27

Click here to load reader

Perspektif Baru Budaya Kontemporer & Pencarian Identitas dalam Atmosfer Hipermodernisme

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Esai ini adalah seleret gugus pikir yg berusaha menjejaki modus-modus pencarian identitas kaum muda urban

Citation preview

Page 1: Perspektif Baru Budaya Kontemporer & Pencarian Identitas dalam Atmosfer Hipermodernisme

PERSPEKTIF BARU BUDAYA KONTEMPORER DAN PENCARIAN IDENTITAS

KAUM MUDA DALAM ATMOSFER HIPERMODERNISME

Oleh ANTONIUS GALIH PRASETYO

Kaum muda dalam sebuah ruang spasial bernama kota adalah unit sosial yang paling

memiliki banyak kemungkinan untuk dijelajahi. Manusia yang secara kodrati memang

dilahirkan untuk berkehendak dan bertindak bebas semakin menemukan pemenuhan

eksistensi dan aktualitasnya di era di mana teknologi dan jejaring sosial adalah

keniscayaan. Dengan disposisi hidup semacam itu, menjadi semakin menggelegaklah

tatkala variabel kemudaan turut diinjeksikan. Variabel yang daripadanya kita bisa

mengidentifikasi sesuatu yang liar, penuh gairah, dan eksperimentatif. Dunia urban,

dengan demikian, tak ubahnya kerajaan bohemian yang di dalamnya kaum muda merasa

kerasan.

Namun persis di sinilah masalahnya. Kota ternyata bukan seagung dan serasional yang

kita kira. Julukan hutan beton boleh jadi adalah sindiran bahwa hidup di kota tak ubahnya

hidup di hutan namun pohonnya diganti gedung beton. Ahli sosiologi urban Robert Ezra

Park merumuskannya sebagai ”sebuah wadah bagi adat istiadat, kebiasaan, serta perasaan-

perasaan dan tingkah laku yang tak terorganisir”.1 Victor Hugo bahkan merumuskan

irasionalitas itu secara lebih blak-blakan: semua kota besar schizophrenic alias gila.2

Lagipula, tidak semua manusia menganut etika epikurean yang mengebawahkan

segala sesuatunya kepada apa yang dapat diukur secara material dan dinikmati secara

hedonis. Manusia—sebagaimana dipercaya Aristoteles dan Aquinas—adalah makhluk

yang imanen sekaligus transenden. Manakala kredo carpe diem diimani dengan mutlak,

ada bahaya karya penciptaan yang agung ini akan terperosok statusnya menjadi tak

ubahnya binatang. Homo rationale, dengan demikian, menjadi konsep yang keras di

permukaan namun kopong di dalamnya. Lalu bagaimana menghindari pendegradasian

kemanusiaan ini? Jawabannya sederhana, manusia perlu mengkreasikan struktur

pemaknaan. Pemejalan atas jawaban tersebut acapkali dikerangkeng ke dalam konsep

budaya dan identitas.

1 Bre Redana: Sakralitas Kota, dalam Kompas, 25 April 2010.2 Bre Redana: Kota Besar, dalam Kompas, 29 November 2009.

1

Page 2: Perspektif Baru Budaya Kontemporer & Pencarian Identitas dalam Atmosfer Hipermodernisme

Itulah yang akan dijejaki lebih lanjut melalui paper ini. Problematika seputar budaya

dan—lebih khususnya—identitas. Pertama-tama akan dibicarakan bagaimana kebudayaan

mengalami pergeseran pemahaman secara drastis di era (post)modern dewasa ini (I).

Dalam bingkai pengertian kebudayaan kontemporer tersebut, selanjutnya akan dijelaskan

pergulatan kaum muda dalam merumuskan dan memformulasikan identitas, di mana akan

digunakan beberapa teori cultural studies yang cukup representatif untuk menanggapi isu

tersebut (II). Selanjutnya, akan dipaparkan deskripsi suasana kultural yang menjadi locus

dari segala kesimpangsiuran pencarian identitas kaum muda urban. Suasana kultural itu

bukanlah apa yang kini secara gampangan disebut postmodern, melainkan justru apa yang

disebut dengan hipermodern (III). Paper akan diakhiri dengan bagian penutup (IV).

I

Fenomenologi dan Hermeneutika sebagai Pintu Gerbang Merespons Budaya

Kontemporer

Secara etimologis kata budaya (culture) berasal dari bahasa Latin cultura atau cultus,

yang berarti pengelolaan tanah, pengembangan tanaman, kehalusan perilaku, pola berhias,

penghormatan, pemujaan. Dari pengertian sederhana itu, kata cultura kemudian melebar

menjadi keunikan masyarakat yang dilihat sebagai fakta dan kodrat alamiah dari Tuhan3.

Herder dan Goethe mengartikan kebudayaan sebagai pengembangan bakat intelektual dan

spiritual, sesuai dengan kecanggihan khas rasnya, hingga mencapai integritas yang mantap.

Sedangkan menurut Friedrich Schiller, kebudayaan adalah proses inovasi lewat imajinasi

kreatif dalam seni, filsafat, dan agama; gerak perubahan dari tahap masyarakat mimesis-

prareflektif menuju tahap reflektif-kreatif-otonom4. Sementara pemikir Indonesia gemar

mendefiniskan kebudayaan secara lebih bombas dan sistematis yang dalam pengertian

sekarang akan terasa menggelikan (Koentjaraningrat, Sutan Takdir). Demikian pula

beberapa pemikir lain seperti Cicero, Matthew Arnold, E.B. Taylor, Geertz, dan

sebagainya masing-masing memberikan proposisi tersendiri tentang konsep kebudayaan.

Pada intinya, dapatlah dikatakan secara dialektis bahwa kebudayaan adalah tindakan

manusia yang melawan kemestian alam. Anak punk di perempatan, misalnya, menindik

hidungnya dan bibirnya bukan untuk mencari nafkah demi keberlangsungan hidup. Ada

pemaknaan yang diberikan daripadanya.3 Fransiskus Simon, 2006, Kebudayaan dan Waktu Senggang, Jalasutra, Yogyakarta, hlm. 17. 4 Ibid., hlm. 19.

2

Page 3: Perspektif Baru Budaya Kontemporer & Pencarian Identitas dalam Atmosfer Hipermodernisme

Namun seiring dengan perjalanan sejarah yang makin kompleks dan forma kehidupan

yang makin ruwet gara-gara rasionalisasi dan digitalisasi di segala bidang, pengertian

kebudayaan menjadi semakin sulit dirumuskan. Ia menjadi kosakata yang kadangkala

terasa asing bagi manusia modern serentak menjadi istilah borongan sebab digunakan

secara manasuka oleh beragam manusia dengan beragam profesi pada beragam

kesempatan. Kata budaya—yang menjadi kata dasar dari kebudayaan—mau tak mau

mengalami—meminjam analisis Heidegger—pemiskinan kata sebab setiap generasi

menambah lapisan atas arti asli suatu kata, menutupinya seperti lapisan karat 5 sehingga

tiba-tiba kita berada pada ranah kognisi yang sedemikian berbedanya dari intensi awal

penggunaan kata tersebut. Maka tak heran apabila Raymond Williams berkata bahwa

culture adalah salah satu kata dalam bahasa Inggris yang paling susah untuk didefinisikan.

Apakah di sini kita mengalami aporia (jalan buntu)?

Syukurlah tidak. Perkembangan kemampuan reflektif manusia bertambah canggih

seiring dengan berlalunya zaman hingga darinya kita mendapatkan dua metode yang dapat

digunakan secara sangat memadai untuk memungkinkan kita berbicara tentang kebudayaan

dewasa ini, yaitu fenomenologi dan hermeneutika. Fenomenologi adalah metode filsafat

yang dikembangkan oleh Edmund Husserl dan ditarik ke ufuk ekstrimnya oleh muridnya

Martin Heidegger sebagai hermeneutika6. Ada beberapa perubahan fundamental yang

disebabkan oleh keduanya dalam memahami kebudayaan kontemporer.7

Pertama, kini pendekatan yang memahami kebudayaan secara sistemik dan ahistorik

sebagaimana yang dicetuskan para pemikir konvensional tidak lagi meyakinkan. Akan

lebih strategis memandang kebudayaan sebagai proses pertukaran dan pengaruh-

memengaruhi dalam relasi yang kompleks. Kebudayaan adalah gambaran sementara dan

imajinatif tentangn persilangan-persilangan dari pelbagai aliran. Sebagai aliran, yang

primer adalah aliran itu, bukan gambarnya. Gambarnya, sebagai bentuk abstrak gagasan

5 Eric Lemay dan Jennifer A. Pitts, 2001, Heidegger untuk Pemula (diterjemahkan oleh P. Hardono Hadi), Kanisius, Yogyakarta, hlm. 89.6 Karena keterbatasan tempat, terpaksa penulis mengandaikan sidang pembaca telah mempunyai pemahaman mengenai kedua metode filsafat tersebut untuk tidak mengatakan “memaksa” sidang pembaca mempercayainya taken for granted. Pengantar yang cukup jernih dalam bahasa Indonesia untuk memahami fenomenologi Husserl silakan cek K. Bertens, 2002, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 104-114. Tentang Heidegger, sangat direkomendasikan F. Budi Hardiman, 2008, Heidegger dan Mistik Hidup Keseharian, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia. 7 Bambang Sugiharto: Kebudayaan, Filsafat, dan Seni, dalam Alfathri Adlin (ed), 2006, Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas, Jalasutra, Yogyakarta, hlm. 10.

3

Page 4: Perspektif Baru Budaya Kontemporer & Pencarian Identitas dalam Atmosfer Hipermodernisme

dan konsep, adalah sekunder. Tiap-tiap entitas kebudayaan terdiri dari unsur-unsur yang

keterkaitan satu sama lainnya sangatlah longgar, sehingga setiap kali mudah dibongkar dan

ditata kembali sesuai dengan lingkungan yang berubah dan interaksi yang terjadi.8

Kedua, kebudayaan bukanlah sistem tertutup. Kebudayaan bisa melintasi batas-batas

geopolitis. Pelbagai negara bisa saling tumpah tindih dalam hal kebudayaan. Dan kini

bahkan muncul kebudayaan-kebudayaan yang bersifat transnasional karena sifatnya yang

nomadik dan homeless macam pop culture atau cyber culture.

Sebagai konsekuensinya, dan ini yang ketiga, cara pandang totalistis terhadap

kebudayaan menjadi tidak relevan. Tidak dapat kita mengatakan secara tegas, misalnya, ini

budaya Jawa dan itu budaya Sunda. Kebudayaan tak bisa lagi dipahami sebagai blok

monolit yang eksklusif terpisah dengan blok-blok lainnya. Kesatuan padat semacam itu tak

lebih dari ilusi. Ia adalah manifestasi lokal dari pelbagai persilangan dan pertukaran. Yang

menjadi gerak kunci adalah cara bagaimana pelbagai unsur kebudayaan—yang sebetulnya

umum itu—digunakan, diolah, dan diubah. Di mana-mana kebudayaan terbentuk dari

saling pinjam-meminjam dan interplay dinamis.

II

Strategi Pencarian Identitas Kaum Muda Urban

Dalam teori identitas Stuart Hall (1994), identitas merupakan sesuatu yang bersifat

imajiner atau diimajinasikan tentang keutuhannya. Identitas muncul bukan dari

kepenuhannya yang berasal dari dalam diri secara individual, melainkan mencuat akibat

perasaan timpang yang kemudian diisi oleh kekuatan dari luar setiap individu. Identitas

adalah suatu imajinasi yang lahir ketika kita dipandang berbeda oleh pihak lainnya.

Paul Gilroy (1996) mengatakan konsep tentang identitas menggulirkan tiga pertanyaan

1) pertanyaan tentang diri yang berarti bahwa manusia merupakan pelaku yang diciptakan

sekaligus menciptakan ketimbang dilahirkan dalam bentuk yang sudah tuntas; 2)

8 Dengan pengertian ini, maka postcolonial studies yang berpretensi untuk menyiangi budaya kolonial sebagai terpisah secara total tanpa benang merah keterkaitan dengan budaya pascakolonial juga terancam. Kajian pascakolonial, apabila masih mau disebut bermartabat dan otoritatif, mau tak mau harus mengubah perspektif antagonisme kolonial vis a vis pascakolonial menjadi perspektif dialogis sebab bagaimana pun, pascakolonial tidak bisa dibersihkan seluruhnya dari jejak-jejak kolonial dan bahkan identitasnya dibentuk daripadanya.

4

Page 5: Perspektif Baru Budaya Kontemporer & Pencarian Identitas dalam Atmosfer Hipermodernisme

pertanyaan tentang kesamaan yang bermakna bagaimana subyek memandang diri sendiri

dan bagaimana memandang pihak lain; dan 3) pertanyaan tentang solidaritas yang

mengandaikan adanya keterhubungan dan perbedaan yang menjadi prinsip dasar tindakan

sosial.

Sementara Manuel Castells dalam bukunya The Power of Identity mengumpulkan

jawaban untuk menjawab pertanyaan “Apa itu identitas?” sebagai berikut9:

a. Sumber makna dan pengalaman orang;

b. Proses konstruksi makna yang berdasar pada (sebuah) atribut kultural, atau

seperangkat atribut kultural, yang diprioritaskan di atas sumber-sumber

pemaknaan yang lain;

c. Identitas itu sifatnya jamak (plural) dan bukannya tunggal (singular);

d. Identitas tidak sama dengan peran atau seperangkat peran (roles). Identitas

berfungsi untuk menata dan mengelola makna (meanings), sementara peran

menata fungsi-fungsi (functions);

e. Gugus identitas adalah sumber-sumber makna bagi dan oleh si aktor itu sendiri

yang dikonstruksi lewat proses bernama individuasi;

f. Identitas erat terkaiut dengan proses internalisasi nilai-nilai, norma-norma, tujuan-

tujuan, ideal-ideal;

g. Pada hakikatnya, identitas dibedakan menjadi dua: identitas individu dan identitas

kolektif. Individualisme juga bisa menjadi identitas kolektif; serta

h. Ada tiga bentuk dan asal-usul identitas: (a) identitas yang sah (legitimizing

identity), contohnya: otoritas dan dominasi; (b) identitas perlawanan (resistance

identity), contohnya: politik identitas; dan (c) identitas proyek (project identity),

contohnya: feminisme.

Dari beberapa sketsa mengenai pengertian identitas di atas, maka secara longgar

dapatlah disimpulkan hubungan antara kebudayaan dengan identitas. Kebudayaan

merupakan sumber darimana kita mencomot identitas yang dibenamkan ke dalam pribadi

atau komunitas yang kemudian dieksteriorisasikan sebagai citra kepada yang-lain serta

9 Hendar Putranto: Wacana Pascakolonial dalam Masyarakat Jaringan, dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (eds), 2004, Hermeneutika Pascakolonial, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 86.

5

Page 6: Perspektif Baru Budaya Kontemporer & Pencarian Identitas dalam Atmosfer Hipermodernisme

diinteriorisasikan sebagai pandangan batin yang dihidupi sebagai pandom penentu

bagaimana memandang realitas dan kehidupan.

Manuel Castells dalam bukunya yang lain The Rise of Network Society membeberkan

transformasi sosial yang sedang terjadi dalam kecepatan tinggi dalam dunia yang kita

hidupi sekarang. Sekadar beberapa karakteristik dari network society ini: paradigma

patriarkal diserang secara sengit oleh kaum feminis (kini telah muncul pula postfeminis),

struktur kolektif tradisional (keluarga, paguyuban, apalagi partai politik) mengalami

pembusukan, relasi jender dan seksual yang diredifinsi, kesadaran lingkungan merasuk ke

dalam industri paling tamak sekali pun, manipulasi media, gerakan sosial yang sangat

terfragmentasi tanpa kepaduan aktivisme.10

Namun meski dunia telah dilanda arus imaji dan informasi berskala global yang

meruah di mana-mana, ternyata hal ihwal identitas masih menjadi perkara yang penting.

Pencarian identitas, baik itu identitas kolektif maupun individual, menjadi sumber paling

dasar pemaknaan (the fundamental source of meaning).11 Tanpa refleksi mendalam sekali

pun hal ini dapat kita amini. Ya, mana ada orang yang dapat hidup secara nihilistik tanpa

pegangan makna sebagai cara pandang (worldview) kehidupan? Ketika seruan moralis

agama semakin kelihatan norak dan simplistis di tengah kompleksitas kehidupan dan

ideologi-ideologi besar (grand narration dalam istilah Lyotard) telah bangkrut, identitas

menjadi sandaran akhir untuk membuat hidup ini bermakna sehingga pencarian akannya—

disadari atau tidak—sesungguhnya merupakan pertaruhan yang paling menegangkan bagi

kaum muda urban.

Menegangkan karena di tengah kebutuhan akan pencarian identitas, jejaring global

dari pertukaran instrumental (global networks of instrumental exchanges) secara selektif

mengatur hidup matinya individu, kelompok, wilayah, dan bahkan negara, seturut relevansi

mereka di dalam memenuhi tujuan-tujuan yang diproses dalam logika jaringan itu. Dari

kerangka etika, ini merupakan etika utilitarian namun absurdnya, bukan manusia yang

menjadi pusatnya melainkan konsep abstrak anonim bernama jaringan. “Masyarakat kita

semakin terstruktur seputar oposisi dwi-kutub, yaitu antara kutub Jaringan dan kutub diri…

10 Ibid., hlm. 84-85.11 Ibid., hlm. 85.

6

Page 7: Perspektif Baru Budaya Kontemporer & Pencarian Identitas dalam Atmosfer Hipermodernisme

Dunia dan hidup kita sedang dibentuk oleh tren-tren yang saling bergesekan, yaitu

globalisasi dan identitas.”12

Sebagaimana diidentifikasi Castells, ada tiga bentuk dan asal-usul identitas: (a)

identitas yang sah (legitimizing identity), contohnya: otoritas dan dominasi; (b) identitas

perlawanan (resistance identity), contohnya: politik identitas; dan (c) identitas proyek

(project identity), contohnya: feminisme. Apabila skema tersebut diperhadapkan dengan

pengertian kebudayaan berdasarkan perspektif fenomenologi dan hermeneutika

sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, menjadi jelaslah bahwa identitas proyek

menjadi tipologi bentuk dan asal-susul identitas yang dihidupi oleh kaum muda urban.

Identitas perlawanan barangkali bisa dijadikan sebagai alternatif, namun analisis kajian

budaya kontemporer semacam Herbert Marcuse dalam bukunya One-Dimensional Society

skeptis terhadap kemungkinan tersebut karena nyatanya segala bentuk antihegemoni—

untuk meminjam istilah Gramsci—akan diserap oleh sistem kapitalisme bahkan

memperkuat sistem tersebut. Bentuk lain dari politik identitas, fundamentalisme agama—

sebagaimana diidentifikasi Castells, tentu juga tidak akan disarankan karena sikap

semacam itu tak lebih dari sikap murahan yang tak lebih dari melarikan diri terhadap

tantangan kompleksitas realitas yang mempertontonkan kebodohan dan kepicikan.

Sebagai proyek, bagaimana persisnya mekanisme penemuan identitas tersebut

diaktivasi oleh kaum muda urban? Tentu kita tak dapat mengatakan pencarian itu

dilakukan kaum muda secara sadar setelah melakukan kontemplasi mendalam mengenai

apa yang kurang dari dirinya di tengah kelengkapan dunia material yang mengepungnya.

Secara artifisial mereka bahagia dan perbincangan tentang identitas tersebut, secara ironis,

mengambil panggung pada tatanan artifisial mereka. Mau apa, menjadi naif bagi kita

apabila menisbahkan pencarian identitas kaum muda urban dengan kegelisahan para tetua

tradisi kuna yang khawatir budaya dan kesenian lokalnya akan hilang digerus modernitas

zaman. Mereka tak pernah dan tak dapat mengalami kegelisahan semacam itu karena

semenjak lahirnya mereka—meminjam Merleau-Ponty—mendunia dalam lanskap urban

yang gemebyar. Kegelisahan mereka akan identitas bersifat pragmatis atau malah hanya

gaya-gayaan, bukan eksistensial apalagi ontologis.

12 Ibid., hlm. 86.

7

Page 8: Perspektif Baru Budaya Kontemporer & Pencarian Identitas dalam Atmosfer Hipermodernisme

Kaum muda urban sangat mudah dipengaruh unsur-unsur kultural dari entitas kultural

yang ada di seluruh dunia. Ini tak lain disebabkan mereka hidup dalam dunia yang semakin

menyempit serentak melebar. Dunia berada dalam genggaman mereka melalui perangkat

smart phone dan Blackberry. Melalui dunia yang “dikontrol” tersebut, identitas tak

ubahnya sebagai komoditas yang dijajakan di supermarket. Fashion menjadi salah satu

artefak budaya yang paling menentukan pendefinisan identitas. Seperti diungkapkan Lurie

(1992): “memilih pakaian, baik di toko maupun di rumah, berarti mendefinisikan dan

menggambarkan diri kita sendiri.”13 “I speak through my clothes,“ demikian ungkapan

terkenal Umberto Eco14. Demikian kemudian kaum muda dapat menentukan, misalnya,

menjadi seperti kaum muda Jepang yang berdandan harajuku pada jam 3 sore untuk pada

malam harinya menjadi seorang rapper ala komunitas ghetto di New York. Dengan

demikian, seperti halnya budaya, cara kita memahami identitas pun harus berubah drastis.

Dalam pembentukan identitasnya, kaum muda urban otonom terhadap tekanan budaya

yang secara nyinyir mengaku sebagai khas satu-satunya yang ada di dunia dengan segala

rumusan normatif dan tradisi bekunya. Mereka melakukan proyek pencarian identitas

secara mandiri. Sebagaimana dicirikan Castells, gugus identitas adalah sumber-sumber

makna bagi dan oleh si aktor itu sendiri yang dikonstruksi lewat proses individuasi.

Meski dengan otonomi tersebut proyek pencarian identitas lalu terkesan menjadi

arbitrer tergantung kepada selera khas dan pengalaman tiap-tiap pribadi, namun

sesungguhnya ada kesamaan mekanisme pada tiap-tiap pribadi yang berusaha mencari

identitas. Kesamaan ini dapat diketahui apabila kita mampu melakukan tafsir

fenomenologis secara tepat. Di sini akan dipinjam gagasan psikoanalis radikal Perancis,

Jacques Lacan.

Pembentukan identitas tercipta melalui relasi pandangan yang mekanismenya mirip

dengan apa yang terjadi pada proses pantulan benda pada mata kita. Pada setiap benda

yang kita lihat sebenarnya terdapat suatu jeda antara mata dan benda tersebut. Antara mata

dan benda tersebut, ada garis cahaya yang memantul dari benda menuju ke mata. Pada

garis cahaya inilah manusia mengisikan pelbagai makna.15

13 Idi Subandy Ibrahim, 2007, Budaya Populer sebagai Komunikasi, Jalasutra, Yogyakarta, hlm: 244.14 Ibid., hlm. 242.15 Audifax: Gaya Hidup – Antara Alternatif dan Diferensiasi, dalam Alfathri Adlin (ed), op. cit., hlm. 95.

8

Page 9: Perspektif Baru Budaya Kontemporer & Pencarian Identitas dalam Atmosfer Hipermodernisme

Dalam fungsi di atas ditekankan inti terdalam dari institusi subyek dalam kaitan

dengan apa yang terlihat. Apa yang mendeterminasi manusia, pada level yang terdalam,

ada-di dalam-yang dapat terlihat; sebuah pandangan mengenai relasi pandangan yang

menempatkan kita berada di luar. Melalui pandangan, manusia memasuki cahaya dan juga

dari relasi pandangan ini manusia menerima efek. Di sini tampak bahwa relasi pandangan

adalah instrumen di mana melalui cahaya ia menyatu dengan manusia melalui mekanisme

fotografi.16

Mekanisme ini, sebagaimana dijelaskan Lacan, digunakan untuk menerangkan

bahwasanya obyek adalah sesuatu yang berasal dari subyek. Ada suatu pola tatanan yang

bertujuan untuk mengonstitusi obyek itu, di mana ada kesenjangan yang memisahkan

antara subyek dan obyek sebagai suatu organ. Ini adalah simbol kesenjangan (Lack).

Dalam ruang pandang (scopic field), pandangan berada di luar (gambar), “saya melihat”,

dan lalu bisa dikatakan, “saya (adalah bagian dari) gambar17. Sebagai ilustrasi yang lebih

membumi, contohnya adalah seseorang yang sedang mengapresiasi suatu karya seni visual.

Ada suatu sense tertentu yang dirasakan terhadap karya itu yang tak bisa didefinisikan

dengan kata-kata.

Inilah sebenarnya penjelasan mengenai terbentuknya identitas, termasuk identitas

kaum muda urban. Mereka dilingkungi oleh rangkaian tanda-tanda yang berkemampuan

melekatkan pada dirinya suatu diskursus tertentu yang mampu meminjaminya sebuah

identitas. Pada tataran tertentu, diskursus ini menjadi gaya hidup ketika diambil dan

diangkat dalam kesadaran berperilaku18. Dalam terang pencarian identitas semacam ini,

demikianlah kiranya kita bisa paham dengan jargon yang mendekonstruksi slogan cartesian

habis-habisan: aku berbelanja, maka aku ada.

Namun bagaimana sesungguhnya mendudukkan tesis Lacan secara lebih masuk akal

bahwa obyek adalah sesuatu yang berasal dari subyek? Tesis Jean Baudrillard mengenai

hiperrealitas kiranya dapat dipandang sebagai prasyarat kemungkinan bahwa obyek

melekat secara konstitutif pada subyek, bahkan akhirnya menguasainya.

16 Ibid., hlm. 96.17 Ibid., hlm. 95.18 Ibid., hlm. 97.

9

Page 10: Perspektif Baru Budaya Kontemporer & Pencarian Identitas dalam Atmosfer Hipermodernisme

Ada empat hierarki atau tahap pencitraan yang berujung kepada hiperrealitas19.

Pertama, ketika suatu tanda dijadikan refleksi dari suatu realitas. Misal: seni adalah wujud

dari realitas. Kedua, ketika suatu tanda sudah menutupi dan menyesatkan realitas itu

sendiri. Misal: gaul itu adalah dengan menonton di XXI. Ketiga, ketika suatu tanda

menutupi ketiadaan dari suatu realitas. Misalnya: Disneyland, yang sebenarnya hanya ada

dalam khayalan anak-anak, namun dibuat menjadi nyata untuk menutupi ketiadaan

Disneyland tersebut. Dan keempat, akhirnya tanda tersebut menjadi sesuatu yang tidak ada

hubungannya sama sekali dengan realitas, dan inilah yang disebut Baudrillard sebagai

simulakra. Misalnya: Dunia The Matrix dalam film yang dibintangi Keanu Reeves.

Titik engsel yang menjadi katalis transformasi perpindahan level pencitraan tersebut

adalah teknik presentasi. Alih-alih menginformasikan, informasi menghabiskan tenaga

untuk presentasi makna. Bersama dengah McLuhan, Baudrillard berseru “medium adalah

pesan itu sendiri”. Maknanya ialah bahwa semua isi makna diserap ke dalam satu-satunya

bentuk dominan dari medium. Medium itu sendiri merupakan peristiwa, apa pun isinya.

Selain memakan komunikasi dan melakukan destruksi, medium pada akhirnya juga

melakukan penghancuran diri.20

Melalui hiperrealitas, kaum muda seolah mendapatkan sapaan dari Yang Transenden,

sesuatu yang selama ini mereka rindukan dalam kehidupan sekuler mereka. Ini karena

awalah hiper itu sendiri menunjukkan keberlebihan yang non-riil itu dibandingkan dengan

yang riil. Sentuhan pseudo-transenden ini pada akhirnya akan membuat mereka semakin

teguh untuk mempertautkan identitas mereka kepada komoditas sekaligus semakin malak

mengonsumsi tanda. Bagaimana mereka bisa terkecoh menganggapnya sebagai sabda

profetis yang telah lama diidamkan? Ini karena hiperrealitas menampilkan daya magis

selaiknya iklan. Iklan tidak mendorong untuk belajar atau mengerti, tetapi mengajak untuk

berharap21, sebagaimana harapan eskatologis kita akan keselamatan di hari akhir. Ini

analog dengan Jonathan Raban yang pernah mengatakan bahwa metropolis ditandai oleh

19 http://72.14.235.132/search?q=cache:19o-zkjQclIJ:www.surabayapost.co.id/%3Fmnu%3Dberita%26act%3Dview%26id%3Db555f4a2901228cc826327079761e696%26PHPSESSID%3D56e23eab79b017ac992db39b1dbc3172+simulakra+kota&hl=id&ct=clnk&cd=4&gl=id, diakses pada tanggal 9 Juni 2010.

20 Haryatmoko, 2007, Etika Komunikasi, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 26.21 Haryatmoko, op. cit., hlm. 28.

10

Page 11: Perspektif Baru Budaya Kontemporer & Pencarian Identitas dalam Atmosfer Hipermodernisme

kekuatan magis dan bukan kekuatan rasional22. Terdengar berlebihan? Memang begitulah

hiperrealitas bekerja. Tiada lagi sekat dan distingsi jelas antara serius dan main-main, high

art dan low art, dan, ini yang paling celaka, yang transenden-ukhrawi dan imanen-profan.

III

Hipermodernisme sebagai Latar Sosial Pencarian Identitas Kaum Muda Urban23

Istilah hipermodern tidak bisa lepas dari pengertian modern, tetapi tekanan lebih

kepada eksesnya, dan kata depan “hiper” mengacu ke makna “berlebihan” atau “terlalu”.

Gagasan tentang hipermodern ini dilontarkan pertama kali oleh Gilles Lipovetsky dalam

bukunya Les temps hypermodernes (2004). Dalam istilah hipermodern, terkandung suatu

pengertian telah terjadi radikalisasi modernitas sehingga mengubah hubungan antara

tekno-ekonomi dan struktur politik kekuasaan. Pada gilirannya, perubahan hubungan itu

mempengaruhi psikologi kolektif bawah sadar masyarakat urban kontemporer dewasa ini.

N. Aubert (2004) menggarisbawahi perbedaan pokok antara hipermodern dengan

postmodern. Menurutnya, postmodernisme terlalu menekankan keterputusan dari

modernitas24. Sementara hipermodernisme adalah radikalisasi dari modernitas. Dalam latar

hipermodernisme inilah—bukan postmodern sebagaimana sering dinisbahkan kepada

pemikir semacam Baudrillard—menurut penulis, kecenderungan-kecenderungan pencarian

identitas kaum muda sebagaimana dipaparkan sebelumnya terjadi.

Pribadi hipermodern sangat individualis sebagai akibat menjadi bagian pusat dari arus

globalisasi dan hegemoni hukum pasar bebas. Mereka berkecenderungan untuk mencari

kepuasan langsung dan menyingkirkan semua pembatas, entah itu nerupa pagar normatif,

kontrak sosial-politis, apalagi wejangan religi. Makna dirampatkan ke dalam situasi hic et

nunc (sekarang dan di sini). Pribadi hipermodern pertama-tama dan utama adalah seorang

konsumen yang harus berjuang untuk mempertahankan eksistensi sosialnya. Struktur

22 Bambang Sugiharto dan Agus Rachmat W., 2000, Wajah Baru Etika dan Agama, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 230.23 Uraian tentang hipermodernisme saya dasarkan pada Haryatmoko: Petaka Hipermodernisme, dalam Basis No. 5-6, Tahun ke-58, Mei-Juni 2009, hlm. 5-14. 24 Karena keterbatasan tempat uraian tentang postmodernisme—msekipun sekilas—terpaksa tidak ditampilkan. Literatur Indonesia terbaik tentang postmodernisme silakan cek Bambang Sugiharto, 1996, Postmodernisme, Kanisius, Yogyakarta. Karya terjemahan yang cukup baik adalah Kevin O’Donnell, 2009, Postmodernisme, Kanisius, Yogyakarta. Sebagai pengantar awal direkomendasikan K. Bertens, 2007, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 378-398.

11

Page 12: Perspektif Baru Budaya Kontemporer & Pencarian Identitas dalam Atmosfer Hipermodernisme

kolektif (negara, komunitas sosial, keluarga) hancur karena terjadi atomisasi dan

monadisasi masyarakat. Pada era ini, modernisme mencapai titik kulminasinya (atau titik

terendahnya apabila dipandang secara etis-kualitatif?) dan para penentang klasilknya

seperti kaum agamawan, konservatif, dan tradisonalis mampu dibuat bertekuk lutut karena

cengkeraman modernisme sudah tak terperikan lagi untuk terus-menerus ditahan.

Paradoksnya, di satu pihak hipermodernisme mendorong munculnya individu-individu

yang mandiri, di lain pihak, semakin banyak orang yang menjadi sangat tergantung dan tak

berdaya tanpa adanya perlindungan dari struktur kolektif. Indikasi ketidakberdayaan itu

dapat dilihat dari maraknya patologi sosial seperti depresi, stres, kesepian, bunuh diri, seks

liar, obat bius, shoppaholic, dan alkoholisme. Meski demikian, hipermodernisme tidak

lantas mengganti keyakinan akan kemajuan dengan keputusasaan eksistensial sartrerian

ataupun nihilisme total nietzschean. Ia ditandai dengan kepercayaan yang tidak stabil,

gamang, dan mudah berubah sesuai dengan fluktuasi mood. Tekanan pada kontemplasi

diganti dengan pelampauan diri, hidup yang mengalir penuh ketegangan. Kenikmatan

abstrak dan ekstase trans sesaat digandrungi karena membuat merasa mahakuasa dengan

intensitas tertentu. Hubungan tatap muka ditelan dengan hubungan imajiner-virtual.

Hipermodernisme mengikuti imperatif logika pasar. Dengan demikian, efektivitas dan

kuantifikasi ekonomis menjadi ukuran bagi segala hal. Dalam kaitannya dengan waktu,

hipermodernisme ditandai dengan logika waktu-pendek lupa diri25. Semua bentuk

kelambanan, kelembaman, dan penantian disingkirkan. Akibatnya, visi jangka panjang

negara diremehkan dan pekerjaan buruh semakin marak di-outsourcing-kan. Perasaan tidak

aman menjadi psike kolektif kaum hipermodernis karena masa depan adalah kawasan

entah tanpa kepastian dan pegangan. Dalam perusahaan-perusahaan, tempus fugit (waktu

berlari) sungguh kencang, sebagaimana zaman berlari begitu kencang (runaway world) (A.

Giddens). Sangat mencolok budaya urgensi (pesanan terlambat satu hari berarti citra

perusahaan tercoreng, citra perusahaan tercoreng berarti investor lari). Jawaban segera

terhadap tuntutan profesionalitas menjadi beban yang meneror para eksekutif.

Budaya urgensi pada akhirnya menyebabkan sulitnya membedakan antara yang pokok

dan sekadar trivial. Ritme aktivitas yang tinggi mengosongkan masalah makna. Orang

25 Untuk mendapatkan uraian memikat bagaimana logika waktu pendek dan hipermodernisme bekerja dalam ranah jurnalistik, lih. Haryatmoko, 2007, Etika Komunikasi, Kanisius, Yogyakarta.

12

Page 13: Perspektif Baru Budaya Kontemporer & Pencarian Identitas dalam Atmosfer Hipermodernisme

bekerja demi pekerjaan itu sendiri dan bukannya demi kehidupan. Tidak ada lagi

pertanyaan mendalam, tidak ada lagi sikap kritis. Pribadi menjadi gamang, keropos, dan

berkarakter rendah. Orang tidak lagi bersemangat mengejar tujuan dan nilai jangka panjang

karena konsep komitmen dan kesetiaan telah absen dari keadaban publik.

Takut pada komitmen dan melemahnya nilai kesetiaan semakin diperparah oleh

kebiasaan selalu menghadapi tersedianya pilihan-pilihan baru. Orang dibiasakan pada pola

pikir bahwa ada pilihan yang lebih baik dan tidak puas dengan yang ada di hadapannya

saat ini. Kendati yang ada saat ini dinikmati, namun tetap mengincar yang lebih baik.

Betapa panjang daftar tunggu calon pembeli jenis mobil sport seri terbaru kendati belum

beredar. Banyak orang sukarela membeli rumah yang masih berupa maquette dan

apartemen yang belum selesai dibangun. Yang akan datang, bahkan yang virtual, dipaksa

untuk dihadirkan dan dikonsumsi sekarang juga. “Gambar merupakan kenikmatan yang

diantisipasi,” lagi-lagi Baudrillard nyelonong berkomentar di tengah kesesakan hidup.

Perubahan radikal di dalam rezim waktu sosial dalam masyarakat hipermodern tidak

lepas dari perubahan sistem ekonomi, yaitu dari kapitalisme produksi menjadi ekonomi

konsumsi dan komunikasi massa. Perubahan ini ditandai oleh pergantian suatu masyarakat

rigoris-disiplin oleh masyarakat mode yang dibangun atas dasar teknik-teknik lewat-

sekejap, pembaruan tanpa henti. Rayuan dan persuasi menggantikan direksi, koersi, dan

imperasi. Kata kuncinya adalah penggunaan kata yang mengandung ajakan ke penikmatan

segera seperti baru, banyak pilihan, swa-layan, hiburan, humor, merangsang, erotis,

perjalanan, entertainment, awet muda, langsing, sehat, cantik, bersih, puas. Lebih jauh

berkaitan dengan logika mode yang menggejalai hipermodernisme, Lipovetsky

mengatakan bahwa gerak putaran mode tanpa kenal henti merupakan dampak langsung

dari penghargaan sosial terhadap posisi dan representasi baru individu yang berhadapan

dengan kolektivitas. Logika mode, seperti diuraikan S. Charles (2004), mengacu kepada

dua nilai: pertama, diskualifikasi yang lalu dan penyambutan yang baru sebagai yang indah

karena ekstase kebaruan mengompensasi ketakutan akan masa depan. Kedua, mode

memungkinkan afirmasi individu berhadapan dengan kolektivitas karena selera merupakan

ungkapan khas seseorang dan tempat merajanya semua hal yang melantas cepat.

Peletakan individu sebagai poros adalah ciriwanci utama hipermodernisme, yang

sekaligus merupakan suatu afirmasi kekuatan produktif penggerak perputaran tren mode.

13

Page 14: Perspektif Baru Budaya Kontemporer & Pencarian Identitas dalam Atmosfer Hipermodernisme

Maka manusia sangat terobsesi oleh kehendak untuk mengungkapkan identitas khasnya.

Ini merupakan extravaganza budaya bagi identitas diri secara meriah.

IV

Penutup

Demikianlah telah kita lihat betapa hipermodernisme dengan segala karakteristiknya

yang telah diungkapkan terlihat sangat kompatibel dan menjadi ladang persemaian subur

bagi perburuan identitas khas kaum muda urban. Dengan memperbandingkan ciri-ciri

tersebut ke dalam kenyataan empiris kaum muda di kota-kota besar di Indonesia, agaknya

hipermodernisme senyata-nyatanya tinggal menunggu waktu untuk masak. Perburuan

identitas secara eklektik dan kreatif agaknya akan semakin meraja. Demokrasi, liberalisasi

ekonomi, strukrur masyarakat yang lebih egaliter, kemajuan ICT, dipercaya akan menjadi

faktor pengakselerasi percepatan hipermodernisme.

Apakah ini berarti tersanderanya kaum muda oleh komoditas akan menjadi

keniscayaan? Lalu bagaimana mereka merebut kembali subyek atau diri yang hilang?

Baudrillard sendiri, tak bisa lain kecuali meratapi hal tersebut dengan menyatakan bahwa

subyek tak punya harapan. Akan lebih bijaksana apabila kita ikut dalam aturan permainan

baru ini sambil membuat pertimbangan yang perlu terhadap kekuasaan obyek tersebut. Ia

mengusulkan bahwa individu seharusnya menyerahkan diri kepada dunia obyek,

mempelajari berbagai kelicikan dan strateginya, dan menghentikan proyek kekuasaan dan

kontrolnya dengan cara masuk ke dalam kelicikan dan strateginya tersebut. Ini artinya,

Baudrillard memberikan obyek-obyek sebuah kekuasaan otonom di mana mereka

tampaknya bersirkulasi secara bebas, tanpa tergantung pada relasi-relasi sosial dan

produksi. Obyek, oleh Baudrillard, ditempatkan secara antropomorfistik.26

Tentu kita tak dapat membiarkan kaum muda mengikuti saran memalukan dari

Baudrillard tersebut. Perlu dirumuskan secara jenial bagaimana memberikan roh

subyektivitas kaum muda kembali melekat secara erat kepada wadagnya. Namun dalam

terang hipermodernisme, setidaknya kita mendapatkan perspektif baru bahwa dalam

beberapa hal keputusasaan Baudrillard memang wajar adanya. Sistem telah mencengkeram

26 Sylvester Kanisius Laku: Anti-Humanisme, dalam Bambang Sugiharto (ed), 2008, Humanisme dan Humaniora, Jalasutra, Yogyakarta, hlm. 282-283.

14

Page 15: Perspektif Baru Budaya Kontemporer & Pencarian Identitas dalam Atmosfer Hipermodernisme

begitu erat manusia urban hingga mereka hanya memiliki pilihan untuk larut ke dalamnya

agar eksistensinya diakui, dihargai orang lain, dan tetap mempunyai teman atau menjadi

pahlawan patriotis yang berani mengatakan ya pada keabsurdan dan kehampamaknaan

hidup. Alih-alih disandera oleh hal luaran, jangan-jangan modus mengada manusia modern

memang harus melalui penyanderaan semacam itu. Artinya, mereka tidak bisa sepenuhnya

disalahkan.

Bagaimanapun, subyek terlalu agung untuk dikalahkan secara telak total oleh

komoditas dan anonimitas pasar yang menipu. Subyek yang dimaksud di sini tentu saja

kaum muda urban yang sedang kehilangan keutuhannya dalam tatanan imajiner sehingga

karenanya dia berusaha meraup identitas sebisanya untuk menambal lubang tersebut.

Kompensasi atas diri yang selalu berkekurangan, menurut Slavoj Zizek, adalah fantasi

(atau keyakinan yang buruk menurut Sartre atau jouissance menurut Lacan), yaitu

sebentuk penikmatan libidinal untuk menambal lubang. Fantasi adalah apa yang tergeletak

di lantai dasar ideologi mendorong imajinasi subyek dalam kerangka makna-makna sosial

terberi. Namun, fantasi pada saat yang sama juga bekerja pada ranah pra-ideologis, ruang

hampa makna tempat resistensi dan runtuhnya pelbagai pemaknaan sosial. Fantasi ini tak

pernah sepenuhnya ditelan oleh tatanan simbolik; ia adalah hasrat yang senantiasa

mengelak, irasionalitas traumatis, juga dispalacement pada setiap titik api identifikasi

ideologis. Fantasi adalah nama lain dari hasrat menjadi; dinamika subversif yang selalu

menggugat setiap upaya penanaman identitas27. Kepada potensialitas terpendam inilah

barangkali kita masih dapat berharap agar subyek mengekspresikan daya ledaknya ketika

ambang batas toleransi sudah dilewati: ketika mereka sudah capek jadi konsumen dan

memuja logo merek lalu berusaha mencari kedalaman makna.

Selain tilikan provokatif dari Zizek di atas, selebihnya paper ini memang tidak

berpretensi untuk menjawab problematika pelik di atas. Paper ini hanya berusaha

memetakan secara singkat pokok-pokok substantif dalam isu budaya dan identitas kaum

muda dewasa ini. Darinya, diharapkan muncul cuatan inspirasi sebagai strategi merebut

kembali subyektivitas kaum muda sehingga dengannya pencarian identitas yang lebih

genuine bisa dimulai lagi secara lebih segar.

27 Donny Gahral Adian: Gaya Hidup, Resistensi, dan Hasrat Menjadi, dalam Alfathri Adlin (ed), op. cit., hlm. 32.

15

Page 16: Perspektif Baru Budaya Kontemporer & Pencarian Identitas dalam Atmosfer Hipermodernisme

Daftar Pustaka

16

Page 17: Perspektif Baru Budaya Kontemporer & Pencarian Identitas dalam Atmosfer Hipermodernisme

Adlin, Alfathri. 2006. Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas. Yogyakarta: Jalasutra.

Bertens, K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman (Edisi Kedua). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi. Yogyakarta: Kanisius.

Haryatmoko. 2009. Petaka Hipermodernisme. Basis, No. 56 Tahun Ke-58, Mei-Juni 2009.

http://72.14.235.132/search?q=cache:19ozkjQclIJ:www.surabayapost.co.id/%3Fmnu%3Dberita%26act%3Dview%26id%3Db555f4a2901228cc826327079761e696%26PHPSESSID%3D56e23eab79b017ac992db39b1dbc3172+simulakra+kota&hl=id&ct=clnk&cd=4&gl=id, diakses pada tanggal 9 Juni 2010.

Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Budaya Populer sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.

Lemay, Eric dan Jennifer A. Pitts. 2001. Heidegger untuk Pemula (diterjemahkan oleh P. Hardono Hadi). Yogyakarta: Kanisius.

Simon, Fransiskus. 2006. Kebudayaan dan Waktu Senggang. Yogyakarta: Jalasutra.

Sugiharto, Bambang dan Agus Rachmat W. 2000. Wajah Baru Etika dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Sugiharto, Bambang (ed). 2007. Humanisme dan Humaniora: Relevansinya bagi Pendidikan. Yogyakarta: Jalasutra.

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (eds). 2004. Hermeneutika Pascakolonial. Yogyakarta: Kanisius.

Redana, Bre. 29 November, 2009. Kota Besar. Kompas.

__________. 25 April, 2010. Sakralitas Kota. Kompas.

17