6
BAB I PENDAHULUAN Pernikahan adalah satu ikatan yang sangat dalam dan kuat menghubungkan antara dua anak manusia. Ikatan ini meliputi saling memenuhi hak dan kewajiban antara kedua insan itu. Karenanya, harus ada kesatuan dan pertemuan antara dua hati di dalam satu simbol yang tidak akan mudah lepas terurai. Untuk menyatukan hati, maka terlebih dahulu harus ada penyesuai terhadap keadaan jiwa dan arah yang akan dituju dalam mengarungi kehidupan perkawinan. Akidah agama adalah sesuatu yang sangat dalam dan universal dalam memenuhi kebutuhan manusia secara hakiki, mempengaruhi dan mengarahkan perasaannya, membentuk tabiat emosi dan menentukan jalan kehidupan baginya. Sekalipun demikian banyak orang yang telah tertipu oleh keyakinan semu atau keterbatasan pemahaman tentang akidah, sehingga mereka beranggapan bahwa akidah hanyalah perasaan selintas yang mungkin bisa ditukar dengan falsafah pemikiran atau teori-teori social. Anggapan seperti itu menunjukkan minimnya pengetahuan dan hakikat jiwa manusia dan unsure-unsur yang essensial. dampak negatif dari hal tersebut adalah perkawinan campuran yang terjadi di kalangan masyarakat. Salah satu fenomena hukum yang menarik untuk dikaji bersama di masa modern dan kontemporer ini adalah persoalan pengaturan hukum keluarga di negara-negara muslim, yang mana hal ini terjadi kontroversi yang cukup fenomenal atas sah atau tidaknya pernikahan beda agama dilihat dari sudut pandang hukum yang di keluarkan oleh berbagai kalangan ulama’. Dalam makalah ini penulis mencoba mencermati salah satu bentuk kontroversi dalam menafsirkan sah atau tidaknya pernikahan beda agama dilihat dari pendapat dari berbagai kalangan ulama’. Selamat membaca BAB II PEMBAHASAN Definisi perkawinan beda agama Perkawinan campuran berasal dari kata campur yang berarti beraduk dan berbaur menjadi satu (bercampur baur). Bercampur itu mengandung arti, berkumpulnya sesuatu yang tidak sama atau seragam antara lain dalam bidang agama atau keagamaan. Jadi perkawinan campuran itu adalah perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan yang berlainan agama. 1 1 Abdul Halim Barkatullah & teguh Prasetyo, Hukum Islam; Menjawab tantangan zaman yang terus berkembang (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2006) hlm 146 PERNIKAHAN CAMPURAN (Beda Agama) Oleh: Ali Farhan

PERNIKAHAN CAMPURAN

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERNIKAHAN CAMPURAN

BAB I

PENDAHULUAN

Pernikahan adalah satu ikatan yang sangat dalam dan kuat menghubungkan antara dua anak manusia. Ikatan ini meliputi saling memenuhi hak dan kewajiban antara kedua insan itu. Karenanya, harus ada kesatuan dan pertemuan antara dua hati di dalam satu simbol yang tidak akan mudah lepas terurai.

Untuk menyatukan hati, maka terlebih dahulu harus ada penyesuai terhadap keadaan jiwa dan arah yang akan dituju dalam mengarungi kehidupan perkawinan. Akidah agama adalah sesuatu yang sangat dalam dan universal dalam memenuhi kebutuhan manusia secara hakiki, mempengaruhi dan mengarahkan perasaannya, membentuk tabiat emosi dan menentukan jalan kehidupan baginya.

Sekalipun demikian banyak orang yang telah tertipu oleh keyakinan semu atau keterbatasan pemahaman tentang akidah, sehingga mereka beranggapan bahwa akidah hanyalah perasaan selintas yang mungkin bisa ditukar dengan falsafah pemikiran atau teori-teori social.

Anggapan seperti itu menunjukkan minimnya pengetahuan dan hakikat jiwa manusia dan unsure-unsur yang essensial. dampak negatif dari hal tersebut adalah perkawinan campuran yang terjadi di kalangan masyarakat.

Salah satu fenomena hukum yang menarik untuk dikaji bersama di masa modern dan kontemporer ini adalah persoalan pengaturan hukum keluarga di negara-negara muslim, yang mana hal ini terjadi kontroversi yang cukup fenomenal atas sah atau tidaknya pernikahan beda agama dilihat dari sudut pandang hukum yang di keluarkan oleh berbagai kalangan ulama’. Dalam makalah ini penulis mencoba mencermati salah satu bentuk kontroversi dalam menafsirkan sah atau tidaknya pernikahan beda agama dilihat dari pendapat dari berbagai kalangan ulama’.

Selamat membaca

BAB II

PEMBAHASAN

Definisi perkawinan beda agama

Perkawinan campuran berasal dari kata campur yang berarti beraduk dan berbaur menjadi satu (bercampur baur). Bercampur itu mengandung arti, berkumpulnya sesuatu yang tidak sama atau seragam antara lain dalam bidang agama atau keagamaan. Jadi perkawinan campuran itu adalah perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan yang berlainan agama.1

Menurut Abu al-A’la al-Maududi bahwa perkawinan antara orang yang berlainan agama ialah perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan yang bukan muslimah, baik memiliki kitab suci maupun tidak.2 Menyangkut masalah ini penulis membedakan kedalam tiga kategori, yang sistematika di rumuskan sebagai berikut:

1. Perkawinan antara lak-laki muslim dengan perempuan non ahl al-Kitab

2. Perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-Kitab

3. Perkawinan antara perempuan muslimah dengan laki-laki ahl al-Kitab.

Pembahasan ketiga bentuk perkawinan tersebut merupakan keharusan dalam kondisi kekinian untuk memberi pemahaman secara optimal bagi masyarakat sehingga mereka tidak terjebak pada perbuatan yang menyebabkan mereka terlibat dalam kesesatan.

Hukum Islam melarang perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan musyrik. Perlarangan tersebut mengacu pada ayat:

1 Abdul Halim Barkatullah & teguh Prasetyo, Hukum Islam; Menjawab tantangan zaman yang terus berkembang (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2006) hlm 146 2 Hamid Laonso dan Muhammad Jamil. Hukum Islam Alternative; Solusi Terhadap masalah Fiqh Kontemporer (Jakarta; Restu ilahi, 2005) hlm 8

PERNIKAHAN CAMPURAN (Beda Agama) Oleh: Ali Farhan

Page 2: PERNIKAHAN CAMPURAN

Artinya:

221.“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”(Q.S. Al-Baqarah: 221)

Ayat tersebut diturunkan guna mengharamkan adanya perkawinan baru antara orang islam dengan orang musyrik. Sedangkan perkawinan antara orang islam dan orang musyrik yang telah terlanjur terjadi sebelum diturunkannya ayat ini. Masih di perbolehkan jalan terus (tidak harus di cerai. pen). Hal demikian ini berjalan sampai tahun keenam Hijrah yaitu sampai turunnya ayat 10 dalam surat Al-Mumtahanah di Hudaibiyah:

Artinya: “10. Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada

mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(Al-Mumtahanah: 10)

Dengan turunnya ayat diatas berarti terputuslah semua hubungan antara orang islam dengan orang kafir. Adanya haram hukumnya tali perkawinan antara antara dua hati yang berbeda kepercayaan. Sebab ikatan yang demikan ini adalah ikatan palsu dan rapuh. Kedua bersatu bukan karena Allah, jalan hidup yang diruintispun tidak berdasarkan agamanya, sedangkan Allah yang telah memuliakan manusia dan meninggikannya dari derajat hewani, menghendaki agar perkawinan tersebut bukan merupakan kecenderungan hewani ataupun dorongan syahwati belaka, akan tetapi Allah menghendaki agar ikatan perkawinan itu bertujuan mulia yaitu untuk mencapai keridlaan ilahi yang dijadikan sebagai puncak tujuan, dan menuntut agar hubungan perkawinan itu identik dengan kehendak-Nya, agama-Nya dan kesucian kehidupan ini.3

Tanggapan berbagai ulama’ tentang perkawinan llintas agama.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 122 meskipun sudah di jelaskan tentang larangan perkawinan beda agama, namun dalam realitanya berbagai kalangan ulama’ masih berbeda pendapat akan hal itu, disini penulis membedakan antara Hukum nikah laki-laki muslim dengan wanita bukan ahli Kitab dan hukum nikah laki-laki muslim dengan wanita ahli Kitab, yang diantaranya:

1. Hukum nikah laki-laki muslim dengan wanita bukan ahli Kitab

Mazhab Syafi’i –sebagaimana ditulis oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita kafir selain ahli kitab seperti watsani, majusi, penyembah matahari atau bulan, murtad adalah tidak sah (batal) berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat 221. As-Syirazi dalam al- Muhazzab menegaskan bahwa laki-laki muslim haram menikah dengan orang perempuan yang bukan ahli kitab yaitu orang-orang kafir seperti penyembah berhala dan orang murtad

3 Abdul Mutaal Muhammad Al Jabry, Perkawinan Campuran menurut pandangan Islam (Jakarta; Bulan Bintang, 1988) hlm 17

Page 3: PERNIKAHAN CAMPURAN

berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 221. Sedangkan al-Malibari menyebutkan bahwa syarat wanita yang dapat dinikah adalah wanita muslimah atau kitabiyyah Khalishah. Al-Jazairi menyebutkan bahwa berdasarkan surat al-Baqarah ayat 221 maka laki-laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita musyrik apapun bentuk kemusyrikannya kecuali kalau ia masuk Islam. Ketentuan ayat di atas ditakhsis oleh surat al-Maidah ayat 5 yang menunjukkan bahwa wanita ahl al-Kitab boleh dinikahi, walaupun mereka mengatakan bahwa al-Masih adalah Tuhan.

Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa tidak halal bagi laki-laki muslim menikahi wanita musyrikah atau wtsaniyyah yaitu wanita yang menyekutukan Allah dengan yang lainnya. Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah dan selain mereka menyamakan orang murtad dengan musyrik. Kesimpulannya adalah telah terjadi kesepakatan tentang tidak halalnya menikahi wanita yang tidak memiliki kitab seperti watsaniyyah dan Majusiyyah. Ibnu Rusyd -dalam fasal tentang penghalang menikah sebab kafirmenyatakan bahwa para Ulama sepakat bahwa laki-laki muslim tidak boleh menikahi wanita watsaniyyah. Sejalan dengan Ibn Rusyd, Hasbi ash-Shiddieqi menyebutkan bahwa hukum tentang tidak bolehnya menikahi wanita watsaniyah (penyembah berhala) telah disepakati oleh Imam Mazhab.

2. Hukum nikah laki-laki muslim dengan wanita ahli Kitab

Bolehnya pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahli Kitab telah disepakati oleh semua Imam Mazhab. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa para Ulama telah sepakat tentang bolehnya laki-laki muslim menikahi wanita kitabiyyah yang merdeka dan Ulama’ telah sepakat bahwa perempuan muslim tidak di benarkan kawin dengan laki-laki non muslim. Larangan tersebut berlaku umum pada semua laki-laki, baik bangsa arab maupun bukan, baik yang mempunyai kitab suci dari Allah maupun kitab yang dibuat sendiri.

Firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 2

21. Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa,

Ayat ini memberikan kejelasan bahwa laki-laki bebas memilih perempuan mana saja. Sementara perempuan muslimah tidak bebas karena konsekuensinya

seseorang perempuan erat kainnya dengan masalah keluarga.

Menurut M. Qurays Shihab bahwa larangan perempuan muslimah kawin dengan laki-laki non muslim berkaitan erat dengan masa depan ketentraman jiwa anak-anak, disamping kehormatan kedua insan tersebut, idealnya menganut agama yang sama. Bahkan larangan tersebut bukan disebabkan karena perbedaan, tetapi dampak dari perbedaan itu sendiri, justru itu sangatlah bijak Al- Qur’an menyatakan bahwa perkawianan itu tidak semata-mata menajadi urusan perempuan, melainkan juga pria.4

As-Syirazi dalam al-Muhazzab menyebutkan bahwa laki-laki muslim boleh menikahi wanita merdeka ahl Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani dan orang yang masuk agama mereka sebelum adanya tabdil/penggantian. Sedangkan al-Malibari menyebutkan bahwa kemusliman dan keahlikitaban adalah syarat bagi wanita yang dapat dinikahi oleh laki-laki muslim. Al-Jazairi menyebutkan bahwa wanita ahli kitab yang boleh dinikahi tidak disyaratkan kedua orang tuanya harus ahli kitab, berbeda menurut as- Syafi’iyyah dan Hanabilah yang mensyaratkan kedua orangtuanya harus ahli kitab.

Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa Ulama telah sepakat terhadap bolehnya menikahi wanita kitabiyyah yaitu wanita yang meyakini agama samawi seperti Yahudi dan Nasrani. Sedang yang dimaksud dengan ahli kitab adalah ahlu at-Taurah dan Injil. Mengenai halalnya menikahi wanita kitabiyyah tidak ada syarat apapun menurut Jumhur sedangkan menurut Ulama Syafi’iyyah halalnya menikahi srailiyyah dengan syarat awal moyangnya masuk agama Yahudi sebelum dinasah dan adanya perubahan, apabila terjadi keraguan tentang hal tersebut, menikahi israiliyyah juga tidak halal. Sedangkan halalnya menikahi wanita nashraniyyah dengan syarat awal moyangnya masuk agama tersebut sebelum dinasah dan sebelum terjadinya tahrif/pengrubahan. Menurut Wahbah pendapat jumhur yang tidak mensyaratkan apapun bagi kebolehan menikahi wanita kitabiyyah adalah lebih rajih disbanding pendapat As-Syafi’iyyah.

Imam Abu Al-A’la al Maududi menyatakan: kawin dengan wanita kitabiyah, kalaupun di perbolehkan bagi laki-laki, itu makruh hukumnya. Disana ada sebagian ulama’ yang mengharamkan hal tersebut. Hukum yang di sepakati bersama adalah tidak bolehnya wanita muslimah kawin dengan laki-laki non muslim.

4 Hamid Laonso dan Muhammad Jamil. Hukum Islam Alternative; Solusi Terhadap masalah Fiqh Kontemporer , (Jakarta; Bulan Bintang, 1999) hlm 14

Page 4: PERNIKAHAN CAMPURAN

… …

“Mereka (wanita-wanita muslimah) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka”(Q.S. Al-Mumtahanah: 10)

Hal ini disebabkan karena pembawaan kudrati wanita adalah bersifat defensive atau protektif. Wayak wanita itu mudah di bentuk. Dia lebih cepat termakan pengaruh dan pengaruh meliu. Dalam kehidupan rumah tanngga si wanita biasanya bersifat patuh dan menurut saja kepada si lelaki. Maka bila kawin dengan laki-laki non muslim di khawatirkan atau minimal 90 persen kemungkinannya akan menjadi renggang dengan islam dan peradabannya dan 100 persen barangkali akan melahirkan keturunan yang memeluk agama si kafir.5

Dalam pandangan muslim modernis yang dalam tulisan ini merujuk kepada pemikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Mengenai perkawinan lakilaki muslim dengan wanita musyrikah menurut Muhammad Abduh sebagaimana dinukilkan oleh Rasyid Ridha adalah diperbolehkan selain wanita musyrikah Arab, hal ini dilatar belakangi oleh penafsirannya terhadap kata Musyrikah dalam surat al-Baqarah ayat 221, ia secara tegas menyatakan bahwa perempuan yang haram dikawini oleh laki-laki Muslim dalam surat al-Baqarah ayat 221 adalah perempuan-perempuan Musyrikah Arab. Jadi menurut pendapat ini seorang Muslim boleh menikah dengan wanita musyrikah dari bangsa non-Arab seperti Cina, India dan Jepang (sebab masuk dalam kategori ahli kitab). Sedangkan pernikahan laki-laki muslim dengan wanita kitabiyyah adalah diperbolehkan, hal ini didasarkan pada ayat 5 surat al-Maidah:

Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik, Makanan (sembelihan) orangorang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka (dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu.”5 Abdul Mutaal Muhammad Al Jabry, Perkawinan Campuran menurut pandangan Islam, hlm 11

Menurut Abduh ahl al-Kitab mencakup penganut agama Yahudi, Nasrani, dan Shabiun. Muhammad Rasyid Ridha berpendapat bahwa ahl al-Kitab mencakup Yahudi, Nasrani, Majusi, Shabi’un, Hindu, Budha, Kong Fu Tse (Kong Hucu) dan Shinto. Dalam menetapkan keahlikitaban satu ummat, Ridha menggunakan kriteria memiliki kitab suci dan atau mengikuti nabi yang dikenal, baik dalam tradisi agama Ibrahim maupun bukan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa muslim modernis memandang bahwa diperbolehkan terjadinya pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim yang masuk dalam cakupan makna ahl al-Kitab dan wanita itu tidak termasuk musyrikah Arab. Dengan demikian menurut pandangan ini maka laki-laki muslim Indonesia boleh menikah dengan wanita non muslim yang beragama Yahudi, Nasrani/Kristen, Hindu, Budha, Kong Hucu, Shinto, Majusi dan Shabi’un.6

BAB III

PENUTUP

Dari penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa Larangan perkawinan antar pemeluk agama ynag berbeda itu agknya di latar belakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Bagaimana mendidik anak-anak mereka. Karena pada dasarnya seorang anak akan kebingungan untuk mengikuti ayahnya atau ibunya.

Kebolehan yang diberikan hukum islam laki-laki muslim kawin dengan perempuan non muslim (Yahudi dan Nasrani) bukan dalam kapasitas ideal sebagaimana yang diperaktekan oleh sebagian orang. Melainkan dalam kapasitas ikhtiyar dan kehati-hatian akan terjerumus dalam kekafiran. Karena kebolehan tersebut tidak didasarkan pada kesamaan keyakinan, tetapi lebih di karenakan adanya persamaan factor “kebudayaan” antara islam dengan Yahudi dan Nasrani sebagai penganut agama samawi. Meskipun begitu, kesamaan kebudayaan dan agama samawi tidak dapat menjamin kelanggengan sebuah perkawinan jika tidak di tegaskan dengan kesamaan keyakinan dan kesamaan keyakinanpun bukan jaminan, apalagi yang berbeda agama.

DAFTAR PUSTAKA

1) Al Jabry, Abdul Mutaal Muhammad, Perkawinan Campuran menurut pandangan Islam (Jakarta; Bulan Bintang, 1988)

2) Barkatullah, Abdul Halim & teguh Prasetyo, Hukum Islam; Menjawab tantangan zaman yang terus berkembang (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2006)

3) Laonso, Hamid dan Muhammad Jamil. Hukum Islam Alternative; Solusi Terhadap masalah Fiqh Kontemporer (Jakarta; Bulan Bintang, 1999)

6 Abdul Halim Barkatullah & teguh Prasetyo, Hukum Islam; Menjawab tantangan zaman yang terus berkembang (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2006) hlm 146

Page 5: PERNIKAHAN CAMPURAN