87
ii PERSETUJUAN PEMBIMBING PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI STIFF KNEE JOINT DEXTRA PASCA IMMOBILISASI FRAKTUR OS FEMUR DENGAN INTERNAL FIKSASI

PERSETUJUAN PEMBIMBING PENATALAKSANAAN …ueu201366201.weblog.esaunggul.ac.id/wp-content/uploads/sites/2238/... · ii persetujuan pembimbing penatalaksanaan fisioterapi pada kondisi

Embed Size (px)

Citation preview

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI STIFF KNEEJOINT DEXTRA PASCA IMMOBILISASI FRAKTUR OS FEMUR

DENGAN INTERNAL FIKSASI

iii

iv

PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini menyatakan bahwa Karya Tulis Ilmiah ini adalah hasil pekerjaan saya

sendiri dan didalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk

memperoleh gelar Ahlimadya disuatu perguruan tinggi dan lembaga pendidikan

lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun yang

belum/tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan didalam tulisan dan daftar pustaka.

Palembang, 28 Mei 2013

Irma Robbi Nurhayati

Nim. 03 10 564

v

PERNYATAAN PUBLIKASI

Dengan ini menyatakan bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya buat ini telah

dipublikasikan oleh pihak STIKES Muhammadiyah Palembang.

Palembang, 28 Mei 2013

Irma Robbi Nurhayati

Nim. 03 10 564

vi

MOTTO

Segala sesuatu yang terjadi didalam kehidupan ini, pasti akan ada

balasannya baik secara langsung ataupun tidak, karena ALLAH Maha

Segalanya.

Jangan menganggap Cobaan/Ujian yang menhghampiri hidup kita

merupakan hal yang menyakitkan, karena itu adalah ukuran sempurna atau

tidaknya iman seseorang.

Ketika semuanya sudah tak lagi bisa dipertahankan, maka jalan satu-

satunya yang terbaik adalah dengan mengikhlaskan semua itu. Dan

yakinlah akan ada rencana yang indah dibalik semuanya itu.

Disaat kita menghadapi suatu permasalahan yang sekalipun itu membuat

kita terpuruk, maka tanamkanlah keyakinan dalam hati, bahwa semuanya

pasti akan bisa kita jalani dengan seiring berjalannya waktu yang terus

membawa hidup kita memnjadi lebih berarti dan bermakna.

vii

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan Kepada :

Kepada ALLAH SWT tak henti-hentinya kuucapakan syukur karne

dengan Ridho-NYA lah KTI ini dapat terslasaika.

Kepada kedua orang tua ku (Mislan & Geminiati) yang selalu

mendukung dan mendo’akan aku dengan sepenuh hati serta

memberikan motivasi demi untuk keberhasilan ku. Khusus buat mas

ku tercinta (Gupta.R) yang slalu memberikan dukungan dan doa

untuk ku.

Pembimbing Karya Tulis Ilmiah ku (Bapak Yudiansyah, AMd. Ft.,

SKM, dan Ibu Riana Wahyuni, S.Fis) yang selalu memberikan

masukan dan bimbingan dalam proses penyelesaian KTI ini.

Kepala ruangan RS.Pusri (Poli Fisioterapi) yang telah memberikan

izin untuk dapat melakukan penelitian, guna untuk menyelesaikan

Karya Tulis Ilmiah ini.

Buat temen ku khususnya (Intan, Lisa, Betariah, Nurul, Melisa,

Tasya, Heri) dan semua teman-teman seperjuangan ku DIII

Fisioterapi Angkatan 2010/2011. Tetap semangan semoga kita sukses

untuk masa depan nanti.

Almamater Kebanggaanku

viii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Irma Robbi Nurhayati

Tempat/Tanggal Lahir : Enggal Rejo, 30 Maret 1992

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Belum Menikah

Alamat : Desa Enggal Rejo, Rt/Rw 003/001, Kecamatan

AIR SALEH, Kabupaten BANYUASIN

Nama Orang Tua : Ayah : Mislan

: Ibu : Geminiati

Anak ke : 2 dari 2 Saudara

Riwayat Pendidikan :1. SDN 1 ENGGAL REJO Tahun 1998-2004

2. SMPN 2 MAKARTI JAYA Tahun 2004-2007

3. SMA Muhammadiyah 3 Palembang Tahun 2007-2010

4. STIKES Muhammadiyah Palembang 2010-20

ix

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat

Rahmad dan Ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang

berjudul “PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI STIFF

KNEE JOINT DEXTRA PASCA IMOBILISASI FRAKTUR OS FEMUR

DENGAN INTERNAL FIKSASI” sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan

Program Studi Diploma III Fisioterapi di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Muhammadiyah Palembang sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis sangat menyadari

bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan pada Karya Tulis Ilmiah

yang dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan, pengalaman serta kekhilafan

yang penulis miliki. Maka dari itu, dengan ikhlas penulis mengharap kritik dan

saran yang bersifat mendidik dan membangun dari semua pihak demi

kesempurnaan penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini dimasa yang akan datang.

Penyusunan Karya Tulis Ilmiah tidak terlaksana dengan baik tanpa

bantuan, bimbingan serta saran dari berbagai pihak. Untuk itulah pada kesempatan

ini penulis mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Sri Yulia, S.Kp.,M.Kep, selaku ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Muhammadiyah Palembang.

x

2. Bapak Imam Haryoko, AMd.Ft.,S.Psi, selaku ketua Program Studi DIII

Fisioterapi STIKes Muhammadiyah Palembang.

3. Bapak Yudiansyah, AMd. Ft., SKM, selaku pembimbing pertama dan Ibu

Riana Wahyuni, S. Fis selaku pembimbing kedua.

4. Para dosen dan staf Program Studi DIII Fisioterapi STIKes Muhammadiyah

Palembang.

5. Teman-teman seperjuangan dan sealmamater serta semua pihak yang tidak

dapat disebutkan satu persatu, atas segala nasehat dan bantuannya dalam

menyusun Proposal Karya Tulis Ilmiah ini.

Semoga Allah SWT membalas dan melimpahkan Rahmad serta Hidayah-Nya

dan menjadikan sebagai amal jariyah. Akhirnya semoga Karya Tulis Ilmiah ini

dapat bermanfaat bagi pembangunan ilmu pendidikan dan ilmu Fisioterapi serta

bagi semua yang membacanya, Amin.

Palembang, Rajab 1434 HMei 2013 M

Penulis,

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ iii

PERNYATAAN KEASLIAN..................................................................... iv

PERNYATAAN PUBLIKASI.................................................................... v

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ....................................... vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................... viii

KATA PENGANTAR .............................................................................. ix

DAFTAR ISI ............................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xv

DAFTAR TABEL ....................................................................................... xvi

DAFTAR GRAFIK..................................................................................... xvii

DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... xviii

ABSTRAK .................................................................................................. xix

ABSTRACT................................................................................................. xx

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 3

1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 3

1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 4

xii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Terapan.............................................................. 5

2.1.1 Osteologi....................................................................................... 5

a. Os Femur .................................................................................... 5

b. Os Patella .................................................................................... 8

c. Os Tibia ...................................................................................... 8

d. Os Fibulla .................................................................................... 11

2.1.2 Myologi ........................................................................................ 13

2.1.3 Arthologi....................................................................................... 16

2.1.4 Ligamentum.................................................................................. 17

2.1.5 Meniscus ...................................................................................... 18

2.2 Biomekanik...................................................................................... 19

2.2.1 Osteokinematika ........................................................................ 19

2.2.2 Arthrokinematika....................................................................... 19

2.3 Patofisiologi..................................................................................... 19

2.3.1 Definisi Fraktur ......................................................................... 20

2.3.2 Etiologi Fisiologi ....................................................................... 20

2.3.3 Gejala dan Tanda Fraktur .......................................................... 21

2.3.4 Waktu Penyembuhan Tulang .................................................... 21

2.3.5 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Tulang....... 23

2.3.6 Macam-macam Internal Fiksasi ................................................ 23

2.3.7 Indikasi Internal Fiksasi ............................................................ 25

2.3.8 Siklus Gaya Berjalan ................................................................. 25

2.3.9 Pola Gaya Berjalan setelah Fraktur ........................................... 28

2.3.10 Komplikasi Fraktur.................................................................. 30

a. Nekrosis Avaskular ....................................................................... 30

b. Deep Venous Thrombosis ............................................................ 30

xiii

c. Stiff Joint ...................................................................................... 31

(1) Definisi ..................................................................................... 31

(2) Etiologi ..................................................................................... 31

(3) Gejala dan Tanda...................................................................... 32

(4) Komplikasi ............................................................................... 32

2.4 Problematik Fisioterapi ................................................................... 32

2.4.1 Impairment ............................................................................... 32

2.4.2 Finctional Limitation ................................................................ 32

2.5 Teknologi Intervensi........................................................................ 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PELAKSANAAN STUDIKASUS

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... 38

3.2 Jenis Penelitian............................................................................ 38

3.3 Rencana Pengkajian Fisioterapi .................................................. 38

3.4 Pelaksanaan Fisioterapi............................................................... 45

3.5 Home Program ............................................................................ 53

3.6 Evaluasi Hasil Terapi .................................................................. 54

3.7 Hasil Terapi Akhir ...................................................................... 55

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan Masalah .................................................................. 56

4.1.1 Penurunan Nyeri .................................................................. 57

4.1.2 Peningkatan Luas Gerak Sendi............................................ 58

4.1.3 Penurunan Spasme Otot ...................................................... 59

xiv

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ............................................................................... 60

5.2 Saran .......................................................................................... 61

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

xv

DAFTAR GAMBAR

No Gambar HALAMAN

1. Gambar 2.1 Os Femur ...................................................................... 7

2. Gambar 2.2 Os Patella ...................................................................... 8

3. Gambar 2.3 Os Tibia ......................................................................... 10

4. Gambar 2.4 Os Fibula ....................................................................... 12

5. Gambar 2.5 M.Quadriceps ................................................................ 14

6. Gambar 2.6 M.Hamstring ................................................................. 15

7. Gambar 2.7 Articulasio ..................................................................... 16

8. Gambar 2.8 Meniscus ....................................................................... 18

9. Gambar 3.1 Rontgen ......................................................................... 39

10. Gambar 3.2 Penerapan IRR .............................................................. 47

11. Gambar 3.3 Static contraction .......................................................... 48

12. Gambar 3.4 Passive Relaxed Exercise .............................................. 49

13. Gambar 3.5 Forced Passive Exercise .............................................. 50

14. Gambar 3.6 Free Active Exercise ..................................................... 51

15. Gambar 3.7 Hold Relax..................................................................... 52

xvi

DAFTAR TABEL

No Tabel HALAMAN

1. Tabel 2.1 Penyambuhan Tulang .....................................................21

2. Tabel 3.1 MMT...............................................................................43

3. Tabel 3.2 Evaluasi pemeriksaan MMT ...........................................54

4. Tabel 3.3 Evaluasi pemeriksaan nyeri ............................................54

5. Table 3.4 Evaluasi pemeriksaan LGS .............................................54

xvii

DAFTAR GRAFIK

No Grafik HALAMAN

1. Grafik 4.1 Penurunan Nyeri ........................................................... 59

2. Grafik 4.2 Peningkatan Luas Gerak Sendi Aktif ........................... 60

3. Grafik 4.3 Peningkatan Luas Gerak Sendi Pasiif........................... 60

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Pernyataan Responden

Lampiran 2 Proses Bimbingan Karya Tulis Ilmiah

Lampiran 3 Rekomendasi Seminar Karya Tulis Ilmiah

xix

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MUHAMMADIYAHPALEMBANG PROGRAM STUDI DIII FISIOTERAPI

Karya Tulis Ilmiah, 28 Mei 2013

Irma Robbi Nurhayati

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI STIFF KNEEJOINT DEXTRA PASCA IMMOBILISASI FRAKTUR OS FEMURDENGAN INTERNAL FIKSASI

(xx + 61 halaman, 5 tabel, 4 grafik,15 gambar, 6 lampiran)

ABSTRAK

Fraktur pada femur dapat diberikan beberapa penanganan diantaranya yaituFisioterapi. Fisioterapi di artikan sebagai bentuk pelayanan dan ditujukan kepadaindividu dan atau kelompok untuk pemeliharaan dan memulihkan gerak fungsitubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manualmaupun peralatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penatalaksanaanFisioterapi pada kondisi stiff knee joint dextra pasca immobilisasi fraktur osfemur dengan internal fiksasi. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit PusriPalembang. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 08 - 30 April 2013. Jenispenelitian yang dilakukan pada penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini adalah jenispenelitian studi kasus. Dari hasil penelitian didapatkan hasil adanya penurunanspasme otot Hamstring dan Quadriceps, adanya penurunan nyeri gerak flexi padaknee joint dextra, masih ada penurunan kekuatan otot penggerak flexi dan extensiknee joint dextra (Nilai otot 3), adanya peningkatan ROM pada knee joint dextra.

Kata Kunci :Stiff Knee Joint Pasca Immobilisasi Fraktur Os Femur DaftarPustaka :16 (1995 – 2012)

xx

INSTITUTE OF HEALTH SCIENCE MUHAMMADIYAH PALEMBANGSTUDY PROGRAM OF PHYSIOTHERAPY

Writing Scientific, 28 May 2013

Irma Robbi Nurhayati

Physiotherapy Management Of Knee Joint Conditions Stiff DextraImmobilization Post Fracture With Internal Fiksation Os Femoral

(xx + 61 pages, 5 table, 4 graphs, 15 images, 6 attachments)

ABSTRACT

Fractures of the femur can be given some of them, namely the handling ofPhysiotherapy. Interpreted as a form of physiotherapy services and addressed toindividuals and or groups to maintain and restore movement throughout thelifecycle of bodily functions using manual handling or equipment.This study goal to know Physiotherapy management of the condition dextra stiffknee joint after immobilization os femur fracture with internal fixation. InResearch conducted this study conducted in Palembang Pusri Hospital. Theresearch was conducted on 8 April to 30 April 2013. Type of research done on thepreparation of this Scientific Writing is a kind of case study research. From theresults of the study showed a decrease Hamstring and Quadriceps muscle spasm,decrease pain in knee joint flexion motion dextra, there is still a decrease inmuscle strength driver knee joint flexion and extension dextra (Value muscle 3),an increase in knee joint ROM dextra.

Key words : Stiff Knee Joint Immobilization After Os Femur Fractures

Reference : 16 (1995 - 2012)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Layanan kesehatan yang dikembangkan oleh pemerintah tercantum dalam

sistem kesehatan meliputi upaya peningkatan (promotif), upaya pencegahan

(preventif), upaya penyembuhan (kuratif) dan upaya pemulihan (rehabilitatif).

Dalam upaya mewujudkan pelayanan yang menyeluruh tersebut

diperlukan adanya kerjasama dari berbagai pihak dan disiplin ilmu. Dalam

hal ini Fisioterapi sebagai bagian dari pelayanan kesehatan ikut berperan dan

bertanggung jawab dalam upaya meningkatkan kapasitas fisik dan

kemampuan fungsional supaya pasien dapat hidup mandiri secara optimal.

Dengan adanya kemajuan IPTEK mengakibatkan peningkatan mobilitas

masyarakat baik melaui darat, laut, udara sehingga semakin mempermudah

komunikasi antar masyarakat. Selain dampak positif tidak dapat dipungkiri

bahwa akan timbul pula berbagai dampak negatif, diantaranya adalah

meningkatnya resiko terjadinya kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, dan

trauma – trauma lainnya. Salah satu kondisi yang cukup banyak terjadi akibat

kecelakaan lalu lintas adalah adanya fraktur pada tulang femur yang dapat

menimbulkan kekakuan pada sendi lutut.

Menurut Appley (1995), fraktur adalah patahan kontinuitas struktur tulang.

Patahan tadi mungkin tak lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan atau

1

2

perimpilan korteks, biasanya patahan itu lengkap dengan fragmen tulang

bergeser. Kalau kulit diatasnya masih utuh, keadaan ini disebut fraktur

tertutup atau sederhana, kalau kulit atau salah satu dari rongga tubuh

tertembus, keadaan ini disebut fraktur terbuka atau compound, yang

cenderung mengalami kontaminasi dan infeksi. Dari patah tulang tersebut hal

ini dapat mengakibatkan terjadinya kekakuan (stiff) pada sendi lutut.

Fraktur pada femur dapat diberikan beberapa penanganan diantaranya

yaitu Fisioterapi. Fisioterapi di artikan sebagai bentuk pelayanan dan

ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan

pemeliharaan dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur hidup

kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan

gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutik dan mekanis), pelatihan fungsi,

komunikasi (SK.MENKES RI NO.1363/MENKES/SK/XII/001.Pasal 1 dan

2).

Jenis kasus yang dapat diintervensi oleh Fisioterapi bermacam – macam,

salah satunya adalah stiff knee joint akibat fraktur femur yang disebabkan

karena trauma langsung sehingga menyebabkan tulang femur mengalami

fraktur, sehingga memungkinkan korban harus mendapat perawatan dari tim

medis yang professional dengan berbagai teknologi kesehatan. Sehubungan

dengan hal tersebut, Fisioterapi mempunyai peran yang sangat penting untuk

meminimalisir keluhan yang biasanya diderita terutama setelah pasca

imobilisasi, yaitu berupa kekakuan sendi, nyeri, adanya keterbatasan gerak

serta komplikasi lainnya yang memungkinkan terjadi pada kondisi ini.

3

Dengan demikian berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik

untuk mengangkat judul karya tulis ilmiah yaitu “Penatalaksanaan Fisioterapi

pada Kondisi Stiff Knee Joint Dextra Pasca Imobilisasi Fraktur Os Femur

dengan Internal Fiksasi”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka penulis dapat

merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut :

1.2.1 Bagaimana penatalaksanaan Fisioterapi pada kondisi stiff knee joint

dextra pasca imobilisasi fraktur os femur dengan internal fiksasi ?

1.2.2 Sejauh mana pengaruh penatalaksanaan Fisioterapi dengan modalitas

Infrared Rays (IRR) dan terapi latihan pada kondisi stiff knee joint

dextra pasca immobilisasi fraktur os femur dengan internal fiksasi ?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah :

1.3.1 Untuk mengetahui penatalaksanaan Fisioterapi pada kondisi stiff knee

joint dextra pasca immobilisasi fraktur os femur dengan internal

fiksasi.

1.3.2 Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh modalitas IRR dan terapi

latihan dalam penatalaksanaan Fisioterapi pada kondisi stiff knee joint

dextra pasca immobilisasi fraktur os femur dengan internal fiksasi.

4

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Bagi penulis dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan

pengalaman dalam penanganan kondisi stiff knee joint dextra pasca

immobilisasi fraktur os femur dengan internal fiksasi.

1.4.2 Sebagai sumbangan pemikiran pada rekan sejawat dalam

meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat, khususnya di bidang

Fisioterapi.

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Terapan

2.1.1 Osteologi

Knee joint atau sendi lutut dibentuk oleh 4 tulang yaitu tulang femur,

patella, fibula, dan tibia. Pergerakan utama dari sendi lutut terjadi antara tulang

femur, patela dan tibia dan setiap bagian tulang yang berhubungan tersebut

dibungkus oleh kartilago artikular yang keras, namun halus dan didesain untuk

mengurangi risiko terjadinya cedera antartulang. Kemudian tulang patela terletak

pada tulang tibia bagian distal (fossa intercondylar) (Platzer, 1995).

a. Os Femur

Os femur merupakan tulang panjang terbesar pada tubuh dan dibagi

dalam corpus dengan collum dan ujung proksimal dan distal. Dan terdapat sudut-

sudut inklinasi antara corpus dan collum. Pada corpus kita bedakan menjadi tiga

permukaan yaitu facies anterior, facies lateral, dan facies medial. Facies lateral

dan facies medial dipisahkan pada sisi dorsal oleh dua peninggian bibir (linea

aspera), yang merupakan daerah tebal tulang kompakta. Terdapat foramen nutricia

didekat linea aspera, labium medial dan labium latera. Linea aspera memancar

keproksimal dan distal, dan labium lateral berakhir pada tuberositas glutea.

Kadang-kadang tuberositas glutea lebih nyata dan dikenal sebagai trocanter.

5

6

Labium medial berjalan ke permukaan bawah collum, sedikit lebih lateral dari

pada labium medial.

Dibagian proksimal dan distal dari corpus femoris kehilangan bentuk

segitiganya dan menjadi lebih bersisi. Caput femoris dengan lekukan yang

menyerupai puser, fovea capitis, mempunyai batas ireguler dengan collum.

Peralihan dari collum ke corpus femoris dianterior ditandai oleh linea

intertrochanterica dan diposterior oleh crista intertrochanterica. Tepat dibawah

throchanter major terletak fossa throchanterica. Throcanter minor menonjol

keposterior dan kemedial.

Ujung distal dibentuk oleh epicondylus, tepat didekat epicondylus

terletak condylus medial dan condylus lateral. Keduanya disatukan disebelah

permukaan anterior oleh facies patellaris dan diposterior mereka dipisahkan oleh

fossa. Fossa ini dibatasi dari permukaan posterior corpus oleh linea

intercondyloidea yang membentuk dasar segitiga, yang sisi-sisinya dibentuk oleh

linea aspera. Dibawah epicondylus lateralis terletak sulcus popliteus dan diatas

epycondylus medial terdapat tuberculum adductorius (Platzer, 1995).

7

Gambar 2.1Os Femur

(Puzt, 2006)

8

b. Os Patella

Os Patella atau tulang tempurung lutut adalah merupakan tulang baji

atau os sesamoid yang berkembang didalam tendon otot quadriceps

(Pearce,2009). Ia berbentuk segitiga dan gepeng disebut Apex menghadap

kedistal. Permukaan anterior dan permukaan dorsal mempunyai permukaan

sendi dibagi oleh peninggian menjadi facies lateralis yang besar dan facies

medialis yang lebih kecil (Platzer. 1995).

Gambar 2.2Os Patella

(Puzt, 2006)

c. Os Tibia

Os tibia mempunyai corpus yang sedikit berbentuk segitiga dan

ujung proksimal dan distal pada ujung proksimal terdapat condylus medialis

dan lateralis. Permukaan proksimal facies artucularis superior, dipisahkan

oleh eminentia intercondyloidea. Penonjolan ini dibagi menjadi tuberculum

intercondyloideum medialdan lateral. Didepan dan dibelakang eminentia

terdapat fossa intercondyloidea anterior dan posterior. Pada condylus

9

lateralis yang menghadap keluar terdapat facies articularis yang arahnya

kelateral dan distal untuk bersendi dengan fibula. Corpus fibula yang terdiri

atas tiga permukaan mempunyai crista anterior yang tajam. Yang di

proksimal menjadi tuberositas tibiae dan didistal merata. Crista anterior

memisahkan facies medialis dan facies lateralis. Facies lateralis bersatu

dengan facies posterior pada crista interossea. Facies posterior dipisahkan

dari facies medialis dan margo medilais. Di proksimal facies anterior corpus

tibiae terdapat suatu daerah yang sedikit kasar yang disebut linea popliteea.

Berjalan miring dari sisi distomedial kesisi proksimolateralis. Lateral

terharap garis ini terdapat foramen nutricium yang ukurannya berbeda-beda.

Ujung distal disebelah medial memanjang membentuk malleolus medialis

dengan facies articular mamleolaris. Sulcus malelolaris berjalan sepanjang

permukaan posteriornya. Facies articularis inferior tibiae yang terletak pada

permukaan bawah ujung distal tibiae, bersendi dengan talus. Pada sisi

lateral, pada incisura fibularis terdapat hubungan sindenmosis yaitu suatu

sendi fibrosa dengan fibula (Platzer, 1995).

10

Gambar 2.3Os Tibia

(Puzt, 2006)

11

d. Os Fibula

Os fibula kira-kira panjangnya sama dengan panjang os tibia tapi

lebih tipis dan oleh karena itu merupakan tulang yang lebih fleksibel. Fibula

juga terdiri atas dua ekstremitas dan satu corpus. Ujung proksimal adalah

capitulum fibulae dengan facies articularisnya dan suatu penonjolan kecil

disebut apex capitulum fibulae. Corpus fibula pada bagian tengahnya kira-

kira berbentuk segitiga dan mempunyai tiga batas dan tiga permukaan. Pada

sepertiga distal terdapat empat batas. Pinggir yang paling tajammenghadap

kedepan disebut crista anterior,yang memisahkan facies lateralis dan facies

medilalis disebut crista medialis memisahkan facies lateralis dan facies

posterior. Facies posterior dipisahkan dari facies lateralis oleh crista lateralis.

Pada permukaan medial terdapat pinggir tulang yang sengat tajam yang

disebut crista interossea, dimana membrane interossea melekat kira-kira pada

pertengahan permukaan posterior atau pada crista lateralis terdapat foramen

nitricium. Pada permukaan ujung, yang berjalan kearah distal, terdapat

malleolus lateral yang kecil dan gepeng dengan facies artucularis untuk

bersendi dengan talus pada permukaan dalamnya. Pada permukaan posterior

terdapat celah dalam yang disebut fossa malleolaris lateralis dimana melekat

ligamentum talofibularis (Platzer, 1995).

12

Gambar 2.4Os Fibula

(Puzt, 2006)

13

2.1.2 Myologi

Otot-otot yang berperan pada sendi lutut terbagi dalam dua

kelompok besar yaitu otot Quadriceps (rectus femoris, vastus lateralis,

vastus intermedius, dan vastus medialis) dan otot Hamstring (biceps

femoris, semimembranosus, dan semitendonosus). Otot quadriceps ini

berfungsi sebagai gerakan ekstensi pada sendi lutut, dan sedangkan otot

Hamstring berfungsi sebagai penggerak fleksi pada sendi lutut.

Group otot quadriceps ialah m.rectus femoris yang berorigo di

dua tendon pada illium pelvis melekat pada spina iliaca inferior anterior

dan pada tepi acetabulum, insersionya pada bagian dasar patella dan

anterior tibia, diinervasi oleh N.femoralis. M.vastus lateralis berorigo pada

sisi laterallinea aspera, trochantor mayor, dan tuberositas gluteal pada sisi

proksimal tulang femur, insersio ditepi lateral patella, dan sisi anterior

tibia. Otot ini diinervasi oleh N. femoralis.

M.Vastus medialis berorigo ditepi medial linea aspera tulang

femur termasuk tepi atas dan bawahnya, Insersio ditepi medial patella dan

bagian medial tibia (condylus medial), Otot ini diinervasi oleh N.

femoralis. M.Vastus intermedius berorigo dipermukaan anterior batang

femur, dua per tiga bagian atas insersio di tepilateral patella dan bagian

lateral tibia (condylus lateral).Otot ini diinervasi oleh N. femoralis (Puzt,

2006).

Group otot Hamstring terdiri dari m. Biceps femoris berorigo di

kepala panjang tuberositas ischial (pada pelvis), kepala pendek (linea

14

aspera femur), insersionya dios fibula proksimal, permukaan lateral

condylus lateral tibia.Otot ini diinervasi oleh N. tibialis. M.Semitendinosus

berorigo di tuberositas ischial (pada pelvis), insersio pada permukaan

medial tibia proksimal. Otot ini diinervasi oleh N. Tibialis.

M.Semimembranosus berorigo dituberositas ischial (pada pelvis),

berinsersio di permukaan medial tibia proksimal, diinervasi oleh N.Tibialis

(Puzt, 2006).

Gambar. 2.5M.Quadriceps(Puzt, 2006)

15

Gambar. 2.6M.Hamstring(Puzt, 2006)

16

2.1.3 Arthrologi

Sendi merupakan suatu hubungan antara dua tulang atau lebih

yang terbentuk secara fisiologis (Pearce, 2009). Sendi-sendi yang terdapat

pada daerah lutut adalah :

a. Articulasio Patelofemoral joint

Persendian antara condylus femoralis dengan condylus

tibia.Pada saat gerakan ekstensi lutut sendi ini bergerak kearah

superior (atas), dan apabila pada gerakan flexi sendi ini bergerak

keinferior (bawah).

b. Articulasio Tibiofemoral

Persendian antara patella dengan facies patellaris femur.

Sendi ini bergerak pada bidang sagital untuk gerakan flexi, dan

pada bidang transversal untuk memutar ketika lutut extensi.

Gambar. 2.7Articulasio(Puzt, 2006)

17

2.1.4 Ligamentum

Ligamentum mempunyai sifat yang cukup lentur dan jaringannya

cukup kuat yang berfungsi sebagai pembatas gerakan dan stabilitas sendi.

Ada beberapa ligamentum pada sendi lutut yaitu Ligamentum Cruciatum

Anterior berjalan dari depan fossa intercondyloidea anterior ke permukaan

medial condylus lateralis femoris berfungsi menahan hiperekstensi dan

menahan bergesernya tibia ke depan. Ligamentum Cruciatum Posterior

berjalan dari facies lateralis condylus medialis femoris menuju ke fossa

intercondylodea tibia yang berfungsi menahan bergesernya tibia ke arah

belakang.

Ligamentum Collateral Lateral berjalan dari epicondylus lateralis

ke capitulum fibula yang berfungsi menahan gerakan varus atau samping

dalam. Ligamentum Collateral Mediale berjalan dari epicondylus medial

ke permukaan medial tibia (epicondylus medialis tibia) yang berfungsi

menahan gerakan valgus atau samping luar. Namun secara bersamaan

fungsi ligament collateral mediale menahan bergesernya tibia ke

depan pada lutut 90°.

Ligamentum Patella yang merupakan lanjutan dari tendon M.

quadriceps femoris yang berjalan dari patella ke tuberositas tibia.

Ligamentum Retinacullum Patella lateral dan medial berada disebelah

lateral dari tendon M. quadricep femoris dan berjalan menuju tibia, dimana

ligamen-ligamen ini melekat dengan tuberositas tibia. Ligamentum

popliteum articuatum terletak pada daerah condylus lateralis femoris erat

18

hubungannya dengan M. Popliteum. Ligamentum popliteum oblicum

berjalan dari condylus lateralis femoris kemudian turun menyilang menuju

fascia popliteum yang berfungsi mencegah hyperekstensi lutut.

2.1.5 Meniscus

Meniscus merupakan jaringan lunak, meniscus pada sendi lutut

adalah meniscus lateralis dan medial. Adapun fungsi meniscus adalah

sebagai penyebaran pembebanan, peredam kejut (shock absorber ),

mengurangi gerakan dan stabilisator setiap penekanan akan diserap oleh

meniscus dan diteruskan ke sebuah sendi.

Gambar. 2.8Meniscus

(Puzt, 2006)

19

2.2 BIOMEKANIK SENDI LUTUT

2.2.1 Osteokinematika sendi lutut

Lutut termasuk dalam sendi ginglyus (hinge modified) dan

mempunyai gerak yang cukup luas seperti sendi siku, luas gerak

fleksinya cukup besar. Osteokinematika yang memungkinkan

terjadi pada sendi lutut adalah gerak flexi dan extensi pada bidang

sagital dengan lingkup gerak sendi untuk gerakan fleksi sebesar

130° dengan posisi ekstensi 0° atau 5° dan gerak putaran keluar

40° hingga 45° dari awal mid posisi 20°. Fleksi sendi lutut adalah

gerakan permukaan posterior ke bawah menjauhi

permukaan posterior tungkai bawah. Putaran ke dalam adalah

gerakan yang membawa jari-jari kearah sisi dalam tungkai

(medial). Ekstensi sendi lutut dalah putaran keluar gerakan

membawa jari-jari kearah luar (lateral) tungkai (Sudaryanto, 2000).

2.2.2 Arthrokinematika sendi lutut

Pada kedua permukaan sendi lutut pergerakan yang terjadi

meliputi gerak sliding dan rolling, maka disinilah berlaku hukum

konkaf-konvek. Hukum ini menyatakan bahwa jika permukaan

sendi cembung (konvek) bergerak pada permukaan sendi cekung

(konkaf) maka pergerakan sliding dan rolling berlawanan. Dan jika

permukaan sendicekung (konkaf) bergerak pada permukaan sendi

cembung (konvek) maka pergerakan sliding dan rolling searah.

Pada permukaan femur cembung (konvek) bergerak, maka

20

gerakkan sliding dan rolling berlawanan arah. Saat gerak fleksi

femur rolling ke arah belakang dan slidingnya kebelakang. Dan

pada permukaan tibia cekung (konkaf) bergerak fleksi ataupun

ekstensi menuju ke depan atau ventral (Sudaryanto, 2000).

2.3 PATOFISIOLOGI

Pada pembahasan ini akan dibahas terlebih dahulu tentang

fraktur.

2.3.1 Definisi

Fraktur adalah patahan kontinuitas struktur tulang. Patahan

tadi mungkin tak lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan atau

perimpilan korteks, biasanya patahan itu lengkap dengan fragmen

tulang bergeser. Kalau kulit diatasnya masih utuh, keadaan ini

disebut fraktur tertutup atau sederhana, kalau kulit atau salah satu

dari rongga tubuh tertembus, keadaan ini disebut fraktur terbuka

atau compound, yang cenderung mengalami kontaminasi dan

infeksi (Appley, 1995).

2.3.2 Etiologi

Tulang bersifat relative rapuh, namun cukup mempunyai

kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan.

Fraktur dapat terjadi akibat : (1) peristiwa trauma tunggal;

(2) tekanan yang berulang-ulang; (3) kelemahan abnormal pada

tulang (fraktur patologik) (Appley, 1995).

21

2.3.3 Gejala dan tanda fraktur

Tanda-tanda umum : (1) syok atau pendarahan; (2)

kerusakan yang berhubungan dengan otak, medula spinalis atau

visera; dan (3) penyebab predisposisi.

Tanda-tanda lokal : (1) penampilan : pembengkakan,

memar dan deformitas mungkin terlihat jelas, tetapi yang

terpenting adalah kulit itu utuh kalau kulit robek dan luka memiliki

hubungan dengan fraktur, cedera itu terbuka (compound); (2) rasa

: terdapat nyeri setempat; (3) gerakan : gerakan abnormal dapat

ditemukan, tetapi lebih penting untuk menanyakan apakah pasien

dapat menggerakkan sendi-sendi dibagian distal dari cedera

(Appley, 1995).

2.3.4 Waktu Penyembuhan tulang

Penyembuhan fraktur berkisar antara tiga minggu sampai

empat bulan. Waktu penyembuhan pada anak-anak secara kasar ½

dari waktu penyembuhan dari orang dewasa.

Table 2.1Perkiraan waktu penyembuhan fraktur pada orang dewasa

Lokalisasi Waktu PenyembuhanPalang/metacarpal/metatarsal/costa 3 – 6 MingguDistal radius 6 MingguDiafisis ulna dan radius 12 MingguHumerus 10 - 12 MingguClavicula 6 MingguPanggul 10 - 12 MingguCondylus femur dan tibia 8 – 10 MingguTibia / fibula 12 – 16 MingguVertebra 12 Minggu(Rasjad, 2007).

22

Tiga tahap utama penyembuhan fraktur adalah (a) fase inflamasi

(10%), (b) fase reparatif (40%), (c) fase remodeling (70%). Fase - fase

tersebut saling bertumpang tindih, dan yang terutama terjadi pada satu fase

dapat dimulai pada fase sebelumnya.

Panjangnya waktu untuk setiap fase bervariasi, tergantung pada

lokasi dan beratnya fraktur, cedera penyerta, serta usia.

Fase inflamasi berlangsung sekitar 1 – 2 minggu. Pada awalnya,

suatu fraktur akan mencetus terjadinya reaksi inflamasi. Peningkatan

vaskularisasi disekitar lokasi fraktur akan menyebabkan terjadinya

hematoma fraktur, yang kemudian segera diinervasi oleh sel radang,

meliputi neutrofil, makrofak, dan fagosit. Sel – sel tersebut, termasuk

osteoklas, berfungsi membersihkan jaringan nekrotik, mempersiapkan

dasar untuk fase reparatif. Secara radiografis, garis fraktur menjadi

semakin jelas karena terangkatnya bahan nekrosis.

Fase reparative biasanya berlangsung salama beberapa bulan. Fase

ini ditandai dengan diferensiasi sel mesenkim pluripotensial. Hematoma

fraktur kemidian diinervasi oleh kondroblas dan fibrobla, yang akan

meletakkan matriks untuk pembentukan kalus. Awalnya, terbentuk kalus

yang lunak, terutama tersusun oleh jaringan fibrosa dan kartilago dan

sejumlah kecil tulang. Osteoblas kemudian bertanggung jawab terhadap

mineralisasi kalus yang lunak ini, dan mengubahnya menjadi anyaman

tulang kalus keras (woven bone) sehingga meningkatkan stabilitas fraktur.

Tulang tipe ini masih imatur dan lemah terhadap torsi sehingga tidak

23

mampu menahan tekanan. Delayed union dan non-union terjadi akibat

kesalahan pada fase reparatif ditandai oleh stabilitas fraktur. Secara

radiografis, garis fraktur mulai menghilang.

Fase remodeling yang berlangsung selama berbulan – bulan

sampai bertahun – tahunn, terdiri dari aktivitas osteoblas dan osteoklas

yang mengakibatkan penggantian anyaman tulang yang imatur yang tidak

terorganisasi dengan tulang lamellar matur yang terorganisasi, sehingga

menambah stabilitas pada tempat fraktur. Seiring demgan waktu, kanalis

medularis akan terbentuk kembali secra bertahap. Resorpsi tulang terjadi

pada permukaan konveks dan pembentukan tulang baru pada permukaan

konkaf. Proses ini memungkinkan sedikit koreksi deformitas angular,

namun tidak mengoreksi deformitas rasional. Secara radiografis, fraktur

biasanya sudah tidak terlihat (Thomas, 2011).

2.3.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan tulang

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyambungan tulang

adalah: (1) usia pasien, (2) jenis fraktur; (3) lokasi fraktur, (4)

suplai darah; (5) kondisi medis yang menyertainya (Thomas,

2011).

2.3.6 Macam-macam internal fiksasi

a. Batang dan paku intramedular

Alat ini merupakan stress-sharing yang memungkinkan

pembentukan kalus dan penyembuhan tulang secara sekunder

dengan sangat cepat. Batang dan paku intramedular memberikan

24

fiksasi yang baik dan memungkinkan sendi diatas dan dibawah

fraktur tetap bebas untuk mobilisasi awal. Alat ini paling sering

digunakan pada fraktur corpus femur dan corpus tibiae serta

kadang-kadang pada fraktur corpus humeri (Thomas, 2011).

b. Pelat kompresi

Pelat kompresi adalah pelat logam tipis, persegi, dengan

permukaan lengkung yang sesuai dengan kelengkungan tulang

dan dilekatkan dengan sekrup sedemikian rupa sehingga

menciptakan kompresi pada tempat fraktur. Hal tersebut

memungkinkan reduksi dan fiksasi anatomis fraktur. Pelat ini

merupakan alat stress-shielding karena daerah fraktur dibawah

pelat akan terbebas dari pembebanan. Seiring waktu, korteks

tulang dibawah pelat akan menipis karena terbebas dari

pembebanan dan suplai darah yang berkurang. Pelat kompresi

sering digunakan pada extremitas atas, terutama radius dan ulna.

Penyembuhan tulang secara primer terjadi akibat rigiditas

fiksasi, kompresi pada tempat fraktur, dan reduksi anatomis.

Karena penyembuhan tulang secara primer merupakan suatu

proses yang lambat maka fiksasi pelat kompresi memerlikan

waktu tanpa penanggungan beban yang lebih lama (3 bulan)

untuk mencegah kegagalan fiksasi pelat (Thomas, 2011).

25

c. Pelat Penopang (Buttress plat)

Pada logam tipis ini sering digunakan pada tibia proksimal

akibat fraktur plateau tibia. Pelat ini dugunakan bersama

dengan lag screw dan skrup kayu untuk menghasilkan reduksi

anatomik fraktur. Pelat penopang adalah alat stress-sharing.

Pasien pada awalnya tidak diperbolehkan menanggung beban

(Thomas, 2011).

d. Pin, Kawat, dan Skrup

Kawat Kirschner (K-wire), pin dan skrup adalah logam

tipis untuk imobilisasi parsial tempat fraktur dapat berulir

(screw) atau tanpa ulir (K-wire) dan pin. Semuanya

merupakan alat stress-sharing yang memungkinkan gerakan

mikro pada tempat fraktur sehingga menghasilkan

penyembuhan tulang secara sekunder. Alat ini dapat digunakan

secara sendiri atau bersamaan dengan fiksasi tipe lain, seperti

gips, agar menghasilkan immobilisasi yang baik. Penanggung

beban biasanya ditunda. Pin, K-wire dan skrup biasanya

diangkat setelah terjadinya penyembuhan tulang. Alat ini sering

digunakan pada fraktur pergelangan kaki, patella, metacarpal

dan olecranon (Thomas, 2011).

2.3.7 Indikasi Internal Fiksasi

Internal fiksasi sering menjadi bentuk terapi yang paling

diperlukan. Indikasi utamanya adalah :

26

a. Fraktur yang tidak dapat direduksi kecuali operasi.

b. Fraktur yang tidak stabil secara bawaan dan cenderung mengalami

pergeseran kembali setelah reduksi, selain itu juga fraktur yang

cenderung ditarik terpisah oleh kerja otot (misal fraktur melintang

pada patella).

c. Fraktur yang penyatuannya kurang baik, dan perlahan-lahan

terutama fraktur pada leher femur.

d. Fraktur patologik, dimana penyakit tulang dapat mencegah

penyembuhan.

e. Fraktur multiple, bila fiksasi dini mengurangi resiko komplikasi

umum dan kegagalan organ pada berbagai sistem.

f. Fraktur pada pasien yang sulit perawatannya ( penderita paraplegi,

pasien dengan cedera multiple dan sangat lanjut usia).

2.3.8 Siklus Gaya Berjalan

Siklus gaya berjalan menggambarkan aktivitas yang terjadi

selama ambulasi. Siklus berjalan dibagi dalam dua fase, yaitu fase

berdiri (stance) dan fase mengayun (swing).

a. Fase berdiri

Fase berdiri, yang merupakan 60% dari siklus (tepatnya

62%), dibagi dalam beberapa segmen berikut :

(1) Heel strike : Tumit menyentuh tanah. Pada titik ini, fase berdiri

dimulai.

27

(2) Foot-flat : Ketika badan maju kedepan, midfood dan forefoot

menyantuh tanah. Footflat terjadi ketika seluruh permukaan

telapak kaki bersentuhan dengan tanah, namun sebelum berat

badan langsung menumpu pada kaki.

(3) Mid-stance :Ketika tubuh terus bergerak keanterior, garis

beban melintas langsung tepat diatas kaki saat mid-stance.

(4) Push-off :Terjadi ketika tungkai penanggung beban bergerak

kedepan dan diangkat dari tanah. Ada dua komponen push-off

(i) heel-off (tumit terangkat dari tanah), dan (ii) toe-off (setelah

tumit terangkat jari kaki kemudian terangkat dari tanah)

(Thomas, 2011).

b. Fase Mengayun

Fase mengayun merupakan 40% dari siklus (tepatnya 38%),

dibagi dalam beberapa segmen berikut :

(1) Akselerasi : Fase mengayun dimulai saat berakhirnya push-off

saat jari kaki tidak lagi kontak dengan tanah. Komponen awal

fase mengayun adalah akselerasi. Saat akselerasi, tubuh berada

disebelah anterior tungkai. Gravitasi membantu extremitas

untuk berayun kedepan.

(2) Mid-swing : Pada mid-swing, tungkai tepat dibawah tubuh dan

maju kedepan dengan momentum yang ada.

(3) Deselerasi : Ketika tungkai mencapai akhir lengkung gerakan,

deselasi tungkai distal mencegahterjadinhya penghentian

28

mendadak extremitas dan memposisikan extremitas untuk

menerima beben saat mendekati heel-strike, sehingga

menyempurnakan siklus berjalan (Thomas, 2011).

Latihan jalan merupakan aspek terpenting pada penderita

sehingga mereka dapat kembali melakukan aktifitasnya seperti

semula. Latihan ini dilakuakan secara bertahap. Dimulai dari

aktivitas di tempat tidur seperti bergeser (bridging), bangun, duduk

dengan kaki terjuntai ke bawah (high sitting) kemudian latihan

berdiri, ambulasi berupa jalan dengan menggunakan walker

kemudian ditingkatkan dengan menggunakan cructh (tergantung

kondisi umum pasien). Dapat diberikan secara bertahab mulai dari

Non Weight Bearing, Partial Weight Bearing dan Full Weight

Beraing.

Non weight bearing (NWB) adalah berjalan dengan tungkai

tidak diberi beban (menggantung). Dilakukan selama 3 minggu

setelah di operasi.

Partial Weight Bearing (PWB) adalah berjalan dengan

tungkai diberi beban hanya dari beban tungkai itu sendiri.

Dilakukan bila callus telah mulai terbentuk (3-6 minggu) setelah

operasi.

Full Weight Bearing (FWB) adalah berjalan dengan beban

penuh dari tubuh. Dilakukan setelah 3 bulan pasca operasi dimana

tulang telah terjadi konsolidasi secara kuat.

29

2.3.9 Pola Gaya Berjalan Setelah Fraktur

Pola gaya berjalan setelah fraktur umumnya dapat diklasifikasikan

berdasarkan jumlah titik kontak yang diambil saat melangkah (gaya

berjalan dua titik, tiga titik atau empat titik).

(1). Gaya Berjalan Dua Titik

Pada gaya berjalan dua titik (kadang disebut hop-to gait), cruch

dan tungkai yang fraktur sebagai satu titik dan tungkai yang sehat sebagai

titik lainya. Cructh dan tungkai yang fraktur dimajukan sebagai satu unit,

dan tungkai sehat penanggung beban dibawa kedepan cruch sebagai unit

kedua.

Sebagai contoh Fraktur femur tanpa penanggung beban

menggunakan pola step-to gait dengan membawa cructh ke depan bersama

tungkai yang fraktur diikuti dengan tungkai yang sehat melangkah

melewati cructh.

(2). Gaya Berjalan Tiga Titik

Pada gaya berjalan tiga titk, cruch berperan sebagai satu titik,

tungkai yang fraktur sebagai titik kedua, dan tungkai yang sehat

sebagai ntitik ke tiga. Cructh dan masing-masing tungkai

menanggung beban dan dimajukan secara terpisah. Dua dari tiga titik

tetap kontak dengan lantai setiap saat.

Sebagai contoh fraktur collum femur dengan penanggungan

beban partial. Pada contoh ini cructh dimajukan, tungkai yang fraktur

dimajukan dan akhirnya tungkai yang sehat dimajukan kedepan.

30

(3). Gaya Berjalan Empat Titik.

Pada gaya berjalan empat titik, titik kesatu adalah cruch pada

sisi sakit, titik kedua adalah tungkai yang sehat, titik ketiga adalah

tungkai yang sakit, dan titk keempat adalah cruch pada sisi sehat.

Cructh dan tungkai dimajukan secara terpisah. Tiga dari keempat titik

tetap pada tanah dan menanggung beban setiap saat.

Sebagai contoh fraktur dengan penanggung beban partial yang

disertai masalah sekunder seperti kelemahan, atau kecemasan, tipe

gaya berjalan ini tidak efisien, namun dapat memperbaiki stabilitas

ataupun keseimbangan dan dapat mengembalikan kepercayaan diri

pasien semula yang mengalami ketakutan atau kecemasan yang

berlebihan (Thomas, 2011).

2.3.10 Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi yaitu komplikasi yang

berhubungan dengan setelah dilakukannya tindakan operasi, antara lain:

a. Nekrosis Avaskular

Ini adalah komplikasi dini dari cedera tulang, karena iskemia

terjadi selama beberapa jam pertama setelah fraktur (Appley, 1995).

b. Deep Venous Thrombosis

Penyebab utama Deep Venous Thrombosis pada pasien

pembedahan adalah hiperkoagulabilitas darah, terutama akibat aktivasi

faktor X oleh tromboplastin yang dilepas oleh jaringan yang rusak.

Faktor-faktor sekunder yang penting, seperti immobilisasi yang lama,

31

kerusakan endotel dan peningkatan jumlah dan kelengketan trombosit

dapat diakibatkan oleh cedera atau operasi (Appley, 1995).

c. Stiff Joint (Kekakuan sendi)

(1) Definisi Stiff Joint

Stiff joint adalah suatu kualitas kekakuan atau infleksibilitas

dari pada sendi (Hartanto, 2006).

(2) Etiologi Stiff Joint

Kekakuan sendi dapat terjadi akibat edema dan fibrosis pada

kapsul, ligament dan otot disekitar sendi, atau perlekatan dari

jaringan lunak satu sama lain atau ketulang yang mendasari. Semua

keadaan ini akan lebih buruk bila immobilisasi berlangsung lama.

Selain itu, kalau sendi telah dipertahankan dalam posisi dimana

ligament terpendek, tidak ada latihan yang akan berhasil

sepenuhnya merentangkan jaringan ini dan memulihkan gerakan

yang hilang (Appley, 1995).

Kekakuan sendi yang terjadi setelah suatu fraktur biasanya

terjadi dilutut, siku, bahu dan (yang terburuk) sendi-sendi kecil pada

tangan, kadang-kadang sendi sendiri mengalami cedera suatu

hemartrosis terbentuk dan mengakibatkan perlengketan synovial

(Appley, 1995).

32

(3) Gejala dan Tanda

Pada sejumlah kecil pasien dengan fraktur kaki, pembengkakan

dini pasca trauma disertai oleh nyeri takan dan kekakuan progresif

(Appley, 1995).

(4) Komplikasi

Komplikasi yang dapat timbul berupa deformitas atau

kecacatan.

2.4 PROBLEMATIK FISIOTERAPI

Problematika pada kondisi stiff knee joint ini menimbulkan berbagai

macam gangguan seperti Impairment dan Functional Limittion.

2.4.1 Impairment

Problematik yang muncul pada kondisi stiff knee joint dextra

yaitu adanya kekakuan pada knee joint, adanya spasme otot-otot

pada knee joint dextra, keterbatasan luas gerak sendi knee joint

dextra.

2.4.2 Functional Limitation

Adanya gangguan aktivitas sehari-hari pasien yang

berhubungan dengan aktivitas seperti jongkok dan berlutut.

33

2.5 TEKNOLOGI INTERVENSI FISIOTERAPI

Dalam penatalaksanaan Fisioterapi pada kondisi ini modalitas yang

digunakan adalah :

2.5.1 IRR (Infra Red Rays)

a. Definisi

Sinar infra red rays adalah pancaran gelombang

elektromagnetik dengan panjang gelombang 7.700 A - 4 juta A

(Sujatno, 2000).

b. Pengaruh fisiologis IRR menurut Sujatno, (2000)

Meningkatkan proses metabolisme, vasodilatasi pembuluh

darah, pigmentasi, pengaruh terhadap saraf sensorik, pengaruh

terhadap jaringan otot, distruksi jaringan, meningkatkan

temperature tubuh, mengaktifkan kelenjar keringat.

c. Pengaruh terapeutik

Mengurangi nyeri, membuat otot menjadi relaksasi,

meningkatkan sirkulasi darah, menghilangkan sisa-sisa

metabolisme.

d. Indikasi IRR

Sub-acute, dan cronic traumatic dan inflamation condition,

Arthritis, penyakit kulit.

e. Kontra indikasi IRR

Luka bakar, mengigil, gangguan sensibilitas, kontak dengan

mata, pinsan (Sujatno, 2000).

34

2.5.2 Terapi Latihan

Terapi latihan merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang

pelaksanaannya menggunakan gerak tubuh baik secara aktif maupun

pasif untuk pemeliharaan dan perbaikan kekuatan, ketahanan dan

kemampuan kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas, stabilitas,

relaksasi, koordinasi, keseimbangan dan kemampuan fungsional

(Kisner, 2002).

2.5.2.1 Static Contraction

Static contraction merupakan suatu terapi latihan

dengan cara mengontraksikan otot tanpa disertai perubahan

panjang otot maupun pergerakan sendi (Kisner, 2002).

Tujuan static contraction adalah memperlancar sirkulasi

darah sehingga dapat membantu mengurangi oedem dan

nyeri serta menjaga kekuatan otot agar tidak terjadi atrofi.

2.5.2.2 Passive Exercise

Passive exercise merupakan suatu gerakan yang

dihasilkan dari kekuatan luar dan bukan merupakan

kontraksi otot yang disadari. Kekuatan luar tersebut dapat

berasal dari gravitasi, mesin, individu atau bagian tubuh lain

dari individu itu sendiri (Kisner, 2002).

35

Gerakan ini terbagi menjadi 2 gerakan yaitu :

a. Relaxed Passive Exercise

Relaxed passive exercise merupakan gerakan murni yang

berasal dari terapis tanpa disertai gerakan dari anggota tubuh

pasien. Tujuan dari gerakan ini untuk melatih otot secara pasif,

sehingga diharapkan otot menjadi rileks dan dapat mengurangi

nyeri akibat incisi serta mencegah terjadinya keterbatasan gerak

dan elastisitas otot (Kisner, 2002).

b. Forced Passive Exercise

Force passive exercise gerakan berasal dari terapis atau luar

dimana pada akhir gerakan diberikan penekanan. Tujuan

gerakan ini untuk mencegah terjadinya kontraktur dan

menambah luas gerak sendi serta untuk mencegah timbulnya

perlengketan jaringan (Kisner, 2002).

2.5.2.3 Active Exercise

Merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot anggota

gerak tubuh pasien itu sendiri (Kisner, 2002). Pada kondisi

oedem, gerakan aktif ini dapat menimbulkan “pumping action”

yang akan mendorong cairan bengkak mengikuti aliran darah

ke proksimal. Tujuan active exercise (1) memelihara dan

meningkatkan kekuatan otot; (2) mengurangi bengkak disekitar

36

fraktur; (3) mengembalikan koordinasi dan ketrampilan

motorik untuk aktivitas fungsional (Kisner, 2002).

Active exercise terdiri dari :

a. Free Active Exercise

Gerakan dilakukan sendiri oleh pasien, hal ini dapat

meningkatkan sirkulasi darah sehingga oedem akan berkurang,

jika oedem berkurang maka nyeri juga dapat berkurang. Gerakan

ini dapat menjaga lingkup gerak sendi dan memelihara kekuatan

otot.

b. Assisted Active Exercise

Gerakan ini berasal dari pasien sendiri, sedangkan terapis

memfasilitasi gerakan dengan alat bantu, seperti sling, papan

licin ataupun tangan terapis sendiri. Latihan ini dapat mengurangi

nyeri karena merangsang relaksasi propioseptif.

c. Ressisted Active Exercise

Ressisted Active exercise merupakan gerakan yang dilakukan

oleh pasien sendiri, namun ada penahanan saat otot

berkontraksi. Tahanan yang diberikan bertahap mulai dari

minimal sampai maksimal. Latihan ini dapat meningkatkan

kekuatan otot.

2.5.2.4 Hold Relax

Suatu teknik dimana kontraksi isometric

mempengaruhi otot antagonis yang mengalami pemendekan,

37

yang akan diikuti dengan hilangnya atau kurangnya

ketegangan dari otot-otot tersebut. Latihan ini bertujuan

antara lain meningkatkan luas gerak sendi, menurunkan nyeri

(Buct, 2008). Dosis 2 x 8 hitungan tiap gerakan.

2.5.2.5 Latihan Berjalan

Sebagai awal latihan jalan terapis dapat melatih

pasien dengan wallker jika pasien sudah lanjut usia dan

dengan menggunakan cructh jika pasien masih relatif muda

atau keseimbangan pasien masih baik dengan dibantu

terapis, pasien berdiri dengan kaki menggantung atau Non

Weight Bearing (NWB) dengan 2 cructh pada hari ketiga

kemudian ditingkatkan dengan Partial Weight Bearing

(PWB) jika sudah terjadi pembentukan callus kurang lebih

dalam jangka waktu 2 atau 3 minggu. Dosis awal latihan

30% menumpu berat badan lalu ditingkatkan menjadi 80%

menumpu berat badan dan ditingkatkan lagi dengan latihan

Full Weight Bearing (Thomas, 2011).

38

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

DAN PELAKSANAAN STUDI KASUS

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Pusri Palembang. Penelitian

dilaksanakan pada tanggal 08 April - 30 April 2013.

3.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan pada penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini

adalah jenis penelitian studi kasus.

3.3 Rencana Pengkajian Data

3.3.1 Anamnesis Umum pada kondisi stiff knee joint dextra: (1) Nama:

Tn. Az; (2) Umur: 39 Tahun; (3) Jenis Kelamin: Laki-laki; (4) Agama:

Islam; (5) Pekerjaan: Wirausaha; (6) Alamat: Jln. Panjaitan, Lrg.

Sukamaju, RT 023; (7) Diagnosa Medis: Fraktur Femur Dextra 1/3

Distal.

38

39

Gambar 3.1Hasil Rontgen

(Dokumentasi Penulis, 2013)

Keterangan : Tampak terpasang plate and screw pada Os femur.

3.3.2 Anamnesis khusus

Keluhan utama pasien adalah kaku pada lututnya saat melakukan

gerakan menekuk.

Riwayat perjalanan penyakit pasien adalah pasien mengalami

kecelakaan lalu lintas pada tanggal 29 Desember 2012. Lalu pasien

langsung dibawa ke RS Pusri untuk mendapatkan penanganan lebih

lanjut. Pada tanggal 03 Januari 2013 pasien menjalani operasi

pemasangan pen. Setelah itu pasien dirujuk oleh Dokter ke Fisioterapi

untuk mendapatkan rehabilitasi. Tetapi pasien jarang melakukan terapi

oleh sebab itu pasien mengalami kekakuan pada sendi lututnya. Setelah

itu pada tanggal 25 Maret 2013 pasien datang ke RS Pusri untuk

40

memeriksakan kondisinya. Dengan Dokter kembali dirujuk ke poli

Fisioterapi agar dapat memulihkan kembali keadaannya.

3.3.3 Anamnesis sistem

Pada sistem muskuloskeletal adanya keterbatasan gerak flexi knee

joint dextra, dan adanya spasme otot quadriceps dan hamstring.

Sedangkan sistem nervorum, adanya rasa nyeri gerak terutama pada

gerakan flexi knee joint dextra.

3.3.4 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan :

3.3.4.1 Vital Sign pada kondisi stiff knee joint dextra: (1) Tekanan darah:

130 / 80 mmHg; (2) Denyut Nadi: 80 kali / Menit; (3) Pernapasan:

22 kali / Menit; (4) Temperature: 36° C; (5)Tinggi badan: 167 Cm;

(6) Berat Badan: 63 Kg.

3.3.4.2 Inspeksi

1. Statis

Pada saat inspeksi statis didapatkan hasil sebagai berikut:

(1) Keadaan umum pasien baik; (2) Tidak ada deformitas pada

lutut kanan

2. Dinamis

Pada saat inspeksi dinamis didapatkan hasil sebagai

berikut: (1) Pasien datang dengan menggunakan crutch pada

saat berjalan; (2) Tampak pasien menahan nyeri pada saat lutut

kanan digerakkan.

41

3.3.4.3 Palpasi

Pada saat dilakukan palpasi didapatkan hasil sebagai

berikut: (1) Suhu disekitar knee joint dextra normal; (2) Tidak ada

oedema pada knee joint dextra; (3) Adanya spasme otot Hamstring

dan Quadriceps Femoris pada knee joint dextra.

3.3.4.4 Pemeriksaan Gerak Dasar

a. Gerak Aktif

Pada pemeriksaan gerak aktif pasien mengalami

keterbatasan ROM dengan disertai rasa nyeri pada saat

gerakan flexi knee joint dextra.

b. Gerak Pasif

Pada pemeriksaan gerak pasif pasien mengalami

keterbatasan ROM dengan disertai rasa nyeri pada saat

gerakan flexi knee joint dextra.

Endfeel : Soft

c. Gerak Isometrik Melawan Tahanan

Pada pemeriksaan gerak isometrik melawan tahanan pasien

belum mampu melakukan.

42

3.3.4.5 Kemampuan Fungsional dan Lingkungan Aktivitas

a. Kemampuan Fungsional Dasar

Pasien mengalami gangguan gerak pada knee joint dextra

saat melakukan gerakan flexi.

b. Kemampuan Fungsional

Adanya gangguan ADL dimana pasien meras kesulitan

melakukan aktivitas seperti mau duduk, jongkok.

c. Lingkungan Aktivitas

Lingkungan rumah tempat tinggal pasien sedikit kurang

mendukung karena WC dirumah pasien menggunakan WC

jongkok.

3.3.4.6 Pemeriksaan Spesifik

a. Pemeriksaan skala nyeri dengan VDS (Verbal Descriptive

Scale) :

Tidak nyeri : VDS 1

Nyeri sangat ringan : VDS 2

Nyeri ringan : VDS 3

Nyeri tidak begitu berat : VDS 4

Nyeri cukup berat : VDS 5

Nyeri berat : VDS 6

Nyeri hampir tak tertahankan : VDS 7

(Trisnowiyanto, 2012)

Hasil nyeri gerak : VDS 6 (Nyeri berat)

43

b. Pemeriksaan Luas Gerak Sendi

Pada pemeriksaan luas gerak sendi ini menggunakan alat

ukur dengan goniometer dengan berdasarkan aturan

Internasional Standard Orthopedic Measurement (ISOM) :

Hasil Pemerisaan LGS knee joint dextra aktif (S) : 0°- 0°- 80°

pasif (S) : 0°- 0°- 90°

c. Pemeriksaan Kekuatan Otot

Pemeriksaan ini menggunakan Manual Muscle Testing

(MMT) pada knee joint dextra. Adapun kriteria dari nilai otot

sebagai berikut :

Keterangan :

Nilai otot 0 : Tidak ada tonus otot, tidak ada gerakan.

Nilai otot 1 : Ada tonus otot, ada sedikit ngerakan.

Nilai otot 2 : Ada tonus otot, ada gerakan full ROM,

tetapi tidak dapat melawan gravitasi bumi.

Nilai otot 3 : Ada gerakan, full ROM, mampu melawan

Gravitasi bumi, tetapi tidak mampu

melawan tahanan baik manual maupun

mekanikal.

Nilai otot 4 : Ada gerakan, full ROM, mampu melawan

tahanan tetapi secara minimal.

Nilai otot 5 : Ada gerakan, full ROM, mampu melawan

44

gravitas bumi, mampu melawan tahanan

secara maksimal (Daniels, 1989).

Tabel 3.1Hasil pemeriksaan kekuatan otot dengan menggunakan MMT

Sendi Group otot Nilai Otot Normal

Knee JointDextra

Flexor 3 5

Extensor 3 5(Olahan data, 2013)

3.3.4.7 Diagnosa Fisioterapi

Dari hasil pemeriksaan tersebut diperoleh permasalahan

yang meliputi sebagai berikut :

Impairment : (1) Adanya spasme otot Hamstring dan

Quadriceps Femoris; (2) Adanya nyeri

gerak pada knee joint dextra pada saat

gerakan flexi; (3) Adanya penurunan

kekuatan otot penggerak flexi dan extensi

knee joint dextra; (4) Adanya keterbatasan

ROM pada knee joint dextra.

Functional Limitation : Adanya gangguan aktivitas fungsional

seperti jongkok, berdiri dan berjalan.

45

3.3.4.8 Tujuan Fisioterapi

Tujuan Fisioterapi dibagi menjadi dua yaitu tujuan jangka

panjang dan tujuan jangka pendek. Adapun permasalahan yang

akan muncul pada pelaksanaan Fisioterapi dalam jangka pendek

bertujuan: (1) Untuk mengatasi spasme otot Hamstring dan

Quadriceps Femoris; (2) Untuk mengatasi nyeri gerak pada knee

joint dextra pada saat gerakan flexi; (3) Untuk mengatasi

penurunan kekuatan otot penggerak flexi dan extensi knee joint

dextra; (4) Untuk mengatasi keterbatasan ROM pada knee joint

dextra.

Sedangkan pada permasalahan jangka panjang yaitu untuk

meningkatkan dan mengembalikan fungsi ADL pasien, seperti

jongkok,berdiri dan berjalan.

3.4 Pelaksanaan Fisioterapi

Pelaksanaan Fisioterapi merupakan hal yang sangat penting dalam

penanganan suatu kondisi untuk kesembuhan pasien sehingga pengobatan

ditujukan sebagai usaha penyembuhan. Adapun modalitas yang digunakan

pada kasus Stiff Knee Joint Pasca Imobilisasi Fraktur Os Femur dengan

Internal Fiksasi ini adalah Infra red Rays (IRR) dan Terapi Latihan

(Exercise Therapy).

46

1. IRR (Infra Red Rays)

1) Persiapan alat

a) Periksa kabel

b) Kontrol keadaan filamen (lampu)

c) Pastikan alat sudah kontak dengan arus listrik.

2) Persiapan pasien

a) Posisi pasien tidur terlentang, area yang akan diobati terbebas dari

pakaian dan pasien dalam keadaan comfortable.

b) Sebelum lampu di hidupkan lakukan tes sensibilitas pada daerah

yang akan diterapi, pastikan area yang akan diobati bersih.

c) Beri penjelasan kepada pasien tentang pengobatan yang akan kita

berikan. Dan hal-hal yang akan dirasakan pada saat terapi

berlangsung.

3) Saat pelaksanaan terapi

a) Atur jarak lampu dengan area yang akan diobati, kira-kira jarak

sekitar 45-60 cm dengan lama penyinaran 15 menit.

b) Lalu hidupkan lampu, usahakan sinar tegak lurus pada daerah

yang diberakan terapi.

c) Selama penyinaran berlangsung Fisioterapis mengontrol

keadaan pasien, dan meminta pasien memberi tahu apabila

pasien merasakan hal-hal yang tidak enak.

4) Selesai terapi

a) Matikan lampu

47

b) Bereskan alat

c) Kembalikan alat pada tempatnya.

d) Pasien diminta untuk istirahat sebentar setelah terapi.

e) Periksa kembali keadaan umum pasien.

Gambar 3.2Penerapan IRR

(Dokumentasi Penulis, 2013)

2. Terapi latihan (Exercise Therapy)

1. Persiapan pasien

a. Sebelum dilakukannya terapi pasien diberikan penjelasan

mengenai tujuan terapi yang akan diberikan.

b. Posisi pasien tidur terlentang dan dalam keadaan senyaman

mungkin.

2. Persiapan Fisioterapis

Fisioterapis berada disamping pasien disisi bed yang berada

didekat knee joint dextra.

48

3. Pelaksanaan terapi

a. Static contraction

Terapis meletakkan tangannya dibawah lutut kanan pasien,

kemudian pasien diminta menekan tangan terapis ke bed tangan terapis

dapat digantikan dengan meletakkan rol dibawah lutut kanan pasien.

Gerakan dilakukan 5 - 10 kali hitungan diselingi dengan menarik nafas

dalam untuk rileksasi, gerakan ini diulang 4 kali.

Gambar 3.3Static Contraction

(Dokumentasi Penulis, 2013)

b. Passive Exercise

a) Relaxed Exercise

Posisi pasien relax, terapis berada sejajar pada knee yang

dilatih. Satu tangan terapis memfiksasi pada pergelangan kaki,

tangan yang lain memegang lutut. Lalu gerakkan lutut pasien

49

secara perlahan-lahan sampai batas maksimal pasien merasakan

nyeri. Gerakan ini dilakukan 5-10 kali hitungan dan dilakukan

4 kali pengulangan.

Gambar 3.4Passive Relaxed Exercise

(Dokumentasi Penulis, 2013)

b) Forced Passive Exercise

Posisi pasien relax, terapis berada sejajar pada knee yang

dilatih. Satu tangan terapis memfiksasi pada pergelangan kaki,

tangan yang lain memegang lutut. Lalu gerakkan lutut pasien

secara perlahan-lahan sampai batas maksimal pasien merasakan

nyeri.

Tehnik pelaksanaannya sama dengan relax passive

movement tetapi pada akhir gerakan diberikan sedikit

50

penekanan. Gerakan ini dilakukan 5-10 kali hitungan dan

dilakukan 4 kali pengulangan.

Gambar 3.5Forced Passive Exercise

(Dokumentasi Penulis, 2013)

c. Active Exercise

a) Free Active Exercise

Posisi awal pasien tidur terlentang sementara terapis di

samping bed. Gerakan dilakukan secara aktif oleh pasien,

Fisioterapis memerintahkan kepada pasien untuk

menggerakkan kakinya secara bebas melakukan gerakan

sendiri tanpa bantuan. Gerakan ini dilakukan 5-10 kali

hitungan dan dilakukan 4 kali pengulangan.

51

Gambar 3.6Free Active Exercise

(Dokumentasi Penulis, 2013)

b) Assisted Active Exercise

Posisi awal pasien tidur terlentang gerakan dilakukan oleh

pasien secara aktif sementara Fisioterapis memfasilitasi

gerakan yang dilakukan oleh terapis. Gerakan dilakukan

pasien secara bebas dan dilakukan 5-10 kali hitungan dan

dilakukan 4 kali pengulangan.

c) Resisted Active Exercise

Posisi awal pasien tidur terlentang gerakan dilakukan oleh

pasien secara aktif sementara Fisioterapis memberikan

tahanan minimal saat gerakan dilukukan oleh pasien. Gerakan

ini dilakukan 5-10 kali hitungan dan dilakukan 4 kali

pengulangan.

52

d. Hold Relax

Posisi awal pasien tidur tengkurap dengan kaki lurus, lalu

pasien diminta untuk menekuk kaki kananya dengan diberikan

tahanan dari terapis, tahan lalu rileks. Saat rileks terapis

menggerakkan sendi kearah gerakan yang diinginkan sampai

semaksimal mungkin. Instruksi terapis yaitu dorong kuat,

rileks diulangi sampai batas toleransi pasien. Gerakan

dilakukan 2 x 8 hitungan.

Gambar 3.7Hold Relax

(Dokumentasi Penulis, 2013)

53

e. Latihan Berjalan (Walking Exercise)

Fase berjalan yang digunakan ialah fase berjalan Partial

Weight Bearing karena keadaan pasien sudah cukup

memungkinkan untuk diberikan sebagian pembebanan dari berat

badan pasien pada tungkai yang sakit.

Sebelum pasien diberikan latihan berjalan diawali dengan

latihan keseimbangan yaitu dengan menumpu berat badan pasien

ke kaki yang sehat, tangan pasien berpegang pada crutch agar tidak

terjatuh. Gaya berjalan yang digunakan dengan gaya berjalan tiga

titik atau sering disebut Three Point Crutch Gait. Intruksi

Fisioterapis kepada pasien ialah kedua crutch dimajukan terlebih

dahulu lalu diikuti tungkai yang fraktur dimajukan dan akhirnta

tungkai yang sehat dimajukan kedepan.

3.5 Home program

1. Pasien dianjurkan untuk mengompres air hangat pada daerah lutut

sekitar 15 menit. Agar dapat merileksasikan jaringan yang ada

disekitarnya, sehingga ketika diberikan latihan dapat melenturkan otot

yang akan dilatih.

2. Pasien dianjurkan untuk mengulangi gerakan yang telah diajarkan

oleh Fisioterapis dengan cara lutut kanan diganjal handuk yang

digulung dan diletakkan dibawah lutut, lalu tekan handuk dengan

lutut kanan secara perlahan-lahan.

54

3. Keluarga pasien dianjurkan untuk memasang besi didekat WC

dirumah pasien agar dapat digunakan untuk berpagangan pada saat

pasien malakukan aktivitas fungsional seperti BAB/BAK.

4. Latihan berjalan seperti yang telah diajarkan oleh Fisioterapi.

3.6 Evaluasi Terapi

1. Evaluasi pemeriksaan MMT

Tabel 3.2Hasil evaluasi pemeriksaan MMT

Otot T110-05-2013

T212-05-2013

T315-05-2013

T418-05-2013

T522-05-2013

Fleksor 3 3 3 3 3Ekstensor 5 5 5 5 5

(Olahan data, 2013).

2. Evaluasi pemeriksaan nyeri dengan Skala VDS

Tabel 3.3Hasil evaluasi pemeriksaan nyeri dengan Skala VDS

Otot T110-05-2013

T212-05-2013

T315-05-2013

T418-05-2013

T522-05-2013

NyeriGerak

6 6 6 5 5

(Olahan data, 2013).

3. Evaluasi pemeriksaan LGS

Tabel 3.4Hasil evaluasi pemeriksaan LGS

LGS T110-05-2013

T212-05-2013

T315-05-2013

T418-05-2013

T522-05-2013

Aktif (S):0°-0°-80° (S):0°-0°-80° (S):0°-0°-85° (S):0°-0°-85° (S):0°-0°-95°Pasif (S):0°-0°-90° (S):0°-0°-90° (S):0°-0°-95° (S):0°-0°-95° (S):0°-0°-100°

(Olahan data, 2013).

55

4. Adanya penurunan spasme otot quadriceps dan hamstring

5. Belum adanya penigkataan aktivitas fungsional seperti jongkok,

berdiri dan berjalan.

3.7 Hasil Terapi Akhir

Seorang pasien yang bernama Tn.Az umur 39 tahun dengan

diagnosa Stiff Knee Joint Dextra Pasca Immobilisasi Fraktur Os Femur

dengan Internal Fiksasi setelah menjalani terapi sebanyak 5 kali terapi

mendapatkan hasil akhir sebagai berikut :

a. Adanya penurunan spasme otot Hamstring dan Quadriceps

Femoris

b. Adanya penurunan nyeri gerak pada knee joint dextra pada saat

gerakan flexi. Dari VDS 6 (nyeri berat) menjadi VDS 5 (Nyeri

cukup berat).

c. Masih ada penurunan kekuatan otot penggerak flexi dan extensi

knee joint dextra. (Nilai otot 3).

d. Adanya peningkatan ROM pada knee joint dextra.

Aktif (S) : 0°- 0°- 95°

Pasif (S) : 0°- 0°- 100°

e. Belum adanya penigkataan aktivitas fungsional seperti jongkok.

56

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan Masalah

Seorang pasien laki-laki yang bernama Tn “Az” umur 39 tahun, beralamat

di Jln.Panjaitan, dengan diagnosa medis Stiff Knee Joint Dextra Pasca

Immobilisasi Fraktur Os Femur dengan Internal Fiksasi yang mempunyai

problematik adanya spasme otot Hamstring dan Quadriceps Femoris, adanya

nyeri gerak pada knee joint dextra pada saat gerakan flexi, penurunan

kekuatan otot penggerak flexi dan extensi knee joint dextra. Dan adanya

keterbatasan ROM pada knee joint dextra. Telah mendapatkan penanganan

Fisioterapi dengan modalitas IRR (Infra Red Rays) dan Exercise therapy.

Telah memberikan pengaruh pada penurunan nyeri, pengurangan spasme otot,

peningkatan luas gerak sendi pada lutut kanan.

56

57

4.1.1 Penurunan Nyeri

Pada grafik diatas dapat terlihat adanya penurunan intensitas nyeri dari

T0-T5 pada nyeri tgerak dari VDS 6 menjadi VDS 5. Hal ini terjadi karena

adanya efek fisiologis dan efek terapeutik yang ditimbulkan oleh Infra Red

Rays.

Infra Red Rays adalah pancaran gelombang electromagnetic dengan

panjang gelombang 7.700 A - 4 juta A. Penyinaran Infra Red Rays

merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengurangi atau menghilangkan

nyeri. Dengan adanya sinar Infra Red Rays peningkatan temperature tubuh

pun akan menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah akan menyebabkan

terjadinya peningkatan sirkulasi darah. Rasa nyeri ditimbulkan oleh karena

adanya akumulasi sisa-sisa metabolisme yang disebut zat “P” yang menumpuk

dijaringan otot yang mengalami spasme. Maka dari itu dengan adanya

0

1

2

3

4

5

6

7

T0 T1 T2 T3 T4 T5

Nyeri gerak

TerapiGrafik 4.1

Evaluasi penurunan nyeri dengan VDSFlexi knee joint dextra

Nila

i VD

S

58

penyinaran ini akan memperlancar sirkulasi darah darah maka zat “P” juga

akan ikut terbuang sehingga rasa nyeri akan berkurang/menghilang (Sujatno,

2000).

4.1.2 Peningkatan Luas Gerak Sendi

Terapi

LG

SA

ktif

LG

SP

asif

Terapi

59

Pada evaluasi diatas LGS terlihat bahwa adanya peningkatan LGS dari

T0-T5 gerakan Flexi-Extensi knee joint dextra secara aktif (S) : 0°- 0°- 80°

menjadi (S) : 0°- 0°- 95°, pada gerakan pasif (S) : 0°- 0°- 90° menjadi pasif

(S) : 0°- 0°- 100°. Peningkatan LGS dapat terjadi karena seiring dengan

menurunnya nyeri, maka pasien lebih mudah untuk menggerakkan sendi

lututnya yang semula mengalami keterbatasan gerak oleh karena adanya nyeri

yang dirasakan. LGS sendi lutut kanan dapat meningkat karena adanya terapi

latihan yang diberikan dengan menggunakan terapi latihan static contraction

active exercise, passive exercise, dan hold relax yang diberikan secara dini

dapat mencegah perlengketan jaringan , latihan ini untuk merileksasikan otot

yang mengalami spasme sehingga dapat dilakukan penguluran yang maksimal

dan dapat menurunkan nyeri, menjaga elastisistas dan kontraktilitas jaringan

otot, memelihara kekuatan otot serta mencegah contraktur (Kisner, 2002).

4.1.3 Penurunan Spasme Otot

Seperti yang telah diketahui bahwa relaksasi akan mudah tercapai bila

jaringan otot tersebut dalam keadaan hangat dan rasa nyeri tidak ada. Radiasi

sinar infra merah disamping dapat mengurangi rasa nyeri, dapat juga

menaikkan suhu/temperature jaringan, sehingga dengan demikian bisa

menghilangkan spasme otot dam membuat otot relaksasi (Sujatno, 2000).

60

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Fisioterapi mempunyai peranan yang sangat penting untuk meminimalisir

keluhan yang biasanya menjadi keluhan utama pasien saat setelah menjalani

operasi pemasangan internal fiksasi, yaitu berupa nyeri, adanya keterbatasan

luas gerak sendi, adanya kekakuan pada sendi lutut, serta komplikasi yang

dapat timbul pada kondisi ini. Oleh karena itu Fisioterapi sebagai salah satu

profesi yang mempunyai peran dalam mengembalikan kapasitas fisik dan

kemampuan fungsional sehingga dapat mengurangi atau mencegah kecacatan

lebih lanjut. Dengan menggunakan modalitas Fisioterapi berupa Infra Red

Rays (IRR) yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa sakit/nyeri,

meningkatkan suplai darah dan menghilangkan spasme otot serta membuat

otot menjadi relaksasi (Sujatno, 2000) dan menerapkan terapi latihan (exercise

therapy) guna untuk mempercepat proses penyembuhan pasien dari injury dan

penyakit yang mana dapat mengembalikan keadaan normal pada pasien

seperti semula. Dari hasil terapi yang telah dilakukan sebanyak lima kali

terapi, membuktikan bahwa IRR dan Terapi Latihan menurunkan nyeri gerak

pada gerakan flexi knee joint dextra, peningkatan luas gerak sendi knee pada

gerakan flexi, serta penurunan spasme otot.

60

61

5.2 Saran

Dari kesimpulan yang telah diuraikan diatas maka saran yang dapat

peneliti berikan antara lain sebagai berikut :

1. Seorang Fisioterapis diharapkan mampu untuk melakukan assesmen

secara tepat dan professional dalam menegakkan diagnosa pada suatu

kondisi ini.

2. Berbagai modalitas dan metode fisioterapi yang dapat digunakan pada

kondisi stiff knee joint akibat fraktur os femur dengan internal fiksasi,

untuk mendapatkan hasil yang efektif dan efisien, maka harus dipilih

intervensi yang benar-benar tepat. Serta edukasi pada pasien maupun pada

keluarga pasien itu sangat penting, karena dengan terjalinnya kerja sama

yang baik antara Fisioterapis dengan pasien maupun keluarga pasien.

Sehingga hasil akhir dari intervensi yang diberikan pada suatu kondisi

menjadi optimal.

3. Peneliti berharap agar pasien dapat melanjutkan terapinya sampai benar-

benar mendapatkan perubahan yang nyata pada kondisinya. Agar kondisi

pasien dapat kembali normal dan dapat melakukan aktivitasnya seperti

semula.

KARYA TULIS ILMIAH

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI STIFF KNEEJOINT DEXTRA PASCA IMMOBILISASI FRAKTUR OS FEMUR

DENGAN INTERNAL FIKSASI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ahli MadyaPendidikan Diploma III Fisioterapi

Diajukan Oleh:

IRMA ROBBI NURHAYATI

03.10.564

PROGRAM STUDI DIII FISIOTERAPI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

MUHAMMADIYAH PALEMBANG

TAHUN 2013

KARYA TULIS ILMIAH

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI STIFF KNEEJOINT DEXTRA PASCA IMMOBILISASI FRAKTUR OS FEMUR

DENGAN INTERNAL FIKSASI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ahli MadyaPendidikan Diploma III Fisioterapi

Diajukan Oleh:

IRMA ROBBI NURHAYATI

03.10.564

PROGRAM STUDI DIII FISIOTERAPI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

MUHAMMADIYAH PALEMBANG

TAHUN 2013

KARYA TULIS ILMIAH

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI STIFF KNEEJOINT DEXTRA PASCA IMMOBILISASI FRAKTUR OS FEMUR

DENGAN INTERNAL FIKSASI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ahli MadyaPendidikan Diploma III Fisioterapi

Diajukan Oleh:

IRMA ROBBI NURHAYATI

03.10.564

PROGRAM STUDI DIII FISIOTERAPI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

MUHAMMADIYAH PALEMBANG

TAHUN 2013

DAFTAR PUSTAKA

Apley, A , Graham, Solomon Luis, 1995.Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley.Ahli Bahasa Edi Nugroho, Edisi ke-7 Jakarta : EGC.

Buck Math, et al., 2008 PNF in Practice ; Third Edition, Springer Medezin VerlagHeidelberg

Daniels, 1989. Muscle Testing Techniques of Manual Examination, W.B.Saunders Company ; Philadelphia.

Gerhardt, M D., And John Russ., A., International Standard OrthopaedicMeasurements, Ernest M. Burgess, M.D.

Hartanto, Andry. dkk. 2006.Kamus Kedokteran Dorland. Edisi-29, Jakarta : EGC.

Kisner, et al., 2002. Therapeutic Exercise Foundations and Techniques; ThirdEdition, F.A. Davis Company, Philadelphia.

Kumala, et al., 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Ediai-25, Jakarta : EGC.

Pearce, C, Evelyn, 2009.Anatomi dan fisiologi untuk paramedis, Jakarta :Gramedia.

Platzer, Werner. 1995.Atlas dan buku teks anatomi manusia. Jakarta : EGC.

Putz, R.R. Pabst. 2006.Sobotta Atlas Anatomi Manusia.Ahli Bahasa Indrati HadiNata, Edisi-22 Jakarta : EGC.

Rasjad. Chairuddin. 2007.Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi.Jakarta; PT.Watapone(Anggota IKAPI)

Sambrook, Philip, et al., 2010, The musculoskeletal system; Second Adition,London : New York oxford ST Louis Sydney Toronton

Sudaryanto, Ansar. 2000.Biomekanik. Makasar ;Akademi Fisioterapi Makasar

Sujatno,et al.,2000.Aktino Terapi. Surakarta :Akademi Fisioterapi Surakarta

Thomas, A, Mark, et al.,2011. Terapi & Rehabilitasi Fraktur. Jakarta : EGC

Trisnowiyanto, Bambang. 2012. Instrument pemeriksaan fisioterapi dankesehatan, Yogyakarta ; Nuhamedika