hum.,LLM

NIP.196111011986012001

Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi,Sp.S.(K)

NIP.195902151985102001

Page 5: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

iv

Tesis Ini Telah Diuji

Pada 8 Juli 2014

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

Nomor 2030/UN 14.4/HK/2014 Tanggal 7 Juli 2014

Ketua : Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LLM.

Sekretaris : Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., M.H.

Anggota : 1. Prof. R. A. Retno Murni, S.H., M.H., Ph.D.

2. Dr. I Ketut Westra, S.H., M.H.

3. Dr. I Made Sarjana, S.H., M.H.

Page 6: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Desyanti Suka Asih K. Tus

Program Studi : Ilmu Hukum

Judul Tesis : Perlindungan Hukum Cerita Rakyat Yang Dialihwujudkan

Dalam Bentuk Pertunjukkan Seni Melalui Media Elektronik

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila

dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia

menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17

Tahun 2010 dan Peraturan Perundang – Undangan yang berlaku.

Denpasar, 30 Juni 2014

Yang menyatakan

Desyanti Suka Asih K. Tus

Page 7: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida sang Hyang Widhi

Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat

menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “Perlindungan Hukum Cerita Rakyat

Yang Dialihwujudkan Dalam Bentuk Pertunjukkan Seni Melalui Media

Elektronik”. Penulis menyadari dalam penulisan tesis ini masih terdapat

kekurangan, untuk itu besar harapan penulis semoga tesis ini memenuhi kriteria

sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar Magister Hukum dalam Program

Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H.,M.Hum.,LLM selaku Pembimbing

I yang dengan tulus telah memberikan bimbingan, saran, nasehat, serta

dukungan dalam penulisan tesis ini

2. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H.,M.H. selaku Pembimbing II yang dengan

tulus telah memberikan bimbingan, saran, nasehat, serta dukungan dalam

penulisan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor Universitas

Udayana atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan

studi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Page 8: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

vii

4. Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) selaku Direktur Program

Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada

penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Pascasarjana Universitas

Udayana.

5. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk

mengikuti Program Magister.

6. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H.,M.Hum.,LLM selaku Ketua

Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana atas segala

bantuan, perhatian dan bimbingannya selama ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen pengajar di Program Studi Magister Ilmu Hukum

Universitas Udayana atas segala ilmu yang telah diberikan.

8. Seluruh Pegawai Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana

yang telah membantu penulis dalam proses administrasi selama perkuliahan

dan selama proses penulisan tesis ini berlangsung.

9. Kedua orang tua penulis, I Nengah Suantra, S.H., M.H dan Ni Wayan

Rumiati, S.Pd serta adik tercinta Kadek Dwi Tusidhi,S.H atas segala doa,

kesabaran, dukungan dan bantuan yang diberikan selama penulis menjalani

perkuliahan hingga penulisan tesis ini selesai.

Page 9: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

viii

10. Christopher Gerard Sperduto selaku atasan serta rekan-rekan kerja atas

dukungannya selama penulis menjalani perkulihan hingga penulisan tesis ini

selesai.

11. Sahabat-sahabat dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu per satu

atas segala dukungan dan semangat yang diberikan selama penulis

menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata penulis berharap semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan

Yang Maha Esa memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kita semua.

Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan

ilmu pengetahuan, menambah kepustakaan bagi Program Magister (S2) Ilmu

Hukum serta memberi manfaat bagi masyarakat.

Denpasar, 30 Juni 2014

Penulis

Page 10: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

ix

ABSTRAK

Perlindungan hukum terhadap karya-karya tradisional telah dilakukan

pemerintah melalui Pasal 10 UU No.19 tahun 2002 Hak Cipta yang menyatakan

bahwa segala ciptaan tradisional, hak ciptanya dipegang oleh negara termasuk

didalamnya folklor. Cerita rakyat sendiri merupakan bagian hak cipta atas folklor

dalam bidang sastra. Perlindungan terhadap cerita rakyat dirasa semakin penting

karena semakin banyak cerita rakyat yang dialihwujudkan kedalam seni

pertunjukkan seperti film pendek, sendratari maupun film televisi. Penelitian ini

membahas 2 (dua) pokok permasalahan yaitu mengenai perlindungan hukum bagi

keaslian cerita rakyat sebagai ekspresi budaya tradisional dan perlindungan

hukum kepemilikan cerita rakyat yang dialihwujudkan kedalam bentuk

pertunjukkan seni di dalam dan di luar negeri melalui media elektronik.

Penelitian ini mempergunakan metode penelitian hukum normatif.

Metode pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan perundang-undangan

(statute approach) dan pendekatan koseptual (conseptual approach) yang

beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam

ilmu hukum. Teknik analisis yang dipergunakan adalah teknik deskripsi dan

interpretasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keaslian merupakan syarat bagi

suatu ciptaan dalam hal ini cerita rakyat untuk mendapatkan perlindungan hak

cipta. Cerita rakyat yang merupakan bagian dari folklor, perlindungannya telah

diatur dalam Pasal 10 UU No.19 tahun 2002. Berkaitan dengan cerita rakyat yang

dialihwujudkan kedalam bentuk pertunjukkan seni di dalam dan diluar negeri

telah mendapatkan perlindungan hukum melalui ketentuan Pasal 12 huruf (l) UU

No.19 tahun 2002.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Keaslian Cerita Rakyat, Cerita Rakyat Yang

Dialihwujudkan.

Page 11: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

x

ABSTRACT

The legal protection for the traditional works have been carried out

by the government through Article 10 of Law Number 19 of 2002 on the Copyright

which stipulates that all traditional creation’s copyright is held by the state

including the folklore. Folktale itself is part of the copyrighted folklore in

literature. The protection of folktale becomes even more important as more and

more folk tales are transformed into performing arts such as short films, ballet

and television movies. The study discusses 2 (two) subject matters namely about

the originality of legal protection for expressions of folktale as a traditional

cultural property and the legal protection of the ownership of the folk tales which

are transformed into performance art either nationally or internationally through

the electronic media.

The study uses a normative legal research method. The method used

is the statute and the conceptual approaches that derived from the views and

doctrines developed in the science of law. The analysis was conducted by using

description and interpretation techniques.

The findings of the study indicate that originality is a requirement

for a creation, in this case a folk tale to obtain the copyright protection. Folktales

that are part of the folklore; its protection is provided by Article 10 of Law

Number 19 of 2002. In connection with the folk tales that are transformed into

performance arts locally or abroad have gained legal protection through the

provision of Article 12 paragraph (l) of Law Number 19 of 2002.

Keywords: Legal Protection, Originality of the Folktale, Derivative Work of

Folktale

Page 12: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

xi

RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang

Perlindungan Hukum Cerita Rakyat Yang Dialihwujudkan Dalam Bentuk

Pertunjukkan Seni Melalui Media Elektronik yang dituangkan kedalam 5 (lima)

bab pembahasan yang disusun sebagai berikut:

Bab I menguraikan tentang Pendahuluan yang merupakan awal

pembahasan yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, ruang

lingkup masalah, tujuan penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian.

Penelitian ini membahas 2 (dua) pokok permasalahan yaitu: (1) bagaimanakan

perlindungan hukum terhadap keaslian cerita rakyat sebagai ekspresi budaya

tradisional dalam dimensi hak cipta?; (2) bagaimanakah perlindungan hukum

terkait kepemilikan cerita rakyat yang telah dialihwujudkan dalam bentuk

pertunjukkan seni melalui media elektronik baik nasional maupun internasional?

Lebih lanjut mengenai kedua permasalahan tersebut dibahas kedalam bab

selanjutnya.

Bab II menguraikan tentang tinjauan umum tentang hak cipta folklor

yang dialihwujudkan (dervaitve work) dalam media eletronik. Pada bab ini

dibahas mengenai pengertian hak cipta serta dasar hukumnya, subjek dan obejek

hak cipta, folklor sebagai salah satu wujud ciptaan, dan system perlindungan

cerita rakyat sebagai wujud dari folklor. Pada bab ini juga dibahas tentang kosep

derivative work dalam dimensi hak cipta, pengaturan mengenai derivative work,

dan mekanisme pengalihwujudan suatu karya cipta dan system perlindungannya.

Selain itu bab ini juga membahas tentang pengaturan karya derivative yang

dituangkan dalam media elektronik dan bentuk-bentuk derivative work yang

dipublikasikan dalam media elektronik.

Bab III menguraikan tentang pokok permasalahan 1 (satu) yaitu

mengenai perlindungan hukum terhadap keaslian cerita rakyat sebagai ekspresi

budaya tradisional. Pada bab ini dibahas mengenai konsep orisinalitas suatu karya

cipta menurut Undang-Undang No.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, Berne

Convention, dan TRIPs Agreement. Membandingkan konsep orisinalitas yang

terdapat dalam masing-masing ketentuan tersebut. Bab ini kemudian menguraikan

tentang dokumentasi sebagai mekanisme penentuan kepemilikan asal suatu cerita

rakyat tradisional dan keasliannya. Disini dibahas mengenai peran penting

dokumentasi dalam upaya memberi kepastian hukum dalam kepemilikan cerita

rakyat serta peran dokumentasi dalam menentukan keaslian suatu cerita rakyat.

Bagian akhir bab ini membahas mengenai perlindungan hukum terhadap keaslian

cerita rakyat tradisional.

Page 13: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

xii

Bab IV menguraikan mengenai permasalahan 2 (dua) yaitu

perlindungan hukum terkait kepemilikan cerita rakyat yang telah dialihwujudkan

dalam bentuk pertunjukkan melalui media elektronik baik nasional maupun

internasional. Pada bab ini diuraikan bagaimanakah bentuk-bentuk perlindungan

terhadap karya derivative yang berasal dari cerita rakyat sebagai karya cipta asli

pada saat derivative work tersebut di sebarluaskan dalam bentuk pertunjukkan

seni melalui media elektronik di dalam negeri dan diluar negeri.

Bab V yang merupakan bab penutup mengemukakan simpulan serta

saran berkaitan dengan penelitian ini. Keaslian merupakan syarat untuk

mendapatkan perlindungan hak cipta, dimana terhadap cerita rakyat berhak

mendapatkan perlindungan hak cipta yang didasarkan pada isi cerita yang berbeda

serta pendokumentasian sebagai sarana menentukan keasliannya. Sementara

terhadap cerita rakyat yang dialihwujudkan, perlindungannya telah diatur dalam

ketentuan Pasal 12 huruf (l) Undang-Undang No.19 tahun 2002. Adapun saran

yang dapat disampaikan antaralain dibuatnya peraturan tersendiri tentang

pengetahuan tradisional serta diperhatikannya penerapan peraturan perundang-

undangan agar sesuai dengan budaya hukum masyarakat.

Page 14: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM…………………………………………………i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER…………………………..ii

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................................. iii

HALAMAN PERNYATAAN TELAH DIUJI ................................................................... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ....................................................................v

HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... vi

HALAMAN ABSTRAK..………………………………………………………..ix

HALAMAN ABSTRACT ................................................................................................... x

RINGKASAN ..................................................................................................................... xi

DAFTAR ISI .................................................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................... 10

1.3. Ruang Lingkup Masalah ............................................................................ 11

1.4. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 12

1.4.1. Tujuan Umum. ................................................................................. 12

1.4.2. Tujuan Khusus. ................................................................................ 12

1.5. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 12

1.5.1. Manfaat Teoritis. .............................................................................. 13

Page 15: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

xiv

1.5.2. Manfaat Praktis. ............................................................................... 13

1.6. Orisinalitas Tesis ....................................................................................... 14

1.7. Landasan Teoritis ...................................................................................... 16

1.8. Metode Penelitian ...................................................................................... 27

1.8.1. Jenis Penelitian. ................................................................................ 27

1.8.2. Jenis Pendekatan. ............................................................................. 28

1.8.3. Sumber Bahan Hukum. .................................................................... 29

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum. .............................................. 30

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum. ....................................................... 31

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK CIPTA FOLKLOR YANG

DIALIHWUJUDKAN (DERIVATIF WORK) DALAM MEDIA

ELEKTRONIK ................................................................................................. 32

2.1. Hak Cipta Folklor ..................................................................................... 32

2.1.1. Pengertian Hak Cipta Dan Dasar Hukumnya. .................................. 32

2.1.2. Subjek dan Objek Hak Cipta. ........................................................... 41

2.1.3. Folklor Sebagai Salah Satu Wujud Ciptaan. .................................... 45

2.1.4. Sistem Perlindungan Cerita Rakyat Sebagai Wujud Folklor. .......... 51

2.2. Derivative Work Dalam Hak Cipta........................................................... 53

2.2.1. Konsep Derivative Work Dalam Dimensi hak Cipta. ....................... 53

2.2.2. Pengaturan Derivative Work. ........................................................... 56

Page 16: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

xv

2.2.3. Mekanisme Pengalihwujudan Suatu Karya Cipta Dan Sistem

Perlindungannya. .............................................................................. 59

2.3. Media Elektronik Berkaitan Dengan Hak Cipta Derivatif Work ............. 60

2.3.1. Pengaturan Karya Derivative Work Yang Dituangkan Dalam Media

Elektronik. ........................................................................................ 60

2.3.2. Bentuk-bentuk Derivative Work Yang Dipublikasikan Dalam Media

Elektronik. ........................................................................................ 61

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEASLIAN CERITA RAKYAT

SEBAGAI EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL........................................ 64

3.1. Konsep Orisinalitas Suatu Karya Cipta Menurut UUHC, Berne

Convention, TRIPs Agrement ................................................................... 64

3.2. Dokumentasi Sebagai Mekanisme Penentuan Kepemilikan Asal Suatu

Cerita Rakyat Tradisional Dan Keasliannya ............................................ 76

3.3. Perlindungan Hukum Terhadap Keaslian Cerita Rakyat Tradisional ...... 83

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERKAIT KEPEMILIKAN CERITA RAKYAT

YANG TELAH DIALIHWUJUDKAN DALAM BENTUK

PERTUNJUKKAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK BAIK NASIONAL

MAUPUN INTERNASIONAL ........................................................................ 96

4.1. Perlindungan Hukum Kepemilikan Cerita Rakyat yang Dialihwujudkan

dalam Bentuk Pertunjukkan Melalui Media Elektronik di dalam Negeri

(Nasional) ................................................................................................. 98

Page 17: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

xvi

4.2. Perlindungan Hukum Kepemilikan Cerita Rakyat Yang Dialihwujudkan

Dalam Bentuk Pertunjukkan Melalui Media Elektronik Di Luar Negeri

(Internasional) ........................................................................................ 111

BAB V PENUTUPAN ................................................................................................ 122

5.1. Simpulan .................................................................................................. 122

5.2. Saran ........................................................................................................ 123

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 125

Page 18: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Setiap manusia memiliki daya pikir, rasa, dan karsa yang berpotensi

untuk menciptakan karya intelektual. Karya tersebut dapat dituangkan dalam

berbagai macam bentuk karya cipta mulai dari kreasi bangunan, kreasi seni

budaya, desain dan teknologi. Karya cipta tersebut merupakan aset kekayaan

individual yang berpotensi untuk mendapatkan perlindungan hukum karena

memiliki nilai ekonomi yang mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya. Proses

kreativitas ini berlangsung terus-menerus sejak dahulu sampai sekarang dan

diwariskan dari generasi ke generasi, hingga saat ini ciptaan tersebut merupakan

ciptaan tradisional atau folklor (folklore).

Kamus Besar Bahasa Indonesia menerangkan bahwa yang dimaksud

dengan folklor adalah adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan

turun-temurun, tetapi tidak dibukukan.1 Indonesia merupakan negara yang kaya

akan adat budaya juga cerita rakyat. Tetapi masyarakat Indonesia jarang melihat

pengetahuan tradisional, cerita rakyat dan kekayaan tak berwujud, dari aspek

ekonomi. Masyarakat Indonesia memandang ketiga hal itu sebagai nilai-nilai

1 Lukman Ali, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, Cetakan ketujuh, Perum

Balai Pustaka, Jakarta, hal.279.

Page 19: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

2

spiritual, jalan hidup, identitas budaya dan ikatan sosial yang mempersatukan

negara.2 Seiring perkembangan dunia, Indonseia tidak luput dari arus perubahan

zaman yang terus mengalami perkembangan. Perkembangan disegala bidang

termasuk dalam bidang yang awalnya asing bagi masyarakat bangsa ini, yaitu Hak

Kekayaan Intelektual (selanjutnya akan ditulis HKI) Masyarakat asli Indonesia

pada umumnya tidak mengenal konsep-konsep yang bersifat abstrak termasuk

konsep tentang hak atas kekayaan intelektual.3 Keikutsertaan Indonesia dalam

pergaulan dunia membuat masyarakat Indonesia harus melek dan beradaptasi

dengan konsep yang begitu asing bagi mereka. Karena masyarakat adat Indonesia

tidak pernah membayangkan bahwa buah pikiran (intellectual creation) adalah

kekayaan (property) sebagaimana cara berpikir orang-orang Barat.4

Konsep HKI sendiri berawal dari keinginan untuk memberikan

penghargaan kepada hasil karya intelektual seseorang kemudian berkembang

semakin pesat. Keberadaan HKI merupakan bentuk penghargaan hasil kreatifitas

manusia, baik dalam bentuk penemuan-penemuan (inventions ) maupun hasil

karya cipta dan seni (art and literary work ), terutama ketika hasil karya kreatif

tersebut dipergunakan untuk kepentingan komersial.

2 Afifah Kusumadara, Dosen FH Presentasi Di Konfesensi ASLI Jepang,

http://prasetya.ub.ac.id/berita/Dosen-FH-Presentasi-di-Konferensi-ASLI-Jepang-3777-id.html,

Diakses 09 Maret 2012.

3 Agus Sardjono, 2009, Membumikan HKI Di Indonesia, CV. Nuansa Aulia, Bandung,

hal.29.

4 Ibid.

Page 20: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

3

Sejak zaman Pemerintahan Hindia Belanda, Indonesia telah mempunyai

undang-undang tentang HKI yang sebenarnya merupakan pemberlakuan peraturan

perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda yang berlaku di negari Belanda,

diberlakukan di Indonesia sebagai Negara jajahan Belanda berdasarkan prinsip

konkordansi. Adapun peraturan perundang-undangan Belanda bidang HKI adalah

sebagai berikut:

1 Auterswet 1912 (Undang-Undang Hak Pengarang 1912, Undang-Undang

Hak Cipta; S.1912-600).

2 Reglement Industriele Kolonien 1911 (Peraturan Hak Milik Industrial

Kolonial 1912; 1912-545 jo. S.1913-214).

3 Octrooiwet 1910 (Undang-Undang Paten 1910; S.1910-33. Yis S.1911-33,

S.1922-54).5

Sejak menjadi bangsa yang merdeka, Indonesia tercatat memiliki 4

(empat) buah Undang-Undang (selanjutnya disingkat UU) di bidang Hak Cipta,

yaitu: UU No.6 Tahun 1982, UU No.7 Tahun 1987, UU No. 12 Tahun 1997, dan

UU No. 19 Tahun 2002. Revisi terakhir yang dilakukan oleh pemerintah

Indonesia dilandasi oleh 2 alasan. Pertama, pemerintah menyadari bahwa

Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa dengan didukung oleh

masyarakat yang sangat kreatif. Potensi tersebut perlu dilindungi dalam bentuk

5 Adrian Sutedi, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Cetakan Pertama, Sinar Grafika

Offset, Jakarta, hal.1.

Page 21: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

4

undang-undang yang modern dan selalu mengikuti jaman. Alasan kedua yakni

terkait dengan konsekwensi Indonesia sebagai anggota WTO (World Trade

Organization). Meskipun pemerintah telah menyesuaikan isi UUHC (Undang-

Undang Hak Cipta) tahun 1997 dengan perjanjian TRIPs (Trade Related Aspect of

Intelectual Property Rights), revisi tetap perlu dilakukan untuk memberikan

perlindungan yang lebih komprehensif terhadap ciptaan yang dihasilkan oleh

bangsa Indonesia.6

Semakin ditingkatkannya perlindungan terhadap HKI ternyata tidak

mengurangi terjadinya pelanggaran terhadap HKI di Indonesia. Indonesia

memiliki catatan terburuk dalam melindungi hak kekayaan intelektual (HKI).

Sebuah survei yang dilakukan kepada para pelaku bisnis asing menunjukkan

Indonesia berada di daftar teratas negara paling buruk dalam perlindungan HKI

untuk tingkat Asia.7

Pelanggaran terhadap hak cipta terjadi tidak tanggung-tanggung.

Pelanggaran tidak hanya dilakukan oleh individu dengan alasan ekonomi, tetapi

pelanggaran juga dilakukan oleh negara lain khususnya pelanggaran atas budaya

dearah seperti tari-tarian, lagu daerah, cerita rakyat dan motif batik. Contoh

6 Tomi Suryo Utomo, 2010, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah

Kajian Kontemporer, Cetakan pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal.69.

7 Tri Wahono, Perlindungan Hak Cipta, Indonesia Terburuk Di Asia,

http://tekno.kompas.com/read/2010/08/25/17502973/Perlindungan.Hak.Cipta.Indonesia.terburuk.d

i.Asia, Diakses 09 Maret 2012, hal. 1.

Page 22: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

5

pelanggaran hak cipta atas budaya daerah antara lain kasus lagu Rasa Sayange dan

Tari Pendet. Kedua karya cipta tersebut adalah milik bangsa Indonesia yang

merupakan budaya daerah, tetapi keduanya di manfaatkan oleh Malaysia dalam

promosi pariwisatanya. Ada beberapa kasus klaim negara lain dalam hal ini

Malaysia atas budaya daerah Indonesia antara lain klaim atas Angklung, Reog

Ponorogo, batik, Hombo Batu, Tari Folaya. Pelanggaran hak cipta atas budaya

daerah yang terbaru adalah kasus Tari Tor Tor dan Gondang Sambilan.

Beberapa contoh kasus di atas menunjukan bahwa betapa pentingnya

perlindungan hak cipta atas budaya daerah oleh Indonesia karena negara ini kaya

akan seni budayanya khususnya cerita rakyat dan pengalihwujudannya yang perlu

mendapat perlindungan dari pelanggaran hak cipta. Beberapa contoh cerita rakyat

Bangsa ini yang banyak di kenal seperti cerita Jaka Tarub dan 7 Bidadari dari

Jawa Tengah, Sangkuriang dari Jawa Barat, Malin Kundang dari Sumatera Barat,

Cupak Gerantang dari Bali, Ande-ande Lumut, Bawang Merah Bawang Putih,

Timun Mas serta masih banyak lagi cerita lain yang tumbuh dan berkembang,

diwariskan turun temurun kepada generasi berikutnya. Cerita-cerita tersebut juga

acap kali dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukkan lain.

Saat ini di lingkup internasional tengah berkembang isu baru yang

berkaitan dengan HKI, yaitu perlindungan terhadap pengetahuan Tradisional.

Pentingnya perlindungan pengetahuan tradisional ini disebabkan komunitas lokal

atau tradisional ternyata memiliki banyak karya-karya kreatif yang perlu

Page 23: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

6

dilindungi. Kekayaan intelektual komunitas lokal sangat beragam dan luas

cakupannya, mulai dari cerita rakyat, seni tradisional, sistem kepercayaan,

aktivitas upacara adat, pengobatan hingga berbagai bentuk teknologi tradisional

yang dimiliki dan dikembangkan oleh masyarakat lokal.8

Upaya perlindungan HKI atas Pengetahuan Tradisional (selanjutnya

disingkat PT) dan Ekspresi Budaya Tradisional (selanjutnya disingkat EBT)

muncul sebagai reaksi terhadap sistem perlindungan HKI modern yang tidak

memadai. Karakteristik hukum HKI modern bahwa perlindungan diberikan

kepada karya-karya baru yang bersifat individual dan identitas penciptanya jelas,

serta jangka waktu perlindungannya dibatasi. Hal tersebut berbeda dengan

karakteristik PT dan EBT yang sudah ada sejak lama yakni penciptanya tidak jelas

dan kepemilikannya bersifat komunal serta jangka waktu perlindungannya sulit

untuk dibatasi karena suatu PT dan EBT sangat erat kaitannya dengan jati diri

komunitas atau masyarakat tradisional yang memilikinya.9

Di Indonesia perlindungan atas budaya daerah terdapat dalam Pasal 10

UUHC Nomor 19 Tahun 2002 yang mengenai “Hak Cipta atas Ciptaan yang

8 Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Terhadap Pengetahuan

Tradisional, http://alsaindonesia.org/site/perlindungan-hak-atas-kekayaan-intelektual-terhadap-

pengetahuan-tradisional-2/, Diakses 25 Juni 2012.

9 Basuki Antariksa, 2012, Peluang Dan Tantangan Perlindungan Pengetahuan

tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional,

www.budpar.go.id/userfiles/file/Art_11_Konsinyering%20WBT%20710.pdf, Diakses 10 Maret

2013, hal.5.

Page 24: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

7

Penciptanya Tidak Diketahui”. Dalam ketentuan Pasal 10 tersebut tampak bahwa

cerita rakyat merupakan bagian dari kebudayaan daerah yang hak ciptanya

dipegang oleh negara. Namun pada kenyataannya, cerita-cerita rakyat masih

belum mendapat perlindungan bahkan sampai saat ini belum ada

pendokumentasian yang layak bagi cerita-cerita rakyat tersebut. Pasal 10

sesungguhnya ditujukan secara khusus untuk melindungi budaya penduduk asli.

Namun bagi masyarakat tradisional akan mendapatkan kesulitan untuk

menggunakannya demi melindungi karya-karya mereka berdasarkan beberapa

alasan. Pertama, kedudukan Pasal 10 UUHC belum jelas penerapannya jika

dikaitkan dengan berlakunya pasal-pasal lain dalam UUHC. Kedua, suku-suku

etnis atau suatu masyarakat tradisional hanya berhak melakukan gugatan terhadap

orang-orang asing yang mengekploitasi karya-karya tradisional tanpa seizin

pencipta karya tradisional, melalui Negara cq. Instansi terkait.10

Dilema antara tuntutan perlindungan hak cipta atas budaya daerah dalam

hal ini cerita rakyat dan tidak adanya peraturan perundang-undangan yang

memadai dalam memberikan perlindungan mengakibatkan keberadaan cerita

rakyat semakin terancam dieksploitasi oleh pihak-pihak yang hanya

mementingkan nilai ekonomi saja tanpa memperdulikan nilai moral yang ada.

Masyarakat Indonesia yang kental dengan budaya komunal belum memandang

10

Tim Lindsey, dkk., 2004, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Cetakan ke-3,

PT. Alumni, Bandung, hal.267.

Page 25: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

8

penting adanya perlindungan bagi buah karya mereka. Bagi mereka cerita-cerita

rakyat tersebut hanya bagian dari keseharian mereka yang tumbuh dan

berkembang dari generasi ke generasi, dari mulut ke mulut tanpa mereka ketahui

siapa penciptanya dan biasanya tidak terdokumentasi. Bagi kakek dan nenek,

cerita-cerita rakyat tersebut hanya dongeng sebelum tidur bagi cucu mereka

dengan harapan cucu mereka bisa mengambil pelajaran dan hikmah baik dari tiap

dongeng yang di sampaikan. Bagi mereka tidak pernah terbersit di benaknya

bahwa cerita-cerita yang mengandung nilai philosofi tentang kebaikan, nilai-nilai

moral, ekonomi dan hubungan sosial tersebut, yang mereka sampaikan kepada

anak cucunya sesunguhnya bisa mendapatkan perlindungan hukum jika dikaji dari

perspektif hak cipta. Cerita-cerita rakyat tersebut berhak atas perlindungan hukum

untuk menyelamatkan dari usaha eksploitasi dan plagiasi yang dilakukan oleh

individu atau negara lain.

Perlindungan terhadap karya-karya tradisional khususnya cerita rakyat

menjadi semakin penting mengingat dalam perkembangannya tidak jarang cerita-

cerita tersebut diangkat menjadi seni pertunjukkan lain seperti film pendek,

sendratari, drama radio, pementasan budaya, dan pertunjukkan seni lainnya.

Perkembangan stasiun televisi yang semakin banyak saat ini juga menjadi salah

satu media untuk mengekspose karya-karya tradisional yang ada tidak hanya

dalam lingkup nasional tetapi juga hingga lingkup internasional. Pada saat karya-

karya cerita tradisional tersebut dituangkan dalam wujud yang berbeda,

Page 26: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

9

perlindungan kepemilikkannya menjadi semakin penting, mengingat bahwa

menurut UUHC, siapapun yang menghasilkan suatu karya berhak mendapatkan

perlindungan. Pada saat cerita rakyat dituangkan dalam wujud yang berbeda

seperti film misalnya, di dalamnya akan muncul orisinalitas lain seperti efek

suara, yang menimbulkan pertanyaan siapa pemilik hak ciptanya.

Namun demikian dalam UUHC Nomor 19 Tahun 2002 hanya terdapat

satu pasal yang menentukan perlindungan ciptaan atas karya peninggalan

prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional serta folklor yaitu Pasal 10. Itu pun

tidak ada pengaturan lebih lanjut. Sebab Pasal 10 ayat (4) menghendaki adanya

Peraturan Pemerintah sebagai pengaturan lebih lanjut terhadap hak cipta yang

dipegang oleh negara. Sementara itu, pendelegasian pengaturan dengan Peraturan

Pemerintah tersebut tidak dilakukan hingga saat ini sehingga tidak ada ketentuan

hukum yang dapat digunakan sebagai instrument untuk memberikan perlindungan

hukum terhadap ciptaan karya tradisional dan folklor. Hal itu berarti terjadi

kekosongan norma atau ketiadaan norma atas perlindungan karya cipta tersebut.

Selain itu, di dalam Pasal 10 juga terdapat permasalahan kekaburan

norma, yakni: pertama mengenai apakah orang Indonesia yang akan

mengumumkan atau memperbanyak ciptaan yang termasuk kekayaan tradisional

dan folklor harus terlebih dahulu mendapat izin sebagaimana halnya jika itu

dilakukan oleh orang asing. Kedua, sipakah yang dimaksudkan dengan instansi

terkait yang memiliki kewenangan mengeluarkan izin untuk mengumumkan atau

Page 27: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

10

memperbanyak ciptaan berupa karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda

budaya nasional serta folklor. Di dalam Pasal 1 UUHC, yang merupakan

interpretasi otentik atas konsep-konsep yang digunakan di dalam Batang Tubuh

UUHC, tidak ada menentukan batasan pengertian instansi terkait. Penjelasan

Pasal 10 menyatakan cukup jelas norma pada ayat (1), (3) dan (4). Penjelasan ayat

(2) menegaskan mengenai tujuan melindungi dan pengertian serta ruang lingkup

folklor. Jadi, tidak ada penjelasan mengenai siapa instansi terkait dan apakah

diperlukan izin oleh orang Indonesia yang akan mengumumkan atau

memperbanyak ciptaan yang termasuk kekayaan tradisional dan folklor.

Karena itulah menarik untuk dikaji secara normatif terhadap ketentuan

UUHC Nomor 19 Tahun 2002, khususnya ketentuan Pasal 10 sebagai suatu

penelitian tesis mengenai perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan

khususnya dalam bentuk pertunjukan seni melalui media elektronik.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang

masalah di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan yang akan diteliti dalam

tesis ini, sebagai berikut:

1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap keaslian cerita rakyat

sebagai ekspresi budaya tradisional dalam dimensi hak cipta?

Page 28: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

11

2. Bagaimanakah perlindungan hukum kepemilikan cerita rakyat yang telah

dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukan seni melalui media elektronik

baik nasional maupun internasional?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Begitu banyaknya karya cipta milik bangsa Indonesia yang merupakan

ekpresi budaya tradisional khususnya cerita rakyat, menunjukkan bahwa bangsa

ini adalah bangsa yang kreatif dan tidak henti berkarya serta tidak mementingkan

sisi komersial dari karya mereka. Hal itu justru menjadi kelemahan bangsa ini.

Sistem komunal yang kental membuat bangsa ini sering mengalami pelanggaran

hak cipta. Hasil-hasil ciptaan yang merupakan budaya daerah seperti cerita rakyat

tidak terdata dengan baik.

UUHC merupakan instrumen yang penting dalam memberikan

perlindungan terhadap semua hasil karya cipta rakyat yang berkaitan dengan

budaya daerah khususnya cerita rakyat. Namun akan menjadi persoalan apabila

instrumen yang seharusnya bisa memberikan perlindungan ternyata didalamnnya

tidak terdapat aturan yang jelas, bahkan tidak mengatur lebih lanjut mengenai

perlindungan budaya daerah.

Untuk membatasi kajian ini, maka ruang lingkupnya akan terbatas pada

perlindungan hukum terhadap keaslian cerita rakyat sebagai ekpresi budaya

tradisional dan perlindungan hukum terkait kepemilikan cerita rakyat yang

Page 29: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

12

dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukkan melalui media elektronik baik

nasional maupun internasional.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus.

1.4.1. Tujuan Umum.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisa mengenai

Perlindungan Hukum Cerita Rakyat Yang Dialihwujudkan Dalam Bentuk

Pertunjukkan Seni Melalui Media Elektronik.

1.4.2. Tujuan Khusus.

Melalui pemaparan latar belakang masalah tersebut diatas maka dapat

diketahui yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1 Untuk menganalisis mengenai perlindungan hukum terhadap keaslian

cerita rakyat sebagai ekspresi budaya tradisional dalam dimensi hak cipta.

2 Untuk menganalisis mengenai perlindungan hukum terkait kepemilikan

cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukkan melalui

media elektronik baik nasional maupun internasional.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis

maupun praktis.

Page 30: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

13

1.5.1. Manfaat Teoritis.

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

perkembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang HKI.

1.5.2. Manfaat Praktis.

Manfaat praktis dari penelitian ini bagi para pembentuk peraturan

perundang-undangan bahwa penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran agar dalam membentuk peraturan prundang-undangan di

masa yang akan datang dalam bidang HKI khususnya hak cipta lebih

memperhatikan kepentingan masyarakat dimana peraturan perundang-undangan

tersebut akan diterapkan. Demikian pula dalam meratifikasi perjanjian

internasional, hendaknya lebih memperhatikan budaya hukum masyarakat negara

peratifikasi sehingga ratifikasi perjanjian internasional tersebut dapat diterapkan

secara optimal.

Bagi masyarakat khususnya pencipta, penelitian ini diharapkan dapat

memberikan sumbangan dalam peningkatan kesadaran para pencipta yang ada di

Indonesia untuk mendaftarkan ciptaannya. Dengan demikian, buah karya yang

dihasilkan dari daya inovasi dan kreativitas tersebut membuahkan hasil berupa

insentif dan konstribusi nilai ekonomis bagi penciptanya.

Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat lebih memacu kinerja

pemerintah untuk membuat daftar karya-karya tradisional yang Penciptanya telah

Page 31: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

14

tiada atau tidak diketahui penciptanya, sehingga klaim karya tradisional oleh

pihak lain – negara lain tidak terjadi. Selain itu, diharapkan hasil penelitian ini

sebagai masukan terhadap materi muatan regulasi atas perlindungan karya-karya

tradisional yang akan dibentuk oleh pemerintah sehingga regulasi tersebut

akomodatif bagi tumbuh kembangnya upaya penciptaan karya-karya inovatif

lainnya.

1.6. Orisinalitas Tesis

HKI merupakan hal baru bagi bangsa ini tetapi pergaulan dunia

internasional membuat bangsa ini tidak bisa menghindar dan mengabaikannya

begitu saja. Bangsa ini harus ikut meratifikasi berbagai ketentuan internasional

tentang HKI termasuk didalamnya ketentuan tentang hak cipta. Berbagai masalah

mengenai perlindungan hak cipta pun tidak luput dialami bangsa ini khususnya

pelanggaran terhadap ekspresi budaya daerah yang merupakan warisan asli

bangsa ini. Beberapa penelitian yang membahas mengenai hak cipta atas ekspresi

budaya daerah antara lain:

1. Penelitian yang dilakukan oleh I Ketut Sandhi Sudarsana dengan judul

Perlindungan Hukum Terhadap Pertunjukan Karya Cipta Seni Tari Bali Yang

Disakralkan. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian

tersebut antara lain:

a. Bagaimanakah pengaturan tentang Tari Bali yang disakralkan menurut

Undang-undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta?

Page 32: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

15

b. Apakah pertunjukan secara komersial terhadap Tari Bali yang

disakralkan merupakan suatu pelanggaran Hak Cipta?

Penelitian tersebut spesifik membahas permasalahan pengaturan Tari Bali yang

disakralkan sehingga ruanglingkup penelitiannya terbatas pada aspek

pengaturan di dalam UUHC.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Anak Agung Sri Indrawati dengan judul

Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional Berkaitan Dengan Sistem Hak

Kekayaan Intelektual. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam

penelitan tersebut antara lain:

a. Apakah Pengetahuan Tradisional mendapat perlindungan dalam sistem

Hak Kekayaan Intelektual?

b. Bagaimana bentuk pengaturan bagi Pengetahuan Tradisional tersebut?

3. Penelitian yang dilakukan oleh Sadhiyaning Wahyu Arifani dengan judul

Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Atas Lagu Yang Tidak Diketahui

Penciptanya. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian

tersebut antara lain:

a. Bagaimanakah pelaksanaan untuk menentukan pemegang Hak Cipta

atas lagu yang tidak diketahui penciptanya menurut Undang-undang

Hak Cipta di Indonesia?

b. Bagaimanakah perlindungan terhadap Hak Cipta lagu yang tidak

diketahui penciptanya oleh Undang-undang Hak Cipta di indonesia?

Page 33: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

16

c. Upaya apakah yang ditempuh untuk penegakan hukum terhadap

pelanggaran terhadap Hak Cipta atas lagu yang tidak diketahui

penciptanya?

Berdasarkan beberapa penelitian tersebut di atas, belum ada yang

membahas permasalahan mengenai “Perlindungan Hukum Cerita Rakyat Yang

Dialihwujudkan dalam Bentuk Pertunjukkan Seni Melalui Media Elektronik”.

Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai

permasalahan tersebut.

1.7. Landasan Teoritis

Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi akan

mendorong semakin tingginya tingkat peradaban manusia. Hal itu ditandai dengan

munculnya penemuan-penemuan teknologi, karya cipta sastra dan seni, cerita dan

image dan lain sebagainya. Dengan diratifikasinya persetujuan TRIPs (Trade

Related Aspect of Intellectual Property Rights) dalam Undang-Undang No.7 tahun

1994, Indonesia tidak hanya mempunyai kewajiban mengatur HKI dalam hukum

nasional, melainkan juga harus menyesuaikan dengan ketentuan TRIPs dan

menegakkannya secara konsisten serta memberikan perlindungan secara

maksimal.

Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta untuk mengumumkan atau

memperbanyak ciptaannya dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang

antara lain dapat terdiri dari buku, program komputer, ceramah, kuliah, pidato,

Page 34: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

17

dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu, serta hak terkait dengan hak cipta.11

Hak

cipta besifat originality dan individuality. Hak cipta diperoleh tanpa harus

mendaftarkan, karena hak cipta besifat automatic protection.12

Menurut UUHC dalam Pasal 1 angka (1) Hak Cipta adalah hak eksklusif

bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak

Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-

pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemegang Hak

Cipta menurut ketentuan Pasal 1 angka (4) UUHC adalah pencipta sebagai

Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta atau

pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima tersebut.

Ada dua subjek (pemegang) hak cipta, subjek yang pertama adalah

seorang atau beberapa orang secara bersama-sama menciptakan sesuatu

berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian

yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Subjek hak cipta

yang kedua adalah pihak-pihak yang menerima hak cipta dari pencipta; atau pihak

lain yang menerima lebih lanjut hak cipta dari pihak yang menerima hak cipta itu.

Subjek hukum ini berupa badan hukum atau bahkan negara, jika objek hak

ciptanya (ciptaannya) adalah karya-karya peninggalan prasejarah, sejarah, benda

11

Tim Lindsey, dkk., Op.Cit., hal.6.

12

Endang Purwaningsih, 2012, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dan Lisensi, Cetakan

Ke-I, CV. Manda Maju, Bandung, hal. 35.

Page 35: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

18

budaya nasional lainnya, folklore, hasil kebudayaan yang menjadi milik bersama

dan ciptaan yang tidak diketahui penciptanya dan ciptaan itu belum diterbitkan.13

Hak cipta yang melindungi ide yang telah berwujud dan asli. Ide yang

mendapatkan perlindungan hak cipta hanyalah ide yang diformulasikan dalam

bentuk tertentu dan bersifat original. Dengan demikian, secara tegas dapat

dikatakan bahwa adanya suatu bentuk nyata dan berwujud (expression) dan

sesuatu yang berwujud itu adalah asli (original) atau bukan hasil plagiat

merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menikmati perlindungan

hukum hak cipta.14

Dalam UUHC ciptaan yang mendapat perlindungan diatur

dalam Pasal 12 UU No.19 tahun 2002 yaitu melindungi ciptaan dalam bidang

ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Yang dilindungi dalam hak cipta adalah

haknya, bukan benda yang merupakan perwujudan dari hak tersebut.15

Sebagai hak ekslusif (exclusive rights), Hak Cipta mengandung dua

esensi hak, yaitu: hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights).

Kandungan hak ekonomi meliputi hak untuk mengumumkan (performing rights)

dan hak memperbanyak (mechanical rights). Ada pun hak moral meliputi hak

13

Haris Munandar, dkk, 2008, Mengenal Hak Kekayaan Intelektual Hak Cipta, Paten,

Merek Dan Seluk-beluknya, Erlangga, Jakarta, hal.16.

14

Otto Hasibuan, 2008, Hak Cipta Di Indonesia Tinjauan Khusus Bagi Hak Cipta Lagu,

Neigbouring Rights, Dan Collecting Society, PT. Alumni, Bandung, hal.66.

15

Oka Saidin, 2007, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property

Rights), Edisi Revisi 6, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal.55.

Page 36: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

19

pencipta untuk dicantumkan namanya dalam ciptaannya, termasuk judul atau pun

anak judul ciptaan.16

Sementara itu Traditional Culture Expresions menurut Dokument WIPO

(World Intelectual Property Organization) sebagai berikut:

“... bentuk apapun, kasat mata maupun tak kasat mata, di mana pengetahuan

dan budaya tradisional diekspresikan, tampil atau dimanifestasikan dan

mencakup bentuk-bentuk ekspresi atau kombinasi berikut ini...”17

Ekspresi budaya tradisional merupakan cara hidup bangsa Indonesia,

yang mengajarkan tradisi, kearifan, nilai-nilai, pengetahuan komunal, yang di

kemas dan diturunkan kepada anak cucu melalui hikayat, legenda, kesenian, dan

upacara yang berangsur-angsur membentuk norma sosial dan tata hidup bangsa

Indonesia.18

Dengan demikian, norma-norma sosial dan tata hidup bangsa

Indonesia itu sejatinya merupakan ekspresi budaya tradisional yang

dimanifestasikan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Di Indonesia perlindungan atas ciptaan tradisional ditentukan dalam

Pasal 10 UUHC No.19 tahun 2002 bahwa:

16

Henry Soelistyo, 2011, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, PT. RajagrafindoPersada, Jakarta,

hal.47

17

Afrillyanna Purba, 2012, Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan

Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional Sebagai Sarana Pertumbuhan Ekonomi Indonesia,

Cetakan ke-1, PT. Alumni, Bandung, hal. 94-95.

18

Penelitian Hukum Perlu Regulasi: Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Di Jawa

Barat,www.depkumham.go.id/berita-kanwil/go-kanwil-jawa-barat/964-penelitian-hukum-perlu-

regulasi--perlindungan-ekspresi-budaya-tradisional-di-jawa-barat, Diakses 15 April 2013.

Page 37: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

20

(1). Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah,

dan benda budaya nasional lainnya.

(2). Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat

yang menjadi milik bersama, seperti cerita rakyat, hikayat, dongeng,

legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan

karya seni lainnya.

(3). Untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya tersebut pada ayat

(2), orang yang bukan Warga Negara Indonesia harus terlebih dahulu

mendapat izin dari instansi terkait dalam masalah tersebut.

(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

Pasal 10 tersebut di atas dengan tegas memberikan perlindungan terhadap ciptaan

tradisional yang dilindungi terutama Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan

rakyat yang menjadi milik bersama. Upaya perlindungan dilakukan dengan cara

negara memegang hak cipta tersebut dan pengumuman serta penggandaan hanya

dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari negara. Namun demikian, sangat

disayangkan bahwa Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut tentang hak

cipta yang dipegang negara atas Pengetahuan Tradisional, sebagaimana

ditentukan pada ayat (4) belum ada hingga saat ini.

Perlindungan mengenai karya cipta yang dialihwujudkan (derivative

work) atau karya turunan diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf l. Penjelasan pasal

ini menegaskan bahwa yang dimaksud dengan pengalihwujudan adalah

pengubahan bentuk, misalnya dari bentuk patung menjadi lukisan, cerita roman

menjadi drama, drama menjadi sandiwara radio, dan novel menjadi film. Pasal 12

Page 38: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

21

ayat (2) menyebutkan bahwa karya cipta yang dialihwujudkan mendapatkan

perlindungan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.

Pasal 12 tersebut di atas menentukan secara limitatif mengenai

pengalihwujudkan hak cipta yang mendapatkan perlindungan, yakni

pengalihwujudkan dari bentuk patung menjadi lukisan, cerita roman menjadi

drama, drama menjadi sandiwara radio, dan novel menjadi film. Hal itu berarti

bahwa pengalihwujudkan ke bentuk lain selain yang ditentukan tersebut berada di

luar ruanglingkup Pasal 12 sehingga belum ada regulasi yang memberikan

perlindungan hukum terhadap pengalihwujudkan tersebut. Namun dalam tesis ini

dibatasi hanya pada perlindungan hukum cerita yang dialihwujudkan dalam

bentuk pertunjukkan seni melalui media elektronik.

Permasalahan perlindungan hukum cerita yang dialihwujudkan dalam

bentuk pertunjukkan seni melalui media elektronik dikaji dengan mempergunakan

teori Perlindungan Terhadap Hak Kekayaan Intelektual yang dikemukakan oleh

Robert M. Sherwood, Teori Hukum Alam (Natural Right Theory) oleh John

Locke, dan Doktrin Penggunaan Yang Pantas (Fair Use) oleh Paul Goldstein.

Robert M. Sherwood mengemukakan bahwa terdapat berbagai teori yang

mendasari perlunya suatu bentuk perlindungan hukum bagi HKI. Teori yang

pertama yang dikemukakanya adalah Reward Theory yang memiliki makna yang

sangat mendalam berupa pengakuan terhadap karya intelektual yang telah

Page 39: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

22

dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada penemu/pencipta atau pendesain harus

diberikan penghargaan sebagai imbalan atas upaya-upaya kreatifnya dalam

menemukan/menciptakan karya-karya intelektual tersebut.19

Jadi pengakuan dan

perlindungan terhadap HKI merupakan suatu penghargaan kepada

penemu/pencipta atau pendesain atas karya intelektual yang sudah dihasilkan.

Teori lain yang sejalan dengan Reward Theory adalah Recovery Theory

yang pada prinsipnya menyatakan bahwa penemu/pencipta/pendesain yang telah

mengeluarkan waktu, biaya serta tenaga dalam menghasilkan karya intelektual

harus memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkannya tersebut.20

Jadi

pengakuan dan perlindungan atas HKI tersebut dimaksudkan untuk memulihkan

kembali segala pengeluaran biaya, tenaga dan waktu yang terjadi dalam upaya

yang telah dilakukan untuk menghasilkan karya intelektual. Teori lain yang juga

sejalan dengan teori reward adalah Incentive Theory. Teori ini mengaitkan

pengembangan kreativitas dengan memberikan insentif bagi para

penemu/pencipta/ atau pendesain tersebut. Bedasarkan teori ini insentif perlu

diberikan untuk mengupayakan terpacunya kegiatan-kegiatan penelitian yang

berguna.21

Teori insentif memposisikan HKI sebagai motivator meningkatkan

19

Robert M. Sherwood dikutip oleh Ratni Fauza Mayana, 2004, Perlindungan Desain

Industri Di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas, Grasindo, Jakarta, hal.44.

20

Ibid., hal.45.

21

Ibid.

Page 40: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

23

aktivitas penemuan atau penciptaan karya intelektual yang bermanfaat bagi umat

manusia.

Ketiga teori tersebut di atas pada intinya memiliki visi yang sama berupa

pemberian penghargaan kepada penemu/pencipta dan pendesain atas karya

intelektual yang telah dihasilkannya. Dalam perkembangannya pemberian

penghargaan tersebut harus dikaitkan dengan upaya untuk menciptakan iklim

kondusif agar masyarakat tetap kreatif, sebab penghargaan yang tidak memadai,

yang tidak sepadan dengan daya yang diperlukan untuk berkreativitas, maka akan

membunuh kreativitas masyarakat itu sendiri.22

Teori keempat yang dikemukakan oleh Robert M. Sherwood adalah Risk

Theory. Teori ini mengakui HKI merupakan suatu hasil kerja yang mengandung

resiko. HKI yang merupakan hasil dari suatu penelitian mengandung resiko yang

dapat memungkinkan orang lain yang terlebih dahulu menemukan cara tersebut

atau memperbaikinya sehingga dengan demikian adalah wajar untuk memberikan

suatu bentuk perlindungan hukum terhadap upaya atau kegiatan yang

mengandung resiko tersebut.23

Berdasarkan teori perlindungan HKI di atas jelas bahwa perlindungan

terhadap hasil karya cipta seseorang adalah mendapat pengakuan karena dalam

22

Ibid.

23

Ibid.

Page 41: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

24

setiap karya yang diciptakan tertuang ide intelektual seseorang untuk menciptakan

suatu karya. Sebab untuk menghasilkan suatu karya tersebut diperlukan

pengorbanan waktu, biaya serta tenaga. Maka dari itu diperlukan adanya

penghargaan terhadap pencipta guna merangsang pencipta untuk lebih giat dan

kreatif dalam menciptakan karya-karya berikutnya. Selain itu perlindungan juga

diperlukan mengingat bahwa dalam setiap penciptaan karya intelektual, terdapat

resiko bagi si pencipta dimana selama proses penciptaannya, pihak lain dapat saja

menirunya.

John Locke mengemukakan bahwa hak atas property lahir dan ada

karena adanya usaha dan pengorbanan waktu dan tenaga yang telah diberikan dan

diinvestasikan untuk menghasilkan property tersebut. Oleh karena itu lahirlah hak

yang melekat pada karya intelektual sebagai hasil investasi kreatif seseorang

(Creative people have an inherent right to their intellectual property because of

the labour they have invested in it).24

Manusia secara alamiah memiliki dorongan dalam dirinya atas

kepemilikan atau hak atas sesuatu bahkan dari sejak hal tersebut masih berupa

suatu ide dalam pikirannya. Dalam konsep hak cipta yang mendapat perlindungan

adalah ide yang sudah berwujud. Dengan demikian semakin menegaskan bahwa

24

Kinney &Lange PA dalam Ni Ketut Supasti Dharmawan, 2011, Hak Kekayaan

Intelektual Dan Harmonisasi Hukum Global (Rekonstruksi Pemikiran Terhadap Perlindungan

Program Komputer), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hal.47.

Page 42: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

25

Pencipta memiliki hak atas ciptaaannya yang harus dilindungi. Karena sesuatu

yang dihasilkan oleh Pencipta adalah haknya bahkan sejak masih berupa suatu

ide.25

Doktrin yang menjadi dasar perlindungan hak cipta adalah doktrin

penggunaan yang pantas atau fair use. Menurut Paul Goldstein, di Amerika

Serikat, sejarah doktrin ini panjang, bermula dari putusan Hakim Joseph Story.

Doktrin fair use mengandung pengertian bahwa penggunaan yang pantas adalah

pemberian izin kepada pihak masyarakat untuk membuat salinan karya yang

dilindungi hak cipta, jika dipakai untuk tujuan yang bermanfaat bagi masyarakat

dan pertimbangan-pertimbangan lain yang mendukungnya. Doktrin ini

dimaksudkan untuk menyeimbangkan antara kepentingan pencipta dan

kepentingan masyarakat. Penggunaan secara wajar itu, antara lain untuk

kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan

dan sebagainya.26

Doktrin fair use selain bertujuan melindungi juga memberikan

kesempatan bagi pihak lain untuk mempergunakan suatu ciptaan untuk tujuan

yang dibenarkan seperti halnya keperluan pendidikan, penelitian, penulisan karya

25

Thomas E. Davitt, 2012, Nilai-Nilai Dasar Di dalam Hukum Menganalisa Implikasi-

Implikasi Legal-Etik Psikologi Dan Antropologi Bagi Lahirnya Hukum, Terjemahan Yudi Santosa,

S.Fil, Cetakan I, Pallmal Yogyakarta, Yogyakarta, hal.32-33.

26

Muhamad Djumhana, 2006, Perkembangan Doktrin Dan Teori Perlindungan Hak

Kekayaan Intelektual, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.48-49.

Page 43: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

26

ilmiah dan penyusunan laporan. Fair use dalam sebuah karya ilmiah, misalnya

dengan tetap mencantumkan sumber atau penulis dari karya asli yang dikutip

dalam sebuah karya tulis. Dengan tetap mencantumkan penulis aslinya, hak moral

dari pencipta tetap diakui sekaligus wujud perlindungan hak cipta.

Teori-teori tersebut menjadi justifikasi dari pentingnya perlindungan

HKI khususnya cerita rakyat. Penghargaan serta pengakuan yang diberikan

kepada pencipta merupakan upaya menumbuhkembangkan daya kreatifitas

mereka sehingga mereka tidak akan merasa sia-sia telah mengasilkan sebuah

karya. Perlindungan atas cerita rakyat bertujuan mencegah terjadinya penggunaan

cerita tersebut secara ilegal yang menimbulkan kerugian bagi pencipta. Teori

tersebut menjadi landasan hukum bagi perlindungan cerita rakyat sehingga

pelanggaran terhadap cerita rakyat dapat dihindari atau diminimalisir.

Melalui teori-teori inilah, muncul satu konsep perlindungan hukum

terhadap ciptaan yang telah dilahirkan seorang penciptanya. Bisa dilakukan

melalui perlindungan hak ekonominya atau perlindungan dalam hak moralnya

atau juga bahkan keduanya. Perlu adanya perlindungan tersebut dilakukan untuk

menjamin eksistensi dari sebuah ciptaan yang terlahir tersebut. Oleh karena itu,

berdasarkan teori-teori tersebut, maka perlu dilakukan sebuah upaya untuk

Page 44: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

27

memproteksi hasil karya ciptaan dengan melalui satu sarana atau satu konsep

tertentu.27

1.8. Metode Penelitian

Metode penelitian hukum adalah suatu jalan yang ditempuh peneliti

dalam suatu penelitian tertentu yang berlangsung menurut suatu rencana

tertentu.28

Metode penelitian menyajikan cara atau langkah-langkah dalam

melakukan penelitian secara sistematis dan logis sehingga hasil penelitian tersebut

dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Secara garis besar metode penelitian

tesis ini mencakup mengenai jenis penelitian, jenis pendekatan, sumber bahan

hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, dan teknik analisis bahan hukum.

1.8.1. Jenis Penelitian.

Sebagaimana diketahui, Ilmu Hukum mengenal dua jenis penelitian,

yakni penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum

mengkaji dan menganalisis norma-norma hukum yang telah ditetapkan oleh

pejabat yang berwenang untuk itu.29

Penelitian hukum normatif adalah penelitian

hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori,

27

Arif Lutviansori, 2010, Hak Cipta Dan Perlindungan Folklor Di Indonesia, Edisi

Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal.16.

28

Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif¸ Bayu

Publishing, Malang, hal.26.

29

H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada

Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.13

Page 45: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

28

sejarah, filosofis, perbandingan, struktur dan posisi, lingkup dan materi,

konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan

mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak

mengkaji aspek terapan atau implementasinya. Karena tidak mengkaji aspek

terapan atau implementasi, maka penelitian hukum normatif sering juga disebut

“penelitian hukum dogmatik atau penelitian hukum teoritis” (dogmatic or

theoretical law research). 30

Penelitian tesis ini merupakan penelitian hukum

normatif yang dimaksudkan untuk mendapatkan jawaban terhadap permasalahan

hukum yang diteliti yakni perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan

dalam bentuk pertunjukkan seni melalui media elektronik.

1.8.2. Jenis Pendekatan.

Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

perundang-undangan. Karena itu, peraturan perundang-undangan dijadikan

sebagai obyek kajian dalam penelitian ini. Pendekatan Undang-undang (Statute

Approach) dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan dan

regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang diteliti. Bagi

penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan membuka

kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian

antara suatu jenis peraturan perundang-undangan dengan jenis yang lainnya atau

30

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, hal.101-102.

Page 46: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

29

antara regulasi dan undang-undang. Hasil telaah tersebut merupakan suatu

argument untuk menghadapi isu yang dihadapi.31

Disamping itu, dalam penelitian tesisi ini digunakan juga pendekatan

konseptual. Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, akan

diketemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-

konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum yang sedang

diteliti. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut

merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum

dalam memecahkan isu yang dihadapi.32

1.8.3. Sumber Bahan Hukum.

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui

studi kepustakaan baik melalui penelusuran peraturan perundang-undangan,

dokumen-dokumen yang merupakan hasil pengolahan orang lain yang sudah

tersedia dalam bentuk buku-buku ilmiah atau dokumentasi. Dalam penelitian

hukum terdapatdua jenis sumber bahan hukum yaitu bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder.33

31

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, hal.93.

32

Ibid.

33

Ibid.,hal.142

Page 47: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

30

Stephen Elias mengemukakan bahwa all legal resources can be broken

into two categories: primary and secondary sources.34

Bahan hukum primer

merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.

Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan

resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim.35

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian tesis ini yaitu

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (disingkat UUD

1945), Undang-undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Berne Convention,

TRIPS Agreement, Copyright Law of The United States and Related Laws

Contained in Title 17 of the United States Code.

Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang

hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang

hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan

komentar-komentar atas putusan pengadilan.36

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan adalah studi

kepustakaan/studi dokumen. Penelitian dilakukan terhadap berbagai dokumen dan

bahan-bahan hukum pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang

34

Stephen Elias, 2009, Legal Research How To Find And Understand The Law, Fifteenth

Edition, Nolo, California, hal.22.

35

Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit.,hal.141.

36

Ibid.

Page 48: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

31

dibahas dalam penelitian ini. Bahan-bahan hukum yang ada seperti peraturan

perundang-undangan serta buku-buku literatur dikaji dan ditelaah. Selanjutnya,

hasil pengkajian tersebut dibuatkan ringkasan secara sistematis sebagai inti sari

hasil pengkajian dokumen.

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum.

Bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini, baik

berupa bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dianalisa dengan

teknik deskripsi dan interpretasi. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis

yang tidak dapat dihindari penggunanya. Deskripsi berarti uraian apa adanya

terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non

hukum.37

Sedangkan teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran

dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis,

kontektual dan lain-lain.38

37

Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Tesis, 2008, Studi Magister Ilmu Hukum,

hal.14.

38

Ibid

Page 49: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

32

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK CIPTA FOLKLOR YANG

DIALIHWUJUDKAN (DERIVATIF WORK)

DALAM MEDIA ELEKTRONIK

2.1. Hak Cipta Folklor

2.1.1. Pengertian Hak Cipta Dan Dasar Hukumnya.

Masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya sangat sering menemukan

istilah-istilah seperti hak cipta, hak paten, maupun merek. Istilah-istilah tersebut

semakin sering muncul setelah terjadinya banyak tindak kejahatan seperti yang

merupakan pelanggaran atas hak cipta, hak paten maupun merek. Istilah-istilah

hak cipta, hak paten maupun merek bersumber dari satu konsep yaitu HKI. HKI

secara sederhana berarti suatu hak timbul bagi hasil pemikiran yang menghasilkan

suatu produk yang bermanfaat bagi manusia. Hal ini timbul dari pemikiran

sederhana bahwa apabila menikmati suatu hasil dari pemikiran orang lain, maka

sudah sepantasnya terhadap orang tersebut diberikan imbalan atas hasil

karyanya.39

Sementara itu, Mahadi mengatakan, HKI adalah hak kebendaan, hak atas

sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil rasio yang mana hasil

39

Haris Munandar dan Sally Sitanggang, 2008, Mengenal HAKI Hak Kekayaan

Intelektual Hak Cipta, Paten, Merek dan Seluk-beluknya, Erlangga, Jakarta, hal.2.

Page 50: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

33

kerjanya adalah benda tidak berwujud. Hanya orang yang mampu saja yang dapat

mempekerjakan otaknya untuk menghasilkan sesuatu yang disebut sebagai

intellectual property rights.40

Dengan demikian pekerjaan untuk menghasilkan

hak kekayaan intelektual bukanlah pekerjaan yang ringan sehingga tidak setiap

orang mampu melakukan aktivitas hak kekayaan intelektual.

HKI dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu: hak cipta

(copyrights) dan hak kekayaan industrial (industrial property rights). Di Indonesia

hak kekyaan industrial dibagi menjadi beberapa sub jenis antara lain: paten,

merek, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang dan

varietas tanaman. 41

Menurut persetujuan TRIPs, HKI yang mendapatkan

perlindungan meliputi Hak Cipta dan hak-hak terkait (Copy Right and Related

Right), Merek (Trade Mark), Indikasi Geografis (Geographical Indication),

Desain Industri (Industrial Design), Paten (Patent), Desain Tata Letak Sirkuit

Terpadu (Layout Design, Topographies of Integrates Circuit), Control of Anti

Competitive Protection of Contractual Licences, Informasi yang dirahasiakan

(Protection of Information).42

40

OK. Saidin, Op.Cit., hal.9 – 11.

41

Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Op.Cit., hal.3. 42

Budi Agus Riswandi dan Siti Sumartiah, 2006, Masalah-Masalah HAKI Kontemporer,

Gitanagari, Yogyakarta, hal.12.

Page 51: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

34

Penjelasan mengenai konsep HKI di atas jelas menyebutkan bahwa hak

cipta (copyright) merupakan bagian dari HKI yang dilindungi. Konsepsi

perlindungan di bidang hak cipta mulai tumbuh sejak ditemukannya mesin cetak

pada abad pertengahan di Eropa. Dengan kehadiran mesin cetak, karya-karya

cipta dapat diperbanyak dengan mudah secara mekanikal; inilah yang

menumbuhkan copyright. Dalam perkembangannya, perlindungan hukum ini

mendapat kritik karena timbulnya anggapan bahwa yang mendapat perlindungan

hanyalah penerbit, bukan penciptanya. Kritik ini berkembang atas dasar bahwa

karya tersebut merupaka refleksi dari penciptanya, maka digantilah konsep copy

rigth dengan author right. Hingga saat ini konsep perlindungan hak cipta tetap

sama yaitu menitik beratkan pada pelindungan terhadap pencipta.

Menurut hukum perdata barat, hak cipta termasuk dalam hak kebendaan

yang tidak berwujud. Hak kebendaan adalah hak yang memberikan kekuasaan

langsung pada seseorang yang berhak menguasai sesuatu benda dalam tangan

siapapun benda tersebut berada. Hal ini menimbulkan hak kebendaan yang

bersifat mutlak atas sesuatu benda.43

Pengertian lain tentang hak kebendaan

menyebutkan secara lebih jelas bahwa hak kebendaan adalah hak mutlak atas

suatu benda dimana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan

43 Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, Prestasi Pustaka,

Jakarta, Hal.163-164.

Page 52: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

35

dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.44

Jika dikaitkan dengan hak cipta,

maka dapat dikatakan hak cipta merupakan bagian dari hak kebendaan. Hal ini

dapat dilihat dari rumusan Pasal 1 UUHC yang mengatakan bahwa Hak Cipta

adalah hak khusus yang dimiliki oleh Pencipta atau penerima hak untuk

mengumumkan natau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu

dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Jelaslah bahwa hak cipta hanya dimiliki oleh pencipta

atau yang menerima hak. Artinya bahwa hanya pencipta dan penerima hak

tersebut yang boleh mempergunakan hak cipta dan mendapat perlindungan dalam

memepergunakan haknya dari pihak lain yang memanfaatkan haknya dengan cara

yang tidak diperkenankan oleh hukum. Kententuan pidana dalam UUHC juga

semakin menegaskan bahwa hak cipta dapat dipertahankan dari siapa saja yang

mencoba mengganggu keberadaannya dan ini menunjukkan bahwa hak cipta

merupakan hak yang absolut.

Hak atas kepemilikan intelektual yang lahir dari daya kreasi dan inovasi

intelektualitas manusia, dimana hak cipta dan hak milik intelektual merupakan

hak atas kebendaan tidak berwujud atau immaterial, yaitu suatu hak kekayaan

yang objek bendanya tidak berwujud. Semua benda yang objek hukumnya tidak

dapat dilihat, diraba atau dipegang dapat digolongkan dalam hak kekayaan

44 Djaja S. Meliala, 2013, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Cetakan II, Nuansa

Aulia, Bandung, Hal.111.

Page 53: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

36

immaterial.45

Untuk melihat kedudukan hak cipta sebagai bagian dari benda, dapat

dilihat secara tersirat dalam ketentuan Pasal 499 KUH Perdata yang menyebutkan

bahwa menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap

barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.46

Menurut ketentuan

pasal ini hak cipta dapat dikategorikan sebagai benda karena dapat dijadikan

objek hak milik. Seperti yang dikutip oleh Mahadi dari buku Pitlo yang

menyatakan bahwa ada hak absolut yang objeknya tidak berwujud dan hak inilah

yang dinamakan dengan hak milik intelektual.47

Ketentuan mengenai hak cipta benda tidak berwujud tertuang dalam

UUHC Pasal 3 dan penjelasan Pasal 4 ayat (1). Pasal 3 menyatakan bahwa Hak

Cipta dianggap sebagai benda bergerak. Sehingga dapat dialihkan sebagaimana

sifat dari benda bergerak. Sementara penjelasan Pasal 4 secara eksplisit

menentukan bahwa sifat dari Hak Cipta adalah suatu hak yang tidak berwujud dan

manunggal dengan penciptanya.

Berne Convention 1886 tidak merumuskan dalam pasal tersendiri tetang

pengertian Hak Cipta. Pengertian hak cipta tersirat dalam rumusan Article 2, 3, 11

dan 13 yang isinya kemudian diserap dalam Auteurwets 1912 dalam Pasal 2 jo

45

OK. Saidin, Op.Cit., Hal.52.

46

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio (penerjemah), 2002, Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, Cet.32, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, Hal.157.

47

OK. Saidin, Op.Cit., Hal.53.

Page 54: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

37

Pasal 10.48

Istilah hak cipta pertama kali diusulkan oleh Sutan Mohammad Syah

pada Kongres Kebudayaan di Bandung pada tahnun 1951. Istilah tersebut

kemudian diterima oleh kongres sebagai pengganti istilah hak pengarang yang

diaganggap memiliki makna yang kurang luas dan memberikan penyempitan

maksa, dimana yang cakupannya hanya pengarang dan hak bagi pengarang,

sementara cakupan hak cipta lebih luas dari itu. Istilah hak cipta yang merupakan

pengganti copy right yang artinya lebih luas dibanding dengan hak pengarang.49

Pasal 1 ayat 1 UUHC menyatakan:

Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk

mengumunkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk

itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Auteurswet 1912 dalam Pasal 1 menyebutkan “hak cipta adalah hak

tunggal atau hak yang mendapatkan hak tersebut, atas hasil ciptaannya dalam

lapangan kesusasteraan, pengetahuan dan kesenian, untuk mengumumkan dan

memperbanyak dengan mengingat pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh

undang-undang.50

Sementara itu, Universal Copyright Convention dalam Pasal V

menyatakan sebagai berikut, “hak cipta meliputi hak tunggal si pencipta untuk

48

OK. Saidin, Op.Cit., Hal.61

49 Rachmadi Usman, 2003, Hukum Hak atas kekayaan Intelektual:Perlindungan dan

Dimensi Hukumnya di indonesia, Cetakan ke-1, PT. Alumni, bandung, hal. 85. 50

BPHN, Seminar Hak Cipta, Bandung, Binacipta, 1976, hlm.44, dalam Oka Saidin,

Op.Cit., hal.58-59.

Page 55: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

38

membuat, menerbitkan dan memberi kuasa untuk membuat terjemahan dari karya

yang dilindungi perjanjian ini.51

Mencermati ketiga ketentuan tersebut di atas, ketiganya memberikan

pengertian yang sama mengenai hak cipta. Dalam Auteurswet dan Universal

Copyright Convention mempergunakan istilah hak tunggal yang melekat pada

pencipta, sementara itu dalam UUHC mempergunakan istilah hak khusus bagi

pencipta. Dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) UUHC di sebutkan bahwa yang

dimaksud dengan hak khusus atau hak eksklusif adalah hak yang semata-mata

diperuntukkan bagi pemegangnya, dalam hal ini pencipta; tidak ada pihak lain

yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin dari penciptanya. Istilah tidak

ada pihak lain, memiliki pengertian yang sama dengan “hak tunggal” yang

menunjukkan hanya pencipta yang memiliki hak ini. Inilah yang menunjukkan

sifat eksklusif tersebut. Eksklusif berarti khusus, spesifikasi, unik. Keunikan ini

sesuai dengan sifat dan cara melahirkan suatu ciptaan. Keunikan ini juga

mempresentasikan originalitas suatu ciptaan atau temuan sehingga hak yang

menjadi bawaannya itu hanya ada pada penciptanya dan mustahil diklaim sebagai

ciptaan orang – pihak lain.

Tidak semua orang dapat secara serta merta melahirkan suatu ciptaan,

tidak semua orang dapat menjadi seniman yang kemudian melahirkan karya seni

51 Ibid., hal.59.

Page 56: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

39

berupa tari, lagu maupun cerita karena dalam setiap ciptaan terdapat sifat dan

keunikan sendiri dan proses penciptaannya. Namun untuk mendapat perlindungan,

ciptaan tersebut harus dituangkan dalam suatu wujud, tidak cukup hanya berupa

ide di alam pikiran pencipta. Seorang ilmuwan harus mewujudkan ciptaanya

dalam sebuah buku, seniman menuangkan ciptaannya dalam wujud tari, lagu

maupun cerita. Tanpa berwujud nyata, karya cipta tidak akan mendapat

pelindungan.

Hak cipta memiliki dua unsur penting yaitu, yang dapat dipindahkan,

dialihkan kepada pihak lain seperti yang tertuang dalam Pasal 3 ayat (2). Dalam

hak cipta terdapat hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun hak tersebut

tetap melekat sekalipun hak cipta telah beralih, kecuali dengan persetujuan

pencipta atau ahli warisnya seperti yang tertuang dalam kentuan Pasal 24 UUHC.

Hak cipta juga memiliki hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi

adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari suatu ciptaan dan produk

terkait. Sementara hak moral adalah hak yang melekat pada pencipta yang tidak

dapat dihilangkan atau dihapuskan walaupun hak cipta telah dialihkan. Dengan

demikian jelas bahwa hak ekonomi dapat dialihkan kepada pihak lain oleh

pencipta sementara hak moral tetap melekat pada diri pencipta walaupun hak

ekonominya telah beralih. Dengan hak ekonomi, pencipta dapat mengeksploitasi

ciptaanya guna mendapatkan manfaat ekonomi, sementara hak moral adalah

manunggal dengan penciptanya. Seseorang tidak dapat mengubah, atau mengganti

Page 57: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

40

judul, isi apalagi penciptanya. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan izin dari

pencipta atau ahli warisnya jika pencipta telah meninggal dunia. 52

Article 6 Berne Convention mengatur tentang perlindungan hak moral

dari Pencipta. Ditentukan bahwa pencipta tetap dapat menuntut kepemilikan atas

karyanya sekalipun telah dialihkan kepada pihak lain apabila terhadap karyanya

dilakukan perubahan maupun perubahan lain yang menghina kehormatan dari

Pencipta berkaitan dengan karyanya. Dari ketentuan ini diketahui walaupun hak

ekonomi sudah beralih dari pencipta kepada pihak – orang lain, namun hak moral

tetap melekat dalam ciptaan tersebut yang memberikan hak kepada pencipta untuk

tetap dihormati sebagai pencipta. Hak ini melekat pada ciptaan sepanjang hak

ekonominya berlaku bahwa sampai setelah Pencipta meninggal dunia hingga saat

ciptaan tersebut diwariskan kepada pihak lain.

Pasal 1 ayat (3) UUHC merumuskan ciptaan adalah hasil setiap karya

pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni,

atau sastra. Dari rumusan tersebut jelas bahwa yang mendapat perlindungan hak

cipta adalah ciptaan yang merupakan hasil proses penciptaan atas inspirasi,

gagasan, atau ide berdasarkan kemampuan dan kreativitas pikiran, imajinasi,

kecekatan dan keterampilan pencipta. Ciptaan juga harus dituangkan dalam

bentuk yang berwujud dan menunjukkan keaslian untuk mendapatkan

52

Rachmadi Usman, Op.Cit., hal. 112.

Page 58: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

41

perlindungan hak cipta. Hak cipta tidak melindungi gagasan atau ide yang belum

berwujud. Ciptaan juga harus menunjukkan keaslian, tidak meniru ciptaan orang

lain dan merupakan refleksi diri penciptanya. Apabila suatu ciptaan telah

memenuhi unsur keaslian dan kreativitas, cerasa otomatis ciptaan tersebut akan

mendapat perlindungan.

2.1.2. Subjek dan Objek Hak Cipta.

Pasal 1 ayat (4) UUHC menentukan secara inklusif mengenai subyek

hak cipta. Di sana ditentukan bahwa pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai

pemilik hak cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta atau pihak

lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.

Dengan demikian, yang menjadi subjek hak cipta adalah pencipta. Sebagai subjek

hak cipta, terhadapnya melekat hak dan kewajiban. Dalam ilmu hukum, subjek

hukum adalah terjemahan dari bahasa Belanda recthssubject yang dalam bahasa

Inggris disebut legal person untuk menunjukkan sesuatu yang mempunyai hak.

Dalam perkembangannya pengertian legal person menjadi sesuatu yang

mempunyai hak dan kewajiban. Subjek hukum dibedakan menjadi manusia dan

bukan manusia atau badan hukum, sehingga di dalam bahasa Inggris disebut legal

person.53

53

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Group, Jakarta,

Hal. 241 – 243.

Page 59: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

42

Pencipta merupakan pemegang dari hak cipta itu sendiri dan atas diri

Pencipta melekat hak dan kewajiban berkaitan dengan hak cipta tersebut. Dengan

kata lain pemegang hak cipta adalah pencipta itu sendiri atau pihak lain yang

menerima hak dari pencipta. Pasal 1 ayat (2) UUHC merumuskan Pencipta adalah

seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya

melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan,

keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan

bersifat pribadi.

UUHC menggolongkan pemegang hak cipta terdiri dari:

1. Pencipta.

Pencipta adalah otomatis pemegang dari hak cipta, pemilik hak cipta itu

sendiri, sedangkan yang menjadi pemegang hak cipta tidak harus penciptanya,

tetapi bisa pihak lain yang menerima hak tersebut dari pencipta.

2. Lembaga atau Instansi Pemerintah.

Ketentuan Pasal 8 ayat (1) UUHC menyebutkan bahwa yang menjadi

pemegang hak cipta dalam ikatan instansi pemerintah adalah instansi

pemerintah yang untuk dan dalam dinas pegawai negeri sipil ciptaan itu

dikerjakan, dengan tidak mengurangi hak pencipta apabila penggunaan

ciptaan itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas.

3. Pagawai swasta.

Page 60: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

43

Seorang pegawai perusahaan swasta dianggap sebagai pencipta dan pemegang

sebuah ciptaan apabila dalam hubungan kerja menciptakan suatu ciptaan,

kecuali diperjanjikan lain diantara kedua belah pihak (Pasal 8 ayat 3).

4. Pekerja Lepas

Hak cipta yang dibuat berdasarkan suatu pesanan, penciptanya adalah pemilik

hak cipta dan pemegang hak cipta atas ciptaan tersebut. Kecuali diperjanjikan

lain oleh kedua belah pihak. Biasanya perusahaan yang memesan ciptaan dari

pencipta dapat memanfaatkan dan mengekploitasi ciptaan tersebut sesuai

dengan tujuan dibuatnya ciptaan tersebut.

5. Negara

Negara sebagai pemegang hak cipta ditentukan dalam Pasal 10 UUHC,

sebagai berikut:

(1). Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah,

dan benda budaya nasional lainnya.

(2). Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan

rakyatyang menjadi milik bersama, cerita, hikayat, dongeng, legenda,

babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya

seni lainnya.

(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

6. Badan Hukum

Jika suatu badan hukum mengumumkan bahwa suatu ciptaan berasal dari

badan hukum tersebut tanpa menyebutkan seseorang sebagai penciptanya,

Page 61: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

44

maka badan hukum tersebut dianggap sebagai penciptanya, kecuali jika terbukti

sebaliknya (Pasal 9 UUHC).

Untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan yang diatur dalam ketentuan

ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus mendapatkan izin dari

instansi yang terkait dengan masalah tersebut.

Objek hak cipta adalah ciptaan itu sendiri. Berne Convention

memberikan perlindungan pada ciptaan-ciptaan karya tertulis seperti buku dan

laporan, musik, karya drama seperti sandiwara dan koreografi, karya seni seperti

lukisan, gambar dan foto, karya arsitektur, karya sinematografi seperti film dan

video. Selain itu perlindungan juga diberikan pada karya adaptasi seperti

terjemahan karya tulis dari satu bahasa ke bahasa lain, karya adaptasi dan

aransemen music serta kumpulan seperti ensiklopedia dan antologi.54

Pasal 12 UUHC menentukan ciptaan yang mendapat perlindungan hak

cipta antara lain:

(1). Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam

bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:

a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang

diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;

b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;

c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu

pengetahuan;

d. lagu dan musik dengan atau tanpa teks;

e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantonim;

54

Tim Lindsey, dkk, Op.Cit., Hal.99.

Page 62: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

45

f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni

kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;

g. arsitektur;

h. peta;

i. seni batik;

j. fotografi;

k. sinematografi;

l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari

hasil pengalihwujudan.

(2). Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf I dilindungi sebagai Ciptaan

tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.

(3). Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk

juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah

merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan

Perbanyakan hasil karya itu.

Dengan demikian jelas ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan yang terbatas pada

ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang memiliki wujud nyata, dapat dilihat,

dibaca atau didengar juga.

2.1.3. Folklor Sebagai Salah Satu Wujud Ciptaan.

Upaya perlindungan atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya

Tradisional (selanjutnya disingkat menjadi PTEBT) semakin mendapat perhatian

semenjak munculnya berbagai sengketa kepemilikan PTEBT oleh negara lain.

Misalnya sengketa antara Indonesia dengan Malaysia atas kepemilikan PTEBT

Indonesia antara lain tari Pendet Reog Ponorogo dan lagu Rasa Sayange yang

dipergunakan Malaysia dalam iklan pariwisata budayanya. PTEBT merupakan

bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat Indonesia karena di

Page 63: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

46

dalamnya terkandung tradisi, kearifan, nilai-nilai, pengetahuan komunal yang

dikemas dan diturunkan ke anak cucu melalui hikayat, legenda, kesenian, upacara,

yang lama-kelamaan membentuk Norma Sosial dan tata kehidupan bangsa

Indonesia. Hilangnya PTEBT berarti hilang pula Norma Sosial dan tradisi bangsa

yang dapat menggiring bangsa yang multi etnik ini kearah perpecahan yang

timbul di antara komunitas-komunitas yang ada.55

Perlindungan atas PTEBT tidak hanya menjadi tututan Indonesia semata,

melainkan sudah memasuki ranah internasional. Hal itu dapat dilihat dari

pembahasan mengenai perlindungan PTEBT juga sudah menjadi pembahasan di

dunia internasional. Banyaknya pemanfaatan PTEBT secara tidak hormat oleh

negara-negara maju memberikan dampak merugikan bagi negar-negara

berkembang. Contoh pemanfaatan yang merugikan PTEBT tersebut antara lain

produksi benda kerajinan adat yang tidak sah di pasar souvenir, penggunaan

pakaian adat daerah tertentu yang tidak mengindahkan kepentingan masyarakat

lokal, produk makanan, atau mainan, penggunaan yang tidak sah dari nama asli

atau frase sebagai merek dagang, penggunaan yang tidak sah atas tari tradisional

menjadi pertunjukkan komersial, dan penggunaan yang tidak sah dari musik

tradisional dalam produksi musik komersial.

55

Afifah Kusumadara, 2011, Pemeliharaan Dan Pelestarian Pengetahuan Tradisional Dan

Ekspresi Budaya Tradisional Indonesia: Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Dan Non-Hak

Kekayaan Intlektual, Jurnal Hukum: Vol.18 Januari. No.1., Malang.

Page 64: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

47

Modul 8 tentang Traditional Knowledge diterangkan bahwa yang

dimaksudkan dengan traditional knowlegde is generally understood to encompass

four types of creative works: verbal expressions, musical expression, expressions

by action, and tangible expression.56

Istilah Pengetahuan Tradisional (selanjutnya

disingkat menjadi PT) digunakan bergantian dengan EBT, dimana keduanya

merujuk pada musik, seni, desain, nama, tanda-tanda dan simbol-simbol,

pertunjukkan, bentuk arsitektur, kerajinan dan narasi. EBT merupakan bagian

integral dari identitas budaya dan sosial masyarakat adat dan lokal yang

merupakan perwujudan dari pengetahuan dan keterampilan masyarakat lokal dan

terdapat nilai-nilai inti dan keyakinan di dalamnya.

Rancangan Undang-Undang PTEBT mendefinisikan PT sebagai karya

intelektual di bidang pengetahuan dan teknologi yang mengandung unsur

karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan dan dipelihara

oleh komunitas atau masyarakat tertentu. Ekpresi Budaya Tradisional

dipergunakan untuk mengganti istilah folklor. Ekpresi Budaya Tradisional

didefinisikan sebagai karya intelektual dalam bidang seni, termasuk ekspresi

sastra yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan,

56 Module 8: Traditional Knowledge, Available at

http://cyber.law.harvard.edu/copyrightforlibrarians/Module_8:_Traditional_Knowledge, Accessed

21 February 2014.

Page 65: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

48

dikembangkan, dan dipelihara oleh komunitas masyarakat tertentu.57

Jika PT

merupakan karya itelektual dalam bidang pengetahuan dan teknologi yang

memilik warisan budaya, makan EBT adalah karya intelektual dalam bidang seni

termasuk sastra yang memiliki karakteriktik budaya di dalamnya.

Pertemuan WIPO dan UNESCO pada pertengahan tahun 1980-an

mendefinisikan EBT (folklor) sebagai berikut:

Folklore (in the broader sense, traditional and popular folk culture) is a

group-oriented and tradition-based creation of groups or individuals

reflecting the expectations of the community as an adequate expression of its

cultural and social identity; its standards are transmitted orally, by imitation

or by other means. Its forms include, among others, language, literature,

music, dance, games, mythology, rituals, customs, handicrafts, architecture

and other arts.58

Melalui definisi tersebut dijelaskan bahwa folklor adalah hasil kreasi

kelompok masyarakat tertentu yang terinspirasi dari tradisi kelompok atau

individu dimana di dalamnya terdapat identitas budaya dan sosial dari kelompok

masyarakat tersebut yang biasanya disampaikan secara lisan, imitasi ataupun

dengan cara lain yang bentuk-bentuknya meliputi bahasa, sastra, tari, musik,

permainan, mitologi, ritual, adat-istiadat, kerajinan, aritekstur dan seni lainnya.

Penjelasan Pasal 10 ayat (2) dijelaskan bahwa folklor merupakan bagian dari

ciptaan mendapat perlindungan. Dalam upaya melindungi folklor dan hasil

kebudayaan rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau

57

Rancangan Undang-undang Tentang Perlindungan Dan Pemanfaatan Kekayaan

Intelektual Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional.

58

Anonim, Protecting Traditional Cultural Expressions: The International Dimension,

Available at http://www.copyright.bbk.ac.uk/contents/workshops/blakem.pdf, Accessed 28

February 2014.

Page 66: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

49

komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan tanpa seizin negara

Republik Indonesia sebagai pemegang hak cipta. Hal ini dimaksudkan untuk

menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.

Folklor dimaksudkan sebagai sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang

dibuat oleh sekelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang

menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai

yang diucapkan atau diikuti secara turun-temurun, termasuk:

a. Cerita rakyat, puisi rakyat;

b. Lagu-lagu rakyat dan musik instrument tradisional;

c. Tari-tarian rakyat, permainan tradisional;

d. Hasil seni antara lain berupa: lukisan, gambar, ukiran-ukiran, pahatan,

mozaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik dan tenun

tradisional.

Dengan demikian folklor sudah mendapat perlindungan dalam UUHC.

Menurut Pasal 30 UUHC menyatakan bahwa folklor yang hak ciptanya dipegang

oleh negara berlaku tanpa batas dan bagi orang yang bukan warga negara harus

terlebih dahulu mendapatkan izin untuk memanfaatkannya.

Pasal 2 paragraf viii Agreement Established the World Intellectual

Property Organization antara lain menyebutkan yang dimaksud dengan HKI

adalah “... and all rights resulting from intellectual activity in the industrial,

scientific, literary, or artistic fields”. Sebagian pihak berpendapat bahwa frasa

Page 67: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

50

tersebut mengandung pengertian memberi ruang kepada karya-karya yang

dihasilkan melalui kekuatan pemikiran di luar dari yang sudah ada.59

Convention on Biological Diversity (selanjutnya disingkat menjadi

CBN) dalam Padal 8 (j) merumuskan bahwa:

… subject to its national legislation, respect, preserve and maintain

knowledge, innovations and practices of indigenous and local communities

embodying traditional lifestyles relevant for the conservation and sustainable

use of biological diversity and promote their wider application with the

approval and involvement of the holder of such knowledge, innovations and

practices and encourage the equitable sharing of the benefits arising from

the utilization of such knowledge, innovations and practices.60

Pengetahuan tradisional merupakan konsep kunci yang terdapat dalam rumusan

tersebut dimana dalam Pasal 8 (j) ditekankan pentingnya peran pengetahuan

tradisional.

Pembentukan Intergovernmental Committee on Intellectual Property

and Genetic Resources Traditional Knowledge and Floklore (selanjutnya

disingkat menjadi IGC GRTKF) oleh WIPO yang telah melakukan sidang

sebanyak 18 sesi sejak tahun 2001 hingga saat ini. IGC GRTKF adalah sebuah

forum perlindungan untuk mencari kesepakatan mengenai pengaturan yang paling

59

Basuki Antariksa, Op.Cit., hal.1. 60

Convention On Biological Diversity 5 June 1992, hal. 6.

Page 68: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

51

tepat mengenai perlindungan PT dan EBT, termasuk sumber daya genetik, pada

tingkat internasional.61

2.1.4. Sistem Perlindungan Cerita Rakyat Sebagai Wujud Folklor.

Berne Convention dalam Article 1 menyatakan bahwa the countries to

which Convention applies constitute a Union for the protection of the right of

authors in their literary and artistic works. Jelas tampak bahwa negara-negara

yang menerapkan Berne Convention memberikan perlindungan pada Pencipta dari

karya-karya sastra dan karya artistik. Berne Convention tidak memberikan

pengertian hak cipta, tetapi dalam Article 2 (1) diberikan penjelasan yang

tergolong dalam ekspresi dari literary and artistic works yang di dalamnya antara

lain termasuk semua hasil produksi dalam bidang sastra, ilmiah dan artistik seperti

buku, pamphlet dan karya tulis lainnya. Lebih lanjut dalam Article 2 (2)

disebutkan bahwa perlindungan atas hak cipta hanya diberikan kepada karya yang

telah tertuang dalam suatu wujud tertentu misalnya sebuah buku atau drama.

Perlindungan hak cipta tidak melindungi sebuah ide.

UUHC tidak menyebutkan secara gamblang dalam pasal tersendiri

bahwa suatu karya harus tertuang dalam wujud atau bentuk tertentu untuk

mendapatkan pelindungan hak cipta. Tidak dituangkan dalam ketentuan tersendiri

bahwa hak cipta tidak melindungi ide sebagaimana yang menjadi persyaratan

61

Basuki Antariksa, Op.Cit., hal.2.

Page 69: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

52

perlindungan hak cipta yang terdapat dalam Berne Convention Article 2 (3).

Namun dalam penjelasan Pasal 7 UUHC yang berkaitan dengan Pencipta atas

suatu rancangan yang dikerjakan dan diwujudkan oleh orang lain di bawah

pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, maka yang disebut penciptanya

adalah orang yang merancang ciptaan itu. Dalam penjelasan Pasal 7 disebutkan

bahwa perancang disebut pencipta apabila rancangannya itu dikerjakan secara

detail menurut desain yang sudah ditentukan dan tidak sekedar gagasan atau ide

saja. Dengan demikian, seseorang yang memiliki rancangan tetapi masih berupa

gagasan atau ide saja, tidak dapat disebut sebagai pencipta, maka secara otomatis,

karyanya yang masih berupa gagasan atau ide, tidak dapat perlindungan hak cipta

kecuali telah dituangkan dalam suatu bentuk nyata dan detail.

Cerita rakyat sendiri jika dilihat dalam ketentuan Berne Convention

Article 1 dan Article 2 (1) termasuk dalam bidang literary atau sastra. Sastra

meliputi ekspresi yang dituangkan dalam bentuk tulisan “literary works covers:

works which is expressed in print or writing, irrespective of question whether the

quality or style is high”.62

Karena sifatnya yang biasanya berupa karya lisan,

cerita rakyat tetap menjadi bagian dari karya sastra yang mendapatkan

pelindungan dalam lingkup EBT seperti halnya karya sastra lain yang tertuang

dalam bentuk tulisan. Konsep pelindungan atas cerita rakyat yang biasanya

bersifat lisan telah menjadi satu perhatin dalam RUU PTEBT dalam Pasal 2 ayat

62

William Cornish dan David Llewelyn, 2003, Intellectual Property: Patens, Copyright,

Trade Marks, and Allied Rights, Fifth Edition, Sweet and Maxwell, London, hal.389.

Page 70: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

53

(3) yang secara jelas menyebutkan bahwa yang teramasuk di dalam perlindungan

PTEBT adalah karya verbal tekstual, baik lisan maupun tulisan.

Perlindungan cerita rakyat yang merupakan bagian dari folklor telah

dilakukan sejak berlakunya UUD 1945 yakni melalui Pasal 32 yang menyatakan

bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia dan menjamin

kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai

budayanya. Dengan demikian perlindungan terhadap cerita rakyat yang

merupakan bagian dari warisan budaya telah mendapat perlindungan dalam UUD

1945. Perlindungan lain terhadap cerita rakyat terdapat dalam UUHC dalam Pasal

10 yang secara lebih tegas menyebutkan bahwa cerita rakyat merupakan bagian

dari folklor yang hak ciptanya dipegang oleh Negara dan merupakan hak cipta

yang dilindungi, namun teknis perlindungan ketentuan Pasal 10 UUHC melalui

Perturan Pemerintah Tentang Hak Cipta atas folklor yang dipegang oleh Negara

masih berupa rancangan sehingga belum memiliki kekuatan hukum.

2.2. Derivative Work Dalam Hak Cipta

2.2.1. Konsep Derivative Work Dalam Dimensi hak Cipta.

Hak cipta memberikan hak eksklusif kepada pamilik suatu karya untuk

membuat karya turunan (derivative work) dari karya cipta yang telah dibuat

sebelumnya. Karya derivative adalah karya baru yang terwujud karena didasarkan

Page 71: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

54

pada suatu karya yang telah ada sebelumnya.63

A derivative work exists as a

functional variation of a preexsisting work that is either protected by copyright or

in the public domain.64

Karya derivative merupakan variasi dari karya yang telah

ada sebelumnya baik itu karya yang mendapatkan perlindungan maupun karya

yang telah menjadi public domain. 17 United State Copyright (U.S.C) Pasal 101

menjelaskan bahwa a derivative work is a work based upon one or more

preexisting works, such as a translation, musical arrangement, dramatization,

fictionalization, motion picture version, sound recording, art reproduction,

abridgment, condensation, or any other form in wich a work may be recast,

transformed, or adapted.65

Penjelasan ini hampir serupa dengan penjelasan

mengenai derivative work di atas. Dimana derivative work merupakan karya yang

didasarkan dari karya yang telah ada sebelumnya dapat berupa terjemahan,

aransemen musik, dramatisasi, fiksionalisasi, versi film, merekam suara,

reproduksi seni, ringkasan, kondensasi, atau bentuk lain yang merupakan hasil

kerja ulang, ditransformasi, atau diadaptasi.

63

Yusran Isnaini, 2009, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, Ghalia

Indonesia, Jakarta, hal.29-30.

64

Steven S. Boyd, 2000, Deriving Originality in Derivative Works: Considering the

Quantum of Originality Needed to Attain Copyright Protection in a Derivative Work, Jurnal at

Santa Clara Law Digital Commons, Vol.40. No.2., Available at:

http//digitalcommons.law.scu.edu/lawreview/vol40/iss2/1, p.349. Accessed 1 March 2014.

65

Copyright Law of The United State and Related Laws Contained in Title 17 of the

United States Code, hal.3.

Page 72: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

55

Suatu karya derivative contain an element of creative authorship and

may be copyrighted independently of the underlaying work.66

Karya derivative

harus mengandung kreativitas dari penciptanya untuk mendapat pelindungan hak

cipta. Kendatipun wujudnya yang merupakan karya turunan dari karya-karya yang

telah ada sebelumnya, tetapi unsur kreativitas dari penciptanya tetap diperlukan

untuk memberikan elemen pembeda antara karya original yang telah ada

sebelumnya dengan karya derivative.

Perlindungan hak cipta atas derivative work tetap akan diberikan bagi

pencipta karya derivative sekalipun karya asli dari derivative work tersebut telah

dihibahkan kepada ahli waris dari pencipta asli. Perlindungan tetap berlaku

sepanjang berlakunya perlindungan atas karya asli bahkan setelah pencipta aslinya

meninggal dan ciptaan tersebut telah dihibahkan kepada pewarisnya. Pemegang

hibah dari pencipta asli tidak dapat membatalkan hak cipta dari pencipta

derivative work sepanjang masa waktu perlindungan masih berlaku dan sepanjang

derivative work tersebut telah dituangkan dalam wujud nyata, bukan hanya berupa

persiapan untuk membuat derivative work. Pengecualian perlindungan hak cipta

bagi pencipta derivative work berlaku apabila pada masa berlakunya berlakunya

perlindungan ciptaan asli yang telah dihibakan, derivative work masih berupa

persiapan.

66

Joseph Hubicki, 2011, Protecting Performance Rights under the Derivative Work

Exception, Law Journal: Vol.2, Issue 1., The Berkeley Electronic Press, hal.54.

Page 73: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

56

A derivative work prepared under authority of the grant before its termination

may continue to be utilized under the terms of the grant after its termination,

but this privilage does not extend to the preparation after the termination of

other derivative works based upon copyright work covered by the terminated

grant.

The exception protects the copyright owners of derivative works from having

to renegotiate agreement prepared under the original grant.67

Hak cipta yang dilindungi dalam UUHC terbagi menjadi 2 jenis. Hak

cipta yang bersifat asli (orisinil) tertuang dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) dan

hak cipta yang bersifat derivative yang diatur dalam ketentaun Pasal 30 ayat (1).

Karya derivative adalah karya yang didasarkan dari satu atau lebih karya yang

telah ada sebelumya, seperti terjemaahan, aransemen musik, dramatisasi,

fictinalization, film, rekaman suara, reproduksi seni ringkasan, kondensasi atau

bentuk perubahan lain dari suatu karya yang ditransformasi atau diadaptasi.

Dengan kata lain, karya derivative adalah sebuah wujud baru dari suatu karya

yang didalamnya terdapat unsur pembeda namun tidak mengurangi format dasar

dari ciptaan awalnya. Seperti misalnya ketika sebuah cerita rakyat di pentaskan

dalam sebuah drama panggung atau drama televisi.

2.2.2. Pengaturan Derivative Work.

Derivative work dalam Berner Convention tertuang dalam ketentuan

Article 2 (3) yang menyatakan “translations, adaptations, arrangements of music

and other of music and other alterations of literary of artictic work shall be

protected as original works without prejudice to the copyright in the original

67

Ibid., hal.59.

Page 74: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

57

work”. Berner Convetnion tidak menyebutkan ketentuan mengenai derivative

work secara ekplisit, tetapi ketentuan mengenai derivative work dijelaskan

melalui istilah terjemahan, adaptasi, aransemen musik, dan karya gubahan

lainnya. Dimana setiap karya baik itu karya musik maupun karya lain selain karya

musik, termasuk adaptasi harus mendapat perlindungan seperti karya asli tetapi

tidak mengurangi perlindungan hak cipta atas karya aslinya. Mengingat pada

dasarnya karya yang dialihwujudkan adalah penambahan unsur kreasi baru, baik

itu penambahan dalam kapasitas besar maupun sedikit ke dalam karya yang telah

ada terlebih dahulu.

Pengaturan lain yang melindungi derivative work dapat juga dilihat pada

17 U.S.C. § 101 yang di dalamnya mendefinisikan apa yang dimaksud dengan

derivative work, dan 17 U.S.C. § 103 (a) yang di dalamnya menyatakan “the

subject matter of copyright as specified by section 102 includes compilations and

derivative works….”68

Dinyatakan pula bahwa karya cipta derivative mendapat

perlindungan sebagai karya cipta yang independen tanpa mengurangi

perlindungan atas karya cipta aslinya. Yang mendapat perlindungann adalah

substansi baru yang ditambahkan ke dalam karya cipta derivative.

Hak cipta yang dilindungi dalam UUHC terbagi menjadi dua yaitu

hak cipta atas ciptaan asli (orisinil) dan hak cipta atas ciptaan yang bersifat

68

Copyright Law of The United State and Related Laws Contained in Title 17 of the

United States Code,Op.Cit., hal.9.

Page 75: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

58

turunan (derivative). Perlindungan atas ciptaan asli tertuang dalam ketentuan

Pasal 29 ayat (1) dan karya derivative tertuang dalam Pasal 30 ayat (1). Ciptaan

asli adalah ciptaan dalam bentuk atau wujud aslinya sebagaimana yang diciptakan

oleh pencipta, belum dilakukan perubahan bentuk atau pengalihwujudan kedalam

bentuk berbeda. Dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) yang merupakan ciptaan asli

adalah:

a. Buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lainnya;

b. Drama atau drama musical, tari, koreografi;

c. Segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, seni patung;

d. Seni batik;

e. Lagu atau music dengan atau tanpa teks;

f. Arsitektur;

g. Cermah, kuliah, pidato dan Ciptaan sejenis lainnya;

h. Alat peraga;

i. Peta;

j. Terjemahan, tafsir, saduran, dan bunga rampai.

Sedangkan yang tergolong dalam derivative work menurut ketentuan Pasal 30

ayat (1) huruf (e) UUHC yaitu melindungi karya hasil pengalihwujudan. Karya

cipta asli mendapat perlindungan seumur hidup dan 50 tahun setelah penciptanya

meniggal dunia, sedangkan derivative work perlindungannya berlangsung selama

50 tahun sejak pertama kali diumumkan.

Page 76: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

59

2.2.3. Mekanisme Pengalihwujudan Suatu Karya Cipta Dan Sistem

Perlindungannya.

UUHC menyebutkan bahwa karya cipta yang dialihwujudkan mendapat

perlindungan. Perkembangan yang terjadi menyebabkan semakin banyak karya

cipta asli yang dialihwujudkan menjadi bentuk-bentuk lain. Seperti cerita rakyat

menjadi film televisi. Produser film sebagai pemegang hak cipta atas karya

turunan (derivative) harus meminta ijin kepada pencipta asli yaitu penulis cerita

rakyat tersebut atau Negara sebagai pemegang hak cipta atas folklor. Dalam

pengalihwujudan tersebut terjadi peralihan hak-hak yang ada di dalam hak cipta

dan hak terkait melalui perjanjian pengalihan atau perjanjian lisensi.

Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta kepada

siapapun baik untuk mengumumkan maupun memperbanyak ciptaannya. Dengan

adanya perjanjian lisensi, penerima lisensi memiliki hak untuk menikmati hak

ekonomi dari ciptaan tersebut. Pelisensian hak cipta disertai dengan kewajiban

pemberian royalty kepada pemegang hak cipta. Perjanjian lisensi juga harus

dicatatkan di Direktorat Jederal HKI. Pemberian lisensi tidak berarti pemberian

kepemilikan hak, tetapi hanya bersifat persetujuan pemberian izin untuk

melaksanakan hak eksklusif dari pemegang hak cipta.

Perlindungan terhadap mekanisme pengalihwujudan hak cipta diatur

dalam Pasal 45 UUHC yang menyatakan bahwa pelisensian hak cipta dilakukan

dengan perjanjian lisensi. Pasal ini juga mengatur mengenai pemberian royalti

Page 77: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

60

kepada pemegang hak cipta oleh pemegang lisensi. Dimana jumlah besarnya

royalti disepakati oleh kedua belah pihak. Ruang lingkup perjanjian lisensi dapat

dapat diperjanjikan untuk seluruhnya atau sebagian. Pemberian lisensi dapat

berupa lisensi hanya untuk mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan saja.

Pemberian lisensi juga dapat untuk melarang atau mengizinkan menyewakan

suatu program komputer dan sinematografi.

2.3. Media Elektronik Berkaitan Dengan Hak Cipta Derivatif Work

2.3.1. Pengaturan Karya Derivative Work Yang Dituangkan Dalam Media

Elektronik.

Media elektronik adalah media yang menggunakan elektronik atau

energi elektro mekanis bagi pengguna akhir untuk mengakses isi dari media

tersebut. Sumber media elektronik yang banyak dikenal bagi pengguna umum

antara lain adalah rekaman video, rekaman audio, presentasi multimedia, dan

konten daring. Media elektronik dapat berbentuk analog maupun digital, walau

pun media baru pada umumnya berbentuk digital.69

Contoh media elektronik

seperti: radio, televisi, film (layar lebar), dan internet, termasuk juga telepon

selular.70

69

Media Elektronik, http://id.wikipedia.org/wiki/Media_elektronik, Diakses Selasa, 22

April 2014. 70

Hydriana Ananta Win, Efek Media Elektronik Terhadap Anak Usia Sekolah,

http://www.stiks-

tarakanita.ac.id/files/Tarakanita%20News%20No.%202/Opini/28%20Efek%20Media%20elektron

ik.pdf, Diakses Selasa, 22 April 2014.

Page 78: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

61

Melihat dari jenis ciptaan yang dilindungi, maka ada dua jenis ciptaan

yang dilindungi oleh hak cipta yaitu ciptaan asli atau orisinil dan ciptaan yang

bersifat derivative. Pengaturan atas ciptaan asli diatur dalam ketentaun Pasal 29

UUHC sementara pengaturan atas ciptaan yang merupakan derivative work diatur

dalam ketentuan Pasal 30 huruf (e) UUHC. Pengaturan perlindungan ini berkaitan

dengan jangka waktu perlindungan suatu ciptaan. Hak cipta atas perwajahan karya

tulis yang diterbitkan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak diterbitkan

sementara hak cipta atas program komputer dan sinematografi serta hak cipta

yang diiliki atau dipegang oleh suatu badan hukum berlaku selama 50 (lima

puluh) tahun sejak pertama kali dimumumkan.

Ketentuan Pasal 30 menyebutkan bahwa jangka waktu perlindungan

karya cipta atas program komputer, sinematografi, fotografi, database, dan karya

pengalihwujudan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali

diumukan. Dengan demikian jelas bahwa perlindungan derivative work dalam

media elektronik mendapat perlindungan dalam ketentuan pasal ini.

2.3.2. Bentuk-bentuk Derivative Work Yang Dipublikasikan Dalam Media

Elektronik.

Derivative work yang merupakan karya baru yang lahir berdasarkan

pada karya yang telah ada sebelumnya, melahirkan adanya hak adaptasi yang

merupakan hak untuk menciptakan karya derivative. Hak adaptasi ini memberikan

kemudahan sekaligus menimbulkan permasalahan berkaitan dengan peredaran

Page 79: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

62

komunikasi online melalui internet. Dimana karya-karya asli semakin mudah

untuk diubah, dimodifikasi atau dihubungkan dengan karya lain secara digital. 71

Perubahan-perubahan karya asli menjadi karya derivative bisa berupa

revisi dari karya yang asli, terjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain, atau dapat

pula berupa suatu karya yang disusun, diubah atau diadopsi menjadi bentuk lain.

Seperti misalnya film berdasarkan cerita novel, mengubah film hitam putih

menjadi berwarna, versi revisi dari sebuah software.72

Penjelasan Pasal 12 huruf (l) menjelaskan yang dimaksud dengan

pengalihwujudan adalah pengubahan bentuk, misalnya dari bentuk patung

menjadi lukisan, cerita roman menjadi drama, drama menjadi sandiwara radio,

dan novel menjadi film. Sebuah karya derivative harus didasari oleh karya asli.

Karya derivative yang dilindungi hak cipta adalah karya yang menambahkan

unsur baru dalam suatu ciptaan yang orisinil, dimana unsur tambahannya juga

harus merupakan sesuatu yang asli. Bentuk-bentuk derivative work dalam media

elektronik misalnya adalah dramatisasi, aransemen musik, film, reproduksi suara,

reproduksi seni. Dalam film misalnya, pengalihwujudan dari cerita rakyat menjadi

karya film yang di dalamnya menambahkan unsur-unsur baru dan asli baik dalam

cerita, musik, maupun pengaturan suara. Dalam reproduksi seni, dimana sebuah

cerita rakyat dikemas dalam bentuk baru disiarkan melalui radio.

71

Yusran Isnaini, Op.Cit., hal.30.

72

Ibid.

Page 80: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

63

Karya derivative dilindungi oleh hak cipta. Untuk mendapat

perlindungan tersebut, suatu karya derivative harus memiliki unsur pembeda yang

mencukupi dan konten atau material baru dalam jumlah tertentu sehingga

penambahan unsur kecil suatu karya cipta asli tidak dapat digolongkan sebagai

derivative work.73

73

Feri Sulianta, Seri Referensi Praktis: Konten Internet, dilihat (On-line)

di:http://books.google.co.id/books?id=f9Vurjx2D8C&pg=PA56&lpg=PA56&dq=buku,+hak+cipta

,+derivatif,+karya+turunan&source=bl&ots=4nGPhr0Bv9&sig=iuOfIeNANaoTGKnsJV1s8C5O

MA&hl=id&ei=KO19TfKkKMfprQfs06XMBQ&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=7&v

ed=0CCsQ6AEwBg#v=onepage&q=buku%2C%20hak%20cipta%2C%20derivatif%2C%20karya

%20turunan&f=false.

Page 81: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

64

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEASLIAN CERITA RAKYAT

SEBAGAI EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL

Kajian atas perlindungan hukum terhadap keaslian cerita rakyat sebagai

ekspresi budaya tradisional di awali dengan menelaah konsep orisinalitas suatu

karya cipta berdasarkan UUHC, berne Convention, dan TRIPs Agreement. Setelah

itu, dikaji mengenai dokumentasi sebagai mekanisme penentuan kepemilikan asal

suatu cerita rakyat tradisional dan keasliannya. Dalam kaitan itulah relevansi

kajian mengenai perlindungan hukum terhadap keaslian cerita rakyat tradisional.

3.1. Konsep Orisinalitas Suatu Karya Cipta Menurut UUHC, Berne

Convention, TRIPs Agrement

Dalam Black’s Law Dictionary diterangkan bahwa istilah Originality

Hak Cipta memiliki dua arti, yaitu:

1. “The quality or state of being the product of independent creation and

having a minimum degree of creativity”

2. “The degree to which a product claimed for copyright is the result of an

author’s independent efforts”.74

74

Bryan A. Gerner, 2004, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Thomson West, Dallas,

Texas, hal. 1133.

Page 82: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

65

Dari dua pengertian tersebut di atas maka suatu karya cipta akan mengandung

unsur originality atau keaslian apabila di dalamnya terdapat unsur karya yang

independen, terdapat kreativitas dan merupakan hasil karya dari penciptanya.

Suatu karya cipta akan dianggap asli apabila dihasilkan sendiri oleh penciptanya

terdapat kreativitas di dalammnya dan mencerminkan kharakter pribadi dari

penciptanya. Secara akontrario dapat dikatakan bahwa suatu karya cipta yang

dihasilkan dengan meniru karya cipta orang lain sehingga tidak tampak adanya

kreativitas dan karakteristik penciptanya, maka hal itu tidak menunjukkan

originalitas suatu karya cipta.

Berne Convention sendiri tidak secara eksplisit menentukan dalam satu

ketentuan secara jelas mengenai originality dalam suatu karya. Artinya bahwa

dalam Berne Convention tidak ada satu pasal khusus yang menentukan dan

sebagai interpretasi otentik atas orisinalitas karya cipta. Berne Convention

menentukan secara inklusif aspek orisinalitas ciptaan yang diberikan perlindungan

hak cipta. Suatu karya cipta baru dapat mendapat perlindungan hak cipta apabila

karya tersebut telah tertuang dalam suatu bentuk tertentu seperti buku dan

komposisi musik, bukan merupakan ide atau gagasan semata yang masih berada

di alam pikiran pencipta. Di situ jelas tampak aspek formulasi – pemberian bentuk

yang jelas – tertentu sebagai kualifikasi pemberian perlindungan hak cipta.

Namun demikian, tidak ada standar minimum internasional mengenai originality

atau keaslian dalam Berne Convention.

Page 83: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

66

Originalitas merupakan salah satu persyaratan dalam memberikan

perlindungan hak cipta di dunia barat. Namun ketentaun mengenai syarat

originality atau keaslian dalam Berne Convention yang merupakan perjanjian

tertua dalam perlindungan hak cipta hanya terdapat sedikit ketentaun yang tersirat

mengenai originality atau keaslian, sementara bagi pencipta, sangatlah penting

mempertahankan keaslian dari karya yang diciptakannya.75

Originality dalam Berne Convention tersirat dalam ketentuan Article 2

(3) yang menyatakan bahwa terjemahan, adaptasi, aransemen musik dan

perubahan lain suatu karya sastra atau seni harus dilindungi sebagai karya asli

tanpa mengurangi hak cipta atas karya asli. Ketentaun ini secara tidak langsung

menetapkan bahwa suatu karya haruslah karya asli, sekalipun karya tersebut telah

menjadi derivative work tetapi unsur keaslian tetap dibutuhkan dalam

perlindungannya.

Ketentuan lain yang juga menyiratkan tentang originality atau keaslian

adalah Aticle 2 (5) yang menyatakan suatu karya sastra atau seni seperti

ensiklopedia dan antologi yang dengan alasan pemilihan dan penyusunan isinya,

merupakan pembuktian kreativitas intelektual yang harus dilindungi, tanpa

75 Cliff Kuehn, 2012, The “Originality” Requrement for Copyright Protection in Western

Societies, Selasa, 28 Januari 2014, http://trademarkcopyrightlaw.wordpress.com/2012/09/18/the-

originality-requirement-for-copyright-protection-in-western-societies/

Page 84: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

67

mengurangi hak cipta di setiap membentuk bagian dari karya tersebut.76

Dalam

ketentuan ini tidak jelas terlihat tentang unsur originality dalam sebuah karya,

tetapi dalam ketentuan ini disebutkan bahwa ensiklopedia and antologi merupakan

pembuktian kreasi intelektual yang mana jika dihubungkan dengan pengertian

originality atau keaslian menurut Black’s Law Dictionary memenuhi unsur

originality karena karya tersebut dihasilkan melalui daya kreativitas. Seorang

pencipta dalam menghasilkan suatu karya menungkan kreativitasnya kedalam

suatu bentuk yang nyata yang didalamnya terdapat ciri pribadi dari pencipta

tersebut.

Article 14 bis Berne Conventiaon menyebutkan bahwa karya yang telah

diadaptasi atau direproduksi kembali dan cinematographi harus mendapat

perlindungan sebagai karya cipta asli. Sementara Article 14 ter (1) menyatakan

bahwa penulis, bahkan setelah penulis tersebut meninggal, karyanya harus tetap

mendapat perlindungan dari penggunaan oleh pihak lain sebagai karya atau

naskah asli. Dalam beberapa ketentuan Berne Convention tersebut di atas

disinggung perlindungan karya asli atau original tetapi tidak ada ketentuan yang

mengatur secara tegas tentang standar keaslian.

76 James Koessler, Something For Nothing? The Standard Of ‘Originality’ In Copyright

Law: An Elusive Yet Essential Requirement (2/5), Available at

http://www.jameskoessler.com/something-for-nothing-the-standard-of-originality-in-copyright-

law-an-elusive-yet-essential-requirement-25/#identifier_0_231, Accessed 28 January 2014.

Page 85: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

68

Seperti halnya Berne Convention, TRIPs Agreement juga menetapkan

originality atau keaslian sebagai syarat suatu karya cipta mendapatkan

pelindungan Hak Cipta. Neither the Bern Convention not the TRIPS Agreement

expressly requires originality for a work to be protedted by copyright.77

Ketentuan

Article 9 Perjanjian TRIPS menyatakan bahwa setiap anggota dari Perjanjian

TRIP harus memenuhi ketentuan Article 1 sampai Article 21 Bern Convention

beserta lampirannya. Dengan demikian standar internasional originality tidak

ditemukan dalam perjanjian TRIPS.

Daniel J. Gervais menyatakan bahwa “one can thus refer to the Bern to

interpret the meaning of the word ‘originality’ in the Bern Convention as

incorporated into TRIPs”.78

Analisis ini melahirkan kesimpulan bahwa istilah

"orisinalitas", adalah istilah yang dipergunakan dalam konvensi ini dan yang tidak

hanya berlaku untuk negara-negara yang penandatangannya tetapi juga untuk para

anggota WTO, dimana orisinalitas tersebut terkait erat dengan kreativitas penulis.

Berne Convention menentukan standar orisinalitas dengan kreativitas

penulis. Dimana segala hasil karya ciptanya merupakan hasil kreativitas murni

dari penulis atau pencipta tanpa dipengaruhi oleh alat kerjanya maupun kendala

77

Module 3: The Scope of Copyright law, Available at,

,http://cyber.law.harvard.edu/copyrightforlibrarians/Module_3:_The-Scope_of_Copyright_Law,

Accessed 28 January 2014

78

Daniel J. Gervais, 2004, The Compatibility Of The Skill And Labour Originality

Standard With The Berne Convention And The TRIPS Agreement, Sweet and Maxwell Limited and

Contibutors, Available at,

http://aix1.uottawa.ca~dgervaispublications/Skilland/Labour/aspublished/pdf , Accessed 27

January 2014.

Page 86: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

69

dalam menghasilkan tulisannya. Standar ini pula berlaku secara penuh dalam

perjanjian TRIPS, mengingat kentuan perjanjian TRIPS mengadopsi ketentuan

Berne Convention.

Berne Convention dan TRIPS Agreement menentukan orisinalitas

sebagai syarat untuk mendapatkan perlindungan hak cipta, tetapi hampir seluruh

Negara menginginkan tingkat orisinalitas dari suatu karya untuk mendapatkan

perlindungan hak cipta, tetapi belum ada standar minimum secara internasional

mengenai orisinalitas. Masing-masing Negara menentukan sendiri standar

orisinalitas dari suatu karya. Amerika dan kanada misalnya, menetapkan standar

orisinalitas berdasarkan konsep yang independen dan hanya mensyaratkan

kreativitas yang minimum. Sementara di Prancis, Spanyol dan dalam negara-

negara berkembang mendefinisikan orisinalitas sebagai penggambaran ciri khas

dari penciptanya.

Perjalanan peradaban suatu bangsa terus berkembang seiring dengan

perubahan yang terjadi di masyarakat sebagai akibat dari perkembangan teknologi

dan ilmu pengetahaun. Perkembangan ini pula dibarengi dengan perkembangan

hukum yang berlaku di masyarakat yang berubah secara terus-menerus sesuai

dengan perkembangan yang terjadi. Keikutsertaan Indonesia dalam pergaulan

dunia juga memicu perkembangan hukum yang berlaku. Keterlibatan Indonesia

dalam WTO membuat Indonesia harus menyesuaikan seluruh perangkat

Page 87: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

70

hukumnya yang berkaitan dengan HKI sesuai dengan TRIPs agreement dan Bern

Convention.

Dibidang hak cipta, Indonesia beberapa kali melakukan perubahan

terhadap UUCH sampai dengan UUHC yang berlaku saat ini. Perubahan tersebut

juga dipicu oleh perkembangan hukum yang ada dan keikutsertaan Indonesia

dalam konvensi internasional yang mewajibkan anggotanya meratifikasi peraturan

hukum yang berlaku sesuai dengan hasil kesepakatan konvensi tersebut. Berkaitan

dengan konsep keaslian atau orisinalitas suatu ciptaan, Pasal 1 angka 3 UUHC

menyatakan bahwa ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan

keaslian dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Suatu ciptaan tidak

akan ada tanpa adanya pencipta dimana dalam upaya melahirkan suatu ciptaan,

pencipta telah meuangkan seluruh daya imajinasi, pengetahuan, ketrampilan atau

keahliannya dalam suatu bentuk yang khas dan bersifat abadi. Tidak semua

ciptaan dilindungi hak cipta. Ciptaan yang mendapat perlindungan adalah ciptaan

yang memenuhi standar keaslian, kreativitas dan berwujud.

Keaslian bukan berarti karya tersebut harus benar-benar baru, karya

yang telah ada sebelumnya dan milik umum bisa saja karya asli dan merupakan

karya dari penciptanya. Kreativitas yang tinggi dibutuhkan dalam menciptakan

suatu karya yang bisa mendapat perlindungan hak cipta karena kreativitas yang

tinggi bisa menunjukkan keaslian dari suatu karya. Bahkan untuk suatu karya

yang umum dan tidak asli, dengan adanya kreativitas yang tinggi, karya tersebut

Page 88: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

71

bisa menjadi suatu karya asli. Kreativitas tersebut merupakan hasil cipta, rasa dan

karya manusia. Perwujudan, dimana suatu karya harus dituangkan dalam bentuk

tertentu, hak cipta melindungi dalam bentuk material bukan hanya sebuah ide atau

gagasan.79

Ciptaan seharusnya memiliki aspek keaslian untuk menikmati

perlindungan yang diberikan oleh undang-undang. Keaslian sangat erat

hubungannya dengan bentuk perwujudan dari suatu ciptaan. Oleh karena itu, suatu

ciptaan baru dianggap asli apabila tertuang dalam sebuah wujud seperti misalnya

dalam bentuk buku. Tetapi buku tersebut bukanlah merupakan buku yang

dihasilkan dari jiplakan karya berwujud lainnya.80

UUHC menyebutkan ciptaaan yang dilindungi adalah ciptaaan dalam

bidang ilmu pengetahuna, seni dan sastra. Lebih lanjut di UUHC memperinci apa

saja yang yang termasuk di dalam ciptaan yang dilindungi:

a. Buku, program computer, pamphlet, perwajahan (lay out) karya tulis

yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;

b. Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;

c. Alat peraga yang dibut untuk kepentingan pendidikan dan ilmu

pengetahuan;

79

Djumikarsih, 2012, “Analisa Yuridis Sengketa Ciptaan Antara Yayasan Hwa Ing Fonds

Dengan Budi Haliman Halim”, dalam Perspektif, Volume XVII, No.3, Edisi September, Fakultas

Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hal.193.

80

Eddy Damian, 1999, Hukum hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi Internasiona,

Undang-Undang Hak Cipta 1997 Dan Perlindungan Terhadap Buku Serta Perjanjian

Penerbitannya, Alumni, Bandung, hal.100.

Page 89: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

72

d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

e. Drama atau drama musical, tari, koreografi, pewayangan, dan

pantomime;

f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni

kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;

g. Arsitektur;

h. Peta;

i. Seni batik;

j. Fotografi;

k. Sinematografi;

l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari

hasil pengalihwujudan.

Dari rincian tersebut di atas, ciptaan dari butir (a) sampai (k) merupakan ciptaan

asli, sedangkan butir l merupakan pengolahan selanjutnya dari ciptaan-ciptaan

asli. Hasil pengolahan dari ciptaan asli juga harus mendapat perlindungan karena

merupakan hasil ciptaan baru serta memerlukan kemampuan intelaktual tersendiri

untuk menghasilkannya.

Keaslian atau originalitas merupakan salah satu kriteria dari pemberian

perlindungan atas suatu ciptaan. Keaslian juga harus ada dalam suatu karya

derivative work walaupun karya itu merupakan hasil pengolahan dari karya cipta

asli yang telah ada. Suatu karya harus merupakan karya asli yang dihasilkan oleh

yang menciptakan karya itu sendiri.

Ciptaan atau karya cipta yang mendapat perlindungan adalah:

Page 90: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

73

1. Ciptaan yang merupakan hasil proses penciptaan atas ide, gagasan,

inspirasi berdasarkan kemampuan kreativitas berpikir, imajinasi,

kecekatan serta keterampilan pencipta.

2. Dituangkan dalam suatu bentuk yang khas dan menunjukkan keaslian,

bukan merupakan gagasan atau ide semata. Menunjukkan keaslian

dimana suatu karya tersebut merupakan hasil kemampuan kreativitas,

buah pikiran, keterampilan atau keahlian dari pencipta, tidak meniru atau

menjiplak karya orang lain dan merupakan hasil refleksi dari

penciptanya sehingga terdapat ciri pribadi dari penciptanya.81

Dengan demikian semakin jelas bahwa keaslian merupakan persyaratan pokok

dalam mendapatkan perlindungan hak cipta. Apabila pencipta telah menerapkan

tingkat pengetahuan serta keterampilan yang tinggi dalam proses menghasilkan

suatu karya, hal itu sudah dianggap cukup memenuhi sifat keaslian untuk

mendapat perlindungan hak cipta. Asli adalah benar merupakan ciptaan dari

pencipta.

Sebagai produk yang merupakan ekspresi dari kreativitas ide yang

diwujudkan dalam bentuk yang materiil, suatu ciptaan harus memiliki unsur

keaslian, namun UUHC tidak memberikan kriteria tentang keaslian itu sendiri.

Padahal unsur keaslian memegang peranan penting dalam tolak ukur suatu ciptaan

81

Rachmadi Usman, Op.Cit., hal.121-122.

Page 91: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

74

tersebut dilindungi hak cipta atau tidak. UUHC juga tidak memberikan

pengaturan mengenai perlindungan hak cipta akan diberikan kepada semua jenis

ciptaan atau hanya kepada ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra, dan

seni. Suatu ciptaan dapat dikatakan asli apabila ciptaan tersebut berasal dari ide

yang sudah umum, tetapi dituangkan dalam bentuk yang yang baru atau tidak

sama dengan ciptaan yang sudah ada sebelumnya yang juga menggunakan ide

umum yang sama. Perlindungan hak cipta dalam ciptaan ini berfokus pada

pelindungan ekspresi ide dari ciptaan tersebut. Ciptaan juga dapat disebut asli

apabila dalam mewujudkan ciptaan tersebut terdapat unsur kegiatan intelekatual

yang melibatkan daya upaya, kreativitas, dan keahlian dari pencipta sehingga

tampilan ide tersebut berbeda dengan ekepresi ide yang sudah ada sebelumnya.

Aspek kegiatan intelektual mendapat apresiasi dalam mewujudkan suatu ciptaan.

Berdasarkan kedua aspek tersebut di atas, maka suatu ciptaan tidak harus suatu

ciptaan baru untuk di sebut mengandung unsur keaslian di dalamnya, melainkan

bagaimana mewujudkan suatu hal yang baru dari ide yang telah ada.82

Henry Soelistyo menekankan pada aspek kreativitas sebagai penciri

keaslian. Suatu ciptaan dikatakan mengandung unsur keaslian apabila dihasilkan

atau berasal dari diri si pencipta sendiri dimana kreativitas menjadi faktor penentu

yang memberi ciri dari pencipta pada ciptaan yang dihasilkannya. Di dalam

82 Elyta Ras Ginting, 2012, Hukum Hak Cipta Indonesia Analisis Teori dan Praktik, PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.136-138.

Page 92: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

75

menunjukkan keaslian suatu ciptaan, melekat pula hak moral dari pencipta.

Dengan menjaga keaslian suatu ciptaan berarti menjaga pula hak moral dari

pencipta yang tidak boleh diciderai, karena perubahan, perusakan atau

pemotongan maupun tindakan lain yang dapat mengganggu pribadi dan hak moral

dari pencipta.83

Selanjutnya ditegaskan pula bahwa keaslian tidak berarti unik atau

khas, melainkan suatu prinsip yang harus dipegang adalah suatu ciptaan tidak

boleh sama dengan ciptaan lainnya. Suatu ciptaan diklaim sebagai ciptaan orisinal

apabila ciptaan itu dihasilkan oleh atau berasal dari pencipta sendiri.84

Namun unsur unik atau khas sebagai identitas suatu ciptaan asli

sesungguh merupakan unsur bawaan sebagai konsekuensi dari ciptaan sebagai

sebuah karya kreativitas. Kreativitas dan inovativnya suatu karya cipta

menunjukkan adanya kekhasan ciptaan tersebut yang membedakannya dengan

ciptaan lain. Keunikan ini sesuai dengan sifat dan cara melahirkan suatu ciptaan

sehingga menunjukkan keaslian ciptaan tersebut. Sebab ciptaan itu memiliki

kharateristik yang sesuai dengan penciptanya.

83 Henry Soelistyo, 2011, Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta dan Etika, Kanisius,

Yogyakarta, hal.57-58. 84

Henry Soelistyo, Ibid.

Page 93: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

76

3.2. Dokumentasi Sebagai Mekanisme Penentuan Kepemilikan Asal Suatu

Cerita Rakyat Tradisional Dan Keasliannya

Indonesia memiliki banyak karya-karya yang saat ini dikenal dengan

nama Pengetahuan Tradisional (PT) atau Ekspresi Budaya Tradisional (EBT)

yang masih belum terinventarisir dengan optimal. Permasalahan ini berkaitan

dengan apakah suatu kekayaan tradisional atau ekspresi budaya tradisional

tersebut yang sebenarnya merupakan warisan budaya bangasa Indonesia adalah

ciptaan milik bangsa Indonesia. Di sinilah relevansi keberadaan dukumen atas

karya cipta tersebut sehingga kekayaan tradisional atau ekspresi budaya

tradisional itu dapat diklaim sebagai milik Bangsa Indonesia.

Dokumentasi suatu karya cipta merupakan upaya untuk menunjukkan

adanya suatu karya cipta tersebut. Sebab dalam pendokumentasian tersebut

mencakup aspek identitas karya cipta dan penciptanya. Dalam kaitan dengan

kekayaan tradisional atau ekspresi budaya tradisional, bahkan juga karya cipta

lainnya perlu diinventarisir melalui pendokumentasian. Inventarisasi itu sendiri

memiliki arti yang penting bagi bangsa pemilik kekayaan tradisional atau ekspresi

budaya tradisional itu sendiri untuk menentukan bahwa bangsa Indonesia adalah

benar-benar sebagai pemegang hak cipta atas kekayaan budaya tersebut sehingga

dapat memberikan perlindungan secara maksimal terhadap ciptaan tradisional.

Salah satu cara melakukan inventarisir atas PT atau EBT adalah dengan

Page 94: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

77

melakukan dokumentasi atas ciptaan tersebut.85

Dengan demikian

pendokumentasian merupakan suatu model mekanisme untuk menentukan status

kepemilikan asal suatu cerita rakyat tradisional dan sekaligus sebagai upaya

perlindungan keasliannya.

Dokumentasi diartikan sebagai pengumpulan, pemilihan, pengolahan,

dan penyimpanan informasi dalam bidang pengetahuan. Selain itu, dokumentasi

juga berarti pemberian atau pengumpulan bukti-bukti dan keterangan-

keterangan.86

Dengan demikian, dokumentasi merupakan hal penting berkaitan

dengan keberadaan suatu karya cipta sehingga lebih mudah dan cepat diketahui

adanya penyimpanan informasi.

Namun demikian secara normatif tidak ada ketentuan mengenai

pendokumentasian ciptaan di dalam UUHC. Di situ hanya ditentukan mengenai

pendaftaran ciptaan. Penyelenggara pendaftaran dilakukan oleh pemerintah yakni

Direktorat Jenderal HKI di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam

hal ini pemerintah bersifat pasif yakni hanya menunggu adanya inisiatif pencipta

untuk mendaftarkan ciptaannya. Di lain pihak pencipta kurang menyadari akan

pentingnya pendaftaran ciptaanya. Hal itu terutama terhadap karya cipta

tradisional yang sudah dianggap umum dan menjadi bagian dari kehidupan

masyarakat sehingga dianggap tidak perlu didaftarkan.

85

Eddy Damian, 2009, Hukum Hak Cipta, Edisi ke-3, PT. Alumni, Bandung, hal.137.

86

Lukman Ali, Op.Cit., hal. 240.

Page 95: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

78

Terdapat dualism dalam UUHC berkaitan dengan pendaftaran untuk

pendokumentasian karya cipta. Pendaftaran ciptaan bukan suatu kewajiban sebab

tanpa didaftarkan, ciptaan sudah mendapatkan perlindungan. Perlindungan suatu

ciptaan timbul secara otomatis setelah ciptaan tersebut dilahirkan dalam suatu

wujud nyata. Jadi perlindungan terhadap karya cipta bukan karena adanya

pendaftaran. Di lain pihak, pendaftaran diperlukan sebagai upaya

pendokumentasian atas suatu karya cipta sehingga dapat digunakan sebagai

pembuktian apabila adanya pelanggaran atas ciptaan tersebut.

Pendaftaran Hak Cipta bukan suatu hal yang mutlak harus dilakukan

oleh pencipta. Pencipta dapat mendaftarkan ciptaannya dapat pula tidak

mendaftarkannya. Karena UUHC menegaskan bahwa pendaftaran hak cipta tidak

mengesahkan isi dari ciptaan tersebut.87

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 36

UUHC dimana Direktorat Jenderal sebagai penyelenggara pendaftaran ciptaan

tidak bertanggung jawab atas isi, arti, maksud dan bentuk dari ciptaan yang

didaftarkan. Bisa saja ciptaan yang didaftarkan tersebut hanya sebagian saja yang

asli dan sebagian lagi merupakan jiplakan dan hal ini tidak menjadi tanggung

jawab dari penyelenggara pendaftaran. Setiap pendaftaran ciptaan akan dicatat

dalam Daftar Umum Ciptaan yang dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenakan

87

Syahmin AK, 2007, Hukum Dagang Internasional Dalam Kerangka Studi Analitis,

Ed.1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 141.

Page 96: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

79

biaya. Tetapi jika akan mendapatkan Petikan Daftar Umum Ciptaan, maka dapat

diperoleh dengan dikenakan biaya. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 35 UUHC.

Berbeda dengan UUHC, Rancangan Undang-Undang tentang

Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya

Tradisional (selanjutnya disingkat menjadi RUU PT-EBT) menentukan secara

eksplisit tentang pendokumentasian ciptaan tradisional. Di situ terdapat satu bab

khusus yang mengatur hal itu. Pemerintah diwajibkan untuk melakukan pendataan

dan pendokumentasian atas PT-EBT. Tujuan pendokumentasian adalah untuk

memberikan informasi yang benar tentang PT-EBT yang ada di masyarakat dan

sebagai referensi bagi upaya perlindungan ciptaan tradisional. RUU PT-EBT juga

menentukan mengenai subyek yang dapat melakukan pendataan dan

pendokumentasian. Otoritas yang pertama-tama berkewajiban untuk itu ialah

Menteri. Namun ada pula pihak lain yang dapat menyelenggarakan pendataan dan

pendokumentasian ialah Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian, dan pihak lain

yang berkepentingan. Hal itu menunjukkan bahwa RUU PT-EBT menganut

sistem aktif yang mengharuskan pemerintah untuk melakukan pendataan dan

pendokumentasian PT-EBT.

Pendaftaran sendiri berfungsi dalam hal pembuktian, dengan

didaftarkannya hak cipta, apabila terjadi sengketa hak cipta, maka pembuktiannya

akan lebih mudah. Hak cipta yang tidak didaftarkan, pembuktiannya akan lebih

sukar dan memakan waktu lebih lama. Dengan demikian maka pendaftaran bukan

Page 97: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

80

merupakan syarat untuk sahnya diakui suatu hak cipta, tetapi hanya untuk

mempermudah pembuktian dalam hal terjadinya sengketa hak cipta. 88

Apabila

ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya, bahwa dia adalah pemilik dari

ciptaan yang didaftarkan tersebut, maka kekuatan hukum dari pendaftaran tersebut

dapat dihapuskan.

Sistem pendaftaran yang dianut dalam UUHC adalah sistem pendaftaran

deklaratif dimana pendaftar akan dianggap sebagi pencipta kecuali dibuktikan

sebaliknya oleh pihak lain. Hal ini tertuang dalam ketentuan Pasal 5 UUHC yang

menyatakan bahwa kecuali dibuktikan sebaliknya yang dianggap sebagai pencipta

adalah orang yang namanya terdapat dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat

Jenderal dan orang yang namanya disebut dalam ciptaan atau diumumkan sebagai

pencipta pada suatu ciptaan. Pendaftaran juga dapat berfungsi memberi kepastian

hukum dan mempermudah prosedur pengalihan haknya.

Berne Convention dan Perjanjian TRIPS, menganut sistem perlindungan

otomatis dan tidak meminta adanya pendaftaran bagi suatu karya cipta untuk

mendapatkan perlindungan hak cipta. Hak ini tertuang dalam Article 5 (2) “the

enjoyment and the exercise of these rights shall not be subject to any formality;

such enjoyment and such exercise shall be independent of the existence of

protection in the country of origin of the work…” pendaftaran yang dilakukan

88 OK. Saidin, Op.Cit., Hal. 90-91

Page 98: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

81

oleh anggota konvensi ini di negaranya masing-masing dilakukan secara sukarela

tanpa adanya kewajiban untuk mendaftarkan ciptaan mereka.89

Meskipun pendaftaran bukan merupakan suatu keharusan bagi setiap

pencipta, tetapi mengingat peran penting dari pendaftaran suatu ciptaan, maka

pendaftaran suatu ciptaan menjadi penting khususnya bagi ciptaan yang

merupakan karya tradisional seperti misalnya cerita rakyat. Cerita rakyat diartikan

sebagai cerita dari zaman dahulu yang hidup di kalangan rakyat dan diwariskan

secara lisan.90

Pada umumnya cerita rakyat mengisahkan tentang asal muasal

suatu daerah atau suatu kejadian di suatu tempat. Dalam cerita rakyat biasanya

tokoh-tokohnya digambarkan dalam bentuk manusia, binatang maupun para dewa.

Ciri-ciri dari cerita rakyat itu sendiri antara lain:

1. Disampaikan turun-temurun secara lisan

2. Tidak diketahui siapa penciptanya atau bersifat anonim

3. Kaya akan nilai-nilai luhur

Di Indonesia, cerita rakyat tersebar hampir diseluruh wilayahnya.

Masing-masing daerah memiliki cerita rakyat masing-masing yang mengandung

nilai luhur dan diwariskan turun-temurun. Nilai-nilai tersebut ditanamkan sebagai

89 Lesley Ellen Harris, 2010, To Register or Not, http://www.copyrightlaws.com/wp-

content/uploads/2010/03/Registration1.pdf, Diakses Kamis, 23 Januari 2014.

90

Lukman Ali, Op.Cit., Hal.187.

Page 99: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

82

nilai positif dalam kehidupan masyarakatnya. Cerita rakyat yang merupakan hasil

kreatifitas dan daya intelektual penciptanya mendapatkan perlindungan hak cipta

sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Pasal 10 UUHC. Dimana negara

memegang hak cipta atas cerita rakyat dan hasil kebudayaan lain yang menjadi

milik bersama.

Mengingat ciri-ciri cerita rakyat yang biasanya diwariskan secara lisan

dan turun-temurun serta bersifat anonim, menjadi polemik tersendiri bagi

pemerintah untuk memberikan perlindungan secara pasti. Indonesia kerap kali

mengalami masalah penggunaan karya cipta tradisional Indonesia oleh pihak lain

tanpa bertanggung jawab. Pendokumentasian menjadi salah satu solusi mencegah

pemanfaatan cerita rakyat oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Persoalan

yang dihadapi adalah banyak dari cerita rakyat tersebut yang tidak diketahui

penciptanya dan daerah asalnya.

Fungsi dokumentasi yang memudahkan dalam pembuktian apabila

terjadi sengekta hak Cipta, memberikan kepastian hukum dan mempermudah

pengalihan haknya juga menunjang diketahuinya keaslian suatu cerita rakyat.

Orignalitas suatu cerita rakyat sulit diketahui secara pasti karena proses

penyebarannya yang turun termurun secara lisan, tidak diketahui siapa

penciptanya dan sifatnya yang komunal. Dengan dokumentasi, bisa diketahui

cerita rakyat apa saja yang dimiliki suatu daerah dan dapat ditelusuri apakah cerita

tersebut asli berasal dari daerah tersebut, walaupun penciptanya tidak diketahui.

Page 100: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

83

Hal mana seperti yang diatur dalam ketentaun Pasal 10 UUCH, ciptaan yang

penciptanya tidak diketahui dan menjadi milik bersama dipegang oleh negara.

Sekalipun pencipta secara perorangan tidak diketahui dan sulit untuk diketahui,

tetapi harus tetap mendapatkan perlindungan karena merupakan bagian dari hasil

kebudayaan rakyat.

Dokumentasi atas cerita rakyat mencegah dimanfaatkannya cerita

tersebut oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan merugikan negara

sebagai pemegang hak ciptanya. Dimana kerugian yang diderita bisa kerugian

ekonomi dan kerugian moral. Kerugian ekonomi, tidak adanya kompensasi secara

ekonomi kepada pemegang hak cipta, tidak ada permohonan penggunaan cerita

rakyat tersebut oleh pihak lain selain pemegang hak cipta. Sementara kerugian

moral, dimana tidak dicantumkannya pencipta (jika diketahui) ataupun daerah asal

cerita rakyat tersebut berasal. Dengan sistem dokumentasi yang baik, yang

menurut ketentuan Pasal 35 UUHC diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal,

mempermudah Indonesia dalam mengklaim setiap cerita rakyat yang disalah

gunakan oleh pihak lain karena sifat pendaftaran yang juga memberikan kepastian

hukum kecuali dibuktikan sebaliknya.

3.3. Perlindungan Hukum Terhadap Keaslian Cerita Rakyat Tradisional

Folklor memiliki ciri-ciri khusus yang melekat di dalamnya yaitu:

diajarkan dan dilaksanakan dari generasi ke generasi, merupakan pengetahuan

yang meliputi pengetahuan tentang lingkungan dan hubungannya dengan segala

Page 101: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

84

sesuatu, tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang membangunnya dan

merupakan jalan hidup yang dipergunakan bersama-sama oleh komunitas yang

didalmnya terdapat nilai-nilai masyarakat.91

Dari ciri-ciri tersebut terdapat

kharakteristik folklor yang tidak dimiliki karya intelektual lain yaitu diturunkan

dari generasi ke generasi, bersifat holistik, dan merupakan jalan hidup.

Keaslian merupakan syarat umum ciptaan untuk mendapatkan

perlindungan hak cipta, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1 ayat (2) UUHC.

Demikian pula halnya dengan folklor. Sebagai suatu karya cipta, Folklor pun,

dalam hal ini cerita rakyat membutuhkan orisinalitas sebagai kualifikasi untuk

dapat dilindungi hak ciptanya. Keaslian menjadi syarat penting dalam

mendapatkan perlindungan hak cipta. Sebab tanpa adanya unsur keaslian, suatu

ciptaan tidak mendaptkan perlindungan hak cipta.

Sifat folklor yang diwariskan turun-temurun, dari generasi ke generasi

menyebabkan terjadinya pengulangan, tidak ada perubahan terhadap ciptaan

tersebut dari satu generasi ke generasi betikutnya. Generasi berikutnya hanya

meneruskan apa yg diwariskan. Seperti misalya cerita Cupak Gerantang asal Bali

yang diceritakan berulang-ulang dari generasi ke generasi. Cerita tersebut

dianggap asli pada saat diciptakan pertama kalinya. Untuk selanjutnya, setelah

diteruskan tidak lagi memenuhi unsur keaslian, sementara penciptanya pun tidak

91 Arif Lutviansori, 2010, Hak Cipta Dan Perlindungan Folklor Di Indonesia, Edisi

Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta, Hal.101.

Page 102: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

85

diketahui. Namun dari sisi lain, keaslian dari suatu folklor juga dapat dilihat dari

wujudnya yang berbeda dari karya cipta lainnya. Misalnya, cerita Jaka Tarub dan

Keong Mas. Sekalipun sama-sama merupakan cerita rakyat, tetapi mengisahkan

hal yang berbeda dan berasal dari daerah yang berbeda pula. Cerita jaka Tarub

merupakan cerita rakyat asal Jawa Tengah, sementara Keong Mas berasal dari

Jawa Timur. Secara otomatis pula mengandung nilai-nilai yang berbeda bagi

masyarakat tempat cerita itu dibangun dan tumbuh. Dari sudut keaslian wujud

ciptaan, maka cerita rakyat bisa mendapat pelindungan hak cipta.

John Lock, sebagaimana pendapatnya sudah dikutip sebagai salah satu

teori di landasan teori pada sub-bab 1.7, mengemukakan bahwa hak atas suatu

karya lahir karena adanya usaha dan pengorbanan waktu dan tenaga dari

penciptanya sehingga di dalamnya terdapat konstribusi dan investasi kreativitas

dari penciptanya.92

Hal inilah yang terjadi pada cerita rakyat. Cerita rakyat

merupakan hasil kreativitas penciptanya dengan tujuan menanamkan nilai-nilai

positif pada kehidupan mereka dan ditanamkan dari generasi ke generasi. Apa

yang diciptakan dan merupakan hasil kreativitas pencipta tidak boleh di salah

gunakan dan kepada pencipta dan harus diberikan perlindungan hukum demi

menjaga kelestarian dan keaslian cerita tersebut. Dalam penciptaan Cerita Rakyat

terdapat upaya kreativitas yang sangat luar biasa sebagai investasi dan konstribusi

yang dilakukan oleh penciptanya. Upaya kreativitas untuk menciptakan cerita

92

Kinney &Lange PA dalam Ni Ketut Supasti Dharmawan, Loc Cit

Page 103: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

86

rakyat itu membutuhkan pengorbanan tenaga fisik dan mental, waktu dan biaya

(atau dapat disebut sebagai pengorbanan material dan inmaterial) yang tidak

sedikit sehingga terciptalah cerita rakyat tersebut. Di situ saja sudah terdapat

investasi dan konstribuasi yang tidak ternilai yang dilakukan oleh penciptanya.

Selain itu, diperlukan pula upaya kreativitas dan bahkan inovasi dalam

penyampaian dan pewarisan cerita rakyat tersebut kepada generasi berikutnya.

Penyampaian secara verbal kepada anak-cucu memiliki keterbatasan ruang

lingkup sasaran, sehingga memerlukan upaya yang lebih daripada itu untuk dapat

mewariskan misi filosofis, teleologis dan estetis yang terkandung di dalam cerita

rakyat tersebut kepada generasi-generasi selanjutnya. Upaya-upaya tersebut

misalnya melalui pengalihwujudkan ke dalam bentuk pementasan.

Pada saat mencipta, seperti teori yang dikemukakan oleh Robert M.

Sherwood, dalam Reward Theory bahwa perlu adanya pengakuan terhadap karya

intelektual yang telah dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada

penemu/pencipta atau pendesain harus diberikan penghargaan sebagai imbalan

atas upaya-upaya kreatifnya dalam menemukan/menciptakan karya-karya

intelektual. Hal ini mengingat dalam menghasilkan suatu karya diperlukan adanya

pengorbanan yang besar baik itu pengorbanan pikiran, tenaga serta materi. Untuk

menciptakan suatu karya, pencipta harus menuangkan seluruh kreativitasnya serta

memastikan ciptaannya tersebut berbeda dengan ciptaan orang lain. Pencipta

harus meletakkan unsur keaslian dalam ciptaannya dan semua itu bukan hal yang

Page 104: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

87

mudah dilakukan, sehingga sebuah pengakuan menjadi salah satu wujud

perlindungan bagi pencipta.

Pencipta yang dalam menghasilkan suatu ciptaan, yang telah

mengorbankan dan menginvestasikan tidak hanya pikiran tetapi juga materi

berhak atas insentif dari setiap karyanya (Incentive Theory) mengingat dalam

melahirkan suatu karya juga terdapat resiko dimana karyanya bisa saja dicuri oleh

pihak lain.93

Insentif diberikan kepada pencipta karena pencipta telah berjasa

dalam menciptakan karya cipta asli. Ini sebagai dasar bahwa perlindungan

keaslian cerita rakyat harus mendapat perlindungan hak cipta.

Cerita rakyat yang dalam hak cipta dalam bidang sastra telah menjadi

warisan budaya yang di dalamnya terdapat hak ekonomi dan moral. Berdasarkan

uraian Reward Theory dan Insentive Theory keberadaan cerita rakyat baru

mendapatkan perlindungan. Perlindungan ini berkaitan dengan keasliannya karena

dalam setiap ciptaan terdapat kharakteristik dari penciptanya yang tidak boleh

ditiru oleh orang lain tanpa izin. Kharakteristik ini menjadi salah satu pembeda

antara ciptaan yang satu dengan yang lain. Cerita rakyat bisa memiliki satu tema

dasar yang sama, misalnya tema tentang cinta, tetapi setelah dituangkan dalam

sebuah cerita, tema tersebut akan lahir menjadi cerita yang berbeda satu dengan

yang lainnya dan di dalamnya terdaapat kharakteristik penciptanya. Cerita cinta

93

Robert M. Sherwood., Loc.Cit.

Page 105: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

88

Sangkuriang dan Jayaprana sama-sama memiliki tema utama tentang kisah cinta,

tetapi setelah menjadi cerita, memiliki kharakter yang berbeda. Misalnya dari

penggunaan bahasa, Sangkuriang yang berasal dari daerah Jawa barat

menggunakan bahasa Sunda sementara cerita Jayaprana menggunakan bahasa

Bali. Daerah asal dipergunakan sebagai sarana memberi kharakteristik adalah

karena kebanyakan dari cerita rakyat bersifat lisan dan tidak diketahui siapa

penciptanya. Daerah asal adalah yang menjadi pembeda paling jelas antara satu

cerita rakyat dengan cerita rakyat lainya.

Terhadap usaha mencipta, diberikan insentif kepada pencipta. Berkaitan

dengan cerita rakyat dan keasliannya, yang sewajarnya mendapatkan insentif atas

karya tersebut adalah daerah asal atau masyarakat dimana cerita tersebut hidup.

Mereka adalah yang memelihara dan meneruskan cerita tersebut sehingga sudah

selayaknya mendapatkan manfaat juga dari penggunaan cerita tersebut oleh orang

lain. Insentif yang diberikan dapat bermanfaat dalam mengembangkan daerah

tersebut juga mendorong masyarakat untuk lebih menghargai serta menjaga

keaslian karya-karya tradisioanl khususnya cerita rakyat.

Perlindungan juga dilakukan dengan menerapkan pembatasan-

pembatasan dalam pemanfaatan hak cipta seperti menerapkan prinsip fair use.

Pembatasan dalam penetuan keaslian suatu karya cipta diperlukan karena 2 hal

“first, it reduce to minimum the element of subjective judgment (and attendant

uncertainties) in deciding what qualifies for protection. Secondly, it allows

Page 106: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

89

protection for any investment of labour and capital that in some way produces a

literary result”.94

Pembatasan terhadap level keaslian bertujuan menimimalisir

penilaian subjektif dalam menentukan kualifikasi keaslian dalam memberikan

perlindungan terhadap suatu ciptaan. Pembatasan juga memungkinkan

perlindungan pada setiap investasi dari tenaga kerja dan modal yang telah

dikeluarkan dalam menghasilkan suatu ciptaan. Investasi berupa tenaga kerja dan

modal ini yang nantinya memberikan ciri dalam suatu ciptaan. Ciri dari

Penciptanya yang membedakannya dengan ciptaan lain.

Fair use sendiri dapat dikatakan merupakan wujud dari fungsi sosial atas

suatu hak cipta. Fair use mewajibkan pencipta untuk mengikhlaskan atau

mengijinkan ciptaannya dipergunakan oleh masyarakat untuk berbagai

kepentinganya. Syarat dalam fair use adalah harus tetap diakuinya ciptaan

tersebut adalah ciptaan asli milik pencipta aslinya. Pengakuan itu diwujudkan

dengan tetap mencantumkan pencipta asli atau menyebutkan sumber asal ciptaan

yang dipergunakan.95

Penggunaan sistem fair use sebagai wujud dari perlindungan hukum

adalah seperti yang tertuang dalam ketentuan Pasal 15 UUHC yang menyatakan

bahwa “dengan syarat sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak

dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta…” dengan mencantumkan nama

94

William Cornish dan David Llewelyn, Op.Cit, hal.391. 95

Henry Soelistya, Op.Cit.,hal.96-97.

Page 107: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

90

pencipta asli, sekalipun ciptaan tersebut dipergunakan oleh banyak pihak, ciptaan

tersebut akan tetap terjaga keasliannya dan tetap dapat memberi manfaat bagi

pihak lain. Berkaitan dengan penggunaan cerita rakyat yang dipergunakan secara

turun-temurun sehingga sulit unutk menentukan keasliannya bahkan Penciptanya

tidak diketahui, fair use dapat dipergunakan untuk memberikan perlindungan

bagi keasliannya. Dengan adanya fair use, cerita rakyat tetap dapat dipergunakan

oleh banyak pihak demi berbagai kepentingan yang tidak bertentangan dengan

ketetuan Pasal 15 UUHC seperti misalnya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, pertunjukkan atau pementasan yang tidak

dipungut bayaran tanpa menciderai hak moral dari pencipta atau pemegang hak

cipta atas ciptaan aslinya. Untuk cerita rakyat yang tidak diketahui penciptanya,

perlindungan dengan menerapkan system fair use dapat dilakukan dengan

mencantumkan daerah asal dari cerita rakyat tersebut. Hal ini karena sifat dari

cerita rakyat yang merupakan bagian dari ekspresi budaya tradisional yaitu tidak

diketahui siapa penciptanya dan tumbuh serta berkembang dalam masyarakat

secara turun-temurun. Mencantumkan daerah asal ciptaan tersebut telah

memberikan apa yang menjadi hak moral bagi pencipta atau pemegang hak cipta

yaitu daerah dimana cerita rakyat tersebut tumbuh dan menjadi nilai-nilai bagi

masyarakatnya.

Undang-undang memang tidak mewajibkan pencipta untuk

mencantumkan identitas dirinya dalam ciptaannya. Undang-undang hanya

Page 108: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

91

mewajibkan untuk menghormati hak moral dari pencipta dengan tetap

mencantumkan nama dari pencipta aslinya. Pencipta juga tetap memiliki haknya

untuk meniadakan namanya dan tidak menampilkan identitas aslinya dalam

ciptaannya96

sehingga sekalipun pencipta tidak mencantumkan identitas

sebenarnya dari pencipta, identitasnya tetap harus dicantumkan demi melindungi

hak moral dari pencipta meskipun identitas tersebut hanya nama daerah dari cerita

rakyat dimana cerita itu hidup. Mencantumkan identitasnya berarti memberikan

perlindungan hak moral pada masyarakat dimana cerita itu lahir dan berkembang.

Pasal 10 UUHC belum memberikan perlindungan yang memadai bagi

cerita rakyat sebagai bagian dari folklor. Sebab, sesuai dengan Penjelasannya,

ketentuan Pasal 10 merupakan tujuan melindungi folklor dan hasil kebudayaan

rakyat lain. Perlindungan itu dimaksudkan untuk mencegah adanya monopoli atau

komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa

seizin nega sebagai Pemegang Hak Cipta. Selain itu juga dimaksudkan untuk

menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.

Keberadaan Pasal 10 seperti tersebut tidak bisa dilepaskan dari sejarah

lahirnya HKI yang merupakan konsep barat yang bersifat individu, sementara

masyarakat Indonesia masih memandang folklor sebagai hal komunal yang

merupakan milik bersama tidak untuk tujuan komersil. Selain itu syarat suatu

ciptaan harus bersifat asli dan berwujud juga menjadi kesulitan bagi cerita rakyat

96

Ibid.,hal.86-87.

Page 109: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

92

untuk mendapatkan pelindungan hak cipta. Karena cerita rakyat diwariskan turun-

temurun secara lisan (tidak berwujud) dan yang memegang sifat asli adalah

pengarang yang pertama (tidak diketahui). Selain itu sifat beberapa karya

tradisional juga diilhami adat yang telah ada dan melibatkan pola meniru secara

berulang-ulang, sehingga kriteria keaslian menjadi sulit terpenuhi.

UUHC Pasal 55 yang menyatakan “penyerahan Hak Cipta atas seluruh

Ciptaan kepada pihak lain tidak mengurangi hak Pencipta atau ahli warisnya

untuk menggugat yang tanpa persetujuannya: meniadakan nama Pencipta yang

tercantum pada Ciptaan itu, mencantumkan nama Pencipta pada Ciptaan,

mengenai atau mengubah judul Ciptaan atau mengubah isi Ciptaan”. Ketentuan

tersebut merupakan perlindungan dari pelanggaran atas hak moral dari Pencipta.

Hak moral untuk tetap diakui sebagai pencipta asli atas suatu ciptaan dan

diakuinya ciptaannya sebagai ciptaan asli. Dengan adanya ketentuan ini sekalipun

suatu cerita rakyat telah diketahui secara luas, diceritakan dari generasi ke

generasi, jika tetap di sertai dengan menyebutkan Penciptanya dalam hal ini dapat

dilakukan dengan mencantumkan daerah asal cerita rakyat tersebut, keasliannya

akan mendapat perlindungan karena tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 55

UUHC. Ketentuan Pasal 55 juga mencegah dilakukannya perubahan atas judul

dan isi dari suatu ciptaan. Dengan demikian ciptaan tersebut akan tetap dikenal

sebagai ciptaan asli. Misalnya cerita Cupak Gerantang, kemanapun cerita ini

dibawa, diceritakan kepada siapapun, isinya diterjemahkan dalam apapun,

Page 110: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

93

judulnya akan tetap Cupak Gerantang. Cupak Gerantang tetap akan dikenal sebagi

cerita rakyat yang memiliki keaslian sebagai cerita rakyat yang berasal dari Bali.

Contoh lain misalnya cerita Asal Usul Danau Toba dan Pulau Samosir. Walaupun

judul dari cerita ini diterjemahkan dalam bahasa inggris menjadi The Origin of

Lake Toba and Samosir Island, apabila tetap mempertahankan judulnya, akan

tetap berarti Asal Usul Danau Toba dan Pulau Samosir dalam bahasa Indonesia

dan tetap akan dikenal sebagai cerita rakyat yang asli dan berasal dari Sumatra

Barat.

Ketentuan lain yang merupakan bentuk perlindungan keaslian cerita

rakyat adalah Pasal 56. Bentuk perlindungan ini adalah dengan mengajukan

gugatan perdata ke Pengadilan Niaga. Menuntut ganti rugi dan menuntut

penyerahan baik sebagian maupun seluruhnya penghasilan yang dihasilkan dari

pelanggaran terhadap keaslian ciptaan yang berkaitan dengan pelanggaran hak

moral dari pencipta.

Perlindungan yang tertuang dalam Pasal 55 dan Pasal 56 UUHC menjadi

kurang maksimal tanpa dibarengi dengan adanya ketentuan lebih lanjut yang

berkaitan dengan PT dan EBT (Pasal 10 UUHC) karena ketentuan Pasal 55 dan

Pasal 56 lebih memberikan perlindungan kepada ciptaan modern tidak kepada

ciptaan yang merupakan karya tradisional seperti cerita rakyat. Dimana ciptaan

modern jelas penciptanya, jelas tertuang dalam wujud yang pasti sehingga

keasliannya juga lebih terjamin. Berbeda halnya dengan PT dan EBT khususnya

Page 111: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

94

cerita rakyat yang biasanya bersifat lisan dan tidak diketahui siapa penciptanya,

sehingga bukan hal yang mudah untuk menentukan keasliannya.

Meskipun demikian, perlindungan terhadap keaslian cerita rakyat mutlak

tetap diperlukan dan daerah asal cerita tersebut dapat dipergunakan sebagai acuan

perlindungannya. Setiap cerita rakyat sekalipun terdapat pola pengulangan pada

tema dari cerita tersebut, tetapi isi dari ceritanya akan berbeda-beda dan nilai yang

terkandung di dalamnya pun berbeda-beda. Sesuai dengan ketentuan Pasal 10

UUHC Nomor 19 Tahun 2002 perlindungan terhadap karya peninggalan

prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya serta atas folklor dan hasil

kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama dilakukan dengan:

1. Negara bertindak sebagai pemegang Hak Cipta atas karya peninggalan

prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya serta Hak Cipta atas

folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama. Hal itu

dimaksudkan untuk untuk mencegah adanya monopoli atau komersialisasi

serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin negara

sebagai Pemegang Hak Cipta dan untuk menghindari tindakan pihak asing

yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.

2. Menentukan secara limitatif ruang lingkup atau jenis folklor dan hasil

kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, yakni antara lain: cerita,

hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian,

Page 112: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

95

kaligrafi, dan karya seni lainnya. Artinya bahwa jenis folklor dan hasil

kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama yang tidak ditentukan di

dalam Pasal 10 hak ciptanya tidak berada pada negara sehingga tidak

mendapatkan perlindungan oleh negara. Namun harus diakui bahwa

penyebutan jenis-jenis itu belum tuntas, terbukti dari adanya frasa “karya seni

lainnya”.

3. Perlindungan melalui instrument administrasi negara yakni izin. Orang yang

bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari

instansi yang terkait untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan atas

karya tradisional dan foklor.

4. Perlindungan melalui regulasi delegasian yakni dengan pengaturan lebih lanjut

dalam Peraturan Pemerintah.

Page 113: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

96

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM TERKAIT KEPEMILIKAN CERITA

RAKYAT YANG TELAH DIALIHWUJUDKAN DALAM BENTUK

PERTUNJUKKAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK BAIK NASIONAL

MAUPUN INTERNASIONAL

Di abad ke-20 ini infrastruktur komunikasi, jaringan computer, satelit

televisi mengalami perkembangan yang semakin pesat. Penduduk di negara-

negara maju dan berkembang semakin leluasa mendapatkan informasi.

Perkembangan ini juga berdampak pada perkembangan budaya masyarakatnya.

Sebelumnya perusahaan penerbitan, penyiaran, rekaman dan film hanya bekerja

dengan alat seadanya, tetapi sekarang mereka mendapatkan akses fasilitas

teknologi yang jauh lebih canggih. Hal ini juga seiring dengan tingkat intelektual

dan kreativitas manusia. Jika sebelumnya hanya bisa menciptakan sebuah cerita

yang bahkan tidak tertuang dalam sebuah naskah, maka sekarang cerita tersebut

tidak hanya sebatas cerita saja. Cerita tersebut telah dialihwujudkan ke dalam

bentuk-bentuk lain yang lebih menarik. UUHC mengakui adanya karya yang

dialihwujudkan.

Untuk menjadi karya derivative, suatu karya harus tetap memiliki

unsur keaslian. Derivative dalam hak cipta berarti relating to, or constituting a

work that is taken from, translate from adapted from, or in some way further

Page 114: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

97

developed from a previous work.97

Penjelasan Pasal 12 UUHC menjelaskan yang

dimaksud dengan pengalihwujudan adalah pengubahan bentuk, misalnya dari

bentuk patung menjadi bentuk lukisan, cerita roman menjadi drama, drama

menjadi sandiwara radio, dan novel menjadi film. Salah satu bentuk

pengalihwujudan yang sangat terkenal adalah pengalihwujudan novel karya J. K

Rowling yang berjudul Harry Potter kedalam bentuk film.

Pengalihwujudan ini tidak terbatas pada novel menjadi film, mengingat

begitu banyak pertunjukkan seni yang ada. Pengalihwujudan ini bisa jadi berupa

cerita rakyat menjadi sendratari atau teater lengkap dengan efek suara dan

penataan lampunya. Dapat pula berupa pengalihwujudan dari cerita rakyat

menjadi film televisi, dapat pula pengalihwujudan dari cerita rakyat menjadi

sandiwara radio maupun dari film hitam putih menjadi film berwana.

Perkembangan media elektronik juga menjadi pemicu kreatifitas dalam

menciptakan karya-karya baru maupun karya derivative dari karya asli yang telah

ada sebelumnya. Media elektronik sendiri berarti sarana media massa yang

mempergunakan alat-alat elektronik modern seperti radio, televisi dan film. Media

film berarti sarana media massa yang disiarkan dengan menggunakan peralatan

film (film, proyektor, layar). 98

Karena itu, kajian terhadap permasalahan

perlindungan hukum kepemilikan cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam bentuk

97

Bryan A. Gerner, Op.,Cit.,Hal.475.

98

Lukman Ali, Op.Cit., Hal. 640.

Page 115: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

98

pertunjukan seni melalui media elektronik dalam ranah nasional maupun

internasional dipilah menjadi kajian atas perlindungan hukum kepemilikan cerita

rakyat yang dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukan seni melalui media

elektronik di dalam negeri dan perlindungan hukum kepemilikan cerita rakyat

yang dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukan seni melalui media elektronik di

luar negeri.

4.1. Perlindungan Hukum Kepemilikan Cerita Rakyat yang Dialihwujudkan

dalam Bentuk Pertunjukkan Melalui Media Elektronik di dalam Negeri

(Nasional)

Pada mulanya masyarakat Indonesia tidak begitu mempermasalahkan

mengenai aspek hukum pengalihwujudan suatu karya dalam bentuk lain oleh

pihak lain yang mengambil keuntungan dari ciptaan tersebut. Kesediaan berbagi

atas suatu ciptaan yang telah lama ada dapat dilihat dari sikap masyarakat Bali

yang dengan rela membagi ilmunya dalam memahat patung, masyarakat Jawa

yang berbagi resep masakan tradisional mereka dan cara membatik, berbagi cerita

rakyat yang diwariskan turun-temurun tanpa memikirkan aspek ekonomi yang

mereka bisa dapatkan dari berbagi karya cipta asli kepada pihak lain.99

Pemanafaatan yang demikian tidak selamanya merugikan sepanjang

dimanfaatkan demi kepentingan seperti yang tertuang dalam ketentuan Pasal 15

99

Besar, 2012, Pengalihwujudan Dalam Kerangka Konsep Hukum Hak Cipta,

Humaniora: Vol.3 No.1., Jakarta, http://eprint.binus.ac.id/25653/1/02_HK_Besar.pdf, Diakses 15

Desember 2013, Hal.19.

Page 116: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

99

UUHC. Penggunaan ciptaan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, pertunjukan atau pementasan yang tidak

dipungut biaya, penggadaan ciptaan untuk tujuan huruf Braille dan lain-lain

diperkenankan untuk dilakukan. Tetapi belakangan ini semakin marak

pemanfaatan karya asli yang merugikan bangsa Indonesia sehingga karya

derivative pun harus dilindungi kepemilikannya.

Penjelasan umum UUHC menjabarkan alasan lahirnya UUHC yang

berlaku saat ini yaitu mengingat Indonesia adalah negara yang memiliki

keanenakragaman etnik/suku bangsa dan budaya serta kekayaan dibidang seni dan

sastra dengan pengembangan-pengembangannya yang perlu mendapatkan

perlindungan. Terlebih lagi kenyataan bahwa kekayaan seni dan budaya tersebut

dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi

penciptanya tetapi juga bagi bangsa dan negara.100

Perkembangan ilmu

pengetahuan juga mendorong kreativitas masyarakat untuk mengembangkan

karya-karya yang ada ke dalam bentuk-bentuk lain daripada bentuk aslinya.

Landasan teori sudah mengemukakan teori dari John Locke yang

mengatakan bahwa hak atas property lahir dan ada karena adanya usaha dan

pengorbanan waktu dan tenaga yang telah diberikan dan diinvestasikan untuk

menghasilkan property tersebut. Oleh karena itu lahirlah hak yang melekat pada

100 Sophar Maru Hutagalung, 2012, Hak Cipta Kedudukan Dan Peranannya Dalam

Pembangunan, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 251-252.

Page 117: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

100

karya intelektual sebagai hasil investasi kreatif seseorang (Creative people have

an inherent right to their intellectual property because of the labour they have

invested in it).101

Berdasarkan pada teori tersebut maka dalam tujuan memberikan

penghargaan terhadap kerja keras dan usaha yang dilakukan untuk menghasilkan

suatu ciptaan, perlindungan atas ciptaan semakin perlu diberikan, terlebih

perlindungan terhadap karya-karya derivative yang perkembangannya begitu

pesat seiring dengan perkebangan teknologi. Suatu karya asli dapat dengan mudah

diubah, dijiplak, diumumkan sebagai milik orang lain dengan tidak mencantum

nama pencipta aslinya. Karena itulah, perlindungan terhadap ciptaan harus

dilakukan sebagai apresiasi kepada penciptanya.

Perlindungan cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam bentuk

pertunjukkan melalui media elektronik merupakan salah satu karya cipta yang

perlu mendapatkan perlindungan karena untuk menghasilkannya diperlukan

pengorbanan waktu dan tenaga sekalipun derivative work biasanya berasal dari

cipataan yang telah ada sebelumnya yang merupakan ciptaan asli, tetapi dalam

menghasilkan derivative work tetap harus menambahkan unsur-unsur yang

menjadikannya sebagai karya cipta yang tidak menjiplak dan untuk itu diperlukan

pengorbanan serta tingkat pengetahuan.

101

Kinney &Lange PA dalam Ni Ketut Supasti Dharmawan, Loc Cit.

Page 118: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

101

Perlindungan dapat dilakukan dengan memberikan standar pembeda

antara ciptaan asli dengan derivative work. Suatu karya derivative harus memiliki

materi pembeda dan baru untuk mendapatkan perlindungan hak cipta. Yang

mendapatkan perlindungan adalah material baru yang ditambahkan kedalam

ciptaan asli yang telah ada sebelumnya. Contoh spesifik yang tergolong sebagai

karya derivatif yaitu:

1. Dokumentasi stasiun televisi yang didasari pada catatan kaki yang diambil

dari sebuah arsip atau gambar fotografi terdokumentasi.

2. Gambar bergerak yang didasari pada cerita.

3. Karya seni pahat yang didasari pada gambar.

4. Novel dalam bahasa Inggris terjemahan yang didasari pada novel berbahasa

lain.

5. Gambar yang didasari pada karya fotografi.

6. Peta yang dibukukan berdasarkan peta yang tergolong public domain yang di

Dalamnya ditambahkan beberapa peta baru.

7. Sound recording (CD yang beberapa isinya mungkin pernah dipublikasikan).

8. Biografi seseorang yang didasari pada jurnal dan surat-surat orang yang

bersangkutan.

9. Drama, berkenaan dengan seseorang yang didasari pada jurnal dan surat-surat

orang yang bersangkutan.

10. CD yang isinya sudah pernah di-release dan di-remix kemudian di-release.

11. Karya litografi yang didasari pada lukisan/gambar.102

Dengan adanya unsur pembeda, akan lebih mudah ditentukan apakah suatu karya

tersebut mendapat perlindungan sebagai derivative work atau menjiplak. Dalam

pengalihwujudan cerita rakyat menjadi bentuk pertunjukkan, cerita rakyat akan

menjadi derivative work pada saat didalamnya ditambahkan materi pembeda

seperti menampilkannya dalam bentuk pertunjukkan film televisi. Setelah menjadi

102

Aryani Nauli Hasibuan, 2011, Perlindungan Hak Cipta Atas Karya Derivatif

Dalam Prakteknya:Studi Kasus Buku Ensiklopedia Al Quran: Al-Maushuah Al-Quraniyah Al-

Muyassarah, (tesis) Program Pascasarjana Hukum Ekonomi, Jakarta, Hal.47.

Page 119: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

102

film televisi, cerita rakyat yang tadinya hanya tertuang dalam bentuk tulisan

bahkan tidak sedikit yang masih berupa cerita lisan, mendapatkan unsur-unsur

baru antara lain diwujudkannya tokoh-tokoh dalam cerita itu oleh para aktor,

terdapat penambahan efek suara dalam adegan-adegannya, terdapat tambahan

lagu yang bisa lebih menghidupkan isi cerita tersebut, film yang ditayangkan

berwarna sehingga menarik untuk di tonton dimana semua penambahan tersebut

dihasilkan dari kemampuan intelektual, pengorbanan dan investasi yang besar.

Pembedaan yang diberikan pada film televisi yang berasal dari cerita

rakyat menjadikan film televisi sebagai derivative work yang mendapat

perlindungan. Tidak hanya dalam bentuk film televisi, cerita rakyat yang juga

dapat dialihwujudkan dalam bentuk sendratari yang didalamnya terdapat unsur

pembeda dari ciptaan asli antara lain penambahan efek cahaya, penambahan efek

suara, penggunaan kostum yang lebih menghidupkan tokoh-tokohnya,

penambahan pada dialog diantara para tokohnya yang semuanya itu tidak ada

pada cerita rakyat yang hanya tertuang dalam tulisan.

Pembeda antara karya asli dengan derivative work dapat dilihat dari

seberapa besar materi substansial yang ada pada karya asli dipergunakan dalam

derivative work. Karya asli dikatakan memiliki nilai keaslian apabila tidak meniru

bagian yang substansial dari karya yang sudah ada sebelumnya. Pengecualin

diberikan kepada peniruan terhadap karya yang telah menjadi public domain.

Pada derivative work perlindungan akan diberikan kepada karya yang walaupun

Page 120: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

103

berasal dari tema yang sudah umum atau berasal dari ciptaan yang sudah ada

sebelumnya, sepanjang didalamnya ditambahkan unsur-unsur pembeda dan baru

maka karya derivative tersebut juga dianggap asli. Yang dilindungi disini adalah

kemampuan pencipta berkreasi, kemampuan intelektual, serta investasinya dalam

menghasilkan karya baru.

Upaya perlindungan tersebut selain perlindungan terhadap derivative

work yang dihasilkan perlu juga perlindungan terhadap karya asli yang merupakan

ide dari lahirnya derivative work tersebut. Perlindungan terhadap karya aslinya

dapat dilakukan dengan tetap mencantumkan nama dari Pencipta aslinya. Untuk

cerita rakyat yang umumnya tidak diketahui siapa Penciptanya, dapat

dicantumkan daerah asal dari cerita tersebut. Hal ini adalah penghargaan dan

pengakuan bagi daerah dan masyarakat setempat tempat cerita itu hidup.

Teori lain yang merupakan dasar perlindungan terhadap karya yang

dialihwujudkan adalah Recovery theory yang menyatakan bahwa pencipta berhak

mendapatkan kembali semua pengorbanannya dalam menghasilkan suatu ciptaan

dan Risk theory yang menyatakan bahwa HKI merupakan suatu hasil kreativitas

yang mengandung resiko.103

Recovery theory menekankan bahwa atas suatu hasil

karya cipta, sudah selayaknya pencipta mendapatkan manfaat kembali dari

ciptaannya, karena dalam menciptakan suatu karya derivative yang berasal dari

103

Robert M. Sherwood dikutip oleh Ratni Fauzi Mayana, Loc.Cit.

Page 121: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

104

cerita rakyat bukan hal yang mudah. Banyak pengorbanan dan investasi baik

berupa tenaga maupun materi yang dikorbankan. Hal ini yang menyebakan

kepada pencipta harus diberikan pengembalian baik berupa materi maupun

pengakuan dari hasil pemanfaatan karyanya oleh pihak lain atau jika ciptaannya

disebarluaskan sendiri oleh pencipta dengan tujuan komersial.

Menghasilkan karya derivative merupakan hal yang beresiko, dimana

setiap saat dalam proses menciptakannya, pihak lain dapat saja mendahului

menemukan cara baru untuk memperbaiki atau mengubah suatu ciptaan asli

sehingga menjadi karya derivative seperti yang akan dibuat pencipta. Sehingga

perlindungan terhadap karya derivative dan pencipta karya derivative menjadi

sangat diperlukan.

Perlindungan atas cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam bentuk

pertunjukkan melalui media elektronik diatur dalam UUHC. Perlindungan atas

cerita rakyat yang merupakan bagian dari folklor dalam ketentuan Pasal 10.

Dimana dijelaskan bahwa yang memegang hak cipta atas cerita rakyat yang

kebanyakan bersifat anonim atau tidak diketahui penciptanya adalah negara.

Sementara peraturan lebih lanjut mengenai ketentuan ini akan diatur dalam

Peratuan Pemerintah yang hingga saat ini berlum ada. Lebih lanjut dijelaskan

dalam penjelasan Pasal 10 adalah bahwa Negara memegang Hak Cipta atas

folklor dengan tujuan mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta

Page 122: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

105

tindakan merusak atau pemanfaaatan komersial tanpa izin negara Republik

Indonesia, terutama menghindari pemanfaatan yang merugikan oleh pihak asing.

Pasal 12 ayat (1) UUHC menyebutkan ciptaan yang mendapatkan

perlindungan Hak Cipta, termasuk didalamnya adalah terjemahan, tafsiran,

sarudan, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. Pasal

12 ayat (2) bahwa ciptaan yang sebagai mana disebutkan dalam huruf (l)

dilindungi sebagai ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas

ciptaan asli. Penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf l menyebutkan yang dimaksudkan

dengan pengalihwujudan adalah pengubahan bentuk, misalnya dari bentuk patung

menjadi lukisan, cerita roman menjadi drama, drama menjadi sandiwara radio,

dan novel menjadi film.

Melalui penjelasan Pasal 10 diketahui jika cerita rakyat tersebut

merupakan satu kesatuan asli, sekalipun tidak diketahui penciptanya, akan tetap

mendapat perlindungan hak cipta dimana hak ciptanya akan dipegang oleh negara.

Setiap pihak yang akan memanfaatkannya harus mendapat izin terlebih dahulu

dari kepada negara selaku pemegang hak cipta. Mengingat dalam setiap ciptaan

melekat hak ekonomi dan hak moral yang harus dipenuhi. Penyalahgunaan hak-

hak tersebut akan merugikan bangsa dan negara Indonesia. Namun di lain sisi,

cerita rakyat yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat, akan

menjadi kurang adil apabila hasil dari pemanfaatannya tidak sampai kepada

tempat dimana cerita rakayat tersebut tumbuh dan berkembang karena masyarakat

Page 123: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

106

tempat cerita rakyat tersebut tumbuh dan berkembang lebih berhak atas

kebudayaannya daerahnya dan memanfaatkan hasil kebudayaannya untuk

memajukan kreatifitas masyarakat setempat.

Karya-karya yang dialihwujudkan juga mendapat perlindungan bahkan

dianggap sebagai karya tersendiri tanpa mengurangi hak cipta atas ciptaan aslinya.

Sehingga karya-karya seperti novel yang dialihwujudkan menjadi film telah

mendapatkan perlindungan hak cipta. Yang mendapat perlindungan adalah

materi-materi baru yang terkadung dalam film tersebut, karena novel sendiri telah

mendapat perlindungan tersendiri sebagai karya asli. Hak cipta atas novel

dipegang oleh pengarang sedangkan hak cipta atas film dipegang oleh produser

film tersebut.

Demikian pula dengan hak cipta atas cerita rakyat yang di pegang oleh

negara. Apabila cerita rakyat dialihwujudkan kedalam bentuk pertunjunkan lain

seperti drama, sendratari maupun film, pihak yang akan mengalih wujudkan harus

mendapatkan izin terlebih dahulu dari negara selaku pemegang hak cipta. Hanya

saja mekanisme pengajuan izin tersebut masih awam bagi masyarakat Indonesia.

Apakah pengajuan izin pengalihwujudan cerita rakyat dapat diajukan melalui

Dewan Hak Cipta, karena Direktorat Jederal Hak Cipta hanya bertugas

menyelenggarakan pendaftaran hak cipta seperti ketentuan Pasal 35 UUHC.

Setelah cerita rakyat tersebut dialihwujudkan, maka yang memegang hak cipta

atas pengalihwujudannya pihak-pihak yang melakukan pengalihwujudan, pihak-

Page 124: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

107

pihak yang dengan daya intelektualitas yang tinggi telah menambahkan materi-

materi baru sehingga hasil pengalihwujudannya tersebut dapat di kategorikan asli.

RUU PT dan EBT yang akan segera di sahkan, terdapat ketentuan yang

lebih jelas berkaitan dengan perlindungan cerita rakyat yang merupakan bagian

dari EBT. Ketentuan perlindungan PT dan EBT meliputi: kualifikasi PT dan EBT

yang dilindungi, ruanglingkup dan waktu perlindungan PT dan EBT, sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 2, 3 dan 4 RUU.

Kualifikasi PT dan EBT yang dilindungi meliputi unsur budaya;

kecakapan teknik (know how), keterampilan, inovasi, konsep, pembelajaran dan

praktik kebiasaan lainnya yang membentuk gaya hidup masyarakat tradisional

termasuk di antaranya pengetahuan pertanian, pengetahuan teknis, pengetahuan

ekologis, pengetahuan pengobatan termasuk obat terkait dan tata cara

penyembuhan, serta pengetahuan yang terkait dengan sumber daya genetic. Selain

itu, kualifikasi juga juga mencakup salah satu atau kombinasi bentuk ekspresi

verbal tekstual, music, gerak, teater, seni rupa, dan upacara adat.

Lingkup perlindungan meliputi perlindungan pencegahan, dan

pelarangan. Pencegahan dilakukan dengan keharusan mendapatkan izin atas

akses pemanfaatan dan perjanjian pemanfaatan PT dan EBT oleh orang asing atau

badan hukum asing atau badan hukum Indonesia penanaman modal asing.

Sedangkan pelarangan dilakukan terhadap:

Page 125: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

108

1. Pemanfaatan oleh orang asing atau badan hukum asing atau badan hukum

Indonesia penanaman modal asing yang tidak mendapatkan izin

aksespemanfaatan.

2. Pemanfaatan oleh setiap orang atau badan hukum baik asing maupun

Indonesia yang tidak menyebutkan dengan jelas asal wilayah dan komunitas

atau masyarakat yang menjadi sumber PT dan EBT.

3. Pemanfaatan PT dan EBT oleh setiap orang atau badan hukum baik asing maupun

Indonesia yang dilakukan secara tidak patut, menyimpang dan menimbulkan kesan

tidak benar terhadap masyarakat terkait, atau yang membuat masyarakat tersebut

merasa tersinggung, terhina, tercela, dan/atau tercemar.

Jangka waktu perlindungan PT dan EBT ditentukan dalam Pasal 4 RUU, bahwa

jangka waktu perlindungan diberikan selama masih dipelihara oleh Kustodiannya.

Rancangan Penjelasan Pasal 4 menerangkan mengenai yang dimaksud dengan

kata dipelihara adalah disamping dijaga kelestariannya dari kepunahan juga

termasuk pengembangan sejauh pengembangan tersebut tidak terlalu jauh

menyipang dari keaslian PT-EBT tersebut.

Salah satu unsur penting yang ditentukan di dalam RUU sebagai

kualifikasi menentukan perlindungan yaitu penyebutan dengan jelas asal wilayah

dan komunitas atau masyarakat yang menjadi sumber PT dan EBT. Hal itu

dimaksudkan untuk menghindari adanya pemanfaatan yang membuat masyarakat

Page 126: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

109

umum mendapat informasi yang salah tentang asal dari PT-EBT tersebut. Pasal 3

(b) menyebutkan bahwa salah satu pemfaatan PT dan EBT yang dilindungi adalah

PT dan EBT yang dalam pelaksanaan pemanfaatannya tidak menyebutkan dengan

jelas daerah asal wilayah dan komunitas atau masyarakat yang menjadi sumber

dari PT dan EBT tersebut. Mengalihwujudkan cerita rakyat kedalam bentuk seni

pertunjukkan melalui media elektronik berarti memanfaatkan cerita rakyat untuk

menghasilkan Ciptaan baru. Pemanfaatan ini harus dilakukan dengan benar dan

tanpa mengurangi Hak Moral dari Pencipta aslinya.

Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 7 RUU PT dan EBT menyebutkan

bahwa dalam tujuan memanfaatkan PT dan EBT dalam hal ini cerita rakyat

diperlukan adanya proses permohonan izin yang juga dibarengi dengan

pembuatan perjanjian pemanfaatan dengan kustodian (komunitas atau masyarakat

tradisional yang memelihara dan mengembangkan PT dan EBT secara tradisional

dan komunal) PT dan EBT tersebut. Setiap permohonan pemanfaatan PT dan EBT

diajukan kepada Menteri dengan menyertakan keterangan antara lain wilayah

sumber atau asal PT dan EBT yang akan dimanfaatkan.

Perlindungan kepemilikian cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

bentuk pertunjukkan seni melalui media elektronik semakin diperluas dengan

adanya Undang – Undang No.11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi

Elektronik. Ketentuan Pasal 25 UU ini menyatakan bahwa informasi elektronik

atau dokumen elektronik digolongkan sebagai karya intelektual dan mendapatkan

Page 127: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

110

perlindungan sebagai HKI. Karya derivative dari cerita rakyat melalui media

elektronik mendapatkan perlindungan karena merupakan derivative work melalui

media elektronik dikatagorikan dalam dokumen elektronik yang terdari dari suara,

gambar, peta atau photo yang ditampilkan, dilihat atau didengar melalui komputer

atau system elektronik. Dengan demikian mengacu kepada ketentuan Pasal 25

tersebut, maka perlindungan mengenai kepemilikannya dikembalikan kepada

UUHC.

Uraian tersebut di atas menjelaskan dasar dan pentingnya diberikan

perlindungan atas kepemilikan cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam bentuk

pertunjukkan seni dimana berdasarkan uraian tersebut diatas, cerita rakyat sebagai

ciptaan aslinya mendapatkan perlindungan dan kepemilikannya juga diakui

sebagai milik negara yang bertindak sebagai pemegang hak cipta atas karya

tersebut seperti yang tertuang dalam UUHC Pasal 10. Karya derivative yang

mempergunakan cerita rakyat sebagai dasarnya juga mendapatkan perlindungan

seperti yang tertuang dalam ketentuan Pasal 12 huruf (l) dan kepemilikannya

diakui sebagai milik dari pencipta yang telah berhasil menuangkan cerita rakyat

dalam bentuk yang baru. Apabila cerita rakyat itu dituangkan dalam bentuk film,

maka yang menjadi pemilik dari karya tersebut adalah produser film.

Usaha memberikan perlindungan terhadap cerita rakyat yang

dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukkan tidak akan maksimal mengingat masih

kosongnya peraturan yang mengatur lebih lanjut tentang tata cara permohonan

Page 128: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

111

pengajuan izin dalam menggunakan cerita rakyat yang merupakan karya

tradisional sebagai dasar dari karya derivative. Peran serta dan kesadaran dari

masyarakat juga penting dalam perlindungan hak cipta bagi karya-karya mereka

khususnya bagi masyarakat lokal yang tidak menempatkan semata-mata hanya

berkarya demi memenuhi kebutuhan hidup.

4.2. Perlindungan Hukum Kepemilikan Cerita Rakyat Yang Dialihwujudkan

Dalam Bentuk Pertunjukkan Melalui Media Elektronik Di Luar Negeri

(Internasional)

Pada Masa lalu penulis buku, penyanyi, musisi, penari dapat hidup

dengan tenang tanpa khawatir karyanya akan dimanfaatkan secara ilegal. Hal ini

bukan karena moral masyarakat pada saat itu yang lebih baik, tetapi lebih kepada

karena sarana teknologi yg belum memadai pihak-pihak tersebut untuk melakukan

pemanfaat karya cipta secara ilegal. Dalam perkembangannya muncul sarana

teknologi yang memungkinkan pemanfaatan yang merugikan tersebut. Teknologi

yang mempermudah akses dengan dunia luar, sehingga apa yang sedang

dipentaskan di Indonesia dapat secara langsung diakses di luar negeri.104

I La Galigo merupakan naskah cerita rakyat yang berasal dari Bugis dan

merupakan naskas cerita terpanjang di dunia sehingga memiliki nilai yang sangat

tinggi. Sebagai salah satu bentuk folklor, I La Galigo harus mendapat

104 Muhammad Ahkam Subroto dan Suprapedi, 2008, Pengenalan HKI: Konsep Dasar

Kekayaan Intelektual Untuk Penumbuhan Inovasi, PT. Indeks, Jakarta, Hal.120-121.

Page 129: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

112

perlindungan Hak Cipta, namun perlindungan Hak Cipta masih kurang memadai.

Hal ini terakit dengan adanya pementasan I La Galigo di kota besar didunia oleh

orang asing sehingga merugikan Indonesia secara ekonomi dan moral.105

I La

Galigo hanya satu dari beberapa kasus pemanfaatan kekayaan tradisional bangsa

ini oleh pihak asing yang tidak bertanggung jawab.

Beberapa perjanjian internasional mulai marak membahas perlindungan

pengetahuan tradisional. Seperti misalnya dalam Berne Convention, “Traditional

knowledge (TK) is generally understood to encompass four types of creative

works: verbal expressions (stories, epics, legends, folk tales, poetry, riddles, etc.),

musical expression, expression by action and tangible expression….”106

Dari

pengertian tersebut diatas, cerita rakyat tergolong didalam pengetahuan tradisional

yang harus mendapat perlindungan. Article 15(4) Berne Convention dapat

ditafsirkan memberikan kepada negara masing-masing untuk membentuk

kebijakan sendiri yang mengatur mengenai perlindungan terhadap ciptaan yang

tidak diketahui penciptanya seperti halnya dalam melindungi cerita rakyat.

Perlindungan terhadap pengetahuan tradisional juga dicanangkan dalam

WIPO Draft Provisions on Traditional Cultural Expression/Forlklore and

105 Aris Ideanto, Perlindungan Folklor Indonesia: Perbandingan Sistem Hukum Dalam

Studi Kasus I La Galigo, http://lontar.ui.ac.id/opac/ui/detail.jps?id=83480&lokasi=lokal, Diakses 7

Desember 2013.

106

Module 8: Traditional Knwoledge, Available at

http://cyber.law.harvard.edu/copyrightforlibrarians/Module_8:_Traditional_Knowledge, Accessed

20December 2013.

Page 130: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

113

Traditional Knowledge. Walapun masih berupa draft, tetapi dapat dijadikan

sebagai pijakan dalam forum-forum diskusi ditingkat nasional, regional maupun

internasional akan pentingnya perlindungan pengetahuan tradisional diantaranya

cerita rakyat. Tujuannya antara lain mencegah penyalahgunaan pengetahuan

tradisional, mendorong kreativitas masyarakat lokal, dan tentunya memberikan

kepastian hukum bagi perlindungan Hak Cipta tradisional.

Convention on the Protection and Promotion of the Diversity of Cultural

Expression menyebutkan "the importance of traditional knowledge as a source of

intangible and material wealth, and in particular the knowledge systems of

indigenous peoples, and its positive contribution to sustainable development, as

well as the need for its adequate protection and promotion…." (Article 1 h.)

Konvensi ini menyadari betul betapa pengetahun tradisional harus mendapatkan

perlindungan dan menyerahkan sepenuhnya kepada negara-negara yang

bersangkutan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan guna memberikan

perlindungan dan promosi atas keanekaragaman ekspresi budaya daerah mereka

sendiri.

Perlindungan hukum terhadap pemegang hak cipta khususnya atas karya

tradisional dimaksudkan untuk menumbuhkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh

dan berkembangnya keinginan mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan

Page 131: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

114

sastra.107

Perlindungan atas karya cipta tradisional juga harus dibarengi dengan

perlindungan atas karya derivative dari karya cipta tradisional tersebut.

Perlindungan dirasa semakin penting mengingat banyaknya penyalahgunnan

pemanafaat karya cipta tradisional kedalam derivative work oleh pihak asing.

Misalnya penggunaan lagu Rasa Sayange dalam iklan pariwisata Malaysia. Pada

awalnya lagu Rasa Sayange hanya lagu daerah Maluku, kemudian di kemas

sedemikian rupa serta di tampilkan sebagai lagu iklan pariwisata budaya Malaysia

tanpa adanya permohonan izin penggunaan dari Indonesia.

Suatu ciptaan merupakan hasil kreativitas peciptanya dan merupakan

investasi kreatif yang memerlukan pengorbanan besar alam menciptakannya.108

Hal ini seperti yang dikemukakan oleh John Lock dan merupakan salah satu dasar

bagi perlindungan hak cipta. Teori lain yang juga menjadi dasar perlindungan dari

hak cipta adalah Recovery theory yang menekankan pada pengembalian atas

segala pengorbanan yang telah dilakukan oleh pencipta dalam menghasilkan suatu

ciptaan dan Risk theory yang menyatakan bahwa dalam proses mencipta, terdapat

resiko dimana orang lain dapat saja melahirkan ciptaan yang sama kapan saja.109

Sebuah karya derivative lahir dari usaha keras pencipta untuk

menambahkan unsur-unsur baru kedalam ciptaan asli hingga menjadi sebuah

karya derivative. Cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam sebuah pertunjukkan

107

Hery Firmansyah, 2011, Perlindungan Terhadap Merek, Pustaka Yustisia,

Yogyakarta, hal.16.

108

Kinney &Lange PA dalam Ni Ketut Supasti Dharmawan, Loc Cit 109

Robert M. Sherwood dikutip oleh Ratni Fauzi Mayana, Loc.Cit

Page 132: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

115

seni membutuhkan banyak kemampuan kreatif dalam mewujudkannya. Pencipta

harus menambahkan paling tidak elemen efek suara, pencahayaan, dan musik

didalamnya yang membedakannya dari ciptaan asli. Untuk semua kerja keras

pencipta dalam menghasilkan karya derivative, pencipta harus mendapatkan

perlindungan atas karya ciptanya.

Pencegahan terhadap pelanggaran yang mungkin akan terjadi bagi harus

dilakukan. Dokumentasi dapat menjadi cara mencegah pelanggaran tersebut.

Dokumentasi atas karya tradisional asli dapat dijadikan patokan dalam

memberikan perlindungan terhadap karya cipta derivative. Jika suatu karya

tradisional telah secara jelas dan terdaftar merupakan ciptaan masyarakat

Indonesia yang kemudian dituangkan dalam bentuk derivative work oleh siapapun

hingga dipertunjukkan secara internasional dengan tanpa memperoleh izin

pemanfaatan dari pemerintah Indonesia, maka derivative work tersebut tidak

berhak mendapatkan perlindungan hak cipta karena didalamnya terdapat unsur

penjiplakan dan penggunaan ciptaan tanpa izin. Negara pun dapat secara tegas

mengajukan klaim atas terjadinya pelanggaran tersebut dengan menyertakan

Daftar Umum Ciptaan sebagai salah satu bukti bahwa ide awal atau materi dari

karya derivative tersebut baik seluruhnya atau sebagian merupakan milik bangsa

Indonesia dan telah dipergunakan tanpa izin.

Ketentuan mengenai pendafataran hak cipta tertuang dalam Pasal 35

UUHC ayat (1) yang menyatakan bahwa Direktorat Jenderal adalah

Page 133: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

116

penyelenggara pendaftaran Ciptaan dan akan di catat dalam Daftar Umum

Ciptaan. Namun ketentuan Pasal 35 ayat (4) UUHC menyatakan bahwa

pendafataran ciptaan bukan merupakan kewajiban untuk mendapatkan hak cipta,

karena timbulnya perlindungan hak cipta telah ada sejak ciptaan itu terwujud,

bukan karena pendaftran. Lebih lanjut ketentuan Pasal 37 UUHC menyebutkan

bahwa pendaftaran ciptaan dilakukan atas permohonan, dengan demikian tanpa

adanya permohonan pendaftaran, suatu ciptaan tidak akan terdaftar dalam Daftar

Umum Ciptaan. Pemerintah disini bersifat pasif dan menunggu masyarakat yang

melakukan pendaftaran. Hal ini menjadi faktor yang menyulitkan dalam

memberikan perlindungan ciptaan tradisional karena kebanyakan ciptaan

tradisional tidak terdaftar serta kurangnya kesadaran masyarakat untuk

mendaftarkan ciptaannya.

Perlindungan Internasional atas karya derivative sendiri juga telah diatur

dalam konvensi-konvensi internasional seperti dalam Berne Convention Article 2

yang menyebutkan karya-karya yang mendapatkan perlindungan antara lain “1.

Literari and artistic works; 2. Possible requirement of fixation; 3. Derivative

works; 4. Official texts; 5. Collections; 6. Obligation to protect; beneficiaries of

protection; 7. Works of applied art and industrial designs; 8. News”110

110

F. Scott Kieff and Ralph Nack, 2006, International, United States, and European

Intellectual Property, Aspen Publishers, New York, hal.269.

Page 134: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

117

Lebih jelas mengenai perlindungan derivative work dijabarkannya dalam

Article 2 (3) "Translations, adaptations, arrangements of music and other

alterations of a literary or artistic work shall be protected as original works

without prejudice to the copyright in the original work". Disebutkan bahwa karya

terjemahan, adaptasi, aransemen musik dan perubahan lain dari suatu karya sastra

harus mendapat perlindungan sebagai karya asli tanpa mengurangi hak cipta atas

karya aslinya. Berne Convention tidak menyebutkan derivative work secara tegas

tetapi mempergunakan istilah terjemahan, adaptasi, aransemen musik dan

perubahan lain dari suatu karya sastra. Semua itu merupakan wujud dari

derivative work menurut Berne Convention yang mendapatkan perlindungan.

Undang-undang Hak Cipta Amerika Serikat misalnya dalam Act 17 U S

C menyebutkan “derivative work is a work based upon one or more preexisting

works, such as a translation, musical arrangement, dramatization,

fictionalization, motion picture version, sound recording, art reproduction,

abridgment, condensation, or any other form in which a work may be recast,

transformed, or adapted. A work consisting of editorial revisions, annotations,

elaborations, or other modifications, which, as a whole, represent an original

work of authorship, is a derivative work”111

Pengaturan ini menunjukkan bahwa

derivative work adalah karya yang didasarkan atas karya yang telah ada

111

Copyright Law of United States and Related laws Contained in Title 17 of the United

States Code, Op.Cit.hal.3.

Page 135: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

118

sebelumnya, seperti terjemahan, aransemen musik, dramatisasi, fictionalization,

versi film, rekaman suara, reproduksi seni, ringkasan, kondensasi, atau bentuk

lainnya yang merupakan perubahan atau adaptasi dari karya yang telah ada

sebelumnya. Sebuah karya yang terdiri dari revisi editorial, penjelasan, elaborasi,

atau modifikasi lain juga merupakan derivative work dan secara keseluruhan,

merupakan karya asli penulis serta mendapat pelindungan sebagai sebuah karya

asli.

Lebih lanjut dalam 17 U.S.C. § 103 (a) yang didalamnya menyatakan

“the subject matter of copyright as specified by section 102 includes compilations

and derivative works but protection for a work employing preexisting material in

which copyright subsists does not extend to any part of the work in which such

material has been used unlawfully”112

ketentuan Pasal ini jelas menyatakan

bahwa perlindungan atas derivative work tidak diberikan kepada karya yang

dipergunakan secara tidak sah.

Dari uraian beberapa ketentuan internasional diatas yang mengatur

mengenai perlindungan atas pengetahuna tradisional yang didalamnya termasuk

cerita rakyat sebagai karya cipta asli mendapatkan perlindungan hak cipta bahkan

secara internasional yang mana penerapan kebijakan perlindungannya di

kembalikan ke negara-negara asal karya cipta tersebut. Sebagai karya yang

112

Copyright Law of United States and Related laws Contained in Title 17 of the United

States Code, Loc.Cit.

Page 136: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

119

dialihwujudkan juga demikian, bahwa setiap cerita rakyat yang dialihwujudkan

dalam bentuk pertunjukan seni lainnya di dunia internasional mendapatkan

perlindungan hak cipta sebagai ciptaan asli sepanjang didalamnya tidak terdapat

penggunaan yang tidak sah dari karya cipta asli. Menghidari penggunaan yang

tidak sah, setiap orang yang hendak memanfaatkan karya cipta asli menjadi

derivative work tidak boleh melupakan mencantumkan pencipta atau asal dari

karya cipta aslinya. Untuk dapat mempergunakan karya cipta tradisioanl seperti

misalnya Naskah I La Galigo oleh pihak asing untuk kepentingan komersial, harus

terlebih dahulu mendapatkan izin dari negara sebagai pemegang hak cipta atas

folklor. Persoalan muncul, ketika dalam peraturan perundang-undangan tidak

mengatur kepada siapa permohonan izin tersebut diajukan.

Indonesia sebagai pemilik dari cerita rakyat yang dialihwujudkan

seharusnya memberikan perlindungan hukum yang lebih baik bagi karya-karya

tradisional bangsa sendiri di dunia Internasional, karena negara adalah pemilik

dari hak cipta atas folklor dan karya warisan budaya yang tidak diketahui

penciptanya dalam hal ini cerita rakyat. Perlindungan terhadap karya derivative

juga berkaitan dengan hak ekonomi dan hak moral yang terkandung di dalam hak

cipta. Perlindungan hukum yang baik atas karya derivative yang berasal dari cerita

rakyat tidak hanya memberi manfaat ekonomi bagi pemegang hak cipta derivative

tetapi juga memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat atau daerah asal dimana

cerita rakyat sebagai ciptaan asli tumbuh dan berkembang. Seharusnya didalam

Page 137: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

120

setiap pemanfaatan dari karya cerita rakyat sebagi ciptaan asli khususnya saat

dimanfaatkan menjadi derivative work yang bersifat komersial, masyarakat atau

daerah asal cerita rakyat tersebut mendapatkan hasil dari pemanfaatan karya

mereka.

Hak moral dari pencipta dan pemegang hak cipta asli, khususnya yang

dimanfaatkan menjadi derivative work merupakan suatu pengakuan dan

penghargaan serta diatur di dalam UUHC Pasal 24. Derivative work mendapat

perlindungan sebagai karya cipta asli tetapi tidak mengurangi hak cipta atas karya

cipta aslinya. Dengan demikian menjadi kewajiban bagi pencipta dan pemegang

hak cipta dari karya derivative untuk menghormati hak moral dari pencipta asli.

Ketentuan mengenai perlindungan hukum kepemilikan cerita rakyat

yang dialihwujudkan melalui bentuk pertunjukkan melalui media elektronik di

luar negeri dirasa kurang memadai. Hal ini antara lain disebakan karena masih

adanya ketidak jelasan mengenai tata cara permohonan izin pemanfaatan karya

Cipta tradisional khususnya yang umumnya mendasari lahirnya karya-karya

derivative dalam bidang pertunjukkan. Sifat pemerintah yang pasif dalam

melakukan dokumentasi juga menjadi penghambat dalam memberikan

perlindungan Hak Cipta, dari beberapa kasus pelanggaran Hak Cipta atas karya

tradisinal yang telah dijadikan karya derivative oleh pihak asing, pemerintah

belum bisa secara langsung memberikan jawaban tegas bahwa karya tersebut

milik bangasa Indonesia. Yang sering terjadi adalah, pelanggaran terjadi baru

Page 138: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

121

kemudian pemerintah bergerak mengumpulkan bukti-bukti bahwa Indonesia

adalah pemilik dari karya tradisional tersebut.

Page 139: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

122

BAB V

PENUTUPAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan atas pemaparan yang sesuai dengan inti pokok

permasalahan, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut;

1. Keaslian merupakan syarat mutlak bagi suatu ciptaan untuk mendapatkan

perlindungan Hak Cipta. Keaslian disini adalah terdapat ciri khas atau

kharakteristik dari penciptanya. Perlindungan Hak Cipta dapat dilakukan

dengan pendaftaran Hak Cipta di Direktorat Jenderal. Sifat pendaftaran

sendiri adalah tidak wajib karena Hak Cipta yang memberikan

perlindungan secara otomatis saat ciptaan terwujud. Cerita rakyat sebagai

bagian dari folklor mendapat perlindungan sebagai ciptaan asli sekalipun

telah melalui proses turun-temurun dari generasi ke generasi. Perlindungan

ini didasarkan pada bentuk dari cerita rakyat itu sendiri yang memiliki isi

berbeda-beda walaupun untuk lebih memberikan kepastian hukum,

penuangannya cerita-cerita tersebut dalam sebuah pendokumentasian akan

lebih baik.

2. Di Indoensia perlindungan hukum cerita rakyat yang telah dialihwujudkan

telah mendapatkan perlindungan tersendiri yaitu dalam ketentuan Pasal 12

Page 140: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

123

huruf (l). Meskipun mekanisme pelaksanaan perlindungannya yang belum

jelas. Secara internasional, berbagi konvensi telah mengatur mengenai

perlindungan pengetahuan tradisional serta ciptaan yang telah

dialihwujudkan yang pada dasarnya menyerahkan kepada negara masing-

masing dari peserta konvensi untuk menata kebijakan di negaranya

mengenai perlindungan cerita rakyat yang telah dialihwujudkan.

5.2. Saran

Dari latar belakang permasalahan sebagaimana yang telah

diungkapkan di atas dapat disarankan sebagai berikut:

1. Dalam upaya perlindungan hukum cerita rakyat yang dialih wujudkan

dalam pertunjukan seni melalui media elektronik, pemerintah hendaknya

segera membentuk Peraturan Pemerintah yang dikehendaki oleh Pasal 10

ayat (4) UUHC sehingga dalam implementasi UUHC tidak ada

kekosongan peraturan berkaitan dengan keaslian dan kepemilikan

pengetahuan tradisional yang telah dialihwujudkan beserta mekanisme

pelaksanaannya. Peraturan Pemerintah tersebut hendaknya juga

memperjelas ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) tentang instansi terkait

yang dimaksud,dalam hal ini adalah Menteri Hukum Dan Hak Asasi

Manusia. Atau segera mengesahkan RUU Perlinduangan dan pemanfaatan

kekayaan intelektual pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya

tradisional.

Page 141: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

124

2. Pembentukan Peraturan Pemerintah, hendaknya tetap memperhatikan

budaya hukum yang berlaku terutama berkaitan dengan kekayaan

tradisional dan folklor. Karena itu masyarakat selaku pihak yang terkena

peraturan serta yang wajib mendapatkan perlindungan sepatutnya

memberikan masukan-masukan mengenai nilai-nilai tradisional yang perlu

mendapatkan perlindungan.

3. Pihak-pihak yang hendak memanfaatkan kekayaan tradisonal dalam hal ini

cerita rakyat, baik untuk tujuan komersil maupun tidak, sepatutnya

menghormati hak ekonomi dan hak moral dari pencipta maupun pemegang

hak cipta dari cerita rakyat tersebut.

Page 142: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

125

DAFTAR PUSTAKA

AK, Syahmin, 2007, Hukum Dagang Internasional Dalam Kerangka Studi Analitis,

Ed.1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Ali, Lukman, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, Cetakan ketujuh,

Perum Balai Pustaka, Jakarta.

Cornish, William dan David Llewelyn, 2003, Intellectual Property: Patens,

Copyright, Trade Marks, and Allied Rights, Fifth Edition, Sweet and

Maxwell, London.

Djumhana, Muhamad, 2006, Perkembangan Doktrin Dan Teori Perlindungan

Hak Kekayaan Intelektual, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Djumikarsih, 2012, “Analisa Yuridis Sengketa Ciptaan Antara Yayasan Hwa Ing Fonds

Dengan Budi Haliman Halim”, dalam Perspektif, Volume XVII, No.3, Edisi

September, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.

Davitt, Thomas E., 2012, Nilai-Nilai Dasar Di dalam Hukum Menganalisa

Implikasi-Implikasi Legal-Etik Psikologi Dan Antropologi Bagi

Lahirnya Hukum, Terjemahan Yudi Santosa, S.Fil, Cetakan I, Pallmal

Yogyakarta, Yogyakarta.

Damian, Eddy, 2009, Hukum Hak Cipta, Edisi ke-3, PT. Alumni, Bandung.

Firmansyah, Hery, 2011, Perlindungan Terhadap Merek, Pustaka Yustisia,

Yogyakarta.

Elias, Stephen, 2009, Legal Research How To Find And Understand The Law,

Fifteenth Edition, Nolo, California.

Gerner, Bryan A., 2004, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Thomson West,

Dallas, Texas.

Ginting, Elyta Ras, 2012, Hukum Hak Cipta Indonesia Analisis Teori dan Praktik,

PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada

Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hariyani, Iswi, 2010, Prosedur Mengurus HAKI Yang Benar, Pustaka Yustisia,

Yogyakarta.

Page 143: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

126

Hasibuan, Otto, 2008, Hak Cipta Di Indonesia Tinjauan Khusus Bagi Hak Cipta

Lagu, Neigbouring Rights, Dan Collecting Society, PT. Alumni,

Bandung.

Hasibuan, Aryani Nauli, 2011, Perlindungan Hak Cipta Atas Karya Derivatif

Dalam Prakteknya:Studi Kasus Buku Ensiklopedia Al Quran: Al-

Maushuah Al-Quraniyah Al-Muyassarah, (tesis) Program Pascasarjana

Hukum Ekonomi, Jakarta.

Hutagalung, Sophar Maru, 2012, Hak Cipta Kedudukan Dan Peranannya Dalam

Pembangunan, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta.

Ibrahim, Jhony, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif¸ Bayu

Publishing, Malang.

Isnaini, Yusran, 2009, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, Ghalia

Indonesia, Jakarta.

Kieff, F. Scott and Ralph Nack, 2006, International, United States, and European

Intellectual Property, Aspen Publishers, New York.

Kinney &Lange PA dalam Ni Ketut Supasti Dharmawan,2011, Hak Kekayaan

Intelektual Dan Harmonisasi Hukum Global (Rekonstruksi Pemikiran

Terhadap Perlindungan Program Komputer), Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, Semarang.

Lindsey, Tim, dkk., 2004, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Cetakan

ke-3, PT. Alumni, Bandung.

Lutviansori, Arif, 2010, Hak Cipta Dan Perlindungan Folklor Di Indonesia, Edisi

Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta.

_______, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Group, Jakarta.

Meliala, Djaja S., 2013, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Cetakan II,

Nuansa Aulia, Bandung.

Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung.

Munandar, Haris dan Sally Sitanggang, 2008, Mengenal HAKI Hak Kekayaan

Intelektual Hak Cipta, Paten, Merek dan Seluk-beluknya, Erlangga,

Jakarta.

Page 144: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

127

Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, 2013, Studi Magister Ilmu

Hukum.

Purba, Afrillyanna , 2012, Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan

Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional Sebagai Sarana

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Cetakan ke-1, PT. Alumni, Bandung.

Purwaningsih, Endang, 2012, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dan Lisensi,

Cetakan Ke-I, CV. Manda Maju, Bandung.

Riswandi, Budi Agus dan Siti Sumartiah, 2006, Masalah-Masalah HAKI

Kontemporer, Gitanagari, Yogyakarta.

Saidin, OK, 2007, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property

Rights), Edisi Revisi 6, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Sardjono, Agus, 2009, Membumikan HKI Di Indonesia, CV. Nuansa Aulia,

Bandung.

.

Setiadharma, Prayudi, 2010, Mari Mengenal HKI, Cetakan I, Goodfaight

Production¸ Jakarta.

Sherwood, Robert M. dalam Ratni Fauza Mayana, 2004, Perlindungan Desain

Industri Di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas, Grasindo,

Jakarta.

Soelistyo, Henry, 2011, HakCiptaTanpaHak Moral, PT. RajagrafindoPersada,

Jakarta.

Soelistyo, Henry, 2011, Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta dan Etika, Kanisius,

Yogyakarta.

Sunggono, Bambang, 2003, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Kelima, PT.

Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Suprapedi, dan Muhammad Ahkam Subroto, 2008, Pengenalan HKI: Konsep

Dasar Kekayaan Intelektual Untuk Penumbuhan Inovasi, PT. Indeks,

Jakarta.

Sutedi, Adrian, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Cetakan Pertama, Sinar

Grafika Offset, Jakarta.

Tutik, Titik Triwulan, 2006, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, Prestasi

Pustaka, Jakarta.

Page 145: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

128

Usman, Rachmadi, 2003, Hukum Hak atas kekayaan Intelektual:Perlindungan

dan Dimensi Hukumnya di indonesia, Cetakan ke-1, PT. Alumni,

Bandung.

Utomo, Tomi Suryo, 2010, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global:

Sebuah Kajian Kontemporer, Cetakan pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta.

PeraturanPerundang-undangan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undangRepublik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 TentangHakCipta

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio (penerjemah), 2002, Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, Cet.32, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Copyright Law of The United States and Related Laws Conteined in Title 17 of the

United States Code.

Convention On Biological Diversity 5 June 1992.

Berne Convention

TRIPS Agreement (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights)

Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Rancangan Undang-undang Tentang Perlindungan Dan Pemanfaatan Kekayaan

Intelektual Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional.

Jurnal

Afifah Kusumadara, 2011, Pemeliharaan Dan Pelestarian Pengetahuan

Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional Indonesia: Perlindungan

Hak Kekayaan Intelektual Dan Non-Hak Kekayaan Intlektual, Jurnal

Hukum: Vol.18 Januari. No.1., Malang.

Besar, 2012, Pengalihwujudan Dalam Kerangka Konsep Hukum Hak Cipta,

Humaniora: Vol.3 No.1., Jakarta,

http://eprint.binus.ac.id/25653/1/02_HK_Besar.pdf, Diakses 15

Desember 2013.

Joseph Hubicki, 2011, Protecting Performance Rights under the Derivative Work

Exception, Law Journal: Vol.2, Issue 1., The Berkeley Electronic Press,

Available at:

Page 146: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

129

http://ir.lawnet.fordham.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1016&context=

iplj, p.54. Accessed 1 March 2014.

Steven S. Boyd, 2000, Deriving Originality in Derivative Works: Considering the

Quantum of Originality Needed to Attain Copyright Protection in a

Derivative Work, Jurnal at Santa Clara Law Digital Commons,Vol.40.

No.2., Available at:

http//digitalcommons.law.scu.edu/lawreview/vol40/iss2/1, p.349.

Accessed 1 March 2014.

ArtikelDalam Format Elektronik (Internet)

Afifah Kusumadara, Dosen FH Presentasi Di Konfesensi ASLI

Jepanghttp://prasetya.ub.ac.id/berita/Dosen-FH-Presentasi-di-Konferensi-

ASLI-Jepang-3777-id.html, Diakses 09 Maret 2012.

PerlindunganHakAtasKekayaanIntelektualTerhadapPengetahuanTradisional,http

://alsaindonesia.org/site/perlindungan-hak-atas-kekayaan-intelektual-

terhadap-pengetahuan-tradisional-2/

Tri Wahoho, PerlindunganHakCipta, Indonesia Terburuk Di

Asia,http://tekno.kompas.com/read/2010/08/25/17502973/Perlindungan.

Hak.Cipta.Indonesia.terburuk.di.Asia, Diakses 09 Maret 2012.

KBRI: SoalTari Tor TorTerjadiKesalahpahaman,http://id.berita.yahoo.com/kbri-

soal-tari-tor-tor-terjadi-kesalahpahaman-075350450.html

PenelitianHukumPerluRegulasi:PerlindunganEkspresiBudayaTradisional Di

Jawa Barat,www.depkumham.go.id/berita-kanwil/go-kanwil-jawa-

barat/964-penelitian-hukum-perlu-regulasi--perlindungan-ekspresi-

budaya-tradisional-di-jawa-barat

PengetahuanTradisionalDalamRuangLingkup

PerlindunganHukumHakKekayaanIntelektual.http://taeblues.tumblr.com

/post/13416491119/traditional-knowledge.

Basuki Antariksa, 2012, Peluang Dan Tantangan Perlindungan Pengetahuan

tradisional Dan Ekspresi Budaya

Tradisional,www.budpar.go.id/userfiles/file/Art_11_Konsinyering%20

WBT%20710.pdf.

Feri Sulianta, Seri Referensi Praktis: Konten Internet, dilihat (On-line)

di:http://books.google.co.id/books?id=f9Vurjx2D8C&pg=PA56&lpg=PA56&dq

Page 147: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

130

=buku,+hak+cipta,+derivatif,+karya+turunan&source=bl&ots=4nGPhr0Bv9&si

g=iuOfIeNANaoTGKnsJV1s8C5OMA&hl=id&ei=KO19TfKkKMfprQfs06XM

BQ&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=7&ved=0CCsQ6AEwBg#v=on

epage&q=buku%2C%20hak%20cipta%2C%20derivatif%2C%20karya%20turu

nan&f=false

Cliff Kuehn, 2012, The “Originality”Requrement for Copyright Protection in

Western Societies, Selasa, 28 Januari 2014,

http://trademarkcopyrightlaw.wordpress.com/2012/09/18/the-originality-

requirement-for-copyright-protection-in-western-societies/

James Koessler, Something For Nothing? The Standard Of ‘Originality’ In

Copyright Law: An Elusive Yet Essential Requirement (2/5), Selasa, 28

Januari 2014, http://www.jameskoessler.com/something-for-nothing-the-

standard-of-originality-in-copyright-law-an-elusive-yet-essential-

requirement-25/#identifier_0_231

Module 3: The Scope of Copyright law, Selasa, 28 Januari 2014,

http://cyber.law.harvard.edu/copyrightforlibrarians/Module_3:_The-

Scope_of_Copyright_Law

Daniel J. Gervais, 2004, The Compatibility Of The Skill And Labour Originality

Standard With The Berne Convention And The TRIPS Agreement, Sweet

and Maxwell Limited and Contibutors, Senin, 27 Januari 2014,

http://aix1.uottawa.ca~dgervaispublications/Skilland/Labour/aspublished/

pdf

Lesley Ellen Harris, 2010, To Register or Not, Kamis, 23 Januari 2014,

http://www.copyrightlaws.com/wp-

content/uploads/2010/03/Registration1.pdf

Module 8: Traditional Knwoledge, Available at

http://cyber.law.harvard.edu/copyrightforlibrarians/Module_8:_Traditional

_Knowledge, Accessed 20 December 2013.

Aris Ideanto, Perlindungan Folklor Indonesia: Perbandingan Sistem Hukum Dalam Studi

Kasus I La

Galigo,http://lontar.ui.ac.id/opac/ui/detail.jps?id=83480&lokasi=lokal, Diakses 7

Desember 2013.

Module 8: Traditional Knowledge, Available at

http://cyber.law.harvard.edu/copyrightforlibrarians/Module_8:_Traditional

_Knowledge, Accessed 21 February 2014.

Page 148: perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam

131

Anonim, Protecting Traditional Cultural Expressions: The International

Dimension, Available at

http://www.copyright.bbk.ac.uk/contents/workshops/blakem.pdf,

Accessed 28 February 2014.

Media Elektronik, http://id.wikipedia.org/wiki/Media_elektronik, Diakses 22

April 2014.

Hydriana Ananta Win, Efek Media Elektronik Terhadap Anak Usia Sekolah,

http://www.stiks-

tarakanita.ac.id/files/Tarakanita%20News%20No.%202/Opini/28%20Efe

k%20Media%20elektronik.pdf, Diakses Selasa, 22 April 2014.