Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERUBAHAN PADA PRAKTEK TRADISI BOKA
DI MASYARAKAT BUTON
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Harsin
NIM 109032200005
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M / 1436 H
i
ABSTRAK
HARSIN
PERUBAHAN PADA PRAKTEK TRADISI BOKA DI
MASYARAKAT BUTON
Skripsi ini secara umum mendiskripsikan perubahan pada praktek
tradisi Boka yang ada dalam masyarakat Buton. Boka ditinjau dalam
upacara pernikahan masyarakat Buton mulai teruduksi dengan perubahan
nilai. Sebagaimana diketahui tradisi atau ptaktek boka sekarang sudah
banyak mengalami perubahan dari peraktek dan nilai yang disebabkan
beberapa faktor internal dan ekternal. Dan boka akan mengalami
kemirisan yang akan hampir ditinggalkan oleh masyarakat Buton.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan subyek pada
penelitian ini adalah tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat buton
setempat. Sedang tipe penelitian yang dilakukan adalah penelitian
deskriptif yaitu melalui studi pustaka, pengumpulan data, dan wawancara.
Dengan tujuan dapat menghasilkan dan memberikan hasil yang nyata dan
jelas tentang perubahan sosial budaya yang terjadi di masyarakat Buton
khususnya dalam kasus praktek tradisi Boka dalam pernikahan.
Dalam hasil penelitian ini menunjukan bahwa perubahan praktek
tradisi Boka pada pernikahan yang terjadi di masyarakat Buton mengalami
perkembangan dinamis seiring dengan perkembangan manusia dan zaman
itu sendiri. Perubahan ini disebabkan oleh kendala dari internal dan
eksternal masyarakat Buton, berlangsung melalui difusi dalam bentuk
percampuran budaya atau disebut akulturasi dengan adanya discovery
dengan dukungan beberapa faktor yaitu, faktor geografis (pesatnya
penduduk dan interaksi kultur budaya, dan faktor ekonomi dan gaya hidup
masyarakat.
ii
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Alhamdulillahi Robbil ‘alamin. Segala puji syukur kepada Allah SWT Tuhan semesta
alam yang telah memberikan segala rahmat, hidayah serta karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu yang telah direncanakan dan dalam
rangka memenuhi persyaratan mencapai gelar sarjana Sosial (S. Sos) Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi besar
Muhammad SAW, sebagai tauladan dan panutan bagi seluruh umat manusia sampai akhir
zaman.
Dalam melakukan penelitian ini, penulis sangat terbantu oleh partisipasi dari berbagai
pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung dan atas bantuan motivasi
serta masukan terhadap penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Oleh karena itu
dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut
membantu, diantaranya;
1. Bapak Prof. Dr. Zulkifli, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak M. Hasan Ansori, Ph.d, selaku pembimbing skripsi penulis yang senantiasa
membimbing, memotivasi dan menginspirasi penulis, sehingga penulis mampu
menyelesaikan tugas akhir ini Jazakumullah Khoiran Katsiron
3. Ibu Dr. Cucu Nurhayati, M.Si, selaku ketua Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik UIN Syarif Hidayatullah yang selalu memberikan ilmu dan motivasi
kepada mahasiswanya.
4. Bapak Husnul Khitam, M.Si selaku sekertaris jurusan yang telah mendukung dan
memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
iii
5. Ibu Joharotul Jamilah selaku dosen pembimbing akademik yang selalu mendukung dan
memotivasi penulis menyelesaikan skripsi.
6. Segenap dosen akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Khususnya Program Studi Sosiologi yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, atas segala ilmu dan pengetahuan selama penulis menempuh studi
di kampus ini, baik di dalam maupun di luar kelas perkuliahan
7. Surga dan ridho dari Sang Rahman Kedua Orang Tua Penulis yang tercinta kepada
Ayahanda Hamid S.Pd dan Ibunda Nur Ani Sufi S.E yang selalu mendidik, mendukung,
memberi motivasi dan mendoakan penulis setiap waktu, semoga Ananda dapat menjadi
anak yang shaleh, berbakti dan berguna bagi Kalian dan Keluarga serta orang-orang
yang membutuhkan Ananda. Serta untuk Kakak ku Hasfikin Sufi, S.S, M.Hum, dan
Adik-adikku Ed Harman S.E, Nuz Chairul Mugrib, Halim Akmal, Hasanatun niswa yang
selalu menghibur, menyemangati dan medoakan Penulis.
8. Pemerintah Kota Bau-bau dan Kabupaten Buton, para Toko adat dan Agama yang telah
banyak membantu penulis dalam memperoleh data dan informasi yang penulis butuhkan
dalam menyelesaikan skripsi.
9. Teman-teman kelas Sosiologi angakatan 2009 yang tidak dapat penulis sebutkan selalu
memberikan semangat dan motivasi penulis. Keluarga Besar KAHFI Motivator School,
Bpk. Tubagus Wahyudi, KAHFI Angkatan 12, HIPPMIB, PMII, Bengkel Abstrak,
Topeng Ilustrasi serta teman-teman lain yang selalu memberi semangat dan bantuannya
dalam penyelesaian skripsi ini.
10. Teruntuk keluarga yang di Bintaro yang selalu memberikan doa dan dukungannya dalam
penulis menyelesaikan skripsi syukron katsiron ‘alakulli hal.
11. Dan untuk teman seperjuangan Huluq, Awal dan seluruh angkatan El Fata yang penulis
tidak bisa sebutkan terimakasih atas doa dan dukungannya..
iv
Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan Bapak, Ibu, dan Saudara-saudarai
atas semuanya dengan pahala yang berlipat ganda. Dan akhirnya tiada untaian kata yang
mampu mewakili rasa syukur ini kecuali ucapan Alhamdulillah robbil ‘alamin atas rahmat
dan kasih sayang dari Sang Maha Rahman. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis
khususnya dan pembaca umumnya.
Jazaa kumullah khairan katsiraa.
Wassalamualaikum, Wr, Wb
Jakarta, 12 Mei 2015
Harsin
DAFTAR ISI
ABSTRAK……………………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………….... ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………… iii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah..……………………………………………………….. 1
B. Pertanyaan Penelitian……………..…………………………………………..3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………………… 3
1. Tujuan Penelitian………………………………………………………………
2. Manfaat Penelitian……………………………………………………………
D. Kajian Studi Pustaka………………………………………………………….4
E. Kerangka Teoretis………………………………………………………….... 9
F. Metodologi Penelitian………………………………………………………..11
1. Pendekatan Penelitian………………………………………………..
2. Teknik Pengumpulan Data…………………………………………..
3. Lokasi Penelitian…………………………………………………….
4. Subyek Penelitian…………………………………………………..
5. Jenis Data…………………………………………………………….
6. Sumber Data…………………………………………………………
7. Tekhnik Analisis Data……………………………………………….
G. Sistematika Penulisan…………………………………………………….… 15
BAB II : GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BUTON DAN TRADISI BOKA
A. Wilayah Kekuasaan……………..………………………………………...….16
B. Istilah Kekerabatan dan Sistem Perkawinan………………………………… 19
C. Agama dalam Sistem Nilai Budaya Buton………………………………….. 21
D. Pernikahan/Perkawinan dan Tingkat Peraktek Boka……………………….. 24
BAB III : TEMUAN DAN ANALISA DATA
A. Kondisi Perubahan Tradisi Boka …………………………………………… 29
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Boka……..…….…………. 42
1. Kondisi Geografis-Pesatnya Penduduk dan Interaksi Kultur Budaya…
2. Faktor Ekonomi dan Gaya Hidup……………………………………..
C. Dampak Perubahan Tradisi Boka pada Masyarakat Buton………...………... 49
BAB IV: PENUTUP
A. Kesimpulan……………..………………………………………..……..……. 52
B. Saran…………………………………………………………...……………...53
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….....…...……… vii
LAMPIRAN-LAMPIRAN…………………………………………..…………………….. viii
Lampiran 1 Bukti Bimbingan
Lampiran 2 Surat Pengantar Permohonan Wawancara/Mencari Data Skripsi
Lampiran 3 Transkip Wawancara
Lampiran 4 Dokumentasi Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
A Pernyataan Masalah
Skripsi ini membahas mengenai “Perubahan pada Praktek Tradisi Boka di
Masyarakat Buton. Buton menurut pengamatan secara geografis dari teritorial terdiri
dari pulau besar dan kecil yang tersebar pada kaki sebelah tenggara dan timur pulau
sulawesi. Menurut letaknya secara geografis, Buton dalam pengertian historis sebagai
salah satu pusat Imperium Kerajaan dan Kesultanan adalah merupakan kesatuan
daerah maritim di kawasan timur Nusantara yang meliputi gugusan pulau-pulau yang
terdiri dari pulau Buton, pulau Muna, pulau Kabaena, pulau Siompu, pulau Kadatua,
pulau Batuatas, gugusan Kawi-Kawia,Adonara, kepulauan Tukang Besi, kepualauan
Tiworo, kepulauan Tiworo, kepulauan Talaga, daratan Poleang dan Rumbia. Kerajaan
Buton saat itu merupakan pusat daerah perdagangan di kawasan timur nusantara
setelah Makasar dan Buton.
Pada zaman bertahtanya Sultan Buton yang keempat, yaitu Sultan Dayan
Ihsanudin (La‟ Elangi), sekitar tahun 1597-1631 perdagangan di kerajaan Buton
mengalami masa kejayaan. Para pedagang dari Melayu, China, Arab, Persia, dan
Gujarat. datang dengan kapal-kapalnya ke kerajaan Buton. Mengingat bahwa semua
transaksi di wilayah kerajaan Buton harus menggunakan uang Kampua, maka
sebelumnya para pedagang tersebut harus menukarkan uang mereka dengan mata
uang Kampua. Berbeda dengan kerajaan lainnya seperti kesultanan lainnya yang
menggunakan mata uang yang dibuat dari emas atau logam, kesultanan Buton
bertransaksi menggunakan mata uang kampua yang terbuat dari kain. Penukaran
2
dilakukan di Money Changer yang banyak terdapat di pelabuhan ataupun di lokasi-
lokasi perdagangan.(Palalloi, 2011: 53)
Pada awal pembuatanya, standard yang dipakai sebagai nilai tukar untuk satu
“bida” (lembar) Kampua adalah sama dengan nilai satu butir telur ayam. Namun
dalam perkembangan selanjutnya,standard ini diganti dengan nilai “Boka” di mana
satu Bida sama dengan 30 Boka. Boka adalah suatu standard nilai yang umum
digunakan oleh masyarakat Buton. Namun setelah Belanda mulai memasuki wilayah
Buton sekitar tahun 1851 dan dihapuskannya kesultanan Buton pada 1960 yang
kemudian integrasi total ke dalam tatanan negara Indonesia menyebabkan fungsi boka
sebagai satuan standard nilai mata uang kampua pun hilang. Walaupun demikian boka
masih digunakan pada waktu upacara-upacara adat perkawinan dan
kematian.(Darmawan, 2008: 83)
Dalam perkawinan adat Buton, satuan nilai „boka‟ digunakan sebagai acuan
untuk menentukan jumlah biaya yang akan dikeluarkan untuk serangkaian upacara-
upacara adat perkawinan. Karena masyarakat Buton menganut sistem patrilinear maka
sebagai pihak laki-laki yang akan meminang perempuan harus menyiapkan popolo
(mahar). Besaran mahar tersebut sesuai dengan derajat keluarga pihak perempuan.
Semakin tinggi status sosial calon mempelai perempuan, maka nilai mahar yang harus
dibayar juga semakin tinggi. Begitupula jika perempuan itu memiliki pendidikan yang
tinggi, maka semakin tinggi pula boka yang harus dikeluarkan. Namun seiring dengan
perkembangan zaman, praktek tradisi boka mulai tereduksi. Pada saat ini prinsip-
prinsip yang dipegang dalam praktek tradisi boka mengalami dinamika perubahan.
Sebagian masyarakat Buton sekarang enggan menggunakan ukuran boka yang telah
ditentukan pemuka adat dalam rangkaian proses perkawinan. Soal kerumitan dan
3
mahalnya biaya yang harus dikeluarkan memungkinkan mereka untuk lebih memilih
bernegosiasi langsung dengan pihak mempelai. (Darmawan, 2008: 86-87)
Atas dasar itulah peniliti tertarik untuk mengetahui lebih mendalam dan
menjelaskan mengenai bagaimana perubahan pada praktek tradisi boka, khususnya
dalam perkawinan adat di masyarakat Buton.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pernyataan masalah yang penulis kemukakan di atas, maka untuk
mempermudah dalam memahami penelitian ini maka penulis membuat rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Pada tataran apa proses perubahaan yang terjadi pada masyarakat Boka ?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan perubakan Boka ?
3. Apa dampak perubaan tradisi Boka pada masyarakat Buton secara keseluruan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui proses perubahan boka yang terajadi di masyarakan Buton
a) Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan Boka pada
masyarakat Buton
b) Untuk menjelaskan dan memahami terkait perubahan Boka dan dampak
perubahan bagi masyarakat Buton.
2. Manfaat Penelitian
a) Manfaat praktis, bisa bermanfaat bagi pemerintah daera dan dinas setempat
terkait dalam kazanah kebudayaan daerah yang patut untuk dipertahankan
dan dilestarikan khususnya desa Lanto kecamatan Betoambari kabupaten
Buton Selatan.
4
b) Manfaat Akademis, dapat bermanfaat bagi kelangsungaan akademik sekaligus
sebagai khasanah pegetahuan dalam masalah prkembangan disiplin ilmu sosial
serta sebagai bahan masukan bagi peneliti selajutnya untuk melakukan study
yang serupa.
D. Kajian Studi Pustaka
Untuk membatu kelancaran penulisan ini, terdapat beberapa literatur yang
membahas mengenai adat istiadat perkawinan dan konsep mahar dari berbagai daerah
di Indonesia.Karena disetiap daerah memiliki adat budaya perkawinan dan mahar
yang berbeda pula.
Pertama: Tesis tahun 2002 yang ditulis oleh Nurfaidah Said mahasiswa
Universitas Indonesia, fakultas pascasarjana-UI, program studi Ilmu Kajian Wanita,
mengenai “ Tanah Sebagai Mahar Dalam Perkawinan Studi Kasus Perempuan Suku
Bugis-Makassar Di Sulawesi Selatan Yang Menerima Tanah Pada Waktu Menikah”
tahun 2002. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa perempuan dalam perkawinan suku Bugis-Makassar sudah
memahami sejak awal yaitu pada proses pelamaran bahwa ia akan menerima tanah
sebagai mahar dalam perkawinannya. Pemahaman ini sebagai langkah awal untuk
mengetahui hak-hak perempuan atas tanah tersebut.Terdapat tiga pola dalam
pemilikan perempuan atas tanah pemberian yaitu (1) pemilikan tanah pemberian
secara penuh; maksudnya memiliki sertifikat serta menikmati hasilnya (2) pemilikan
tanah pemberian hanya sebagian; maksudnya tidak memiliki sertifikat tetapi
menikmati hasilnya dan (3) pemilikan tanah pemberian hanya sebagai simbol,
maksudnya tidak memiliki sertifikat dan juga tidak menikmati hasilnya. Berdasarkan
pola pemilikan tersebut akses dan kontrol perempuan atas tanah dapat terjawabkan.
Pada pola pemilikan 1 dan 2 perempuan mempunyai akses dan kontrol, sedangkan
5
pada pola ketiga, perempuan sama sekali tidak mempunyai akses maupun kontrol.
Kontrol perempuan atas tanah terbagi dua yaitu kontrol atas penikmatan dan kontrol
atas pemilikan. Perempuan sebagai pemilik tanah yang diterimanya pada waktu
menikah belum terlindungi oleh hukum dalam hal ini Undang-undang pokok Agraria,
karena untuk mendaftarkan tanah tersebut masih diperlukan suratketerangan hibah
dari pihak laki-laki sebagai pemberi kepada perempuan (Nurfaidah Said, 2002).
Kedua: Tesis yang ditulis oleh Rika Suryani mahasiswi Universitas Andalas
mengenai “Teniron dan Mahar Menurut Hukum Adat Perkawinan di Kecamatan
Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues”.Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan memakai metode purposive sampling.Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa ketentuan adat Gayo tentang Teniron merupakan lembaga
hukum dalam perkawinan berupa kewajiban menyarahkan sejumlah uang atau barang
kepada keluarga mempelai wanita yang jenis dan jumlahnya telah disepakati.
Ketentuan tentang penetapan teniron dan mahar tergantung pada tingkat pendidikan
atau status sosial perempuan yang akan dinikahi, adapun bentuk-bentuk teniron yang
telah ditetapkan adalah : uang, emas, hewan ternak, sebilah pedang/rencong dan
barang berharga lainnya yang harganya bisa mencapai puluhan juta rupiah (www.
garuda. dikti. go. id. http: // repository. unad. ac. id / 11608. di unggah tanggal 16
oktober 2012)
Ketiga: Tesis yang ditulis oleh Ayu Rafiqah. tentang “Makna Mahar (Jeulamee)
Sistem Perkawinan Aceh“ study kasus Makna Mahar(jeulamee) pada penghargaan
keluarga istri pada istem perkawinan suku Aceh (Deskriptif Di Kreueng Mane
kecamatan muara batu Aceh utara)”Masyarakat atau Suku Aceh adalah salah satu
suku bagian Negara Indonesia yang bertindak sebagai penganut Islam yang fanatik,
dan sudah sering dikatakan banyak orang. Begitu fanatiknya mereka (masyarakat
6
aceh), sehingga Islam dijadikan sebagai salah satu jati diri mereka Tetapi masih
belum banyak orang yang tau bahwa orang-orang Aceh pada masa lalu, bahkan
sampai dengan masa sekarang, bahkan mungkin sampai masa mendatang, masih
sangat terikat dengan pola kehidupan adat dan adat istiadatnya, terutama dalam daur
hidup keseharian. Dalam adat perkawinan pada masyarakat Aceh harus melalui tahap
pemberian mahar.Dalam pelaksanaannya pemberian tersebut melalui keluarga antara
keluarga pihak mempelai laki-laki dan pihak keluarga mempelai perempuan.Pada
suku Aceh, khususnya kaum perempuan mahar sangat besar artinya.Bagi perempuan
Aceh mahar merupakan sebuah harga diri yang dimiliki serta merta laki-laki wajib
memenuhi pemberian mahar tersebut kepada kaum perempuan.
Hasil penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Makna Mahar dalam
Penghargaan Keluarga Istri pada Sistem Perkawinan Suku Aceh serta berapakah
Jumlah Mahar yang berlaku sekarang ini di Krueng Mane Kecamatan Muara Batu
Kabupaten Aceh Utara.Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan penelitian
kualitatif dengan memakai studi deskriptif. Untuk pengumpulan data yang di
butuhkan adalah proses wawancara dan observasi. Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan maka diketahui bahwa mahar dalam masyarakat Aceh sangat
diperhitungkan.Untuk menuju suatu hubungan perkawinan, maka terlebih dahulu
harus dipenuhi syarat dan ketentuan dalam suatu perkawinan, yaitu salah satunya
tercapainya dalam pemberian mahar.Dalam penentuan mahar keluarga perempuan
sangat berperan aktif dalam pengambilan keputusan.Dimana suatu keputusan harus
melalui keluarga.Pemberian mahar yang berlaku saat sekarang ini di Krueng Mane
berkisar 15 manyam, 30, sampai 50 manyam.Hal tersebut dilakukan, suatu adat telah
menetapkan setelah perkawinan dilakukan pihak mempelai laki-laki wajib tinggal
bersama mempelai perempuan/ikut bersama istri dan hidup dilingkungan
7
perempuan.(www. garuda. dikti. go. id. http://repository.unad.ac.id/11608. 16 oktober
2012).
Keempaat: Tesis yang dituliskan oleh Hadiani Fitri mengenai “Kajian
Antropologi terhadap Perubahan Sosial didalam pemberian Maskawin pada adat
perkawinan Sipirok di Kota Medan”, penelitian yang dilakukan dengan endekatan
kualitatif dengan memakai analisis pendekatan yang mendalam dengan mengunakan
sampel penelitian purposive sampling yang diambil dari mereka yang terlibat
langsung dengan teknik wawacara dan informasi, serta turut didalam upacara yang
diselenggarakan sehubung dengan objek yang diteliti (Hadiani Fitri 2007). Penelitian
ini menganalisis pemberian maskawin ketika seorang istri yang dilihat dari suku
Batak Sipirok yang telah merantau ke Medan. Tujuannya adalah untuk mengkaji adat
tersebut masih tetap bertahan atau sudah mengalami perubahan di tengah-tengah
kimunitas Sipirok yang merantau ke Medan (Hadiani Fitri, 2007). Hasil penelitian
diperoleh bahwa perubahan sosial yang terjadi di dalam komunitas Sipirok di Kota
Medan dapat diketahui berdasarkan dua faktor, yaitu intern dan faktor ekstern.Faktor
intern adalah akar budaya yang ada pada masyarakat Sipirok sendiri, senangkan faktor
ekstern adalah berddasarkan faktor agama, ekonomi, pendidikan serta lingkungan
sosial tempat tinggal dimana mereka mengambil tempat sebagai kediaman dan
perkawinan campur.
Kelima: Tesis yang ditulis oleh Julia Halim dengan judul “pengaruh perubahan
sosial pada sistem kekerabatan masyarakat keturunan China Tanggerang
selatan”.Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah metode
penelitian kepustakaan dan metode penelitian lapangan (Julia Halim, 2002). Hasil
penelitian menunjukan bahwa perbedaan umur, status perkawinan dan tingkat
8
pendidikan dari respoden masyarakat keturunan China, menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan perubahan sosial, disamping faktor-faktor utama lainnya.
Keenaam: Tesis yang ditulis oleh Ridwan Syaukani mengenai “Perubahan
Peran Mamak dalam Perkawinan Bajapuik Pada Masyarakat Adat Minangkabau di
Nagari Sintuok Toboh Gadang Pariaman”.Penelitian ini dilakukan secara kualitatif
dengan dskriptif analitis, mencoba menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi
dalam peran Mamak dalam perkawinan Bajapuik masyarakat Sintuok Toboh Gadang
Padang Pariaman” (Ridwan Syaukani, 2003).Hukum adat Minangkabau menganut
sistem Matrilineal, yang mana dalam menentukan diri dan keluarga hanya ditentukan
oleh garis Ibu. Dalam adat tradisi Minangkabau, seorang laki-laki saudra kandung Ibu
disebut Mamak.Ia sangat berpengaruh terhadap kehidupan kemenakan-
kemenakannya, termasuk perannya dalam prosesi pernikahan kemenakannya. Adapun
hasil temuan penelitiannya menunjukkan, bahwa dalam kenyataan dewasa ini telah
terjadi perubahan fungsi Mamak dalam perkawinan adat Minangkabau masyarakat
Sintuok Toboh Gadang padang Pariaman, khususnya dalam bidang erkawinan
Bajapuik, yang semula mamak bertanggung jawab kepada kemenakannya, tapi
sekarang beralih tanggung jawabnya terhadap kehidupan anak dan istrinya.
Beberapa kepustakaan dan hasil penelitian terdahulu yang memfokuskan pada
hal jender, dan hukum perkawinan. Namun penelitiberbeda dari studi-studi di atas,
dalam hal ini peneliti ingin mengkaji bagaimana perubahan budaya adat yang terjadi
disebabkan perubahan sosial masyakat pada upacara perknikahan khususnya pada
upacara pemberian mas kawina.Dimana dalam penelitian ini dari perubahan tersebut
bisa berdampak terhadap tatanan nilai adat pada budaya.Serta peneliti juga ingin
melihat hal yang menyebabkan terjadinya perubahan budaya pada masyakat tersebut.
9
E. Kerangka Teoretis
Menurut Kingsley Davis (Soerjono, 1990: 341-342), perubahan sosial adalah
perubahan yang terjadi di dalam struktur dan fungsi masyarakat.Sebagaimana yang
dikatakan oleh Selo Soemarjan (Soerjono Soekanto,1990:333-337) bahwa perubahan
sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam
suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalam nilai-nilai
sikap dan pola perilaku kelompok-kelompok di dalam masyarakat. Ciri-ciri perubahan
sosial adalah:
a. Tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya karena setiap
masyarakat mengalami perubahan yang terjadi secara lambat atau secara cepat.
b. Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu akan diikuti
dengan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial lainnya.
c. Perubahan sosial yang cepat biasanya akan mengakibatkan diorganisasi yang
bersifat sementara karena berada di dalam proses penyesuaian.
Perubahan di suatu bidang secara langsung atau tidak langsung akkan mengakibatkan
perubahan di bidang lain. Seperti halnya perubahan dalam meningkatkan taraf hidup
(pembangunan), maka akan dapat pula mempengaruhi dan mengubah sikap, nilai-
nilai, yang selama ini dianut. Nilai-nilai yang selama ini menjadi pedoman mulai
benturan yang diakibatkan masuknya pengaruh nilai dari luar, hal ini sesuai dengan
pendapat Soerjono Soekanto bahwa, setiap masyarakat selama hidupnya pasti
mengalami perubahan. Perubahan itu dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma
sosial, pola perilaku, organisasi sosial, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-
lapisan sosial dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan
lainnya.Perubahan sosial terjadi pada semua masyarakat dan dalam setiap prosesd an
waktu, dampak perubahan tersebut dapat berakibat positif dan negatif.
10
Soerjono Soekanto (2001:338) berpendapat bahwa ada kondisi-kondisi sosial primer
yang menyebabkan terjadinya perubahan. Misalnya kondisi-kondisi ekonomis,
teknologis dan geografis, atau biologis yang menyebabkan terjadinya perubahan-
perubahan pada aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Sebaliknya ada pula yang
mengatakan bahwa kondisi tersebut sama pentingnya, satu atau semua akan
menghasilkan perubahan-perubahan sosial. Perubahan-perubahan di suatu bidang
secara langsung atau tidak langsung akan mengakibatkan perubahan bidang lain.
Dalam Soerjono Soekanto, (1983: 33), tentang konsep Gillin dan Gillin menyatakan
bahwa perubahan sosial budaya merupakan suatu variasi dari cara-cara hidup yang
diterima, yang disebabkan oleh perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil,
komposisi penduduk, ideologi serta adanya difusi atau pun penemuan-penemuan baru
dalam masyarakat.(Sztompka, 2007:35). Seperti halnya perubahan dalam
meningkatkan taraf hidup (pembangunan), maka akan dapat pula mempengaruhi dan
mengubah sikap, nilai-nilai yang selama ini dianut. Nilai-nilai yang selama ini
menjadi pedoman mulai mengalami. Benturan yang diakibatkan oleh masuknya
pengaruh nilai. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Soerjono Soekanto bahwa, setiap
masyarakat selama hidupnya pasti mengalami Perubahan . perubahan itu dapat
mengenai nilai sosial, norma sosial, pola perilaku organisasi sosial, susunan lembaga
kemsyarkatan, lapisan sosial dalam masyarakat, kekuasaan wewenang dan interaksi
sosial.(Wahyu, 2005:53)
Perubahan sosial terjadi pada semua masyarakat dan dalam setiap proses dan
waktu, dampak dari perubahan tersebut dapat berakibat postif dan negatif. Terjadinya
perubahan sosial merupakan gejala yang wajar dalam kehidupan manusia, demikian
parson berpendapat bahwa teori tindakan sama-sama memperhatikan prasyarat
11
stabilitas dan prasyaratan perubahan Namun seiring dengan perkembangan zaman,
praktek tradisi boka mulai tereduksi. Pada saat ini prinsip-prinsip yang dipegang
dalam praktek tradisi boka mengalami dinamika perubahan. Sebagian masyarakat
Buton sekarang enggan menggunakan ukuran boka yang telah ditentukan pemuka
adat dalam rangkaian proses perkawinan. Soal kerumitan dan mahalnya biaya yang
harus dikeluarkan memungkinkan mereka untuk lebih memilih bernegosiasi langsung
dengan pihak mempelai (Zuhdi,2010:72-74).
F. Metodelogi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian digali melalui pendekatan kualitatif deskritif yaitu bertujuan
membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta-fakta dan
sifat-sifatpopulasi atau objek tertentu (Kriyantono, 2008: 69) dan menurut
Bogdan dan Taylor, metodelogi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang
menghasilkan data seskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan pelaku yang dapat diamati (Moleong, 1998: 3),selain itu penelitian deskriptif
digunakan untuk menjelaskan secara sistemmatis fakta atau karateristik pada
masalah tertentu.
Penulis mengambil pendekatan penelitian tersebut berdasarkan pertimbangan
bahwa penelitian kualitatif menjelaskan suatu fenomena melalui pengumpulan
data dan menghasilkan data yang jelas tentang pokok permsalahan yang akan di
angkat dalam penelitian.
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara (interview)
Wawancara merupakan suatu peran antara pribadibertatap muka (face to
face), ketika yakni seorang pewancara mengajukan sejumlah pertanyaan-
12
pertayaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relavan
dengan masalah penelitian kepada seorang informan. (Amiruddin, Zainal,
2004: 82).
b. Studi Dokumentasi
Studi Dokumentasi, yaitu meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari
bahan hukum primer dan hukum sekunder. (Amiruddin, Zainal, 2004: 68).
c. Pengamatan (observasi)
Pengamatan, yaitu kegiatan dalam penelitian yang memperhatikan suatu
keadaan secara jelas dan merumuskan nilai-nilai yang dianggap berlaku
dalam masyarakat tertentu agar hasil pengamatan sesuai dengan kenyataan
yang menjadi sasaran pengamatan.
3. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan padasatu kabupaten yang berada di Provinsi
Sulawesi Tenggara yaitu kabupaten Buton.Kabupaten ini dipilih karena merupakan
pusat kerajaan Keraton Buton.Dimana adat dan tradisi budayanya masih kental
mengikuti orang-orang terdahulunya dengan aturan keraton tersebut.Apa lagi
dalam tradisi pernikahan. Adapun lokasi penelitian yang akan penulis ambil untuk
melakukan penelitian adalah di wilayah Keraton, Batu Poaro, Tolandona, dan
Lipu. Alasan penulis memilih lokasi tersebut adalah untuk menjelaskan
bahwasanya tradisi Boka untuk mahar dalam pernikahan adat istiadat di Buton
memiliki nilai-nilai tersendiri yang bias dilihat dengan hasil penelitian.
4. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini terdiri masyarakat yang beretempat tinggal di
Buton.Pemilihan informan utama diambil dengan teknik purposive sampling, yaitu
13
teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu, dimana informan
ditentukan berdaarkan criteria atau kualifikasi tertentu, yang dapat memperkaya
data penelitian (Lexy J.Meleong, 2009:186). Adapun masyarakat tersbut daritokoh
adat, tokoh masyarakat setempat, pegawai kantor urusan agama (KUA), Penghulu,
laki-laki dan perempuan masih keturunan keraton, dan laki-laki dan perempuan
orang yang bukan dari keturunan keraton, dan tokoh budaya yang ada ditempat
sebagai informan. Diharapkan dari dari para subyek dapat memberikan informasi
yang lengkap berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.Jumlah
keseluruhan informan utama 10 (sepuluh). Informan utama di wilayah keraton 5
(lima) orang, wilayah murhum 5 (lima) orang.
5. Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data kualitatif,
yaitu penelita menghasilkan data deskritif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang informan.
6. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer, yaitu: data yang diperoleh dari penelitian secara langsung dari
sumber asli. Data primer yang dimaksud adalah data yang dikumpulkan
melalui wawancara terhadap informan.Dalam melakukan wawancara, peneliti
menggunakan tape recording untuk merekam data/informan dari para
informan yang selanjutnya peneliti tulis dalam bentuk transkip.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu, data yang peneliti peroleh secara tidak langsung dari
sumbernya. Peneliti menggunakan teknik studi kepustakaan yaitu,
mempelajari literature yang relavan dengan permasalahan penelitian antara
14
lain; buku, tesis, data internet dan lain-lain. Sumber data sekunder dari
penelitain ini yaitu dengan mengumpulkan data melalui pustaka untuk
menbangun landasan toeri yang sesuai dengan permaslahan penelitain
sehingga dapat membantu dalam pembahasan masalah yang diteliti.
7. Teknik Analisis Data
Analisa data adalah prosedur mangatur urutan data mengorganisasikannya
ke dalam satu pola, kategori, dan dan stuan uruian dasar (Moleong, 1998:
68).Untuk data kualitatif, semua jawaban yang di berikan, terlebih dahulu
dibaca dan diteliti.Sebab itu, pertama; mengorganisasikan data tersebut secara
rapi, sistematis dan selengkap mungkin.Pengorganisasian data yang sistematis
dimasudkan untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan
analisis yang dilakukan, menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam
penyelesaian penelitian.Kedua; koding data pada materi yang diperoleh.Pada
tahap ini merupakan tahap yang paling penting dalam satu penelitian. Koding
data ini memaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data
secara lengkap, utuh dan mendetail sehingga dapat memunculkan gambaran
tentang topik yang dipelajari dan pada akhirnya akan dapat menemukan
makna dari data yang dikumpulkan. ketiga; kepekaan teoritis adalah dapat
mengembangkan teori dari dasar atau peneliti sedang berteori. teknik-teknik
meningkatkan kepekaan teoritis yaitu (1) mengembangkan pertanyaan-
pertanyaan, (2) menganalisis kata, frase, kalimat, (3) analisis tahap lanjut
melalui pembandingan. Keempat; pengujian terhadap dugaan adalah
merupakan kesimpulan sementara.Dugaan yang berkembang harus terus
dipertajam, diuji ketetapannya. Pengujian terhadap dugaan berkaitan erat,
15
bahkan bertumpuk dengan upaya mencari penjelasan-penjelasan yang berbeda
mengenai data yang sama.(Poerwandari, 1998: 86-104).
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam memahami isi skripsi ini, maka penulis
membaginya ke dalam empat bab. Di setiap bab penulisan akan membaginya ke
dalam sub-sub bagian. Adapun sistematika Penulisan skripsi ini ialah sebagai
berikut:
Bab I terdiri dari pernyataan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metodologi penelitian,
analisi data, teknik penulisan, dan sistematika penulisan
Bab II Menjelaskan tentang gambaran umum wilayah kekuasaan,
masyarakat Buton, Istilah Kekerabatan dan Sistem Perkawinan, Agama dalam
Sistem Nilai Budaya Buton, dan Pernikahan/Perkawinan dan Tingkat Praktek Boka
Bab III tentang temuan dan analisa data dari hasil penelitian mengenai Pada
tataran apa, perubahan terjadi pada tradisi boka, faktor apa saja yang menyebabkan
perubahan boka, dan apa dampak perubahan tradisi boka pada masyarakat Buton
secara keseluruhan.
Bab IV Penutup yang meliputi kesimpulan dan saran dari penelitian skripsi
ini.
16
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BUTON DAN TRADISI BOKA
A. Wilayah Kekuasaan
Membahas kaitan antara keadaan geografi dengan wilayah kekuasaan suatu
kerajaan di Indonesia, pada masa lampau dengan sumber lokal tidaklah mudah.
Sumber lokal tidak menerangkan batas-batas wilayah kekuasaan secara jelas.
Membicarakan konsep wilayah di kerajaan tradisional Asia Tenggara, pada umumnya
tidak dapat di pisahkan dari penduduk. Di kerajaan agraris Jawa, misalnya wilayah
kekuasaan tidak ada artinya jika konsep cacah dilepaskan. Pulau-pulau dan perairan
yang merupakan wilayah kekuasaan bagi kerajaan maritim seperti Buton, juga tidak
berguna tanpa penduduk yang mendiaminya. Berdasarkan histografi tradisional
Ajonga dan kanturuna, pulau-pulau yang di nyatakan sebagai wilayah kerajaan Buton
berhubungan dengan konsep penduduk (Zuhdi, 2010 : 76)
Suatu wilayah kekuasaan yang disebut sebagai kesultanan umum dikenal
dalam sejarah Indonesia sesudah memasuki Islam. Sebutan Islam ditiru dari negeri-
negeri Arab atau timur Tengah untuk raja yang telah di kenal sebelumnya. Sultan
untuk pertama kali digunkan di Buton oleh Lakilapont bergelar Sultan Qaimuddin
(“peletak Agama”). Sebelu itu, para penguasa tertinggi di wilayah politik Buton
(Zuhdi, 2010: 76).
Lapis ketiga disebut papara. Papara adalah orang yang mendiami komunitas
yang di sebut kadie, suatu wilayah hukum yang dalam tata negara traisional (Anceaux
1987:54). Perbedaan antara kedua lapis sosial yang disebut pertama dengan papara
adalah mengenai asal-usuknya (kamia-nya). Paparah adalah “orang jauh” atau “orang
17
yang tidak diketahui asal-usulnya.” Kaomu dan walaka mempunyai nenek moyang
yang sama, yakni “ Si empat orang” (Mia Patamiana) yang dianggap pendiri kerajaan
Buton. Dalam tradisi lokal mereka datang dari negeri Johor. Lapis keempat adalah
batua atau budak. Dalam kelompok sosial budak dikenal beberapa istila. Batua
mulanya berasal dari papara juga karena tidak mampu membayar utang atau
melanggar adat, maka mereka ditetapkan sebagai budak. Kantinale adalah budak yang
asalnya dari orang merdeka kemudian ditempatkan di suatu kampung tertentu.
Adapun paraka adalah orang yang dirampas dari tangan musuh. (Zuhdi, 2010:77)
Lebih jauh tentang terjadinya pelapisan sosial yang sangat berbeda, antara
kedua teratas yakni koumu dan walaka dengan papara karena asal-usul mereka.
Kaumu dan walaka adalah keturunan dari nenek moyang pembentuk atau suatu
komonitas sosial dan peletak kerajaan Buton. Seperti telah diterangkan di atas, mitos
asal usul yang di akui bersama (myths of common origins), tentang pembentukan
kerajaan Buton adalah pendaratan Sipanjonga beserta pengikutnya di Buton. Kegiatan
membuka semak belukar dalam bahasa Wolio disebut “Welia”. Dan situ terjadi
pemisahan antara kelompok yang menyebut sebagai orang Wolio dan bukan Wolio.
Kemudian terjadi pemilihan antara kaoumu dan walaka. Kaomu golongan bangsawan
dari mana calon sultan dipilih, menyatakan dari mereka keturunan langsung dari
Wakaka pendiri kerajaan Buton. Papara atau rakyat pada umumnya adalah unsur
penting dalam struktur masyarakat Buton karena peran manfaatnya yang besar sekali.
Karena dari dukungan dan peranannya itu, sultan memperoleh kebesarannya, karena
adanya papara, maka keberadaan golongan bangsawan tegak berdiri. Dari sumber
tradisi lokal inilah dapat diterangkan terjadinya tahap-tahap perkembangan wilayah
kekuasaan Buton melalui bertambahnya rakyat (papara). (Zuhdi, 2010:77-78).
18
Pertama apa yang disebut rakyat adalah papara yang dibawa oleh Lakilaponto
kemudian ditetapkan oleh sara (undang-undang kerajaan). Ia anak Raja Muna yang
mengawini putri Raja Buton. Ayah mertuanya kemudian mewarisi Lakilaponto
sebagai sultan. Ketika itulah, ia membawa sejumlah pengikut dari Bombawanulu dan
Lakudo dua daerah di Muna bagian selatan. Ternyata, para pengikut itulah yang
menjadi rakyat pertama bagi kesultanan Buton. Adapun, orang yang berhak memiliki
mereka adalah golongan kaoumu dan walaka. Pemilikan itu telah dimufakati
berdasarkan sara atau undang-undang (kerajaan). (Zuhdi, 2010: 79)
Tahap perkembangan kedua adalah rakyat pusaka yang disebut talubirana,
yaitu golongan ketiga dalam masyarakat Buton. Mereka berasal dari daerah yang di
taklukkan atau budak belian atau penduduk di sebuah negeri ang terhukum (Anceaux,
1987:175). Semua diserahkan kepada kerajaan sebagai pembantu kerajaan. Dalam
perkembangannya terakhir, pertambahan penduduk berasal dari siolipuna sebagai
katagori ketiga. Siolipna harfiah “kampung sembilan”, yang bergabng dengan
kesultanan Wolio. (Zuhdi, 2010:79-80)
Tiworo adalah kerajaan kecil yang berada di bagian utara Pulau Muna. Wuna
atau Muna minus bagian selatan, yaitu Lakudo, dan Mawasangka merupakan daerah
kesutanan kerajaan vassal Muna. Kaledupa adalah kerajaan vassal yang merupakan
gugus kepulauan Tukang Besi. Kerajaan vassal Kulesusu terletak di bagian utara
Pulau Buton. Bagi kerajaan tradisional seperti Buton, konsep tentang wilayah dapat
dipahami tidak dalam arti ruang, tetapi yang penting adalah rakyat atau dalam hal ini
papara. (Zuhdi 2010:81).
19
B. Istilah Kekerabatan dan Sistem Perkawinan
Istilah kekerabatan tidak banyak berbeda di ketiga daerah Baadia, Lia, dan
Rongi. Tidak dibedakan antara hubungan kekerabatan dan pihak bapak atau ibu. Juga
tidak banyak perbedaan antara istilah kekerabatan yang berkaitan dengan kelamin.
Untuk bapak dan ibu di gunakan istilah yang berbeda, tetapi untuk kakek dan nenek
tidak. Perbedaan dapat dibuat antara kakek, buyut lelaki, dan moyang lelaki ayah, bila
seorang ingin membedakan kakek-nenek yang berlainan. Istilah tidak banyak
diperluas ke arah kedua belah pihak. Namun, di ketiga daerah itu, perbedaan penting
dibuat antara saudara sepupu laki-laki dan perempuan pada tingkat pertama, kedua,
ataupun ketiga, dan di Baadia bahkan tingkat keempat. (schoorl, 2003:240-241).
Di ketiga daerah itu istilah hampir sama, yakni tolida, topendua, topentalu,
dan di Baadia untuk sepupu tingkat keempat, topenaba. Perbedaan ini berperan
penting dalam sistem perkawinan. Akan tetapi, dalam hal perkawinan ini arti
hubungan kekerabatan antara ketiga daerah itu berbeda. Di Baadia perkawinan antara
tolida diperkenankan. Di Lia perkawinan antara tolida tidak diperbolehkan, tetapi
perkawinan antara topendua disukai. Di Rongi perkawinan antara topendua dilarang
dan bahkan antara topentalu tidak terlalu disukai. Di sini, perkawinan antara orang
yang tidak mempunyai hubungan keluarga (dalam sistem kekerbatan), lebih disukai.
Di Baadia dan di Lia sangat disukai perkawinan-perkawinan dengan topendua dan
topentalu dan seperti tersebut di atas, di Baadia malahan dengan tolida. Di Baadia dan
Lia terdapat ungkapan bahwa ikatan keluarga diperkuat kembali, dan hubungan
hubungan antara kelurga dipererat lagi melalui perkawinan yang demikian.
Keterangan lain yang membenarkan perkawinan dalam hubungan kekerabatan:
20
kesulitan dalam perbedaan perilaku dan sikap, dihindari. Selanjutnya barang milik
yang diwarisi dari generasi kegenerasi terdahulu, dikumpulkan kembali, yakni harta
pusaka seperti perhiasan dan senjata (keris), juga berbagai ilmu yang sering juga
ditulis dalam dokumen. (Schoorl, 2003:241).
Hal-hal ini tidak terlalu penting di Rongi, karena semua perkawinan di Rongi
dilangsungkan antara penduduk Rongi sendiri. Maka, hampir semua orang adalah
sanak satu sama yang lain, walaupun tidak selalu nampak dalam sistem istilah
kekerabatan. Di ketiga daerah itu perkawinan antara perempuan golongan lebih tinggi
dan laki-laki golongan lebih rendah dilarang. Namun, laki-laki dari golongan lebih
tinggi diperkenanka kawin dengan perempuan dari golongan lebih rendah. Anak-anak
ikut kedudukan bapak.(Schoorl, 2003:241)
Pada zaman dahulu, perkawinan antara waode (perempuan) dan walaka (laki-
laki), misalnya, memang terjadi, akan tetapi dalam hal ini diminta maskawin yang
lebih tinggi (dua atau tiga kali maskawin yang biasa). Kini masih terdapat keengganan
terhadap perkawinan antara wanita golongan lebih tinggi dan laki-laki golongan lebih
rendah. Namun, kedudukan golongan yang biasanya rendah dapat diimbuhi dengan
pendidikan dan pekerjaan yang terhormat. Dalam hal demikian itu, maskawin yang
lebih tinggi (dua atau tiga kali) diminta. Dewasa ini timbul perlawanan dari mereka
secara tradisional berkedudukan lebih rendah, karena hal ini dirasakan sebagai
diskriminasi. Dama perkawinan masih sangat terasa adanya perbedaan sosial
berdasarkan pada adat istiadat. (Schoorl, 2003:242).
Dalam hal perkawinan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kelompok
yang memiliki status sosial (kamia) kaomu sangat mengidealkan bahkan
menganjurkan untuk kawin dengan kelompok dengan kelompok yang memiliki status
21
sosial (kamia) kaomu, kelompok yang memiliki status sosial (kamia) walaka dengan
sesama walaka, demikian juga kelompok yang memiliki status sosial (kamia) papara
juga dengan kelompok papara. Berdasarkan adat masyarakat Buton, nilai mahar
kelompok status sosial (kamia) kaomu adalah sebesar 95, 105 dan 115 boka sedang
kelompok yang memiliki status sosial (kamia) walaka sebesar 32 boka, dan kelompok
papara 12 dan 18 boka.(Fahimuddin, 2011:334).
Perkawinan silang antara dua lapis sosial sangat sulit untuk dihindari terjadi
seiring dengan perubahan kehidupan sehari-hari masyarakat Buton. Oleh karena itu,
perkawinan antara lapis sosial yang sering terjadi adalah antara kelompok kaomu dan
walaka. Seorang laki-laki yang memiliki status sosial (kamia)kaomu kawin dengan
perempuan dengan status sosial (kamia) walaka dapat dengan menggunakan mahar
yang besarnya sesuai dengan besarnya mahar yang berlaku pada kelompok walaka
yaitu 32 boka, sedangkan apabila laki-lakinya adalah yang memiliki status sosial
(kamia) walaka kawin dengan wanita yang memiliki status sosial (kamia) kaomu
maka laki-laki tersebut akan melaksanakan kewajiban membayar mahar pada
kelompok kaomu ditambah denda 100%. (Fahimuddin, 2011:334-335)
C. Agama dalam Sistem Nilai Budaya Buton
Secara historis etnik buton, merupakan gabungan dari berbagai etnik yang dari
penduduk asli dari para pendatang yang berasal dari Melayu dan Tiongkok. Dengan
demikian sejak mula pembentukannya, etnik ini telah mengacu pada prinsip nilai-nilai
kebersamaan, sehingga secara genealogi orang Buton atau disebut juga dengan orang
Wolio, sudah akrab dengan nilai-nilai pluralitas yang mengendalikan pentingnya
toleransi dan penguatan nilai-nilai kebersamaan. (Alifuddin, 2007:140)
22
Menurut Tarimana, empat pilar penyangga etika dan integrasi sosial
masyarakat Buton, berikut empat nilai yang harus dihindari oleh masyarakat
sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang martabat Tujuh kesultanan Buton
didasarkan atas sebua hadis “man arafa nafsahu arafa rabbahu”, artinya barang siapa
yang mengenal keadaan dirinya yang sejati, tentu ia akan mengenal keadaan
Tuhannya yang kekal. Maksudnya hubungan antara Tuhan dan hambanya sedemikian
dekat dan eratnya, dan mengambarkan hubungan erat antara Tuhan dengan hamba,
konsep ini dalam tradisi kearifan Buton dirangkai dalam sebuah untaian kaimat
“poromu inda sanga pogaa inda lolota” artinya, “berkumpul bukannya satu, berantai
tidak berantai”.(Alifuddin, 2007:148)
Substansi “poromu inda sanfu pogaa inda kolota” dalam pespektif budaya
Jawa, mirip dengan ungkapan “Cedhak tanpa senggolan-Adoh tanpa wangenan”
yang merupakan pantulan dari konsep falsafah “manunggaling kawali usti”. seperti
yang terjadi dalam pemahaman budaya masyarakat Jawa mengenai konsep “cedhak
tanpa senggolan-adoh tanpa wangenan, sebagai konsep yang berdimensi keyakinan
kepada Tuhan, konsep “poromu inda sangu pogaa inda kolota” dalam masyarakat
Buton juga terkait erat dengan paham dan keyakinan tentang Tuhan, dalam perspektif
tasawuf dikenal dengan paham ittihad ataupun wihdat al-wujud. (Alifuddin,
2007:148)
Pandangan di atas bukan tanpa alasan, bila merujuk pada corak keberislaman
masyarakat Buton yang dalam berbagai hal lebih menonjolkan aspek mistisme.
Konsep atau ajaran Martabat Tujuh dalam kehidupan masyarakat Buton dapat dilihat
dua perspektif, yaitu sosio kultural dan religio spritual. Dalam prespektif yang
pertama, konsep martabat Tujuh dipatrikan sebagai sistem yang mengatur kedupan
sosial masyarakat Buton, dalam hal ini sebagai undang-undang atau falsafah
23
kenegaraan atau konstitusi resmi kerajaan yang di berlakukan secara formal pada abad
ke 17 sehingga abad ke 19. Sedangkan dalam prespektif religio spritual, konsep ini di
jadikan landasan yang mendasari segala pemahaman dan pengalaman ruhani
masyarakat Buton.(Alifuddin, 2007:150)
Deskripsi singkat di atas menunjukkan, betapa pengaruh mistik Islam
mengenai sifat Ilahi yang menampak dalam wujud insani, memberi warna yang
menyolok dalam sistem dan konsep kekuasaan dan kesultanan Buton yang dalam
konsep mistik Islam tampil dengan istilah hulul, ittihad, tajalli, serta semacamnya.
Dalam bahasa setempat ungkapan tersebut terangkai dalam sebuah kalimat “poromu
inda sangu poga’a inda kolota”. Perwujudan sifat ilahi dalam diri para pemegang
kekuasaan dalam konteks sejarah Buton masa lalu, secara eksplisit digambarkan dan
dituangkan dalam undang-undang Martabat Tujuh kesultanan Buton (Alifuddin,
2007:151)
Pengaruh kuat paham perwujudan sifat ilahi yang nampak dalam wyjudan
insani di Buton, selain disebabkan oleh pengaruh paham mistik moneteistik Islam,
juga dapat dilepaskan dari kemungknan adanya pengaruh budaya lokal atau
peninggalan Hindu. Pandangan ini beralasan mengingat jauh sebelum penduduk lokal
melakukan keonversi agama ke dalam Islam, di daerah ini telah lebih lama terkena
pengaruh ajaran Hindu, dimana dalam filsafat ke Hinduan dikenal konsep:
advaita,angsha, aradhana, dan pathisa. Oleh karena itu, penerimaan konsep mistik
Islam tentang sifat Ilahi yang menampak dalam wujud insani, boleh jadi karena
konsep yang mirip telah terbangun dalam benak masyarakat setempat sebelum Islam
datang, sehingga ketika ajaran Islam dan doktrin yang sama datang dalam bingkai
Islam, maka masyarakat setempat tidak mengalami kesulitan untuk mengomodir
paham tersebut (Hamid, 2011:255)
24
Namun demikian, dengan berakhirnya sistem kesultanan dan terkonversinya
Buton kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat disangkal
berdampak pada tatanan pelapisan sosial, demikian juga pada pemahaman budaya dan
religus masyarakat. Jika dalam prepektif historis, masyarakat Buton dahulunya secara
formal dipandu pleh sistem Budaya yang menjadi undang-undang dasar mereka, yaitu
Martabat Tujuh dengan sultan sebagai pimpinan yang diyakini sebagai manusia
sempurna, maka pandangan tersebut telah hilang terkikis bahkan hilang dari
permukaan (Hamid, 2011:256-257)
Dari uraian sekilas tentang tatanan budaya masyarakat Buton, dan dapat
dinyatakan, bahwa konsep nila budaya masyarakat Buton yang berembang dari
generasi kegenerasi sangat dipengaruhi oleh faktor keyakinan dan kepercayaan
masyarakat. Dengan kata lain, keyakinan dan kepercayaan agama yang dipegang
memiliki pengaruh yang berarti dalam menanamkan nilai-nilai dan norma dalam
dalam kehidupan masyarakat Buton (Hamid, 2011:258). Kalau ditinjau dari sudut
pandang kesejaraan, tradisi beragam orang Buton telah melewati tiga fase
perkembangan yaitu animisme dan dinanisme, fase Hindu Jawa dan tekhir adalah
pengaruh Islam. Dari ketiga fase tersebut, maka fase pengaruh Islamlah yang dapat
dikatakan sebagai ideologi yang memiliki atau memberi dampak budaya yang sangat
besar dan luas. (Alifuddin, 2007: 152).
D. Pernikahan/Perkawinan dan Tingkat Praktek Boka
Persiapan pernikahan, yang berlaku bagi orang keraton (dan Baadia), sangat
rinci dan rumit. Mulku Zahari telah menulis tentang berbagai kebiasaan dalam
perkawinan di Wolio (wilayah keraton dan Baadia serta desa lain yang berhubungan
25
dengan keraton) dalam karyanya, Adat dan Upacara Perkawinan di Wolio,1981.
(Schoorl, 2003:246)
Acara perkawinan, kawia, di Lia terdiri dari dua bagian. Bagian pertama,
yakni akad nikah, dilangsungkan sesuai dengan peraturan agama Islam. Dewasa ini,
nikah dilaksanakan oleh seorang pejabat dari Departemen Agama. Upacara ini
berlangsung dirumah pengantin wanita dan dihadiri oleh para pemimpin masyarakat
desa. Mereka meyampaikan pesan kepada pasangan pengantin, dan nasehat mengenai
hidup yang baik antara kedua mempelai, dan sebagai pemeluk agama yang baik. Juga
pejabat pemerintah itu mengucapkan sepatah dua kata kepada mempelai dan
kemudian pernikahan dilaksanakan. (Schoorl, 2003: 247).
Namun, perkawinan itu tidak dengan langsung „disantap‟. Setelah kira-kira
tiga hari diadakan suatu upacara lagi. Pada saat itu air kelapa dituangkan melalui
lantai ketanah dibawah rumah. Upacara ini disebut tesongkaa, yang berarti
menuangkan. Ketika air kelapa ditungkan, seorang wanita itu menghitung sampai
sembilan dan kini mengatakan semua keburukan telah lenyap. Kemudian seraya
menungkan air itu lagi dan menghitung sampai delapan, ia mengharapkan agar semua
kebaikan akan tinggal. Kemudian wanita tua itu memegang kelapa itu diatas
kemenyan yang mengumpul dan mengambil semua arwah leluhur (sumanga), juga
dari wolio, dan dari seluruh sudut desa sambil memohon kepada mereka agar tidak
marah lagi. Seusai upacara ini pasangan itu benr-benar nikah dan hidup bersama
sebagai suam-istri (Schoorl, 2003: 247)
Bagian penting dari acara pernikahan ialah pembayaran maskawin. Besarnya
uang yang diminta tergantung dari kedudukan wanita dan pria. Pada dasarnya
kedudukan perempuan menentukan jumlahnya. Akan tetapi, jika lelaki lebih rendah
26
kedudukannya, jumlahnya berlipat dua atau tiga dari biasanya. Dahulu Sarana Wolio
mengawasi jumlah maskawin, karena itu mencerminkan kedudukan para mempelai di
masyarakat. Di tiga derah terdapat kecenderungan untuk meratakan perbedaan.
Namun, perbedaan dalam hal pernikahan di antara kaum Laode (bangsawan) masih
saja ada.(Schoorl, 2003: 247)
Uraian Boka pada adat pernikahan masyarakat Buton menurut syara Wolio
dapat di tinjau menerut tingkatnya masing-masing (data adat syara Wolio, Baubau,
2004)
Perhitungan maskawin berdasarkan boka untuk Kaomu,yaitu:
Popolo 60 boka = Rp. 1.440.000
Kalamboka 30 boka = Rp. 720.000
Kapobiangi 10 boka = Rp. 240.000
Katalosi 5 boka = Rp. 144.000
Bakena kau 5 boka = Rp. 144.000
Katandui 5 boka = Rp. 144.000
Kaempesi 2,5 boka = Rp. 60.000
Jumlah semua 117,5 boka = RP. 2.892.000
Perhitungan maskawin berdasarkan boka untuk tingkat Walaka, yaitu:
Popolo 30 boka = Rp. 720.000
Kalamboka 30 boka = Rp. 720.000
Kapobiangi 10 boka = Rp. 240.000
Katalosi 5 boka = Rp. 144.000
27
Bakena kau 5 boka = Rp. 144.000
Katandui 5 boka = Rp. 144.000
Kaempesi 2,5 boka = Rp. 60.000
Jumlah semua 87,5 boka = RP. 2.172.000
Perhitungan maskawin berdasarkan sara Wolio untuk tingka Papara, yaitu:
Popolo 30 boka = Rp. 720.000
Kalamboka 30 boka = Rp. 720.000
Kapobiangi 10 boka = Rp. 240.000
Katalosi 5 boka = Rp. 144.000
Bakena kau 5 boka = Rp. 144.000
Katandui 5 boka = Rp. 144.000
Kaempesi 2,5 boka = Rp. 60.000
Jumlah semua 87,5 boka = RP. 2.172.000
Perhitungan maskawin berdasarkan sara Wolio utuk tingkat kaomu/walaka bagi beda
suku atau bagi orang pendatang, yaitu:
Popolo 60 boka = Rp. 1440.000
Kalamboka 30 boka = Rp. 720.000
Kapobiangi 10 boka = Rp. 240.000
Katalosi 5 boka = Rp. 144.000
Bakena kau 5 boka = Rp. 144.000
Katandui 5 boka = Rp. 144.000
Kaempesi 2,5 boka = Rp. 60.000
28
Karangani 10 boka = Rp. 240.000
Jumlah semua 127,5 boka = RP. 3.132.000
Perhitungan maskawin berdasarkan boka untuk tingkat papara/batua
Popolo 15 boka = Rp. 360.000
Kalamboka 15 boka = Rp. 360.000
Kapobiangi 2 boka = Rp. 48.000
Katalosi 1 boka = Rp. 24.000
Bakena kau 3 boka = Rp. 72.000
Katandui 2 boka = Rp. 48.000
Kaempesi 1 boka = Rp. 24.000
Jumlah semua 39 boka = RP. 936.000
Dari uraian tinkatan perhitungan maskawin berdasarkan boka sara Wolio
dalam pernikahan, akan mengalami perkembangan sesua dengan sepakat dan mufakat
seluruh toko adat keraton yang berada di Buton.
29
BAB III
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Bab ini akan menjelaskan mengenai temuan dan analisa data tentang
perubahan sosial budaya dalam masyarakat Buton dengan studi kasus
perubahan tradisi Boka dalam pernikahan, mulai dari tatanan Boka terdahulu
hingga sekarang, proses perubahan-perubahan yang terjadi, faktor yang
mempengaruhi perubahan adat Boka, dan dampak tersebut.
A. Kondisi Perubahan Tradisi Boka
Sebuah sistem adat istiadat dalam suatu suku atau wilayah maka wajar
sekali adanya peraturan yang sudah disepakati dan itulah yang dijalankan,
namun pada perjalannya ada juga perubahan yang terjadi guna mengukuti
perkembangan zaman yang terus berubah. Perubahan yang terjadi tentu saja
berdasarkan musyawarah petinggi adat setempat dan atas asas mufakat yang
disatukan. Sama halnya dengan kasus Boka yang terjadi di Buton, tak luput
dari perkembangan dan perubahan dari masa ke masa namun pastinya tidak
melenceng dari ketentuan tradisi Boka yang sudah lama disepakati. Boka
dalam masyarakat Buton sudah menjadi barang wajib yang harus dilaksanakan
bukan hanya sekedar melakukan adat istiadat namun juga melestarikan budaya
asli Buton.
Sebelum penulis menjelaskan kondisi perubahan Boka yang ada pada
masyarakat Buton, saya akan menjelaskan sedikit penjelasan tentang Boka itu
apa? Seperti yang telah dijelaskan Nasrun;
Boka adalah aturan (system) satuan nilai mahar pernikahan dalam
kebudayaan Kesultanan Buton (Wawancara, tokoh agama, Buton, 16
agustus 2014).
30
Kita bisa lihat dari wawancara informan diatas bahwasanya Boka
adalah suatu bentuk sistem adat yang dilaksanakan pada pernikahan masyarakt
Buton untuk mengatur satuan nilai tukar mahar yang akan dikeluarkan sang
mempelai pria untuk mempelai wanita, untuk masyarakat setempat khususnya
pada tataran Kesultanan Buton yang harus wajib mengikuti adat dan tradisi
budaya Buton yang disebut Wolio. Adapun seperti yang dikatakan pak La Ode
Burhanuddin Sahidi bahwasanya besar atau kecilnya jumlah nilai Boka yang
dikonversi dengan satuan nilai rupiah itu akan berbanding dengan tingkatan
masing-masing atau tingkat strata sosial yang telah ditetapkan;
Boka adalah merupakan besaran nilai yang dikeluarkan dan diberikan
oleh seseorang yang melaksanakan kegiatan adat – istiadat yang diatur
berdasarkan tingkatan masing – masing, baik dalam bentuk MAHAR
maupun PASALI (Wawancara, Buton, 15 desember 2014).
Informan yang lain yang sempat kami wawancarai adalah tokoh agama
yang merupakan orang tua mempelai pria sekaligus ketua adat yang
mengetahui jumlah nilai tukar Boka, dan beliau juga memberikan atau
menunjukan bentuk logam yang menjadikan perhitungan boka (lihat gambar
1) dan beliu juga menuturkan sekilas tentang berapa nilai tukar Boka yang di
konversikan kedalam satuan nilai tukar rupiah
BOKA adalah standar nilai tukar yang sering dipakai pada adat yang
berlaku di daerah / Kesultanan Buton.
Contohnya : dalam perkawinan ditentukan dengan 32 Boka
1 Boka = dikonversi dengan rupiah = Rp.24.000,-
Maka yang bersangkutan harus membayar mahar sesuai kedudukannya
waktu atau orang kebanyakan (Walaka) dalam lingkup Kesultanan
Buton 32 Boka x Rp.24.000 (Wawancara, Tokoh Agama, Buton, 7
desember 2014).
31
Dalam tataran ini, adat tradisi Boka di masyarakat Buton merupakan
adat turun temurun menurut yang tidak dikeluarkan sesuka mempelai keluarga
kalau tanpa terkecuali, dan mengetahui silsilah keturunan si mempelai pria dan
wanita, karena menurut tradisi Boka akan menunjukan lapisan sosial yang
akan diangkat; seperti yang diucap Pak La ode Masuk:
Bentuk aturan adat tradisi Boka dalam pernikahan masyarakat
terdahulu adalah berdasarkan klasifikasi dan tingkatan strata sosial
masing – masing untuk melihat lapisan sosial yang mana yang
didudukinya, hingga saat ini tataran itu masih dilakukan dan terlaksana
(Wawancara, Tokoh Agama, Buton, 7 desember 2014).
Haliu, informan yang penulis wawancara ini merupakan tokoh agama
adat masyarakat Buton yang begitu paham juga tentang syara (susunan aparat
pemerintahan kesultanan /SWAPRAJA), beliu sedikit menuturkan seperti ini;
Tataran Boka orang terdahulu semuanya ialah berdasarkan bentuk
klasifikasi dan tingkatan syara yang ada di masyarakat
Wolio.(wawancara, Tokoh Agama, Buton, 15 agustus 2014).
Penulis akan menjelaskan bentuk tataran budaya dan adat tradisi Boka
yang ada di kalangan masyarakat Buton sesuai data yang kami dapat, seperti
sekilas yang diungkapkan La Ode Masuk:
Tahapan / kedudukan Boka pada Kesultanan Buton antara lain :
Jika perempuan itu berasal dari Kaum Walaka (Kalangan Umum)
berarti si laki – laki harus membayar mahar / Boka sebesar 32 Boka.
Sedangkan jika perempuan berasal dari kaum bangsawan (Wa Ode)
maka si laki – laki (pria) harus membayar mahar / Boka sebesar 100
Boka. (wawancara, Buton, 7 desember 2014).
Banyak hal yang bisa membuat suatu kebudayaan mengalami
perubahan, dan semua perubahan ini merupakan gejala yang melekat disetiap
masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi didalam masyarakat akan
menimbulkan ketidaksesuaian antara unsur-unsur sosial yang ada dalam
32
masyarakat, sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan yang tidak sesuai
fungsinya dan yang sesuai bagi masyarakat yang bersangkutan.
Saperti Prinsip yang ditanamkan pada masyarakat Buton kususnya
pada aspek agama dan aspek kebudayaan tradisi di masyarakat Buton
dinyatakan bahwasanya adat pernikahan jatuh pada wanita dan seluruh
perhitungan Boka pula jatuh pada wanita. Ketika ada aturan yang dinyatakan
oleh masyarakat yang kental dengan adat, bahwasanya pernikahan orang
keraton (asli masyarakat Buton yaitu Wolio) dengan perempuan Wolio.
pernikahan keturunan bangsawan harus menikah dengan bangsawan, seperti
mempelai pria dari keturunan Koumu harus menikahi wanita dengan
keturunan Koumu sesuai dengan harapan dari pihak keturunan atau keluarga
pria, Walaka dengan Walaka dan Papara dengan Papara atau dibawahnya
yaitu Batua, namun dalam perjalanannya terjadi sesuatu hal yang tidak
dikehendaki, seperti seorang bangsawan yang dari pihak pria menikahi wanita
dari keturunan Papara atau bahkan bukan masyarakat Buton ataupun
sebaliknya wanita Wolio dinikahi oleh masyarakat asing, maka masyarakat
tokoh adat memberikan syarat kepada pihak mempelai pria dengan dinyatakan
adat tradisi Boka jatuh pada mempelai pria dengan hitungan Boka menurut
strata yang dimilikinya dengan tambahan Pasali yaitu bayaran untuk
mengangkat derajat si wanita menjadi strata yang sama dimiliki si pria.
Dan disini ada pemaparan dari tokoh adat mengutarakan seperti,
Adat pernikahan dan penguraian perhitungan Boka jatuh pada pihak
wanita, terkecuali tejadi pernikahan Polasiaka dan pernikahan
Humbuni, maka terjadi syarat untuk adat itu sendiri (wawancara, tokoh
adat, Buton, 5 febuari 2015).
33
Dari penjelasan diatas dan tuturkata wawancara, ini terlihat bahwa
ideologi merupakan salah satu faktor dari perubahan sosial adat masyarakat
Buton.
Menurut Selo Soemardjan, perubahan sosial adalah perubahan yang
terjadi pada lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang
mempengarugi sistem sosial, termasuk didalam nilai-nilai, sikap-sikap, unsur
budaya dan pola perilaku diantara kelompok masyarakat (Elly, et al, 2006:50).
Menurutnya, antara perubahan sosial dan budaya memiliki satu aspek yang
sama, yaitu kedua-duanya bersangkut paut dengan suatu penerimaan cara-cara
baru atau suatu perbaikan cara masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya,
dari pernyataan di atas sama hal dengan yang diucapkan Bahysu salah satu
informan;
Adat tradisi boka yang sebenarnya yang ada Buton Wolio ini kan
menggunakan real untuk memperhitungkan jumlahnya, tapi semenjak
perkembangan waktu, maka perubahan ini sekarang sudah
menggunakan perhitungan rupiah saja tanpa menggunakan real lagi,
Cuma dalam pelaksanaan proses wajib menggunakan boka
(wawancara, Tokoh Masyarakat Keraton, Buton, 9 desember 2014).
Dilihat dari prosesnya perubahan yang terjadi di Buton juga
merupakan suatu proses perubahan budaya yang tidak bisa terlepas dari
perubahan sosial, dikarenakan antra sosial dan budaya saling terikat, hal ini
disebabkan terbentuknya budaya. Perubahan juga terjadi bukan hanya pada hal
nilai atau bentuk dari ritual yang telah ditetapkan oleh masyarakat atau oleh
para tokoh adat, namun perubahan juga terjadi pada masalah status sosial yang
ada pada masyarakat, seperti hal perubahan yang akan terjadi menurut
Soerjono Soekanto adalah system terbuka dalam lapisan-lapisan sosial
masyarakat. Open stratifikasi atau system terbuka memungkinkan adanya
34
gerak sosial vertikal atau horizontal yang lebih luas kepada anggota
masyarakat. Masyarakat tidak lagi mempermasalahkan status sosial dan
menjalin hubungan dengan sesamanya. Hal memberikan kesempatan para
individu atau kelompok untuk mengembangakan kemampuannya, La Ode
Ma‟asuh mengatakan salah satu informan yaitu;
Pernikahan yang ada di Buton dahulunya merupakan pernikahan
klasifikasi pembentukan masyarakat dengan melihat status sosial dan
keturunan keluarga, bahwasanya keturunan koumu harus menikahi
Koumu dan Walaka, keturunan Walaka menikahi Walaka, dan kalau
dari keturunan Walaka menikahi Koumu maka akan dikenakan Pasali
dan Mata Kupa sesuai adat yang sudah disepakati, namun semenjak
perubahan waktu yang bergulir proses pernikahan sekarang hampir
tigak menengok atau melihat status sosial masyarakat lagi, sehingga
pernikahan adat pun bergeser (wawancara, Buton, 5 febuari 2015).
Masyarakat Buton budaya tradisi Boka dalam pernikahan mempunyai
makna yang sakral dan strategis dari sudut pandang yang berbeda,
dikarenakan peristiwa ini bukan sekedar mengesahkan persatuannya dua jenis
anak manusia yang berbeda kelamin, tetapi juga berfungsi untuk menguatkan
dan mengentalkan kembali hubungan kekerabatan antara family, keluarga,
khususnya bagi mereka yang kawin dengan keluarga yang mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi atau sisilah Koumu (bangsawan) untuk
masyarakat Buton, seperti yang dikatakan Husnul yang satu ini, yaitu;
Pertama memaknai dari sisi positif, adalah budaya yang halus
menghargai kebangsawanan, karena dulu setiap bangsawan itu
diwajibkan mempunyai pendidikan yang tinggi dan mereka akan malu
kalau mereka tidak berakhlak mulia, sehingga ukurannya adalah ketika
dia bangsawan berarti dia berpendidikan dan berakhlak baik khusus
wanita, dan itu akan mengukur jumlah boka dia atau jumlah mahar si
wanita, dan ini dalah zaman dulu . Sekarang dilihat dari sisi negatifnya,
seperti yang terjadi pada kakak saya (informan) sangat
menghawatirkan, salah satunya adalah syariat islam kan sudah
menyebar dan mayoritas orang sudah memahaminya, tapi disisi lain
35
orang-orang yang awam atau orang-orang yang tradisional masih
memegang teguh dengal hal seperti adat dan tradisinya, akhirnya
ketika kakak saya (informan) nama depannya tidak mengguanakan La
Ode dan istrinya menggunakan Wa Ode terjadi sedikit kontropersi
disitu, sehingga dua belapihak dari keluarga silaturahminya jadi kurang
baik, dikarenakan perbedaab strata yang mempersusah kakak saya
menduduki strata La Ode melalui proses adat, tapi niat kakak saya
baik, dia ingin merubah kedudukan martabat keluarga saja. Jadi yang
saya maknai adalah boka untuk membentuk keluarga lebih baik dengan
merubah kedudukan keluarga yang berbeda menjadi keluarga yang
mempunyai status. seharusnya boka saat ini harus diadakan
menyuluhan dan harus memberikan pemahaman kepada masyarakat
tentang adat dan tradisi boka secara luas (wawancara, Masyarakat
Keraton, Buton, 2 desember 2014).
Perubahan sosial budaya yang terjadi di Buton, bisa dikatakan melalui
difusi. Menurut Horton dan Hunt (1984:212-213), difusi merupakan proses
penyebaran unsur-unsur budaya dari suatu kelompok lainnya yang dapat
berlangsung baik didalam masyarakat maupun antara masyarakat, dikarenakan
beberapa budaya yang ada ditiap masyarakat pendatang sering dan selalu
melakukan komunikasi maka terjadi pertukaran dan pemasukan unsur-unsur
budaya baru, walau terkadang budaya setempat masih bisa dipertahankan.
Difusi juga merupakan proses discovery dari masyarakat lainnya dan akhirnya
menjadikan budaya tersebut menjadi invention dari budaya yang lama dan
memunculkan budaya innovation pada masyarakat, seperti yang di utarakan
oleh La Ode Ma‟asuh mengatakan yaitu;
Dulu nikah atau perkawinan di Buton Wolio sangatlah susah tidak
semudah sekarang, dikarena semua proses tradisi dalam adat dilakukan
secara detail, dari sebelum pernikahan sampai pernikahan itu selesai,
contoh yang dahulu, sebelum pernikahan keluarga dari pihak laki-laki
mereka itu tidak langsung datang kerumah pihak perempuan, tetapi
memilih salah satu dari orang tua bekas pegawai syarah atau
pemerintah swapraja atau bekas pegawai masjid keraton yang disebut
Tolowea untuk menjadi penghubung. Orang tua ini yang menjadi
penghubung antara orang tua laki-laki dan orang tua perempuan yang
36
akan dipinang. Dari hasil konsultasi penghubung ke pihak keluarga
perempuan dapat diketahui jadi tidaknya pertunangan laki-laki dengan
perempuan yang diinginkan, beda dengan sekarang ini melakukan
lamaran kadang dilakukan sendiri oleh si pria yang datang ke pihak
orang tua si wanita, kemudian si pria ini menyatakan ke pihak orang
tuanya sendiri untuk langsung membantu melamar si wanita tersebut
(wawancara, Tokoh agama, Bau-Bau 5 febuari 2015)
Hal serupa diutarakan oleh masyarakat Ba‟diah yaitu La Ode Hafeudin
mengatakan;
Pernikahan orang dulu dan sekarang berbeda jauh, sekarang anak muda
kalau mau menikah mudah sekali, bisa pilih perempuan yang mana dia
suka dan datang melamarnya tanpa ada proses penghubung, dan kalau
duluhnya mau menikahi anak perempuan itu kita lihat juga
keturunannya siapa si perempuan itu. (wawancara, Buton, 7 febuari
2015)
Mengenai proses dari perubahan yang terjadi dalam masyarakat Buton,
menurut penuturan tokoh adat telah dijelaskan dalam prinsip adat yang
dipahami dan dianut oleh masyarakat Buton, bahwasanya kehidupan
senantiasa akan berubah, begitu pulah dengan adat istiadat. Proses dari
penerimaan unsur-unsur baru yang masuk kemasyarakat Buton pun diterima
secara berangsur-angsur, dengan kata lain hal baru tersebut memberimanfaat
dalam kehidupan masyarakat setempat, sebagaimana yang diucapkan informan
dari tokoh syarah agama keraton;
Pelaksanaan adat Boka dulu dan sekarang mengalami perubahan,
penyebabnya adalah dinamika perkembangan yang terjadi di dalam
masyarakat itu sendiri. Adapun bentuk perubahannya adalah
berlakunya Adat Limba Dolango berubah menjadi adat Mata Kupa
(wawancara, Tokoh agama, Buton, 7 desember 2014).
37
Sebagai informasi limba Dolango adalah bukan suatu ketentuan adat
dan system adat dari syara agama, tapi suatu luapan hati masyarakat yang
dinikahi oleh masyarakat pendatang, dengan Boka yang berlebihan atau bisa
disebut hukuman bagi sipendatang yang menikahi masyarakat Buton. Sedang
perubahan yang terjadi menjadi Mata Kupa (mahar yang diminta dari pihak
mempelai wanita tanpa diuraikan perhitungan Bokanya) artinya bagi
masyarakat pendatang menikahi masyarakat Buton Asli (Wolio) sudah
mendapat hitungan Boka yang tidak ditentukan adat.
Suatu kebudayan akan selalu bertahan dan tetap dilestarikan tergantung
bagaimana masyaraka akan selalu melaksanakan dan mensosialisasikan
kepada anak dan cucunya secara memperkenalkan adat itu sendiri. Seperti
Koentjangrat (1990:229), menyatakan untuk belajar budaya dapat dilakukan
melalui proses sosialisasi, dimana seseorang individu dari anak-anak hingga
masa tua tetap mempelajari atau melestarikan kebudayaan, seperti yang
dikatakan Indrus;
Proses budaya tetap berjalan tetapi kita ini yang sudah tua selalu
mengikuti adat dan mengingatkan pada anak-anak sekarang, biar
mereka mengerti apa yang dilakukan orang tuannya miana
mangengena ou para opuana (orang yang terdahulu dari keturunan)
(wawancara, Tokoh masyarakat keraton, Buton, 10 desember 2014).
Adapun bentuk Boka yang terdahulu dan yang sekarang mengalami
perubahan, seperti yang akan dijelaskan dari informan kita:
Kita berbicarakan adat ini tidak ada habisnya, soalnya masyarakat kita
masih ada artinya dangia miana Wolio. Dan kita lihat dari boka yang
dulu dan yang sekarang jauh sekali perbedaannya, dulu tuh tingkatan
mahar kalau biasa disebut Popolo itu menpunya tingakatan-tingakatan,
seperti yang ditetapkan adat syarah Wolio, tingkatan pertama tuh
dangia popolo lalaki, popolo walaka, popolo maradika, dari tiga
popolo sih dibagi-bagi lagi, tapi sekarang pembagian tingkatan yang
38
itu sudah jarang digunakan, malah sekarang miana (orang) Wolio
melihat itu dari oanana incema ngko sih (dari keturunan siapa anak
ini), itu mi yang kita kasihani dengan ketidak pedulian masyarakat
juga. (wawancara, Tokoh masyarakat Keraton, Buton, 10 desember
2014).
Bentuk Pengamatan Mahar/adat syara Wolio Buton Menurut
tingkatannya masing-masing (data Boka adat syara Wolio, bau-bau, november
2004)
Mahar ( Popolo ) pada syara adat Wolio Buton terbagi atas tiga
tingkatan yaitu;
Mahar Lalaki (bangsawan)
Mahar Walaka
Mahar Maradika
Tingkat Pertama :
Mahar Lalaki (Bangsawan) Wolio (Buton) terbagi menjadi atas tiga
tingkatan:
Mahar semua Lalaki / Bangsawan di Buton sebagai dasar (popolo
lalaki)
Sultan Sakiul Darul Alam (Oputa sangia)
Yang melelui Sultan Idrus (Oputa Moko Baadiana)
Mahar lalaki sebagai dasar Popolo lalaki Wolio / Buton telah
dicantumkan menurut mupakat aparat Sultan / Syara Wolio, dengan dasar Rp.
200. / perak (200 perak Mata kupa) dalam bahasa Buton, dan akan tetapi
setelah dipikirkan kembali (reali dalam bahasa Buton/Wolio), setiap Rp.200.
(200 Mata Kupa) menjadi 36 rupiah (36 Boka). Jadi setiap 200 rupiah berarti
39
sama dengan : 72 atau 60 Boka. Dan jika diuraikan menurut hakekatnya, (data
yang tertulis dalam arsip adat masyarakat Buton, November 2004).
Berikut ini diuraikan mengenai beberapa tingkat Boka yang berlaku
pada masyarakat Buton, menurut data pegangan para tokoh adat:
- Popolo 30 boka = 36 rupiah / perak
- Kalamboko 30 boka = 36 rupiah / perak
- Kapobiangi 10 boka = 12 rupiah / perak
- Katolosi 5 boka = 6 rupiah / perak
- Bakena kau 5 boka = 6 rupiah / perak
- Katandui 5 boka = 6 rupiah / perak
- Kaempesi 2,5 boka = 3 rupiah / perak
Jumlah semua 87,5 boka = 105 rupiah / perak
Kemudian yang disetor pada pihak perempuan hanya sebanyak, 75
boka saja
Dari data yang diatas kita bisa melihat perubahan data yang sekarang
seperti yang di tuturkan La Ode Ma‟asuh, informan:
Hitungan boka mahar atau popolo itu sekarang itu sudah menjadi 1
boka 24000 itu untuk hitungan nilai tukarnya, belom hitungan
keturunan atau tingakatannya (wawancara, Buton, 5 febuari 2015).
Jadi penulis bisa mengambil perhitungan dari data sebelumnya, bahwa
untuk satuan perhitungan boka sekarang sperti yang dibawa ini:
- Popolo 30 boka = Rp. 720.000,-
- Kalamboko 30 boka = Rp. 720.000,-
- Kapobiangi 10 boka = Rp. 240.000,-
40
- Katolosi 5 boka = Rp. 144.000,-
- Bakena kau 5 boka = Rp. 144.000,-
- Katandui 5 boka = Rp. 144.000,-
- Kaempesi 2,5 boka = Rp. 60.000,-
Jumlah semua 87,5 boka = Rp. 2.172.000,-
Kemudian yang disetor pada pihak perempuan hanya sebanyak, 75
Boka saja. Dari penjelasan diatas dan contoh data diatas menggamabarkan
dalam satu bentuk, sedang tingkatan mahar di Buton ada beberapa tingkatan.
Dari gambaran dan pemaparan Boka diatas terjadi perubahan dalam
nominal disebabkan waktu dan zaman, maka perhitungan mahar yang
dikeluarkan mengikuti perkembangan, namun tradisi Boka saat ini masih
dilaksanakan oleh masyarakat Buton, sebagaimana yang telah disampaikan La
Ode Hafeudin, salah satu informan masyarakat Wajo, yaitu;
Memang orang Buton kalau melakukan lamaran dan pernikahan
meraka selalu tidak lepas dari yang namanya adat tradisi Boka,
walaupun jumalah nilai tukar yang di berikan atau dikeluarkan
berbeda-beda sesuai dengan yang disepakati (wawancara, Buton , 7
febuari 2015).
Budaya dan adat tradisi Boka merupakan system adat masyarakat
Buton yang tidak pernah ditinggalkan oleh masyarakat setempat. Pelaksanaan
Boka dilakukan setelah empat hari dari kedatangan penghubung atau Tolowea
ke pihak keluarga wanita dan memdapatkan persetujuan atau mufakat dengan
membawa Katindana Oda (Kabua-Bua) belum Posua/pingitan biasa juga
disebut PEMONEA dan Katangkana Oni (Kalambe) sudah Posuo (Lihat
gambar 3). Empat hari selanjutnya disusul pula dengan penyerahan suatu
41
pemberian dari pihak pria yang disebut BAKENA KAU (buah-buahan)
penyerahan Bakena Kau dilakukan dua kali pada saat penyerahan Katindana
Oda dan pada saat penyerahan Tauraka (mahar). Pada mempelai wanita ketika
diadakan Posua/pingitan selama delapan hari maka pihak pria membawakan
beberapa penyerahan sebagai berikut ANTONA SUO (isi atau biaya pingitan),
LANGASA (dua potong kain kaci masing-masing panjang dua meter),
MANTOMU (kunyit, berupa buah-buahan dan makanan), BURA (bedak, yakni
berupa padi (gabah) sebanyak 1 balase kurang), dan KASIPO (suapan uang),
semua yang dipaparkan diatas merupakan proses Boka, namun proses adat
tersebut mengalami dinamika perubahan dengan bentuk penyeraha tanpa
proses yang panjang, Boka tersebut diberikan ketika lamaran dilaksanakan dan
keseluruhan Boka dinominalkan ke mata uang. La Ode Ma‟asuh salah satu
informan mengutarakan yaitu;
Tradisi pernikahan di masyarakat Buton Wolio ini, merupakan proses
yang panjang dalam pelaksanaanya, seperti penyerahan Katindana
Oda, Katangkana Oni, Bakena Kau, Antona Suo, Langasa, Mantomu,
Bura, Kasipo dan sampai ke ujung penyerahan Taurakanya semuanya
itu disebut tradisi Boka (wawancara, tokoh adat, Buton, 5 febuari
2015).
Adapun perubahan yang terjadi dalam tradisi Boka tersebut merupakan
proses mengikuti zaman yang akan mengakibatkan tradisi Boka akan begitu
menjadi mudah dalam pelaksanaannya, seperti yang dituturkan oleh La Ode
Ma‟asuh, seperti;
Masyarakat Buton ini akan terpengaruhi perkembangan zaman, yang
menjadikan masyarakat serba cepat, apalagi kalau kita lihat cara
kehidupan sekarang teknologi yang menjadi peran penting di zaman
ini, sehingga proses pemberitahuan lamaran bisa menggunakan
handpond melalui pesan untuk mengungkapkan silaturahmi dari satu
keluarga ke keluarga yang lain dan untuk menyambung suatu ikatan,
42
sehingga urusan lamaranpun bisa dikabari melewati pesan dari
handpond, padahal hak suptantif sebenarnya dalam adat bahwasanya
proses Boka itu harus melewati Tolowea, dari Toloewa itu yang akan
memberitahu lamaran itu diterima atau tidak dan Tolowea pun yang
membawa Boka yang berupa Katindana Oda (wawancara, Buton, 5
febuari 2015).
Meskipun bentuk-bentuk pelaksanaan Boka pada masyarakat Buton itu
mengalami perubahan, namun tidak merubah makna adat. Artinya walaupun
ada bagian kecil yang berubah, tetapi secara garis besar adat Boka itu masih
ada dan masih dijaga serta dilestarikan dan yang ini disebut proses innovation.
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Boka
Sudah disinggung di atas bahwa perubahan dalam sebuah system adat
istiadat pada suatu suku dapat berubah tentu dengan musyawarah dan
keputusan bersama. Namun banyak hal yang bisa membuat suatu kebudayaan
mengalami perubahan. Baik itu yang dilatarbelakangi dari luar masyarakat itu
sendiri maupun dari dalam masyarakat.
Menurut Gillin dan Gillin (John Luwis Gillin dan John Philip Gillin)
mengatakan bahwa perubahan yang terjadi sebagai suatu variasi dari cara
hidup yang telah diterima karena adanya perubahan disebabkan baik karena
perubahan kondisi geografis, kebudayaan materil, komposisi penduduk,
ideologi maupun karena adanya difusi ataupun perubahan-perubahan baru
dalam masyarakat tersebut (Elly, et al, 2006;50).
Namun hal dikarenakan Boka termasuk dalam hukum adat maka
perubahannya sudah tentu tidak biasa terlalu sering, mengingat patutnya
menjaga keaslian dari sebuah adat istiadat. Di bawah ini ada beberapa hal
yang dapat menyebabkan perubahan pada sistem Boka:
43
a) Kondisi Geografis (Pesatnya Penduduk dan Interaksi Kultur Budaya)
Letak geografis dan posisi suatu daerah bisa mempengaruhi kehidupan
masyarakat setempat. Posisi Buton sebagai derah transit, menjadikan ini ramai
dikunjungi oleh pendatang luar. Masuknya para pendatang ke Buton sedikit
banyaknya membawa dampak perubahan sosial budaya di wilayah ini, sebab
para pendatang kemuadian menetap di wilaya Buton, jelas membawa dan
menjalin komunikasi dengan budaya yang mereka anut sebelumnya. Proses
interaksi sosial yang terjadi antara penduduk lokal dengan para pendatang
menyebabkan terjadinya akulturasi dan asimilasi budaya.
Akulturasi merupakan faktor mendorong terjadinya cultural contact
berarti suatu kebudayaan tertentu yang dihadapkan dengan unsur-unsur
kebudayaan asing yang sedemikian rupa sehingga lambat laun unsur-unsur
kebudayaan asing tersebut melebur kedalam kebudayaan sendiri, tetapi tidak
menyebabkan hilangnya kepribadian lokal (Elly, et al.2006;159). Interaksi
antara masyarakat yang berbeda dapat menjadikan kelompok-kelompok
manusia saling bergaul secara intensif dalam kurun waktu yang lama,
sehingga dari dua kelompok atau dari dua budaya yang berbeda seperti Buton
dan Jawa itu masing-masing berubah watak khasnya dan unsur-unsur
kebudayaannya saling berubah sehingga memunculkan suatu watak
kebudayaan yang baru/campuran. Hal tersebut terjadi serupa dengan informan
Hafeudin menuturkan;
Saya sendiri punya saudara sepupuh ada tujuh orang, dari tujuh orang
salah satu dari mereka, anak ke empat menikah dengan orang Jawa. Biasa
karena pekerjaannya sepupuku itu pedagang dia yang selalu kirim barang
orderan belanjaan untuk di jual di Buton. Dia selalu menetap di Jawa terus dia
sudah lama di Jawa akhirnya dia dapat orang Jawa dan menikah sama orang
44
Jawa. Di pernikannya itu dia make adat Jawa dan Buton (wawancara, 7 febuari
2015)
Menurut Soerjono Soekanto, faktor yang heterogen, artinya
masyarakat heterogen dengan latar belakang budaya, ras, dan ideologi yang
berbeda akan menjadi pertentangan yang dapat menimbulkan kegoncangan
sosial, dengan keadaan demikian dapat merupakan terjadinya perubahan-
perubahan baru dalam masyarakat untuk mencapai keselarasan sosial,
sebagaimana penuturan masyarakat keraton La Ode Hafeudin yaitu sebagai
berikut;
Di Buton sekarang ini bayak masyarakatnya imigran yang datang dari
Jawa, Bali dan Cina. bahkan orang Jawa pun dapat menikahi penduduk
asli Buton dan orang-orang Buton sendiripun banyak yang merantau
ke jawa khususnya di daerah Jakarta dan menikah dengan orang Jawa
pula (wawancara, masyarakat keraton, Buton, 7 febuari 2015).
Menurut Soerjono Soekanto, terjadinya kontak atau sentuhan dengan
kebudayaan lain. Bertemunya budaya yang berbeda menyebabkan manusia
saling berinteraksi dan mampu menghimpun berbagai penemuan yang telah
dihasilkan, baik dari budaya asli maupun budaya asing, dan bahkan hasil
perpaduannya. Hal ini dapat mendorong terjadinya perubahan dan tentu akan
memperkaya kebudayaan yang ada.
Percampuran budaya lokal dengan budaya yang dibawa oleh para
pendatang adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, karena terjadi secara
alami, diantaranya melalui sebuah interaksi sosial yang berlangsung ditengah
masyarakat. Hal ini disebabkan karena sudah makin banyaknya jumlah
imigrasi sehingga banyak pendatang baru yang mulai menetap di Buton. Disisi
lain letak geografis Buton merupakan tempat masuknya perdagangan, seperti
yang diucap informan kita ini;
45
Bagi saya sih kedatangan mereka seperti orang Jawa, Bali dan Cina ke
Buton itu hanya mencari kehidupan yang lebih baik, karena di Buton
ini masih banyak sekali tempat penghasilan yang bisa diperoleh oleh
mereka. apa lagi kita bisa lihat letak geografis di Buton setengahnya
lautan dan setengahnya hutan, dari kedatangan mereka kan pasti terjadi
interaksi antara penduduk kita, makanya darisitulah terjadi
percampuran budaya. (wawancara, Buton, 7 febuari 2015).
Ini juga menyebabkan terbentuknya masyarakat heterogen dengan
masyarakat yang pendatang dari segala penjuru. Akhirnya heterogenitas inilah
yang selalu berinteraksi dan menghasilkan pengaruh pada perubahan sosial.
Keadaan keragaman itulah yang mendorong perubahan-perubahan untuk
mencari keselarasan sosial.
Transformasi sosial yang berkembang membentuk pergeseran sistem
dan pola pandang masyarakat yang terjadi sebagai dampak dari masuknya
budaya luar dalam masyarakat Buton, khusunya pada bidang adat dan tradisi
system Boka yang terjadi invention dan menjadi proses pebaruan.
Penduduk pendatang juga merupakan salah satu faktor perubahan
budaya serta menjadi gejala-gejala sosial dimasyarakat dalam pertumbuhan
dan perkembangan ekonomi suatu daerah dan wialayah, halnya yang
diucapkan informan;
Umbe (iya) dengan kedatangan miana (orang) Cina, miana (orang)
Jawa sih, mempengaruhi anak muda sekarang dalam pengetahuan,
pergaulan dan cara hidup samapai melupakan budaya Wolio, seperti
sekarang mana ada anak muda sekarang bisa berbahasa Wolio, padahal
dalam acara adat Wolio kan menggunakan bahasa Wolio, khususnya
kawi tauraka popolo sopea bokana (pernikahan yang harus
mengeluarkan maharnya dan berapa jumlah perhitungan bokanya)
(wawancara, Buton, 15 agustus 2014).
Jadi maksud dari jumlah penduduk yang banyak yang disebabkan
pendatang juga menjadikan perubahan yang tidak dikehendaki, artinya
46
perubahan ini terjadi disebabkan percampuran kultur dan budaya sehingga
diluar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menimbulkan akibat-
akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat, serta itu menjadi percampuran
unsur budaya dan membentuk asimilasi tersebut. Bisa melihat gambar 2
pernikahan masyarakat suku buton dan suku lain (Papua) masih
mengguanakan adat tradisi boka, tapi dengan menggunakan cara simple atau
cara pernikahan sederhana yang dihadiri dua pihak keluarga dan saksi.
b) Faktor Ekonomi dan Gaya Hidup
Secara umum, persoalan budaya materil merupakan lintasan budaya
terkait dengan perkembangan dari suatu wilayah bagian didunia
mempengaruhi atau dipengaruhi. Persoalan lintas budaya materil dapat
diartikan pula sebagai perkembangan modernisasi yang berkebang terus
menjadi globalisasi. Globalisasi adalah system atau tatanan yang meyebabkan
suatu budaya dan Negara tidak mungkin mengisolasi diri akibat kemajuan
teknologi dan komunikasi (Rusmin, et al, 2010:192).
Menurut Lauer (1989:211) budaya materil ini mencakup teknologi
(gaya hidup) dan ekonomi (mata pencaharian). Kita bisa melihat keberadaan
teknologi telah meningkatkan alternatif-alternatif baru bagi masyarakat,
mempengaruhi dan mengubah pola interaksi dalam kehidupan. Hal ini
tercerminkan dalam pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Buton, terutama
dalam proses pemberian Boka dalam pelaksanaan proses pernikahan, yang
dulu dimana pada masyarakat Buton pemberian mahar dalam system tradisi
Boka menggunakan perhitungan real untuk menentukan berapa nilai tukar
pada Boka. Sebagaimana dinyatakan oleh Idrus salah satu informan:
47
Menurut saya ada sedikit perubahan dengan yang saya lihat selama ini,
yaitu perubahan yang berbeda hanya nilai tukar dari boka itu sendiri
sesuai dengan kenaikan nilai tukaran. Yang dulu kita memakai
hitungan nilai tukar real, sekarang hitungan nilai tukar rupiah,
dikarenakan hitungan real sekarang ini sudah tidak digunakan lagi.
(wawancara, Buton, 10 desember 2014).
Dari penjelasan informan sendiri bahwasanya kehidupan globalisasi atau
kehidupan era modernisasi menjadikan perubahan juga pada bentuk artifek,
sistem dan nilai.
Jenis lain dari kebudayaan materil ini adalah ekonomi, hal ini terkait
terhadap kebutuhan dasar sangan, pangan dan papan manusia yang terus
meningkat dan mengalami perkembangan. Penulis menemukan bahwa akibat
dari faktor ekonomi berbagai tahapan-tahapan adat perkawinan berangsur
mengalami perubahan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh informan selaku
masyarakat yang tinggal di lingkungan keraton mengatakan:
Kalau kita lihat sekarang ini perhitungan boka sangat sedikit nilai
tukarnya untuk membangun rumah tangga bagi yang baru-baru nikah
khusunya yang menggunakan adat dengan benar dan mengikuti aturan
prosesnya. Sekarang kita lihat seperti kalamboko atau mbooresa
(tempat tidur) berapa boka? Untuk hitungan nilai tukar mahar Dala
Iyoputa Sangia, kalamboko 30 boka dan 1 boka 24000 iya kan.
Sedangkan barang-barang matras, ranjang dan seperangkat langit-
langit kamarnya, kolambunya (perangakat ranjang) itu semua melebihi
dari 5 juta, toapa (bagaiamana)? Pastinya kan kita ikut adat tapi ada
uang haroa (uang pesta) untuk menambahkan itu semua. Dikarenakan
kebutuhan masyarakat kita sekarang ini sangat banyak (wawancara,
masyarakat keraton, Buton, 15 agustus 2014).
Berdasarkan penjelasan informan diatas, perkembangan zaman dan ekonomi
saat ini bisa merubah sedikit-sedikit dari budaya menjadi berkembang, tapi
tidak merubah esensi nilai budaya sebelemnya, dan penulis juga sempat
mempertanyakan kepada salah satu tokoh adat selaku informan saya tentang
bagaimana Boka ini menghadapi perkembangan zaman:
48
Adat ini kan ditetapkan oleh para tokoh adat keraton dan dimufakatkan
hasilnya, dulu juga dari 1 boka nilai tukar 18000- menjadi 1 boka nilai
tukar 24000- dan ini pasti akan ada perubahan lagi dari kesepakatan
selanjutnya, karana nilai tukar Boka ke rupiah harus mengikuti
ekonomi masyarakat (wawancara, masyarakat keraton, Buton, 7
febuari 2015).
Ogburn berpendapat bahwa perubahan kebudayaan materi yaitu
ekonomi dan gaya hidup cenderung lebih cepat dibandingkan perubahan
immaterial. Ketidak seimbangan perubahan kebudayaan materiel dengan
kebudayaan imateriel disebut kesenjangan kebudayaan. Kesenjangan
kebudayaan adalah pertumbuhan atau perubahan unsur kebudayaan tidak sama
cepatnya. Keseimbangan dalam kehidupan masyarakat (social equlibirium)
tidak selalu berarti tidak menginginkan perubahan atau berhenti pada suatu
titik. Tetapi maksudnya, perubahan yang terjadi dalam satu unsur tidak
mengganggu unsur lain atau unsur yang lain diharapkan menyesuaikan diri
sehingga terjadi keseimbangan (Tumanggor, Rusmin, et al, 2010:193).
Bahwasanya perkembangan ekonomi dan gaya hidup merupakan suatu
unsur yang merubah tradisi Boka secara perlahan-lahan, sehinga adat dan
budaya pun mengikuti perkembangan waktu dengan mencampur kan unsur
tradisi adat yang ada pada masyarakat tanpa menghilangkan tradisi tersebut,
dengan tujuan meberikan keseimbangan sosial budaya, seperti yang di
tuturkan salah satu informan Bahysu, yaitu;
Berdasarkan musyawarah parah tokoh adat dan tokoh syarah agama
dan seluruh Swapraja yang ada di masjid keraton Buton, memutuskan
bahwasanya tradisi Boka akan diperhitungkan lagi nilai tukar yang
sudah ada pada masyarakat, dikarenakan disetiap wilayah Buton
mengalami perbedaan dikarenakan ketidak sesuaian denga kehidupan
ekonomi masyarakat (wawancara, Buton, 9 desember 2014).
Berarti dari pemaparan para informan, penulis akan membantu
menjelaskan tentang nilai proses tradisi yang ada di masyarakat buton masih
49
bisa dipertimbangkan dengan tujuan menyeimbangkan antara budaya leluhur
dengan perkemabangan zaman. Sehingga dua unsur tersebut tidak membentuk
kesenjangan budaya.
C. Dampak Perubahan Tradisi Boka pada Masyarakat Buton
Perubahan sosial budaya akan merubah adat, kebiasaan, cara pandang,
bahkan ideologi suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya juga secara
langsung atau tidak langsung akan memberikan dampak, baik negatif maupun
positif, seperti hal yang terjadi pada masyarakat Buton. Sebagaimana
diungkapkan oleh informan Idrus yaitu;
Ada dua dampak yang terjadi pada masyarakat Buton, Dampak
positifnya Boka dapat dijangkau oleh siapapun yang berniat
menyelenggarakan kegiatan adat istiadat dan Dampak negatifnya
perubahan Boka, jati diri dan indentitas adat – istiadat masyarakat adat
Buton makin lama makin punah (wawancara, Buton, 10 desember
2014).
pernyataan informan yang diatas mengambarkan bahwasanya dampak
positifnya perubahan sosial budaya dalam Boka bagi masyarakat Buton adalah
semua dapat dijangkau oleh masyarakat dalam pelaksanaan adat tradisi Boka,
dikarenakan tradisi sudah dipermuda oleh masyarakat sendiri dan nilai tukar
pada nominal dipermudah yang menyebabkan hal tersebut terdapat
percampuran unsur budaya tradisi dan unsur budaya baru. Perubahan dapat
terjadi jika masyarakat dengan kebudayaan mampu menyesuaiakan diri
dengan perubahan, maka keadaan masyarakat yang memiliki kemampuan
dalam penyesuaian atau disebut adjusemen, sedang bentuk penyesuan dengan
gerak perubahan disebut integrasi. Berikut ini hal-hal positif pada masyarakat
akibat adanya perubahan sosial budaya; 1).Memunculkan ide-ide budaya baru
yang sesuai dengan perkembangan zaman, 2).Membentuk pola pikir
50
masyarakat yang lebih ilmiah dan rasioanal, 3).Terciptanya penemuan-
penemuan baru yang dapat membantu aktivitas manusia, dan 4).Munculnya
tatanan kehidupan masyarakat baru yang lebih modern dan ideal (Soekanto,
1983:63).
Dari beberapa icon diatas sangat berkaitan dengan dampak perubahan
tradisi Boka yang terjadi pada masyarakat Buton, dimana masyarakat Buton
dapat menggabungakan tradisi adat leluhur yang begitu rumit menjadi mudah
dilakukan dengan ide-ide baru. Masyarakat Buton membentuk tatanan
kehidupan yang baru, seperti open stratification atau system terbuka dalam
lapisan sosial, seperti yang dituturkan La Ode Ma‟asuh, yaitu;
Pernikahan sebenarnya kan membangun keluarga yang baik dan
harmonis bukan membentuk suatu kelompok kekuasaan dalam suatu
keturunan bangsawan lagi (wawancara, Buton, 5 febuari 2015).
Hal tersebut berkaitan dengan ide, pola piker dan tatanan kehiduapan
yang modern, salah satu informan mengatakan;
Bagi masyarakat miana Wolio (Buton) perubahan yang terjadi pada
proses tradisi Boka membuat masyarakat dipermuda dalam
melaksanakan pernikahan, segala hal yang berkaitan Boka dulunya
diuraikan dengan bentuk peyerahan yang bemacam-macam dan saat ini
semua hal sudah dapat dipermudah dengan menominalkan dengan
uang, sehingga proses lamaran dan penyerahanpun sangat cepat
(wawancara, Buton , 7 febuari 2015).
Dampak negative yang terjadi apabila masyarakat dengan
kebudayaannya tidak mampu menyesuaikan diri dengan gerak perubahan,
maka ketidak mampuan dalam penyesuain diri disebut maladjusumen.
Maladjasumen akan menimbulkan disintegrasi. Berikut ini hal-hal negative
akibat adanya perubahan sosial budaya; 1).Tergesernya bentuk-bentuk budaya
nasional oleh budaya asing yang terkadang tidak sesuai dengan kaidah
51
budaya-budaya nasional, 2).Adanya beberapa kelompok masyarakat yang
mengalami ketertinggalan kemajuan budaya dan kemajuan zaman, baik dari
sisi pola pikir ataupun dari sisi kehidupan (cultural lag atau kesenjangan
budaya), 3).Munculnya bentuk-bentuk penyimpangan sosial baru yang makin
kompleks, dan 4).Lunturnya kaidah-kaidah atau norma budaya lama, sangat
berkaitan dengan yang di tuturkan La Ode Hafeudin, selaku informan;
Kalau orang-orang Buton dulu tuh melakukan pernikana itu disambut
dengan meriah dan kemudian proses adatnya itu banyak sekali,
sekarang ini pernikahan kayanya sudah menjadi biasa saja, apalagi
penyerahan Boka itu kaya penyerahan mahar seperti pernikahan
umumnya seperti yang di tv-tv sudah tidak ada nilai sakralnya lagi
(wawancara, Buton, 7 febuari 2015).
Seperti hal yang di ungkapkan La Ode Ma‟asuh tentang pandangannya,
yaitu:
Dampaknya itu kita bisa lihat di perkembangan zaman, banyaknya
sekali efek-efek yang menjadikan budaya masyarakat kita ini
bercampur, terutama dalam pola kehidupan. Kita lihat sekarang
pernikahan yang ada di masyarakat kita ini hampir 40% melaksanakan
pernikahan dengan metode biasa, tanpa menggunakan tradisi boka,
35% lagi menikah dengan cara percampuran unsur budaya dan suku
dan itu akan mengeser kebudayaan, dan sisanya itu hanya 25% yang
melakukan pernikahan dengan menggunakan tradisi boka. Kalau kita
lihat sekarang ya masyarakat kita ini sudah tidak ada kepedulian lagi
pada budaya dan adatnya khusunya para anak muda sekarang, hampir
tidak tahu apa itu boka. Dan para orang tuapun sudah lupa untuk
mengingatkan ke anak dan cucunya tentang budaya kita ini.
Bagi seluruh masyarakat Buton juga merasakan dampak perubahan tradisi
tersebut membuat kekhawatiran budaya yang akan pudar dan hilang di masa
perkembangan zaman ini, khususnya para tokoh masyarakat adat, tokoh syara
agama, dan sparaja menganggap norma budaya lama akan mengalami
kemunduran atau berdamapak negatif bagi masyarakat Buton kelak
52
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hasil penelitiaan ini menunjukkan bahwa terdapat perubahan dalam tataran
nominal Boka dalam tradisi masyarakat perkawinan Buton. Perubahaan tersebut
melalui ketetapan dari para tokoh adat berdasarkan pertimbangan meningkatnya
kebutuan masyarakat. Selain itu perubahan pada nominal Boka disebabkan oleh
adanya kesepakatan (negoisasi) dari kedua belah pihak keluarga mempelai.
Kondisi geografis yang strategis dan meningkatnya keutuhan ekonomi merupakan
faktor yang mempengaruhi perubahan Boka, dampak postif bagi masyarakat ialah
makin rendah nilai Boka maka makin rendah untuk dijangkau masayarkat. Hal itu
memicu open stratifikasi ssehingga memungkinkan adanya negosiaasi, selain itu
terdapat pula dampak negatif diantaranya ialah makna tinggi nilai boka maka makin
sulit dijangkau oleh sistem perkawian tradisional yang tergeser oleh sistem modern,
adat istiadat yang nantinya akan semakin ditinggalkan
B. Saran
Dari kesimpulan yang ditulis diatas, akhirnya penulis dapat memberikan saran
sebagai berikut:
a) Bagi para mahasiswa yang hendak melakukan penelitian serupa, hendaknya
bisa lebih menyeluruh, terutama metode penelitian yang digunakan. Peneliti
dalam hal ini sadar akan berbagai kelemahan dalam penelitian ini. Namun
setidaknya penelitian ini dapat memberikan kontribusi wawasan atau
pengetahuan dalam penelitian dengan objek yang serupa.
53
b) Bagi para tokoh dan cendikiawaan budayawan daerah bisa lebih mengekspor
lagi masalah tentang adat-adat di Buton
c) Bagi masyarakat yang ingin mengetahui tentang tradisi boka, lebih baik
mencari tahu informasinya secara langsung dari sumber tokoh adat di kerato
d) Dan hendaknya para tokoh adat lebih bekerjasama lagi pada mahasiswa sekitar
atau luar daerah agar budaya dan adat masyarakat buton bisa di eksport dalam
pengetahuan mahasiswa.
vii
DARTAR PUSTAKA
Palalloi, Hamzah, Kota Baubau sejarah dan Perjalanannya, Badan Komunikasi
Informasi dan Pengolahan Data Kota Baubau 2011
Alifuddin. ISLAM BUTON, Interaksi Islam dengan Budaya Lokal. Badan Litbang dan
Diklat Departemen Agama RI, Oktober 2007
Amiruddin. Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta; PT
RajaGrafindo Persada, 2004). Cet ke-1
Anceaux, Barringtonia Asiatica, 1987
Darmawan, Yusran. Menyibak Kabut di Keraton Buton (Bau-Bau:Past, Present, and
Future). Bau-Bau. Respect, 2008
Darul Butuni: Sejarah dan Adatnya Unpublished manuscript. 1980
Fahimuddin, Mu’min, Menafsirkan Ulang Sejarah & Budaya Buton, (Bau-Bau,
RESPECT, 2011).
Hamid, ABD Rahman, Orang BUTON suku Bangsa Bahari Indonesia, (Yogyakarta,
Ombak, 2011).
http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1992756-dampak-perubahan-sosial
budaya
Internet.www.garuda.dikti.go.id. http://repository.unad.ac.id/11608. di unggah tanggal 16
oktober 2012
viii
Kriyantono, Rachman Teknik Praktis Riset, 2008
Lakebo, Berthyn, Zeth Meusu, A. Mulku Zahari, La Ode Ibu, Hasanuddin, Adat dan
Upacara Pernikahan Daerah Sulawesi Tenggara, Proyek Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara, 1978/1979
Lauer, H Robert, Perspektif tentang perubahan Sosial, (Jakarta, Rineka Cipta, 1993).
Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1998).
Moleong, Lexy J. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remajarosda, 2009
Poerwandari, E. Kristi. Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi, Jakarta;
lembaga pengembangan sarana pengukuran dan pendidikan Psikologi Fak.
Psikologi Universitas Indonesia
Schoorl, Pim. Masyarakat, Sejarah dan budaya Buton, Djambatan-bekerja sama dengan
perwakilan KITLV-Jakarta. 2003.
Setiadi, Elly M. Kama A. Hakam. Ridwan Effendi. Ilmu Sosial & Budaya Dasar.
KENCANA. (Jakarta, 2006).
Soekanto, Soerjono. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial. Jakarta; Ghalia
Indonesia 1983
Soerjono Soekanto, 1990. Sosiologi Suatu Penantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta, Prenada 2007).
ix
Tumanggor, Rusmin, Kholis Ridho, Nurochim, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta,
Kencana, 2010).
Wahyu, Perubahan Sosial dan Pembangunan, Jakarta: 2005. Hecca Publishing
Zahari, Abdul Mulku. Sejarah dan Adat Fij Darul Butuni ( Buton), 3 vols. (Jakarta :
Depdikbud RI, 1977).
Zuhdi, Susanto, Sejarah Buton Yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana,(Jakarta,
Rajawali Pers, 2010)
Wawancara
Wawancara dengan Nasrun pada 16 agustus 2014
Wawancara dengan La Ode Burhanuddin Sahidi pada 15 desember 2014
Wawancara dengan La Ode Masuk pada 7 desember 2014
Wawancara dengan Bahysu pada 9 desember 2014
Wawancara dengan La Ode Ma’asuh pada 5 febuari 2015
Wawancara dengan La Ode Husnul pada 2 febuari 2015
Wawancara dengan La Ode Hafeudin pada 7 febuari 2015
Wawancara dengan Idrus pada 10 desember 2014
Wawancara dengan Haliu pada 15 agustus 2014
x
FOTO DOKUMENTASI Gambar 1
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar 1 logam-logam ini adalah nilai tukar untuk perhitungan boka
FOTO DOKUMENTASI Gambar 1
Sumber : Dokumentasi Pribadi
FOTO DOKUMENTASI Gambar 1
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Foto dokumentasi
Gambar 2
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gamabar 2 ini, menjelaskan tentang pernikahan dua suku, mempelai pria berasal dari Irian Jaya
dan mempelai wanita asli tanah Buton, pernikahan ini yang ada di gambar ini melalui jalur
Uncura , yaitu artinya duduk yakni langsung saja duduk dirumah orang tua perempuan aau gadis
yang telah dipilih untuk teman hidup, dengan permintaan untuk menikah dengan jalan ini tidak
perlu melalui cara pertunangan lebih dahulu atas kesepakatan adat.
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Foto dokumentasi
Gambar 2
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar ini menjelaskan dalam pernikahan ini hanya dihadiri moji, dan keluarga mempelai pria
dan wanita saja, karena metode pernikahan dua suku ini tidak menggunakan proses katindana
oda dan katangkana oni, tapi langsung cara penyerahan tauraka dan popolo atau disebut
maskawin.
Foto dokumentasi
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar 2 ini menjelaskan proses akad nikah dengan membacaan tauraka dan berapa boka
yang akan dikeluarkan mempelai pria tersebut. Dalam pernikahan Uncura ini mempelai pria
menggunakan pakaian papara yang berwarna kuning.
Foto dokumentasi
Gamabar 3
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Foto dokumentasi
Gambar 3 ini menjelaskan proses pernikahan Pobaisa dalam satu suku, dari strata walaka dan
kaomu, dalam proses ini dihadiri moji, tokoh adat, syara (swapraja) dan proses ini yang disebut
dengan Katindana Oda dan Katangkana Oni
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Foto dokumentasi
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Pernikahan dalam bentuk Pobaisa, dalam pernikahan ini pengantin akan menggunakan dua baju
pengantin kebesaran keraton yang bercorak sisik naga dengan warna hijau dan sisik buah nanas
dengan warna kuning dan baju itu hanya di gunakan strata kaoumu dan walaka.
FOTO DOKUMENTASI
Foto bersama toko adat setelah melakukan wawancara
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Lampiran I
DAFTAR PERTANYAAN
Dalam penelitian Perubahan Sosial Budaya Dalam Masyarakat Buton : Boka Dalam Tradisi
Pernikahan Masyarakat Buton
A. Identitas Informan
Nama : LA ODE BURHANUDDIN SAHIDI
Umur : 56 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Jabatan : Tokoh Adat
1. Apa yang anda mengerti tentang boka?
Boka adalah merupakan besaran nilai yang dikeluarkan dan diberikan oleh seseorang
yang melaksanakan kegiatan adat-istiadat yang diatur berdasarkan tingkat masing-masing
baik dalam bentuk mahar maupun pasali
2. Bagaimana anda memaknai adat dan tradisi boka yang ada selama ini?
Adat termasuk tatakrama yang dibuat oleh masyarakat dan menjadi pengatur untuk
masyarakat dalam lingkup Kesultanan Buton khususnya, kalau tradisi boka itu bagian
dari aturan adat yang telah menjadi kebiasaan yang berlaku diwilayah Kesultanan Buton
yang melindungi pelaksanaan jalan pernikahan misalnya ketika laki-laki itu setelah
membayar boka/mahar maka berarti dia telah syah untuk menggauli isterinya. Oleh
karena itu tradisi boka ini akan terus berlanjut sampai generasi ke genarasi
3. Bagaimana tataran boka menurut orang terdahulu?
Bagi orang-orang dulu kalau melakukan pernikahan itu dilihat dari silsilah keturunannya,
karena silsilah keturunan di masyarakat Buton sangat penting untuk menjadikan keluarga
itu terpandang, kemudian melakukan pernikahan juga dilalui dengan waktu yang sangat
panjang di karenakan proses memberian boka dalam pernikahan tidak sekali pemberian
melaikan beberapakali sesuai aturan yang di tetapkan swapraja
4. Apakah ada aturan atau batasan dalam perhitungan boka?
seperti yang saya bilang tadi, bahwasanya boka merupan adat yang sudah di tetapkan
oleh kerajaan dan kesultanan melalui mufakat swapraja dan menjadi aturan bagi
pelaksanaan pernikahan, jadi aturan dan batasan yang terdapat pada perhitungan boka itu
tergantung dari siapa yang menikahi dan dinikahinya
5. Siapa saja yang boleh mendapatkan boka tersebut?
Kalau menurut adat ya, yang mendapatkan dan menirima boka itu hanya pihak dari
keluarga wanita itu pun yang berada di tempat ketika pelaksanaan lamaran usai
dilaksanakan, setelah itu bokanya boleh di bagikan ke pihak keluarga si wanita, selain
keluaga si wanita pihak moji juga berhak mendapatkan boka, karena sebagai
penghubunga untuk menyatuhkan dua keluarga.
6. Apakah ada aturan adat yang membedakan pemberian boka pada masyarakat
tertentu dengan masyarakat lainnya?
Ya, pastinya karena disetiap masyarakat itu kan mempunyai adat masing-masing dan
pastinya mempunyai aturan juga, tapi kalau di Buton itu diatur sesuai aturan tradisi
perhitungan boka itu sendiri yang telah ditetapkan oleh swapraja
7. Apakah ada perubahan pelaksanaan adat boka dulu dengan sekarang, jika ada
bagaimana perubahan itu terjadi dan apa penyebabnya?
Ya, ada perubahan seperti pelaksanaan tolowea itu sudah tidak ada, terus katindana oda
dan katangkana oni itu ada yang menggunakan dan ada juga yang tidak melakukannya,
terus banyak aturan aturan yang dilewatkan, seperti sekarang ini kebanyakkan orang yang
melalukan pernikahan halnya pernikahan umum. Akhirnya tradisi boka yang ada
dimasyarakat Buton dipermuda dalam pelaksanaannya. Sebenarnya itu kalau ada yang
mengerti adat dan menghargainya pastinya dia akan melakukan sesuai aturan adat, karena
masyarakat yang begitu pastinya tidaka akan mau meninggalkan adat dan budayanya.
Dan intinya pula perubahan juga tidak terjadi dengan keseluruhan hanya beberapa unsur
yang di akulturasikan dengan perkembangan zaman ini.
8. Apakah boleh adat boka ini berlaku pada masyarakat pendatang? jika boleh,
bagaimana prosesnya dan jika tidak boleh, kenapa?
Untuk adat pernikahan tradisi boka ini boleh dilakukan atau dilaksanakan oleh para
pendatang asalkan si pendatang menikah dengan orang Buton juga, contoh kalau orang
Jakarta atau Jawa datang di Buton dan menikahi wanita Buton maka tradisi boka bisa di
laksanakan dan diterapkan dalam pernikahan tersebut dan apabila tidak dilaksanakan juga
tidak apa-apa, tapi kebanyakan dari masyarakat dan seluruh tokoh adat mengatakan
bahwa adat tradisi boka jatuh pada wanita, karena wanita temapat jatuhnya perhitungan
mahar yang dikeluarkan.
9. Bagaimana jika terjadi perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang,
apakah adat boka masih berlaku?
kalau masyarakat kita ini pastinya sangat menjaga tradisi budayanya walaupun dan
seaidainya penikahan antara masyarakat asli Buton dengan masyarakat pendatang
terlaksana maka aturan akan berlaku sesuai dengan kesepakatan dua keluarga dan ketua
adat , tapi lagi-lagi di masyarakat kita ini sangat jarang sekali wanita dari Buton
mengikuti adat dari si laki-laki entah dari Jawa, Makasar dan Sumatra, di karenakan adat
di Wolio jatuh pada wanita.
10. Apa dampak perubahan tradisi boka pada masyarakat Buton?
Kalau berbicara masalah adat dan dampaknya itu saya melihat boka itu sampai sekarang
tidak berubah. Toh juga kita lihat para toko adat dan seluruh masyarakat Wolio ini masih
melaksanakan tradisi boka dengan jumalah dan aturan yang ditetapkan swapraja,
mungkin cuma perhitungan nilai tukar di Buton itu sudah menjadi 1 boka 24000 rupia.
11. Apakah tradisi adat boka ini berlaku diluar daerah Buton untuk masyarakat Buton
yang tinggal daerah tertentu?
Sebenarnya semua masyarakat kita ini selalu membawa adat dan budaya kemanapun kita
pergi dan untuk masalah pernikahan itu tergantung dari keluarga masing-masing, kalau
seumpanya adat Buton yang dipakai dalam pelaksanaan pernikahan maka tradsi boka
juga pasti akan terlaksana, tapi sekarang-sekarang ini sangat jarang sekali tradis boka
dipake diluar daerah Buton
12. Apakah ada upaya tertentu yang dilakukan untuk mempertahankan adat dan
tradisi boka dikampung ini, apa saja upayanya?
Ada upaya untuk mengajarkan agar tradisi kita ini tetap terjaga, biasanya seluruh orang
tua di Buton ini pasti mengajarkan keseluruh anak-anak dan cucunya untuk mengenal
budaya Buton dan sebenarnya bukan hanya pada tradisi boka tapi keseluruhan adat dan
budaya kita ajarkan ke anak dan cucu. Guru-guru juga membantu untuk mengajrakan
tentang budaya dan bahasa Buton pada pelajaran muatan local daerah
13. Apakah ada perbedaan pelaksanaan tradisi boka yang dilakukan adat dengan
pemerintah? Jika ada sebutkan saja perbedaannya, jika tidak seperti apakah peran
serta KUA dalam melaksanakan adat tradisi boka di kampong ini?
Di masyarakat kita ini pelaksanaan pernikahan masih mengikuti aturan pemerintah,
seperti menikah untuk umur laki-laki itu harus berumur 20an sedangkan untuk usia umur
wanita itu 17an, itu semua kita masih ikuti, karena syara agama kita mengajarkan untuk
pernikahan ketika wanita itu sudah di posuo, Cuma yang membedakan proses pernikahan
di Buton kan menggunakan tradisi adat budaya kita, dari proses penyerahan tauraka atau
maskawin
Lampiran II
DAFTAR PERTANYAAN
Dalam penelitian Perubahan Sosial Budaya Dalam Masyarakat Buton : Boka Dalam Tradisi
Pernikahan Masyarakat Buton
A. Identitas Informan
Nama : HALIU
Umur : 60 Tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
1. Apa yang anda mengerti tentang boka?
Ongkita te miana mancuana boka sih adato miana wolio so kawi, boka yitu dulu
semacam nilai tukar benda ke benda, berapa nilai benda itu diganti dengan benda yang
sama nilainya. Tuh miana Wolio dulu kan belum ada mata uang orang-orang masyaraka
itu mau balanja atau lingka idawa tidak membawa mata uang karena dulu belum sejenis
uang pada wa’tuna (waktunya) mereka itu dulu cuma bawa barang-barang yang mau di
tukar idawa (pasar), wewesih (sekarang-sekarang ini) boka itu sudah menjadi aturan yang
ditetapkan masyarakat untuk perkawinan, mati, haroa dll, tapi yang sering di lakukan
untuk perkawinan.
2. Bagaimana anda memaknai adat dan tradisi boka yang ada selama ini?
Adat tradisi boka di masyarakat Wolio masih terus dilaksanakan, dimana para syara,
tokoh adat dan orang tua disitu memliki peran penting dalam menjaga dan
mengajarkannya ke anak-anak dan cucunya, biar bisa terlaksana samapai saat ini
3. Bagaimana tataran boka menurut orang terdahulu?
Tataran boka orang terdahulu semuanya ialah berdasarkan bentuk klasifikasi dan tingkat
syara yang ada di masyarakat Wolio
4. Apakah ada aturan atau batasan dalam perhitungan boka?
Umbe, Indana boka sih dangia aturana. Kalau kita lihat sekarang ini perhitungan boka
sangat sedikit nilai tukarnya untuk membangun rumah tangga bagi yang baru-baru nikah
khusunya yang menggunakan adat dengan benar dan mengikuti aturan prosesnya.
Sekarang kita lihat seperti kalamboko atau mbooresa (tempat tidur) berapa boka? Untuk
hitungan nilai tukar mahar Dala Iyoputa Sangia, kalamboko 30 boka dan 1 boka 24000
iya kan. Sedangkan barang-barang matras, ranjang dan seperangkat langit-langit
kamarnya, kolambunya (perangakat ranjang) itu semua melebihi dari 5 juta, toapa
(bagaiamana)? Pastinya kan kita ikut adat tapi ada uang haroa (uang pesta) untuk
menambahkan itu semua. Dikarenakan kebutuhan masyarakat kita sekarang ini sangat
banyak.
5. Apakah ada aturan adat yang membedakan pemberian boka pada masyarakat
tertentu dengan masyarakat lainnya?
Ya ada aturannya dari syara Wolio untuk masyarakat lain selain masyarakat Wolio
6. Apakah ada perubahan pelaksanaan adat boka dulu dengan sekarang, jika ada
bagaimana perubahan itu terjadi dan apa penyebabnya?
Ya ada perubahan, perkawinan mengugunakan adat tradisi boka yang dulu itu sangat
tradisional dan berbudaya khas masyarakat kerajaan kesultanan Buton, kalau sekarang itu
pernikahan itu sudah menggunakan campuran-campuran adat, seperti adat Buton dengan
Kolaka, Buton dengan Muna apa lagi sekarang ini banyaknya orang Jawa yang ada di
tanah Wolio ini, pernikahan orang Jawa juga masuk dalam percampuran pernikahan adat
masyarakat kita, itu juga yang merusak budaya kita sendiri.
7. Apakah boleh adat boka ini berlaku pada masyarakat pendatang? jika boleh,
bagaimana prosesnya dan jika tidak boleh, kenapa?
Ingkana miana wolio pogau boleakah boka, tauraka te miana sagana ndapokia, sabutuna
budayana te adatana campuru, ingkana te kawina miana aou bawinena miana Wolio
tapakea adatana Wolio sih adatana boka.
8. Bagaimana jika terjadi perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang,
apakah adat boka masih berlaku?
Adat boka itu masih berlaku kapanpun dan dimanapun, yang penting ada perbincangan
antara dua keluarga dan adat masing-masing, itu seperti anaknya La Ode H. Anewu
anaknya kana ada yang kawin sama orang Jawa dan saya juga kemarin itu ikut kumpul
untuk keputusan adat apa yang akan dilaksanakannya, dari musyawarah syara Wolio ma
orang tua oua para mancuana sih ambil keputusan adatnya Buton, apalagi anaknya
sarona (namanya) Wa Ode…., dan akhirnya kawina te adatana boka.
9. Apa dampak perubahan tradisi boka pada masyarakat Buton?
Kalau melihat sekarang ini boka berubah bagi pandangan pemikiran saya ya, saya tidak
tau kalau masyarakat dan para tokoh adat yang lain, apa akan berbicara seperti saya.
Bahwasanya perubahan zaman berdampak pada budaya yang percampuran. Umbe (iya)
dengan kedatangan miana (orang) Cina, miana (orang) Jawa sih, mempengaruhi anak
muda sekarang dalam pengetahuan, pergaulan dan cara hidup samapai melupakan budaya
Wolio, seperti sekarang mana ada anak muda sekarang bisa berbahasa Wolio, padahal
dalam acara adat Wolio kan menggunakan bahasa Wolio, khususnya kawi tauraka popolo
sopea bokana (pernikahan yang harus mengeluarkan maharnya dan berapa jumlah
perhitungan bokanya)
10. Apakah tradisi adat boka ini berlaku diluar daerah Buton untuk masyarakat Buton
yang tinggal daerah tertentu?
Ya, berlaku bagi yang mau melaksakannya khususnya orang-orang yang sadar atas
kepemilikan budaya dan adanya mau dia berada di luar negri atau di daerah orang lain
tetap akan berlaku.
11. Apakah ada upaya tertentu yang dilakukan untuk mempertahankan adat dan
tradisi boka dikampung ini, apa saja upayanya?
Ingkita sih miana mancuana dangiana upaya, ingkita cuma berharap te maina mogena
sa sih, mengerti adatana te budayana, makida to pogaou wolio ingkita sih syukuri
12. Apakah ada perbedaan pelaksanaan tradisi boka yang dilakukan adat dengan
pemerintah? Jika ada sebutkan saja perbedaannya, jika tidak seperti apakah peran
serta KUA dalam melaksanakan adat tradisi boka di kampung ini?
Masyarakat kita ini punya adat dan tradisi sendiri dalam mengkawinkan anak dan cucu
dan itu semua lewat tradisi keturunan, kalau pemerintah itu cuma mengikuti adat dan
memperhatikan adat agar tidak kelaur dari jalur ketetapan dari kesepakatan dan mufakat
pemerintah dan tokoh adat kita, karena masyarakat kita ini terlahir dengan adat dan
budaya seperti haroa, dimana-mana kan orang melaksakanan haroa, begitu juga di
perkawinan.
Lampiran III
DAFTAR PERTANYAAN
Dalam penelitian Perubahan Sosial Budaya Dalam Masyarakat Buton : Boka Dalam Tradisi
Pernikahan Masyarakat Buton
A. Identitas Informan
Nama : LA ODE HUSNUL
Umur : 35 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
1. Apa yang anda mengerti tentang boka?
Boka itu adalah bisa di bilang suatu proses atau alat untuk digunakan oleh masyarakat
sebagai penumu antara laki-laki dan perempuan dalam suatu proses adat, jadi sampai
akhir ini artinya adalah mahar. Jadi alat itu lah yang akan di pake untuk mengukur apakah
layak seorang yang lamar dan yang melamar.
2. Bagaimana anda memaknai adat dan pelaksanaannya di daerah anda?
Pertama memaknai dari sisi positif, adalah budaya yang halus menghargai
kebangsawanan, karena dulu setiap bangsawan itu diwajibkan mempunyai pendidikan
yang tinggi dan mereka akan malu kalau mereka tidak berakhlak mulia, sehingga
ukurannya adalah ketika dia bangsawan berarti dia berpendidikan dan berakhlak baik
khusus waniya, dan itu akan mengukur jumlah boka dia atau jumlah mahar si wanita, dan
ini dalah zaman dulu . Sekarang dilihat dari sisi negatifnya, seperti yang terjadi pada
kakak saya sangat menghawatirkan, salah satunya adalah syariat islam kan sudah
menyebar dan mayoritas orang sudah memahaminya, tapi disisi lain orang-orang yang
awam atau orang-orang yang tradisional masih memegang teguh dengal hal seperti adat
dan tradisinya, akhirnya ketika kakak saya nama depannya tidak mengguanakan La Ode
dan istrinya menggunakan Wa Ode terjadi sedikit kontropersi disitu, sehingga dua
belapihak dari keluarga silaturahminya jadi kurang baik, tapi sebenarnya itu hanya ingin
merubah kedudukan martabat keluarga saja, dikarena kan cuma perbedaan strata. Jadi
yang saya maknai adalah boka untuk membentuk keluarga lebih baik dengan merubah
kedudukan keluarga yang berbeda menjadi keluarga yang mempunyai status. seharusnya
boka saat ini harus diadakan menyuluhan dan harus memberikan pemahaman kepada
masyarakat tentang adat dan tradisi boka secara luas.
3. Bagaimana anda memaknai adat dan tradisi boka yang ada selama ini?
Saat ini ada beberapa jumlah masyarakat memaknai boka sekedar formalitas saja, artinya
tidak menentukan syah atau tidaknya sebuah syarat pernikahan, karena melihat
perkembangan zaman, boka juga harus mengikuti atau menyalaraskan nilai ekonomi
sekarang.
4. Bagaimana tataran boka menurut orang terdahulu?
Sejauh yang saya tau, boka itu kalau di gunakan La Ode menikahi Wa Ode maka
bokanya sekian sesuai dengan perhitunga adat dan itu rasional dan bisa di jangkau, tapi
kalau misalkan perempuannya bukan Wa Ode tetapi laki-lakinya La Ode, itu tidak jadi
maslah, di karenakan yang biayai mahar atau bayar mahar laki-laki, tapi yang luar biasa
itu ketika perempuan itu Wa Ode dan laki-laki bukan La Ode, seperti yang terjadi pada
kakak ipar ku, itu lah tataran yang berbeda antara Wa Ode dan bukan Wa Ode atau Antra
kaomu dan bukan kaomu, misalkan dia hanya “La” bukan La Ode, itu ada takaran
ukurannya juga, hanya kalau sudah menikah denga Wa Ode kemudian si laki-laki bukan
La Ode itu lah yang akan menjadi suatu yang menarik dan dia harus banyak
mengeluarkan mahar dari hitungan boka, dan biasanya dilakukan oleh orang-orang yang
mempunya jabatan tinggi, atau orang-orang yang mempunyai materi, sehingga dia
mampu melamar si Wa Ode, dengan akhirnya si laki-laki kan menjadi gelar La Ode.
5. Apakah ada aturan atau batasan dalam perhitungan boka?
Kalau dulu ada aturan dan batasan yang di tetapkan dan tidak bisa diubah, kalau sekarang
kita sudah mengikuti perkembangan zaman dan aturan tetap ada, tapi harus
menyesuaikan dengan nilai ekonomi zaman, contoh dalam tradisi boka kan ada yang
namanya kolema atau memberikan ranjang dan kolambunya, sedang harga ranjang, kasur
dan kolambu udah mahal, tidak mungkin si laki-laki cuma memberikan jumlah boka yang
ditentukan, dan itu tidak mampu untuk membeli ranjang untuk diserahkan, oleh karena
itu menurut saya aturan dan batasan ada tapi harus menyesuaikan waktu dan menurut
pendapat saya juga bahwa atauran itulah yang membentuk keharmonisan proses
pernikahan
6. Siapa saja yang boleh mendapatkan boka tersebut?
Boka itu untuk istri, kalau semacam keluarganya itu bukan boka lagi, tapi upah, sedang
yang mendapatkan upah ini yang menikahkan dan orang yang dating di hari akadnya.
7. Apakah ada aturan adat yang membedakan pemberian boka masyarakat tertentu
dengan masyarakat lainnya (berdasarkan stratifikasi social)?
Yang namanya boka atau adat Buton itu haru mengikuti wanita, jadi misalkan laki-laki
ini masyarakat lain (Kolaka, Jawa) dia harus mengikuti adat siperempuan dan bukan
perempuan yang mengikuti adat laki-laki. Untuk perempuan buton harus mengikuti adat
Wolio, ketika perempuan ini bukan dari Wolio si peremuan tidak bias menggunakan boka
contoh si perempuan bugis berarti dia harus menggunakan adat bugisnya. Yang jelas
untuk perempuan harus mengikuti adat yang ditentukan karena dari situ si wanita bias
mengespresikan budayanya.
8. Apakah ada perubahan pelaksanaan adat boka dulu dengan sekarang, jika ada
bagaimana perubahan itu terjadi dan apa penyebabnya? Lalu seperti apa bentuk-
bentuk perubahannya?
Ya sudah berubah kalau ditanya berubah dan bagaimana perubahannya adalah pertama
difaktori oleh budaya yang sudah dilupakan kemudian budaya yang dilupakan terlihat
dari menipisnya orang tahu bahasa Wolio atau bahasa asli Buton, sehingga nilai-nilai
boka atau bahasa-bahasa yang selalu di ucapkan dalam prosesi boka menggunakan
bahasa Wolio dan orang sudah kurang mengerti dan itu salah satu bukti bahwa budaya
atau tradisi Buton sudah mulai di abaikan sama masyarakat, kemudian yang ke dua itu
dipengaruhi oleh perkembangan zaman teknologi istilahnya sebuah budaya yang
sebenarnya itu didasari oleh agama dan yang terjadi ini adalah nilai agama yang pudar
atas kuatnya pengaruh teknologi, dan faktor ke tiga adalah kesepakatan artinya dari
kesepakata yang ditentukan dari dua keluarga juga dapat merubah nilai jumlah boka yang
sudah didasari atau ditetapkan dan akhirnya merusak atau merubah nilai-nilai tradisi adat
tertentu tanpa mereka tidak sadari.
9. Apakah boleh adat boka ini berlaku pada masyarakat pendatang? jika boleh,
bagaimana prosesnya dan jika tidak boleh, kenapa?
Kalau masyarakat pendatangnya laki-laki boleh karena yang di nikahi misalkan Wa Ode
ataupun bukan Wa Ode karena ini tidak terkait dengan syariat sekarang, kalau dulu ini
tidak boleh karena ini sakral, artinya laki-laki pendatang menikahi perempuan ini asli
buton tapi dia sudah lama di Buton itu boleh-boleh saja mereka melakukan adat itu,
contoh seperti teman saya menikahi orang kolaka dan dia bukan La Ode, tapi dia
melakukan adat itu hanya kan dia mengikuti istrinya.
10. Bagaimana jika terjadi perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang,
apakah adat boka masih berlaku?
Masih berlaku mau dimana si perempuan berada ketika dia melakukan pernikahan
adatnya akan berlaku, kata kuncinya adalah wanita yang di maharin artinya laki-laki
harus memberikan mahar sesuai adatnya, Itu dalam adat Buton. Karena dalam tradisi adat
buton menikah tanpa melakukan prosesi adat boka serasa ada yang kurang dalam
pernikahan.
11. Apa dampak perubahan tradisi boka pada masyarakat asli dan pendatang?
Untuk penduduk yang asli akan menghargai aturan adat mereka dan pasti mengikuti
proses adat yang ditentukan, tapi kalau pendatang saya rasa pasti mengerti dengan adat
yang di ikuti.
12. Apakah tradisi adat boka ini berlaku diluar daerah Buton untuk masyarakat Buton
yang tinggal daerah tertentu?
Berlaku dan adat akan berlaku dimana saja mereka berada bagi masyarakat Buton
khususnya wanita. Karana menurut saya adat sekarang bukan sekedar adat, tapi sudah
menjadi fesion, artinya ketika mereka menikah dengan pernak pernik pakaian adat dan
proses tradisi adat itu mereka akan bangga karena itu staylis hidup dan menjadi gaya
hidup dan tiap keturunannya.
13. Apakah ada upaya tertentu yang dilakukan untuk mempertahankan adat dan
tradisi boka dikampung ini, apa saja upayanya?
Kalau saya sendiri sih upayanya kembali lagi pada peraturan-peraturn yang dulu seperti
apa yang dikatakan orang tua dulu. Bahwasanya melestarikan adat dan tradisi tanpa
mencapurkan zaman.
14. Apakah ada perbedaan pelaksanaan tradisi boka yang dilakukan adat dengan
pemerintah? Jika ada sebutkan saja perbedaannya, jika tidak seperti apakah peran
serta KUA dalam melaksanakan adat tradisi boka di kampong ini?
Yang saya tau antra KUA dan para adat pastinya ada komunikasi terdahulu, intinya saat
ini adat adalah symbol dan sebenarnya hanya upaya para ulama sultan-sultan
menetapakan adat tetap berjalan seperti boka, kabanti dan yang lainnya, tapi syariat tetap
dijalankan dan dilakukan oleh kementrian agama dan adat ini yang dilakukan tokoh adat
dan dulu ulama mengitregarasikan keduanya itu untuk menyiarkan islam.
Lampiran IV
DAFTAR PERTANYAAN
Dalam penelitian Perubahan Sosial Budaya Dalam Masyarakat Buton : Boka Dalam Tradisi
Pernikahan Masyarakat Buton
A. Identitas Informan
Nama : BAHYSU
Umur : 51 Tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
1. Apa yang anda mengerti tentang boka?
Boka itu kalau dalam bahasa yaitu sebongka artinya sebuah atau benda, yang sekarang di
jadikan aturan nilai tukar untuk sistem pernikahan dimasyarakat Buton dahulu dan
sampai sekarang
2. Bagaimana anda memaknai adat dan tradisi boka yang ada selama ini?
Ya Alhamdulillah kalau masalah adat di masyarakat kita ini, masih banyak yang
melaksanakannya, samapai di daerah Muna, Kolaka dan Kendari saja masih ada yang
melakukan adat tradisi boka ini, itu pun orang-orang asli keturunan kaomu atau istilah
yang menggunakan nama La Ode atau Wa Ode, dan itu pun sudah kesepakan dan aturan
syara Wolio sih
3. Bagaimana tataran boka menurut orang terdahulu?
Sebagaimana yang kita lihat sekarang ini, tradisi boka dari tempo dulu dan sampai saat
ini masih berpegang pada aturan adat pernikahan, dengan menggunakan silsislah
keturunan atau status sosial, bagi orang dulu atau para sultan pernikahan merupakan
sistem pembentukan kekuasaan untuk wilayah, sehingga boka saat ini di perhitungkan
melalui silsilah keturunannya
4. Apakah ada aturan atau batasan dalam perhitungan boka?
Menurut syara Wolio adat itu adalah aturan yang dibuat oleh mufakat masyarakat keraton
dan keputusan petuah tokoh adat, sedangkan boka itu mrupana bagian adat, berarti dalam
tradsi boka mempunyai atruuan dan batasan dalam perhitungannya, tapi dilihat dari
klasifikasi masyarakat tadi, seperti itu kalau dalam penjelasannya, karena saya juga
termaksut bagian orang-orang yang selalu mengikuti ketika ada perkumpulan syara
agama, tokoh adat, seluruh moji.
5. Apakah ada aturan adat yang membedakan pemberian boka pada masyarakat
tertentu dengan masyarakat lainnya?
Ya, dalam tatanan dan aturan adat yang telah disepakati terdapat pembedaan dalam
mengeluarkan jumlah boka yang akan diberikan, tetapi bagi masyaraakt lain itu biasanya
kalau mau melamar gadis msyarakat buton akan diterapkan dengan sebutan limba
dalango. Limba dalango itu merupakan kesepakantan masyarakat setempat untuk
memberikan pembelajaran bagi masyarakat lain karena telah berani meminang
masyarakat Buton, dangan hitungan boka yang nominalnya besar
6. Apakah ada perubahan pelaksanaan adat boka dulu dengan sekarang, jika ada
bagaimana perubahan itu terjadi dan apa penyebabnya?
Adat tradisi boka yang sebenarnya yang ada di Buton Wolio ini kan menggunakan real
untuk memperhitungkan jumlahnya, tapi semenjak perkembangan waktu, maka
perubahan ini sekarang sudah menggunakan perhitungan rupiah saja tanpa
mengguanakan real lagi, cuman dalam pelaksanaan proses wajib menggunakan boka.
Penyebabnya itu seperti perkembangan zaman ini, orang kan tidak akan berdiam saja
pastinya akan bergerak walau yang kita bawa adalah tradisi dan budaya.
7. Apakah boleh adat boka ini berlaku pada masyarakat pendatang? jika boleh,
bagaimana prosesnya dan jika tidak boleh, kenapa?
Ya boleh, karena dalam tatanan aturan adat yang ada pada masyarakat kita seperti
pelaksanaan boka itu boleh diterapakan pada masyarakat pendatang yang terpenting si
pendatang ini menikahi wanita yang asli masyarakat Buton, maka adat tradisi boka yang
digunakan dalam pelamaran pernikahan tersebut dan masalah proses pastinya sama
dengan pernikahan masyarakat Wolio pada umumnya hanya ada sedikit perbedaan dalam
hitungan jumlah nilai boka yang akan di keluarkan si pria untuk melamar si wanita.
8. Bagaimana jika terjadi perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang,
apakah adat boka masih berlaku?
Ketika terjadi perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang itu sudah hal yang
biasa bagi masyarakat Buton untuk saat ini, sedangkan boka ya dan pastinya masih tetap
berlaku, terkecuali dari pihak wanita atau laki-laki tidak menyetujui pernikahan tersebut
dengan menggunakan adat masyarakat kita, kalau dibandingkan dengan orang dulu
pernikahan antara penduduk asli dengan pendatang itu sangat membuat dan merusak
sisilah keturunan dan bagi masyarakat Buton menganggap akan terjadi kepunahan
keturunan atau hilangnya silsilah, makanya bagi masyarakat kita khususnya para
mancuana selalu mengingatkan anak-anak dan cucunya untuk menikah dengan satu
daerah atau satu suku saja.
9. Apa dampak perubahan tradisi boka pada masyarakat Buton?
Kalau berbicara soal perubahan dan dampak yang di alami masyarakat kita ini di hal
ekonomi, karena disetiap masyarakat nilai ekonominya berbeda-beda. Akhirnya
berdasarkan musyawarah parah tokoh adat dan tokoh syarah agama dan seluruh swapraja
yang ada di masjid keraton Buton, memutuskan bahwasanya tradisi boka akan di
perhitungkan lagi nilai tukar yang sudah ada pada masyarakat, dikaenakan disetiap
wilayah Buton mengalami perbedaan dikarenakan ketidak sesuaian dengan kehidupan
ekonomi masyarakat
10. Apakah tradisi adat boka ini berlaku di luar daerah Buton untuk masyarakat Buton
yang tinggal daerah tertentu?
Sebenarya kalau berbicara hakiki adat masyarakat kita ini boka itu dilakukan dalam
lingkungan kesultanan keraton Buton dan masyarakat Wolio saja, tapi kita lihat sekarang
orang Buton sudah ada dimana-mana, ada mi yang di Surabaya, Jakarta, Makasar,
Ambon dan terkadang meraka ini yang merantau membuat satu paguyuban khusus orang-
orang Buton dan kehidupannya juga disamakan dengan kehidupan layaknya di tanah
Buton, contoh yang di Ambon di Batu Atas disitu ada kampung orang Buton semua,
keadaan dan kehidupan mereka lakukan layaknya tanah kelahiran dan pastinya boka juga
mereka lakukan dalam pernikahn di antara sesukunya atau antara masyarakat Buton
sendiri dengan adat tradisi pernikahan masyarakat Buton
11. Apakah ada upaya tertentu yang dilakukan untuk mempertahankan adat dan
tradisi boka dikampung ini, apa saja upayanya?
Upaya yang dilakukan masyarakat untuk mempertahankan dan menjaga kelestarian boka
ini dengan menikahkan anak dan cucu itu sesam satu suku, biar adat dan budaya yang ada
pada kita ini melekat secara turun temurun terus sampai kita yang tua ini atau para
mancuana sih bisa berharap pada kalian ini yang muda-muda.
Lampiran V
DAFTAR PERTANYAAN
Dalam penelitian Perubahan Sosial Budaya Dalam Masyarakat Buton : Boka Dalam Tradisi
Pernikahan Masyarakat Buton
A. Identitas Informan
Nama : IDRUS
Umur : 53 Tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
1. Bagaimana masyarakat mempertahankan dan melestarikan ada dan budaya tradisi
boka di Buton?
Proses budaya tetap berjalan, tetapi kita ini yang sudah tua selalu mengikuti adat dan
mengingatkan pada anak-anak sekarang, biar mereka mengerti apa yang dilakukan orang
tuannya miana mangengena ou para opuana .
2. Bagaimana masyarakat buton melestarikan adat dan budaya tradisi?
Bolimo karo somano lipu, bolimo lipu somano syara, bolimo syara somano agama,
maksudnya kita boleh lupa pada diri kita, tapi jangan lupa pada lingkungan kita atau
tempat lahir kita, kita boleh lupa pada lingkungan kita, tapi kita jangan lupa pada syara
tanpa syara pasti ada agama, keyakinan miana wolio sih miana agama, sedangkan adat si
merupakan bentuk tindakan hasil dari orang-orang dulu, contoh kenapa kita lakukan
shalat karena pemimpin kita au nabi kita Rasullah melakukannya toh, seperti ini juga
kaitannya boka kita lakukan dan mensosialisasika karena tidak bertentangan dengan syara
agama.
3. Apa kah dalam tradisi boka ada perubahan?
Umbe, boka sih mengikuti syara agama, walaupun boka harus berubaha system
pertukaran popolnya, kalambokona, kapobiangi nda pokia, tidak apa-apa yang penting
agama masih membolehkan.
4. Apa pengaruh masyarakat pendatang terhadap tradisi budaya adat ini?
Umbe dengan kedatangan miana cina, miana jawa sih, mempengaruhi anak muda
sekarang dalam pengetahuan, pergaulan dan cara hidup samapai melupakan budaya
wolio, seperti sekarang mana ada anak muda sekarang bisa berbahasa wolio, padahal
dalam acara adat wolio kan menggunakan bahasa wolio, khususnya kawi tauraka popolo
sopea bokana
5. Bagaimana anda memaknai adat dan pelaksanaannya di daerah anda?
Budaya dan adat istiadat merupakan prilaku keturunan masyarakat setempat yang sudah
lama dibentuk dan di jadikan patokan untuk kelompok masyarakat tertentu, sama halnya
ketika kita melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan orang-orang terdahulu
kita, seperti halnya di masyarakat Buton melakukan kegiatan haroa itu adalah kegiatan
yang tidak pernah kita pelajari tapi kita mampu melakukannya saat ini dengan terjadinya
hal tersebut, maka kita sudah mengikturi aturan adat yang ada
6. Bagaimana adat tradisi boka menurut orang terdahulu?
Kita berbicarakan adat ini tidak ada habisnya, soalnya masyarakat kita masih ada artinya
dangia miana Wolio. Dan kita lihat dari boka yang dulu dan yang sekarang jauh sekali
perbedaannya, dulu tuh tingkatan mahar kalau biasa disebut Popolo itu menpunya
tingakatan-tingakatan, seperti yang ditetapkan adat syarah Wolio, tingkatan pertama tuh
dangia popolo lalaki, popolo walaka, popolo maradika, dari tiga popolo sih dibagi-bagi
lagi, tapi sekarang pembagian tingkatan yang itu sudah jarang digunakan, malah sekarang
miana (orang) Wolio melihat itu dari oanana incema ngko sih (dari keturunan siapa anak
ini), itu mi yang kita kasihani dengan ketidak pedulian masyarakat juga
7. Apakah ada aturan atau batasan dalam perhitungan boka?
Susunan dan perhitunga 1 boka 24000 ribu, merupakan mufakat para syara dan tokoh
adat, perhitungan boka ini yang menjadikan aturan dan batasannya
8. Apakah ada perubahan pelaksanaan adat boka sekarang?
Menurut saya ada sedikit perubahan dengan yang saya lihat selama ini, yaitu perubahan
yang berbeda hanya nilai tukar dari boka itu sendiri sesuai dengan kenaikan nilai tukaran.
Yang dulu kita memakai hitungan nilai tukar real, sekarang hitungan nilai tukar rupiah,
dikarenakan hitungan real sekarang ini sudah tidak digunakan lagi
9. Bagaimana adat perkawinan penduduk asli Buton?
Menurut adat di Buton dan seluruh masyarakat Wolio, kalau menjali dan mengikat
keluarga hanya dengan melakukan adat pernikahan dengan beberapa jalan, ada yang
menikah dengan cara pobaisa, uncura, polasiaka dan humbuni, empat cara ini yang ada
dalam adat budaya pernikahan masyarakat Wolio
10. Apa dampak perubahan tradisi boka pada masyarakat Buton?
Ada dua dampak yang terjadi pada masyarakat Buton, Dampak positifnya Boka dapat
dijangkau oleh siapapun yang berniat menyelenggarakan kegiatan adat istiadat dan
Dampak negatifnya perubahan Boka, jati diri dan indentitas adat – istiadat masyarakat
adat Buton makin lama makin punah
Lampiran VI
DAFTAR PERTANYAAN
Dalam penelitian Perubahan Sosial Budaya Dalam Masyarakat Buton : Boka Dalam Tradisi
Pernikahan Masyarakat Buton
A. Identitas Informan
Nama : NASRUN
Umur : 58 Tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Jabatan : Tokoh Agama
1. Apa yang anda mengerti tentang boka?
Boka itu adalah aturan sistem satuan nilai mahar pernikahan dalam kebudayaan
kesultanan Buton
2. Bagaimana anda memaknai adat dan pelaksanaannya di daerah anda?
Menurut saya adat itu seperti agama yang kita lakukan ketika waktunya tiba, dan dalam
agama pula kan terdapat aturan-aturan agama, seperti dalam agama kita agama islam di
wajibkan untuk shalat lima waktu. Shalat lima waktu kan aturan yang wajib dilakukan
ketika waktunya tiba, sama halnya dengan adat dan tradisi, ketika waktunya tiba maka
boka ini akan dilakukan dan dilaksanakan susai aturan adat dan budaya kita.
3. Bagaimana anda memaknai adat dan tradisi boka yang ada selama ini?
Kalau pendapat saya toh melihat dan memaknai adat ini sudah mengalami perubahan
sudah banyak sekali mengikuti budaya barat, contoh dalam pernikahan saja budaya boka
itu kadang tidak semua wilayah memakai atau melaksanakannya, atau mungkin
kurangnya kontrol dari tiap penghulu adat atau lebih kuat unsur budaya barat yang
masuk, atau masarakat kita ini yang pingin jadi modern kah.
4. Bagaimana tataran boka menurut orang terdahulu?
Tataran boka itu semuanya ada di mesium keraton ada pada naskah-naskah lama yang
sekarang kayanya tidak pernah lagi dilihat, kalau yang sekarang kita lakukan ini
semacam kegiatan tradisi yang dari mancuana-mancuana biasa yang mengajarkan anak-
anak dan tolida dengan mengenalkan tradisi boka hanya ketika ada pernikahan saja.
5. Apakah ada aturan atau batasan dalam perhitungan boka?
Ya, ada aturan dan perhitungannya, seperti kaomu dan walaka kalau menikah itu nilai
tukar hitungan bokanya besar dan berbeda dengan walaka yang menikahi papara itu
perhitungannya kecil.
6. Siapa saja yang boleh mendapatkan boka tersebut?
Yang boleh menapat kan boka itu moji, penghulu, kerabat dari pihak wanita mempelai.
7. Apakah ada aturan adat yang membedakan pemberian boka pada masyarakat lokal
dengan masyarakat lainnya?
Ada, didalam adat Buton pemberian yang dikeluarkan oleh mempelai pria itu disebut
limbah dolango dengan jumlah nilai perhitungan boka sesuai dari kemauan pihak
mempelai wanita
8. Apakah ada perubahan pelaksanaan adat boka dulu dengan sekarang, jika ada
bagaimana perubahan itu terjadi dan apa penyebabnya? Lalu seperti apa bentuk-
bentuk perubahannya?
Menurut saya perubahanya sih ada dan pengguanaan tradisi boka dalam proses
pernikahan itu ada yang berubah seperti nilai tukar perhitungan, terus semacam tahapan
proses penyerahan boka juga ada dan terkadang dilewatkan seperti katindana oda dan
katangkana oni itu dilewatkan, sekarang ini banyaknya masyarakat yang langsung ke
tahap kemudahan dalam pelaksanaannya seperti taurakanya langsung ke perhitungan
maskawin atau mahar padahal katindana oda termasuk bagian proses tradis penyerahan
boka juga, sehingga masyarakat kita ini sudah mengikuti budaya barat yaitu budaya serba
cepat.
9. Bagaimana jika terjadi perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang,
apakah adat boka masih berlaku?
Dalam suku masyarakat Buton tidak akan melarang suku Buton dinikahi atau menikahi
suku lainnya, itu tidak ada larangannya, tetapi adat tradisi boka itu pasti dilakukan, walau
dengan metode campuran budaya, separti pernikahan orang suku Jawa dengan suku
Buton.
10. Apa dampak perubahan tradisi boka pada masyarakat Buton?
Karena perkembangan zaman masyarakat kita ini sudah ikut berkembang dari pola hidup,
gaya hidup, budaya, ekonomi, dan politik, sehingga memberiakan dampak pada
masyarakat dan menjadikan masyarakat kita lupa dengan budayanya sendiri, kita lihat
saja masyarakat seluruhnya bukan saja di Buton ini, pasti mereka lupa dengan adat dan
budaya mereka yang sebenarnya.
11. Apakah ada upaya tertentu yang dilakukan untuk mempertahankan adat dan
tradisi boka dikampung ini, apa saja upayanya?
Untuk upaya sih ada, setiap orang tua juga selalu mengajarkan ke anak, cucu dan
keturunannya itu melalui kerajinan tangan, nyanyian daerah dan lebih khusus lagi bahasa
daerah, karena dari bahsa anak-anak itu pasti akan memahami adat dan budayanya.
Lampiran VII
DAFTAR PERTANYAAN
Dalam penelitian Perubahan Sosial Budaya Dalam Masyarakat Buton : Boka Dalam Tradisi
Pernikahan Masyarakat Buton
A. Identitas Informan
Nama : LA ODE MASUK
Umur : 65 Tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Jabatan : Tokoh Agama
1. Apa yang anda mengerti tentang boka?
BOKA adalah standar nilai tukar yang sering dipakai pada adat yang berlaku di daerah /
Kesultanan Buton, Contohnya : dalam perkawinan ditentukan dengan 32 Boka
1 Boka = dikonversi dengan rupiah = Rp.24.000,- Maka yang bersangkutan harus
membayar mahar sesuai kedudukannya waktu atau orang kebanyakan (Walaka) dalam
lingkup Kesultanan Buton 32 Boka x Rp.24.000
2. Bagaimana Aturan dan memaknai adat tradisi boka yang ada selama ini?
Bentuk aturan adat tradisi Boka dalam pernikahan masyarakat terdahulu adalah
berdasarkan klasifikasi dan tingkatan strata sosial masing – masing untuk melihat lapisan
sosial yang mana yang didudukinya, hingga saat ini tataran itu masih dilakukan dan
terlaksana
3. Bagaimana kedudukan perhitungan boka bagi masyarakat?
Tahapan / kedudukan Boka pada Kesultanan Buton antara lain :
Jika perempuan itu berasal dari Kaum Walaka (Kalangan Umum) berarti si laki – laki
harus membayar mahar / Boka sebesar 32 Boka. Sedangkan jika perempuan berasal dari
kaum bangsawan (Wa Ode) maka si laki – laki (pria) harus membayar mahar / Boka
sebesar 100 Boka
4. Siapa saja yang boleh mendapatkan boka tersebut?
Ada beberapa orang yang mendapatkan boka atau hasil dari penyerahan tauraka, seperti
pihak dari wanita yang dilamar, trus saksi, bilal/moji, penghulu dan pembawa tauraka
biasanya dua anak kecil.
5. Apakah ada perubahan pelaksanaan adat boka dulu dengan sekarang, jika ada
bagaimana perubahan itu terjadi dan apa penyebabnya? Lalu seperti apa bentuk-
bentuk perubahannya?
Pelaksanaan adat Boka dulu dan sekarang mengalami perubahan, penyebabnya adalah
dinamika perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. Adapun bentuk
perubahannya adalah berlakunya Adat Limba Dolango berubah menjadi adat Mata Kupa
6. Bagaimana jika terjadi perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang,
apakah adat boka masih berlaku?
Maslah kawin dengan suku yang lain itu bukan suatu larangan sebetulnya, dalam agama
saja itu tidak ada larangannya juga apa lagi dalam adat kita, dan apakah boka berlaku
untuk masyarakat asing atau pendatang, ya berlaku, asalkan ada kesepakatan dari dua
pihak keluarga dan masyarakat adat, karena kawin yang ada di Indonesia ini hampir
keseluruhannya itu kawin adat.
7. Apakah ada upaya tertentu yang dilakukan untuk mempertahankan adat dan
tradisi boka dikampung ini, apa saja upayanya?
Biasanya upaya yang dilakukan itu menikah sesame satu suku, mengikuti aturan adat dan
mentaati mancuana adat, karena dalam pepatah Wolio itu pobinci-binci kuli
Lampiran VIII
DAFTAR PERTANYAAN
Dalam penelitian Perubahan Sosial Budaya Dalam Masyarakat Buton : Boka Dalam Tradisi
Pernikahan Masyarakat Buton
A. Identitas Informan
Nama : LA ODE SAHIDU
Umur : 55
Jenis kelamin : Laki-Laki
Lampiran IX
DAFTAR PERTANYAAN
Dalam penelitian Perubahan Sosial Budaya Dalam Masyarakat Buton : Boka Dalam Tradisi
Pernikahan Masyarakat Buton
A. Identitas Informan
Nama : LA ODE MA’ASUH
Umur : 55thn
Jenis kelamin : Laki-Laki
1. Apa yang anda mengerti tentang boka dan tradisinya?
Boka itu bagian kecil dari adat yang menjadi aturan dan patokan untuk nilai tukar pada
proses pernikahan, khususnya pada nilai ganti kedudukan mahar, seperti hitungan boka
mahar atau popolo itu sekarang itu sudah menjadi 1 boka 24000 itu untuk hitungan nilai
tukarnya, belom hitungan keturunan atau tingakatannya.
Tradisi pernikahan di masyarakat Buton Wolio ini, merupakan proses yang panjang
dalam pelaksanaanya, seperti penyerahan Katindana Oda, Katangkana Oni, Bakena Kau,
Antona Suo, Langasa, Mantomu, Bura, Kasipo dan sampai ke ujung penyerahan
Taurakanya semuanya itu disebut tradisi Boka
2. Bagaimana pelaksanaan pernikahan di Buton?
Pernikahan bagi masyarakat Buton dimasa kerajaan dan kesultanan Murhum itu termasuk
pembentukan kekuatan dan kekuasaan dalam perebutan wilayah. Masa kesultanan juga
membentuk kehidupan yang berlapis dengan tingakatan sosialnya dan itu dimasa kerajaan
dulu, namun berbeda dengan pandangan kita saat ini bagi masyarakat pernikahan
sebenarnya itu kan membangun keluarga yang baik dan harmonis bukan membentuk
suatu kelompok kekuasaan dalam suatu keturunan bangsawan lagi.
Dulu nikah atau perkawinan di Buton Wolio sangatlah susah tidak semudah sekarang,
dikarena semua proses tradisi dalam adat dilakukan secara detail, dari sebelum
pernikahan sampai pernikahan itu selesai, contoh yang dahulu, sebelum pernikahan
keluarga dari pihak laki-laki mereka itu tidak langsung datang kerumah pihak perempuan,
tetapi memilih salah satu dari orang tua bekas pegawai syarah atau pemerintah swapraja
atau bekas pegawai masjid keraton yang disebut Tolowea untuk menjadi penghubung.
Orang tua ini yang menjadi penghubung antara orang tua laki-laki dan orang tua
perempuan yang akan dipinang. Dari hasil konsultasi penghubung ke pihak keluarga
perempuan dapat diketahui jadi tidaknya pertunangan laki-laki dengan perempuan yang
diinginkan, beda dengan sekarang ini melakukan lamaran kadang dilakukan sendiri oleh
si pria yang datang ke pihak orang tua si wanita, kemudian si pria ini menyatakan ke
pihak orang tuanya sendiri untuk langsung membantu melamar si wanita tersebut. Adat
pernikahan dan penguraian perhitungan Boka jatuh pada pihak wanita, terkecuali tejadi
pernikahan Polasiaka dan pernikahan Humbuni, maka terjadi syarat untuk adat itu sendiri
3. Bagaimana pernikahan adat di Buton dan apa perubahan yang berkaitan dengan
Boka?
Pernikahan yang ada di Buton dahulunya merupakan pernikahan klasifikasi pembentukan
masyarakat dengan melihat status sosial dan keturunan keluarga, bahwasanya keturunan
koumu harus menikahi Koumu dan Walaka, keturunan Walaka menikahi Walaka, dan
kalau dari keturunan Walaka menikahi Koumu maka akan dikenakan Pasali dan Mata
Kupa sesuai adat yang sudah disepakati, namun semenjak perubahan waktu yang bergulir
proses pernikahan sekarang hampir tigak menengok atau melihat status sosial masyarakat
lagi, sehingga pernikahan adat pun bergeser
4. Apa penyebab dari perubahan tersebut?
Masyarakat Buton ini akan terpengaruhi perkembangan zaman, yang menjadikan
masyarakat serba cepat, apalagi kalau kita lihat cara kehidupan sekarang teknologi yang
menjadi peran penting di zaman ini, sehingga proses pemberitahuan lamaran bisa
menggunakan handpond melalui pesan untuk mengungkapkan silaturahmi dari satu
keluarga ke keluarga yang lain dan untuk menyambung suatu ikatan, sehingga urusan
lamaranpun bisa dikabari melewati pesan dari handpond, padahal hak suptantif
sebenarnya dalam adat bahwasanya proses Boka itu harus melewati Tolowea, dari
Toloewa itu yang akan memberitahu lamaran itu diterima atau tidak dan Tolowea pun
yang membawa Boka yang berupa Katindana
5. Apa dampak perubahan tradisi boka pada masyarakat?
Dampaknya itu kita bisa lihat di perkembangan zaman, banyaknya sekali efek-efek yang
menjadikan budaya masyarakat kita ini bercampur, terutama dalam pola kehidupan. Kita
lihat sekarang pernikahan yang ada di masyarakat kita ini hampir 40% melaksanakan
pernikahan dengan metode biasa, tanpa menggunakan tradisi boka, 35% lagi menikah
dengan cara percampuran unsur budaya dan suku dan itu akan mengeser kebudayaan, dan
sisanya itu hanya 25% yang melakukan pernikahan dengan menggunakan tradisi boka.
Kalau kita lihat sekarang ya masyarakat kita ini sudah tidak ada kepedulian lagi pada
budaya dan adatnya khusunya para anak muda sekarang, hampir tidak tahu apa itu boka.
Dan para orang tuapun sudah lupa untuk mengingatkan ke anak dan cucunya tentang
budaya kita ini.
Lampiran X
DAFTAR PERTANYAAN
Dalam penelitian Perubahan Sosial Budaya Dalam Masyarakat Buton : Boka Dalam Tradisi
Pernikahan Masyarakat Buton
A. Identitas Informan
Nama : LA ODE HAFEUDIN
Umur : 51thn
Jenis kelamin : Laki-Laki
1. Bagaimana anda memaknai adat dan tradisi boka yang ada selama ini?
Kalau pendapat saya melihat perkembangan zaman sekarang, adat yang kita jalankan
selama ini terutama di Wolio itu hampir atau sudah mulai terlihat ada campur aduk
dengan adat adat lainnya terutama itu kebanyakan diambil dari adat Kolaka dan adat
secara umumnya, seperti pernikahan dengan menggunakan seperangkat alat shalat, tapi di
Buton memiliki adat tersendiri, yaitu penggunaan boka untuk menukarkan nilai dan
system yang sudah dibentuk oleh masyarakat. Memang orang Buton kalau melakukan
lamaran dan pernikahan meraka selalu tidak lepas dari yang namanya adat tradisi Boka,
walaupun jumalah nilai tukar yang di berikan atau dikeluarkan berbeda-beda sesuai
dengan yang disepakati. Adat ini kan ditetapkan oleh para tokoh adat keraton dan
dimufakatkan hasilnya, dulu juga dari 1 boka nilai tukar 18000- menjadi 1 boka nilai
tukar 24000- dan ini pasti akan ada perubahan lagi dari kesepakatan selanjutnya, karana
nilai tukar Boka ke rupiah harus mengikuti ekonomi masyarakat
2. Apa yang anda pahami pada perubahan tradisi boka?
Pernikahan bagi masyarakat merupakan kepatuan pada syara agama dan pelaksanaan adat
khusunya boka merupakan ketaatan aturan adat dan budaya. Boka merupakan tradisi
dalam pernikahan yang turun temurun untuk dilestarikan, namun kita bisa melihat
sekarang boka pun mengalami perubahan yang dapat kita lihat dari gambaran suatu
pernikahan orang dulu dan sekarang berbeda jauh, sekarang anak muda kalau mau
menikah mudah sekali, bisa pilih perempuan yang mana dia suka dan datang melamarnya
tanpa ada proses penghubung, dan kalau duluhnya mau menikahi anak perempuan itu kita
lihat juga keturunannya siapa si perempuan itu
.
3. Apakah ada perubahan pelaksanaan adat boka dulu dengan sekarang, jika ada
bagaimana perubahan itu terjadi dan apa penyebabnya? Lalu seperti apa bentuk-
bentuk perubahannya?
Kalau dulu saya menikah itu prosesnya lama sekali, dan pernikahan saya dulu tuh
persetujuan antara orang tua yang menyampaikan ke orang tua perempuan dengan
tolowea atau seorang moji sebagai penghubung, tolowea mendatangi keluarga si
perempuan tuh dengan membawa beberapa boka katindana oda dan kaangkana oni,
sesudah itu pihak keluarga saya datang kesekian klainya bersama tolowea, untuk
membicarakan tauraka. Tp sekarang prosesnya sangat mudah sekali, menikah cukup
mempersiapakn materi dan hari itu sudah bisa terlaksana dengan mendatangkan
penghulu, kalau dulu penghulu tidak cukup harus ada tokoh adat, moji, tolowea, karean
semua itu merupakan proses penypean boka yang hakiki dan benar melalui tatanan wolio.
4. Apakah boleh adat boka ini berlaku pada masyarakat pendatang? jika boleh,
bagaimana prosesnya dan jika tidak boleh, kenapa?
Di Buton sekarang ini bayak masyarakatnya imigran yang datang dari Jawa, Bali dan
Bali. Bahkan orang Jawa pun dapat menikahi penduduk asli Buton dan orang-orang
Buton sendiripun banyak yang merantau ke jawa khususnya di daerah Jakarta dan
menikah dengan orang Jawa pula. Bagi saya sih kedatangan mereka seperti orang Jawa,
Bali dan Cina ke Buton itu hanya mencari kehidupan yang lebih baik, karena di Buton ini
masih banyak sekali tempat penghasilan yang bisa diperoleh oleh mereka. apa lagi kita
bisa lihat letak geografis di Buton setengahnya lautan dan setengahnya hutan, dari
kedatangan mereka kan pasti terjadi interaksi antara penduduk kita, makanya darisitulah
terjadi percampuran budaya. Saya sendiri punya saudara sepupuh ada tujuh orang, dari
tujuh orang salah satu dari mereka, anak ke empat menikah dengan orang Jawa. Biasa
karena pekerjaannya sepupuku itu pedagang dia yang selalu kirim barang orderan
belanjaan untuk di jual di Buton. Dia selalu menetap di Jawa terus dia sudah lama di
Jawa akhirnya dia dapat orang Jawa dan menikah sama orang Jawa. Di pernikannya itu
dia make adat Jawa dan Buton, dan sekarang kalau tidak salah sudah tinggal di jawa
timur.
5. Apa dampak perubahan tradisi boka pada masyarakat?
Bagi masyarakat miana Wolio (Buton) perubahan yang terjadi pada proses tradisi Boka
membuat masyarakat dipermuda dalam melaksanakan pernikahan, segala hal yang
berkaitan Boka dulunya diuraikan dengan bentuk peyerahan yang bemacam-macam dan
saat ini semua hal sudah dapat dipermudah dengan menominalkan dengan uang, sehingga
proses lamaran dan penyerahanpun sangat cepat. Itu kalau dilihat dari sisi
pelaksanaannya, dan itu banyak juga terjadi di daerah Kakudo, Gu dan wanci dan acara
pesta atau haroanya tidak terlalu menonjolkan dan memperlihakan khas keadatan tradisi
budaya Buton, padahal Kalau orang-orang Buton dulu tuh melakukan pernikana itu
disambut dengan meriah dan kemudian proses adatnya itu banyak sekali, sekarang ini
pernikahan kayanya sudah menjadi biasa saja, apalagi penyerahan Boka itu kaya
penyerahan mahar seperti pernikahan umumnya seperti yang di tv-tv sudah tidak ada nilai
sakralnya lagi.