Upload
susaei
View
269
Download
12
Embed Size (px)
DESCRIPTION
perangkap golongan ekonomi menengah
Citation preview
Kelompok menengah tidak diantisipasiPOSTED BY EKOHARSONO ⋅ DECEMBER 19, 2011 ⋅ LEAVE A COMMENT
Pertumbuhan ekonomi yang positif sejak tahun 2000 menumbuhkan masyarakat kelas menengah
di Indonesia. Konsumsi mereka menyumbang 70 persen dari pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Hanya saja, potensi ini tidak diantisipasi sejumlah pihak, termasuk pemerintah.
Setelah pertumbuhan ekonomi minus 13,13 persen akibat krisis tahun 1998, Indonesia terus
mencatat pertumbuhan positif rata-rata 5 persen sejak tahun 2000. Kondisi ekonomi yang positif
ini, menurut Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, telah memunculkan sekitar 9 juta
warga kelas menengah baru setiap tahun.
Bank Dunia menyebutkan, 56,5 persen dari 237 juta populasi Indonesia masuk kategori kelas
menengah. Kategori kelas menengah versi Bank Dunia adalah mereka yang membelanjakan
uangnya 2 dollar AS (sekitar Rp 18.000) sampai 20 dollar AS (sekitar Rp 180.000) per hari. Artinya,
saat ini ada sekitar 134 juta warga kelas menengah di Indonesia.
Disebutkan, terjadi peningkatan jumlah warga kelas menengah Indonesia sebanyak 45 juta orang
dari posisi tahun 2003. Sementara dari 134 juta warga kelas menengah versi Bank Dunia itu,
sekitar 14 juta orang masuk rata-rata pengeluaran 6 dollar AS (Rp 54.000) sampai 20 dollar AS per
hari.
Sementara itu, survei Nielsen secara online mencatat ada sekitar 29 juta warga kelas menengah
premium di Indonesia. Mereka tumbuh seiring dengan pendapatan per kapita sekitar 3.000 dollar
AS (sekitar Rp 27 juta) per tahun. Masyarakat kelas menengah ini punya gaya tersendiri dalam
membeli suatu produk.
Masih menurut Bank Dunia, nilai uang yang dibelanjakan para warga kelas menengah Indonesia
juga fantastis. Belanja pakaian dan alas kaki tahun 2010 mencapai Rp 113,4 triliun, belanja barang
rumah tangga dan jasa Rp 194,4 triliun, belanja di luar negeri Rp 59 triliun, serta biaya transportasi
Rp 238,6 triliun.
Belanja kelas menengah ini menyumbang pertumbuhan ekonomi domestik (PDB). ”Struktur
perekonomian Indonesia menunjukkan konsumsi berperan sangat besar, yakni sekitar 70 persen,”
ujar pengamat ekonomi Tony Prasetiantono.
Menurut Tony, fenomena menguatnya kelas menengah memang menimbulkan dampak multiplier
besar yang positif. Terjadinya peningkatan permintaan tidak saja pada jasa penerbangan dan
telekomunikasi seperti telepon pintar, tetapi juga otomotif. Ini memberikan kontribusi pada
pertumbuhan ekonomi.
Presiden Direktur PT Astra International Tbk Prijono Sugiarto dalam acara Kompas100 CEO Forum,
pekan lalu, di Jakarta mengakui terjadi peningkatan penjualan otomotif, baik kendaraan roda
empat maupun sepeda motor.
Kendaraan roda empat tahun 2011, ujar Prijono, mencapai 880.000 unit, meningkat dari 764.710
unit tahun 2010. Penjualan sepeda motor 2011 mencapai 8,1 juta unit, meningkat dari 7,372 juta
unit tahun 2010. ”Angka penjualan ini optimistis akan meningkat pada tahun mendatang jika
momentum pertumbuhan terus terjaga,” ujarnya.
Pengguna jasa penerbangan juga meningkat tajam, seperti terlihat dari angka kepadatan
penumpang di Bandara Soekarno-Hatta. Data per akhir November 2011 menyebutkan, pada
Januari-Oktober 2011 tercatat 41 juta penumpang memenuhi terminal Bandara Soekarno-Hatta.
Jumlah ini jauh di atas kapasitas bandara yang hanya 18 juta penumpang.
Pengguna jasa penerbangan ini termasuk mereka yang terbang ke luar negeri, setidaknya ke
Singapura. Data dari Badan Turisme Singapura menyebutkan, jumlah warga Indonesia yang datang
ke Singapura meningkat 32 persen, dari sekitar 1,745 juta tahun 2009 menjadi 2,305 juta orang
pada tahun 2010.
Pengguna telepon seluler di Indonesia saat ini juga sudah melebihi jumlah penduduk, yakni sekitar
280 juta pelanggan. Pada tahun 2010, sekitar 4 juta dari pelanggan telepon seluler itu adalah
pengguna telepon pintar. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 16,3 juta pelanggan
pada tahun 2014.
Penulis buku laris Asia Hemisfer Baru Dunia, Kishore Mahbubani, menyebutkan, Indonesia
termasuk salah satu negara yang akan tumbuh bersama kebangkitan ekonomi Asia. Banyaknya
pengguna telepon seluler merupakan salah satu indikasi kebangkitan ekonomi Indonesia.
Belum diantisipasi
Potensi pertumbuhan masyarakat kelas menengah masih memungkinkan. Pemerintah
memprediksi pertumbuhan ekonomi 2012 sekitar 6,7 persen. Asumsi makro antara lain
menyebutkan, setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen akan menciptakan 450.000 lapangan kerja
baru. Bakal ada sekitar 30 juta orang yang memperoleh pekerjaan.
Hatta Rajasa mengutip analisis Jepang menyebutkan, tahun 2015, lebih dari 100 juta penduduk
Indonesia akan berpenghasilan 3.000 dollar AS per tahun.
Lembaga riset dari Inggris, Euromonitor, menyebutkan, pada tahun 2020, pendapatan sekitar 60
persen penduduk Indonesia mencapai Rp 7,5 juta per bulan atau 10.000 dollar AS per tahun. ”Ada
8 juta-9 juta warga Indonesia yang naik kelas menengah,” ujar Hatta.
Pertumbuhan ekonomi yang berlanjut dan membaiknya harga-harga komoditas ekspor seperti
kelapa sawit mentah dan batubara menimbulkan dampak berganda pada masyarakat, termasuk
menumbuhkan kelas menengah. Masuknya modal asing di pasar modal juga menjadi pendorong
pendapatan sejumlah anggota masyarakat.
Berdasarkan catatan Litbang Kompas, kebijakan pemerintah secara gradual menaikkan gaji
pegawai negeri sipil setiap tahun juga mendorong tumbuhnya kelas menengah.
Kenaikan gaji dan remunerasi juga dialami karyawan swasta, terutama di industri yang mencatat
pertumbuhan signifikan, seperti otomotif, penerbangan, perkebunan, dan pertambangan. Di sektor
swasta pun setiap tahun terjadi peningkatan upah minimum mengikuti inflasi dan kenaikan upah
sundulan.
Kenaikan penghasilan ini bisa terlihat dari simpanan masyarakat di perbankan yang terus
melonjak. Lembaga Penjamin Simpanan pekan lalu menyebutkan, simpanan bank umum pada
Oktober 2011 mencapai Rp 2.625 triliun, naik Rp 38,18 triliun dibandingkan September 2011.
Jumlah rekening juga tumbuh dari 100,324 juta rekening pada September 2011 jadi 100,681 juta
rekening pada Oktober 2011.
Kenaikan terbesar tercatat pada segmen simpanan dengan nominal di atas Rp 5 miliar, yakni Rp
23,22 triliun. Per akhir Oktober 2011, total simpanan di atas Rp 5 miliar mencapai Rp 1.081 triliun
atau sebesar 41,21 persen dari seluruh simpanan di bank.
Hanya saja, pertumbuhan masyarakat kelas menengah ini belum diantisipasi kalangan pengusaha
dan pemerintah. Hatta Rajasa mengemukakan, pemerintah akan terus berupaya meningkatkan
investasi di dalam negeri sehingga industri manufaktur dalam negeri terus bergerak untuk
memenuhi kebutuhan domestik.
Yang nyata terjadi, impor buahan-buahan dan sayuran Indonesia sudah mencapai Rp 17,6 triliun.
Semua impor ini untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Ironisnya, bahkan impor juga
terjadi pada produk ikan dan garam.
”Kita harus bisa memanfaatkan momentum tumbuhnya kelas menengah ini untuk ’jualan’
investasi,” ujar Tony. Belakangan ini, ratusan perusahaan waralaba asing datang mengincar pasar
Indonesia.
Sumber : Kompas 19 Des 2011
Senin, 07 Januari 2013 - 09:19 WIB
Tantangan dan Peluang Sektor Pertanian 2013Oleh : Oktavio Nugrayasa*)
Sebagian besar penduduk Indonesia menempati wilayah pedesaan dan mereka hidupnya
sangat bergantung pada sektor pertanian. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Mei
2012 tenaga kerja di sektor pertanian mencapai 41,20 Juta jiwa atau sekitar 43,4% dari jumlah
total penduduk Indonesia. Angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 4,76% atau sebesar 1,9
juta dibandingkan Agustus 2011. Indonesia menempati urutan ke 3 dunia setelah China (66% )
dan India (53,2%).
Sektor pertanian di Indonesia sungguh sangat strategis untuk meningkatkan taraf hidup
penduduk di pedesaan, penyediaan pangan bagi seluruh penduduk Indonesia. Oleh karena itu,
pembangunan sektor pertanian ke depan seyogianya dengan sasaran utama peningkatan
kesejahteraan masyarakat petani dan pemantapan ketahanan pangan nasional.
Komitmen Pemerintah untuk memajukan sektor pertanian sudah besar. Mengingat kemampuan
pendapatan negara terbatas, alokasi biaya pembangunan sektor pertanian menjadi tidak ideal.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2013 untuk alokasi anggaran
program sektor pangan sebesar Rp. 83 triliun atau sepertiga dari anggaran belanja pegawai
yang besarnya mencapai Rp 241 triliun. Anggaran pangan tersebut hanya mencakup untuk 2
(dua) kegiatan, yaitu stabilisasi harga pangan bagi pemenuhan kebutuhan rakyat sebesar Rp.
64,3 triliun, serta pembangunan infrastruktur irigasi Rp. 18,7 triliun.
Dengan 7% dari total anggaran di APBN 2013, diharapkan anggaran untuk sektor ini mampu
menyelesaikan berbagai persoalannya, termasuk persoalan ketenagakerjaan. Mengacu pada
ukuran Organisasi Pangan Dunia (FAO), dana bagi sektor pertanian suatu negara, diharuskan
sebesar 20% dari total anggaran untuk membiayai pembangunannya.
Tekanan Globalisasi Pasar dan Liberalisasi Perdagangan
Sektor pertanian Indonesia dihadapkan pada persaingan pasar yang semakin kompetitif, di
tengah dinamika perubahan lingkungan strategis internasional. Ratifikasi berbagai kesepakatan
internasional, memaksa setiap negara membuka segala rintangan perdagangan dan investasi,
serta membuka kran ekspor-impor seluas-luasnya. Hal tersebut akan mendorong persaingan
pasar yang semakin ketat, sebagai akibat integrasi pasar regional/internasional terhadap pasar
domestik.
Praktek perdagangan bebas yang cenderung menghilangkan perlakukan non-tariff barrier telah
berdampak besar terhadap sektor pertanian Indonesia, baik di tingkat mikro (usahatani) maupun
di tingkat makro (nasional-kebijakan). Di tingkat mikro, liberalisasi perdagangan ini sangat terkait
dengan efisiensi, produktivitas dan skala usaha. Sedangkan di tingkat makro, kebijakan
pemerintah sangat diperlukan untuk melindungi petani produsen dan masyarakat konsumen.
Pada kenyataannya kelompok negara maju lebih berhasil dalam mengamankan petaninya agar
tetap bergairah berproduksi. Sementara negara-negara berkembang relatif kurang berhasil
memproteksi petani produsen dan masyarakat konsumen.
Tantangan sektor pertanian Indonesia ke depan yang harus dihadapi adalah bagaimana
meningkatkan daya saing komoditas pertanian dengan karakteristik yang sesuai keinginan
konsumen dan memiliki daya saing yang tinggi, baik di pasar domestik ataupun pasar ekspor.
Pengembangan daya saing dan ekspansi pasar komoditas ekspor tradisional harus lebih
ditingkatkan, terutama pengembangan produk olahan pertanian. Di samping pengembangan
komoditas dan produk pertanian baru yang memiliki permintaan pasar yang tinggi harus segera
dirintis dan diwujudkan.
Menumbuhkan Minat Wirausaha
Rendahnya kualitas sumberdaya manusia merupakan kendala yang serius dalam pembangunan
pertanian. Mereka yang berpendidikan rendah pada umumnya adalah petani yang tinggal di
daerah pedesaan, kondisi ini juga semakin menyulitkan dengan semakin berkurangnya upaya
pendampingan dalam bentuk penyuluhan pertanian. Di sisi lain, bagi sebagian besar penduduk
pedesaan, sudah kurang tertarik lagi bekerja dan berusaha di sektor pertanian, sehingga
mengakibatkan semakin tingginya urbanisasi ke perkotaan.
Kondisi ini hanya dapat ditekan dengan mengembangkan agroindustri pertanian di pedesaan,
karena dapat membuka peluang keterlibatan seluruh pelaku, termasuk kelompok penduduk di
pedesaan. Kelompok ini sesungguhnya dapat lebih memegang peranan penting dalam seluruh
proses produksi usaha tani. Mereka berpeluang menjadi penyediaan dan distribusi sarana
produksi, usaha jasa pelayanan alat dan mesin pertanian, usaha industri pasca panen dan
pengolahan produk hasil pertanian, usaha jasa transportasi, pengelolaan lembaga keuangan
mikro, sebagai konsultan manajemen agribisnis, serta tenaga pemasaran hasil-hasil produk
agroindustri.
Hal ini mengisyaratkan perlunya pembangunan pertanian dilakukan secara komprehensif dan
terpadu dengan pengembangan sektor komplemennya (agroindustri, penyediaan kredit,
teknologi melalui penyuluhan, dan pasar), sehingga menghasilkan nilai tambah di luar lahan dan
upah tenaga fisiknya.
Dengan pendekatan sistem dan usaha agribisnis tersebut, maka pembangunan pertanian jelas
berbasis pada rakyat dan berkelanjutannya akan terjamin dengan sendirinya karena
pengembangannya memanfaatkan sumberdaya lokal. Pendekatan pembangunan yang berasal
dari rakyat dilaksanakan oleh rakyat dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
dan keadilan seluruh rakyat Indonesia, merupakan tantangan yang berpeluang menang dalam
menghadapi persaingan global yang semakin ketat dan tajam.
*) Kabid Ketahanan Pangan dan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), Deputi Bidang
Perekonomian
Politik Pangan Indonesia: Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan KemandirianOleh : Prof. Dr. Jusuf, Staf Khusus Presiden Bidang Pangan dan Energi
- Dibaca: 757 kali
Politik Pangan merupakan komitmen pemerintah yang ditujukan untuk mewujudkan ketahanan
pangan nasional yang berbasis Kedaulatan Pangan dan Kemandirian Pangan. Kedaulatan
Pangan mencerminkan hak menentukan kebijakan secara mandiri, menjamin hak atas pangan
bagi rakyat, dan memberi hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem usaha sesuai dengan
potensi sumber daya dalam negeri. Sedangkan Kemandirian Pangan merupakan wujud
kemampuan negara memproduksi pangan di dalam negeri secara bermartabat. Terwujudnya
ketahanan pangan hanyalah ultimate goal, karena sejatinya pencapaian akhir yang diharapkan
dari kondisi tersebut adalah ketahanan nasional yang tangguh.
Politik Pangan ini penting ditegaskan kembali karena pangan merupakan kebutuhan pokok
manusia yang paling dasar, sehingga semua bangsa berupaya untuk mencukupi kebutuhan
pangan seluruh warga negaranya dan menyimpan sebagian untuk cadangan pangan nasional.
Indonesia memerlukan politik pangan berbasis kedaulatan dan kemandiran pangan didasarkan
atas pertimbangan kondisi lingkungan internal dan eksternal serta analisis kekuatan, kelemahan,
peluang dan hambatan yang dihadapi Indonesia.
Ditinjau dari kondisi global, konsumsi pangan akan cenderung meningkat di seluruh dunia.
Proyeksi PBB menyebutkan populasi penduduk dunia di tahun 2050 mencapai lebih dari 9 miliar
jiwa, memerlukan tambahan pangan sebesar 70% dibandingkan sekarang. Di masa depan
diprediksi akan terjadi kelangkaan pangan yang diakibatkan oleh beberapa hal seperti kerusakan
lingkungan, konversi lahan, tingginya harga bahan bakar fosil, pemanasan iklim dan lain-lain. Hal
ini mengakibatkan negara produsen pangan akan mengamankan produksinya untuk kebutuhan
dalam negeri dan bahkan meningkatkan impor pangan untuk mengamankan stok dalam
negerinya.
Namun dengan keragaman sumberdaya dan kondisi lingkungan yang berbeda-beda maka
setiap negara memiliki cara sendiri untuk mewujudkan ketahanan pangan nasionalnya.
Penelitian Zoelick (former President World Bank) yang mengamati progress pertumbuhan
ekonomi di 101 negara pada tahun 1960 dan 2012, menunjukkan, bahwa hanya negara-negara
yang konsisten membangun ketahanan pangannya, menyediakan infrastruktur yang
mengkoneksi antar wilayah dan memberikan perlindungan sosial bagi warga negaranya yang
mampu terlepas dari jeratan "middle income trap".
Indonesia tidak akan terjebak sebagai negara middle income trap karena politik pangan yang
dilaksanakan oleh pemerintah tetap konsisten di jalurnya. Sektor pertanian/pangan menjadi
prioritas dalam pembangunan. Produksi pangan dalam negeri terus ditingkatkan untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat yang terus tumbuh baik jumlah maupun keragaman
jenis pangannya.
Golongan menengah di Indonesia juga meningkat, ini berarti konsumsi bahan pangan lebih
banyak lagi. Saat ini Indonesia memiliki 45 juta pangsa klas konsumen dan pada tahun 2030,
akan tumbuh menjadi 135 juta. Demikian pula market opportunities dari 0,5 miliar menjadi 1,8
miliar di tahun 2030.
Sistem logistik dan distribusi pangan menjadi perhatian pemerintah dalam politik pangan
nasional untuk memastikan bahwa ketahanan pangan dinikmati oleh setiap orang di Indonesia
hingga ke pulau terdepan dan di daerah yang sulit terjangkau sekalipun. Untuk menghubungkan
antar wilayah dan mempersingkat waktu tempuh bahan pangan, pemerintah memfokuskan pada
pembangunan infrastruktur dan konektivitas antar wilayah Indonesia.
Menyadari pentingnya penataan sistem logistik dalam persaingan domestik dan internasional,
Indonesia telah menyusun blueprint pengembangan logistik yang menelaah jarak geografis
antara kota-kota besar di Indonesia dan Singapura. Hal ini dilakukan agar biaya translaut dan
kontainer dari sentra produksi ke sentra konsumen tidak lebih mahal jika dibandingkan
pengiriman ke Singapura.
Kekuatan Indonesia
Indonesia diuntungkan oleh bonus demografi dengan tingginya jumlah angkatan muda dan mulai
dirasakan pengaruhnya pada perekonomian nasional. Arus urbanisasi menyebabkan
pertumbuhan daerah perkotaan sehingga menambah pangsa kelas konsumen. Indonesia juga
terbukti mampu mengendalikan laju inflasi, menurunkan tingkat kemiskinan dan angka
pengangguran. Untuk mengimbanginya, maka pemenuhan pangan harus dilakukan dengan cara
meningkatkan produksi dan produktivitasnya melalui intensifikasi (bukan ekstensifikasi),
diversifikasi konsumsi melalui pengembangan pangan lokal, peningkatan daya saing, dan
menurunkan kehilangan paska panen dan value-chain.
Pangan lokal dikembangkan karena Indonesia memiliki keragaman hayati yang sangat kaya dan
belum dimanfaatkan secara optimal. Keanekaragaman tersebut mencakup tingkat ekosistem,
tingkat jenis, dan tingkat genetik, yang melibatkan makhluk hidup beserta interaksi dengan
lingkungannya.
Produsen pangan nasional sudah saatnya menghidupkan kembali sumber-sumber pangan lokal
untuk menghentikan kemerosotan keragaman varietas jenis pangan yang dibudidayakan oleh
petani. Apabila kondisi ini terus dikembangkan di seluruh wilayah nusantara, maka kemampuan
nasional untuk meningkatkan produksi pangan pasti akan meningkat sekaligus menghindarkan
ketergantungan terhadap jenis pangan tertentu.
Kekuatan lain yang dimiliki oleh Indonesia adalah konsumen domestik yang besar menjadi pasar
dalam negeri yang potensial untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Disamping itu pemerintah
telah berhasil dalam melakukan pengendalian tingkat inflasi, penurunan tingkat kemiskinan dan
pengangguran. Di sisi lain, situasi dunia akibat perubahan iklim dan faktor-faktor yang lain,
seringkali menyebabkan supply pangan global terganggu sehingga menimbulkan fluktuasi harga
secara cepat.
Perdagangan bebas dan Free Trade Area akan menciptakan global economic
connectivity danborderless state. Asia menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di dunia sehingga
posisi Indonesia yang strategis akan mendapatkan keuntungan. Dependency ratio negara maju
meningkat seiring dengan majunya pertumbuhan ekonomi negara Asia. Situasi ini
mengharuskan Indonesia memenuhi kecukupan pangannya diutamakan dari produksi dalam
negeri. Potensi sumber pangan yang beragam dan letak geografis Indonesia di jalur khatulistiwa
menyebabkan Indonesia relatif aman dari dampak global climate change,
merupakan opportunity yang tidak boleh dilewatkan. Diperkuat dengan meningkatnya kesadaran
terhadap green economy memberikan peluang Indonesia khususnya sebagai negara penyuplai
pangan dunia (feed the world).
Kemampuan memproduksi pangan nasional diimbangi dengan keberadaan lembaga pemerintah
yang menjalankan fungsi sebagai stabilisator harga pangan strategis di pasar dalam negeri
sekaligus mengelola sistem logistik pangan pemerintah. Pemerintah saat ini telah menetapkan
Perum BULOG menjalankan fungsi tersebut, agar harga pangan tidak berfluktuasi dan cadangan
pangan untuk kondisi darurat tetap terjaga. Bulog diharapkan mampu menjaga harga pangan di
pasar lokal sehingga petani menerima harga jual yang tetap memberikan keuntungan bagi
usaha taninya dan konsumen dapat membeli pangan dengan harga terjangkau. Setidaknya
untuk beberapa produk pangan strategis seperti beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi dan
minyak goreng.
Empat Strategi
Memperhatikan kondisi lingkungan eksternal, regulasi yang mendukung seperti MP3EI dan
analisis SWOT, setidaknya terdapat empat strategi yang dapat dilaksanakan untuk
melaksanakan politik pangan yang berbasis pada kedaulatan dan kemandirian.
Pertama, Regulasi. Harmonisasi implementasi Peraturan dan Undang-Undang antar
kementerian lembaga/ legislatif dan antara pusat/daerah ; Sinergitas program Kementerian/
Lembaga, fokus pada sektor pertanian dalam arti luas (mencakup pertanian tanaman pangan,
peternakan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan kehutanan) ; Alokasi anggaran APBD
untuk pembangunan sektor pertanian yang signifikan; Penguatan Kelembagaan yang terkait
dengan pertanian, seperti R & D, Perbankan dan penyuluhan; dan Sinergitas Akademisi, Bisnis,
Government (ABG) dan LSM untuk peningkatan inovasi dan produktivitas.
Kedua, Ketersediaan. Kesungguhan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan potensi
pangan lokal di wilayah masing-masing; Revitalisasi BUMN pangan guna meningkatkan produksi
untuk mendapatkan economy of scale sehingga dapat menjamin ketersediaan pangan; dan
dukungan Pemerintah untuk pengembangan sistem perbenihan dan perbibitan melalui
pemanfaatan hasil riset baik oleh lembaga pemerintah, perguruan tinggi, swasta, maupun
masyarakat.
Ketiga, Keterjangkauan. Melakukan penataan sistem logistik melalui perbaikan infrastruktur
jalan, perhubungan dan pergudangan agar dapat menurunkan biaya logistik untuk meningkatkan
daya saing; Memperpendek supply chain pangan melalui peningkatan peran Bulog untuk
stabilisasi harga komoditas pangan strategis dan menekan pasar yang bersifat oligopoli; dan
Membangun Sistem Pengawasan terhadap distribusi pangan dan berbagai subsidi input
produksi.
Keempat, Ketercukupan Gizi. Perbaikan gizi masyarakat melalui peningkatan konsumsi protein
dan menurunkan konsumsi karbohidrat sesuai dengan Pola Pangan Harapan; Peningkatan
diversifikasi konsumsi pangan lokal melalui pengembangan dan pemanfaatan sumber pangan di
masing-masing wilayahnya; Modernisasi industri pangan lokal mulai dari pengolahan hingga
pengemasan sehingga dapat menjadi kebanggaan dan sumber pendapatan baru bagi
masyarakat daerah; Peningkatan keamanan pangan untuk menjamin keselamatan konsumen
melalui pemberdayaan Badan POM dan Laboratorium Universitas di masing-masing daerah.
Yang jelas, pelaksanaan Politik Pangan Indonesia memerlukan sikap dan tindakan yang
konsisten dan dinamis berdasarkan pertimbangan perkembangan lingkungan eksternal dan
dihadapkan dengan analisis SWOT guna meningkatkan daya saing untuk menuju
IndonesiaIncorporated. Juga, penjabaran Politik Pangan membutuhkan sinergitas pemerintah
pusat dan daerah, antar kementerian/lembaga dengan melibatkan peran aktif perguruan tinggi,
pelaku usaha, dan masyarakat dalam membentuk regulasi untuk membangun ketahanan
pangan (ketersediaan, keterjangkauan dan ketercukupan gizi) sehingga dapat mewujudkan
IndonesiaFeed the World.
Selasa, 25 Desember 2012 - 15:31 WIB
Penanggulangan Kemiskinan: Multi-Approach StrategyOleh : Prof. Firmanzah, PhD, SKP bidang Ekonomi dan Pembangunan
- Dibaca: 889 kali
Rencana pembangunan nasional yang tertuang dalam RKP 2013 mengangkat
tema “Memperkuat Perekonomian Domestik bagiPeningkatan dan Perluasan Kesejahteraan
Rakyat”. Secara eksplisit tema tersebut menekankan pembangunan nasional dilakukan melalui
penguatan ekonomi domestik demi tercapainya perluasan kesejahteraan rakyat. Untuk
mewujudkan peningkatan dan perluasan kesejahteraan rakyat, Pemerintah dan DPR
menetapkan 11 prioritas nasional yang kesemuanya diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia. Peningkatan akses dan kualitas pendidikan,
kesehatan, infrastruktur, ketahanan pangan serta upaya penanggulangan kemiskinan
merupakan bagian dari prioritas pembangunan nasional 2013.
Penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir telah memberi
dampak yang signifikan terhadap perluasan kesejahteraan rakyat. Berdasarkan catatan World
Factbook dan World Bank, penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia termasuk yang
tercepat dibandingkan negara lainnya. Sepanjang periode 2005 hingga 2009, laju rata-rata
penurunan jumlah penduduk miskin Indonesia per tahun sebesar 0,8%, jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan pencapaian negara lain semisal Kamboja, Thailand, Cina, dan Brasil yang
hanya berada di kisaran 0,1% per tahun. Bahkan India mencatat hasil minus atau terjadi
penambahan penduduk miskin. Angka kemiskinan di tahun 2005 sebesar 15,97% (35,1 juta
orang) dapat ditekan menjadi 11,96% (29 juta orang) per Maret 2012 dan ditargetkan mencapai
11,5% di akhir 2012. Hal ini menunjukkan telah terjadi pengurangan jumlah penduduk miskin
hingga 6 juta orang dengan tingkat konsistensi penurunan yang terjaga termasuk pada pasca
krisis dan perlambatan global2008-2009.
Kemampuan Indonesia menjaga ketahanan ekonomi domestik (resilient) melalui keep buying
strategy juga telah menghadirkan fundamental ekonomi nasional yang kokoh. Hal ini menjadi
salah satu katalisator penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan selama beberapa tahun
terakhir. Dengan strategi ini, produktivitas nasional dapat dijaga dan ditingkatkan sehingga
terjadi peningkatan perluasan lapangan kerja. Permintaan barang dan jasa yang meningkat
menstimuli mesin-mesin produksi, permintaan tenaga kerja meningkat, pendapatan masyarakat
meningkat sehingga dapat memenuhi kebutuhan pokok (minimal 2100 kalori per hari). Siklus ini
dapat mendorong percepatan pengentasan kemiskinan sekaligus mempertahankan masyarakat
tidak ‘jatuh’ menjadi miskin akibat krisis global.
Peningkatan perluasan lapangan kerja ini menjadi salah satu exit strategy bagi jeratan
kemiskinan di Indonesia. Hingga Agustus 2012 tingkat pengangguran terbuka dapat ditekan
menjadi 6,14% dibanding 7,9% di tahun 2009. Capaian ini bahkan mendapat apresiasi dalam
laporan mid-term IMF 2012 di saat negara-negara maju menghadapi tingginya angka
pengangguran sebagai imbas dari krisis global. Selain keep buying strategy, berbagai program
percepatan pembangunan juga memberi andil bagi perluasan lapangan kerja yang kemudian
mendorong tenaga kerja di sektor formal semakin meningkat hingga menghampiri 40%.
Komitmen dan konsistensi Pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan juga telah
dituangkan dalam Masterplan Percepatan
dan
Perluasan Pengurangan Kemiskinan di Indonesia (MP3KI) 2012-
2025. Untuk mengawal program pengentasan kemiskinan, Pemerintah telah membentuk Tim
Nasipnal Percepatan Pengentasan Kemiskinan (TNP2K). Perkembangan penanggulanagan
kemiskinan yang dilakukan melalui 4 klaster sebagai target sasaran telah mencapai hasil yang
semakin baik. Tahun 2013, Pemerintah mendorong program integrasi Klaster I hingga IV untuk
mengakselerasi percepatan pengentasan kemiskinan sehingga mempermudah pencapaian
target di akhir 2013. Dengan berbagai program yang didesain dalam kerangka besar percepatan
pembangunan, kemiskinan di Indonesia diharapkan dapat ditekan hingga 8-9 persen di akhir
2014. Kinerja program pengentasan kemiskinan telah mampu menekan angka kemiskinan
secara bertahap. Sepanjang 2005-2012 angka kemiskinan menurun rata-rata antara 1,16 persen
hingga 1,27 persen per tahun dan mampu menyelamatkan sekitar 7 juta jiwa keluar dari
lingkaran kemiskinan.
Namun demikian, masih banyak tantangan yang memerlukan penanganan dan respon yang
tepat dalam rangka mempercepat pengentasan kemiskinan nasional. Pertama, tekanan
perlambatan global berpotensi memberi efek pada ekonomi nasional sehingga prinsip kehati-
hatian dalam mendorong percepatan pembangunan terus dilakukan. Kebijakan anggaran dan
disiplin fiskal terus ditingkatkan untuk meningkatkan resiliency ekonomi Indonesia. Hal ini belajar
dari krisis di zona Eropa dimana proporsi utang terhadap PDB yang melampui batas aman
berbahaya bagi perekonomian. Kondisi ini membuat banyak negara di Eropa yang mengalami
krisis, meningkatnya pengangguran dan penutupan perusahaan.
Kedua, profil sebaran kemiskinan yang banyak berada di wilayah pedesaan dengan 72 persen
diantaranya berada di sektor pertanian. Industrialisasi dan hilirisasi yang sedang berjalan
diharapkan menjadi respon positif dalam mengatasi persoalan ini. Dengan sebaran
industrialisasi dan hilirisasi khususnya di luar Jawa selain meningkatkan nilai tambah produksi
juga diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja dan usaha baru. Pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi baru akan terus diperbanyak di luar Pulau Jawa. Hal ini akan menstimuli pembangunan
di luar Pulau Jawa, dan kedepannya akan lebih banyak lagi daerah yang akan berkembang.
Ketiga, kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks dengan dinamika yang tinggi.
Kompleksitas persoalan kemiskinan tidak dapat hanya dijelaskan dengan pendekatan ekonomi
saja. Kemiskinan terkait dengan dinamika sosial, politik dan budaya yang melekat dalam satu
komunitas. Dengan demikian, penanggulangan kemiskinan bersifat multi-dimensi dan
memerlukan penanganan secara komprehensif pula. Sinergi dan saling-dukung baik antara
Pemerintah Pusat-Daerah, antar Kementrian/Lembaga serta semua elemen stakeholder perlu
terus kita tingkatkan. Melalui keterpaduan program serta didukung efisiensi dan efektivitas
program maka kemiskinan di Indonesia dapat kita akselerasi penurunnya.
Keempat, penanggulangan kemiskinan tidak semata mendorong kelompok miskin keluar dari
garis kemiskinan, tetapi juga mempertahankan kelompok masyarakat yang hampir miskin tidak
‘jatuh’ menjadi kelompok miskin. Data dari BPS menunjukkan jumlah penduduk ‘hampir-miskin’
pada 2011 sebesar 27.12 juta jiwa atau 10.28 persen dari total penduduk. Kelompok ini juga
perlu ‘dilindungi’ dari berkurangnya daya beli akibat inflasi yang tinggi serta memperbesar akses
ke sektor-sektor produktif. Oleh karenanya, pemerintah terus berupaya menekan laju inflasi
untuk tidak mengurangi daya beli masyarakat. Inflasi pada 2011 hanya berkisar 3.79
persen dan dibawah target semula sebesar 5.7 persen. Pada 2012, kita berharap angka inflasi
tetap terkendali dan berkisar 4.4-4.5 persen. Untuk aksesibilitas ke sektor produktif, program
pemberdayaan masyarakat, perluasan akses keuangan (modal), akses produksi dan pasar
dilakukan melalui berbagai program baik yang dilakukan pemerintah pusat maupun daerah.
Dan terakhir, tingkat kepemilikan masalah kemiskinan tidak terlepas dari dinamikan daya beli
dan realita inflasi. Daya beli perlu dikuti dengan pengendalian inflasi. Walaupun inflasi nasional
terjaga di kisaran 4%, namun efeknya bervariasi pada setiap lapisan masyarakat. Hal ini dapat
terlihat dari poverty basket inflation sebesar 10,9 persen pada 2011, dan pada semester 1-2012
tercatat sebesar 6,52 persen. Hal ini terutama pada volatilitas harga kelompok makanan sebagai
penyumbang terbesar garis kemiskinan yang mencapai 73,5 persen. Untuk mengatasi hal ini,
Pemerintah telah menetapkan ketahanan pangan sebagai salah satu prioritas pembangunan
nasional. Produksi padi, kedelai, sapi, ayam, gula, dan kelompok makanan lainnya didorong
untuk terus ditingkatkan untuk mewujudkan kemandirian pangan nasional.
Politik Untuk Kesejahteraan Rakyat*)Oleh : Kuncoro
- Dibaca: 971 kali
Definisi Politik sangat beragam, ada yang mendefinisikan negatif dan ada yang positif. Politik
sering didefinisikan negatif sebagai arena pertarungan kepentingan yang penuh muslihat ketika
politik sering dipergunakan untuk mencari kekuasaan atau kewenangan, suatu proses
pembuatan keputusan secara kolektif, suatu alokasi yang langka atau sebagai arena
pertaruangan kepentingan yang penuh muslihat.
Dalam pemikiran Islam, politik lebih dikenal dengan namasiyasah, yakni ilmu yang mengurusi
umat. Namun ada juga yang mengartikan politik sebagai proses pembentukan dan pembagian
kekuasaan dalam masyarakat antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya
dalam negara. Pengertian ini merupakan penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda
mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Dengan magnet kekuasaan pula takala rakyat menjerit karena didera kebutuhan sehari- hari,
para wakil rakyat justru sibuk mengusulkan kenaikan gaji dan menuntut fasilitas lebih istimewa
bagi dirinya sendiri. Takala seruan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme begitu nyaring
didengar, justru KKN itu sekarang semakin parah dilakukan oleh orang-orang yang dulu
berteriak berantas KKN.
Ketidakdewasaan dalam melakukan komunikasi politik telah banyak memanaskan situasi
negara. Politisi yang provokatif dan destruktif sering membuat permusuhan di antara pendukung
berbagai partai politik atau dalam satu partai politik sekalipun. Mereka telah kehilangan
keseimbangan dalam komunikasi dan digantikan dengan tradisi ucapan dan tindakan yang
kontra produktif, antagonis, distorsi komunikasi, dan manipulatif, statemen yang intimidatif. Hal
ini tentu dapat memicu dan memacu terjadinya konflik horizontal antar kelompok.
Gelombang pemberitaan negatif mengenai sepak terjang partai politik lebih banyak didengar
masyarakat dibanding prestasinya. Lihat saja fenomena pemilihan kepala daerah baik di tingkat
provinsi, kota dan kabupaten. Masyarakat disuguhi manuver politik elite partai yang gencar
melakukan intervensi untuk memaksakan “jagonya” dalam memenangkan pemilihan kepala
daerah kendati harus membungkam suara arus bawah mereka.
Citra negatif terhadap partai politik semakin mengkristal manakala bibit konflik internal partai
terus tumbuh membesar dan rakyat terus disuguhi tontonan gratis konflik partai yang diekspose
terbuka. Persepsi negatif publik atas partai politik kian menguat seiring tidak meredanya konflik
internal.
Dari citra positif, politik sudah saatnya dikembalikan pada esensi dasarnya yaitu sebagai sarana
untuk menciptakan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya.
Pada esensinya, politik adalah seni mengelola keserbamungkinan dalam menyikapi realita
kehidupan menuju arah yang lebih baik. Citra-citra negatif tentang politik yang jauh dari
semangat kesejahteraan rakyat bukanlah sesuatu yang tidak bisa diubah asal ada keinginan
yang kuat dalam diri praktisi politik untuk mengubah paradigma secara radikal.
Berpolitik yang beradab akan menghasilkan keputusan yang mereduksi berbagai anasir perusak
kontrak sosial antara negara dan rakyat , serta spirit yang bisa menghambat berkecamuknya
hegemoni kebijakan pemerintah. Setiap partai politik memiliki visi dan langkah politik untuk
menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama terjadinya perbaikan kinerja ekonomi,
penegakan hukum dan kukuhnya peradaban dalam percaturan politik. Dengan demikian
berbagai rancangan ke arah pembenaran bidang-bidang itu memiliki tujuan pasti.
Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang, kemiskinan
tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi
manfaat pada kesejahteraan rakyat.
Tidaklah salah jika partai politik ditempatkan sebagai instrumen penting dalam mempermudah
terciptanya iklim demokrasi, sebagai jalan yang dianggap paling mudah mencapai kesejahteraan
tersebut. Hal ini tidak terlepas dari cita-cita sistem demokrasi yang dianggap peluang bagi rakyat
untuk memperjuangkan hak-haknya, sekaligus mengapresiasikan masyarakat dan
menempatkan pada posisi yang sangat terhormat.
Partai politik hendaknya menyakini sedalam-dalamnya bahwa posisi manusia menempati urutan
pertama dalam tujuan pembangunan nasional. Artinya, pembangunan ekonomi diyakini harus
sejalan dengan pembangunan sosial, sehingga pertumbuhan ekonomi bermanfaat langsung
terhadap peningkatan kualitas kesejahteraan sosial dapat menyumbang langsung terhadap
pembangunan ekonomi.
Politik yang beretika akan menempatkan program layanan pengembangan kesejahteraan sosial
sebagai komponen dalam hak-hak asasi manusia yang berlaku universal bagi seluruh warga
negara, dan diarahkan untuk memberikan perlindungan sosial terhadap upaya pemenuhan hak
atas kebutuhan dasar. Selain itu politik yang beretika akan berusaha mendukung terwujudnya
sikap kepedulian sosial di masyarakat melalui teladan mereka secara nyata.
*) Resume Bedah Buku “Politik untuk Kesejahteraan” oleh Dr. Ir. Mohammad Jafar Hafsah
Jumat, 21 Desember 2012 - 10:07 WIB
Ekomoni Biru dan Pembangunan BerkelanjutanOleh : Eddy Cahyono Sugiarto
- Dibaca: 911 kali
Paradigma baru pembangunan ekonomi berkelanjutan
Dalam dekade terakhir ini konsepsi ekonomi biru semakin sering diperbincangkan sebagai
alternatif kebijakan dalam mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakat, ekonomi biru
menawarkan aktivitas ekonomi yang mengedepankan kelestarian lingkungan, menggerakkan
perekonomian yang rendah karbon (low carbon economy) dengan meninggalkan praktek
ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek, yang mengeksploitasi sumber daya
alam dan lingkungan.
Konsep ekonomi biru pertama kali diperkenalkan oleh Gunter Pauli, Pendiri Zero Emissions
Research Institute, pada bukunya (2010) yang berjudul Blue Economy: 10 Years-100
initiatives-100 Milion Jobs” buku ini mengungkapkan tujuan akhir dari model ekonomi biru,
yang akan menggeser masyarakat dari kelangkaan menuju kelimpahan dengan apa yang
dimiliki, beberapa prinsip pokok pemikiran Gunter Pauli terkait konsep ekonomi biru,
setidaknya mengacu pada efesiensi sumber daya, nirlimbah (zero waste), inklusi sosial,
pemerataan sosial dan kesempatan kerja bagi orang miskin, inovasi dan adaptasi serta efek
ekonomi pengganda.
Lesson Learn dari implementasi Ekonomi Biru Maroko
Keberhasilan Pemerintah Maroko dalam memanfaatkan sumber daya alam secara
berkelanjutan dengan prinsip ekonomi biru dan teknologi yang ramah lingkungan dapat dijadikan
pelajaran berharga bagi upaya meningkatkan pendapatan nelayan maupun perekonomian
negara. Kendati Maroko sebuah negara kecil, mereka mampu meningkatkan pemanfaatan SDA
hingga berlipat ganda, sebelumnya, pendapatan nelayan di Maroko hanya US$2.000 per bulan,
namun setelah menerapkan prinsip-prinsip ekonomi biru, naik menjadi US$10.000 per bulan.
Pada saat yang sama, kinerja ekspor tetap dapat terjaga, kendati volume ekspor hasil kelautan
turun, tetapi nilainya tetap naik, nelayan di Maroko tidak mengunakan jaring dalam menangkap
ikan dan perahu serta tidak menggunakan bakan bakar minyak, tetapi menggunakan tenaga
angin dan surya serta tenaga arus, disamping ramah lingkungan, prinsip inklusi sosial tetap
terpelihara karena tidak ada dominasi penguasaan aset ekonomi kelautan pada kelompok besar
dan pemiliki modal yang terbukti menimbulkan kesenjangan pendapatan.
Ekonomi Biru dan relevansinya bagi Indonesia
Presiden RI dalam Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB Rio+20 di Rio de Janeiro,
Brasil, Juni 2012, menawarkan gagasan akan perlunya dikembangkan blue economy dalam
mendukung pembangunan berkelanjutan, ajakan kepada dunia agar berpaling ke laut dan
guna mendorong kesadaran global terhadap pengelolaan laut dan sumber daya pesisir. Prinsip
ekonomi biru dinilai tepat dalam membantu dunia untuk menghadapi tantangan perubahan iklim,
sehingga dapat terwujudnya pembangunan berkelanjutan secara terpadu dan selaras dengan
upaya pengentasan kemiskinan, gagasan tersebut mendapatkan apresiasi yang sangat tinggi
dari masyarakat internasional.
Sebagai tindaklanjutnya, gagasan besar Presiden RI tersebut telah diangkat sebagai topik
bahasan dalam berbagai forum kerjasama internasional, antara lain pada pertemuan tingkat
'Senior Officials Meeting (SOM) for the Asia Pacific Economic Cooperation' (APEC) dan
puncaknya, pada pada 2013, Indonesia akan menjadi tuan rumah terkait Kerjasama Ekonomi
Asia Pasifik APEC, yang antara lain menjadikan ekonomi biru sebagai salah satu agenda
yang akan dibahas, sekaligus membuktikan keseriusan Indonesia membawa diskusi ekonomi
biru pada tingkat bilateral dan multilateral .
Bagi Indonesia pengembangan ekonomi biru bukanlah tanpa alasan, mengingat luas laut
Indonesia lebih kurang 5,8 juta km2 atau 2/3 luas wilayah RI dengan garis pantai sepanjang
95.181 km atau terpanjang kedua didunia setelah Kanada, dengan potensi sumberdaya,
terutama sumberdaya perikanan laut yang cukup besar, baik dari segi kuantitas maupun
diversitas.
Wilayah laut Indonesia yang dimulai dari laut teritorial, Zona Tambahan (contiguous zone), Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) sampai dengan Landas Kontinen (continental shelf), memiliki
sumberdaya alam yang sangat berlimpah, baik sumberdaya terbaharukan (renewable
resources) seperti perikanan, terumbu karang dan mangrove maupun sumberdaya tak
terbaharukan (non-renewable resources) seperti minyak bumi, gas, mineral dan bahan tambang
lainnya.
Laut memiliki peran geoekonomi yang sangat vital bagi kemakmuran bangsa Indonesia dalam
11 sektor ekonomi. Sebelas sektor itu di antaranya perikanan tangkap, perikanan budi daya,
industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, pertambangan dan energi,
pariwisata bahari, transportasi laut, kehutanan, sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, industri
dan jasa maritim, serta sumber daya alam nonkonvensional, diperkirakan potensi ekonomi laut
Indonesia sekitar 1,2 triliun dolar AS per tahun, atau dapat dikatakan setara dengan 10 kali
APBN negara pada 2012.
Sayangnya, potensi ekonomi kelautan yang sangat besar itu ibarat raksasa yang tertidur, belum
dapat kita transformasikan menjadi sumber kemajuan dan kemakmuran bangsa.
Menyatukan visi mentransformasi potensi menjadi sumber kemakmuran bangsa
Salah satu cara untuk mencapai transformasi potensi untuk ekonomi biru melalui konservasi
keanekaragaman hayati yang berpusat pada rakyat, dengan tetap memperhatikan kearifan
lokal. Pendekatan ini fokus pada "win-win" yang mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi melalui
konsultasi termasuk semua pemangku kepentingan. Namun, perlu dibarengi dengan pelestarian
ekosistem yang menyediakan makanan, mata pencaharian dan pendapatan kepada masyarakat
setempat.
Masyarakat pesisir dan nelayan perlu diedukasi akan pentingnya memelihara ekosistem dengan
menghilangkan praktik-praktik “jalan pintas” dalam memanfaatkan nilai ekonomi kelautan dan
perikanan yang ada, misalnya praktik menangkap ikan dengan bom ikan, mereduksi
pengembangan wisata bahari yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan, serta kegiatan
eksplorasi sumber daya tak terbaharukan tanpa mengindahkan keberlanjutan pemanfaatannya
pada masa mendatang.
Pendekatan ini dapat berkembang dengan mensinergikan pengelolaan ekosistem laut dengan
ketahanan pangan, strategi pembangunan ekonomi dan sosial, serta transisi ekonomi, pasar,
industri dan masyarakat menuju pola yang lebih berkelanjutan terhadap penggunaan sumber
daya kelautan dan pesisir dari waktu ke waktu.
Kolaborasi dan integrasi antara dunia pendidikan atau riset, pemerintah dan swasta adalah kata
kunci suksesnya implementasi ekonomi biru, diperlukan manajemen pesisir dan laut terpadu
yang berbasis riset agar tercipta inovasi-inovasi baru sehingga dimiliki daya saing dan nilai
tambah dari potensi yang ada sehingga kita tidak mengalami potential lost.
Perubahan besar sangat diperlukan dalam cara kita menggunakan, mengembangkan dan
mengelola potensi yang ada, diperlukan adanya tekad dan semangat dari para pemangku
kepentingan untuk melihat laut sebagai masa depan ekonomi bangsa Indonesia sebagai
bangsa bahari/maritim, menyatukan visi memahami boundary object, fokus, serta sungguh-
sungguh dalam mendorong akselerasi sinergitas dan peningkatan kapabilitas koordinasi sebagai
prasyarat utama untuk memastikan seluruh subsistem pendukung bekerja, karena disanalah
kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia di masa datang akan dapat diwujudkan.
Pendekatan ekonomi biru (blue economy) yang menekankan keberlanjutan diharapkan akan
mampu mengatasi ketergantungan antara ekonomi dan ekosistem serta dampak negatif akibat
aktivitas ekonomi termasuk perubahan iklim dan pemanasan global, serta bersinergi dengan
program pro-poor (pengentasan kemiskinan), pro-growth (pertumbuhan), pro-job (penyerapan
tenaga kerja) dan pro-environment (melestarikan lingkungan). Semoga.
Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan
Ketahanan Pangan dan Energi : Reiterasi Presiden SBY DI ASEAN - India Summit 2012Oleh : Jusuf, SKP bidang Pangan dan Energi
- Dibaca: 511 kali
Setelah 20 tahun menjalin hubungan, ASEAN-India memiliki kesempatan membangun tujuan
baru yang lebih lanjut akan meningkatkan kemitraan kedua belah pihak. Suatu tujuan baru yang
mensinergikan kebijakan India, Look East Policy dan danCommunity Building Effort milik
ASEAN. Untuk itu, perlu adanya pengaturan bidang prioritas kerjasama strategis sebagai
patokan dalam dua puluh tahun ke depan. Terkait hal tersebut salah satu hal penting yang
disoroti adalah perlunya dimulai dan dipromosikannya kerjasama bidang ketahanan pangan dan
energi antara ASEAN-India.
Penegasan tersebut disampaikan dalam pidato Presiden SBY pada KTT Peringatan
(Commemorative Summit) ASEAN-India, di New Delhi. KTT Peringatan ulang tahun ke-20 kerja
sama ASEAN-India tersebut mengambil tema “ASEAN-India Partnership for Peace and Shared
Prosperity”. Kegiatan tersebut merupakan salah satu rangkaian acara penting selama kunjungan
Presiden SBY ke luar negeri, yakni Malaysia dan India pada 20-21 Desember 2012. KTT ini
memiliki arti yang strategis dalam kerja sama ASEAN-India karena tidak saja ditujukan untuk
memperingati 20 tahun kemitraan ASEAN-India, namun juga untuk memetakan kerja sama
ASEAN-India untuk satu dasawarsa ke depan.
India telah menjadi mitra wicara penuh dengan ASEAN sejak KTT ke-5 ASEAN di Bangkok,
Thailand tanggal 14-15 Desember 1995. Sebelumnya menjadi mitra wicara sektoral sejak 1992.
Melalui kebijakan luar negerinya yang baru yaitu “Look East Policy”, India semakin memberikan
perhatian terhadap kawasan Asia Tenggara. Kebijakan ini bertujuan untuk mengintegrasikan
ekonomi India secara lebih serius dan mendalam dengan negara-negara sahabat di kawasan
timurnya. India semakin aktif berpartisipasi dalam berbagai forum ASEAN, seperti KTT ASEAN-
India, KTT Asia Timur, ASEAN Regional Forum, dan Post Ministerial Conference (PMC) sejak
menjadi mitra wicara penuh ASEAN.
Top of Form
Dengan populasi gabungan dari 1,8 miliar, ASEAN dan India harus mengatasi kedua masalah
strategis ketahanan pangan dan keamanan energi. Dalam kasus keamanan energi, diperkirakan
bahwa kebutuhan energi dunia akan meningkat 50 persen pada tahun 2030 dan wilayah ASEAN
dan India plus China diprediksi akan memerlukan lebih banyak energi. Beberapa negara akan
menjadi lebih tergantung pada BBM untuk memenuhi kebutuhan energinya. Oleh karena itu
penting bagi ASEAN-India untuk bekerja sama dalam mengembangkan sumber energi baru dan
terbarukan.
Sedangkan dalam bidang ketahanan pangan, karena penduduk negara – negara anggota
ASEAN plus India diperkirakan oleh Divisi Populasi dari The United Nations Department of
Economic and Social Affairs (UNDESA) akan mencapai sekitar 2 miliar pada tahun 2025, maka
ASEAN-India akan menghadapi tantangan mendesak untuk menyediakan kecukupan pasokan
pangan bagi penduduknya. Ini dapat diatasi apabila ASEAN-India mampu meningkatkan
produksi pangan, produktivitas lahan dan keterjangkauan harga pangan. Oleh karena itu,
diperlukan upaya nyata untuk mengatasi masalah ketahanan pangan dan energi. Termasuk
diantaranya adalah dengan mendorong kerjasama penelitian tingkat lanjut di sektor pertanian
antar pusat-pusat penelitian pangan maupun energi di ASEAN dan India.
Penegasan dan sekaligus ajakan kepala negara tersebut merupakan cermin dari keseriusan
pemerintah Indonesia dalam bidang ketahanan pangan dan energi. Food and energy
securitymerupakan salah satu aspek pembangunan yang mendapatkan perhatian khusus dalam
proses pembangunan nasional sejak era kepemimpinan Presiden SBY. Keseriusan tersebut
diwujudkan dalam bentuk kebijakan, program maupun gerakan. Dalam bidang ketahanan
pangan diantaranya adalah melalui Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi
(GP3K), sinergitas akademisi, bisnis, pemerintah dan lembaga masyarakat (ABG Plus) untuk
peningkatan produksi pangan, melaksanakan revitalisasi Bulog sebagai lembaga penyangga
pangan nasional, serta mengesahkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
GP3K diawali dengan Instruksi Presiden no. 5 Tahun 2011 tentang Pengamanan Produksi Beras
Nasional Dalam Menghadapi Iklim Ekstrim. Dalam Inpres tersebut Kementerian dan BUMN
memiliki tugas untuk menyediakan lahan pada kawasan hutan dengan pola tumpang sari
produksi untuk tanaman padi, menyediakan dan menyalurkan sarana produksi dan distribusi
beras, serta mengadakan dan mengelola cadangan beras pemerintah. Implementasi program
GP3K dilakukan melalui pendekatan Optimasisasi Lahan Sawah, yaitu inovasi paket usaha tani
dikembangkan di lahan sawah untuk meningkatkan produktivitas. Adapun skema kerja sama
dengan petani adalah sistem Yarnen (Bayar Panen) dimana seluruh kebutuhan sarana produksi
petani dibantu dalam bentuk pinjaman natura dan innatura serta dikembalikan oleh petani
setelah Panen.
Pelaksanaan ABG Plus merupakan kerjasama antara akademisi, bisnis, Government, plus
lembaga masyarakat. Peningkatan produksi dilakukan secara terintegrasi agar sistem pertanian
dari hulu sampai hilir berlangsung secara efisien dan efektif, disertai adanya jaminan pasar dan
harga. Pengelolaan secara terintegrasi akan memaksimalkan potensi (resources) yang terdapat
pada masing-masing pelaku, sehingga produksi dapat meningkat dan profit oriented pada petani
atau Poktan/Gapoktan untuk kesejahteraan rakyat kecil dapat meningkat pula.
Revitalisasi Perum Bulog dimaksudkan untuk menjadikan BUMN pangan tersebut sebagai
penyangga tiga komoditas utama yakni beras, gula, dan kedelai. Perum Bulog akan mendapat
kuota impor setelah ada pembicaraan dengan Menteri Pertanian sehingga impor ketiga
komoditas penting tersebut tidak seluruhnya diserahkan kepada swasta. Kebijakan tersebut
bukan untuk mematikan swasta, namun agar Perum Bulog mempunyai stok, sehingga jika terjadi
kekurangan pasokan di pasar, BUMN pangan ini dapat melakukan intervensi untuk menjaga
kestabilan harga.
Sementara itu, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan memberikan penegasan
tentang ketahanan pangan nasional yang harus dibangun dengan dasar azaz kemandirian dan
kedaulatan pangan. Produksi dalam negeri menjadi tumpuan utama pasokan pangan nasional
sedangkan pangan impor merupakan pilihan terakhir manakala produksi dalam negeri tidak
mencukupi. Bahkan, Indonesia mentargetkan untuk menjadi pemasok beras dunia dengan
pencanangan produksi beras surplus 10 juta ton di tahun 2014.
Di bidang ketahanan energi, wujud nyata perhatian Presiden SBY diantaranya adalah adanya
komitmen pemerintah untuk menurunkan ketergantungan pada minyak bumi serta meningkatkan
peran jenis energi baru dan terbarukan sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden nomor
5/2006. Salah satu tindaklanjutnya adalah pembentukan Direktorat Jenderal Energi Baru dan
Terbarukan (Ditjen EBTK) di Kementerian ESDM yang khusus menangani bidang tersebut.
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menjaga kesinambungan ketersediaan energi
nasional yang berlanjutan dengan memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan, serta
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penggunaan energi terbarukan dan konservasi
energi. Melalui Blue Print Pengelolaan Energi Nasional, pemerintah telah menetapkan target
pemanfaatan energi baru dan terbarukan, khususnya biomassa, nuklir, tenaga air, tenaga surya
dan tenaga angin menjadi lebih dari 17 persen hingga 2025.
Pemerintah menyadari untuk mewujudkan ketahanan pangan dan energi bukanlah hal yang
mudah dan dapat dicapai dalam waktu singkat. Perlu proses panjang, perencanaan yang
matang dan kerja keras serta sinergi dari seluruh pemangku kepentingan untuk mewujudkannya.
Hambatan dan tantangan yang menghadang pun tidak sedikit. Namun dengan melihat hasil –
hasil capaian pembangunan dalam dua bidang tersebut selama ini, kita yakin bahwa negeri ini
akan mampu memiliki ketahanan pangan dan energi yang kuat di masa mendatang.
Ekonomi KreatifOleh : Eddy Cahyono Sugiarto, Asisten SKP Bidang Ekonomi dan Pembangunan
- Dibaca: 927 kali
DUNIA kini tengah memasuki era industri gelombang keempat, yaitu industri ekonomi kreatif
(creative economic industry), usaha industri ekonomi kreatif diprediksi akan menjadi industri
masa depan sebagai fourth wave industry (industri gelombang keempat), yang menekankan
pada gagasan dan ide kreatif, hal ini bukan tanpa alasan, mengingat industri ekonomi kreatif
telah mampu mengikat pasar dunia dengan jutaan kreativitas dan persepsi yang dapat dijual
secara global. Walt Disney di Amerika Serikat, contohnya, mereka hanya menjual lisensi, brand,
dan ide kreatifnya. Pabriknya tidak perlu di AS, tetapi bisa di Cina, India dan lokasi lainnya.
Ekonomi Kreatif merupakan sebuah konsep ekonomi di era ekonomi baru yang mengintensifkan
informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan stock of knowledge dari Sumber Daya
Manusia (SDM) sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya.
Howkins (2001) dalam bukunya The Creative Economy menemukan kehadiran
gelombangekonomi kreatif setelah menyadari pertama kali pada tahun 1996, ekspor karya hak
cipta Amerika Serikat mempunyai nilai penjualan sebesar 60,18 miliar dollar AS jauh melampaui
ekspor sektor lainnya seperti otomotif, pertanian, dan pesawat.
Fenomena Gangnam Style yang mewabah menjadi sekedar contoh bagaimana kreatifitas
dapat menjadi mesin ekonomi baru bagi Korea Selatan. Maka menjadi tidak berlebihan bila
Howkins menyebutkan ekonomi baru telah muncul seputar industri kreatif, yang dikendalikan
oleh hukum kekayaan intelektual seperti paten, hak cipta, merek, royalti dan desain.
Ekonomi kreatif menunjang pengembangan wilayah ekonomi baru
Tempat-tempat dan kota-kota yang mampu menciptakan produk-produk baru inovatif dan
tercepat akan menjadi pemenang di era ekonomi kreatif. Ramalan Richard Florida (2004) ini
kian hari terlihat semakin nyata, termasuk di Indonesia. Kita dapat melihat bagaimana
perkembangan kota Solo dengan Wisata Kuliner, Pasar Seni/Barang Antik dan pertunjukan Seni
berbasis Budaya, Kota Bandung dengan distro atau factory outletnya, Kota Jember
dengan Jember Fashion Festivalnya atau bagaimana Kota Bangkok mengemas potensi
wisata Chao Praya River yang sesungguhnya “biasa-biasa saja” menjadi “luar biasa”, dimana
pada setiap pemberhentian jalur sungai, dengan sentuhan kreatifitas dan inovasi, menjelma
menjadi destinasi wisata yang berperan sentral dalam menggerakkan ekonomi masyarakat
lokal, dengan beragam produk kerajinan, pertunjukan seni dan event lainnya.
Mengingat peran ekonomi kreatif yang semakin meningkat bagi perekonomian suatu wilayah,
utamanya terhadap pengembangan ekonomi berbasis UMKM, maka tidaklah berlebihan bila
semakin banyak kota yang menjadikan ekonomi kreatif sebagai ujung tombak dan katalisator
pengembangan ekonomi daerahnya, Untuk menjadi pemenang di tengah persaingan yang
semakin ketat, menurut Florida (The Rise of Creative Class), kota-kota, daerah, dan provinsi
harus lebih menumbuhkan "iklim orang-orang." Yang dimotori oleh kaum muda, dengan
semangat inovasi dan kreatifitas, mampu berperan layaknya Midas Touch, memoles sesuatu
yang “biasa” menjadi “luar biasa”.
Komitmen Pemerintah RI dalam mendukung Pengembangan Ekonomi Kreatif
Keseriusan Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan ekonomi kreatif ditandai dengan
keluarnya Inpres No. 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif yang berisi
instruksi Presiden kepada Menteri, Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, seluruh
Gubernur, Bupati/Walikota yang intinya agar mendukung kebijakan pengembangan Ekonomi
Kreatif tahun 2009-2015, utamanya dalam pengembangan kegiatan ekonomi yang mendasarkan
pada kreatifitas, ketrampilan daya kreasi dan daya cipta dengan menyusun serta melaksanakan
rencana aksi mendukung suksesnya pengembangan ekonomi kreatif tersebut. Disamping itu,
berdasarkan Perpres N0.92/2011 pada tanggal 21 Desember 2011, telah dibentuk Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan visi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kualitas
hidup masyarakat Indonesia dengan menggerakkan kepariwisataan dan ekonomi kreatif.
Presiden RI di sela-sela kunjungan kenegaraan ke Inggris 31 Oktober 2012, juga telah
mengadakan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Inggris, dan salah satu hasilnya
adalah ditandatanganinya nota kesepahaman antar kedua negara, mengenai kerjasama
ekonomi kreatif, yang akan difokuskan pada kerjasama pelaku kreatif antar kedua negara dan
pengembangan sumber daya manusia, melalui pertukaran informasi dan pengetahuan,
peningkatan kapasitas (capacity building), pelatihan, penelitian dan showcase, implementasi
nota kesepahaman akan dijalankan oleh (Kemenparektaf) dan The British Council.
Terakhir, dalam acara Hipmi Economic Outlook 12/12/2012 di Denpasar Bali, kembali
Presiden RI mengingatkan betapa pentingnya pengembangan ekonomi kreatif, sebagai sektor
ekonomi baru yang tumbuh signifikan mengingat potensi dan kelebihan yang kita miliki lebih
unggul dibandingkan dengan negara lain.
Pemilihan strategi kebijakan mengembangkan ekonomi kreatif di tengah pelambatan
pertumbuhan ekonomi global, ini bukan tanpa alasan, kontribusi sektor ekonomi kreatif terus
meningkat dalam beberapa tahun terakhir, di mana pada 2010 mencapai Rp 472,8 triliun dan
mampu menyerap 11,49 tenaga kerja dan pada 2011 naik menjadi Rp 526 triliun dengan
serapan 11,51 juta tenaga kerja.
Tahun ini angka itu ditargetkan terdongkrak menjadi Rp573,4 triliun dengan serapan 11,57 juta
tenaga kerja.
Pengembangan ekonomi kreatif akan sangat berperan dalam mengembangkan job
creation, mengingat besarnya potensi ekonomi kreatif yang dimiliki Indonesia, dengan lebih dari
300 suku bangsa. Dari sisi demografi penduduk usia muda yang mencapai 43% menjadi modal
plus yang kita miliki, karena kreatifitas sangat dekat dengan kaum muda. Pengembangan
ekonomi kreatif juga akan berdampak langsung bagi masyarakat kalangan menengah ke
bawah, mengingat sektor ekonomi kreatif, sebagian besar digerakkan oleh pelaku UMKM dan
sangat potensial menjadi kekuatan dashyat untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju,
oleh karena itu menjadi jelaslah bahwa ekonomi kreatif perlu dijadikan sebagai salah satu
sektor yang harus didorong perkembangannya.
Mengatasi tantangan menerjemahkan komitmen
Besarnya potensi pengembangan ekonomi kreatif yang dimiliki Indonesia, dengan karunia
Tuhan akan kekayaan dan keragaman budaya, keindahan geografis wilayah serta sumber daya
manusia kaum muda yang indentik dengan dunia kreatif, perlu ditransformasikan menjadikan
kekuatan ekonomi baru, bagi peningkatan daya saing dan nilai tambah ekonomi sehingga
dapat berkonstribusi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat sebagaimana cita-cita didirikannya
suatu negara.
Oleh karena itu, diperlukan adanya sinergitas dari semua pemangku kepentingan, dalam
mengatasi berbagai tantangan yang berpotensi menjadi bottleneck pengembangan ekonomi
kreatif, utamanya dalam membangun akselerasi sinergitas meningkatkan kuantitas dan
kualitas sumber daya manusia (SDM) kreatif, karena mayoritas SDM yang menyokong
ekonomi kreatif Indonesia sebagian besar belajar secara otodidak, disamping itu perlindungan
HAKI yang kita miliki juga masih jauh dari harapan,. Infrastruktur teknologi informasi belum
kompetitif dan dukungan pembiayaan dari perbankan yang belum optimal, disamping penetrasi
pasar yang lemah karena adapsi teknologi informasi melalui online marketing belum
membudaya.
Bercermin dari beberapa bottleneck sebagaimana yang diidentifikasikan di atas, seyogyanya
K/L pusat dan daerah sebagai perumus kebijakan ekonomi kreatif diharapkan dapat
memfasilitasi, memotivasi dan menginspirasi pengembangan ekonomi kreatif dalam bentuk
rencana aksi yang kongkrit dan terukur, dengan menjadikan ekonomi kreatif sebagai bisnis masa
depan yang menjanjikan, memfasilitasi promosi dan mengintensifkan bantuan modal usaha,
kalangan bisnis diharapkan dapat mengoptimalkan self development, mengembangkan
kapasitas usaha melalui sistem lokomotif – gerbong, dari pengusaha besar ke pengusaha kecil,
dan tak kalah pentingnya adalah dukungan cendikiawan melalui pengembangan penetrasi pasar
dengan pemanfaatanonline marketing, disamping berbagai terobosan lain, berpikir out of the
box, menciptakan linkage atau konektivitas ekonomi kreatif dengan pariwisata,
sebagai venue untuk proses produksi, distribusi sekaligus pemasarannya.
Dalam persaingan global yang kita hadapi dewasa ini, dengan penetrasi produk ekonomi
kreatif yang tanpa batas, menyadarkan kita pula akan pentingnya menerapkan prinsip-prinsip
marketing. Produk tidak semata-mata benda mati yang diperjual belikan, namun lebih kepada
strategi kita dalam mengemas produk, diferensiasi produk, targeting dan strategi dalam
memasarkan produk, diperlukan penerapan marketing intelejen, agar kira mengetahui
kekuatan pesaing-pesaing kita dan selera pasar, karena di era globalisasi, perang sejatinya
adalah perang di medan ekonomi, mengutip nasihat Sun Tzu “Kenali dirimu kenali lawanmu,
seribu pertempuran akan kau menangkan”. Selamat Datang Era Ekonomi Kreatif semoga
membawa kejayaan bagi Bangsa Indonesia.
Faktor Kunci Meningkatnya Investasi di IndonesiaOleh : Desk Informasi
- Dibaca: 1268 kali
Investasi merupakan salah satu komponen pembentuk pertumbuhan ekonomi. Secara
sederhana, investasi diartikan sebagai pengeluaran barang modal yang diarahkan untuk
menunjang kegiatan produksi atau perluasan produksi(Samuelson dan Nordaus). Ini menjadikan
investasi mempunyaimultiplier effect yang luas karena tidak hanya mendorong sisi produksi,
namun juga menstimulasi sisi konsumsi.
Investasi dalam bentuk penciptaan nilai tambah ekonomi, akan mendorong pembukaan dan
perluasan lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan masyarakat, dan kemudian pada
gilirannya akan menstimulasi konsumsi masyarakat dan kemudian memperdalam pasar
domestik. Karena itulah komponen investasi seringkali dijadikan patokan dalam menilai kualitas
pertumbuhan ekonomi.
Dalam kerangka MP3EI, komponen investasi memainkan peran yang sangat strategis karena
menjadi kunci utama dalam mendorong pembangunan bidang infrastruktur konektivitas dan
kegiatan ekonomi di pusat-pusat pertumbuhan. Pemerintah mendorong investor untuk
melakukan penanaman modal pada koridor-kodidor ekonomi dalam MP3EI melalui berbagai
kebijakan pro investasi berupa insentif fiskal, perbaikan layanan perijinan investasi, stabilitas
makro ekonomi, dan kepastian serta perlindungan hukum.
Kinerja investasi saat ini menunjukan trend positif yang cukup solid, bahkan di saat
perekonomian global mengalami perlambatan, investasi menjelma menjadi salah satu komponen
utama penopang pertumbuhan ekonomi menggantikan kinerja ekspor yang cenderung
melambat. Data pertumbuhan ekonomi terbaru keluaran Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat
komponen investasi triwulan III 2012 tumbuh 10,02 % dibanding triwulan yang sama tahun
2011 (year on year/yoy). Bersama dengan komponen konsumsi rumah tangga, keduanya
menopang pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 6,17 persen.
Indikator positif kinerja investasi lainnya tercermin pada angka realisasi penanaman modal
periode Januari–September 2012 yang telah mencapai Rp 229,9 triliun, meningkat 27,0 persen
(y.o.y) dari Januari – September 2011 sebesar Rp. 181,0 triliun. Realiasi ini terdiri dari Rp 65,7
triliun PMDN dan Rp 164,2 triliun PMA, dimana masing-masing tumbuh 26,3 persen (y.o.y) dan
27,3 persen (y.o.y). Jika dibandingkan dengan target 2012 sebesar Rp 283,5 triliun, realisasi
investasi sampai dengan September telah mencapai 81,1 persen. Sebuah capaian yang layak
untuk diapresiasi.
Berbagai perkembangan positif tersebut tentunya tidak terjadi dengan sendirinya. Berbagai
faktor saling berinteraksi mendorong tumbuhnya aliran investasi langsung. Terdapat beberapa
faktor yang ditengarai mempengaruhi pertumbuhan investasi. Untuk kasus Indonesia, paling
tidak terdapat 5 (lima) faktor yang berpengaruh positif terhadap capaian investasi sepanjang
2012.
Pertama, faktor suku bunga pinjaman. Tingkat suku bunga pinjaman yang rendah, kompetitif
dan stabil akan menarik minat investor untuk melakukan eskpansi atau pembukaan usaha baru
karena terjadi pengurangan beban bunga. Dalam hal ini, BI rate dijadikan sebagai suku bunga
acuan bagi penetapan suku bunga simpanan dan pinjaman. Tingkat BI rate yang rendah akan
berimbas pada rendahnya suku bunga kredit karena suku bunga simpanan sebagai basis
sumber dana perbankan juga akan berada pada posisi yang lebih rendah. Sepanjang tahun
2012, BI rate stabil pada posisi 5,75 bps, nilai ini bertahan sejak Februari - November 2012,
dimana sebelumnya berada pada posisi 6 bps (Januari 2012). Terjaganya BI rate memberikan
pengaruh pada trend penurunan suku bunga kredit investasi, meskipun selisih antara BI rate dan
suku bunga pinjaman (spread) masih cukup lebar. Data Bank Indonesia menunjukkan posisi
suku bunga kredit pada September 2012 sebesar 11,35 persen, turun 3,2 persen dari Januari
2012 sebesar 11,73 persen.
Kedua, faktor tingkat pendapatan. Tingginya tingkat pendapatan per kapita mencerminkan
tingginya kemampuan atau daya beli masyarakat. World Bank mencatat Gross National
Income(GNI) per kapita Indonesia tahun 2011 sebesar 2.940 USD, meningkat 17,6 persen
dibanding 2010, dan bahkan selama periode 2007-2011 meningkat sebesar 83,75 persen.
Pertumbuhan pendapatan masyarakat memberikan daya tarik yang cukup besar bagi para
investor karena menunjukkan tingginya daya beli masyarakat.
Ketiga, pertumbuhan dan ukuran kelas menengah. Salah satu faktor penting yang
berpengaruh terhadap keputusan investasi adalah ukuran pasar domestik direpresentasikan
oleh jumlah kelompok kelas menengah. Hasil perhitungan ADB dengan menggunakan data
SUSENAS BPS, proporsi kelas menengah Indonesia dibanding total populasi meningkat dari
25% pada 1999 menjadi 43% pada 2009. Secara absolut, jumlah kelas menengah meningkat
dua kali lipat dalam kurun waktu 10 tahun, dari sekitar 45 juta pada 1999 menjadi 93 juta pada
2009 (ADB, 2010). Survey terbaru Bank Indonesia pada 2011 menunjukkan angka peningkatan
yang cukup signifikan. Kelompok kelas menengah Indonesia pada tahun 2011 sebesar 60,9
persen dari total populasi, sedangkan kelompok berpendapatan rendah mencapai 22,1 persen,
dan sisanya sekitar 17 persen tergolong kelompok berpendapatan tinggi. Kelompok kelas
menengah yang terus tumbuh menjanjikan pasar yang cukup besar sehingga menarik minat
para investor untuk melakukan ekspansi atau membuka usaha baru.
Keempat, faktor tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Inflasi yang tinggi dan fluktuatif
mengambarkan ketidakstabilan dan kegagalan pengendalian kebijakan makro ekonomi. Tingkat
inflasi yang tinggi dan fluktuatif membuat investor dihadapkan pada situasi ketidakpastian usaha
yang memicu peningkatan resiko proyek dalam investasi. Sampai dengan September 2012,
inflasi Indonesia sebesar 3,66 persen (y.o.y), nilai ini jauh di bawah asumsi makro APBN 2012
sebesar 6,8 persen. Keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan tingkat inflasi meningkatkan
minat investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia sepanjang tahun 2012.
Kelima, faktor regulasi pemerintah. Iklim investasi yang kondusif memerlukan peran serta
pemerintah, tidak hanya melalui pengendalian indikator ekonomi makro namun juga melalui
peraturan perundangan berupa insentif fiscal dan non fiskal. Salah satu peraturan yang
diterbitkan oleh pemerintah untuk menarik investasi adalah PP 52 Tahun 2011 tentang Fasilitas
Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Daerah Tertentu.
Melalui peraturan ini, Pemerintah memberikan insentif fiskal berupa fasilitas pajak penghasilan
badan yang meliputi: (1) Tambahan pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah
Penanaman Modal; (2) penyusutan dan amortisasi yang dipercepat; (3) Pengurangan tarif Pajak
Penghasilan atas penghasilan dividen yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri; (4)
Perpanjangan masa kompensasi kerugian.
Selain itu, Pemerintah juga memberikan insentif berupa tax holiday bagi industri pionir untuk
mendorong aliran investasi pada sektor-sektor prioritas. Insentif ini diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan nomor PMK-130/PMK.011/2011. Penerbitan peraturan ini tidak hanya
bertujuan meningkatkan kuantitas investasi, namun juga kualitas investasi dalam bentuk
mengarahkan investasi pada sektor-sektor prioritas yang dipandang strategis bagi penguatan
struktur industry nasional.
Insentif non fiscal dilakukan dalam bentuk pemberian kemudahan pelayanan investasi,
khususnya dalam hal penyederhanaan birokrasi layanan perijinan, pengurangan waktu yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan perijinan investasi, serta informasi peluang usaha.
Pembentukan one stop services pelayanan investasi hingga ke tingkat daerah dimaksudkan
dapat membantu investor dalam memotong biaya dan waktu yang dibutuhkan dalam melakukan
investasi.
Kinerja investasi sepanjang 2012 ini sudah selayaknya diapresiasi dan terus ditingkatkan.
Permasalahan dan tantangan ke depan masih menghadang diantaranya dalam hal perijinan
investasi dan infrastruktur pendukung. Peringkat Indonesia untuk kedua kriteria tersebut dalam
survey Doing Business 2012 belum begitu menggembirakan karena masih di bawah negara-
negara pesaing. Berdasarkan laporan WEF dalam Doing Busines Economic Rangkings,
peringkat daya saing global (Global Competitiveness Index/GCI) Indonesia untuk periode 2012-
2013 berada pada posisi 50 dengan skor 4,4 dari 144 negara. Namun permasalahan dan
tantangan tersebut harus disikapi secara positif, dalam artian masih terbuka ruang dan potensi
yang cukup lebar untuk menggenjot pertumbuhan investasi dan pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Upaya-upaya perbaikan seperti layanan one stop service, kerjasama pemerintah
swasta, sinergi BUMN, perbaikan iklim ketenagakerjaan, harus tetap dilanjutkan dan ditingkatkan
intensitas dan cakupannya, untuk mendukung peningkatan aliran dan kualitas investasi.
(TJI dan DDW - Asdep Bidang Ekonomi Makro, Keuangan dan Ketahanan Pangan)
Investasi dan Petumbuhan EkonomiOleh : Eddy Cahyono Sugiarto*)
- Dibaca: 971 kali
Pentingya investasi bagi pertumbuhan ekonomi
Investasi menjadi salah satu kata kunci dalam setiap upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi
baru bagi perluasan penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan dan penanggulangan
kemiskinan. Melalui peningkatan kegiatan investasi, baik dalam bentuk akumulasi kapital
domestik maupun luar negeri, akan menjadi faktor pengungkit yang sangat dibutuhkan bagi
suatu negara dalam menggerakan mesin ekonomi mengawal pertumbuhan yang berkelanjutan.
Peningkatan investasi diharapkan akan berperan sebagai medium transfer teknologi dan
manajerial yang pada akhirnya akan berkonstribusi terhadap meningkatnya produksi dan
produktivitas, serta daya saing ekonomi suatu bangsa. Secara sederhana, pertumbuhan
ekonomi dapat digambarkan sebagai proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara
secara berkesinambungan ke kondisi yang lebih baik.
Kegiatan investasi telah memberikan kontribusi yang besar dalam mendorong kinerja laju
pertumbuhan ekonomi Indonesia, mendorong timbulnya industri pasokan bahan baku lokal,
proses alih teknologi dan manajemen, serta manfaat bagi investor lokal. Manfaat yang paling
menonjol adalah berkembangnya kolaborasi yang saling menguntungkan dan terjalin antar
investor asing dengan kalangan pebisnis lokal, bisnis dan industri komponen berkembang
dengan pesat, termasuk berbagai kegiatan usaha yang berorientasikan ekspor.
Kinerja investasi di Indonesia
Tahun 2012 ini tampaknya merupakan tonggak emas sejarah kinerja investasi Indonesia,
meskipun dibayang-bayangi kondisi perekonomian global yang kurang menguntungkan bagi
ekspansi peningkatan kegiatan investasi, namun kinerja investasi di Indonesia dalam tahun-
tahun terakhir menunjukkan perkembangan yang sangat menggembirakan.
Data yang dilansir Kantor BKPM (22/10), membuktikan hal tersebut, hal ini terlihat dari kinerja
investasi pada triwulan II atau hingga September 2012, yang telah menembus angka Rp 229
triliun atau 81,1% dari target tahun ini, realisasi investasi tersebut meningkat sekitar 27%
dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hal ini berdampak positip terhadap penambahan
pendapatan (produk domestik bruto/PDB)Kinerja investasi Rp 229,9 triliun tersebut merupakan akumulasi realisasi penanaman
modal, baik penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA), pada periode Januari–September 2012, PMDN mencapai Rp 65,7 triliun dan PMA mencapai Rp164,2 triliun.Salah satu hal yang menggembirakan dalam struktur realisasi investasi di Indonesia tersebut adalah mulai terjadinya pemerataan, tercermin dari porsi investasi di luar Jawa yang terus naik. Pada Januari–September 2012, investasi di luar Jawa mencapai Rp107,0 triliun atau 46,5 persen di antara total investasi. Angka tersebut naik jika dibandingkan dengan periode sama tahun lalu Rp81,1 triliun atau 44,8 persen di antara total realisasi investasi, pemerataan investasi ini sangat penting untuk mendorong pemerataan pertumbuhan ekonomi Indonesia.Capaian kinerja investasi tersebut di atas, sesungguhnya menunjukkan indikator mulai berhasilnya berbagai upaya perbaikan iklim investasi yang telah dilakukan pemerintah dalam meningkatkan investasi dan memberikan nilai tambah dan daya saing perekonomian nasional, di sisi lain, kinerja investasi menunjukkan meningkatkan kepercayaan dunia usaha kepada Indonesia, jumlah penduduk yang besar serta meningkatnya jumlah kelas menengah menjadi daya tarik utama bagi kegiatan investasi, disamping terus membaiknya makro ekonomi Indonesia.Tantangan ke depan
Jujur harus diakui bahwa capaian kinerja di bidang investasi sebagaimana yang dijelaskan di
atas bukanlah tanpa hambatan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam
memanfaatkan “golden opportunity” yang kita miliki dan memelihara “angsa bertelur
emas”,yang ada, perlu mempersiapkan diri secara dini agar kita tidak tergilas oleh derasnya
gelombang globalisasi dan jelang berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean Tahun 2015
mendatang.
Trend ke depan, investasi di Indonesia tak lagi mengacu pada asumsi makro, melainkan pada
iklim investasi atau tempat tujuan investasi itu berada, sungguh-sungguh dan kerja keras semua
pihak untuk memastikan kesiapan kita dalam menghadapi persaingan global,
kasus “pemerasan” dalam pengembangan lahan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Buol,
maraknya aksi unjuk rasa di DKI akhir-akhir ini pasca penetapan UMP DKI Jakarta, serta
berbagai masalah kebijakan di daerah, seperti; pembebasan lahan, pungutan, izin usaha, telah
menimbulkan rasa was-was kalangan investor terhadap masa depan investasinya, bahkan
berkembang wacana untuk merelokasi kegiatan investasi ke tempat yang lebih menguntungkan.
Maraknya aksi demo buruh melakukan mogok kerja dan penyimpangan kewenangan pemerintah
daerah secara kumulatif akan memukul iklim investasi nasional. Alasannya, para investor akan
melihat Indonesia bukan sebagai negara yang kondusif untuk menanamkan modal. Padahal,
datangnya investasi akan menyerap tenaga kerja oleh karena itu orientasi pada pembangunan
ekonomi nasional dan lokal perlu dibuat agar lebih mendekatkan pada kepentingan kehadiran
calon investor.
Penyaluran aspirasi buruh agar dilakukan dengan tertib dan kepala dingin serta mengefektifkan
forum bipartit, tripartit dan saluran resmi lainnya agar tidak ditunggangi untuk kepentingan jangka
pendek, tekanan-tekanan yang menuntut keadilan dan perbaikan kesejahteraan karyawan
didasari atas upaya mencari titik temu, mencari solusi-solusi kompromi demi kepentingan
kelangsungan hidup usaha. Janganlah tujuan-tujuan politik dan kepentingan dari segelintir
kelompok dicampur-adukkan dalam proses pemberian perijinan investasi dan usaha dengan
memperpanjang jalur birokrasi.
Proses otonomi daerahpun perlu dilakukan dengan bijak tanpa membebani kepentingan dunia
usaha secara berkelebihan. Proses pencarian dan penetapan sumber-sumber keuangan
pemerintahan daerah hendaknya dapat dilakukan dengan memperhatikan keberlangsungan dan
eksistensi perusahaan-perusahaan yang telah bermukim lama di daerah. Budaya melayani
kepentingan calon investor baru perlu ditanamkan diseluruh jajaran aparat birokrasi
pemerintahan.
Dalam hal ini perlu dimengerti bahwa wilayah atau kawasan tempat berusaha tidak lagi dapat
ditawarkan dan dipromosikan dengan mudah. Masih ada ratusan alternatif tempat usaha di
berbagai lokalitas di penjuru dunia yang memiliki aksesibilitas ke pasar global. Tidak ada cara
yang lebih baik apabila birokrat pemerintahan memberikan pelayanan yang terbaik, memangkas
birokrasi, mengurangi beban-beban usaha yang berlebihan, menciptakan iklim investasi dan
usaha.
Mempersiapkan Masa Depan mengoptimalkan “Golden Opportunity”
Budaya melayani kepentingan calon investor baru perlu ditanamkan diseluruh jajaran aparat
birokrasi pemerintahan. Dalam hal ini perlu dimengerti bahwa wilayah atau kawasan tempat
berusaha tidak lagi dapat ditawarkan dan dipromosikan dengan mudah. Ancaman hengkangnya
para pengusaha dari tanah air perlu disikapi dengan arif dan bijaksana dan tidak dianggap
sebagai ancaman kosong belaka, mengingat dalam era globalisasi alternatif tempat usaha di
berbagai lokalitas di penjuru dunia yang memiliki aksesibilitas ke pasar global merupakan suatu
keniscayaan.
Pemerintah daerah juga dituntut untuk dapat memelihara iklim usaha yang baik dan tidak
memberatkan dunia usaha dan para calon investor di kawasannya masing-masing. Akhirnya
bagi masyarakat, pada era demokratisasi saat ini yang sedang marak akhir-akhir ini dengan
berbagai tuntutan-tuntutan yang berlebihan janganlah mengorbankan iklim usaha yang telah
terbina. Pengusaha dan calon investor di manapun menuntut kenyamanan, keamanan dan
kepastian berusaha dari proses penanaman modalnya di daerah. Kemajuan dan peningkatan
volume produksi dari kegiatan-kegiatan investasi yang diunggulkan sudah pasti lambat laun
akan memberikan efek pengganda pada perekonomian lokal dan pendapatan rumah tangga
masyarakat disekitarnya.
Intinya diperlukan adanya percepatan sinergitas para pemangku kepentingan para pelaku
bisnis, calon investor, pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta tak kalah pentingnya
adalah para buruh/pekerja dalam membangun iklim investasi yang kondusif untuk
terselengaranya investasi pada tataran implementasi, karena sebaik apapun grand
design dalam bentuk kebijakan dan program akan sangat ditentukan oleh political will untuk
menerjemahkan gagasan besar tersebut, agar dapat diimplementasikan pada tataran praksis,
Pemerintah daerah melalui mesin birokrasi yang ada dituntut untuk dapat memelihara iklim
usaha yang baik dan tidak memberatkan dunia usaha dan para calon investor di kawasannya
masing-masing.
Perbaikan iklim investasi akan berkonstribusi positif terhadap meningkatnya kegiatan investasi
yang semata-mata tidak hanya mengandalkan kemampuan keuangan negara, dengan
meningkatnya ditengah keterbatasan kemampuan keuangan negara, kegiatan investasi
selanjutnya akan berkonstribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sebagai prasarat menuju
peningkatan kesejahteraan rakyat, oleh karena itu sangat diperlukan komitmen dan dukungan
kongkrit para pemang kepentingan (birokrasi, pengusaha dan pekerja serta masyarakat) dalam
membangun akselerasi sinergitas menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi investasi,
agar “golden opportunity” yang kita miliki dapat ditranformasi menjadi salah satu faktor
pengungkit pertumbuhan ekonomi.
Dengan keyakinan dan kerja keras kita pasti bisa.
*) Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan
Ekonomi Indonesia 2012 Tetap Kuat di tengah Ketidakpastian GlobalOleh : DESK INFORMASI
- Dibaca: 5200 kali
Berita resmi terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia triwulan III -
2012 tumbuh solid 6,17 persen (y.o.y). Pertumbuhan yang tetap berada pada kisaran 6 persen
ini melanjutkan kinerja positif triwulan I dan II 2012, dimana ekonomi tumbuh secara berturut –
turut sebesar 6,3 persen dan 6,4 persen. Secara triwulanan, perekonomian pada triwulan III juga
tumbuh sebesar 3,21 persen dibanding triwulan sebelumnya. Dengan kinerja pertumbuhan yang
relatif stabil ini, kalangan ekonom memprediksi ekonomi Indonesia tahun 2012 akan tumbuh
pada kisaran 6,2-6,3 persen. Meski sedikit di bawah target APBN 2012 sebesar 6,5 persen,
capaian pertumbuhan pada kisaran 6,3 persen merupakan sebuah prestasi yang patut
diapresiasi karena dicapai pada saat perekonomian global mengalami perlambatan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap solid di tengah perlambatan ekonomi global
didorong oleh tingginya permintaan domestik yang berasal dari konsumsi rumah tangga dan
investasi. Sementara itu, pada triwulan III 2012 pengeluaran pemerintah yang juga merupakan
komponen pendukung pertumbuhan ekonomi, mengalami penurunan dibandingkan triwulan
sebelumnya. Senada dengan pengeluaran Pemerintah, kinerja ekspor impor juga mengalami
penurunan sebagai akibat perlambatan ekonomi di negara-negara tujuan utama ekspor.
Pada triwulan III-2012, konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 2,3 persen (q.t.q) dibanding
triwulan sebelumnya. Jika dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun 2011, pengeluran
konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 5,68 persen (y.o.y). Pengeluaran konsumsi rumah
tangga ini diprediksi akan berlanjut pada triwulan IV 2012 sebagai dampak dari adanya siklus
tahunan perayaan Hari Natal dan Tahun Baru yang secara historis memberikan pengaruh yang
cukup signifikan terhadap peningkatan daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.
Komponen investasi langsung yang dicerminkan oleh PMTB juga tumbuh sebesar 2,94 persen
(q.t.q) dan 10,02 persen (y.o.y). PMTB adalah semua barang modal baru yang digunakan atau
dipakai sebagai alat dalam proses produksi dalam suatu negara. Membaiknya persepsi pasar,
perbaikan daya beli masyarakat, dan stabilnya kondisi makro ekonomi diperkirakan akan
melanjutkan pertumbuhan PMTB pada triwulan IV 2012 untuk berada pada kisaran 10 – 11
persen (y.o.y) seperti halnya triwulan III 2012. Apabila kecenderungan perbaikan pertumbuhan
investasi ini dapat dipertahankan, maka investasi akan menjadi salah satu komponen utama
pendorong pertumbuhan ekonomi 2012, menggantikan kinerja ekspor yang saat ini mengalami
perlambatan.
Prediksi tersebut didasarkan atas perkembangan positif data-data terkait investasi, baik dari sisi
kuantitas maupun kualitas. Dari sisi kuantitas, kinerja penanaman modal langsung yang di-
release oleh BKPM menunjukkan angka yang menggembirakan. Pada triwulan III, realisasi
penanaman modal langsung mencapai Rp. 81,8 triliun, meningkat 6,4 persen dibanding triwulan
II 2012, dan meningkat sebesar 25,1 persen dibandingkan triwulan I 2011. Secara kumulatif
realisasi investasi pada Januari–September 2012 mencapai Rp. 229,9 triliun, meningkat 27,0
persen dari Januari–September 2011 sebesar Rp. 181,0 triliun. Ini berarti realisasi investasi
sampai dengan September 2012 telah mencapai 81,09 persen dari target tahun 2012 sebesar
Rp 283,5 triliun. Dengan situasi makro ekonomi yang relative stabil, target investasi 2012
diperkirakan akan terlewati.
Peningkatan aliran investasi ini juga dibarengi dengan perbaikan kualitas investasi dalam hal
peralihan investasi pada sektor-sektor bernilai tambah tinggi, serta penyebaran lokasi investasi.
Aliran investasi secara bertahap telah mengalami pergeseran dari investasi pada sumber daya
alam seperti pertambangan, beralih pada industri manufaktur seperti kimia dasar, barang kimia
dan investasi. Dari sisi lokasi, aliran investasi secara bertahap bergerak ke berbagai lokasi
proyek di luar Jawa sesuai dengan Program Pemerintah melalui MP3EI yang mendorong
pembangunan kawasan dan infrastruktur pendukung pada koridor-koridor di luar koridor Jawa.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan investasi ini tidak dibarengi oleh komponen ekspor –
impor, Perlambatan ekonomin global khususnya di negara-negara tujuan utama ekspor nasional
mengakibatkan kinerja ekspor barang dan jasa mengalami penurunan sebesar 0,19 persen
(q.t.q) dibanding triwulan III-2012, atau turun 2,78 persen (y.o.y) dibanding periode yang sama
tahun sebelumnya. Penurunan ini utamanya dipicu oleh melemahnya permintaan China sebagai
negara terbesar penyerap ekspor Indonesia. Selain itu, ekspor non migas pada triwulan triwulan
III-2012 hanya tumbuh 0,70 persen (y.o.y), jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan
triwulan III-2011 yang mencapai 60,12 persen (y.o.y).
Kinerja ekspor triwulan IV 2012 diperkirakan akan mengalami perbaikan meski masih dibayangi
ketidakpastian kondisi perekonomian global. Hal ini dilandasi oleh adanya indikasi membaiknya
perekonomian beberapa negara mitra dagang utama, khususnya China, yang tercermin dari
perbaikan tiga indikator ekonomi yaitu pertumbuhan produksi industri dari 8,9 persen menjadi 9,2
persen, Investasi aktiva tetap dari 20,2 persen menjadi 20,5 persen dan penjualan ritel naik dari
13,2 persen menjadi 14,2 persen.
Komponen pertumbuhan yang juga mengalami penurunan adalah pengeluaran pemerintah yang
turun sebesar 0,07 persen (q.t.q), atau turun 3,22 persen (y.o.y) dibanding tahun sebelumnya.
Namun, komponen ini diperkirakan akan meningkat pada triwulan IV 2012 mengingat pada
tahun – tahun sebelumnya pengeluaran pemerintah selalu meningkat pada akhir tahun.
Realisasi pengeluaran belanja pemerintah khususnya yang berasal dari pengeluaran belanja
pegawai dan belanja barang pemerintah sipil akan memberikan kontribusi yang cukup besar
dalam mendukung pembentukan pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV-2012.
Perkembangan komponen-komponen pertumbuhan meliputi konsumsi, investasi, pengeluaran
pemerintah dan kinerja ekspor memberikan landasan yang cukup solid bagi Perekonomian
Indonesia untuk tumbuh pada kisaran 6 persen meski saat ini kondisi perekonomian global
tengah mengalami perlambatan, khususnya di kawasan Amerika Serikat dan Uni Eropa.
DalamWorld Economic Outlook (WEO) yang dirilis Oktober 2012, IMF menurunkan prediksi
pertumbuhan ekonomi global sehingga untuk tahun ini pertumbuhan ekonomi global hanya akan
mencapai 3,3 persen, sedangkan perekonomian Amerika Serikat (AS) diproyeksikan hanya akan
tumbuh 2,2 persen, dan pertumbuhan China melambat menjadi hanya 7,8 persen. Laporan
tersebut senada dengan pernyataan Perdana Menteri China Wen Jiabao yang memprediksi
ekonomi China hanya akan tumbuh 7,5 persen pada 2012.
Perkembangan kondisi global dan terjaganya komponen-komponen pertumbuhan menempatkan
Indonesia pada posisi yang kuat dalam percaturan ekonomi global. Dalam konteks regional
kawasan Asia Tenggara, pertumbuhan ekonomi Indonesia paling tinggi dibanding negara lain
dalam kelompok ASEAN 5 (Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Vietnam) yang diprediksi
hanya tumbuh 5,4 persen. Dalam kawasan Asia, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya di
bawah China, dan bahkan mampu melampaui India.
Pencapaian positif ini sudah selayaknya untuk diapresiasi tanpa harus terlena berpuas diri.
Kondisi perekonomian global yang belum pulih dan adanya kemungkinan perluasan intensitas
dan skala krisis membuat kita semua harus tetap waspada dan berhati-hati dalam menyikapi
perkembangan yang ada. Tetap menjaga kestabilan dan kekuatan fundamental ekonomi melalui
peningkatan iklim investasi dengan pembangunan infrastruktur dan pembenahan jalur birokrasi
investasi, serta peningkatan kualitas belanja pemerintah menjadi beberapa agenda kebijakan
pokok yang harus dijalankan untuk menjaga dan meningkatkan trend serta kualitas pertumbuhan
ekonomi tahun 2012 dan 2013. (DDW/Asdep Bidang Ekonomi Makro, Keuangan dan
Ketahanan Pangan Deputi Bidang Perekonomian)
Sekali Lagi Hati-hati Middle Income TrapOPINI | 16 January 2013 | 09:27 Dibaca: 304 Komentar: 0 1 menarik
Sejumlah pengamat perekonomian selalu memperingatkan adanya gejala perekonomian Indonesia masuk jebakan ekonomi yang dikenal dengan middle income trap, yang merupakan kondisi sebuah negara dengan pertumbuhan pendapatan kelas menengah yang terbilang makmur tetapi tidak mampu menjadikannya negara berpenghasilan tinggi atau negara maju.
Gejala masuk ke jebakan ekonomi tersebut sudah cukup nyata, seperti sulit bersaingnya produk dalam negeri. Rendahnya daya saing itu disebabkan lemahnya faktor SDM, teknologi dan infrastruktur. Buktinya, Indonesia sekarang sudah mengalami defisit perdagangan. Bahkan, produk asing membanjiri pasar domestik dan menggasak produk lokal. Di sisi lain, lebih dari separo perekonomian Indonesia masih ditopang sektor konsumsi.
Sebagai contoh pembelajaran dan kewaspadaan untuk mempersiapkan diri, kita dapat melihat Filipina, yang telah berstatus negara kelas menengah sejak tahun 80-an dimana perkembangan tingkat masyarakat yang cukup signifikan membuat Asian Development Bank menempatkan kantor pusatnya di sana. Tetapi, jika dilihat keadaannya saat ini, kondisi Indonesia malah lebih baik ketimbang Filipina.
Hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi di Filipina saat itu tidak disertai usaha lain seperti inovasi, pengembangan teknologi, serta peningkatan pendidikan masyarakatnya. Saat ini Indonesia bersituasi kurang lebih sama seperti Filipina. Jika pemerintah tidak mengupayakan perubahan, Indonesia dapat terjebak di kelas menengah saja. Ciri-cirinya, terlihat dengan posisi kualitas SDM yang masih relatif rendah dibanding negara ASEAN lainnya.
Tetapi, ada juga contoh negara yang berhasil mengatasi jebakan kelas menengah seperti Korea Selatan. Pada tahun 80-an Korea Selatan posisinya sama dengan Filipina. Namun, negara tersebut melakukan inovasi dan pengembangan teknologi besar-besaran hingga bisa menjadi negara dengan masyarakat berpendapatan tinggi saat ini.
Dalam rangka merespon adanya gejala perekonomian Indonesia masuk dalam jebakan ekonomi, pemerintah harus mengupayakan kemandirian dan jangan menjadi subordinasi kapitalisme global. Pemerintah juga harus melahirkan Undang-Undang dan kebijakan yang membangun ekonomi dan membela rakyat. Seiring dengan hal tersebut, industri strategis harus dibangun agar menjadi lokomotif pengembangan industri dan teknologi dengan menguatkan peran perguruan tinggi dalam negeri dari sisi SDM. Demikian pula SDA harus dikuasai negara agar bahan mentah dan energi tersedia secara memadai untuk kebutuhan industri nasional, termasuk untuk sektor lainnya.
Pemerintah juga harus melakukan inovasi kebijakan sebagai salah satu kunci agar tidak terjebak dalam fenomena kelas menengah. Selain itu, jika pemerintah mampu menstimulus sektor perekonomian secara makro, Indonesia dapat terhindar dari ancaman middle income trap.
Kelas Menengah dan PerekonomianOPINI | 08 April 2012 | 20:29 Dibaca: 581 Komentar: 0 Nihil
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menunjukkan perkembangan ekonomi nya yang melebihi ekspektasi para pengamat, terutama pengamat asing. Keberhasilan mengimbangi dua gejolak besar ekonomi dunia, memberikan banyak apresiasi dari berbagai kalangan internasional. Pertumbuhan ekonomi yang terjaga dengan rerata 6% dalam 5 tahun belakangan, inflasi yang terkontrol, bahkan tahun 2011 merupakan sejarah terendah inflasi Indonesia, hingga berlombanya lembaga pemeringkat internasional untuk memberikan level investasi kepada Indonesia. Bisa dikatakan bahwa, saat ini Indonesia memiliki ekonomi yang tangguh dan kuat.
Dilihat dari sisi perkembangan kenaikan pendapatan masyarakat, Indonesia sedang menikmati kenaikan kelas menengah nya. Laporan ADB menyebutkan bahwa, pertumbuhan yang cepat pada kelas menengah Indonesia mencapai 7 juta jiwa per tahun. Dari total penduduk, kelas menengah tersebut meningkat besar sejak tahun 2003 yaitu 37,7% menjadi 56,5% penduduk di tahun 2012. Beberapa analis mengatakan bahwa kelas menengah lah yang menolong Indonesia dalam mengatasi dua Economic Shock yang terjadi. Mengapa demikian?
Sebelum menginjak analisis yang lebih jauh, kita perlu mengetahui siapa saja yang berhak menyandang sebutan kelas menengah. Bank Dunia mendefinisikan kelas menegah sebagai masyarakat yang memiliki pengeluaran sebesar US$ 2 –US$ 20 per hari. Kelas menengah banyak terdapat diperkotaan, yaitu dua pertiga penduduk perkotaan merupakan kela menegah. Sebagian besar bekerja sebagai profesional di sektor jasa dan industri. Kebanyakan dari mereka tidak ingin masuk dalam kepemilikan lahan serta entrepreneur di luar pertanian. Kalangan menengah lain nya merupakan pengusaha di sektor informal dan jumlahnya kecil.
Ini merupakan kecendrungan umum yang terjadi di negara berkembang. Pertumbuhan kelas menengah akan melonjakkan konsumsi suatu negara. Perubahan pola konsumsi di kelas menengah ini bergeser dari konsumsi makanan menjadi konsumsi barang tahan lama dan jasa, seperti barang elektronik dan kendaraan bermotor yang mengalami permintaan yang tajam. Peningkatan konsumsi tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Middle Income Trap”
Baru-baru ini, ADB mengeluarkan laporan terbaru yang berjudul ‘Asia 2050, Realizing the Asian Century’. Pada laporan tersebut, ADB memberikan lampu kuning pada negara-negara berkembang yang memiliki pertumbuhan tinggi seperti China, India, Vietnam dan Indonesia. Negara-negara tersebut memiliki resiko terjerat jebakan kelas menegah atau lebih familiar dengan sebutan middle income trap. Kecendrungan yang akan mengakibatkan pertumbuhan yang stagnan di masa yang akan datang.
Jika suatu negara masuk dalam jebakan ini, potensi besar penurunan kelas dari masyarakat kelas menengah menuju kelas bawah apabila terjadi krisis. Pertanda lain adalah ketika di satu sisi suatu negara tidak bisa lagi bersaing dalam berproduksi dengan upah rendah, yang semula merupakan keunggulan kompetitif nya, di sisi lain negara tersebut tidak juga mampu menembus persaingan dengan negara-negara yang memiliki teknologi tinggi dalam berproduksi, karena kurang nya infrastuktur dan inovasi.
Fenomena ini sudah lebih dahulu terjadi di Amerika Latin. Saat ini, banyak negara di kawasan itu yang telah terjebak ke dalam perangkap tersebut. Barang produksi lokal mereka tidak mampu lagi berkompetisi dengan barang-barang murah dari china. Selain itu, pemerintah gagal dalam mengembangkan infrastruktur dan teknologi, sehingga tidak pula mampu berbuat banyak dalam bersaing dengan produk padat teknologi dari Jepang dan Amerika Utara. Pemerintah negara-negara tersebut telah cukup terlena dengan pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan sehingga lalai dengan pembangunan untuk mengarah ke industri berbasis teknologi.
Biasanya, negara-negara yang terjebak memiliki rasio investasi yang rendah, Pertumbuhan infrastruktur yang lamban, diversifikasi industri terbatas dan labour market yang kondisi nya buruk.
Fakta yang terjadi pada Indonesia adalah semenjak krisis Asia rasio investasi indonesia cenderung mengalami penurunan. Dari 30% terhaddap GDP di tahun 1997, rasio investasi terus mengalami penurunan dan berputar pada rasio belasan persen dari GDP hingga saat ini. Pertumbuhan ekspor manufaktur pun turun pada level rata-rata 11 persen pada 1996-2000 dan jatuh sebesar 2 % dalam periode 2001-2005. Diversifikasi industri juga masih terbatas. Isu ketenagaa kerjaan juga masih merupakan isu yang harus di benahi oleh pemeritah, mengingat demonstrasi besar-besaran oleh buruh belakangan. Bisa dikatakan Indonesia menuju kearah jebakan kelas menengah tersebut.
Namun, berbeda dengan Amerika Latin, terdapat negara yang bisa kita jadikan contoh baik yang mampu lepas dari jebakan kelas menegah. Seperti terlihat di tabel :
Sumber gambar
Di tahun 1970 hingga 1980, Korea Selatan memiliki kecendrungan yang sama dengan Brazil dan Afrika Selatan dalam pendapatan perkapita. Namun kebijakan industri yang diterapkan yaitu perubahan dari labour intensive dan capital intensive menuju produksi yang berbasis teknologi (Technology Intesive) di tambah penmbangunan infrastruktur besar-besaran membuat perbedaan yang jauh antara dua negara tersebut dengan Korea Selatan. Korea Selatan terlepas dari jebakan kelas menegah dengan kebijakan tersebut. Bahkan krisis 1997 yang sangat dalam menerpa, bisa menyelamatkan negara tersebut. Perkembangan teknologi yang pesat telah membuat Korea Selatan mampu kembali dari krisis dengan cepat (V Recovery). Sedangkan jika dibandingkan kedua negara lain, kenaikan pendapatan yang lambat dikarenakan kebijakan industri negara tersebut. Kekayaan yang melimpah mampu membuat para pengambil kebijakan terlena dengan pencapaian saat itu, sehingga miskin ide untuk mengembangkan teknologi dan infrastruktur.
Apa yang harus dilakukan?
Pengurangan subsidi untuk masyarakat kelas menengah ini perlu dilakukan. Subsidi harus dikembalikan ke kelas bawah yang memang sangat memerlukan. Juga diperlukan untuk membuat masyarakat kelas bawah semakin bertumbuh. Namun pemerintah pun harus memperbaiki infrastruktur dan fasilitas publik. Sehingga masyarakat kelas menengah yang sebelumnya di subsidi, dapat menikmati fasilitas tersebut.
Langkah radikal perlu dilakukan dalam investasi untuk inovasi dan teknologi. Kelangkaan sumberdaya alam yang semakin mendekat akibat eksplorasi yang berlebihan, merupakan isu utama perlunya pengembangan inovasi dan teknologi ini. Tentu saja, kebijakan tersebut harus didahului dengan investasi pada pendidikan. Kebijakan sekolah gratis 12 tahun harus mulai “dinasionalkan”. Pemberian dana bantuan pendidikan sangat diperlukan untuk membantu memperoleh pendidikan tinggi sehingga mampu mengembangkan sumberdaya manusia.
Kemudahan investasi untuk Foreign Direct Investment (FDA) juga wajib menjadi prioritas pemerintah. Saat ini, birokrasi yang berbelit membuat para investor malas dan berfikir ulang untuk berinvestasi di Indoonesia. Padahal, kehadiran mereka bisa menjadi transfer teknoloogi dalam berbagai hal. Tentunya penguatan regulasi harus dibarengi dengan kebijakan ini. Investment grade harus dimanfaatkan dengan baik. Jangan terlalu puas dengan modal masuk
ke pasar finansial, karena sewaktu-waktu dapat berpindah cepat. Penggiringan investasi menuju sektor rill wajib dilakukan.
Pemerintah juga dituntut untuk mengembangkan riset besar-besaran. Tentu akan sulit jika tidak bekerja sama dengan swasta untuk melakukannya. Selama ini, swasta seperti ogah melakukan berbagai riset karena tidak ada insentif bagi mereka. Jelas insentif merupakan hal yang penting bagi mereka. Pengurangan pajak atau kemudahan birokrasi harus nya bisa diberikan pemerintah untuk mendorong kebijakan riset besar-besaran. Kerjasama yang saling menguntukngkan pemerintah ddan swasta harus mulai diterapkan untuk pengembangan teknologi dan inovasi.
Kesimpulan
Peningkatan kelas menengah yang saat ini dinikmati Indonesia bukan lah dosa. Bukan pula berkah yang terus menerus bisa kita banggakan karena menopang perekonomian. Pengelolaan kelas menengah bukan lagi perlu, namun harus diprioritaskan.
Kelas menengah merupakan aset berharga. Di masa depan, kelas ini akan menjadi sumber pembiayaan pembangunan melalui pasar keuangan seiring kenaikan pendapatan. Keperluan asuransi pun menjadi hal penting bagi kelas ini, yang mana merupakan basis jangka panjag investor untuk pasar keuangan yang sangat berguna untuk membiayai pembangunan.
Di sisi lain, selain ekonomi, kelas menengah mampu meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia. Pasti nya, mereka lebih ‘melek’ politik dan kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Hal tersebut bisa membuat demokrasi di Indonesia semakin berkembang.
Infrastruktur dan peningkatan teknologi adalah poin penting dari tulisan ini, pengembangan keduahal tersebutlah yang bisa menghindarkan Indonesia ke jurang jebakan. Peningkatan anggaran infrastruktur memang masih kalah meriah dibandingkan pemberian subsidi. Prioritas tinggi memang harus diupayaakan pemerintah.
Perdebatan politik memang merupakan titik lemah negara ini, trasnformaasi akan sulit dilakukan karena akan selalu ada kepentingan yang dirugikan akibat berubahnya kebijakan. Ini lah yang mungkin bisa menjelaskan bahwa lambatnya Indonesia lepas landas. Keprimitifan politik kepentingan membuat banyak pengorbanan yang tak berguna. Sudah saatnya kita merenungi kembali dan mengamalkan pelajaran PPKN di Sekolah Dasar dulu, yaitu mendahulukan kepentingan umum dibanding kepentingan golongan/pribadi.
Menurut studi Bank Dunia, dari 237 juta penduduk Indonesia terdapat 134 juta orang atau 56,6 persen kelas menengah. Masih menurut Bank Dunia, kategori kelas menengah adalah mereka yang belanja hariannya antara 2 dolar AS s/d 20 dolar AS, kalau dirupiahkan sekitar Rp 18.000,- s/d Rp 180.000,-. Jika sekedar membaca angka-angka statistik ini, kita kemungkinan akan terlena dan terbuai. Padahal dibalik berita kesuksesan dan menggembirakan ini, banyak hal yang perlu kita waspadai dan cermati. Kewaspadaan perlu lebih ditingkatkan di tengah-tengah politik pencitraan pemerintah yang demikian gencar dan bombastis.
BENARKAH JUMLAH MEREKA SEBANYAK ITU?
Perhatikan bahwa ruang pendefinisian kelas menengah ini sangat luas, itulah sebabnya jumlah mereka menjadi sangat banyak. Jika kategori yang digunakan adalah yang belanja hariannya 6 dolar AS s/d 20 dolar AS dalam kurs rupiah Rp 54.000,- s/d Rp 180.000,- jumlah mereka langsung menyusut drastis tinggal hanya 14 juta orang atau hanya 5,9 persen dari total penduduk. Sebuah permainan statistik yang hebat.
Mari kita buat cara pandang yang lain, kita anggap kebutuhan harian minimal dari seorang kelas menengah adalah sebagai berikut : kebutuhan makan dengan gizi cukup 3 kali sehari, kebutuhan transportasi, kebutuhan penerangan, kebutuhan komunikasi, kebutuhan kebersihan diri. Dengan asumsi 30 hari perbulan maka belanja bulanan mereka minimal Rp 1.525.000,-, atau belanja harian Rp 50.800,-, dalam kurs dolar AS sekitar 5,6 dolar. Ini adalah biaya paling minimal sebab tidak mencakup biaya kesehatan, biaya sandang, biaya pendidikan, biaya kebutuhan psikis seperti hiburan, biaya sosial, dan masih banyak kebutuhan lainnya. Kelas dengan belanja harian 5,6 dolar AS benar-benar berada di garis perbatasan. Dengan sedikit tekanan, misalnya harga listrik naik, atau harga bahan bakar naik, mereka langsung turun kelas.
Jika kita menggunakan belanja harian 5,6 dolar AS sebagai batas minimal, jumlah kelas menengah akan menyusut sangat drastis, hanya tinggal 14 juta orang atau 5,9 persen dari total penduduk.
Langkah pertama memperbesar jumlah kelas menengah adalah memperluas rentang atau batas pendefinisian, begitulah pemerintah.
APA PERANAN MEREKA PADA PERTUMBUHAN EKONOMI?
Jumlah kelas menengah yang banyak ini jelas merupakan pangsa pasar yang menggiurkan, mereka memperkuat pasar domestik melalui belanja konsumsi. Hal ini terlihat dari sektor konsumsi yang menyumbang 70 persen pada pembentukan PDB. PDB adalah resultan dari seluruh output kegiatan ekonomi suatu negara dalam setahun, jadi kegiatan ekonomi kita 70 persen akibat dari konsumsi dan hanya 30 persen akibat dari produksi. Antara produksi dan konsumsi terdapat defisit 40 persen, artinya hasrat berkonsumsi lebih kuat dari hasrat berproduksi. Ini seperti lebih besar pasak dari tiang dan sesuatu yang ganjil yang perlu diwaspadai. Defisit 40 persen antara produksi dan konsumsi ditutupi dengan melalui impor, subsidi, dan bantuan sosial pemerintah. Semua ini membebani keuangan negara.
BAGAIMANA MEREKA TERBENTUK?
Dari manakah sumber pendapatan kelas menengah ini?. Kita tinjau dari sisi angkatan kerja, dari jumlah angkatan kerja per Agustus 2011 yang besarnya 117,4 juta, yang dapat dikategorikan bekerja ada sebanyak 109,7 juta berarti 5,7 juta lainnya adalah pengangguran. Dari 109,7 juta yang bekerja 70 persen ada di sektor informal. Sektor informal ini rentan terhadap krisis. Jika dari angkatan kerja ini terbentuk kelas menengah, maka jumlahnya sangat sedikit.
Kelas menengah yang terdiri dari anak-anak muda yang kreatif, pekerja keras dan inovatif, jumlahnya sangat tidak signifikan, kata direktur BRI Sofyan Basir. Anak-anak muda seperti ini memperoleh pendapatan dan membentuk asset melalui kerja keras dan inovasi, memiliki daya tahan terhadap tekanan ekonomi, aktivitas ekonomi mereka menghasilkan nilai tambah, sayang jumlah mereka tidak seberapa.
Kelas menengah lainnya, selain anak-anak muda yang kreatif ini?, ternyata mereka naik ke kelas menengah dengan cara yang gampang. Mereka memperoleh penghasilan dari aktifitas memburu rente, margin di pasar uang, jatah ijin tambang, permainan proyek pemerintah, komisi dari percaloan, jatah kebun dan pengelolaan hutan, juga birokrat-birokrat muda yang mengakali uang negara, politisi-politisi muda yang kolutif. Kelas seperti ini tentu tidak berguna, justru malah menjadi beban negara. Mayoritas kelas menengah terbentuk dengan cara ini.
APA PERAN POLITIK MEREKA?
Anak-anak muda kelas menengah yang pekerja keras dan inovatif tentu sangat dapat diharapkan dan diandalkan membawa angin perubahan. Anak-anak muda ini mempunyai komitmen, idealis, kritis, tangguh, tidak berorientasi uang. Mereka juga anak-anak muda yang tanggap akan kondisi lingkungan, sayang jumlah yang seperti ini tidak memadai. Jika kelas menengah seperti ini jumlahnya banyak, ekonomi kita pasti memiliki daya tahan dan kemandirian. Ekonomi juga akan memiliki nilai tambah yang tinggi, ekspor tidak lagi didominasi komoditas primer yang miskin nilai tambah. Sektor produksi juga akan lebih berperan dalam pembentukan PDB dibanding sektor konsumsi.
Lalu anak-anak muda kelas menengah yang pemburu rente, birokrat-birokrat muda yang mengakali uang negara, atau politisi-politisi muda yang kolutif, jelas mereka tidak dapat diharapkan memiliki sifat kritis terhadap pemerintah. Mereka ini justru menjadi rekan kerja pemerintah dalam menguras kas negara, dan kebanyakan menjadi pion-pion yang didorong oleh partai politik dalam memburu rente untuk mengisi kas partai. Tak ada yang bisa diharapkan dari mereka ini.
Dengan semua ini, kelas menengah sebagai agen perubahan adalah illusi, di Indonesia.
Paradoks Kelas Menengah Indonesia
Wed, 19/09/2012 - 16:56 WIB
Oleh A.P. Edi Atmaja*
INDONESIA masa kini dipenuhi oleh orang-orang pasif yang tak punya prinsip.
Marilah bertolak dari tahun 1998. Saat itu, krisis ekonomi melanda negeri. Banyak pengusaha gulung tikar lantaran tak sanggup lagi melunasi utang. Harga barang kebutuhan pokok melejit melampaui daya beli masyarakat.
Di tengah kecamuk kerusuhan dan penjarahan massal, mereka yang di masa sebelumnya amat berkecukupan, terpaksa “turun kelas”. Masyarakat kelas menengah dan kelas atas terpaksa berpuasa: menekan dorongan untuk mengoleksi barang elektronik dan berfoya-foya. Jumlah kelas bawah pun lalu jadi semakin bertambah.
Krisis berangsur-angsur mereda setelah reformasi diimplementasikan di semua lini. Euforia demokrasi lambat laun berhasil menciptakan stabilitas nasional. Sistem politik mengadopsi corak baru yang ultraliberal. Pemilihan langsung dan hak asasi manusia ditegakkan secara lebih konsekuen ketimbang di era sebelumnya.
Dalam stabilitas ekonomi dan politik, daya beli masyarakat perlahan-lahan mulai menanjak. Penjualan barang konsumsi bergairah kembali. Beberapa bukti bisa diajukan: (1) penjualan kendaraan roda dua meningkat rata-rata 19,2 persen per tahun selama satu dekade terakhir, (2) pinjaman dana untuk kendaraan dari perbankan tumbuh 29,33 persen per akhir Januari 2012, dan (3) pertumbuhan pasar elektronik--sebagian dipicu pembelian ponsel--mencapai 17 persen (Kompas, 8/6/2012).
Di masyarakat, terjadi kenaikan kelas. Kelas menengah kian meningkat jumlahnya, akibat migrasi dari kelas bawah yang jadi menengah atau kelas atas yang turun kelas. Selama sembilan tahun (dari 2003), menurut studi Bank Dunia, kelas menengah Indonesia bertumbuh sebesar 65 persen. Kelas ini berjumlah 56,5 persen dari 237 juta penduduk.
Menurut survei Kompas pada Maret-April 2012 di beberapa kota besar di Indonesia, kelas menengah berjumlah 53,9 persen, sisanya merupakan kelas atas (1 persen), bawah (39,6 persen), dan sangat bawah atau kelas yang benar-benar miskin (5,6 persen).
Kelas menengah, dengan demikian, bisa merepresentasikan rakyat Indonesia masa kini. Jumlahnya yang amat mendominasi menunjukkan bahwa kelas ini tak bisa tidak memengaruhi dinamika kebangsaan dan kenegaraan di Tanah Air. Hal ini menegaskan tesis Stephen J Ball dalam Class Strategies and the Education Market (2003) bahwa kelas menengah merupakan “fenomena utama dewasa ini”.
Kekecewaan
Namun, masih menurut survei Kompas, kelas menengah identik dengan kaum pragmatis, konservatif, dan suka kemapanan. Dalam segala persoalan krusial bangsa, semisal persinggungan agama-negara, toleransi, keberagaman dan keberagamaan, demokrasi, dan isu-isu politik dan ideologi, kelas menengah bersikap mencari zona nyaman yang paling menguntungkan mereka.
Sebanyak 69,6 persen kelas menengah yang disurvei Kompas, misalnya, memandang masalah pornografi harus diatur dalam undang-undang dan sisanya (30,4 persen) berpendapat bahwa moralitas menjadi tanggung jawab anggota masyarakat. Sebesar 73,8 persen melihat pelarangan Ahmadiyah adalah tindakan yang tepat sementara 34,2 persen berpendapat sebaliknya.
77,1 persen dari kelas menengah Indonesia bersetuju bahwa organisasi masyarakat atau partai berhaluan kiri sebaiknya dilarang di Indonesia dan hanya 22,9 persen menyatakan semua jenis ideologi boleh berkembang di Indonesia. Yang paling mengejutkan, pandangan bahwa lelaki lebih mampu memimpin negara lebih dominan (52,6 persen) ketimbang yang berpendapat bahwa perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan lelaki untuk memimpin (47,4 persen).
Tak dapat dimungkiri, pertumbuhan jumlah kelas menengah yang cukup drastis disebabkan oleh sistem demokrasi yang menjamin stabilitas politik dan ekonomi. Namun, dengan melihat kecenderungan di atas, seolah-olah kelas menengah sendirilah “pengkhianat” demokrasi itu, dengan pikiran-pikiran konservatif mereka.
Sebuah paradoks tengah terjadi. Seakan sia-sia belaka demokrasi bekerja di era pascareformasi ketika setiap orang menungganginya buat melakukan sikap-sikap nondemokratis--dan kelas yang dominan bertendensi untuk mendukungnya! Demokrasi, perlahan tapi pasti, hendak mengalami pembusukan. Pembusukan yang justru didalangi golongan yang paling diuntungkan dari adanya demokrasi: kelas menengah.
Benarkah demokrasi hari ini hanya ilusi? Dalam Demokrasi dan Kekecewaan (2009), Goenawan Mohamad bilang bahwa demokrasi adalah sistem dengan rem tersendiri, juga ketika situasi memburuk dan mesti dijebol. Sayangnya, sebagian orang tak menghendaki perubahan yang “ekstrem” dan lebih suka berharap pada status quo.
Kelas menengah semestinya jadi motor perubahan. Namun, mengharapkan aktivisme radikal dari kelas menengah Indonesia sepertinya percuma. Kelas menengah Indonesia masa kini lebih suka menggantungkan harapan kepada negara dan menempatkan diri mereka sebagai komentator pelbagai problem kemasyarakatan seraya mengambil jarak dengannya. Lain tidak. []
____________________________________Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
Tantangan Indonesia: Miskin, Rentan, dan Timpang
OPINI | 03 September 2012 | 20:24 Dibaca: 515 Komentar: 0 Nihil
Tak bisa ditampik, gemuruh pembangunan yang dilakukan pemerintah telah menuai hasil: perbaikan ekonomi terus terjadi. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, rata-rata di atas 6 persen per tahun sejak tahun 2006. Di tahun 2009, pertumbuhan ekonomi memang sempat terkoreksi pada angka 4,6 persen. Tapi, itu adalah hal yang bisa dimaklumi. Kala itu, badai krisis ekonomi global tengah menerpa.
Dengan angka pertumbuhan ekonomi sebesar 4,6 persen pun sebetulnya kita patut diacungi jempol. Pasalnya, kita bisa tumbuh positif dan moderat sementara pada saat yang sama banyak negara-negara di dunia mengalami resesi dan tumbuh negatif. Bahkan, angka pertumbuhan sebesar itu telah menempatkan kita sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar ketiga di dunia setelah China dan India.
Seiring pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, pendapatan per kapita terus meningkat. Di tahun 2011, misalnya, telah mencapai 3.543 dollar AS. Dengan angka pendapatan per kapita sebesar ini, kita telah tercatat sebagai negara dengan penduduk berpendapatan menengah (middle income country).
Sejumlah tantangan dan Solusi
Sayangnya, perbaikan ekonomi masih menyisakan tiga tantangan berikut: kemiskinan (poverty), kerentanan (vulnerability), dan ketimpangan (inequality).
Selama ini, gemuruh pertumbuhan ekonomi memang telah mendongkrak proporsi kelas menengah. Namun, juga masih menyisakan kelompok miskin dan rentan. Sepanjang tahun 2003-2010, jumlah penduduk kelas menengah, yakni mereka yang memiliki pengeluaran sebesar 360 ribu – 3,6 juta rupiah per bulan, memang telah bertambah dari 80,8 juta orang (37,6 persen) pada tahun 2003 menjadi 133,4 juta orang pada tahun 2010. Namun, pada Maret 2012, jumlah penduduk miskin mencapai 29,13 juta orang (11,96 persen), sementara penduduk rentan miskin (hampir miskin) mencapai 26,39 juta orang (10,83 persen).
Dalam satu dekade terakhir, penurunan tingkat kemiskinan berjalan lambat. Bahkan, ada kecenderungan semakin jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2014. Celakanya, ini juga dibarengi dengan ketimpangan pendapatan yang kian melebar. Indek Gini, yang merupakan indikator untuk mengukur ketimpangan pendatan, bahkan telah menembus rekor tertinggi, yakni mencapai 0,41 di tahun 2011. Artinya, ketimpangan pendatan telah memasuki skala medium.
Di antara penyebab penurunan kemiskinan berjalan lambat adalah dua hal berikut: kebijakan penanggulangan kemiskinan yang kurang tepat karena kurang memperhatikan karakteristik kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi kurang berkualitas.
Ada empat karakteristik utama kemiskinan di Indonesia. Pertama, tingkat kesenjangan kemiskinan antar provinsi sangat tinggi. Pada Maret 2012, misalnya, tingkat kemiskinan di Jakarta sebesar 3,69 persen, sementara di Papua mencapai 31,11 persen. Hal ini tentu tidak terlepas dari disparitas pembangunan ekonomi antar wilayah yang masih tajam. Faktual, sampai saat ini aktivitas ekonomi masih terkonsentrasi di Jawa.
Kedua, kesenjangan kemiskinan antara kota dan desa juga tinggi. Pada Maret 2012, misalnya, tingkat kemiskinan di perkotaan sebesar 8,2 persen, sementara di pedesaan mencapai 15,12 persen. Selain itu, sebagian besar rumah tangga miskin tinggal di pedesaan (63 persen penduduk miskin tinggal di pedesaan) dan menggantungkan hidupnya di sektor pertanian (71,26 persen).
Ketiga, jumlah penduduk yang hidup di sekitar garis kemiskinan (hampir miskin) cukup banyak. Mereka tidak tergolong miskin, tetapi rentan terhadap kemiskinan. Mereka bakal jatuh miskin jika sewaktu-waktu terjadi gejolak ekonomi yang memukul telak daya beli mereka.
Keempat, kontribusi makanan (terutama beras) terhadap garis kemiskinan sangat tinggi. Pada Maret 2012, misalnya, kontribusi komoditas pangan terhadap garis kemiskinan sebesar 73,50 persen: beras memberi kontribusi paling dominan, yakni mencapai 29,23 persen di perkotaan dan 35,61 persen di pedesaan.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas ditunjukkan oleh sensifitasnya yang lemah terhadap penurunan kemiskinan. Hasil exercises Suhariyanto (2012) menunjukkan, sepanjang tahun 2000-2011, elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap perubahan tingkat kemiskinan hanya sebebar -0.3990. Artinya, penurunan jumlah penduduk miskin untuk setiap satu persen pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 143.050 orang.
Temuan ini tentu tidak mengherankan, melihat struktur pertumbuhan ekonomi selama ini yang lebih digerakkan oleh sektor non-tradable (jasa) ketimbang sektor tradable(riil). Padahal, sebagian besar angkatan kerja kita, termasuk penduduk miskin, menggantungkan hidupnya di sektor tradable (utamanya sektor pertanian).
Jadi, tidak mengherankan kalau pendapatan per kapita terus meningkat, sementara pada saat yang sama ketimpangan pendapatan juga terus melebar karena rata-rata pengeluaran/pendapatan penduduk golongan bawah tumbuh lebih lambat dibanding kelompok kelas menengah dan kaya.
Dengan memperhatikan apa yang telah diuraikan sebelumnya, maka: (1) perlu dirancang program penanggulangan kemiskinan (dalam skala besar) yang fokus di daerah pedesaan, baik di sektor pertanian (untuk petani gurem dan nelayan) maupun sektor non-pertanian (untuk buruh tani); (2) pertumbuhan ekonomi harus inklusif, pertumbuhan yang dibarengi dengan pemerataan hanya akan terwujud jika pembangunan sektor pertanian-pedesaan menjadi prioritas, kebijakan perpajakan dan subsidi yang benar (subsidi orang), dan relokasi akonomi di luar Jawa; (3) program penanggulangan kemiskinan harus dibuat berbeda untuk wilayah perkotaan dan pedesaan (juga antar provinsi), karakteristik daerah harus diperhatikan, dan terkait hal ini peran pemerintah daerah mutlak diperlukan; (4) program penanggulangan kemiskinan juga harus memperhatikan penduduk yang rentan miskin, bukan hanya yang miskin; dan (5) harga komoditas pangan, terutama beras, harus stabil. (*)
Referensi:
(1) Slide presentasi Dr. Kecuk Suhariyanto, Deputi Neraca dan Analisis Statistik-BPS (Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia: Mengapa Berjalan Lambat?).
(2) Slide presentasi Prof. Suahasil Nazara, FEUI dan TNP2K (Managing Oportunity)
Di Balik Pertumbuhan Kelas MenengahPenurunan jumlah penduduk miskin kembali seret. Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal bulan ini (2/1) menyebutkan, sepanjang periode Maret hingga September 2012, jumlah penduduk miskin Indonesia hanya berkurang sebesar 0,54 juta orang atau sekitar 0,30 persen. Penurunan tipis ini hanya menggeser tingkat kemiskinan ke posisi 11,66 persen pada September 2012. Artinya, target pemerintah untuk menurunkan tingkat kemiskinan hingga mencapai kisaran angka 9,5-10,5 persen di tahun ini bakal sulit tercapai. Pasalnya, tren penurunan jumlah penduduk miskin dalam 4 tahun terakhir, yakni sepanjang 2009-2012, tak pernah mencapai satu persen dalam setahun, apalagi dalam waktu hanya enam bulan.
Terlepas dari laju penurunan jumlah penduduk miskin yang terus melambat, ada satu hal yang sering luput dari perhatian kita selama ini, yakni pertambahan proporsi penduduk kaya Indonesia yang sangat cepat. Konon, laju pertambahan orang kaya baru (OKB) Indonesia adalah yang tercepat di Asia Tenggara. Data Bank Dunia menyebutkan, jumlah penduduk kelas menenengah, yakni mereka yang memiliki pengeluaran 2-20 dollar PPP per hari, mencapai 134 juta orang atau 56,6 persen dari total penduduk pada tahun 2012. Padahal sembilan tahun sebelumnya, yakni di tahun 2003, jumlah penduduk kelas menengah hanya mencapai 81 juta orang. Artinya, dalam sembilan tahun terakhir, jumlah penduduk kelas menengah Indonesia telah bertumbuh sebesar 65 persen atau secara rata-rata sekitar 7 persen per tahun. Tentu sebuah pertumbuhan yang fantastis.
Sayangnya, proporsi kelas menengah yang tumbuh luar biasa itu cenderung rapuh. Sebagian besar mereka terlalu konsumtif dengan hasrat berbelanja yang luar biasa. Uang untuk benda, barangkali adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan betapi dahsyatnya mereka dalam menghambur-hamburkan uang. Pemandangan yang tersaji saat hari libur di berbagai pusat perbelanjaan di sejumlah kota besar di tanah air merupakan gambaran betapa bergeloranya elan mereka ketika berbelanja. Tak puas di dalam negeri, mereka akan meluapkan hasratnya hingga ke luar negeri. Kawasan elite Orchad Road di Singapura, misalnya, telah menjadi saksi betapa dahsyatnya hasrat mereka dalam berbelanja. Padahal tidak jarang, barang yang mereka beli sejatinya juga tersedia di mal-mal besar di tanah air.
Ledakan proporsi penduduk kelas menengah merupakan buah dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sangat mengesankan dalam beberapa tahun terakhir. Diketahui, sejak tahun 2006, pertumbuhan ekonomi nasional secara rata-rata di atas 6 persen per tahun. Dengan melihat struktur pertumbuhan ekonomi selama ini yang lebih dihela oleh pertumbuhan di sektor nontradable (jasa), mudah diduga bahwa sebagain besar OKB atau penduduk kelas menengah yang ada saat ini adalah kaum urban. Dengan lain perkataan, geliat pertumbuhan penduduk kelas menengah sejatinya hanya terjadi di daerah perkotaan yang langgam perekonomiannya lebih dimotori oleh sektor jasa, bukan di daerah perdesaan yang perekonomiannya lebih didominasi oleh sektor riil (tradable).
Karena itu, tidak mengherankan kalau pertumbuhan penduduk kelas menengah yang begitu mengesankan ternyata juga dibarengi dengan kenyataan lain yang tak mengenakkan, yakni jurang ketimpangan pendapatan antara si kaya dan si miskin yang terus melebar. Pertumbuhan ekonomi yang lebih didorong oleh sektor jasa, menjadikan laju pertambahan pendapatan kelompok kaya jauh lebih cepat ketimbang laju pertambahan pendapatan kelompok miskin yang sebagian besar menggantungkan hidupnya di sektor riil. Data BPS menunjukkan, di 2011, indek gini yang merupakan indikator ketimpangan distribusi pendapatan telah menembus rekor tertinggi, yakni mencapai 0,41 poin. Artinya, ketimpangan pendapatan telah memasuki skala medium. Angka sebesar 0,41 juga dapat dimaknai bahwa 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah hanya menikmati sekitar 16,85 persen dari total pendapatan yang tercipta dalam perekonomian, sementara pada saat yang sama 20 persen penduduk dengan pendapatan tertinggi justru menikmati sekitar 48,42 persen total pendapatan yang tercipta dalam perekonomian. Itupan dengan catatan, penghitungan indek gini yang dilakukan BPS selama ini didasarkan pada data hasil survei pengeluaran konsumsi rumah tangga,
bukan pendapatan. Seandainya penghitungan indek gini didasarkan pada data pendapatan, sudah barang tentu gambaran ketimpangan pendapatan yang dihasilkan lebih tak mengenakkan lagi.
Hingga saat ini, BPS belum merilis angka indek gini untuk tahun 2012. Namun ditengari, indek gini di tahun 2012 bakal meningkat dibanding tahun 2011. Indikasinya adalah indek kedalaman dan keparahan kemiskinan pada September 2012 yang mengalami kenaikan dibanding kondisi Maret 2012. Kenaikan kedua indek ini menunjukkan, pengeluaran penduduk miskin semakin jauh dari garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran di antara mereka kian memburuk.
Berkaca pada kondisi di atas, jangan terkesiap kalau segelintir orang kaya di Indonesia ternyata memiliki kekayaan yang luar biasa banyaknya meskipun pada saat yang sama jumlah penduduk miskin nyaris menembus 30 juta jiwa. Data yang dirilis Majalah Forbes beberapa waktu lalu menyebutkan, total kekayaan 40 orang di negeri ini mencapai US$88,6 miliar atau sekitar Rp841,7 triliun jika menggunakan kurs sebesar Rp9.500. Tentu jumlah yang sangat fantastis. Bayangkan, kekayaan sebanyak itu adalah 11,3 persen dari Produk Domestik Bruto Indonesia di 2011. Sayangnya, kenyataannya sebagian mereka menjadi kaya dengan menguras sumber daya alam negeri ini. Sebagiannya lagi menjadi kaya karena industri rokok padahal pada saat yang sama penduduk miskin negeri ini justru menghabiskan sebagian besar pendapatannya–setelah beras–untuk rokok.
Menjadi kaya adalah hak setiap warga negera. Tapi pada saat yang sama konstitusi telah menggariskan bahwa ekonomi haruslah berkeadilan. Karena tujuan pembangunan nasional hanya mengenal kesejahteraan umum–untuk semua–bukan kesejahteraan untuk segelintir orang. Sebuah tantangan berat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dewasa ini. (*)
Ketika Pemuda Negeri Ini Tak Mau Lagi Menjadi PetaniBisa diterima sebagai mahasiswa jurusan kedokteran di Universitas Hasanuddin Makassar melalui jalur bea siswa merupakan sebuah kebanggaan luar biasa buat Aco (18), anak seorang petani miskin di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Bagi Aco, kesempatan tersebut merupakan tiket emas untuk melepaskan keluarganya, keluar dari jerat kemiskinan. Selain itu, cita-cita Aco sejak kecil adalah menjadi dokter, bukan petani seperti halnya Daeng Palawa, ayahnya. Aco adalah potret sebagian besar generasi muda negeri ini yang katanya agraris, di mana hampir tidak ada lagi di antara mereka yang ingin menjadi petani. Dalam mindset mereka, menjadi petani itu miskin. Dan kenyataannya memang seperti itu, dari 30,02 juta penduduk miskin negeri ini, sekitar 63 persen tinggal di perdesaan, dan mudah untuk diduga bahwa sebagian besar mereka adalah petani dan buruh tani.
Saat ini, Indonesia merupakan salah satu negara dengan laju pertumbuhan penduduk terpesat di dunia. Dalam satu dekade terakhir, secara rata-rata, populasi Indonesia tumbuh sebesar 1,49 persen per tahun. Itu artinya, di tahun-tahun berikutnya akan ada tambahan sekitar 3-4 juta penduduk setiap tahunnya. Jumlah yang sudah barang tentu tidaklah sedikit, karena dengan jumlah penduduk sebanyak itu, sudah cukup untuk mendirikan sebuah negara baru seukuran Singapura yang saat ini penduduknya mencapai 5 juta jiwa.
Kenyataan di atas menjadikan pemenuhan pangan penduduk yang mencukupi sebagai salah satu tantangan berat yang tengah dihadapi oleh Indonesia saat ini dan di tahun-tahun yang akan datang. Dan keberadaan sektor pertanian—tanaman pangan—yang tangguh merupakan kunci keberhasilan Indonesia dalam meng-handle tantangan tersebut.
Sayangnya, saat ini ketangguhan sektor pertanian kita kian mengkhawatirkan. Angka ramalan produksi sejumlah komoditas tanaman pangan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa waktu yang lalu merupakan sinyal kuat akan hal itu. Hasil hitung-hitungan BPS mengungkapkan, produksi komoditas pangan utama, seperti padi, jagung, dan kedelai tahun ini turun cukup signifikan jika dibanding dengan tahun lalu. Tahun ini, produksi padi turun sebesar 1,08 juta ton, jagung sebesar 1,10 juta ton, dan kedelai sebesar 36,96 ribu ton. Kenyataan ini kian mengkhawatirkan, karena pada saat yang sama nilai impor produk pangan Indonesia terus membengkak, menjadikan kita sebagai negara importir pangan tropis terbesar di dunia dan semakin bergantung pada pangan impor.
Tantangan yang dihadapi sektor pertanian dewasa ini tidaklah ringan, selain masalah-masalah seperti iklim yang tak lagi menentu dan sulit ditebak, ketidakpastian pasokan air, lahan yang semakin tidak subur, serangan hama penyakit yang kian merajalela, daya dukung sumberdaya manusia yang terus menurun juga merupakan tantangan yang tidak kalah berat.
Transformasi ketenagakerjaan di sektor pertanian tanaman pangan boleh dibilang berlangsung lambat. Tingkat pendidikan petani yang tetap rendah dan semakin dominannya kelompok petani usia tua merupakan sejumlah indikasinya.
Tingkat pendidikan petani yang rendah adalah kenyataan yang tidak banyak berubah sejak dulu. Padahal, tingkat pendidikan petani sangat menentukan keberhasilan petani dalam menyerap teknologi dalam bidang pertanian, dan tentu saja tingkat efisiensi dari usaha tani yang mereka jalankan. Dua hal ini adalah faktor yang sangat penting dalam menggenjot produksi.
Hasil Survei Struktur Ongkos Usaha Tani Tanaman Pangan (SOUTTP) yang dilaksanakan BPS pada tahun 2011 menunjukkan bahwa 32,66 persen petani dengan nilai produksi terbesar tidak tamat Sekolah Dasar (SD), 42,32 persen hanya tamat SD, dan 14,55 persen hanya tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).
Selain itu, dari segi umur, petani kita dodominasi oleh mereka yang berumur tua. Hasil SOUTTP juga menunjukkan sekitar 47,57 persen petani yang memiliki produksi terbesar berumur lebih dari 50 tahun. Temuan ini kian memperkuat proposisi yang telah terbangun selama ini, bahwa menjadi petani adalah sesuatu yang tidak dinginkan dalam rencana hidup sebagian besar generasi muda bangsa ini. Sesuatu yang tentu saja sangat mengkhawatirkan dalam upaya menjamin ketersediaan pasokan pangan yang mencukupi bagi lebih dari 200 juta penduduk negeri ini, tanpa harus mengorbankan cadangan devisa dengan mengimpor dari luar negeri, tentunya.
Hadiah dari Kelas MenengahOPINI | 07 January 2013 | 01:34 Dibaca: 172 Komentar: 0 Nihil
Judul : The $10 Trillion Prize: Captivating the Newly Affluent in China and IndiaPenulis : Michael J. Silverstein, Abheek Singhi, Carol Liao & David MichaelPenerbit : Harvard Business Review PressTahun : 2012Deskripsi : xx + 314
Saat ini, India dan China menjadi negara penghasil kelas menengah terbanyak dalam sejarah. Ini mengalahkan Amerika Serikat, yang jumlah kelas menengahnya juga besar. Ada dua faktor yang menjadikan China dan India menjadi sangat powerful dalam menghasilkan kelas menengah. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh utilisasi produksi dalam negeri untuk diekspor dan konsumsi dalam negeri. Kedua, percepatan pertumbuhan penduduk di kedua negara tersebut. Singkatnya, kondisi ekonomi di kedua negara itu sedang hoki dan dinikmati oleh banyak orang. Dan, sepertinya sudah jadi hukum alam jika dalam suatu negara memiliki jumlah kelas menengah yang banyak, maka akan menarik kelas di bawahnya. Terus
berputar demikian siklusnya, sampai akhirnya semua kelas yang dibawahnya akan terbawa menjadi kelas menengah. Apabila sudah demikian, negara tersebut tengah menuju menjadi negara maju.
China dan India adalah dua studi kasus yang sedang hangat diperbincangkan oleh para pakar, baik politik, ekonomi, marketeer, dan sebagainya. Intinya, ketika ada kelas menengah, maka di sana terdapat kemakmuran dan perubahan perilaku orangnya. Saat sudah melewati garis kemiskinan, maka yang terjadi adalah meningkatnya kebutuhan konsumsi. Tidak sekadar lagi sandang dan pangan, melainkan meningkat menjadi kebutuhan gaya hidup, hiburan, perawatan kesehatan, transportasi, komunikasi, dan sebagainya. Karena itu, para pakar ekonomi, politik, bahkan sejarawan memotret pertumbuhan kelas menengah yang terjadi di kedua negara tersebut.
Ketika kebutuhan konsumsi meningkat, maka kelas menengah pun secara pasti mulai diasosiasikan sebagai kelas consumer. Apabila dahulu sering diasosiasikan sebagai kelas penggerak demokratisasi politik, maka barangkali saat ini kelas menengah lekat sebagai penggerak demokratisasi konsumsi. Yang dulu banyak barang tidak terakses, sekarang mulai banyak diakses. Ini juga didorong oleh kepungan barang-barang global yang ada di Indonesia, dan mudah diakses oleh kelas menengah. Contohnya ialah barang elektronik, transportasi, telekomunikasi, makanan & minuman, dll.
Demokratisasi konsumsi dan perubahan perilaku konsumsi kelas menengah terjadi cukup drastis di China dan India. Hal ini tampak pengamatan dalam buku ini The $10 Trillion Prize: Captivating the Newly Affluent in China and India. Michael J. Silvers, dkk., adalah para konsultan Boston Consulting Group. Mereka memprediksikan bahwa pada tahun 2020, dua negara itu akan ketiban “hadiah” $10.000 triliun. Jumlah ini fantastis. Yang dimaksud dengan hadiah adalah jumlah pengeluaran kelas menengah pada tahun 2020 di China dan India setiap tahun. Ini adalah angka perkiraan spending kelas menengah yang ada di kedua negara tersebut. Dengan terjadinya proses demokratisasi konsumsi dan perubahan perilaku, maka hal ini ditangkap sebagai usaha memanfaatkan keinginan dari kelas menengah. Oleh karena itu, secara lugas, buku ini menguraikan mengenai bagaimana cara kita mengambil peluang dari adanya hadiah $10 triliun.
Pada dasarnya, secara umum, isi buku ini terdapat dibagi ke dalam tiga bagian. Pertama, bercerita mengenai perubahan ekonomi yang terjadi pada masyarakat China dan India. Dengan cukup meyakinkan, buku ini memprofilkan kelas menengah di kedua negara tersebut. Misalnya, ada kisah sukses seorang ahli farmasi yang membuka apotek sehingga bisa memiliki jaringan apotek yang kuat. Adanya pertumbuhan kelas menengah, maka tingkat kesadaran kesehatan pun mulai meningkat. Di samping itu, ada pula kisah seorang profesor di China yang sukses membuka restoran karena pertumbuhan kotanya. Sebelumnya, sang profesor adalah dosen di sebuah universitas. Akibat revolusi kebudayaan, sang profesor tidak bisa mengajar lagi, dan akhirnya memilih untuk membuka usaha restoran. Boom! Usaha restoran sukses sesuai pertumbuhan kelas menengah dan peningkatan pendapatan masyarakat China.
Bagian kedua dari buku ini adalah adanya kebutuhan mengenai barang konsumsi dan jasa yang dibutuhkan oleh kelas menengah. Ada banyak kategori yang saat ini sedang menjadi incaran konsumsi kelas menengah. Mulai dari aspek pendidikan, banking, makanan dan minuman, elektronik, transportasi, telekomunikasi, healthcare, dan lainnya. Beberapa aspek itu memang sedang mengalami pertumbuhan yang luar biasa di China dan India. Misalnya,
dalam aspek pendidikan, kini orang China dan India sangat global-oriented. Artinya, putra-putri para kelas menengah di kedua negara tersebut sengaja disekolahkan di sekolah asing dalam negeri atau dikuliahkan di luar negeri agar mendapatkan pendidikan yang bagus sehingga dapat menunjang kehidupan karir profesionalnya. Di samping itu, putra-putri kelas menengah ini juga dikursuskan pada lembaga-lembaga asing agar dapat menguasai bahasa asing.
Selain itu, bagian ketiga adalah strategi company global best practices untuk dapat memenuhi keinginan dari kelas menengah di China dan India. Ada banyak perusahaan global yang sudah masuk ke kedua negara tersebut sejak dekade 1980-an. Para perusahaan global ini dapat menangkap kebutuhan dan keinginan kelas menengah. Misalnya, KFC di China sangat sukses membangun fast food chain sejak tahun 1990-an sehingga memiliki ribuan cabang. Di samping itu, ada juga Yum! Yaitu sebuah brand jenis minuman yang sengaja dibangun oleh Coca-cola bersama perusahaan lokal di China untuk dapat menangkap peluang dari keberadaan kelas menegah. Secara singkat, perusahaan minuman ini sukses membangun bisnis. Menurut buku ini, pada dasarnya prinsip yang dilakukan oleh perusahaan global di China dan India adalah Paisa Vasool. Paisa Vasool adalah istilah yang digunakan oleh orang India untuk mendapatkan barang dengan kualitas bagus dan jasa yang memuaskan dengan memperhatikan harga yang terjangkau. Artinya, tipe kelas ini membutuhkan barang dan service yang bagus dengan harga terjangkau.
Dengan besarnya populasi kelas menengah di China dan India telah menjadi peluang besar bagi perusahaan untuk menangkap spending yang mereka keluarkan. Perusahaan-perusahaan global yang lama bercokol di China dan India telah sukses mendapatkan keuntungan dari momentum ini. Bagaimana dengan perusahaan lokal? Kedua negara itu cenderung lumayan sukses membangun brand lokal dan menciptakan produktivitas tenaga kreatif per kapita.
Bagaimana dengan Indonesia? Barangkali Indonesia kelak akan menjadi negara urutan ketiga yang menjadi perhatian penting dalam pertumbuhan kelas menengah. Saat ini, pertumbuhan jumlah kelas menengah di Indonesia mencapai 8-9 juta jiwa per tahun. Dengan demikian, bagi kita yang bergerak di bidang pemasaran, maka ini adalah peluang besar untuk mendapatkan untung dari adanya pertumbuhan kelas menengah. Bagaimana dengan pengusaha lokal? Apakah sudah siang mendapatkan “hadiah” dari adanya kelas menengah sebagaimana terjadi di China dan India? []