Upload
leliem
View
240
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
PERSEPSI MAHASISWA
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TERHADAP PRO KONTRA KEPEMIMPINAN
NON-MUSLIM DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
JOJON SUHENDAR
NIM: 1110032100029
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1439 H8
iii
i
ABSTRAK
Jojon Suhendar
1110032100029
Persepsi Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Terhadap Pro
Kontra Kepemimpinan non-Muslim di Indonesia
Sikap inklusif harus menjadi modal kolektif manusia Indonesia yang memiliki beragam
suku budaya dan Agama. Bagaimanapun perbedaan dalam keragaman tersebut merupakan
sunatullah yang juga suatu keniscayaan sejarah yang bersifat universal. Namun yang menjadi
ironi adalah sikap-sikap primordialisme yang cenderung dikedepankan oleh sebagian kalangan,
meskipun dengan tujan beragam tujuan. Pada tahun 1988 misalnya sempat ada isu bahwa LB.
Moerdani akan mencalonkan diri menjadi wakil persiden mendampingi Soeharto. Kabar ini
kemudian menuai pro dan kontra karena LB. Moerdani merupakan seorang Nasrani.
Dalam contoh terbaru adalah soal penolakan Basuki Tjahja Purnama (Ahok) sebagai
gubernur DKI Jakarta beberapa tahun silam oleh beberapa kalangan umat Islam. Penulis dalam
hal ini mengkaji menganalisa bagaimana persepsi mahasiswa Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dalam merespon pro kontra kepemimpinan non-Muslim, dengan
menggunakan teknik deskriptif.
Persepsi Mahasiswa merupakan hal penting, mengingat dari persepsi tersebut akan
muncul tindakan-tindakan yang merupakan buah dari persepsi. Penelitian ini ingin mengetahui
Persepsi Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta semester 4-12 terhadap pro kontra
kepemimpinan non-Muslim di Indonesia. Persepsi orang adalah apa yang dia yakini “nyata”
padanya dan apa yang mengarahkan kegiatan, pikirandan dan perasaannya. Melalui studi
kepustakaan, wawancara dan pengamatan lapangan, penulis mendeskripsikan faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi subjek penelitian serta bagaimana subjek tersebut memiliki prinsip
sehingga membolehkan (inklusif) atau melarang (eklusif) non-Muslim menjadi pemimpin di
Indonesia.
ii
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, puja serta puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT. Atas segala rahmat, karunia dan ridho-Nya, skripsi dengan judul “Persepsi
Mahasiswa Terhada Pro-Kontra kepemimpinan non-Muslim di Indonesia” ini dapat
diselesaikan. Shalawat serta salam penulis curahkan kepada panutan hidup, pencerah
kehidupan, Nabi Muhammad SAW. Melaluinya mukjizat terbesar dari Allah SWT.
Selanjutnya, penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu penyelesaian
skripsi ini. Oleh karena itu menghaturkan banyak terimakasih pada:
1. Kedua orang tua penulis, Abah dan Ibu yang terlebih dahulu meninggalkan
penulis. Juga keluarga, kaka, teteh yang telah mensuport penulis
2. Ibu Dra. Marzuqoh, MA. Selaku pembimbing dalam pengerjaan skripsi ini
3. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Dekan Fakultas Ushuluddin
4. Bapak DR. Media Zainul Bahri MA. Pembimbing akademik sekaligus ketua
jurusan Studi Agama-Agama
5. Ibu Dra. Halimah, MA. Sekretaris Jurusan Studi Agama-agama
6. Abang-abang Ideologis penulis yang tak pernah henti mengarahkan
7. Para staf dan Fungsionaris Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta
8. Kawan-kawan penulis, di HMB Jakarta, HMI, SAA 2010, KOMNAS-RIM,
IPI dan Kosan.
Ucapan terimakasih penulis haturkan juga kepada semua pihak yang mendukung juga
siapapun yang telah membantu dalam proses merampungkan kuliah S1 Penulis di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga kebaikan dibalas dengan kemuliaan.
Ciputat, 20 Oktober 2017
Jojon Suhendar
iii
PEDOMAN TRASLITERASI
Panduan transiterasi dibuat untuk membantu memudahkan ejahan dalam dalam
bahasa arab. Dalam penyusunan trensiterasi ini penulis mengacu pada pedoman transliterasi
Arab-Latin hasil keputusan bersama Menteri Agama R.I. dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan R.I. tahun 1987, Nomor: 0543 b/U/1987, sebagai berikut:
1. Konsonan
Arab Ind. Arab Ind.
ء
ب
ت
ث
ج
ح
خ
د
ذ
ر
ز
س
ش
ص
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
`
b
t
ts
j
h
kh
d
dz
r
z
s
sy
sh
ض
ط
ظ
ع
غ
ف
ق
ك
ل
م
ن
و
هـ
ي
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
dh
th
zh
‘
gh
f
q
k
l
m
n
w
h
y
iv
2. Vokal
a. Vokal tunggal (monoftong)
a : ـــ
i : ـــ
u : ـــ
b. Vokal rangkap (diftong)
ay : ـــ ي
aw : ـــ و
c. Vokal panjang (madd)
â, Â : ـــا
î, Î : ــ ي
ــ و : û, Û
d. Ya` Nisbah
.Ya` nisbah di akhir kata = y, seperti: Islâmiy : ي
.Ya` nisbah tidak di akhir kata = yy, seperti: Islâmiyyah : ي
3. Ta` Marbuthah ة ( )
Adapun transliterasi terhadap kata (al-kalimah) yang berakhiran ta’ marbuthah (ة )
dilakukan dengan dua bentuk sesuai dengan fungsinya, yaitu dengan atau “h”.
v
4. Singkatan
Cet. : Cetakan
Ed. : Editor
Eds. : editors
H. : Hijrīyah
J. : Jilid atau Juz
L. : lahir
M. : Masehi
Saw. : Shallallâhu ‘alayhi wa sallam
Swt. : Subhânahû wa ta‘âlâ
t.d. : tidak diterbitkan
t.dt. : tanpa data (tempat, penerbit, dan tahun penerbitan)
t.tp. : tanpa tempat (kota, negeri, atau negara)
t.np. : tanpa nama penerbit
t.th. : tanpa tahun
Vol. : Volume
w. : wafat
5. Penulisan
Penulisan kata بن dan ابن adalah ibn atau Ibn.
Penulisan ال adalah al- atau Al- (tanpa membedakannya ketika bertemu dengan huruf
Syamsiyah atau Qamariyah).
Penulisan القرآن adalah Alquran.
vi
Allah Swt. berfirman di dalam Alqur’an surat al-An’âm/6: 95, yaitu:
“Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup.
(yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, Maka Mengapa kamu masih berpaling”
(Qs. al-An’âm/6: 95).z
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..................................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................................................. ii
PEDOMAN TRANSITERASI .................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................................... vii
DAFTR TABEL .......................................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUN
A. Latar Belakang Masalah........................................................................ 1
B. Fokus Penelitian dan Rumusan Masalah
1. Fokus Penelitian ................................................................................ 12
2. Rumusan Masalah ............................................................................. 12
C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 13
D. Manfaat Penelitian ................................................................................. 13
E. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 14
F. Definisi Konseptual ................................................................................ 15
G. Metodologi Penelitian ............................................................................ 17
H. Sistematika Penulisan .............................................................................20
BAB II KERANGKA TEORITIS
A. Deskripsi Teoritis tentang Persepsi
1. Pengertian Persepsi ........................................................................... 22
2. Proses terjadinya Persepsi ................................................................. 23
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi ...................................... 26
B. Diskursus Kepemimpinan Non-Muslim
1. Pengertian Kepemimpinan ................................................................ 28
2. Kepemimpinan Dalam Islam ............................................................. 29
3. Ruang lingkup dan macam-macam non-Muslim .............................. 34
4. Kepemimpinan non-Muslim Dalam Islam ........................................ 40
C. Hak-Hak Non-Muslim Sebagai Warga Negara
viii
1. Dalam Pandangan Islam .................................................................... 47
2. Dalam Konteks Demokrasi Indonesia................................................ 49
BAB III GAMBARAN UMUM
A. Gambaran Umum Fakultas Ushuluddin
1. Sejarah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta......... 51
2. Visi-Misi............................................................................................. 54
B. Gambaran kegiatan mahasiswa Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta..................................................................................................... 55
C. Gambaran Individu informan ................................................................. 57
BAB IV Analisis Persepsi Mahasiswa Persepsi Mahasiswa Fakultas Ushuluddin
Tentang Pemimpin Non-Muslim
A. Persepsi Mahasiswa Persepsi Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Tentang
Pemimpin Non-Muslim
1. Pandangan Mahasiswa Terhadap Pluralisme Agama..........................62
2. Analisis pemahaman mahasiswa tentang demokrasi...........................62
B. Kriteria Pemimpin Bagi Mahasiswa Fakultas Ushuluddin......................63
C. Perhatian dan penlaian Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Terhadap Pro-Kontra Pemimpin non-Muslim ....82
D. Persepsi Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dalam melihat tentang Keadilan dan
kesetaraan.........................................................................................85
BAB V PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................................83
B. Saran.........................................................................................................83
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................85
LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 3.0 Gambaran usia subjek penelitian ……………………………………… 60
Tabel 3.1 Gambaran smester dan jurusan responden ………………….………… 61
Tabel 3.2 Gambaran tempat tinggl responden …………………………………… 62
Tabel 3.3 Gambaran Individu Informan…………………………………………… 63
Tabel 3.4 Gambaran kegiatan subjek diluar kampus …………………..………… 65
Tabel 4.0 Pandangan mahasiswa terhadap pluralisme di Indonesia ……………… 71
Tabel 4.1 Pemahaman demokrasi mahasiswa .....................……………….. ……. 77
Tabel 4.2 Tabel pertanyaan .............................................… …………………….. 81
Tabel 4.3 Penilaian terhadap pemimpin non-Muslim …………………………… 84
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan Negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-empat
dunia setelah China, India dan Amerika. Dalam sesnsus penduduk 2010, Badan
Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia memiliki 248,8 juta jiwa penduduk dan
tersebar di ribuan pulau yang ada di Indonesia.1 Dengan sendirinya hal ini
menjadikan Indonesia sebagai Negara yang multikultural mulai dari etnis, bahasa
hingga keyakinan dalam beragama.
Keragaman ini merupakan sebuah realita faktual yang tak terbantahkan
adanya. Sehingga, segala perbedaan dalam keragaman tersebut merupakan order
of nature (ketentuan alam; sunnatullâh)2 yang dimiliki oleh Indonesia. Selain itu
ia merupakan suatu keniscayaan sejarah (historical necessary) yang bersifat
universal3. Namun,adakalannya persoalan keragaman justeru berbalik menjadi
sumber konfik. Hal ini terjadi ketika suatu agama, kebudayaan atau bahasa, tidak
saling mendukung dan memahami. Immanuel Kant dalam Kennedy (1933:133)
seperti dikutip Imam Hidajat, menyatakan bahwa setidaknya ada dua faktor yang
dapat memecah belah rakyat, yaitu Agama dan bahasa.4
Di Indonesia untuk merumuskan keragaman beragama, Negara ini
memiliki sebuah konsensus nasional dengan meletakkan Pancasila sebagai dasar
Negara. Sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, difahami sebagai sebuah
1 Http//www.bps.go.id, diakses pad atanggal 01-03-2017 Pkl. 19.00.
2Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, cet. 5 (Bandung:
Mizan, 1999), h. 56. 3 Dadang Kahmad “Sosiologi Agama: Potret Dalam Dinamika Konflik, Pluralisme Dan
Modernitas” (Bandung: Pustaka Setia 2011), h.141. 4 Imam Hidajat, “Teori-teori politik” edisi revisi (Malang: Setara Press 2009) h. 50.
2
sebab akibat (konditiom since quanon) yang memungkinkan setiap kelompok
sosial yang percaya terhadap tuhan bebas mengekspresikan kepercayaannya pada
tuhan dengan cara dan gaya masing-masing.5
Adanya sila pertama menjadi modal dasar untuk siapapun yang percaya
terhadap Tuhan YME, mendapatkan hak yang sama dimata hukum khususnya
dalam hal beribadah, termasuk menjadi pemimpin politik (Presiden, wakil
Presiden, Gubernur, Walikota, Lurah dll).
Dalam undang-undang 1945 Pasal 29 ayat 2 menyebutkan bahwa Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap warga Negara untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya,6 selain
itu adapula UU No 27 tahun 1945 ayat 1 yang menyebutkan bahwa setiap warga
Negara sama kedudukannya di depan hukum. Ini juga berlaku untuk kebebasan
beragama/berkeyakinan sebagai hak Individu yang tidak bisa ditunda
pemenuhannya (non derogable right) termasuk didalamnya hak-hak setiap warga
Negara yang berekyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa7, bisa mengikuti setiap
proses pemilihan umum baik sebagai objek maupun subjek dalam setiap
prosesnya.
Pro-kontra Pemimpin non-Muslim
Dalam Islam ada kelompok yang menolak namun ada juga yang
mendukung terhadap pemimpin atau non-Muslim, menurut Fahmi Huwaidi
sebagaimana dikutip oleh Mujar Ibnu Syarif, secara jumlah kelompok pertama
merupakan pendapat yang paling banyak dianut dan menjadi tesis yang paling
5 M. Ridwan Lubis “Agama Dalam Diskursus Intelektual dan Pergumulan Kehidupan
Beragama di Indonesia” (Jakarta: Pusat Kerukunan Umat Beragama,Departemen Agama RI) h.54. 6 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 29 ayat 2.
7 M. Ridwan Lubis “Agama Dalam Diskursus Intelektual dan Pergumulan Kehidupan.
Beragama di Indonesia” (Jakarta: Pusat Kerukunan Umat Beragama,Departemen Agama RI) h.246.
3
banyak diikuti oleh umat Islam dewasa ini. Ulama-ulama pendukung kelompok
pertama, antara lain, adalah al-Jashshash, al-Alusi, Ibn Arabi, Kiya al-Harasi, Ibn
Katsir, alShabuni, al-Zamakhsyari, Ali al-Sayis, Thabathaba’i, al-Qurthubi,
Wahbah al-Zuhaili, al-Syaukani, al-Thabari, Sayyid Quthb, alMawardi, al-
Juwaini, Abdul Wahab Khallaf, Muhammad Dhiya al-Din al-Rayis, Hasan al-
Banna, Hasan Ismail Hudaibi, alMaududi, dan Taqi al-Din al-Nabhani.8
Salah satu ayat yang menjadi dasar penolakan non-Muslim adalah surat Ali
Imran ayat 28 yang artinya sebagai berikut:
Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orangorang kafir menjadi pemimpin
dengan meninggalkan orangorang Mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya
lepaslahia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu
yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.
Dan Hanya kepada Allah kembali (mu)". (Q.S. 3 : Ali Imran : 28).
Selain aya diatas, masih ada 11 ayat lagi yang sering dijadikan argumen
untuk melegitimasi penolakan pemimpin non-Muslim, yaitu : ayat 51 surat al-
Maidah, ayat 1 surat al-Mumtahanah, ayat 57 surat al-Maidah, ayat 118 surat Ali
Imran, ayat 22 surat al- Mujadilah, ayat 144 surat al-Nisa, ayat 73 surat al-Anfal,
ayat 71 surat al-Taubah, ayat 8 surat al-Taubah, ayat 100 surat Ali Imran, dan
ayat 141 surat al-Nisa. Ayat-ayat yang disebutkan terakhir ini, kendatipun
memiliki redaksi yang berbeda satu sama lain, namun mengacu pada satu inti
persoalan yang sama. Yaitu umat Islam tidak diperkenankan memilih non-Muslim
sebagai pemimpinnya.
Bahkan Muhammad Ali al-Sayis, berpendapat bila umat Islam mengangkat
orang-orang Kafir sebagai pemimpinnya, itu berarti umat Islam seolah
memandang bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang Kafir itu baik. Hal ini
8 Mujar Ibnu Syarif , Memilih Presiden non-Muslim di Negara Muslim Dalam Perspektif
Hukum Islam dalam Jurnal Konstitusi PKK Fakultas Syariah IAIN Antasari, Vol.II No 1, Juni 2008 hal. 92
4
tidak boleh terjadi, sebab dengan meridhai kekafiran berarti seseorang telah
Kafir.9
Pelarangan atas diangkatnya non-Muslim sebagai pemimpinnya kaum
Muslim, menurut al-Zamakhsyari adalah logis mengingat orang-orang Kafir
adalah musuh umat Islam, dan pada prinsipnya, memang tak akan pernah
mungkin bagi seseorang untuk mengangkat musuhnya sebagai pemimpinnya10
Kelompok Yang Membolehkan Pemimpin non-Muslim
Sedangkan kelompok kedua yaitu pendukung gagasan bolehnya
mengangkat pemimpin non-Muslim, Salah satu ulama masyhur yang termasuk
katagori kedua ini adalah Taqi ad-Din Abu al-Abbas ibn Abd al-Halim ibn Abd
as-Salam ibn Taimiyah atau yang popular disebut Ibnu Taimiyah. Salah satu
statement Ibnu Taimiyah yang paling terkenal adalah: “lebih baik dipimpin oleh
pemimpin yang kafir yang adil, daripada dipimpin oleh pemimpin muslim yang
dzalim”.11
Pendapat ini menegaskan bolehnya non-Muslim (kafir) menjadi
pemimpin di kalangan Islam selama ia adil.
Dalam konteks yang lebih modern, kelompok ini memandang bahwa
konteks sosial-kultural-politik saat ini, utamanya setelah dikenalnya prinsip
multikulturalisme dan demokrasi, mengutamakan hak-hak individu tanpa
memandang minoritas. Tesis yang diajukan pendukung pemimpin non-Muslim
adalah semua orang memiliki hak yang sama di depan hukum. Sedangkan
9 Muhammad Ali al-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Mishr : Mathba'ah Muhammad Ali
Shabih wa Awladuh, 1373 H/1953 M, jilid 3, h. 5-8 10
Mujar Ibnu Syarif, Memilih Persiden non-Muslim di Negara Muslim dalam Perspektif Islam, Jurnal Konstitusi IAIN Antasari Vol.2 No.1 2008 h.96
11 Surwandono, Pemikiran Politik Islam (Yogyakarta: LPPI UMY, 2001), h. 32. Terkait
dengan latar historis yang mengilhami lahirnya pendapat-pendapat Ibnu Taimiah, baca Masyaruddin, Pemberontakan Tasawuf: Kritik Ibnu Taimiyah atas Rancang Bangun Tasawuf (Surabaya : STAIN Kudus Press, 2007), h. 27.
5
menolak prinsip ini sama artinya telah mendukung ketidakadilan. Padahal,
ketidakadilan sesungguhnya merupakan musuh utama hukum Islam.
Menurut Mohammad Thaha12
Pandangan fiqih klasik yang tidak
membolehkan non-Muslim menjadi presiden di negara mayoritas Muslim, tidak
mampu memberikan representasi demokratis yang proporsional kepada minoritas
non-Muslim yang menjadi warga negara Islam modern dan atau sebuah negara
yang diperintah oleh mayoritas Muslim. Karena itu, pandangan fiqh klasik yang
bercorak diskriminatif terhadap non-Muslim, mendesak untuk segera direformasi.
Abdullah Ahmed al-Na’im berpendapat umat Islam awal yang menolak
presiden non-Muslim dapat dibenarkan. Hal ini karena sejak masa-masa
pembentukan syari’ah (dan paling tidak untuk masa seribu tahun kemudian)
belum ada konsepsi hak-hak asasi manusia universal di dunia ini. Karenanya sejak
abad ke-7 hingga abad ke-20 adalah suatu hal yang normal di seluruh dunia
untuk menentukan status dan hak-hak seseorang berdasarkan agama. Dengan kata
lain, boleh dikata,diskriminasi atas dasar agama adalah norma seluruh dunia pada
waktu itu13
Al-Na’im menambahkan ayat-ayat tentang pelarangan non-Muslim sudah
tidak relevant, justeru perlu ditonjolkan adalah ayat-ayat Makiyah yang
mengajarkan persamaan universal seluruh umat manusia, tanpa memandang
agama yang dipeluknya. Ayat-ayat yang dimaksud antara lain adalah ayat 13 surat
al-Hujurat:
12 Muhammad Thaha, adalah intelektual Muslim asal Sudan yang dianggap liberal, yang
notabene seorang insinyur, pendiri The Republican Brothers, sebuah kelompok reformis Islam di Sudan, yang dieksekusi oleh Presiden Ja’far Numieri atas kejahatan murtad pada 18 Januari 1985 lantaran pandangan-pandangan tokoh oposisi yang menentang penerapan Syari’at Islam sebagai hukum negara di Sudan ini dianggap bid’ah oleh penguasa
13 Mujar Ibnu Syarif, Memilih Persiden non-Muslim di Negara Muslim dalam Perspektif
Islam, Jurnal Konstitusi IAIN Antasari Vol.2 No.1 2008 h.103
6
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu . . .
(Q.S. 49 : al-Hujurat : 13).
Ayat di atas menurut Zuly Qodir menunjukkan bahwa keragaman umat
manusia dengan segala latar belakang yang dimiliki merupakan sesuatu yang
given dan tidak dapat diganggu gugat keberadaannya.14
Menurut kelompok yang mendukung pemimpin non-Muslim, Pandangan
fiqh klasik yang menolak presiden non-Muslim dirumuskan saat hubungan antar
golongan yang berbeda agama didasarkan pada prinsip konflik. Akan tetapi,
karena pada masa kini hubungan antar golongan yang berbeda Agama didasarkan
atas prinsip perdamaian dan persamaan, Maka yang paling relevan dan paling
maslahat diterapkan di Masa kontemporer sekarang ini adalah pendapat para
teoritisi Politik Muslim liberal, semisal Mahmoud Mohammad Thaha, Abdullah
Ahmad al-Na’im, Thariq al-Bishri, dan Muhammad Sa’id al-Ashmawy, yang
sama-sama menyatakan, non-Muslim Dapat menjadi presiden di negara mayoritas
Muslim.15
Memang Selalu dianggap wajar bahwa umat menghendaki pemimpinnya
memiliki kesamaan keyakinan. Apalagi jika kepemimpinan dipandang tidak
14
Zuly Qodir, Pemikiran Islam, Multikulturalisme dan kewargaan. Dalam Fikih Kebhinekaan Pandangan Islam Indonesia tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Muslim” Wawan Gunawan Abdul Wahid Dkk (Ed) Bandung: Mizan Pustaka bekerjasama dengan Ma’arif Institute h.186
15 Mujar Ibnu Syarif, Memilih Persiden non-Muslim dinegara Muslim dalam pers pektif
hukum Islam Jurnal Konstitusi IAIN Antasari Vol 2 no 1 2008 h.107
7
semata-mata sebagai simbol politis yang profan tetapi sebagai keabsahan normatif
teologis sampai akhirat. Masalah yang terdapat dalam Idealisme semacam ini
niscaya dalam masyarakat homogen dan dalam lingkup yang kecil tetapi menjadi
problematik dalam masyarakat demokratis yang plural dan multikultural dengan
geo-politik yang luas seperti Indonesia.16
Sebagai pengalaman pertama yang berada pada level Negara, tahun 1988
timbul persoalan dengan adanya isu bahwa Jendral LB Moerdani yang merupakan
seorang beragama Nasrani akan menjadi calon wakil Presiden mendampingi
Soeharto. Isu tersebut memanas pada saat Aburrahman Wahid (Gus Dur)
menjawab sebuah pertanyaan dalam sebuah seminar di Australia dengan
pertanyaan “apakah non-Muslim bisa menjadi presiden di Indonesia dan siapa
kira-kira calon pemimpin masa depan yang paling tepat untuk memimpin
indonesia?” Pada saat itu Gus Dur menyatakan bahwa berdasarkan konstitusi
Indonesia, soeorang Non-Muslim bisa menjadi Presiden di Indonesia dan salah
satu yang paling tepat menjadi pemimpin masa depan Indonesia adalah Benny
Moerdani17
sontak pernyataan tersebut mendapatkan reaksi keras dari tokoh Islam
waktu itu, meski ada juga yang berpendapat pernyataan Gus Dur normatif.
Beberapa tahun belakangan, polemik soal kepemimpinan non-Muslim
kembali mengemuka, Front Pembela Islam (FPI) menggelar aksi besar-besaran
sebagai reaksi penolakan terhadap kebijakan pemerintah atas diangkatnya Basuki
Tjahya Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta, menggantikan Joko
Widodo yang kini menjabat sebagai presiden ke-7 Indonesia.
16
Siti Ruhaini Dzuhayatin 2015 Islam, Kepemimpinan non-Muslim dan Hak Asasi Manusia dalam “Fikih Kebinekaan: Pandangan Islam Indonesia tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Muslim” Bandung: Mizan Pustaka bekerjasama dengan Ma’arif Institute h.304
17 Mujar Ibnu Syarif “Presiden Non- Muslim di Negara Muslim” Tinjauan Dari Perspektif
Politik Islam dan Relevansinya bagi Indonesia (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan) h. ix.
8
Menurut Muchsin Al Aththas dalam wawancara di TV One, Penolakan
tersebut didasarkan atas salah satu pertimbangan teologis yaitu adanya perbedaan
keyakinan antara Ahok dengan mayoritas masyarakat Indonesia. Sehingga
diharamkan menunjuk pemimpin dari kalangan Non-Muslim.18
Sebelumnya pada tanggal 29 Juli 2012, Rhoma Irama memberikan ceramah
pada tarawih di masjid Al-Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat. Dalam ceramahnya
itu, Rhoma Irama melakukan kampanye terselumbung sekaligus memojokan
pasangan calon Gubernur Joko Widodo-Basuki Tjahja Purnama (Ahok)19
seperti
yang dikutip kompas.com, Rhoma Irama menuturkan bahwa “dalam
mengkampanyekan sesuatu, Sara itu dibenarkan. Sekarang kita sudah hidup di
zaman keterbukaan dan demokrasi, dan masyarakat harus tahu siapa calon
pemimpin mereka”20
Penolakan terhadap pemimpinan non-Muslim ini kembali mengemuka
ketika Jokowi Dodo terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta dan menegangkat
Susan Jasmine Zulkifly yang merupakan seorang Nasrani pada 2013 diangkat
sebagai Lurah Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, yang mana
ini merupakan hasil dari perubahan sistem dari jenjang jabatan menjadi lelang
jabatan.
Disamping itu, Argumentasi-argumentasi Ilahiah yang bersumber dari
kitab suci banyak dikemukakan oleh peserta aksi. Ada 21 ayat sedikitnya dalam
al-Qur'an yang menurut para demonstran melarang seorang Non-Muslim
18 Nissa Putri, Wawancara dengan Ketua FPI (mengapa begitu membenci Ahok),
http://www.youtube.com/watch?v=yUF0Nlz4tVE, di akses pada 01-03-2017 jam 00:20. 19
M.Andi Perdana “Panwaslu Miliki Video Rhoma Irama Ceramah Sara” http://m.tempo.co/read/news/2012/08/02/228420888/Panwaslu-Miliki-Video-Rhoma-Irama Ceramah-Sara diakses pada Jum’at 21 Oktober 2016 pukul 14.50 WIB.
20 Kurnia Sari Aziza “Video Ceramah Rhoma Irama Dikantongi
Banwaslu”,http://kompas.com/read/video.ceramah.rhoma.irama.dikantongi.banwaslu diakses pada Jum’at, 21 Oktober 2016 pukul 14.50 WIB.
9
memimpin sebuah masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Seperti yang
diutarakan oleh Juru Bicara MPI Lulu Assegaf di hadapan Pimpinan DPRD DKI
Jakarta, pada hari Jum'at, 10 Oktober 2014 di Gedung DPRD DKI Jakarta, "al-
Qur'an telah melarang orang Islam untuk menjadikan orang kafir sebagai
pemimpin, walaupun dia adalah kerabat kita sendiri. al-Qur'an juga memvonis
munafiq, zalim, fasiq, dan sesat kepada Muslim yang menjadikan kafir sebagai
pemimpin. Adapun beberapa dalil itu adalah QS. Alī-Imrān 3:28, QS. at-Taubah
9:23, dan QS. Al-Mumtahanah 60:5. Seperti yang dijelaskan oleh juru bicara MPI
di atas, salah satu ayat yang dijadikan sebagai landasan Ahok adalah QS. ‗Alī-
‗Imrān 3:2821
:
Sementara Wakil Sekretaris Jenderal FPI Awit Maschuri menegaskan FPI
bersama ormas-ormas yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Jakarta kembali
menyerukan penolakan karena merasa memiliki hak yang sama seperti warga di
Provinsi Bali yang tidak mau dipimpin orang lain selain Hindu22
Dari uraian diatas penulis tertarik mengkaji penolakan dan dukungan
terhadap pemimpin non-Muslim di Indonesia, dalam persepsi mahasiswa Fakultas
Ushuluddin UIN Jakarta. Penulis memilih Indonesia karena informan yang
penulis ambil adalah keseluruhan Warga Negara Indonesia yang merasakan atau
setidaknya mengetahui informasi mengenai hal-hal yang diperlukan dalam
penelitian ini. Sementara didalamnya akan di singgung mengenai penolakan
pemimpin non-Muslim di DKI Jakarta, karena sebagai ibu kota Negara yang
21
Haris Supriyanto, Fajar Ginanjar Mukti, “Demonstran Anti Ahok Gunakan Ayat Alquran”, http://metro.news.viva.co.id/news/read/546842-demonstran-anti-Ahok-gunakan-ayat-alquran, di akses pada 01-03-2017 jam 00:50.
22htt//cnnindonesia, 10/11/2014 FPI: Kami “Tak Rasis, yang Penting Islam” diakses
pada 01-03-2017 jam 03.00.
10
dekat dengan sumber berita, Jakarta juga merupakan contoh terbaru dari agenda
agenda penolakan pemimpin berdasarkan agama.
Sementara Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta secara geografis relatif dekat
dengan Jakarta, Sehingga informasi apapun menyoal pro dan kontra terhadap
kepemimpinan non-Muslim dapat terserap dengan baik. Juga kenapa dalam hal ini
penulis memilih Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, ini bukan semata-mata karena
faktor kedekatan, melainkan sebuah misi dan tanggung jawab intelektual. Pada
saat bersamaan Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
merupakan kaum terdidik yang mempelajari dan mendiskusikan persoalan agama-
agama lain disamping Agama Islam dan membahas soal politik sehingga
pengetahuan mereka tentang agama diluar Islam dianggap lebih mumpuni dari
mahasiswa non-Fakultas Ushuluddin.
Beberapa mata kuliah yang diambil oleh mahasiswa Fakultas Ushuluddin
adalah, matakuliah agama-agama dunia, Pemikiran Modern dalam Islam dan juga
pendidikan kewarganegaraan (civic education). Sehinga dengan pengetahun yang
dimiliki mereka tersebut, mereka dianggap mampu menjawab pertanyaan–
pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dengan melihat dari sudut pandang agama
lain, tidak hanya terpatok pada agama Islam saja.
Selain itu, informan yang penulis ambil adalah mereka aktif dalam
kegiatan–kegiatan diskusi keagamaan, termasuk juga pengurus Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM). Akan tetapi sebaai pembanding penulis juga mengambil
informan dari mahasiswa yang tidak aktif dalam kegiatan organisasi apapun,
dengan demikian penulis angap mereka mampu memberikan informasi yang
relevan dengan penelitian ini.
11
Berdasarkan argumentasi yang penulis paparkan, penulis merumuskan
judul dalam skripsi ini “Persepsi Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Terhadap Kepemimpinan Non Muslim di Indonesia.
Penulis memilih tema ini karena isu soal kepemimpinan non-Muslim kembali
mengemuka beberapa waktu lalu. Dalam penelitian ini penulis secara kualitatif
memfokuskan pada persepsi mahasiswa dalam kepemimpinan non-Muslim
Kepemimpinan sendiri menurut Wills (1994) seperti dikutip oleh Andrew
K. Leigh, dalam Leadership and Aboriginal Reconciliation mengartikan The
leader is one who mobilizes others to a goal shared by leader and followers…
[Leadership is] mobilization toward a common good”23
Rauch dan Behling (1984, 46) mengartikan kepemimpinan sebagai “The
process of influencing the activities of an organized group towrd goal
achievement” atau usaha atau proses untuk mencapai tujuan kolektif dalam
kelompok atau masyarakat24
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan
kepemimpinan sebagai perihal memimpin atau cara memimpin. Dalam Sosiologi,
Soerjono Soekanto mengartikan kepemimpinan (leadership) sebagai kemampuan
dari seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar dapat bertingkah laku
sebagaimana yang dikehendakinya25
.
Koentjraningrat, sebagaimana dikutip oleh Soerjono Seokanto dalam
Sosiologi: Sebuah Pengantar, membedakan kepemimpinan sebagai kedudukan
dan kepemimpinan sebagai proses.26
23 Andrew K. Leigh, Leadership and Aboriginal Reconciliation (Frank Knox Scholar John F. Kennedy School of
Government Harvard University 2002) h.5. 24 Andrew K. Leigh, Leadership and Aboriginal Reconciliation, h. 5. 25
Soerjono Soekanto “Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: CV Rajawali Cetakan ke-4 1984) h. 285.
26 Soerjono Soekanto “Sosiologi: Suatu Pengantar hal.285
12
Sebuah Negara dengan masyarakat yang majemuk serta memiliki sistem
pemerintahan yang demokratis, pemilihan atau pengangkatan seorang tentu
mengendalkan citra dan kerja bukan semata-mata pada keyakinan atau agama.
Kemudian pribadi yang harus dimiliki seorang pemimpin juga adakalannya harus
memperhatikan aspek-aspek lain seperti golongan, aspek sosial-psikologis, sosial-
antropologis dan sosial-historis dalam masyarakat yang dipimpinnya.27
B. Rumusan Masalah
Pendapat sementara, kalangan umat Islam baik di Indonesia maupun di
negara-negara mayoritas Muslim lainnya yang menolak Pemimpin non-muslim di
masa kontemporer sekarang ini sejalan bahkan sangat mungkin dipengaruhi oleh
konsep negara ideologis klasik yang mendasarkan negara pada ideologi Islam,
yang dalam literatur Sunni klasik disebut sebagai Negara khilafah.
Sejalan dengan itu, maka penolakan terhadap pemimpin non-muslim di
negara dengan sistem demokrasi dianggap oleh sebagian kelompok sebagai
paham yang tidak relevan dalam konteks Indonesia karena dasar negara ini adalah
Pancasil. Bahkan kecenderungan tersebut dianggap sikap yang intoleran jika
ihwal kepemimpinan dalam konteks Negara tidak didasarkan pada kapabilitas
seorang pemimpin itu sendiri.
Lingkungan akadmik di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, ada mahasiswa yang menolak tentang keberadaan pemimpin non-Muslim
ada juga yang yang mendukung. Melihat respon tersebut, maka hipotesis yang
penulis ambil adalah mahasiswa yang memiliki kecenderungan bahkan sampai
menolak pemimpin non-muslim hanya karena berbeda agama tanpa didasarkan
27
Sartono Kartodirdjo. Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial (Jakarta: LP3ES, 1984), h. vii.
13
pertimbangan-pertimbangan lain seperti potensi, rekam jejak adalah intoleran.
Untuk menjawab itu semua, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
o Bagaimanakah persepsi mahasiswa Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, terhadap kepemimpinan non-Muslim ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari pengetahuan secara empiris
bagaimana mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berpendapat soal kepemimpinan non-Muslim.
Sejalan dengan rumusan masalah diatas, penulis ingin mendeskripsikan
dan menganalisa persepsi mahasiswa Fakultas Ushuluddin sebagai kelompok
yang mempelajari dan concern terhadap isu-isu keagamaan, tentang
kepemimpinan non-Muslim di Indonesia
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi dan
dokumentasi ilmiah untuk perkembangan ilmu pengetahuan terutama
dalam bidang ilmu sosial-keagamaan.
b. Penelitian ini bisa dijadikan referensi untuk penelitian lainnya yang
sejenis.
c. Menjadi rujukan bagi penelitian soal kepemimpinan non-Muslim
selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini dapat menambah wawasan baru, khususnya bagi peneliti,
civitas akademik Fakultas Ushuluddin dan masyarakat pada umumnya.
14
b. Selain itu, penelitian ini juga dapat memberikan kontribusi yang nyata
berupa aspirasi dan informasi kepada pihak-pihak tertentu, seperti
mahasiswa dan pengambil kebijakan di UIN Jakarta.
3. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap kajian
kepemimpinan non-Muslim di Indonesia khususnya.
E. Tinjauan Pustaka
Sebagai insan akademis, pencipta pengabdi yang berasaskan Islam dan
bertanggung jawab, orisinilitas dan autentifikasi merupakan beberapa hal yang
dipegang erat oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini. Dengan demikian
penulis mengkaji dan menelusuri berbagai literatur ilmiah yang sekiranya relevan
dengan proposal skripsi ini.
Dari hasil penelusuran penulis, penulis menemukan beberapa literatur
yang relevan dalam penelitian ini.
1. Buku karya H.M. Mujar Ibnu Syarif M.Ag dengan judul “Persiden
non-Muslim di Negara Muslim: Tinjauan dari Perspektif Islam dan
Relevansinya dalam Konteks Indonesia”. Buku ini merupakan
kompilasi tentang pandangan-pandangan dari para pemikir Islam
klasik dan kontemporer.Yang berkaitan dengan boleh tidaknya
seseorang yang non-Muslim memimpin masyarakat Muslim.
Didalamnya dibahas juga arguementasi-argumentasi yang menjadi
acuan dalam hal penentuan seorang pemimpin baik dari kalangan yang
pro maupun yang kontra termasuk polemik soal penetapan calon
pemimpin di Indonesia.
15
2. Buku Fikih Kebinekaan, Pandangan Islam Indonesia tentang Umat,
Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Muslim. Secara kontekstual
pemahaman-pemahaman yang dibangun begitu mendalam.buku ini
merupaka kompilasi beberapa penulis, diantaranya adalah Azyumardy
Azra, Yudi Latief dan lain-lain. Didalamnya terdapat sajian-sajian
misalnya tentang Bhinneka Tunggal Ika: Suatu Konsepsi Dialog
Keragaman Budaya oleh Yudi Latif, ada juga tulisan Islam,
Kepemimpinan Non-Muslim dan Hak Asasi Manusia oleh Siti
Ruhaini Dzuhayatin dan Fikih Kepemimpinan Non-Muslim oleh
Wawan Gunawan Abdul Wahid
3. Jurnal dengan Judul “Memilih Presiden Non-Muslim di Negara
Muslim dalam Perspektif Hukum Islam”. Dan diterbitkan oleh Jurnal
Konstitusi¸Vol. 1, No. 1 November (2008). Yang mana, tulisan dalam
jurnal tersebut menjelaskan bagaimana semestinya seorang Muslim
bersikap dalam kontestasi pemilu.
F. Definisi konseptual
Agar penelitian ini tidak dianggap sebagai perbuatan yang coba-coba (trial
and error) kajian teori penting untuk dilakukan. Hal ini agar suatu penelitian
memiliki dasar yang kokoh.28
Dalam pembahasan ini, penulis membatasi pada
pengertian persepsi
28
Prof. Dr. Sugiyono “Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D” Cetakan ke -8 (Bandung: CV. Alfabeta 2009) hal.52.
16
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) persepsi adalah “proses
seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya”29
Menurut Solomon, persepsi merupakan proses dimana sensasi yang
diterima oleh seseorang dipilah dan dipilih, kemudian diatur dan akhirnya
diinterpretasikan (Prasetijo & Ihallauw, 2005:67). Persepsi menurut Jalaludin
Rakhmat (1998: 51), adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-
hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan
pesan.30
Walaupun begitu, persepsi seseorang pada hakekatnya dapat berbeda dari
kenyataan objeknya. Jalaluddin Rakhmat mencatat bahwa persepsi adalah
pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh
dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi bisa
disimpulkan sebagai sebuah proses pemberian makna (mining procces),
interpretasi dari stimuli dan sensasi yang diterima oleh individu. Namun, hal ini
mesti disesuaikan dengan karakteristik masing - masing individu.31
Sesuai dengan uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa persepsi adalah
kesimpulan seseorang terhadap informasi yang diterima kemudian diolah dan
ditafsirkan menjadi cara pandang.
29
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), h. 863. 30
Jalaluddin Rahmat, “Psikologi Komunikasi” (Bandung:Remaja Rosdakarya) hal. 51 31
Jalaluddin Rakhmat, “Psikologi Komunikasi” hal. 51.
17
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif.
Penelitian deskriptif penulis gunakan untuk pengumpulkan informasi secara
aktual dan terperinci.
Sedangkan logika pendekatan dalam penelitian ini menggunakan
analisis dari Sosiologi fungsional Emile Durkheim. Menurutnya fakta atau
realitas sosial akan membentuk prilaku individu, dalam pandangan Durkheim,
berbagai struktur sosial dalam masyarakat dipahami sebagai realitas dan fakta
sosial yang akan membentuk prilaku individu.32
Sedangkan fakta sosial sendiri
terdiri dari struktur sosial, norma budaya, dan nilai yang berada diluar dan
memaksa aktor33
Penelitian deskriptif menggambarkan realitas yang sedang terjadi
tanpa menjelaskan hubungan antar variable dan tidak menguji hipotesis.
(Rakhmat, 2005:24-26), agar data yang didapat lebih mendalam maka
penelitian ini tidak mementingkan jumlah populasi dan sampling bahkan
sample terbatas (Kriyantono 2002;56).
2. Teknik pengumpulan data
Dalam penelitian ini penulis memakai teknik Triangulasi yakni
pengumpulan data dengan cara menggabungkan antara wawancara
(interview), studi kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan
(field research). Adapun soal perincian soal tiga tekhnik yang akan
32
H.M Sayuthi Ali Metodologi Penelitian Agama Cet. I, Jakarta Raja Grafindo Persada 2002, hal 100.
33 George Ritzer dan Douglas J. Goodman Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Post Modern Edisi ke-3. Nurhadi (penerjemah) Kreasi Wacana, Bantul 2011 hal.81
18
digabungkan sebagai berikut.
a. Wawancara (interview)
Penulis akan melakukan wawancara mendalam (indept interview)
dalam penelitian ini. Secara praktis penulis akan melakukan kegiatan
wawancara tatap muka, sedangkan teknisnya ada pertanyaan-
pertanyaan yang berupa pilihan ada juga pertanyaan dengan jawaban
bebas hal ini dimaksudkan untuk menggali informasi yang lengkap dan
detail dari informan tanpa memberikan batasan.
Penulis juga mungkin akan mewawacarai informan dengan bahasa
yang tidak sesuai dengan karakteristik informan, bisa formal bisa juga
nonformal ini semaua agar wawancara berjalan tidak jenuh.
b. Studi Kepustakaan (librarry research)
Pengumpulan data dari studi kepustakaan ini meliputi, penelusuran
penulis mengenai literatur-literatur yang menunjang baik berupa buku,
jurnal yang dipublikasikan untuk memperkaya teori juga data-data
untuk melengkapi referensi berhubungan dengan topik penelitian ini.
c. Penelitian lapangan (field research)
Mengamati secara langsung (tanpa mediator) sesuatu obyek untuk
melihat lebih dekat kegiatan yang dilakukan obyek tersebut. Penelitian
lapangan ini termasuk juga didalamnya pengamatan keseharian
mahasiwa, mengamati perilaku verbal juga perilaku non-verbal dari
informan. Mengikuti kegiatan informan baik diskusi ataupun kajian
yang berkaitan dengan sesuatu yang membentuk persepsi informan.
observasi ini juga untuk mengamati argumen–argumen mahasiswa
tentang bagaimana mereka melihat fenomena kepemimpinan non-
19
muslim.
Triangulasi sendiri penulis gunakan karena setiap teknik memiliki
kelemahan serta keunggulannya sendiri. Maka dengan demikian
triangulasi memungkinkan tangkapan realitas secara lebih valid.
Dalam merancang dan menyusun proposal skripsi ini, penulis
berpedoman pada pedoman akademik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, program strata satu tahun akademik 2010 – 2011
3. Subyek dan Obyek Penelitian
a. Subyek penelitian :
Dalam penelitian ini subyek adalah mahasiswa, Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program studi Aqidah dan Filsafat Islam,
Studi Agama-agama dan Tafsir Hadits, angkatan 2013, 2014 2015 dan
2016 yang aktif dalam kegiatan eksrta maupun intra kampus. Penulis
mengambil sepuluh orang dari masing-masing program studi karena
penulis anggap angka itu cukup untuk menggali informasi mengenai
pandangan secara menyeluruh persepsi mahasiwa soal pro-kontra
kepemimpinan non-Muslim ini. Penentuan subyek penelitian ini
menggunakan teknik purposive sampling.
Teknik ini mencakup orang-orang yang diseleksi atas dasar kriteria-
kriteria tertentu, berdasarkan tujuan penelitian. Mahasiswa yang sering
memperdebatkan, baik menolak maupun mendukung pemimpin non-
Muslim merupakan informan yang relevan dan memenuhi kriteria
penelitian ini. Sedangkan orang–orang yang tidak memenuhi kriteria
tersebut tidak dijadikan informan. Teknik purposive sampling ini
digunakan karena peneliti ingin mendapatkan kedalaman data, dari pada
20
tujuan representatif yang dapat digeneralisasikan. (Kriyantono, 2002:157).
b. Obyek Penelitian :
Obyek penelitian ini adalah Persepsi tentang kepemimpinan non-
Muslim di Indonesia
H. Sistematika Penulisan
Seperti yang penulis katakan di atas, proposal ini disusun dengan mengacu
pada pedoman akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, program strata satu
tahun akademik 2010- 2011. Penulis dalam hal ini membagi skripsi ini pada lima
bab yang masing-masing akan membahas topik.
BAB I sebagai pembukaan, dalam bab ini penulis menjelaskan kenapa kita
penting mengkaji soal persepsi Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta,
yang mengklaim sebagai fakultas pencetak generasi kritis dan sarangnya
intelektual, dalam bab ini juga menjabarkan mengenai fokus penelitian dan
rumusan masalah, tujuan dan manfaaat penelitian, definisi konseptual, metodologi
penelitian hingga tinjauan pustaka
BAB II penulis mengkaji mengenai teori yang didalamnya akan dibahas
mengenai teori tentang persepsi dari berbagai tokoh, proses terjadinya persepsi
dan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi. Selain itu, dalam bab ini akan
diterangkan mengenai diskursus kepemimpinan non-Muslim, pengertian dan
ruang lingkup non-Muslim serta macam-macam non-Muslim yang mempunyai
yang notabene menjadi sumber perdebatan dikalangan Islam. Juga akan dibahas
soal hak non-Muslim sebagai warga Negara di Indonesia.
BAB III, pada bab ini akan diulas tentang gambaran umum yang
melingkupi, sejarah Fakultas Ushuluddin, penulis secra umum akan
21
mendeskripsikan mengenai Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
juga program studi yang penulis jadikan sebagai bahan penelitian yakni Aqidah
Filsafat Islam, Studi Agama-agama dan Tafsir hadis. Didalamnya akan dijelaskan
mengenai gambaran individu informan hingga studi tentang persepsi mahasiswa
Fakultas Ushuluddin tentang kepemimpinan non-Muslim
BAB IV didalamnya akan dibahas inti daripa skripsi ini. Dalam
pembahasana didalamnya penulis akan membahas dengan metode deskriptif
kalitatif bagaimana persepsi mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta mengenai kepemimpin non-Muslim.
BAB V Penutup yang berisikan kesimpulan, kritik dan saran
22
BAB II
KERANGKA TEORITIS
A. Deskripsi Teoritis Tentang Persepsi
1. Pengertian Persepsi
Persepsi merupakan kegiatan yang sangat bergantung pada penilaian
idividu (subyektif) mengenai penilaian terhadap objek atau stimulus. Kata
persepsi sendiri berasal dari bahasa Inggris yakni “perception” yang berarti
“penglihatan, tanggapan, daya memahami atau menanggapi sesuatu yang diawali
dengan penginderaan kemudian di transfer ke otak.34
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) persepsi berarti “proses
seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya”35
dalam
pengertian yang sederhana, persepsi bisa disebut dengan penglihatan tentang
bagaimana cara individu melihat sesuatu. Sedangkan dalam arti yang luas
persepsi merupakan pandangan atau pengertian tentang bagaimana individu
memandang atau mengartikan sesuatu.
Para Psikolog menguraikan mengenai definisi persepsi dengan bermacam
ragam pengertian, diantaranya menurut Rudolph F. Verderber persepsi adalah
proses menafsirkan informasi indrawi. Menurut Jhon R. Wenburg, persepsi
dapat didefinisikan sebagai cara organisme memberi makna.36
Psikolog Alisuf
Sabri, mengemukakan bahwa persepsi adalah “proses dimana individu dapat
34
Jhon M. Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1995), h.105.
35 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), h. 863. 36
Alex Sobur, Psikologi Umum, h. 446
23
mengenali objek, dan fakta-fakta objektif dengan menggunakan alat-alat
indera”.37
Sedangkan Abdul Rachman Shaleh dan Muhbib Abdul Wahab
memberikan pengertian bahwa persepsi sebagai “proses yang menggabungkan
dan mengorganisasikan data-data indera seseorang (penginderaan) untuk
dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat menyadari di sekelilingnya
termasuk sadar akan dirinya sendiri.38
Djaslim Saladin (2002;56) menambahkan bahwa proses persepsi
dipengaruhi pula oleh pandangan, tabiat atau kebiasaan, pengharapan atau
expectation alasan khusus (kebutuhan, keinginan dan kemampuan) serta proses
penyeleksian persepsi.
Walaupun begitu, apa yang kita persepsikan pada hakekatnya dapat
berbeda dari kenyataan objeknya. Jalaluddin Rakhmat mencatat bahwa persepsi
adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang
diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi bisa
disimpulkan sebagai sebuah proses pemberian makna (mining procces),
interpretasi dari stimuli dan sensasi yang diterima oleh individu. Namun, hal ini
mesti disesuaikan dengan karakteristik masing - masing individu.39
Dengan demikian dapat diambil benang merah bahwa pertama. Secara
teoritis Persepsi termasuk dalam sistem pemprosesan informasi. Fase pertama
dalam proses informasi adalah sensasi, yaitu stimulasi yang diterima oleh sistem
indra. Tahap berikutnya adalah pengorganisasian sensasi untuk dapat menilai
37
Alisuf Sabri, Psikologi Umum dan Perkembangan (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1999), h.46.
38 Abdul Rachman Shaleh, Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar Dalam
Perspektif Islam (Jakarta: Kencana,2004), cet. Ke-1, h. 88-89 39
Jalaluddin Rakhmat, “Psikologi Komunikasi” hal. 51.
24
suatu objek dan melihat hubungannya dengan kejadian-kejadian yang ada di
sekitar kita. Kedua persepsi sangat erat kaitannya dengan akurasi penilaian
mengenai indra yang menerima stimulus dari luar. Terakhir persepsi adalah
perbuatan berupa interpretasi dari stimulus yang ada.
Paparan diatas mempertegas bahwa persepsi merupakan kesimpulan
seseorang terhadap informasi yang diterima kemudian diolah dan ditafsirkan
sehingga menjadi cara pandang.
2. Proses Terjadinya Persepsi
Sensasi adalah tahap awal dari proses terbentuknya persepsi. Sensasi
merupakan kesadaran akan adanya suatu rangsang. Sensasi sama dengan
penginderaan. Semua rangsang masuk dalam diri seseorang melalui panca
indera, yang kemudian diteruskan ke otak yang menjadikan sadar akan adanya
rangsang tersebut. Rangsang yang sekedar masuk dalam diri seseorang tetapi
hanya menyadarinya tanpa mengerti atau memahami rangsang tersebut disebut
sensasi. Tetapi jika disertai dengan pemahaman atau pengertian tentang
rangsang tersebut dinamakan persepsi40
Solomon (1996:62) Seperti yang penulis singgung pada bab pendahuluan
memberikan pengertian bahwa persepsi merupakan proses bagaimana stimulus-
stimulus itu diseleksi, diorganisasi, dan diinterpretasikan. Secara faktual,
seorang individu mempunyai persepsi yang berbeda-beda terhadap suatu objek.
Hal itu tentu saja dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah pengetahuan
serta pengalaman subjek yang berbeda-beda sehingga menimbulkan persepsi
40 MIF Baihaqi, Dkk, Psikiatri Konsep Dasar dan Gangguan-gangguan, (Bandung:
Refika Aditama, 2005), h. 63
25
yang berbeda-beda pula. Solomon (dalam Djaslim Saladin, 2002:55)
menggambarkan proses persepsi sebagai berikut:
Stimulus yang diterima berupa objek bisa berupa hasil penglihatan yang
tentu kita terima lewat indra mata, bau-bauan yang kita terima melalui indra
hidung, suara kita terima lewat indra telinga, rasa kita terima lewat indra
pengecap, serta texture kita ketahui lewat indra peraba (kulit).
Stimulus-stimulus tersebut kita terima lewat indra dan diinterpretasikan
melalui metode tertentu dan tentu saja dipengaruhi oleh beberapa faktor ke
dalam ingatan atau otak, dan kemudian otak menanggapinya. Akhirnya
munculah persepsi tentang stimulus tadi.
Proses perseptual di mulai dengan perhatian, yaitu merupakan proses
pengamatan selektif. Faktor-faktor perangsang yang penting dalam perbuatan
memperhatkan ini adalah perubahan, intensitas, ulangan, kontras, dan gerak.
Faktor-faktor organisme yang penting adalah minat, kepentingan dan kebiasaan
memperhatikan yang telah dipelajari. (Chaplin, 2001 :358)
STIMULUS
-Penglihatan
-Suara
-Bau
-Rasa
-Texture
Indera
Penerima
Interpretasi
PERSEPSI
perhatian
Tanggapan
26
3. Faktor-faktor yang memengaruhi persepsi
Menurut Bimo Walgito setidaknya ada tiga faktor yang berpengaruh
terhadap persepsi seseorang yaitu :
a. Stimulus yang cukup kuat, stimulus yang melampaui lambang stimulus
kejelasan akan banyak berpengaruh terhadap persepsi.
b. Fisiologis dan Psikologis, jika sistem fisiologisnya terganggu hal ini akan
berpengaruh dalam persepsi seseorang. Segi psikologis yang mencakup
pengalaman, perasaan kemampuan berpikir dan sebagainya. Juga akan
berpengaruh bagi seseorang dalam mempersepsi.
c. Faktor Lingkungan, situasi yang melatarbelakangi stimulus juga akan
mempengaruhi persepsi.41
Dirga Gunarsa menjabarkan kenapa persepsi masing-masing orang
kadang berbeda dalam memandang terhadap suatu objek yang sama,
menurutnya ada beberapa faktor diantaranya:
a. Motif, adalah faktor internal yang dapat merangsang perhatian.
Adanya motif menyebabkan munculnya keinginan individu melakukan
sesuatu dan sebaliknya.
b. Kesediaan dan Harapan, hal ini akan menentukan pesan yang mana,
yang akan dipilih untuk diterima selanjutnya sebagaimana pesan yang
dipilih itu akan ditata dan diinterpretasi.
c. Intensitas rangsang, kuat lemah rangsang yang diterima, akan sangat
berpengaruh bagi individu.
d. Pengulangan suatu rangsang yang muncul atau terjadi secara berulang-
ulang akan menarik perhatian sebelum mencapai titik jenuh42
41
Bimo Walgito, Psikologi Sosial (Yogyakarta: Andi Offset, 1991), h.54
27
Menurut David krech (Rakhmat (2005: 55) ada dua faktor yang
menentukan persepsi seseorang yaitu:
a. Faktor fungsional
Bahwa persepsi bersifat selektif fungsional dimana objek-objek yang
mendapat tekanan dalam persepsi, biasanya objek yang melakukan
persepsi dipengaruhi oleh faktor fungsional meliputi:
1. Kebutuhan
Kebutuhan sesaat maupun yang menetap pada diri seseorang, akan
mempengaruhi persepsi orang tersebut. Hakikatnya kebutuhan-
kebutuhan yang berbeda akan menyebabkan perbedaan persepsi.
2. Kesiapan Mental
Kesiapan mental seseorang akan memengaruhi persepsi seseorang.
3. Suasana Emosi
Suasana emosi seseorang baik dalam keadaan sedih, bahagia,
gelisah maupun marah akan sangat memengaruhi persepsinya
terhadap budaya.
4. Latar Belakang
Latar belakang asal seseorang akan memengaruhi dan menentukan
persepsi seseorang tersebut pada suatu objek rangsangan.
b. Faktor Struktural
Faktor struktural semata-mata berasal dari stikulus fisik dan efek-efek
syaraf yang ditimbulkan pada sistem syaraf individu yang dalam hal
ini eart kaitanya dengan fokus usia.
42
Singgih Dirga Gunarsa, Pengantar Psikologi (Jakarta: Sumber Widya, 1992), cet. Ke-4, h.107.
28
B. Diskursus Kepemimpinan Non-Muslim
1. Pengertian Kepemimpinan
Banyak sekali tokoh-tokoh yang mendefinisikan soal kepemimpinan,
dan masing-masing definisinya sangat bervariasi sebanyak tokoh itu
mencoba mendefinisikan konsep kepemimpinan ini. Namun, secara etimologi
kepemimpinan bersumber dari kata dasar “pimpin” yang berarti membimbing
atau dituntun43
yang kemudian mendapat awalan “ke” dan sisipan “em” serta
akhiran “an”.
Dalam tata bahasa Indonesia, “ke” dan “ke-an” berfungsi sebagai
pembentuk kata benda abstrak yang mengandung arti menjadi atau peristiwa.
Sedangkan sisipan “em” pada kata pemimpin berfungsi membentuk kata baru
yang artinya tidak berbeda dengan kata dasarnya. Arti sisipan “em” disini
mengandung sifat. Jika pemimpin bnerasal dari kata pimpin yang mendapat
awalan “pe” yang mempunyai arti orang yang melakukan. jadi, pemimpin adalah
orang yang memimpin.44
Secara terminologi Abdul Syani mendefinisikan kepemimpinan sebagai
suatu proses pemberian pengaruh dan pengarahan dari seorang pemimpin
terhadap orang lain (sekelompok orang) atau melakukan aktifitas tertentu sesuai
dengan kehendaknya”.45
Uraian mengenai definisi kepemimpinan diatas dapat disimpulkan
bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan seorang mempengaruhi orang
lain untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan dalam suatu perkumpulan
individu atau kelompok. Dengan kata lain, kepemimpinan berkaitan erat
dengan memperngaruhi demi tercapainya tujuan.
Secara makro, tidak setiap orang harus menjadi pemimpin (dalam konsep
berbangsa dan bernegara). Namun secara mikro, setiap orang haruslah menjadi
43
WJS, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1982), Cet. Ke-4 h. 754
44 Abdullah Ambari, Inti Sari Tata Bahasa Indonesia, ( Bandung: Dajtmika, t.t ), h. 70-72
45 Abdul Syani, Manejemen Organisasi, ( Jakarta : PT. Bina Aksara, 1994 ) cet ke-1 h. 231
29
pemimpin (minimal memimpin dirinya sendiri). Dalam skripsi ini penulis
memberikan pengertian kepemimpinan ini pada wilayah kepemimpinan
politik yakni, Persiden hinga Lurah atau kepala desa.
2. Kepemimpinan Dalam Islam
Islam merupakan agama yang koperhensife dalam ajarannya, tak
terkecuali ihwal pimpin memimpin. Dalam Islam, secara mikro Setiap orang
adalah pemimpin, meskipun kemampuan setiap orang dalam memimpin itu
berbeda, tetapi Islam mengakui bahwa setiap orang itu adalah pemimpin,
sebagaimana sabda sabda Nabi Muhammad SAW:
“Setiap kamu adalah pemimpin dan akan ditanya tentang
kepemimpinannya itu. Seorang Imam adalah pemimpin dan akan ditanya
tentang kepemimpinannya itu, seorang laki laki adalah pemimpin atas ahli
keluarganya dan dia akan ditanya tentang kepemimpinannya itu, seorang
perempuan adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan akan ditanya
tentang kepemimpinannya itu, pelayan pimpinan atas harta majikannya dan
akan ditanya tentang kepemimpinannya itu,
Dan semua kamu adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya
itu”. (HR. Bukhari)
Hadis di atas mengindikasikan bahwa potensi memimpin harus dimiliki
oleh setiap orang dan ini nantinya akan dipertanggung jawabkan, sehingga setiap
individu harus belajar untuk menjadi seorang pemimpin apapun posisi yang
diembannya selama dia masih berstatus sebagai mukallaf atau sudah baligh.46
Menurut Rahmat Solihin, seorang pemimpin dalam Islam memiliki hak
dan kewajiban. Diantara kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang
pemimpin adalah:47
1. Memimpin dengan adil dan bijaksana
2. Membuka pintu yang selebar-lebarnya bagi yang berhajat
46
Rahmat Solihin, Referensi Islam Dalam Memilih Pemimpin. Jurnal Konstitusi PKK Fakultas Syariah IAIN Antasari, (Vol.II No 1, Juni 2008) hal. 72
47 Ibid. Hal 72
30
3. Mendamaikan perkara terhadap yang bersengketa
4. Mengontrol (mengoreksi dan mengevaluasi) pegawai (yang dipimpinnya)
5. Mencegah tersebarnya gosip (fitnah).
Pemimpin juga memiliki hak yang seyogyanya akan didapatkannya ketika
dia telah menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya diantaranya :
1. Hak mendapatkan upah dari baitul mal
2. Hak didengar dan ditaati seluruh instruksinya selama tidak maksiat
3. Diberi nasehat (saran) yang konstruktif
4. Dihormati secara wajar
5. Menjaga perkataan
Dalam Islam, Pemimpin (Imam) yang adil termasuk salah satu dari tujuh
kelompok yang diberikan nauangan pada hari kiamat nanti, yang mana tidak ada
naungan selain dari naungannya Allah SWT. (HR Bukhari dari Abu Hurairah). Ini
berarti bahwa Islam sangat memberikan apresiasi yang tinggi bagi pemimpin-
pemimpin yang adil.48
Sementara itu, dalam Islam ada beberapa definisi yang kerap digunakan dan
kita temui baik dalam Al-qur’an maupun hadis Nabi. Beberapa istilah yang
sering digunakan untuk mewakili kata pemimpin yaitu:
b. Khalīfah (خليفة)
Akar kata dari khalīfah adalah خلف yang artinya menggantikan49
, dari
arti kata tersebut kemudian lahir beberapa kata yang lain. yaitu, خليفة
(pengganti), khalāf خالف yang artinya lupa atau keliru, dan khalafah خلف.
Dalam pandangan kaum Muslimin, khalīfah adalah kepemimpinan umum
dalam urusan agama dan dunia menggantikan Nabi Muhammad SAW. Ibn
48
Ibid. Hal 73 49
Prof. Mahmud Yunus. Kamus Arab-Indonesia, Hidakarya Agung Jakarta, 1972, h. 120
31
Khaldun menjelaskan hakikat Khīlafah dengan menggantikan pembuat syara
dalam menjaga agama dan politik dunia50
Ada dua perkataan khalīfah dalam al-Qur’an yang berbentuk mufrad,.
yaitu dalam QS. Al-Baqarah ayat 30 dan QS. Saad ayat 26. Kemudian
terdapat dua bentuk jamak yang menunjukkan banyak, yaitu dalam
perkataan khalā’if yang disebut sebanyak empat kali. Yaitu dalam QS. al-
An’am ayat 165, QS. Yunus ayat 14,73, dan QS. Fatir ayat 39. dan
perkataan khulafa’ disebut sebanyak tiga kali dalam QS. al-A‟raf ayat 69,
74 dan QS. an-Naml ayat 62.51
c. Auliya (اولياء)
Kata ( اولياء ) auliyā adalah bentuk jamak dari kata (ولي) waliy. yang
makna dasarnya adalah dekat. Dari pengertian wali ini, berkembang
makna-makna baru seperti pemimpin, penguasa, pembela, pelindung, yang
mencintai, dan sebagainya. Kata tersebut merupakan satu bentuk
kedekatan kepada sesuatu yang menjadikan terangkat dan hilangnya batas
antara yang mendekat dan yang didekati dalam tujuan kedekatan itu.
Kalau tujuan dalam konteks ketakwaan dan pertolongan, auliyā‟ adalah
penolong-penolong. Dalam konteks pergaulan dan kasih sayang auliya‟
adalah ketertarikan jiwa, dan dalam konteks ketaatan, waliy adalah siapa
yang memerintah dan harus ditaati ketetapannya.52
50
Ali Abd ar-Raziq, Islam Dasar-Dasar Pemerintahan Kajian Khafah dan Pemerintahan dalam Islam, Terj. M. Zaid Su‟di, Jendela, Yogyakarta, 2002, h. 4.
51 Yahaya Jusoh, Kamarul Azmi jasmi, Pendidikan Politik dan khilafah Islam dalam
Pelbagai Perspektif, Universiti Teknologi Malaysia, Johor Darul Ta’zim, 2006, h. 1. 52 M. Quraish Shihab, Tafsīr Al-Misbāh;Pesan, Kesan,dan Keserasian Al-Qur’an, Lentera
Hati, Jakarta,Vol. III, 2002, h.151
32
d. Amir (أمير)
Kata amīr merupakan bentuk isim fi’il dari akar kata amara yang berarti
memerintahkan bisa juga kata ini d imaknai menguasai.53 Kata amir ini terdapat
dalam hadits nabi Muhammad SAW.
فقد عصى هللا, ومن أطاع أميري فقد أطاعني ومن عصانيمن أطاعني فقد أطاع هللا
من
عصى أميري فقد عصاني )رواه البخارى ومسلى (
Barang siapa yang taat kepadaku berarti taat pada Allah, dan barang
saiapa yang maksiat kepadaku berarti maksiat pada Allah, dan siapa yang
taat pada yang aku angkat berarti taat kepadaku, dan barang siapa yang
melanggar Amir yang aku angkat berarti melanggar kepadaku ( HR.
Bukhari Muslim)
Dalam Al-Qur’an sendiri tidak pernah ditemukan kata amir, yang ada
hanya kata Ulilamri yang mengarah kepada makna pemimpin, meskipun
para ulama berbeda pendapat tentang arti ulilamri tersebut. Ada yang
menafsirkan dengan kepala Negara, pemerintah dan ulama. Bahkan orang-
orang syi‟ah mengartikan Ulilamri dengan imām-imām mereka yang
ma’sūm.54
e. Ar-Rā’in (الراع)
Padadasarnya term ar-rā’in berarti penggembala yang bertugas
memelihara binatang, baik yang terkait dengan pemberian makanan maupun
dengan perlindungan dari bahaya. Namun makna ini kemudian mengalami
53Ahmat Warson Munawir, Kamus al-Munawwir, Arab-IndonesiaTerlengkap, Pustaka
Progressif, Surabaya, cet. XIV , 1997, h. 1466. 54
H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah; Implementasi Kemaslahatan Umad dalam Rambu- Rambu Syariah, Kencana, Bogor, 2003, h. 91-92.
33
perkembangan, selanjutnya ar-rā’in juga dimaknai sebagai pemimpin,
karena tugas pemimpin sebenarnya hampir sama dengan tugas penggembala
yaitu memelihara, mengawasi dan melindungi orang-orang yang
dipimpinnya
Dalam hal ini, ketika kata pemimpin disebut dengan term ar-Rā’in
maka konotasinya secara otomatis pada makna tugas dengan beban
tanggung jawab pemimpin tersebut. Lebih jauh lagi, term ri’ayah yang
merupakan salah satu bentukan dari akar kata رعى hanya ditemukan satu
kali dalam al-Qur’an, yakni pada QS. al-Hadid ayat 27.
kata ri’ayah dalam ayat tersebut dihubungkan dengan kata ganti atau
dhamir ها yang merujuk pada kata رهبابنية menurut Al-Asfahani, kata ini
berarti takut yang disertai dengan usaha memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti. Dengan demikian, seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya
harus memiliki kesadaran akan tanggung jawab tersebut sehingga tugasnya
dilakukan penuh hati-hati, disertai upaya untuk memperbaiki diri sendiri dan
orang yang dipimpinnya.55
f. Imām (امام)
Imām merupakan salah satu bentukan kata dari akarkata أم يأم yang
berarti “pergi menuju, bermaksud kepada, dan menyengaja”. Menurut Ibn
Faris di dalam Maqāyis al- Lugah menyebutkan bahwa, kata imām memiliki
dua makna dasar, yaitu setiap orang yang diikuti jejaknya dan didahulukan
urasannya, karena itulah Rosūlullah saw disebut sebagai imām alammah dan
khalīfah. Sebagai pemimpin rakyat sering juga disebut imām al-ra‟iẏyah atau
55
Sahabuddin, et.al, ensklopedi al-qur’an kajian kosa kata, lentera hati, Jakarta, Juz III, 2007, h. 829.
34
dalam hadis digunakan kata al-imām al-a’zam.
Dr. Ali As-Salus dalam bukunya menyatakan bahwa “Imām artinya
pemimpin seperti ketua atau yang lainnya, baik dia memberikan petunjuk
ataupun menyesatkan”56
sebagaimana firman Allah:
Artinya: “(ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat
dengan pemimpinnya; dan Barangsiapa yangdiberikan kitab amalannya
di tangan kanannya Maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan
mereka tidak dianiaya sedikitpun.”QS. al-Isrā’ ayat 71
Di dalam al-Qur’an kata imām disebutkan sebanyak tujuh kali. yaitu
dalam QS. al-Baqarah ayat 124, QS. al-Isrā‟ ayat 71, QS. al-Furqān ayat 74, QS.
Yāsīn ayat 12, QS. al-Ahqāf ayat 12, dan QS. al-Hijr ayat 79.57
3. Ruang lingkup dan macam-macam non-Muslim
Dalam hal ini, yang penulis maksud dengan non-Muslim adalah orang yang
yang memiliki keyakinan atau agama diluar agama Islam. Kelompok non-
Muslim ini dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok yakni:
a. Ahl-Kitāb (Ahli Kitab)
Secara etimologi, Ahl-Kitāb terdiri dari dua kata Ahl dan Al-Kitāb.
Kata Ahl berarti keluarga atau kerabat dekat. Sedangkan al-Kitāb
menunjuk kepada makna lembaran atau buku58
. Jadi Ahli kitab merupakan
56
Ali as-Salus, Imāmah dan Khilafah Dalam Tinjauan Syar’i, Terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Gema Insani Press, Jakarta, 1997, h. 15
57 Yahaya Jusoh, Kamarul Azmi jasmi, Pendidikan Politik dan khilafah Islam dalam
Pelbagai Perspektif, Universiti Teknologi Malaysia, Johor Darul Ta‟zim, 2006, h. 2 . 58
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman al-Qur’an dan Hadis, PT Elex Media
35
sebutan bagi komunitas yang mempercayai dan berpegang teguh kepada
agama yang memiliki kitab suci yang berasal dari Tuhan selain Al
Qur’an.59
Term Ahl-Kitāb adalah menunjukkan kepada sebuah komunitas
yang beragama Yahudi dan Nasrani (Kristen), demikian pula yang
dimaksud dalam al-Qur’an dan Hadis. Namun sebagian ulama, ada
diantara mereka yang memperluas cakupan AhluKitāb, sehingga istilah
tersebut tidak hanya terbatas kepada dua kelompok yang disebutkan di atas
tadi, tapi mencakup agama dan kepercayaan yang lain, seperti: Majusi dan
Shabi’īn, atau oleh orang barat dikenal dengan sebutan kaum sabian60
Dalam Ensiklopedi al-Qur’an kajian kosa kata dan tafsirnya
disebutkan bahwa kata Ahlul Kitāb dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak
30 kali.61
Secara rinci kata Ahlul Kitāb masing-masing termaktub dalam
QS al-Baqarah ayat 105, 109. QS Ali „Imrānayat 64, 65, 69, 70, 71, 72,
75, 98, 99, 110, 113 dan 119. QS an-Nisā‟ ayat 123, 153, 159, 171. QS al-
Māidah ayat 15, 19, 59, 65, 68, 77 QS al-Ankabūt ayat 46 QS al-Ahzāb
ayat 26. QS al-Hadīdayat 29. QS al-ḥasyr ayat 2 dan 11. QS al-Bayyinah
ayat 1 dan 6.
b. Murtad
Kata Murtad berasal dari akar kata riddah atau irtidad yang
Komputindo, Jakarta, 2014, h. 146.
59 Abdullah Nasih Ulwan, Konsep Islam Terhadap Non Muslim, Terj. Kathur Suhardi,
(Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 1990), hlm. 32. 60
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman al-Qur‟an dan Hadis, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2014, h 180.
61 Tim Penyusun, Ensiklopedi al-Qur'an; Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya, Yayasan
Bimantara, Jakarta, 1997, h. 6.
36
berarti kembali.62
Bisa juga diartikan berbalik atau berpaling. Dalam
pandangan hukum Islam, murtad berarti keluar dari Islam atau tidak
mengakui kebenaran Islam, baik dengan berpindah agama lain, atau
menjadi tidak beragama sama sekali (atheis).63
Pertannyaannya adalah kapan seseorang bisa disebut murtad ?
menurut Nasarudin Umar, seseorang bisa dikatakan murtad ketika
orang itu melakukan dengan sengaja sesuatu yang jelas keharamannya
dan dia mengetahui hukumnya. Sebagai contoh, ketika seseorang sujud
menyembah matahari atau menginjak al-Quran. Tetapi kalau perbuatan
itu dilakukan bukan karena menolak nas yang melarangnya atau
disebabkan penalaran yang keliru terhadap nas,ulama menilai orang
tersebut tidak menjadi murtad, juga orang yang dipaksa untuk murtad
tidak tergolong orang yang murtad
c. Kāfir
Akar kata kāfir adalah كفر (kafara) يكفر (yakfuru), كفرا
(kufran). Kata tersebut memiliki berbagai macam makna, antara lain.
Naqidh al-Iman, yaitu antonim dari iman atau tidak beriman kepada
Allah SWT, Aṣaw wa Imtana’u, yaitu melakukan maksiat, dan lain
sebagainya.64
Istilah kāfir yang saat ini di fahami oleh umat Islam adalah
ditunjukan bagi mereka yang menentang, menolak, kebenaran dari Allah
Swt, yang disampaikan melalui Rasul-Nya
62
Apakah Makna Kata Murtad? http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/14/01/15/mzeym4-apakah-makna-kata-murtad-1 diakses pada Rabu 19 Juli 15.27 WIB.
63 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman al-Qur‟an dan Hadis, PT Elex Media
Komputindo, Jakarta, 2014, h. 146.
64 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman al-Qur‟an dan Hadis, PT Elex Media
Komputindo, Jakarta, 2014, h.180
37
Dalam beberapa literatur kāfir dengan arti mengingkari yang
ditujukan kepada orang-orang non-Muslim dapat diklasifikasikan kepada
beberapa kelompok. Dalam Fikih Siyasah, term kāfir dibagi menjadi
empat bagian.
Pertama, Kāfir Ḥarbi,
Kāfir Ḥarbi merupakan non-Muslim yang terlibat permusuhan
dengan kaum M uslimin. Mereka senantiasa ingin memecah belah
orang-orang mukmin dan bekerja sama dengan orang-orang yang telah
memerangi Allah SWT dan Rasulnya sejak dahulu.
Kedua, Kāfir Mu’ahad, yaitu non-Muslim yang terikat
komitmen dengan kaum Muslimin untuk tidak saling bermusuhan.
Kāfir Mu’ahad berasal dari Darul ḥarbi, tetapi mereka telah
mengadakan perjanjian damai dengan pemerintah Islam. Hak dan
kewajiban mereka ditentukan menurut al-Qur‟an, Sunnah, dan
perjanjian yang disepakati bersama, oleh karena itu, mereka harus
dilindungi hak-hak dan kewajibannya.
Ketiga, kafir Musta’man yakni kelompok non-Muslim yang
mendapatkan jaminan keamanan dari seluruh atau sebagian kaum
Muslim. Kelompok non-Muslim ini juga tidak boleh dibunuh sepanjang
masih berada dalam jaminan keamanan. Allah berfirman:
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta
perlindungan kepadamu, Maka lindungilah ia supaya ia sempat
mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang
38
aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak
mengetahui.”(QS : At-Taubah: ayat 6
Zulqarnain M. Sunusi Dalam bukunya Jihad dan “Terorisme”
mengatakan bahwa, “Adapun kafir musta’man, ia adalah orang yang
masuk ke Negara kaum Muslimin (dengan maksud) bukan untuk
menetap pada negara itu. jenis mereka ini ada empat macam, yakni:
1. Para utusan
2. Para pedagang
3. Orang-orang yang meminta perlindungan, yang dihadapkan
kepadanya keislaman dan al-Quran. Kalau ingin mereka masuk
(Islam), dan kalau (tidak) ingin, mereka (dipersilahkan untuk
pulang ke negeri mereka.
4. Orang-orang yang mempunyai hajat berupa kunjungan dan lain-
lain. Hukum terhadap mereka adalah tidak boleh diboikot, dibunuh,
dipungut jizyah darinya, dan terhadap orang-orang yang meminta
perlindungan agar diperlihatkan kepada mereka keislaman dan al-
Quran. Kalau mereka memeluk (Islam), itulah (yang diinginkan).
Kalau mereka ingin kembali kepada keamanannya (negaranya)
biarkan mereka kembali65
Ke Empat Kāfir Dzimmah,
Secara etimologis, kata dzimmi berasal dari kata dzimmah,
artinya aman atau janji. Dalam konteks non-Muslim (kafir)
Ahludzimmah diartikan sebagai orang kāfir yang mendapatkan
perlindungan dari pihak Muslim, juga dipahami sebagai non-
65
Dzulqarnain M.Sunusi, Antara Jihad dan Terorisme (Makasar: Pustaka As-Sunnah, 2011) h. 117
39
Muslim yang telah mendapatkan janji dari umat Islam atas
keamanan dirinya.
Mereka tidak dianggap sebagai bahaya dan ancaman yang
serius terhadap akidah umat Islam. Oleh karena itu, mereka dapat
hidup aman dalam wilayah kekuasaan Islam dengan hak - hak dan
kewajiban -kewajiban yang ditentukan oleh penguasa Islam
Bagi kafir Dzimmah diberikan kepada mereka hak-hak oleh
Negara Islam, atas kewajiban membayar zakat, dan berlakunya
hukum-hukum sipil duniawi Islam terhadap mereka. Dengan
demikian, mereka menjadi warga negara resmi di negara Islam.
Oleh karena itu, para ahli fiqih dari berbagai mazhab sepakat untuk
menganggap mereka sebagai penduduk wilayah Islam.
Di negara Islam, dzimmi memiliki hak dan kewajiban yang
sama dengan kaum muslim, kecuali dalam beberapa hal,
diantaranya:
Pertama, hak untuk mendapatkan izin tinggal dan menjadi
penduduk secara resmi di dalam wilayah hukum Islam.
Ahludzimmah berhak tetap bertahan di atas tanah yang menjadi
miliknya yang sah. Tidak ada seorang pun yang berhak untuk
mengusirnya dari tanahnya itu.
Kedua, jaminan keamanan atas nyawa mereka dan keluarga,
baik dari ancaman orang Islam atau dari ancaman sesama orang
kāfir.
Ketiga, jaminan keamanan atas harta benda yang
dimilikinya
40
Keempat, Ahludzimmah berhak mendapat jaminan untuk
melaksanakan agamanya di dalam wilayah Negeri muslim. Kaum
Muslimin tidak dibenarkan memaksa, mendiskreditkan, atau
memerintahkan mereka masuk Islam, kecuali bila atas kesadaran
mereka sendiri. Kebebasan menjalankan kegiatan agamanya sesuai
dengan keyakinannya adalah jaminan dari kaum muslim kepada
non-Muslim (Ahludzimmah)
Kelima, jaminan untuk mendapatkan pekerjaan dan
penghidupan yang layak. Islam tidak mengharamkan umatnya
bermuamalat dengan orang non-Muslim. Bahkan rasul masih saja
menggadaikan pakaian perangnya kepada orang yahudi serta
berjual beli dengan mereka. Demikian juga dengan para sahabat,
mereka aktif di pasar bersama-sama dengan non-Muslim dalam
mencari rizki.
Keenam, jaminan atas keamanan kehormatan dan harga diri
mereka, baik yang terkait dengan nama baik, nasab, susila, dan
lainnya.
Ketujuh, jaminan dari berbagai macam gangguan lainnya,
baik yang berasal dari umat Islam ataupun dari orang kāfir
lainnya.66
4. Kepemimpinan non-Muslim dalam Islam
Diskursus soal kepemimpinan non-Muslim selalu menuai berbagai
argumentasi yang beragam. Pro dan kontra selalu hadir seiring setiap
66
.Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman al-Qur’an dan Hadis, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2014, h 220.
41
perspektif memberikan sumbangsih pemikiran, yang menghadirkan
kekayaan cara berpikir. Lalu pertanyaannya adalah, apakah Islam secara
saklek melarang kepemimpinan Non-Muslim? Dan sejauh manakah
relevansi hal tersebut dalam kehidupan bernegara yang mencakup berbagai
faktor determinan yang lebih luas.
Memang dalam Al-qura’an sendiri terdapat ayat-ayat yang bernada
melarang, beberapa ayat yang penulis kutip dibawah ini merupakan ayat-
ayat yang dianggap sebagai salah satu sumber perdebatan, dalam hal boleh
tidaknya menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin.
Dari ayat-ayat yang penulis kutip diantaranya surat An-Nisa ayat 144
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah
(untuk menyiksamu)?” (QS. An- Nisa: 144)
Menurut al-Qurthubi, ayat ini menjelaskan tentang larangan bagi
umat Islam menjadikan orang-orang kafir sebagai sahabat dekat
(bithanat).67
Namun, untuk memahami hal ini perlu kiranya melihat apa
yang terkandung dalam surat Al- Mumtahinah ayat 8-9:
67
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, h. 310
42
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang Berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang
kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu
karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang
lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai
kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”(QS. Al-
Mumtahinah: 8-9)
Menurut Mahmud Yunus, ayat-ayat diatas menjelaskan dengan
terang, bahwa orang-orang Islam atau orang-orang Mukmin boleh berbuat
dan berlaku adil kepada mereka non-Muslim (kafir) yang tidak memerangi
kaum Muslim karena agama dan juga selama tidak mengusir dari tanah
airnya.
Sebaliknya yang dilarang Allah mengangkat pemimpin dari
orang-orang kafir yang memerangi mereka dan mengusir mereka dari
tanah airnya. Sebab menurut Mahmud Yunus, nyatalah salah tuduhan
orang yang mengatakan bahwa Islam menyuruh memerangi tiap-tiap orang
kafir dan merampas hartanya68
Selain ayat diatas masih ada beberapa ayat yang dianggap
relevan dan kerap dijadikan agrumentasi penolakan non-Muslim sebagai
pemimpin. Surah Ali-Imran ayat 28 misalnya, Allah SWT berfirman:
68
Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004, cet. VII),h. 823.
43
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang
kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan
kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali
(mu).” (QS. Ali-Imran: 28)
Dalam buku Presiden non-Muslim di Negara Muslim:
Tinjauan Dari Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam
Konteks Indonesia, Karya Mujar Ibn Syarif, Al-Jashshash
memberikan komentar pada ayat 28 Ali Imran ini sebagai sebagai
berikut:
“Dalam ayat ini dan ayat-ayat lain yang yang isinya senada
dengannya ada petunjuk bahwa dalam hal apa pun orang kafir tidak
boleh berkuasa atas (umat) Islam”
Namun jika dilihat dari konteks sebab turunnya (asbab an-
nuzul) ayat ini, Al-Dlahhak meriwayatkan dari Ibn Abbas, ayat ini
turun dalam konteks Ubadah ibn al-Shamit, salah seorang sahabat
Nabi yang ikut dalam Perang Badar. yang mempunyai sejumlah
kawan dari kalangan Yahudi. Lalu Ketika Nabi akan berangkat
menuju Perang Ahzab, Ubadah berkata: “Wahai Nabi Allah, saya
sedang bersama dengan 500 laki-laki Yahudi yang siap memerangi
Nabi. Mereka menampakkan permusuhannya dengan umat Islam”.
44
Dilatari kasus tersebut turunlah ayat yang melarang berteman
dengan orang kafir tersebut.69
yang dimaksud dengan kafir disini
adalah kafir Harbi. Karena mereka dengan terang-terangan
menampakan kebencian dan mengancam keberadaan umat Islam.
Salah satu surat dalam Al-Qur’an yang menjadi rujukan
banyak orang dalam menjustifikasi pelarangan non-Muslim menjadi
pemimpin bagi mayoritas umat Islam adalah adalah surat al-Maidah
ayat 51 dan 57 firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-
pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zalim. (QS.Almaidah 51)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
jadi “wali” kalian, orang-orang yang membuat agamamu jadi
bahan ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang
telah diberi kitab sebelummu, dan orang- orang yang kafir. Dan
69
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, h.311
45
bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang- orang yang
beriman.” (Q.S. al-Maidah: 57)
Dalam sebuat riwayat Ibnu Abbas ra. memaparkan, bahwa
ayat 57-58 surat al- Maidah turun berkenaan dengan kasus Rifa’ah
bin Zaid bin Tabut dan Suwaid bin Harits. Yang mana ketika itu
mereka masuk Islam, tetapi kemudian mereka menjadi orang
Munafik. Beberapa orang dari kaum Muslim bersahabat dan sangat
menyayangi mereka berdua. (HR. Abu Syaikh dan Ibnu Hibban).
Secara harfiah Al-Quran banyak menjelaskan tentang
kepemimpinan dengan kata ‘wali’, misalnya dalam Surat Ali Imran
ayat 28 diatas yang menegaskan ketidakbolehan dengan kata ‘lâ’
yang dapat diartikan dengan “janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang kafir menjadi wali”.
Disamping itu, ada hal menarik yang memberikan
pengecualian bahwa mengambil pemimpin kafir dibolehkan sebagai
strategi memelihara diri dari yang ditakutinya.70
Dalam ayat 73 surat al-Anfal Allah berfirman:
“Adapun orang-orang yang kafir sebagian mereka menjadi
wali bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak
melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu (keharusan
adanya persaudaraan yang teguh antara kaum muslimin), niscaya
70
Siti Ruhaini Dzuhayatin Islam, Kepemimpinan non-Muslim dan Hak Asasi Manusia Ahmad Baiquni (Penyunting) dalam “Fiqih Kebinekaan: Pandangan Islam Indonesia tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Muslim” Bandung: Mizan Pustaka bekerjasama dengan Ma’arif Institute 2015 h.310
46
akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.71
Dalam menyinggung soal kelompok non-Muslim, Al-qur’an
sendiri selalu memberikan pengertian dengan tidak spesifik. Jika kita
amati dari ayat-ayat diatas, Al-Qur’an selalu memberikan pengertian
secara menyeluruh.
Seperti yang sudah penulis bahas sebelumnya, para Fuqaha,
atau ulama-ulama Fiqih mengklasifikasikan (kafir) dalam beberapa
jenis yakni, Kafir Harbi, Kāfir Mu’ahad, kafir, Musta’man dan Kāfir
Dzimmah.
Dari beberapa jenis kafir tersebut, Kafir Harbi yang
merupakan orang kafir yang selalu memusuhi Islam dengan berbagai
cara. baik dengan jalan mencaci, memfitnah, bahkan sampai perang
fisik yang mengakibatkan hilangnya nyawa atau pertumpahan darah.
Maka karena dipandang membahayakan eksistensi Islam sebagai
Agama, jenis kafir ini boleh diperangi dalam firmannya Allah SWT:
Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan
munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (Q.S. al-
Tawbah: 73).
Di ayat lain surat At-taubah Allah berfirman:
71
Dalam terjemaahan bahasa Indonesia, ada juga yang langsung mengartikan kata wali dalam ayat diatas sebagai pelindung.
47
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang
kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui
kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama
orang-orang yang bertaqwa. (At-Tawbah 123).
Rasyid Ridla sebagaimana dikutip oleh Abd. Moqsith Ghazali dalam
Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an,
memberikan pengertian “kuffar” dalam ayat diatas secara khusus ditunjukan
kepada orang-orang kafir Harbi. Muhammad Nawawi Al-Bantani
mengartikan kata “kuffar” di situ sebagai orang-orang yang secara terang-
terangan mengangkat pedang untuk memerangi umat Islam.72
Imam Qurṭubi berpendapat pemimpin harus dipegang oleh kaum
Muslimin karena sangat berbahaya apabila pemimpin dipercayakan kepada
kaum non-Muslim. Dalam karyanya Tafsiral-Qurṭubi, Imam Qurtubi
menyatakan, pada zaman sekarang ini keadaan sudah terbalik dan berubah
sedemikian rupa, hingga orang-orang Islam lebih mempercayakan segalanya
kepada orang-orang kafir dan keadaan kaum Muslimin-pun semakin
memburuk dan terpuruk.73
C. Hak-Hak non-Muslim Sebagai Warga Negara
1. Dalam Pandangan Islam
Dalam sebuah negara Islam, para penganut agama selain Islam (non-
Muslim) biasa disebut dengan Ahludz Dzimmah. Hal ini dikarenakan mereka
72
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, h.308
73 Syeikh Imam Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Terj. Dudi Rosyadi, et.al, Pustaka Azzam,
Jakarta, Jilid. IV, 2008, h. 446.
48
memiliki jaminan perjanjian Allah dan Rasul-Nya serta semua kaum Muslim
untuk hidup dengan aman dan tenteram di bawah perlindungan Islam dan dalam
lingkungan masyarakat Islam.
Dengan ini negara memberi kepada orang-orang non-Muslim suatu hak
politik kepada mereka sebagai rakyatnya. Dengan ini pula kaum non-Muslim
memperoleh dan terikat pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban semua warga
negara (Qardhawi, 1994: 19).
Dalam Islam, setiap Muslim dituntut agar memperlakukan semua manusia
dengan kebajikan dan keadilan, meskipun mereka (non-Muslim) tidak memeluk
Islam, selama mereka tidak menghalangi penyebarannya, tidak memerangi para
penyerunya, dan tidak menindas para pemeluknya. Adapun ketentuan ini berlaku
di negara Islam (Darul Islam) maupun di luar negara Islam.74
Demikian juga sebagai warga Negara, non-Muslim mempunyai hak dan
keistimewaan yang diberikan oleh negara, beberapa keistimewaan itu
diantaranya:
pertama, Negara wajib melindungi nyawa, harta dan martabat seluruh
masyarakatnya, dengan jaminan bahwa hak ini tidak akan dicampuri, kecuali
dengan alasan-alasan yang sah dan legal.75
Bahkan darah seorang non-Muslim
dianggap suci dan sesuai darah Muslim. Jika terjadi pembunuhan oleh seorang
Muslim terhadap non-Muslim maka denda ataupun balasan yang dibebankan
akan sama dengan denda atau balasan kepada seseorang yang membunuh
seorang Muslim.
74
Marzuki, Perlindungan Hukum Islam Terhadap Kaum Minoritas di Negara Islam. Jurnal Civics UNY, 2005
75 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman al-Qur‟an dan Hadis, PT Elex Media
Komputindo, Jakarta, 2014, h 220.
49
Kedua adalah kemerdekaan, kemerdekaan disini yakni dalam
mengemukakan pendapat serta menganut keyakinan masing-masing. Dalam
negara Islam kaum semua non-Muslim (dzimmy ) akan memiliki kebebasan yang
sama untuk menganut keyakinan, pandangan, mencurahkan pendapat (melalui
kata-kata tertulis maupun tidak tertulis), serta berserikat dan berkumpul
sebagaimana yang di miliki oleh kaum muslimin sendiri, yang tunduk pada
batasan-batasan yang diterapkan oleh hukum terhadap kaum muslimin. Diantara
pembatasan-pembatasan tersebut, mereka akan diberi hak Untuk mengkritik
pemerintah dan Para pejabatnya, termasuk kepala negri.
Ketiga adalah pendidikan. Kaum non-Muslim akan diberikan hak
pendidikan yang sama seperti kaum Muslim. Tapi mengenai pendidikan agama,
mereka tidak akan dipaksa untuk mempelajari Islam, justru sebaliknya mereka
akan diberi hak penuh untuk menyebarkan ilmu pengetahuan berlandaskan
agama mereka sendiri kepada anak-anak mereka di sekolah-sekolah mereka
sendiri atau bahkan di Universitas atau Akademi-Akademi Nasional. Hak lain
yang juga sangat ditekankan dalam Islam adalah jaminan pemenuhan kebutuhan
pokok bagi semua warga negara tanpa membedakan kasta atau keyakinan.
2. Dalam konteks Indonesia
Undang-Undang Dasar (UUD) 19945 pasal 28 D ayat 1 menyebutkan
setiap orang berhak atas Pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
serta perlakuan yang sama dimata hukum.
Dalam Pasal 29 ayat 2 menyebutkan bahwa Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap warga Negara untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya,76
selain itu adapula UU
76
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 29 ayat 2.
50
No 27 tahun 1945 ayat 1 yang menyebutkan bahwa setiap warga Negara sama
kedudukannya di depan hukum. Ini juga berlaku untuk kebebasan
beragama/berkeyakinan sebagai hak Individu yang tidak bisa ditunda
pemenuhannya (non derogable right) termasuk didalamnya hak-hak setiap warga
Negara yang berekyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa77
Melihat UU diatas maka dalam sebuah Negara demokrasi seperti
Indonesia, pemilihan seorang pemimpin haruslah berdasarkan mekanisme yang
sesuai dengan aturan perundang-undangan dan tidak lagi mempersoalkan
keyakinan. Karena pada dasarnya prinsip-prinsip moral Agama dapat bertemu
dengan nilai-nilai demokrasi78
77
M. Ridwan Lubis “Agama Dalam Diskursus Intelektual dan Pergumulan Kehidupan. Beragama di Indonesia” (Jakarta: Pusat Kerukunan Umat Beragama,Departemen Agama RI) h.246.
78 A.Ubaedillah, Abdul Rozak (Ed). Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Jakarta & Perdana Media Group, Jakarta, Cetakan ke Lima, 2010 h.36
51
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Gambaran Umum Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta
1. Sejarah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakrta
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, merupakan salah
satu fakultas tertua di lingkungan UIN syarif Hidayatullah Jakarta. Awal
mula fakultas ini adalah dari Jurusan Da’wah Wa-Irsyad yang berdiri 1959
pada Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) yang mendidik imam tentara baik
angkatan udara maupun darat yang diberi tugas belajar. Kemudian pada tahun
1960 bertransformasi menjadi PT-PAL (Pendidikan Tjalon Perwira Angkatan
Laut)79
karena peserta didiknya adalah mereka calon perwira angkatan laut.
Ketika ada penggabungan ADIA Jakarta dan PTAIN Yogyakarta
menjadi IAIN Al-Jami’ah, jurusan ini masuk pada Fakultas Tarbiah IAIN
Jakarta. Hingga tahun 1961. Dalam rangka melengkapi fakultas yang ada di
IAIN Jakarta maka dibukalah Fakultas Ushuluddin pada 05 Nopember
1962.80
Pada tahun 1964 Fakultas Ushuluddin membuka jurusan Dakwah
untuk tingkat doktoral. Jurusan Dakwah ini mengeluarkan alumninya
(Sarjana Lengkap) untuk pertama kali pada tahun 1968. Kemudian pada tahun
1967 Fakultas Ushuluddin mendirikan Jurusan Perbandingan Agama tingkat
doctoral, tiga tahun kemudian jurusan ini telah meluluskan sarjananya. Tahun
79
Amsal Bachtiar, Thib Raya DKK ,Pedoman Akademik Program Strata Satu 2010/2011. Jakarta, Biro Akademik dan Kemahasiswaan UIN Jakarta 2010, h. 126
80 Ibid
52
1982 Ushuluddin membuka Jurusan Aqidah Filsafat.81
Adapun secara singkat
sejarah Fakultas Ushuluddin dapat dirangkum sebagai berikut:82
a. Tahun 1964 Fakultas Ushuluddin melaksanakan kegiatan opersionalnya
di gedung milik Departemen Agama di jalan Cemara No.42 Menteng,
Jakarta Pusat. Pada tahun 1964 itu pula dibuka secara resmi Jurusan Ilmu
Dakwah untuk tingkatan doktoral yang sebelumnya sudah memiliki
tingkat Sarjana Muda.
b. Jurusan Dakwah ini mengeluarkan alumninya (Sarjana Lengkap) untuk
pertama kali pada tahun 1968.
c. Pada tahun 1967 Fakultas Ushuluddin membuka Jurusan Perbandingan
Agama. Seiring dengan pertambahan jurusan dan mahasiswa, Fakultas
Ushuluddin membentuk panitia untuk mengusahakan ruang perkuliahan
tambahan untuk mahasiswa baru.
d. Tahun 1969 Fakultas Ushuluddin pindah ke gedung baru milik
Departemen Agama di Jalan Indramayu No.14 Menteng, Jakarta Pusat.
Gedung baru itu tidak hanya digunakan sebagai ruang perkuliahan, tapi
juga sebagai pusat pelayanan administrasi.
e. Setelah satu setengah dasa warsa terpisah dari induknya, maka pada
tahun 1977 Fakultas Ushuluddin kembali ke kampus utama di Ciputat.Di
kampus Ciputat, Fakultas Ushuluddin masih sering berpindah-pindah,
meskipun hanya dari satu unit lain di lingkungan kampus.
f. Tahun 1982, Fakultas yang dikenal sebagai sarang pemikir kritis ini
mendirikan Jurusan Aqidah Filsafat. Dengan berdirinya jurusan ini,
semakin kukuh pula citra Fakultas Ushuluddin sebagai fakulas
pengusung pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia.
g. Tahun 1989, Fakultas Ushuluddin mendirikan Jurusan Tafsir-Hadis.
Sampai kini Jurusan/Program Studi Tafsir-Hadis merupakan jurusan
81 Pedoman Akademik Program Strata 1 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta 2015-2016 82
Sejarah Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta http://ushuluddin.uinjkt.ac.id/sejarah/ Diakses Pada 05 Juli 2017. Pukul 22.30 WIB
53
yang paling banyak mahasiswanya. Tahun 2015 program studi tafsir
hadis akan dipecah menjadi dua prodi: Ilmu al-Quran dan Tafsir dan ilmu
Hadis.
h. Tahun 1999 Fakultas Ushuluddin membuka dua program studi baru
yaitu, program studi Sosiologi Agama dan program studi Pemikiran
Politik Islam. Dari dua program studi ini diharapkan muncul dan
berkembang wacana integrasi antara ilmu-ilmu agama (Islam) dan ilmu-
ilmu sosial empiris.
i. Tahun 2002, Presiden RI menerbitkan Kepres No.31 tahun 2002 tanggal
20 Mei 2002 tentang perubahan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
j. Perubahan ini diikuti pula dengan perubahan nama-nama fakultas di
lingkungan UIN Jakarta, yang menyiratkan keinginan untuk melakukan
akselerasi integrasi keilmuan di kampus ini. Fakultas Ushuluddin pun
mendapat nama baru, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF).
k. Seiring dengan pengembangan Fakultas di lingkungan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, sejak tahun 2009, Prodi Sosiologi Agama, dan
Prodi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dialihkan
ke Fakultas yang baru didirikan, yaitu Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sehingga Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat kini hanya memiliki tiga Jurusan atau Program
Studi, yaitu Jurusan/Prodi Perbandingan Agama, Prodi Aqidah Filsafat,
dan Prodi Tafsir-Hadis. Seiring dengan hal itu telah diusulkan nama
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat berubah menjadi Fakultas Ushuluddin
tanpa Filsafat, namun hingga sekarang belum turun SK perubahannya.
SK perubahannya belum turun, namun Kemenag sudah menetapkan
nama Fakultas Ushuluddin, yaitu Fakultas Ushuluddin dan tanpa ada
tambahan di belakangnya.
l. Ketiga Prodi tersebut telah memperoleh akreditasi dari Badan Akreditasi
Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), dengan nilai A untuk Prodi
Tafsir-Hadis, nilai B untuk Prodi Perbandingan Agama dan nilai A untuk
Prodi Aqidah-Filsafat.
54
m. Tahun 2015 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
berdasarkan SK Dirjen Pendis Kementrian Agama program studi yang
merupakan pecahan dari Tafsir Hadis dan Aqidah Filsafat antara lain: 1.
Prodi Studi Agama-agama 2. Prodi Aqidah dan Filsafat Islam 3. Prodi
Ilmu Tasawuf 4. Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir 5. Prodi Ilmu Hadis,
kelima prodi ini rencana akan membuka pendaftaran pada tahun
akademik 2016/2017.
2. Visi dan Misi.
Sebagai Fakultas yang mendasarkan pada pengkajian-pengkajian
keislaman, kerukunan, juga filsafat Ushuluddin menetapkan Visi dan misi
sebagai acuan dan orientasi pengembangan akademiknya. Adapun visi dan
misinya sebagai berikut:83
a. VISI
Menjadi salah satu fakultas yang terkemuka dalam pengembangan dan
pengintegrasian ilmu-ilmu dasar keislaman dan ilmu-ilmu sosial yang
berdimensi etis, keindonesiaan, dan kemanusiaan.
b. MISI
1. Melaksanakan pengajaran, pendidikan, dan pengembangan ilmu-ilmu
dasar dan sosial Islam, baik yang bersifat teoritik maupun aplikatif.
2. Memelihara tradisi keilmuan dan intelektual yang sudah baik dan
sekaligus mendorong penemuan teori-teori baru
3. Memotivasi mahasiswa agar bersikap etis, berpikir rasional, analitis-
kritis, dan berorientasi pada pemecahan masalah, serta berpandangan
jauh ke depan.
83 Tim Penyusunan Buku Pedoman Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2015, Pedoman Akademik Program Strata Satu 2010/2011. Jakarta, Biro Akademik dan Kemahasiswaan UIN Jakarta 2015/2016, h. 165
55
4. Melaksanakan dan meningkatkan kuantitas dan kualitas penelitian
dalam rangka pengembangan ilmu-ilmu dasar dan sosial Islam.
5. Melakukan kerjasama dengan lembaga intrauniversitas dan ekstra
universitas untuk memberi wawasan dan kesempatan yang lebih luas
kepada sivitas akademika untuk aktualisasi diri.
6. Melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler yang mendukung dan
menumbuh suburkan minat dan bakat mahasiswa.
7. Memelihara dan meningkatkan fasilitas pengajaran, penelitian, dan
pengabdian pada masyarakat.
8. Melakukan manajemen modern yang berbasis pada akuntabilitas,
transparansi, efisiensi, dan efektifitas.
B. Gambaran kegiatan mahasiswa Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
Sebelum lebih jauh membahas tentang aktivitas Mahasiswa
Ushuluddin, penulis mengutip beberapa pengertian tentang mahasiswa.
Dalam KBBI disebutkan bahwa yang dimaksud dengan mahasiswa adalah
orang yg belajar di perguruan tinggi.
Secara umum Mahasiswa dapat didefinisikan sebagai individu yang
sedang menuntut ilmu ditingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta
atau lembaga lain yang setingkat perguruan tinggi. Mahasiswa juga
merupakan individu yang belajar dan menekuni disiplin ilmu tertentu secara
mantap (Ganda, 2004),
Dalam konteks UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang menaungi
Fakultas Ushuluddin, aktivitas mahasiswa secara umum ter-cover dalam
beberapa lembaga intra kampus, baik di tingkat Universitas, fakultas maupun
56
jurusan, namun banyak juga mahasiswa yang mengikuti dan beraktivitas di
organisasi ekstra kampus, atau keduanya. Adapun lembaga-lembaga intra
kampus antaranya:
Tingkat Universitas
Lembaga mahasiswa yang ada di universitas terdiri dari: Dewan
Mahasiswa Universitas (DEMAU), disamping itu terdapat unit kegiatan
Mahasiswa seperti: Kelompok Pecinta Alam (KPA. Arkadia), Korps Suka
Rela Palang Merah Indonesia (KSR-PMI), Teater Syahid, Koperasi
Mahasiswa(KOPMA), PRAMUKA, Himpunan Qori dan qoriah Mahasiswa
(HIQMA), Lembaga Dakwah Kampus (LDK), Paduan Suara Mahasiswa
(PSM), Foregin Language Assosiation (Flat), Federasi Olah Raga Mahasiswa
(FORSA), Komunitas Mahasiswa Fotografi (KMF-Kalacitra), Lembaga
PersMahasiswa. (LPM-Institut), Resimen Mahasiswa (MENWA), Komunitas
Musik Mahasiswa - Ruang Inspirasi Atas Kegelisahan, (KMM-RIAK).
Tingkat Fakultas dan Jurusan
Pada level Fakultas dan jurusan masing-masing memiliki dewan
eksekutif yang saling berhubungan, lembaga mahasiswa ini pada umumnya
disebut dengan Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (DEMAF) dan
Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ)
Lembaga Ekstra Kampus
Disamping organisasi-organisasi yang dinaungi kampus, terdapat
organisasi ekstra kampus, artinya organisasi ini diluar kontrol kampus
diantaranya: HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah),
KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) LS-ADI (Lembaga
57
Studi Advokasi Demokrasi Indonesia), FORMACI (Forum Mahasiswa
Ciputat), dan lain-lain
Adapula organisasi yang bersifat kedaerahan seperti:
HMB (Himpunan Mahasiswa Banten) IKMM (Ikatan Keluarga Mahasiswa
Minang), KMB (keluarga Mahasiswa Betawi) dan lain sebagainya. Dalam hal
ini sebagian besar mahasiswa Fakultas Ushuluddin adalah penggiat diberbagai
organisasi Mahasiswa diatas baik internal kampus maupun eksternal kampus.
Baik primordial maupun sayap partai dan lain sebagainnya, namun adapula
mahasiswa yang justeru tidak aktif diorganisasi apapun.
C. Gambaran Individu Informan
Untuk mengetahui persepsi Mahasiswa/i yang merupakan informan,
dalam menggali informasi terkait pro kontra kepemimpinan non-Muslim,
penulis melakukan sebuah riset lapangan dengan menggunakan teknik angket
dan wawancara, Ada 20 responden yang penulis pilih dari tiga Jurusan yakni,
Jurusan Studi Agama-agama, Ilmu Al-Quran dan Tafsir (awalnya Tafsir
Hadits) dan Aqidah Filsafat Islam. Rentang usia informan yang penulis ambil
berkisar 18 tahun sampai 25 tahun, dari semester 4 sampai 12. Selain itu
penulis juga menganalisis hal-hal yang akan mempengaruhi persepsi seperti
lingkungan, perhatian informan dan lain sebagainya.
Sementara itu 20 orang yang penulis ambil sebagai sample penelitian
ini di tunjuk berdasarkan Jurusan kuliah, aktivitas organisasi intra dan ekstra
kampus, ormas yang diikuti, suku dan afiliasi dengan partai politik.
58
Tabel 3.0
Gambaran usia subjek penelitian
No Usia
Subjek
Studi
Agama-
agama
Ilmu Al-Quran
Dan Tafsir
Aqidah
Filsafat
Islam
Jumlah
Persentase
1 18 - - - - 0%
2 19 - 1 - 1 5%
3 20 1 1 - 2 10%
4 21 2 3 2 7 35%
5 22 - 1 1 2 10%
6 23 3 1 1 3 25%
7 24 - 1 2 0 15%
Total 6 8 6 20 100%
Data diatas menunjukan bahwa, akumulasi dari subjek berusia 18 tahun
0%, seangkan 19 tahun 5%, 20 tahun 10%, 21 tahun 35 %, 22 tahun 10 %, 23
tahun 25% 24 tahun 15% sedangkan responden yang berusia 25 0% atau tidak
ada. Dengan demikian subjek di usia 21 tahun lebih banyak dari usia yang
lainnya. Secara matematis, angka usia 21 tahun adalah usia produktif mahasiswa
dengan asumsi setiap mahasiswa yang memasuki perguruan tinggi pada usia 18
tahun kemudian responden terbanyak kedua ada padausia 25 tahun yakni
sebanyak 20%
Untuk memahami lebih lanjut tentang individu responden, penulis juga
menyuguhkan informasi berupa semester. Namu sebagai catatan agar tidak keliru,
banyak dari responden memiliki usia yang sama (dalam hitungan tahun usia)
namun juga antara satu sama lain berbeda semester
Tabel. 3.1
Jurusan dan semester
Jurusan dan Semester
No Semester Studi agama-
agama
Al-Qur’an dan
Tafsir
Aqidan dan
Filsafat Islam
%
59
Komposisi jumlah semester dalam penelitian diatas menyebutkan bahwa
mahasiswa yang terlibat dalam penelitian ini terdiri dari semester empat 5%,
semester enam 30 %, semester delapan 40 %, semester sepuluh 5 %
Tabel. 3.2
Gambaran tempat tinggal subjek penelitian
No Keteranagn tinggal Jumlah Persentase
1 Orang tua 3 15%
2 Saudara 2 10%
3 Kost 11 55%
4 Suami/istri - -
Asrama/sekretariat Mahasiswa 3 15%
5 Masjid 1 5%
Jumlah 20 100%
Dari data diatas rata-rata responden yang penulis teliti adalah mahasiswa
kos, namun aktif diberbagai organisasi. Data ini menunjukan 15% subjek tinggal
bersama orang tuanya, 10 % bersama saudara, 55% kos, dan tidak ada responden
yang tinggal bersama suami/istri sedangkan sisanya 5% tinggal di masjid.
1 IV 0 1 0 5%
2 VI 2 3 2 30%
3 VIII 3 3 2 40%
4 X 1 1 2 20%
5 XII - - 1 5%
JUMLAH 6 8 6 100%
60
Tabel. 3.3
Gambaran Individu Informan
Ket
erta
rik
an
terh
ad
ap
Isu
Kep
emim
ina
n n
on
-
Mu
slim
Jm
lh
3
9
6
2
0
20
ket
erta
rik
a
na
n
San
gat
tert
arik
tert
arik
Bia
sa s
aja
Tid
ak
tert
arik
San
gat
tid
ak
tert
arik
jum
lah
Mo
tiv
asi
ma
suk
Ush
ulu
dd
in
Jm
lh/o
ora
ng
10
50
%
3
15
%
2
10
%
2
10
%
3
15
%
20
mo
tiv
asi
Dir
i S
end
iri
Ora
ng
tu
a /
kel
uar
ga
Lin
gk
un
gan
Tem
an
Tid
ak
dit
erim
a d
i
Fak
ult
as l
ain
Jum
lah
Per
an
ora
ng
tu
a
Da
lam
ma
sya
rak
at
Jm
lh/
ora
ng
5
25
%
3
15
%
3
15
%
2
10
%
7
35
%
20
Per
an
To
ko
h
Ag
ama
To
ko
h
Mas
yar
akat
Ak
adem
isi
Ap
arat
Neg
ara
Mas
arak
at
sip
il b
iasa
Jum
lah
Pen
did
ika
n t
era
kh
ir
Jm
lh/
ora
ng
8
40
%
4
20
%
6
30
%
2
10
%
0
0%
20
Pen
did
ika
n
Pes
antr
en
SM
A
Ali
yah
SM
K
Lai
nn
ya
Jum
lah
No
1
2
3
4
5
6
7
Dari segi pendidikan, data diatas menunjukan 40% dari subjek penelitian
ini adalah almuni pesantren baik itu pesantren yang berbasis salafi maupun
61
modern. Sisanya 20% alumni Sekolah Menengah Aatas (SMA), 30% Madrasah
Aliyah (MA), dan 10% almuni Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sedangkan
ditinjau dari peran orang tua dalam masyarakat, data menunjukan 25% orang tua
responden adalah tokoh agama, 15% tokoh masyarakat, 15% akademisi, 10%
aparat negara dan 35% masyarakat biasa.
Ketika ditanya motivasi masuk Ushuluddin 50% atau sepuluh dari 20
responden menjawab motivasi sendiri, 15% orang tua, 10% lingkungan, 10%
teman dan 15% lainnya karena tidak diterima difakultas lain.
Disamping itu, menyangkut soal ketertarikan responden terhadap isu
penolakan non-Muslim, dalam tempo 2013-2016, 15% sangat tertarik, 45% persen
tertarik, 30% mengaku biasa saja dan 10% lainnya tidak tertarik.
Tabel 3.4
Gambaran kegaiatan Subjek diluar kuliah
Kegiatan Jumlah Persentase
Organisasi 13 65%
Kerja 2 10%
Pesantren 2 10%
Pengajian diskusi deminar 3 15%
Jumlah 20 100%
Tabel diatas menunjukan bahwa sebanyak 65% responden adalah yang aktif di
berbagai organisasi baik intra maupun ekstra kampus. Sisanya 10% kerja paruh
waktu, 5% pesantren, dan 10% mengikuti pendidikan tambahan seperti pengajian,
seminar dan lain sebagainya.
62
BAB IV
Analisis
Persepsi Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Tentang Pro Kontra
Kepemimpinan non-Muslim
A. Pandangan Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Tentang Pro Kontra
Kepemimpinan non-Muslim di Indonesia
Terjadinya pro dan kontra di kalangan Mahasiswa Ushuluddin dalam
memandang boleh tidaknya seorang non-Muslim memimpin pemerintahan
(eksekutif) merupakan sebuah realitas sosial yang nyata adanya. Demokrasi
sebagai sistem yang dipandang mampu menjembatani pemenuhan hak-hak
sebagai warga Negara di Indonesia, diharapkan mampu menunda paham-paham
primordialisme di kalangan Mahasiswa Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang selama ini dianggap sebagai Fakultas yang selalu
melahirkan sarjana-sarjana yang rasional dan menjunjung tinggi nilai-nilai
kebebasan.
Seperti yang telah penulis terangkan pada bab dua, bahwa penulis melihat
relevansi persepsi mahasiswa dengan menggunakan pisau analisis sosiologi
fungsional Emile Durkheim, untuk mengukur apakah persesi mahasiswa
Ushuluddin dalam memandang boleh tidaknya non-Muslim menjadi pemimpin,
dipengaruhi oleh struktur sosialnya. Baik berupa norma budaya, agama,
lingkungan dan keluargannya ataupun nilai yang berada diluar sehingga memaksa
mahasiswa untuk mendukung atau menolak pemimpin non-Muslim. Adapun
tujuan deskriptif eksplanator bermaksud menggambarkan dan menjelaskan
pola-pola yang terkait dengan fenomena dan mengidentifikasi hubungan-
hubungan yang mempengaruhi fenomena.
63
Penulis menggunakan 20 subjek dalam penelitian ini dan terdiri dari tiga
program studi di Fakultas Ushuluddin yakni Studi Agama-agama, Aqidah Filsafat
Islam dan Tafsir Hadits untuk yang terakhir meskipun jurusan Tafsir hadits telah
dikembangkan menjadi dua program studi yakni Al-Qur’an dan Tafir serta Ilmu
Hadits, penulis tetap menggabungkan responden dari kedua program studi
tersebut. Ini dikarenakan responden yang penulis ambil adalah mahasiswa
semester lanjut yaitu 4 sampai 12 yang notabene ketika masuk ke fakultas
Ushuluddin masih bernama Tafsir Hadits.
Ketika penelitian ini dilakukan Ushuluddin memiliki beberapa
pengembangan dan perubahan nama Jurusan seperti: Studi Agama-agama (SAA)
sebelumnya adalah Perbandingan Agama (PA), juga ada pengembangan dari
Tafsir Hadits (TH) dipecah menjadi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir dan Ilmu Hadits
(IH). kemudian Aqidah dan Filsafat (AF) menjadi Aqidah dan Filsafat Islam
(AFI) dan dikembangkan juga menjadi Ilmu Tasawuf (IF)
Penulis melakukan penelitian ini dalam empat jenjang semester yakni
(IV, VI, VIII, X, XII) dengan rentaan usia subjek dari 18-25 tahun. Seperti yang
sudah penulis bahas dalam bab sebelumnya. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang
penulis ajukan meliputi:
1. Pandangan Mahasiswa Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Terhadap Pluralisme Agama
Pluralisme merupakan tema yang peting penulis hadirkan untuk
mengetahui seberapa jauh mahasiswa mengetahui tentang isu ini. Dalam
Konferensi Tingkat Tinggi, Organisasi Konferensi Islam (OKI), di Dakar,
64
Senegal, 13-14 Maret 2008 juga menjadikan pluralisme sebagai topik
utama.84
Dalam bahasa latin, pluralisme. Dikenal dengan istilah plures, yang
berarti “beberapa dengan implikasi perbedaan”. Atau dalam bahasa inggris
pluralism Bila ditinjau dari asal-usul kata ini, jelas bahwa pluralisme agama
tidak menghendaki keseragaman bentuk agama. Sebab, ketika keseragaman
sudah terjadi, maka tidak ada lagi pluralitas agama (religious plurality).
Dalam koteks Indonesia, Pluralisme diterjemaahkan sebagai
kemajemukan, keberagaman, atau kebinekaan. Keberagaman bukan hanya
sebagai realitas sosial (pluralitas), melainkan juga sebagai gagasan-gagasan,
paham-paham, dan pikiran-pikirannya. Kebinekaan sudah berlangsung
berabad-abad, jauh sebelum Negara ini terbentuk
Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan institusi keagamaan di
Indonesia yang dianggap memiliki otoritas dalam bidang agama Islam,
beberapa tahun lalu tapatnya dalam MUNAS ke-7 yang berlangsung pada
tanggal 26-29 Juli 2005 mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme agama adalah
suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan
karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif oleh sebab itu, setiap
pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang
benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa
semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.85
Bagi MUI, paham pluralisme agama bertentangan dengan ajaran
84 KH. Husein Muhammad, prolog dalam buku: Abd. Moqsith Ghazali, ArgumenPluralisme
Agama:Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, (Depok: Katakita, cet.II, 2009), h. xi
85 Adnin Armas, Pluralisme agama dalam sorotan, dalam buku, pluralisme agama: telaah kritis
cendekiawan Muslim (Jakarta: INSISTS, 1434 H), h. xii
65
Islam. Fatwa MUI didasarkan kepada ayat-ayat al-Qur‟an, di antaranya;
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk
orang-orang yang rugi.” (Q.S. Ali Imran: 85)
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah
Islam.”(Q.S. Ali Imran: 19),
“Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku." (Q.S. al-Kafirun: 6)
Selain itu, MUI juga mendasarkan kepada beberapa hadith di
antaranya: hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (w. 262 H) dalam
kitab shahih Muslim, meriwayatkan Muhammad Rasulullah saw. bersabda:
“Demi zat yang mengusai jiwa Muhammad. Tidak ada seorang pun
baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam
ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa,
kecuali ia akan menjadi penghuni neraka.”
Pluralisme agama sangat berkaitan erat dengan wacana kebebasan
beragama dan berkeyakinan. Di Indonesia, tuntutan untuk menjamin
kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) sesungguhnya sudah tertera
66
dalam konstitusi Negara seperti UUD 1945 pasal 29 (2), yaitu: “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”,
dan pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945
a. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya.
b. Setiap orang berhak menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati
nuraninya
Jaminan KBB tersebut ditegaskan kembali dalam pasal 22 UU No.39
tentang HAM86
a. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
b. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.
Dalam konteks Fakultas Ushuluddin, pemahaman dan pengalaman
mengenai pluralisme tidak sepenuhnya didukung oleh mahasiswa, Sobri
Wijaya salah satunya, Mahasiswa semester sembilan Aqidah Filsafat ini
menolak pluralisme karena mayoritas Indonesia masih Muslim.87
“Jika pluralisme ditegakan di Indonesia, biarpun Negara ini
demokrasi, kalo kita melihat mayoritas di Negara kita mayoritas Muslim,
maka menurut saya sangat tidak baik. Karena berakibatnya seperti yang kita
saksikan beberapa hari lalu terlalu banyak konflik yang berkepanjangan.
Maka menrut saya pluralisme di Indonesia tidak baik”.
86
Sri hidayati, kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dalam perspektif HAM, dalam Center for study of religion and culture (CSRC). Modul Kebebasan Beragama & Integrasi Sosial. (Jakarta: CSRC Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, t.t.), h. 30
87 Hasil wawancara pribadi dengan Sobri Wijaya 08 Agustus 2017
67
Meski begitu, secara keseluruhan pandangan responden tentang
pluralisme bisa sangat baik, hal itu bisa dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.0
9
9
8
2
15
1
18
7
Pa
nd
an
ga
n T
enta
ng P
lura
lisme A
ga
ma
Mem
baca/b
erdisk
usi so
al
plu
ralisme
Baik
atau tid
ak p
luralism
e
Ag
ama d
iterapk
an d
i Indo
nesia
Mem
ilih P
emim
pin
berd
asarkan
Ag
ama C
alon
pem
imp
in
Du
ku
ng
an terh
adap
Neg
ara
Islam
Pen
garu
h A
gam
a dalam
men
entu
kan
pilih
an p
olitik
Du
ku
ng
an terh
adap
Plu
ralisme
Ag
ama
Per
tan
ya
an
8 o
rang
San
gat S
ering
40
11
oran
g
Baik
60
%
6 o
rang
Berd
asarkan
Ag
ama
30
%
4 o
rang
Men
du
ku
ng
20
%
9 o
rang
San
gat B
erpen
garu
h
45
%
12
oran
g
Men
du
ku
ng
60
%
Ja
wa
ba
n
12
Serin
g
60
3 o
rang
Tid
ak b
aik
15
%
7 o
rang
Melih
at soso
kn
ya
35
%
14
oran
g
Men
olak
70
%
6 o
rang
Berp
eng
aruh
30
%
3 o
rang
Men
olak
15
%
Tid
ak p
ernah
0
6 o
rang
Tid
ak tah
u
25
%
7 o
rang
Melih
at kin
erja
35
%
2 o
rang
Biasa sa
ja
10
%
5 o
rang
Tid
ak b
erpen
garu
h
25
%
5 o
rang
Tid
ak tah
u/b
iasa
saja
25
%
68
Penulis melakukan penelitian terhadap pandangan Mahasiswa
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tentang pluralisme ini terdapat
pada pertanyaan poin no 2, 7, 8, 9, 15 dan 18.
Dari tabeldiatas dapat diketahui bahwa pengetahuan dan dukungan
mahasiswa soal pluralisme cupkup tinggi, hal ini terbukti dari data yang
diambil bahwa 60% responden mendukung, 15% menolak dan sisanya 25%
mengaku bisa saja. Dengan demikian inklusifitas mahasiswa Ushuluddin
dalam menerima perbedaan masih tinggi. Meskipun tiga diantara 20 orang
responden yang penulis pilih menolak pluralisme.
Alasan menolak pluralisme salahsatunya diungkapkan oleh Sobri
Wijaya, Mahasiswa semester 10 Aqidah Filsafat Islam Jika pluralisme
ditegakan di Indonesia, biarpun Negara ini demokrasi.
“Kalo kita melihat mayoritas di Negara kita mayoritas Muslim, maka
menurut saya sangat tidak baik. Karena berakibatnya seperti yang kita
saksikan beberapa hari lalu terlalu banyak konflik yang berkepanjangan.
Maka menrut saya pluralism (dalam hal agama) di Indonesia tidak baik.88
Pendapat Saudara Sobri Wijaya ini terbilang unik dan menurut penulis
keliru. Karena logika yang di pakai oleh saudara Sobri keragaman adalah
88
Wawancara dengan Sobri Wijaya, Mahasiswa semester 10 AFI, dan aktif dibeberapa oranisasi intra dan ekstrakampus 08 Agustus 2017
10
0%
10
0%
10
0%
10
0%
10
0%
10
0%
persen
tase
69
penyebab dari terjadinya konflik. Penulis melihat kehidupan Sobri yang
religius namun amat jarang sekali diskusi menyoal pluralisme agama.
Sementara soal dukungan terhadap pluralisme di Indonesia, Lia Lianti
mahasiswi semester 8 yang juga anggota HMI dan aktif di pesantren
Mahasiswa Darus-Sunah89
menerangkan kepada penulis bahwa pluralisme
harus ditegakan di Indonesia menurutnya:
“Pluralisme harus ditegakkan di Negara Demokrasi. Karena untuk
menjaga keutuhan Negara karena sangat sensitif”90
Dari kutipan jawaban wawancara tersebut tergambar bahwa dukungan
mahasiswa sangat tinggi dan rasional yaitu untuk menghindari konflik agama.
Meskipun ketika penulis mengajukan pertanyaan apakah Agama berpengaruh
dalam menentukan pilihan politik (Pilkada, Pileg dan Pilpres) Lia menjawab
pada level Negara (state) pemimpin atau persiden haruslah seorang Muslim,
dan pada level Gubernur, walikota Lia masih mentolelir non-Muslim sebagai
pemimpinnya.
“Karena dulu pernah terjadi pada masa Abbasiyah, Gubernurnya non
Muslim91
, jadi tidak usah kaget, yang penting bukan presidennya, karena
punya otoritas tertinggi”
Secara keseluruhan, ketika ditanya apakah Agama berpengaruh
terhadap pilihan politik sebanyak 45% responden menjawab sangat
berpengaruh dan 30% menjawab berpengaruh. Artinya bahwa betapa
keyakinan “agama” masih menjadi faktor dominan dalam menentukan pilihan
politik. Sedangkan 25% mengatakan tidak berpengaruh. Alasan dari
89
Darus-Sunah International Institute For Hadith Science, merupakan Pesantren Mahasiswa di luar UIN Jakarta yang digagas oleh Prof. Dr. KH. Ali Mustofa Yaqub MA. Darus-Sunah berada di Jalan SD Inpres, Pisangan Barat, Ciputat Tangerang Selatan-Banten
90 Kutipan Jawaban dari wawancara dengan Lia Lianti Jum’at 24 Agustus 2017
91 Pada masa kekuasaan Khalifah Abbasiyah ke-16 al-Mu’tadhid, seorang Nasrani
bernama Umar bin Yusuf, diangkat sebagai gubernur Provinsi al-Anbar Iraq.
70
pertanyaan ini secara deskriptif beragam Syahrul Darsono mahasiwa semester
12 Aqidah dan Filsafat Islam mengungkapkan bahwa bagaimana agama
sangat berpengaruh pada pilihan politik
“Ya karena kita pasti lebih memahami dengan orang yang seiman”
Kemudian ketika penulis menanyakan perihal haruskah pemilihan
pemimpin berdasarkan Agama responden menjawab:
“kalo untuk pencalonan siapapun berhak semua Agama, tapi gue
sebagai Islam gue pengen Muslim”92
Soal dukungan terhadap Negara Islam, sebanyak 70% responden
menolak, 20% mendukung dan sisanya 10% tidak tahu atau biasa saja. Salah
satu alasan menolak oleh responden dikarenakan Indonesia memiliki banyak
suku dan budaya, serta gagalnya kekhalifahan Islam pada masa lampau.
Selain itu, responden yang menolah terhadap Negara islam juga beralasan
bahwa tidak ada akar sejarah dan tidak cocok dengan budaya Indonesia jika
ke khalifahan diterapkan di Indonesia.
“Indonesia ini Negara multi etnis suku dan budaya disamping itu
kemerdekaan Indonesia juga tidak hanya diperjuangkan oleh umat Islam, tapi
Agama lain juga banyak yang ikut berjuang”
Adapun responden yang mendukung mengungkapkan alasannya
sebagai berikut:
“Karena Indonesia adalah Negara mayoritas Muslim, dan memenuhi
syarat untuk dibentunya Negara Islam”.93
92
Wawancara dengan Syahrul Darsono (Eno) Mahasiswa semster 12 Aqidah Filsafat Islam 9 Agustus 2017
93 Wawancara dengan Syahwin budi Pangestu Mahasiswa semester 9 aktifis Gema
Pembebasan 5 September 2017
71
Kemudian soal baik atau tidak pluralisme Agama diterapkan di
Negara demokrasi sebanyak 60% responden menjawab baik, 15%
mengatakan tidak baik dan 25% mengatakan biasa saja.
Dedy Ibmar Mahasiswa Ibmar Mahasiswa semester delapan, mengungkapkan
“bahwa pluralisme itu wajib adanya, mengingat hanya dengan jalan itu manusia
akan hidup berdampingan” 94
jawaban saudara Dedy menyoal pluralisme ini
menurut penulis adalah sebuah konklusi dari apa yang dipelajarinya selama ini.
Dedy sendiri merupakan penggiat kajian PIUS (Pojok Inspirasi Ushuluddin.
Untuk mengukur soal pemahaman tentang pluralisme agama, penulis
mengajukan pertanyaan menyangkut aktifitas intelektual dari responden
penulis mngajukan pertanyaan apakah responden pernah terlibat dalam
diskusi atau membaca literatur soal pluralisme baik dalam kampus (aktifitas
kuliah) ataupun diluar kampus, sebanyak 40% persen responden mengatakan
sangat sering membaca atau mendiskusikan soal pluralisme dan 60%
mengatakan sering ataupun pernah. Sedangkan yang mengaku tidak pernah
terlibat mendiskusikan atau membaca soal pluralisme adalah 0%.
2. Analisis pemahaman mahasiswa tentang demokrasi
Pasca Reformasi, perbincangan soal demokrasi menjadi semakin
diminati, dipastikan orang yang mendukung demokrasi jumlahnya lebih besar
daripada yang menolak demokrasi. Hal ini dikarenakan prinsip demokrasi
merupakan sistem yang konstruktif dan mampu menjadikan perbedaan suku,
Agama, budaya ke arah yang dewasa, tanpa membedakan faktor-faktor dan
identitas sebagai pemisah, ini yang dicita-citakan masyarakat.95
Pasal 29 ayat 2 menyebutkan bahwa Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap warga Negara untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
94
Wawancara dengan Dedi Ibmar, 07 September 2017 95
Deliar Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, dalam M. Amin Rais, Demokrasi dan Proses Politik (Jakarta: LP3ES, 1986), 71.
72
beribadat menurut agama dan kepercayaannya,96
ini diperkuat dengan UU No
27 tahun 1945 ayat 1 yang menyebutkan bahwa setiap warga Negara sama
kedudukannya di depan hukum. Ini juga berlaku untuk kebebasan
beragama/berkeyakinan sebagai hak Individu yang tidak bisa ditunda
pemenuhannya (non derogable right) termasuk didalamnya hak-hak setiap
warga Negara yang berekyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa97
Melihat UU diatas maka dalam sebuah Negara demokrasi seperti
Indonesia, pemilihan seorang pemimpin haruslah berdasarkan mekanisme
yang sesuai dengan aturan perundang-undangan dan tidak lagi
mempersoalkan keyakinan. Karena pada dasarnya prinsip-prinsip moral
Agama dapat bertemu dengan nilai-nilai demokrasi98
Pertanyaan menyangkut demokrasi dalam angket yang penulis susun
terdapat pada no 5, 18, 19, 20, 21, 22. Partanyaan yang penulis ajukan
berkaitan dengan rutinitas subjek terhadap aktivitas mengakses informasi
yang berkaitan dengan demokrasi sampai pada pertanyaan baik, tidak baik
bila demokrasi diterapkan di Indonesia.
Tabel 4.1
Pemahaman Demokrasi
Pertanyaan Jawaban
19 Rutinitas membaca literatur atau
mengakses informasi yang berhubungan
dengan demokrasi
Sangat Sering
13 orang
65%
Sering
6 orang
30%
Tidak pernah
1orang
5%
96
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 29 ayat 2. 97
M. Ridwan Lubis “Agama Dalam Diskursus Intelektual dan Pergumulan Kehidupan. Beragama di Indonesia” (Jakarta: Pusat Kerukunan Umat Beragama,Departemen Agama RI) h.246.
98 A.Ubaedillah, Abdul Rozak (Ed). Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Jakarta & Perdana Media Group, Jakarta, Cetakan ke Lima, 2010 h.36
73
20 Apakah Islam mendukung demokrasi ? Iya
14 orang
70%
Tidak
2 orang
10%
Tidak tahu
4 orang
20%
24 Partisipasi dalam pemilihan umum Iya
10 orang
50%
Kadang-kadang
6 orang
30%
Tidak/golput
4 orang
20%
21 Apakah demokrasi baik di diterapkan di
Indonesia
Baik
14 orang
70%
Tidak baik
2 orang
10%
Tidak tau
4 orang
20%
22 Penilaian terhadap demokrasi yang ada di
Indonesia
Baik
6 orang
30%
Biasa saja
5 orang
25%
Hancur
9 orang
45%
23 Apakah demokrasi ditentukan oleh
mayoritas. (suku, agama dan golongan)
Iya
10 orang
50%
Tidak selalu
6 orang
30%
Tidak
4 orang
20%
Angka-angka diatas merupakan hasil pengolahan data penulis
terhadap 20 orang responden tentang pemahaman demokrasi baik secara
universal maupun pada konteks Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan yang
menyangkut hal diatas terdapat pada poin Sementara hasil wawancara penulis
menunjukan bahwa 13 atau 65% orang dari 20 responden mengaku sering
mengakses informasi yang berkaitan dengan demokrasi. Baik itu di media
online, buku majalah dan lainnya. Sementara 25% atau 5 orang orang
mengaku pernah dan 1atau 5% orang tidak pernah.
Adapun ukuran dari sangat sering adalah minimal 1-3 bulan kali
mengakses informasi dimaksud, sedangkan untuk yang pernah dilakukan
minimal 3-12 bulan dan tidak pernah terhitung satu tahun sejak wawancara
dengan responden bersangkutan dilakukan.
Sementara ketika penulis mengajukan pertanyaan apakah Islam
mendukung demokrasi, 70% responden menjawab “iya mendukung”
Muhammad Santuki mahasiswa Akidah dan Filsafat Islam semester 12 salah
satunya, Menurutnya prinsip-prinsip demokrasi telah diajarkan oleh
Rosulullah pada masa lalu
74
“Tentu Islam itu mendukung demokrasi, dulu Rosulullah itu
menyuruh umatnya untuk berpartisipasi dalam setiap bidang, salahsatunya
dengan adanya pemilihan pemimpin perang pada saat itu dan menurut saya
itulah demokrasi yang berlaku saat itu.” 99
kemudian Siti Mahfudzoh mahasiswi Studi Agama-Agama semester 6
mengungkapkan, prinsip-prinsip demokrasi telah sejak dulu dicontohkan
dalam Islam
“Sholat misalnya, ketika kita sholat jama’ah kita saling
mempersilahkan siapa yang dianggap mumpuni dan fasyih bacaannya juga
mampu dan mengeri bacaan-bacaannya sholatnya kita jadikan imam. Nah
itulah salah satu contoh demokrasi dalam Islamn yang bisa kita aplikasikan
dalam kehidupan”100
Selain yang ada yang menjawab Islam mendukung ada juga yang
menolak terhadap demokrasi. Hal ini karena demokrasi yang diaplikasikan
tidak pernah menghasilkan supermasi hukum yang kuat. Maka ketika penulis
menanyakan apakah Islam mendukung demokrasi
“Tidak, kalo demokrasinya tumpul ke atas, tajam ke bawah” 101
Sementara itu 4 dari 20 rang menjawab tidak tahu apakah Islam
mendukung demokrasi atau tidak. Sedangkan menyangkut soal partisipasi
politik dalam setiap pemilu, sebanyak 10 dari 20 rang mengatakan iya, enam
orang menyatakan kadang-kadang, sedangkan 4 orang sisanya Golput
(Golongan Putih)102
Soal apakah demokrasi apakah baik diterapkan di Indonesia, 14 dari
20 orang menjawab baik, sisanya 4 orang menjawab tidak tau dan 2 orang
menjawab tidak baik. Penulis juga mengajukan pertanyaan penilaian terhadap
99
Kutipan jawaban dari wawancara Penulis dengan Muhammad Satuki 100
Kutipan wawancara dengan Siti Mahfudzoh 101
Wawancara dengan Sahwin Bugi Pangestu 102
GOLPUT Merupakan sebutan bagi warga Negara yang absen atau tidak mengikuti pemilihan umum karena alasan tertenu
75
demokrasi yang ada di Indonesia dengan menawarkan tiga opsi jawaban
(baik, biasa saja dan hancur) meskipun kecenderungan responden mengatakan
bahwa demokrasi itu baik diterapkan di Indonesia, hal ini berbanding terbalik
dengan hasil penelitian “apakah demokrasi yang di Indonesia sudah baik”
sebanyak 30% responden menjawab baik, 25%menjawab tidak baik dan 45%
menjawab hancur.
“Hancur bos hancur, Gue baca-baca diberita masih banyak yang
dilanggar, menurut gue emokrasi itu yang tertera di pancasila ke 4
musyawarah mufakat, bebas dalam memahami agama dan semua konteks”103
Di Indonesia meski mayoritas minoritas haknya sudah dijamin oleh
undang-undang dasar 1945, menurut mahasiswa Ushuluddin itu tidaklah
berlaku. Data yang penulis ambil dari pendapat respondent yakni 50%
responden atau 10 dari 20 responden percaya dalam setiap pemilu bahwa
mayoritaslah pemenangnya, kemudian 30% mengatatakan tidak selalu dan
sisasnya 20 persen mengatakan tidak.
B. Kriterteria Pemimpin Bagi Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Dalam hal ini, penulis menekankan pada bagaimana mahasiswa Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, memiliki penilaian terhadap
pemimpin. Maka indikasi yang diukurpun hanya berkaitan dengan seputar
pemimpin baik itu Presiden, Gubernur, Walkota, Bupati hingga kepala desa dan
ketua Rukun Tetangga (RT). Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hal
tersebut terdapat pada point 3, 4, 16 dan 17.
Tabel. 4.2
103
Wawancara dengan Syahrul darsono
76
Pertanyaan
Jawaban
Jujur, Amanah dan cerdas Ya
20 orang
100%
Tidak
0 orang Tidak Tahu
0 orang
Non-Muslim tapi adil atau
Muslim walaupun tidak adil.
non-Muslim tapi adil
10 orang
50 %
Muslim walaupun
tidak adil 1 orang
5% persen
Tidak
kedua-
duanya.
9 Orang
45%
Larangan meilih pemimpin non-
Muslim dalam Qur’an
Mutlak harus
dijalankan
5 orang
25%
Tidak mutlak
karena konteksnya
berbeda
8 orang
40%
Tidak tahu
7 orang
35%
Dari data diatas teranglah bahwa pemahaman seorang pemimpin adalah
Jujur, Amanah dan cerdas, begitu pula bagi mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN
Syarrif Hidayatullah Jakarta. dari pengolahan data penulis terdapat 100% atau
semua setuju kalau pemimpin harus memiliki sifat jujur, amanah memiliki dan
memiliki kecerdasan yang mumpuni.
Kemudian ketika penulis mengajukan pertanyaan, menyangkunt hal yang pernah
di paparkan oleh Ibn Taimiyah yang menegaskan bahwa “keadilan merupakan
syarat terpenting bagi seorang pemimpinan” karena sedemikian pentingnya
tentang keadilan ini, Ibn Taimiyah mengatakan:
الدنيا تدوم مع العدل : ويقال . إن هللا يقيم الدولة العادلة وإن كانت كافرة وال يقيم الظالمة وإن كانت مسلمة والكفر وال تدوم مع الظلم واإلسالم
Kalimat di terjemahkan: Sesungguhnya Allah menyokong Negara yang adil
meskipun kafir (pemimpinnya) dan tidak mendukung Negara yang despotik atau
lalim meskipun Muslim (pemimpinnya). Ketika penulis mengajukan opsi
pertanyaan tentang non-Muslim tapi adil atau Muslim walaupun tidak adil.
77
Sebanyak 10 orang atau 50 % memilih non-Muslim tapi adil. Sedangankan yang
tidak menginginkan kedua-duanya adalah sembilan orang atau 45% dan hanya 1
orang atau 5% yang keukeuh harus tetap muslim menskipun tidak adil.
Adapun ketikadiajukan pertanyaan mengenai kriteria pemimpin di Negara
kita, rata-rata responden menjawab normatif. Salah satu responden mengatakan
bahwa pemimpin harus memenu syarat sebagai berikut:
“Gak korupsi sama bikin sejahtera aja udah si itu ajah itu aja sih guemah” 104
C. Perhatian dan penilaian Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Terhadap aksi
penolakan Pemimpin non-Muslim
Dalam bab terdahulu penulis telah menjabarkan bagaimana persepsi
seseorang bisa terbentuk dan apakah persepsi mahasiswa Ushuluddin dipengaruhi
oleh lingkungan ataupun keluarga. Walaupun begitu, apa yang kita persepsikan
pada hakekatnya dapat berbeda dari kenyataan objeknya. Jalaluddin Rakhmat
mencatat bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
menafsirkan pesan. Persepsi bisa disimpulkan sebagai sebuah proses pemberian
makna (mining procces), interpretasi dari stimuli dan sensasi yang diterima oleh
individu. Namun, hal ini mesti disesuaikan dengan karakteristik masing-masing
individu.105
Penulis merumuskan beberapa pertanyaan menyangkut soal penilain
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin terhadap penolakan pemimpin non-Muslim.
104
Wawancara dengan responden 105
Jalaluddin Rakhmat, “Psikologi Komunikasi” hal. 51.
78
Salah satu responden yang penulis wawancari mengungkapkan mengenai
penilaian dan pengamatannya terhadap penolakan kepemimpinan non-Muslim
khususnya yang terjadi di DKI Jakarta beberapa tahun silam
“Emm menurut gue si yaaa, mereka harus berfikir yang logis, setia orang
berbicara itu memang kalo lagi emosi ya suka gak terfikirkan, apalagi Ahok
wkwkwkw (responden tertawa Red-) yang emng katnya kasar kalo ngomng, tapi
menurut gue dia di tolak jadi pemimpin krna beda Agama ya, seharusnya ga usah
seprti ngajakin perang pake segala di demo, toh pada intinya dia membuat
sejahtera Jakarta ko, kenapa harus ditolak, lgi pula yang gue liat, belm ada juga
sih kasus jeleknya dia di kepemerintahan (kecuali ada yang menjatuhkan dia) itu
udah sering gue liat.”106
Selain itu Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir juga menganggap bahwa
apa yang dilakukan leh kalangan umat Islam dalam hal penolakan terhadap
pemimpin non-Muslim adalah pengkhiantan terhadap demokrasi dengan memakai
demokrasi an sangat berlebihan.
Sobri Wijaya Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam semester delapan
mengungkapkan dukungannya terhadap penolakan pemimpin non-Muslim. Sobri
mencontohkan kasus penolakan Basuki Tjahja Purnama pada medium 2013-2014
menurutnya apa yang dilakukan oleh umat Islam adalah panggilan Tuhan :
“Menarik ya kalo kita lihat, begitu antusias masyarakat muslim, itu bagi saya
merupakan pnggilan tuhan. Komunitas muslim ternyata kompak dengan satu
pemimpin namanya FPI”
Yang unik dari keragaman berfikir Mahasiswa Fakultas Ushuluddin adalah, ada
mahasiswa yang berada ditengah antara mendukung dan menolak soal aksi masa
pelarangan non-Muslim jadi pemimpin
“Aksi membela agama itu baik, Cuma seharusnya jangan sampe segitunya. Tapi
kalo ahoknya juga jagamulut ga bakal gitu”
106
wawancara Nadya Alisha Farha 30 Agustus 2017
79
Namun secara umum ketika penulis mengajukan pilihan pertanyaan
kepada subjek mengenai apa yang dilakukan oleh massa Aksi, mungkinkah yang
dilakukannya merupakan adalah faktor iman atau hanya menjadi alat politik.
Jawaban respondenpun beragam. Pertanyaan ini dirangkum dalam poin no
10,11,12,
Tabel. 4.3
Penilaian Mahasiswa
Pertanyaan Jawaban
Penilaian terhadap penolakan
pemimpin non-Muslim
Baik
8 orang
40%
Tiak baik
8 orang
40%
Biasa saja
Orang
20%
Pandangan mahasiswa terhadap
penolakan pemimpin non-Muslim
Faktor Iman
8 orang
40%
Faktor Politik
7 orang
35%
Tidak tahu
5 orang
25%
Dari data diatas dapat kita simpulkan bahwa penilaian mahasiswa terhadap
penolakan gubernur non-Muslim adalah berimbang hal ini dibuktikan dengan 8
orang dari 20 responden atau 40% responden menilai bahwa yang dilakukan oleh
massa aksi adalah tindakan yang baik dan dengan 8 orang dari 20 responden atau
40% lainnya menilai apa yang dilakukan oleh masa aksi adalah hal yang tidak
baik. Pertanyaan yang muncul kemudian mengapa demikian ?
Saniman, salahsatu responden mengungkapkan:
80
“Bagi saya tidak jelas jika menolak atau bahkan sampe demo-demo karena
pemimpin non-Muslim, saya lebih sepakat pemimpin yang di demo itu yang tidak
amanah dan tidak jelas kerjanya, bukan karena hanya muslim atau non muslim”107
Dari keterangan Saniman diatas jelas bahwa penolakan karena perbedaan iman
dalam kontek (an elected official) pejabat yang dipilih dari jalur demokrasi
adalah tidak jelas substansinya.
Dalam dalam pertanyaan nomer poin nomer 12 penulis memberikan
pertanyaan langsung terbuka kepada responden. Dalam hal ini penulis ingin
mengetahui bagaimana mahasiswa memandang sebuah keyakinan atau Agama
dari sudut padang agama lain (Yahudi Nasrani) dan dalam hal ini pula mereka
tidak diterima kepemimpinannya karenaperbedaan iman.
Jawaban mahasiswa hampir sama dalam hal ini. Meskipun pertanyaannya
terbuka ada mayoritas jawaban mahasiswa tidak ingin di diskriminasikan dalam
hal pilih memilih.
“ya pasti kewa dan siapa sih yang mau dipandang sebelah mata eksistensi
beragamanya. Saya kira semua orangpun tidak mau kalo adaorang nyalon entah
itu gubernur walikota itu ditolak, tapi disisi lain ini adalah panggilan Allah”108
“pastinya kecewa terhadap masyarakat, tapi kadang masyaraatpun ngebolehin asal
si calonnya berpihak kok”109
D. Persepsi Mahasiswa Fakultas Ushuluddin tentang Keadilan dan kesetaraan
Sebagai Negara yang bertumpu pada Pancasila dan UUD-1945 keadilan
diatas hukum Negara semsestinya menjadi acuan dalam bermasyarakat, Pancasila
107
Wawancara dengan Saniman Minggu, 10 September 2017 108
Wawancara dengan Ahmad Tuqi. Minggu, 10 September 2017 109
Wawancara dengan salah satu narasumber Selasa 12 September 2017
81
yang dijadikan sebagi moral bangsa harusnya menjadi pijakan bersama. Terdapat
dua sila dalam Pancasila yang menyangkut tentang adil; sila ke-dua dan sila ke-
lima. Sila ke-dua menyatakan, kemanusiaan yang adil dan beradab. Ini berarti,
tidak sewenang-wenang, dan bisa tepa selira, mencintai sesama manusia. Tanpa
ada diskriminasi; dan sama hak serta ewajiban asasi selaku manusia. Toleran
terhadap sesama, saling menghormati; mampu melakukan kegiatan-kegiatan
manusiawi dan kerjasama dengan bangsa-bangsa lain. Sedangkan sila ke-lima,
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini berarti hidup sederhana,
mengamalkan kelebihan untuk menolong orang lain, menghargai kerja yang
bermanfaat; dan ada keadilan yang lebih merata di segala bidang kehidupan.
Bagi mahasiswa Fakultas fakultas Ushuluddin, berfikir dan bertindak adil
sudah sewajarnya dilakukan terlebih dalam melihat dan menilai kepemimpinan
non-Muslim di Indonesia yang merupakan Negara demokrasi yang relegius.
Adil berarti memberikan kesempatan pada agama apapun untuk setara di
hadapan hukum. Tanpa memandang minoritas dan mayoritas. Namun nayatanya
masih ada kelompok mahasiswa yang mempertentangkan soal kesetaraan tersebut.
Seperti kutipan wawancara berikut ini.
Tanya: Bagaimana menurut saudara/i jika seorang non-Muslim menjadi
Pemimpin di Indonesia baik Presiden, WAPRES, Gubernur, Walikota, Camat, dan
jabatan pemerintah lainnya?
Jawab: “Ngga apa-apa, yang penting bisa mimpin, selama dia mampu
memimpin, peduli sama masyarakat, tidak apa-apa.”
Dari kalangan mahasiswa yang menolak mereka ada yang berargumen sebagai
berikut.
82
Jawab: Tidak setuju, karena mayoritas kita muslim. Karena nanti pada akhirnya
ada konflik besar-besaran di Indonesia ini, saara pasti berjalan110
Selain ada yang keras menentang ada juga mahasiswa yang memberikan
opsi yang membolehkan namun hanya pada level Provinsi, kabupaten dan kota.
Tanya: Bagaimana menurut saudara/i jika seorang non-Muslim menjadi
Pemimpin di Indonesia baik Presiden, WAPRES, Gubernur, Walikota, Camat, dan
jabatan pemerintah lainnya?
Jawab: Presiden lebih baik muslim, karena sangat berpengaruh, jika Gubernur
atau bawahannya boleh non-Muslim.
Apa alasan saudara/i jika membolehkan atau melarang non-Mulim menduduki
posisi tersebut? Karena dulu pernah terjadi pada masa abbasiyah, Gubernurnya
non-Muslim, jadi tidak usah kaget, yang penting bukan presidennya, karena
punya otoritas tertinggi.111
110
Wawancara dengan Syahrul Darsono, 05 September 2017 111
Wawancara Lia Lianti 24 Agustus 2017
83
BAB V
KESIMPULAN
Uraian yang penulis jelaskan pada bab-bab sebelumnya menggambarkan
betapa beragamnya pemikiran Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. meskipun ada kecenderungan tertentu.
Secara keseluruhan dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
persepsi mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terhadap kepemimpinan non-Muslim cukup menggambarkan masyarakat yang
berfikir terbuka, uraian juga menggambarkan tak sedikit responden yang
diwawancara menolak pluralisme. Persepsi ini muncul sebagai reaksi dari budaya
lingkungan dan pemahaman Agamanya. Selain itu ada juga faktor-faktor
pendukung seperti organisasi yang di ikuti cukup menentukan cara seseorang
berpersepsi tentang boleh tidaknya pemimpin non-Muslim ini. Sebagaian
berpendapat Indonesia tidak hanya norma yang berbentuk aturan hukum (Law)
yang berlaku. Sejarah dan kekuatan nilai-nilai serta ajaran agama yang kuat
dijalankan dalam kehidupan sehari-hari juga dapat menjadi semacam norma
pengatur tata kelakuan (mores).
SARAN
Sebagai penutup dari skripsi inipenulis ingin menyampaikan beberapa hal kepada
1. Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sebagai perguruan tinggi yang mendasarkan diri pada pengkajian
ke-Islaman, kerukuna dan filsafat. Serta menjadi salah satu fakultas yang
terkemuka dalam pengembangan dan pengintegrasian ilmu-ilmu dasar ke
Islaman dan Ilmu sosial yang berdimensi etis, ke-Indonesiaan dan
84
kemanusiaan. Penulis kira Fakultas iniharus lebih serius dalam kajian yang
berhubungan dengan nilai jual fakultas, sebagaimana dimaksud dalam
visidan misi fakultas.
2. Mahasiswa
Harus banyak-banyak mengkaji tentang ke-Islaman dan ke-Indonesiaan
dan pluralitas. Agar pengintegrasian diantara keduanya tertanam dalam
jiwa masing-masing.
85
DAFTAR PUSTAKA
Ali al-Sayis Muhammad, Tafsir Ayat al-Ahkam, Mishr : Mathba'ah
Muhammad Ali Shabih wa Awladuh, 1373 H/1953 M, jilid 3
Azra Azyumardi, Syafii Marif Ahmad DKK. Fikih Kebhinekaan: Pandangan
Islam Indonesia tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-
Muslim” Bandung: Mizan Pustaka bekerjasama dengan Ma’arif
Institute 2015
Ambari Abdullah, Inti Sari Tata Bahasa Indonesia, Bandung: Dajtmika, t.t
Abd ar-Raziq Ali, Islam Dasar-Dasar Pemerintahan Kajian Khafah dan
Pemerintahan dalam Islam, Terj. M. Zaid Su‟di, , Yogyakarta
Jendela, 2002
As-Salus Ali, Imāmah dan Khilafah Dalam Tinjauan Syar’i, Terj. Asmuni
Solihan Zamakhsyari, Jakarta, Gema Insani Press, 1997
Baihaqi MIF, Dkk, Psikiatri Konsep Dasar dan Gangguan-gangguan,
Bandung:
Refika Aditama, 2005
Bachtiar Amsal, Thib Raya DKK ,Pedoman Akademik Program Strata Satu
2010/2011. Jakarta, Biro Akademik dan Kemahasiswaan UIN Jakarta
2010
Dirga Gunarsa Singgih, Pengantar Psikologi Cetakan ke-4 Jakarta: Sumber
Widya, 1992
Hidajat Imam, “Teori-teori politik” edisi revisi Malang: Setara Press 2009
Ibnu Syarif Mujar DR. MS.I“Presiden Non-Muslim di Muslim” (Tinjauan
Dari Perspektif Politik Islam dan Relevansinya bagi Indonesia)
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 2006
Ivancevich M. John dkk. “Perilaku dan Manajemen Organisasi ” Jakarta:
Erlangga 2006
Jusoh Yahaya, Azmi jasmi Kamarul, Pendidikan Politik dan khilafah Islam
dalam Pelbagai Perspektif, Universiti Teknologi Malaysia, Johor:
Darul Ta’zim, 2006
86
Kahmad Dadang Prof. DR “Sosiologi Agama: Potret Dalam Dinamika
Konflik, Pluralisme Dan Modernitas” Bandung: Pustaka Setia 2011
Kartodirdjo Sartono Prof. “Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial Jakarta:
LP3ES, 1984
Kitab Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 29 ayat 2
Lubis M. Ridwan. Prof. DR. MA“Agama Dalam Diskursus Intelektual dan
Pergumulan Kehidupan Beragama di Indonesia” Jakarta: Pusat
Kerukunan Umat Beragama, Departemen Agama RI 2015
M.Sunusi Dzulqarnain, Antara Jihad dan Terorisme Makasar: Pustaka As-
Sunnah, 2011
Moqsith Ghazali Abd., Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi
Berbasis al-Qur’an, Jakarta, KataKita 2009
Nasih Ulwan Abdullah, Konsep Islam Terhadap Non Muslim, Terj. Kathur
Suhardi, Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 1990
Pedoman Akademik Program Strata 1 Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 2015-2016
Poerwadarminta WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. Ke-4 Jakarta:
Balai Pustaka, 1982
Ritzer George & Goodman J. Douglas, “Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi
Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern”
Bantul: Kreasi Wacana 2011
Rahmat Jalaluddin Prof. “Psikologi Komunikasi” Bandung:Remaja
Rosdakarya
Robbins P Stephen, Judge A. Timothy “Perilaku Organisasi” edisi 12.
Jakarta, Salemba Empat 2009
Rachman Shaleh Abdul, Abdul Wahab Muhbib, Psikologi Suatu Pengantar
Dalam Perspektif Islam cet. Ke-1 Jakarta: Kencana, 2004
Ruhaini Dzuhayatin Siti. Islam, Kepemimpinan non-Muslim dan Hak Asasi
Manusia dalam “Fiqih Kebinekaan: Pandangan Islam Indonesia
87
tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Muslim”
Bandung: Mizan Pustaka bekerjasama dengan Ma’arif Institute 2015
Sahabuddin, et.al, ensklopedi al-qur’an kajian kosa kata, Juz III, Lentera Hati, Jakarta, 2007
Shihab Alwi Prof.DR. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam
Beragama, cet. 5
Bandung: Mizan, 1999
Quraish Shihab Muhammad., Tafsīr Al-Misbāh;Pesan, Kesan,dan Keserasian
Al-Qur‟an, Jakarta: Lentera Hati, Jakarta,Vol. III, 2002
Qurthubi Imam, Tafsir al-Qurthubi, Terj. Dudi Rosyadi, et.al, Jilid. IV
Jakarta, Pustaka Azzam, 2008
Soekanto Soerjono “Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: CV. Rajawali
Cetakan ke-4 1984
Sugiyono Prof. DR. “Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D”
Cetakan ke -8 Bandung: CV. Alfabeta 2009
Surwandono, Pemikiran Politik Islam Yogyakarta: LPPI UMY, 2001
Walgito Bimo, “Pengantar Psikologi Umum” Yogyakarta: Andi Offset 2002
Sabri Alisuf, Psikologi Umum dan Perkembangan Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1999
Sobur Alex, Psikologi Umum
Syani Abdul, Manejemen Organisasi, cet ke-1 Jakarta : PT. Bina Aksara,
1994
Umar Nasaruddin, Deradikalisasi Pemahaman al-Qur’an dan Hadis, Jakarta,
PT Elex Media Komputindo, 2014
Warson Munawir Ahmat, Kamus al-Munawwir, Arab-IndonesiaTerlengkap,
Surabaya Pustaka Progressif, , cet. XIV , 1997
Yunus Mahmud Prof. Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung,
1972
88
Marzuki, Perlindungan Hukum Islam Terhadap Kaum Minoritas di Negara
Islam. Jurnal Civics UNY, 2005
Ibnu Syarif Mujar, Memilih Persiden non-Muslim di Negara Muslim dalam
Perspektif Islam, Jurnal Konstitusi IAIN Antasari Vol.2 No.1 2008
Leigh K Andrew, Leadership and Aboriginal Reconciliation Frank Knox
Scholar John F. Kennedy School of Government Harvard University
2002
Purwanto Yedi “Jurnal Sosioteknologi” Edisi 16 Tahun 8, Bandung: April
2009
Aziza Kurnia Sari “ Video Ceramah Rhoma Irama Dikantongi Banwaslu”
dalam, http://kompas.com
Apakah Makna Kata Murtad? http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-
islam/khazanah/14/01/15/mzeym4-apakah-makna-kata-murtad-1
diakses pada Rabu 19 Juli 15.27 WIB.
Batubara Herianto “Transkip Kutipan pidato Ahok di Kabupaten Kepulauan
Seribu” dalam detik.com dengan judul berita “Ini Video Utuh Ahok
Pidato Singgung Surat Al-Maidah 51 yang Jadi Polemik”
http://m.detik.com
Http//www.bps.go.id, diakses pad atanggal 01-03-2017 Pkl. 19.00.
CNN Indonesia FPI: Kami Tak Rasis, yang Penting Islam Senin, 10/11/2014
Perdana Andi “Panwaslu Miliki Video Rhoma Irama Ceramah Sara”
dalam m.tempo.co pada 02 Agustus 2012
Supriyanto Haris, Mukti Fajar Ginanjar, “Demonstran Anti Ahok Gunakan
Ayat Alquran”, dalam http://metro.news.viva.co.id
Sejarah Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta http://ushuluddin.uinjkt.ac.id/sejarah/
Diakses Pada 05 Juli 2017. Pukul 22.30 WIB
Wawancara Putri Nissa dengan Ketua FPI “Mengapa FPI Begitu Membenci
Ahok”, youtube.com/watch?v=yUF0Nlz4tVE, di akses pada 01-03-
2017 jam 00:20
LAMPIRAN
Pedoman Wawancara
SURAT KESEDIAAN WAWANCARA
Assalamualaikum. Wr wb
Salam sejahtera semoga karunia Allah SWT dan kesehatan selalu berpihak
pada kita, Shalawat dan salam mari kita limpahkan pada Nabi Muhammad SAW.
Perkenankan, saya Jojon Suhendar mahasiswa semester akhir jurusan Studi
Agama-Agama, dalam hal ini sebagai penulis sedang melakukan penelitian untuk
memenuhi tugas akhir (skripsi) tentang persepsi mahasiswa Fakultas Ushuluddin
mengenai pro-kontra kepemimpinan non-Muslim di Indonesia, tahun 2017.
Dengan tujuan untuk mendapatkan gelar Sarjana Agama (S.Ag)
penulis membutuhkan bantuan saudara/i untuk menjadi responden dalam
rangka menggali informasi mengenai tema dimaksud. Bagi saudara/i yang
bersedia harap mengisi biodata yang penulis sediakan sebagai informasi awal
mengenai saudara, dalam hal ini penulis menjamin kerahasiaan dari data tersebut
jika memang saudara/i memiliki privasi dalam hal-hal tertentu dalam pemenitian
ini.
Sebelumnya penulis ucapkan terimakasih atas ketersediaan waktu saudara/i dalam
untuk ikut serta dalam proses terlaksanannya penelitian ini.
Jojon Suhendar
Ciputat, 05 Mei 2017
2
3
4
ANGKET
5
6
7