31
PERLINDUNGAN HUTAN NAGARI TERHADAP ILLEGAL LOGGING DI NAGARI LUBUK KARAK KABUPATEN DHARMASRAYA JURNAL ILMIAH OLEH : FITRIA NOVITA 0910111004 PROGRAM KEKHUSUSAN: HUKUM PIDANA (PK IV) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2013

Perlindungan Hutan Nagari Terhadap Illegal Logging

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jurnal ilmiah fitria novita

Citation preview

  • PERLINDUNGAN HUTAN NAGARI TERHADAP ILLEGAL

    LOGGING

    DI NAGARI LUBUK KARAK

    KABUPATEN DHARMASRAYA

    JURNAL ILMIAH

    OLEH :

    FITRIA NOVITA

    0910111004

    PROGRAM KEKHUSUSAN: HUKUM PIDANA (PK IV)

    FAKULTAS HUKUM

    UNIVERSITAS ANDALAS

    PADANG

    2013

  • THE PROTECTION OF LOCAL FOREST FROM ILLEGAL LOGGING IN NAGARI LUBUAK

    KARAK

    DHARMASRAYA REGION

    (Fitria Novita, 0910111004, The Faculty of Law Andalas University, 70 pages, 2013)

    ABSTRACT

    Forest is an open natural resource and can be directly utilized by humans to trigger problems in forest

    management , such as illegal logging , forest harvesting which is not environmentally educated . To

    protect the forest from the irresponsible hands, the government issued the regulations on forestry , that

    is the Law No. 41 of 1999 about Forestry . The problem discussed in this paper : first , how the

    protection of local forest by villager communities against illegal logging as a form of culture criminal

    in Dharmasraya. Second , how the role of KAN and the local government in the protection of local

    forests against illegal logging in LubukKarak, Dharmasraya. Third , what are the obstacles to the

    enforcement of local forest protection laws related to illegal logging in LubukKarak, Dharmasraya.

    The method used by the socio-juridical is approaching to the problem through the study of law with the

    valid legal norms and relating it to the implementation and facts on the reality. The collection of data

    from the document analyzer did the infentarisasi to the legal materials needed , such as : primary legal

    materials , secondary legal materials, and tertiary legal materials . Second , interviews were conducted

    in order to obtained data concretely. The study was conducted in theDhamasraya Forestry Office and

    the Nagari office ofLubuk Karak, Dharmasraya. The results obtained in the field of research , that isthe

    lack of formal protection from indigenous peoples and local government. While the role of the KAN

    and the local governmentonly limited to providing advices and suggestions that will arise from the

    impact of illegal logging as well as doing outreach in coordination with the Forestry Service. There

    was absence of accurate regulation and involvement in the protection of local forest. the constraints in

    eradication of illegal logging itself is, logging is the main jobbeside gathering the sap of rubber . The

    researchers conclusion is that the law enforcement against illegal logging is very difficult to do,

    because there are many indigenous or local people who arenot aware of the law .

  • I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Indonesia merupakan negara yang kaya atas sumber daya alam, dimana hutan

    merupakan salah satu diantaranya yang menempati posisi strategis dalam kehidupan

    berbangsa dan bernegara.Sekitar dua pertiga dari 191 juta hektare daratan Indonesia

    adalah kawasan hutan dengan ekosistem yang beragam, mulai dari hutan tropika

    dataran tinggi, sampai hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar dan hutan bakau

    (mangrove) .Indonesia juga memliki 12% dari jumlah spesies binatang

    menyusui/mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies

    burung dan 25% dari spesies ikan dunia.

    Hutan didominasi oleh kayu yang menyimpan berbagai macam kekayaan

    alam yang sangat berguna bagi kehidupan manusia.Oleh sebab itu, selain berfungsi

    sebagai penyeimbang dan penyangga keberlanjutan lingkungan dan kelestarian alam,

    hutan juga menjadi gantungan kehidupan bagi hampir 60 % masyarakat

    Indonesia.Seiring dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan hidup dalam

    masyarakat semakin meningkat sehingga hutan menjadi pokok penghidupan banyak

    orang.Industrialisasi kehutanan berdampak besar terhadap kelangsungan hutan

    sebagai penyeimbang dan penyangga hidup dan kehidupan makhluk di dunia.Hutan

    merupakan sumber daya alam yang sangat penting, tidak hanya sebagai sumber daya

    kayu, tetapi lebih sebagai salah satu komponenlingkungan hidup.

    Aspek-aspek pembangunan di bidang kehutanan pada dasarnya adalah

    menyangkut upaya-upaya mengoptimalkan pendayagunaan fungsi-fungsi ganda dari

  • hutan dan kehutanan yang bertumpu pada kawasan hutan yang menyebar seluas

    lebihkurang 72 % dari luas wilayah daratan Indonesia, atau sekitar 143,970 juta

    hektar yang terbagi menjadi hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi

    dansebagainya.

    Fungsi-fungsi hutan tersebut pada hakikatnya merupakan modal alam (natural

    capital) yang harus ditransformasikan menjadi modal riil (real capital) bangsa

    Indonesia untuk berbagai tujuan, antara lain yaitu:

    1. Melestarikan lingkungan hidup untuk kepentingan lokal, daerah, nasional, dan

    global;

    2. Meningkatkan nilai tambah pendapatan nasional, pendapatan daerah,

    danpendapatan masyarakat;

    3. Mendorong ekspor non migas dan gas bumi untuk menghimpun devisa

    negara bagi penumpukan modal pembangunan.

    Hutan merupakan sumber daya alamnya terbuka dan dapat langsung

    dimanfaatkan oleh manusia,hingga memicu terjadinya permasalahan dalam

    pengelolaan hutan, seperti penebangan liar, pengambilan hasil hutan yang tidak

    berwawasan lingkungan. Jika dibiarkan terus menerus akan terjadinya kerusakan

    hutan yang menyebabkan terganggunya kelangsungan ekosistem, terjadinya banjir,

    erosi/tanah longsor, dan lain sebagainya.

    Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyatakan bahwa setiap

    menitnya hutan Indonesia seluas 7,2 hektar musnah akibat destructive logging

    (penebangan yang merusak). Departemen Kehutanan menyatakan bahwa kerugian

  • akibat pencurian kayu dan peredaran hasil hutan illegal senilai 30,42 triliun rupiah

    pertahun, belum termasuk nilai kehilangan keanekaragaman hayati dan fungsi

    hidrologis, serta nilai social dari rencana dan kehilangan sumber kehidupan akibat

    pengrusakan hutan.

    Aksi-aksi illegal logging terjadi disemua hutan Indonesia, baik itu di kawasan

    hutan produksi, hutan konservasi, maupun hutan lindung.Maka konkritnya, telah

    terjadi kerusakan hutan di seluruh wilyah hutan tropis Indonesia.Hal tersebut terjadi

    karena adanya keterlibatan pelaku illegal logging yang merata mewakili kelompok

    kepentingan dan unsur masyarakat. Bahkan, dalam praktek illegal logging terdapa

    unsur yang sangat terorganisir mulai dari pekerja lapangan, pemilik moda, cukong

    kayu, maupun oknum pejabat pemerintahan,mulai dari aparat yang bekerja di

    lapangan baik itu sipil maupun militer hingga pejabat yang mempunyai kekuasaan

    tertinggi didalam suatu instansi pemerintahan.

    Eksploitasi hutan secara tidak sah melalui mekanisme praktek illegal logging

    berdampak pada peran dan fungsi sumber daya hutan.Sumber daya hutan yang

    mempunyai 3 fungsi utama sebagai penjaga keseimbangan ekologi, keselarasan social

    dan keadilan ekonomi tidak lagi berfungsi semestinya karena praktek illegal logging

    yang mewabah.Ada 6 faktor penyebab yang mendorong terjadinya praktek illegal

    logging, yaitu (1) krisis ekonomi, (2) perubahan tatanan politik, (3) lemahnya

    koordinasi antara aparat penegak hukum, (4) adanya kolusi, korupsi, dan nepotisme,

    (5) lemahnya system pengamanan hutan dan pengamanan hasil hutan, serta (6) harga

    kayu hasil tebangan liar lebih yang murah .

  • Kegiatan illegal logging sangat memberikan dampak yang negatif terutama

    bagi kelestarian fungsi sumber daya hutan yang meliputi aspek ekonomi, sosial dan

    lingkungan. Pemerintah Indonesia telah bertekad dan berupaya untuk memberantas

    praktek illegal logging sebagai salah satu bentuk kejahatan lingkungan, sesuai dengan

    amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

    1945.Pemerintah sudah melakukan berbagai tindakan konkrit untuk melakukan

    pencegahan maupun penegakan hukum.Tindakan pencegahan dilakukan dengan

    melakukan pendekatan kesejahteraan yang meliputi program pembinaan,

    pendampingan, maupun pemberdayaan ekonomi masyarakat desa hutan. Sementara

    tindakan penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan

    melibatkan seluruh kelembagaan Negara yang berkaitan dengan keamanan hutan

    untuk terlibat dalam kegiatan pemberantasan illegal logging . Praktek illegal logging

    merupakan suatu praktek yang bermoduskan pidana maka harus dilawan juga dengan

    pidana, sehingga memberikan efek jera kepada pelaku illegal logging.

    Untuk itu hutan sebagai penyangga kehidupan harus dijaga kelestariannya.

    Sebagaimana disebutkan di dalam Dasar Negara Pasal 33 Ayat (3) UUD Negara

    Republik Indonesia yang berbunyi :Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di

    dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

    rakyat.

    Untuk melindungi hutan dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab,

    maka dari itu pemerintah mengeluarkan peraturan perundangan tentang kehutanan,

    yaitu Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

  • Disamping itu masyarakat adat juga memiliki aturan-aturan yang tidak tertulis

    bilamana terjadi pelanggaran dalam kosmis adat. Pelanggaran terhadap kosmis adat

    itu tidak saja dilakukan terhadap perorangan tetapi juga dilakukan terhadap kejahatan

    terhadap masyarakat adat, termasuk hak-hak yang melekat pada masyarakat adat,

    oleh karena itu masyarakat adat juga mempunyai beberapa sanksi atau reaksi adat

    yaitu :

    1) pengganti kerugian materiil dalam berbagai rupa, seperti paksaan menikahkan

    gadis yang telah dicemarkan;

    2) uang adat;

    3) selamatan untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran;

    4) penutup malu/permintaan maaf;

    5) berbagai rupa hukuman badan sampai hukuman mati; dan

    6) pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar hukum.

    Maka dari itu sanksi yang dapat diberikan kepada masyarakat adat yang

    melakukan praktek illegall logging adalah berupa uang adat yang harus dibayarkan

    guna pertanggungjawaban dari perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat/kosmis

    adat yang melanggar.

    Aturan adat Minangkabau tersusun atas induk aturan yang terdiri atas 6

    (enam) macam, yakni :

    1) adat

    2) kato

    3) nagari

  • 4) undang

    5) hukum

    6) cupak

    kemudian aturan ini dipecah menjadi 22 yang merupakan perincian dari

    induk aturan yang 6 (enam) tadi , yang salah satunya adalah Undang-Undang duo

    puluah, adalah himpunan aturan terdiri dari 20 macam, terdiri atas :

    a. Undang-undang Salapan (Undang delapan)

    b. Undang-undang duo baleh (undang dua belas)

    Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang

    Kehutanan,menebang, memotong, mengambil dan membawa kayu hasil hutan tanpa

    ijin daripejabat yang berwenang dikenakan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang

    Hukum Pidana (KUHP). Setelah berlakunya Undang-Undang No. 41 tahun 1999

    terhadap perbuatan memanfaatkan kayu hasil hutan tanpa ijin pihak yang berwenang

    tersebut dikenakan pidana. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 50 jo Pasal 78 UU No.

    41 tahun 1999 yang notabene ancaman pidananya lebih berat dibandingkan dengan

    apabila dikenai pasal-pasal dalam Kitab Undang-UndangHukum Pidana (KUHP).

    Namun sejak bergulirnya Otonomi Daerah sebagai sintesa pemeritahan yang

    otoritarian, untuk menuju pemerintahan yang demokratis, berdampak pula terhadap

    pola pengelolaan sumber daya alam termasuk didalamnya hutan.Sumatera Barat

    melaksanakan otonomi dareah dengan kembali kepada nagari. Oleh karena iu,

    didalam perda kembali disebutkan bahwa pengelolaan hutan berbasis nagari.

  • Pengaturan ini dapat dilihat pada ketentuan Bab I Pasal 1 angka 15 Perda No.

    2 Tahun 2007, yang menyebutkan harta kekayaan nagari adalah: Harta benda yang

    telah ada atau yang kemudian menjadi milik dan kekayaan nagari baik bergerak

    maupun tidak bergerak. Sedangkan dalam BAB V Pasal 16 menyebutkan harta

    kekayaan nagari itu meliputi :

    a. Pasar nagari;

    b. Tanah lapang atau tempat rekreasi nagari;

    c. Balai, Mesjid dan/atau Surau nagari;

    d. Tanah, hutan, sungai, kolam dan /atau laut yang menjadi ulayat nagari;

    e. Bangunan yang dibuat oleh Pemerintah Nagari dan atau anak nagari untuk

    kepentingan umum;

    f. Harta benda dan kekayaan lainnya.

    Maka dari itu nagari mempunyai kewajiban untuk menjaga dan melestarikan

    harta kekayaan nagari yang sudah dilimpahkan oleh pemerintah, terutama hutan yang

    terletak dalam kawasan adat yang mana harus dijaga kelestariannya oleh nagari serta

    jajaran nagari, seperti pemuka-pemuka adat dan pemuka-nagari. Pemuka adat dan

    nagari harus menjaga hutan nagari dari praktek penebangan liar atau yang dikenal

    dengan illegal logging.

    Luas Kawasan Hutan Kabupaten Dharmasraya berdasarkan SK Mentri Hutan

    Nomor : 304/Menhut-II/2011 tanggal 9 Juni 2011, sebagai berikut :

    1. Hutan Swaka Alam (SA) 5.409 Ha

    2. Hutan Lindung (HL) 11.986 Ha

  • 3. Hutan Produksi Terbatas (HPT) 31.224 Ha

    4. Hutan Produksi Tetap (HP) 26.770 Ha

    5. Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi 16.761 Ha

    6. Kawasan Hutan 92.150 Ha

    7. Areal Penggunaan Lainnya 203.963 Ha

    Sedangkan luas hutan yang terdapat di kenagarian lubuk karak kecamatan IX

    Koto adalah seluas 11724 Ha. Kondisi hutan yang ada di Kabupaten Dharmasraya

    saat ini sudah sangat memprihatinkan, dimana dari data yang ada di Dinas Kehutanan

    sebanyak 22 Ribu hektar hutan Dharmasraya rusak. Hal ini diungkapkan oleh Kepala

    Dinas Kehutanan dan Perkebunan Ramilus SP M.Si dalam acara sosialisasi

    pemantapan dan kelestarian kawasan hutan yang dipusatkan di Kelompok Tani

    Rimbo Sakato Sungai Kilangan kemarin. Kerusakan hutan di Dharmasraya

    berdasarkan table perbandingan luas kerusakan hutan antar Daerah tahun 2010 yaitu

    disebabkan :

    a. Kebakaran hutan seluas 100 ha

    b. Lading berpindah 500 ha

    c. Penebangan liar 750 ha

    d. Perambahan hutan 200 ha

    Maka dari itu nagari dan pemrintah berkewajiban menjaga dan melindungi

    hutan dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.Dengan memberikan

    hukuman berdasarkan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik yang

  • berdasarkan KHUP maupun UU khusus berkaitan dengan pebenagan liar (illegal

    logging) yaitu UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

    Kejahatan penebangan liar (illegal logging) di atur di dalam Undang-Undang

    kehutanan, yaitu undang-undnag No. 41 Tahun 1999, salah satu pasal yang

    menyebutkan tentang tindak pidana penebangan liar (illegal logging) yaitu pasal 50

    ayat 1-3, yang mana sebagian ayat itu berbunyi :

    (1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.

    (2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha

    pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan

    bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu,

    dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.

    Serta dalam Pasal 69 Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

    yang mana Pasalnya berkaitan dengan perlindungan hutan, yang berbunyi :

    (1) Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga

    kawasan hutan dari gangguan dan perusakan.

    (2) Dalam melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta

    pendampingan, pelayanan, dan dukungan kepada lembaga swadaya

    masyarakat, pihak lain, atau pemerintah.

    Berdasarkan data yang didapat dari lapangan, yaitu dengan cara wawancara

    langsung dengan narasumber, yaitu Bapak Martiajis Wali Nagari Lubuk Karak

    Kecamatan IX Koto Kabupaten Dharmasraya menyatakan bahwa 30% Hutan Nagari

    di Nagari Lubuk Karak rusak diakibatkan oleh penebangan liar. Namun berdasarkan

  • pengamatan saya lebih dari 30% karena di sepanjang jalan dan di sungai begitu

    banyak kayu-kayu hasil dari penebangan liar.

    Berdasarkan latar belakang dan kondisi hutan yang semakin buruk di

    akibatkan oleh penebangan liar kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya

    hutan bagi kehidupan, kemudian mendorong penulis untuk membuat proposal dan

    melakukan penelitian, dengan judul proposal : PERLINDUNGAN HUTAN

    NAGARI TERHADAP ILLEGAL LOGGING DI NAGARI LUBUK KARAK

    KABUPATEN DHARMASRAYA.

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian latar belakang penelitian ini, penulis membatasi ruang

    lingkup penelitian ini dengan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

    1. Bagaimana perlindungan hutan nagari oleh masyarakat nagari terhadap

    illegal logging sebagai bentuk pidana adat di Kabupaten Dharmasraya

    kenagarian Lubuk Karak?

    2. Bagaimana peran Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Pemerintahan

    Nagari dalam perlindungan hutan nagari terhadap illegal logging di

    Kabupaten Dharmasraya kenagarian Lubuk Karak?

    3. Apakah yang menjadi kendala terhadap penegakan hukum untuk

    perlindungan hutan nagari yang berkaitan dengan illegal logging di

    Kabupaten Dharmasraya kenagarian Lubuk Karak?

  • C. Metode Penelitian

    1. Metode Pendekatan

    Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

    pendekatan masalah bersifat yuridis sosiologis (socio-legal Research) yang

    menekankan pada praktik di lapangan dikaitkan dengan aspek hukum atau

    perundang-undangan yang berlaku berkenaan dengan objek penelitian yang

    dibahas dan melihat norma-norma hukum yang berlaku kemudian

    dihubungkan dengan kenyataan atau fakta-fakta yang terdapat dalam

    kehidupan masyarakat,1 yaitu Perlindungan Hutan Nagari terhadap Illegal

    Logging di Nagari Lubuk Karak Kabupaten Dharmasraya.

    2. Sifat Penelitian

    Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif yaitu untuk

    memberikkan gambaran tentang perlindungan hutan nagari oleh masyarakat

    nagari terhadap illegal logging sebagai bentuk pidana adat di Kabupaten

    Dharmasraya kenagarian Lubuk Karak, peran Kerapatan Adat Nagari (KAN)

    dan Pemerintahan Nagari dalam perlindungan hutan nagari terhadap illegal

    logging di Kabupaten Dharmasraya kenagarian Lubuk Karak dan yang

    menjadi kendala terhadap penegakan hukum untuk perlindungan hutan nagari

    1Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum.PT.Raja Grafindo Persada.

    Jakarta: 2008.

  • yang berkaitan dengan illegal logging di Kabupaten Dharmasraya kenagarian

    Lubuk Karak.

    3. Jenis dan Sumber Data

    a) Jenis Data

    Adapun Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

    data primer dan data sekunder. Dalam penelitian ini penulis

    mendapatkan data primer dengan melakukan wawancara dengan

    Kepala Bidang Perlindungan Hutan di Kantor Dinas Kehutanan

    dan Wawancarra dengan bapak Wali Nagari Lubuk Karak Serta

    Ketua KAN nagari Lubuk Karak Kabupaten Dharmasraya.

    Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian

    perpustakaan yaitu berupa peraturan-peraturan dan buku-buku atau

    literatur yang berkaitan dengan penelitian ini.

    b) Sumber Data

    Data dalam penelitian ini didapatkan melalui penelitian

    kepustakaan dan penelitian lapangan.

    4. Metode Pengumpulan Data

    1) Wawancara

    Dalam penelitian ini penulis mewawancarai Kepala Bidang

    Perlindungan Hutan yaitu bapak Evi di Dinas Kehutanan, Wali Nagari

    Lubuk Karak yaitu bapak Marti Ajis dan Ketua KAN yaitu bapak

    Maridun.

  • 2) Studi dokumen

    Studi dokumen adalah suatu teknik pengumpulan data yang

    dilakukan dengan mencari, mencatat, menginventarisasi, menganalisis,

    dan mempelajari data yang berupa bahan-bahan pustaka2.

    5. Pengolahan dan Analisis Data

    Data yang di peroleh setelah penelitian di lapangan akan diolah

    melalui proses editing yaitu kegiatan yang dilakukan untuk meneliti

    kembali dan mengoreksi atau melakukan pengecekan terhadap hasil

    penelitian sehingga tersusun dan akhirnya melahirkan suatu kesimpulan.

    Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode yang bersifat

    kualitatif 3. Dimana data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan

    kemudian di olah dan dianalisa selanjutnya disusun untuk menggambarkan

    tentang perlindungan hutan nagari oleh masyarakat nagari terhadap illegal

    logging sebagai bentuk pidana adat di Kabupaten Dharmasraya kenagarian

    Lubuk Karak, peran Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Pemerintahan Nagari

    dalam perlindungan hutan nagari terhadap illegal logging di Kabupaten

    Dharmasraya kenagarian Lubuk Karak dan yang menjadi kendala terhadap

    penegakan hukum untuk perlindungan hutan nagari yang berkaitan dengan

    illegal logging di Kabupaten Dharmasraya kenagarian Lubuk Karak. Sehingga

    data akhirnya bersifat deskriptif yaitu data yang berbentuk uraian-uraian

    2 Zainudin Ali (2010), Metode Penelitian Hukum ,Sinar Grafika, Jakarta ,hal 41 3 Bambang waluyo (2008) , penelitian hukum dalam praktek, Sinar Grafika. Jakarta , hal. 22

  • kalimat yang tersusun secara sistematis yang menggambarkan hasil penelitian

    dan hasil pembahasan.

    D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

    1. Kerangka Teoritis

    Hutan merupakan sumber alam yang di anugerahkan oleh Tuhan, dan

    sudah merupakan ketetapan dari Tuhan. Jika hukum alam tersebut dirusak

    akan mengakibatkan suatu akibat yang fatal. Seperti hutan yang dirusak akan

    memberikan suatu akibat yang fatal, karena alam merupakan ciptaan Tuhan

    yang wajib untuk dilindungi.

    Eksistensi hukum pidana adat di Indonesia telah lama dikenal baik

    dikaji dari perspektif asas, teoretis, norma, praktek dan prosedurnya. Sebagai

    salah satu contoh eksistensi pengaturan hukum pidana adat terdapat dalam

    Oendang-Oendang Simboer Tjahaja pada abad ke-16 di wilayah Kesultanan

    Palembang Durussalam Sumatera Selatan. Pada Oendang-Oendang Simboer

    Tjahaja (UUSC) dikenal hukum pidana adat dimana sanksi denda dikenakan

    pada delik kesusilaan diatur Pasal 18-23 Bab I tentang Adat Bujang Gadis dan

    Kawin UUSC. Sedangkan di Sumatera Barat dikenal dengan Undang-Undang

    Duo Puluah yaitu himpunan aturan aturan yang terdiri dari 0 macam, yang

    terdiri atas :

    a. Undang-undang salapan ( undang delapan)

    b. Undang-Undang duo baleh (undang dua belas)

  • Adapun undang salapan adalah aturan yang menetukan nama kejahatan

    atau pelanggaran, yakni :

    1. Dago-dagi

    2. Sumbang salah

    3. Maliang curi

    4. Tikam bunuah

    5. Lancuang kicuah

    6. Upeh racun

    7. Sia baka

    8. Samun saka

    Adapun undang duo baleh (dua belas) adalah aturan untuk

    membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran suatu aturan, atau telah

    dilakukan perbuatan melawan undang, dan perbuatan itu mesti salah satu

    diantara perbuatan tersebut diatas. Undang dua belas ini mengatur cara

    membuktikan, dan menentukan syarat-syarat untuk membuktikannya.

    Hukum pidana adat dapat kaji dari teori hukum, maka ilmu hukum

    dibagi menjadi tiga lapisan yaitu teori hukum dan filsafat hukum dan

    dogmatik hukum. Teori hukum menurut JJH Bruggink adalah keseluruhan

    pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-

    aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut sebagian yang

    penting dipositifkan. Menurut JJH Bruggink lebih lanjut pengertian teori

    hukum memiliki makna ganda, yaitu dapat berarti produk, yaitu keseluruhan

  • pernyataan yang saling berkaitan itu adalah hasil kegiatan teoretis bidang

    hukum. Dalam arti proses, yaitu kegiatan teoretis tentang hukum atau pada

    kegiatan penelitian teoretis bidang hukum sendiri. Kemudian dogmatik hukum

    hakikatnya berisikan hukum positif yaitu yang dibentuk dalam wujud tententu

    oleh kekuasaan yang berwenang.4 Filsafat Hukum merupakan refleksi

    terhadap hukum atau gejala hukum sehingga sebagai refleksi kefilsafatan

    eksistensinya tidak ditujukan mempersoalkan hukum positif tertentu

    melainkan merefleksikan hukum pada umumnya atau hukum sebagai yang

    demikian (law as such). Sedangkan Dogmatik Hukum menurut Bellefroid

    dan Kusumadi Pudjesewojo disebut sebagai Ilmu Hukum Positif

    mempelajari peraturan dari segi teknis yuridis, berbicara hukum dari aspek

    yuridis, problem hukum yang konkret, aktual dan potensial dan melihat

    hukum dari perspektif internal.5

    Pada tataran dogmatik hukum yang secara teoretis berkorelasi dengan

    teori hukum khususnya hukum positif maka tindak pidana adat (hukum pidana

    adat) haruslah berupa sebuah rumusan yang bersifat tertulis sehingga dapat

    dikualifisir unsur perbuatan tindak pidana adat sebagai suatu primes mayor.

    Untuk itu, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Dart

    Nomor 1 Tahun 1951 sebagai berikut:

    4 ibid

    5 ibid

  • Pertama, bahwa tindak pidana adat yang tiada bandingan atau padanan dalam

    KUHP dimana sifatnya tidak berat atau dianggap tindak pidana adat

    yang ringan ancaman pidananya adalah pidana penjara dengan

    ancaman paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak lima ratus

    rupiah (setara dengan kejahatan riangan), minimumnya sebagaimana

    termaktub dalam ketentuan Pasal 12 KUHP yaitu 1 (satu) hari untuk

    pidana penjara dan pidana denda minimal 25 sen sesuai dengan

    ketentuan Pasal 30 KUHP. Akan tetapi, untuk tindak pidana adat yang

    berat ancaman pidana paling lama 10 (spuluh) tahun, sebagai

    pengganti dari hukuman adat yang tidak dijalani oleh terdakwa.

    Kedua, tindak pidana adat yang ada bandingnya dalam KUHP maka ancaman

    pidananya sama dengan ancaman pidana yang ada dalam KUHP

    seperti misalnya tindak pidana adat Drati Kerama di Bali atau

    Mapangaddi (Bugis) Zina (Makasar) yang sebanding dengan tindak

    pidana zinah sebagaimana ketentuan Pasal 284 KUHP.

    Ketiga, sanksi adat sebagaimana ketentuan konteks di atas dapat dijadikan

    pidana pokok atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa,

    mengadili dan memutus perbuatan yang menurut hukum yang hidup

    (living law) dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya

    dalam KUHP sedangkan tindak pidana yang ada bandingnya dalam

    KUHP harus dijatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan KUHP.6

    Pada dimensi teori hukum maka hukum pidana adat dipandang sebagai

    norma hidup (living law) yang eksis dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena

    dimensi demikian maka hukum pidana adat dalam implementasinya

    dipergunakan penafsiran hukum berupa penafsiran sosiologi atau teleologis.

    Konsekuensi logis dimensi demikian yang mempergunakan penafsiran

    sosiologis atau teleologis ini dilakukan terhadap proses heurmanitika dalam

    praktek hukum sehingga harus mempunyai tolok ukurnya dalam hukum

    6 ibid

  • positif. Sedangkan dikaji dari perspektif filsafat hukum maka hukum pidana

    adat mengatur tentang nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sehingga

    apabila nilai tersebut dilanggar akan terjadi kegoncangan keseimbangan magis

    dan oleh karena itu harus dipulihkan keseimbangan tersebut dengan sanksi

    adat atau obat adat. Nilai-nilai filosofis tersebut diatur dalam bentuk norma

    dan asas serta diterapkan dalam praktek hukum. Dari dimensi fisafat hukum

    nilai-nilai filosofis tersebut diatur dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang

    kekuasaan kehakiman khususnya pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal

    50 ayat (1) yang secara tegas meletaKkan dasar eksistensi hukum pidana

    adat.7

    2. Kerangka Konseptual

    Dalam kerangka konseptual dapat di kemukakan istilah-istilah sebagai

    landasan konsep penulisan skripsi ini sebagai berikut:

    a. Perlindungan hukum

    Perlindungan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

    adalah adalah cara, proses, perbuatan melindungi. Sedangkan menurut

    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 perlindungan adalah segala upaya

    yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang

    dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian,

    kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun

    7 ibid

  • berdasarkan penetapan pengadilan. Dan menurut PP No.2 Tahun 2002

    perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh

    aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman

    baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman,

    gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada

    tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di

    sidang pengadilan.Maka dari itu dapat diambil pengertian perlindungan

    hukum yaitu tindakan melindungi atau memberikan pertolongan dalam

    bidang hukum.8

    b. Hutan Nagari

    Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-

    batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus

    kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau

    (Adat Basandi Syarak, syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan

    asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera

    Barat.9 Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki

    batas-batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus

    kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau

    (Adat Basandi Syarak, syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan

    8WJS. Purwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) , Balai Pustaka 1959:224

    9Pasal 1 angka (1) Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 2 tahun 2007 tentang Pokok-

    Pokok Pemerintahan Nagari

  • asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera

    Barat.

    c. Illegal logging (Pembalakan Liar)

    Pengertian Illegal Logging dalam peraturan perundang-undangan

    yang ada tidak secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun,

    terminologi illegal logging dapat dilihat dari pengertian secara harfiah

    bahwa illegal logging adalah rangkaian kegiatan penebangan dan

    pengangkutan kayu ketempat pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu

    tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang sehingga tidak sah atau

    bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, oleh karena dipandang

    sebagai suatu perbuatan yang dapat merusak hutan.

    II . PEMBAHASAN

    A. Perlindungan Hutan Nagari Oleh Masyarakat Nagari terhadap Illegal

    Logging Sebagai Bentuk Pidana Adat Kabupaten Dharmasraya

    Kenagarian Lubuk Karak.

    Dari hasil penelitian yang dilakukan di lapangan, pada dasarnya

    perlindungan hutan sudah sesuai dengan aturan didalam peraturan perundang-

    undangan dan peraturan pemerintah. Namun yang menjadi masalah adalah

    masih banyaknya terjadi pembalakan liar dilapangan. Dari hasil wawancara

    yang saya lakukan dengan bapak Wali Nagari dan bapak KAN Lubuk Karak

    Kecamatan IX Koto Kabupaten Dharmasraya tersebut beliau mengatakan

    bahwa belum adanya perlindungan secara formal dari masyarakat adat karena

  • masyarakat tersebut yang ikut andil dalam pembalakan liar karena merupakan

    mata pencaharian meraka dalam memenuhi kehidupan sehari-hari. Namun

    selama ini yang dilakukan oleh pemerintah nagari hanyalah melakukan

    penyuluhan dari dampaknya pembalakan liar.10

    Pidana adat dan sanksi adat

    yang merupakan tombak utama untuk melindungi hutan nagari tersebut sudah

    mulai pudar dan hilang, karena hukum adat itu sendiri tidak dikenal lagi

    didaerah tersebut. Sebagaimana pernyataan dari bapak Kepala Kerapatan Adat

    Nagari yaitu Bapak Maridun Gindo Sutan pidana adat dan hukum adat yang

    ada di nagari Lubuk Karak sudah lama mati, sehingga tidak ada lagi

    perlindungan hutan masyarakat,sehingga banyak cukong-cukong yang

    melakukan ekspedisinya di hutan adat tersebut. Sehingga begitu sulit untuk

    menegakkan pidana adat itu sendiri kepada masyarakat adat yang melanggar

    hukum adat dengan melakukan pengrusakan hutan atau merusak alam yang

    telah dititipkan kepada kita.

    Namun yang menjadi masalah adalah para oknum penegak hukum baik

    di nagari maupun di Kabupaten yang masih lalai dan keluar dari aturan

    tersebut, sebagaimana yang saya lihat di lapangan, begitu banyaknya hasil

    dari pembalakan liar yang di hanyutkan melalui aliran sungai untuk dibawa

    kepada tempat pengolahan atau tempat transaksi. Dari hasil penelitian tidak

    terlihat sanksi adat yang diterapkan oleh masyarakat nagari terhadap

    10 Hasil wawancara dengan Wali Nagari dan Ketua KAN Lubuk Karak tanggal 20 Agustus 2013 jam

    11.00

  • penebangan liar, padahal patut diketahui sanksi adat minangkabau seperti

    aturan adat yang 6 (enam) yang salah satunya adalah Undang-Undang Nan

    Duo Puluah. Undang-Undang Nan Duo Puluah terdiri dari dua macam, yakni

    Undang-Undang Salapan dan Undang-Undang Duo Baleh. Undang-Undang

    Salapan tersebut adalah Undang-Undang yang menentukan nama kejahatan

    atau pelanggaran. Sedangkan Undang-Undang Duo Baleh adalah aturan untuk

    membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran suatu aturan atau lebih

    dilakukan perbuatan yang melawan Undang, perbuatan itu adalah perbuatan

    yang salah satu perbuatan yang terdapat didalam Undang Salapan. Dengan

    tidak diterapkannya sanksi adat tersebut sehingga masyarakat tetap dan tidak

    berhenti melakukan penebangan liar dengan pengrusakan hutan. Lemahnya

    aturan hukum membuat para pelaku tidak pernah jera untuk melakukan

    praktik atau ekploitasi hutan dengan mengambil hasil hutan yang tidak sesuai

    dengan semestinya.

    B. Peran KAN dan Pemerintahan Nagari dalam Perlindungan Hutan

    Nagari terhadap Illegal Logging di Kabupaten Dharmasraya Kenagarian

    Lubuk Karak

    Peran serta masyarakat diatur dalam Pasal 68 UU No. 41 Tahun 1999

    tentang Kehutanan yang dinyatakan bahwa, masyarakat berhak menikmati

    kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan (ayat (1)). Oleh karena itu,

    selain hak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan, maka

    masyarakat dapat: (a) memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan

  • peraturan perundang-undangan yang berlaku; (b) mengetahui rencana

    peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; (c)

    memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan

    baik langsung maupun tidak langsung (ayat (2)).11

    Berkaitan dengan hal diatas, maka perlu mendapatkan perhatian bahwa,

    masyarakat yang tinggal dan bermukim di sekitar hutan perlu mendapatkan

    kompensasi atas hilangnya akses dari hutan tersebut, dan masyarakat yang

    tinggal di sekitar hutan perlu di awasi pemerintah terkait dengan pungatan

    hasil hutan dan pengelolaan hasil hutan serta penebangan kayu yang tidak

    berwawasan lingkungan perlu di awasi kembali karena akan menimbulkan

    dampak yang sangat besar bagi lingkungan dan juga bertentangan dengan

    peraturan perundang-undangan. Terkait dengan kompensasi atas hilangnya

    akses kehutanan tersebut, hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 68 ayat

    (3) dinyatakan bahwa: masyarakat didalam dan sekitar hutan berhak

    memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya

    sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat

    penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

    berlaku. Oleh karena itu, setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena

    hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan

    kawasan hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan ayat (4).

    11 Ibid. Hlm 476

  • Seiring dengan ketetapan diatas dengan adanya kompensasi, masyarakat

    diharapkan pula memiliki kewajiban menjaga dan memelihara hutan tersebut

    dari gangguan perusakan seperti penebangan liar yang dilakukan oleh orang-

    orang yang tidak bertanggung jawab. Masyarakat ikut serta dalam hal

    memelihara dan menjaga hutan yaitu dengan melaksanakan rehabilitasi hutan.

    Pemerintah dan pemerintah dareah harus meningkatkan peran serta

    masyarakat dalam hal melindungi dan menjaga hutan, karena masyarakat

    hidup dalam kawasan hutan. Dalam hal menjaga, memelihara dan

    memanfaatkan hutan masyarakat mempunyai sautu kewajiban yaitu menjaga

    kelestarian hutan dan lingkungan hidup dengan tidak melakukan penebangan

    liar yang berdampak bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

    Maka dari itu Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Pemerintahan Nagari

    juga berperan serta dalam melindungi dan menjaga hutan adat atau hutan

    Nagari, agar tidak terjadinya penggundulan hutan yang diakibat oleh

    penebangan liar yang dilakukan oleh masyarakat adat itu sendiri maupun

    pihak luar yang berkoordinasi dengan masyarakat adat. KAN dan

    Pemerintahan Nagari harusnya memberikan sanksi terhadap pelanggaran dan

    kejahatan yang dilkukan oleh masyarakatnya agar hutan yang ada di dalam

    nagari tersebut masih terjaga kelestariaannya. Hukum adat harus ditegakkan

    dan harus membuat efek jera oknum masyarakat adat yang melakukan

    kejahatan penebangan liar. Berdasarkan hasil penelitian yang penelti lakukan

    dilapangan dengan wawancara kepada Bapak Wali Nagari yang bernama

  • Bapak Marti Ajis serta bapak Maridun selaku kepala KAN meraka

    mengatakan bahwa selama ini peran serta KAN dan Pemerintahan Nagari

    hanya sebatas memberikan nasihat dan saran dari dampak yang akan timbul

    dari penebangan liar serta melakukan penyuluhan yang berkoordinasi dengan

    Dinas Kehutanan. Belum adanya aturan dan keterlibatan yang akurat dalam

    perlindungan hutan nagari. KAN yang terdapat di dalam nagari tersebut

    berperan hanya sebagai formalitas saja, karena KAN hidup dibawah aturan

    Ninik Mamak dan segala keputusan berada di tangan ninik mamak semuanya

    tegantung kepada ninik mamak. KAN hanya berfungsi sebagai tempat untuk

    meminta tanda tangan dari hasil keputusan para ninik mamak, jadi KAN

    hanya sebagai lambang dalam nagari saja agar memenuhi dan melengkapi

    aturan. 12

    Maka dari itu perlu pembenahan kembali akan KAN berjalan

    sebagaimana mestinya dan hukum adatpun hidup kembali. Dan perlu juga

    kesadaran hukum masyarakat bahwa penebangan liar itu jika terus-terus

    dilakukan akan merusak hutan dan mempunyai akibat yang buruk bagi hutan

    dan lingkungan sekitarnya.

    C. Kendala Terhadap Penegakan Hukum Untuk Perlindungan Hutan

    Nagari yang Berkaitan Dengan Illegal Logging Di Kabupaten

    Dharmasraya

    12 Wawancara dengan Wali Nagari dan Ketua KAN Lubuk Karak rabu tanggal 4 september 2013, jam

    13.20

  • Berdasarkan hasil wawancara dilapagan, sebagaimana di ungkap oleh

    Bapak Wali Nagari Marti Ajis kendala dalam pemberantsan illegal logging

    yaitu berdasarkan mata pencaharian, amak mata pencaharian masyarakat adat

    di Lubuk Karak sebagian besar adalah pengolahan kayu, sehingga sangat sulit

    untuk diberantas dan juga tidaka adanya tindakan yang serius dari para

    penegak hukum, hal tersebut di ungkapkan beliau dalam wawancara hari

    jumat 6 september 2013 pada jam 10.30 Wib. Dan juga ditambahkan oleh

    Bapak Kepala KAN yang menjadi kendala juga yaitu yang melakukan

    penebangan liar adalah para kemenakan, maka untuk melindungi cucu

    kemenakan, sampai sekarang belum ada upaya yang serius untuk melakukan

    pemberantasan illegal logging. 13

    Mencermati praktik illegal logging dan penyelundupan kayu sebagai

    suatu tindak pidana kejahatan yang terorganisir, sepantasnya kalau semua

    lapisan masyarakat melakukan perang terhadapnya. Dengan demikian,

    pemerintah, baik pada tataran pusat maupun tataran pemerintah di daerah

    menjadi tulang punggung utama dalam pemberantasan illegal logging dan

    penyelundupan kayu. Fakta menunjukkan bahwa pemerintah pada dasarnya

    telah berupaya melakukan pencegahan prakti illegal logging dan

    penyelundupan kayu dengan mengeluarkan beberapa kebijakan,

    diantaranyapembentukan Tim Pengamanan Hutan Terpadu (TPHT), Operasi

    13

    Wawancara dengan Wali Nagari dan Ketua KAN Nagari Lubuk Karak hari Jumat 6 September

    2013 jam 10.30

  • Wanalaga dan Operasi Wanabahari dan terakhir Operasi Hutan Lestari

    (OHL). Dengan adanya beberapa kebijakan ternyata selama ini tidak mampu

    membendung laju terjadinya kegiatan illegal logging dan penyelundupan

    kayu, alasannya karena adanya keterlibatan oknum aparat keamanan dan tidak

    adanya koordinasi antara instansi yang terkait sebagaimana terlihat faktanya

    dilapangan bahwa masih banyak kegiatan illegal logging dan sebagian besar

    hutan rusak. Maka dari itu kunci utama dalam hal penegakan hukum dalam

    pemberantasan illegal logging yaitu melakukan pembenahan kembali dalam

    hal kerja setiap instansi penegak hukum. Agar pelaku illegal logging jera

    hendaknya pemerintah dan aparat penegak hukum memberikan sanksi yang

    tegas dan memberikan tuntutan berlapis terhadap pelaku, baik itu pelakunya

    oknum elite penguasa maupun masyarakat yang ikut andil dalam hal tersebut,

    sehingga praktik illegal logging berkurang dan kelestarian hutan terjaga.

    III. PENUTUP

    A. Kesimpulan

    Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya

    maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

    1. Ternyata pidana adat tidak lagi melindungi hutan karena adanya campur

    tangan pemerintah dalam hal perlindungan hutan nagari tersebut,

    pemerintah mengambil alih hutan dan perlindungan hutan. Sehingga

    masyarakat adat tidak lagi peduli terhadap hutan mereka. Namun selama

  • ini yang dilakukan oleh pemerintah nagari hanyalah melakukan penyuluhan

    dari dampaknya pembalakan liar itu sendiri. Maka secara spesifik belum

    adanya upaya perlindungan hutan adat atau hutan nagari oleh masyarakat

    nagari.

    2. Peran KAN dan pemerintahan nagari dalam hal perlindungan hutan nagari

    yaitu hanya sebatas menasihati dan penyuluhan dan penyuluhan itupun

    masih adanya andil dari Dinas Kehutanan Kabupaten. KAN di nagari

    tersebut hanya sebagai lambang nagari, untuk melengkapi aturan

    pemerintah saja.

    3. Kendala dalam hal perlindungan hutan nagri masih banyak yaitu masih

    kurangnya kesadaran hukum dari masyarakat bahwa pentingnya hutan dan

    serta hal tersebut merupakan suatu mata pencaharian masyrakat, jadi sukar

    untuk melindungi hutan. Dan para aparat keamananpun ikut andil dalam

    hal tersebut.

    B. SARAN

    1. Aturan adat harus dihidupkan kembali karena hukum adat itu telah hilang

    dan pudar seiring berjalannya waktu. Maka akan terlaksanalah

    perlindungan hutan dan terjaganya hutan dengan adanya aturan adat dan

    sanksi adat terhadap pelanggar.

    2. Hendaknya aparat penegak hukum setempat juga ikut menjaga dan

    melakukan razia-razia untuk mencegah terjadiya illegal logging disamping

  • masyarakat adat dan kembali membenahi koordinasi antar instansi agar

    kembali berjalan sesuai dengan yang diharapakan

    3. Pemerintahan nagari dan KAN bersama perlunya melakukan himbauan dan

    memberikan pengetahuan kepada msyarakatnya untuk tidak melakukan

    pembalakan liar karena efeknya nanti sangatlah berbahaya untuk bangsa

    dan negara. Dengan membimbing masyrakat adat untuk tidak melakukan

    pembalakan liar. Pemerintahan nagari dan KAN bersama-sama dengan

    Depertemen Kehutanan melakukan penyuluhan pentingnya kelestarian

    hutan dan menghimbau serta meyakinkan warga dari dampak yang

    ditimbulkan oleh penebangan liar.