22
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Jakarta masih saja menarik sebagai tujuan urban. Meskipun semakin kompleks permasalahan di kota ini, tidak menyurutkan minat pendatangberbondong-bondong ke Jakarta untuk mendapatkan mata pencaharian. Kemacetan yang kian hari semakin parah, banjir yang telah telah menjadi semacam ‘ritual’ tahunan, dan kriminalitas yang semakin ‘berkualitas’ adalah sebagian permasalahan yang dihadapi Jakarta. Namun semua kekurangan-kekurangan tersebut masih dianggap ringan bagi mereka yang terpaksa datang ke kota ini. Ketika desa sudah tidak mampu lagi memberi harapan hidup lagi, satu-satunya jalan adalah berangkat ke kota. Meskipun ada tren penurunan pertumbuhan migrasi yang masuk Jakarta, dengan kepadatan penduduknya, tetap saja jumlahnya secara nominal masih besar. JUMLAH PENDATANG 2004 2006 2006 2007 2008 2009 2010 Jumlah Pendatang 190.356 180.767 124.427 109.617 88.473 69.554 60.000 Sumber: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta Gerbang di timur dan barat Jakarta merupakan wilayah sasaran utama para pendatang. Jakarta Timur merupakan pintu masuk ke Jakarta bagi pendatang dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Sementara Jakarta Barat menjadi tempat masuk bagi pendatang dari Jawa Barat dan wilayah lain di Sumatera. Dari data Survei Penduduk Antarsensus (Supas) 1995 diketahui bahwa sebanyak 33 persen penduduk masuk ke wilayah Jakarta Timur dan 24 persen ke wilayah Jakarta Barat. Sisanya, para migran masuk ke wilayah pusat, utara, dan selatan dengan persentase masing-masing di bawah 20 persen.

Permukiman Kumuh Jakarta

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Urban economics

Citation preview

Page 1: Permukiman Kumuh Jakarta

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang masalah

Jakarta masih saja menarik sebagai tujuan urban. Meskipun semakin kompleks

permasalahan di kota ini, tidak menyurutkan minat pendatangberbondong-bondong

ke Jakarta untuk mendapatkan mata pencaharian. Kemacetan yang kian hari semakin

parah, banjir yang telah telah menjadi semacam ‘ritual’ tahunan, dan kriminalitas yang

semakin ‘berkualitas’ adalah sebagian permasalahan yang dihadapi Jakarta. Namun

semua kekurangan-kekurangan tersebut masih dianggap ringan bagi mereka yang

terpaksa datang ke kota ini. Ketika desa sudah tidak mampu lagi memberi harapan

hidup lagi, satu-satunya jalan adalah berangkat ke kota. Meskipun ada tren penurunan

pertumbuhan migrasi yang masuk Jakarta, dengan kepadatan penduduknya, tetap saja

jumlahnya secara nominal masih besar.

JUMLAH PENDATANG

2004 2006 2006 2007 2008 2009 2010

Jumlah

Pendatang

190.356 180.767 124.427 109.617 88.473 69.554 60.000

Sumber: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta

Gerbang di timur dan barat Jakarta merupakan wilayah sasaran utama para

pendatang. Jakarta Timur merupakan pintu masuk ke Jakarta bagi pendatang dari

Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Sementara Jakarta Barat menjadi tempat

masuk bagi pendatang dari Jawa Barat dan wilayah lain di Sumatera.

Dari data Survei Penduduk Antarsensus (Supas) 1995 diketahui bahwa

sebanyak 33 persen penduduk masuk ke wilayah Jakarta Timur dan 24 persen ke

wilayah Jakarta Barat. Sisanya, para migran masuk ke wilayah pusat, utara, dan selatan

dengan persentase masing-masing di bawah 20 persen.

Page 2: Permukiman Kumuh Jakarta

2

Sepuluh tahun kemudian terjadi perubahan pola tujuan pendatang. Arus

migrasi masuk tersebar merata di lima wilayah Jakarta, tidak hanya di Jakarta Timur

dan Jakarta Barat. Pendatang ke wilayah timur Jakarta menurun menjadi 23 persen.

Adapun di wilayah Jakarta Pusat sudah menerima 16 persen pendatang.

Pola sebaran migrasi yang berkembang setelah tahun 2005 tidak hanya

memenuhi wilayah pinggiran Jakarta Timur dan Jakarta Barat. Para pendatang mu lai

memenuhi wilayah pinggiran lainnya, terutama di pinggiran Jakarta Selatan. Catatan

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) DKI Jakarta tahun 2007

menyebutkan, kelurahan paling padat pendatang akan menerima sekitar 285 sampai

837 penduduk.

Mayoritas kaum migran di Jakarta didominasi pendatang dari Jawa Tengah dan

Jawa Barat. Hasil Sensus Penduduk 2000 mencatat, 35 persen pendatang berasal dari

Jawa Tengah dan sekitar 26 persen dari Jawa Barat. Provinsi lainnya di Jawa hanya

menyumbang kurang dari 10 persen pendatang. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,

Nusa Tenggara, dan Papua turut berkontribusi terhadap arus migrasi dengan

persentase di bawah 5 persen.

Minat pendatang yang masih tinggi untuk datang ke Jakarta karena kota ini

masih memiliki banyak kelebihan tersendiri. Ibarat dunia semut, Jakarta masih banyak

gulanya. ‘Gula-gula’ jakarta yang masih manis bisa dilihat pada angka pertumbuhan

ekonominya.

PERTUMBUHAN EKONOMI JAKARTA

2007 2008 2009 2010 2011

PDRB harga

konstan (triliun)

332.791 335.539 317.339 395.634 422.162

Pertumbuhan

Ekonomi (%)

6,44 6,22 5,01 6,51 6,7

Inflasi (%) 6,04 11,11 2,34 6,21 3,97

Sumber: Biro Perekonomian Jakarta

Page 3: Permukiman Kumuh Jakarta

3

Bandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional:

2007 2008 2009 2010 2011

Pertumbuhan

Ekonomi (%)

6,34 6,01 4,58 6,10

Sumber: World Bank

Meskipun hampir tidak memiliki hasil pertanian, pertambangan dan penggalian,

pertumbuhan ekonomi Jakarta mampu di atas pertumbuhan rata-rata nasional. Plus

angka invsetasi asing tahun 2011 mencapai 4,8 miliar dollar dan domestik Rp. 9,3

triliun (Kompas, 2/04/2012).

Sumber: BPS DKI Jakarta

Mereka yang datang ke Jakarta dengan bekal modal usaha, atau dengan bekal

pendidikan, keterampilan serta jaminan mendapatkan pekerjaan kemungkinan besar

tidak menjadi tambahan beban bagi kota. Lain halnya dengan masyarakat urban yang

hanya mencoba peruntungan untuk mendapatkan penghasilan di Jakarta, ujung-

ujungnya malahbisa menambah kemiskinan kota.

Berdasarkan data kependudukan dari Data Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil (Disdukcapil) DKI Jakarta, kepadatan kota Jakarta pada tahun 2011 sudah sampai

9,6 juta jiwa di atas 640 km persegi dengan kepadatan 16 ribu kepadatan per

kilometer. Padahal kepadatan penduduk linier dengan tingkat kemiskinan. Kemiskinan

Kegiatan Ekonomi

Industri pengolahan

Listrik, gas, dan air bersih

Konstruksi

Perdagangan, hotel, dan restauran

Pengangkutan dan Komunikasi

Page 4: Permukiman Kumuh Jakarta

4

itu sendiri bisa dilihat di antaranya dengan semakin banyakkawasan kumuh

kotadanjumlah anak jalanan.

1.2. Perumusan Masalah

Data Badan Pusat Statistik dalam “Evaluasi Rukun Warga Kumuh DKI Jakarta”

tahun 2008 menyebutkan jumlah RW yang tergolong kumuh di Jakarta masih tinggi.

Hasil survei terhadap 450 RW:

KATEGORI KUMUH

Berat Sedang Ringan

Sangat

Ringan

Tidak

Kumuh

Jumlah RW 20 225 74 102 29

Sumber : Biro Pusat Statistik

Di kawasan permukiman kumuh, kemiskinan merupakan kondisi yang diturunkan dari

generasi ke generasi, yang disebut juga kemiskinan struktural.

Sedangkan jumlah anak jalanan selam tiga tahun terakhir meningkat cukup tajam.

2009 2010 2011

Jumlah Anak Jalanan 3.724 5.650 7.315

Sumber: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta

Pada umumnya anak jalanan bekerja sebagai pengemis, pengamen, pengelap

kaca mobil, pedagang asongan, joki 3 in 1, dan parkir liar.Kemiskinan dan usaha untuk

bertahan hiduplah yang membuat mereka terpaksa ikut ‘bekerja’. Secara umum,

hanya pendidikanlah yang mampu memutus rantai kemiskinan.

Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana langkah-langkah untuk mengatasi

turunan kemiskinan yang telah disinggung di muka, yaitu permukiman kumuh dan

pendidikan anak jalanan?

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan paper ini adalah memberi sedikit gambaran tentang

permukiman kumuh dan anak jalanan di Jakarta.

Page 5: Permukiman Kumuh Jakarta

5

BAB II

TINJAUAN LITERATUR1

2.1. PERUMAHAN (HOUSING)

Sebagai komoditas, rumah berbeda dalam lima hal dibandingkan dengan

barang lainnya. Pertama, tentang keanekaragaman (heterogenitas) rumah. Tempat

tinggal bisa berbeda dalam hal ukuran, lokasi, umur, banyaknya lantai, fitur interior

dan kegunaan. Kedua, rumah bersifat tak bergerak (immobile). Tidak mungkin

memindahkan lokasi rumah semudah memindahkan barang selain rumah. Ketiga,

rumah bersifat tahan lama; Dengan melakukan pemeliharaan secara berkala, rumah

mampu bertahan puluhan tahun. Dalam pencatatan akuntansipun, bangunan adalah

bentuk aset yang paling tahan lama dan oleh karenanya disusutkan dengan umur

ekonomis lebih lama dari aset lainnya. Keempat, dibanding komoditas lainnya, harga

rumah lebih mahal. Orang harus menyisihkan sebagian pendapatan bertahun-tahun

untuk mendapatkan tempat tinggal. Kelima, selain harga perolehan yang mahal, biaya

pindah dari satu rumah ke rumah lainnya, juga relatif mahal. Bukan hanya faktor uang

saja, pindah rumah juga berarti meninggalkan lingkungan lama, yaitu tetangga,

sekolah ataupun tempat belanja.

Keputusan untuk membeli rumah berdasar pada banyak faktor sesuai dengan

sifat heterogenitas rumah. Melalui salah satu pendekatan, yaitu pendekatan hedonik

(The hedonic approach), faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen

membeli rumah digeneralisasikan sebagai harga pasar, akses ke pusat kota, ukuran,

umur rumah, kualitas udara (lingkungan), dan kedekatan dengan sekolah bermutu.

Penetapan memilih tempat tinggal diilustrasikan dalam gambar berikut dengan

menyederhanakan pilihan antara ukuran rumah (size, square feet of living space) dan

kenyamanan (quiet):

1 Arthur O’Sullivan (2004), “Urban Ecomocis”, 5 th edition, Mc Graw Hill

Page 6: Permukiman Kumuh Jakarta

6

H

Quiet

SIZE

B

D

C A

L

S

Budget: Low Income

Budget: High Income

Pada gambar di atas, rumah tangga menghadapi trade off antara size(ukuran)

dan quiet(kenyamanan). Jika menginginkan size yang berlebih maka rumah tangga

harus mengorbankan sebagianquiet.Gambar di atas juga menjelaskan rumah tangga S

dan L yang berpendapatan sama tetapi memiliki preferensi yang berbeda. Rumah

tangga S lebih preferens kepada quiet daripada size, sebaliknya L lebih preferens

kepada size. Sementara H dengan pendapatan yang lebih tinggi bisa mencapai

kepuasan yang lebih baik dibandingkan S dan L.

Dari sisi penyediaan perumahan, developer harus memperhatikan usia

bangunan untuk meraih keuntungan maksimum. Semakin tua usia bangunan maka

biaya pemeliharaannya juga akan semakin tinggi. Gambar berikut mencoba

mengilustrasikannya.

Page 7: Permukiman Kumuh Jakarta

7

Qa Quantity of housing service (Q)

Profit

Total Cost in year 20

Total Cost in year 30

Total Revenue $

Qb Qc

Pada saat properti mencapai usia tahun ke 20, keuntungan tertinggi tercapai

pada jumlah properti sebesar Qc. Bertambahnya umur properti meningkatkan biaya

pemeliharaan, ditunjukkan dalam gambar sebagai pergeseran kurva biaya total ke

atas. Sehingga saat umur properti mencapai tahun ke 30, keuntungan optimum secara

nominal berkurang seiring berkurangnya permintaan properti dan meningkatnya biaya

pemeliharaan.

Sementara bagi penyewa, saat properti tidak lagi menunguntungkan, maka ada

tiga pilihan baginya,pertama, konversi, misalnya dari tempat tinggal dialih fungsikan

Page 8: Permukiman Kumuh Jakarta

8

Initial Equilibrium Initial Equilibrium

Quantity of medium-quality dwellings Quantity of low-quality dwellings

$ $

menjadi kantor, toko atau yang lainnya. Kedua,properti disewakan ke orang lain.

Danketiga, kalau terpaksa, properti ditinggalkan.

Sementara itu agar harga properti bisa lebih murah di pasar, pemerintah bisa

berperan dengan memberikan subsidi. Secara sederhana, pengaruh subsidi pada dua

pasar digambarkan sebagai berikut:

(A) Medium-Quality Submarket (B) Low-Quality Submarket

Subsidi konstruksi pada medium-quality submarket, menaikkan penawaran medium-

quality dwellings dan menurunkan harganya. Kondisi pada pasar ini memengaruhi

konidisi pada Low-Quality Submarket, menurunkan permintaan dan menaikkan

penawaran sehingga harga di pasar low quality juga ikut menurun. Secara umum,

subsidi pemerintah menurunkan harga rumah di setiap pasar.

2.2. PENDIDIKAN (EDUCATION)

Tujuan pendidikan adalah mengembangkan kognitifitas (kecerdasan logika),

kepekaan sosial dan manajemen diri (batin dan pikiran). Pendidikan bisa dikatakan

unik karena outputnya sulit diukur, terutama sisi sosial dan psikologikal. Satu-satunya

yang dapat dicoba untuk diukur adalah sisi kognitifitas. Layaknya komoditas industri,

pendidikan juga mempunyai fungsi produksi. Fungsi tersebut adalah:

Achievment = f(C, E, T, S, H, P)

Page 9: Permukiman Kumuh Jakarta

9

Dimana C adalah kurikulum, E perlengkapan dan peralatan sekolah, T kualitas guru, S

banyaknya siswa dalam satu kelas, H kualitas lingkungan rumah siswa, dan P adalah

nilai kerjasama dalam kelompok.

Tiga variabel input pertama dibawah kendali sekolah. Dengan supervisi

pemerintah daerah, sekolah mendesain kurikulum, membeli peralatan penunjang

pembelajaran (seperti gedung, buku, laboratorium, komputer), dan menggaji guru

berdasar latar belakang pendidikan, pengalaman dan kualitasnya. Sekolah juga

mengontrol ukuran kelas dan dapat menambah proporsi guru dengan siswa untuk

mengurangi kepadatan kelas.

Input selanjutnya adalah lingkungan rumah. Perkembangan pendidikan siswa

dipengaruhi oleh variabel ini dalam tiga hal, pertama, orang tua sebagai pengatur

rumah tangga apakah telah memberikan situasi yang kondusif bagai pendidikan anak

atau tidak. Sebagai contoh, orang tua membiarkan anak-anaknya menonton televisi

atau bermain game berjam-jam dan mengabaikan untuk membaca atau mengerjakan

tugas-tugas sekolah mereka. Kedua, orang tua bisa memotivasi anak-anaknya dengan

membantu mereka agar lebih cepat menangkap pelajaran sekolah, atau mungkin

lewat les tambahan. Ketiga, kemampuan orang tua menyediakan ketercukupan gizi

bagi keluarganya dan peralatan penunjang pelajaran, misalnya buku atau komputer.

Input terakhir menjelaskan bagaimana siswa mampu memotivasi diri dan

temannya serta mampu bekerjasama dalam kelompok. Hal ini untuk menutupi

kekurangan waktu yang dimiliki seorang guru setelah dihabiskan untuk mengajar

mereka. Jadi nilai-nilai positif lain yang berhubungan dengan kecerdasan lain seperti

kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual diharapkan bisa diperoleh dari

kelompok.

Sementara untuk pemerataan pendidikan dalam hal pendanaan, pemerintah

bisa berperan melalui skema foundation grant atau guaranteed tax base. Foundation

grantper siswa diformulasikan sebagai :

Grant = Foundation level – Foundation tax rate x Local property value per pupil

Page 10: Permukiman Kumuh Jakarta

10

Budget line with $2,000 grant

Initial budget line

2,000 Spending on education ($ per pupil)

7,600

6,000

4,000 4,400

10,000

Spending on other goods ($ per pupil)

Dengan skema pemerataan ini, bantuan diberikan kepada sekolah yang miskin

sedangkan sekolah yang kaya akan menyetor sejumlah uang kepada pemerintah.

Misalnya foundation level ditetapkan sebesar $5,000 dan foundation tax rate sebesar

1.5 % (0.015),maka bagi sekolah yang memiliki Local property value per pupil sebesar

$200,000 mendapatkan bantuan sebesar $2,000 ($5,000 – 0.015 x $200,000).

Sedangkan bagi sekolah yang memiliki Local property value per pupil sebesar $400,000

maka ia harus menyetor uang ke pemerintah $1,000 ($5,000 – 0.015 x $400,000).

Bantuan ini mampu menaikkan pengeluaran bidang pendidikan dan juga pengeluaran

untuk barang lain, yang berarti juga meingkatkan kepuasan konsumen, seperti tampak

pada gambar berikut:

Sedangkan guaranteed tax base atau power equalization diformulasikan sebagai

berikut:

Page 11: Permukiman Kumuh Jakarta

11

Budget line with GTB grant

Initial budget line

2,000 Spending on education ($ per pupil)

6,800

6,000

4,000 4,800

Spending on other goods ($ per pupil)

GTB Grant = Local tax rate x (Guaranteed tax base per pupil – Local tax base per pupil)

Perbedaan skema ini dengan skema sebelumnya adalah bahwa guaranteed tax

base memengaruhi pengeluaran terhadap komoditas dengan dua cara sekaligus, efek

pendapatan dan efek substitusi.Sedangkan pada skema yang pertama hanya memiliki

satu efek saja, yakni efek pendapatan. Efek substitusi sendiri mengalihkan sebagain

pengeluaran terhadap barang-barang non pendidikan ke pengeluaran terhadap

barang pendidikan. Jika pada skema yang pertama, pengeluaran terhadap barang-

barang non pendidikan bisa mencapai $7,600 maka pada skema yang kedua turun

menjadi sebesar $6,800, dimana yang $800 dialihkan untuk konsumsi barang-barang

pendidikan. Jadi pada skema guaranteed tax base menghasilkan pengeluaran yang

lebih banyak terhadap barang-garang pendidikan, sehingga disebut juga power

equalization.

Page 12: Permukiman Kumuh Jakarta

12

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Kawasan kumuh

Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk

mengatasi masalah kependudukan akibat urbanisasi adalah operasi yustisi

kependudukan (majalah garda online). Operasi ini bertujuan mengendalikan dan

mendata penduduk dengan memeriksa penduduk yang tidak memiliki identitas dan

keterangan tempat tinggal.

Upaya Pemprov DKI Jakarta dari tahun ke tahun ini dilengkapi Kementerian

Sosial dengan program pulang kampung. Mereka yang bukan warga Jakarta

dipulangkan ke daerah asal dengan transportasi gratis dan dibekali sejumlah uang.

Sayangnya, upaya ini belum efektif karena ketidakpastian modal usaha dan renovasi

rumah yang dijanjikan (Kompas, 24/10/11).

Seburuk apapun kehidupan yang dijalani di Jakarta, para pendatang ini

menganggapnya lebih baik ketimbang di daerah asal. Mereka tidak keberatan tinggal

di rumah tidak layak huni asal ada pekerjaan yang bisa mereka lakukan. Pendatang

yang tidak mempunyai kecukupan biaya terpaksa hidup di tempat-tempat yang kurang

layak, seperti bantaran sungai, bantaran rel kereta api, sekitar pasar tradisional,

stasiun atau terminal, di lahan serobotan, ataupun di bawah kolong jalan layang,

memunculkan kawasan kumuh.

Mengatasi dampak urbanisasi seperti munculnya kawasan kumuh tersebut,

menjadi persoalan rumit bagi sebuah kota metropolitan, termasuk Jakarta. Upaya

memindahkan atau memulangkan pendatang ke daerah asal mereka tidak akan efektif

jika pemangku kebijakan tidak memahami ikatan sosiopsikologis yang sudah terbentuk

di tempat baru.

Page 13: Permukiman Kumuh Jakarta

13

Dari hasil survei2

Dilihat dari asal penduduk permukiman kumuh, mayoritas responden

(41%)mengaku berasal dari wilayah Jakarta. Sebanyak 6% berasal dari daerah

penyangga, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Separuh lainnya (50%) dari

sejumlah wilayah di Pulau Jawa

yang dilakukan Litbang Kompas terhadap 200 rumah tangga

yang tinggal di permukiman kumuh Jakarta tergambar kondisi sosiopsikologis

masayarakat yang tinggal di kawasan tersebut, sekaligus menjawab kenapa mereka

enggan meninggalkan kawasan yang tidak layak huni itu.

Hampir separuh responden yang merupakan kepala keluarga atau

pasangannya menyatakan sudah menetap di permukiman kumuh lebih dari 10 tahun.

Sebanyak 21% lainnya bahkan mengaku sudah tinggal di permukiman ini sejak mereka

dilahirkan. Dapat dikatakan, bagi mereka, Jakarta merupakan tanah kelahiran atau

kampung halaman meskipun rumah mereka terdesak oleh perkembangan kota.

3

Hubungan sosial antartetangga pun terbilang baik dilihat dari tingkat

kenyamanan interaksi antarmereka yang tinggi. Lingkungan sosial di lingkungan

dan hanya 3% yang merupakan pendatang dari

Sumatera.

Kelekatan mereka terhadap rumah tinggal yang tergolong kumuh ini diperkuat

pula oleh kepuasan mereka terhadap kehidupan sehari-hari yang dijalani. Sembilan

dari sepuluh responden menyatakan puas dengan kehidupan di tempat tinggal

sekarang (89%). Mereka dekat dengan sumber-sumberyang dianggap dapat memberi

penghasilan. 43 % responden mengatakan dari tempat tinggal mereka cukup mudah

mendapatkan pekerjaan meskipun itu hanya pekerjaan di sektor informal, seperti

menjadi pedagang keliling, buruh, atau kuli bangunan, sopir, tukang ojek, atau

pembantu rumah tangga.

2 Metode survei dilakukan dengan melakukan wawancara tatap muka terhadap 200 keluarga pada tanggal 2-8 Mei 2011. Lokasi penelitian terpilih di lima wilayah Jakarta: utara, selatan, timur, barat, dan pusat. Permukiman kumuh target penelitian mewakili beberapa karakteristik kawasan kumuh yang ada, seperti dekat bantaran sungai, dekat bantaran rel kereta api, di pinggir/bawah jalan tol/layang, dekat kawasan industri, dan dekat pasar. Hasil survei dilengkapi dengan obserasi langsung. 3 Menurun dibanding sensus penduduk tahun 2000 oleh BPS yang menyatakan lebih dari 60% pendatang dari Jawa

Page 14: Permukiman Kumuh Jakarta

14

mereka bersifat homogen dengan karakteristik tingkat kesejahteraan yang kurang

lebih sama.

Status sebagai tanah kelahiran dan interaksi sosial yang terbentuk sejak lama

hingga menimbulkan kenyamanan ini menjadi faktor sosiopsikologis yang membuat

penduduk di permukiman kumuh sulit meninggalkan kawasan tersebut.

Kendati sudah tinggal sejak lama dan turun-temurun, penduduk golongan ini

tidak memiliki hak yang kuat atas tanah dan rumah yang ditempati. Status tanah yang

ditempati umumnya milik pemerintah atau orang lain. Hanya 38,7% yang menyatakan

tanahnya milik sendiri atau orang tua. Lebih dari separuh (70%) menyatakan rumah

adalah milik sendiri atau orang tua. Selebihnya mengaku mengontrak.

Dengan kondisi itu, meski mengaku nyaman dan puas tinggal di permukiman

yang kumuh, mayoritas responden menyimpan kekhawatiran sewaktu-waktu digusur,

mengalami kebakaran atau kebanjiran. Namun kekhawatiran itu tidak menyurutkan

keinginan mereka untuk bertahan.

Apakah mereka ingin selamanya tinggal di permukiman yang kumuh? Sebanyak

43,5% menyatakan, ya. Alasannya mereka sudah turun-temurun tinggal di lokasi itu,

tak punya tempat lain, dan dekat dari sember penghasilan. Selebihnya (55%)

menyatakan ingin berpindah dan memiliki rumah yang lebih layak huni.

Mayoritas responden menyatakan bersedia direlokasi jika lingkungan mereka

digusur atau terjadi banjir dan kebakaran (82,5%). Namun pilihan relokasi lebih tertuju

pada permukiman rumah biasa (landed house)yang berada dekat dengan lokasi

tempat tinggal semula atau lokasi lain tetapi masih di Jakarta dan sekitarnya. Hanya

20% yang menyatakan berminat direlokasi ke rumah susun (rusun).

Secara umum, responden di permukiman kumuh memiliki perspektif positif

terhadap rusun. Pemahaman mereka, tinggal di rusunakan lebih bersih, fasilitas lebih

baik, aman dari banjir, dan penggusuran. Namun minat untuk menetap di rusun

tergolong rendah (35%). Beberapa responden juga sebelumnya pernah tinggal di

rusun (6%). Alasan tidak memilih tinggal di rusun beragam. Mereka merasa tak

mampu membayar sewa, pengeluaran yang bertambah untuk air, listrik, tidak mau

Page 15: Permukiman Kumuh Jakarta

15

turun naik tangga, hingga kekhawatiran terjadi perubahan pola interaksi sosial

menjadi lebih individualistik.

Alasan tinggal di lingkungan kumuh (%)

Sudah turun-temurun

Tidak punya pilihan lain

Dekat tempat usaha

Lokasi strategis

Lainnya

Alasan tidak bersedia direlokasi (%)

Dekat tempat kerja

Ingin pulang kampung

Sudah nyaman

Sudah turun-temurun

Ganti rugi tidak sesuai

Minat tinggal di rumah susun (%)

Tidak tahu/tidak jawab

Berminat

Tidak Berminat

Page 16: Permukiman Kumuh Jakarta

16

Dari hasil survei terlihat bahwa kebijakan memindahkan atau memulangkan

warga dari permukiman kumuh bisa berhadapan dengan resistensi karena faktor

sosiopsikologis yang sudah terbentuk. Oleh karena itu, kebijakan tersebut harus

memperhatikan dua hal, yaitu kedekatan lokasi dan pendekatan komunitas atau

kelompok. Memindahkan warga ke lokasi yang masih berada di Jakarta dan sekitarnya

cenderung akan lebih diterima. Warga masih merasa dekat dengan tanah

kelahirannya.

Memindahkan warga bersama kelompok sosialnya juga akan lebih diterima

karena meskipun di tempat yang baru, warga masih berada di lingkungan tetangga

yang sama sehingga adaptasi sosial tidak terjadi secara ekstrem. Di luar hal itu,

pemberdayaan ekonomi warga permukiman kumuh juga penting dilakukan karena jika

kesejahteraan mereka meningkat, dengan sendirinya mereka memiliki modal untuk

keluar dari kawasan tersebut mencari permukiman dan rumah yang lebih layak huni.

Dan jangan lupa bahwa pemerintah harus juga mengusahakan rumah murah bagi

warga ini dengan misalnya, subsidi, seperti yang telah banyak dinikmati sebagian

pegawai negeri sipil dan anggota TNI/Polri.

3.2. Pendidikan anak jalanan

UUD 1945 pasal 27 ayat 2 menyebutkan bahwa “fakir miskin dan anak

terlantar dipelihara oleh Negara”. Kemudian UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, dan keputusan presiden RI No.36 tahun 1990 tentang Pengesahan

Convention on The Right of The Child. Semua itu jelas menyebutkan pemerintah punya

tanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-anak terlantar dan tak terkecuali anak

jalanan.4

Menurut Sudarsono

5

4 Mangkoesapoetra, Arief Achmad. 2005. Pemberdayaan Anak Jalanan. Bandung 5 http://id.shooving.com/social-sciences/education/2179546-pengertian-anak-

jalanan/#ixzz1bctcuWHO)

anak jalanan adalah mereka yang tidak mempunyai

tempat tinggal yang tetap, yang secara yuridis tidak berdomisili otentik, disamping itu

mereka merupakan kelompok yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan layak menurut

Page 17: Permukiman Kumuh Jakarta

17

ukuran masyarakat pada umumnya dan mereka sebagian besar tidak mengenal nilai-

nilai keluhuran. Sudarsono juga mengatakan bahwa anak jalanan mempunyai ciri-ciri :

a) Mudah tersinggung perasaannya

b) Mudah putus asa dan cepat murung, kemudian nekat tanpa dapat dipengaruhi

secara mudah oleh orang lain yang ingin membantunya

c) Kurangnya kasih sayang

d) Tidak mau bertatap muka dengan orang lain,dalam artian tidak mau melihat

orang secara terbuka

e) Sangat labil dan cenderung susah untuk berubah meskipun sudah diberi

pengarahan yang positif

f) Memiliki keterampilan akan tetapi keterampilan ini tidak dapat di ukur dengan

ukuran normatif masyarakat.

Sedangkan faktor-faktor penyebab menjadi anak jalanan menurut Sudarsono:

a) Keluarganya bermasalah

b) Kurang pendidikan

c) Kurang kasih sayang dan kehangatan jiwa

d) Kehilangan hak untuk bermain,bergembira,bermasyarakat, dan hidup merdeka

Sedangkan Gunanto Surjono, SH, M.Si, peneliti senior dari B2P3KS Yogyakarta

menemukan bahwa permasalahan dasar anak berada di jalanan di latar belakangi oleh

lima faktor, yaitu karena kemiskinan dan ketidakharmonisan keluarga, pertemanan di

jalanan, adanya toleransi masyarakat, tidak konsistensinya penerapan hukum dalam

melarang anak-anak berada di jalanan, dan karakter diri anak.

Apa yang telah dilakukan Pemerintahterhadap anak jalanan?

Kebijakan penanganan anak jalanan dan anak terlantar yang menjadi

dampak pertumbuhan penduduk, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, menurut data

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI, pada tahun 2011 (oktober) ini telah

Page 18: Permukiman Kumuh Jakarta

18

melakukan pemberian bantuan makanan dan peningkatan gizi kepada 3.394 anak di

non panti sosial.Kemudian pemberian bantuan per makanan bagi 364 anak di rumah

singgah. Dan bantuan nutrisi kepada 3.664 anak jalanan.Dijelaskannya, penanganan

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Jalanan telah berhasil menurunkan

sejumlah titik rawan PMKS dari 53 titik pada tahun 2009 menjadi 48 titik di tahun 2010

dan diupayakan menjadi 44 titik akhir 2011. Hasil penertiban PMKS yaitu 14.584

(2009), 11.338 (2010), 10.088 (2010), dan sampai Oktober 2011 sejumlah 8.735 orang.

Sementara itu peranan Kementerian Sosial RI diantaranya dengan progam

tabungan anak jalanan yang merupakan bagian dari Program Kesejahteraan Sosial

Anak (PKSA). Target PKSA adalah anak balita telantar, anak telantar, anak jalanan, dan

anak yang berhadapan dengan hukum.

Jumlah anak yang dapat dijangkau dalam PKSA selama 2011 mencapai

160.485 anak dengan nilai bantuan sebesar Rp 287,1 miliar. Khusus untuk DKI Jakarta,

program pengentasan anak jalanan dilaksanakan terhadap 8.000 anak. Jumlah

tersebut yang harus ditiadakan hingga akhir 2011.

Jumlah anak jalanan di DKI Jakarta pada 2011 sekitar 8.000 anak. Sebanyak

3.325 anak telah menerima buku tabungan dan pembinaan dengan dana dari APBN

2011 sebesar Rp 4,9 miliar. Adapun pada 2009 baru 390 anak terbina, sementara pada

2010 sebanyak 1.140 anak jalanan.

Jumlah anak jalanan yang belum mendapat pembinaan dari dana APBN

pada 2011 sekitar 4.675 anak. Kekurangan tersebut saat ini sudah tertangani melalui

APBN hasil penghematan sebesar Rp 5,7 miliar untuk 3.837 anak jalanan dan APBD DKI

Jakarta Rp 398 juta untuk 364 anak.

Selain itu, dari dana hibah UKS Rp 385 juta untuk 214 anak, dan CSR Medco

Foundation sebesar Rp 390 juta untuk 260 anak. Dengan demikian, total dana

pembinaan 8.000 anak jalanan mencapai Rp 11,9 miliar.

Page 19: Permukiman Kumuh Jakarta

19

Membicarakan pendidikan anak jalanan, peranan rumah singgah sangatlah

penting.6

6 Kominfo.newsroom

Tujuan didirikannya rumah singgah adalah memberikanpelayanan alternatif

bagi anak-anak jalanan untuk memperoleh pelayanan kegiatan dan aspek

perlindungan, yang kemudian dirujuk ke lembaga-lembaga yang berkompeten untuk

menanganinya lebih lanjut.

Ada beberapa kegiatan rumah singgah,diantaranya melaksanakan tahap-tahap

keterjangkauan, seleksi dan identifikasi masalah, penyusunan rencana intervensi, dan

baru kemudian masuk ke pelaksanaan program. Di sebagian besar rumah singgah, ada

juga program sosialisasi, bantuan beasiswa, kemudian pelatihan keterampilan, dan

dalam beberapa tahun terakhir ini, rumah singgah sudah mulai mantap untuk

memberikan pendidikan non formal bagi anak-anak jalanan yang sudah tidak mungkin

lagi sekolah di jalur pendidikan formal, khususnya bagi anak jalanan yang

pekerjaannya mengamen.

Kemitraan yang dijalin oleh rumah singgah langsung atau tidak langsung,

dilakukan dengan kementerian sosial dan Bina Sosial Pemprov DKI Jakarta, misalnya

dalam bentuk kegiatan pendampingan, pemberian beasiswa, pelatihan keterampilan,

magang kerja, dan pemberian modal usaha.Kemitraan yang kedua adalah dengan

Kementerian Pendidikan Nasional RI dan dinas pendidikan di daerah, yaitu program

beasiswa anak jalanan, termasuk melakukan kegiatan pendidikan nonformal/informal

dalam bentuk kegiatan kesetaraan, life skill, pendidikan layanan khusus, dan

pendidikan berbasis komunitas.

Sedangkan dengan Dinas Kesehatan DKI Jakarta juga telah menjalin kemitraan

dalam bentuk penyuluhan kesehatan dan pengobatan, kemudian dengan Dinas

Kependudukan & Catatan Sipil Jakarta dilakukan kerja sama dalam bentuk pengadaan

akta kelahiran cuma-cuma. Dengan perusahaan swasta telah dilakukan kerja sama,

misalnya dengan beberapa BUMN, perusahaan swasta dan beberapa komunitas sosial

yang peduli dengan kegiatan rumah singgah.

Page 20: Permukiman Kumuh Jakarta

20

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. KESIMPULAN

1. Jakarta masih menggiurkan bagi sebagian orang untuk mendapatkan pekerjaan.

2. Banyaknya pendatang yang masuk ke Jakarta terutama mereka yang tanpa bekal

pendidikan, keterampilan atau modal usaha menambah padatnya penduduk

sekaligus memberi beban tambahan terhadap kota.

3. Bertambahnya permukiman kumuh di Jakarta tentu saja sebagai bentuk

pembiasan atas pengelolaan tata ruang kota.

4. Masyarakat miskin lebih sensitif daripada mereka yang lebih kaya.

Memperhatikan kondisi sosiopsikologis mereka merupakan hal yang penting.

5. Kesejahteraan anak jalanan adalah amanat konstitusi.

6. Pendidikan sebagai pemutus ‘lingkaran setan’ kemiskinan.

7. Segala bentuk subsidi masih banyak dibutuhkan bagi masyarakat marjinal di

perkotaan.

8. Mengurangi permukiman kumuh dan anak jalanan di Jakarta memerlukan

partisipasi semua pihak, baik pemerintah pusat, daerah penyangga, daerah asal

pendatang, swasta maupun masyarakatnya sendiri.

Page 21: Permukiman Kumuh Jakarta

21

4.2. SARAN

1. Pemerintahan yang baik dan bersih adalah syarat utama mengurangi kemiskinan.

Korupsi mendorong semakin banyaknya orang miskin dan memperlebar

kesenjangan antar warga karena korupsi membuat sumberdaya menjadi

misalokasi. Maka reformasi birokrasi harus selalu diperhatikan dalam prakteknya.

Karena faktanya, tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi, terekam oleh

Transparency International dalam indeks pesrsepsi korupsi yang masih bernilai

3,00 pada tahun 2011, jauh dari nilai tertinggi, yaitu 10,00.

2. Pemerintah harus terus mengusahakan pemerataan dalam pembangunan agar

tidak terkonsentrasi di Jakarta saja, terutama daerah pengirim terbanyak

pendatang ke Jakarta, yaitu Jawa. Pemberian dana hibah, dana alokasi umum, dan

dana alokasi khusussupaya ditingkatkan tiap tahun sambil mengawasi secara ketat

pelaksanaan otonomi daerah oleh pemerintah pusat agar tidak terjadi

penyimpangan dalam pelaksanannnya .

3. Pemerintah pusat juga harus mengusahakan agar transmigrasi lebih menarik

daripada urbanisasi.

4. Sebelum memutuskan untuk melakukan eksekusi tertentu, pemerintah perlu

untuk mengidentifikasi dulu masalahnya, memertimbangkan segala aspek

terutama aspek jangka panjangya. Jika perlu banyak melibatkan ahlinya sehingga

kebijakan tidak hanya berdampak instan.

5. Pemberdayaan anak-anak jalanan seharusnya dilakukan dengan cara-cara yang

manusiawi.Menggalakkan berbagai program pendidikan, bimbingan belajar,

pendidikan agama, pelatihan seni,kreatifitas dan olahraga serta adanya forum

yang memiliki rasa kekeluargaan sehingga mereka tidak sendiri dan merasa

kesepian bahkan mereka akan terus bahagia dengan cara yang benar.

Page 22: Permukiman Kumuh Jakarta

22

KEMISKINAN JAKARTA: KAWASAN KUMUH DAN PENDIDIKAN ANAK JALANAN