Upload
lyduong
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG TATA CARA
PELAKSANAAN PIDANA MATI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh
EDI EFFENDI 104043101315
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A 1430H/2009M
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh
Edi Effendi 104043101315
Pembimbing I
Dedy Nursyamsi. SH. M. Hum NIP: 196111011993031002
Pembimbing II
Dr. Asmawi. M.Ag NIP: 197210101997031008
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A 1430H/2009M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Sekripsi yang berjudul PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI, Telah di ujikan dalam siding Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Tanggal 7 Desember 2009 Sekripsi ini telah di terima sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program Strata 1 (S1) pada Perbandingan Madzhab Hukum. Jakarta, 7 Desember 2009 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr.H..M. Amin Suma, SH.,MA,.MM NIP. 195505051982031012
PANITIA SIDANG MUNAQASAH
1. Ketua :Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma,SH,MA,MM. ( )
NIP. 195505051982031012
2. Sekretaris :Dr. H. Mhammad Taufiki, M.Ag ( )
NIP. 196511191998031002
3. Pembimbing I :Dedy Nursyamsi. SH. M. Hum ( ) NIP: 196111011993031002
4. Pembimbing II :Dr. Asmawi. M.Ag ( )
NIP: 197210101997031008
5. Penguji I :Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma,SH,MA,MM. ( )
NIP. 195505051982031012
6. Penguji II :Dr. Jenal Aripin, M.Ag ( )
NIP. 197210161998031004
حمن الر حيمبسم اهللا الر
KATA PENGANTAR
Dengan segenap jiwa, dan tambatan pikiran, untuk bahasakan rasa syukur
kepada Allah SWT, pusatkan gerak dan lagat jiwa serta tubuh untuk ucapkan
“Alhamdulillah” segala puji kupersembahkan kepadanya, penulis dapat menuntaskan
kewajiban studinya, yaitu penulisan skripsi guna memenuhi syarat dalam rangka
memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat teriring salam penulis aturkan kepada pembawa amanah, tauladan
umat, dan sang sosial-revolusioner baginda Rasulullah SAW, para keluarga, sahabat,
dan orang-orang yang tercerahkan untuk membumikan hukum-hukumnya.
Dalam kesempatan ini pula, penulis menghaturkan banyak terima kasih atas
kerjasama dan bantuannya, baik moril maupun materil. Karena penulis menyadari
bahwa penulisan skripsi ini susah terwujud tanpa orang-orang di sekelilingku.
Untuk itu penulis sepantasnyalah menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, M.A, Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M, Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Ahmad Mukri Adji. M.A, Ketua Jurusan PMH, dan Dr.
Muhammad Taufiki. M.Ag, Sekretaris Jurusan PMH yang telah memberikan
iii
arahan, bimbingan dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
4. Bapak Dedy Nursyamsi. SH. M. Hum, dan Bapak Dr. Asmawi. M.Ag sebagai
dosen pembimbing yang rela meluangkan waktunya dan selalu memberikan
masukan, arahan dan kritikan yang konstruktif pada penulis sehingga skripsi
ini dapat terselesaikan.
5. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas yang telah
memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku dan
literature lainnya sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan.
6. Semua Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum, atas semua pengetahuan yang
telah diberikan kepada penulis selama masa pendidikan berlangsung.
7. Ayahanda M. Salim, dan Ibunda Jumilah yang mengajarkan bahasa cinta dan
kakek-nenek, saudara-sekandungku. Ayuk: Nurmala Sari, Fatmawati, dan
Ratnawati. Abang Jamin, dan adikku Andrianto, serta Abang Zulkifli dan
Kusnadi. Semuanya karena keihklasan dan dukungan, penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir ini. Tidak lupa pada keponakan yang kurindu:
Riki, Era, Zillah, dan Tina. Kalian semua mutiara dalam hidupku yang di
berikan Tuhan, cahaya yang tak pernah padam sepanjang hayat.
8. Terima kasih penulis ucapkan kepada ”gadis yang dicintai”, bagaimanapun
secara langsung maupun tak langsung telah memberikan dukungan dan
semangat kepada penulis agar dapat menyelesaikan tugas akhir kuliyah ini.
iv
v
9. Teman-teman PMF B angkatan 2004: Mustofa, Andri, Arul, Sugeng, Husaini,
Abul, Abdur, Abdul, Halim, Muliarto, Zai, Endar, Rusli, Robi, Syarki, jefi,
ipeh, inang, firda, dll. Kalian lembaran sejarah hidupku.
10. HMI Komfaksyi, LKBHMI, LEMI dan Saudaraku Gang Kodok: Panji Patra
Anggaredho. SE.I, Rama Jhuwandi. SH.I, Iwin Indra. SH.I, Minhazul Abidin,
Dani, Mudasir, dll. Terima kasih saya pada himpunan ini, teruslah berkiprah.
“Yakin Usaha Sampai-Semoga kita benar”
11. Komite Mahasiswa Pemuda Anti-Kekerasan (KOMPAK) terima kasih
saudaraku: De’ Hafiz, De’ Sidik, De’ Cahya, De’ Aqin, De’ Bahtiar, De’
Adam, De’ Idam, De’ Mustofa, De’ Rhasid, De’ atDaulay, De’ Ade, De’
Ainul, De’ Silly, De’ Ociem, De’ Ozie, De’ Sofie, De’ Rafika, De’ Arma, De’
Tari dll.
12. Teman-teman Gang Buntu (SaunG): Anas, Ridho, Suwidi, Mannan, Ulin,
Andhika, Fa’i, dll. Terima kasih kawan.
Semoga segala bantuan, dukungan dan do’a untuk penulis mendapat balasan
yang paling layak dari-Nya, dan skripsi ini berguna bagi wacana keislaman. Kepada-
Nya kita memohon hidayah dan inayah.
Jakarta, 05 September 2009 M 15 Ramadhan 1430 H
.
Edi Effendi
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii
KATA PENGANTAR............................................................................................. iii
DAFTAR ISI............................................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.......................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 8
D. Tinjauan Penelitian Terdahulu .................................................... 9
E. Metode Penelitian ..................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ............................................................... 12
BAB II KEDUDUKAN PIDANA MATI MENURUT HUKUM ISLAM
A. Tujuan Pemidanaan Dalam Hukum Islam ................................ 14
B. Pidana Mati Dalam Hukum Islam .............................................. 19
C. Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Dalam Hukum Islam ......... 29
D. Praktik Pidana Mati di Negara-negara Muslim .......................... 32
BAB III PANDANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP
TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI
vi
vii
A. Pidana Mati: Antara Norma yuridis dan praktik......................... 37
B. Materi Putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-VI/2008 ..... 49
C. Doktrin Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.
21/PUU-I/2008............................................................................ 56
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Analisis Hukum Islam Terhadap Pertimbangan Hukum
Formil dan Materil Putusan................................................ 64
1. Analisis Formil Pembentukan Undang-undang ................. 64
2. Analisis Materil Putusan Mahkamah Konstitusi................ 72
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Amar Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-VI/2008 .............. 77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 85
B. Kritik dan Saran ......................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 89
LAMPIRAN............................................................................................................. 93
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam Islam, hukuman tidak berangkat dari pendapat manusia atau
kesepakatan manusia belaka. Karena apa yang ada dalam pandangan manusia
memiliki keterbatasan. Seringkali apa yang dalam pandangan manusia baik, pada
hakikatnya belum tentu baik. Demikian juga, apa yang dalam pandangan manusia
buruk, hakikatnya belum tentu buruk. Sehingga bagi umat Islam, harus
mengembalikan penilaian baik atau buruk, terpuji dan tercela menurut pandangan
syariat. Dalam hal ini Allah sebagai syariat atau pembuat syariat.
Yang dimaksud dengan syariat adalah semua peraturan agama yang
ditetapkan Allah untuk kaum muslim, baik yang ditetapkan al-Quran ataupun
Sunnah Rasul, karena itu syariat mencakup ajaran-ajaran pokok agama (ushul al-
din). Pengertian syariat menurut Muhammad Ali al-Tahanwy. Mengatakan
“syariat ialah hukum yang telah ditetapkan Allah bagi hambanya (manusia) yang
dibawa Nabi, baik yang berkaitan dengan perbuatan yag dinamakan hukum-
hukum cabang dan amaliah yang di kodifikasikan dalam Ilmu Fiqih, ataupun
berkaitan dengan kepercayaan yang dinamakan dengan hukun-hukum pokok dan
iktiqadiah yang dikodifikasikan dalam Ilmu Kalam”1
1 Muhammad Yusup Musa, Islam Suatu Kajian Komprehensif, terj. A. Malik Madaniy
dan Hamim ( Jakarta, CV. Rajawali, 1998 ), h. 131
1
2
Dalam Islam konsep tentang manusia adalah ideal (sangat tinggi)
didasarkan atas suatu message (tugas kewajiban) dan menuju kepada suatu
objektif yang nyata. Dengan dasar pandangan ini kita lebih dapat memahami
sabda Tuhan dalam al-Quran yang selalu menekankan tanggung jawab manusia
itu bersifat individu (perorangan, bukan kelompok) dan bahwa hukum Islam
menjujung tinggi person-manusia sebagai norma pokok,2 misalnya barang siapa
membunuh orang yang tidak melakukan pembunuhan atau kekerasan di bumi,
seakan-akan ia telah membunuh seluruh manusia. Dan barang siapa
menyelamatkan jiwa seseorang, seakan-akan ia telah menyelamatkan seluruh
manusia.3 Dalam hal ini, artinya benar-benar menjamin serta menghargai
kemanusiaan (memanusiakan manusia), dan dalam konteks bernegara khususnya
Indonesia (Negara Hukum)4.
Negara hukum ialah Negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang,
tindakan-tindakan Negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum. Inilah apa
yang oleh para ahli-ahli hukum Inggris terkenal sebagai “rule of law”. Kita
melihat bahwa individu pun menpunyai hak terhadap negara. Hak-hak individu
terhadap Negara terutama apa yang yang dinamakan “Hak-Hak Azasi Manusia”
2 Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, terj. H. M. Rasjidi, cet, Ke- I, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1980 ), h. 106-107
3 Noor Wahid Hafiez, Pidana Mati Menurut Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1982), h.. 111
4 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, cet. Ke- III, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995), h. 89
3
dan kini lebih terkenal sebagai hak-hak manusia, dengan telah diterimanya
Universal Declaration Of Human Rights secara internasional maka nyatalah
betapa pentingnya sebuah Negara Hukum.5 Perlindungan hak-hak manusia ini
tidak akan terjamin dengan menyatakan bahwa hak-hak asasi manusia ini diakui,
yang diperlukan ialah suatu kesediaan yang lebih konkrit.6 mencapainya dengan
penegakan hukum, tegasnya setiap yang bersalah atau melakukan kejahatan mesti
dihukum.
Konstitusi Indonesia yang menjamin hak asasi manusia, berbunyi, “hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.7
Sesuai dengan bahasan ini terkait pidana mati, ada beberapa hukum yang
berlaku di Indonesia dengan ancaman pidana mati di antaranya, dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melakukan kejahatan menghilangkan
nyawa seseorang bisa diancam hukuman pidana mati, tertera dalam pasal 340 ayat
(2),8 kejahatan atau pelanggaran terhadap Undang-Undang No 22 Tahun 1997
5 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, (Bandung: Alumni, 1983), h. 3
6 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, h. 4
7 Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945
8 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
4
tentang Narkotika, pasal 80 ayat (1) huruf a, dan kejahatan atau pelangaran
terhadap Undang-Undang No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, pasal 59 ayat
(2).9
Di Indonesia, hingga kini masih tercantum dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) mengatur pidana mati yang dilaksanakan dengan cara
terpidana digantung sebagaimana tercantum yaitu, “Pidana mati dijalankan oleh
algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang
gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana
berdiri”.10
Dengan memperhatikan perkembangan hukum di Indonesia berawal dari
Pasal 11 KUHP bahwa hukuman mati dilaksanakan dengan digantung, tetapi
kemudian berubah dengan adanya Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang
kemudian dilaksanakan dengan cara ditembak. Hal tersebut karena seiring dengan
perkembangan zaman dan dipandang eksekusi pidana mati dengan cara digantung
memakan waktu yang lama, maka hukuman mati digantung diubah dengan cara
ditembak Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan
Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38) yang
9 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undand-undang Nomor
5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
10 Pasal 11 dalam KUHP
5
telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1969.11
Ada beberapa macam bentuk tata cara pelaksanaan pidana mati di dunia,
Sebagai perbandingan dari macam-macam tata cara pidana mati yang masih
dipratikkan didunia sebagai berikut:
1. Digantung (hanging)
2. Dipenggal pada leher (decapitation)
3. Ditembak (shooting)
4. Strum listrik (electrocution atau the electric chair)
5. Ruang gas (gas chamber)
6. Suntik Mati (lethal injection).12
Bahwah ada pendapat Kematian adalah peristiwa yang mengerikan,
mungkin paling mengerikan dalam pikiran manusia yang masih hidup. Di antara
kemungkinan pengalaman hidup manusia, barangkali tidak ada yag menakutkan
daripada kematian. Karena itu hukuman mati, dalam semua peradaban manusia
sampai dengan akhir-akhir ini (hukuman mati ditentang oleh gerakan-gerakan
11 Diktum Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pidana Mati
12 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-VI/2008 tentang Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang
6
modern tertentu, seperti Amnesty International) yang mana hukuman mati
merupakan hukuman tertinggi dan penghabisan13
Selanjutnya dari uraian diatas pada tanggal 6 agustus 2008 telah diterima
dan terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, dengan regisrasi perkara
Nomor 21/PUU-VI/2008, tentang perkara pengujian Undang-Undang No
02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan
Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara
Tahun 1964 Nomor 38) yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969.14 Dalam hal alasan terhadap Undang-Undang
yang diajukan bertentangan secara formil pembentukkan dan materiilnya terhadap
UUD 1945. Yang diajukan oleh: Amrozi bin Nurhasyim, Ali Ghufron bin Nurhasyim
als. Muklas, dan Abdul Azis als. Imam Samudra (terpidana mati kasus bom Bali).
Secara lembaga, Mahkamah Konstitusi yang tersendiri diluar dan sederajat
dengan Mahkamah Agung,15 dan mengenai hakikat, tugas dan wewenangnya
dalam pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki
lima bidang kewenangan peradilan, yaitu:16
13 Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 226
14 Diktum Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
15 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta. PT, Buana Ilmu Popular, 2007), h. 581
16 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, h. 588
7
1) Peradilan dalam rangka pengujian konstitusionalitas Undang-Undang
(terhadap UUD 1945)
2) Peradilan sengketa kewenangan konstitusional lembaga Negara
3) Peradilan perselisihan hasil pemilu umum
4) Peradilan pembubaran partai politik, dan
5) Peradilan atas pelanggaran oleh Presiden dan wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar
Berdasarkan penjelasan di atas penulis merasa perlu dan menarik
untuk penelitian serta pembahasan putusan Mahkamah Konstitusi tentang tata
cara pelaksanaan pidana mati dan bagaimana perspektif hukum Islam yang mana
Indonesia penduduknya mayoritas muslim. Maka Penulis merangkum penelitian
ini dengan judul: “Perspektif Hukum Islam Terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah, maka peneliti memberikan batasan
masalah pertama: tentang tata cara pelaksanaan pidana mati dalam Islam, kedua:
pandangan Mahkamah Konstitusi tentang tata cara pelakasanaan pidana mati,
yang akan di kaji ringkasannya beberapa pertayaan berikut, serta dapat
menggambarkan rumusan masalah dalam skripsi ini:
1) Bagaimanakah kedudukan pidana mati dan tata cara pelaksanaannya menurut
hukum Islam ?.
8
2) Bagaimanakah pendapat Mahkamah Konstitusi tentang tata cara pelaksanaan
pidana mati, dalam UU No 02/pnps/Tahun/1964 juncto UU No
05/Tahun/1969 ?.
3) Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap putusan Mahkamah
Konstitusi tentang tata cara pelaksanaan pidana mati ?.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui dan menjelaskan kedudukan pidana mati dan tata cara
pelaksanannya menurut hukum Islam.
2. Mengetahui dan menjelaskan pendapat Mahkamah Konstitusi tentang tata
cara pelaksanaan pidana mati, dalam UU No 02/pnps/Tahun/1964 juncto UU
No 05/Tahun/1969.
3. Mengetahui dan menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap putusan
Mahkamah Konstitusi tentang tata cara pelaksanaan pidana mati.
D. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Di bawah ini beberapa penjelasan tinjauan terdahulu dalam penelitian ini,
ada beberapa karya atau peneliti yang membahas terkait dengan penulis bahas .
Buku pertama: Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, “Pidana Mati di
Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan” secara umum buku ini
membahas praktik pidana mati dari masa kemasa dengan menjelaskan perubahan
9
tata cara dan dari segi teorinya. Singkatnya dipaparkan pidana mati dilihat dari
sejarahnya, selanjutnya penulis mencoba membandingkan pidana mati dimasa
lalu dengan yang berlaku sekarang, menjelaskan proses pidana mati merupakan
proses bentuk hukum berkelanjutan, dan memberikan pandangan terhadap proses
pidana mati yang manusiawi untuk masa mendatang.
Buku kedua: Djoko Prakoso, “Masalah Pidana Mati” (Soal Tanya
Jawab), bahasan dalam buku mencoba memaparkan dan menjelaskan pidana mati
secara teori maupun praktik menurut para ahli-ahli hukum dan dari beberapa
pendapat dibandingkan serta menjelaskannya dari aspek teori hukum pidana
dilihat dari norma yuridis maupun praktik dan memaparkan perbedaan pendapat,
apakah pidana mati benar-benar bisa atau tidak efektif dalam mengurangi dan
memberantas kejahatan dan menjelaskan juga pandangan dunia dewasa ini
terhadap permasalahan pidana mati.
Buku Ketiga: Ahkiar Salmi, “eksistensi hukuman mati”, menjelaskan
eksistensi pidana mati dalam perUndang-Undangan Indonesia yang terdapat di
dalam KUHP maupun diluarnya, serta memaparkan juga beberapa yurisprudensi
dalam putusan pidana mati dan menjelaskan cara pelaksanaan pidana mati yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2/pnps/1964 tentang tata cara
pelaksanaan pidana mati, juga menjelaskan cara hukuman mati yang terdapat
dalam pasal 11 KUHP yang telah dicabut atau tidak diberlakukannya, dan
memaparkan tinjauan pidana mati dari beberapa aspek dari teori, dan
10
memaparkan alasan mereka yang pro ataupun yang kontra terhadap hukuman
mati.
Buku keempat: Djoko Prakoso dan Nurwachid, “Pidana Mati di Indonesia
Dewasa Ini” dalamnya penulis mencoba menjelaskan sesuai dengan judul diatas,
menjelaskan beberapa masalah penerapan pidana mati di Indonesia (proses)
secara doktrin hukum dan juga mencoba menjelaskan beberapa teori yang dianut
sebagai landasan hukuman dan membahas beberapa macam pelanggaran yang
diancam dengan pidana mati, dan selanjuntya memaparkan sedikit perdebatan
terkait pihak yang menolak penerapan hukuman mati.
Buku kelima: Noorwahidah Hafedz Anshari, “Pidana Mati Menurut
Hukum Islam” dibahas bagaimana pidana mati dalam Islam beserta dalil-dalil
hukumnya, menjelaskan beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana mati
seperti: membunuh dengan sengaja, zina muhshan, merampok, berontak, dll.
Disebutkan juga bentuk pemidanaannya berdasarkan perbuatan, disinggung juga
proses pemidanaannya tapi tidak secara gamlang.
Dalam kajian terdahulu ini, selain peneliti melihat beberapa penelitian
beberapa buku yang terkait dalam bahasan ini, juga meneliti di pustaka Fakultas
Syariah dan Hukum, Peneliti tidak menemukan di pustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum, yang meneliti sebelumnya terhadap pandangan Mahkamah Konstitusi
tentang tata cara pelaksanaan pidana mati, dalam UU No
02/pnps/Tahun/1964/juncto/UU 05/Tahun/1969. Tapi ada satu penelitian oleh:
Uwes Sulkkurni (2004), Tinjauan Hukum Islam Terhadap Eksekusi Hukuman
11
Mati Di Indonesia. Dalam penelitiannya hanya membandingkan pratik hukuman
mati dalam Islam dengan pratik hukuman mati di Indonesia yang diatur dalam
UU No 02/pnps/Tahun/1964/juncto/UU 05/Tahun/1969. dan letak perbedaan
dengan peneliti tulis adalah peneliti berusaha menganalisis perspektif hukum
Islam terhadap pendapat Mahkamah Konstitusi dalam putusan No 2/PUU-
IV/2008, dengan pendekatan nilai atau syarat-syarat (doktrin hukum Islam) yang
harus dipenuhi dalam proses pelaksanaan pidana mati.
E. Metode Penelitian
1) Jenis Penelitian
Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library reseach),
yaitu penelitian yang kajianya menelaah beberapa literatur hukum yang terkait
dengan bahasan ini, dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dan selanjutnya menguraikan secara jelas berbagai bahan yang
diperoleh, dengan begitu penelitian ini bersifat deskriptif, selanjutnya bahan
pustaka yang diperoleh dipadukan serta dianalisis dengan prinsip penelitian
hukum normatif-dokrinner
2) Metode Pengumpulan Data
Dengan berdasarkan jenis penelitian, data yang gunakan adalah studi
dokumentasi yang selanjutnya disebut data primer dalam penelitian ini dan
bahan yang membantu atau bahasan yang terkait dalam penelitian ini disebut
data sekunder. Sumber data primer yang digunakan adalah putusan
12
Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-VI/2008 tentang Putusan Perkara
Pengujian Undang-Undang. Sedangkan bahan sekundernya berupa berupa
tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan judul skripsi ini
3) Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini adalah berdasarkan tehnik analisis isi data
secara kualitatif. Dengan cara data-data yang diperoleh dari bahan-bahan
pustaka dan dokumentasi, dianalisis dengan metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analitis-kualitatif. Tujuan disini adalah untuk mencari
persesuaian objek penelitian yang kemudian dianalisis dengan hukum Islam.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan Skripsi ini dibagi atas lima (5) bab, tiap-tiap bab
terdiri dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:
Bab I Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang
penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjaun (review) kajian terdahulu, metode dan sistematika
penelitian ini.
Bab II Di dalamnya akan membahas mengenai tujuan pemidanaan serta
pidana mati dalam hukum Islam dan bagaimana tata cara hukuman
mati menurut hukum Islam dan juga memaparkan praktik pidana mati
di beberapa Negara-negara Muslim
13
Bab III Membahas pidana mati: antara norma yuridis dan praktik, dan materi
putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian peraturan perUndang-
Undang, serta memaparkan doktrin hukum Mahkamah Konstitusi
terhadap UU No 02/Tahun/1964 jucnto UU No 05/Tahun/1969 dilihat
dari syarat formil atau materiilnya.
Bab IV Merupakan bab yang menganalisis tata cara pelaksanaan pidana mati
di Indonesia dalam pandangan Mahkamah Konstitusi (formil dan
materil), dan bagaimana perspektif hukum Islam dalam pelaksanaan
hukuman mati di Indonesia (Putusan Mahkamah Konstitusi).
Bab V Adalah bab penutup, berisi kesimpulan penulis, saran dan kritik bagi
siapa saja yang berkepentingan di dalamnya.
BAB II
KEDUDUKAN PIDANA MATI MENURUT HUKUM ISLAM
A. Tujuan Pemidanaan Dalam Hukum Islam
Ada tiga asas dalam bidang hukum pidana Islam yang harus diperhatikan
selain dari asas umum lainnya seperti, asas keadilan, kepastian hukum, dan
kemanfaatan.1 Beberapa asas di bawah ini juga bisa melihat tujuan pemidanaan
itu sendiri.
1. Asas Legalitas
Tidak ada pelanggaran atau tidak ada hukuman sebelum ada Undang-
Undang atau aturan tetap yang mengaturnya. Dalam al-Quran ayat (15) surat
al-Isra’ dihubungkan dengan anak kalimat dalam ayat (19) surat al-An’am
yang berbunyi “al-Quran ini diwahyukan padaku, agar (dengannya) aku
(Muhammad) dapat menyampaikan peringatan (dalam bentuk aturan dan
ancaman hukuman) kepadamu”. Biasanya dalam hukum disebut asas legalitas
yang artinya tidak dikenakan hukuman pada seseorang atas perbuatannya
sebelum adanya aturan yang melarangnya.
1 H. Mohammad Daud Ali. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, Cet, Ke- 10, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2001), h. 117
15
16
2. Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Pada Orang Lain
Selanjutnya hukuman yang dikenai pada seseorang tidaklah bisa
dipiindahkan atau menggantikan berlakunya hukum pada seseorang misalnya,
dalam surat Muddatstsir dikatakan bahwa setiap jiwa terikat apa-apa yang ia
kerjakan dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang
diperbuat oleh orang lain, dikatakan juga dalam surat al-An’am ayat (164),
bahwa Allah mengatakan setiap pribadi yang melakukan kejahatan akan
menerima balasan kejahatan yang di lakukannya, ini berarti tidak ada suatu
perbuatan kejahatan atau dosa seseorang yang bisa ditanggung oleh orang lain
dan sesungguhnya pertanggung jawaban seseorang itu bersifat individu (asas
larangan memindahkan kesalahan pada orang lain).
3. Asas Praduga Tak Bersalah
Perlu diperhatikan juga asas praduga tak bersalah dalam pidana, dalam
proses menentukan bersalah tidaknya seseorang pelaku pidana maka perlu
adanya pengadilan yang adil (trial fair), jadi seseorang yang dituduh
melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim
memutuskan dengan bukti-bukti yang menyakinkan, maka pelaku (terdakwa)
mempunyai hak untuk pembelaan diri di depan pengadilan. 2
Hukuman dalam bahasa arab disebut “uqubah”, lafaz “uqubah” menurut
bahasa berasal dari kata: (عقب) yang sinonimnya: (بعقبه وجاء خلفه), artinya,
2 H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Islam Di Indonesia, h. 118-119
17
Dalam kamus istilah fiqih kata “uqubah” berarti: “hukuman badan yang
telah ditentukan oleh syara’, yang telah dilakukan seseorang ”, disebutkan juga
“uqubah” ada dua macam yaitu, “uqubah ashliyyah ”, hukuman asal yang telah
ditentukan syara’ seperti hukuman potong tangan bagi pencuri baik laki-laki
maupun perempuan, jika sudah memenuhi syarat-syaratnya, dan “uqubah
badaliyyah” hukuman sebagai pengganti hukum asli yang telah ditetapkan oleh
syara’ seperti, membayar seratus ekor unta sebagai pengganti hukuman bagi yang
membunuh dengan sengaja, setelah mendapat ampunan dari pihak keluarga
terbunuh. 4 Menurut Abdul Qadir Audah, hukuman difinisikan sebagai berikut: 5
عارشال رمأ انيصع ىلع ةاعمالج ةحلصمل ررقالم اءزالج يه ةبوقالع
Artinya: “hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’ ”
Dari definisi tersebut dapatlah dipahami bahwa hukuman adalah salah satu
tindakan yang diberikan oleh syara’ sebagai pembalasan atas perbuatan yang
3 H. Ahmad Wardi Muslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah),
(Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004), Cet, Ke- 1, h. 136
4 M. Abdul Mujieb, Mabrul Tholhah, dan Syafi’ah A. M, Kamus Istilah Fiqih, Cet, Ke- 3 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h.
5 Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islamiy, Juz 1, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, tt.), h. 609.
18
Selain itu, tujuan pemidanaan atau hukuman adalah.
a. Pencegahan (الردع والزجر)7
Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah
(delik pidana) agar ia tidak tidak mengulangi perbuatan jarimah-nya, atau
agar ia tidak melakukan perbuatan jarimah itu terus-menerus. Disamping
mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain
agar tidak melakukan perbuatan jarimah pula. Dengan demikian, kegunaan
pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan orang yang berbuat itu sendiri
6 Mashood A. Baderin, Hukum Internasianal Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, terj.
Musa khazim dan Edwin Arifin, (Jakarta: KOMNASHAM, 2007), h. 39-40
7 Ahmad Wardi Muslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), h. 137-139
19
untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan menahan orang lain untuk tidak
berbuat seperti itu dan serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah, oleh
karena tujuan hukuman pencegahan dalam hal ini, maka dalam pemberian
hukuman haruslah sesuai dan cukup untuk mewujudkan tujuan tersebut, tidak
boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukan, dengan begitu terdapat
prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman.
b. Perbaikan dan pendidikan ( والتهذيب اإلصالح )
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku
jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Di sini
terlihat bagaimana perhatian syariat Islam terhadap diri pelaku, dengan
adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu
kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman,
melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta
dengan harapan mendapat rida dari Allah SWT. Selain kebaikan pribadi,
dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang
baik yang diliputi hidup saling menghormati dan mencintai antara sesama
anggotanya dengan mengetahui hak dan kewajibannya. Pada hakikatnya
jarimah merupakan perbuatan yang menginjak-injak keadilan atau melanggar
norma masyarakat yang membuat kemarahan masyarakat dan perbuatan yang
menggangu ketertiban serta kenyamanan masyarakat, dan hukuman yang
diterima dimaksudkan memberikan rasa derita yang harus diterima sebagai
20
balasan yang telah diperbuat dan sebagai sarana penyucian diri,8 serta harapan
akan terwujudnya rasa keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh
masyarakat.
B. Pidana Mati Dalam Hukum Islam
Telah dijelaskan di atas maksud atau tujuan pidana Islam adalah menjaga
ketertiban masyarakat dan mewujudkan hidup yang damai, serta mencipakan
lingkungan yang saling menghormati dan menghargai hak individu maupun hak
masyarakat secara umum, tentunya dalam kehidupan sosial. Selain itu juga
memberikan pencegahan dan pelajaran agar setiap individu menjauhi dari
perbuatan jarimah atau kejahatan. Sehingga penegakkan hukum tersebut
menyentuh dan berdasarkan asas manfaat (maslahat) dan menjauhkan kerusakan
(mafsadah). Begitu juga tentang hukuman mati dalam syariat Islam adalah untuk
pencegahan (ar-rad’u wa az-zajru’) dan pendidikan (al-islah wa at-tahdzib). 9
Sanksi pidana mati dalam hukum Islam ada beberapa kategori kejahatan
(jarimah10) yang dikenakan yaitu, makar-pemberontakan (al-Baghy), murtad-
8 Hukuman bagi pelaku kejahatan sebagai rehabilitasi atau perbaikan. Lihat Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet, Ke- 31, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2001), h. 409
9 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet, Ke-5, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 255
10 Jarimah berasal dari kata, (جرم ) yang sinonimnya (قطع و آسب) artinya, “berusaha dan bekerja”. Secara istilah, ( تعزير او بحد عنها تعالى اهللا زجر شرعية محظورات الجرائم ) artinya, “jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir ” lihat, Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum…, h. 9
21
keluar dari Islam (ar-Riddah), berzina, dan perampokan (hirabah), membunuh
(qhishas/diat). Akan diterangkan dibawah ini.
Hukum Islam membagi tindak pidana pada tiga bagian yaitu, pidana
hudud, qhishas-diat, dan ta’zir11. Sebelum menjelaskan sanksi-sanksi yang
dikenai pidana mati di atas, perlu kiranya sebelumnya memaparkan bagian-bagian
dalam jarimah, yang sebenarnya sangat banyak macam dan ragamnya. Akan
tetapi secara garis besar kita dapat membaginya dengan meninjaunya dari
beberapa segi antara lain ditinjau dari segi berat ringannya hukuman yakni:
a) Pidana hudud
Pidana hudud (jarimah hudud) adalah jarimah yang diancam dengan
hukuman had. Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah
ditentukan oleh syara’ dan menjadi hak Allah (hak masyarakat).
Dengan demikian ciri khas jarimah hudud itu sebagai berikut.
1) hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti hukumannya telah
ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
2) hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak
manusia di samping hak Allah maka hak Allah lebih dominan.
11 Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jima’i al-Islamiy
Muqarrana bil Qanunil Wad’iy, terj. Tim Tsalisah, jilid ke- 3, (Bogor: PT. Kharisma Ilmu), tt, h. 111
22
Pengertian hak Allah sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut
sebagai berikut12.
اسالن نم داح وب صتخي ملو ،ةيرشالب ةاعمجلل امالع عفالن هب ـقلعت ام اهللا قح
Artinya: “hak Allah adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada masyarakat dan tidak tertentu bagi seseorang”
Dalam hubungannya dengan hukuman had maka pengertian hak Allah
di sini adalah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh
perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh
masyarakat yang diwakili oleh Negara.
Jarimah hudud ini ada tujuh macam antara lain sebagai berikut,
1) Tindak pidana perzinaan (jarimah zina)
2) Tindak pidana tuduhan zina (jarimah qadzaf)
3) Tindak pidana meminum minuman keras (jarimah syurbul khamr)
4) Tindak pidana pencurian (jarimah pencurian)
5) Tindak pidana Perampokan (jarimah hirabah)
6) Tindak pidana murtad (jarimah riddah)
7) Tindak pidana pemberontakan (jarimah al-baghy13)
Dalam jarimah zina, syurbul khamr, hirabah, riddah, dan
pemberontakan yang dilanggar adalah hak Allah semata-mata. Sedangkan
12 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), h. 17-18
13 Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islamiy, h. 79
23
dalam jarimah pencurian dan qadzaf (penuduhan zina) yang disinggung
disamping hak Allah, juga terdapat hak manusia (individu), akan tetapi hak
Allah lebih dominan.
b) Pidana qhishas wa diat
Jarimah qhishas dan diat adalah hukuman yang diancam dengan
hukuman dengan qhisas dan diat. Baik qhishas maupun diat keduanya adalah
hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’. Perbedaannya dengan hukuman
had adalah bahwa had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan
qhishas dan diat adalah hak manusia (individu). Adapun yang dimaksud
dengan hak manusia sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut sebagai
berikut.
اسالن نم نيـعم داحول اصخ عفن هب ـقلعت ام وهف دبالع قح
Artinya: “hak manusia adalah hak yang manfaatnya kembali kepada orang tertentu” Dalam hubungannya dengan hukuman qhishas dan diat maka
pengertian hak manusia di sini adalah hukuman tersebut bisa dihapuskan atau
dimaafkan oleh korban atau keluarganya.
Dengan demikian maka ciri khas dari jarimah qhishas dan diat itu adalah
1) hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan
syara’ dan tidak ada batas maksimal dan minimal sudah ditentukan
24
2) hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti
bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan
terhadap pelaku.
c) Tindak pidana ta’zir
Tindak pidana ta’zir (jarimah ta’zir) adalah jarimah yang diancam
dengan hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir secara bahasa ialah ta’dib atau
memberi pelajaran. Tapi secara istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh
Imam al-Mawardi, ta’zir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak
pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara’. Secara ringkas dapat
dikatakan hukuman jarimah ta’zir itu adalah hukuman yang belum ditetapkan
oleh syara’, melainkan diserahkan kepada Ulil Amri (pemerintah), baik
penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman
tersebut, penguasa hanya menetapkan hukuman secara global saja. Artinya
pembuat Undang-Undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing
jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang
ringan seringannya dan berat seberatnya.
Ciri khas dari jarimah ta’zir adalah.
1) hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas, artinya hukuman tersebut
belum ditentukan oleh syara’ dan ada batas minimal dan maksimal.
2) penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa14.
14 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), h.
19
25
Telah disebut di atas beberapa jarimah yang dikenai hukuman mati
dan akan dijelaskan disini yaitu,
a. Makar atau pemberontakan (al-Baghyu15)
Ada beberapa defenisi dari para ulama fiqh atau mazdhab mengenai
perbuatan makar16, tapi apabila ditarik kesimpulan dari perbedaan defenisi
tersebut, maka dapat dipahami makar adalah tindakan sekelompok orang yang
memilki kekuatan untuk menentang pemerintah, dengan sebab adanya
perbedaan paham mengenai masalah kenegaraan. Syariat Islam memberikan
sanksi keras terhadap jarimah makar, karena jika tidak demikian maka akan
timbul, kekacauan, anarki, serta ketidaktenangan masyarakat. Tindakan keras
tersebut berupa diterapkannya hukuman mati bagi pelaku makar.
Berdasarkan firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat (9)
اولتقف ىرخاأل ىلع اماهدحإ تغب نإف امهنياب اوحلصأف اولتتاق نينمؤالم نم انتفائط نإو اهللا نإ آوطـسقأو ل دالعب امهنيب اوحلصأف تاءف نإف اهللارمأ ىلإ ءىفت ىتح ىغبت ىتال .نطيـسقالم بحي
)٩ :الحجرات (
15 Dari segi bahasa Al-baghy memiliki beberapa arti antara lain: ملالظ (zhim/aniaya), ةاينالج
(perbuatan jahat), انيصالع (durhaka), الحق عن العدول (menyimpang dari kebenaran), dan يدعالت (melanggar dan menentang), lihat, Muhammad ibn Ismail al-Kahlani, Subulus as-Salam, juz III, h. 257; Wabah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa adillatuh, juz, VII, h. 142; dan Ahmad Warson Munawwir, Kamus Munawwir, h. 106
16 kumpulan tulisan dosen-dosen Fak. Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta, Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek, Dan Tantangan, editor, Jaenal Aripin, dan M. Askal Salim GP, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 58-59
26
Artinya: “dan jika ada golongan dari orang-orang mu’min berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongnm yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah) maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil ”
Ketentuan yang lebih tegas mengenai hukuman ini dijelaskan dalam
hadis Nabi SAW.
نأ ديري عيمج ـمآرمأو ـمآ اتأ نم لوقي م ص اهللا لوسر تعمس الق حيرش ناب ةجفرع نعو )ملسم هجرخأ( هولتاقف مـكتاعمج قرفي
Artinya: “dari ‘Arfajah ibn Syuraih ia berkata: saya mendengar Rasullah Saw. Bersabda: barang siapa yang datang kepada kamu sekalian, sedangkan kalian telah sepakat kepada seseorang pemimpin, untuk memecah belah kelompok kalian, maka bunuhlah ia ”. (HR. Muslim17)
b. Jarimah Murtad (riddah)
Hukuman mati bagi orang yang murtad (keluar dari agama Islam)
didasarkan kepada firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat (217)
☺ ⌦
☺
)٢١٧: البقرة (.
Artinya: “barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalm kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya”
17 al-Kahlani, Subulus as-Salam, h. 261
27
Ayat di atas hanya menjelaskan hukuman bagi orang murtad di akhirat
tidak di dunia, tapi hukuman di dunia dijelaskan oleh Nabi SAW18.
Sebagaimana dalam hadisnya:
هني د لدب نم ملسو هيلع اهللا ىلص اهللا لوسر الق الق اـمهنع اهللا يضر اسبع ناب نعو
هولتقاف
Artinya: “dari ibnu abbas ra, ia berkata: telah bersbda Rasulullah SAW: barang siapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia”. (HR. Bukhari) 19
c. Zina Muhshan (sudah menikah)
Hukuman rajam bagi zina muhshan, rajam adalah hukuman yang
diakui seluruh fuqaha kecuali kelompok Azariqah dari golongan Kwarij.
Mereka tidak menerima hadis jika tidak mencapai batas mutawwatir menurut
mereka, hukuman bagi orang zina muhshan dan hukuman zina ghair
muhshan adalah dera, dalilnya merujuk pada surah an-Nur ayat (2)
☺ ☺
☺ ⌧ )٢: النر (☺ ⌧
18 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), h. 152
19 al-Kahlani, Subulus as-Salam, h. 256
28
Artinya: “perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” Pendapat para ulama di luar kelompok Azariqah dari golongan kwarij
menyatakan hukuman bagi pezina muhshan (sudah menikah) hukumannya
adalah rajam yang bentuk hukumannya merupakan membunuh orang yang
berzina dengan cara melemparinya dengan batu atau yang sejenis batu. 20
d. Perampokan (hirabah)
Orang yang melakukan Perampokan sama halnya dengan memerangi
Allah dan Rasulnya, kata memerangi ini sama dengan melawan Allah dan
Rasulnya, dapat dimengerti bahwa perampokan sangatlah dilarang dalam
Islam dan larangan itu sesuai dengan dampak serta bahaya yang ditimbulkan
dari perampokan, bukan hanya mengancam harta bahkan nyawa21. Dalam
surah al-Maidah ayat (33) Allah berfirman:
☺
⌧
20 Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Abdul Qadir Audah…, h. 182
21 Jaenal Aripin, M. Askal Salim GP, (editor), Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek, dan Tantangan…, h. 133
29
⌧ )٣٣ :ئدة الما (
Artinya: “sesungguhnya balasan bagi orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka itu dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya), yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar”
Sangatlah jelas maksud ayat di atas, menegaskan bahwa tindak pidana
perampokan merupakan kejahatan yang dikategorikan melawan Allah dan
Rasulnya. Karena perampokan dapat meresahkan dan mengganggu keamanan
masyarakat umum.
Ada empat macam hukuman bagi pelaku tindak pidana perampokan
(hirabah), dan empat macam hukuman ini dikenakan pada pelaku dilihat dari
kadar perbuatannya.
1) hukuman mati
2) hukuman mati dan salib
3) hukuman potong tangan dan kaki
4) hukuman pengasingan22
22 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), Cet,
Ke- 1, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004), h. 149-151
30
C. Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dalam Hukum Islam
Melihat doktrin hukum Islam yang merupakan the living law di Indonesia
yang penduduknya mayoritas muslim dan terbesar di dunia, di sebutkan dalam
mengeksekusi terpidana mati haruslah memenuhi syarat ihsan al-qathlu (eksekusi
yang paling baik) yakni, melakukan eksekusi dengan cara yang paling baik,
sehingga mempermudah kematian. Bahwa yang diajarkan oleh Islam, setiap orang
di suruh untuk melakukan perbuatan, bahkan bukan hanya perbuatan, mau
berbicara, bersikap, berbuat apapun juga termasuk dalam membunuh kalau
memang itu di syariatkan untuk membunuh maka harus dilakukan dengan jalan
yang baik. Bahwa dalam peperangan misalnya, orang Islam tetap dilarang untuk
melakukan mamatsal atau mencincang atau menyiksa musuh sebelum dibunuh.
Sebelum maupun sesudah mati musuh tidak boleh diperlakukan dengan jelek,
artinya disiksa sebelum dibunuh maupun dicincang sesudah dia mengalami
kematian23. Bukan hanya itu, bahkan untuk menyembelih binatangpun Islam
mengajarkan agar kita melakukan dengan baik24, salah satu contoh hadis yang
diriwayatkan oleh Muslim:
يبأ نع ةبالق يبأ نع اءذالح دالخ نع ةيلع نب لياعمسإ انثدح ةبيش يبأ نب ركب وبأ انثدح نإ الق ملس و هيلع اهللا ىلص هللا لوسر نع امهتظفح انتنثإ الق سوأ نب اددش نع ثعشاأل
23 Muhammad Iqbal, Fiqih Siayasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, Cet, Ke-2,
(Jakarta: Yofa Mulia Offset, 2007), h. 258
24 Yusuf al-Qaradhawi, Retorika Islam: Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam, terj. H.M Abdul Noor Ridlo, Cet, Ke- 1, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004), h. 121
31
Artinya, “telah berkata Abu Bakr bin Abi Saybah, dari Isma’il bin ‘Uliyat, dari Khalid al-Haja’, dari Abi Qulabah, dari Abi al-As’ash, dari Saddad bin A’us, mereka memberi kabar dan menghapalnya dari Rasulullah SAW: Sesungguhnya Allah itu telah menetapkan kebaikan atas segala sesuatu, maka apabila kalian membunuh, maka baikkanlah cara membunuhnya, dan apabila kalian menyembelih binatang, maka baikkanlah cara penyembelihannya, dan hendaklah salah seorang di antara kalian itu menajamkan pisau sembelihannya, supaya bisa menenangkan bintang sembelihannya”.
Hadis tersebut adalah hadis yang sahih dimuat oleh Muslim dalam
suruhan untuk membaguskan cara menyembelih dan membunuh dengan
menajamkan pisau, sehingga kalau syariat menetapkan bahwa boleh dilakukan
pembunuhan maka pembunuhan hendaknya dilakukan dengan cara yang paling
baik, yang tidak memberikan sesuatu yang buruk berupa siksaan, oleh karena
untuk menyiksa binatang saja tidak boleh apalagi kalau dilakukan terhadap
manusia. Karena sesungguhnya pemuliaan kepada manusia disyariatkan oleh
Tuhan, bisa dilihat atas sebutan manusia sebagai khalifah di dunia. Dalam Islam
masalah bagaimana eksekusi mati tidak diatur dalam al-Quran, melainkan
dijelaskan dalam beberapa hadis yang isinya antara satu dan yang lainnya tidak
sama. Itulah sebabnya para ulama berbeda pandapatnya dalam masalah ini.
Menurut Hanafiah dan pendapat yang sahih dari Hanabilah, hukuman qishas
dalam jiwa hanya boleh dilaksanakan dengan menggunakan pedang, baik
25 Muslim ibn Hujaz Abu Husaini al- Qusayri al- Naysaburi, Shahih Muslim, juz III,
(Beirut: Penerbit, Daarul al-Ihya Atturas al- Qirobi), h. 1547
32
فيسب اال قواد ال
artinya “tidak ada qishas kecuali dengan pedang” 27.
Menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, hukuman qishas dilaksanakan dengan
alat yang sama yang digunakan oleh pelaku (pembunuh). Tetapi apabila keluarga
sikorban memilih pedang sebagai alat eksekusi, maka hal itu diperbolehkan28.
Dengan alasan mereka adalah al-Quran surat an-Nhal ayat (126)
☺
) ١٢٦ :النحل (
Artinya:“dan jika kamu memberikan balasan maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan padamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang bersabar ”.
Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari al-Barra Ibn ‘Azib,
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
26 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Menurut Alquran, (Jakarta, Diadit Media,
2007), h. 196-197
27 Wahbah Zuhaili, al- Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VI, (Damaskus : Darul-Fikr, 1989), h. 283
28 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Menurut Alquran, h. 197
33
اهنقرغ قرغ نمو ا،نقرح قرح نم
Artinya, “barang siapa membakar seseorang, maka kami akan membakarnya, dan barang siapa menhanyutkannya, maka kami akan menghayutkannya”29.
Untuk pidana selain jiwa, pelaksanaan qishas tidak boleh dengan pedang
atau alat lainnya yang dikhwatirkan akan berlebihan. Oleh karenanya alat yang
digunakan adalah pisau, silet atau sejenisnya yang penggunaanya mudah, praktis
dan tidak akan menimbulkan kelebihan30.
D. Praktik Pidana Mati di Negara-negara Muslim
Sebelumnya perlu dijelaskan di sini maksud dari arti pendefinisian dari
“Negara Muslim” yang digunakan dalam penelitian ini. Dunia muslim saat ini
terbagi-bagi ke dalam sejumlah Negara-bangsa berdaulat yang terpisah-pisah.
Sebagian kecil Negara-negara ini secara khusus menyatakan diri sebagai Republik
Islam, sebagian lain menyatakan Islam adalah agama negara di dalam konstitusi
mereka, namun sebagian besar cuma terindentifikasikan sebagai negara muslim
berdasarkan penduduk mereka yang sebagian besar muslim dan ketaatan
masyarakat pada Islam31. Dalam hal definisi negara muslim penelitian ini satu
kriteria berbeda dari beberapa di atas. Penelitian ini mengambil dan
29 Wahbah Zuhaili, al- Fiqh al-Islami wa Adillatuh, h. 284
30 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Menurut Alquran, h. 198
31 Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, h. 6
34
mendefinisikan negara muslim adalah dari keanggotaan di Organisasi Konferensi
Islam (OKI). Bahwa keseluruhan 57 Negara anggota OKI bisa didefinisikan
sebagai negara muslim di ketahui dari tujuan pertama piagam organisasi tersebut,
yaitu memajukan nilai-nilai spiritual Islam, etis, sosial, dan ekonomi di antara
Negara-negara anggotanya32.
Pada bab sebelumnya sudah dipaparkan macam-macam bentuk pidana
yang diancam dengan pidana mati dan dasar-dasar pemidanaan dalam hukum
Islam. Menjalankan syariat adalah suatu keharusan bagi umat muslim, yang di
makssud menjalankan syariat adalah umat Islam dalam menjalakan kehidupannya
di dunia menjadi keharusan berpedoman pada dasar tuntunan ajaran Islam yaitu,
al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, namun seiring perubahan zaman
dan demikian berubah pula kebutuhan umat manusia yang begitu kompleks
sedangkan permasalahn ini harus direspon atau ditanggapi oleh Islam, maka
sangat dibutuhkan sekali peran ulama atau pemikir Islam dalam ijtihad hukum
yang sesuai zaman atau tafsiran ajaran agama yang sesuai konteks sekarang.
Upaya pembaharuan ajaran Islam tidaklah berarti melanggar syariat, tetapi selalu
memegang prinsip dasar ajaran Islam (al-Quran dan Sunnah). Sebagai contoh
pada bahasan tata cara pelaksanaan pidana mati yang mana sekarang adanya
perubahan cara bentuk pelaksanaannya, seiring dengan perubahan nilai
kemanusiaan serta telah majunya alat tehnologi yang dapat digunakan dalam
32 Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, h. 7
35
melaksanakan hukuman mati untuk menghindari terjadinya rasa sakit yang tidak
diperlukan dalam proses hukuman mati, yang dapat terjadinya penyiksaan
terhadap terpidana mati, maka dunia Islam perlu mempertimbangkan lagi praktik
pidana mati yang selama ini diterapkan.
Pada bahasan ini tidak menjelaskan norma yuridis pidana mati dari
beberapa Negara-negara muslim karena cukup banyak dan tidak terlalu terkait
dalam penelitian ini. Jadi cukup memaparkan tata cara pelaksanaan pidana mati
dari beberapa macam bentuk pidana mati di dunia muslim, sebagaimana
berikut33.
BENTUK PIDANA MATI DI NEGARA-NEGARA MUSLIM No. Nama
Negara Digantung Penggal
Leher Ditembak Dirajam Keterang
an
1. Iran - 2. Irak - 3. Jordan - 4. Arab
Saudi -
5. Qatar - 6. Yaman - 7. Libya -
8. Palestina - 9. Afghanist
an -
10. Malaysia - 11. Indonesia -
33 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-VI/2008 tentang tata cara
pelaksanaan pidana mati.
36
Dari beberapa contoh bentuk pidana mati di Negara-negara muslim dalam
bagan di atas dapatlah dipahami bahwasahnya tata cara pelaksanaan pidana mati
di sebagian dunia muslim masih memakai cara “tradisional” singkatnya belum
menggunakan alat modern lainnya seperti, kursi listrik, suntik mati, dan ruang
gas. Menggunakan Alat-alat modern dimaksudkan adalah upaya menghindari
praktik pidana mati yang dapat menimbulkan penyiksaan dalam proses hukuman
mati. Karena sudah dijelaskan di atas Islam mengajarkan kebaikan dalam segala
tindakan sehari-hari khususnya dalam penerapan hukuman. Namun bukanlah
berarti dari beberapa pilihan tata cara pelaksanaan pidana mati tersebut tidak
menganut asas penghormatan kemanusiaan dalam hukuman mati, karena secara
prisip umum ajaran Islam menganjurkan selalu berbuat baik dalam setiap
perbuatan yang akan dilakukan umat Islam, tidak hanya ketika menerapkan
hukuman namun di setiap asfek kehidupan. khususnya di Indonesia yang mana
penduduknya mayoritas beragama Islam, mempunyai kewajiban untuk
menjalankan prinsip-prinsip yang telah disyariatkan dalam hal ini upaya
menerapkan hukuman mati yang manusiawi, penghormatan atau menjaga
martabat manusia serta menghindari hukuman yang kejam atau keji atau tidak
manusiawi. Upaya penerapan hukuman yang lebih manusiawi dan beradab
terdapat pada sila kedua Pancasila yaitu, “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”
yang mana Pancasila adalah dasar kenegaraan Indonesia dan tercermin ke UUD
1945. Indonesia memakai bentuk tata cara pidana mati dengan cara ditembak
jantung tertera dalam Undang-Undang No. 2/pnps/ 1964 tentang tata cara
37
pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan dilingkungan peradilan
umum dan militer. Apakah cara ditembak jantung bertentangan dengan sila
kemanusiaan atau hukuman yang beradab akan di bahas pada bab selanjutnya.
BAB III
PANDANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
TERHADAP TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI
A. Pidana Mati: Antara Norma Yuridis dan Praktik
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hukuman mati
termasuk dalam kategori sanksi pidana pokok terhadap kejahatan pidana tertentu
yang terdapat dalam beberapa pasal dengan ancaman hukuman mati,1 dan
hukuman mati termasuk salah satu bentuk hukuman yang dapat di jatuhkan
kepada seseorang jika ia terbukti bersalah telah melakukan kejahatan tertentu, dan
dari pandang sudut yuridis pidana mati masih dipertahankan hal tersebut di
dasarkan atas teori absolut (aspek pembalasan) dan teori relatif (aspek
menakutkan).2 Hukuman mati yang diberlakukan di Indonesia tidaklah dapat
diterima semua kalangan khususnya para pakar hukum, pro dan kontra terhadap
pidana mati sudah sejak lama menjadi perdebatan yang hangat hingga sampai
sekarang, kedua pihak mempunyai alasan atau argumen tentang permasalahan
pidana mati namun nyatanya sampai sekarang perdebatan tak menemukan titik
temu atau tak kunjung selesai dan harus diakui pidana mati hingga kini tetap
1 Pasal 10 dalam, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (KUHP)
2 Djoko Prakoso dan Nurwahid, Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, Cet, Ke-1, (Jakarta; Ghia Indonesia, 1989), h. 52
38
39
berlaku di Indonesia. Bahasan ini mencoba memaparkan pidana mati dilihat dari
segi yuridis dan praktik serta menjelaskan perbedaan-perbedaan pendapat dari
tema ini.
1. Pidana Mati Secara Yuridis.
Pidana dipandang suatu nestapa yang kenakan kepada pembuat karena
melakukan delik. Ini bukan tujuan akhir namun tujuan terdekat. Inilah
perbedaan pidana dan tindakan karena tindakan dapat berupa nestapa juga
tetapi bukan tujuan. Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi satu,
yaitu memperbaiki pembuat.3 Tujuan pidana untuk waktu yang panjang dapat
menunjukkan perubahan kearah yang lebih manusiawi dan rasional. Dalam
segi tujuan atau retribution (revenge) bisa memberikan kepuasan pihak yang
dirugikan atau pihak korban kejahatan walaupun dalam hal ini disebut alasan
yang primitif namun masih mempunyai pengaruh terhadap pada zaman
sekarang.4
Sebelum membahas lebih jauh lagi, perlu diketahui dahulu tujuan dan
landasan teori dari pemidanaan itu sendiri karena pembahasan ini tidak dapat
dipisahkan dan dari tujuan pemidanaan, dengan begitu dapat mengetahui
dasar-dasar dan tujuan pidana mati. Ada beberapa pendapat dari tujuan
3 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 27
4 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana..., h. 28
40
pemidaan apabila dilihat dari teori-teori hukum (straf theorien) secara garis
besarnya dapat dibagi atas tiga macam, yaitu:5
Teori absolut atau teori pembalasan (absolute strafrechs theorien).
Menurut teori ini, setiap kejahatan harus dibalas dengan hukuman tanpa
memperhatikan akibat yang mungkin timbul dari dijatuhkan hukuman
tersebut, sehingga teori ini hanya melihat masa lampau, tanpa memperhatikan
masa akan datang, penganut dari teori ini antara lain Kant dan Hegel. Ada
kata-kata Kant yang populer mengenai ini: 6
“andaipun besok dunia akan kiamat, penjahat yang terakhirpun harus tetap dipidana mati pada hari ini” Jadi, menurut teori pembalasan ini tujuan hukuman adalah
penghukuman itu sendiri.
Selanjutnya teori relatif atau teori tujuan (doel theorien). Menurut teori
ini tujuan hukuman adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum,
ada dua tujuan dari pencegahan atau prevensi. Pertama, masyarakat, hukuman
dijatuhkan agar masyarakat tidak melakukan kejahatan atau pelanggaran, di
sebut juga sebagai prevensi umum (generale preventie). Kedua, pembahasan
dari segi terhukum atau terpidana, hukuman dijatuhkan dengan tujuan agar
terhukum tidak melakukan kembali perbuatannya. Dalam artian hukuman
5 Ahkiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, Cet, Ke- 1, (Jakarta: Aksara Persada, 1985), h. 85-87
6 Djoko Prakoso, Masalah Pidana Mati (Soal Jawab), Cet, Ke- 1, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 106
41
yang dijatuhkan untuk memperbaiki diri terhukum agar tidak berbuat kembali,
yang sebut prevensi khusus (special preventie)
Terakhir berdasarkan teori gabungan (verenigings theorien). Menurut
teori ini, hukuman mengandung unsur pembalasan dan pencegahan terhadap
terjadinya kejahatan dan pelanggaran, sehingga tata tertib mayarakat tidak
terganggu, serta memperbaiki pelaku atau si penjahat.
Dari uraian beberapa teori hukum diatas, dapatlah dipahami pidana
mati berdasarkan teori hukum tersebut, memang hingga saat ini para sarjana
hukum masih memberikan jawaban yang berlandaskan teori absolut atau
pembalasan, teori relatif atau tujuan dan teori gabungan ini, dan alasan
penganut tiga teori hukum di atas (absolut,relatif, dan gabungan) adalah dari
segi pencegahan kejahatan dianggap paling efektif untuk menakuti orang
untuk tidak melakukan kejahatan. Walaupun ada pendapat mengatakan
hukuman mati berdasarkan teori di atas saat ini sulit dipertahankan karena
secara fakta berdasarkan teori di atas tidak membuktikan berkurangnya
kejahatan. Pendapat J.E. Sahetapy,7 teori tersebut sulit dipertahankan
kalaupun hendak dipertahankan cukup menjadikannya dalam rangka sumber
referensi saja. Sebab teori tersebut didasarkan pemikiran secara transendental
atau secara “conceptual abtractioan” belum dapat memberikan jawaban yang
memuaskan. Dalam lingkup tujuan pidana mati untuk Indonesia haruslah
7 Ahkiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, h. 89
42
berdasarkan Pancasila sebagai kesadaran hukum, harus diketahui pidana
bukanlah tujuan “an sich” melainkan pidana dilihat sebagai suatu prasarana
atau sarana yang mempunyai tujuan membebaskan. Pembebasan tidak identik
dengan pengertian rehabilitasi atau reformasi namun pembebasan pelaku dari
pikiran jahatnya dan juga dibebaskan dari kenyataan sosial tempat ia
terbelengguh. Mengenai tujuan pemidanaan di Indonesia sebagaimana yang
dirumuskan oleh BPHN dalam konsep rancangan KUHP Nasional sebagai
berikut:8
1. Untuk mencegah dilakukannya perbuatan pidana demi pengayoman
sila masyarakat dan penduduk.
2. Untuk membimbing agar terpidana insaf menjadi anggota masyarakat
berbudi baik dan berguna.
3. Untuk menghilangkan noda yang diakibatkan oleh perbuatan pidana.
Di bawah ini ada bebrapa pendapat yang mendukung diberlakukannya
hukuman mati sebagai berikut:9
1. Lebih efektif dari ancaman hukuman lainnya, karena mempunyai efek
menakuti.
2. Lebih hemat dari hukuman lainnya.
3. Untuk mencegah tindakan publik menghakimi pelaku pidana.
8 Djoko Prakoso, Masalah Pidana Mati (Soal Jawab), h. 94
9 Ahkiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, h. 93
43
4. Satu-satunya hukuman yang dapat ditentukan dengan pasti, karena
pembunuhan yang dijatuhi hukuman seumur hidup, sering mendapat
pengampunan.
5. Anggapan hukuman mati tidak bertanggung jawab dengan
perikamanusiaan, tetapi upaya melindungi bahkan melindungi
perikemanusiaan itu sendiri.
Adapun pendapat pihak yang menolak hukuman mati sebagai berikut:10
1. Hukuman mati tidak selalu efektif sebagai cara menakuti pelaku
pidana.
2. Pembebasan dari hukuman mati tidaklah menimbulkan penghakiman
sendiri oleh publik.
3. Melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan cenderung membenarkan
pembunuhan.
4. Kesalahan dalam peradilan tidak dapat diperbaiki kembali.
5. Hanya tuhan yang berhak mencabut nyawa manusia.
Mereka yang menolak pidana mati menyatakan bahwa pidana mati
tidak layak dilaksanakan karena hanya Tuhanlah yang berhak mencabut
nyawa, selain itu juga tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan yaitu, education
10 Ahkiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, h. 99
44
dan rehabilitation. Negara yang menjalankan pidana mati dianggap tidak
berhasil menyelesaikan masalah namun memberi contoh yang buruk.11
Sebenarnya pro dan kontra hukuman mati, perdebatan kedua pihak
berpandangan dua asas dan konsepsi yang sama. Jika hukuman mati ditentang
karena dipandang tidak efektif dan tidak memiliki efek jera, dan pihak
mendukung hukuman mati berpandangan sebaliknya. Kedua pihak sama-sama
menggunakan asas utilitarian dan deontologis. Asas utilitarian muncul dalam
argumen efek jera, dan asas deontologis muncul dalam argumen hukuman
mati sebagai penandaan atau pemuliaan kehidupan.12
2. Pidana Mati Secara Praktik.
Pada zaman belanda praktik pidana mati di Indonesia dengan cara
digantung, yang tertera dalam KUHP pasal 11.
“pidana mati dijalankan oleh algojo pada tempat gantungan dengan menjerat tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri ”. Setelah kemerdekaan Indonesia memakai tata cara pidana mati
dengan tembak sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang No.
2/pnps/1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati. Ada banyak macam
cara pidana mati didunia, seperti: cara digantung, penggal leher, ditembak,
11 Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan
Masa Depan, Cet, Ke-5, (Jakarta: Ghia Indonesia, 1985), h. 63-64
12 Agung Putri, ”Direktur Eksekutif Elsam, Keharusan Hukum Untuk Mati”, Kompas. (Jakarta), 2 November 2007
45
ruang gas, suntik mati, dan kursi listrik. Di Indonesia terdapat 16 hukuman
mati baik didalam KUHP dan diluarnya yaitu,13 pidana mati yang terdapat
dalam KUHP: Makar membunuh Kepala Negara (pasal 104), mengajak atau
menghasut negara lain menyerang Indonesia (pasal 111 ayat 2), melindungi
atau menolong musuh yang berperang melawan Indonesia (pasal 124 ayat 3),
membunuh Kepala Negara Sahabat (pasal 140 ayat 3), pembunuhan yang
direncanakan terlebih dahulu (pasal 140 ayat 3 dan pasal 340), pencurian
dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih dengan merusak rumah yang
mengakibatkan luka berat atau mati (pasal 365 ayat 4), pembajakan di laut, di
tepi laut, di tepi pantai, di sungai sehingga ada orang yang mati (pasal 444),
menganjurkan pemberontakan atau huru-hara para buruh terhadap perusahaan
pertahanan negara pada waktu perang (pasal 124), waktu perang menipu
dalam menyerahkan barang-barang keperluan angkatan perang (pasal 127 dan
pasal 129), dan pemerasan dengan kekerasan (pasal 368 ayat 2). Dan
hukuman mati yang terdapat di luar KUHP diancam hukuman mati terdapat
peraturan perUndang-Undangan antara lain adalah: Undang-Undang Darurat
No. 12 tahun 1951 tentang senjata api, Penetapan Presiden No. 5 tahun 1959
tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang
memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan
pelaksanaan perlengkapan sandang pangan, Peraturan Pemerintah Pengganti
13 Ahkiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati,,,. h. 29-30
46
UU No. 21 tahun 1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap
tindak pidana ekonomi, UU No. 11/pnps/1963 tentang pemberantasan
kegiatan subversi, UU No. 4 tahun 1976 tentang perubahan dan penambahan
beberapa pasal dalam KUHP perluasan berlakunya ketentuan perUndang-
Undangan pidana, kejahatan, penerbangan, dan kejahatan terhadap
sarana/prasarana penerbangan, dan UU No. 9 tahun 1976 tentang narkotika.
selanjutnya secara praktik setidaknnya ada tiga jenis tindakan pembunuhan
oleh Negara yang mengemuka saat ini:14
(a) hukuman mati berdasarkan due process of law. Misalnya
pengadilan perkara narkoba, sekalipun masih perlu ditinjau lebih
jauh, boleh digolongkan sebagai pengadilan dengan sanksi
hukuman mati yang due process of law.
(b) hukuman mati tidak berdasarkan due process of law. Ini telah
terjadi pada pengadilan-pengadilan politik seperti yang dialami
oleh terdakwa kasus pembajakan pesawat woyla, terdakwa
peristiwa G3OS. Khusus yang terakhir bahkan Mahkamah Militer
luar biasa tidak memiliki prosedur banding.
(c) selain dua jenis diatas proses hukuman ini, aparatur Negara juga
menghukum tanpa melalui pengadilan, disebut extra-yudicial
14 Agung Putri, Direktur Eksekutif Elsam,,,. 2 November 2007
47
killings.15 Ini dilakukan oleh aparat keamanan kepolisian dan
militer dan bukan berdasarkan keputusan pengadilan atau perintah
Kejaksaan Agung. Ini paling banyak memakan korban, terutama di
daerah konflik, seperti aceh, papua, dll. Misalnya, petugas
Kepolisian Resort Khusus Bandara Soekarno Hatta, menembak
mati dua tersangka pencuri (Roni Pettera, 31 tahun dan Davit
Permando, 18 tahun) biasa beroperasi di Bandara Soekarno Hatta.
Ditembak karena berusaha lari ketika diminta menunjukkan tempat
persembunyian komplotan mereka.16
Tiga jenis ini dapat diberlangsung bersamaan, dalam keadaan damai
ataupun dalam suatu operasi militer. Pendapat Harkristuti Harkrisnowo17,
mengatakan vonis hukuman mati di Indonesia berbeda dengan yang berlaku di
Negara lain. Di Indonesia tidak ada standar waktu kapan suatu proses hukum
selesai dari tingkat peradilan ke peradilan tingkat lainnya. Waktu pemberian
atau menolak grasi sering sampai bertahun-tahun dari diajukannya
permohonan menjadi kurangnya efek jera. Dalam ruang lingkup praktik
15 Exra judisial: di luar acara peradilan, lihat. Chrustine S.T. Kansil, Kamus Istilah Aneka
Hukum, Cet, Ke- 3, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004), h. 10
16 ”Dua Pencuri di Bandara ditembak Mati” Topik diakses 30 Agustus 2009 dari http://www.ui.ac.id/download/kliping/040205/Dua_Pencuri_di_Bandara_Ditembak_Mati.pdf
17 Sinar Harapan, Taggal 13 Juli Tahun 2004, Haman 7 Kolom 1-3, lihat http://www.ui.ac.id/download/kliping/140704/Efek_Jera_Hukuman_Mati_Dipertanyakan.pdf, diakses, 30 Agustus 2009
48
hukum mati, bagi pihak yang menolak tegas dengan alasan:18 hukuman mati
melanggar hak hidup (right to life) seseorang yang tidak dapat dikurangi atau
hak yang fundamental (non-derogable right), dan juga atas dasar realitas
pelaksanaan hukuman di Indonesia masih tidak netral dan korup. Dalam
maksud secara praktik hukuman mati terjadi pada mereka yang lemah secara
hukum dan politik, sebaliknya bagi mereka yang mempunyai kekuatan atau
pengaruh. Berbeda dengan pendapat mantan Jaksa Agung Abdul Rahman
Saleh, yang mengatakan pengahapusan hukuman mati di Indonesia belum bisa
dilakukan karena institusi penegak hukum masih lemah, seperti kepolisian dan
kejaksaan, serta institusi pemasyarakatan masih lemah. Bila hukuman mati
ditiadakan situasi Indonesia makin memburuk, khusunya pada kasus narkotika
dan obat-obatan yang berbahaya.19 Terlepas dari perdebatan pro dan kontra
berlakunya hukuman mati. Dari berbagai macam cara pidana mati tersebut
yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat penghormatan nilai-nilai
kemanusiaan dalam mengeksekusi pelaku terpidana mati, dalam artian upaya
menjaga martabat dan derajat kemanusiaan dihadapan hukum.
18 Berita Kontras, Hukuman Mati Di Indonesia: Matinya Hukum Nurani, (Jakarta) No.
02/III-VI/2005 h. 5
19 Kejaksaan Agung Tolak Penghapusan Hukum Mati, Kompas, (Jakarta) 16 Desember 2004 h.7
49
B. Materi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-VI/2008
Terpidana mati kasus bom Bali Amrozi dan kawan-kawan dijatuhi
hukuman mati pada tahun 2003 oleh Pengadilan Negeri Denpasar karena
bertanggung jawab atas tragedi bom Bali, Oktober 2002 yang mengkibatkan
korban tewas 202 dan 209 lainnya terluka.20
Ketiga terpidana mati mengajukan pengujian Undang-Undang (yudicial
review) kepada Mahkamah Konstitusi Pada tanggal 6 agustus 2008, telah diterima
dan terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, dengan regisrasi perkara
Nomor 21/PUU-VI/2008, yang telah diperbaiki dan diterima di kepaniteraan
Mahkamah tanggal 26 agustus 2008, dan diperbaiki kembali pada tanggal 27
agustus 2008, mengemukakan hal-hal sebagai berikut: pemohon dengan ini
mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang (“PUU”) tentang norma-
norma yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 02/pnps/1964 tentang tata
cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum dan militer (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38) yang
ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1964 tentang berbagai penetapan presiden dan peraturan presiden sebagai
Undang-Undang. Yang diajukan oleh: Amrozi bin Nurhasyim, Ali Ghufron bin
20 Nasional: “Eksekusi di Bukit Nirbaya”, Majalah Tempo,(Jakarta), Edisi 10-16
November 2008, h. 28
50
Nurhasyim als. Muklas, dan Abdul Azis als. Imam Samudra (terpidana mati
kasus bom Bali)
Berdasarkan Surat Kuasa Nomor 01.TPM-Pst.Sku.MK.VIII.2006 tanggal
16 Agustus 2006, memberi kuasa kepada: A. Wirawan Adnan, SH., H.M.
Mahendradatta, SH., MA., MH., H. Achmad Michdan, SH., Akhmad Kholid, SH.,
Qadar Faisal, SH., Fahmi Bahmid, SH., Agus Setiawan., SH., Rita, SH., Gilroy
Arinoviandi, SH., Sutejo Sapto Jalu, SH., Hery Susanto, SH., Guntur Fattahillah,
SH., Muannas, SH., dan Abdul Rahim, SH., semuanya berprofesi sebagai
Advokat dan Penasehat Hukum, yang tergabung dalam Tim Pengacara Muslim
Pusat, beralamat di Jalan Pinang I Nomor 9 Pondok Labu Jakarta Selatan 12450,
bertindak untuk dan atas nama Pemohon. Mahkamh konstitusi telah membaca
permohonan dari pemohon, telah mendengar keterangan dari pemohon, telah
mendengar dan membaca keterangan tertulis dari pemerintah, telah memeriksa
bukti-bukti, telah mendengar keterangan saksi dan para ahli dari pemohon, dan
telah membaca kesimpulan tertulis dari pemohon.
Dalam pengujian Undang-Undang, yang terdapat di putusan Nomor
21/PUU-VI/2008 pemohon mengajukan dua pengujian (yudicial review) dari
Undang-Undang ini yaitu:
a) permohonan pengujian formil
Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf “a” UU MK, perihal
Undang-Undang yang dapat dimohonkan untuk diuji oleh Mahkamah
Konstitusi adalah Undang-Undang yang pembentukannya tidak memenuhi
51
ketentuan berdasarkan UUD 1945. Bahwa menurut Pemohon Undang-Undang
Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan
Militer (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38) yang telah ditetapkan
menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969,
merupakan Undang-Undang yang pembentukannya tidak memenuhi
ketentuan UUD 1945, berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut;
1. Bahwa Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 (UU
2/Pnps/1964), merupakan Undang-Undang yang pembentukannya
didasarkan pada Penetapan Presiden Republik Indonesia.
2. Bahwa Penetapan Presiden a quo, kemudian menjadi Undang-Undang
adalah karena diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969
tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan
Presiden sebagai Undang-Undang (UU 5/1969).
3. Bahwa Penetapan Presiden a quo merupakan Penetapan Presiden yang
dimaksud oleh Pasal 2 UU 5/1969 yang berbunyi:
“Terhitung sejak disahkannya Undang-Undang ini, menyatakan Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden sebagaimana termaksud dalam Lampiran IIA dan IIB Undang-Undang ini, sebagai Undang-Undang dengan ketentuan, bahwa materi Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan bagi penyusunan Undang-Undang yang baru”.
4. Bahwa UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969 adalah Undang-Undang
yang pembentukannya dilakukan dengan cara disahkan oleh Presiden
52
Republik Indonesia dengan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong.
5. Bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) bukan
lembaga perwakilan rakyat sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945,
karena DPR-GR dibentuk atas dasar Penetapan Presiden dan
anggotanya juga diangkat oleh Presiden, sedang Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) sebagaimana dimaksud oleh Pasal 19 Amandemen
UUD 1945, anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
6. Bahwa pembentukan Undang-Undang menurut UUD 1945 adalah
sebagaimana tersebut dalam Pasal 20 Amandemen UUD 1945, maka
pembentukan UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969 tidak sesuai dengan
Pasal 20 tersebut.
7. Bahwa dengan demikian, tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
dengan cara ditembak hingga mati oleh Regu Penembak, yang selama
ini dijalankan di negara kita, Republik Indonesia, merupakan tata cara
yang didasarkan pada Undang-Undang yang pembentukannya tidak
sesuai dengan UUD 1945.
8. Bahwa merupakan fakta hukum, UU 2/Pnps/1964 yang telah
diwajibkan oleh UU 5/1969 untuk diadakan perbaikan/penyempurnaan
dalam arti bahwa materi dari penetapan tersebut dijadikan bahan untuk
penyusunan Undang-Undang baru, hingga permohonan diajukan ke
Mahkamah Konstitusi belum pernah ada perbaikan maupun
53
penyempurnaan terhadap Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati di
Indonesia
b) permohonan pengujian materil
Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf “b” UU MK, perihal
Undang-Undang yang dapat dimohonkan untuk diuji oleh Mahkamah
Konstitusi adalah Undang-Undang yang materi muatan dalam ayat, pasal,
dan/atau bagian Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945. Bahwa
menurut Pemohon UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969, adalah Undang-
Undang yang materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-
Undang bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28I ayat (1)
perubahan kedua,21 berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut;
1. Bahwa Pasal 28I ayat (1), berbunyi sebagai berikut:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun“
2. Bahwa Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dengan cara ditembak
hingga mati oleh Regu Penembak sebagaimana ditentukan dalam UU
2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969, adalah penyiksaan terhadap
Terpidana, karena alasan-alasan sebagai berikut:
21 Undang-Undang Dasar 1945, Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD 1945
Secara Lengkap, Cet, Ke- 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 23
54
Pasal 1 dari UU 2/Pnps/1964, menentukan bahwa hukuman mati
dengan cara ditembak dilakukan dengan cara ditembak hingga mati.
Kalimat ini menimbulkan pengertian bahwa kematian yang akan
diterima oleh Terpidana tidak sekaligus terjadi dalam “satu kali
tembakan”, namun harus dilakukan secara berkali-kali hingga mati.
Dengan demikian terjadi penderitaan yang amat sangat sebelum
terpidana akhirnya mati.
Pasal 14 ayat (4) dari UU 2/Pnps/1964 lebih memberikan penegasan
atas kemungkinan tidak terjadinya kematian dalam satu kali tembakan,
sehingga diperlukan tembakan pengakhir, dengan kalimat Undang-
Undang yang berbunyi:
“Apabila setelah penembakan, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir…” Sebelum tembakan pengakhir tersebut berarti Undang-Undang ini
mengakui bahwa terpidana masih hidup, padahal dia sudah dalam
keadaan tertembak dan tentunya dalam keadaan berlumuran darah,
sehingga dalam keadaan tersiksa yang amat sangat, sebelum akhirnya
mati oleh tembakan pengakhir.
3. Bahwa Regu Penembak yang diberi tugas untuk mengeksekusi
terpidana menurut UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969, diharuskan
membidik pada jantung terpidana, Pasal 14 ayat (3) namun pada Pasal
55
14 ayat (4) menentukan untuk mengarahkan tembakan pengakhir
dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana
tepat di atas telinganya. Dengan demikian tata cara ini tidak
memberikan kepastian akan “tiadanya penyiksaan” dalam proses
kematiannya terpidana. Jika menurut pembentuk Undang-Undang
yang bisa mengakibatkan kematian langsung adalah tembakan di atas
telinga terpidana mengapa ada tata cara yang mengharuskan membidik
pada “jantung”. Artinya, pembentuk Undang-Undang tidak meyakini
bahwa tembakan pada jantung akan mengakibatkan kematian
langsung, sehingga ada ketentuan Pasal 14 ayat (4) tersebut.
4. Bahwa meskipun seorang warga negara Indonesia itu statusnya adalah
Terpidana maka menurut UUD 1945, khususnya Pasal 28I ayat (1),
tetap dijamin hak asasi manusianya, sehingga penyiksaan terhadapnya
dengan menggunakan tata cara pelaksanaan hukuman mati
berdasarkan UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969, merupakan
pelanggaran atas hak konstitusionalnya, dengan demikian UU
2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969 materinya jelas bertentangan dengan
UUD 1945.
56
C. Doktrin Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-
VI/2008
Ada beberapa penjelasan terhadap Undang-Undang Nomor 2/pnps/1964
tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di
Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor
38). Penjelasan atau beberapa alasan pertimbangan hukum sebagai doktrin hukum
terhadap berlakuya Undang-Undang ini (Undang-Undang Nomor 2/pnps/1964)
baik secara formil maupun materil yang mana bagi pemohon dalam
permohonannya menyatakan Undang-Undang tersebut bertentangan dengan
UUD 1945. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat dari
formil pembentukkan maupun materil Undang-Undang, Mahkamah Kostitusi
dalam hal ini yang harus dipertimbangkan adalah apakah UU 5/pnps/1964 tentang
tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan dilingkungan
peradilan umum dan militer tidak memenuhi syarat-syarat formil penbentukkan
Undang-Undang yang ditentukan dalam UUD 1945 (uji formil), dan apakah pasal
1, pasal 14 ayat (3) dan ayat (4) UU 2/pnps/1964 bertentangan dengan pasal 28I
ayat (1) UUD 1945 (uji materil). Akan dipaparkan Sebagaimana berikut:22
Pendapat Mahkamah tentang pengujian formil:
a. Bentuk hukumnya UUD 1945 memang tidak mengatur produk hukum
dengan nama Penetapan Presiden, namun hal ini dikoreksi dengan UU
22 Putusan Mahkamah Konstitusi….
57
5/1969 atas perintah ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 dan
ketetapan MPRS Nomor XXXIX/MPRS/1968. kedua ketetapan Majlis
Permusyawarakatan Rakyat Sementara (MPRS) berisi perintah untuk
meninjau kembali terhadap status hukum atas Penetapan Presiden dan
Peraturan Presiden. Konsideran UU 5/1969 berbunyi:
“bahwa dalam rangka pemurnian produk-produk legislatif yang berbentuk penetapan-penetapan presiden dan peraturan-peraturan presiden yang dikeluarkan sejak tanggal 5 juli 1959” dan “bahwah penetapan-penetapan presiden dan peraturan-peraturan presiden yang materinya sesuai dengan suara hati nurani rakyat perlu dinyatakan sebagai Undang-Undang”
Dengan alasan tersebut maka Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964
termasuk Penetapan Presiden (penpres) yang dijadikan Undang-Undang
yaitu menjadi UU 2/pnps/1964. kata “pnps” sekedar sebagai tanda bahwa
Undang-Undang tersebut berasal dari penetapan presiden, dan Undang-
Undang ini masih sesuai dengan aspirasi hati nurani rakyat karena
merupakan pembeharuan terhadap ketentuan pasal 11 KUHP.
b. Setelah UU 5/1969 mengatakan UU 2/pnps/1964 berlaku, maka prosedur
pembuatannya sudah sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) dan pasal
20 ayat (1) UUD 1945, yaitu ditetapkan oleh Presiden atas persetujuan
DPR, dalam hal ini DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong)
yang membentuk UU No 5/1969 dan menyatakan Penetapan Presiden
Nomor 2 Tahun 1964 sebagai UU 2/pnps/1964 adalah Presiden dan DPR
58
yang sah pada masa transisi ketatanegaraan dari Orde Lama ke Orde Baru
dan telah diterima dan diakui rakyat Indonesia.
c. Bahwa pasal 11 Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum perubahan yang
berbunyi:
“segala badan Negara dan peraturan yang ada masih lansung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang dasar ini” dan pasal 1 aturan peralihan UUD 1945 setelah perubahan yang berbunyi
“setelah peraturan perUndang-Undangan yang ada masih berlaku tetap berlaku selama belum diadakan yang baru yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan pidana mati belum ada”.
Pendapat Mahkamah tentang pengujian materil:
Selanjutnya adalah pengujian materil UU 2/pnps/1964 khususnya pasal 1,
pasal 14 ayat (3) dan (4) terhadap pasal 28I ayat (1) UUD 1945, pemohon
mendalilkan hukuman mati yang dilakukan dengan cara ditembak hingga mati,
menimbulkan pengertian, kematian yang diterima oleh terpidana tidak sekaligus
terjadi dalam “satu kali tembakan”, namun harus dilakukan secara berkali-kali
hingga mati, sehingga menimbulkan rasa sakit yang amat sangat yang bisa
menimbulkan penyiksaan padahal terpidana matipun tetap memiliki hak
konstitusional untuk tidak disiksa, karena konstitusi Indonesia menjamin hak
bebas dari hukuman yang kejam atau tidak manusiawi. Terhadap dalil pemohon
ini Mahkamah Konstitusi berpendapat sebagaimana berikut:
a. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ukuran yang harus dipedomani
tentang penyiksaan harus mengacu kepada rumusan yang dianut dalam
59
instrumen hukum Hak Asasi Manusia (HAM) dan Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan Kejam Atau Penghukuman Lain Yang Kejam,
Tidak Manusia, Atau Merendahkan Martabat Manusia. Konvensi yang
mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan
atau penghukuman lain yang lain yang kejam, tidak manusia, atau
merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari
atau dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat publik (publik authority)
juga tidak dapat digunakan sebagi pembenaran atau suatu penyiksaan.23
Adapun penyiksaan yang diatur dalam konvensi ini tidak mencakup rasa sakit
atau penderitaan yang timbul, melekat, atau diakibatkan oleh sanksi hukum
yang berlaku.24
b. Bahwa alasan Indonesia menjadi Negara pihak konvensi yang menentang
penyiksaan tersebut di atas, antara lain disebutan: (1) Pancasila sebagai dan
pandangan hidup bangsa Indonesia dan UUD 1945 sebagai sumber dan
landasan hukum Nasional, menjungjung tinggi harkat dan martabat manusia
seperti tercermin dalam sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Asas ini
merupakan amanat konstitusional untuk mencegah dan pelarangan segala
bentuk penyiksaan, sesuai dengan konvensi ini. (2) dalam rangka pengamalan
23 Lihat pasal 1 angka 4 (empat) UU No 5 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
24 Lihat UU No 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaandan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusia, Atau Merendahkan Martabat Manusia)
60
Pancasila dan pelaksanaaan UUD 1945, Indonesia pada dasarnya telah
menetapkan peraturan perundang-undangan yang langsung mencegah dan
pelarangan segala bentuk penyiksaan yang tidak manusiawi dan merendahkan
martabat manusia, namun perUndang-Undang itu karena belum sepenuhnya
sesuai dengan konvensi, masih perlu disempurnakan.
c. Bahwa rasa sakit yang disebut penyiksaan, bukanlah sesuatu yang terjadi
secara alamiah dan wajar, melainkan dilakukan secara sengaja dan melawan
hukum untuk tujuan tertentu diluar kehendak mereka yang disiksa. Dalam hal
ini rasa sakit yang timbul dan melekat dalam pelaksanaan pidana mati adalah
sesuatu yang tidak dapat dihindari akan timbul dalam tiap cara pelaksanaan
pemilihan tata cara pelaksanaannya, melainkan dalam setiap pidana mati yang
dijatuhkan hakim yang oleh Mahkamah telah dinyatakan sebagai sesuatu yang
konstitusional.25
Mahkamah memberikan ukuran yang perlu dipedomani untuk
menghindari pelaksanaan pidana mati yang menimbulkan penderitaan terpidana
secara berkepanjangan, dan siksaan yang dirasakan, diukur bukan hanya dari
subjektif terpidana sendiri, melainkan juga dari objektif masyarakat. Yang akan
melihat pokok persoalan demikian dari hal-hal berikut:
25 Lihat ketentuan-ketentuan pokok dalam UU No 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan
Konvensi Menentang Penyiksaandan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusia, Atau Merendahkan Martabat Manusia.
61
1) ukuran dalam menentukan apakah suatu tata cara pelaksanaan pidana
mati merupakan sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa,
dapat dinilai dari pelaksanaan, yaitu: (i) jika cara yang dilakukan
menimbulkan penderitaan yang panjang dan tidak diperlukan dalam
menimbulkan kematian, (ii) bertentangan dengan ukuran kesusilaan
yang dianut dalam masyarakat dan, (iii) tidak menjaga dan
mempertahankan harkat mertabat terpidana sebagi manusia.
2) pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak hingga mati tidak
selalu terjadi dalam “satu kali tembakan”, namun ada akalanya
dilakukan dengan tembakan pengakhir, karena tidak ada jaminan
penembakan sekali oleh regu tembak dapat menimbulkan kematian
bagi terpidana. Dengan demikian, tetap ada dua kemungkinan bahwa
penembakan yang dilakukan oleh regu tembak dapat lansung
mematikan dan juga dapat tidak langsung mematikan, hal mana telah
menyebabkan bahwa tata cara yang dilakukan dapat menimbulkan
penderitaan yang tidak diperlukan oleh terpidana untuk menimbulkan
kematian.
3) keterangan para ahli yang diajukan oleh pemohon telah menyatakan
adanya cara-cara pelaksanaan pidana mati lainnya yang dikenal, yaitu
dengan cara pancung, di kursi listrik, disuntik, digantung sampai mati,
dan khususnya menurut hukum Islam dikenal juga dengan hukuman
rajam sampai mati. Dari keterangan para ahli tersebut diketahui pidana
62
mati dengan disuntik mati yang dilakukan dengan didahului
pembiusan, kalau dilakukan oleh orang yang ahli tidak menimbulkan
penderitaan yang tidak perlu, sedangkan hukuman pancung, kalau
dilakukan ditempat yang tepat akan menimbulkan kematian segera,
karena dalam waktu 7 (tujuh) sampai dengan 12 (dua belas) detik
berhentinya darah ke otak menyebabkan kematian. Demikian uga
hukuman gantung, kalau letak tali tepat di batang leher dan berat
badan terpidana cukup, maka dampak kematian juga terjadi secara
cukup cepat.
4) meskipun perkembangan pengetahuan dan tehnologi perlu
dimanfaatkan dalam penegakan hukum, khususnya dalam tata cara
pelaksanaan pidana mati, namun berkurangnya penderitaan atau rasa
sakit itu sendiri bukanlah merupakan alasan yang cukup dalam menilai
konstitusionalitas norma dalam UU 2/pnps/1964 tersebut, karena
pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak sampai mati juga
sesungguhnya dapat berlansung secara cepat, sesuai dengan
keterangan ahli, apabila tembakan tepat pada jantung terpidana.
selain dari pertimbangan diatas, baik pidana mati dengan cara dipancung,
digantung, maupun ditembak mati dapat menimbulkan efek kematian secara cepat
jika dilakukan dengan tepat. Akan tetapi, cara pelaksanaan pidana mati haruslah
mempertimbangkan harkat dan martabat terpidana mati. Menurut Mahkamah
63
pidana mati dilakukan dengan ditembak secara tepat dapat menimbulkan
kematian cepat dengan tetap menjaga harkat dan martabat terpidana mati.
Bisa diambil kesimpulan dari beberapa pendapat Mahkamah Konstitusi
dalam tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia haruslah menjaga martabat
manusia dan hukuman yang beradab.
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Analisis Hukum Islam Terhadap Pertimbangan Hukum Formil dan Materil
Putusan
Pada bab sebelumnya sudah dijelaskan norma-norma hukum pidana Islam,
namun dalam pembahasan sekarang, mencoba menganalisis pendapat Mahkamah
Konstitusi baik dari formil maupun matril dari perspektif Islam. Dalam pokok
permohonan pemohon mengajukan dua pengujian baik secara formil
pembentukkannya maupun secara materil. Mahkamah Kostitusi dalam hal ini
yang harus dipertimbangkan adalah apakah UU 2/pnps/1964 tentang tata cara
pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan dilingkungan peradilan
umum dan militer tidak memenuhi syarat-syarat formil penbentukkan Undang-
Undang yang ditentukan dalam UUD 1945 (uji formil), dan apakah pasal 1, pasal
14 ayat (3) dan ayat (4) UU 2/pnps/1964 bertentangan dengan pasal 28I ayat (1)
UUD 1945 (uji materil).
1 Analisis formil pembentukkan Undang-Undang:
Legislatif atau kekuasaan legislatif dalam fiqih siyasah di sebut juga
dengan al-sulthah al- tasyri’iyah, yaitu kekuasaan pemerintahan Islam
dalam membuat dan menetapkan hukum. Menurut Islam, tidak seorang
64
65
pun berhak menetapkan suatu hukum yang akan di berlakukan bagi umat
Islam.
Istilah al-sulthah al-tasyri’iyah di gunakan untuk menunjukkan salah
satu kewenangan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatur
masalah kenegaraan, di samping kekuasaan eksekutif (al-sulthah al-
tanfidziyah) dan kekuasaan yudikatif (al- sulthah al- qadha’iyah). Dalam
konstitusi ini, kekuasaan legislatif (al- sulthah al- tasyri’iyah) berarti
kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum
yang akan di berlakukan dan di laksanakan oleh masyarakatnya
berdasarkan ketentuan yang di turunkan Allah SWT dalam syariat Islam.
Dengan demikian, unsur-unsur legislatif dalam Islam meliputi:
a. pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan
hukum yang akan di berlakuakan dalam masyarakat Islam.
b. masyarakat Islam yang akan melaksanakannya.
c. isi peraturan atau hukum itu sendiri yang harus sesuai dengan
nilai-nilai dasar syariat Islam.
Dengan kata lain, dalam al- sulthah al- tasyri’iyah pemerintah
melakukan tugas siyasah syari’ah-nya untuk membentuk suatu hukum
yang akan di berlakukan di dalam masyarakat Islam demi kemaslahatan
umat Islam sesuai dengan semangat ajaran Islam. Sebenarnya, pembagian
kekuasaan, dengan beberapa kekhususan dan perbedaan, telah terdapat
66
dalam pemerintahan Islam jauh sebelum pemerintahan Barat menemukan
teori mereka tentang trias politica.1
Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang terpenting dalam
pemerintahan Islam, karena ketentuan dan ketetapan yang dikeluarkan
lembaga legislatif ini akan di laksanakan secara efektif oleh lembaga
eksekutif dan akan di pertahankan oleh lembaga yudikatif atau peradilan.
Orang-orang yang duduk di lembaga legislatif ini terdiri dari para
Mujtahid dan ahli fatwa (Mufti) serta para pakar dalam berbagai bidang.
Karena menetapkan syariat hanya wewenang Allah, maka wewenang dan
tugas lembaga legislatif hanya menggali dan memahami sumber-sumber
syariat Islam, yaitu al-Quran dan sunnah Nabi, dan menjelaskan hukum-
hukum yang terkandung di dalamnya. Undang-Undang dan peraturan
yang akan dikeluarkan oleh lembaga harus mengikuti ketentuan-
ketentuan kedua sumber syariat Islam tersebut. Oleh karena itu, dalam hal
ini terdapat dua fungsi lembaga legislatif. Pertama, dalam hal-hal yang
ketentuannya sudah terdapat di dalam nash al-Quran dan Sunnah,
Undang-Undang yang dikeluarkan oleh al-sulthah al-tasyri’iyah adalah
Undang-Undang ilahiyah yang disyariatkannya dalam al-Quran dan
dijelaskan oleh Nabi SAW. Namun hal ini sangat sedikit, karena pada
prinsipnya kedua sumber ajaran Islam tersebut banyak berbicara masalah-
1 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cet Ke- 2 (Gaya
Media Pratama, 2007), h. 161-162
67
masalah yang global dan sedikit sekali menjelaskan suatu permasalahan
secara rinci. Sementara perkembangan masyarakat begitu cepat dan
kompleks sehingga membutuhkan jawaban yang tepat untuk
mengatisipasinya.
Oleh karena itu, kekuasaan legislatif menjalankan fungsi keduanya,
yaitu melakukan penalaran yang kreatif (ijtihad) terhadap permasalahan
permasalahan yang secara tergas tidak dijelaskan oleh nash. Di sinilah
perlunya al-sulthah al-tasyri’iyah tersebut diisi oleh para mujtahid dan
ahli fatwa sebagaimana dijelaskan di atas. Mereka melakukan ijtihad
untuk menetapkan hukumnya dengan jalan qiyas (analogi). Mereka
berusaha mencari ‘illat atau sebab hukum yang ada dalam permasalahan
yang timbul dan menyesuaikannya dengan ketentuan yang terdapat di
dalam nash. Di samping harus merujuk kepada nash, ijtihad anggota
legislatif harus mengacu kepada prinsip jalb al-masalih dan daf’ al-
mafasid (mengambil maslahat dan menolak kemudaratan). Ijtihad mereka
juga perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi sosial masyarakat, agar
hasil peraturan yang akan diundangkan itu sesuai dengan aspirasi
masyarakat dan tidak memberatkan mereka.2
Pada era modern, sejalan dengan masuknya penjajah Barat ke dunia
Islam sejak abad ke- 19 ide-ide politik dan kenegaraan Barat pun
memulai mengembangkan pengaruhnya terhadap umat Islam, di
2 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,,,.h. 162-163
68
antaranya adalah ide tentang legislatif hukum yang secara praktis terlihat
dalam keberadaan dewan legislatif atau parlemen. Masuknya ide ini
mendapat respon dari kalangan pemikir Islam, mereka mencoba
menanggapi dan melontarkan gagasan tentang legislasi hukum dalam
Negara Islam. Di antara mereka misalnya Muhammad Iqbal, dalam
gagasannya tentang legislasi yang berpangkal pada konsep pemikirannya
tentang Negara. Menurut Iqbal, negara Islam bersifat teokratis, namun
teokrasi di sini berbeda dengan pemahaman konsep teokrasi di Barat.
Pendapat Iqbal teokrasi adalah pemerintahan berdasarkan tauhid dan
menerapkan nilai-nilai (prinsip-prinsip) persamaan, kesetiakawanan, dan
kebebasan yang terkandung dalam tauhid Negara adalah ruang dan
kebebasan yang terkandung dalam tauhid Negara adalah suatu alat untuk
menstranfer prinsip-prinsip tersebut dalam ruang dan waktu. Dalam
pengertian ini, lanjut Iqbal, Negara tidak di dasarkan pada dominasi dan
keistimewaan suatu kelompok manusia atas manusia yang lainnya dan
bertujuan hendak melaksanakan prinsip-prinsip spiritual tauhid adalah
teokrasi. Untuk mentransfer prinsip tauhid ke dalam ruang dan waktu
maka di dunia modern sekarang perlu ijtihad yang kreatif dan berani.
Dalam semangat ini Iqbal mengutip pola pikir Umar ibn al-Khatab.
“hukum Islam akan mampu berevolusi terhadap perkembangan
masyarakat di Negeri-negeri muslim, kalau umat Islam berani
mendekatinya dengan semangat”.
69
Selanjutnya pendapat Iqbal mengenai ijtihad, perlu mengalihkan
kekuasaan ijtihad secara pribadi menjadi ijtihad kolektif yang tergabung
dalam lembaga legislatif. Bagi Iqbal, pada zaman modern ini, peralihan
kekuasaan ijtihad individu yang mewakili mazhab tertentu kepada
lembaga legislatif adalah satu-satunya bentuk ijma’ yang paling tepat.
Hanya dengan cara inilah umat Islam yang selama ini telah hilang dari
dalam tubuh umat Islam. Memang pada zaman Bani Umayyaah dan
Abasiyah bentuk semacam ini tidak berkembang. Ijtihad hanya di
lakukan oleh individu.
Pendapat Iqbal berikutnya, orang-orang yang menduduki lembaga
legislatif tidak hanya para ulama yang ahli dalam hukum Islam, namun
harus juga menepatkan orang awam dalam artian awam tentang hukum
Islam, tetapi mereka ahli dalam masalah kemasyarakat. Berdasarkan
alasan tersebut perlu orang-orang yang ahli dalam dalam bidang
misalnya, ekonomi, sosial, budaya, politik, dan kedokteran. Dalam idenya
tentang lembaga legislatif ini, sayangnya Iqbal tidak secara explicit
menjelaskan bagaimana mekanisme pemilihan anggota-anggotanya.
Memang Iqbal menyatakan bahwa pemilihan merupakan satu-satunya
cara untuk mengekspresikan kehendak umat.3
Dapatlah dimengerti dari penjelasan di atas bahwasahnya proses
pembentukkan Undang-Undang dalam Islam mempunyai kesamaan
3 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,,,.h. 170-173
70
dengan dunia di luar Islam yaitu melalui badan khusus yang menangani
pembentukkan Undang-Undang yang di sebut parlemen (pejabat negara
yang sah), namun ada perbedaan yang mendasar di Islam, yang menjadi
nilai dasar atau prinsip yang harus dianut adalah sumbernya dari al-Quran
dan Sunnah, dan Undang-Undang yang mana hasil ijtihad anggota
legislatif harus mengacu kepada prinsip jalb al-masalih dan daf’ al-
mafasid (mengambil maslahat dan menolak kemudaratan). Ijtihad
mereka juga perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi sosial
masyarakat, agar hasil peraturan yang akan diundangkan itu sesuai
dengan aspirasi masyarakat dan tidak memberatkan mereka. Khusus di
Indonesia yang menjadi dasar pembentukkan Undang-Undang adalah
UUD 1945 dan norma-norma hukum lainnya yang dianut oleh Negara
Indonesia.
Merujuk pada pendapat pemohon yang mengatakan UU No.
5/pnps/1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan
oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum dan militer bertentangan
dengan cara pembentukkan dalam UUD 1945. Mahkamah berpendapat
memang bentuk hukumnya UUD 1945 memang tidak mengatur produk
hukum dengan nama Penetapan Presiden, namun hal ini dikoreksi dengan
UU 5/1969 atas perintah ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 dan
ketetapan MPRS Nomor XXXIX/MPRS/1968. kedua ketetapan Majlis
Permusyawarakatan Rakyat Sementara (MPRS) berisi perintah untuk
71
meninjau kembali terhadap status hukum atas Penetapan Presiden dan
Peraturan Presiden. Konsideran UU 5/1969 berbunyi:
“bahwa dalam rangka pemurnian produk-produk legislatif yang berbentuk penetapan-penetapan presiden dan peraturan-peraturan presiden yang dikeluarkan sejak tanggal 5 juli 1959” dan “bahwah penetapan-penetapan presiden dan peraturan-peraturan presiden yang materinya sesuai dengan suara hati nurani rakyat perlu dinyatakan sebagai Undang-Undang”
Dengan alasan tersebut maka Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun
1964 termasuk Penetapan Presiden (penpres) yang dijadikan Undang-
Undang yaitu menjadi UU 2/pnps/1964. kata “pnps” sekedar sebagai
tanda bahwa Undang-Undang tersebut berasal dari penetapan presiden,
dan Undang-Undang ini masih sesuai dengan aspirasi hati nurani rakyat
karena merupakan pembeharuan terhadap ketentuan pasal 11 KUHP.
Setelah UU 5/1969 mengatakan UU 2/pnps/1964 berlaku, maka
prosedur pembuatannya sudah sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat (1)
dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945, yaitu ditetapkan oleh Presiden atas
persetujuan DPR, dalam hal ini DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong) yang membentuk UU No 5/1969 dan menyatakan
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 sebagai UU 2/pnps/1964
adalah Presiden dan DPR yang sah pada masa transisi ketatanegaraan dari
Orde Lama ke Orde Baru dan telah diterima dan diakui rakyat Indonesia.
Jadi, dapatlah di simpulkan dari penjelasan di atas pendapat
Mahkamah Konstitusi dari formil pembentukkan Undang-Undang tidak
72
bertentangan dengan proses pembentukkan Undang-Undang di Islam,
karena di bentuk oleh pemerintahan yang sah dan menganut norma dasar
atau sumber pembentukkan yang menjamin keadilan hukum serta
menjaga martabat manusia (yang menjadi dasar adalah UUD 1945).
2 Analisis materil putusan Mahkamah Konstitusi;
Menurut Abdul Wahhab Khallap, prinsip-prinsip yang diletakkan
Islam dalam perumusan Undang-Undang adalah jaminan atas hak-hak
asasi manusia setiap anggota masyarakat dan persamaan kedudukan
semua orang di mata hukum, tanpa membeda-bedakan strafikasi sosial,
kekayaan, pendidikan, dan agama.
Pembahasan konstitusi juga berkaitan dengan sumber-sumber dan
kaidah perUndang-Undangan di suatu Negara, baik sumber material,
sumber sejarah, sumber pengundangan maupun sumber penafsirannya.
Sumber material adalah hal-hal yang berkenaan dengan materi pokok
Undang-Undang dasar. Inti persoalan dalam sumber konstitusi ini adalah
peraturan tentang hubungan antara pemerintah dan rakyat yang
diperintah.
Kemudian agar mempunyai kekuatan hukum, sebuah Undang-
Undang yang akan di rumuskan harus mempunyai landasan atau dasar
perundangan. Dengan landasan yang kuat maka Undang-Undang tersebut
akan memiliki kekuatan pula untuk mengikat dan mengatur masyarakat
dalam Negara yang bersangkutan. Sementara sumber penafsiran adalah
73
otoritas para ahli hukum untuk menafsirkan atau menjelaskan hal-hal
yang perlu pada saat Undang-Undang dasar tersebut diterapkan.4
Sumber utama pembentukkan Undang-Undang dasar dalam Islam
adalah al-Quran dan sunnah. Akan tetapi al-Quran bukan Undang-
Undang, al-Quran tidak merinci lebih jauh tentang bagaimana hubungan
pemimpin dan rakyatnya serta hak dan kewajiban mereka masing-
masing, dan al-Quran hanya memuat konsep-konsep dasar atau prinsip
umum pemerintahan Islam secara global saja, maka ayat-ayat tersebut
yang masih global ini kemudian di jelaskan oleh Nabi dalam sunnahnya,
baik berbentuk perkataan, perbuatan, maupun takrir atau ketetapannya.
Namun dalam prakteknya al-Quran dan sunnah tidaklah kaku, sehingga
menyerahkannya kepada umat Islam untuk membentuk dan mengatur
pemerintahan. Serta menyusun konstitusi yang sesuai dengan
perkembangan zaman dan konstitusi sosial masyarakatnya. Dalam hal ini,
dasar-dasar hukum Islam lainnya, seperti Ijma, Qiyas, Ihtihsan, Maslahah
mursalah, dan Urf memegang peranan penting dalam perumusan
konstitusi. Hanya saja, penerapan dasar-dasar tersebut tidak boleh
bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok yang telah di gariskan dalam
al-Quran dan Sunnah.
4 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cet Ke- 2 (Gaya
Media Pratama, 2007), h. 153-154
74
Mengenai materil Undang-Undang tentang tata cara pelaksanaan
pidana mati, dalam hal ini menurut pemohon pengujian Undang-Undang
tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa ukuran yang harus di pedomani tentang penyiksaan
harus mengacu kepada rumusan yang dianut dalam instrumen hukum Hak
Asasi Manusia (HAM) dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan Kejam Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusia,
Atau Merendahkan Martabat Manusia. Konvensi yang mengatur
pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau
penghukuman lain yang lain yang kejam, tidak manusia, atau
merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan
dari atau dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat publik (publik
authority) juga tidak dapat digunakan sebagi pembenaran atau suatu
penyiksaan.5 Adapun penyiksaan yang diatur dalam konvensi ini tidak
mencakup rasa sakit atau penderitaan yang timbul, melekat, atau
diakibatkan oleh sanksi hukum yang berlaku.6
Dan selnjutnya Mahkamah memberikan ukuran yang perlu
dipedomani untuk menghindari pelaksanaan pidana mati yang
5 Lihat pasal 1 angka 4 (empat) UU No 5 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 6 Lihat UU No 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other
Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaandan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusia, Atau Merendahkan Martabat Manusia)
75
menimbulkan penderitaan terpidana secara berkepanjangan, dan siksaan
yang dirasakan, diukur bukan hanya dari subjektif terpidana sendiri,
melainkan juga dari objektif masyarakat. Yang akan melihat pokok
persoalan demikian dari hal-hal berikut, ukuran dalam menentukan
apakah suatu tata cara pelaksanaan pidana mati merupakan sesuatu yang
kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa, dapat dinilai dari pelaksanaan,
yaitu: (i) jika cara yang dilakukan menimbulkan penderitaan yang
panjang dan tidak diperlukan dalam menimbulkan kematian, (ii)
bertentangan dengan ukuran kesusilaan yang dianut dalam masyarakat
dan, (iii) tidak menjaga dan mempertahankan harkat mertabat terpidana
sebagi manusia.
Bertolak dari sifat mulia manusia dalam syariat, tidak ada
pertentangan anatara hukum Islam dan larangan umum penyiksaan, atau
perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat atau
larangan menjadikan manusia sebagai obyek percobaan medis dan ilmiah
tanpa kerelaan subyek. Ada banyak ayat al-Quran dan hadis Nabi yang
memerintahkan kasih sayang dan melarang kekejaman dan penindasan
bahkan pada binatang. Dalam upaya mengikuti prinsip manusiawi syariat
ini, Khlifah Umar Ibn Abdul Aziz, saat menjawab permintaan salah
seorang gebenurnya yang ingin menyiksa mereka yang menolak
76
membayar pajak untuk perbendaharaan publik, pada saat itu khalifah
menjawab sebagai berikut:7
”saya heran dengan permohonan izinmu padaku untuk menyiksa seolah-olah aku bisa menjadi pelindungmu dari amarah Allah, dan kepuasanku akan menyelamatkanmu dari kemarahannya. Begitu kau menerima surat ini, terimalah apa yang telah mereka berikan kepadamu atau mintalah sumpah dari mereka. Demi Allah, sungguh lebh baik bila mereka menghadapi Allah karena pelanggaran mereka dapripada aku mengahdap Allah karena menyiksa mereka”
Dan para Ulama fiqh pun sepakat bahwa penyiksaan atau perlakuan
atau penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi dilarang selama
dalam proses penghukuman. Karena sesungguhnya Islam mengajarkan
prinsip penghormatan kepada individu serta meletakkan nilai
kemanusiaan yang tinggi di dunia yaitu sebagai khalifah, maka walaupun
dalam menghukum pelaku kejahatan harulah tetap menganut prinsip-
prinsip yang telah di ajarkan Islam.
Dari penjelasan di atas dapatlah dipahami dari beberapa pendapat
Mahkamah Konstitusi sangatlah sesuai dengan prinsip-prinsip yang
diajarkan Islam, yang mana pendapat Mahkamah menganut prinsip
penghormatan dan menjaga mertabat manusiawi serta menolak hukuman
yang kejam atau tidak manusia dan hukuman yang dapat menimbulkan
penyiksaan. Dalam pedoman yang dianut oleh Mahkamah tentang
penyiksaan mengacu kepada rumusan yang dianut dalam instrumen
7 Mashood A. Baderin, Hukum Internasioanl Hak Asasi Manusia,,,. h. 76-77
77
hukum Hak Asasi Manusia (HAM) dan Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan Kejam Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak
Manusia, Atau Merendahkan Martabat Manusia, sangatlah bersesuaian
dengan nilai-nilai dasar Islam.
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No
21/PUU-IV/2008
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi, mahkamah berpendapat tata cara
pelakasanaan pidana dengan tembak dijantung dapat menimbulkan kematian yang
cepat dengan tetap menjaga harkat martabat kemanusiaan (terpidana mati).
Asumsinya jantung adalah sebagai pusat hidup, sebagaimana dikutip oleh
Mahkamah dari keterangan ahli (pemohon), jadi apabila tembakan tepat mengenai
jantung dalam waktu 7 (tujuh) sampai 12 (dua belas) detik akan mengakibatkan
kematian dan ini rentang waktu cukup cepat dalam proses eksekusi pidana mati.
Dan menurut Mahkamah proses eksekusi pidana mati dengan tembak tepat pada
jantung tidak dikatakan sebagai atau penyebab terjadinya penyiksaan,
sebagaimana yang oleh pemohon pengujian Undang-Undang terdapatnya
penyiksaan (pasal 1, pasal 14 ayat 3 dan 4 UU 2/pnps/1964 tentang tata cara
pelaksanaan pidana mati). Dan Mahkamah menyadari tembak jantung terkadang
tidaklah dapat dipastikan langsung dapat mematikan, apabila setelah tembak di
jantung masih ada tanda hidup maka dilakukan tembak terakhir atau pamungkas
yaitu, tembak kepala dibagian atas telinga, dan ini menurut Mahkamah upaya
78
tidak menimbulkan rasa sakit yang lama bagi pidana mati dan menghindari
terjadinya penyiksaan. Selanjutnya pemohon juga mengajukan dari keterangan
para ahli bentuk dan proses yang lain pelaksanaan pidana mati seperti, gantung,
pancung, kursi listrik, ruang gas, suntik mati, dan khusus dalam Islam dirajam
sampai mati. Namun pendapat Mahkamah dari beberapa bentuk pelaksanaan
pidana mati adalah bukan dilihat dari proses atau bentuknya tapi ketepatan dan
keahlian atau profesionalitas dalam praktik yang perlu diperhatikan agar tidak
terjadi kesalahan yang menimbulkan penyiksaan. Dan perlu diingat dalam
memaknai penyiksaan Mahkamah merujuk pada prinsip-prinsip Hak Asasi
Manusia (HAM) dan Konvensi Menentang penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusia, atau Merendahkan Martabat
Manusia.8
Telah dijelaskan di bab sebelumnya, dalam Islam untuk eksekusi pidana
mati tidaklah dibolehkan dengan kejam dan keji dengan berlebih-lebihan yang
dapat melecehkan kehormatan dan merendahkan martabat manusia. Bahwa
menurut hukum Islam, hak seseorang, apapun hak itu, sangat suci yang
mempunyai kekebalan dan kebebasan yang tidak bisa diremehkan atau dilanggar
sekalipun oleh Negara9. Kekebasan dalam Islam adalah mutlak10. Kebebasan
8 Lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Pengesahan Convention Against Torture And
Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia)
9 Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam Dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa, Cet, Ke-
1, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 224
79
☺
10 Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syari’ah, terj. Khairon Nahdiyyin, Cet, Ke-I,
(Yokyakarta: LKiS Yokyakarta, 2003), h. 53
80
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih”
Dapat dipahami ajaran firman Allah di atas ialah keadilan hukum dan
prinsip kesamaan hak individu di depan hukum (orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita) serta larangan
berlebihan dalam hukuman.
Umat Islam diajarkan selalu berbuat baik dalam sehari-hari, baik dari
berpakaian maupun dari perbuatan antara sesamanya, bahkan terhadap hewan.11
Misalnya diajarkan dalam menyembelih hewan atau hewan untuk kurban harus
dengan cara yang baik, hendaknya sebelum penyembelihan pisau atau alat
penyembelihan ditajamkan supaya mempercepat proses penyembelihan dan tidak
menimbulakan penyiksaan hewan tersebut. Dapatlah mengambil makna dari
11 Yusuf al-Qaradhawi, Retorika Islam: Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam,
terj. H.M Abdul Noor Ridlo, Cet, Ke- 1, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004), h. 121
81
ajaran tersebut, terhadap hewan dianjurkan dengan perlakuan baik apalagi
terhadap manusia (manusia terhadap manusia lainya). Jadi dalam proses eksekusi
pidana mati haruslah selalu pada batas nilai kemanusiaan. Bahkan dalam perang
Nabi Muhammad SAW melarang umatnya pada saat itu melakukan kekejian
terhadap musuh dan melakukan mamatsal atau mencingcang mayat musuh korban
perang. Penjelasan bagaimana cara atau bentuk pelaksanaan pidana mati tidak
terdapat dalam al-Quran namun terdapat dalam hadis, yang berbeda
penjelasannya dan dalam hadis yang berbeda pula, sehingga terjadi perbedaan
pendapat dikalangan ulama tentang tata cara pelaksanaan pidana mati menurut
Hanafiah dan pendapat yang sahih dari Hanabilah; kejahatan jiwa dilaksanakan
hukuman dengan pedang walaupun waktu pembunuhan dilakukan dengan pedang
atau tidak, sedangkan pendapat dari Malikiyah dan Syafi’iyah dilakukan dengan
alat atau perlakuan yang sama pada saat pembunuhan.12 Terlepas dari perdebatan
bagaimana tata cara pelaksanaan pidana mati, semua ulama sependapat
bahwasahnya dalam melakukan eksekusi terpidana mati harus menjaga nilai-nilai
kemanusiaan dan menghindari perlakuan yang menimbulkan keji dan kejam yang
berlebihan dapat melecehkan kehormatan dan merendahkan martabat manusia.
12 Ahmad Wardi Muslich, hukum pidana menurut al-Quran, Cet, Ke- I, (Jakarta: Diadit
Media, 2007), h. 196-197
82
(keadilan, kehormatan, atau keindahan) dalam al-Quran menekankan ketiganya
sebagai kewajiban normatif.13
Dari penjelasan diatas maka dapatlah dikatakan bahwasahnya pendapat
Mahkamah tentang tata cara pelaksanaan pidana mati sesuai dengan nilai-nilai
Islam dan hukum internasional Hak Asasi Manusia yang termasuk landasan
putusan Mahkamah Konstitusi tidaklah bertentanagan bahkan sesuai nilai-nilai
Islam, khususnya Negara Indonesia yang disebut Negara muslim yang
berdasarkan Pancasila konsekuensinya hukum yang berlaku harus tetap konsisten
dan dilandasi nilai-nilai ketuhanan yang maha esa dan bisa dilihat di setiap
Undang-Undang terdapat kata “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”, Ini
menunjukkan nilai religius.14 Indonesia sudah meratifikasi kovenan internasional
yaitu, declaration of human right Hak Sipil Politik dan Hak Ekonomi Sosial
Budaya dan human right tersebut sangat sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
dalam pembukaan UUD dijumpai rumusan fundamental sekalipun sifatya umum,
yang mengakui betapa asasinya hak-hak kemanusiaan:15 “bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan sebab itu maka penjajahan di atas
bumi harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
13 Khaled Abou El Fadl, Melawan “Tentara Tuhan” Yang Berwenang dan Sewenang-
Wenang Dalam Wacana Islam, terj. M. Mushthafa, Cet, Ke- 1, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta), h. 156
14 Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-Asas Dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, Cet, Ke- II, (Jakarta: Gaya Media Pranata), h. 129 15 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: penyidikan dan
penuntutan, Cet, Ke-6, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 71
83
perikeadilan”. Apabila kita memahami HAM internasional semata-mata sebagai
tujuan kemanusiaan universal untuk melindungi setiap individu dari
penyalahgunaan otoritas Negara dan peningkatan martabat manusia, maka
pendapat bahwa Islam tidak sejalan dengannya tidak bisa dipertahankan. Hal itu
Karena perlindungan dan penigkatan martabat manusia senantiasa merupakan
dasar teori politik dan hukum Islam. Sementara boleh jadi ada beberapa
perdebatan konseptual antara hukum Islam dan hukum Hak Asasi Manusia
Internasional, ini tetap tidak bisa menjadikan keduaya bertentangan.16 Bisa di lihat
usaha penegakkan HAM dalam Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia
dalam Islam ditetapkan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Kairo pada 5
Agustus 1990 dan Indonesia salah anggotanya. Di dalam pasal 20 yang berbunyi:
“tanpa alasan yang sah, dilarang menahan individu, membatasi kebebasannya, mengasingkan atau menghukumnya. Dilarang menjadikan orang disiksa secara fisik dan psikologis, dan segala bentuk penghinaan, kekejaman, dan penistaan. Dilarang juga menjadikan seorang individu sebagai objek percobaan medis dan saintifik tanpa seizinnya atau dengan resiko pada kesehatan dan nyawanya. Dilarang pula mengumumkan aturan darurat yang memberikan kekuasaan eksekutif untuk melaksanaan tindakan d iatas”. Dan masih dalam deklarasi Kairo, Negara menjamin setiap individu setara
di hadapan hukum serta hak mendapatkan keadilan hukum. Tertera dalam pasal
19 huruf (a) dan (b). yang berbunyi:
a) Semua individu setara di hadapan hukum, tanpa perbedaan antara dan yang dikuasai, dan b) Hak untuk mendapatkan keadilan dijamin untuk semua orang.
16 Mashood A. Baderin, Hukukm Internasioanl Hak Asasi Manusia & Hukum Islam, terj.
Musa khazim dan Edwin Arifin, (Komisi Hak Asasi Manusia, 2007), h. 13
84
Sekilas dapatlah di pahami Islam sangatlah mendukung nilai-nilai hak
asasi manusia yang sekarang menjadi acuan prinsip dunia internasional untuk
memajukan dan penghormatan manusia dalam peradaban modern. Dalam konteks
dunia global pada saat ini dunia Islam haruslah merespon dan bersama ikut
memajukan Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Karena sebenarnya dalam
prateknya, hukum Islam telah memberi tempat kepada perubahan-perubahan
sosial. Asal usul hukum sebagai tanggapan terhadap kebutuhan sosial, dan dalam
pokok permasalahan serta metodologinya ia memperlihatkan daya terhadap
perubahan sosial.17 Mashood A, baderin dari Mayer yang telah mencatat bahwa:
khazanah Islam menawarkan banyak konsep filosofis, dan prinsip moral yang
sangat cocok untuk membangun prinsip-prinsip hak asasi manusia. Nilai-nilai dan
prinsip semacam itu bahkan syarat dalam khazanah intelektual Islam pra-
modern.18
17 Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam: Studi Tentang Hidup Dan Pemikiran
Abu Ishaq al-Syathibi, terj. Ahsin Muhammad, Cet, Ke- I, (Jakarta: Pustaka, 1996), h. 21 18 Mashood A. Baderin, Hukukm Internasioanl…, h. 30
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menelaah perspektif hukum Islam dari aspek bahasan pidana mati
serta tata cara pelaksanaan hukuman mati terhadap pandangan Mahkamah
Konstitusi dalam putusan Nomor 21/PUU-VI/2008 yang telah diuraikan dalam
bab-bab sebelumnya, akhirnya penulis dapat simpulkan sebagai berikut:
1. Pidana mati dalam hukum Islam telah di tentukan oleh syariat yang
terdapat di beberapa macam tindak pidana seperti: pembunuhan,
pemberontakkan, perampokan, murtad atau keluar dari Islam, dan zina
muhsan. Dan hukuman mati adalah selain sebagai balasan terhadap
pelaku tindak pidana dan menegakkan keadilan (menjaga hak individu
dan ketentraman masyarakat) juga memberikan pencegahan dan
pendidikan terhadap orang lain agar tidak melakukan tindak pidana.
Bagaimana tata cara pelaksanaan pidana mati dalam hukum Islam
tidak terdapat penjelasan dari al-Quran namun dari beberapa hadis
yang berbeda dan menjadi perbedaan juga dalam pendapat Ulama
fuqaha.
2. Pendapat Mahkamah Konstitusi dalam putusan tentang tata cara
pelaksanaan pidana mati dengan ditembak jantung dan apabila setelah
tembak jantung masih menandakan belum mati maka dilakukan
85
86
tembak kepala tepat diatas telinga dan ini di lakukan untuk
mempercepat kematian supaya tidak menimbulkan rasa sakit yang
tidak perlu dalam proses kematian. Mahkamah Konstitusi menegaskan
eksekusi pidana mati semacam ini tidaklah dikatakan terjadinya
penyiksaan. Dan Mahkamah Konstitusi dalam mengartikan
penyiksaan berpedoman pada Kovenan Hak Asasi Manusia dan
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
Lain yang Kejam, Tidak Manusia, atau Merendahkan Martabat
Manusia. Dan dalam perkara ini Mahkamah berpendapat, bukan
pilihannya pada bentuk atau macam caranya tapi terletak pada pilihan
hukuman yang menjaga martabat manusia, jadi baik cara dengan
gantung, pancung, dan tembak, dll asalkan hukumnya syarat
kemanusiaan.
3. Dalam Islam banyak nilai-nilai dan standar prinsip yang diajarkan
dalam kehidupan dunia. Nilai-nilai dan prinsip pokok penghormatan,
menjaga martabat manusia dan hukum yang syarat manusiawi dalam
menjalankan hukuman yang harus dipenuhi. Tata cara pelaksanaan
pidana mati dari pendapat Mahkamah Konstitusi, dapat di pahami
bahwa syarat dan prinsip dalam menjalankan pidana mati dapat
dikatakan sesuai dengan nilai ajaran Islam yang berupa penghormatan
manusia dan melarang hukuman yang dapat merendahkan martabat
manusia
87
B. Kritik dan Saran
Ada beberapa kritik dan saran yang penulis kemukakan di sini mengenai
tata cara pelaksanaan pidana mati yang berlaku di Indonesia. Kritik dan saran ini
khusus di tujukan kepada Pemerintah, dan Aparat Penegak Hukum. Adapun kritik
dan sarannya dibawah ini:
1. Berlakunya Undang-undang 02/pnps/1964 tentang tata cara
pelaksanaan pidana mati yaitu dengan di tembak jantung, di dalamnya
secara tidak tegas mencabut pasal 11 tata cara pelaksanaan pidana mati
dengan gantung di leher dalam Kitab Undang-undang Pidana (KUHP)
yang sampai saat ini pasal tersebut masih tercantum dalam KUHP,
terkesan adanya dualisme aturan yang akhirnya dapat memunculkan
perdebatan dan kekeliruan serta ketidaksamaan dalam memahami tata
cara pelaksanaan pidana mati. Kedepan di harapkan adanya aturan
khusus untuk mencabut atau penghapusan pasal 11 KUHP.
2. Dalam upaya menjalankan Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan
menegakkan hukum yang bermatabat serta lebih manusiawi, di
harapkan pada pemerintah dan para ahli hukum pidana untuk meninjau
kembali eksekusi mati dengan cara tembak jantung, mengingat di
dunia modern dan kemajuan tehnologi dalam hal ini tata cara
pelaksanaan pidana mati, agar dapat memanfaatkannya guna untuk
eksekusi pidana mati yang lebih cepat proses kematian dan
88
menghindari rasa sakit yang berlebihan diderita oleh terpidana mati
yang dapat menimbulkan penyiksaan.
3. Secara praktik sering terjadi waktu eksekusi mati tertunda hingga
bertahun-tahun, biasanya ini di akibatkan pemohon menunggu
keputusan dari permohonan grasi dari pemerintah. Sedangkan ia sudah
mendapatkan keputusan pengadilan yang inkrah. Untuk ke depan
pemerintah hendaknya memperhatikan masalah waktu ini dan harus
bersikap tegas dalam permohonan grasi.
4. Indonesia masih memberlakukan pidana mati dengan alasan bisa
mengatasi kejahatan serta melihat asas kebermanfaatan “utilitrian” dan
sesuai dengan kehidupan hukum masyarakat Indonesia. Hendaknya
aparat hukum dalam menegakkan hukum yang tegas dan tak pandang
bulu, dan mengingat penegakan hukum di Indonesia saat ini masih
lemah, cenderung tidak netral dan korup. Sehingga dalam praktik
pidana mati juga memihak, akibatnya pidana mati hanya terkena pada
orang yang lemah secara hukum dan status sosial-politik.
DAFTAR PUSTAKA
A. Baderin, Mashood, Hukum Internasianal Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, terj. Musa khazim dan Edwin Arifin, Jakarta: KOMNASHAM, 2007
A. Boisard, Marcel, Humanisme Dalam Islam, terj. H. M. Rasjidi, Cet, Ke- 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1980
Abou El Fadl, Khaled, Melawan “Tentara Tuhan” Yang Berwenang dan Sewenang-Wenang Dalam Wacana Islam, terj. M. Mushthafa, Cet, Ke- 1, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta
__________________, Selamatkan Islam Dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa, Cet, Ke-I, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006
Abu Husaini al- Qusayri al- Naysaburi, Muslim ibn Hujaz, Shahih Muslim, juz III, Beirut: Penerbit, Daarul al-Ihya Atturas al- Qirobi, tt
al-Qaradhawi, Yusuf, Retorika Islam: Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam, terj. H.M Abdul Noor Ridlo, Cet, Ke- 1, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004
Aripin, Jaenal, dan Salim GP, M. Askal, (editor), Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek, Dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001
Asshiddiqie, Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta. PT, Buana Ilmu Popular, 2007
Berita Kontras, Hukuman Mati Di Indonesia: Matinya Hukum Nurani, (Jakarta) No. 02/III-VI/2005
Daud Ali, H. Mohammad, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, Cet, Ke- 10, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2001
Gautama, Sudargo, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung: Alumni, 1983
Hamzah, Andi dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan, Cet, Ke-5, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994
89
90
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet, Ke-5, Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: penyidikan dan penuntutan, Cet, Ke- 6, Jakarta: Sinar Grafika, 2004
http://www.ui.ac.id/download/kliping/040205/Dua_Pencuri_di_Bandara_Ditembak_Mati.pdf ”Dua Pencuri di Bandara ditembak Mati” Topik diakses 30 Agustus 2009
Iqbal, Muhammad, Fiqih Siayasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, Cet, Ke- 2, Jakarta: Yofa Mulia Offset, 2007
Khaled Masud, Muhammad, Filsafat Hukum Islam: Studi Tentang Hidup Dan Pemikiran Abu Ishaq al-Syathibi, terj. Ahsin Muhammad, Cet, Ke- 1, Jakarta: Pustaka, 1996
Kompas, Kejaksaan Agung Tolak Penghapusan Hukum Mati, (Jakarta) 16 Desember 2004
Koran Tempo, Tanggal 4 Febuari Tahun 2005, Halaman 1 Kolom 3-6, lihat http://www.ui.ac.id/download/kliping/040205/Dua_Pencuri_di_Bandara_Ditembak_Mati.pdf, diakses, 30 Agustus 2009
Kusnardi, Moh. dan R. Saragih, Bintan, Ilmu Negara, cet. Ke- III, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995
Madjid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995
Mujieb, M. Abdul, Tholhah, Mabrul, dan Syafi’ah A. M, Kamus Istilah Fiqih, Cet, Ke- 3, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002
Muhammad Thaha, Mahmud, Arus Balik Syari’ah, terj. Khairon Nahdiyyin, Cet, Ke-1, Yokyakarta: LKiS Yokyakarta, 2003
Prakoso, Djoko, dan Nurwahid, Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, Cet, Ke- 1, Jakarta; Ghalia Indonesia, 1989
Prakoso, Djoko, Masalah Pidana Mati (Soal Jawab), Cet, Ke- 1, Jakarta: Bina Aksara, 1987
91
Putri, Agung, (Direktur Eksekutif Elsam), Keharusan Hukum Untuk Mati, Koran KOMPAS. Jumat, 2 November 2007
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-VI/2008 tentang Putusan Perkara Pengujian Undang-undang
Qadir Audah, Abdul, (Ensiklopedi Hukum Islam) at-Tasyri’ al-Jima’i al-Islamiy Muqarrana bil Qanunil Wad’iy, terj. Tim Tsalisah, jilid ke-111, Bogor: PT. Kharisma Ilmu, tt
__________________, at-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islamiy, Juz I, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, tt
S.T. Kansil, Chrustine, Kamus Istilah Aneka Hukum, Cet, Ke- 3, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004
Salmi, Ahkiar, Eksistensi Hukuman Mati, Cet, Ke- 1, Jakarta: Aksara Persada, 1985
Sinar Harapan, Taggal 13 Juli Tahun 2004, Halaman 7 Kolom 1-3, lihat http://www.ui.ac.id/download/kliping/140704/Efek_Jera_Hukuman_Mati_Dipertanyakan.pdf, diakses, 30 agusus 2009
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet, Ke- 31, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2001
Suparman, Usman, Hukum Islam, Asas-Asas Dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Cet, Ke- 2, Jakarta: Gaya Media Pranata
Tempo, Edisi 10-16 November 2008
Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
Undang-undang Nomor 5 tahun 1998 Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia)
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 Psikotropika
92
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaandan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusia, Atau Merendahkan Martabat Manusia)
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-unang Dasar 1945 Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap, Cet, Ke- 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2005
Wahid Hafiez, Noor, Pidana Mati Menurut Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1982
Wardi Muslich, Ahmad, Hukum Pidana Menurut Alquran, Jakarta, Diadit Media, 2007
______________, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fiqih jinayah), Cet, Ke- 1, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004
Yusup Musa, Muhammad, Islam Suatu Kajian Komprehensif, terj. A. Malik Madaniy dan Hamim, Jakarta, CV. Rajawali, 1998
Zuhaili, Wahbah, al- Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VI, Damaskus : Darul-Fikr, 1989
PUTUSAN Nomor 21/PUU-VI/2008
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat
pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum dan Militer yang telah ditetapkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
[1.2] (1) Nama : Amrozi bin Nurhasyim;
Agama : Islam; Tempat, Tanggal lahir : Lamongan 05 Juli 1962; Jenis kelamin : Laki-laki; Tempat tinggal : Desa Tenggulun, Solo Kuro, Kabupaten
Lamongan Jawa Timur.
(2) Nama : Ali Ghufron bin Nurhasyim als. Muklas; Agama : Islam; Tempat, Tanggal lahir : Lamongan 02 Februari 1960; Jenis kelamin : Laki-laki; Tempat tinggal : Desa Tenggulun, Solo Kuro, Kabupaten
Lamongan Jawa Timur.
(3) Nama : Abdul Azis als. Imam Samudra; Agama : Islam; Tempat, Tanggal lahir : Serang, 14 Januari 1970; Jenis kelamin : Laki-laki; Tempat tinggal : Perum Griya Serang Indah Blok B 12 No.12
Serang Banten.
Berdasarkan Surat Kuasa Nomor 01.TPM-Pst.Sku.MK.VIII.2006 tanggal 16 Agustus 2006, memberi kuasa kepada: A. Wirawan Adnan, SH., H.M. Mahendradatta, SH., MA., MH., H. Achmad Michdan, SH., Akhmad Kholid, SH., Qadar Faisal, SH., Fahmi Bahmid, SH., Agus Setiawan., SH., Rita, SH., Gilroy Arinoviandi, SH., Sutejo Sapto Jalu, SH., Hery Susanto, SH., Guntur Fattahillah, SH., Muannas, SH., dan Abdul Rahim, SH., semuanya berprofesi sebagai Advokat dan Penasehat Hukum, yang tergabung
dalam Tim Pengacara Muslim Pusat, beralamat di Jalan Pinang I Nomor 9 Pondok Labu Jakarta Selatan 12450, bertindak untuk dan atas nama Pemohon; Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon;
[1.3] Telah membaca permohonan dari Pemohon; Telah mendengar keterangan dari Pemohon; Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pemerintah; Telah memeriksa bukti-bukti; Telah mendengar keterangan saksi dan para ahli dari Pemohon; Telah membaca kesimpulan tertulis dari Pemohon.
1. DUDUK PERKARA [2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan dengan surat
permohonannya bertanggal 6 Agustus 2008 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 6 Agustus 2008, dengan registrasi perkara Nomor 21/PUU-VI/2008, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Agustus 2008, dan diperbaiki kembali pada tanggal 27 Agustus 2008, mengemukakan hal-hal sebagai berikut: Pemohon dengan ini mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang (“PUU”) tentang norma-norma yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38) yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang “Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang”.
A. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), maka orang atau pihak dimaksud haruslah: (a) menjelaskan kualifikasinya dalam permohonannya, yaitu apakah yang
sebagai perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga negara;
(b) kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dalam kualifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf (a), sebagai akibat diberlakukannya undang-undang yang dimohonkan pengujian Atas dasar ketentuan tersebut maka dengan ini Pemohon perlu terlebih dahulu menjelaskan
kualifikasinya, hak konstitusi yang ada pada Pemohon, beserta kerugian spesifik yang akan dideritanya sebagai berikut:
1. Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 02/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati, yang telah ditetapkan menjadi undangundang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang “Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang”.
2. Bahwa Pemohon dalam mengajukan permohonan ini bertindak dalam kapasitas atau kualifikasi pribadi sebagai warga negara Indonesia, sehingga dapat bertindak sendiri tanpa ijin maupun tanpa dapat dianggap mewakili kategori lain selain sebagai perorangan.
3. Bahwa sebagai warga negara Indonesia, maka Pemohon memiliki Hak Konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, yaitu Hak Untuk Tidak Disiksa, sebagaimana tersebut dalam Pasal 28I ayat (1) perubahan kedua UUD 1945. Hak ini, selanjutnya menurut Pasal 28I ayat (1), merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
4. Bahwa Pemohon berpendapat hak konstitusional Pemohon untuk tidak disiksa telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati, karena Hukuman Mati dengan cara ditembak sampai mati menimbulkan kerugian yang bersifat khusus (spesifik) bagi Pemohon, yaitu berupa derita dan nestapa fisik yang sangat tidak diperlukan dalam proses kematian bagi Pemohon, dan kerugian ini menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, karena hukuman mati bagi Pemohon sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde).
5. Bahwa kerugian berupa penyiksaan terhadap Pemohon adalah jelas hanya dapat terjadi sebagai akibat dari adanya penembakan oleh Regu Penembak, sedangkan kehadiran Regu Penembak untuk menembak Pemohon adalah sebagai akibat dari ketentuan undang-undang yang dimohonkan oleh Pemohon untuk diuji. Dengan demikian terdapat hubungan sebab-akibat antara penyiksaan yang akan diderita oleh Pemohon dengan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.
6. Bahwa jika permohonan Pemohon ini dikabulkan maka sangat dimungkinkan bahwa kerugian berupa penyiksaan tidak lagi akan terjadi karena tata cara hukuman mati berupa penembakan dengan peluru tajam dapat digantikan dengan cara/metode lain yang lebih manusiawi. Bahwa menurut doktrin Hukum Islam yang merupakan the living law di Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim dan terbesar di dunia, disebutkan dalam mengeksekusi terpidana mati
haruslah memenuhi syarat ihsan al-qathlu (eksekusi yang paling baik), yakni, melakukan eksekusi dengan cara yang paling baik, sehingga mempermudah kematian. Imam Muslim mengeluarkan riwayat dari Sadad bin Aus, bahwa Nabi Muhammad saw, bersabda: “Jika kalian mengeksekusi, maka mudahkanlah cara pembunuhannya. Dan jika kalian menyembelih, maka mudahkanlah penyembelihannya”.
7. Bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang masih berlaku hingga sekarang telah mengatur tata cara hukum mati, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 KUHP, yaitu “Pidana Mati dijalankan oleh algojo ditempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”.
B. PEMOHON MEMILIKI LEGAL STANDING UNTUK MENGAJUKAN
PERMOHONAN A QUO
1. Bahwa, Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK beserta Penjelasannya, yaitu yang dimaksud dengan “Perorangan” termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan bersama.
2. Bahwa, dari uraian legal standing permohonan a quo, Pemohon merasa perorangan warga negara Indonesia, telah memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan uji materiil dari Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
3. Bahwa, dalam hal kekhawatiran permohonan Pemohon ditolak dengan alasan Hak Konstitusional Pemohon hilang, karena Pemohon telah meninggal, maka atas dasar pemikiran tersebut, Pemohon mengajukan tuntutan provisional terhadap kemungkinan upaya-upaya pelaksanaan eksekusi hukuman mati terhadap Pemohon.
4. Bahwa, pengajuan provisional ini semata-mata hanya untuk melindungi hak konstitusional Pemohon yang “mungkin” tercabut apabila Pemohon telah meninggal dunia, bukan dalam rangka mengulur-ulur waktu, karena dalam realitanya, pelaksanaan eksekusi mati di Negara Kesatuan Republik Indonesia pun seringkali sangat lamban, bahkan hingga bertahun-tahun walaupun putusan terhadap perkara yang dijatuhi hukuman pidana mati telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
5. Bahwa, faktualnya terhadap Pemohon perkaranya telah memiliki putusan yang berkekuatan hukum tetap sejak tahun 2005 atau 3 (tiga) tahun yang lalu.
6. Bahwa, walaupun Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tidak memiliki acara peradilan/lembaga provisional, namun untuk menjaga hak konstitusi Pemohon tidak hilang adalah suatu kebijakan yang arif lagi tepat apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berkenan menyampaikan
pemberitahuan kepada pihak Kejaksaan Agung Republik Indonesia selaku eksekutor putusan pidana di Negara Kesatuan Republik Indonesia, untuk menunda pelaksanaan eksekusi terhadap Pemohon dalam rangka mengikuti proses judicial review yang sedang diajukan.
7. Bahwa, pengajuan permohonan ini tidak mempermasalahkan eksistensi pidana mati di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sampai sekarang masih berlaku sejak tanggal 26 Februari 1946 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, tanggal 20 September 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bahwa, hingga kini Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 11 mengatur pidana mati yang dilaksanakan dengan cara terpidana digantung sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 KUHP, yaitu, “Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”.(Lihat KUHP & KUHAP, Prof. Andi Hamzah, SH. Terbitan Rineka Cipta hal. 6, KUHP, Prof. Moelyatno, SH. Terbitan Bumi Aksara hal. 6 dan KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, R. Soenarto Soeradibroto, SH. Terbitan PT. Raja Grafindo Persada hal. 19). Berdasarkan ketiga KUHP yang dikeluarkan oleh ketiga ahli hukum pidana Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka Pemohon berkesimpulan tata cara pidana mati menurut Pasal 11 KUHP tersebut masih berlaku.
8. Bahwa, dasar hukum pengajuan penghentian eksekusi oleh Kejaksaan adalah berdasarkan Pasal 55 dan Pasal 63 UU MK, di mana Mahkamah Konstitusi
9. memiliki kewenangan yang diberikan oleh UU MK untuk mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada Pemohon dan/atau Termohon untuk menghentikan sementara pelaksanan kewenangan. Bahkan ada kewajiban menghentikan kewenangan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
10. Bahwa, dari segi pelaksanaan kewenangan dari Termohon juga harus dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi apakah dampak yang ditimbulkan sangat berpengaruh atau tidak terhadap Pemohon. Menurut hemat Pemohon apabila kewenangan Termohon/Kejaksaan sebagai unsur Pemerintah tetap dilaksanakan, maka otomatis permohonan ini menjadi gugur dengan sendirinya sehingga tidak memberikan “Fair Trial” terhadap Pemohon dan kesempatan Pemohon untuk mengetahui apakah permohonannya dikabulkan atau tidak, maka hal ini sama saja dengan
memperkosa hak hukum dari Pemohon dan dapat melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “setiap orang berhak atas pengakuan, Jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
11. Bahwa, menurut pengamatan Pemohon pun, dengan ditundanya pelaksanaan eksekusi mati terhadap Pemohon tidak akan menyebabkan hapusnya pidana mati terhadap Pemohon itu sendiri, dan penundaan eksekusi pun, tidak memakan waktu yang lama mengingat proses persidangan di Mahkamah Konstitusi sangat terjadwal dan tertib, kalaupun permohonan Pemohon dikabulkan juga tidak akan menghilangkan vonis pidana mati terhadap Pemohon. Demikian juga proses pembentukan Undang-Undang Tata Cara
12. Eksekusi Pidana Mati yang baru oleh Dewan Perwakilan Rakyat juga tidak akan memakan waktu berpuluh-puluh tahun, paling lama hingga 1 (satu) tahun.
C. PERMOHONAN PENGUJIAN FORMIL
Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf “a” UU MK, perihal undangundang yang dapat dimohonkan untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi adalah undang-undang yang pembentukannya tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945. Bahwa menurut Pemohon Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38) yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, merupakan undang-undang yang pembentukannya tidak memenuhi ketentuan UUD 1945, berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut;
1. Bahwa Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 (UU 2/Pnps/1964), merupakan undang-undang yang pembentukannya didasarkan pada Penetapan Presiden Republik Indonesia.
2. Bahwa Penetapan Presiden a quo, kemudian menjadi undang-undang adalah karena diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang (UU 5/1969).
3. Bahwa Penetapan Presiden a quo merupakan Penetapan Presiden yang dimaksud oleh Pasal 2 UU 5/1969 yang berbunyi: “Terhitung sejak disahkannya Undang-undang ini, menyatakan Penetapanpenetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden sebagaimana termaksud dalam Lampiran IIA dan IIB Undang-undang ini, sebagai Undang-Undang dengan ketentuan, bahwa materi Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan bagi penyusunan Undang-undang yang baru”.
4. Bahwa UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969 adalah undang-undang yang pembentukannya dilakukan dengan cara disahkan oleh Presiden Republik Indonesia dengan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.
5. Bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) bukan lembaga perwakilan rakyat sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, karena DPR-GR dibentuk atas dasar Penetapan Presiden dan anggotanya juga diangkat oleh Presiden, sedang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana dimaksud oleh Pasal 19 Amandemen UUD 1945, anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
6. Bahwa pembentukan undang-undang menurut UUD 1945 adalah sebagaimana tersebut dalam Pasal 20 Amandemen UUD 1945, maka pembentukan UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969 tidak sesuai dengan Pasal 20 tersebut.
7. Bahwa dengan demikian, tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dengan cara ditembak hingga mati oleh Regu Penembak, yang selama ini dijalankan di negara kita, Republik Indonesia, merupakan tata cara yang didasarkan pada undang-undang yang pembentukannya tidak sesuai dengan UUD 1945.
8. Bahwa merupakan fakta hukum, UU 2/Pnps/1964 yang telah diwajibkan oleh UU 5/1969 untuk diadakan perbaikan/penyempurnaan dalam arti bahwa materi dari penetapan tersebut dijadikan bahan untuk penyusunan undang-undang baru, hingga permohonan diajukan ke Mahkamah Konstitusi belum pernah ada perbaikan maupun penyempurnaan terhadap Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia.
D. PERMOHONAN PENGUJIAN MATERI
Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf “b” UU MK, perihal undangundang yang dapat dimohonkan untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi adalah undang-undang yang materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undangundang bertentangan dengan UUD 1945. Bahwa menurut Pemohon UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969, adalah undangundang yang materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28I ayat (1) perubahan kedua, berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut; 1. Bahwa Pasal 28I ayat (1), berbunyi sebagai berikut:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun“
2. Bahwa Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dengan cara ditembak hingga mati oleh Regu Penembak sebagaimana ditentukan dalam UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969, adalah penyiksaan terhadap Terpidana, karena alasan-alasan sebagai berikut: Pasal 1 dari UU 2/Pnps/1964, menentukan bahwa hukuman mati dengan cara ditembak dilakukan dengan cara ditembak hingga mati. Kalimat ini menimbulkan pengertian bahwa kematian yang akan diterima oleh Terpidana tidak sekaligus terjadi dalam “satu kali tembakan”, namun harus dilakukan secara berkali-kali hingga mati. Dengan demikian terjadi penderitaan yang amat sangat sebelum terpidana akhirnya mati. Pasal 14 ayat (4) dari UU 2/Pnps/1964 lebih memberikan penegasan atas kemungkinan tidak terjadinya kematian dalam satu kali tembakan, sehingga diperlukan tembakan pengakhir, dengan kalimat undang-undang yang berbunyi: “Apabila setelah penembakan, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir…” Sebelum tembakan pengakhir tersebut berarti undang-undang ini mengakui bahwa Terpidana masih hidup, padahal dia sudah dalam keadaan tertembak dan tentunya dalam keadaan berlumuran darah, sehingga dalam keadaan tersiksa yang amat sangat, sebelum akhirnya mati oleh tembakan pengakhir.
3. Bahwa Regu Penembak yang diberi tugas untuk mengeksekusi terpidana menurut UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969, diharuskan membidik pada jantung terpidana [Pasal 14 ayat (3)] namun pada Pasal 14 ayat (4) menentukan untuk mengarahkan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya. Dengan demikian tata cara ini tidak memberikan kepastian akan “tiadanya penyiksaan” dalam proses kematiannya terpidana. Jika menurut pembentuk undang-undang yang bisa mengakibatkan kematian langsung adalah tembakan di atas telinga terpidana mengapa ada tata cara yang mengharuskan membidik pada “jantung”. Artinya, pembentuk undang-undang tidak meyakini bahwa tembakan pada jantung akan mengakibatkan kematian langsung, sehingga ada ketentuan Pasal 14 ayat (4) tersebut.
4. Bahwa meskipun seorang warga negara Indonesia itu statusnya adalah Terpidana maka menurut UUD 1945, khususnya Pasal 28I ayat (1), tetap dijamin hak asasi manusianya, sehingga penyiksaan terhadapnya dengan menggunakan tata cara pelaksanaan hukuman mati berdasarkan UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969, merupakan pelanggaran atas hak
konstitusionalnya, dengan demikian UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969 materinya jelas bertentangan dengan UUD 1945.
E. PENUTUP Bahwa berdasarkan alasan-alasan di atas, sudah sepatutnya apabila permohonan Pemohon dikabulkan seluruhnya.
DALAM PROVISI: 1. Bahwa, guna menghindari kekhawatiran dari Pemohon akan ditolaknya
permohonan Pemohon karena telah kehilangan hak konstitusionalnya yang disebabkan meninggal dunianya Pemohon akibat dari upaya Eksekusi Mati yang dilakukan oleh Pihak Eksekutor yaitu Kejaksaan Agung Republik Indonesia, maka Pemohon mengajukan provisional untuk ditundanya upaya eksekusi mati terhadap Pemohon.
2. Bahwa, berdasarkan alasan tersebut di atas maka Pemohon, memohon kepada Mahkamah berkenan untuk mengeluarkan Penetapan yang memerintahkan kepada pihak Kejaksaan Agung Republik Indonesia selaku eksekutor putusan pidana di Negara Kesatuan Republik Indonesia, untuk menghentikan sementara pelaksanaan eksekusi terhadap Pemohon dalam rangka mengikuti proses judicial review.
DALAM POKOK PERKARA: 1. Bahwa, bilamana permo honan Pemohon dikabulkan juga tidak akan
menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) terhadap pemidanaan mati, karena Pemohon tidak mempersoalkan dihapuskannya pidana mati, namun prosesnya yang harus lebih manusiawi.
2. Akhir kata, dengan terlebih dahulu menghaturkan puji syukur dan mohon perlindungan kehadirat Allah SWT, maka perkenankanlah Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk sudi memeriksa/mengadili permohonan Pemohon dan kemudian berkenan pula memutuskan antara lain hal-hal sebagai berikut: 2.1 Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2.2 Menyatakan Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38) yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 36), merupakan undangundang yang pembentukannya tidak memenuhi ketentuan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.3 Menyatakan Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara Tahun 1964
Nomor 38) yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 36) tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Atau bilamana Mahkamah berpendapat lain sudilah kiranya memberikan putusan yang seadil-adilnya.
[2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti tulis yang diberi tanda P-1 sampai dengan P-7, dan telah pula mengajukan orang ahli dan satu orang saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah, sebagai berikut: 1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum Dan Militer;
2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden Dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang;
3. Bukti P-3 : Fotokopi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1828 K/Pid/2003 tanggal 6 Januari 2004;
4. Bukti P-4 : Fotokopi Putusan Mahkamah Agung Nomor 653 K/Pid/2004 tanggal 30 Juni 2004;
5. Bukti P-5 : Fotokopi Putusan Mahkamah Agung Nomor 193 K/Pid/2004 tanggal 23 Maret 2004;
6. Bukti P-6 : Fotokopi Putusan Nomor 07A630 Capital Case 31 Januari 2008, Supreme Court of the United States, atas nama James Callahan (Petitioner) V. Richard Allen, Etal., (Respondents);
7. Bukti P-7 : Fotokopi Putusan Nomor 2005-SC-0543-MR, 19-4-07, Supreme Court of Kentucky, atas nama Ralp Baze and Thomas C. Bowling (Appellants) v. Jonathan D. Ress, Commissioner, Kentucky Department of Corections; Glenn Haeberlin, Warden, Kentucky State Penitentiary; and Ernie Fletcher, Governor of Kentucky (Appellees).
Keterangan Saksi Pemohon Pastur Charlie Burrows Bahwa saksi adalah seorang Rohaniwan, dan sesuai yang saksi alami pada saat eksekusi terpidana mati Antonius dan Samuel, terpidana mati Antonius dan Samuel saat itu diborgol kaki maupun tangan dengan 1 rantai dan dibalut seperti mummy dengan kain atau semacam ban dalam supaya tidak bergerak. Sesudah itu, saksi diberi kesempatan untuk maju dan membuka kain hitam yang tertutup di kepala untuk berdoa bersama Antonius dan Antonius bercerita hatinya siap untuk meninggalkan dunia ini;
Bahwa saksi menyampaikan kepada Antonius suatu bacaan ketika mana Yesus saat akan meninggal, dan kepada Antonius saksi mengatakan agar tidak kecil hati, dan percaya bahwa dengan bertobat dia juga dapat masuk ke dalam surga; Bahwa terpidana mati Antonius menitipkan benda yang ada di dalam kantongnya, yaitu sapu tangan, selembar uang seratus ribu rupiah, sepatu, serta jam tangan, dan cincin yang dititipkan kepada petugas Lembaga diserahkan kepada isterinya. Terpidana mati Antonius juga bercerita kepada saksi, bahwa Antonius merasa kesal karena tidak mendapat keadilan sebab permohonan grasinya ditolak; Bahwa sebelum dilaksanakan eksekusi tembak mati, dokter memasang kain hitam persis di jantung sebagai tanda bagi regu tembak, kemudian saksi diperintahkan mundur 1 meter di belakang dua regu penembak; Bahwa sebelum dilaksanakan eksekusi dibacakan terlebih dahulu semacam berita acara tentang vonisnya, selesai membaca vonis dua regu menembak bersama-sama. Sesudah penembakan Antonius maupun Samuel mengerang kesakitan selama kurang lebih tujuh menit dan darah sudah mulai keluar dari jantungnya pelan-pelan dan agak lama, tetapi yang sangat menimbulkan rasa terharu adalah erangan kesakitan tersebut lama. Kemudian kurang lebih 10 menit setelah penembakan dokter memeriksa Samuel dan Antonius dan mengatakan bahwa mereka sudah meninggal dunia, dan selanjutnya dibawa ke candi pusat untuk dilakukan otopsi, setelah itu jenazah dibersihkan dan dimasukkan ke dalam peti untuk kemudian dimakamkan di Nusa Kambangan; Bahwa eksekusi mati Antonius dan Samuel adalah eksekusi yang pertama kali saksi melihatnya di mana terpidana mati Antonius dan Samuel diikat seperti mummy, dan erangan selama 7 menit yang dialami oleh terpidana mati Antonius dan Samuel dirasakan seperti siksaan (cruel); Bahwa berdasarkan pengalaman saksi selama menemani orang yang akan meninggal, belum pernah menyaksikan orang yang tidak tenang. Biasanya saat mau meninggal hatinya sudah tidak tenang karena ada proses, ada lima tahap, yaitu menolak, marah, tawar menawar, depresi, marah dengan diri sendiri, kemudian menerima. Biasanya yang saksi alami orang yang sudah mengalami proses itu, saat meninggal hatinya tenang dan saksi belum pernah menunggu orang saatnya mau meninggal marah-marah atau menolak atau bagaimana; Bahwa yang saksi alami ketika sebelum terpidana mati Antonius dieksekusi adalah jelas merasa tidak adil dan tidak rela dieksekusi.
Keterangan Ahli Pemohon dr. Sun Sunatrio (Ahli Anastesi) Bahwa ahli adalah seorang dokter spesialis anestesiologi dan intensive care, yang sehari-hari sering mengalami hal-hal yang jarang dialami oleh dokter lain yaitu kematian, dan ahli paling sering mendapatkan mati klinis, yang beberapa di antaranya dapat dihidupkan kembali dengan cara relustrasi. Hal tersebut membuat ahli sangat concern dengan definisi mati;
Bahwa definisi mati yang dianut oleh Indonesia adalah yang dideklarasikan oleh Ikatan Dokter Indonesia, yang juga sesuai dengan yang dianut oleh dunia lain hanya ada sedikit perbedaan; Bahwa ada dua definisi mati, pertama, klasik yaitu berhentinya fungsi spontan pernapasan dan sirkulasi yang pasti atau dengan kata lain ireversible, definisi klasik tersebut sama di seluruh dunia. Kedua, bila seseorang mengalami mati batang otak maka dinyatakan mati walaupun jantungnya masih hidup, masih berdenyut ginjalnya, hatinya, maupun paru-parunya. Mengenai soal yang kedua ini, di negara lain ada yang menganut mati otak, artinya, menunggu seluruh otak mati baru dinyatakan mati; Bahwa yang dijelaskan oleh saksi Charlie Burrows, merupakan definisi mati klasik, yaitu berhentinya fungsi spontan pernafasan dan sirkulasi yang telah pasti; Bahwa penembakan dalam hukum tembak memang ditargetkan sasarannya adalah jantung, tetapi dalam kenyataan belum tentu jantung yang kena. Jadi ahli yakin pada terpidana yang ditembak mati tidak terkana jantung, sebab kalau jantung yang kena jantung langsung hancur dan pecah, maka tidak ada sirkulasi darah, sehingga dalam waktu tujuh sampai sebelas detik orang tersebut akan pingsan. Dengan demikian kalau pun dia mengerang, hanya dalam tujuh sampai sebelas detik saja. Tetapi kalau yang terkena bukan jantung, melainkan sekitarnya maka orang tersebut baru pingsan setelah shock, yaitu setelah banyak darah keluar sehingga shock kemudian pingsan. Dari waktu 7 menit tersebut kemungkinan yang terkena pembuluh besar di dekat jantung bukan terkena jantungnya. Sebab, kalau jantung dalam waktu tujuh sampai sebelas detik dia langsung pingsan dan dalam waktu 15 menit kemudian bisa dinyatakan mati; dan menurut ahli, kalau ditembak tepat di kepala kemudian terkena otak maka waktu itu juga langsung mati perdefinisi; Bahwa kalau yang ditembak kepala dan otaknya langsung hancur maka waktu itu juga langsung mati. Sedangkan kalau dipenggal lehernya berarti ada tenggang waktu tujuh sampai sebelas detik kemudian total pingsan; waktu tersebut sama jika ditembak yang tepat terkena jantung yaitu tujuh sampai sebelas detik sejak sirkulasi berhenti; Bahwa mengenai suntik mati sudah banyak dipakai di negara di dunia ini, dan menurut ahli ada beberapa yang harus dikritisi. Di Amerika yang melakukan adalah bukan dokter dan bukan perawat. Oleh karena dokter dan perawat terikat oleh etika, sehingga yang melakukan adalah orang-orang yang tidak dilatih, hal demikian merupakan kelemahannya, tetapi andaikata hal tersebut benar, prosesnya adalah terpidana mati dipasang dua infus lewat vena, satu sebagai cadangan (back up), kemungkinan satu kiri dan satu kanan. Setelah dipasang infus dengan Na Cl fisiologis kemudian dimasukkan obat bius yang namanya Tiopental sebanyak 5 gram. Perlu diketahui kalau ahli membius hanya untuk sekedar membuat tidur maka hanya membutuhkan dosis kira-kira ¼ gram sampai 0,3 gram. Dengan demikian dosis 5 gram hampir dipastikan akan
terbius, apalagi dosisnya toksid, artinya, orang yang diberikan dosis 5 gram tersebut langsung pingsan dan langsung nafasnya berhenti; Bahwa setelah nafasnya berhenti dan pingsan dimasukkan obat kedua yaitu obat yang melemaskan otot-otot yang namanya Pavulon diberikan sebanyak 8 milligram yang biasanya dosis yang dipakai adalah 4 milligram untuk orang dewasa. Dengan 8 miligram sudah pasti semua otot rangkanya akan berhenti. Otot rangka adalah otot lurik, yaitu otot yang dapat diperintah, tetapi otot polos dan otot jantung tidak berhenti. Andaikata terjadi kesalahan, oleh karena yang menyuntik bukan ahlinya maka obatnya bisa keluar. Kalau obatnya keluar dan menembus ke otot bisa sakit sekali, tetapi dalam waktu beberapa menit dia akan lemas, tidak kelihatan sakitnya walaupun mungkin dia masih sadar karena obatnya tidak masuk atau masih sadarnya karena dosisnya kurang, sebab orang yang menjelang kematian sangat tegang sekali sehingga dosis adrenalin yang dikeluarkan tubuh tinggi sekali, sehingga susah ditidurkan dibandingkan orang biasa. Jadi ada kemungkinan orang tersebut masih sadar, dan menurut penelitian di Amerika ada beberapa yang kemungkinan masih sadar. Kalau orang tersebut belum terbius maka akan merasakan pada waktu disuntik otot menjadi lemas, tidak bisa bernafas, perasaannya tercekik, sehingga mengakibatkan tersiksanya terpidana mati. Bahwa obat ketiga yang disuntikan yaitu potassium chloride (potassium klorida) dengan dosis 50 cc, maksudnya supaya jantung berhenti. Jika pada waktu disuntikan potasium klorida dia belum tertidur, maka akan merasakan sakit sekali seperti serangan jantung karena mekanisme sama yaitu tidak adanya oksigen dalam jantung. Mengenai adanya orang yang masih sadar ketika disuntik potassium klorida juga diyakini oleh majalah Land Health di Amerika di mana ditulis bahwa setelah memeriksa kadar benetol dalam darah mereka yakin ada beberapa yang mungkin sekali sadar, tetapi dibandingkan dengan tata cara hukuman mati yang lainnya, disuntik mati kelihatannya lebih elegan, asal benar caranya, akan tetapi agak sulit oleh karena dokter dan perawat tidak boleh dalam proses tersebut, kecuali kalau nanti ada perubahan; Bahwa oleh karena etika kedokteran justru menyelamatkan kehidupan maka jika dokter harus berada dalam proses hukuman mati maka hal tersebut harus dibicarakan lagi, tetapi saat ini yang berlaku, dokter tidak boleh membantu proses pengakhiran nyawa. Menjadi supervisi juga tidak boleh. Andaikata suntik mati digunakan karena lebih berperikemanusiaan daripada cara yang lain, maka ahlimengusulkan dimonitor saja kesadarannya apalagi saat ini sudah alatnya, sehingga kalau sudah dipastikan tidak sadar baru diteruskan suntikan selanjutnya; Bahwa sebaliknya agar diberitahukan saja dengan diberi catatan jika 40% sampai 60% berarti sudah tidak sadar, sehingga dapat dibaca sendiri petunjuknya. Dokter hanya diperlukan untuk memastikan kematiannya, tetapi bukan membantu prosesnya;
Bahwa masalahnya adalah bukan dosisnya yang ditambahkan, tetapi masalahnya adalah belum tentu obat tersebut masuk semua ke dalam vena, oleh karena yang memasang tidak ahli. Selama proses dapat saja jarum masuk dalam vena tetapi setelah sekian waktu keluar, sehingga mengakibatkan dengan dosis 5 gram ada beberapa yang diyakini tidak tidur, dosisnya berkurang terlihat dalam darah setelah mayatnya diperiksa; Bahwa dosis obat pertama yang dimasukkan adalah obat untuk menidurkan, sebelum diberikan obat yang berikutnya. Obat pertama pun dapat berakibat fatal karena dosis yang diberikan tinggi, tetapi ada kemungkinan juga tertidur karena dosis adrenalinnya terlalu tinggi walaupun dosisnya diberikan dua kali lipat, atau obatnya keluar dapat juga menjadi masalah orang yang di bius tersebut masih sadar; Bahwa menurut ahli secara pribadi, dokter dapat memastikan sudah sadar atau tidak atau sudah kehilangan kesadaran terpidana mati yang disuntik mati, karena ahli sendiri juga tidak tega kalau belum tertidur kemudian diberikan obat berikutnya; Bahwa baik ditembak mati yang langsung terkena otak maupun dipenggal leher, keduanya memiliki rasa sakit walaupun hanya 7 sampai 12 detik; Bahwa beberapa proses kematian dengan ditembak di jantung, dipenggal leher dan disuntik mati, memiliki waktu yang berbeda-beda dalam cepat matinya, karena masalah cepat matinya merupakan hal yang lain; Bahwa kalau dipenggal leher memiliki rasa sakit hanya sebentar, yaitu dalam hitungan detik antara 7 - 12 detik. Kalau ditembak mati memiliki waktu bervariasi, jika tidak terkena jantung bisa setengah jam, tetapi kalau tepat terkena jantungnya dalam waktu 7 - 11 detik. Dengan demikian ditembak mati yang terkena jantung dan dipenggal leher memiliki waktu yang sama; Bahwa kalau dengan cara digantung dengan cara yang benar, yaitu posisinya tinggi rendahnya dan talinya juga harus diukur ketepatannya, sehingga mengakibatkan patah leher, maka waktu yang dibutuhkan sama dengan dipenggal leher, tetapi kenyataannya jarang terjadi oleh karena mungkin ototnya kuat sehingga tidak langsung patah dan akhirnya hanya seperti orang dicekik. Kalau orang dicekik maka akan tetap sadar kira-kira sampai 5 menit, setelah 5 menit kemudian pingsan, sehingga bisa merasakan meronta-ronta dan mungkin keluar buang air besar, mata mendelik, lidah terjulur dan sebagainya; Bahwa sakit tidaknya seseorang dibius tergantung pada obat yang digunakan, kalau yang digunakan pentothal tidak sakit, sepanjang benar memasukannya, tetapi kalau masuk pembuluh arteri/nadi sakit sekali atau keluar ujung jarumnya sedikit , kalau benar-benar masuk pembuluh balik tidak sakit dan hanya memerlukan waktu sekitar 30 detik agar tidak sadar; Bahwa seseorang yang biasa meminum obat-obatan seperti alkohol dan obat tidur biasanya kebal sehingga dosisnya harus lebih tinggi, atau orang yang ketakutan sekali, maka adrenalin menjadi tinggi maka dia juga perlu dosis yang sangat tinggi dari biasanya;
Bahwa pidana mati dengan cara disuntik mati, kalau dilakukan dengan benar maka bagi terpidana mati akan terasa nyaman sebab terpidana mati tertidur dan tidak ada efek yang lain. Efeknya jika terjadi kesalahan seperti dosisnya tidak berpengaruh atau meleset ujung jarumnya sehingga tidak masuk vena. Waktu dalam keadaan tetap sadar kemudian mendapat suntikan yang kedua berakibat seperti orang tercekik, karena tidak dapat bernafas, mau nafas tidak bisa, dan otaknya lumpuh, dan selanjutnya disuntikkan obat ketiga untuk menghentikan denyut jantung, yaitu potassium chlorite, maka akan sakit sekali seperti orang yang terkena serangan jantung, sakit di daerah dada kiri dan dapat menjalar ke punggung dan sebagainya. Oleh karena itu, ahli mengusulkan agar dimonitor kesadarannya terlebih dahulu, untuk kemudian disuntikkan obat kedua dan ketiga, sebagaimana pengalaman yang terjadi di Amerika Serikat, yang kemudian dimuat dalam majalah Land Health; Bahwa penembakan berpotensi untuk menyiksa, sebab jarang dilakukan sehingga berpotensi untuk error, tidak tepat sasaran. Sehingga ahli mengusulkan dua pilihan cara pidana mati, yaitu pertama, injeksi dengan dosis obat anastetik dengan tiga macam obat dan dengan teknik yang benar; kedua, dengan cara dipancung, karena sangat singkat sekali. Mungkin tidak terasa oleh karena begitu cepatnya sehingga sampai dia pingsan tidak merasakan apa-apa. Dua pilihan tersebut menurut ahli, dianggap lebih ringan potensi menyiksanya; Keterangan Ahli Pemohon dr. Jose Rizal Yurnalis, SpBO. (Ahli BedahOrthopedi) Bahwa ahli adalah ahli bedah orthopedic dan thromatologic yang sering melakukan operasi dan berhubungan dengan anastesi dan sering melihat proses pembiusan. Ahli juga merupakan relawan medis untuk daerah-daerah konflik, seperti Tual, Ambon, Saparua, Halmahera Utara, dan Aceh, kemudian di luar negeri seperti Thailand Selatan, Mindanau, Afghanistan dua kali, Irak sekali, Libanon Selatan sekali. Sehingga ahli sering melihat proses kematian baik melalui proses medis maupun di lapangan; Bahwa dalam konflik Maluku, karena peperangannya horizontal maka yang digunakan adalah senjata tajam dan paling sering terjadi adalah ditebasnya leher. Kalau di Afghanistan, Libanon, Irak, dan Mindanau adalah luka tembak, luka bom dan luka bakar; Bahwa berdasarkan pengalaman ahli, kalau yang ditembak dengan peluru tajam, dia masih hidup kemudian pelan-pelan meninggal, tentu dengan erangan kesakitan, jika tidak tepat dijantungnya, akan tetapi bila tepat dijantungnya maka jantung akan pecah dan langsung meninggal. Kalau nyerempet kemudian terkena vena cava atau arteri artha maka memerlukan waktu atau misalnya terkena paruparu memerlukan waktu yang lebih lama lagi. Kadang-kadang memerlukan waktu ½ jam, 1 jam, bahkan sampai 1 hari. Sedangkan kalau ditebas, ahli tidak melihat proses penebasannya, ahli hanya melihat hasilnya, dan menurut yang menyaksikan orang yang ditebas lehernya langsung meninggal;
Bahwa sebagai seorang dokter, secara ilmiah, pusat kehidupan adalah di otak terutama dibatang otak. Sedangkan jantung mempunyai semacam trafo sendiri, kalau jantung dipotong kemudian diangkat keluar masih bisa berdenyut, tetapi kalau dihancurkan batang otaknya atau diputuskan batang otaknya dari otak atau dari bagian bawahnya itu langsung berhenti pernafasan dan berhenti kardio vaskuler. Sehingga pendapat ahli prinsipnya sama dengan ahli dokter Sunatrio, hanya ahli melihat batang otak itu mempunyai peranan yang sangat sentral; Bahwa jarang sekali terlihat luka tembak kepala yang langsung kepalanya hancur, kadang-kadang pasiennya masih bergerak. Sebab berdasarkan yang pernah diidentifikasi peluru yang digunakan adalah K-47 dan N-6, kalau ditembak dengan RPG pasti hancur kepalanya, tetapi kalau ditembak dengan peluru jika tidak tepat maka orangnya masih hidup; Bahwa ahli secara pribadi tidak ingin terlibat di dalam proses pidana mati, tetapi jika ditanyakan pendapat ahli mengenai supervisi untuk menyatakan sadar atau tidak, dokter boleh saja menjadi supervisi; supervisi tersebut maksudnya adalah untuk menentukan kematian; Bahwa dokter boleh memberi training kepada orang yang bertugas mengeksekusi dengan cara suntik mati; akan tetapi harus diketahui terlebih dahulu training tersebut untuk apa digunakan, kalau diketahui untuk membunuh tentuk tidak dapat diberikan; Bahwa ahli pernah melihat orang menuju proses kematian yang disebabkan antara lain oleh bom (bom bakar atau bom cluster), ditembak ataupun dipenggal. Kalau tembakan di kepala masih bisa bergerak karena memang tidak hancur. Kalau bom ada yang langsung meninggal, ada kemudian yang mengalami trauma desakan dada, yang mengakibatkan lama meninggalnya. Kemudian kalau dipenggal langsung hilang nyawanya, di Maluku ada istilah di gorok, jika di gorok maka masih ada proses menggelepar-gelepar. Berdasarkan hasil komunikasi yang ahli lakukan dengan orang-orang yang melakukan penggal leher, menurut mereka penggal leher dianggap lebih cepat matinya daripada ditusuk jantungnya atau di tembak; Bahwa secara anatomi pusat kehidupan diatur sentral di batang otak. Jika sasarannya adalah batang otak, maka yang bisa menyelesaikan batang otak ada dua, yaitu hukuman gantung dan hukuman pancung, dan yang lebih cepat adalah hukuman pancung.
Keterangan Ahli Pemohon K.H. Mudzakir (Ahli Hukum Islam) Bahwa yang diajarkan oleh Islam, setiap orang disuruh untuk melakukan perbuatan, bahkan bukan hanya perbuatan, mau berbicara, bersikap, berbuat apapun juga termasuk dalam membunuh kalau memang itu disyariatkan untuk membunuh maka harus dilakukan dengan jalan yang baik; Bahwa dalam peperangan misalnya, orang Islam tetap dilarang untuk melakukan mamatsal atau mencincang atau menyiksa musuh sebelum dibunuh. Sebelum maupun sesudah mati musuh tidak boleh diperlakukan dengan jelek, artinya disiksa sebelum dibunuh maupun dicincang sesudah dia mengalami
kematian. Bukan hanya itu, bahkan untuk menyembelih binatangpun Islam mengajarkan agar kita melakukan dengan baik, sebagai salah satu contoh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dikatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “innallaha katabal ihsana ‘ala kulli syai’in fa idzaa qathaltum fa ahsinu qithalta wa idzaa dzabahtum fa ahsinu dzibhah wal yuhiddah ahadukum syafraatahu fal yurih dzabiatahu”. Artinya, Sesungguhnya Allah itu telah menetapkan kebaikan atas segala sesuatu, maka apabila kalian membunuh, maka baikkanlah cara membunuhnya, dan apabila kalian menyembelih binatang, maka baikkanlah cara penyembelihannya, dan hendaklah salah seorang di antara kalian itu menajamkan pisau sembelihannya, supaya bisa menenangkan bintang sembelihannya. Hadist tersebut adalah hadist yang shahih dimuat oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim di kitab Asshaid wad dzaba’i dalam bab amru bi ihsani zibhi wal qatli, wa tahti bihi wasyafri, yaitu bab suruhan untuk membaguskan cara menyembelih dan membunuh dan menajamkan pisau; sehingga kalau syariat menetapkan bahwa boleh dilakukan pembunuhan maka pembunuhan hendaknya dilakukan dengan cara yang paling baik, yang tidak memberikan sesuatu yang buruk berupa siksaan, oleh karena untuk menyiksa binatang saja tidak boleh apalagi kalau dilakukan terhadap manusia; Bahwa lebih dari itu, menurut Al-Islam seseorang kafir dzimmi maka orangorang seperti itu tidak boleh ditumpahkan darahnya, tidak boleh dibunuh kecuali karena salah satu dari tiga perkara saja, yakni seseorang yang membunuh dia dibalas dibunuh, seorang yang sudah muhshon yaitu sudah pernah menikah lalu dia berzina dan terbukti perzinaannya, dan kemudian orang yang memisahkan diri dari jamaah yang murtad dari agamanya, itu yang boleh dibunuh dengan catatan ketetapan itu juga berlaku masing-masing dengan ketentuan-ketentuan yang mengikat karena syariat Islam itu merupakan satu keseluruhan; Bahwa soal kaitannya dengan ditembak mati, kalau memang ditembak mati ternyata dapat dibuktikan bahwa tidak mengalami penderitaan sekaligus juga dia mengalami kematian maka itu dibenarkan menurut aturan Islam. Demikian juga cara-cara yang lain, kalau saya boleh agak memberikan contoh agak ekstrim kalaulah misalnya disentil kupingnya orang itu paling cepat mati ya itulah yang mesti dilakukan, tetapi sepanjang diketahui dari apa yang pernah terjadi setidaknya begitu, kita tidak mendapatkan bahwa cara-cara hukum mati dengan ditembak itu cara yang tepat; Bahwa yang ahli ketahui walaupun tidak pernah menyaksikan dengan mata sendiri, di Arab Saudi dilakukan dengan cara dipenggal, dan menurut mereka yang menyaksikan sendiri, orangnya disuruh jongkok semacam berlutut begitu, kemudian ditebaskan lehernya sesudah itu langsung kepalanya dimasukkan ke dalam kantong mayat dengan badannya. Pada prinsipnya di dalam Islam hukuman tersebut dilakukan ditempat umum agar ada yang menyaksikan, baik hukuman mati maupun hukuman jilid;
Bahwa bila yang dimaksudkan dengan diamnya atau tidak ada pembicaraan dari kalangan ahli maupun masyarakat tidak dapat menjadi tolok ukur dari penerimaan diterimanya tata cara pidana mati dengan ditembak. Karena hal tersebut hanya merupakan bagian dari syariat Islam sedangkan yang diusahakan dan diperjuangkan, yang disarankan oleh para ulama adalah penegakan syariat Islam secara keseluruhan. Sehingga banyak dari kalangan ulama ini yang tidak mau bicara pada masalah-masalah yang sifatnya parsial, tetapi lebih kepada masalah yang pokok. Dengan demikian ketika kembali kepada syariat Islam dan bila syariat Islam tersebut diterima maka semua akan diubah dan disesuaikan kepada masalah pokok tersebut; Bahwa sesuai pengalaman ahli yang berkali-kali menyaksikan bekasnya, pelaksanaan hukuman pancung di Arab Saudi dilakukan pada siang hari. Jadi ahli tidak pernah menyaksikan secara langsung ditebasnya; Bahwa berdasarkan keterangan saksi Pastur Charlie Burrows, ahli melihatnya tata cara ditembak mati merupakan cara yang tidak baik sebab tidak ada hak kita untuk menyiksa, apalagi kalau kesakitan. Musuhpun tidak boleh diperlakukan disiksa, boleh membunuh musuh tetapi menyiksa lebih dahulu atau sesudah mati dicincang tidak boleh; Bahwa ahli belum pernah mendengar pidana mati dengan cara dipotong lehernya kecuali begitu dipenggal lantas selesai, dimasukkan ke dalam karung dan sudah tidak bergerak-gerak lagi; jadi sekali lagi karena ahli tidak pernah melihat yang ditembak atau yang dipenggal maupun yang lainnya tetapi hanya berita yang sampai kepada ahli. Demikian juga di kitab-kitab fiqih, mengapa yang digunakan hukum penggal, karena dianggap dengan cara itulah yang paling tepat untuk mempercepat kematian. Oleh karena itu, menurut pendapat ahli, tata cara dengan cara dipenggal atau dipancung tidak ada risiko lebih jauh artinya kesalahan dari pelaku/algojo, terlebih lagi dipenggal merupakan tata cara yang sejauh ini juga dikenal di kalangan ulama di dalam hukum Islam; Bahwa mengenai semua orang ingin meninggal dengan tenang, ahli memberikan koreksi sedikit, karena para mujahid, para mujahidin tidak mengharapkan kematian dengan tenang tetapi mereka mengharapkan kematian sebagai syuhada walaupun mungkin tubuhnya menggelepar sewaktu mati di medan perang, tetapi berlainan dengan kita dalam memperlakukan manusia yang akan dieksekusi baik terpidana mati maupun yang melakukan eksekusi; Bahwa kekeliruan dalam melakukan eksekusi hingga mungkin keadaannya luka sehingga tidak segera mati bila dikaitkan dengan ketentuan adanya ajal, menurut ahli, manusia diperintah oleh Allah diberi kewajiban untuk melakukan ikhtiar, sepanjang ikhtiar sudah dilakukan dengan maksimal, maka bebas dari tuntutan. Artinya, kalau jarak lima meter sampai sepuluh meter ternyata salah dan tidak ada ketentuan bahwa hal tersebut harus diubah, maka ketentuan tersebut harus dibuang jauh-jauh diganti dengan yang baru;
Bahwa kalau ternyata dapat dibuktikan cara dipancung lebih baik seperti yang diputuskan oleh banyak ulama dari kalangan muslimin maka harus dilakukan dan cara yang lain tidak dilakukan; Bahwa ketetapan ajal manusia tidak mungkin mempercepat atau memperlambat, bahkan tatkala seseorang diputuskan untuk dihukum mati mungkin masanya masih berlanjut sampai dua, tiga, empat tahun sampai sepuluh tahun, bahkan puluhan tahun, hal tersebut merupakan bukti bahwa ketetapan Allah tentang ajal tidak dapat diajukan dan tidak dapat diundurkan. Sebaliknya juga demikian kalau seseorang sudah waktunya datang kematian di mana seharusnya dia dieksekusi, tetapi lima menit sebelum dieksekusi dia sudah mati, oleh karena itu menurut ahli, yang dibebankan kepada manusia adalah usaha untuk melakukan kewajiban tersebut sehingga dapat melakukan pidana mati dengan cara yang tidak membuat kesakitan wajib dilakukan dan sebaliknya kalau diketahui ada kemungkinan kekeliruan lebih besar tetap ditempuh maka hal tersebut merupakan suatu kesalahan; Bahwa kalangan hukum khususnya ulama Islam sejak dulu kala memilih dengan memancung. Kemudian mengenai kecepatan, kalau memancung tidak ada risiko meleset sedangkan ditembak sebagaimana yang telah disampaikan oleh para ahli ada risiko meleset, sehingga permasalahannya adalah ada yang berisiko dan tidak. Kalau memang dapat dibuktikan cara ditembak mati tidak meleset dan benar dan kecepatannya sama dengan dipancung maka cara ditembak mati tidak masalaj digunakan, tetapi selagi tidak atau selagi cara ditembak mati masih berisiko dan cara dipancung tidak beresiko, maka semua ulama akan memilih yang tidak berisiko daripada yang berisiko; Bahwa syariat Islam membuat ketentuan-ketentuan khusus. Ada orang yang dihukum mati dengan dirajam, dijemur di padang pasir kemudian dicungkil matanya dan dibiarkan mereka mati kehausan dan kelaparan, akan tetapi hal tersebut merupakan kasus tertentu yang diatur dengan hukum yang tertentu pula; yang kesemuanya pengaturannya diatur secara syariat dan mengikat. Hukum rajam merupakan ketentuan yang khusus, tidak boleh diberlakukan terhadap perkara yang lainnya. Misalnya ada tawanan, karena dia sangat kejam banyak membunuh tentara Islam lalu dia dirajam, hal tersebut tidak boleh dikenakan terhadap musuh yang membunuh, tetapi harus dihukum dengan dibunuh pula walaupun dia pernah menyiksa kaum muslimin sekian banyak. Oleh karena itu, tatkala dihukum tebas atau dihukum tembak tenyata di lapangan diketahui bahwa dihukum tembak lebih banyak tidak akurat maka grade-nya ditaruh di bawah hukum tebas; Bahwa dalam syariat Islam, jika syariat sudah menetapkan hal tersebut boleh dilakukan maka boleh dilakukan, tetapi jika syariat menetapkan tidak boleh maka tidak boleh dilakukan; dengan demikian tidak sama hukum Indonesia dengan hukum Islam, misalnya ada seseorang melakukan perzinahan sementara dia sudah menikah maka dalam hukum Islam harus dihukum, sedangkan di luar
hukum Islam harus ada salah satu yang menuntut terlebih dahulu baru dapat dituntut. Sehingga kalau ada seseorang melakukan perzinahan lalu dihukum dengan hukum Indonesia, maka dia belum terbebas menurut syariat Islam, oleh karena itu seseorang yang melakukan kejahatan di negeri Indonesia dan dihukum dengan undang-undang berdasarkan KUHP atau undang-undang lainnya yang berlaku, maka tidak membebaskan dia dari tanggung jawab di hadapan Allah SWT karena syariat Islam belum ditegakkan atas dirinya; Bahwa tata cara pelaksanaan pidana mati dengan ditembak atau cara lainnya selain dengan dipancung masih terjadi rasa sakit yang luar biasa, disamping ada unsur menyiksa dan unsur merendahkan manusia, oleh karena itu menurut ahli, berdasarkan pilihan ulama sejak zaman dahulu yang memakai hukum pancung maka ahli tidak melihat sesuatu yang lebih baik dari pelaksanaan hukuman mati kecuali dengan dipancung wallahu’alam. Keterangan Ahli Pemohon Dr. Rudi Satrio, SH., MH. (Ahli Pidana) Bahwa berbicara sanksi pidana mati, adalah salah satu hukuman pokok yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP. Kemudian bagaimana hukuman mati tersebut dilaksanakan terdapat dalam Pasal 11 KUHP, pertama dilaksanakan dengan cara penggantungan. Dalam sejarahnya, sebagaimana yang ahli baca dalam text book, sanksi pidana mati tidak ada di dalam Wetboek van straaftrecht di negeri Belanda, tetapi bukan karena Belanda anti pada pidana mati, melainkan ada pidana mati tetapi tidak pernah dilaksanakan karena kebanyakan terpidana mati akan mendapatkan pengampunan dari raja. Kemudian pidana mati tersebut terdapat di dalam hukum pidana yang berlaku untuk kawasan Nederlands Indische atau kemudian berlaku di dalam negara Indonesia dan sudah ada sejak 1 Januari 1918. Selanjutnya ada satu perubahan terkait dengan persoalan pidana mati yangada, yang sebelumnya dengan cara digantung tetapi kemudian ada perubahan terkait pada permasalahan keadaannya, akan tetapi ahli akan menjelaskan terlebih dahulu terdapatnya ancaman pidana mati dalam pasal-pasal KUHP. Pertama, dalam KUHP ada delapan belas pasal yang memberikan ancaman-ancaman hukuman pidana mati. Kemudian kalau di luar KUHP ada sekian pasal, ada sekian undang-undang yang mencantumkan sanksi pidana mati. Yang terakhir adalah hal yang berhubungan dengan tindak pidana pemberantasan tindak pidana terorisme. Bahwa memperhatikan perkembangan hukum di Indonesia berawal dari Pasal 11 KUHP bahwa hukuman mati dilaksanakan dengan digantung, tetapi kemudian berubah dengan adanya Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang kemudian dilaksanakan dengan cara ditembak. Hal tersebut dikarenakan seiring dengan perkembangan zaman dan dipandang eksekusi pidana mati dengan cara digantung memakan waktu yang lama, maka hukuman mati digantung diubah dengan cara ditembak. Dengan demikian perubahan pelaksanaan pidana terkait dengan kecepatan dalam proses untuk mencapai
kematian dan kemudian hal yang berhubungan dengan masalah yang lebih sedikit serta berbicara soal derita atau siksaan yang ada. Bisa jadi pedang pada masanya lebih cepat, gantung pada masanya lebih cepat dengan pedang. Tembak pada masanya lebih cepat dengan digantung dan mungkin lainnya pada masanya sekarang lebih cepat daripada dengan ditembak. Bahwa memperhatikan landasan yang mendasari Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964, pada bagian menimbangnya menyatakan, “bahwa ketentuanketentuan jang berlaku dewasa ini mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati bagi orang-orang jang dijatuhi pidana mati oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum dan orang-orang baik militer maupun bukan militer yang dijatuhi pidana mati oleh pengadilan lingkungan peradilan militer tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kemajuan keadaan serta jiwa Revolusi Indonesia.” Ahli mengarisbawahi terkait dengan persoalan tidak sesuai lagi dengan perkembangan, kemajuan, keadaan, serta jiwa revolusi Indonesia. Menurut ahli, tidak sesuai lagi dengan perkembangan kemajuan, dapat ditafsirkan atau dapat diartikan harus lebih cepat membawa kematian serta lebih sedikit menimbulkan derita ataupun siksaan, pada bagian terminologi tidak sesuai lagi dengan perkembangan kemajuan. Sedangkan makna dari serta jiwa revolusi Indonesia, karena undangundang tersebut dibuat sejak tahun 1964-1966 maka kemudian masih memunculkan istilah-istilah jiwa revolusi Indonesia dan seterusnya. Sebagai perbandingan ahli mengambil contoh perubahan-perubahan yang ada di Undang- Undang Pers Nomor 11 Tahun 1966 yang kira-kira jiwanya adalah sama dengan Penpres tentang pelaksanaan hukuman pidana mati. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 memunculkan istilah ada kontra revolusi, kemudian dengan perubahan zaman Orba kemudian diganti menjadi menentang Pancasila. Jadi dari kontra revolusi sebagai bagian pertimbangan dalam pembuatan penetapan presiden yang ada kemudian diganti dengan menentang Pancasila. Kemudian kita mengalami di zaman reformasi, bisa jadi dari kontra revolusi diubah menjadi menentang Pancasila. Dan sekarang filosofinya, dasar berpijaknya bisa menjadi melanggar hak asasi manusia, ini suatu hal perubahan terkait masalah kondisi politik suatu keadaan negara. Dari persoalan revolusi, Pancasila dan mungkin sekarang standarnya melanggar hak asasi manusia. Kalau kemudian standar tersebut dikaitkan dengan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pada Pasal 28G amandemen yang kedua tahun 2000 maka memunculkan, “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia yang berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”, kata-kata bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat manusia kemungkinan sangat relevan dengan persoalan dengan menjalankan hukuman pidana mati dalam suatu posisi yang kemudian menjadi tersiksa. Kalau kemudian melihat dalam Pasal 33 ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM memunculkan terminologi-terminologi, “setiap orang berhak untuk
bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan dengan kejam tidak manusiawi, merendahkan derajat, dan martabat manusia”. Ada satu bagian yang menarik dalam Pasal 33 ayat (1) tersebut, yaitu penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat manusia, martabat dan derajat dari manusia dihubungkan dengan persoalan pelaksanaan pidana mati, maka boleh dilaksanakan pidana mati asalkan tidak dalam suatu posisi yang kejam atau kemudian merendahkan martabat dari manusia itu sendiri; Bahwa terkait dengan persoalan pelaksanaan pidana mati maka menurut ahli adalah harus yang terbaik untuk terpidana, tidak menyiksa dan mempercepat proses kematian, maka didasarkan pada masalah perkembangan pengetahuan dan teknologi manusia memungkinkan dipertimbangkan diambil jalan yang terbaik agar kematian tersebut tidak menyiksa dan kemudian lebih cepat dapat dilaksanakan. Hal tersebut merupakan suatu permintaan dari undang-undang agar setiap saat tidak menutup kemungkinan adanya perubahan-perubahan tentang masalah bagaimana tata cara melaksanakan eksekusi; Bahwa memperhatikan Pasal 11 KUHP pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh algojo dengan cara menggantungnya. Kemudian dengan adanya Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 maka pelaksanaan pidana mati diselaraskan dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, sebagaimana termuat dalam Bab IV Ketentuan Peralihan dan Penutup, Pasal 18 yang mengatakan, “pidana mati yang dijatuhkan sebelum penetapan ini yang masih harus dilaksanakan, diselenggarakan menurut penetapan ini.” Bahwa kalau seandainya cara ditembak mati adalah inkonstitusional karena masih ada sekian waktu terjadi penyiksaan, ada waktu sekian lama sebelum akhirnya mati, maka menurut ahli, bukan kemudian kembali ke Pasal 11 KUHP tetapi harus dicarikan cara yang terbaik, cara yang terbenar, tercepat, dan tidak menyiksa terpidana atau mungkin cara pilihan orang yang akan mati; Bahwa karena Indonesia adalah negara hukum, sesuai prinsip asas legalitas maka setiap tindakan harus ada dasar hukumnya, tetapi ada pertimbangan lainnya, kalau seandainya Pnps ini kemudian dinyatakan sebagai inkonstitusional melanggar HAM tentu jika kemudian dilaksanakan dengan Pasal11 KUHP apakah juga tidak melanggar HAM, oleh karena itu ahli berpegang pada prinsip harus dibuat undang-undangnya terlebih dahulu agar dapat dilaksanakan eksekusi yang ada; Bahwa berkaitan dengan hak asasi manusia maka dalam masalah penyiksaan akan ditemukan keadaan tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat manusia. Bahwa memperhatikan persoalan retroaktif maka yang dilarang untuk berlaku surut adalah hukum pidana materilnya, sedangkan hukum pidana formilnya dimungkinkan untuk berlaku surut. Berdasarkan prinsip atau pengertian retroaktif yang sederhana tersebut dimungkinkan untuk digunakan secara mundur atau surut.
Bahwa pada waktu dibuatnya Pnps tersebut, dipandang pidana mati dengan cara ditembak mati adalah paling manusiawi, paling terbaik bagi seorang terpidana dibandingkan sebelumnya dengan cara digantung yang memunculkan masalah penderitaan yang lama dan yang jelas melanggar harkat dan martabat manusia. Perubahan perundang-undangan memungkinkan untuk berlaku surut sepanjang hal tersebut menguntungkan bagi terdakwa ataupun mungkin dalam hal ini terpidana. Ahli lebih melihat persoalan retroaktif dikaitkan dengan persoalan jangan menggunakan undang-undang berlaku surut untuk suatu peristiwa yang adanya pada masa lampau.
[2.3] Menimbang bahwa Pemohon telah menyerahkan keterangan tertulis ahli pidana
Dr. Salman Luthan, S.H., M.H., dan Muhammad Luthfie Hakim, S.H., M.H., yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 25 September 2008, sebagai berikut:
Keterangan Tertulis Ahli Dr. Salman Luthan, S.H., M.H. 1. Pengajuan hak uji materil terhadap Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati merupakan hak konstitusional Pemohon karena pelaksanaan undang-undang tersebut akan merugikan kepentingan hukum dirinya. Dalil pengajuan hak uji materil sudah tepat karena undang-undang itu dapat dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, khususnya ketentuan Pasal 28I ayat (1) Perubahan UUD 1945 jika ditemukan cara lain yang lebih manusiawi dalam pelaksanaan pidana mati daripada ditembak mati, misalnya dengan cara suntik mati.
2. Dilihat dari sudut fungsinya, DPR GR sama dengan DPR karena sama-sama memiliki fungsi legislasi, budgeting, dan pengawasan, namun dilihat dari proses pembentukannya, kedua lembaga itu berbeda karena anggota DPR GR ditunjuk oleh Presiden, sedangkan anggota DPR dipilih meialui proses pemilihan umum yang demokratis.
3. Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati tidak dibuat dengan pemikiran yang mendalam bahwa pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak mati merupakan cara yang paling tepat, paling efektif dan paling manusiawi. Pertimbangan memilih pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak mati mencontoh ketentuan Gunsei Keizirei, khususnya ketentuan Pasal 5, yang dikeluarkan 1 Januari 1944 oleh Pemerintah Kolonial Jepang, dan Staatblad 1945 Nomor 123 yang dibuat Pemerintah Kolonial Belanda yang mengatur bahwa pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan cara ditembak mati.
4. Pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak mati dipilih karena dianggap lebih praktis dan memiliki efek psikologis yang lebih ringan bagi eksekutor pidana mati karena menembak mati dilakukan secara bersama-sama oleh 1 regu tembak. Dengan kata lain, pelaksanaan pidana mati dengan cara
5. Belum digantinya atau diperbaruinya Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati (sebagaimana diperintahkan konsideran) sampai hari ini merupakan kelalaian pembentuk undang-undang dan karena undang-undang tersebut tidak menjadi prioritas badan legislatif. RUU KUHP menentukan pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan ditembak mati oleh regu tembak yang dilakukan tidak di depan umum. Namun, KUHP menetapkan pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan 10 tahun.
Keterangan Tertulis Ahli Muhammad Luthfie Hakim, S.H., M.H. Pelaksanaan Hukuman mati di Indonesia, baik ketika dilakukan dengan cara digantung ataupun dengan cara ditembak mati (pada jantung), tidak pernah dilakukan secara terbuka (on public), yang ada justru dilakukan secara rahasia dengan pembatasan yang sangat ketat terhadap pihak-pihak yang boleh menyaksikannya. Dengan tata cara pelaksanaan hukuman mati serupa itu, tidak memberi ruang bagi masyarakat umum untuk menyampaikan penilaian (judgement) tentang penerimaan ataupun penolakannya. Dengan demikian tidak dapat ditarik suatu kesimpulan apakah tata cara hukuman mati dengan cara ditembak mati itu (telah) merupakan suatu "living law" bagi masyarakat Indonesia ataukah tidak; Ini berbeda dengan hukuman mati dan tata cara pelaksanaan hukuman mati di beberapa Negara Timur Tengah yang dilakukan di muka publik (on public). Misalnya di Negara Arab Saudi, salah satu tempat pelaksanaan hukuman mati ini adalah di halaman sebuah masjid bernama Masjid Qishash setelah selesai ibadah shalat jumat, yang disaksikan oleh jamaah shalat jumat tersebut ataupun masyarakat luas. Dalam hal ini, baik jenis hukuman mati maupun tata cara hukuman mati dengan dipancung pada lehernya, dan hal tersebut benar-benar merupakan "the living law" dan praktis tidak pernah diperdebatkan atau dipersoalkan oleh masyarakat luas atau kaum intelektual di sana; Tata cara yang masih dipraktikkan di dunia untuk menghukum mati terpidana adalah: 1. Digantung (hanging)
Berlaku di beberapa Negara Timur Tengah seperti Jordan, Irak, Iran, Negaranegara asia seperti India, Malaysia, Singapura, Jepang. Di Negara Amerika Serikat terdapat hanya di dua negara bagian saja yang menjadikan hukuman gantung sebagai opsi cara menghukum mati, yaitu Negara Bagian Washington dan New Hampshire, dan masih banyak lagi dipraktikkan di negara-negara lain;
2. Dipenggal pada leher (decapitation) Berlaku di beberapa Negara Timur Tengah antara lain di Arab Saudi, Iran, Qatar, dan Yaman;
3. Ditembak (shooting) Berlaku antara lain di Negara Libya, Palestina, Yaman, Afghanistan, Vietnam, Republik Rakyat China, Taiwan, Indonesia dan beberapa negara lainnya.Tembakan dilakukan pada kepala bagian belakang atau leher, atau jantung terpidana;
4. Strum listrik (electrocution atau the electric chair) Berlaku sebagai suatu opsi hukuman mati di Amerika Serikat untuk beberapa negara bagian saja, yaitu Alabama, Florida, South Carolina, Kentucky, Tennessee dan Virginia;
5. Ruang gas (gas chamber) Berlaku di Amerika Serikat untuk beberapa negara bagian, yaitu Colorado, Nevada, Missisippi, New Mexico, North Carolina dan Oregon, serta menjadi cara alternatif menghukum mati di beberapa negara bagian lainnya;
6. Suntik Mati (lethal injection) Metode hukuman ini mulai dikenal pada abad 20 yang ditemukan dan dikembangkan oleh Negara Amerika Serikat, diterima oleh lebih dari 30 negara bagiannya. Cara ini juga mulai dianut oleh RRC (1997), Guatemala (1950, Philipina (1999), Thailand (2003), dan Taiwan (2005); Secara resmi tidak diperoleh jawaban atas pertanyaan mengapa dahulu Indonesia menggunakan tata cara hukuman mati dengan di gantung (Pasal 11 KUHP) kemudian menjadi ditembak mati (UU Nomor 2/Pnps/1964). Faktor pemerintahan yang “militeristik” dan sangat dekat dengan pemerintahan RRC pada akhir pemerintahan Soekarno waktu itu, barangkali menjadi jawaban atas perubahan penggunaan hukuman mati dari digantung menjadi ditembak mati. Bagi militer, hukuman mati dengan ditembak adalah suatu cara mati yang terhormatdibandingkan cara-cara lainnya. Yang jelas metode hukuman mati dengan cara ditembak mulai ditinggalkan pada abad 20 ini; Cara hukuman mati dengan ditembak memang merupakan cara yang paling banyak digunakan di negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati. Hingga tahun 2000, ada 69 negara yang memberlakukan tata cara tembak mati (shooting). Namun tata cara ini cenderung untuk berganti ke tata cara lain yang dipandang lebih baik. Negara China misalnya, kini menerapkan dua jenis metode hukuman mati, yaitu tembak mati dan suntik mati. Demikian halnya peralihan mulai diterapkan oleh Negara Guatemala dan Thailand dari hukuman tembak mati (shooting) ke suntik mati (lethal injection). Di Amerika Serikat sudah hampir semua negara bagian memberlakukan tata cara suntik mati; Mengenai hukuman mati dengan cara dipenggal kepala merupakan pilihan baik untuk diterapkan di Indonesia, menurut ahli, apabila alat untuk memenggal (biasanya berupa pedang atau kampak) benar-benar tajam (sharp) dan teknik memukul yang dilakukan oleh algojo (executioner) tepat pada sasaran, maka cara hukuman mati dengan memenggal leher ini dikenal yang paling sedikit menimbulkan rasa sakit (painlessness) bagi terpidana; Mengacu pada praktik di Arab Saudi sesuai ketentuan hukum Islam (syari'ah/Islamic law) pelaksanaan hukuman mati dilakukan di depan publik (on public). Mengapa? Sanksi dalam pidana Islam bersifat zawajir atau
membuat jera (detterent effect): bagi pelaku dimaksudkan untuk membuat jera ataupun melenyapkan kemampuannya mengulang perbuatan pidana; bagi orang lain semata untuk membuat jera. Di samping itu, pemberian sanksi dimaksudkan sebagai jawabir atau penghapus dosa di akhirat. Tata cara hukuman mati dengan dipenggal lehernya inilah yang paling cepat menimbulkan kematian. Dari keterangan dokter yang ahli peroleh, begitu kepala terpisah dari tubuh dalam waktu 2 hingga 3 detik kesadaran total langsung hilang, hal ini karena supply darah ke otak langsung terhenti. Selanjutnya manusia akan meninggal dalam waktu 60 detik setelah kesadarannya hilang akibat kejutan yang extreem disertai dengan anoxia (hilangnya oksigen secara tiba-tiba) yang diikuti dengan hilangnya tekanan darah. Studi lain telah menghitung bahwa otak manusia hanya bisabertahan hidup selama 7 detik semenjak kepalanya terputus; Berkait dengan pilihan tata cara hukuman mati, di Amerika Serikat khususnya dibeberapa negara bagian yang masih memberlakukan metode hukuman mati dengan cara tembak mati dan ruang gas; memberlakukan pilihan kepada terpidana mati. Di Indonesia meskipun tidak ada pilihan serupa namun dalam praktiknya terpidana mati juga diberikan pilihan kecil, apakah ditembak dalam keadaan duduk, berdiri atau berlutut; Dalam hukum Islam, ada tata cara hukuman mati yang telah ditentukan (missal dilempar batu sampai mati atau dirajam, dibalas sesuai dengan cara membunuhnya atau diqishash, yaitu membunuh dengan memukul pakai batu dibalas dengan dibunuh pakai batu juga), ada juga tata cara yang dilarang (misalnya dengan dibakar hidup-hidup, disalib hidup-hidup), ada juga yang tidak ditentukan tata cara hukuman matinya, terserah pemegang otoritas yang menentukan. Oleh karena itu, pemberian pilihan bagi terpidana mati merupakan hal yang wajar diberikan pada terhukum mati, sepanjang tidak berupa bentuk pilihan tata cara hukuman mati yang dilarang (menurut agama Islam) dan tetap dilakukan di depan masyarakat luas (on public) demi memberikan efek jera(zawajir/detterent effect).
[2.3] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 11 September 2008, Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan keterangan, yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis sebagai berikut:
I. POKOK PERMOHONAN 1. Merujuk kepada permohonan Pemohon, pada dasarnya Pemohon
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 dan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman
Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, karena menurut Pemohon undang-undang a quo dapat menimbulkan suatu keadaan di mana terpidana mati (Amrozi, Cs.) mendapatkan penyiksaan dengan cara ditembak sampai mati oleh regu tembak, dan karenanya ketentuan a quo, menurut Pemohon dianggap bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Selain mengajukan permohonan pengujian materiil (materiele toetsingrecht) diatas, Pemohon juga mengajukan permohonan pengujian formil (formele toetsingrecht), karena menurut Pemohon Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, maka pembentukannya menurut Pemohon dianggap tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Selanjutnya, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 11 KUHP mestinya masih berlaku, sehingga Pemohon mengajukan permohonan agar hukuman mati dilaksanakan dengan melaksanakan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 11 KUHP tersebut, bukan dengan melaksanakan ketentuan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati.
4. Pemohon juga mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya memohon agar Mahkamah Konstitusi menerbitkan putusan provisi yang isinya menunda pelaksanakan eksekusi pidana mati terhadap Pemohon oleh Kejaksaan Agung sebelum putusan Mahkamah Konstitusi, atau setidak-tidaknya sampai diadakannya perubahan undang-undang yang baru.
II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.
Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga agar
seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji.
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5 (lima) syarat , yaitu:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Atas hal-hal tersebut di atas, maka menurut Pemerintah perlu dipertanyakan kepentingan Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh keberlakuan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer. Juga apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Menurut Pemerintah, permohonan Pemohon tidak jelas dan tidak focus (obscuurlibels), utamanya dalam menguraikan/menjelaskan dan mengkonstruksikan telah timbul kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas keberlakuan
undang-undang a quo, karena pada kenyataannya Pemohon sampai saat ini dalam keadaan sehat walafiat dan baik-baik saja, dengan perkataan lain Pemohon saat ini tidak dalam keadaan telah/sedang disiksa (dilakukan penyiksaan) guna persiapan eksekusi mati oleh Kejaksaan sebagai eksekutor. Menurut Pemerintah, Pemohon hanya menceriterakan suatu situasi/gambaran “yang seolah-olah terjadi penyiksaan” pada saat dilakukan eksekusi mati oleh regu tembak, padahal menurut Pemerintah ketentuan Pasal 1 dan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, hanya memberikan penegasan apakah tereksekusi telah benar-benar meninggal/mati, guna menghindarkan rasa sakit (bukan penyiksaan) yang terlalu lama bagi terpidana mati. Pemerintah juga berpendapat bahwa Pemohon tidak konsisten dalam mengajukan permohonan pengujian ini, disatu sisi Pemohon menyatakan bahwa ketentuan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disisi lain Pemohon hanya menginginkan agar pelaksanaan eksekusi hukuman mati tersebut dilakukan dengan cara-cara lain yang lebih baik guna mempermudah kematian tereksekusi, misalnya, dengan dipancung, disuntik mati dan lain-lain. Jika demikian, maka hal tersebut berkaitan erat dengan penerapan (implementasi) suatu undang-undang, dan karenanya menurut Pemerintah hal tersebut tidak berkaitan dengan masalah konstitusionalitas keberlakuan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa tidak terdapat dan/atau telah timbul kerugian nyata pada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon atas keberlakuan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, karena itu kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum pada Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang terdahulu. Karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat dan sudah sepatutnyalah jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN
PENGUJIANUNDANG-UNDANG NOMOR 2/PNPS/1964 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI.
Menurut Pemohon ketentuan Pasal 1 dan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, yang menyatakan: Pasal 1: “Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang penjalanan putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuanketentuan dalam pasal-pasal berikut”. Pasal 14:
1) Apabila semua persiapan telah selesai, maka Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam pasal 4 memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati.
2) Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana.
3) Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberikan perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.
4) Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya.
5) Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat minta bantuan seorang dokter.
Baik secara formiil maupun materiil oleh Pemohon dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan, “ Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hak nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Sehubungan dengan anggapan Pemohon tersebut di atas, Pemerintah dapatmenyampaikan penjelasan sebagai berikut: a. Terhadap pengujian formil (formele toetsingrecht)
Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan Pemohon bahwa pembahasan dan pembentukan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, dianggap tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, Pemerintah juga tidak sependapat dengan anggapan Pemohon yang menyatakan undang-undang a quo kontradiksi dengan ketentuan Pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan penjelasan sebagai berikut: Hubungan antara Pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer [in casu Pasal 1 dan Pasal 14 ayat (4)]. Pasal 11 KUHP menyatakan: “Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”. Pasal 1 dan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati, menyatakan: Pasal 1: “Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang penjalanan putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut”. Pasal 14 ayat (4): “Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya.” Ketentuan di atas, dianggap duplikasi dengan ketentuan Pasal 11 KUHP dan dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah dapat menjelaskan sebagai berikut: 1. Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Hukuman Mati, tidak secara eksplisit mengatur tentang pencabutan Pasal 11 KUHP (vide Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964), sehingga seolah-olah terdapat dua pilihan cara pelaksanaan pidana mati, yaitu dengan cara digantung berdasarkan Pasal 11 KUHP atau dengan cara ditembak sampai mati berdasarkan
2. Bahwa sejarah hukum Indonesia pada kurun waktu pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai dengan tahun 1966 ,terjadi ketidaktertiban dalam pembentukan tata urutan (hirarki) peraturan perundang-undangan yang menyebabkan adanya produk hukum yang tidak tertib dan tumpang tindih. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi logis dari perubahan sistem ketatanegaraan dari sistem parlementer yang didasarkan kepada Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 ke sistem presidensial berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang antara lain menyatakan “memberlakukan kembali UUD 1945 dengan alasan keadaan darurat/luar biasa (staatsnoodrecht) karena Konstituante bersama-sama manifesto gagal menetapkan Undang-Undang Dasar untuk menggantikan UUD’S 1950”. Sejak saat itu produk hukum di bidang peraturan perundang-undangan termasuk tata urutannya menjadi tidak tertib dan tumpang tindih. Namun demikian ketidaktertiban dan ketumpangtindihan tersebut tidak berarti proses pembentukan peraturan perundang-undangan tidak didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mengingat lembaga tinggi negara pembentuk undang-undang (DPR) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, melalui Pemilu belum ada, maka pembuatan undang-undang dalam kurun waktu tersebut mendasarkan pada Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum diamandemen.
4. Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 berbunyi, “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)”. Dengan demikian berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 (sebelum amandemen), kekuasaan membentuk undangundang dijalankan oleh Presiden dengan bantuan KNIP. Akan tetapi karena KNIP telah bubar bersamaan dengan berdirinya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949, maka selama kurun waktu antara tahun 1959 (pasca Dekrit Presiden) sampai dengan 1966, kekuasaan membentuk undang-undang dijalankan sendiri oleh Presiden. Keadaan inilah oleh sebagian ahli dianggap sebagai “subjectief staatnoodrecht” atau keadaan yang luar biasa.
5. Berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 tersebut lahirlah PENPRES yang daya berlakunya setingkat dengan undang-undang. Sehubungan dengan hal tersebut, maka sejak lahirnya orde baru
tanggal 11 Maret 1966, keinginan untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara murni dan konsekwen sangat kuat sekali. Dengan memahami kurun waktu tersebut, seluruh rakyat dan bangsa Indonesia bertekad untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara murni dan konsekuen. Segala usaha diupayakan agar semua lembaga kenegaraan dan lembaga pemerintahan melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan UUD 1945, termasuk di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan beserta tata urutannya (hierarkinya). Namun demikian, disadari bahwa DPR hasil Pemilu yang didasarkan UUD 1945 belum ada, oleh karena itu dibentuk DPRGR yang bersifat sementara untuk melaksanakan tugas dan fungsi membentuk undangundang. Hal tersebut sangat penting agar pembentukan undang-undang tidak dilaksanakan sendiri oleh Presiden, yang jika hal tersebut terjadi, maka bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Bahwa setelah terjadi pergantian kekuasaan, diadakan penertiban produk hukum, sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 yang memuat hierarki peraturan perundang-undang. Kemudian dalam perjalanannya Ketetapan MPRS tersebut dijadikan dasar hukum untuk melakukan legislative review terhadap produk hukum di bawah undang-undang, khususnya yang diterbitkan oleh Presiden. Hasil legislative review tersebut dimuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang memuat daftar produk hukum Penetapan Presiden (Pnps) yang ditetapkan untuk dipertahankan dan dinaikkan statusnya sebagai undang-undang, dijadikan bahan pembuatan undang-undang di masa yang akan datang, dan sebagian di antaranya dinyatakan dicabut.
7. Bahwa Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 termasuk kategori Penetapan Presiden yang ditetapkan untuk dipertahankan dan dinaikkan statusnya menjadi undang-undang, kemudian cara penyebutannya menjadi Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 (konsonan ”Pnps” menunjukkan bahwa undang-undang tersebut berasal dari Penetapan Presiden).
8. Selanjutnya kedudukan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tersebut secara konstitusional menjadi sah sebagai undang-undang berdasarkan Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pasca amandemen) yang berbunyi, “segala peraturan perundang-undangan yang masih ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
9. Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 memuat norma hukum tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang tidak sama dengan norma hukum yang dimuat dalam Pasal 11 KUHP, dan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tersebut tidak secara eksplisit mencabut Pasal 11 KUHP, maka menurut Pemerintah kedudukan norma hukum yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 harus dipandang sebagai norma hukum yang terbit kemudian (hukum baru) sedangkan Pasal 11 KUHP sebagai hukum lama.
10. Bahwa sesuai dengan asas hukum (lex posterioris derogat legi priori), maka jika terjadi norma hukum lama dan kemudian terbit norma hukum baru yang kedudukannya sederajat yang memuat substansi yang sama atau menyempurnakan (memperbaiki) dan tidak memuat norma yang bertentangan, maka berlakulah norma hukum yang baru (dalam hal ini Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati).
11. Bahwa pendapat Pemohon yang menyatakan secara formil Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena proses penetapannya tidak sesuai dengan proses penetapan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah pendapat yang keliru, tidak benar dan tidak konsisten, karena: a. Bahwa Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 2 Tahun 1964 telah
disahkan menjadi undang-undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969;
b. Bahwa proses penetapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 dilakukan sesuai dengan kondisi ketatanegaraan Republik Indonesia yang ada pada waktu itu (yang masih belum memiliki DPR hasil pemilihan umum);
c. Bahwa Pemohon telah bersikap tidak konsisten. Disatu sisi Pemohon mengakui Pasal 11 KUHP sebagai ketentuan hukum yang (masih) berlaku secara sah, padahal proses penetapan KUHP, baik oleh Pemerintah Hindia Belanda, maupun oleh Pemerintah RI pasca kemerdekaan pada tahun 1946, jelas tidak sesuai dengan proses penetapan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena baik pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, maupun pada tahun 1946, negara Indonesia masih belum memiliki DPR yang dibentuk sebagai hasil pemilihan umum.
d. Selain itu, jika anggapan Pemohon tersebut benar adanya dan permohonannya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka
menurut Pemerintah dapat menimbulkan kekacauan hukum (legal chaos), karena saat ini masih banyak undang-undang yang masih berlaku di Indonesia, tetapi proses penetapannya dilakukan oleh DPR-GR yang bukan DPR hasil Pemilihan Umum. Misalnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, dan lain sebagainya.
Atas hal-hal tersebut di atas, terhadap pelaksanaan eksekusi pidana mati berlaku ketentuan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati), dan undang-undang tersebut secara materiil diutamakan dan meniadakan keberlakuan norma yang dimuat dalam Pasal 11 KUHP sebagai norma hukum lama. Dengan demikian menurut Pemerintah, Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 telah sesuai dengan semangat pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (vide dasar “menimbang” Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969).
b. Terhadap pengujian materiil (materiele toetsingrecht) tentang frase “dilakukan dengan ditembak sampai mati “ (Pasal 1) dan “Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya” [Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati], yang dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hak nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Pemerintah dapat menjelaskan sebagai berikut: 1. Pengertian Ditembak sampai Mati.
1) Bahwa pengertian “ditembak sampai mati” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 adalah ditembak tepat pada jantung terpidana mati. Hal ini berdasarkan asumsi
bahwa jantung sebagai tanda hidup yang utama dalam kehidupan manusia, maka tembakan tepat pada jantung manusia adalah sasaran yang sangat mematikan dan dapat mempercepat proses kematian.
2) Bahwa jika ternyata setelah ditembak jantungnya, terpidana mati masih memperlihatkan tanda-tanda belum mati, baru kemudian ditembak pada bagian kepalanya. Tembakan pada bagian kepala ini sebagai tembakan pengakhir (pamungkas), karena itu, menurut Pemerintah tembakan di kepala terpidana mati, dimaknai: a. Tembakan tepat pada jantung terpidana mati adalah
tembakan yang dipastikan mematikan. b. Tembakan tepat pada kepala terpidana mati tidak diperlukan,
apabila tembakan jantung langsung mematikan terpidana mati.
c. Tembakan tepat pada kepala terpidana mati dilakukan sebagai tembakan pengakhir dan hanya dilakukan apabila tembakan pada jantung tidak langsung mematikan (atau masih ada tanda-tandabelum mati).
d. Tembakan tepat pada kepala terpidana mati sebagai tembakan pengakhir tersebut, dimaksudkan agar terpidana mati tidak mengalami proses sakit yang terlalu lama.
2. Adakah unsur penyiksaan dalam pelaksanaan eksekusi pidana mati?, Pemerintah dapat menjelaskan sebagai berikut: a. Bahwa menimbulkan perasaan sakit sudah pasti ada dalam
pelaksanaan eksekusi pidana mati, karena seseorang dari keadaan hidup dan sehat, kemudian tidak bernyawa/mati yang dilakukan secara sengaja dengan cara ditembak mati, maka sudah pasti ada proses sakit.
b. Bahwa sakit atau proses sakit berbeda dengan penyiksaan, meskipun keduanya mengalami keadaan yang sama, yaitu sakit. Sakit adalah suatu keadaan yang tidak mengenakan (dalam hal kesehatan) yang dialami oleh seseorang. Penyiksaan adalah keadaan sakit pada diri seseorang yang dilakukan secara sengaja. Sakit atau perasaan sakit dengan penyiksaan menurut hukum pidana berbeda. Sakit atau perasaan sakit adalah proses alamiah dan jika ada tindakan manusia secara sengaja, tujuannya bukan untuk menyakitkan, melainkan sakit tersebut konsekuensi logis atau sebagai proses untuk tujuan yang dibenarkan oleh hukum.
c. Contoh, seseorang sakit gula kemudian diamputasi kakinya, tindakan amputasi kaki akan menimbulkan rasa sakit tetapi rasa sakit tersebut bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai resiko atau proses untuk mencapai tujuan lain yang tidak melanggar
hukum. Sedangkanpenyiksaan adalah keadaan sakit pada diri seseorang yang dengan sengaja dilakukan oleh orang lain tanpa hak dan perbuatan tersebut termasuk sebagai perbuatan yang melawan hukum. Misalnya memukul, menginjak-injak, memotong bagian tubuh dan lain sebagainya.
d. Sehingga menurut Pemerintah, sakit atau proses sakit pasti akan dialami oleh terpidana mati yang dieksekusi mati secara sengaja dengan cara apapun. Sakit atau proses sakit yang dialami oleh terpidana mati setelah dieksekusi bukanlah tindakan penyiksaan dan tidak dimaksudkan untuk melakukan penyiksaan, melainkan sebagai proses kematian secara alamiah.
e. Bahwa pada dasarnya sangatlah sulit untuk membuat proses mati yang tidak melalui proses sakit (walaupun didunia kedokteran dikenal “euthanasia” bagi pasien yang tidak kunjung sembuh dari sakit, maka pasien dapat meminta dokter ”untuk mengakhiri mati dengan cara nikmat”).
f. Pertanyaannya adalah bagaimana cara menentukan pelaksanaan eksekusi pidana mati, apakah termasuk kategori sangat sakit, sakit, kurang sakit atau tidak sakit, niscaya terpidanalah yang merasakannya (tetapi terpidananya sudah mati). Sehingga bagi yang masih hiduplah yang dapat mengira-ngira apakah dengan ditembak mati, digantung, dipancung, disetrum listrik, mana yang lebih tinggi kadar rasa sakitnya.
g. Menurut Pemerintah, eksekusi mati dengan cara ditembak sampai mati sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964, dipandang sebagai cara eksekusi atau proses kematian yang lebih cepat dibandingkan dengan cara digantung (sesuai Pasal 11 KUHP).
h. Bahwa dalam melakukan eksekusi, terpidana harus mengetahui bahwa eksekusi mati akan dilaksanakan, karena itu pelaksanaan eksekusi tidak dapat dilakukan apabila terpidana mati: dalam keadaaan tidak sehat atau tidak sadar; dalam keadaan hamil; sedang tidur; atau tidak mengetahui eksekusi pidana mati akan dilaksanakan (secara diam-diam).
3. Bahwa Pemohon sama sekali tidak menjelaskan pelaksanaan hukuman mati yang macam apa yang dapat membebaskan terpidana mati dari rasa sakit sehingga terbebas/terhindar dari “kesan” adanya penyiksaan sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Disisi lain Pemohon lebih menyukai (memilih) pelaksanaan eksekusi hukuman mati dengan cara menggantung terpidana mati di tiang gantungan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 11 KUHP daripada dengan cara ditembak sampai mati sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati, tetapi Pemohon tidak menjelaskan secara rinci dan pasti apakah pelaksanaan eksekusi mati dengan digantung di tiang gantungan matinya tidak menyakitkan dan benar-benar terbebas dari rasa sakit?. Dari uraian di atas, Pemerintah dapat menyimpulkan bahwa pengertian sakit atau rasa sakit bagi terpidana mati yang sedang menjalani eksekusi pidana mati tidak termasuk kategori penyiksaan atau penganiayaan, karena pada hakikatnya pelaksanaan eksekusi pidana mati tidak dimaksudkan untuk menimbulkan rasa sakit, tetapi sebagai konsekuensi logis dari proses kematian atas putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkracht van gewijsde). Sehingga menurut Pemerintah, Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, baik secara formiil maupun matriil tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan karenanya tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon. Selain penjelasan/argumentasi tersebut di atas, berkaitan dengan permohonan putusan provisi yang dimohonkan oleh Pemohon, Pemerintah dapat menyampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi tidak mengenal adanya putusan provisi (vide Pasal 56 s.d 57).
2. Putusan provisi bertujuan untuk “memberi petunjuk-petunjuk mengenai perkara dan yang bermaksud untuk mempersiapkan keputusan akhir tanpa mempengaruhi pokok perkara” (vide Pasal 48 Reglemen Acara Perdata S.1847 – 52 juncto 1849 –63), sedangkan permohonan Pemohon dalam putusan provisi menyatakan agar pelaksanaan hukuman mati dapat ditunda sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi, atau setidak-tidaknya sampai diadakannya perubahan undang-undang yang baru.
Dengan demikian permohonan Pemohon sepanjang berkaitan dengan putusan provisi, menurut Pemerintah adalah permohonan yang tidak berdasar.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang
Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelakasaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing);
2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon (void) seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan; 4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara
Pelakasaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan
5. Peradilan Umum dan Militer tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono).
[2.4] Menimbang bahwa Pemohon telah menyerahkan kesimpulan tertulis yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 25 September 2008, yang pada pokoknya tetap dalil-dalil Pemohon, yang selengkapnya terlampir dalam berkas perkara;
[2.5] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian Putusan ini, segala sesuatu yang terjadi dipersidangan ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa permasalahan hukum utama yang diajukan dalam
permohonan Pemohon adalah pengujian formil dan materiil Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum dan Militer, khususnya Pasal 1, Pasal 14 ayat (3) dan ayat (4) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 38, selanjutnya disebut UU 2/Pnps/1964) yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);
[3.2] Menimbang, sebelum mempertimbangkan Pokok Permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) harus mempertimbangkan terlebih dahulu: 1. kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan a quo;
2. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk bertindak selaku pemohon dalam permohonan a quo. Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, dan Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk, antara lain, menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
[3.4] Menimbang bahwa permohonan a quo adalah permohonan pengujian undang-undang in casu UU 2/Pnps/1964 yang semula merupakan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum dan Militer, yang telah ditetapkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 (selanjutnya disebut UU 5/1969) terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
[3.5] Menimbang bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.
Bahwa untuk dapat diterima sebagai pihak dalam pengujian undangundang terhadap UUD 1945, Pemohon terlebih dahulu harus:
a. menjelaskan kedudukannya apakah sebagai perorangan warga Negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga negara;
b. menjelaskan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kedudukan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas.
[3.6] Menimbang bahwa Mahkamah dalam putusannya, yaitu sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 hingga saat ini, berpendapat bahwa untuk dapat dikatakan ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus dipenuhi syarat-syarat:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan actual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia yang telah dijatuhi pidana mati dalam perkara Bom Bali, memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, yaitu hak untuk tidak disiksa sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Bahwa berdasarkan permohonan Pemohon dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 51 UU MK, maka secara prima facie Pemohon dipandang memenuhi syarat hukum untuk mengajukan permohonan a quo, terkecuali jikalau dalam pertimbangan pokok permohonan kerugian hak konstitusional Pemohon yang secara prima facie dianggap terpenuhi, dalam pertimbangan pokok permohonan terbukti sebaliknya;
[3.8] Menimbang bahwa meskipun Pemohon telah memenuhi kualifikasi sebagaimana tersebut di atas, akan tetapi secara khusus Mahkamah harus mempertimbangkan informasi yang sudah diketahui oleh umum secara luas tentang pernyataan Pemohon in person melalui Metro TV dalam program Metro Realitas dan media lainnya yang ditayangkan secara berulang-ulang bahwa Pemohon sesungguhnya tidak pernah mempermasalahkan atau berkehendak untuk mempersoalkan tata cara pelaksanaan pidana mati, sehingga oleh karenanya Mahkamah perlu menilai kembali kebenaran materiil Surat Kuasa Pemohon;
[3.9] Menimbang bahwa permohonan Pemohon telah didasarkan pada surat kuasa yang sah untuk mengajukan permohonan pengujian, akan tetapi perlu ditegaskan apakah dengan pernyataan di media massa tersebut Pemohon berkehendak untuk mengubah sikap dan bermaksud untuk menarik permohonannya. Oleh karena Pemohon tidak pernah secara resmi menarik kembali surat kuasa dan para Kuasa Hukum Pemohon tidak pernah menarik kembali permohonan, maka Mahkamah berpendapat bahwa pernyataanpernyataan yang dikemukakan di luar persidangan tidak perlu
dipertimbangkan, sehingga selanjutnya Mahkamah harus memeriksa Pokok Permohonan.
Tentang Permohonan Provisi [3.10] Menimbang bahwa selain mengajukan permohonan sebagaimana dalam Pokok
Permohonan, Pemohon juga mengajukan permohonan provisi, agar Mahkamah berkenan menyampaikan pemberitahuan kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk menunda pelaksanaan eksekusi terhadap Pemohon dalam rangka mengikuti proses pengujian undang-undang yang sementara dalam proses persidangan di Mahkamah, dengan alasan-alasan sebagai berikut: a. untuk menjaga hak konstitusional Pemohon tidak hilang, maka merupakan
suatu kebijakan yang arif dan tepat apabila Mahkamah berkenan menyampaikan pemberitahuan kepada pihak Kejaksaan Agung selaku eksekutor putusan pidana di Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menunda pelaksanaan eksekusi terhadap Pemohon dalam rangka proses pengujian undang-undang yang sedang diajukan;
b. bahwa di samping itu, dasar hukum pengajuan penghentian eksekusi yang akan dilaksanakan Kejaksaan Agung selaku eksekutor perkara pidana adalah Pasal 55 dan Pasal 63 UU MK, di mana Mahkamah memiliki kewenangan yang diberikan untuk mengeluarkan penetapan yang memerintahkan kepada pemohon atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan dalam sengketa kewenangan lembaga negara;
c. bahwa dari segi pelaksanaan kewenangan, Mahkamah juga harus mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan apakah sangat berpengaruh atau tidak terhadap Pemohon, apabila kewenangan hukum Kejaksaan sebagai unsur Pemerintah tetap dilaksanakan, maka otomatis permohonan a quo menjadi gugur dengan sendirinya, sehingga tidak memberikan fair trial terhadap Pemohon dan kesempatan Pemohon untuk mengetahui apakah permohonannya dikabulkan atau tidak, maka sama saja dengan melanggar hak-hak Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
d. Dengan ditundanya pelaksanaan eksekusi mati terhadap Pemohon tidak akan menyebabkan hapusnya pidana mati terhadap Pemohon itu sendiri dan penundaan eksekusi Pemohon tidak akan memakan waktu lama.
[3.11] Menimbang bahwa terhadap permohonan provisi Pemohon tersebut, Mahkamah memberi pertimbangan sebagai berikut: a. bahwa UU MK tidak mengenal permohonan provisi dalam pengujian
undangundang; b. bahwa dalam setiap pengujian undang-undang, undang-undang yang diuji
tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 (vide Pasal 58 UU MK);
c. bahwa ketentuan permohonan provisi dikenal dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 63 UU MK yang menyatakan, ”Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”;
d. bahwa mekanisme suatu permohonan provisi sifatnya harus penting dan mendesak;
e. bahwa permohonan provisi adalah permohonan yang bersifat sementara dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pokok permohonan.
[3.12] Menimbang, berdasarkan pertimbangan hukum dalam paragraf [3.11] di atas, Mahkamah berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan provisi yang diajukan oleh Pemohon tidak berdasar dan beralasan hukum, sehingga permohonan provisi tidak dapat diterima.
Pokok Permohonan [3.13] Menimbang, selanjutnya yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah
apakah UU 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer tidak memenuhi syarat-syarat formil pembentukan undang-undang yang ditentukan dalam UUD 1945 (uji formil), dan apakah Pasal 1, Pasal 14 ayat (3) dan ayat (4) UU 2/Pnps/1964 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 (uji materiil), dengan alasan-alasan sebagai berikut: [3.13.1] bahwa dalam pengujian formil, Pemohon mendalilkan:
• bahwa UU 2/Pnps/1964 merupakan undang-undang yang pembentukannya didasarkan pada Penetapan Presiden Republik Indonesia, yang menjadi undang-undang karena diundangkannya UU 5/1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang;
• bahwa UU 2/Pnps/1964 adalah undang-undang yang pembentukannya dilakukan dengan cara disahkan oleh Presiden Republik Indonesia dengan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, yang menurut Pemohon Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) bukan lembaga perwakilan rakyat sebagaimana dimaksud
oleh UUD 1945, karena DPR-GR dibentuk atas dasar Penetapan Presiden dan anggotanya juga diangkat oleh Presiden, sedang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana dimaksud oleh Pasal 19 Perubahan UUD 1945, anggotanya dipilih melalui
• pemilihan umum; • bahwa pembentukan undang-undang menurut UUD 1945 adalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Perubahan UUD 1945, namun pembentukan UU 2/Pnps/1964 juncto UU 5/1969 tidak sesuai dengan Pasal 20 UUD 1945, dengan demikian tata cara pelaksanaan pidana mati dengan ditembak hingga mati oleh regu penembak, yang selama ini dijalankan di Negara Republik Indonesia, merupakan tata cara yang didasarkan pada undang-undang yang pembentukannya tidak sesuai dengan UUD 1945.
[3.13.2] bahwa dalam pengujian materiil, Pemohon mendalilkan: • bahwa Pasal 1, Pasal 14 ayat (3) dan ayat (4) UU 2/Pnps/1964
bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28I ayat (1) yang berbunyi, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”;
• bahwa Pasal 1 UU 2/Pnps/1964, menentukan bahwa pidana mati dengan cara ditembak dilakukan dengan cara ditembak hingga mati. Kalimat ini menimbulkan pengertian bahwa kematian yang akan diterima oleh terpidana tidak sekaligus terjadi dalam “satu kali tembakan” namun harus dilakukan secara berkali-kali hingga mati. Dengan demikian, terjadi penderitaan yang amat sangat sebelum terpidana akhirnya mati;
• bahwa Pasal 14 ayat (4) UU 2/Pnps/1964 lebih memberikan penegasan atas kemungkinan tidak terjadinya kematian dalam satu kali tembakan, sehingga diperlukan tembakan pengakhir, dengan kalimat undang-undang yang berbunyi, “Apabila setelah penembakan, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir...”; Sebelum tembakan pengakhir tersebut, berarti undang-undang a quo mengakui bahwa terpidana masih hidup, padahal dia sudah dalam keadaan tertembak dan tentunya dalam keadaan berlumuran darah, sehingga dalam keadaan tersiksa yang amat sangat, sebelum akhirnya mati oleh tembakan pengakhir;
• bahwa di samping hal-hal tersebut di atas, regu tembak juga diberi tugas untuk mengeksekusi terpidana menurut UU 2/Pnps/1964 diharuskan membidik pada jantung terpidana [vide Pasal 14 ayat (3) UU 2/Pnps/1964], namun pada Pasal 14 ayat (4) UU 2/Pnps/1964 menentukan untuk mengarahkan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya. Dengan demikian, tata cara ini tidak memberikan kepastian akan “tiadanya penyiksaan” dalam proses kematian terpidana. Jika menurut pembentuk undang-undang yang bisa mengakibatkan kematian langsung adalah tembakan di atas telinga terpidana, mengapa ada tata cara yang mengharuskan membidik pada jantung. Artinya, pembentuk undangundang tidak meyakini bahwa tembakan pada jantung akan mengakibatkan kematian langsung, sehingga ada ketentuan Pasal 14 ayat (4) undang-undang a quo;
• bahwa meskipun seorang warga negara Indonesia berstatus terpidana mati, menurut UUD 1945 khususnya Pasal 28I ayat (1), tetap dijamin hak asasi manusianya, sehingga penyiksaan terhadapnya dengan menggunakan tata cara pelaksanaan pidana mati berdasarkan UU 2/Pnps/1964 merupakan pelanggaran atas hak konstitusionalnya, dengan demikian undang-undang a quo materinya jelas bertentangan dengan UUD 1945.
[3.14] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya, Pemohon di samping
mengajukan bukti-bukti tertulis (P-1 sampai dengan P-7), yang selengkapnya telah termuat dalam bagian Duduk Perkara Putusan ini, juga mengajukan saksi dan ahli-ahli yang telah didengar keterangannya, serta keterangan tertulis ahli sebagaimana telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara Putusan ini, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
[3.14.1] Keterangan Saksi Pemohon Pastur Charlie Burrows
Bahwa saksi adalah seorang Rohaniwan yang mendampingi terpidana mati Antonius dan Samuel pada saat eksekusi dilakukan, dan waktu itu, saksi diberi kesempatan untuk maju dan membuka kain hitam yang menutup kepala untuk berdoa bersama Antonius dan Samuel. Antonius kemudian bercerita bahwa hatinya telah siap untuk meninggalkan dunia ini; Bahwa sebelum dilaksanakan eksekusi tembak mati, dokter memasang kain hitam persis di jantung sebagai tanda bagi regu tembak, kemudian saksi diperintahkan mundur 1 (satu) meter di belakang dua regu penembak dan setelah itu dibacakan terlebih dahulu semacam berita acara tentang vonisnya, dan selesai membaca vonis, 2 (dua) regu menembak bersama-sama. Sesudah penembakan, Antonius maupun
Samuel mengerang kesakitan selama kurang lebih 7 (tujuh) menit dan darah sudah mulai keluar dari jantungnya pelan-pelan dan agak lama, tetapi yang sangat menimbulkan rasa terharu adalah erangan kesakitan tersebut berlangsung lama. Kemudian kurang lebih 10 (sepuluh) menit setelah penembakan, dokter memeriksa Samuel dan Antonius dan mengatakan bahwa mereka sudah meninggal dunia, dan selanjutnya dibawa untuk dilakukan otopsi. Setelah itu jenazah dibersihkan dan dimasukkan ke dalam peti untuk kemudian dimakamkan di Nusa Kambangan; Bahwa eksekusi mati Antonius dan Samuel adalah eksekusi yang pertama kali saksi menyaksikannya, di mana terpidana mati Antonius dan Samuel diikat seperti mumi, dan erangan selama 7 (tujuh) menit yang dialami oleh terpidana mati Antonius dan Samuel dirasakan seperti siksaan;
[3.14.2] Keterangan Ahli dr. Sun Sunatrio (Ahli Anastesi)
Bahwa ahli adalah seorang dokter spesialis anestesiologi dan intensive care, yang sehari-hari sering mengalami hal-hal yang jarang dialami oleh dokter lain, yaitu kematian dan ahli paling sering mendapati mati klinis, yang beberapa di antaranya dapat dihidupkan kembali dengan cara resusitasi. Hal tersebut membuat ahli sangat concern dengan definisi mati; Bahwa definisi mati yang dianut oleh Indonesia adalah yang dideklarasikan oleh Ikatan Dokter Indonesia, yang juga sesuai dengan yang dianut oleh Negara lain, walaupun ada sedikit perbedaan; Bahwa ada dua definisi mati, pertama, definisi klasik, yaitu berhentinya fungsi spontan pernapasan dan sirkulasi yang pasti atau dengan kata lain irreversible. Definisi klasik tersebut sama di seluruh dunia. Kedua, bila seseorang mengalami mati batang otak, maka dinyatakan mati walaupun jantungnya masih hidup, ginjalnya masih berdenyut, termasuk hati dan paru-parunya. Mengenai definisi kedua ini, di negara lain ada yang menganut mati otak, artinya, menunggu seluruh otak mati baru kemudian dinyatakan mati; Bahwa penembakan dalam hukum tembak memang target sasarannya adalah jantung, tetapi dalam kenyataan belum tentu jantung yang kena, dan kalau jantung yang kena, jantung langsung hancur dan pecah, maka tidak ada sirkulasi darah, sehingga dalam waktu 7 (tujuh) sampai 11 (sebelas) detik orang tersebut akan pingsan. Dengan demikian kalau pun dia mengerang, hanya dalam 7 (tujuh) sampai 11 (sebelas) detik saja. Tetapi kalau yang terkena bukan jantung, melainkan sekitarnya maka orang tersebut baru pingsan setelah shock, setelah banyak darah keluar. Dari waktu 7
(tujuh) menit tersebut, kemungkinan yang terkena adalah pembuluh besar di dekat jantung, tidak terkena jantungnya. Kalau jantung yang terkena tembakan, terpidana langsung pingsan dan dalam waktu 15 (lima belas) detik kemudian bisa dinyatakan mati. Menurut ahli, kalau ditembak tepat di kepala kemudian terkena otak, maka saat itu juga per definisi langsung mati; Bahwa kalau yang ditembak kepala dan otaknya langsung hancur, maka saat itu juga langsung mati. Sedangkan kalau dipenggal lehernya berarti ada tenggang waktu 7 (tujuh) sampai 11 (sebelas) detik kemudian total pingsan; waktu tersebut sama jika ditembak yang tepat terkena jantung yaitu 7 (tujuh) sampai 11 (sebelas) detik sejak sirkulasi berhenti; Bahwa suntik mati sudah banyak dipakai di negara di dunia ini, dan menurut ahli ada beberapa yang harus dikritisi. Di Amerika Serikat yang melakukan bukan dokter dan bukan perawat. Oleh karena dokter dan perawat terikat oleh etika, sehingga yang melakukan adalah orang-orang yang tidak terlatih. Hal demikian merupakan kelemahan, tetapi andaikata hal tersebut benar, prosesnya adalah terpidana mati dipasang dua infus melalui vena, satu sebagai cadangan (back up), kemungkinan satu sebelah kiri dan satu sebelah kanan. Setelah dipasang infuse dengan Na Cl fisiologis kemudian dimasukkan obat bius yang namanya Topental sebanyak 5 gram. Perlu diketahui, kalau ahli membius hanya untuk sekedar membuat tidur maka hanya membutuhkan dosis kira-kira ¼ (seperempat) gram sampai 0,3 gram. Dengan demikian dosis 5 (lima) gram hampir dipastikan akan terbius, apalagi dosisnya toxic, artinya, orang yang diberikan dosis 5 (lima) gram tersebut langsung pingsan dan langsung nafasnya berhenti; Bahwa setelah nafasnya berhenti dan pingsan dimasukkan obat kedua, yaitu obat yang melemaskan otot-otot yang namanya Pavulon, diberikan sebanyak 8 (delapan) milligram yang biasanya dosis yang dipakai adalah 4 milligram untuk orang dewasa. Dengan 8 (delapan) miligram sudah pasti semua otot rangkanya akan berhenti. Otot rangka adalah otot lurik, yaitu otot yang dapat diperintah, tetapi otot polos dan otot jantung tidak berhenti. Andaikata terjadi kesalahan, oleh karena yang menyuntik bukan ahlinya, maka obatnya bisa keluar. Kalau obatnya keluar dan menembus otot bisa sakit sekali, tetapi dalam waktu beberapa menit terpidana akan lemas, tidak kelihatan sakitnya walaupun mungkin dia masih sadar karena obatnya tidak masuk atau masih sadar karena dosisnya kurang, sebab orang yang menjelang kematian sangat tegang sekali dan dosis adrenalin yang dikeluarkan tubuh tinggi
sekali, sehingga susah ditidurkan dibandingkan orang biasa. Jadi, ada kemungkinan orang tersebut masih sadar, dan menurut penelitian di Amerika ada beberapa yang kemungkinan masih sadar. Kalau orang tersebut belum terbius, maka akan merasakan pada waktu disuntik otot menjadi lemas, tidak bisa bernafas, perasaannya tercekik, sehingga mengakibatkan tersiksanya terpidana mati; Bahwa obat ketiga yang disuntikan adalah potassium chloride (potassium klorida) dengan dosis 50 (lima puluh) cc, maksudnya supaya jantung berhenti. Jika pada waktu disuntikkan potasium klorida terpidana belum tertidur, maka akan dirasakan sakit sekali seperti serangan jantung karena mekanismenya sama, yaitu tidak adanya oksigen dalam jantung. Mengenai adanya orang yang masih sadar ketika disuntik potasium klorida juga diyakini oleh majalah Land Health di Amerika Serikat bahwa setelah memeriksa kadar benetol dalam darah, diyakini ada beberapa yang mungkin sekali sadar. Dibandingkan dengan tata cara hukuman mati yang lainnya, disuntik mati kelihatannya lebih elegan, asal benar caranya. Akan tetapi agak sulit oleh karena dokter dan perawat tidak boleh terlibat dalam proses tersebut, kecuali kalau nanti ada perubahan; Bahwa kalau dipenggal leher memiliki rasa sakit hanya sebentar, yaitu dalam hitungan detik antara 7 (tujuh) sampai 12 (dua belas) detik. Kalau ditembak mati memiliki waktu bervariasi. Jika tidak terkena jantung bisa setengah jam, tetapi kalau tepat terkena jantungnya dalam waktu 7 (tujuh) sampai 11 (sebelas) detik. Dengan demikian ditembak mati yang terkena jantung dan dipenggal leher memiliki waktu yang sama; Bahwa dengan cara digantung kalau dilakukan secara benar, yaitu posisi tinggi rendahnya dan talinya juga harus diukur ketepatannya, sehingga mengakibatkan patah leher, maka waktu yang dibutuhkan sama dengan dipenggal leher, tetapi kenyataannya jarang terjadi oleh karena mungkin ototnya kuat sehingga tidak langsung patah dan akhirnya hanya seperti orang dicekik. Kalau orang dicekik, maka akan tetap sadar kira-kira sampai 5 (lima) menit. Setelah 5 (lima) menit kemudian pingsan, sehingga bisa merasakan dan meronta-ronta, serta mungkin membuang air besar, mata mendelik, lidah terjulur, dan sebagainya;
[3.14.3] Keterangan Ahli dr. Jose Rizal Yurnalis, SpBO. (Ahli Bedah Orthopedi) Bahwa ahli adalah ahli bedah orthopedic dan thromatologic yang sering melakukan operasi dan berhubungan dengan anastesi, serta sering melihat proses pembiusan. Ahli juga merupakan relawan medis untuk daerah-daerah konflik, seperti Tual, Ambon, Saparua,
Halmahera Utara, Aceh, kemudian di luar negeri seperti Thailand Selatan, Mindanau, Afghanistan, Irak, dan Libanon Selatan. Sehingga ahli sering melihat proses kematian, baik melalui proses medis maupun di lapangan; Bahwa dalam konflik Maluku, karena peperangannya horizontal maka yang digunakan adalah senjata tajam dan paling sering terjadi adalah penebasan leher. Kalau di Afghanistan, Libanon, Irak, dan Mindanau adalah luka tembak, luka bom, dan luka bakar; Bahwa berdasarkan pengalaman ahli, kalau yang ditembak dengan peluru tajam, dia masih hidup kemudian pelan-pelan meninggal, tentu dengan erangan kesakitan, jika tidak tepat dijantungnya. Akan tetapi, bila tepat di jantungnya maka jantung akan pecah dan langsung meninggal. Kalau menyerempet, kemudian bila terkena vena cava atau arteri artha atau misalnya terkena paru-paru akan memerlukan waktu yang lebih lama lagi. Kadang-kadang memakan waktu ½ (setengah) jam, 1 (satu) jam, bahkan sampai 1 (satu) hari. Sedangkan kalau ditebas, ahli tidak melihat proses penebasannya, ahli hanya melihat hasilnya, dan menurut yang menyaksikan orang yang ditebas lehernya langsung meninggal; Bahwa sebagai seorang dokter, ahli berpendapat, secara ilmiah, pusat kehidupan adalah di otak terutama di batang otak. Sedangkan jantung mempunyai semacam trafo sendiri. Kalau jantung dipotong kemudian diangkat keluar masih bisa berdenyut, tetapi kalau dihancurkan batang otaknya atau diputuskan batang otaknya dari otak atau dari bagian bawahnya itu, dapat langsung berhenti pernafasan dan berhenti cardio vasculer. Pendapat ahli prinsipnya sama dengan ahli dokter Sun Sunatrio, hanya ahli melihat batang otak itu mempunyai peranan yang sangat sentral; Bahwa secara anatomi, pusat kehidupan diatur sentral di batang otak. Jika sasarannya adalah batang otak, maka yang bisa menyelesaikan batang otak ada dua, yaitu hukuman gantung dan hukuman pancung, dan yang lebih cepat adalah hukuman pancung.
[3.14.4] Keterangan Ahli K.H. Mudzakir (Ahli Hukum Islam)
Bahwa dalam peperangan, orang Islam tetap dilarang untuk melakukan mencincang atau menyiksa musuh sebelum dibunuh. Sebelum maupun sesudah mati, musuh tidak boleh diperlakukan dengan jelek. Artinya, disiksa sebelum dibunuh maupun dicincang sesudah dia mengalami kematian. Bahkan untuk menyembelih binatang pun Islam mengajarkan agar kita melakukan dengan baik. Sebagai salah satu contoh, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dikatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya Allah telah menetapkan kebaikan atas segala
sesuatu, maka apabila kalian membunuh, maka baikkanlah cara membunuhnya, dan apabila kalian menyembelih binatang, maka baikkanlah cara penyembelihannya, dan hendaklah salah seorang di antara kalian itu menajamkan pisau sembelihannya, supaya bisa menenangkan binatang sembelihan.” Hadis tersebut merupakan hadis yang shahih yang dimuat dalam Sahih Muslim. Kalau syariat menetapkan bahwa boleh dilakukan pembunuhan, maka pembunuhan hendaknya dilakukan dengan cara yang paling baik, yang tidak memberikan sesuatu yang buruk berupa siksaan. Untuk menyiksa binatang saja tidak boleh apalagi kalau dilakukan terhadap manusia; Bahwa soal kaitannya dengan ditembak mati, kalau memang ditembak mati ternyata dapat dibuktikan bahwa tidak mengalami penderitaan sekaligus juga dia mengalami kematian, maka hal tersebut dibenarkan menurut aturan Islam. Misalnya, bila dengan disentil kupingnya orang dapat cepat mati, maka hal tersebut yang harus dilakukan. Tetapi sepanjang diketahui dari apa yang pernah terjadi, tidak didapatkan cara-cara hukuman mati dengan ditembak merupakan cara yang tepat; Bahwa menurut ahli, berdasarkan keterangan saksi Pastur Charlie Burrows, tata cara ditembak mati merupakan cara yang tidak baik, sebab kita tidak berhak menyiksa, apalagi bila membuat kesakitan. Musuh pun tidak boleh disiksa. Boleh membunuh musuh, tetapi tidak boleh menyiksa terlebih dahulu atau dicincang setelah mati. Seandainya dapat dibuktikan bahwa cara dipancung lebih baik, seperti banyak ulama dari kalangan muslim putuskan, maka harus dilakukan dengan cara dipancung dan cara yang lain tidak boleh dilakukan; Bahwa dalam syariat Islam, jika syariat sudah menetapkan hal tersebut boleh dilakukan, maka boleh dilakukan, tetapi jika syariat menetapkan tidak boleh dilakukan, maka tidak boleh dilakukan. Hukum Indonesia tidak sama dengan hukum Islam, misalnya ada seseorang melakukan perzinahan sementara dia sudah menikah, maka dalam hukum Islam harus dihukum, sedangkan di luar hukum Islam harus ada salah satu yang menuntut terlebih dahulu. Sehingga, kalau ada seseorang melakukan perzinahan lalu dihukum dengan hukum Indonesia, maka dia belum terbebas menurut syariat Islam. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan kejahatan di Indonesia kemudian dihukum dengan undang-undang berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau undang-undang lain yang berlaku, tidak membebaskannya dari tanggung jawab di hadapan Allah, karena syariat Islam belum ditegakkan atas dirinya;
Bahwa tata cara pelaksanaan pidana mati dengan ditembak atau cara lainnya, selain dengan dipancung, masih menimbulkan rasa sakit yang luar biasa, di samping ada unsur menyiksa dan merendahkan manusia. Oleh karena itu, menurut ahli, berdasarkan pilihan ulama sejak zaman dahulu yang memakai hukum pancung maka ahli memandang tidak ada cara pelaksanaan pidana mati yang lebih baik, kecuali dengan dipancung.
[3.14.5] Keterangan Ahli Dr. Rudi Satrio, S.H., M.H. (Ahli Pidana)
Bahwa perkembangan pelaksanaan pidana mati di Indonesia berawal dari Pasal 11 KUHP yang dilaksanakan dengan digantung, tetapi berubah dengan adanya Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang menentukan pelaksanaannya dengan cara ditembak hingga mati. Hal tersebut dikarenakan pelaksanaan pidana mati dengan cara digantung tidak sesuai dengan perkembangan, kemajuan, dan keadaan, yang dapat ditafsirkan atau dapat diartikan bahwa tata cara hukuman mati pun harus lebih cepat membawa kematian, serta lebih sedikit menimbulkan derita ataupun siksaan; Standar pelaksanaan pidana mati tersebut apabila dikaitkan dengan UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan dengan kejam tidak manusiawi, merendahkan derajat, dan martabat manusia” mengandung kriteria bahwa pidana mati dapat dilaksanakan jika tidak kejam atau merendahkan martabat manusia itu sendiri; Bahwa terkait dengan persoalan pelaksanaan pidana mati, menurut ahli, harus dilakukan cara terbaik untuk terpidana, dalam arti tidak menyiksa dengan mempercepat proses kematian. Berdasarkan perkembangan pengetahuan dan teknologi, perlu dipertimbangkan jalan yang terbaik agar kematian tersebut tidak menyiksa dan lebih cepat pelaksanaannya. Hal tersebut merupakan suatu sifat dari undang-undang agar setiap saat tidak menutup kemungkinan adanya perubahanperubahan tata cara pelaksanaan pidana mati; Pelaksanaan pidana mati sebagaimana diatur dalam Pasal 11 KUHP yang dilakukan oleh algojo dengan cara digantung, setelah adanya Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, pelaksanaannya harus disesuaikan dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, sebagaimana termuat dalam Pasal 18 Bab IV Ketentuan Peralihan dan Penutup, yang mengatakan, “Pidana mati yang dijatuhkan
sebelum penetapan ini yang masih harus dilaksanakan, diselenggarakan menurut penetapan ini”; Bahwa seandainya pidana mati dengan cara ditembak hingga mati dinyatakan inkonstitusional dengan alasan terdapat jangka waktu kematian yang dianggap sebagai penyiksaan, menurut ahli, hal tersebut tidak berarti Pasal 11 KUHP kembali berlaku, melainkan harus dicarikan cara yang terbaik, terbenar, tercepat, dan tidak menyiksa terpidana atau mungkin cara berdasarkan pilihan terpidana mati.
[3.14.6] Keterangan Tertulis Ahli Dr. Salman Luthan, S.H., M.H.
Pengajuan hak uji materil terhadap UU 2/Pnps/1964 merupakan hak konstitusional Pemohon karena pelaksanaan undang-undang tersebut akan merugikan kepentingan hukum dirinya. Dalil pengajuan hak uji materil sudah tepat karena undang-undang tersebut dapat dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, khususnya ketentuan Pasal 28I ayat (1) Perubahan UUD 1945, jika ditemukan cara lain yang lebih manusiawi dalam pelaksanaan pidana mati daripada ditembak mati, misalnya dengan cara suntik mati; Dilihat dari sudut fungsinya, DPR GR sama dengan DPR karena samasama memiliki fungsi legislasi, budgeting, dan pengawasan, namun dilihat dari proses pembentukannya, kedua lembaga itu berbeda karena anggota DPR GR ditunjuk oleh Presiden, sedangkan anggota DPR dipilih melalui proses pemilihan umum yang demokratis; UU 2/Pnps/1964 tidak dibuat dengan pemikiran yang mendalam bahwa pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak mati merupakan cara yang paling tepat, paling efektif, dan paling manusiawi. Pertimbangan memilih pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak mati mencontoh ketentuan Gunsei Keizirei, khususnya ketentuan Pasal 5, yang dikeluarkan 1 Januari 1944 oleh Pemerintah Kolonial Jepang, dan Staatblad 1945 Nomor 123 yang dibuat Pemerintah Kolonial Belanda yang mengatur bahwa pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan cara ditembak mati; Pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak mati dipilih karena dianggap lebih praktis dan memiliki efek psikologis yang lebih ringan bagi eksekutor pidana mati karena menembak mati dilakukan secara bersama-sama oleh 1 (satu) regu tembak. Dengan kata lain, pelaksanaan pidana mati dengan cara menembak mati lebih berorientasi kepada kepentingan eksekutor hukuman mati daripada kepentingan terpidana mati; Belum digantinya atau diperbaruinya UU 2/Pnps/1964 (sebagaimana diperintahkan oleh konsideran) sampai hari ini merupakan kelalaian pembentuk undang-undang, karena undang-undang tersebut tidak
menjadi prioritas badan legislatif untuk diperbarui. RUU KUHP menentukan pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan ditembak mati oleh regu tembak yang dilakukan tidak di depan umum. Namun, RUU KUHP menetapkan pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan 10 (sepuluh) tahun.
[3.14.7] Keterangan Tertulis Ahli Muhammad Luthfie Hakim, S.H.,
M.H. Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, baik ketika dilakukan dengan cara digantung ataupun dengan cara ditembak mati (pada jantung), tidak pernah dilakukan secara terbuka (on public), yang ada justru dilakukan secara rahasia dengan pembatasan yang sangat ketat terhadap pihak-pihak yang boleh menyaksikannya. Dengan tata cara pelaksanaan hukuman mati serupa itu, tidak memberi ruang bagi masyarakat umum untuk menyampaikan penilaian (judgement) tentang penerimaan ataupun penolakannya. Dengan demikian tidak dapat ditarik suatu kesimpulan apakah tata cara hukuman mati dengan cara ditembak mati itu (telah) merupakan suatu "living law" bagi masyarakat Indonesia ataukah tidak; Ini berbeda dengan hukuman mati dan tata cara pelaksanaan hukuman mati di beberapa Negara Timur Tengah yang dilakukan di muka publik (on public). Misalnya di Negara Arab Saudi, salah satu tempat pelaksanaan hukuman mati ini adalah di halaman sebuah mesjid bernama Mesjid Qishash setelah selesai ibadah shalat jumat, yang disaksikan oleh jamaah shalat jumat tersebut ataupun masyarakat luas. Dalam hal ini, baik jenis hukuman mati maupun tata cara hukuman mati dengan dipancung pada lehernya, dan hal tersebut benar-benar merupakan "the living law" dan praktis tidak pernah diperdebatkan atau dipersoalkan oleh masyarakat luas atau kaum intelektual di sana; Tata cara yang masih dipraktikkan di dunia untuk menghukum mati terpidana adalah: digantung (hanging), dipenggal pada leher (decapitation), ditembak mati (shooting), disetrum listrik (electrocution atau the electric chair), dimasukkan dalam ruang gas (gas chamber) dan disuntik mati (lethal injection); Secara resmi tidak diperoleh jawaban atas pertanyaan mengapa dahulu Indonesia menggunakan tata cara hukuman mati dengan di gantung (Pasal 11 KUHP) kemudian menjadi ditembak mati (UU 2/Pnps/1964). Faktor pemerintahan yang “militeristik” dan sangat dekat dengan pemerintahan RRC pada akhir pemerintahan Soekarno waktu itu, barangkali menjadi jawaban atas perubahan penggunaan hukuman mati dari digantung menjadi ditembak mati. Bagi militer, hukuman mati dengan ditembak adalah suatu cara mati yang terhormat
dibandingkan cara-cara lainnya. Yang jelas, metode hukuman mati dengan cara ditembak mulai ditinggalkan pada abad 20 ini; Cara hukuman mati dengan ditembak memang merupakan cara yang paling banyak digunakan di negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati. Hingga tahun 2000, ada 69 negara yang memberlakukan tata cara ditembak mati. Namun, tata cara ini cenderung untuk berganti ke tata cara lain yang dipandang lebih baik. Negara Cina misalnya, kini menerapkan dua jenis metode hukuman mati, yaitu tembak mati dan suntik mati. Demikian halnya peralihan mulai diterapkan oleh negara Guatemala dan Thailand dari hukuman ditembak mati ke suntik mati. Di Amerika Serikat sudah hampir semua negara bagian memberlakukan tata cara suntik mati; Mengenai hukuman mati dengan cara dipenggal kepala merupakan pilihan baik untuk diterapkan di Indonesia, menurut ahli, apabila alat untuk memenggal (biasanya berupa pedang atau kampak) benar-benar tajam (sharp) dan teknik memukul yang dilakukan oleh algojo (executioner) tepat pada sasaran, maka cara hukuman mati dengan memenggal leher ini dikenal yang paling sedikit menimbulkan rasa sakit (painlessness) bagi terpidana. Supply darah ke otak langsung terhenti. Selanjutnya, manusia akan meninggal dalam waktu 60 detik setelah kesadarannya hilang akibat kejutan yang ekstrim disertai dengan anoxia (hilangnya oksigen secara tiba-tiba) yang diikuti dengan hilangnya tekanan darah. Studi lain telah menghitung bahwa otak manusia hanya bisa bertahan hidup selama 7 (tujuh) detik semenjak kepalanya terputus; Dalam hukum Islam, ada tata cara hukuman mati yang telah ditentukan (misal dilempar batu sampai mati atau dirajam, dibalas sesuai dengan cara membunuhnya atau di-qishash, yaitu membunuh dengan memukul menggunakan batu dibalas dengan dibunuh menggunakan batu juga. Ada juga tata cara yang 65 dilarang (misalnya, dengan dibakar hidup-hidup, disalib hidup-hidup), ada juga yang tidak ditentukan tata cara hukuman matinya, terserah pemegang otoritas yang menentukan. Oleh karena itu, pemberian pilihan bagi terpidana mati merupakan hal yang wajar diberikan pada terhukum mati, sepanjang tidak berupa bentuk pilihan tata cara hukuman mati yang dilarang (menurut agama Islam) dan tetap dilakukan di depan masyarakat luas (on public) demi memberikan efek jera (zawajir/detterent effect).
[3.15] Menimbang bahwa Mahkamah telah pula mendengar keterangan Presiden (Pemerintah), yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, selengkapnya telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara Putusan ini, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
1. Terhadap pengujian formil (formele toetsingrecht) a. Bahwa sejarah hukum Indonesia pada kurun waktu pasca Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 sampai dengan 1966, terjadi ketidaktertiban dalam pembentukan tata urutan (hierarki) peraturan perundang-undangan yang menyebabkan adanya produk hukum yang tidak tertib dan tumpang tindih. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi logis dari perubahan sistem ketatanegaraan dari sistem parlementer yang didasarkan kepada Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 ke sistem presidensial berdasarkan UUD 1945;
b. Bahwa setelah terjadi pergantian kekuasaan, diadakan penertiban produk hukum, sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 yang memuat hierarki peraturan perundang-undangan. Kemudian dalam perjalanannya, Ketetapan MPRS tersebut dijadikan dasar hukum untuk melakukan legislative review terhadap produk hukum di bawah undang-undang, khususnya yang diterbitkan oleh Presiden. Hasil legislative review tersebut dimuat dalam UU 5/1969 yang memuat daftar produk hukum Penetapan Presiden (PNPS) yang ditetapkan untuk dipertahankan dan dinaikkan statusnya sebagai undang-undang, dijadikan bahan pembuatan undang-undang di masa yang akan datang, dan sebagian di antaranya dinyatakan dicabut;
c. Bahwa Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 termasuk kategori penetapan presiden yang ditetapkan untuk dipertahankan dan dinaikkan statusnya menjadi undang-undang, kemudian cara penyebutannya menjadi UU 2/Pnps/1964 (konsonan ”Pnps” menunjukkan bahwa undang-undang tersebut berasal dari Penetapan Presiden);
d. Selanjutnya kedudukan UU 2/Pnps/1964 tersebut secara konstitusional menjadi sah sebagai undang-undang berdasarkan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 (pasca amandemen) yang berbunyi, “Segala peraturan perundang-undangan yang masih ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”;
e. Bahwa dalam UU 2/Pnps/1964 memuat norma hukum tentang tata-cara pelaksanaan pidana mati yang tidak sama dengan norma hukum yang dimuat dalam Pasal 11 KUHP, dan UU 2/Pnps/1964 tersebut tidak secara eksplisit mencabut Pasal 11 KUHP, maka menurut Pemerintah, kedudukan norma hukum yang dimuat dalam UU 2/Pnps/1964 harus dipandang sebagai norma hukum yang terbit kemudian (hukum baru), sedangkan
f. Pasal 11 KUHP sebagai hukum lama; g. Bahwa sesuai dengan asas hukum (lex posteriori derogat legi priori),
maka jika terjadi norma hukum lama dan kemudian terbit norma
hukum baru yang kedudukannya sederajat yang memuat substansi yang sama atau menyempurnakan (memperbaiki) dan tidak memuat norma yang bertentangan, maka berlakulah norma hukum yang baru (dalam hal ini UU 2/Pnps/1964);
h. Dengan demikian UU 2/Pnps/1964 yang telah ditetapkan menjadi undangundang dengan UU 5/1969 telah sesuai dengan semangat pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan UUD 1945 (vide dasar “Menimbang” UU 5/1969).
2. Terhadap pengujian materiil a. Bahwa pengertian “ditembak sampai mati” sebagaimana diatur dalam
UU 2/Pnps/1964 adalah ditembak tepat pada jantung terpidana mati. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa jantung sebagai tanda hidup yang utama dalam kehidupan manusia, maka tembakan tepat pada jantung manusia adalah sasaran yang sangat mematikan dan dapat mempercepat proses kematian;
b. Bahwa jika ternyata setelah ditembak jantungnya, terpidana mati masih memperlihatkan tanda-tanda belum mati, baru kemudian ditembak pada bagian kepalanya. Tembakan pada bagian kepala ini sebagai tembakan pengakhir (pamungkas), karena itu, menurut Pemerintah, tembakan di kepala terpidana mati, dimaknai:
1) Tembakan tepat pada jantung terpidana mati adalah tembakan yang dipastikan mematikan;
2) Tembakan tepat pada kepala terpidana mati tidak diperlukan, apabila tembakan jantung langsung mematikan terpidana mati;
3) Tembakan tepat pada kepala terpidana mati dilakukan sebagai tembakan pengakhir dan hanya dilakukan apabila tembakan pada jantung tidak langsung mematikan (atau masih ada tanda-tanda belum mati);
4) Tembakan tepat pada kepala terpidana mati sebagai tembakan pengakhir tersebut, dimaksudkan agar terpidana mati tidak mengalami proses sakit yang terlalu lama.
c. Terkait ada tidaknya unsur penyiksaan dalam pelaksanaan eksekusi pidana mati. a) Bahwa menimbulkan perasaan sakit sudah pasti ada dalam
pelaksanaan pidana mati, karena seseorang dari keadaan hidup dan sehat, kemudian tidak bernyawa/mati yang dilakukan secara sengaja dengan cara ditembak mati, maka sudah pasti ada proses sakit;
b) Bahwa sakit atau proses sakit berbeda dengan penyiksaan, meskipun keduanya mengalami keadaan yang sama, yaitu sakit. Sakit adalah suatu keadaan yang tidak mengenakkan (dalam hal kesehatan) yang dialami oleh seseorang. Penyiksaan adalah keadaan sakit pada diri seseorang yang dilakukan secara sengaja.
c) Bahwa sakit atau proses sakit pasti akan dialami oleh terpidana mati yang dieksekusi mati secara sengaja dengan cara apapun. Sakit atau proses sakit yang dialami oleh terpidana mati setelah dieksekusi bukanlah tindakan penyiksaan dan tidak dimaksudkan untuk melakukan penyiksaan, melainkan sebagai proses kematian secara alamiah;
d) Bahwa pada dasarnya sangatlah sulit untuk membuat proses mati yang tidak melalui proses sakit (walaupun didunia kedokteran dikenal “euthanasia” bagi pasien yang tidak kunjung sembuh dari sakit, maka pasien dapat meminta dokter ”untuk mati dengan cara nikmat”);
e) Pertanyaannya adalah bagaimana cara menentukan pelaksanaan pidana mati, apakah termasuk kategori sangat sakit, sakit, kurang sakit atau tidak sakit, niscaya terpidanalah yang merasakannya (tetapi terpidananya sudah mati), sehingga bagi yang masih hiduplah yang dapat mengira-ngira apakah dengan ditembak mati, digantung, dipancung, disetrum listrik, mana yang lebih tinggi kadar rasa sakitnya;
f) Menurut Pemerintah, eksekusi mati dengan cara ditembak sampai mati sebagaimana diatur dalam UU 2/Pnps/1964, dipandang sebagai cara eksekusi atau proses kematian yang lebih cepat dibandingkan dengan cara digantung (sesuai Pasal 11 KUHP).
g) [3.16] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengajukan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 16 Oktober 2008, keterangan tertulis tersebut terlambat disampaikan dan melampaui tenggat yang ditentukan, namun isi keterangannya mutatis mutandis pada pokoknya sama dengan keterangan yang diberikan oleh Pemerintah.
h) Pendapat Mahkamah Tentang Pengujian Formil [3.17] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan pengujian formil UU
2/Pnps/1964, yang pada pokoknya mendalilkan bentuk hukum dan prosedur pembentukan UU 2/Pnps/1964 tidak sesuai dengan ketentuan UUD 1945, sehingga mohon agar Mahkamah menyatakan UU 2/Pnps/1964 secara keseluruhan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
[3.18] Menimbang, terhadap permohonan pengujian formil tersebut Mahkamah berpendapat sebagai berikut: a. bahwa dari bentuk hukumnya, memang benar UU 2/Pnps/1964 semula
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang tidak dikenal dalam UUD 1945, karena UUD 1945 memang tidak mengatur produk hukum dengan nama Penetapan Presiden, namun hal tersebut telah dikoreksi dengan UU 5/1969 atas perintah Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 dan Ketetapan MPRS Nomor XXXIX/MPRS/1968. Kedua Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tersebut berisi perintah untuk melakukan peninjauan kembali terhadap status hukum atas Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden. Konsiderans UU 5/1969 berbunyi, “bahwa dalam rangka pemurnian produk-produk legislatif yang berbentuk Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden yang telah dikeluarkan sejak tanggal 5 Juli 1959” dan “bahwa Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden yang materinya sesuai dengan suara hati nurani rakyat perlu dinyatakan sebagai Undang-undang”. Oleh karena itu, dengan UU 5/1969, Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 termasuk Penetapan Presiden (Penpres) yang dinyatakan sebagai undang-undang, yaitu menjadi UU 2/Pnps/1964, sehingga bentuk hukumnya sudah sesuai dengan UUD 1945. Kata “Pnps” sekedar sebagai tanda bahwa undang-undang dimaksud berasal dari Penetapan Presiden. Dinyatakannya beberapa Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden, termasuk Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 menjadi undang-undang, menunjukkan bahwa isinya masih sesuai dengan aspirasi rakyat karena merupakan pembaruan terhadap ketentuan Pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
b. bahwa dari prosedur pembentukannya, Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tidak sesuai dengan UUD 1945, karena UUD 1945 memang tidak mengenal produk hukum yang bernama “Penetapan Presiden”. Akan tetapi, setelah UU 5/1969 menyatakan UU 2/Pnps/1964 berlaku, maka prosedur pembentukannya sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, yaitu ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, dalam hal ini DPR GR sebagai DPR yang sah pada awal Orde Baru sebelum DPR hasil pemilihan umum terbentuk. Presiden dan DPR GR yang membentuk UU 5/1969 yang menyatakan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 sebagai UU 2/Pnps/1964 adalah Presiden dan DPR yang sah pada masa transisi ketatanegaraan dari Orde Lama ke Orde Baru dan telah diterima dan diakui oleh rakyat Indonesia;
c. bahwa Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum perubahan yang berbunyi, “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini” dan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 setelah perubahan yang berbunyi, “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih
tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”, yang menjadi dasar keberlakuan UU 2/Pnps/1964 sampai sekarang, karena undang-undang yang baru yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan pidana mati belum ada;
d. bahwa dengan demikian, dalil-dalil Pemohon mengenai pengujian formil tidak beralasan, sehingga harus ditolak.
Tentang Pengujian Materiil [3.19] Menimbang bahwa meskipun dalam petitum Pemohon hanya mengajukan
permohonan pengujian formil, akan tetapi karena dalam posita dan proses pembuktian yang diajukan oleh Pemohon lebih berkaitan dengan uji materiil undang-undang, maka Mahkamah mempertimbangkan juga permohonan pengujian materiil Pemohon atas undang-undang a quo;
[3.20] Menimbang bahwa sepanjang mengenai pengujian materiil UU 2/Pnps/1964, khususnya Pasal 1, Pasal 14 ayat (3) dan ayat (4) terhadap Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, Pemohon mendalilkan, hukuman mati yang dilakukan dengan cara ditembak hingga mati, menimbulkan pengertian, kematian yang diterima oleh terpidana tidak sekaligus terjadi dalam ”satu kali tembakan”, namun harus dilakukan secara berkali-kali hingga mati, sehingga terjadi penderitaan yang amat sangat sebelum terpidana akhirnya mati, padahal terpidana mati pun tetap memiliki hak konstitusional untuk tidak disiksa. Terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah memberi pendapat sebagai berikut:
[3.20.1] bahwa ukuran yang harus dipedomani tentang penyiksaan harus
mengacu kepada rumusan yang dianut dalam instrumen hukum Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM) yang berlaku di Indonesia, sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishmen (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia). Pasal 1 angka 4 Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa penyiksaan adalah “setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau pihak ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang
ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan siapapun dan/atau pejabat publik”. Definisi penyiksaan tersebut telah merujuk dan mengutip sepenuhnya Pasal 1 Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment yang telah diratifikasi tersebut di atas.
[3.20.2] bahwa alasan Indonesia menjadi negara pihak dalam konvensi yang menentang penyiksaan tersebut di atas, antara lain disebutkan: 1) Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa
Indonesia dan UUD 1945 sebagai sumber dan landasan hukum nasional, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti tercermin dalam Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Asas ini merupakan amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia bertekad untuk mencegah dan melarang segala bentuk penyiksaan, sesuai dengan isi konvensi;
2) dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945, Indonesia pada dasarnya telah menetapkan peraturan perundang-undangan yang langsung mengatur pencegahan dan pelarangan segala bentuk penyiksaan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Namun, perundang-undangan itu karena belum sepenuhnya sesuai dengan konvensi, masih perlu disempurnakan.
[3.20.3] bahwa rasa sakit yang disebut sebagai penyiksaan, bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah dan wajar, melainkan dilakukan secara sengaja dan melawan hukum untuk tujuan tertentu di luar kehendak mereka yang disiksa. Rasa sakit yang timbul secara alamiah seperti yang dialami oleh setiap wanita yang melahirkan dan orang yang menjalani operasi karena tujuan medis tertentu tidaklah termasuk dalam kategori penyiksaan. Terlebih-lebih lagi, rasa sakit yang timbul dan melekat dalam pelaksanaan pidana mati adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari akan timbul dalam tiap cara pelaksanaan pidana mati. Yang terjadi, sesungguhnya bukan karena pemilihan tata cara pelaksanaannya, melainkan melekat dalam setiap pidana mati yang dijatuhkan hakim, yang oleh Mahkamah telah dinyatakan sebagai sesuatu yang konstitusional. Konvensi secara tegas menyatakan bahwa rumusan penyiksaan yang diatur dalam Konvensi tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh satu sanksi hukum yang berlaku.
[3.20.4] bahwa akan tetapi dalam pelaksanaan pidana mati, Mahkamah berpendapat, ukuran yang juga harus dipedomani adalah untuk
menghindari pelaksanaan pidana mati yang menimbulkan penderitaan terpidana tersebut secara berkepanjangan, dan juga siksaan yang dirasakan, diukur bukan hanya dari sisi subjektif terpidana sendiri, melainkan juga dari sisi objektif masyarakat, yang akan melihat pokok persoalan demikian dari hal-hal berikut: • bahwa ukuran dalam menentukan apakah suatu tata cara
pelaksanaan pidana mati merupakan sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa, dapat dinilai dari pelaksanaan, yaitu: (i) jika cara yang dilakukan menimbulkan penderitaan yang panjang dan tidak diperlukan dalam menimbulkan kematian; (ii) bertentangan dengan ukuran kesusilaan yang dianut dalam masyarakat; dan (iii) tidak menjaga dan mempertahankan harkat martabat terpidana sebagai manusia;
• bahwa pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak hingga mati tidak selalu terjadi sekaligus dalam ”satu kali tembakan”, namun ada kalanya dilakukan dengan tembakan pengakhir, karena tidak ada jaminan penembakan sekali oleh regu tembak dapat menimbulkan kematian bagi terpidana. Dengan demikian, tetap ada dua kemungkinan bahwa penembakan yang dilakukan oleh regu tembak dapat langsung mematikan dan juga dapat tidak langsung mematikan, hal mana telah menyebabkan bahwa tata cara yang dilakukan dapat menimbulkan penderitaan yang tidak diperlukan oleh terpidana untuk menimbulkan kematiannya. Keterangan Saksi Pastor Charlie Burrows, yang menerangkan bahwa Terpidana Antonius membutuhkan waktu 7 (tujuh) menit mengerang kesakitan sejak tembakan dilakukan ke arah jantung baru dinyatakan meninggal, menimbulkan pertanyaan apakah sesuai dengan ukuran yang diutarakan di atas atau ada tata cara lain yang lebih memenuhi ukuran untuk menghindarkan penderitaan yang tidak diperlukan untuk menimbulkan kematian;
• bahwa keterangan para ahli yang diajukan oleh Pemohon telah menyatakan adanya cara-cara pelaksanaan pidana mati lainnya yang dikenal, yaitu dengan cara dipancung, dikursi listrik, disuntik mati, digantung sampai mati, dan khusus menurut hukum Islam dikenal juga dengan hukuman dirajam sampai mati. Dari keterangan para ahli tersebut diketahui bahwa pidana mati dengan disuntik mati yang dilakukan dengan didahului pembiusan, kalau dilakukan oleh orang yang ahli tidak menimbulkan penderitaan yang tidak perlu, sedangkan hukuman pancung, kalau dilakukan di tempat yang tepat akan menimbulkan kematian yang segera, karena dalam waktu 7
(tujuh) sampai dengan 12 (dua belas) detik berhentinya darah ke otak akan menyebabkan kematian. Demikian juga hukuman gantung, kalau letak tali tepat di batang leher dan berat badan terpidana cukup, maka dampak kematian juga terjadi secara cukup cepat;
• bahwa akan tetapi meskipun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu dimanfaatkan dalam penegakan hukum, khususnya dalam tata cara pelaksanaan pidana mati, namun berkurangnya penderitaan atau rasa sakit itu sendiri bukanlah merupakan alasan yang cukup dalam menilai konstitusionalitas norma dalam UU 2/Pnps/1964 tersebut, karena pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak sampai mati juga sesungguhnya dapat berlangsung secara cepat, sesuai dengan keterangan ahli, apabila tembakan tepat mengenai jantung terpidana. Sejalan dengan itu, berdasarkan keterangan para ahli yang didengar dalam persidangan tidak ada satu cara pun yang menjamin pelaksanaan pidana mati yang tidak menimbulkan rasa sakit atau kematian dengan cepat;
• bahwa selain itu, baik pidana mati dengan cara dipancung, digantung, maupun ditembak mati dapat menimbulkan efek kematian secara cepat jika dilakukan dengan tepat. Akan tetapi, cara pelaksanaan pidana mati haruslah mempertimbangkan harkat dan martabat terpidana mati. Menurut Mahkamah, pidana mati yang dilakukan dengan ditembak secara tepat dapat menimbulkan kematian cepat dengan tetap menjaga harkat dan martabat terpidana mati;
[3.21] Menimbang bahwa dengan seluruh uraian di atas, maka UU 2/Pnps/1964 yang menentukan pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak, memang menimbulkan rasa sakit yang melekat di dalam pelaksanaan pidana mati sebagai akibat putusan hakim yang sah. Meskipun terdapat tata cara lain dalam pelaksanaan pidana mati sebagaimana dikemukakan para ahli yang dapat menimbulkan kematian lebih cepat dan tidak menimbulkan rasa sakit yang berkepanjangan, tetapi hal tersebut tidak berkaitan dengan konstitusionalitas undang-undang yang diuji, karena dengan cara apapun bila tidak dilakukan dengan tepat, akan menimbulkan rasa sakit, yang mengesankan sebagai penyiksaan. Lagipula, sepanjang yang berhubungan dengan tembakan pengakhir karena kegagalan tembakan pertama tidak terdapat data-data yang membuktikan terjadinya kegagalan tersebut, sehingga Mahkamah harus mengesampingkan. Namun demikian, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seyogianya dimanfaatkan dalam pencarian cara-cara pelaksanaan pidana mati yang lebih manusiawi, cepat, dan tidak menimbulkan rasa sakit yang lama. Hal tersebut
merupakan tugas pembentuk undang-undang untuk melakukan pengkajian atas kemungkinan mengubah UU 2/Pnps/1964 agar lebih sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
4. KONKLUSI
Berdasarkan seluruh pertimbangan tentang fakta dan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] bahwa dalil-dalil Pemohon mengenai pengujian formil tidak beralasan,
sehingga harus ditolak; [4.2] bahwa rasa sakit yang dialami oleh terpidana mati merupakan konsekuensi
logis yang melekat dalam proses kematian sebagai akibat pelaksanaan pidana mati terhadap terpidana sesuai dengan tata cara yang berlaku, sehingga tidak termasuk kategori penyiksaan terhadap diri terpidana mati;
[4.3] bahwa dari berbagai alternatif tentang tata cara pelaksanaan pidana mati, selain cara ditembak, seperti digantung, dipenggal pada leher, diestrum listrik, dimasukkan ke dalam ruang gas, dan disuntik mati, semuanya menimbulkan rasa sakit meskipun gradasi dan kecepatan kematiannya berbeda-beda. Tidak ada satu cara pun yang menjamin tiadanya rasa sakit dalam pelaksanaannya, bahkan semuanya mengandung risiko terjadinya ketidaktepatan dalam pelaksanaan yang menimbulkan rasa sakit. Namun, hal itu bukan merupakan penyiksaan sebagaimana dimaksud Pasal 28I UUD 1945, sehingga Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum dan Militer tidak bertentangan dengan UUD 1945, maka permohonan Pemohon sepanjang pengujian materiil tidak beralasan menurut hukum dan harus ditolak.
5. AMAR PUTUSAN
Dengan mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316), maka berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Mengadili,
Menyatakan permohonan Pemohon baik mengenai pengujian formil maupun pengujian materiil ditolak untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi, pada hari Rabu, tanggal lima belas bulan Oktober tahun dua ribu delapan, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari ini, Selasa tanggal dua puluh satu bulan Oktober tahun dua ribu delapan, oleh kami, Moh. Mahfud, MD selaku Ketua merangkap Anggota, Maruarar Siahaan, H.M. Arsyad Sanusi, Muhammad Alim, H. Abdul Mukthie Fadjar, Jimly
Asshiddiqie, Maria Farida Indrati, H.M. Akil Mochtar, dan Achmad Sodiki, masing-masing sebagai Anggota dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili;
KETUA,
ttd.
Moh. Mahfud MD
ANGGOTA-ANGGOTA
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Maruarar Siahaan
ttd.
H.M. Arsyad Sanusi
ttd. Muhammad Alim
ttd. H. Abdul Mukthie Fadjar
ttd. Jimly Asshiddiqie
ttd.
Maria Farida Indrati
ttd.
H.M. Akil Mochtar
ttd.
Achmad Sodiki
ttd. Cholidin Nasir