111
PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO BRANTAS MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy.) Oleh : TEDI SUDARNA NIM: 1110043200006 KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436/ 2015

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA

KASUS PT. LAPINDO BRANTAS MENURUT

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Program Studi Perbandingan

Madzhab Hukum Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy.)

Oleh :

TEDI SUDARNA

NIM: 1110043200006

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1436/ 2015

Page 2: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang
Page 3: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang
Page 4: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang
Page 5: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

iv

ABSTRAK

TEDI SUDARNA,.” PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT.

LAPINDO BRANTAS MENURUT PERSFEKTIF HUKUM ISLAM” Program Studi

Perbandingan Mazhab dan Hukum, konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syari’ah dan

Hukum, Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakrta, 1436H/2015M.

Skripsi ini merupakan upaya untuk menjelaskan mengenai pertanggungjawaban

Korporasi (badan hukum) dalam hal ini adalah kasus PT. LAPINDO BRANTAS. Terhadap

Negara, terlebih kepada masyarakat yang terkena akibat dari Korporasi tersebut. Menurut Asas

strick libiality company, perusahaan yang merugikan atau tidak, berkewajiban memulihkan

kondisi pencemaran tanpa harus menunggu sanksi dari pemerintah , sesuai dengan pasal

lingkungan hidup. Namun dalam hal ini, PT. Lapindo sampai sekarang masih belum

melunasi/memulihkan akibat pencemaran yang ditimbulkan dari pekerjaan perusahaan tersebut.

Oleh sebab itu presiden mengeluarkan keputusan No 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional

Penanggulangan Semburan Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang Badan

Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Presiden Nomor 14 tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, Nomor 40

Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007 Tentang

Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, yaitu penelitian terhadap

efektivitas pelaksanaan suatu peraturan, terutama dalam hukum Islam tentang kerusakan alam

dan Asas strick libiality company. Dengan pendekatan kualitatif yaitu bersumber pada data

skunder dan primer dengan pengumpulan data melalui study pustaka (library research).

Sedangkan analisis data dilakukan analisis kualitatif. Yaitu upaya yang dilakukan secara

bersamaan dengan pengumpulan data, memilihnya menjadi satuan yang sistematis dan

sempurna, menemukan apa yang penting dan apa yang dapat dipelajari, memutuskan apa yang

dapat dibaca dan mudah difahami serta menginformasikannya kepada pembaca.

Tujuan dari penelitian ini agar pembaca dapat memahami bahwa perusahaan secara

mutlak memiliki kewajiban memulihkan kondisi atau ganti rugi terhadap pencemaran tanpa

harus menunggu sanksi dari pemerintah.

Kata kunci: Kewajiban pemulihan dan ganti rugi atas pencemaran

Pembimbing: Fahmi Muhamad Ahmadi, M.Si dan Maulana Hasanudin, SH, MH

Page 6: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

v

KATA PENGANTAR

بسم هللا الرحمن الرحيم

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. atas

limpahan rahmat dan karunia-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan penulisdan skripsi

ini. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. yang telah

membimbing manusia menuju jalan yang penuh dengan ridha Allah Swt.

Skripsi ini berjudul “Pertanggungjawaban Korporasi Pada Kasus PT. Lapindo

Brantas Menurut Perspektif Hukum Islam“, ditulis sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy.), pada Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi

Perbandingan Mazhab Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulisan skripsi ini terselesaikan berkat bantuan berbagai pihak. Oleh karenanya,

penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar,MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. DR. Khamami Zada,MA dan Siti Hanna,S,Ag,Lc,MA, Ketua dan Sekretaris Program

Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.

3. Fahmi Muhammad Ahmadi,M.Si Dosen pembimbing dan Maulana Hasanudin,SH,MH

serta seluruh dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membimbing dan mendidik

Penulis selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Segenap Dosen dan Staff Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

5. Secara Khusus skripsi ini Penulis persembahkan kepada kedua orang tua Penulis yang

tercinta, Ayahanda H. Duyeh Heryanto dan Ibunda HJ. Alimah sebagai ungkapan

terimakasih yang tiada terhingga yang telah membesarkan dan mendidik Penulis dengan

Page 7: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

vi

penuh cinta dan kasih sayang. Serta memberikan semangat kepada Penulis dan juga

memberikan doa, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.

6. Kepada sahabat Penulis Perbandingan Hukum angkatan 2010 Aidz, Wiwin, Rafika, Fani,

Winda, Ilyas, Dhani, Laka, Muzi, Bambang, Ridwan, Sandi, Ade, Rianzani, Apri, Dayat,

lusi, Rani, Sofa, Fajrin, Berli, Amel, Ipul, Anjo, Ucup, Fathur, Bagas, Fathin, dan Rudi,

serta teman-temanku semua yang menjadi guru, teman diskusi, seperjuangan dalam

penulisan skripsi, semoga persahabatan ini selalu dalam RidhoNYA dan apa yang dicita-

citakan akan tercapai. amin

Penulis berdo’a semoga sumbangsih yang telah mereka berikan menjadi catatan

pahala di sisi Allah Swt. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,

Oleh karena itu kritik dan saran membangun demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini

sangat penulis harapkan. Penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat adanya. Amin,

Jakarta, 06 April2015

Penulis

Page 8: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR HALAMAN.......................................................................................i

SURAT PENGESAHAN.....................................................................................ii

ABSTRAK.............................................................................................................iii

KATA PENGANTAR...........................................................................................iv

DAFTAR ISI.........................................................................................................v

BAB I P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1

B. Perumusan Masalah .................................................................. 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 10

D. Metode Penelitian ..................................................................... 11

E. Sistematika Penulisan ............................................................... 15

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM

HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Bentuk dan Pelaku Kejahatan Korporasi .................................. 16

1. Tinjauan Terhadap Kejahatan Korporasi ............................. 16

2. Bentuk-bentuk Kejahatan Korporasi ................................... 20

3. Unsur-unsur Kejahatan Korporasi ....................................... 21

4. Pelaku Kejahatan Korporasi ................................................ 23

B. Kejahatan Korporasi Dalam Hukum Lingkungan Dan

Sanksi-sanksi Kejahatan Korporasi .......................................... 31

1. Kejahatan korporasi Dalam Hukum Lingkungan ................ 31

2. Sanksi-Sanksi Kejahatan Korporasi ..................................... 32

Page 9: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

viii

BAB III KASUS LUMPUR LAPINDO

A. Kronologis terjadinya bencana lumpur Lapindo ...................... 36

1. Lokasi .................................................................................. 36

2. Perkiraan Penyebab Kejadian .............................................. 38

3. Dampak Lingkungan Luapan Lumpur ................................. 41

B. Posisi Lumpur Lapindo dalam Hukum Positif .......................... 42

C. Keputusan Presiden Mengenai Bencana Lapindo ..................... 47

BAB IV ANALISIS KASUS LUMPUR LAPINDO DALAM

PERSPEKTIF HUKUM KORPORASI DAN HUKUM

ISLAM

A. Analisis Hukum Korporasi Terhadap Kasus Lumpur Lapindo... 52

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Kasus Lumpur Lapindo .......... 62

1. Konsep Pertanggungjawaban bisnis Dalam Islam.................. 62

2. Konsep Ekonomi Islam tentang Pemeliharaan Lingkungan....74

3. Analisis Kasus Lumpur Lapindo Menurut Hukum Islam....... 78

BAB V P E N U T U P

A. Kesimpulan ................................................................................ 95

B. Saran-saran ................................................................................ 97

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 98

Page 10: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

1

BAB I

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan yang pesat dari kegiatan pembangunan, terutama industri

modern seringkali membawa akibat timbulnya risiko, atau dampak yang sangat

besar terhadap kualitas lingkungan hidup dan kesehatan manusia. Secara konsep

kebijakan pembangunan sudah memasukkan faktor kelestarian lingkungan sebagai

hal yang mutlak untuk dipertimbangkan, namun dalam implementasinya terjadi

kekeliruan orientasi kebijakan yang tercermin melalui berbagai peraturan yang

terkait dengan sumber daya alam. Peraturan dibuat cenderung mengoptimalkan

pemanfaatan sumber daya alam tanpa perlindungan yang memadai, sehingga

membuka ruang yang sebesar-besarnya bagi pemilik modal untuk melakukan

exploitasi sumber daya alam tersebut.1

Perkembangan korporasi di Indonesia dalam waktu singkat menjadi sangat

cepat dan pesat karena sifatnya yang sangat ekspansif menjangkau seluruh

wilayah bisnis yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dengan subur dan

mendatangkan keuntungan. Hal lain ditandai juga dengan peranan oleh

pemerintah melalui peraturan-peraturan yang memberikan kemudahan berusaha

dan fasilitas lainnya. Korporasi sebagai pelaku kejahatan dan tindak pidana

lingkungan hidup sebagai sebuah delik harus dilihat dalam kerangka

pembangunan yang berkesinambungan.

1

Koesnadi Hardjasoemantri, Pentingnya Payung Hukum dan Pelibatan Masyarakat

dalam Buku Di Bawah Satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam, 2005, h. XVI.

1

Page 11: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

2

Korporasi sebagai sebuah institusi yang memiliki struktur unik dan

dilengkapi dengan seperangkat ketentuan yang mengatur tindakan personalia di

dalamnya, sebagai suatu lembaga yang keberadaan dan kapasitasnya untuk

berbuat sesuatu ditentukan oleh hukum, namun seringkali melanggar hukum.

berbagai cara dilakukan agar korporasi lolos dari jeratan hukum, Korporasi saat

ini adalah sebagai subyek hukum, yang hanya menjalankan kegiatan ekonomi

tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum yang dimana

hukum tersebut digunakan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan

masyarakat dan keadilan sosial.2.

Korporasi seringkali digunakan para ahli hukum pidana dan kriminologi

untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum perdata disebut sebagai badan

hukum atau dalam bahasa Belanda disebut rechtspersoon atau dalam bahasa

Inggris dengan istilah legal person atau legal body. Apa yang dinamakan “badan

hukum”, sebenarnya tidak lain sekedar suatu ciptaan hukum, yaitu dengan

menunjuk kepada adanya suatu badan, dimana terhadap badan ini diberi status

sebagai subyek hukum, oleh karena itu subyek hukum manusia (natuurlijk

persoon). “Namun lembaga badan ini dianggap bisa menjalankan segala tindakan

hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu yang harus

dipandang sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas dari pribadi-pribadi

manusia yang terhimpun di dalamnya”.3

2Setiyadi, Mas Wigrantoro Roes. Kecelakaan atau Kelalaian Korporasi, http://maswigrs.

wordpress.com/2007/04/11/kecelakaan-atau-kejahatan-korporasi, diakses 12 September 2014 3

Setiyono, H. Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban

Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang : Averroes Press, 2002), h. 2-4

Page 12: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

3

Korporasi sebagai badan hukum sudah tentu memiliki identitas hukum

tersendiri. Identitas hukum suatu korporasi atau perusahaan terpisah dari identitas

hukum para pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ lainnya. Dalam

kaidah hukum perdata (civil law), jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau

badan hukum merukapan subjek hukum perdata dapat melakukan aktivitas jual

beli, dapat membuat perjanjian atau kontrak dengan pihak lain, serta dapat

menuntut dan dituntut di pengadilan dalam hubungan keperdataan. Para

pemegang saham menikmati keuntungan yang diperoleh dari konsep tanggung

jawab terbatas, dan kegiatan korporasi berlangsung terus-menerus, dalam arti

bahwa keberadaannya tidak akan berubah meskipun ada penambahan anggota-

anggota baru atau berhentinya atau meninggalnya anggota-anggota yang ada.

Namun sampai saat ini, konsep pertanggungjawaban pidana oleh korporasi

sebagai pribadi (corporatecriminal liability) merupakan hal yang masih

mengundang perdebatan. Banyak pihak yang tidak mendukung pandangan bahwa

suatu korporsi yang wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak kejahatan serta

memiliki criminal intent yang melahirkan pertanggungjawaban pidana.4

Kejahatan korporasi dalam pengertian gramatikal merupakan pelanggaran

atau tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi. Pengertian lain mengenai

kejahatan korporasi juga dikemukakan dalam Black’s Law Dictionary, Any

criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of

activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping),

4Nasution, Bismar. Kejahatan Korproasi dan Pertanggungjawabannya, http://bismarnasty.

files.wordpress.com/2007/06/kejahatan-korporasi-dan pertanggungjawabannya. pdf. diakses

tanggal 12 September 2014

Page 13: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

4

often referred to as “white collar crime”. Bahwa kejahatan korporasi merupakan

tindak pidana yang dilakukan oleh dan karenanya dapat dibebankan pada suatu

korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan

harga, pembuangan limbah), dan kejahatan ini sering juga disebut sebagai

“kejahatan kerah putih”.

Suatu tindak pidana dapat teridentifikasi dengan timbulnya kerugian

(harm), yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau

criminal liability. Terkait dengan kejahatan korporasi, maka timbul pertanyaan

mengenai bagaimana pertanggungjawaban korporasi atau corporate liability

mengingat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang

dianggap sebagai subyek hukum pidana hanya orang perseorangan atau

naturlijkee person. Selain daripada itu, KUHP juga masih menganut asas sociates

delinquere non potest, dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat

melakukan tindak pidana. Jika seandainya kegiatan atau aktivitas yang dilakukan

untuk dan atas nama suatu korporasi terbukti mengakibatkan kerugian, maka

harus diberikan sanksi, terlepas siapa yang akan bertanggungjawab, apakah

pribadi korporasi itu sendiri atau para pengurus korporasi tersebut.

Dalam KUHP memang hanya ditetapkan bahwa yang menjadi subyek

tindak pidana adalah orang perseorangan. Meskipun seharusnya pembuat undang-

undang dalam merumuskan delik juga harus memperhitungkan bahwa

manusia juga melakukan suatu tindakan di dalam atau melalui organisasi yang

dalam hukum keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum

administrasi), muncul sebagai satu kesatuan dan oleh karena itu diakui serta

Page 14: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

5

mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi. berdasarkan KUHP,

pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi

jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu. Sehingga, KUHP saat ini tidak

dapat menjadi landasan untuk memperoleh pertanggungjawaban pidana dari

sebuah korporasi, karena hanya dimungkinkan pertanggungjawabannya oleh

pengurus korporasi.

Meskipun saat ini KUHP tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subyek

hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun korporasi

mulai diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya UU

No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana

Ekonomi. Kemudian kejahatan korporasi juga diatur dan tersebar dalam berbagai

undang-undang khusus lainnya dengan rumusan yang berbeda mengenai arti

“korporasi”, antara lain termasuk pengertian badan usaha, perseroan, perusahaan,

perkumpulan, yayasan, perserikatan, organisasi, dan lain-lain, sebagaimana

undang-undang yang disebutkan dibawah ini :

1. UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi;

2. UU No.38 Tahun 2004 tentang Jalan; dan

3. UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.21 Tahun 2002 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, dan lain-lain.

4. UU No. 5 Tahun 1999.5

Di Indonesia sendiri, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan

korporasi adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan

5Kosparmono Irsan, “Kejahatan Korporasi; BAB IV”, Jakarta 2007

Page 15: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

6

Hidup. Hal ini dapat dilihat berdasarkan isi Pasal 46 Bab IX mengenai

ketentuan pidana yang mengadopsi doktrin vicarious liability.

Terhadap hal-hal diatas baik dalam sistem hukum common law maupun

civil law, memang sangat sulit untuk dapat mengatribusikan suatu bentuk tindakan

tertentu serta membuktikan unsur mens rea (criminal intent atau guilty mind) dari

suatu entitas abstrak seperti korporasi. Indonesia sendiri, meskipun undang-

undang diatas dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan

criminal liability terhadap korporasi, namun Pengadilan mempergunakan

peraturan-peraturan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus

kejahatan korporasi di pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat

sedikitnya keputusan pengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi.

Akibatnya, tidak ada acuan yang dapat dijadikan sebagai preseden bagi

lingkungan peradilan di Indonesia.6

Tidak adanya peraturan yang jelas terhadap para pemilik modal

menimbulkan adanya eksploitasi besar-besaran terhadap alam. Dampak dari

eksploitasi alam secara besar-besaran sebagai akibat kekeliruan implementasi

kebijakan pembangunan tersebut mulai dirasakan rakyat Indonesia beberapa tahun

belakangan ini. Berbagai peristiwa yang melibatkan korporasi terjadi silih

berganti. Pencemaran Teluk Buyat, “Lumpur Lapindo” di Sidoarjo merupakan

beberapa kasus pencemaran/pengrusakan lingkungan yang dilakukan oleh

korporasi .

6

“Kejahatan korporasi”: http://www.tanyahukum. com/perusahaan/114/kejahatan-

korporasi/, Diakses tanggal 12 September 2014

Page 16: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

7

Tragedi Lumpur Lapindo dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa ini

menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi areal

persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar mengingat

volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik perhari

(setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar). Akibatnya,

semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar

maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur: genangan hingga setinggi 6

meter pada pemukiman; total warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa;

rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit; area pertanian dan

perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha; lebih dari 15 pabrik yang tergenang

menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari 1.873 orang; tidak

berfungsinya sarana pendidikan; kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi;

rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon);

terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya yang berakibat pula terhadap

aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini

merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.7

Dampak dari luapan lumpur yang bersumber dari sumur di Desa

Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur

sejak 27 Mei 2006 ini telah mengakibatkan timbunan lumpur bercampur

gas sebanyak 7 juta meter kubik atau setara dengan jarak 7.000 kilometer, dan

jumlah ini akan terus bertambah bila penanganan terhadap semburan lumpur tidak

secara serius ditangani. Lumpur gas panas Lapindo selain mengakibatkan

7

Wikipedia Indonesia, Banjir Lumpur Panas Sidoarjo 2006, Diakses tanggal 12

September 2014

Page 17: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

8

kerusakan lingkungan, dengan suhu rata-rata mencapai 60 derajat celcius juga bisa

mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik masyarakat yang tinggal disekitar

semburan lumpur. Lingkungan fisik yang dimaksud diatas adalah untuk

membedakan lingkungan hidup alami dan lingkungan hidup buatannya, dimana

dalam kasus ini mengalami gangguan Daud Silalahi menganggap bahwa

kerusakan lingkungan tersebut sebagai awal krisis lingkungan karena manusia

sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya.8

Lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam

berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya

0,002 mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit

dan kanker.4 Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah

(hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.9

Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial

banjir lumpur tidak bisa dipandang sederhana. Setelah lebih dari 100 hari tidak

menunjukkan perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah,

terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian,

dan tekanan psikis yang bertubi-tubi, krisis sosial mulai mengemuka. Konflik

sosial antar warga mulai muncul menyangkut biaya ganti rugi, berbagai keresahan

mulai muncul dengan adanya konspirasi penyuapan oleh Lapindo, Rebutan truk

pembawa tanah urugan hingga penolakan menyangkut lokasi pembuangan lumpur

setelah skenario penanganan teknis kebocoran (menggunakan snubbing unit)

8

Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan

Indonesia. (Bandung. Penerbit Alumni. 1996). H. 9 9Kompas, 19 Juni 2006

Page 18: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

9

dan (pembuatan relief well) mengalami kegagalan horisontal. Berdasarkan hal

tersebut, timbulnya kerugian masyarakat, menimbulkan pertanyaan, “Apakah

dalam kasus luapan lumpur panas Lapindo Brantas Inc. ini telah terjadi tindak

pidana kejahatan korporasi?”. Untuk mendapatkan jawabannya maka dilakukan

sebuah studi penelitian hukum normatif-kualitatif dan hasilnya menunjukkan

bahwa dilihat dari aturan-aturan hukum yang berlaku, Lapindo Brantas Inc. telah

melakukan pelanggaran hukum tindak pidana kejahatan korporasi.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dan pengkajian lebih mendalam terkait dengan kejahatan korporasi secara khusus

yang berkaitan dengan lumpur lapindo. Hasil riset atas tema tersebut selanjutnya

akan dituangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul: “Pertanggungjawaban

Korporasi Pada Kasus PT.Lapindo Brantas Menurut Perspektif Hukum

Islam”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan tersebut maka rumusan masalah dalam

penelitin ini penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana pertanggungjawaban korporasi dalam menghadapi gugatan strict

liability pada kasus lumpur lapindo?

2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap kejahatan korporasi dalam kasus

lumpur lapindo?

Page 19: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian yang dilakukan tentu harus mempunyai tujuan dan

manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam merumuskan

tujuan penelitian, penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui praktek pertanggungjawaban korporasi dalam

menghadapi gugatan strict liability pada kasus lumpur lapindo

b. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap kejahatan korporasi

dalam kasus lumpur lapindo

2. Manfaat Penelitian

Tiap penelitian harus mempunyai kegunaan bagi pemecahan

masalah yang diteliti. Untuk itu suatu penelitian setidaknya mampu

memberikan manfaat praktis pada kehidupan masyarakat. Kegunaan

penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi yang saling berkaitan yakni dari

segi teoritis dan segi praktis. Dengan adanya penelitian ini penulis sangat

berharapakan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Manfaat Akademis

1) Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat dalam

perkuliahan dan membandingkannya dengan praktek dilapangan.

2) Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi

peneliti.

Page 20: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

11

3) Menambah literatu bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat

digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian selanjutnya.

b. Manfaat Praktis

1) Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat luas.

2) Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan dan wawasan

bagi penulis, khususnya tentang hukum lingkungan hidup

D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan penulis adalah

pendekatan normatif. yaitu suatu pendekatan untuk menemukan apakah

metode penelitian hukum normatif suatu perbuatan hukum yang terjadi

sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku atau tidak.10

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sebagai

berikut :

a. Sumber primer, adalah Perundang-undangan yang berkaitan langsung

dengan masalah yang sedang dikaji, diantaranya adalah sebagai berikut:

1) KUHP

2) UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan

Tindak Pidana Ekonomi.

3) Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.

10

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001),

h. 6.

Page 21: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

12

4) Putusan Presiden Terhadap Penyelesaian Lumpur Lapindo.

5) Kitab Fiqih Jinayat.

b. Sumber sekunder, adalah data-data yang mendukung obyek yang akan

diteliti, berupa buku-buku, majalah, koran, buletin atau tulisan-tulisan

lain yang berhubungan dengan masalah yang sedang dikaji.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini yaitu

dengan menggunakan teknik studi kasus. Adapun metode analisis data yang

digunakan adalah content analysis atau analisis isi. Adapun langkah-

langkahnya adalah sebagai berikut:

a. Mengumpulkan data yang berhubungan dengan terjadinya luapan lumpur

Lapindo.

b. Mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

tindak pidana korporasi.

c. Menganalisis terhadap kasus lumpur Lapindo dengan mengkonfirmasikan

kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun tehnik analisa dari penulisan ini adalah content analysis atau

analisa isi, yakni pengolahan data dengan cara pemilahan tersendiri

berkaitan dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau pemikiran para

tokoh yang kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik. Selanjutnya

dikategorisasikan (dikelompokkan) dengan data yang sejenis, dan dianalisa

isinya secara kritis guna mendapatkan formulasi yang kongkrit dan

Page 22: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

13

memadai, sehingga pada akhirnya dijadikan sebagai langkah dalam

mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada.11

Dengan menggunakan analisis isi yang mencakup prosedur ilmiah

berupa obyektifitas, sistematis, dan generalisasi. Maka, arah pembahasan

skripsi ini untuk menginterpretasikan, menganalisis isi buku (sebagai

landasan teoritis) dikaitkan dengan masalah-masalah kecerdasan spiritual

dan pendidikan yang masih aktual untuk dibahas, yang selanjutnya

dipaparkan secara objektif dan sistematis.

Melihat banyaknya teknik yang dapat dipakai dalam pengkajian

suatu ilmu, maka penulis akan menggunakan beberapa teknik yang yang

dianggap perlu dan relevan dengan pembahasan ini, antara lain :

a. Teknik Dokumentasi

Teknik dokumentasi yaitu mencari data mengenai variable yang

berupa catatan, transkip, buku-buku, dokumen, peraturan-peraturan,

notulen rapat, longer, majalah, catatan harian, agenda, dan sebagainya.

Teknik dokumentasi ini digunakan untuk mendapatkan data berupa

tulisan yang sehubungan dengan obyek penelitian yang akan di bahas

dalam penelitian. Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data yang

menyangkut pembahasan yang penulis kaji atau teliti.

b. Teknik Deskriptif

Teknik deskriptif ini digunakan untuk memecahkan serta

menjawab persoalan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang,

11

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001),

h. 163.

Page 23: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

14

dilakukan dengan menempuh langkah-langkah pengumpulan, klasifikasi,

analisa data, memuat kesimpulan dan laporan, dengan tujuan membuat

penggambaran tentang suatu keadaan secara obyektif dalam deskripsi

situasi untuk dibahasakan secara rinci.

c. Teknik Deduksi

Teknik ini merupakan akar pembahasan yang berangkat dari

realitas yang bersifat umum kepada sebuah pemaknaan yang bersifat

khusus.12

Teknik ini digunakan untuk menguraikan suatu hipotesis atau

asumsi yang bersifat umum kemudian digeneralisasikan pada asumsi

baru atau antitesis yang bersifat khusus.

d. Teknik Induksi

Teknik ini merupakan alur pembahasan yang berangkat dari

realita-realita yang bersifat khusus atau peristiwa-peristiwa yang konkret

kemudian dari realita- realita yang konkret itu ditarik secara general yang

bersifat umum. Berpikir induktif, adalah berpikir yang berangkat dari

fakta-fakta atau peristiwa yang bersifat khusus dan kongkrit, kemudian

ditarik pada generalisasi yang bersifat umum (general interpretatif).

Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan standar acuan

BUKU PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI yang diterbitkan oleh Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta, Tahun 2015.

12

Sutrisno Hadi, Metode Research I (Yogyakarta: Andi Offset, 2007), h. 42.

Page 24: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

15

E. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penyusuna skripsi ini, penulisan membaginya kepada

lima bab, yang garis besarnya penulis gambarkan sebagai berikut :

Bab Pertama merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab pertama ini adalah sebagai

pengantar. Adapun isi penelitian seluruhnya tertuang dalam bab II, III, IV. Inti

dari penelitian seluruhnya tertuang dalam bab V, berisi kesimpulan dan saran.

Bab Kedua merupakan Landasan Teori yang mencakup Pengertian

Korporasi, Tanggungjawab Pelaku Kejahatan Korporasi, Unsur dan bentuk

Kejahatan Korporasi, Kejahatan Korporasi Dalam Hukum Lingkungan dan

Sanksi-sanksi Kejahatan Korporasi.

Bab Tiga Merupakan bab yang membahas masalah Hukum Positif Kasus

Lumpur Lapindo yang memaparkan tentang kronologis terjadinya bencana lumpur

Lapindo dan posisinya dalam Hukum Positif, serta inti yang membahas putusan

presiden terhadap bencana nasional.

Bab Empat Merupakan Analisis Hukum Korporasi Terhadap Kasus

Lumpur Lapindo, dan Analisis Hukum Islam Terhadap Kasus Lumpur Lapindo.

Bab Lima merupakan Bab terakhir yang berisi simpulan dan saran-saran.

Bab ini memberikan simpulan dari hasil pembahsan pada bab-bab sebelumnya,

serta saran-saran yang sekiranya dapat di jadikan suatu pertimbangan dan

konstribusi pemikiran.

Page 25: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

16

BAB II

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM

HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Bentuk dan Pelaku Kejahatan Korporasi

1. Tinjauan Terhadap Kejahatan Korporasi

Definisi tentang kejahatan atau dalam bahasa Inggris yang biasa

disebut crime atau offence ataupun misdrijf dalam bahasa Belanda, menurut

Subekti diartikan sebagai: “Tindak pidana yang tergolong berat, KUHP

membagi tindak pidana dalam kejahatan dan pelanggaran yang masing-

masing terdapat dalam Buku II dan Buku III KUHP.” Secara khusus KUHP

tidak memberikan ketentuan/syarat-syarat untuk membedakan kejahatan

dengan pelanggaran. Kedua jenis tindak pidana tersebut hanya berbeda dari

pemberian ancaman serta sanksi yang dijatuhkan terhadap keduanya, karena

kejahatan pada umumnya sanksi yang dijatuhkan lebih berat di bandingkan

sanksi pelanggaran.1

Definisi kejahatan yang diartikan dalam kamus Black’s Law, adalah

sebagai setiap tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang melanggar

kewajiban-kewajibannya terhadap suatu komunitas, dan atas pelanggaran-

pelanggaran tersebut, hukum telah menentukan bahwa pelaku harus

mempertangungjawabkannya kepada publik.2 definisi pelanggaran (breach)

menurut Black’s Law adalah pelanggaran suatu hukum, hak, kewajiban,

1Mustafa Abdullah & Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit Ghalia

Indonesia, 2003), h. 29. 2Henry Campbel Black, Black’s Law Dictionery (New York: Barron’s Educational Series

Inc, 1990), h. 370.

Page 26: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

17

ikatan, tugas, baik dengan penambahan atau penghapusan. Terjadi ketika

suatu pihak dalam kontrak gagal untuk melaksanakan ketentuan, janji atau

kondisi dalam kontrak.3 Namun bila pelanggaran tersebut menimbulkan

konsekuensi pidana yang dilekatkan pada pelanggaran itu, maka

pelanggaran tersebut merupakan perbuatan pidana.4

Dalam pengertian yang diartikan dalam Black’s Law mengenai

pengertian kejahatan diatas dapat ditarik sebuah analisis, bahwa apabila

seseorang melakukan kejahatan, berarti ia telah melanggar norma dalam

sebuah komunitas maka diwajibkan kepada si terdakwa tersebut untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada publik tanpa ada pilihan

bagi dirinya mau ataupun tidak mau melaksanakan pertanggungjawaban

tersebut. Sehingga sanksi yang dijatuhkan dalam kejahatan adalah

merupakan hukuman paksa. Sedangkan kejahatan menurut Giffis

didefinisikan sebagai suatu kesalahan yang oleh pemerintah telah ditetapkan

merugikan publik dan dapat dituntut karena suatu tindakan kriminal.5

Untuk dapat dituntut karena perbuatan pidana maka korporasi harus

telah jelas melakukan kesalahan. Menurut Andi Hamzah kesalahan dalam

arti luas meliputi: sengaja, kelalaian, serta dapat dipertanggungjawabkan.

Dimana ketiga-tiganya merupakan unsur subyektif syarat pemidanaan.6

3Henry Campbel, . Black’s Law Dictionary, (New York: Barron’s Educational Series

Inc, 1990), h. 188. 4Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, ,

2006), h. 26. 5Steven H Giffis, Dictionary of Legal Terms, Third Edition, (New York: Barron’s

Educational Series Inc, 1998), h. 53. 6

Andy Hamzah, Pengantar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,

1985),h. 24.

Page 27: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

18

Pada dasarnya, banyak pelanggaran dan kejahatan yang sering

dilakukan korporasi di bidang lingkungan, namun penyelesaiannya tidak

mencapai sasaran dan tujuan sesuai yang diharapkan baik oleh masyarakat

yang terkena dampak khususnya maupun masyarakat luas pada umumnya.

Hal ini mungkin disebabkan karena kesadaran hukum masyarakat kita yang

masih rendah, sehingga terkadang kelompok masyarakat itu sendiri pun

terlambat atau tidak sadar bahwa lingkungan sekitarnya telah tercemar oleh

korporasi yang melakukan kegiatan industri atau sebagainya. Untuk

mengetahui lebih lanjut tentang kejahatan yang dilakukan oleh korporasi,

maka akan di bahas pengertian korporasi dari sisi hukum.

Kita lazim mendengar kata korporasi untuk menyebut sebuah badan

hukum, ini di jumpai dalam hukum perdata. Dalam bahasa Belanda, disebut

rechtpersoon dan legal entity atau corporation dalam bahasa Inggris. Dalam

Black’s Law Dictionary korporasi diterjemahkan sebagai suatu manusia

buatan (artificial person) atau badan hukum yang diciptakan oleh atau dalam

kewenangan hukum dari suatu negara.7 Di Indonesia, badan hukum dikenal

dengan nama perseroan terbatas (PT). I.G. Ray Wijaya mengatakan

korporasi adalah suatu badan hukum yang mampu bertindak melakukan

perbuatan hukum melalui wakilnya. Oleh karena itu korporasi atau

perseroan juga merupakan subyek hukum, yaitu subyek hukum mandiri.

Korporasi bisa mempunyai hak dan kewajiban dalam hubungan hukum.8

7Henry Campbel, . Black’s Law Dictionary, (New York: Barron’s Educational Series Inc,

1990),h. 340. 8I.G. Ray Widjaya, Hukum Perusahaan, (Jakarta: Megapoin, 2000), h. 7.

Page 28: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

19

Terkait atas apa yang diterjemahkan oleh I.G. Ray Wijaya, Sutan

Remy Sjahdeini mengatakan bahwa “asas hukum korporasi menentukan

bahwa pengurus adalah organ organisasi, kalbu pengurus adalah kalbu

korporasi, dan jasmani pengurus adalah jasmani korporasi”.9 Analisa dari

pendapat 2 pakar ini adalah bahwa korporasi adalah manusia buatan yang

memiliki organ, kalbu serta jasmani. Jadi sudah seharusnya korporasi

mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum.

Menurut Sahetapy, perumusan tindak pidana korporasi sampai saat

ini masih merupakan suatu dilema, sama dilemanya dengan konsep white

collar crime yang diperkenalkan pertama kali oleh Sutherland yang

memunculkan setumpuk istilah dengan makna dalam konteks yang berbeda

namun dalam ruang lingkup yang sama pula.10

Corporate crime

didefinisikan sebagai suatu tindak kejahatan yang dilakukan dan dapat

dituntutkan kepada suatu korporasi sebagai akibat dari aktivitas pejabat atau

karyawannya.11

Marshall B. Clinhard mengatakan bahwa kejahatan

korporasi adalah kejahatan terorganisasi yang terjadi dalam konteks yang

sangat kompleks dan bervariasi yang merupakan hubungan struktural dan

hubungan antara dewan direksi, eksekutif, dan manajer di satu sisi dan

induk korporasi, divisi korporasi dan subsidiary-subsidiarinya di sisi lain.12

9Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporas, (Jakarta: Grafiti Pers, ,

2006), h. 22. 10

J.E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, (Bandung: Eresco, 1994), h. 25. 11

Henry Campbel, . Black’s Law Dictionary, (New York: Barron’s Educational Series Inc,

1990), h. 339 12

Henry Campbel, . Black’s Law Dictionary, (New York: Barron’s Educational Series Inc,

1990),h. 28.

Page 29: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

20

Pengertian lain mengenai kejahatan korporasi adalah suatu bentuk

kejahatan (crime) dalam bentuk white collar crime, yang merupakan

perbuatan melawan hukum, yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau

badan hukum, baik melalui pengurus atau yang mendapatkan otorisasi

olehnya, meskipun badan hukum tersebut tidak pernah mempunyai niat

jahat (mens rea).13

Menurut Indriyanto Seno Adji korporasi (corporate crime), Sebagai

pelanggaran-pelanggaran dimana pelaku-pelakunya mengalami perubahan

dari “orang” meluas pada “badan hukum” (korporasi) yang sering

mempunyai kedudukan sosial ekonomi tinggi dan terhormat, serta

perbuatannya dilakukan tanpa adanya kekerasan fisik, Bahkan sering kali

didasari suatu alasan kegiatan perekonomian yang sah (“legitimate

economic activities”), sehingga kejahatan ini sering dikatakan bagian dari

“Kejahatan Ekonomi” (“economic crime”). Orientasi kejahatan korporasi

diarahkan pada skala “bisnis besar” dan bukan “Bisnis Sekala Kecil”.14

2. Bentuk-bentuk Kejahatan Korporasi

Menurut Hatrik yang mengutip pendapat Steven Box, bentuk-bentuk

kejahatan korporasi adalah bentuk-bentuk pelanggaran hukum yang

dilakukan oleh korporasi dalam usaha mencapai tujuan korporasi untuk

memperoleh profit.15

Pada dasarnya tidak terdapat pembagian-pembagian

13

Munir Fuady, Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih, (Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2004), h. 27. 14

Indriyanto Seno Adji, Arah Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Kantor Pengacara dan

KonsultanHukum Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan, 2001), h. 73. 15

Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana

Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 8.

Page 30: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

21

secara khusus yang dihasilkan oleh para pakar hukum dalam menghasilkan

bentuk-bentuk kejahatan korporasi, namun yang paling sering terjadi dan

korporasi dituntut dalam hal melakukannya adalah :

a. Kejahatan terhadap konsumen, dengan cara memberikan informasi yang

menyesatkan yang hampir sama dengan tindak pidana penipuan dimana

korporasi sebagai pelakunya memberikan informasi yang menyesatkan

kepada publik agar publik melakukan suatu tindakan atau tidak

melakukan tindakan sehingga memberikan keuntungan bagi si pelaku.

b. Kejahatan terhadap lingkungan hidup adalah dengan cara masuknya atau

dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/ atau komponen lain ke

dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya

turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak

c. dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

d. Kejahatan pasar modal, yaitu dengan cara memperdagangkan orang

dalam (insider trading) yaitu pihak yang memanfaatkan informasi yang

bersifat material yang belum tersedia bagi publik yang memperoleh

keuntungan dari perdagangan efek yang didasarkan adanya suatu

informasi orang dalam yang belum terbuka untuk umum.

3. Unsur-unsur Kejahatan Korporasi

Menurut Sutan Remy Sjahdeini,16

korporasi dapat dibebankan

pertanggungjawaban pidana apabila terdapat unsur-unsur sebagai berikut :

16

Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, ,

2006) h. 118.

Page 31: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

22

a. Tindak pidana tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh personel

korporasi yang memiliki posisi sebagai direksi dari korporasi.

b. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan

korporasi.

c. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah

dalam rangka tugasnya dalam korporasi.

d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat

bagi korporasi.

e. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau

pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban.

Maka dari itu unsur-unsur tersebut harus terpenuhi agar

pertanggungjawaban tindak pidana korporasi dapat dibebankan kepada

direksi yang memiliki wewenang dalam nenentukan atau memutuskan

kebijakan korporasi.

Dalam UUPLH, faktor utama terjadinya sengketa lingkungan adalah

apabila terjadi pencemaran/perusakan seperti yang tercantum dalam Pasal 1

angka 12 dan Pasal 1 angka 14 UUPLH.

Menurut pengertian Pasal 1 angka 12 dalam UU tersebut, terdapat

hal-hal yang dapat ditemukan sebagai unsur-unsur perbuatan pencemaran

lingkungan hidup, unsur-unsur itu adalah :

a. Masuk atau dimasukkannya.

Hal ini adalah komponen asing dari luar yang masuk kedalam

lingkungan yang berakibat kepada perusakan dan pencemaran.

Page 32: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

23

b. Kegiatan manusia.

Pencemaran lingkungan lebih besar terjadi karena adanya

kegiatan manusia yang mengekploitasi dan mengeksplorasi lingkungan

dengan tidak mengindahkan peraturan-peraturan pengelolaan lingkungan

hidup.

c. Turunnya kualitas lingkungan.

Pencemaran yang terjadi telah menyebabkan turunnya kualitas

atau mutu lingkungan tersebut.17

Sedangkan mengenai perbuatan

perusakan lingkungan dirumuskan secara tegas dalam Pasal 1 angka 14,

bahwa : “Segala perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang

menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat baik

fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak

berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan”.

4. Pelaku Kejahatan Korporasi

Dalam sistem pidana Indonesia, suatu perbuatan merupakan tindak

pidana atau perilaku melanggar hukum pidana hanyalah apabila suatu

ketentuan pidana yang telah menentukan bahwa perbuatan itu merupakan

tindak pidana. Hal ini berkenaan dengan berlakunya asas legalitas

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang berbunyi

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan aturan pidana

dalam perundang-undangan sebelum perbuatan itu dilakukan telah ada.”

17

Hyronimus Rihti, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, (Yogyakarta:

Universitas AtmaJaya, 2006), h. 8.

Page 33: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

24

Ketentuan ini memberi jaminan bahwa seseorang tidak dapat

dituntut berdasarkan ketentuan undang-undang secara berlaku surut.

Ketentuan ini juga didukung semangatnya dalam Undang-undang No. 4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, asas legalitas itu dapat juga

dijumpai dalam Pasal 6 ayat (1) UU tersebut, yang berbunyi : “Tidak

seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain yang ditentukan

oleh undang-undang.”18

Jadi berdasarkan penjelasan diatas yang dimaksud dengan tindak

pidana adalah prilaku yang melanggar ketentuan pidana yang berlaku ketika

prilaku tersebut dilakukan, baik perilaku tersebut berupa melakukan

perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana maupun tidak

melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.

Barda Nawawi Arief,19

mengutip dari Nico Keijzer, menuliskan

tentang kondisi-kondisi yang akan meletakan korporasi sebagai pelaku

sebuah tindak pidana, menurut beberapa aturan hukum di beberapa negara

seperti dalam :

a. American Model Penal Code (MPC) – section 2.07.(1) :

1) Apabila maksud pembuat UU untuk mengenakan pertanggungjawaban

pada korporasi nampak dengan jelas dan perbuatan itu dilakukan oleh

agen korporasi yang bertindak atas nama korporasi dalam ruang

lingkup jabatan/tugas atau pekerjaannya; atau

18

Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, ,

2006) h. 26. 19

Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2002), h. 131.

Page 34: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

25

2) Apabila tindak pidana itu merupakan suatu pengabaian/pelanggaran

kewajiban khusus yang dibebankan kepada korporasi oleh UU, atau

3) Apabila dilakukannya tindak pidana itu dibenarkan/disahkan, diminta,

diperintahkan, dilaksanakan, atau dibiarkan/ditolerir secara sembrono

oleh dewan direksi atau oleh agen pimpinan puncak yang bertindak

atas nama korporasi dalam batas-batas ruang lingkup

tugas/pekerjaannya.

b. Dutch Case Law (Yurisprudensi Belanda) :

1) Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan UU yang secara

khusus ditujukan bagi korporasi, misal korporasi tidak memenuhi

syarat-syarat dari suatu izin yang telah diberikan kepadanya. Dengan

demikian, korporasi tidak dipandang telah melakukan tindak pidana

dalam hal ketentuan UU secara khusus ditujukan kepada individu.

2) Apabila tindak pidana itu berhubungan dengan bidang usaha korporasi

yang bersangkutan. Misal pencemaran beberapa hari yang ditimbulkan

dari saluran kotoran (the sewage drain) suatu perusahaan/pabrik

kimia.

Pendapat-pendapat diatas menerangkan bahwa seiring dengan

kemajuan perundang-undangan, para penegak hukum pun mencari kaidah-

kaidah baru dalam rangka penegakan hukum tersebut di segala aspek.

Dimana di masa kini, korporasi disebutkan pula dapat dibebani

pertanggungjawaban dan dapat dijadikan sebagai pelaku kejahatan. Maka

dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, ada 3 sistem kedudukan

Page 35: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

26

korporasi sebagai pembuat dan pertanggungjawaban korporasi dalam

hukum pidana, yaitu : (1) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan

penguruslah yang bertanggungjawab, (2) Korporasi sebagai pembuat dan

pengurus yang bertanggungjawab, (3) Korporasi sebagai pembuat dan yang

bertanggungjawab.20

Berikut ini penjelasannya :

a. Pengurus Korporasi Sebagai Pembuat dan Pengurus yang

Bertanggungjawab

Sistem pertanggungjawaban ini adalah sistem yang dianut oleh

KUHP. KUHP mempunyai pendirian bahwa korporasi tidak dapat

dibebani pertanggungjawaban pidana dikarenakan korporasi tidak

memiliki kalbu dan tidak pula memiliki guilty mind, pengurus

korporasilah yang memiliki kalbu sebagai naturlijk persoon yang dapat

melakukan kejahatan, maka pengurus korporasi yang bisa diberi

pertanggungjawaban pidana. Pendirian KUHP ini termaktub dalam Pasal

59 KUHP. Ketentuan yang menunjuk bahwa tindak pidana hanya

dilakukan oleh manusia adalah Pasal 53 jo Pasal 55 KUHP dan Pasal 372

jo Pasal 374 KUHP, dimana Pasal 53 berbunyi :

1) Percobaan melakukan kejahatan dapat dipidana, apabila maksud akan

melakukan kejahatan itu sudah nyata, dengan adanya permulaan

membuat kejahatan itu dan perbuatan itu tidak diselesaikan hanyalah

oleh sebab hal yang tidak tergantung kepada kehendaknya sendiri.

20

Reksodiputro B Mardjono, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak

Pidana Korporasi, (Semarang: FH UNDIP, 1989), h. 9.

Page 36: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

27

2) Maksimum pidana pokok yang diancamkan atas kejahatan itu

dikurangi sepertiganya dalam hal percobaan.

3) Jika kejahatan itu dapat dipidana dengan pidana mati atau penjara

seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara yang selama-lamanya

lima belas tahun.

4) Untuk kejahatan yang telah diselesaikan dan percobaan melakukan

kejahatan itu, sama saja pidana tambahannya.

b. Korporasi sebagai Pembuat dan Pengurus yang Bertanggungjawab

Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan pengakuan yang

timbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana

dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi), akan

tetapi tanggungjawab untuk itu menjadi beban dari pengurus badan usaha

(korporasi) tersebut. Secara perlahan-lahan tanggungjawab pidana

tersebut beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang

memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan

memimpin secara sesungguhnya. Dalam sistem pertanggungjawaban ini

korporasi dapat menjadi pembuat tindak pidana, akan tetapi yang

bertanggungjawab adalah para anggota pengurus, asal saja dinyatakan

dengan tegas dalam peraturan itu. Sistem pertanggungjawaban yang

kedua ini sejalan dengan sistem pertanggungjawaban yang pertama

namun perbedaannya disini adalah bahwa hal korporasi sebagai badan

usaha yang dapat dijadikan pelaku kejahatan telah dapat diterima, namun

Page 37: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

28

dalam hal korporasi melakukan kejahatan, tidak mungkin tanpa kehendak

dari pengurusnya.

Munir Fuady, menjelaskan mengenai tanggungjawab direksi

dalam hukum perseroan yang berkenaan dengan pelaksanaan fiduciary

duty. Menurut Munir Fuady, pada prinsipnya ada 2 (dua) fungsi utama

dari direksi suatu perseroan, yaitu :21

1) Fungsi manajemen, dalam arti direksi melakukan tugas memimpin

perusahaan.

2) Fungsi representasi, dalam arti direksi mewakili perusahaan di dalam

dan luar pengadilan. Prinsip mewakili perusahaan di luar pengadilan

memyebabkan perseroan sebagai badan hukum akan terikat dengan

transaksi atau kontrak-kontrak yang dibuat oleh direksi atas nama dan

kepentingan perseroan.

c. Korporasi sebagai Pembuat dan yang Bertanggungjawab

Sistem pertanggungjawaban yang ketiga ini merupakan

permulaanadanya tanggungjawab yang langsung dari korporasi. Dalam

sistem inidibuka kemungkinan menuntut korporasi dan meminta

pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Hal-hal yang dapat

dipakaisebagai alasan-alasan bahwa korporasi sebagai pembuat dan

sekaligus yang bertanggungjawab adalah sebagai berikut :

Pertama, karena dalam berbagai tindak pidana ekonomi atau

fiscal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita

21

Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law& Eksistensinya Dalam

Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), h. 10.

Page 38: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

29

masyarakat dapat sedemikian besarnya sehingga tidak akan mungkin

seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan pada pengurus saja. Kedua,

dengan hanya memidana pengurusnya saja, tidak atau belum ada jaminan

bahwa korporasi tidak akan mengulangi tindak pidana lagi.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, terdapat sistem

pertanggungjawaban yang keempat setelah terdapat tiga sistem diatas

yang dianut dalam pertanggungjawaban korporasi. Sistem yang ke-4 itu

adalah : “Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana,

dan keduanya pula harus memikul pertanggungjawaban pidana”.22

Di Belanda sendiri dengan diubahnya Pasal 15 ayat (1) Wet

Delicten 1950 menjadi Undang-undang tanggal 23 tahun 1976 Stb 377

yang disahkan tanggal 1 September 1976 telah membawa perubahan

terhadap sifat dapat dipidananya korporasi sebagimana diatur dalam

sistem hukum pidana Belanda.

Meskipun dalam KUHP Indonesia yang sampai sekarng ini masih

dipakai yang masih merupakan warisan pemerintahan Belanda, namun

RUU KUHP yang baru sudah meletakkan pengertian tentang korporasi

yaitu dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 50 yang mana korporasi dapat

dijadikan sebagai pelaku kejahatan dan dapat pula dibebani

pertangungjawaban. Dari beberapa pasal-pasal dalam RUU KUHP yang

mana menjelaskan tentang keberadaan korporasi dapat dijadikan pelaku

tindak pidana, dapat disimpulkan sebagai berikut :

22

Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, ,

2006) h. 59.

Page 39: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

30

1) Bahwa secara prinsip dalam RUU KUHP tersebut telah diterima

konsep korporasi sebagai badan hukum yang dapat dijadikan subjek

dalam hukum pidana;

2) Tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan kepada badan

hukum adalah semua perbuatan yang termasuk tindak pidana yang

dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional

(functioneel daders) dalam badan hukum yang melakukan perbuatan

itu dalam lingkungan usaha dari badan hukum sesuai dengan anggaran

dasarnya;

3) Tidak semua peraturan perundang-undangan dapat diterapkan atas

badan hukum, misalnya tidak mungkin menerapkan sanksi pidana

penjara atau pidana mati atas badan hukum.

Bila dilihat dari rumusan beberapa pasal tentang korporasi dalam

RUU KUHP diatas, diharapkan di masa mendatang kejahatan-kejahatan

oleh korporasi sudah dapat diambil tindakan oleh pemerintah maupun

oleh badan yang berwenang.

Page 40: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

31

B. Kejahatan Korporasi Dalam Hukum Lingkungan Dan Sanksi-sanksi

Kejahatan Korporasi

1. Kejahatan korporasi Dalam Hukum Lingkungan

Emil Salim,23

mengamati masalah lingkungan dengan mengaitkannya

kepada 2 hal yang dapat menggoncangkan keseimbangan lingkungan hidup,

pertama adalah perkembangan teknologi yang berhasil diwujudkan oleh akal

dan otak manusia. Revolusi industri adalah awal dari keberlanjutan

penemuan teknologi berupa mesin uap, dan hingga akhirnya manusia dapat

mendaratkan kakinya di bulan hingga masa kini. Kedua adalah ledakan

populasi penduduk. Selama pertambahan penduduk berada dalam batas

kewajaran, maka pertambahan ini tidak mengganggu terlalu banyak

keseimbangan lingkungan, tetapi seperti yang diketahui saat ini,

perkembangan teknologi pula yang menjadikan ledakan penduduk.

Pertambahan ini tentu saja akan menambah unsur kehidupan yang lain,

seperti misalnya permintaan akan air minum, bahan makanan, lahan tempat

tinggal, bahan bakar serta pada akhirnya adalah penciptaan limbah rumah

tangga dalam jumlah yang sangat besar pula.

Dalam rangka mempertahankan kestabilan lingkungan, kita

mempunyai Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UULH). Untuk itu diperlukan alat untuk dijadikan

batas-batas sebagai rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar oleh manusia

23

M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Linkungan Hidup, (Bandung: Mandar Maju,

2000), h. 4.

Page 41: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

32

sebagai subjek yang mengekplorasi dan eksploitasi lingkungan untuk

pemenuhan kebutuhan hidupnya.

2. Sanksi-Sanksi Kejahatan Korporasi

Sanksi pidana menurut KUHP didasarkan pada Pasal 10 KUHP yang

berbunyi :

a. Pidana pokok, berupa: 1) Pidana mati; 2) Pidana penjara; 3) Pidana

kurungan; 4) Denda; 5) Pidana tutupan (UU No. 20/1946)

b. Pidana tambahan, berupa : 1) Pencabutan beberapa hak tertentu; 2)

Perampasan beberapa barang yang tertentu; 3) Pengumuman putusan

hakim.

Sanksi-sanksi pidana yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP diatas

nampaknya hanya dapat dikenakan kepada manusia saja sebagai pelaku

kejahatan. Munir Fuady24

mengungkapkan dewasa ini berkembang model

hukuman pidana nonkonvesional yang dianggap cocok untuk perseroan

yang melakukan kejahatan korporat. Model-model tersebut adalah:

a. Hukuman Percobaan (Probation).

Dalam hukuman ini, korporasi dihukum dalam jangka waktu

tertentu dan diawasi.

b. Denda Equitas (Equity Fine)

Korporasi yang dijatuhi pertanggungjawaban pidana berupa

denda adalah denda yang disetor kepada pemerintah adalah merupakan

saham-saham perusahaan tersebut yang diberikan kepada pemerintah.

24

Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law& Eksistensinya Dalam

Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), h.29.

Page 42: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

33

c. Pengalihan Menjadi Hukuman Individu

d. Hukuman Tambahan

Seperti pencabutan izin dan larangan melakukan kegiatan tertentu

atau kegiatan di bidang lain.

e. Hukuman Pelayanan Masyarakat (community service)

Hukuman ini efektif bagi corporate crime yang telah membawa

dampak negatif bagi masyarakat, sehingga masyarakat tersebut mendapat

semacam ganti rugi dari hasil pelaksanaan hukuman tersebut.

f. Kewenangan Yuridis Pihak Luar Perusahaan

Pihak luar yang berwenang terhadap korporasi yang dibebankan

pertanggungjawaban pidana dalam rangka hukuman ini dapat mengambil

kewenangan untuk masuk dan mengatur perusahaan yang terkena sanksi

tersebut. Misalnya BAPEPAM untuk perusahaan terbuka atau otoritas

keuangan untuk perusahaan perbankan.

g. Kewajiban Membeli Saham

Hukuman ini adalah kewajiban membeli saham dengan

mengambil dana dari victim compesation funds yang diambil untuk

membeli saham-saham pihak pemegang saham dengan harga pasar,

sehingga dia tidak dirugikan oleh ulah perusahaan tersebut.

Sanksi menurut UU Darurat Undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun

1995 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana

Ekonomi, yang termuat dalam Pasal 15 ayat (1) undang-undang tersebut

berbunyi :

Page 43: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

34

“Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama

suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau

yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana dan

tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum

perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang

memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang

bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu,

maupun terhadap kedua-duanya”.

Menurut M. Hamdan,25

upaya penaggulangan pada hakikatnya juga

merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat yang dapat

ditempuh dengan 2 jalur, yaitu :

a. Jalur penal, yaitu dengan menerapkan hukum pidana (criminal law

application).

b. Jalur nonpenal, yaitu dengan cara :

1) Pencegahan tanpa pidana (prevention without punisment), termasuk di

dalamnya penerapan sanksi administrative dan sanksi perdata.

2) Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pembinaan lewat media massa.

Dalam UUPLH pada Pasal 47 telah diatur pula, selain ketentuan

pidana yang akan dibebankan kepada pelaku kejahatan korporasi

lingkungan, dalam pasal ini pula pelaku tindak pidana lingkungan hidup

dapat dikenakan sanksi tata tertib berupa :

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau

b. penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau

c. perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau

d. mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak; dan/atau

25

M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada,

1997), h. 80.

Page 44: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

35

e. meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

f. menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga)

tahun.

Sanksi-sanksi yang ada dalam peraturan perundang-undang kita

yang terkait dengan lingkungan dirasakan sudah cukup, namun alangkah

disayangkan apabila penerapan sanksi-sanksi tersebut tidak didukung oleh

penegakan hukum oleh aparat yang berwenang terhadap undang-undang itu

sendiri.

Page 45: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

36

BAB III

KASUS LUMPUR LAPINDO

A. Kronologis terjadinya bencana lumpur Lapindo

Banjir lumpur panas Lapindo di Sidoarjo adalah peristiwa menyemburnya

lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Desa Renokenongo,

Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang terjadi sejak tanggal

27 Mei 2006. Semburan lumpur panas telah mengakibatkan tergenangnya

kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di

sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.

1. Lokasi

Lokasi semburan lumpur panas berada di Kecamatan Porong, bagian

selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 kilometer sebelah selatan Kota Sidoarjo.

Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan di

sebelah selatan.

Lokasi semburan hanya berjarak 150-500 meter dari sumur Banjar 100

Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas

sebagai pelaksana teknis blok Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini,

semburan lumpur panas tersebut diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang

dilakukan Lapindo Brantas di sumur tersebut. Pihak Lapindo Brantas sendiri

punya dua teori yang berhubungan dengan asal semburan. Pertama, semburan

lumpur berhubungan dengan kegiatan pengeboran. Kedua, semburan lumpur

"kebetulan" terjadi bersamaan dengan pengeboran akibat sesuatu yang belum

diketahui.

36

Page 46: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

37

Gambar 1. Lokasi Sumur Banjar Panji

Sumber : Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur

Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 09 Maret 2015

Gambar 2. Lokasi Sumur Banjar Panji-1

Sumber : Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur

Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 09 Maret 2015

Lokasi tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di sekitarnya

merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari

lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-

Page 47: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

38

Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur

kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi.

2. Perkiraan Penyebab Kejadian

Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada

awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT

Medici Citra Nusantara. Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga

kedalaman 8500 kaki (2590 meter) sampai mencapai formasi Kujung (batu

gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing) yang

ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi

circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida

formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi

Kujung.

Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30

inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner)

16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press

Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari

kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing

9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara

formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki).

Page 48: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

39

Gambar 3. Posisi Cashing Prognosis VS Realisasi Sumur Banjar Panji-11

Sumber : Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur

Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 09 Maret 2015

Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan

pemboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka

membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di zona

Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka

membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya. Mereka

merencanakan memasang casing setelah menyentuh target yaitu batu gamping

formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada. Selama melakukan pengeboran

mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih

berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari

formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat diatasi

dengan pompa lumpur.

Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu

gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal

1 Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur

Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 21 Desember 2014

Page 49: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

40

mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat

porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan

lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi

Klitik) atau circulation loss sehingga kehilangan/kehabisan lumpur di

permukaan.

Akibat dari habisnya lumpur, maka lumpur formasi Pucangan berusaha

menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit

sehingga dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan,

perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup dan segera

dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan

mematikan kick.

Gambar 4. Underground Blow Out Pada Sumur Banjar Panji-1

Sumber : Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur

Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 09 maret 2015

Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah

terlanjur naik ke atas sampai ke batas antara open-hole dengan selubung di

permukaan (surface casing) 13 3/8 inchi. Di kedalaman tersebut, diperkirakan

Page 50: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

41

kondisi geologis tanah tidak stabil dan kemungkinan banyak terdapat rekahan

alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan. Karena tidak dapat

melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur disebabkan

BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha

mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu melewati rekahan alami tadi dan

berhasil keluar. Hal ini yang menjadi dugaan kenapa surface blowout terjadi di

berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu sendiri.

Gambar 5. Hipotesa Mekanisme Semburan Lumpur Panas Lapindo2

Sumber : Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur

Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 09 Maret 2015

3. Dampak Lingkungan Luapan Lumpur

Dampak atau efek dari semburan lumpur panas dari pengeboran pada

Sumur Banjar Panji-1 secara umum dapat dilihat dari dua hal yaitu adanya

tumpahan atau luberan material cair berupa lumpur dalam volume yang sangat

2 Yunus Daud, Standar Baku Pengeboran dan Masalah Human Error : Antisipasi

Teknologi, Diskusi Publik Tragedi Lumpur Panas Sidoarjo. Diskusi Publik Tragedi Lumpur Panas

Sidoarjo, 2006. Diakses tanggal 21 Desember 2014

Page 51: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

42

besar maupun adanya dugaan kandungan yang terdapat dalam material cair

tersebut.

a. Dampak Terhadap Tanah

Uji lebih lanjut terhadap tanah yang terkena dampak dari luberan

lumpur menunjukkan hasil yang berbeda dari uji laboratorium yang telah

dilakukan. Hal ini diduga dalam perjalanan di atas permukaan tanah atau di

dalam udara terbuka lumpur mengalami perubahan efek menjadi zat yang

toxic setelah mengalami kontaminasi atau bersenyawa dengan media lain

yang berada di sekitar wilayah bencana tersebut. Tanah bekas terkena

lumpur bisa ditanami akan tetapi jika tanaman tersebut akan dikonsumsi

oleh manusia akan berisiko bagi kesehatan.3

b. Dampak Sosial Ekonomi

Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi

masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.

Lumpur panas Lapindo selain mengakibatkan kerusakan lingkungan, juga

bisa mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik masyarakat yang tinggal di

sekitar semburan lumpur.4

B. Posisi Lumpur Lapindo dalam Hukum Positif

Seiring dengan sering terjadinya kasus kerusakan lingkungan sebagai

akibat dari proses pembangunan, studi tentang ekologi pembangunan semakin

3 Lily Pudjiastuti., Tanah Bekas Lumpur Lapindo Tak Bisa Ditanami, Hasil Riset ITS,

Kamis (27/7/2006), diakses pada tanggal 21 Desember 2014 4

Richard J. Davies, Birth of a Mud Volcano : East Java, 29 May 2007. Dalam

http://hotmudflow.wordpress.com/ diakses tanggal 21 Desember 2014

Page 52: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

43

berkembang pesat. Pembangunan adalah upaya-upaya yang diarahkan untuk

memperoleh taraf hidup yang lebih baik. Upaya-upaya untuk kesejahteraan atau

taraf hidup yang lebih baik merupakan hak semua orang dimana pun berada.

Khususnya di negara-negara berkembang, pembangunan merupakan pilihan

penting dilakukan guna terciptanya kesejahteraan penduduknya. Dengan demikian

pembangunan merupakan sarana bagi pencapaian taraf kesejahteraan manusia.

Dan pembangunan ini yang kemudian tidak terlepas dari adanya dampak yang

merugikan, terutama kepada lingkungan.

Menurut Prof .Moeljatno,5

sebuah tindak pidana ada setelah adanya

perbuatan dan sebuah keadaan yang menyertai perbuatan tersebut. Dalam kita

melihat kejadian di Kec. Porong Sidoarjo ini, yang melakukan sebuah perbuatan

adalah Lapindo Brantas, dimana perbuatan tersebut adalah melakukan kegiatan

eksploitasi dan eksplorasi migas yang berada di Blok Brantas, meskipun

berdasarkan fakta yang ada proses pengeboran (drilling) tersebut kemudian di sub

kontrakan oleh Lapindo Brantas Inc kepada PT. Medici Citra Nusa, namun

Lapindo Brantas dalam hal ini tidak dapat melepaskan pengawasannya terhadap

proses tersebut mengingat Lapindo Brantas adalah sebagai pemegang hak

terhadap eksploitasi dan eksplorasi di blok tersebut. Unsur diatas merupakan

pembuktian telah terpenuhinya terjadinya sebuah tindak pidana oleh manusia.

Namun menurut Sutan Remy Sjahdeini,6 adanya keharusan terpenuhinya

unsur terdapatnya perbuatan dan unsur terdapatnya kesalahan tidak mesti dari satu

orang, hal ini berarti orang yang melakukan perbuatan tidak harus memiliki

5 Moeljatno., Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 185.

6 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, ,

2006), h. 74.

Page 53: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

44

kesalahan yang menjadi dasar perbuatan itu, asalkan dalam melakukan perbuatan

yang dimaksud tersebut adalah menjalankan perintah atau suruhan orang lain yang

memiliki kalbu yang menghendaki kesalahan tersebut oleh orang yang disuruh.

Dengan adanya gabungan tersebut antara perbuatan yang dilakukan oleh pelaku

yang tidak memiliki kesalahan (tidak memiliki sikap kalbu yang salah) dan

kesalahan yang dimiliki oleh orang yang memerintahkan atau menyuruh

perbuatan itu dilakukan, maka secara gabungan terpenuhilah unsur-unsur

(perbuatan dan kesalahan) yang diperlukan bagi pembebanan pertanggungjawaban

pidana oleh korporasi.

Dalam hal ini, Lapindo Brantas sebagai sebuah korporasi yang tidak

memiliki kesalahan dapat juga dijatuhi pembebanan pertanggungjawaban pidana

setelah adanya penggabungan ini, karena faktor kesalahan tersebut dapat diambil

dari manusia sebagai yang menjalankan operasional korporasi tersebut. Jadi, baik

Lapindo Brantas serta pengurusnya dapat dijatuhi pembebanan

pertanggunjawaban pidana seperti yang termuat dalam setiap pasal yang terdapat

dalam Bab IX UUPLH No. 23 Tahun 1997.

Seharusnya pihak Lapindo Brantas menghiraukan pendapat para ahli

geologi ini, mengingat bukan hanya sekali ini saja, masyarakat Jawa Timur

mengalami perusakan dan pencemaran lingkungan oleh korporasi, ada terdapat

beberapa kasus lainnya seperti :7

1. Pada tahun 2000 terjadi kebocoran petrokimia.

7 Informasi dari WALHI Jawa Timur, 2006 dalam Kumpulan Analisis Bencana Lumpur

Lapindo, h. 12.

Page 54: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

45

2. Pada tahun 2001 terjadi kebocoran sektor migas di kecamatan Suko, Tuban

milik Devon Canada dan Petrochina. Kadar hidro sulfidanya waktu itu cukup

tinggi sehingga menyebabkan 26 orang dirawat di rumah sakit.

Beberapa kasus diatas, seharusnya dapat menjadikan Lapindo Brantas

belajar mengenai menjaga lingkungan yang dieksplorasi dan eksploitasinya.

Berarti apabila dalam kasus ini terdapat unsur kelalaian atau culpa, hal tersebut

dapat dijadikan pemberatan pidana, ditambah pula telah terjadinya ribuan korban

diakibatkan kelalaian ini, maka Lapindo Brantas dapat dikenakan juga sanksi yang

terdapat dalam Pasal 42 Bab IX UUPLH, yang berisi :

(1) Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang

mengakibatkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup,

diancam pidana…….dst;

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana

diancam pidana…..dst.

Melihat kepada UUPLH, Lapindo Brantas dalam kegiatannya di Blok

Brantas telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam definisi melakukan

perusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup di Blok Brantas dan

lingkungan sekitarnya yang sampai saat ini telah mencakup lebih dari 10 desa

yang hilang tertutup oleh lumpur beserta prasarana dan sarananya.

Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 1 angka 12 mengenai definisi

tentang pencemaran adalah :

1. Masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan/ atau komponen

lainnya kedalam lingkungan hidup, dalam hal ini telah terlihat, kelalaian

ataupun kesengajaan yang diakibatkan oleh Lapindo Brantas Inc dalam

kegiatannya telah menyebabkan menyemburnya sejenis lumpur bercampur gas

Page 55: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

46

yang didalamnya terdapat kandungan logam berat (Hg) yang mencapai 2,565

mg/liter Hg, yang telah melampaui baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg, dan

kandungan Fenol yang didapat dari sampel lumpur, zat ini berbahaya terhadap

kulit dan kontak langsung dengan kulit dapat menyebabkan kulit seperti

terbakar dan gatal-gatal dan bila zat ini masuk kedalam makanan bisa

menyebabkan sel darah merah pecah, jantung berdebar dan gangguan ginjal.

2. Dilakukan oleh kegiatan manusia, masuk atau dimasukkannya zat-zat serta

komponen tersebut yang jelas tidak dengan sendirinya, Lapindo Brantas telah

melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di daerah tersebut.

3. Menimbulkan penurunan kualitas lingkungan sampai pada tingkat tertentu

yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan

peruntukannya, luberan lumpur sampai saat ini telah mengenangi setidaknya 10

desa, 20.000 warga harus diungsikan ke pengungsian dengan fasilitas yang

seadanya, sumber air (sumur dan sungai) tidak dapat digunakan lagi karena

telah tercampur dengan lumpur, lahan pertanian tidak dapat digunakan lagi,

lahan industri berupa pabrik-pabrik tidak dapat beroperasi lagi dan setidaknya

terdapat 3000 buruh serta karyawan harus kehilangan pekerjaannya karena

pabrik-pabrik tersebut berhenti beroperasi, dan saat ini terganggunya proses

distribusi barang dan transportasi dengan tertutupnya jalan tol Surabaya-

Gempol.

Melihat fakta-fakta di lapangan serta bila dihubungkan dengan unsur-

unsur terjadinya kejahatan lingkungan oleh korporasi, dimana dalam hal ini

korporasi tersebut adalah Lapindo Brantas Inc sebagai pemegang kuasa

Page 56: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

47

pertambangan ekplorasi dan eksplotasi migas di Blok Brantas Kec. Porong

Sidoarjo dari BP Migas, maka penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa unsur-

unsur tersebut telah terpenuhi, baik melalui unsur kesengajaan atau pun kelalaian.

Kedua unsur tersebut dapat digunakan untuk menjerat korporasi kedalam

pembebanan tanggungjawab pidana. Dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup juga terdapat pasal yang menerangkan apabila

dilakukan karena kelalaian korporasi tersebut dapat juga dijadikan pelaku dalam

kejahatan lingkungan hidup.

C. Keputusan Presiden Mengenai Bencana Lapindo

Dalam menangani kasus Bencana Lapindo, Pemerintah telah

mengeluarkan beberapa peraturan. Peraturan-peraturan tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Tim

Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Adapun inti dari

keputusan ini adalah:

a. Membentuk Tim Nasional Penganggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo,

yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut Tim Nasional.

b. Tim Nasional mempunyai tugas untuk mengambil langkah-langkah

operasional secara terpadu dalam rangka penanggulangan semburan lumpur

di Sidoarjo yang meliputi : a. penutupan semburan lumpur; b. penanganan

luapan lumpur; c. penanganan masalah sosial.

Page 57: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

48

c. Biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Tim Nasional dibebankan

pada anggaran PT. Lapindo Brantas.

2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2007 Tentang Badan

Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Adapun inti dari keputusan ini adalah :

a. Pasal 1

(1) Dengan Peraturan Presiden ini dibentuk Badan Penanggulangan Lumpur

Sidoarjo yang selanjutnya disebut Badan Penanggulangan.

(2) Badan Penanggulangan bertugas menangani upaya penanggulangan

semburan lumpur, menangani luapan lumpur, menangani masalah sosial

dan infrastruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo, dengan

memperhatikan risiko lingkungan yang terkecil.

b. Pasal 14

Biaya administrasi Badan Penanggulangan didanai dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) .

c. Pasal 15

(1) Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo

Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan

lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan

peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti

kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang

disahkan oleh Pemerintah.

(2) Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan

dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4

Desember 2006, 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan dimuka dan

sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah

2 (dua) tahun habis.

(3) Biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta area terdampak

tanggal 22 Maret 2007, setelah ditandatanganinya Peraturan Presiden

ini, dibebankan pada APBN

(4) –

(5)

Page 58: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

49

(6) Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur terrnasuk di

dalamnya penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong

dibebankan kepada PT Lapindo Brantas.

(7) Biaya untuk upaya penanganan masalah infrastruktur termasuk

infrastruktur untuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan

kepada APBN dan sumber dana lainnya yang sah.

3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007 Tentang Badan

Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Adapun inti dari keputusan ini adalah :

a. Pasal 15

(1) Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo

Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan

lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan

Peta Area Terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti

kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang

disahkan oleh Pemerintah.

(2) Pembayaran secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk

dalam Peta Area Terdampak tanggal 4 Desember 2006, 20% (dua puluh

per seratus) dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat

sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis.

(3) Dihapus.

(4) –

(5) Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur, termasuk di

dalamnya penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong,

dibebankan kepada PT Lapindo Brantas. (6) Biaya upaya penanganan

masalah infrastruktur, termasuk infrastruktur untuk penanganan luapan

lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan sumber dana lainnya

yang sah.” Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 3 (tiga) pasal,

yakni Pasal 15 A, Pasal 15 B, dan Pasal 15 C yang berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 15 A

Biaya penanganan masalah sosial kemasyarakatan di luar Peta Area

Terdampak tanggal 22 Maret 2007 dibebankan pada APBN.

Page 59: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

50

Pasal 15 B

(1) Wilayah penanganan luapan lumpur di luar Peta Area Terdampak

tanggal 22 Maret 2007 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 A adalah

di Desa Besuki, Desa Pejarakan, dan Desa Kedungcangkring,

Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, dengan batas-batas sebagai

berikut :

sebelah utara : tanggul batas Peta Area Terdampak

sebelah timur : jalan tol ruas Porong – Gempol

sebelah selatan : Kali Porong

sebelah barat : batas Desa Pejarakan dengan Desa Mindi

(2) –

(3) Dalam rangka pengananan masalah sosial kemasyarakatan di wilayah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pembelian tanah dan

bangunan di wilayah tersebut dengan akta jual beli bukti kepemilikan

tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh

Pemerintah.

(4) Jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat khusus sehingga

tidaK berlaku ketentuan dasar perhitungan sebagaimana diatur dalam

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah

bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun

2006.

(5) Pembayaran penanganan masalah sosial kemasyarakatan di wilayah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap dengan

skema 20% (dua puluh per seratus) pada Tahun Anggaran 2008 dan

sisanya mengikuti tahapan setelah dilakukannya pelunasan oleh PT

Lapindo Brantas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2).

(6) Dana penanganan masalah sosial kemasyarakatan yang berupa bantuan

sosial dan pembelian tanah dan bangunan diterimakan kepada

masyarakat di 3 (tiga) desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

besarannya dimusyawarahkan dengan mempertimbangkan rasa keadilan

oleh Badan Pelaksana BPLS dengan mengacu pada besaran yang

dibayarkan oleh PT Lapindo Brantas sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 15.

(7) Tata laksana pembayaran penanganan masalah sosial kemasyarakatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diatur lebih lanjut

oleh Kepala Badan Pelaksana BPLS.

Page 60: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

51

4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 Tentang

Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007 Tentang

Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Adapun inti dari keputusan ini

adalah :

Pasal 9

d. melakukan penanganan luapan lumpur ke Kali Porong

Pasal 15

(5) Dihapus.

(6) Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur, pengaliran lumpur ke

Kali Porong, penanganan infrastruktur, termasuk infrastruktur

penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan

sumber dana lainnya yang sah.

(7) Biaya tindakan mitigasi yang dilakukan oleh Badan Pelaksana BPLS

untuk melindungi keselamatan masyarakat dan infrastruktur dibebankan

kepada APBN

Page 61: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

52

BAB IV

ANALISI KASUS LUMPUR LAPINDO DALAM PERSPEKTIF

HUKUM KORPORASI DAN HUKUM ISLAM

A. Analisis Hukum Korporasi Terhadap Kasus Lumpur Lapindo

Melihat fakta-fakta dilapangan serta bila dihubungkan dengan unsur-unsur

terjadinya kejahatan lingkungan oleh korporasi, dimana dalam hal ini korporasi

tersebut adalah Lapindo Brantas Inc sebagai pemegang kuasa pertambangan

ekplorasi dan eksplotasi migas di Blok Brantas Kec. Porong Sidoarjo dari BP

Migas, maka penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa unsur-unsur tersebut

telah terpenuhi, baik melalui unsur kesengajaan atau pun kelalaian. Kedua unsur

tersebut dapat digunakan untuk menjerat korporasi kedalam pembebanan

tanggungjawab pidana. Dalam UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup juga terdapat pasal yang menerangkan apabila dilakukan

karena kelalaian korporasi tersebut dapat juga dijadikan pelaku dalam kejahatan

lingkungan hidup.

Perbuatan pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas di blok

Brantas yang telah terjadi selama beberapa periode eksplotasi ini telah membuat

Lapindo Brantas menjadi tersangka utama dalam dugaan adanya pelanggaran

terhadap UUPLH sekaligus penerapan sanksi pidana terhadap sangkaan terjadinya

kejahatan korporasi oleh Lapindo Brantas, sampai saat ini menyebab dari

semburan lumpur tersebut masih diselidiki oleh pihak yang berwenang, namun

korban serta lingkungan yang rusak terus bertambah besar dan luas jumlahnya,

Page 62: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

53

tanpa ada yang tahu kapan lumpur tersebut akan berhenti menenggelamkan Kec.

Porong dan sekitarnya. yang sangat jelas terlihat saat ini adalah Lapindo

Brantas/EMP sebagai pemegang hak eksploitasi dan eksplorasi dari BP Migas

telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan,

dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997 hal ini telah melanggar Pasal 41 hingga Pasal

45 undangundang tersebut. Namun tentunya dalam hal Lapindo, jika nantinya

tidak dapat ditemukan bahwa penyebab menyemburnya lumpur yang telah

mengakibatkan bencana ini merupakan kealpaan atau kesengajaan dalam kegiatan

pengeboran sudah tentu Lapindo sebagai korporasi tidak dapat dijatuhi hukuman.

Dan hal ini akan membuat masyarakat yang mencari keadilan akan terkoyak.

Menurut Fredrik J. Pinakunary dalam tulisannya di Harian Koran Kompas,

penerapan sistem tanggung jawab pidana mutlak dapat langsung menempatkan

Lapindo sebagai pelaku kejahatan korporasi lingkungan.1

Berbeda dari sistem tanggung jawab pidana umum yang mengharuskan

adanya unsur kesengajaan atau kealpaan dalam pembuktian sebuah perbuatan

pidana, dalam sistem tanggung jawab pidana mutlak, hanya dibutuhkan

pengetahuan dan perbuatan dari terdakwa, yang artinya adalah dalam melakukan

perbuatan tersebut, terdakwa telah mengetahui atau menyadari potensi hasil dari

perbuatannya dapat merugikan pihak lain, maka keadaan ini telah cukup untuk

menuntut pertanggungjawaban pidana kepadanya. Hal ini tentu saja dapat

dilakukan oleh hakim sebagai living interpretator yang dapat menangkap

semangat keadilan yang hidup ditengahtengah masyarakat dan hakim juga dapat

1Fredrik.J. Pinakunary, Advocates pada Lubis, Santosa & Maulana Law Offices, Lapindo

dan Pidana Mutlak, Koran Kompas, Des 2006

Page 63: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

54

mematahkan kekakuan normatif prosedural undang-undang karena seiring dengan

perkembangan hukum dan beradabnya negara-negara di seluruh dunia, hakim

tidak lagi sekedar hanya mulut atau corong undang-undang

Melihat kenyataan yang terjadi di lapangan saat ini, mustahil bahwa

Lapindo sendiri tidak menyadari bahwa lingkungan sekitar daerah penggalian

migas adalah merupakan pemukiman penduduk dan pabrik-pabrik kecil milik

warga. Polisi sendiri, telah memeriksa setidaknya 6 orang tersangka yang berasal

dari karyawan Lapindo sendiri dan karyawan dari PT. Medici Citra Nusa sebagai

pemegang sub kontrak Drilling (pengeboran) dari pihak Lapindo, pihak

berwenang mengatakan, para tersangka untuk saat ini diancam dengan Pasal 188

KUHP dan Pasal 41 dan Pasal 42 ayat 1e dan 2e UUPLH No.23 Tahun 1997126.

Adapun isi dari Pasal 188 KUHP adalah sebagai berikut :

”Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan kebakaran, ledakan atau

banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau

kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak tiga ratus

rupiah, jika karena timbul bahaya umum bagi barang, jika karenanya

timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karenanya mengakibatkan

matinya orang.”

Bahwa kasus luapan lumpur panas Lapindo Brantas Inc. Merupakan tindak

pidana kejahatan korporasi, karena :

1. Penyebab luapan lumpur diakibatkan karena kesalahan dan kelalaian Lapindo

Brantas Inc. Dalam melakukan pengeboran. Dan juga karena telah melanggar

peraturan mengenai tata ruang dan peraturan lingkungan hidup.

2. Dampak yang diakibatkan adanya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas

yang dilakukan di Blok Brantas oleh Lapindo Brantas Inc. Telah

mengakibatkan terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan di sekitar

Page 64: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

55

wilayah Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo Propinsi Jawa Timur. Dampak

kerusakan tersebut telah mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik, lumpuhnya

sektor ekonomi pertanian dan industri, kerugian social dan budaya masyarakat,

serta penurunan kualitas kehidupan masyarakat terdampak seperti yang selama

ini kita lihat.

Di Indonesia prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate liability)

tidak diatur dalam hukum pidana umum (KUHP), melainkan tersebar dalam

hukum pidana khusus. Tidak dikenalnya prinsip pertanggungjawaban korporasi

dalam KUHP ini dikarenakan subjek tindak pidana yang dikenal dalam KUHP

adalah orang dalam konotasi biologis yang alami (natuurlijke persoon). Di

samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest

dimana badan hukum dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. Dengan

demikian, pemikiran fiksi tentang sifat badan hukum (rechspersoonlijkheid) tidak

berlaku dalam bidang hukum pidana.2

Pentingnya pertanggungjawaban pidana korporasi dapat merujuk kepada

pendapat Elliot dan Quinn. Pertama, tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi,

perusahaan-perusahaan bukan mustahil menghindarkan diri dari peraturan pidana

dan hanya pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang

merupakan kesalahan perusahaan. Kedua, dalam beberapa kasus, demi tujuan

prosedural, lebih mudah untuk menuntut perusahaan daripada para pegawainya.

Ketiga, dalam hal tindak pidana serius, sebuah perusahaan lebih memiliki

kemampuan untuk membayar pidana denda yang dijatuhkan daripada pegawai

2

Rusmana. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Perikanan,

http://www.solusihukum.com/artikel/artikel45.php, diakses tanggal 21 Desember 2014

Page 65: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

56

tersebut. Keempat, ancaman tuntutan pidana terhadap perusahaan dapat

mendorong para pemegang saham untuk mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan

di mana mereka telah menanamkan investasinya. Kelima, apabila sebuah

perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha yang

ilegal,seharusnya perusahaan itu pula yang memikul sanksi atas tindak pidana

yang telah dilakukan bukannya pegawai perusahaan saja. Keenam,

pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaan-perusahaan untuk

menekan pegawainya, baik secara langsung atau tidak langsung,agar para pegawai

itu mengusahakan perolehan laba tidak dari kegiatan usaha yang ilegal. Ketujuh,

publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan itu

dapat berfungsi sebagai pencegah bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan

ilegal,di mana hal ini tidak mungkin terjadi bila yang dituntut itu adalah

pegawainya.3

Mengenai sifat pertanggungjawaban korporasi (badan hukum) dalam

hukum pidana terdapat beberapa cara atau sistem perumusan yang ditempuh oleh

pembuat undang-undang, yaitu:

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurusnyalah yang

bertanggungjawab. Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat (pelaku)

dan penguruslah bertanggungjawab. kepada pengurus dibebankan kewajiban-

kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan tersebut sebenarnya

merupakan kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi

kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat

4

Raspati, Lucky. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, http://raspati.blogspot.com

/2007/06/pertanggungjawaban-pidana-korporasi.html, dipublikasikan tanggal 29 Juni 2007,

Diakses tanggal 21 Desember 2014

Page 66: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

57

suatu alasan yang menghapuskan pidana. Dasar pemikirannya yaitu korporasi

itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran,

melainkan selalu penguruslah yang melakukan tindak pidana itu, dan

karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.

2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab

Dalam hal korporasi sebagai pembuat (pelaku) dan pengurus yang

bertanggungjawab, dipandang dilakukan oleh korporasi yaitu apa yang

dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan

anggaran dasamya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak

pidana yang dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dari badan hukum

tersebut. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah

onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi bertanggungjawab pidana,

terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu.

3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.

Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab

motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu

sendiri. Ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana temyata

tidak cukup karena badan hukum menerima keuntungan dan masyarakat sangat

menderita kerugian atas tindak terlarang tersebut.4

4 Alvi Syahrin. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau

Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidatao Pengukuhan Jabatan Guru Besar, (Medan : USU, 2003), h.

8-9

Page 67: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

58

Menurut Muladi5 bahwa berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi

dan memperhatikan dasar pengalaman pengaturan hukum positif serta pemikiran

yang berkembang maupun kecendrungan internasional, maka

pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hendaknya

memperhatikan hal-hal :

1. Korporasi mencakup baik badan hukum (legal entity) maupun non badan

hukum seperti organisasi dan sebagainya;

2. Korporasi dapat bersifat privat (private juridical entity) dan dapat pula bersifat

publik (public entity);

3. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam

bentuk organisasional, maka orang alamiah (managers, agents, employess) dan

korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (bi-

punishment provision);

4. Terdapat kesalahan manajemen dalam korporasi dan terjadi apa yang

dinamakan breach of a statutory or regulatory provision;

5. Pertanggungjawaban badan hukum dilakukan terlepas dari apakah orang-orang

yang bertanggungjawab di dalam badan hukum tersebut berhasil

diidentifikasikan, dituntut dan dipidana;

Dalam Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UU No.23/1997), telah diatur sanksi pidana (penjara dan

denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran. Selanjutnya, pada

Pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak

5Muladi. “Prinsip-prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam kaitannya Dengan

UU No. 23 Tahun 1997”, Makalah, Seminar Kajian dan Sosialisasi UU No. 23 Tahun 1997,

Semarang : Fakultas Hukum UNDIP, 1998

Page 68: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

59

pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap

mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan

tersebut.6

Mas Achmad Santosa mengatakan, kejahatan korporasi sebagaimana

diatur dalam Pasal 45 dan 46 UU No.23/1997 merupakan rumusan kejahatan

korporasi sebagaimana diatur dalam KUHP Belanda. Jadi korporasi sebagai legal

persoon, dapat dipidana berdasarkan UU No.23/1997. Menurutnya,

pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dari pimpinan korporasi (factual

leader) dan pemberi perintah (instrumention giver), keduanya dapat dikenakan

hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik

atau nyatanya, akan tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu

perusahaan.7

Untuk menentukan siapa-siapa yang bertanggungjawab di antara pengurus

suatu badan hukum yang harus memikul beban pertanggungjawaban pidana

tersebut, harus ditelusuri segi dokumen AMDAL, Izin (lisensi) dan pembagian

tugas pekerjaan dalam jabatan jabatan yang terdapat pada badan hukum

(korporasi) yang bersangkutan. Penelusurab dan dokumen-dokumen tersebut akan

menghasilkan data, informasi dan fakta dampak negatif yang ditimbulkan oleh

kegiatan usaha yang bersangkutan dan sejauhmana pemantauan dan pengendalian

yang telah dilakukan terhadap dampak tersebut. Dari dokumen-dokumen tersebut

dapat diketahui pula, bagaimana hak dan kewajiban pengurus-pengurus

6

http://hukumonline.com/detail.asp?id=11222&cl=Fokus, 2008, Diakses tanggal 21

Desember 2014 7

http://hukumonline.com/detail.asp?id=11222&cl=Fokus, 2008, Diakses tanggal 21

Desember 2014

Page 69: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

60

perusahaan tersebut, untuk memantau, mencegah dan mengendalikan dampak

negatif kegiatan perusahaan. Sehingga dari penelusuran itu, akan nyata pula

apakah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tersebut terjadi karena

kesengajaan atau karena kelalaian.8

Memperhatikan ketentuan Pasal 6 UUPLH yang menetapkan bahwa

kewajiban setiap orang memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta

mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup" dan

"berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai

pengelolaan lingkungan hidup. Ketentuan Pasal 46 UUPLH, menjadikan konsep

pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang lingkungan hidup dikenakan

kepada badan hukum dan para pengurusnya (direktur, para manajer yang

bertanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup perusahaan, bahkan

kepada para pemegang saham maupun para komisaris) secara bersama-sama,

dalam hal kegiatan dan/atau usaha korporasi tersebut menyebabkan terjadinya

pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup.9

Korporasi dapat mengurangi resiko tanggung jawab lingkungan dari

operasi/kegiatannya sehari-hari, dengan cara :

1. memelihara hubungan kerjasama yang baik dengan badan (instansi) yang

melakukan pengawasan lingkungan. Pejabat (instansi) yang melakukan

pengawasan lingkungan bisanya memberikan kesempatan bagi korporasi untuk

memperbaiki pelanggaran yang telah dilakukannya.

8

M. Husein Harun. Lingkungan Hidup Masalah, Pengelolaan dan Penegakan

Hukumnya, (Jakarta: Bumi Aksara,1993), h. 180-181 9 Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau

Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidatao Pengukuhan Jabatan Guru Besar, (Medan : USU, 2003) h.

17-18

Page 70: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

61

2. melakukan perbaikan sesegera mungkin terhadap perberitahuan pelanggaran

yang dilakuakn dan perbaikan tersebut didokumentasikan dengan baik.

3. mencari nasehat hukum sebelum merespon pemeriksaan oleh pejabat (instansi)

yang melakukan pengawasan lingkungan, agar dapat merespon secara tepat

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pejabat (instansi) tersebut.10

Direktur perusahaan tidak dapat melepaskan dirinya dari

pertanggungjawaban pidana dalam hal perusahaan yang dipimpinnya mencemari

dan atau merusak lingkungan. Hal ini merupakan konsekuensi dari ketentuan

Pasal 97 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang

menyatakan bahwa direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan.

Dalam melakukan tugas dan kewajibannya direksi harus melakukan kepengurusan

perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan

perseroan, dan wajib dijalankan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab”.11

Dari ketentuan pasal tersebut jelas terlihat adanya duty of care (tugas

mempedulikan) dari direksi terhadap perusahaan. Dalam hal ini duty of care

adalah antara lain :

1. direktur mempunyai kewajiban untuk pengelolaan perusahaan dengan itikad

baik good faith) dimana direktur tersebut harus melakukan upaya yang terbaik

dalam pengelolaan perusahaan sesuai dengan kehati-hatian (care) sebagaimana

orang biasa yang harus berhati-hati;

10

Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau

Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidatao Pengukuhan Jabatan Guru Besar, (Medan : USU, 2003) h.

17-18 11

Sutan Remy Sjahdeini. Hukum Kepailitan, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2002), h.

425

Page 71: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

62

2. kewajiban atas standar kehati-hatian ditentukan oleh kewajiban seorang

direktur ssuai dengan penyelidikan yang rasional.12

Kegagalan untuk melaksanakan duty of care tersebut dengan sendirinya

merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duty tanpa memperhatikan apakah

perbuatan tersebut sebenernya menimbulkan kerugian pada pemberi fiducia, oleh

karena pemegang kepercayaan diharuskan untuk menerapkan standar perilaku

yang lebih tinggi dan dapat diminta pertanggungjawabannya berdasarkan doktrin

constructive fraud untuk pelanggaran fiduciary duty.13

Dengan demikian direktur tidak dapat melepaskan diri dari

pertanggungjawaban pidana dalam hal terjadinya pencemaran dan atau kerusakan

lingkungan. Hal ini disebabkan direksi memiliki “kemampuan” dan “kewajiban”

untuk mengawasi kegiatan korporasi termasuk kewajiban untuk melakukan

pelestarian fungsi lingkungan hidup.14

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Kasus Lumpur Lapindo.

1. Konsep Pertanggungjawaban Bisnis Dalam Islam

Tanggung jawab dalam bahasa Arab semakna dengan kata (مسؤلية)

yaitu pertanggungjawaban, (ضبخ) yaitu pertanggungan.15

12

Alvi Syahrin. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau

Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidatao Pengukuhan Jabatan Guru Besar, (Medan : USU, 2003) h.

21 13

Alvi Syahrin. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau

Kerusakan Lingkungan Hidup Pidatao Pengukuhan Jabatan Guru Besar, (Medan : USU, 2003), h.

21 14

Alvi Syahrin. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau

Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidatao Pengukuhan Jabatan Guru Besar, (Medan : USU, 2003) h.

21 15

Asod M. Alkalali, Kamus Indonesia Arab, (Jakarta, Bulan Bintang, 1987), h. 544.

Page 72: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

63

Tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu

keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa) boleh

dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya.16

Menurut pengertian dari beberapa pakar bahwa tanggung jawab

mempunyai arti sebagai berikut:

a. K. Bertens, memberikan definisi sebagai berikut: “Bertanggung jawab

berarti dapat menjawab, bila ditanyai tentang perbuatan-perbuatan yang

dilakukan. Orang yang bertanggung jawab dapat diminta penjelasan

tentang tingkah lakunya dan bukan saja ia bisa menjawab melainkan ia

harus menjawab. Tanggung jawab berarti bahwa orang tidak boleh

mengelak, bila diminta penjelasan tentang perbuatannya. Jawaban itu

harus diberikan kepada diri sendiri, masyarakat dan Tuhan”.17

b. Peter Pratley, memberikan definisi sebagai berikut:“Tanggung jawab

pribadi adalah bahwa seseorang hanya bertanggung jawab untuk hal-hal

yang ia betul-betul rencanakan dan lakukan, tidak untuk apa yang terjadi

sesudahnya. Jadi seseorang hanya bertanggung jawab untuk tujuannya

dan apa yang dia lakukan, tetapi tidak untuk kejadian yang terkait serta

kejahatan dan kerusakan berikutnya. Apa yang terjadi sesudahnya tidak

pernah hanya disebabkan oleh satu pelaku, tetapi dianggap sebagai akibat

dari hubungan yang rumit antara beberapa unsur, sarana dan keadaan”.18

16

Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta : Balai

Pustaka , 1994), h. 104. 17

K. Bertens, Etika, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 125. 18

Peter Pratley, The Essens of Business Ethics, Telah Diterjemahkan oleh Gunawan

Prasetio, Etika Bisnis, (Yogyakarta : Penerbit Andi Kerja sama dengan Simon & Schuster (Asia),

1997), h. 104.

Page 73: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

64

c. Drs. O. P. Simarangkir, mendefinisikan sebagai berikut:“Tanggung

jawab adalah kewajiban menaggung atau memikul segala-galanya yang

menjadi tugas, dengan segala akibat dari tindakan yang baik maupun

yang buruk. Dalam hal tindakan atau perbuatan yang baik, maka

tanggung jawab berarti menjalankan kewajiban atau perbuatan-perbuatan

itu dengan baik. Dalam hal ini tindakan atau perbuatan yang buruk maka

tanggung jawab berarti wajib memikul akibat tindakan atau perbuatan

yang buruk itu”.19

d. Syed Nawab Haider Naqvi, beliau mendefinisikan sebagai berikut:

“Pertangungjawaban merupakan suatu prinsip dinamis yang berhubungan

dengan perilaku manusia. Manusia harus berkembang untuk mencapai

kesempurnaan, dan seseorang tak perlu harus terikat dengan masa

lampaunya ataupun terkurung dalam batas-batas masanya”.20

e. Rafik Issa Beckun, seperti dikutip Muhammad, R. Lukman Fauroni,

mendefinisikan sebagai berikut: “Konsepsi tanggung jawab dalam Islam

mempunyai sifat berlapis ganda dan terfokus baik pada tingkat mikro

(individual) maupun tingkat makro (organisasi dan sosial) yang keduanya

harus dilakukan secara bersamasama.”21

19

O.P. Simorangkir, Etika Bisnis Jabatan dan Perbankan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003),

h. 150. 20

Syed Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economics An Islamic Synthesis, Diterjemahkan

oleh Husain Anis dan Asep Nikmat, (Bandung : Mizan, 1985), h. 87. 21

Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al-Qur‟an tentang Etika dan Bisnis, (Yogyakarta

: Salemba Diniyah, 2002), h. 17.

Page 74: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

65

Dari pengertian beberapa pakar tersebut, dapat dibedakan sebagai

berikut :

a. K. Bertens, memberikan kriteria tanggung jawab atas perbuatan yang

dilakukan. Jawaban itu diberikan kepada diri sendiri, masyarakat, dan

Tuhan.

b. Peter pratley, memberikan kriteria tanggung jawab pribadi yaitu

seseorang bertanggung jawab atas sesuatu yang direncanakan dan

dilakukan.

c. Drs. O.P Simorangkir, memberikan kriteria tanggung jawab yaitu

kewajiban menanggung tugas dengan segala akibat yang baik maupun

yang buruk.

d. Syed Nawab Haider Naqvi, memberikan kriteria tanggung jawab yaitu

perbuatan yang berhubungan dengan perilaku manusia.

e. Rafik Issa Beekun, memberikan kriteria tanggung jawab mikro maupun

makro yang harus dilaksanakan secara bersama-sama.

Bila ditelusuri dalam Al-Qur‟an maupun Hadits dasar hukum

mengenai tanggung jawab bisnis secara tekstual tidak ditemukan akan tetapi

jika ditelusuri lebih jauh dari segi kontekstual maka secara tersirat terdapat

di dalamnya.

Adapun dasar hukum tanggung jawab bisnis, di antaranya sebagai

berikut:

Page 75: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

66

a. Prinsip Kesatuan

Kesatuan di sini adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan

dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek-aspek

kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi

suatu keseluruhan yang homogen serta mementingkan konsep konsistensi

dan keteraturan yang menyeluruh.22

Produsen tidak akan berlaku serakah

karena pada hakekatnya harta yang dimilikinya, merupakan amanat.

Dalam bidang ekonomi dan bisnis amanat merupaka niat atau itikad yang

perlu diperhatikan, baik dalam mengelola sumber-sumber alam dan

manusia secara makro, maupun dalam mengemudikan suatu perusahaan.

Banyak ayat atau hadits yang menunjukkan demikian antara lain firman

Allah dalam Al-Qur‟an :

طشح ي ق انقبطش ان انج انسبء اد ي نهبط حت انش ص

انحشث رنك عبو ال يخ س م ان انخ خ انفض ب انزت يتبع انحبح انذ

آة ان ذ حس ع للا Artinya : “Dijadikan indah pada (pandangan ) manusia kecintaan kepada

apa-apa yang diingininya, yaitu : wanita-wanita, anak-anak,

harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan

binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah

kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat

kembali yang baik (surga).23

(Q.S. Ali Imran:14)

Diperhiaskan bagi manusia kesukaan kepada barang yang

diingini. Di sini telah terdapat tiga kata. Pertama, Zuyyina, artinya

diperhiaskan. Maksudnya segala barang yang diingini itu ada baiknya

dan ada buruknya, tetapi apabila keinginan telah timbul yang kelihatan

22

Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al-Qur‟an tentang Etika dan Bisnis,h. 11 23

Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara

Penterjemah/Pentafsir Al-Qur‟an, Jakarta : 1971), h. 77

Page 76: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

67

hanyalah baiknya saja dan lupa akan buruknya. Kata kedua ialah Hubb,

artinya kesukaan atau kecintaan. Kata ketiga ialah Syahwat, yaitu

keinginan-keinginan yang menimbulkan selera yang menarik nafsu untuk

memilikinya. Maka disebutkan di sini enam macam hal yang manusia

sangat menyukainya, karena ingin mempunyai dan menguasainya,

sehingga yang nampak oleh manusia hanyalah keuntungan saja tanpa

mempedulikan kesusahannya.

Manusia semuanya mempunyai keinginan terhadap harta.

Keinginan terhadap harta tidaklah terbatas padahal hidup itu terbatas.

Kalau manusia tidak membatasi seleranya sampai mati dia tidak akan

merasa puas dengan yang ada. Sehingga manusia menumpahkan seluruh

tujuan hidup untuk itu sehingga lupa akan yang lebih penting. Oleh sebab

itu Allah memberi peringatan dengan lanjutan ayat yang demikian itulah

perhiasan hidup di dunia. Tegasnya bahwasannya semua itu hanyalah

perhiasan hidup di dunia niscaya usianya akan habis untuk itu, sedangkan

perhiasan untuk di akhirat kelak dia tidak sedia. Padahal di belakang

hidup yang sekarang ini ada lagi hidup yang akan dihadapi, yakni

kehidupan akhirat. Allah menegaskan namun di sisi Allah ada (lagi)

sebaik-baik tempat kembali. Di ujung ayat diterangkan bahwa ada lagi

yang lebih penting sebab selama hidup di dunia kita pasti kembali kepada

Allah.24

24

Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD

1999). h. 719-725.

Page 77: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

68

Dalam kehidupan didunia, seseorang mempunyai tanggung jawab

pada dirinya, keluarga, masyarakat dan negara. Bahkan

bertanggungjawab kepada agamanya. Tanggung jawab ini digariskan

oleh Allah dan dipertanggungjawabkan pula kepada-Nya. Karena itu niat

bekerja atau berusaha harus didasarkan karena Allah. Bila niat ditujukan

karena Allah, maka akan memiliki dimensi ibadah, yang tentunya akan

mendapatkan imbalan pahala dari Allah, di samping imbalan material

karena usahanya.25

Dengan prinsip ini, maka pengusaha muslim selalu memantapkan

itikad baiknya dalam melakukan usaha dagangnya. Tujuan dan cita-

citanya bukanlah sekedar memperoleh laba yang menggembirakan,

melainkan tertuju pula kepada suatu harapan yang lebih mulia. Usahanya

itu karena Allah. apabila ia memperoleh laba, maka keuntungannya itu

akan digunakan pada jalur yang diridhai Allah sebagai sarana taqarrub

kepada-Nya. Itikad baiknya itulah yang membawa dia kepada

keberkahan usahanya.26

b. Prinsip Keseimbangan (keadilan)

Keseimbangan atau keadilan menggambarkan dimensi horizontal

ajaran Islam yang berhubungan dengan keseluruhan harmoni pada alam

semesta. Sifat keseimbangan atau keadilan bukan hanya sekedar

25

Rusydi , “Etos Kerja dan Etika Usaha Perspektif Al-Qur‟an “, dalam Firdaus Effendi

(eds.) Nilai dan Makna Kerja dalam Islam, (Jakarta : Nuansa Madani, 1999), h. 101 26

Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 429

Page 78: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

69

karakteristik alami. Melainkan merupakan karakteristik dinamis yang

harus diperjuangkan oleh setiap muslim dalam kehidupannya.27

Perilaku keseimbangan dan keadilan dalam bisnis secara tegas

dijelaskan dalam konteks bisnis klasik agar pengusaha muslim

menyempurnakan takaran bila menakar dan menimbang dengan neraca

yang benar, karena hal itu merupakan perilaku yang terbaik dan

membawa akibat yang baik. Sebagaimana dalam firman Allah dalam Al-

Qur‟an :

ل تؤ أحس ش ستقى رنك خ صا ثبنقسطبط ان م إرا كهتى فا انك أ

Artinya: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan

timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama

(bagimu) dan lebih baik akibatnya.”28

(Q.S Al-Israa : 35)

Ditegaskan di dalam ayat ini supaya seorang mu‟min hendaklah

secara jujur menggunakan timbangan. Jangan ada tipu, jangan sampai

merugikan. Itulah yang baik sebab dengan begitu ada rasa tenteram pada

kedua belah pihak baik penjual maupun pembeli. Keuntungan yang

didapat ialah dengan kejujuran. Dan kejujuran itulah inti kekayaan yang

sejati yang membawa kemakmuran. Ahli ekonomi modern pun sampai

kepada kesimpulan bahwa yang baik itu ialah yang tegak di atas

kejujuran. Sebaik-baik kesudahan adalah kemakmuran yang merata,

27

Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al-Qur‟an tentang Etika dan Bisnis, h . 12. 28

Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 429

Page 79: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

70

itulah tujuan masyarakat yang dikehendaki Islam. Ekonomi Islam dapat

tercapai dengan sebenarnya kalau didasarkan atas kejujuran.29

Pada struktur ekonomi dan bisnis, agar kualitas keseimbangan

dapat mengendalikan semua tindakan manusia maka adanya prinsip

keseimbangan menghindari pemusatan kekuasaan ekonomi dan bisnis

dalam genggaman segelintir orang. Sebagaimana firman Allah dalam

Al-Qur‟an :

نز انقشث سل نهش م انقش فهه أ ي عه سسن يب أفبء للا

دنخ ث ل ك جم ك انس اث سبك ان انتبي يب كى الغبء ي

شذذ للا إ اتقا للا تا فب يب بكى ع سل فخز ءاتبكى انش

انعقبة

Artinya : “Apa saja harta rampasan (fa‟i) yang diberikan Allah kepada

Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah

untuk Allah, Rasul, Kerabat Rasul, orang-orang yang dalam

perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara

orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan

Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang

dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah

kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-

Nya.30

(Q.S. Al-Hasyr : 7)

Mengapa harta itu dibagi demikian rupa, supaya dia jangan hanya

beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu. Telah menjadi

kebiasaan di zaman jahiliyah jika terjadi peperangan dan musuh dapat

dikalahkan maka yang pertama berhak atas harta benda itu hanyalah para

pemimpin saja. Adapun para prajurit hanya diberi sekedar belas kasihan

29

Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 4056-4057 30

Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, h.916

Page 80: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

71

dari pemimpin yang telah kaya. Janganlah yang kaya bertambah kaya dan

yang miskin hanya menyaksikan kekayaan orang yang sudah kaya.31

c. Prinsip Kehendak Bebas/Ikhtiyar

Prinsip kehendak bebas memberikan keleluasaan untuk membuat

transaksi sesuai dengan daya dan kemampuan yang dimilikinya. Namun

bukan bebas dalam pengertian sebebas-bebasnya, karena hal ini

berhubungan dengan pertanggungjawaban. Dengan adanya konsep

kehendak bebas yang bertanggungjawab, secara logis menuntut suatu

keadilan dan selalu berupaya mempertahankan kualitas keseimbangan

dalam masyarakat bisnis maupun masyarakat lain.32

Kebebasan di sini dalam pengertian bahwa secara sadar dan tanpa

adanya paksaan pada pelaku bisnis mengoptimalkan upaya-upaya

bisnisnya. pada konteks ini karena berada dalam kesadaran maka

membuat suatu transaksi atau perjanjian bisnis yang dibuatnya, maka ia

harus dapat memenuhi semua janji-janji tersebut sebagaimana firman

Allah dalam al-Qur‟an :

ذ فا ثبنع أ حت جهغ أشذ أحس ل تقشثا يبل انتى إل ثبنت يسئل إ ذ كب انع

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuali

dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai dia dewasa

dan penuhilah janji sesungguhnya janji itu pasti akan diminta

pertanggungjawabannya.” (Al-Israa : 34). 33

31

Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 7257 32

Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al-Qur‟an tentang Etika dan Bisnis, h. 125 33

Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 429

Page 81: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

72

Di ujung ayat ini diperingatkan bahwa hidup manusia didunia ini

selalu terikat dengan janji-janji. Maka janganlah mudah membuat janji,

kalau janji itu tidak akan terpenuhi. Di dalam janji terkandung amanat.

Dan Tuhan pun memberikan didikan untuk memenuhi janji itu pada

kehidupan sehari-hari. Kalau kita telah biasa memenuhi janji dengan

Allah niscaya kita biasa memenuhi janji dengan sesama manusia. Di

ujung ayat ditegaskan bahwa setiap perjanjian itu akan ditanya, artinya

akan dipertanggungjawabkan.34

Suatu transaksi atau perjanjian bisnis walaupun secara nyata

berhubungan dengan sesama tetapi pada hakekatnya merupakan

perjanjian dengan masyarakat, negara dan bahkan Allah. Inilah salah satu

makna prinsip kebebasan dan pertanggungjawaban.

d. Prinsip Kebenaran, Kebajikan dan Kejujuran.

Dari sikap kebenaran, kebajikan dan kejujuran, maka suatu bisnis

secara otomatis akan melahirkan persaudaraan. Kemitraan antara pihak

yang berkepentingan dalam bisnis yang saling menguntungkan, tanpa

adanya kerugian dan penyesalan sedikitpun. Bukan melahirkan situasi

dan kondisi permusuhan dan perselisihan yang diwarnai dengan

kecurangan. Dengan demikian kebenaran, kebajikan dan kejujuran dalam

semua proses bisnis akan dilakukan secara transparan dan tidak ada

rekayasa.35

34

Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 4055.

35

Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al-Qur‟an tentang Etika dan Bisnis, h .21

Page 82: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

73

Dengan prinsip kebenaran ini, maka etika bisnis Islam sangat

menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian

salah satu pihak yang melakukan transaksi, kerja sama, atau perjanjian

dalam bisnis. Al-Qur‟an menegaskan agar dalam bisnis tidak dilakukan

dengan cara-cara yang mengandung kebathilan, kerusakan, dan

kedhaliman, sebaliknya harus dilakukan dengan kesadaran dan

kesukarelaan.36

Suatu kaidah yang merupakan sumber dalam pelaksanaan hukum

mengenai pertanggungjawaban perdata dan penuntutan terhadap

pelanggaran, merupakan suatu dasar bagi kaidah umum yang sudah tetap

sebagai suatu pokok dari pokok-pokok syari‟at Islam yang telah diakui

oleh semua golongan.37

Kaidah tersebut adalah :

ل ضشس ل ضشسArtinya: “Tidak dibolehkan timbulnya kerusakan (kerugian) dan tidak

boleh pula adanya perusakan.”

انضشسضال Artinya: “Kerugian harus ditiadakan.”

انضشس يشفع ثقذس اليكب Artinya: “Kerugian harus ditolak semaksimal mungkin.”

انضشس انحبضش تحم نذفع انضشس انعبو Artinya:“Kerugian bagi orang-orang tertentu boleh dilakukan demi

untuk menghindarkan kerugian bagi umum.”

36

Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al-Qur‟an tentang Etika dan Bisnis, h. 22 37

Mahmud Sjaltout, Al-Islam Aqidah wa Syari‟ah, diterjemahkan oleh H. Bustami A.

Gani, Djohar Bahry L.I.S, “Islam Sebagai Akidah dan Syari‟ah”, Jilid IV, (Jakarta : Bulan

Bintang, 1970), h. 95

Page 83: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

74

Kaidah-kaidah ini mempunyai pengaruh besar dalam

pelaksanaanprinsip-prinsip pertanggungjawaban mengenai sesuatu

kerusakan ataukerugian, di samping besar pula pengaruhnya dalam

menolakpertanggungjwaban.

2. Konsep Ekonomi Islam tentang Pemeliharaan Lingkungan

Seyyed Hossein Nasr mengkritik budaya materialisme yang melekat

dalam perilaku ekonomi negara-negara maju. Menurutnya, peniadaan

sakralitas dalam era modern merupakan salah satu faktor utama terjadinya

krisis ekologi dan proses dehumanisasi yang menyertainya seperti yang

diderita oleh manusia dewasa ini.38

Secara artikulatif, Nasr membongkar

akar-akar budaya modernitas yang dianggapnya sebagai penyebab

tercerabutnya pandangan tradisional religius terhadap alam semesta, yakni

alam sebagai tanda-tanda kebesaran Tuhan.39

Berbeda dari wacana dan corak kritik terhadap modernitas yang

akhir-akhir ini banyak dilontarkan oleh berbagai kelompok studi yang sering

kali terlepas atau terhenti pada aspek kognitif-konseptual, kritik dan koreksi

yang dilontarkan oleh kelompok agama-agama, menurut Amin Abdullah,

mempunyai dimensi praktis. Konsepsi yang ditawarkan oleh agama

biasanya lebih menitikberatkan kepada dimensi praktis (tingkah manusia).40

Lebih jauh, menurutnya, Al-Qur‟an lebih banyak ditujukan kepada manusia

dan tingkah lakunya, dan bukan ditujukan kepada Tuhan. Kritik dan koreksi

38

Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Second, (Lahore: Suhail Academy Press.

1988), h. 6. 39

Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Second, h. 75. 40

M. Amin Abdullah, “Pelestarian Lingkungan Hidup Perspektif Islam,” dalam

Khazanah, Vol. 2 No. 7, Januari-Juli 2005, h.116

Page 84: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

75

terhadap rasio modernitas yang dihubungkan secara langsung dengan

bimbingan tingkah laku yang bersifat praktis-imperatif merupakan ciri kritik

kelompok agama-agama terhadap teori dan budaya modernitas. Dengan kata

lain, keterkaitan antara dimensi intelektual dan praktikal, antara teori dan

praktis, seharusnya lebih mewarnai corak pemikiran keagamaan. Upaya

untuk menyatukan pemikiran dan perbuatan merupakan problem yang

begitu mendasar dalam diskursus filsafat kontemporer.41

Etika dalam Islam tidaklah didasari oleh nilai-nilai yang terpisah,

dimana setiap nilai, seperti kejujuran dan kebenaran, berdiri terisolasi dari

yang lain. Namun, nilai dalam Islam adalah bagian dari cara hidup yang

komprehensif dan total, yang memberikan petunjuk dan kontrol dari

kegiatan manusia. Kejujuran adalah nilai etis, seperti juga menjaga

kehidupan, menjaga lingkungan, dan memelihara perkembangan di dalam

yang diperintahkan oleh Allah. Ketika Aisyah, istri Nabi Muhammad

ditanya mengenai etika nabi, dia menjawab: “Etika Nabi adalah seluruh Al-

Qur‟an”. Al-Qur‟an tidak mengandung nilai-nilai etika yang terpisah-pisah;

sebaliknya, ia mengandung instruksi untuk cara hidup yang menyeluruh

sebagai worldview. Di dalamnya terdapat prinsip-prinsip politik, sosial dan

ekonomi berdampingan dengan instruksi untuk perlindungan alam.

Dalam Islam, hubungan antara individu dengan lingkungan

dibangun oleh persepsi moral tertentu. Ini berangkat dari penciptaan

manusia dan peran yang diberikan oleh Allah kepada mereka di atas bumi

41

M. Amin Abdullah, “Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama: Tinjauan Pertautan

antara “Teori” dan “Praxis”, dalam Al-Jami‟ah, No. 46, 1991, h. 91-92.

Page 85: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

76

(Khalifat Allah fi al-‟Ardl). Dari awal manusia memang tidak dapat

dipisahkan dari alam. Bahkan ditegaskan bahwa ”…Allah telah membuat

kamu tumbuh dari bumi, dan kemudian mengembalikan kamu kepadanya,

dan dia akan membuat lagi yang baru. Dan Allah telah membuat bumi

sangat luas sehingga kamu dapat berjalan di atasnya.” (71:17-20). Dengan

demikian, bumi dan komponen-komponennya yang beraneka ragam

diciptakan oleh Allah di mana manusia adalah bagian penting dari

ciptaanNya tersebut.

Peran manusia tidak hanya untuk menikmati, menggunakan dan

memanfaatkan lingkungan, namun juga dituntut untuk menjaga keselarasan

alam yang telah diciptakan oleh Allah. Dalam hal ini, keselarasan tersebut

terdiskripsikan dalam al-Qur‟an: ”Bukankah Dia yang telah membuat bumi

tempat yang stabil, dan menempatkan sungai-sungai di atasnya, dan

menempatkan gunung-gunung di atasnya, dan telah menempatkan pemisah

antara dua lautan? Adakah Tuhan selain Allah? Tidak, tetapi kebanyakan

mereka tidak tahu!” (27:61)

Menurut Quraish Shihab, etika pengelolaan lingkungan dalam Islam

adalah mencari keselarasan dengan alam, sehingga manusia tidak hanya

memikirkan kepentingan diri sendiri, namun menjaga lingkungan dari

kerusakan. Setiap kerusakan lingkungan haruslah dilihat sebagai perusakan

terhadap diri. Sikap ini, kata Shihab, berbeda dengan sikap sebagian

teknokrat yang memandang alam sebagai alat untuk mencapai tujuan

Page 86: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

77

konsumtif.42

Secara praksis, tuntutan moral Islam untuk menjaga

keselarasan alam adalah larangan berperilaku serakah dan menyia-nyiakan

(tabdzir).

Sebagai ciptaan yang lebih rendah daripada manusia, alam ini

disediakan oleh Tuhan bagi kepentingan manusia untuk kesejahteraan

hidupnya, baik yang bersifat spiritual maupun yang bersifat material. Al-

Qur‟an menggambarkan: ”Dialah yang telah membuat bumi patuh

kepadamu, maka berjalanlah dan makanlah dari yang tersedia” (67:15);

Bumi juga dilukiskan sebagai tempat yang menerima: ”Kami tidak membuat

bumi melainkan sebagai tempat bagi yang hidup maupun yang mati”

(77:25-26). Bahkan lebih penting lagi, yakni sebagai pemenuhan kebutuhan

manusia yang bersifat spiritual, bumi dianggap sebagai sesuatu yang suci

dan tempat untuk beribadat kepada Allah. Nabi Muhammad berkata: ”Bumi

dibuat untukku (dan umat Islam) sebagai tempat sembahyang dan untuk

mensucikan.” Ini artinya bahwa bumi pada dasarnya adalah tempat yang

suci, bahkan tanah (debu) dapat digunakan untuk bersuci (ketika tidak ada

air).

Manusia harus mengamati alam raya ini dengan penuh apresiasi,

baik dalam kaitannya dengan keseluruhannya yang utuh maupun dalam

kaitannya dengan bagiannya yang tertentu, semuanya sebagai ”manifestasi”

Tuhan (perkataan Arab ‟alam memang bermakna asal ”manifestasi”), guna

menghayati keagungan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai dasar peningkatan

42

Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Jakarta: Mizan, 2005), h. 296-7

Page 87: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

78

kesejahteraan spiritualitas. Dengan memperhatikan alam itu, terutama gejala

spesifiknya, manusia dapat menemukan patokan dalam usaha

memanfaatkannya (sebagai dasar kesejahteraan material, melalui ilmu

pengetahuan dan teknologi). Dengan prinsip ini, manusia dapat mengemban

tugas membangun dunia ini dan memeliharanya sesuai dengan hukum-

hukumnya yang berlaku dalam keseluruhannya secara utuh (tidak hanya

dalam bagiannya secara parsial semata), demi usaha mencapai kualitas

hidup yang lebih tinggi. Di sinilah letak relevansi keimanan untuk wawasan

lingkungan, atau environmentalism.

3. Analisis Kasus Lumpur Lapindo Menurut Hukum Islam

Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam sudut Syari‟at Islam

adalah pembebasan seseorang dengan hasil akibat perbuatan atau tidak

perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia

mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatan itu.

Pertanggungjawaban pidana tersebut ditegakkan atas tiga hal : pertama

adanya perbuatan yang dilarang, kedua dikerjakan dengan kemauan sendiri,

ketiga pembuatnya mengetahi akibat perbuatannya tersebut.43

Dengan adanya syarat-syarat tersebut, maka kita dapat mengetahui

bahwa yang dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana hanya

manusia, yaitu manusia yang berakal pikiran, dewasa dan berkemauan

sendiri. Oleh karena itu tidak ada pertanggungjawaban bagi kanak-kanak,

43

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006) cet ke-2,

h. 119

Page 88: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

79

orang gila, orang dungu, orang yang sudah hilang kemauannya dan orang

yang dipaksa atau terpaksa.44

Adanya perbuatan yang dilarang berdasarkan adanya peraturan yang

kita kenal dengan asas legalitas dalam Hukum Pidana Islam dapat kita

ketahui dari salah satu kaidah dalam Islam yaitu :

حكى لفعبل انعقلء قجم سد انصل Artinya: ”Sebelum ada nash, maka tidak ada hukum bagi perbuatan orang-

orang yang berakal sehat”.45

Pengertian dari kaidah ini bahwa perbuatan orang-orang yang cakap

(mukallaf) tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dilarang, selama

belum ada nash (ketentuan) yang melarangnya dan ia mempunyai kebebasan

untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya sehingga ada nash

yang melarangnya.

Pengertian kaidah tersebut diatas identik dengan kaidah lain

berbunyi:

الصم ف الشبء اإلثبحخ إل انذنم عه تحشArtinya :”Pada dasarnya semua perkara dibolehkan sehingga ada dalil yan

menunjukkan keharamannya”46

Kaidah tersebut mempunyai pengertian bahwa semua sifat dan

perbuatan tidak diperbolehkan dengan kebolehan asli, artinya bukan oleh

kebolehan yang dinyatakan oleh syara‟. Dengan demikian selama tidak ada

nash yang melarangnya maka tidak ada tuntutan terhadap semua perbuatan

44

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006) cet ke-2,

h. 119 45

Abdul Qadir Audah, „At Tasyri‟ Al Jina‟iy Al Islamiy, Juz I, (Beirut: Daar Al-Kitab, t.t,),

h. 115 atau Lihat : Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam –Fikih

Jinayah- (Jakarta, Media Grafika, 2006) Cet ke-2 h. 29 46

Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, h. 30

Page 89: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

80

dan sikap tidak berbuat tersebut. Kita dapat melihat hal ini dari kaidah lain

yang berbunyi :

ل كهف ششعب إل ي كب قبدسا عه فى دنم انتكهف أل نى كهف ث ل

نهكهف يعهو ن عهبحه عه ايتثبنكهف ششعب إل ثفعم يك يقذس

Artinya: ”Menurut syara‟ seseorang tidak dapat diberi pembebanan (taklif)

kecuali apabila ia mampu memahami dalil dalil taklif dan cakap

untuk mengerjakannya. Dan menurut syara‟ pula seseorang tidak

dibebanitaklif kecuali dengan pekerjaan yang mungkin

dilaksanakan dan disanggupi serta diketahui oleh mukallaf dengan

pengetahuan yang bisa mendorongnya untuk melakukan perbuatan

tersebut”.47

Kaidah ini menyatakan tentang syarat-syarat yang harus terdapat

pada pelaku dalam kedudukannya sebagai orang yang bertanggung jawab

dan pada perbuatan yang diperintahkan, adapun syarat untuk pelaku

mukallaf itu ada dua macam : pertama pelaku sanggup memahami nash-

nash syara‟ yang berisi hukum taklifi; kedua pelaku orang yang pantas

dimintai pertanggungjawaban dan dijatuhi hukuman Sedangkan syarat untuk

perbuatan yang diperintahkan ada tiga macam : pertamaPerbuatan itu

mungkin dikerjakan, kedua, perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf, yakni

ada dalam jangkauan kemampuan mukallaf, baik untuk mengerjakannya

maupun untuk meninggalkannya, ketiga perbuatan tersebut diketahui

mukalaf dengan sempurna.48

Asas legalitas yang didasarkan kaidah tersebut diatas bersumberkan

dari Al-Qu‟ran. Beberapa diantaranya dapat kita temukan pada Surat Al-

47

Abdul Qadir Audah, „At Tasyri‟ Al Jina‟iy Al Islamiy, (Beirut: Daar Al-Kitab, t.t,) h.

116 48

Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam h. 31 atau lihat : Ahmad Hanafi,

Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006) cet ke-2, h. 48

Page 90: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

81

Israa‟ ayat 15, Surat Al-Baqarah ayat 286, dan dalam konteks pencurian

pada Surat Al-Maidah ayat 38. Surat Al-Israa‟ ayat 15

يب كب يع حت جعج سسل ث زArtinya: ”Dan kami tidak menghukum manusia sebelum kami mengutus

seorang rasul”. (QS. Al-Israa‟ : 15)

ى ءابتب ب سسل ته عه هك انقش حت جعج ف أي سثك ي يب كب

Artinya: ”Dan tidaklah tuhanmu menghancurkan kota-kota sebelum

diamengutus di ibukotanya, seorang rasul yang membacakan ayat-

ayat kami”. (QS. Al-Qashash: 59)

Dari ayat tersebut Ibnu Katsir, Thabari, al-Qurthubi, al-Maraghi, dan

Ali As-Shabuni menyimpulkan bahwa hukuman Allah hanya berlaku manakala

sudah didahului argumentasi yang telah ditetapkan dan disampaikan oleh para

rasul-Nya. Ini sebagai landasan normative bahwa hukum Allah semata-mata

keadilan bagi manusia sendiri. Dan setiap orang akan menerima sanksi hukum

akibat perbuatannya sendiri.49

Berdasarkan pesan inti ayat ini, para pakar hukum Islam (fuqaha),

menetapkan asas hukum pidana Islam yang berbunyi: la jarimata wala

'uqubata qabla wurudi an- nash (tidak ada suatu tindak pidana dan tidak ada

sanksi hukum selama belum ada ketentuan teks hukumnya).

Konsekuensi asas legalitas ini adalah bahwa tiada suatu perbuatan boleh

dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh

suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat

menjatuhkan pidana hanya terhadap orang yang melakukan perbuatan setelah

49

Muhammad Ali As-Shabuni, Shafwah At-Tafasir (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), jld. 2, h.

440-441

Page 91: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

82

dinyatakan sebelumnya sebagai tindak pidana. Dengan demikian, pada

dasarnya asas legalitas hukum Islam bukan berdasarkan akal manusia, tetapi dari

ketentuan Tuhan.

Asas legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan jenishudud

dengan sanksi hukum yang pasti. Asas ini juga diterapkan bagi kejahatan

qishash dan diyat dengan diletakkannya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai.

Karena itu, asas ini diyakini penuh berlaku untuk kedua kategori kejahatan

tersebut.

Dalam pandangan Nagaty Sanad, profesor hukum pidana dari Mesir,

asas legalitas dalam hukum Islam yang berlaku bagi kejahatan ta'zir merupakan

asas yang paling fleksibel, dibandingkan dengan asas lainnya.Hukum Islam

di samping menerapkan asas legalitas ini, juga melindungi kepentingan dua

kategori sebelumnya: ia menyeimbangan antara hak-hak individu, keluarga

dan masyarakat melalui kategorisasi kejahatan dan sanksinya.50

Sejak semula syariat Islam sudah mengenal badan hukum. Hal ini

terbukti dari kenyataan bahwa para fuqaha mengenalkan baitul mal

(perbendaharaan negara) sebagai “badan” (jihat) yakni badan hukum

(syaksunma‟nawi), Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa para fuqaha

mengenalkan baitul mal (perbendaharaan negara) demikian juga dengan

sekolahan-sekolahan dan rumah sakit-rumah sakit. Badan-badan ini

dianggap mempunyai hak-hak milik dan mengadakan tindakan-tindakan

tertentu terhadapnya. Akan tetapi badan-badan tersebut tidak dapat di bebani

50

Nagaty Sanad, The Theory of Crime and Criminal Responsibility in Islamic Law Saria

(Chicago: Office of International Criminal Justice, 1991), h. 41

Page 92: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

83

pertanggungjawaban pidana, karena pertanggungjawaban ini didasarkan atas

adanya pengetahuan terhadap pilihan, sedangkan kedua perkara ini tidak

terdapat pada badan-badan hukum. Akan tetapi kalau terjadi perbuatan-

perbuatan yang dilarang dan yang keluar dari orang-orang yang betindak

atas nama badan hukum tersebut, maka orang-orang itulah yang

bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya.51

Hukum Islam dalam teori serta penerapannya cukup

sederhana.Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum

Islam dekat sekali dengan doktrin strictliabilityatau

liabilitywithoutfault(pertanggungan tanpa kesalahan). Dengan kata lain

hukum Islam tidak mementingkan faktor kesalahan (Guiltymind) baik

berupa kesengajaan (dolus) maupun kelalaian (culpa) dalam menjatuhi

hukuman pidana. Istilah dalam bahasa Indonesia yang digunakan adalah

pertanggungjawaban mutlak.52

Pertanggungjawaban pidana berdasarkan teori strict liability melihat

bahwa dalam membebani pertanggungjawaban bagi pelaku tidak perlu

adanya unsur kesalahan. Dalam hal ini, unsur kesalahan dapat dilihat dari

ada ada tidaknya unsur kesengajaan atau kelalaian didalamnya. Unsur

kesalahan dalam Islam dilihat dari ada tidaknya niatan dari pelaku tindak

pidana tersebut, seperti dalam hadis Nabi s.a.w:

51

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006) cet ke-2,

h. 119-120. 52

Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers,

2006), h, h.27

Page 93: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

84

إب العبل ثبنبد إب نكم ايشء يب 53

Ada tiga teori yang menjelaskan mengenai kesengajaan dan

kekeliruan. Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :

a. Teori Imam Malik

Teori ini memisahkan antara jarimah sengaja dan jarimah tidak

sengaja. Pada kedua keadaan ini pembuat bertanggungjawab atas akibat

yang terjadi. Pemisahan terhadap jarimah ini tidak terletak pada

perbuatan materiil itu sendiri yang dikerjakan pembuatnya, melainkan

terletak pada niatan pembuat saat melakukan perbuatannya.54

Jika si pembuat mempunyai niatan hendak melawan hukum

(menyalahi syari‟at) maka perbuatannya dianggap sengaja dan apabila

tidak mempunyai niatan maka tidak dianggap sengaja. Apabila perbuatan

si pembuat mengakibatkan kematian, maka ia bertanggungjawab atas

kematiannya dan jika berakibat hilangnya anggota badan atau

kegunaannya maka bertanggungjawab pula atas demikian.

Menurut Imam Malik, pembuat jarimah harus bertanggungjawab

atas perbuatannya yang disengaja, baik itu sendiri dikehendaki (dicari)

atau tidak, diniatkan sebelumnya atau tidak, baik akibat-akibat tersebut

sangat mungkin terjadinya atau jarang-jarang terjadi.55

53

Imam Al-Bukhary, hadis no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689 dan 6953, Imam Muslim

no. 3530 54

A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967),

hlm 168 55

A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 169

Page 94: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

85

b. Teori Hanafi

Dasar pemisahan jarimah menurut mazhab Hanafi antara jarimah

sengaja dan jarimah tidak sengaja terletak pada niatan si pembuat.

Apabila pada perbuatanya mengandung unsur sengaja melawan hukum

maka perbuatan tersebut disebut jarimah sengaja. Jika unsur sengaja

melawan hukum tidak ada maka bukan jarimah tidak sengaja.

Pada jarimah selain pembunuhan, para fuqaha hanya

mensyaratkan kasad umum, yaitu di mana pembuat dengan sengaja

melakukan suatu perbuatan di mana ia mengetahui bahwa perbuatan

tersebut dilarang. Apabila kasad tersebut ada maka pembuat

bertaanggungjawab atas akibat dari perbuatannya, baik dikehendaki atau

tidak, baik sangat besar kemungkinannya terjadi atau jauh

kemungkinannya terjadi.56

c. Teori Imam Syafi‟i

Pendapat ini memisahkan antara jarimah sengaja dengan jarimah

semi sengaja. Pembuat dianggap melakukan jarimah sengaja, selama ia

dengan sengaja mengadakan perbuatannya dan menghendaki pula

hilangnya nyawa korban. Akan tetapi, jika dengan sengaja melakukan

perbuatannya dengan tidak menghendaki hilangnya nyawa si korban,

tetapi terjadi hilangnya nyawa korban meskipun perbuatnnya tidak

56

A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 170

Page 95: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

86

membawa kematian, maka perbuatan tersebut termasuk jarimah semi

sengaja.57

Pada dasarnya unsur semi sengaja terdiri dari unsur, kesengajaan

dan kelalaian (al-khata‟), karena pembuat dengan sengaja melakukan

perbuatan tetapi tidak menghendaki akibat-akibatnya dan karena akibat

pada perbuatan semi sengaja tidak ditimbulkan dari perbuatan itu. Dapat

diartikan juga bahwa si pembuat melakukan perbuatan tersebut, tetapi dia

lalai dalam memperhitungkan akibat dari perbuatnya.

Pertanggungjawaban dari perbuatan semi sengaja ini adalah si pembuat

bertanggungjawab atas akibat-akibat yang dikehendaki dengan

perbuatanya. Disamping itu,juga bertanggungjawab atas akibat yang

ditimbulkan oleh perbuatannya meskipun tidak dikehendaki.

Dalam hukum pidana Islam pertanggungjawaban terhadap korporasi

dibebankan kepada orang-orang yang bertindak atas nama badan hukum.

Pertanggungjawaban dilihat dari tiga unsur yaitu, kemampuan

bertanggungjawab, kesalahan, dan unsur pemaaf. Untuk menentukan adanya

kesalahan dilihat dari ada tidaknya unsur kesengajaan atau kelalaian. Unsur-

unsur tersebut dapat dikaitkan dengan asas strict liability. Selain itu, tindak

pidana korporasi hanya dapat dilakukan dengan penyertaan. Artinya bahwa

korporasi tidak dapat melakukan tindakan dengan sendiri tetapi ada

seseorang yang turut berbuat jarimah (al-istirak fi al-jarimah). Sehingga

dalam penentuan pertanggungjawabannya didasari pada adnya perbuatan

57

A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 171

Page 96: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

87

yang dapat menghapuskan pidana. Dalam hal ini adalah karena perintah

jabatan, daya paksa dan ancaman.

Islam telah mengatur mengenai perlindungan terhadap korban tindak

pidana (jarimah). Perlindungan tersebut berdasarkan prinsip al- maqasid as-

syari‟ahyang mengutamakan kemaslahatan yang terdiri dari lima hal, yaitu

hifz al-Din, hifz al-Nafs, hifz al-Mal, hifz al-„Aql, hifz al-Nasl.

Kasus semburuan lumpur Lapindo erat kaitannya dengan kerusakan

lingkungan hiudp. Persoalan lingkungan hidup dalam khazanah ilmu fiqh

tidak dibahas dan dikaji secara khusus dalam bab tersendiri sebagaimana

masalah puasa, zakat, sholat, haji, pernikahan, warisan, jual beli, hutang

pihutang, karena ketika fiqh dirumuskan pada abad dua hijirah, lingkungan

hidup belum menjadi masalah yang menarik perhatian para ahli hukum

Islam dan tidak ada pengrusakan lingkungan yang mengancam kehidupan

manusia.

Kerusakan lingkungan hidup terjadi setelah alam dieksploitasi

terutama untuk kepentingan industrialisasi. Setelah lingkungan hidup telah

menjadi masalah yang serius hingga mengancam kelangsungan kehidupan

manusia, maka perlu dikaji ulang prinsip, norma , nilai dan ketentuan

hukum dari khazanah fiqh yang ada relevansinya dengan persoalan

lingkungan hidup. Fiqh adalah penjabaran nilai-nilai ajaran Islam yang

berlandaskan al-Qur‟an dan al-Hadits yang merupakan hasil ijtihad para ahli

hukum Islam dengan menyesuaikan perkembangan,

kebutuhan,kemaslahatan umat dan lingkungannya dalam ruang dan waktu

Page 97: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

88

yang melingkupinya.Dengan kata lain, fiqh sebagai hukum Islam yang

ijtihadi.

Oleh sebab itu, fiqh bersifat tatawur (berkembang) sesuai dengan

kapasitas daya nalar manusia dan perkembangan zaman. Tujuan hukum

Islam ditetapkan hidup manusia agar dapat mencapai kemaslahatan atau

kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrowi. Berdasar tujuan ini, ilmu fiqh

(hukum Islam) secara garis besar memuat ketentuan hukum menjadi empat

bidang Pertama. Bidang ibadah yaitu bagian yang mengatur hubungan

antara manusia selaku makhluk dengan Allah Swt sebagai khaliknya

(hubungan transedensi-hukum ibadah). Kedua, bidang Mu‟amalat, bagian

yang mengatur hubungan manusia sesamanya dalam rangka untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (hukum Muamalat). Ketiga,

bidang Munakahat, bagian yang mengatur hubungan manusia sesama lawan

jenis dalam lingkungan keluarga (hukum Pernikahan). Keempat, bidang

Jinayat, bagian yang mengatur keamanan manusia dalam suatu tertib

pergaulan yang menjamin keselamatan dan ketentramannya dalam

kehidupan (hukum pidana).

Empat bidang hukum tersebut merupakan bidang-bidang pokok

kehidupan manusia dalam rangka mewujudkan suatu lingkungan kehidupan

yang bersih, sehat, sejahtera, aman, damai, bahagia lahir batin, dunia dan

akhirat. Inilah ruh dari ajaran Islam yang merupakan rahmat dan kasih

sayang Allah terhadap hamba-Nya dan tujuan risalah yang dibawa oleh Nabi

Saw. Persoalan lingkungan hidup bukan sekedar masalah sampah,

Page 98: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

89

pencemaran, pengrusakan hutan, atau pelestarian alam dan sejenisnya,

melainkan bagian dari pandangan hidup itu sendiri. Sebab dalam

kenyataannya, berbicara mengenai persoalan lingkungan hidup merupakan

kritik terhadap kesenjangan yang diakibatkan oleh pendewaan terhadap

teknologi yang berlebihan dalam waktu lama telah mengakibatkan

kemiskinan dan keterbelakangan yang disebabkan oleh struktur yang tidak

adil sebagai akibat kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada

pertumbuhan ekonomi semata. Dengan kata lain, masalah lingkungan hidup

bersumber dari pandangan hidup dan sikap manusia yang egosentris dalam

melihat dirinya dan alam sekitarnya dengan seluruh aspek kehidupannya.

Norma-norma fiqh yang merupakan penjabaran dari nilai-nilai Al-Qur‟an

dan Al-Hadits sebagaimana yang telah diutarakan dimuka, sudah seharusnya

dapat memberikan dorongan atau motivasi terhadap upaya pengembangan

wawasan lingkungan hidup atau lebih tepatnya pembangunan yang

berwawasan lingkungan hidup.

Persoalan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab manusia dan

merupakan amanat yang diembannya untuk memelihara dan melindungi

alam yang dianugrahkan oleh Sang Pencipta sebagai tempat tinggal manusia

dalam menjalani hidup di bumi ini. Manusia beriman dituntut untuk

mengfungsikan imannya dengan meyakini bahwa pemeliharaan

(penyelamatan dan pelestarian) lingkungan hidup adalah juga bagian dari

iman itu sendiri. Dalam kaitan ini, manusia dengan segenap kelebihan dan

kelengkapan yang dianugrahkan Allah Swt kepadanya telah ditunjuk

Page 99: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

90

sebagai Khalifah di muka bumi ini. Khalifah mengandung arti sebagai

pemelihara atau tegasnya telah ditunjuk dan diberi mandat sebagai

pemegang amanah Allah Swt untuk menjaga, memelihara dan

memperdayakan alam semesta, bukan menaklukkan dan mengeksploitasi.

Sebaliknya, jika hubungan antara unsur-unsur tersebut renggang dan

rapuh, maka kondisi kehidupan akan memburuk yang berakibat terjadi

penderitaan dan penindasan manusia sesama manusia atau dengan

eksploitasi alam yang tidak terkendalikan, yang semua ini akan membawa

kehancuran alam dan pada akhirnya kehancuran kehidupan manusia sendiri.

Good Corporate Governance (GCG)secara singkat dapat

diartikansebagai seperangkat sistem yang mengatur danmengendalikan

perusahaan untuk menciptakannilai tambah (value added) bagi para

pemangkukepentingan. Adapun prinsip-prinsip dari GCG adalah :

a. Transparancy (Keterbukaan)

Adalah keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang

material dan relevan serta keterbukaan dalam melaksanakan proses

pengambilan keputusan. Dalam kasus kejadian Lumpur lapindo tidak ada

keterbukaan yang dilakukan oleh pihak PT. Lapindo Brantas dimana

mereka melakukan pengeboran dengan sesuka hati tanpa pernah

memperhatikan apa dampak yang terjadi dan timbul bila pengeboran

terus dilakukan karena korporasi hanya mengejar keuntungan semata

tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat.

Page 100: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

91

b. Accountability (Akuntabilitas)

Dalam hal ini kejelasan fungsi, pelaksanaan dan

pertanggungjawaban organisasi sehingga pengelolaan perusahaan

terlaksana secara efektif. terjadi pada kasus luapan lumpur lapindo

adalah hingga saat ini belum ada realisasi secara menyeluruh tentang

tanggung jawab yang harus diberikan PT. Lapindo Berantas kepada

masyarakat. Karena, hinga saat ini belum ada bantuan yang berarti yang

diberikan PT. Lapindo Brantas baik bantuan pendidikan, kesehatan,

fasilitas sarana dan prasarana yang baik bagi masyarakat sekitar tetapi

bahkan saat ini justru masyarakat yang dirugikan karena kasus luapan

lumpur tersebut.

c. Responsibility (Pertanggungjawaban)

Yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip

korporasi. Dalam kasus luapan lumpur Lapindo yang terjadi adalah PT.

Lapindo Brantas melakukan pengelolaan perusahaan tidak sesuai dengan

apa yang diajarkan dalam undang-undang karena, korporasi telah

mengambil hak-hak dari masyarakat porong Sidoarjo serta tidak

dilakukannya upaya pencegahan bencana sehingga terjadi human eror

dari korporasi yang menyebabkan terjadinya kasus tersebut.

d. Fairness (Kewajaran atau Keadilan)

Maksudnya keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak

stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan

Page 101: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

92

perundang-undangan yang berlaku. Dalam kasus Lapindo tidak ada

kejujuran serta keadilan kepada masyarakat karena, PT.Lapindo Brantas

rela menggunakan segala macam cara untuk memperoleh keuntungan

sebesar-besarnya tanpa memperhatikan hal apa atau damapak yang

mungkin timbul karena hal tersebut.

Konsep tentang Good Corporate Governance secara universal sangat

erat kaitannya dengan ajaran agama-agama yang ada. Prinsip Good

Corporate Governance ternyata selaras dengan ajaran agama Islam.

Meskipun Islam selalu memperkenalkan etika yang baik, moral yang kuat,

integritas, serta kejujuran, tidaklah mudah untuk menggabungkan nilai-nilai

etika seperti itu menjadi Good Corporate Governance yang islami.

Akibatnya, dalam prakteknya, sebagian besar dari perusahaan „Islam‟

menggunakan standar tata kelola perusahaan konvensional yang mungkin

tidak konsisten dengan nilai-nilai Islam. Adapun prinsip-prinsip GCG dalam

kasus PT. Lapindo Brantas adalah :

a. Shiddiq (Benar)

Artinya bahwa seharusnya PT, Lapindo Brantas harus melakukan

kegiatan unsahanya dengan baik dan benar serta menjunjung hak-hak

dari masyarakat. Tetapi yang terjadi adalah kasus eksploitasi sebesar-

besarnya tanpa memperhatikan dampak terhadap.

b. Amanah (Dapat Dipercaya)

Sesuai Kejadian yang terjadi ternyata PT lapindo berantas tidak

amanah karena kegiatan pengeboran yang dilakukan tidak sesuai dengan

Page 102: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

93

amdal yang telah disepakati oleh pemerintah dan perusahaan dimana

seharusnya perusahaan melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan

sehingga kegiatan eksploitasi yang dilakukan itu tidak berdampak buruk

terhadap lingkungan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya karena tidak

dikelolana lingkungan yang baik maka terjadi bencana kepada

masyarakat.

c. Tablig (Menyampaikan)

Dalam kasus ini Pihak PT. Lapindo Brantas tidak terbuka untuk

menyampaikan kegiatan yang akan mereka kerjakan, yaitu melakukan

pengeboran lebih dalam lagi, karena seharusnya pengeboran itu tidak

boleh terus dilakukan karena akan menyebabkan masalah terhadap

lingkungan tetapi karena keserakahan oleh pihak korporasi maka

kegiatan itu tetap dilakukan dan menyembunyikan kegitan pengeboran

itu.

d. Fathonah (Cerdas)

Kegiatan pengeboran yang dilakukan PT lapindo Brantas tidaklah

cerdas, karena mereka melakukan pengeboran tanpa memasang pipa

selubung bor sehingga menyebabkan terjadi luapan lumpur, serta

korporasi juga tidak cerdas dalam mengambil keputusan untuk tetap

melakukan pengeboran tanpa menyadari bahawa kegiatan yang terus

dilakuakan akan menyebabkan bencana bagi masyarakat porong sidoarjo.

Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social

Responsibility adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya perusahaan

Page 103: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

94

adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan,

pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek

operasional perusahaan.

Page 104: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

95

BAB V

P E N U T U P

A. Kesimpulan

Berdasarkan uaraian pada bab-bab sebelumnya, dapatlah dismpulkan hal-

hal sebagai berikut:

1. Bahwa kasus luapan lumpur panas Lapindo Brantas Inc. Merupakan tindak

pidana kejahatan korporasi, disebabkan hal-hal sebagai berikut :

a. Penyebab luapan lumpur diakibatkan karena kesalahan dan kelalaian

Lapindo Brantas Inc. Dalam melakukan pengeboran. Dan juga karena telah

melanggar peraturan mengenai tata ruang dan peraturan lingkungan hidup,

dan

b. Dampak yang diakibatkan adanya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi

Migas yang dilakukan di Blok Brantas oleh Lapindo Brantas Inc. telah

mengakibatkan terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan di

sekitar wilayah Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo Propinsi Jawa

Timur. Dampak kerusakan tersebut telah mengakibatkan rusaknya

lingkungan fisik, lumpuhnya sektor ekonomi pertanian dan industri,

kerugian social dan budaya masyarakat, serta penurunan kualitas

kehidupan masyarakat terdampak. Oleh karenanya, apabila dalam kasus ini

terdapat unsur kelalaian atau culpa, hal tersebut dapat dijadikan

pemberatan pidana, ditambah pula telah terjadinya ribuan korban

Page 105: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

96

diakibatkan kelalaian ini, maka Lapindo Brantas dapat dikenakan juga

sanksi yang terdapat dalam Pasal 42 Bab IX UUPLH.

c. Berdasarkan Undang-undang Lingkungan Hidup, dalam Asas strick

liability company bahwa perusahaan yang telah melakukan pencemaran

atau telah terindikasi melakukan pencemaran baik disengaja maupun tidak

yang merugikan ataupun tidak merugikan berkewajiban untuk memulihkan

kondisi akibat pencemaran tersebut tanpa harus menunggu gugatan dari

masyarakat ataupun sanksi dari pemerintah.

2. Dalam hukum pidana Islam pertanggungjawaban terhadap korporasi

dibebankan kepada orang-orang yang bertindak atas nama badan hukum.

Pertanggungjawaban dilihat dari tiga unsur yaitu, kemampuan

bertanggungjawab, kesalahan, dan unsur pemaaf. Untuk menentukan adanya

kesalahan dilihat dari ada tidaknya unsur kesengajaan atau kelalaian. Unsur-

unsur tersebut dapat dikaitkan dengan asas strict liability. Selain itu, tindak

pidana korporasi hanya dapat dilakukan dengan penyertaan. Artinya bahwa

korporasi tidak dapat melakukan tindakan dengan sendiri tetapi ada seseorang

yang turut berbuat jarimah (al-istirak fi al-jarimah). Sehingga dalam

penentuan pertanggungjawabannya didasari pada adnya perbuatan yang dapat

menghapuskan pidana. Dalam hal ini adalah karena perintah jabatan, daya

paksa dan ancaman. Islam telah mengatur mengenai perlindungan terhadap

korban tindak pidana (jarimah). Perlindungan tersebut berdasarkan prinsip al-

maqasid as-syari’ah yang mengutamakan kemaslahatan yang terdiri dari lima

hal, yaitu hifz al-Din, hifz al-Nafs, hifz al-Mal, hifz al-‘Aql, hifz al-Nasl.

Page 106: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

97

Sedangkan bentuk perlindungan bagi korban jarimah, Islam menentukannya

dengan melihat jenis jarimah yang dilakukan. Dalam hal ini, TPLH

merupakan jarimah ta’zir, sehingga hukuman yang diberikan adalah dengan

hukuman ta’zir. Pertanggungjawaban bagi pelaku terhadap korban dalam

jarimah ta’zir adalah dengan memberikan denda dan tindakan pemulihan.

Pertanggungjawaban korporasi terhadap korban dalam hukum Pidana Islam

sejalan dengan konsep pertanggungjawaban dalam UUPPLH tahun 2009.

Sehingga Dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana sebagai

bentuk perlindungan dalam UUPPLH juga sejalan dengan tujuan hukum

Islam, yaitu menjaga kemaslahatan manusia.

B. Saran-saran

Adapun saran yang dapat penulis sampaikan melalui penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Penting untuk melakukan upaya rehabilitasi dari kerusakan lingkunganyang

terjadi dan juga mengembalikan harkat dan martabat masyarakat korban luapan

lumpur Lapindo Brantas Inc. sehingga kasus ini juga bisa dijadikan

pembelajaran bagi kehidupan berbangsa dan bernegarauntuk melindungi warga

Negara dan kepentingan ekonomi, sosial danlingkungan hidupnya.

2. Kasus lumpur panas di Kec. Porong Sidoarjo Jawa Timur ini harus diselesaikan

secara tuntas, dengan melakukan analisis kajian secara detail serta melibatkan

seluruh komponen atau pihak-pihak terkait yang memiliki hubungan baik

langsung atau tidak langsung dengan terjadinya kerusakan lingkungan.

Page 107: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

98

DAFTAR PUSTAKA

Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan

Indonesia. (Bandung. Penerbit Alumni. 1996)

Fuady, Munir, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law & Eksistensinya

Dalam Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti.(Bandung.Inc. New York,

2002).

Hadad, Ismid, Pembaharuan Proses Lahirnya Kebijakan Publik dalam Hamdan,

M., Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, (Bandung:

Penerbit Mandar Maju, 2000).

Hamzah Hatrik, Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi DalamHukum

Pidana Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998).

“Kejahatan korporasi”: http://www.tanyahukum. com/perusahaan/114/kejahatan-

korporasi/

Koesnadi Hardjasoemantri, Pentingnya Payung Hukum dan Pelibatan

Masyarakat dalam Buku Di Bawah Satu Payung Pengelolaan Sumber

Daya Alam, 2005

Kompas, 19 Juni 2006

Kosparmono Irsan, “Kejahatan Korporasi; BAB IV”, Jakarta 2007

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya,

2001)

Nasution, Bismar. Kejahatan Korproasi dan Pertanggungjawabannya,

http://bismarnasty.files. wordpress.com/2007/06/kejahatan-korporasi-

dan-pertanggungjawabannya.pdf

Setiyadi, Mas Wigrantoro Roes. Kecelakaan atau Kelalaian Korporasi,

http://maswigrs. wordpress.com/2007/04/11/kecelakaan-atau-

kejahatan-korporasi,

Setiyono, H. Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban

Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang : Averroes Press,

2002)

Sutrisno Hadi, Metode Research I (Yogyakarta: Andi Offset, 2007)

Wikipedia Indonesia, Banjir Lumpur Panas Sidoarjo 2006

Page 108: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

99

Abdullah, Mustafa & Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit

Ghalia Indonesia, 2003)

Adji, Indriyanto Seno, Arah Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Kantor Pengacara

dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan, 2001)

Arief, Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2002)

As-Shabuni, Muhammad Ali, Shafwah At-Tafasir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)

Audah, Abdul Qadir, „At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy, Juz I, (Beirut: Daar Al-

Kitab, t.t,)

Muslich, Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam –

Fikih Jinayah- (Jakarta, Media Grafika, 2006)

Campbel, Henry, Black’s Law Dictionary, (New York: Barron‟s Educational

Series Inc, 1990)

Fuady, Munir, Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih, (Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2004)

Fuady, Munir, Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law& Eksistensinya

Dalam Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002)

Giffis, Steven H, Dictionary of Legal Terms, Third Edition, (New York: Barron‟s

Educational Series Inc, 1998)

Hadi, Sutrisno, Metode Research I (Yogyakarta: Andi Offset, 2007)

Hamdan, F.M., Tindak Pidana Pencemaran Linkungan Hidup, (Bandung: Mandar

Maju, 2000)

Hamzah, Andy, Pengantar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,

1985)

Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006)

Harun, M. Husein. Lingkungan Hidup Masalah, Pengelolaan dan Penegakan

Hukumnya, (Jakarta: Bumi Aksara,1993)

Hatrik, Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana

Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998)

Page 109: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

100

Mardjono, Reksodiputro B, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam

Tindak Pidana Korporasi, (Semarang: FH UNDIP, 1989)

Moeljatno., Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993)

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya,

2001)

Muladi dan Prayitno Dwidja. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum

Pidana, (Bandung: Sekolah Tinggi Hukum, 1991)

Rihti, Hyronimus, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup,

(Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2006)

RUU KUHP pada Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan, Departeman

Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2004

Sahetapy, J.E., Kejahatan Korporasi, (Bandung: Eresco, 1994)

Sanad, Nagaty, The Theory of Crime and Criminal Responsibility in Islamic Law

Saria (Chicago: Office of International Criminal Justice, 1991)

Setiyono, H. Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban

Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang : Averroes Press,

2002)

Silalahi, Daud, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan

Indonesia. (Bandung. Penerbit Alumni. 1996).

Sjahdeini, Sutan Remy, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti

Pers, , 2006)

Soejono, Dirjosisworo, Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal, di

Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1999)

Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan

Atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidatao Pengukuhan Jabatan Guru

Besar, (Medan : USU, 2003)

Widjaya, I. G. Ray, Hukum Perusahaan, (Jakarta: Megapoin, 2000)

Sutan Remy Sjahdeini. Hukum Kepailitan, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2002) O.P. Simorangkir, Etika Bisnis Jabatan dan Perbankan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003) Syed Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economics An Islamic Synthesis, Diterjemahkan oleh

Husain Anis dan Asep Nikmat, (Bandung : Mizan, 1985)

Page 110: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

101

Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al-Qur’an tentang Etika dan Bisnis, (Yogyakarta : Salemba

Diniyah, 2002)

Rusydi , “Etos Kerja dan Etika Usaha Perspektif Al-Qur’an “, dalam Firdaus Effendi (eds.) Nilai

dan Makna Kerja dalam Islam, (Jakarta : Nuansa Madani, 1999)

Mahmud Sjaltout, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, diterjemahkan oleh H. Bustami A. Gani, Djohar

Bahry L.I.S, “Islam Sebagai Akidah dan Syari‟ah”, Jilid IV, (Jakarta : Bulan Bintang,

1970)

M. Amin Abdullah, “Pelestarian Lingkungan Hidup Perspektif Islam,” dalam Khazanah,

Vol. 2 No. 7, Januari-Juli 2005

Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Jakarta: Mizan, 2005) Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006)

Abdul Qadir Audah, „At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy, Juz I, (Beirut: Daar Al-Kitab, t.t,)

Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam h. 31 atau lihat : Ahmad Hanafi, Asas-Asas

Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006)

Muhammad Ali As-Shabuni, Shafwah At-Tafasir (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)

Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967)

Page 111: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29768/3/TEDI... · uran Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang

102

SUMBER INTERNET

http://hotmudflow.wordpress.com/

http://hotmudflow.wordpress.com/2007/04/23/menghitung-kerugian-bencana-

lumpurlapindo/#

http://hukumonline.com/detail.asp?id=11222&cl=Fokus,

http://www.tanyahukum. com/perusahaan/114/kejahatan-korporasi/

Informasi dari WALHI Jawa Timur, 2006 dalam Kumpulan Analisis Bencana

Lumpur Lapindo

http://www.mediacenter.or.id/article/5/tahun/2008/bulan/01/tanggal/23/id/3141/

Komnas HAM: Telah Terjadi Ecocide Pada Semburan Lumpur Lapindo

http://bismarnasty. files.wordpress.com/2007/06/kejahatan-korporasi-dan pertang

gung-jawabannya. pdf. Kejahatan Korproasi dan Pertanggung-

jawabannya,

http://raspati.blogspot.com /2007/06/pertanggungjawaban-pidana-korporasi.html,

dipublikasikan tanggal 29 Juni 2007,

http://www.solusihukum.com/artikel/artikel45.php, Pertanggungjawaban Korpo-

rasi Dalam Tindak Pidana Perikanan

http://maswigrs. wordpress.com/2007/04/11/kecelakaan-atau-kejahatan-korpora-

si, Kecelakaan atau Kelalaian Korporasi

Wikimedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia, Bajir Lumpur

Panas Sidoarjo, 2006.