Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA PEREMPUAN
MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA
JURNAL ILMIAH
Oleh :
PINADUMI ATIKA PUTRI FAJRINA
D1A015207
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2019
ii
iii
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA PEREMPUAN
MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA
PINADUMI ATIKA PUTRI FAJRINA
D1A015207
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum
terhadap pekerja perempuan menurut hukum positif Indonesia dan untuk
mengetahui faktor-faktor yuridis yang mempengaruhi perlindungan kerja bagi
perempuan. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan
metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Kesimpulan
penelitian ini adalah perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan menurut
hukum positif Indonesia diatur dalam UUD 1945, UU Nomor 39 tahun 1999
tentang HAM, UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan UU
Nomor 7 tahun 1984 tentang Konvensi CEDAW. Faktor-faktor yuridis yang
mempengaruhi perlindungan kerja bagi perempuan yaitu faktor hukumnya,
penegak hukumnya, sarana dan fasilitas hukumnya, masyarakatnya, dan
kebudayaannya.
Kata kunci: Perlindungan Hukum, Pekerja Perempuan, Hukum Positif
Indonesia
LEGAL PROTECTION OF FEMALE WORKERS ACCORDING TO
INDONESIAN POSITIVE LAW
ABSTRACT
The purpose of this research is to find out the legal protection for female
workers according to Indonesian positive law and to find out juridical factors that
influence the employment protection for women. This research uses a type of
normative legal research with the method of legislative approach and conceptual
approach. The conclusion of this research is that legal protection of female
workers according to Indonesian positive law is regulated in the Constitution of
Republic Indonesia 1945, Law Number 39 of 1999 concerning Human Rights,
Law Number 13 of 2003 concerning Employment, and Law Number 7 of 1984
concerning the Convention of CEDAW. Juridical factors that influence the
employment protection for women are legal factors, law enforcement, facilities
and legal facilities, community, and cultural.
Keywords: Legal Protection, Female Workers, Indonesian Positive Law
i
I. PENDAHULUAN
Pada hakikatnya, setiap manusia dilahirkan memiliki kedudukan dan
kesempatan yang sama, baik yang lahir berjenis kelamin laki-laki maupun
perempuan. Namun, karena perbedaan kodrat, maka banyak masyarakat yang
beranggapan bahwa kedudukan perempuan lebih lemah daripada laki-laki.
Karena dipandang lebih lemah, maka perempuan sering mendapatkan
perlakuan yang bersifat diskriminasi dalam segala lini kehidupan termasuk
dalam segi pelaksanaan kegiatan dalam wujud pekerjaan.
Dalam dunia kerja, setiap pekerja perempuan sangat potensial berada
pada posisi tersulit, hal tersebut disebabkan karena masih kentalnya budaya
patriarki yang hidup ditengah masyarakat yang selalu menempatkan pria
sebagai sosok yang superior, sedangkan perempuan dinyatakan sebagai sosok
yang inferior (lemah).1 Hal tersebut kemudian menghambat pekerja
perempuan dalam mengembangkan segala potensi dan bakat dalam diri
mereka masing-masing khususnya dalam melakukan pekerjaan. Meskipun
isu keadilan dan kesetaraan gender telah diperjuangkan sedemikian rupa,
namun tampaknya kaum perempuan selalu dianggap sebagai makhluk yang
dinomor duakan setelah kaum laki-laki.
Mengingat bahwa pada dasarnya setiap manusia itu berhak untuk
diperlakukan sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hal tersebut
seperti yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa :
1Joupy G.Z Mambu. Aspek Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Wanita (Menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003). Skipsi Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas
Negeri Manado, 2013, hlm 5.
ii
“Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.”
Kemudian dalam Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa :
“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
Masuknya perempuan dalam dunia kerja juga tidak terlepas dari adanya
pengaruh era globalisasi yang memberikan kesempatan kepada para
perempuan untuk bekerja atau berkarir diluar rumah demi untuk menopang
perekonomian keluarganya.2 Namun karena secara kodrat perempuan
kedudukannya lebih lemah, maka dalam Undang-Undang diberikan
perlakuan yang lebih khusus. Hal tersebut nampak dalam Pasal 49 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM),
yang menyatakan bahwa:
“Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam
pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat
mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan
fungsi reproduksi wanita.”
Meskipun telah diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan,
namun perlindungan hukum bagi hak pekerja/buruh perempuan masih belum
sepenuhnya dapat direalisasikan. Dengan melihat kenyataan kondisi bahwa
pekerja perempuan yang sampai saat ini sulit untuk memperoleh perlindungan
hukum, maka penyusun tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA PEREMPUAN
MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA”.
2 Viqih Akbar. Peran Perempuan Terhadap Perekonomian Keluarga. Skripsi Sarjana
Sosial Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2017, hlm 3
iii
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa
rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah perlindungan hukum
terhadap pekerja perempuan menurut hukum positif Indonesia? 2. Faktor-
faktor yuridis apa saja yang mempengaruhi perlindungan kerja bagi
perempuan?
Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah: 1. Untuk
mengetahui perlindungan hukum bagi pekerja perempuan menurut hukum
positif di Indonesia. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yuridis yang
mempengaruhi perlindungan kerja bagi perempuan.
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis,
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya dibidang
ketenagakerjaan yang berkaitan dengan pekerja perempuan. 2. Manfaat
Praktis, dapat dijadikan referensi atau acuan bagi penyusun lain dalam
melakukan penelitian serupa.
Berdasarkan judul dan permasalahan yang diteliti, maka jenis penelitian
ini adalah jenis penelitian hukum normatif dengan menggunakan dua metode
pendekatan yaitu: 1. Pendekatan Perundang-undangan dan 2. Pendekatan
Konseptual. Kemudian jenis dan sumber bahan hukumnya adalah: 1. Bahan
Hukum Primer, 2. Bahan Hukum Sekunder, dan 3. Bahan Hukum Tersier.
Adapun teknik/cara memperoleh bahan hukum adalah dengan melakukan
studi kepustakaan. Sementara itu analisis bahan hukumnya menggunakan
Analisis Deskriptif dan dengan menggunakan Metode Deduktif.
iv
II. PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Perempuan Menurut Hukum
Positif Indonesia
Mengingat bahwa pekerja perempuan merupakan pihak yang secara
fisik lebih rentan dan lemah, maka sudah sepatutnya mereka memperoleh
perlindungan hukum secara maksimal. Ada beberapa instrument nasional
yang mengatur terkait dengan perlindungan hukum bagi pekerja perempuan
itu sendiri, yang selanjutnya dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Perempuan Menurut
Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia
Perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan tidak dapat
dipisahkan dari hak asasi manusia, sebab secara konstitusional Indonesia
telah mengakui hak untuk bekerja yang berarti bahwa pada dasarnya
memperoleh suatu pekerjaan adalah hak asasi setiap manusia yang bersifat
fundamental.3 Hal tersebut selaras dengan bunyi Pasal 27 ayat (2) UUD 1945
yang berbunyi: “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Hak untuk bekerja tidak hanya diberikan kepada kaum laki-laki saja,
akan tetapi juga diberikan kepada kaum perempuan, sebab secara normatif
baik antara laki-laki maupun perempuan pada dasarnya mempunyai hak yang
sama untuk mengenyam suatu profesi atau pekerjaan sehingga dalam hal ini
3 Muladi, Hak Asasi Manusia:Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm 4.
v
tidak dibenarkan adanya tindakan diskriminasi dalam bentuk apapun. Hal
tersebut juga selaras dengan apa yang dicetuskan dalam Pasal 28 I ayat (2)
UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Selanjutnya dalam Pasal 49 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah diatur secara spesifik lagi
mengenai hak-hak dari kaum perempuan/wanita khususnya dalam bidang
ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa: “Wanita berhak atas
perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaannya atau profesinya
terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan/atau kesehatannya
yang berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.”
2. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Perempuan Menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Adapun bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap pekerja
perempuan secara umum telah diatur didalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan yang menentukan norma kerja bagi
perempuan sebagai berikut:4
a. Perlindungan Jam Kerja
Merupakan salah satu bentuk perlindungan yang diberikan kepada
pekerja perempuan, khususnya bagi mereka yang bekerja pada malam hari.
Terkait dengan perlindungan jam kerja ini diatur khusus didalam Pasal 76
4 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm 95
vi
Ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang selengkapnya berbunyi:5
(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan
belas) tahun dilarang diperkerjakan antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 07.00.
(2) Pengusaha dilarang memperkerjakan pekerja/buruh perempuan
hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan
dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja
antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00
(3) Pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh perempuan antara
pukul 23.00 sampai dengan 07.00 wajib:
a) Memberikan makanan dan minuman yang bergizi; dan
b) Menjaga kesusilaan dan keamanan selama ditempat kerja.
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi
pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja
antara pukul 23.00 sampai dengan 05.00.
b. Perlindungan Dari Segi Upah
Setiap tenaga kerja berhak memperoleh penghasilan yang layak bagi
kemanusiaan. Adapun terkait pengaturan tentang pengupahan ini telah diatur
secara tegas didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, yang berbunyi:
1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (Pasal 88
ayat 1) 2) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah
minimum. (Pasal 90 ayat 1)
c. Perlindungan Dalam Masa Haid (Menstruasi)
Bagi perempuan yang normal dan sehat, pada usia tertentu pasti akan
mengalami haid. Hal tersebut merupakan bagian dari kodrat seorang
perempuan yang berjalan secara biologis dan bersifat alamiah. Akan tetapi
jika keadaan fisiknya tidak memungkinkan sehingga yang bersangkutan
5 Ibid. hlm 96
vii
tidak dapat melakukan pekerjaannya, maka dalam hal ini Undang-Undang
13 Tahun 2003 tepatnya pada Pasal 81 memberikan dispensasi,
selengkapnya berbunyi:
(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit
dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada
hari pertama dan kedua pada waktu haid. (Pasal 81 Ayat 1)
d. Perlindungan Khusus Dalam Masa Maternitas seperti Hamil, Melahirkan,
Gugur Kandungan, dan Kesempatan Menyusui
Bagi seorang perempuan pasti akan mengalami masa-masa dimana
ia akan mengandung seorang anak (hamil), melahirkan, menyusui dan
bahkan hingga mengalami keguguran. Hal tersebut merupakan bagian
yang bersifat kodrati dan berjalan secara biologis serta merupakan
ketetapan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Pengaturan terhadap hak maternitas pekerja perempuan tersebut
diatur lebih lanjut didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, yang selengkapnya berbunyi:
(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5
(satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5
(satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan
dokter kandungan atau bidan. (Pasal 82 ayat 1)
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran berhak
memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai surat
keterangan dokter kandungan atau bidan. (Pasal 82 ayat 2)
(3) Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus
diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu
harus dilakukan selama waktu kerja. (Pasal 83)
viii
3. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Perempuan Menurut
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women/CEDAW)
Convention On the Elimination Of All Forms Of Discrimination
Against Women (CEDAW) m e r upa ka n pe r j an j i an in t e r na s iona l
ya n g telah diratifikasi oleh bangsa Indonesia melalui Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan pada tanggal 24 Juli 1984.6
Khusus bagi kaum perempuan dalam CEDAW ini terdapat apa yang
disebut dengan affirmative action yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) yang
berbunyi: “pengambilan tindakan-tindakan khusus oleh Negara-negara Pihak,
termasuk tindakan-tindakan yang termuat dalam Konvensi ini, yang ditujukan
untuk melindungi kehamilan, tidak boleh dianggap sebagai diskriminasi”.
Affirmative Action yang merupakan perwujudan dari Pasal 4 tersebut
mempunyai makna yaitu diskriminasi positif (positive discrimination) atau
langkah-langkah khusus yang dilakukan guna mempercepat tercapainya
keadilan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Kebijakan
affirmative bertujuan untuk mempromosikan kesempatan yang sama bagi
setiap warga Negara, terutama kaum perempuan yang tergolong kelompok
rentan memperoleh perlakuan marginalisasi. Untuk itu ketika perempuan
mengalami hal-hal yang berkaitan khusus dengan fungsi reproduksinya,
6 Kelompok Kerja Convention Watch, Hak Azasi Perempuan: Instrumen Hukum untuk
Mewujudkan Keadilan Gender, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2012, hlm 44
ix
seperti hamil, maka setiap Negara berkewajiban memberikan perlindungan
khusus sehingga perlindungan tersebut tidak boleh dianggap sebagai bentuk
diskriminasi bagi kaum laki-laki, sebab perlindungan itu semata-mata
diberikan untuk melindungi kaum perempuan dalam melewati masa
kehamilannya karena mereka pada saat hamil berada pada posisi fisik yang
lebih lemah, oleh karena itu perlu mendapatkan perlakuan khusus dari
pemerintah. Itulah yang dinamakan dengan istilah Affirmative Action
(diskrimnasi positif).7
B. Faktor-Faktor Yuridis Yang Mempengaruhi Perlindungan Kerja Bagi
Perempuan
Pada prinsipnya, penegakan hukum terhadap perempuan dan penegakan
hak-hak perempuan yang berkecimpung dalam dunia kerja adalah sama dan
sebangun keseluruhannya dengan prinsip-prinsip penegakan hukum pada
umumnya, dimana menurut Soerjono Soekanto berpendapat bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi penegakan hukum antara lain:8
1. Faktor Hukumnya;
2. Faktor Penegak Hukumnya;
3. Faktor Sarana dan Fasilitas Hukumnya;
4. Faktor Masyarakatnya;
5. Faktor Kebudayaannya.
Kelima faktor tersebut diatas saling berkaitan erat, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum dan juga merupakan tolak ukur
7 Syarifah Rahmatillah, “Saatnya Affirmative Action bagi Perempuan”, diakses dari
http://aceh.tribunnews.com/2013/04/29/saatnya-affirmative-action-bagi-perempuan?page=2, pada
tanggal 7 November 2018, pada pukul 23.45 Wita. 8 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm 8
x
daripada efektivitas penegakan hukum.9 Sehingga perlindungan dan
penegakan hukum perempuan khususnya yang menyangkut aspek
perlindungan hukum bagi pekerja perempuan juga dipengaruhi oleh faktor-
faktor tersebut diatas yang secara spesifik dapat penyusun uraikan sebagai
berikut:
1. Faktor Hukumnya
Mencakup berbagai peraturan tertulis yang dibuat oleh penguasa
atau pemerintah yang berlaku secara umum dan memiliki daya
memaksa serta mengikat yakni dalam bentuk Undang-Undang
terutama terkait regulasi yang mengatur tentang perlindungan hukum
terhadap pekerja perempuan seperti Undang-Undang Nomor 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Konvensi CEDAW, dan
sebagainya. Dengan adanya berbagai macam peraturan perundang-
undangan yang didukung dengan sanksi yang tegas didalamnya,
maka diharapkan pemberian perlindungan kerja bagi perempuan
dapat berjalan secara lebih efektif dan maksimal.
2. Faktor Penegak Hukumnya
Mencakup para petugas, lembaga, atau stakeholder (pemangku
kepentingan) yang bertanggung jawab atas
berlangsungnya/terlaksananya hukum dalam masyarakat. Khusus
dalam bidang ketenagakerjaan, maka lembaga yang memiliki
peranan penting untuk mewujudkan perlindungan kerja bagi
9 Ibid. hlm 9
xi
perempuan adalah Disnaker, Dewan Pengupahan, serta PPK
(Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan).
3. Faktor Sarana dan Fasilitas Hukumnya
Khusus bagi pekerja perempuan pada kenyataannya memang
membutuhkan sarana dan fasilitas tertentu dalam mendukung
kelancaran pekerjaan yang mereka lakukan. Adapun sarana dan
fasilitas yang wajib diberikan bagi pekerja perempuan menurut KEP-
224/MEN/2003 seperti:
a. Pemberian fasilitas makanan dan minuman bergizi, dimana
makanan dan minuman tersebut harus sekurang-kurangnya
memenuhi 1.400 kalori dan diberikan pada waktu istirahat antara
jam kerja serta fasilitas makanan dan minuman bergizi tersebut
tidak boleh diganti dengan uang;
b. Pemberian sarana transportasi atau angkutan antar jemput
khususnya bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan
pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 05.00 dan
sebagainya.
Bila semua sarana/fasilitas tersebut telah terpenuhi, maka akan
berimplikasi baik bagi pemberian perlindungan kerja bagi
perempuan agar dapat berjalan secara efisien, efektif, dan maksimal.
4. Faktor Masyarakatnya
Masyarakat merupakan wadah/tempat berlangsungnya proses
interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Peran masyarakat disini
sangat dibutuhkan terutama dalam memberikan kepedulian dan
melihat sejauh mana tingkat kesadaran mereka khususnya untuk ikut
membela hak-hak pekerja perempuan.
xii
5. Faktor Kebudayaannya
Yaitu terkait dengan pandangan masyarakat atau nilai-nilai yang
hidup/berakar ditengah masyarakat dalam menegakkan hukum
sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Dalam hal ini peran budaya
juga berperan amat penting dalam perlindungan kerja bagi
perempuan, dimana budaya yang dimaksud disini adalah budaya
patriarki. Keberadaan budaya patriarki tersebut pada akhirnya
berimplikasi negatif terhadap perlindungan kerja bagi perempuan,
oleh karena masyarakat selalu beranggapan bahwa „perempuan
bukanlah pencari nafkah utama‟ melainkan „tugas perempuan itu
hanyalah mengurus rumah tangga‟. Dalam hal ini kaum perempuan
acap kali selalu dianggap sebagai makhluk yang dinomor duakan
setelah kaum laki-laki.
xiii
III. PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Perlindungan hukum terhadap pekerja
perempuan menurut hukum positif Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar
1945, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Konvensi CEDAW. 2. Faktor-faktor yuridis
yang mempengaruhi perlindungan kerja bagi perempuan ada 5 (lima). Pertama,
Faktor Hukumnya; berupa peraturan-peraturan tertulis yang didukung dengan
sanksi yang tegas didalamnya. Kedua, Faktor Penegak Hukumnya; mencakup para
petugas, lembaga, dan stakeholders yang bertanggungjawab dalam penegakan
hukum di masyarakat khususnya terkait pekerja perempuan. Ketiga, Faktor Sarana
dan Fasilitas Hukumnya; mencakup sarana dan peralatan/fasilitas yang memadai
dalam mendukung efektivitas kerja dari perempuan. Keempat, Faktor
Masyarakatnya; melihat sejauh mana tingkat kesadaran dan kepedulian
masyarakat khususnya dalam membela hak-hak pekerja perempuan. Kelima,
Faktor Kebudayaannya; berupa budaya patriarki yang masih kental hidup dalam
masyarakat sehingga mempengaruhi perlindungan kerja bagi perempuan.
Saran
Adapun saran yang dapat dikemukakan oleh penyusun adalah sebagai
berikut: 1. Pemerintah dan Disnaker seharusnya berperan aktif dalam memberikan
perlindungan hukum khususnya bagi pekerja perempuan yang memang tergolong
xiv
dalam kelompok rentan serta diharapkan mampu menindak tegas pihak
perusahaan atau pengusaha yang secara sengaja mengabaikan hak-hak pekerja
perempuan agar supaya pekerja perempuan dapat lebih merasa aman dan nyaman
dalam bekerja serta demi mendukung adanya produktivitas kerja dari perempuan
tersebut. 2. Pekerja perempuan juga seharusnya lebih bisa mengedukasi diri
mereka sendiri dan lebih sadar akan hak-hak mereka sebagai pekerja serta ikut
andil dalam memperjuangkan segala bentuk ketidakadilan maupun kesewenangan
yang mereka dapatkan baik dari pihak pengusaha maupun majikannya. Peran aktif
dari pekerja perempuan dalam menuntut dan memperjuangkan hak-hak mereka
tersebut sangat dibutuhkan agar perlindungan hukum bagi pekerja perempuan juga
dapat ditegakkan secara efektif dan maksimal.
xv
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku/literatur, Makalah, dan Artikel
Joupy G.Z Mambu, 2013, Aspek Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja
Wanita (Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003). Skipsi
Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Negeri Manado.
Kelompok Kerja Convention Watch, 2012, Hak Azasi Perempuan: Instrumen
Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, Jakarta.
Muladi, 2009, Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep, dan Implikasinya
dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung.
Soerjono Soekanto, 2010, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Viqih Akbar, 2017, Peran Perempuan Terhadap Perekonomian Keluarga,
Skripsi Sarjana Sosial Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Zaeni Asyhadie, 2013, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang
Hubungan Kerja, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
B. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (HAM).
Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Konvensi Perempuan, The United Nations Conference, Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women
(CEDAW), 1979.
C. Sumber Website
Syarifah Rahmatillah, “Saatnya Affirmative Action bagi Perempuan”,
diakses dari http://aceh.tribunnews.com/2013/04/29/saatnya-
affirmative-action-bagi-perempuan?page=2, pada tanggal 7 November
2018, pada pukul 23.45 Wita.